You are on page 1of 131

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia saat ini menjadi salah satu negara yang menjadi sorotan dunia dalam hal kejahatan narkotika. Perkembangan kejahatan yang menyangkut narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di Indonesia mengalami perkembangan yang begitu pesat. Dalam tiga tahun terakhir kejahatan narkotika menunjukkan kecenderungan meningkat. Dalam satu setengah tahun terakhir ini saja, kejaksaan telah mengajukan 764 perkara narkotika ke pengadilan. Sebagian telah diputus dan memiliki kekuatan hukum tetap, dan sebagian lainnya masih diperiksa di pengadilan tingkat pertama, di tingkat banding dan tingkat kasasi (BNN: 2004). Jumlah ini tentunya tidak termasuk dark number yang diperkirakan lebih besar jumlahnya. Menurut data terakhir United Nation Drugs Control Program (UNDCP), saat ini kurang lebih 200 juta orang di seluruh dunia telah menggunakan jenis barang berbahaya ini, dari jumlah tersebut 1% ( 2 juta orang) berada di Indonesia (Depsos: 2003). Data berikut mendukung pernyataan diatas, yaitu :

2 Tabel 1.1 Kasus Peredaran gelap dan Penyalahgunaan Narkoba se-Indonesia periode tahun 2002
NO PROPINSI DEPSOS KORBAN NARKOBA 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 N. Aceh D Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jabar Jateng DI Yogya Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Maluku Papua Banten Bangka B Gorontalo Maluku Utara Riau Kep. 227 2104 242 218 451 449 149 772 3217 2949 2470 2623 2699 234 197 47 368 120 841 211 150 230 1169 147 889 231 149 39 41 27 124 23784
PERINGKAT

LAPAS/RUTAN NAPI DAN TAHANAN NARKOBA 122 875 399 215 242 37 106 79 2789 1365 77 286 638 397 45 5 27 22 278 620 4 47 287 28 0 13 1028 4 21 8 0 10762 PERINGKAT 15 4 8 14 13 20 16 17 1 2 11 12 6 7 18 29 29 24 10 6 27 19 9 22 30 25 3 28 23 11 31

POLDA TERSANGKA NARKOBA 0 2740 133 232 218 72 38 79 648 672 77 208 998 270 48 69 87 51 183 246 92 26 222 30 0 31 0 0 0 0 0 7472

18 4 14 19 11 12 23 10 1 2 5 6 3 15 21 28 13 27 9 20 22 17 7 25 8 16 24 30 29 31 26

Jumlah Total

Sumber : Data Mabes POLRI, September 2003

Data yang didapat dari Polda Metro Jaya menyebutkan bahwa dalam tahun 2004, jajaran Polda Metro Jaya telah menangani 4.510 kasus narkoba dengan jumlah tersangka sebanyak 5.847 orang. Dari jumlah itu, 2.303 merupakan pengedar dan bandar, 3.025 pemakai (Batavia, 2005 : 10).

3 Selain itu, peningkatan kasus narkotika juga terlihat dari meningkatnya jumlah narapidana dan tahanan yang terdapat di beberapa lapas dan rutan di wilayah DKI Jakarta. Data yang didapat sebagai berikut: Tabel 1.2 Data jumlah narapidana dan tahanan di lapas dan rutan wilayah DKI Jakarta tahun 2002-2004
No 1 Lapas/Rutan Kapts 2002 umum Narkt Isi Rata-rata/bulan 2003 umum narkt 2004 umum narkt 1.366 44 2.303 481 4.194 1.952 711 1.184 352 4.199 Beroperasi tahun 2004 Ket

Lapas Klas I 1.789 1.204 1.213 1.567 1.274 Cipinang 2 Lapas Khusus Narkotika 1.084 Jakarta 3 Rutan Jakarta Pusat 753 1.502 988 1.343 1.184 (Salemba) 4 Rutan Jakarta Timur (Pondok 504 567 291 531 352 Bambu) Jumlah 3.273 2.492 3.441 2.810 Sumber : Kanwil Dep. Hukum dan HAM DKI Jakarta, tahun 2005

Dari tabel di atas terlihat adanya peningkatan pesat jumlah narapidana narkoba di berbagai lapas dan rutan yang ada di wilayah Jakarta. Pada tahun 2002, jumlah narapidana narkoba sebanyak 2.492 atau sebesar 43,25%, tahun 2003 sebanyak 2.810 atau sebesar 44,95%, sedangkan pada tahun 2004 jumlah narapidana narkoba sebesar 4.199 atau sebesar 50,03%. Khusus untuk Lapas Narkotika Cipinang Jakarta tempat penelitian ini dilaksanakan, tercatat hingga periode 03 Maret 2006 jumlah penghuni telah melebihi kapasitas yaitu 1201 orang. Dari jumlah tersebut kasus narkotika berjumlah 780 orang, psikotropika 415 orang dan kasus lain sebanyak 6 orang. Kondisi diatas dijabarkan secara global melalui gambar berikut ini :

4 Gambar 1.1 Situasi Penjara di Indonesia


Kapasitas Penjara (dalam ribuan) 88.887 89.708

90 80

67.960

71.587

70 60 50 40 30 20 10 0 2002 2003 2004 2005


Tahun 7.211 17.066 11.973 21.082

Tahanan Total Tahanan Narkoba

Sumber : Ditjen Pemasyarakatan (Maret 2005) Kondisi saat ini menunjukkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)/Rumah Tahanan Negara (Rutan) sebagai instansi terakhir dalam Integrated Criminal Justice System (ICJS) mengalami over kapasitas. Tercatat bahwa Lapas/Rutan yang ada banyak menampung narapidana/tahanan

narkotika/psikotropika dan hal ini sangat memungkinkan terjadinya transfer kejahatan kepada narapidana non narkotika/psikotropika. Hal ini sebagaimana yang pernah terjadi di Lapas Wirogunan Yogyakarta yang kebobolan dengan adanya peredaran shabu-shabu di kalangan narapidana

(http://www.indomedia.com/bernas/022001/01/UTAMA/01uta3.htm).

5 Data berikut merupakan data jumlah penghuni Lapas Cipinang yang menunjukkan mayoritas penghuni adalah kasus narkotika /psikotropika. Lapas Cipinang saat ini menampung 1.543 narapidana dan tahanan. Narapidana narkotika 147 orang dan tahanan narkotika 39 orang. Jumlah tahanan dan napi itu sudah mendekati kapasitas LP yang menampung 1.797 tahanan dan narapidana. Dari jumlah itu, juga terdapat 38 narapidana narkotika dari negara lain antara lain Nepal, Myanmar, dan Thailand (LP Cipinang dan Rutan salemba Dipadati Tahanan Narkotika http://kompas.com/). Sementara di Rutan Salemba yang bertugas menampung seluruh tahanan untuk wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat sudah penuh dengan tahanan narkotika. Jumlah tahanan di Rutan Salemba saat ini berjumlah 1.462 orang dan 207 tahanan diantaranya adalah narapidana kasus narkotika. Jumlah itu jauh lebih banyak dari kapasitas Rutan Salemba yang hanya 753 orang tahanan dan narapidana. Sebanyak 207 tahanan narkotika itu, sebagian besar sudah memenuhi dua blok dari 14 blok yang digunakan. Melihat banyaknya kasus penyalahgunaan narkoba tersebut, tentu saja baik pemerintah maupun masyarakat perlu memberikan perhatian yang serius agar masalah tersebut tidak semakin meningkat dan meluas.

Penanggulangan penyalahgunaan narkoba perlu dilakukan karena adanya bukti nyata bahwa narkoba membawa berbagai dampak negatif baik terhadap korban yang memakai dengan timbulnya penyakit HIV/AIDS, hepatitis dan lain lain maupun terhadap kehidupan keluarga, masyarakat, perekonomian, bahkan mengancam dan membahayakan keamanan dan ketertiban.

6 Lapas sebagai sebuah lembaga yang memiliki tujuan reintegrasi sosial dituntut untuk mampu membuat narapidana jera dengan tindak pidana yang dilakukannya serta membentuk perilaku yang lebih positif bagi narapidananya. Tujuan pidana penjara adalah memulihkan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan antara terpidana dengan masyarakat.

(Soeryobroto, 2002 : 3). Sebagai sebuah organisasi setiap lapas memiliki strategi dan kebijakan yang akan dijalankan bagi berlangsungnya organisasi. Meskipun semua lapas yang ada di Indonesia menjalankan kebijakan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas), namun tentu saja masing-masing lapas akan memiliki strategi tersendiri dalam operasionalisasi kegiatannya. Hampir semua lapas memiliki pola penanganan narapidana yang hampir sama, baik dalam segi pengamanan maupun pembinaan. Namun demikian, setiap lapas tentu memiliki ciri khas atau kekhususan yang membedakan dengan lapas-lapas lainnya. Diantara beberapa kekhususan tersebut antara lain dengan ditetapkannya pembangunan lapas khusus bagi para narapidana narkoba. Lapas yang diperuntukkan khusus bagi para pelaku tindak pidana narkoba tersebut memiliki kekhususan, terutama dalam pembinaan

narapidana. Pembinaan yang dilakukan selain meliputi tahapan pembinaan seperti pada umumnya lapas biasa, juga harus mampu menyelenggarakan pembinaan khusus bagi para narapidana narkoba. Pembinaan narapidana khusus narkotika diharapkan dapat mengurangi ketergantungan dan

7 merehabilitasi narapidana yang menjadi korban ketergantungan serta dapat memutus mata rantai peredaran narkotika. Untuk mewujudkan maksud tersebut, tentu saja dibutuhkan langkah yang strategis dan didukung dengan sumber daya yang memadai baik dari segi sarana prasarana maupun sumber daya manusianya. Dalam

menghadapi tantangan semakin meningkatnya jumlah narapidana di lapas narkotika, tentu saja faktor sumber daya manusia menjadi faktor penting. Karyawan dituntut mampu menghadapi tantangan dan hambatan yang berkenaan dengan pesatnya jumlah narapidana narkotika. Untuk itu pembinaan sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu kebutuhan terutama sebagai upaya memelihara atau meningkatkan produktivitas karyawan. Produktivitas tidak terjadi begitu saja, melainkan sekurangkurangnya dipicu oleh tiga faktor, yaitu komunikasi organisasi, lingkungan kerja dan kepuasan kerja karyawan. Pentingnya komunikasi dalam sebuah organisasi adalah hal yang wajar, karena komunikasi merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi setiap individu untuk dapat berinteraksi dengan lingkungannya. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi apabila antar karyawan dalam organisasi

komunikasinya terganggu, yang diantaranya disebabkan oleh persaingan antar karyawan yang tidak sehat sehingga menumbuhkan sikap permusuhan, saling curiga, iri, sikap pilih kasih pimpinan terhadap bawahan sehingga dapat mengganggu komunikasi secara vertikal, atau sikap-sikap negatif lainnya yang potensial menimbulkan ketidakefektifan komunikasi dalam organisasi.

8 Apabila sikap-sikap tersebut benar-benar muncul dalam sebuah organisasi, akibatnya sangat fatal, seperti munculnya miskoordinasi, hilangnya semangat kerjasama, menurunnya semangat kerja yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas karyawan dan secara umum akan menurunkan produktivitas organisasi. Oleh karena itu, penting kiranya menciptakan iklim komunikasi organisasi yang kondusif, sehingga dapat memacu semangat kerja karyawan dan meningkatkan kualitas kerjasama demi mencapai tujuan organisasi. Lingkungan kerja perlu diwujudkan dalam situasi dan kondisi yang mendorong kesediaan dan kemauan serta kemampuan dalam memecahkan masalah, terutama yang menyangkut faktor karyawan dalam organisasi. Melalui lingkungan kerja yang baik, dapat dihindari kekurangharmonisan dalam pelaksanaan tugas, yang pada akhirnya dapat mengatasi hal-hal yang menghambat kelancaran pelaksanaan tugas. Lingkungan kerja karyawan yang diciptakan dan dikembangkan oleh atasan dan seluruh karyawan sebagai anggota organisasi, memerlukan komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik akan memberikan kesempatan keikutsertaan karyawan dalam kegiatan organisasi dan membawa pengaruh terhadap produktivitas kerja karyawan. Terciptanya komunikasi organisasi yang baik yang didukung oleh lingkungan kerja fisik yang baik pula akan menciptakan kepuasan dalam bekerja. Kepuasan kerja ditentukan oleh berbagai macam faktor, misalnya seberapa baik kebutuhan dan keinginan kita dapat dipertemukan melalui

9 pekerjaan, kondisi pekerjaan, perasaan memiliki terhadap organisasi, pencapaian diri, pencukupan kebutuhan pribadi, hubungan dengan atasan, bawahan dan rekan sejawat, dan lain sebagainya. Dengan komunikasi dan lingkungan kerja yang baik karyawan akan merasa dihargai secara adil, nyaman, dan dihargai. Kondisi ini pada akhirnya akan menimbulkan semangat dalam bekerja dan produktif dalam bekerja. Kepuasan kerja menurut pendapat Wexley dan Yukl (1977 : 98) adalah the way an employee feels about his or her job. Kepuasan kerja adalah suatu perasaan yang menyokong atau tidak menyokong diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaannya maupun kondisi dirinya. Dengan memperhatikan uraian diatas, maka dalam fokus penelitian ini diarahkan untuk mengungkapkan hubungan komunikasi organisasi dan lingkungan kerja dengan kepuasan kerja dan produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta.

B. POKOK PERMASALAHAN Manusia merupakan unsur terpenting dalam organisasi, karena manusia adalah pelaku organisasi yang menjalankan dan mengendalikan jalannya organisasi. Sedangkan alat-alat dan perlengkapan lain dalam organisasi hanya merupakan instrumen yang dikendalikan manusia. Oleh karena itu, sangat penting bagi sebuah organisasi untuk memberikan perhatian kepada karyawan agar dapat menghasilkan kinerja sesuai dengan harapan.

10 Pada kenyataannya, tidak semua karyawan mampu produktif sesuai dengan yang diharapkan organisasi. Hal ini disebabkan karena setiap individu memang memiliki kapasitas pribadi yang tidak sama. Selain itu, adanya pengaruh dari lingkungan kerja fisik juga akan sangat menentukan produktivitas seseorang. Lingkungan kerja yang tidak kondusif cenderung akan membuat karyawan kurang termotivasi untuk menunjukkan produktivitas yang lebih baik. Sebagai sebuah organisasi fungsi kerja, tentu saja Lapas Narkotika Cipinang Jakarta berharap untuk mewujudkan keberhasilan sesuai dengan visi dan misinya, yang ingin dicapai dengan produktivitas yang tinggi dari karyawannya. Lapas Narkotika Cipinang Jakarta merupakan Lapas tipe Klas IIA yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Pembangunan Lapas Narkotika Jakarta merupakan tindak lanjut dari Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : M.04.PR.07.03 tentang Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematang Siantar, Lubuk Linggau, Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Nusakambangan, Madiun, Pamekasan, Martapura, Bangli, Maros, dan Jayapura. Untuk mendukung tercapainya keberhasilan tugas Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta, maka diperlukan adanya produktivitas yang optimal dari seluruh karyawan. Hal ini dilakukan dengan memahami serta dilaksanakannya visi dan misi organisasi, juga

11 dukungan komunikasi organisasi antara pimpinan dan bawahan, lingkungan kerja yang kondusif serta faktor kepuasan kerja karyawan. Sehubungan dengan uraian tersebut diatas, timbul pertanyaan bagaimanakah produktivitas karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka dari sekian banyak faktor yang berhubungan dengan produktivitas karyawan, diduga ada tiga faktor yang berhubungan erat dengan produktivitas karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta, yaitu faktor komunikasi organisasi, lingkungan kerja dan kepuasan kerja karyawan yang memotivasi karyawan untuk produktif. Berkenaan dengan hal tersebut maka pemasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana hubungan antara komunikasi organisasi dan lingkungan kerja fisik terhadap kepuasan kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta ? 2. Bagaimana hubungan antara kepuasan kerja karyawan dengan

produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta?

C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk melihat hubungan komunikasi organisasi, lingkungan kerja dengan kepuasan kerja karyawan dan produktivitas karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta, sehingga memiliki tujuan sebagai berikut:

12 1. Mengetahui hubungan antara komunikasi organisasi dan lingkungan kerja fisik terhadap kepuasan kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. 2. Mengetahui hubungan kepuasan kerja dengan produktivitas kerja

karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta

D. SIGNIFIKANSI PENELITIAN Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan melengkapi penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan, terutama pengetahuan serta keterampilan bagi organisasi untuk mengelola sumber daya manusia dengan lebih baik, serta memberikan sarana dan dukungan bagi terciptanya produktivitas yang tinggi.

E. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan terdiri dari enam bab yang masing-masing berisikan : BAB I PENDAHULUAN Menggambarkan permasalahan, tentang tujuan latar belakang manfaat masalah, penelitian pokok dan

penelitian,

sistematika penulisan BAB II TINJAUAN PUSTAKA

13 Berisi tentang teori komunikasi organisasi, lingkungan kerja, kepuasan kerja dan produktivitas kerja. BAB III METODE PENELITIAN Pada bab ini menjelaskan metode penelitian yang terdiri dari populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, teknik

pengolahan data dan analisis data. BAB IV GAMBARAN UMUM LAPAS KLAS IIA NARKOTIKA JAKARTA Bab ini berisi tentang struktur organisasi, keadaan petugas, penghuni, harapan dan tantangan organisasi Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berisi tentang deskripsi karakteristik responden, analisis dan deskripsi variabel penelitian (deskripsi variabel komunikasi organisasi, deskripsi variabel lingkungan kerja, deskripsi variabel kepuasan kerja dan deskripsi variabel produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta), analisis hubungan antara komunikasi organisasi, lingkungan kerja, kepuasan kerja dengan produktivitas karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. Uji signifikansi hipotesa penelitian. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Merupakan bab penutup, dimana peneliti akan memberikan kesimpulan-kesimpulan penting dari hasil penelitian berikut rekomendasi-rekomendasi yang relevan.

14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. KOMUNIKASI ORGANISASI Dalam kehidupan organisasi, para anggota organisasi tidak dapat, dan memang tidak mungkin hidup terisolasi, baik dari rekan sekerjanya maupun lingkungannya. Tujuan yang hendak dicapai, strategi yang hendak dijalankan, keputusan yang harus dilaksanakan, rencana yang harus direalisasikan, program kerja yang harus diselenggarakan, kegiatan individu maupun antar satuan kerja. Dengan perkataan lain, para anggota organisasi mutlak perlu berkomunikasi satu sama lain. Komunikasi adalah transfer informasi dan pemahaman dari satu orang ke orang lain. Ini merupakan suatu jalan untuk mencapai pada ide, fakta, pikiran, dan nilai-nilai yang lain. Komunikasi dapat menjadi jembatan untuk mencapai suatu pengertian antar individu dengan mereka berbagi apa yang mereka rasakan dan mereka ketahui (Davis dan Newstorm, 1989). Menurut Davis dan Newstorm (1989) dengan jembatan ini orang dapat merasa aman untuk mengatasi ketidaktahuan yang menjadi penyebab terbatasinya satu individu dengan individu yang lain. Komunikasi adalah apa yang dipahami oleh penerima, bukan apa yang diucapkan oleh pengirim. Selama penerima belum mampu memahami pesan yang disampaikan oleh pengirim, maka sebenarnya belum terjadi komunikasi antara keduanya.

