You are on page 1of 14

Sejarah dan

Perkembangan
Ilmu Manthiq
JIM and ZAM
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU MANTHIQ

Mengulas masalah sejarah manthiq, maka tidak akan terlepas dari sejarah
perkembangan logika. Dan berbicara tentang sejarah logika, maka tidak dapat
dipisahkan dari para filosof. Menelusuri para filosof maka tidak lepas dari
keberadaan Yunani. Dan salah satu yang dianggap berperan dalam
mengembangkan logika di Yunani adalah Aristoteles. Karena itulah, maka untuk
mengetahui secara paripurna mengenai perkembangan ilmu manthiq dari akarnya,
mau tidak mau kita harus menjelajahi alam pemikiran Yunani.

Berikut ini adalah gambaran singkat tentang perkembangan ilmu manthiq


yang penulis kutip dari tulisan Maria Ulfa Fauzi, seorang mahasiswi Al-Azhar Kairo
yang diunduh dari http://dnjatiinstitute.blogspot.com.

Sangat wajar ketika orang Yunani menganggap Aristoteles sebagai Tuhan


dan Dewa mereka. Hanya dengan jargon rasionalitasnya dia mampu menghipnotis
ratusan ilmuwan demi mengungkap hakekat sebuah kebenaran. Peranan akal yang
di Maha Dewa-kan hingga saat ini berkemungkinan mendapati konklusi yang tidak
sepenuhnya benar, karena pada kenyataannya akal belum mampu mengungkap
sepenuhnya rahasia alam yang tak terbatas.

Rasionalitas akan selalu diagungkan seperti halnya demokrasi dalam kancah


perpolitikan. Sketsa perkembangan logika yang luar biasa ini akan terus
merelevankan diri terhadap segala perkembangan yang tidak mutlak, terlebih ketika
menemukan hal baru yang butuh penalaran. Dalam teorinya, Aristoteles selalu
melakukan pendekatan rasional yang tercermin dari setiap karyanya, bahkan alam
semesta menurutnya tidaklah dikendalikan oleh hal- hal yang serba kebetulan
melainkan tingkah laku alam semesta ini tunduk pada hukum-hukum rasional.
Pengamatan empiris dan alasan- alasan logis harus dimanfaatkan dalam
mempertanyakan tiap aspek dunia alamiah secara sistematis. Dengan dogma inilah
budaya Eropa mulai berubah dari hal- hal yang ber-aromakan mistik dan takhayul.

Perumusan logika Aristoteles dan dijadikannya sebagai dasar ilmu


pengetahuan secara epistemologi bertujuan untuk mengetahui dan mengenal cara
manusia mencapai pengetahuan tentang kenyataan semesta baik sepenuhnya atau
tidak serta mengungkap sebuah kebenaran. Karena akal adalah yang paling mudah
untuk membedakan antara manusia dan bukan manusia. “ Wa Ja‟ala Lakum al-
Sam‟a wa al- Abshar wa al- Af idah” ( QS: 67 Ayat 23). Kalimat af idah dimaknai
sebagai otak untuk berfikir, yang menurut Ibnu Khaldun mempunyai tiga
komponen; pertama, (practical knowledge) termasuk di dalamnya politik, etika dan
ekonomi, kedua (productive knowledge) termasuk art dan handycraft, ketiga
(theoretical knowledge) termasuk matematika, filsafat dan metafisika.1

Definisi logika sebagai ilmu untuk meneliti hukum- hukum berpikir secara
benar harus mempunyai titik pembenaran tentang kebenaran itu sendiri. Maka ahli
mantik dalam hal ini mencapai sebuah konklusi, yaitu ketika sebuah pernyataan
sesuai dengan kenyataannya maka itu benar dan pernyataan yang didasarkan pada
koherensi2 logis adalah benar, karena kekuatan pikiran kita sebatas kebenaran yang
kita ketahui. Pikiran yang tidak didasarkan pada kebenaran tidak memiliki
kekuatan. Jika aklamasi mengarah kepada logika adalah representasi dari segala
kebenaran pengetahuan, maka akan timbul pertanyaan „ke-independensian‟ logika,
apakah termasuk dari bagian sebuah pengetahuan atau hanya sebagai „kacung‟ ilmu
pengetahuan? Stoikisme3 mengklasifikasikan ilmu menjadi tiga tema besar, yaitu
metafisika, dialektika dan etika. Dan dialektika adalah logika. Maka mereka lebih
cenderung memasukkan logika sebagai bagian dari Filsafat, berbeda dengan Ibnu
Sina dalam bukunya al- Isyarat wa al- Tanbiihaat yang memisahkan logika sebagai
ilmu independen sekaligus sebagai pengantar.4 Dalam hal ini Al-Farabi lebih
mengekor pernyataan Ibnu Sina bahwa Mantik sekali lagi adalah Khaadimul „Ulum
yang independen. Keterpengaruhan Mantik Arab dengan neo-platonisme dan
Aristoteles sangat jelas jika dilihat dalam hal ini, karena essensi dari pada logika itu
sendiri adalah ketetapan hukum untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui.5

1 Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Maktab al- Usrah, Kairo,
2006, hal. 916-917
2 Koherensi sebagai teori untuk menguji kebenaran, dengan menekankan konsistensi antara segala

keputusan- keputusan bersepakat; keterkaitan.


