You are on page 1of 46

BAHASA INDONESIA DENGAN BERBAGAI RAGAMNYA

A. Penting Atau Tidaknya Bahasa Indonesia. Sebuah bahasa penting atau tidak penting dapat dilihat dari tiga kriteria, yaitu jumlah penutur, luas daerah penyebarannya, dan terpakainya bahasa itu dalam sarana ilmu, susastra, dan budaya. 1. Dipandang Dari Jumlah Penutur Ada dua bahasa di Indonesia, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia lahir sebagai bahasa kedua bagi sebagian besar warga bangsa Indonesia. Yang pertama kali muncul atas diri seseorang adalah bahasa daerah (bahasa ibu). Bahasa Indonesia baru dikenal anak-anak setelah mereka sampai pada usia sekolah (taman kanak-kanak). Berdasarkan keterangan di atas, penutur bahasa Indonesia yang mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu tidak besar jumlahnya. Mereka hanya terbatas pada orang-orang yang lahir dari orang tua yang mempunyai latar belakang bahasa daerah yang berbeda, sebagian orang yang lahir di kota-kota besar, dan orang-orang yang mempunyai latar belakang bahasa Melayu. Dengan demikian, kalau kita memandang bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, bahasa Indonesia itu tidak penting. Akan tetapi, pandangan kita tidak tertuju pada masalah bahasa ibu. Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur yang memberlakukan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Data ini akan membuktikan bahwa penutur bahasa Indonesia adalah 210 juta orang (2000) ditambah dengan penutur-penutur yang berada di luar Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia amat penting kedudukannya di kalangan masyarakat.

2. Dipandang Dari Luas Penyebarannya Penyebaran suatu bahasa tentu ada hubungannya dengan penutur bahasa itu. Oleh sebab itu, tersebarnya suatu bahasa tidak dapat dilepaskan dari segi penutur. Penutur bahasa Indonesia yang berjumlah 210 juta lebih itu tersebar dalam daerah yang luas yaitu dari Sabang sampai Merauke. Keadaan daerah penyebaran ini akan membuktikan bahwa bahasa Indonesia amat penting kedudukannya di antara bahasa-bahasa dunia. 3. Dipandang Dari Dipakainya Sebagai Sarana Ilmu, Budaya, dan Susastra. Tentang susastra, bahasa Kerinci kaya dengan macam dan jenis susastranya walaupun hanya susastra lisan. Susastra Kerinci telah memasyarakat ke segenap pelosok daerah Kerinci. Dengan demikian, bahasa Kerinci telah dipakai sebagai sarana dalam susastra. Tentang budaya, bahasa Kerinci telah dipakai pula walaupun hanya dalam berkomunikasi, bertutur adat, bernyanyi, berpantun dan sebagainya. Tentang ilmu pengetahuan, bahasa Kerinci belum mampu

memecahkannya. Jika hendak menulis surat, orang-orang Kerinci memakai bahasa Indonesia, bukan bahasa Kerinci. Hal ini membuktikan bahwa bahasa Kerinci belum mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana ilmu. Ketiga hal di atas sarana ilmu pengetahuan, budaya, dan susastratelah dijalankan oleh bahasa Indonesia dengan sangat sempurna dan baik. Hal ini membuktikan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang penting.

B. Ragam Lisan dan Ragam Tulis Tidak dapat kita pungkiri, bahasa Indonesia ragam lisan sangat berbeda dengan bahasa Indonesia ragam tulis. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ragam tulis adalah pengalihan ragam lisan ke dalam ragam tulis (huruf). Pendapat ini tidak dapat dibenarkan seratus persen sebab tidak semua ragam lisan dapat dituliskan; sebaliknya, tidak semua ragam tulis dapat dilisankan. Kaidah yang berlaku bagi ragam lisan belum tentu berlaku bagi ragam tulis. Kedua ragam itu berbeda, perbedaannya adalah sebagai berikut: 1. Ragam lisan menghendaki adanya orang kedua, teman berbicara yang berada di depan pembicara, sedangkan ragam tulis tidak mengharuskan adanya teman bicara berada di depan. 2. Di dalam ragam lisan unsur-unsur fungsi gramatikal, seperti subjek, predikat, dan objek tidak selalu dinyatakan. Unsur-unsur itu kadang-kadang dapat ditinggalkan. Hal ini disebabkan oleh bahasa yang digunakan itu dapat dibantu oleh gerak, mimik, pandangan, anggukan, atau intonasi. Contoh : Orang yang berbelanja di pasar. Bu, berapa cabenya? Tiga puluh. Bisa kurang? Dua lima saja, Nak.

Ragam tulis perlu lebih terang dan lebih lengkap daripada ragam lisan. Fungsifungsi gramatikal harus nyata karena ragam tulis tidak mengharuskan orang kedua berada di depan pembicara. Kelengkapan ragam tulis menghendaki agar orang yang diajak bicara mengerti isi tulisan itu. Contoh ragam tulis ialah tulisantulisan dalam buku, majalah, dan surat kabar. 3. Ragam lisan sangat terikat pada kondisi, situasi, ruang dan waktu. Apa yang dibicarakan secara lisan di dalam sebuah ruang kuliah, hanya akan berarti dan berlaku untuk waktu itu saja. Apa yang diperbincangkan dalam suatu ruang diskusi susastra belum tentu dapat dimengerti oleh orang yang berada di luar ruang itu. Ragam tulis tidak terikat oleh situasi, kondisi, ruang, dan waktu. 4. Ragam lisan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya dan panjang pendeknya suara, sedangkan ragam tulis dilengkapi dengan tanda baca, huruf besar, dan huruf miring. Berikut ini dapat kita bandingkan wujud bahasa Indonesia ragam lisan dan ragam tulis. Perbandingan ini didasarkan atas perbedaan penggunaan bentuk kata, kosakata, dan struktur kalimat. a. Ragam Lisan 1) Penggunaan Bentuk Kata a). Kendaraan yang ditumpanginya nabrak pohon mahoni. b). Bila tak sanggup, tak perlu lanjutkan pekerjaan itu. 2) Penggunaan Kosakata a). Saya sudah kasih tahu mereka tentang hal itu. b). Mereka lagi bikin denah buat pameran entar. 3) Penggunaan Struktur Kalimat

a) Rencana ini saya sudah sampaikan kepada Direktur. b. Ragam Tulis 1. Penggunaan Bentuk Kata 1) Kendaraan yang ditumpanginya menabrak pohon mahoni. 2) Apabila tidak sanggup, engkau tidak perlu melanjutkan pekerjaan itu. 2. Penggunaan Kosakata 1) Saya sudah memberi tahu mereka tentang hal itu . 2) Mereka sedang membuat denah untuk pameran nanti. 3. Penggunaan Struktur Kalimat 1) Rencana ini sudah saya sampaikan kepada Direktur.

C. Ragam Baku dan Tidak Baku Pada dasarnya, ragam tulis dan ragam lisan terdiri pula atas ragam baku dan ragam tidak baku. Ragam baku adalah ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya. Ragam tidak baku adalah ragam yang tidak dilembagakan dan ditandai oleh ciri-ciri yang menyimpang dari norma ragam baku. Ragam baku itu mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :

1. Kemantapan Dinamis

Mantap artinya sesuai dengan kaidah bahasa. Kalau kita berpegang pada sifat mantap, kata pengrajin tidak dapat kita terima. Bentuk-bentuk lepas tangan, lepas pantai, dan lepas landas merupakan contoh kemantapan kaidah bahasa baku. 2. Cendekia Ragam baku bersifat cendekia karena ragam baku dipakai pada tempattempat resmi. Perwujudan ragam baku ini adalah orang-orang yang terpelajar. Di samping itu, ragam baku dapat dengan tepat memberikan gambaran apa yang ada dalam otak pembicara atau penulis. 3. Seragam Ragam baku bersifat seragam, pada hakikatnya, proses pembakuan bahasa ialah proses penyeragaman bahasa. Dengan kata lain, pembakuan bahasa adalah pencarian titik-titik keseragaman.

D. Ragam Baku Tulis dan Ragam Baku Lisan Ragam baku tulis adalah ragam yang dipakai dengan resmi dalam buku-buku pelajaran atau buku-buku ilmiah lainnya. Pemerintah sekarang mendahulukan ragam baku tulis secara nasional. Usaha itu dilakukan dengan menerbitkan dan menertibkan masalah ejaan bahasa Indonesia, yang tercantum dalam buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Demikian pula, pengadaan Pedoman Umum Pembentukan Istilah dan pengadaan Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan pula usaha ke arah itu.

Bagaimana dengan masalah ragam baku lisan? Ukuran dan nilai ragam baku lisan ini bergantung pada besar atau kecilnya ragam daerah yang terdengar dalam

ucapan. Seseorang dapat dikatakan berbahasa lisan yang baku kalau dalam pembicaraannya tidak terlalu menonjol pengaruh logat atau dialek daerahnya.

E. Ragam Sosial dan Ragam Fungsional Ragam sosial yaitu ragam bahasa yang sebagian norma dan kaidahnya di dasarkan atas kesepakatan bersama dalam lingkungan sosial yang lebih kecil dalam masyarakat. Ragam bahasa yang digunakan dalam keluarga atau persahabatan dua orang yang akrab dapat merupakan ragam sosial tersendiri. Ragam fungsional, yang kadang-kadang disebut juga ragam profesional, adalah ragam bahasa yang dikaitkan dengan profesi, lembaga, lingkungan kerja, atau kegiatan tertentu lainnya. Ragam fungsional juga dikaitkan dengan keresmian keadaan penggunaannya. 1. Ragam Keilmuan/Teknologi Komputer adalah mesin pengelola informasi. Berjuta-juta fakta dan bagan yang berbeda dapat disimpan dalam komputer dan dapat dicari lagi apabila diperlukan. 2. Ragam Kedokteran Kita mengenal dua macam diabetes, yaitu diabetes inspidus dan diabetes mellitus. Diabetes inspidus disebabkan oleh kekurangan hormon antidiuretik (antidiuretic hormone = ADH) diproduksi oleh kelenjar pituitaria yang berada di dasar otak sehingga kita mengeluarkan urine terus atau kencing saja. Pada diabetes mellitus yang kurang adalah hormon insulin yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas yang berada dibawah hati. 3. Ragam Keagamaan

Tidaklah orang-orang itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.

F. Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar Pengertian benar pada suatu kata atau suatu kalimat adalah pandangan yang diarahkan dari segi kaidah bahasa. Sebuah kalimat atau sebuah pembentukan kata dianggap benar apabila bentuk itu mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku. Di bawah ini akan dipaparkan sebuah contoh. 1. Kuda makan rumput Kalimat ini benar karena memenuhi kaidah sebuah kalimat secara struktur, yaitu ada subjek (kuda), ada predikat (makan), dan ada objek (rumput). Kalimat ini juga memenuhi kaidah sebuah kalimat dari segi makna, yaitu mendukung sebuah informasi yang dapat dimengerti oleh pembaca. Lain halnya dengan kalimat di bawah ini. 2. Rumput makan kuda Kalimat ini benar menurut struktur karena ada subjek (rumput), ada predikat (makan), ada objek (kuda). Akan tetapi, dari segi makna, kalimat ini tidak benar karena tidak mendukung makna yang baik. Sebuah bentuk kata dikatakan benar kalau memperlihatkan proses pembentukan yang benar menurut kaidah yang berlaku. Pengertian baik pada suatu kata (bentukan) atau kalimat adalah pandangan yang diarahkan dari pilihan kata (diksi). Dalam suatu pertemuan kita dapat memakai kata yang sesuai dengan pertemuan itu sehingga kata-kata yang

keluar atau dituliskan itu tidak akan menimbulkan nilai rasa yang tidak pada tempatnya. Sebagai simpulan, yang dimaksud dengan bahasa yang benar adalah bahasa yang menerapkan kaidah dengan konsisten, sedangkan yang dimaksud dengan bahasa yang baik adalah bahasa yang mempunyai nilai rasa yang tepat dan sesuai dengan situasi pemakaiannya.

BAB II PENUTUP

Kesimpulan Penting atau tidaknya bahasa Indonesia dapat kita lihat dari tiga kriteria yaitu jumlah penutur, luas daerah penyebarannya, dan terpakainya bahasa itu dalam sarana ilmu, susastra, dan budaya. Perlu juga kita ketahui bahwa dengan adanya bermacammacam ragam bahasa mempunyai fungsi yang sesuai, kedudukan, serta lingkungan yang berbeda-beda. Ragam bahasa pada pokoknya dapat dibagi dalam dua bagian yaitu ragam lisan dan tulis. Selain ragam tulis dan lisan terdiri pula atas ragam baku dan tidak baku. Dalam kehidupan berbahasa, kita sudah mengenal ragam lisan dan tulis, ragam baku dan tidak baku. Oleh sebab itu, muncul ragam baku tulis dan ragam baku lisan. Baik ragam lisan maupun ragam tulis bahasa Indonesia ditandai pula oleh adanya ragam sosial dan fungsional. Serta yang dimaksud dengan bahasa yang benar adalah bahasa yang menerapkan kaidah dengan konsisten, sedangkan yang dimaksud dengan bahasa yang baik adalah bahasa yang mempunyai nilai rasa yang tepat dan sesuai dengan situasi pemakaiannya.

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia[1] dan bahasa persatuan bangsa Indonesia[2]. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, Bahasa Indonesia berposisi sebagai bahasa kerja. Dari sudut pandang linguistik, Bahasa Indonesia adalah suatu varian bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan.[3] Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing. Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu.[4] Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya,[5] sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia. Fonologi dan tata bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah.[6] Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu.[7]

1. Sejarah
Lihat pula Sejarah bahasa Melayu.

1. 1. Masa lalu sebagai bahasa Melayu


Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern. Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari

cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa[8] dan Pulau Luzon.[9] Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi. Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. [rujukan?] Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang. Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan seharihari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini. Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong. Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur".[10] Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).[11] Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.

Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional di masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas. Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman

1. 2. Bahasa Indonesia
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor. Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Di tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.[10] Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Mamoer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan.[12] Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan, "Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."[13]

Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.[14]

2. Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan perkembangan bahasa Indonesia


Perinciannya sebagai berikut: 1. Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas. 2. Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.[15] 3. Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia. 4. Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana. 5. Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. 6. Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu. 7. Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. 8. Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya. 9. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara. 10. Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972. 11. Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman

Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara). 12. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia. 13. Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin. 14. Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. 15. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia. 16. Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa. Bahasa Indonesia dituturkan di seluruh Indonesia, walaupun lebih banyak digunakan di area perkotaan (seperti di Jakarta dengan dialek Betawi serta logat Betawi). Penggunaan bahasa di daerah biasanya lebih resmi, dan seringkali terselip dialek dan logat di daerah bahasa Indonesia itu dituturkan. Untuk berkomunikasi dengan sesama orang sedaerah kadang bahasa daerahlah yang digunakan sebagai pengganti untuk bahasa Indonesia.

6. 1. Kedudukan resmi
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting seperti yang tercantum dalam:

1. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. 2. Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia. Dari Kedua hal tersebut, maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai: 1. Bahasa kebangsaan, kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah. 2. Bahasa negara (bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia)

7. Bunyi
Berikut adalah fonem dari bahasa indonesia mutakhir Vokal Depan Madya Belakang Tertutup i u Tengah e O Hampir Terbuka () () Terbuka a Bahasa Indonesia juga mempunyai diftong /ai/, /au/, dan /oi/. Namun, di dalam suku kata tertutup seperti air kedua vokal tidak diucapkan sebagai diftong Konsonan Bibir Gigi Langit2 Langit2 keras lunak Sengau M n Letup pb td c kg Desis (f) s (z) () (x) Getar/Sisi lr Hampiran W j

Celah suara H

Vokal di dalam tanda kurung adalah alofon sedangkan konsonan di dalam tanda kurung adalah fonem pinjaman dan hanya muncul di dalam kata serapan. /k/, /p/, dan /t/ tidak diaspirasikan /t/ dan /d/ adalah konsonan gigi bukan konsonan rongga gigi seperti di dalam bahasa Inggris. /k/ pada akhir suku kata menjadi konsonan letup celah suara Penekanan ditempatkan pada suku kata kedua dari terakhir dari kata akar. Namun apabila suku kata ini mengandung pepet maka penekanan pindah ke suku kata terakhir.

8. Tata bahasa

Dibandingkan dengan bahasa-bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak menggunakan kata bergender. Sebagai contoh kata ganti seperti "dia" tidak secara spesifik menunjukkan apakah orang yang disebut itu lelaki atau perempuan. Hal yang sama juga ditemukan pada kata seperti "adik" dan "pacar" sebagai contohnya. Untuk memerinci sebuah jenis kelamin, sebuah kata sifat harus ditambahkan, "adik laki-laki" sebagai contohnya. Ada juga kata yang berjenis kelamin, seperti contohnya "putri" dan "putra". Kata-kata seperti ini biasanya diserap dari bahasa lain. Pada kasus di atas, kedua kata itu diserap dari bahasa Sanskerta melalui bahasa Jawa Kuno. Untuk mengubah sebuah kata benda menjadi bentuk jamak digunakanlah reduplikasi (perulangan kata), tapi hanya jika jumlahnya tidak terlibat dalam konteks. Sebagai contoh "seribu orang" dipakai, bukan "seribu orang-orang". Perulangan kata juga mempunyai banyak kegunaan lain, tidak terbatas pada kata benda. Bahasa Indonesia menggunakan dua jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu "kami" dan "kita". "Kami" adalah kata ganti eksklusif yang berarti tidak termasuk sang lawan bicara, sedangkan "kita" adalah kata ganti inklusif yang berarti kelompok orang yang disebut termasuk lawan bicaranya. Susunan kata dasar yaitu Subyek - Predikat - Obyek (SPO), walaupun susunan kata lain juga mungkin. Kata kerja tidak di bahasa berinfleksikan kepada orang atau jumlah subjek dan objek. Bahasa Indonesia juga tidak mengenal kala (tense). Waktu dinyatakan dengan menambahkan kata keterangan waktu (seperti, "kemarin" atau "esok"), atau petunjuk lain seperti "sudah" atau "belum". Dengan tata bahasa yang cukup sederhana bahasa Indonesia mempunyai kerumitannya sendiri, yaitu pada penggunaan imbuhan yang mungkin akan cukup membingungkan bagi orang yang pertama kali belajar bahasa Indonesia.

9. Awalan, akhiran, dan sisipan


Bahasa Indonesia mempunyai banyak awalan, akhiran, maupun sisipan, baik yang asli dari bahasa-bahasa Nusantara maupun dipinjam dari bahasa-bahasa asing. Untuk daftar awalan, akhiran, maupun sisipan dapat dilihat di halaman masing-masing.

10. Dialek dan ragam bahasa


Pada keadaannya bahasa Indonesia menumbuhkan banyak varian yaitu varian menurut pemakai yang disebut sebagai dialek dan varian menurut pemakaian yang disebut sebagai ragam bahasa. Dialek dibedakan atas hal ihwal berikut:

1. Dialek regional, yaitu rupa-rupa bahasa yang digunakan di daerah tertentu sehingga ia membedakan bahasa yang digunakan di suatu daerah dengan bahasa yang digunakan di daerah yang lain meski mereka berasal dari eka bahasa. Oleh karena itu, dikenallah bahasa Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta (Betawi), atau bahasa Melayu dialek Medan. 2. Dialek sosial, yaitu dialek yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu atau yang menandai tingkat masyarakat tertentu. Contohnya dialek wanita dan dialek remaja. 3. Dialek temporal, yaitu dialek yang digunakan pada kurun waktu tertentu. Contohnya dialek Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu zaman Abdullah. 4. Idiolek, yaitu keseluruhan ciri bahasa seseorang. Sekalipun kita semua berbahasa Indonesia, kita masing-masing memiliki ciri-ciri khas pribadi dalam pelafalan, tata bahasa, atau pilihan dan kekayaan kata. Ragam bahasa dalam bahasa Indonesia berjumlah sangat banyak dan tidak terhad. Maka itu, ia dibagi atas dasar pokok pembicaraan, perantara pembicaraan, dan hubungan antarpembicara. Ragam bahasa menurut pokok pembicaraan meliputi: 1. 2. 3. 4. ragam undang-undang ragam jurnalistik ragam ilmiah ragam sastra

Ragam bahasa menurut hubungan antarpembicara dibagi atas: 1. ragam lisan, terdiri dari: 1. ragam percakapan 2. ragam pidato 3. ragam kuliah 4. ragam panggung 2. ragam tulis, terdiri dari: 1. ragam teknis 2. ragam undang-undang 3. ragam catatan 4. ragam surat-menyurat Dalam kenyataannya, bahasa baku tidak dapat digunakan untuk segala keperluan, tetapi hanya untuk: 1. 2. 3. 4. komunikasi resmi wacana teknis pembicaraan di depan khalayak ramai pembicaraan dengan orang yang dihormati

Selain keempat penggunaan tersebut, dipakailah ragam bukan baku.

