You are on page 1of 79

A.

Teori Ausubel Teori pembelajaran Ausabel merupakan salah satu dari sekian banyaknya teori pembelajaran yang menjadi dasar dalam cooperative learning. David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Menurut Ausubel, belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran itu disajikan kepada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Belajar penerimaan yaitu yang menyajikan informasi tersebut dalam bentuk final, sedangkan belajar penemuan yaitu yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri atau keseluruhan materi yang dipelajari.Selanjutnya dimensi kedua menyangkut bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Jika siswa hanya mencoba menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkan dengan struktur kognitifnya, maka terjadilah belajar dengan hafalan. Sebaliknya jika siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi baru itu dengan struktur kognitifnya maka yang terjadi adalah belajar bermakna. Jadi belajar bermakna terjadi bila pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru dengan konsep yang telah ada sebelumnya. Artinya, bahan subjek itu mesti sesuai dengan keterampilan siswa dan mesti relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, subjek mesti dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki para siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benarbenar terserap olehnya. Dengan demikian, faktor intelektual-emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Bila konsep yang cocok dengan fenomena baru itu belum ada, maka informasi baru tersebut harus dipelajari secara menghafal. Belajar menghafal ini perlu bila seseorang memperoleh informasi baru dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang ia ketahui sebelumnya. Ausubel juga mengemukakan bahwa belajar menerima dan belajar menemukan adalah dua hal yang berbeda. Pada belejar menerima, isi pokok yang

akan dipelajari diberikan kepada siswa dalam bentuk catatan, belajar tidak melibatkan penemuan, siswa hanya diminta menghayati materi atau

menyatukannya dalam struktur kognitifnya, sehingga tersedia untuk direproduksi atau untuk penggunaan lainnya di masa mendatang. Sedangkan pada belajar menemukan, isi pokok yang akan dipelajari tidak diberikan, tetapi harus ditemukan oleh siswa, kemudian menghayatinya. Belajar menerima dan menemukan masing masing dapat merupakan hafalan atau bermakna, tergantung pada situasi terjadinya belajar. Yang jelas bahwa belajar hafalan berbeda dengan belajar bermakna.menghafal sebenarnya mendapat informasi yang terisolasi sedemikian hingga siswa tidak dapat mengaitkan informasi yang diperoleh tersebut kedalam struktur kognitifnya. Dari dua dimensi belajar tersebut, terdapat empat kemungkinan tipe belajar, yaitu: a. Belajar menerima yang bermakna Ini terjadi bila informasi yang telah disusun secara logic disajikan kepada siswa dalam bentuk final. Selanjutnya siswa menghubungkan informasi baru tersebut dengan struktur kognitif yang telah ia miliki. b. Belajar penemuan yang bermakna Ini terjadi bila informasi pokok ditemukan ileh siswa dan kemudian ia menghubungkan informasi baru tersebut dengan struktur kognitif yang dimilikinya. c. Belajar menerima yang hafalan (tidak bermakna) Ini terjadi bila informasi disajikan kepada siswa dalam bentuk final dan kemudian siswa menghafalnya. d. Belajar penemuan yang hafalan (tidak bermakna) Ini terjadi bila informasi pokok ditemukan oleh siswa dan kemudian menghafal pengetahuan baru tersebut.

Inti dari teori Ausubel adalah belajar bermakna yang dianggap palin efisien. Menurut Ausubel pengajaran ekspositori yang baik merupakan satu satunya cara

meningkatkan belajar bermakna, dimana guru yang menyusun topik dan menghubungkannya dengan topik yang bermakna yang telah dipelajari sebelumya. Dua prasyarat untuk belajar menerima yang bermakna, yaitu: 1. Siswa telah memiliki satu himpunan belajar. Artinya kondisi dan sikap telah siap untuk mengerjakan tugas belajar sesuai denga tujuan mereka. Bila siswa melaksanakan tugas belajar dengan sikap bahwa ia ingin memahami bahan pelajaran, mengaplikasikan serta menghubungkannya dengan bahan pelajaran yang dulu, maka dikatakan bahwa siswa tersebut belajr bahan baru dengan cara yang bermakna. Jadi dalam prasyarat ini faktor motivasional memegang peranan penting, sebab siswa tidak akan mengasimilasi materi baru tersebut, bila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan tentang bagaimana melakukannya. 2. Tugas belajar yang diberikan kepada siswa harus sesuai dengan struktur kognitifnya, sehingga siswa dapat mengasimilasi bahan baru tersebut secara bermakna. Belajar bermakna terdahulu merupakan dasar atau penguat untuk belajar baru, sehingga belajar baru dan retensi tidak menjadi belajar hafalan. Ausubel mengembangkan suatu cara yang disebut advance organizer untuk mengorientasikan siswa pada materi yang akan dipelajari dan membantu mereka untuk mengingat kembali informasi informasi yang berkaitan dan yang dapat digunakan untuk membantu dalam menyatuka informasi informasi baru yang akan dipelajari. Fungsi dari advance organizer adalah untuk

memberikan scaffolding atau dukungan terhadap informasi baru. Advance organizer dapat dupandang sebagai jembatan konseptual di antara materi baru dengan pengetahuan siswa saat ini.

Suatu organizer membantu untuk meberikan dasar atau scaffolding mental sebelum guru menyajikan abstraksi atau generalisasi dari pelajaran, menjelaskan istilah istilah kunci, memberikan contoh contoh spesifik.

Lebih

lanjut

Ausubel

mengemukakan,

seseorang

belajar

dengan

mengasosiasikan fenomena, pengalaman dan fakta-fakta baru ke dalam skemata yang telah dipelajari. Hal ini menjadikan pembelajaran akuntansi tidak hanya sebagai konsep-konsep yang perlu dihapal dan diingat hanya pada saat siswa mendapat materi itu saja tetapi juga bagaimana siswa mampu menghubungkan pengetahuan yang baru didapat kemudian dengan konsep yang sudah dimilikinya sehingga terbentuklah kebermaknaan logis. Dengan model cooperative learning materi yang dipelajarinya tidak hanya sekadar menjadi sesuatu yang dihafal dan diingat saja, melainkan ada sesuatu yang dapat dipraktikkan dan dilatihkan dalam situasi nyata dan terlibat dalam pemecahan masalah. Diharapkan model cooperative learning akan dapat mengusir kejenuhan dan kebosanan yang dirasa siswa di kelas karena selama ini hanya mendengarkan materi dari guru saja. Penekanan dan model cooperative learning sendiri adalah selain siswa mendapat bimbingan langsung dari guru, mereka juga diberi kebebasan untuk memecahkan masalah lewat pengetahuan yang mereka dapatkan sendiri. Langkah langkah belajar bermakna Ausubel adalah: 1. Pengatur awal (advance organizer) Pengatur awal dapat digunakan untuk membantu mengaitkan konsep yang lama dengan konsep 2. Diferensiasi Progregsif Dalam pembelajaran bermakna perlu ada pengembangan dan kolaborasi konsep- konsep. Caranya unsur yang inklusif diperkenalkan terlebih dahulu kemudian baru lebih mendetail. yang baru yang lebih tinggi maknanya.

Menurut Ausubel ada tiga kebaikan dari belajar bermakna yaitu : a. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat, b. Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip c. Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa.

B. Teori Thorndike Edward L. Thorndike (1874-1949) adalah salah seorang penganut paham psikologi tingkah-laku. Berdasarkan hasil percobaannya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan, ia mengemukakan suatu teori belajar yang dikenal dengan teori pengaitan (connectionism). Teori tersebut menyatakan bahwa belajar pada hewan dan manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip yang sama yaitu, belajar merupakan peristiwa terbentuknya ikatan (asosiasi) antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat, sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Asosiasi yang demikian itu disebut bond atau connection. Dalam hal ini, akan menjadi lebih kuat atau lebih lemah dalam terbentuknya atau hilangnya kebiasaan-kebiasaan. Oleh karena itu, teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Dengan adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberikan sumbangan cukup besar di dunia pendidikan tersebut, maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan. Selain itu, bentuk belajar yang paling khas baik pada hewan maupun pada manusia menurutnya adalah trial and error learning atau selecting and connecting learning dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.

Eksperimennya yang terkenal adalah dengan menggunakan kucing yang masih muda dengan kebiasaan-kebiasaan yang masih belum kaku, dibiarkan lapar; kemudian dimasukkan ke dalam kurungan yang disebut problem box. Dimana konstruksi pintu kurungan tersebut dibuat sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol tertentu pintu kurungan akan terbuka dan kucing dapat keluar dan mencapai makanan (daging) yang ditempatkan di luar kurungan itu sebagai hadiah atau daya penarik bagi si kucing yang lapar itu. Pada usaha (trial) yang pertama, kucing itu melakukan bermacam-macam gerakan yang kurang relevan
5

bagi pemecahan problemnya, seperti mencakar, menubruk dan sebagainya, sampai kemudian menyentuh tombol dan pintu terbuka. Namun waktu yang dibutuhkan dalam usaha yang pertama ini adalah lama. Percobaan yang sama seperti itu dilakukan secara berulang-ulang; pada usaha-usaha (trial) berikutnya dan ternyata waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan problem itu makin singkat. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya kucing itu sebenarnya tidak mengerti cara membebaskan diri dari kurungan tersebut, tetapi dia belajar mempertahankan respon-respon yang benar dan menghilangkan atau

meninggalkan respon-respon yang salah. Dengan demikian diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usahausaha atau percobaanpercobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Percobaan tersebut menghasilkan teori trial and error atau selecting and conecting, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap respons menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan respons lagi, demikian selanjutnya. Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum berikut: (1) Hukum kesiapan (law of readiness), hukum ini pada intinya menyatakan bahwa belajar akan berhasil apabila peserta didik benar-benar telah siap untuk belajar. Dengan perkataan lain, apabila suatu materi pelajaran diajarkan kepada anak yang belum siap untuk mempelajari materi tersebut maka tidak akan ada hasilnya. (2) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila ikatan antara stimulus dan respon lebih sering terjadi, maka ikatan itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hukum ini adalah semakin sering suatu pengetahuanyang

telah terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara stimulus dan respondilatih (digunakan), maka ikatan tersebut akan semakin kuat. Jadi, hukum ini menunjukkan prinsip utama belajar adalah pengulangan. Semakin sering suatu materi pelajaran diulangi maka materi pelajaran tersebut akan semakin kuat tersimpan dalam ingatan (memori). (3) Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat. Konkretnya adalah sebagai berikut: Misalkan seorang siswa diminta untuk menyelesaikan suatu soal matematika, setelah ia kerjakan, ternyata jawabannya benar, maka ia merasa senang/puas dan akibatnya antara soal dan jawabannya yang benar itu akan kuat tersimpan dalam ingatannya. Hukum ini dapat juga diartikan, suatu tindakan yang diikuti akibat yang menyenangkan, maka tindakan tersebut cenderung akan diulangi pada waktu yang lain. Sebaliknya, suatu tindakan yang diikuti akibat yang tidak menyenangkan, maka tindakan tersebut cenderung akan tidak diulangi pada waktu yang lain. Dalam hal ini, tampak bahwa hukum akibat tersebut ada hubungannya dengan pengaruh ganjaran dan hukuman. Ganjaran yang diberikan guru kepada pekerjaan siswa (misalnya pujian guru terhadap siswa yang dapat menyelesaikan soal matematika dengan baik) menyebabkan peserta didik ingin terus melakukan kegiatan serupa. Sedangkan hukuman yang diberikan guru atas pekerjaan siswa (misalnya celaan guru terhadap hasil pekerjaan matematika siswa) menyebakan siswa tidak lagi mengulangi kesalahannya. Namun perlu diingat, sering terjadi, bahwa hukuman yang diberikan guru atas pekerjaan siswa justru membuat siswa menjadi malas belajar dan bahkan membenci pelajaran matematika.

Tambahan hukum Thorndike : 1. Hukum Reaksi Bereaksi (Multiple Response) 2. Hukum Sikap (Set \Attitude) 3. Hukum Aktivitas Berat Sebelah(Prepotency of Element) 4. Hukum Respon by Analogy 5. Hukum Perpindahan Asosiasi Selain hukum-hukum di atas, Thorndike juga mengemukakan konsep transfer belajar yang disebutnya transfer of training. Konsep ini maksudnya adalah penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki siswa untuk menyelesaikan suatu masalah baru, karena di dalam setiap masalah, ada unsur-unsur dalam masalah itu yang identik dengan unsur-unsur pengetahuan yang telah dimiliki. Unsur-unsur yang identik itu saling berasosiasi sehingga memungkinkan masalah yang dihadapi dapat diselesaikan. Unsur-unsur yang saling berasosiasi itu membentuk satu ikatan sehingga menggambarkan suatu kemampuan. Selanjutnya, setiap kemampuan harus dilatih secara efektif dan dikaitkan dengan kemampuan lain. Misalnya, kemampuan melakukan operasi aritmetik (penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian) yang telah dimiliki siswa, haruslah dilatih terus dengan mengerjakan soal-soal yang berikaitan dengan operasi aritmetik. Dengan demikian kemampuan mengerjakan operasi aritmetika tersebut menjadi mantap dalam pikiran siswa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa transfer belajar dapat tercapai dengan sering melakukan latihan. Aplikasi Teori Thorndike dalam dunia pendidikan dan pengajaran Menurut Thorndike praktek pendidikan harus dipelajari secara ilmiah dan praktek pendidikan harus dihubungkan dengan proses belajar. Mengajar bukanlah mengharapkan murid tahu apa yang diajarkan. Mengajar yang baik adalah : tahu tujuan pendidikan, tahu apa yang hendak diajarkan artinya tahu materi apa yang harus diberikan, respons yang akan diharapkan dan tahu kapan hadiah selayaknya diberikan kepada peserta didik.

