You are on page 1of 16

WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN

Era Globalisasi ini ditandai dengan persaingan dalam berbagai aspek kehidupan. Persaingan ini menjadikan tantangan bagi siapa pun untuk tetap survive atau bertahan hidup. Siapa yang berhasil memenangkan persaingan itu maka dia akan survive, siapa yang kalah maka akan terlindas oleh globalisasi itu. Menghadapi persaingan ini diperlukan pendidikan yang bermutu. Peningkatan mutu pendidikan bisa dimulai dari yang paling dasar yaitu pendidikan dasar yang meliputi SD dan SLTP. Pendidikan dasar ini akan menjadi pondasi untuk menunjang keberhasilan pendidikan jenjang yang lebih tingginya yaitu di sekolah menengah dan perguruan tinggi. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, bahwa taraf pendidikan penduduk Indonesia mengalami peningkatan yang antara lain diukur dengan meningkatnya angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas, meningkatnya jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah menamatkan pendidikan jenjang SMP/MTs ke atas; meningkatnya rata-rata lama sekolah; dan meningkatnya angka partisipasi sekolah untuk semua kelompok usia. Walaupun demikian kondisi tersebut belum memadai untuk menghadapi persaingan global yang makin ketat pada masa depan. Hal tersebut diperburuk oleh tingginya disparitas taraf pendidikan antarkelompok masyarakat, terutama antara penduduk kaya dan miskin, antara wilayah perkotaan dan pedesaan, antardaerah, dan disparitas gender. Pendidikan dasar merupakan pendidikan massa (mass education) atau education for all yang diwajibkan diikuti oleh setiap warga negara dalam kelompok usia tertentu (compulsory education). Pendidikan dasar (basic education) tidak sama dengan sekolah dasar (primary/elementary school). Sekolah Dasar merupakan salah satu jenjang pendidikan yang berlangsung selama 6 tahun. Sedangkan pendidikan dasar adalah pendidikan minimum yang wajib diikuti oleh setiap warga negara sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup layak sebagai warga negara dan harga diri suatu bangsa.Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun menunjukan bahwa peserta didik dalam usia pendidikan dasar harus dapat menyelesaikan pendidikan dasarnya tanpa terputus selama sembilan tahun, yaitu enam tahun di tingkat SD dan tiga tahun di tingkat SLTP atau satuan pendidikan yang sederajat. Dalam wajib belajar sembilan tahun, semua lulusan SD enam tahun secara otomatis harus bisa ditampung di jenjang SMP sebagai bagian dari program pendidikan dasar sembilan tahun Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan selanjutnya. Pendidikan dasar merupakan modal dasar bagi pembentukan manusia Indonesia yang berkualitas yang memungkinkan dapat menikmati hidup dan kehidupannya secara mandiri. Kemandirian dapat diciptakan melalui proses pembelajaran yang memberi kebebasan kepada peserta didik untuk selalu aktif berpendapat dan bertanya, selalu diberi peluang untuk inovatif atau mengkaji sesuatu yang baru, kreatif untuk membuat sesuatu yang baru dari berbagai sumber, menghargai perbedaan pendapat, dan peka terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Inilah yang disebut learning how to learn yaitu pendidikan dasar harus diselenggarakan dengan cara peserta didik belajar bagaimana belajar sehingga hasil belajarnya akan bermutu.

Mutu hasil belajar peserta didik dapat ditingkatkan jika didukung oleh proses pembelajaran yang bermutu. Indikator proses pembelajaran bermutu adalah yang sesuai dengan tujuan dan visi kurikulum yang telah ditetapkan. Oleh karena itu proses pembelajaran merupakan muara dari implementasi kurikulum. Implementasi kurikulum dilaksanakan oleh guru dengan menerjemahkan tujuan dan isi kurikulum ke dalam rancangan pembelajaran. Guru biasanya mengembangkan pembelajaran dengan bergantung kepada bahan ajar yang terdapat dalam Garisgaris Besar Program Pembelajaran (GBPP). Ketergantungan inilah yang bisa menjadikan guru tidak kreatif dalam mengimplementasikan kurikulum. Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan Dasar Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan keluarga. Partisipasi masyarakat dan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat untuk memajukan pendidikan sangat diperlukan. Keinginan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu bisa diupayakan secara konkrit melalui dukungan masyarakat pula. Untuk itu perlu digali sumber daya masyarakat. Masyarakat diharapkan tidak hanya menjadi pihak yang menuntut pendidikan yang bermutu, tetapi juga berperan serta memberikan masukan pikiran, tenaga dan biaya bagi kemampuan pendidikan. Bentuk partisipasi masyarakat dalam pendidikan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu dengan uang, material atau barang. Masalah-masalah dalam Penyelenggaraan Wajib Belajar Masalah-masalah dalam penyelenggaraan wajib belajar sembilan tahun, diantaranya: 1) Belum semua anak usia wajib belajar 7 12 tahun dapat mengikuti pendidikan di sekolah dasar karena faktor kemiskinan, geografis dan komunitas terpencil; 2) Anak usia wajib belajar belum memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan fasilitas belajar yang memadai. Anak-anak di pedesaan, pedalaman, atau terpencil belajar dengan fasilitas yang serba kekurangan, sebaliknya anak-anak di perkotaan fasilitas belajarnya relatif sudah memadai. Keadaan ini menimbulkan ketidakadilan dalam memperoleh pendidikan; 3) Kekurangan guru di daerah pedalaman atau terpencil masih menjadi kendala bagi pelayanan proses pembelajaran; 4) Kualitas guru dalam memberikan pendidikan masih bervariasi, ada guru yang sudah memadai, ada pula yang harus dikembangkan lagi ke arah yang lebih professional; 5) Kemampuan guru untuk melakukan pembaharuan (inovasi) dalam proses pembelajaran masih lemah. Peran Sumber Daya Manusia dalam Pendidikan Dasar Saat ini kita sudah berada di era globalisasi yang penuh perubahan dan tantangan. Problema yang paling mengedepan akhir-akhir ini adalah bagaimana dunia pendidikan mempersiapkan sumber daya manusia agar mampu bertahan sekaligus memenangkan tantangan dan peluang yang terus bermunculan. Tantangan dan peluang itu menimbulkan persaingan. Persaingan timbul di berbagai aspek kehidupan yang terus berkembang dan akan semakin tajam, terutama sektor ekonomi dan perdagangan antar bangsa. Untuk menghadapi era globalisasi ini diperlukan sumber daya manusia yang cerdas, kreatif, gemar bekerja keras, ulet, bermoral, dan beragama. Dunia pendidikan harus mampu mencetak sumber daya manusia seperti itu. Dalam upaya mencetak sumber daya manusia itu perlu melibatkan peran serta berbagai pihak yang berkepentingan seperti guru, sekolah, orang tua, dan masyarakat.

