You are on page 1of 26

http://www.yonokomputer.com/2011/06/faktor-faktor-yang-berhubungandengan.

html

Faktor-faktor yang berhubungan dengan status imunisasi dasar pada bayi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Imunisasi merupakan salah satu strategi yang efektif dan efisien dalam sistem kesehatan nasional untuk mencegah enam penyakit yang mematikan, yaitu tuberkulosis, dipteri, pertusis, tetanus, campak dan polio. Peningkatan cakupan imunisasi dalam beberapa dekade ini mampu menurunkan angka kematian dikarenakan, penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada tahun 2003, WHO memperkirakan lebih dari 27 juta bayi tidak memperoleh imunisasi di tahun pertama usia mereka, dan 14 juta balita meninggal disebabkan oleh PD3I (Hill, Kirkwood, dan Edmong, 2004). WHO dan UNICEF menetapkan indikator cakupan imunisasi adalah 90% ditingkat nasional, dan 80% di semua kabupaten. Dalam Rencana Strategis Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2005-2009, target universal child immunization (UCI) desa sebesar 98% tercapai pada tahun 2009 (Ayubi, 2006).

Penyakit infeksi dan kurang gizi masih termasuk penyebab kematian balita di Indonesia, sehingga Angka Kematian Bayi (AKB) masih tinggi, yaitu 52 perseribu kelahiran hidup pada tahun 2006. Namun begitu, AKB tersebut telah menurun jauh dibandingkan pada 1970 yang mencapai 145 perseribu kelahiran hidup, berkat program imunisasi dari pemerintah kepada balita secara gratis di Puskesmas sejak 1977. Program imunisasi itu meliputi BCG (anti tuberkulosis), tetanus, polio, campak, dipteri (anti infeksi saluran pernapasan), pertusis (anti batuk rejan), dan hepatitis B, selain didukung pemberian gizi cukup seperti air susu ibu, makanan bervitamin, maupun buah-buahan (Amdani, 2004).

Menurunnya AKB dalam beberapa waktu terakhir, memberi gambaran adanya peningkatan dalam kualitas hidup dan pelayanan kesehatan masyarakat. Penurunan AKB tersebut antara lain disebabkan oleh peningkatan cakupan imunisasi bayi, peningkatan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan, penempatan bidan di desa, dan meningkatnya proporsi ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi (Depkes RI, 2004). Kegiatan imunisasi di Indonesia dimulai di Pulau Jawa dengan vaksin cacar pada tahun 1956. Pada tahun 1972, Indonesia telah berhasil membasmi penyakit cacar. Selanjutnya mulai dikembangkan vaksinasi antara cacar dan BCG. Pelaksanaan vaksinasi ini ditetapkan secara nasional tahun 1973. Bulan April 1974, Indonesia resmi dinyatakan bebas cacar oleh WHO. Pada tahun yang sama, dilakukan studi pencegahan terhadap tetanus neonatorum dengan memberikan suntikan tetanus toksoid (TT) pada wanita dewasa di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tahun 1976 mulai dikembangkan imunisasi DPT di beberapa kecamatan yang didahului oleh Pulau Bangka di Sumatera Selatan. Tahun 1977 ditentukan sebagai fase persiapan Pengembangan Program Imunisasi (PPI). Tahun 1980 program imunisasi rutin terus dikembangkan dengan memberikan tujuh jenis antigen, yaitu BCG, DPT, Polio, Campak, Hepatitis B, TT, dan DT (Depkes RI, 2005). Cakupan imunisasi nasional selama tahun 2004 adalah ; BCG (97,9%), DPT1 (97,2%), DPT3 (91,1%), Campak (89,6%), Polio 4 (90,5%), dan Hepatitis B (72,0%) (Depkes RI, 2005). Cakupan imunisasi nasional pada tahun 2005 adalah ; BCG (87,7%), DPTI (79,9%), DPT3 (75,7%), Campak (85,4%), Polio 4 (77,1%), dan Hepatitis B (72,1%) (Depkes RI, 2003). Bila imunisasi dasar dilaksanakan dengan lengkap dan teratur, maka imunisasi dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian balita, sedangkan yang dimaksud imunisasi dasar lengkap adalah telah mendapat semua jenis imunisasi dasar pada waktu bayi berusia 11 bulan.