Beberapa aturan yang dibuat Thorndike berhubungan dengan pengajaran: Perhatikan situasi peserta didik. Perhatikan respons yang diharapkan dari situasi tersebut. Ciptakan hubungan respons tersebut dengan sengaja, jangan mengharapkan hubungan terjadi dengan sendirinya. Situasi-situasi yang sama jangan diindahkan sekiranya memutuskan hubungan tersebut. Buat hubungan sedemikian rupa sehingga menghasilkan perbuatan nyata dari peserta didik. Ciptakan suasana belajar sedemikian rupa sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. C. Teori Van Hiele Van Hiele adalah seorang pengajar matematika Belanda yang telah mengadakan penelitian di lapangan, melalui observasi dan tanya jawab, kemudian hasil penelitiannya ditulis dalam disertasinya pada tahun 1954. Penelitian yang dilakukan Van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri. Van Hiele (dalam Ismail, 1998) menyatakan bahwa terdapat 5 tahap pemahaman geometri yaitu: Tahap pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan keakuratan. Lima Tahap Pemahaman Geometri 1. Tahap Pengenalan Pada tahap ini siswa hanya baru mengenal bangun-bangun geometri seperti bola, kubus, segitiga, persegi dan bangun-bangun geometri lainnya. Seandainya kita hadapkan dengan sejumlah bangun-bangun geornetri, anak dapat memilih dan menunjukkan bentuk segitiga. Pada tahap pengenalan anak belum dapat menyebutkan sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dikenalnya itu. Sehingga bila kita ajukan pertanyaan seperti "apakah pada sebuah persegipanjang, sisi-sisi yang berhadapan panjangnya sama?", "apakah pada suatu persegipanjang kedua diagonalnya sama panjang?". Untuk hal ini, siswa tidak akan bisa

menjawabnya. Guru harus memahami betul karakter anak pada tahap pengenalan, jangan sampai, anak diajarkan sifat-sifat bangun-bangun geometri tersebut, karena anak akan menerimanya melalui hafalan bukan dengan pengertian. 2. Tahap Analisis Tingkat ini dikenal sebagai tingkat deskriptif. Bila pada tahap pengenalan anak belum mengenal sifat-sifat dari bangun-bangun geometri, tidak demikian pada tahap Analisis. Pada tahap ini anak sudah dapat memahami sifat-sifat dari bangun-bangun geometri. Pada tahap ini anak sudah mengenal sifat-sifat bangun geometri, seperti pada sebuah kubus banyak sisinya ada 6 buah, sedangkan banyak rusuknya ada 12. Seandainya kita tanyakan apakah kubus itu balok?, maka anak pada tahap ini belum bisa menjawab pertanyaan tersebut karena anak pada tahap ini belum memahami hubungan antara balok dan kubus. Anak pada tahap analisis belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya. 3. Tahap Pengurutan Tingkat ini disebut juga tingkat abstraksi atau tingkat relasional. Pada tahap ini pemahaman siswa terhadap geometri lebih meningkat lagi dari sebelumnya yang hanya mengenal bangun-bangun geometri beserta sifat-sifatnya, maka pada tahap ini anak sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya. Anak yang berada pada tahap ini sudah memahami pengurutan bangun-bangun geometri. Misalnya, siswa sudah mengetahui jajargenjang itu trapesium, belah ketupat adalah layang-layang, kubus itu adalah balok. Pada tahap ini anak sudah mulai mampu untuk melakukan penarikan kesimpulan secara deduktif, tetapi masih pada tahap awal artinya belum berkembang baik. Karena masih pada tahap awal siswa masih belum mampu memberikan alasan yang rinci ketika ditanya mengapa kedua diagonal persegi panjang itu sama, mengapa kedua diagonal pada persegi saling tegak lurus. 4. Tahap Deduksi Pada tahap ini anak sudah dapat memahami deduksi, yaitu mengambil kesimpulan secara deduktif. Pengambilan kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus. Seperti kita ketahui

10

bahwa matematika adalah ilmu deduktif. Matematika, dikatakan sebagai ilmu deduktif karena pengambilan kesimpulan, membuktikan teorema dan lain-lain dilakukan dengan cara deduktif. Sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa jumlah sudut-sudut dalam jajargenjang adalah 360 secara deduktif dibuktikan dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Pembuktian secara induktif yaitu dengan memotong-motong sudut-sudut benda jajargenjang, kemudian setelah itu ditunjukkan semua sudutnya membentuk sudut satu putaran penuh atau 360 belum tuntas dan belum tentu tepat. Seperti diketahui bahwa pengukuran itu pada dasarnya mencari nilai yang paling dekat dengan ukuran yang sebenarnya. Jadi, mungkin saja dapat keliru dalam mengukur sudut-sudut jajargenjang tersebut. Untuk itu pembuktian secara deduktif merupakan cara yang tepat dalam pembuktian pada matematika. Anak pada tahap ini telah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang didefinisikan, aksioma atau problem, dan teorema. Anak pada tahap ini belum memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif. Oleh karena itu, anak pada tahap ini belum dapat menjawab pertanyaan mengapa sesuatu itu disajikan teorema atau dalil. 5. Tahap Keakuratan Tahap terakhir dari perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri adalah tahap keakuratan. Pada tahap ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Anak pada tahap ini sudah memahami mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil. Dalam matematika kita tahu bahwa betapa pentingnya suatu sistem deduktif. Tahap keakuratan merupakan tahap tertinggi dalam memahami geometri. Pada tahap ini memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan rumit. Oleh karena itu, jarang atau hanya sedikit sekali anak yang sampai pada tahap berpikir ini sekalipun anak tersebut sudah berada di tingkat SMA. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada suatu sistem geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga

11

akan berubah. Sehingga, pada tahap ini siswa sudah memahami adanya geometrigeometri yang lain di samping geometri Euclides. Menurut Van Hiele, semua anak mempelajari geometri dengan melalui tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain. Selain mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif dalam memahami geometri, Van Hiele juga mengemukakan beberapa teori berkaitan dengan pembelajaran geometri. Teori yang dikemukakan Van Hiele antara lain adalah sebagai berikut:

Tiga unsur yang utama pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pembelajaran dan metode penyusun yang apabila dikelola secara terpadu dapat mengakibatkan meningkatnya kemampuan berpikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang sebelumnya.

Bila dua orang yang mempunyai tahap berpikir berlainan satu sama lain, kemudian saling bertukar pikiran maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti. Sebagai contoh, seorang anak tidak mengerti mengapa gurunya membuktikan bahwa jumlah sudut-sudut dalam sebuah jajargenjang adalah 360, misalnya anak itu berada pada tahap pengurutan ke bawah. Menurut anak pada tahap yang disebutkan, pembuktiannya tidak perlu sebab sudah jelas bahwa jumlah sudutsudutnya adalah 360. Contoh yang lain, seorang anak yang berada paling tinggi pada tahap kedua atau tahap analisis, tidak mengerti apa yang dijelaskan gurunya bahwa kubus itu adalah balok, belah ketupat itu layang-layang. Gurunya pun sering tidak mengerti mengapa anak yang diberi penjelasan tersebut tidak memahaminya. Menurut Van Hiele seorang anak yang berada pada tingkat yang lebih rendah tidak mungkin dapat mengerti atau memahami materi yang berada pada tingkat yang lebih tinggi dari anak tersebut. Kalaupun anak itu dipaksakan
12

untuk memahaminya, anak itu baru bisa memahami melalui hafalan saja bukan melalui pengertian.

Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan yaitu anak memahami geometri dengan pengertian, kegiatan belajar anak harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak atau disesuaikan dengan taraf berpikirnya. Dengan demikian anak dapat memperkaya pengalaman dan berpikirnya, selain itu sebagai persiapan untuk meningkatkan tahap berpikirnya kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap sebelumnya.

Supaya siswa dapat berperan dengan baik pada suatu tingkat yang lanjut dalam hirarki van Hiele, ia harus menguasai sebagian besar dari tingkat yang lebih rendah. Kenaikan dari tingkat yang satu ke tingkat yang berikutnya lebih banyak tergantung dari pembelajaran daripada umur atau kedewasaan biologis. Seorang guru dapat mengurangi materi pelajaran ke tingkat yang lebih rendah, dapat membimbing untuk mengingat-ingat hafalan, tetapi seorang siswa tidak dapat mengambil jalan pintas ke tingkat tinggi dan berhasil mencapai pengertian, sebab menghafal bukan ciri yang penting dari tingkat manapun. Untuk mencapai pengertian dibutuhkan kegiatan tertentu dari fase-fase pembelajaran.

Konsep-konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tingkat menjadi dipahami secara eksplisit pada tingkat berikutnya. Pada setiap tingkat muncul secara ekstrinsik dari sesuatu yang intrinsik pada tingkat sebelumnya. Pada tingkat dasar, gambar-gambar sebenarnya juga ditentukan oleh sifat-sifatnya, tetapi seseorang yang berpikiran pada tingkat ini tidak sadar atau tidak tahu akan sifat-sifat itu.

Setiap tingkat mempunyai bahasanya sendiri, mempunyai simbol linguistiknya sendiri dan sistem relasinya sendiri yang menghubungkan simbolsimbol itu. Suatu relasi yang benar pada suatu tingkat, ternyata akan tidak benar pada tingkat yang lain. Misalnya pemikiran tentang persegi dan persegi panjang.

13

Dua orang yang berpikir pada tingkat yang berlainan tidak dapat saling mengerti, dan yang satu tidak dapat mengikuti yang lainnya. Struktur bahasa adalah suatu faktor yang kritis dalam perpindahan tingkat-tingkat ini. (Clements, 1992).

Model Van Hiele tidak hanya memuat tingkat-tingkat pemikiran geometrik. Menurut Van Hiele (dalam Ismail, 1998), kenaikan dari tingkat yang satu ke tingkat berikutnya tergantung sedikit pada kedewasaan biologis atau perkembangannya, dan tergantung lebih banyak kepada akibat pembelajarannya. Guru memegang peran penting dan istimewa untuk memperlancar kemajuan, terutama untuk memberi bimbingan mengenai pengharapan.

Walaupun demikian, teori Van Hiele tidak mendukung model teori absorbsi tentang belajar mengajar. Van Hiele menuntut bahwa tingkat yang lebih tinggi tidak langsung menurut pendapat guru, tetapi melalui pilihan-pilihan yang tepat. Lagi pula, anak-anak sendiri akan menentukan kapan saatnya untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi. Meskipun demikian, siswa tidak akan mencapai kemajuan tanpa bantuan guru. Oleh karena itu, maka ditetapkan fase-fase pembelajaran yang menunjukkan tujuan belajar siswa dan peran guru dalam pembelajaran dalam mencapai tujuan itu. Fase-fase pembelajaran tersebut adalah: 1) fase informasi 2) fase orientasi 3) fase eksplisitasi 4) fase orientasi bebas 5) fase integrasi.

Fase 1. Informasi Pada awal tingkat ini, guru dan siswa menggunakan tanya-jawab dan kegiatan tentang objek-objek yang dipelajari pada tahap berpikir siswa. Dalam hal ini objek yang dipelajari adalah sifat komponen dan hubungan antar komponen bangun-bangun segi empat. Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa sambil

14

melakukan observasi. Tujuan dari kegiatan ini adalah: (1) guru mempelajari pengalaman awal yang dimiliki siswa tentang topik yang dibahas. (2) guru mempelajari petunjuk yang muncul dalam rangka menentukan pembelajaran selanjutnya yang akan diambil.

Fase 2: Orientasi Siswa menggali topik yang dipelajari melalui alat-alat yang dengan cermat telah disiapkan guru. Aktivitas ini akan berangsur-angsur menampakkan kepada siswa struktur yang memberi ciri-ciri sifat komponen dan hubungan antar komponen suatu bangun segi empat. Alat atau pun bahan dirancang menjadi tugas pendek sehingga dapat mendatangkan respon khusus. Fase 3: Penjelasan Berdasarkan pengalaman sebelumnya, siswa menyatakan pandangan yang muncul mengenai struktur yang diobservasi. Di samping itu, untuk membantu siswa menggunakan bahasa yang tepat dan akurat, guru memberi bantuan sesedikit mungkin. Hal tersebut berlangsung sampai sistem hubungan pada tahap berpikir mulai tampak nyata.

Fase 4: Orientasi Bebas Siswa menghadapi tugas-tugas yang lebih kompleks berupa tugas yang memerlukan banyak langkah, tugas yang dilengkapi dengan banyak cara, dan tugas yang open-ended. Mereka memperoleh pengalaman dalam menemukan cara mereka sendiri, maupun dalam menyelesaikan tugas-tugas. Melalui orientasi di antara para siswa dalam bidang investigasi, banyak hubungan antar objek menjadi jelas.

Fase 5: Integrasi Siswa meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari. Guru dapat membantu siswa dalam membuat sintesis ini dengan melengkapi survey secara global terhadap apa yang telah dipelajari. Hal ini penting, tetapi kesimpulan ini tidak menunjukkan sesuatu yang baru. Pada akhir fase kelima ini

15

siswa mencapai tahap berpikir yang baru. Siswa siap untuk mengulangi fase-fase belajar pada tahap sebelumnya.

Setelah selesai fase kelima ini, maka tingkat pemikiran yang baru tentang topik itu dapat tercapai. Pada umumnya, hasil penelitian di Amerika Serikat dan negara lainnya menetapkan bahwa tingkat-tingkat dari Van Hiele berguna untuk menggambarkan perkembangan konsep geometrik siswa dari SD sampai Perguruan Tinggi.

D. Teori Dienes Teori belajar Dienes sangat terkait dengan konsep pembelajaran dengan pendekatan PAKEM ( Pembelajaran Aktif, Kreatif, Enaktif dan Menyenangkan), karena teori ini menekankan tahap permainan, dimana tahap ini dapat membangkitkan semangat dan membuat anak senang dalam belajar. Tujuan dari PAKEM yaitu menciptakan suatu lingkungan belajar yang melengkapi anak dengan keterampilan, pengetahuan dan sikap bagi kehidupan kelak. Aktif dapat diartikan siswa mampu berinteraksi yaitu bertanya atau mengeluarkan ide, dan guru yang aktif, yaitu guru yang memantau kegiatan belajar siswa dan memberikan umpan balik. Kreatif diartikan siswa diberi kesempatan untuk membuat atau merancang sesuatu atau menuliskan sebuah gagasan dan guru yang kreatif yaitu guru yang memberikan variasi dalam proses belajar mengajar dan membuat alat bantu serta menciptakan teknik teknik mengajar tertentu sesuai tujuan pembelajaran. Efektif diartikan sebagai

tercapainya suatu tujuan yang merupakan pijakan utama suatu rancangan pembelajaran. Menyenangkan diartikan sebagai suasana belajar mengajar yang hidup, ekspresif, terkondisi dan mendorong pemusatan perhatian peserta didik terhadap belajar. Dalam pelaksanaan PAKEM perlu diperhatikan beberapa hal berikut:

16

a. Memahami sifat peserta didik. b. Mengenal peserta didik secara individu. c. Memanfaatkan perilaku peserta didik dalam pengorganisasian belajar. d. Menegembangkan kemampuan berfikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah. e. Menegembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik. f. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar.

g. Memberikan umpan balik yang bertanggungjawab untuk meningkatkan kegiatan belajar mengajar. h. Membedakan antara aktif fisik dan aktif mental.

