You are on page 1of 20

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Anak yang mengalami kesulitan belajar adalah anak yang memiliki ganguan satu atau lebih dari proses dasar yang mencakup pemahaman penggunaan bahasa lisan atau tulisan, gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak sempurna dalam mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau menghitung. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya. Kesulitan belajar siswa mencakup pengertian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan dijelaskan dari masing-masing pengertian tersebut: 1. Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai. 2. Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh :
1

siswa yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik. 3. Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah. 4. Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama. 5. Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya. Dari sedikit penjelasan diatas, dirasakan bahwa orangtua perlu mengetahui bentuk kesulitan belajar yang dialami oleh putra/puteri mereka agar lebih mengerti bentuk kesulitan yang putera/puteri mereka hadapi. Banyak orangtua yang juga bertanya dan bingung tentang pendidikan dan prestasi belajar anak, baik di sekolah maupun dirumah. Bahkan belajar menjadi 4 golongan masalah yang biasanya terjadi pada anak kita. Pada dasarnya seorang anak memiliki 4 masalah besar yang tampak jelas di mata orang tuanya dalam kehidupannya yaitu: 1. dsb) 2. Bad Habit / Kebiasaan jelek (misalnya, suka jajan, suka merengek, suka ngambek, dsb.) 3. Maladjustment / Penyimpangan perilaku 4. Pause Playing Delay / Masa bermain yang tertunda.
2

Out of Law / Tidak taat aturan (seperti misalnya, susah belajar, susah menjalankan perintah,

Ada beberapa klasifikasi anak dengan problema belajar. Departemen pendidikan Amerika Serikat, misalnya, mengelompokkannya menjadi: (1) anak yang memiliki kesulitan belajar, (2) gangguan wicara, (3) retardasi mental [gangguan perkembangan inteligensi, disebabkan oleh gangguan sejak dalam kandungan sampai masa perkembangan dini sekitar lima tahun, (4) gangguan emosi, (5) gangguan fisik dan kesehatan, (6) gangguan pendengaran, dan tunaganda. Sementara itu, Ashman dan Elkins membagi anak dengan problema belajar menjadi: (1) anak berbakat, (2) gangguan komunikasi, (3) anak dengan kesulitan belajar, (4) gangguan emosi dan perilaku, (5) gangguan penglihatan, (6) gangguan pendengaran, (7) gangguan intelektual, dan (8) gangguan fisik. Di Indonesia, di antara kelompok anak dengan kebutuhan khusus tersebut, terdapat anak luar biasa (ALB). ALB adalah anak yang memiliki kelainan fisik dan atau mental dan atau perilaku. Mereka terdiri atas tunanetra [tidak dapat melihat], tunarungu [tidak dapat mendengar], tunagrahita [cacat pikiran; lemah daya tangkap], tunadaksa [cacat tubuh], tunalaras [cacat suara dan nada], dan tunaganda [penderita cacat lebih dari satu kecacatan -- cacat fisik dan mental]. Sementara anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa, tidak dikategorikan sebagai anak luar biasa. Mereka diakui sebagai anak yang memerlukan perhatian khusus. 2. Prevalensi Anak dengan Problema Belajar Studi khusus tentang angka prevalensi anak dengan problema belajar memang belum ada. Namun, menurut beberapa literatur, anak yang mengalami kesulitan belajar berkisar antara 1-3 persen. Di beberapa negara industri seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat, jumlah anak yang mengalami kesulitan belajar diperkirakan mencapai 15 persen. Di negara berkembang seperti Indonesia, prevalensi anak yang memiliki kesulitan belajar diperkirakan lebih besar. Penyebabnya adalah masih cukup tinggi angka kurang gizi pada ibu hamil, bayi, dan anak; angka sakit diare, angka penyakit persalinan serta infeksi susunan saraf pusat pada bayi. Kondisi ini sering kali mengakibatkan terjadinya kesulitan belajar pada anak.

