You are on page 1of 11

BAB II

PEMBAHASAN A. SUMBER HUKUM YANG DISEPAKATI ULAMA


1. Al-Quran
a. Pengertian Al-Quran Menurut bahasa Al-Quran berarti bacaan, yaitu bentuk mashdar dari kata qaraa. Firman Allah SWT :

Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. (Al Qiyamah: 17)

Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. (Al Qiyamah: 18) Kemudian kata Al-Quran itu digunakan sebagai nama bagi kitab suci terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai mana firman Allah SWT :

Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang didalamnya diturunkan Al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). (Al Baqarah: 185)
Adapun pengertian Al-Quran menurut istilah adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan pedoman hidup, sumber hukum, dan petunjuk bagi umatnya guna mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Definisi di atas mengisyaratkan bahwa : 1) Apa yang diwahyukan Allah dalam maknanya kemudian dipahami dalam bahasa Rasulullah, tidaklah dinamai Al-Quran. 2) Alih bahasa Al-Quran ke dalam bahasa selain Arab dengan maksud memudahkan pemahaman atau maksud lainnya tidaklah disebut Al-Quran. 3) Wahyu Allah yang diturunkan kepada selain Muhammad SAW bukanlah Al-Quran.

b. Pokok pokok Isi Al-Quran Isi pokok Al-Quran terdiri dari : 1) Tauhid, yaitu kepercayaan terhadap keesaan Allah SWT, dan semua kepercayaan yang berhubungan dengannya. 2) Ibadah, yaitu perbuatan atau amaliyah sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid dan yang menghidupakan jiwa tauhid. 3) Akhlak, yaitu tentang perbuatan-perbuatan yang terpuji dan tercela. 4) Janji dan Ancaman, yaitu janji pahala / ganjaran bagi siapa saja yang percaya, menerima dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran serta ancaman / siksaan bagi yang mengingkarinya. 5) Kisah-kisah Umat Terdahulu, seperti kisah para Rasul, para Nabi maupun orang-orang saleh serta kisah umat yang mengingkari ajaran Allah untuk dijadikan pelajaran dan teladan bagi kita. c. Dasar Kehujjahan Al-Quran dan kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Al-Quran menempati kedudukan pertama dari sumber-sumber hukum yang lain dan merupakan aturan dasar tertinggi. Sumber hukum maupun ketentuan norma yang ada tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran. Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad dan disampaikan kepada umat manusia untuk diamalkan isinya. Allah SWT berfirman :

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (An Nisa: 105)

d. Pedoman Al-Quran Dalam Menetapkan Hukum 1) Tidak memberatkan atau tidak menyulitkan. ('adamul haraj) Firman Allah SWT:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir. (Al Baqarah: 286)

2) Menyedikitkan beban (qillatut taklif) 3) Berangsur-angsur dalam mentapkan hukum (attadrij fit tasyri)

e. Sifat Hukum Yang Ditunjukkan Al-Quran Ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Quran pada umumnya bersifat kulli (umum) dan sedikit sekali yang bersifat juzi (terinci). Ayat-ayat kulli adalah ayat yang memerlukan penjelasan. Misalnya, ayat Al-Quran yang berkaitan dengan salat dan zakat. Allah tidak merincikan bagaiman caranya salat dan berapa kadar zakat yang wajib dikeluarkan. Allah SWT berfirman:

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku. (Al Baqarah: 43) 2. As-Sunah
a. Pengertian As-Sunah As-Sunah menurut bahasa Attoriiqotu berarti Assiirotu (kebiasaan) atau (jalan / dijalani). Sunah menurut bahasa juga mengandung arti: 1) Jalan yang ditempuh 2) Cara atau jalan yang sudah terbiasa 3) Sebagai lawan dari kata bidah; Sunah menurut istilah syari adalah sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW baik berupa perkataan, maupun penetapan pengakuan. Dengan pengertian seperti ini, maka yang dimaksud dengan As-Sunah ialah segala sesuatu yang diperhatikan, dilarang atau dianjurkan oleh Rasulullah SAW baik berupa perkataan (qauli), perbuatan (fili) maupun ketetapannya (taqriry). Dengan demikian sunah itu dibagi menjadi 3: Sunah qauliyah, Sunah filiah, dan Sunah taqririyyah. Jadi, jelas bahwa yang ada pada diri Rasulullah SAW adalah sebagai suri tauladan bagi umatnya, sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya, sebagai berikut:

