You are on page 1of 16

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Saat ini penyakit ISPA masih menjadi masalah di Indonesia. ISPA merupakan penyebab utama kematian balita. Dari sekitar 450.000 kematian balita yang terjadi setiap tahun diperkirakan 150.000 diantaranya disebabkan karena ISPA. Dengan kata lain setiap hari terjadi kematian balita akibat ISPA selalu menepati kelompok penyakit terbanyak di sarana kesehatan dan ISPA Pneumonia merupakan salah satu penyebab kematian bayi dan balita. Penyakit infeksi saluran pernafasan, bersama-sama dengan malnutrisi dan diare merupakan penyebab kesakitan dan kematian utama pada anak Balita di negara berkembang (Sharma et al., 1998). ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya. 40 % - 60 % dari kunjungan diPuskesmas adalah oleh penyakit ISPA. Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20 % - 30 %. Kematian yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia dan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan. ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya. Infeksi saluran pernapasan bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua golongan masyarakat pada bulan-bulan musim dingin. Tetapi ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada anak kecil terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak hygiene. Risiko terutama terjadi pada anak-anak karena meningkatnya kemungkinan infeksi silang, beban immunologisnya terlalu besar karena dipakai untuk penyakit parasit dan cacing, serta tidak tersedianya atau berlebihannya pemakaian antibiotik. Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di Indonesia karena masih tingginya angka kejadian ISPA terutama pada anak Anak Balita. ISPA mengakibatkan sekitar 20% - 30% kematian anak Balita (Depkes RI, 2000). ISPA juga merupakan salah satu penyebab
1

utama kunjungan pasien pada sarana kesehatan. Sebanyak 40% - 60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15% - 30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit disebabkan oleh ISPA (Dirjen P2ML, 2000). Host, lingkungan dan sosiokultural merupakan beberapa variabel yang dapat

mempengaruhi insiden dan keparahan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (Sharma et al., 1998). Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap struktur fisik , dimana orang menggunakannya sebagai tempat berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sarana sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran manusia, dan penyediaan air bersih (Azwar, 1990). Sanitasi rumah sangat erat kaitannya dengan angka kesakitan penyakit menular, terutama ISPA. Lingkungan perumahan sangat berpengaruh pada terjadinya dan tersebarnya ISPA. Hubungan antara rumah dan kondisi kesehatan sudah diketahui. Pada komunitas Aborigin prevalensi penyakit yang tinggi disebabkan oleh sanitasi yang buruk, kontrol kondisi lingkungan yang buruk, kepadatan yang tinggi dan penyediaan air bersih yang tidak memadai (Taylor, 2002). Rumah yang jendelanya kecil menyebabkan pertukaran udara tidak dapat berlangsung dengan baik, akibatnya asap dapur dan asap rokok dapat terkumpul dalam rumah. Bayi dan anak yang sering menghisap asap lebih mudah terserang ISPA. Rumah yang lembab dan basah karena banyak air yang terserap di dinding tembok dan matahari pagi sukar masuk dalam rumah juga memudahkan anak-anak terserang ISPA (Ranuh, 1997). Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah sanitasi fisik rumah. Sanitasi fisik ini meliputi : ventilasi, kepadatan hunian, kelembaban, penerangan alami, dan suhu. Sub variabel sanitasi fisik rumah lain yang diteliti adalah atap, dinding, plafon, dan lantai. Semua penelitian ini menggolongkan ventilasi menjadi 2 kriteria, yaitu baik jika luas ventilasi 10% luas lantai dan buruk (tidak baik) jika luas ventilasi < 10% luas lantai. Untuk sub variable kepadatan penghuni memberi kriteria yang sama, yaitu baik jika luas kamar tidur 8 m2 untuk 2 orang. Untuk sub variabel kelembaban kriteria yang baik bila kelembaban berkisar antara 4070% dan buruk jika kelembaban < 40% atau > 70%. Pencahayaan alami pada penelitian dianggap baik jika antara 60120 lux dan buruk jika < 60 lux atau > 120 lux. Kriteria untuk
2

dianggap baik jika berkisar antara 23-250C dan tidak baik jika suhu < 200C atau > 300C.

