You are on page 1of 18

usilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati maju ke putaran kedua yang menentukan.

Banyak yang bertanya, siapa yang sepantasnya dipilih? Ada pendapat, di antara keduanya tidak ada perbedaan besar, maka pilihan di bilik pemilu 20 September nanti bisa dibuat dengan mata tertutup. Ada pula pendapat, keduanya sama-sama tidak menarik dan menjanjikan, maka sebaiknya tidak dibuat pilihan, alias golput. Demokrasi memang memberi tempat bagi mereka yang tidak mau menggunakan hak pilih. Tetapi untuk memperkuat demokrasi, bukankah sebaiknya diambil suatu pilihan. Dengan memilih, kita bisa menuntut presiden baru yang kita pilih untuk lima tahun mendatang, agar melakukan yang terbaik. Dengan tidak memilih, kita menempatkan diri di luar pagar, dan hanya menjadi pengamat. BESARKAH risiko dari membuat pilihan yang salah? Dibanding sistem politik yang tertutup, alam demokrasi memberi peluang lebih besar untuk melakukan koreksi terhadap tindakan pemimpin yang keliru. Tetapi berbagai pihak mempunyai perhitungan masing-masing tentang risiko atas pilihan mereka. Megawati atau SBY? Duduk soalnya bukan siapa yang lebih baik, tetapi siapa yang membawa risiko yang lebih kecil. Berkat popularitasnya, SBY memperoleh suara terbanyak (33 persen) dalam putaran pertama. Dia dianggap sebagai pemimpin harapan yang dapat membawa perubahan. Namun di kalangan masyarakat warga (civil society), seperti tertangkap dari pendapat sejumlah LSM, kepemimpinan SBY dipertanyakan, bukan dari kemampuan tetapi terutama dari sifatnya. Mereka beranggapan, antara Wiranto dan SBY tidak ada perbedaan prinsipiil, hanya perbedaan gradasi dalam masalah-masalah kemanusiaan dan demokrasi. Sebab, keduanya sama-sama tumbuh dari jajaran pimpinan TNI/ABRI rezim Soeharto pada saat mana telah terjadi berbagai pelanggaran besar seperti di Timtim, peristiwa 27 Juli 1996 di Jakarta, kerusuhan Mei 1998, serta tragedi Trisakti dan Semanggi I/II terhadap mahasiswa. Atas dasar itu mereka tidak dapat mendukung SBY, yang juga dilihat bukan tokoh baru yang dapat diandalkan untuk masa depan Indonesia. Risiko terbesar yang dilihat adalah SBY dikelilingi bekas perwira tinggi dan senior TNI yang berpengaruh besar terhadapnya. Bagi para perwira senior itu, kontrol demokratis oleh kelompok sipil terhadap TNI tidak dapat diterima. Ini terlihat saat SBY mengaburkan prinsip itu dari platform Partai Demokrat karena tentangan mereka. Mereka meragukan SBY mampu menjadi seorang pemimpin yang bisa membawa demokrasi untuk hari depan Republik Indonesia. SBY tidak bisa dilihat sebagai seorang Eisenhower atau de Gaulle yang dibesarkan dalam alam, karena itu mengerti, arti kontrol demokratis terhadap militer oleh kelompok sipil. Dia dibesarkan di bawah rezim pemerintahan Soeharto yang otokratis yang ditopang ABRI. Dari sudut itu, dia dianggap sama saja dengan seorang perwira tinggi lain seperti Wiranto. Dapatkan SBY memberi jawaban atas keraguan ini?

Pertimbangan terhadap SBY juga dipengaruhi oleh pandangan terhadap calon wakil presidennya, Jusuf Kalla. Cukup mengejutkan. Sementara kalangan, termasuk kelompok minoritas pengusaha Tionghoa Indonesia, mempertanyakan sikap dan pandangannya terhadap peran ekonomi kelompok Tionghoa Indonesia, serta kesan nasionalisme ekonomi dan retorik populisme yang berlebihan. Kelompok perempuan juga menyatakan kemarahan atas ketidakpekaannya dalam urusan jender. Berbagai pandangan Jusuf Kalla dirasa sebagai lonceng peringatan. Dia menganjurkan kebijakan affirmative untuk orang pribumi" seperti kebijakan bumiputra" di Malaysia yang diterapkan sejak peristiwa bentrok rasial di Malaysia Mei 1969. Di Malaysia kebijakan ini sudah ditinggalkan PM Mahathir beberapa tahun lalu karena dinilai tidak efektif dan hanya memanjakan" para pengusaha bumiputra itu. Begitu pula retorika populisnya membangkitkan berbagai kekhawatiran. Apakah pandangan ini sekedar dilontarkan semasa kampanye? Para pengusaha keturunan Tionghoa tampaknya sudah bosan dengan keluhan-keluhan terhadap mereka. Mereka ingin diajak dan diberi tempat dalam upaya nasional untuk meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia. Pengalaman, keuletan, dan hubungan-hubungan ekonomi mereka di Asia Timur dan dunia bisa dimanfaatkan. Mereka bertanya apakah retorik nasionalisme dan antiasing itu juga ditujukan pada mereka? ATAS aneka pertanyaan dan ketidakpastian itu, tampaknya berbagai pihak menengok kembali ke Megawati. Dia sudah dikenal, termasuk kekurangannya. Paling tidak dia dianggap tidak menjadi ancaman bagi demokrasi. Iklim yang ada kini memungkinkan masyarakat warga berkembang, kehidupan politik mengalami kemajuan, termasuk keberhasilan melaksanakan pemilu dan pelaksanaan pemilihan presiden tahun 2004. Ini terjadi karena dia tidak mencampuri semua hal dan perkembangan. Dukungan yang tegas bagi masyarakat Indonesia yang majemuk memberi rasa aman bagi kelompok minoritas.

oam Chomsky (2006: 1-2), menyebut tiga ciri pokok yang bisa dipakai untuk menjelaskan negara-negara yang gagal (failed states), sebagai berikut: (1) inability or unwillingness to protect their citizens from violence and perhaps even destruction; (2) tendency to regard themselves as beyond the reach of domestic and international law; and (3) if they have democratic forms, they suffer from a serious democratic deficit. Apakah Indonesia saat ini boleh dikatakan menyandang predikat sebagai salah satu negara yang gagal menurut tiga ciri pokok yang diberikan oleh Chomsky? Marilah kita simak misalnya, hasil survey Pusat Kajian Strategi Pembangunan Sosial dan Politik (PKSPSP) FISIP UI, yang menyimpulkan bahwa masyarakat menilai kinerja pemerintahan SBYJK sangat tidak memuaskan dalam menangani masalah-masalah ekonomi, kemiskinan dan pengangguran, pendidikan dan kesehatan, serta penanganan bencana alam (KR, 14 Maret 2008).

