You are on page 1of 8

1 | S y a r a h , K r i t i k & T a k h r i j H a d i t s

Qaidah Tasyri
Oleh : Safrudin, S.Ag.

I. Pendahuluan
Al-Qur'an berulang kali memerintahkan kaum mukmin agar taat kepada
Allah dan Rasul-Nya. Bahkan ketaatan kepada Allah tidak akan terlaksana dengan
benar tanpa mengikuti petunjuk dari Hadits Nabi saw. Oleh sebab itu yang
menyatakan beriman dan taat kepada Nabi sudah pasti dia akan beriman dan taat
kepada Allah, tetapi orang yang menyatakan beriman dan taat kepada Allah belum
tentu beriman dan taat kepada Nabi. Inilah di antara kadungan makna firman
Allah dalam surat An Nisa : 80 :
XMOBb Pl
B"0 Bb P ." Pl.V Bo
o1H"0 T`1 B1T=

Artinya : Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati


Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami
tidak mengutus untuk menjadi pemeliharan untuk mereka (QS. An-Nisa
: 80)

Atas dasar itu, kaum muslimin mengimani kewajiban mentaati Rasul Allah
sebagai salah satu pondasi dasar dalam ber-Islam secara benar. Mentaati Rasul
wajib sepanjang zaman, tidak hanya sewaktu beliau hidup dan tidak hanya bagi
mereka yang hidup bergaul langsung dengan Rasulullah. Karena mengimani dan
mentaati Rasul hakikatnya mengikuti ajarannya dan menteladani seluruh
perbuatan serta ucapannya (3:31). Dengan demikian, bagi mereka yang hidup
tidak berjumpa atau hidup sepeninggal Nabi, mentaati Nabi berarti mentaati
semua ajaran dan berita yang datang dari Nabi yang diriwayatkan dengan benar
dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah. Semua yang diriwayatkan dari
Nabi, baik itu perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat-sifat beliau, itulah yang
kemudian dalam tradisi ilmu Islam dinamakan dengan Hadits, atau Sunnah atau
Khabar. Oleh karena itu, kaum muslimin mengimani kewajiban mengamalkan
Hadits yang sahih sebagaimana kewajiban mengamalkan ayat Al-Qur'an.
1

II. Batasan Tasyri'
Pada paper ini penulis tidak akan mengulas tentang pengertian Hadits
mengingat pembahasan seputar batasan atau definisi hadits sudah berulang-ulang
dalam beberapa paper yang sudah disampaikan oleh teman-teman. Maka penulis
menggunakan istilah Hadits, Sunnah dan Khabar dalam pengertian yang sama,
yaitu segala hal yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. berupa perkataan,

1
Juhaya S Praja, Ringkasan Sejarah Filsafat Hukum Islam, (Bandung: UNISBA, 2009)
2 | S y a r a h , K r i t i k & T a k h r i j H a d i t s

perbuatan, dan persetujuan beliau. Namun penulis memandang perlu untuk
menjelaskan terlebih dahulu pengertian atau batasan dari tasyri' sebelum dikaji
kaitan dan kedudukan Hadits dalam tasyri'.

Tasyri' secara bahasa diambil dari kata dasar syir'ah atau syar'ah yang arti
asalnya adalah masyra'atul m-a ya'ni mauridul m-a = sumber air atau mata air.
2