Sedangkan bayi yang sama sekali tidak diimunisasi tentu kekebalannya lebih rendah dari pada bayi yang melakukan imunisasi (Ibrahim, 1991). Target cakupan imunisasi nasional tahun 2005 adalah BCG (90%), DPT 1 (95%), DPT 2 (90%), DPT 3 (85%), Polio 1 (95%), Polio 2 (90%), Polio 3 (90%), polio 4 (85%), HB 1 (90%) HB 2 (85%), HB 3 (80%) dan campak (90%) (Depkes 2005). Dari data cakupan imunisasi di Propinsi Bengkulu dari beberapa puskesmas untuk mencapai target imunisasi antara lain : puskesmas Beringin Raya yang masih rendah cakupan imunisasi adalah BCG (45%) DPT 1 (44%), DPT 2 (36%), DPT 3 (40%), polio 3 (41%), Polio 4 (27%), puskesmas sawah lebar masih rendah cakupan imunisasi HB 2 (42%), HB 3 (39%), Puskesmas Kandang masih rendah cakupan Imunisasi yang mendapat BCG (70%), DPT 1 64%), DPT 2 (50%), DPT 3 (57%), Polio 1 (73%), Polio 2 (65%), Polio 3 (66%), Polio 4 (60%), HB 2 (62%), HB 3(51%), Campak 77%. Dari beberapa puskesmas, puskesmas Basuki rahmad dengan jumlah bayi 744 yang masih rendah cakupan Imunisasi antara lain : BCG (27%), DPT (25%), DPT 2 (19%), DPT 3 (25%), Polio 1 (30%) Polio 2 (29%), Polio 3 (28%), Polio 4 (31%), HB 2 (28%), HB 3 (26%) dan Campak (21%). Dari data tahun 2006 tersebut di puskesmas belum mencapai target yang ditentukan oleh WHO. Sudah dilakukan pada usia 11-12 bulan survey awal pada tanggal 13 Maret 2007 yang mendapat imunisasi lengkap 390 bayi yang tidak lengkap 346 bayi, 8 bayi yang tidak mendapat imunisasi yang tercatat di register puskesmas Basuki Rahmad. Dari faktor-faktor tersebut menurut Wahana (2001) umur ibu yang kurang 30 tahun cenderung imunisasinya lengkap sedangkan umur ibu lebih 30 tahun imunisasinya tidak lengkap. Jumlah anak menurut Wahan (2001) bahwa ibu yang mempunyai anak kurang dari 2 imunisasi anaknya lengkap sedangkan ibu yang mempunyai anak lebih dari 3 imunisasinya tidak lengkap, faktor-faktor yang mempengaruhi status imunisasi dasar mencakup umur, pendidikan, jumlah

anak. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan status imunisasi dasar pada bayi.

B. Rumusan Masalah Dengan uraian latar belakang diatas masalah penelitian adalah masih rendahnya semua cakupan imunisasi pada bayi di puskesmas Basuki Rahmad Kota Bengkulu 2007. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status imunisasi dasar pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Basuki Rahmad tahun 2007. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui hubungan umur ibu dengan status imunisasi dasar pada bayi

b. Mengetahui hubungan pendidikan ibu dengan status imunisasi dasar pada bayi. c. Mengetahui hubungan jumlah anak dengan status imunisasi dasar pada bayi

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Mahasiswa Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa Politeknik Kesehatan Bengkulu Jurusan Kebidanan dalam memberikan pelayanan pada masyarakat khususnya pengguna imunisasi. 2. Bagi Puskesmas Hasil penelitian ini dijadikan masukan bagi tenaga kesehatan untuk dapat lebih meningkatkan konseling atau penyuluh tentang pemberian imunisasi pada bayi.

3. Manfaat bagi peneliti lain Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam mengembangkan penelitian berikutnya.

E. Keaslian Penelitian Riza Isfan, 2006, Faktor-faktor yang berhubungan dengan status imunisasi dasar, di Kota Padang yang menggunakan metode penelitian case control dengan jumlah sampel 152 responden, dengan hasil: 1. Hubungan umur ibu dengan status imunisasi dasar pada anak Sescara statistik dapat di buktikan bahwa adanya hubungan yang signifikan dan antara umur ibu dengan status imunisasi dasar pada anak. Nilai OR 3,06 dengan 95% CI= 1,73 - 5,42 . 2. Hubungan pendidikan ibu dengan status imunisasi dasar pada anak Ada hubungan yang bermakna secara statistik antara tingkat pendidikan ibu dengan status Imunisasi dasar pada anak. Nilai OR 2,52 dengan 95% CI = 1,32 4,82. 3. Hubungan pekerjaan ibu dengan status imunisasi dasar pada anak. Tidak ditemukan adanya hubungan antara pekerjaan ibu terhadap status imunisasi dasar pada anak.

4. Hubungan pengetahuan ibu dengan status imunisasi dasar pada anak Terlihat bahwa ada hubungan yang bermakna secara statistik antara pengetahuan ibu dengan status imunisasi dasar pada anak. Nilai OR: 1,75 dengan 95% CI = 1,04 2,95.

