You are on page 1of 43

POTRET PEREKONOMIAN MASYARAKAT PETANI PASCA BOM BALI 1)

Dr. Made Antara, MS.2)

I. PENDAHULUAN Pembangunan di Propinsi Bali didasarkan pada bidang ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian dalam arti luas guna melanjutkan usaha-usaha memantapkan swasembada pangan, pengembangan sektor pariwisata dengan karakter kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu, serta sektor industri kecil dan kerajinan yang berkaitan dengan sektor pertanian dan sektor pariwisata (Anonim, 1999; Anonim, 2001). Kebijakan prioritas tiga sektor ini, mengacu terminologi Nurkse, 1953 (dalam Yotopoulos dan Nugent, 1976) dapat digolongkan ke dalam pertumbuhan seimbang, yakni ada keterkaitan penawaran dan permintaan antara satu sektor dengan sektor lainnya, atau pengembangan sektor-sektor itu dapat menciptakan permintaan mereka sendiri. Kebijakan prioritas tiga sektor (pertanian, pariwisata dan industri kecil) dalam pembangunan ekonomi Bali telah menunjukkan hasil yang sangat fantastis, dimana pertumbuhan ekonomi Bali selalu lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional. Pada Pelita I perekonomian Bali tumbuh 7,32%; Pelita II sebesar 8,55%; Pelita III sebesar 14,01%, Pelita IV sebesar 8,28%; dan pada Pelita V tumbuh sebesar 8,40%. Sedangkan dalam Pelita VI (1994-1998) pertumbuhan

perekonomian Bali rata-rata 5,07% sebelumnya.

lebih rendah dibandingkan pertumbuhan

Ketika terjadi krisis ekonomi nasional (1997/1998), perekonomian Bali mengalami kontraksi cukup tajam mencapai minus 4,04%, sedangkan tingkat nasional mencapai minus 13,13%. Kebijakan economic recovery yang

dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah telah berdampak positif terhadap perekonomian Bali. Hal ini dapat dilihat dari perekonomian Bali tahun 1999 mulai tumbuh positif

1) Makalah disajikan pada seminar regional yang dilaksanakan oleh Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa, Denpasar Bali, Selasa, 30 September 2003. 2) Doktor Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, pengajar pada Jurusan Sosek Faperta UNUD dan Program Pascasarjana UNUD, Denpasar

Sebe*sar 0,67%, kemudian berlanjut dalam tahun 2000 sebesar 3,05% dan tahun 2001 sebesar 3,39% di atas pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 3,32% dan pertumbuhan ekonomi Bali tahun 2002 mencapai 3,15% (Tabel 1). Sektor pertanian yang pada awalnya berperan menjadi penopang pertumbuhan sektor lainnya, setelah sempat mengalami pertumbuhan minus 1,90% tahun 1999, tahun 2000 kembali mengalami pertumbuhan positif sebesar 1,67%, tahun 2001 sebesar 2,76% dan tahun 2002 sebesar 2,98%. Salah satu sektor yang pertumbuhannya terus mengalami peningkatan setelah mengalami krisis pada tahun 1998 adalah sektor industri pengolahan, mulai dari 1,21% tahun 1999 meningkat menjadi 3,35% tahun 2000 dan 4,61% tahun 2001 serta tahun 2002 sebesar 5,57%. Sebagai sektor andalan perekonomian Bali yaitu perdagangan, hotel dan restoran juga mengalami pertumbuhan positif pada tahun 2001 sebesar 2,36% dan tahun 2002 sebesar 0,46%, turun dibandingkan tahun 2000 yang mencapai 2,93%. berpengaruh terhadap pola Secara makro, krisis ekonomi yang terjadi akan dan struktur ekonomi Propinsi Bali yang

perekonomiannya sebagian besar didukung oleh sektor pariwisata dan sektorsektor terkait (Tabel 1).

Tabel 1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Bali atas dasar Harga Konstan 1993, Menurut Lapangan Usaha Tahun 1998-2002 No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9

Lapangan Usaha
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Komunikasi
Keuangan, Persewaan dan Jada Perusahaan

Pertumbuhan Ekonomi Bali (%)


1998 0,71 -3,81 -3,65 13,11 -9,98 -4,20 -9,05 -3,31 -5,31 -4,04 1999 -1,90 1,27 1,21 4,50 -0,58 1,37 0,84 0,79 2,17 0,67 2000 1,67 0,99 3,35 10,77 1,03 2,93 5,97 3,25 2,40 3,05 2001 2,76 1,26 4,61 10,93 3,17 2,36 5,47 3,26 3,44 3,39 2002 2,98 2,00 5,57 13,95 5,61 0,46 3,81 5,78 4,06 3,15

Jasa-Jasa lain Rata-Rata Pertumbuhan

Sumber: BPS Propinsi Bali (dalam Anonim, 2003) Catatan: Pertumbuhan ekonomi Bali periode 1994-1997 beruturt-turut: 7,51%; 7,93%; 8,16% dan 5,81%.

Tragedi WTC 11 September 2001, invasi Amerika ke Irak, wabah SARS di China dan Singapura serta kondisi sosial, politik dan keamanan dalam negeri yang belum sepenuhnya kondusif, berdampak negatif terhadap kepariwisataan Bali, sehingga menurunkan aktivitas ekonomi mikro dan makro daerah Bali. Belum sepenuhnya perekonomian Bali pulih, kepariwisataan Bali kembali diguncang tragedi Bom Legian-Kuta 12 Oktober 2003 yang meluluhlantakan segala macam aktivitas ekonomi, yang sampai saat ini masih dirasakan dampaknya terhadap perekonomian masyarakat Bali pada umumnya dan perekonomian masyarakat petani pada khususnya. Kita tidak dapat meramalkan secara pasti, kapan

pulihnya kepariwisataan Bali seperti sebelum tragedi 12 Oktober 2002. Namun yang jelas, tragedi bom Bali telah menimbulkan kepedihan dan luka mendalam bagi penduduk Bali dan penduduk belahan dunia lainnya yang bersimpati terhadap daerah wisata Bali.

II. KETERKAITAN SEKTOR PARIWISATA DENGAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEREKONOMIAN BALI Sektor pariwisata yang memperoleh prioritas dalam pembangunan ekonomi Bali telah menunjukkan perkembangan yang sangat pesat, yang ditandai oleh beberapa indikator antara lain adanya peningkatan devisa yang bersumber dari pariwisata, peningkatan jumlah kunjungan wisatawan, lama tinggal, pengeluaran wisatawan dan jumlah sarana dan prasarana pariwisata. Kunjungan wisatawan mancanegara yang langsung datang ke Bali selama pelita V meningkat 19,9% per tahun, dan pertumbuhan periode 1994-2000 rata-rata 7,0% per tahun. Lama tinggal wisatawan sejak tahun 1994 sampai tahun 2000 cenderung meningkat, dengan lama tinggal tahun 2000 selama 11 hari untuk wisatawan mancanegara dan 5,9 hari untuk wisatawan nusantara. Sedangkan pengeluaran wisatawan per orang per hari dalam periode yang sama cenderung turun yakni tahun 2000 sebesar US $ 77,35 untuk wisatawan mancanegara dan US $ 20,04 untuk wisatawan nusantara. Akomodasi kepariwisataan di Bali tahun 1994 hanya berjumlah 687 unit dengan 24.222 kamar, tahun 2000 meningkat menjadi 1.037 unit dengan 31.944 kamar (Anonim, 2000).

Dari perspektif ekonomi, dampak positif pariwisata di Bali pada umumnya adalah (1) mendatangkan devisa bagi negara, melalui penukaran mata uang asing untuk dibelanjakan di daerah tujuan wisata; (2) pasar potensial bagi produk barang dan jasa di Bali; (3) meningkatkan pendapatan masyarakat yang kegiatannya terkait langsung atau tidak langsung dengan jasa pariwisata; (4)

memperluas penciptaan kesempatan kerja, baik pada sektor-sektor yang terkait langsung seperti perhotelan, restoran, agen perjalanan, maupun sektor-sektor

yang tidak terkait langsung seperti industri kerajinan, penyediaan produk-produk pertanian, atraksi budaya, bisnis eceran, jasa-jasa lain dan sebagainya; (5)

sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang bersumber dari Pajak Hotyel dan Restoran (PHR), dan (6) merangsang kreaktivitas seniman, baik seniman pengrajin industri kecil maupun seniman tabuh dan tari yang diperuntukkan konsumsi wisatawan (lihat juga French et al.,1995; Krippendorf, 1991). Wisatawan (mancanegara dan nusantara) selama di daerah tujuan wisata Bali melakukan berbagai pengeluaran (konsumsi), seperti untuk akomodasi, makanan dan minuman, perjalanan, melihat atraksi budaya, pembelian cendramata dan lain-lain. Pengeluaran ini akan ditangkap oleh sektor-sektor ekonomi, sehingga menjadi pendapatan sektor-sektor ekonomi tersebut. Ini disebut efek langsung pendapatan (direct effects) pengeluaran ekonomi ini wisatawan. akan Namun

peningkatan

sektor-sektor

meningkatkan

permintaan input yang berasal dari output sektor-sektor ekonomi lain seperti pertanian, industri, industri kerajinan, jasa transportasi dan sebagainya. Dengan demikian, peningkatan pendapatan sektor-sektor ekonomi yang satu, akan mendorong Peningkatan peningkatan output produktivitas sektor-sektor ekonomi yang lain. akan

sektor-sektor

ekonomi

produksi

selanjutnya

meningkatkan balas jasa faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi, sehingga meningkatkan pendapatan pendapatan pemilik faktor produksi. Selanjutnya faktor produksi akan mendorong peningkatan

peningkatan

pendapatan pemilik faktor produksi yaitu rumahtangga dan perusahaan. Ini disebut efek tidak langsung (indirect effects) pengeluaran wisatawan. Peningkatan pendapatan rumahtangga konsumsi masyarakat, atau masyarakat akan mendorong peningkatan peningkatan pendapatan

selanjutnya

mendorong

masyarakat lainnya dan memperluas kesempatan kerja. Ini disebut efek yang didorong (induced effects) dari pengeluaran wisatawan. Indirect effects dan

induced effects disebut secondary effects, dan efek pengganda (multiplier effects) wisatawan mengukur total effects (directs plus secondary) yang

dihasilkan dari tambahan pengeluaran wisatawan. Peningkatan aktivitas produksi sektor-sektor ekonomi yang terkait langsung atau tidak langsung dengan pariwisata akan menciptakan dan memperluas lapangan kerja. Ini yang disebut dengan keterkaitan penciptaan kesempatan kerja (employment linkages)(Lihat Gambar 1). Melalui efek pengganda (multiplier effects) dan efek menyebar (spread effects), pengeluaran wisatawan di Bali telah menjadi mesin penggerak perekonomian Bali, bahkan ikut menggerakkan perekonomian propinsi berdekatan melalui permintaan produk-produk kebutuhan masyarakat Bali dan wisatawan yang diproduksikan di propinsi tersebut; misalnya, bahan pangan dari Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Menggunakan data empirik regional dan nasional untuk menguji logika empirik seperti Gambar 1, maka Antara (1999) mengkonstruksi perekonomian makro Bali 1996 dengan model Social Accounting Matrix (SAM). Dari hasil analisis pengganda SAM Bali diperoleh efek pengeluaran wisatawan di Bali tahun 1996 adalah 3,743, yang terdiri dari pengganda neraca faktor sebesar 0,752

