You are on page 1of 15

Perang Palembang pada tahun 1819 terjadi dua kali dalam setahun.

Perang pertama terjadi selama lima hari yaitu pada tanggal 11-15 Juni 1819. Sedangkan perang pada babak ke dua terjadi lebih seru dan lebih lama. Perang ini berlangsung selama dua bulan yaitu terjadi pada 30 Agustus-30 Oktober 1919. Perang Palembang babak pertama dimulai ketika Sultan Mahmud Badaruddin II mengambil keputusan untuk menyerang dan mengusir Belanda sekarang atau tidak sama sekali. Keputusan tersebut bersamaan dengan ultimatum Muntinghe kepada Badaruddin II, untuk menyerahkan Putera Mahkota dan mendaratnya pasukan tambahan dari Batavia ke Palembang dibawah pimpinan Mayor Tierlam pada 14 Juni 1819 dengan menggunakan kapal Elizabeth. Palembang menyiapkan diri dengan memobilisasi persenjataan dan pasukan. Sebanyak 244 artileri, yang terdiri dari 105 buah meriam dan 139 buah lela (meriam kecil) dan rantak siap untuk dibidikkan. Dengan alasan penampungan pasukan Mayor Tierlam di seberang ulu tidak ada tempat yang memadai, maka pasukan tersebut di ditempatkan di keraton Lama yang berseberangan dengan Keraton Dalam, yang menjadi pusat pertahanan Palembang. Membaca situasi seperti ini, Sultan Mahmud Badaruddin II mengambil taktik akan menyerahkan Putera Mahkota dengan syarat Belanda mau menarik pasukannya dari Keraton Lama. Pada 17 Juni 1819 kesiagaan Palembang mencapai puncaknya, di setiap tempat yang strategis untuk menyerang disiagakan pasukan. Komandan pos Seberang Ilir dipercayakan kepada Pangeran Kramajaya, di sebelah Ulu barat dipimpin oleh Pangeran Keramadiraja sedangkan di pos sebelah utara di pegang oleh Pangeran Citra

Saleh. Insiden pertama terjadi dengan tertembaknya seorang pengawal di daerah Keraton Lama oleh Belanda. Insiden tersebut diprotes oleh Sultan kepada Muntinghe melalui dua orang utusan yang kemudian malah ditahan oleh pihak Belanda. Utusan tersebut adalah Pangeran Dipati Tua dan Pangeran Dipati Muda yang kemudian dilepaskan dengan disertai pengulangan ultimatum agar Sultan menyerahkan Putera Mahkota dan ancaman bahwa Belanda telah siap untuk menyerang Palembang. Pada keesokan harinya Belanda telah siap untuk bergerak meninggalkan Keraton Lama. Namun pada hari itu terjadi insiden yang berakibat terjadinya perang antara Belanda dan Palembang. Insiden itu bermula ketika seorang perwira yang tertarik dengan kegiatan Zikir dan Tahlil di dalam Keraton Dalam, diusir oleh tiga orang Priyayi Palembang yang dibalas dengan tembakan yang menewaskan tiga orang priyayi Palembang. Pertempuran tidak dapat dihindari lagi, penembakan kearah Keraton Lama oleh Pangeran Citra Saleh disambut dengan hujaman peluru dari Korvet Ayax dan Eendragt kearah Keraton Lama. Pertempuran ini membuat tentara Belanda yang belum sempat dinaikkan kapal menjadi kacau dan berlarian masuk ke dalam keraton. Pertempuran ini berakhir menjelang Magrib. Pada 13 Juni 1819 seiring dengan terbitnya matahari pertempuran dimulai kembali. Pihak Palembang yang melihat dinding benteng keraton yang tebal tidak tembus oleh peluru Belanda, memasang siasat dengan mengurangi tembakan untuk memancing agar pasukan Belanda menyerbu masuk ke dalam Keraton Dalam. Melihat melemahnya tembakan dari benteng pertahanan Palembang, Muntinghe