3 Stoikisme merupakan aliran filsafat yang didirikan oleh Zeno 308 M. percaya bahwa akal yang

meresapi alam semesta, dan orang- orang yang bijaksana harus melakukan disiplin terhadap dirinya
dalam menerima nasibnya.
4 DR. Muhammad Mahran, Tathawwur al- Mantiq al- „Arabi, Dar al- Ma‟arif, Kairo, 1964, hal 18-19
5 Ibid, hal 20
Dan sejatinya tidak ditemukan perbedaan yang mendalam, hanya dari sisi
pandangnya saja yang membuat seakan berbeda.

Pengklasifikasian ilmu menurut Ibnu Khaldun terbagi menjadi dua hal, yaitu
« ulum maqsuudah bi al- dzaat » termasuk di dalamnya ketetapan hukum-hukum
syari‟at yang diambil dari penafsiran al-Qur‟an, al-Sunnah, Fiqh dan Kalam,
kemudian Metafisika dan Ketuhanan yang diambil dari Filsafat. Kedua adalah ilmu
yang dijadikan sebagai alat dan pengantar ilmu itu sendiri seperti Bahasa Arab dan
Mantik yang digunakan untuk mendalami Filsafat.6 Maka ketika melakukan
pembacaan terhadap ilmu sebagai pengantar dianjurkan untuk menelaah hanya
sebatas kapasitasnya saja sebagai sebuah alat, karena akan keluar dari arah tujuan
awal dan bisa menghambat tercapainya ilmu yang dimaksud. Hal itulah yang
banyak dilakukan oleh ulama modern dalam pembahasan Nahwu, Mantik dan
Ushul Fiqh yang semakin tidak terarahkan7. Terlepas dari ilmu atau bukan, bisa
dikatakan tujuan sebenarnya logika bukanlah sebagai peletak hukum berpikir
melainkan berpikir untuk memperoleh kebenaran, yang salah atau yang benar.8

Logika oleh sebagian ilmuwan juga dapat dikatakan sebagai epistemologi,


yaitu ilmu tentang pikiran. Akan tetapi logika sendiri terbagi menjadi dua yaitu
minor dan mayor. Logika minor mempelajari struktur berpikir beserta dalil-dalilnya,
dan mayor mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama
dengan lingkup epistemologi.

Logika dan perkembangannya

Dalam dunia ilmiah dikenal adanya argumen sebagai penguat alasan. Dan
setiap argumentasi dapat diuji kebenarannya dengan logika. Maka, untuk
menguasai argumen dengan baik dan benar perlu menguasai logika. Dalam
pembacaan kalimat tersebut, penulis sedikitnya telah menggunakan perumusan
logika yang dicuatkan Aristoteles sebagai pencipta bentuk-bentuk pengungkapan
dan penjelasan baru yang berupa dialektis atau logis. Karena, korelasi sebuah
pernyataan dan jawaban yang logis akan dapat dibuktikan dengan rumusan
tersebut. Kesalahan penyimpulan didapati ketika tidak menggunakan hukum,
prinsip dan metode berpikir.9 Berangkat dari pencarian peta pembenaran tersebut

6 Muqoddimah Ibnu Khaldun, op. cit, hal 1114


7 Ibid, hal 1115
8 Abdurrahman al- Badawi, Al- Mantiq al- Shuri wa al- Riyadli, Maktabah al- Nahdlah al-Misriyah,

Kairo, 1943, hal 19


9 Al-Imam Sa‟duddin al- Taftazani ( di syarh oleh Syeikh „Ubaidillah bin FadhluLLah al- Khabiishi),

Al- Azhar press, Kairo, 2006, hal 12


Aristoteles, Plato, Socrates dan ilmuwan Yunani lainnya semakin gencar untuk
merumuskan seperangkat metode berpikir yang rasional.

Logika dalam perkembangannya mengalami berbagai fase. Bentuk logika


formal yang ada dewasa ini adalah perwujudan kolaborasi antara pakar klasik dan
modern. Tapi pionir logika formal yang sebenarnya adalah Aristoteles, meskipun
dalam pengertian yang berbeda dengan logika formal modern. Bahwa hakekatnya
logika tidak terpisah dari sebuah materi, yang pada awalnya merupakan sebuah
pemahaman sehingga akan mewujudkan „think‟ (sesuatu). Tetapi pakar modern
mengawali dari sesuatu sehingga akan muncul pemahaman.10 Makna awal logika
Yunani adalah kalam yang kemudian dimaknai sebagai akal, pikiran dan burhan.
Baru sekitar abad 2 M bangsa Arab mengadopsinya dan diterjemahkan sebatas segi
bahasa yaitu kalam dan talaffud tanpa menghubungkannya dengan makna hakiki
yang digunakan di Yunani ketika itu.11 Susunan logika Aristoteles yang sudah
tertata rapi disertai peninggalan karya-karyanya dalam jumlah yang tidak sedikit
dapat dikatakan sebagai salah satu faktor berkembangnya logika Aristoteles ke
dunia Arab. Sejarahpun mencatat banyak karangan Aristoteles yang diterjemahkan
ke berbagai bahasa seperti Syria, Arab, Persia dan India. Maka tak heran jika metode
Aristoteles sangat „heboh‟ mempengaruhi hampir di segala cabang ilmu
pengetahuan.

