You are on page 1of 13

HAK PENGELOLAAN (HPL) ATAS TANAH SEBAGAI KEBIJAKAN OTORITAS NEGARA BARU DALAM PENGELOLAAN PERTANAHAN Oleh: Munsyarief

1. Latar Belakang Hak Pengelolaan tidak disebutkan secara eksplisit di dalam pasal UUPA, namun di dalam Pasal 2 ayat (4) intinya menyatakan bahwa Negara dapat memberikan tanah yang dikuasainya kepada suatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugas masing-masing. Selanjutnya dalam penjelasan umum dinyatakan bahwa kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh, dengan berpedoman pada tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3). Di dalam Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 menetapkan beberapa macam status hak atas tanah, antara lain: Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai dan seterusnya. Artinya, apakah Hak Pengelolaan (HPL) itu sendiri tidak termasuk di dalam status hak atas tanah? Ketentuan tentang HPL itu sendiri pertama kali muncul pada tahun 1965, yakni berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan Kebijaksanaan selanjutnya. Dalam Pasal 1 antara lain dikatakan bahwa hak penguasaan atas tanah negara yang diberikan kepada departemen-departemen, direktorat-direktorat dan daerah swatantra sebelum berlakunya peraturan ini, jika tanah-tanah tersebut dipergunakan untuk kepentingan instansi dikonversi menjadi Hak Pakai. Pasal 2 antara lain menyatakan jika tanah negara selain dipergunakan untuk kepentingan instansi itu sendiri, juga diberikan kepada pihak ke III, dikonversi menjadi Hak Pengelolaan. Dalam Pasal 6, dikatakan bahwa Hak Pengelolaan memberikan wewenang kepada penggunanya antara lain: menyerahkan bagian-bagian dari tanah kepada pihak ke III dengan Hak Pakai dalam jangka waktu 6 tahun Luasnya maksimal 1.000 m2 Menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan. Kemudian diterbitkan pula Peraturan Mengeri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan. Di dalam Pasal 3 dikatakan Hak Pengelolaan yang diberikan kepada perusahaan mempunyai wewenang selain untuk menggunakan tanah tersebut bagi keperluan usahanya, maka dapat juga menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ke III menurut persyaratan yang ditentukan oleh pemegang HPL (hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak atas Tanah). Setelah itu dilanjutkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak atas Tanah HPL serta pendaftarannya. Kemudian dalam PP Nomor 40 Tahun 1996, Pasal 1 dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 yang di dalam Pasal 1 menyatakan antara lain bahwa Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Berdasarkan kebijakan-kebijakan yang diterbitkan tersebut maka dalam perkembangannya pemberian Hak Pengelolaan yang pada awalnya diberikan kepada instansi pemerintah juga

diberikan kepada Pemerintah Daerah dan Badan-badan Usaha Milik Negara/Daerah, serta penerima HPL juga mempunyai kewenangan untuk memberikan sebagian dari HPL yang dikelolanya untuk dimanfaatkan oleh pihak ketiga. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemanfaatan HPL/kegiatan instansi penerima HPL, juga untuk pemanfaatan kegiatan lain yang bersifat komersial, yakni seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa pemberian bagian-bagian tanah hak pengelolan (pada Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 Hak Penguasaan) hanya sebagian kecil dari hak tersebut yang tidak/belum dimanfaatkan untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya. Oleh sebab itu, ganti rugi atau uang wajib tahunan yang dipersyaratkan atas bagian-bagian tanah yang diserhakan kepada pihak ketiga bukan merupakan tujuan pokok dari pemegang Hak Pengelolaan (HPL). Dengan berkembangnya obyek pemegang Hak Pengelolaan (HPL), maka tujuan utama dari pemegang Hak Pengelolaan tersebut saat ini adalah bagaimana memaksimalkan uang pemasukan yang berasal dari penyerahan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga. Hal tersebut dilakukan baik dalam upaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) jika pemegang Hak Pengelolaan merupakan Pemerintah Daerah maupun meningkatkan keuntungan dari BUMN, BUMD atau perusahaan lainnya sebagian pemegang Hak Pengelolaan. Tanah-tanah HPL tersebut harus pula didaftarkan di Kantor Pendaftaran Tanah. Hal ini merujuk kepada Permen Agraria No. 9 Tahun 1965. Kemudian, bagian-bagian HPL yang diserahkan kepada pihak III harus pula didaftarkan. Hal ini berdasarkan Permendagri No. 1 Tahun 1997 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak atas Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan dan Pendaftarannya. Pendaftaran HPL tersebut diperkuat pula oleh Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 9 ayat (1) b bahwa tanah HPL harus didaftarkan. Memandang hal-hal tersebut di atas, bagaimana dengan pengelolaan tanah-tanah HPL tersebut yang dilaksanakan oleh pemegang HPL dan bagaimana BPN menyikapi tentang pengelolaan dan pemanfaatan tanah HPL? Sehubungan dengan itu, diperlukan penelitian mengenai pengelolaan dan pemanfaatan HPL dan peran Badan Pertanahan Nasional dalam mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan tanah HPL sesuai dengan tujuan pemberiannya. 2. Perumusan Masalah Penelitian Pengelolaan dan pemanfaatan HPL dewasa ini telah berkembang sedemikian rupa yang tidak sesuai dengan kebijakan pemberian HPL, sehingga menimbulkan berbagai masalah yang perlu dikendalikan. Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan mengenai HPL, yaitu: a. b. c. d. Bagaimana perkembangan kebijakan HPL? Bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan HPL oleh pemegang HPL? Bagaimana pengelolaan data HPL oleh BPN? Bagaimana peran instansi pertanahan dalam mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan tanah HPL ?

