You are on page 1of 65

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

PENINGKATAN KEKUATAN LELAH BESI COR KELABU DENGAN PENAMBAHAN KROMIUM DAN TEMBAGA
Agus Suprihanto1, Dwi Basuki Wibowo1, Djoeli Satrijo1, Rochim Suratman2 1 Jurusan Teknik Mesin UNDIP, agusm90@yahoo.com 2 Guru besar Teknik Mesin ITB ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan Cr dan Cu terhadap kekuatan lelah siklus rendah (low cycle fatigue/LCF) besi cor kelabu. Besi cor kelabu FC 20 dan tiga besi cor kelabu FC20 yang ditambah Cr (0,23%, 0,32% & 0,47% wt) dan Cu (0,67%-0,7%) diuji lelah pada mesin servo pulser MTS810. Dimensi spesimen uji dibuat dengan mesin CNC sesuai dengan standarASTM E466. Hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kekuatan lelah yang signifikan. Analisis data menggunakan metode Downing (1983) dan Fash (1982) menghasilkan strength coefficient (A) antara 2,336 2,896 dan fatigue strength exponent antara 0,251s/d 0,266 Kata kunci : besi cor kelabu, low cycle fatigue, metode Downing Pendahuluan Besi cor kelabu merupakan material teknik yang banyak digunakan pada saat ini. Dalam pemakaiannya material ini seringkali menerima beban yang berfluktuasi. Meskipun demikian sebagaimana dinyatakan oleh DeLaO et.al (2003) perilaku besi cor kelabu terhadap beban dinamis tidak banyak diteliti. Informasi yang terbatas tersebut menyebabkan -sebagaimana dikutip dari ASM Handbook (1990)- besi cor kelabu lazimnya tidak dikenakan beban dinamis, atau apabila ada maka besarnya beban yang bekerja tidak boleh lebih dari 25% kekuatan tariknya. Keberadaan grafit pada besi cor kelabu menyebabkan material ini tidak memiliki daerah elastis yang linier. Grafit juga menyebabkan terdapatnya bagian yang mengalami plastis meskipun besi cor tersebut dibebani oleh gaya yang rendah. Hal ini disebabkan karena pada ujungujung grafit terjadi tegangan yang sangat besar sebagai akibat adanya konsentrasi tegangan. Kenyataan ini sangat menyulitkan untuk menentukan seberapa besar regangan elastis dan plastisnya. Hal ini menyebabkan kurva tegangan-regangan untuk besi cor kelabu ini tidak dapat didekati dengan persamaan RambergOsgood. Persamaan ini menyatakan bahwa regangan total pada kurva regangantegangan dapat dinyatakan sebagai : (1) t=
e

= /E +( /K)1/n

Dalam persamaan tersebut t, e, dan p menyatakan besarnya regangan total, elastis dan plastis. Besarnya regangan elastis dapat dinyatakan sebagai /E 1

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

dimana menyatakan besarnya tegangan pada daerah elastis dari kurva tarik dan E adalah modulus elastisitas bahan. Regangan plastis dapat dinyatakan sebagai ( /K)1/n, dimana menyatakan tegangan, K adalah koefisien kekuatan dan n adalah koefisien pengerasan regangan. Menyadari bahwa besi cor kelabu memiliki karakteristik yang unik, Downing (1983) mengajukan usulan metode baru untuk material ini. Untuk menggambarkan kurva regangan tegangannya, Downing memodifikasi persamaan RambergOsgood menjadi berikut : t= (2)
S

(3)

= K ( R)n

= /(Eo + m ) + ( /K)1/n

Pada persamaan ini regangan total terdiri dari secant strain ( S) yang merupakan regangan elastis dan regangan plastis dan remaining plastic strain ( R). Eo pada persamaan tersebut adalah secant modulus mula-mula dan m adalah kemiringan kurva secant modulus vs tegangan pada bagian linier pada kurva alir dari rendah sampai menengah. Dengan demikian harga secant strain diperoleh dengan membagi tegangan dengan secant modulus pada tegangan tersebut. Pada regangan plastis yang tinggi, harga secant modulus menjadi sangat rendah. Apabila hal ini terjadi maka besarnya harga secant modulus dapat diabaikan dari perhitungan. Estimasi bentuk kurva pada daerah plastis tinggi ini merupakan konstribusi dari remaining plastic strain ( R). Downing selanjutnya menganalogikan hal tersebut ke dalam persamaan Romberg-Osgood sehingga persamaannya berbentuk :

Dengan demikian respon besi cor kelabu terhadap beban monotonik dinyatakan dengan 4 parameter (Eo, m, K dan n). Harga Eo dan m diperoleh dari regresi linier terhadap kurva secant modulus vs tegangan. Kedua harga ini selanjutnya digunakan untuk menghitung S. Harga R dapat diperoleh dengan mengurangkan regangan total t dengan S. Dengan telah diketahuinya harga R, maka harga K dan n dapat dihitung. Menyadari bahwa pada besi cor kelabu sifat tarik dan tekannya berbeda, Downing menguraikan hal yang sama untuk pembebanan tekannya. Dengan demikian untuk menggambarkan respon material besi cor terhadap beban tarik dan tekan dibutuhkan 7 parameter (Eo, mT, KT, nT, mC, KC dan nC). Dimana subscript T dan C menunjukkan tarik dan tekan. Eksperimen akhir yang dilakukan ditujukan untuk mengetahui respon cyclic stress-strain yang merupakan suatu fungsi yang tergantung pada harga unloading modulus (EU) pada penerapan tegangan yang maksimum. Gilbert dan Kemp (1980) menunjukkan bahwa unloading modulus merupakan fungsi yang menurun secara linier dari tegangan maksimum yang mana unloading mulai terjadi. Downing melakukan regresi terhadap kurva unloading modulus vs tegangan maksimum sebagaimana dinyatakan pada persamaan berikut : EU = Eo + mU
max

(4)

Dimana mU dapat diperoleh dari pemberian pembebanan secara bertahap (incremental loading test) Untuk mengestimasikan

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

kurva cyclic stress strain, downing menggunakan 8 parameter di atas untuk memodelkan pengaruh tiap-tiap faktor yang mengontrol respon teganganregangan pada besi cor akibat pembebanan siklus. Pada akhirnya analisis kelelahan dengan metode yang diusulkan Downing didasarkan pada penggunaan parameter Smith-Watson-Topper (SWT). Fash (1982) menunjukkan hubungan linier logaritmik antara parameter SWT dengan umur untuk besi cor kelabu. Hubungan tersebut secara sederhana dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut : (5) SWT =
max

Hanya dua parameter yang dibutuhkan untuk mengestimasikan umur kelelahan untuk besi cor. Penggunaan hubungan yang diusulkan oleh Fash (1982) ini menghindari problem klasik penentuan besarnya regangan elastis dan plastis pada besi cor. Dimana tahapan ini merupakan pokok dari analisis data pengujian lelah dengan metode strain based. Lebih lanjut parameter SWT juga menyediakan suatu mekanisme yang siap digunakan untuk menganalisis pengaruh tegangan rata-rata pada analisis kelelahan. Metode Penelitian Untuk mengetahui pengaruh unsur Cr dan Cu terhadap kekuatan besi cor kelabu FC20, maka pada komposisi material dasar ditambah Cr dan Cu sampai persentase tertentu. Penambahan Cr direncanakan mulai dari 0,1% sampai 0,5% dan penambahan Cu direncanakan sebesar 0,6% sampai 0,7% saja. Tahap-tahap penelitian digambarkan dalam gambar 1 sebagai berikut.
Pengecoran Test Bar Pembuatan Spesimen Uji

* t/2 = A (Nf)b

dimana A : koefisien umur kelelahan b : eksponen umur kelelahan

Perhitungan Komposisi Test Bar

Pembuatan Pola Test Bar

Pengolahan Data Pengujian

Analisis Data & Kesimpulan Gambar 1. Diagram tahapan penelitian

Pengujian Strain Based Low Cycle Fatigue

1. Pembuatan test bar Kegiatan ini meliputi penentuan dimensi test bar, disain pola & cetakan, pengaturan komposisi kimia, peleburan, penuangan dan pembongkaran cetakan. Pada kegiatan ini dibuat pula spesimen chill yang akan digunakan untuk pengujian komposisi kimia besi cor yang dihasilkan. Pola dibuat dari kayu, cetakan yang

digunakan adalah cetakan pasir dan proses peleburan dilakukan dengan menggunakkan tanur kupola asam. Dimensi test bar yang akan digunakan adalah berdiameter 30mm dengan panjang 600mm. Dari dimensi test bar yang telah ditetapkan tersebut, kemudian dibuat pola cetakan yang terbuat dari kayu yang direncanakan terdapat 2 test bar untuk tiap 3

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

cetakan. Pola ini berupa silinder dengan diameter bagian bawah 31mm dan bagian atas 33mm serta panjang 600mm. Pola yang direncanakan mempunyai kup dan drag dengan bidang pisah tepat setengah diameternya. Peletakan cetakan ini direncanakan dengan kemiringan 30o dari vertikal. Setelah pola selesai dikerjakan, langkah selanjutnya adalah membuat cetakan. Cetakan yang digunakan adalah cetakan pasir. Cetakan ini diletakkan pada permukaan tanah. Pasir yang digunakan adalah pasir kwarsa ukuran 60 dan dengan ditambah bentonit 1-2%, air 5% dan seacoal/grafit. Setelah pembuatan cetakan selesai dilakukan, langkah selanjutnya adalah melakukan peleburan bahan baku. Material dasar yang digunakan adalah pig iron, skrap baja, besi hancuran, foundry return, FeSi75, FeMn. Pig iron yang digunakan adalah pig iron dengan komposisi Mn0.17, Si-1.74, S-0.0057, P-0.042. Skrap baja yang digunakan memiliki komposisi C-0.7, Si-0.2, Mn-0.4, P-0.03, S-0.03. Besi hancuran adalah material bekas yang sebagian besar berasal dari mesin-mesin tekstil. Foundry return adalah material yang berasal dari sisa-sisa proses pengecoran yang sebagian besar adalah FC15 - FC20 (besi cor dengan kekuatan 15-20 kg/mm2). FeSi75 memiliki komposisi Si-79.76, C-0.077, S-0.0029, Al-1.12. FeMn yang digunakan memiliki komposisi C-6.70, Si-0.71, Mn-75.50, P0.30, S-0.20. Untuk memperbaiki distribusi grafit digunakan inokulan yang ditambahkan ke logam cair pada saat logam cair berada di ladel. Sedangkan untuk meningkatkan kekuatan dilakukan penambahan krom (Cr) dan tembaga (Cu). Krom yang ditambahkan adalah ferrocrhome low carbon dengan komposisi 4

