You are on page 1of 14

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan tidak pernah terlepas dari sejarah peradaban manusia. Ia selalu terkait satu sama lainnya. Tidak terkecuali sejarah filsafat ilmu. Filsafat itu sendiri telah muncul sejak ribuan tahun yang lalu di mana akal manusia masih dihadapkan pada ruang dinamika pemikiran yang sederhana dan permasalahan yang tidak begitu komplek seperti saat ini. Latar belakang perkembangan ilmu dimulai sejak zaman purba. Zaman purba pra sejarah (20.000-10.000 SM) sudah mulai terjadi proses belajar. Hal ini ditandai dengan pemanfaatan batu sebagai alat perkakas yang digunakan pada waktu itu. Melalui proses belajar berangsur-angsur terjadi pemanfaatan dari batu empuk menjadi keras, batu yang dipungut begitu saja menjadi batu yang sengaja untuk dibentuk, menemukan kekuatan alam api dan air, membuat gambargambar binatang di gua-gua, dan menguburkan sesamanya yang meninggal. Kemudian pada zaman sejarah (15.000-600 SM) proses belajar ditandai dari pengembangan kemampuan membaca, menulis dan berhitung meskipun masih sangat sederhana. Sejarah ilmu pengetahuan mencatat bahwa perkembangan awal yang signifikan dalam ilmu pengetahuan dimulai sejak zaman Yunani Kuno (kurang lebih 600 SM 200 M). Di mana periode ini ditandai oleh pergeseran gugusan pemikiran (paradigma shift) dari hal-hal yang berbau mistis ke yang logis. Dari kepercayaan mistis yang irrasional terhadap fenomena alam menuju ke arah penjelasan logis yang berdasar pada rasio. Zaman ini dinamakan zaman mulainya penalaran yang selalu menyelidiki, ditandai dengan munculnya ahli filsafat seperti Aristoteles, Socrates, Thales, Archimedes, dan Aristharcus, bahwa menyelidiki dan menjelaskan secara rasional yang digerakkan oleh motivasi estetis dengan tujuan memberikan kepuasan batin kepada orang yang bersangkutan saja. Abad pertengahan (500 M- 1500 M) berkembangnya ilmu pengetahuan pada Timur Tengah dengan menterjemah karya-karya orang Yunani ke Bahasa Arab. Tokoh-tokohnya seperti Al-Khawarizm Aljabar, Omar Khayan penyair, Ibnu Rusyd kedokteran, dan Al Idrisi Astronomi. Kemudian pada tahun 1300 M dipelajari oleh bangsa-bangsa Eropa. Pada abad ini perkembangan kebudayaan juga terjadi di Asia Selatan dan Timur, seperti Ajaran Lao Tse (menjaga keharmonisan dengan alam) dan Confucius (konsep kode etik luhur mangatur akal sehat). Di Indonesia perkembangan dapat dilihat dari munculnya kerajaan-kerajaan, pengairan persawahan, kesenian, meramal dan nelayan. Zaman modern ditandai munculnya ahli-ahli filsafat dan ilmuwan. Ahli filsafat tersebut, seperti Copernicus, Galileo, Keppler, Francis Bacon, dan Rene
1