Teori perkembangan kognitif melihat bahwa proses belajar seseorang dilihat dari tingkat kemampuan kognitifnya, dalam proses belajar mengajar tingkat kognitif menjadi suatu hal yang sangat penting, karena kemampuan tingkat kognitif seseorang tergantung dari usia seseorang, sehingga dalam pembelajaran pada orang dewasa berbeda dengan pembelajaran anak-anak. Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori pieget, dan pengembangannya diorientasikan pada anakanak, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika. Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur dan mengkatagorikan hubungan-hubungan di antara strukturstruktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau obyek-obyek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
17

Makin banyak bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsepkonsep tertentu, akan makin jelas konsep yang dipahami anak, karena anak-anak akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu. Dalam mencari kesamaan sifat, anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih anak-anak dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan yang satu ke bentuk permainan lainnya. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula. Menurut Dienes konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi 6 tahap, yaitu: Permainan Bebas (Free Play) Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul. Dalam tahap ini anak mulai membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari. Misalnya dengan diberi permainan block logic, anak didik mulai mempelajari konsepkonsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda yang merupakan ciri/sifat dari benda yang dimanipulasi. Permainan yang Menggunakan Aturan (Games) Dalam permainan yang disertai aturan, siswa sudah mulai meneliti polapola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Jelaslah, dengan melalui permainan siswa diajak untuk mulai mengenal

18

dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajari itu. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman, dan kegiatan untuk yang tidak relevan dengan pengalaman itu. Contoh dengan permainan block logic, anak diberi kegiatan untuk membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang berwarna merah, kemudian membentuk kelompok benda berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan sebagainya. Dalam membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang merah, timbul pengalaman terhadap konsep tipis dan merah, serta timbul penolakan terhadap bangun yang tipis (tebal), atau tidak merah (biru, hijau, kuning). Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities) Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan menstranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula. Contoh kegiatan yang diberikan dengan permainan block logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang yang tebal, anak diminta mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari benda-benda dalam kelompok tersebut (anggota kelompok). Permainan Representasi (Representation) Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak. Dengan demikian telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya

19

abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari. Contoh kegiatan anak untuk menemukan banyaknya diagonal poligon misal segi dua puluh tiga, dengan pendekatan induktif. Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization) Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan

kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif tersebut, kegiatan berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang digeneralisasikan dari pola yang didapat anak. Permainan dengan Formalisasi (Formalization) Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampumerumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut. Contohnya, anak didik telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan suatu teorema berdasarkan aksioma, dalam arti membuktikan teorema tersebut. Pada tahap formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan teorema serta membuktikannya secara deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang sistem yang berlaku dari pemahaman konsep-konsep yang terlibat satu sama lainnya. Misalnya bilangan bulat dengan operasi penjumlahan peserta sifat-sifat tertutup, komutatif, asosiatif, adanya elemen identitas, dan mempunyai elemen invers, membentuk sebuah sistem matematika. Dienes menyatakan bahwa proses pemahaman (abstracton) berlangsung selama belajar. Untuk pengajaran konsep matematika yang lebih sulit perlu dikembangkan materi matematika secara kongkret agar konsep matematika dapat dipahami dengan
20

tepat. Dienes berpendapat bahwa materi harus dinyatakan dalam berbagai penyajian (multiple embodiment), sehingga anak-anak dapat bermain dengan bermacam-macam material yang dapat mengembangkan minat anak didik. Berbagai penyajian materi (multiple embodinent) dapat mempermudah proses pengklasifikasian abstraksi konsep. Menurut Dienes, variasi sajian hendaknya tampak berbeda antara satu dan lainya sesuai dengan prinsip variabilitas perseptual (perseptual variability), sehingga anak didik dapat melihat struktur dari berbagai pandangan yang berbedabeda dan memperkaya imajinasinya terhadap setiap konsep matematika yang disajikan. Berbagai sajian (multiple embodiment) juga membuat adanya manipulasi secara penuh tentang variabel-variabel matematika. Variasi

matematika dimaksud untuk membuat lebih jelas mengenai sejauh mana sebuah konsep dapat digeneralisasi terhadap konsep yang lain. Dengan demikian, semakin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, semakin jelas bagi anak dalam memahami konsep tersebut. Berhubungan dengan tahap belajar, suatu anak didik dihadapkan pada permainan yang terkontrol dengan berbagai sajian. Kegiatan ini menggunakan kesempatan untuk membantu anak didik menemukan cara-cara dan juga untuk mendiskusikan temuan-temuannya. Langkah selanjutnya, menurut Dienes, adalah memotivasi anak didik untuk mengabstraksikan pelajaran tanda material kongkret dengan gambar yang sederhana, grafik, peta dan akhirnya memadukan simbolo simbol dengan konsep tersebut. Langkah-langkah ini merupakan suatu cara untuk memberi kesempatan kepada anak didik ikut berpartisipasi dalam proses penemuan dan formalisasi melalui percobaan matematika. Proses pembelajaran ini juga lebih melibatkan anak didik pada kegiatan belajar secara aktif dari pada hanya sekedar menghapal. Pentingnya simbolisasi adalah untuk meningkatkan kegiatan matematika ke satu bidang baru. Perkembangan kognitif setiap individu yang berkembang secara kronologi tidak terlepas dari faktor usia, pola berpikir anak-anak tidak sama dengan pola

21

berfikir orang dewasa, semakin ia dewasa makin meningkat pula kemampuan berpikirnya. Jadi, dalam memandang anak keliru jika kemampuan anak dengan kemampuan orang dewasa sama, sebab anak bukan miniatur orang dewasa. Selain daripada itu, perkembangan kognitif seorang individu dipengaruhi oleh lingkungan dan transmisi sosial. Jadi, karena efektivitas hubungan antara setiap individu dengan lingkunganya dan kehidupan sosialnya berbeda satu sama lain. Maka tahap perkembangan kognitif yang dicapai oleh setiap individu berbeda pula. Oleh karena itu agar perkembangan kognitif seorang anak berjalan secara maksimal diperkaya dengan pengalaman edukatif. E. Teori Piaget

Teori Perkembangan Intelektual Piaget Teori belajar Dienes sangat terkait dengan teori belajar yang dikemukakan oleh Piaget, yaitu mengenai teori perkembangan intelektual. Jean Piaget berpendapat bahwa proses berpikir manusia sebagai suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual konkret ke abstrak berurutan melalui empat periode. Urutan periode itu tetap bagi setiap orang, namun usia atau kronologis pada setiap orang yang memasuki setiap periode berpikir yang lebih tinggi berbeda-beda tergantung kepada masing-masing individu. Piaget adalah orang pertama yang menggunakan filsafat

konstruktivis dalam proses belajar mengajar. Piaget (dalam Bell, 1981), berpendapat bahwa proses berpikir manusia merupakan suatu

perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual kongkret ke abstrak berurutan melalui empat tahap perkembangan, sebagai berikut: 1.Periode Sensori Motor (0 2) tahun.

22

Karateristik periode ini merupakan gerakan-gerakan sebagai akibat reaksi langsung dari rangsangan. Rangsangan itu timbul karena anak melihat dan meraba-raba objek. Anak itu belum mempunyai kesadaran adanya konsep objek yang tetap. Bila objek itu disembunyikan, anak itu tidak akan mencarinya lagi. Namun karena pengalamannya terhadap lingkungannya, pada akhir periode ini, anak menyadari bahwa objek yang disembunyikan tadi masih ada dan ia akan mencarinya. 2.Periode Pra-operasional (2 7) tahun. Operasi yang dimaksud di sini adalah suatu proses berpikir atau logik, dan merupakan aktivitas mental, bukan aktivitas sensori motor. Pada periode ini anak di dalam berpikirnya tidak didasarkan kepada keputusan yang logis melainkan didasarkan kepada keputu san yang dapat dilihat seketika. Periode ini sering disebut juga periode pemberian simbol, misalnya suatu benda diberi nama (simbol). Pada periode ini anak terpaku kepada kontak langsung dengan lingkungannya, tetapi anak itu mulai memanipulasi simbol dari benda-benda sekitarnya. Walaupun pada periode permulaan pra-operasional ini anak mampu menggunakan simbol-simbol, ia masih sulit melihat hubungan-

hubungan dan mengambil kesimpulan secara taat asas. 3.Periode operasi kongkret (7 12) tahun. Dalam periode ini anak berpikirnya sudah dikatakan menjadi operasional. Periode ini disebut operasi kongkret sebab berpikir logikanya didasarkan atas manipulasi fisik dari objek -objek. Operasi kongkret hanyalah menunjukkan kenyataan adanya hubungan dengan pengalaman empirik-kongkret yang lampau dan masih mendapat kesulitan dalam mengambil kesimpulan yang logis dari pengalaman pengamanan yang khusus. Pekerjaan-pekerjaan logika dapat dilakukan dengan berorientasi ke objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang

23

langsung dialami anak. Anak itu belum memperhitungkan semua kemungkinan dan kemudian mencoba menemukan kemungkinan yang mana yang akan terjadi. Anak masih terikat kepada pengalaman pribadi. Pengalaman anak masih kongkret dan belum formal. Dalam periode operasi kongkret, karateristik berpikir anak adalah sebagai berikut: a. Kombinasivitas atau klasifikasi adalah suatu operasi dua kelas atau lebih yang dikombinasikan ke dalam suatu kelas yang lebih besar. Anak dapat membentuk variasi relasi kelas dan mengerti bahwa beberapa kelas dapat dimasukkan ke kelas lain. Misalnya semua manusia laki laki dan semua manusia perempuan adalah semua manusia. Hubungan A > B dan B > C menjadi A > C. b. Reversibilitas adalah operasi kebalikan. Setiap operasi logik atau matematik dapat dikerjakan dengan operasi kebalikan. Misalnya, 5 + ? = 9 sama dengan 9 5 = ? Reversibilitas ini merupakan karakteristik utama untuk berpikir operasional di dalam teori Piaget. c. Asosiasivitas adalah suatu operasi terhadap beberapa kelas yang dikombinasikan menurut sebarang urutan. Misalnya himpunan bilangan bulat, operasi +, berlaku hukum asosiatif terhadap penjumlahan. d. Identitas adalah suatu operasi yang menunjukkan adanya unsur nol yang bila dikombinasikan dengan unsur atau kelas hasilnya tidak berubah. Misalnya,dalam himpunan bilangan bulat dengan operasi +, unsur nol adalah 0 sehingga 8 + 0 = 8. Demikian juga suatu jumlah dapat dinolkan dengan mengkombinasikan lawannya, misalnya 4 4 = 0. e. Korespondensi satu satu antara objek-objek dari dua kelas. Misalnya unsur dari suatu himpunan berkawan dengan satu unsur dari himpunan kedua dan sebaliknya.

24

f. Kesadaran adanya prinsip-prinsip konservasi. Konservasi berkenaan dengan kesadaran bahwa satu aspek dari benda, tetap sama sementara itu aspek lainnya berubah. Namun prinsip konservasi yang dimiliki anak pada periode ini masih belum penuh. Anak pada periode ini dilandasi oleh observasi dari pengalaman dengan objek nyata, tetapi ia sudah mulai menggeneralisasi objek-objek tadi. 4.Periode Operasi Formal (> 12) tahun. Periode ini merupakan tahap terakhir dari keempat periode perkembangan intelektual. Periode operasi formal ini disebut juga sebagai periode operasi hipotetik-deduktif yang merupakan tahap tertinggi dari perkmbangan intelektual. Anak-anak pada periode ini sudah memberikan alasan dengan menggunakan lebih banyak simbol atau gagasan dalam cara berpikir. Anak sudah dapat mengoperasikan argumen-argumen tanpa dikaitkan dengan benda-benda empirik. Ia mampu menggunakan prosedur seorang ilmuwan, yaitu menggunakan prosedur hipotetik-deduktif. Anak mampu menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih baik dan kompleks dari pada anak yang masih dalam tahap periode operasi kongkret. Konsep konservasi telah tercapai sepenuhnya.Anak sudah mampu menggunakan hubungan-hubungan di antara objek-objek apabila ternyata manipulasi objek-objek tidak memungkinkan. Anak telah mampu melihat hubungan-hubungan abstrak dan menggunakan proposisi-proposisi logik-formal termasuk aksioma dan definisi- definisi verbal. Anak juga sudah dapat berpikir

kombinatorik, artinya bila anak dihadapkan kepada suatu masalah, ia dapat mengisolasi faktor-faktor tersendiri atau mengkombinasikan faktor-faktor itu sehingga menuju penyelesaian masalah tadi. Menurut Piaget, tahap-tahap berpikir itu adalah pasti dan spontan namun umur kronologis yang diberikan itu adalah fleksibel, terutama selama transisi dari periode yang satu ke periode berikutnya. Umur

25

kronologis itu dapat saling tindih bergantung kepada individu. Piaget berpendapat, tidak ada gunanya bila kita memaksa anak untuk cepat berpindah ke periode berikutnya. F. Teori Gestalt Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan proses persepsi melalui pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi kesatuan. Teori gestalt beroposisi terhadap teori strukturalisme. Teori gestalt cenderung berupaya mengurangi pembagian sensasi menjadi bagian-bagian kecil. Istilah Gestalt mengacu pada sebuah objek/figur yang utuh dan berbeda dari penjumlahan bagian-bagiannya. Menurut teori ini, pembelajaran harus dimulai dari masalah-masalah yang berkaitan dengan konsep yang akan diberikan dan berada dalam kehidupannya sehari-hari. Ketika mengkonstruksi konsep, anak harus banyak diberikan kesempatan untuk berdialog (berdiskusi) dengan teman-temannya maupun dengan guru, bereksplorasi, dan diberikan kebebasan bereksperimen. Jika kita akan mengajarkan konsep fungsi kuadrat, maka konsep fungsi kuadrat akan lebih bermakna jika konsep tersebut dikemas dalam bentuk masalah-masalah seharihari yang cukup sederhana seperti berikut : (1). Sekeliling kebun yang berbentuk persegipanjang dengan panjang 18 m dan lebar 12 m, akan dibuat parit pembuangan air. Jika si pemilik kebun hanya mampu membuat parit seluas 99 m2, berapa lebar parit yang direncanakan ? (2). Pekarangan rumah berbentuk persegipanjang. Jika kelilingnya adalah 400 m, bagaimanakah ukurannya supaya luasnya sebesar-besarnya ?

Aliran terapi Gestalt memandang bahwa konsep atau pengetahuan baru merupakan struktur yang terorganisir dan merupakan masalah bagi anak. Langkah-langkah pembelajaran menurut aliran ini, pertama anak dengan bantuan guru secara tidak langsung diberikan kesempatan untuk menganalisis masalahmasalah yang diberikan menjadi struktur yang lebih sederhana sehingga mudah

26

dipahami anak. Kemudian anak menyusun atau mensintesis penyelesaian masalah itu berdasarkan pada struktur yang lebih sederhana dan sudah dimengerti anak. Selanjutnya anak mensintesis konsep atau pengetahuan dalam bentuk yang lebih umum. Akhirnya anak mencoba melakukan penerapan dari konsep yang sudah dipelajarinya.

Teori ini dibangun oleh tiga orang, Kurt Koffka, Max Wertheimer, and Wolfgang Khler. Mereka menyimpulkan bahwa seseorang cenderung

mempersepsikan apa yang terlihat dari lingkungannya sebagai kesatuan yang utuh.