15 Menurut Robbins (1996) komunikasi merupakan suatu aktivitas pentransferan dan pemahaman makna dari satu orang ke orang lain. Tidak peduli besar kecilnya suatu gagasan, tidak akan ada gunanya apabila belum diteruskan kepada orang lain dan dipahami oleh orang lain. Jaringan komunikasi dapat bersifat formal maupun informal. Komunikasi formal lazimnya vertikal, merupakan komunikasi yang bertalian dengan tugas, mengikuti rantai wewenang. Sedangkan komunikasi informal biasanya seperti selentingan, bebas untuk bergerak ke segala arah, tidak memperhatikan tingkat-tingkat wewenang (Robbins, 1996). Komunikasi dapat mengalir ke bawah, yaitu dari satu tingkat dalam suatu kelompok atau organisasi ke suatu tingkat yang lebih bawah. Ke atas, yaitu ke suatu tingkat yang lebih tinggi dalam kelompok atau organisasi tersebut, dan lateral yaitu bila komunikasi terjadi diantara anggota kelompok kerja yang sama, dalam tingkat yang sama. Komunikasi mempunyai empat fungsi utama (Robbins, 1996) di dalam suatu kelompok atau organisasi, yaitu sebagai kendali (kontrol atau pengawasan), motivasi, pengungkapan emosional, serta informasi. Keempat fungsi tersebut adalah sebagai berikut: a. Komunikasi menjalankan fungsi kontrol jika komunikasi tersebut bertindak untuk mengendalikan perilaku anggota dalam kelompok atau organisasi. Setiap organisasi mempunyai hirarki wewenang dan garis panduan formal yang harus dipatuhi oleh para karyawan. Bila karyawan, misalnya diminta untuk terlebih dulu mengkomunikasikan setiap keluhan yang berkaitan dengan pekerjaan kepada atasan langsungnya sesuai dengan uraian

16 tugasnya, atau sesuai dengan kebijakan perusahaan, berarti komunikasi itu menjalankan suatu fungsi kontrol. b. Komunikasi membantu perkembangan motivasi dengan menjelaskan kepada karyawan apa yang harus dilakukan, bagaimana mereka bekerja baik, dan apa yang dapat dikerjakan untuk memperbaiki kinerja jika itu di bawah standar. c. Komunikasi dapat digunakan sebagai pengungkapan emosional dari setiap karyawan dengan jalan menggunakan komunikasi tersebut untuk

menunjukkan kekecewaan atau rasa puas mereka terhadap perusahaan. d. Komunikasi dapat memberikan informasi yang diperlukan individu dan kelompok untuk mengambil keputusan dengan meneruskan data guna mengenali dan menilai dengan pilihan-pilihan peran alternatif. Fungsi ini dapat

berhubungan

komunikasi

untuk

mempermudah

pengambilan keputusan. Davis dan Newstorm (1989) mengemukakan bahwa komunikasi sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Dalam suatu organisasi, komunikasi menjadi faktor yang sangat vital. Organisasi tidak akan dapat bertahan tanpa komunikasi. Jika tidak ada komunikasi, karyawan tidak akan tahu apa yang harus dilakukannya, apa yang dilakukan oleh atasannya, atasan tidak akan mendapat masukan dari bawahan, serta atasan juga tidak akan dapat menyampaikan instruksi kepada bawahannya. Koordinasi kerja tidak mungkin terjadi, dan organisasi mungkin akan ambruk jika tidak ada komunikasi. Kerjasama menjadi sangat tidak mungkin, karena orang tidak akan dapat

17 mengkomunikasikan apa yang mereka butuhkan dan rasakan kepada orang lain. Dapat dikatakan bahwa segala sesuatu dari komunikasi akan mempengaruhi jalannya organisasi. Gambar 2.1 Komunikasi Organisasi Sebagai Faktor Perantara Antara Sumber Daya Manusia dan Berfungsinya Organisasi dan Hasil Organisasi

Sumber daya manusia dan berfungsinya organisasi

Komunikasi Organisasi

Hasil organisasi dalam bentuk produktivitas, kualitas dan vitalitas

Sumber : Pace dan Faules (ed) Mulyana, 2001 : 386 Terkait dengan pentingnya masalah komunikasi dan hubungannya dengan produktivitas, dapat dilihat dari pendapat Furtwengler (2002 : 73)

yang menyatakan bahwa ketidakefektifan komunikasi akan menyebabkan kesalahan, ketinggalan deadline dan penurunan efektivitas tim, dan jika tidak segera diambil tindakan dapat menyebabkan tingkat absensi yang semakin meningkat, sikap can do berubah menjadi cant do dan penurunan tajam pada produktivitas. Dengan demikian ada suatu hubungan yang positif atara komunikasi efektif (mencakup faktor kepercayaan yang dianut, kecermatan yang dirasakan, hasrat akan interaksi, kemauan menerima dari manajemen puncak, dan persyaratan informasi keatas) dengan produktivitas (Hellweg dan Philips, 1980 : 92-188). Karena itu, dengan memilih saluran yang benar, dengan menjadi seorang pendengar yang efektif, dan memanfaatkan umpan balik dapat membuat komunikasi lebih efektif. Komunikasi yang efektif akan

18 mendorong kinerja yang lebih baik dan menimbulkan kepuasan kerja. Orang akan memahami pekerjaannya dan merasa lebih terlibat dengannya. Sebagai contoh, mereka akan merasa bangga dengan pengorbanannya kepada organisasi karena mereka melihat bahwa pengorbanannya dibutuhkan. Menurut Effendi (1992 : 76), komunikasi dalam suatu organisasi berlangsung dalam tiga bentuk, yakni horizontal, vertikal dan diagonal. Masing-masing bentuk komunikasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Komunikasi Vertikal Komunikasi vertikal adalah komunikasi dari atas ke bawah (downward communication) dan dari bawah keatas (upward communication). Ini maksudnya komunikasi yang berasal dari pimpinan ke bawahan dan dari bawahan ke pimpinan secara timbal balik. Komunikasi vertikal dalam manajemen sangat penting sekali, oleh karena jika hanya satu arah saja dari pimpinan ke bawahan, proses manajemen besar kemungkinan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. b. Komunikasi Horizontal Komunikasi horizontal adalah komunikasi antara seseorang dengan seseorang lainnya yang sama kedudukannya. Berbeda dengan komunikasi vertikal yang sifatnya lebih formal, maka komunikasi horizontal seringkali berlangsung dalam suasana sedang istirahat, sedang pulang atau sedang berekreasi.

19 c. Komunikasi Diagonal Komunikasi diagonal sering juga dinamakan komunikasi silang, yakni komunikasi yang berlangsung antara seseorang dengan seseorang lainnya dalam kedudukan yang berbeda dan unit yang berbeda. Orang-orang yang terlibat dalam komunikasi diagonal pada umumnya tidak menampakkan kekuatan seperti halnya pada komunikasi vertikal, dan juga tidak menunjukkan keakraban sebagaimana halnya pada komunikasi horizontal. Menurut Siagian (2001 : 308) komunikasi ini berlangsung antara dua satuan kerja yang berada pada jenjang hierarki organisasi yang berbeda, tetapi menyelenggarakan kegiatan yang sejenis. Menurut Furtwengler (2002 : 67), minimal ada enam kunci untuk mewujudkan komunikasi yang efektif, yakni : 1. Kelengkapan Komunikasi Biasanya komunikasi yang tidak lengkap tidaklah salah. Pembicara hanya percaya pendengarnya memiliki pengetahuan yang lebih banyak daripada dirinya. Tidak adanya maksud buruk tidaklah mengubah kenyataan bahwa asumsi ini memiliki potensi untuk menciptakan banyak masalah. Dampak kesalahan tersebut

terhadap hubungan antara kedua belah pihak. Pendengar mungkin merasa dihianati, dikambinghitamkan, meskipun tanpa unsur-unsur kesengajaan. Sikap ini mudah menular. Pendengar memberi tahu anggota tim yang lain mengenai pengkhianatan itu dan

20 memperingatkan mereka untuk berhati-hati sehingga hal tersebut tidak terjadi pada mereka. Dampak pada moral sangatlah efektif. 2. Mendengarkan Pendengar yang kurang percaya diri tidak akan sering mengajukan pertanyaan. Mereka takut kelihatan bodoh. Sebaliknya mereka akan mengulangi apa yang dikatakan. Demikian pula pendengar yang terlalu percaya diri juga tidak akan mengajukan pertanyaan. Masalahnya adalah karena tidak memikirkan pendekatan yang akan digunakan dan semata-mata hanya bertindak. 3. Hormat Dalam hal berkomunikasi hendaknya setiap karyawan dapat menghormati kemampuan orang lain, memiliki kemampuan untuk belajar dengan cepat, memiliki minat terhadap kesejahteraan orang lain, mengakui bahwa gagasan orang lain berharga dan mencoba untuk mengangkat derajat orang lain. 4. Gaya Terdapat empat jenis gaya yang secara umum terjadi dalam berkomunikasi, yaitu diktator, kooperatif, patuh dan parental. Gaya diktator merupakan gaya yang mendominasi percakapan dan meminta agar gagasan-gagasan diterima. Diktator cenderung mudah jengkel, frustrasi dan menghasut teman kerjanya untuk membuat kerusuhan. Gaya kooperatif ditunjukan dengan suara yang dapat menyegarkan jiwa pada waktu terjadi ketidaksepakatan

21 sehingga tim dapat terus maju. Gaya patuh adalah lawan dari spektrum gaya diktatorial. Karyawan yang lebih menyukai gaya ini seringkali pendiam dan membiarkan orang lain memaksakan kehendak mereka pada dirinya. Dan terakhir adalah gaya parental, yaitu gaya dalam berkomunikasi yang mengharuskan bertindak sebagaimana yang pernah dilakukan oleh orang tua. Hal ini baik jika seseorang masih dalam usia anak-anak dan tidak memiliki banyak pengalaman. 5. Suasana Hati Seseorang yang dalam keadaan normal bersuasana hati positif dan suportif, pada hari yang jelek akan menjadi kasar, tidak sensitif dan kadang-kadang suka bertengkar dalam komunikasinya. Orang yang terbiasa dengan suasana hati yang jelek akan menunjukkan sikap kasar, tidak sensitif, dan suka bertengkar serta menghambat komunikasi. Komunikasi yang tidak efektif akan menyebabkan kesalahan, ketinggalan deadline dan penurunan efektivitas tim. Suasana hati yang jelak juga menular dan jika tidak segera diambil tindakan, dapat menyebabkan tingkat absensi yang semakin meningkat, sikap can do berubah menjadi cant do dan penurunan tajam pada produktivitas karyawan. 6. Nada Nada yang secara umum muncul dalam komunikasi diantaranya adalah nada positif, menyemangati, faktual, tidak emosional,

22 mencela. Tentu nada yang positif, tidak emosional dan yang menyemangati akan memiliki dampak positif pada kinerja karena dapat menciptakan suasana kerja yang kondusif. Komunikasi merupakan aktivitas dasar setiap manusia. Dengan komunikasi manusia dapat saling berhubungan satu sama lain, baik di lingkungan rumah tangga, lingkungan pekerjaan, masyarakat atau dimana saja manusia berada. Pentingnya komunikasi bagi manusia tidak dapat dipungkiri. Begitu pula dengan organisasi, komunikasi juga merupakan kebutuhan yang sangat mendasar, karena dapat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan.

B. LINGKUNGAN KERJA FISIK

Lingkungan kerja merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kinerja individu. Lingkungan kerja akan mempengaruhi perilaku individu dalam organisasi, dimana individu cenderung akan menunjukkan kinerja yang lebih baik bila berada dalam lingkungan kerja yang sesuai. Yang dimaksud dengan lingkungan kerja disini adalah kondisi lingkungan fisik tempat kerja, yang di dalamnya antara lain mencakup suhu, penerangan, kebisingan, serta arsitektur dan penampilan tempat kerja (Jewell & Siegall, 1998). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa suhu berpengaruh terhadap kinerja individu, dimana karyawan yang bekerja pada lingkungan dengan suhu tinggi yang berkepanjangan akan membuat kesalahan yang lebih banyak

23 daripada jika bekerja dalam suhu relatif rendah (Jewell & Siegall, 1998). Penerangan akan mempengaruhi kinerja individu, terutama yang

berhubungan dengan jumlah sumber cahaya, jenisnya, dan penempatannya di tempat kerja. Namun, pengaruh cahaya ini juga tergantung pada sifat tugas yang diberikan. Kebisingan di tempat kerja juga akan mempengaruhi kinerja karyawan. Tempat kerja yang memiliki tingkat kebisingan yang tinggi cenderung akan membuat karyawannya menunjukkan kinerja yang lebih rendah dibandingkan dengan tempat kerja yang lebih tenang. Kebisingan yang tidak dikehendaki dapat menciptakan stres dan suasana tidak nyaman dalam bekerja. Faktor lingkungan kerja lain yang turut mempengaruhi kinerja karyawan adalah arsitektur dan penampilan tempat kerja. Arsitektur dan penampilan tempat kerja ini terutama akan berpengaruh terhadap perilaku kerja karyawan. Dengan arsitektur dan penampilan tempat kerja yang kurang menguntungkan cenderung akan membuat karyawan kurang bersemangat dalam bekerja sehingga kurang terpacu untuk menunjukkan kinerja yang optimal. Menurut Davis (Jewell & Siegall, 1998), yang perlu mendapat perhatian dalam arsitektur dan penampilan tempat kerja antara lain ukuran dan tata letak tempat kerja, pembagian tempat kerja, pengaturan kantor, serta warna dinding tempat kerja. Menurut Sumamur (1986 : 49), faktor yang berpengaruh pada pembentukan lingkungan kerja yang berdampak pada kemampuan manusia sebagai pekerja antara lain : (1) faktor fisik seperti ruang kerja, penerangan,

24 suhu udara, kelembaban, ventilasi dan peralatan; (2) faktor kimia seperti gas, uap, debu dan sebagainya; (3) faktor biologi; serta (4) faktor mental, psikologi, gaji/upah, kesempatan memperoleh penghasilan. Ilmu yang khusus mempelajari tentang hubungan antara kesesuaian lingkungan kerja dengan pekerja adalah Ergonomi. Ergonomi mencoba menyatukan kesenjangan antara desainer (pembuat) produk (alat) dengan masyarakat pengguna, dengan maksud agar pembuat produk dan masyarakat pengguna produk saling diuntungkan. Ergonomik memberikan keyakinan bahwa kesesuaian alat (produk) dengan manusia pengguna produk akan meningkatkan hasil kerja. Asal muasal konsep ergonomi dimulai ketika masyarakat primitif

membuat alat dari batu yang digunakan untuk memotong hewan sebagai makanan (Kamal, 2004). Kenyataan selanjutnya konsep ergonomi diterapkan pada dunia industri. Revolusi yang dicetuskan sekitar tahun 1900-an. FW Taylor dan Frank serta Lilian Gilbreth mengawali menyebut kata ergonomits. Taylor memberikan prinsip bahwa hal itu sangat baik dan terkait dengan metode yang digunakan untuk melakukan kerja. Frank dan Gilbreths memfokuskan pada studi gerak dalam melakukan tugas kerja di industri sehingga memiliki gerakan kerja yang ekonomis dan mapan (nyaman). Mereka menganjurkan agar saat bekerja tidak menggunakan otot pada kedua tangan bersamaan, berposisi simetris dan bergerak pelan (statik) serta berbagai gerakan yang berlebihan harap dikurangi agar tenaga lebih optimal dan efisien.

25 Biasanya, jika ingin meningkatkan kemampuan tubuh manusia, maka beberapa hal di sekitar lingkungan alam manusia misal peralatan, lingkungan fisik, posisi gerak (kerja) perlu direvisi untuk dimodifikasi atau didesain ulang disesuaikan dengan kemampuan tubuh manusia. Dengan kemampuan tubuh meningkat secara optimal, maka tugas kerja yang dikerjakan juga akan meningkat. Begitu juga sebaliknya, jika lingkungan alam sekitar manusia tidak sesuai dengan kemampuan alamiah tubuh manusia, maka akan menimbulkan hasil kerja yang tidak optimal. Pendekatan ergonomi dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 2.2 Pendekatan Ergonomi

Manusia

Anatomi Fisiologi Psikologi Biomekanik Kinesiologi Enginering Manajemen/Organisasi Desain/Redesain

L I N G K U N G A N

Tujuan : Optimasi Efisiensi (Produktivitas ) Kesehatan Aman Nyamann

Sumber : Santoso, 2004 : 8 Santoso (2004) menyebutkan bahwa tujuan ergonomik adalah untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja pada suatu institusi atau organisasi. Hal ini dapat tercapai apabila terjadi kesesuaian antara pekerja dengan

26 pekerjaannya. Banyak yang menyimpulkan bahwa tenaga kerja harus dimotivasi dan kebutuhannya terpenuhi. Dengan demikian akan menurunkan jumlah karyawan yang tidak masuk kerja (absenteeism). Pendekatan ergonomik mencoba untuk mencapai kebaikan bagi pekerja dan pimpinan institusi. Hal ini dapat tercapai dengan cara memperhatikan empat tujuan utama ergonomik, antar lain : (1) memaksimalkan efisiensi kerja; (2) memperbaiki kesehatan dan keselamatan kerja; (3) menganjurkan agar bekerja aman (comfort), nyaman (convinience) dan bersemangat; serta (4) memaksimalkan bentuk (performance) kerja yang meyakinkan. Sumamur (1989) mengatakan bahwa penerapan ergonomi pada berbagai bidang pekerjaan telah terbukti menyebabkan kenaikan produktivitas secara jelas. Besarnya kenaikan mencapai 10% atau lebih. Tomanic (1995) mengatakan pula, dalam hasil penelitiannya pada pekerja hutan bahwa dengan mengembangkan metode dan teknik baru, fungsi mesin memberikan pelayanan kebutuhan manusia secara ergonomi sehingga informasi mesin tersebut dengan cepat diterima manusia (pekerja) maka kualitas operator meningkat secara profesional, memperkecil kebutuhan energi dan kerja para pekerja hutan dapat optimal. Santoso (1999) mengemukakan bahwa dari hasil penelitian pada tenaga kerja kerajinan kayu bagian gosok dengan posisi kerja lesehan di lantai yang diubah menjadi posisi duduk di kursi dan meja kerja ergonomis, ternyata dapat meningkatkan produktivitas kerja 21,8% dan menurunkan kelelahan 8,4%.

27 A. KEPUASAN KERJA Kepuasan kerja (job satisfaction) karyawan sangat menentukan produktivitasnya dalam organisasi. Ketika seorang karyawan merasa tidak puas dengan apa yang ada di organisasi maka umumnya dia tidak akan menunjukkan produktivitas yang tinggi. Kepuasan kerja merupakan suatu sikap umum individu terhadap pekerjaannya sementara pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja, hidup pada kondisi kerja yang sering kurang ideal, dan yang serupa. Ini berarti penilaian (assessment) seorang karyawan terhadap betapa puas atau tidak puas akan pekerjaannya merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang diskrit (terbedakan dan terpisahkan satu sama lain). Faktor-faktor yang lazim akan dicakup adalah kodrat (nature) kerja, penyeliaan, upah sekarang, kesempatan promosi, dan hubungan dengan rekan sekerja. Study Work America National (1989) dari The Wyatt Company mengidentifikasikan 12 dimensi kepuasan, yaitu organisasi kerja, kondisi kerja, komunikasi, kinerja pekerjaan, dan tinjauan ulang kinerja, penyeliaan, manajemen perusahaan, upah tunjangan, pengembangan karir dan pelatihan, isi dan kepuasan pekerjaan, serta citra perusahaan dan perubahan. Locke (1976) menyebutkan faktor-faktor penting yang mendorong kepuasan kerja adalah kerja yang secara mental menantang, ganjaran yang pantas, kondisi kerja yang mendukung, dan rekan sekerja yang mendukung. Ganjaran yang pantas bisa dipersepsikan para karyawan menginginkan

28 sistem upah dan kebijakan promosi yang adil, tidak kembar-arti, dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. Tentu saja, tidak semua orang mengejar uang. Banyak orang bersedia menerima baik uang yang lebih kecil untuk bekerja dalam lokasi yang lebih diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam kerja yang mereka lakukan pada jam-jam kerja. Tetapi kunci yang menautkan upah dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan, lebih penting adalah persepsi keadilan. Oleh karena itu karyawan yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dalam cara yang adil (fair and just) kemungkinan besar akan mengalami kepuasan dalam pekerjaan mereka. Konsekuensi dari ketidakpuasan adalah perilaku defensif, sabotase, mangkir dan turn over. Ketika karyawan bekerja dibawah potensi terbaik mereka, maka organisasi akan menderita rendahnya efektivitas dan efisiensi kerja. Tingginya tingkat mangkir dan turn over menjadi masalah untuk para manajer dan personalia. Salah satu sasaran penting dalam kerangka manajemen sumber daya manusia di dalam sebuah organisasi adalah terciptanya kepuasan kerja anggotanya, yang lebih lanjut akan meningkatkan prestasi kerja, sehingga mendorong lebih cepat tercapainya tujuan organisasi. Kepuasan adalah seperangkat perasaan seseorang tentang menyenangkan atau tidaknya

29 pekerjaan dia. Seperti yang dikemukakan oleh Martoyo (1999 : 115-116), berikut ini : Kepuasan kerja adalah keadaan konvensional seseorang dimana terjadi ataupun tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa kerja dari organisasi dengan tingkat nilai balas jasa yang memang diinginkan oleh anggota organisasi yang bersangkutan. Dalam studi lainnya dikatakan bahwa kepuasan kerja mengacu kepada sikap orang tersebut terhadap pekerjaannya, dan juga ditentukan oleh karakteristik pekerjaan, dan pada tingkatan dimana kebutuhan dari si pekerja dapat terpenuhi dari jenis pekerjaannya, seperti yang dijelaskan oleh Sampath MA (1994) : Job satisfaction refers to the emloyees attitude towards his job. Job satisfaction is determined by the characteristic of the job, and the degree to which ones personnel needs are fulfilled on the job situation. The nature of the job, the leadership, the working condition, the pay, and the relationship with fellow employees also contribute to the job satisfaction. Disamping itu, bentuk atau jenis pekerjaannya, kondisi pekerjaan,

penghasilan, dan hubungan antar rekan sejawat juga memberikan kontribusi kepada kepuasan kerja. Dari sisi lain, pekerja juga mempunyai prefalensi dalam mengukur kepuasan kerja untuk dirinya dengan beberapa alasan berikut oleh Katz (1998) seperti dikutip Anwar (1984 :70) : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Sesuai dengan bakat dan keahliannya Memiliki fasilitas memadai Memiliki informasi lengkap Dipimpin oleh pemimpin yang mendorong untuk pencapaian tujuan Memberikan penghasilan memadai Mempunyai tantangan untuk mengembangkan diri Memberi rasa aman dan tentram Memberikan harapan masa depan