Descartes, sedangkan ilmuwan diantaranya Newton (tori gravitasi, perhitungan kalkulus dan Optika) dan Wilhelm Konrad Rontgen (Sinar X). Zaman ini dipengaruhi oleh terjadinya perang salib, jatuhnya konstantinopel ke tangan Turki dan hubungan kerajaan Arab di Jazirah Spanyol dan Prancis. B. Rumusan Masalah Berpikir berarti menyusun silogisme dengan tujuan mendapat kesimpulan yang tepat dengan menghilangkan setiap kontradiksi. Secara epistemologis kegiatan berpikir ilmiah melingkupi suatu rantai berpikir logis yang merupakan pengkajian baik deduktif maupun induktif. Berpikir logis maksudnya dapat menggunakan kemampuan akal budinya secara dialektif, intuitif, taksonomi atau simbolik. Ilmu tidaklah netral atau bebas nilai atau objektif. Ilmu hakikatnya selalu terkait dengan berbagai kepentingan, nilai dan lainnya, baik pada tataran ontologi, epistemologi maupun aksiologinya. a. Ilmuwan terangsang imajinasi untuk menemukan dan mengembangkan penemuan asal. b. melihat segala sesuatu dengan perhatian dan minat, kemudian berarti pula berpikir tentang segala sesuatu yang menyadarinya. c. namun dapat diambil satu benang merah bahwa filsafat yaitu adanya aktivitas manusia yang tidak dapat diamati. Sehingga muncullah filsafat ilmu yang dilatarbelangi adanya penemuan ilmiah. C. Tujuan dan Fungsi Menurut Harold H. Titus, filsafat adalah suatu usaha memahami alam semesta, maknanya dan nilainya. Apabila tujuan ilmu adalah kontrol, dan tujuan seni adalah kreativitas, kesempurnaan, bentuk keindahan komunikasi dan ekspresi, maka tujuan filsafat adalah pengertian dan kebijaksanaan (understanding and wisdom). Bagi manusia, berfilsafat itu bererti mengatur hidupnya seinsaf-insafnya, senetral-netralnya dengan perasaan tanggung jawab, yakni tanggung jawab terhadap dasar hidup yang sedalam-dalamnya, baik Tuhan, alam, atau pun kebenaran. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya. Studi filsafat harus membantu orangorang untuk membangun keyakinan keagamaan atas dasar yang matang secara intelektual. Filsafat dapat mendukung kepercayaan keagamaan seseorang, asal saja kepercayaan tersebut tidak bergantung pada konsepsi prailmiah yang usang, yang sempit dan yang dogmatis. Urusan (concerns) utama agama ialah harmoni, pengaturan, ikatan, pengabdian, perdamaian, kejujuran, pembebasan, dan Tuhan.

BAB II PEMBAHASAN

A. Hubungan Ilmu Pengetahuan, Filsafat dan Agama. a. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. Ilmu Sejarah telah dapat membuktikan tentang pengungkapan ilmiah manusia yang sangat menonjol di dunia adalah di zaman Yunani Kuno (abad IV dan V S.M). Bangsa Yunani ditakdirkan Allah sebagai manusia yang mempunyai akal jernih. Bagi mereka ilmu itu adalah suatu keterangan rasional tentang sebabmusabab dari segala sesuatu didunia ini. Dunia adalah kosmos yang teratur dengan aturan kausalitas yang bersifat rasional. Demikianlah tiga dasar yang menguasai ilmu orang Yunani pada waktu itu, yaitu: Kosmos, Kausalitas dan Rasional. Pada hakikatnya kelahiran cara berfikir ilmiah itu merupakan suatu revolusi besar dalam dunia ilmu pengetahuan, karena sebelum itu manusia lebih banyak berpikir menurut gagasan-gagasan magi dan mitologi yang bersifat gaib dan tidak rasional. Dengan berilmu dan berfilsafat manusia ingin mencari hakikat kebenaran daripada segala sesuatu Dalam berkelana mencari pengetahuan dan kebenaran itu menusia pada akhirnya tiba pada kebenaran yang absolut atau yang mutlak yaitu Causa Prima daripada segala yang ada yaitu Allah Maha Pencipta, Maha Besar, dan mengetahui. Oleh karena itu kita setuju apabila disebutkan bahwa manusia itu adalah mahluk pencari kebenaran. Di dalam mencari kebenaran itu manusia selalu bertanya. Dalam kenyataannya makin banyak manusia makin banyaklah pertanyaan yang timbul. Manusia ingin mengetahui perihal sangkanparannya, asal mula dan tujuannya, perihal kebebasannya dan kemungkinan-kemungkinannya. Dengan sikap yang demikian itu manusia sudah menghasilkan pengetahuan yang luas sekali yang secara sistematis dan metodis telah dikelompokan kedalam berbagai disiplin keilmuwan. Namun demikian karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka sejumlah besar pertanyaan tetap relevan dan aktual seperti yang muncul pada ribuan tahun yang lalu, yang tidak terjawab oleh Ilmu pengetahuan seperti antara lain: tentang asal mula dan tujuan manusia, tentang hidup dan mati, tentang hakikat manusia sebagainya. Ketidakmampuan Ilmu pengetahuan dalam menjawab sejumlah pertanyaan itu, maka Filasafat tempat menampung dan mengelolahnya. Filsafat adalah ilmu yang tanpa batas, tidak hanya menyelidiki salah satu bagian dari kenyataan saja, tetapi segala apa yang menarik perhatian manusia.