Terdapat enam tema besar dalam mantik Aristoteles di masa awal


perkembangannya yaitu, „Categoria Seu Praediecamenta‟ (al-Maqquulaat),
„Perihermenias Seu de Interpretatione‟ (al-„Ibarah), „Analytica Priora‟ (al-Tahliilaat
al-Ulaa), „Analytica Posteriora‟ (al- Tahliilaat al- Tsaniyah), „Topica, Seu De Locis
Communis‟ (al-Jadal), „De Sophisticis Elenchis‟ (al-Sofastho‟i). Kemudian dalam
perkembangan Mantik Arab logika tersebut banyak mengalami perubahan,12 yaitu
dari yang enam menjadi sembilan; „Isagog‟ (madkhal), „Retorika‟ (al- Khitobah),
„Potikia‟ (al- Syi‟r). Maka sembilan tema besar itulah yang berhasil diterima dunia
Arab. Bahkan Khawarizmi dalam « Mafaatihul „Ulum » juga mengklasifikasikan
mantik ke dalam sembilan tema tersebut.13 Lain halnya dengan Al- Farabi “Ihshaa ul
„Ulum” yang tidak mengkategorikan „isagog‟ (madkhal) sebagai bagian dari
mantik.14

10 Tathawwur Mantik „Arabi, op. cit, hal 24-25


11 Ibid, Abdurrahman al- Badawi, hal 3-4
12 Yang dilakukan oleh Organon dan Alexander Agung salah satu murid Aristo anak dari Raja Philip

II dari Macedonia. Dia banyak menyebarkan pengaruh budaya Yunani ke Timur Tengah sehingga
terjadi penukaran budaya terhebat sepanjang zaman. Selama dan sesudah karier Alexander
kebudayaan Yunani begitu cepat tersebar ke Iran, Mesopotamia, Suriah, Yudea, Mesir.
13 Muhammad Hasan „Abdul Aziz, “Mafaatihul „Ulum (Khawarizmi)”, Hai‟ah al- „Ammah liqushuuri

al- Tsaqofah”, Kairo, 2004, hal 43


14 Ibid, hal 58
Ketika me-review kembali, sejarah mengisahkan tentang perkembangan ilmu
berawal dari penerjemahan gede-gedean yang diprakarsai Khalifah Al-Ma‟mun
Dinasti Abbasiyah. Ketika itu Al-Ma‟mun bermimpi bertemu dengan Aristoteles
dalam pembicaraannya mengenai sumber kebenaran adalah akal. Segera Al-
Ma‟mun mengirim delegasi ke Roma guna mempelajari ilmu yang banyak
berkembang dan tersimpan, kemudian diterjemahkan ke bahasa Arab. Yahya bin
Khalid bin Barmak adalah „Sang Hero‟ pada masa itu karena telah berhasil
membujuk bahkan membebaskan karya orang Yunani dari cengkraman Romawi
yang telah lama tersimpan. Ada beberapa hal yang ditakutkan Raja Romawi atas
karya Yunani adalah ketika buku-buku tersebut dikonsumsi oleh rakyatnya maka
agama Nasrani kemungkinan besar akan ditinggalkan dan kembali pada agama
Yunani.15 Tongkat estafet tersebut kemudian diteruskan oleh Harun al- Rasyid yang
menganjurkan untuk lebih memperdalam ilmu Kedokteran Yunani dan melakukan
observasi serta riset-riset hingga kekhalifahan al-Mutawakkil (846-861M). Ilmu asing
yang diadopsi Arab diklasifikasikan oleh Khawarizmi berjumlah sembilan cabang
ilmu, dan Mantik adalah salah satu diantaranya. „Isagog‟ diterjemahkan pertama
kali oleh Ayyub bin al-Qaasim al- Raqy dari bahasa Syria ke Arab yang pada
awalnya telah mengadopsi dari Madrasah Iskandaria.16

