You are on page 1of 7

1

Otonomi Daerah dan Integrasi Bangsa


(Jarot S Suroso)

ABSTRAKSI

Berbagai temuan mutakhir mengenai dampak otonomi daerah serta


hubungannya dengan integrasi bangsa sering dikaji belakangan ini. Selama
30 tahun masa orde baru pemerintah hanya memfokuskan pada
pertumbuhan tanpa memikirkan pemerataan di tingkat daerah yang pada
waktu itu selaku berdasarkan UU No. 5/1974. Makalah ini diharapkan dapat
menyimak berbagai permasalahan yang terjadi sebagai acuan untuk
menghindari berulangnya kesalahan; mengangkat berbagai potensi yang
ada; serta mengulas bagaimana dan sejauhmana pendinamisan dan
pemberdayaan kembali dilaksanakannya otonomi daerah. Isu-isu yang
relevan perlu dikaji secara cermat untuk kepentingan penelitian, penetapan
kebijakan dan pendampingan, agar pelaksanaan otonomi daerah tidak lagi
mengabaikan rasa keadilan rakyat di tingkat daerah. Selanjutnya, diharapkan
dapat diwujudkan pemerintahan daerah yang demokratis, bernafaskan
kerakyatan, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya setempat dalam
mencapai ‘masyarakat warga’/‘masyarakat madani’ yang selanjutnya tidak
akan mengganggu proses integrasi bangsa.

Kata Kunci: Otonomi Daerah, Integrasi Bangsa

Jarot S. Suroso
2

1. Latar Belakang

Perjalan otonomi daerah di Indonesia selalu menarik untuk diikuti. Diawali


tumbangnya pemerintahan Orde Baru yang sentralistis, reformasi tata
pemerintahan akhirnya melahirkan model desentralisasi yang paling masif di
dunia. Pemerintah daerah pada waktu yang bersamaan langsung menerima
sebelas kewenangan wajib yang harus dilaksanakan. Mulai kewenangan
bidang pendidikan hingga ketenagakerjaan.

Hanya lima kewenangan yang diurusi pemerintah pusat. Yaitu, kewenangan


bidang pertahanan dan keamanan, hukum dan peradilan, moneter, agama,
dan hubungan luar negeri. Selebihnya, di luar sebelas kewenangan wajib dan
lima kewenangan pemerintah pusat, itu dibagi habis antara pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Pada perkembangannya, di antara sebelas kewenangan wajib yang


diserahkan pada pemerintah kabupaten/kota itu, beberapa ditarik kembali
pemerintah pusat. Misalnya, kewenangan bidang pertanahan, industri, dan
perdagangan serta sebagian kewenangan bidang kesehatan dan pendidikan.
Instrumen hukum penarikan kembali beberapa kewenangan tersebut
bervariasi. Mulai UU sektoral, peraturan pemerintah (PP), hingga surat
edaran menteri.

Puncak penarikan beberapa kewenangan itu adalah revisi UU 22/1999


tentang Pemerintah Daerah dan UU 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat-Daerah. Revisi tersebut kemudian melahirkan UU 33/2004 tentang
Pemerintah Daerah dan UU 34/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-
Daerah.

Isu-isu yang relevan perlu dikaji secara cermat untuk kepentingan penelitian,
penetapan kebijakan dan pendampingan, agar pelaksanaan otonomi daerah
tidak lagi mengabaikan rasa keadilan rakyat di tingkat daerah. Selanjutnya,
diharapkan dapat diwujudkan pemerintahan daerah yang demokratis,
bernafaskan kerakyatan, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya
setempat dalam mencapai ‘masyarakat warga’/‘masyarakat madani’ yang
selanjutnya tidak akan mengganggu proses integrasi bangsa.
Jarot S. Suroso
3

2. Permasalahan
Ada dua permasalahan yang perlu kita sikapi sehubungan dengan otonomi
daerah dan integrasi bangsa Indonesia yaitu: (1) Apakah memang kita
memerlukan kebijakan otonomi daerah?; (2) Apa hubungan antara otonomi
daerah dan kelangsungan integrasi bangsa?

3. Otonomi Daerah, sebagai sebuah tuntutan riil masyarakat di daerah


Salah satu anak kandung reformasi, katakan saja begitu, adalah tuntutan
otonomi daerah. Mengapa disebut “tuntutan”, ini boleh jadi disebabkan
pengalaman empirik bangsa yang sepanjang sejarahnya ternyata
dikendalikan terpusat. Pemerintahan, sebagai salah satu aspek pengendali
itu, memang sudah berlaku tidak adil terhadap daerah. Akibatnya, ketika
peluang itu jebol, tak ada wacana lain bagi daerah yang paling layak
dikembangkan selain otonomi.

Pemerintah agaknya, sangat paham hal ini. Ancaman disintegrasi, sesuatu


yang bagai hantu, tak pelak, senantiasa dicarikan jawabannya ke lembaga –
lembaga pemerintah melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Dua senjata pamungkas, yang pada ujung-
ujung tahun ini, lagi-lagi dituntut untuk diubah.

