You are on page 1of 7

ALIRAN POLITIK DALAM ISLAM

Pemikiran politik Khawarij, Syiah, Ahlu Sunnah Wal Jamaah dan Mutazilah

1. KHAWARIJ
Mereka melandaskan pendapatnya, bahwa seorang pemimpin tidak disyariatkan berasal dari Quraisy, karena Al-quran tidak menyebutkan keharusan seorang pemimpin yang berasal dari suatu kabilah atau keturunnan tertentu. Isyarat dalam AlQuran hanya menyebutkan ketaatan kepada walyul-amri yang memerintah berdasarkan syariat Allah dan memutuskan secara adil. Diantara ayat Al-Quran yang mereka jadikan dalil adalah: Sesungguhnya Allah menuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan Taatilah rasul-Nya, dan Ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demuikian itu lebih utama (bagimu dan lebih baik akibatnya ) Q.S/ An-Nisa: 58-59) Sisi pembuktian ayat ini: Sesungguhnya Allah memerintahkan agar seorang pemimpin memutuskan hukum secara adil, dan tidak mensyaratkan agar pemimpin itu berasal dari keturunnan tertentu atau kabilah teetentu. Dia juga memrintah agar taat kepada waliyul amri yang tidak disyaratkan oleh Allah harus berasal dari quraisy atau bukan Quraisy Sebagai telah disinggung dimuka bahwa generasi pertama golongan ini adalah sebagian dari pengikut khalifah Ali yang keluar dari barisannya dalam perang Shiffin. Perang ini di akhiri dengan adanya tahkim untuk menyelesaikan konflik antara Ali dan Muawiyah.

Sesungguhnya merekalah yang memaksakan usul kepada Ali agar bersedia menerima tawaran pihak muawiyah supaya peperangan yang sedang berkecamuk dihentikan dan diselesaikan dengan tahkim berdasarkan al-Quran. Tadinya Ali menolak tawaran itu, ia tahu bahwa tawaran itu hanya siasat belaka dari pihak Muawiyah yang kekuatan pasukannya mulai menurun, sehingga tidak mungkin memenangkan peperangan Kecewa atas keputusan tahkim, diamana Ali secara sepihak dimakzulkan dari jabatannya sebagai khalifah dan sebagai gantinya muawiyyah diangkat menjadi khalifah, mereka berbaik menyalahkan Ali. Sebab menurut mereka pelaksanaan tahkim itu tidak sesuai dengan ketentuan Al-Quran Pembentukkan lembaga khalifah atau pemerintahan menurut Khawarij, bukanlah merupakan suatu keharusan atau kewajiban. Hali ini tergantung kepada kehendak umat apakah suatu pemerintahan perlu dibentuk atau tidak. Semua sekte khawarij mempunyai kesamaan pendapat tentang tidak adanya keharusan membentuk suatu pemerintahan. Bahkan salah seorang pemuka khawarij, Najdah bin Amr al-Hanafi dari sekte Al-Nadjat, berpendapat bahwa imam atau kepala negara itu tidak perlu sama sekali. Pemikiran politik Khawarij yang cemerlang dan bercorak demokratis adalah mengenai masalah siapa yang berhak menjadi khalifah atau imam, dan kepala Negara. Kalu memang dibutuhkan oleh umat, dan karena itu ia bukanlah hak monopoli suku tertentu. Dalam praktek, kaum khawarij lebih mengutamakan orang non-Quraisy untuk menduduki jabatan khalifah. Alasan yang dikemukakan agar mudah dimakzulkan apabila ia menyimpang dari syariat Untuk mengakhiri pembahasan ringkas tentang pemikiran politik khawarij ini, perlu dilihat factor yang mewarnai pandangan politik mereka. Wellhausen melihatnya dari segi pemahaman mereka terhadap al-quran. Mereka menurutnya adalah orangorang yang menguasai al-Quran dengan baik dan mendalam, saleh dan jujur. Tapi menurut Abu Zahroh, kaum khawarij terdiri dari orang-orang Baduwi (masyarakat Arab pinggiran) yang kurang mendalami Al-Quran. namun mereka memiliki keikhlasan yang tinggi dan semangat yang besar untuk melaksanakan ajaran islam.

