You are on page 1of 34

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Perkembangan kota dewasa ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adalah adanya pertambahan jumlah penduduk, perubahan tata guna lahan, aktivitas yang beraneka ragam dan perubahan fisik perkotaan. Kota sebagai tempat kehidupan manusia yang sangat kompleks, tidak hanya akan tumbuh, tetapi juga akan selalu berubah baik persepsi maupun aspirasi terhadapnya. Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan yang terus meningkat selalu diikuti oleh perkembangan aktivitas penduduk dengan pesat, sehingga mempengaruhi tatanan lingkungan yang ada. Pada perkembangan selanjutnya aktivitas penduduk membutuhkan ruang atau space untuk mewadahi aktivitas-aktivitas yang berlangsung tersebut. Ruang-ruang yang digunakan untuk mewadahi berbagai aktivitas tersebut seringkali menggeser guna lahan yang telah ada. Fenomena penggeseran guna ruang di perkotaan ini menunjukkan adanya suatu pertumbuhan fisik perkotaan yang mencirikan semakin bertambahnya kawasan terbangun di perkotaan. Pergeseran fungsi ruang yang sering terjadi di perkotaan dewasa ini juga terjadi di Kota Bandung, khususnya di kawasan jalan cihampelas. Kondisi yang ada saat ini, pada kawasan di sepanjang jalan cihampelas dipenuhi oleh PKL yang menggunakan trotoar untuk area berjualan sehingga berdampak pada sirkulasi pejalan kaki, selain itu kondisi perkerasan trotoar yang tidak memberikan kenyamanan pejalan kaki untuk melaluinya juga menjadi masalah mengingat kawasan ini merupakan salah satu pusat kota yang diindikasikan akan banyak pejalan kaki yang menggunakannya, namun dikarenakan salah fungsi sehingga hal ini berdampak buruk sampai sekarang diantaranya menimbulkan kemacetan sekitar 15 mobil dalam setiap menitnya dan semua itu terjadi setiap hari, hal tersebut juga dikarenakan lahan yang sangat sempit oleh pedagang kaki lima sehingga tidak adanya lahan untuk parkir yang memadai. 1.2 Maksud Dan Tujuan Maksud dari penulisan laporan ini yaitu untuk mengetahui bagaimana keadaan aktivitas PKL di sepanjang Jalan Cihampelas Dari maksud penulisan di atas maka diperoleh Tujuan dari penulisan ini yaitu untuk mengetahui: 1) Bagaimana penyebaran PKL beserta pemintakatannya 2) Bagaimana PKL mempengaruhi sirkulasi baik manusia maupun kendaraan (kemacetan lalu lintas)

3) Bagaimana PKL mengambil alih ruang terbuka (okupasi public space) 4) Bagaimana PKL berpengaruh dalam kesemerawutan kota khususnya pada kawasan jalan cihampelas (Informalitas Perkotaan) 1.3 Pendekatan/ Metode Studi Metode yang digunakan dalam penulisan laporan ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu mendeskripsikan hasil dari observasi. 1.4 Kerangka Teoritis Permasalahan adalah kesenjangan yang terjadi antara keinginan dan relita yang ada. Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut. Kawasan (dari bahasa Jawa kuna, kawaan yang berarti daerah waa, dari bahasa Sansekerta: "memerintah") artinya daerah yang memiliki ciri khas tertentu atau berdasarkan pengelompokan fungsional kegiatan tertentu, seperti kawasan industri, kawasan perdagangan, dan kawasan rekreasi. Misalnya: "Kebayoran Baru merupakan 'kawasan' perumahan elite. Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang informal yang menempati kaki lima (trotoar pedestrian) yang keberadaannya tidak boleh mengganggu fungsi publik, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, fisik visual, lingkungan dan pariwisata (Sidharta, 2002; Perda Kotamadya Surakarta No. 8 tahun 1995). Sirkulasi merupakan elemen penting bagi pembentukan struktur lingkungan kota karena sirkulasi dapat membagi, mengarahkan dan mengontrol pola aktivitas (Shirvani, 1985). Kemacetan adalah situasi atau keadaan tersendatnya atau bahkan terhentinya lalu lintas yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan. Kemacetan banyak terjadi di kota-kota besar, terutamanya yang tidak mempunyai transportasi publik yang baik atau memadai ataupun juga tidak seimbangnya kebutuhan jalan dengan kepadatan penduduk, misalnya Jakarta dan Bangkok. Zona adalah kawasan atau area yang memiliki fungsi dan karakteristik lingkungan yang spesifik. Zoning adalah pembagian kawasan ke dalam beberapa zona sesuai dengan fungsi dan karakteristik semula atau diarahkan bagi pengembangan fungsi-fungsi lain. Permasalahan Arsitektur yang terjadi dalam konteks lingkungan (kawasan kota) adalah kesenjangan antara perancangan kawasan kota yang diharapkan sesuai standar dengan realita yang terjadi di masyarakat. Permasalahan Arsitektur dalam hal penertiban kawasan pedagang kaki lima di kota Bandung adalah masalah-masalah yang terjadi dalam salah satu proses penataan lingkungan yang berkaitan dengan keberadaan pedagang kaki lima di kota Bandung.

1.5 Kerangka Berpikir

FENOMENA Kemacetan lalu lintas

MASALAH Sirkulasi kendaraan dan pejalan kaki

ANALISIS Pejalan Kaki Tumpah ke jalan

PEMBAHASAN Trotoar diambil alih PKL, minimnya lahan parkir

SARAN/ REKOMENDASI PKL ditempatkan pada areanya

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori Teori Yang Mendukung 2.1.1. Pedestrian ways

Pedestrian ways sengaja dipisahkan dengan sirkulasi dan parkir, mengingat pedestrian mempunyai skala tersendiri yakni skala pejalan kaki. Skala pejalan kaki berbeda dengan skala kendaraan, karena skala pejalan kaki akan menjadikan lingkungan kota menjadi lebih detail meliputi pola aktivitas (retail), persyaratan lingkungan (udara, kebisingan, dan lain sebagainya) dan keamanan sirkulasi terhadap kendaraan. Pedestrian berkaitan dengan: aktivitas yang mendukung, street furniture, dan transportasi umum.
Dalam pembangunan fisik kota hingga saat ini fasilitas untuk pejalan kaki masih sering dilalaikan (Shirvani, 1995). Padahal jalur pejalan kaki ini merupakan salah satu bagian yang essensial dalam perancangan kota. Jalur pedestrian ini tidak hanya bagian dari program keindahan melainkan juga mendukung kegiatan perdagangan (retail) dan meningkatkan vitalitas kota. Hal yang perlu mendapat perhatian dalan perancangan jalur pedestrian adalah interaksi antara pejalan kaki dengan jalur kendaraan tetap terakomodasi, disamping pertimbangan kesesuaian fungsi dengan kebutuhan, kenyamanan fisik dan psikologis. 2.1.2. Sarana Pejalan kaki berdasarkan sarana perjalanannya dapat dikategorikan sebagai berikut: a) Pejalan kaki penuh, adalah mereka yang menggunakan moda jalan kaki sebagai moda utama, jalan kaki digunakan sepenuhnya dari tempat asal sampai ke tempat tujuan. b) Pejalan kaki pemakai kendaraan umum, adalah pejalan kaki yang menggunakan moda jalan kaki sebagai moda antara. Biasanya dilakukan dari tempat asal ke tempat kendaraan umum, atau pada jalur perpindahan rute kendaraan umum, atau dari tempat pemberhentian kendaraan umum ke tempat tujuan akhir. c) Pejalan kaki pemakai kendaraan umum dan kendaraan pribadi, adalah mereka yang menggunakan moda jalan kaki sebagai moda antara, dari tempat parkir kendaraan pribadi ke tempat kendaraan umum, dan dari tempat parkir kendaran umum ke tempat tujuan akhir perjalanan. d) Pejalan kaki pemakai kendaraan pribadi penuh, adalah mereka yang menggunakan moda jalan kaki sebagai moda antara dari tempat parkir kendaraan pribadi ke tempat tujuan bepergian yang hanya ditempuh dengan berjalan kaki. 2.1.3. Jarak berjalan kaki