b. Definisi Ilmu Pengetahuan dan Filsafat J. Arthur Thompson dalam bukunya An Introducation to Science menuliskan bahwa ilmu adalah diskripsi total dan konsisten dari fakta-fakta empiri yang dirumuskan secara bertanggung jawab dalam istilah- istilah yang sederhana mungkin. Untuk menjelaskan perbedaan antara Ilmu Pengetahuan dan Filsafat, baiklah dikemukakan rumusan Filsafat dari filsuf ulung Indonesia Prof. DR. N. Driyarkara S.Y., yang mengatakan Filsafat adalah pikiran manusia yang radikal, artinya yang dengan mengesampingkan pendirian-pendirian dan pendapatpendapat yang diterima saja, mencoba memperlihatkan pandangan yang merupakan akar dari lain-lain pandangan dan sikap praktis. Jika filsafat misalnya bicara tentang masyarakat, hukum, sisiologi, kesusilaan dan sebagainya, di satu pandangan tidak diarahkan ke sebab-sebab yang terdekat, melainkan kemengapa yang terakhir sepanjang kemungkinan yang ada pada budi manusia berdasarkan kekuatannya itu. Filsafat adalah ilmu Pengetahuan dan Teknologi, filsafat tidak memperlihatkan banyak kemajuan dalam bidang penyelidikan. Ilmu pengetahuan dan Teknologi bahkan melambung tinggi mencapai era nuklir dan sudah diambang kemajuan dalam mempengaruhui penciptaan dan reproduksi manusia itu sendiri dengan revolusi genitika yang bermuara pada bayi tabung I di Inggris serta diambang kelahiran kurang lebih 100 bayi tabung yang sudah hamil tua. Di satu pihak fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, berupa penciptaan sarana yang memudahkan pemenuhan kebutuhan manusia untuk hidup sesuai dengan kodratnya. Inilah dampak positifnya disatu pihak sedangkan dipihak lainnya bdampak negatifnya sangat menyedihkan. Bahwa ilmu yang bertujuan menguasai alam, sering melupakan faktor eksitensi manusia, sebagai bagian daripada alam, yang merupakan tujuan pengembangan ilmu itu sendiri kepada siapa manfaat dan kegunaannya dipersembahkan. Kemajuan ilmu teknologi bukan lagi meningkatkan martabat manusia itu, tetapi bahkn harus dibayar dengan kebahagiaannya. Berbagai polusi dan dekadensi dialami peradaban manusia disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Dalam usahanya pendidikan keilmuwan bukanlah semata-mata ditujukan untuk menghasilkan ilmuwan yang pandai dan trampil, tetapi juga bermoral tinggi. c. Abstraksi Untuk menerangkan selanjutnya hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan, baiklah dikemukakan pendapat Aristoteles tentang abstraksi. Menurut beliau pemekiran manusia melampaui 3 jenis abstraksi (kata Latin abstrahere yang berarti menjauhkan diri, mengambil dari).

Dari setiap jenis abstraksi itu menghasilkan satu jenis pengetahuan yaitu : 1) pengetahuan fisis 2) pengetahuan matematis, 3) pengetahuan teologis. 1) Pengetahuan Fisis Dalam kenyataannya manusia mulai berpikir bila ia mengamati, mengobservasi sesuatu. Faktor keheranan, kesangsian dan kesadaran akan keterbatasan manusia barulah timbul setelah pengamatan atau observasi lebih dahulu. Peranan ratio atau akal budi manusia melepaskan (mengabstrahir) dari pengamatan inderawi suatu segi-segi tertentu yaitu materi yang dapat dirasakan ratio atau akal budi manusia bersama dengan materi yang 'abstrak' itu menghasilkan pengetahuan yang disebut "fisika' (dari kataYunani 'Physos' = alam). 1. pengetahuan Matematis atau Matesis

Selanjutnya manusia masih mempunyai kemampuan untuk dapat mengabstrahir atau melepaskan lebih banyak lagi Bahwa kita dapat melepaskan materi yang kelihatan dari semua perubahan yang terjadi. Hal ini dapat terjadi bila ratio atau akal budi manusia dapat melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti saja. Dengan kemampuan abstraksi ini manusia dapatlah menghitung dan mengukur, karena perbuatan menghitung. dan mengukur itu mungkin lebih dari semua gejala dan semua perubahan dengan menutup indera mata Adapun jenis pengetahuan yang dihasilkan oleh abstraksi ini disebut 'matesis' (matematika) (kata Yunani'mathesist = pengetahuan ilmu). 2. Pengetahuan Teologis atau Filsafat Pertama Pada tahap terakhir manusia juga dapat mengabstrahir dari semua materi, baik materi yang dapat diamati, maupun yang dapat diketahui. Apabila manusia berpikir tentang keseluruhan realitas tentang sangkanparannya (asal mula dan tujuannya), tentang jiwa manusia, tentang cita dan citranya, tentang realitas yang paling luhur, tentang Tuhan, maka berarti tidak hanya terbatas pada bidang fisika saja tetapi juga bidang matematika yang sudah ditinggalkannya. Di sini terbukti bahwa semua jenis pengamatan tidak berguna. lagi Adapun jenis berpikir ini disebut 'teologi' atau filsafat pertama, Sesuai dengan tradisi setelah Aristoteles pengetahuan jenis ketiga ini, disebut 'rnetafisika, bidang yang datang setelah (meta') fisika. Menurut Aristoteles baik bidang metafisika, bidang matematika maupun bidang fisika, masih merupakan kesatuan yang keseluruhannya disebut filsafat' atau metafisika. 3. Pikiran atau ratio manusia, melalui penalaran analitik dan non-analitik. Dalam pikiran manusia ini lahirlah pengetahuan yang pertama beberapa ribu tahun yang lalu yaitu filsafat. Dalam usaha menjawab tantangan hidup manusia