Latar Belakang Setiap hari pastinya kita menggunakan Bahasa Indonesia, sebagai bahasa sehari-hari kita. Baik untuk berbicara, menulis, dan kegiatan sehari-hari lainnya. Tapi sekarang ini telah banyak perubahan yang ada. Baik dari segi pengaruh luar yaitu perkembangan global dan juga dari masyarakat Indonesia sendiri. Sekarang ini pun dari bidang pendidikan, anak-anak playgroup sudah diajarkan menggunakan bahasa luar negeri seperti Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin dan Bahasa Jepang dan masih banyak yang lainnya. Belum lagi setelah tingkat SD, SMP, SMA dan seterusnya, makin banyak bahasa-bahasa asing yang dipelajari. Ini dianggap sebagai kebutuhan modal, juga sebagai tolak ukur kemajuan individuindividu di masa depan. Tapi ini mempunyai pengaruh secara langsung dan tak langsung, yaitu bahasa asing menjadi bahasa sehari-hari agar terbiasa dan juga sebagai alat latih untuk memperlancar pengucapan, pendengaran dan penulisan. Cukup memprihatinkan, karena fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dari Warga Negara Indonesia menjadi tergeser. Karena bahasa asing, menjadi bahasa pergaulan, menjadi jembatan dalam persaingan global dan juga salah satu syarat dalam dunia pekerjaan. Tak dipungkiri pentingnya mempelajari bahasa asing, tapi alangkah jauh lebih baik bila kita tetap menjaga, melestarikan dan membudayakan Bahasa Indonesia. Maka dari itu untuk memperdalam mengenai Bahasa Indonesia, kita perlu mengetahui bagaimana perkembangannya sampai saat ini sehingga kita tahu mengenai bahasa pemersatu dari berbagai suku dan adat-istiadat yang beranekaragam yang ada di Indonesia, yang termasuk kita didalamnya. Asal Mula Bahasa Indonesia dari segi bahasa yang digunakan Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu, sebuah Bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern, paling tidak dalam bentuk informalnya. Bentuk bahasa sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis ini sangat lentur sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang digunakan para penggunanya. Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi, pada masa lalu digunakan kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya, dan Jawa. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa Melayu Pasar. Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan Melayu Pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan Bahasa Melayu Tinggi, di antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa

Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi Bahasa Melayu Pasar sudah telanjur diambil oleh banyak pedagang yang melewati Indonesia. Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Biasanya masih digunakan bahasa daerah (yang jumlahnya bisa sampai sebanyak 360). Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia pascakemerdekaan. Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu), namun beliau memilih Bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari Bahasa Melayu yang dituturkan di Riau. Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut: 1. Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia. 2. Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar. 3. Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak, atau Banjarmasin, atau Samarinda, atau Maluku, atau Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhirpun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Tionghoa Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya. 4. Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negaranegara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia Tenggara. Dengan memilih Bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu lagi seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan. Bahasa Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah dilakukan pada zaman Penjajahan Jepang. Perkembangan Bahasa Indonesia berdasarkan peristiwa-peristiwa penting Perinciannya sebagai berikut:

1. Pada tahun 1901 disusunlah ejaan resmi Bahasa Melayu oleh Ch. A. van Ophuijsen dan ia dimuat dalam Kitab Logat Melayu. 2. Pada tahun 1908 Pemerintah mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 ia diubah menjadi Balai Pustaka. Balai itu menerbitkan buku-buku novel seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, bukubuku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas. 3. Tanggal 28 Oktober 1928 merupakan saat-saat yang paling menentukan dalam perkembangan bahasa Indonesia karena pada tanggal itulah para pemuda pilihan mamancangkan tonggak yang kukuh untuk perjalanan bahasa Indonesia. 4. Pada tahun 1933 secara resmi berdirilah sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana dan kawan-kawan. 5. Pada tarikh 25-28 Juni 1938 dilangsungkanlah Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu. 6. Pada tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar RI 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. 7. Pada tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) sebagai pengganti Ejaan van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya. 8. Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada tarikh 28 Oktober s.d. 2 November 1954 juga salah satu perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara. Perkembangan Bahasa Indonesia berdasarkan prasasti-prasasti Penelusuran perkembangan bahasa Indonesia bisa dimulai dari pengamatan beberapa inskripsi (batu bertulis) atau prasasti yang merupakan bukti sejarah keberadaan bahasa Melayu di kepulauan Nusantara. Prasasti-prasasti itu mengungkapkan sesuatu yang menggunakan bahasa Melayu, atau setidak-tidaknya nenek moyang bahasa Melayu. Nama-nama prasasti adalah: (1) Kedukan Bukit (683 Masehi), (2) Talang Tuwo (684 Masehi), (3) Kota Kapur (686 Masehi), (4) Karang Brahi (686 Masehi), (5) Gandasuli (832 Masehi),

(6) Bogor (942 Masehi), dan (7) Pagaruyung (1356) (Abas, 1987: 24) Prasasti-prasasti itu memuat tulisan Melayu Kuno yang bahasanya merupakan campuran antara bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta. - Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di tepi Sungai Tatang di Sumatera Sedlatan, yang bertahun 683 Masehi atau 605 Saka ini dianggap prasasti yang paling tua, yang memuat nama Sriwijaya. - Prasasti Talang Tuwo, bertahun 684 Masehi atau 606 Saka, menjelaskan tentang konstruksi bangunan Taman Srikestra yang dibangun atas perintas Hyang Sri-Jayanaca sebagai lambang keselamatan raja dan kemakmuran negeri. Prasasti ini juga memuat berbagai mantra suci dan berbagai doa untuk keselamatn raja. - Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di Kambi, keduanya bertahun 686 Masehi atau 608 Saka, isinya hampir sama, yaitu permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan kerajaan Sriwijaya, agar menghukum para penghianat dan orang-orang yang memberontak kedaulatan raja. Juga berisi permohonan keselamatan bagi mereka yang patuh, taat, dan setia kepada raja Sriwijaya. Jika berbagai prasasti tersebut bertahun pada zaman Sriwijaya, bisa disimpulkan bahwa Bahasa Melayu Kuno pada zaman itu telah berperan sebagai lingua franca. Atau, ada kemungkinan sebagai bahasa resmi pada zaman Sriwijaya. Kesimpulan ini diperkiat oleh keterangan I Tsing tentang bahasa itu bahwa bersama dengan Bahasa Sanskerta, Bahasa Melayu (diistilahkan Kwen Lun) memegang peranan penting di dalam kehidupan politik dan keagamaan di negara itu (Sriwijaya). Perkembangan Bahasa Indonesia berdasarkan catatan-catatan penting Selain berbagai prasasti tersebut, terdapat pula beberapa catatan yang bisa dijadikan sumber informasi tentang asal-usul bahasa Melayu. Sejarah kuno negeri Cina turut membuktikan tentang keberadaan bahasa Melayu tersebut. Pada awal masa penyebaran agama Kristen, pengembara-pengembara Cina yang berkunjung ke Kepulauan Nusantara menjumpai adanya berbagai lingua franca yang mereka namai Kwen Lun di Asia Tenggara. Salah satu di antara Kwen Lun itu oleh I Tsing diidentifikasi di dalam Chronicle-nya sebagai bahasa Melayu. Untuk keperluan perkembangan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia, Traktat London (Perjanjian London) 1824 antara Pemerintah Inggris dan Belanda merupakan tonggak sejarah yang sangat penting. Sebab, pada traktat itu antara lain berisi kesepakatan pembagian dua wilayah, yaitu: (1) Semenanjung Melayu dan Singapura besera pulau-pulau kecilnya menjadi kekuasaan kolonial Inggris; dan

(2) Kepulauan Nusantara (Kepulauan Sunda besar: pulau-pulau Sumatera, Jawa, sebagian Borneo/kalimantan, dan Sulawesi; Kepulauan Sunda kecil: pulau-pulau Bali, Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba, sebagian Timor , dan lain-lain; Kepulauan Maluku dan sebagian Irian) menjadi kekuasaan kolonial Belanda. Oleh karena itu, perkembangan bahasa Melayu ini dapat dikelompokkan menjadi dua periode, yaitu 01.Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London ini dapat disistematisasikan ke dlam beberapa era, sub-era, dan periode seperti berikut: 1) Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 Masehi) 2) Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi): 1. Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12 sampai dengan abad ke-13 Masehi) 2. Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14 sampai dengan abad ke-19 Masehi): 1. Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan abad ke-15 Masehi) 2. Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan abad ke-17 Masehi) 3. Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan abad-19 Masehi) 3) Era Pemisahan Tahun 1824 Perkembangan bahasa Melayu sebagaimana disitematisasikan tersebut sangat berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu pasca Traktat London 1824, karena bahasa Melayu berkembanga menjadi tiga arah, yaitu: (a) di Indonesia menjadi Bahasa Indonesia; (b) di Malaysia menjadi Bahasa Malaysia; (c) di Brunei menjadi Bahasa Melayu Baku; (d) di Singapura menjadi Bahasa Nasional. Perkembangan Bahasa Indonesia di Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 Masehi) Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya mengalami masa kejayaan relatif cepat oleh lokasinya yang sangat strategis pada Selat Malaka, suatu pusat perdagangan yang penting selama berabad-abad lamanya. Para saudagar dari timur dan barat serta dari Kepulauan Nusantara bertemu dan mengadakan transaksi dagang. Tentu saja bahasa Melayu, atau

semacam bahasa Melayu kuno, menjadi bahasa para saudagar itu. Itulah sebabnya maka bahasa Melayu menjadi bahasa resmi Kerajaan Sriwijaya. (Humaidy, 1973 dan Alisjahbana dalam Fishman, 1974). Dengan demikian, Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat kegiatan hajat manusia dan pusat administrasi kerajaan dan daerah-daerah taklukannya. Sriwijaya juga merupakan pusat pendidikan, kebudayaan, dan keagamaan. Abas (1987) mengulangi apa yang pernah ditulis oleh Gregoris F. Zaide, seorang ahli sejarah Filipina terkemuka, mengenai kejayaan Kerajaan Sriwijaya pada era itu: The Empire of Sriwijaya (Sri-Vishaya) emerged from the ashes of the maritime colonialism of Pallawa from 8th ventury to 1377 AD. Founded by Hindunized Malays, it was basucally Malayan in might, Hindunistic in culture, and Buddhistic in religion. The empire was so named after the capital, Sri-Vishaya, Sumatra . At the height of its power under the Shailendra dynasty, it included Malaya , Ceylon , Borneo, Celebes, the Philippines , and part of Formosa , and probaly exercised sovereignty over Cambodia and Champa ( Annam ). (Zaide, 1950: 36) Menurut Mees (1954) Sriwijaya mendirikan suatu perguruam tinggi Buddha yang mahasiswanya datang dari semua penjuru kawasan yang dikuasainya. Beberapa dari mahasiswa bahka datang dari kerajaan-kerajaan tetangga Champa dan Kamboja. Bahasa pengantar pada perguruan tinggi itu dan pusat-pusat pendidikan lainnya adalah bahasa melayu kuno atau lingua franca Kwen Lun. Perkembangan Bahasa Indonesia di Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi): Pemakaian bahasa Melayu yang dipengaruhi bahasa Sansekerta telah mendominasi Kerajaan Sriwijaya. Hal ini jelas terlihat pada berbagai inskripsi batu bertulis yang ditemukan pada berbagai tempat di Sumatra. Tetapi, dalam era berikutnya, yaitu era Kerajaan-kerajaan Melayu yang muncul dari abad ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi, bahasa yang dipakai tidak lagi dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Raja-raja yang berkuasa pada saat itu berketurunan Melayu. Era ini dapat dibagi menjadi dua sub-era, yaitu sub-era Kerajan Bintan dan Tumasik, dan sub-era Kerajaan Melayu Riau. Selanjutnya, sub-era Kerajaan Melayu Riau ini dibagi lagi menjadi tiga periode, yaitu periode Kerajaan Malaka, periode Kerajaan Johor, dan periode Kerajaan Riau dan Lingga. Sekali lagi, pembagian menjadi periode-periode ini sangat penting karena berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia . Pada era Kerajaan-kerjaan Melayu ini, penyebaran bahasa Melayu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kedatangan orang-orang Eropa yang ikut mempergunakana bahasa Melayu sebagai lingua franca tidak hanya menmbantu penyebaran bahasa itu secara ekstensif melainkan juga menaikkan statusnya sebagai