5. Hubungan sikap ibu dengan status imunisasi dasar pada anak. Ada hubungan yang bermakna secara statistik antara sikap ibu dengan status imunisasi dasar pada anak. Nilai OR : 1,65 dengan 95% CI = 1,05 -2.60. 6. Hubungan jumlah anak dengan status imunisasi dasar pada anak. Tidak adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara jumlah anak dengan status imunisasi dasar pada anak. 7. Hubungan pekerjaan suami dengan status imunisasi dasar pada anak. Terlihat bahwa antara pekerjaan suami dengan status imunisasi dasar pada anak ada hubungan yang bermakna secara statistik. Nilai OR : 2,61 dengan 95 % CI = 1,05 6,49. 8. Hubungan jarak ke tempat pelayanan imunisasi dengan status imunisasi dasar pada anak. Diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna secara statistik antara jarak ke tempat pelayanan imunisasi dengan status imunisasi dasar pada anak. Nilai OR : 8,03 dengan 95% CI = 2,54 14.22.

9. Hubungan status ekonomi dengan status imunisasi dasar pada anak. Diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna secara statistik antara status ekonomi dengan status imunisasi dasar pada anak. Nilai OR : 2,25 dengan 95 % CI = 1,27 3,98 10. Hubungan anjuran untuk imunisasi dengan status imunisasi dasar pada anak. Di ketahui bahwa ada hubungan yang bermakna secara statistik antara anjuran untuk imunisasi dengan status imunisasi dasar pada anak. Nilai OR : 2,13 dengan 95% CI = 1,48 3,06.

11. Penulis ingin mengetahui faktor-faktor (umur ibu, pendidikan ibu, dan jumlah anak) yang berhubungan dengan status imunisasi dasar pada bayi di puskesmas Basuki Rahmad Kota Bengkulu tahun 2007. Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan saat ini adalah tempat, waktu, jumlah sampel, variabel, cara menganalisa. Penulis ingin mengetahui faktor-faktor (umur ibu, pendidikan ibu dan jumlah anak) yang berhubungan dengan status imunisasi dasar pada bayi di puskesmas Basuki Rahmad Kota Bengkulu.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Imunisasi 1. Pengertian Imunisasi Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tidak akan sakit atau sakit ringan (Depkes RI, 2000). Sedangkan imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal untuk mencapai kadar kekebalan di atas ambang perlindungan (Depkes RI, 2005). 2. Tujuan Imunisasi Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar. Keadaan yang terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang transmisinya bergantung kepada manusia, seperti misalnya difleri, agar dapat lebih mudah mengerti mengenai proses imunologik yang terjadi pada vaksinasi maka terlebih dahulu perlu diketahui tentang respons imun dan mekanisme pertahanan tubuh (IDAI, 2002).

9 Imunisasi terhadap difteri, pertusis dan tetanus dimulai sejak umur 2-3 bulan dengan selang 4-8 minggu sebanyak tiga kali. Imunisasi campak cukup diberikan satu kali karena diperhitungkan memberikan perlindungan seumur hidup. imunisasi poliomyelitis sudah dapat memberikan perlindungan seumur hidup apabila telah diberikan sebanyak empat kali. Dengan pemberian imunisasi yang lengkap maka terjadinya penyakit dan kematian dapat dihindari (Ali Musa,1995). 3. Manfaat Imunisasi

Manfaat imunisasi tidak hanya dirasakan oleh pemerintah dengan menurunnya angka kesakitan dan kematian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, tetapi juga dirasakan oleh : a. Bayi, mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit dan kemungkinan cacat atau kemandulan. b. Keluarga, menghilangkan kecemasan dan biaya pengobatan yang dikeluarkan bila bayi sakit. Hal ini akan mendorong pembentukan keluarga kecil karena orang tua yakin bayi-bayinya berada dalam keadaan aman. c. Negara, memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara dan memperbaiki citra bangsa (Depkes RI, 2002). 4. Program Imunisasi Upaya imunisasi diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956. Upaya ini merupakan upaya kesehatan masyarakat yang terbukti paling cost effective. Dengan upaya imunisasi terbukti bahwa penyakit cacat telah terbasmi dan Indonesia dinyatakan bebas dari penyakit cacar sejak tahun 1974 (Depkes RI, 2005). Sejak tahun 1977, upaya imunisasi diperluas menjadi Program Pengembangan Imunisasi dalam rangka pencegahan penularan terhadap Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (DP3I), yaitu tuberkulosis, difteri, pertusis, campak, polio, tetanus, serta hepatitis B. Dengan upaya imunisasi pula, kita sudah dapat menekan penyakit polio dan sejak tahun 1995 tidak ditemukan lagi virus polio liar yang berasal dari Indonesia (indigenous). Hal ini sejalan dengan upaya global untuk membasmi polio di dunia dengan Program Eradikasi Polio (ERAPO) (Depkes RI, 2005).

