You are on page 1of 16

Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani adalah organisasi wanita yang aktif di Indonesia pada tahun 1950-an dan

1960-an. Kelompok ini memiliki hubungan yang kuat dengan Partai Komunis Indonesia, namun sebenarnya merupakan organisasi independen yang memperhatikan masalah-masalah sosialisme dan feminisme. Gerwani dianggap oleh Orde Baru sebagai salah satu organisasi yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September, dan dalam film Pengkhianatan G 30 S/PKI karya Arifin C Noer digambarkan menyiksa jendral-jendral yang ditangkap sebelum mereka dibunuh di Lubang Buaya. Selain itu juga digambarkan adegan-adegan di mana anggota-anggota Gerwani menari telanjang, memotong alat kelamin tawanan mereka dan melakukan perbuatan amoral lainnya. Sebagian besar ahli sejarah sepakat bahwa tuduhan-tuduhan ini palsu. Setelah Soeharto menjadi presiden, Gerwani dilarang keberadaannya dan banyak anggotanya diperkosa dan dibunuh, seperti halnya banyak orang lain yang dicurigai sebagai anggota PKI

SEPINTAS Gerakan Wanita Indonesia Dalam Perkembangan Sejarah


Oleh Rusiyati

A.

Periode

1945

1965

Dengan proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, perjuangan rakyat Indonesia mencapai zaman baru sama sekali, zaman Republik Indonesia, hasil perjuangan rakyat selama tiga abad lebih dalam membebaskan diri dari penjajahan Belanda dan Jepang. Berbeda dengan pada zaman kolonial memerinci perjuangan wanita dalam berbagai periodisasi, pada zaman baru Republik Indonesia saya tidak lagi menguraikan secara rinci mengenai gerakan wanita diperiode-periode perjuangan wanita melalui Perjuangan Kemerdekaan (1945 ? 1949), Demokrasi Liberal (1950 ? 1959) dan Demokrasi Terpimpin (1960 ? 1965). Karena pada umumnya para Ibu dan Saudarasaudara yang hadir disini telah mengalami sendiri bahkan aktif ikut serta memperjuangkan menegakkan serta mempertahankan Republik kita. Justru saya mengharapkan pertemuan seperti ini dilanjutkan, dimana kita bisa saling belajar dari pengalaman-pengalaman berharga para hadirin yang pasti akan sangat memperkaya pengalaman dan pelajaran bagi perjuangan kita selanjutnya. Dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno - Hatta, tidaklah berarti bahwa kita sudah mencapai tujuan kemerdekaan

rakyat Indonesia, tetapi baru merupakan jembatan emas untuk menuju kebebasan dan kemakmuran rakyat, seperti selalu didengungkan oleh pejuang kemerdekaan Sukarno. Dan kalau melihat situasi tanahair kita pada dewasa ini, tujuan rakyat masih sangat jauh dari jangkauannya. Begitu kemerdekaan tanahair diproklamasikan, mulailah bentrokan-bentrokan senjata terjadi dengan fihak tentara pendudukan Jepang, yang diperintah untuk mempertahankan "status quo" sampai waktu mereka menyerahkan kekuasaan pada Sekutu, jadi berarti bahwa nasib bangsa Indonesia masih berada ditangan penjajah Jepang untuk kemudian dioperkan lagi kepada penguasa/penjajah yang baru. Tpi rakyat Indonesia sudah bertekad bulat membebaskan diri dari kekuasaan asing. Dan dilihat dari semboyan-semboyan pada waktu itu a.l. "Sekali merdeka, tetap merdeka", "lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup dijajah", Merdeka atau mati". Tanpa komando, tetapi berdasarkan kesadaran dan keyakinan, seluruh rakyat bergolak mempertahankan kemerdekaan tanahairnya. Demikianlah maka terjadi benturan dengan tentara Jepang dimana ?mana, melucuti tentara yang sudah turun moril (Karena Jepang sudah menyerah balik kepada sekutu), dan dengan demikian pejuang kemerdekaan memikul senjata untuk mempertahankan kemerdekaan tanah airnya. Tanggal 29 September 1945 Tentara Serikat (Inggris) mendarat di Jakarta, dipimpin Jendral Chris Tisonn. Namun tanggal 1 oktober 1945 Markas Besar Tentara Jepang di Surabaya sudah menyerah kepada Tentara Rakyat Indonesia setelah bertempur antara tentara Jepang dan rakyat. Dengan demikian, pada tanggal 15 oktober 1945 tentara Inggris (dengan Ghurkanya) yang diboncengi tentara Belanda mendarat di Jakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Medan dan tempat-tempat lain. Mereka diperintahkan oleh tentara Sekutu, yang menang Perang Dunia II (1938-1945), untuk menerima penyerahan dari Jepang. Panglima tentara Inggris mengumumkan bahwa mereka mewakili Sekutu untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan, tidak akan mencampuri soal politik. Tentara Belanda yang berkedok sebagai tentara Inggris melakukan penembakanpenembakan dan pembunuhan terhadap rakyat Indonesia. Tawanan bekas KNIL (Koninklijke Nederlands-Indische Leger) dipergunakan kembali oleh Belanda untuk melakukan terornya menghadapi menaklukan rakyat Indonesia. Pertempuran paling dahsyat terjadi di Surabaya pada tanggal 10 November 1945, ketika para pemuda beserta seluruh rakyat Surabaya menolak ultimatum Jendral Mansergh dari tentara Sekutu untuk menyerahkan semua senjata. Awal pecahnya pertempuran ini sekarang dikenal sebagai Hari Pahlawan. Rakyat bertempur pantang menyerah secara sangat heroik melawan tentara Sekuku yang baru keluar sebagai pemenang dari Perang Dunia II. Pada waktu yang bersamaan, 10 November 1945, pemuda-pemuda melangsungkan kongres pertamanya di Jogja menyatakan semangat menyala-nyala akan ikut bertempur di Surabaya selesai kongres, sementara sebagian delegasi Surabaya kembali ke daerahnya. Pemerintah Indonesia selalu mengusahakan taktik diplomasi dan pertempuran silih berganti. Dalam persetujuan Linggarjati Belanda mengak ui kekuasaan de fakto Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatra.

Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda mengadakan Aksi Polisionil ke-I (istilah Belanda) dan pada 19 Desember 1948 melakukan agresinya ke-II dengan menyerbu Ibukota Republik di Jogya. Sekedar lukisan suasana untuk menggambarkan perjuangan para wanita pada waktu permulaan Zaman Kemerdekaan. Revolusi Agustus 1945 mendobrak ikatan-ikatan adat dan tradisi yang sebelumnya menghambat gerak maju wanita. Penderitaan dan penghinaan selama penjajahan sudah cukup berat, dan kini, sewaktu revolusi urusanurusan yang tidak pokok tidak dihiraukan lagi. Seluruh rakyat merasa terpanggil untuk ikut berjuang membela dan mempertahankan kemerdekaan. Organisasi-organisasi wanita pada umumnya di waktu itu mengutamakan usaha-usaha perjuangan, baik di garis belakang dengan mengadakan dapur umum dan pos-pos Palang Merah, maupun di garis depan dengan nama suatu badan perjuangan ma upun tergabung dengan organisasi-organisasi lain. Timbul laskar-laskar wanita; tugas-tugas mereka sangat luas: di garis depan, di medan pertempuran, melakukan kegiatan intel, jadi kurir, menyediakan dan mengirimkan makanan ke garis depan, membawa kaum pengungsi, memberi penerangan dll. Dalam kesibukan revolusi fisik maupun dalam bidang sosial politik, pergerakan wanita berbenah diri untuk menggalang persatuan yang kuat. Kongres pertama diadakan di Klaten pada bulan Desember 1945, dengan maksud menggalang persatuan dan membentuk badan persatuan. Persatuan Wanita Indonesia (perwani) dan Wanita Negara Indonesia (Wani) dilebur menjadi badan fusi dengan nama Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Pada bulan Februari 1946 di Solo, lahirlah Badan Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). Pada bulan juni 1946 diselenggarakan Kongres Wanita Indonesia di Madiun, yang merupakan Kongres Wanita Indonesia ke -V. Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah untuk menembus blokade ekonomi dan politik, Kongres memutuskan antara lain mulai mengadakan hubungan dengan luarnegeri. Maka dari itu Kongres Wanita Indonesia menjadi anggauta WIDF (Women's International Democratic Federation). Dijiwai oleh tekad untuk ikut serta dalam pembangunan jaringan kerjasama Internasional, mendukung pergerakan wanita selanjutnya menyusun program-program kerja, yang tidak hanya meliputi bidang pembelaan negara, tetapi juga bidang-bidang sosial, politik, pendidikan, dan lain-lain sesuai dengan derap perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Republik pada waktu itu. Secara umum arah perkembangan gerakan wanita sampai tahun 1950 telah mencakup paling tidak hal-hal berikut: 1. pertama, sebagai kelanjutan dari kecenderungan pada masa sebelumnya, wawasan dan lingkup perhatian organisasi wanita telah meluas tidak hanya pada masalah dan isue wanita saja, te tapi juga ke bidang-bidang lain seperti politik dan pemerintahan. 2. Kedua,muncullah jenis organisasi wanita yang semakin beragam. Selain organisasiorganisasi yang sudah ada sebelumnya seperti organisasi yang berafiliasi pada partai politik dan organisasi yang berazaskan agama, muncul pula organisasi khusus pada kelompok sosial tertentu seperti dikalangan istri Angkatan Bersenjata, dan organisasi