bahasa yang memiliki norma supraetnik, melebihi norma etnik bahasa-bahasa daerah lainnya yang ada di Kepulauan Nusantara. Pigafetta yang mendampingi Magelhaens di dalam pelayarannya yang pertama mengelilingi dunia, misalnya, berhasil menyusun glosari pertama Bahasa Melayu ketika kapalnya berlabuh di Tidore tahun 1521 Masehi. Glosari Pigafetta yang sederhana ini menunjukkan bahwa Bahasa Melayu yang berasal dari Indonesia bagian barat telah menyebar ke bagian timur Kepulauan Nusantara pada waktu itu. Bahkan, pada tahun 1865 pemerintah kolonial Belanda mengangkat Bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kedua mendampingi Bahasa Belanda. Hal ini mengisyaratkan bahwa peranan Bahasa Melayu sebagai lingua franca tidak dapat diabaikan begitu saja. Pada tahun 1581, Jan Huygen van Linschoten, seorang pelaut Belanda yang berlayar ke Indonesia, menulis di dalam bukunya Itinerarium Schipvaert naar Oost ofte Portugaels Indiens bahwa Bahasa Melayu adalah bahasa yang dipergunakan oleh banyak orang timur, dan bahwa barang siapa yang tidak mengerti bahasa itu akan berada dalam keadaan seperti orang Belanda (dari zaman yang sama) yang tidak mengerti Bahasa Perancis. (Alisjahbana dalam Fishman, 1974: 393). Pada akhir abad ke-17, sewaktu Francois Valentyn di Malaka, ia telah menulis buku berjudul Oud en Nievw Oostindien II Del V tentang bahasa Melayu. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa Bahasa Melayu telah terbukti menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi dan lingua franca yang penting di Malaka. Valentyn seorang pendeta dan ahli sejarah berbangsa Belanda dalam penulisan buku sebanyak enam jilid itu menjelaskan sejarah dan skenario kota pelabuhan di Kepulauan Melayu. Sebagian penjelasannya adalah: Bahasa mereka, yaitu bahasa Melayu bukan saja digunakan di pantai-pantai Tanah Melayu, melainkan juga di seluruh India dan di negeri-negeri sebelah timur. Di manamana pun bahasa ini dipahami oleh setiap orang. Bahasa ini bagaikan bahasa Perancis atau bahasa Latin di Eropa, atau senacan bahasa perantara di Itali atau di Levent. OLeh karena banyaknya bahasa ini digunakan,maka seseorang yang mampu bertutur dalam bahasaMelatu akan dapat dipahami orang baik dalam negeri Persia maupun Filipina. Perkembangan Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12 sampai dengan abad ke-13 Masehi) Segera setelah Kerajaan Bintan didirikan di Pulau Bintan keadaan memaksa raja memindahkan ibu kota kerajaannya ke Pulau Tumasik, letak Singapura sekarang. Beberapa tahun kemudian, Tumasik dikuasai oleh Kerajaan Majapahit dari Jawa. Ibu kota , sekali lagi, harus dipindahkan lagi ke Malaka di Semenanjung Malaya . Daerahdaerah tempat perpindahan ini masih termasuk daerah Riau. Bahasa Melayu dipergunakan di daerah itu sebagai bahasa ibu. Diperkirakan bahwa perpindahan pusat kekuasaan itu terjadi antara tahun 1100 Masehi sampai dengan tahun 1250 Masehi. Sayang sekali tak ada catatan tertulis yang dapat

dijadikan sumber acuan mengenai peran Bahasa Melayu selama sub-era Bintan-Tumasik ini. Jadi, apakah Bahasa Melayu yang dipergunakan pada sub-era ini ada hubungannya dengan Bahasa Melayu pada era Kerajaan Sriwijaya tidak dapat diketahui dengan pasti. Banyak ahli bahasa dan orinentalis menganggap bahwa Bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya adalah semacam Bahasa Melayu kuno seperti yang ditunjukkan oleh berbagai inskripsi batu bertulis abad ke-7 Masehi. Junus (1969) bersikap agak ragu tentang hubungan antara bahasa Melayu kuno dengan bahasa Melayu Riau. Tetapi, dengan adanya bahasa Melayu Bintan-Tumasik yang merupakan suatu bentuk bahasa peralihan antara kedua bahasa itu, maka keraguan Junus hilang dengan sendirinya. Lebih-lebih apabila diingat asumsi yang mengatakan bahwa suatu bahasa kini merupakan perkembangan bahasa masa lampau. Dengan demikian, asumsi bahwa ada hubungan antara Bahasa Melayu kuno dan Bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya benar adanya. Perkembangan Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Melayu Riau (abad ke-14 sampai dengan abad ke-19 Masehi) Untuk pembahasan ini kiranya perlu dibedakan dengan jelas antara bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya dan Bahasa Melayu dari sub-era Keraan Riau. Seperti disinggung sebelumnya bahwa Bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya sangat dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Karena sifat kekunoannya itu, banyak ahli bahasa menyebut bahasa pada era Kerajaan Sriwijaya itu sebagai bahasa Melayu Kuno. Sementara itu, bahasa Melatu pada sub-era Kerajaan Riau atau Kerajaan Melayu Riau sama sekali tidak dipengaruhi oleh Bahasa Sansekerta dan memiliki ciri khas tersendiri, yaitu Riau. Oleh sebab itu, bahasa ini disebut Bahasa-bahasa Melayu Riau. Terdapat tiga periode dalam sub-era ini, seperti diuraikan berikut ini. Perkembangan Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan abad ke-15 Masehi) Seperti telah dikatakan sebelumnya, tentara kerajaan Majapahit menyerang Kerajaan Tumasik yang memaksa pusat kekuasaannya dipindahkan ke Malaka di Semenanjung Malaya . Adat-istiadat dan bahasa yang dibawa dari Tumasik dipertahankan, dan mulai saat itu dan seterusnya bahasa Melayu Riau berkembang dan tersebar ke hampir seluruh penjuru Semenanjung Melaya. Kerajaan Malaka berkibar selama hampir 100 tahun. Lokasinya yang berada di pintu gerbang Selat Malaka, yaitu rute lalu lintas pelayaran yang ramai dan penting yang menghubungkan antara Asia Timur dan Asia Barat, antara Asia Timur dan Eropa, antara Samudra India dan Laut Cina Selatan, dan antara Samudra India dan Samudara Pasifik, Malaka merupakan pelabuhan yang paling sibuk di kawasan Asia Tenggara pada waktu itu. Pada peralihan abad ke-15, Malaka juga menjadi pusat penyebaran agama Islam. Menjelmanya kota itu menjadi pusat penyebaran agama Islam. Winstedt (1917: 92) melukiskan sebagai berikut:

Perlak and Pasai in North Sumatra were the first Malay Centers for the propagation of the Muhammadan faith and culture. At Pasai, in 1407 was buried Abdulllah ibn Muhammad ibn Abdull-Kadir ibn Abdull-Azis ibn Al-Mansur Abu Jafar al-Abbasi alMuntasir, a missionary from Delhi of the house of the Abbasides who furnished Caliphs from the time of Prophet till it was destroyed by the Turks in 1258. Pasai converted Malaka, a center greater than itself. Dengan demikian, Malaka menjadi pusat dua kegiatan, yaitu perkembangan dan penyebaran Bahasa Melayu, dan penyebaran ajaran agama Islam. Sebenarnya, kedua kegiatan ini terlaksana secara bersamaan, sebab para guru dan penganjur agama Islam, dalam melaksanakan misinya itu, mengikuti perjalanan para pelaut dan pedagang, mempergunakan bahasa Melayu. Pada tahun 1511, misionaris Portugis menyerang dan menaklukkan Malaka yang memaksa dipindahkannya pusat kedua kegiatan tersebut. Pusat perkembangan dan penyebaran Bahasa Melayu, dan penyebaran ajaran agama Islam pindah ke Johor. Meskipun Malaka dijadikan oleh Portugis sebagai pusat penyebaran agama Kristen, namun peran sebagai pusat pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu tetap berlangsung. Berkat orang Portugis, penggunaan bahasa Melayu tidak terbatas hanya di kawasan Asia Tenggara saja, melainkan meluas ke pusat-pusat perdagangan di India dan Cina Selatan. Sebagai bukti, Ar-Raniri, seorang pengarang dan teolog Islam yang lahir dan besar di India telah menguasai Bahasa Melayu dengan baik ketika ia tiba di Aceh tahun 1637. Hal ini hanya mungkin apabila Bahasa Melayu telah banyak dipergunakan di Gujarat pada masa itu (Alisjahbana dalam Fishman, 1974: 394). Bahasa Melayu merambah jalannya juga ke benua Eropa dalam abad ke-16. Karena bahasa Malayulah yang dipergunakan oleh para raja atau pangeran Malayu ketika berkomunikasi dengan raja Portugis. Pada waktu yang sama, St. Francis Xavier mempergunakan bahasa Melayu untuk mengajak penduduk Maluku memeluk agama Kristen. Xavier sendiri mengatakan bahwa bahasa Melayu merupakan bahasa yang dimengerti oleh hampir setiap orang. Perkembangan Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan abad ke-17 Masehi) Dengan ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511, kegiatan kerajaan itu dipindahkan ke Johor, suatu daerah di sebelah selatan Malaka di Semenanjung Malaya. Lokasinya tidak sebaik lokasi Malaka dalam hal pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu dan ajaran agama Islam. Meskipun demikian, periode Kerajaan Johor telah menyumbangkan sesuatu yang amat berharga, yaitu mempertahankan bentuk Bahasa Melayu Malaka. Di Malaka, nama Bahasa Melayu Malaka masih tetap dipergunakan, tetapi unsur-unsur bahasa Portugis banyak ditambahkan ke dalam bahasa tersebut sehingga pantas disebut bahasa pidgin. Bahasa Melayu Malaka sebelum penaklukan Portugis sangat berbeda dengan Bahasa

