You are on page 1of 7

Permasalahan dan Tantangan yang Dihadapi Guru Amiruddin Rozali, S.

Pd, Pemerhati Pendidikan

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS tidak ditemukan istilah Pengajar melainkan Pendidik, ini menunjukkan bahwa tugas utama guru adalah mendidik dalam arti yang luas, apapun istilahnya tidak menjadi persoalan, namun yang namanya guru atau pendidik semestinya menguasai apa yang diajarkannya sehingga para muridnya yakin bahwa mereka akan mendapatkan sesuatu dari gurunya yang dapat digunakan untuk bekal hidup di kemudian hari. Inilah sebetulnya "Jasa" yang diperoleh oleh murid dari seorang guru. Tetapi kenyataannya sedikit sekali masyarakat yang mengerti bahwa apa yang telah diberikan oleh guru kepada para muridnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dinilai oleh apapun. Guru sebenarnya tidak pernah pamrih dalam hidupnya, tetapi keadaanlah yang membuat sebagian kecil guru tidak sepenuh hati melaksanakan kewajibannya, mulai dari daya dukung orangtua dan masyarakat yang minim, birokrasi yang berbelit dan panjang, belum lagi kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi. Berikut beberapa permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh para guru sekarang antara lain: (1). Penghargaan pemerintah terhadap profesi guru relative rendah. Hal ini dapat dilihat dari misalnya perhatian pemerintah terhadap guru yang berprestasi sangat jauh perbedaannya dibanding dengan perhargaan terhadap yang berprestasi selain guru. Belum lagi kepada guru yang diberikan tugas tambahan sebagai kepada Kepala Sekolah yang tugasnya sangat berat, karenanya tidak dapat disalahkan apabila ada segelincir kepala sekolah yang memanfaatkan masa jabatannya untuk kepentingan peribadi. Seyogyanya guru yang ditugaskan sebagai Kepala Sekolah tersebut tidak perlu lagi memikirkan nasibnya sendiri sehingga dia dapat mengelola sekolah secara maksimal, dan seharusnyalah ada perbedaan penghargaan dari pemerintah terhadap kepala sekolah yang berprestasi terhadap pengelolaan sekolahnya serta yang lebih penting lagi tidak ada dikotomi antara sekolah negeri maupun sekolah swasta. Untuk itu pemerintah selayaknya membuat batasan terhadap apa yang dilakukan kepala sekolah sehingga dia layak disebut kepala sekolah berprestasi. (2). Negara membutuhkan banyak guru sesuai dengan jumlah penduduk yang terus meningkat. Dari data Direktorat Tenaga Kependidikan Depdiknas kebutuhan guru sampai dengan 2008 adalah 1.800 guru TK, 163.397 untuk guru SD, 80.824 untuk guru SMP, 32.414 untuk guru SMA, dan 14.226 untuk guru SMK jadi total guru yang diperlukan 292.661 orang. Karena itu harapan untuk anggarkan pendidikan sebesar 20 % amat sulit untuk dicapai terutama daerah-daerah yang PAD nya relative kecil. Hal ini sangat wajar sebab bila 20 % dari anggaran sudah diserap oleh pendidikan, lantas instansi lain diluar pendidikan akan mengalami kemunduran.

