Professional Documents
Culture Documents
(n)
Fungsi delta Dirac.
:= Denisi
Tak terhingga.
d
n
x Sama dengan dx
1
dx
2
dx
n
atau dx
0
dx
1
dx
n1
.
_
2
2m
d
2
dx
2
+
1
2
m
B
2
x
2
, (II.1)
dengan
B
menunjukkan frekuensi alamiah osilator dan = h/2, tetapan Planck
tersusutkan.
Selanjutnya, akan digunakan sistem satuan sehingga = m = 1 dan p =
i
d
dx
. Oleh karena itu, persamaan (II.1) menjadi
H
B
=
1
2
d
2
dx
2
+
1
2
B
2
x
2
.
Didenisikan operator turun b dan operator naik b
menurut
b =
i
2
B
(p i
B
x) dan b
=
i
2
B
(p + i
B
x). (II.2)
Hamiltonan pada persamaan (II.1) menjadi
H
B
=
1
2
B
b
, b, (II.3)
dengan b
, yakni b
, b = b
b + bb
.
Kedua operator, b dan b
n[n 1) b
[n) =
n + 1[n + 1).
Operator cacah boson, N
B
= b
menjadi
[b, b
] = 1, (II.4)
[b, b] = 0, [b
, b
] = 0,
[b, H
B
] =
B
b, dan [b
, H
B
] =
B
b
.
Dengan menggunakan persamaan (II.4) diperoleh
H
B
=
B
(b
b +
1
2
) =
B
(N
B
+
1
2
)
dan spektrum tenaganya
E
B
=
B
(n
B
+
1
2
).
Bentuk persamaan (II.3) menunjukkan secara tidak langsung bahwa H
B
se-
tangkup terhadap pertukaran b dan b
dalamhubungannya dengan
osilator fermionik yang akan ditinjau. Hal ini memberikan hasil berupa hamiltonan
12
fermionik
H
F
=
F
2
[a
, a],
dengan a dan a
adalah operator turun dan naik pada osilator fermionik yang meme-
nuhi syarat
a, a
= 1, (II.5)
a, a = 0 dan a
, a
= 0. (II.6)
Analogi bagi N
B
adalah operator cacah fermionik, N
F
= a
a.
Syarat "nilpotency" pada persamaan (II.6) membatasi N
F
pada swanilai 0 dan
1 yaitu
N
F
2
= (a
a)(a
a)
= (a
a)
= N
F
N
F
(N
F
1) = 0 (II.7)
Persamaan (II.7) cocok dengan asas larangan Pauli. Sifat antisetangkup yang
dimiliki H
F
terhadap pertukaran a dan a
=
1
2
+
, (II.8)
13
dengan
=
1
i
2
dan [
+
,
] = 4
3
, serta mengingat bentuk
1
=
_
_
_
0 1
1 0
_
_
_
;
2
=
_
_
_
0 i
i 0
_
_
_
;
3
=
_
_
_
1 0
0 1
_
_
_
. (II.9)
Dengan menggunakan syarat persamaan (II.5), Hamiltonan fermion dapat dinyatakan
sebagai
H
F
=
F
(N
F
1
2
).
Hamiltonan tersebut memiliki spektrum
E
F
=
F
(n
F
1
2
), n
F
= 0, 1.
Dalam pengembangan SUSY, diperhatikan sistem gabungan (superposisi) antara osi-
lator bosonik dan fermionik. Tenaga E dari penjumlahan E
B
dan E
F
adalah
E =
B
(n
B
+
1
2
) +
F
(n
F
1
2
). (II.10)
Dari persamaan (II.10) ini dapat dilihat bahwa E tidak berubah jika terjadi
penurunan satu bilangan kuantum bosonik (n
B
n
B
1) dan sekaligus kenaikan
satu bilangan kuantum fermionik (n
F
n
F
+ 1) (dan sebaliknya) dengan frekuensi
alamiah sama,
B
=
F
. Kesetangkupan yang demikian disebut SUPERSYMME-
TRY (SUSY).
Apabila
B
=
F
, spektrum tenaga superposisi osilator fermion dan boson
diberikan oleh
E = (n
B
+ n
F
), (II.11)
dengan :=
B
=
F
.
Ditinjau pada keadaan dasar (groundstate), persamaan (II.11) memberikan
14
n
B
= n
F
= 0. Keadaan ini disebut SUSY tak rusak (SUSY unbroken). Keadaan
yang bernilai nol ini (n
B
= n
F
= 0) muncul karena hilangnya pengaruh boson dan
fermion pada tenaga keadaan dasar supersimetri.
Tenaga untuk keadaan dasar masing-masing osilator bosonik E
B
=
B
2
dan
osilator fermionik E
F
=
F
2
, kedunya bernilai tidak nol. Spektrum tenaganya
merosot (degenerate) untuk keduanya (fermion dan boson). Kemerosotan SUSY
muncul karena turun / naiknya satu bilangan kuantum bosonik dan naik / turunnya
satu bilangan kuantum fermionik secara bersamaan. Pembangkitnya diungkapkan
dalam bentuk ba
(atau b
a).
Jika didenisikan kuantitas Q dan Q
, sebagai
Q =
b a
a, (II.12)
dapat dibuktikan bahwa supersimetri memiliki hamiltonan
H
s
= (b
b + a
a)
= Q, Q
. (II.13)
Hamiltonan H
s
berkomutasi dengan kedua operator Q dan Q
, yaitu
[Q, H
s
] = 0 [Q
, H
s
] = 0. (II.14)
Sementara itu berlaku kaitan antikomutasi
3
Q, Q = 0 Q
, Q
= 0. (II.15)
Dengan melihat persamaan (II.14), Q dan Q
dan H
s
, keti-
ganya (satu dengan yang lain) memenuhi aljabar yang mencakup komutator dan
sekaligus antikomutator. Aljabar ini disebut aljabar berderajat (graded algebra).
Manfaat Q dan Q
[n
B
, n
F
) =
_
(n
B
+ 1)[n
B
+ 1, n
F
1), n
F
,= 0. (II.16)
Akan tetapi jika ditinjau pada kasus :
untuk n
B
= 0, n
F
= 1, maka Q[n
B
, n
F
) = 0, dan
untuk n
F
= 0, maka Q
[n
B
, n
F
) = 0.
Untuk melihat makna sis Hamiltonan SUSY, H
s
, digunakan persamaan (II.2)
dan (II.8) untuk operator bosonik dan fermionik. Dari persamaan (II.13) :
H
s
=
1
2
(p
2
+
2
x
2
)
| +
1
2
3
, (II.17)
dengan
| adalah matriks satuan (2 2). Persamaan (II.17) ini menunjukkan bahwa
H
s
sesuai dengan osilator bosonik dengan sebuah elektron yang berada pada medan
magnet luar.
Dua komponen H
s
pada persamaan (II.17) dapat diproyeksikan menjadi
H
+
=
1
2
d
2
dx
2
+
1
2
(
2
x
2
)
b
b
H
=
1
2
d
2
dx
2
+
1
2
(
2
x
2
+ )
16
bb
. (II.18)
Dengan menggunakan persamaan (II.4), H
s
dapat dinyatakan sebagai
H
s
diag (H
, H
+
)
= (b
b +
1
2
)
| +
2
3
. (II.19)
Dari persamaan (II.18) terlihat bahwa H
+
dan H
(x) =
1
2
[W
2
(x) W
(x)] (II.20)
dengan W(x) = x, disebut superpotensial, yaitu potensial yang dimiliki oleh Hamil-
tonian partikel supersimetri, dan bermanfaat untuk memeriksa syarat dalam kaitannya
18
dengan keadaan supersimetri rusak secara spontan (spontaneously broken).
Struktur umum dari V
| +
1
2
3
W
. (II.21)
Analog dengan persamaan (II.12), supermuatan dapat ditulis sebagai
Q =
1
2
_
_
_
0 W + ip
0 0
_
_
_
; Q
=
1
2
_
_
_
0 0
W ip 0
_
_
_
. (II.22)
Q dan Q
diubah ke dalam
bentuk yang lebih umum yaitu
2b A = W(x) +
d
dx
dan
2b
= W(x)
d
dx
. (II.23)
Jika dinyatakan dengan operator A dan A
, H
s
berbentuk
2H
s
=
1
2
A, A
| +
1
2
3
[A, A
]. (II.24)
19
Sementara dalam bentuk matriks, H
s
merupakan matriks diagonal, yaitu
H
s
diag (H
, H
+
)
=
1
2
diag (AA
, A
A) (II.25)
dengan H
+
= bosonik dan H
menjadi
2H
=
d
2
dx
2
+ (g
2
g)(
u
u
)
2
g(
u
u
).
Jelas bahwa parameter g berpengaruh pada pertukaran antara boson dan fer-
mion : g g, H
+
H
2exp(
ax
2
)/a
2
_
Hamiltonan H
+
memenuhi
(
d
2
dx
2
+ W
2
W
)
+
= 2E
+
+
Dengan mengubah y =
4
2
a
2
g exp(
ax
2
), persamaan Schrdinger untuk H
+
menjadi
d
2
dy
2
+
+
1
y
d
dy
+
+ (
1
2g
1
4
)
+
+
8E
+
a
2
y
2
+
= 0 (II.26)
20
Persamaan Schrdinger untuk H
). (II.27)
Hal ini menunjukkan bahwa V dan V
+
dapat berbeda dengan nilai tenaga tingkat
dasar E
0
dari H.
Jika W
0
(x) adalah penyelesaian khusus, penyelesaian umum dari persamaan
(II.27) diberikan oleh
W(x) = W
0
(x) +
exp[2
_
x
W
0
()d]
_
x
exp[2
_
y
W
0
()d]dy
, R. (II.28)
Persamaan Schrdinger menjadi
_
1
2
d
2
dx
2
+ V (x) E
o
_
0
= 0.
Penyelesaiannya diberikan oleh
0
(x) = Aexp
_
_
x
W()d
_
+ Bexp
_
_
x
W()d
_
_
x
exp
_
2
_
y
W()d
_
dy, A, B R (II.29)
dan diasumsikan (x) L
2
(, ). Jika persamaan (II.28) disubstitusikan ke
persamaan (II.29) maka fungsi gelombangnya sama dengan ketika W
0
(x) khusus atau
21
penyelesaian umum persamaan (II.27) digunakan pada persamaan (II.29).
Pada superaljabar SUSYQM(2) yang hanya mempunyai dua pembangkit an-
tikomutasi, digunakan operator Q dan Q
=
(Q
1
iQ
2
)
2
. (II.30)
Persamaan (II.13) diubah menjadi H
s
= Q
2
1
= Q
2
2
, maka
Q
i
, Q
j
= 2
ij
H
s
. (II.31)
Persamaan (II.14) menjadi
[Q
i
, H
s
] = 0 i = 1, 2. (II.32)
Dalam bentuk superpotensial, W(x), Q
1
dan Q
2
dapat ditulis sebagai
Q
1
=
1
2
(
1
W
2
p
m
) dan Q
2
=
1
2
(
1
p
m
2
W).
Dalam perhitungan persamaan (II.32), Q
1
dan Q
2
adalah konstanta gerak,
yakni
Q
1
= 0 dan
Q
2
= 0. Dari persamaan (II.31) diperoleh bahwa tenaga pada
tingkat sebarang bernilai tak negatif. Hal ini karena
E
= < [H
s
[ >
= < [Q
1
Q
1
[ >
= < [ > 0, (II.33)
22
dengan [) = Q
1
[) dan menggunakan persamaan (II.31) pada bagian H
s
.
Untuk SUSY yang eksak berlaku
Q
1
[0) = 0 Q
2
[0) = 0
Jadi, [) ,= 0 menunjukkan adanya keadaan vakum yang merosot [0)
.
3. Arti Fisis dari Hamiltonan Supersimetri
Hamiltonan SUSY untuk kasus osilator harmonik diberikan oleh persamaan
(II.21). Untuk memperoleh arti sis hamiltonan supersimetri, parameter massa (m)
dimasukkan kembali ke dalam H
s
sehingga didapat
H
s
=
1
2
(
p
2
m
+ W
2
)
| +
1
2
3
W
m
. (II.34)
4
Simetri rusak (broken symmetry) diartikan sebagai suatu keadaan dasar sistematau keadaan vakum
dari suatu teori medan kuantum relativistik yang memiliki kesetangkupan lebih rendah dibandingkan
dengan Hamiltonan yang mendenisikan sistem tersebut. Contohnya dalam sika partikel adalah mo-
del Weinberg-Salam tentang teori elektrolemah (electroweak theory).