walaupun demikian, cara mereka memahami makna al_quran hanya berpegang pada arti lahiriyahnya saja, atau pemahaman yang formalistik, tekstual dan skripturalistik. Agaknya cara mereka dalam memahami al-Quran secara tekstual itulah yang mempengaruhi pandangan politik mereka. Cara pemahaman demikian berkaitan dengan cara berfikir orang-orang arab baduwi, yaitu berpikir sederhana disamping berwatak demokratis yang dipengaruhi oleh lingkungan geografis gurun pasir yang ganas dan gersang. Dimana mereka hidup secara normal. Namun tidak bisa pula dilepaskan dari peristiwa tahkim yang membuat mereka kecewa

2. SYIAH
Sebagai doktrin eskatologis Syiah, konsep Mahdi adalah kepemimpinan keimanan kepada imam mahdi atau imam Gaib yang akan muncul kembali pada akhir zaman sebagai seorang pembebas yang mewujudkan keadilan dan persamaan sosialpolitik melalui mana kehidupan damai yang didasarkan kepada ajaran islam bisa dicapai. dengan kata lain, dipercaya bahwa dia akan bisa mewujudkan suatu masyarakat religius yang ideal. Sebagai telah dikemukakan, Perang Shiffin berakhir dengan arbitrase, dan berakibat pada lahirnya tiga praksi politik waktu itu. Pertama, golongan Khawarij, kedua, golongan Muawiyyah yang dikenal dengan sebutan Syiah Kaum Syiah adalah para pengikut setia Ali bin Abi Thalib. Keyakinan mereka yang amat tinggi kepadanya membawa kepada suatu keyakinan bahwa Ali bin Abi thalib adalah al-Khalifat al-Mukhtar (kalifah terpilih) dari Nabi SAW, karena ia dianggap sahabat terbaik diantara shahabat-shahabat Nabi, artinya mereka meyakini yang berhak mengendalikan pemerintahan, pasca Nabi, adalah imam baik pemegang kepemimpinan politik maupun kepemimpinan spiritual (agama) Syiah dua belas dan Syiah Tujuh disebut juga Syiah imamiyyah, sedangkan Syiah islamiliyyah hanya meyakini tujuh imam. Kedua golongan syiah imamiyyah hanya sepakat sampai kepada imam keenam (Jafar al-Shadiq). Mereka berbeda berhasil membentuk Dinasti Umayyah dan menjadi imperial islam pertama dalam sejarah, Ketiga, golongan Ali yang kemudian