Panjang atau jarak orang untuk berjalan kaki umumnya berbedabeda tergantung kebiasaan manusia yang melakukannya, disamping adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Menurut Unterman (1984), ada empat faktor yang mempengaruhi panjang/jarak orang untuk berjalan kaki, yaitu: a) Waktu Berjalan kaki pada waktu-waktu tertentu mempengaruhi panjang/jarak berjalan yang mampu ditempuh. Misalnya berjalan kaki pada waktu rekreasi mempunyai jarak yang relatif, sedangkan waktu berbelanja kadang dapat dilakukan selama 2 jam dengan jarak sampai 2 mil tanpa disadari sepenuhnya oleh si pejalan kaki. Panjang/jarak tempuh berjalan kaki masih dianggap menyenangkan sampai dengan jarak 500 yard (455 m), lebih panjang dari 500 yard maka orang akan berfikir untuk memilih moda lain. b) Kenyamanan Kenyamanan orang untuk berjalan kaki dipengaruhi oleh faktor cuaca dan jenis aktivitas. Iklim yang jelek akan mengurangi keinginan orang untuk berjalan kaki. Jarak tempuh orang berjalan kaki di Indonesia 400 meter (Kompas, 4 April 1989), sedang untuk aktivitas berbelanja membawa barang, berjalan kaki diharapkan tidak lebih dari 300 meter. Untuk aktivitas berbelanja sambil rekreasi, maka faktor kenyamanan berjalan sangat berpengaruh terhadap lamanya melakukan perjalanan. c) Ketersediaan kendaraan bermotor Kesinambungan penyediaan moda angkutan kendaraan bermotor baik umum maupun pribadi sebagai moda penghantar sebelum atau sesudah berjalan kaki. Ketersediaan fasilitas kendaraan angkutan umum yang memadai akan mendorong orang untuk berjalan lebih jauh dibanding dengan apabila tidak tersedia fasilitas transportasi lainnya, seperti jaringan jalan yang baik, kemudahan parkir dan lokasi penyebaran serta pola penggunaan lahan campuran (mixed use) dan sebagainya. d) Pola tata guna lahan Pada daerah dengan penggunaan lahan campuran (mixed use) seperti yang banyak ditemui di pusat kota, perjalanan dengan berjalan kaki dapat dilakukan lebih cepat dibanding perjalanan dengan kendaraan bermotor karena dengan kendaraan bermotor sulit untuk berhenti setiap saat. 2.1.4. Karakteristik Jalur Pedestrian berdasarkan Fungsinya No Nama Jalur Pedestrian 1 Trotoar Fungsi/Kegunaan Berjalan kaki di pinggir jalan kendaraan Arah jelas Lokasi di tepi jalan bebas hambatan Permukaan rata (maks. 5%), lebar 1,5 2 Karakteristik

meter Jalur penyebarangan 2 (zebra cross) Menghindari konflik dengan kendaraan Menyilang di atas jalan, dilengkpai traffic light Lebar 2 4 meter Frekuensinya tertentu Bebas kendaraan 3 Plasa Kegiatan santai dan rekreatif Space lapang Lebar bervariasi Ada fasilitas pendukung Terpisah dari jalur kendaraan 4 Mall Tempat berjalan kaki di kawasan perbelanjaan Di pertokoan Plasa kecil Lebar bervariasi Ada fasilitas pendukung Subway Tempat berjalan kaki yang menghubungkan antar banguan di bawah tanah Tempat berjalan kaki yang 6 Skyway menghubungkan bangunan di atas tanah Berupa terowongan bawah tanah Di lengkapi pengkondisian udara dan penerangan Bebas lalu lintas kendaraan Berupa jembatan penyeberangan antar bangunan Sirkulasi pejalan kaki menerus Bebas lalu lintas kendaraan.
2.1. Tabel I. Karakteristik Jalur Pedestrian berdasarkan Fungsinya Sumber: Teori Perancangan Urban, ITB, 1991.

2.1.5. Faktor pendorong berjalan kaki Penyediaan moda jalan kaki yang menyenangkan, aman dan nyaman akan menarik orang-orang untuk menggunakan moda ini sesuai engan tujuan perjalanan yang dipilihnya. Orang yang cenderung berjalan kaki merasa lebih mudah, lebih cepat, dan lebih murah daripada mengendarai kendaraan (Untermann, 1984: 23).

Aktivitas berjalan kaki membutuhkan persyaratan, antara lain: a) Aman, mudah/leluasa bergerak dengan cukup terlindung dari lalu lintas kendaraan bermotor. mencakup pola jaringan, model serta bentuknya. Kehidupan kota menghendaki jalur pedestrian yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dalam hal ini erat kaitannya dengan perilaku masyarakat untuk menentukan kriteria model perancangan. Penekanan aspek adalah pada manusia dengan segala aktivitas masyarakat kota sebagai pemakai. Dalam hubungan untuk membentuk suatu sistem yang baik, pedestrian sebagai media penghubung suatu lokasi kegiatan dengan suatu lokasi kegiatan lainnya dengan keterkaitan yang erat. Unsur-unsur pembentukannya diwujudkan melalui bentuk-bentuk struktur dan identitas bagi lingkungan. Perlu dicari dan ditonjolkan image yang kuat dari struktur tersebut untuk mendapatkan identitas dengan konsepsi kota sebagai suatu bentuk keseluruhan. Perbandingan skala dan gaya akan bentk lingkungan yang menyenangkan di dalam kota, tercipta seni dalam gabungan unsur-unsur permbentukan ruang arsitektural dengan kondisi sosial masyarakatnya. 2.1.6. Sirkulasi dan Parkir (Circulation dan Parking) Sirkulasi yang dimaksud disini adalah sirkulasi untuk kendaraan, baik bermotor maupun tidak bermotor. Sirkulasi tersebut meliputi pencapaian, besaran, kapasitas, dan arah sirkulasi. Parkir dalam hal ini dibedakan menjadi parkir individu dan umum. Untuk sirkulasi dan parkir sangat berpengaruh pada visual kota, besaran bangunan, aktivitas dan hidup-nya kota. Sirkulasi merupakan elemen penting bagi pembentukan struktur lingkungan kota karena sirkulasi dapat membagi, mengarahkan dan mengontrol pola aktivitas (Shirvani, 1985). Pola sirkulasi dapat pula menjadi dasar utama perancangan sebagaimana teori jaringan (Linkage Theory). Dalam skala mikro kawasan dan ruang unsur-unsur sirkulasi meliputi pencapaian terhadap suatu obyek, bentuk jalan masuk (gerbang), konfigurasi bentuk (tahapan visual) jalan, hubungan antara ruang dengan jalan serta bentuk ruang sirkulasi (D.K Ching, 1985). Unsur-unsur sirkulasi harus dipertimbangkan dalam penataan kawasan. Parkir sebagai bagian dari sirkulasi memiliki pengaruh pada lingkungan kota yaitu mendukung aktivitas komersial di pusat kota dan memberi dampak visual pada bentuk fisik dan struktur kota.

2.1.7. Definisi dan Klasifikasi PKL Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang informal yang menempati kaki lima (trotoar pedestrian) yang keberadaannya tidak boleh mengganggu fungsi publik, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, fisik visual, lingkungan dan pariwisata (Sidharta, 2002; Perda Kotamadya Surakarta No. 8 tahun 1995.

Istilah Pedagang Kaki Lima (PKL) menurut Sidharta (2002) erat kaitannya dengan istilah di Perancis tentang pedestrian untuk pejalan kaki di sepanjang jalan raya, yaitu Trotoir (baca: trotoar). Di sepanjang jalan raya kebanyakan berdiri bangunan bertingkat. Pada lantai paling bawah biasanya disediakan ruang untuk pejalan kaki (trotoir) selebar 5 kaki (5 feet setara dengan 1,5 m). Pada perkembang-an berikutnya para pedagang informal akan menempati trotoir tersebut, sehingga disebut dengan istilah Pedagang Lima Kaki (di Indonesia disebut Pedagang Kaki Lima = PKL). Berdasar tinjauan di atas PKL tergolong sektor informal. Menurut Wirosandjojo (1985) dalam Harris Koentjoro (1994), sektor informal merupakan bagian dari kegiatan ekonomi marginal (kecil-kecilan), yang memiliki ciri-ciri antara lain (a) Pola kegiatannya tidak teratur, baik waktu, permodalan maupun penerimaan ; (b) Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omsetnya kecil dan diusahakan berdasar hitungan harian; (c) umumnya tidak memiliki tempat usaha yang permanen dan terpisah dari tempat tinggalnya; (d) tidak memiliki keterikaitan dengan usaha lain yang besar; (e) umumnya dilakukaan oleh dan melayani masyarakat yang berpenghasilan rendah; (f) tidak membutuhkan keahlian atau ketrampilan khusus, sehingga secara luwes dapat menyerap bermacam-macam tingkat pendidikan dan ketrampilan kerja; (g) umumnya tiap-tiap satuan usaha mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari kerabat keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama; dan (h) tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan dan perkreditan formal (Wirosandjojo, 1985 dalam Koentjoro ,1994). Selain definisi secara umum, Kota Surakarta telah mendefinisikan PKL secara khusus sebagaimana dimuat dalam Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Pada Bab I Ketentuan Umum, dapat diartikan sebagai berikut:

Pedagang Kaki Lima adalah orang yang melakukan usaha dagang dan atau jasa, ditempat umum baik menggunakan atau tidak menggunakan sesuatu, dalam melakukan usaha dagang. Sedangkan Tempat Usaha Pedagang Kaki Lima adalah tempat umum yaitu tepi-tepi jalan umum, trotoar dan lapangan serta tempat lain diatas tanah negara yang ditetapkan oleh Walikotamadya Kepala Daerah. Pada bagian selanjutnya ditegaskan bahwa setiap Pedagang Kaki Lima harus bertanggung jawab terhadap ketertiban, kerapian, keindahan, kesehatan lingkungan dan keamanan disekitar tempat usaha.
Pemkot Surakarta belum membuat klasifikasi tentang PKL terkait dengan variasi hak dan kewajibannya. Berdasarkan hasil kajian Hukum tentang PKL yang juga dilakukan oleh Pemkot Surakarta pada tahun 2006, perlu dibuat definisi / batasan dan klasifikasi PKL yang mampu menjadi payung penataan dan pengendalian PKL, baik dalam konteks perkembangan fisik visual perkotaan, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Namun berdasar hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa klasifikasi sebagai berikut : Menurut Malik (2005), Indrawati, et.al. (2004), Palupi dan Raharjo (2004), Indrawati (2005) dan Indrawati, et.al. (2007), PKL diklasifikasikan menjadi: a) Berdasarkan latar belakang ekonominya. Klasifikasi pertama adalah PKL yang benar-benar terpaksa menjadi PKL karena kesulitan hidup. Mereka berdagang dengan warung beroda (dorongan) ataupun bangunan semi permanen di trotoar. Sembari berdagang mereka juga bertempat tinggal di situ, karena tidak ada tempat lain lagi untuk dijadikan

tempat tinggal. Kedua, PKL yang berdagang karena masalah ekonomi juga namun mereka telah memiliki tempat tinggal dan simbol hidup modern seperti TV misalnya. Ketiga, PKL yang berdagang karena melihat potensi keuntungan jauh lebih besar dari pada membua toko / warung dibanding jika harus menyewanya. Selain itu juga lebih mudah diakses pembeli. b) Berdasar jenis dagangan yang dijual, terdiri dari PKL penjual makanan, pakaian, kelontong, peralatan bekas (klitikan) dan sebagainya. c) Berdasar waktu berdagang, terdiri dari PKL yang berdagang pada pada pagi hingga siang hari, pagi hingga sore hari, sore hingga malam hari, malam hingga pagi hari, pagi hingga malam hari dan sepanjang hari. d) Berdasar bangunan tempat berdagang, dapat diklasifikasikan menjadi (a) PKL bergerak / movable / dorongan ; (b) PKL tanpa bangunan seperti PKL oprokan / dasaran /

gelaran, (c) PKL dengan bangunan permanen (selalu ada setiap saat, baik bentuknya masih tetap maupun udah berubah) dan (d) PKL dengan bangunan non permanen (bongkar
pasang). Beberapa type bangunan PKL : (a) oprokan, (b) tenda, (c) permanen sebagian, dan (d) permanen seutuhnya. e) Berdasar luasan bangunan / tempat berdagang (space use), terdiri dari 7 kelompok yaitu PKL dengan luasan 1-3m2, 4-6m2, 7-9m2, 10-12m2, 13-15m2, 16-17m2 dan lebih dari 18m2. 2.1.8. Karakteristik Lokasi Aktivitas PKL Dapat dipastikan bahwa setiap aktivitas memerlukan ruang dalam melakukan semua kegiatan. Hal ini termasuk juga dengan aktivitas PKL yang selama ini kurang memperhatikan kebutuhan akan ruang kegiatan bagi sektor ini. Semakin berada di daerah-daerah yang menguntungkan, PKL juga akan menempati lokasi-lokasi yang mudah dilihat atau dijangkau oleh pengunjung, menurut Shirvani (1985:37) dalam merancang fasilitas untuk pejalan kaki memerlukan suatu kegiatan eceran agar suasana yang ditimbulkan hidup. Seperti misalnya, pusat perbelanjaan yang disekitarnya tidak ada aktivitas pendukung akan mati dan jarang sekali ada pengunjung untuk berjalan-jalan. Tetapi jika disekitarnya tumbuh aktivitas pendukung seperti PKL dan sejenisnya akan sedikit menarik pengunjung untuk datang ke lokasi tersebut. Hal ini cukup menjamin adanya pengunjung yang datang ke lokasi dengan tiga persepsi, yaitu pengunjung datang untuk menikmati aktivitas sekitarnya, datang dengan tujuan ke pusat perbelanjaan atau datang untuk melihat-lihat aktivitas yang ada. Menurut Simons dan Jones, 1990 mengemukakan bahwa PKL berlokasi didepan pertokoan terutama yang memiliki tingkat aksesibilitas tinggi. Pemilihan lokasi ini disebabkan oleh keberadaan pertokoan dapat menarik pengunjung dengan aksesibilitas tinggi, serta menarik pengusaha lain untuk ikut berdagang di lokasi yang sama. Sedangkan menurut Hamid dan Rachbini (1994:90) mengamati kecenderungan setiap berdirinya gedung selalu diikuti oleh aktivitas PKL. Meskipun sektor formal dan PKL memiliki perbedaan yang menonjol, tetapi keberadaan keduanya dapat saling menunjang karena keberadaan pedagang kecil tidak lepas dari sektor formal atau sebaliknya.

10

PKL tidak dapat berkembang tanpa adanya aktivitas formal yang mendahuluinya. Dengan adanya aktivitas pendukung berupa PKL, aktivitas formal maupun konsumen cukup diringankan dengan rendahnya harga yang ditawarkan (Hartati, 1998). Pernyataan-pernyataan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa PKL tidak selamanya mengganggu aktivitas formal dan aktivitas sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari ketergantungan antara aktivitas formal dan pengunjung dengan pedagang yang mampu menyediakan kebutuhan hidup dengan harga relatif rendah. Ketergantungan ini dapat dilihat dari adanya perusahaan besar yang mempekerjakan usaha kecil sebagai salah satu upaya promosi produksinya. Dengan demikian dapat dilihat adanya suatu ketergantungan aktivitas formal dengan informal, dimana sektor informal sebagai salah satu cara untuk memperluas usaha. Sedangkan pengecer sangat tergantung oleh pekerjaan yang diberikan produsen kepadanya (Manning, 1991:249). 2.1.9. PKL dan Kemacetan Lalu Lintas Jaringan jalan merupakan salah satu pembentuk struktur kota, menjadi aspek penting dalam pembangunan wilayah, ekonomi, sosial dan politik. Melalui fungsinya sebagai sarana transportasi, jaringan jalan memiliki keterkaitan yang erat dengan pola penggunaan lahan perkotaan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, fungsi jalan terdiri dari jalan arteri, kolektor dan primer. Masing-masing fungsi memiliki karakteristik yang jelas baik ditinjau dari geometri jalan, kecepatan lalu-lintas, jenis kendaraan yang lewat, jumlah jalan masuk dan sebagainya. Tiap ruas jalan memiliki bagian-bagian jalan, di mana masing-masing memliki fungsi khusus. Bagian-bagian jalan terdiri dari: a. Ruang manfaat jalan adalah suatu ruang yang dimanfaatkan untuk konstruksi jalan dan terdiri atas badan jalan, saluran tepi jalan, serta ambang pengamannya. Badan jalan meliputi jalur lalu lintas, dengan atau tanpa jalur pemisah dan bahu jalan, termasuk jalur pejalan kaki. Ambang pengaman jalan terletak di bagian paling luar, dari ruang manfaat jalan, dan dimaksudkan untuk mengamankan bangunan jalan. b. Ruang milik jalan (right of way) adalah sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan yang masih menjadi bagian dari ruang milik jalan yang dibatasi oleh tanda batas ruang milik jalan yang dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan keluasan keamanan penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran ruang manfaat jalan pada masa yang akan datang. Bedasarkan Permenhub No. 14 Tahun 2006 tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu-lintas di Jalan, beberapa indikator yang harus dipenuhi dalam transportasi antara lain keamaman, ketertiban dan kelancaran. Kendaraan bermotor, kendaraan tidak bermotor dan pejalan kaki seyogyanya menempati bagian-bagian yang telah ditentukan. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian depan, jalan merupakan bagian dari urban space (type koridor). Konsekuensinya, beberapa elemen publik (di luar kegiatan transportasi) juga akan memanfaatkan bagian-bagian jalan ini, termasuk di dalamnya PKL. PKL senantiasa mendekati tempat-tempat yang menjadi lalu-lalang orang. Lalu lintas kendaraan bermotor dan pejalan kaki sudah tentu menjadi incaran pasar bagi PKL, sehingga bagian-bagian jalan berupa trotoar cenderung ditempati oleh PKL. Bahkan jalur lambat, jalur hijau dan bahu jalan tak luput dari incaran PKL (Indrawati, 2007).