5
Keadaan vakum adalah keadaan dasar dalam teori medan kuantum relativistik. Keadaan vakum
tidak berarti keadaan tanpa sesuatu. Dalam ruang lingkup mekanika kuantum, keadaan vakum memi-
liki tenaga titik-nol sehingga menimbulkan uktuasi vakum.
23
Jika dibandingkan dengan hamiltonan Schrdinger untuk elektron (massa m dan mu-
atan e) yang dipengaruhi medan magnet luar
H =
1
2
(
p
2
m
+
e
2
m
A
2
) +
ie
2m
div
A
e
m
A. p +
[e[
2m
.
B, (II.35)
dengan
A =
1
2
m
2|e|
W, 0). Untuk menga-
mati pentingnya momen magnet elektron, digunakan bentuk persamaan (II.35), tanpa
menyusutkannya menjadi persamaan (II.34). Dapat dilihat bahwa masalah sederhana
yaitu elektron pada pengaruh medan magnet luar menunjukkan keberadaan SUSY.
Jika diasumsikan medan magnet
B =konstan dan sejajar pada sumbu Z yaitu
B = B
k, maka
A. p =
1
2
BL
z
4
A
2
= r
2
B
2
(r.
B)
2
= (x
2
+ y
2
)B
2
. (II.36)
Hasilnya, H menjadi
H =
1
2m
_
p
2
z
+ (p
2
x
+ p
2
y
)
_
+
1
2
m
2
(x
2
+ y
2
) (L
z
3
). (II.37)
Terpisah dari gerak bebas dalam arah z, H menjelaskan dua osilator harmonik dalam
bidang-xy, juga termasuk pasangan momentum orbital dan spin. Dalam persamaan
(II.37), adalah frekuensi Larmor : =
eB
2m
dan
S =
1
2
. Dalam pendekatan
kuantisasi osilator, bentuk pasangan momentum orbital dan spin menjadi
(L
z
3
) = i(b
x
b
y
b
y
b
x
) +
3
.
24
Namun dengan mengatur bentuk yang berupa
B
=
1
2
(b
x
+ ib
y
)
B =
1
2
(b
x
ib
y
), (II.38)
maka persamaan (II.37) dapat diubah menjadi
1
2
(H
p
2
z
2m
) = (B
B +
1
2
)
+
2
3
yang bentuknya mirip dengan persamaan (II.19). Kesimpulannya, persamaan Pauli
dua-dimensi, (II.35), memberikan contoh sederhana mengenai perwujudan SUSY
dalam sistem sis.
4. Sifat - Sifat Pasangan Hamiltonan
Sifat penting yang dimiliki oleh hamiltonan supersimetri, H
s
, yaitu kompo-
nen pasangan H
+
dan H
+
n
= E
+
n
+
n
. (II.39)
Persamaan tersebut dapat diubah ke dalam bentuk
H
(A
+
n
) =
1
2
AA
(A
+
n
)
= A(
1
2
A
A
+
n
)
= E
+
n
(A
+
n
). (II.40)
25
Dapat dilihat bahwa E
+
n
juga merupakan anggota spektrum tenaga bagi H
. Namun,
A
+
0
bernilai nol karena
+
0
menjadi penyelesaian keadaan dasar H
+
yang memenuhi
(
+
0
)
+ (W
2
W
)
+
0
= 0.
Bentuk penyelesaian yang memenuhi adalah
+
0
= C exp
_
_
x
W(y)dy
_
, C = konstanta. (II.41)
Dapat disimpulkan bahwa spektrumH
+
dan H
tidak memiliki fungsi gelombang pada keadaan dasar yang ternormalisasi dan spek-
trum H
+
dan H
, yaitu
H
+
(+)
n+1
= E
(+)
n+1
(+)
n+1
H
()
n
= E
()
n
()
n
. (II.42)
26
Jika A
+
0
= 0, untuk swakeadaan ternormalisasi
+
0
dari H
+
, karena H
+
+
0
1
2
A
+
0
= 0, maka swakeadaan ternormalisasi juga merupakan keadaan dasar dari
H
+
dengan swanilai E
+
0
= 0. H
n
) =
1
2
A
A(A
n
)
= A
n
= E
n
(A
n
)
dan H
(A
+
n
) =
1
2
AA
(A
+
n
)
= AH
+
+
n
= E
+
n
(A
+
n
). (II.43)
Jadi, jelas bahwa spektrum dan fungsi gelombang H
+
dan H
dihubungkan oleh
E
n
= E
+
n+1
, n = 0, 1, 2, ...; E
+
0
= 0
n
= (2E
+
n+1
)
1
2
A
+
n+1
+
n+1
= (2E
n
)
1
2
A
n
. (II.44)
27
Gambar II.2: (a) Spektrum osilator harmonik. (b) Spektrum H
= bb
= H
osc
1
2
.
(c) Spektrum H
+
= b
b = H
osc
+
1
2
. (b) dan (c) dihubungkan dengan Hamiltonan
supersimetri, seperti pada Gambar II.1.
BAB III
SUSY DALAM MASALAH RADIAL
1. SUSY dan Masalah Radial Tiga Dimensi
Teknik SUSY dapat diterapkan pada sistem mekanika kuantum 3 dimensi
atau lebih. Pertama, akan ditinjau terlebih dahulu masalah 3-dimensi. Persamaan
Schrdinger tak gayut waktu yang mempunyai potensial bersimetri bola, V (r), dapat
ditulis dalam koordinat polar bola r, , menurut
1
1
2
_
1
r
2
r
_
r
2
r
_
+
1
r
2
sin
_
sin
_
+
1
r
2
sin
2
2
_
u(r, , )
+V (r)u(r, , ) = Eu(r, , ). (III.1)
Untuk persamaan (III.1) hendak dilakukan pemisahan variabel yang memisahkan
fungsi dengan variabel r, dan dengan menulis fungsi gelombangnya menjadi
u(r, , ) R(r)()(),
dengan R(r) adalah bagian radial dan bagian sudutnya ()() adalah harmonik
bola Y (, ). Bentuk persamaan radialnya menjadi
1
2
1
r
2
d
dr
_
r
2
dR
dr
_
+
_
V (r) E +
l(l + 1)
2r
2
_
R = 0. (III.2)
1
diambil penyederhanaan = m = 1.
28
29
Suku turunan orde pertama diubah dengan membuat alih ragam R (r)/r sehing-
ga persamaan (III.2) dapat diringkas menjadi
1
2
d
2
dr
2
+
_
V (r) E +
l(l + 1)
2r
2
_
= 0. (III.3)
Dalam persamaan Schrdinger, persamaan (III.3) setara dengan masalah 1 dimensi
dan padanya dapat diterapkan konsep SUSY. Namun, tidak semua persamaan radial
r (0, ) dapat dipecahkan.
Untuk mengamati SUSY bekerja pada sistem-sistem berdimensi lebih tinggi,
selanjutnya akan diawali dengan kasus khusus potensial Coulomb. Pada pembahasan
ini akan dibedakan antara dua kemungkinan yang sesuai dengan bilangan kuantum
utama, n, yang tetap dan bilangan kuantum momentum sudut l, yang boleh bervariasi,
atau kasus sebaliknya yaitu n bervariasi namun l tetap.
A. Kasus 1 : n tetap dan l bervariasi
Dalam pembahasan ini potensialnya adalah V (r) =
Ze
2
r
. Oleh karena itu
persamaan pada bagian radialnya menjadi
_
1
2
d
2
dr
2
E
n
1
r
+
l(l + 1)
2r
2
_
nl
(r) = 0, (III.4)
dengan
nl
(0) = 0, E
n
=
1
2n
2
dan r pada skala e yang sesuai.
2
Dari persamaan (II.20) diperoleh bahwa superpotensial untuk persamaan (III.4)
yang memenuhi
V
+
=
1
2
_
W
2
W
_
2
Alih ragam yang digunakan adalah bentuk r
2
1
Ze
2
r.
30
=
1
r
+
l(l + 1)
2r
2
+
1
2(l + 1)
2
, (III.5)
memiliki penyelesaian yang berupa
W(r) =
1
l + 1
l + 1
r
.
Akibat dari penyelesaian tersebut adalah pasangan SUSY V
+
yaitu
V
1
2
_
W
2
+ W
_
=
1
r
+
(l + 1)(l + 2)
2r
2
+
1
2(l + 1)
2
. (III.6)
Sedangkan deret Bohr untuk persamaan (III.5) dimulai dari (l + 1) dengan
energi
1
2
[(l + 1)
2
n
2
], dapat dilihat dari persamaan (III.6) bahwa tingkat terendah
untuk V
1
2
d
2
dr
2
+
1
2
r
2
+
l(l + 1)
2r
2
_
n +
3
2
__
nl
(r) = 0, (III.7)
dengan n dihubungkan dengan l yaitu
n = l, l + 2, l + 4, .... (III.8)
31
Dari persamaan (III.7), superpotensial W(r) dan pasangan potensial SUSY
diperoleh sebagai
W(r) = r
l + 1
r
,
V
+
(r) =
1
2
r
2
+
l(l + 1)
2r
2
_
l +
3
2
_
,
V
(r) =
1
2
r
2
+
(l + 1)(l + 2)
2r
2
_
l +
1
2
_
. (III.9)
Pada persamaan ini mulai muncul kesulitan. Terdapat ciri yang tidak di-
inginkan pada V
+
dan V
1
2
d
2
dx
2
+
_
V (e
x
) E e
2x
+
1
2
_
l +
1
2
_
2
_
= 0, (III.10)
dengan (r) e
x/2
(x). Perlu dicatat bahwa E tidak jauh berperan dalam swanilai
32
pada persamaan (III.10).
Persamaan (III.10) dalam hubungannya dengan potensial Coulomb dapat di-
tulis sebagai
1
2
d
2
dx
2
+
_
e
x
E
n
e
2x
+
1
2
_
l +
1
2
_
2
_
= 0, (III.11)
yang menjelaskan masalah potensial Morse. Dari persamaan (III.11) superpotensial
W(x) dan V
(x) diperoleh
W(x) =
e
x
n
+
_
1
2
n
_
,
V
+
(x) =
e
2x
2n
2
e
x
+
1
2
_
1
2
n
_
2
,
V
(x) =
e
2x
2n
2
_
1
1
n
_
e
x
+
1
2
_
1
2
n
_
2
. (III.12)
Setelah diamati bahwa ungkapan V
1
2
d
2
dx
2
E
n
_
1
1
n
_
1
r
+
l(l + 1)
2r
2
_
nl
(r) = 0. (III.13)
Sifat nontrivial pemetaan r e
x
r berasal dari hasil koesien suku
1
r
pada persamaan (III.4) yang mengalami perubahan oleh faktor gayut-n dalam per-
samaan (III.4). Untuk memahami persamaan (III.13) didenisikan lagi (1
1
n
)r
sebagai peubah baru, dengan membagi persamaan (III.13) dengan faktor (1
1
n
)
2
.
Hal ini menyebabkan didenisikan kembali muatan inti Z dengan membawanya ke
bentuk eksplisit persamaan (III.13): Z Z
_
1
1
n
_
. Kemudian ditentukan tingkat
kemerosotan untuk memperoleh keadaan diantaranya, pada kasus l sama namun n
33
dan Z berbeda. Secara lebih khusus, persamaan (III.4) dikenai keadaan dengan bi-
langan kuantum n, l, dan tenaganya
Z
2
n
2
me
4
2
. Persamaan (III.13) digunakan untuk
menghitung keadaan dengan bilangan kuantum (n 1), l dan muatan inti Z(1
1
n
)
yang memiliki tenaga yang sama.
Pada cara ini, model dapat digunakan untuk menentukan hubungan interatomik
SUSY antara keadaan iso-elektronik ion di bawah perubahan simultan bilangan kuan-
tum utama dan muatan inti.
Selanjutnya diperhatikan masalah osilator isotropik sebagai penerapan lanju-
tan dari pembahasan ini. Di sini persamaan Schrdinger diberikan oleh persamaan
(III.7) dengan tingkat tenaga diberikan oleh persamaan (III.8). Dengan mengiku-
ti petunjuk tentang alih ragam sebagian, yaitu dari (0, ) ke (, ) dan dipilih
x = 2 ln r maka diperoleh
1
2
d
2
dx
2
+
_
1
8
e
2x
1
4
_
n +
3
2
_
e
x
+
1
8
_
l +
1
2
_
2
_
= 0. (III.14)
Persamaan di atas memberikan
3
W(x) =
e
x
2
1
2
_
n +
1
2
_
,
V
+
(x) =
1
8
e
2x
1
4
_
n +
3
2
_
e
x
+
1
8
_
n +
1
2
_
2
,
V
(x) =
1
8
e
2x
1
4
_
n +
1
2
_
e
x
+
1
8
_
n +
1
2
_
2
. (III.15)
Disyaratkan untuk melakukan alih ragam persamaan Schrdinger bagi V
kembali ke bagian separuh untuk menentukan pasangan SUSY yang cocok dengan
3
Swanilai yang berhubungan dengan V
+
adalah
1
8
_
_
n +
1
2
_
2
_
l +
1
2
_
2
_
. Jadi, untuk n l (dan
n tetap) tingkat tenaga terendah bernilai nol.