Si-0.77, C-0.1, S-.008, P-0.04, Cr-69.22. Sedangkan tembaga yang ditambahkan adalah tembaga yang terdapat dalam kabel listrik, dengan menggunakan anggapan Cu-90%. Dengan bahan baku yang telah diketahui tersebut, langkah berikutnya adalah menyusun rencana pengaturan komposisi kimia. Sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, penambahan kromium dilakukan antara 0,3 s/d 0,5% dan tembaga sebesar 0,6 s/d 0,7%. Pengaturan dilakukan dengan menambahkan ferrochrome low carbon dan tembaga dengan berat tertentu kedalam 50kg material dasar. Material dasar yang digunakan ini adalah besi cor kelabu yang tanpa dipadu dengan kromium dan tembaga. Untuk mengetahui pengaruh unsur paduan, maka dibuat 4 modifikasi komposisi paduannya. Penambahan unsur paduan dilakukan pada saat dalam ladle. Untuk keperluan ini maka ferrochrome LC dan kawat tembaga dihaluskan terlebih dahulu. Penghalusan untuk ferrochrome LC ini dilakukan dengan menumbuk bongkahan ferrochrome LC menjadi butiran-butiran halus berdiameter kurang dari 1mm. Sedangkan untuk kawat tembaga dipotongpotong dengan ukuran dibawah 0,5cm. Langkah ini perlu dilakukan karena temperatur lebur paduan yang akan ditambahkan sangat tinggi. Pengalaman dari penelitian sebelumnya menunjukkan apabila masih terdapat butiran yang berukuran besar, tidak akan larut dalam logam cair. Untuk mengetahui apakah komposisi kimia yang telah direncanakan telah terpenuhi maka akan dilakukan pengujian komposisi kimia. Guna keperluan ini, maka perlu disiapkan suatu cetakan chill yaitu terbuat dari baja berbentuk segiempat berdimensi 2x2 cm.

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

Setelah semua alat dan bahan untuk pengecoran test bar dipersiapkan, langkah selanjutnya adalah pengecoran. Langkah ini diawali dengan meleburkan bahan baku yang digunakan untuk material dasar dengan tanur kupola asam. Logam yang telah cair dan keluar dari penampungannya pada kupola kemudian ditampung dalam sebuah ladel berkapasitas 60kg. Temperatur logam cair pada saat tersebut diharapkan diatas 1200oC. Penambahan unsur paduan dilakukan pada saat ladle terisi sepertiganya. Tujuan dari upaya ini adalah agar diperoleh efek pengadukan akibat adanya aliran logam cair dalam ladle.
Logam cair dalam ladle kapasitas 60kg kemudian dipindahkan ke dalam ladle berkapasitas 20kg untuk mempermudah penuangan dan memperoleh efek pengadukan lebih lanjut. Setelah semua cetakan telah diisi seluruhnya dan telah dingin, kemudian dibongkar dan ditandai. Penandaan ini menggunakan penomoran yaitu nomor 1 untuk base material, nomor 2 untuk

campuran I dst. Test bar dipisahkan dengan logam yang berada pada saluran masuk. Pasir dibersihkan dari permukaan dengan cara digosok dengan kawat baja. Apabila masih terdapat pasir pada permukaan, maka akan digunakan gerinda. Penyiapan Spesimen Uji Untuk kepentingan pengujian diperlukan penyiapan spesimen uji. Adapun spesimen uji yang disiapkan adalah spesimen uji komposisi kimia, uji tarik dan uji lelah. Spesimen uji komposisi kimia dibuat dari sisa logam cair yang digunakan untuk penuangan di cetakan dituang dalam cetakan baja berbentuk segiempat dengan ukuran 2cm x 2cm. Dengan dicetak pada cetakan baja ini maka akan terbentuk coran chill. Spesimen uji tarik dibuat berdasarkan standar ASTM E8 dengan diameter nominal 6,25mm. Untuk spesimen uji lelah dipilih tipe uniform gage dengan diameter 8mm sesuai dengan standar ASTM E466 seperti ditunjukkan pada gambar 2. Guna menghindari pengaruh proses pemesinan terhadap sifat mekanis bahan, maka pembuatan spesimen menggunakan mesin CNC.

64 mm 8 mm 10 mm 16 mm 100 mm Gambar 2. Bentuk dan dimensi spesimen uji lelah

Pengujian

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

Pengujian-pengujian yang dilakukan meliputi pengujian komposisi kimia dan pengujian lelah strain-based. Pengujian komposisi kimia menggunakan spektrometri. Pengujian tarik dilakukan dengan mengatur kecepatan cross head 0,5mm/menit. Kecepatan penarikan yang rendah ini dimaksudkan untuk memperoleh data gaya tarik vs perpanjangan yang banyak. Data ini selanjutnya digunakan untuk menentukan besarnya beban pada pengujian lelah. Pengujian lelah menggunakan servopulser MTS 810. Penentuan pembebanan pada saat pengujian lelah didasarkan pada 2 metode. Metode pertama adalah dengan memberikan pembebanan pada spesimen uji yang secara khusus dipersiapkan untuk uji coba. Pembebanan yang diterapkan diharapkan dapat memberikan rentang data
% Unsur Fe C Si Mn P S Cr Cu Base Material 92,97 3,46 2,33 0,348 0,135 0,181 0,061 0,116

<104 siklus. Metode ke dua adalah dengan memperhatikan besarnya regangan yang lazim dicapai oleh besi cor pada pengujian tarik yaitu kurang dari 2%. Dengan memperhatikan kedua hal tersebut, pembebanan amplitudo regangan yang akan diterapkan berkisar antara 0,2% s/d 1%. Hasil dan Pembahasan Tabel 1 menunjukkan hasil pengujian komposisi kimia yang dilakukan. Dari komposisi kimia tersebut dapat dihitung angka ekivalen karbon (CE) untuk masingmasing campuran berturut-turut adalah 4,28%, 4,42%, 4,49%, 4,60% dan 4,69%. Tabel 2 menunjukkan hasil pengujian tarik yang dilakukan. Dari tabel 1 dan 2 ini dapatlah diketahui apabila penambahan kromium dan tembaga mampu meningkatkan kekuatan tarik besi cor kelabu mencapai 20%.
Campuran II 91,06 3,54 2,70 0,422 0,176 0,165 0,324 0,647 Campuran III 90,97 3,67 2,84 0,456 0,232 0,161 0,468 0,775

Tabel 1. Hasil pengujian komposisi kimia Campuran I 92,03 3,53 2,50 0,403 0,163 0,172 0,231 0,549

No 1 2 3 4

Tabel 2. Hasil pengujian tarik Material Uji Pengujian ke (MPa) Base Material (BM) Campuran I (C1) Campuran II C2) Campuran III (C3) 1 177 222 240 235 2 214 242 231 223 3 184 212 214 236

Rata-rata 191 226 228 231

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

Tabel 3 s/d 6 menunjukkan data hasil pengujian lelah yang dilakukan. Data ini kemudian diolah untuk selanjutnya diplot

pada kurva log parameter SWT vs jumlah siklus. Kurva-kurva yang diperoleh disajikan pada gambar 3.

Tabel 3. Data pengujian untuk base metal SWT Paramter Maximum Initial Specimen Diameter Maximum Strain ( max* a) Cycles (Nf) ID (mm) Amplitude ( /2) Stress ( max) [MPa] [MPa] 8.00 0.150% 107.48 0.161 16,440 1.3a 8.00 0.150% 103.50 0.155 16,550 1.4a 8.00 0.150% 91.56 0.137 13,700 3.3a 8.00 0.200% 141.32 0.283 5,457 1.3b 8.00 0.200% 141.32 0.283 7,055 3.3b 8.00 0.200% 137.34 0.275 11,425 4.2a 8.00 0.300% 147.29 0.442 1,640 1.4b 8.00 0.300% 143.31 0.430 2,520 1.6a 8.00 0.300% 149.28 0.448 1,470 3.3c 8.00 0.450% 155.25 0.699 148 1.3c 8.00 0.450% 163.22 0.734 150 1.6b 8.00 0.450% 161.23 0.726 120 1.6c 8.00 0.475% 163.22 0.775 40 1.3d 8.00 0.475% 169.19 0.804 35 1.4c 8.00 0.475% 165.21 0.785 32 4.2b 8.00 0.500% 195.06 0.975 15 1.6d 8.00 0.500% 201.04 1.005 20 4.2c 8.00 0.500% 203.03 1.015 10 4.2d Tabel 4. Data pengujian untuk campuran I SWT Paramter Maximum Strain Maximum Initial Specimen Diameter Amplitude ( max* a) Cycles (Nf) ID (mm) Stress ( max) [MPa] ( /2) [MPa]

2.2a 2.2b 4.5a 3.5a 4.5b 4.5c 3.5b 3.6a 4.5d 4.1 2.6a

8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00

0.1750% 0.1750% 0.1750% 0.2000% 0.2000% 0.2000% 0.2500% 0.2500% 0.2500% 0.3000% 0.3000%

133.36 123.41 129.38 141.32 139.33 143.31 149.28 145.30 149.28 149.28 151.27

0.233 0.216 0.226 0.283 0.279 0.287 0.373 0.363 0.373 0.448 0.454

10,420 10,820 11,210 4,212 6,830 3,765 3,488 3,785 3,862 1,752 1,859

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

3.6b 2.2c 2.6b 2.6c

8.00 8.00 8.00 8.00

0.3000% 0.4750% 0.4750% 0.4750%

151.27 171.18 163.22 165.21

0.454 0.813 0.775 0.785

2,288 85 102 65

Tabel 5. Data pengujian untuk campuran II SWT Paramter Maximum Initial Specimen Diameter Maximum Strain ( max* a) Cycles (Nf) ID (mm) Amplitude ( /2) Stress ( max) [MPa] [MPa]

2.2a 2.2c 2.3a 2.3b 2.4a 2.5b 2.1a 2.1a 2.1b 2.5a 2.7b 2.1c 2.6b 2.7c 2.1d

8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00

0.1750% 0.1750% 0.1750% 0.2000% 0.2000% 0.2000% 0.2500% 0.2500% 0.2500% 0.3000% 0.3000% 0.3000% 0.4750% 0.4750% 0.4750%

139.33 135.35 137.34 145.30 147.29 147.29 149.28 149.28 143.31 161.23 157.25 155.25 163.22 167.20 159.24

0.244 0.237 0.240 0.291 0.295 0.295 0.373 0.373 0.358 0.484 0.472 0.466 0.775 0.794 0.756

13,625 13,825 12,320 6,429 6,754 6,389 1,762 3,373 2,441 1,240 1,232 1,664 110 98 142

Tabel 6. Data pengujian untuk campuran III SWT Paramter Maximum Initial Specimen Diameter Maximum Strain ( max* a) Cycles (Nf) ID (mm) Amplitude ( /2) Stress ( max) [MPa] [MPa]