11

Kemacetan lalu-lintas merupakan permasalahan yang hampir selalu dijumpai pada kota-kota di Indonesia. Kemacetan lalu-lintas berakibat pada bertambahnya waktu tempuh dan biaya operasi kendaraan (user cost) bagi pengguna jalan serta meningkatkan polusi udara. Kota menjadi sangat tidak nyaman. Dalam jangka panjang, akan menghambat perkembangan kota, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan fisik maupun pariwisata (Riyanto, et.al, 2006). 2.1.10. Penzonningan atau Regulation Zoning adalah pembagian kawasan ke dalam beberapa zona sesuai dengan fungsi dan karakteristik semula atau diarahkan bagi pengembangan fungsi-fungsi lain. Sedangkan zoning regulation dapat didefinisikan sebagai ketentuan yang mengatur tentang klasifikasi, notasi dan kodifikasi zona-zona dasar, peraturan penggunaan, peraturan pembangunan dan berbagai prosedur pelaksanaan pembangunan. Tujuan Tujuan penyusunan peraturan zonasi dapat dirumuskan sebagai berikut : 1.Mengatur kepadatan penduduk dan intensitas kegiatan, mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan tanah dan menentukan tindak atas suatu satuan ruang. 2. Melindungi kesehatan, keamanan dan kesejahteraan masyarakat. 3. Mencegah kesemrawutan, menyediakan pelayanan umum yang memadai serta meningkatkan kualitas hidup. 4. Meminimumkan dampak pembangunan yang merugikan. 5. Memudahkan pengambilan keputusan secara tidak memihak dan berhasil guna serta mendorong peran serta masyarakat. Fungsi peraturan zonasi adalah : 1. Sebagai pedoman penyusunan rencana operasional. Peraturan zonasi dapat menjadi jembatan dalam penyusunan rencana tata ruang yang bersifat operasional, karena memuat ketentuan-ketentuan tentang perjabaran rencana dari yang bersifat makro ke dalam rencana yang bersifat meso sampai kepada rencana yang bersifat mikro (rinci).

12

2. Sebagai panduan teknis pemanfaatan lahan. Ketentuan-ketentuan teknis yang menjadi kandungan peraturan zonasi, seperti ketentuan tentang penggunaan rinci, batasan-batasan pengembangan persil dan ketentuanketentuan lainnya menjadi dasar dalam pengembangan dan pemanfaatan lahan. 3. Sebagai instrumen pengendalian pembangunan Peraturan zonasi yang lengkap akan memuat ketentuan tentang prosedur pelaksanaan pembangunan sampai ke tata cara pengawasannya. Ketentuan-ketentuan yang ada karena dikemas dalam aturan penyusunan perundang-undangan yang baku dapat dijadikan landasan dalam penegakan hukum. 2.1.11. Cihampelas Sebagai Kawasan Wisata Kesemarakan Kota Bandung akibat bertebarannya FO (factory outlet) dari tahun ke tahun makin menjadi. Di jalan-jalan besar tampaknya keramaian tak sempurna jika tak ada FO. Salah satu kawasan wisata yang banyak memiliki FO belakangan ini adalah Cihampelas. Popularitas Cihampelas sebagai kawasan perdagangan jins pun berubah menjadi kawasan FO. Para pelancong pun mulai akrab dengan sebutan itu. Tak aneh jika setiap libur panjang atau akhir pekan, warga Jabodetabek yang berdatangan ke Cihampelas bukan lagi bermaksud memburu busana berbahan jins yang kualitasnya bagus dan harga terjangkau, melainkan memburu beragam pakaian jadi sisa ekspor yang ada di sejumlah FO di sana. Perubahan-perubahan di kawasan Cihampelas memang drastis dalam satu dasawarsa terakhir. Kalau sepuluh tahun lalu kawasan Cihampelas melulu diwarnai tempat perdagangan busana jins, kini selain hotel dan kafe, mal-mal yang dilengkapi tempat-tempat wisata kuliner juga bermunculan di daerah utara Kota Bandung itu. Akibatnya, kalau 10 tahun lalu pelancong lebih banyak menyerbu kawasan Alun-Alun Kota Bandung yang perkembangannya dinilai monoton, kini salah satu lokasi yang mendapat rekomendasi banyak pelaku industri wisata di Bandung adalah Cihampelas. Rekomendasi itu bermunculan karena setiap akhir pekan kawasan Cihampelas dipadati pelancong yang sekaligus bermaksud memburu jins dan busana sisa ekspor lainnya di FO. "Pokoknya, keberadaan Cihampelas membuat Bandung makin diperhitungkan sebagai kota mode. Magnet Cihampelas begitu kuat bagi pelancong asal Jakarta, Depok, Banten, Bekasi, dan Bogor. Lihat saja, kendaraan-kendaraan yang berjubel di jalan-jalan sekitar Cihampelas pada akhir pekan didominasi kendaraan bernomor polisi daerah Jabodetabek. Apalagi, jarak tempuh Bandung-Jakarta cuma sekitar 2 jam melalui Cipularang. Kenyataan itu di satu sisi membuat Cihmpelas jadi semrawut, tetapi di sisi lain tetap saja menarik untuk dikunjungi," ujar Nadine Tri Duhita, salah seorang wisatawan lokal asal Bekasi yang mengaku tiap bulan piknik ke Cihampelas.

13

Wisatawan lainnya menuturkan, sensasi Cihampelas bisa dilihat dari tampilan busana jins yang ditawarkan. Selain bervariasi dan kualitasnya bagus, harganya juga terjangkau. Selain itu, dekorasi yang dipajang setiap toko pun sangat beragam dan nyeni. Bahkan di antaranya ada dekorasi toko yang sengaja memasang tokoh-tokoh kartun jagoan dunia seperti Superman dan Spiderman. Pemasangan tokoh-tokoh itu tiada lain sebagai daya tarik bagi para pengunjung. Kawasan Cihampelas memang unik. Wali Kota Bandung Dada Rosada mengakui, Cihampelas merupakan kawasan potensial bagi usaha pengembangan Bandung dan juga sebagai kota wisata. Namun, Dada Rosada menilai perkembangan dan penataan kawasan wisata Cihampelas berjalan "pincang". Perkembangan Cihampelas lebih cepat dibanding upaya penataannya. Karena itu, kawasan Cihampelas sebagai area wisata belanja Kota Bandung perlu pembenahan. Kawasan Jalan Cihampelas memang tidak dimonopoli oleh FO dan pusat perbelanjaan. Di sana pun ada fasilitas pendidikan seperti SMA Negeri 2 Bandung, SMA 2 dan 8 Pasundan. Ada juga fasilitas kesehatan, Rumah Sakit Advent. Selain itu ada pula permukiman penduduk. Maka aktivitas masyarakat di Cihampelas menjadi beragam. Itu terjadi sebagai akibat dari adanya aktivitas usaha dan berkembangnya kawasan Cihampelas menjadi kawasan wisata belanja. Jika dibandingkan dengan jalan lain di Kota Bandung, Jalan Cihampelas utama lebih sempit. Sebagai konsekuensi Cihampelas menjadi salah satu kawasan wisata belanja, kemacetan parah pun kerap terjadi. Bisa begitu karena selain tidak disiplinnya angkutan umum yang "seenak udel" berhenti di sembarang tempat di Jalan Cihampelas, juga akibat keterbatasan ruang parkir. Pemerintah Kota Bandung dan dinas pariwisata setempat memang sedang memutar akal untuk menyiasati kemacetan tersebut. Namun, hingga kini berbagai jurus yang sudah diterapkan masih saja dinilai belum mampu mengatasi soal kemacetan Cihampelas. Kawasan Cihampelas kerap juga dinilai sebagai contoh kawasan yang berkembang di luar perencanaan Pemerintah Kota Bandung. Itu diakui oleh mantan Wali Kota Bandung H Ateng Wahyudi. Kawasan Cihampelas mulai memperlihatkan tanda-tanda akan menjadi kawasan niaga tekstil dan produk tekstil sejak 1980-an, saat H Ateng Wahyudi menjadi orang nomor satu di Kota Bandung. Kepada Suara Karya, Ateng Wahyudi mengatakan, saat itu Cihampelas dibiarkan berkembang dengan karakter masyarakatnya. Artinya, Cihampelas memang berkembang cepat dengan swadaya dan inovasi masyarakat Bandung. Kenyataannya, hingga kini Cihampelas ajeg sebagai kawasan wisata belanja. "Itu potensi masyarakat, dan potensi ekonomi pertumbuhannya jangan disumbat. Toh Cihampelas kini menjadi kebanggaan Kota Bandung," katanya. Kesemrawutan dan kemacetan lalu lintas di kawasan Jalan Cihampelas malah makin menjadi-jadi dalam tahun-tahun terakhir. Menurut masyarakat pedagang di kawasan itu, kemacetan tersebut tidak saja karena angkutan umum yang tidak disiplin, tetapi juga akibat bermunculannya lokasi wisata kuliner di pinggiran jalan, seperti Ciwalk (Cihampelas Walk). Tiga tahun lalu kawasan Ciwalk ini dilengkapi lahan parkir luas. Kini, karena jumlah pelancong yang terus membengkak di lokasi itu, lahan parkir yang ada menjadi sempit.

