You are on page 1of 39

PRESENTASI KASUS BESAR

KONJUNGTIVITIS PAPIL TERINDUKSI LENSA KONTAK

DISUSUN OLEH: ICHWAN ZUANTO PEMBIMBING: dr. KEMALA DEWI, SpM

KEPANITERAAN KLINIK SMF MATA RSUP FATMAWATI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 24 JANUARI 2011 18 FEBRUARI 2011

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim Assalamualaikum Wr. Wb Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan sehingga pada akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah kasus besar dalam Kepaniteraan Klinik Mata Program Studi Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di RSUP Fatmawati. Shalawat dan salam kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW karena telah membawa manusia menuju zaman yang penuh dengan cahaya ilmu. Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Kemala Dewi, Sp.M selaku pembimbing makalah kasus besar kami di Kepaniteraan Klinik SMF Mata RSUP Fatmawati yang telah memberikan bimbingan dan kesempatan dalam penyusunan makalah kasus besar ini. Kami sadari betul bahwa makalah kasus besar ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah yang kami buat ini. Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan khususnya bagi mahasiswa kedokteran. Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, 9 Februari 2011

Penyusun

BAB I PENDAHULUAN Konjungtivitis adalah penyakit peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental. Penyebab umumnya eksogen, tetapi bisa endogen. Penyebab eksogen konjungtivitis antara lain virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing, misalnya lensa kontak.1 Pada tahun 1974, Spring menjadi orang pertama yang melaporkan adanya gejala mirip reaksi alergi di konjungtiva tarsalis superior pada 78 dari 170 pemakai lensa kontak. Pasienpasien ini mengeluhkan iritasi pada bola mata, mata berair (lakrimasi), dan mobilisasi lensa kontaknya yang berlebihan, sehingga lensa kontak tidak terfiksasi dengan baik pada permukaan bola matanya. Proses ini berlangsung sekitar 3 sampai 33 bulan, atau rata-rata 18 bulan, setelah pasien menggunakan lensa kontak tersebut.2 Sindrom ini didefinisikan sebagai kumpulan gejala yang berkaitan dengan reaksi inflamasi dan perubahan gambaran anatomis pada konjungtiva tarsalis superior. Gejala ini dapat muncul dalam hitungan minggu atau bahkan tahun setelah pemakaian awal lensa kontak. Sindrom ini dapat terjadi pada semua pengguna lensa kontak tanpa ada preferensi jenis kelamin. Biasanya lokasinya bilateral, tetapi tidak menutup kemungkinan lokasi terjadinya unilateral.2 Konjungtivitis papil raksasa termasuk ke dalam kelompok penyakit alergi mata, selain dari konjungtivitis hay fever, konjuntivitis atopik, keratokonjungtivitis vernal, dan alergi kontak.3 Dalam beberapa studi, proses perjalanan penyakit diawali oleh adanya iritasi mekanis kemudian stimulus reaksi antigenik di konjungtiva tarsal palpebra superior oleh permukaan atau tepi dari lensa kontak, lalu diikuti oleh perubahan gambaran histologis di jaringan (degranulasi sel mast dan kaskade reaksi inflamasi sekunder). Hal ini menyebabkan terjadinya konjungtivitis.2 Pilihan terapi pada pasien konjungtivitis papil raksasa terinduksi lensa kontak dijabarkan dalam beberapa langkah: merubah lensa kontak yang dipakai (tipe, dan disain), perubahan pola perawatan lensa kontak dan higienitas mata, dan terapi farmakologis dengan menggunakan stabilisator sel mast topikal atau obat-obatan anti-inflamasi non-steroid.4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anatomi Konjungtiva

Gambar 1. Anatomi konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus. Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat berkalikali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (duktus-duktus kelenjar lakrimal bermuara ke forniks temporal superior). Konjungtiva bulbaris melekat longgar pada kapsul tenon dan sklera di bawahnya, kecuali di limbus (tempat kapsul tenon dan konjugtiva menyatu). Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, lunak, dan mudah bergerak (plica semilunaris) terletak di kantus internus dan merupakan selaput pembentuk kelopak mata dalam pada beberapa

hewan kelas rendah. Struktur epirdemoid kecil semacam daging (caruncula) menempel secara superfisial ke bagian dalam plica semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung baik elemen kulit maupun membran mukosa. Lapisan epitel konjungitva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial, dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamosa bertingkat. Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan dibeberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungitvitis inklusi pada neonatus bersifat papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata.

epite l

strom a

Gambar 2. Struktur histologis konjungtiva

Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar Krause berada di forniks atas, sisanya ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi tarsus atas.

Gambar 3. Struktur penampang palpebra dan konjungtiva

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria ciliaris anterior dan arteria palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskular konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun di dalam lapisan superfisialis dan profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus yang kaya. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan (oftalmik) pertama nervus V. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit. Definisi dan Terminologi Oftalmologis Australia, Tom Spring adalah orang yang diakui sebagai yang pertama mengobservasi sebuah gejala mirip dengan alergi di konjungtiva tarsal superior pada pengguna lensa kontak. Spring melaporkan adanya tampilan papil raksasa di konjungtiva tarsal superior disertai dengan keluhan rasa tidak nyaman (mengganjal) dan produksi mukus yang berlebihan, pada 43 % pasien pemakai lensa kontak. Gejala reaksi mirip dengan alergi yang menyertai perubahan papilar pada konjungtiva tarsal tersebut merupkan bagian dari reaksi hipersensitivitas tipe humoral (dimediasi oleh imunoglobulin E).

Sejalan dengan bertambahnya pemakaian lensa kontak hidrogel dalam kurun waktu 4 dekade terakhir, timbul beberapa penyakit yang berkaitan dengan hal tersebut seperti konjungtivitis alergi atau keratokonjungtivitis vernal. keratokonjungtivitis vernal merupakan penyakit atopik musiman yang terjadi umumnya pada individu berusia muda (lebih sering pada pria), yang seringkali progresif dan memungkinkan terjadinya ulkus kornea dan komplikasi lainnya. Konjungtivitis papil raksasa yang berkaitan dengan pemakaian lensa kontak tidak pernah menyebabkan komplikasi berat seperti pada keratokonjungtivitis vernal. Terminologi konjungtivitis papil raksasa diberikan oleh Allansmith, dkk. untuk menggambarkan perubahan struktur anatomi konjungtiva tarsal superior yang berbentuk seperti cobblestone. Bagaimanapun, kondisi ini dapat mempunyai berbagai macam bentuk, bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan apakah berkaitan dengan penggunaan lensa kontak jenis rigid atau soft-lens. Pada stadium awal, kondisi penyakit ini disebut lid roughness, dan hipertrofi papil. Bahkan pada stadium lanjut dari penyakit, kondisi ini mungkin saja dapat menjadi lebih meluas dan membesar namun tidak seperti gambaran raksasa. Oleh karena itu, terminologi yang sesuai untuk menggambarkan semua manifestasi klinis yang mungkin terjadi pada kondisi penyakit ini adalah konjungtivitis papil terinduksi lensa kontak (contact lens papillary conjunctivitis/ CLPC). Terminologi papil raksasa menunjukkan bahwa lesi hipertrofi papil telah mencapai diameter lebih dari 0,3 mm. Prevalensi Pada pengguna soft-lens, CLPC dapat berkembang dalam kurun waktu 3 minggu/bahkan 4 tahun untuk menimbulkan gejala. Sedangkan pada pengguna rigid-lens, CLPC biasanya muncul setelah 14 bulan pemakaian. Prevalensi CLPC pada pemakai soft-lens konvensional yang telah dilaporkan dari beberapa penelitian bervariasi di sekitar angka 1,8 % sampai dengan 15 %. Alasan mengapa presentase ini jauh lebih kecil daripada angka kejadian yang dilaporkan pada penelitian Spring (43 %) adalah mungkin disebabkan oleh perbedaan jenis lensa kontak yang dipakai responden penelitian (lensa kontak yang dipakai dalam penelitian terkini lebih banyak berupa lensa kontak yang terbuat dari bahan peroksida hidrogel dan sistem disinfeksi yang didisain laingsung pada lensa kontaknya dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, Spring, yang berupa lensa kontak thermally-disinfected HEMA).