(3). Distribusi guru tidak merata. Kenyataan membuktikan bahwa di kota atau tempattempat yang mudah dijangkau akan banyak gurunya bahkan di suatu sekolah guru berlebihan, tetapi di tempat lain yang tidak strategis kekurangan guru dan ini sangat manusiawi, karena sudah sifat manusia cenderung mencari tempat yang enak dalam hidupnya. Barangkali kita mesti merujuk pernyataan yang dibuat oleh para calon guru ketika pertama kali diangkat jadi guru (Negeri) bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia" namun kenyataannya setelah menjadi Pegawai Negeri Sipil pernyataan tersebut seolah tidak pernah ada. Untuk masalah ini pemerintah tidak semerta-merta dapat disalahkan, mereka juga banyak melakukan pertimbangan terutama menyangkut nilai kemanusiaan. Namun dengan adanya Otonomi Daerah, pemerintah daerah sebenarnya dapat membuat kebijakan yang tegas sehingga dapat menekan penyebaran guru yang tidak merata tersebut. (4 ). Masyarakat kurang menghargai profesi guru. Sangat sedikit orangtua yang mau mengarahkan anak mereka menjadi guru, seolah bila menjadi guru penghidupan mereka akan memprihatinkan. Kebanyakan orangtua yang "beruang" akan bangga bila anak mereka manjadi teknokrat, ekonom, atau dokter, tetapi bila anaknya jadi guru mereka mungkin akan terasa terhina. Namun yang sangat disayangkan perilaku demikian dapat menambah populasi "Teacher Mismatch" di negara ini karena bila keadaan terdesak yang semula tidak mau menjadi guru akhirnya menjadi guru. (5 ). Rendahnya kompetensi guru. Kompetensi yang dimaksud sesuai dengan Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 yaitu Kompetensi Pedagogik (KPe), Kompetensi Kepribadian (KK), Kompetensi Social (KS), dan Kompetensi Propesional (KPr). Asfek Kompetensi Pedagogik meliputi kemampuan mengelola pembelajaran. Guru mampu membuat program, tetapi belum semua guru mampu membimbing siswa untuk mengaktualisasi kan potensi yang dimiliki oleh siswa itu sendiri. Kebanyakan guru berpikir apabila sudah mengajar maka selesailah tugasnya, padahal tidak demikian, masih ada tugas lain yang sangat penting yakni mendidik dan membimbing siswa. Aspek Kompetensi Kepribadian adalah mempunyai kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi siswa serta berakhlak mulia. Bila guru sering terlambat masuk ke kelas, bagaimana dapat menjadi teladan bagi siswanya ? Bila guru ngomongnya kasar, bagaimana dapat mendidik siswa menjadi orang yang mempunyai sopan santun ? Bila guru merokok di depan kelas, bagaimana dapat melarang siswa merokok ?. Asfek Kompetensi Sosial adalah kemampuan seorang guru untuk berkomunikasi dengan baik dan efektif kepada warga sekolah dan stakeholder sekolah. Komunikasi merupakan kunci utama hubungan antar individu, baik antara guru dengan siswa maupun antara guru dengan orangtua siswa. Menurut Aa Gym komunikasi yang berkualitas apabila isinya Benar, Manfaat, dan Tidak menyakiti. Sedangkan cara menyampaikannya harus Tenang, Sopan, Fasih, Apik, Lembut, dan Secukupnya. Untuk itu seyogyanya guru membiasakan berkunjung (home visite) ke rumah siswa sebatas mencari tahu tentang kondisi siswa yang sebenarnya, sekaligus bersilaturrahmi

dengan orangtua, karena silaturrahmi dapat memperpanjang umur, serta mendatangkan rizki. Sejalan dengan itu, anggota DPD asal Bangka Belitung yang juga praktisi pendidikan Drs. H. Rusli Rahman, M.A.P mengajak para guru dalam tulisannya pada Harian Pagi Bangka Post edisi 19 April 2006 ". Datanglah dari rumah ke rumah anak muridmu, ketemulah dengan orangtuanya dan ajak mereka ngobrol tentang masa depan kampung dan anaknya, luaskan wawasan mereka tentang lingkungan hidup, tentang bahaya kemaksiatan. Petiklah kebahagian dengan Hablumminannas, petiklah kedamaian hati dengan Hablumminallah . Kamu boleh jadi tak akan selamanya tinggal di kampung itu, tapi percayalah kamu akan diingat selama hayat mereka, pahalamu akan berkembang seiring dengan buah amal baik yang kamu tanamkan". Jadi jelas bahwa bersilaturrahmi ke rumah siswa banyak mendatangkan manfaat. Sedangkan Kompetensi Profesional adalah kemampuan menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam sehingga dapat membimbing siswa memenuhi standar kompetensi secara nasional. Untuk itu diperlukan ketekunan dari guru membaca serta mengakses informasi yang terkini sesuai dengan bidang tugas masing-masing. (6). Lemahnya manajemen guru. Manajemen di sini dimaksudkan adalah manajemen pengelolaan pembelajaran yang meliputi menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai prestasi belajar siswa, melaksanakan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar siswa, memahami landasan pendidikan, memahami kebijakan pendidikan, memahami tingkat perkembangan siswa, memahami dan melaksanakan pendekatan pembelajaran, bekerjasama dengan pihak yang berkompeten dalam melaksanakan layanan mutu pendidikan, memanfaatkan kemajuan IPTEK dalam pendidikan, menguasai keilmuan dan keterampilan sesuai dengan materi pelajaran. Untuk meningkatkan kualitas manajemen guru, pemerintah telah melaksanakan berbagai pelatihan, baik dilaksanakan di tingkat daerah maupun pusat yang mengeluarkan biaya tidak sedikit, tetapi hasilnya tidak signifikan, para guru hanya bersemangat ketika mengikuti pelatihan saja sedangkan di sekolah tidak sedikit guru yang kembali lagi ke paradigma lama dalam mengelola pembelajaran. Beberapa factor penyebab antara lain : . Faktor Internal, guru terpaksa mengikuti kegiatan karena merasa apa yang akan mereka peroleh tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah mereka dapatkan sebelumnya, sehingga guru tersebut "asal mengikuti" dan bila ini terjadi guru yang bersangkutan pasti tidak pernah mendapatkan sesuatu untuk meningkatkan kemampuannya. Hal lain sering dijumpai adalah terjadi pada guru "mismatch" yang guru tersebut tidak bersemangat ditambah lagi dia tidak menguasai permasalahan akibatnya terjadi ketidaktahuan yang berkelanjutan, masih dapat ditolerir bila guru yang bersangkutan mempunyai komitmen untuk tetap menjadi guru, tetapi bila pekerjaan guru hanya sebatas "mumpung menunggu panggilan" maka kasusnya mirip dengan pertama yakni tidak mendapat apa-apa alias "arang habis besi binasa". Kasus lain yang sering terjadi adalah bila kegiatan pelatihan diadakan di daerah dan