30

Selanjutnya Mangkunegara (2000 : 117) mengutip pendapat

Davis

(1985 : 96), bahwa Job satisfaction is the favorableness or unfavorableness with employees view their work. Dan dalam buku yang sama dikutip juga penadapat Wexley dan Yukl (1977 : 98) yang mendefinisikan kepuasan kerja sebagai the way an employee feels about his or her job. Berdasarkan pendapat Keith Davis, Wexley dan Yukl tersebut diatas, kepuasan kerja adalah perasaan yang menyokong atau tidak menyokong diri karyawan yang berhubungan dengan pekerjaannya maupun dengan kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspekaspek seperti upah atau gaji yang diterima, kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan karyawan lainnya, penempatan kerja, jenis pekerjaan, struktur organisasi, dan mutu pengawasan. Sedangkan perasaan yang berhubungan dengan diri si karyawan antara lain umur, kondisi kesehatan, kemampuan, dan pendidikan. Karyawan akan merasa puas dalam bekerja apabila aspek-aspek pekerjaan dalam dirinya menyokong dan sebaliknya jika aspek-aspek tersebut tidak menyokong maka karyawan akan merasa tidak puas. Oleh karena itu sesuai pendapat Keith Davis (1995 : 106) dikatakan bahwa kepuasan kerja merupakan kepuasan hidup. Menurut Wexley dan Yukl, 1977 (dalam Asad : 1991), bahwa teoriteori tentang kepuasan kerja dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu yang disebut sebagai a) Discrepancy theory; b) Equity theory; dan c) Two

Faktor theory. Masing-masing tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

31 Discrepancy Theory (Teori Perbedaan) Teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter. Porter mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan (difference between how much of something there should be and how much there is now). Locke (1969) juga menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung pada Discrepancy antara should be expectation, need or values dengan apa yang menurut perasaannya atau persepsinya telah dicapai atau diperoleh melalui pekerjaannya. Dengan demikian orang akan merasa puas bila tidak ada perbedaan yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataannya, karena batas minimum yang diinginkan telah tercapai. Apabila yang didapat ternyata lebih besar daripada yang diinginkan, maka akan menjadi puas lagi walaupun terdapat discrepancy, tetapi merupakan discrepancy yang positif. Sebaliknya, semakin jauh kenyataan yang dirasakan itu dibawah standar minimum sehingga menjadi negative discrepancy, maka akan semakin besar pula ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaan (Asad : 1991). Equity Theory (Teori Keseimbangan) Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Adam (1963). Adapun pendahulu dari teori ini adalah Zeleznik (1958) dikutip oleh Locke (1969), dalam Asad (1991). Prinsip teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity)

32 atau tidak atas suatu situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain. Adapun elemen-elemen dari teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu elemen input, outcome, comparison, dan equity-in-equity. Yang dimaksud dengan input menurut Wexley dan Yulk (1977) adalah sebagai berikut ; input is anything of value that and employee perceives that he contributes to his job (input adalah segala sesuatu yang sangat berharga yang dirasakan oleh karyawan sebagai sumbangan terhadap pekerjaan atau semua nilai yang diterima pegawai yang dapat menunjang pelaksanaan kerja. Sebagai contoh input adalah pendidikan, pengalaman, skill, usaha,

peralatan,dll) Outcomes is anything of value that the employee perceives he obtain from the job (semua nilai yang diperoleh dan dirasakan pegawai sebagai hasil dari pekerjaannya, misalnya upah, keuntungan tambahan status simbol, pengenalan kembali (recognition), kesempatan untuk berprestasi atau ekspresi diri). Sedangkan Comparison Person dapat diartikan sebagai perasaan seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempat lain, atau bisa juga dengan dirinya sendiri di waktu lampau (the comparison person may be someone in a different organization, or even the person himself in a previous job). Equity-in-equity diartikan bahwa setiap karyawan akan

membandingkan rasio input-outcomes dirinya sendiri dengan rasio inputoutcomes orang lain (comparison person). Bila perbandingan itu dianggapnya

33 cukup adil (equity), maka karyawan tersebut akan merasa puas. Bila perbandingan tersebut tidak seimbang tetapi menguntungkan (over

compensation in equity), maka bisa menimbulkan kepuasan, tetapi bisa pula tidak (misalnya pada orang yang moralis). Tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan (under compensation in-equity), maka akan timbul ketidakpuasan (Wexley dan Yulk, 1977, dalam Asad : 1991) Two Factor Theory (Teori Dua Faktor) Yang dimaksud dengan dua faktor tentang motivasi yang dikemukakan oleh Herzberg adalah faktor yang membuat orang merasa puas (satisfiers) dan faktor yang membuat orang tidak puas (dissatisfiers). Dalam pandangan lain, dua faktor yang dimaksudkan dalam teori motivasi Herzberg adalah adanya dua rangkaian kondisi. Kondisi pertama dimana orang merasa sehat dan faktor yang memotivasi (hygiene-motivators) dan faktor ekstrinsik dan intrinsik (extrinsic-intrinsic), sesuai dengan bagaimana cara pandang orang yang membahasnya. Menurut Herzberg, ada serangkaian kondisi yang menyebabkan orang merasa tidak puas. Jika kondisi ini ada dan tidak diperhatikan, maka orang itu tidak akan termotivasi, faktor-faktor ini meliputi : a) Kondisi kerja; b) Status; c) Keamanan kerja; d) Mutu dari penyelia; e) Upah; f) Prosedur perusahaan; serta g) Hubungan antar personal. Kondisi kedua yang digambarkan Herzberg adalah serangkaian kondisi intrinsik, kepuasan kerja yang apabila terdapat dalam pekerjaan akan menggerakkan tingkat motivasi kerja yang kuat, sehingga dapat menghasilkan prestasi kerja yang baik. Apabila kondisi tersebut tidak ada, maka kondisi

34 tersebut ternyata tidak menimbulkan rasa ketidakpuasan yang berlebihan. Serangkaian kondisi itu biasa disebut sebagai satisfiers atau motivator. Davis (1985 : 99) menyebutkan bahwa terdapat variabel-variabel yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu : a. Turn Over Kepuasan kerja lebih tinggi dihubungkan dengan turn over pegawai yang rendah. Sedangkan perusahaan dengan turn over yang tinggi menunjukkan pegawai tidak mendapatkan kepuasan kerja. b. Tingkat kehadiran pekerja (tingkat absensi). Pegawai yang kurang puas cenderung tingkat ketidak-hadiranya (absen) tinggi, dengan alasan yang tidak logis dan subyektif. c. Umur Ada kecenderungan pegawai yang lebih tua merasa lebih puas daripada pegawai yang berumur relatif muda. Hal ini diasumsikan bahwa pegawai yang lebih tua lebih berpengalaman dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan. Sedangkan pegawai usia muda biasanya mempunyai harapan yang ideal tentang dunia kerjanya, sehingga apabila antara harapannya dengan realita kerja terdapat kesenjangan atas keseimbangan, dapat menyebabkan mereka menjadi tidak puas. d. Tingkat Pekerjaan Pegawai-pegawai yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi cenderung lebih puas daripada pegawai yang menduduki

35 tingkat pekerjaan yang lebih rendah. Pegawai-pegawai yang tingkat pekerjaannya lebih tinggi menunjukkan kemampuan kerja yang baik dan aktif dalam mengemukakan ide-ide serta kreativitas dalam bekerja. e. Ukuran Organisasi Perusahaan Besar kecilnya perusahaan berhubungan pula dengan koordinasi dan partisipasi pegawai. Menurut Robbins (1998 : 152), faktor-faktor yang mempengaruhi

kepuasan kerja adalah : a. Mentally Challenging Work (pekerjaan yang secara mental menantang) Karyawan cenderung menyukai pekerjaan yang memberikan peluang untuk dapat serta menggunakan menawarkan keterampilan tugas dan yang

kemampuannya

sejumlah

bervariasi, kebebasan, serta umpan balik mengenai seberapa baik pekerjaan mereka. Pekerjaan dengan tantangan yang lebih kecil seringkali menimbulkan kebosanan, tetapi apabila tantangan yang dihadapi karyawan dalam pekerjaannya terlalu berat, akibatnya dapat menimbulkan frustrasi dan perasaan gagal. Dengan tantangan yang sesuai kondisi mereka, dapat

memberikan pengaruh senang dan puas.

36 b. Equitable Rewards (penghargaan yang adil) Karyawan menginginkan sistem penggajian dan kebijakan

promosi yang adil, tidak ambisius, dan sesuai dengan harapan mereka. Kepuasan kerja akan terwujud apabila penggajian dirasakan adil, sesuai kebutuhan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar penggajian yang umum. Sebab tidak semua orang bertujuan hanya untuk mendapatkankan uang. Banyak yang rela menerima uang sedikit pada pekerjaan yang lokasi sesuai baginya, atau ada yang memilih pekerjaan yang kurang diminati orang lain, atau memilih pekerjaan yang membutuhkan kewaspadaan yang lebih dan waktu kerja yang panjang. Tetapi disamping itu, petunjuk yang berkaitan dengan gaji dan pengaruhnya terhadap kepuasan kerja, secara tidak pasti dinyatakan dalam jumlah yang dibayar, agaknya hal itulah yang menjadi persepsi dari keadilan. c. Supportive mendukung) Lingkungan kenyamanan, kerja juga menjadi fasilitas perhatian kerja karyawan, baik. baik Studi Working Conditions (kondisi kerja yang

maupun

yang

menunjukkan bahwa pada umumnya karyawan memilih fasilitas dengan lingkungan kerja yang tidak berbahaya atau nyaman, dengan suhu dan penerangan yang baik. d. Supportive Colleagues (rekan sekerja yang mendukung)

37 Orang bekerja lebih dari hanya mendapatkan uang, prestasi atau materi. Sebagian besar bekerja juga untuk kebutuhan interaksi sosial. Oleh karena itu dengan rekan kerja yang mendukung dapat meningkatkan kepuasan kerja. Perilaku salah seorang pimpinan juga besar artinya dalam menentukan kepuasan kerja. Studi secara umum menemukan bahwa kepuasan karyawan meningkat ketika supervisor dapat melakukan pendekatan dengan cara antara lain memahami karyawan, menumbuhkan rasa kedekatan, memberikan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat karyawan dan juga memberikan

perhatian yang sepatutnya kepada karyawan. e. The Personality-Job Fit (kecocokan antara kepribadian dan pekerjaan) Menurut Hollands personality-job fit theory bahwa kesesuaian antara kepribadian seorang karyawan dengan pekerjaan akan menimbulkan kepuasan seseorang. Logika dasar adalah : orang yang mempunyai tipe kepribadian yang sama dengan pekerjaan yang dipilih akan menemukan pendapat bakat sebenarnya yang dimilikinya dan juga kemampuan untuk memenuhi kebutuhan kerjanya sehingga dapat lebih menyukai pekerjaaannya dan sukses. Melalui pekerjaan dan kesuksesan, kemungkinan besar akan menghasilkan kepuasan kerja yang tinggi.

38 Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepuasan kerja dikemukakan oleh Blum (1956) adalah : a. Faktor Individual seperti usia, kesehatan, jenis kelamin b. Faktor Sosial seperti interaksi dan hubungan dengan orang lain c. Faktor dalam Pekerjaan seperti upah, kondisi kerja dan lain-lain. Dalam kenyataannya faktor-faktor tersebut diatas sangat tergantung pada pribadi masing-masing orang. Misalnya saja, bagi seseorang faktor finansial, seperti gaji/upah sangat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja dirinya. Tetapi di lain pihak, untuk orang lain mungkin justru kelengkapan fasilitas tempat bekerja yang menjadi penyebab timbulnya kepuasan kerja.

B. PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN Suatu organisasi dapat dikatakan mencapai tingkat produktivitas yang baik, bila hasil yang didapat sekurang-kurangnya harus seimbang antara pengeluaran dengan masukan yang diperoleh. Dengan kata lain setiap karyawan harus memiliki prinsip bahwa setiap pekerjaan harus diselesaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan dengan perhitungan waktu, tenaga dan biaya diupayakan seminimal mungkin berhemat, dalam arti kata bahwa tenaga dan biaya ditekan lebih kecil atau penghematan. Produktivitas berasal dalam bahasa Inggris yaitu kata productivity mengandung pengertian produk atau hasil, sehingga productivity dapat diindonesiakan sebagai daya hasil atau kemampuan menghasilkan. Secara khusus banyak para ahli mendefinisiskan produktivitas menurut sudut

39 pandang ataupun menurut tujuan organisasi masing-masing, dimana dalam organisasi pemerintah produktivitas berorientasi kepada pemberian pelayanan terhadap masyarakat, sedangkan pada organisasi swasta/bisnis bertujuan untuk mencari keuntungan. Istilah produktivitas pertama kali muncul pada tahun 1766 oleh Quesnay, seorang sarjana ekonomi Perancis yang juga pendiri aliran Phisiokrat. Sebaliknya Walter Aigner menyatakan bahwa : istilah produktivitas sebenarnya sudah ada sejak awal peradaban manusia. Karena makna produktivitas adalah keinginan dan upaya manusia untuk selalu meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan manusia. Namun demikian produktivitas sebagai konsep yang melibatkan output (luaran) dan input (masukan) sebagai parameter utamanya, baru pertama kali dicetuskan oleh Ricardo dan Smith sekitar tahun 1810. Inti konsep produktivitas tersebut adalah bagaimana output (luaran) akan berubah jika besaran input (masukan) berubah. Mali (1979) dalam Gaspersz (2000 :18) mengatakan bahwa : Produktivitas tidak sama dengan produksi, tetapi produksi, performasi kualitas, hasil-hasil, merupakan komponen dari usaha produktivitas. Dengan demikian produktivitas merupakan kombinasi dari efektivitas dan efisiensi, sehingga produktivitas dapat diukur berdasarkan sebagai berikut : Produktivitas = Output yang dihasilkan = Pencapaian Tujuan Input Yang Digunakan = Penggunaan Sumber Daya = Efektivitas Pelaksanaan Tugas = Efektivitas Efisiensi Penggunaan Sumber Efisiensi Dan menurut Werther dan Davis (1998 : 8), produktivitas didefinisikan sebagai rasio atau hasil sebagai berikut :

40 Productivity = Outputs Inputs = Goods and Services = People, Capital, Materials, Energy

Pendapat mengenai produktivitas dikemukakan oleh Ivancevich (1995 : 30) sebagai berikut : Productivity is defined as output of goods and services per unit of input of resources used in a production process. Inputs, as applied in productivity measurement, are expressions of the physical or dollar amount of several elements used in producing a good or a service, including labor, capital materials, fuel and energy. Berdasarkan pendapat tersebut dapat ditarik pengertian bahwa produktivitas didefinisikan sebagai output dari barang dan jasa per unit dengan input berupa sumber daya yang digunakan dalam proses produksi. Input dalam pengukuran produktivitas diwujudkan dalam bentuk fisik dan atau jumlah uang dari beberapa unsur yang digunakan dalam menghasilkan suatu barang atau jasa, melalui tenaga kerja, modal, material, bahan bakar dan energi. Produktivitas dapat ditinjau dari sisi produktivitas organisasi dan produktivitas karyawan. Produktivitas organisasi sangat tergantung kepada produktivitas karyawan, semakin tinggi produktivitas karyawan semakin tinggi pula produktivitas organisasi. Untuk itu perlunya suasana komunikasi yang efektif antara atasan dan bawahan, lingkungan kerja yang mendukung dan kepuasan akan kerja bagi setiap karyawan. Menurut Kasim (1989) bahwa konsep produktivitas di sektor bisnis berbeda dengan produktivitas di sektor publik (pemerintah), karena ada perbedaan pokok yang mendasar. Berkaitan dengan produktivitas di sektor

41 publik tersebut, dapat kita simak pendapat dari Blank (1976) dikutip oleh Kasim (1993 : 21) dalam uraian sebagai berikut : Blank mengatakan bahwa produktivitas dalam organisasi pemerintahan juga harus diukur dari segi kualitas hasil yang dipersembahkan kepada masyarakat, yaitu seberapa jauh hasil tersebut sesuai dengan standar yang diinginkan. Standar ini meliputi ciri-ciri dari output misalnya, berapa unit atau event yang dihasilkan, bagaimana jadual penyelesaiannya (timelines), dan seberapa jauh kepuasan dari klien atau masyarakat yang dilayani. Dengan menyimak pendapat tersebut dapat ditarik pengertian bahwa produktivitas di organisasi pemerintahan harus diukur dari segi kualitas hasil. Sedangkan standar ukuran hasil di sekor publik adalah unit yang dihasilkan, jadual penyelesaian, kepuasan masyarakat yang dilayani. Berkaitan dengan ukuran mengenai produktivitas di sektor publik ini dapat kita simak pendapat Nawawi dan Martini (1990 : 98) dalam uraian berikut : Produktivitas hanya dapat diperoleh gambarannya dari dedikasi, loyalitas, kesungguhan dan disiplin, ketepatan penggunaan metode atau cara bekerja dan lain-lain yang tampak selama personel sebagai tenaga kerja melaksanakan volume dan beban kerjanya. Seorang pegawai negeri dikatakan produktif, jika selama jam kerja yang bersangkutan selalu tekun dan tidak pernah membolos, datang dan pulang tepat pada waktunya, mengerjakan pekerjaan dengan cara yang berdaya guna, pekerjaan diselesaikan dengan tepat waktu, dan sebagainya. Berdasarkan dari pendapat tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa produktivitas kerja di lingkungan sektor publik atau pemerintahan dapat diukur dari loyalitas, kesungguhan, disiplin, cara kerja, absensi, penyelesaian pekerjaan tepat waktu.

42 Pendapat yang hampir serupa dengan indikator produktivitas kerja di sektor publik dikemukakan oleh Nasution (1994 : 95) dalam uraian berikut ini : a. Absensi ; Kriteria yang dipakai adalah sering terlambat, kadangkadang terlambat, sekali waktu absen, sering tidak di tempat kerja, atau tidak pernah absen. b. Tanggung Jawab Terhadap Pekerjaan ; Kriterianya adalah sering atau kadang-kadang melalaikan pekerjaan, pengabdian kepada pekerjaan cukup baik, sangat dan dapat diandalkan pengabdian kepada tugasnya. c. Kualitas Pekerjaan ; Kriterianya adalah kurang menguasai

pekerjaan, kadang-kadang tidak menguasai pekerjaan, pekerjaan dikuasai pekerjaan. d. Kecekatan atau keterampilan kerja ; Kriterianya adalah bekerja sangat lamban, dapat menyelesaikan pekerjaan pada waktunya, biasanya menyelesaikan pekerjaan dengan cepat, cekatan sekali dalam melaksanakan pekerjaan. e. Inisiatif dan kreativitas; Kriterianya adalah antara lain pasif dan selalu didorong untuk melakukan tugasnya, kadangkala mau berinisiatif, cukup mempunyai inisiatif dalam melakukan secukupnya dengan baik, menguasai sepenuhnya

pekerjaannya, dan aktif berusaha dan berinisiatif dalam melakukan tugasnya.

43 Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa indikator dari produktivitas kerja di sektor publik adalah absensi, tanggung jawab terhadap pekerjaan, kualitas pekerjaan, keterampilan kerja, inisiatif dan kreativitas. Berkaitan dengan peningkatan produktivitas kerja ini, menurut Kussriyanto (1993 : 8) terdapat empat (4) bidang pekerjaan yang mempunyai pengaruh terhadap peningkatan produktivitas, yaitu : Bidang yang pertama ialah investasi mesin untuk mengganti tenaga manusia. Bidang yang kedua adalah upaya yang diarahkan pada penentuan dan penerapan metode kerja yang paling cocok. Yang ketiga, yang seringkali peluang yang paling diremehkan untuk meningkatkan produktivitas ialah usaha menghilangkan praktekpraktek yang produktif yang biasanya menghambat peningkatan produktivitas. Bidang keempat adalah metode-metode personalia yang dapat digunakan oleh manajemen untuk memanfaatkan secara lebih efektif sumber daya manusia dari suatu perusahaan. Produktivitas menekankan pada aspek hasil kerja, yaitu hasil yang lebih baik dibandingkan dengan upaya atau pengorbanan yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut. Hasil disini tentunya paralel dengan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai organisasi, dan hasil kerja tersebut dapat berupa hasil yang bersifat materi meupun non materi (jasa), dapat berbentuk perilaku yang mendukung produktivitas kerja untuk pencapaian tujuan organisasi.