Grant dalam penelitiannya melaporkan prevalensi CLPC sebesar 19 % pada pasien pengguna lensa kontak konvensional non-disposable dibandingkan dengan 3 % pada pasien pengguna lensa kontak konvensional yang disposable. Di lain pihak, Poggio dan Abelson menemukan tidak adanya perbedaan antara pasien pengguna lensa kontak konvensional yang disposable dan non-disposable. Sedangkan peneliti lain melaporkan tingkat insidensi yang lebih tinggi pada pengguna lensa kontak yang disposable dengan angka 4,2 %, 6,7 %, dan 6 12 %. Alemany dan Redal menemukan insidensi yang lebih rendah pada pasien CLPC yang menggunakan lensa kontak rigid harian dibandingkan dengan pengguna lensa kontak konvensional harian. Grant, dkk. melaporkan bahwa insidensi CLPC pada pasien pemakai lensa kontak (rigid-lens) non-disposable sebesar 2 % dibandingkan dengan 6 12 % pada pengguna lensa kontak (soft-lens) disposable. Etiologi Sejumlah faktor telah diidentifikasi sebagai predisposisi terjadinya CLPC, dan tidak mungkin hanya salah satu faktor saja yang berperan dalam setiap kasusnya. Faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut:

Gambar 4. Etiologi CLPC

A. Trauma mekanis Konjungtivitis papilar yang mirip dengan konjungtivitis papilar terinduksi lensa kontak telah diteliti pada pasien yang tidak menggunakan lensa kontak namun konjungtiva tarsalnya telah terpajan oleh beberapa macam trauma mekanis, seperti: prosthesis mata plastik, penggunaan sianoakrilat yang berlebihan pada perforasi kornea, lensa kontak rigid, peningkatan deposit kornea, dan corpus alienum kornea.

Pada sebagian kasus, konjungtivitis papilar membaik dan gejala pada pasien berkurang ketika trauma dihilangkan. Trauma merupakan salah satu yang dapat menyebabkan degranulasi sel mast, jadi hadinya sejumlah besar sel mast yang berdegranulasi di epitel konjungtiva dan stroma pada pasien CLPC merupakan tanda bahwa trauma adalah faktor penyebab terjadinya kondisi ini. Di tambah lagi, pada konjungtiva pasien CLPC terdapat neutrophil chemotactic faktor dalam jumlah yang lebih banyak, substansi yang umumnya dilepaskan ketika ada trauma pada jaringan. B. Hipersensitivitas tipe cepat Reaksi anafilaktik ini dimediasi oleh antibodi IgE yang berproliferasi ketika konjungtiva terpapar oleh antigen. Antibodi IgE menginisiasi reaksi berantai dimulai dari degranulasi sel mast dan pelepasan mediator-mediator inflamasi dan substansi lainnya yang dapat mempengaruhi kerusakan jaringan dan proses perbaikannya. Pasien CLPC mempunyai sel mast yang berdegranulasi dalam jumlah besar di epitel konjungtivanya, dan peningkatan jumlah IgE di air matanya. Deposisi protein lensa mempunyai peran dalam stimulasi produksi IgE sebagai antigen. Spesifiknya, deposit yang terbentuk di permukaan lensa anterior akan berhubungan langsung dengan permukaan konjungtiva tarsal. Untuk mendukung teori ini, Ballow, dkk. mendemonstrasikan bahwa ketika lensa kontak dari pasien yang menderita CLPC dipindahkan ke mata binatang percobaan, maka timbul gejala serupa pada binatang tersebut, dengan peningkatan IgE. Perubahan ini tidak terjadi pada binatang percobaan yang memakai lensa baru atau lensa yang berasal dari pasien tanpa CLPC. Isu terpenting dalam membuat strategi untuk mengobati atau mencegah CLPC adalah untuk menentukan antigen etiologi yang spesifik. Deposisi protein pada permukaan lensa merupakan salah satu faktor yang umum; meskipun, protein lensa pada pasien CLPC tidak dapat dibedakan dengan protein antigen pada pasien tanpa CLPC. Stimulasi antigen dapat juga diakibatkan oleh salah satu kontaminan lensa yang potensial, seperti lemak, kalsium, dan mukus. Mikroorganisme seperti bakteri (dan endotoksin bakteri) juga dapat memicu CLPC. Tipe plastik yang dipakai untuk lensa kontak secara teoritis dapat menjadi substansi antigenik. Namun, hal ini sulit untuk dibuktikan. Keberhasilan atau sebaliknya dari beberapa jenis polimer dalam mengurangi atau mencegah perkembangan CLPC kemungkinan berkaitan

dengan kecenderungan material-materialnya untuk menjadi deposit dibandingkan dengan perbedaan potensi antigen intrinsiknya. Generasi awal bahan-bahan pengawet seperti thimerosal dan benzalkonium chloride telah dikenal mempunyai peran sebagai faktor penyebab dalam perkembangan CLPC. Dewasa ini, terapi lebih sukses jika sistem perawatannya bebas dari bahan pengawet tersebut di atas. C. Hipersensitivitas tipe lambat Pada artikel awalnya, Allansmith, dkk. menggolongkan CLPC ke dalam konjuntivitis vernal menurut persamaan tampilan sel-sel inflamasinya. Kehadiran yang tidak biasa dari sel basofil dalam jumlah besar membuat Allansmith, dkk. berasumsi bahwa penyakit ini tergolong tipe cutaneous-basophilic. Tipe ini merupakan reaksi kulit klasik yang diperantarai oleh hipersentivitas tipe lambat dan dimediasi oleh antibodi dan sel limfosit T yang tersentisisasi. Di samping bukti di atas, proporsi sel basofil di antara sel radang lainnya pada CLPC lebih sedikit dibandingkan dengan yang diamati pada sebuah reaksi hipersensitivitas tipe cutaneous-basophilic umumnya. Pada pernyataan ini, Bailey berpendapat bahwa CLPC lebih mirip dengan hipersensivitas tipe lambat reaksi tuberkulin klasik. Antigen yang dibahas pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat dapat pula menjadi antigen yang sama pada mediasi reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Terdapat penyangkalan dalam literatur bahwa individu yang memiliki riwayat atopi lebih mudah terkena CLPC. Beberapa peneliti menemukan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat atopi dengan CLPC, sedangkan sebagian lain melaporkan peningkatan prevalensi CLPC pada pasien yang punya riwayat alergi. Bukti tidak langsung yang memperlihatkan adanya hubungan antara riwayat atopi dengan CLPC datang dari penelitian Begley, dkk. yang menunjukkan bahwa onset dari penyakit CLPC ditemukan muncul setiap musim (musiman) pada populasi penelitiannya sebanyak 68 pasien. Kondisi ini memuncak selama musim alergi Amerika Serikat bagian barat daya, di tempat penelitian ini dilakukan. Pasien penelitian tersebut dilaporkan mengalami beberapa bentuk alergi lain, selain CLPC, dibandingkan dengan pasien kontrol.