mengira bahwa perlawanan Palembang telah mengendur dan memerintahkan pasukan yang berada di sebelah keraton untuk menyerang masuk. Kenyataannya mereka terjebak dan menjadi sasaran tembak pasukan Palembang yang bersembunyi dari dalam dan di atas benteng. Muntinghe menganggap bahwa tidak mungkin untuk menembus atau menduduki Keraton, maka memerintahkan pasukannya untuk mundur meninggalkan Keraton Lama. Alasan utama mereka mundur dikarenakan mereka kehabisan amunisi dan perbekalan. Keadaan ini memaksa Muntinghe mengambil inisiatif gencatan senjata dan mengajukan perdamaian atau setidaknya gencatan senjata selama empat hari dengan Sultan Mahmud Badaruddin II. Tawaran perdamaian dan gencatan senjata adalah jalan terakhir, tanpa menunggu reaksi dari Kesultanan Palembang, pada 15 Juni 1819 Muntinghe menarik mundur pasukannya kembali ke Batavia. Kekalahan dalam perang Palembang pada babak pertama sangat menyakitkan bagi pihak Belanda. Oleh karena itu, Gubernur Jenderal Van Der Capellen merundingkan rencana untuk menghancurkan Palembang dengan Panglima Angkatan Laut dan Angkatan Daratnya yaitu Laksamana JC Woolterbeek dan Mayor Jenderal Baron De Kock. Pengalaman Muntinghe menjadi pelajaran untuk memperbaiki taktik mengalahkan Palembang. Taktik yang dipakai untuk menghancurkan Palembang adalah dengan mengirimkan pasukan yang lebih besar dan mengoptimalkan politik Devide et Impera. Ekspedisi ini bertujuan untuk menghukum Sultan Mahmud Badaruddin II dan menurunkannya dari tahta kesultanan serta mengangkat keponakannya yaitu

Pangeran Jayadiningrat untuk menggantikannya. Kekuatan pasukan ini tiga kali lebih besar dari perang yang pertama terjadi. Penanggung jawab penyerangan ini adalah Laksamana JC. Wolterbeek Sultan Mahmud Badaruddin II sudah memperkirakan bahwa Belanda akan kembali dengan pasukan yang lebih besar. Untuk itu, setelah kembalinya Muntinghe ke Batavia, Sultan Mahmud Badaruddin II membuat pertahanan yang terkonsentrasi penuh di luar Palembang. Pertahanan pulau Kembaro yang berada diseberang Plaju diperkuat dan disesuaikan dengan keadaan. Jarak antara pulau Kembaro dengan Plaju kurang lebih 100 meter, dari kedua tepian ini dipasang pagar kayu yang ditanam ke dalam Sungai Musi. Pagar tersebut terdiri dari tiga lapis berbaris, yang dibalik pagar berdiri beberapa benteng untuk menyerang musuh sehingga pertahanan seperti ini sulit untuk di tembus dan ditaklukan oleh musuh. Tujuan mengkonsentrasikan pertahanan di Pulau Kembaro dan Plaju adalah untuk mengurangi tenaga yang terpencar-pencar dan kurang terkoordinir, serta susah untuk berkomunikasi. Sebaliknya dengan konsentrasi di Pulau Kembaro dan Plaju, selain mudah diawasi juga memudahkan koordinasi dan komunikasi. Sultan menunjuk Putera Mahkota sebagai panglima perang dan menempatkan pasukan yang ditempatkan di benteng-benteng pertahanan dibawah seorang pemimpin. Benteng Tambak Baya yang terletak di muara Sungai Plaju ditempatkan Pangeran Kramadiraja, dengan kekuatan 168 meriam berkaliber 24 pond. Benteng Martapura yang bersebelahan dengan benteng Tambak Baya dipimpin langsung oleh Pangeran Ratu dan ditemani oleh Pangeran Adipati. Bentang Pulau Kembaro dan