34
persamaan (III.7) sehingga diperoleh
_
1
2
d
2
dr
2
+
1
2
r
2
+
l(l + 1)
2r
2
_
n +
3
2
_
+ 2
_
nl
(r) = 0. (III.16)
Mudah dilihat bahwa karena faktor tambahan 2 pada persamaan di atas, perbe-
daan tingkat tenaga antara persamaan (III.7) dan persamaan (III.16) sesuai dengan
persamaan (III.8).
2. Masalah Radial Menggunakan Operator Tangga dalam SUSYQM
Masalah radial juga dapat diselesaikan dengan teknik operator tangga. Ke-
untungannya adalah tidak perlu ada bentuk eksplisit superpotensial. Diperkenalkan
terlebih dahulu notasi ket untuk menyatakan persamaan radial (III.3) dalam bentuk
H
l
[N, l)
_
1
2
d
2
dr
2
+ V (r) +
l(l + 1)
2r
2
_
[N, l)
= E
N
l
[N, l). (III.17)
N menyatakan bilangan kuantum radial untuk masalah Coulomb n = N + l + 1 dan
untuk kasus osilator isotropik n = 2N + l, N = 0, 1, 2, ...dst.
Selanjutnya diberikan operator A, yaitu
A =
N
l
[N
, l
, l
N
l
[N, l)N
, l
[,
dengan
N
l
= (
N
l
)
.
35
Dari persamaan (III.17) dan (III.18) diperoleh pemahaman bahwa A
dan A
adalah operator naik dan turun, yang dapat ditunjukkan dalam bentuk
A[N, l) =
N
l
[N i, l + j), (III.19)
A
[N i, l + j) =
N
l
[N, l), (III.20)
dengan N
= N i dan l
A[N, l) = [
N
l
[
2
[N, l),
AA
[N i, l + j) = [
N
l
[
2
[N i, l + j); i, j = 0, 1, 2, .... (III.21)
Langkah selanjutnya adalah memasukkan faktorisasi Hamiltonan yang berupa
A
A = H
l
+ F,
AA
= H
l
+ j + F, (III.22)
F dan G adalah skalar yang tidak bergantung pada bilangan kuantum N. Dengan
memasukkan persamaan (III.17) ke dalam persamaan (III.22) diperoleh hasil
[
N
l
[
2
= E
N
l
+ F. (III.23)
Lebih jauh diperoleh
(H
l+j
+ G)A[N, l) = AA
A[N, l)
= A
_
E
N
l
+ F
_
[N, l), (III.24)
36
yang menyatakan bahwa
H
l+j
[A[N, l)] =
_
E
N
l
+ F G
_
[A[N, l)]. (III.25)
Persamaan di atas menunjukkan bahwa A[N, l) adalah swaket dari H
l+j
. Namun
karena swanilai H
l
telah diketahui yaitu E
N
l
dari persamaan (III.17), hubungan
untuk N
= N i dan l
= l + j adalah
E
Ni
l+j
= E
N
l
+ F G. (III.26)
Selanjutnya, dengan menerapkan pengulangan operator Adalam[N, l), urutan
swaket dapat diubah dalam bentuk
A
k
[N, l) =
N
l
Ni
l+j
...
N(k1)i
l+(k1)j
[N ki, l + kj),
dengan k adalah bilangan bulat positif dan menjelaskan berapa kali A dimasukkan ke
dalam [N, l). Karena ini tidak boleh bernilai tak hingga, N berhingga sampai urutan
terakhir, sehingga dapat ditulis A[0, l) = 0 untuk N = 0 yang membatasi
0
l
= 0.
Selanjutnya, dari persamaan (III.23) ditentukan F = F
0
l
. Hal ini juga konsisten
untuk memilih i = 1 karena k adalah bilangan bulat positif 1 dan N dapat bernilai
0,1,2,... . Dari persamaan (III.26) diperoleh
G =
_
E
N
l
E
l
+ j
N
1
_
E
0
l
. (III.27)
Jadi, SUSY dalam operator AA
dan A
A[0, l) = 0.
Kemudian dapat didenisikan Hamiltonan supersimetrik yang mirip dengan
persamaan (II.25)
H
s
=
1
2
diag (AA
, A
A)
diag (H
, H
+
), (III.28)
dengan melihat kembali bentuk persamaan (II.40). Dengan kata lain, pada keadaan
dasar tidak terjadi kemerosotan (SUSY yang eksak) dan hanya dihubungkan dengan
H
+
. H
= H
l+j
G, (III.29)
dengan G diberikan oleh persamaan (III.27).
Selanjutnya akan dibahas beberapa penerapan persamaan (III.29).
A. Masalah Coulomb
Dalam masalah Coulomb, potensial dan tingkat tenaganya diberikan oleh
V (r) =
1
r
,
E
N
l
=
1
2(N + l + 1)
2
,
38
Dari persamaan (III.27) dapat ditentukan nilai G yaitu
G =
1
2(N + l + 1)
2
+
1
2(N 1 + l + j + 1)
2
+
1
2(l + 1)
2
.
Untuk mengubah G menjadi N yang independen, perlu ditambahkan syarat j = 1.
Pasangan Hamiltonian supersimetrik menjadi
H
+
=
1
2
d
2
dr
2
+
l(l + 1)
2r
2
1
r
+
1
2(l + 1)
2
, (III.30)
H
=
1
2
d
2
dr
2
+
(l + 1)(l + 2)
2r
2
1
r
+
1
2(l + 1)
2
. (III.31)
Pasangan potensial yang bersesuaian dengan kedua Hamiltonian di atas berturut-turut
identik dengan persamaan (III.5) dan (III.6), sehingga dapat disimpulkan sama seperti
penjelasan sebelumnya.
B. Masalah osilator isotropik
Dalam kasus osilator isotropik, potensial dan tingkat tenaganya diberikan oleh
V (r) =
1
2
r
2
,
E
N
l
= 2N + l +
3
2
.
Seperti pada masalah Coulomb sebelumnya, dari persamaan (III.27) diperoleh Gyang
berupa
G = 2
_
l + j +
3
2
_
,
dengan ciri dalam kasus ini yaitu N tidak memiliki batasan nilai bagi parameter j. Pa-
sangan Hamiltonian supersimetrik dapat diturunkan dari persamaan (III.29) sehingga
39
menjadi
H
+
=
1
2
d
2
dr
2
+
l(l + 1)
2r
2
+
r
2
2
_
l +
3
2
_
, (III.32)
H
=
1
2
d
2
dr
2
+
(l + j)(l + j + 1)
2r
2
+
r
2
2
_
l + j +
3
2
_
+ 2. (III.33)
Kasus khusus dari persamaan (III.32) dan (III.33) yaitu saat j = 0 berhubu-
ngan dengan kombinasi sebelumnya pada persamaan (III.7) dan (III.16). Persamaan
(III.32) dan (III.33) merupakan perkiraan umum dan tepat tentang perbedaan energi
dua bagian.
Kemudian dengan menggunakan teknik operator tangga, dapat pula diper-
oleh pemahaman tentang supersimetri pada kedua masalah Coulomb dan osilator
isotropik. Perlu ditekankan bahwa dalam memperoleh hasil tersebut, tidak diperlukan
bentuk persyaratan superpotensial. Keberadaan operator A dan A
cukup sebagai
penghubung supersimetrik.
3. SUSY dalam D Dimensi
Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan penerapan SUSY pada masalah
radial 3 dimensi. Selanjutnya, akan dibahas masalah radial dalam dimensi yang lebih
tinggi (D dimensi). Persamaan Schrdinger radial dalamD dimensi yaitu (penjelasan
turunan yang lebih terperinci dapat dilihat pada LAMPIRAN B)
_
1
2
d
2
dr
2
D 1
2r
d
dr
+
l(l + D 2)
2r
2
+ V (r)
_
R = ER,
dengan r dalam bentuk x
i
pada koordinat kartesan D dimensi diberikan oleh
r =
_
D
i=1
x
2
i
_
1
2
.
40
Seperti pada persamaan (III.2), dalam kasus ini suku turunan orde pertama juga da-
pat diubah dengan menggunakan alih ragam R r
D1
2
(r). Sehingga diperoleh
bentuk
_
1
2
d
2
dr
2
+
l
2r
2
+ V (r)
_
= E,
dengan
l
=
1
4
(D 1)(D 3) + l(l + D 2). (III.34)
Sekarang akan dibahas penerapannya pada beberapa kasus.
A. Potensial Coulomb
Spektrum tenaga yang berhubungan dengan potensial Coulomb V (r) =
1
r
adalah
E
N
l
=
1
2
1
_
N + l +
_
D1
2
_
2
. (III.35)
Dalam persamaan (III.35), N dan l berturut-turut adalah bilangan kuantum radial dan
momentum sudut.
Dari persamaan (III.27) diperoleh
G =
1
_
N + l +
_
D1
2
_
2
+
1
2
1
_
l +
_
D1
2
_
2
+
1
2
1
_
N 1 + l + j +
_
D1
2
_
2
. (III.36)
Dengan mengatur j = 1 maka mudah diperoleh bahwa G menjadi saling bebas ter-
hadap N menurut
G =
1
2
1
_
l +
_
D1
2
_
2
.
41
Kemudian, hasil umum untuk H
H
l+1
+ G
=
1
2
d
2
dr
2
+
l+1
2r
2
1
r
+
1
2
_
l +
1
2
(D 1)
_
2
, (III.37)
dengan
l
diberikan oleh persamaan (III.34). Untuk kasus 3 dimensi, hasil ini sesuai
dengan persamaan (III.30) dan (III.31).
B. Potensial osilator isotropik
Untuk potensial osilator isotropik V (r) =
1
2
r
2
, tingkat tenaganya adalah
E
N
l
=
_
2N + l +
1
2
D
_
, D 2.
Dari persamaan (III.27) diperoleh
G = 2
_
l + j +
D
2
_
,
yang saling bebas terhadap N. Hasil ini memberikan Hamiltonan isospektral yang
berupa
H
+
=
1
2
d
2
dr
2
+
l
2r
2
+
1
2
r
2
_
l +
D
2
_
,
H
=
1
2
d
2
dr
2
+
l+j
2r
2
+
1
2
r
2
_
l + j +
D
2
_
+ 2.
Hasil tersebut dapat dibandingkan dengan persamaan (III.32) dan (III.33) untuk kasus
D = 3.
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa SUSY dapat diterapkan
42
dalam masalah radial baik 3 dimensi maupun yang lebih tinggi. Alih ragam dapat
dikenakan dari masalah Coulomb ke osilator isotropik maupun sebaliknya dan hasil-
nya merupakan penyajian yang umum pada D dimensi.
BAB IV
TEORI DIRAC TENTANG PARTIKEL SPIN 1/2 DAN
PENDEKATAN NON-RELATIVISTIKNYA
Sebelum membahas penerapan SUSYQM selanjutnya, yaitu pada persamaan
Dirac, terlebih dahulu akan dijelaskan beberapa hal mendasar yang perlu dipaha-
mi. Berikut ini akan dijelaskan konsep persamaan Dirac dalam teori Dirac dan alih
ragam Foldy-Wouthuysen yang merupakan bagian penting dalam memahami pene-
rapan mekanika kuantum supersimetrik dalam persamaan Dirac tersebut.
Dengan alih ragamkanonik yang dikenakan pada Hamiltonan Dirac untuk par-
tikel bebas, wakilan teori Dirac diamati pada keadaan tenaga positif dan negatif yang
terpisah, diwakili oleh fungsi gelombang komponen-dua. Wakilan ini memainkan pe-
ranan penting, berupa operator-operator baru untuk posisi dan wakilan spin partikel
yang secara nyata merupakan arti sis dari operator tersebut pada wakilan konven-
sional. Alih ragam wakilan baru juga dibuat dalam kasus interaksi partikel dengan
medan elektromagnetik luar.
1. Persamaan Dirac dalam Mekanika Kuantum Relativistik
Persamaan Dirac adalah salah satu persamaan gelombang dalam mekanika
kuantum relativistik yang disusun oleh sikawan Inggris, Paul Dirac, pada 1928 dan
memberikan penjabaran tentang partikel mendasar spin 1/2, seperti elektron. Per-
samaan ini konsisten dengan prinsip mekanika kuantum dan teori relativitas khusus.