Peran guru dalam pendidikan dasar berkaitan dengan profesi guru yang bertanggung jawab dalam pembangunan bangsa melalui pembentukan karakter bangsa bagi peserta didik. Oleh karena itu guru perlu dibina kompetensi profesionalan dan kesejahteraannya. Peran guru adalah sebagai pihak yang mensuplai (provider) kesempatan belajar bagi peserta didik. Guru pun sebagai motivator yang memberikan dorongan kegiatan belajar bagi peserta didik. Guru memberikan motivasi dan stimulus untuk mengasah kecerdasan dan kreativitas anak. Selain itu, guru sebagai model yang menjadi panutan yang digugu dan ditiru bagi peserta didik dalam proses belajar. Peran sekolah dalam pendidikan dasar dilakukan melalui peran guru menciptakan situasi yang kondusip agar peserta didik gemar belajar dan mencintai sekolah, guru, dan temantemannya. Peserta didik dikondisikan agar kreatif, cerdas, dan memiliki motivasi belajar yang tinggi. Peran keluarga dalam pendidikan dasar adalah menciptakan keluarga agar permisif sehingga anak leluasa mengembangkan dirinya, tetapi tentu saja selalu dalam pengawasan dari orang tua. Peran masyarakat dalam pendidikan dasar dengan perlu dilibatkannya masyarakat untuk bersama-sama dengan pemerintah dalam menumbuhkan masyarakat belajar (learning society). Learning society yaitu masyarakat yang berbudaya belajar. Learning society akan mudah diciptakan dan dikembangkan apabila masyarakat dan keluarga sebagai satuan terkecil dari masyarakat itu sudah menunjukkan sikap gemar membaca. Penuntasan wajib belajar tidak hanya melalui berbasis persekolahan. Pelayanan pendidikan dasar (SD dan SMP) tidak seharusnya bertumpu pada jalur persekolahan yang formal saja, tetapi juga perlu penguatan jalur-jalur pendidikan lainnya, seperti jalur pendidikan luar sekolah yang bersifat non formal dan jalur keluarga atau informal. Apalagi tidak semua wilayah bisa terjangkau layanan persekolahan. Begitu pula tidak semua populasi sasaran wajib belajar bisa dengan nyaman mengenyam pendidikan persekolahan. Diperlukan juga perluasan akses pendidikan yang disesuaikan dengan kondisi geografis, sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun tidak semata-mata harus diatasi dengan membangun unit sekolah baru, karena hal ini bisa saja tidak efisien jika infra strukturnya minim dan tidak menunjang. Oleh karena itu diperlukan pembukaan akses pendidikan alternatif. Kurikulum Pendidikan Dasar Sembilan Tahun Pendidikan adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Upaya ini telah menjadi tekad bangsa Indonesia apalagi pada era globalisasi sekarang ini yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ekonomi yang sangat pesat dan penuh tantangan. Upaya yang dilakukan antara lain diberlakukannya wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun. Istilah yang digunakan adalah wajib belajar (compulsory education) bukan wajib sekolah, karena belajar itu wajib seumur hidup, sedangkan sekolah itu wajib sampai jenjang tertentu. Peserta didik lulusan pendidikan dasar sembilan tahun di samping memiliki kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, juga memberikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang mandiri dalam berbagai bidang kehidupan. Selain itu juga mengembangkan sikap positif terhadap dirinya sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungannya. Peserta didik yang memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang mandiri di berbagai bidang kehidupan, akan meningkatkan produktivitas, keunggulan, dan daya saing. Pada gilirannya akan dapat meningkatkan income rakyat dan devisa negara yang akhirnya meningkatnya kualitas bangsa. Pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun pada dasarnya mempunyai maksud untuk meningkatkan kualitas bangsa. Melalui pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun diharapkan