Melayu Malaka setelah Malaka dikuasai Portugis. Bahasa Malayu Johorlah yang mempertahankan ciri-ciri khas bahasa Melayu Malaka sebelum penaklukan Portugis. Bahasa Melayu Johor memegang peran penting di dalam penyebarluasan agama Islam ke bagian timur Kepulauan Nusantara. Kesusastraan Melayu dari abad ke-16, dan bahkan sampai abadke-17, sangat dipengaruhi oleh ajaran dan pemikiran Islam. Bahasa Melayu Johor sangat berjasa di dalam penyebaran ajaran agama Islam di Kepulauan Nusantara, bahkan di kawasan Asia Tenggara. Perkembangan Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan abad-19 Masehi) Pada tahun 1719 Raja Kecil, dari Istana Kerajaan Johor, dipaksa memindahkan pusat kekuasaannya ke Ulu Riau, di Pulau Bintan, salah satu pulau yang bergabung dalam Kepulauan Riau. Pemindahan ini merupakan permulaan dari suatu periode dalam pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, yaitu periode Kerjaan Riau dan Lingga. Dalamperiode inilah bahasa Melayu memperoleh ciri ke-Riau-annya, dan bahasa Melayu Riau inilah yang merupakan cikal bakal bahasa Nasional Indonesia yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Periode Kerajaan Riau dan Lingga tercatat mulai tahun 1719, ketika didirikan oleh Raja Kecil, sampai dengan tahun 1913, ketika kerajaan itu dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Selama keberadaan kerajaan ini hampir 200 tahun lamanya, ada tiga momentum yang penting sekali bagi perkembangan dan persebaran bahasa Melayu Riau, yaitu tahun 1808, ketika Raja Ali Haji lahir; tahun 1857, ketika Raja Ali Haji menyelesaikan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, suatu tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau; dan tahun 1894, ketika percetakan Mathbaatul Riauwiyah atau Mathbaatul Ahmadiyah didirikan. Pengoperasian percetakan Mathbaatul Riauwiyah ini sangat penting karena melalui buku-buku dan pamflet-pamflet yang diterbitkannya, bahasa Melayu Riau tersebar ke daerah lain di Kepulauan Nusantara. Yang lebih penting adalah usaha pembakuan bahasa Melayu Riau sudah dimulai. Selama perang antara Perancis dan Inggris yang berlangsung di Eropa, yang berakibat Negeri Belanda sempat diduduki Perancis beberapa tahun, selama itu terjadi pula perang antara kekuasaan Inggris di Asia Tenggara dan kekuasaan Belanda yang tunduk kepada {emerintah Perancis di Kepulauan Nusantara. Untuk beberapa tahun lamanya, 1819 1824, Pulau Jawa dan Pulau Sumatra diduduki Inggris. Salah seorang administratur Inggris yang ulung, yang pernah menjadi Gubernur Jenderal di Pulau Jawa dan Pulau Sumatra, yaitu Stamford Raffles, mendirikan Singapura pada bekas kerajaan Tumasik pada tahun 1819. Orang-orang Belanda datang pertama kali ke Indonesia bertujuan untuk berdagang. Pada tanggal 20 Maret 1602 mereka mendirikan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie)

untuk melaksanakan perdagangan. VOC beroperasi di Indonesia selama hampir 200 tahun sampai tahun 1799, menyusul perusahaan itu direorganisasikan menjadi suatu pemerintahan kolonial. Belanda mulai menjajah Indonensia dengan memperoleh nama baru Nederlandsche Oost-Indie (India Belanda). Disinilah, Selat Malaka, di daratan Semenanjung Malaya, kekuasaan kolonial Inggris semakin mencekamkan kukunya. Setelah jatuh ke tangan Portugis, daerah Malaka ini semakin penting perannya sebagai pusat perdagangan. Tertarik oleh kekayaan yang melimpah yang dipersembahkan oleh daerah ini kepada raja Portugis, perusahaan British East India, yang pada saat itu masih beroperasi di anak Benua India, mulai meluaskan daerah perdagangannya ke Asia Tenggara. Maka muncul konflik kepentingan di antara ketiga kekuasaan kolonial: Inggris, Belanda, dan Portugis. Dari sudut pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, konflik antara Inggris dan Belanda sangat penting, karena konfrontasi antara kedua kekuasaan itu berakhir pada pembagian kawasan Kepulauan Nusantara menjadi dua, berdasarkan variasi bahasa Melayu yang dipergunakan di kawasan itu, yaitu bahasa Melayu Johor dan bahasa Melayu Riau. Pada 2 Februari 1819, kurang lebih tiga abad setelah orang-orang Eropa tiba di Kepulauan Indonesia, Stanford Raffles, ketika dia menjadi Letnan Gubernur Jenderal di Bengkulu, atas nama pemerintah kolonial Inggris mendirikan kota Singapura pada salah satu pulau (Tumasik) yang bergabung dalam Kepulauan Riau. Setelah benteng Singapura ini didirikan, Inggris dan Belanda berada dalam konflik bersenjata terus-menerus karena berebut kepentingan. Segera setelah perang Napoleon di Eropa mereda, pada tahun 1824 ditandatangani persetujuan untuk mengakhiri konflik bersenjata antara Inggris dan Belanda di Asia Tenggara. Persetujuan itu terkenal dengan nama London Treaty of 1824 (Traktat London 1824) yang membagi kawasan Kepulauan Nusantara menjadi dua bagian: Kepulauan Indonesia berada di bawah pemerintahan Kolonial Belanda dan Semenanjung Malaya dan Singapura berada di bawah kekuasaan Kolonial Inggris. Dengan demikian, Kerajaan Riau dan Lingga menjadi bagian dai daerah pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, dan Kerajaan Johon dan sekitarnya menjadi bagian dari daerah pemerintahan Kolonial Inggris. Mulai saat itu pula, perpisahan bahasa Melayu Riau dan Bahasa Melayu Johor secara legal terjadi. Bahasa Melayu Riau yang merupakan Bahasa ibu penduduk Kerajaan Riau dan Lingga dan pulau-pulau di sekitarnya, berkembang dan menyebar dengan sangat pesat, sesuai dengan keperluan masyarakat yang bersangkutan sebagai alat komunikasi lisan. Bahkan, sejak berlakunya Persetujuan London atau Traktat London, Bahasa Melayu Riau mendapatkan status yang baik dalam kesusastraan dunia. Berbagai karya kesusastraan yang cukup tinggi nilainya yang ditulis oleh penutur asli Bahasa Melayu Riau diterbitkan. Pada tahun 1857, misalnya, Raja Ali Haji menerbitkan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, sebuah buku tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau. Buku tata-bahasa ini selama berpuluh-puluh tahun dipergunakan oleh sekolah-sekolah di wilayah Kerajaan Riau dan Lingga, dan di Singapura. Pengarang-pengarang lain yang sezaman dengan

Raja Ali Haji, misalnya, Raja Ali Tengku Kelana, Abu Muhammad Adnan, dan lain-lain, juga menerbitkan karya mereka. Publikasi karya Raja Ali Haji dan pengarang lain dapat dianggap sebagai upaya awal dalam proses pembakuan bahasa Melayu Riau. Bahkan, pada permulaan abad ke-20 karya-karya ini dijadikan buku acuan oleh ahli-ahli bahasa Belanda. Bahasa Melayu Riau yang sedang berkembang pesat dan tumbuh dengan sehat ini oleh banyak ahli bahasa disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. 02.Perkembangan Bahasa Indonesia Sebelum Traktat London Sesudah Traktat London ditandatangani antara pemerintah Inggris dan Belanda, pemisahan antara Bahasa Melayu versi Riau dan Johor semakin nyata. Bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Malaya dan Singapura berkembang, tetapi tidak sepesat perkembangan versi Bahasa Melayu Riau di Kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Riau mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini disebabkan oleh masyarakat pribumi yang bersifat multi-etnik yang mempunyai bahasa daerah sendiri-sendiri. Di samping itu, Bahasa Melayu yang sejak dulu menjadi lingua franca meningkat statusnya menjadi bahasa yang memiliki norma supra-etnik dikuasai oleh hampir semua orang yang suka berlayar atau bepergian ke mana-mana. Beberapa peristiwa penting menyangkut perkembangan bahasa Melayu Riau dapat diungkapkan di bawah ini. 1. Tahun 1865, bahasa Melayu Riau diangkat oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebagai bahasa resmi kedua mendampingi Bahasa Belanda. Pranan kelingua franca-an Bahasa Melayu semakin nyata dan penting. 2. Tahun 1901, Charles van Ophuijsen menerbitkan bukunya yang berjudul Kitab logat Melajoe: Wondenlijst voor de Spelling der Maleische Taal yang berisi sistem ejaan Bahasa Melayu mempergunakan huruf Latin yang bersifat fonemis. Sebelumnya bahasa Melayu Riau mempergunakan Huruf Arab (bahasa diistilahkan huruf Jawi) yang bersifat silabik sebagai sistem ejaan. Sistem ejaan van Ophuijsen dengan huruf Latin dianggap lebih sesuai dengan Bahasa Melayu. 3. Tahun 1918, Bahasa Melayu mulai dipergunakan di dalam sidang-sidang Volksraad (Dewan Rakyat). Dengan demikian status Bahasa Melayu meningkat menjadi bahasa supraetnik melebihi bahasa-bahasa daerah lainnya. 4. Tahun 1920, Bahasa Melayu menjadi bahasa Balai Pustaka. Semua buku hasil penerbitan Balai Pustaka mempergunakan bahasa Melayu. Penyebaran bahasa Melayu ke pelosok Nusantara semakin intensif. Semua sekolah dasar di desa-desa mempergunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Di samping itu, bahasa Melayu juga menjadi bahasa para pejuang kemerdekaan Indonesia. 5. Pada tanggal 28 Oktober 1928, Bahasa Melayu dijadikan oleh para peserta Kongres Pemoeda sebagai bahasa persatuan yang tertuang pada butir ketiga Soempah Pemoeda yang diikrarkannya.