Karena adanya sumber atau mata air itulah orang berdatangan ke tempat tersebut
secara rutin dan bergantian sehingga membentuk jalan. Kemudian istilah syariat
bergeser dari arti "sumber air" menjadi "jalan menuju sumber air" tersebut.
Penggunaan kata "jalan" dalam bahasa Arab dapat berarti jalan dalam makna asli
(hakiki) yang bersifat fisik materil yang dapat dicapai indra manusia seperti jalan
yang biasa ditempuh musafir di tanah atau dipadang pasir, dan jalan dalam
pengertian secara metaforis (majazi) yang bersifat abstrak, seperti suatu ajaran
atau tuntunan petunjuk kehidupan. Maka agama disebut "syir'ah" dan "syari'ah"
karena ia ajaran atau tuntunan laksana jalan yang harus ditempuh manusia menuju
kebenaran, menuju Tuhan dan menuju kebahagiaan hidupnya. Sebagaimana jalan
yang ditempuh untuk menuju mata air. Jalan agama itu tiada lain adalah ajaran
dan hukum yang terkandung didalamnya. Jalan agama Islam terbentuk dari dua
sumber yaitu Kitabullah (Al-Qur'an) dan Sunnah Rasulullah (Al Hadits yang
sahih). Maka apa yang digariskan keduanya melahirkan syariat. Proses
pembentukan jalan disebut tasyri'. Maka istilah tasyri' dalam konteks ini
bermakna "proses dan cara pembentukan syari'at".
Syari'at Islam mencakup hukum-hukum I'tiqdiyat, Akhq, dan A'mal.
I'tiqadiyat adalah syariat Islam yang terkait dengan amalan hati tentang apa yang
harus diimani dan diingkari seorang mukmin. Akhlaq adalah syariat tentang
kemuliaan budi pekerti dan kesucian jiwa. A'mal adalah syariat Islam yang
mengatur tentang perbuatan jasadiyah manusia. A'mal manusia itu terbagi pada
dua katagori; ibadah dan mu'amalah. Ibadah dalam pengertian khusus yaitu
upacara ritual menyembah Allah semisal shalat, shaum, haji, dzikir, dan do'a.
muamalah adalah ibadah dalam pengertian luas mencakup interaksi manusia
dengan sesamanya. Hukum syariat dalam muamalah mencakup beberapa aspek:
1. Hukum al-Ahwlusyahshiyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur muamalah
manusia dalam lingkup rumahtangga dan keluarganya seperti perkawinan,
perceraian, hak dan kewajiban suami-istri, dan pengasuhan anak.
2. Hukum al Madaniyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur muamalah manusia
dengan sesamanya yang berkaitan dengan perikatan dan transaksi-transaksi jual
beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, dan perjanjian-perjanjian kerjasama.
3. Hukum al Jiniyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur sanksi fisik atas
pelanggaran dan kejahatan terhadap jiwa, harta, dan kehormatan manusia.
Seperti hukuman pembunuhan, pencurian, peminum khamar, pezina dan
penuduh zina

2
Muhammad bin Mukrim bin Mandhur Al Afriqy, Lisnul Arab, (Beirut: Dar al Shadir, tt), vol.
VII, hal 175
3 | S y a r a h , K r i t i k & T a k h r i j H a d i t s

4. Hukum al Murfaat. Yaitu hukum syariat yang mengatur tatacara peradilan,
pengajuan gugatan, penyelidikan, penetapan dan pelaksanaan vonis hukuman.
5. Hukum al Dusturiyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur tentang kekuasaan,
pemimpin, rakyat, dan hak-hak warga negara.
6. Hukum al Duwaliyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur tentang interaksi
antar bangsa, hukum perang dan damai.
7. Hukum al Iqtishadiyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur pengelolaan dan
pengembangan harta kekayaan individu, negara dan masyarakat.
3


Semua hukum syariat tersebut di atas bersumber dari al-Qur'an dan al-
Hadits. Artinya bahwa cakupan hukum yang terkandung dalam al-Hadits sama
dengan apa yang terkandung dalam al-Qur'an. berkaitan dengan bagaimana
kedudukan al-Qur'an dalam hukum Islam serta bagaimana metode pensyariatan
hukum al-Qur'an telah banyak dibahas dalam ilmu tafsir dan ushul fikih. Maka
pada paper ini akan dikemukakan tentang kaitan Hadits dengan Tasyri'.
III. Hadits dalam Tasyri'
a. Kehujahan Hadits
Yang dimaksud dengan tasyri adalah menetapkan ketentuan syariat
Islam atau hukum Islam. Hukum Islam adalah Firman syari yang berhubungan
dengan perbuatan orang mukalaf, yang mengadung tuntutan, membolehkan
sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai syarat adanya yang lain.
4

Sebagaimana telah disinggung sepintas pada muqadimah bahwa dapat
dipastikan seluruh kaum muslimin mengimani wajibnya mentaati Rasulullah.
Manifestasi dari mentaati Rasulullah adalah mentaati ajarannya yang disampaikan
kepada kita lewat jalur periwayatan yang benar. Kewajiban mentaati Rasulullah
itu berdasar tiga sumber dalil utama kaum muslimin. Yaitu Al-Qur'an, Al-Hadits,
dan Ijma'. Ayat-ayat Al-Qur'an yang dijadikan dalil tentang wajibnya mengikuti
Sunah Rasulullah di antaranya:
BP"0 CBb Pbob.
PbM"0 Bb PbM"0."
XMOBb l0"0." o1.Bb N1
P T /.1V 0A
`"TM `ll Bb XMOBb."
l /oH 1V BB)
.MOBb." M.1Bb P O
MM. ="0." A"0V
Artinya : Wahai orang-orang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah
kepada Rasul dan pemimpin di antara kalian. Jika kalian berselisih
faham dalam sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dna Rasul -Nya