3. Tujuan Penelitian a. b. c. d. e. Menganalisa perkembangan kebijakan HPL; Menginventarisasi dan menganalisa pengelolaan dan pemanfaatan HPL oleh pemegang HPL; Menganalisa masalah-masalah yang ditimbulkan dalam pengelolaan dan pemanfaatan HPL; Mengidentifikasi dan menganalisa pengelolaan data HPL oleh BPN; Menganalisa peran instansi pertanahan dalam mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan tanah HPL.

4. Ruang Lingkup Penelitian Lingkup Materi Penelitian a. Pengelolaan dan pemanfaatan HPL oleh pemegang HPL, setelah HPL didaftarkan oleh pemegang HPL yang difokuskan pada : 1) Pengelolaan dan pemanfaatan HPL oleh pemegang HPL; 2) Inventarisasi permasalahan HPL; a. Pengelolaan Data HPL oleh Kantor Wilayah BPN Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota difokuskan pada : 1) Inventarisasi sebaran data HPL yang sudah terdaftar di Kantor Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota; 2) Pengelolaan data HPL di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota; b. Peranan BPN dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dalam kaitannya dengan pengelolaan dan pemanfaatan HPL. 5. Metode Penelitian Metode penelitian bersifat deskriptif analitis. Penelitian dilakukan di 5 (lima) provinsi yakni Provinsi Sulawesi Selatan, Pulau Batam, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jawa Timur. 6. Hasil Penelitian Menyimpulkan sebagai berikut : a. Kebijakan HPL 1) Perkembangan HPL HPL pada mulanya berasal dari hak penguasaan menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 (sebelum UUPA) maupun setelah lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria dengan Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965 sebagai peraturan pelaksanaannya. HPL tersebut diberikan kepada pemerintah kota, kabupaten maupun instansi pemerintah lainnya dalam rangka menyediakan tanah untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya dengan status hak yang kedudukan hukumnya sama dengan hak yang ada secara formal dalam UUPA. Adanya kewenangan untuk menyerahkan bagian tanah yang belum digunakan kepada pihak ketiga dengan uang pemasukan/ganti rugi atau uang wajib tahunan hanya bersifat jangka pendek agar tanah yang belum digunakan tersebut tidak terlantar dan dimanfaatkan secara optimal dan dengan luasan tanah yang terbatas bagi pihak ketiga. Dalam perkembangannya, HPL lebih dominan memperlihatkan unsur komersialisme dari penguasaan tanah daripada penggunaan untuk kepentingan pelaksanaan tugas instansi yang menguasai dan memiliki HPL. Kondisi seperti ini mulai terlihat sejak Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 tentang Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan Suatu Hak atas Tanah Negara, pada Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 dinyatakan bahwa kepada perusahaan yang berbentuk badan hukum dimungkinkan pemberian HPL dan memiliki kewenangan : a) b) merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan; menggunakan tanah tersebut untuk keperluan usahanya;

c)

menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan kewenangannya.