(tenagakerja = 0,253 dan modal = 0,499), pengganda neraca institusi sebesar 0,788, dan pengganda neraca sektor produksi sebesar 2,203 (Tabel 2). Namun Erawan (1994) menemukan efek pengganda pariwisata Bali tahun 1984 sebesar 1,2 dan tahun 1994 meningkat menjadi 1,5. Sedangkan Sceto melaporkan bahwa pengganda pariwisata di Bali tahun 1994 sebesar 2,0. Perbedaan nilai-nilai ini tampaknya disebabhkan oleh perbedaan penggunaan metodologi, ketersediaan data dan waktu penelitian. Pada Tabel 2 tampak bahwa efek pengeluaran wisatawan terhadap neraca (sektor) produksi adalah sebesar 2,203, artinya setiap peningkatan pengeluaran wisatawan Rp 1.000.000,- akan meningkatkan permintaan total produksi sebesar Rp 2.203.000. Dari 28 sektor pada neraca (sektor) produksi, 27 sektor memperoleh efek, dengan pengganda berkisar dari 0,001 sampai dengan 0,507. Jadi, hampir semua sektor ekonomi, baik listrik/gas/air minum, bangunan dan konstruksi (24-32), maupun jasa-jasa (33-36) memperoleh efek dari pengeluaran wisatawan. Ini menyiratkan bahwa ada keterkaian antara pariwisata di Bali

dengan sektor-sektor ekonomi yaitu, pertanian, industri kecil dan jasa-jasa.

VISITOR
Visitor Spending

Jenis Pengel.

Akomo. direct effect

Mak/Min

Perjal.

Keseni

Cinde.

Sektor

Perho. indirect effects

Ind.Peng

Transp

Jasa hib.

Ind.K

Sektor

Telkom

Pertanian.

Ind. Otomo.

Kehutanan

Pendp.

Pewartel.

Petani

Pengusaha

Induced Effect . Employ TK TK TK

Gambar 1. Efek Keterkaitan langsung (Direct Effects), Efek Keterkaitan tidak langsung (Indirect Effects) dan Efek Penciptaan Kesempatan Kerja (Employment Linkages) Sektor Pariwisata

Dengan demikian setiap peningkatan kunjungan wisatawan ke Bali (berarti terjadi peningkatan pengeluaran wisatawan), akan meningkatkan permintaan produkproduk sektor ekonomi (berarti mendorong) peningkatan produktivitas sektorsektor ekonomi), pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan perekonomian Bali. Tabel 2 juga mampu menggambarkan posisi sektor pertanian (dalam arti luas) dalam kancah kepariwisataan di Bali, yang ditunjukkan oleh tingkat keterkaitan sektor ini dengan pengeluaran wisatawan. Sedangkan tingkat keterkaitan dapat diketahui dari perbandingan angka pengganda sektor atau subsektor pertanian dengan rataan angka pengganda sektor produksi. Bila dirunut lebih jauh per subsektor yang tercakup dalam pengertian sektor pertanian, maka subsektor tanaman pangan terkait erat (0,167>0,079), subsektor perkebunan terkait lemah (0,012<0,079), subsektor peternakan/hasil-hasilnya terkait lemah (0,047<0,079). Kehutanan/hasil-hasilnya terkait lemah terkait lemah (0,007<0,079) dengan dan

perikanan/hasil-hasilnya

(0,018<0,079)

pengeluaran

wisatawan. Namun secara sektoral angka pengganda rataan sektor pertanian lebih besar dari pada angka pengganda rataan sektor produksi (0,251>0,079), yang mengindikawsikan bahwa sektor pertanian di Bali memiliki ketekaitan erat dengan pariwisata (dalam pengertian pengeluaran wisatawan). Jadi, posisi sektor pertanian di Bali dalam kancah kepariwisataan adalah relatif penting, karena pertanian dengan berbagai jenis produknya dibutuhkan oleh wisatawan maupun sektor-sektor ekonomi yang terkait dengan pariwisata. Jika ditinjau resposifitas sektor-sektor produksi, maka sektor-sektor yang responsif terrhadap peningkatan pengeluaran wisatawan yaitu, jagung, sayursayuran, buah-buahan, peternakan dan hasil-hasilnya, industri kayu dan sejenisnya, perdagangan/hotel/restoran, transportasi/pos/telekomunikasi,

keuangan (bank dan non bank), dan persewaan bangunan/pemerintahan/jasa lain yang ditunjukkan oleh elastisitas lebih besar dari pada satu. Artinya, setiap peningkatan pengeluaran wisatawan sebesar 1% akan diikuti oleh peningkatan permintaan output sektor-sektor tersebut lebih besar dari pada 1%. Namun, dari tiga sektor utama, sektor jasa (neraca 33-36) menunjukkan respon tertinggi dengan elastisitas 6,992, selanjutnya diikuti oleh sektor pertanian dalam arti luas (neraca 10-13) dan terakhir sektor industri (neraca 27).

Tabel 2.

Efek Penggdan Umum Pengeluaran Wisatawan terhadap Pendapatan Neraca Regional Bali 1996 Neraca Pengeluaran Wisatawan Pengganda Elastisitas 0.253 0.346 0.499 0.354 0.752 0.752 0.042 0.351 0.131 0.351 0.187 0.350 0.140 0.349 0.170 0.346 0.118 0.355 0.788 0.073 0729 0.005 1.120 0.009 1.360 0.031 2.047 0.041 5.144 0.003 0.604 0.005 0.467 0.000 0.000 0.167 0.002 0.444 0.001 0.425 0.005 0.511 0.004 0.443 0.012 0.047 0.781 0.007 0.599 0.018 0.669 0.257 0.001 0.041 0.122 0764 0.035 0.699 0.142 2.042 0.015 0.695 0.110 0.410 0.048 0.419 0.022 0.783 0.006 0.672 0.303 6.992 0.507 6.488 0.147 4.443 0.497 6.029 2.203 -

No 1 2

3 4 5 *6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36

Tenagakerja Modal Total Faktor Produksi (1-2) Kelompok Pengeluaran Rumahtangga (3-7): <Rp 100.000 (1) Rp 100.000-299.999 (2) Rp 300.000-499.999 (3) Rp 500.000-749.999 (4) Rp750.000 (5) Perusahaan Total Institusi (3-8) Padi Jagung Tanaman Umbi-Umbian Sayur-sayuran Buah-buahan Kacang Tanah Kacang Kedele Tanaman Pangan Lainnya Sub Total Tanaman Pangan (9-16) Kelapa Tembakau Kopi Tanaman Perkebunan Lainnya Sub Total Perkebunan (17-20) Peternakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan dan Hasil-hasilnya Perikanan dan Hasil-hasilnya Sub Total Pertanian (9-23) Pertambangan dan Penggalian Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Industri Pemintalan Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Kayu dan Sejenisnya Industri Kertas dan Sejenisnya Industri Kimia dan Sejenisnya Industri Alat Angkutan dan Barang Logam Listrik, Gas dan Air Minum Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi, Pos dan Telekomunikasi Keuangan (Bank dan Non Bank)
Persewaan Bangunan, Pemerintanah dan Jasa Lain

Total Sektor Produksi (9-36)

Sumber: Antara (1999) Catatan: Rataan Pengganda Sektor Produksi = 0.079 Perhitungan Elastisitas, E = dyi/dxj. xj/yi di mana: dyi/dxj = pengganda neraca (sektor) ke-i dari kolom ke-j. xj = pengeluaran wisatawan, yi = pendapatan neraca (sektor) ke-i

Efek pengganda pengeluaran wisatawan terhadap neraca faktor produksi sebesar 0,752 (Tabel 2). Artinya, setiap peningkatan pengeluaran wisatawan sebesar Rp 1.000.000,- akan meningkatkan pendapaan neraca faktor sebesar Rp 752.000. Namun, antara dua faktor, peningkatan pendapatan faktor modal lebih tinggi dari pada faktor tenagaklerja dengan pengganda masing-masing sebesar 0,499 dan 0,253. Ini mencerminkan bahwa proses produksi barang dan jasa di Bali yang terkait dengan pariwisata bersifat padat modal, sehingga harus memberikan balas jasa lebih tinggi kepada faktor modal dari pada faktor tenagakerja. Efek pengganda pengeluaran wisatawan terhadap neraca institusi adalah sebesar 0,788 (Tabel 2). Artinya, setiap peningkatan pengeluaran wisatawan Rp 1.000.000,- akan meningkatkan pendapatan neraca institusi Rp 788.000. Efek ini tampak dinikmati oleh semua neraca-neraca institusi, baik kelima golongan rumahtangga maupun perusahaan, dengan pengganda tidak terlalu variatif. Namun khusus untuk pengganda institusi rumahtangga yang tidak lain adalah pengganda pendapatan (income multiplier) rumahtangga adalah 0,788-

0,118=0,67. Artinya, setiap peningkatan pengeluaran wisatawan sebesar Rp 1.000.000,- akan meningkatkan pendapatan rumahtangga di Bali sebesar Rp 670.000. Sebagai perbandingan, Archer (1991) menginformasikan penggada pendapatan pariwisata dalam ekonomi pulau-pulau kecil yaitu, Dominica Island 1,20; Bermuda 1,03; Hong Kong 1.02; India Ocean Island 0,95-1,03; Hawaii 0,901,30; Antigua 0,88; Bahamas 0,78; Fiji 0,69; Cayman Island 0,65 dan British Virgin Island 0,58. Kalau dibandingkan pengganda pendapatan pariwisata hasil kajian ini dengan pengganda pulau-pulau di atas memang relatif lebih rendah. Hal ini tampaknya disebabkan oleh adanya kebocoran (leakages). Sektor pertanian dalam arti luas, utamanya subsistem produksi sebagai jantung penggerak agribisnis harus merespon peningkatan permintaan produkproduk pertanian seiring meningkatnya kunjungan wisatawan. Dengan demikian, sektor agribisnis di Bali memiliki peluang besar untuk dikembangkan. Dari 15 sektor agribisnis (neraca pengeluaran wisatawan. 9-23), 14 sektor memiliki keterkaitan dengan