Majalah Gatra (30 Januari 2008) menurunkan laporan utamanya Ironi Impor Negeri Tahu-Tempe. Menurutnya, Indonesia menjadi juara impor untuk kebutuhan pokok, seperti beras, jagung, gula, kedelai, buah-buahan. Masih seabrek masalah-masalah berat lain, seperti penegakan hukum, korupsi dan suap yang merajalela, HAM, menipisnya rasa kebangsaan dan sebagainya. Singkatnya, Indonesia menghadapi masalah-masalah multidimensi yang berat, sementara kinerja pemerintah sangat buruk dalam menangani masalah-masalah tersebut. Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan bagaimana dan mengapa Indonesia menyandang predikat negara yang gagal dengan melihat betapa buruknya kinerja sistem politik Indonesia. Buruknya kinerja sistem politik sangat mencemaskan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia dalam sebuah era globalisasi neoliberal yang ditandai dengan persaingan pasar bebas yang sangat sengit. Kapabilitas Sistem Politik Menurut Gabriel Almond (dalam Cantori, 1974; lihat pula dalam Chilcote, 1981), konsep kapabilitas sistem politik merupakan a way of characterizing the performance of the political system and of changes in performance, and of comparing political system according to their performance. Penggunaan konsep kapabilitas akan berguna jika kita hendak melihat bagaimana kinerja sebuah sistem politik, termasuk bagaimana perubahan-perubahan dalam kinerja mereka. Konsep kapabilitas juga penting ketika kita hendak membandingkan sistem politik berkenaan dengan kinerjanya. Selanjutnya, untuk melihat kapabilitas sistem politik, Almond menyarankan adanya lima kategori kapabilitas sistem politik yang didasarkan pada klasifikasi inputs dan outputs sistem politik. Pertama, kapabilitas ekstraktif, merupakan ukuran-ukuran kinerja sistem politik dalam mengumpulkan sumber-sumber material dan manusia dari lingkungan domestik dan internasional. Kedua, kapabilitas regulatif, merujuk kepada aliran kontrol perilaku individu dan relasi-relasi kelompok dalam sistem politik. Ketiga, kapabilitas distributif, merujuk kepada kemampuan sistem politik dalam mengalokasikan barang-barang, jasa layanan, penghargaan, status, dan berbagai kesempatan yang berasal dari individu dan kelompok-kelompok masyarakat. Ini merupakan kegiatan politik sebagai dispenser nilai atau redistributor nilai di antara individu dan kelompok. Struktur pajak barangkali dapat dilihat sebagai aspek distributif sistem politik. Keempat, kapabilitas simbolik, merujuk kepada tuntutan-tuntutan perilaku simbolik dari eliteelite politik-memamerkan keagungan dan kekuasaan negara pada saat ada ancaman dan kesempatan-kesempatan, harapan-harapan akan norma, atau komunikasi kebijakan yang intens dari elite politik. Kelima, kapabilitas responsif. Jika kapabilitas ekstraktif, regulatif, redistributif, dan simbolik berkaitan dengan penggambaran pola-pola outputs sistem politik ke dalam lingkungan internal dan eksternal, maka kapabilitas responsif merujuk kepada kemampuan sistem politik untuk menangkap tuntutan-tuntutan yang berasal dari lingkungan domestik dan internasional. Dengan kata lain, kapabilitas sistem lebih pada merupakan persoalan inputs sistem politik yang berasal dari masyarakat dan lingkungan internasional, serta outputs. Buruknya Kapabilitas Sistem Politik Sejak reformasi digulirkan sepuluh tahun yang lalu sistem politik Indonesia menunjukkan kinerja yang buruk. Hal ini bisa dilihat dari rendahnya keseluruhan kapabilitas yang dimiliki oleh sistem politik, yakni kapabilitas ekstraktif, kapabilitas distributif, kapabilitas simbolik, kapabilitas responsif, dan kapabilitas regulatif. Ketidakmampuan sistem politik tampak dalam mendayagunakan sumber-sumber material dan sumber daya manusia yang melimpah. Sekalipun Indonesia memiliki sumber alam yang melimpah yang bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan dan pengangguran misalnya, tetapi sistem politik tidak mempunyai komitmen yang sungguh-sungguh dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan. Sumber daya alam tetap menjadi monopoli kelompok masyarakat tertentu, dan kemiskinan tetap menjadi persoalan yang tetap tidak pernah diselesaikan dari waktu ke waktu. Buruknya kapabilitas ekstraktif di atas juga berimbas pada buruknya kapabilitas distributif sistem politik Indonesia.