profesi. Selain itu, azas demokrasi yang dipercaya sebagai dasar negara yang baru merdeka juga telah mendorong kaum wanita untuk membentuk partai politik agar kepentinngan kaum wanita juga terwakili dan tersalur. 3. Ketiga, ruang gerak organisasi wanita juga semakin meluas, tidak hanya lokal dan nasional tetapi juga internasional, dengan bergabungnya organisasi-organisasi dalam Kowani dengan WIDF. 4. Keempat,sebagai akibat orientasi gerakan yang diambil, kegiatan organisasiorganisasi wanita juga beragam. Yang terakhir ini paling tidak dapat dipisahkan menjadi dua kelompok besar, pertama organisasi-organisasi yang mendasarkan kegiatannya pada kesejahteraan (welfare) yaitu masalah pendidikan, sosial ekonomi, kewanitaan dan kegiatan karitatif; dan kedua organisasi yang berkonsentrasi pada masalah-masalah politik. Kelompok yang disebut pertama jumlahnya lebih besar dari yang kedua, dan mencakup diantaranya organisasi-organisasi yang tergabung dalam Kowani, organisasi-organisasi yang berazaskan agama, organisasi khusus dan organisasi profesi. Sedangkan yang termasuk kategori kedua yaitu berfokus pada kegiatan politik tidak lebih dari tiga organisasi saja. Di sini terlihat bahwa ciri domestik dan karitatif memang sejak awal telah melekat pada organisasi wanita dan tetap bertahan sebagai ciri utama yang membedakannya dari organisasi massa umum yang didominasi lakilaki. Sesudah tahun 1950 masalah-masalah politik makin banyak minta perhatia n. Bermacam persoalan yang berkaitan dengan masalah penyusunan kekuatan partaipartai politik. Perhatian masyarakat mulai disita oleh persiapan penyelenggaraan pemilihan umum pertama yang akan diadakan pada tahun 1955. Makin banyak kegiatan kaum wanita yang ditujukan kepada masalah-masalah politik, mengingat usaha masing-masing aliran politik untuk tampil sebagai pemenang dalam pemilihan umum. Tapi tidak dilupakan juga, masalah rutine sebelumnya seperti memperjuangkan peraturan perkawinan yang tidak merugikan kaum wanita. Organisasi-organisasi yang berafiliasi pada partai politik sibuk membantu partai induknya mempersiapkan diri menghadapi pemilu. Kegiatan politik para wanita anggauta organisasi-organisasi bagian wanita partaipartai politik mendorong kaumnya kearah kesadaran politik. Tetapi difihak lain masih perlu dipertanyakan sampai dimana kegiatan-kegiatan mereka dalam menangani masalah- masalah yang sifatnya kewanitaan dan karitati f saja diorganisasinya itu. Jadi perkembangan yang terjadi yalah semakin banyaknya organisasi wanita seprofesi seperti Ikatan Bidan Indonesia (1951), Ikatan Guru Taman kanak-kanak (1951), Perhimpunan Wanita Universitas Indonesia (1957) yang namanya kemudian berobah menjadi Ikatan Sarjana Wanita indonesia dsb. Selain itu, mulai muncul pula organisasi dari para isteri, yang suaminya tergabung dalam organisasi profesi, seperti Persatuan istri insinyur Indonesia (1951), Ikatan istri dokter Indonesia (1954), Ikatan istri wartawan Indonesia (1957 dsb. Juga dilingkungan jawatan-jawatan dan departemen pemerintah misalnya: Ikatan Wanita Kereta, IKW, Ikatan Istri Kementrian Penerangan dan beberapa lagi. Organisasi semacam ini lebih bersifat kekeluargaan dan sosial, dibentuk dengan fungsi penunjang profesi dan organisasi profesi suami. Karena itu kegiatan yang dilakukan

lebih bersifat perpanjangan peran domestik para isteri te rsebut seperti misalnya menangani urusan konsumsi bagi rapat dan kegiatan kantor suami piknik keluarga, kursus ketrampilan rumahtangga dan kegiatan2 serupa. Selain itu, organisasi semacam ini juga memainkan fungsi kontrol sosial terutama bagi gerak dan tingkah laku sosial para suami. Sampai tahun 1965 dapat dikatakan bahwa lingkup perhatian dan wawasan kaum wanita cukup luas dan mendunia, disamping merupakan cerminan dari aliran politik ditingkat nasional.

GERAKAN WANITA INDONESIA


A. LATAR BELAKANG

Keragaman ideologi yang berkembang pada masa Nasionalisme Indonesia, menyebabkan terbentuknya berbagai Organisasi Pergerakan Nasional Indonesia. Salah satunya yaitu Gerakan Wanita Indonesia. 1. Pelopor Perempuan pada Masa Kolonial

Bertambah banyaknya jumlah pelajar dari kaum pribumi pada lembaga pendidikan atau sekolah Barat, khususnya dari kalangan priyayi, menandakan peradaban Barat yang lengkap dengan sistem politik, sosial, ekonomi dan kebudayaannya mulai dikenal. Tingkat kemajuan pendidikan Barat sangat besar artinya dalam kehidupan kaum terpelajar bangsa Indonesia. Hal ini menyebabkan munculnya aspirasi-aspirasi untuk mengadakan modernisasi menurut model Barat pada umumnya dan Belanda pada khususnya.

Kalangan terpelajar bangsa Indonesia semakin terbuka melihat adanya perbedaan yang amat mendasar antara bangsa Eropa dan Indonesia seperti dalam tingkat dan gaya hidup kalangan pribumi dengan kalangan orang Belanda dan bangsa Eropa, serta kehidupan bangsa Indonesia yang masih terbelakang dan kuno ataupun kolotnya kehidupan tradisional Indonesia. Hal ini membawa perubahan pandangan pada kalangan terpelajar bahwa tradisi mulai dipandang bukan lagi sebagai suatu yang wajar yang harus dijunjung tinggi, melainkan sebagai hambatan terhadap suatu kemajuan yang ingin dicapai.

Pada masa itu, tatanan adat dan tradisi masih cukup kuat membelenggu kehidupan di segala bidang bangsa Indonesia. Kalangan terpelajar yang dapat mengenyam pendidikan terbatas pada kaum laki-laki, sementara kaum perempuan belum seluruhnya dapat menikmati pendidikan. Kenyataan ini membuat dominasi kaum laki-laki atas perempuan begitu kuat dan mengikat. Kaum perempuan hanya ditempatkan sebagai pendamping suami yang hanya bertugas menyiapkan kebutuhan rumah tangganya.

Atas keprihatinan terhadap kondisi kaum perempuan Indonesia, beberapa perempuan mencoba untuk mempelopori kebebasan dan kesetaraan kedudukan dengan kaum laki-laki, terutama dalam bidang pendidikan. Langkah ini dikenal dengan nama gerakan emansipasi wanita. Sang penyuara gerakan emansipasi ini adalah Raden Ajeng Kartini seorang putri Bupati Jepara, melalui tulisan-tulisannya dalam bentuk surat yang dilayangkan kepada sahabat karibnya bernama Nyonya Abendanon. Kumpulan surat-surat Kartini tiu kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judulHabis Gelap Terbitlah Terang pada tahun 1911. Dalam bukunya, diungkapkan

bagaimana sikap atau pandangan orang tua terhadap putra-putrinya, ketaatan dan kepatuhan kepada adat, termasuk kaida-kaidah tata susila, sopan santun serta tata cara yang mengatur segala macam hubungan sosial.