6. Pada tahun 1933, Bahasa Melayu menjadi bahasa Poedjangga Baroe sekelompok pengarang yang menerbitkan berbagai majalah dan buku. 7. Pada tahun 1938, Kongres Bahasa Melayu (Indonesia) di Solo. Kongres ini meletakkan dasar-dasar tentang pemakaian istilah Bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu lagi. 8. Tahun 1942 1945, Kepulauan Nusantara diduduki oleh balatentara Jepang. Bahasa Melayu menjadi satu-satunya bahasa pengantar pada semua jenjang pendidikan. 9. Pada tanggal 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan ke seluruh dunia dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Pasal ayat UUD 1945 memuat bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan resmi negara. Sejak itu bahasa Indonesia menjadi bahasa Angkatan 45. 10. Tahun 1954, Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini dihadiri pula oleh utusan dari Semenanjung Malaya dan Singapura. 11. Tahun 1972, antara Republik Indonesia dan Negara Malaysia tercapai persetujuan di bidang kebudayaan. Masalah bahasa termasuk di dalamnya. Terbentuklah Majelis Bahasa Indonesia dan Malaysia (MABIM). 12. Pada tanggal 16 Agustus 1972, diumumkan pemberlakuan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) di Indonesia dan di Malaysia. Kenyataan ini menjadikan Bahasa Melayu sebagai norma supra-nasional. 13. Pada tanggal 30 Agustus 1975, diumumkan pula pemberlakukan tatacara pembentukan istilah di Indonesia dan Malaysia. Hal ini semakin memperkuat MABIM sehingga Negara Brunai Darussalam dan Republik Singapura tertarik untuk bergabung di dalam majelis bahasa ini. 14. Kongres Bahasa Indonesia III dan seterusnya diselenggarakan secara teratur setiap lima tahun. Kongres Bahasa Indonesia VI tahun 1993 menghasilkan berbagai keputusan yang memperkuat kedudukan bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, bahasa resmi, maupu sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). 15. Kerja sama kebahasaan antara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Negara Malaysia, Negara Brunei Darussalam, dan Republik Singapura semakin kokoh. Keadaan ini akan mengantar Bahasa Melayu menjadi bahasa komunikasi luas di kawasan Asia Tenggara untuk selanjutnya diharapkan menjadi salah satu bahasa dunia di dalam abad ke-21. Perkembangan bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Malaya dan Singapura tidak sepesat dengan perkembangan bahasa Melayu versi Riau di Kepulauan Nusantara. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya politik bahasa yang dianut oleh Inggris. Pemerintah Kolonial Inggris mengakui adanya empat bahasa resmi, yaitu Bahasa Melayu, Bahasa Mandarin, Bahasa Tamil, dan Bahasa Inggris. Keempat bahasa itu dipergunakan sebagai bahasa pengantar pada lembaga-lembaga pendidikan. Umumnya, Bahasa Inggris paling dominan dipergunakan sebagai bahasa pengantar. Keadaan kebahasaan seperti digambarkan di atas berlangsung sampai dengan terbentuknya Negara Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1956. Peristiwa ini kemudian disusul dengan terbentuknya Negara Malaysia, yang mencakup Serawak dan

Sabah (North Borneo), yang merdeka dan berdaulat, lepas dari kekuasaan Inggris. Setelah kemerdekaan dicapai, bahasa Melayu di negara tersebut mulai memerankan fungsinya sebagai bahasa resmi, bahasa negara, bahasa nasional, dan mengalami perkembangan yang cukup pesat. Fenomena ini menunjukkan bahwa sampai saat ini Bahasa Melayu, baik yang sekarang menjadi bahasa Indonesia di Indonesia, Bahasa Melayu di Malaysia, bahasa di Brunei, dan bahasa di Singapura, tetap berkembang dan menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi secara efektif. Bahkan, secara de facto telah berperan sebagai bahasa komunikasi luas di Asia Tenggara. Yang diperlukan adalah pengakuan dari internasional (lewat PBB) bahwa Bahasa Melayu merupakan salah satu bahasa yang layak dipakai sebagai bahasa komunikasi internasional atau dunia. Apabila harapan ini tercapai, berarti secara de jure Bahasa Melayu semakin mantap.

Bahasa prokem Indonesia


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari Bahasa prokem Indonesia atau bahasa gaul atau bahasa prokem yang khas Indonesia dan jarang dijumpai di negara-negara lain kecuali di komunitas-komunitas Indonesia. Bahasa prokem yang berkembang di Indonesia lebih dominan dipengaruhi oleh bahasa Betawi yang mengalami penyimpangan/ pengubahsuaian pemakaian kata oleh kaum remaja Indonesia yang menetap di Jakarta. Kata prokem sendiri merupakan bahasa pergaulan dari preman. Bahasa ini awalnya digunakan oleh kalangan preman untuk berkomunikasi satu sama lain secara rahasia. Agar kalimat mereka tidak diketahui oleh kebanyakan orang, mereka merancang katakata baru dengan cara antara lain mengganti kata ke lawan kata, mencari kata sepadan, menentukan angka-angka, penggantian fonem, distribusi fonem, penambahan awalan, sisipan, atau akhiran. Masing-masing komunitas (daerah) memiliki rumusan sendirisendiri. Pada dasarnya bahasa ini untuk memberkan kode kepada lawan bicara (kalangan militer dan kepolisian juga menggunakan). Contoh yang sangat mudah dikenali adalah dagadu yang artinya matamu. Perubahan kata ini menggunakan rumusan penggantian fonem, dimana huruf M diganti dengan huruf D, sedangkan huruf T dirubah menjadi G. Sementara huruf vokal sama sekali tidak mengalami perubahan. Rumusan ini didasarkan pada susunan huruf pada aksara jawa yang dibalik dengan melompati satu baris untuk masing-masing huruf. Bahasa ini dapat kita jumpai di daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Belakangan ini bahasa prokem mengalami pergeseran fungsi dari bahasa rahasia menjadi bahasa pergaulan anak-anak remaja. Dalam konteks kekinian, bahasa pergaulan anakanak remaja ini merupakan dialek bahasa Indonesia non-formal yang terutama digunakan di suatu daerah atau komunitas tertentu (kalangan homo seksual atau waria). Penggunaan bahasa gaul menjadi lebih dikenal khalayak ramai setelah Debby Sahertian mengumpulkan kosa-kata yang digunakan dalam komunitas tersebut dan menerbitkan kamus yang bernama Kamus Bahasa Gaul pada tahun 1999.

Daftar isi
[sembunyikan]

1 Sejarah 2 Penggolongan 3 Distribusi geografis 4 Pemakaian resmi 5 Pengucapan 6 Tatabahasa 7 Bahasa prokem Tegal 8 Partikel yang sering dipakai o 8.1 Deh/ dah o 8.2 Dong o 8.3 Eh o 8.4 Kan o 8.5 Kok o 8.6 Lho/Loh o 8.7 Nih/ ni o 8.8 Sih o 8.9 Tuh/ tu o 8.10 Ya o 8.11 Yah 9 Lihat pula 10 Pranala luar

[sunting] Sejarah
Bahasa prokem merupakan salah satu cabang dari bahasa Indonesia sebagai bahasa dalam pergaulan anak-anak remaja. Istilah ini muncul pada akhir tahun 1980-an. Pada saat itu ia dikenal sebagai 'bahasanya para bajingan atau anak jalanan' disebabkan arti kata prokem dalam pergaulan sebagai preman. Saat ini bahasa prokem telah banyak terasimilasi dan menjadi umum digunakan sebagai bentuk percakapan sehari-hari dalam pergaulan di lingkungan sosial bahkan dalam media-media populer serperti TV, radio, dunia perfilman nasional, dan seringkali pula digunakan dalam bentuk pengumuman-pengumuman yang ditujukan untuk kalangan remaja oleh majalah-majalah remaja populer. Karena jamaknya, terkadang dapat disimpulkan bahasa prokem adalah bahasa utama yang digunakan untuk komunikasi verbal oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari, kecuali untuk keperluan formal. Karenanya akan menjadi terasa 'aneh' untuk berkomunikasi secara verbal dengan orang lain menggunakan bahasa Indonesia formal. Bahasa prokem senantiasa berkembang. Banyak sekali kata-kata yang menjadi kuno atau pun usang disebabkan kecenderungan dan perkembangan zaman.

[sunting] Penggolongan
Tiada penggolongan formal dari bahasa prokem, kecuali barangkali bahasa tersebut termasuk sebagai bagian ataupun cabang dari bahasa Indonesia.

[sunting] Distribusi geografis


Bahasa prokem umumnya digunakan di lingkungan perkotaan. Terdapat cukup banyak variasi dan perbedaan dari bahasa prokem bergantung pada kota tempat seseorang tinggal, utamanya dipengaruhi oleh bahasa daerah yang berbeda dari etnis-etnis yang menjadi penduduk mayoritas dalam kota tersebut. Sebagai contoh, di Bandung, Jawa Barat, perbendaharaan kata dalam bahasa prokemnya banyak mengandung kosakatakosakata yang berasal dari bahasa Sunda.

[sunting] Pemakaian resmi


Bahasa prokem bukanlah bahasa Indonesia resmi meskipun bahasa ini digunakan secara luas dalam percakapan verbal dalam kehidupan sehari-hari.

[sunting] Pengucapan
Cara pengucapan bahasa gaul dilafalkan secara sama seperti halnya bahasa Indonesia. Kosakata-kosakata yang meminjam dari bahasa lain seperti bahasa Inggris ataupun Belanda diterjemahkan pengucapannya, contohnya, 'Please' ditulis sebagai Plis, dan 'Married' sebagai Merit. Untuk contoh lainnya, lihat juga (en) SEASite guide to pronunciation of Indonesian.

[sunting] Tatabahasa
Struktur dan tatabahasa dari bahasa prokem tidak terlalu jauh berbeda dari bahasa formalnya (bahasa Indonesia), dalam banyak kasus kosakata yang dimilikinya hanya merupakan singkatan dari bahasa formalnya. Perbedaan utama antara bahasa formal dengan bahasa prokem utamanya dalam perbedaharaan kata. Banyak orang asing yang belajar Bahasa Indonesia merasa bingung saat mereka berbicara langsung dengan orang Indonesia asli, karena Bahasa yang mereka pakai adalah formal, sedangkan kebanyakan orang Indonesia berbicara dengan bahasa daerahnya masingmasing atau juga menggunakan bahasa prokem. Contoh: Bahasa Indonesia Bahasa prokem (informal) Aku, Saya Gue

Kamu Penatlah! Benarkah? Tidak Tidak Peduli

Lo Capek deh! Emangnya bener? Enggak Emang gue pikirin!