44 C. HUBUNGAN KOMUNIKASI ORGANISASI DAN LINGKUNGAN KERJA FISIK DENGAN KEPUASAN KERJA DAN PRODUKTIVITAS E.1. HUBUNGAN KOMUNIKASI ORGANISASI DENGAN KEPUASAN KERJA Kepuasan kerja merupakan respons seseorang (sebagai pengaruh) terhadap bermacam-macam lingkungan kerja yang dihadapinya (Coleman, 1982). Termasuk ke dalam hal ini respons terhadap komunikasi organisasi, supervisor, kompensasi, promosi, teman sekerja, kebijaksanaan organisasi dan hubungan interpersonal dalam organisasi. Dia selanjutnya mengatakan bahwa semua variabel komunikasi organisasi berhubungan secara berarti

dengan bermacam-macam aspek kepuasan kerja. Kepuasan komunikasi digunakan untuk menyatakan keseluruhan tingkat kepuasan yang dirasakan pegawai dalam lingkungan total

komunikasinya (Redding, 1972). Analisis paling komprehensif mengenai kepuasan komunikasi organisasi dilakukan oleh Downs dan Hazen (1977) sebagai bagian dari usaha untuk mengembangkan suatu instrumen untuk mengukur kepuasan komunikasi. Secara keseluruhan, kepuasan berhubungan dengan perbedaan antara apa yang orang inginkan dari sudut pandang komunikasi dalam organisasi dan apa yang orang miliki dalam kaitan tersebut. Kepuasan adalah suatu konsep yang biasanya berkenaan dengan kenyamanan; jadi kepuasan dalam komunikasi berarti anda merasa nyaman dengan pesan-pesan, media dan hubungan-hubungan dalam organisasi. Kenyamanan memiliki

kecenderungan, dalam hal ini, kadang-kadang menyebabkan individu lebih menyukai cara-cara pelaksanaan terbaru, yang seringkali gagal menghasilkan

45 peningkatan kinerja tugas. Beberapa penelitian tentang hubungan antara komunikasi organisasi dengan kinerja pekerjaan menunjukkan bahwa kepuasan kecil peranannya dalam perbaikan kinerja pekerjaan. Berarti kepuasan tidak memacu para individu untuk mencapai tingkat kinerja yang lebih tinggi, meskipun kepuasan komunikasi jelas memberi andil dalam kepuasan kerja (Pincus, 1986, 412 413). Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa komunikasi dalam organisasi memiliki hubungan dengan kepuasan kerja, sehingga apabila kondisi keduanya baik dapat meningkatkan produktivitas dan jika kondisinya tidak baik dapat menyebabkan penurunan produktivitas.

E.2. HUBUNGAN LINGKUNGAN KERJA FISIK DENGAN KEPUASAN KERJA Kemampuan manusia dalam melaksanakan tugasnya banyak

dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah lingkungan kerja. Lingkungan kerja yang menyenangkan akan menimbulkan semangat kerja. Kondisi lingkungan kerja dari para karyawan sangat mempengaruhi tumbuhnya motivasi bagi peningkatan produktivitas kerja seperti yang dikemukakan Sudarmayanti (1996 : 23), bahwa suatu kondisi lingkungan dikatakan baik atau sesuai apabila manusia dapat melaksanakan kegiatannya secara sehat, optimal, aman dan nyaman. Lebih lanjut faktor-faktor secara fisik mempengaruhi kondisi lingkungan menurut Sudarmayanti (1996 :23) sebagai berikut : 1. Penerangan/cahaya di tempat kerja; 2. Temperatur/suhu udara di tempat kerja;

46 3. Kelembapan di tempat kerja; 4. Sirkulasi udara di tempat kerja; 5. Kebisingan di tempat kerja; 6. Getaran mekanis di tempat kerja; 7. Bau tidak sedap; 8. Tata warna di tempat kerja; 9. Dekorasi di tempat kerja; 10. Musik di tempat kerja; 11. Keamanan di tempat kerja. Seseorang bila melakukan suatu pekerjaan dengan sungguh-sungguh akan dipengaruhi suasana atau keadaan lingkungan yang menurut orang tersebut menyenangkan, dan pada umumnya bila lingkungan kerja yang nyaman, penerangan yang cukup, ruangan yang tidak sempit, bersih, sirkulasi udara yang baik, tidak bising, dan aman akan membuat menjadi tenang dalam melaksanakan pekerjaan, begitu pula dengan tata letak tempat kerja yang baik dan dapat dipandang mata dengan baik akan berpengaruh juga. Dengan kondisi lingkungan kerja seperti diuraikan diatas dapat memelihara dan meningkatkan kenyamanan dalam bekerja, sehingga karyawan dapat lebih berkonsentrasi dalam menyelesaikan pekerjaan tanpa terganggu oleh kondisi lingkungan fisik sekitarnya. Pada tahapan ini karyawan merasa tertantang untuk produktif karena ketersediaan sarana dan prasarana. Dengan demikian dapat diduga bahwa terdapat hubungan yang kuat antara lingkungan kerja fisik dengan kepuasan kerja karyawan. Artinya makin kondusif lingkungan kerja fisik, maka makin tinggi tingkat kepuasan kerja karyawan.

47 E.3. HUBUNGAN KEPUASAN KERJA DENGAN PRODUKTIVITAS Pada seseorang dasarnya terhadap kepuasan aspek-aspek kerja di berarti dalam tangggapan atau pada emosional keseluruhan

pekerjaan/jabatannya. Menurut French (1986) kepuasan kerja diartikan sebagai sikap seorang karyawan/anggota organisasi terhadap

pekerjaan/jabatannya. Tanggapan emosional atau sikap sebagai kepuasan kerja terlihat pada tanggung jawab, perhatian, dan perkembangan seseorang dalam bekerja. Apabila ketiga aspek itu terlihat semakin positif, berarti terdapat kepuasan anggota organisasi/karyawan dalam melaksanakan tugastugas pokoknya. Demikian pula sebaliknya apabila ketiga aspek itu menurun berarti kepuasan kerja menjadi rendah. Sejumlah tinjauan-ulang dilakukan dalam dasawarsa 1950-an dan 1960-an yang mencakup lusinan studi yang berusaha menegakkan hubungan antara kepuasan kerja dan produktivitas (Brayfield dan Crockett, 1955, 396 428). Pandangan dini mengenai hubungan kepuasan kerja kinerja pada hakikatnya dapat diringkaskan dalam pernyataan seorang pekerja yang bahagia adalah seorang pekerja yang produktif. Suatu tinjauan ulang yang seksama dari riset itu menyatakan bahwa jika ada hubungan yang positif antara kepuasan dan produktivitas, korelasi-korelasi secara konsisten rendahdi sekitar +0,14 (Herman, 1973 : 208). Hubungan akan lebih kuat dengan memasukkan variabel-variabel pelunak. Tingkatan pekerjaan merupakan variabel pelunak yang penting. Korelasi kepuasan kinerja lebih kuat untuk karyawan tingkat lebih tinggi. Hubungan akan lebih relevan untuk individu-

48 individu dalam posisi profesional, penyelia dan manajerial. Kepuasan menyebabkan produktivitas adalah bahwa studi-studi itu telah memfokuskan pada individu-individu bukannya pada organisasi dan bhawa ukuran tingkat di individu tidak memperhitungkan semua interaksi dan kompleksitas dalam proses kerja itu. Berkaitan dengan kepuasan kerja maka jenis pekerjaan yang dilakukan sehari-hari oleh seorang karyawan sangat terkait dengan kepuasan kerja seperti yang diuraikan oleh Kussriyanto (1993 : 114) dalam uraian berikut ini : Pekerjaan tidak monoton, pelaksana dapat melakukan berbagai unsur pekerjaan yang cukup bervariasi dan leluasa mengatur tempat kerja; Pekerjaan dirancang oleh manajemen sedemikian rupa sehingga tidak menyia-nyiakan waktu dan tenaga pelaksanaannya; Pekerja bebas merencanakan sendiri pekerjaannya dan cara kerja yang efektif; Pekerja memperoleh wewenang yang memadai atas pekerjaannya; Pekerja mempunyai peluang memperoleh pengakuan atas hasil karyanya dan mendapat kesempatan untuk berkembang; Ia tidak merasa diawasi begitu ketat, tidak terlalu banyak diomeli, tidak kelewat dikendalikan; Pekerja menilai tugasnya penting bagi keseluruhan karyawan perusahaan dan semua pribadi tidak merasa dijadikan sebagai mesin; Dari pekerjaannya sendiri pelaksana dapat memperoleh jawaban atas pertanyaannya; bagaimana prestasi kerjanya, sehingga ia dapat meralat kesalahan dan meningkatkan teknik kerjanya sendiri; Pekerja menyediakan umpan balik dari atasan tanpa menyebabkan rasa sakit hati atau kecewa. Bentuk umpan balik dari rasa kepuasan karyawan adalah berupa pujian dan pengakuan. Pengakuan dan pujian biasanya diberikan sebagai ungkapan kepuasan kerja atas prestasi atau produktivitas kerja daripada karyawannya. Menurut Dharma (1991 : 99-100) bentuk pengakuan dan

49 pujian sebagai bentuk kepuasan kerja yang akan mendorong karyawan untuk lebih termotivasi meningkatkan produktivitas kerja adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pujian Langsung Pujian tidak langsung Pujian melalui orang lain Pengakuan formal Penugasan pekerjaan yang lebih disukai Penghargaan

Dari pendapat tersebut dapat ditarik suatu pengertian bahwa dengan melalui komunikasi organisasi dalam bentuk pujian, pengakuan dan penghargaan kepuasan menunjukkan kepuasan dari pimpinan, juga merupakan bagi karyawan itu sendiri yang memotivasi untuk

kerja

meningkatkan produktivitas kerjanya. Kondisi ini akan semakin baik dengan dukungan lingkungan kerja fisik yang baik pula. Berdasarkan uraian di atas, tampak adanya hubungan antara komunikasi organisasi dan lingkungan kerja fisik dengan kepuasan kerja, dan kepuasan kerja karyawan. dengan produktivitas

50 BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian Metodologi merupakan suatu upaya untuk menentukan, mengkaji, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan khususnya untuk membuktikan suatu hipotesa yang diajukan. Dalam rangka melakukan pengujian tersebut digunakan metode ilmiah. Penelitian ini bersifat analisis eksplanatif yang dimaksud untuk mendapatkan gambaran dan penjelasan secara akurat terhadap fenomena dari faktor yang berkorelasi terhadap produktivitas karyawan dan menjelaskan pengaruhnya dengan menguji hipotesa dari variabel bebas yaitu komunikasi organisasi, lingkungan kerja fisik dengan variabel tidak bebas, yaitu kepuasan kerja dan produktivitas kerja. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, artinya variabelvariabel yang bersifat kualitatif diterjemahkan ke dalam angka kuantitatif sehingga dapat dianalisa menggunakan statistik dan menginterpretasikan hasil analisis tersebut ke dalam bahasa kualitatif. Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. (Arikunto, 1998 :151), dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah kuesioner. Kuesioner adalah sejumlah pernyataan-pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan

51 tentang pribadinya, atau hal-hal yang responden ketahui. Kuesioner dipakai untuk mengumpulkan data dengan menggunakan suatu metode yang disebut instrumen, dan dalam menggunakan metode kuesioner, instrumen yang dipakai adalah berupa pernyataan-pernyataan atau item. Metode kuesioner dilakukan secara tertutup, langsung dan berbentuk rating scale. Tertutup maksudnya, kuesioner sudah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal memilih langsung yaitu responden menjawab tentang dirinya, sedangkan bentuk rating scale (skala bertingkat), yaitu sebuah pertanyaan diikuti oleh kolom-kolom yang menunjukkan tingkatantingkatan misalnya mulai dari sangat tinggi sampai sangat rendah. Pendekatan penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan metode survey eksploratif yaitu berusaha menggambarkan serta mengetahui berbagai data yang menyangkut masalah hubungan antara komunikasi organisasi, lingkungan kerja fisik dengan kepuasan kerja dan produktivitas kerja di Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. Salah satu metode penelitian sosial yang sangat luas penggunaannya adalah metode survey. Ciri khas penelitian ini adalah, data dikumpulkan dari sejumlah responden yang telah ditentukan jumlahnya dengan menggunakan kuesioner. Keuntungan dari penelitian survey adalah memungkinkan pembuatan generalisasi untuk populasi besar maupun kecil yang pada umumnya dilakukan untuk mengambil suatu generalisasi dari pengamatan yang tidak mendalam.

52 B. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini variabel-variabel dibedakan menjadi : Variabel bebas yang menjadi sebab timbulnya atau berubahnya variabel terikat atau variabel yang mempengaruhi; Variabel terikat yaitu variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Mengacu pada perspektif teoritis dan metode penelitian yang diuraikan diatas, maka pendekatan kuantitatif digunakan dalam penelitian ini yaitu melalui analisa pendekatan model persamaan struktural tentang hubungan antara komunikasi organisasi, lingkungan kerja fisik dengan kepuasan kerja dan produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. Hasil dari analisa tersebut kemudian akan dilanjutkan dengan justifikasi yang sifatnya kualitatif. Narasi kualitatif tersebut masih berada dalam konteks paradigma post-positivist. C. Lokasi Penelitian dan Populasi C.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini memilih tempat penelitian di Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta. Alasannya adalah tempat tersebut sangat berhubungan langsung dan terkait pada hubungan antara komunikasi organisasi, lingkungan kerja fisik dengan kepuasan kerja dan produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta.

53

C.2. Populasi dan Sampel Populasi adalah keseluruhan individu, subjek, objek, gejala ataupun kejadian-kejadian yang dimaksud untuk diteliti (Hadi, 1984 : 72). Populasi dari penelitian ini adalah karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta yang berjumlah 178 orang yang ditetapkan oleh peneliti sebagai responden, yang terdiri dari : Tabel 3.1 Jumlah Responden Penelitian
Jenis Golongan Pendidikan Kelamin Jumlah I II III IV SLTA DIII S1 S2 L P 140 38 178 - 111 66 1 93 19 54 7 Jumlah 178 - 111 66 1 98 19 54 7 18-30 134 135 Umur 31-40 41-50 33 35 6 8 >51 -

Keterangan : Ka. Lapas : 1 Kasie : 4 Kasubsi : 7 Staf : 91 Pengamanan: 75 Jumlah : 178

Staf Umum : 11 - Ruport I : 4 Staf kepeg : 8 II : 4 Sfat Bimaswat : 29 III : 4 Staf Registrasi : 6 IV : 4 Staf Adkam : 9 - Rupam I : 15 Staf Giatja : 8 II : 14 Staf Dapur : 4 III : 15 Staf KPLP : 16 IV : 15 Jumlah : 91 Jumlah : 75 Sumber : Urusan Kepegawaian dan Keuangan, Februari 2006 Populasi dalam penelitian ini relatif bersifat heterogen. Sebagian besar karyawan golongan II dan III, dan sebagian kecil lainnya golongan IV. Selain itu para karyawan bekerja yang tersebar dalam berbagai seksi, yaitu Pengamanan, Pembinaan narapidana, Kegiatan Kerja, Administrasi

Dokter Umum : 4 Doketr Gigi : 2 Perawat :8

Keamanan dan Tata Usaha.

54 Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 responden dari total populasi 178 orang. Pengambilan sampel sebanyak 100 responden dari populasi atas dasar pertimbangan sebagai berikut : Menurut Hair dkk (1995) bahwa ukuran sampel yang sesuai adalah antara 100 200 orang. Bila ukuran sampel menjadi terlalu besar misalnya lebih dari 400 maka metode menjadi sangat sensitive sehingga sulit untuk mendapatkan ukuran-ukuran goodness-of-fit yang baik. Hair dkk menyarankan bahwa ukuran sampel minimum adalah sebanyak 5 observasi untuk setiap estimated parameter. Dengan demikian bila estimasi parameternya berjumlah 20, maka jumlah sampel minimum adalah 100. Mengingat jumlah populasi yang menjadi obyek penelitian adalah 178 orang, maka sampel yang diambil sebanyak 100 responden dari populasi tersebut dianggap cukup representatif. Metode penentuan responden yang menjadi objek penelitian adalah teknik acak berlapis (stratified random sampling) proporsional dengan menggunakan rumus :

Sampel =

Populasi x Total Sampel Total Populasi

Adapun sampel yang diambil di masing seksi/bidang kegiatan dengan karakteristik sebagai berikut :

55 - Ka.Lapas - KPLP - Regu Pengamanan - Tata Usaha - Binadik - Adkam - Giatja - Dapur - Medis Jumlah : 1 Orang

: 17 Orang : 75 Orang : 22 Orang : 21 Orang : 12 Orang : 12 Orang : 4 Orang

: 14 Orang : 178 Orang

Maka dengan menggunakan rumus akan diperoleh sebagai berikut : Sampel Ka.Lapas Sampel KPLP Sampel Regu Sampel TU Sampel Binadik Sampel Adkam Sampel Giatja Sampel Dapur Sampel Medis : 1/178 x 100 : 17/178 x 100 : 75/178 x 100 : 22/178 x 100 : 21/178 x 100 : 12/178 x 100 : 12/178 x 100 : 4/178 x 100 : 14/178 x 100 =0 = 9,55 = 10 = 42,13 = 42 = 12,35 = 12 = 11,79 = 12 = 6,74 = 7 = 6,74 = 7 = 2,24 = 2 = 7,86 = 8

Dengan demikian maka total sampel adalah 100 orang. C.3. Sumber Data

56 Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana diperoleh (Arikunto, 1998 : 114). Dalam penelitian ini digunakan kuesioner, dan sumber data dari responden yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan. Sumber data yang lain adalah berupa data sekunder, yaitu berbagai literatur, peraturan perundang-undangan dan dokumen yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti. C.4. Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini adalah karyawan yang terpilih sebagai responden penelitian. Dan unit pengamatan penelitian adalah sama dengan unit analisisnya. C.5. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir yang diajukan, berikut ini dirumuskan beberapa hipotesis penelitian ke dalam pernyataan-peryataan berikut : 1). Terdapat hubungan nyata antara komunikasi organisasi dengan kepuasan kerja, artinya semakin tinggi komunikasi organisasi, maka semakin tinggi tingkat kepuasan kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta; 2). Terdapat hubungan nyata antara lingkungan kerja fisik dengan kepuasan kerja, artinya semakin tinggi lingkungan kerja fisik, maka semakin tinggi tingkat kepuasan kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta; 3). Terdapat hubungan nyata antara kepuasan kerja dengan produktivitas kerja, artinya semakin tinggi tingkat kepuasan kerja,

57 maka semakin tinggi produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta.

C.5.1. Hipotesis Statistik Adapun hipotesis statistik yang dipergunakan untuk menguji hipotesis penelitian tersebut adalah : 1). Ho : Y1 0; H1 : Y1 > 0 2). Ho : Y2 0; H1 ; Y2 > 0 3). Ho : (); H1 : > () Berarti : 1). Ho : Tidak ada hubungan nyata antara komunikasi organisasi dengan kepuasan kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. H1 : Terdapat hubungan nyata antara komunikasi organisasi dengan kepuasan kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. 2). Ho : Tidak ada hubungan nyata antara lingkungan kerja fisik dengan kepuasan kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. H1 : Terdapat hubungan nyata antara lingkungan kerja fisik dengan kepuasan kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. 3). Ho : Tidak ada hubungan nyata antara kepuasan kerja dengan

58 produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. H1 : Terdapat hubungan nyata antara kepuasan kerja dengan produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. D. Definisi Operasional Variabel Jumlah variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel terikat (dependent variable) dan dua variabel bebas (independent variable). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah Kepuasan Kerja (Y1) dan Produktivitas Kerja (Y2), dan variabel bebasnya adalah Komunikasi Organisasi (X1) dan Lingkungan Kerja Fisik (X2). Indikator pengukuran dari setiap variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1). Dimensi Komunikasi Organisasi (X1) terdiri dari : a. Seringnya pengarahan yang dilakukan oleh atasan; b. Banyaknya dukungan atasan; c. Keikutsertaan dalam pengambilan keputusan; d. Koordinasi antar bagian; e. Kesediaan atasan mendengarkan keluhan; f. Adanya penghargaan dari atasan dan sesama karyawan atas pekerjaan yang dilakukan; g. Adanya proses pembelajaran dari atasan kepada bawahan; h. Adanya panduan formal kerja yang harus dipahami; i. Sikap saling menghargai dan menghormati antar sesama karyawan.

59 2). Dimensi Lingkungan Kerja Fisik (X2) terdiri dari : a. Kesesuaian ruangan, penataan ruangan, dan fasilitas pendingin /sirkulasi udara; b. Fasilitas yang tersedia (sarana dan prasarana); c. Pemeliharaan peralatan kerja; d. Tingkat kebisingan di tempat kerja; e. Arsitektur dan penampilan tempat kerja (ukuran, tata letak, pembagian tempat kerja, warna dinding); f. Tingkat keamanan tempat kerja; g. Posisi tempat kerja yang efektif dan efisien dalam bekerja. 3). Dimensi Kepuasan Kerja (Y1) terdiri dari : a. Kesesuaian pekerjaan dengan tingkat pendidikan yang dimiliki; b. Kesesuaian pekerjaan dengan pengalaman dan skill serta kepribadian; c. Kompensasi yang didapat; d. Kesempatan pelatihan dan promosi; e. Keadilan dalam bekerja; f. Citra organisasi dan perubahan;

g. Pekerjaan memiliki tantangan untuk mengembangkan diri; h. Pekerjaan memberi rasa aman dan tentram; i. Pekerjaan memberikan harapan masa depan; j. Rencana kerja manajemen sejalan dengan pekerjaan; k. Karyawan memiliki kebebasan untuk merencanakan pekerjaan; 4). Dimensi Produktivitas Kerja (Y2) terdiri dari :

60 a. Kesesuaian antara hasil kerja dengan standar; b. Kesesuaian antara kualitas dengan standar; c. Kesesuaian antara pelaksanaan dengan prosedur; d. Banyaknya kesalahan dalam pekerjaan; e. Keberanian dalam mengambil resiko; f. Kemauan dalam meningkatkan hasil kerja; g. Penyelesaian pekerjaan sesuai dengan waktu yang ditentukan; h. Pemanfaatan waktu luang untuk kerja; i. Pemanfaatan waktu secara optimal; j. Loyalitas, kesungguhan, disiplin, cara kerja, absensi; k. Kecekatan atau ketrampilan kerja; l. Inisiatif dan kreativitas; E. Instrumen Penelitian dan Metode Pengukuran E.1. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dimaksud untuk mengukur fenomena sosial yang diamati, dengan menggunakan kuesioner yang berisi pernyataan-pernyataan yang dikembangkan

berdasarkan indikator-indikator yang digunakan dari masing-masing variabel penelitian. Rincian instrumen-instrumen penelitian yang menjadi data primer dijaring dengan disusun dalam bentuk pernyataan tertutup yang akan dipilih oleh responden. Oleh sebab itu terlebih dahulu dikemukakan kisi-kisi instrumen penelitian berikut ini :

61

Tabel 3.2 Kisi-kisi Instrumen Penelitian Konsep Variabel Dimensi 1. Komunikasi Vertikal Komponen yang diukur
Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju

Hubungan Komunikasi antara Organisasi komunikasi organisasi dan lingkungan kerja fisik dengan kepuasan kerja dan produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta Lingkungan Kerja Fisik

Butir Pernyataan 1, 2, 3, 4, 5, 6

2. Komunikasi Horizontal

Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju


Sangat Tidak Setuju

7, 8, 9, 10, 11, 12, 13.