14

Itulah perkembangan baru kawasan wisata Cihampelas. "Jadi, kalau Yogyakarta punya kawasan Malioboro yang lalu lintasnya sudah ditata dengan baik, Bandung pun punya Cihampelas. Sayangnya, lalu lintasnya belum tertib dan teratur alias semrawut. Tapi, biar saja begitu. Toh pemerintah nantinya akan berusaha menertibkannya agar Cihampelas tidak saja dikenali dan disukai pelancong dalam negeri, tetapi juga oleh wisatawan mancanegara. Semoga begitu," ujar beberapa pelancong lokal. (Agus Dinar).

2.2 Studi Banding Objek Sejenis SOLO- Kota Solo akan dijadikan pusat percontohan penataan pedagang kaki lima (PKL) nasional, yang pembinaannya dilakukan Kementerian Perdagangan, Koperasi dan UKM dan Kementerian Dalam Negeri. "Pada Juli 2011 ketiga Kementerian itu akan melakukan kegiatannya dan sekarang tengah dipersiapkan," kata Kepala Pusdiklat Perdagangan Kementerian Perdagangan Ir Rahayu Budi MS saat memberi pengarahan pada pembukaan Diklat Membangun Jiwa Kewirausahaan dan Kepemimpinan Pedagang Pasar di Solo. "Tahun lalu telah di lakukan Diklat pengelola pasar dan sekarang pedagang pasar, untuk berikutnya gantian buat PKL yang
2.2 Gambar I. Gerbang PKL Kota Solo Sumber : Google.com

ada di luar pasar," katanya. Melalui kegiatan-kegiatan seperti ini diharapkan bisa memberikan bekal kepada para pedagang untuk meningkatkan usahanya, dan

sekaligus merubah nasibnya menjadi lebih baik lagi. Untuk menjadikan percontohan PKL ini nantinya juga akan melibatkan bagi pengusaha-pengusaha nasional agar ikut membantunya baik dalam segi permodalan maupun manajemen dan lain-lain "Untuk Kementerian Perdagangan senbdiri nantinya juga siap memberikan bantuan seperti pembinaan PKL makanan dalam menyajikan makanan sehat dan bersih dan lain-lain," katanya Wali Kota Surakarta Ir Joko Widodo mengatakan melalui kegiatan seperti diharapkan para pedagang yang terpilih mengikuti acara tersebut bisa menfataakan dengan sebaik-baiknya "Kegiatan seperti ini sangat penting untuk mengangkat pedagang kecil yang ada di pasar-pasar. Untuk pasar-pasar tradisional yang ada sekarang telah dibangun dengan baik, tetapi juga perlu diimbangi sumber daya manusia pedagang untuk mampu bersaing dengan pasar modern," katanya. Untuk sekarang ini di Solo telah ada 15 pasar tradisional yang telah dibangun dengan baik, Untuk itu diharapkan bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memajukan usahanya. "Para pedang setelah mendapat pelatihan ini semestinya tidak untuk diri sendiri tetapi juga diberikan ilmunya kepada pedagang yang lain juga agar bisa berkembang," pintanya. Pelatihan ini berlangsung dari tanggal 28 sampai 31 Maret 2011 yang diikuti oleh 60 peserta

15

Dan Kota Solo sekarang tidak hanya menjadi percontohan penataan pedagang kali lima (PKL) di Indonesia, bahkan pola itu telah ditetapkan di tingkat Asia Pasifik. Untuk di Solo sesuai data yang ada tercatat sebanyak 5.817 PKL yang tersebar di berbagai penjuru kota ini dan sampai sekarang yang berhasil ditata 3.946 PKL, menurut Kepala Dinas Pengelola Pasar Pemerintah Kota Surakarta Subagio, di Solo. Untuk melakukan penataan PKL di Solo dilakukan secara manusiawi, dan pedagang itu juga dianggap sebagai penggerak ekonomi masyarakat dan memberikan dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi. "Lewat konsep seperti ini diantaranya dalam melakukan penataan PKL, sehingga dalam penataan itu juga tidak ada istilahnya gusur-menggusur sampai menimbulkan keributan seperti kota-kota lainnya PKl yang berada di pinggir-pinggir jalan itu ditata dan diberikan tempat secara gratis dan izin usahanya untuk masuk ke pasar-pasar yang telah disediakan. "Seperti penataan PKL di kawasan Monumen 45 Banjarsari, jumlahnya mencapai 1.000 lebih, mereka ditata dan dipindahkan ke Pasar Notoharjo, juga tidak ada masalah, meskipun harus melakukan pendekatan berkali-kali. Menyinggung mengenai Pasar Panggungrejo yang sampai sekarang masih ada 73 kios kosong dan belum ditempati, Subagio mengatakan pihaknya telah memberikan peringatan kepada pemiliknya sampai tanggal 18 Mei 2011 apabila tidak ditempati akan digantikan kepada orang lain. Namun penataan PKL di Solo belum disebut sempurna penataan PKL di Solo Baru Mencapai 62 Persen. Menurut Joko Widodo yang baru terpilih kembali sebagai Wali Kota Surakarta mengakui penataan pedagang kaki lima di Solo bukan perkara mudah karena menyangkut masalah perut banyak orang. "Pertumbuhan pedagang kaki lima di sini terus ditekan meski sejak 2005 hingga sekarang penataannya baru mencapai 62 persen 5.817 PKL atau sebanyak 3.600 PKL," kata Wali Kota Jokowi--sapaan akrab Joko Widodo di kota Solo. Jokowi bertekad akan menuntaskan 38 persen lagi pada tahun ini kendati diakuinya bukan perkara mudah karena penataan ini masih terganjal kendala nonteknis. Padahal pemerintah kota setempat telah menyediakan anggaran untuk itu. "Di Solo ini kan penataannya lain, tidak asal gebug seperti di kota-kota lain. Jadi, butuh waktu. Kalau ditanya target, ya, tahun ini seharusnya 100 persen selesai, menurut Wali
2.2 Gambar 2 Ilustrasi. Sumber : Google.com

Kota Surakarta periode 2010-2015.

Kepala Dinas Pengelola Pasar (DPP) Kota Surakarta Subagyo menyebutkan sejumlah titik yang masih menunggu solusi

16

pemindahan, di antaranya PKL Gilingan, Purwosari, Baron, dan kawasan Stasiun Balapan (Jalan Monginsidi). Sebagian yang sudah berhasil ditata itu, kata dia, saat ini menempati pasar-pasar tradisional, shelter, tenda, dan gerobak yang sudah ditentukan pada tahun ini. Ia mengatakan penataan diarahkan ke Jalan Dr. Radjiman, Jalan Veteran, Jalan S. Parman, serta Jalan Monginsidi sisanya yang belum tertata akan masuk pada rencana lima tahun selanjutnya. Subagyo mengatakan sebagai bahan acuan pada triwulan ketiga tahun ini pihaknya akan melakukan pendataan. Selain itu, untuk menekan laju pertumbuhan dengan cara memeriksa kartu tanda penduduk (KTP) pada seluruh PKL sehingga meminimalkan pedagang dari luar kota. Pemkot Surakarta telah melakukan penataan terhadap 5.817 PKL, 62 persen di antaranya ditempatkan di sejumlah pasar tradisional sehingga statusnya meningkat menjadi pedagang tradisional. Penataan PKL tersebut, menurut Subagyo, tidak akan mematikan dan menghapus mereka di Kota Solo sebab PKL merupakan penunjang ekonomi kerakyatan. Bahkan dari PKL, Pemkot Surakarta menerima sebesar Rp208 juta, kemudian pada tahun 2010 menargetkan sebesar Rp275 juta. "Pendapatan asli daerah dari pasar pada tahun ini ditargetkan sebesar Rp19,3 miliar, atau naik dibandingkan dengan kontribusi pada tahun sebelumnya sebesar Rp 18,6 miliar," katanya Ia menegaskan langkah penataan PKL tersebut dilakukan dan disesuaikan dengan kondisi Kota Solo untuk lima tahun mendatang. Pihaknya juga telah memiliki "blueprint" penempatan PKL yang belum tertata. Untuk penataan PKL tersebut, Pemkot Surakarta akan bekerja sama dengan pihak ketiga untuk melakukan pendataan. Subagyo menyebutkan dari 38 persen PKL yang belum tertata tersebut sebagian besar berada di Jalan Slamet Riyadi, Jln. Veteran, serta di kawasan terminal dan stasiun. Ia berjanji pemkot dalam melakukan penataan PKL tersebut tidak akan menggunakan tindak kekerasan, tetapi lebih mengedepankan pendekatan sosial, ekonomi, budaya, dan yuridis.