Benteng Manguntama dipimpin oleh Pangeran Suradilaga dan Pangeran Wirasenta. Benteng Keraton Dalam dan benteng dari tangga kota sampai Sungai Tengkuruk diperkuat dengan 110 meriam besar dan meriam-meriam ukuran sedang. Sedangkan Bentang Kurungan Nyawa di hulu Sungai Komering dibuat untuk menjaga serangan Belanda yang datang dari Lampung. Armada JC Wolterbeek berangkat dari Batavia pada tanggal 22 Agustus 1891. Selain Wolterbeek, armada ini juga dipimpin oleh Kolonel Bischoff sebagai Wakil Panglima dan Komandan Angkatan Darat. Letkol Riesz sebagai komandan Artileri, Kapten Van Der Wijk sebagai komandan Zeni dan Mayor Van Ralten sebagai perwira Kesehatan. Pada 30 Agustus armada yang dipimpin oleh JC Wolterbeek tiba di Mentok dan melakukan konsolidasi dengan kapal lain untuk menempatkan meriam. Sambil menunggu air pasang untuk memasuki perairan Sungai Musi, kesempatan ini digunakan untuk memadamkan perjuangan rakyat Bangka. Sasarannya adalah pusat pertahanan pejuang yang terletak di Bangka kota, yang disebut Belanda dengan sarang bajak laut. Serangan ini menggunakan Korvet Eendragt dan Schooner Emma melalui Pangkal Pinang. Serangan ke Bangka kota ini mampu membakar benteng pertahanan pejuang, namun demikan Belanda tidak dapat menduduki Bangka karena perlawanan yang gigih dari rakyat Bangka. Tanggal 18, 19, 21 September secara bergilir armada memasuki perairan Sungai Musi. Endapan lumpur dan arus yang deras dari Sungai Musi membantu memparlambat Belanda untuk segara mencapai Palembang. Selain faktor alam yang

menyulitkan, serangan meriam yang tersembunyi dari balik pohon dan rakit api yang dikirim mengikuti arus sungai ikut pula menghambat masuknya Belanda ke Palembang. Setelah berlayar selama sebulan, tanggal 18 Oktober armada Belanda dapat mendekati benteng pertahanan Palembang di Pulau Kembaro dan Plaju. Selama pelayaran menuju Palembang ini, terjadi dua kali armada Belanda mengalami pertempuran kecil yaitu pada tanggal 11 Oktober di dekat Pulau Keramat sebelum memasuki Plaju dan di Pulau Salahnama pada tanggal 17 Oktober. Pada tanggal 21 Oktober, Panglima Wolterbeek dari atas kapal Fregat Wilhelmina memerintahkan pasukannya untuk menyerang benteng pertahanan Palembang. Tembakan dari kapal Fregat Wilhelmina diikuti oleh kapal-kapal Belanda secara serentak yang membentuk formasi serangan di Sungai Musi. Akan tertapi, kapal Fregat Wilhelmina terjebak dalam pusaran angin yang menyebabkan formasi serangan menjadi kacau. Kekacauan ini dimanfaatkan oleh pasukan Palembang untuk menyerang secara serentak dari segala penjuru benteng dan memaksa Wolterbeek beserta armadanya mundur keluar dari jangkauan tembakan pasukan Palembang. Pengunduran pasukan Belanda ini tetap diiringi dengan tembakan dan serangan rakit api oleh pihak Palembang. Palembang dalam serangan ini benar-benar berjaya, jika dibandingkan dengan Belanda, kerugian di pihak Palembang tidaklah seberapa. Belanda mengalami kerugian yang besar dengan tewasnya 120 orang serdadunya dan tenggelamnya dua kapal Korvet Eendargt dan kapal Arimus Marimus. Pertempuran ini baru berhenti menjelang magrib, namun pada malam harinya pasukan Palembang tetap menyerang dengan

menggunakan rakit-rakit api yang di hayutkan di Sungai Musi. Tanggal 22 Oktober, setelah matahari terbit benteng-benteng Palembang mulai menyerang kapal-kapal Belanda. Namun Armada Belanda menghentikan serangannya dari perairan Sungai Musi dan mencoba serangan dari darat, akan tetapi Belanda mengalami kesulitan karena benteng pertahanan Palembang terletak di tempat yang strategis sehingga sulit untuk ditembus dari darat. Melihat kenyataan ini, Panglima Wolterbeek mengajukan perdamaian dengan mengirimkan kurirnya menemui Sultan Mahmud Badaruddin II. Namun persyaratan yang diajukan oleh Belanda ditolak oleh 64 Sultan dan memaksa Belanda menarik kembali pasukannya ke Batavia. Pada tanggal 30 Oktober 1819 Wolterbeek mengumumkan penarikan mundur pasukannya dari Palembang melewati Muara Sungsang dan Mentok terus ke Batavia. c. Perlawanan terhadap Belanda (Perang Palembang 1821 M) Setelah berhasil memukul mundur Belanda untuk yang ke-dua kalinya, Palembang tidak lantas terus terlarut dengan kemenangan. Bahkan kemenangan atas Belanda ini semakin meyakinkan Sultan Mahmud Badaruddin II akan kedatangan Belanda dengan pasukan yang lebih besar dan kuat. Oleh karena itu, Sultan melakukan perombakan-perombakan untuk menghadapi serangan balasan dari Belanda. Perombakan terjadi atas pimpinan pusat dan beberapa pimpinan di

