You are on page 1of 12

MAKALAH ETIKA BISNIS DAN PROFESI AKUNTANSI

Oleh : Devi Dwi Octafianti 0851393 AK-1

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA JL.Prof.Drg. Suria Sumantri,MPH No.65 Bandung

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah

Kehadiran dunia usaha sangat berperan penting dalam menopang kegiatan perekonomian masyarakat dan bangsa. Dunia usaha akan mendorong menguatnya sektor riil masyarakat dan sekaligus akan menyerap tenaga kerja serta mengurangi pengangguran. Perkembangan dunia usaha terutama di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang atau jasa. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan jasa yang ditawarkan semakin bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.

Kondisi demikian, di satu sisi mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen mengenai barang dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan jasa sesuai keinginan dan kemampuan konsumen. Namun disisi lain, kondisi dan fenomena tersebut dapat

mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, di mana konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi obyek aktifitas untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan. Dalam hal ini yang menjadi kelemahan konsumen, faktor utamanya adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Terlebih ketika para pelaku usaha menggunakan prinsip ekonomi, yakni bagaimana mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ekonomi ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan, pada umumnya pihak konsumen mempunyai posisi tawar yang lebih lemah dibandingkan dengan pelaku usaha. Sehingga konsumen terkadang tidak dapat berbuat banyak ketika menerima barang dan atau jasa yang kondisnya kurang sesuai dengan yang ditawarkan oleh pelaku usaha.

Sehubungan dengan itu, sudah semestinya dunia usaha juga harus memiliki tata kelola usaha yang baik dan tidak merugikan kepentingan masyarakat, khususnya para konsumen. Salah satu solusinya, perlu diberlakukannya dan ditegakkannya prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) bagi dunia usaha dan praktek bisnis pada umumnya, sebagai pedoman dan parameter kinerja dunia usaha dalam menjalankan aktifitasnya. Dalam hal ini kontrol dan pengawasan publik terhadap praktek bisnis dapat melibatkan baik dari unsur pemerintah, masyarakat dan kalangan dunia usaha sendiri.

Karena itu perlu adanya keikutsertaan sektor swasta untuk melakukan pengawasan terhadap praktek bisnis beretika dan berkelanjutan, termasuk dalam penyelengaraan negara dan pemerintahan yang berkait dengan kepentingan sektor swasta dan berdampak luas bagi masyarakat. Sehubungan dengan itu perlu dibentuk sebuah instrumen yang efektif seperti ombudsman (pejabat atau badan yang bertugas menyelidiki berbagai keluhan masyarakat) swasta dalam rangka membantu dunia usaha dalam mewujudkan praktek sektor usaha yang beretika berkelanjutan, sehingga mampu memberikan pelayanan, menjalani proses produksi, dan menghasilkan produk yang melindungi publik konsumen dan sesuai dengan standar yang seharusnya.

1.2.

Identifikasi Masalah

Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Apa masalah penerapan GCG pada PT.KAI ? 2. Apa saja langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut?

1.3.

Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk dapat mengerti dan memahami bagaimana cara mengaplikasikan materi yang ada di perkuliahan ke dalam suatu kasus yang menyangkut dengan etika bisnis. Dalam makalah ini terutama mengenai Good Corporate Governance bagi dunia usaha dalam mewujudkan tata kelola usaha yang dan diajukan untuk memenuhi syarat kelulusan mata kuliah Etika Bisnis dan Profesi Akuntansi.

BAB II LANDASAN TEORI

2.1

Prinsip-prinsip Good Corporate Governance Pada dasarnya prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) sudah lama menjadi

fokus perhatian di negara-negara maju, seperti di Amerika, Prancis, Inggris, Jepang, Korea yang kemudian juga menyebar ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Pada dasarnya prinsip GCG menghendaki keberadaan dunia usaha dan praktek bisnis pada umumnya harus dapat menyeimbangkan antara profit orientation dengan customer service. Dunia usaha dapat mengembangkan modal dan keuntungan sebesar-besarnya, tetapi di sisi lain juga harus memenuhi aturan main (rule of game) yang berlaku, sehingga dapat memberikan pelayanan yang baik dan bermutu kepada masyarakat konsumen.

Adapun secara umum prinsip-prinsip GCG adalah sebagai berikut :

1. Prinsip Kepatuhan terhadap Aturan dan Hukum. Prinsip kepatuhan terhadap hukum yang dimaksud di sini adalah ketaatan penyelenggaraan usaha atau bisnis terhadap hukum yang berlaku. Secara tertulis hukum itu dapat berupa undang-undang dan peraturan pemerintah, atau kesepakatan tertulis antara dua orang atau lebih. Selain hukum formal, juga terdapat hukum non formal yang merupakan konsensus sebuah kelompok masyarakat.

2. Prinsip Transparansi atau Keterbukaan Prinsip transparansi adalah prinsip untuk bersedia melakukan keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan mengemukakan informasi materil yang relevan mengenai jasa, produk, dan kebijakan dari institusi atau perusahaan kepada stakeholder dan shareholder , baik yang berhubungan dengan internal maupun eksternal. Transparansi sering juga diidentikkan dengan kesempurnaan atau keutuhan informasi.

