You are on page 1of 8

Sejarah Hadis Pra-Kodifikasi

Oleh: Muhamad Ridwan Nurrohman (Tafsir Hadis II) Pendahuluan Memulai makalah ini, perlu adanya pembedaan serta penjelasan tentang esensi dari hadis dan sunnah. Karena sering kali kedua istilah ini dianggap sama, atau dianggap sebagai murdif. Padahal ada suatu perbedaan yang cukup mendasar, yang kiranya perlu disampaikan. Bila berbicara tentang hadis, ini lebih merupakan suatu laporan yang disampaikan seseorang atau beberapa orang mengenai perbuatan, perkataan, taqrir (persetujuan) atau hal-ihwal mengenai Rasulullah SAW, atau diistilahkan dengan sunnah.1 Jadi, sunnah itu disampaikan melalui hadis. Wallahu alam. Sebagai sebuah media, hadis ini merupakan sumber hukum yang penting dalam Islam. Karena tanpa hadis, umat Islam tidak akan tahu bagaimana sunnah Rasulullah SAW itu. Para ulama mengatakan hadis (atau yang lebih tepatnya disebut sunnah) ini digunakan sebagai tafsir al amaliy (tafsir aplikatif) bagi Al Qur-an.2 Segala sesuatu yang tidak Allah jelaskan atau rinci dalam Al Qur-an, maka Allah mewahyukannya lewat hadis atau sunnah ini. Berbicara hadis dalam konteks sejarah, ini adalah sesuatu yang memang sangat urgen. Tidak sedikit orang-orang yang membuat penyelewengan dan memutar balikan sejarah yang sesungguhnya, demi kepentingannya masing-masing. Dalam suatu ungkapan, Ketika kita bisa mengubah masa lalu, maka kita bisa merubah masa kini, dan juga masa depan.3 Maka pantas, jika mereka (orang-orang yang membenci Islam) melakukannya terhadap hadis, selain tentu juga mereka lakukan terhadap hal-hal fundamen lainnya. Karena memang hadis ini memiliki posisi yang sangat strategis dalam kehidupan muslim. Maka Ibnu Al Jauzi pun mengkodifikasikannya dalam kitabnya Al Maudhuat yang merupakan bentuk pembelaan terhadap sunnah Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam dari orangorang seperti itu.4 Terlebih berbicara dalam konteks hadis masa pra-kodifikasi, ketika hadis-hadis ini belum berwujud sebagai kitab-kitab tebal yang berjilid-jillid seperti sekarang ini. Bahkan ada yang mengatakan bahwa hadis itu sama sekali belum pernah dituliskan oleh para sahabat pada masa Rasulullah SAW. 5 Yang semua ini dijadikan landasan bagi para orientalis seperti Joseph Schacht, Juyn Bolt, Goldziher, dan lain-lain.6 Selain tentunya dibarengi juga dengan praduga-praduga lainya.

M. Iqbal dan William Hunt. Ensiklopedi Ringkas Tentang Islam. 2005. Jakarta: MM Corp. Hlm. 125 dan 371. Yusuf Al Qardhawi. Pengantar Studi Hadis. 2007. Bandung: Pustaka Setia. Hlm. 123. 3 George Orwell (1903-1950) dalam Jalaluddin Rakhmat. Al Musthafa; Manusia Pilihan Yang Disucikan. 2008. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Hlm. 3-4. 4 Ibnu Al Jauzi (510-597 H). Al Mudhuat. 1983. Beirut: Dar El Fikr. Hlm. 5-6. 5 Mereka berpendapat, bahwa orang Arab karena buta hurufnya, sehingga pada waktu itu mereka hanya mengandalkan ingatannya saja. Lihat, Mustafa Al Sibai. Sunnah dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam. 2003. Jakarta: Putaka Firdaus. Hlm. 15-16. 6 Ahmad Luthfi Fathullah. Metode Belajar Interaktif Hadis dan Ilmu Hadis (CD Program). TT. Jakarta: Pusat Kajian Hadis.
2