Hingga saat ini, masalah kesenjangan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan tidak pernah mendapatkan perhatian secara serius. Malahan ada kecenderungan semakin memburuk mengenai hal ini. Kebijakan ekonomi neoliberal yang semakin intensif dilakukan oleh pemerintahan SBYJK telah membuat ketimpangan dan kesenjangan antara kelompok yang kaya dan kelompok yang miskin semakin memprihatinkan. Biaya pendidikan semakin mahal sehingga hanya kelompok tertentu saja yang mampu mengakses, demikian pula dalam pelayanan kesehatan. Semakin mahalnya biaya kesehatan membuat masyarakat miskin tidak lagi memperoleh pelayanan kesehatan yang layak, sementara kelompok yang kaya dapat memilih jenis pelayanan kesehatan apapun, termasuk pelayanan standar internasional Buruknya kapabilitas simbolik bisa dilihat dari perilaku elite politik yang tidak bisa melakukan empati diri di tengah kemiskinan yang berlangsung akut. Para elite politik tetap hidup dengan gaji dan gaya hidup yang sangat berlebihan, sementara pada waktu yang sama, sebagian besar masyarakat hidup dalam serba kekurangan dan penderitaan yang mengenaskan. Buruknya kapabilitas responsif ditunjukkan oleh sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan rakyat. Sistem politik demokrasi pada dasarnya bukan hanya sistem politik yang semata-mata menyandarkan pada ada tidaknya proses pemilihan pemimpin secara adil dan jujur, berlangsung secara reguler menurut tradisi demokrasi Schumpeterian. Lebih dari itu, sistem politik demokrasi adalah sistem politik yang mempunyai tingkat kepekaan dan tanggung jawab (accountability) terhadap masyarakat luas atau warganegara. Dalam kenyataannya, sistem politik demokrasi yang muncul pada era reformasi tidak menunjukkan responsivitas terhadap tuntutan-tuntutan dari masyarakat luas. Sistem politik masih tetap merepresentasikan dirinya sebagai sistem patrimonial otoriter yang sebenarnya tidak berbeda jauh dengan sistem politik Orde Baru. Di sisi lain, pelembagaan politik melalui partai berlangsung sangat lamban. Partai politik yang seharusnya menjadi media partisipasi, artikulasi, dan agregasi kepentingan masyarakat luas, pada kenyataannya hanya menjadi alat meraih kekuasaan politik, dan elite partai politik terlibat dalam konflik-konflik yang tidak produktif. Sementara itu, kapabilitas regulatif sistem politik juga tidak kalah buruknya. Jika sistem politik dimaknai sebagai semua interaksi yang mempengaruhi semua penggunaan paksaan fisik yang sah, maka dapat dilihat bagaimana ketidakefektifan sistem politik dalam hal ini. Dalam sistem politik demokrasi yang mendasarkan pada legalitas hukum, sebagaimana di Indonesia, teramat mudah ditemukan kelompok-kelompok preman yang sewaktu-waktu dapat memaksakan kehendak dan kepentingan mereka dengan kekerasan tanpa aparat negara mampu mencegahnya. Kasus-kasus pengrusakan kantor atau tempat ibadah dapat dijadikan contoh dalam hal ini. Tentunya, kondisi seperti ini sangat buruk bagi kinerja sistem politik. Bagaimanapun sistem politik harus mampu untuk melindungi warganegara dan hak miliknya dari tindakan kekerasan dan pengrusakan. Rendahnya kapabilitas regulatif bisa dilihat pula dari ketidakmampuan sistem politik dalam mengadili para koruptor kelas kakap dan para pelanggar HAM. Buruknya kapabilitas sistem politik tentunya berimbas pada buruknya atau rendahnya kinerja sistem politik Indonesia. Hal ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari ketiadaan perubahan budaya politik yang menopangnya. Sekalipun struktur politiknya telah mengalami perubahan menjadi lebih demokratis, tetapi tidak

pada budaya politiknya. Budaya politik era reformasi tetap masih bercorak patrimonial, berorentasi kepada kekuasaan dan kekayaan (power and wealth), dan bersifat sangat paternalistik. Buruknya kinerja sistem politik tentu sangat merncemaskan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam sebuah era globalisasi neoliberal. Untuk bisa survive, dan sekaligus tidak menjadi pecundang (the looser), negara harus kuat dan tangguh dalam pengertian memiliki power and wealth. Namun dalam kenyataannya, Indonesia telah menjadi negara yang sangat lemah (a very weak state), padahal mempunyai sumber daya alam yang sangat melimpah. Ini karena buruknya kinerja sistem politik dalam memecahkan persoalan-persoalan bangsa dan negara. Dalam pandangan Chomsky, Indonesia bisa dimasukkan ke dalam apa yang disebutnya sebagai negara yang gagal atau a failed state. q-c (3370-2008)

Pada bab pertama ini berbicara tentang kehidupan politik yang dilihat sebagai sebuah sistem dari suatu kegiatan dimana kegiatan tersebut saling berhubungan untuk menerapkan asumsi implisit kesaling hubungan bagian-bagian tersebut sebagai pangkal tolak berpikir dalam melaksanakan suatu penelitian, dan untuk memandang kehidupan politik sebagai suatu sistem kegiatan-kegiatan yang saling berkaitan. Suatu sistem politik tidak hidup dalam suatu ruang hampa dan senantiasa hidup dalam suatu lingkungan tertentu. Lingkungan ini dapat dibedakan menjadi lingkungan domestik dan internasional. Salah satu sifat penting sistem politik adalah kemampuannya untuk dibedakan dengan sistem lainnya, seperti organisme atau individu. Pemahaman tentang struktur dan budaya politik memegang peran penting dalam memahami kerangka kerja sistem politik. Sistem politik memerlukan badan-badan atau struktur-struktur yang akan bekerja dalam sistem politik seperti parlemen, birokrasi, badan peradilan, dan partai politik yang melaksanakan kegiatan atau fungsi-fungsi tertentu. Dalam suatu sistem politik, biasanya, terdapat fungsi yang hampir selalu ada, fungsi tersebut adalah sosialisasi politik dan komunikasi politik. Selain struktur dan fungsi-fungsinya, budaya politik juga mempunyai peran penting dalam turut membantu menjelaskan sistem politik meskipun budaya politik bukan merupakan satu-satunya aspek politik. Kemudian menginjak pada bab kedua menggambarkan bagaimana arena politik begitu didominasi oleh birokrasi negara. Dalam suatu masyarakat politik birokrasi sebagaimana dicirikan oleh birokrasi Orde Baru keputusan-keputusan penting diformulasikan dalam birokrasi, korps militer, dan administrasi sipil. Kelompok-kelompok di luar birokrasi sebagai konsekuensi kuatnya organisasi birokrasi, seperti pemimpin kharismatik, partai politik, kelompok-kelompok kepentingan, dan gerakan massa tidak mempunyai pengaruh dalam proses pengambilan keputusan di tingkat nasional. Kemudian jika dilihat secara umum sekurang-kurangnya terdapat empat sumber utama yang menjadi penopang kekuasaan Orde Baru. Pertama, represi politik. Kedua, klientelisme ekonomi. Ketiga, wacana partikularistik. Keempat, korporatisme negara. Sistem otoriter Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari peran militer dalam menopang kekuasaannya melalui paradigma dwi fungsi ABRI dimana dwifungsi merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut dua peran yang dikerjakan oleh militer, yakni fungsi tempur dan fungsi pembinaan wilayah atau masyarakat. Implikasi lain kuatnya peran militer pada masa Orde Baru adalah membudayanya bisnis militer. George Junus Aditjandra mengungkapkan adanya tiga kaki bisnis militer, yakni pertama, bisnis institusional ABRI yang berbentuk perusahaan-perusahaan di bawah payung yayasan militer dan polisi. Kedua, adalah bisnis noninstitusional ABRI, yakni bisnis milik purnawirawan ABRI dan keluarga mereka yang sudah berkembang menjadi konglomerat-konglomerat yang kuat. Ketiga, criminal economy atau Aditjandra menyebutnya sebagai bisnis kelabu militer.