III. POTRET PEREKONOMIAN MASYARAKAT PETANI PASCA BOM BALI Tragedi ledakan bom di Legian-Kuta Bali 12 Oktober 2002 yang secara cepat menyebar ke seluruh dunia, telah membawa citra buruk terhadap keamanan Pulau Bali, sebagai daerah tujuan wisata dunia. Sejak saat itu, wisatawan yang sedang berlibur di Bali eksodus pulang ke negara masing-masing. Wisatawan yang sudah menjadwalkan kunjungannnya ke Bali membatalkannya dan wisatawan yang berencana mengunjungi Bali menundanya, setidaknya menunggu sampai Bali dirasa cukup aman sebagai daerah tujuan wisata dunia. Akibatnya, kunjungan wisatawan ke Bali menurun drastis. Sehari sebelum ledakan, tingkat hunian hotel-hotel di Bali mencapai 70,27%, tetapi sepuluh hari setelah ledakan bom jumlah tamu hotel di delapan kawasan wisata di Bali menurun hingga 99%, sehingga tingkat hunian hotel ratarata hanya tinggal 1,13% dari jumlah kamar yang tersedia (Kompas, Minggu 17 Nopember 2002). Kondisi yang sangat ekstrim seperti ini, belum pernah di alami oleh industri pariwisata di Bali sebelumnya. Penurunan kunjungan wisatawan di Bali, yang berarti pula terjadi penurunan pengeluaran wisatawan, sehingga menyebabkan menurunnya jumlah uang yang diterima oleh sektor-sektor ekonomi yang terkait langsung atau tidak langsung dengan pengeluaran wisatawan. Ini berarti, secara mikro tidak hanya menurunkan pendapatan masyarakat perkotaan, masyarakat pariwisata, pengrajin perkotaan dan pedesaan, tetapi juga menurunkan aktivitas perekonomian masyarakat petani di pedesaan yang terkait langsung atau tidak langsung dengan pariwisata..Sedangkan secara makro akan berdampak terhadap penurunan pendapatan regional (PDRB) Bali. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di 9 kabupaten/kota di Bali yang meliputi 45 Desa, mencakup 135 kelompok/organisasi kemasyarakatan, maka

dapat diketahui dampak tragedi bom Bali 12 Oktober 2002 yang disajikan pada Tabel 3 yang merupakan jeneralisasi dari dampak bom Bali terhadap 9

kabupaten/kota di Bali yang disajikan pada Lampiran 1. Pada Tabel 3 tampak bahwa tragedi bom Bali ternyata telah menyebabkan penurunan pendapatan masyarakat Bali pada umumnya dan masyarakat petani pada khususnya yang aktivitas ekonominya terkait langsung atau tidak langsung dengan pariwisata Bali. Jika dirinci per kelompok, yaitu: masyarakat petani sayur-sayuran, buah-buahan,

10

Tabel 3. Dampak Bom Bali Terhadap Perekonomian Masyarakat Petani Bali (Jeneralisasi Hasil Survei 45 Desa Adat Penyangga Pariwisata di Bali)
No . 1 1 Kriteria Dampak 2 Penurunan Pendapatan Sektor/Bidang Usaha
Kisaran Dampak

Kabupaten/Kota

3 8 Pertanian (dalam arti luas): Badung, Gianyar, Tabanan, - Hortikultura: sayur, bunga, buah Jembrana, - Peternakan: sapi, babi, ayam, Bangli, kambing, telor Klungkung, - Perikanan: karper, Karangasem, udang 2 Industri dan kerajinan 20-100 3 Perdagangan 20-60 4 Transportasi umum 10-35 5 Pariwisata 30-80 6 Buruh tani, 40-100 bangunan, galian Kehilangan 1 Pariwisata: Banyak Denpasar, Pekerjaan karyawan hotel, sopir travel, Badung, (PHK/ pemandu Gianyar, Dirumahkan) wisata, dll Tabanan, Jembrana, 2 Industri kerajinan dan garmen 40-50 Catatan: tenaga kerja yang di PHK atau dirumahkan Buleleng, Bangli, sebagian kembali menjadi petani, buruh, pengrajin, Klungkung, Karangasem pekerja serabutan, pekerja sosial di desa/di pura, dlll Akses Pasar 1 Pertanian: 30-80 Denpasar, sayur, buah, telor, ayam, sapi, Badung, babi, ikan, bunga, dllnya. Gianyar, Tabanan, 2 Industri dan kerajinan: kayu, 15-100 Buleleng, perak/emas, Klungkung, anyaman, garmen, Karangasem, genteng, batubata, Bangli, keramik, gamelan Jembrana 3 Perdagangan/hasil bumi 20-65 4 Transportasi pariwisata 80-100 5 Seni budaya 40100 6 Penunjang Pariwisata: diving 80-90 7 Galian C/pasir,batu 20 Akses 1 LPD 10-15 Denpasar, Lembaga Badung, 2 KSP/KUD Keuangan Gianyar, 3 BPR Tabanan, 4 Bank Umum Bulelen Catatan : Bagi nasabah LPD/KSP yang Klungkung, dikelola lembaga adat, biasanya Karangasem, diberikan keringanan membayar cicilan/ Bangli, bunganya saja atau waktu Jembrana pengembalian diperpanjang. Sosial dan Psikologis (Non- Ekonomi) Dampak non ekonomi tragedi Bali 12 Oktober 2002, seperti dampak sosial (gangguan keamanan) dan dampak psikologis (stress) memang belum tampak ke permukaan, terkecuali di kota Denpasar sudah tampak ke permukaan berupa dampak sosial seperti pencurian-pencurian di beberapa kompleks perumahan. Namun, jika kondisi krisis yang menimpa Bali terus berlanjut, tidak tertutup kemungkinan akan muncul dampak-dampak sosial dan psikologis yang tidak diinginkan. 1

(%) 4 20-70

Sumber: LPM UNUD dan UNDP-PBB (2003), penulis sendiri termasuk salah satu peneliti di dalamnya.
Catatan: Persentase adalah jeneralisasi kisaran persentase dari 9 Kabupaten/Kota di Bali yang disajikan pada Tabel 4.

11

peternak

dan

pengusaha

ikan/nelayan/petambak

mengalami

penurunan

pendapatan berkisar antara 20-70% dibandingkan sebelum bom Bali. Penurunan pendapatan ini disebabkan oleh menurunnya permintaan terhadap produk-produk mereka, sehingga harganya menjadi menurun dan mungkin pula omset penjualannya menurun karena lesunya permintaan. Misalnya, para petani sayuran di Baturiti dan sekitarnya, para peternak ayam petelur di Tabanan dan Karangasem, petani caysin dan kangkung di pinggiran kota Denpasar

mengatakan, pendapatan mereka menurun karena menurunnya permintaan oleh para pemasok ke hotel dan lesunya permintaan masyarakat di pasar-pasar umum di kota Denpasar. Dampak Bom Bali tidak hanya menimpa kelompok masyarakat petani, tetapi juga kelompok masyarakat lainnya, seperti para pengrajin dan industri rumahtangga yang mengalami penurunan pendapatan berkisar 20-100%, para pedagang mengecer di desa-desa pendapatannya menurun antara 20-60%, pemilik transportasi umum menurun antara 10-35%, para pekerja pariwisata antara 30-80%, para buruh tani dan buruh bangunan pendapatannya menurun 40100% yang disebabkan oleh kehilangan pekerjaan di sentra-sentra

pengembangan pariwisata Denpasar dan Badung. Bom Bali juga berdampak menurunkan akses pasar para pedagang produk-produk pertanian dalam arti luas, seperti pemasok sayuran, buah-buahan, produk peternakan ke hotel-hotel, restoran dan pasar-pasar umum, yang berkisar antara 30-80%. Pihak purchasing hotel menurunkan frekuensi kontrak-kontrak pembelian dengan para pemasok, para pengelola restoran dan masyarakat umum menurunkan volume pembelian kebutuhan produk-produk bahan pangan di pasarpasar umum. Jadi esensi penurunan akses pasar disebabkan oleh hilangnya pasar atau menurunnya permintaan. Sedangkan penurunan permintaan hotel, restoran karena kunjungan wisatawan turun drastis, sehingga tidak ada penerimaan dari wisatawan untuk dikeluarkan kembali membeli berbagai macam kebutuhan bahan pangan atau produk-produk pertanian untuk kebutuhan insaninsan pariwisata. Fenomena seperti diuraikan di atas menjastifikasi dan menguatkan temuan Antara (1999) dimana terdapat keterkaitan erat antara sektor pariwisata dengan sektor pertanian pada umumnya dalam perekonoian daerah Bali. Implikasinya, jika pariwisata meningkat dan berkembang, maka akan menggeret sektor-sektor

12

ekonomi lainnya untuk berkembang dan maju. Sebaliknya, jika pariwisata terpuruk seperti pasca Bom Kuta, maka sektor-sektor yang terkait langsung atau tidak langsung dengan pariwisata, seperti pertanian, industri kerajinan rumahtangga juga ikut terpuruk, baik terpuruk dalam pengertian penurunan pendapatan insaninsan petani atau pengrajin yang berkerja pada sektor tersebut atau terpuruk dalam sumbangan sektor tersebut terhadap pendapatan regional Bali (PDRB). Dampak Tragedi Bom Bali lainnya yakni terjadinya banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi tenagakerja yang bekerja di sektor perhotelan, restauran, transportasi, persewaan mobil dan motor (car/motorcycles rentals), jasa keuangan kepariwisataan (money changer), menurunnya aktivitas jasa-jasa yang terkait langsung dengan pariwisata, Sedangkan PHK tenagakerja pada industri kerajinan dan garmen berkisar antara 40-50%. Artinya pada pengusaha tenagakerja tidak total memPHK pada karyawannya atau ada juga yang bekerja separuh waktu. Dampak non ekonomi tragedi Bali 12 Oktober 2002, seperti dampak sosial (gangguan keamanan) dan dampak psikologis (stress) memang belum tampak ke permukaan, terkecuali di kota Denpasar sudah tampak ke permukaan berupa dampak sosial seperti pencurian-pencurian di beberapa kompleks perumahan. Namun, jika kondisi krisis yang menimpa Bali terus berlanjut, tidak tertutup

kemungkinan akan muncul dampak-dampak sosial dan psikologis yang tidak diinginkan. Jadi dapat dikatakan bahwa bom Bali utamanya pasca bom telah menciptakan potret buram bagi perekonomian masyarakat Bali pada umumnya dan perekonomian masyarakat petani pada khususnya, karena menyebabkan penurunan pendapatan, kehilangan pekerjaan (PHK), kehilangan akses pasar, akses lembaga keuangan dan dampak sosial-psikologi.

13

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1. Kesimpulan Sektor pariwisata dalam pengertian pengeluaran wisatawan memiliki keterkaitan erat dengan sektor-sektor ekonomi, utamanya sektor pertanian dalam arti luas, yang ditunjukkan oleh efek pengganda pengeluaran wisatawan terhadap sektor-sektor perekonomian. Dengan demikian posisi sektor pertanian di Bali dalam kancah kepariwisataan adalah relatif penting, karena pertanian dengan berbagai jenis produknya yang diproduksikan oleh sebagian besar petani yang berdomisili di pedesaan dibutuhkan oleh wisatawan maupun ekonomi yang terkait dengan pariwisata. Tragedi Bom Bali 12 Oktober 2002, utamanya kondisi pasca bom Bali ternyata telah menciptakan potret buram bagi perekomian masyarakat Bali pada umumnya dan perekonomian masyarakat petani pada khususnya, karena menyebabkan penurunan pendapatan, kehilangan pekerjaan (PHK), kehilangan akses pasar, akses lembaga keuangan dan dampak sosial-psikologi. sektor-sektor

4.2. Rekomendasi Sektor pertanian di Bali sebaiknya dibina dan dikembangkan dengan mengusahakan komoditi yang bernilai ekonomi tinggi, tidak hanya untuk pasar pariwisata, tetapi juga untuk pasar ekspor. Banyak jenis komoditi pertanian dan peternakan, seperti beberapa jenis sayuran dan buah-buahan dapat menyasar pasar ekspor, tetapi belum banyak diusahakan oleh para petani dan pengusaha agribisnis Bali. Pertanian di Bali atau dalam pengertian yang lebih luas agribisnis di Bali sebaiknya dibina dan dikembangkan menjadi modern agar kelak mampu menjadi leading sector untuk mengantisipasi kemunduran sektor pariwisata.