Fasilitatornya dianggap peserta mempunyai kemampuan sama bahkan dibawah mereka atau peserta mengetahui sepak terjangnya yang negative, misalnya ketika jadi guru tidak pernah membuat program bahkan mengajarpun malas, apabila dijadikan fasilitator dapat dipastikan kegiatan yang telah banyak mengeluarkan biaya tersebut tidak akan menghasilkan sesuatu yang dapat merubah paradigma guru dalam mengelola pembelajaran minimal dari "teaching paradigm" menjadi "learning paradigm" karena sudah menjadi kebiasaan manusia sering melihat siapa yang berbicara tetapi sedikit sekali yang dapat mengambil manfaat dari apa yang dibicarakan. "Unzur maa qaala, walaa tanzur manqaala." Faktor Eksternal, birokrasi di sekolah biasanya sangat menentukan tindaklanjut dari pelatihan. Kepala sekolah hendaknya memiliki komitmen untuk mendukung ide-ide guru sebagai aplikasi dari teori yang diperoleh dari pelatihan. Ada kecenderungan guru malas menerapkan hasil yang diperolehnya saat mengikuti pelatihan karena kepala sekolah tidak respek. Seyogyanya kepala sekolah memberikan tanggungjawab kepada guru yang mengikuti pelatihan untuk mengimbaskan pengetahuan kepada rekan-rekannya, sehingga guru yang mengikikuti pelatihan tersebut dapat mengaktualisasikan dirinya. Dengan demikian diharapkan ada keseriusan ketika guru yang bersangkutan mengikuti pelatihan. ( 7). Rendahnya daya dukung masyarakat. Masyarakat disini diartikan secara luas terdiri dari orangtua siswa, pemerintah, dunia usaha dan industri dan lain-lain. Pasal 8 Undangundang Nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS mengisyaratkan bahwa "Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan". Jadi sebetulnya diminta atau tidak oleh sekolah, masyarakat hendaknya berperan, paling tidak diwakili oleh Komite Sekolah. Sedangkan pasal 9 berbunyi " Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan". Jadi jelas masyarakat tidak boleh hanya mengandalkan sekolah dalam hal memberikan pendidikan kepada putera-puteri mereka, melainkan harus ada kerjasama antara sekolah pemerintah dan masyarakat. Bila kita berhitung tentang berapa lama waktu siswa disekolah dan di luar sekolah (di rumah, masyarakat, tempat-tempat pendidikan nonformal) ternyata di sekolah rata-rata paling lama 8 jam (kecuali siswa diasramakan), jadi sisanya di luar sekolah. Tetapi apa yang terjadi ? Kenyataan sekarang semua tanggungjawab pendidikan dibebankan kepada sekolah. Lantas orangtua, aparat pemerintah, yang lain, lembaga nonformal, media masa dimana tanggungjawabny a ? Saya berani mengatakan, bahwa di sekolah tidak ada guru yang mengajari secara langsung siswanya merokok, berjudi, mabuk, melawan orangtua, dan penyakit-penyakit masyarakat lain. Tidak dapat dipungkiri, guru yang masuk ke kelas hanya mengasah IQ siswa saja barangkali tidak sedikit. Bahkan lebih jauh Rusli Rahman mengatakan " Guruguru yang ada di kampung, janganlah kamu berpikir tugasmu hanya di ruang kelas belaka, jangan sekali lagi jangan. Di ruang kelaspun janganlah hanya mengajarkan ilmu yang mudah kamu ukur dengan achievement test, tapi didik dan tanamkan mental, moral