Penyakit lain yang sudah dapat ditekan sehingga perlu ditingkatkan programnya adalah tetanus maternal dan neonatal, serta campak. Untuk tetanus telah dikembangkan upaya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (MNTE), sedang terhadap campak dikembangkan upaya Reduksi Campak (RECAM). ERAPO, MNTE dan RECAM juga merupakan komitmen global yang wajib diikuti oleh semua negara di dunia (Depkes RI, 2005) secara khusus program imunisasi ditujukan untuk a. Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI), yaitu cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di desa/kelurahan pada tahun 2010 b. Tercapainya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (insiden dibawah 1 perseribu kelahiran hidup dalam satu tahun) pada tahun 2008, c. Eradikasi Polio pada tahun 2008

d. Tercapainya reduksi Campak (RECAM) pada tahun 2006 (Depkes RI, 2005). 5. Jadwal Pemberian Imunisasi Wahab (2002), menyebutkan bahwa imunisasi yang diharuskan di Indonesia adalah imunisasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin), Hepatitis B, DPT (Difteri, Pertusis, dan Tetanus), Polio dan Campak. Kegiatan imunisasi yang rutin adalah imunisasi dasar pada bayi umur 12-24 bulan meliputi : BCG (1 kali pemberian), DPT (4 kali), Hepatitis B (3 kali), dan Campak (1 kali) (Muchlastriningsih, 2005). Imunisasi dasar rutin terhadap bayi dilaksanakan berdasarkan jadwal berikut : Tabel 2.1. Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar Terhadap Bayi
Pemberian Imunisasi 1x 3x (DPT 1,2,3) Selang Waktu Pemberian 4 minggu

Vaksin BCG DPT

Umur 0-11 bulan 2-11 bulan

Keterangan

Polio

Campak Hepatitis B

4x (Polio 1,2,3,4) 1x 3x (Hepatitis B 1,2,3)

4 minggu

0-11 bulan

4 minggu

9-11 bulan 0-11 bulan

Untuk bayi yang lahir di RS/Puskesmas/RB/Rumah oleh tenaga kesehatan, HB segera diberikan dalam 24 jam pertama kelahiran. BCG, Polio diberikan sebelum bayi pulang ke rumah.

Sumber : Pedoman Teknis Imunisasi, 2005

B. Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) Jenis-jenis penyakit menular yang saat ini masuk ke dalam program imunisasi adalah tuberkulosis, difteri, pertusis, tetanus, polio, campak, dan hepatitis B (Muchlastriningsih, E, 2005). 1. Tuberkulosis : Penyebab infeksi adalah kompleks mycobacterium tuberkulosis. Kompleks ini termasuk mycobacterium tuberkulosis dan mycobacterium africanum terutama berasal dari manusia, dan mycobacterium bavis yang berasal dari sapi. Mulai masuknya bibit penyakit sampai timbul gejala adanya lesi primer atau reaksi tes tuberkulosis positif kira-kira 2-10 minggu. Resiko menjadi TB paru dan TB ekstrapulmoner progresif setelah infeksi primer biasanya terjadi pada tahun pertama dan kedua. Infeksi laten dapat berlangsung seumur hidup. Umumnya manusia berperan sebagai reservoir, jarang sekali primate, di beberapa daerah terjadi infeksi yang menyerang ternak, seperti sapi, babi, dan mamalia lain. Penularan terjadi melalui udara yang mengandung basil TBC dalam percikan ludah yang dikeluarkan oleh penderita TB paru dan TB laring pada waktu mereka batuk, bersih, atau pada waktu bernyanyi. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia. Pajanan dalam jangka waktu lama dalam lingkungan

keluarga menyebabkan resiko terinfeksi. Pemberian imunisasi BCG terhadap mereka yang tidak terinfeksi TB (tes tuberkulin negatif), lebih dari 90% akan memberikan hasil tes tuberkulin positif. 2. Difteri Penyebab penyakit adalah corynebacterium diphtheria dari biotipe gravis, mitis, atau intemedius. Masa inkubasi biasanya 2-5 hari, terkadang lebih lama. Reservoir penyakit ini adalah manusia. Cara penularan melalui kontak dengan penderita atau carrier. Jarang sekali penularan melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi penderita difteri. Susu yang tidak dipasteurisasi dapat berperan sebagai media penularan. Masa penularan beragam, tetap menular sampai tidak ditemukan lagi bakteri dari discharge dan lesi, biasanya berlangsung 2 minggu atau kurang, bahkan kadangkala dapat lebih dari 4 minggu. Carrier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan. Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara sub tropis, dan terutama menyerang bayi-bayi berumur di bawah 15 tahun yang belum diimunisasi. Cara pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara luas dengan diphtheria toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen acelullar pertussis, atau vaksin yang mengandung whole cell pertussis (DTP). 3. Pertusis Penyebab penyakit adalah bordetella pertussis, basil pertusis. Masa inkubasi penyakit ini umumnya 7-10 hari. Reservoir penyakit ini adalah manusia, yang dianggap sebagai satu-satunya hospes (Muschlastriningsih, E, 2005).