14

DAFTAR PUSTAKA Acher, B.H. 1991. The Value of Multiplier and Their Policy Implication;. In Managing Tourism, Edited by Medlik. Butterworth-Heinemann, London. pp. 15-30. Anonim. 1999. Repelita VI Propinsi Daerah Tingkat I Bali (1994/95-1998/99). Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Anonim. 2000. Survey Kepariwisataan di Bali Tahun 2000 Lama Tinggal, Pengeluaran Wisatawan, dan Karakteristik Wisatawan. Dinas Pariwisata Propinsi Bali. Anonim. 2001. Program Pembangunan Daerah Propinsi Bali Tahun 2001-2005, Badan Perencanaan Pembangunan Propinsi Bali. Anonim. 2003. Arah dan Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Propinis Bali Tahun 2004. Pemerintah Propinsi Bali. Antara, Made. 1999. Dampak Pengeluaran Wisatawan dan Pemerintah Terhadap Kinerja Perekonomian Bali: Pendekatan Social Accounting Matrix. Disertasi Doktor pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Erawan, N. 1994. Pariwisata dan Pembangunan Ekonomi (Bali sebagai Kasus). Upada Sastra, Denpasar. French, Christine, N; Stephen, J. Craig-Smith and Alan Collier. 1995. Principle of Tourism. Longman, Australia. Krippendorf, J. 1991. Toward New Tourism Policies. In Managing Tourism, Edited by Edlik, Butterworth-Heinemann, London. pp. 307-317. LPM UNUD dan UNDP. 2003. Hasil Survei Dampak Tragedi Bali 12 Oktober 2002 Terhadap Perekonoian 45 Desa Adat Penyangga Pariwisata di Bali dan Identifikasi Kebutuhannya. Pengkajian LPM Unud dengan UNDP-PBB.. Yotopoulos, P.A. and J.B. Nugent 1978. Economic of Development Empirical Investigation. Harper & Row Publisher.

15

Lampiran 1. Dampak Tragedi Bom Bali 12 Oktober 2002 Terhadap Perekonomian 45 Desa Adat di Bali No
1

Kabupaten/Kota
2

Dampak Ekonomi
3 1. Penurunan Pendapatan Dampak terhadap sektor pertanian dapat digolongkan menjadi dua yaitu dampak langsung dan tidak langsung. Dampak langsung terutama dialami oleh pertanian yang produksinya langsung ditujukan untuk mensuplai kebutuhan hotel dan restoran yang dihasilkan oleh kelompok tani/subak yang ada di desa adat pemogan yaitu Subak Cuculan dan Subak Pemogan dengan jenis komoditi yaitu sayur mayur seperti caysin, cabai, kangkung, mentimun, kacang panjang, dan buah seperti semangka dan melon. Dampak tidak langsung dialami oleh kelompok sasaran (target groups) di Subak panjer, Subak Renon (Desa Adat Panjer) Subak Pohmanis, Subak Taman (Desa Adat Poh Manis), Subak Temaga (Desa Adat Bekul) yang mengusahakan komoditas pertanian untuk kebutuhan pasar seperti, seperti sayur-sayuran (kangkung, caysin, dll), bunga-bungaan (pacar, tunjung, ratna) dll. Penurunan pendapatan terjadi karena berkurangnya permintaan terhadap komoditas tersebut di pasar akibat menurunnya daya beli masyarakat serta menurunnya harga. Penurunan pendapatan yang dialami petani mencapai 70% dari sebelum terjadinya pengeboman. Begitu pula dengan kelompok tani ikan yang mengusahakan komoditas udang galah dan ikan karper untuk konsumsi hotel mengalami penurunan pendapatan sampai 60%, bahkan sampai periode Desember 2002 belum ada panen udang untuk hotel. Termasuk kelompok tani ini adalah Subak Poh Manis dan Subak Taman di desa adat Poh Manis. 2. Kehilangan Pekerjaan Pemutusan hubungan Kerja (PHK) merupakan salah satu dampak yang timbul akibat penurunan kunjungan tourist ke Bali. PHK tersebut terutama mengenai karyawan hotel yang bekerja pada hotel-hotel kecil dan sopir pada perusahan travel. Jumlah anggota desa adat yang termasuk dalam golongan ini relatif banyak, walau belum ada pendataan yang resmi.

1.

Denpasar

Dampak Non Ekonomi 4 1. Sosial Permasalahan sosial yang dialami oleh seluruh desa adat adalah besarnya jumlah penduduk pendatang. Kehadirannya tidak saja mengganggu tatanan kehidupan masyarakat Bali yang dilandasi filosofis Trihita Karana seperti pembangunan gubukgubuk liar, penggunaan telajakan rumah untuk berjualan, serta pedagang kaki lima yang melimpah ditempat-tempat umum, kepadatan lalu lintas semakin menjauhkan Bali dari konsep tersebut.
Disamping itu, terjadi peningkatan permasalahan sosial seperti pencurian, perampokan dan kejahatan dengan pemberatan lainnya serta banyaknya jumlah pengemis dan gelandangan.

16

Jumlah yang lebih banyak adalah beberapa karyawan hotel atau industri garmen yang dirumahkan, yaitu karyawan diliburkan karena tidak adanya tamu atau pesanan barang. Selama dirumahkan karyawan tidak mendapatkan gaji, karyawan ini akan dipanggil kembali apabila telah ada tamu atau orderan baru bagi industri garmen. Bagian yang paling banyak dari dampak peristiwa 12 Oktober 2002 terhadap karyawan adalah berupa pengurangan jam kerja. Karyawan diliburkan untuk sementara menunggu kembalinya permintaan akan jasa pelayanan hotel. Hari kerja masing-masing karyawan berkurang dari 26 HOK menjadi antara 1520 HOK. Hal ini tentu berdampak bagi pengurangan pendapatan karyawan bersangkutan. Aktivitas anggota desa adat yang terkena dampak seperti tersebut di atas di masyarakat berbeda-beda tergantung dari lingkungan, keterampilan, permodalan dan peluang yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tersebut. Seperti target group di Desa adat Panjer karyawan yang kena PHK mencoba berusaha tani, namun kebanyakan dari mereka berusaha dagang seperti menjadi dagang canang, nasi jenggo dan kue basah. 3. Kehilangan Akses Pasar Dampak yang luas dialami masyarakat akibat peristiwa 12 Oktober 2002 adalah hilangnya akses pasar barang-barang hasil produksi pertanian, industri, dan kerajinan yang mengakibatkan berkurangnya omset penjualan bahkan ada beberapa industri kerajinan yang mengalami kemandegan pasar. Profil kehilangan akses pasar dari sektor-sektor yang dikaji adalah sebagai berikut : Industri Kerajinan, kerajinan kayu dan atau furniture terjadi penurunan omset antara 40 50%.

Tragedi bom Bali telah menurunkan daya beli masyarakat dan berkurangnya peluang kerja bagi kaum pendatang. Dimasa mendatang kondisi ini akan menambah semakin parahnya permasalahan sosial bila tidak dicarikan jalan pemecahannya. Usaha yang ditempuh oleh masyarakat adat untuk menanggulangi masalah tersebut adalah dimulainya penertiban terhadap penduduk pendatang yang tidak memiliki identitas dan mata pencaharian yang jelas, serta upaya pengamanan di masing-masing desa adat dengan mengadakan pecalang jaga baya.

17

2. Psikologi Perkiraan Kehilangan Akses Pasar untuk Berbagai Produk di Kota Denpasar Desa Adat di Kota Denpasar Kepawon Panjer Bekul 70%
80%, madeg produksi

Sektor/Produk Kerajinan kayu Garmen Perak/emas lain Pertanian sayur mayur Buah-buahan telor daging ayam ikan bunga Perdagangan rempah Canang Tranportasi Angkutan pariwisata Angkutan kota Persewaan mobil Seni Budaya Gong kebyar wayang Topeng

Pemogan 60%
80%, madeg produksi

Poh Manis

40% 40% 40% 30-40% -

40% 70% 40% 30% 30-40% -

40% 70% 50% 40% 40% 60% 30% 30-40% -

80% 40% 40% 80 - 90% -

70-80% 40% 30% 80% -

Hampir seluruh responden menyebutkan adanya dampak psikologis akibat tragedi bom Kuta, seperti stress karena kehilangan pekerjaan, atau pendapatan yang berkurang, dan penurunan omset penjualan. Akan tetapi belum menampakkan akibat yang serius.

80% 70% 70%

80% -

80% -

18

4. Kehilangan Akses Lembaga Keuangan

Lembaga keuangan yang sering digunakan oleh masyarakat desa adat adalah Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang dikelola oleh desa adat (75%), sedangkan yang lainnya menggunakan koperasi simpan pinjam (KSP). Masyarakat menggunakan lembaga keuangan antara menabung dan meminjam uang berada pada kondisi yang berimbang. Kecuali di wilayah kepaon lebih banyak menabung. Masyarakat desa adat umumnya meminjam uang untuk keperluan produktif yaitu modal usaha (60%), dan lainnya menggunakan pinjaman untuk tujuan konsumtif seperti pembuatan rumah dan keperluan upacara agama. Dampak tragedi 12 Oktober 2002 terhadap likuiditas pengembalian cicilan oleh peminjam terjadi di seluruh desa adat, walaupun sampai saat ini jumlahnya tidak begitu besar yaitu antara 1015%. Langkah yang diambil oleh lembaga keuangan terhadap anggota desa adat yang mengalami hal ini adalah melalui pemberian keringanan bunga (desa adat Panjer, Bekul, dan Poh Manis), sedangkan untuk LPD desa adat Pemogan dan Kepaon melakukan resekeduling. Sampai saat ini masyarakat desa-desa adat di Kota Denpasar tidak merasa kehilangan akses lembaga keuangan.

19

No 2.