setiap warga negara Indonesia memiliki kemampuan dasar yang diperlukan dalam kehidupan secara lebih tinggi, sehingga secara politis mereka akan lebih menyadari hak dan kewajiban sebagai warga negara, serta mampu berperan serta sebagai tenaga pembangunan secara lebih berkualitas. Menyimak tujuan yang ingin dicapai melalui penyelenggaraan pendidikan dasar sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang dapat kita lihat adanya dua sasaran yang ingin dicapai, yaitu pembekalan kemampuan dasar yang dapat dikembangkan melalui kehidupan dan kemampuan dasar yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Untuk mampu mengantarkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang sejahtera diperlukan struktur kurikulum yang tepat. Kurikulum pada dasarnya merupakan salah satu masukan instrumental yang menjadi variabel bebas yang mempengaruhi terhadap keberadaan kurikulum itu sendiri mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi visi dan dimensi struktur (Wiles and Bond, 1989). Dimensi pertama terkait dengan pandangan penyusunan kurikulum tentang peran apa yang akan dimainkan oleh pendidikan dalam mengantarkan peserta didik menuju tujuan yang akan dicapai. Pandangan ini diturunkan dari perpaduan antara filosofi, kenyataan, acuan-acuan norma serta hasil penelitian terkait. Adapun dimensi kedua terkait dengan struktur kurikulum yang merupakan perwujudan dari dimensi pertama. Di dalam model atau paradigma kurikulum keluaran suatu lembaga pendidikan adalah variabel terikat dari struktur kurikulum, yang mencakup desainnya, pembelajaran, dan proses evaluasi. Struktur kurikulum itu sendiri ditentukan oleh tujuan pendidikan maupun tujuan kelembagaan, yang merupakan resultante dari antisipasi tentang sosok pribadi yang ingin dihasilkan oleh lembaga pendidikan. Antisipasi ini dilakukan dengan mempertimbangkan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang terkait hasil-hasil penelitian, serta berlandaskan atas aspirasi masyarakat, keberadaan peserta didik, dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Struktur Kurikulum Pendidikan Dasar Sembilan Tahun Struktur kurikulum pendidikan dasar sembilan tahun yang tersusun diharapkan dapat menjawab pemasalahan lama yang terkait dengan upaya mengarahkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang sejahtera. Dalam rangka penyusunan kurikulum tersebut, pertama-tama yang harus dilakukan adalah mengantisipasi tentang bagaimana sosok pribadi anggota masyarakat sejahtera itu. Antisipasi ini termasuk ke dalam dimensi visi, yaitu pandangan kita tentang keberadaan pribadi yang sejahtera. Kita pada umumnya menerima pandangan bahwa kesejahteraan itu meliputi aspek lahiriah dan mental spiritual. Kesejahteraan lahiriah dapat ditunjukan dari keberadaan taraf hidup, terutama dengan tolok ukur keberadaan ekonomi. Meskipun keberadaan ekonomi ini bersifat relatif, tapi kaidah-kaidah ekonomi merumuskan tentang tolok ukur minimal kesejahteraan berdasarkan atas terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer. Adapun kesejahteraan mental spiritual, terkait dengan kebebasan menjalankan agama, memiliki moral dan sistem nilai sesuai dengan Pancasila. Bila kaidah ini dipegang, tujuan pendidikan dan tujuan kelembagaan pendidikan dasar kita diarahkan untuk menghasilkan keluaran dengan ciri-ciri minimal sebagaimana tersebut di atas. Melihat kenyataan, bahwa jenjang pendidikan dasar yang semula hanya terdiri dari SD 6 tahun ditingkatkan menjadi sembilan tahun dengan memasukkan satuan SLTP pada jalur pendidikan dasar, tentunya kita berharap beradaan kesejahteraan itu lebih tinggi dari apa yang selama ini

telah dicapai. Menyimak antisipasi tentang sosok pribadi keluaran pendidikan dasar serta sasaran yang ingin dicapai sebagaimana dikemukakan di atas, misi pendidikan dasar berkaitan dengan pembentukan kemampuan intelektual dan pembekalan memasuki kehidupan. Bila ini dikaikan dengan isi kurikulum, kedua misi ini sebenarnya bersifat kait mengait. Di satu pihak, persiapan mengarungi kehidupan memerlukan keterampilan-keterampilan tertentu yang dapat digunakan sebagai bekal, sedangkan di lain pihak di samping keterampilan juga dibutuhkan kemampuan intelektual. Khusus mengenai kemampuan intelektual, di samping dibutuhkan dalam kehidupan, juga untuk pendidikan lanjutan. Persoalannya adalah kemampuan intelektual apa yang dapat memenuhi dua sasaran itu. Dalam perspektif teori kognitif, kemampuan intelektual itu terkait dengan informasi dalam cabang-cabang ilmu pengetahuan, serta kemauan menginterpretasikan dan menemukan makna informasi itu (Resnik and Klopfer, 1989). Adapun informasi itu dapat diturunkan dari cabangcabang ilmu pengetahuan yang menjadi isi kurikulum. Adapun bentuk keterampilan yang dijadikan isi kurikulum diturunkan dari hasil studi dan hasil analisis tentang kebutuhan masyarakat, sehingga kurikulum tersebut bermuatan lokal. Teori belajar kognitif berkaitan dengan pendekatan pengolahan informasi yang pada dasarnya dikenal dengan nama teori pentahapan (stage theory). Model mengajar dari rumpun pemrosesan informasi, dapat digunakan dalam mengajarkan konsep (Joice & Weil, 1972). Studi ini dilaksanakan mengacu kepada teori pemrosesan informasi yang merupakan model utama dari teori kognitif, yang menjelaskan bahwa belajar merupakan proses kognitif untuk memperoleh pengetahuan atau informasi yang disimpan dalam memori jangka panjang. Alur pemrosesan informasi itu adalah pencatatan data oleh input or sensory register. Kemudian seleksi informasi oleh memori jangka pendek (short term memory). Selanjutnya, penyimpanan informasi oleh memori jangka panjang (long term memory) (Gradler, 1986) Ada empat proses utama yang terlibat dalam pengolahan informasi, yaitu pengkodean (encoding), penyimpanan (storage), pengingatan kembali (retrieval), dan lupa (forgetting). Dalam pengolahan informasi, ada dua hal yang terlibat, yaitu peserta didik dengan aktif memproses, menyimpan, dan mendapatkan kembali informasi, dan pembelajaran (teaching) yang merupakan upaya membantu peserta didik dalam mengembangkan keterampilan mengolah informasi dan menggunakannya secara sistematis untuk menguasai kompetensi tertentu. Struktur kognitif berhubungan dengan struktur subject matter atau kompetensi. Pengolahan informasi menekankan pembentukan struktur kognitif oleh peserta didik. Bentuk kurikulum untuk mengakomodasi kemungkinan tersebut adalah kurikulum inti, dengan menjadikan pelajaran-pelajaran yang telah ditetapkan sebagai isi kurikulum. Oleh karena itu kurikulum inti selalu mengimplikasikan adanya paket-paket pilihan, maka paket-paket tersebut sepatutnya disusun dengan bermuatan lokal. Dengan memperhatikan tujuan dan isi kurikulum itu kita dapat merencanakan pembelajaran dan evaluasi kemajuan yang relevan, sehingga antara dimensi visi dan dimensi struktur kurikulum pendidikan dasar bersifat selaras. Kurikulum pendidikan dasar sembilan tahun diharapkan dapat mengantarkan peserta didik mencapai kesejahteraan disusun berdasarkan antisipasi tentang sosok pribadi anggota masyarakat yang sejahtera serta tujuan dan strukturnya dibuat dengan mempertimbangkan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah serta hasil-hasil penelitian terkait, dan berdasarkan sistem nilai, dan