3. Komunikasi Diagonal

Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju


Sangat Tidak Setuju

14, 15,

1.

Tata Leta k /Arsi tekt ur

Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju


Sangat Tidak Setuju

16, 17, 18, 19, 20, 21

Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju


Sangat Tidak Setuju

22, 23, 24, 25, 26, 27

2.

Kon disi ruan gan kerj a

Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju


Sangat Tidak Setuju

28, 29

Kepuasan Kerja 3. Ting kat Kea man an

Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju


Sangat Tidak Setuju

30, 31, 32, 33, 34, 35, 36 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44,

Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju

62
Sangat Tidak Setuju

45,46,47 48, 49, 50

1. Produktivitas Kerja 2.

Tantangan pekerjaan

Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju


Sangat Tidak Setuju

Ganjaran yang pantas

Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju


Sangat Tidak Setuju

51,52,53,54 ,55,56

1. Kualitas standar pekerjaan

/ Setuju

Sangat Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju


Sangat Tidak Setuju

57,58,59,60 ,61,62,63, 64,65,66

2. Efisiensi dan efektivitas kerja 3. Inisiatif dan prakarsa kerja E.2. Metode Pengukuran Instrumen dalam penelitian ini berupa kuesioner yang berisi

pernyataan-pernyataan tertutup, yang ditujukan untuk mengukur persepsi responden terhadap seluruh variabel penelitian. Pada setiap variabel dijabarkan menjadi beberapa pernyataan-pernyataan yang menggunakan Skala Likert, sehingga responden dapat memilih jawaban atas setiap pernyataan yang sesuai dengan apa yang dirasakan, sesuai dengan pengalamannya terhadap hubungan antara komunikasi organisasi dan

63 lingkungan kerja fisik dengan kepuasan kerja dan produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. Item setiap dimensi variabel disertai lima pilihan jawaban, Sangat Setuju (5), Setuju (4), Kurang Setuju (3), Tidak Setuju (2), dan Sangat Tidak Setuju (1). Pengukuran dilakukan dengan cara pernyataan yang berarah positif pada wilayah pernyataan tertinggi diberi skor penilaian 5 (lima),

sebaliknya pernyataan berarah negatif dengan pilihan pernyataan terendah diberi skor penilaian 1 (satu). Melalui skala interval penilaian seperti ini sekaligus dapat dihindari jawaban yang bersifat memusat (central tendency) . Menurut Hadi (1984 : 157) metode kuesioner dianggap sebagai metode yang tepat untuk penelitian ini karena dilandasi dengan anggapananggapan bahwa : Subyek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri; Apa yang dinyatakan subyek adalah benar dan dapat dipercaya. Interpretasi subyek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sama dengan yang dimaksud oleh peneliti. E.3. Teknik Analisis Data - Pengujian Validitas Instrumen Pengujian validitas mempunyai tujuan untuk mengetahui apakah butir-butir pertanyaan benar-benar mengukur yang seharusnya diukur. Jadi dapat dikatakan semakin tinggi validitas suatu alat test, maka alat test tersebut semakin mengenai pada sasarannya, atau semakin menunjukkan apa yang seharusnya diukur. Suatu test dapat dikatakan mempunyai validitas

64 tinggi apabila test tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur sesuai dengan makna dan tujuan diadakannya test tersebut. Jika peneliti menggunakan kuesioner di dalam pengumpulan data penelitian, maka item-item yang disusun pada kuesioner tersebut merupakan alat test yang harus mengukur apa yang menjadi tujuan penelitian. Salah satu cara untuk menghitung validitas suatu alat test yaitu dengan melihat daya pembeda item (item discriminality). Daya pembeda item adalah metode yang paling tepat digunakan untuk setiap jenis test. Daya pembeda item dalam penalitian ini dilakukan dengan cara : korelasi item-total. Korelasi item-total yaitu konsistensi antara skor item dengan skor secara keseluruhan yang dapat dilihat dari besarnya koefisien korelasi antara setiap item dengan skor keseluruhan, yang dalam penelitian ini menggunakan koefisien korelasi Spearman - rho. Korelasi Spearman rho merupakan salah satu metode statistika nonparametrik. Alasan utama penggunaan metode ini adalah bahwa metode ini sangat efisien dalam beberapa situasi, antara lain tidak mengasumsikan distribusi dari populasinya. Metode statistika termasuk dalam metode statistika nonparametrik apabila memenuhi paling tidak satu kriteria berikut : 1. Metode digunakan pada jenis data yang mempunyai skala pengukuran nominal. 2. Metode digunakan pada data yang mempunyai skala pengukuran ordinal. 3. Metode digunakan pada data yang mempunyai skala pengukuran interval atau rasio, namun fungsi distribusi dari variabel acak tidak diketahui.

65 Sebagaimana metode statistika inferensia, pada metode ini juga terdapat pengujian hipotesis dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Hipotesis : Ho : 0 Tidak ada hubungan antara variabel x dan y H1 : = 0 Terdapat hubungan antara variabel x dan y 2. 3. Tingkat signifikasi : = 0,05 Statisti uji : rs = 1 6 di2

n 2 ( n 1)

rs : koefisien korelasi Spearman rho d1 : selisih ranking n : banyaknya observasi 4. Aturan keputusan : Ho ditolak jika sig ( ) < = 0,05 Rumus diatas digunakan apabila tidak terdapat data kembar, atau terdapat data kembar namun sedikit. Apabila terdapat banyak data kembar digunakan rumus berikut ini

66 n +1 R ( X i ) R ( Yi ) n 2
1 2

rs =

2 2 2 2 n +1 2 n +1 2 R ( Xi ) n R ( Yi ) n 2 2

dimana : R(X) = Ranking nilai X R(Y) = Ranking nilai Y Bila koefisien korelasi untuk seluruh item telah dihitung, perlu ditentukan angka terkecil yang dapat dianggap cukup tinggi sebagai indikator adanya konsistensi antara skor item dan skor keseluruhan. Dalam hal ini tidak ada batasan yang tegas. Prinsip utama pemilihan item dengan melihat koefisien korelasi adalah mencari harga koefisien yang setinggi mungkin dan menyingkirkan setiap item yang mempunyai korelasi negatif (-) atau koefisien yang mendekati nol (0,00). Menurut Friedenberg (1995:273) biasanya dalam pengembangan dan penyusunan skala-skala psikologi, digunakan harga koefisien korelasi yang minimal sama dengan 0,30. Dengan demikian, semua item yang memiliki korelasi kurang dari 0,30 dapat disisihkan dan item-item yang akan dimasukkan dalam alat test adalah item-item yang memiliki korelasi diatas 0,30 dengan pengertian semakin tinggi korelasi itu mendekati angka satu (1,00) maka semakin baik pula konsistensinya (validitasnya). - Pengujian Reliabilitas Kuesioner

67 Reliabilitas artinya adalah tingkat keterpercayaan hasil suatu pengukuran. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi, yaitu pengukuran yang mampu memberikan hasil ukur yang terpercaya (reliabel). Reliabilitas merupakan salah satu ciri atau karakter utama intrumen pengukuran yang baik. Kadang-kadang reliabilitas disebut juga sebagai keterpercayaan, keterandalan, keajegkan, konsistensi, kestabilan, dan sebagainya, namun ide pokok dalam konsep reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya, artinya sejauh mana skor hasil pengukuran terbebas dari kekeliruan pengukuran (measurement error). Tinggi rendahnya reliabilitas, secara empiris ditunjukkan oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas. Walaupun secara teoritis, besarnya koefisien reliabilitas berkisar antara 0,00 1,00; akan tetapi pada kenyataannya koefisien reliabilitas sebesar 1,00 tidak pernah dicapai dalam pengukuran, karena manusia sebagai subjek pengukuran psikologis merupakan sumber kekeliruan yang potensial. Di samping itu walaupun koefisien korelasi dapat bertanda positif (+) atau negatif (-), akan tetapi dalam hal reliabilitas, koefisien reliabilitas yang besarnya kurang dari nol (0,00) tidak ada artinya karena interpretasi reliabilitas selalu mengacu kepada koefisien reliabilitas yang positif. Teknik perhitungan koefisien reliabilitas yang digunakan disini adalah dengan menggunakan Koefisien Reliabilitas Alpha yang dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

68
k 2 Si k = 1 i =12 k 1 S total

dimana : k Si 2 : Jumlah Item Pertanyaan : Varians dari item ke-i

S2total : Varians dari total keseluruhan item Bila koefisien reliabilitas telah dihitung, maka untuk menentukan

keeratan hubungan bisa digunakan kriteria Guilford (1956), yaitu : Tabel 3.3 Interpretasi Koefisien Korelasi Interval Koefisien Korelasi Kurang dari 0, 20 0,20-<0,40 0,40-<0,70 0,70-<0,90 0,90-<1,00 1,00 Tingkat Hubungan Hubungan sangat kecil dan bisa diabaikan Hubungan yang kecil (tidak erat) Hubungan yang cukup erat Hubungan yang erat (reliabel) Hubungan yang sangat erat (sangat reliabel) Hubungan yang sempurna

Data primer yang terkumpul dari daftar pertanyaan dianalis dengan menggunakan model persamaan struktural (structural equation

modeling/SEM) (Hair et al., 1988 : 626) dengan alat analisis LISREL. Didalam melakukan analisis yang menggunakan model SEM mesti diperhatikan langkah-langkah berikut ini :

69

Gambar 3.1 Langkah-langkah SEM Langkah 1


Model dikembangkan Berdasarkan teori

70

Langkah 2
Diagram Jalur dibuat

Langkah 3
Model Struktural dan Pengukurannya disusun

Langkah 4
Jenis Input Matriks dipilih

Jenis Korelasi

Jenis Kovarians

Langkah 5 Model Identifikasi Langkah 6 Evaluasi Kesesuaian


Semua Model Pengukuran Model Model Struktural Perbandingan

Langkah 7
Modifikasi Model (jika perlu)

Model Akhir Sumber : Hair et al., 1998 : 626-629

E.4. Metode Spesifikasi Model Metode yang digunakan dalam melakukan spesifikasi terhadap model yang dibangun adalah model struktural. Yang dimaksudkan untuk

71 menentukan model adalah : (1) menentukan hubungan persamaan konstruk; (2) menetapkan model pengukuran variabel; (3) mengedepankan matriks korelasi hipotesis antar variabel. Dengan demikian teori dan konstruk diuji secara empiris. Mengacu pada kerangka konseptual terdahulu, selanjutnya

dikembangkan model analisis berikut : Gambar 3.2 Model Analisis

KOMUNIKASI ORGANISASI (X1) KEPUASAN KERJA (Y1)

LINGKUNGAN KERJA FISIK (X2)

PRODUKTIVITAS KERJA (Y2)

E.5. Metode Identifikasi Model Analisis data dalam penelitian ini menggunakan SEM (Structural Equation Modeling). Metode ini sering disebut juga LISREL (Linear Structural

72 Relationship), diperkenalkan oleh Karl Jreskog tahun 1973. SEM menyediakan teknik estimasi yang sesuai dan paling efisien untuk serangkaian estimasi persamaan regresi berganda terpisah-pisah secara simultan. Untuk penetapan model serta penentuan variabel independent dan variabel dependent yang disusun berdasarkan teori. Setiap skala variabel baik nominal, ordinal, interval, maupun ratio dapat digunakan dalam SEM namun tidak direkomendasikan untuk menggunakan berbagai macam skala tersebut secara bersama-sama (Schumaker & Lomax, 1996:18-19). Penggunaan SEM secara statistik memberikan keuntungan yaitu efisiensi, dengan metoda ini dapat dihitung secara simultan berbagai macam pola hubungan yang sudah dibuat sebelumnya. Paket Software yang dapat melakukan penghitungan ini adalah LISREL, melalui LISREL dapat dibuat diagram jalur yang merupakan basis analisis jalur. LISREL menganalisis struktur kovarians, yang memiliki dua bagian. Bagian pertama, model pengukuran (measurement model). Mengingat secara hipotesis konstruk tidak dapat diukur secara langsung, model pengukuran dipakai untuk menghubungkan variabel teramati atau dapat diukur dengan konstruk. Bagian kedua LISREL ialah model persamaan structural. Model ini memperlihatkan hubungan sebab-akibat di antara variabel tersembunyi. Model ini menjelaskan pengaruh sebab-akibat dan varians yang tidak dapat dijelaskan. Untuk pemahaman yang lebih baik, model persamaan structural

73 sering dinyatakan dalam diagram. Diagram ini berupa analisis jejak (Path analysis). Diagram , jalur merupakan prosedur untuk melakukan estimasi dari kekuatan setiap hubungan atau jalur. Analisis jalur dapat menghitung kekuatan hubungan hanya dengan menggunakan matrik korelasi atau kovarian sebagai masukan. Mencari hubungan antara dua variabel atau lebih dilakukan dengan menghitung korelasi antar variabel yang akan dicari hubungannya. Korelasi merupakan angka yang menunjukkan kuatnya hubungan antar variabel dinyatakan dalam koefisien relasi dimana korelasi positif terbesar adalah satu dan korelasi negatif terbesar adalah minus satu. Untuk pengujian kecocokan model dalam LISREL menggunakan uji Fit Of Goodness, dalam pengujian ini ditetapkan beberapa kriteria untuk menentukan tingkat kecocokan model penelitian. Uji kecocokan keseluruhan model adalah dengan nilai GOF suatu SEM, secara menyeluruh tidak dapat langsung dilakukan seperti pada teknik multivariate yang lain. SEM tidak mempunyai uji statistik terbaik yang dapat menjelaskan kekuatan prediksi model, sebagai gantinya telah dikembangkan beberapa ukuran GOF yang dapat digunakan secara kombinasi. Menurut Hair et.al. (1995:653) evaluasi terhadap GOF model dilakukan melalui beberapa tingkatan, yaitu : 1. kecocokan keseluruhan model (overall mode fit).

74 2. kecocokan model pengukuran (measurement model fit). 3. kecocokan model structural (Structural model fit). Hair et.al. (1995:659) mengelompokkan ukuran-ukuran GOF yang ada dalam tiga bagian yaitu : 1. Absolute fit measures yaitu derajat prediksi model keseluruhan (model structural dan pengukuran) terhadap matrik korelasi dan kovarian. 2. Incremental fit measures yaitu membandingkan model yang diusulkan dengan model dasar yang sering disebut null model atau independence model 3. Parsimonious fit measures yaitu mengaitkan model dengan jumlah koefisien yang diestimasi, yakni yang diperlukan untuk mencapai kecocokan pada tingkat tersebut. Parsimony atau kehematan berarti memperoleh degree of fit setinggi-tingginya untuk setiap degree of freedom. Parsimony yang lebih banyak lebih baik.

Tabel 3.4 Uji Kecocokan Absolut Ukuran GOF Tingkat Kecocokan Yang Bisa Diterima

75 Absolute Fit Measures Statistik Chi squares (X) Non-Centrality parameters (NCP) Scaled NCP (SNCP) Mengikuti uji statistik yang berkaitan dengan persyaratan signifikan. Semakin kecil semakin baik. Dinyatakan dalam bentuk spesifikasi ulang dari Chisquare. Penilaian didasarkan atas perbandingan dengan model lain. Semakin kecil semakin baik. NCP yang dinyatakan dalam bentuk rata-rata perbedaan setiap observasi dalam rangka perbandingan antar model. Semakin kecil semakin baik. Nilai berkisar antara 0 1 dengan nilai lebih tinggi adalah lebih baik. GFI > 0.90 adalah good fit sedang 0.80 < GFI < 0.90 adalah marjinal fit. Residual rata-rata antara matrik (korelasi atau kovarian) teramati dan hasil RMSR < 0.05 adalah good fit. Rata-rata perbedaan per degree of freedom yang diharapkan terjadi dalam populasi dan bukan dalam sampel, RMSEA < 0.80 adalah good fit dan RMSEA < 0.05 adalah close fit.

Goodness of fit index (GFI) Root Mean Square Residuan (RMSR) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) Expected Cross Validation Index (ECVI)

GOF yang diharapkan pada sampel, yang lain dengan ukuran yang sama. Penilaian didasarkan atas perbandingan antar model. Semakin kecil semakin baik. Sumber : Hair et al., 1998 : 660, Wijayanto, 2003 : 17 20.

Tabel 3.5 Uji Kecocokan Incremental Ukuran GOF Tingkat Kecocokan Yang Bisa Diterima

76

Incremental Fit measures Tucker Lewis Index atau Non normed Fit Index (TLI atau NNFI) Normed Fit Index (NFI) Nilai berkisar antara 0 1 dengan nilai lebih tinggi adalah lebih baik. TLI / NNFI > 0.90 adalah good fit sedang 0.80 < TLI / NNFI < 0.90 adalah marjinal fit. Nilai berkisar antara 0 1 dengan nilai lebih tinggi adalah lebih baik. NFI > 0.90 adalah good fit sedang 0.80 < NFI < 0.90 adalah marjinal fit. Nilai berkisar antara 0 1 dengan nilai lebih tinggi adalah lebih baik. AGFI > 0.90 adalah good fit sedang 0.80 < AGFI < 0.90 adalah marjinal fit. Nilai berkisar antara 0 1 dengan nilai lebih tinggi adalah lebih baik. RFI > 0.90 adalah good fit sedang 0.80 < RFI < 0.90 adalah marjinal fit. Nilai berkisar antara 0 1 dengan nilai lebih tinggi adalah lebih baik. IFI > 0.90 adalah good fit sedang 0.80 < IFI < 0.90 adalah marjinal fit.

Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) Relative Fit Index (RFI) Incremental Fit Index (IFI) Comparative Fit Index (CFI)

Nilai berkisar antara 0 1 dengan nilai lebih tinggi adalah lebih baik. CFI > 0.90 adalah good fit sedang 0.80 < CFI < 0.90 adalah marjinal fit. Sumber : Hair et al., 1998 : 660, Wijayanto, 2003 : 17 20.

Tabel 3.6 Uji Kecocokan Parsimony

77

Ukuran GOF Parsimonious Goodness Of Fit (PGFI) Normed Chisquare

Tingkat Kecocokan Yang Bisa Diterima Parsimony Fit Measures Spesifikasi tukang dari GFI di mana nilai lebih tinggi menunjukkan parsimony yang lebih besar. Ukuran ini digunakan untuk perbandingan diantara model-model Rasio antara Chisquare dibagi degree of freedom. Nilai yang disarankan batas bawah :1.0 batas atas 2.0 atau 3.0 dan yang lebih longgar 5.0. Nilai tinggi menunjukkan kecocokan lebih baik, hanya digunakan untuk perbandingan antar model alternatif. Nilai positif lebih kecil menunjukkan parsimony lebih baik, digunakan untuk perbandingan antar model.

Parsimonious Normed Fit Index (PNFI) Akaike Information Criterion (AIC)

Consistent Akaike Nilai positif lebih kecil menunjukkan parsimony lebih Information baik, digunakan untuk perbandingan antar model. Criterion (CAIC) Sumber : Hair et al., 1998 : 660, Wijayanto, 2003 : 17 20.

BAB IV GAMBARAN UMUM LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A NARKOTIKA JAKARTA

78

A. Keadaan Umum Lapas Narkotika Jakarta Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta terletak di Jalan Raya Bekasi No. 170A, dimana dulunya merupakan bagian dari Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang yang kemudian dibangun Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Jakarta. Lapas ini diresmikan oleh Presiden Indonesia, Megawati Soekarnoputri, pada tanggal 30 Oktober 2003 merupakan salah satu lapas yang berfungsi sebagai tempat pemidanaan bagi tindak kriminal khusus kasus narkoba. Pendirian lapas ini didasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI No. M.04.PR.07.03 Tahun 2003 tentang Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematang Siantar Lubuk Linggau, Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Nusakambangan, Madiun, Pamekasan, Martapura, Bangli, Maros, dan Jayapura (Departemen

Kehakiman dan HAM RI : ii). Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta adalah unit pelaksana teknis di bidang pemasyarakatan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kantor Wilayah Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Tugas pokok dari Lapas Narkotika adalah untuk melaksanakan

pemasyarakatan narapidana / anak didik pengguna narkotika dan obat terlarang lainnya. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Lapas Narkotika mempunyai fungsi : 1. Melaksanakan pembinaan narapidana / anak didik kasus narkoba. 2. Memberikan bimbingan, terapi dan rehabilitasi narapidana / anak didik kasus narkoba.