BAB II LAPORAN KASUS

Pasien A, 12 tahun diantar ke Puskesmas oleh orang tunanya baik bapak dan ibu karena susah belajar, konsentrasi kurang, pelupa dan sering mengeluh pusing dan sering melamun. Bila tidur sering gelisah dan teriak-teriak terbangun dan menangis. Katanya selalu mmimpi buruk. Di dalam kamar tunggu pasien A, tampak agak murung, air muka tidak cerah, agak sukar diajak bicara, seperti cenderung gagap. Telapak tangan dan kaki basah berkeringat. Waktu dilahirkan pasien membiru tidak segera menangis. Pernah mengalami kejang dua kali waktu masih balita. Kemampuan berjalan pada saat umur satu setengah tahun. Sewaktu sudah masuk sekolah SD umur 7 tahun, sering dibandingkan dengan kakaknya yang dikatakan lebih pandai. Kedua orang tuanya mendidik pasien dengan tegas dan keras. Berat badan 25 kg. Tinggi badn 125 cm. Pada pemeriksaan fisik, tensi 80/60, nadi 80/menit, temp 365C.

BAB III PEMBAHASAN

IDENTITAS Nama Jenis Kelamin Umur Pekerjaan Alamat KELUHAN UTAMA KELUHAN TAMBAHAN : An. Anggara : Laki-laki : 12 tahun : Pelajar : : Kesulitan belajar dan sukar untuk berkonsentrasi. : Pasien sering pusing, melamun, pelupa. Bila tidur sering

gelisah, teriak-teriak terbangun, menangis dan selalu mimpi buruk. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU : Mengalami kejang dua kali waktu masih balita RIWAYAT PENGOBATAN RIWAYAT KELAHIRAN :: Lahir dengan sianosis, tidak segera menangis

RIWAYAT TUMBUH KEMBANG: Berjalan pada saat umur 1,5 tahun HIPOTESIS 1. Organic Brain Syndrome: Epilepsi (petit mal)
5

Down syndrome Infeksi intracranial Tumor intracranial Trauma

2. Gangguan psikogenik : Depresi Kekerasan dalam rumah tangga ADHD PTSD Gangguan kepribadian anxietas Pola asuh yang kurang baik ANAMNESIS TAMBAHAN Riwayat Penyakit Sekarang Kapan keluhan tersebut muncul? Sudah berapa lama pasien mengalami keluhan tersebut? Apakah ada keluhan yang lain? Apakah saat keluhan tersebut timbul disertai dengan kejang? Adakah faktor pencetus yang mengakibatkan keluhan tersebut timbul? Adakah faktor yang memperingan atau menghilangkan keluhan tersebut :

Riwayat Penyakit Dahulu Apakah pernah mengalami trauma pada kepala?


6

Apakah pernah menderita penyakit infeksi berat, seperti infeksi intracranial?

Riwayat Penyakit Keluarga Apakah ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan yang sama? Apakah di keluarga memiliki penyakit atopi seperti asma

Riwayat Psikologis Anak Bagaimana dengan nilai-nilai disekolah? Apakah mengalami kesulitan dalam bergaul? Apakah ada kejadian traumatik yang pernah dialami?

Riwayat Kehamilan dan Persalinan (Alloanamnesis) Umur ibu saat hamil? Apakah pernah menderita suatu penyakit infeksi saat sedang hamil? Bagaimana asupan nutrisi saat hamil? Melahirkan dengan cukup bulan atau tidak? Melahirkan dengan bidan atau dengan dokter? Saat persalinan dibantu dengan bantuan alat atau tidak?

PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum Tanda-tanda vital : :

- Tekanan Darah : 80/60 - Nadi : 80/menit

- Suhu

: 36,5C

a. Inspeksi Tampak agak murung Air muka tidak cerah Agak sukar diajak bicara Bicara gagap Telapak tangan dan kaki basah berkeringat Kepala Mata : Konjungtiva anemis? Sclera ikterik? Mata berkedap-kedip? Bentuk dan ukuran pupil? Reflex pupil? Discharge mulut dan gigitan lidah? b. Palpasi Pemeriksaan persarafan pada muka Pemeriksaan reflex patologis dan fisiologis :

RUMUSAN MASALAH 1. Masalah Lingkungan Lingkungan Keluarga Pasien dididik dengan keras dan dibandingkan dengan kakaknya dimana hal tersebut dapat menjadi faktor eksternal yang memicu stres seingga berdampak pada keluhan keluhan pasien seperti sulit berkonsentrasi, tampak murung, bicara gagap. 2. Pola Asuh Keluarga Pola Asuh Otoriter Orang tua mendidik pasien dengan keras dan cenderung otoriter merupakan salah satu pola asuh yang buruk, karena orang tua tidak berlaku sebagai pendengar yang baik, merasa paling benar, dan cenderung berbicara kasar. Ciri-ciri dari pola asuh otoriter adalah sebagai berikut : 1) Anak harus mematuhi peraturan-peraturan orang tua dan tidak boleh membantah. 2) Orang tua cenderung mencari kesalahan-kesalahan anak dan kemudian menghukumnya. 3) Orang tua cenderung memberikan perintah dan larangan kepada anak.