Cara penularan melalui kontak langsung dengan discharge selaput lendir saluran pernafasan dari orang yang terinfeksi lewat udara, kemungkinan juga penularan melalui percikan ludah. Seringkali penyakit dibawa pulang oleh anggota saudara yang lebih tua atau orang tua penderita. Penyakit ini sangat menular pada stadium kataral awal sebelum paroxysmal. Selanjutnya tingkat penularannya secara bertahap menurun dan dapat diabaikan dalam waktu 3 minggu untuk kontak bukan serumah, walaupun batuk spasmodic yang disertai whoop masih tetap ada (Ali Musa, D, 1995). Distribusi penyakit, penyakit endemis yang sering menyerang bayi-bayi (khususnya usia dini) tersebar di seluruh dunia, tidak tergantung etnis, cuaca ataupun lokasi geografis. Terjadi penurunan yang nyata dari angka kesakitan pertusis selama empat decade terakhir, terutama pada masyarakat dimana program imunisasi berjalan dengan baik serta tersedia pelayanan kesehatan yang cukup dan gizi yang baik (Muschlastriningsih, E, 2005). Cara pencegahan dilakukan dengan pemberian imunisasi mulai usia dua bulan dan mengikuti jadwal pemberian imunisasi yang dianjurkan. Imunisasi dasar untuk mencegah infeksi bordetella pertussis yang direkomendasikan adalah tiga dosis vaksin yang mengandung suspensi bakteri yang telah dimatikan, biasanya dikombinasikan dengan diphtheria dan tetanus toxoid yang diserap dalam garam alumunium (vaksin absorbsi Diptheria dan Tetanus Toxoid dan Pertusis DPT) (Muschlastriningsih, E, 2005). 4. Tetanus Tetanus adalah penyakit akut yang disebabkan oleh eksotoksin yang dikeluarkan oleh basil tetanus yang hidup secara anaerobic pada luka. Ciri khas dari tetanus adalah adanya kontraksi otot disertai rasa sakit, terutama otot leher, diikuti dengan otot-otot seluruh badan. Gejala pertama yang muncul, yang mengarahkan kita untuk memikirkan tetanus pada bayi usia

lebih tua dan orang dewasa, adalah jika ditemukan adanya kaku otot pada abdomen. Posisi yang khas pada penderita tetanus yang mengalami kejang adalah terjadinya opisthotonus dan ekspresi wajah yang disebut dengan risus sardnoicus. (Depkes RI, 2002). Masa inkubasi biasanya 3-21 hari, walaupun rentang waktu bisa satu hari sampai beberapa bulan. Hal ini tergantung pada ciri, kedalaman dan letak luka, rata-rata masa inkubasi adalah 10 hari. Kebanyakan kasus terjadi dalam waktu 14 hari. Pada umumnya makin pendek masa inkubasi biasanya karena luka terkontaminasi berat, akibatnya makin berat penyakitnya dan makin jelek prognosisnya (Depkes RI, 2004). Reservoir dari basil tetanus adalah usus kuda dan hewan lainnya, termasuk manusia dimana kuman tersebut berbahaya bagi hospes dan merupakan flora normal dalam usus, tanah, atau benda-benda yang dapat terkontaminasi dengan tinja hewan atau manusia dapat juga berperan sebagai reservoir (Depkes RI, 2003) Penularan terjadi apabila spora tetanus masuk ke dalam tubuh, bisanya melalui luka tusuk yang tercemar dengan tanah, debu jalinan, atau tinja hewan dan manusia. Sporran dapat juga masuk melalui luka bakar atau luka lain yang sepele, atau dapat juga melalui pembedahan, termasuk setelah sirkumsisi. Tidak ada penularan langsung dari manusia kepada manusia. Cara pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian tetanus toksoid bersama-sama diphtheria toxoid dan vaksin pertusis dalam kombinasi vaksin DPT (Depkes RI, 2005). 5. Poliomielitis Penyakit polio disebabkan oleh poliovirus (genus enterovirus) tipe 1,2 dan 3. semua tipe dapat menyebabkan kelumpuhan. Tipe 1 dapat diisolasi dari hampir semua kasus kelumpuhan. Tipe 3 lebih jarang, demikian pula tipe 2 paling jarang. Tipe 1 paling sering menyebabkan wabah. Sebagian besar kasus vaccine associated disebakan oleh tipe 2 dan 3. Masa inkubasi