79 3. Melakukan bimbingan sosial / kerohanian. 4. Melakukan pemeliharaan keamanaan dan tata tertib lembaga pemasyarakatan. 5. Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga. Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA dipimpin oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang membawahi : 1. Sub bagian Tata Usaha, terdiri dari: a. Urusan Kepegawaian dan Keuangan b. Urusan Umum Lapas Narkotika
Klas IIA

2. Seksi Bimbingan Narapidana / Anak Didik, terdiri dari: a. Subseksi Registrasi b. Subseksi Bimbingan Kemasyarakatan Perawatan
Tata Usaha Subbagian

3. Seksi Kegiatan Kerja, terdiri dari: a. Subseksi Bimbingan Kerja dan Pengelolaan Hasil Kerja
KPLP

b. Subseksi Sarana Kerja

Urusan Kepegawaian dan Keuangan

Urusan Umum

4. Seksi Administrasi Keamanan dan Ketertiban, terdiri dari: a. Subseksi Keamanan b.Seksi Bimbingan Subseksi Pelaporan dan Tata tertib 5.
Narapidana/Anak Kesatuan Pengamanan Didik
Seksi Administrasi

Keamanan dan Seksi Kegiatan Lembaga Pemasyarakatan,Ketertiban dari terdiri Kerja

petugas-petugas pengamanan antara lain Rupam dan Ruport. Gambar 4.1 Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Subseksi Sarana
Subseksi Registrasi Kerja

Subseksi Keamanan

Petugas Pengamanan

Subseksi Bimbingan Kemasyarakatan Perawatan

Subseksi Bimbingan Kerja dan Pengelolaan Hasil Kerja

Subseksi Pelaporan dan Tata Tertib

80

Sumber : Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Jakarta Dalam mendukung fungsi organisasi dan kelancaran operasional kegiatan, Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta memiliki sejumlah karyawan yang menjalankan tugasnya sesuai dengan jabatan dan tanggung jawab masingmasing. Data mengenai jumlah karyawan tersebut sesuai dengan tabel berikut :

81 Tabel 4.1 Data Jumlah Karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta Berdasarkan Golongan (Februari 2006) No 1 2 3 4 Golongan Golongan I Golongan II Golongan III Golongan IV Total Tabel 4.2 Data Jumlah Karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta Berdasarkan Jenis Kelamin (Februari 2006) No 1 Laki-laki 2 Perempuan Golongan Total Jumlah 140 38 178 Jumlah 111 66 1 178

Sumber : Urusan Kepegawaian dan keuangan Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta

Sumber : Urusan Kepegawaian dan keuangan Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta

Tabel 4.3 Data Jumlah Karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta Berdasarkan Tingkat Pendidikan (Februari 2006) No Golongan 1 SLTA 2 Sarjana Muda 3 S1 Jumlah 103 33 35

82 4 S2 Total Tabel 4.4 Data Jumlah Karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta Berdasarkan Jabatan (Februari 2006) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Golongan Pejabat Struktural Staf Umum Staf Kepegawaian dan Keuangan Staf Bimkemaswat Staf Registrasi Staf Kegiatan Kerja Staf Administrasi Keamanan dan Ketertiban Staf KPLP Petugas Penjagaan Total Jumlah 12 11 8 29 6 8 9 16 75 178 7 178

Sumber : Urusan Kepegawaian dan keuangan Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta

Sumber : Urusan Kepegawaian dan keuangan Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta

Dengan jumlah karyawan sebanyak 178 orang, diharapkan dapat efektif menangani jumlah penghuni yang selalu bertambah setiap minggunya. Kapasitas maksimal penghuni yang dapat ditampung oleh lapas ini adalah sejumlah 1084 orang, dan pada tanggal 10 Februari 2006 jumlah narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Jakarta telah memenuhi kapasitas yaitu sebanyak 1084. Tabel 4.5 Data Penghuni Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta Berdasarkan Kriteria Penyalahgunaan Narkoba (10 Februari 2006) No C. Kriteria 1 Narkotika : Pengedar Jumlah 265

83 2 Pemakai Jumlah Psikotropika : Pengedar Pemakai Jumlah 424 692 122 270 392 1084

D. Total

Sumber : Bagian Registrasi Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta

Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah pemakai, baik narkotika maupun psikotropika lebih banyak dibandingkan dengan pengedar. Jumlah pemakai narkotika adalah 692 orang narapidana, sedangkan pengedar 265 orang narapidana. Untuk kasus psikotropika, jumlah pemakai adalah 270 orang narapidana dan jumlah pengedar adalah 122 orang narapidana. Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Jakarta terdapat tiga orang yang bukan kasus narkoba melainkan kasus senjata api 2 orang dan pembunuhan 1 orang. B. Kegiatan Pembinaan Narapidana Sistem pembinaan yang dilaksanakan didasarkan pada Surat Edaran No. KP.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965 tentang Pemasyarakatan sebagai Proses, akan tetapi sebagai lapas khusus narkoba yang berfungsi sebagai tempat pemidanan dan pembinaan bagi narapidana kasus narkoba, maka Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta memiliki kegiatan pembinaan yang agak berbeda dengan lapas-lapas pada umumnya. Beberapa program pembinaan yang telah dilaksanakan di Lapas ini adalah : 1. Rehabilitasi Sosial

84 Rehabilitasi sosial merupakan suatu kegiatan pembinaan yang bertujuan untuk membimbing narapidana mengembangkan sikap kemasyarakatan dan menanamkan sikap prososial, sehingga mereka nantinya dapat kembali ke masyarakat dan tidak mengulangi tindakan penyalahgunaan narkoba setelah mereka bebas. 2. Rehabilitasi Medis Rehabilitasi medis dilaksanakan oleh dokter dan perawat. Bentuk kegiatannya : a) Pemeriksaan Kondisi Kesehatan dan status narapidana baru. b) Identifikasi penyakit yang diderita. c) Detoksifikasi. d) Dokumentasi pemakai IDU dan non IDU. e) Pemeriksaan Urine bagi pegawai dan narapidana. f) Kontrol dokter ke blok-blok penghuni.

g) Kegiatan rawat inap dan rawat jalan. 3. Pembinaan Mental Rohani. Pembinaan mental dan rohani bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pembinaan ini berupa kegiatan kerohanian, seperti kegiatan kerohanian Islam yang berupa pengajian rutin, dzikir bersama, sholat berjamaah. Selain itu juga kegiatan gereja secara rutin, kegiatan vihara, termasuk juga kegiatan peringatan hari-hari besar keagamaan. 4. Pembinaan intelektual dan wawasan kebangsaan.

85 Pembinanan intelektual merupakan suatu pembinaan yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan fungsi

intelektual narapidana. Kegiatan yang dilakukan antara lain dengan seminar, pemberdayaan lain. perpustakaan, pembinaan dan berbagai kegiatan

penyuluhan

Sedangkan

wawasan

kebangsaan

dimaksudkan untuk membina mental dan rasa kecintaan terhadap tanah air dan NKRI. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah diadakannya pendidikan baris berbaris (PBB) dan upacara setiap tanggal tujuh belas. 5. Pembinaan olahraga dan kesenian a. Olahraga. Kegiatan olahraga dilaksanakan setiap hari, pagi dan sore sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain lari pagi, senam pagi massal, sepak bola, bola voli, tenis meja, dan catur. b. Kesenian. Kegiatan kesenian dimaksudkan untuk membina dan mengasah bakat-bakat seni narapidana, sehingga mereka dapat menyalurkan bakat seni yang mereka miliki. Kegiatan kesenian yang dilaksanakan antara lain vokal group, group band.

6. Pembinaan keterampilan dan kegiatan kerja Pembinaan keterampilan dan kegiatan kerja dimaksudnya untuk meningkatkan kemampuan residen dan mengembangkan bakat residen. Kegiatan yang dilakukan antara lain sablon, menjahit, peternakan dan perikanan.

86 Untuk prosedur pelaksanaan kegiatan pembinaan yang dilakukan di Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta ini tidak jauh berbeda dengan pola pembinaan di lapas lain yang ada di Indonesia. Akan tetapi, ada satu perbedaan yang dimiliki oleh lapas ini, yaitu adanya program terapi dan rehabilitasi bagi narapidananya yang mengalami ketergantungan narkoba, yang disebut dengan TC. Adapun prosedur pelaksanaan kegiatan pembinaan adalah sebagai berikut : a. Mapenaling Mapenaling, atau singkatan dari masa pengenalan lingkungan

merupakan program awal yang harus dijalani oleh narapidana setelah mereka masuk ke Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta ini. Narapidana menjalani program ini selama 1 minggu, dimana selama masa tersebut narapidana akan mendapatkan pembekalan tentang kondisi lapas yang mencakup tata tertib dan peraturan, sosialisasi program pembinaan, sosialisasi lingkungan dan blok, dan sebagainya. b. Pembinaan kesadaran wawasan kebangsaan Pembinaan kesadaran wawasan kebangsaan ini bertujuan untuk membina kesadaran berbangsa dan bernegara, serta melatih disiplin narapidana. Program ini dijalani oleh narapidana setelah mereka selesai menjalani program mapenaling. Bentuk kegiatannya antara lain berupa Pelatihan Peraturan Baris Berbaris (PBB), serta pelaksanaan upacara setiap tanggal 17 dan upacara hari-hari besar nasional. c. Program terapi dan rehabilitasi ( T & R )

87 Sebagai lapas yang diharapkan dapat menjadi OSC ( One Stop Center ) untuk penanggulangan narkoba, maka pelaksanaan Program T & R ini mencakup adanya rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial. Kegiatan pelayanan rehabilitasi medis dilakukan langsung oleh tim medis Lapas Narkotika Jakarta. Kegiatan-kegiatan medis yang dilakukan yaitu pemeriksaan rutin, pemeriksaan berkala, serta program seminar kesehatan. Sedangkan untuk rehabilitasi sosial dilakukan dengan metode TC dan Criminon. Rehabilitasi sosial ini juga mencakup program pembinaan intelektual, dan pembinaan mental spiritual. d. Program pembinaan keterampilan dan kegiatan kerja Setelah menjalani program terapi dan rehabilitasi, maka selanjutnya narapidana yang telah memenuhi syarat dapat diajukan ke sidang TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan) untuk mulai bekerja pada bidangbidang yang sesuai dengan kemampuannya. Narapidana pekerja tersebut biasa dikenal dengan istilah tamping. Mereka dapat ditempatkan di kegiatan menjahit, sablon pertamanan, tempat ibadah, maupun membantu pekerjaan-pekerjaan petugas yang lain. BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

88 Dalam bab ini akan diungkapkan mengenai masalah yang berkaitan dengan segala persiapan yang telah dilakukan, laporan penelitian dan hasil penelitian. A. Persiapan A.1. Persiapan Non Teknis Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebelum penelitian diperlukan surat ijin penelitian dari pihak Universitas Indonesia (UI). Melalui surat Nomor 47/PT.02.18.1.FISIP/Q/2006 tanggal 10 Maret 2006 peneliti telah menerima surat ijin penelitian dari pihak UI untuk selanjutnya melakukan penelitian di Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta. Dalam hal ini peneliti mendapatkan kemudahan yaitu tanpa harus meminta surat ijin dari pihak Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta dikarenakan tempat penelitian adalah kantor peneliti sendiri. Peneliti cukup melaporkan kegiatan kepada Ka.Lapas. A.2. Persiapan Teknis Hal yang selanjutnya dilakukan adalah try out kuesioner. Pengujian kuesioner ini dimaksudkan untuk memperoleh item-item yang valid dan reliabel, sehingga dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya. Untuk pengujian, kuesioner yang telah disiapkan, diujikan pada karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. Subyek untuk pengujian alat ukur ini sebanyak 100 orang yang memiliki karakteristik sesuai dengan rencana penelitian pada bab III. Dari 100 kuesioner yang disebarkan semuanya kembali dengan lengkap dan dapat

89 diolah datanya. Dengan menggunakan teknik corrected item total correlation dengan bantuan komputer program SPSS versi 12, dilakukan analisis validitas masing-masing item dari kuesioner. Untuk analisis reliabilitas digunakan teknik Alpha Cronbach. a. Kuesioner yang mengukur Komunikasi Organisasi Dari hasil uji coba dengan 15 item, diketahui seluruhnya memiliki sebaran item yang valid : Indikator komunikasi vertikal : item nomor 1, 2, 3, 4, 5 dan 6. Indikator komunikasi horizontal : item nomor 7, 8, 9, 10, 11, 12 dan 13. Indikator komunikasi diagonal : item nomor 14 dan 15 Hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen komunikasi organisasi sebagai berikut : Tabel 5.1 Hasil analisis butir instrumen komunikasi organisasi Nomor Item 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Koefisien Korelasi 0,317 0,566 0,580 0,631 0,658 0,555 0,571 0,601 0,491 0,484 0,450 0,511 0,496 0,526 0,674 Keterangan Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid

90

R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Reliability Coefficients N of Cases = Alpha = .829 100.0 N of Items = 15

Hasil uji validitas yang ditampilkan pada tabel di atas menunjukkan bahwa seluruh item yang digunakan dalam kuesioner untuk variabel komunikasi organisasi (X1) memiliki nilai korelasi diatas 0,300 yang menjadi batasan minimal dari uji validitas sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh item tersebut valid. Sedangkan hasil uji reliabilitas menggunakan Alpha Cronbachs menunjukkan nilai koefisien Alpha sebesar 0,829 yang berada di atas 0,600; sehingga dapat disimpulkan bahwa item-item pernyataan dari variabel komunikasi organisasi (X1) valid dan reliabel. b. Kuesioner yang mengukur Lingkungan Kerja Fisik Dari hasil uji coba dengan 14 item, diketahui seluruhnya memiliki sebaran item yang valid : Indikator tata letak/arsitektur : item nomor 16, 17, 18, 19, 20 dan 21. Indikator kondisi ruangan kerja : item nomor 22, 23, 24, 25, 26 dan 27. instrumen lingkungan kerja fisik sebagai

Hasil uji validitas dan reliabilitas berikut :

Tabel 5.2 Hasil analisis butir instrumen lingkungan kerja fisik

91 Nomor Item 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Koefisien Korelasi 0,587 0,730 0,667 0,732 0,672 0,630 0,387 0,375 0,520 0,587 0,730 0,667 0,732 0,672 Keterangan Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid

R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Reliability Coefficients N of Cases = Alpha = .872 100.0 N of Items = 14

Hasil uji validitas yang ditampilkan pada tabel di atas menunjukkan bahwa seluruh item yang digunakan dalam kuesioner untuk variabel lingkungan kerja fisik (X2) memiliki nilai korelasi diatas 0,300 yang menjadi batasan minimal dari uji validitas sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh item tersebut valid. Sedangkan hasil uji reliabilitas menggunakan Alpha Cronbachs menunjukkan nilai koefisien Alpha sebesar 0,872 yang berada di atas 0,600; sehingga dapat disimpulkan bahwa item-item pernyataan dari variabel lingkungan kerja fisik (X2) valid dan reliabel. c. Kuesioner yang mengukur Kepuasan Kerja

92 Dari pengujian terhadap 18 item, diperoleh seluruh item valid. Kuesioner yang valid terdiri dari : Indikator tantangan pekerjaan : item nomor 30, 31, 32, 33, 34, 35 dan 36. Indikator ganjaran yang pantas : item nomor 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, dan 47. Hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen kepuasan kerja sebagai berikut : Tabel 5.3 Hasil analisis butir instrumen kepuasan kerja Nomor Koefisien Keterangan Item Korelasi 1 0,412 Valid 2 0,550 Valid 3 0,635 Valid 4 0,597 Valid 5 0,626 Valid 6 0,457 Valid 7 0,412 Valid 8 0,387 Valid 9 0,513 Valid 10 0,572 Valid 11 0,536 Valid 12 0,527 Valid 13 0,474 Valid 14 0,571 Valid 15 0,593 Valid 16 0,722 Valid 17 0,565 Valid 18 0,425 Valid R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Reliability Coefficients N of Cases = Alpha = .851 100.0 N of Items = 18

93 Hasil uji validitas yang ditampilkan pada tabel di atas menunjukkan bahwa seluruh item yang digunakan dalam kuesioner untuk variabel kepuasan kerja (Y1) memiliki nilai korelasi diatas 0,300 yang menjadi batasan minimal dari uji validitas sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh item tersebut valid. Sedangkan hasil uji reliabilitas menggunakan Alpha Cronbachs menunjukkan nilai koefisien Alpha sebesar 0,851 yang berada di atas 0,600; sehingga dapat disimpulkan bahwa item-item pernyataan dari variabel kepuasan kerja (Y1) valid dan reliabel.

c. Kuesioer yang mengukur Produktivitas Kerja Kuesioner yang diajukan terdiri dari 19 item. Setelah diuji dan dilakukan analisis, diketahui kuesioner yang valid terdiri dari : Indikator kualitas/standar pekerjaan : item nomor 48, 49, 50, 51, 52 dan 53. Indikator efisiensi dan efektivitas kerja : item nomor 54, 55, 56, 57, 58 dan 59. Indikator Inisiatif dan prakarsa kerja : item nomor 60, 61, 62, 63, 64, 65, dan 66. Tabel 5.4 Hasil analisis butir instrumen produktivitas kerja Nomor Item 1 2 3 Koefisien Korelasi 0,368 0,424 0,457

Keterangan Valid Valid Valid

94 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 0,540 0,620 0,608 0,596 0,573 0,595 0,633 0,590 0,307 0,410 0,440 0,641 0,486 0,391 0,492 0,599 Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid

R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Reliability Coefficients N of Cases = Alpha = .845 100.0 N of Items = 19

Hasil uji validitas yang ditampilkan pada tabel di atas menunjukkan bahwa seluruh item yang digunakan dalam kuesioner untuk variabel produktivitas kerja (Y2) memiliki nilai korelasi diatas 0,300 yang menjadi batasan minimal dari uji validitas sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh item tersebut valid. Sedangkan hasil uji reliabilitas menggunakan Alpha Cronbachs menunjukkan nilai koefisien Alpha sebesar 0,845 yang berada di atas 0,600; sehingga dapat disimpulkan bahwa item-item pernyataan dari variabel produktivitas kerja (Y2) valid dan reliabel.

