You are on page 1of 77

Latar Belakang Pusat Kesehatan Masyarakat atau puskesmas yang dikembangkan sejak tahun 1968 oleh Departemen Kesehatan

Republik Indonesia agar masyarakat di pelosok tanah air dapat mengakses pelayanan kesehatan dasar. Sebagai unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas bertanggungjawab menyelenggarakan upaya kesehatan dasar perorangan dan masyarakat Namun sayangnya, untuk pelayanan perorangan, setelah hampir empat dekade, puskesmas belum menjadi pilihan utama masyarakat untuk memperole h pelayanan kesehatan (1). Kondisi puskesmas di Kabupaten Simalungun tidak jauh berbeda dengan kondisi puskesmas lain di seluruh Indonesia. Apalagi sejak adanya Undang -undang No. 32 Tahun 2004, yang memberikan kewenangan otonomi pada daerah. Pemerintah Daerah Kabupaten Simalungun menyikapinya dengan mengeluarkan Peraturan Daerah No.13 tahun 2004 tentang pembebasan tarif puskesmas untuk semua jenis pelayanan dan berlaku untuk seluruh pengunjung puskesmas itu (2). Sejak diberlakukan tarif tidak ada peningkata n kunjungan ke puskesmas, dan pemanfaatan puskesmas oleh penduduk masih dibawah 30%, karena rendahnya mutu pelayanan puskesmas. Beberapa pandangan yang berkembang di masyarakat Simalungun yaitu buruknya citra pelayanan di puskesmas, fasilitas gedung maupun peralatan medis dan medis kurang memadai, dan budaya pegawai puskesmas yang tidak disiplin, Untuk peningkatan mutu pelayanan di puskesmas sebenarnya sudah mengikuti pelatihan mutu seperti Jaminan Mutu, Total Quality Management (TQM), dan Good Governance, tetapi belum diterapkan di puskesmas masing -masing (3) . Di propinsi Sumatera Utara pembebasan tarif puskesmas ini hanya Kabupaten Simalungun dan Kota Medan yang menerapkan pembebasan tarif. Bila dibandingkan kunjungan puskesmas di Kabupaten Simalungun dan kabupaten tetangga yaitu Kabupaten Asahan yang menerapkan tarif restribusi terlihat ada perbedaan seperti tabel dibawah ini:
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id 5 Hartati, Tjahjono Kuntjoro; WPS no.4 Oktober 2007 1st draft

Tabel 1. Data Kunjungan Rawat Jalan Puskesmas Tahun 2006 No. Kabupaten Simalungun Kunjungan No. Kabupaten Asahan Kunjungan
1. Silimakuta 8.380 1. BP. Mandoge 11.792 2. Raya 8.525 2. Aek Songsongan 8.625 3. Tanah Jawa 12.770 3. Pulau Rakyat 11.790 4. Hutabayu raja 10.008 4. Aek Loba 9.477 5. Panei 7.123 5. Sei Sepayang 11.012 6. Sidamanik 9.334 6. Sei Apung 6.511 7. Dolok Pardamean 6.314 7. Simpang Empat 6.743 8. Dolok Paribuan 4.321 8. Air Batu 5.273 9. Bandar 7.632 9. Hessa Air Genting 6.941 10. Pematang Bandar 13.532 10. Tinggi Raja 11.591

11. Raya Kahean 5.863 11. Meranti 10.800 12 Siantar 13.596 12 Rawang Pasar IV 6.597 13. Jorlang Hataran 6.157 13. B. Serbangan 9.745 14. Girsang 5.964 14. Tanjung Tiram 8.331 15. Purba 10.952 15. Sei Balai 7.673 16. Silau Kahean 8.774 16. Lab. Ruku 6.548 17. Bosar Maligas 9.072 17. Lima Puluh 11.645 18. Ujung Padang 9.145 18. Kedai Sianam 7.573 19. Dolok Silau 6.216 19. Pem. Panjang 7.430 20. Dolok Batu Nanggar 3.440 20. Indra Pura 7.104 21. Tapian Dolok 3.855 21. Pagu Rawan 6.989 22. Haranggaol 2.664 22. Sidodadi 6.332 23. Pematang Sidamanik 1.758 23. Gambir Baru 9.237 24. Hatonduan 2.261 24. Mutiara 14.786 25. Panambean Pane 7.185 26. Gunung Malela 8.674 27. Gunung Maligas 8.339 28. Jawa Maraja Bah Jambi 6.321 29 Bandar Huluan 6.409 30. Bandar Masilam 8.020 Sumber: Subdin Yankes Dinas Kesehatan Simalungun dan Asahan

Dari tabel diatas terlihat bahwa kunjungan pasien di puskesmas yang membebaskan tarif lebih rendah dari puskesmas dengan pembebasan tarif. Puskesmas di Kabupaten Simalungun rata-rata 7180/tahun/puskesmas atau 23 pasien per hari per puskesmas. Sedangkan puskesmas di Kabupaten Asahan ratarata 8.772/tahun/puskesmas atau 30 pasien per hari per puskesmas. Sarana dan tenaga yang tersedia di Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Asahan cukup memadai untuk lebih jelas terlihat dari tabel berikut ini:
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id 6 Hartati, Tjahjono Kuntjoro; WPS no.4 Oktober 2007 1st draft

Tabel 2. Sarana dan Tenaga Kesehatan Kabupaten No. Jenis sarana dan prasarana Kabupaten Simalungun Kabupaten Asahan
I. Sarana RSU Daerah 2 unit 1 unit RS Swasta 2 unit 5 unit Puskesmas 30 unit 24 unit Puskesmas pembantu 167 unit 172 unit Puskesmas keliling 22 unit 24 unit BP Swasta 6 unit 76 unit II. Tenaga Dokter spesialis 2 orang 24 orang Dokter umum 124 orang 98 orang Dokter gigi 29 orang 20 orang Apoteker 4 orang 2 orang Tenaga keperawatan 634 orang 588 orang Sumber: Profil Dinas Kesehatan Simalungun dan Asahan.

Sebelum diberlakukannya pembebasan tarif, puskesmas mempunyai pendapatan dari tarif sebesar Rp. 4.500 per pasien. Pendapatan ini setiap bulan 50% disetor ke kas daerah dan

sisanya bisa dipergunakan langsung untuk melengkapi kebutuhan puskesmas(4). Kondisi sekarang dengan pembebasan tarif tidak ada penggantian langsung dari pemerintah daerah, berbeda keadaannya dengan puskesmas di Kota Medan yang juga menerapkan pembebasan tarif tetapi mendapatkan langsung biaya pengganti dari APBD . Tinggi rendahnya sistem pembiaya an pelayanan kesehatan berdampak kepada mutu pelayanan itu sendiri, apalagi alokasi dana untuk program penunjang kesehatan tidak memadai, apabila hal ini terjadi puskesmas makin lama akan ditinggalkan oleh pengguna jasanya, dan hanya akan dipergunakan saja oleh masyarakat miskin yang tidak mempunyai pilihan lain (5). Untuk melihat apakah perbedaan kunjungan ini menunjukkan perbedaan mutu pelayanan maka dilakukan penelitian bagaimana pengaruh pembebasan tarif terhadap mutu pelayanan di Puskesmas Kabupaten Si malungun dengan membandingkan dengan di Kabupaten Asahan. Metode Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimental dengan rancangan postest only with control group design (post test dengan kelompok kontrol). Penelitian ini untuk mengetahui mutu pelayanan di puskesmas yang menerapkan kebijakan pembebasan tarif retribusi pelayanan di puskesmas. Hasil observasi yang dilakukan dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak menerapkan kebijakan tersebut (6). Unit analisis
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id 7 Hartati, Tjahjono Kuntjoro; WPS no.4 Oktober 2007 1st draft

adalah puskesmas yang membebaskan tarif (Kabupaten Simalungun) dan menerapkan tarif (Kabupaten Asahan) dengan subjek penelitian pasien yang berkunjung dan petugas petugas puskesmas. Jumlah sampel pasien 408 orang ( 12 diantaranya di wawancara mendalam) dan kepala puskesmas 6 orang. Lokasi penelitian di 6 puskesmas di kedua kabupaten yang dilakukan secara stratified random samplin g, puskesmas yang terpilih di puskesmas yang membebaskan tarif yaitu Puskesmas Siantar (kunjungan tinggi), Gunung Malela (kunjungan sedang) dan Dolok Batu Nanggar (kunjungan rendah). Sedangkan puskesmas yang menerapkan tarif (Kabupaten Asahan) terpilih yai tu Puskesmas Mutiara (kunjungan tinggi), Aek Loba (kunjungan sedang) dan Sidodadi (kunjungan rendah). Besar sampel pasien dengan rumus Lameshow adalah 100 orang di Puskesmas Siantar, 110 orang di Puskesmas Mutiara, 60 orang di Puskesmas Gunung Malela, 68 orang di Puskesmas Aek Loba, 27 orang di Puskesmas Dolok Batu Nanggar dan 43 orang di Puskesmas Sidodadi. Penelitian dilakukan selama 2 bulan. Alat penelitian yang digunakan untuk mengukur harapan dan kenyataan pasien adalah kuesioner servqual yang terdiri dari pertanyaan tertutup, sedangkan untuk data kualitatif dengan panduan wawancara mendalam, observasi di lapangan, dokumen anggaran/keuangan dan sistem manajemen mutu ISO 9001;2000. Variabel penelitian meliputi variabel bebas yaitu

pembebasan tarif, sedangkan variabel terikat adalah persepsi tentang mutu pelayanan dengan dimensi berwujud ( tangibles), keandalan (realibility), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance) dan empati (empathy). Pengolahan data dilakukan secara kuantitatif dan kualit atif, untuk data kuantitatif dengan analisis deskriptif dan uji statistik beda mean (uji t -independen), sedangkan kualitatif didiskripsikan dalam bentuk narasi dan dilakukan dengan metode triangulasi data untuk memperkuat data kuantitati. (7) . Hasil Karakteristik pasien yang jadi responden dalam penelitian yang dilakukan di Puskesmas Kabupaten Simalungun dan Asahan ini terlihat hampir sama, yaitu yang terbanyak berjenis kelamin perempuan, dalam usia produktif (18 -30 tahun). Untuk tingkat pendidikan, dan pe kerjaan di puskesmas kedua kabupaten hampir sama yang memanfaatkan puskesmas sebagian besar berpendidikan SLTA dengan jenis pekerjaan ibu rumah tangga dan swasta pasien yang memanfaatkan puskesmas sebagian besar adalah dengan tingkat penghasilan menengah k ebawah. Hal ini mirip dengan penelitian yang dilakukan di Cyprus (8),
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id 8 Hartati, Tjahjono Kuntjoro; WPS no.4 Oktober 2007 1st draft

menyatakan bahwa masyarakat dengan penghasilan m enengah kebawah lebih banyak memanfaatkan fasilitas kesehatan yang disediakan pemerintah secara gratis daripada pelayanan swasta yang mempunyai tarif lebih tinggi. Untuk melihat tingkat kesanggupan membayar tarif puskesmas sebagian besar berkisar Rp. 4.050,--Rp. 5.000,- baik di puskesmas yang membebaskan tarif (Kabupaten Simalungun) dan menerapkan tarif (Kabupaten Asahan). Sedangkan responden yang menginginkan gratis hanya sedikit baik itu di daerah yang membebaskan tarif maupun daerah yang menerapkan tarif. Dari hasil pengamatan selama penelitian di puskesmas yang membebaskan tarif (Kabupaten Simalungun) dan menerapkan tarif (Kabupaten Asahan) jumlah petugas yang melayani di loket pendaftaran, BP umum, kamar obat pada saat penelitian menunjukkan jumlah dan jenis tenaga kesehatan hampir sama baik itu di puskesmas yang membebaskan tarif (Kabupaten Simalungun) maupun yang menerapkan tarif (Kabupaten Asahan). Dari hasil pengamatan selama penelitian pada 6 puskesmas di kedua kabupaten terlihat bahwa jenis pelayanan yang diberikan di masing -masing puskesmas dan juga beban kerja petugas hampir sama antara puskesmas yang membebaskan tarif (Kabupaten Simalungun) dan menerapkan tarif (Kabupaten Asahan). Jumlah tenaga kesehatan yang tersedia di kedua kabupaten suda h cukup memadai, dimana sudah hampir memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Depkes R.I. (9). Pada penelitian ini harapan pasien pasien terhadap mutu pelayanan puskesmas yang membebaskan tarif (Kabupaten Simalungun) dan menerapkan tarif (Kabupaten Asahan ). Dari hasil pengolahan data independen sample t -test menunjukkan

perbedaan signifikan dimana p < 0.05 .walaupun perbedaannya tipis tapi cukup bermakna. Hal ini sejalan hasil penelitian yang menyatakan, harapan pasien terhadap mutu pelayanan berbedabeda dari kelompok (group) pelanggan terhadap penyedia pelayanan yang berbeda berdasarkan perbedaan demografi pelanggan dan tempat pelayanan (10) . Harapan pasien terhadap mutu pelayanan pada empat (4) variabel dimensi mutu reliability, responsiveness, assuranc e dan emphaty lebih tinggi pada puskesmas yang membebaskan tarif (Kabupaten Simalungun) daripada puskesmas yang menerapkan tarif (Kabupaten Asahan). Sedangkan harapan pasien terhadap mutu pelayanan pada dimensi mutu t angibles di puskesmas yang membebaskan tarif (Kabupaten Simalungun) dengan menerapkan tarif tidak ada perbedaan signifikan. Hal ini sesuai dengan laporan, yang meneliti di Korea Selatan tentang pengaruh frekuensi kunjungan ke fasilitas kesehatan, menunjukkan bahwa harapan
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id 9 Hartati, Tjahjono Kuntjoro; WPS no.4 Oktober 2007 1st draft

pasien lama terhadap mutu pelayanan fokus pada dimensi realibility, responsiveness, assurance dan empathy daripada dimensi tangibles. Sedangkan pasien baru lebih fokus padan dimensi tangibles (penampilan fisik) dari penyedia layanan (11). Harapan pasien terhadap mutu pelayanan dalam dimensi realibility, responsiveness, assurance dan empathy lebih tinggi pada puskesmas yang membebaskan tar if (Kabupaten Simalungun) daripada di puskesmas yang menerapkan tarif (Kabupaten Asahan). Hal ini sesuai dengan yang diteliti di RSUD Bengkulu menyatakan bahwa harapan pasien Askes (gratis) lebih tinggi daripada harapan pasien umum (membayar). Hal ini disebabkan pada pasien Askes (gratis) karena tingginya ekspektasi tidak disertai simetrisnya informasi yang dimiliki pasien Askes (12) . Dalam konsep pemasaran jasa bahwa harga yang terlalu murah bahkan gratis membuat kesan jasa tersebut tidak bermutu atau mutunya rendah. Jadi kondisi puskesmas yang membebaskan tarif seharusnya harapan pasien tidak terlalu tinggi (13) . Akan tetapi hal ini muncul karena pengalaman pasien di Kabupaten Simalungun yang berdekatan dengan Kota Medan yang membebaskan tarif puskesmas tetapi dengan fasilitas dan pelayanan yang lebih baik bila dibandingkan dengan pelayanan puskesmas di Kabupaten Simalungun. Hal ini sesuai dengan pendapat teori yang menyatakan bahwa harapan dibentuk oleh pengalaman masa lalu, pembicaraan dari mulut ke mulut dan dari iklan perusahaan jasa, setelah menerima jasa tersebut pelanggan membandingkan jasa yang dialami dengan jasa yang diharapkan (14). Hal ini didukung oleh teori ekpektasi, bahwa tinggi dan rendahnya harapan pelanggan dapat terjadi karena bermaca m-macam pengaruh antara lain faktor : (1) Perorangan misalnya kebutuhan, nilai, valensi, kapabilitas, pengalaman, informasi, perhatian, atribut, ketertarikan, emosi, motivasi dan konsekuensi dari hasil

pelayanan yang dirasakan, (2) Sosial misalnya sosiodem ografi, norma sosial, tekanan kelompok, kegiatan yang dibutuhkan, ketidakadilan (15). Harapan pelanggan merupakan keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli suatu produk yang dijadikan standar atau acuan dalam menilai kinerja produk, dan seorang pelanggan akan mengharapkan bahwa ia seharusnya juga dilayani dengan baik sebagaimana pelayanan diberikan pada pelanggan yang lain. Selain itu pelayanan yang benar akan menentukan harapannya pada suatu jasa. Pelanggan akan mengeluh tidak puas apabila harap annya tidak terpenuhi. Makin
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id 10 Hartati, Tjahjono Kuntjoro; WPS no.4 Oktober 2007 1st draft

tinggi harapan seorang pelanggan maka semakin besar kemungkinan ia tidak puas terhadap j asa yang dikonsumsinya (16). Kenyataan pelayanan yang dialami pasien di puskesmas Kabupaten Simalungun (yang membebaskan tarif) dengan puskesmas di Asahan (yang menerapkan tarif) menunjukkan ada perbedaan signifikan, yaitu dari tiga (3) dimensi mutu tangible, responsiveness dan empathy lebih tinggi di puskesmas Kabupaten Asahan (yang menerapkan tarif) dibandingkan dengan di Kabupaten Simalungun. Dari dimensi mutu tangibles (bukti fisik) memang menunjukkan bahwa puskesmas di Kabupaten Asahan dari penampilan fisik gedung dan sarana pendukung lainnya termasuk peralatan medis dan obat -obatan lebih baik kondisinya bila dibandingkan dengan di Kabupaten Simalungun. Begitu juga dengan penampilan petugas lebih rapi pakaian seragamnya dan ada tanda pengenal di puskesm as Kabupaten Asahan. Ini terjadi karena di puskesmas Kabupaten Asahan ada pemasukan dana retribusi yang bisa dipergunakan langsung untuk kebutuhan yang mendesak. Hal ini memang sesuai penelitian di India, bahwa memang ada perbedaan dimensi mutu pelayanan tangibles seperti gedung, peralatan medis dan non medis, termasuk obat lebih bagus pada pelayanan kesehatan swasta (swasta) dibandingkan dengan fasilitas pemerintah (gratis) (17) . Dimensi mutu tangible penting untuk organisasi jasa karena suatu pelayanan jasa tidak bisa dilihat secara nyata maka pelanggan akan menggunakan alat inderanya untuk menilai suatu kualitas pelayanan (18). Hal ini juga didukung dari penelitian di Kabupaten Tapanuli Tengah berpendapat bahwa kesenangan dan kenyamanan di sekitar pelayan an kesehatan terutama di unit pelayanan kesehatan swasta memiliki pengaruh yang baik terhadap kepuasan pasien (19). Dari dimensi mutu responsiveness puskesmas di Kabupaten Asahan lebih tinggi bila dibndingkan dengan di Kabupaten Simalungun. Hal ini disebab kan karena petugas sudah mendapatkan pelatihan Good Governance dan mereka sudah mempunyai motto bahwa kepuasan pasien dan kepentingan pasien adalah hal yang utama. Dengan kata lain mereka juga sudah menerapkan sistem manajemen mutu. Dan dapat ditambahkan b ahwa 2 orang kepala puskesmas di