3.4a 3.4b 3.1a 3.3b 3.5b 3.2b 3.5a 3.1a 3.6c 3.3c 3.6a 8

8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00

0.1750% 0.1750% 0.1750% 0.2500% 0.2500% 0.2500% 0.3000% 0.3000% 0.3000% 0.4750% 0.4750%

133.36 133.36 135.35 147.29 149.28 149.28 157.25 155.25 151.27 167.20 167.20

0.233 0.233 0.237 0.368 0.373 0.373 0.472 0.466 0.454 0.794 0.794

10,244 14,210 12,243 1,852 1,652 1,465 942 1,360 1,187 126 137

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

3.7b

8.00

0.4750%

171.18

0.813

75

10,0000

BM C1 C2 C3

Parameter SWT (MPa)

1,0000

0,1000

James DeLa O dari Climax Research Services/CRS (2003) telah melakukan pengujian lelah strain based untuk berbagai grade material besi cor kelabu. Tabel 8 ini adalah data hasil pengujian pada penelitian hibah PEKERTI/PHP dan CRS. Dari tabel diatas terlihat bahwa harga koefisien umur kelelahan untuk besi cor berkisar antara 1,9 s/d 3,7 dan eksponen umur kelelahannya berkisar 0,232 s/d 0,378. Dari data yang disajikan pada tabel 8, terlihat tidak ditemukan hubungan yang erat antara kekuatan tarik dengan variabel A dan b.
Tabel 7. Parameter SWT Komposisi A b Base material 2,336 (MPa) -0,259 Campuran I 2,896 (MPa) -0,266 Campuran II 2,662 (MPa) -0,251 Campuran III 2,812 (MPa) -0,265 Tabel 8. Tabel kekuatan tarik, A dan b untuk besi cor kelabu Kekuatan A B Keterangan tarik (MPa) (MPa) 143 2,350 -0,370 CRS 165 1,280 -0,275 CRS 187 1,970 -0,265 CRS 191 2,336 -0,259 PHP 192 3,760 -0,378 CRS 226 2,896 -0,266 PHP 228 2,662 -0,251 PHP 231 2,812 -0,265 PHP 245 2,29 -0,254 CRS 279 2,870 -0,267 CRS 287 2,530 -0,232 CRS

0,0100 1 10

fa tig u e c y c le s (N f)

100

1000

10000

100000

Gambar 3. Kurva SWT vs Nf gabungan

Evaluasi pengaruh penambahan kromium dan tembaga terhadap perilaku lelah siklus rendah ini dapat diperoleh dengan membandingkan kurva-kurva yang terbentuk dalam satu grafik seperti ditunjukkan pada gambar 3. Garis-garis pada kurva tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk SWT = max* t/2 = A (Nf)b. Dari persamaan tersebut dapat diperoleh dimana koefisien umur kelelahan (A) dan eksponen umur kelelahan (b) seperti ditabelkan pada tabel 7. Dari gambar tersebut terlihat bahwa garis-garis kurva untuk campuran I, campuran II dan campuran III berhimpit dan kurva untuk base material berada paling bawah. Hal ini menunjukkan bahwa pada pengujian siklus rendah ketiga campuran tersebut memiliki kekuatan yang hampir sama dan lebih besar dari base material. Hasil yang sama diperoleh juga dari pengujian lelah siklus tinggi (Suprihanto dkk, 2004)

Kesimpulan dan Saran Dari hasil-hasil pengujian yang diperoleh dapat ditarik suatu kesimpulan 9

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

bahwa besi cor kelabu yang dipadu dengan kromium dan tembaga memiliki kekuatan tarik dan lelah yang lebih tinggi. Meskipun dari grafik SWT vs Nf yang dihasilkan terlihat bahwa garis-garis regresinya sejajar, tidak ditemukan hubungan antara kekuatan tarik dengan koefisien dan eksponen umur kelelahan.

Penghargaan Penelitian ini didanai dari Program Penelitian Hibah Pekerti DP3M DIKTI DEPDIKNAS 1/2 Tahun 2004 dengan kontrak No. : 064/P4T/DPPM/HPTP, PHP/III/2004 Tanggal 1 Maret 2004

DAFTAR PUSTAKA ASM, 1990, Properties and Selection Materials : Ferrous and Ferrous Alloy, ASM Handbook, Vol 1, edisi 10 C Guillemer-Neel, V Bobet, M Clavel, 1999, Cyclic Deformation Behavior and Bauschinger Effect in Ductile Cast Iron, Material Science & Engineering A, vol. A272, pp. 431-442 DeLaO, James D; Gundlacf, Richard B; Tartaglia, John M; 2003, Strain Life Fatigue Properties Database for Cast Iron, Climax Research Services-American Foundry Society (CRS-AFS) Downing, Sthepen Douglas, 1983, Modelling Cyclic Deformation and Fatigue Behavior of Cast Iron Under Uniaxial Loading, University Microfilms International, Ann Arbor, Fash, J W; Socie, DF; 1982, Fatigue Behavior and Mean Effects in Gray Cast Iron, International Journal of Fatigue, vol 4, no.3, pp. 137-142 Gilbert, GNJ; Kemp, SD; 1980, The Cyclic Stress/Strain Properties of a Flake Graphite Cast Iron A Progress Report, BCIRA Journal, vol. 28, no. 1384, pp. 284-296 Suprihanto, A; Harsokoesoemo, D; Suratman, Rochim; 2004, The Influences of Cr and Cu On the Fatigue Strength of Grey Cast Irons, Proceding International Conference On Fracture & Strength of Solids, Bali, Indonesia, part 2, pp. 947-952

CNC singkatan dari Computer Numerically Controlled, merupakan mesin perkakas yang dilengkapi dengan sistem mekanik dan kontrol berbasis komputer yang mampu membaca instruksi kode N, G, F, T, dan lain-lain, dimana kodekode tersebut

10

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

akan menginstruksikan ke mesin CNC agar bekerja sesuai dengan program benda kerja yang akan dibuat. Secara umum cara kerja mesin perkakas CNC tidak berbeda dengan mesin perkakas konvensional. Fungsi CNC dalam hal ini lebih banyak menggantikan pekerjaan operator dalam mesin perkakas konvensional. Misalnya pekerjaan setting tool atau mengatur gerakan pahat sampai pada posisi siap memotong, gerakan pemotongan dan gerakan kembali keposisi awal, dan lain-lain. Demikian pula dengan pengaturan kondisi pemotongan (kecepatan potong, kecepatan makan dan kedalaman pemotongan) serta fungsi pengaturan yang lain seperti penggantian pahat, pengubahan transmisi daya (jumlah putaran poros utama), dan arah putaran poros utama, pengekleman, pengaturan cairan pendingin dan sebagainya. Mesin perkakas CNC dilengkapi dengan berbagai alat potong yang dapat membuat benda kerja secara presisi dan dapat melakukan interpolasi yang diarahkan secara numerik (berdasarkan angka). Parameter sistem operasi CNC dapat diubah melalui program perangkat lunak (software load program) yang sesuai. Tingkat ketelitian

11

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

mesin CNC lebih akurat hingga ketelitian seperseribu millimeter, karena penggunaan ballscrew pada setiap poros transportiernya. Ballscrew bekerja seperti lager yang tidak memiliki kelonggaran/spelling namun dapat bergerak dengan lancar. Pada awalnya mesin CNC masih menggunakan memori berupa kertas berlubang sebagai media untuk mentransfer kode G dan M ke sistem kontrol. Setelah tahun 1950, ditemukan metode baru mentransfer data dengan menggunakan kabel RS232, floppy disks, dan terakhir oleh Komputer Jaringan Kabel (Computer Network Cables) bahkan bisa dikendalikan melalui internet. Akhir-akhir ini mesin-mesin CNC telah berkembang secara menakjubkan sehingga telah mengubah industri pabrik yang selama ini menggunakan tenaga manusia menjadi mesin-mesom otomatik. Dengan telah berkembangnya Mesin CNC, maka benda kerja yang rumit sekalipun dapat dibuat secara mudah dalam jumlah yang banyak. Selama ini pembuatan komponen/suku cadang suatu mesin yang presisi dengan mesin perkakas manual tidaklah mudah, meskipun dilakukan oleh seorang operator mesin perkakas yang mahir sekalipun. Penyelesaiannya memerlukan waktu 12

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

lama. Bila ada permintaan konsumen untuk membuat komponen dalam jumlah banyak dengan waktu singkat, dengan kualitas sama baiknya, tentu akan sulit dipenuhi bila menggunakan perkakas manual. Apalagi bila bentuk benda kerja yang dipesan lebih rumit, tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Secara ekonomis biaya produknya akan menjadi mahal, hingga sulit bersaing dengan harga di pasaran. Tuntutan konsumen yang menghendaki kualitas benda kerja yang presisi, berkualitas sama baiknya, dalam waktu singkat dan dalam jumlah yang banyak, akan lebih mudah dikerjakan dengan mesin perkakas CNC (Computer Numerlcally Controlled), yaitu mesin yang dapat bekerja melalui pemogramman yang dilakukan dan dikendalikan melalui komputer. Mesin CNC dapat bekerja secara otomatis atau semi otomatis setelah diprogram terlebih dahulu melalui komputer yang ada. Program yang dimaksud merupakan program membuat benda kerja yang telah direncanakan atau dirancang sebelumnya. Sebelum benda kerja tersebut dieksikusi atau dikerjakan oleh mesin CNC, sebaikanya program tersebut di cek berulang-ualang

13

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

agar program benar-benar telah sesuai dengan bentuk benda kerja yang diinginkan, serta benar-benar dapat dikerjakan oleh mesin CNC. Pengecekan tersebut dapat melalui layar monitor yang terdapat pada mesin atau bila tidak ada fasilitas cheking melalui monitor (seperti pada CNC TU EMCO 2A/3A) dapat pula melalui plotter yang dipasang pada tempat dudukan pahat/palsu frais. Setelah program benar-benar telah berjalan seperti rencana, baru kemudian dilaksanakan/dieksekusi oleh mesin CNC. Dari segi pemanfaatannya, mesin perkakas CNC dapat dibagi menjadi dua, antara lain: (a) mesin CNC Training unit (TU), yaitu mesin yang digunakan sarana pendidikan, dosen dan training. (b) mesin CNC produktion unit (PU), yaitu mesin CNC yang digunakan untuk membuat benda kerja/komponen yang dapat digunakan sebagai mana mestinya. Dari segi jenisnya, mesin perkakas CNC dapat dibagi menjadi tiga jenis, antara lain: (a) mesin CNC 2A yaitu mesin CNC 2 aksis, karena gerak pahatnya hanya pada arah dua sumbu koordinat (aksis) yaitu koordinat X, dan koordinat Z, atau dikenal dengan mesin bubut CNC, (b) mesin CNC 3A, yaitu mesin CNC 3 aksis atau mesin yang

14

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

memiliki gerakan sumbu utama kearah sumbu koordinat X, Y, dan Z, atau dikenal dengan mesin frsais CNC. (c) mesin CNC kombinasi, yaitu mesin CNC yang mampu mengerjakan pekerjaan bubut dan freis sekaligus, dapat pula dilengkapi dengan peralatan pengukuran sehingga dapat melakukan pengontrolan kualitas pembubutan/pengefraisan pada benda kerja yang dihasilkan. Pada umumnya mesin CNC yang sering dijumpai adalah mesin CNC 2A (bubut) dan mesin CNC 3A (frais).