Pada masa peralihan abad ke-19 dan ke-20 kaum Aristokrat memiliki kesempatan mengadakan kontak dan pergaulan dengan masyarakat Eropa melalui lembaga Pendidikan. Jumlah putra-putri kaum pribumi yang bersekolah pada lembaga pendidikan Eropa semakin besar. Hal ini sangat wajar berdasarkan lokasi sosialnya, bangsawan pribumi menjadi pelopor modernisasi masyarakat Indonesia. Tidak mengherankan pula dari kalangan itu muncul prakasarsa untuk mendirikan sekolah bagi kaum wanita yang diasuh oleh para warga ningrat itu sendiri.

Kaum wanita selain mendapat pelajaran untuk mengasah kecerdasan dan ketrampilannya juga untuk membangun sopan santun dan kesusilaan. Karena wanita mendapat pendidikan pada lingkungan sekolah dan lingkungan keluarganya, maka sudah sewajarnya wanita mendapat panggilan suci dalam pendidikan. Jadi kunci kemajuan kaum wanita Indonesia adalah kombinasi antara pendidikan barat dengan timur. 2. Awal Mula Munculnya Organisasi Wanita Indonesia Pada mulanya pergerakan wanita masih merupakan usaha dari beberapa orang perempuan dan belum dibentuk dalam suatu perkumpulan.

Perkumpulan wanita yang didirikan sebelum tahun 1920 pada dasarnya masih terbatas sifat dan tujuannya, yaitu menuju perbaikan kecakapan sebagai ibu rumah tangga. Cara mencapainya adalah dengan jalan menambah pengajaran, memperbaiki pendidikan, dan mempertinggi kecakapan khusus untuk wanita. Tujuan yang bersifat sosial kemasyarakatan kebangsaan belum dikemukakan. Perkumpulan wanita yang didirikan sebelum tahun 1920 antara lain Putri Mardika yang didirikan atas bantuan Budi Utomo di Jakarta(1912).

Perkumpulan ini bertujuan untuk memajukan pengajaran terhadap anak-anak perempuan dengan memberikan penerangan dan bantuan dana, mempertinggi sikap yang merdeka dan tegak serta melenyapkan tindakan malu-malu yang melampaui batas. Perkumpulan Kautamaan Istri didirikan pada tahun 1913 di Tasikmalaya, lalu pada tahun 1916 di Sumedang, 1916 di Cianjur, 1917 di Ciamis dan tahun 1918 di Cicurug. Pengajar yang terkemuka dari perkumpulan Kautamaan Istri di tanh pasundan adalah Raden Dewi Sartika. Sekolah Kartini juga didiriakan di Jakarta pada tahun 1913, lalu berturut-turut di Madiun tahun 1917, di Indramayu, Surabaya, dan Rembang tahun 1918. Perkumpulan Kaum Ibu didirikan untuk memajukan kecakapan kaum

wanita yang bersifat khusus seperti memasak, menjahit, merenda, memelihara anak-anak dan sebagainya. Di Yogyakarta pada tahun 1912 didirikan perkumpulan wanita yang bersifat agama Islam dengan nama Sopa Tresna yang kemudian pada tahun 1914 menjadi bagian wanita dari Muhamadiyah dengan namaAisyah. Di Minangkabau berdiri perkumpulanKeutam aan Istri Minangkabaudan Kerajinan Amal Setia yang berusaha memajukan persekolahan bagi anak-anak perempuan.

rohana kuddus

gerwani

ra.kartini

cut nyak dien

Partai Nasional Indonesia (PNI) Algemene Studie Club di Bandung yang didirikan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1925 telah mendorong para pemimpin lainnya untuk mendirikan partai politik, yakni Partai Nasional Indonesia ( PNI). PNI didirikan di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927 oleh 8 pemimpin, yakni dr. Cipto Mangunkusumo, Ir.Anwari, Mr. Sartono, Mr. Iskak, Mr. Sunaryo, Mr. Budiarto, Dr. Samsi, dan Ir. Soekarno sebagai ketuanya. Kebanyakan dari mereka adalah mantan anggota Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda yang baru kembali ke tanah air. Keradikalan PNI telah tampak sejak awal berdirinya. Hal ini terlihat dari anggaran dasarnya bahwa tujuan PNI adalah Indonesia merdeka dengan strategi perjuangannya nonkooperasi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka PNI berasaskan pada self help, yakni prinsip menolong diri sendiri, artinya memperbaiki keadaan politik, ekonomi, dan sosial budaya yang telah rusak oleh penjajah dengan kekuatan sendiri; nonkooperatif, yakni tidak mengadakan kerja sama dengan pemerintah Belanda; Marhaenisme, yakni mengentaskan massa dari kemiskinan dan kesengsaraan. Untuk mencapai tujuan tersebut, PNI telah menetapkan program kerja sebagaimana dijelaskan dalam kongresnya yang pertama di Surabaya pada tahun 1928, seperti berikut. 1) Usaha politik, yakni memperkuat rasa kebangsaan (nasionalisme) dan kesadaran atas persatuan bangsa Indonesia, memajukan pengetahuan sejarah kebangsaan, mempererat kerja sama dengan bangsa-bangsa Asia, dan menumpas segala rintangan bagi kemerdekaan diri dan kehidupan politik. 2) Usaha ekonomi, yakni memajukan perdagangan pribumi, kerajinan, serta mendirikan bank-bank dan koperasi. 3) Usaha sosial, yaitu memajukan pengajaran yang bersifat nasional, meningkatkan derajat kaum wanita, memerangi pengangguran, memajukan transmigrasi, memajukan kesehatan rakyat, antara lain dengan mendirikan poliklinik.