Di dalam mekanika kuantum relativistik, keadaan sebuah partikel dapat disa-
jikan dalam koordinat ruang waktu 4 dimensi, yaitu x
1
= x, x
2
= y, x
3
= z, x
4
=
43
44
ict = ix
0
. Alih bentuk linier yang berupa
x
= a
, (IV.1)
dengan koesien a
, a
.
Alih ragam yang demikian ini disebut alih ragam Lorentz homogen. Grup Lorentz
homogen terdiri atas beberapa macam alih ragam, dari satu sistem inersial ke sistem
inersial lainnya tanpa mengubah titik pusat (origin).
Vektor berdimensi 4 (atau sering disebut vektor-empat) V
, sehingga x
= a
.
Sedangkan tensor berdimensi 4 (atau tensor-empat) dalam tingkat kedua ada-
lah sebuah set berjumlah 16 anggota T
menurut
hubungan
T
= a
.
2. Partikel Dirac Bebas
Partikel Dirac bebas bermassa m, operator momentum p dan spin
1
2
, disajikan
dalam persamaan Dirac menurut
i
(r, t)
t
= H
D
(r, t), (IV.2)
45
dengan Hamiltonan yang tak gayut waktu menurut
1
H
D
= ic.+ mc
2
= c.p + mc
2
1
1
=
2
2
=
2
3
=
2
= 1,
i
+
i
= 0,
i
k
+
k
i
= 2
ik
.
Swafungsi operator Hamiltonian memenuhi persamaan
(m + p) = E
Pada pendekatan nonrelativistik, yaitu ketika momentum partikel bernilai ke-
cil jika dibandingkan dengan m (p << m), partikel Dirac spin
1
2
dapat disajikan
dalam fungsi gelombang komponen-dua pada teori Pauli. Metode yang biasanya di-
gunakan untuk menunjukkan bahwa teori Dirac adalah teori Pauli pada pendekatan
ini berdasarkan kenyataan bahwa dua dari empat komponen fungsi Dirac nilainya
menjadi kecil ketika momentumnya kecil. Kemudian ditulis persamaaan yang me-
menuhi empat komponen dan menyelesaikannya dengan pendekatan: dua dari per-
1
Digunakan sistem satuan , c = 1.
46
samaan untuk komponen kecil. Dengan mengganti penyelesaian tersebut pada sisa
dua persamaan (yang lainnya), dapat diamati hasil berupa pasangan persamaan untuk
komponen besar yang pada dasarnya adalah persamaan spin Pauli.
Metode tersebut menunjukkan kesetaraan teori Dirac dan Pauli yang mene-
mui kesulitan, jika dianggap pada pendekatan yang melebihi derajat terendah.Pada
teori Dirac, operator yang mewakili kecepatan partikel adalah operator yang kom-
ponennya hanya memiliki swanilai 1. Sedangkan pada teori Pauli, operator yang
mewakili kecepatan partikel adalah p/m yang berupa komponen dengan swanilai be-
rupa semua bilangan real. Komponen yang berbeda dalam operator kecepatan pada
teori Dirac tidak rukun dan diukur serentak dengan ketepatan berubah-ubah, sedang-
kan komponen yang berbeda dalam operator kecepatan pada teori Pauli bersifat rukun
serta dapat diukur serentak dengan ketelitian yang berubah-ubah. Dari sini lalu timbul
pertanyaan, bagaimana mungkin operator yang wakilan pada peubah sisnya sama
namun pada dua teori tersebut mempunyai sifat-sifat yang berbeda?
Dari penjelasan di atas dapat diperoleh pernyataan bahwa hubungan antara
teori Dirac dan teori Pauli sama sekali tidak bisa dijelaskan dari metode yang bi-
asanya, yaitu fungsi gelombang komponen-empat diubah ke komponen-dua, dan pada
penjelasan selanjutnya sangat diperlukan hubungan antara kedua teori tersebut. Pem-
bahasan selanjutnya akan ditampilkan metode lain untuk mengubah dari fungsi ge-
lombang komponen-empat ke komponen-dua pada teori Dirac. Metode ini berupa
alih ragam ke wakilan baru untuk teori Dirac, dengan meletakkan teori dalam bentuk
tertutup analogi dengan teori Pauli dan memperbolehkan perbandingan langsung dari
keduanya. Secara khusus akan ditunjukkan bahwa:
1. Untuk partikel Dirac bebas, ada wakilan teori Dirac untuk tenaga relativistik
dan non-relativistik, keadaan tenaga positif dan keadaan tenaga negatif terpisah
dijelaskan dengan fungsi gelombang komponen-dua.
47
2. Ada operator posisi yang lain pada teori Dirac, disamping operator posisi yang
biasanya dikenal. Operator ini mempunyai sifat derivatif waktu yang beru-
pa p/(m
2
+ p
2
)
1/2
untuk keadaan tenaga positif dan p/(m
2
+ p
2
)
1/2
untuk
keadaan tenaga negatif, dalam hubungannya dengan konsep kecepatan partikel.
Operator posisi yang baru ini sering disebut operator rerata posisi, dan dalam
pendekatan nonrelativistik ditafsirkan sebagai operator posisi pada teori Pauli.
3. Komponen z dari operator spin, = (1/2i)[ ], pada teori Dirac bukan-
lah konstanta gerak, sehingga ada operator spin lain pada teori Dirac yaitu
(yang dinamakan operator rerata-spin), dengan komponen z berupa konstanta
gerak. Pada pendekatan nonrelativistik, operator adalah salah satu dari yang
diartikan sebagai operator spin pada teori Pauli.
Alasan mendasar untuk menerangkan mengapa komponen empat secara umum
digunakan dalam menjelaskan keadaan tenaga positif/negatif dalam wakilan teori
Dirac, yaitu persamaan (IV.3), adalah karena Hamiltonan pada persamaan tersebut
mengandung operator ganjil, khususnya pada bagian operator . Jika dimungkin-
kan untuk membuat alih ragam kanonik pada persamaan (IV.3) yang mengubahnya
menjadi bentuk yang bebas dari operator ganjil, maka akan dimungkinkan pula untuk
membuat wakilan keadaan tenaga positif dan negatif dengan fungsi gelombang yang
hanya memiliki dua komponen pada tiap keadaan dan pasangan komponen yang lain-
nya bernilai nol. Penjelasan selanjutnya akan menunjukkan berlakunya alih ragam
kanonik semacam ini.
3. Alih Ragam Foldy-Wouthuysen
Alih ragam Foldy-Wouthuysen adalah suatu alih ragam uniter yang mengu-
bah pasangan operator dari komponen besar ke komponen kecil. Alih ragam ini
48
dipaparkan pertama kali oleh Leslie L. Foldy dan Siegfried A. Wouthuysen [Foldy
dan Wouthuysen , 1949] untuk menemukan alih ragam yang sesuai dalam kasus per-
samaan Dirac dengan pasangan elektromagnetik minimal.
Sebelumdibahas lebih lanjut, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai opera-
tor ganjil dan genap pada teori Dirac. Operator ganjil pada teori Dirac adalah matriks
Dirac yang mengandung elemen matriks diagonal dalam wakilan Pauli-Dirac, yaitu
, ,
5
= i
1
3
dan
5
. Sedangkan operator genap adalah matriks Dirac
yang tidak mempunyai elemen matriks diagonal dalam wakilan Pauli-Dirac, misal-
nya 1, , =
1
2i
[ ] dan . Produk dari dua buah matriks genap atau dua buah
matriks ganjil menghasilkan matriks genap, sedangkan produk dari sebuah matriks
genap dan sebuah matriks ganjil menghasilkan matriks ganjil.
Jika S adalah operator Hermitan, dan berlaku alih ragam sebagai berikut
= U
F
= e
iS
, (IV.5)
dan jika dikenakan pada persamaan (IV.3) menjadi
i(
/t) = e
iS
H
= e
iS
He
iS
= H
. (IV.6)
Akan dicari S dengan H
=
_
m
2
+[p[
2
.
hal ini sama seperti hamilton pertama yang dicoba, kecuali untuk faktor yang juga
memberikan penyelesaian tenaga negatif. Ditinjau untuk kasus
H = (p eA) + m + e
= m +O +c, (IV.9)
dengan
O = (p eA), c = e, O = O, c = c. (IV.10)
Ditinjau alih ragam kanonik yang dibangkitkan oleh operator Hermitan
S = (i/2m)O.
Penyajian S dapat dibentuk dengan perluasan nonrelativistik pada hamiltonan H
_
= e
iS
i
t
+
_
i
t
e
iS
_
.
i
t
=
_
e
iS
_
H i
t
_
e
iS
_
= H
. (IV.11)
S dijabarkan dalam deret 1/m dan nilainya sangat kecil dalam pendekatan
nonrelativistik.
e
iS
He
iS
= H + i[S, H] +
i
2
2!
[S, [S, H]] + +
i
n
n!
[S, [S, [S, H]]] .
S = O
_
1
m
_
diharapkan dalam tingkat ketelitian tertentu yaitu
H
= H + i[S, H]
1
2
[S, [S, H]]
i
6
[S, [S, [S, H]]]
+
1
24
[S, [S, [S, [S, m]]]]
S
i
2
_
S,
S
_
+
1
6
_
S,
_
S,
S
__
. (IV.12)
Selanjutnya, akan dihilangkan operator ganjil satu demi satu dalam 1/m dan mengu-
langinya sampai pada derajat yang diharapkan. Orde pertama [O(1)]:
H
= m +c +O + i[S, ]m.
Untuk menghilangkan O, dipilih S =
iO
2m
,
i [S, H] = O +
2m
[O, c] +
1
m
O
2
i
2
2
[S, [S, H]] =
O
2
2m
1
8m
2
[O, [O, c]]
1
2m
2
O
3
51
i
3
3!
[S, [S, [S, H]]] =
O
3
6m
2
1
6m
3
O
4
i
4
4!
[S, [S, [S, [S, H]]]] =
O
4
24m
3
S =
i
O
2m
i
2
_
S,
S
_
=
i
8m
2
_
O,
O
_
. (IV.13)
Semua suku dikumpulkan sehingga menjadi
H
=
_
m +
O
2
2m
O
4
8m
3
_
+c
1
8m
2
[O, [O, c]]
i
8m
2
_
O,
O
_
+
2m
[O, c]
O
3
3m
2
+
i
O
2m
= m +c
+O
. (IV.14)
Sekarang O
adalah O
_
1
m
_
, H
dengan menghi-
langkan O
,
S
=
i
2m
O
=
i
2m
_
2m
[O, c]
O
3
3m
2
+
i
O
2m
_
.
Setelah alih ragam dalam bentuk S
, maka
H
= e
iS
_
H
i
t
_
e
iS
= m +c
+
2m
[O
, c
] +
i
O
2m
= m +c
+O
, (IV.15)
dengan O
adalah O
_
1
m
2
_
yang dapat dihilangkan dengan alih ragam ketiga, S
=
iO
2m
, berupa
H
= e
iS
_
H
i
t
_
e
iS
= m +c
52
=
_
m +
O
2
2m
O
4
8m
3
_
+c
1
8m
2
[O, [O, c]]
i
8m
2
_
O,
O
_
. (IV.16)
Ditinjau kembali produk operator untuk memperoleh ketelitian yang diinginkan,
O
2
2m
=
( (p eA))
2
2m
=
e
2m
B
1
8m
2
_
[O, c] + i
O
_
=
e
8m
2
_
i i
A
_
=
ie
8m
2
E
_
O,
ie
8m
2
E
_
=
ie
8m
2
[ p, E]
=
ie
8m
2
i,j
j
_
i
E
j
x
i
_
+
e
4m
2
E p
=
e
8m
2
( E) +
ie
8m
2
(E)
+
e
4m
2
E p. (IV.17)
Jadi, hamiltonan efektif untuk derajat yang diharapkan adalah
H
=
_
m +
p eA
2
2m
p
4
8m
3
_
+ e
e
2m
B
=
ie
8m
2
(E)
e
4m
2
E p
e
8m
2
( E) . (IV.18)
Tiap suku mempunyai arti sis masing-masing. Suku pertama dalam tanda kurung
adalah perluasan dari
_
(p eA)
2
+ m
2
dan p
4
/(8m
3
) adalah ralat relativistik untuk tenaga kinetik. Suku kedua yaitu
ie
8m
2
(E)
e
4m
2
E p,
53
adalah tenaga spin-orbit. Dalam potensial statik setangkup bola, suku ini mempunyai
bentuk yang biasa dikenal.