2. DASAR-DASAR PEMOGRAMAN MESIN CNC Ada beberapa langkah yang harus dilakukan seorang programmer sebelum menggunakan mesin CNC, pertama mengenal beberapa sistem koordinat yang ada pada mesin CNC, yaitu: (a) sistem koodinat kartesius, yang terdiri dari koordinat mutlak (absolut) dan koordinat relatif (inkremental), dan (b) sistem koordinat kutub (koordinat polar), yang terdiri dari koordinat mutlak (absolut) dan koordinat relatif (inkremental). Selanjutnya menentukan system koordinat yang akan digunakan dalam pemograman. 15

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

Apakah program akan menggunakan sistem pemogramman metode absolut atau inkremental. Pada umumnya sistem koordinat yang sering digunakan antara lain sistem koordinat kartesius, yaitu koordinat mutlak (absolut) dan koordinat relatif/berantai (incremental). Langkah kedua adalah memahami prinsip gerakan sumbu utama dalam mesin CNC.

2.1 Pemrograman Absolut Pemrograman absolut adalah pemrogramman yang dalam menentukan titik koordinatnya selalu mengacu pada titik nol benda kerja. Kedudukan titik dalam benda kerja selalu berawal dari titik nol sebagai acuan pengukurannya. Sebagai titik referensi benda kerja letak titik nol sendiri ditentukan berdasarkan bentuk benda kerja dan keefektifan program yang akan dibuat. Penentuan titik nol mengacu pada titik nol benda kerja (TMB). Pada pemrogramman benda kerja yang rumit, melalui kode G tertentu titik nol benda kerja (TMB) bisa dipindah sesuai kebutuhan untuk memudahkan pemrogramman dan untuk menghindari kesalahan pengukuran.

16

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

Pemrogramman absolut dikenal juga dengan sistem pemrogramman mutlak, di mana pergerakan alat potong mengacu pada titik nol benda kerja. Kelebihan dari sistem ini bila terjadi kesalahan pemrogramman hanya berdampak pada titik yang bersangkutan, sehingga lebih mudah dalam melakukan koreksi. Berikut ini contoh pengukuran dengan menggunakan metode absolut. Y C AB Titik Koordinat Absolut (X , Y) ABC (1, 1) (5, 1 ) (3, 3 ) Gambar 3. Pengukuran dengan Metode Absolut

2.2 Pemrogramman Relatif (inkremental)

17

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

Pemrogramman inkremental adalah pemrogramman yang pengukuran lintasannya selalu mengacu pada titik akhir dari suatu lintasan. Titik akhir suatu lintasan merupakan titik awal untuk pengukuran lintasan berikutnya atau penentuan koordinatmya berdasarkan pada perubahan panjang pada sumbu X (.X) dan perubahan

X
6

panjang lintasan sumbu Y (.Y). Titik nol benda kerja mengacu pada titik nol sebagai titik referensi awal, letak titik nol benda kerja ditentukan berdasarkan bentuk benda kerja dan keefektifan program yang akan dibuatnya. Penentuan titik koordinat berikutnya mengacu pada titik akhir suatu lintasan. Sistem pemrogramman inkremental dikenal juga dengan sistem pemrogramman berantai atau relative koordinat. Penentuan pergerakan alat potong dari titik satu ke titik berikutnya mengacu pada titik pemberhentian terakhir alat potong. Penentuan titik setahap demi setahap. Kelemahan dari sistem pemrogramman ini, bila terjadi kesalahan dalam penentuan titik koordinat, penyimpangannya akan semakin besar. Berikut ini contoh dari pengukuran inkremental. 18

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

YC AB Titik Koordinat Inkremental (.X , .Y) ABC (1,1) (4,1) ( -2 , 2 ) Gambar 4. Pengukuran metode inkremental

2.3 Pemrogramman Polar Pemrogramman polar terdiri dari polar absolut mengacu pada panjang lintasan dan besarnya sudut (@ L, ) dan polar inkremental mengacu pada panjang lintasan dan besarnya perubahan sudut (@ L, . ).
X 7

YC AB

19

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

Polar Koordinat Absolut: (@ L , ) Polar Koordinat Inkremental (@ L , .) B (5, 0o) , C (2V2, 135 o ) A (2V2, 225 o ) B (5, 0o) , C (2V2, 135 o ) A (2V2, 270 o ) Gambar 5. Pengukuran metode inkremental.

3. Gerakan sumbu utama pada mesin CNC Dalam pemogrammman mesin CNC perlu diperhatikan bahwa dalam setiap pemograman menganut, prinsip bahwa sumbu utama (tempat pahat/pisau frais) yang bergerak ke berbagai sumbu, sedangkan meja tempat dudukan benda diam meskipun pada kenyataanya meja mesin frais yang nergerak. Programer tetap menganggap

20

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

bahwa alat potonglah yang bergerak. Sebagai contoh bila programer menghendaki pisau frais ke arah sumbu X positif, maka meja mesin frais akan bergerak ke sumbu X negatif, juga untuk gerakan alat pemotong lainnya. Gambar 6. Gerakan sumbu utama menganut kaidah tangan kanan
X 8

Selain menentukan sumbu simetri mesin, langkah berikutnya adalah memahami letak titik nol benda kerja (TNB), titik nol mesin (TNM), dan titik referens (TR). TNB merupakan titik nol di mana dari titik tersebut programmer mengacu untuk menentukan dimensi titik koordinatnya sendiri, baik secara absolute maupun inkremental. TNM merupakan titik nol mesin. Pada mesin CNC bubut TNM terletak di pangkal cekam (lihat Gambar 24) tempat cekam benda kerja diletakkan. Pada mesin CNC frais TNM berada pada pangkal dimana alat potong/pisau frais diletakkan (lihat Gambar 25). Titik Referens (TR) adalah suatu titik yang menyebutkan letak alat potong mula-mula diparkir atau diletakan. Titik referens ditempatkan agak jauh dari benda kerja, agar pada saat

21

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

pemasangan atau melepaskan benda kerja, tangan operator tidak mengenai alat potong yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja. Benda kerja aman untuk dipasang maupun dilepas dari ragum atau pencekam. (a) (b) Gambar 7. TNB, TNM, dan TR pada mesin CNC Bubut (a) dan Frais (b) Pembuatan program mesin CNC, seorang programmer harus memiliki kemampuan dasar pemograman, antara lain: (a) Pengalaman dalam membaca gambar TNB TNM TR TNM TNB TR
9

teknik, (b) berpengalaman dalam pengerjaan logam dengan menggunakan mesin perkakas konvensional. (c) mampu memilih alat potong/pahat perkakas secara tepat sesuai dengan peruntukannya, (d) dapat menentukan posisi benda kerja dalam sisitem

22

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

koordinat, (e) mempunyai dasar-dasar pengetahuan matematika terutama trigonometri.

4 Standarisasi Pemrogramman Mesin Perkakas CNC Pemakaian kode-kode pada mesin perkakas CNC dapat menggunakan standar pemrograman ynag berlaku antara lain: DIN (Deutsches Institut fur Normug) 66025, ANSI (American Nationale Standarts Institue), AEROS (Aeorospatiale Frankreich), ISO, dll. Sebagian besar dari standar, yang diinginkan memiliki persamaan dan sedikit saja perbedaannya. Berikut ini beberapa bagian kode pada mesin CNC EMCO antara lain kode G, kode M, kode F, kode S dan kode T yang mempunyai arti sebagai berikut.

4.1 Arti Kode M pada mesin CNC KODE ARTI M00 Mesin terhenti terprogram M03 Sumbu utama berputar searah dengan jarum jam; Kode ini biasanya

23

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

pada awal intruksi. Adanya kode ini menyebabkan sumbu utama mesin akan berputar searah jarum jam. Pada mesin bubut CNC cekam benda kerja akan berputar searah jarum jam, sedangkan pada mesin frais CNC yang berputar adalah tempat alat potong arbornya . Gambar 8. Alat potong berputar searah jarum jam M03 M04 Sumbu utama berputar berlawanan arah jarum jam
10

Gambar 8a. Arah putaran spindle berlawanan jarum jam (M04) M05 Sumbu utama berhenti terprogram M06 Penggantian alat potong dilakukan agar kualitas benda kerja meningkat. Bentuk benda kerja yang semakin kompleks akan cenderung menggunakan alat potong yang banyak, seperti pemakanan kasar, pengeboran, pembuatan alur, dan pemakanan finishing. Masing-masing jenis pemakanan memerlukan alat potong yang khusus, sebagai contoh alat potong untuk melakukan pemakanan kasar akan berbeda dengan alat potong yang digunakan untuk membuat ulir. M08 Cairan pendingin akan mengalirkan. Pada proses pengerjaan benda kerja, terjadi gesekan antara benda kerja dan alat potong. Alat potong dan benda kerja akan menjadi

24

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

panas. Bila tidak didinginkan maka alat potong akan cepat tumpul/ rusak. Oleh karena itu perlu didinginkan dengan cara memerintahklan mesin untuk mengalirkan cairan pendingin (coolant). Gambar 9. Cairan pendingin disemprotokan untuk mendinginkan alat potong dan benda kerja M09 Cairan pendingin berhenti mengalir M17 Sub program (unterprogram) berakhir M19 Sumbu utama posisi tepat M30 Program berakhir dan kembali pada program semula. M38 Berhenti tepat, aktif M39 Berhenti tepat, pasif M90 Pembatalan fungsi pencerminan
11

M91 Pencerminan sumbu X M92 Pencerminan sumbu Y M93 Pencerminan sumbu X dan Y M99 Penentuan parameter lingkaran I, J, K.

5. Arti Kode G pada mesin CNC

25

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

Intruksi pada mesin CNC menggunakan kode-kode pemrograman, misal kode G, kode M, kode P, dan sebagainya. Arti kode tiap mesin biasanya memiliki persamaan, namun arti kode pada merek yang berbeda dapat memiliki arti yang berbeda pula, sehingga programmer harus dapat menyesuaikan standarisasi kode yang digunakan pada mesin CNC yang akan digunakan. Sebagai contoh intruksi G 84 pada mesin CNC EMCO TU 2A berarti pembubutan memanjang, sedangkan pada mesin CNC PU 2A merek Gildmeister siklus pembubutan memanjang menggunakan kode G 81.