B. Perumusan Masalah Perumusan masalah pada penelitian ini adalah Apakah ada hubungan antara keadaan sanitasi rumah dengan tingkat prevalensi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita di kota Abepura.

C. Tujuan 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan sanitasi rumah dengan tingkat prevalensi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita di kota Abepura

2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah : a) Mengetahui angka prevalensi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita di kota Abepura. b) Mengetahui keadaan sanitasi rumah di kota Abepura. c) Mengetahui factor penyebab Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita. d) Mengetahui syarat-syarat sanitasi rumah yang sehat untuk menghindari penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).

D. Manfaat Manfaat penelitian ini antara lain : 1. Meningkatkan wawasan penulis tentang pengaruh sanitasi rumah terhadap kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita, mampu mengenali permasalahan kesehatan di masyarakat serta dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu yang didapat dibangku kuliah ketengah masyarakat. 2. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk masukan dalam rangka meningkatkan upaya-upaya pencegahan penyakit ISPA khususnya di wilayah Kota Abepura.

3. Menambah referensi perpustakaan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Cenderawasih, memberi masukan, saran kepada fakultas mengenai target-target dan kurikulum apa saja yang akan dikembangkan di fakultas untuk menghasilkan lulusan yang siap terjun di masyarakat 4. Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan penulis tentang pengaruh sanitasi rumah terhadap kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita.

BAB II PEMBAHASAN
Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA adalah suatu kelompok penyakit yang menyerang saluran pernapasan. Secara anatomis ISPA dapat di bagi dalam dua bagian, yaitu ISPA Atas (Acute Upper Respiratory Infections) dan ISPA Bawah (Acute Lower Respiratory Infections). Batas anatominya adalah suatu bagian dalam tenggorokan yang disebut epiglottis. ISPA dapat menyerang anak-anak dan orang dewasa, tetapi enting untuk memperhatikan ISPA pada anak-anak karena penyakit ini merupakan salah satu penyebab terpenting kematian pada anak-anak terutama pada bayi dan balita. Salah satu ISPA Atas yang perlu diwaspadai adalah radang saluran tenggorokan atau faringitis dan radang telinga tengah atau otitis. ISPA bawah yang berbahaya adalah pneumonia. Menurut Prof. Dr.H. Mardjanis, Sp.A(K) Infeksi Saluran Pernapasan Akut disebabkan oleh bakteri dan sering menyebabkan kematian pada bayi dan anak balita. Istilah ISPA yang sering disalahtafsirkan sebagai Infeksi Saluran Pernapasan Atas dipakai sebagai pengganti istilah batuk-pilek biasa (Common cold, flu, salesma). Untuk ISPA yang lama digunakan istilah IRA (Infeksi Respirasi Akut). ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) adalah suatu penyakit infeksi yang mengenai saluran pernapasan, biasanya mulai mendadak dan perlangsungan penyakitnya kurang dari 2 minggu tetapi ada juga yang lebih dari 2 minggu dan diharapkan sembuh tanpa sekualae permanent apapun. ISPA dapat disebabkan oleh virus, bakteri dan riketsia. Salah satu penyakit ISPA yang sering mengenai populasi manusia di seluruh dunia adalah influenza. Influenza adalah penyakit saluran pernapasan akut dengan demam yang disebabkan oleh virus influenza tipe A atau virus influenza tipe B. penyakit influenza ini bersifat endemik di seluruh dunia dan epidemik di beberapa daerah tertentu. Penularannya melalui percikan ludah (droplet injection) dan sering diikuti komplikasi infeksi bacterial kalau tidak dilakukan pengobatan.

A. Pengertian ISPA adalah suatu penyakit pernafasan akut yang ditandai dengan gejala batuk, pilek, serak, demam dan mengeluarkan ingus atau lendir yang berlangsung sampai dengan 14 hari (Depkes RI, 2000). ISPA adalah penyakit infeksi yang menyerang salah satu dan atau lebih bagian dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran pernapasan atas) hingga alveoli (saluran pernapasan bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura yang disebabkan oleh masuknya kuman (bakteri, virus atau riketsia) ke dalam organ saluran pernapasan yang berlangsung selama 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut dari suatu penyakit, meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu ISPA ringan, ISPA sedang, dan ISPA berat. Pembagian menurut deajat keparahan tersebut didasarkan pada gejala-gejala dan tanda-tandanya . ISPA ringan dapat berkembang menjadi ISPA sedang atau ISPA berat jika keadaan memungkinkan, misalnya penderita kurang mendapat perawatan atau saat penderita dalam keadaan lemah hingga daya tahan tubuhnya rendah. Gejala ISPA ringan dapat dengan mudah diketahui oleh orang awam, sedangkan gejala ISPA sedang dan berat memerlukan beberapa pengamatan sederhana.