Max Wertheimer (1880-1943)

Belajar pada Kuelpe, seorang tokoh aliran Wuerzburg. Bersama-sama dengan Wolfgang Koehler (1887-1967) dan Kurt Koffka (1887-1941) melakukan eksperimen yang akhirnya menelurkan ide Gestalt. Tahun 1910 ia mengajar di Univeristy of Frankfurt bersama-sama dengan Koehler dan Koffka yang saat itu sudah menjadi asisten di sana. Konsep pentingnya : phi phenomenon (bergeraknya obyek statis menjadi rangkaian gerakan yang dinamis setelah dimunculkan dalam waktu singkat dan dengan demikian memungkinkan manusia melakukan interpretasi). Dengan konsep ini, Wertheimer menunjuk pada proses interpretasi dari sensasi obyektif yang kita terima. Proses ini terjadi di otak dan sama sekali bukan proses fisik, tetapi proses mental. Dengan pernyataan ini ia menentang pendapat Wundt yang menunjuk pada proses fisik sebagai penjelasan phi phenomenon. Kurt Lewin (1890-1947)

27

Pandangan Gestalt diaplikasikan dalam field psychology dari Kurt Lewin. Lewin adalah salah seorang ahli yang sangat kuat menganjurkan pemahaman tentang lapangan psikologis seseorang. Lewin lahir di Jerman, lulus Ph.D dari University of Berlin dalam bidang psikologi tahun 1914. Ia banyak terlibat dengan pemikir Gestalt, yaitu Wertheimer dan Koehler dan mengambil konsep psychological field juga dari Gestalt. Konsep utama Lewin adalah Life Space, yaitu lapangan psikologis tempat individu berada dan bergerak. Lapangan psikologis ini terdiri dari fakta dan obyek psikologis yang bermakna dan menentukan perilaku individu (B=f L). Tugas utama psikologi adalah meramalkan perilaku individu berdasarkan semua fakta psikologis yang eksis dalam lapangan psikologisnya pada waktu tertentu. Life space terbagi atas bagian-bagian memiliki batas-batas. Batas ini dapat dipahami sebagai sebuah hambatan individu untuk mencapai tujuannya. Gerakan individu mencapai tujuan (goal) disebut locomotion. Dalam lapangan psikologis ini juga terjadi daya (forces) yang menarik dan mendorong individu mendekati dan menjauhi tujuan. Apabila terjadi

ketidakseimbangan (disequilibrium), maka terjadi ketegangan (tension). Perilaku individu akan segera tertuju untuk meredakan ketegangan ini dan mengembalikan keseimbangan. Apabila individu menghadapi suatu obyek, maka bagaimana valensi dari nilai tersebut bagi si individu akan menentukan gerakan individu. Pada umumnya individu akan mendekati obyek yang bervalensi positif dan menjauhi obyek yang bervalensi negatif. Dalam usahanya mendekati obyek bervalensi positif, sangat mungkin ada hambatan. Hambatan ini mungkin sekali menjadi obyek yang bervalensi negatif bagi individu. Arah individu mendekati/menjauhi tujuan disebut vektor. Vektor juga memiliki kekuatan dan titik awal berangkat. Dengan konsep vektor, daya, dan valensi ini Lewin menjelaskan teorinya mengenai tiga jenis konflik (approach-approach, approach-avoidance, dan avoidance-avoidance).

28

Aplikasi teori Lewin banyak dilakukan dalam konteks dinamika kelompok. Dasar berpikirnya adalah kelompok dianalogikan dengan individu. Maka perilaku kelompok menjadi fungsi dari lingkungan, dimana salah satu faktornya adalah para anggota kelompok dan hubungan interpersonal mereka. Apabila hubungan ini bervalensi negatif, maka perilaku anggota akan menjauhinya dan dengan demikian tujuan kelompok semakin tidak tercapai. Sebaliknya, hubungan yang baik akan membuat anggota saling mendekati sehingga memungkinkan kerjasama yang lebih baik dalam mencapai tujuan kelompok. Kritik untuk teori Lewin berfokus pada konstruk-konstruknya yang dianggap hipotetis dan sulit dikongkritkan dalam situasi eksperimental. Implikasinya adalah penjelasan Lewin sulit sampai pada level explanatory dan sifatnya deskriptif. Prinsip dasar Gestalt 1.Interaksi antara individu dan lingkungan disebut sebagai perceptual field. Setiap perceptual field memiliki organisasi, yang cenderung dipersepsikan oleh manusia sebagai figure and ground. Oleh karena itu kemampuan persepsi ini merupakan fungsi bawaan manusia, bukan skill yang dipelajari.

Pengorganisasian ini mempengaruhi makna yang dibentuk. 2. Prinsip-prinsip pengorganisasian: O Principle of Proximity: bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu. O Principle of Similarity: bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu. O Principle of Objective Set: Organisasi berdasarkan mental set yang sudah terbentuk sebelumnya.

29

O Principle of Continuity: Organisasi berdasarkan kesinambungan pola. O Principle of Closure/ Principle of Good Form: bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap. O Principle of Figure and Ground: yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warnadan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samarsamar, makaakan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure. Contoh: perubahan nada tidak akan merubah persepsi tentang melodi. O Principle of Isomorphism: Organisasi berdasarkan konteks. Aplikasi prinsip Gestalt Belajar Proses belajar adalah fenomena kognitif. Apabila individu mengalami proses belajar, terjadi reorganisasi dalam perceptual fieldnya. Setelah proses belajar terjadi, seseorang dapat memiliki cara pandang baru terhadap suatu problem. Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain : a.Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsurunsur dalam suatu obyek atau peristiwa. b.Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses

pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur, akan makin efektif pula sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif

30

pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya. c.Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya. d.Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik. e.Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu

konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Juga menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsipprinsip pokok dari materi yang diajarkannya. Insight Pemecahan masalah secara jitu yang muncul setelah adanya proses pengujian berbagai dugaan/kemungkinan. Setelah adanya pengalaman insight, individu mampu menerapkannya pada problem sejenis tanpa perlu melalui proses trial-

31

error lagi. Konsep insight ini adalah fenomena penting dalam belajar, ditemukan oleh Koehler dalam eksperimen yang sistematis. Memory Hasil persepsi terhadap obyek meninggalkan jejak ingatan. Dengan berjalannya waktu, jejak ingatan ini akan berubah pula sejalan dengan prinsip-prinsip organisasional terhadap obyek. Penerapan Prinsip of Good Form seringkali muncul dan terbukti secara eksperimental. Secara sosial, fenomena ini juga menjelaskan pengaruh gosip/rumor. Pandangan Gestalt cukup luas diakui di Jerman namun tidak lama exist di Jerman karena mulai didesak oleh pengaruh kekuasaan Hitler yang berwawasan sempit mengenai keilmuan. Para tokoh Gestalt banyak yang melarikan diri ke AS dan berusaha mengembangkan idenya di sana. Namun hal ini tidak mudah dilakukan karena pada saat itu di AS didominasi oleh pandangan behaviorisme. Akibatnya psikologi gestalt diakui sebagai sebuah aliran psikologi namun pengaruhnya tidak sekuat behaviorisme. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang patut dicatat sebagai implikasi dari aliran Gestalt yaitu; Pendekatan fenomenologis menjadi salah satu pendekatan yang eksis di psikologi dan dengan pendekatan ini para tokoh Gestalt menunjukkan bahwa studi psikologi dapat mempelajari higher mental process, yang selama ini dihindari karena abstrak, namun tetap dapat mempertahankan aspek ilmiah dan empirisnya. Pandangan Gestalt menyempurnakan aliran behaviorisme dengan

menyumbangkan ide untuk menggali proses belajar kognitif, berfokus pada higher mental process. Adanya perceptual field diinterpretasikan menjadi lapangan kognitif dimana proses-proses mental seperti persepsi, insight,dan problem solving beroperasi.

32

Psikologi Gestalt bermula pada lapangan pengamatan (persepsi) dan mencapai sukses yang terbesar juga dalam lapangan ini. Demonstrasinya mengenai peranan latar belakang dan organisasinya terhadap proses-proses yang diamati secara fenomenal demikian meyakinkan sehingga boleh dikatakan tidak dapat di bantah. Ketika para ahli Psikologi Gestalt beralih dari masalah pengamatan ke masalah belajar, maka hasil-hasil yang telah kuat / sukses dalam penelitian mengenai pengamatan itu dibawanya dalam studi mengenai belajar. Karena asumsi bahwa hukum hukum atau prinsip-prinsip yang berlaku pada proses pengamatan dapat ditransfer kepada hal belajar, maka untuk memahami proses belajar orang perlu memahami hukum-hukum yang menguasai proses pengamatan itu. Pada pengamatan itu menekankan perhatian pada bentuk yang terorganisasi (organized form) dan pola persepsi manusia. Pemahaman dan persepsi tentang hubungan-hubungan dalam kebulatan (entities) adalah sangat esensial dalam belajar. Psikologi Gestalt ini terkenal juga sebagai teori medan (field) atau lazim disebut cognitive field theory. Kelompok pemikiran ini sependapat pada suatu hal yakni suatu prinsip dasar bahwa pengalaman manusia memiliki kekayaan medan yang memuat fenomena keseluruhan lebih dari pada bagian- bagiannya. Keseluruhan ini memberikan beberapa prinsip belajar yang penting, antara lain : 1. Manusia bereaksi dengan lingkungannya secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional, sosial dan sebagainya. 2. Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan. 3. Manusia berkembang sebagai keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa, lengkap dengan segala aspek-aspeknya. 4. Belajar adalah perkembangan kearah diferensiasi ynag lebih luas.

33

5. Belajar hanya berhasil, apabila tercapai kematangan untuk memperoleh insight. 6. Tidak mungkin ada belajar tanpa ada kemauan untuk belajar, motivasi memberi dorongan yang mengerakan seluruh organisme. 7. Belajar akan berhasil kalau ada tujuan. 8. Belajar merupakan suatu proses bila seseorang itu aktif, bukan ibarat suatu bejana yang diisi. Dalam hukum-hukum belajar Gestalt ini ada satu hukum pokok, yaitu hukum Pragnaz, dan empat hukum tambahan (subsider) yang tunduk kepada hukum yang pokok itu,yaitu hukum hukum keterdekatan, ketertutupan, kesamaan, dan kontinuitas. G. Teori Bandura Albert Bandura lahir pada tanggal 4 Desember 1925 di Mundare. Albert berkebangsaan Kanada. Ia seorang psikolog yang terkenal dengan teori belajar sosial atau kognitif sosial serta efikasi diri. Eksperimennya yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo doll yang menunjukkan anak meniru secara persis perilaku agresif dari orang dewasa di sekitarnya. Menurut Bandura, proses mengamati dan meniru perilaku sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal-balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial ini. Misalnya seseorang yang hidup dan dibesarkan di lingkungan judi, maka dia cenderung menyenangi judi, atau setidaknya menganggap bahwa judi itu tidak jelek. Faktor-faktor yang berproses dalam belajar observasi adalah : 1. Perhatian (attention), mencakup peristiwa peniruan (adanya kejelasan, keterlibatan perasaan, tingkat kerumitan, kelaziman) dan karakteristik pengamat (kemampuan indera, minat, persepsi, penguatan sebelumnya).
34

2.

Penyimpanan

atau

proses

mengingat

(retention),

mencakup

kode

pengkodean simbolik, keorganisasian pikiran, pengulangan symbol, pengulangan motorik. 3. Reproduksi motorik (reproduction), mencakup kemampuan fisik,

kemampuan meniru, keakuratan umpan balik. 4. Motivasi, mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri. Selain itu, yang harus juga diperhatikan bahwa faktor model atau teladan mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut. 1. Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya. Proses mengingat akan lebih baik dengan cara mengkodekan perilaku yang ditiru kedalam kata-kata, tanda atau gambar daripada hanya observasi sederhana (hanya melihat saja). 2. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya. 3. Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan tersebut disukai dan dihargai serta perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat. Teori sosial belajar dari Bandura ini merupakan gabungan antara teori belajar behovioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi perilaku. Proses belajar masih berpusat pada penguatan, hanya terjadi secara langsung dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Teori Bandura menjadi dasar dari perilaku pemodelan yang digunakan dalam berbagai pendidikan secara massal. Sebagai contoh, penerapan teori belajar sosial dalam iklan televisi. Teori belajar dari Bandura ini nampaknya memang bisa berlaku umum dalam semua langkah pendidikan sosial, komunikasi, informasi dan instruksional.

35

Namun karena kondisinya yang umum tadi, maka sulit dilaksanakan dalam sekolah-sekolah formal, sehingga metode belajar sosial dari Bandura ini agak sulit dilakukan. Hanya dalam situasi sosial dan kemasyarakatanlah banyak terjadi belajar sosial. Peristiwa sosial juga terjadi di lingkungan sekolah dan pendidikan pada umumnya. Namun hal itu tentu saja sangat khusus dan terbatas, karena suasana dan kondisi yang sudah dirancang secara khusus untuk tujuan yang khusus pula. Yakni untuk tujuan mempermudah terlaksananya proses belajar secara efektif. Motivasi Belajar dan teori perilaku (Bandura) Konsep motivasi belajar berkaitan erat dengan prinsip bahwa perilaku yang memperoleh penguatan (reinforcement) di masa lalu lebih memiliki kemungkinan diulang dibandingkan dengan perilaku yang tidak memperoleh penguatan atau perilaku yang terkena hukuman (punishment). Dalam kenyataannya, daripada membahas konsep motivasi belajar, penganut teori perilaku lebih memfokuskan pada seberapa jauh siswa telah belajar untuk mengerjakan pekerjaan sekolah dalam rangka mendapatkan hasil yang diinginkan (Bandura, 1986 dan Wielkeiwicks, 1995). Penghargaan (Reward) dan Penguatan (Reinforcement) Suatu alasan mengapa penguatan yang pernah diterima merupaka penjelasan yang tidak memadai untuk motivasi karena motivasi belajar manusia itu sangat kompleks dan tidak bebas dari konteks (situasi yang berhubungan). Terhadap binatang yang sangat lapar kita dapat meramalkan bahwa makanan akan merupakan penguat yang sangat efektif. Terhadap manusia, meskipun ia lapar, kita tidak dapat sepenuhnya yakin apa yang merupakan penguat dan apa yang bukan penguat, karena nilai penguatan dari penguat yang paling potensial sebagian besar ditentukan oleh faktor-faktor pribadi dan situsional. Penentuan Nilai dari Suatu Insentif

36

Ilustrasi berikut menunjukkan poin penting: nilai motivasi belajar dari suatu insentif tidak dapat diasumsikan, karena nilai itu dapat bergantung pada banyak faktor (Chance, 1992). Pada saat guru mengatakan Saya ingin kamu semua mengumpulkan laporan buku pada waktunya karena laporan itu akan diperhitungkan dalam menentukan nilaimu, guru itu mungkin mengasumsikan bahwa nilai merupakan insentif yang efektif untuk siswa pada umumnya. Tetapi bagaimanapun juga sejumlah siswa dapat tidak menghiraukan nilai karena orang tua mereka tidak menghiraukannya atau mereka memiliki catatan kegagalan di sekolah dan telah mengambil sikap bahwa nilai itu tidak penting. Apabila guru mengatakan kepada seorang siswa, Pekerjaan yang bagus! Saya tahu kamu dapat mengerjakan tugas itu apabila kamu mencobanya! Ucapan ini dapat memotivasi seorang siswa yang baru saja menyelesaikan suatu tugas yang ia anggap sulit namun dapat berarti hukuman (punishment) bagi siswa yang berfikir bahwa tugas itu mudah (karena pujian guru itu memiliki implikasi bahwa ia harus bekerja keras untuk menyelesaikan tugas itu). Seringkali sukar menentukan motivasi belajar siswa dari perilaku mereka karena banyak motivasi yang berbeda dapat mempengaruhi perilaku. Kadang-kadang suatu jenis motivasi jelas-jelas menentukan perilaku, tetapi pada saat yang lain, ada motivasi lain yang berpengaruh (mempengaruhi) terhadap perilaku belajar siswa. Lebih lanjut menurut Bandura (1982) penguasaan skill dan pengetahuan yang kompleks tidak hanya bergantung pada proses perhatian, retensi, motor reproduksi dan motivasi, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari diri pembelajar sendiri yakni sense of self Efficacy dan self regulatory system. Sense of self efficacy adalah keyakinan pembelajar bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai standar yang berlaku. Self regulatory adalah menunjuk kepada 1) struktur kognitif yang memberi referensi tingkah laku dan hasil belajar, 2) sub proses kognitif yang merasakan, mengevaluasi, dan pengatur tingkah laku kita (Bandura, 1978). Dalam pembelajaran sel-regulatory akan menentukan goal setting dan self evaluation

37

pembelajar dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi dan sebaliknya. Menurut Bandura agar pembelajar sukses instruktur/guru/dosen/guru harus dapat menghadirkan model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar, mengembangkan self of mastery, self efficacy, dan reinforcement bagi pembelajar.