95 B. Deskripsi Karakteristik Responden Deskripsi hasil penelitian dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara menyeluruh atas data yang telah terkumpul dari 100 responden yang menjadi obyek penelitian. Deskripsi yang meliputi karakteristik responden, skor terendah dan skor tertinggi hasil jawaban responden pada setiap variabel penelitian. Penelitian terhadap karakteristik individu responden meliputi jenis kelamin, usia responden, tingkat pendidikan responden, masa kerja responden, eselon/jabatan dan golongan ruang gaji yang digambarkan pada masing-masing tabel. Berdasarkan hasil jawaban responden terhadap jenis kelamin, diketahui bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini adalah responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 69 orang atau 67.6 % dari total sampel yang ada. Sedangkan sisanya responden perempuan yaitu 31 orang atau 30.4 % dari seluruh sampel yang ada. Ditinjau dari segi gender responden pada Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta ini lebih dominan berjenis kelamin laki-laki daripada perempuan. Komposisi jenis kelamin responden pada penelitian ini dapat digambarkan pada tabel 5.5 dibawah ini :

Tabel 5.5 Jenis Kelamin Responden No 1 2 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total Jumlah 69 31 100 Prosentase 67.6% 30.4% 100%

96 Sumber : Data primer, pengolahan data untuk jenis kelamin responden Ditinjau dari segi usia, maka kelompok usia responden dalam penelitian ini dikelompokkan ke dalam 5 kelompok usia. Kelompok tersebut adalah : a. Kelompok usia dibawah 25 tahun b. Kelompok usia 26 tahun 35 tahun c. Kelompok usia 36 tahun 40 tahun d. Kelompok usia 41 tahun 45 tahun e. Kelompok usia diatas 45 tahun. Berdasarkan hasil jawaban responden terhadap usia responden dapat diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki usia dibawah 25 tahun sebanyak 48 orang atau 47.1 %, responden kelompok usia 26 tahun sampai 35 tahun sebanyak 41 orang atau 40.2 %, kelompok usia antara 36 tahun hingga 40 tahun sebanyak 7 orang atau 6.9% dan responden kelompok usia 41 tahun hingga 45 tahun sebanyak 4 orang atau 3.9%. Perbedaan dari kelima kelompok usia responden tersebut dapat dilihat pada tabel 5.6 dibawah ini :

Tabel 5.6 Usia Responden No 1 2 3 4 5 Usia Jumlah Prosentase Dibawah 25 tahun 48 47.1% 26 tahun s/d 35 tahun 41 40.2% 36 tahun s/d 40 tahun 7 6.9% 41 tahun s/d 45 tahun 4 3.9% Diatas 45 tahun 0% Total 100 100% Sumber : Data primer, pengolahan data untuk usia responden

97 Ditinjau dari segi usia responden, maka karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta mayoritas adalah usia produktif. Hal ini disebabkan karena lapas ini mulai beroperasi pada tanggal 24 Februari 2004, dimana sebagian besar karyawannya direkrut dari lulusan AKIP (Akademi Ilmu

Pemasyarakatan) angkatan baru dan PNS yang direkrut tahun 2004 dan 2005. Sementara sisanya adalah para pejabat struktural yang direkrut melalui mekanisme fit and proper test. Pendidikan terakhir responden dalam penelitian ini dikeompokkan dalam empat jenjang pendidikan, yaitu : a. Kelompok responden berpendidikan SLTA; b. Diploma III; c. Sarjana (S1); d. Pascasarjaa (S2). Berdasarkan hasil jawaban responden terhadap tingkat pendidikan formal yang dimilikinya, diketahui bahwa sebagian besar responden yang diteliti adalah pendidikan setingkat SLTA sebanyak 48 orang atau 47.1%, pendidikan tingkat Diploma III (D.III) sebanyak 14 orang atau 13.7%, Sarjana (S1) sebanyak 34 orang atau 33.3% dan berpendidikan pascasarjana (S2) sebanyak 4 orang atau 3.9% dari total sampel yang ada. Tingkat pendidikan terakhir responden dalam penelitian ini dapat digambarkan pada tabel 5.7 dibawah ini : Tabel 5.7 Latar Belakang Pendidikan Responden

98 No 1 2 3 4 Jumlah Prosentase SLTA 48 47.1% Diploma III (D.III) 14 13.7% Sarjana (S1) 34 33.3% Pascasarjana (S2) 4 3.9% Total 100 100% Sumber : Data primer, pengolahan data untuk pendidikan responden Sedangkan masa kerja dalam penelitian ini dikelompokkan dalam 5 kelompok. Kelima kelompok masa kerja tersebut adalah : a. Responden masa kerja dibawah 5 tahun; b. Responden masa kerja 6 tahun s/d 10 tahun; c. Responden masa kerja 11 s/d 15 tahun; d. Responden masa kerja 16 s/d 20 tahun; e. Responden masa kerja diatas 21 tahun. Berdasarkan hasil jawaban responden dengan masa kerja yang dimilikinya, diketahui bahwa responden dengan masa kerja dibawah lima tahun sebanyak 66 orang atau 64.7%, responden yang memiliki masa kerja 6 sampai 10 tahun sebanyak 41 orang atau 40.2%, responden dengan masa kerja 11 sampai 15 tahun sebanyak 4 orang atau 3.9%, responden dengan masa kerja 16 sampai 20 tahun sebanyak 8 orang atau 7.8% dan masa kerja diatas 21 tahun sebanyak 1 orang atau 1.0%. Komposisi masa kerja responden dapat digambarkan pada tabel 5.8 dibawah ini : Tabel 5.8 Masa Kerja Responden No 1 Masa Kerja Dibawah 5 tahun Jumlah 66 Prosentase 64.7% Pendidikan

99 2 3 4 5 6 tahun s/d 10 tahun 21 20.6% 11 tahun s/d 15 tahun 4 3.9% 16 tahun s/d 20 tahun 8 7.8% Diatas 21 tahun 1 1.0% Total 100 100% Sumber : Data primer, pengolahan data untuk masa kerja responden Berdasarkan hasil jawaban responden mengenai jabatan eselonering responden dapat diketahui bahwa eselon/jabatan responden dapat

dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu : a. Jabatan eselon III; b. Jabatan eselon IV; c. Jabatan eselon V; d. Pelaksana/Staf. Kelompok eselon IV sebanyak 5 orang atau 4.9%, eselon V sebanyak 6 orang atau 5.9%, kelompok pelaksana/staf sebanyak 89 orang atau 87.3%. perbedaan dari keempat kelompok responden berdasarkan eselon/jabatan tersebut dapat digambaran pada tabel 5.9 dibawah ini : Tabel 5.9 Eselon/Jabatan No 1 2 3 4 Eselon/Jabatan Jumlah Prosentase Eeselon III Eselon IV 5 4.9% Eselon V 6 5.9% Pelaksana/staf 89 87.3% Total 100 100% Sumber : Data primer, pengolahan data untuk eselon/jabatan responden Sedangkan responden dengan golongan ruang gaji dalam penelitian ini dikelompokkan dalam 3 kelompok. Ketiga kelompok golongan ruang gaji tersebut adalah :

100 a. Responden golongan ruang gaji II; b. Responden golongan ruang gaji III; c. Responden golongan ruang gaji IV. Kelompok dengan golongan ruang gaji II sebanyak 64 orang atau 62.7% dan golongan ruang gaji III sebanyak 36 orang atau 35.3%. rincian responden dengan golongan ruang gaji dapat digambarkan pada tabel 5.10 dibawah ini :

Tabel 5.10 Golongan Ruang Gaji No 1 2 3 Golongan Ruang Gaji Jumlah Prosentase Golongan II Golongan III 64 62.7% Golongan IV 36 35.3% Total 100 100% Sumber : Data primer, pengolahan data untuk Golongan Ruang Gaji

C. Hasil Analisis Hasil Data C.1 Deskriptif Analisis deskriptif dimaksudkan untuk melihat gambaran secara umum subyek penelitian, berkaitan dengan variabel-variabel yang diukur. Yaitu komunikasi organisasi, lingkungan kerja fisik, kepuasan kerja dan

produktivitas kerja. Pada bagian ini dilakukan analisis distribusi frekuensi dan persentase kategori variabel tiap variabel. Kuesioner dalam penelitian ini menggunakan

101 skala likert 1 sampai 5. Skor tertinggi masing-masing variabel dihitung berdasarkan jumlah item pertanyaan tiap variabel dikalikan dengan skor tertinggi pada tiap pertanyaan, sedangkan skor terendah dihitung berdasarkan jumlah item pertanyaan dikalikan dengan skor terendah pada tiap variabel. Kemudian dari penentuan skor tersebut penulis akan kelompokkan lagi ke dalam 5 kategori yaitu tidak baik, kurang baik, sedang, baik dan sangat baik. Penentuan kategori ini didasarkan pada penentuan interval untuk masing-masing variabel, dengan ketentuan sebagai berikut : Skor Tertinggi Skor Terendah 5

Interval =

a. Komunikasi Organisasi (X1) Skor Tertinggi Skor Terendah Interval : 15 x 5 : 15 x 1 : 75 15 5 Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi dan Persentase Komunikasi Organisasi No. 1 2 Skor 15 s.d < 27 27 s.d < 39 Kategori Tidak Baik Kurang Baik Frekuensi 0 2 % 0 55 = 75 = 15 = 12

102 3 4 5 39 s.d < 51 51 s.d < 63 63 s.d <75 Total Sumber : Hasil olah data primer Pada penelitian ini, subyek penelitian memiliki kecenderungan mempersepsikan komunikasi organisasi secara baik. Terlihat dari frekuensi jawaban dari kuesioner, sebanyak 55% telah menganggap komunikasi organisasi baik, 23% menganggap sedang, 20% menganggap sangat baik, sedangkan sisanya sebanyak 2% mengganggap masih kurang baik. Secara rinci, berdasarkan indikator dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) Komunikasi vertikal dipersepsikan dengan baik, terlihat hanya 6% saja yang menganggap kurang baik. Sisanya menganggap sebagian sedang sebesar 19% dan 15% menganggap sangat baik. Tabel 5.12 Komunikasi Vertikal Frequency Percent Valid baik 60 60.0 sangat baik 15 15.0 kurang baik 6 6.0 sedang 19 19.0 Total 100 100.0 Sumber : Output SPSS Versi 12 Valid Percent 60.0 15.0 6.0 19.0 100.0 Cumulative Percent 60.0 75.0 81.0 100.0 Sedang Baik Sangat Baik 23 55 20 100 2 20 23 100,00 %

(2) Komunikasi horizontal dipersepsikan dengan baik yaitu sebesar 54%, 27% mempersepsikan sangat baik, sisanya 18% menganggap komunikasi

103 horizontal di Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta sedang dan hanya 1% tidak baik. Tabel 5.13 Komunikasi Horizontal Frequency baik 54 sangat baik 27 sedang 18 tidak baik 1 Total 100 Sumber : Output SPSS Versi 12 Valid Percent Valid Percent 54.0 54.0 27.0 27.0 18.0 18.0 1.0 1.0 100.0 100.0 Cumulative Percent 54.0 81.0 99.0 100.0

(3) Komunikasi diagonal dipersepsikan oleh sebagian besar karyawan dengan baik (38%), sangat baik (12%), sedang (28%). Sisanya mempersepsikan kurang baik sebesar 14% dan 8% tidak baik.

Tabel 5.14 Komunikasi Diagonal Cumulative Percent 38.0 50.0 64.0 92.0 100.0

Frequency Valid baik 38 sangat baik 12 kurang baik 14 sedang 28 tidak baik 8 Total 100 Sumber : Output SPSS Versi 12

Percent 38.0 12.0 14.0 28.0 8.0 100.0

Valid Percent 38.0 12.0 14.0 28.0 8.0 100.0

b. Lingkungan Kerja Fisik (X2) Skor Tertinggi : 14 x 5 = 70

104 Skor Terendah Interval : 14 x 1 : 75 14 5 = 14 = 11,2

Tabel 5.15 Distribusi Frekuensi dan Persentase Lingkungan Kerja Fisik No. 1 2 3 4 5 Skor 14 s.d < 25.2 25.2 s.d < 36.4 36.4 s.d < 47.6 47.6 s.d < 58.8 58.8 s.d <70 Total Sumber : Hasil olah data primer Pada penelitian ini, subyek penelitian memiliki kecenderungan mempersepsikan lingkungan kerja fisik secara baik. Terlihat dari frekuensi jawaban dari kuesioner, sebanyak 55% telah menganggap lingkungan kerja fisik baik, 22% menganggap sedang, 22% menganggap sangat baik, sedangkan sisanya sebanyak 1% mengganggap masih tidak baik. Secara rinci, berdasarkan indikator dapat dijelaskan sebagai berikut : Kategori Tidak Baik Kurang Baik Sedang Baik Sangat Baik Frekuensi 1 0 22 55 22 100 % 1 0 22 55 22 100,00 %

105 (1) Tata letak/arsitektur dipersepsikan oleh sebagian besar karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta dengan baik (44%), sangat baik (32%) dan sedang (23%), sisanya hanya 1% yang mempersepsikan tidak baik.

Tabel 5.16 Tata Letak/Arsitektur Frequency Percent Valid Percent Valid baik 44 44.0 44.0 sangat baik 32 32.0 32.0 sedang 23 23.0 23.0 tidak baik 1 1.0 1.0 Total 100 100.0 100.0 Sumber : Output SPSS Versi 12 Cumulative Percent 44.0 76.0 99.0 100.0

(2) Kondisi ruangan kerja dipersepsikan oleh sebagian besar karyawan sedang (49%), baik (33%), sisanya karyawan menganggap kondisi ruangan kerja kurang baik sebanyak 16% dan 2% menganggapnya tidak baik. Kondisi ini dimungkinkan karena kondisi ruangan kerja di lapas khususnya di bagian bagian pengamanan umumnya tidak memiliki pengamanan (regu portir dan regu

ruangan yang memadai. Bagian

pengamanan), hanya memiliki ruangan berupa ruang portir dan paste (pos pengamanan di blok) sebagai tempat kerja. Tabel 5.17 Kondisi Ruangan Kerja

106 Cumulative Percent 33.0 49.0 98.0 100.0

Frequency Valid baik 33 kurang baik 16 sedang 49 tidak baik 2 Total 100 Sumber : Output SPSS Versi 12

Percent 33.0 16.0 49.0 2.0 100.0

Valid Percent 33.0 16.0 49.0 2.0 100.0

(3) Tingkat Keamanan dipersepsikan sangat baik oleh sebagian besar karyawan yaitu sebesar 37%, baik sebanyak 45%, sedang sebanyak 10% dan sisanya mempersepsikan kurang baik sebanyak 6% dan hanya 2% yang mempersepsikan tidak baik Tabel 5.18 Tingkat Keamanan Frequency Percent Valid baik 45 45.0 sangat baik 37 37.0 kurang baik 6 6.0 sedang 10 10.0 tidak baik 2 2.0 Total 100 100.0 Sumber : Output SPSS Versi 12 c. Kepuasan Kerja (Y1) Skor Tertinggi Skor Terendah Interval : 18 x 5 : 18 x 1 : 90 18 5 Tabel 5.19 Distribusi Frekuensi dan Persentase Kepuasan Kerja No. Skor Kategori Frekuensi % = 90 = 18 = 14,4 Valid Percent 45.0 37.0 6.0 10.0 2.0 100.0 Cumulative Percent 45.0 82.0 88.0 98.0 100.0

107

1 2 3 4 5

18 s.d < 32.4 32.4 s.d < 46.8 46.8 s.d < 61.2 61.2 s.d < 75.6 75.6 s.d < 90 Total

Tidak Baik Kurang Baik Sedang Baik Sangat Baik

0 2 27 55 16 100

0 2 27 55 16 100,00 %

Sumber : Hasil olah data primer Pada penelitian ini, subyek penelitian memiliki kecenderungan mempersepsikan kepuasan kerja secara baik. Terlihat dari frekuensi

jawaban kuesioner, sebanyak 55% telah menganggap kepuasan kerja baik, 27% menganggap sedang, 16% menganggap sangat baik, sedangkan sisanya sebanyak 2% mengganggap masih kurang baik. Secara rinci, berdasarkan indikator dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) Tantangan pekerjaan dipersepsikan baik (61%) oleh karyawan, sedang sebesar 18%, sangat baik sebesar 16% dan sisanya 5% menganggap tantangan pekerjaan kurang baik. Tabel 5.20 Tantangan Pekerjaan Frequency Percent Valid baik 61 61.0 kurang baik 5 5.0 sangat baik 16 16.0 sedang 18 18.0 Total 100 100.0 Sumber : Output SPSS Versi 12 Valid Percent 61.0 5.0 16.0 18.0 100.0 Cumulative Percent 61.0 66.0 82.0 100.0

108 (2) Ganjaran yang pantas dipersepsikan sedang oleh sebagian besar karyawan sebanyak 35%, baik sebanyak 46%, sangat baik sebanyak 14%, sisanya 5% yang menganggap ganjaran di Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta kurang baik.

Tabel 5.21 Ganjaran Yang Pantas Frequency Percent Valid baik 46 46.0 kurang baik 5 5.0 sangat baik 14 14.0 sedang 35 35.0 Total 100 100.0 Sumber : Output SPSS Versi 12 d. Produktivitas Kerja (Y2) Skor Tertinggi Skor Terendah Interval : 19 x 5 : 19 x 1 : 95 19 5 = 95 = 19 = 15.2 Valid Percent 46.0 5.0 14.0 35.0 100.0 Cumulative Percent 46.0 51.0 65.0 100.0

Tabel 5.22 Distribusi Frekuensi dan Persentase Produktivitas Kerja No. Skor Kategori Frekuensi %

109

1 2 3 4 5

19 s.d < 34.2 34.2 s.d < 49.4 49.4 s.d < 64.6 64.6 s.d < 79.8 79.8 s.d < 95 Total

Tidak Baik Kurang Baik Sedang Baik Sangat Baik

0 0 6 50 44 100

0 0 6 50 44 100,00 %

Sumber : Hasil olah data primer Pada penelitian ini, subyek penelitian memiliki kecenderungan mempersepsikan produktivitas kerja jawaban secara baik. Terlihat dari frekuensi

kuesioner, sebanyak 50% telah menganggap produktivitas kerja

baik, 44% menganggap sangat baik, sisanya sebanyak 6% mengganggap baik. Secara rinci, berdasarkan indikator dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) Kualitas/standar pekerjaan dipersepsikan baik (53%) oleh karyawan, sangat baik sebesar 29%, sedang sebesar 12% dan sisanya 4% kurang baik serta 2% menganggap kualitas/standar pekerjaan tidak baik. Tabel 5.23 Kualitas/Standar Pekerjaan Frequency Percent Valid baik 53 53.0 kurang baik 4 4.0 sangat baik 29 29.0 sedang 12 12.0 tidak baik 2 2.0 Total 100 100.0 Sumber : Output SPSS Versi 12 Valid Percent 53.0 4.0 29.0 12.0 2.0 100.0 Cumulative Percent 53.0 57.0 86.0 98.0 100.0

110 (2) Efisiensi dan Efektivitas Kerja dipersepsikan baik oleh sebagian besar karyawan sebesar 52%, sangat baik sebesar 32%, sedang sebesar 14% dan sisanya 2% menganggap efisiensi dan efektivitas kerja kurang baik.

Tabel 5.24 Efisiensi dan Efetivitas Kerja Frequency Percent Valid baik 52 52.0 kurang baik 2 2.0 sangat baik 32 32.0 sedang 14 14.0 Total 100 100.0 Sumber : Output SPSS Versi 12 Valid Percent 52.0 2.0 32.0 14.0 100.0 Cumulative Percent 52.0 54.0 86.0 100.0

(3) Inisiatif dan prakarsa kerja dipersepsikan baik oleh mayoritas karyawan yaitu sebesar 63%, sangat baik sebesar 31% dan sisanya menganggap inisiatif dan prakarsa kerja sedang sebesar 6%. Tabel 5.25 Inisiatif dan Prakarsa Kerja Frequency Percent Valid baik 63 63.0 sangat baik 31 31.0 sedang 6 6.0 Total 100 100.0 Sumber : Output SPSS Versi 12 Valid Percent 63.0 31.0 6.0 100.0 Cumulative Percent 63.0 94.0 100.0

111

C.2 Analisis Korelasi C.2.1 Analisis Korelasi Model Awal Hasil analisis model dengan LISREL 8.30 menunjukkan, bahwa model secara umum tidak dapat dikatakan fit. Ditunjukkan dengan nilai p-values lebih rendah dari 0,05 (0,000), nilai cdmin/df (nilai perbandingan chi square dengan derajat kebebasannya) lebih besar dari 2 (156,22/40 = 3,90), RMSEA-nya melebihi 0,05 (0,171), nilai GFI sebesar 0,78, nilai AGFI sebesar 0,63, nilai CFI = 0,76 dapat dikatakan cukup, namun nilai lain tidak mendukung model cukup fit, nilai IFI = 0,77 juga menunjukkan model kurang fit. Dengan demikian secara keseluruhan model awal disimpulkan kurang fit, sehingga tidak mendukung untuk menjawab seluruh pertanyaan dan hipotesa yang diajukan. Tabel 5.26 Faktor X2 Chi Square P Skor Ketepatan Model Awal Skor Kriteria 156,22 Nilai p < 0,05 menunjukkan 0,00 model tidak sesuai dengan data. Dengan demikian model tidak RMSEA GFI AGFI 0,171 0,78 0,63 memenuhi kriteria model yang fit Nilai RMSEA yang lebih dari 0,05 berarti model tidak fit Nilai menunjukkan kurang dari 0,9, berarti model tidak fit Nilai AGFI diluar kisaran 0,8 0,9 menunjukkan model CFI 0,76 tidak fit Nilai berkisar antara 0 1, cukup namun tidak didukung nilai lain

112 IFI Sumber : Hasil Penelitian 0,77 Nilai berkisar antara 0 1, cukup namun tidak didukung nilai lain

Gambar 5.1 Analisis Jalur Teoritis Model Awal


PUAS1 0,2 9 0,1 9 0,5 8 KOM1 0,1 0 0,3 0,6 2 PUAS2 0,2 2 0,0

KOM2

0,2

KOM
0,2 5

0,4

KOM3

PUA S
0,0

PROD 0,8 0,1

0,6 6 0,2 3

PROD1

0,0

0,1 7 0,1 2

LING1

0,3 9 0,5 0 0,2

PROD2 0,3 PROD3 0,2

LING2

LING

0,4 6

LING3

Chi-Square=156,22, df=40, P-value=0,00000, RMSEA=0,171 Sumber : Hasil Olah Data LISREL 8.30

113

C.2.2 Model Alternatif I Didasarkan pada hasil analisis korelasi sebagaimana tercantum pada gambar 5.1 yang menunjukkan model tidak fit dimana tidak seluruh variabel saling berhubungan secara signifikan, memungkinkan diperolehnya suatu model alternatif yang dapat diajukan. Dengan trial and error, diperoleh suatu model yang memiliki kriteria fit. Model tersebut memiliki cdmin/df lebih besar dari 2, nilai Chi-Square sebesar 34.96, nilai p = 0,00629, RMSEA = 0,103, GFI = 0,92, AGFI = 0,83, IFI = 0,95 dan CFI = 0,94. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel 5.27 Tabel 5.27 Faktor X2 Chi Square P Skor Ketepatan Model Alternatif I Skor Kriteria 34,96 Nilai p > 0,05 menunjukkan 0,0629 model Dengan RMSEA GFI AGFI 0,103 0,92 0,83 sesuai dengan data. model demikian

memenuhi kriteria model yang fit Nilai RMSEA yang lebih dari 0,05 berarti model tidak fit Nilai menunjukkan GFI lebih

besar dari 0,9. berarti model fit Nilai AGFI di kisaran 0,8 0,9

114 menunjukkan model fit Nilai berkisar antara 0 1 menunjukkan model fit IFI Sumber : Hasil Penelitian Model ini dapat dikatakan cukup fit dan dapat digunakan untuk menjelaskan dan menjawab pertanyaan serta hipotesa. Dari model ini menunjukkan bahwa variabel komunikasi organisasi merupakan prediktor dari kepuasan kerja, sedangkan kepuasan kerja merupakan prediktor dari produktivitas kerja. Besarnya pengaruh variabel eksogen komunikasi organisasi dan kepuasan kerja terhadap endogen produktivitas kerja adalah sebagai berikut : Tabel 5.28 Pengaruh langsung, tidak langsung dan total Variabel eksogen terhadap produktivitas kerja Eksogenus Langsung Tidak Langsung Komunikasi Organisasi -0,64 Kepuasan Kerja 0,89 -Sumber : Hasil olahan data LISREL 8.30 *)Sig. P < 0,05 Total 0,64 0,89 0,95 Nilai berkisar antara 0 1 menunjukkan model fit

CFI

0,94

Besarnya pengaruh variabel eksogen komunikasi organisasi terhadap kepuasan kerja adalah sebagai berikut : Tabel 5.29 Pengaruh langsung, tidak langsung dan total Variabel eksogen terhadap kepuasan kerja Eksogenus Langsung Tidak Langsung Komunikasi Organisasi 0,73 --Sumber : Hasil olahan data LISREL 8.30 *)Sig. P < 0,05 Total 0,73

115 Berdasarkan data diatas, dapat diuraikan pengaruh secara linier sebagai berikut :

(1) Pengaruh Komunikasi Organisasi (X1) Terhadap Kepuasan Kerja (Y1) Variabel komunikasi organisasi dengan variabel kepuasan kerja memiliki koefisien jalur (pengaruh langsung) sebesar 0,73 positif dan signifikan, menunjukkan pengaruh yang berarti. Ini berarti, bahwa komunikasi organisasi merupakan prediktor kepuasan kerja. Hal ini sesuai dengan hipotesa 1, bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara komunikasi organisasi dengan kepuasan kerja. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik komunikasi organisasi, maka akan semakin meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Besarnya pengaruh variabel komunikasi organisasi terhadap variabel kepuasan kerja sesuai dengan hasil penelitian Furtwengler (2002:73), bahwa komunikasi yang efektif akan mendorong kinerja yang lebih baik dan menimbulkan kepuasan kerja dan Pincus (1986:412-413) yang menyebutkan bahwa kepuasan komunikasi jelas memberi andil dalam kepuasan kerja. Besarnya pengaruh variabel komunikasi organisasi terhadap kepuasan kerja sebesar 53%, sisanya merupakan pengaruh variabel lain diluar variabel penelitian. Hasil penelitian pada Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta menunjukkan pengaruh komunikasi organisasi sebesar 0,73 positif dan

116 signifikan. Ini berarti, bahwa komunikasi organisasi dapat memprediksi kepuasan kerja pada Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta.