Sesungguhnya adalah bagi kamu pada Rasulullah itu teladan yang baik; Bagi barangsiapa yang mengharapkan Allah dan Hari Kemudian dan yang banyak ingat kepada Allah. (Al Ahzab: 21)
Yang dimaksud As-Sunah sebagai sumber hukum Islam ialah bahwa selain terhadap Al-Quran, seluruh umat Islam wajib menjadikan As-Sunah sebagai pedoman dan pegangan hidup, menyadarkan segala permasalahan hidupnya kepada As-Sunah. b. Dasar As-Sunah Sebagai Sumber Hukum Islam Untuk mengetahui dasar-dasar bahwa As-Sunah sebagai sumber hukum Islam, kita dapat memperhatikan beberapa dalil berikut ini: 1) Dalil Al-Quran Banyak ayat Al-Quran yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup, antara lain:

Firman Alloh swt:

Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kalian sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (kafir dan munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasulrasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar. (Ali Imran: 179)
Dari dua ayat tersebut di atas, dalam kaitanya dengan As-Sunah sebagai sumber hukum Islam, dapat ditarik pemahaman bahwa: a) Selain mempercayai Allah, umat Islam juga wajib mempercayai Rasul (Muhammad SAW). b) Umat Islam wajib mentaati semua yang bersumber dari Rasul, baik berupa perintah (harus dilaksanakan) maupun larangan-Nya (wajib ditinggalkan). c) Allah mengancam kepada orang-orang yang tidak mempercayai dan mentaati Rasul-rasul Allah.

2) Dalil Al-Hadist Selain Al-Quran, Al-Hadis juga menjelaskan tentang kedudukan As-Sunah sebagai sumber hukum Islam. Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh kepada keduanya (yaitu) kitab Allah (Al-Quran) dan Sunah Rasul-Nya. Hadis tersebut di atas menjelaskan kepada kita bahwa umat Islam wajib berpegang teguh kepada As-Sunah dan menjadikanya sebagai pedoman hidup dan sumber hukum dalam memecahkan segala persoalan yang dihadapinya, sebagaimana mereka menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidupnya. 3) Kesepakatan ulama (Ijma) Umat Islam telah sepakat menjadikan As-Sunah sebagai salahsatu hukum beramal, karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Mereka menerima As-Sunah seperti halnya mereka menerima Al-Quran. Keduanya dijadikan sumber hukum Islam. Kesepakatan umat Islam dalam mempercayai dan menerima serta mengamalkan segala ketentuannya yang terkandung dalam As-Sunah terus berlanjut sejak masa Rasul masih hidup, sepeninggal Beliau, mulai zaman Khulafaurrasyidin hingga masa-masa selanjutnya, dan tidak ada yang mengingkarinya. 4) Sesuai dengan petunjuk akal Selain Al-Quran, Al-Hadis, dan Ijma ulama menyatakan bahwa As-Sunah sebagai sumber hukum Islam, secara akalpun dapat dinyatakan bahwa konsekuensi mempercayai Muhammad sebagai Rasulullah mengharuskan menerima dan menaati segala yang beliau perintahkan dan meninggalkan yang beliau larang suatu kepercayaan tanpa dibarengi oleh penerimaan dan ketaatan terhadap apa yang dipercayai adalah bohong semata.

c. Kedudukan As-Sunah Sebagai Sumber Hukum Islam Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, jelaslah bahwa kedudukan As-Sunah sebagai sumber hukum Islam yang kedua sangat kuat dan siapa yang mengingkarinya tergolong kafir. Hal ini tidak berarti mengurangi kedudukan Al-Quran sebagai sumber hukum Islam, sebab di dalam Al-Quran masih banyak ayat bersifat umum dan global yang memerlukan penjelasan. Tanpa penjelasan dari AsSunah, banyak ketentuan Al-Quran yang belum bisa dilaksanakan. Maka dari itu, peran Sunah terhadap Al-Quran, sebagai berikut: 1) Sunah sebagai penjelas dan merinci ayat-ayat Al-Quran yang masih global dan memberikan batasan terhadap ayat Al-Quran yang dalam pelaksanaanya belum ada batasan 2) Sunah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam Al-Quran 3) Sunah memperkuat ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam nash Al-Quran