B. Klasifikasi Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat di bagi menjadi 3 golongan yaitu : a) ISPA ringan Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut : i) Batuk ii) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada waktu berbicara atau menangis). iii) Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung.
6

iv) Panas atau demam, suhu tubuh lebih dari 370C atau jika dahi anak diraba dengan penggung tangan terasa panas. b) ISPA sedang Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala-gejala ISPA ringan disertai gejala-gejala berikut : i) Pernapasan > 50 kali per menit pada anak yang berumur > 1 tahun atau > 40 kali per menit pada anak yang berumur 1 tahun atau lebih. ii) Suhu tubuh lebih dari 390C. iii) Tenggorokan berwarna merah. iv) Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak. v) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga. vi) Pernapasan berbunyi seperti mendengkur atau mencuit-cuit. Dari gejala-gejala ISPA sedang, perlu berhati-hati jika anak menderita ISPA ringan sedangkan suhu tubuhnya lebih dari 390C atau gizinya kurang baik, atau umurnya 4 bulan, maka anak tersebut menderita ISPA sedang dan harus mendapat pertolongan dari petugas kesehatan. c) ISPA berat Seorang anak dinyatakan menderita ispa berat jika dijumpai gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai gejala berikut : i) Bibir atau kulit membiru. ii) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernapas. iii) Kesadaran menurun. iv) Pernapasan berbunyi berciut-ciut dan anak tampak gelisah. v) Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernapas. vi) Nadi cepat, lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba.
7

vii) Tenggorokan berwarna merah. Penderita ini harus dirawat di puskesmas atau rumah sakit, karena perlu mendapat perawatan dengan peralatan khusus seperti oksigen dan atau cairan infus. C. Epidemiologi Penyakit ISPA sering terjadi pada anak-anak. Episode penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia perkirakan 3-6 kali per tahun (rata-rata 4 kali per tahun), artinya seorang balita rata-rata mendapatkan serangan batuk pilek sebanyak 3-6 kali setahun. Dari hasil pengamatan epidemiologi dapat diketahui bahwa angka kesakitan dikota cenderung lebih besar dari pada di desa. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat kepadatan tempat tinggal dan pencemaran lingkungan di kota yang lebih tinggi dari pada di desa. ISPA merupakan penyakit yng seringkali dilaporkan sebagai 10 penyakit utama di Negara berkembang. Di Negara berkembang, penyakit pneumonia merupakan 25% penyumbang kematian pada anak, terutama pada bayi berusia kurang dari 2 bulan. Dari Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 diketahui bahwa morbiditas pada bayi akibat pneumonia sebesar 42,2% dan pada balita 40,6%, sedangkan angka mortalitas 36%. Di Indonesia angka ini dilaporkan sekitar 3-6 kali per tahun per anak, sekitar 4060% kunjungan berobat di puskesmas dan 15-30% kunjungan berobat jalan dan rawat inap di ruamah sakit juga disebabkan oleh ISPA. Hasil SKRT tahun 1992 menunjukkan bahwa angka mortalitas pada bayi akibat penyakit ISPA menduduki urutan pertama (36%), dan angka mortalitas pada balita menduduki urutan kedua (13%). Di jawa Tengah pada tahun 1999 penyakit ISPA selalu menduduki rangking 1 pada 10 besar penyakit pasien rawat jalan di puskesmas. D. Etiologi Etiologi ISPA terdiri dari : Bakteri :Diplococcus pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenza, dan lain-lain.

Virus Jamur Aspira

:Influenza, adenovirus, sitomegalovirus :Aspergillus sp, Candida albicans, Histoplama, dan lain-lain. :Makanan, asap kendaraan bermotor, BBM (bahan bakar minyak) biasanya minyak tanah, cairan amnion pada saat lahir, benda asing (biji-bijian, mainan plastic kecil, dan lain-lain).