3
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al Fiqh, (Kairo: Maktabah Da'wah Al Islamiyah, 1959),
hal.32-33
4
Endang Soetari, Ilmu Hadits Kajian Riwayah & Diroyah, Mimbar Pustaka, Bandung 2008
4 | S y a r a h , K r i t i k & T a k h r i j H a d i t s

jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu
lebih baik dan sebaik-baik akibatnya. (An Nisaa : 59)
A `).H." N .o
P/= Aqo&N BoT MA
o) N Pb"P
"0 C3M= Bo.
6TC Pbo1." BdoT1`V

Artinya : Maka demi Tuhanmu, tidaklah mereka beriman sehingga meminta
keputusan hukum kepadamu tentang apa-apa yang mereka
perselisihkan di antara mereka kemudian mereka tidak merasa
keberatan atas apa yang kamu putuskan dan mereka tunduk setunduk-
tunduknya (An Nisa : 65)

XMOBb Pl
B"0 Bb P ." Pl.V Bo
o1H"0 T`1 B1T=
Artinya : Barangsiapa yang taat kepada Rasul maka ia telah taat kepada Allah,
dan barangsiapa yang berpaling maka tidaklah Kami mengutusmu
sebagai penjaga mereka (An Nisa : 80)

Subsatansi pada ayat-ayat di atas secara berurutan menyatakan dengan
kalimat eksplisit bahwa 1) pengembalian segala perselisihan pendapat hanyalah
kepada Allah dan Rasul-Nya dengan tambahan anak kalimat "jika kamu beriman
kepada Allah dan hari akhirat", 2) ketundukan kepada keputusan Rasulullah
dalam segala perkara yang diperselisihkan di antara orang beriman merupakan
bukti keimanan yang sebenarnya sedang orang yang merasa berkeberatan dengan
keputusan Rasul dianggap sebagai orang yang tidak sungguh-sungguh beriman, 3)
mentaati Rasululah sebagai perwujudan ketaatan pada Allah karena seseorang
tidak akan dapat taat secara benar kepada Allah tanpa melalui ketaatan kepada
Rasul-Nya, 4) bahwa sikap mukmin yang benar manakala diseru oleh Allah dan
Rasul-Nya untuk ditetapkan suatu keputusan hukum di antara mereka mereka
menyatakan kesiapannya untuk mendengar dan taat meskipun tidak sejalan
dengan kepentingan hawa nafsu mereka sendiri.
Kehujahan Hadits sebagai sumber hukum syariat datang dari Hadits itu sendiri.
Pada beberapa Hadits diriwayatkan bahwa beliau bersabda, yang artinya :
Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah berkhutbah dihadapan manusia pada
haji wada', "Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah-
tengah kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya niscaya tidak akan
tersesat selamanya; yaitu Kitab Allah dan Sunnah nabi -Nya".
Dan hadits yang kedua yang artinya :
Dari Al Miqdam bin Ma'diyakrib al Kindy, Rasulullah bersabda, "Ingatlah,
sesungguhnya aku diberi al Kitab dan yang semisal dengannya! Ingatlah,
sesungguhnya aku diberi al Kitab dan yang semisal dengannya! Ingatlah, hampir
datang masa ada seseorang yang dengan perut kenyang bersandar di sofanya
seraya berkata; 'Cukuplah bagi kalian al Qur'an. Apa yang kalian dapatkan
5 | S y a r a h , K r i t i k & T a k h r i j H a d i t s

padanya sesuatu yang halal maka halalkanlah dan apa yang kalian dapatkan
padanya sesuatu yang haram maka haramkanlah!"