17

BAB III DESKRIPSI OBJEK KAJIAN


3.1 Lokasi Studi Lokasi yang dipilih untuk penelitian pedagang kaki lima adalah di sepanjang Jalan Cihampelas kota Bandung

Batas Wilayah: Utara Selatan Barat Timur : Jl. Cimbuleuit : Jl. Cicendo : Pertokoan : Pertokoan

Kota Bandung

Wilayah Cibeunying

Jalan Cihampelas

18

3.1 Gambar 3 Peta Bandung. Sumber: www.google.com, koleksi pribadi

3.2 Identifikasi Masalah Pada laporan ini, Jalan Cihampelas, merupakan salah satu daerah yang memiliki permasalahan yang kompleks. Sebagai salah satu objek wisata di kota Bandung, Cihampelas selalu dipenuhi oleh wisatawan dari berbagai daerah. Cihampelas yang sekarang, sangatlah memprihatinkan. Beberapa masalah yang terjadi di jalan Cihampelas adalah: 1. Ketidak-teraturannya pedagang kaki lima yang ada, 2. Ketidak nyamanan para pejalan kaki menggunakan trotoar, 3. Kemacetan yang terjadi setiap hari, 4. Ketidak jelasan kebijakan yang ada. 3.2 Fokus Studi Pada fokus studi kali ini kami memfokuskan pada para pedagang kaki lima yang berada sepanjang jalan cihampelas 1. Penyebaran PKL dan Penzoningan Terdapat dua jenis pola penyebaran PKL, yaitu Pola Penyebaran Memanjang (LIiner Concentration) dan Pola Penyebaran Mengelompok (Focus Aglomerattion) Pola Penyebaran Linier dipengaruhi oleh pola jaringan jalan. Aktifitas PKL dengan pola penyebaran memenjang terjadi di sepanjang atau pinggir jalan utama atau pada jalan-jalan penghubungnya. Alasan para PKL memilih lokasi tersebut adalah karena aksebilitas yang tinggi sehingga berpotensi besar untuk mendatangkan konsumen. Pola Penyebaran Mengelompok sering dijumpai pada ruang-ruang terbuka, taman, lapangan dan sebagainya. Pola ini dipengaruhi oleh pertimbangan factor aglmerasi yaitu keinginan pedagang untuk melakukan pemusatan atau pengelompkkan pedagang sejenis dengan sifat dan komoditas sama untuk lebih menarik minat pembeli. 2. Sirkulasi dan Kemacetan Lalu Lintas PKL senantiasa mendekati tempat-tempat yang menjadi lalu-lalang orang. Lalu lintas kendaraan bermotor dan pejalan kaki sudah tentu menjadi incaran pasar bagi PKL, sehingga bagian-bagian jalan berupa trotoar cenderung ditempati oleh PKL. Bahkan jalur lambat, jalur hijau dan bahu jalan tak luput dari incaran PKL. Kemacetan lalulintas merupakan permasalahan yang hampir selalu dijumpai pada kota-kota di Indonesia. Kemacetan lalu-lintas berakibat pada bertambahnya waktu tempuh dan biaya

19

operasi kendaraan (user cost) bagi pengguna jalan serta meningkatkan polusi udara. Kota menjadi sangat tidak nyaman. Dalam jangka panjang, akan menghambat perkembangan kota, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan fisik maupun pariwisata. 3. Okupasi Public Space oleh PKL Pertumbuhan dan perkembangan kota-kota di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kegiatan Pedagang Kaki Lima (PKL). Kehadiran PKL mulai menimbulkan konflik ketika mereka menggunakan / menyerobot ruang-ruang publik yang mereka anggap strategis secara ekonomis, seperti jalan, trotoar, jalur hijau (taman) dan sebagainya.

Urban Space yang mestinya berfungsi publik, seringkali diokupasi secara permanen oleh PKL. Pengguna lain kehilangan wadah untuk beraktivitas. PKL juga sering
menghadirkan masalah lingkungan fisik visual perkotaan. Namun demikian kehadiran PKL tetap diperlukan oleh masyarakat luas. Jenis barang yang dijajakan (makanan, pakaian, kelontong dan sebagainya) senantiasa dicari oleh pembeli. Harganya yang relatif lebih murah dibanding di pertokoan formal, menjadikan PKL sebagai tempat berbelanja alternatif. Selain itu berbelanja di area PKL juga merupakan aktifitas rekreasi yang cukup digemari oleh sebagaian masyarakat kota. 4. Informalitas Perkotaan PKL adalah salah satu moda dalam transformasi perkotaan yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi perkotaan. Oleh karenanya fenomena PKL yang muncul di perkotaan di Indonesia seyogyanya dipahami dalam konteks transformasi perkotaan. Pergeseran sistem ekonomi dari yang berbasis pertanian ke industri dan jasa menyebabkan terjadinya urbanisasi seiring dengan intensitas sektor informal. Pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam menjelaskan proses transformasi perkotaan diperlukan dalam mencermati masalah sektor informal termasuk PKL.

Jalan Cihampelas

20

3.1 Gambar 4 Peta Bandung. Sumber: koleksi pribadi

3.3 Deskripsi Data Setelah melakukan observasi ke lapangan, akhirnya kita menemukan deskripsi data sebagai berikut: Karakteristik Jalur Pedestrian berdasarkan Fungsinya No Nama Jalur Fungsi/Kegunaan Karakteristik Kenyataan Lapangan

21

Pedestrian 1 Trotoar Berjalan kaki di pinggir jalan kendaraan Arah jelas Lokasi di tepi jalan bebas hambatan Permukaan rata (maks. 5%), lebar 1,5 2 meter Lebar trotoar + 1m dan tidak sepanjang jalan terdapat trotoar. Hanya tempat-tempat tertentu seperti di depan hotel aston. Trotoar nyaris tidak ada maka pejalan kaki biasanya berjalan di pinggir jalan raya tanpa adanya trotoar. Lebar jalan cihampelas sendiri + 4 meter 2 Jalur (zebra cross) 3 Plasa Kegiatan santai dan rekreatif Menghindari konflik Menyilang di atas jalan, dilengkpai traffic light Lebar 2 4 meter Frekuensinya tertentu Bebas kendaraan Space lapang Lebar bervariasi Ada fasilitas pendukung 4 Mall Tempat berjalan kaki di kawasan perbelanjaan Terpisah dari jalur kendaraan Di pertokoan Plasa kecil Lebar bervariasi Ada fasilitas pendukung Cihampelas walk dengan konsep pedestrian merupakan ikon tersendiri yang merupakan mall yang terdapat di jalan cihampelas ini. Konsepnya yang memanjakan para pejalan kaki yang datang serta lokasinya mempunyai area parkir yang memadai. Tidak ada Pada jalan Cihampelas ini tidak ada jalur penyebrangan sehingga pejalan kaki menyebrang seenaknya pada jalur jalur yang padat oleh kendaraan bermotor penyebarangan dengan kendaraan Trotoar menjadi tempat parkir dan menjadi tempat dagang para pedagang kaki lima

22

Subway

Tempat berjalan kaki yang menghubungkan antar banguan di bawah tanah

Berupa terowongan bawah tanah Di lengkapi pengkondisian udara dan penerangan Bebas lalu lintas kendaraan

Tidak terdapat subway

Skyway

Tempat berjalan kaki yang menghubungkan bangunan di atas tanah

Berupa jembatan penyeberangan antar Tidak terdapat Skyway bangunan Sirkulasi pejalan kaki menerus Bebas lalu lintas kendaraan.

3.3 Tabel 2 Karakteristik Jalur Pedestrian berdasarkan Fungsinya Sumber: Teori Perancangan Urban, ITB, 1991.

Seperti yang terlihat keadaan PKL di sepanjang jalan cihampelas pada gambar-gambar dibawah ini :

3.3 Gambar 5,6,7 PKL Cihampelas Bandung. Sumber: dokumentasi pribadi

PKL sepanjang Jalan Cihampelas yang sudah memiiki tempat tetap, karena walaupun tidak sedang berjualan, gerobak tetap berada di pinggir jalan. Hal ini menyebabkan jalanan menjadi kumuh dan memakan badan trotoar.

23

3.3 Gambar 8 PKL Cihampelas Bandung. Sumber: dokumentasi pribadi

3.3 Gambar 9 PKL Cihampelas Bandung. Sumber: dokumentasi pribadi

Penjual Topi dan motor parkir yang sembarangan mengganggu kenyamanan pengguna jalan

PKL yang menghabiskan badan trotoar untuk berjualan.