umumnya 7-14 hari untuk kasus paralitik, dengan rentang waktu antara 3-35 hari (Depkes RI, 2004). Reservoir satu-satunya adalah manusia, dan sumber penularan biasanya penderita tanpa gejala atau (inapparent infection) terutama bayi-bayi. Penularan terutama terjadi dari orang ke orang melalui rute orofekal; virus lebih mudah dideteksi dari tinja, dalam jangka waktu panjang dibandingkan dari secret tenggorokan. Di daerah dengan sanitasi lingkungan yang baik penularan terjadi melalui sekret faring dari pada melalui rute orofekal (Muchlastriningsih, E, 2005). Cara pencegahan dengan memberikan imunisasi polio (OPV) untuk merangsang pembentukan antibody, baik antibodi di dalam darah maupun antibody pada jonjot (vili) usus. Di samping itu, virus yang ada pada OPV dapat mengimunisasi orang-orang di sekitarnya dengan cara penyebaran sekunder (Depkes RI, 2005). 6. Campak Penyakit campak disebabkan oleh virus campak, anggota genus morbilivirus dari famili paramyxoviridae, yang merupakan penyakit virus akut yang sangat menular. Gejala awal berupa demam, konjungtivitis, pilek, batuk, dan bintik-bintik kecil dengan bagian tengah berwarna putih atau putih kebiru-biruan dengan dasar kemerahan di daerah mukosa pipi (bercak koplik) tanda khas bercak kemerahan di kulit timbul pada hari ketiga sampai hari ketujuh, dimulai di daerah muka, kemudian menyeluruh, berlangsung selama 4-7 hari, dan kadang-kadang berakhir dengan pengelupasan kulit berwarna kecoklatan. Masa inkubasi berlangsung sekitar 10 hari, tiap bisa antara 7-18 hari dari terpajan sampai gejala demam, biasanya 14 hari sampai timbul ruam. Jarang sekali lebih lama dari 19-21 hari (Muchlastriningsih, E, 2005). Reservoirnya adalah manusia. Masa penularan berlangsung mulai dari hari pertama sebelum munculnya gejala prodormal (biasanya sekitar 4 hari sebelum timbulnya ruam) sampai 4

hari setelah timbulnya ruam; minimal setelah hari kedua timbulnya ruam. Virus vaksin yang dilemahkan, sampai saat ini tidak pernah dilaporkan menular. Penularan melalui udara dengan penyebaran droplet, kontak langsung melalui sekret hidung atau tenggorokan dari orang-orang yang terinfeksi dan agak jarang melalui benda-benda yang terkena sekret hidung atau sekret tenggorokan. Masa penularan berlangsung mulai dari hari pertama sebelum munculnya gejala prodormal (biasanya sekitar 4 hari sebelum timbulnya ruam) sampai 4 hari setelah timbulnya ruam; minimal setelah hari kedua timbulnya ruam. Virus vaksin yang dilemahkan, sampai saat ini tidak pernah dilaporkan menular (Muchlastriningsih, E, 2005). Pencegahan terhadap penyakit campak dilakukan dengan pemberian imunisasi campak dengan menggunakan vaksin yang mengandung virus campak yang dilemahkan. Gejala ini muncul antara 5-12 hari setelah diimunisasi, biasanya akan berakhir setelah 1-2 hari, namun tidak begitu mengganggu (Depkes RI, 2005). 7. Hepatitis B Penyebab penyakit adalah virus hepatitis B (HBV), termasuk hepadnavirus, berukuran 42-nm double stranded DNA virus terdiri dari nucleocapsid core (HbsAg) berukuran 27 mm, dikelilingi oleh lapisan lipoprotein di bagian luarnya yang berisi antigen permukaan (HbsAg). Masa inkubasi biasanya berlangsung 45-180 hari, rata-rata 60-90 hari. Paling sedikit diperlukan waktu selama 2 minggu untuk bisa menentukan HbsAg dalam darah, dan jarang sekali sampai selama 6-9 bulan. Perbedaan masa inkubasi dikaitkan dengan berbagai faktor, antara lain jumlah virus dalam inoculum, cara penularan, dan faktor penjamu (IDAI, 2002). Manusia berperan sebagai reservoir. Simpanse juga rentan terhadap infeksi, tetapi reservoir pada binatang di hutan tidak ditemukan. Cara penularan HBV yang paling sering terjadi melalui kontak seksual atau kontak rumah tangga dengan seseorang yang tertular. Penularan

perinatal terjadi dari ibu kepada bayinya. Bagian tubuh yang memungkinkan terjadinya penularan HBV adalah darah dan produk darah, air ludah, cairan cerebrospinal peritoneal, cairan pericardial dan synovial, cairan amniotic, semen, cairan vagina, cairan bagian tubuh lainnya yang berisi darah, organ dan jaringan tubuh yang terlepas. (Depkes RI, 2002). Strategi pencegahan hepatitis B antara lain melakukan skrining terhadap ibu hamil untuk menemukan HbsAg dan memberikan HBIG dan imunisasi hepatitis B pada bayi yang lahir dari ibu dengan HbsAg positif, memberikan imunisasi hepatitis B rutin untuk semua bayi. Kekebalan terhadap HBV dipercaya akan bertahan paling sedikig selama 15 tahun setelah pemberian imunisasi lengkap (Depkes RI, 2004).

C. Pendidikan 1. Pengertian Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan, spritul keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UUD No. 20, 2003). Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan sebagaimana diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatapan muka atau melalui jarak jauh (UUD No 20, 2003). Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

a.

Jenis-jenis pendidikan

1) Pendidikan dasar Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang dilandasi jenjang pendidikan menengah, pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsnawiyah (MTs). 2) Pendidikan Menengah Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar, pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK). 3) Pendidikan tinggi Pendidikan tinggi merupakan lanjutan dari pendidikan menengah yang mencakup pendidikan Diploma, Sarjana, Megister, Spesialis dan Doktor yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi, Pendidikan ini diselenggarakan dengan sistem terbuka.