Kemudian ditindaklanjuti Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian hak atas Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya yang antara lain pada Pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa HPL berisi wewenang untuk : a) merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan; b) menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan usahanya; c) menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pemegang hak yang pada awalnya adalah instansi pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dan kalaupun ada bagian-bagian yang diserahkan kepada pihak ketiga dalam ukuran yang kecil (maksimal 1.000 m2) dan jangka pendek (6 tahun) maka dengan keluarnya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977, fungsi HPL tersebut telah berubah dari fungsi pelayanan kepada publik menjadi fungsi komersial yang dilakukan oleh perusahaan berbadan hukum yang modalnya berasal dari pemerintah baik pembangunan perumahan, kawasan industri dan kegiatan perusahaan lainnya, baik yang diselenggarakan dengan maupun tanpa penanaman modal. Ketentuan ini membuka peluang kepada pemerintah daerah maupun pusat untuk menciptakan HPL yang baru dalam skala luas di atas tanah negara maupun melalui pembebasan tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh rakyat dengan ganti rugi. Pemegang HPL secara bebas dapat menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan suatu hak maupun mengatur segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya. Pada Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977 pemegang HPL bahkan dapat menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan suatu perjanjian terhadap tanah-tanah yang belum dibangun oleh pihak ketiga. Kondisi ini menciptakan perusahaan yang sekedar berfungsi sebagai penyedia tanah untuk mendapatkan keuntungan dari sewa maupun penjualan tanah kepada pihak ketiga. Muncul pula tanah-tanah terlantar pada tanah di atas HPL yang di atasnya telah dilekati dengan HGB. Persyaratan penyerahan bagian tanah HPL dengan suatu surat perjanjian dengan pihak ketiga baik yang disertai maupun tidak disertai dengan pendirian bangunan, mengenai jangka waktu dan luasan yang tidak terbatas, jumlah uang pemasukan dan syarat-syarat pembangunannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977 yang memberi peluang kepada perusahaan pemegang HPL sebagai perantara tanah (calo tanah). Ketidakjelasan bentuk perjanjian antara pemegang HPL dan pihak ketiga terutama berkaitan dengan pembayaran uang pemasukan kepada pemegang HPL sehingga memungkinkan terjadinya beragam bentuk dan besaran uang pemasukan tersebut. Sebenarnya dalam Surat Menteri Dalam Negeri No. 593/3418/Agr, tanggal 31 Agustus 1982 tentang Masalah HGB/HP di atas HPL sebagai upaya mencegah salah tafsir terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977 menyebutkan bahwa uang pemasukan yang diterima oleh pemegang HPL dari pihak

