You are on page 1of 3

Pewajiban CSR dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas

etelah berita Departemen Sosial hendak meregulasi CSR (corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan) muncul di media massa beberapa minggu lalu, tindakan yang lebih nyata ditunjukkan oleh DPR terlebih dahulu. Di akhir minggu terakhir Juni mereka menyetujui sinkronisasi UU Perseroan Terbatas yang di dalamnya terdapat aturan mengenai CSR. Walau UU itu tidak menyatakan besaran sisihan dana yang diwajibkan, segera saja reaksi dari dunia usaha muncul. Para pengusaha, yang diwakili KADIN menyatakan bahwa CSR seharusnya bersifat kesukarelaan, bukan kewajiban. Pendirian tersebut memang merupakan pendirian arus utama hingga sekarang, namun bukan satu-satunya pendirian yang ada. Tulisan ini hendak menguraikan spektrum pendirian yang ada, kemudian mengomentari pewajiban CSR dalam UU tersebut. Apakah tanggung jawab itu bisa dilaksanakan dengan sukarela? Tampaknya menyatakan bahwa tanggung jawab itu sukarela adalah contradictio in terminis. Yang benar, tentu saja, tanggung jawab itu wajib dilaksanakan. Namun, di antara kubu CSR itu kewajiban atau kesukarelaan, kini kemenangan ada pada kubu kesukarelaan, dan perusahaan-perusahaan memang menginginkan kondisi yang demikian. Tapi kesukarelaan dalam pemahaman yang dipromosikan oleh perusahaanperusahaan yang berkomitmen CSR tinggidan kebanyakan pakar yang sependapatbukan berarti perusahaan bisa semaunya saja memilih untuk menjalankan atau tidak menjalankan tanggung jawabnya atau selektif terhadap tanggung jawab itu. Yang dimaksud dengan kesukarelaan adalah perusahaan juga menjalankan tanggung jawab yang tidak diatur oleh regulasi atau beyond regulation. Jadi, apa yang sudah diatur oleh pemerintah harus dipatuhi dahulu sepenuhnya, kemudian perusahaan menambahkan lagi hal-hal positif yang tidak diatur. Semakin banyak hal positif yang dilakukan perusahaan, padahal hal itu tidak diharuskan oleh pemerintah, maka kinerja CSR perusahaan itu dianggap semakin tinggi. Di sisi lain, banyak pihak yang tidak percaya bahwa perusahaan akan melakukan halhal positif apabila tidak diregulasi. Sebetulnya pendirian ini dapat dengan mudah disangkal, karena ada banyak hal positif yang dilakukan perusahaan walau tidak diatur oleh pemerintah. Tapi, memang sebagian besar perusahaan memang tidak pernah mau melakukan hal positif di luar apa yang sudah diatur regulasi. Bahkan, banyak 1

Pada kenyataannya, berbagai regulasi yang mengatur kinerja sosial dan lingkungan perusahaan adalah berasal dari upaya kolektif perusahaan,..........