D. Disfungsi kelenjar meibom Penelitian terkini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara CLPC dengan disfungsi kelenjar meibom. Martin, dkk. menemukan bahwa 42 pasien juga menderita blefaritis disfungsi kelenjar meibom, dan derajat keparahannya yang berkorelasi positif satu sama lain. Setelah mengobati blefaritis disfungsi kelenjar meibom dan penggantian lensa kontak pada 32 pasien, 28 pasien di antaranya sembuh pada 21 bulan setelah terapi tersebut. Patofisiologi Pada beberapa penelitian, lensa kontak jenis hidrogel menyumbang presentase terbanyak dalam prevalensi konjungtivitis papil raksasa. Hal ini diperkirakan oleh karena pada lensa kontak hidrogel lebih terfiksasi secara mekanis pada permukaan anterior bola mata atau karena kecenderungan tinggi untuk terjadinya deposisi lemak. Kebersihan lensa kontak yang kurang, tepi lensa kontak yang kasar, dan pemakaian yang terlalu lama dapat meningkatkan risiko terjadinya konjungtivitis papil raksasa. Untuk mengurangi prevalensi penyakit tersebut pada pemakaian lensa kontak, khususnya jenis hirogel, dapat dilakukan peningkatan frekuensi penggantian lensa kontak yang dipakai, disinfeksi dengan peroksida dan pemeliharaan kebersihan lensa kontak, dan pemendekan waktu pemakaian dari lensa kontak tersebut. Dalam sebuah penelitian dikemukakan sebuah hipotesis tentang patofisiologi CLPC. Deposisi protein yang terjadi pada permukaan lensa membuat lensa menjadi keruh dan stimulasi antigenik pun terjadi, menyebabkan produksi dari imunoglobulin yang ada pada air mata, IgE dan IgG, serta pada beberapa kasus yang berat, IgM. Kemudian juga terjadi aktivasi dari sistem komplemen yang diperantarai oleh pembentukan anafiloksin C3 (C3a). Substansi ini bersama dengan IgE dan IgG, dapat berinteraksi dengan sel mast dan basofil sehingga mengakibatkan pelepasan dari peptida vasoaktif. Di samping itu, deposisi protein pada lensa juga dapat menyebabkan terjadinya trauma pada konjungtiva dan pelepasan NCF, yang kemudian memanggil eosinofil, sel mast, dan basofil, bersama-sama dengan sel plasma dan limfosit. Sel-sel tersebut kemudian berinteraksi dengan IgE, IgG, dan C3a, menghasilkan peptida vasoaktif, yang berakibat pada deposisi protein pada lensa kontak. Dengan demikian, reaksi ini akan berlangsung terus menerus.

Bagan 1. Patofisiologi konjungtivitis papil terinduksi lensa kontak

Konjungtivitis papil raksasa dapat menyebabkan ptosis dari palpebra superior dan intoleransi lensa kontak. Konjungtivitis papil raksasa tidak berhubungan dengan perbedaan ras, jenis kelamin, dan usia. Namun, konjungtivitis papil raksasa dapat lebih agresif pada anak-anak yang memakai lensa kontak. Gambaran klinis A. Konjungtiva tarsal keadaan normal Pada keadaan normal, konjungtiva tarsal dapat terlihat dalam berbagai bentuk, yang dapat dikelompokkan dengan berbagai kategori. Allansmith, dkk. menunjukkan 3 bentuk gambaran konjungtiva tarsal dalam keadaan normal: gambaran satin (beludru) atau halus (14 %), papil berukuran kecil dan uniform (mikropapil), yang berdiameter kurang dari 0,3 mm (85 %), dan papil non-uniform (< 1 %), yang diameter papilnya bias sebesar 0,5 mm. Kemudian, sebuah model alternatif untuk pengklasifikasian gambaran konjungtiva tarsal yang normal dengan menggunakan pemeriksaan tes fluoresein konjungtiva tarsal dan diproyeksikan menggunakan computer oleh Potvin, dkk. memperlihatkan gambaran sel yang berbentuk pentagonal dan heksagonal.

Di antara model tersebut, model Allansmith lebih mempunyai relevansi secara klinis karena dibuat berdasarkan gambaran konjungtiva tarsal pada slit lamp. B. Tanda dan gejala Keluhan khas yang dialami oleh pasien konjungtivitis papil raksasa berupa lensa kontaknya yang bergerak bebas (mobile), produksi air mata yang berlebih akibat iritasi mata, mata merah, sensasi panas pada mata, dan gatal. Pemeriksaan pada konjungtiva tarsal superior memperlihatkan gambaran inflamasi dan hipertrofi papil, yang diameternya lebih besar dari 3 mm. Merupakan hal yang penting bahwa penegakan diagnosis dibuat berdasarkan gambaran pada daerah sentral konjungtiva tarsal, oleh karena beberapa alasan, yaitu: 1. Seringkali terdapat peningkatan gambaran kasar pada konjungtiva tarsal yang tidak berkaitan dengan patologi CLPC. 2. Proses eversi membuat permukaan konjungtiva terlihat ireguler sepanjang tepi palpebra.
3. Konjungtiva pada tepi palpebra jarang terinduksi oleh pemakaian lensa kontak.

Allansmith mencatat bahwa gambaran CLPC pada pemakaian soft-lens dan rigid-lens mempunyai perbedaan. Pada pemakaian soft-lens, jumlah papilla yang terbentuk lebih banyak, terletak lebih superior pada lipatan konjungtiva tarsal (di tepi lipatan palpebra), dan apeks dari papil berbentuk bundar dengan permukaan yang datar. Pada pemakai rigid-lens, papil yang terbentuk memiliki gambaran seperti kawah, dan terletak lebih ke tepi dengan sejumlah kecil papil terletak di dekat tepi lipatan palpebra superior. Pada awal perkembangan, konjungtiva tarsal pada pasien dengan CLPC tidak dapat dibedakan dengan konjungtiva tarsal yang normal. Gambaran awal yang penting untuk membedakannya adalah peningkatan gambaran hiperemia pada konjungtiva tarsal. Perubahan ini dapat dideteksi dengan memperbandingkannya pada konjungtiva tarsal inferior, yang biasanya tidak terpengaruhi, dan oleh karena itu dapat menjadi rujukan dalam menentukan ada tidaknya perubahan yang terjadi. Pada beberapa kasus, papil dapat melebihi ukuran diameter 1 mm dan tidak jarang berwarna merah muda/ oranye. Bentuk papil lebih kearah bundar daripada pentagonal/heksagonal. Pola distribusi papil menunjukkan anatomi tarsus yang bersangkutan.

Oleh karena penebalan konjungtiva, edema, dan seringkali hiperemis, pembuluh darah halus yang normalnya dapat terlihat menjadi tidak jelas, meskipun demikian pembuluh darah yang letaknya lebih dalam pada lipatan tarsal tetap dapat terlihat. Berkas-berkas pada pembuluh darah kapiler yang terlipat-lipat sering terlihat pada puncak papil, berkas ini dapat sewaktu-waktu terwarnai pada tes fluoresein.