keberadaan masyarakat dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peran Serta Madrasah dalam Wajib Belajar Pendidikan Dasar Madrasah sebetulnya memberikan andil pada sistem pendidikan nasional yang cukup besar. Pemerintah menyelenggarakan pendidikan dalam rangka penuntasan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun, meskipun belum tercapai, namun diharapkan sampai tahun 2009 dapat dituntaskan. Kriteria tuntas adalah angka partisipasi kasar (APK) mengikuti pendidikan SMP atau Madrasah Tsanawiyah mencapai 95%. Sampai tahun 2008 baru mencapai sekitar 92,3%. Angka sisanya yaitu sekitar 2,7 % diharapkan pada tahun 2009 dapat dicapai angka partisipasi kasar pendidikan dasar sembilan tahun hingga 95%. Artinya wajib belajar pendidikan dasar pendidikan dasar 9 tahun itu dianggap tuntas, meskipun 95% masih ada sisanya 5%. Angka 5% dari 50 juta anak usia sekolah bisa dikatakan lumayan banyak yang tercecer, tetapi bisa dianggap selesai. Kontribusi madrasah terhadap penuntasan wajib belajar sembilan tahun cukup lumayan besar mencapai 17%. Sedangkan jika dilihat secara keseluruhan termasuk Madrasah Aliyah, kontribusi madrasah dari mulai MI sampai MA terhadap angka partisipasi mengikuti pendidikan di berbagai jenjang pendidikan secara agregat atau secara keseluruhan itu bisa mencapai 21%. Bukan angka sedikit 21% dari sekitar 60 juta penduduk. Artinya masyarakat terutama madrasah telah memberikan andil pada upaya-upaya pemerintah menyediakan lembaga-lembaga pendidikan yang cukup besar. Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun ada inpresnya yaitu tanggal 6 Juni 2006 tentang gerakan percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dan pemberantasan buta aksara, meskipun pemberantasan buta aksara sampai saat ini menghadapi permasalahan belum terberantas seluruhnya. Buta aksara yang dimaksudkan adalah aksara latin sebagai alat komunikasi yang biasa dilakukan dengan bahasa Indonesia. Kondisi buta aksara yang masih cukup besar di berbagai daerah itu, mengharapkan peran lembaga-lembaga pendidikan yang ada di masyarakat, termasuk pesantren yang memiliki kontribusi yang besar terhadap gerakan percepatan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dan pemberantasan buta aksara tersebut. Dalam penyelenggaraan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, Departemen Agama melakukan tugas yang diembannya yaitu menyelenggarakan pendidikan dasar di madrasah dan pondok pesantren, kemudian ikut aktif dalam gerakan nasional percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dan pemberantasan buta aksara melalui lembaga-lembaga pendidikan di madrasah, pondok pesantren, dan lembaga keagamaan atau tenaga keagamaan seperti majelis taklim sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Penyelenggaraan pendidikan dasar itu melalui madrasah seperti MI, MTs, MA, dan melalui pondok pesantren, ada pula melalui Madrasah Diniyah (MD), baik Madrasah Diniyah Ula atau Madrasah Wusto. Di dalam pondok pesantren ada proses muadalah melalui proses penyelenggaraan paket A dan paket B. Begitu pula santri-santri pondok pesantren bisa dianggap telah melaksanakan pendidikan dengan ketentuan atau kriteria tertentu, sehingga jika tidak mempunyai Paket B dianggap sama dengan MTs atau meskipun tidak mempunyai Paket A sama dengan ijazah SD. Pada umumnya pesantren tidak mengeluarkan ijazah, oleh karena itu diadakan proses muadalah lulusan-lulusan pesantren supaya dianggap setara dengan memiliki ijazah. Pesantren jika ingin disamakan dengan lembaga MI, MTs, MA, maka kurikulumnya harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 yaitu tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Intinya madrasah menghadapi tantangan, tetapi tetap memberikan kontribusi terhadap pelaksanaan pendidikan nasional. Namun