Disamping penyebab, perlu juga diperhatikan faktor resiko, yaitu faktor yang mempengaruhi atau mempermudah terjadinya ISPA. Secara umum ada 3 faktor yaitu: a) Keadaan social ekonomi dan cara mengasuh atau mengurus anak. b) Keadaan gizi dan cara pemberian makan. c) Kebiasaan merokok dan pencemaran udara Faktor yang meningkatkan morbiditas adalah anak usia 2 bulan, gizi kurang, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), pemberian Air Susu Ibu (ASI) tidak memadai, polusi udara, kepadatan dalam rumah, imunisasi tidak lengkap dan menyelimuti anak berlebihan. Faktor yang meningkatkan mortalitas adalah umur kurang dari 2 bulan, tingkat social ekonomi rendah, gizi kurang, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), tingkat pengetahuan ibu rendah, kepadatan dalam rumah, imunisasi tidak lengkap dan menderita penyakit kronis. E. Patologi dan Gejala klinis Bila virus masuk ke dalam pernapasan maka hanya dalam waktu 1-3 hari akan timbul gejala penyakitnya. Gejala sistemik influenza mulainya mendadak dan disertai demam (samapai 104 derajat Farenheit), mengigil, nyeri kepala, mialgia (nyeri otot), nyeri lumbosakral dan sangat lemah. Nyeri kepala dan nyeri otot merupakan keluhan yang sangat jelas intensitasnya pararel dengan demam yang tinggi. Demam biasanya berakhir 2-4 hari. Batuk kering, nyeri tenggorokan dan rinorea juga ada, kurang kuat pada permulaan dan jadi lebih nyata ketika demam mengurang.

Masyarakat umur dewasa memikirkan kesengsaraan menderita influenza. Anakanak juga dengan mudah terinfeksi. Selama masa epidemi sebanyak sepertiga dari kunjungan poliklinik pediatri adalah dengan gejala-gejala flu. Anak-anak sering mengalami demam yang lebih lama, hilangnya virus lebih lama dari pada orang dewasa dan lebih mungkin terjadi pneumonia virus influenza primer. Flu dapat sebagai pencetus asma pada anak dengan mengakibatkan jalan napas hiperaktif dan flu dapat juga mempercepat terjadinya kejang demam pada anak. Walaupun penyakit influenza sangat melemahkan, untuk sementara ini kebanyakan kasus sembuh dalam 1-2 minggu dan tidak meninggalkan cedera yang permanent. Namun pada epidemi yang khas ada dua jenis komplikasi yang dapat mengakibatkan penambahan morbidibitas influenza dan menyebabkan sebagian besar kematian yaitu : pneumonia virus influenza primer dan pneumonia bakteri sekunder. F. Diagnosis Serangan influenza sering secara langsung atau selama epidemi, diagnosis biasanya dibuat atas dasar klinis saja. Walaupun demikian, pembuktian laboratorium lebih mempunyai manfaat. Dari pulasan pharynx (hapusan tenggorok) dapat dibuat biakan kuman lalu diperiksa dengan mikroskop. Jika ditemukan virus influenza tipe B maka diagnostic pasti dapat ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan yang tepat. Pemeriksaan darah juga perlu dilakukan, jika ditemukan leukositosis (leukosit > 11.000/ml) maka biasanya sudah ada komplikasi atau infeksi sekunder. G. Pengobatan Pengobatan penyakit influenza yang perlangsungannya kurang dari 2 minggu dan belum ada komplikasi sekunder, sebagaian besar bersifat simtomatik yaitu istirahat di tempat tidur karena kebanyakan penderita merasa sangat lelah selama beberapa hari pada awal terkena penyakit dan minum air hangat yang cukup selama terkena penyakit. Asetaminofen atau aspirin dapat diberikan untuk demam dan mialgia. Bila telah terjadi komplikasi atau infeksi sekunder maka dapat diobati dengan antibiotik yang sesuai dengan penyebab infeksi sekundernya.