Untuk menyebarluaskan gagasannya, PNI melakukan propagandapropaganda, baik lewat surat kabar, seperti Banteng Priangan di Bandung dan Persatuan Indonesia di Batavia, maupun lewat para pemimpin khususnya Ir. Soekarno sendiri. Dalam waktu singkat, PNI telah berkembang pesat sehingga menimbulkan kekhaw-tiran di pihak pemerintah Belanda. Pemerintah kemudian memberikan peringatan kepada pemimpin PNI agar menahan diri dalam ucapan, propaganda, dan tindakannya. Dengan munculnya isu bahwa PNI pada awal tahun 1930 akan mengadakan pemberontakan maka pada tanggal 29 Desember 1929, pemerintah Hindia Belanda mengadakan penggeledahan secara besarbesaran dan menangkap empat pemimpinnya, yaitu Ir. Soerkarno, Maskun, Gatot Mangunprojo dan Supriadinata. Mereka kemudian diajukan ke pengadilan di Bandung. Dalam sidang pengadilan, Ir. Soerkarno mengadakan pembelaan dalam judul Indonesia Menggugat. Atas dasar tindakan melanggar Pasal "karet" 153 bis dan Pasal 169 KUHP, para pemimopin PNI dianggap mengganggu ketertiban umum dan menentang kekuasaan Belanda sehingga dijatuhi hukuman penjara di Penjara Sukamiskin Bandung. Sementara itu, pimpinan PNI untuk sementara dipegang oleh Mr. Sartono dan dengan pertimbangan demi keselamatan maka pada tahun 1931 oleh pengurus besarnya PNI dibubarkan. Hal ini menimbulkan pro- dan kontra. Mereka yang pro-pembubaran, mendirikan partai baru dengan nama Partai Indonesia (Partindo) di bawah pimpinan Mr. Sartono. Kelompok yang kontra, ingin tetap melestarikan nama PNI dengan mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) di bawah pimpinan Drs. Moh. Hatta dan Sutan Syahrir. Gerakan Wanita Munculnya gerakan wanita di Indonesia, khusunya di Jawa dirintis oleh R.A. Kartini yang kemudian dikenal sebagai pelopor pergerakan wanita Indonesia. R.A. Kartini bercita-cita untuk mengangkat derajat kaum wanita Indonesia melalui pendidikan. Cita-citanya tersebut tertulis dalam surat-suratnya yang kemudian berhasil dihimpun dalam sebuah buku yang diterjemahkan dalam judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Cita-cita R.A. Kartini ini mempunyai persamaan dengan Raden Dewi Sartika yang derjuang di Bandung. Semasa Pergerakan Nasional maka muncul gerakan wanita yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial budaya. Organisasi-organisasi yang ada, antara lain sebagai berikut. 1) Putri Mardika di Batavia (1912) dengan tujuan membantu keuangan bagi wanita-wanita yang akan melanjutkan sekolahnya. Tokohnya, antara lain R.A. Saburudin, R.K. Rukmini, dan R.A. Sutinah Joyopranata.

2) Kartinifounds, yang didirikan oleh suami istri T.Ch. van Deventer (1912) dengan membentuk sekolah-sekolah Kartinibagi kaum wanita, seperti di Semarang, Batavia, Malang, dan Madiun. 3) Kerajinan Amal Setia, di Gadang Sumatra Barat oleh Rohana Kudus (1914). Tujuannya meningkatkan derajat kaum wanita dengan cara memberi pelajaran membaca, menulis, berhitung, mengatur rumah tangga, membuat kerajinan, dan cara pemasarannya. 4) Aisyiah, merupakan organisasi wanita Muhammadiyah yang didirikan oleh Ny. Hj. Siti Walidah Ahmad Dahlan (1917). Tujuannya untuk memajukan pendidikan dan keagamaan kaum wanita. 5) Organisasi Kewanitaan lain yang berdiri cukup banyak, misalnya Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanito Susilo di Pemalang (1918), Wanito Rukun Santoso di Malang, Budi Wanito di Solo, Putri Budi Sejati di Surabaya (1919), Wanito Mulyo di Yogyakarta (1920), Wanito Utomo dan Wanito Katolik di Yogyakarta (1921), dan Wanito Taman Siswa (1922). Organisasi wanita juga muncul di Sulawesi Selatan dengan nama Gorontalosche Mohammadaanche Vrouwenvereeniging. Di Ambon dikenal dengan nama Ina Tani yang lebih condong ke politik. Sejalan dengan berdirinya organisasi wanita, muncul juga surat kabar wanita yang bertujuan untuk menyebarluaskan gagasan dan pengetahuan kewanitaan. Surat kabar milik organisasi wanita, antara lain Putri Hindia di Bandung, Wanito Sworo di Brebes, Sunting Melayu di Bukittinggi, Esteri Utomo di Semarang, Suara Perempuan di Padang, Perempunan Bergolak di Medan, dan Putri Mardika di Batavia. Puncak gerakan wanita, yaitu dengan diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 2225 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres menghasilkan bentuk perhimpunan wanita berskala nasional dan berwawasan kebangsaan, yakni Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Dalam Kongres Wanita II di Batavia pada tanggal 2831 Desember 1929 PPI diubah menjadi Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia (PPII). Kongres Wanita I merupakan awal dari bangkitnya kesadaran nasional di kalangan wanita Indonesia sehingga tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai hari Ibu. Lebih lanjut tentang: Sejarah organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Gerakan Wanita