Dua Hadits di atas mewakili sejumlah Hadits yang semakna dengannya.
Inti kandungan dari Hadits-Hadits di atas menegaskan bahwa Al-Qur'an tidak
terlepas dari Al-Hadits dan bahwa Al-Hadits itu bagian dari wahyu yang diberikan
Allah kepada Nabi saw. dengan cara yang berbeda. Sebagaimana disebutkan
dalam surat An Najm, "tidaklah dia (Muhammad) berkata dari hawanafsunya,
melainkan wahyu yang diwahyukan" (Surat An Najm: 3-4)
Kahujahan
5
Sunnah atau Hadits dari ijma' dapat diketahui dari kesepakatan
para shahabat Nabi saw. untuk menjadikan hadits sebagai rujukan dalam
menetapkan segala perkara. Sebagaimana diuraikan oleh Khudary Bek, bahwa
para shahabat nabi sepeninggal beliau, apabila menetapkan suatu keputusan atas
suatu perkara yang muncul mereka mengacu kepada ayat Al-Qura'an, jika mereka
tidak mendapatinya langsung dari Al-Qur'an mereka merujuk kepada sunah nabi,
jika mereka tidak mendapatinya pada Sunah Nabi mereka bermusyawarah
mencari keputusan. Sikap demikian itu dilakukan oleh semua pemimpin atau para
Khalifah sepeninggal Rasulullah. Dengan demikian telah terjadi ijma' di kalangan
para shahabat bahwa sunah adalah sumber hukum syariat di samping Al-Qur'an.

b. Dilalah Hadits terhadap Al-Qur'an.
Al-Qur'an diturunkan sebagai pedoman hidup, petunjuk, rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berimanUntuk mengaplikasikan Al-Qur'an
sebagai petunjuk hidup, Allah menjadikan Rasul-Nya sebagai contoh ideal,
panutan dan suri tauladan bagi orang-orang yang beriman dan mengharap
keselamatan dunia dan akhirat. Banyak hukum-hukum yang terkandung dalam Al-
Qur'an hanya dapat diketahui dan difahami pengertiannya secara detail dan
penerapannya secara tepat hanya ketika telah dipraktekan oleh nabi Muhammad
saw. Karena keumuman ayat-ayat Al-Qur'an berisi pokok-pokok ajaran Islam
yang membutuhkan penjabaran serta rincian dari nabi Muhamad saw.
Merujuk kepada ayat ini, para ulama menyimpulkan bahwa tugas Rasul
terhadap Al-Qur'an adalah menjelaskan kandungan maknanya dan
mengaplikasikannya di tengah kehidupan manusia setelah membacakan dan
menyampaikannya kepada mereka.
Penjelasan Nabi terhadap Al-Quran disebut sebagai bayan. Bayan nabi
tehadap Al-Qur'an terkadang dengan perbuatan, terkadang juga dengan
penjabaran lisan atau terkadang dengan persetujuan beliau terhadap perbuatan
para sahabatnya. Semua perbuatan, perkataan dan persetujuan nabi diistilahkan
dengan sunah atau hadits. Karena itu kedudukan sunah atau hadits terhadap Al-
Qur'an pada intinya adalah penjelasan atau bayan. Secara substansial, kandungan
hadits terhadap Al-Qur'an terkadang merupakan interpretasi atas ayat-ayat yang
belum jelas, atau sebagai penegasan dan penguatan terhadap apa yang sudah jelas

5
Abdul Wahhab Khalaf, Khulashah Trkh al Tasyri' alIslmy, (Kuwait: Dar AlQalam, tt), hal.
40-42

6 | S y a r a h , K r i t i k & T a k h r i j H a d i t s

dalam Al-Qur'an, dan terkadang sebagai tambahan hukum terhadap apa yang tidak
disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an.
Imam Syafi'i mengklasifikasikan Hadits atau Sunah Nabi dalam kaitannya
dengan Al-Qur'an kepada tiga katagori. Pertama, Sunah yang berisi penegasan
dan penguatan atas hukum-hukum yang sudah jelas dalam Al-Qur'an. Kedua,
Sunah yang berisi penjelasan atau rincian terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang
bersifat umum atau mujmal. Ketiga, Sunah yang berisi hukum yang berdiri sendiri
tanpa ada rujukannya dalam Al-Qur'an baik yang secara eksplisit maupun implisit.
Dua yang disebut pertama, kata Imam Syafi'i adalah kaidah yang disepakati oleh
semua ulama Islam. Sedang satu yang disebut terakhir diperselisihkan oleh para
ulama.
Penjelasan Imam Asy Syafi'i di atas jika diuraikan lebih rinci, maka materi
Hadits dalam kaitannya dengan ayat-ayat Al-Qur'an dapat dikatagorisasikan
menjadi lima macam penjelasan atau bayan, yaitu:
a. Bayan Tafshil, Hadits yang kandungannya menjelaskan ayat-ayat yang masih
global dan ringkas
b. Bayan Takhshish, Hadits yang kandungannya membatasi ayat-ayat yang umum
c. Bayan Ta'yin, Hadits yang menegaskan maksud dari dua atau beberapa perkara
yang dimaksud oleh ayat Al-Qur'an
d. Bayan Tasyri', Hadits yang menetapkan suatu hukum pada perkara yang
didiamkan oleh Al-Qur'an
e. Bayan Nasakh, Hadits yang menentukan ayat-ayat tertentu telah di nasakh oleh
ayat yang lain yang nempaknya seolah-oleh bertentangan.