(2) Pengaruh Kepuasan Kerja (Y1) Terhadap Produktivitas Kerja (Y2) Variabel kepuasan kerja dengan produktivitas kerja memiliki koefisien jalur (pengaruh langsung) sebesar 0,89, positif dan signifikan, menunjukkan pengaruh yang berarti. Artinya kepuasan kerja merupakan prediktor produktivitas kerja. Hal ini sesuai dengan hipotesa 3, bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kepuasan kerja terhadap produktivitas kerja. Hasil ini menegaskan pernyataan seorang pekerja yang bahagia adalah seorang pekerja yang produktif dari Brayfield dan Crockett (1955:396-428). Selain hubungan langsung terdapat hubungan tidak langsung, yakni melalui komunikasi organisasi. Besarnya koefisien jalur tidak langsung sebesar 0,64. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi organisasi memberikan pengaruh terhadap kepuasan kerja dan produktivitas kerja. Secara bersamasama komunikasi organisasi dan kepuasan kerja secara signifikan

mempengaruhi produktivitas kerja pada Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. Besarnya pengaruh variabel komunikasi organisasi dan variabel kepuasan kerja terhadap produktivitas kerja sebesar 79%, sisanya merupakan pengaruh variabel lain diluar variabel penelitian.

117

Gambar 5.2 Analisis Jalur Teoritis Model Alternatif I

0,8 5 0,8 7 0,8 7

KOM1

0,3 9 0,3

PUAS1 1,0 0 PUAS2

0,0

0,8

KOM2

KOM

0,7

KOM3

0,3 6

0,4 5

PUA S
0,8 1,0 0 0,3 7 PROD 0,2

PROD1 PROD2 PROD3

0,0 0,8 0,5 0,9

Chi-Square=34,96, df=17, P-value=0,00629, RMSEA=0,103 Sumber : Hasil Olah Data LISREL 8.30

118

C.2.3 Model Alternatif II Model pada alternatif I cukup fit untuk menjawab pertanyaan penelitian dan hipotesa. Karena nilai RMSEA pada alternatif I dianggap kurang mendukung (>0,05), maka peneliti mencoba membuat model alternatif II. Dengan trial and error diperoleh suatu model yang memiliki kriteria fit. Model tersebut memiliki nilai cdmin/df lebih besar dari 2, nilai Chi-Square sebesar 6,49, nilai p = 0,59212, RMSEA = 0,000, GFI = 0,98 , AGFI = 0,94, IFI = 1,01 DAN CFI = 1,00. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel 5.30 Tabel 5.30 Skor Ketepatan Model Alternatif I Faktor X2 Chi Square P Skor 6,49 0,59212 Kriteria Nilai p > 0,05 menunjukkan model Dengan RMSEA GFI AGFI CFI IFI 0,000 0,98 0,94 1,00 1,01 sesuai dengan data. model demikian

memenuhi kriteria model yang fit Nilai RMSEA kurang dari 0,05 berarti model fit Nilai menunjukkan GFI lebih

besar dari 0,9. berarti model fit Nilai AGFI di kisaran 0,8 0,9 menunjukkan model fit Nilai berkisar antara 0 1 menunjukkan model fit Nilai berkisar antara 0 1

119 menunjukkan model fit Sumber : Hasil Penelitian Gambar 5.3 Analisis Jalur Teoritis Model Alternatif II
0,8 3 PROD1 KOM1 0,4 1 KOM2 0,5 0 0,9 1 0,3 0 0,6 0 PROD2 0,6 3 PROD3 1,0 0 0,0 0,6 4 0,6 0
-03, 6

0,7 5

KOM
0,7 7

PROD

KOM3

Chi-Square =6.49, df =8, P-value =0.59212, RMSEA = 0.000 Sumber : Hasil Olah Data LISREL 8.30

120 Berdasarkan temuan pada model analisis alternatif II, diketahui bahwa variabel komunikasi organisasi memiliki koefisien jalur (pengaruh langsung) sebesar 0,77 positif dan signifikan, menunjukkan pengaruh yang berarti. Pengaruh tersebut sebesar 59% terhadap produktivitas kerja, hubungan yang signifikan/nyata ini mengindikasikan bahwa komunikasi organisasi yang baik akan semakin meningkatkan produktivitas kerja. Dengan demikian sesuai dengan penelitian Hellweg and Philips (1980 :188-92) terbukti ada suatu hubungan yang positif antara komunikasi efektif dengan produktivitas kerja.

D. Implikasi pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi organisasi dan kepuasan kerja memberikan pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas kerja. Hal ini menunjukkan bahwa untuk kasus pada Unit Pelaksana Teknis (UPT) Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta, untuk memelihara produktivitas kerja yang optimal, agar diupayakan adanya persepsi yang baik karyawan terhadap komunikasi organisasi. Variabel ini memungkinkan timbulnya konflik, kesalahan, dan penurunan efektivitas tim bila tidak diatur dengan baik. Sebagai contoh indikator komunikasi vertikal. Komunikasi ini dapat dibangun apabila pimpinan dapat memberikan dukungan kepada karyawan tidak hanya melalui jalur formal melainkan juga informal, yang sekaligus

121 sebagai peningkatan saling kenal antar sesama karyawan (mendukung komunikasi horizontal). Sebagai conth dengan berdarmawisata bersama, atau olahraga bersama. Selain itu dapat pula pimpinan mendorong peningkatan motivasi, seperti dengan peningkatan pemberian penghargaan walaupun bukan dalam bentuk tambahan penghasilan. Memberikan kesempatan karyawannya untuk mengikuti pendidikan dan pengembangan guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan. Diketahui pula bahwa lingkungan kerja fisik memberikan pengaruh yang tidak signifikan baik terhadap kepuasan kerja maupun produktivitas kerja. Penelitian ini menunjukkan bahwa pembagunan lapas-lapas baru (khususnya lapas narkotika) dengan gedung, fasilitas yang baru, yang sama sekali berbeda dengan bangunan lapas terdahulu tidak signifikan dalam meningkatkan produktivitas kerja karyawan. Penelitian yang dilakukan oleh Sumamur (1989), Tomanic (1995) dan Santoso (1999) yang mengatakan bahwa penerepan ergonomi pada berbagai bidang pekerjaan telah terbukti menyebabkan kenaikan produktivitas secara jelas, dimungkinkan pada sektor privat. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada sektor publik penerapan ergonomi tidak signifikan menyebabkan kenaikan produktivitas melainkan lebih dipengaruhi oleh variabel lain diluar variabel penelitian ini.

122

BAB V I

KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan Setelah melakukan penelitian dan analisis terhadap data primer dan sekunder guna menjawab pertanyaan penelitian sebagaimana telah diuraikan dalam bab I, maka hasil penelitian dapat disimpulkan : 1. Hasil pengujian validitas instrumen menunjukkan bahwa seluruh item pernyataan yang digunakan dalam variabel komunikasi organisasi, lingkungan kerja fisik, kepuasan kerja, dan produktivitas kerja memberikan nilai korelasi yang tinggi dan signifikan sehingga disimpulkan keseluruhan item pernyataan yang digunakan valid.

123 2. Hasil pengujian reliabilitas untuk keempat variabel penelitian masingmasing memberikan nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,829 untuk variabel komunikasi organisasi, 0,872 untuk variabel lingkungan kerja fisik, 0,851 untuk variabel kepuasan kerja dan 0,845 untuk variabel produktivitas kerja. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh variabel yang digunakan dalam penelitian reliabel. 3. Berdasarkan pengujian secara keseluruhan (overall), menunjukkan bahwa model awal yang diajukan tidak fit sehingga tidak mendukung untuk menjawab seluruh pertanyaan dan hipotesa yang diajukan 4. Terdapat dua model alternatif yang diajukan, yaitu model alternatif I dan II. Pada model alternatif I variabel lingkungan kerja dihilangkan karena

memberikan pengaruh yang tidak signifikan, sehingga model analisis hanya terdiri dari variabel komunikasi organisasi, kepuasan kerja dan produktivitas kerja. Variabel komunikasi organisasi memberikan pengaruh sebesar 53% terhadap variabel kepuasan kerja, sisanya merupakan pengaruh variabel lain diluar variabel penelitian. Sementara pengaruh

variabel komunikasi organisasi dan variabel kepuasan kerja terhadap produktivitas kerja sebesar 79%, sisanya merupakan pengaruh variabel lain diluar variabel penelitian (menjawab hipotesa satu dan tiga). 5. Model alternatif II diketahui bahwa komunikasi organisasi dapat

meningkatkan

produktivitas

kerja.

Hubungan

yang

signifikan/nyata

mengindikasikan bahwa komunikasi organisasi yang baik akan semakin meningkatkan produktivitas kerja. Variabel komunikasi organisasi

124 memberikan pengaruh 59% terhadap produktivitas kerja, sisanya

merupakan pengaruh variabel lain diluar variabel penelitian.

B. S a r a n 1. Komunikasi Organisasi Dari hasil jawaban responden dapat diketahui bahwa hubungan komunikasi organisasi dengan kepuasan kerja dan produktivitas kerja tergolong kuat, oleh karena itu Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta perlu meningkatkan efektivitas komunikasi dalam organisasi, antara lain dengan mengadakan rapat-rapat dinas rutin/terjadual sebulan sekali sehingga akan tercipta komunikasi dua arah yang baik dan akan diketahui kelebihan serta kekurangan yang ada, baik itu dari karyawannya sendiri maupun pimpinan atau sarana dan prasarana tugas. Selain itu juga pentingnya membina komunikasi yang baik dengan stake holder diluar institusi (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) yang akan terus meningkatkan

produktivitas kerja karyawan yang menyatu menjadi produktivitas organisasi. 2. Lingkungan Kerja Fisik Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan kerja tidak

memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja dan produktivitas kerja pada Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta. Hal ini membuktikan bahwa untuk institusi lapas, dibangunnya gedung baru dengan fasilitas dan tingkat keamanan yang baik tidak menjamin meningkatnya

125 kepuasan kerja dan produktivitas kerja karyawannya. Namun demikian sebagai organisasi yang memiliki tingkat resiko cukup tinggi tetap diperlukan pengadaan dan peningkatan dari mulai menyediakan sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan tugas yang memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, seperti penyediaan komputer, CCTV, dan peralatan pengamanan. 3. Kepuasan Kerja Hubungan komunikasi organisasi dengan kepuasan kerja pada Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta tergolong sangat kuat. Untuk itu perlu dibina, dipupuk dan ditingkatkan rasa kebersamaan, rasa memiliki serta kebanggaan akan organisasi sehingga tercipta suasana kerja yang sehat dan produktif. 4. Produktivitas Kerja Untuk meningkatkan produktivitas kerja karyawan Lapas Klas IIA

Narkotika Cipinang Jakarta yang optimal perlu ditingkatkan efektivitas komunikasi dalam organisasi baik secara vertikal, horizontal maupun diagonal, perlu banyak memberikan kesempatan kepada karyawan/bawahan untuk mengeluarkan ide-ide dan gagasannya, arahan kepada karyawan agar menggunakan waktunya untuk hal-hal yang bermanfaat, menggunakan biaya secara efisien dan efektif serta melaksanakan tugas sesuai dengan target waktu yang ditentukan. Kondisi ini akan memunculkan sikap saling menghargai dan memahami antar atasan dan karyawan, sesama atasan dan sesama karyawan yang mendukung peningakatan produktivitas kerja.

126

DAFTAR PUSTAKA BUKU Arikunto, Suharsini, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta, 1998. C.N. Greene, The Satisfaction-Performance Controversy, Business Horizons (Februari 1972). Davis, K., and Newstorm, J.W. Human Behavior at Work: Organizational Behavior. 8th edition. Singapore: McGraw Hill, 1989. Dharma, A, Manajemen Prestasi Kerja : Pedoman Praktis Bagi Para Penyelia Untuk Meningkatkan Prestasi Kerja, CV Sinar Baru Bandung, 1985. Dillon, William R dan Mathew B., Multivariate Analysis Method and Application, John Wiley and Sons. Ltd. New York, 1984. Effendi, Onong Uchjana, Kepemimpinan dan Komunikasi, Bandung : Alumni, 1977. Friedenberg, Lisa, Psychological Testing, Design, Analysis and Use, Allyn and Bacon, 1995.

127 Ferdinand, Augusty, Structural Equation Modeling Dalam Penelitian Manajemen : Aplikasi Model-model Rumit Dalam Penelitian Untuk Tesis Magister dan Desertasi Doktor, Semarang : Fakultas Ekonomi UNDIP, 2002. Frantz, Roger S, X-Efficiency : Theory, Evidence, and Applications, Boston : Kluwer Akademic Publishers, 1988. Geoffrey, M Maruyam, Basic of Structural Equation Modeling, New Delhi : SAGE Publication, 1998. Guilford JP, Psychometric Methods, Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited, 1979. Hair et al, Multivariate Data Analysis, Prentice Hall International, Inc, 1998. Hellweg, SA, SL Philips, Communication and Productivity in Organizations : A State-of-the-Art Review, Detroit, 1980. Ivancevich, John M., Human Resources Management., 6th Edition, Richard D. Irwin, Inc, USA, 1994. Ivancevich, John M., James H. Donelly Ir and James L Gibson, Management : Principles and Function, Fourth Edition, Boston : Richard D Lewis, Inc. 1989. Jewell, LN, & Marc Siegall. Psikologi Industri/Organisasi Modern (editor : Danuyasa A). Jakarta : Arcan, 1998. Kartono, Kartini. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: Mandar Maju, 1996. Karlinger, Fred N, Foundation of Behavioral Research, Third Edition, New York : Halt Renhart and Winston, Inc, 1986. Kasim, Azhar, Pengukuran Efektivitas Dalam Organisasi, PAU IIS UI, Jakarta, 1993. Maruyam M Geoffrey, Basic of Structural Equation Modeling, New Delhi : SAGE Publication, 1988. Mangkunegara, AA. Anwar Prabu, Drs., Msi., Psi., Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan; Rosda Bandung, 2000. Nawawi, Dadang dan Hadiri Martini, Ilmu Administrasi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994.

128

Pace, R. Wayne, & Faules, Don F. Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan (editor: Deddy Mulyana). Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001. Pincus, J. David, Communication Satisfaction, Job Satisfaction, and Job Performance, Human Communication Research, 12 (Musim Semi 1986). Robbins, Stephen P. Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, Aplikasi. (alih bahasa: Pujaatmaka). Jakarta: PT Prenhallindo, 1996. Santoso, Gempur, Pengaruh Kursi dan Meja Kerja terhadap Produktivitas Kerja pada Tenaga Kerja Kerajinan Kayu (penelitian eksperimental ergonomi di CV Karya Trampil Pandaan Pasuruan), Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 1999. Sedarmayanti, Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja, Bandung : Ilham Jaya, 1995. Siagian PS, Motivasi dan Aplikasinya; Bina Aksara ; Jakarta, 1989. --------------, Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2002. Sitinjak JR, Tumpal, Sugiarto, Lisrel, Jakarta, Graha Ilmu, 2006. Sumamur, Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, PT Gunung Agung, Jakarta, 1996. Supranto, J, Analisis Multivariat : Arti dan Interpretasi, Jakarta : Rineka Cipta, 2004. Wendell L. French. The Personal Management Process. Boston : Houghton Muffin Company, 1978. Wexley, K.n and Yukl, GA, Organizational Behaviour and Personal Psychology, Richard D Irwin, 1977.

DOKUMEN / PERATURAN / ARTIKEL Bunga Rampai Pemasyarakatan, Kumpulan Tulisan Almarhum Bahrudin Soeryobroto, Mantan Kepala Direktorat Pemasyarakatan, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Jakarta, April, 2002.

129 Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : M.04.PR.07.03 tentang Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematang Siantar, Lubuk Linggau, Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Nusakambangan, Madiun, Pamekasan, Martapura, Bangli, Maros, dan Jayapura. Metode Therapeutic Community (Komunitas Terapeutik) Dalam Rehabilitasi Sosial Penyalahgunaan Narkoba, BNN kerjasama dengan Departemen Sosial RI, Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Narkoba, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Jakarta, 2003 Presiden : Satukan Persepsi dan Tekad Melawan Narkoba, Warta Badan Narkotika Nasional (BNN) No. 9 Tahun II/2004. Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.02.PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan

INTERNET Soal Peresaran SS di LP, Jaringan Kejahatan di Yogya Sangat Luas, http://www.indomedia.com/bernas/022001/01/UTAMA/01uta3.htm. Diakses tanggal 27 Juli 2005. LP Cipinang dan Rutan Salemba Dipadati Tahanan Narkotika. http://kompas.com/ Rabu, 23 Februari 2000. Diakses tanggal 27 Juli 2005.

Structural Equation Modelling, LISREL Workshop, Jena November 2001, http://www.user.rcn.com/dakenny/basics/.htm, diakses tanggal 26 Februari 2006. Terminology and Basics of SEM, http://www.users.rcn.com/dakenny/basics.htm, diakses tanggal 26 Februari 2006. Sipir Cipinang Tertangkap Tangan Mengedarkan Putaw, http://www.liputan6.com/view/11,52793,1,0,1151569581.html , diakses tanggal 20 Juni 2006.

130

RIWAYAT HIDUP SINGKAT PENULIS Jika Kamu berada dalam keadaan yang sehat, keamanan terjaga, dan ada makanan untuk hari itu, kamu sudah memiliki semua dunia. (HR. Ibu Majah)

1. DATA PRIBADI
Nama Tempat lahir Tanggal lahir Jenis Kelamin Kewarganegaraan Agama Pekerjaan : DEDDY EDUAR EKA SAPUTRA : Desa Sumur, Palembang : 15 Februari 1979 : Laki-laki : Indonesia : Islam : Karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta

2. RIWAYAT PENDIDIKAN

131 Sekolah Dasar SMP SMA Sarjana Muda Sarjana (S1) : SD Negeri VII Sumur, Lahat lulus Tahun 1990 : SMP Negeri II Jarai, Lahat lulus Tahun 1993 : SMU YPI Tunas Bangsa Palembang lulus Tahun 1997 : Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) Angkatan XXXIII lulus Tahun 2000 : FISIP Jurusan Kriminologi Universitas Indonesia lulus Tahun 2003

3. RIWAYAT PEKERJAAN
a. Karyawan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Klas I Jakarta Pusat Tahun 2000 b. Karyawan pada Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta Tahun 2004 sampai sekarang

You might also like