Apa pasal? Dugaan yang dapat dikemukakan, tentu berkait dengan


keruwetan politik di sekitar pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum, segala
simpul pertarungan politik kini, senantiasa mesti dipicu dari hal yang menjadi
substansi urusan. Dan karena pasal otonomi daerah ini memang tidak
sekadar soal pemerintahan, maka variabel politik inilah yang justru sangat
mewarnai perdebatannya. Hal mana, tentu berkait dengan soal paling krusial
dalam UU No. 22 tersebut: soal kewenangan.

Dalam pasal 7 UU No. 22 disebut, kewenangan daerah mencakup


kewenangan seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam

Jarot S. Suroso
4

bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan


fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Sementara pasal berikutnya
menjelaskan, kewenangan bidang lain tersebut meliputi perencanaan
nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga
perekonomian negara, pendayagunaan sumberdaya alam serta teknologi
tinggi yang strategis, koservasi, dan standardisasi nasional.
Bagi sementara pihak, ini mungkin tidak mengimplikasikan apa-apa. Namun,
bila ditelusuri lebih jauh, kewenangan inilah yang menjadi bahan “rebutan” di
daerah, antara propinsi dan kabupaten. Dengan perubahan desain otonomi
dari bertingkat menjadi berjenis, propinsi dan kabupaten atau kota akan
menjadi daerah otonom yang sederajat. Pada saat yang sama, titik berat
pelaksanaannya diletakkan di kabupaten/kota, karena keduanya lebih dekat
ke masyarakat. Ini, lebih karena pertimbangan penekanan pada pelayanan.
Hal yang abai dilakukan sepanjang sejarah Orde Baru.

Lalu letak “rebut-rebutan” itu di mana? Ya, tentu saja pada interes “orang
pusat” terhadap propinsi. Meski tidak berdasar, mengingat hingga kini propinsi
masih dapat dipandang memiliki kapasitas dari sisi manajemen
pembangunan, hal ini tentu saja masuk akal. Apalagi untuk mengatur,
mengekslorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam, dimana “orang pusat”
biasanya memiliki kepentingan. Secara sinis, sejumlah kalangan
beranggapan, dengan otonomi ini, sama halnya dengan memindahkan KKN
ke daerah. Apalagi nanti tumpuannya di kabupaten/kota, dimana tentu “biaya
siluman” untuk segala urusan tentu jauh lebih murah.

3. Otonomi Daerah dan Integrasi Bangsa


Pemberian otonomi kepada daerah bukan untuk menggemukkan birokrasi
pemerintahan daerah dan bukan pula menjadikan birokrasi daerah sebagai
centered power (pusat kekuasaan). Melainkan memberikan keleluasaan
kepada pemerintah daerah untuk memfasilitasi peran serta, prakarsa,
aspirasi, dan pemberdayaan masyarakat. Alasan ini pula yang sekaligus
menjadi dasar filosofi dari munculnya UU 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah sebagai pengganti UU 5/1974. Sebagai paketnya kemudian muncul
Jarot S. Suroso
5

UU 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan


Daerah sekaligus sebagai pengganti UU 32/1956.

Namun, di tengah maraknya tuntutan agar pemerintah daerah diberikan hak


yang luas, muncul kekhawatiran dan kecemasan seputar munculnya gejala
dan potensi disintegrasi bangsa. Kecemasan ini masuk akal, mengingat
sampai hari ini kecenderungan pecahnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) terus menguat dan masih menggema di sejumlah daerah.
Kebijakan desentralisasi melalui UU 22/1999 sebetulnya bukan hanya upaya
koreksi total dari kebijakan lama yang sentralistik, namun yang lebih penting,
sebagai langkah untuk meredam gejolak dan semangat pemisahan dari
NKRI. Kebijakan sentralistik yang lebih menonjolkan keseragaman daripada
keragaman terbuki gagal dan menciptakan kesenjangan, ketidakadilan, dan
ketidakpuasan yang sangat mendalam. Dalam konteks ini, kecemasan bakal
semakin menguatnya potensi disintegrasi apabila kewenangan daerah
diperluas, sebetulnya tidaklah beralasan. Sebaliknya, model sentralistik dan
memaksakan keseragaman, tanpa memberikan wewenang kepada daerah
dan tanpa mempertimbangkan kondisi, potensi, dan resources suatu daerah,
malah akan semakin memperkuat disintegrasi serta ancaman bagi kesatuan
dan persatuan bangsa. Secara normatif, UU 22/1999 sebetulnya juga
menyinggung persoalan kedaulatan dan eksistensi negara. Hal ini tecermin
dalam Pasal 1 (poin e) bahkan dalam Pasal 22 poin a. Persoalannya,
memang tidak sesederhana seperti bunyi pasal-pasal tersebut meski, sekian
pasal di atas telah memberikan porsi kepada antisipasi disintegrasi bangsa.