masih menghadapi tantangan yaitu berkaitan dengan mutu. Selain mutu sebetulnya berkaitan dengan akses karena kontribusi ini bisa ditingkatkan dari sekarang yang sebesar 17% menjadi 20% untuk wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, meskipun untuk keseluruhannya, kontribusi madrasah sekarang sudah mencapai 20% 21%. Untuk perluasan akses banyak sekali yang sudah dilakukan, misalnya khusus yang berkaitan dengan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, seperti program-program pembangunan madrasah-madrasah satu atap. Program ini dilakukan di madrasah ibtidaiyah yang ada di sekitarnya yang kebetulan belum ada MTs-nya, lalu dibangunlah MTs. Karena membangun gedung itu memerlukan dana yang besar, maka terlebih dahulu perlu mengajukan proposal untuk meminta bantuan pemerintah atau lembaga donor pemberi bantuan. Madrasah itu ada beberapa tipe, seperti tipe M1 memiliki 6 ruang kelas. Sedangkan tipe M2 memiliki 10 ruang kelas. Diadakan pula Madrasah Tsanawiyah modern dan terpadu, atau bertaraf internasional. Sampai tahun 2009 diharapkan sudah dapat dibangun 500 madrasah yang termasuk di dalamnya madrasah satu atap. Bukan itu saja, dilakukan juga membangun sejumlah ruang-ruang kelas baru dan memperbaiki ruang-ruang kelas dalam rangka perluasan akses. Namun pembangunan dan pengembangan madrasah tidak berhenti sampai penyediaan sarana dan prasarana saja. Lebih dari itu kualitas pendidikan itu ditentukan pula kontribusi peran guru sebesar 60%. Artinya, jika guru belum memenuhi standar kualitas, sulit sekali untuk meningkatkan kualitas pendidikan di madrasah. Walaupun diberikan berbagai bantuan kalau gurunya tidak bisa memanfaatkan, bantuan tersebut akan terbengkalai dan tidak bermanfaat. Oleh karena itu dilakukan pula program menyekolahkan guru-guru baik PNS maupun non PNS di perguruan tinggi yang sudah terakreditasi sesuai dengan Undang-Undang. Guru yang disekolahkan adalah untuk melanjutkan ke jenjang S2 bagi guru yang sudah menyandang gelar S1. Program lainnya adalah menyekolahkan kembali guru yang sudah menyandang gelar S1 tetapi mengajar pada mata pelajaran yang berbeda dari mata pelajaran disiplin ilmu yang dikuasainya, misalnya guru lulusan Bahasa Indonesia mengajar mata pelajaran Matematika. Itulah yang disebut dengan program dual kompetensi. Harapannya adalah kalau guru-gurunya berkompeten, maka madrasahnya pun akan bermutu baik. Sehingga madrasah masih tetap menjadi harapan besar bagi para orang tua untuk menyekolahkan anaknya di madrasah, karena belajar agama di Madrasah sebanyak 9 jam per minggu masih lebih banyak dibandingkan belajar agama di sekolah umum yang hanya 2 jam per minggu, meskipun sebetulnya 9 jam itu pun dirasakan masih kurang untuk mengajarkan agama. Apalagi kalau dibandingkan dengan peserta didik jaman dahulu yang pagi-pagi belajar di sekolah umum, siangnya belajar di madrasah, malamnya mengaji di masjid. Hasil belajarnya pun dirasakan masih kurang, apalagi jika belajar agama hanya 2 jam per minggu. Oleh karena itulah upaya-upaya memperbaiki madrasah baik sarana dan prasarana maupun proses pendidikannya harus senantiasa diperbaiki, karena jika mutu pendidikan madrasah bagus atau bisa komparatif dengan sekolah-sekolah umum, madrasah pasti akan menjadi pilihan terbaik dan pertama bagi orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Oleh karena itu, diharapkan supaya mutu madrasah ini diperbaiki, supaya benar-benar menjadi pilihan bagi orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Beberapa program untuk peningkatan kualitas madrasah antara lain dengan didirikannya sejumlah madrasah aliyah dan tsanawiyah modern di mana mutunya sudah kompetitif dengan sekolah-sekolah umum. Didirikan juga madrasah terpadu. Program lainnya adalah peningkatan kualifikasi S 1 atau dual kompetensi, program S 1, S 2, dan S 3 di berbagai perguruan tinggi terkemuka. Persoalan wajib belajar berkaitan dengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dengan

adanya BOS ini APK akan meningkat karena anak-anak dari kalangan keluarga miskin beranggapan akan mendapatkan pelayanan pendidikan gratis. Namun meskipun ada dana BOS dan daya tampung sekolah yang memadai, ada saja sejumlah anak usia sekolah yang tidak masuk sekolah karena mereka memerlukan biaya yang menunjang untuk proses pembelajaran yang tidak disediakan dari dana BOS seperti biaya transportasi. Bantuan Operasional Sekolah adalah bantuan dari pemerintah, dalam bentuk dana atau buku, untuk menjamin terlaksananya program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun hingga tuntas. Diharapkan dapat pula mendukung peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, serta peningkatan tata kelola dan pencitraan pendidikan yang positif di hadapan public. Program wajib belajar pendidikan dasar (Wajar Dikdas) 9 tahun dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi dan wilayah geografis Indonesia yang sangat luas, dengan latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi penduduk yang heterogen. DAFTAR PUSTAKA Ali, M. (1992). Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung Sinar Baru. Hirst P.H., (1974). Knowledge and the Curriculum. London: Rpoutledge Kegan Paul, Limited. Resnick, A.S., and Kofler, L.E., (1989). Toward the Thinking Curriculum: Urrent Cognitive Research. 1989 Year Book of ASCD. Wiles, B., and Bondi J., (1989). Curriculum Development: A Guide to Practice. Columbus: Merril Published Co.

Pendidikan Wajib Belajar ( Wajar ) 9 Tahun dan Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia oleh Muhammad Ilyas Ismail A. Pendahuluan Pada umumnya, orang yakin bahwa dengan pendidikan umat manusia dapat memperoleh peningkatan dan kemajuan baik di bidang pegetahuan, kecakapan, maupun sikap dan moral. Suyanto (1993:9), memandang pendidikan sebagai sarana intervensi kehidupan dan agen pembaharu. Sedangkan Dedi Supriadi (1993:7), meyakininya sebagai instrumen untuk memperluas akses dan mobilitas sosial dalam masyarakat, baik vertikal maupun horizontal. Anggapan dan keyakinan seperti yang dikemukakan di atas akan semakin memantapkan dan memperkokoh arti pendidikan dalam upaya menciptakan peningkatan kualitas peserta didik atau yang lebih dikenal upaya pengembangan