D. Faktor-faktor yang berhubungan dengan imunisasi dasar (Darnen, Tufi,2001) 1. Umur Ibu Umur ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan imunisasi bayinya. Hasilnya penelitian Wardhana (2001) disebutkan bahwa ibu yang berumur 30 tahun atau lebih cenderung imunisasi bayinya tidak lengkap dibandingkan dengan ibu yang berumur lebih muda. Penelitian yang lain dengan memperlakukan umur ibu sebagai data kontinyu, menemukan bahwa status imunisasi bayi semakin baik (imunization rate) seiring dengan peningkatan umur ibu (Waldhoer, 1997).

Penelitian Rahmadewi (1994), memperoleh hasil bahwa (58,3%) kelengkapan status imunisasi bayi terdapat pada ibu yang berumur 20-29 tahun. Sedangkan proporsi yang hampir sama pada umur ibu 15-19 tahun sebelum (48,4%)dan umur ibu 30 tahun lebih sebesar (48,5%) 2. Pendidikan Ibu Penelitian yang dilakukan Sreaflied dan Singarimbun (1986), diketahui bahwa tingkat pendidikan ibu mempunyai hubungan dengan status imunisasi dasar pada bayi. Penelitian terhadap 519 responden, didapat hasil bahwa persentase bayi dengan imunisasi dasar lengkap lebih tinggi dari pada ibu dengan tingkat pendidikan SLTA ke atas. Penelitian yang dilakukan Masjukri, dkk (1983), mendapatkan ibu-ibu yang buta huruf sampai dengan tak tamat SD, proporsinya lebih tinggi pada kelompok yang tidak tahu imunisasi, sedangkan ibu-ibu dengan pendidikan dari tamat SD ke atas, proporsinya lebih tinggi pada kelompok yang tahu imunisasi. Berapa studi menemukan bahwa tingkat pendidikan ibu berhubungan yang positif dengan status imunisasi bayi. Ibu yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi (waktu mengikuti pendidikan lebih lama), maka bayinya akan mempunyai status imunisasi yang semakin baik/mengikuti pemberian imunisasi sesuai jadwal yang dianjurkan / ditetapkan program (Wahyono, 1999) 3. Jumlah anak Jumlah saudara juga mempunyai hubungan dengan status imunisasi dasar pada bayi. Bayi yang mempunyai status Imunisasinya lengkap mempunyai 2 saudara, sedangkan bayi yang status Imunisasinya tidak lengkap mempunyai lebih kurang 2 saudara (Wahyono, 1999). BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini secara survey analytic dengan pendekatan cross Sectional di mana penelitian dilakukan terhadap variabel bebas (faktor resiko) dan variabel tergantung (efek) dengan pengukuran di lakukan sekali dan dalam waktu yang bersamaan. Desain penelitian secara cross sectional dapat dilihat gambar di bawah ini Gambar 3.1 Desain Penelitian

B. Variabel Penelitian Variabel Independen Variebel Dependen

C. Definisi Operasional 1. Definisi Operasional Variabel Dependent dan Independent


No 1 Nama Variabel Status imunisasi dasar pada bayi Definisi Status bayi berusia 11-12 bulan yang mendapatkan imunisasi dasar lengkap, berupa BCG, DPT1, Metode dan Alat Ukur Check list Hasil Ukur Skala Nominal

0 : Bayi usia 11-12 bulan yang tidak mendapat imunisasi lengkap 1 : Bayi usia 11-12

Umur ibu

Pendidikan Ibu

DPT2, DPT3, Polio1, Polio2, Polio3, Polio4, Campak dan HB1, HB2 dan HB3 berdasarkan catatan pada registrasi imunisasi di Puskesmas Usia ibu yang memiliki bayi berusia 11-12 bulan dihitung berdasarkan ulang tahun terakhir Jenjang sekolah tertinggi yang diselesaikan/ ditamatkan responden

bulan yang mendapat imunisasi lengkap

Wawancara Kuesioner, format isian Wawancara Kuesioner format isian

0 = > 30 tahun 1 = < 30 tahun

Ordinal

0 = dasar 1 = menengah 2 = tinggi

Ordinal

Jumlah anak

Ibu yang mempunyai anak u 2 orang dan ibu yang mempunyai anak < 2 orang

Wawancara, 0 = u 2 orang kuesioner, 1 = < 2 orang format pengumpulan data

Ordinal

D. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai bayi umur 11-12 bulan yang melakukan imunisasi di wilayah kerja Puskesmas Basuki Rahmad pada saat penelitian dilakukan, besar populasi 744 responden.