3. Ijma
a. Pengertian Ijma Ijma berarti sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan ijma ialah kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat, pada suatu masa tertentu, tentang masalah tertentu. Dari pengertian di atas dapatlah diketahui, bahwa kesepakatan orang-orang yang bukan mujtahid, sekalipun mereka alim atau kesepakatan orang-orang dengan Nabi tidaklah disebut sebagai ijma. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah mujtahid yang setuju atau sepakat sebagai ijma. Namun pendapat jumhur, ijma disyaratkan setuju paham mujtahid (ulama) yang ada pada masa itu. Tidak sah ijma jika salah seorang ulama dari mereka yang hidup pada masa itu menyalahinya. Selain itu, ijma ini harus berdasarkan kepada Al-Quran dan As-Sunah dan tidak boleh didasarkan kepada yang lainnya. Kesepakatan ulama ini dapat terjadi dengan 3 cara, yaitu: 1) Dengan ucapan (qauli), yaitu kesepakatan berdasarkan pendapat yang dikeluarkan para mujtahid yang diakui sah dalam suatu masalah. 2) Dengan perbuatan (fili), yaitu kesepakatan para mujtahid dalam mengamalkan sesuatu. 3) Dengan diam (sukut), yaitu apabila tidak ada diantara mujtahid yang membantah terhadap pendapat satu atau dua mujtahid lainya dalam suatu masalah. b. Macam-macam Ijma Dilihat dari sikap para mujtahid dalam mengemukakan pendapatnya, ijma terbagi 2, yaitu : 1) Ijma Sharih, yaitu: Apabila semua mujtahid menyatakan persetujuannya atas hukum yang mereka putuskan, dengan lisan maupun tulisan. 2) Ijma Sukuti, yaitu: Apabila sebagian mujtahid yang memutuskan hukum itu tidak semuanya menyatakan setuju baik dengan lisan maupun tulisan, melainkan mereka hanya diam. Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma yang dapat dijadikan landasan hukum adalah ijma sharih, sedangkan sukuti tidak. Sedangkan dalam tatanan ilmu yang lebih luas lagi, ijma dibagi dalam beberapa macam: 1) Ijma Ummah, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid dalam suatu masalah pada suatu masalah tertentu. 2) Ijma Shahaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu masalah. 3) Ijma Ahli Madinah, yaitu kesepakatan ulama-ulama Madinah dalam suatu masalah. 4) Ijma Ahli Kufah, yaitu kesepakatan ulama-ulama Kufah dalam suatu masalah. 5) Ijma Khalifah yang Empat, yaitu kesepakatan empat khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) dalam suatu masalah. 6) Ijma Syaikhani, yaitu kesepakatan pendapat antara Abu Bakar dan Umar bin Khaththab dalam suatu masalah. 7) Ijma Ahli Bait, yaitu kesepakatan pendapat dari ahli bait (keluarga Rasul). 7

c. Kedudukan Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam Kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum Islam dalam menetapkan sesuatu hukum dengan nilai kehujjahan bersifat zhanny. Dalil penetapan ijma sebagai sumber hukum Islam ini antara lain. Firman Allah SWT:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu. (An Nisa: 59)
Menurut sabagian ulama bahwa yang dimaksud dengan ulil amri fiddunya, yaitu penguasa, dan ulil amri fiddin, yaitu mujtahid. d. Sebab-sebab Dilakukan Ijma Diantara sebab-sebab dilakukannya ijma adalah: 1) Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nash Al-Quran dan As-Sunah tidak diketemukan hukumnya. 2) Karena nash baik yang berupa Al-Quran maupun As-Sunah sudah tidak turun lagi atau telah berhenti. 3) Karena pada masa itu jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan karenanya mereka mudah dikoordinir untuk melakukan kesepakatan dalam mentukan status hukum persoalan permasalahan yang timbul pada saat itu. 4) Diantara para mujtahid belum timbul perpecahan dan kalaulah ada perselisihan pendapat masih mudah dipersatukan. e. Contoh-contoh Ijma 1) Dikumpulkan dan dibukukannya nash Al-Quran sejak masa pemerintahan Abu Bakar AshShiddiq adalah bentuk kesepakatan dari para ulama zaman sahabat. Ide pengumpulan Al-Quran ini berasal dari Umar bin Khathab, tapi kemudian Abu Bakar Ash-Siddiq mengumpulkan para ulama saat itu, sehingga terjadi perdebatan, karena hal itu tidak diperintahkan oleh Rasulullah SAW tetapi akhirnya para ulama menyepakati untuk mengumpulkan dan membukukan Al-Quran. 2) Penetapan tanggal 1 Ramadhan atau tanggal 1 Syawal harus disepakati oleh ulama dinegrinya masing-masing berdasarkan ruyatul hilal. 3) Nenek mendapatkan harta warisan 1/6 dari cucunya jika tidak terhijab. Ketetapan hukum ini berdasarkan ijma para sahabat, dan tidak ada yang membantahnya.