sumber daya manusia, terurama dalam era memasuki abad 21 yaitu abad globalisasi. Memperhatikan peranan dan misi pendidikan bagi umat manusia ini. tidaklah berlebihan apabila pihak yang bertanggung jawab di bidang pendidikan menggantungkan harapannya pada sektor pendidikan dalam rangka mengembangkan dan mengoptimalkan segenap potensi individu supaya dapat berkembang secara maksimal. jadi sudah selayaknya apabila setiap warga negara mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan menurut kemampuan. (Dedi Supriadi, 1993:8). Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun merupakan perwujudan amanat pembukaan UUD 1945 dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. serta pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan (1) Tiap-tia warga negara berhak mendapat pengajaran dan (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-ungang. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dalam tulisan ini dikemukakan permasalahan pokok sebagai berikut : Bagaimana fungsi pendidikan terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia. Untuk menjawab permasalahan ini, maka pembahasan dinaulai dengan pendidikan Wajib belajar 9 Tahun, fungsi Pendidikan wajib belajar 9 tahun dan peningkatan kualitas SDM. B. Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun Landasan pokok keberadaan sistem pendidikan nasional adalah UUD 45 Bab XIII, Pasal 31, ayat (1) Yang menyatakan bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Hal ini mengandung implikasi bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu memberi kesempatan belajar yang seluas-luasnya kepada setiap warga negara. Dengan demikian, dalam penerimaan seseorang sebagai peserta didik, tidak dibenarkan adanya perlakuan yang berbeda yang didasarkan atas jenis kelarruin, agama, ras, suku, Tatar belakang sosial dan tingkat kemampuan ekonomi. Program pendidikan wajib belajar di Indonesia telah dirintis sejak tahun 1950. Dalam UU nomor 4 tahun 1950 jo UU nomor 12 tahun 1954 telah ditetapkan bahwa setiap anak usia 8-14 tahunterkcna pendidikan wajib belajar. Namur program pendidikan wajib belajar yang dicanangkan oleh pemerintah belum dapat berialan sebagaimana mestinya, karena adanya pergolakan pohtik secara tetus-menerus. (A. Daliman, 1995:138). Gerakan pendidikan wajib belajar sebagai suatu gerakan secara nasional dan sekaligus sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional dimulai sejak Pelita IV. Pada hari pendidikan nasional tanggal 2 Mel 1984 secara resm'l Presiders

Suharto mencanangkan dimulainya pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan wajib belajar. Pada tahap im penyelenggaraan pendidikan wajib belajar masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Berbeda dengan pendidikan wajib belajar tahun 1950, maka pendidikan wajib belajar tahun 1984 ini lebih diarahkan kepada, anak-anak usla, 712 tahun. Dua kenyataan mendorong segera (illaksanakannya gerakan pendidikan wajib belajar tersebut. Kenyataan pertama, ialah masih adanya anak usia 7-12 tahun yang belum pernah bersekolah atau putus sekolah pada tingkat sekolah dasar, Pada tahun 1983 terdapat sekitar 2 juta anak usia 7-12 tahun yang terlantar dan putus sekolah pada tingkat sekolah dasar. Sedangkan pada saat dicanangkannya pendidikan wajib belajar pada tahun 1984 masih terdapat anak berusia 7-12 tahun sekitar kurang lebih 1,5 juta orang yang belum bersekolah. Kenyataan kedua, ialah adanya keinginan pemerintah untuk memenuhi ketetapan GBHN yang telah mencanturnkan rencana penyelenggaraan pendidikan wajib belajar sejak GBHN 1978 maupun GBHN 1983. Gerakan pendidikan wajib belajar yang dimulai 2 Mel 1984 dipandang sebagai 9 pemenuhan janji pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan dasar secara cukup dan memadai, sehingga cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang termaksud dalam Pembukaan UUD 1945 segera dapat diwujudkan. (Haris Mudjiman, 1994:1-2). Peningkatan pendidikan wajib belajar menjadi pendidikan wajib belalar 9 tahun dengan harapan terwujud pemerataan pendidikan dasar (SD dan SLIP) yang bermutu serta lebih menjangkau penduduk daerah terpencil. Hal ini sesuai dengan UU No: 2 tahun 1989 tentang stern pendidikan nasional, kemudian lebih dipertegas lagi di dalam Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebagaimana yang tertuan pada pasal 34 sebagai berukut: (1) Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. (3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. (4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Di dalam GBHN 1993, dicantumkan bahwa pemerintah harus berupaya untuk memperluas kesempatan pendidikan baik pendidikan dasar, pendidikan menengah kejuruan, maupun pendidikan profesional, melalui jalur sekolah dan jalur luar sekolah. Dalam rangka memperluas kesempatan belajar pendidikan dasar, maka pada tanggal 2 Mel 1994 pemerintah mencanangkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun. lebih lanjut dikemukakan bahwa tahap penting dalam pembangunan pendidikan adalah meningkatkan pendidikan wajib belajar 6 tahun menjadi 9 tahun. (Sri Hadjoko Wirjornartorio, 1995:49, Ahmadi, 1991:74,182). Pendidikan wajib belajar 9 tahun menganut konsepsi pendidikan semesta (universal basic education), yaitu suatu wawasan untuk membuka kesempatan pendidikan dasar. Jadi sasaran utamanya adalah menumbuhkan aspirasi pendidikan orang tua dan peserta didik yang telah cukup umur untuk mengikuti pendidikan, dengan maksud untuk meningkatkan produktivitas angkatan kerja secara makro. Maksud utamanya adalah agar anak-anak memiliki kesempatan untuk terus belajar sampai dengan usia 15 tahun, dan sebagai landasan untuk belajar lebih lanjut baik dijenjang pendidikan lebih tinggi maupun di dunia kerja. (Kelompok PSDM, 1992, Adiwikarta, 1988). Pelaksanaan pendidikan wajib belajar 9 tahun telah diatur lebih luas di dalam UU No: 20 tahun 2003. Bahwa sistem pendidikan nasional memberi hak kepada setiap warga negara memperoleh pendidikan yang bermutu dan juga berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat (pasal 5 ayat 1 dan 5). Bagi warga negara yang memiliki kelainan emosional, mental, intelektual, dan atau sosial serta warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Demikian juga warga negara di daerah terpencil atau terkebelakang serta masyarakat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus (pasal 5 ayat 2, 3 dan 4). Lebih jauh dijelaskan bahwa pendidikan wajib belajar 9 tahun bagi anak usia 7 sampai 15 tahun harus diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat tanpa dipungut biaya. (Arifin, 2003: 11). Merujuk pada paparan yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa ciriciri pelaksanaan pendidikan wajib belajar-9 tahun di Indonesia adalah; (1) tidak bersifat paksaan melainkan persuasif, (2) ddak ada sansi hukum, (3) tidak diatur dengan Undang-Undang tersendiri, dan (4) keberhasilan diukur dengan angka partisipasi pendidikan dasar yang semakin menmigkat. Wardiman Djojonegoro, (1992) mengemukakan alasan-alasan yang melatar belakangi dicanangkannya program pendidikan wajib belajar 9 tahun bag, semua