Gambar 5 dan 6. Tampilan papil raksasa (cobblestone)

Tanda lain yang dapat diamati pada manifestasi klinis CLPC yang lebih berat, termasuk edema konjungtiva dan produksi mukus yang berlebihan, yang biasanya membentuk serabutserabut yang ada di celah antara dua papil yang berdekatan. Mukus yang berlebihan dapat juga berakumulasi di kantus internus dan eksternus pada malam hari dan dapat terlihat juga mengalir di depan kornea. Edema yang berkepanjangan dapat menyebabkan ptosis, yang seringkali asimetris. Pada papil raksasa dapat terlihat gambaran infiltrat, dan jika kondisi ini menetap untuk beberapa waktu, permukaan konjungtiva pada apeks papilla dapat menjadi jaringan parut (sikatriks) dan terlihat berwarna putih/ kuning pucat. Kornea juga dapat terkena dan memperlihatkan gambaran pungtata superfisial dan infiltrat pada permukaan superiornya. Injeksi limbus superior juga dapat muncul. Terdapat hubungan antara stadium penyakit dengan tanda dan gejalanya. Pada awal stadium CLPC, pasien dapat mengeluhkan ketidaknyamanan setelah pemakaian dan rasa sedikit gatal. Pasien dapat mengungkapkan adanya peningkatan mukus sewaktu bangun tidur. Penglihatan yang kabur dapat terjadi; hal ini disebabkan oleh deposit lensa (protein) yang menjadi faktor penyebab kondisi ini.

Pada kasus yang lebih berat, rasa gatal dan tidak nyaman dapat menjadi alasan utama bagi pasien untuk melepas lensanya. Pergerakan lensa yang berlebihan dan desentrasi lensa dapat mengakibatkan kombinasi dari: 1. Kontak dan friksi antara papil dengan permukaan lensa. 2. Mukus yang berlebihan bersifat adesif untuk konjungtiva tarsal dengan permukaan lensa. C. Pemeriksaan Karena manifestasi CLPC terdapat pada konjungtiva tarsal superior, maka diperlukan tindakan eversi palpebra superior untuk mendeteksi kelainannya. Peningkatan gambaran hiperemia, edema, posisi, dan distribusi papil dapat terlihat pada pemeriksaan biomikroskop slitlamp dengan magnifikasi rendah dan pencahayaan tinggi. Sedangkan gambaran permukaan konjungtiva, dengan perhatian khusus pada tampilan distribusi pembuluh darah di permukaan papil dapat terlihat pada pemeriksaan magnifikasi tinggi dengan slit-lamp. Setelah mengobservasi konjungtiva tarsal, dilanjutkan dengan tes fluoresein. Fluoresein yang tertinggal pada basis papila dapat memungkinkan pemeriksa untuk melihat pola umum struktur papil yang terbentuk. Palpebra inferior dapat dieversi dengan mudah dengan cara menarik kulit di permukaan kelopak mata bawah ke arah bawah. Konjungtiva tarsal inferior umumnya terlihat jernih dan menjadi rujukan untuk menilai tingkatan hiperemia dan edema pada konjungtiva tarsal superior. Meskipun, CLPC ringan dapat saja terlihat pada palpebra inferior.

Gambar 7. Injeksi konjungtiva dan gambaran kemotik

Penting sekali untuk memeriksa permukaan superior kornea dengan cermat karena CLPC dapat juga dihubungkan dengan hiperemia limbus superior, defek epitel kornea, infiltrat kornea, dan mukus air mata yang berlebihan. Oleh karena banyak sekali faktor yang mungkin terlibat dalam penyebab terjadinya CLPC, sejumlah pilihan terapi perlu dipersiapkan, baik itu secara berurutan maupun bersamaan. Pada prinsip umumnya, semakin cepat penyakit dideteksi dan diterapi maka semakin baik prognosisnya.
D. Histopatologi

Konjungtiva mengalami penebalan pada CLPC (0,2 mm pada CLPC berbanding 0,05 mm pada orang normal). Daerah permukaan konjungtiva menebal menjadi 2 kali lipat, sel epitel membesar dan berubah bentuk, mengalami pemanjangan ukurannya. Jumlah mikrovili berkurang dan berubah susunannya, membentuk berkas serabut-serabut pada permukaan papil, kripta henle menghilang, jumlah sel pensekresi mukus non-goblet bertambah, sel gelap (dark cell) menjadi lebih banyak terlihat di atap papil. CLPC dihubungkan dengan distribusi sel-sel inflamasi di antara epitel dan stroma konjungtiva. Sel mast, eosinofil, dan basofil di temukan di epitel, yang pada kondisi normal tidak terlihat di sana dan terdapat peningkatan jumlah neutrofil dan limfosit di epitel. Eosinofil dan basofil ditemukan di stroma dengan disertai peningkatan jumlah sel mast, sel plasma, dan neutrofil. Allansmith, dkk. telah mengklasifikasikan empat stadium konjungtivitis papila raksasa terkait penggunaan lensa kontak berdasarkan tanda dan gejalanya. Stadium pertama, gejala terdiri dari lakrimasi minimal pada pagi hari, dan kadang-kadang terasa gatal ketika lensa kontak dilepas. Pemeriksaan konjungtiva tarsal dapat saja memberi gambaran normal dengan hiperemia ringan sampai sedang. Stadium kedua mempunyai ciri-ciri seperti peningkatan lakrimasi disertai gatal, dan kekaburan penglihatan yang ringan. Pasien akan merasakan gejala tersebut setelah beberapa jam pemakaian lensa kontaknya. Pemeriksaan slit-lamp untuk konjungtiva tarsal superior memperlihatkan gambaran sedikit penebalan pada konjungtiva. Konjungtiva terlihat hiperemis sedang. Perubahan ini terjadi pada pembuluh darah konjungtiva yang superfisial. Beberapa ukuran papil pun mulai terbentuk, beberapa papil berdiameter 0,3 mm atau lebih.

Diferensiasi papil yang terbentuk akan sulit terlihat pada pemeriksaan dengan lampu senter namun akan lebih jelas jika menggunakan perwarnaan fluoresein. Pada stadium ketiga, sensasi gatal dan lakrimasi mengalami peningkatan lebih dari stadium sebelumnya. Lensa menjadi keruh dan lebih mudah bergerak, sehingga membuat tajam penglihatan pasien berubah-ubah. Durasi pemakaian lensa kontak mengalami pengurangan. Pemeriksaan konjungtiva tarsal superior memperlihatkan gambaran injeksi dan penebalan semakin jelas. Papil pada tarsus akan mengalami peningkatan jumlah dan ukuran. Pada stadium keempat, pasien biasanya telah mengalami intoleransi terhadap lensa kontaknya. Mereka merasakan ketidaknyamanan beberapa saat ketika lensa dipasang. Sekresi mukus dirasakan sangat mengganggu dan mungkin saja memberat yang ditandai dengan penempelan kelopak mata pasien pada pagi hari. Papil yang ada di palpebra bagian atas semakin membesar dan atap papilnya mendatar. Walaupun stadium ini menggambarkan sesuai dengan progresivitas tanda dan gejala CLPC, variasi perseorangan umum terjadi. Beberapa pasien mempunyai gejala yang berat tetapi hanya disertai gambaran perubahan awal di konjungtiva tarsalnya, sedangkan beberapa lainnya tidak memiliki gejala, akan tetapi pada pemeriksaan ditemukan reaksi inflamasi hebat dan gambaran papil raksasa pada konjungtiva tarsal superiornya.
Tabel 1. Stadium konjungtivitis papil terinduksi lensa kontak (Allansmith, dkk.)