Berikut Bandura mengajukan usulan untuk mengembangkan strategi proses pembelajaran yaitu sebagi berikut : 1.Analisis tingkah laku yang akan dijadikan model yang terdiri : a. Apakah karekter dari tingkah laku yang akan dijadikan model itu berupa konsep, motor skil atau efektif? b. Bagaimanakah urutan atau sekuen dari tingkah laku tersebut? c. Dimanakah letak hal-hal yang penting (key point) dalam sekuen tersebut? 2.Tetapkan fungsi nilai dari tingkah laku dan pilihlah tingkah laku tersebut sebagai model. a. Apakah tingkah laku (kemampuan yang dipelajari) merupakan hal yang penting dalam kehidupan dimasa datang? (success prediction) b. Bila tingkah laku yang dipelajari kurang memberi manfaat (tidk begitu penting) model manakah yang lebih penting? c. Apakah model harus hidup atau simbol? Pertimbangan soal biaya, pengulangan demonstrasi dan kesempatan untuk menunjukkan fungsi nilai dan tingkah laku. d. Apakah reinforcement yang akan didapat melalui model yang dipilih? 3. Pengembangan sekuen instruksional Untuk mengajar motor skill, bagaimana cara mengerjakan pekerjaan/kemampuan yang dipelajari :how to do this dan bukannya not this.Langkah-langkah manakah menurut sekuen yang harus dipresentasikan secara perlahan-lahan.
38

a. Implementasi pengajaran untuk menunut proses kognitif dan motor reproduksi. motor skill 1) hadirkan model 2) beri kesempatan kepada tiap-tiap pembelajar untuk latihan secarasimbolik 3) beri kesempatan kepada pembelajar untuk latihan dengan umpan balik visual b. Proses kognitif 1) Tampilkan model, baik yang didukung oleh kode-kode verbal atau petunjuk untuk mencari konsistensi pada berbagai contoh 2) Beri kesempatan kepada pembelajar untuk membuat ihtisar atau summary 3) Jika yang dipelajari adalah pemecahan masalah atau strategi penerapan beri kesempatan pembelajar untuk berpartisipasi secaraaktif 4) Beri kesempatan pembelajar untuk membuat generalisasi ke berbagai siatuasi.

Dari uraian tentang teori belajar sosial, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku yang meliputi proses-proses kognitif belajar. 2. Komponen-komponen belajar terdiri dari tingkah laku, konsekuensikonsekuensi terhadap model dan proses-proses kognitif pembelajar. 3. Hasil belajar berupa kode-kode visual dan verbal yang mungkin dapat dimunculkan kembali atau tidak (retrievel). 4. Dalam perencanaan pembelajaran skill yang kompleks, disamping pembelajaran-pembelajaran komponen-komponen skill itu sendiri, perlu ditumbuhkan sense of efficacy dan self regulatory pembelajar.

39

5. Dalam proses pembelajaran, pembelajar sebaiknya diberi kesempatan yang cukup untuk latihan secara mental sebelum latihan fisik, dan reinforcement dan hindari punishment yang tidak perlu.

40

A. Teori Van Hiele


Tingkat Kognitif menurut Van Hiele Dua tokoh pendidikan matematika dari Belanda, yaitu Pierre Van Hiele dan isterinya, Dian Van Hiele-Geldof, pada tahun-tahun 1957 sampai 1959 mengajukan suatu teori mengenai proses perkembangan yang dilalui siswa dalam mempelajari geometri. Dalam teori yang mereka kemukakan, mereka berpendapat bahwa dalam mempelajari geometri para siswa mengalami perkembangan kemampuan berpikir melalui tahap-tahap tertentu. Tahapan berpikir atau tingkat kognitif yang dilalui siswa dalam pembelajaran geometri, menurut Van Hiele adalah sebagai berikut: Tingkat Visualisasi

Tingkat ini disebut juga tingkat pengenalan. Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan (wholistic). Pada tingkat ini siswa belum memperhatikan komponen-komponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum mengamati ciri-ciri dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa tahu suatu bangun bernama persegipanjang, tetapi ia belum menyadari ciri-ciri bangun persegipanjang tersebut. Tingkat Analisis

Tingkat ini dikenal sebagai tingkat deskriptif. Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri-ciri dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada tingkat ini siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut

41

Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu bangun merupakan persegipanjang karena bangun itu mempunyai empat sisi, sisi-sisi yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku Tingkat Abstraksi

Tingkat ini disebut juga tingkat pengurutan atau tingkat relasional. Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu pada tingkat ini siswa sudah memahami pelunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tahap ini, siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah juga persegipanjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegipanjang. Tingkat Deduksi Formal

Pada tingkat ini siswa sudah memahami perenan pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan terorema-teorema dalam geometri. Pada tingkat ini siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini siswa sudah memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses berpikir tersebut. Tingkat Rigor

Tingkat ini disebut juga tingkat metamatematis. Pada tingkat ini, siswa mampu melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri.
42

Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada suatu sistem geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga akan berubah. Sehingga, pada tahap ini siswa sudah memahami adanya geometrigeometri yang lain di samping geometri Euclides. Menurut Van Hiele, semua anak mempelajari geometri dengan melalui tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain. Selain itu, menurut Van Hiele, proses perkembangan dari tahap yang satu ke tahap berikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau kematangan biologis, tetapi lebih bergantung pada pengajaran dari guru dan proses belajar yang dilalui siswa. Implementasi Teori Van Hiele dalam Pembelajaran Untuk meningkatkan suatu tahap berpikir ke tahap berpikir yang lebih tinggi Van Hiele mengajukan pembelajaran yang melibatkan 5 fase (langkah), yaitu ; informasi (information), orientasi langsung (directed orientation), penjelasan (explication), orientasi bebas (free orientation), dan integrasi (integration). Fase 1 : Informasi (information)

Pada awal fase ini, guru dan siswa menggunakan tanya jawab dan kegiatan tentang obyek-obyek yang dipelajari pada tahap berpikir yang bersangkutan. Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa sambil melakukan observasi. Tujuan kegiatan ini adalah : a. Guru mempelajari pengetahuan awal yang dipunyai siswa mengenai topik yang di bahas.

43

b. Guru mempelajari petunjuk yang muncul dalam rangka menentukan pembelajaran selanjutnya yang akan diambil. Fase 2 : Orientasi langsung (directed orientation)

Siswa menggali topik yang dipelajari melalui alat-alat yang dengan cermat disiapkan guru. Aktifitas ini akan berangsur-angsur menampakkan kepada siswa struktur yang memberi ciri-ciri untuk tahap berpikir ini. Jadi, alat ataupun bahan dirancang menjadi tugas pendek sehingga dapat mendatangkan respon khusus. Fase 3 : Penjelasan (explication)

Berdasarkan pengalaman sebelumnya, siswa menyatakan pandangan yang muncul mengenai struktur yang diobservasi. Di samping itu untuk membantu siswa menggunakan bahasa yang tepat dan akurat, guru memberi bantuan seminimal mungkin. Hal tersebut berlangsung sampai sistem hubungan pada tahap berpikir ini mulai tampak nyata. Fase 4 : Orientasi bebas (free orientation)

Siswa mengahadapi tugas-tugas yang lebih komplek berupa tugas yang memerlukan banyak langkah, tugas-tugas yang dilengkapi dengan banyak cara, dan tugas-tugas open ended. Mereka memperoleh pengalaman dalam menemukan cara mereka sendiri, maupun dalam menyelesaikan tugas-tugas. Melalui orientasi diantara para siswa dalam bidang investigasi, banyak hubungan antara obyekobyek yang dipelajari menjadi jelas. Fase 5 : Integrasi (Integration)

Siswa meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari. Guru dapat membantu dalam membuat sintesis ini dengan melengkapi survey secara global terhadap apa-apa yang telah dipelajari siswa.

44

B. TEORI BERMAKNA AUSUBEL


Teori pembelajaran Ausabel merupakan salah satu dari sekian banyaknya teori pembelajaran yang menjadi dasar dalam cooperative learning. David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Menurut Ausubel (Dahar 1996) bahan subjek yang dipelajari siswa mestilah bermakna (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah disiswai dan diingat siswa. Suparno (1997) mengatakan pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui pembelajaran. Menurut Ausubel, ada dua jenis belajar : 1. Belajar bermakna (meaningful learning) 2. Belajar menghafal (rote learning) Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran itu disajikan kepada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Selanjutnya dimensi kedua menyangkut bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Jika siswa hanya mencoba menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkan dengan struktur kognitifnya, maka terjadilah belajar dengan hafalan. Sebaliknya jika siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi baru itu dengan struktur kognitifnya maka yang terjadi adalah belajar bermakna D. P. Ausubel mengemukakan bahwa belajar dikatakan menjadi bermakna (meaningful) bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu dapat mengaitkan informasi barunya dengan kognitif yang dimilikinya. Dengan

45

belajar bermakna ini, peserta didik menjadi kuat ingatannya dan transfer belajar mudah dicapai. Teori pembelajaran Ausubel juga dikenali sebagai teori pembelajaran penerimaan atau penemuan , kerena beliau menekankan proses penguasaan maklumat melalui bahasa yang bermakna. Dalam pembelajaran resepsinya , guru memberikan konsep-konsep dengan jelas dan tersusun supaya peserta didik dapat menerimanya dengan lengkap dan baik. Empat tipe belajar menurut Ausubel, yaitu: 1. Belajar dengan penemuan yang bermakna, yaitu mengaitkan pengetahuan yang telahdimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajarinya atau siswa menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru itu ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada. 2. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna, yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan. 3. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna, materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudia pengetahuan yang baru itu dikaitkan dengan pengetahuan yang ia miliki. 4. Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna, yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudia pengetahuan yang baru itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan yang ia miliki.

Bagi Ausubel, menghafal berlawanan dengan belajar bermakna. Menghafal sebenarnya mendapatkan informasi yang terisolasi sedemikian hingga peserta didik itu tidak dapat mengaitkan informasi yang diperoleh itu ke dalam struktur kognitifnya. Selanjutnya peserta didik tidak dapat mengendapkan

46

pengetahuan yang diperoleh itu sehingga peserta didik itu hanya dapat mengingat fakta-fakta yang sederhana. Adanya struktur kognitif di dalam mental peserta didik yang merupakan dasar unsur mengaitkan datangnya informasi baru. Banyaknya pengetahuan yang dapat dipelajari tergantung kepada apa yang sudah diketahui. Belajar bermakna berarti belajar dengan memperoleh pemberitahuan yang bermakna mempunyai pra syarat : a. Kondisi dan sikap peserta didik terhadap tugas, hendaknya bersesuaian dengan tujuan belajar peserta didik. Apabila peserta didik

melaksanakan tugas dengan sikap bahwa ia ingin memahami bahan pelajaran dan mengaplikasikan bahan baru serta menghubungkan bahan pelajaran yang terdahulu, dikatakan peserta didik itu belajar bahan baru dengan cara yang bermakna. Sebaliknya bila peserta didik itu tidak berkehendak mengaitkan bahan yang dipelajari dengan informasi yang dimiliki, maka belajar itu tidak bermakna. Demikianlah banyak peserta didik yang tidak berusaha mengerti matematika, cenderung mengalami kegagalan dan akhirnya membenci matematika. b. Tugas-tugas diberikan kepada peserta didik harus sesuai dengan struktur kognitif peserta didik sehingga peserta didik itu dapat mengasimilasi bahan baru secara bermakna. Belajar yang bermakna pada tahap mula-mula memberikan pengertian kepada bahan baru sehingga bahan baru itu akan terserap dan kemudian diingat peserta didik. Ia tidak menghafal asosiasi stimulus-respon yang terpisah-pisah. c. Tugas-tugas yang diberikan haruslah sesuai dengan tahap

perkembangan intelektual peserta didik. Peserta didik yang masih di dalam periode operasi konkrit, bila diberi bahan materi matematika yang abstrak tanpa contoh-contoh konkrit dari materi tersebut, akan mengakibatkan peserta didik itu tidak mempunyai keinginan mempelajari materi tersebut secara bermakna. Dengan demikian

47

peserta didik hanya menghafal pelajaran tadi tanpa pengertian sehingga peserta didik mempelajari matematika dengan pernyataanpernyataan verbalyang tidak cermat dan tepat. Dari dua aliran psikologi yang telah dikemukakan diatas yang masingmasing menghasilkan teori belajar, perlu dikombinasikan sehingga kelemahan yang satu akan ditutup kekuatan yang lain. Hasil pengkombinasian ini diaplikasikan kepengajaran matematika. Langkah langkah belajar bermakna Ausubel adalah : 1. Pengaturan awal (advance organizer) Pengaturan awal dap digunakan untuk membantu mengaitkan konsep yang lama dengan konsep yang baru yang lebih tinggi maknanya. 2. Diferensiasi Progregsif Dalam pembelajaran bermakna perlu ada pengembangan dan kolaborasi konsep-konsep. Caranya unsur yang inklusif diperkenalkan terlebih dahulu kemudian baru lebih mendetail. Ausubel (Dahar.1989 : 141) ada tiga kebaikan belajar bermakna yaitu : a. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat. b. Informasi yang dipelajari secara bermaknamemudahkan proses belajar beriktunya untuk materi pelajaran yang mirip. c. Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun telah lupa.