Kabupaten Asahan masih muda dan mempunyai semangat, pengabdian dan komitmen yang tinggi untuk menerapkan sistem manajemen mutu yang berorientasi kepada kepentingan pasien. Hal ini sesuai bahwa dalam penerapan sistem manajem en mutu peran aktif manajemen puncak harus benar -benar dirasakan sampai tingkat bawah (20). Begitu juga dari penelitia di Helsinki bahwa kecepatan pelayanan merupakan penentu tingkat
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id 11 Hartati, Tjahjono Kuntjoro; WPS no.4 Oktober 2007 1st draft

kepuasan pasien terutama pasien di bagian emergensi atau unit gawat darurat (21). Begitu juga dilaporkan dari penelitian i di Campbell, bahwa kecepatan pelayanan di unit pelayanan pemerintah yang gratis lebih lambat responnya bila dibandingkan pelayanan di unit swasta yang membayar (22). Dari dimensi mutu empati ( empathy) terlihat bahwa hal ini lebih tinggi di puskesmas Kabupaten Asahan bila dibandingkan dengan di Kabupaten Simalungun. Berarti di puskesmas Kabupaten Asahan petugas mempunyai kepedulian yang tinggi , memberikan perhatian yang dalam kepada pasien. Sesuai dengan penelitian di Kanada, menyatakan bahwa petugas yang memberikan perhatian yang dalam kepada pasie n, membuat kunjungan pasien berulang (23). Mirip dengan penelitian di Cyprus bahwa dimensi mutu empathy lebih tinggi pada unit pelayanan swasta bila dibandingkan dengan unit pelayanan milik pemerintah yang gratis (8). Sedangkan dari 2 (dua) dimensi mutu realibilty dan assurance terlihat tidak ada perbedaan signifikan kenyataan pelayanan yang dirasakan pasien antara dua kabupaten. Berarti puskesmas di Kabupaten Simalungun (yang membebaskan tarif) dan Asahan (yang menerapkan tarif) mempunyai kemampuan yang sama dalam hal memberikan keandalan dan jaminan kepada pasien. Berdasarkan hasil penghitungan gap antara harapan dan persepsi dapat diurutkan tingkatan mutu puskesmas dari urutan terbaik ke urutan yang jelek yaitu Puskesmas Mutiara (menerapkan tarif), Sidodadi (menerapkan tarif), Dolok Batu Nanggar (membebaskan tarif), Aek Loba (menerapkan tarif), Siantar (membebaskan tarif) dan Gunung Malela (membebaskan tarif). Untuk melihat tingkat kepuasan terhadap mutu pelayanan dapat dilihat dari gap antara harapan dan ke nyataan di puskesmas yang membebaskan tarif (Kabupaten Simalungun) dan menerapkan tarif (Kabupaten Asahan). Perbedaan gap dapat di lihat pada tabel berikut :
Tabel 3. Total Perbedaan Gap Pasien di Puskesmas Variabel Puskesmas Mean Gap P
Tangible Pembebasan Tarif - 2.64 Penerapan Tarif - 0.74 - 1.90 0.000* Reliability Pembebasan Tarif - 2.67 Penerapan Tarif - 0.48 - 2.19 0.000* Responsiveness Pembebasan Tarif - 2.43 Penerapan Tarif - 0.54 - 1.49 0.000*

Assurance Pembebasan Tarif - 1.91 Penerapan Tarif - 0.50 -1.41 0.000* Emphaty Pembebasan Tarif - 1.82 Penerapan Tarif - 0.52 -1.30 0.000*
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id 12 Hartati, Tjahjono Kuntjoro; WPS no.4 Oktober 2007 1st draft

Tabel 3 menunjukkan bahwa total perbedaan harapan dan kenyataan yang dialami pasien di puskesmas yang membebaskan tarif (Kabupaten Simalungun) dan yang menerapkan tarif (Kabupaten Asahan) berdasarkan masing -masing variabel ada perbedaan signifikan. Untuk melihat gambaran gap dari masingm asing variabel dapat dilihat pada Gambar 3.
-12 -10 -8 -6 -4 -2 0 Gratis Bayar tangibles reability responsivenes Assurance Emphaty total

Gambar 1. Skor Gap untuk Lima Dimensi Kepuasan pada Pasien Gratis

Dari pengolahan data menunjukkan perbedaan signifikan dimana p<0.05. Dengan demikian memang ada perbedaan antara mutu pelayanan di puskesmas yang membebaskan tarif dan yang menerapkan tarif. Hal ini menunjukkan pembebasan tarif retribusi mempengaruhi mutu pelayanan. Sesuai dengan laporan penelitian di Cyprus bahwa ada perbedaan mutu pelayanan pada pelayanan kesehatan pemerintah yang gratis dan pelayanan swasta, dimana mutu pelayanan di fasilitas pemerintah yang tidak bayar lebih rendah daripada pelayanan swasta yang membayar (8). Dari hasil perhitungan statistik gap menunjukkan ada perbedaan harapan dan kenyataan yang dialami pasien pada puskesmas yang membebaskan tarif dengan yang menerapkan tarif, pada semua dimensi mutu. Hal ini menunjukkan tingkat kepuasan pasien terhadap mutu pelayanan. Sebenarnya t ingkat kepuasan pasien pada puskesmas yang membebaskan tarif maupun yang menerapkan tarif masih rendah ditandai adanya gap yang negatif berarti hal ini disebabkan oleh terlalu tingginya harapan pasien terhadap mutu pelayanan di puskesmas pada kelima dimensi. Hal ini sama dengan hasil penelitian yang melaporkan ketidakpuasan pasien Askes dan Umum di Rumah Sakit Umum Bengkulu pada ke 5 (lima ) dimensi mutu yaitu tangibles, realibility, responsiveness, assurance dan empathy (12).
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id 13 Hartati, Tjahjono Kuntjoro; WPS no.4 Oktober 2007 1st draft

Tapi bila dibandingkan gap antara pasien di puskesmas yang bayar gapnya lebih rendah daripada gap pasien yang gratis berarti pasien yang bayar lebih puas dari pasien di puskesmas

yang gratis, ini sejalan dengan penelitian, di Cyprus menyatakan pasien yang menggunakan fasilitas kesehatan pemerintah yang gratis tingkat kepuasannya rendah dibandingkan dengan pasien yang menggunakan fasilitas swasta yang menerapkan tarif (8). Hal ini juga didukung oleh penelitian di India yang melaporkan bahwa fasilitas pemerintahan yang diintervensi dengan perbaikan mutu melalui proyek dari The World Bank, dan dibandingkan dengan yang tidak diintervensi terlihat perbedaan tingkat kepuasan pasien terhadap mutu pelayanan (17). Hasil wawancara mendalam dengan pasien terlihat, hal -hal yang menjadi harapan pasien terhadap mutu pelayanan puskesmas dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu harapan pasien terhadap fasil itas fisik dan lingkungan puskesmas, harapan pasien terhadap pelayanan petugas dan harapan pasien terhadap pembebasan tarif. Sebagian besar responden menyatakan tidak puas dengan kenyataan yang ada, yaitu fasilitas fisik dan lingkungan puskesmas yang tidak memadai, tidak adanya keamanan non medik, kenyamanan dan sarana non medis pada puskesmas yang membebaskan tarif bila dibandingkan dengan puskesmas yang menerapkan tarif. Dimensi mutu tangibles penting untuk organisasi jasa karena suatu pelayanan jasa tida k bisa dilihat secara nyata maka pelanggan akan menggunakan alat inderanya untuk menilai suatu kualitas pelayanan (18). Hal ini juga didukung penelitan di Kabupaten Tapanuli Tengah berpendapat bahwa kesenangan dan kenyamanan di sekitar pelayanan kesehatan t erutama di unit pelayanan kesehatan swasta memiliki pengaruh yang baik terhadap kepuasan pasien (19). Peningkatan mutu pelayanan yang berkesinambungan menjadi salah satu kunci penting dalam menghadapi era globalisasi yang mengisyaratkan bahwa pelayanan haru s dilakukan sesuai standar dan memenuhi kaidah -kaidah mutu yang berorientasi kepada kepentingan konsumen, berarti penyedia layanan harus terus beradaptasi dengan kebutuhan konsumen (13). Untuk pelayanan petugas, yaitu kecepatan pelayanan, penampilan petugas, kepercayaan dan komunikasi, harapan pasien masih belum terpenuhi karena ada yang belum sesuai dengan etika pelayanan kedokteran karena kadang -kadang dokter meninggalkan tugas pada jam kerja di puskesmas yang membebaskan tarif, bila dibandingkan de ngan pelayanan di puskesmas yang menerapkan tarif. Berarti pelayanan di puskesmas yang membebaskan tarif pelayanan tidak bermutu hal
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id 14 Hartati, Tjahjono Kuntjoro; WPS no.4 Oktober 2007 1st draft

ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa pelayanan yang bermutu apabila penerapan kode etik kedokteran dan standar pelayanan dapat memuaskan pasien (24). Harapan pasien terhadap tarif puskesmas (gratis dan bayar) dari hasil wawancara mendalam mengenai harapan pasien terhadap pembayaran tarif, untuk kategori biaya pelayanan pasien berharap tidak perlu naik. Untuk puskesmas yang membebaskan

tarif, dari 6 pasien yang diwawancara 60% menyatakan kebijaksanaan ini tidak perlu dihentikan kar ena dalam situasi ekonomi yang sulit dapat membantu pasien, asal mutu pelayanan ini dapat ditingkatkan. Tetapi sebagian lagi pasien menyarankan pemberlakuan tarif kembali asal tidak memberatkan masyarakat dan mutu pelayanan ditingkatkan lagi, karena tidak ada peningkatan mutu pelayanan setelah diberlakukan pembebasan tarif. Hal ini sesuai penelitian di India, bahwa fasilitas pemerintah sebaiknya memberlakukan pembayaran ( fee) yang sangat berguna sebagai pendapatan ( revenue) yang sebagian dapat langsung digunakan sebagai penunjang biaya operasional (17). Hal ini didukung juga laporan dari Campbell bahwa pasien psikatri yang membayar di praktek dokter swasta lebih puas daripada di rumah sakit pemerintah yang membebaskan tarif (22). Untuk memberikan pelayanan yang baik di puskesmas dibutuhkan dana yang cukup. Dari wawancara dengan kepala puskesmas dari kedua kabupaten menunjukkan, bahwa dana operasional puskesmas ada tetapi pengelolaannya langsung oleh dinas kesehatan sehingga semua biaya untuk kelengkapan administrasi, peralatan medis dan non medis sampai kebutuhan obat langsung ditangani oleh dinas kesehatan. Sedangkan menurut aturan yang ada untuk terselenggaranya berbagai upaya kesehatan perorangan dan masyarakat yang menjadi tanggungjawab puskesmas, perlu ditunjang dengan tersedianya pembiayaan yang cukup (9). Hal ini menunjukkan pengalokasian dana, jumlah besaran dana, perencanaan dana yang tidak transparan. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa, syarat pokok yang harus dipenuhi dalam m emberikan pelayanan bidang kesehatan ; (a) Jumlah; merupakan syarat utama dalam arti dapat membiayai penyelenggaraan semua upaya kesehatan yang dibutuhkan, (b) Penyebaran; bila dana yang tersedia tidak dapat dialokasikan dengan baik, niscaya akan menyulitk an penyelenggaraan setiap upaya kesehatan, (c) Pemanfaatan, bila tidak mendapatkan pengaturan yang seksama, akan banyak menimbulkan masalah (24). Jadi dalam pembiayaan kesehatan harus transparan, baik terhadap alokasi maupun pemanfaatannya. Ketiga syarat tersebut perlu diperhatikan, sekalipun dana
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id 15 Hartati, Tjahjono Kuntjoro; WPS no.4 Oktober 2007 1st draft

mencukupi jika syarat yang lain tidak terkelola dengan baik maka pembiayaan pelayanan kesehatan tidak berjalan secara optimal. Penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000, dari hasil observasi check list ISO 9001;2001 terlihat hasilnya tidak terlalu jauh perbedaan antara puskesmas yang membebaskan tarif (Kabupaten Simalungun) dengan yang menerapkan tarif (Kabupaten Asahan), akan tetapi karena di Kabupaten Asahan sudah menerapkan Good Governance hasil penilaian sedikit lebih tinggi penerapan ISO 9001;2001. Dari hasil observasi kelengkapan dokumen di puskesmas ternyata semua dok umen yang ada hampir sama, kecuali pada Puskesmas Mutiara dan Aek

Loba dokumen lebih lengkap dengan adanya dokumen hasil survey kepuasan pelanggan. Menurut penelitian di Helsinki menyatakan bahwa pengukuran dan peningkatan kepuasan pelanggan dalam sistem p elayanan kesehatan adalah bagian yang penting dari manajemen mutu (21). Banyak rekomendasi sebelumnya bahwa suatu penyedia jasa pelayanan kesehatan haruslah menerapkan sistem manajemen mutu termasuk metode untuk memonitor kepuasan pelanggan. Sesuai dengan p endapat yang menyatakan, bahwa organisasi yang sudah berorientasi kepada kepuasan pelangan merupakan prasyarat sistem manajemen mutu ISO 9001;2000 (25). Hasil wawancara mendalam terhadap kepala puskesmas dari dua kabupaten tersebut, sebagian besar mereka belum familiar dengan istilah ini, padahal keberadaan ISO 9001;2000 ini sudah lama. Suatu organisasi di era globalisasi ekonomi yang menyebabkan terjadinya kompetisi maka organisasi itu dituntut untuk terus mengembangkan konsep dan teknologi peningkatan mutu(26). Untuk meningkatkan mutu, suatu organisasi harus dapat menerapkan sistem manajemen mutu. Karena standar ISO 9001;2000 dapat digunakan oleh organisasi yang perlu proses perencanaan, proses pengamatan, proses yang tidak stabil, mengoreksi kekurangan yang dialami dan untuk memperbaiki proses secara berkesinambungan (27). Penutup Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh pembebasan tarif retribusi puskesmas terhadap mutu pelayanan di Puskesmas Kabupaten Simalungun dapat disimpulkan sebagai berikut: (1). Bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesa yang diajukan, yaitu ada perbedaan signifikan, mutu pelayanan di puskesmas yang membebaskan tarif (Kabupaten Simalungun) dengan yang menerapkan tarif (Kabupaten Asahan). Dimana mutu
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id 16 Hartati, Tjahjono Kuntjoro; WPS no.4 Oktober 2007 1st draft

pelayanan di puskesmas yang membebaskan tarif lebih rendah dibandingkan dengan di puskesmas yang menerapkan tarif. Perbedaan mutu t erdapat pada semua dimensi mutu tangibles, realibility, responsiveness, assurance dan empathy. (2). Pembiayaan kegiatan operasional puskesmas yang membebaskan tarif (Kabupaten Simalungun) dan yang menerapkan tarif (Kabupaten Asahan) ada perbedaan dalam hal besaran dana, jumlah dana yang tersedia di puskesmas yang membebaskan tarif lebih besar daripada di puskesmas yang menerapkan tarif. (3). Penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001;2000 di puskesmas yang membebaskan tarif (Kabupaten Simalungun) masih rendah dibandingkan dengan puskesmas yang menerapkan tarif (Kabupaten Asahan). Saran Pertama, bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun perlu memperbaiki mutu pelayanan puskesmas dengan melengkapi sarana dan prasarana baik medis maupun non medis,