Dimana : n p q ZE/2 ZF : jumlah sampel : (pl + p0) : 1-p : 1,96 : 1,28

P0

Proporsi kontrol yang terkena pajanan

P1 OR

: : perkiraan odds ratio (Sumber : Budiono, 2002)

Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian, didapat nilai ZE, ZF, OR, Po, P1 seperti terlihat pada tabel dibawah ini Variabel 1. Umur ibu 2. Pekerjaan Ibu 3. Jumlah anak ZE 1,96 1,96 1,96 ZF 1,28 1,28 1,28 OR 2,78 2,04 1,03 Po 0,36 0,2 2,1 P1 0,41 0,32 2,4 Besarnya sampel 46 16 94

2. Sampel Dengan hasil perhitungan didapat sampel yang paling besar adalah 94 jadi dalam penelitian ini mengambil sampel sebesar 94 orang.

E. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Basuki Rahmad Kota Bengkulu. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2007. F. Pengumpulan Data Data dikumpulkan dari sumber data dengan menggunakan kuesioner. Apabila peneliti menggunakan kuesioner atau wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data disebut responden, yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis maupun lisan (Arikunto, 2002).

Dengan penelitian ini, data variabel terikat (status imunisasi dasar pada bayi) diperoleh dari buku register imunisasi di puskesmas, sedangkan data variabel bebas (umur ibu, pendidikan ibu, jumlah anak) dikumpulkan dengan kuesioner dengan melakukan wawancara langsung kepada responden.

G. Pengolahan Data Data yang sudah terkumpul, diolah dengan menggunakan software yang sudah ada pada komputer. Khusus pada variabel yang diperoleh dari beberapa pertanyaan, dilakukan scoring untuk lebih menyederhanakan data variabel tersebut.

H. Analisa Data 1. Analisis Univariat Analisis ini digunakan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi semua variabel penelitian.

2. Analisis Bivariat Analisis ini dilakukan untuk menguji hipotesis ada tidaknya hubungan variabel antara masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat yang ditunjukkan dengan nilai p. Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabulasi dan narasi. Jika nilai p<0,05, berarti ada hubungan yang bermakna secara statistik. Tetapi jika nilai p > 0,05 berarti tidak hubungan yang bermakna secara statistik. Dalam analisis bivariat peneliti menggunakan soft ware pengolahan data dengan bantuan komputer. PR dapat ditulis dengan rumus sebagai berikut :

PR

Tabel silang Pajanan Ya Tidak Jumlah Kasus a c a+c Kontrol b d b+d Jumlah a+b c+d a+b+c+d

Dimana : Sel a Sel b Sel c Sel d : Yang mengalami pajanan : Yang mengalami pajanan : Yang tidak mengalami pajanan : Yang tidak mengalami pajanan

Maka PR ({a/(a+b) : b/(a+b)}/c(c+d):d/(c+d)}=a/b:c/d = ad/bc Untuk menarik kesimpulan nilai ratio adalah sebagai berikut : PR > 1 : Mempertinggi resiko (promotive factor) PR = 1 : Tidak terdapat asosiasi PR < 1 : Mengurangi resiko (preventive factor)

DAFTAR PUSTAKA

Ayubi, Dian, 2006. Peran Kepemimpinan Transformasional Pengelola Program Imunisasi Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota Terhadap Status Imunisasi Anak di Tujuh Provinsi di Indonesia, Disertasi, FKM-U1, Depok Ali Musa, Dahlan, 1985. Peranan Pencegahan Khususnya lmunisasi dalam Penurunan Angka Kematian Bayi di Indonesia, MIKMI, XV, No: nor 9 Arikunto, Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian, suatu pendekatan praktek, Cetakan Keduabelas, PT. Rineka Cipta, Jakarta Amdani, 2004, Angka Kematian Bayi Masih Tinggi, Info Penyakit Menular, Depkes RI, Jakarta Darnen, Tufi, 2001. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status ketidaklengkapan imunisasi dasar pada anak umur 01-04 tahun di Kabupaten Indramayu tahun 2001 (analisis data sekunder Survei Evaluasi Manfaat/ SEM), FKMTII, Depok IDAI, 2002. Buku Imunisasi di Indonesia. Istin, Nur, 2002. Pengaruh Faktor Predisposisi dan Pendukung Terhadap Status Imunisasi Anak Usia 9-59 bulan di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002, FKMLII, Depok Masjkuri K, Nuning, dkk., 1985. Penelitian Pengertian Ibu-ibu Tentang Imunisasi Kecamatan Kebayoran Lama Jakarta Selatan Tahun 1983, FKM UI, Jakarta. Muchlastriningsih, Enny, 2005, Penyakit-penyakit Menular yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi di Indonesia, Cermin :Dunia Kedokteran No. 148 Notoatmodjo, Soekidjo, 2003. Pendidikan dan Perilaku Ke.sehatan. Cetakan Pertama. T. Rineka Cipta, Jakarta. Pediatrics, 2005, Pedoman Pematauan don Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi, Departemen Kesehatan RI, Jakarta ________, '2004. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2002, Departemen Kesehatan RI, Jakarta,

You might also like