Namun munculnya kebijakan ini tidak secara otomatis menghilangkan


semangat memisahkan diri dari NKRI. Persoalan krusialnya terletak pada
masih kuatnya benturan-benturan kepentingan dan masih kuatnya
perbedaan penafsiran tentang kewenangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, terutama dalam mengelola sumber dayanya. Sampai hari
ini masih terjadi perbedaan penerjemahan yang tajam antara pusat dan
daerah. Situasi seperti ini memang sulit dihindari, karena dominasi peran
pemerintah pusat, setidaknya sampai hari ini masih terjadi, sehingga
menekan dan mematikan inisiatif dan prakarsa daerah. Sebaliknya,
Jarot S. Suroso
6

pandangan daerah yang ekstrem dan hanya melihat kepentingan masing-


masing tanpa memerhatikan daerah lain dan kepentingan nasional, juga
mengakibatkan konflik kepentingan. Kedua pandangan ekstrem tentang
penafsiran kepentingan tersebut sangat mengganggu upaya implemenasi
kebijakan otonomi daerah. Hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah cenderung konfliktual dan tidak mampu melakukan kerja sama
dengan penuh pengertian. Model hubungan ini justru kontraproduktif, yang
berakibat pada lambannya pembangunan di sejumlah daerah.

Demikian pula di bidang politik, menurut pandangan pemerintah pusat,


pengaturan jabatan-jabatan politik di daerah sudah cukup luas. Namun
daerah masih menganggap campur tangan pusat masih tinggi sehingga
menghambat pelaksanaan otonomi daerah dan pengembangan demokrasi.
Akibanya, timbul tuntutan-tuntutan atau gugatan dari daerah yang pada
akhirnya bukan tidak mungkin mengarah kepada disintegrasi. Perbedaan
kepentingan antara kebebasan mengimplementasikan otonomi dan
memelihara terjaganya eksistensi negara, biasanya menimbulkan
kekhawatiran dari pemerintah pusat akan terjadinya upaya memisahkan diri
dari daerah apabila daerah diberi keleluasaan terlalu jauh. Kecemasan ini
sering tumbuh menjadi kecurigaan berlebihan dari pusat yang akhirnya akan
memunculkan konflik kepentingan yang berlarut-laut.

Karena itu, problemnya, sebagai derivasi dari persoalan krusial di atas adalah
sejauh mana keleluasaan otonomi dapat diberikan kepada pemerintah
daerah, agar daerah mampu berfungsi otonom, mandiri, berdasarkan asas
demokrasi dan kedaulatan rakyat tanpa mengganggu stabilitas dan integrasi
bangsa. Idealnya kemandirian daerah otonom yang kuat justru diharapkan
menjadi penyangga bagi tetap terjaganya eksistensi negara.

5. Penutup
Secara formal, kewenangan daerah tertulis dalam Pasal 7 UU 22/1999.
Ditegaskan pula bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai berbagai ketentuan
kewenangan ini akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Kalau kita
Jarot S. Suroso
7

cermati pasal ini, memang belum ada kejelasan mengenai kewenangan


pusat dan daerah. Justru, kewenangan pusat masih sangat luas, bahkan
pusat memiliki kesempatan untuk tetap terlibat jauh dalam urusan daerah,
seperti pada Pasal 7 ayat 2 di atas yang bersifat 'karet'.

Sekian banyak pasal di atas rawan memunculkan multitafsir kewenangan


dan kepentingan dari pemerintah pusat maupun daerah. Akibatnya, pasal-
pasal ini sering kali justru memunculkan konflik kepentingan dan
kewenangan. Ditambah oleh semakin kompleksnya persoalan di lapangan
atau pada implementasinya yang tentunya lebih ruwet. UU 22/1999 secara
ideal merupakan langkah strategis untuk mengantisipasi dan mencegah
makin berkembangnya gejolak separatisme dan disintegrasi bangsa. Namun,
masih banyak persoalan yang mengganggu pada tingkat implementasinya.
Hal ini berkaitan dengan realisasi konsep otonomi daerah di lapangan yang
masih tersendat-sendat karena belum rincinya pembagian wewenang antara
pusat dan daerah. Belum siapnya aparatur baik di tingkat pusat maupun di
daerah, munculnya sentimen kedaerahan (primordialisme) yang berlebihan,
dan buruknya koordinasi antara aparat pusat dan daerah. Oleh karena itu,
jika sejumlah persoalan di atas tidak bisa dituntaskan secepatnya, maka
upaya mengantisipasi potensi disintegrasi bangsa tampaknya masih perlu
menjadi perhatian yang besar.

DAFTAR REFERENSI
1. H.A.R. Tilaar, 1998, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional,
Penerbit Tera Indonesia
2. H.A.R. Tilaar, 2004, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Penerbit
Rineka Cipta

Jarot S. Suroso

You might also like