Runtuhnys Soeharto dari kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari krisis moneter yang melanda Indonesia. Krisis ini telah memberikan tekanan kepada masyarakat berkembang semakin kuat. Dalam kaitannya, organisasi serta tokoh-tokoh politik kemudian dapat mengubah berbagai tuntutan dan kepentingan masyarakat menjadi tekanan untuk perubahan yang bersifat terpusat. Dengan kata lain, krisis telah menjadi katalisator penting bagi tuntutan perubahan di Indonesia. Implikasi krisis ekonomi dan moneter serta kegagalan pemerintah dalam merespon dan mengatasi krisis tersebut membuat legitimasi pemerintahan Soeharto runtuh. Pada bab ketiga ini membahas mengenai reformasi politik sejak tahun 1998 dimana gerakan mahasiswa pada Mei 1998 telah memaksa Soeharto jatuh dari kekuasaan yang dipegangnya selama kurang lebih 32 tahun. Pada bab ke tiga ini membahas mengapa reformasi perlu dilakukan. Pertama, Orde Baru telah membangun sistem politik monolitik, yang sebenarnya bertentangan dengan heterogenitas Bangsa Indonesia. Kedua, pembatasan jumlah partai politik yang bertolak belakang dengan modernisasi ekonomi, yang menjadi pilar utama legitimasi pemerintahan Orde Baru. Ketiga, politisasi birokrasi yang menguatkan sifat alamiah birokrasi otoriter. Keempat, membangun klientelisme ekonomi melalui praktik kolusi antara birokrasi pemerintah dengan swasta sehingga dua kekuatan utama dinamika masyarakat (ekonomi dan politik) dikontrol oleh kelompok kecil yang dekat dengan kekuasaan). Kelima, melakukan represi ideologis serta penggunaan wacana otoriter secara eksesif sehingga memunculkan ketakutan politik di dalam masyarakat yang sebenarnya bertujuan untuk menghindari kritik masyarakat atas pemerintahan dan sistem politik. Keenam, memanipulasi simbol-simbol kultural sehingga rakyat memandang penguasa sebagai makhluk paling arif, tanpa cacat, dan karenanya tidak perlu dikontrol. Reformasi di Indonesia juga dilatarbelakangi oleh berkembangnya apa yang sering disebut sebagai kolusi, korupsi, dan nepotisme atau KKN. Dengan jatuhnya Soeharto yang terkenal dengan pelaksanaan pengelolaan negara dengan menyandarkan pada kekerasan dan klientelisme ekonomi ini, reformasi pun dimulai yang terlihat dari beberapa dimensi reformasi politik sejak tahun 1998, di antaranya adalah pemilihan umum sebagai wujud partisipasi rakyat bukan pemilihan umum yang seperti selama ini terjadi yang hanya dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan Soeharto, perubahan struktur dan fungsi-fungsi politik yang dilakukan secara menyeluruh berdasar amandemen UUD 45 yaitu presiden tidak lagi dipilih oleh MPR tetapi langsung dipilih oleh rakyat selain itu juga mengenai fungsi dan kedudukan DPR menjadi lebih kuat dan diperkuat dengan adanya sistem cek and balance, reformasi kepartaian yaitu dengan memberi ruang seluas-luasnya bagi partai politik untuk berkembang sehingga diharapkan akan tercipta iklim yang demokratis dalam sistem kepartaian di indonesia, kemudian berkenaan dengan reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia bab ini ditutup dengan berbagai persoalan yang masih ada selama reformasi yaitu diantaranya tidak adanya talenta politik yang mendukung dimana para tokoh reformis berada dalam arrea yang terpecah-pecahdan pada friksi-friksi yang sulit untuk dipersatukan kemudian masalah lainnya adalah tidak adanya strategi yang digunakan untuk melakukan reformasi. Pada bab empat yang berbicara mengenai masalah budaya politikyang pertama kali disoroti adalah mengenai tujuan dari suatu sistem politik secara umum yaitu untuk pengajaran kemakmuran bersama seluruh rakyat, menciptakan perdamaian demokrasi dan lain-lain. Berdasarkan kerangkya analisis sistem yang dikemukakan oleh Easton, pemahaman budaya politik merupakan hal yang esensial. Ini karena struktur politik akan berpengaruh terhadap budaya politik, dan demikian sebaliknya. Bab ini juga melakukan pembahasan terhadap budaya politik era reformasi dimana budaya politik yang ada sngat dipengaruhi oleh struktur politik sedangkan daya oprasional struktur tadi tidak akan sangat ditentukan oleh konteks kultural dimana stuktur itu berada kemudian perubahan budaya dalam suatu masyarakat apapun budaynya akan memerlukan waktu yang lama sehingga memerlukan sosialisasi, penguatan dan akhirnya pemapanan, dengan kata lain mengubah budaya politik tidak semudah mengubah struktur dan