maka fase berikutnya lahirlah Ilmu-ilmu Alam (Natural Philosophy) dan Ilmuilmu Sosial (Moral philosophy). Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Batas penjelajahan ilmu sempit sekali, hanya sepotong atau sekeping saja dari sekian permasalahan kehidupan manusia, bahkan dalam batas pengalaman manusia itu, ilmu hanya berwenang menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Demikian pula tentang baik buruk, semua itu (termasuk ilmu) berpaling kepada sumber-sumber moral (filsafat Etika), tentang indah dan jelek (termasuk ilmu) semuanya berpaling kepada pengkajian filsafat Estetika. Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta , demi kian kata tokoh Einstein. Kebutuaan moral dari ilmu itu mungkin membawa kemanusiaan kejurang malapetaka. Relativitas atau kenisbian ilmu pengetahuan bermuara kepada filsafat dan relativitas atau kenisbian ilmu pengatahuan serta filsafat bermuara kepada agama. Filsafat ialah ilmu istimewa yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa karena masalah-masalah itu berada di luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa. Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk dapat memahami dan mendalami secara radikal integral daripada segala sesuatu yang ada mengenai : a. Hakikat Tuhan b. Hakikat alam semesta, dan c. Hakikat manusia termasuk sikap manusia terhadap hal tersebut sebagai konsekuensi logis daripada pahamnya tersebut. Adapun titik perbedaanya adalah sebagai berikut : a) Ilmu dan filsafat adalah hasil dari sumber yang sama yaitu : rayu (akal, budi, ratio, reason, nous, rede, ver nunft) manusia. Sedangkan agama bersumber dari Wahyu Allah. b. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyeledikan, pengalaman (empiri) dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara mengelanakan atau mengembarakan akal budi secara redikal (mengakar), dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam),tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali ikatan tangannya sendiri yang disebut logika Manusia dalam mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan pelbagi masalah asasi dari suatu kepada kitab Suci, kondifikasi Firman Allah untuk manusia di permukaan planet bumi ini. Kebenaran ilmu pengetahuan ialah kebenaran positif, kebenaran filsafat ialah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiri, riset, eksperimen). Kebenaran ilmu pengetahuan dan filsafat keduanya nisbi (relatif). Dengan demikian terungkaplah bahwa manusia adalah mahluk pencari kebenaran. Di dalam mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran

itu terdapat tiga buah jalan yang ditempuh manusia yang sekaligus merupakan institut kebenaran yaitu : Ilmu, filsafat dan Agama. B. Jalinan Fungsional Ilmu, Filsafat Dan Agama I. Relasi Filsafat Dan Ilmu