5.1 Arti Kode G 00 Kode G 00 merupakan intruksi untuk memerintahkan mesin CNC agar sumbu utama (pisau frais/pahat bubut) melakukan gerakan cepat tanpa melakukan pemakanan. Gerakan ini digunakan bila pahat/pisau frais tidak melakukan pemakanan pada benda kerja. Gerakan cepat digunakan bila alat potong berada bebas dari pemakanan benda kerja, alat potong kembali ke atas permukaan benda kerja, atau kembali ke titik referen. 26

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

Gerakan cepat dapat dilakukan bila posisi alat potong benar-benar tidak akan menabrak benda kerja atau peralatan lainnya. Kesalahan dalam penentuan koordinat dapat menyebabkan benturan antara alat potong dengan mesin atau benda kerja yang dapat menyebabkan kerusakan fatal pada alat potong maupun mesin (a) (b) Gambar 10. Gerakan cepat alat potong di atas benda kerja
12

Lintasan alat potong di atas akan bergerak cepat ke bawah di sebelah benda kerja tanpa pemakanan (Gambar 29 b), pemrograman inkrementalnya dapat ditulis:

5.2 Arti Kode G 01 Kode G 01 merupakan instruksi agar alat potong mesin CNC melakukan gerakan pemakanan lurus baik ke arah sumbu X, Y, maupun Z. Pada mesin CNC baik bubut maupun frais intruksi G 01 merupakan perintah agar alat potong bergerak lurus dari satu titik ke titik lainnya dengan kecepatan sesuai dengan feeding yang telah ditentukan.

27

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

(b) (b) Gambar 11. Pembubutan lurus (a) dan tirus (b) pada mesin bubut CNC (a) (b) Gambar 12. Pemakanan lurus pada mesin CNC frais Gerakan lurus dengan pemakanan digunakan untuk melakukan pengefraisan atau pembubutan lurus, termasuk tirus dan kedalaman pemakanan.
13

Lintasan alat potong bergerak dengan pemakanan lurus ke titik X =25 dan Y =18 (Gambar 31 b), pemrograman inkrementalnya dapat ditulis:

5.3 Arti Kode G 02 Kode G 02 merupakan intruksi agar alat potong mesin CNC melakukan gerakan interpolasi lingkaran searah jarum jam. Alat potong (pisau frais atau pahat bubut) akan membentuk lingkaran yang searah jarum jam. Sering dijumpai bentuk benda kerja yang berupa lengkungan yang memiliki radius tertentu. Seperti bentuk fillet pada ujungujung benda kerja atau bentuk lingkaran sebagian atau penuh pada benda kera. Gerakan

28

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

searah jarum jam atau berlawanan menggunakan asumsi bahwa alat potong berada di atas benda kerja, atau di belakang benda kerja. Jadi bila alat potong berada di depan benda kerja maka berlaku sebaliknya. G 02 X + .. Z - .. G 02 X - .. Z - .. Gambar 13. Arah pembubutan melingkar G 02 pada mesin CNC Bubut Gambar 14. Arah pemakanan melingkar G 02 pada mesin CNC Frais

G 02
14

Searah JJ

Lintasan alat potong mesin frais bergerak dengan pemakanan radius berlawanan dengan jarum jam ke titik X = Pz dan Y = Pz (Gambar 33). Pemrograman inkrementalnya bila menggunakan EMCO TU 2A dapat ditulis: N 100 = Nomor blok ke 100 G 02 = Gerak alat potong melingkar searah dengan jarum jam XPz = Tujuan lengkungan searah X yang dikehendaki (mm) YPz = Tujuan lengkungan searah Y yang dikehendaki (mm) ZPz = Tujuan lengkungan searah Z yang dikehendaki (mm) F = Feeding (kecepatan asutan dalam mm/menit) M99 = merupakan parameter gerak alat potong membentuk radius yang berpusat di titik M yang memiliki jarak dengan titik awal searah

29

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

sumbu X disebut I, searah dengan sumbu Y disebut J, dan searah dengan sumbu Z disebut K

5.4 Arti Kode G 03 Kode G 03 merupakan instruksi agar alat potong mesin CNC melakukan gerakan interpolasi lingkaran berlawanan arah dengan jarum jam. Gerakan ini akan selalu membentuk lingkaran yang berlawanan arah dengan jaraum jam. G 03 X + .. Z - .. G 03 X - .. Z - .. Gambar 15. Arah pembubutan melingkar G 03 pada mesin CNC bubut

G 03
15

berlawanan arah JJ

Gambar 16. Arah pemakanan melingkar G 03 pada mesin CNC Frais Lintasan alat potong mesin frais bergerak dengan pemakanan radius berlawanan dengan jarum jam ke titik X = Pz dan Y = Pz (Gambar 35). Pemrograman inkrementalnya bila menggunakan EMCO TU 2A dapat ditulis:

30

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

6. Parameter I, J, K Setiap gerakan alat potong yang membentuk lintasan radius, baik searah jarum jam (G02) maupun yang berlawanan arah dengan jarum jam (G03) harus dilengkapi parameteri I, J, K. Parameter I artinya jarak titik awal lintasan radius ke titik pusat lengkungan searah X, Parameter J artinya jarak titik awal lintasan radius ke titik pusat lingkaran searah Y, Parameter K artinya jarak titik awal lintasan radius ke titik pusat lingkaran searah Z. Parameter I, J, K bernilai absolute maupun inkremental. Nilai absolute selalu mengacu pada titik nol, sedangkan nilai inkremental mengacu pada perubahan X, dan perubahan Y (Gambar 17). Gambar 17. Nilai I, J, K inkremental J I
16

Gambar 18. Nilai I, J, K Absolute KODE - KODE ALARM A 00 Salah Perintah fungsi G atau M A 01 salah Perintah G 02 atai G 03 A 02 Nilai X Salah 31

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

A 03 Nilai F salah A 05 Kurang Perintah M 30

C. Rangkuman Computer Numerically Controlled, merupakan mesin perkakas yang dilengkapi dengan sistem kontrol berbasis komputer yang mampu membaca instruksi kode N dan G (G-kode) yang mengatur kerja sistem. Pemrograman mesin CNC hampir sama dengan pemrograman AutoCAD. Pemrograman mesin CNC meliputi pemrograman absolut, relatif dan polar. Langkah-langkah mengoperasikan mesin CNC dimulai dengan mempersiapkan program, pemasukan program, pengujian atau pemeriksaan program dan eksekusi program.

7. SIKLUS PEMROGRAMMAN Pengerjaan benda kerja dengan bentuk tertentu akan lebih cepat bila menggunakan siklus pemrogramman. Keuntungan yang diperoleh antara lain: tidak 32

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

memerlukan intruksi/blok kalimat yang panjang, lebih mudah, dan lebih cepat. Beberapa siklus pemrogramman yang ada pada tiap mesin CNC antara lain: siklus pengeboran, siklus pembuatan ulir, siklus kantong, siklus alur, dan lain-lain. Siklus pemrogramman merupakan pemrogramman membuat kontur atau pengeboran yang mengacu pada dimensi bentuk konturnya. Pola siklus pemrograman kontur untuk setiap mesin memiliki karakteristik yang berbeda. Di bawah ini beberapa contoh siklus pemrogramman dengan menggunakan mesin Frais CNC MAHO 432, CNC Bubut Gildmesiter dan CNC Training Unit (TU).

7.1 Siklus Pemrogramman Pembubutan Memanjang Alat potong (pisau frais/bubut) akan bergerak membentuk siklus pemakanan memanjang secara otomatis. Siklus pemakanan ini biasanya untuk melakukan pemakanan awal yang masih kasar sebelum alat potong bergerak melakukan finishing sesuai lintasannya. Pada mesin CNC EMCO TU 2A siklus pembubutan memanjang

33

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

menggunakan kode G 84, biasanya dilakukan untuk pemakanan kasar sehingga dapat memperpendek waktu pengerjaan dan proses finisihing akan lebih mudah.

7.1 Siklus pemrogramman G 84 pada mesin CNC EMCO

Gambar 19. Siklus pemakanan memanjang G 84


18

Lintasan alat potong mesin CNC bubut bergerak dengan siklus pemakanan memanjang dengan pengurangan diameter secara bertahap (Gambar 42). Pemrogramannya bila menggunakan EMCO TU 2A dapat ditulis: NGXZF 00 00 -500 01 00 0 -400 02 84 -100 -2100 100 03 84 -200 -2100 100 04 84 -300 -1600 100 05 84 -400 -1600 100 06 84 -500

34

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

07 00 500 08 00 0 400 09 22 Keterangan : N = nomor blok G 84 = Perintah siklus pembubutan memanjang X = Diameter yang akan dikehendaki (mm) Z = Gerak memanjang (m) F = Feeding (kecepatan asutan dalam mm/menit) H = Kedalaman tiap kali pemakanan

7.2 Siklus pemrogramman G 81 mesin CNC PU 2A Gildmeister Pada mesin CNC bubut Production Unit merek Gildmeister terdapat tiga jenis pembubutan memanjang. Pertama pada akhir siklus tanpa diakhiri proses finishing (Gambar 20 a), kedua pada akhir siklus dilanjutkan proses finishing (Gambar 20b), ketiga bentuk pembubutan memanjang dengan bentuk lurus dan tirus (Gambar 20c).
19

35

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

(a) (b) (c) Gambar 20. Siklus pemakanan memanjang G 81 mesin Gildmeister

7.3 Arti Kode G 88 G 88 merupakan perintah untuk membuat siklus pembubutan melintang pada mesin CNC TU 2A EMCO. Pada mesin CNC PU 2A merek Gildmesiter siklus pembubutan melintang intruksinya berupa G 36 G 82. Bila pemakanan dimulai dari titik nol benda kerja, maka siklus ini dapat digunakan untuk mengurangi panjang benda kerja, atau untuk menghasilkan permukaan melintang yang halus selanjutnya dapat menentukan titik nol benda kerja. Berbeda dengan perintah G 84, benda kerja akan mengalami pengurangan diameter sepanjang titik koordinat yang sudah ditentukan sebelumnya.
20

Gambar 21. Siklus pembubutan melintang G 36 G 82 Gambar 22. Siklus pembubutan melintang dengan finishing G 37 G 82

36

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

Bila proses pembubutan melintang dilanjutkan dengan proses finishing dengan menggunakan alat potong yang sama, maka siklus pemrogrammannya menggunakan G 37 G 82

7.4 Siklus Pembuatan Kantong


21

Gambar 23. Siklus pembuatan kantong Penulisan program siklus pembuatan kantong di atas dapat dituliskan : G87 X60 Y60 Z-10 B2 R8 (I70) (J-1) K5 F Z. M G87 = Siklus pembuatan kantong (mesin CNC MAHO 432) X60 = Panjang kantong Y60 = Lebar kantong Z-10 = Kedalaman kantong B2 = Mulai dikerjakan alat potong pada jarak 2 mm di BK K5 = Setiap siklus melakukan pemakanan se dalam 5 mm I70 = Lebar pemakanan alat potong 70% J-1 = Pisau frais berputar berlawanan arah jarum jam