fungsi-fungsi politik karena mengubah struktur dan fungsi-fungsi dapat dilakukan dengan mengubah undang-undang dasar suatu negara tetapi mangubah budaya politik suatu bangsa akan memerlukan waktu yang sangat lama puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun. Kemudian apa yang terjadi di indonesia selama ini juga membuktikan bahwa reformasi tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap budaya politik, budaya politik indonesia masih tetap diwarnai dengan paternalisme, parokhialisme, mempunyai orientasi yang kuat terhadap kekuasaan, dan patromonialisme yang masih sangat kuat berkembang hal ini terjadi karena adopsi sitem politik hanya menyentuh pada dimensi dan srtuktur dan fungsi-fungsi politiknya dan tidak pada semanga budaya yang melingkupi pendirian sistem politik. Pada bab lima membahas megenai struktur dan fungsi-fungsi politik. sistem politik merupakan alat melelui mana masyarakat meraih tujuan-tujuan bersama. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, sistem politik memerlukan struktur-struktur politik yang menopanganya, dan struktur politik fungsional. Oleh karena itu, pembahasan struktur dan fungsi-fungsi politik sama pentingnya dengan pembahasan budaya politik, bukan saja karena keduanya mempunyai sifat yang saling mempengaruhi, tetapi juga sebagai akibat bahwa stuktur dan fungsi politik hamper selalu inherent dalam system politik. Dalam bab ini penulis melakukan pembahasan struktur dan fungsi politik era reformasi. Dalam sistem politik struktur dibedakan kedalam kekuasaan legeslatif, eksekutif dan yudikatif menurut ajaran trias politica namun dalam perkembangannya negara-negara demokrasi modern lebih menggunakan asas pembagian kekuasaan dibanding dengan menggunakan asas kekuasaan yang murni. Pada bagian sebelumnya, telah disinggung bahwa reformasi politik sejak tahun 1998 telah mengubah sedemikian rupa struktur politik. bahkan Nordholt mengemukakan jika dilihat dari struktur pemerintahan dan kenegaraan, maka perubahan-perubahan tersebut merupakan silent resolution. Untuk itu analisis difokuskan pada struktur dan fungsi-fungsi politik sejak reformasi 1998. Sedikit mengenai srtuktur politik informmal yaitu partai politik merupakan ciri penting politik modern hampir dapat dipastikan bahwa partai-partai politik telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari sistem politik baik yang demokratis atau bahakan yang otoriter sekalipun, dalam hal ini partai politik mengorganisasi partisipasi politik dan sistem kepataian akan sangat mempengaruhi batas-batas sampai dimana partisipasi tersebut dapat diperluas. Dalam sitem politik demokrasi seperti yang ada di indonesia saat ini patai politik melaksanakan empat fungsi yaitu sebagai sarana komunikasi politik, sebagai sarana sosialisasi politik, sarana rekruitmen politik, dan sarana pengatur konflik Namun yang menjadi permasalahan saat ini partai-partai politik kurang melaksanakan fungsi politiknya dengan baik hal ini terjadi karena partai politik lebih berorientasi untuk merrebutkan kekuasaan dibandingksn dengan melaksanakan fungsi-fungsi politiknya, bahkan partai politik dituduh berperan beasar dalam amnesia politik. Kemudian selain selain patai politik juga ada struktur politik informal seperti media massa, kelompok-kelompok berbasis agama, LSM dan asoaiasi profesi telah menunjukkan eksistensinya dalam sistem politik setelah selama kurang lebih 32 tahun ditekan pemerintah Pada bab keenam berbicara proses politik dengan menitikberatkan pada pembahasan pada kapabilitas sistem politik. Analisis ditujukan untuk melihat bagaimanakah kinerja sistem politik itu berdasarkan pada model sistem politik yang dikemukakan oleh David Easton. Input sistem politik dalam dalam bentuk tuntutan dan dukungan masuk kedalam system politik. Selanjutnya masukan-masukan sistem politik ini di ubah melalui proses konversi menjadi keputusan. Selanjutnya policy decisions harus ditindaklanjuti oleh implementasi kebijakan, sehingga menghasilkan keluaran-keluaran system politik. masih dalam bab ini penulis menganalisis apakah system politik pada masa reformasi bekerja sebagaimana digambarkan oleh pendekatan system yang dikemukakan David Easton.

Pada bab terakhir ini membicarakan batas-batas dari sistem politik dan memfokuskan pada batasbatas domestik dan internasional. Menurut David Easton, sistem politik senantiasa berinteraksi dengan lingkungannya, di mana lingkungan sistem ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni lingkungan domestik dan lingkungan internasional. Lingkungan domestik berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi, fisik dan sebagainya, sedangkan lingkungan internasional meliputi aktoraktor internasional, lembaga-lembaga internasional, dan juga sistem politik yang lain. Baik sistem politik maupun lingkungannya akan berada dalam kondisi saling mempengaruhi satu sama lain. Outputs sistem politik berpengaruh terhadap lingkungannya, demikian sebaliknya lingkungan mempengaruhi bagaimana sistem politik bekerja. Sehingga, analisis dipertajam pada lingkungan yang mempunyai pengaruh besar terhadap bekerjanya sistem politik indonesia era refomasi, yang dalam konteks lingkungan internasional di antaranya yang menarik adalah globalisasi, hegemoni Amerika Serikat, dan perang melawan terorisme. Kemudian penutup dari buku ini berupa kesimpulan dari bab-bab sebelumnya yang dimulai dengan pertanyaan apakah sistem politik indonesia pada era reformasi bekerja dengan baik ataukah tidak? kemudian kesimpulan ini dadasarkan pada kerangka pendekatan sistem politik yang dikemukakan oleh Easton. Keseluruhan pembahasan kita mengenai system politik Indonesia era reformasi, sebagaimana telah dibahas pada bab-bab terdahulu, ada dua hal besar yang menjadi benang merah, yakni berkenaan dengan reformasi yang digulirkan sejak 1998 dan berkenaan dengan kinerja system politik. Berkenaan dengan reformasi , ada beberapa hal yang layak disimpulkan. Pertama, reformasi hanya sekedar mengubah struktur politik orde baru yang sangat otoriter dan despotis kemudian ada yang mengatakan bahwa jika dilihat dari perubahanperubahan structural ketatanegaraan, maka perubahan-perubahan di Indonesia dapat dikatakan sebagai silent revolution, yaitu perubahan yang sangat mendalam yang telah tercapai lewat proses demokrasi, tentang baik posisi MPR sendiri, yang diganti dengan system bicameral, dan tidak kalah pentingnya juga posisi legeslatif DPR vis--vis eksekutif yang jauh lebih kuat ketimbang situasi sebelumnya. Meskipun demikian ,terdapat pula anggapan bahwa reformasi hanya berlangsung kulitnya saja ini terjadi karena adopsi system politik hanya menyentuh pada dimensi struktur dan fungsi-fungsi politiknya (yang biasanya diwujudkan dalam konstitusi),dan tidak pada semangat kebudayaan yang melingkupi sistim politik tersebut. Padahalkonstitusi bukanlah sekedar preskripsi-preskripsi, apalagi hanya dokumen melainkan suatu komitmen,keberpihakan, dan makna yang hidup dalam dan sepanjang perjalanan sejarah. Akibatnya, struktur politik mengalami perubahan, tetapi tidak pada budayanya. Sebagaimana telah dikemukakan oleh Soetandiyo w reformasi hanya mengganti personil yang masuk ke panggung kekuasaan. Orang- orang pemerintahan dan birokrat ini hanya tampil di mana-manase bagai bagian dari kekuasaan Negara di mana mereka lebih berorientasi untuk tunduk terhadap keputusan eksekutif dibandingkan dengan mempertajam kepekaan untuk menangkap cita-cita dan aspirasi warga masyarakat. Negara lebih terkesan sebagai rumah tangga para pejabat tinggi dan lebih banyak tampak sebagai enforcemen state dibandingkan dengan service state. Kedua, kegagalan reformasi ini disebabkan oleh ketiadaan talenta politik yang mengawalnya. Kebutuhan talenta politik ini merupakan akibat dari tantangan-tantangan yang harus dihadapi oleh kaum revolusioner. Oleh karena itu , sejarah keberhasilan reformasi di beberapa Negara tidak dapat dilepaskan dari talenta politik yang mendukungnya. Keberhasilan reformasi di Turki misalnya, sangat ditentukan oleh kecerdasan Mustafa kemal. Meskipun MPR mampu melakukan amandemen UUD 1945 guna letakkan fondasi demokrasi, tetapi berhasil tidaknya agenda reformasi justru sangat ditentukan oleh kapasitas eksekutif dan legeslatif untuk secara serius dalam mengawal reformasi. Sayangnya orang-orang yang duduk dalam lembagalembaga ini tidak tidak mempunyai cukup kapassitas reformasi bahkan diantaranya adalah anak kandung rezim sebelumnya. Akibatnya, pemerintahan bergerak atas agendanya sendiri dalam mengejar, yang sayangnya, bukankepentingan-kepentingan masyarakat, tetapi kepentingankepentingan kelompok sendiri.

