You are on page 1of 10

Warga komunitas suku Baduy Dalam di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Jumat (5/3/2010), merayakan tradisi kawalu

kedua atau "bulan karo" penuh sederhana karena belum seluruhnya warga musim panen padi huma. "Perayaan ini penuh khusyuk dan berdoa meminta kondisi negara aman, damai, dan sejahtera," kata Sekretaris Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Sarpin, saat dihubungi di Rangkasbitung. Sarpin mengatakan, perayaan kawalu bagi warga Baduy Dalam yang tinggal di Kampung Cibeo dan Cikawartana, Desa Kanekes, sedangkan Kampung Cikeusik sudah merayakan pada hari Kamis (4/3/2010). Ketiga perkampungan Baduy Dalam tersebut digelar dengan penuh sederhana. Warga merayakannya dengan penuh khidmat dan khusyuk sambil berdoa meminta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar negara ini diberikan rasa aman, damai, dan sejahtera. "Kalau negara ini aman dan damai tentu masyarakat akan sejahtera," katanya. Dia meminta selama kawalu berlangsung, pengunjung dilarang masuk ke perkampungan Baduy Dalam karena sedang melaksanakan ibadah setelah puasa seharian. Oleh sebab itu, kata dia, pihaknya sebagai aparat pemerintah telah memasang peringatan di pintu gerbang Baduy di Ciboleger agar pengunjung menaati hukum adat. Sebab, tradisi kawalu merupakan keputusan adat yang harus dilaksanakan setiap tahun, dirayakan tiga kali selama tiga bulan dengan puasa seharian. Perayaan kawalu merupakan salah satu tradisi ritual yang dipercaya oleh warga Baduy Dalam sehingga perlu menghargai dan menghormati keyakinan agama yang dianut mereka. "Selama melaksanakan kawalu, kondisi kampung Baduy Dalam sepi karena mereka berpuasa dan banyak memilih tinggal di rumah-rumah," katanya. Wakil Lembaga Hukum Adat Baduy Dalam, Ayah Mursid, mengaku, pihaknya memohon maaf karena selama perayaan kawalu perkampungan Baduy Dalam meliputi Cikawartana, Cikeusik, dan Cibeo tertutup bagi pengunjung, sekalipun itu pejabat daerah ataupun pejabat negara. "Kami menjalankan kawalu karena peninggalan adat dan harus ditaati," katanya. Menurut dia, setelah berakhir perayaan kawalu, tentu pengunjung kembali diperbolehkan mendatangi kawasan Baduy Dalam. Dia menjelaskan, setelah kawalu, satu bulan yang akan datang merayakan acara Seba dengan mendatangi bupati dan Gubernur Banten dengan membawa hasil-hasil bumi (pertanian). "Saat ini sebagian warga Baduy sudah panen padi huma," katanya. Dia menambahkan, perayaan Seba itu sebagai salah satu bentuk silaturahim yang harus dijalin dengan baik kepada pemerintah.

Asal Usul Suku Baduy


Menyimak cerita rakyat khususnya di wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak umumnya sewilayah Banten maka suku Baduy berasal dari 3 tempat sehingga baik dari cara berpakaian, penampilan serta sifatnyapun sangat berbeda I. Berasal dari Kerajaan Pajajaran / Bogor Konon pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi Rajanya adalah PRABU BRAMAIYA MAISATANDRAMAN dengan gelar PRABU SILIWANGI. Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini adalah SUNAN GUNUNG JATI dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua Artinya : jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan Keturunan ini yang sekarang bertempat tinggal di kampong Cibeo ( Baduy Dalam ) dengan cirri-ciri : berbaju putih hasil jaitan tangan ( baju sangsang ), ikat kepala putih, memakai sarung biru tua ( tenunan sendiri ) sampai di atas lutut, dan sipat penampilannya jarang bicara ( seperlunya ) tapir amah, kuat terhadap Hukum adat, tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana. II. Berasal dari Banten Girang/Serang Menurut cerita yang menjadi senopati di Banten pada waktu itu adalah putra dari Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk Umun setelah Cirebon dan sekitarnya dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau mengutus putranya yang bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk mengembangkan agama Islam di wilayah Banten dan sekitarnya.