48

C. TEORI DIENES
Konsep PAKEM Teori belajar Dienes yang menekankan pada tahapan permainan yang berarti pembelajaran yang diarahkan pada proses melibatkan anak didik dalam belajar. Hal ini berarti proses pembelajaran dapa t

membangkitkan dan membuat anak didik senang dalam belajar. Oleh karena itu teori belajar Dienes ini sangat terkait dengan konsep pembelajaran dengan pendekatan PAKEM (Pembelajaran Aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan). Berikut ini akan dijelaskan sec ara singkat tentang PAKEM. Menurut Siswono (2004), PAKEM bertujuan untuk menciptakan sesuatu lingkungan belajar yang lebih melengkapi peserta didik dengan keterampilan- keterampilan, pengetahuan dan sikap bagi kehidupan kelak. Aktif diartikan peserta didik maupun berinteraksi untuk menunjang pembelajaran. Guru harus menciptakan suasana sehingga peserta didik aktif bertanya, memberikan tanggapan, mengungkapkan ide dan

mendemonstrasikan gagasan atau idenya. Guru aktif akan memantau kegiatan belajar peserta didik, memberi umpan balik, mengajukan pertanyaan menantang dan mempertanyakan gagasan anak didik. Dengan memberikan kesempatan peserta didik aktif akan mendorong kreativits peserta didik dalam belajar maupun memecahkan masalah. Kreatif diartikan guru memberikan variasi dalam kegiatan belajar mengajar dan membuat alat bantu baljar, bahkan mencipta teknik -teknik mengajar tertentu sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik dan tujuan belajarnya. Peserta didik akan kreatif, bila diberi kesempatan

merancang/membuat sesuatu, menuliskan ide atau gagasan. Kegiatan tersebut akan memuaskan rasa keingintahuan dan imajinasi mereka. Apabila suasana belajar yang aktif dan kreatif terjadi, maka akan mendorong peserta didik untuk menyenangi dan memotivasi mereka untuk

49

terus belajar. Menyenangkan diartikan sebagai suasana belajar mengajar yang hidup, semarak, terkondisi untuk trus berlanjut, ekspresif, dan mendorong pemusatan perhatian peserta didik terhadap belajar. Efektif yang diartikan sebagai ketercapaian suatu tujuan (kompetensi) merupakan pijakan utama suatu rancangan pembelajaran. Pembelajaran yang

tampaknya aktif dan menyenangkan, tetapi tidak efektif akan tampak hanya sekedar permainan belaka. Dalam pelaksanaan PAKEM perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu: a. memahami sifat anak b. mengenal peserta didik secara individu/perorangan c. memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajar d. mengembangkan kemampuan bepikir kritis, kreatif dam

kemampuan memecahkan masalah e. mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik f. memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar g. memberikan umpan balik yang bertanggung jawab untuk

meningkan kegiatan belajar mengajar h. membedakan antara aktif fisik dn aktif mental.

Tahap-Tahap Dalam Teori Belajar Dienes Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap siswa-siswa. Dasar teorinya bertumpu pada Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada siswa-siswa, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi siswa yang mempelajarinya. Dienes (dalam Ruseffendi, 1992) berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah -

50

misahkan

hubungan-hubungan

di

antara

struktur-struktur

dan

mengkategorikan hubungan- hubungan di antara struktur-struktur. Seperti halnya dengan Bruner, Dienes mengemukakan bahwa tiap -tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret aka n dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa jika benda -benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi tahap, yaitu 1. Permainan Bebas (Free Play) Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari

pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul. Dalam tahap ini anak mulai membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari. Misalnya dengan diberi permainan block logic, anak didik mulai mempelajari konsep-konsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda yang merupakan ciri/sifat dari benda yang dimanipulasi. 2. Permainan yang Menggunakan Aturan (Games) Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu.

Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan siswa diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa, karena akan memperoleh
51

hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajari itu. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam -macam pengalaman, dan kegiatan untuk yang tidak relevan dengan pengalaman itu. Contoh dengan permainan block logic, anak diberi kegiatan untuk membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang berwarna merah, kemudian membentuk kelompok benda berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan sebagainya. Dalam membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang merah, timbul pengalaman terhadap konsep tipis dan merah, serta timbul penolakan terhadap bangun yang tipis (tebal), atau tidak merah (biru), hijau, kuning). 3. Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities) Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan menstranslasikan kes amaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat -sifat abstrak yang ada dalam permainan semula. Contoh kegiatan yang diberikan dengan permainan block logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang yang tebal, anak diminta mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari benda-benda dalam kelompok tersebut (anggota kelompok). 4. Permainan Representasi (Representation) Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep -konsep tertentu. Setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak, Dengan demikian telah mengarah pada

52

pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari. Contoh kegiatan anak untuk menemukan banyaknya diagonal poligon (misal segi dua puluh tiga) dengan pendekatan induktif seperti berikut ini (gambar 2 5. Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization) Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif tersebut, kegiatan berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang digeneralisasikan dari pola yang didapat anak. 6. Permainan dengan Formalisasi (Formalization) Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut. Contohnya, anak didik telah mengenal dasar -dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan suatu teorema berdasarkan aksioma, dalam arti membuktikan teorema tersebut. Karso (1999:1.20) menyatakan, pada tahap formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan teorema serta membuktikannya secara deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang sistem yang berlaku dari pemahaman konsep-konsep yang terlibat satu sama lainnya. Misalnya bilangan bulat dengan operasi penjumlahan peserta sifat-sifat tertutup, komutatif, asosiatif, adanya elemen identitas, an mempunyai elemen invers, membentuk sebuah sistem matematika.

53

Permainan Interaktif untuk Belajar Matematika Permainan interaktif merupakan suatu permainan yang dikemas dalam pembelajaran, sehingga anak didik menjadi aktif dan senang dalam belajar. Oleh karena itu, jika guru dapat mengemas permainan sebagai media maupun pendekatan dalam belajar matematika bagi anak, maka anak akan senang belajar matematika sehingga menjadi efektif untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal. Pada bagian tulusian ini, akan dibahas permainan matematika pada topik bilangan dan topik geometri. Mudah-mudahan melalui tulisan ini, Anda akan dapat merancang bagaimana mengemas pembelajaran matematika melalui permainan. 1 . Permainan Operasi Hitung

a. Permainan Operasi Penjumlahan Ada dua teknik menjumlahkan. Jika hasil penjumlahan kurang atau sama dengan 10, maka penjumlahan dapat dilakukan secara langsung dengan cara menjumlahkan suku-sukunya. Jika hasil penjumlahan lebih dari 10, maka penjumlahan suku-sukunya dilakukan dengan teknik menyimpan Permainan menyimpan dan menjumlahkan berikut memberikan kemudahan mengajarkan operasi penjumlahan.

Tujuan : Memperlihatkan menyimpan sekaligus bentuk nyata penjumlahan dengan teknik

menjelaskan

langkah-langkah

sistematis

penyelesaian kalimat penjumlahan. Langkah-langkah permainan: 1. Sediakan kantong kain/kantong plastik/kantong dari katon. 2. Sediakan kartu kecil merah untuk puluhan dan kartu kecil putih untuk satuan.

54

3. Mintalah anak mengerjakan 19 + 27. 4. Mintalah anak menyatukan 9 dan 7 buah kartu putih dan mintalah anak menghitung jumlahnya (jawaban : 16). 5. Mintalah anak menggantikan 10 kartu putih dari 16 kartu p utih dengan satu kartu merah. 6. Mintalah anak memasukan kartu merah tersebut ke kantong puluhan dan masukan sisa 6 kartu putih ke kantongan satuan. 7. Mintalah anak menghitung total kartu merah, yaitu 1 + 2 + 1 = 4. Terangkanlah bahwa nilai empat kartu merah tersebut adalah 40. 8. Mintalah anak untuk menjumlahkan hasilnya, yaitu 40 + 6 = 46.

b. Permainan Operasi Pengurangan Ikutilah permainan berikut ini untuk memudahkan anak belajar operasi pengurangan dengan teknik meminjam. Permainan menukar dan mengurangkan Tujuan: Memperlihatkan meminjam sekaligus bentuk nyata pengurangan dengan teknik

memperlihatkan

langkah-langkah

sistematis

penyelesaian kalimat pengurangan. Langlah-langkah permainan: 1. Mintalah anak untuk mengurangkan 57 28 2. Terangkan karena 7 tidak bisa dikurangi 8 maka ambil 1 kartu merah dan tukar dengan 10 kartu putih sehingga total kartu putih 7 + 10 = 17. Selanjutnya, 17 dikurangi 8 menghasilkan 9. Karena dipinjam 1 maka sisa kartu merah menjadi = 4. Selanjutnya, 4 2 = 2 (terangkan bahwa membacanya 20 karena nilainya puluhan) 3. Mintalah anak menjumlahkan hasilnya, yaitu 20 + 9 = 29. 4. Perluas contoh permainannya sampai ke bilangan ratusan dan seterusny
55

c. Permainan Operasi Perkalian

Ikutilah permainan berikut ini untuk melatih anak belaj ar perkalian dan kelipatan. Permainan permen perkalian Tujuan: Menjelaskan makna perkalian.

Langkah-langkah permainan: 1. Berikan masing-masing 2 buah permen kepada 3 orang anak. 2. Tanyakan berapakah jumlah total permen yang telah diberikan kepada ketiga anak tersebut. 3. Terangkan bahwa hasilnya merupakan perkalian 2 dengan 3, yaitu 6. Perkalian merupakan penjumlahan berulang, misalnya 2 + 2+ 2 atau bentuk lain 3 x 2. Pada kalimat 3 x 2 = 6, 3 dan 2 disebut faktor dari 6, sedangkan 6 merupakan hasil perkalian 2 dan 3.

d. Permainan Operasi Pembagian

Permainan berikut ini mempermudah anak memahami operasi pembagian. Permainan permen pembagian

Tujuan : Menjelaskan makna pembagian

Langkah-langkah: 1. Perlihatkan 6 permen di tangan. 2. Bagikan secara merata 3 permen 3 permen kepada beberapa anak sampai permen habis. 3. Tanyakan berapa anakkahyang akan mendapat permen.

56

4. Terangkan bahwa hasilnya merupakan pembagian 6 dengan 3, yaitu 2. 5. Tanamkanlah pada anak bahwa 6 : 3 = 6 3 3. Ulangi permainan permen perkalian dan pembagian ini sehingga anak mengerti betul makna perkalian dan pembagian serta hubungan keduanya dengan contoh lain.

D. TEORI BANDURA
Albert Bandura lahir tanggal 4 Desember 1925 di Mundare Alberta berkebangsaan Kanada. Ia seorang psikolog yang terkenal dengan teori belajar sosial atau kognitif sosial serta efikasi diri. Eksperimennya yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak meniru secara persis perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya.

Menurut Bandura proses mengamati dan meniru perilaku, sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh padapola belajar sosial ini. Misalnya seorang yang hidupnya dan lingkungannya dibesarkan dilingkungan judi, maka dia cenderung menyenangi judi, atau setidaknya menganggap bahwa judi itu tidak jelek.

Faktor-faktor yang berproses dalam belajar observasi adalah

1. Perhatian (Attention), mencakup peristiwa peniruan (adanya kejelasan, keterlibatan perasaan, tingkat kerumitan, kelaziman, nilai fungsi) dan karakteristik pengamat (kemampuan indera, minat, persepsi, penguatan sebelumnya)

57

2. Penyimpanan atau proses mengingat (Retention), mencakup kode pengkodean simbolik, pengorganisasian pikiran, pengulangan simbol, pengualangan motorik. 3. Reproduksi motorik (Reproduction), mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru, keakuratan umpan balik. Peserta didik harus berupaya melakukan semua tingkah laku yang ditirunya. Apabila seorang peserta didik tahu bagaimana suatu tingkah laku itu ditunjukkan dan mengingat cara-cara atau langkah- langkah dia mungkin belum bisa melakukannya dengan lancar. Tapi peserta didik itu memerlukan latihan yang banyak, mendapat bimbingan tentang perkara- perkara penting sebelum meleksanakan tingkah laku model. Di peringkat penghasilan

latihan menjadikan tingkah laku lebih lancar dan mahir. 4. Motivasi, mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri (Motivation)

Selain itu juga yang harus diperhatikan bahwa faktor model atau teladan mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya. Proses mengingat akan lebih baik dengan cara mengkodekan perilaku yang ditiru kedalam kata-kata, tanda atau gambar dari pada hanya observasi sederhana (hanya melihat saja). Sebagai contoh: belajar gerakan tari dari instruktur membutuhkan pengamatan dari berbagai sudut yang dibantu cermin dan langsungditirukan oleh siswa pada saat itu juga. Kemudian proses meniru akan lebih terbantu jika gerakan tadi juga didukung dengan penayangan video, gambar atau instruksi yang ditulis dalam buku panduan. 2. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya.

58

3. Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan tersebut disukai dan dihargai serta perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat.

Teori belajar sosial dari Bandura ini merupakan gabungan antara teori belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi perilaku. Proses belajar masih berpusat pada penguatan, hanya terjadi secara langsung dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Teori Bandura menjadi dasar dari perilaku pemodelan yang digunakan dalam berbagai pendidikan secara massal. Sebagai contoh: penerapan teori belajar sosial dalam iklan televisi. Iklan selalu menampilkan bintang-bintang yang popular dan disukai masyarakat, hal ini untuk mendorong konsumen agar membeli sabun supaya mempunyai kulit seperti para "bintang" atau minum obat masuk anginnya "orang pintar".

Teori belajar dari Bandura ini tampaknya memang bisa berlaku umum dalam semua langkah pendidikan sosial, komunikasi, informasi dan instruksional, namun karena kondisinya yang umum tadi maka sulit dilaksanakan dalam sekolah-sekolah formal, sehingga metode belajar sosial dari Bandura ini agak sulit dilakukan. Hanya dalam situasi sosial dan kemasyarakatanlah banyak terjadi belajar sosial. Peristiwa sosial juga terjadi di lingkungan sekolah dan pendidikan pada umumnya, namun hal itu tentu saja sangat khusus dan terbatas, karena suasana dan kondisi yang sudah dirancang secara khusus untuk tujuan yang khusus pula, yakni untuk tujuan mempermudah terlaksananya proses belajar secara efektif.