Pindahnya Madrasah Alexandria ke Syria menimbulkan banyak pengaruh


dalam dunia pengetahuan. Penertiban dan penyusunan ketika itu menjadikan logika
sebagai pedoman dan ilmu dasar dalam bidang astronomi, kedokteran dan kalam
yang berkembang pesat di Arab sekitar abad 9-11 M. Sarjana Islam mulai proaktif
untuk mengembangkan ilmu yang bernafaskan scientific, termasuk Ibnu Sina,
seorang Filosof Islam yang juga dokter dan Abu Bakar al-Razy yang mengawali
pembukuan ilmu Kedokteran dan Farmasi. Ibnu Rusyd dan Farabi kemudian ikut
andil dalam mengkolaborasikan Mantik Aristo dengan ilmu Islam termasuk Filsafat
dan Nahwu.17 Al-Ghazali juga mulai mengkolaborasikan mantik dengan ilmu
Kalam pada periode selanjutnya. Maka jika kita telisik kembali dalam perjalanan
sejarah, lewat orang-orang muslimlah dunia modern sekarang ini mendapatkan
cahaya dan kekuatannya. Pengembangan metode eksperimen dari Timur
mempunyai pengaruh penting dalam pola berpikir manusia sehingga
mengembangkan metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir baik secara
deduktif dan induktif.

15 Jalaaluddin al- Suyuthi, Shaunu al- Mantiq wa al- Kalam, Dar al- Kitab al- „Alamiyah, Beirut-
Libanon, 1947, hal 7
16 Ibnu al- Nadiim, Al- Fihrisat, Al- Hai‟ah Al- „Aammah Liqusuuri Al- Tsaqofah, Kairo, 2006, hal 243-

244
17 Mafaatihul „Ulum, op. cit, hal 24-25
Obversi Rasionalitas Barat

Perkembangan logika Barat berawal dari masalah teosentris yang sangat


berbalik arah dengan perkembangan Mantik di Arab-Islam. Pertemuan pemikiran
Aristoteles dengan iman Kristiani menghasilkan banyak pemikir dan filosof penting.
Mereka sebagian besar berasal dari kedua ordo baru yang lahir dalam Abad
Pertengahan, yaitu para Dominikan dan Fransiskan. Dan dinamai sebagai filsafat
Skolastik (dari kata Latin, "scholasticus", "guru"). Tema-tema pokok dari ajaran
mereka antara lain hubungan iman-akal budi, adanya dan hakikat Tuhan,
antropologi, etika dan politik. Mereka berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman
sesuai dengan pikiran- pikiran paling dalam dari manusia. Dan pada masa ini
filsafat diajarkan di sekolah- sekolah biara serta universitas menurut suatu
kurikulum tetap yang bersifat internasional. Berbeda dengan apa yang ditawarkan
dunia Islam, sebagaimana pendapat Ibnu Rusyd bahwa filsafat dan agama
mempunyai persamaan, yaitu sama-sama melaporkan prinsip- prinsip wujud
tertinggi dan mempunyai tujuan puncak yaitu kebahagiaan manusia. Dalam tataran
ini Siger de Brabant menyatakan bahwa agama lebih benar dari pada akal, karena
betapapun itu, akal hanyalah akal, yang tidak dapat melampaui posisi agama.18
Adapun filsafat, laporannya lebih bersifat persuatif sedangkan agama lebih ke
imajinatif.

Pengaruh rasionalitas Aristoteles terhadap peradaban Eropa secara periodik


terbagi tiga, yaitu pada permulaan Masehi sekitar 2-3 M, kemudian pada
pertengahan abad 13-16 M dan akhir abad 19 M. Yang perlu ditekankan di sini,
bahwa otoritas gereja pada pertengahan abad sangat menghegemoni hampir semua
wilayah Eropa dengan mengusung etika rasional sebagai titik tolak pemikiran.
Sehingga wahyu Tuhan seakan dipaksakan untuk memasuki wilayah akal. Nah, hal
inilah yang menimbulkan perpecahan dalam gereja. Mulai abad ke 12 M, gereja
mulai menerjemahkan karya sarjana Muslim yang berpusat di Spanyol dan Napoli.
Orang Yahudi ketika itu banyak mempelopori penerjemahan kitab kedokteran,
logika, matematika, astronomi dan filsafat. Buku filsafat pertama yang
diterjemahkan adalah al-Syifa‟ karya Ibnu Sina yang sangat melegenda kemudian
mulai melebarkan sayap terhadap karya Al-Farabi dan Al- Kindi.19 Pengadopsian
karya-karya tersebut didukung dengan hadirnya Madrasah Paris yang sedang naik
daun dan mendapat legitimasi dari Raja Philip dan Agustus. Penyelaman terhadap
karya sarjana Muslim tidak berjalan mulus bahkan mendapatkan penyangkalan dan
pembantahan dari pihak gereja yang masih fundamentalis. Karena banyak
berlawanan dengan hasil konsensus gereja, maka secara resmi gereja mengeluarkan
pelarangan dan pemboikotan terhadap karya Aristoteles pada 1210 M. Maka,

18 Abdurrahman al- Badawi, Falsafah Al- „Ushuur al- Wustha, Darul „Ulum- Beirut, 1979, hal 163
19 Ibid, hal 88-89
langkah selanjutnya yang diambil adalah menerjemahkan karya Aristoteles
langsung dari buku Yunani, dan hal itulah yang banyak membantu Thomas
Aquinas dalam pembaharuan gereja.20 Disinilah awal permulaan terbaginya
Madrasah Eropa menjadi empat pusat keilmuwan, yaitu Madrasah Agustine,
Dominika, Rasional Latin dan Oxford.