Jika terdapat perbedaan pendapat antara orang tua dan anak, maka anak dianggap pembangkang.

Adapun dampak dari pola asuh yang keliru pada balita dan anak, yaitu: Balita (0-5 tahun): Pendiam, perkembangan fisik mental tidak selaras, absence, autisme, kejang, ADHD (Attention Deficit Hyperkinetic Disorder), air muka tidak cerah, pengalaman psikoseksual, persaingan antar anak kandung, narkoba, HIV AIDS. Anak (6-12 tahun): Pendiam, perkembangan fisik mental buruk, mengompol, gagap, susah belajar, susah bergaul, gelisah,cemas, tidak yakin diri, ketakutan, bengong, absences, muka depresi, pengalaman psikoseksual, sering pusing, pelupa, kejang, autisme, retardasi mental, persaingan antar anak kandumg, narkoba, HIV AIDS. 3. Pola Komunikasi Keluarga Komunikasi Verbal yang Buruk Orangtua pasien sering membandingkan pasien dengan kakaknya yang dikatakan lebih pandai merupakan salah satu contoh komunikasi verbal yang buruk yang juga dapat berdampak buruk pada kondisi psikologis pasien.

10

PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium : Darah rutin MMSE Pemeriksaan psikologis EEG CT- Scan

PATOFISIOLOGI Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien bengong dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM. 3 Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion (tabel 3). Contoh: Generalized epilepsy with febrile seizure plus, benign familial neonatal convulsions.

11

Tabel 3. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi4-6 Kanal Voltage-gated Kanal Natrium SCN1A, SCN1B, SCN2A, GABRG2 Kanal Kalium KCNQ2, KCNQ3 Generalized epilepsies with febrile seizures plus Benign familial neonatal convulsions Kanal Kalsium CACNA1A, CACNB4 CACNA1H Kanal Klorida CLCN2 Episodic ataxia tipe 2 Childhood absence epilepsy Juvenile myoclonic epilepsy Juvenile absence epilepsy Epilepsy with grand mal seizure on awakening Ligand-gated Reseptor asetilkolin CHRNB2, CHRNA4 Autosomal dominant frontal lobe epilepsi Gen Sindroma

12

Reseptor GABA

GABRA1, GABRD

Juvenile myoclonic epilepsy

Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron (gambar 1A). Jika terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium refluks tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron (gambar1B). Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron (gambar 1C)

Gambar 1. Mutasi kanal ion Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 katagori yaitu : 1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda. 2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF.

13

3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada. Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.

Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah : Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi. 1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan. 2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat ) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga. Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA (gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan.
14

Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal epilepsy.Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.

DIAGNOSIS KERJA Absence/ petit mal epilepsy

15

PROGNOSIS - Ad Vitam : Ad bonam

- Ad Fungsionam: Dubia ad Bonam - Ad Sanationam : Dubia ad Bonam

BAB IV TINJAUAN PUSTAKA

Pola Asuh Orang Tua 1. Pengertian Pola Asuh Pola asuh orang tua adalah sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap yang dilakukan orang tua antara lain mendidik, membimbing, serta mengajarkan nilai-nilai yang sesuai dengan norma-norma yang dilakukan di masyarakat (Suwono, 2008). 2. Tipe Pola Asuh Pola asuh orang tua mempengaruhi seberapa baik anak membangun nilai-nilai dan sikapsikap anak yang bisa dikendalikan.