3.3 Gambar 10 PKL Cihampelas Bandung. Sumber: dokumentasi pribadi

3.3 Gambar 11 PKL Cihampelas Bandung. Sumber: dokumentasi pribadi

3.3 Gambar 12 PKL Cihampelas Bandung. Sumber: dokumentasi pribadi

PKL gerobak Permanen yang memiliki pondasi

PKL dengan gatungan display, agar mudah untuk dipindah-pindahkan

PKL semi permanen

3.4 Analisis Dan Pembahasan

24

Pada Jalan Cihampelas ini banyak ditemukan masalah dari berbagai aspek lingkungan, baik itu area pejalan kaki, trotoar yang hampir tidak ada sepanjang area jalan, toko-toko yang tidak mempunyai lahan parkir yang memadai, angkot yang berhenti/ mengetem, dan masih banyak lagi aspek lain yang menyebabkan kemacetan di sepanjang jalan cihampelas ini. Berikut akan dijelaskan berdasarkan focus studi dalam laporan ini. 1. Penyebaran PKL dan Penzoningan Dapat dipastikan bahwa setiap aktivitas memerlukan ruang dalam melakukan semua kegiatan. Hal ini termasuk juga dengan aktivitas PKL yang selama ini kurang memperhatikan kebutuhan akan ruang kegiatan bagi sektor ini. Semakin berada di daerah-daerah yang menguntungkan, PKL juga akan menempati lokasi-lokasi yang mudah dilihat atau dijangkau oleh pengunjung, menurut Shirvani (1985:37) dalam merancang fasilitas untuk pejalan kaki memerlukan suatu kegiatan eceran agar suasana yang ditimbulkan hidup. Seperti misalnya, pusat perbelanjaan yang disekitarnya tidak ada aktivitas pendukung akan mati dan jarang sekali ada pengunjung untuk berjalan-jalan. Tetapi jika disekitarnya tumbuh aktivitas pendukung seperti PKL dan sejenisnya akan sedikit menarik pengunjung untuk datang ke lokasi tersebut. Hal ini cukup menjamin adanya pengunjung yang datang ke lokasi dengan tiga persepsi, yaitu pengunjung datang untuk menikmati aktivitas sekitarnya, datang dengan tujuan ke pusat perbelanjaan atau datang untuk melihat-lihat aktivitas yang ada. Hal inilah yang menyebabkan adanya penyebaran PKL di sepanjang Jalan Cihampelas. Sarana fisik yang digunakan oleh PKL tentunya berbeda-beda tergantung jenis dagangan. Sarana fisik yang biasa digunakan PKL di Jalan cihampelas adalah warung semi permanen, gerobak/kereta dorong, meja/jongko, dan pikulan/keranjang.

3.4 Gambar 13 PKL Cihampelas Bandung. Sumber: dokumentasi pribadi

PKL yang menggunakan Jongko/Meja

PKL yang menggunakansarana fisik dagang warung semi permanen merupakan yang paling banyak yaitu dengan jenis dagangan berupa pakaian kaos bandung, penjual makanan, warkop, warung dan tas, dimana mereka membutuhkan ruang yang agak luas untuk menggelar dagangannya. Pemilihan jenis sarana dagang ini juga dipengaruhi oleh kemudahan untuk membongkar pasang sarana fisik dagang. Sedangkan untuk pedagang souvenir, kacamata, aksesoris dan jenis dagangan yang relatif lebih kecil mereka memilih untuk menggunakan gantungan aksesoris dorong, hal ini disebabkan oleh kebutuhan ruang yang tidak begitu luas dan kemudahan untuk memindahkan barang dagangan ketika selesai waktu berdagang Gerobak/kereta dorong menjadi pilihan utama pedagang makanan/minuman keliling karena kemudahan untuk

3.4 Gambar 14 PKL Cihampelas Bandung. 25 Sumber: dokumentasi pribadi

PKL yang menggunakan Gantungan

berpindah (movable). Sarana usaha PKL tersebar secara merata dan tidak ada pengelompokan dagangan yang di jual di sepanjang Jalan Cihampelas. Pemilihan lokasi untuk berjualan pun sepanjang jalan cihampelas karena jalan cihampelas ini merupakan kawasan wisata untuk berbelanja sehingga banyak pejalan kaki dan dagangan PKL pun menjadi mudah untuk di jangkau karena setiap jalan memiliki posisi yang strategis. Tetapi kekurangan dari banyaknya PKL yang tersebar di sepanjang jalan cihampelas adalah mengganggu aktivitas pejalan kaki sepanjang jalan ini. Penyebaran PKLdi kawasan Cihampelas memiliki pola penyebaran linier (memanjang). Pola penyebaran ini dipengaruhi oleh pola jaringan jalan CIhampelas yang memanjang . Hal ini dapat dilihat dari aktifitas para PKL di kawasan Cihampelas yang terjadi di sepanjang pinggir jalan utama Cihampelas. Aksebilitas yang tinggi serta didukung oleh pola jalan Cihampelas satu arah membuat berpotensi besar untuk mendatangkan konsumen. Kendaraan maupun manusia akan merasa asik untuk meniti jalan dengan jajakan dagangan para PKL disepanjang jalan Cihampelas. Hal ini juga didukung oleh titik pusat wisata Cihampelas yaitu Ciwalk. Pada saat sebuah kendaraan atau manusia meniti jalan Cihampelas mereka akan menemukan titik akhir perjalanan mereka di Ciwalk. 2. Sirkulasi dan Kemacetan Lalu Lintas Beberapa indikator yang harus dipenuhi dalam transportasi antara lain keamaman, ketertiban dan kelancaran. Kendaraan bermotor, kendaraan tidak bermotor dan pejalan kaki seyogyanya menempati bagian-bagian yang telah ditentukan. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian depan, jalan merupakan bagian dari urban space (type koridor). Konsekuensinya, beberapa elemen publik (di luar kegiatan transportasi) juga akan memanfaatkan bagian-bagian jalan ini, termasuk di dalamnya PKL. PKL senantiasa mendekati tempat-tempat yang menjadi lalu-lalang orang. Lalu lintas kendaraan bermotor dan pejalan kaki sudah tentu menjadi incaran pasar bagi PKL, sehingga bagianbagian jalan berupa trotoar cenderung ditempati oleh PKL. Bahkan jalur lambat, jalur hijau dan bahu jalan tak luput dari incaran PKL. Kemacetan lalu-lintas merupakan permasalahan yang hampir selalu dijumpai pada kota-kota di Indonesia. Kemacetan lalu-lintas berakibat pada bertambahnya waktu tempuh dan biaya operasi kendaraan (user

cost) bagi pengguna jalan serta meningkatkan polusi udara. Kota menjadi sangat tidak nyaman. Dalam jangka panjang, akan menghambat perkembangan kota, baik ditinjau
dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan fisik maupun pariwisata. Sirkulasi bagi Manusia (Pejalan Kaki) Sebagaimana dijelasakan diatas Pejalan Kaki dalam melakukan aktifitasnya memiliki persyaratan yaitu aman, mudah/leluasa bergerak dengan cukup terlindung dari lalu lintas kendaraan bermotor. Untuk memenuhi persyaratan tersebut sudah ditemukan suatu solusi konkrit yaitu adanya trotoar. Trotoar yang memenuhi persyaratan pejalan kaki memiliki karakteristik tersendiri yaitu arah jelas, lokasi di tepi jalan bebas hambatan, permukaan rata (maks. 5%), lebar 1,5 2 meter.

26

3.4 Gambar 15, 16, 17, 18, 19, PKL Cihampelas Bandung. Sumber: dokumentasi pribadi

Kondisi sirkulasi kaki di jalan kaki. Pada ruas

Pengambilalihan Trotoar oleh PKL Dok. Pribadi Cihampelas tidak memenuhi persyaratan

Toko dan ruas jalan tidak memiliki jarak

Dok.Pribadi
kanan terdapat trotoar yang memiliki

pejalan pejalan lebar

1,5 meter. Namun keadaannya saat ini 70% pedestrian pada ruas kanan habis oleh PKL. PKL itu mengambil alih trotar sebagai lokasi penjualan yan tetap. Hal ini membuat trotoar sudah tak layak lagi bahkan hingga menutup habis trotar dengan lapak dagangannya. Hal yang lebih ironis terjadi pada ruas jalan Cihampelas bagian kiri. Disana tidak terdapat trotoar. Yang ada hanya lahan parkir bagi FO disepanjang jalan. Belum lagi PKL yang tersebar sepanjang jalan. Bahkan ada 4 toko yang sama sekali tidak memiliki jarak dengan ruas jalan. Kondisi seperi ini menyebabkan pejalan kaki turun ke badan jalan.

Dok.Pribadi

Sirkulasi Kendaraan

27

Tumpahnya pejalan kaki ke badan jalan, mengakibatkan separuh jalan kendaraan digunakan oleh pejalan kaki. Kondisi tersebut menjadi factor penyebab utama kemacetan di jalan Cihampelas. Hal kedua yang mempengaruhi buruknya sirkulasi kendaraan di jalan Cihampelas adalah ketidak disiplinan sopir angkutan umum yang berhenti pada sembarang tempat. Titik utama berhentinya angkot ialah pada pintu masuk Cihampelas Walk dan imbasnya pada kemacetan sepanjang jalan Cihampelas. Selain kedua hal tersebut, hal yang ketiga ialah kurangnya lahan parkir. Hal tersebut mengakibatnya timbulnya area parkir illegal yang tersebar disekitar Toko-Toko di jalan Cihampelas. Area parkir legal hanya terdapat di Ciwalk serta tempat-tempat perbelanjaan lainya yang memiliki area parkir seperti Cihampelas Point Square, Cipaanti Travel.