pendapat pada imam ketujuh Musa al-kazim atau Ismail, keduanya putra imam keenam yang berhak mewarisi jabatan imam. Bagi syiah dua belas yang berhak menduduki kursi imam ketujuh adalah Musa al-Kazim. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa Ismail lebih dulu meninggal dunia dari ayahnya, Jafar al-Shadiq imam keenam) Paradigma pemikiran syiah imamiyyah tentang imamah adalah imamah bukan urusan yang bersifat umum yang diserahkan kepada umat, dan menentukan orang untuk memegang jabatan itu menurut kehendak mereka. Sebab masalah imamah termasuk rukun agama dan kaidah islam. Karena itu nabi tidak boleh melupakannya dan menyerahkannya kepada umat. Bahkan Nabi wajib menentukan imam bagi umat islam, dan imam adalah masum (suci) dari dosa-dosa besar dan kecil. Untuk Melitigimasi keyakinan ini kaum syiah mengemukakan nash (bukti tekstual) dari nabi yang menetapkan Ali dan keturunannya untuk menjadi imam atau khalifah yang menggantikan Nabi setelah beliau wafat Nash ucapan Nabi yang mereka kemukakan adalah: Barang siapa menganggapku pemimpinnya maka Ali juga adalah pemimpinnya. Ya Allah, jadilah penolong terhadap orang yang mengikutinya, dan jauhilah orang yang memusuhinya, Kedudukan Ali dalam hal ini adalah sebagai washi Nabi Muhammad saw yang menerima wasiat beliau. Ia menerima kepercayaan sepenuhnya dari beliau untuk menggantikan beliau adalah memimpin umat. Washi sesudah Ali adalah Hasan, kemudian Husein dan seterusnya. Dalam kaitan ini, imam mempunyai peran penting dibidang undang-undang dan hukum. Pertama, nabi sebagai washi. sebab menurut keyakinan kaum syiah, nabi tidak menjelaskan seluruh syariat yang ada, melainkan sebagian saja yang menjadi tuntunan dizamannya. Sebahagiannya beliau tinggalkan untuk para washi agar mereka menjelaskannya kepada manusia sesuai tuntunan zaman mereka sesudah beliau. Kedua, diyakini oleh penganut syiah apa yang diucapkan oleh para washi merupakan syariat islam untuk menyempurnakan risalah kenabian Muhammad saw. Kaum Syiah menetapkan bahwa seeorang imam: 1. Harus Mashum (terpelihara) dari berbuat salah, lupa dan maksiat

2. Seorang Imam boleh membuat hal yang luar biasa dari adat kebiasaan yang mereka sebut mujizat yang mengukuhkan keimanannya sebagaimana mukjizat yang terjadi pada nabi-nabi Allah 3. Seorang imam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubungan dengan syariat. Pengetahuan yang luas itu bukan melalui proses belajar dan ijtihad, tapi merupakan ilmu ladunni, yaitu kemakrifatan yang dilimpahkan Allah kepada para imam 4. Imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestariannya agar terhindar dari penyelewengan. Itulah doktrin-doktrin pokok syiah imamiyyah. Pengikutnya sekarang ini banyak terdapat di Iran, Iraq, Pakistan dan India. Kepemimpinan imam adalah pemegang kekuasaan spiritual dan kekuasaan politik sekaligus Syiah Zaidiyyah juga tidak meyakini bahwa nabi telah menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam. Tidak ada teori washi dalam pemikiran politik mereka. Nabi hanya menetapkan sifat-sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau Patut pula diberi suatu analisis bahwa terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum syiah tidak bisa lepas dari pendapat kaum khawarij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim. Untuk itu mesti ada suatu doktrin yang mengimbangkannya yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada tingkat masum dan mendoktrinkan bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat nabi sebagai imam untuk menggantikan Nabi.

3. AHLU SUNNAH WAL JAMA/AH


Pertemuan di Tsaqifah bani Saidah merupakan pelaksana syura yang pertama dilakukan oleh umat islam sejak wafatnya Nabi untuk memilih khalifah beliau dan peristiwa tahkim antara Ali dan muawiyyah, menjadi titik tolak yang penting bagi sejarah perpolitikan umat islam. Sebab secara aspirasi umat islam dalam dua peristiwa itu mulai berpolarisasi untuk mengorbitkan siapa yang berhak menjadi kahlifah. akibatnya umat islam terkotak-kotak dalam berbagai aliran, yaitu: Khawarij, Syiah, Mutazilah dan Ahlu Sunnah wal Jamaah atau Sunni