Kemudian kesimpulan berikutnya dapat dirumuskan dari keseluruhan pembahasan mengenai kinerja sistem politik Indonesia era reformasi adalah buruk atau tidak bekerjanya sistem politik demokrasi secara maksimal. Meskipun negara kita memiliki banyak sekali sumber daya alam yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan, misalnya, tetapi tidak pernah dilakukan. Sumber-sumber alam tetap menjadi monopoli kelompok masyarakat tertentu, dan kemiskinan tetap menjadi persoalan besar yang belum pernah mendapat penyelesaian. Buruknya kapabilitas ekstatif di atas juga berimbas pada buruknya kapabilitas distributif sistem politik Indonesia. Buruknya kapabilitas responsif ditunjukkan oleh ketidak pekaan sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat. Sistem politik demokrasi adalah sistem politik yang mempunyai tingkat kepekaan dan tanggung jawab terhadap masyarakat atau warga negara. Dengan demikian, sebuah sistem polotik demokrasi adalah sebuah sistem politik yang mempunyai responsivitas dan responsibilitas/akuntabilitas yang tinggi. Sebagian besar kebijakan yang muncul adalah atas prakarsa dan kehendak elit yang ditujukan untuk mengejar kepentingankepentingan mereka sendiri dan kelompoknya, dibandingkan dengan merespon tuntutan rakyat. Indikator terhadap hal ini, salah satunya, adalah munculnya kekerasan secara terus menerus sehingga yang muncul consolidated anarchy. Adanya kekerasan semacam ini terjadi karena rendahnya sistem politik dalam merespon tuntutantuntutan mereka. Perubahan kehidupan politik era reformasi yang diwarnai oleh semakin terbuka dan beraninya kelompok-kelompok masyarakat dalam mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan tidak ditanggapi oleh sistem politik secara memadai. Sistem politik tetap merepresentasikan dirinya sebagai sistem patrimonial-otoriter yang tidak berbeda jauh dengan sebelumnya. Padahal dalam sistem politik demokrasi, partai politik mestinya dapat melembagakan konflik-konflik semacam itu, dan berkonsentrasi dalam melakukan sosialisasi, komunikasi, dan juga rekrutmen pemimpin politik. Ketiadaan pelembagaan politik semacam itu mendorong munculnya kekerasan politik dimana-mana. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, bentuk-bentuk partisipasi politik berujud demonstrasi, protes dan tindak kekerasan ini biasanya digunakan orang untuk mempengaruhi kehidupan politik dan kebijakan pemerintahan, jika bentuk-bentuk aktivitas yang lin tidak bisa dilakukan atau nampak tidak efektif. Frekuensi penggunaanya akan berbeda-beda menurut situasi dan masyarakatnya. Dalam masyarakat yang sistem politiknya cukup tanggap terhadapkebutuhan dan tuntutan warga negaranya maka kekerasan semacam itu akan jarang sekali terjadi, sebaliknya dalam masyarakat di mana sistem politiknya tidak responsif maka tindakan-tindakan semacam itu mungkin lebih umum atau bahkan merupakan aktivitas politik yang rutin. Nampaknya, indonesia masuk kedalam kategori yang kedua Kapabilitas regulatif sistem politik juga tidak kalah buruknya. Jika sistem politik dimaknai sebagai semua interaksi yang mempengaruhi semua penggunan paksaan fisik yang sah, maka dapat dilihat bagaimana ketidakefektifan sistem politik dalam hal ini. Dalam sistem politik demokrasi yang mendasarkan pada legalitas hukum, sebagaimana di indonesia, teramat mudah ditemukan kelompok-kelompok paramiliter yang sewaktu-waktu dapat melaksanakan kepentingan-kepentingan mereka dengan kekerasan tanpa aparat negara mampu mencegahnya. Buruknya kinerja sistem politik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari ketiadaan perubahan budaya politik yang menopangnya. Walaupun struktur politiknya telah mengalami perubahan menjadi demokratis tetapi tidak ada budaya politiknya. Singkatnya buruknya kinerja sistem politik tentu sangat mencemaskan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara di masa mendatang dalam sebuah era globalisasi neoliberal yang ditandai dengan persaingan pasar bebas yang sangat sengit. Agar bisa survive negara harus kuat dan tangguh dalam pengertian memiliki power dan wealth. Namun kenyataannya, Indonesia telah menjadi salah ssatu negara lemah karena buruknya kinerja sistem politik dalam memecahkan persoalan-persoalan bangsa dan negara bahkan sekarang negara Indonesia dapat dikatakan negara yang gagal.

Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan dan tekanan. Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional. Pengaruh ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional. Perubahan ini besaran maupun isi aliran berupa input dan output. Proes mengkonversi input menjadi output dilakukan oleh penjaga gawang (gatekeeper). Terdapat 5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik : 1. Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan Sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh pemerintah. Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan yang ketika datang para penanam modal domestik itu akan memberikan pemasukan bagi pemerintah berupa pajak. Pajak inilah yang kemudian menghidupkan negara. 2. Kapabilitas Distributif. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, misalkan seperti sembako yang diharuskan dapat merata distribusinya keseluruh masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. 3. Kapabilitas Regulatif (pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat terkekang. 4. kapabilitas simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.