37

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

7.5 Siklus Pembuatan kantong Lingkaran Gambar 24. Siklus kantong lingkaran Penulisan program siklus pembuatan kantong di atas dapat dituliskan: G89 Z-10 B2 R20 (I70) (J-1) K5 F Z. M G89 = Siklus pembuatan lingkaran (mesin CNC MAHO 432) Z-10 = Kedalaman kantong B2 = Mulai dikerjakan alat potong pada jarak 2 mm di BK K5 = Setiap silkus melakukan pemakanan se dalam 5 mm
22

I70 = Lebar pemakanan alat potong 70% J-1 = Pisau frais berputar berlawanan arah jarum jam

7.6 Siklus Pemrogramman Pengeboran Gambar 25. Siklus Pengeboran Penulisan program siklus pembuatan kantong di atas dapat dituliskan : G81 (X1.5) Y2 Z-15 B20 R20 F Z. M G81 = Siklus pengeboran (mesin Frais CNC MAHO 432) Z-15 = Kedalaman pengeboran 15 mm

38

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

Y2 = Jarak aman alat potong 2 mm di atas permukaan benda kerja B20 = Jarak aman alat potong 20 mm di atas BK (setelah slesai)

7.7. Siklus pembuatan ulir G33 Siklus pembuatan ulir akan membuat ulir sesuai dengan prosedur baku. Siklus pembuatan ulir dilakukan setelah diameter luar ulir terbentuk. Setelah itu menggunakan mesin CNC akan mengganti alat potong sesuai dengan Buku ajar ulir yang akan dikerjakan. Di bawah ini contoh siklus pembuatan ulir M 40 x 2 dengan puncak ulir P=2 mm, dan kedalaman ulir 1,3 mm, menggunakan mesin CNC bubut Production Unit.
23

Gambar 26. Siklus pembuatan ulir G 33 N G/M X,Y,Z,I,J,K Keterangan 01 90 S.M 03 Poros berputar searah JJ 02 G 00 X 46 Z 78 M 07 Cairan pendingin mengalir 03 G 00 X 38,7 04 G 33 Z 22 K 2 Tahap pertama penguliran 05 G 00 X 46

39

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

06 G 00 Z 78 07 G 00 X 37,4 08 G 33 Z 22 K 2 Tahap kedua penguliran 09 G 00 X 46 M 09 10 G 00 X 100 Z 150 11 M 30 Program berhenti

8. PERHITUNGA KECEPATAN 8.1 Kecepatan Potong (Vc) = ( x d x n) / 1000 (m/menit) d = Diameter Benda Kerja n = jumlah putaran/menit (RPM) = Phi = 3,14
24

Vc Dipengaruhi oleh: a) Bahan, b) Jenis Alat Potong, c) Kecepatan Penyayatan/asutan, d) Kedalaman Penyayatan

8.2 Kecp. Asutan (F) (mm/menit) = n (put/menit) x f (mm/put) n = (Vc x 1000) / x d (put/menit)

40

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

F dalam mm/putaran atau mm/menit

9. PROGRAM MEMBUAT PION DENGAN MESIN CNC TU.2A Benda kerja yang akan dibuat adalah sebuah pion dari bahan material Alumunium dengan dimensi awal berdiameter 32 mm panjang 50 mm dengan bentuk sebagai berikut. Gambar 27. Benda kerja pion yang akan dibuat Dari benda kerja di atas, maka dapat dibuat program dengan menggunakan mesin CNC EMCO Traininig Unit (TU 2A) sebagai berikut : NO G/M X Z F 1 G92 27500 500 2 M03 3 G00 3200 100 4 G84 3200 -5500 50 5 G00 2000 100 6 G84 2000 -5000 50 7 G01 2000 -1600 50 8 G84 1800 -8000 50

41

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

25

9 G01 1600 -1000 50 10 G84 1600 -2200 50 11 G01 1400 -1600 50 12 G84 1400 -2200 50 13 G01 1200 -1700 50 14 G84 1200 -2100 50 15 G01 2200 -1000 50 16 G84 1400 -2500 50 17 G01 1200 -2500 50 18 G84 1200 -3500 50 19 G00 1600 -4000 20 G01 2000 -5000 50 21 G00 2200 100 22 G00 1800 100 23 G84 1800 -500 50 24 G00 1600 100 25 G84 1600 -400 50 26 G00 1400 100 27 G84 1400 -300 50 28 G00 1200 100

42

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

29 G84 1200 -200 50 30 G00 0 0 31 G03 2000 -1000 50 32 M99 I 00 K 1000 33 G00 2000 -1500 34 G02 1000 -2000 50 35 M99 I 00 K 500 36 G01 1600 -2300 50 37 G01 1000 -2600 50 38 G01 1400 -4000 50 39 G01 1600 -4000 50 40 G01 2000 -5000 50 41 G00 2750 500 50 42 M30

43

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

A. Cutting Speed ( Cs )
Cutting speed / Kecepatan potong alat potong di mesin milling adalah jarak yang ditempuh oleh salah satu mata potong ( gigi ) dalam meter per menit. Cutting speed ditentukan berdasarkan : 1. Tabel 2. Perhitungan Yang berdasarkan tabel terdapat sedikitnya 2 buah referensi yaitu : 1. Berdasarkan tabel material benda kerja, 2. Berdasarkan tabel material alat potong. Hal hal yang mempengaruhi Cutting speed adalah : 1. Material benda kerja, 2. Material alat potong, 3. Pendinginan ( cooling ). Sedangkan untuk kondisi mesin itu menentukan besarnya putaran utama ( n ). Tabel untuk material benda kerja berbagai macam. Disini kita menggunakan tabel material yang dikeluarkan oleh DIN (Jerman Barat). Tabel yang digunakan antara lain : 1. Steel Comparison Table, 2. Tabel Materialgruppen Bossard.

44

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

Tata caranya pemilihan Cs adalah sebagai berikut : 3. Kita tentukan material dengan menggunakan Steel Comparison Table, Material yang kita cari dikomparasikan dengan material yang berasal / menggunakan standart DIN ( Jerman Barat ). 4. Setelah diketahui material dengan standart DIN, kemudian kita gunakan tabel Materialgruppen untuk mencari material yang sama dengan material tersebut atau yang mendekati material tersebut pada kolom kolom yang ada. 5. Setelah ditemukan material tersebut, kita lihat pada baris paling atas yaitu besarnya v ( kecepatan potong ) pada kolom tersebut. 6. Besarnya v yang didapat adalah Cs dari material yang kita cari. Mencari Cs juga dapat digunakan dengan menggunakan rumus. Rumus mencarinya adalah sebagai berikut :

Cs= ( x d x n)/1000 satuannya m/min


dengan : d = diameter alat potong, satuanya mm. n = putaran spindle utama / alat potong, satuannya rpm.

B. Putaran Spindle Utama ( n )


Hal hal yang mempengaruhi putaran spindle utama / alat potong ( n ) antara lain : 1. Besarnya kecepatan potong ( Cs ), 2. Besarnya diameter alat potong ( d ), 3. Kondisi mesin. Jika kecepatan potong yang dipakai terlalu tinggi maka cutter akan lekas tumpul, jika terlalu rendah kemampuan potongnya rendah, sehingga dalam menentukan kecepatan potong harus sesuai.

45

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

Mencari n menggunakan rumus seperti yang tertulis diatas. Rumus mencarinya adalah sebagai berikut :

n= (1000 x Cs)/( x d) satuannya rpm


dengan : d = diameter alat potong, satuanya mm. Cs = kecepatan potong, satuannya m/menit. Mencari n juga dapat menggunakan tabel.

C. Feeding ( s )
Feeding untuk proses milling dibedakan menjadi Tiga ( 3 ) type, yaitu : 1. Feed per minute: Pergerakan meja dalam mm pada waktu 1 menit. Satuannya mm/menit. Simbolnya s / f. 2. Feed per cutter revolution: Pergerakan meja dalam mm pada 1 kali putaran milling cutter. Satuannya mm / revolution. Simbolnya fo / so. 3. Feed per tooth: Pergerakan meja dalam mm selama waktu cutter yang berputar pada benda kerja dari satu mata potong ke mata potong berikutnya. Satuannya mm/tooth. Simbolnya fz / sz. 1. Kecepatan potong ( Cs ), 2. Jenis material alat potong, 3. Jenis alat potong, 4. Diameter alat potong ( d ). 5. Setelah kita mengetahui data diatas maka kita harus dapat memilih tabel yang sesuai. Sebagai contoh kita gunakan tabel yang berdasarkan standart Jerman dengan material alat potongnya HSS. 6. Dari tabel tersebut kita cari berdasarkan jenis alat potongnya, misalnya End Mill Cutter Roughing. 7. Kemudian pada tabel tersebut kita cari kolom yang sesuai berdasarkan Cs yang telah kita dapatkan. Kemudian kita cari diameter alat potong sesuai dengan data yang ada. 8. Dari kolom Cs tersebut kita tarik ke bawah, dari diameter alat potong kita tarik ke kanan. Sehingga akan ketemu besarnya n dan s pada Cs dan diameter alat potong tersebut.

46

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

Rumus untuk feeding tersebut diatas adalah sebagai berikut : 1. Feed per minute <font size=5>s=z x n x sz satuannya mm/min dengan : z = jumlah mata potongnya. n = putaran spindle utama / alat potong, satuannya rpm. sz = feed per tooth, satuannya mm/tooth 2. Feed per cutter revolution

so=z x sz
dengan : z = jumlah mata potongnya. sz = feed per tooth, satuannya mm/tooth 3. Feed per tooth

sz=s/(z x n) satuannya mm/tooth


dengan : z = jumlah mata potongnya. n = putaran spindle utama / alat potong, satuannya rpm. s = feed per minute, satuannya mm/menit. Untuk mencari feeding per minute ( s ) dapat juga menggunakan tabel.

D. Cara Mencari n dan s Dengan Menggunakan Tabel


47

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

Untuk mencari n dan s dengan tabel, hal hal yang harus diketahui terlebih dahulu adalah : Tata cara mencari n dan s adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. Kecepatan potong ( Cs ), Jenis material alat potong, Jenis alat potong, Diameter alat potong ( d ).