Kesultanan Palembang. Pada bulan Desember 1819, Putera Mahkota Pangeran Ratu diangkat menjadi Sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin III. Perombakan juga terjadi pada pimpinan pasukan. Benteng Tambakbaya diserahterimakan dari Pangeran Kramadiraja (sakit) kepada menantu Sultan Mahmud Badaruddin II yaitu Raden Kramajaya. Benteng Pulau Kembaro diserahkan kepada Pangeran Kramadilaga dari Pangeran Suradilaga. Disamping pengalihan beberapa pimpinan pasukan, Sultan juga membuat beberapa benteng baru. Benteng-benteng tersebut diantaranya adalah benteng yang terletak diujung Pulau Kembaro yang mengapung di Sungai Musi yang dipimpin oleh Pangeran Ratu dari Jambi. Benteng dari rakit yang berada dibalik pagar dipimpin oleh Cik Nauk seorang kepala suku Bugis dan Lingga. 65 Sultan juga menambahkan persenjataan pada benteng-benteng pertahanan yang didapat dari penyelundupan dari Riau dan Sambas.90 Bagi Belanda, Palembang sudah merupakan ancaman yang harus segera ditundukan. Maka persiapan menyerang Palembang untuk yang ke-tiga kalinya menjadi pertaruhan bagi Belanda. Penyerangan pada tahun 1821 ini menjadi kesempatan terbaik bagi Belanda, sebab pada tahun ini Belanda tidak sedang menghadapi pergolakan yang berarti di Nusantara, sehingga dapat berkonsentrasi untuk menaklukkan Palembang. Pengalaman-pengalaman dalam penyerangan sebelumnya menyadarkan Belanda bahwa untuk menaklukkan Palembang diperlukan

kapal-kapal kelas menengah. Perahu-perahu meriam dan perahu penadrat sangat dibutuhkan, sedang kapal untuk menghancurkan pagar kayu yang ditanam di Sungai Musi dipesan langsung dari negeri Belanda. Selain menyiapkan perlengkapan, Belanda juga mendatangkan pasukan terlatih dari Eropa yang dikontrak selama enam tahun dengan gaji 200 gulden untuk pasukan Eropa non Belanda dan 300 gulden untuk pasukan yang bekebangsaan Belanda.91 Pada tanggal 8 Mei 1821, pasukan dilepas oleh Gubernur Jenderal Van Der Capellen dengan acara militer dan berangkat pada tanggal 9 menuju ke Palembang dari Batavia. Komandan pasukan dipimpin langsung oleh Jenderal Angkatan Laut Hindia Belanda Mayor De Kock dan wakilnya Kolonel 90Soetadji, Perang, hlm. 129. 91Hanafiah, Kuto, hlm. 95. 66 Bakker. Beberapa komandan yang membawahi divisi adalah Komandan infanteri adalah Kolonel Bisschoff, komandan artileri adalah Letkol Riesz. Pasukan Belanda ini sampai di Mentok pada tanggal 13 Mei, De Kock mengadakan konsolidasi dengan seluruh pasukannya untuk memblokade Selat Bangka dan persiapan memasuki Sungai Musi. Pada tanggal 15 Mei pasukan meninggalkan Mentok menuju sungai Musi melewati Sungsang. Setelah berlayar selama seminggu, tepat pada tanggal 22 Mei pasukan ini sampai di dekat Pulau Panjang dan mempersiapkan persenjataan.