memperbaiki mutu pelayanan dengan pengembangan sumber daya manusia melalui pelatihan dan pemberian rewards, mengalokasian anggaran puskesmas sesuai dengan kebutuhan dan peningkatan fungsi pengawasan keuangan puskesmas, dan komitmen kepala dinas untuk meningkatkan mutu pe layanan dengan menerapkan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001;2000 di puskesmas. Kedua, bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan perlu melakukan evaluasi mutu pelayanan setiap puskesmas secara rutin agar supaya kualitas pelayanan puskesmas dapat dipantau, meningkatkan mutu pelayanan puskesmas dengan peningkatan kualitas secara berkesinambungan, dan walaupun sudah diterapkan Good Governance pada pelayanan di puskesmas tapi perlu dipertimbangkan untuk mengadopsi Sistem Manajemen Mutu ISO 9001;2000. Ketiga, bagi Kepala Puskesmas yang membebaskan tarif disarankan untuk melakukan evaluasi mutu berdasarkan persepsi pasien untuk memperbaiki mutu pelayanan disarankan untuk melakukan evaluasi mutu berdasarkan persepsi pasien untuk memperbaiki mutu pelayanan. Bagi Puskes mas Siantar perlu melakukan perbaikan dimensi mutu tangibles dan empathy, dengan memperbaiki fasilitias fisik, dan meningkatkan motivasi petugas untuk lebih mementingkan apa yang diinginkan oleh pasien. Bagi Puskesmas Gunung Malela perlu melakukan perbaikan pada lima (5) dimensi mutu tangibles (penampilan fisik puskesmas), realibility (keandalan), responsiveness (daya
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id 17 Hartati, Tjahjono Kuntjoro; WPS no.4 Oktober 2007 1st draft

tanggap), assurance (jaminan) dan empathy (perhatian). Bagi Puskesmas Dolok Batu Nanggar hanya perlu memperbaiki tangibles (fasilitas fisik, misalnya rehabilitasi gedung), sedang dimensi mutu realibility, responsiveness, assurance dan empathy tetap dipertahankan. Puskesmas perlu memanfaatkan dana yang ada seefektif dan seefisien mungkin dalam memperbaiki mutu pelayanan, dan mensosialisasikan dan menerapkan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001;2000 di puskesmas. Keempat, puskesmas yang menerapkan tarif disarankan untuk secara terus menerus melakukan evaluasi mutu pelayanan dengan berfokus pada kepuasan pasien, mempertahankan sistem manajemen mutu dalam dimensi secara keseluruhan mulai dari tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan empathy, dan memberikan pelatihan customer service dan ketrampilan medis bagi puskesmas yang mutu pelayanan rendah, memanfaatkan dana yang ada seefektif dan seefisien mungkin dalam meningkatkan mutu pelayanan, serta menggabungkan penerapan Good Governance dan ISO 9001; 2000 untuk meningkatkan mutu pelayanan yang berorientasi kepada pasien. Kelima, bagi peneliti selanjutnya disarankan melakukan penelitian mengenai komitmen dan motivasi petugas puskesmas terhadap pelayanan puskesmas yang membebaskan tarif, melakukan penelitian mengenai efisiensi dan efektifitas

pembiayaan di puskesmas yang membebaskan tarif, dan melakukan penelitian mengenai penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001;2000 di puskesmas yang membebaskan tarif. Daftar Pustaka
1. 1. Prestaka, N. 2006. Dilema Puskesmas; Tarif versus mutu. Opini 07 Juli (2006). :<http:// Health Economics.htm. 2. Dwiyanto, Agus. (2005). Mewujudkan Good Governance. Melalui Pelayanan Publik. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 3. Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun. (2006). Profil Kesehatan Kabupaten Simalungun. Siantar. 4. Susanto,T. Wiyadi,N. & Purwanta (2003). Hubungan antara Persepsi Tarif Retribusi dengan Kualitas Pelayanan di Balai Pengobatan Puskesmas. Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat, Vol.22,No.2.Juni 2006. 5. Trisnantoro, Laksono. (2005). Desentralisasi Kesehatan Di Indonesia dan Perubahan Fungsi Pemerintah 2001-2003. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id 18 Hartati, Tjahjono Kuntjoro; WPS no.4 Oktober 2007 1st draft

6. Sugiyono. (2005). Statistika untuk Penelitian .CV. Alfabeta. Bandung


7. Utarini,U. (2004) Metode Penelitian Kualitatif, Modul mata kuliah Magister Perilaku dan Promosi Kesehatan, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, UG. Yogyakarta. 8. Hanson,K. Winnie,C.& Hsiao,W. (2004) The Impact of quality on the demand for outpatient services in Cyprus. Journal Health Economic.13: 1167-1180. London, U.K. 9. Departemen Kesehatan RI. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 128/Menkes/SK/II/2004. Tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat . Jakarta. 10. Haddad,S. Potvin,L.dan Roberge,D. (2000.). Patient perception of quality following a visit to a doctor in a primary care unit. Family Practice An International Journal, vol.17, no, 1, Oxford University 11. Cho,W.H., Kim,C . Choi,K. & Lee,H. (2004). The Impact of Visit Frequency on the Relationship between Service Quality and Outpatient Satisfaction; A South Korean Study. Journal Health Care Services Research 39 : 1. 12. Marsuli, Mukti,A.G, dan Utarini,A. (2002). Mutu pelayanan pasien peserta Askes dan Umum di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Daerah Dr.M,Yunus Bengkulu. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 08 (01), 19-22.UGM.Yogyakarta. 13. Arief, M. (2006). Pemasaran Jasa & Kualitas Pelayanan. Edisi Pertama, Bayumedia Publishing, Jakarta.

14. Tjiptono, F. (2006). Manajemen Jasa. Ed.IV. Andi. Yogyakarta


15. Thompson, A., Sunol,R., (1995). Expectation As Determinant of Patient Satisfaction: Concept, Theory and Evidence. International Journal for Quality in Health Care. 7(2).127-1 16. Nasution, M.N. (2004) Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management) Edisi pertama, Ghalia Indonesia: Jakarta. 17. Rao,K.D., Peters,D.H. (2006) Quality Improvement and Its. Impact on The Use and Equality of Outpatient Health Services in India. Journal Health Economics. (www.interscience.wiley.com). 18. Iqbal, M, (2006). Pelayanan yang memuaskan. Edisi. Pertama. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. 19. Haryono,E. (2005) Hubungan Persepsi Terhadap Kualitas

Pelayanan dengan Minat Pemanfaatan Pelayanan Rawat Inaphttp://www.lrckmpk.ugm.ac.id/id/UP-PDF/_working/No.4__Hartati_10_07_WPS.pdfhttp://tinarbukaaw.students-blog.undip.ac.id/2011/07/badan-layanan-umum-blu-rumah-sakit/LATAR

BELAKANG
Biaya pelayanan kesehatan akan semakin meningkat terus . Rumah sakit sebagai penyelenggara layanan kesehatan mempunyai beban tersendiri untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan adil bagi masyarakat. Hal ini mendorong seluruh elemen, baik pihak rumah sakit maupun stakeholder untuk menghitung secara riil berapa biaya pelayanan yang dibutuhkan sehingga bisa menjadi alat advocacy dalam pembiayaan pelayanan kesehatan. Dikeluarkannya PP No. 23 tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum (BLU) oleh Departemen Keuangan dan Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) menuntut rumah sakit harus banyak berbenah terutama dari sisi keuangan dan akuntabilitasnya. Jasa pelayanan yang diberikan harus bermutu lebih baik, penanganan pasien lebih cepat, harga relatif murah dan bermanfaat. Good governance telah menjadi isu sentral saat ini, akuntanbilitas manajemen menjadi suatu unsur yang sangat penting. Untuk mengakomodir akuntabilitas terutama dalam tarif layanan rumah sakit, penghitungan unit cost menjadi sesuatu yang urgent untuk dibuat sehingga pengambilan keputusan yang diambil mempunyai dasar yang kuat. Prinsip keadilan, efisiensi, dan kualitas pelayanan kesehatan mempunyai implikasi rumah sakit harus mampu dalam pengelolaan biaya secara komprehensif. Analisis biaya melalui perhitungan biaya per unit ini (unit cost) dapat dipergunakan rumah sakit sebagai dasar pengukuran kinerja, sebagai dasar penyusunan anggaran dan subsidi, alat negosiasi pembiayaan kepada stakeholder terkait dan dapat pula dijadikan acuan dalam mengusulkan tarif pelayanan rumah sakit yang baru dan terjangkau masyarakat. Dalam rangka memberikan kemampuan pemahaman sebagaimana dimaksud dan mempersiapkan RS Pemerintah menjadi BLU serta RS Swasta menuju pada RS yang efisien dan bermutu tinggi, maka Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA) Wilayah B ali bekerja sama dengan SMARTPlus Management Training & Consulting, bermaksud menyelenggarakan Bimbingan Teknis (Bimtek) dengan topik Penghitungan Unit Cost Rumah Sakit.

146

Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

BAB X

KONSEP PENETAPAN TARIF DAN INVESTASI


10.1 Konsep Penetapan Tarif dalam Manajemen Rumah Sakit Tarif adalah nilai suatu jasa pelayanan yang ditetapkan dengan ukuran sejumlah uang berdasarkan pertimbangan bahwa dengan nilai uang tersebut sebuah rumah sakit bersedia memberikan jasa kepada pasien. Tarif rumah sakit merupakan aspek yang sangat diperhatikan oleh rumah sakit swasta juga oleh rumah sakit milik pemerintah. Bagi sebagian rumah sakit pemerintah, tarif memang ditetapkan berda-sarkan Surat Keputusan Menkes atau Pemerintah Daerah. Hal ini menunjukkan adanya kontrol ketat pemerintah sebagai pemilik terhadap rumah sakit sebagai firma atau pelaku usaha. Akan tetapi disadari bahwa tarif pemerintah umumnya mempunyai cost-recovery (pemulihan biaya) yang rendah. Apabila tarif mempunyai tingkat pemulihan biaya rendah diberlakukan pada kelas pelayanan bawah (misal kelas III) maka hal tersebut merupakan sesuatu yang layak, sehingga terjadi subsidi pemerintah bagi masyarakat miskin untuk menggunakan pelayanan rumah sakit. Akan tetapi, apabila tingkat pemulihan biaya ternyata juga rendah untuk kelas VIP misalnya, maka dapat terjadi subsidi untuk masyarakat atas. Adanya kebijakan swadana telah memberikan wewenang penetapan tarif pada direktur rumah sakit, khususnya untuk bangsal VIP dan kelas I yang tidak banyak mempengaruhi orang miskin. Oleh karena itu, pemahaman mengenai konsep tarif perlu diketahui oleh para manajer rumah sakit.

Dalam ekonomi mikro, sudah dikenal suatu titik keseimbangan yaitu harga berada pada equilibrium berdasarkan demand dan supply (Lihat Bab II). Pada sistem ekonomi yang berbasis pada keseimbangan pasar, jelas bahwa subsidi pemerintah tidak dilakukan Bagian III 147

atau terbatas pada masyarakat miskin. Akibatnya, tarif dibiarkan sesuai dengan permintaan pasar. Akan tetapi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya ketidakadilan yaitu masyarakat miskin sulit mendapatkan pelayanan rumah sakit, sehingga subsidi perlu diberikan karena keadaan ini sangat penting pada proses penetapan tarif rumah sakit pemerintah. 10.2 Tujuan Penetapan Tarif Sebagaimana disebutkan dalam Bab I, terdapat penggolongan rumah sakit berdasarkan pemiliknya yaitu penanganan penetapan tarif dan tujuan penetapan tersebut dipengaruhi oleh pemiliknya. Dalam kaitan dengan misi sosial, penetapan tarif dapat menunjukkan misinya. Oleh karena itu, menarik untuk diperhatikan bahwa tarif rumah sakit keagamaan ternyata lebih tinggi dibandingkan tarif rumah sakit pemerintah. Hal ini disebabkan oleh rumah sakit keagamaan sudah tidak mendapat subsidi dari pemerintah ataupun dari masyarakat baik melalui gereja ataupun dana-dana kemanusiaan lain. Di pandang dari aspek masyarakat sebagai pengguna, maka rumah sakit keagam saat ini bukan aan tempat berobat untuk orang miskin. Dengan latar belakang kepemilikan tersebut, tarif dapat ditetapkan dengan berbagai tujuan sebagai berikut. Penetapan Tarif untuk Pemulihan Biaya Tarif dapat ditetapkan untuk meningkatkan pemulihan biaya rumah sakit. Keadaan ini terutama terdapat pada rumah sakit pemerintah yang semakin lama semakin berkurang subsidinya. Pada masa lalu kebijakan swadana rumah sakit pemerintah pusat ditetapkan berdasarkan pemulihan biaya ( costrecovery.) Oleh karena itu, muncul pendapat yang menyatakan bahwa kebijakan swadana berkaitan dengan naiknya tarif rumah sakit. 148 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

Penetapan Tarif untuk Subsidi Silang Dalam manajemen rumah sakit diharapkan ada kebijakan agar masyarakat ekonomi ku dapat ikut at meringankan pembiayaan pelayanan rumah sakit bagi masyarakat ekonomi lemah. Dengan konsep subsidi silang ini maka tarif bangsal VIP atau kelas I harus berada di atas unit cost agar surplusnya dapat dipakai untuk mengatasi kerugian di bangsal kelas III. Selain subsidi silang berbasis pada ekonomi, rumah sakit juga diharapkan melakukan kebijakan penetapan tarif yang berbeda pada bagian-bagiannya. Sebagai contoh IRD mempunyai potensi sebagai bagian yang mendatangkan kerugian. Oleh karena itu, perlu disubsidi oleh bagian lain yang mempunyai potensi mendatangkan keuntungan, misalnya instalasi farmasi. Kebijakan subsidi silang ini secara praktis sulit dilakukan karena terjadi tarif rumah sakit yang melakukan subsidi silang jauh berada di atas tarif pesaingnya. Apabila rumah sakit memaksakan melakukan subsidi silang dari tariftarif yang ada dikhawatirkan akan terjadi penurunan mutu pelayanan dalam jangka panjang dibandingkan dengan rumah sakit yang tidak mempunyai tujuan untuk subsidi silang. Tujuan Penetapan Tarif untuk Meningkatkan Akses Pelayanan Ada suatu keadaan rumah sakit mempunyai misi untuk mela-yani masyarakat miskin. Oleh karena itu, pemerintah atau pemilik rumah sakit ini mempunyai kebijakan penetapan tarif serendah mung-kin. Diharapkan dengan tarif yang rendah maka akses orang miskin menjadi lebih baik. Akan tetapi, patut diperhatikan bahwa akses tinggi belum berarti menjamin mutu pelayanan yang baik. Berbagai pene litian menunjukkan bahwa mutu pelayanan rumah sakit pemerintah rendah akibat subsidi pemerintah terbatas dan tarif rumah sakit rendah dengan sistem manajemen yang birokratis. Kegagalan pemerintah memberikan subsidi cukup bagi biaya operasional dan pemeliharaan rumah sakit yang mempunyai tarif rendah menyebabkan mutu pelayanan rumah sakit semakin rendah secara berkesinambungan. Bagian III 149

Tujuan Penetapan Tarif untuk Meningkatkan Mutu Pelayanan Di berbagai rumah sakit pemerintah daerah, kebijakan pene-tapan tarif pada bangsal VIP dilakukan berdasarkan pertimbangan untuk peningkatan mutu pelayanan dan peningkatan kepuasan kerja dokter spesialis. Sebagai contoh, bangsal VIP dibangun untuk mengurangi waktu spesialis di rumah sakit swasta. Terlalu lamanya waktu yang dipergunakan dokter spesialis pemerintah bekerja di rumah sakit swasta dapat mengurangi mutu pelayanan. Penetapan Tarif untuk Tujuan Lain Beberapa tujuan lainnya, misalnya mengurangi pesaing, memaksimalkan pendapatan, meminimalkan penggunaan, mencip-takan corporate image. Penetapan tarif untuk mengurangi pesaing dapat dilakukan untuk mencegah adanya rumah sakit baru yang akan menjadi pesaing. Dengan cara ini, rumah sakit yang sudah terlebih dahulu beroperasi mempunyai strategi agar tarifnya tidak sama dengan rumah sakit baru. Penetapan tarif untuk memperbesar keuntungan dapat dilakukan pada pasar rumah sakit yang cenderung dikuasai satu rumah sakit (monopoli). Oleh karena itu, penetapan tarif dapat dilakukan dengan tujuan memaksimalisasikan pendapatan. Tanpa kehadiran pesaing dalam suasana pasar dengan demand tinggi, maka tarif dapat dipasang pada tingkat yang setinggi-tingginya, sehingga dapat meningkatkan surplus secara maksimal. Ada hal yang menarik tentang penetapan tarif yang bertujuan minimalisasi penggunaan pelayanan, mengurangi pemakaian, tarif dapat ditetapkan secara tinggi. Sebagai contoh, tarif periksa umum pada rumah sakit pemerintah ditetapkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pelayanan serupa di Puskesmas. Dengan cara ini maka fungsi rujukan dapat ditingkatkan sehingga masyarakat hanya menggunakan rumah sakit apabila perlu saja. Penetapan tarif dengan tujuan menciptakan Corporate Image adalah penetapan tarif yang ditetapkan dengan tujuan meningkatkan citra sebagai rumah sakit golongan masyarakat kelas atas. Sebagai contoh, berbagai rumah sakit di Jakarta mene-150 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

tapkan tarif bangsal super VIP dengan nilai yang sangat tinggi. Timbul kesan seolah-olah berlomba untuk mendapatkan citra rumah sakit paling mewah. 10.3 Proses Penetapan Tarif Pemilik rumah sakit dapat berupa lembaga swasta, perorangan ataupun pemerintah. Misi dan tujuan rumah sakit swasta dan pemerintah tentu dapat berbeda. Rumah sakit swasta dapat berupa rumah sakit for-profit ataupun non-profit. Dengan perbedaan tersebut, maka proses penetapan tarif dapat berbeda pula. Pada bagian ini akan dibahas mengenai perbedaan penetapan tarif rumah sakit swasta dengan rumah sakit pemerintah. Penetapan Tarif Rumah Sakit dengan Menggunakan Pendekatan Perusahaan Pada perusahaan penetapan tarif mungkin menjadi keputusan yang sulit dilakukan karena informasi mengenai biaya produksi mungkin tidak tersedia. Di sektor rumah sakit, keadaannya lebih parah karena informasi mengenai unit cost misalnya, masih sangat jarang. Teknik-teknik penetapan tarif pada perusahaan sebagian besar berlandaskan informasi biaya produksi dan keadaan pasar, baik monopoli, oligopoli, maupun persaingan sempurna. Teknik-teknik tersebut antara lain: full-cost pricing, kontrak dan cost-plus, target rate of return pricing, acceptance pricing.