10

Pengobatan yang dilakukan meliputi non farmakologi dan farmokologi yaitu : a) Non Farmakologi i) Istirahat yang cukup. ii) Konsumsi makanan yang bergizi (misalnya buah-buahan yang mengandung vitamin C dan makanan yang kaya Zinc seperti sup ayam). Buah dan sayur dapat membantu meningkatkan daya tahan tubuh serta mendukung penyembuhan, selain itu dapat meningkatakan antioksidan dalam tubuh dimana antioksidan ini berfungsi untuk menetralisir racun (termasuk asap, debu dan polusi udara) yang msuk ke dalam tubuh. iii) Berkumur dengan air garam atau obat kumur yang mengandung antiseptic dapat meringankan gejala sakit tenggorokan. iv) Menghindari polusi udara. b) Farmakologi i) Analgesik-antipiretik untuk mengobati gejala demam seperti parasetamol dan aspirin. ii) Kombinasi dekongestan dan anti alergi untuk pilek dan flu. Contoh : dekongestan antara lain pseudoefedrin, fenil propanolamin. Contoh antialergi adalah dipenhidramin. iii) Ekspektoran untuk batuk berdahak. Contoh : ammonium klorida. iv) Mukolitik untuk batuk berdahak. Contoh : ambroksol, bromheksin, gliseril gualakolat. v) Antitusif untuk meringankan gejala batuk kering. Contoh : dekstrometorfan. vi) Antibiotik. Antibiotik tidak disarankan untuk ISPA yang disebabkan oleh virus karena antibiotik tidak dapat membunuh virus. Antibiotik diberikan jika gejala memburuk, terjadi komplikasi atau radang yang disebabkan oleh bakteri.

11

Antibiotik yang paling sesuai untik ISPA oleh bakteri adalah golongan penisilin (missal : amoksilin) dan eritromisin. H. Pencegahan Sebagai tindakan mencegah terjadinya penularan penyakit ISPA, maka : a) Keadaan gizi dijaga agar tetap baik. b) Imunisaai lengkap. c) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan terutama sanitasi rumah. d) Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA. I. Kegiatan pemberantasan Kegiatan pemberantasan dapat dilakukan dengan cara : a) Penyuluhan kesehatan yang terutama ditujukan kepada para ibu. b) Imunisasi J. Sanitasi Rumah Pengertian sanitasi menurut WHO adalah suatu usaha untuk mengawasi beberapa factor lingkungan fisik yang berpengaruh kepada manusia terutama terhadap hal-hal yang memberikan efek yang merusak perkembangan fisik kesehatan dan kelangsungan hidup (Suparlan, 1994). Sanitasi menurut Ethler dan Steel adalah usaha-usaha pengawasan yang ditujukan terhadap faktor lingkungan yang dapat menjadi mata rantai penularan penyakit. Menurut Winslow Rumah adalah sebuah bangunan sebagai tempat berlindung dari pengaruh lingkungan. Sanitasi rumah menitikberatkan pada pengawasan adalah usaha kesehatan masyarakat yang terhadap struktur fisik, dimana orang

menggunakannya sebagai tempat berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Menurut Winslow sebuah rumah yang sehat harus memenuhi syarat-syarat fisiologis, psikologis, harus dapat menghindarkan terjadinya kecelakaan, dan harus dapat menghindarkan terjadinya penyakit. Agar dapat terhindar dari penularan
12

penyakit ISPA variabel-variabel sebuah rumah harus memenuhi persyaratan kesehatan. Variabel-variabel tersebut antara lain : a) Ventilasi (Perhawaan) Hawa segar diperlukan dalam rumah untuk mengganti udara ruangan yang sudah terpakai. Udara segar diperlukan untuk menjaga temperature dan kelembaban udara dalam ruangan. Sebaiknya temperatur udara dalam ruangan harus lebih rendah paling sedikit 40C dari temperature udara luar untuk daerah tropis. Umumnya temperature kamar 220C-300C sudah cukup segar. Pergantian udara bersih untuk orang dewasa adalah 33 m3/orang/jam, kelembaban udara berkisar 60% optimum. Untuk memperoleh kenyamanan udara yang dimaksud diatas diperlukan adanya ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik dalam ruangan harus memenuhi syarat diantaranya : i) Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan. Sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimum 5% luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% kali luas lantai ruangan. ii) Udara yang masuk harus udara bersih tidak dicemari oleh asap dari sampah atau dari pabrik, dari knalpot kendaraan, debu dan lain-lain. b) Penerangan alami Pencahayaan alam diperoleh dengan masuknya sinar matahari kedalam ruangan melalui jendela, celah-celah dan bagian-bagian bangunan yang terbuka. Sinar ini sebaiknya tidak terhalang oleh bangunan, pohon-pohon maupun tembok pagar yang tinggi. Cahaya matahari ini berguna selain untuk penerangan juga dapat mengurangi kelembaban ruang, mengusir nyamuk, membunuh kuman-kuman penyebab penyakit tertentu seperti TBC, ISPA, penyakit mata dan lain-lain. Penentuan kebutuhan-kebutuhan cahaya untuk penerangan alami sangat ditentukan oleh letak dan lebar jendela. Untuk memperoleh jumlah cahaya matahari pada pagi hari secara optimal sebaiknya jendela kamar tidur menghadap ke timur. Luas jendela yang baik paling sedikit mempunyai luas 10-20% dari luas lantai. Penerangan yang cukup baik siang maupun malam 100-200 lux.