CLPC biasanya ditemukan bilateral, namun pada sekitar 10 % pasien ditemukan unilateral atau asimetris. Pada sekitar separuh dari kasus tersebut, alasan yang mendasari timbulnya perbedaan gejala dan manifestasi klinis pada kedua mata tersebut yang sering ditemukan oleh oftalmologis yaitu lensa yang rusak, atau pemasangan yang tidak pas. Sedangkan pada separuh kasus sisanya, tidak ditemukan alasan spesifik yang mendasariya. Tanda dan gejala CLPC pada pengguna soft-lens dan rigid-lens dilaporkan mempunyai kemiripan. Meskipun demikian, terdapat pula peneliti yang melaporkan bahwa tanda dan gejala CLPC pada pemakai soft-lens terjadi lebih cepat dibandingkan pemakai rigid-lens. Gambaran konjungtiva tarsal superior di antara kedua kelompok ini biasanya juga mempunyai kemiripan. Namun, Korb, dkk. telah menunjukkan bahwa pada pengguna soft-lens biasanya papil yang terbentuk pertama terletak di daerah tepi lipatan konjungtiva tarsal. Sedangkan pada pemakai rigid-lens biasanya papil yang terbentuk pertama kali terletak di daerah tepi paplpebranya. Diagnosis banding Konjungtivitis papil raksasa akibat penggunaan lensa kontak memiliki tanda dan gejala yang mirip dengan konjungtivitis vernal. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kesamaan proses reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang kaya-basofil, dengan komponen IgE humoral. Hal terpenting untuk mendiagnosis CLPC dengan akurat adalah kemampuan untuk membedakan antara papil dan folikel. Papil ditemukan pada penyakit-penyakit alergi misalnya CLPC dan konjungtivitis vernal, sedangkan folikel merupakan indikasi dari infeksi konjungtiva oleh virus atau klamidia. Terdapat sedikit perbedaan di antara dua kondisi di atas jadi anamnesis yang tepat dan selengkap-lengkapnya dapat memberikan petunjuk diagnosis yang penting. Menurut Allansmith, dkk. dinding papil tegak lurus dengan bidang datar tarsal, sedangkan folikel berbentuk seperti piramid. Hal penting lainnya yang dipakai sebagai pembeda yaitu beberapa pembuluh darah profunda dapat terlihat pada permukaan papil sedangkan pada permukaan folikel, pembuluh darah tersebut lebih jelas terlihat di sekitar folikel. Papil seringkali terlihat banyak mempunyai berkas-berkas pembuluh darah yang berserabut di apeksnya, sedangkan folikel lebih terlihat pucat. Pada tahap berikutnya, apeks papil ini bisa diisi oleh infiltrat, kemudian menutupi berkas pembuluh yang ada sebelumnya dan memperlihatkan warna keputih-putihan pada tengah apeksnya. Selain itu, juga dapat ditemukan adanya jaringan parut yang berwarna keputih-putihan

sehingga dapat dijadikan indikator untuk membedakan papil dengan folikel karena folikel tidak mempunyai gambaran tersebut. Pada konjungtivitis vernal yang tidak berkaitan dengan penggunaan lensa kontak, papil yang terbentuk berukuran sangat besar dengan demikian dapat dibedakan dengan papil pada CLPC. Manifestasi penyakit yang dapat menjadi pembeda lainnya adalah ciri khas sekret berwarna kekuningan yang terdiri dari mukus, sel epitel, neutrofil, dan eosinofil. Biasanya menyerang kedua mata (bilateral), dan mungkin saja terdapat ptosis bilateral. Konjungtivitis vernal yang berkepanjangan bisa membuat perubahan bentuk papilnya dan pola jaringan parut yang tidak teratur. Penatalaksanaan Pilihan terapi dijabarkan dalam 4 kategori: perubahan tipe, atau disain lensa, perubahan pola perawatan lensa, perbaikan kebersihan mata, dan terapi farmakologis. A. Perubahan lensa Semua soft-lens dapat menimbulkan deposit sejalan dengan waktu pemakaian. Hampir semua deposit ini dapat dihilangkan dengan pemakaian surfaktan sebagai pembersih setiap harinya. Tetapi beberapa deposit seperti protein tetap terkumpul sedikit demi sedikit. Pembersihan deposit protein mungkin saja memperlambat depositnya namun tidak dapat mencegahnya. Tambah lagi, kualitas deposisi protein, dibandingkan dengan kuantitas protein, yang akan berpengaruh terhadap biokompabilitasnya. Sebagai contoh, Sack telah mendemonstrasikan bahwa walaupun lensa tipe IV (ionic high water) menarik sejumlah protein secara signifikan, integritas konformasi proteinnya dipertahankan. Lensa tipe I (non-ionik low water) menarik lebih sedikit protein tetapi proteinnya mengalami denaturasi dan oleh karena itu, protein tersebut lebih mudah menjadi antigen pada mata. Jika benar kolonisasi bakteri pada deposit protein merupakan pemicu CLPC maka kuantitas protein dapat menjadi unsur yang penting, semakin sedikit jumlah protein yang ada maka kemungkinan semakin sedikit pula jumlah bakterinya. Apabila akumulasi protein diasumsikan menjadi salah satu penyebab CLPC pada pasien pengguna soft-lens, maka beberapa rencana penatalaksanaan yang terkait dengan lensa kontak terdiri atas:

1. Mengganti lensa dengan lensa kontak yang deposit proteinnya cocok dengan mata 2. Mengganti lensa yang menghasilkan sedikit deposit protein 3. Mengganti lensa dengan jenis lensa kontak rigid
4. Sering mengganti lensa yang dipakai (lensa harian sekali pakai/ daily disposable lens).

Perubahan disain soft-lens bisa saja mengurangi CLPC jika gaya mekanis lensa dapat diminimalisir. Dengan demikian, penggunaan disain lensa yang tepat penempatannya dan yang terbatas pergerakannya dapat bermanfaat. Dewasa ini, belum ada literatur oftalmologi yang mampu membuktikan efikasi dari rencana penatalaksanaan yang dijabarkan di atas. Bahkan bentuk tata laksana berupa pemakaian lensa harian sekali pakai (daily disposable lens) yang umum dan paling efektif dibandingkan bentuk tata laksana lainnya di atas sekalipun tidak dapat menyembuhkan penyakit CLPC. Sebagai contoh, lensa harian sekali pakai (daily disposable lens) sekali pakai yang terbuat dari lensa tipe IV menghasilkan deposit protein dalam 15 menit setelah pemasangan. Penghentian pemakaian lensa kontak akan membuat penyembuhan yang optimal, tetapi pilihan tersebut sangat sedikit diapresiasi oleh pasien. Pada beberapa kasus yang berat (stadium 3 dan 4), penghentian penggunaan lensa kontak untuk masa waktu tertentu, dapat meningkatkan harapan keberhasilan penatalaksanaan yang dilakukan. B. Perubahan pola perawatan Pertama dalam hal ini, penting sekali untuk memastikan bahwa pasien sangat mematuhi aturan pemakaian dan komponen perawatan lensa kontaknya, yang khusus untuk soft-lens terdiri atas pembersihan dengan surfaktan, pembilasan, disinfeksi, dan penghapusan protein yang teratur. Penghapusan protein yang dilakukan setepat-tepatnya dapat mencegah CLPC. Jika bahan pengawet yang terdapat pada lensa kontak dicurigai sebagai substansi penyebab terjadinya CLPC pada beberapa pasien, maka penggunaan hidrogen peroksida atau material yang bebas dari bahan pengawet tersebut dapat memberikan manfaat dalam pencegahan CLPC. C. Peningkatan kebersihan mata Perbaikan kebersihan mata diawali dengan peningkatan kebersihan personal. Jadi, mencuci tangan yang rutin khususnya ketika memasang lensa kontak dan mencuci muka yang