Filsafat dan ilmu dalam penggunaanya dalam beberapa hal saling tumpang tindih. Bahasa yang dipakai dalam filsafat berusa untuk berbicara mengenai ilmu dan bukanya didalamnya ilmu. Walaupun begitu apa yang harus dikatakan oleh seseorang ilmuan mungkin penting pula bagi seorang filsuf. Satu hal yang tidak dapat dilakukan oleh seorang filsof ialah mencoba memberitahukan kepada seorang ilmuan mengenai apa yang harus ditemukanya. Filsafat dan ilmu bertemu pada obyek material, dan yang melainkan obyek formanya. Batasnya jadi terang akan tetapi dalam prakteknya sering juga ada kekacauan, ini tidak mengherankan sebab yang diselidiki memang sama, sedangkan yang menyelidiki itu sama juga ialah manusia. Beda antara ilmu dan filsafat ternyata juga dari cara berfikir manusia. Seperti kami katakan lebih dulu ilmu berkisar pada fakta. Fakta itu khusul, namun ilmu harus berlaku umum dalam hukum-hukumnya. Hukum-hukum itu berlaku untuk umum: rumusan-rumusan hukum dalam ilmu alam, ekonomi serta ilmu hukum dan sebagainya diajukan dalam keumumanya. Ilmu memang dalam konklusinya yang dituangkan dalam putusanya selalu mengenai yang umum, tentang binatang pada umumnya, tentang manusia pada umumnya, tentang bilangan dan lain-lain, tidaklah mengenai yang khusus. Adapun realitas yang dihadapi ilmu itu selalu khusus, satu persatu (induvidual). Dalam kekhususanya itu realitas bermacam-macam. Dalam bermacamnya hal-hal yang individual itu disebut konkrit, artinya hal itu terlibat dalam dan dengan sifatsifat seluruhnya yang dimilikinya. Yang konkret itu lalu tertentu, yang satu lain dari pada yang lain. Tetapi bagaimanapun lainya mungkinlah yang berlainan itu dapat dimasukkan dalam satu macam. Aspek yang umum itulah yang tidak konkret, lalu disebut abstrak yang diajukan oleh ilmu. Keumuman dalam ilmu itu juga tidak mutlak, tergantung dalam ilmu itu sendiri yang sama dalam bidang hal-hal yang hendak diajukan, lalu ada keumuman dalam ruang, dalam hidup, dalam aturan dan sebagainya. Namun bagi ilmu apapun juga, jika kebenaran pendapat atau hukumnya hendak dibuktikan haruslah melalui fakta pengalaman, seperti kami bentangkan diatas sehingga harus dikatakan bahwa ilmu membatasi diri pada pengalaman. Adapun sifat ilmiah yang menuntut keumuman itu ternyata dimiliki ilmu demi kemampuan manusia untuk hanya menghiraukan yang umum saja dalam bermacam-macam, jadi aspek obyek sajalah yang diperhatikan.

Itu sebabnya pula walaupun ilmu hendak mencapai yang umum, memang ada sifat-sifat yang tidak diabstrakkan, jadi tidak masuk ilmu tertentu. Oleh karena obyek yang komplit itu sifatnya hampir-hampir tidak terbatas, kemungkinan jumlah ilmu boleh dikatakan tidak terbatas juga. Kalau ilmu mengadakan abstraksi sampai kepada adanya obyek itu maka boleh dan haruslah ilmu disebut mencari keterangan yang sedalam-dalamnya untuk yang ada dan yang mungkin ada. Ilmu yang sampai pengabstrakan demikian itulah yang kami sebut filsafat. Filsafat itu lalu umum seumumnya, juga tidak membatasi diri dalam pengalaman atau apapun juga. Walau demikian antara ilmu dan filsafat ada hubunganya. Filsafat memang dalam penyelidikanya mulai dari apa yang dialami manusia, karena tidak ada pengetahuan kalau tidak bersentuhan lebih dulu dengan indera. Sedangkan ilmu yang hendak menelaah hasil penginderaan itu, tidak mungkin mengambil keputusan dengan menjalankan pikiran tanpa mempergunakan dalil dan hukum pikiran yang tidak mungkin dialaminya. Sebaliknya filsafatpun memerlukan data dari ilmu. Jika misalnya ahli filsafat manusia hendak menyelidiki manusia itu serta hendak menentukan apakah manusia itu, ia memang harus mengetahui gejala tindakan manusia. Dalam hal ini ilmu yang bernama psikologi akan menolong filsafat itu sebaik-baiknya dengan hasil penyelidikanya. Kesimpulan filsafat tentang kemanusiaan akan sangat pincang dan mungkin jauh dari kebenaran jika tidak menghiraukan hasil psikologi. II. Persamaan dan perbedaan filsafat dan ilmu

Persamaan filsafat dan ilmu adalah sebagai berikut: i. ii. Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya sampai keakar-akarnya Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-sebabnya. Keduanya hendak memberikan sintesis yaitu suatu pandangan yang bergandengan Keduanya mempunyai metode dan sistim Keduanya handak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhya timbul dari hasrat manusia (obyektifitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar.

iii. iv. v.