Sehingga situasi di Banten Prabu Pucuk Umun bersama para ponggawa dan prajurutnya meninggalkan tahta di Banten memasuki hutan belantara dan menyelusuri sungai Ciujung sampai ke Hulu sungai , maka tempat ini mereka sebut Lembur Singkur Mandala Singkah yang maksudnya tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang dan akhirnya tempat ini disebut GOA/ Panembahan Arca Domas yang sangat di keramatkan . Keturunan ini yang kemudian menetap di kampung Cikeusik ( Baduy Dalam ) dengan Khas sama dengan di kampong Cikeusik yaitu : wataknya keras,acuh, sulit untuk diajak bicara ( hanya seperlunya ), kuat terhadap hukum Adat, tidak mudah menerima bantuan

orang lain yang sifatnya pemberian, memakai baju putih ( blacu ) atau dari tenunan serat daun Pelah, iket kepala putih memakai sarung tenun biru tua ( diatas lutut ). III. Berasala dari Suku Pangawinan ( campuran ) Yang dimaksud suku Pengawinan adalah dari percampuran suku-suku yang pada waktu itu ada yang berasal dari daerah Sumedang, priangan, Bogor, Cirebonjuga dari Banten. Jadi kebanyakanmereka itu terdiri dari orang-orang yang melangggar adat sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk Umun dibuang ke suatu daerah tertentu. Golongan inipun ikut terdesak oleh perkembangan agama Islam sehingga kabur terpencar kebeberapa daerah perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan belantara, sehingga ada yang tinggal di Guradog kecamatan Maja, ada yang terus menetap di kampong Cisungsang kecamatan Bayah, serta ada yang menetap di kampung Sobang dan kampong Citujah kecamatan Muncang, maka ditempat-tempat tersebut di atas masih ada kesamaan cirikhas tersendiri. Adapun sisanya sebagian lagi mereka terpencar mengikuti/menyusuri sungai Ciberang, Ciujung dan sungai Cisimeut yang masing-masing menuju ke hulu sungai, dan akhirnya golongan inilah yang menetap di 27 perkampungan di Baduy Panamping ( Baduy Luar ) desa Kanekes kecamatan Leuwidamar kabupaten Lebak dengan cirri-cirinya ; berpakaian serba hitam, ikat kepala batik biru tua, boleh bepergian dengan naik kendaraan, berladang berpindah-pindah, menjadi buruh tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap terpengaruh adanya hukum adat karena merekan masih harus patuh dan taat terhadap Hukum adat. Dari suku Baduy panamping pada tahun 1978 oleh pemerintah diadakan proyek PKMT ( pemukiman kembali masyarakat terasing ) yang lokasinya di kampung Margaluyu dan Cipangembar desa Leuwidamar kecamatan Leuwidamar dan terus dikembangkan oleh pemerintah proyek ini di kampung Kopo I dan II, kampung Sukamulya dan kampung Sukatani desa Jalupangmulya kecamatan Leuwidamar . Suku Baduy panamping yang telah dimukimkan inilah yang disebut Baduy Muslim, dikarenakan golongan ini telah memeluk agama Islam, bahkan ada yang sudah melaksanakan rukun Islam yang ke 5 yaitu memunaikan ibadah Haji.

Kini sebutan bagi suku Baduy terdiri dari : 1. Suku Baduy Dalam yang artinya suku Baduy yang berdomisili di Tiga Tangtu ( Kepuunan ) yakni Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana. 2. Suku Baduy Panamping artinya suku Baduy yang bedomisili di luar Tangtu yang menempati di 27 kampung di desa Kanekes yang masih terikatoleh Hukum adat dibawah pimpinan Puuun ( kepala adat ). 3. Suku Baduy Muslim yaitu suku Baduy yang telah dimukimkan dan telah mengikuti ajaran agama Islam dan prilakunya telah mulai mengikuti masyarakat luar serta sudah tidak

mengikuti Hukum adat. Adapun sebutan suku Baduy menurut cerita adalah asalnya dari kata Badui, yakni sebutan dari golongan/ kaum Islam yang maksudnya karena suku itu tidak mau mengikuti dan taat kepada ajaran agama Islam, sedangkan disaudi Arabia golongan yang seperti itu disebut Badui maksudnya golongan yang membangkang tidak mau tunduk dan sulit di atur sehingga dari sebutan Badui inilah menjadi sebutan Suku Baduy.

A.

Tekhnologi dan Peralatan Suku Baduy

Peralatan dan Teknologi Kehidupan orang Baduy berpusat pada daur pertanian yang diolah dengan menggunakan peralatan yang masih sangat sederhana. Dalam adapt Baduy terutama Baduy Dalam, masyarakat tidak boleh menggunakan peralatan yang sudah modern. Mereka mengandalkan peralatan yang masih sangat primitive seperti bedog, kampak, cangkul, dll

B.