Sejatinya relasi mantik dan filsafat tidak akan terpisahkan, karena berfilsafat
harus menggunakan akal sehat tanpa subjektivitas. Sedangkan agama, yang
mendasari adalah kekuatan iman, bukan akal. Pergolakan iman Kristiani banyak
tercabik-cabik dalam pertengahan abad pertama, yaitu dengan munculnya asumsi
gereja yang menyatakan tidak adanya filsafat dalam agama karena itu sangat
mustahil. Melihat tujuan utama agama nasrani adalah “fikratul khallash”, yang
menurut sebagian tokoh gereja tidak ada sangkut pautnya dengan filsafat, maka
dalam tataran ini, Ludwig Feurbach sependapat dengan keputusan gereja. Berbeda
dengan pemikiran Agustine, yang banyak menghubungkan wilayah agama dan
rasionalitas. Dalam bukunya “De Civitate Dei” dikatakan bahwa filsafat kristen
adalah cinta akan kebenaran, dan kebenaran merupakan „kalimah‟ yang menyatu
dalam tubuh al-Masih. Maka dalam argumen selanjutnya, Agustine tidak mengakui
otoritas wahyu, karena nasrani adalah agama yang rasional. Agustine sedikit
menjelaskan korelasi antara rasionalitas dan iman, bahwa fungsi akal mendahului
iman „Ratio antecedit fidem‟ guna menjelaskan nilai- nilai kebenaran dalam akidah,
sedangkan tujuan iman mendahului akal „Credo ut intelligam‟ hukumnya wajib
agar akal digunakan untuk memikirkan akidah. Dan dari sini dapat ditarik benang
merah bahwa tujuan hakiki filsafat adalah bukan berpikir untuk berakidah,
melainkan berakidah untuk berpikir.21 Hal ini sangat berlawanan dengan
pernyataan Thomas Aquinas 13 M, bahwa berpikir merupakan titik
pemberangkatan untuk berakidah. Pemisahan rasionalitas dengan agama juga
menjadi bahasan utama oleh DR. Zaki Najib Mahmud, sejatinya agama berangkat
dari wahyu disertai nash-nash ilahiyah yang terjaga, maka ketika membahas
„rasionalitas agama‟ lebih ditujukan kepada proses penalaran yang berangkat dari
agama.22 Nash agama selalu bersifat tunggal, tetapi nash yang berangkat dari
penalaran agama akan bervarian selaras dengan perbedaan segi pandangan akal
terhadap agama.

Pergulatan sejarah mengisahkan zaman Renaissance adalah yang


menjembatani perkembangan rasionalitas dari abad pertengahan ke era modern
sekitar 1400-1600 M. Dengan tokoh utama Francis Bacon (1562-1626), Nicollo

20 Ibid, hal 90-91


21 Ibid, hal 2-3
22 DR. Muna Ahmad Abu Zaid, Al- Fikr Al- Diini „inda Zaki Najib Mahmud, Al- Mu‟assasah Al-

Jaami‟iyyah Liddirasaat wa al- Nasyr wa al- Tauzi‟, Beirut, 1996, hal 75


Machiavelli(1469-1527). Mereka mulai menguak kebudayaan klasik Yunani-Romawi
kuno yang dihidupkan kembali dalam kesusastraan, seni dan filsafat. Jargon
utamanya adalah “Antroposentris” ala mereka, pusat perhatian pemikiran tidak lagi
wilayah kosmos, melainkan manusia. Mulai sekarang manusialah yang dianggap
sebagai titik fokus dari kenyataan.

Descartes sebagai filosof, matematikus dan ilmuwan Prancis abad


pertengahan yang lahir 1596 memberikan sebuah elaborasi pernyataan yang
melawan filsafat klasik tetapi justru mengembangkan. Sebuah pertanyaan klasik
“apakah asal muasalnya pengetahuan manusia itu?” diselaraskan dengan
pertanyaan “bagaimana saya tahu?” adalah hepotesa aktif yang menuntut akal
untuk proaktif dalam melihat sesuatu. Pengaruh besar yang dicetuskan Descartes
adalah pemahaman tentang fisik alam semesta, bahwa seluruh alam -selain Tuhan
dan jiwa manusia- bekerja secara mekanis, oleh karena itu semua peristiwa alami
dapat dijelaskan secara dan dari sebab musabab mekanis. Atas dasar inilah dia
menolak pandangan astrologi, magis dan takhayul, yang berarti juga menolak
penjelasan teologis. Dia pikir seharusnya para ilmuwan menjauhkan diri dari hal-hal
yang bersifat semu dan harus menjabarkan dunia secara matematis. Serta mulai
menyusun suatu sistem filsafat dengan metode matematika.