dan

ahlak

yang

baik

kedalam

diri

mereka".

Tidak juga sedikit guru yang bila bertemu siswanya baik di kelas maupun di luar kelas selalu memberikan petuah dan nasihat bahkan hardikan agar siswa tidak melakukan halhal negativ yang dapat merusak masa depan mereka sendiri. Apabila saat ini ada kecenderungan degradasi moral siswa, sangat dini dan tidak manusiawi kalau semua kesalahan ditumpukan kepada sekolah saja. Bagaimana lembaga-lembaga nonformal, apakah tanggungjawabnya hanya sebatas memberikan ilmu pengetahuan dan keterampilan saja ? Cobalah kita renungkan, siapa memberikan sepeda motor yang digunakan oleh anak usia sekolah untuk kebut-kebutan secara berutal dijalan raya ? Siapa yang memulai memberikan uang yang berlebihan kepada anak usia sekolah sehingga mereka membeli rokok dan bahkan narkoba ? Darimana siswa mendapatkan pengetahuan seenaknya berpakaian di sekolah, baju tidak dimasukkan, rok sempit, baju pendek sehingga apabila merunduk pinggulnya kelihatan ? Masih banyakkah orangtua yang setiap malam mengontrol anaknya agar tidak keluyuran dimalam hari ? Orangtua atau anak usia sekolahkah yang sampai larut malam masih berderet di pinggir jalan sambil santai di atas sepeda motor padahal bukan malam libur ? Masih banyakkah orangtua yang menyempatkan diri untuk makan bersama dengan anak mereka, sembari menanyakan permasalahan yang dihadapi oleh sibuah hati ? Masih banyakkah orangtua yang bertanya kepada anaknya, nak . besok ada PR apa ? nak . besok pelajaran apa ? nak . berapa orang yang ditolong hari ini ? nak . ada permasalahan apa yang dapat kamu selesaikan di sekolah ? Sebenarnya masih banyak lagi perilaku negative siswa yang justru bukan didapatnya dari bangku sekolah, melainkan mereka dapatkan dari lingkungan keluarga dan masyarakat, termasuk tayangan televisi yang sangat signifikan merubah perilaku siswa. Sekali lagi, adilkah bila semua yang terjadi pada siswa hanya guru yang disalahkan atau hanya menjadi tanggungjawab guru ? Saya pikir para guru perlu duduk bersama dengan orangtua bukan hanya membicarakan soal besarnya kontribusi orangtua kepada sekolah pada awal tahun, tetapi harus mempunyai komitmen bersama tentang siswa, tentang apa yang diinginkan orangtua dari guru, begitu juga apa yang diinginkan guru dari orangtua. Sudah waktunya guru yang diberi tanggujawab sebagai wali kelas berinisiatif membuat semacam Ikatan Orangtua Kelas, sehingga komunikasi antara orangtua dengan wali kelas yang nota bene sebagai wakil orangtua di sekolah dapat berjalan dengan lancar, dengan catatan anggota Ikatan yang dimaksud hendaknya sering bertemu yang tentunya dibawah kordinasi wali kelas misalnya membuat sejenis arisan. Dengan demikian diharapkan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh para guru dan orangtua dapat teratasi tanpa mesti menunggu komando dari kepala sekolah. Beberapa solusi dari permasalahan yang dihadapi oleh para guru di atas adalah: 1. Pemerintah hendaknya konsisten menerapkan anggaran pendidikan sesuai amanat