Tapi apakah benar hadis itu belum tertulis pada masa Rasulullah SAW dan juga para sahabat? Dan apakah bisa disebut otentik, hadis-hadis yang begitu banyak itu, namun tidak terkodifikasi dalam suatu bentuk yang ril? Untuk mengetahui itu, maka perlu dibatasi pembahasan dalam makalah ini dalam periode pertama saja, yaitu pada masa pra-kodifikasi. Dikarenakan hal ini merupakan dasar dari penelitian tentang otentisitas hadis. Karena sebagian orang orientalis banyak menyerang para sahabat, dengan menyebut mereka adalah pendusta. Selain juga mereka adalah orang-orang yang banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik. Hingga hadis yang ada sekarang ini adalah hasil rekayasa mereka. Insya Allah taala. Hadis atau Sunnah Pada Masa Pra-Kodifikasi (Al Sunnah Qabla Tadwin) Perlu dijelaskan sebelumnya, bahwasanya tadwin atau kodifikasi ini lebih bermakna kepada pengumpulan menjadi suatu bundel lengkap, bukanlah sebagai suatu usaha menuliskan suatu hal (dalam hal ini hadis atau disebut juga kitabah al hadis).7 Jadi apa yang dimaksud pra-kodifikasi ini bukan berarti masa-masa kosong dari penulisan hadis sama sekali, akan tetapi semua itu baru berwujud sahifah (lembaran-lembaran) saja, belum menjadi kitab yang berjilid-jilid seperti di zaman Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H/720 M).8 Setelah mengetahui makna tersebut, maka sekarang masuk dalam pembahasan inti, yaitu menjelaskan perjalanan (penyebaran) hadis dari periode awal yaitu masa Rasulullah SAW hingga sesaat sebelum pengkodifikasian hadis (tadwin Al Sunnah) pada masa Umar bin Abdul Aziz. A. Masa Penyebaran Hadis Pada masa awal, yaitu pada periode Rasulullah SAW. Hadis menyebar dengan sangat cepat. Karena dilihat dari makna dan arti hadis itu sendiri adalah media yang menyampaikan sunnah Rasul SAW. Sedangkan sunnah itu sendiri merupakan sirah dan tariqah (perjalanan hidup dan gaya hidup) Rasulullah SAW yang masum (terjaga).9 Dengan demikian penyebaran hadis pada masa itu sangatlah cepat.
Inilah yang harus ditekakan antara perbedaan dua makna yaitu antara tadwin al hadis dengan kitabah al hadis. Muhammad bin Mathar Al Zahraniy. Tadwin Al Sunnah Al Nabawiyyah Nasyatuhu wa Tatowwuruhu. 1996. Riyadh: Mamlakah Al Arabiah Al Suudiyyah. Hlm. 13. 8 Muhammad bin Shalih Al Usaimin. Mushthalah Hadits. 2008. Yogyakarta: Media Hidayah. Hlm. 97-98. 9 Sama dengan pendapat Ibnu Mandzur dalam Tadwin Al Sunnah Al Nabawiyyah. Hlm. 14. Namun masih terjadi perbincangan dengan apa yang disebut sunnah ini dari masa Muhammad sebelum diutus menjadi Rasul, ataukah hanya berlaku setelah beliau didaulat menjadi Rosul. Untuk mencari jawaban yang tepat, M. Syuhudi Ismail dalam bukunya Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, halaman 28-29, ia menuliskan empat alasan yang menguatkan pendapat pertama, yaitu sebagai berikut: a. Amr (perintah) Allah SWT itu adalah supaya taat kepada Muhammad sebagai utusan Allah, bukan sebagai manusia biasa. b. Sifat-sifat mulia nabi di masa kecilnya (tepatnya sebelum kenabian) itu tidak hilang ketika beliau telah diangkat menjadi Rasul. c. Ada beberapa hal atau amalan yang dilakukan Muhammad SAW (seperti tahannus -menyepi-) yang ternyata tidak Rasul amalkan lagi dan tidak lagi beliau ajarkan kepada para sahabatnya. d. Ibn Taimiyah berkata, Berita yang berkenaan dengan Muhammad SAW ini banyak termaktub dalam kitabkitab sejarah, tafsir, dan hadis. Dan kesemuanya itu berbicara khususnya Muhammad SAW dalam konteks Rasulullah (utusan Allah).
7