BAB V
PENERAPAN MEKANIKA KUANTUM SUPERSIMETRIK
DALAM PERSAMAAN DIRAC DERAJAT PERTAMA
Dalam bab ini akan ditunjukkan perwujudan prinsip mekanika kuantum su-
persimetrik dalam persamaan Dirac yang menjelaskan partikel Dirac tak bermassa
dalam medan magnet. Sistem ini relevan dengan efek Hall kuantum bilangan bulat.
Dalam memperoleh supersimetri derajat pertama, digunakan operator akar pangkat
dua. Pembahasan yang lebih terperinci juga akan diberikan pada masalah super-
simetri dalam konteks pangkat dua Hamiltonan Pauli relativistik.
1. Pendahuluan
Penemuan mengejutkan tentang efek Hall kuantumbilangan bulat yang diperke-
nalkan oleh sikawan dengan kemungkinan kebolehjadiannya adalah perkembangan
baru menyangkut konstanta struktur-halus. Hal ini bersifat lazim dalam tingkatan
kuantum. Penjelasan teoritis mengenai gejala ini dikembangkan oleh Laughlin dan
beberapa ilmuwan lainnya. Sistem yang dipelajari oleh Laughlin adalah elektron tan-
pa spin, nonrelativistik yang terkungkung dalam bidang, dengan medan listrik sera-
gam di dalam bidang dan medan magnet tegak lurus pada bidang. Hamiltonan yang
sesuai adalah Hamiltonan Pauli dan penyelesaian masalah swanilainya adalah deret
aras Landau, semuanya merosot ganda kecuali keadaan dasarnya.
Penjelasan ini dapat dilihat dengan menyertakan sifat-sifat grup translasi mag-
netik dalam bidang. Kesimpulan Laughlin mengalami perubahan karena diperke-
nalkannya konsep tentang spin elektron. Tentu saja, sekarang diketahui bahwa tidak
ada ralat relativistik dalam penjelasan Laughlin.
54
55
Beberapa ilmuwan menyelidiki mekanika kuantum tentang elektron dalam
medan magnet seragam. Hal ini dapat ditelaah lebih lanjut pada konteks supersimetri
dalam mekanika kuantum. Sebagai contoh, jika elektron nonrelativistik dengan mo-
men magnet Pauli memiliki perbandingan giromagnetik bernilai dua ditempatkan
dalam sistem Laughlin, berlaku konsep supersimetri.
Dalam teori Dirac, perbandingan giromagnetik yang bernilai dua muncul se-
cara otomatis. Lebih lanjut
1
, Hamiltonan Dirac pangkat dua mengandung medan
magnet seragam yang secara matematis berbentuk sama dengan supersimetri Hamil-
tonan Pauli. Supersimetri ini hanya sebuah perwujudan dalam spektrum tenaga pang-
kat dua karena aljabar mekanika kuantum SUSYQM(2) melibatkan operator diferen-
sial derajat kedua dalam perwujudannya.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa konsep supersimetri dapat ditemukan
dalam perumusan persamaan Dirac derajat pertama. Dalam pembahasan selanjutnya
akan dijelaskan penerapan SUSYQM pada spektrum yang diamati dari Hamiltonan
Dirac derajat pertama. Penjelasan selanjutnya akan dipilih pada model Hamiltonan
yang menguraikan fermion Dirac tak bermassa dalam medan magnet yang seragam
dan konstan. Tidak adanya medan magnet, secara mendasar, mungkin dapat diperbai-
ki dengan mempercepat sistem. Selain itu pula, meskipun pendekatan "tak bermassa"
tidak memiliki arti sis, namun akan berguna secara langsung dalam perluasan kon-
sep lain yang lebih umum.
1
Terdapat hubungan antara keadaan ini dengan osilator harmonik nonrelativistik.
56
2. Model dan Penyelesaiannya
Persamaan Dirac dengan pasangan elektromagnetik minimal untuk spinor tak
bermassa adalah
D
_
(
t
ieA
t
)
0
+ ( + ieA).
= 0. (V.1)
Digunakan wakilan chiral dalam matriks Dirac menurut
0
=
_
_
_
0 I
I 0
_
_
_
,
i
=
_
_
_
0
i
i
0
_
_
_
, i = 1, 2, 3,
dengan
1
,
2
,
3
, didenisikan oleh persamaan (II.9).
Medan magnet yang seragam dan konstan dapat dituliskan dalam bentuk
A
t
= 0, A
x
= By, A
y
= 0, A
z
= 0,
dengan B = A = B z. Kemudian partikel akan membentuk gerak siklotron
dalam bidang x y. Operator D diberikan oleh
D =
0
/t + .ieBy
1
. (V.2)
Dipilih batasan eB > 0.
Penyelesaian persamaan (V.1) dapat diperoleh melalui metode FeynmanGell-
Mann. Mula-mula persamaan Dirac (V.1) dikalikan dengan operator Dirac D, sehing-
ga menghasilkan persamaan komponen-empat derajat kedua yang berupa
DD = 0. (V.3)
57
Persamaan (V.3) memiliki 8 penyelesaian yang tak gayut . Penyelesaian dari
persamaan (V.1) diberikan oleh
= D. (V.4)
Penyelesaian yang berjumlah 8 tersebut diperoleh dari dua kali jumlah penyelesaian
yang tak gayut. Persamaan (V.2) menunjukkan bahwa D dapat ditulis sebagai
D =
_
_
_
_
_
_
_
_
_
0 0
t
+
z
D
0 0 +D
+
t
z
+D
0 0
D
+
t
+
z
0 0
_
_
_
_
_
_
_
_
_
,
dengan
D
+
/x ieBy + i/y
dan D
+
= /x + ieBy + i/y. (V.5)
Kemudian, persamaan (V.3) dapat ditulis sebagai
DD
__
2
t
2
x
2
y
2
z
2ieBy
x
+ e
2
B
2
y
2
_
I + eB
12
=
__
2
t
2
z
+ D
+
D
_
I + eB
_
I +
12
_
= 0. (V.6)
I yang dimaksud pada persamaan di atas adalah matriks identitas 44 dan
12
=
1
2
i [
1
,
2
] adalah matriks diagonal 44 yang elemen-elemennya tidak nol (1,-1,1,-1).
Dalam mengamati persamaan (V.6) digunakan kaitan komutasi
[D
, D
+
] = 2eB.
58
Hal ini menunjukkan bahwa D
+
danD
n
(t, x, y, z) exp [i (
n
t + k
x
x + k
z
z)] g
n
(y)
, (V.7)
dengan
dipilih sebagai swaspinor komponen-4 yang bernilai tetap, tak gayut, dan
berjumlah 4, dari matriks
0
=
_
_
_
I
I
_
_
_
,
dan
12
,
dengan , = 1. Matriks
5
dan
12
saling berkomutasi satu dan lainnya dengan
operator DD. Kemudian spinor
) i
_
d
3
x
(t, x)
/t
1
2
eB(y k
x
/eB)
2
_
H
n1/21/2
_
(eB)
1/2
(y k
x
/eB)
_
, (V.9)
n
= +
_
k
2
z
+ 2neB
_
1/2
, (V.10)
dan H
n
adalah polinomial Hermit. Dengan penyelesaian ini untuk
n
diperoleh
identitas
D
+
n
(y) = i(eB)
1/2
n+1,
(y),
dan D
n
(y) = +i(eB)
1/2
(2n 1 )
n1,
(y). (V.11)
Persaman (V.7) adalah 4 sistem persamaan diferensial derajat kedua yang
menghasilkan 8 penyelesaian yang tak gayut,
n
, untuk setiap nilai momentum
k
x
dan k
z
. Bentuk fungsional dari penyelesaian tersebut tidak bergantung terhadap .
Oleh karena itu, terdapat keadaan merosot ganda pada 8 penyelesaian ini, meskipun
saling tak gayut karena spinor
) =
_
d
3
x(t, x)
0
(t, x)
=
_
d
3
x
(t, x)
t
= H
D
. (V.13)
dengan H
D
adalah matriks 4 4 yang berupa
H
D
=
_
_
_
h
D
0
0 h
D
_
_
_
, (V.14)
dan h
D
adalah matriks 2 2 menurut
h
D
=
_
_
_
i/z iD
iD
+
i/z
_
_
_
, (V.15)
diperoleh bahwa [H
D
,
5
] = 0 tetapi [H
D
,
12
] ,= 0. Hal ini berarti bahwa swanilai
dari
12
tidak dapat digunakan sebagai label bagi penyelesaian H
D
.
3. Supersimetri dan Pangkat Dua Hamiltonan Pauli Relativistik
Dalam BAB II telah dikemukakan bahwa sistem mekanika kuantum dikatakan
supersimetrik jika terdapat sejumlah operator Q
i
, i=1,2,...,N yang bersifat komutatif
dengan Hamiltonian SUSY, yaitu persamaan (II.32), dan antikomutatif untuk meng-
hasilkan Hamiltonian SUSY, yaitu persamaan (II.31). Superaljabar pada kedua per-
samaan itu disebut SUSYQM(N). Pembahasan selanjutnya akan menggunakan super-
61
aljabar SUSYQM(2) yang hanya mempunyai dua pembangkit antikomutasi sehing-
ga digunakan operator Q dan Q
[B) = E
1/2
[F), (V.16)
dengan E adalah swatenaga [B) dan [F). Untuk supersimetri yang tak rusak, kedua Q
dan Q
dapat saling menghilangkan keadaan dasar [0) sehingga dapat ditulis sebagai
Q[0) = Q
[0) = 0. (V.17)
Persamaan (V.17) dan superaljabar pada persamaan (II.13)-(II.15) menunjukkan bah-
wa swatenaga keadaan dasar harus bernilai nol, yaitu
H
s
[0) = 0. (V.18)
Superaljabar pada persamaan (II.13)-(II.15) dan (V.18) menjelaskan bahwa H
s
mem-
punyai swanilai yang semuanya harus bernilai lebih besar atau sama dengan nol.
Selanjutnya, diperhatikan aturan superaljabar SUSYQM(2) pada sistem yang
dijelaskan dengan pangkat dua Hamiltonan Pauli relativistik :
(H
2
)
RP
= (H
D
)
2
,
62
dengan H
D
diberikan oleh persamaan (V.14) dan (V.15). Terdapat hubungan antara
sistem ini dengan osilator harmonik supersimetrik nonrelativistik yang telah dibahas
pada BAB II. Didenisikan
Q
RP
=
_
_
_
0 0
h
D
0
_
_
_
dan Q
RP
=
_
_
_
0 h
D
0 0
_
_
_
, (V.19)
sehingga diperoleh bahwa
_
Q
RP
, Q
RP
_
= (H
2
)
RP
. (V.20)
Operator Q
RP
dan Q
RP
memenuhi aljabar SUSYQM(2) pada persamaan (II.13)-
(II.15) yang berupa
_
Q
RP
,
5
_
=
_
Q
RP
,
5
_
= 0.
Kemudian, pembangkit supersimetri Q
RP
dan Q
RP
dikenakan pada swavektor (H
2
)
RP
untuk mengubah swanilai dari
5
dan juga mengubah bentuk dari tenaga Dirac.
Namun, karena swanilai (H
2
)
RP
adalah pangkat dua dari tenaga, Q
RP
dan Q
RP
ber-
hubungan dengan swakeadaan merosot pada sistem Pauli relativistik.
Penting untuk dicatat bahwa hamiltonan Dirac dapat ditulis sebagai
2
H
D
=
0
(Q
RP
Q
RP
) (V.21)
Hubungan semacam ini bisa disajikan karena kedua Q
RP
dan H
D
adalah akar dari
(H
2
)
RP
.
Dapat dikatakan bahwa "keadaan dasar" dari (H
2
)
RP
benar-benar merupakan
tingkat set innit, yang diberi label peubah kontinu k
z
, yang dapat dilihat dari per-
2
Dalam denisi (V.19), beberapa parameter perubahan dianggap tetap sehingga membentuk per-
samaan (V.21).
63
samaan (V.7), (V.9) dan (V.10).
Tenaga keadaan dasar berupa
2
0
= k
2
z
, yang bernilai nol hanya ketika k
z
= 0.
Dari persamaan (V.17) dan (V.18) dan penjelasan lain yang berkaitan, SUSYQM(2)
dalam persamaan (V.20) adalah simetri tak rusak pada sistem Pauli relativistik derajat
kedua, hanya pada pendekatan k
z
0. Hal yang penting, pendekatan ini mirip
dengan pengamatan pada efek Hall terkuantisasi.