teratur dapat mengurangi terjadinya CLPC. Beberapa peneliti menganjurkan langkah tambahan berupa irigasi konjungtiva dengan larutan salin steril sebelum dan setelah pemakaian lensa, dan secara teratur selama pemakaian, agar diharapkan dapat membuang antigen pada CLPC dan meningkatkan kenyamanan pasien dalam pemakaian. Telah disebutkan sebelumnya hubungan antara CLPC dengan disfungsi kelenjar meibom, sehingga kebersihan dari kelopak mata juga harus diperhatikan. Beberapa langkah untuk itu diantaranya yaitu dengan kompres hangat dapat mengurangi terjadinya disfungsi kelenjar meibom dan agaknya mempunyai dampak positif pula dalam kaitannya dengan CLPC. D. Terapi farmakologis Bermacam terapi farmakologis telah direkomendasikan untuk pengobatan CLPC dan untuk menghilangkan gejalanya. Obat yang mendapat banyak perhatian adalah sodium kromolin, yang beraksi pada membran sel mast sebagai stabilisator, dengan demikian mencegah pelepasan mediator-mediator inflamasi seperti histamin. Banyak peneliti menganjurkan pemakaian dengan dosis awal sodium kromolin sebesar 2 4 % 4 kali sehari, dan tappering off menjadi sekali dalam sehari ketika kondisi membaik. Bentuk sediaan bebas pengawet dari obat ini diperlukan jika pasien mempunyai respon awal yang buruk terhadap sediaan obatnya terdahulu. Suprofen adalah salah satu obat anti-inflamasi non-steroid yang digunakan dalam terapi CLPC. Wood, dkk. telah meneliti salah satu obat anti-inflamasi non-steroid yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin, Suprofen, menunjukkan bahwa obat tersebut mempunyai efek mengurangi/menghilangkan tanda dan gejala CLPC setelah 2 atau 3 minggu dengan pemakaian 4 kali sehari masing-masing dua tetes. Obat-obatan steroid dapat digunakan sewaktu-waktu pada kondisi yang berat (stadium 4) dan dalam durasi yang singkat. Meskipun demikian, dengan adanya kecenderungan komplikasi berupa katarak, peningkatan tekanan intraokular, dan infeksi kornea, maka pemakaian obat ini seringkali dihindari. Sebuah obat golongan steroid potensi rendah, analog kimiawi dari prednisolon, yang dikenal dengan loteprednol etabonat telah diketahui sama efektif dalam pengobatan CLPC dengan steroid konvensional tetapi tanpa efek samping yang tidak menguntungkan. Howes dan Asbel menemukan bahwa obat ini menghasilkan pengurangan ukuran papil, rasa gatal, dan intoleransi lensa kontak pada pasien CLPC.

Prognosis Prognosis untuk kesembuhan pada CLPC setelah pelepasan lensa kontak dan penghentian pemakaian adalah baik. Bahkan untuk kondisi yang berat sekalipun (stadium 4), gejala akan hilang dalam 5 hari atau 2 minggu setelah pelepasan lensa kontak dan tanda hiperemia dan sekresi mukus yang berlebihan akan hilang dalam jangka waktu yang sama. Perbaikan tampilan papil memakan waktu yang lebih lama, sekitar beberapa minggu sampai paling lama 6 bulan. Semakin berat kondisi penyakitnya, semakin lama masa penyembuhannya. Penyakit ini dapat mengalami kekambuhan, khususnya pada pasien yang mempunyai riwayat atopi. Untungnya, beberapa pasien dapat mengenali tanda dan gejala awal sebelum penyakitnya muncul sehingga dapat ditangani secara adekuat sejak dini dan meningkatkan kemungkinan dalam keberhasilan terapi dan penalataksanaan.

BAB III STATUS OFTALMOLOGI Identitas Pasien Nama Umur Suku Alamat Agama Pekerjaan Pendidikan : Nn. A : 19 tahun : Betawi : Parung : Islam : Karyawati : SMK Jenis kelamin : perempuan

Tanggal MRS : 4 Februari 2011 Anamnesis Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 4 Februari 2011 Keluhan Utama Mata kiri terasa seperti ada yang mengganjal sejak 2 hari SMRS Keluhan Tambahan Mata kiri merah tetapi tidak buram, gatal, dan berair Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke Poli Mata RSUP Fatmawati dengan keluhan pada mata kiri seperti ada yang mengganjal sejak 2 hari SMRS. Keluhan dirasakan seperti ada benda asing yang terperangkap dalam bola mata dan berpasir. Keluhan disertai dengan mata merah tetapi tidak buram, gatal, selalu berair, silau ketika melihat cahaya tetapi menyangkal adanya gambaran pelangi di sekitar cahaya yang berasal dari lampu, kelopak mata terasa nyeri dan bengkak, namun tidak lengket dan tidak terlalu banyak kotoran mata, mata terasa nyeri seperti nyeri ditekan dan panas, keluhan sakit kepala atau mual dan muntah disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu Pasien menyangkal riwayat penyakit serupa sebelumnya, pasien menyangkal adanya anggota keluarga atau di lingkungan kerja yang mengalami hal yang sama, pasien menyangkal adanya riwayat trauma pada mata kirinya atau riwayat operasi mata, pasien menyangkal pernah sakit mata sebelumnya, seperti radang mata berulang atau glaukoma, pasien menggunakan lensa kontak kurang lebih sebulan terakhir, namun keluhan pada mata kiri baru muncul sekarang. Sebelum keluhan muncul, pasien mengaku lensa kontak pada mata kirinya secara tidak sengaja hilang dari matanya dan jari tangan pasien sempat menyentuh bagian permukaan mata secara langsung. Pasien mempunyai riwayat alergi udara dingin.

1.1.

Pemeriksaan Fisik Keadaan umum Kesadaran Nadi Suhu Kepala THT Leher Jantung Paru Abdomen Ekstremitas : Tampak sakit sedang : compos mentis : 80 x/ menit : 37 0C : Normochepali : nyeri tekan tragus (-) : KGB tidak membesar : BJ 1 dan 2 murni regular, murmur (-), gallop (-) : Suara napas vesikular, whezing -/-, rhonki -/: Datar, nyeri tekan (-), bising usus (+) normal. : akral hangat, edema (-)

1.1.1. Status Oftalmologi

Visus

AVOD s.c : 5/5 c.c : -

AVOS s.c. : 5/5 c.c : -

1.1.2. Pemeriksaan Kamar Terang Kedudukan Bola Mata Posisi Eksoftalmus Endoftalmus Supersilia Alopesia Sikatriks Palpebra Superior Edema Spasme Hiperemis Benjolan Ulkus Fistel Hordeolum Kalazion Ptosis Palpebra Inferior Edema Hiperemis + + Ortoporia Ortoporia -

Benjolan Ulkus Fistel Hordeolum Kalazion

Margo Palpebra Superior et Silia Edema Hiperemis Ektropion Entropion Sekret Benjolan Trikiasis Madarosis Ulkus Fistel -

Margo Palpebra Inferior et Silia Edema Hiperemis Ektropion Entropion Sekret Benjolan Trikiasis Madarosis Ulkus Fistel Area Kelenjar Lakrimalis Edema Hiperemis -

Benjolan Fistel Punctum Lakrimalis Edema Hiperemis Sekret Epikantus

Konjungtiva Tarsal Superior Kemosis Hiperemis Anemis Folikel Papil Litiasis Simblefaron + + -