ANALISIS PENGARUH ANTARA KUALITAS TOLERANSI GEOMETRI TERHADAP BIAYA PENGERJAAN PRODUK (Studi Kasus Di PT APG Boyolali)
Paulus Wisnu Anggoro dan Yustinus Dwi Wahyudi
ABSTRAK Aspek yang perlu diperhatikan dalam pembuatan produk yang berkualitas adalah: pemilihan bahan baku dan proses permesinan yang tepat, alat bantu dan alat ukur serta sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk memperoleh produk dengan kualitas geometri yang ideal di bagian produksi adalah tidak mungkin, mengingat semua komponen yang mendukung proses pembuatan produk memiliki keterbatasan, sehingga dalam setiap proses pembuatan produk selalu timbul adanya penyimpangan-penyimpangan (toleransi) yang diharapkan masih dapat diterima oleh konsumen. Pemberian toleransi geometri pada produk akan mempengaruhi biaya pengerjaan, di mana semakin kecil toleransi yang diberikan akan memberi pengaruh semakin lama waktu pengerjaan yang berakibat meningkatnya biaya produksi. Produk dengan tingkat toleransi geometri yang kecil akan membutuhkan waktu pengerjaan yang lama, mesin yang presisi, alat bantu dan alat ukur yang memadai serta skill operator yang tinggi. Hal ini dapat dibuktikan pada proses pengerjaan Spur Gear di PT APG Boyolali dengan pemberian toleransi yang berbeda mulai dari IT 8 sampai dengan IT 5.

48

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

1.1. Pendahuluan Tujuan utama yang ingin dicapai oleh perusahaan adalah memaksimalkan keterbatasan faktor-faktor produksi yang ada supaya biaya yang dikeluarkan dapat seminimal mungkin sehingga laba yang dihasilkan dapat maksimal. Untuk dapat bersaing dengan perusahaan lain terutama yang bergerak dibidang manufaktur, perusahaan harus mempunyai dasar yang kuat terhadap kebijakan-kebijakan perencanaan dan pengendalian produksi. Perusahaan yang kurang memperhatikan aspek-aspek tersebut maka besar kemungkinan akan kalah dalam persaingan dunia industri, untuk itu diperlukan suatu orientasi dan pengkajian yang lebih dalam mengenai perencanaan pembuatan suatu produk. Pembuatan suatu produk harus memperhatikan beberapa aspek yang sangat penting, antara lain pemilihan bahan baku yang tepat, proses pembuatan atau permesinan (otomatis maupun manual), alat ukur dan alat bantu yang digunakan serta sumber daya manusia yang berkualitas. Berdasarkan aspek-aspek tersebut maka diharapkan produk yang dihasilkan adalah suatu produk yang berkualitas dengan kualitas geometri yang ideal. Kualitas geometri ideal meliputi ukuran/dimensi yang tepat, desain fungsional (bentuk) yang sederhana dan mutu estetika memadai serta penyelesaian permukaan yang sehalus mungkin. Untuk menghasilkan suatu produk dengan kualitas geometri sangat ideal pada bagian produksi adalah tidak mungkin mengingat semua komponen yang mendukung proses pembuatan produk memiliki keterbatasan, sehingga dalam setiap proses permesinan selalu timbul adanya penyimpangan-penyimpangan (toleransi) yang diharapkan masih dalam batas-batas yang diterima olah konsumen. 1.2. Perumusan Masalah Permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah menganalisis hubungan antara kualitas toleransi geometri dengan biaya pengerjaan suatu produk dalam studi kasus pada proses pembuatan Spur Gear di PT APG Boyolali Solo. 1.3. Batasan Masalah Batasan masalah yang ditetapkan dalam tulisan ini adalah:

49

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

a. Produk yang diteliti adalah produk Spur Gear yang memperhatikan batasan-batasan toleransi geometri. b. Mesin yang diteliti adalah mesin perkakas konvensional. c. Pembahasan masalah hanya menyangkut kualitas toleransi geometri, kemampuan operator, keterbatasan mesin dan biaya proses pengerjaan. d. Kualitas toleransi dibatasi sampai dengan IT 5 sesuai dengan mesin bubut yang di analisis. e. Data dalam analisis perhitungan adalah data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan disesuaikan dengan tingkat keahlian operator di perusahaan. f. Penjelasan mengenai proses produksi untuk tiap tingkat toleransi tidak dijelaskan. g. Batas toleransi yang digunakan dalam tulisan ini adalah produk sampai dengan diameter maksimum 500 mm dan kualitas toleransi geometri yang dipilih adalah IT 8 sampai dengan IT 5.
1.4. Tujuan Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam tulisan ini adalah: a. Menganalisis apakah dalam pemberian kualitas toleransi geometri pada suatu produk akan mempengaruhi biaya produksinya. b. Menganalisis biaya pengerjaan Spur Gear berdasarkan faktor biaya material, biaya mesin dan biaya operator dengan biaya produksi yang sudah ditetapkan oleh perusahaan. c. Menganalisis bahwa semakin kecil toleransi geometri pengerjaan suatu produk maka biaya pengerjaannya semakin tinggi. 2. Tinjauan Pustaka Toleransi merupakan besar variasi yang diperkenankan pada suatu bagian tertentu atau merupakan variasi total yang diijinkan pada dimensi tertentu (Amstead & Otswald).

50

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

(Christantyo, 1998) dalam penelitiannya di Divisi Produksi ATMI (Akademi Teknik Mesin Industri) menggunakan toleransi geometri untuk membentuk sistem kodifikasi komponen guna mengurangi waktu non produktif dalam proses permesinan. (Elisabeth Tjandra, 1999) dalam penelitiannya di Asia Protendo Graha menggunakan toleransi geometri terhadap keterbatasan mesin milling konvensional. Dalam tulisan ini penulis ingin melakukan analisis dengan menggunakan kualitas toleransi geometri dalam menentukan kualitas produk dengan memperhatikan keterbatasan mesin yang digunakan serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi biaya produksi. 3. Landasan Teori 3.1. Spesifikasi Geometri

Suatu produk/komponen mesin mempunyai kualitas geometri yang ideal apabila komponen tersebut memenuhi persyaratan yang dikehendaki oleh perancang atau pembuat, yaitu:
a. b. c. Ukuran/dimensi yang tepat. Bentuk yang sempurna. Permukaan yang halus sekali. Delivery time dan efisiensi.

d.

Dalam praktek seorang operator tidak mungkin dapat (sangat tidak mungkin) membuat suatu produk/komponen mesin dengan kualitas geometri yang ideal. Suatu hal yang tidak dapat dihindari dari kenyataan tadi adalah adanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi selama proses pembuatan, sehingga pada akhirnya produk yang dihasilkan tidak mungkin mempunyai geometri yang ideal.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu adanya suatu kesadaran mengenai pentingnya penggunaan toleransi (tolerance). Memberikan toleransi pada produk/komponen mesin berarti menentukan batas-batas maksimum dan minimum pada penyimpangan spesifikasi produk yang masih diizinkan (yang disebabkan oleh proses produksi). Toleransi geometri (toleransi ukuran) yang diberikan pada produk/komponen mesin akan menjadi penting apabila ditinjau dari segi: 51

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

a. b. c.

Segi fungsi komponen Segi perakitan Segi pembuatan

3.2. Hubungan Toleransi dan Biaya Pengerjaan Masalah toleransi akan berhubungan dengan kemampuan proses pembuatan dan biaya. Seringkali persyaratan produk (batas dari toleransi) yang diminta oleh konsumen terlalu ketat sehingga tidak dapat dipenuhi oleh perusahaan, karena terbatasnya kemampuan proses pembuatan yang dimiliki oleh perusahaan seperti mesin-mesin, alat bantu dan alat ukurnya.

Semakin kecil batas-batas dari toleransi yang diberikan pada suatu produk/komponen mesin maka akan semakin besar biaya pengerjaannya. Untuk produk dengan ukuran teliti diperlukan mesin khusus, waktu pengerjaan yang lama dan operator yang ahli maka biayanya akan mahal. Karena itu dalam memilih toleransi dasar atau daerah penyimpangan harus diambil yang seluas mungkin, dengan tetap memperhatikan persyaratan konstruksinya (toleransi diambil sebesar mungkin, sehalus diperlukan). Mengingat biaya pengerjaan berhubungan erat dengan tingkat toleransi, halhal di bawah ini sangat penting untuk dipakai sebagai pertimbangan:
a. Dalam daerah toleransi yang sama, biaya pengerjaan lubang jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan pembuatan poros. b. Pada pembuatan poros, biaya pengerjaan akan naik dengan cepat pada toleransi <25 m. c. Pada pembuatan lubang, biaya pengerjaan sudah terasa naik dengan cepat pada toleransi <50 m. Hubungan antara biaya pengerjaan dengan toleransi dapat dilihat pada Gambar 1.

52

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

1.375.000

1.300.000 1.225.000 Series1

1.150.000

1.075.000 IT 5 IT 6 IT 7 IT 8

Gambar 1. Hubungan antara Biaya Pengerjaan dengan Toleransi.


Besar biaya pengerjaan dapat dihitung dengan rumus:

Cp = Cmt + Cms + Cop (1)


Di mana Cp = biaya pengerjaan (Rp) Cmt = biaya material (Rp) Cms = biaya mesin (Rp) Cop = biaya operator (Rp) (Sumber Time Calculation, ATMI Solo) Besar biaya mesin dapat dihitung dengan rumus: Cms = Tp X Bms (2) Di mana Tp = waktu pengerjaan (menit) Bms = biaya mesin per jam (Rp/jam)

(Sumber Asia Protendo Graha)


Lama waktu pemesinan dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

53

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

Tp = Tm + Th + Ts + Tf (menit) (3)

Di mana :

Tm = total waktu pemesinan pada setiap mesin (menit) Th = total waktu handling pada setiap mesin (menit)
Ts = total waktu set up pada setiap mesin (menit) Tf = total waktu istirahat pada setiap mesin (menit)

(Sumber Time Calculation, ATMI Solo)

Besar biaya mesin per jam dapat dihitung dengan rumus:


Bms = Bn + Pn + Lm Jk

(4)

Di mana

Bn = bunga per bulan (Rp/bulan) Pn = penyusutan per bulan (Rp/bulan) Lm = listrik dan maintenance (Rp/bulan) Jk = jam kerja per bulan (Rp/bulan)

(Sumber Asia Protendo Graha)

Besar biaya operator dapat dihitung dengan rumus:

Cop = Tp x Bop (5) 54

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

Di mana Bop = biaya operator per jam (Rp/jam) (Sumber Asia Protendo Graha) Besar biaya operator per jam dapat dihitung dengan rumus:
Gj Jk

Bop =

(6)

Di mana Gj = gaji per bulan (Rp/bulan) Keterangan : 1 1 1 1 1 hari = 7 jam kerja minggu = 6 hari kerja minggu = 40 jam kerja bulan = 4 minggu bulan = 160 jam kerja

(Sumber Asia Protendo Graha)

Besar waktu permesinan untuk mesin bubut dan milling dapat dihitung dengan rumus: Tm (7) = ( l x i ) /( s x n )