Kerusakan supersimetri untuk k
z
= 0 dapat dilihat secara jelas dengan menge-
nakan Q
RP
pada persamaan (V.19) dalam swavektor keadaan dasar persamaan (V.7),
(V.9) dan (V.10). Sehingga diperoleh
Q
RP
0
(0, x, y, z) = k
z
0
(0, x, y, z).
Meskipun bagian dari swavektor keadaan dasar, secara khusus
0+
namun ini tentu
dihapus oleh Q
RP
sehingga sisa Q
0
tidak ada.
4. Supersimetri dan Hamiltonan Dirac
Dalam subbab ini akan diteliti keberadaan SUSY untuk partikel pada sistem
yang dijelaskan masing-masing oleh Hamiltonan Dirac orde pertama H
D
, persamaan
(V.13) dan (V.14). Dari hasil yang diperoleh pada pembahasan sebelumnya, yaitu
pada subbab 3, selanjutnya akan dibuktikan bahwa operator Q
D
dan Q
D
adalah akar
dari H
D
.
Cara yang paling mudah untuk memperoleh Q
D
dan Q
D
yaitu pertama, men-
emukan bentuk diagonal H
D
dari H
D
. Untuk melihat bahwa bentuk diagonal H
D
dapat dibangun, perlu dicatat bahwa (H
D
)
2
= (H
2
)
RP
adalah diagonal namun H
D
dimasukkan sebagai bagian dari akar diagonal (H
2
)
RP
.
Kedua, setelah diperoleh operator Q
D
dan Q
dari H
D
, keduanya harus diubah ke
64
basis H
D
. Alih ragam Foldy-Wouthuysen (FW) dari H
D
ke H
D
adalah cara langsung
untuk mengerjakan hal ini.
Diperkenalkan alih ragam Foldy-Wouthuysen (FW) sebagai berikut
H
D
= U
1
H
D
U, (V.22)
dengan
U = exp(
1
2
) (V.23)
dalam persamaan (V.23) didenisikan sebagai
=
1
1
+
2
2
,
1
= k
x
eBy,
2
= k
y
. (V.24)
Lebih lanjut, didenisikan
tan =
k
z
dan
2
= (
)
2
. (V.25)
Persamaan (V.22) dan (V.23) dapat dikombinasikan pada H
D
sebagai
H
D
=
_
_
_
_
_
_
_
_
_
(D
D
+
2
z
)
1
2
(D
+
D
2
z
)
1
2
(D
D
+
2
z
)
1
2
(D
+
D
2
z
)
1
2
_
_
_
_
_
_
_
_
_
.
65
Dalam kasus supersimetri tak rusak, diambil batasan
3
k
z
= 0, sehingga menjadi
H
D
(k
z
= 0) =
_
_
_
_
_
_
_
_
_
D
+
D
+
D
D
+
D
+
D
_
_
_
_
_
_
_
_
_
. (V.26)
Spektrum H
D
(k
z
= 0) tersusun atas 4 bagian. Tiap-tiap bagian tersebut dihubungkan
dengan sebuah operator yang berada pada diagonal persamaan (V.26). Mulai dari
bagian kiri paling atas dan menuju ke bagian kanan paling bawah, 4 operator tersebut
menunjukkan
1. tenaga positif dan e
B
S
z
> 0,
2. tenaga negatif dan e
B
S
z
> 0,
3. tenaga negatif dan e
B
S
z
< 0,
4. tenaga positif dan e
B
S
z
< 0,
dengan
S
z
menunjukkan operator spin dalamarah sumbu z. Namun perlu diingat bah-
wa pembangkit SUSY pada SUSYQM (2) menghubungkan satu spektrum bosonik
menjadi satu spektrum fermionik. Hanya dua dari keempat spektrum di atas yang
dapat ditampung secara bersamaan. Selanjutnya, akan didiskusikan pilihan berbeda
yang dapat diijinkan oleh persamaan (V.26).
Pembahasan diawali dengan membentuk SUSYQM(2) yang berhubungan de-
3
Meskipun pada dasarnya kerusakan supersimetri dapat diwujudkan dalam bentuk k
z
,= 0, rancan-
gan ini sulit untuk diterapkan.
66
ngan dua spektrum tenaga-positif. Pembangkit SUSY dapat ditulis
Q
D
=
_
_
_
_
_
_
_
_
_
0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
_
_
_
_
_
_
_
_
_
; Q
=
_
_
_
_
_
_
_
_
_
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
D
+
0 0 0
_
_
_
_
_
_
_
_
_
. (V.27)
Operator tersebut membangkitkan spektrum tenaga positif, karena
_
Q
D
, Q
_
= H
D
(k
z
= 0, = +1)
=
_
_
_
_
_
_
_
_
_
D
+
0
0
D
+
D
_
_
_
_
_
_
_
_
_
. (V.28)
Kemudian, ditinjau superaljabar yang berhubungan dengan keadaan tenaga
negatif pada persamaan (V.26). Dalam subbab sebelumnya telah dikemukakan bah-
wa hamiltonan yang dihubungkan dengan superaljabar SUSYQM(2) harus memiliki
swanilai positif atau nol. Oleh karena itu, keadaan tenaga negatif tidak dihubungkan
dengan SUSYQM(2). Jika didenisikan
D
=
_
_
_
_
_
_
_
_
_
0 0 0 0
0 0
0
0 0 0 0
0 0 0 0
_
_
_
_
_
_
_
_
_
dan
Q
D
=
_
_
_
_
_
_
_
_
_
0 0 0 0
0 0 0 0
0
D
+
0 0
0 0 0 0
_
_
_
_
_
_
_
_
_
, (V.29)
67
kemudian diambil
_
D
,
Q
D
_
= H
D
(k
z
= 0, = 1)
=
_
_
_
_
_
_
_
_
_
0
D
+
D
D
+
0
_
_
_
_
_
_
_
_
_
(V.30)
kecuali untuk tanda minus di depan hamiltonan, superaljabar ini mematuhi hubungan
komutasi SUSYQM(2) pada persamaan (II.13)-(II.15). Hubungan superaljabar ini
dan SUSYQM(2) setara dengan hubungan antara aljabar kompak SO(3) dan aljabar
nonkompak SO(2,1).
Kemudian menurut
H
D
(k
z
= 0) =
_
Q
D
, Q
D
,
Q
D
_
, (V.31)
juga diperoleh bahwa
H
D
(k
z
= 0) =
_
Q
D
, Q
D
Q
D
,
Q
D
_
, (V.32)
dengan
Q
D
= UQ
D
U
1
,
Q
D
= U
Q
D
U
1
. (V.33)
Dapat dibangun aljabar yang berhubungan dengan spektrumtenaga positif dan
68
negatif dari persamaan (V.26). Sebagai contoh, didenisikan
X
D
=
_
_
_
_
_
_
0
0
0 0 0
0 0 0
_
_
_
_
_
_
dan X
=
_
_
_
_
_
_
0 0 0
D
+
0 0
0 0 0
_
_
_
_
_
_
, (V.34)
maka diperoleh
_
X
D
, X
_
= H
D
(k
z
= 0, = +1)
=
_
_
_
_
_
_
_
_
_
D
+
D
+
D
0
0
_
_
_
_
_
_
_
_
_
. (V.35)
Namun, aljabar ini bukan superaljabar karena X
D
dan X
D
(k
z
= 0, = +1). Lebih lanjut, X
D
dan X
2
(untuk memudahkan) dan bagian genap mengandung massa. Hal ini dapat disajikan
sebagai
H
bD
=
2Q + m.
Karena supermuatan bersifat ganjil, maka
Q, = 0,
sehingga
(H
bD
)
2
= 2 [Q]
2
+ m
2
= 2H
s
+ m
2
. (V.36)
Hasil tersebut berhubungan dengan perubahan wakilan dari teori Dirac melalui alih
ragam Foldy-Wouthuysen yang bersifat uniter, yaitu
H
FW
= UH
bD
U
1
=
_
2H
s
+ m
2
_
1/2
, (V.37)
sehingga berlaku kaitan
[H
FW
]
2
= [H
bD
]
2
.
Alih ragam Foldy-Wouthuysen tersebut diamati dalam bentuk:
U = e
iS
,
70
S = S
,
S =
i
2
QH
1
,
tan =
2
H
m
,
[, ] = 0,
H
bD
, S = 0, (V.38)
dengan H adalah genap dan didenisikan sebagai akar positif dari H
s
. Alih ragam
ini juga dapat ditulis sebagai
U =
E +
2Q + m
[2E(E + m)]
1/2
, E
_
2H
s
+ m
2
_
1/2
.
Jadi, alih ragam Foldy-Wouthuysen menghilangkan bagian ganjil dari hamiltonan
Dirac (yang diungkapkan dengan mudah dalambentuk supermuatan ganjil) dan meng-
hasilkan bagian genap dalam hubungannya dengan hamiltonan supersimetrik non-
relativistik.
71
Gambar V.1: (a) Skema tingkat tenaga elektron relativistik dalam medan magnet sera-
gam. Jika kemerosotan kontinu tidak diperhatikan, kedua keadaan tenaga positif dan
negatif merosot ganda kecuali untuk keadaan tak merosot yang berada di dekat nilai
E = 0. (b) Setelah dianggap bahwa elektron dengan tenaga negatif sebagai positron
dengan tenaga positif, keduanya, elektron dan positron, mempunyai tingkat tena-
ga yang sama. Ada lipat-empat (fourfold) kemerosotan yang terjadi, kecuali untuk
keadaan dasar yang mengalami kemerosotan ganda.
BAB VI
PENUTUP
1. Kesimpulan
Penelusuran konsep supersimetri dalam mekanika kuantum serta penerapan-
nya dalam masalah radial dan persamaan Dirac derajat pertama memberikan hasil
sebagai berikut :
1. Supersimetri adalah kesetangkupan yang melestarikan tenaga total dalam sis-
tem gabungan antara osilator bosonik dan fermionik, jika terjadi penurunan
satu bilangan kuantum bosonik dan satu bilangan kuantum fermionik secara
bersamaan. Aljabar supersimetri dalam mekanika kuantum memenuhi per-
samaan
Q
i
, Q
j
=
ij
H
s
[Q
i
, H
s
] = 0, i = 1, 2, ..., N.
2. SUSYQM dapat diterapkan pada masalah radial, minimal berdimensi tiga dan
telah dibahas pada masalah Coulomb dan osilator isotropik. Penyelesaiannya
lebih mudah jika menggunakan operator tangga yang disajikan dalam bentuk
Hamiltonannya yaitu
H
+
= H
l
E
0
l
H
= H
l+j
G,
dengan
E
Ni
l+j
= E
N
l
+ F G,
72
73
dan
G =
_
E
N
l
E
l
+ j
N
1
_
E
0
l
.
3. SUSYQM dapat dihubungkan dengan persamaan Dirac derajat pertama meng-
gunakan alih ragam Foldy Wouthuysen yang kesetaraannya disajikan dalam
bentuk
U =
E +
2Q + m
[2E(E + m)]
1/2
, E
_
2H
s
+ m
2
_
1/2
.