Undang-undang Dasar 1945 yakni sebesar 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja diluar gaji guru, dengan anggaran yang demikian diharapkan banyak kearah perbaikan kinerja dan peningkatan kualitas guru. Akan lebih baik apabila Strata pendidikan guru ditingkatan, tetapi harus disikapi dengan sangat hati-hati jangan sampai setelah mengikuti pendidikan, guru yang bersangkutan tidak mau lagi mengabdikan dirinya disekolah. Dan dari anggaran pendidikan yang minimal 20 % tersebut pemerintah dapat memberikan penghargaan yang lebih terhadap para guru yang berprestasi, sehingga guru lebih termotivasi untuk meningkatan kualitas dirinya. Namun yang mesti dijaga tidak ada dikotomi antara guru PNS dengan guru non PNS dalam hal pemberian penghargaan tersebut, sehingga kedepan diharapkan semua guru di negeri ini tidak lagi merasa sungkan untuk berkreasi, berinovasi dan berprestasi. 2. Sangat perlu duduk bersama antara Pemerintah - Guru - Orangtua - Siswa secara berkala untuk membicarakan keinginan masing-masing, sehingga dari beberapa keinginan tersebut dapat diketahui permasalahan yang menimpa dunia pendidikan kita sekaligus mencari win-win solution, dengan demikian diharapkan ketimpangan-ket impangan yang selama ini terjadi dapat diminimalkan. 3. Berkaca kepada beberapa perusahaan seperti PT. Timah Tbk, PT. Telkom dan lain-lain yang telah berhasil dengan Program C.D nya telah banyak membantu dunia pendidikan ESQ Leadership Centre yang telah mengadakan pelatihan ESQ kepada para kepala sekolah, meskipun belum semua guru tersentuh tetapi patut kiranya ditiru oleh para pengusaha yang lain, kapan lagi mau peduli dengan pendidikan ? Saya sangat yakin, perusahaan tidak akan vailid hanya dengan menyisihkan sedikit keuntungan yang diperoleh untuk sebuah program bagi peningkatan kualitas dan kemaslahatan hidup para guru. Apabila sekolah mampu menghadirkan pengusaha untuk membantu kegiatan di sekolah, apakah mungkin pemerintah juga dapat setengah memaksa pengusaha agar lebih banyak membantu dunia pendidikan secara berkelanjutan ?. 4. Dalam melaksanakan penilaian terhadap portofolio sertfikasi guru, hendaknya tidak hanya diberitahu lulus atau tidak tetapi juga dikeluarkan rincian poin-poin portofolio seperti halnya penilaian pada Angka Kredit Jabatan Guru sehingga seorang guru yang merasa dirinya lulus namun ternyata dinyatakan tidak lulus tidak mengendurkan semangatnya untuk mengabdikan dirinya pada dunia pendidikan. Begitu juga terhadap kecurangan yang dilakukan guru, para asesor hendaknya lebih berpengalaman dalam menilainya; yang asli memang dinilai asli dan yang mempotokofi milik orang lain dapat diketahui ketidak asliannya. 5. Bagi para guru, marilah kita merubah paradigma dari knowledge based dengan cara melakukan pengembangan diri secara terus menerus (continous improvement) melalui organisasi kita seperti PGRI dan MGMP/MGBK/MGMD, internet, buku, mengikuti berbagai seminar kependidikan, dengan demikian kedepan kita berharap tugas kita menjadi competency based yang konsekuensinya kita tidak lagi menggunakan komunikasi satu arah melainkan menciptakan suasana kelas yang kondusif dan pada akhirnya dapat menggali potensi kreativitas siswa.

Sebagai akhir dari tulisan ini kita semua berharap agar guru masa depan tidak lagi tampil sebagai teacher tetapi bergeser kepada coach, counselor, dan learning manager. Sebagai coach guru mendorong siswa untuk menguasai alat belajar, memotivasi siswa untuk bekerja keras dan mencapai prestasi setinggi-tinggi nya tanpa melupakan lingkungan dan Tuhannya (antara IQ, EQ, dan SQ seimbang) serta membantu mereka menghargai nilai belajar dan pengetahuan. Sebagai counselor guru berperan sebagai sahabat siswa, menjadi teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat siswa. Dan sebagai learning manager guru akan membimbing siswa belajar, berprakarsa, serta mengeluarkan ide-ide terbaik yang dimiliki mereka. Dengan demikian diharapkan para siswa mampu mengembangkan kreativitas, terdorong untuk mengadakan penemuan yang inovatif sehingga kita berharap mereka mampu bersaing dalam masyarakat global. Wallahu a'lam.(net) http://www.balikpapanpos.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=61067

You might also like