Adapun perbedaan filsafat dan ilmu adalah sebagai berikut: i. Obyek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita) sedangkan obyek material ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secara kaku dan terkotak-

ii.

iii.

iv.

v.

kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu. Obyek formal (sudut pandangan) filsafat itu bersifat non-fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Disamping itu, obyek formal ilmu bersifat tehnik yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita. Filsafat dilaksanakan dalam suatu suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kugunaan pragmatis, sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainya. Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis yang dimula dari tidak tahu menjadi tahu. Filsafat memberikan penjelasan yang terakhir yang mutlak dan mendalam sampai mendasar (primary cause), sedangkan ilmu menunjukkan sebabsebab yang tidak begitu mendalam yang lebih dekat yang sekunder (secondary cause). Relasi Filsafat Dan Agama

III.

Baik agama maupun filsafat pada dasarnya mempunyai kesamaan, keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni mencapai kebenaran yang sejati. Agama yang dimaksud disini adalah agama samawi yaitu agama yang diwahyukan tuhan kepada nabi dan rasul-Nya. Dibalik persamaan itu terdapat pula perbedaan antara keduanya. Dalam agama ada beberapa hal yang amat penting, misalnya Tuhan, kebajikan, baik dan buruk, surga dan neraka, dan lain-lain. Hal-hal tersebuat diselidiki pula oleh filsafat. Oleh karena hal-hal tersebut ada atau paling tidak mungkin ada. Oleh karena filsafat itu menyelidiki sesuatu yang ada dan mungkin ada, dapat saja agama yang terang ada itu difilsafatkan, artinya ditinjau secara filsafat. Pun etika yang menyelidiki tingkah laku manusia dari sudut baik buruknya tentu sama pula dengan hal-hal keagamaan. Agama sebagai suatu hal yang ada dapat diilmukan syarat ilmiah dan cara kerjanya sekali dipakai dalam ilmu agama itu maka ada bermacam-macam ilmu yang obyeknya suatu aspek dari agama adalah ilmu perbandingan agama, ada psikologi agama, ada fenomenologi agama, ada sosiologi agama. Apa yang menjadi obyeknya masing-masing yang kami utarakan sekarang ini, cukuplah sudah diajukan memang ada ilmu-ilmu yang menyelidiki agama (aspeknya) secara ilmiah. Alasan filsafat untuk menerima kebenaran melainkan penyelidikan sendiri, hasil pikiran belaka. Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi ia tidak mendasarkan penyelidikanya pada wahyu. Ada juga beberapa hal yang masuk kewilayah agama yang diselidiki pula oleh filsafat. Kalau demikian, mungkinkah

ada pertentangan antar agama dan filsafat? Pada dasarnya tidak, karena kalau kedua-duanya mempunyai kebenaran, maka kebenaran itu satu dan sudah barang tentu sama. Tidak mungkin ada sesuatu yang pada prinsipnya benar, juga tidak benar. Tegasnya bahwa lapangan filsafat dan agama dalam beberapa hal mungkin sama, akan tetapi dasarnya amat berlainan. Filsafat berdasarkan pada pikiran belaka, agama berdasarkan wahyu ilahi. Agama sering disebut juga kepercaan, alasanya karena yand diwahyukan oleh Tuhan haruslah dipercayai. Dalam filsafat, untuk mendapatkan kebenaran hakiki manusia harus mencarinya sendiri dengan mempergunakan alat yang dimilikinya berupa segala potensi lahir dan batin. Sedangkan dalam agama, untuk mendapatkan kebenaran hakiki itu manusia tidak hanya mencarinya sendiri, melainkan ia harus menerima hal-hal yang diwahyukan Tuhan, dengan kata singkat percaya atau iman. Walaupun antara kebenaran yang disajikan oleh agama mungkin serupa dengan kebenaran yang dicapai oleh filsafat, tetapi tetap agama tidak bisa disamakan dengan filsafat. Perbedaan ini disebabkan cara pandang yang berbeda. Disatu pihak agama beralatkan kepercayaan, dilain pihak filsafat berdasarkan penelitian yang menggunakan potensi manusiawi, dan meyakininya sebagai satu-satunya alat ukur kebenaran, yaitu akal manusia. C. Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Filsafat Ilmu 1. Rasionalisme Plato dan Descartes Rasionalisme adalah aliran yang meyakini hanya rasio/akal yang menjadi dasar kepastian. Rasionalisme tidak menyangkal fungsi indra sebagai alat untuk memperoleh indra pengetahuan, namun indra hanya diperlukan untuk merangsang dan memberikan pada rasio bahan-bahan agar rasio dapat bekerja. Rasio mengatur bahan yang berasal dari indra sehingga terbentuklah pengetahuan yang benar. Akan tetapi, keberadaan indra tidak mutlak bagi rasio karena rasio dapat enghasilkan pengetahuan yang tidak berasal dari indra, seperti terlihat dalam matematika. Terdapat banyak tokoh yang menjadi eksponen aliran rasionalisme, diantaranya Plato (427-347 SM) dan Descartes (1596-1650). 2. Empirisme : dari Aristoteles sampai David Hume Empirisme sebagai suatu aliran dalam filsafat ilrnu merupakan lawan dari rasionalme. Empirisme menjadikan pengalaman indra (emperia) sebagai sumber kebenaran. Menurut Aristoteles, ilmu didapat dari hasil kegiatan manusia yang mengamati kenyataan yang banyak dan berubah. Kemudian secara bertahap sampai pada kebenaran yang bersifat universal. Dalam arti inilah Aristoteles dapat disebut sebagai salah seorang eksponen empirisme, malah pada tahap awalnya. Di kemudian hari muncul pemikir bernama Francois Bacon (1561-1626) yang memperkenalkan cara kerja induksi untuk memperoleh ilmu. John Locke (16321704) dengan bukunya Essay Concerning Human Understanding (1689) yang