ketiga bukanlah perjanjian sewa menyewa tanah (ground lease) tetapi dalam prakteknya bentuk uang pemasukan tersebut beragam antara subyek HPL yang satu dengan HPL yang lain, antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Namun demikian, kenyataannya di beberapa tempat terjadi sewa menyewa di atas HPL yang bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977 karena sewa menyewa tanah yang dikuasai oleh negara bukan merupakan sistem dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 dimana yang dapat membuat sewa menyewa berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 adalah perorangan atau badan hukum swasta. Penyimpangan dari hakikat HPL ini semakin melebar dan meluas setelah munculnya Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam. Pasal 6 Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1973 tersebut menyebutkan bahwa seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan HPL kepada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (OPDIPB). Kawasan HPL OPDIPB berkembang dan meluas ke pulau-pulau sekitarnya dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1984 dan terakhir dengan Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1992 sehingga awalnya HPL hanya meliputi seluruh Pulau Batam dengan luas 41.000 Ha menjadi lebih dari 40 pulau dengan luas mencapai 71.500 Ha, luasan yang lebih luas dari Negara Singapura. Dengan ketentuan tersebut maka semua kegiatan pembangunan dalam wilayah kerja Otorita Pulau Batam sesuai dengan Keppres No. 41 Tahun 1973, Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1984 dan terakhir dengan Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1992 harus melalui OPDIPB dan semua hak-hak atas tanah yagn dimohon oleh semua pihak baik Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Bangunan maupun HGU harus berada di atas HPL. Pada sisi lain, sesuai dengan ketentuan suatu hak baru sah secara hukum kalau sudah terdaftar dalam buku tanah. Namun hingga saat ini wilayah kerja OPDIPB seluas 71.500 Ha yang ditetapkan sebagai HPL Otorita Batam, khusus di Pulau Batam dari 41.000 Ha, baru sekitar 17.505,5604 Ha (42,70%) yang telah terdaftar dan bersertipikat HPL. Pada kondisi seperti ini maka setiap orang yang ingin membangun di luar HPL yang belum bersertipikat tetapi berada pada wilayah kerja OPDIPB harus terlebih dahulu membuat sertipikat HPL atas nama OPDIPB yang kemudian sesuai ketentuan pihak ketiga yang memanfaatkan tanah tersebut membuat perjanjian dengan pemegang HPL. Dengan ketentuan seperti inipun ternyata hakikat HPL seperti yang dimaksudkan dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 telah menyimpang dimana pemegang HPL telah berfungsi sebagai perusahaan tanah. Uang pemasukan yang diterima oleh pemegang HPL dari pihak ketiga sebenarnya merupakan hasil transaksi jual beli tanah antara pemegang HPL dengan pihak ketiga. Jenis kegiatan pun yang sebelumnya terbatas pada kegiatan perumahan dan industri telah berkembang menjadi kegiatan di luar sektor perkotaan tetapi juga telah meluas pada kegiatan sektor pedesaan seperti peternakan, perkebunan dan perikanan dalam bentuk HGU di atas HPL. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977 sebagai dasar tata cara penyelesaian pemberian hak atas bagian-bagian tanah HPL serta pendaftarannya maka tidak ada pemberian HGU di atas HPL . Demikian juga pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah Industri Batam sebagai tindaklanjut Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam, maka penyerahan bagian-bagian dari tanah HPL kepada pihak ketiga dengan HGB dan HP sesuai dengan peraturan perundangan agraria yang berlaku. Namun dalam Surat Keputusan OPDIPB No. 033/UM-KPTS/III/86 tentang Petunjuk Pelaksanaan untuk Penyerahan Bagian-Bagian Areal Tanah di Pulau Batam

kepada Pihak Ketiga disebutkan bahwa berdasarkan rencana tata guna tanah disebutkan penggunaannya selain untuk jasa (perkantoran, pergudangan, perhotelan, pertokoan), perumahan, industri, pariwisata, instansi pemerintah dan rumah ibadah/sosial dan pendidikan juga ditetapkan sebagai kawasan perkebunan, peternakan dan perikanan. Lebih jauh dalam Surat Keputusan tersebut ditetapkan bahwa hak yang dapat diberikan kepada pihak ketiga di atas HPL Otorita Batam adalah Hak Guna Bangunan (HGB) selama 30 tahun yang dapat diperpanjang 20 tahun untuk areal peruntukan jasa, perumahan, industri, pariwisata, rumah ibadah/sosial dan pendidikan serta pemberian Hak Pakai yang tidak terbatas untuk instansi pemerintah serta Hak Guna Usaha selama 25 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun yang diberikan untuk peruntukan peternakan, perkebunan dan perikanan. 2) Obyek dan Subyek HPL Obyek HPL adalah tanah negara yang merupakan kewenangan pemerintah pusat dengan Hak Menguasai dari Negara. Pada Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria, Hak Menguasai dari Negara tersebut dapat dikuasakan pada daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan peraturan pemerintah. Wewenang HPL itu sendiri begitu luas karena selain digunakan untuk keperluan pelaksanaan tugasnya sebagaimana tercantum dalam berbagai peraturan, juga merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan. Kewenangan yang paling penting dan strategis pemegang HPL tersebut adalah menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh pemegang HPL, terutama peruntukan, jangka waktu dan keuangannya. Dari penjelasan di atas maka jenis penggunaan HPL tersebut menjadi tidak terbatas sesuai dengan tugas dan fungsi pemegang HPL. Apabila pemegang HPL adalah Pelabuhan maka rencana penggunaan tanahnya merupakan semua kegiatan yang menunjang kegiatan kepelabuhanan, baik kantor (pemerintah dan swasta), perumahan dan sebagainya. Jika pemegang HPL merupakan pemerintah daerah maka kewenangan pemerintah daerah untuk menggunakannya untuk berbagai kegiatan yang dianggap perlu untuk membangun daerahnya baik untuk pasar, industri, perumahan dan kegiatan lainnya. Dengan demikian, obyek dari HPL itu sendiri menjadi tidak terbatas sesuai dengan kepentingan pemegang HPL. Kepentingan pemegang HPL itu tergantung pula dari subyeknya. Kewenangan pemegang HPL yang begitu besar merupakan daya tarik yang begitu besar pula terutama bagi pemerintah daerah yang memohon tanah negara menjadi HPL, walaupun dapat dimohon dalam bentuk hak pakai sepanjang tanah itu digunakan untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya. Demikian juga BUMN berusaha untuk memperoleh HPL walaupun pada hakekatnya bisa diberikan Hak Guna Bangunan. Sebagi contoh adalah : Kawasan Surabaya Industrial Estate Rungkut (PT SIER) yang berdasarkan pengelolaan yang dilakukan terhadap tanah yang mereka kuasai sesungguhnya tidak perlu diberikan dalam bentuk HPL tetapi cukup berbentuk Hak Guna Bangunan. 3) Pendaftaran HPL dan Hak-Hak di Atas HPL Peraturan Menteri Negara Agraria No. 9 Tahun 1965, Peraturan Menteri Negara Agraria NO. 1 Tahun 1966, Peraturan Menteri Negara Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977 dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengisyaratkan bahwa HPL harus didaftarkan. Dengan kata lain, status HPL dianggap sah secara hukum