Parade senjata diadakan dengan menggunakan seluruh senjata. Pada saat itu, nampak sebuah rakit kecil dengan bendera putih yang merupakan utusan dari benteng terdepan, membawa pesan untuk menanyakan maksud kedatangan pasukan Belanda. De Kock membalas pesan tersebut dngan menyatakan bahwa tujuan mereka adalah untuk misi perdamaian dengan tugas untuk menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II dan bukan untuk memusuhi rakyat Palembang. Pertempuran pertama terjadi pada tanggal 11 Juni, Kapten Laut L Van Adnard turun dari kapal dengan beberapa perwira untuk mematai-matai pertahanan Palembang. Benteng pertahanan Palembang menyambutnya dengan tembakan-tembakan untuk menghalau mereka. Sebaliknya mereka menembaki pekerja-pekerja Palembang untuk menghalangi mereka 67 memperbaiki pagar yang rusak di tengah Sungai Musi. Tembakan-tembakan meriam dari benteng Palembang itu memaksa mereka kembali ke kapal.92 Tanggal 16 Juni, Kolonel Bisschoff dibantu oleh Letkol Riesz dengan membawa 500 pasukan mencoba untuk menyerang Bentang Tambakbaya melalui darat. Untuk mengalihkan perhatian atas serangan dari daratan ini, kapal-kapal Belanda melakukan tembakan-tembakan serangan ke arah Bentang Tambakbaya. Namun serangan dari darat ini dapat diketahui oleh Pangeran Kramajaya, yang segera mengirimkan pasukan untuk melakukan taktik mendahului serangan di luar benteng. Pertempuran ini terjadi di tebingtebing

sungai dan hutan di sekitar sungai. Serangan dadakan dari pasukan Palembang ini dapat memukul mundur menjelang matahari tenggelam. Selama tanggal 17, 18, dan 19 Juni aksi tembak-menembak antara pasukan Palembang dan Belanda terus terjadi, hanya tidak ada gerakan yang berarti dari kedua belah pihak. De kock menganggap serbuan frontal masih sulit dilakukan untuk menembus pertahanan Palembang. Pilihan untuk menyerang Palembang hanya bisa dilakukan lewat samping Benteng Tambakbaya, namun harus mengerahkan pasukan yang lebih besar karena sulitnya medan dan terbatasnya kuli angkut. Pada tanggal 20 Juni, sekoci-sekoci Belanda bergerak mendekati benteng-benteng pertahanan Palembang. Tujuanya adalah untuk memasang tali-tali sauh dan pengikat kapal guna mencabut patok pagar kayu yang dipasang di Sungai Musi. Kapten Van Der Wijck memimpin kapal yang 92M.O Woelders, Het Sultanat Palembang 1811-1825 (S-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1975), hlm.18-19. 68 bertugas mencabuti pagar atau balok yang menghalangi gerakan pasukan Belanda di Sungai Musi. Saat matahari terbit, Belanda menembakkan meriammeriam dari berbagai penjuru kapal yang dibalas dengan gencar oleh pasukan Palembang dari benteng. Selain membalas serangan-serangan Belanda dengan tembakan meriam, Palembang juga menggunakan taktik serangan rakit api yang membuat formasi pasukan Belanda menjadi kacau.

Pertempuran yang terjadi pada tanggal 20 Juni ini, Palembang berhasil menenggelamkan sebuah kapal Belanda (Nassau) yang membuka formasi pertahanan pasakan Belanda. Akibatnya adalah kapal Komando Van Der Werff dapat dihujani dengan peluru dari bentang-benteng Palembang yang membuat pergerakan kapal ini menjadi lambat. Kapal-kapal yang berada disampingnya pun tidak dapat melindungi, karena mereka telah keluar dari formasi untuk menyelamatkan diri. Pertempuran ini diakhiri dengan tenggelamnya sebuah kapal pendarat yang hampir mencapai benteng Pulau Kembaro dan mundurnya pasukan Belanda. Pada tanggal 21 Juni, De Kock mengirimkan utusan ke Palembang sebagai usahanya melakukan tipu muslihat, utusan tersbut membawa pesan yang menegaskan bahwa mereka datang hanya untuk menghukum Sultan Mahmud Badaruddin II dan mengajukan genjatan senjata pada 22 Juni 1819. Alasan gencatan tersebut adalah menghormati hari suci umat Islam (Jumat) dengan harapan Palembang juga menghormati hari suci mereka yaitu hari Minggu. Sehingga pada tanggal 22 dan 23 Juni, De Kock tidak melakukan gerakan menyerang benteng pertahanan Palembang. Namun diam-diam dia 69 melakukan konsolidasi pasukan untuk persiapan melakukan serangan ke pertahanan Palembang. Minggu 24 Juni 1821, De Kock memanfaatkan pasangnya aliran Sungai Musi untuk membawa pasukannya menyerang benteng pertahanan