Baumrind, pakar perkembangan anak telah mengelompokkan pola asuh kedalam empat tipe : (Drew, 2006). a. Pola asuh bisa diandalkan Orang tua yang bisa diandalkan menyeimbangkan kasih sayang dan dukungan emosional dengan struktur dan bimbingan dalam membesarkan anak-anak mereka. Orang tua tipe ini memperlihatkan

16

cinta dan kehangatan kepada anak. Mereka harus mendengarkan secara aktif dan penuh perhatian, serta menyediakan waktu bertemu yang positif secara rutin dengan anak. Orang tua tipe bisa diandalkan membiarkan anak untuk menentukan keputusan sendiri dan mendorong anak untuk membangun kepribadian. Anak-anak dari orang tua yang bisa diandalkan cenderung memiliki kebanggaan diri yang sehat, hubungan positif dengan sebayanya, percaya diri, dan sukses.

b. Pola asuh otoriter Pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana orangtua akan membuat berbagai aturan yang harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya. Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang tua yang telah membesarkannya. Anak yang besar dengan teknik asuhan anak seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid/selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orang tua, dan lainlain. Namun dibalik itu biasanya anak hasil didikan orang tua otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orang tua, lebih disiplin dan lebih bertanggungjawab dalam menjalani hidup. Orang tua otoriter menekankan batasan dan larangan diatas respon positif. Orang tua sangat menghargai anak yang patuh terhadap perintah orang tua dan tidak melawan. Penelitian telah menunjukkan bahwa anak dari orang tua otoriter bisa menjadi pemalu, penuh ketakutan, menarik diri, dan berisiko terkena depresi. c. Pola asuh permisif Pola asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang tidak peduli terhadap anak. Jadi apapun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti tidak sekolah, bandel, melakukan banyak kegiatan

17

maksiat, pergaulan bebas negatif, matrialistis, dan sebagainya. Biasanya pola pengasuhan anak oleh orangtua semacam ini diakibatkan oleh orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, kesibukan atau urusan lain yang akhirnya lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Dengan begitu anak hanya diberi materi atau harta saja dan terserah anak itu mau tumbuh dan berkembang menjadi apa. Anak yang diasuh orangtuanya dengan metode semacam ini nantinya bisa berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai orang lain, dan lain sebagainya baik ketika kecil maupun sudah dewasa. Orang tua tipe permisif tidak memberikan struktur dan batasan yang tepat bagi anak. Orang tua tipe ini cenderung mempercayai bahwa ekspresi bebas dari keinginan hati dan harapan sangatlah penting bagi perkembangan psikologis. Orang tua menyembunyikan ketidaksabaran, kemarahan, atau kejengkelan pada anak. d. Pola asuh campuran Pola asuh campuran orang tua tidak konsisten dalam mengasuh anak. Orang tua terombang-ambing antara tipe bisa diandalkan, otoriter, atau permisif. Pada pola asuh ini orang tua tidak selamanya memberikan alternatif seperti halnya pola asuh bias diandalkan, akan tetapi juga tidak selamanya melarang seperti halnya orang tua yang menerapkan otoriter dan juga tidak secara terus menerus membiarkan anak seperti pada penerapan pola asuh permisif. Pada pola asuh campuran orang tua akan memberikan larangan jika tindakan anak menurut orang tua membahayakan, membiarkan saja jika tindakan anak masih dalam batas wajar dan memberikan alternatif jika anak paham tentang alternatif yang ditawarkan. Anak yang diasuh orang tua dengan metode semacam ini nantinya bisa berkembang menjadi anak yang tidak mempunyai pendirian tetap karena orang tua yang tidak konsisten dalam mengasuh anaknya.

18

DAFTAR PUSTAKA

1. Problema Belajar Pada Anak. Available at:

(http://www.sabda.org/c3i/hakikat_anak_dengan_problema_belajar) Accessed June 17, 2011 2. Kesulitan Belajar Pada Anak. Available at: (http://www.psikologizone.com/kenali-kesulitan-belajar-anak-sejak-dini/06511486) Accessed June 17, 2011 3. Patofisiologi Epilepsi. Available at: (http://www.scribd.com/doc/37947482/PATOFISIOLOGI-EPILEPSI) Accessed June 17, 2011 4. Hipotesis seluler dan molekuler epilepsi. Available at: (http://kholilahpunya.wordpress.com/2011/01/21/referat-neurologi-epilepsi/) Accessed June 17, 2011
19

20

You might also like