2. Saran
Kajian mekanika kuantum supersimetrik ini masih dibatasi pada dua masalah,
yaitu masalah radial dan persamaan Dirac orde pertama. Penerapan SUSYQM dalam
masalah mekanika kuantum lainnya perlu untuk digali dan dicari hubungannya se-
hingga menguatkan teori SUSYQM. Kajian supersimetri di luar sika kuantum, mi-
salnya pada sistem nonlinier, mekanika klasik, sika zat padat bahkan pada sistem
ketidakteraturan (chaotic systems), juga memungkinkan untuk mendukung teori su-
persimetri ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bagchi, B.K., 2000, Supersymmetry in Quantum and Classical Mechanics, Chapman
and Hall/CRC Press, New York
Beckers, J., and Debergh, N., 1990, Supersymmetry, Foldy-Wouthuysen Transforma-
tions, and Relativistic Oscillators, Phys.Rev. D 42, 1255-1259
Blockley, C.A., 1985, Simple Supersymmetry: 1. Basic Examples, European Journal
Physics 6, 218-224
Boas, M.L., 1996, Mathematical Methods in the Physical Sciences, edisi kedua, John
Wiley & Sons, Inc., New York
Constantinescu, F., and Magyari, E., 1978, Problems in Quantum Mechanics, Perga-
mon Press
Cooper, F., et. al., 1995, Supersymmetry and Quantum Mechanics, Physics Reports,
251, 267-385
Efetov, K., 1978, Supersymmetry in disorder and chaos, Cambridge University Press
Foldy, L.L. and Wouthuysen, S.A., 1949, On the Dirac Theory of Spin 1/2 Particles
and Its Non-Relativistic Limit, Phys.Rev. 78, 29-36
Grifths, D.J., 1994, Introduction to Quantum Mechanics, Prentice Hall, Inc., New
Jersey
Hughes, R.J., Kostelecky, V.A., and Nieto, M.M., 1986, Supersymmetry in a First
Order Dirac Equation For A Landau System, Physics Letters B 171, 226-230
Hughes, R.J., Kostelecky, V.A., and Nieto, M.M., 1986, Supersymmetric Quantum
Mechanics in a First Order Dirac Equation, Phys.Rev. D 34, 1100-1107
Khare, A., 2004, Supersymmetry in Quantum Mechanics, arXiv:math-ph/0409003 v1
1 September 2004
Mirlin, A., 1999, Statistics of energy levels and eigenfunctions in disordered and
chaotic systems: Supersymmetry approach, cond-mat/0006421
Muslim, 1997, Modul Program S1 Fisika: Pendahuluan Fisika Kuantum, Jurusan
Fisika FMIPA Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Rosyid, M.F., 2002, Diktat Mata Kuliah Matematika Untuk Fisika Teori I, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Fisika Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
74
75
Rosyid, M.F., 2005, Mekanika Kuantum, Laboratorium Fisika Atom dan Fisika Inti,
Jurusan Fisika Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Ryder, L.H., 1996, Quantum Field Theory, edisi kedua, Cambridge University Press,
Cambridge
Sutopo, 2003, Pengantar Fisika Kuantum, Jurusan Fisika FMIPA UM, Malang
Wess, J., and Zumino, B., 1974, A Lagrangian Model Invariant Under Supergauge
Transformations, Phys. Lett. B 49 (1974) 52
LAMPIRAN A
PEMBUKTIAN PERSAMAAN (II.13) - (II.15)
Berikut ini akan dijelaskan produk tensor antara dua operator.
Andaikan
1
dan
2
berturut-turut merupakan operator pada ruang H
1
dan
H
2
. Produk tensor antara
1
dan
2
adalah objek
2
yang berkelakuan
(
2
)( ) = (
1
) (
2
),
untuk setiap H
1
H
2
. Karena
1
berada di H
1
dan
2
berada di H
2
, maka
dengan sendirinya (
2
)( ) berada di H
1
H
2
. Jadi,
2
merupakan
operator pada H
1
H
2
.
Karena (
1
I
2
)( ) = (
1
) , maka operator
1
dapat diwakili
dalam ruang H
1
H
2
oleh operator
I
2
, dengan
I
2
adalah operator identitas pada
H
2
, sedangkan operator
2
dapat diwakili oleh operator
I
1
2
, dengan
I
1
adalah
operator identitas pada H
1
.
Selanjutnya sifat dari produk tensor tersebut akan diterapkan pada persamaan
(II.12) dengan a dan a
berupa
Q, Q
+ Q
Q
= (
b a
)(
a) + (
a)(
b a
)
= (b a
)(b
a) + (b
a)(b a
)
=
_
(bb
a a) + (b
b aa
=
__
1 + b
b
_
a a + b
b (1 a
a)
76
77
=
_
a ab
b a a + b
b b
b a
=
_
b
b + a
a
_
= H
s
. (A.1)
Hasil tersebut sesuai dengan persamaan (II.13).
Selanjutnya kaitan komutasi antara Q dan H
s
berupa
[Q, H
s
] = QH
s
H
s
Q
=
_
b a
_ _
_
b
b + a
a
__
_
b
b + a
a
__ _
b a
_
=
_
b a
_ _
_
b
b + a
a
__
_
b a
_ _
_
b
b + a
a
__
= 0. (A.2)
Hal yang sama untuk komutasi antara Q
dan H
s
yaitu
[Q
, H
s
] = Q
H
s
H
s
Q
=
_
b
a
_
(
_
b
b + a
a
_
) (
_
b
b + a
a
_
)(
a)
=
_
b
a
_
(
_
b
b + a
a
_
)
_
b
a
_ _
_
b
b + a
a
__
= 0. (A.3)
Kedua persamaan di atas sesuai dengan persamaan (II.14).
Sedangkan kaitan antikomutasinya adalah
Q, Q = QQ+ QQ,
= (bb a
) + (bb a
),
dari persamaan (II.6) diperoleh kaitan a
= a
, sehingga
= (bb a
) + (bb (a
)),
78
= (bb a
) (bb a
),
= 0, (A.4)
dan
Q
, Q
= Q
+ Q
,
= (b
aa) + (b
aa),
dari persamaan (II.6) diperoleh kaitan aa = aa, sehingga
= (b
aa) + (b
(aa)),
= (b
aa) (b
aa),
= 0, (A.5)
yang sesuai dengan persamaan (II.15).
LAMPIRAN B
PERSAMAAN SCHRDINGER DALAM POTENSIAL
SETANGKUP BOLA
Dalam koordinat Kartesan, persamaan Schrdinger di bawah pengaruh poten-
sial V (r) disajikan dalam bentuk
2
2m
2
D
(
r ) + V (r)(
r ) = E(
r ), (B.1)
dengan
r = (x
1
, x
2
, ..., x
D
), r = [
r [
2
D
=
x
i
x
i
.
Selanjutnya dilakukan alih ragam persamaan (B.1) ke koordinat kutub D di-
mensi, yang dihubungkan oleh koordinat Kartesan berupa
x
1
= r cos
1
sin
2
sin
3
...... sin
D1
x
2
= r sin
1
sin
2
sin
3
...... sin
D1
x
3
= r cos
2
sin
3
sin
4
...... sin
D1
x
4
= r cos
3
sin
4
sin
5
...... sin
D1
.
.
.
x
j
= r cos
j1
sin
j
sin
j+1
...... sin
D1
.
.
.
x
D1
= r cos
D1
sin
D1
x
D
= r cos
D1
, (B.2)
79
80
dengan
D = 3, 4, 5, ,
0 < r < , 0
1
< 2,
0
j
, j = 2, 3, ..., D 1.
Laplasian
2
D
dapat ditulis sebagai
2
D
=
1
h
D1
i=0
i
_
h
h
2
i
i
_
, (B.3)
dengan
0
= r, h =
D1
i=0
h
i
,
dan faktor skala h
i
diberikan oleh
h
2
i
=
D
k=1
_
x
k
i
_
2
, i = 0, 1, 2, ..., D 1.
Jika dijabarkan secara gamblang maka akan menjadi
h
2
0
=
_
x
1
0
_
2
+
_
x
2
0
_
2
+ ... +
_
x
D
0
_
2
= 1
h
2
1
=
_
x
1
1
_
2
+
_
x
2
1
_
2
= r
2
sin
2
2
sin
2
3
... sin
2
D1
h
2
2
=
_
x
1
2
_
2
+
_
x
2
2
_
2
+
_
x
3
2
_
2
= r
2
sin
2
3
sin
2
4
... sin
2
D1
.
.
.
h
2
j
= r
2
sin
2
j+1
sin
2
j+2
... sin
2
D1
.
.
.
h
2
D1
= r
2
. (B.4)
81
Kemudian h adalah
h = h
0
h
1
...h
D1
= r
D1
sin
2
sin
2
3
sin
3
4
... sin
D2
D1
. (B.5)
Dari persamaan (B.3), suku pertama
2
D
adalah
=
1
h
0
h
h
2
0
0
=
1
r
D1
sin
2
sin
2
3
... sin
D2
D1
r
r
D1
sin
2
... sin
D2
D1
r
=
1
r
D1
r
r
D1
r
. (B.6)
Sedangkan suku terakhir
2
D
adalah
=
1
h
D1
h
h
2
D1
D1
=
1
r
D1
sin
2
sin
2
3
... sin
D2
D1
D1
r
D1
sin
2
... sin
D2
D1
r
2
D1
=
1
r
2
sin
D2
D1
D1
sin
D2
D1
D1
. (B.7)
Suku
2
D
yang lain berbentuk
=
1
h
j
h
h
2
j
j
=
1
r
D1
sin
2
... sin
j1
j
sin
j
j+1
... sin
D2
D1
j
r
D1
sin
2
... sin
j1
j
... sin
D2
D1
r
2
sin
2
j+1
... sin
2
D1
j
=
1
r
2
sin
2
j+1
... sin
2
D1
_
1
sin
j1
j
sin
j1
j
_
. (B.8)
Dengan menggunakan persamaan (B.6)-(B.8), diperoleh wakilan persamaan (B.3)
82
yang berupa
2
D
=
1
r
D1
r
r
D1
r
+
1
r
2
D2
j=1
1
sin
2
j+1
... sin
2
D1
_
1
sin
j1
j
sin
j1
j
_
+
1
r
2
_
1
sin
D2
D1
D1
sin
D2
D1
D1
_
, (B.9)
sehingga Laplasian
2
D
mematuhi hubungan
2
D
=
1
r
D1
r
r
D1
r
L
2
D1
r
2
, (B.10)
dengan
L
2
n
=
i,j
L
i,j
L
i,j
,
i = 1, 2, , j 1, j = 2, , D,
dan bagian momentum sudut L
ij
didenisikan sebagai tensor setangkup yang berupa
L
ij
= L
ji
= x
i
p
j
x
j
p
i
,
i = 1, 2, ..., j 1, j = 2, ..., D.
Untuk membuktikan persamaan (B.10), pertama kali yang perlu diingat adalah p
k
dapat diungkapkan sebagai
p
k
= i
x
k
= i
D1
r=0
_
r
x
k
_
r
= i
D1
r=0
_
1
h
2
r
x
k
r
_
r
, (B.11)
83
dengan menggunakan hubungan
D1
l=0
x
l
x
i
x
l
r
=
ir
h
2
i
,
D1
l=0
i
x
k
x
l
i
=
kl
. (B.12)
Kemudian, hubungan komutasi menjadi (penjelasan lebih lengkap dapat dili-
hat pada LAMPIRAN C)
[L
ij
, L
kl
] = i
jl
L
ik
+ i
ik
L
jl
i
jk
L
il
i
il
L
jk
. (B.13)
Lebih lanjut, jika diatur
L
2
k
=
i,j
L
ij
L
ij
,
i = 1, 2, ..., j 1; j = 2, 3, ..., k + 1.
maka diperoleh (lihat LAMPIRAN C)
L
2
1
=
2
2
1
L
2
2
=
_
1
sin
2
2
sin
2
L
2
1
sin
2
2
_
.
.
.
L
2
k
=
_
1
sin
k1
k
sin
k1
L
2
k1
sin
2
k
_
.
.
.
L
2
D1
=
_
1
sin
D2
D1
D1
sin
D2
D1
D1
L
2
D2
sin
2
D1
_
. (B.14)
84
Kemudian dari persamaan (B.9) diperoleh
2
D
=
1
r
D1
r
r
D1
r
L
2
D1
r
2
. (B.15)
Dari persamaan (B.14) jelas bahwa karena
1
,
2
, ,
D1
saling bebas, operator
L
2
1
, L
2
2
, , L
2
D1
saling rukun (commute). Oleh karena itu, operator-operator tersebut
memiliki swafungsi yang sama, yaitu Y (
1
,
2
, ,
D1
) yang memenuhi persamaan
L
2
k
Y (
1
,
2
, ,
D1
) =
k
Y (
1
,
2
, ,
D1
), (B.16)
dengan
k
adalah swanilai dari L
2
k
. Karena fungsi potensial tidak bergantung pada t,
Y (
1
,
2
, ,
D1
) dapat diungkapkan sebagai
Y (
1
,
2
, ,
D1
) =
D1
k1
k
(
k
). (B.17)
Kemudian dari persamaaan (B.16) diperoleh
Y
1
(
1
)
L
2
1
1
(
1
) =
1
Y,
dengan L
2
1
hanya bergantung pada
1
. Hal ini juga dapat ditulis
L
2
1
1
(
1
) =
1
1
(
1
).
Hal yang sama juga berlaku untuk L
2
2
Y =
2
Y sehingga diperoleh
L
2
2
1
(
1
)
2
(
2
) =
2
1
(
1
)
2
(
2
),
dengan L
2
2
hanya bergantung pada
1
dan
2
.