Kabupaten/Kota Badung
1. Penurunan Pendapatan

Dampak Ekonomi
Tragedi Bali 12 Oktober 2002 mengakibatkan penurunan pendapatan masyarakat desa-desa adat di Kabupaten Badung pada semua sektor usaha baik usaha pertanian, kerajinan, perdagangan, transportasi, pariwisata dan sebagainya. Para pekerja di rafting penghasillannya juga menurun walaupun belum sampai dirumahkan. 2. Kehilangan Pekerjaan Banyak anggota masyarakat yang kehilangan pekerjaan terutama buruh bangunan sebagian besar menganggur Mereka yang kerja di bidang pariwisata malahan sudah ada yang mulai dirumahkan. Seni tari seperti tari kecak, tari legong yang dulu sebelum tragedi sering pentas di hotel sekarang sudah tidak lagi Para pekerja di hotel/restoran sudah 10 orang yang kerajinan tak ada order. dirumahkan, industri

Dampak Non Ekonomi 1. Sosial: Tragedi Kuta dirasakan tidak memiliki dampak sosial, mungkin karena dalam satu Desa Adat faktor familiar sangat erat. 2. Psikologis Walaupun dampak psikologis tidak tampak di permukaan secara jelas, namun stress ini pasti ada akibat merosotnya pendapatan disemua sektor usaha.

Bagi mereka yang kerja di restoran dan hotel sudah ada yang dirumahkan sebanyak 3 orang yang sampai saat ini masih mengisi kegiatan dengan membantu keluarganya yakni bertani. Prekuensi angkutan barang juga menurun. Walaupun sampai kini yang kehilangan pekerjaan masih sedikit, tapi mengalami penurunan pendapatan secara drastis akibat hasil yang tidak laku terjual atau kalaupun laku tapi harga sangat rendah sudah merupakan pukulan yang sangat berat. 3. Kehilangan Akses Pasar 20

Harga-harga produk pertanian seperti sayur-mayur, buah-buahan, bungabungaan sangat merosot. Misalnya jeruk hanya Rp. 1.500/kilogram. Hasil pertanian (sayur-mayur dan buah-buahan) sulit dijual dan harganya murah. Dibidang kerajinan kayu (patung), mas, perak dan garmen produknya jarang laku atau sepi pembeli. Perdagangan kulakan sayur-mayur frekuensi dan jumlah dagangannya sangat menurun. Transportasi pariwisata dan umum tidak jalan, persewaan mobil dan motor macet, Pemeliharaan ayam potong berhenti karena kehabisan modal. Usaha galian pasir yang ada di lingkungan desa adat juga sepi. Pedagang kulakan yang biasanya tiap hari ke pasar 13 kali sekarang frekuensinya sangat kurang malahan ada yang kepasar 2 atau 3 hari sekali. 4. Kehilangan Akses Lembaga Keuangan Masyarakat lebih banyak meminjam dari menabung dan cicilan pinjaman terasa agak seret karena kurang lakunya dan rendahnya harga hasil pertanian Lembaga keuangan seperti kelompok simpan pinjam mengalami kemacetan karena orang menabung atau meminjam uang tidak ada. Penarikan tabungan di LPD meningkat sementara peminjaman menurun dan nampaknya antara yang menabung dan meminjam masih seimbang walaupun jumlah sangat menurun. Peminjaman dilakukan untuk keperluan bidang pertanian dan menambah modal usaha dagang. Cicilan utang agak seret dan untuk mengantisipasinya dilakukan pendekatanpendekatan.

21

No 3.

Kabupaten/Kota Gianyar
1. Penurunan Pendapatan

Dampak Ekonomi
Penurunan pendapatan sangat terasa bagi yang bekerja di sektor wisata, buruh bangunan dan galian C (batu padas Bonbiyu). Akibatnya, beberapa rencana pembangunan, sementara dihentikan dan bahkan ada yang dibatalkan. Penurunan pendapatan sangat terasa, terutama bagi 80 % warga lima desa adat di Kabupaten Gianyar yang hidup dari kerajinan membuat patung kayu, anyaman/tikar pandan, pembuat batu bata, berdagang barang kerajinan (pengacung), toko souvernir (artshops), pemilik home stay (tempat penginapan) dan kaum wanita yang hidup dari kerajinan tangan membuat tas dari lontar. Akibatnya, beberapa rencana pembangunan (Kantor LPD), sementara dihentikan. 2. Kehilangan Pekerjaan. Banyak warga yang bekerja di sektor pariwisata dirumahkan untuk sementara. Kini mereka kembali menekuni pekerjaan sebelumnya (menjadi perajin patung), walaupun belum tentu mendapatkan uang seperti yang diharapkan, ini dianggap lebih baik dibanding nganggur sama sekali. Mereka yang kehilangan pekerjaan (sementara) umumnya beralih menjadi petani, peternak, penggali batu padas dan belajar patung. Walaupun hasilnya tidak seberapa, tetapi pekerjaan ini dapat menutup kebutuhan rumah tangga (beras) sementara. Istilahnya, ngejar kiloan. Sedangkan untuk sementara yang kehilangan pekerjaan sebagai buruh pengasab (tukang asab) kembali menggarap sawah sebagai petani. 3. Kehilangan Akses Pasar Umumnya warga yang hidup langsung dari sektor wisata (perajin, dagang barang kerajinan, hotel/restoran, rumah penginapan) kehilangan pasar. 22

Dampak Non Ekonomi 1. Sosial Dampak sosial dalam bentuk gangguan keamanan belum bvegitu tampak di permukaan, tetapi warga desa lebih berhati-hati dalam menerima tamu (bertempat tinggal tetap/sementara). 2. Psikologis Dampak psikologi dalam bentuk stress atau sakit jiwa akibat tragedi Bali 12 Oktober 2002 juga belum tampak.

Kalaupun satu dua masih ada, keadaannya sangat lesu. Sekehe kesenian kekurangan order, karena hotel/restoran sepi pengunjung. 4. Kehilangan Akses Lembaga Keuangan Banyak yang kehilangan akses lembaga keuangan. Bank umum (BPR) yang semula menjadi tempat bersandar, mulai ragu-ragu mengeluarkan dana bagi nasabahnya, disebabkan banyak nasabah yang tidak sanggup lagi membayar hutang (kecuali bunga saja). o o Dilain pihak, masyarakat lebih banyak yang meminjam uang dibanding dengan menabung. berkeinginan

Sementara warga yang telanjur meminjam uang dan tidak mampu membayar, bank memberikan keringanan (untuk sementara hanya membayar bunga saja). Dalam keadaan seperti ini, umumnya warga memilih menghemat. Ada warga yang meminjam uang ke kerabat dekat yang dianggap mampu, tetapi yang paling banyak ke Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Alasannya, dekat, jaminannya mudah dan tidak harus melewati proses administrasi yang rumit.

23

No 4.

Kabupaten/Kota Tabanan
1. Penurunan Pendapatan

Dampak Ekonomi
Penurunan pendapatan sangat dirasakan karena mencapai 35 50% dibandingkan sebelum tragedi yang terjadi disemua sektor seperti pertanian, industri kerajinan, permintaan menurun 50 60%, perdagangan lesu, transportasi penumpang, pariwisata sepi, buruh berkurang lapangan kerjanya, peternakan permintaan berkurang. 2. Kehilangan Pekerjaan Ada anggota masyarakat yang dirumahkan (kerja bergilir) terutama yang bekerja di hotel-hotel dan restoran, misalnya di desa Nyitdah sebanyak 35 orang, di desa Kekeran sebanyak 25 orang, di desa adat Marga sebanyak 25 orang dan di desa Kaba-Kaba sebanyak 15 orang, dimana mereka sementara bekerja serabutan. di mana sementara ini mereka masih menganggur dan ada juga bekerja di pertanian. Masyarakat ada kehilangan pekerjaan dalam bentuk dirumahkan, untuk sementara ini mereka mengalihkan kegiatan nya dengan berusaha tani dan beternak babi dan ayam. Ada anggota masyarakat yang terkena sementara/dirumahkan sejumlah 25 orang. 3. Kehilangan Akses Pasar pemutusan kerja

Dampak Non Ekonomi 1. Sosial Sampai saat survei dilakukan belum ada dampak sosial psikologis yang muncul kepermukaan. Gangguan keamanan sampai saat ini tidak ada. Gangguan keamanan nanti diperkirakan ada karena berbagai isu bisa masuk ke masyarakat. Usaha penanggulangannya adalah dengan menciptakan lapangan kerja juga memberikan motivasi.

Di desa adat Nyitdah yang sebagian besar penduduknya sebagai pekerja 2. Psikologi pengrajin genteng/batu bata dan anyaman sangat merasakan sekali dampak Dampak psikologi tragedi bom Kuta yang berpengaruh pada kehilangan/penurunan akses yang mengarah pada pasar yang mencapai 50%. stres/sakit dan sejenisnya ternyata Sektor pertanian yang meliputi sayur-sayuran, buah-buahan, telur, tidak ada. permintaan pasar melemah/menurun, sehingga terjadi penurunan omset 40 24

50%. Bagi masyarakat desa adat Kekeran, terjadi di sektor kerajinan kayu dan garment karena adanya penurunan omset dan kemandegan order.

Sektor kulakan seperti jual beli babi, sapi, padi kebutuhan rumah tangga permintaannya sangat rendah dan daya beli masyarakat sangat kecil. Sektor pertanian, sayur-sayuran permintaan pasar menurun, telor, daging ayam, babi, pasarannya lesu harga menurun. Padi dan hasil olahan menurun. Dalam bidang transportasi baik angkutan pariwisata, angkutan kota, penyewaan mobil, dan angkutan barang banyak yang menganggur karena jarang memperoleh penumpang. Dalam bidang seni budaya seperti seni tari/tabuh kesempatan pentas di hotel berkurang karena tidak ada tamu. Sektor bahan galian batu padas daya beli masyarakat berkurang. 4. Akses Lembaga Keuangan

Lembaga keuangan yang seding diakses yaitu: BPR, LPD, KUD dan Koperasi Simpan Pinjam. Masyarakat lebih banyak meminjam daripada menabung yang umumnya digunakan untuk keperluan membeli saprodi/saprotan, usaha/dagang dan keperluan upacara keagamaan. Sampai saat ini ada cicilan utang masyarakat tidak terbayar karena tragedi 12 Oktober 2002. Oleh karena pendapatan mereka sangat kecil, hal itu ditanggulangi dengan memberikan kemudahan membayar pinjaman angsuran bunga saja dan perpanjangan waktu serta kompensasi.

25

No 5.