penelitian yang membuktikan bahwa perusahaan memang punya kecenderungan untuk melanggar regulasi apabila konsekuensinya lebih ringan daripada keuntungan yang diperoleh bila melanggarnya. Joel Bakan menjadi terkenal karena bisa membuktikan hal tersebut pada banyak perusahaan raksasa lewat bukunya The Corporation, the Pathological Pursuit of Profit and Power (2004). Dengan pemahaman yang demikian, maka banyak pihak yang mendesak agar seluruh tanggung jawab perusahaan diatur dengan ketat dalam regulasi pemerintah. Pihak-pihak ini juga mengusulkan penggantian istilah tanggung jawab (responsibility) menjadi tanggung gugat (accountability). Di luar dua pendirian ituyang pertama dikenal dengan self regulation dan yang kedua disebut government regulationsebetulnya ada pendirian lain yang masih kurang popular, yaitu apa yang disebut Jem Bendell dan David Murphy (2002) sebagai civil regulation. Kalau kedua pendekatan menyerahkan pengaturan CSR pada perusahaan sendiri atau pemerintah, pendekatan ketiga ini mendukung pembuatan standarstandar CSR oleh organisasi masyarakat sipil, yang dianggap lebih netral. Untuk bisa melakukannya, diandaikan organisasi masyarakat sipil cukup memiliki kapasitas untuk mengawal perusahaan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Namun, kualitas terpenting yang ada di mereka adalah tidak adanya konflik kepentingan. Pada kenyataannya, berbagai regulasi yang mengatur kinerja sosial dan lingkungan perusahaan adalah berasal dari upaya kolektif perusahaan, kumpulan perusahaan, pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan juga organisasi multilateral. Jadi, memisahkan ketiga pendekatan sebetulnya juga tidak berbasiskan realitas. Mendebatkan CSR itu wajib atau sukarela juga perlu penjelasan yang lebih detail tentang apa yang dimaksud dengan CSR, dan dari sudut pandang mana. Tulisan ini mengusulkan agar CSR didefinisikan sebagai upaya sungguh-sungguh entitas bisnis untuk meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif operasi perusahaan terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan. Dengan demikian, perusahaan wajib mengetahui dengan mendetail dampak operasinya dalam setiap ranah terhadap semua pemangku kepentingannya, melihat seluruh regulasi pemerintah yang relevanlingkungan hidup, tenaga kerja, dllsebagai batas kinerja minimum, dan berupaya sedapat mungkin untuk melampauinya. Sangat penting disadari bahwa perusahaan hanya memiliki tanggung jawab sebatas wilayah dampaknya saja (Donna Wood, 1991). Kalau perusahaan mau melakukan di luar wilayah itu, maka itu adalah upaya untuk melampaui kewajibannya. Upaya melampaui kewajiban sudah seharusnya tidak diregulasi. Konsultasi publik yang minim telah menghasilkan banyak keanehan dalam sikap Panitia Kerja DPR yang menghasilkan UU ini. Sudah jelas bahwa mereka bukanlah pakar CSR, namun berbagai pernyataan mereka membuktikan bahwa pengetahuan dasarpun tak mereka kuasai. Setelah tampak cerdas dengan mengubah dasar perhitungan dana CSR dari keuntungan tahun sebelumnya, serta menyatakan bahwa CSR dapat menjadi aktivitas yang tax deductibleini menjadi insentif standar di banyak negaradan memasukkan aspek lingkungan sebagai bagian dari CSR, jawaban mereka atas keberatan para pengusaha tampak ngawur berat. Mereka menyatakan bahwa kekecualian bisa diberikan pada pengusaha yang tahun

sebelumnya merugi, besaran proporsi dana CSR bisa saja diturunkan, serta aspek lingkungan bisa dihapus dari peraturan. Dua pernyataan pertama jelas menggambarkan cara pandang after profit atas CSR. Ketika seluruh pakar sepakat sejak lebih dari 1 dekade lalu bahwa CSR harus menjadi aktivitas before profitdan karenanya banyak yang menggunakan istilah corporate social investmentPanja DPR masih juga menggunakan cara pandang tersebut. Menghilangkan aspek lingkungan dari CSR adalah kesalahan berat. Sudah lama konvergensi antara pembangunan berkelanjutan dan CSR terjadi, sehingga CSR mencakup ranah ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam dunia yang mengalami banyak masalah lingkungan berat dan rumit, menghilangkan aspek lingkungan dari CSRkalau itu dilakukanadalah dosa kolektif para pengambil keputusannya. Pernyataan DPR bahwa revisi masih bisa dilakukan kiranya memang perlu dijawab segera dengan koreksi berdasarkan pengetahuan dasar yang benar tentang CSR. Kita berharap bahwa CSR benar-benar bisa menjadi dasar keunggulan kompetitif sebagaimana yang dipreskripsikan oleh Michael Porter dan Mark Kramer (2006), bukan malahan menyerimpung upaya menuju keunggulan itu. Tulisan ini dikirimkan untuk dimuat di Koran Tempo. Jakarta, 9 Juli 2007

Konsultasi publik yang minim telah menghasilkan banyak keanehan dalam sikap Panitia Kerja DPR,..........

Jalal, Lingkar Studi CSR

Lingkar Studi CSR Rukan Permata Senayan No.A/6 Jln.Tentara Pelajar, Patal Senayan - Jakarta 12210, Indonesia Telp. (021) 579 40610, Fax. (021) 579 40611 www.csrindonesia.com, e-mail: office@csrindonesia.com

You might also like