85
Selanjutnya, dengan menggunakan bentuk eksplisit L
2
2
maka didapatkan
_
L
2
1
sin
2
1
sin
2
2
_
sin
2
2
__
1
(
1
)
2
(
2
) =
2
1
(
1
)
2
(
2
)
atau
2
(
2
)
sin
2
2
L
2
1
1
(
1
)
1
(
1
)
sin
2
2
sin
2
2
(
2
) =
2
1
(
1
)
2
(
2
)
atau
2
(
2
)
sin
2
1
(
1
)
1
(
1
)
sin
2
2
sin
2
2
(
2
) =
2
1
(
1
)
2
(
2
)
atau
2
(
2
)
sin
2
2
2
2
(
2
) cot
2
2
(
2
) =
2
2
(
2
)
sehingga
_
2
2
2
+ cot
2
1
sin
2
2
_
2
(
2
) =
2
2
(
2
). (B.18)
Dianggap
_
2
2
k
+ (k 1) cot
k
k1
sin
2
k
_
k
(
k
) =
k
k
(
k
). (B.19)
Ditinjau kembali persamaan swanilai
L
2
k+1
Y =
k+1
Y,
yang diperluas menjadi
_
1
sin
k
k+1
k+1
sin
k
k+1
k+1
L
2
k
sin
2
k+1
_
Y =
k+1
Y,
86
hal tersebut dapat juga dinyatakan sebagai
k+1
(
k+1
)
1
sin
k
k+1
k+1
sin
k
k+1
k+1
k+1
(
k+1
) +
k
Y
sin
2
k+1
=
k+1
Y
atau
_
2
2
k+1
+ k cot
k+1
k+1
k
sin
2
k+1
_
k+1
(
k+1
) =
k+1
k+1
(
k+1
).
Penjabaran di atas menunjukkan bahwa jika persaman (B.19) berlaku untuk k, maka
persamaan ini juga berlaku untuk k + 1. Telah ditunjukkan pula pada persamaan
(B.18) bahwa hal ini digunakan pada kasus k = 2. Oleh karena itu, dengan prinsip
induksi persamaan (B.19) berlaku untuk k = 2, 3, , D 1.
Selanjutnya ditinjau persamaan
L
2
k
(
k1
) =
_
2
2
k
+ (k 1) cot
k
k1
sin
2
k
_
.
Kemudian diperoleh
L
2
1
1
(
1
) =
1
1
(
1
),
L
2
k
(
k1
)
k
(
k
) =
k
k
(
k
), k = 2, 3, , D 1. (B.20)
Swanilai
k
untuk k = 2 adalah
1
= l
2
1
,
2
= l
2
(l
2
+ 1),
dengan
l
2
= 0, 1, 2, ,
87
l
1
= l
2
, l
2
+ 1, , l
2
1, l
2
.
Kemudian diperoleh
k1
= l
k1
(l
k1
+ k 2),
dengan l
k1
adalah bilangan bulat. Dengan mengatur
L
+
k
(l
k1
) =
k
l
k1
cot
k
,
L
k
(l
k1
) =
k
(l
k1
+ k 2) cot
k
,
maka hal ini mengikuti induksi
k
= l
k
(l
k
+ k 1).
Akhirnya, dari persamaan (B.17) dan (B.20)
L
2
D1
Y
l
D1
,l
D2
,...,l
2
,l
1
(
1
,
2
, ,
D1
)
= l
D1
(l
D1+D2
) Y
l
D1
,l
D2
,...,l
2
,l
1
(
1
,
2
, ,
D1
) , (B.21)
dengan Y
l
D1
,l
D2
,...,l
2
,l
1
adalah bentuk umum harmonik bola dan
l
D1
= 0, 1, 2, ,
l
D2
= 0, 1, 2, , l
D1
,
.
.
.
l
1
= l
2
, l
2
+ 1, , l
2
1, l
2
. (B.22)
88
Dimasukkan ke persamaan (B.1)
(r) = R(r)Y
l
D1
,l
D2
,...,l
1
(
1
,
2
, ,
D1
)
dan menggunakan persamaan (B.15) dan (B.21), diamati bahwa bagian radial dari
persamaan Schrdinger berupa
2
2m
_
d
2
dr
2
+
D 1
r
d
dr
+
l(l + D 2)
r
2
_
R(r) + V (r)R(r) = ER(r).
Untuk menghilangkan derivatif pertama, dilakukan substitusi yaitu
R(r) = r
(1N)/2
u(r),
sehingga persamaannya menjadi
2
2m
_
d
2
u
dr
2
+
l
r
2
u(r)
_
+ V (r)u(r) = Eu(r),
dengan
l
=
1
4
(D 1)(D 3) + l(l + D 2).
LAMPIRAN C
PEMBUKTIAN PERSAMAAN (B.13) DAN (B.14)
Ditinjau suatu komponen momentum sudut yang didenisikan sebagai berikut
L
ij
= L
ji
= x
i
p
j
x
j
p
i
, i = 1, 2, , j 1, j = 2, , D. (C.1)
Hal tersebut dapat juga ditulis dalam bentuk
L
2
k
=
i,j
L
ij
L
ij
, i = 1, 2, , j 1, j = 2, 3, , k + 1.
Dalam lampiran ini, pertama akan dibuktikan kaitan komutasi momentum
sudut yaitu persamaan (B.13) ( = 1) yang berupa
[L
ij
, L
kl
] = i
jl
L
ik
+ i
ik
L
jl
i
jk
L
il
i
il
L
jk
. (C.2)
Ditinjau suatu kaitan komutasi menurut
[x
i
, p
j
] = i
ij
dan
[x
i
, x
j
] = 0 = [p
i
, p
j
] ,
sehingga ruas kanan persamaan (C.2) menjadi
= (x
j
p
l
p
l
x
j
) (x
i
p
k
x
k
p
i
) + (x
i
p
k
p
k
x
i
) (x
j
p
l
x
l
p
j
)
(x
j
p
k
p
k
x
j
) (x
i
p
l
x
l
p
i
) (x
i
p
l
p
l
x
i
) (x
j
p
k
x
k
p
j
)
= x
j
p
l
x
i
p
k
p
l
x
j
x
i
p
k
x
j
p
l
x
k
p
i
+ p
l
x
j
x
k
p
i
+ x
i
p
k
x
j
p
l
89
90
p
k
x
i
x
j
p
l
x
i
p
k
x
l
p
j
+ p
k
x
i
x
l
p
j
x
j
p
k
x
i
p
l
+ p
k
x
j
x
i
p
l
+x
j
p
k
x
l
p
i
p
k
x
j
x
l
p
i
x
i
p
l
x
j
p
k
+ p
l
x
i
x
j
p
k
+ x
i
p
l
x
k
p
j
p
l
x
i
x
k
p
j
= x
j
p
l
(p
k
x
i
+ i
ik
) + x
i
p
k
(p
l
x
j
+ i
jl
) x
j
p
k
(p
l
x
i
+ i
il
)
x
i
p
l
(p
k
x
j
+ i
jk
) x
j
p
l
(p
i
x
k
+ i
ik
) x
i
p
k
(p
j
x
l
+ i
jl
)
+x
j
p
k
(p
i
x
l
+ i
il
) + x
i
p
l
(p
j
x
k
+ i
jk
) + p
l
x
k
(x
j
p
i
p
j
x
i
) + p
k
x
l
(x
i
p
j
x
j
p
i
)
= x
j
p
i
(p
l
x
k
+ p
k
x
l
) x
i
p
j
(p
l
x
k
+ p
k
x
l
) + (p
k
x
l
p
l
x
k
) L
ij
[menggunakan denisi persamaan (C.1)]
= (x
j
p
i
x
i
p
j
) (p
k
x
l
p
l
x
k
) + (p
k
x
l
p
l
x
k
) L
ij
= L
ji
(x
l
p
k
x
k
p
l
) + (x
l
p
k
x
k
p
l
) L
ij
= L
ij
L
kl
L
kl
L
ij
= [ruas kiri persamaan (C.2)]. (C.3)
Selanjutnya diberikan hubungan menurut
L
2
i
f = L
2
12
f
= L
12
L
12
f
= (x
1
p
2
x
2
p
1
) (x
1
p
2
x
2
p
1
) f
=
_
x
1
x
2
x
2
x
1
__
x
1
x
2
x
2
x
1
_
f (C.4)
untuk fungsi perubahan f sehingga
_
x
1
x
2
x
2
x
1
_
f =
D1
j=0
1
h
2
j
_
x
1
x
2
j
x
2
x
1
j
_
f
j
=
D1
j=0
x
2
1
h
2
j
_
j
_
x
2
x
1
__
f
j
91
=
D1
j=0
x
2
1
h
2
j
j
(tan
1
)
f
j
=
x
2
1
h
2
1
sec
2
1
f
1
=
r
2
cos
2
1
sin
2
2
sin
2
D1
r
2
sin
2
2
sin
2
D1
sec
2
1
f
1
=
f
1
. (C.5)
Kemudian
L
2
1
=
2
2
1
dan
L
2
2
=
j=2,3
j1
i=1
L
ij
L
ij
= L
2
1
+ L
13
L
13
+ L
23
L
23
, (C.6)
dengan
L
2
13
f = (x
1
p
3
x
3
p
1
)
2
f =
_
x
1
x
3
x
3
x
1
_
2
f, (C.7)
L
2
23
f = (x
2
p
3
x
3
p
2
)
2
f =
_
x
2
x
3
x
3
x
2
_
2
f. (C.8)
Ditinjau
_
x
2
x
3
x
3
x
2
_
f =
D1
j=0
1
h
2
j
_
x
2
x
3
j
x
3
x
2
j
_
f
j
=
D1
j=0
1
h
2
j
x
2
2
j
_
x
3
x
2
_
f
j
=
D1
j=0
x
2
2
h
2
j
j
(cot
2
csc
1
)
f
j
=
x
2
2
h
2
1
1
(cot
2
csc
1
)
f
1
+
x
2
2
h
2
2
2
(cot
2
csc
1
)
f
2
=
r
2
sin
2
1
sin
2
2
sin
2
D1
r
2
sin
2
2
sin
2
D1
cot
2
csc
1
cot
1
f
1
92
r
2
sin
2
1
sin
2
D1
r
2
sin
2
3
sin
2
D1
csc
2
2
csc
1
f
2
= cos
1
cot
2
f
1
sin
1
f
2
. (C.9)
Lalu
_
x
2
x
3
x
3
x
2
_
2
f =
_
cos
1
cot
2
1
+ sin
1
2
_
_
cos
1
cot
2
f
1
+ sin
1
f
2
_
= sin
1
cos
1
cot
2
2
f
1
+ cos
2
1
cot
2
2
f
2
1
+cos
2
1
cot
2
f
2
+ sin
1
cos
1
cot
2
2
f
2
sin
1
cos
1
csc
2
2
f
1
+sin
1
cos
1
cot
2
2
f
2
+ sin
2
2
f
2
2
. (C.10)
Selanjutnya
(x
1
p
3
x
3
p
1
) =
D1
j=0
x
2
1
h
2
j
j
_
x
3
x
1
_
f
j
=
x
2
1
h
2
1
f
1
cot
2
sec
1
tan
1
+
x
2
1
h
2
2
f
2
_
csc
2
2
_
sec
1
=
r
2
cos
2
1
sin
2
2
sin
2
D1
r
2
sin
2
2
sin
2
D1
cot
2
sec
1
tan
1
f
r
2
cos
2
1
sin
2
2
sin
2
3
sin
2
D1
r
2
sin
2
3
sin
2
D1
csc
2
2
sec
1
f
2
= sin
1
cot
2
f
1
cos
1
f
2
(x
1
p
3
x
3
p
1
)
2
f =
_
sin
1
cot
2
1
cos
1
2
_
_
sin
1
cot
2
1
cos
1
2
_
f
93
= sin
1
cos
1
cot
2
2
f
1
+ sin
2
1
cot
2
2
f
2
1
+sin
1
cos
1
csc
2
2
f
1
cos
1
sin
1
cot
2
2
f
2
+sin
2
1
cot
2
f
2
sin
1
cos
1
cot
2
2
f
2
+cos
2
2
f
2
2
. (C.11)
Dengan menambahkan persamaan (C.10) dan (C.11) maka diperoleh
L
2
13
f + L
2
23
f =
_
cot
2
2
f
2
1
+ cot
2
f
2
+
2
f
2
2
_
,
dan digunakan juga persamaan (C.7) dan (C.8). Kemudian dari persamaan (C.6) di-
hasilkan
L
2
2
f =
_
2
f
2
1
+ cot
2
2
f
2
1
+ cot
2
f
2
+
2
f
2
2
_
=
_
csc
2
2
f
2
1
+ cot
2
f
2
+
2
f
2
2
_
=
_
1
sin
2
2
f
2
1
+
1
sin
2
_
cos
2
f
2
+ sin
2
2
f
2
2
__
=
_
1
sin
2
2
f
2
1
+
1
sin
2
2
_
sin
2
f
2
__
=
_
L
2
1
f
sin
2
2
+
1
sin
2
2
_
sin
2
f
2
__
. (C.12)
Secara umum dinyatakan
L
2
k
=
_
1
sin
k1
k
sin
k1
L
2
k1
sin
2
k
_
.