Kabupaten/Kota Jembrana
1. Penurunan Pendapatan

Dampak Ekonomi
Pendapatan masyarakat menurun sekitar 50-70%, khususnya di sektor pertanian, perdagangan, transportasi, pariwisata dan buruh. Buruh tani dan buruh bangunan hampir tidak ada pekerjaan yang harus dikerjakan (nganggur) sehingga pendapatan menurun sampai 100%. 2. Kehilangan Pekerjaan Tenaga kerja yang bergerak disektor pariwisata sebagian ada yang dirumahkan dan sebagian ada yang di PHK. Tenaga kerja informal seperti tukang bangunan sama sekali tidak ada pekerjaan. Tenaga kerja di sektor industri banyak terkena PHK dan dirumahkan, namun ada juga yang telah dipanggil kembali. 3. Kehilangan Akses Pasar Kehilangan akses pasar 50-60% untuk berbagai macam produk, seperti produk-produk hortikultura yaitu manggis, durian, melon, semangka, kacang panjang, jagung, kelapa muda, janur, telor, ayam kampung, ikan dan lainlain. Sebelum tragedi Kuta akses pasar produksi tersebut sangat lancar dan harganya mahal, tetapi sekarang sepi tidak ada pembeli. Dalam bidang pertanian harga hasil pertanian seperti pisang, daun pisang, janur harga menurun dan sulit dijual. Demikian pula terhadap hasil . peternakan (sapi, kambing, babi dan ayam) terjadi penurunan harga dan sulit pemasaran karena daya beli masyarakat menurun sampai 60 %. Pedagang kulakan (daun pisang, kelapa muda, janur, slepan/daun kelapa tua, buah kelapa muda) frekuensi ke Denpasar turun dari setiap hari menjadi hanya dua kali seminggu. Perdagangan kulakan (5 orang) sangat menurun akses pasar, dimana 26

Dampak Non Ekonomi 1. Sosial Sampai saat ini belum dirasakan adanya dampak gangguan keamanan, namun antisipasi dengan mengaktifkan siskamling terus diupayakan. 2. Psikologi Dampak psikologis secara nyata tidak/belum tampak, namun pasti ada pengaruhnya tragedi Kuta sebagai akibat sulitnya perekonomian masyarakat.

frekuensi ke Denpasar (pasar Anyar) hanya 2-3 hari sekali. Kerajinan ukiran tidak ada pemesan. Sayuran seperti paku, daun ketela pohon muda, buah-buahan (pisang, ketela muda), ayam pedaging harganya anjlok/murah.

Persewaan mobil (2 buah) tidak laku dan mobilnya sekarang ada di Desa yang sebelumnya di kota. Truk angkutan barang ke Jawa pun banyak yang nongkrong karena order sepi. Bahan galian (pasir) tidak ada yang membeli. Dalam bidang seni budaya, kesenian jegog yang sering pentas ke hotel sekarang stop total. 4. Kehilangan Akses Lembaga Keuangan Akses lembaga keuangan (LPD dan simpan pinjam) tetap beroperasi, namun kebanyakan masyarakat menarik tabungan atau meminjam dengan besar pinjaman di bawah Rp. 750.000,00. Penabung hampir tidak ada pada kondisi pasca tragedi Kuta ini. Sementara belum ada yang menunggak cicilan dan dimasa mendatang bila ada yang tidak mencicil utangnya, petugas LPD akan memberikan peringatan dan mendatangi dan terakhir baru dijalankan sangsi adat.

27

No 6.

Kabupaten/Kota Buleleng

Dampak Ekonomi

Dampak Non Ekonomi

1. Penurunan Pendapatan 1. Sosial Sektor pertanian dalam arti luas yang meliputi: tanaman tanaman pangan Sampai saat ini terutama hortikultura (seperti rambutan, anggur, durian dan lain-lain), belum dirasakan perkebunan, perikanan,dan peternakan adalah salah satu sektor yang adanya masalah mengalami dampak yang cukup nyata akibat tragedi Bom Bali, duperkirakan sosial berupa mengalami penurunan pendapatan berkisar antara 3040%. gangguan Penurunan pendapatan tersebut disebabkan oleh penurunan permintaan akan keamanan akibat hasil pertanian terutama yang dikonsumsi di hotel dan restoran. bom Bali 12 3. Kehilangan Pekerjaan Oktober 2002. Pemutusan hubungan Kerja (PHK) merupakan salah satu dampak yang timbul Penjagaan akibat penurunan kunjungan tourist ke Bali, dialami oleh karyawan yang bekerja keamanan pada hotel-hotel kecil dan sopir travel. Jumlah anggota desa adat yang termasuk dilingkungan dalam golongan ini persentasenya relatif sangat kecil. desa adat Jumlah yang lebih banyak adalah beberapa karyawan hotel atau industri garmen yang dirumahkan, yaitu karyawan diliburkan karena tidak adanya tamu atau pesanan barang. Selama dirumahkan karyawan tidak mendapatkan gaji, karyawan ini akan dipanggil kembali apabila telah ada tamu atau orderan baru bagi industri garmen. Pengurangan jam kerja banyak dilakukan oleh hotel dan rerstorasn atau diliburkan untuk sementara menunggu kembalinya permintaan akan jasa pelayanan hotel. Aktivitas anggota desa adat yang terkena dampak trafedi Bali 12 Oktober berbeda-beda tergantung dari lingkungan, keterampilan, permodalan dan peluang yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tersebut. Seperti di Desa Pemuteran karyawan hotel lebih banyak mendapat pengurangan jam kerja, yaitu bekerja sekitar 10 hari per bulan. 3. Kehilangan Akses Pasar 28 dilakukan dengan ronda yang sifatnya insidental.. Dilakukannya penertiban terhadap penduduk pendatang yang tidak memiliki identitas dan mata pencaharian yang jelas, serta upaya pengamanan di masing-masing

Hilangnya akses pasar produk-produk pertanian, industri dan kerajinan yang mengakibatkan berkurangnya omset penjualan, bahkan ada beberapa industri kerajinan yang mengalami kemandegan pasar. Profil kehilangan akses pasar dari sektor-sektor yang dikaji adalah seperti disajikan pada Tabel berikut.
Perkiraan Kehilangan Akses Pasar Beberapa Komoditas Perdagangan di Lima Desa Adat di Kabupaten Buleleng
Desa Adat Sektor/Produk Kerajinan Kayu Garmen Aluminium Gong Besi (sabit, kapak,parang) Anyaman bambu Pertanian sayur mayur Buah-buahan Telor daging ayam Ikan Perdagangan Bakulan Sovenir Tranportasi Angkutan pariwisata (darat/laut) Angkutan kota Persewaan mobil Seni Budaya Gong kebyar/Seni 100% 100% 100% 90% 90% 90-100% 30% 30% 30% 40% 80% 40% 80% 30-40% 80% 40% 40% 40% -40% 40% 40% 40% 40% 40% 40% 30% 40% 30% 30 % 40% 80% 40% 30% 50% 50% 40-50% 40% 80% 30-40% 30% Menyali Sudaji Sawan Sumber Kelampok Pemuteran Kisaran

desa adat dengan mengadakan pecalang jaga baya. 2. Psikologi Hampir seluruh responden menyebutkan adanya dampak psikologis terhadap kejiwaan masyarakt akibat tragedi Bom Bali seperti stress karena kehilangan pekerjaan, atau pendapatan yang berkurang, dan penurunan omset. Akan tetapi belum menampakan akibat yang serius.

30 % -

30% -

40% -

80 % 40% 80%

80% 40% 80%

80% 30-40% 80%

29

Tari Joged Bungbung Salon kecantikan Diving 30 % 40% 80% 90% 40% 30% 80-90%

4. Kehilangan Akses Lembaga Keuangan Lembaga keuangan yang sering diakses oleh masyarakat desa adalah Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang dikelola oleh desa adat (80%), sedangkan yang lainnya menggunakan Bank umum seperti BRI dan BPD. Masyarakat desa adat sasaran lebih banyak memanfaatkan lembaga keuangan meminjam uang dari pada menabung. Masyarakat desa adat umumnya meminjam uang untuk keperluan produktif yaitu modal usaha (60%), dan lainnya menggunakan pinjaman untuk tujuan konsumtif seperti pembuatan rumah dan keperluan upacara agama. Kemampuan pengembalian cicilan oleh peminjam menurun antara 10 15%. Langkah yang diambil oleh lembaga keuangan terhadap anggota desa adat yang terkena dampak adalah pemberian keringanan bunga.

30

No 7.

Kabupaten/Kota Bangli

Dampak Ekonomi
1. Penurunan Pendapatan Penurunan pendapatan sebagai akibat Tragedi Bali 12 Oktober 2002 terjadi pada berbagai sektor ekonomi, yaiti : No 1 2 3 4 5 6 7 Sektor/Kegiatan Pertanian dalam arti luas Industri kerajinan Perdagangan Transportasi Pariwisata Buruh Pertukangan Perkiraan Penurunan Pendapatan 20-65% 20-100% 20-60% 10-35% 30-80% 30-50% 30-40%

Dampak Non Ekonomi

1. Sosial Gangguan keamanan sampai saat ini belum ada di wilayah desadesa adat sampel. Tampaknya mereka masih dapat mengendalikan diri. Apabila kondisi seperti ini berlanjut terus, maka diprediksikan akan terjadi gangguan keamanan berupa pencurian dan kenakalan remaja seperti mabuk-mabukan karena frustasi.

2. Kehilangan Pekerjaan Walaupun belum ada kehilangan pekerjaan, namun ada beberapa orang yang bekerja di sektor pariwisata yang dirumahkan. Mereka yang dirumahkan kembali ke desa tanpa pekerjaan yang pasti atau bertani seadanya dan membantu keluarga di desa. 3. Kehilangan Akses Pasar Kehilangan akses pasar secara umum berupa penurunan omset dalam berbagai sektor. Pada sektor industri berupa penurunan omset sebesar 30 - 40 % untuk kerajinan kayu. Sedangkanuntuk anyaman bambu omsetnya menurun (60 - 90 %) di Sribatu dan Tanggahan Peken.dan macet penjualannya untuk kerajinan perak. Hal yang lebih serius lagi terjadi di sektor pertanian, yaitu: penurunan omset penjualan ikan 30-40 %, sapi 40-65 % dan babi 45-65 %. Pedagang warung mengalami penurunan omset penjualan sampai 50%. 31

Transportasi angkutan barang mencapai penurunan hasil 35 - 65 % 4. Kehilangan Akses Lembaga Keuangan Lembaga keuangan yang sering dan banyak diakses oleh masyarakat adalah LPD dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Hal ini dilakukan karena lebih mudah prosesnya dan lebih cepat. Pada umumnya masyarakat lebih banyak meminjam uang untuk keperluan usaha dan upacara keagamaan. Sebagai akibat tragedi 12 Oktober 2002 ada beberapa cicilan yan macet. Hal ini disebabkan karena penjualan hasil pertanian mengalami penurunan yang sangat tajam dan demikian pula penghasilan buruh serta pertukangan. Sampai saat ini belum terjadi kehilangan akses lembaga keuangan.
Dampak Tragedi Bali 12 Oktober 2002 Terhadap Perekonomian Desa Adat di Kabupaten Bangli
Dampak pada Desa Adat Manuk 2 Desa Adat Tanggaha n Peken 3 Desa Adat Sribatu 4 Desa Adat Sekardadi 5 Desa Adat Buahan 6

Kisaran

A. Ekonomi 1. Penurunan pendapatan Pertanian Kerajinan Perdagangan Transportasi Pariwisata Buruh Pertukangan 2. Kehilangn Pekerjaan PHK Dirumahkn 3. Kehilangn Akses pasar Industri Krj kayu

Jika terjadi gangguan keamanan dimasa mendatang, rencana penanggulangann ya dapat dilakukan melalui jaga malam, pengaktifan penyuluhan tentang hukum dan aktivitas pecalang. 2. Psikologi Sampai saat ini gangguan psikologis seperti stres atau sakit jiwa belum tampak di wilayah desa adat. Namun perasaan trauma dan khawatir akan kondisi perekonomian yang tidak akan pulih sangat

60 % 20 % 20 % 35 % 30 % 40 % 40 %

20 % 90 % 25 % 30 % 60 % 30 % 30 %

65 % 30 % 60 % 25 % -

40 % 100 % 60 % 80 % 50 % 40 %

60 % 30 % 40 % 10 % 60 % 40 % -

20-65% 20100% 20-60% 10-30% 30-80% 30-40% 30-40%

tidak ada

tidak ada

tidak tidak

ada ada

tidak ada

Ada sedikt banyak

20 %

15 %

70 %

100 %

60 %

15-

32

Garmen Emas/perk Pande besi Anyaman bambu 1 Pertanian Sayuran Buah Telor daging / ayam Ikan Sapi Babi Perdgangn Dagang warung Kulakan ikan Kulakan sayur Kulakan buah Transportsi Angkutan pariwisata Angkutan kota Angkutan barang
Seni budaya

100 % 2 30 % 45 % 45 % 50 % 35 % tidak

15 % 90 % 3 15 % 20 % 65 % tidak

60 % 4 80 % 70 % 30 % 40 % 40 % 50 % tidak

70 % 40 % 5 30 % 40 % 40 % 50 % 25 % 20 % 50 % tidak

30 % 20 % 6 60 % 30 % 10 % 40 % 65 % 65 % 60 % 65 % 40 % tidak

100% 70% 15100% 20-40% 60-90%

dirasakan oleh masyarakat.