Perkembangan baru muncul lagi di abad 18-an, yang biasa disebut


„enlightment‟ atau Aufklarung, yang mulai menciptakan suatu sintesis dari
rasionalisme dan empirisme. Tokoh utamanya adalah John Locke (1632-1704), di
Prancis Jean Jacque Rousseau (1712-1778) dan di Jerman ada Immanuel Kant (1724-
1804). Atas dasar rasionalisme, empirisme dan idealisme, Barat sampai saat ini
mempunyai berbagai aliran dan terpecah- pecah, yang kebanyakan hanya berkutat
pada satu negara dan kebudayaan.

Nalar Arab- Islam

Terdapat banyak versi kapan permulaan penerjemahan dari Yunani ke Arab.


Ada yang mengatakan ketika kekuasaan di tangan Daulah Umawiyah, ada juga
yang berpendapat pada awal Daulah Abbasiyah. Terlepas dari itu, Hunain bin Ishaq
adalah salah satu ahli bahasa yang mengawali untuk menerjemahkan berbagai
disiplin ilmu Yunani, kemudian dialihbahasakan ke bahasa Arab. Bahkan Ishaq juga
menerjemahkan dari bahasa Suryani. Dalam buku Thatawwur Mantiq al-Araby
dijelaskan, sekitar tahun 800 M adalah awal penerjemahan buku- buku Yunani,
sampai wafatnya murid dan kerabat Hunain bin Ishaq, karena mereka banyak
membantu dalam proses penerjemahan.23 Organon adalah kitab pertama yang

23 Tathawur Mantik „Arabi, op. cit, hal 128


diterjemahkan ke Arab. Orang-orang Nasrani ketika itu juga banyak membantu
dalam penerjemahan, yang secara tidak langsung pemikiran Aristoteles berkembang
biak tidak hanya dalam kedokteran, astronomi dan matematika melainkan mulai
menyentuh wilayah teologi kristen. Maka, dari sini mulai terjadi perbedaan dalam
penertiban ilmu antara filsafat Suryani dan Nasrani. Sejak saat itu, mantik menjadi
pemeran utama dalam ilmu kedokteran dan mulai berkembang dalam bahasa Arab
sekitar abad 9-11 M yang diprakarsai oleh Yahya bin Musawiyah penerjemah
spesialis dari kedokteran Yunani ke Arab. Apalagi didukung dengan hadirnya
madrasah di Jundicapur (Persia) yang mengawali pelatihan penerjemahan dari teks
Yunani pada awal abad pertama yang akhirnya berpindah ke Bagdad.24 Maka tak
bisa dipungkiri lagi, bahwa dari sinilah terlahir sarjana Muslim yang berkompetensi
tinggi untuk merealisasikan mantik dalam keIslaman, sebut saja Al-Faraby, Ibnu
Sina, Al- Kindi,Al-Razi, Al-Ghazali dst.

Berawal dari ilmu kedokteran, astronomi serta kimia, Al-Kindi mulai


memberanikan diri untuk menerjemahkan filsafat Yunani yang langsung mendapat
persetujuan dari Khalifah Ma‟mun (850-873 M). Perjalanan mantik Arab dalam hal
ini mengalami sedikit goncangan dari ulama klasik. Bantahan dan penyangkalan
terhadap al-Kindi ketika itu tidak dapat dibendung, karena mempelajari filsafat bagi
mereka termasuk mempelajari sesuatu yang menyesatkan dan hal tersebut adalah
sebagian dari perbuatan syetan. Imam al-Syafi‟i banyak mengeluarkan hadist-hadist
pelarangan terhadap pembacaan logika dan filsafat. Salah satunya berbunyi “tidak
akan dianggap bodoh lagi diperdebatkan bagi mereka yang mulai meninggalkan
bahasa Arab dan berganti mempelajari filsafat Aristoteles”.25 Ada pula hadist yang
menyebutkan „barang siapa yang mempelajari logika, maka disamakan dengan
kaum zindiq‟.26 Sejatinya, masih banyak lagi nash- nash hadist yang menyatakan
pelarangan terhadap mantik dan filsafat, seperti yang sudah dikemas oleh Syeikh
Islam Ismail Harawi dalam periwayatannya27. Hal seperti itulah yang dilakukan
ulama klasik guna membendung fitnah dalam penta‟wilan teks-teks suci al-Qur‟an
dan Hadist. Dalam tataran praktis, asal muasal masuknya mantik ke Arab melalui
jalur kedokteran, dan berakhir ketika mencapai puncak relasinya dengan ilmu
Kalam oleh Ghazali (al- Iqtishaad fi al- I‟tiqaad). Menurut Ibnu Taimiyah, sarjana
muslim pertama yang banyak berbicara logika serta menghubungkannya dengan
ilmu Islam lain adalah al-Ghazali,28 maka tak heran ketika memasuki abad ke 10,
mantik sudah tidak dalam bentuknya yang dulu (ala Yunani), melainkan mulai
disusupi nilai keislaman. Korelasi mantik dengan disiplin ilmu Islam lainnya