Periode Kebangkitan Kesadaran Nasional (1911 1928) Masa kebangkitan dan kesadaran nasional ditandai dengan munculnya organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta, organisasi pertama diantara bangsa Indonesia yang dibentuk secara modern. Dengan bentuk modern diartikan bahwa organisasi mempunyai pengurus tetap, anggauta, tujuan, rencana pekerjaan dan seterusnya berdasarkan peraturanperaturan yang dimuat di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi. Pengurus Budi Utomo terdiri dari para Priyayi dan dalam waktu singkat organisasi tersebut megalami kemajuan pesat. Pada akhir tahun 1909 Budi Utomo telah mempunyai 40 cabang dengan lebih

kurang 10.000 anggauta. Kemudian berdiri partai-partai politik yang tidak terbatas pada daerah berkebudayaan Jawa saja seperti Budi Utomo, akan tetapi yang beraliran Indisch Nasionalisme radikal, beraliran nasionalisme demokratis dengan dasar agama dan beraliran marxisme. Pada pokoknya keinginan rakyat untuk berjuang melawan penghisapan ketika itu tersedia wadahnya melalui organisasi. Dan meskipun untuk mendirikan suatu organisasi harus minta izin dahulu kepada pemerintah, toh organisasi-organisasi yang tumbuh semakin radikal saja. Adalah pada tempatnya, kalau disini kita sedikit menyinggung adanya perlawanan atau oleh pemerintah kekuasaan Kolonial NederlandsIndi dinamakan sebagai pemberontakan PKl pada tahun 1926, karena yang dituduhkan sebagai pemberontakan adalah melawan penjajahan kekuasaan kolonial Belanda. Pada waktu itu perlawanan terhadap rejim Kolonialisme merupakan pemberontakan besar terakhir sebelum Nederlands lndie bertekuk lutut kepada Balatentara Jepang. Perlawanan PKl terjadi pada bulan-bulan terakhir tahun 1926, dua tahun sebelum para pemuda menggalang persatuan nasional dengan pernyataan sumpahnya berjuang untuk perjuangan Satu bahasa, satu bangsa dan satu tanahair: lndonesia. Pada sekitar tahun 1926 itu baru muncul fase pemikiran awal untuk menghimpun kaum nasionalis, Islamis dan marxis supaya menjadi satu kekuatan dahsyat untuk menundukkan penjajah, seperti ditulis oleh Sukarno di "Suluh lndonesia Muda" pada tahun 1926. Adapun bentuk persatuan kekuatan-kekuatan nasional baru dapat diusahakan dua tahun kemudian. Karenanya hanyalah PKl yang pada tahun 1926 memulai melakukan perlawanan fisik pada 12-14 November di Jakarta, Jatinegara dan Tangerang, 12 November - 5 Desember di karesidenan Banten, 12-18 November di daerah Kediri. Dibeberapa tempat rencana itu sudah diketahui lebih dahulu oleh P.l.D. (Politiek Inlichtingen Dienst) dinas rahasia pemerintah kolonial. Pada zaman kolonial Belanda penyebutan pemberontakan selalu diartikan sebagai ancaman oleh pemerintah Nederlandsindi karena bertujuan untuk kemerdekaan dari kekuasaan penjajah. Dengan begitu perlawanan kaum Nasionalis ketika itu yang dianggap radikal ditindas dengan kejam oleh pemerintah kolonial Belanda. Yang ikut serta maupun yang tidak ikut serta dikalangan kaum merah semuanya di hukum penjara/ pengasingan. sebab menurut anggapan kolonial Belanda: usaha merebut kembali hak rakyat atas tanah airnya sendiri, merupakan kejahatan. Yang tidak ikut melakukan perlawanan, sekitar 4.500 orang diasingkan ke Boven Digul. Mereka dihukum penjara, sebagian lagi juga diasingkan ke Boven Digul, tetapi di tempat yang sangat tidak sehat, di tengah hutan dan rawa, di pinggir sungai Digul di lrian Selatan. Diantara para interniran di Boven Digul itu terdapat 15 orang wanita, diantaranya Sukeisih. Kemudian organisasi-organisasi PKl, Serikat Rakyat (S.R.) dan semua golongan bawahannya dilarang oleh pemerintah kolonial. Hubungan diantara mereka dilakukan oleh propagandis-propagandis yang berjalan keliling.