Konjungtiva Tarsal Inferior Kemosis Hiperemis Anemis Folikel Papil Litiasis Simblefaron + -

Konjungtiva Forniks Superior et Inferior Kemosis Hiperemis Simblefaron + -

Konjungtiva Bulbi Kemosis +

Pterigium Pinguekula Flikten Simblefaron Injeksi konjungtiva Injeksi silier Injeksi episklera Perdarahan subkonjungtiva Kornea Kejernihan Edema Ulkus Flikten Macula Leukoma Leukoma adheren Stafiloma Neovaskularisasi Pigmen iris Bekas jahitan Tes fluoresein Tes sensibilitas Tes placido Limbus Kornea Arkus senilis Bekas jahitan Sklera Sklera biru Episkleritis Skleritis Pergerakan Bola Mata Atas Baik

+ -

Jernih + Tidak dilakukan

Jernih + Tidak dilakukan

Baik

Bawah Temporal Atas

Baik Baik Baik Baik Baik -

Baik Baik Baik Baik Baik -

Bawah Nasal Atas Bawah Nistagmus

Tekanan Intra Okuler Palpasi Tonometri schiotz Normal Tidak dilakukan Normal Tidak dilakukan

1.1.3. Pemeriksaan Kamar Gelap Kornea Kejernihan Nebula Keratik presipitat Imbibisio Infiltrat Ruptur terepitelisasi Kamera Okuli Anterior Kedalaman Kejernihan Flare Sel Hipopion Hifema Iris Warna Coklat Coklat Dalam Jernih Dalam Jernih Jernih Jernih -

Gambaran radier Eksudat Atrofi Sinekia anterior Sinekia posterior Sinekia anterior perifer Iris bombe Iris tremulans Pupil Bentuk Besar Regularitas Isokoria Letak Refleks cahaya langsung Refleks cahaya tak langsung Seklusi Oklusi Leukokoria Lensa Kejernihan Shadow tes Refleks kaca Pigmen iris Luksasi Lensa intraokuler Corpus Vitreus Kejernihan Flare Funduskopi Refleks fundus

Jelas -

Jelas -

Bulat 3 mm Regular Isokor Sentral + + Jernih Tidak dilakukan -

Bulat 3 mm Regular Isokor Sentral + + Jernih Tidak dilakukan -

Jernih -

Jernih -

Papil Warna Bentuk

Warna kuning Bentuk bulat Batas tegas 0,3 2:3 Eksudat (-) Perdarahan (-) + +

Warna kuning Bentuk bulat Batas tegas 0,3 2:3 Eksudat (-) Perdarahan (-) + +

Batas C/D rasio A/V rasio Retina Macula lutea Refleks fovea Lain-lain Uji proyeksi sinar Uji persepsi warna (merah hijau)

Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Funduskopi

Refleks Fundus (+), papil bulat, batas tegas, cd rasio 0,3, a/v: 2/3, eksudat (-), perdarahan (-), refleks makula (+)

Refleks Fundus (+), papil bulat, batas tegas, cd rasio 0,3, a/v: 2/3, eksudat (-), perdarahan (-), refleks makula (+)

1.2.

Resume Nn. A (19 tahun) dengan keluhan mata kiri seperti ada yang mengganjal sejak 2 hari

SMRS. Keluhan dirasakan seperti ada benda asing yang terperangkap dalam bola mata dan berpasir disertai dengan mata merah tetapi tidak buram, gatal, selalu berair, silau ketika melihat cahaya tetapi menyangkal adanya gambaran pelangi di sekitar cahaya yang berasal dari lampu, kelopak mata terasa nyeri dan bengkak, namun tidak lengket dan tidak terlalu banyak kotoran mata, mata terasa nyeri seperti nyeri ditekan dan panas, keluhan sakit kepala atau mual dan muntah disangkal. Pasien menggunakan lensa kontak kurang lebih sebulan terakhir. Pasien menyangkal adanya anggota keluarga yang mengalami hal yang sama. pemeriksaan oftalmologi didapatkan: Edema palpebra superior OS Konjungtiva tarsal superior OS: hiperemis, papil d: 0,5 mm Konjungtiva bulbi OS: kemosis, injeksi konjungtiva

1.3.

Diagnosis Kerja

Konjungtivitis papilar terinduksi lensa kontak

1.4.

Diagnosis Banding Konjungtivitis vernal

1.5.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan mikrobiologis

1.6.

Penatalaksanaan Penghentian pemakaian lensa kontak sampai kondisi OS pasien membaik Penggantian tipe lensa kontak Edukasi tentang kebersihan lensa kontak dan mata


1.7.

Sodium kromolin 2 % 4 x 1

Prognosis Ad Vitam : ad bonam Ad Visam : ad bonam

OS

BAB IV DISKUSI KASUS Pasien datang dengan keluhan mata kiri seperti ada yang mengganjal sejak 2 hari SMRS. Keluhan dirasakan seperti ada benda asing yang terperangkap dalam bola mata dan berpasir disertai dengan mata merah tetapi tidak buram, gatal, selalu berair, silau ketika melihat cahaya tetapi menyangkal adanya gambaran pelangi di sekitar cahaya yang berasal dari lampu, kelopak mata terasa nyeri dan bengkak, namun tidak lengket dan tidak terlalu banyak kotoran mata, mata terasa nyeri seperti nyeri ditekan dan panas, keluhan sakit kepala atau mual dan muntah disangkal. Pasien menggunakan lensa kontak kurang lebih sebulan terakhir. Pasien menyangkal adanya anggota keluarga yang mengalami hal yang sama. Berdasarkan data tersebut, maka penulis merangkum gejala subyektif yang dialami oleh pasien dan menggolongkannya ke dalam klasifikasi mata merah visus tetap dengan keluhan penyerta berupa sensasi benda asing, berpasir, terasa panas, gatal, lakrimasi, eksudasi konjungtiva minimal, fotofobia, dan edema palpebra. Pada prinsipnya, mata merah namun visus yang tetap mengindikasikan bahwa kelainan pada mata tersebut mengenai struktur yang bervaskuler (konjungtiva atau sklera) yang tidak menghalangi media refraksi. Contoh kelainan tersebut antara lain konjungtivitis murni, trakoma, mata kering, xeroftalmia, pterigium, pinguekula, episkleritis, dan skleritis. Untuk membantu menegakkan diagnosis, maka diperlukan pengumpulan data-data obyektif dari manifestasi penyakit tersebut melalui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan. Pada pemeriksaan fisik yang telah dilakukan terhadap pasien ini ditemukan edema palpebra superior OS, hiperemis pada konjungtiva tarsal superior OS disertai gambaran papil dengan diameter kurang lebih 0,5 mm, kemudian pada konjungtiva bulbi OS ditemukan kemosis, dan injeksi konjungtiva. Berdasarkan data gejala subyektif dan tanda obyektif yang telah dikumpulkan oleh pemeriksa/penulis, maka penulis menyimpulkan bahwa penyakit yang dialami oleh pasien adalah peradangan pada selaput matanya (konjungtivitis). Diagnosis tersebut diambil berdasarkan tanda dan gejala klinis pada pasien yang sesuai dengan tanda dan gejala klinis konjungtivitis yaitu sensasi benda asing, yaitu sensasi tergores atau terbakar, sensasi penuh disekeliling mata, gatal,