anak usia 7-15 mulai tahun 1994 adalah: 1. Sekitar 73,7% angkatan kerja Indonesia pada tahun 1992 hanya berpendidikan Sekolah Dasar atau lebih rendah, yaltu mereka tidak tamat Sekolah Dasar, dan tidak pernah sekolah. Jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN, seperti Singapura. 2. Dan' sudut pandang kepentingan ekonorm', pendidikan, dasar 9 tahun merupakan upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia yang dapat member, nilal tambah lebih tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan rata-rata pendidikan dasar 9 tahun, ditnungkinkar. bagi mereka dapat memperluas wawasannya dalam menciptakan kegiatan ekonomi secara lebih beranekaragam (diversified). 3.Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar peluang untuk lebih mampu berperan serta sebagai pelaku ekonomi dalam sektor-sektor ekonomi atau sektor-sektor industri. 4. Dari segi kepentingan peserta didik, peningkatan usia wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9 tahun akan memberikan kematangan yang lebih tinggi dalam penguasaan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan. Dengan meningkatnya penguasaan kemampuan dan keterampilan, akan memperbesar peluang yang lebih merata untuk meningkatkan martabat, kesejahteraan, serta makna hidupnya. 5.Dengan semakin meluasnya kesempatan belajar 9 tahun, maka usia minimal angkatan kerja produktif dapat ditingkatkan dari 10 tahun menjadi 15 tahun. Berdasarkan alasan-alasan yang melatarbelakangi dicanangkan program-program pendidikan wajib belajar 9 tahun sebagaimana yang dikemukakan di atas, memberikan gambaran bahwa untuk mencapai peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang dapat memberi nilai tambah pada diri individu (masyarakat) itu sendiri mengenai penguasaan ilmu engetahuan, keterampilan, yang dapat mengantar kepertumbuhan ekonomi, peningkatan produktivitas kerja, martabat, dan kesejahteraan hidupnya, hanya dapat dicapai lewat penuntasan pelaksanaan pendidikan untuk semua. C. Pendidikan Wajib Balajar 9 Tahun dan Peningkatan Kualitas SDM Sejak awal kemerdekaan para pendiri negara (the founding fathers) telah memiliki komitmen untuk memenuhi hak asasi rakyatnya untuk lemperoleh pendidikan, seperti yang termaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mencantumkan tujuan nasional;mencerdaskan kehidupan bangsa yang secara konstitusional menjelma ke dalam pasal 31 UUD 1945, ayat (1) yang menyatakan

bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran, sedang ayat (2) menegaskan kepada pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional. Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2, maka berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, maka tujuan pendidikan nasional ditetapkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam, rangka meencerdaskan kehidupan bangsa, untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab (Arifin, 2003:29). Pendidikan nasional berfungsi sebagi alat utama untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mute kehidupan dan martabat bangsa. Pendidikan pada hakekatnya merupakan indirect investment bagi proses produksi dan direct investment bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (human quality). Pendidikan akan meningkatkan dan mempertinggi kualitas tenaga kerja, sehingga memungkinkan tersediinya angkatan kerja yang lebih terampil, handal dan sesuai dengan tuntutan pembangunan serta meningkatkan produktivitas nasional. (A. Daliinan, 1995:138, Adiwikata, 1988). Berbagai penelitian di sejumlah negara maju telah membuktikan bahwa pendidikan rnen-iililci kontribusi yang sangat tinggi terhadap produktivitas nasional, dan dapat meningkatkan pendapatan nasional (national income). Sedangkan menurut Muhibbin Syah yang merujuk kepada pernikiran jean Piaget dan L. Kohlberg mengemukakan bahwa pendidikan dilihat dan' sudut psikososial merupakan upaya penumbuh kembangan sumber daya manusia melalui proses hubungan interpersonal yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat yang terorganisir dalam hal ini masyarakat pendidikan dan keluarga. (Muhibbin Syah, 1995). Pandangan yang harnpir senada dikemukakan oleh Lawrence E. Shapiro (199), Daniel Goleman (1997), bahwa pendidikan berperan untak mengembangkan kecerdasan kognitif dan kecerdasan emosional, lalu la menambahkan bahwa kedua kederdasan ini harus di capai secara bersama-sama, sebab betapa banyak orang yang rneniffiki kederadasan kognitif yang tinggi, tetapi kederdasan emosionalnya rendah sehingga la gagal dalam menjalangkan togas yang diembangnya. Adapun Kecerdasan Ernosional yang dimaksudkan oleh Daniel Goleman adalah mencakup kesadaran diri, kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri, berempati, serta kecepatan sosial.