Mata Pencaharian Hidup Suku Baduy

Mata pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam padi huma dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan sepertidurian dan asam keranji, serta madu hutan. Kehidupan orang Baduy berpenghasilan dari pertanian, dimulai pada bulan kaampat kalender Baduy yang dimulai dengan kegiatan nyacar yakni membersihkan semua belukar untuk menyiapkan ladang. Ada 4 jenis lading untuk padi gogo yaitu Huma serang, merupakan suatu lading suci bagi mereka yang berpemukiman dalam. Huma tangtumerupakan lading yang dikerjakan oleh orang Baduy Dalam yang meliputi Huma tuladan atau huma jaro. Huma penamping merupakan ladang yang dikerjakan oleh orang Baduy diluar kawasan tradisional.

C.

Sistem Organisasi Sosial Suku Baduy


1. Sosial Budaya Baduy

Suku Baduy adalah bukan suku terasing melainkan suatu suku yang mengasingkan diri dengan pola kehidupannya patuh terhadap hukum adat, hidup mandiri denga tidak mengharapkan yang sifatnya bantuan dari orang lain / orang luar, menutup diri dari pengaruh budaya yang akan masuk dari luar. Adapun cara hidup mereka baik dengan sessama warga, bergotong royong, taat terhadap adat. Seia sekata dalam pandangan, berlindung terhadap Pusaka Karuhun dan amanat Leluhurnya sekalipun tidak tersurat tetapi tersirat dalam ingatan sehingga patuh dan taat terhadap peraturan hokum adat yang dipimpin oleh Kepala Adat ( Puun ). Menurut palsafah suku Baduy pergantian musim adalah mendatangkan dan meninggalkan

untuk kesejahteraan manusia,hidup rukun saling member dan menerima dalam hal yang saling membutuhkan adalah merupakan pelengkap untuk menimbulkan rasa kedamaian karena kalau saling menciderai dan membinasakan akan mendatangkan bencana dan perpecahan. Amanat leluhur yang menjelma jadi hokum adat mampu mengatur tatanan kehidupan untuk kesejahteraan dan tatanan yang senapas dengan lingkungannya sehingga warna hidup dan kehidupannya mempunyai keseragaman kata dan perbuatannya. 2. Hukum di didalam Masyarakat Baduy Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Puun untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy. Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Menariknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota.Banyak larangan yang diatur dalam hukum adat Baduy, di antaranya tidak boleh bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan naik kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan beristri lebih dari satu. Di dalam proses pernikahan pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing. Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali lamaran. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya.

Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal. 3. Pemerintahan Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "puun". Struktur pemerintahan secara adat Kanekes adalah sebagaimana tertera pada Gambar

1. Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "puun" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turuntemurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.

Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, danjaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya.

Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung

D.

Pengetahuan Suku Baduy


Sistem pengetahuan orang Baduy adalah Pikukuh yaitu memegang teguh segala perangkat

peraturan yang diturunkan oleh leluhurnya. Dalam hal pengetahuan ini, orang Baduy memiliki tingkat toleransi, tata krama, jiwa social, dan teknik bertani yang diwariskan oleh leluhurnya. Dalam pendidikan modern orang Baduy masih tertinggal jauh namun mereka belajar secara otodidak. Jadi sebetulnya orang Baduy sangat informasional sekali sebetulnya, tahu banyak informasi. Hal ini ditunjang karena kegemaran sebagai orang rawayan (pengembara). Sebagai penutup dan catatan penulis, kemungkinan bahwa budaya lama telah banyak digantikan

dengan budaya baru menandakan sebetulnya budaya sangat relatif dan adaptif di lingkungan Suku Baduy, terutama Baduy luar. Namun, sebagai pelengkap yang lebih akurat dibandingkan foklore (cerita rakyat) dan narasumber lainnya, adalah peninggalan sejarah dan prasejarah yang tertinggal sebagai bukti terkuat, bahwa mereka termasuk komunitas masyarakat yang tertua di Banten.

E.

Kesenian Suku Baduy

Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, masyarakat yang memiliki konsep inti kesederhanaan ini belum pernah mengharapkan bantuan dari luar. Mereka secara mandiri dengan cara bercocok tanam dan berladang. Selain itu mereka menjual hasil kerajinan seperti Koja dan Jarog(tas yang terbuat dari kulit kayu), tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung, golok, parang dan berburu.