24 Ibid, hal 137


25 Jalaluddin al- Suyuthi, op. cit, hal 15. Bandingkan dalam “Tathawur mantik Arabi‟ hal 191.
26 DR. Ali al- Wardi, Mantik Ibnu Khaldun, Darul Kufan, Beirut, 1994, hal 49
27 Jalaluddin al- Suyuthi, op. cit, hal 33-82
28 DR. Ali Wardi, op. cit, hal 13
semakin jaya, bahkan ketika Nahwu dikatakan sebagai gramatikanya bahasa, maka
mantik juga merupakan gramatika akal. Sehingga intuisi nahwu yang digunakan
saat berkencan dengan bahasa dapat disamakan dengan logika ketika berintuisi
dengan sebuah makna. Singkatnya, logika berperan sebagai timbangan untuk
memutuskan yang baik dan buruk.29

Setelah runtuhnya Baghdad abad 11 M, Andalus dijadikan pusat peradaban


keilmuwan kedua. Demikian pula yang terjadi dalam mantik, berakhirnya
Madrasah Bagdad menjadikan Mantik lebih dewasa, artinya yang dipakai saat itu
bukan lagi metode Aristoteles melainkan diktat khusus karya Ibnu Sina. Terlihat
dari abad- abad selanjutnya sekitar 13-14 M, karya Ibnu Sina lebih membumi dari
pada Aristoteles. Disisi lain, sekitar 970-1030 M muncul jama‟ah Ikhawanu Sofa
dengan basis terbesar di Basrah. Dalam logika, mereka mengikuti metode Aristoteles
tetapi lebih condong kepada NeoPlatonisme, terlebih dalam pengertian tentang
pitagoras. Banyak buku mantik yang telah dihasilkan oleh para pendahulu mereka,
khususnya al-Farabi dalam mengkolaborasikan mantik Yunani dengan pemikiran
Arab Islam.30

Perjalanan mantik mulai tersebar di Andalusia dan Persia 12-13 M, dengan


gaya barunya yang mulai terbebaskan dari filsafat. Al-Ghazali kembali memberikan
inovasi baru, ketika mantik dianggap hanya dibutuhkan dalam filsafat, maka mantik
secara perlahan dibawa untuk memasuki wilayah kalam, nahwu, fiqh dan ilmu
sosial. Karena logika adalah perantara dalam segala hal, tidak hanya problem-
problem teologi dan filsafat saja.31 Sejak itu Al-Ghazali melegitimasi umat muslim
untuk mempelajari logika sebagai fardlu kifayah. Terlebih lagi, “Rasaail
Mantiqiyah” karya Ibnu Rusyd dan karya Fakhruddin al-Razi dijadikan pedoman
mantik papan atas sekaligus rujukan bagi para sarjana Muslim abad ini. Upaya Ibnu
Rusyd dalam meng-eleminasi logika Yunani ternyata menuai hasil yang tidak
mengecewakan.

Al-Ghazali menyatakan bahwa teologi retoris sangat kering jika hanya


berkutat dengan logika tanpa menyentuh epistem demonstratif, sehingga butuh
sebuah upaya pengharmonisasian demi mencapai teologi yang mampu
menghilangkan skeptisisme. Mantik dalam pandangan Ghazali terbagi dua, yaitu
mantik Aristoteles yang mencakup segala pengetahuan kecuali teologis, dan mantik
kasyfi yang hanya mencakup masalah ketuhanan. Tapi menurut Ibnu Khaldun,
mantik „hissi‟ juga dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari mantik, yang
mendasari problematika kemasyarakatan.32 Dalam relasinya dengan ilmu kalam,

29 Tathawur Mantik Al- „Arabi, op. cit, hal 166


30 Ibid, hal 341
31 Ibid, hal 195
32 Mantik Ibnu Khaldun, op. cit, hal 65
Ghazali lebih mengunggulkan metode qiyas dari pada istiqra‟, karena dianggap
tidak dapat membenarkan teori ketuhanan, terwujud dari ketidakseragaman antara
dunia metafisis dan realita.33 Syahdan, ilmu Kalam yang diusung Ghazali bukan
dalam artian harfiahnya (yaitu;pembicaraan), melainkan dalam pengertian
pembicaraan yang bernalar dan menggunakan logika. Maka ciri khas ilmu Kalam
adalah rasionalitas atau logika.