5. kapabilitas responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output, output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif. 6. kapabilitas dalam negeri dan internasional. Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam dunia yang mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki kapabilitas ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower) memberikan hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada negaranegara berkembang. Ada satu pendekatan lagi yang dibutuhkan dalam melihat proses politik yaitu pendekatan pembangunan, yang terdiri dari 2 hal: a. Pembangunan politik masyarakat berupa mobilisasi, partisipasi atau pertengahan. Gaya agregasi kepentingan masyarakat ini bisa dilakukans ecara tawaran pragmatik seperti yang digunakan di AS atau pengejaran nilai yang absolut seperti di Uni Sovyet atau tradisionalistik. b. Pembangunan politik pemerintah berupa stabilitas politik PROSES POLITIK DI INDONESIA Sejarah Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari masa-masa berikut ini: - Masa prakolonial - Masa kolonial (penjajahan) - Masa Demokrasi Liberal - Masa Demokrasi terpimpin - Masa Demokrasi Pancasila - Masa Reformasi Masing-masing masa tersebut kemudian dianalisis secara sistematis dari aspek : Penyaluran tuntutan Pemeliharaan nilai Kapabilitas Integrasi vertikal Integrasi horizontal Gaya politik Kepemimpinan

Partisipasi massa Keterlibatan militer Aparat negara Stabilitas Bila diuraikan kembali maka diperoleh analisis sebagai berikut : 1. Masa prakolonial (Kerajaan) Penyaluran tuntutan rendah dan terpenuhi Pemeliharaan nilai disesuikan dengan penguasa atau pemenang peperangan Kapabilitas SDA melimpah Integrasi vertikal atas bawah Integrasi horizontal nampak hanya sesama penguasa kerajaan Gaya politik - kerajaan Kepemimpinan raja, pangeran dan keluarga kerajaan Partisipasi massa sangat rendah Keterlibatan militer sangat kuat karena berkaitan dengan perang Aparat negara loyal kepada kerajaan dan raja yang memerintah Stabilitas stabil dimasa aman dan instabil dimasa perang 2. Masa kolonial (penjajahan) Penyaluran tuntutan rendah dan tidak terpenuhi Pemeliharaan nilai sering terjadi pelanggaran ham Kapabilitas melimpah tapi dikeruk bagi kepentingan penjajah Integrasi vertikal atas bawah tidak harmonis Integrasi horizontal harmonis dengan sesama penjajah atau elit pribumi Gaya politik penjajahan, politik belah bambu (memecah belah) Kepemimpinan dari penjajah dan elit pribumi yang diperalat

Partisipasi massa sangat rendah bahkan tidak ada Keterlibatan militer sangat besar Aparat negara loyal kepada penjajah Stabilitas stabil tapi dalam kondisi mudah pecah 3. Masa Demokrasi Liberal Penyaluran tuntutan tinggi tapi sistem belum memadani Pemeliharaan nilai penghargaan HAM tinggi Kapabilitas baru sebagian yang dipergunakan, kebanyakan masih potensial Integrasi vertikal dua arah, atas bawah dan bawah atas Integrasi horizontal- disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator Gaya politik - ideologis Kepemimpinan angkatan sumpah pemuda tahun 1928 Partisipasi massa sangat tinggi, bahkan muncul kudeta Keterlibatan militer militer dikuasai oleh sipil Aparat negara loyak kepada kepentingan kelompok atau partai Stabilitas - instabilitas 4. Masa Demokrasi terpimpin Penyaluran tuntutan tinggi tapi tidak tersalurkan karena adanya Front nas Pemeliharaan nilai Penghormatan HAM rendah Kapabilitas abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju Integrasi vertikal atas bawah Integrasi horizontal berperan solidarity makers, Gaya politik ideolog, nasakom Kepemimpinan tokoh kharismatik dan paternalistik Partisipasi massa - dibatasi Keterlibatan militer militer masuk ke pemerintahan

Aparat negara loyal kepada negara Stabilitas - stabil 5. Masa Demokrasi Pancasila Penyaluran tuntutan awalnya seimbang kemudian tidak terpenuhi karena fusi Pemeliharaan nilai terjadi Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM Kapabilitas sistem terbuka Integrasi vertikal atas bawah Integrasi horizontal - nampak Gaya politik intelek, pragmatik, konsep pembangunan Kepemimpinan teknokrat dan ABRI Partisipasi massa awalnya bebas terbatas, kemudian lebih banyak dibatasi Keterlibatan militer merajalela dengan konsep dwifungsi ABRI Aparat negara loyal kepada pemerintah (Golkar) Stabilitas stabil 6. Masa Reformasi Penyaluran tuntutan tinggi dan terpenuhi Pemeliharaan nilai Penghormatan HAM tinggi Kapabilitas disesuaikan dengan Otonomi daerah Integrasi vertikal dua arah, atas bawah dan bawah atas Integrasi horizontal nampak, muncul kebebasan (euforia) Gaya politik - pragmatik Kepemimpinan sipil, purnawiranan, politisi Partisipasi massa - tinggi Keterlibatan militer - dibatasi Aparat negara harus loyal kepada negara bukan pemerintah