A. Gerakan Wanita dan Kebangkitan Nasionalisme: Dalam masa pertama dari pergerakan Indonesia pada periode Budi Utomo, gerakan wanita baru berjuang untuk kedudukan sosial saja. Soal-soal politik belum dalam jangkauannya. Mengenai kemerdekaan tanah-air masih terlalu jauh dari penglihatan dan pemikirannya. Kesibukankesibukan pada Periode Perintis dibidang pendidikan, pengajaran, kerumahtanggaan masih berlanjut. Dalam pada itu pengaruh warisan cita-cita Kartini untuk emansipasi wanita berkumandang menembus batas-batas kamar pingitannya, dan perhatian kaumnya pada periode kebangkitan dan kesadaran nasional ini mulai juga untuk meningkatkan perjuangan wanita. Pada tahun 1912 muncul organisasi wanita yang pertama di Jakarta "Putri Mardika" atas bantuan Budi Utomo. Perkumpulan "Kartini Fonds" yang bertujuan mendirikan sekolah-sikolah Kartini berdiri diberbagai tempat di Jawa, Keutamaan Istri didirikan dibanyak tempat di Jawa Barat, bahkan di kota Padang Panjang, "Kerajinan Amai Setia" di kota Gedang, "PIKAT" (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) berdiri pada tahun 1917 di Manado. Kesemuanya, baik organisasiorganisasi bagian Wanita dari organisasi partai umum, maupun organisasi-organisasi lokal kesukuan/kedaerahan bertujuan menggalakkan pendidikan dan pengajaran bagi wanita, dan perbaikan kedudukan sosial dalam perkawinan dan keluarga serta meningkatkan kecakapan sebagai ibu dan pemegang rumahtangga. Gerak kemajuan pada tahun-tahun sebelum 1920 dapat dikatakan lamban. Sebab-sebabnya ialah sangat kurangnya sekolah-sekolah untuk wanita pribumi, lagi pula kadang-kadang juga tiadanya izin dari Orang tuanya (dikalangan atas) atau diperlukan tenaganya untuk membantu orang-tua (dikalangan bawah). Disamping itu adat dan tradisi sangat menghambat kemajuan wanita. Sesudah tahun 1920 jumlah organisasi wanita bertambah banyak. Kesediaan wanita untuk terlibat dalam kegiatan organisasi makin meningkat dan kecakapan berorganisasipun bertambah maju. Hal ini disebabkan karena kesempatan belajar makin meluas lagipula berkembang ke lapisan bawah. Dengan demikian jumlah wanita yang mampu beraksi juga bertambah luas dan tidak lagi terbatas kepada lapisan atas saja. Oleh sebab semuanya itu, maka sesudah tahun 1920 kita dapat melihat jumlah perkumpulan wanita bertambah banyak sekali, sedang P.K.I., S.I., Muhammadiyah dan Sarekat Ambon mempunyai bagian wanita. Bagian Wanita tadi dalam penyebaran cita-cita tentu saja mempertinggi hal- hal yang khusus mengenai kewanitaan. Kongres P.K.I. di Jakarta tanggal 7-10 Juni 1924 menyediakan satu hari penuh untuk merundingkan masalah gerakan wanita komunis. Pada hari itu para wanita membicarakan kewajiban kaum wanita dalam perjuangan menentang penjajah dan kaum pemodal. Bagian Wanita S.I. adalah Wanudiyo utomo, kemudian Sarekat Perempuan Islam Indonesia(S.P.I.I.). Dalam Kongres Sarekat Islam (S.I.) pada bulan April 1929 di Surabaya, S.P.I.I. bertentangan dengan Persatuan Puteri Indonesia mengenai poligami. Bagian Wanita Muhammadiyah adalah Aisiyah, yang juga tidak mencampuri persoalan politik seperti ibu perkumpulannya Muhammadiyah. Mengenai masalah poligami, Aisiyah sependirian dengan

bagian Wanita S.I. Mereka juga menentang keras adat Barat (pakaian, tata rambut, cara hidup, kesenangan dan sebagainya) karena dianggapnya bertentangan dengan adat Islam. Wanita Perti sebagai bagian dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) didirikan pada tahun 1928. Bagian Wanita Sarekat Ambon, Ina Tuni membantu aksi Sarekat Ambon dikalangan militer Ambon. Bagian Wanta ini berhaluan politik seperti Sarekat Ambon juga. Jenis perhimpunan Wanita lainnya ialah organisasi-organisasi pemudi terpelajar, seperti Puteri Indonesia (disamping Pemuda Indonesia) , Jong Islamieten Bond Dames Afdeling (J.I.B.D.A.) disamping J.I.B.D.A., Jong Java Meisjeskring, Organisasi Taman Siswa. Kemajuan gerakan Wanita sesudah tahun 1920, terlihat juga dengan makin banyaknya perkumpulan-perkumpulan Wanita kecil-kecil yang berdiri sendiri. Hampir di semua tempat yang agak penting ada pekumpulan wanita. Seperti pada masa sebelum 1920, perkumpulanperkumpulan itu mempunyai tujuan yang sama, ialah untuk belajar masalah kepandaian putri yang khusus. Menjelang tahun 1928, organisasi wanita berkembang lebih pesat. Sikap yang dinyatakan oleh organisasi-organisasi wanita pada waktu itu, umumnya lebih tegas, berani dan terbuka. Perkembangan kearah politik makin tampak, terutama yang menjadi bagian dari S.I.(SarekatIslam), P.K.I.(Partai Komunis Indonesia), P.N.I.(partai Nasional Indonesia) dan PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia). Gerakan Wanita Indonesia fase ini sudah lebih matang untuk menyetujui anjuran dan panggilan kebangsaan, faham Indonesia bersatu yang dihidup-hidupkan antara lain oleh Perhimpunan Indonesia dan P.N.I. Maka berlangsunglah Kongres Perempuan Indonesia yang pertama di Jogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928, puncak kegiatan yang terjadi pada periode ini, dua bulan setelah Kongres Pemuda yang menelurkan ikrar Sumpah Pemuda. Kongres ini merupakan lembaran sejarah baru bagi gerakan wanita Indonesia, dimana organisasi wanita menggalang kerjasama untuk kemajuan wanita khususnya dan masyarakat pada umumnya. Ciri utama kesatuan pergerakan wanita Indonesia pada masa ini ialah berazazkan kebangsaan dan menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan Indonesia. Pokok-pokok permasalahan yang dibicarakan diantara nya ialah kedudukan wanita dalam perkawinan, poligami dan ko-edukasi. Masalah politik nasional melawan penjajahan tidak menjadi pokok bahasan dan Kongres berpendirian berhaluan koperasi terhadap pemerintah NederlandsIndi. Kongres menghasilkan keputusan dibentuknya badan permufakatan organisasi-organisasi wanita dengan nama Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (P.P.P.I.) dan bertujuan untuk memberi penerangan dan menjadi forum komunikasi antar organisasi wanita. Kongres menghasilkan tiga buah mosi yang ditujukan kepada pemerintah Nederlands Indie, yaitu: 1. Menambah sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan 2. Pada waktu nikah supaya pemberian keterangan mengenai taklik (janji dan syarat-syarat perceraian)