Ada beberapa metode Rasulullah SAW dalam menyampaikan hadis, diantaranya dengan metode lingua, praktik, taqriri (persetujuan) atas amal para sahabatnya, atau bahkan semua hal-ihwal tentang Nabi SAW.10 Adapun peristiwa penyebaran hadis itu sendiri dapat dibagi menjadi tiga metode untuk mewakili periode awal ini, yaitu dari masa Rasul SAW, para sahabat, dan Tabiin.11 1. Periwayatan di Zaman Nabi SAW Dalam masa ini, hadis sangat cepat tersebar. Selain karena Rasul SAW adalah sebagai titik acuan, juga para sahabat memang memiliki ghirah (semangat) yang hebat dalam mencari hadis serta mengajarkannya kepada yang lain. Sebagaimana yang diakui oleh beberapa sahabat beliau diantaranya Umar bin Al Khattab.12 Al Bara bin Azib Al Awsiy (w. 72 H) juga berkata, Tidaklah kami semua dapat hadir langsung dan mendengar hadis dari Rasulullah SAW. Karena di antara kami ada yang tidak memiliki waktu atau sangat sibuk. Akan tetapi ketika itu orang-orang tidak ada yang berani berdusta terhadap hadis Nabi SAW. Orang yang hadir pun memberitakannya kepada orang yang tidak hadir.13 Hal ini menunjukkan bahwa hadis yang diterima para sahabat itu tidaklah selamanya langsung dari Rasul SAW. Adakalanya mereka menerima dari sahabat lainnya. Dan sekurang-kurangnya ada dua reaksi atau sikap para sahabat setelah mendapatkan hadis tersebut, ada yang menghafalnya14, dan ada juga yang menulisnya15. Pelarangan Menulis Hadis Mengapa hadis tidak dicatat di masa Rasulullah SAW?16 Itulah pertanyaan yang seringkali muncul pada masa-masa sekarang. Ada yang berpendapat semua ini karena kebanyakan para sahabat adalah orang-orang yang buta huruf (tidak dapat menulis), kecerdasan dan kekuatan hafalan mereka sudah dapat diandalkan, dan semula memang adanya larangan dari Rasulullah SAW.17
: : ( . . - - )

Janganlah kalian menuliskan dariku kecuali Al Qur-an saja, maka barangsiapa yang menulisnya, maka hapuslah. Riwayatkan saja hadis dariku, tidak apa-apa (tidak berdosa). Dan barangsiapa yang berdusta atas namaku -Hammam berkata: Aku kira ia (Zaid) berkata- dengan sengaja, maka disiapkan tempat duduknya dari api neraka.18
10 M. Syuhudi Ismail. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. 2005. Jakarta: PT Bulan Bintang. Hlm. 30-37. 11 Ibid. 12 Muhammad bin Ismail Al Bukhori. Sahih Al Bukhori bi Hasiyah Al Sindi. TT. Beirut: Dar El Fikr. Hlm. 28. 13 Al Hasan bin Abdurrahman Al Ramahurmuziy. Al Muhaddis Al Fsil baena Al Rwi wa Al Wiy. 1971. Beirut: Dar El Fikr. Hlm. 235. 14 Yaitu diantaranya Abu Hurairoh (w. 57 H). Lihat Al Mizzi (654-742 H). Tahdzbul Kaml fi Asm Al Rijl. 1992. Beirut: Muassasah Al Risalah. Jil. 34: Hlm. 366. 15 Yaitu diantaranya Abu Bakar, Ali bin Abu Thalib, Abdullah bin Amr bin Al Ash, dan Abdullah bin Abbas. Lihat, M. Syuhudi Ismail. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Hlm. 39-40. 16 Mustafa Al Sibai. Sunnah dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam. Hlm. 15. 17 Pendapat Ibnu Hajar dalam M. M. Azami. Hadis Nabawi; dan Sejarah Kodifikasinya. 2006. Jakarta: Pustaka Firdaus. Hlm. 109. 18 Muslim bin Hajjaz. Sahih Muslim. TT. Beirut: Dar Ihya Al Turats Al Arabiy. Jil. 4: Hlm. 2298.