Ekspansi ilmu mantik dalam tataran teoritis tidak mengalami perkembangan


signifikan pada abad ke 14 M, hanya berupa penertiban materi yang sengaja
diselaraskan oleh al-Tastari di kedua madrasah abad pertengahan. Al-Taftazani dan
Al-Jurjani juga turut andil dalam memperjelas dan mensyarhi mantik. Maka
standarisasi mantik telah sempurna sekitar abad 15 M sampai sekarang.34

Laju perkembangan rasionalitas dalam kancah keilmuwan terlebih di Arab


Islam sangat pesat. Pola pikir tiap sekte dan aliran selalu mengatasnamakan akal.
Model penalaran asy‟ari dapat dikategorikan sebagai „ortodoks style‟, karena lebih
setia dengan teks suci agama di bandingkan mu‟tazilah dan filosof. Meskipun masih
dalam lingkaran Islam, tapi penalaran yang dipakai mu‟tazilah dan filosof
kebanyakan produk Yunani sehingga mulai melakukan pendekatan ta‟wil atau
interpretasi metaforis kalam Tuhan, yang mereka anggap mutasyabihaat. Nah, hal
ini disebabkan kuatnya dan peranan unsur logika serta dialektika, maka sistem ini
dinamakan ilmu Kalam atau teologi rasional. Sebenarnya tidak hanya mu‟tazilah
dan filosof saja yng mengedepankan nalar, tapi Asy‟ari pun menggunakan argumen
dan dialektika logis meskipun dalam tataran sekunder.35 Metodologi asy‟ari yang
aristotelian dengan ciri rasional-deduktif rupanya paling mendapatkan simpatisan,
terutama sekali ketika dua abad kemudian Al- Ghazali muncul dengan membawa
kekuatan argumennya yang luar biasa. Bisa disebut, madzhab ini sebagai jalan
tengah dari berbagai ekstremitas. Praktis, semua titik- titik penting keagamaaan
mereka dukung dengan argumen dan dialektik yang logis, bahkan menjadi
inspirator orisinil bagi pemikiran keIslaman. Sebagaimana pembahasan dalam
teologis, pusat argumentasi Kalam Asy‟ari berada pada upayanya untuk
membuktikan adanya Tuhan yang menciptakan seluruh jagad raya dari ketiadaan
(ex nihilo) serta pembuktian adanya Hari Akhir dan Malaikat.36 Konsep „kasb‟37

33 DR. Mahmud Muhammad Ali, Al- „Alaaqoh Bayna al- Mantik wa al- Fiqh „Inda Mufakkiri al- Islam,
Publisher; Ein for Human and Social Studies, Asyut, 2000, hal 63
34 Tathawur Mantik „Arabi, op. cit, hal 224
35 DR. Mahmud Muhammad Ali, op. cit, hal 50-51
36 Ibid, hal 71
37 Menurut teori tersebut, manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak dalam

keterpaksaan. Tetapi manusia tetap bertanggung jawab karena dia telah melakukan „kasb‟ dengan
adanya keinginan, pilihan dan keputusan yang diambil. Dan menurut Ibnu Taymiyah konsep ini
bukannya menengahi antara Jabariyah dan Qadariyah, tetapi lebih condong kepada kaum Jabari.
termasuk salah satu teori yang diyakini kaum asy‟ari, karena pengolahan
argumentasinya dinilai sangat logis.

Mu‟tazilah sebagai titisan kaum Khawarij dulunya, justru yang paling banyak
mengembangkan ilmu Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Salah satu corak
pemikiran mereka adalah rasionalitas dan paham qadariyah. Bahkan, mereka
banyak mengikuti metologi kaum jahmi yang mengingkari sifat- sifat Tuhan. Jahmi
atau Jahm Ibn Shafwan adalah seorang penalar keagamaan yang pertama kali
menggunakan unsur- unsur Yunani (Aristotelianisme) dalam keagamaan. Padahal
dia menganut konsep jabariyah yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu
kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, dan hanya mengenal kekuatan-
kekuatan umum (universal) tanpa mengenal kekuatan khusus (particular).

Peradaban fiqh berkembang ketika peralihan zaman Umawiyah ke zaman


Abbasiah, yaitu berdirinya „school of thought‟ oleh Abu Hanifah (699-767 M) yang
terbentuk dalam lingkungan Irak. Kekuatan politik untuk menjabarkan penalaran
ajaran Islam sangatlah riil, terlihat dari ekspansi yang berimbas juga pada kodifikasi
penalaran dalam setiap ilmu. Analogi yang banyak digunakan madzhab ini adalah
qiyas dan pertimbangan kebaikan umum (istihsan). Kemudian Syafi‟i meneruskan
tema aliran pemikiran gurunya Anas Ibnu Malik dan mulai mengembangkannya.
Dalam tataran ini, Syafi‟i begitu berjasa dengan teori yang dirumuskannya, sebagai
dasar teoritis Sunnah dan pembentukan analogi atau qiyas sebagai metode rasional
untuk mengembangkan hukum itu. Sementara itu konsensus ijma‟ juga diterima
Syafi‟i sebagai bentuk kebiasaan masyarakat. Maka, titik tolak Fiqh berkat Syafi‟i
ada empat yaitu Kitab Suci, Hadist Nabi, Ijma‟ dan Qiyas.38

38 Ibid, hal 28-29

You might also like