Para ulama yang lain dari kalangan Ahlus Sunnah sejalan dengan
pandangan Imam Asy Syafi'i di atas walaupun ada perbedaan-perbedaan
redaksional dan peristilahan dalam memposisikan kandungan Hadist terhadap Al-
Qur'anul karim. Tetapi esensinya sepakat bahwa Hadits atau Sunah adalah sumber
hukum syariat di samping Al-Qur'an dan bahwa Hadits berfungsi sebagai bayan
terhadap Al-Qur'an yang sekaligus dapat menetapkan hukum yang berdiri sendiri.

c. Rutbah Hadits dalam Tasyri'
Selain masalah kedudukan Hadits sebagai sumber hukum Islam, para
ulama juga membahas seputar tingkatan atau rutbah Hadits dalam syariat. Apakah
tingkat dan posisi Hadits sama dengan Al-Qur'an dalam memberikan landasan
hukum ataukah berbeda. Dengan kata lain, apakah posisi Hadits dengan Al-Qur'an
itu bersifat sejajar-setara (posisi horizontal) ataukan bertingkat-bertangga (posisi
vertikal). Dengan memperhatikan apa yang telah diuraikan di atas tentang
kehujahan dan kedudukan Hadits, dapat dikatakan bahwa ditinjau dari segi
kewajiban taat kepada Rasulullah sama dengan kewajiban taat kepada Allah maka
konsekwensi hukum yang ditetapkan Hadits secara global sama dengan apa yang
ditetapkan oleh Al-Qur'an. Artinya hukum yang ditetapkan oleh Hadits secara
materil hakikatnya adalah perincian dari yang ditetapkan oleh Al-Qur'an, karena
itu dari segi kewajiban melaksanakannya sama saja dengan kewajiban
melaksanakan Al-Qur'an. Hanya saja ada beberapa aspek dari sudut formilnya,
yaitu aspek prosedur dan metodologi periwayatan Hadits yang bersifat spesifik
7 | S y a r a h , K r i t i k & T a k h r i j H a d i t s