: ) . ( . . ) ( . ( )

Abu Hurairoh berkata; Ketika Allah subhanahu wata'ala membukakan kemenangan bagi Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam atas Kota Makkah, Beliau berdiri di hadapan manusia, maka Beliau memuji Allah dan mensucikan-Nya kemudian bersabda: Sesungguhnya Allah telah melarang menawan gajah di Makkah ini dan menyerahkan urusannya kepada Rasul-Nya dan Kaum Mu'minin, karena di tanah Makkah ini tidaklah dihalalkan bagi seorangpun sebelumku dan sesungguhnya pernah dihalalkan buatku pada suatu masa disuatu hari dan juga tidak dihalalkan bagi seseorang setelah aku. Maka tidak boleh diburu binatang buruannya, tidak boleh dipotong durinya, dan tidak boleh diambil barang temuan di sana kecuali untuk diumumkan dan dicari pemiliknya. Barangsiapa yang dibunuh maka keluarga korban memiliki dua pilihan apakah dia akan meminta tebusan uang atau meminta balasan dari keluarga korban. Maka berkatalah Al 'Abbas, Kecuali pohon Idzhir, karena pohon itu kami gunakan sebagai wewangian di kuburan kami dan di rumah kami. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, Ya, kecuali pohon Idzhir. Lalu berdiri Abu Syah, seorang penduduk Yaman dan berkata, Wahai Rasulullah, tuliskanlah buatku? Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata, Tuliskanlah buat Abu Syah. Berkata Al Walid bin Muslim, Aku bertanya kepada Al Awza'iy, Apa yang ia maksud dengan meminta tuliskanlah buatku wahai Rasulullah? Dia berkata, Isi khuthbah tadi yang dia dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.19 Secara dzahir hadis ini memang taarrudh (bertentangan). Namun bila saja dikaji sedikit lebih dalam, tentu tidak akan seperti itu kesimpulannya. Karena sebenarnya pada dasarnya menulis hadis itu boleh. Namun ketika penulisan hadis tersebut diprediksikan akan berdampak negatif terhadap syari, maka penulisan tersebut dilarang. Dan ketika dengan menulis hadis itu dijadikan upaya pemeliharaan sunnah maka hukumnya bisa menjadi wajib.20 Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah SAW melarang penulisan dan pembukuan hadis adalah: a. Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat Al Qur-an dan hadis Rasul bagi para muallaf. b. Takut berpegangan atau cenderung menulis hadis tanpa diucapkan atau ditelaah. c. Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadis saja.21
Muhammad bin Ismail Al Bukhori. Sahih Al Bukhori. 1987. Beirut: Dar Ibnu Katsir. Jil. 2: Hlm. 857. Muhammad bin Shalih Al Usaimin. Mushthalah Hadits. Hlm. 91. Dikuatkan juga oleh Mustafa Al Sibai. Sunnah dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam. Hlm. 19. 21 Hasan Sulaiman Abas Alwi. Ibnatul Ahkam (Terjemah). 1995. Surabaya: Mutiara Ilmu. Jil. I: Hlm. 16, dalam Qurrata Ayunina, dkk. Sejarah Perkembangan Hadist Masa Pra Kodifikasi. TT. Ponorogo: STAIN Ponorogo.
20 19

Jadi, maksud dari larangan Rasul SAW itu adalah menyatukan tulisan hadis dan Al Qur-an dalam satu catatan (sufah), supaya hadis itu tidak bercampur dengan ayat Al Qur-an, begitulah makna hadis tentang pelarangan tadi menurut teori tariqatul jami (mengambil jalan tengah). Wallahu alam. B. Hadis pada Periode Kedua (Masa Al Khulafa Al Rasyidin) 1. Masa Pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab Setelah Rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota di luar Madinah. Sehingga memudahkan untuk percepatan penyebaran hadis. Namun, dengan semakin mudahnya para sahabat meriwayatkan hadis dirasa cukup membahayakan bagi otentisitas hadis tersebut. Maka Khalifah Abu Bakar menerapkan peraturan yang membatasi periwayatan hadis. Begitu juga dengan Khalifah Umar ibn Al Khattab. Dengan demikian periode tersebut disebut dengan masa pembatasan periwayatan hadis. Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rasulullah SAW dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang umum. Namun pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua khalifah tersebut anti-periwayatan, hanya saja beliau sangat selektif terhadap periwayatan tentang waris yang diriwayatkan oleh Imam Malik. Abu Hurairoh, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadis, pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadis di masa Umar, lalu menjawab, Sekiranya aku meriwayatkan hadis di masa Umar seperti aku meriwayatkannya kepadamu (memperbanyaknya), niscaya Umar akan mencambukku dengan cambuknya.22 Riwayat Abu Hurairoh tersebut menunjukkan ketegasan Khalifah Umar dalam menerapkan peraturan pembatasan riwayat hadis pada masa pemerintahannya. Namun di sisi lain, Umar ibn Khattab bukanlah orang yang anti periwayatan hadis. Umar mengutus para ulama untuk menyebarkan Al Qur-an dan hadis. Dalam sebuah riwayat, Umar berkata, Saya tidak mengangkat penguasa daerah untuk memaki orang, memukul, apalagi merampas harta kalian. Tetapi saya mengangkat mereka untuk mengajarkan Al Qur-an dan hadis kepada kamu semua.23 2. Masa Pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib Secara umum, kebijakan pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib tentang periwayatan tidak berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khlaifah sebelumnya. Namun, langkah yang diterapkan tidaklah setegas langkah khalifah Umar bin Al Khottob. Dalam sebuah kesempatan, Utsman meminta para sahabat agar tidak meriwayatkan hadis yang tidak mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar.24 Namun pada dasarnya, periwayatan Hadis pada masa pemerintahan hadis. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah SAW harus dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan

Mustafa Al Sibai. Sunnah dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam. Hlm. 22. Dan Ajaz Al Khatib. Al Sunnah Qabla Tadwin. 1963. Kairo: Maktabah Wahbah. Hlm. 96. 23 Ibnu Saad. Tobaqatul Kubra. 1968. Beirut: Dar Shodr. Juz III: Hlm. 135. 24 Ajaz Al Khatib. Ushulul Hadits wa Mustholahuhu. 1989. Beirut: Dar El Fikr. Hlm. 97-98.

22

ini lebih banyak daripada pemerintahan sebelumnya. Sehingga masa ini disebut dengan masa melimpahnya periwayatan hadis (

.)

Keleluasaan periwayatan hadis tersebut juga disebabkan oleh karakteristik pribadi Utsman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan Umar Selain itu, wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan riwayat secara maksimal. Sedangkan pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi pemerintahan Islam telah berbeda dengan masamasa sebelumnya. Masa itu merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antar beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal itu membawa dampak negatif dalam periwayatan hadis. Kepentingan politik telah mendorong pihakpihak tertentu melakukan pemalsuan hadis. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadis dapat dipercaya riwayatnya.25 C. Hadis pada Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil - Tabiin Besar) Masa Penyebarluasan Hadis Sesudah masa Khulafa Al Rasyidin, timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadis. Bahkan tatacara periwayatan hadis pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadis ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadis dari usaha-usaha pemalsuan hadis. Kegiatan periwayatan hadis pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode Khulafa Al Rasyidin. Kalangan Tabiin telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadis. Meskipun masih banyak periwayat hadis yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadis, kehatihatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memicu munculnya hadis-hadis palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadis mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah. Seorang ulama Syi'ah, Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab Najhu Al Balaghah, Ketahuilah bahwa asal mulanya timbul hadis yang mengutamakan pribadi-pribadi (hadis palsu) adalah dari golongan Syi'ah sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh golongan Sunnah (Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadis-hadis untuk mengimbangi hadis golongan Syi'ah itu. Karena banyaknya hadis palsu yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh golongan Syi'ah, Imam Malik menamai kota Irak (pusat kaum Syi'ah) sebagai negeri percetakan. Bahkan Al Zuhri berkata, Hadis keluar dari kita sejengkal, lalu kembali dari Irak sehasta.26
Lengkapnya dijelaskan oleh Musthafa Al Sibai dalam Sunnah dan Penerapannya dalam Penetapan Hukum Islam, Hlm. 40-43. 26 Ibnu Asakir dalam Musthafa Al Sibai dalam Sunnah dan Penerapannya dalam Penetapan Hukum Islam, Hlm. 40.
25