Stabilitas - instabil posted by Uwes Fatoni | 7:17 AM | 0 comments BUDAYA DAN STRUKTUR POLITIK Materi Perkuliahan Sistem Politik Indonesia Tanggal 21 Maret 2006 Oleh Uwes Fatoni, M.Ag Sistem politik terdiri dari tradisional, transisi dan modern Sistem politik itu sangat luas namun bila diringkaskan bisa dilihat dari dua sudut pandang yatu kultur (budaya) atau struktur (lembaga). BUDAYA POLITIK Budaya politik adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik. Budaya politik berbeda dengan peradaban politik yang lebih dititiktekankan pada teknologi. Budaya politik dilihat dari perilaku politik masyarakat antara mendukung atau antipati juga perilaku yang dipengaruhi oleh orientasi umum atau opini publik. Tipe budaya politik 1. Budaya parokial yaitu budaya politik yang terbatas pada wilayah tertentu bahkan masyarakat belum memiliki kesadaran berpolitik, sekalipun ada menyerahkannya kepada pemimpin lokal seperti suku. 2. Budaya Kaula artinya masyarakat sudah memiliki kesadaran terhadap sistem politik namun tidak berdaya dan tidak mampu berpartisipasi sehingga hanya melihat outputnya saja tanpa bisa memberikan input. 3. Budaya partisipan yaitu budaya dimana masyarakat sangat aktif dalam kehidupan politik. 4. budaya politik campuran, maksudnya disetiap bangsa budaya politik itu tidak terpaku kepada satu budaya, sekalipun sekarang banyak negara sudah maju, namun ternyata tidak semuanya berbudaya partisipan, masih ada yang kaula dan parokial. Inilah yang kemudian disebut sebagai budaya politik campuran. Ketika melihat budaya politik di Indonesia kita bisa melihat dari aspek berikut: a. Konfigurasi subkultur. Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang beragam, namun semuanya sudah melebur menjadi satu bangsa sehingga tidak muncul kekhawatiran terjadi konflik. Berbeda dengan india yang subkulturnya sangat beragam bahkan terjadi sekat antar kasta. b. Bersifat Parokial kaula. Karena masyarakat Indonesia mayoritas masih berpendidikan rendah maka budaya politiknya masih bersifat parokial kaula.

c. Ikatan primordial, sentimen kedaerahan masih muncul apalagi ketika Otonomi Daerah diberlakukan. d. Paternalisme, artinya masih muncul budaya asal bapak senang (ABS) e. Dilema interaksi modernisme dengan tradisi. Indonesia masih kuat dengan tradisi namun modernisme mulai muncul dan menggeser tradisi tersebut sehingga memunculkan sikap dilematis. STRUKTUR POLITIK Politik adalah Alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan. Kekuasaan berarti kapasitas dalam menggunakan wewenang, hak dan kekuatan fisik. Ketika berbicara struktur politik maka yang akan diperbincangkan adalah tentang mesin politik sebagai lembaga yang dipakai untuk mencapai tujuan. Berdasarkan jenisnya mesin politik terbagi dua yaitu : 1. Mesin politik Informal - Pengelompokan atas persamaan sosial ekonomi Golongan petani merupakan kelompok mayoritas (silent majority) Golongan buruh Golongan Intelegensia merupakan kelompok vocal majority - Persamaan jenis tujuan seperti golongan agama, militer, usahawan, atau seniman - Kenyataan kehidupan politik rakyat seperti partai politik, tokoh politik, golongan kepentingan dan golongan penekan. 2. Mesin politik formal Mesin politik formal berupa lembaga yang resmi mengatur pemerintahan yaitu yang tergabung dalam trias politika : - Legislatif - Eksekutif - Yudikatif Fungsi Politik 1. Pendidikan politik

2. Mempertemukan kepentingan atau mengakomodasi dan beradaptasi 3. Agregasi kepentingan yaitu menyalurkan pendapat masyarakat kepada penguasa, disini penyalurnya berarti pihak ketiga 4. Seleksi kepemimpinan 5. komunikasi politik yaitu masyarakt mengemukakan langsung pendapatnya kepada penguasa demikian pula sebaliknya. posted by Uwes Fatoni | 7:15 AM | 6 comments Tuesday, March 07, 2006 Materi perkuliahan tanggal 6 Maret 2006 Pengertian Sistem adalah Satu kesatuan yang terbentuk dari beberapa unsur yang saling terkait Suatu cara yang mekanismenya berpola, konsisten dan otomatis Politik berasal dari polis (negara kota: bhs Yunani) Artinya kegiatan dalam rangka mengurus kepentingan masyarakat Indonesia adalah nama untuk suatu bangsa dan negara yang memiliki wilayah, penduduk, pemerintah dan aturan. Sistem Politik berarti mekanisme seperangkat fungsi atau peranan dalam strutkus politik dalam hubungan satu sama lain yang menunjukkan satu proses yang langgeng. Sistem Politik Indonesia berarti : 1. Sistem politik yang pernah berlaku di Indonesia (masa lampau) 2. sistem politik yang sedang berlaku di Indonesia (masa sekarang) 3. Sistem politik yang berlaku selama eksistensi Indonesia masih ada (masa yang akan datang) Fenomena dalam politik a. Sistem Politik Negara b. Peran politik Jabatan c. Struktur politik Institusi d. Budaya politik Pendapat umum e. Sosialisasi politik Pendidikan kewarganegaraan. Oleh Uwes Fatoni, M.Ag posted by Uwes Fatoni | 2:53 AM | 0 comments Saturday, February 25, 2006 SILABUS MATA KULIAH

SISTEM POLITIK INDONESIA Mata Kuliah : Sistem Politik Indonesia Bobot : 2 (dua) SKS Jurusan : Deskripsi : Sistem politik Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah bangsa Indonesia sejak zaman kerajaan, penjajahan, kemerdekaan sampai masa reformasi sekarang. Para founding father bangsa telah merumuskan secara seksama sistem politik yang menjadi acuan dalam pengelolaan negara. Hal ini tentunya dilakukan dengan melihat kondisi dan situasi bangsa pada saat itu. Sistem politik Indonesia pada masa reformasi saat ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Bermunculan lembaga dan sistem yang baru dalam rangka merespon permasalahan bangsa yang semakin kompleks. Berdasarkan hal tersebut, mata kuliah ini disajikan sebagai dasar untuk pengenalan lebih jauh tentang apa dan bagaimana sistem politik Indonesia. Secara spesifik akan dikaji mengenai sistem politik sejak zaman kerajaan sampai masa reformasi, sistem kepartaian, sistem pemilihan umum, dan fungsi serta kedudukan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pokok bahasan : 1. Pengertian sistem politik Indonesia 2. Sejarah Sistem Politik Indonesia (zaman pra kolonial, kolonial, orde lama, orde baru, dan reformasi) 3. Sistem Kepartaian 4. Sistem Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD 5. Sistem Pemilihan Umum Presiden dan wakil Presiden 6. Sistem Pemilihan Umum Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) 7. Fungsi dan Kedudukan Eksekutif 8. Fungsi dan Kedudukan Legislatif 9. Fungsi dan Kedudukan Yudikatif 10. Fungsi dan Kedudukan Lembaga Negara masa Reformasi - Komisi Pemilihan Umum (KPU) - Mahkamah Konstitusi (MK) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) - Komisi Yudisial (KY)

You might also like