dan fotofobia yang disertai dengan gambaran hiperemia, lakrimasi, eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi papilar, dan kemosis. Sedangkan untuk menentukan faktor etiologinya, penggalian data dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dibutuhkan. Dari riwayat perjalanan penyakit dan riwayat penyakit pasien yang terdahulu, penulis mendapatkan data bahwa pasien adalah seorang pemakai lensa kontak selama satu bulan terakhir, pasien menyangkal riwayat penyakit serupa sebelumnya, pasien menyangkal adanya anggota keluarga atau di lingkungan kerja yang mengalami hal yang sama, pasien menyangkal adanya riwayat trauma pada mata kirinya atau riwayat operasi mata, pasien menyangkal pernah sakit mata sebelumnya. Dari keterangan tersebut, penulis berpendapat bahwa penyakit ini kemungkinan besar timbul paska pemakaian lensa kontak, yang merupakan suatu bentuk konjungtivitis alergi dan untuk memastikannya perlu memperbandingkan gambaran obyektif pada pemeriksaan fisik. Dari gambaran pemeriksaan fisik, perbedaan yang mendasari klasifikasi etiologis dari konjungtivitis alergi dengan yang lain adalah rasa gatal yang hebat, eksudat konjungtiva yang minimal, dan sekret yang berbentuk mukoid dan jumlahnya minimal. Pada pemeriksaan mikrobiologis dapat pula menunjukkan perbedaan bahwa sel inflamasi yang berperan dalam proses patologis konjungtiva alergi adalah khususnya eosinofil. Pada pasien ini, semua gambaran yang diperoleh dalam pemeriksaan fisik mengarah ke diagnosis konjungtivitis alergi. Jika dikombinasikan antara data anamnesis dan data pemeriksaan fisik maka dapat disimpulkan bahwa penyakit yang diderita oleh pasien merupakan konjungtivitis yang disebabkan oleh alergi terhadap/terinduksi lensa kontak atau terminologi yang sesuai dengan kondisi tersebut adalah konjungtivitis papil terinduksi lensa kontak (contact lens induced papillary conjunctivitis/ CLPC). CLPC biasanya ditemukan bilateral, namun pada sekitar 10 % pasien ditemukan unilateral atau asimetris. Pada sekitar separuh dari kasus tersebut, alasan yang mendasari timbulnya perbedaan gejala dan manifestasi klinis pada kedua mata tersebut yang sering ditemukan oleh oftalmologis yaitu lensa yang rusak, atau pemasangan yang tidak pas. Jadi kemungkinan alasan mengapa pada pasien ini keluhannya hanya satu sisi (unilateral) adalah karena salah satu diantara lensa kontak mata kirinya yang sudah rusak atau pada saat pemasangannya yang tidak tepat.

Didasari oleh gambaran tanda dan gejala yang dialami pasien kemudian jika disesuaikan dengan klasifikasi stadium penyakit yang dibuat oleh Allansmith, dkk. maka penulis menduga bahwa penyakit konjungtivitis papil terinduksi lensa kontak yang dialami oleh pasien ini termasuk ke dalam klasifikasi stadium 3. Persamaan gambaran morfologis dan histopatologis antara CLPC dengan konjungtivitis vernal telah membuat beberapa peneliti meyakini bahwa dua penyakit ini mempunyai patofisiologi yang sama. Oleh karena itu, penyakit konjungtivitis vernal seringkali dijadikan sebagai diagnosis banding dari CLPC. Penentuan diagnosis di antara keduanya lebih didasari oleh riwayat penyakit yang dialami pasien melalui anamnesis. Penyakit konjungtivitis vernal biasanya terjadi berulang terkait dengan musim karena faktor penyebabnya, sedangkan pada CLPC biasanya keluhan membaik setelah pemakaian lensa kontak dihentikan sementara. Pada pasien ini, kemungkinan penyakit konjungtivitis vernal diperkuat oleh riwayat alergi pada pasien. Pilihan terapi dalam penatalaksanaan pada pasien ini disesuaikan dengan 4 prinsip utama, yaitu perubahan tipe, atau disain lensa, perubahan pola perawatan lensa, perbaikan kebersihan mata, dan terapi farmakologis. Tipe lensa berupa pemakaian lensa harian sekali pakai (daily disposable lens) dengan disain lensa yang tepat penempatannya dan yang terbatas pergerakannya dapat bermanfaat dalam meminimalisir terjadinya deposisi protein atau faktor predisposisi lainnya yang dapat menyebabkan stimulus antigenik pada lensa kontak tersebut. Edukasi tentang peningkatan kebersihan baik lensa maupun mata pasien juga menunjang keberhasilan terapi. Di samping itu, terapi farmakologis yang dianjurkan untuk membantu penyembuhan adalah terapi dengan sodium kromolin dosis awal sebesar 4 % yang diberikan 4 kali sehari, dan tappering off menjadi sekali dalam sehari ketika kondisi membaik.

BAB V KESIMPULAN Diagnosis kerja kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi. Pasien, Nn. A (19 tahun) datang dengan keluhan mata kiri seperti ada yang mengganjal sejak 2 hari SMRS. Keluhan dirasakan seperti ada benda asing yang terperangkap dalam bola mata dan berpasir disertai dengan mata merah tetapi tidak buram, gatal, selalu berair, silau ketika melihat cahaya tetapi menyangkal adanya gambaran pelangi di sekitar cahaya yang berasal dari lampu, kelopak mata terasa nyeri dan bengkak, namun tidak lengket dan tidak terlalu banyak kotoran mata, mata terasa nyeri seperti nyeri ditekan dan panas, keluhan sakit kepala atau mual dan muntah disangkal. Pasien menggunakan lensa kontak kurang lebih sebulan terakhir. Pasien menyangkal adanya anggota keluarga yang mengalami hal yang sama. Dari gejala yang dikeluhkan pada mata kiri, didapatkan petunjuk yaitu mata merah visus tetap. Dari hasil pemeriksaan fisik mata kiri didapatkan tanda edema palpebra superior OS, edema palpebra inferior OS, pada konjungtiva tarsal superior OS ditemukan hiperemis, dan gambaran papil dengan diameter + 0,5 mm, dan pada konjungtiva bulbi OS ditemukan kemosis, dan injeksi konjungtiva. Berdasarkan tanda dan gejala yang ditemukan dalam anamnesis dan pemeriksaan fisik yaitu mata merah visus tetap dengan edema palpebra OS, papil raksasa pada konjungtiva tarsalis superior OS, gambaran kemosis, dan injeksi konjungtiva pada konjungtiva bulbi OS, maka diagnosis kerja yang diambil yaitu konjungtivitis papil raksasa terinduksi lensa kontak. Penatalaksanaan yang dianjurkan pada pasien ini adalah perubahan tipe dan disain lensa berupa pemakaian lensa harian sekali pakai (daily disposable lens) dengan disain lensa yang tepat penempatannya dan yang terbatas pergerakannya, edukasi tentang peningkatan kebersihan baik lensa maupun mata pasien, dan terapi dengan sodium kromolin dosis awal sebesar 4 % yang diberikan 4 kali sehari, dan tappering off menjadi sekali dalam sehari ketika kondisi membaik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Vaughan & Asburys. General Ophtalmology. 16th ed. The McGraw-Hill Companies:

United States. 1995.


2. Donshik, Peter. Giant papillary conjunctivitis. Aoi J Ophlthalmol 1994 vol XCII. 3. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata, edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007. Hlm

172-3, 199, 200-13.


4. Allansmith MR, Korb DR, Greiner JV, et al: Giant papillary conjunctivitis in contact lens

wearers. Aoi J Ophlthalmol 1977;83:697-708. 5. Efron, Nathan. Contact lens-induced papillary conjunctivitis. Optician No. 5883 Vol. 213. 1997.

You might also like