Full-Cost Pricing Cara ini merupakan cara yang paling sederhana secara teoritis, tetapi membutuhkan informasi mengenai biaya produksi. Dasar cara Bagian III 151

ini dilakukan dengan menetapkan tarif sesuai dengan unit cost ditambah dengan keuntungan. Dengan cara ini, jelas bahwa analisis biaya (lihat bagian terdahulu) merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Teknik penetapan tarif ini dikritik karena pertama, sering mengabaikan faktor demand. Dengan berbasis pada unit cost, maka asumsinya tidak ada pesaing ataupun demand-nya sangat tinggi. Dengan asumsi ini maka pembeli seakan-akan dipaksa menerima jalur produksi yang menimbulkan biaya walaupun mungkin tidak efisien. Dengan demikian teknik ini mengabaikan faktor kompetisi. Kedua, membutuhkan penghitungan biaya yang rumit dan tepat. Sebagai gambaran untuk mengembangkan sistem akuntasi yang baik, dibutuhkan modal yang besar. Kontrak dan Cost-Plus Tarif rumah sakit dapat ditetapkan berdasarkan kontrak misal-nya kepada perusahaan asuransi, ataupun konsumen yang tergabung dalam satu organisasi. Dalam kontrak tersebut penghitungan tarif juga berbasis pada biaya dengan tambahan surplus sebagai keuntungan bagi rumah sakit. Akan tetapi, saat ini perhitungan tarif kontrak dengan asuransi kesehatan masih sering menimbulkan perdebatan : apakah rumah sakit mendapat surplus dari kontrak, atau justru malah rugi atau memberikan subsidi. Tarif kontrak ini dapat memaksa rumah sakit menyesuaikan tarifnya sesuai dengan kontrak yang ditawarkan perusahaan asuransi kesehatan. Dengan demikian, masalah efisiensi menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan. Target Rate of Return Pricing Cara ini merupakan modifikasi dari metode full-cost di atas. Misalnya, tarif ditentukan oleh direksi harus mempunyai 10% keun-tungan. Dengan demikian, apabila biaya produksi suatu pemeriksaan darah Rp5.000,00, maka tarifnya harus sebesar Rp5.500,00 agar memberi keuntungan 10%. Walaupun cara ini masih dikritik karena berbasis pada unit cost, tetapi faktor demand dan pesaing telah 152 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

diperhitungkan. Pada saat melakukan investasi, seharusnya telah diproyeksikan demand dan pesaingnya sehingga direksi berani menetapkan target tertentu. Dalam teknik ini dibutuhkan beberapa kondisi antara lain, pertama, rumah sakit harus dapat menetapkan tarif sendiri tanpa harus menunggu persetujuan pihak lain; kedua, rumah sakit harus dapat memperkirakan besar pemasukan yang benar; dan ketiga, rumah sakit harus mempunyai pandangan jangka panjang terhadap kegiatannya. Acceptance Pricing Teknik ini digunakan apabila pada pasar terdapat satu rumah sakit yang dianggap sebagai panutan (pemimpin) harga. Rumah sakit lain akan mengikuti pola pentarifan yang digunakan oleh rumah sakit tersebut. Mengapa butuh pemimpin dalam menetapkan harga? Keadaan ini dapat tim karena bul rumah-rumah sakit sakit enggan terjadi perang tarif dan mereka enggan saling merugikan. Walaupun mungkin tidak ada komunikasi formal, tetapi ada saling pengertian antarrumah sakit. Jadi hal ini bukan semacam kartel. Pada situasi ini, dapat muncul rumah sakit yang menjadi pemimpin harga. Rumah sakit yang lain mengikutinya. Masalah akan timbul apabila pemimpin harga ini merubah tarifnya. Para pengikutnya harus mengevaluasi apakah akan mengikutinya atau tidak. Penetapan Tarif dengan Melihat Pesaing Struktur pasar rumah sakit saat ini menjadi semakin kompetitif. Hubungan antarrumah sakit dalam menetapkan tarif dapat menjadi "saling mengintip". Penetapan tarif benar-benar dilakukan berbasis pada analisis pesaing dan demand. Dalam metode ini, biaya yang menyesuaikan dengan tarif. Terdapat dua tipe metode ini yaitu: (1) penetapan tarif di atas pesaing, dan (2) penetapan tarif di bawah pesaing. Dengan melihat berbagai macam teknik penetapan tarif di perusahaan swasta, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain, Bagian III 153

tujuan penetapan tarif harus diyakini secara jelas, dan tarif harus ditetapkan dengan berbasis pada tujuan; struktur pasar dan demand harus dianalisis; informasi kualitatif perlu dicari untuk membantu penetapan tarif; pendapatan total dan biaya total harus dievaluasi dalam berbagai tingkat harga dengan asumsi-asumsi yang perlu dan penetapan tarif harus melibatkan partisipasi dari bagian akuntansi, pemasaran, dan unit-unit pelaksana fungsional. Penetapan Tarif pada Organisasi Pemerintah Pada berbagai sektor termasuk kesehatan, pemerintah masih mempunyai kewajiban mengatur tarif. Kewajiban ini ditujukan untuk menjamin terjadinya pemerataan pelayanan rumah sakit. Untuk itu, pemerintah merasa perlu menegaskan bahwa berbagai komponen biaya pe nyelenggaraan rumah sakit tetap disubsidi, antara lain gaji, investasi, dan penelitian pengembangan. Dengan demikian, rumah sakit pemerintah mendapat pengaruh langsung dari peraturan-peraturan atau norma-norma pemerintah. Dengan latar belakang ini, jika dipandang dari sudut ekonomi manajerial, maka rumah sakit pemerintah berbeda dengan swasta dalam beberapa hal. Pertama: rumah sakit pemerintah merupakan milik masyarakat sehingga direksi rumah sakit harus bertanggung jawab kepada pemimpin politik daerah atau nasional, dan bertanggung jawab pula kepada Dewan Perwakilan Rakyat, pusat atau daerah. Keadaan ini menyebabkan keputusan-keputusan manajemen rumah sakit pemerintah seringkali menjadi lamban karena harus menunggu persetujuan pihak-pihak berwenang. Contoh klasik yaitu penetapan tarif rumah sakit daerah yang harus membutuhkan persetujuan bupati dan DPRD. Kedua: rumah sakit pemerintah cenderung lebih besar dibanding dengan swasta, misalnya di Jakarta dan Surabaya, rumah sakit terbesar adalah milik pemerintah pusat dan daerah. Besar dalam segi ukuran juga sering disertai dengan kepemimpinan dalam teknologi kedokteran. Dengan disubsidinya investasi dan biaya-biaya penelitian pengembangan, rumah sakit pemerintah terutama rumah 154
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

sakit pendidikan mempunyai peluang untuk memonopoli segmen pelayanan tertentu tanpa mempertimbangkan biaya investasi. Dengan demikian, biaya investasi tidak diperhitungkan dalam pentarifan sehingga dapat lebih murah dibanding swasta. Ketiga: rumah sakit pemerintah cenderung mempunyai over-head cost yang tinggi. Hal ini terutama karena biaya gaji yang tinggi akibat besarnya jumlah pegawai tetap, akan tidak disertai dengan produktivitas yang tinggi. Akibatnya, dalam proses pentarifan sering kali biaya sumber daya manusia tidak diperhitungkan. Berbasis perbedaaan dengan rumah sakit swasta, maka proses penetapan tarif dalam rumah sakit pemerintah harus memperhatikan berbagai isu yaitu isu sosial dan amanat rakyat, isu ekonomi, dan isu politik. Sebenarnya rumah sakit keagamaan atau sosial yang tidak mencari keuntungan juga menghadapi berbagai isu yang serupa misalnya, bagaimana isu melayani kaum dhuafa bagi rumah sakit Islam atau menjalankan pelayanan berdasarkan Kasih bagi orang miskin pada rumah sakit Katolik. Isu Sosial dan Amanat Rakyat dalam Penetapan Tarif Satu hal penting yang harus diperhatikan dalam penetapan tarif rumah sakit pemerintah berkaitan dengan amanat rakyat yaitu pelayanan rumah sakit secara tradisional sebagai pelayananan sosial pemerintah yang harus disubsidi sehingga perlu berhati-hati dalam menaikkan tarif. Pengalaman kasus kenaikan tarif pada rumah sakit pemerintah menunjukkan hal tersebut. Apabila kenaikan tarif dirasakan terlalu tinggi bagi masyarakat, dengan segera akan terjadi gelombang protes. Keadaan inilah yang menyebabkan perubahan tarif rumah sakit pemerintah harus mendapat persetujuan wakil wakil rakyat. Isu-Isu Ekonomi Sebagaimana suatu industri yang mempunyai struktur fixed cost yang tinggi, rumah sakit pemerintah menghadapi problem dalam Bagian III 155

investasi dan pengembangan program. Problem ini terjadi apabila daya subsidi pemerintah berkurang. Misi rumah sakit pemerintah menuntut agar amanat rakyat dalam pelayanan rumah sakit dipenuhi. Akan tetapi, kemampuan pemerintah kurang. Akibatnya terjadi berbagai isu ekonomi yang berkaitan dengan tarif rumah sakit pemerintah. Pada prinsipnya tarif yang ada, cost-recovery-nya tidak memungkinkan rumah sakit pemerintah untuk berkembang. Kebu-tuhan untuk berkembang ini semakin tinggi karena persaingan antar rumah sakit semakin besar. Fenomena menarik yaitu rumah sakit yang tidak mampu mengembangkan diri, ibarat seseorang yang masuk lumpur pasir, semakin berusaha akan semakin terpuruk. Jika suatu rumah sakit secara ekonomis tidak menarik stafnya, mutu pelayanan akan semakin turun. Hal ini berakibat menurunnya jumlah pasien atau melayani pasien yang terbatas kemampuan membayar dan tuntutannya. Isu Politik Sebagaimana galibnya suatu pemerintahan, ada tarik-menarik antara sentralisasi dan desentralisasi perencanaan. Pada keadaan yang sangat sentralisasi, pemerintah pusat ingin melakukan perencanaan ketat yang menunjukkan kewenangan. Penetapan tarif adalah bentuk kewenangan pemerintah. Dengan kewenangan ini, pemerintah pusat akan mengatur tarif sesuai dengan kekuatan daerah. Bagi provinsi yang lemah secara ekonomi, tarif ditetapkan rendah dan sebaliknya jika daerahnya kuat. Dengan kebijakan ini, secara tidak langsung pemerintah menerapkan subsidi silang antardaerah. Sumber anggaran pemerintah pusat berdasarkan asas keadilan akan lebih banyak diberikan ke daerah daerah yang lemah secara ekonomi. Berbagai hal di atas menunjukkan bahwa penetapan tarif rumah sakit pemerintah memang lebih kompleks daripada rumah sakit swasta. Akan tetapi, dalam perubahan rumah sakit menjadi lembaga sosial-ekonomi dengan prinsip-prinsip swadana, penetapan tarif model perusahaan harus diperhatikan oleh rumah sakit pemerintah. Menarik bahwa untuk beberapa produk, penghitungan tarif sudah mendekati 156 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

unit-cost. Tabel di bawah menunjukkan contoh tarif dari suatu rumah sakit pemerintah dan penghitungan unit-cost-nya.
Tabel 10.1 Contoh perhitungan tarif dan Unit Cost bangsal Kegiatan/Bangsal IRJ 2.000 Kelas III Kelas II Kelas I VIP Unit Cost Tarif

1.245 3.960 14.000 27.890 39.800

1.000 3.000 (3A), 2.000 (3B) 10.000 25.000 40.000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya; b. bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi -tingginya; c. bahwa dalam rangka peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan Rumah Sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan, perlu mengatur Rumah Sakit dengan Undang -Undang; d. bahwa pengaturan mengenai rumah sakit belum cukup memadai untuk dijadikan landasan hukum dalam penyelenggaraan rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan bagi masya rakat; e. bahwa . . . -2e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d serta untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan Rumah Sakit, perlu

membentuk Undang-Undang tentang Rumah Sakit; Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG RUMAH SAKIT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyed iakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. 2. Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut. 3. Pelayanan . . . -33. Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. 4. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit. 5. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 7. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan

anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosia l. Pasal 3 . . . -4Pasal 3 Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan: a. mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan; b. memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit; c. meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan d. memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit. BAB III TUGAS DAN FUNGSI Pasal 4 Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Pasal 5 Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Rumah Sakit mempunyai fungsi : a. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan sta ndar pelayanan rumah sakit; b. pemeliharaan . . . -5b. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis; c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan d. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu peng etahuan bidang kesehatan; BAB IV TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH Pasal 6 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk : a. menyediakan Rumah Sakit berdasarkan kebutuhan masyarakat;

b. menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi fakir miskin, atau orang tidak mampu sesuai ketentuan peraturan perundangundangan; c. membina dan mengawasi penyelenggaraan Rumah Sakit; d. memberikan perlindungan kepada Rumah Sakit agar dapat memberikan pelayanan kesehatan secara profesional dan bertanggung jawab; e. memberikan . . . -6e. memberikan perlindungan kepada masyarakat pengguna jasa pelayanan Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; f. menggerakkan peran serta masyarakat dalam pendirian Rumah Sakit sesuai dengan jenis pelayanan yang dibutuhkan masyarakat; g. menyediakan informasi kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat; h. menjamin pembiayaan pelayanan kegawatdaruratan di Rumah Sakit akibat bencana dan kejadian luar biasa ; i. menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan; dan j. mengatur pendistribusian dan penyebaran alat kesehatan berteknologi tinggi dan bernilai tinggi. (2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan BAB V PERSYARATAN Bagian Kesatu Umum Pasal 7 (1) Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian, dan peralatan. (2) Rumah Sakit dapat didirikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, ata u swasta. (3) Rumah Sakit . . . -7(3) Rumah Sakit yang didirikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berbentuk Unit Pelaksana Teknis dari Instansi yang bertugas di bidang kesehatan, Instansi tertentu, atau Lembaga Teknis Daerah dengan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan. (4) Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) harus

berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan. Bagian Kedua Lokasi Pasal 8 (1) Persyaratan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus memenuhi ketentuan mengenai kesehatan, keselamatan lingkungan, dan tata ruang, serta sesuai dengan hasil kajian kebutuhan dan kelayakan penyelenggaraan Rumah Sakit. (2) Ketentuan mengenai kesehatan dan keselamatan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyangkut Upaya Pemantauan Lingkungan, Upaya Pengelolaan Lingkungan dan/atau dengan An alisis Mengenai Dampak Lingkungan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang -undangan. (3) Ketentuan . . . -8(3) Ketentuan mengenai tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan dan/atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan. (4) Hasil kajian kebutuhan penyelenggaraan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada studi kelayakan dengan menggunakan prinsip pemerataan pelayanan, efisiensi dan efektivitas, serta demografi. Bagian Ketiga Bangunan Pasal 9 Persyaratan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus memenuhi : a. persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung pada umumnya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan; dan b. persyaratan teknis bangunan Rumah Sakit, sesuai dengan fungsi, kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak, dan orang usia lanjut. Pasal 10 . . . -9Pasal 10 (1) Bangunan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang

paripurna, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. (2) Bangunan rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas ruang: a. rawat jalan; b. ruang rawat inap; c. ruang gawat darurat; d. ruang operasi; e. ruang tenaga kesehatan; f. ruang radiologi; g. ruang laboratorium; h. ruang sterilisasi; i. ruang farmasi; j. ruang pendidikan dan latihan; k. ruang kantor dan administrasi; l. ruang ibadah, ruang tunggu; m. ruang penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit; n. ruang menyusui; o. ruang mekanik; p. ruang dapur; q. laundry; r. kamar jenazah; s. taman; t. pengolahan sampah; dan u. pelataran parkir yang mencukupi. (3) Ketentuan . . . - 10 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis bangunan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Prasarana Pasal 11 (1) Prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dapat meliputi: a. instalasi air; b. instalasi mekanikal dan elektrikal; c. instalasi gas medik; d. instalasi uap; e. instalasi pengelolaan limbah; f. pencegahan dan penanggulangan kebakaran; g. petunjuk, standar dan sarana evakuasi saat terjadi keadaan darurat; h. instalasi tata udara; i. sistem informasi dan komunikasi; dan j. ambulan. (2) Prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

harus memenuhi standar pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan kerja penyelenggaraan Rumah Sakit (3) Prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dalam keadaan terpe lihara dan berfungsi dengan baik. (4) Pengoperasian . . . - 11 (4) Pengoperasian dan pemeliharaan prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh petugas yang mempunyai kompetensi di bidangnya. (5) Pengoperasian dan pemeliharaan prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didokumentasi dan dievaluasi secara berkala dan berkesinambungan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kelima Sumber Daya Manusia Pasal 12 (1) Persyaratan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yaitu Rumah Sakit harus memiliki tenaga tetap yang meliputi tenaga medis dan penunjang medis, tena ga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga manajemen Rumah Sakit, dan tenaga nonkesehatan. (2) Jumlah dan jenis sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan jenis dan klasifikasi Rumah Sakit. (3) Rumah Sakit harus memiliki dat a ketenagaan yang melakukan praktik atau pekerjaan dalam penyelenggaraan Rumah Sakit. (4) Rumah Sakit dapat mempekerjakan tenaga tidak tetap dan konsultan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Pasal 13 . . . - 12 Pasal 13 (1) Tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran di Rumah Sakit wajib memiliki Surat Izin Praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Tenaga kesehatan tertentu yang bekerja di Rumah Sakit wajib memiliki izin sesuai den gan ketentuan peraturan perundang -undangan. (3) Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan standar profesi,

standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien. (4) Ketentuan mengenai tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan. Pasal 14 (1) Rumah Sakit dapat mempekerjakan t enaga kesehatan asing sesuai dengan kebutuhan pelayanan. (2) Pendayagunaan tenaga kesehatan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan alih teknologi dan ilmu pengetahuan serta ketersediaan tenaga kesehatan setempat. (3) Pendayagunaan tenaga kesehatan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan bagi tenaga kesehatan asing yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi dan Surat Ijin Praktik (4) Ketentuan . . . - 13 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan tenaga kesehatan asing pada ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keenam Kefarmasian Pasal 15 (1) Persyaratan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bermutu, bermanfaat, aman dan terjangkau. (2) Pelayanan sediaan farmasi di Rumah Sakit harus mengikuti standar pelayanan kefarmasian. (3) Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi farmasi sistem satu pintu. (4) Besaran harga perbekalan farmasi pada instalasi farmasi Rumah Sakit harus wajar dan berpatokan kepada harga patokan yang ditetapkan Pemerintah. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelay anan kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketujuh Peralatan Pasal 16 (1) Persyaratan peralatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) meliputi peralatan medis dan nonmedis harus memenuhi standar pelayanan,

persyaratan mutu, keamanan, keselamatan dan laik pakai. (2) Peralatan . . . - 14 (2) Peralatan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diuji dan dikalibrasi secara berkala oleh Balai Pengujian Fasilitas Kesehatan dan/atau institusi pengujian fasilitas kesehatan yang berwenang. (3) Peralatan yang menggunakan sinar pengion harus memenuhi ketentuan dan harus diawasi oleh lembaga yang berwenang. (4) Penggunaan peralatan medis dan nonmedis di Rumah Sakit harus dilakukan sesuai dengan indikasi medis pasien. (5) Pengoperasian dan pemeliharaan peralatan Rumah Sakit harus dilakukan oleh petugas yang mempunyai kompetensi di bidangnya. (6) Pemeliharaan peralatan harus didokumentasi dan dievaluasi secara berkala dan berkesinambungan (7) Ketentuan mengenai pengujian dan/atau kalibrasi peralatan medis, standar yang berkaitan dengan keamanan, mutu, dan manfaat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan. Pasal 17 Rumah Sakit yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 tidak diberikan izin mendirikan, dicabut atau tidak diperpanjang izin operasional Rumah Sakit.. BAB IV . . . - 15 BAB VI JENIS DAN KLASIFIKASI Bagian Kesatu Jenis Pasal 18 Rumah Sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya. Pasal 19 (1) Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah Sakit dikategorikan dalam Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. (2) Rumah Sakit Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. (3) Rumah Sakit Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit,

atau kekhususan lainnya. Pasal 20 (1) Berdasarkan pengelolaannya Rumah Sakit dapat dibagi menjadi Rumah Sakit publik dan Rumah Sakit privat. (2) Rumah Sakit publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. (3) Rumah sakit . . . - 16 (3) Rumah Sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan. (4) Rumah Sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dialihkan menjadi Rumah Sakit privat. Pasal 21 Rumah Sakit privat sebagaimana dima ksud dalam Pasal 20 ayat (1) dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero. Pasal 22 (1) Rumah Sakit dapat ditetapkan menjadi Rumah Sakit pendidikan setelah memenuhi persyaratan dan standar rumah sakit pendidikan. (2) Rumah Sakit pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan Menteri yang membidangi urusan pendidikan. Pasal 23 (1) Rumah Sakit pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 merupakan Rumah Sakit yang menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi kedokteran, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya. (2) Dalam . . . - 17 (2) Dalam penyelenggaraan Rumah Sakit Pend idikan dapat dibentuk Jejaring Rumah Sakit Pendidikan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rumah Sakit pendidikan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Klasifikasi Pasal 24 (1) Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan, rumah sakit

umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan Rumah Sakit. (2) Klasifikasi Rumah Sakit umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : a. Rumah Sakit umum kelas A; b. Rumah Sakit umum kelas B c. Rumah Sakit umum kelas C; d. Rumah Sakit umum kelas D. (3) Klasifikasi Rumah Sakit khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : a. Rumah Sakit khusus kelas A; b. Rumah Sakit khusus kelas B; c. Rumah Sakit khusus kelas C. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VII . . . - 18 BAB VII PERIZINAN Pasal 25 (1) Setiap penyelenggara Rumah Sakit wajib memiliki izin. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari izin mendirikan dan izin operasional. (3) Izin mendirikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan untuk jangka waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) tahun. (4) Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang kembali selama memenuhi persyaratan. (5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 26 (1) Izin Rumah Sakit kelas A dan Rumah Sakit penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Provinsi. (2) Izin Rumah Sakit penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat rekomendasi dari instansi yang melaksanakan urusan penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri. (3) Izin . . .

- 19 (3) Izin Rumah Sakit kelas B diberikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. (4) Izin Rumah Sakit kelas C dan kelas D diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setelah mendapat rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 27 Izin Rumah Sakit dapat dicabut jika: a. habis masa berlakunya; b. tidak lagi memenuhi persyaratan dan standar; c. terbukti melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan; dan/atau d. atas perintah pengadilan dalam rangka penegakan hukum. Pasal 28 Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VIII KEWAJIBAN DAN HAK Bagian Kesatu Kewajiban Pasal 29 (1) Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban : a. memberikan . . . - 20 a. memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat; b. memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan ef ektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit; c. memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya; d. berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai dengan kemampuan pelayanannya; e. menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin; f. melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan; g. membuat, melaksanakan, dan menjaga standar

mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien; h. menyelenggarakan rekam medis; i. menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, lanjut usia; j. melaksanakan sistem rujukan; k. menolak keinginan pasien yang bertentangan den gan standar profesi dan etika serta peraturan perundang -undangan; l. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien; m. menghormati dan melindungi hak -hak pasien; n. melaksanakan etika Rumah Sakit; o. memiliki . . . - 21 o. memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana; p. melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional maupun nasional; q. membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya; r. menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (hospital by laws); s. melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas; dan t. memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok. (2) Pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi admisnistratif berupa: a. teguran; b. teguran tertulis; atau c. denda dan pencabutan izin Rumah Sakit. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kew ajiban Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Hak Rumah Sakit Pasal 30 (1) Setiap Rumah Sakit mempunyai hak: a. menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit; b. menerima . . . - 22 -

b. menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi, insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan; c. melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka mengembangkan pelaya nan; d. menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; e. menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian; f. mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan; g. mempromosikan layanan kesehatan yang ada di Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan; dan h. mendapatkan insentif pajak bagi Rumah Sakit publik dan Rumah Sakit yang ditetapkan sebagai Rumah Sakit pendidikan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai promosi layanan kesehatan sebagaimana dmaksud pada ayat (1) huruf g diatur dengan Peraturan Menteri. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai insentif pajak sebagaimana dmaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Kewajiban Pasien Pasal 31 (1) Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas pelayanan yang diterimanya. (2) Ketentuan . . . - 23 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pasien diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Hak Pasien Pasal 32 Setiap pasien mempunyai hak: a. memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; b. memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien; c. memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi; d. memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; e. memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi; f. mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;

g. memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; h. meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit; i. mendapatkan . . . - 24 i. mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya; j. mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan kompli kasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan; k. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya; l. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis; m. menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya; n. memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit; o. mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya; p. menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya; q. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan r. mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan. BAB IX . . . - 25 BAB IX PENYELENGGARAAN Bagian Kesatu Pengorganisasian Pasal 33 (1) Setiap Rumah Sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien, dan akuntabel. (2) Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas Kepala Rumah Sakit atau Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur

penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta administrasi umum dan keuangan. Pasal 34 (1) Kepala Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan. (2) Tenaga struktural yang menduduki jabatan sebagai pimpinan harus berkewarganegaraan Indonesia. (3) Pemilik Rumah Sakit tidak boleh merangkap menjadi kepala Rumah Sakit. Pasal 35 Pedoman organisasi Rumah Sakit ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Bagian Kedua . . . - 26 Bagian Kedua Pengelolaan Klinik Pasal 36 Setiap Rumah Sakit harus menyelenggarakan tata kelola Rumah Sakit dan tata kelola klinis yang baik. Pasal 37 (1) Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus mendapat persetujuan pasien atau keluarganya. (2) Ketentuan mengenai persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 38 (1) Setiap Rumah Sakit harus menyimpan rahasia kedokteran. (2) Rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dibuka untuk kepentingan kesehatan pasien, untuk pemenuhan permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, atas persetujuan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 39 . . . - 27 Pasal 39 (1) Dalam penyelenggaraan Rumah Sakit harus dilakukan audit. (2) Audit sebagaimana dimaksud pada a yat (1) dapat berupa audit kinerja dan audit medis. (3) Audit kinerja dan audit medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan secara internal dan eksternal.

(4) Audit kinerja eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan oleh tena ga pengawas. (5) Pelaksanaan audit medis berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri. Bagian Ketiga Akreditasi Pasal 40 (1) Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala menimal 3 (tiga) tahun sekal i. (2) Akreditasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu lembaga independen baik dari dalam maupun dari luar negeri berdasarkan standar akreditasi yang berlaku. (3) Lembaga independen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. (4) Ketentuan . . . - 28 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Jejaring dan Sistem Rujukan Pasal 41 (1) Pemerintah dan asosiasi Rumah Sakit membentuk jejaring dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan. (2) Jejaring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi, sarana prasarana, pelayanan, rujukan, penyediaan alat, dan pendidikan tenaga. Pasal 42 (1) Sistem rujukan merupakan penyelenggaraan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal, maupun struktural dan fungsional terhadap kasus penyakit atau masalah penyakit atau permasalahan kesehata n. (2) Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban merujuk pasien yang memerlukan pelayanan di luar kemampuan pelayanan rumah sakit. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kelima . . . - 29 Bagian Kelima Keselamatan Pasien Pasal 43 (1) Rumah Sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien.

(2) Standar keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pelaporan insiden, menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan. (3) Rumah Sakit melaporkan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada komite yang membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh Menteri. (4) Pelaporan insiden keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat secara anonim dan ditujukan untuk mengkoreksi sistem dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keenam Perlindungan Hukum Rumah Sakit Pasal 44 (1) Rumah Sakit dapat menolak mengungkapkan segala informasi kepada publik yang berkaitan dengan rahasia kedokteran. (2) Pasien . . . - 30 (2) Pasien dan/atau keluarga yang menuntut Rumah Sakit dan menginformasikannya melalui media massa, dianggap telah melepaskan hak rahasia kedokterannya kepada umum. (3) Penginformasian kepada media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberikan kewenangan kepada Rumah Sakit untuk mengungkapkan rahasia kedokteran pasien sebagai hak jawab Rumah Sakit. Pasal 45 (1) Rumah Sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang komprehensif. (2) Rumah Sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia. Bagian Ketujuh Tanggung jawab Hukum Pasal 46 Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

Bagian Kedelapan . . . - 31 Bagian Kedelapan Bentuk Pasal 47 (1) Rumah Sakit dapat berbentuk Rumah Sakit statis, Rumah Sakit bergerak, dan Rumah Sakit lapangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan Rumah Sakit bergerak dan Rumah Sakit lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. BAB X PEMBIAYAAN Pasal 48 (1) Pembiayaan Rumah Sakit dapat bersumber dari penerimaan Rumah Sakit, anggaran Pemerintah, subsidi Pemerintah, anggaran Pemerintah Daerah, subsidi Pemerintah Daerah atau sumber lain yang tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Ketentuan lebih lanjut meng enai subsidi atau bantuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 49 (1) Menteri menetapkan pola tarif nasional. (2) Pola . . . - 32 (2) Pola tarif nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan komponen biaya satuan pembiayaan dan dengan memperhatikan kondisi regional. (3) Gubernur menetapkan pagu tarif maksimal berdasarkan pola tarif nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berlaku untuk rumah sakit di Provinsi yang bersangkutan. (4) Penetapan besaran tarif rumah sakit harus berdasarkan pola tarif nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pagu tarif maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 50 (1) Besaran tarif kelas III Rumah Sakit yang dike lola Pemerintah ditetapkan oleh Menteri. (2) Besaran tarif kelas III Rumah Sakit yang dikelola Pemerintah Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah. (3) Besaran tarif kelas III Rumah Sakit selain rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Pimpinan Rumah Sakit dengan

memperhatikan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 51 Pendapatan Rumah Sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah digunakan seluruhnya secara langsung untuk biaya operasional Rumah Sakit dan tidak dapat dijadikan pendapatan negara atau Pemerintah Daerah. BAB XI . . . - 33 BAB XI PENCATATAN DAN PELAPORAN Pasal 52 (1) Setiap Rumah Sakit wajib melakukan pencatatan dan pelaporan tentang semua kegiatan penyelenggaraan Rumah Sakit dalam bentuk Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit. (2) Pencatatan dan pelaporan terhadap penyakit wabah atau penyakit tertentu lainnya yang dapat menimbulkan wabah, dan pasien penderita ketergantungan narkotika dan/atau psikotropika dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 53 (1) Rumah Sakit wajib menyelenggarakan penyimpanan terhadap pencatatan dan pelaporan yang dilakukan untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan. (2) Pemusnahan atau penghapusan terhadap berkas pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan. BAB XII . . . - 34 BAB XII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Kesatu Umum Pasal 54 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Rumah Sakit dengan melibatkan organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan organisasi kemasyaratan lainnya sesuai dengan tugas dan fungsi masingmasing. (2) Pembinaan dan pengawasan sebagaim ana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk : a. pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat; b. peningkatan mutu pelayanan kesehatan; c. keselamatan pasien ;

d. pengembangan jangkauan pelayanan; dan e. peningkatan kemampuan kemandirian Rumah Sakit. (3) Dalam melaksanakan tugas pengawasan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengangkat tenaga pengawas sesuai kompetensi dan keahliannya. (4) Tenaga pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melaksanakan pengawasan yang bersifat teknis medis dan teknis perumahsakitan. (5) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat mengambil tindakan administratif berupa: a. teguran; b. teguran . . . - 35 b. teguran tertulis; dan/atau c. denda dan pencabutan izin. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 55 (1) Pembinaan dan pengawa san nonteknis perumahsakitan yang melibatkan unsur masyarakat dapat dilakukan secara internal dan eksternal. (2) Pembinaan dan pengawasan secara internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Dewan Pengawas Rumah Sakit. (3) Pembinaan dan pengaw asan secara eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia. Bagian Kedua Dewan Pengawas Rumah Sakit Pasal 56 (1) Pemilik Rumah Sakit dapat membentuk Dewan Pengawas Rumah Sakit. (2) Dewan Pengawas Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu unit nonstruktural yang bersifat independen dan bertanggung jawab kepada pemilik Rumah Sakit. (3) Keanggotaan . . . - 36 (3) Keanggotaan Dewan Pengawas Rumah Sakit terdiri dari unsur pemilik Rumah Sakit, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan tokoh masyarakat. (4) Keanggotaan Dewan Pengawas Rumah Sakit berjumlah maksimal 5 (lima) terdiri dari 1 (satu) orang ketua merangkap anggota dan 4 (empat) orang anggota.