3.4 Gambar 20, 21, 22, 23, PKL Cihampelas Bandung. Sumber: dokumentasi pribadi

Pejalan Kaki Tumpah ke Jalan

3. Okupasi Public Space oleh PKL Pertumbuhan dan perkembangan kota-kota di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kegiatan Pedagang Kaki Lima (PKL). Kehadiran PKL mulai menimbulkan konflik ketika mereka menggunakan / menyerobot ruang-ruang publik yang mereka anggap strategis secara ekonomis, seperti jalan, trotoar, jalur hijau (taman) dan sebagainya. Urban

28

Space yang mestinya berfungsi publik, seringkali diokupasi secara permanen oleh PKL. Pengguna lain kehilangan wadah untuk beraktivitas. PKL juga sering menghadirkan
masalah lingkungan fisik visual perkotaan. Namun demikian kehadiran PKL tetap diperlukan oleh masyarakat luas. Jenis barang yang dijajakan (makanan, pakaian, kelontong dan sebagainya) senantiasa dicari oleh pembeli. Harganya yang relatif lebih murah dibanding di pertokoan formal, menjadikan PKL sebagai tempat berbelanja alternatif. Selain itu berbelanja di area PKL juga merupakan aktifitas rekreasi yang cukup digemari oleh sebagaian masyarakat kota. Public Space sebagai area publik yang terdapat di jalan Cihampelas saat ini sebagian besar diambil alih oleh para PKL. Jalur Hijau, Area Duduk tidak difungsikan dengan baik, seolah-olah tak ada namun sebenarnya disediakan. Hal ini diakibatkan oleh pengambilalihan lahan oleh PKL, jalur hijau menjadi tak hijau bahkan penuh dengan sampah. Sehingga tak ada orang yang memanfaatkan dengan baik.

Public Space yang fungsinya sudah tak diindahkan lagi.

3.4 Gambar 24, 25 PKL Cihampelas Bandung. Sumber: dokumentasi pribadi

Publik Space

4. Informalitas Perkotaan Pendekatan informalitas Perkotaan dikemukakan oleh Rukmana (2005). Konsep informalitas perkotaan ini tidak terlepas dari dikotomi sektor formal dan sektor informal yang mulai dibicarakan pada awal tahun 1970-an.

29

Memakai konsep informalitas perkotaan dalam mencermati fenomena PKL di perkotaan mengubah perspektif terhadap keberadaan mereka di perkotaan. Mereka bukanlah kelompok yang gagal masuk dalam sistem ekonomi perkotaan. Mereka bukanlah komponen ekonomi perkotaan yang menjadi beban bagi perkembangan perkotaan. PKL adalah salah satu moda dalam transformasi perkotaan yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi perkotaan. Oleh karenanya fenomena PKL yang muncul di perkotaan di Indonesia seyogyanya dipahami dalam konteks transformasi perkotaan. Pergeseran sistem ekonomi dari yang berbasis pertanian ke industri dan jasa menyebabkan terjadinya urbanisasi seiring dengan intensitas sektor informal. Pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam menjelaskan proses transformasi perkotaan diperlukan dalam mencermati masalah sektor informal termasuk PKL. Pemahaman ini akan menempatkan sektor informal sebagai bagian integral dalam sistem ekonomi perkotaan. Salah satu wujud pemahaman ini adalah menyediakan ruang kota untuk mewadahi kegiatan PKL. Hanya saja perlu dicatat bahwa ruang untuk kegiatan PKL ini adalah diperuntukkan bagi kaum miskin yang tidak bisa masuk sektor formal di perkotaan. Cihampelas sebagai kawasan wisata belanja kota Bandung menjadi daya tarik para wisatawan yang berkunjung, tak hanya itu hal tersebut mengundang para PKL untuk hadir dan memenuhi kawasan Cihampelas. Tak adanya lahan mereka berjualan mengakibatkan para PKL menempatkan dirinya pada sembarangan tempat dan terjadinya kesemerawutan kawasan Cihampelas. Sebagai kawasan penting di kota Bandung serta daya tarik para wisatawan lokal dan asing, Cihampelas akan jadi cerminan bagi kota Bandung. Hal tersebut mempengaruhi pada informalitas perkotaan di kota Bandung.

30

3.4 Gambar 27, Peta Udara Jalan Cihampelas Bandung Sumber: www. google.com

3.4 Gambar 28 Peta Udara Jalan Cihampelas Bandung Sumber: www. google.com

3.4 Gambar 26, Peta Udara Jalan Cihampelas Bandung Sumber: www.maps.google.com

31

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN


4.1 Kesimpulan Setiap aktivitas memerlukan ruang dalam melakukan semua kegiatan. Hal ini termasuk juga dengan aktivitas PKL yang selama ini kurang memperhatikan kebutuhan akan ruang untuk melakukan kegiatan jual-belinya. Semakin berada di daerah-daerah yang menguntungkan, PKL juga akan menempati lokasi-lokasi yang mudah dilihat atau dijangkau oleh pengunjung. Hal ini pun terjadi di daerah kawasan Cihampelas-Bandung. Sebagai salah satu pusat perbelanjaan di kota Bandung, Cihampelas memiliki daya tarik para pedagang kaki lima untuk membuka usahanya masing-masing. Namun sayang, keberadaan para pedagang kaki lima tersebut tidak terkondisikan. Keadaan yang tidak terkondisikan ini, merupakan sebab-sebab dari beberapa permasalahan yang terjadi di sekitar daerah Cihampelas. 1. Penyebaran PKL dan Penzoningan Penyebaran PKL di sepanjang jalan Cihampelas, tersebar secara tidak teratur, dan tidak ada pengelompokan dagangan. 2. Sirkulasi dan Kemacetan Lalu Lintas Aksebilitas yang tinggi serta didukung oleh pola jalan Cihampelas satu arah membuat berpotensi besar untuk mendatangkan konsumen. Kendaraan maupun manusia akan merasa asik untuk meniti jalan dengan jajakan dagangan para PKL disepanjang jalan Cihampelas. Namun, hal tersebut mengakibatkan sirkulasi di sekitar daerah Cihampelas terganggu. 3. Okupasi Public Space oleh PKL Kehadiran PKL mulai menimbulkan konflik ketika mereka menggunakan / menyerobot ruang-ruang publik yang mereka anggap strategis secara ekonomis, seperti jalan, trotoar, jalur hijau (taman) dan sebagainya. Urban Space yang mestinya berfungsi publik, seringkali diokupasi secara permanen oleh PKL. Pengguna lain kehilangan wadah untuk beraktivitas. PKL juga sering menghadirkan masalah lingkungan fisik visual perkotaan. Namun demikian kehadiran PKL tetap diperlukan oleh masyarakat luas. 4. Informalitas Perkotaan Pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam menjelaskan proses transformasi perkotaan diperlukan dalam mencermati masalah sektor informal termasuk PKL.

32

4.2 Saran Dari hasil analisa melalui uji deskriptif kualitatif, yaitu mendeskripsikan hasil dari observasi di jalan Cihampelas. Diketahui bahwa jalan Cihampelas merupakan jalan yang padat dengan PKL, Factory Outet, pejala kakin serta kendaraan bermotor. Sehingga jalan ini memiliki kenyamanan yang sangat minim. Oleh karena itu, rekomendasi dan saran dari kami yaitu untuk menjadikan jalan Cihampelas sebagai tempat wisata berbelanja dimana jalan tersebut tidak lagi dilalui oleh kendaraan bermotor, melainkan hanya untuk tempat wisata berbelanja karena banyaknya wisatawan dari luar kota yang selalu menyempatkan diri untuk berbelanja di Cihampelas. Bagi konsumen yang hendak berbelanja, mereka bisa memarkir kendaraan mereka di tempat yang berfungsi sebagai drop-off kendaraan pribadi. Jalan ini dapat di desain ulang menjadi lebih rapih dan PKL yang berada di sana pun dapat dibuatkan lapak yang ditata sehingga lebih bersih dan rapih. Untuk sirkulasi kendaraan bermotor dapat juga dibuatkan flyover sepanjang jalan Cihampelas. Kemudian untuk mendukung tempat wisata belanja ini dibuatkan lahan parkir di dekat daerah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.harianjoglosemar.com/berita/percontohan-pkl-di-solo-43182.html http://internasional.kompas.com/read/2011/05/12/12533515/Pasar.PKL.Pondok.Gede.Diresmikan http://internasional.kompas.com/read/2011/05/18/04132611/Membangun.Mal.untuk.Para.PKL http://www.harianbhirawa.co.id/konflik/29937-tata-pkl-gelar-dialog-dan-studi-banding

33

http://www.investor.co.id/home/solo-dijadikan-pusat-percontohan-penataan-pkl/8566 http://www.promojateng-pemprovjateng.com/detailnews.php?id=12381 http://www.krjogja.com/news/detail/34476/Penataan.PKL.di.Solo.Baru.Mencapai.62.Persen.html http://imazu.wordpress.com/2007/12/31/zoning-regulation-sebagai-instrumen-dalam-penataan-ruang/ http://ebookbrowse.com/perda-no-11-th-2000-tentang-pengaturan-dan-pembinaan-pedagang-kaki-lima-pdf-d33777592 http://www.prfmradio.com/prfm/opini/umum/209-perda-pkl-solusi-baru-penanganan-pkl-di-kota-bandung

34

You might also like