4. Qiyas
a. Pengertian Qiyas Qiyas menurut bahasa berarti mengukur, memperbandingkan atau mempersamakan sesuatu dengan lainnya dikarnakan dengan adanya persamaan. Sedang menurut istilah qiyas ialah menetapkan hukum yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya dalam nash. Berbeda dengan ijma, qiyas bisa dilakukan oleh individu, sedang ijma dilakukan bersama oleh para mujtahid. b. Macamnya Qiyas 1) Qiyas Aulawi, yakni mengiyaskan sesuatu dengan sesuatu yang hukumnya telah ada, namun sifatnya / illatnya lebih tinggi dari sifat hukum yang telah ada. Contoh, keharaman hukum memukul orang tua, diqiyaskan kepada memakinya saja sudah haram. 2) Qiyas Musawi, yaitu illat qiyas suatu hukum sama, seperti halnya kasus kesamaan keharaman hukum membakar harta anak dengan memakan hartanya. Illat keduanya sama-sama menghilangkannya. 3) Qiyas Dilalah, yakni menetapkan hukum karena ada persamaan dilalat al hukm (menunjukan hukumnya), seperti kesamaan kewajiban zakat untuk harta anak yatim dan harta orang dewasa. Karena keduanya sama-sama bisa tumbuh dan berkembang (al-nama). 4) Qiyas Syibh, yakni terjadinya keraguan dalam mengqiyaskan, keasal mana illat ditujukan; kemudian harus ditentukan salah satunya dalam rangka penetapan hukum padanya. Seperti pada kasus hamba yang dibunuh, dirinya diqiyaskan kepada seorang manusia sebagai anak cucu Nabi Adam as, atau barang yang bisa diperjual belikan. c. Kedudukan Qiyas Dalam Hukum Islam Menurut para ulama kenamaan, bahwa qiyas itu merupakan hujjah syariyyah terhadap hukum akal. Qiyas ini menduduki tingkat ke empat hujjah syari, sebab dalam suatu peristiwa bila tidak terdapat hukumnya yang berdasarkan nash, maka peristiwa itu disamakan dengan peristiwa lain yang mempunyai kesamaan dan telah ada ketetapan hukumnya dalam nash. Mereka mendasarkan hukumnya dalam nash. Mereka mendasarkan pendapatnya kepada, antara lain: Firman Alloh SWT:

Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. (An Nisa: 59)
d. Sebab-sebab Dilakukannya Qiyas Diantara sebab-sebab dilakukannya qiyas adalah: 1) Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara didalam nash Al-Quran dan As-sunah tidak diketemukan hukumnya dan mujtahid pun belum melakukan ijma. 2) Karena nash, baik Al-Quran maupun As-Sunah telah berakhir dan tidak turun lagi. 3) Karena adanya persamaan illat antara peristiwa yang belum ada hukumnya dengan peristiwa yang hukumnya telah ditentukan oleh nash.

B. SUMBER HUKUM YANG TIDAK DISEPAKATI ULAMA


1. Istihsan
a. Pengertian Istihsan Menurut bahasa istihsan berarti menganggap baik. Sedang menurut istilah ahli ushul yang dimaksud dengan istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat khusus dan istinai (pengecualian), karena ada dalil syara yang menghendaki perpindahan itu. b. Macam-macam Istihsan Dari pengertian diatas jelas bahwa istihsan itu ada dua, yaitu: 1) Menguatkan qiyas khafy atas qiyas jaly dengan dalil. Misalnya, menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Quran berdasarkan istihsan tetapi haram menurut qiyas. 2) Pengecualian sebagian hukum kully dengan dalil. Atau meninggalkan hukum kully kepada hukum istihsan.

2. Istishab
a. Pengertian Istishab Yang di maksud dengan istishab ialah mengambil hukum yang telah ada atau di tetapkan pada masa lalu dan tetap di pakai hingga masa-masa selanjutnya sebelum ada hukum yang mengubahnya.

10

b. Macam-macam Istishab 1) Istishab kepada hukum akal dalam hukum ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut aslinya). 2) Istishab kepada hukum syara yang sudah ada dalilnya dan tidak ada suatu dalil yang mengubahnya c. Kedudukan Istishab Sebagai Sumber Hukum Islam Para ulama berbeda pendapat tentang ke hujjahan istishab: 1. Menjadikan istishab sebagai pegangan dalam menentukan hukum sesuatu peristiwa yang belum ada hukumnya baik dalam Al-Quran, As-Sunah maupun Ijma 2. Menolak istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hukum.