59

E. TEORI PIAGET
Teori Perkembangan Intelektual Piaget Teori belajar Dienes sangat terkait dengan teori belajar yang dikemukakan oleh Piaget, yaitu mengenai teori perkembangan intelektual. Jean Piaget berpendapat bahwa proses berpikir manusia sebagai suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual konkret ke abstrak berurutan melalui empat periode. Urutan periode itu tetap bagi setiap orang, namun usia atau kronologis pada setiap orang yang memasuki setiap periode berpikir yang lebih tinggi berbeda-beda tergantung kepada masing-masing individu. Piaget adalah orang pertama yang menggunakan filsafat

konstruktivis dalam proses belajar mengajar. Piaget (dalam Bell, 1981), berpendapat bahwa proses berpikir manusia merupakan suatu

perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual kongkret ke abstrak berurutan melalui empat tahap perkembangan, sebagai berikut: 1.Periode Sensori Motor (0 2) tahun. Karateristik periode ini merupakan gerakan-gerakan sebagai akibat reaksi langsung dari rangsangan. Rangsangan itu timbul karena anak melihat dan merab-raba objek. Anak itu belum mempunyai kesadaran adanya konsep objek yang tetap. Bila objek itu disembunyikan, anak itu tidak akan mencarinya lagi. Namun karena pengalamannya terhadap lingkungannya, pada akhir periode ini, anak menyadari bahwa objek yang disembunyikan tadi masih ada dan ia akan mencarinya. 2.Periode Pra-operasional (2 7) tahun. Operasi yang dimaksud di sini adalah suatu proses berpikir atau logik, dan merupakan aktivitas mental, bukan aktivitas sensori motor.

60

Pada periode ini anak di dalam berpikirnya tidak didasarkan kepada keputusan yang logis melainkan didasarkan kepada keputusan yang dapat dilihat seketika. Periode ini sering disebut juga periode pemberian simbol, misalnya suatu benda diberi nama (simbol). Pada periode ini anak terpaku kepada kontak langsung dengan lingkungannya, tetapi anak itu mulai memanipulasi simbol dari benda-benda sekitarnya. Walaupun pada periode permulaan pra-operasional ini anak mampu menggunakan simbol-simbol, ia masih sulit melihat hubungan-hubungan dan mengambil kesimpulan secara taat asas. 3.Periode operasi kongkret (7 12) tahun. Dalam periode ini anak berpikirnya sudah dikatakan menjadi operasional. Periode ini disebut operasi kongkret sebab berpikir logiknya didasarkan atas manipulasi fisik dari objek-objek. Operasi kongkret hanyalah menunjukkan kenyataan adanya hubungan dengan pengalaman empirik-kongkret yang lampau dan masih mendapat kesulitan dalam mengambil kesimpulan yang logis dari pengalaman -pengamanan yang khusus. Pengerjaan-pengerjaaan logikd apat dilakukan dengan

berorientasike objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang langsung dialami anak. Anak itu belum memperhitungkan semua kemungkinan dan kemudian mencoba menemukan kemungkinan yang mana yangk akan terjadi. Anak masih terikat kepada pegakaman prib adi. Pengalaam anak masih kongkret dan belum formal. Dalam periode operasi kongkret, karateristik berpikir anak adalah sebagai berikut: a. Kombinasivitas atau klasifikasi adalah suatu operasi dua kelas atau lebih yang dikombinasikan ke dalam suatu kelas yan g lebih besar. Anak dapat membentuk variasi relasi kelas dan mengerti bahwa beberapa kelas dapat dimasukkan ke kelas lain. Misalnya semua

61

manusia lelaki dan semua manusia wanita adalah semua manusia. Hubungan A > B dan B > C menjadi A > C.

b. Reversibilitas adalah operasi kebalikan. Setiap operasi logik atau matematik dapat dikerjakan dengan operasi kebalikan. Misalnya, 5 + ? = 9 sama dengan 9 5 = ? Reversibilitas ini merupakan karakteristik utama untuk berpikir operasional di dalam teori Piaget.

c. Asosiasivitas adalah suatu operasi terhadap beberapa kelas yang dikombinasikan menurut sebarang urutan. Misalnya himpunan bilangan bulat, operasi +, berlaku hukum asosiatif terhadap penjumlahan.

d. Identitas adalah suatu operasi yang menunjukkan adanya unsur nol yang bila dikombinasikan dengan unsur atau kelas hasilnya tidak berubah. Misalnya,dalam himpunan bilangan bulat dengan operasi +, unsur nol adalh 0 sehingga 8 + 0 = 8. Demikian juga suatu jumlah dapat dinolkan dengan mengkombinasikan lawannya, misalnya 4 4 = 0. e. Korespondensi satu satu antara objek-objek dari dua kelas. Misalnya unsur dari suatu himpunan berkawan dengan satu unsur dari himpunan kedua dan sebaliknya.

f. Kesadaran adanya prinsip-prinsip konservasi. Konservasi berkenaan dengan kesadaran bahwa satu aspek dari benda, tetap sama sementara itu aspek lainnya berubah. Namun prinsip konservasi yang dimilikianak pada periode ini masih belum penuh. Anak pada periode ini dilandasi oleh observasi dari pengalaman dengan objek nyata, tetapi ia sudah mulai menggeneralisasi objek-objek tadi.

62

4.Periode Operasi Formal (> 12) tahun. Periode ini merupakan tahap terakhir dari keempat periode perkembangan intelektual. Periode operasi formal ini disebut juga disebut periode operasi hipotetik-deduktif yang merupakan tahap tertinggi dari perkmbangan intelektual. Anak-anak pada periode ini sudah memberikan alasan dengan menggunakan lebih banyak simbul atau gagasan dalam cara berpikir. Anak sudah dapat mengoperasikan argumen-argumen tanpa dikaitkan dengan benda-benda empirik. Ia mampu menggunakan prosedur seorang ilmuwan, yaitu menggunakan posedur hipotetik-deduktif. Anak mampu menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih baik dan kompleks dari pada anak yang masih dalam tahap periode operasi kongkre t. Konsep konservasi telah tercapai sepenuhnya.Anak sudah mampu menggunakan hubungan-hubungan di antara objek-objek apabila ternyata manipulasi objek-objek tidak memungkinkan. Anak telah mampu melihat hubungan hubungan abstrak dan menggunakan proposisi-proposisi logik-formal termasuk aksioma dan definisi- definisi verbal. Anak juga sudah dapat berpikir kombinatorik, artinya bila anak dihadapkan kepada suatu masalah, ia dapat mengisolasi itu faktor-faktor sehingga tersendiri atau

mengkombinasikan masalah tadi.

faktor-faktor

menuju

penyelesaian

Asimilasi adalah proses mendapatkan informasi dan pengalaman baru yang langsung menyatu dengan struktur mental yang sudah dimiliki seseorang. Adapun akomodasi adalah proses menstrukturkan kembali mental sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru tadi. Jadi, belajar itu tidak hanya menerima informasi dan pengalaman baru saja, tetapi juga terjadi penstrukturan kembali informasi dan pengalaman lainnya untuk mengakomodasikan informasi dan pengalaman yang baru. Misalnya di dalam struktur mental peserta didik telah ada

pengorganisasian dan pengelompokan bentuk-bentuk bujur sangkar, segi panjang dan parallelogram sebagai segi empat. Kemudian kepada peserta
63

didik itu diberikan lagi bentuk trapesium. Peserta didik itu me ngerti bahwa trapezium itupun merupakan segi empat dengan sifat yang sedikit berbeda dengan bentuk-bentuk yang telah dipelajari sebelumnya. Ini berarti peserta didik tersebut menyatukan objek baru itu ke dalam struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terjadilah proses asimilasi. Peristiwa itu juga berarti terjadinya penstrukturan kembali kognitif yang telah dimiliki oleh peserta didik karena datangnya informasi baru tentang trapesium tadi. Ini berarti terjadinya akomodasi. Perkembangan intelektual itu dipengaruhi oleh tiga factor berikut : a. Kematangan merupakan proses pertumbuhan psikologis dari otak dan sistem syaraf. Pengalaman juga mempunyai andil dalam pengembangan intelektual. Pengalaman yang dimaksud ada dua macam/; yaitu yang pertama, pengalaman fisik yang berupa interaksi setiap individu dengan objek-objek di lingkungannya: yang kedua, pengalaman logika-matematika yang berupa kegiatan mental yang ditampilkan individu dan struktur kognitifnya

diorganisasikan menurut pengalamannya. b. Transmisi social merupakan interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya. Hal ini amat penting bagi perkembangan mental anak. Piaget percaya bahwa operasi formal tidak akan berkembang di dalam pikiran tanpa adanya pertukaran dan koordinasi pendapat di antara orang-orang. c. Penyetimbangan (equilibration) merupakan proses adanya

kehilangan stabilitas di dalam struktur mental sebagai akibat pengalaman dan informasi baru dan kembali setimbang melalui proses asimilasi dan akomodasi. Sebagai hasil dari penyetimbangan itu, struktur mental berkembang dan menjadi matang.

Ketiga factor itu harus ada agar seseorang berkembang dari satu periode ke periode berpikir yang lebih tinggi.
64

Proses penyetimbangan juga terjadi dalam belajar. Misalnya seseorang mendapat gagasan yang tidak terorganisasikan melalui kontak social atau pengalaman dari lingkungan, tetapi butir-butir itu terdapat perbedaan, perbedaan ini harus menjadi harmonis. Maka terjadilah proses penyetimbangan itu (logika matematika). Perkembangan Intelektual Anak dalam Belajar

Menurut Ruseffendi (1992), untuk dapat mengajarkan konsep matematika pada anak dengan baik dan mudah dimengerti, maka materi yang akan disampaikan hendaknya diberikan pada anak yang sudah siap intelektualnya untuk menerima materi tersebut. Contoh, meskipun anak berumur 3 tahun sudah dapat menghitung angka 1 10, tetapi dia belum mengerti bilangan 1, 2, dan seterusnya. Oleh karena itu, dia akan kesulit an jika harus belajar tentang bilangan. Agar anak dapat mengerti materi matematika yang dipelajari, maka dia harus sudah siap menerima materi tersebut, artinya anak sudah mempunyai hukum kekekalan dari jenjang materi matematika yang dipelajari. Menurut piaget (dalam Ruseffendi; 1992), ada enam tahap dalam perkembangan belajar anak yang disebut dengan hukum kekekalan, sebagai berikut: 1. Hukum Kekekalan Bilangan (6 7 tahun) Anak yang telah memahami hukum kekekalan bilangan akan mengerti bahwa banyaknya suatu benda-benda akan tetap meskipun letaknya berbeda-beda atau diubah letaknya. Anak yang sudah memahami hukum kekekalan bilangan sudah siap untuk menerima pelajaran konsep bilangan dan operasinya. Sementara itu, anak yang belum memahami hukum kekekalan bilangan baginya belum waktunya mendapatkan

65

pelajaran operasi penjumlahan dan operasi hitung lainnya. Hukum kekekalan bilangan biasanya dipahami anak pada usia 6 7 tahun. 2. Hukum Kekekalan Materi ( 7 8 tahun) Anak yang sudah memahami hukum kekekalan materi atau zat akan mengatakan bahwa materi atau zat akan tetap sama banyaknya meskipun diubah bentuknya atau dipindah tempatnya. Sedangkan anak yang belum memahami hukum kekekalan materi akan mengatakan, bahwa air pada dua mangkok yang berbeda besarnya menjadi tidak sama, meskipun anak tersebut tahu bahwa air itu dituangkan dari dua bejana yang sama besar dan sama banyaknya. Anak yang belum memahami hukum kekekalan materi belum dapat melihat persamaan atau perbedaan dari satu sudut pandang saja. Contohnya, anak yang sudah dapat membedakan bilangan ganjil dan genap, bilangan kelipatan 3 dan bukan kelipatan 3, dan sebagainya. Masih akan kesulitan jika disuruh menentukan bilangan prima genap, atau bilangan genap kelipatan lima, dan sebagainya. Pada umumnya, anak memahami hukum kekekalan materi pada usia sekitar 7 8 tahun. 3. Hukum Kekekalan Panjang (8 - 9 tahun) Anak yang telah memahami hukum kekekalan panjang akan mengatakan bahwa panjang tali akan tetap meskipun tali itu

dilengkungkan. Sedangkan anak yang belum memahami hukum kekekalan panjang akan mengatakan bahwa dua utas tali yang tadinya sama panjang waktu direntangkan, menjadi tidak sama panjang bila yang satunya dilengkungkan sedangkan yang satunya lagi tidak. Anak yang belum memahami hukum kekekalan panjang akan memperoleh kesulitan dalam mempelajari konsep pengukuran, terutama pengukuran panjang benda -

66

benda yang tidak lurus. Hukum kekekalan panjang biasanya dipahami oleh anak pada usia sekitar 8 - 9 tahun. 4. Hukum Kekekalan Luas (8 9 tahun) Hukum kakakalan luas biasanya dipahami anak bersamaan dengan hukum kekekalan panjang, yaitu pada usia sekitar 8 - 9 tahun. Anak yang sudah memahami hukum kekekalan luas akan memahami bahwa luas daerah yang ditutupi suatu benda akan tetap sama meskipun letak bendanya diubah. Sedangkan anak yang belum memahami hukum kekekalan luas cenderung mengatakan bahwa luas daerah yang ditutupi 4 persegi kongruen yang diletakkan tersebar (tidak berimpit) lebih luas dari pada daerah yang ditutupi oleh 4 persegi kongruen yang diletakkan berimpitan. Anak yang belum memahami hukum kekekalan luas akan kesulitan belajar luasan suatu daerah. Misalnya, dalam menemukan rumus luas jajarangenjang yang diturunkan dari rumus luas persegi panjan g. 5. Hukum Kekekalan Berat (9 10 tahun) Hukum kekekalan berat menyatakan bahwa berat suatu benda akan tetap meskipun bentuk, tempat, dan atau penimbangan benda tersebut berbeda. Pada umumnya anak akan memahami hukum kekekalan berat setelah berusia sekitar 9 10 tahun 6. Hukum Kekekalan Isi (14 15 tahun) Hukum kekekalan isi menyatakan bahwa jika pada suatu bak atau bejana yang penuh dengan air dimasukan suatu benda, maka air yang ditumpahkan dari bak atau bejana tersebut sama dengan isi benda yang dimasukannya. Pada umumnya anak akan memahami hukum kekekalan isi pada usia sekitar 14 15 tahun atau mungkin sebelumnya. Untuk hukum kekekalan isi, karena pada umumnya belum dipahami pada anak SD, maka tidak dibahas lebih lanjut, dalam bahan ajar ini

67

F. TEORI GESTALT
Tokoh Gestalt Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan proses persepsi melalui pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi kesatuan. Teori gestalt beroposisi terhadap teori strukturalisme. Teori gestalt cenderung berupaya mengurangi pembagian sensasi menjadi bagian-bagian kecil. Max Wertheimer (1880-1943)

Belajar pada Kuelpe, seorang tokoh aliran Wuerzburg. Bersama-sama dengan Wolfgang Koehler (1887-1967) dan Kurt Koffka (1887-1941) melakukan eksperimen yang akhirnya menelurkan ide Gestalt. Tahun 1910 ia mengajar di Univeristy of Frankfurt bersama-sama dengan Koehler dan Koffka yang saat itu sudah menjadi asisten di sana. Konsep pentingnya : phi phenomenon (bergeraknya obyek statis menjadi rangkaian gerakan yang dinamis setelah dimunculkan dalam waktu singkat dan dengan demikian memungkinkan manusia melakukan interpretasi). Dengan konsep ini, Wertheimer menunjuk pada proses interpretasi dari sensasi obyektif yang kita terima. Proses ini terjadi di otak dan sama sekali bukan proses fisik, tetapi proses mental. Dengan pernyataan ini ia menentang pendapat Wundt yang menunjuk pada proses fisik sebagai penjelasan phi phenomenon. Kurt Lewin (1890-1947)

Pandangan Gestalt diaplikasikan dalam field psychology dari Kurt Lewin. Lewin adalah salah seorang ahli yang sangat kuat menganjurkan pemahaman tentang lapangan psikologis seseorang.