yang menyebabkan bobot kehujahan dan status Hadits tidak mungkin dapat
disamakan atau disejajarkan dengan Al-Qur'an:
1. Dari sudut kepastian datangnya (qath'iyatul wurud), seluruh ayat Al-Qur'an
bersifat pasti, qath'i, karena Al-Qur'an diriwayatkan secara mutawtir,
periwayatan kolektif dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan jumlah
periwayat yang tidak memungkinkan secara akal dan adat terjadi kedustaan
atau kekeliruan. Sementara Hadits sangat sedikit yang diriwayatkan dengan
cara mutawtir dan keumumannya periwayatan bersifat individual yang disebut
dengan riwayat had. Karena itu Hadits ditinjau dari segi datang dan
keberadaannya bersifat dhanny, masih menyimpan adanya kemungkinan
kekhilafan.
2. Sebagai konsekwensi dari dhanniyatul wurud pada hadits-hadits ahad, maka
terjadi kemungkinan kesalahan dalam periwayatan hadits, baik disengaja
ataupun disebabkan faktor human error. Karena itu para ulama Hadits
mengklasifikasikan Hadits kepada tingkatan Shahih, Hasan, dan Dhaif. Hanya
Hadits yang berderajat Shahih dan Hasan yang boleh dijadikan sandaran
hukum
3. Dalam pengklasifikasian Hadits menjadi Shahih, Hasan, dan Dhaif, tidak
seluruh Hadits yang dikatagorikan Shahih disepakati kesahihannya oleh semua
ulama Hadits, demikian juga tidak setiap yang dikatagorikan Dhaif disepakati
oleh semua ulama tentang kedhaifannya. Maka suatu yang tidak bisa dihindari
bahwa ada sebagian Hadits yang ditolak oleh sebagian kalangan ulama karena
dinilai lemah, dan diterima oleh sebagian ulama yang lain karena dinilai
Shahih. Kelompok yang menolak suatu Hadits karena dinilainya lemah tidak
dapat dihukumkan sebagai orang yang mengingkari ketaatan pada Rasul
sehingga divonis sebagai orang murtad. Sebab yang ia tolak bukan materi
Haditsnya sebagi perkataan atau perbuatan Rasulullah yang wajib diikuti, akan
tetapi prosedur dan metode penyampaian hadits tersebut yang tidak
meyakinkan sehingga diragukan kebenarannya dari Rasulullah.
4. Pada kenyataannya kewajiban mentaati Hadits ditetapkan oleh Al-Qur'an.
Maka Al-Qur'an adalah pokok atau pangkal dari hukum, sedang Hadits adalah
cabang yang ditetapkan oleh Al-Qur'an. Sebagaimana ijma' ditetapkan oleh
perintah Al-Qur'an dan Hadits. Maka suatu yang tidak rasional jika yang pokok
disamakan kedudukannya dengan yang cabang.
5. Tingkatan kehujahan Hadits sebagai dasar hukum kedua setelah Al-Qur'an juga
diisyaratkan dalam Al-Qur'an dan Hadits itu sendiri. Kemudian dipraktekan
oleh ijma' shahabat. Al-Qur'an mengatakan, "Ta'atlah kamu kepada Allah dan
taatlah kamu kepada Rasul agar kamu dirahmati" (Ali Imran [3] : 132). Pesan
Umar kepada Qadhi Syuraeh, "Perhatikanlah apa yang telah jelas kepadamu
dari Kitabullah, janganlah bertanya lagi darinya kepada siapapun. Dan jika
tidak jelas kepadamu pada Kitabullah maka ikutillah Sunnah Rasulullah
saw.,
6




6
Apa yang dikemukakan oleh penulis diatas disarikan dan ditambahkan dari uraian TM.Hasbi As
Siddieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), hal.171-175,
sebagaimana dikutip oleh Endang Soetari, ibid, hal. 87-92
8 | S y a r a h , K r i t i k & T a k h r i j H a d i t s


IV. Penutup
Uraian di atas dengan segala keterbatasannya telah mencoba
meneguhkan argumen Kehujahan Hadits sekaligus kedudukannya dalam
pembentukan Syariat Islam yang selama ini memang telah diyakini dan
dipedomani oleh umat Islam. Adanya pemikiran dan pendapat-pendapat yang
kritis terhadap posisi Hadits dalam Tasyri' sekeras dan sepahit apapun dari pihak-
pihak tertentu, baik kawan maupun lawan Islam, tidak seluruhnya berdampak
buruk bagi Islam dan umatnya. Sisi positif yang sangat terasa adalah semakin
teguhnya posisi Hadits dalam Tasyri' karena dengan badai kritik itulah pondasi
dan bangunan argumen kehujahan Hadits semakin teruji bersamaan dengan
rontoknya semua fitnah dan tuduhan keji terhadapnya. Wallahu A'lam bish
shawab.

Referensi

Endang Soetari, Ilmu Hadits; Kajian Riwayat Dan Dirayah, (Bandung: Mimbar
Pustaka, 2005), cet. ke-5, hal.100
Daud Rasyid, Fenomena Sunnah di Indonesia, Potret Pergulatan Melawan
Konspirasi, (Jakarta: Usamah Press, 2003), hal.158
Juhaya S Praja, Ringkasan Sejarah Filsafat Hukum Islam, (Bandung: UNISBA,
2009)
Manna'ul Qathan, Trikh Tasyri' al Islmy, (Riyadh: Maktabah Al ma'arif, 1996)
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al Fiqh, (Kairo: Maktabah Da'wah Al
Islamiyah, 1959), hal.32-33
TM.Hasbi As Siddieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu hadits, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1972), hal.171-175, sebagaimana dikutip oleh Endang Soetari, ibid, hal.
87-92
Daud Rasyid, Fenomena Sunnah di Indonesia, Potret Pergulatan Melawan
Konspirasi, (Jakarta: Usamah Press, 2003), hal.158

You might also like