3.

Mashalih Al-Mursalah
Mashalih bentuk jamak dari maslahah, yang artinya ke maslahatan, kepentingan. Mursalah

a. Pengertian Mashalih Al-Mursalah


berarti terlepas. Dengan demikian mashalih al-mursalah berarti kemaslahatan yang terlepas. Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan kepada kemaslahatan, yaitu manfaat bagi manusia atau menolak ke madaratan atas mereka, sedangkan dalam syara(nash) belum atau tidak ada ketentuannya. Al-Khawarizmi menyatakan bahwa mashalah ialah menjaga tujuan syara dengan jalan menolak mafsadat (kerusakan) atau mudharat dari makhluk.

b. Syarat-Syarat Berpegang Kepada Mashalih Al-Murshalah


1) Maslahat itu harus jelas dan pasti dan bukan hanya berdasarkan kepada prasangka. 2) Maslahat itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi. 3) Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan dengan nash atau ijma.

4.

Al-Urf
Yang dimaksud dengan urf ialah segala sesuatu yang sudah dikenal dan dijalankan oleh

a. Pengertian Al-Urf

suatu masyarakat secara turun-temurun dan sudah menjadi adat istiadat, baik berupa perkataan (qauly) maupun perbuatan (amaly). Menurut ahli-ahli syari bahwa antara adat istiadat dengan urf amali itu tidak ada bedanya. Diantara contoh urf amali adalah jual beli yang di lakukan berdasarkan saling pengertian dan tidak mengucapkan sighat yang di ucapkan. Contoh urf qauly ialah orang telah mengetahui bahwa kata al-rajul itu untuk laki-laki bukan untuk perempuan. b. Macam-macam Al-Urf Secara garis besar urf itu di bagi menjadi 2 yaitu: 1) Urf Shahih 2) Urf Fasid 11

5.

Syaru Man Qoblana


Yang di maksud dengan syaru man qablana ialah syariat yang di turunkan kepada orang-

a. Pengertian Syaru Man Qablana

orang sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya agama Islam. b. Pembagian Syaru Man Qablana Secara garis besar syariat sebelum kita dapat di kelompokan menjadi 3, yaitu: 1) Apa yang di syariatkan kepada mereka juga di tetapkan kepada kita umat Nabi Muhammad SAW. 2) Apa yang disyariatkan kepada mereka tidak di syariatkan lagi kepada kita. 3) Apa yang di syariatkan terdahulu itu di kisahkan dalam Al-Quran, akan tetapi tidak dinyatakan secara jelas oleh syariat Nabi Muhammad SAW bahwa syariat terdahulu itu wajib di ikuti umat Islam atau tidak, maka para ulama berbeda pendapat.

6.

Saddu Al-Dzariah
Dzarai jama dari kata dzariah yang artinya jalan. Saddu al-dzariah berarti menutup jalan.

Menurut istilah ulama ushul fiqih bahwa yang di sebut dengan dzariah ialah:

Artinya: Masalah yang lahirnya boleh (mubah), tetapi dapat membuka jalan untuk melakukan perbuatan yang dilarang. Dengan demikian sadd al-dzariah berarti melarang perkara-perkara yang lahirnya boleh, karena ia membuka jalan dan menjadi pendorong kepada perbuatan-perbuatan yang di larang oleh agama. Seperti melarang perbuatan atau permainan judi tanpa uang.

7.

Madzhab Shahabi
Yang di maksud dengan madzhab shahaby ialah fatwa-fatwa para sahabat mengenai berbagai

masalah yang dinyatakan setelah rasulullah SAW wafat. Fatwa-fatwa mereka itu ada yang telah di kumpulkan sebagai mana mereka mengumpulkan hadist-hadist rosul. Fatwa-fatwa sahabat ini ada yang berdasarkan kepada sabda dan perbuatan rasul dan ada juga berdasarkan ijtihad mereka yang terbagi menjadi 2; ijtihad yang di sepakati (ijma) dan ijtihad yang tidak di sepakati.

8.

Dalalat Al-Iqtiran
Yang di maksud dengan dalalat al-iqtiran ialah dalil-dalil yang menunjukan persamaan

hukum terhadap sesuatu yang di sebutkan bersamaan dengan sesuatu yang lain.

12

You might also like