68

Konsep utama Lewin adalah Life Space, yaitu lapangan psikologis tempat individu berada dan bergerak. Lapangan psikologis ini terdiri dari fakta dan obyek psikologis yang bermakna dan menentukan perilaku individu (B=f L). Tugas utama psikologi adalah meramalkan perilaku individu berdasarkan semua fakta psikologis yang eksis dalam lapangan psikologisnya pada waktu tertentu . Gerakan individu mencapai tujuan (goal) disebut locomotion. Prinsip dasar Gestalt 1. Interaksi antara individu dan lingkungan disebut sebagai perceptual field. Setiap perceptual field memiliki organisasi, yang cenderung dipersepsikan oleh manusia sebagai figure and ground. Oleh karena itu kemampuan persepsi ini merupakan fungsi bawaan manusia, bukan skill yang dipelajari. Pengorganisasian ini mempengaruhi makna yang dibentuk.

2. Prinsip-prinsip pengorganisasian: Principle of Proximity: bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu. Principle of Similarity: bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu. Principle of Objective Set: Organisasi berdasarkan mental set yang sudah terbentuk sebelumnya Principle of Continuity: Organisasi berdasarkan kesinambungan pola Principle of Closure/ Principle of Good Form: bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap. Principle of Figure and Ground: yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warnadan

69

sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, makaakan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure. Contoh: perubahan nada tidak akan merubah persepsi tentang melodi. Principle of Isomorphism: Organisasi berdasarkan konteks.

Aplikasi prinsip Gestalt Proses belajar adalah fenomena kognitif. Apabila individu mengalami proses belajar, terjadi reorganisasi dalam perceptual fieldnya. Setelah proses belajar terjadi, seseorang dapat memiliki cara pandang baru terhadap suatu problem. Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain : a. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal

keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa. b. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsurunsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan

pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya. c. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan

70

sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya. d. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik. e. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya. Insight Pemecahan masalah secara jitu yang muncul setelah adanya proses pengujian berbagai dugaan/kemungkinan. Setelah adanya pengalaman insight, individu mampu menerapkannya pada problem sejenis tanpa perlu melalui proses trial-error lagi. Konsep insight ini adalah fenomena penting dalam belajar, ditemukan oleh Koehler dalam eksperimen yang sistematis. Memory Hasil persepsi terhadap obyek meninggalkan jejak ingatan. Dengan berjalannya waktu, jejak ingatan ini akan berubah pula sejalan dengan prinsip-prinsip organisasional terhadap obyek. Penerapan Prinsip of Good

71

Form seringkali muncul dan terbukti secara eksperimental. Secara sosial, fenomena ini juga menjelaskan pengaruh gosip/rumor. Ada beberapa hal yang patut dicatat sebagai implikasi dari aliran Gestalt. Implikasi Gestalt Pendekatan fenomenologis menjadi salah satu pendekatan yang eksis di psikologi dan dengan pendekatan ini para tokoh Gestalt menunjukkan bahwa studi psikologi dapat mempelajari higher mental process, yang selama ini dihindari karena abstrak, namun tetap dapat mempertahankan aspek ilmiah dan empirisnya. Pandangan Gestalt menyempurnakan aliran behaviorisme dengan

menyumbangkan ide untuk menggali proses belajar kognitif, berfokus pada higher mental process. Adanya perceptual field diinterpretasikan menjadi lapangan kognitif dimana proses-proses mental seperti persepsi, insight,dan problem solving beroperasi. Tokoh: Tolman dan Koehler. Psikologi Gestalt bermula pada lapangan pengamatan (persepsi) dan mencapai sukses yang terbesar juga dalam lapangan ini. Demonstrasinya mengenai peranan latar belakang dan organisasinya terhadap proses-proses yang diamati secara fenomenal demikian meyakinkan sehingga boleh dikatakan tidak dapat di bantah.

Keseluruhan ini memberikan beberapa prinsip belajar yang penting, antara lain : 1. Manusia bereaksi dengan lingkungannya secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional, sosial dan sebagainya 2. Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan.

72

3. Manusia berkembang sebagai keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa, lengkap dengan segala aspek-aspeknya. 4. Belajar adalah perkembangan kearah diferensiasi ynag lebih luas. 5. Belajar hanya berhasil, apabila tercapai kematangan untuk memperoleh insight. 6. Tidak mungkin ada belajar tanpa ada kemauan untuk belajar, motivasi memberi dorongan yang mengerakan seluruh organisme. 7. Belajar akan berhasil kalau ada tujuan. 8. Belajar merupakan suatu proses bila seseorang itu aktif, bukan ibarat suatu bejana yang diisi.

Belajar sangat menguntungkan untuk kegiatan memecahkan masalah. Hal ini nampaknya juga relevan dengan konsep teori belajar yang diawali dengan suatu pengamatan. Belajar memecahkan masalah diperlukan suatu pengamatan secara cermat dan lengkap. Kemudian bagaimana seseorang itu dapat memecahkan masalah menurut J. Dewey ada 5 upaya pemecahannya yakni: 1. Realisasi adanya masalah. Jadi harus memahami apa masalahnya dan juga harus dapat merumuskan. 2. Mengajukan hipotesa, sebagai suatu jalan yang mungkin memberi arah pemecahan masalah. 3. Mengumpulkan data atau informasi, dengan bacaan atau sumber-sumber lain. 4. Menilai dan mencoba usaha pembuktian hipotesa dengan keteranganketerangan yang diperoleh. 5. Mengambil kesimpulan, membuat laporan atau membuat sesuatu dengan hasil pemecahan soal itu. Teori medan ini mengibaratkan pengalaman manusia sebagai lagu atau melodi yang lebih daripada kumpulan not, demikian pula pengalaman manusia tidak dapat dipersepsi sebagai sesuatu yang terisolasi dari lingkungannya. Dengan

73

kata lain berbeda dengan teori asosiasi maka toeri medan ini melihat makna dari suatu fenomena yang relatif terhadap lingkungannya . Belajar bukan merupakan penjumalahan (aditif), sebaliknya belajar mulai dengan mempersepsi keseluruhan, lambat laun terjadi proses diferensiasi, yakni menangkap bagian bagian dan detail suatu objek pengalaman. Dengan memahami bagian / detail, maka persepsi awal akan keseluruhan objek yang semula masih agak kabur menjadi semakin jelas.

G. TEORI THORNDIKE
Biografi Edward Lee Thorndike. Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang berkebangsaan Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental and social Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateachers Word Book (1921),Your City (1939), dan Human Nature and The Social Order (1940). Edward lee thorndike meski secara teknis seorang fungsionalis, namun ia telah membentuk tahapan behaviorisme Rusia dalam versi Amerika. Thorndike (1874-1949) mendapat gelar sarjananya dari Wesleyan University di Connecticut pada tahun 1895, dan master dari Hardvard pada tahun 1897. ketika disana, dia mengikuti kelasnya Williyams James dan merekapun cepat menjadi akrab.dia menerima bea siswa di Colombia, dan mendapatkan gelar PhD-nya tahun 1898. kemudian dia tinggal dan mengajar di Colombia sampai pension pada tahun 1940. Dan dia menerbitkan suatu buku yang berjudul Animal intelligence, An experimental study of associationprocess in Animal. Buku ini yang merupakan hasil penelitian Thorndike terhadap tingkah beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, dan burung.yang mencerminkan prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh Thorndike yaitu bahwa dasar dari belajar (learning) tidak laian

74

sebenaranya adalah asosiasi, suatu stimulum akan menimbulkan suatu respon tertentu. Teori ini disebutdengan teori S-R. dalam teori S-R di katakana bahwa dalam proses belajar, pertama kali organisme (Hewan, Orang) belajar dengan cara coba salah (Trial end error). Kalau organisme berada dalam suatu situasi yang mengandung masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan serentakan tingkah laku dari kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk memecahkan masalah itu. Berdasarkan pengalaman itulah , maka pada saat menghadai masalah yang serupa, organisme sudah tahu tingkah laku mana yang harus di keleluarkan nya untuk memecahkan masalah. Ia mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan suatu tingkah laku tertentu. Seekor kucing misalnya, yang di masukkan dalam kandang yang terkunci akan bergerak, berjalan, meloncat, mencakar dan sebagainya sampai suatu saat secara kebetulan ia menginjak suatu pedal dalam kandang itu sehingga kandang itu terbuka. Sejak itu, kucing akan langsung menginjak pedal kalau ia dimasukkan dalam kandag yang sama. Teori Edward Lee Thorndike. Pada mulanya, pendidikan dan pengajaran di amerika serikat di dominasi oleh pengaruh dari Thorndike (1874-1949) teori belajar Thorndike di sebut Connectionism karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini sering juga disebut Trial and error dlam rangkan menilai respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing, dan tingkah laku anak-anak dan orang dewasa. Objek penelitian di hadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon situasi itu, dalam hal ini objek mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya.

75

Ciri-ciri belajar dengan trial and error : 1. Ada motif pendorong aktivitas 2. ada berbagai respon terhadap situasi 3. ada aliminasi respon-respon yang gagal atau salah 4. ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu. Hukum-hukum yang digunakan Edward L.T 1. Hukum kesiapan (Law of Readiness) : adanya kematangan fisiologis untuk proses belajar tertentu, misalnya kesiapan belajar membaca. Isi teori ini sangat berorientasi pada fisiologis 2. Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila ikatan antara stimulus dan respon lebih sering terjadi, maka ikatan itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hukum ini adalah semakin sering suatu pengetahuanyang telah terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara stimulus dan respondilatih (digunakan), maka ikatan tersebut akan semakin kuat. Jadi, hukum ini menunjukkan prinsip utama belajar adalah pengulangan. Semakin sering suatu materi pelajaran diulangi maka materi pelajaran tersebut akan semakin kuat tersimpan dalam ingatan (memori). 3. Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat. Konkretnya adalah sebagai berikut: Misalkan seorang siswa diminta untuk menyelesaikan suatu soal matematika, setelah ia kerjakan, ternyata jawabannya benar, maka ia merasa senang/puas dan akibatnya antara soal dan jawabannya yang benar itu akan kuat tersimpan dalam ingatannya. Hukum ini dapat juga diartikan, suatu tindakan yang diikuti akibat yang menyenangkan, maka tindakan

76

tersebut cenderung akan diulangi pada waktu yang lain. Sebaliknya, suatu tindakan yang diikuti akibat yang tidak menyenangkan, maka tindakan tersebut cenderung akan tidak diulangi pada waktu yang lain. Dalam hal ini, tampak bahwa hukum akibat tersebut ada hubungannya dengan pengaruh ganjaran dan hukuman. Ganjaran yang diberikan guru kepada pekerjaan siswa (misalnya pujian guru terhadap siswa yang dapat menyelesaikan soal matematika dengan baik)

menyebabkan peserta didik ingin terus melakukan kegiatan serupa. Sedangkan hukuman yang diberikan guru atas pekerjaan siswa (misalnya celaan guru terhadap hasil pekerjaan matematika siswa) menyebakan siswa tidak lagi mengulangi kesalahannya. Namun perlu diingat, sering terjadi, bahwa hukuman yang diberikan guru atas pekerjaan siswa justru membuat siswa menjadi malas belajar dan bahkan membenci pelajaran matematika. Selain hukum-hukum di atas, Thorndike juga mengemukakan konsep transfer belajar yang disebutnya transfer of training. Konsep ini maksudnya adalah penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki siswa untuk menyelesaikan suatu masalah baru, karena di dalam setiap masalah, ada unsur-unsur dalam masalah itu yang identik dengan unsur-unsur pengetahuan yang telah dimiliki. Unsur-unsur yang identik itu saling berasosiasi sehingga memungkinkan masalah yang dihadapi dapat diselesaikan. Unsur-unsur yang saling berasosiasi itu membentuk satu ikatan sehingga menggambarkan suatu kemampuan. Selanjutnya, setiap kemampuan harus dilatih secara efektif dan dikaitkan dengan kemampuan lain. Misalnya, kemapuan melakukan operasi aritmetik (penjumlahan,

pengurangan, perkalian, dan pembagian) yang telah dimiliki siswa, haruslah dilatih terus dengan mengerjakan soal-soal yang berikaitan dengan operasi aritmetik. Dengan demikian kemampuan mengerjakan operasi aritmetika tersebut menjadi mantap dalam pikiran siswa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa transfer belajar dapat tercapai dengan sering melakukan latihan.

77

Aplikasi teori Thorndike dalam dunia pendidikan dan pengajaran Aplikasi Teori Thorndike dalam dunia pendidikan dan pengajaran Menurut Thorndike praktek pendidikan harus dipelajari secara ilmiah dan praktek pendidikan harus dihubungkan dengan proses belajar. Mengajar bukanlah mengharapkan murid tahu apa yang diajarkan. Mengajar yang baik adalah : tahu tujuan pendidikan, tahu apa yang hendak diajarkan artinya tahu materi apa yang harus diberikan, respons yang akan diharapkan dan tahu kapan hadiah selayaknya diberikan kepada peserta didik. Beberapa aturan yang dibuat Thorndike berhubungan dengan pengajaran: Perhatikan situasi peserta didik Perhatikan respons yang diharapkan dari situasi tersebut Ciptakan hubungan respons tersebut terjadi dengan sengaja, jangan

mengharapkan

hubungan

dengan

sendirinya.

Situasi-situasi yang sama jangan diindahkan sekiranya memutuskan hubungan tersebut. Buat hubungan sedemikian rupa sehingga menghasilkan perbuatan nyata dari peserta didik Bila hendak menciptakan hubungan tertentu jangan membuat hubunganhubungan lain yang sejenis Ciptakan suasana belajar sedemikian rupa sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari

78

79

You might also like