13

c) Kepadatan hunian Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5-3 m2 untuk tiap orang. Kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan yaitu jika luas kamar tidur 8 m2 untuk 2 orang. d) Suhu ruangan Suhu ruangan harus dijaga agar jangan banyak berubah. Sebaiknya tetap berkisar antara 18-200C. Suhu ruangan ini tergantung pada suhu udara luar, pergerakan udara, kelembaban udara, dan bebda-benda disekitarnya. K. Hubungan rumah yang terlalu sempit dan kejadian penyakit a) Kebersihan udara Karena rumah terlalu sempit (terlalu banyak penghuninya), maka ruanganruangan akan kekurangan oksigen sehingga akan menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh sehingga memudahkan terjadinya penyakit. Penularan penyakitpenyakit saluran pernapasan misalnya TBC dan ISPA akan mudah terjadi diantara penghuni rumah. b) Memudahkan terjadinya penyakit Karena rumah terlalu sempit maka perpindahan (penularan) bibit penyakit dari manusia yang satu ke manusia yang lainnya akan lebih mudah terjadi. Misalnya, penyakit-penyakit kulit dan penyakit-penyakit saluran pernapasan

14

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ISPA adalah suatu penyakit pernafasan akut yang ditandai dengan gejala batuk, pilek, serak, demam dan mengeluarkan ingus atau lendir yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Menurut derajat keparahannya ISPA dapat di bagi menjadi 3 golongan yaitu ISPA ringan, ISPA sedang dan ISPA berat. Faktor resiko yang mempengaruhi atau mempermudah terjadinya ISPA secara umum ada 3 faktor yaitu keadaan sosial ekonomi dan cara mengasuh atau mengurus anak, keadaan gizi dan cara pemberian makan, kebiasaan merokok dan pencemaran udara. Selain ketiga faktor tersebut sanitasi rumah juga sangat mempengaruhi dalam kejadian ISPA pada balita. Sanitasi rumah meliputi ventilasi, penerangan, kepadatan hunian dan suhu ruangan.

B. Saran Karena ISPA merupakan penyebab utama kematian pada balita, maka diharapkan penanganannya dapat diprioritaskan. Disamping itu pemberian penyuluhan kepada ibu-ibu tentang penyakit ISPA perlu ditingkatkan dan dilaksanakan secara berkesinambungan.

15

DAFTAR PUSTAKA
Entjang, I. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Citra Aditya bakti. Bandung.

http://www.google.com//:InfeksisalurannapasataswikipediabahasaIndonesia,ensiklopediabebas.

http://www.google.com//:ispa.

http://www.google.com//:ispa-infeksi-saluran-pernapasan-akut-ketahui-dan-waspadailah.

http://www.google.com//:litbangkabtsm.org.

http://www.google.com//:BABI

Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia Pada Anak Balita, Orang Dewasa, Usia Lanjut, Pneuminia Atypik dan Pneumonia Atypik

Mikobakterium. Pustaka Populer Obor. Jakarta.

Muda, A. 2003. Kamus lengkap Kedokteran. Gitamedia Press. Surabaya.

Notoadmodjo, S. 2005.Metodelogi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.

Oswari, E. 2006. Penyakit dan Penanggulannya. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Sabri dan Hastono, S.2006. Statistik Kesehatan. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Erlangga. Jakarta.

16

You might also like