3. Supaya diadakan peraturan untuk memberi sokongan kepada janda-janda dan anak-anak piatu pegawai pemerintah. Mengenai Hari Kebangkitan Perempuan pada 22 Desember ini, ingin saya mengutip pendapat Wardah Hafid dan Tati Krisnawaty (NGO) dalam laporan studi buku mereka mengenai "Perempuan dan Pembangunan", tahun 1989 halaman 54 sebagai berikut: "Tanggal pembukaan Kongres ini, 22 Desember 1928, pada kongres ke tiga ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Perempuan dan pada tahun 1959 oleh pemerintah ditetapkan sebagai hari besar nasional (SK Presiden RI No. 316/1959). Namun, dalam perkembangannya tanggal ini akhirnya lebih lazim dikenal sebagai Hari Ibu yang pengertiannya cenderung diasosiasikan dengan "Mother' s Day" di negara- negara Barat yang jelas berbeda dengan arti peristiwa pada tanggal tersebut, yang memang merupakan pertanda kebangkitan kaum perempuan Indonesia untuk bersatu dan memperjuangkan nasib kaum dan bangsanya. Disini yang terjadi adalah distorsi sejarah yang kemungkinan besar mencerminkan berubahnya pandangan dan aspirasi tentang gerakan perempuan, tapi sangat bisa jadi juga karena dengan sengaja dilakukan untuk kepentingan-kepentingan, yang sifatnya politis terutama setelah peristiwa 30 September 1965 yang selain membabat pengaruh PKI (Partai Komunis Indonesia) juga Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), gerakan perempuan yang merakyat dan banyak menyuarakan serta berorientasi kepada kepentingan perempuan kelas bawah pada masa itu. Selain itu, berkaitan dengan usaha penjinakan kaum perempuan, besar kemungkinan nama hari ini dengan sengaja diganti dan dikacaukan pengertiannya menjadi hari untuk pengabdian ibu. Dengan demikian nilai-nilai mengabdi dan berkorban bagi ibu akan lebih mudah di tanamkan. Demikianlah pendapat Wardah Hafidz dan Tati Krisnawaty mengenai Hari Kebangkitan Perempuan tanggal 22 Desember dalm hubungannya dengan memperingatinya sekarang ini di tanahair kita, untuk mengakhiri uraian mengenai Periode Kebangkitan dan Kesadaran Nasional. B. Gerakan Wanita dan Media massa: Gerakan Wanita Indonesia sejak semula menyadari pentingnya media-massa bagi perjuangannya. Alat media massa seperti surat khabar dan majalah berfungsi untuk menyebarkan gagasan kemajuan wanita dan sebagai sarana praktis pendidikan dan pengajaran. Tulisan dan karangan ditulis dalam bahasa Melayu, bahasa Belanda, bahasa Sunda atau bahasa Jawa. Sebagian besar pengarang dan yang membantu penerbitan majalah Gerakan Wanita pada periode itu adalah guru-guru wanita yang berpendidikan Barat. Guru wanita ketika itu merupakan kaum elite di bidang kebudayaan. Majalah pertama "Putri Hindia" terbit pada tahun 1909 di Bandung, dalam dua kali sebulan oleh golongan atas seperti R.A. Tjokroadikusumo. Hingga tahun 1925 sudah di terbitkan sebelas macam media-massa (koran,majalah) yang tersebar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Misalnya Sunting Melayu diterbitkan di Padang pada 10 Juli 1912. Surat kabar yang terbit tiga kali seminggu itu merupakan pusat kegiatan pemudi, putri maupun wanita yang telah bersuami, berisi masalah-masalah politik, anjuran kebangkitan wanita Indonesia dan cara menyatakan

fikiran para penulisnya dalam bentuk prosa dan puisi. Sampai tahun 1920 pemimpin redaksinya yalah Hohana Kudus. Di pacitan, kota kecil di pantai Samudera Indonesia di daerah Madiun, terbit pada tahun 1913 surat kabar bernama Wanito Sworo dipimpin oleh Siti Sundari dengan huruf dan bahasa Jawa, tetapi kemudian sebagian berbahasa Melayu. Pada tahun 1914 di Jakarta terbit Putri Mardika sebagai majalah bulanan. Artikel-artikel ditulis dalam bahasa Belanda, Melayu dan Jawa. "Putri Mardika" berhaluan maju. Masalah permaduan, pendidikan campuran laki-laki dan wanita, kelonggaran bergerak bagi kaum wanita, kesempatan pendidikan dan pengajaran dan lain-lain merupakan bahan perdebatan. Pada tahun 1918 di Bandung diterbitkan edisi Sunda dengan nama Penuntun Istri. Di Semarang terbit "Istri Utomo. Dan di Padang "Suara Perempuan dengan redaksi seorang guru wanita bernama Sada. Perempuan Bergerakditerbitkan di Medan dengan pimpinan redaksi Satiaman Parada Harahap yang pada tahun 1920 diperkuat oleh Rahana. Di Menado terbit majalah bulanan "Pikat. Sementara itu Aisyiah mengeluarkan "Suara Aisyiah " pada tahun 1925. Di Bandung "Istri Mardika"diterbitkan dalam bahasa Sunda. Demikian perintis pers wanita kita. Read more: http://www.sonacore.co.cc/2009/11/gerakan-wanita-indonesi.html#ixzz1ED5JgzJz

You might also like