Di mana l = panjang langkah pahat (mm)


i = jumlah pass atau jumlah pemotongan s = feed (mm/putaran) n = putaran (putaran/menit) (Sumber Machine Tool Calculation, ATMI Solo)

55

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

Untuk mesin hobbing waktu permesinannya dihitung berdasarkan rumus yang telah ditetapkan oleh pihak perusahaan yaitu:

Tm =

l.i.m.z s.n

(8)

Di mana l = panjang langkah pahat (mm)


i m z s n = = = = = jumlah pass atau jumlah pemotongan modul jumlah gigi feed (mm/putaran) putaran (putaran/menit)

(Sumber Asia Protendo Graha)


4. Profil Data

Produk yang dihasilkan Asia Protendo Graha untuk dianalisis adalah Spur Gear yang berfungsi sebagai penggerak alat pelinting tembakau pada perusahaan rokok. Pemesan Spur Gear yang dibuat APG adalah perusahaan rokok ADO BIJANG di Sukoharjo Jawa Tengah. Satu set Spur Gear terdiri dari: Gear, Copel Bush, Bushing, Adjusting Flange, Sproket Gear, dan Ring. Dalam tulisan ini pihak Asia Protendo Graha meminta penulis untuk menganalisis semua komponen dari Spur Gear. Pembuatan Spur Gear tersebut lebih banyak menggunakan mesin bubut dalam proses produksinya, sehingga analisis pembahasan untuk kualitas toleransi lebih banyak menitikberatkan pada mesin bubut. Hal ini disebabkan karena:
56

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

a. Ketelitian mesin bubut konvensional masih bisa dikerjakan sampai toleransi IT 5. b. Biaya pembuatan produk berhubungan erat dengan tingkat toleransi. c. Biaya pembuatan poros dengan mesin bubut konvensional menjadi mahal jika kualitas poros yang dibuat <25 m. d. Kebanyakan komponen dari Spur Gear diproses dengan mesin bubut. 4.1. Data Pemakaian Mesin dalam Pembuatan Spur Gear
Tabel 1. Tabel Data Mesin dan Biaya Pemakaian Mesin untuk Pengerjaan Spur Gear.
Mesin Bubut Milling Hobbin g Type CY 6250 HYOP65 S5/1600
Umu r (thn)

Harga (Rp) 25.000.0 00 13.000.0 00 12.000.0 00

Bunga (%)

Biaya Bunga (Rp/bln) 52.083, 33 27.083, 33 25.000, 00

Penyusuta n ( Rp/bln ) 260.416,6 7 135.416,6 7 125.000,0 0

8 8 8

2,5 2,5 2,5

Listrik & maintena nce ( Rp /bln) 1.500.000 1.500.000 1.500.000

Jam Kerja (jam/men ) 9600 9600 9600

Biaya Mesin (Rp/men) 188,802 173,177 171,875

Di mana: Biaya bunga = (2,5% / 12) x Harga beli mesin Penyusutan = Harga beli mesin / (12 bln x umur ekonomis mesin) Biaya mesin = (biaya bunga + penyusutan + listrik & maintenance) / Jam kerja

4.2. Data Pemakaian Material Dalam pembuatan Spur Gear yang terdiri dari 7 komponen, ada beberapa variabel yang sudah ditetapkan oleh pihak Asia Protendo Graha: a. Harga material tipe 709 M/SNCM 4 Rp 20.000,00 per Kg
57

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

b. Harga material tipe 705 M/SNCM 8 Rp 25.000,00 per Kg c. Berat jenis material untuk tipe 705 M dan 709 M adalah BJ = 850 Kg/Cm3 d. Berat material dapat dicari dengan rumus:
M mat =

.D 2 .L.BJ
4 x100 .000

(9) di mana: Mmat = massa material sebelum diproses (Kg) D = diameter benda kerja (Cm) L = panjang benda kerja (Cm) BJ = berat jenis material (Kg/Cm3) (Sumber Asia Protendo Graha) Dimensi dan harga material yang diperlukan dalam pembuatan Spur Gear dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Dimensi Material Spur Gear. No 1 2 3 4 5
58

Kompon en Gear Copel Bush Bushing Adjustin g Flange Flange

Tipe 709 M 705 M 705 M 705 M 705

Juml ah 1 1 1 1 1

Ukuran 37 X 4 8,89 X 5,5 4,5 X 5 12,7 X 1,5 12,7 X

Mmat 36,5 2,9 0,67 1,61 3,87

Harg a 730. 000 72.5 00 16.7 50 40.2 50 96.7

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

6 7

3,6 Sproket 1 63,5 X 0,54 Gear 2 705 M 1 7,5 X 0,45 Ring 1,2 ( Sumber Asia Protendo Graha )

M 705 M

50 13.5 00 11.2 50

4.3. Variabel Perusahaan Beberapa variabel yang ditetapkan oleh perusahaan sehubungan pemakaian operator dan jam perusahaan : a. Biaya operator = Rp 2.500,00 per jam b. Gaji karyawan = Rp 400.000,00 per bulan 5. Pembahasan Besarnya biaya produksi pengerjaan Spur Gear untuk masing masing kualitas toleransi (IT 8 s/d IT 5) dengan menggunakan perhitungan persamaan 1 adalah: Cp Cp Cp Cp IT IT IT IT 8 7 6 5 = = = = Rp Rp Rp Rp 1.159.543,00 1.187.233,00 1.235.092,00 1.371.933,00

Biaya produksi tersebut diperoleh berdasarkan faktor biaya material, biaya mesin dan biaya operator. Biaya produksi ini juga merupakan bagian dari harga jual produk Spur Gear. APG 1600000 Adapun harga jual produk Spur Gear yang ditetapkan oleh pihak APG untuk kualitas IT 7 adalah sebesar: Cp = Rp 1.500.000,00 1500000 Dari hasil Cp untuk masing masing tingkat kualitas toleransi dan Cp berdasarkan perusahaan, selanjutnya dapat ditunjukkan dalam bentuk grafik hubungan biaya produksi dengan kualitas toleransi pada Gambar1400000 2.
1300000

1200000

1100000

1000000 IT 5 IT 6 IT 7 IT 8

59

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

Gambar 2. Grafik Hubungan antara Toleransi dan Biaya Produksi. Dari Gambar 2 diatas dapat diambil kesimpulan: Dari Gambar 2 jelas terlihat bahwa pemberian toleransi pada produk akan berpengaruh terhadap biaya produksi hal ini terlihat dengan meningkatnya biaya produksi pada toleransi IT 7. b. Semakin kecil toleransi yang dikerjakan oleh operator, maka total waktu produksi akan semakin lama (Tp) dan menyebabkan biaya produksi menjadi meningkat. c. Biaya pembuatan poros akan meningkat pada kualitas toleransi <25 m (<IT 7). d. Sebenarnya pihak perusahaan dalam hal operator bisa mengerjakan produk sampai dengan tingkat toleransi IT 5, akan tetapi karena pihak konsumen sudah merasa puas dengan pengerjaan produk pada IT 7 sampai dengan IT 6 maka produk Spur Gear dibuat sampai dengan IT 7. a. 6. Kesimpulan a. Semakin kecil toleransi yang dikerjakan oleh operator, maka waktu produksi akan semakin lama dan biaya produksi menjadi lebih mahal hal dapat dilihat pada Gambar 1. b. Biaya pengerjaan produk Spur Gear berdasarkan tingkat kualitas toleransi IT 8 sampai dengan IT 5 adalah: Cp IT 8 = Rp 1.159.543,00 Cp IT 7 = Rp 1.187.233,00 Cp IT 6 = Rp 1.235.092,00 Cp IT 5 = Rp 1.371.933,00 Biaya pengerjaan ini merupakan bagian dari biaya penjualan yang ditetapkan oleh Asia Protendo Graha, yaitu: 60

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

Cp APG = Rp 1.500.000,00 c. Sebenarnya pihak perusahaan ( APG ) dalam hal operator bisa mengerjakan produk Spur Gear sampai dengan tingkat toleransi IT 5, akan tetapi karena pihak konsumen sudah merasa puas dengan pengerjaan produk pada tingkat toleransi IT 7 sampai dengan IT 6 maka produk tersebut dikerjakan cukup sampai dengan IT 7. d. Dari hasil analisis pembahasan dapat diketahui bahwa Asia Protendo Graha dengan SDM, mesin, alat bantu dan alat ukur yang tersedia, mampu mengerjakan suatu produk sampai dengan kualitas toleransi IT 5 sehingga dapat memenuhi selera konsumen. e. Untuk sampai pada tingkat toleransi IT 5 sebenarnya mesin bubut konvensional yang dimiliki oleh APG bisa mengerjakan produk dengan toleransi tersebut asalkan dikerjakan dengan sangat hatihati.

61

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

Daftar Pustaka

B.Brushtein, V. Dementyev, Element of Lathe Work. B.H. Amstead, Philip F. Ostwald, Myron L. Begeman, Sriati Djaprie, 1990, Teknologi Mekanik, Jilid 1 dan 2 , Edisi ketujuh, Penerbit Erlangga, Jakarta. D. Maslov, V.Danilevsky, V. Sasov, Engineering Manufacturing Process , Lembaran Kerja dan Lembaran Informasi, Vocational Training Promotion Unit, Indonesia-GermanTechnical Training Programe ., 1971, Course for Mechanic, Swiss Foundation for Technical Assitance Zurich, Copyright ATMI ( Akademi Teknik Mesin Indonesia ), Surakarta. R. Taufiq, W. Sri Hardjoko, Spesifikasi Geometri, Metrologi Industri dan Kontrol Kualitas. R. Taufiq, Teori dan Teknologi Proses Permesinan, edisi 3 , Penerbit ITB Bandung. 62

Agus Suprihanto, Dwi Basuki Wibowo, Djoeli Satrijo, Rochim Suratman, Peningkatan Kekuatan Lelah Besi

63

JURNAL TEKNIK GELAGAR, Vol. 18, No. 01, April 2007 : 1 - 10

64

Tata cara mencari n dan s adalah sebagai berikut : 1. Setelah kita mengetahui data diatas maka kita harus dapat memilih tabel yang sesuai. Sebagai contoh kita gunakan tabel yang berdasarkan standart Jerman dengan material alat potongnya HSS. 2. Dari tabel tersebut kita cari berdasarkan jenis alat potongnya, misalnya End Mill Cutter Roughing. 3. Kemudian pada tabel tersebut kita cari kolom yang sesuai berdasarkan Cs yang telah kita dapatkan. Kemudian kita cari diameter alat potong sesuai dengan data yang ada. 4. Dari kolom Cs tersebut kita tarik ke bawah, dari diameter alat potong kita tarik ke kanan. Sehingga akan ketemu besarnya n dan s pada Cs dan diameter alat potong tersebut.

You might also like