10

ditulis berdasarkan premis bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman, dianggap sebagai tokoh utama empiris pada era modern. Tokoh lain dari kalangan empiris adalah filsuf Inggris David Hume (1711-1776). Ia seorang penganut empiris yang sangat radikal, bukan saja karena ia menekankan pengalaman indrawi sebagai dasar dari semua pengetahuan, melainkan juga ia juga menolak adanya kausalitas, hukum sebab akibat yang diterangkan akal. 3. Positivisme Comte dan Neopositivisme serta Perlawanan Popper Positivisme merupakan suatu aliran filasafat yang dibangun oleh Auguste Comte (17981857). Intinya positivisme ingin membersihkan ilmu dari spekulasispekulasi yang tidak dapat dibuktikan secara positif. Comte ingin mengembangkan ilmu dengan melakukan percobaan (eksperimen) terhadap bahan faktual yang terdapat dalam kenyataan empirik, bukan dengan jalan menyusun spekulasi-spekulasi rasional yang tidak dapat dibuktikan secara positif lewat eksperirnen. Bagi Comte, positivisme merupakan tahap akhir atau puncak dalam perkembangan pemikiran manusia. Comte membagi perkembangan pernikiran manusia dalam tiga.tahap, yaitu: a) Tahap mistik-teologik; b) Tahap metafisik; 3) Tahap positif. D. Ilmu dan Nilai Kaum positivisme yang tidak membedakan ilmu alam, sosial dan ilmu kemanusiaan merupakan pembela gigih gagasan ilmu bebas nilai. Arti bebas nilai bagi mereka antara lain tampak pada penggunaan metodologi yang sama bagi semua ilmu tanpa mempersoalkan perbedaan objek tiap ilmu yang memiliki ciri khas. Dalam sejarah pemikiran Descartes (1596-1650) yang mencoba dengan keraguan metodisnya mencari titik tolak kebenaran yang tidak dikaitkan baik pada dogma maupun nilai tertentu. Ia menemukan bahwa dasar yang pasti dari kebenaran adalah Akuyang berpikir. Dari titik tolak itulah kebenaran lain harus diturunkan. Auguste Comte (1798-1857) bahkan berpendapat lebih tajam, penjelasan berbagai gejala yang didasarkan pada titik tolak ajaran agama (teologi) disamakan dengan tahap berpikir manusia sewaktu masih anak-anak. Penjelasan berbagai gejala dalam rangka mencari kebenaran haruslah dengan cara positif lewat percobaan (eksperimen) dalam pengalaman indrawi. Inilah yang disebut ilmu.

Perjalanan pemikiran ilmu dan filsafatnya bahkan mencatat munculnya kaum neopositivisme yang beranggapan pernbicaraan tentang niiai, metafisika, dan Tuhan tidak bermakna karena tidak bisa diuji secara empiris (diverifikasi). Peinbicaraan lebih lanjut mengenai masalah ini dapat dibaca pada tulisan AliranAliran dan Tokoh-Tokoh Filsafat Ilmu. Perkembangan lebih lanjut khususnya dalam ilmu sosial dan kemanusiaan menunjukkan bahwa persoalan metodologi pun tidak bebas dari perdebatan mengenai nilai. Mazhab Frankfurt yang dimotori Horkheimer bahkan menuduh ilmu sosial yang bebas nilai lebih merupakan