Sehubungan dengan itu, paradigma pemikiran politik sunni menurut abu zahroh secara umum didasarkan pada empat prinsip umum. Pertama, Berdasarkan keutamaan keturunan. Penetapan prinsip ini mereka dasarkan dalam hadits-hadits nabi: Manusia mengikuti kaum Quraisy dalam urusan ini, mereka menjadi muslim karena mereka (quraisy) muslim, dan mereka menjadi kafir, karena mereka (qurasiy) menjadi kafir Manusia mengikuti kaum quraisy dalam kebaikan dan kejahatan. kedua, Baiat sebagai syarat yang disepakati oleh mayoritas umat islam dalam pemilihan kepala Negara yang dilakukan oleh al-hall al-aqd. Dengan baiat ini mereka mengadakan kontrak social dengan kepala Negara terpilih baik disukai atau tidak, selama ia tidak melakukan perbuatan maksiat. Ketiga, prinsip syura (musyawarah atau konsultasi), yakni pemilihan khalifah melalui musyawarah atau konsultasi. Prinsip ini didasarkan pada nash Al-Quran yang menekankan pentingnya mengadakan musyawarah dalam berbagai urusan (Q.S al-Syura : 38, dan Ali imran : 159), dan praktek musyawarah Nabi dan shahabat. Oleh karena baik al-Quran maupun hadits tidak menetapkan bentuk dan mekanisme serta syarat-syararat pelaksanaannya, maka terjadi perbedaan dikalangan umat islam baik dalam praktek maupun dalam pemikiran. Umpamanya apakah peserta musyawarah itu seluruh kaum muslimim atau beberapa orang saja. Keempat, prinsip keadilan. Prinsip ini didasarkan pada nash al-Quran (Q.S AnNisa 134, al-Maidah 8) dan lain-lain. Keadilan menurut islam bersifat universal baik dalam perundang-undangan maupun dalam praktis, bahkan terhadap musuh sekalipun harus berlaku adil. Dalam kaitan ini nabi bersabda: Ada tiga orang yang tidak ditolak doanya, yaitu: Doa orang yang berpuasa, doa kepala Negara yang adil dan doa orang yang teraniaya. Dan Sabdabnya: Penghuni surga dalah raja yang adil, orang yang lemah lembut hatinya, dan orang yang menjaga kehormatannya dirinya dan tak mau mengerjakan yang keji serta memperbanyak sedekah.

4. MUTAZILAH
Secara politis penamaan golongan muslimin ini merujuk kepada para shahabat seperi Saad bin abi Waqas, Abdullah bin Umar, Zaid bin tsabit dan lain-lain yang

mengambil sikap netral terhadap pengangkatan Ali sebagai khalifah keempat. Mereka tidak memberi baiat atau dukungan kepada Ali. Mereka juga memisahkan diri dari permusuhan antara kubu Muawiyyah dan kubu Ali, dengan bersikap netral; tidak berpihak kepada salah satu pihak. Mereka memilih pergi ke masjid untuk membaca Al-quran dan mendalami pengetahuan agama dengan akal dan hati mereka. Pemikiran politik Muktazilah tidak jauh berbeda dengan khawarij. Mereka berpendapat, pembentukan imamah tidak wajib berdasarkan syara, melainkan atas dasar pertimnagan rasio dan tuntutan muamalah manusia. Kebanyakan orang-orang muktazilah berpendapat, kemestian adanya imam dikaitkan dengan fungsinya untuk melaksanakan hukum-hukum, menegakan pengadilan, melindungi masyarakat, memelihara keluarga, mempersenjatai tentara, membagi harta ghanimah dan zakat, melindungi yang dizalimi dan menindak yang menzalimi, mengangkat para hakim dan penjabat negaar disetiap daerah, dan mengirim para Qari dan dai kesegenap penjuru. Dalam sejarah, kaum mulktazailah tidak pernah membentuk pemerintahan. Bahkan dibidang kegiatan polotik parktispun, tampaknya tidak begitu menarik perhatian mereka. Barangkali hal itu disebabkan oleh sikap netral mereka terhadap kasus-kasus yang berbau politik. Mereka lebih suka memilih jalan seperti ditempuh pendahulu mereka, seperti Hasan al-Bashri. Suatu ketika seseorang menanyakan tentang sikapnya terhadap fitnah yang terjadi antara Ali dan Muawiyah.

You might also like