Dengan merujuk pada paparan di atas, maka untuk mencapai keberhasilan atau kesuksesan harus melalui pendidikan, oleh karma itu pemerintah Indonesia telah bertekad, sebagaimana yang dirumuskan dalam GBHN 1988. Untuk mendukung dunia bare dituntut kualitas manusia Indonesia yang mernadat. Karena itu, pendidikan dasar 6 tahun yang dicanangkan 1984 dipandang tidak mencukupi dan perlu ditingkatkan menjadi pendidikan dasar 9 tahun yang mulai dipermaklumkan oleh Presiders Soeharto pada tanggal 2 Mei 1994, yang bertepatan pada hari Pendidikan nasional. Pendidikan dasar 9 tahun diharapkan bahwa setup warga negara akan memiliki kemampuan untuk memahami dunianya, mampu menyesuaikan diri bersosiahsasi dengan perubahan masyarakat dan jaman, mampu meningkatkan mutu kehidupan baik secara ekonomi, sosial budaya, politik dan biologis, serta mampu meningkatkan martabatnya sebagai manusia warga negara dari masyarakat yang maju. Dalam duni baru ini setiap orang harus memiliki potensi untuk bekerja di berbagai bidang dimanapun )uga. (Soedijarto. 1985:5, Vembrirto, 1987) Jika perluasan dan mutu pendidikan dilakukan di dalam kerangka keterkaitan, maka pendidikan dasar 9 tahun secara langsung berfungsi sebagai strategi dasar dalam upaya: (1) mencerdaskan kehidupan bangsa karena diperuntukkan bagi semua warga negara tanpa membedakan golongan, agama, suku bangsa, dan status sosial ekonomi; (2) menyiapkan tenaga kerja industri masa depan melalui pengernbangan kemampuan dan keterampilan dasar belajar, serta dapat menunjang terciptanya pemerataan kesempatan pendidikan kejuruan dan profesional lebih lanjut; dan (3) membina penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena melalui wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun ini memungkinkan untuk dapat memperluas mekanisme seleksi bagi seluruh siswa yang memiliki kemampuan luar biasa untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. (Sir Hardjoko Wirjomartono, : 995:49-50). Pandangan yang hampir senada dikemukakan oleh Khaeruddin (1995), gerakan wajib belajar 9 tahun pada dasarnya mempunyai maksud meningkatkan kualitas bangsa. Melalui pelaksanaan wajib belajar 9 tahun di harapkan setiap warga negara Indonesia memiliki kemampuan dasar yang diperlukan dalam kehidupan bangsa yang lebih tinggi, sehingga secara politis mereka akan lebih menyadari hak dan kewajiban, dan sebagai warga negara serta mampu berperan serta sebagai tenaga pembangunan yang lebih berkualitas. Dalam PP nomor 29 tahun 1990 dapat kita lihat adanya dua sasaran yang ingin dicapai yaitu ; (1) pembekalan kemampuan dasar yang dapat dikembangkan melnlw' kehidupan; (2) kemampuan dasar yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan Hadari Nawawi (1994),

tujuan pendidikan dasar adalah untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara clan anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah. Pendidikan wajib belajar 9 tahun secara hukum merupakan kaidah yang bermaksud mengintegrasikan SD dan SLTP secara konsepsional, dalam and tanpa pemisah dan merupakan satu satuan pendidikan, pada jenjang yang terendah. Pengintegrasian secara konsepsional yang menempatkan SD dan SLTP sebagai kesatuan program, dinyatakan melalui kurikulumnya yang berkelanjutan atau secara berkesinambungan. Kedua bentuknya tidak diintegrasikan secara fisik dengan tetap berbentuk dua lembaga yang terpisah, masmg-masingy dengan kelompok belajar kelas I sampai dengan Kelas VI untuk SD dan Kelas I sampai Kelas III untuk SLTP. (Hadari Nawawi, 1994:351). Peran dan fungsi serta tanggung jawab pendidikan semakin besar bahkan menentukan, khususnya dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan yang bermutu ini ditentukan dukungan dari berbagai faktor, yaitu pendidikan di lingkungan keluarga, pendidikan luar sekolah, pendidikan dasar, pendicilkan menengah serta pendidikan tinggi. Sejarah menunjukkan bahwa faktor terpendng yang menentukan keberhasilan suatu bangsa bukanlah melimpahnya kekayaan alam melainkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Dalam era kedua kebangkitan nasional, SDM yang berkualitas adalah yang : 1. Memihki kemampuan dan menguasai keahlian dalam suatu bidang yang berkaitan dengan Ipt 2. Mampu bekerja secara profesional dengan orgientasi mutu dan keunggulan; 3. apat menghasilkan karya-karya unggul dan mampu bersaing cara global sebagai hash dari keahhan dan profesionalismenya. avidiman Suryohadiprodjo. 1987, Faisal, 246-252). Dengan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sebuah bangsa akan sanggup belajar dari kenyataan yang serba dinamis, sanggup mencari jalan alternatif pemecahan masalah, serta sanggup mengembangkan pola-pola pemikiran yang pada akhirnya akan dapat melahirkan strategis persaingan unggul di era global. Berdasarkan dengan semua kenyataan yang dipaparkan di atas, pelaksanaan pendidikan dasar 9 tahun bukanlah susuatukemeNvahan i suatu keharusan dan kebutuhan bukan Baja bagi negara dan arakat melainkan bag, setup warga negara.

Masalahnya yang dihadapi adalah bagaimana keharusan clan kebutuhan Itu dapat dirasakan al kebutuhan setup warga negara dan bukan kebutuhannya para at dan tokoh masyarakat. Inilah tantangan dan tanggung jawab para pejabat pemerintah terutama di lingkungan Departemen Pendidikan danKebudayaan serta Departemen Dalam Negeri. Untuk berupaya menjadikan setiap anggota masyarakat merasakan bahwa memperoleh pendidikan dasar 9 tahun adalah kebutuhannya. Program pendidikan wajib belajar 9 tahun pada hakekatnya berfungsi memberikan pendidikan dasar bag, sedap warganegara agar masing-masing memperoleh sekurang-kurangnya pengetahuan clan kemampuan dasar yang diperlukan untuk dapat berperan Berta dalam kehiclapan bermasyarakat, berbangsa clan bernegara. Dalam konteks pembangunan nasional wajib belajar 9 tahun adalah suatu usaha yang harus dilakukan, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia agar memiliki kemampuan untuk memelihara dunianya, mampu menyesuaikan diri dengan perubahan, mampun mern'ngkatkan kualitas hidup dan martabatnya, dan wajib belajar diartikan sebagai pemberian kesemptan belajar seluas-luasnya kepada kelompok usla sekolah untuk mengikuti pendidikan dasar tersebut. Gerakan Pendidikan wajib belajar 9 tahun merupakan perwujudan konstitusi serta tekat pernerintah dan seluruh rakyat Indonesia dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan pendidikan merupakan upaya menuju peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan masyarakat Indonesia untuk mewujudkan tercapainya salah satu tujuan nasional, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa artinya meningkatkan kecerdasan kognitif dan kecerdasan emosional. Wajib belajar pada hakekatnya untuk memenuhi hak asasi setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan prinsip pendidikan untuk semua (education for all). Tujuan adalah agar setiap warganegara memperoleh pengetahuan dan kemampuan dasar yang diperlukan untuk berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sumber : http://ilyasismailputrabugis.blogspot.com/2009/11/wajar-9-tahun.html

You might also like