Pada intinya, penyebaran hadis makin meluas. Akan tetapi dikarenakan adanya beberapa konflik yang terjadi di kalangan umat muslim pada waktu itu, hingga mulai muncullah hadis-hadis palsu, yang diawali dari periode Utsman hingga mencapai puncak di masa Umayyah.27 Namun, para ulama pun tidak tinggal diam. Mereka terus mencurahkan kemampuan dan usaha mereka demi menjaga sunnah Rasulullah SAW. Kesimpulan Al Alamah Al Sayyid Munadir Ahsan Al Kailani (1892-1956 H) berkata, Apa yang dijadikan keraguan kaum orientalis terhadap hafalan para sahabat, adalah hanya sangkaan saja, tanpa ada bukti historis maupun empiris yang kuat.28 Ditambah lagi fakta, bahwa penulisan hadis itu memang sudah terjadi di zaman Rasul SAW. Dan tradisi itu terus berlanjut hingga kini. Adapun penulisan pada periode pra-kodifikasi ini adalah masih berupa catatan-catatan terpisah (sahifah), belum dicatat secara resmi seperti juga Al Qur-an pra-periode khalifah Utsman bin Affan. Penyebaran hadis pada periode ini terjadi begitu pesat. Dan kesemuanya itu disebabkan dakwah dari kaum muslimin yang sangat hebat, tanpa mengenal lelah dan juga bosan. Dalam penyebaran hadis ini dari masa ke masa semakin berkembang, baik dari metode maupun dari segi disiplin ilmunya. Adapun pemalsuan-pemalsuan hadis yang terjadi, selalu mendapatkan perlawanan yang sangat dahsyat dari para ulama penjaga sunnah yang sengaja Allah utus untuk menjaga wahyu dan juga ajaranNya di muka bumi ini. Wallahu alam.

27 28

(Lebih lengkapnya lagi lihat) Ibid. Hlm. 36-55. Al Alamah Al Sayyid Munadir Ahsan Al Kailani. Tadwnul Hadis. 2004. Beirut: Dar El Ghorb Al Islamiyyah.

Hlm.26.

Referensi Al Bukhori, Muhammad bin Ismail. TT. Sahih Al Bukhori bi Hasiyah Al Sindi. Beirut: Dar El Fikr. ____________________________. 1987. Sahih Al Bukhori. Beirut: Dar Ibnu Katsir. Al Kailani, Al Alamah Al Sayyid Munadir Ahsan. 2004. Tadwnul Hadis. Beirut: Dar El Ghorb Al Islamiyyah. Al Khatib, Ajaz. 1963. Al Sunnah Qabla Tadwin. Kairo: Maktabah Wahbah. ____________. 1989. Ushulul Hadits wa Mustholahuhu. Beirut: Dar El Fikr. Al Mizzi, Jamaluddin Ibnu Yusuf bin Abdurrohman. 1992. Tahdzbul Kaml fi Asmi Al Rijl. Beirut: Muassasah Al Risalah. Al Naisabury, Muslim bin Hajjaz. TT. Sahih Muslim. Beirut: Dar Ihya Al Turats Al Arabiy. Al Qardhawi, Yusuf. 2007. Pengantar Studi Hadis. Bandung: Pustaka Setia. Al Ramahurmuziy, Al Hasan bin Abdurrahman. 1971. Al Muhaddis Al Fsil baena Al Rwi wa Al Wiy. Beirut: Dar El Fikr. Al Sibai, Mustafa. 2003. Sunnah dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam. Jakarta: Putaka Firdaus. Al Usaimin, Muhammad bin Shalih. 2008. Mushthalah Hadits. Yogyakarta: Media Hidayah. Al Zahraniy, Muhammad bin Mathar. 1996. Tadwin Al Sunnah Al Nabawiyyah Nasyatuhu wa Tatowwuruhu. Riyadh: Mamlakah Al Arabiah Al Suudiyyah. Ayunina, Qurrata, dkk. TT. Sejarah Perkembangan Hadist Masa Pra Kodifikasi. Ponorogo: STAIN Ponorogo. Azami, M. Mustafa. 2006. Hadis Nabawi; dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka Firdaus. Fathullah, Ahmad Luthfi. TT. Metode Belajar Interaktif Hadis dan Ilmu Hadis (CD Program). Jakarta: Pusat Kajian Hadis. Ibnu Al Jauzi, Abdurrohman bin Ali. 1983. Al Mudhuat. Beirut: Dar El Fikr. Ibnu Saad. 1968. Tobaqatul Kubra. Beirut: Dar Shodr. Iqbal, Muhamad, dan William Hunt. 2005. Ensiklopedi Ringkas Tentang Islam. Jakarta: MM Corp. Ismail, M. Syuhudi. 2005. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: PT Bulan Bintang. Rakhmat, Jalaluddin. 2008. Al Musthafa; Manusia Pilihan Yang Disucikan. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

You might also like