Palembang. Ketenangan subuh dimanfaatkan sebagai pelindung gerak pasukannya untuk mendekati benteng pertahanan Palembang. Menjelang terbitnya matahari, kapal Belanda melancarkan serangan ke arah benteng pertahanan Palembang. Mendapat serangan dadakan ini, pasukan Palembang yang dalam keadaan tidak siaga karena menhormati hari minggu seperti permintaan De Kock menjadi terkejut. Akan tetapi mereka tetap siaga menghadapi segala kemungkinan dan dengan segenap kemampuan serta jumlah pasukan yang tersisa mereka menghadapi serangan Belanda dengan gigih.93 Serangan secara menandadak ini meninggalkan kelemahan pada Benteng Manguntama yang kewalahan menghadapi meriam-meriam Belanda. Karena dianggap titik terlemah di Pulau Kembaro, maka serangan Belanda dipusatkan ke arah Benteng Manguntama dan benteng-benteng di sekitarnya. Penguasaan Benteng Manguntama membuat pertahanan Palembang hanya tinggal di Benteng Tambakbaya dan Martapura di daerah Plaju. De Kock memerintahkan pasukannya untuk segera menduduki Bentang Tambakbaya dan Benang Martapura, untuk itu dia mengapit kedua benteng itu dari dua arah yaitu dari arah pulau Kembaro dan dari daratan di samping Benteng 93Ibid., hlm. 24. 70 Tambakbaya. Menjelang Magrib Benteng Tambakbaya dan Martapura dapat dikuasai dan dibakar oleh Belanda. Dengan jatuhnya benteng ini, Sultan

Ahmad Najamuddin III (Pangeran Ratu) mundur dan bertahan di Keraton Dalam. Pada tanggal 25 Juni Belanda dapat menguasai secara penuh bentengbenteng pertahanan Palembang dan mengepung Keraton Palembang melalui Sungai Musi. Tanggal 26 Juni, De Kock memberi peringatan kepada Sultan Mahmud Badaruddin II agar menyerah demi keselamatan rakyat Palembang dan menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Husin Diauddin. Sultan Mahmud Badaruddin II memberi jawaban melalui Pangeran Dipati Tua yang menyatakan bahwa penyerahan kekuasaan akan dibicarakan dengan melalui saudaranya Husin Diauddin bersama puteranya. Sultan Mahmud Badaruddin II memanggil Prabu Anom dan ayahnya Pangeran Husin Diauddin menghadap pada tanggal 29 Juni. Pada kesempatan itu Sultan Mahmud Badaruddin II menyerahkan kekuasaan dan seluruh kekayaan kesultanan kepada Prabu Anom dan ayahnya. Kemudian pangeran Husin Diauddin bersama utusan Sultajn Mahmud Badaruddin II yaitu Pangeran Dipati Tua didampingi Pangeran Dipati Muda melaporkan kepada De Kock bahwa masalah penyerahan kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam sudah selesai. Penyerahan kekuasaan dan harta kekayaan Kesultanan Palembang secara resmi dilaksanakan pada tanggal 1 Juli 1821 oleh Pangeran Prabukesuma dan Pangeran Kramajaya selaku wakil ayahnya Sultan Mahmud 71

Badaruddin II. Seluruh pasukan Belanda disiagakan di sudut-sudut benteng keraton Dalam. Kapal Fregat Van Der Werrf melakukan tembakan sebanyak 21 kali sebagai sikap penghormatan. Pada tanggal 13 Juli 1821, Sultan Mahmud Badaruddin II bersama seluruh keluarganya menaiki kapal Dageraad. Kapal menuju ke Batavia, dan dari sana Sultan Mahmud Badaruddin II diasingkan ke Ternate sampai akhirnya meninggal dunia pada 28 September 1852. Pengasingan ini menandai berakhirnya perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin II di Palembang.

You might also like