3. Prinsip Akuntabilitas/Tanggung Gugat ( accountability ) Prinsip akuntabilitas atau tanggung gugat adalah prinsip bisnis beretika berkelanjutan yang berkaitan dengan kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban manajemen perusahaan atau institusi sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif dan efesien.

4. Prinsip Pertanggungjawaban ( responsibility ) Prinsip pertanggungjawaban adalah prinsip kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan atau institusi terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Selain itu prinsip ini juga bermakna pemenuhan kewajiban institusi atau perusahaan kepada semua pemangku kepentingan baik di internal maupun eksternal yang menjadi hak mereka.

5. Prinsip Kewajaran ( fairness ) Prinsip kewajaran adalah prinsip pengelolaan perusahaan atau institusi yang didasarkan pada keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Prinsip Kejujuran ( honesty ) Prinsip kejujuran adalah prinsip kesesuaian antara perkataan, perbuatan dengan kondisi sebenarnya dan atau aturan yang ada menyangkut materi atau informasi yang relevan dalam kegiatan, praktek atau pengelolaan perusahaan atau institusi. Secara praktis adalah tidak adanya kebohongan antara perusahaan dengan semua stakeholder dan shareholder menyangkut materi dan informasi yang relevan bagi mereka.

7. Prinsip Empati ( compassion ) Prinsip empati adalah prinsip perlakuan kepada stakeholder dan shareholder oleh sebuah perusahaan atau institusi sebagaimana mereka sendiri ingin diperlakukan dalam pengelolaan bisnis atau usaha. Secara operasional adalah bagaimana memperlakukan pihak lain seolah-olah memperlakukan diri sendiri. Jika diri sendiri tidak ingin dibohongi, maka pihak lain juga menginginkan yang sama. Jika diri sendiri ingin diperlakukan sopan, maka semestinya memperlakukan pihak lain dengan sopan juga.

8. Prinsip Kemandirian ( independence ) Prinsip kemandirian merupakan suatu keadaan dimana perusahaan atau institusi dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.

2.2. Teori dan Best Practices dalam Good Corporate Governance.

Menurut teori dan best practices dalam good corporate governance, Dewan Komisaris dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya memiliki 3 fungsi, yaitu :

Advising. Memberi nasehat bagaimana seharusnya Direksi bersikap. Protecting. Melindungi perusahaan dari sesuatu yang tidak diharapkan. Misalnya: memberikan argumentasi dan pendapat independen yang kuat atas sesuatu yang dapat merugikan perusahaan dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip GCG.

Supervising Mengawasi pengelolaan perusahaan agar mampu menciptakan value yang optimal bagi stakeholders.

Komite Audit merupakan tools Dewan Komisaris. Peran vital yang dijalankan oleh Komite Audit adalah membantu Dewan Komisaris dalam 3 hal tersebut diatas, yaitu advising, supervising dan protecting. Khusus dalam proses audit, Komite Audit memainkan peranan yang sangat penting dalam :

Mereview audit plan Mendiskusikan penunjukan auditor eksternal. Mereview transaksi-transaksi besar untuk dilaporkan kepada Dewan Komisaris, kemudian Dewan Komisaris berkomunikasi dengan Direksi.

Agar pengawasan Dewan Komisaris dapat berjalan dengan baik, Komite Audit dapat membantu a. Dewan Komisaris untuk memberikan nasehat dengan cara :

Mereview sistem internal control, ada pemisahan fungsi atau tidak (internal control bagus atau tidak. Hal ini dilaporkan kepada Dewan Komisaris.

setting) b.

Komunikasi antara Komite Audit, Dewan Komisaris dan Manajemen. Seharusnya Komite Audit membantu Dewan Komisaris dalam menelaah/mereview

laporan manajemen karena tidak selalu 100 % laporan keuangan dipahami oleh Dewan Komisaris, terutama karena latar belakang yang bukan keuangan. Jadi fungsi Komite Audit adalah mentransformasikan angka-angka kedalam suatu bentuk usulan kepada Dewan Komisaris agar Dewan Komisaris dapat memberikan advise kepada Direksi.

BAB III PEMBAHASAN

Penerapan GCG dalam suatu perusahaan diperlukan konsistensi, komitmen, dan pemahaman yang jelas dari seluruh stakeholders perusahaan mengenai bagaimana seharusnya proses tersebut dijalankan. Apabila ketiga hal tersebut diatas masih belum dimiliki oleh perusahaan, maka dapat dipastikan bahwa GCG bagi perusahaan hanya sebagai pemenuhan peraturan (formalitas) dan belum dapat dianggap sebagai bagian dari sistem pengawasan yang efektif. Mengamati kasus-kasus yang terjadi baik di BUMN (PT KAI, misalnya) maupun Perusahaan Publik, maka dapat disimpulkan sementara bahwa penerapan proses GCG masih setengah hati, belum dipahami dan diterapkan seutuhnya, terutama oleh top management sebagai pengambil keputusan stratejik. Terlebih lagi pemahaman pemegang saham atas GCG yang masih belum memadai. Meskipun secara umum regulasi yang berkaitan dengan prinsip-prinsip GCG sudah ada, tetapi dalam hal pengawasan dan penegakannya masih lemah. Dalam konteks itulah, perlunya kehadiran lembaga seperti ombudsman swasta yang diharapkan sebagai lembaga yang dipercaya publik, transparan dan dapat mewakili masyarakat dalam mengawasi tingkat