7
15-80% 30-70% 30% 10-20% 30-40% 40-65% 40-65%

60% 25-65% 20% 35-50%

4. Kehilangn akses lembaga keuangan Yang sering digunakan

Tidak ada

LPD, Kop. Simpan pinjam meminjam

Menabung/

LPD, Kop. Simpan pinjam meminja

LPD,

LPD,

meminja

meminja

Bank, Kop. Simpan pinjam meminja

LPD, Kop, Simpan pinjam meminj

33

meminjam Untuk apa

Usaha/ upacara

m usaha/ upacara

m usaha/ upacara

m usaha/ upacara

m usaha/ upacara

am
Usaha/ Upacara

1 Cicilan macet Jika ada bagaimana mengatasi Hilang kepercayaan B. Non Ekonomi Sosial
o Gangguan keamanan saat ini Gangguan keamanan nanti Usaha penanggulangan

2 ada -

3 ada -

4 tidak -

5 tidak -

6 ada -

7 Ada
sebagian

tidak

tidak

tidak

tidak

tidak

Tidak ada

tidak ada jaga malam / pecalang belum tidak

tidak ada jaga malam / pecalang belum tidak

tidak ada jaga malam / pecalang belum tidak

tidak ada jaga malam / pecalang belum tidak

tidak ada jaga malam / pecalang belum tidak

Tidak ada Ada Jaga malam/


pecalang

o o

Psikologi Stres/sakit jiwa

belum Tidak ada

34

No 8.

Kabupaten/Kota Klungkung

Dampak Ekonomi
1. Penurunan Pendapatan: Pada ketiga kelompok (Pengurus Desa Adat, kelompok penyajian dan kelompok wanita) terjadi penurunan/kehilangan pendapatan pada semua bidang pertanian, industri, kerajinan, perdagangan, transportasi, buruh dan pariwisata, buruh, tukang sebesar 30-50%. Untuk kelompok wanita pembuat jajan mengalami penurunan pendapatan sekitar 75 %. Sedangkan pada kelompok pengrajin emas pendapatannya berkurang sekitar 50 %. 2. Kehilangan Pekerjaan: Di Desa Adat Besan juga ada dirumahkan, pekerjaannya sementara membantu orang tuanya dan menjadi buruh. Masyarakat desa adat Besan yang kehilangan pekerjaan sekitar 35 orang yang sebelumnya bekerja di bidang pariwisata. Pekerjaan yang digeluti sementara adalah membantu orang tuanya dan ada sebagian kembali bertani dan ada juga yang masih menganggur. 3. Kehilangan Akses Pasar Kelompok wanita pembuatan gula merah yang biasanya menerima pesanan 25 kg per dua minggu (50 kg/bulan), dengan adanya tragedi 12 Oktober 2002 belum pernah menerima pesanan. Kelompok wanita penenun mengalami penurunan omset penjualan, biasanya terjual Rp. 10 000 000 setelah tragedi Bali menjadi Rp. 4 000 000 per 3 hari atau mengalami penurunan sebanyak 60%. 35

Dampak Non Ekonomi

1. Sosial Sampai saat ini tidak ada gangguan keamanan di desa adat atau keamanan tetap stabil. Jika kondisi terus begini, mereka memprediksi akan ada gangguan keamanan, sebab peningkatan pengangguran akibatnya macammacam, baik itu timbul pencurian dan sebagainya. Usaha penanggulangan keamanan oleh masyarakat, yaitu berusaha untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan aktivitas pecalang desa adat.

Kelompok pengrajin payung mengalami penurunan omset penjualan sebanyak 25 %. Kelompok pengerajin kayu mengalami penurunan omset sebesar 33%, yang biasanya menerima orderan Rp. 1.500.000 per bulan mengalami penurunan menjadi Rp. 1.000.000 perbulan. Kelompok wanita penanam rumput laut yang biasanya Rp. 100.000 per hari menjadi Rp. 50.000 sehingga mengalami penurunan omset sebesar 50%. Kelompok pengrajin kayu mengalami penurunan omset yang sebelumnya mendapat pesanan sekitar 2-3 juta rupiah, tetapi sekarang hanya Rp. 500 000 berarti sekarang ada penurunan 75 %. Demikian pula pada pengrajin emas juga mengalami penurunan sekitar 2540%. Kelompok gula merah dan semut juga mengalami penurunan omset, yang biasanya setiap bulan menerima pesanan 50 kg/bulan, tetapi sekarang belum ada pesanan sama sekali. 4. Kehilangan Akses Lembaga Keuangan Lembaga keuangan yang sering digunakan/diakses oleh masyarakat desa adalah BPR, LPD dan Usaha Simpan Pinjam di masing-masing banjar adat. Dengan adanya tragedi 12 Oktober 2002, masyarakat lebih banyak yang meminjam daripada menabung. Umumnya masyarakat meminjam uang untuk keperluan usaha dagang dan ada pula dipergunakan untuk keperluan upacara keagamaaan. Sejak tragedi bom di Kuta ada beberapa orang yang tidak dapat mencicil utang akibat usaha macet. Cara mengatasi masalah tersebut Bendesa adat memberikan arahan supaya berusaha untuk melunasi dengan pindah profesi. Tidak ada kehilangan akses lembaga keuangan kepercayaan, karena kepercayaan masih tetap stabil. karena hilangnya

2. Psikologi Sementara ini tidak ada yang stres/sakit karena tragedi Kuta

36

No 9.

Kabupaten/Kota
Karangasem 1. Penurunan Pendapatan

Dampak Ekonomi
Tragedi Bali 12 Oktober 2002 berpengaruh terhadap penurunan pendapatan masyarakat di lima desa adat di Kabupaten Karangasem, karena terjadinya penurunan harga-harga produk yang mereka hasilkan, seperti kacang tanah, kacang merah, dan jagung, dll. Misalnya harga mangga turun dari Rp 1500 menjadi Rp 1200. Penurunan pendapatan sangat dirasakan oleh orang-orang yang bekerja langsung di sektor pariwisata, khususnya bagi yang di PHK. Masyarakat Desa Culik yang banyak menekuni industri kerajinan sebagai sumber mata pencaharian, seperti kerajinan Saab Gore, Bokor Mote, anyaman lontar, menulis di atas +daun lontar, ukir kayu, emas dan perak, grantang dan melukis diatas alat musik bamboo merasakan penurunan pendapatan, karena penurunan omset penjualan. Pada sektor pariwisata, penurunan pendapatan dirasakan oleh para pemilik transportasi. Sebelum tragedi bom banyak diantara penduduk, baik yang memiliki transportasi umum seperti bemo atau carry maupun pemilik mobil pribadi menunggu tamu di perempatan Desa Culik, kemudian mengangkutnya ke tujuan wisata Amed, namun setelah tragedi bom tidak ada lagi tamu, sehingga praktis penghasilan mereka menurun. Para pekerja tukang massage, yang jumlahnya kurang-lebih 10 orang juga praktis kehilangan pendapatan, karena tidak ada lagi tamu yang dimassage. Retribusi yang masuk Desa Adat dari truk yang mengangkut galian C juga menurun. Sebelum tragedi Bom perhari retribusi bisa mencapai Rp 50.000 (per truk dikenakan retribusi Rp 5000 ), sekarang kondisinya sepi. 2. Kehilangan Pekerjaan 37

Dampak Non Ekonomi

1. Sosial
Di lima desa Adat Kabupaten Karangasem sampai saat ini tidak ada gangguan keamanan, segala sesuatunya yang menyangkut keamanan berjalan secara biasa. Adapun usahausaha yang dilakukan yaitu dengan meningkatkan siskamling.

2. Psikologis
Tidak ada masyarakat desa yang menderita gangguan psikologis seperti stress maupun

Memang tidak ada data yang pasti tentang orang yang kehilangan pekerjaan akibat tragedi bom 12 Oktober 2002. Umumnya yang kehilangan pekerjaan mereka yang mempunyai akses langsung dengan kegiatan pariwisata, seperti tukang massage yang bekerja di Amed (sekitar 10 orang), namun tidak diketahui apa pekerjaan mereka sekarang.

sakit yang disebabkan oleh tragedi bom 12 Oktober.

Pemilik kendaraan pribadi (semacam rent car) maupun transportasi umum kekurangan tamu, terutama tamu ke obyek pariwisata Amed, Bunutan atau Tulamben. Sekarang ini mereka hanya meladeni penumpang lokal. Ada sekitar 30 hotel di Obyek pariwisata Bunutan yang banyak pekerjanya berasal dari desa adat Culik, sementara ini mereka dipekerjakan separuh waktu atau hanya 15 hari kerja dalam sebulan. Menurut ketua kelompok pengerajin Darma Hasta Karya yang juga membidangi sanggar tari, yang biasanya mendapat job menari di Hotel atau merias di Hotel, sementara ini sepi order. Kerajinan kendang yang bisanya dalam sebulan pasti ada tamu yang datang paling sedikit 3 orang, namun sekarang tidak ada sama sekali, kegiatan sekarang hanya meladeni pesanan untuk keperluan lokal (kendang untuk orang Bali). Ibu-ibu rumah tangga yang tadinya dapat tambahan penghasilan dari membuat kerajinan lontar tamas, sekarang ini tidak lagi mendapat uang tambahan tersebut. Menurut Jero Gede Pasek Gunadi, diantara penduduk Desa Adat yang bekerja di Hotel atau restauran, baik yang bekerja di obyek pariwisata sekitarnya maupun yang bekerja di luar daerah seperti Denpasar, ada sekitar 20-an orang yang tampak pulang ke Desa. Sementara waktu ini karena ada kegiatan Ngayah di Pura, mereka ikut ngayah (bekerja membantu kegiatan di Pura) dan sesekali mereka tampak juga pergi ke luar kota. Beberapa penduduk Desa Adat Tukad besi ada yang kehilangan pekerjaan sebagai buruh. Ada sekitar 40% penduduk bekerja keluar desa sebagai buruh bangunan di proyek-proyek di Denpasar, menjadi sopir bemo, sopir truk pengangkut bahan bangunan (galian C). Barangkali karena pembangunan banyak yang mandeg karena tragedi bom, banyak diantara buruh-buruh itu yang pulang kampung. Menurut Ketut Sukartini dan Nengah Duduk (pedagang kacang-kacangan yang juga istri Kepala Desa), diantara mereka yang pulang 38

ada yang bekerja menjadi buruh pengupas kacang tanah, meski dengan upah yang hanya sekitar Rp 2.000 perhari.