[sunting] Bahasa prokem Tegal


Salah satu daerah yang memiliki bahasa prokem unik adalah Kota Tegal dan sekitarnya. Awal penggunaan bahasa prokem di Tegal adalah sejak perang melawan penjajahan Belanda. Laskar yang bergerilnya menggunakan bahasa sandi yang setelah era kemerdekaan masih tetap dipergunakan sebagai bahasa prokem hingga kini, disamping dialek Tegalan. Bahasa prokem Tegal tidak menggunakan satu rumusan. Ada sebagian kata yang sekadar mengadopsi dari bahasa Arab seperti harem menjadi kharim (istri), distribusi fonem, seperti bapak/ bapa menjadi jasak, wadon (perempuan) menjadi tarok. Ada pula yang menggunakan variabel nama untuk seseorang yang sering jadi bahan olokan, obyek penderita, seperti Dalban, Waknyad, atau Mardiyah. Lantaran keragaman rumusan itulah mengakibatkan tidak semua orang (pendatang) dapat memahami bahasa gaul Tegal. Jika mengacu pada contoh di atas, ada kosa kata yang tidak jelas perumusannya, seperti berikut ini:

Jakwir berasal dari kata batir (teman), semestinya dilafalkan (ditulis) jawir. Jagin, berasal kata balik (pulang), namun sering diucapkan sebagai jegin

[sunting] Partikel yang sering dipakai


Sih, nih, tuh, dong, merupakan sebagian dari partikel-partikel bahasa prokem yang membuatnya terasa lebih "hidup" dan membumi, menghubungkan satu anak muda dengan anak muda lain dan membuat mereka merasa berbeda dengan orang-orang tua yang berbahasa baku. Partikel-partikel ini walaupun pendek-pendek namun memiliki arti yang jauh melebihi jumlah huruf yang menyusunnya. Kebanyakan partikel mampu memberikan informasi tambahan kepada orang lain yang tidak dapat dilakukan oleh bahasa Indonesia baku seperti tingkat keakraban antara pembicara dan pendengar, suasana hati/ekspresi pembicara, dan suasana pada kalimat tersebut diucapkan.

[sunting] Deh/ dah


Deh/ dah asalnya dari kata sudah yang diucapkan singkar menjadi deh/ dah atau udah. Namun dalam konteks berikut, deh/ dah ini sebagai penekanan atas pernyataan.

Bagaimana kalau ...

Coba dulu deh. (tidak menggunakan intonasi pertanyaan) - Bagaimana kalau dicoba dahulu? Besok pagi aja deh. - Bagaimana kalau besok pagi saja?

Saya mau ...

Lagi deh. - Saya mau lagi. Yang biru itu deh. - Saya mau yang biru itu saja. Aku pergi deh. - Saya mau pergi dahulu.

Partikel ini tidak dapat dipakai di awal kalimat lengkap atau berdiri sendiri.

[sunting] Dong
Partikel dong digunakan sebagai penegas yang halus atau kasar pada suatu pernyataan yang akan diperbuat.

Tentu saja ...

Sudah pasti dong. - Sudah pasti / Tentu saja. Mau yang itu dong - Tentu saja saya mau yang itu.

Kata perintah atau larangan yang sedikit kasar / seruan larangan.

Maju dong! - Tolong maju, Pak/Bu. Pelan-pelan dong! - Pelan-pelan saja, Kak/Dik.

Partikel ini tidak dapat dipakai di awal kalimat lengkap atau berdiri sendiri.

[sunting] Eh

Pengganti subjek, sebutan untuk orang kedua.

Eh, namamu siapa? - Bung, namamu siapa? Eh, ke sini sebentar. - Pak/Bu, ke sini sebentar. Ke sini sebentar, eh. - Ke sini sebentar, Bung.

Membetulkan perkataan sebelumnya yang salah.

Dua ratus, eh, tiga ratus. - Dua ratus, bukan, tiga ratus. Biru, eh, kalau tidak salah hijau. - Biru, bukan, kalau tidak salah hijau.

Mengganti topik pembicaraan

Eh, kamu tahu tidak ... - Omong-omong, kamu tahu tidak ... Eh, jangan-jangan ... - Hmm... jangan-jangan ...

Berdiri sendiri: menyatakan keragu-raguan

Eh...

Selain 'eh' sebagai sebutan untuk orang kedua, partikel ini biasanya tidak dapat dipakai di akhir kalimat lengkap.

[sunting] Kan

Kependekan dari 'bukan', dipakai untuk meminta pendapat/penyetujuan orang lain (pertanyaan).

Bagus kan? - Bagus bukan? Kan kamu yang bilang? - Bukankah kamu yang bilang demikian? Dia kan sebenarnya baik. - Dia sebenarnya orang baik, bukan?

Jika dirangkai dalam bentuk "kan ... sudah ..." menyatakan suatu sebab yang pasti (pernyataan).

Kan aku sudah belajar. - Jangan khawatir, aku sudah belajar. Dia kan sudah sabuk hitam. - Tidakkah kamu tahu bahwa dia sudah (memiliki tingkatan) sabuk hitam.

Berdiri sendiri: menyatakan dengan nada kemenangan "Lihatlah, bukankah aku sudah bilang demikian"

Kan...

[sunting] Kok
Kok Kok Kok Kok

Kata tanya pengganti 'Kenapa (kamu)'


kamu terlambat? - Kenapa kamu terlambat? diam saja? - Kenapa kamu diam saja? dia mukanya masam? - Kenapa dia mukanya masam? aku tidak percaya kamu? - Kenapa aku tidak dapat mempercayaimu?

Memberi penekanan atas kebenaran pernyataan yang dibuat.

Saya dari tadi di sini kok. - Saya mengatakan dengan jujur bahwa dari tadi saya ada di sini. Dia tidak mencurinya kok. - Saya yakin bahwa dia tidak mencurinya.

Berdiri sendiri: menyatakan keheranan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata

Kok???

[sunting] Lho/Loh

Kata seru yang menyatakan keterkejutan. Bisa digabung dengan kata tanya. Tergantung intonasi yang digunakan, partikel ini dapat mencerminkan bermacammacam ekspresi.

Lho, kok kamu terlambat? - Kenapa kamu terlambat? (dengan ekspresi heran) Loh, apa-apaan ini! - Apa yang terjadi di sini? (pertanyaan retorik dengan ekspresi terkejut/marah) Lho, aku kan belum tahu? - Aku sebenarnya belum tahu. (dengan ekspresi tidak bersalah) Loh, kenapa dia di sini? - Kenapa dia ada di sini? (dengan ekspresi terkejut)

Kata informatif, untuk memastikan / menekankan suatu hal.

Begitu lho caranya. - Begitulah caranya. Nanti kamu kedinginan loh. - Nanti kamu akan kedinginan (kalau tidak menggunakan jaket, misalnya). Aku mau ikut lho. - Aku mau ikut, tahu tidak?. Ingat loh kalau besok libur. - Tolong diingat-ingat kalau besok libur. Jangan bermain api lho, nanti terbakar. - Ingat, jangan bermain api atau nanti akan terbakar.

Berdiri sendiri: menyatakan keheranan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata

Lho???

[sunting] Nih/ ni

Kependekan dari 'ini'.

Nih balon yang kamu minta. - Ini (sambil menyerahkan barang). Balon yang kamu minta. Nih, saya sudah selesaikan tugasmu. - Ini tugasmu sudah saya selesaikan. (I)ni orang benar-benar tidak bisa dinasehati - Orang ini benar-benar tidak bisa dinasehati

Tergantung intonasi yang digunakan, partikel ini dapat mencerminkan bermacammacam ekspresi (umumnya tentang keadaan diri sendiri).

Cape, nih. - Saya sudah lelah. (dengan ekspresi lelah) Saya sibuk, nih. - Saya baru sibuk, maaf. (dengan ekspresi menolak tawaran secara halus) Sudah siang, nih. - Sekarang sudah siang. Ayo lekas ...

Untuk memberi penekanan pada subjek orang pertama

Saya nih yang tahu jawabannya. - Hanya saya yang tahu jawabannya. Aku nih sebenarnya anak konglomerat. - Aku ini sebenarnya anak konglomerat.

Nih.

Berdiri sendiri: memberikan/menyerahkan sesuatu kepada orang lain

Lihat partikel "tuh/ tu".

[sunting] Sih

Karena ...

Dia serakah sih. - Karena dia serakah. (dengan ekspresi mencemooh) Kamu sih datangnya terlambat. - Karena kamu datang terlambat. (dengan ekspresi menyesal)

Digunakan tepat setelah sebuah kata tanya yang artinya kurang lebih "Sebenarnya ..."

Tadi dia bilang apa sih? - Sebenarnya apa yang dia katakan tadi? Berapa sih harganya? - Sebenarnya berapa harganya? Apa sih yang dia mau? - Sebenarnya apa yang dia mau? (dengan ekspresi jengkel) Maumu kapan sih? - Sebenarnya kapan yang kamu mau?

Membedakan seseorang dari sekumpulan orang.

Tetanggaku semuanya miskin, tapi orang itu sih kaya. - Orang itu lebih kaya daripada yang lain. Aku sih tidak akan terjebak, kan aku sudah belajar banyak. - (Yang lain boleh terjebak,) Saya pasti tidak akan terjebak, sebab saya sudah belajar banyak.

Kata yang mengakhiri satu pernyataan sebelum memulai pernyataan yang bertentangan.

Mau sih, tapi ada syaratnya. - Saya mau tetapi ada syaratnya. Saya bisa sih, cuma ada beberapa yang ragu-ragu. - Saya bisa tetapi ada beberapa yang saya masih ragu-ragu. Itu saya sih, tapi saya tidak bermaksud melukainya. - Itu sebenarnya saya, tetapi saya tidak bermaksud melukainya. Kalau aku sih tenang-tenang saja. - Kalau saya sekarang ini tenangtenang saja.

Partikel ini tidak dapat dipakai di awal kalimat lengkap atau berdiri sendiri

[sunting] Tuh/ tu

Kependekan dari 'itu', menunjuk kepada suatu objek

Lihat tuh hasil dari perbuatanmu. - Lihat itu, itulah hasil dari perbuatanmu.

Tuh orang yang tadi menolongku. - Itu lihatlah, itu orang yang menolongku.

Tergantung intonasi yang digunakan, partikel ini dapat mencerminkan bermacammacam ekspresi (umumnya tentang keadaan orang lain).

Kelihatannya dia sudah sembuh, tuh. - Lihat, nampaknya dia sudah sembuh. Tuh, kamu lupa lagi kan? - Lihat, kamu lupa lagi bukan? Ada yang mau, tuh. - Lihat, ada yang mau (barang tersebut).

Untuk memberi penekanan pada subjek orang kedua atau ketiga.

Dia tuh orangnya tidak tahu diuntung. - Dia sebenarnya orang yang tidak tahu berterima kasih. Kalau jadi orang seperti Bapak camat tuh. - Jadilah seseorang seperti Bapak camat. Kamu tuh terlalu baik. - Kamu orang yang terlalu baik. Tuh.

Berdiri sendiri: menunjukkan sesuatu kepada orang lain

[sunting] Ya
Ya di sini tidak selalu berarti persetujuan. Beberapa penggunaan partikel 'ya':

Kata tanya yang kurang lebih berarti "Apakah benar ...?"

Rapatnya mulai jam delapan ya? - Apakah benar rapatnya mulai jam delapan? Kamu tadi pulang dulu ya? - Apakah benar tadi kamu pulang dulu?

Kalau bukan ini, ya itu

Kalau tidak mau, ya tidak masalah. - Kalau tidak mau tidak masalah. Kalau mau, ya silakan. - Kalau mau silakan (ambil / ikut / beli / dll.)