(5) Dewan Pengawas Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas : a. menentukan arah kebijakan Rumah Sakit; b. menyetujui dan mengawasi pelaksanaan rencana strategis; c. menilai dan menyetujui pelaksanaan rencana anggaran; d. mengawasi pelaksanaan kendali mutu dan kendali biaya; e. mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien; f. mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban Rumah Sakit; dan g. mengawasi kepatuhan penerapan etika Rumah Sakit, etika profesi, dan peraturan perundangundangan; (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Dewa n Pengawas Rumah Sakit diatur dengan Peraturan Menteri Bagian Ketiga Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia Pasal 57 (1) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Badan . . . - 37 (2) Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia bertanggung jawab kepada Menteri. (3) Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia merupakan unit nonstruktural di Kementerian yang bertanggung jawab dibidang kesehatan d an dalam menjalankan tugasnya bersifat independen. (4) Keanggotaan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia berjumlah maksimal 5 (lima) orang terdiri dari 1 (satu) orang ketua merangkap anggota dan 4 (empat) orang anggota. (5) Keanggotaan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia terdiri dari unsur pemerintah, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan tokoh masyarakat. (6) Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia dalam melaksanakan tugasnya dibantu sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris. (7) Biaya untuk pelaksanaan tugas-tugas Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara. Pasal 58 Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia bertugas: a. membuat pedoman tentang pengawasan Rumah Sakit untuk digunakan oleh Badan Pengawas Rumah

Sakit Provinsi; b. membentuk sistem pelaporan dan sistem informasi yang merupakan jejaring dari Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia dan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi; dan c. Melakukan . . . - 38 c. Melakukan analisis hasil pengawasa n dan memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk digunakan sebagai bahan pembinaan. Pasal 59 (1) Badan Pengawas Rumah Sakit dapat dibentuk di tingkat provinsi oleh Gubernur dan bertanggung jawab kepada Gubernur. (2) Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi merupakan unit nonstruktural pada Dinas Kesehatan Provinsi dan dalam menjalankan tugasnya bersifat independen. (3) Keanggotaan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi terdiri dari unsur pemerintah, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan tokoh masyarakat. (4) Keanggotaan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi berjumlah maksimal 5 (lima) terdiri dari 1 (satu) orang ketua merangkap anggota dan 4 (empat) orang anggota. (5) Biaya untuk pelaksanaan tugas -tugas Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah. Pasal 60 Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) bertugas : a. mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien di wilayahnya; b. mengawasi dan menjag a hak dan kewajiban Rumah Sakit di wilayahnya; c. mengawasi penerapan etika Rumah Sakit, etika profesi, dan peraturan perundang -undangan; d. melakukan . . . - 39 d. melakukan pelaporan hasil pengawasan kepada Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia; e. melakukan analisis hasil pengawasan dan memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah untuk digunakan sebagai bahan pembinaan; dan f. menerima pengaduan dan melakukan upaya penyelesaian sengketa dengan cara mediasi. Pasal 61 Ketentuan lebih lanjut mengenai B adan Pengawas

Rumah Sakit Indonesia dan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 62 Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan Rumah Sakit tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 - (lima milyar rupiah). Pasal 63 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62. (2) Selain . . . - 40 (2) Selain pidana denda sebagaimana d imaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum. BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 64 (1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua Rumah Sakit yang sudah ada harus menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang Undang ini, paling lambat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun setelah Undang -Undang ini diundangkan. (2) Pada saat undang -undang ini berlaku, Izin penyelenggaraan Rumah Sakit yang telah ada tetap berlaku sampai habis masa berlakunya. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 65 Pada saat diundangkannya Undang -Undang ini berlaku semua peraturan perundang -undangan yang mengatur Rumah Sakit tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarka n Undang-Undang ini. Pasal 66 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar . . . - 41 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan

pengundangan Undang -Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Disahkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 153 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang -undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat, Wisnu Setiawan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT I. UMUM Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan keseja hteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan melalui berbagai upaya kesehatan dalam rangkaian pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu yang didukung oleh suatu sistem kesehatan nasional. Sejalan dengan amanat Pasal 28 H ayat (1) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah ditegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan, kemudian dalam Pasal 34 ayat (3) dinyatakan negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Rumah Sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaran pelayanan kesehatan di Rumah Sakit mempunyai karakteristik dan organisasi yang sangat kompleks. Berbagai jenis tenaga kesehat an dengan perangkat keilmuannya masing -masing berinteraksi satu sama lain. Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat pesat yang harus diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka pemberian

pelayanan yang bermutu, membuat semakin komple ksnya permasalahan dalam Rumah Sakit. Pada . . . -2Pada hakekatnya Rumah Sakit berfungsi sebagai tempat penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud memiliki makna tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Dari aspek pembiayaan bahwa Rumah Sakit memerlukan biaya operasional dan investasi yang besar dalam pelaksanaan kegiatannya, sehingga perlu didukung dengan ketersediaan pendanaan yang cukup dan berkesinambungan. Antisipasi dampak globalisasi perlu didukung dengan peraturan perundang -undangan yang memadai. Peraturan perundang -undangan yang dijadikan dasar penyelenggaraan Rumah Sakit saat ini masih pada tingkat Peraturan Menteri yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan. Dalam rangka memberikan kepastian dan perlindungan hukum untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberikan dasar bagi pengelolaan Rumah Sakit diperlukan suatu perangkat hukum yang mengatur Rumah Sakit secara menyeluruh dalam bentuk Undang -Undang. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Yang dimaksud dengan nilai kemanusiaan adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit dilakukan dengan memberikan perlakuan yang baik dan manusiawi dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras. Yang dimaksud dengan nilai etika dan profesionalitas adalah bahwa penyelenggaraan rumah sakit dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki etika profesi dan sikap profesional, serta mematuhi etika rumah sakit. Yang dimaksud dengan nilai ma nfaat adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya . . . -3sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Yang dimaksud dengan nilai keadilan ad alah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat serta pelayanan yang bermutu. Yang dimaksud dengan nilai persamaan hak dan anti diskriminasi adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit tidak boleh membedakan masyarakat baik secara individu maupun kelompok dari semua lapisan. Yang dimaksud dengan nilai pemerataan adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Yang dimaksud dengan nilai perlindungan dan keselamatan

pasien adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan dengan tetap memperhatikan perlindungan dan kesela matan pasien. Yang dimaksud dengan nilai keselamatan pasien adalah bahwa penyelenggaraan rumah sakit selalu mengupayakan peningkatan keselamatan pasien melalui upaya majamenen risiko klinik. Yang dimaksud dengan fungsi sosial rumah sakit adalah bagian dari tanggung jawab yang melekat pada setiap rumah sakit, yang merupakan ikatan moral dan etik dari rumah sakit dalam membantu pasien khususnya yang kurang/tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan Pasal 3 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan keselamatan pasien (patient safety adalah proses dalam suatu rumah sakit yang memberikan pelayanan pasien yang lebih aman. Termasuk di dalamnya asesmen . . . -4asesmen risiko, identifikasi, dan manajemen risiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk mengurangi serta meminimalisir timbulnya risiko. Yang dimaksud dengan sumber daya manusia di Rumah Sakit adalah semua tenaga yang bekerja di Ru mah Sakit baik tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 4 Yang dimaksud dengan Pelayanan kesehatan perorangan adalah setiap kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, dan memulihkan kesehatan. Pasal 5 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan paripurna tingkat kedua adalah upaya kesehatan perorangan tingkat lanjut dengan mendaya gunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik. Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan paripurna tingkat ketiga adalah upaya kesehatan perorangan tingkat lanjut dengan mendayagunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub spesialistik.

Huruf c Cukup jelas. Huruf d . . . -5Huruf d Penapisan teknologi dimaksudkan dalam rangka perlindungan terhadap keamanan dan keselamatan pasien. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Penyediaan Rumah Sakit didasarkan pada perhitungan rasio tempat tidur dan jumlah penduduk . Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Informasi meliputi jumlah dan jenis pelayanan, hasil pelayanan, ketersediaan tempat tidur, ketenagaan, serta tarif. Huruf h Yang dimaksud dengan bencana adalah suatu peristiwa yang terjadi secara mendadak/tidak terencana atau secara perlahan tetapi berlanjut yang menimbulkan dampak terhadap pola kehidupan normal atau kerusakan ekosistem, sehingga diperlukan tindakan darurat dan luar biasa un tuk menolong dan menyelamatkan korban yaitu manusia beserta lingkungannya. Yang dimaksud dengan Kejadian Luar Biasa adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/ kematian . . . -6kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Yang dimaksud berteknologi tinggi dan bernilai tinggi adalah teknologi masa depan dan teknologi baru yang mempunyai aspek kemanfaatan yang tinggi dalam pelayanan kesehatan.

Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Kegiatan usaha hanya bergerak di bidang perumahsakitan dimaksudkan untuk melindungi usaha rumah sakit agar terhindar dari risiko akibat kegiatan usaha lain yang dimiliki oleh badan hukum pemilik rumah sakit. Pasal 8 Ayat (1) Kajian kebutuhan penyelenggaraan Rumah Sakit meliputi kajian terhadap kebutuhan akan pelayanan Rumah Sakit, kajian terhadap kebutuhan sara na, prasarana, peralatan, dana dan tenaga yang dibutuhkan untuk pelayanan yang diberikan, dan kajian terhadap kemampuan pembiayaan. Studi . . . -7Studi kelayakan Rumah Sakit merupakan suatu kegiatan perencanaan Rumah Sakit secara fisik dan nonfisik aga r Rumah Sakit berfungsi secara optimal pada kurun waktu tertentu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan lokasi dan tata ruang adalah jika dalam satu wilayah sudah ada Rumah Sakit, maka pendirian Rumah Sakit baru tidak menjadi prioritas, termasuk dalam hal pemekaran wilayah. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Huruf a Bangunan Rumah Sakit merupakan wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah yang berfungsi sebagai tempat melakukan kegiatan pelayanan. Huruf b Persyaratan teknis bangunan untuk penyandang cacat, anakanak dan orang usia lanjut memiliki karakteristik sendiri. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1)

Huruf a Cukup jelas. Huruf b Termasuk catu daya pengganti atau generator. Huruf c . . . -8Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Pengelolaan limbah di rumah sakit dilaksanakan meliputi pengelolaan limbah padat, cair, bahan gas yang bersifat infeksius, bahan kimia beracun dan sebagian bersifat radioaktif, yang diolah secara terpisah. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 12 . . . -9Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tenaga tetap adalah tenaga yang bekerja secara purna waktu. Yang dimaksud dengan tenaga nonkesehatan antara lain tenaga administratif, tenaga kebersihan, dan tenaga keamanan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan kemampuan meliputi kemampuan

dana dan pelayanan Rumah Sakit. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan tertentu adalah tenaga perawat, bidan, pera wat gigi, apoteker, asisten apoteker, fisioterapis, refraksionis optisien, terapis wicara, radiografer, dan okupasi terapis. Yang dimaksud dengan izin adalah izin kerja atau izin praktik bagi tenaga kesehatan tersebut. Ayat (3) Yang dimaksud dengan standar profesi adalah batasan kemampuan (capacity) meliputi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap profesional (professional attitude) yang minimal harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Yang . . . - 10 Yang dimaksud dengan standar pelayanan Rumah Sakit adalah pedoman yang harus diikuti dalam menyelenggarakan Rumah Sakit antara lain Standar Prosedur Operasional, standar pelayanan medis, dan standar asuhan keperawatan. Yang dimaksud dengan standar prosedur operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah -langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan proses kerja rutin tertentu. Standar prosedur operasional memberikan langkah y ang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi. Yang dimaksud dengan etika profesi adalah kode etik yang disusun oleh asosiasi atau ikatan profesi. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika. Yang dimaksud dengan alat kesehatan adalah bahan, instrumen, aparatus, mesin, serta implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosa, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit serta memulihkan kesehatan pada manusia dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.

Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . . - 11 Ayat (3) Yang dimaksud dengan instalasi farmasi adalah bagian dari Rumah Sakit yang bertugas menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di Rumah Sakit. Yang dimaksud dengan sistem satu pintu adalah bahwa rumah sakit hanya memiliki satu kebijakan kefarmasian termasuk pembuatan formularium pengadaan, dan pendistribusian alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai yang bertujuan untuk mengutamakan kepentingan pasien. Ayat (4) Informasi harga obat (perbekalan farmasi) harus transparan atau dicantumkan di dalam buku daftar harga yang dapat diakses oleh pasien. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan peralatan medis adalah peralatan yang digunakan untuk keperluan diagnosa, terapi, rehabilitasi dan penelitian medik baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang dimaksud dengan peralatan nonmedis adalah peralatan yang digunakan untuk mendukung keperluan tindakan medis. Yang dimaksud dengan standar peralatan medis disesuaikan dengan standar yang mengikuti standar industri peralatan medik. Ayat (2) Yang dimaksud dengan pengujian adalah keseluruhan tindakan yang meliputi pemeriksaan fisik dan penguk uran untuk . . . - 12 untuk membandingkan alat yang diukur dengan standar, atau untuk menentukan besaran atau kesalahan pengukuran. Yang dimaksud dengan kalibrasi adalah kegiatan peneraan untuk menentukan kebenaran nilai penunjukkan alat ukur dan/atau bahan ukur. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5)

Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan kekhususan lainnya adalah jenis pelayanan Rumah Sakit sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan bidang kedokteran. Pasal 20 . . . - 13 Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam ayat ini yang dimaksud dengan badan hukum nirlaba adalah badan hukum ya ng sisa hasil usahanya tidak dibagikan kepada pemilik, melainkan digunakan untuk peningkatan pelayanan, yaitu antara lain Yayasan, Perkumpulan dan Perusahaan Umum. Ayat (3) Yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Pemerintah Pusat termasuk TNI dan POLRI. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Rumah Sakit Umum Kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 5 (lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis lain dan 13 (tiga belas) subspesialis. Rumah Sakit . . .

- 14 Rumah Sakit Umum Kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4 (empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis lain dan 2 (dua) subspesialis dasar. Rumah Sakit Umum Kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik. Rumah Sakit Umum Kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis dasar. Ayat (3) Rumah Sakit Khusus kelas A adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang lengkap. Rumah Sakit Khusus kelas B adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pali ng sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang terbatas. Rumah Sakit Khusus kelas C adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang minimal. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . . - 15 Ayat (2) Yang dimaksud dengan izin mendirikan adalah ijin yang diberikan untuk mendirikan rumah sakit setelah memenuhi persyaratan untuk mendirikan. Yang dimaksud dengan izin operasional adalah izin yang diberikan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan setelah memenuhi persyaratan dan standar. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas.

Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan standar pelayanan rumah sakit adalah semua standar pelayanan yang berlaku di rumah sakit, antara lain Standar Prosedur Operasional, standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d . . . - 16 Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan pasien tidak mampu atau miskin adalah pasien yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan penyelenggaraan rekam medis dalam ayat ini adalah dilakukan sesuai dengan standar yang secara bertahap diuapayakan mencapai standar internasional Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Rumah Sakit dibangun serta dilengkapi dengan sarana, prasarana dan peralatan yang dapat difungsikan serta dipelihara sedemikian rupa untuk mendapatkan keamanan, mencegah kebakaran/bencana dengan terjaminnya . . . - 17 terjaminnya keamanan, kesehatan dan keselamatan

pasien, petugas, pengunjung, dan lingkungan Rumah Sakit. Huruf p Cukup jelas Huruf r Yang dimaksud dengan peraturan internal Ru mah Sakit (Hospital bylaws) adalah peraturan organisasi Rumah Sakit (corporate bylaws) dan peraturan staf medis Rumah Sakit (medical staff bylaw) yang disusun dalam rangka menyelenggarakan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan tata kelola klinis yang baik (good clinical governance). Dalam peraturan staf medis Rumah Sakit (medical staff bylaw) antara lain diatur kewenangan klinis (Clinical Privilege). Huruf s Cukup jelas. Huruf t Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Kewajiban pasien yang dimaksud dalam ayat ini antara lain mematuhi ketentuan yang berlaku di Rumah Sakit, memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima di Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan yang berlak u, memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya kepada tenaga kesehatan di Rumah Sakit, dan mematuhi kesepakatan dengan Rumah Sakit. Ayat (2) . . . - 18 Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 32 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas.

Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Yang dimaksud dengan pemberian persetujuan atau penolakan atas tindakan kedokteran atau kedokteran gigi dapat berupa seluruh tindakan yang akan dilakukan atau dapat berupa tindakan tertentu yang disetujui. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n . . . - 19 Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Organisasi Rumah Sakit disusun dengan tujuan untuk mencapai visi dan misi Rumah Sakit dengan menjalankan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) dan tata kelola klinis yang baik (Good Clinical Governance). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pimpinan yang harus berkewarganegaraan Indonesia adalah direktur utama, direktur medis dan keperawatan, serta direktur sumber daya manusia. Ayat (3) Yang dimaksud dengan pemilik Rumah Sakit antara lain komisaris perusahaan, pendiri yayasan, atau pemerintah daerah. Yang dimaksud dengan kepala Rumah Sakit adalah pimpinan tertinggi dengan jabatan Direktur Utama (Chief Executive

Officer) termasuk Direktur Medis. Pasal 35 . . . - 20 Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Tata kelola rumah sakit yang baik adalah penerapan fungsi -fungsi manajemen rumah sakit yang berdasarkan prinsip -prinsip tranparansi, akuntabilitas, independensi dan responsibilitas, kesetaraan dan kewaja ran. Tata kelola klinis yang baik adalah penerapan fungsi manajemen klinis yang meliputi kepemimpinan klinik, audit klinis, data klinis, risiko klinis berbasis bukti, peningkatan kinerja, pengelolaan keluhan, mekanisme monitor hasil pelayanan, pengembangan profesional, dan akreditasi rumah sakit. Pasal 37 Ayat (1) Setiap tindakan kedokteran harus memperoleh persetujuan dari pasien kecuali pasien tidak cakap atau pada keadaan darurat. Persetujuan tersebut diberikan secara lisan atau tertulis. Persetujuan tertulis hanya diberikan pada tindakan kedokteran berisiko tinggi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang ditemukan oleh dokter dan dokter gigi dalam rangka peng obatan dan dicatat dalam rekam medis yang dimiliki pasien dan bersifat rahasia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 39 . . . - 21 Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Audit kinerja adalah pengukuran kinerja berkala yang meliputi kinerja pelayanan dan kinerja keuangan. Audit medis adalah upaya evaluasi secara profesional terhadap mutu pelayanan medis yang diberikan kepada pasien dengan menggunakan rekam medisnya yang dilaksanakan oleh profesi medis Ayat (3) Audit medis internal dilakukan o leh Komite Medik rumah sakit Audit kinerja internal dilakukan oleh Satuan Pemeriksaan

Internal. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas . Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Yang dimaksud dengan keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam suatu Rumah Sakit yang memberikan pelayanan pasien yang lebih aman. Termasuk di dalamnya asesmen risiko, identifikasi, dan manajemen risiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk mengurangi serta meminimalisir timbulnya risiko. Ayat (2) . . . - 22 Ayat (2) Yang dimaksud dengan insiden keselamatan pasien adalah kesalahan medis (medical error), kejadian yang tidak diharapkan (adverse event), dan nyaris terjadi (near miss). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Pasien berhak menolak atau menghentikan pengobatan. Pasien yang menolak pengobatan karena alasan finansial harus diberikan penjelasan bahwa pasien berhak memperoleh jaminan dari Pemerintah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1)

Pola Tarif Nasional adal ah pedoman dasar yang berlaku secara nasional dalam pengaturan dan perhitungan untuk menetapkan besaran tarif rumah sakit yang berdasarkan komponen biaya satuan (unit cost). Ayat (2) . . . - 23 Ayat (2) Yang dimaksud dengan biaya satuan (unit cost) ada lah hasil perhitungan total biaya operasional pelayanan yang diberikan Rumah Sakit. Yang dimaksud kondisi regional termasuk didalamnya indeks kemahalan setempat Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan pengawasan teknis medis adalah audit medis Yang dimaksud dengan pengawasan teknis perumahsakitan adalah audit kinerja rumah sakit. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) . . . - 24 Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas.

Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5072

Sie Infokum Ditama Binbangkum

RUMAH SAKIT PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI BADAN LAYANAN UMUM (BLU)


I. Latar Belakang Diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) adalah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 69 ayat (7) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. PP tersebut bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik oleh Pemerintah, karena sebelumnya tidak ada pengaturan yang spesifik mengenai unit pemerintahan yang melakukan pelayanan kepada masyarakat yang pada saat itu bentuk dan modelnya beraneka macam. Jenis BLU disini antara lain rumah sakit, lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain. Rumah sakit sebagai salah satu jenis BLU merupakan ujung tombak dalam pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, tak sedikit keluhan selama ini diarahkan pada kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah. Ini terutama rumah sakit daerah atau rumah sakit milik pemerintah. Penyebabnya sangat klasik, yaitu masalah keterbatasan dana yang dimiliki oleh rumah sakit umum daerah dan rumah sakit milik pemerintah, sehingga tidak bisa mengembangkan mutu layanannya, baik karena peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang rendah. Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek manajemen maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari lingkungan, yaitu antara lain bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung pada kepuasan pasien. Tuntutan lainnya adalah pengendalian biaya. Pengendalian biaya merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai pihak yaitu mekanisme pasar, tindakan ekonomis, sumber daya manusia yang dimiliki (profesionalitas) dan yang tidak kalah penting adalah perkembangan teknologi dari rumah sakit itu sendiri. Rumah sakit pemerintah yang terdapat di tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan tersebut. Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit pemerintah merupakan layanan jasa yang menyediakan untuk kalangan menengah ke

Sie Infokum Ditama Binbangkum 2 bawah, sedangkan rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan cenderung terus meningkat,dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah tersebut. Peningkatan biaya kesehatan menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit pemerintahan karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan untuk kalangan menengah ke bawah. Akibatnya rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi rumah sakit yang murah dan bermutu. II. Permasalahan 1. Apa yang dimaksud dengan Badan Layanan Umum (BLU)? 2. Dimanakah pengaturan mengenai BLU? 3. Apa saja yang dapat dikategorikan sebagai BLU? 4. Bagaimana kaitannya antara BLU dengan Rumah Sakit Pemerintah Daerah? III. Pemecahan Pengertian, Tujuan dan Azas BLU Pengertian atau definisi BLU diatur dalam Pasal 1 angka 23 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu : Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Pengertian ini kemudian diadopsi kembali dalam peraturan pelaksanaannya yaitu dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Tujuan dibentuknya BLU adalah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 68 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa Kemudian . ditegaskan kembali dalam PP No. 23 Tahun 2005 sebagai peraturan pelaksanaan dari asal 69 ayat (7) UU No. 1 Tahun 2004, Pasal 2 yang menyebutkan bahwa BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat. Sedangkan Asas BLU diatur menurut Pasal 3 PP No. 23 Tahun 2005, yaitu: 1. Menyelenggarakan pelayanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan, tidak terpisah secara hukum dari instansi induknya; 2. Pejabat BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan layanan umum kepada pimpinan instansi induk; 3. BLU tidak mencari laba; Sie Infokum Ditama Binbangkum 3 4. Rencana kerja, anggaran dan laporan BLU dan instansi induk tidak terpisah; 5. Pengelolaan sejalan dengan praktik bisnis yang sehat. Dari uraian definisi, tujuan dan asas BLU, maka dapat terlihat bahwa BLU memiliki suatu karakteristik tertentu, yaitu : 1. Berkedudukan sebagai lembaga pemerintah yang tidak dipisahkan dari kekayaan Negara; 2. Menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan masyarakat; 3. Tidak bertujuan untuk mencarai laba; 4. Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala korporasi; 5. Rencana kerja, anggaran dan pertanggungjawabannya dikonsolidasikan pada instansi induk; 6. Penerimaan baik pendapatan maupun sumbangan dapat digunakan secara langsung; 7. Pegawai dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan bukan pegawai negeri sipil;

8. BLU bukan subyek pajak. Selain itu, sekalipun BLU dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala korporasi, namun terdapat beberapa karakteristik lainnya yang membedakan pengelolaan keuangan BLU dengan BUMN/BUMD, yaitu: 1. BLU dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa; 2. Kekayaan BLU merupakan bagian dari kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU yang bersangkutan; 3. Pembinaan BLU instansi pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan; 4. Pembinaan keuangan BLU instansi pemerintah daerah dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan; 5. Setiap BLU wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan; 6. Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) serta laporan keuangan dan laporan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RKA serta laporan keuangan dan laporan kinerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah; 7. Pendapatan yang diperoleh BLU sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan merupakan pendapatan negara/daerah; 8. Pendapatan tersebut dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja yang bersangkutan; Sie Infokum Ditama Binbangkum 4 9. BLU dapat menerima hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain; 10. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan BLU diatur dalam peraturan pemerintah (dhi. PP No. 23 Tahun 2005). Dasar Pengaturan BLU BLU diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengaturnya, yaitu: 1. Pasal 1 angka 23, Pasal 68 dan Pasal 69 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 2. PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum; 3. PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal; 4. Peraturan Menteri Keuangan No. 07/PMK.02/2006 tentang Persyaratan Administratif Dalam Rangka Pengusulan Dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah Untuk Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum; 5. Peraturan Menteri Keuangan No. 08/PMK.02/2006 tentang Kewenangan Pengadaan Barang/Jasa Pada Badan Layanan Umum; 6. Peraturan Menteri Keuangan No. 09/PMK.02/2006 tentang Pembentukan Dewan Pengawas Pada Badan Layanan Umum; 7. Peraturan Menteri Keuangan No. 10/PMK.02/2006 jo. PMK No. 73/PMK.05/2007 tentang Pedoman Penetapan Remunerasi Bagi Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas dan Pegawai Badan Layanan Umum; 8. Peraturan Menteri Keuangan No. 66/PMK.02/2006 tentang Tata Cara Penyusunan, Pengajuan, Penetapan, Dan Perubahan Rencana Bisnis Dan Anggaran serta Dokumen Pelaksanaan Anggaran Badan Layanan Umum; 9. Peraturan Menteri Keuangan No. 109/PMK.05/2007 tentang Dewan Pengawas Badan Layanan Umum; 10. Peraturan Menteri Keuangan No. 119/PMK.05/2007 tentang Persyaratan Administratif Dalam Rangka Pengusulan Dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah Untuk Menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan

Layanan Umum; 11. Peraturan Menteri Keuangan No. 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum; 12. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah; 13. Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. Per-50/PB/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak ( PNBP) Oleh Satuan Kerja Instansi Pemerintah Yang Menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU); 14. Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. Per-62/PB/2007 tentang Pedoman Penilaian Usulan Penerapan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum; Sie Infokum Ditama Binbangkum 5
Standar layanan Tarif layanan Pengelolaan keuangan Tata kelola Ketentuan lain

15. Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. Per-67/PB/2007 tentang Tata Cara Pengintegrasian Laporan Keuangan Badan Layanan Umum Ke Dalam Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga. Jenis dan Persyaratan BLU Apabila dikelompokkan menurut jenisnya BLU terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu: 1. BLU yang kegiatannya menyediakan barang atau jasa meliputi rumah sakit, lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain; 2. BLU yang kegiatannya mengelola wilayah atau kawasan meliputi otorita pengembangan wilayah dan kawasan ekonomi terpadu (Kapet); dan 3. BLU yang kegiatannya mengelola dana khusus meliputi pengelola dana bergulir, dana UKM, penerusan pinjaman dan tabungan pegawai. Untuk menjadi sebuah BLU, maka harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur menurut Pasal 4 PP No. 23 Tahun 2005, sebagai berikut: 1. Persyaratan Substantif, apabila menyelanggarakan layanan umum yang berhubungan dengan : a. Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum; b. Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau c. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat. 2. Persyaratan Teknis, yaitu : a. kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya; dan b. kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU. 3. Persyaratan Administratif, yaitu : a. pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat; b. pola tata kelola (yang baik); c. rencana strategis bisnis; d. laporan keuangan pokok; e. standar pelayanan minimum; dan f. laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
Gambar : syarat-syarat BLU
1. Persyaratan substantif : penyelenggaraan layanan umum; 2. Persyaratan teknis : kinerja; 3. Persyaratan administratif : dokumen-dokumen Sie Infokum Ditama Binbangkum 6 Rumah Sakit Pemerintah Daerah Sebagai BLU Standar Pelayanan dan Tarif Layanan

Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. Dalam hal rumah sakit pemerintah di daerah (RSUD) maka standar pelayanan minimal ditetapkan oleh kepala daerah dengan peraturan kepala daerah. Standar pelayanan minimal tersebut harus memenuhi persyaratan, yaitu : 1. Fokus pada jenis pelayanan, dalam arti mengutamakan kegiatan pelayanan yang menunjang terwujudnya tugas dan fungsi BLU/BLUD; 2. Terukur, merupakan kegiatan yang pencapaiannya dapat dinilai sesuai dengan standar yang telah ditetapkan; 3. Dapat dicapai, merupakan kegiatan nyata yang dapat dihitung tingkat pencapaiannya, rasional sesuai kemampuan dan tingkat pemanfaatannya; 4. Relevan dan dapat diandalkan, merupakan kegiatan yang sejalan, berkaitan dan dapat dipercaya untuk menunjang tugas dan fungsi BLU/BLUD; 5. Tepat waktu, merupakan kesesuaian jadwal dan kegiatan pelayanan yang telah ditetapkan. Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan. Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Tarif layanan diusulkan oleh rumah sakit kepada menteri keuangan/menteri kesehatan/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya, dan kemudian ditetapkan oleh menteri keuangan/kepala daerah dengan peraturan menteri keuangan/peraturan kepala daerah. Tarif layanan yang diusulkan dan ditetapkan tersebut harus mempertimbangkan halhal sebagai berikut: 1. kontinuitas dan pengembangan layanan; 2. daya beli masyarakat; 3. asas keadilan dan kepatutan; dan 4. kompetisi yang sehat. Pengelolaan Keuangan Adanya desentralisasi dan otonomi daerah dengan berlakunya UU tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004, terakhir diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008), UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Penyusunan APBD, kemudian PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, dan Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, Sie Infokum Ditama Binbangkum 7 membuat rumah sakit pemerintah daerah harus melakukan banyak penyesuaian khususnya dalam pengelolaan keuangan maupun penganggarannya, termasuk penentuan biaya. Dengan terbitnya PP No. 23 Tahun 2005, rumah sakit pemerintah daerah mengalami perubahan menjadi BLU. Perubahan ini berimbas pada pertanggungjawaban keuangan tidak lagi kepada Departemen Kesehatan tetapi kepada Departemen Keuangan, sehingga harus mengikuti standar akuntansi keuangan yang pengelolaannya mengacu pada prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi dan efisiensi. Anggaran yang akan disusun pun harus berbasis kinerja (sesuai dengan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002). Penyusunan anggaran rumah sakit harus berbasis akuntansi biaya yang didasari dari indikator input, indikator proses dan indikator output, sebagaimana diatur berdasarkan PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, PMK No. 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum, dan khusus untuk RSUD, pengelolaan keuangannya harus mengacu dan berdasarkan Permendagri Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan

Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Pelaporan dan Pertanggungjawaban BLU sebagai instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan merupakan organisasi pemerintahan yang bersifat nirlaba. Sesuai dengan Pasal 26 ayat (2) PP No. 23 Tahun 2005 yang menyebutkan bahwa Akuntansi dan laporan keuangan BLU diselenggarakan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang diterbitkan oleh asosiasi profesi akuntansi Indonesia. Ketentuan ini menimbulkan inkonsistensi, karena BLU merupakan badan/unit atau organisasi pemerintahan yang seharusnya menggunakan PSAP atau Standar Akuntansi Pemerintahan sebagaimana diatur menurut PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, namun dalam PP No. 23 Tahun 2005 menggunakan PSAK (Standar Akuntansi Keuangan) yang berasal dari IAI. Sebagai organisasi kepemerintahan yang bersifat nirlaba, maka rumah sakit pemerintah daerah semestinya juga menggunakan SAP bukan SAK. Laporan keuangan rumah sakit pemerintah daerah merupakan laporan yang disusun oleh pihak manajemen sebagai bentuk penyampaian laporan keuangan suatu entitas. Laporan keuangan tersebut merupakan penyampaian informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap entitas tersebut, sehingga isi pelaporan keuangan rumah sakit pemerintah daerah harus mengikuti ketentuan untuk pelaporan keuangan sebagaimana diatur menurut SAK, yaitu sebagai organisasi nirlaba (PSAK No. 45) dan menyanggupi untuk laporan keuangannya tersebut diaudit oleh auditor independen. Laporan keuangan rumah sakit yang harus diaudit oleh auditor independen. Adapun Laporan Keuangan rumah sakit pemerintah daerah sebagai BLU yang disusun harus menyediakan informasi untuk: 1. mengukur jasa atau manfaat bagi entitas yang bersangkutan; Sie Infokum Ditama Binbangkum 8 2. pertanggungjawaban manajemen rumah sakit (disajikan dalam bentuk laporan aktivitas dan laporan arus kas); 3. mengetahui kontinuitas pemberian jasa (disajikan dalam bentuk laporan posisi keuangan); 4. mengetahui perubahan aktiva bersih (disajikan dalam bentuk laporan aktivitas). Sehingga, laporan keuangan rumah sakit pemerintah daerah mencakup sebagai berikut: 1. Laporan posisi keuangan (aktiva, utang dan aktiva bersih, tidak disebut neraca). Klasifikasi aktiva dan kewajiban sesuai dengan perusahaan pada umumnya. Sedangkan aktiva bersih diklasifikasikan aktiva bersih tidak terikat, terikat kontemporer dan terikat permanen. Yang dimaksud pembatasan permanen adalah pembatasan penggunaan sumber daya yang ditetapkan oleh penyumbang. Sedangkan pembatasan temporer adalah pembatasan penggunaan sumber daya oleh penyumbang yang menetapkan agar sumber daya tersebut dipertahankan sampai pada periode tertentu atau sampai dengan terpenuhinya keadaan tertentu; 2. Laporan aktivitas (yaitu penghasilan, beban dan kerugian dan perubahan dalan aktiva bersih); 3. Laporan arus kas yang mencakup arus kas dari aktivitas operasi, aktivitas investasi dan aktivitas pendanaan; 4. Catatan atas laporan keuangan, antara lain sifat dan jumlah pembatasan permanen atau temporer. dan perubahan klasifikasi aktiva bersih. Dalam hal konsolidasi laporan keuangan rumah sakit pemerintah daerah dengan laporan keuangan kementerian negara/lembaga, maupun laporan keuangan pemerintah daerah, maka rumah sakit pemerintah daerah sebagai BLU/BLUD mengembangkan sub sistem akuntansi keuangan yang menghasilkan Laporan Keuangan sesuai dengan SAP (Pasal 6 ayat (4) PMK No. 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum). Berdasarkan PMK No. 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi

Dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum dan sesuai pula dengan Pasal 27 PP No. 23 tahun 2005, maka rumah sakit pemerintah daerah dalam rangka pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan dan kegiatan pelayanannya, menyusun dan menyajikan: 1. Laporan Keuangan; dan 2. Laporan Kinerja. Laporan Keuangan tersebut paling sedikit terdiri dari: 1. Laporan Realisasi Anggaran dan/atau Laporan Operasional; 2. Neraca; 3. Laporan Arus Kas; dan 4. Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan Keuangan rumah sakit pemerintah daerah tersebut sebelum disampaikan kepada entitas pelaporan direviu oleh satuan pemeriksaan intern, namun dalam hal tidak terdapat satuan pemeriksaan intern, reviu dilakukan oleh aparat pengawasan intern kementerian negara/lembaga. Reviu ini Sie Infokum Ditama Binbangkum 9 dilaksanakan secara bersamaan dengan pelaksanaan anggaran da penyusunan n Laporan Keuangan BLU. Sedangkan Laporan Keuangan tahunan BLU diaudit oleh auditor eksternal. IV. Penutup 1. Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas (Pasal 1 angka 23 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Pasal 1 angka 1 PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum); 2. Peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur BLU/BLUD, antara lain yaitu: a. Pasal 1 angka 23, Pasal 68 dan Pasal 69 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; b. PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum; c. PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal; d. Peraturan Menteri Keuangan No. 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum;dan e. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. 3. Yang dapat dikategorikan sebagai BLU menurut jenisnya terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu: a. BLU yang kegiatannya menyediakan barang atau jasa meliputi rumah sakit, lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain; b. BLU yang kegiatannya mengelola wilayah atau kawasan meliputi otorita pengembangan wilayah dan kawasan ekonomi terpadu (Kapet); dan c. BLU yang kegiatannya mengelola dana khusus meliputi pengelola dana bergulir, dana UKM, penerusan pinjaman dan tabungan pegawai. 4. Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota. Dalam hal rumah sakit pemerintah di daerah (RSUD) maka standar pelayanan minimal ditetapkan oleh kepala daerah dengan peraturan kepala daerah. Selain itu Rumah Sakit Pemerintah Daerah dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas jasa layanan yang diberikan. Imbalan atas jasa layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Tarif layanan diusulkan oleh rumah sakit kepada menteri keuangan/menteri kesehatan/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya, dan kemudian ditetapkan oleh menteri keuangan/kepala daerah dengan peraturan menteri keuangan/peraturan kepala daerah.

Sie Infokum Ditama Binbangkum 10 Dengan terbitnya PP No. 23 Tahun 2005, rumah sakit pemerintah daerah mengalami perubahan menjadi BLU. Perubahan ini berimbas pada pertanggungjawaban keuangan tidak lagi kepada Departemen Kesehatan tetapi kepada Departemen Keuangan, sehingga harus mengikuti standar akuntansi keuangan yang pengelolaannya mengacu pada prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi dan efisiensi. Anggaran yang akan disusun pun harus berbasis kinerja sesuai dengan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002. Laporan Keuangan rumah sakit pemerintah daerah tersebut sebelum disampaikan kepada entitas pelaporan direviu oleh satuan pemeriksaan intern, namun dalam hal tidak terdapat satuan pemeriksaan intern, reviu dilakukan oleh aparat pengawasan intern kementerian negara/lembaga. Reviu ini dilaksanakan secara bersamaan dengan pelaksanaan anggaran dan penyusunan Laporan Keuangan BLU. Sedangkan Laporan Keuangan tahunan BLU diaudit oleh auditor eksternal yaitu BPK.

Referensi : 1. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 2. PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum; 3. PP No. 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan; 4. PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal; 5. Peraturan Menteri Keuangan No. 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum; 6. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah; 7. A.M. Vianey Norpatiwi, Aspek Value Added Rumah Sakit Sebagai Badan Layanan Umum; 8. Joko Supriyanto dan Suparjo, Badan Layanan Umum : Sebuah Pola Pemikiran Baru atas Unit Pelayanan Masyarakat, disarikan dari Acara Workshop Penyusunan RPP tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU). http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/RSUD_BLU.pdfhttp://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/RSUD_BLU.pdf

PP 4/1965, PENYERAHAN/PENYELENGGARAAN RUMAH SAKIT UMUM "DR. SOETOMO" DI SURABAYA KEPADA PEMERINTAH DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:4 TAHUN 1965 (4/1965) Tanggal:27 JANUARI 1965 (JAKARTA) Kembali ke Daftar Isi Tentang:PENYERAHAN/PENYELENGGARAAN RUMAH SAKIT UMUM "DR. SOETOMO" DI SURABAYA KEPADA PEMERINTAH DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR TINGKAT I JAWA TIMUR. PENYERAHAN/PENYELENGGARAAN. Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a.bahwa memandang perlu Rumah Sakit "Dr. Soetomo" di Surabaya diserahkan kepada/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur, sejalan dengan keputusan Konperensi Presidium Kabinet Kerja dengan semua Catur Tunggal Tingkat I seluruh Indonesia di Jakarta pada tanggal 11 s/d 16 Maret 1964; b.bahwa ketentuan mengenai penyelenggaraan Rumah Sakit "Dr. Soetomo" di Surabaya tersebut, yang menurut pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 49 tahun 1952 (Lembaran- Negara tahun 1952 No. 80), ditugaskan kepada Kementerian Kesehatan, perlu diselaraskan dengan keputusan Konperensi tersebut; c.bahwa untuk pembiayaan Rumah Sakit Umum "Dr. Soetomo" tersebut Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur melakukan pengerahan dan pengumpulan (alamulasi) dana dan daya (funds and forces), yang menurut keputusan Konp erensi tersebut di-jalankan untuk kepentingan kerja pembangunan Daerah; Mengingat: 1.Pasal 5 ayat 2 Undang-undang Dasar;

2.Pasal 2 ayat (3) dan pasal 10 Peraturan Pemerintah no. 49 tahun 1952 (Lembaran-Negara tahun 1952 No. 80); Mendengar: Menteri Koordiantor Kompartimen Kesejahteraan dan Menteri Kesehatan; Memutuskan: Menetapkan : Peraturan Pemerintah tentang penyerahan/penyelenggaraan Rumah Sakit Umum "Dr. Soetomo" di Surabaya kepada Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur. Pasal 1.

Rumah Sakit Umum "Dr. Soetomo" di Surabaya sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 49 tahun 1952 (Lembaran-Negara tahun 1952 No. 80) penyelenggaraannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur. *16620 Pa 2. sal Penyelenggaraan yang dimaksudkan dalam pasal 1 Peraturan Pemerintah ini meliputi : a.pelaksanaan funksi dan tugas pekerjaan Rumah Sakit Umum "Dr. Soetomo" di bidang pemeriksaan, pengobatan dan perawatan; b.penyelenggaraan administrasi, pendidikan, pemeliharaan gedung-gedung alat-alat rumah tangga, alat-alat kedokteran dan lain-lain sebagainya. Pasal 3. Para pegawai sekarang tetap memiliki status sebagai pegawai Pemerintah Pusat, dipekerjakan pada Rumah Sakit Umum "Dr. Soetomo". Pasal 4. Pemeliharaan pegawai (perumahan, pengangkutan, distribusi dan sebagainya) menjadi tanggungan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur. Pasal 5. Departemen Kesehatan memberikan bantuan dalam hal keperluan akan obat obat dan alat-alat kesehatan menurut ketentuan-ketentuan tertentu. Pasal 6. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1965. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Januari 1965. Presiden Republik Indonesia, SUKARNO. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Januari 1965. Sekretaris Negara, MOHD. ICHSAN. -------------------------------CATATAN

Borneo Tribune, Ketapang Masih kurangnya fasilitas yang dimiliki RSUD AgoesDjam Ketapang hendaknya jangan dijadikan alasan untuk tidak memberikan pelayanan yang maksimal kepada pasien. Namun sebagai satu - satunya RS milik pemerintah yang tedapat di Kabupaten Ketapang ini RS harus berkewajiban memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara prima dan profesionalisme. Demikian dikatakan Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana (PKBI) Ketapang Ny Hj Hartati, Senin kemarin. Diakui memang fasilitasi gedung khususnya masih minim namun, tentu harus ada upaya bertahap yang harus dilakukan Pemkab untuk pembangunannya. Ia sendiri mengakui, sejak satu tahun terakhir ini pelayanan di RS kebanggaan Ketapang ini sudah terlihat baik, hal itu kata dia terlihat dari sisi pelayanan dan penataan ruang yang sudah terlihat familiar. Untuk itu, ia memberikan apresiasi kepada pengelola RS banyak melakukan pembenahan dan penataan ruangan dengan harapan pasien yang berobat kesini akan merasa nyaman dan terobati, pembenahan dan penataan ruangan ini tentunya diiringi terutama peningkatan profesionalisme dalam pekerjaan dan meningkatkan mutu pelayanan. Ia juga menambahkan ke depan harus ada penataan area menyediakan tempat untuk peristirahatan yang nyaman dan sejuk segar bagi pasien maupun keluarga pasien sehingga nantinya sebuah RS tidak hanya memberikan pengobatan secara medis saja akan tetapi juga

dapat memberikan pengobatan hati disamping tidak melupakan budaya keramah-tamahan dalam pelayanan kami kepada pasien. Sementara itu, Kepala Seksi Pariwisata Abdul Manan, A.Md mengatakan bahwa kendati tidak secara langsung namun keberadaan rumah sakit memiliki kaitan dengan pariwisata karena sama sama pemberi jasa dalam bidang pelayanan hanya saja bedanya rumah sakit dalam bidang jasa pelayanan kesehatan sedangkan pariwisata dalam bidang jasa pelayanan umum, namun pada prinsipnya sama yaitu membuat atau menciptakan rasa atau suasana nyaman dan betah bagi konsumen. Bahkan kata dia, di negara maju RS dapat dijadikan tempat wisata bagi pasien. Pembangunan di Pedalaman Ketapang lamban, itu betul. Demikian dikatakan anggota DPRD Provinsi Dapil Ketapang dari Partai Golkar, Anastasius Bantang, ketika ditemui di rumahnya di Pontianak (5/1). Menurut Anastasius, pembangunan infrastruktur jalan tanah di pedalaman Ketapang sebenarnya sudah tidak layak. Indonesia sudah merdeka 63 tahun, namun jalan di pedalaman Ketapang belum diaspal, hal ini yang membuat tidak masuk akal. Dengan adanya APBD 2009 diharapkan semua jalan di Kabupaten Ketapang supaya diaspal, agar memudahkan transportasi dan memperlancar arus perekonomian masyarakat pedalaman. Seperti contoh, jalan Tumbang Titi-Ketapang. Kalau kita membawa orang sakit yang sudah koma bisa game di jalan, ujarnya. Dia berharap tahun 2009 ini APBD yang untuk pos pembagunan infrastruktur agar digunakan untuk pembenahan jalan seperti poros Ketapng-Tumbang Titi, Siduk-Sungai kelik, Sungai Gantang Teluk Batu. Anastasius meminta jangan sampai gambut serta krisis global dijadikan alasan tersendatnya pembangunan jalan, seperti pada jalan poros Pelang-Tumbang Titi. Anastasius berharap agar pembangunan di Ketapang berpihak juga pada masyarakat pedalaman, seperti pembanguna gedung sekolah yang sudah sepantasnya direhab jangan dibiarkan sampai roboh, rumah sekolah, rumah guru dan kesejahteraannya di pedalaman juga diperhatikan. Di Ketapang kota gedung dan tugu indah dan besar-besar, sementara keadaan di desa pedalaman memprihatinkan. Sehingga perlu perhatian serius. TIPs dan trik peayanan prima RS (*Disampaikan pada:In-House Training Pelayanan Sepenuh Hati di RS PKU Muhammadiyah Sruweng, 2 Desember 2006 Unsur dlm Pelayanan Prima R Efektif R Efisien R Aman R Nyaman R Memuaskan

Manfaat Pelayanan Prima bagi RS R Mencerminkan produktivitas RS R Balancad Score-Card tinggi, dari aspek: R financial measurement R marketing perspective R production & operational perspective R human resource perspective R Jalan Menuju RS Barokah Bagaimana Mewujudkannya? R bicara fokus pada pelanggan maka konteks seharusnya adalah pada pelanggan internal dan eksternal. R Tidak mungkin terjadi fokus pada pelanggan tanpa didahului oleh fokus pada karyawan. R Harus fokus pada peningkatan KINERJA KARYAWAN Kinerja Karyawan tergantung pada (Gibson): R Motivasi R Kemampuan R Lingkungan kerja Apa sebenarnya yg dibutuhkan karyawan (Maslow): R Physiological Needs (Kebutuhan fisiologis/dasar/pokok) R Safety Needs (kebutuhan akan rasa aman). R Social/Affiliation Needs (kebutuhan untuk bersosialisasi) R Esteem Needs (kebutuhan harga diri). R Self-actualization Needs (kebutuhan aktualisasi diri). Ada apa dengan Kemampuan karyawan? R Pengetahuan (Pendidikan, pelatihan, informasi, pengalaman) R Kondisi Tubuh R Faktor Keluarga (demographical factors) R Faktor alamiah (geographical factors) Lingkungan kerja R Struktur tugas dan pola kerja R Kompleksitas pekerjaan R Pola kepemimpinan dan kerjasama R Ketersediaan alat sarana kerja R Imbalan (reward system) Tips Memotivasi Karyawan R Komunikasi Yang Terbuka: memberikan kepada pekerja keterangan yang mereka perlukan untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang baik R memberikan kesempatan umpan balik secara teratur R meminta masukan dari karyawan dan melibatkan mereka di dalam keputusan yang mempengaruhi pekerjaan mereka R Membuat saluran komunikasi yang mudah dipergunakan, sehingga karyawan dapat

menggunakannya untuk mengutarakan pertanyaan/kehawatiran mereka dan memperoleh jawaban. R Sambungan telepon langsung, kotak saran, forum-forum kelompok kecil, tanya jawab dengan pimpinan dan politik pintu terbuka R belajar dari para karyawan itu sendiri apa yang memotivasi mereka. R mempelajari apa saja kegiatan-kegiatan lain yang pekerja lakukan bila mereka mempunyai waktu luang, dan kemudian menciptakan kesempatan bagi mereka untuk melakukan kegiatan itu secara lebih teratur. R memberi selamat secara pribadi kepada karyawan yang melakukan pekerjaan dengan baik. R terus menerus memelihara hubungan dengan orang yang mereka bawahi R menulis Memo secara pribadi kepada mereka tentang hasil kinerja mereka. R menghargai karyawan karena pekerjaan mereka yang baik secara umum R meliputi pertemuan-pertemuan pembentukan moril seperti merayakan kesuksesan yang dicapai kelompok R memberi karyawan satu pekerjaan yang baik untuk dikerjakan R apakah karyawan mempunyai sarana kerja yang terbaik. R Kenalilah kebutuhan-kebutuhan pribadi karyawan R Gagasan menggunakan kinerja sebagai dasar untuk promosi R menetapkan suatu kebijakan promosi dari dalam secara komprehensif. R menegaskan komitmen perusahaan terhadap perkaryaan jangka panjang R membantu berkembangnya rasa bermasyarakat R Gajilah karyawan secara bersaing berdasarkan apa yang mereka kerjakan R menawarkan pembagian keuntungan (profit sharing) kepada karyawan.

You might also like