3. Kehilangan Akses Pasar Akses pasar yang hilang dan menurun diantaranya. pasar untuk kerajinan lontar menurun dan hampir tidak ada akses, persewaan mobil/motor terutama untuk tamu-tamu pariwisata yang datang secara perorangan yang tidak membawa kendaraan sendiri, akses pasar ini mandeg karena tidak ada tamu (pariwisata), dan seni tari dan seni tabuh (seni budaya). Untuk kerajinan emas dan perak, akses pasarnya menurun karana omset penjualan menurun drastis. Angkutan pariwisata dan persewaan mobil yang berkaitan dengan kedatangan tamu hampir tidak ada akses pasar sama sekali. Restauran yang dikelola oleh Bapak Mahendera meskipun letaknya agak jauh dari Tulamben, sebelum tragedi bom umumnya dikunjungi wisatawan 3 sampai 4 orang, sekarang sama sekali tidak ada. Dengan adanya tamu yang mampir, beliau juga mendapat penghasilan dari mengantar tamu dan transportasi, karena umumnya tamu-tamu mau diantar ke Tulamben untuk diving, sekarang penghasilan itu tidak ada lagi. Bapak Gede Wirdana (Pedagang dan pengerajin lontar) mengemukakan bahwa omset kerajinannya tamas, aledan, sampian penjor menurun hingga 50%. Pedagang kulakan dari desa adat setempat yang menjual hasil-hasil bumi seperti kelapa dan janur, biasanya mengirim dagangannya ke luar daerah setiap hari, namun sekarang hampir tidak mengirim dagangan. Usaha penanggulangan yang dilakukannya adalah dengan menjual makanan ternak/ babi. Karyawan divisi restaurant dan room Hotel berbintang milik investor Jepang di Tulamben, mengemukakan bahwa sejak peristiwa 12 Oktober tidak ada tamu yang datang menginap, benar-benar sepi. Permintaan bahan galian C sepi dan menurun hingga 20%. Sebelum peristiwa bom, di Galian C Desa Muntig ada pengusaha Galian C yang menggunakan mesin, perusahaan ini cukup banyak dapat menyerap tenaga kerja/tukang osek pasir dari Desa Adat setempat . Puluhan orang bekerja mengosek pasir, 39

mereka masing-masing bisa mendapatkan penghasilan paling sedikit Rp 5000 dalam seharinya. Namun sekarang dengan tidak beroperasinya pengusaha yang menggunakan mesin di Galian C tersebut , pekerja menjadi kehilangan salah satu sumber mata pencahariannya. Untuk menanggulangi kondisi tersebut, mereka mengumpulkan pasir denga berkelompok secara manual, sehingga masing-masing mereka mendapat sekitar Rp.2000 per hari.

Harga ternak sapi menurun, yang biasanya pada saat hari raya lebaran harga sapi meningkat, namun sekarang ini harga sapi menurun. Sapi-sapi dari desa adat ini biasanya dipasarkan di tiga tempat yaitu pasar hewan Beringkit , pasar hewan Rubaya, dan pasar hewan Bebandem. Komoditi jagung manis sebelum tragedi Kuta harganya bagus dan laku keras, tetapi sekarang sepi pembeli dan harga menurun, akhirnya petani kembali menanam jagung lokal. Harga babi juga menurun drastis, dan tidak ada yang membeli. Sebelum tragedi bom biasanya pasaran untuk babi kecil yang masih hidup ( sekitar berat 6 kg ) harganya bisa mencapai Rp 150.000, namun sekarang hanya terjual dengan harga sekitar Rp 50.000 dan juga tidak ada pembeli. Produksi kacang tanah desa Tukad Besi yang biasanya di pasarkan ke Tabanan atau Denpasar oleh pedagang setempat (pengumpul), atau kadang-kadang dicari oleh beberapa pedagang dari luar desa adat, namun sekarang kondisinya agak seret dan harga cenderung menurun, misalnya harga kacang tanah kering yang masih berkulit sebelumnya adalah Rp 3500, sekarang ini paling tinggi bisa dipasarkan hanya dengan harga Rp. 3250. Dalam bidang perdagangan tampak sekali ada dampak dari tragedi bom 12 oktober 2002, yaitu selain harga menurun juga berpengaruh dalam jumlah pengiriman, yang biasanya kirim setiap hari menjadi hanya 5 kali saja dalam sebulan karena sepi pembeli. Misalnya, perdagangan Jajan Gina (jajan untuk kebutuhan upacara agama) yang berjualan di pasar Culik, sebelum peristiwa bom untuk kebutuhan upacara Hari Raya, mulai dari Hari Raya Sugihan, Galungan, Kuningan, hingga Purnama Kelima, umumnya ia bisa menjual dan membuat jajan hingga 700 kg ketan, namun sekarang 400 kg ketan saja tidak habis terjual. Akses pasar yang hilang diantaranya: Pasar untuk jagung manis yang muda (pertanian), Babi kecil (perdagangan), Persewaan mobil / motor terutama untuk tamu-tamu pariwisata yang datang secara perorangan yang tidak membawa 40

kendaraan sendiri, akses pasar ini mandeg karena tidak ada tamu (pariwisata), Seni tabuh ( seni budaya ).

4. Kehilangan Akses Lembaga Keuangan Lembaga keuangan yang umumnya diakses adalah Bank Umum, BPR, LPD, KUD dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Mereka meminjam uang umumnya untuk usaha/dagang. Setelah peristiwa bom, ada diantara mereka yang menunggak cicilan, dan untuk menanggulangi keadaan tersebut, pihak lembaga keuangan melakukan pendekatan kekeluargaan dengan yang bersangkutan ( pihak yang berhutang ). Tidak ada pengaruh tragedi bom 12 Oktober terhadap akses ke Lembaga Keuangan. Dalam artian tidak sampai menyebabkan hilangnya kepercayaan Lembaga Keuangan tersebut terhadap masyarakat .
Sumber: LPM UNUD dan UNDP-PBB (2003), penulis sendiri termasuk salah satu peneliti di dalamnya.

41

Lampiran 2. Desa-Desa Adat Sampel Pengkajian Dampak Tragedi Bom Bali 12 Oktober 2002 No 1 Kabupaten Denpasar Kecamatan Denpasar Selatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 Desa Adat Pemogan Kepawon Panjer Penatih Dangin Puri Poh Manis Sidan Auman Batulantang Sedang Karangdalem Bonbiu Kerta Kelabang Moding Kembengan Nyuh Kuning Kekeran-Selanbawak Kuwum Ancak Marga Kabakaba Nyitdah Pangyangan Pengeragoan Dauh Tukad Medewi Pergung Tegalcangkring Menyali Sudaji Sawan Pemuteran Sumber Kelampok Manuk Tanggahan Peken Sribatu Sekardadi Buahan Besan Dawan Sampalan Batununggul Kutampi Kaler Tukad Besi Culik Tista Muntig Kubu

Denpasar Timur 2 Badung Petang

Abiansemal 3 Gianyar Blahbatuh Payangan Tegallang Gianyar Kota Ubud Marga

Tabanan

Kediri 5 Jembrana Pekutatan

Mendoyo 6 Buleleng Sawan

Gerokgak 7 Bangli Susut

Kintamani 8 Klungkung Dawan

Nusa Penida 9 Karangasem Abang

Kubu

Sumber: LMP UNUD dan UNDP-PBB (2003), Penulis sendiri sebagai principle investigation di dalamnya.

42

Lampiran 3.

Metodologi Pengkajian Dampak Tragedi Bom Bali 12 Oktober 2002 Terhadap Perekonomian 45 Desa Adat di Bali

Lokasi Pengkajian
Untuk keperluan pengkajian, lokasi kajian dilakukan pada 9 kabupaten/kota yang ada di Bali. Selanjutnya pada masing-masing kabupaten/kota dipilih secara purposive sampling (sengaja) sebanyak 5 desa adat penyangga pariwisata yang menjadi lokasi kajian. Jadi jumlah desa adat yang terpilih sebagai sampel adalah sebanyak 45 desa adat (Lampiran 2) di seluruh Bali, yang memenuhi kriteria : 1. Desa adat penyangga pariwisata yang terkena dampak, seperti desa-desa produsen barang-barang kerajinan, desa pertanian yang menunjang industri pariwisata, dan lainlainnya. 2. Tidak pernah atau tidak sedang menerima bantuan dari donor lainnya

Sampel Pengkajian/Responden
Responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah kelompok-kelompok masyarakat yang ada di desa adat yang terpilih sebagai sampel, diantaranya : 1. Kelompok pengurus desa adat. 2. Kelompok pengrajin atau kelompok usaha. 3. Kelompok wanita. 4. Kelompok pekerja yang terkena dampak. 5. Kelompok lain yang relevan untuk kajian ini. Dalam setiap desa adat ditetapkan minimal 3 kelompok masyarakat (bisa lebih sesuai dengan kebutuhan kajian) yang diwawancarai. Jadi, sekurang-kurangnya ada 135 kelompok masyarakat yang terpilih sebagai responden.

Jenis, Sumber dan Metode Pengambilan


Jenis data, yaitu kualitatif dan kuantitatif, yang disesuaikan dengan fenomena dan tujuan pengkajian. Sedangkan sumber data dan metode pengambilan, yaitu data primer diambil langsung dari lapangan, dengan metode RRA (Rapid Rural Appraisal) yakni wawancara secara cepat terhadap kelompok-kelompok masyarakat (Focus Group Discussion, FGD) seperti: o o Wawancara dengan pengurus desa adat di di masing-masing desa adat; Kelompok pengrajin, kelompok wanita; atau sekaa-sekaa; yang terkena dampak tragedi Bali 12 Oktober 2002.

Data sekunder bersumber dari instansi terkait, misalnya BPS, Bappeda, Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA), Dinas Kebudayaan Propinsi Bali, dlllnya, yang jenisnya disesuaikan dengan fenomena dan tujuan pengkajian Metode Analisis Analisis data menggunakan metode deskriptif, yaitu menginterpretasikan dan memberikan arti terhadap data kualitatif dan kuantitatif, sehingga dapat menggambarkan kondisi dan realitas desa adat di desa-desa sampel dampak tragedi bom Kuta 12 Oktober 2002.

43

You might also like