Dalam melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu: 1. Seni Musik (Lagu daerah yaitu Cikarileu dan Kidung ( pantun) yang digunakan dalam acara pernikahan). 2. Alat musik (Angklung Buhun dalam acara menanan padi dan alat musik kecapi) 3. Seni Ukir Batik. F. Bahasa Suku Baduy

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek SundaBanten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja. Mayoritas masyarakat Baduy Sunda namun mereka tak menutup diri untuk terus mempelajari Bahasa nasional yakni bahasa Indonesia. Terbukti, tidak sedikit masyarakat Baduy yang dapat berbahasa Inbdonesia. G. Sistem Religi (Kepercayaan) Suku Baduy

Suku Baduy yang merupakan suku tradisional di Provinsi Banten hampir mayoritasnya mengakui kepercayaan sunda wiwitan. Yang mana kepercayaan ini meyakini akan adanya Allah sebagai Guriang Mangtua atau

disebut pencipta alam semesta dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini. Kepercayaan sunda wiwitan berorientasi pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengandung ibadah dalam berperilaku, pola kehidupan sehari-hari,langkah dan ucapan, dengan melalui hidup yang mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewah) seperti tidak mengunakanlistrik,tembok,mobildll. Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy menurut kepercayaan sunda wiwitan: 1. Upacara Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy melaksanakan ibadah puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa,Karo, dan Katiga. 2. Upacara ngalaksa yaitu upacara besar yang dilakukan sebagain uacapan syukur atas terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan. Ngalaksa atau yang bsering disebut lebaran. 3. Seba yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan tali silaturahmi antara masyarakat baduy dengan pemerintah, dan merupakan bentuk penghargaan dari masyarakat baduy. 4. Upacara menanam padi dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagai penghormatan kepada dewi sri lambing kemakmuran. 5. Kelahiran yang dilakukan melalui urutan kegiatan yaitu: 1. Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil. 2. Saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untiuk dijampi-jampi. 3. Setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau selametan. 4. Upacara Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran. 5. Akikah yaiotu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun(kokolot) yuang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam. 6. Perkawinan, dilakukan berdasarkan perjodohan dan dilakukan oleh dukun atau kokolot menurut lembaga adat (Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya. Adapun mengenai mahar atau seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng. Dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari tentunya masyarakat baduy disesuaikan dengan penanggalan: 1. Bulan Kasa 7. Bulan Kapitu 2. Bulan Karo 8. Bulan Kadalapan 3. Bulan Katilu 9. Bulan Kasalapan 4. Bulan Sapar 10. Bulan Kasapuluh 5. Bulan Kalima 11. Bulan Hapid Lemah 6. Bulan Kaanem 12. Bulan Hapid Kayu Seperti yang telah diuraikan diatas, apabila ada masyarakat baduy yang melanggar asalah satu pantangan maka akan dikenai hukuman berupa diasingkan ke hulu atau dipenjara oleh pihak polisi yang berwajib Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting

dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin: Lojor heunteu beunang dipotong, pndk heunteu beunang disambung. (Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung) H. Kebudayaan Suku Baduy

Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yaitu suku baduy yang tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat baduy pada umumnya terletak pada daerah. Baduy atau biasa disebut juga dengan masyarakat kanekes adalah nama sebuah kelompok masyarakat adat Sunda di Banten. Suku Baduy tinggal di pedalaman Jawa Barat, desa terakhir yang bisa di jangkau oleh kendaraan adalah DESA Ciboleger (jawa barat). Dari desa ini kita baru bisa memasuki wilayah suku baduy luar. Tetapi sebelum kita masuk kewilayah suku baduy kita harus melapor dulu dengan pimpinan adatnya yang di sebut Jaro. Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka. * Kelompok tangtu (baduy dalam). Suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar.selain itu orang baduy dalam merupakan yang paling patuh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Puun (Kepala Adat). Orang Baduy dalam tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih dan golok. Pakaian mereka tidak berkerah dan berkancing, mereka juga tidak beralas kaki. Meraka pergi kemana-mana hanya berjalan kaki tanpa alas dan tidak pernah membawa uang. mereka tidak mengenal sekolah, huruf yang mereka kenal adalah Aksara Hanacara dan bahasanya Sunda. Mereka tidak boleh mempergunakan peralatan atau sarana dari luar. Salah satu contoh sarana yang mereka buat tanpa bantuan dari peralatan luar adalah Jembatan Bambu. Mereka membuat sebuah Jembatan tanpa menggunakan paku, untuk mengikat batang bambu mereka menggunakan ijuk, dan untuk menopang pondasi jembatan digunakan pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi sungai. * Kelompok masyarakat panamping (baduy Luar), mereka tinggal di desa Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang mengelilingi wilayah baduy dalam. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat

kepala berwarna hitam. suku Baduy Luar biasanya sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya. selain itu mereka juga sudah mengenal kebudayaan luar, seperti bersekolah. * Kelompok Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar

You might also like