11

ideologi ketimbang ilmu karena dengan mempertahankan gagasan ilmu-ilmu sosial itu sebenarnya bersikap membenarkan keadaan terjadi di tengah masyarakat yang ingin dipertahankannya dalam bebas nilai. Ilrnu-ilmu sosial seperti itu tidak lagi memiliki daya mempertanyakan niiai-nilai yang ingin dipertahankan.

bebas niiai, sosial yang terminologi kritis untuk

Pertanyaan di sekitar tujuan-tujuan dan cara pengembangan ilmu yang tidak dapat dijawab sendiri oleh ilmu kiranya akan memaksa ilmu untuk mencari referensi kepada patokanpatokan lain, seperti moral dan agama. Tentu saja, keadaan ini tidak akan memaksa kita kembali ke abad pertengahan ketika Galileo diadili, melainkan untuk memberi makna barn baik kepada ilmu maupun nilai. Inilah tantangan bare yang harus dihadapi dewasa ini. E. Kajian Filsafat Filsafat tidak berkutat dengan menghasilkan sebanyak mungkin jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan, melainkan lebih dulu memusatkan perhatiannya pada pemeriksaan atas pertanyaan-pertanyaan, merumuskannya secara tepat dan benar, baru kemudian mencoba menjawabnya. Jawaban yang muncul terbuka untuk dikritik, dipertanyakan kembali. Mengapa pemeriksaan terhadap pertanyaan? Karena pertanyaan yang salah akan menimbulkan kekacauan berpikir dan kerancuan jawaban. Pertanyaan-pertanyaan jenis apakah yang ditelaah dan dicoba untuk dijawab oleh filsafat? Tentulah pertanyaan-pertanyaan yang bersifat fundamental bagi manusia. Filsafat tidak berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan remeh. Imanuel Kant filsuf besar Jerman menyebutkan empat pertanyaan pokok, yaitu: 1) Apa yang dapat saya ketahui? 2) Apa yang harus saya lakukan? 3) Apa yang dapat saya harapkan? 4) Apakah manusia itu? Bidang kajian itu adalah: 1) Kenyataan manusia yang hidup (filsafat manusia); 2) Yang hidup di dunianya (filsafat alam, kosmologi); 3) Mengembara menuju akhirat/Allah (filsafat ketuhanan); 4) Susunan dasar terdalam dari segala yang ada (rnetafisika atau ontology); 5) Disadari atau diketahui (filsafat pengetahuan); 6) Keterarahan atau penujuan (etika).

12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan dan Saran. Antara filsafat dan ilmu ada persamaan dan perbedaannya antara lain: Persamaan filsafat dan ilmu adalah sebagai berikut: 1. Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya sampai keakar-akarnya 2. Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-sebabnya. 3. Keduanya hendak memberikan sintesis yaitu suatu pandangan yang bergandengan 4. Keduanya mempunyai metode dan sistim 5. Keduanya handak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhya timbul dari hasrat manusia (obyektifitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar. Adapun perbedaan filsafat dan ilmu adalah sebagai berikut: 1. Obyek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita) sedangkan obyek material ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. 2. Obyek formal (sudut pandangan) filsafat itu bersifat non-fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. 3. Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis yang dimula dari tidak tahu menjadi tahu. 4. Filsafat memberikan penjelasan yang terakhir yang mutlak dan mendalam sampai mendasar (primary cause), sedangkan ilmu menunjukkan sebabsebab yang tidak begitu mendalam yang lebih dekat yang sekunder (secondary cause). Sedangkan agama maupun filsafat pada dasarnya mempunyai kesamaan, keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni mencapai kebenaran yang sejati. Agama yang dimaksud disini adalah agama samawi yaitu agama yang diwahyukan tuhan kepada nabi dan rasul-Nya. Dibalik persamaan itu terdapat pula perbedaan antara keduanya.

13

DAFTAR PUSTAKA

1. http://gumuntur.wordpress.com/filsafat-ilmu/ 2. http://yudhim.blogspot.com/2008/01/hubungan-ilmu-pengetahuan-filsafatdan.html 3. Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2004. 4. LR. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan. Jakarta: PT Rineka Cipta,1991. 5. Praja, Juhaya. S, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Fajar Interpratama Offset,2003. 6. Soemargono, Soejono, pengantar filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,1996. 7. http://fadlibae.wordpress.com/2010/10/04/ilmu-dan-nilai-aliran-dantokoh-tokoh-filsafat-ilmu-apakah-filsafat/ 8. http://makalahkuliahjurusanpai.blogspot.com/2011/04/studi-filsafatislameditcetak-ringkasan.html

14

You might also like