Sebagai awal kalimat digunakan tepat setelah sebuah kalimat dengan nada bertanya.

Mahal? ya jangan beli. - Kalau mahal jangan dibeli. Apa? (dengan ekspresi tidak percaya) Ya jangan mau dong. - Apa? Kalau begitu jangan mau. Apa kamu bilang? Ya dilawan dong. - Apa kamu bilang? Tahu begitu seharusnya kamu melawan. Ya.

Berdiri sendiri: lawan kata 'tidak'; kependekan dari 'iya'; menyatakan persetujuan

[sunting] Yah
Selalu menyatakan kekecewaan dan selalu digunakan di awal kalimat atau berdiri sendiri.
Yah... Yah, kamu sih - Ini karena kamu. Yah, Indonesia kalah lagi - Indonesia kalah lagi (dengan ekspresi kecewa) Yah, sudah selesai - Belum-belum sudah selesai.

Kecintaan dan kebanggaan menggunakan bahasa daerah, baik dalam acara resmi maupun informal, sebenarnya cenderung meningkat di era reformasi ini. Namun pada saat yang bersamaan, banyak keluarga tidak lagi menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari. Kesimpulan ini terekam dari jajak pendapat yang digelar oleh Litbang Media Grup pertengahan Februari lalu yang disajikan dalam satu terbitan Media Indonesia belum lama ini. Jajak pendapat di enam kota besar tersebut : Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan Medan ini guna mengetahui pola penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Tak kurang dari 479 responden dewasa yang dipilih secara acak dari buku petunjuk telepon residensial. Hasil survei tidak dimaksudkan mewakili pendapat seluruh masyarakat Indonesia, namun hanya masyarakat pemilik telepon residensial di enam kota tersebut. Margin of error survei plus-minus 4,6 % pada tingkat kepercayaan 95 %. Survei menanyakan masyarakat tentang bahasa yang digunakan sehari-hari. Ternyata, responden yang menggunakan bahasa daerah sehari-hari di keluarganya masih sekitar 54 %. Terdiri dari yang hanya menggunakan bahasa daerah sebanyak 14 %, dan yang menggunakan bahasa daerah plus bahasa Indonesia 37 %. Pengguna yang hanya menggunakan bahasa Indonesia tercatat 49 %. Dari 37 % responden yang menggunakan bahasa daerahnya dan bahasa Indonesia dalam percakapannya sehari-hari dalam rumah tangga, kemudian digali lebih dalam. Kepada mereka ditanyakan dua pertanyaan lagi. Yang pertama, dalam percakapan antara orang tua kepada anaknya, bahasa apa yang paling sering digunakan. Mayoritas responden atau 57 % menjawab bahasa Indonesia. Pertanyaan selanjutnya, bahasa apa yang sering digunakan dalam percakapan di antara anak-anak dalam keluarga. Bahasa Indonesia lebih banyak dipilih, 67 % responden. Dari jawaban-jawaban responden di atas, penggunaan bahasa nasional (bahasa Indonesia) dalam keluarga sudah memasyarakat, khususnya di keenam kota besar. Bahkan pengguna yang hanya memakai bahasa tersebut lebih banyak daripada keluarga yang juga menggunakan bahasa daerahnya masing-masing. Padahal anak yang belajar membaca dan menulis dalam bahasa ibunya biasanya mempunyai keterampilan membaca dan menulis lebih baik daripada anak yang belajar dalam bahasa keduanya. Keterampilan membaca dan menulis dalam bahasa ibu gampang pindah ke bahasa lain. Manusia yang dibesarkan bilingual (yaitu orang yang bisa dua bahasa) lebih gampang belajar bahasa lain. Artinya, pelajaran bahasa Inggeris lebih gampang untuk anak yang bisa bahasa daerah dan bahasa Indonesia daripada anak yang hanya bisa salah satu dari bahasa itu. Pentingnya Bahasa Daerah.

Mengutip www.ethnologue.com. Koran ibu kota tersebut memaparkan bahwa sampai saat ini terdapat 6.912 bahasa di dunia. Para ahli menyatakan bahwa satu bahasa akan mampu bertahan apabila jumlah penuturnya lebih dari 100 ribu orang. Saat ini bahasa yang mempunyai penutur lebih dari 100 ribu orang hanya 1.239 bahasa. Dengan demikian, lebih dari 80 % bahasa di dunia kini masuk kategori terancam kepunahan. Terdapat juga sekitar 57 % bahasa dengan jumlah penutur tidak sampai 10 ribu orang, dan 28 % lagi kurang dari 1.000 penutur. Kepunahan bahasa sebenarnya merupakan hal yang wajar. Bahasa lahir, hidup, berkembang kemudian lenyap dalam suatu masyarakat. Hanya sedikit bahasa yang mampu bertahan lama. Beberapa di antaranya bahasa Basque, Mesir, Sansekerta, China, Yunani, Ibrani, Latin, Persia, dan Tamil yang mampu hidup lebih dari 2.000 tahun. Yang menjadi permasalahan adalah laju kepunahan bahasa ternyata berlangsung cepat. Terutama akibat kolonialisme, bencana alam atau karena perbuatan manusia. Ranka Bjeljac-Babic, ahli psikologi bahasa Universitas Poitiers, Prancis, menuangkan hasil penelitiannya tentang mengapa bahasa-bahasa punah saat penggunanya dijajah oleh suku atau bangsa yang lebih berkuasa dan berpengaruh. Ia menyebutkan bahwa selama ini, kolonialisme melenyapkan tidak kurang dari 15 % bahasa yang ada didunia. Hasil penelitian Ranka menunjukkan bahwa selama 300 tahun, Eropah kehilangan banyak sekali bahasa. Di Australia, yang tertinggal hanya 20 dari 250 bahasa di akhir abad ke-18. Di Brasil sekitar 540 bahasa, atau sekitar tiga perempat dari jumlah seluruhnya, punah sejak penjajahan Portugal tahun 1530. Lain lagi zaman kini. Sekarang bahasa mendapat gempuran yang tidak kalah hebatnya dari arus globalisasi dan komunikasi yang sangat deras. Chris Lavers dalam kupasannya berjudul Languages : Drowned Out by the Rise of English memprediksi bahwa sampai dengan akhir abad ini kemungkinan hanya akan tinggal separuhnya saja yang bisa bertahan. Bahkan dengan kian gencarnya tekanan bahasa Inggris di era globalisasi ini, diduga akan semakin banyak lagi bahasa yang akan punah, mirip dengan nasib mahluk langka sehingga nantinya hanya sekitar 600 bahasa saja yang dinilai bisa lestari. Indonesia Kaya Indonesia dikenal dengan keanekaragamannya. Salah satunya, keragaman bahasa Indonesia menempati urutan kedua setelah Papua Nugini dalam jumlah bahasa yang dimiliki. Summer Institutute of Linguistik (SIL) Internasional cabang Indonesia dalam Grimes (2001 : 1) telah mencatat bahwa Republik Indonesia memiliki 7431 bahasa. Dari 741 bahasa tersebut, 726 bahasa masih memiliki penutur asli, 3 bahasa telah punah, dan 2 bahasa tidak memiliki penutur asli lagi. Situs ethnologue.com juga mencatat saat ini ada sekitar 32 bahasa di Indonesia yang terancam punah dalam waktu dekat. Bahasa-bahasa ini hanya memiliki jumlah penutur kurang dari 50 orang. Bahkan bahasa Hukumina di Maluku dan bahasa Mapia hanya

memiliki seorang penutur. Situs tersebut juga mencatat bahwa bahasa yang akan punah dalam waktu dekat banyak berasal dari wilayah Indonesia Timur, terutama Maluku dan Papua. Bahasa adalah cara pandang dan pola pikir masyarakat pemakainya. Melenyapkan satu bahasa identik dengan melenyapkan pola pikir manusia. Maka Koentjaraningrat memasukkan bahasa sebagai salah satu aspek utama kebudayaan. Kita bisa mempelajari pengetahuan tentang cara mengelola lingkungan, cara bertahan hidup, pengobatan, perbintangan, dan lain-lain suatu bangsa dari bahasa bangsa tersebut. Pengetahuan tersebut secara turun-temurun diwariskan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Dengan kata lain, sejarah intelektual suatu bangsa tersebut tersimpan dalam bahasanya masing-masing. Segi lainnya, punahnya suatu bahasa indentik dengan memusnahkan keanekaaan hayati. Hubungan keanekaan budaya dengan keanekaan hayati bersifat kausal. Seperti tanaman dan spesies tertentu, bahasa-bahasa juga selalu berkaitan dengan kawasan tertentu. Lebih dari 80 % yang memiliki banyak keanekaragaman hayati, juga menggunakan bahasa tertentu yang terkait. Karena begitu mereka menyesuaikan diri dengan lingkungan, mereka pun segera menciptakan beberapa pengetahuan tentangnya, yang tercermin dalam bahasa mereka. Hanya melalui bahasa di masyarakat itu saja kita dapat memahami pengetahuan tersebut. Kalau mereka meninggal, dengan sendirinya pengetahuan tradisional mengenai lingkungan tersebut akan hilang. Berkurangnya penutur bahas daerah di Indonesia juga tidak lepas dari stigma yang melekat kepadanya. Banyak yang menganggap bahasa daerah itu kuno, bahasa yang hanya dipakai oleh orang miskin dan tidak berpendidikan dan sesuatu yang menjadi halangan untuk berhasil dalam hidup. Banyak orang berpendapat, untuk menjadi Indonesia, orang harus meninggalkan kesukuannya. Padahal orang menjadi orang Indonesia sambil tetap menjadi orang Jawa, orang Sunda, orang Melayu, orang Aceh, orang Minang, orang Bugis atau suku lainnya. Karena adanya salah paham itulah, rasa kedaerahan dianggap antikenasionalan. Sekarang lebih banyak orang yang berbicara bahasa Indonesia bukanlah karena dorongan rasa kebangsaannya, melainkan lebih disebabkan adanya anggapan bahwa bahasa Indonesia kelasnya lebih tinggi daripada bahasa daerah. Seringkali orang tua mengorbankan bahasa daerah sehingga anaknya hanya bisa berbahasa nasional atau sekalian bahasa internasional. Bahasa daerahnya ditinggalkan. Padahal, rumah adalah benteng terakhir bagi perkembangan bahasa daerah. Orang tua adalah matarantai pewarisan bahasa daerah ke anak-anaknya. Kalau si anak sudah tidak memakai bahasa daerah, anak dari anak itu tidak akan memakai bahasa itu. Menurut banyak ahli bahasa, ini permulaan kematian bahasa. Jumlah orang yang

memakai bahasa daerah akan terus menurun, sampai tidak ada lagi orang yang memakainya. Dan akhirnya bahasa itu mati. SBR

You might also like