kepatuhan dan kepatutan dalam tata kelola usaha dan paktek-praktek bisnis yang baik dan menjamin hak-hak konsumen. Ombudsman Swasta berfungsi sebagai pengawas, mediasi dan memberikan rekomendasi penyelenggaraan usaha yang beretika dan berkelanjutan untuk menjamin dan melindungi kepentingan masyarakat dari praktek penyimpangan usaha. Pembahasan meliputi bagaimana proses tata kelola yang dijalankan dalam suatu perusahaan, dan bagaimana peran dari tiap-tiap organ pengawas di dalam memastikan penyajian laporan keuangan tidak salah saji dan mampu menggambarkan keadaan keuangan perusahaan yang sebenarnya. Pada makalah ini mengamati kasus PT. KAI yang bermuara pada perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris, khususnya Komisaris yang merangkap sebagai Ketua Komite Audit dalam hal masalah piutang PPN, masalah beban ditangguhkan yang berasal dari penurunan nilai persediaan, masalah persediaan dalam perjalanan, masalah Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBDS) dan Penyertaan Modal Negara (PMN). Hal itu disebabkan karena rumitnya laporan keuangan PT. KAI. Hal ini karena terdapat ratusan stasiun, puluhan depo dan gudang yang seluruhnya memiliki laporan keuangan yang terpisah. Selain beberapa hal teknis tersebut diatas, beberapa hal yang diidentifikasi turut berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT. Kereta Api adalah :

1. Auditor Internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya Auditor Eksternal. 2. Komite Audit tidak ikut dalam proses penunjukan auditor sehingga tidak terlibat dalam proses audit. 3. Manajemen (termasuk auditor internal) tidak melaporkan kepada Komite Audit dan Komite Audit juga tidak menanyakannya. 4. Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun, sehingga ketika Komite Audit mempertanyakannya manajemen merasa tidak yakin.

Solusi :

Perselisihan antara Dewan Komisaris dan Direksi sebenarnya dapat diselesaikan dengan cara yang lebih elegan. Apabila Dewan Komisaris merasa Direksi tidak capable memimpin perusahaan, Dewan Komisaris dapat mengusulkan kepada pemegang saham untuk mengganti Direksi.

Dewan komisaris dan komite audit harus tahu dan mampu melaksanakan pekerjaan sesuai dengan posisi dan fungsinya masing-masing. Terciptanya komunikasi yang intens antara Auditor Eksternal, Auditor internal dengan Komite Audit sangat diperlukan.

Komunikasi antara dewan komisaris, komite audit, manajemen dan auditor internal harus tercipta agar pengawasan dan pengendalian manajemen secara keseluruhan dapat efektif. Mereka harus tahu, mau dan mampu melaksanakan tugas dan fungsi sesuai dengan posisinya diperusahaan. Budayakan pengawasan berlapis mulai dari individual control, internal control, dan eksternal control. Rekomendasi : 1. Harus ada upaya untuk membenarkan kesalahan tahun-tahun lalu, karena konsistensi yang salah tidak boleh dipertahankan. 2. Komite Audit tidak berbicara kepada publik, karena esensinya Komite Audit adalah organ Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit harus disampaikan kepada Dewan Komisaris. 3. Komite Audit dan Dewan Komisaris sebaiknya melakukan inisiatif untuk membangun budaya pengawasan dalam perusahaan melalui proses internalisasi. 4. Komite Audit berperan aktif dalam mengkoordinasikan seluruh tahapan proses auditing, mulai dari penunjukan, pembuatan program, mengevaluasi dan memberikan hasil evaluasi kepada Dewan Komisaris, yang akan mengkomunikasikannya kepada Direksi. 5. Manajemen menyusun laporan keuangan secara tepat waktu, akurat dan full disclosure.

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN

Menjadi suatu keniscayaan bahwa dunia usaha dan praktek bisnis pada umumnya perlu memperhatikan prinsip-prinsip GCG, agar warga masyarakat dan konsumen pada khususnya memperoleh pelayanan yang baik, berkualitas, profesional dan proporsional. Dunia usaha tidak hanya berorientasi keuntungan semata, tetapi juga harus memberikan layanan konsumen yang prima. Kehadiran ombudsman swasta menjadi sangat penting sebagai pengawas, mediator dan memberikan rekomendasi penyelenggaraan usaha yang beretika dan berkelanjutan untuk menjamin dan melindungi kepentingan masyarakat dari praktek penyimpangan usaha

You might also like