apabila telah terdaftar dalam buku tanah seperti hak-hak lain yang ada dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Permasalahan yang dihadapi adalah banyaknya kawasan yang telah ditetapkan sebagai HPL namun belum didaftarkan karena berbagai sebab antara lain: belum diukur, belum dilakukan pembebasan dari masyarakat (dilakukan proses pengadaan/ perolehan tanah) dan berbagai permasalahan lainnya yang menyebabkan HPL tersebut belum memperoleh hak. Berdasarkan data yang diperoleh dari 41.000 Ha wilayah kerja Otorita Batam di Pulau Batam (tidak termasuk pulau-pulau sekitarnya yang mencapai 30.500 Ha) yang ditetapkan sebagai obyek HPL maka baru sekitar 97 HPL atau 17.505,5604 Ha (42,70%) yang sudah didaftarkan dan tersebar secara sporadis di Pulau Batam. Hak-hak di atas HPL diproses dan memiliki status hukum yang sama dengan hak-hak lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria seperti Hak Milik, Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan yang terletak di atas tanah negara. Penyimpangan-penyimpangan antara hak-hak di atas HPL dan hak-hak di atas tanah negara antara lain Hak Pakai untuk instansi pemerintah. Hak Pakai di atas HPL diberikan jangka waktu 30 tahun sedangkan hak dan obyek yang sama dalam Undang-Undang Pokok Agraria dengan penekanan pada aspek sosial (Peraturan Menteri Agraria No. 3 Tahun 1998) diberikan jangka waktu yang tidak terbatas selama dipergunakan. Selain itu, pemberian Hak Milik di atas HPL belum ada pengaturannya karena sebagaimana diketahui Hak Milik merupakan hak terkuat yang dapat diwariskan, dialihkan dan diberikan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Demikian pula dengan Hak Guna Bangunan yang diberikan dalam jangka waktu tertentu untuk perumahan di atas HPL tidak sesuai dengan hak yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria dimana perumahan dengan Hak Guna Bangunan berdasarkan Keputusan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 6 Tahun 1998 dapat ditingkatkan menjadi Hak Milik. Selanjutnya pada Undang-Undang Rumah Susun No. 16 Tahun 1985 Jo. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 (tentang Rumah Susun) yang juga diatur tentang HPL, prosesnya sangat berbeda seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977, Pasal 38 Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 yang menyatakan : a) Hak atas tanah dari suatu lingkungan rumah susun akan dibangun dapat berstatus Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai di atas tanah negara atau HPL; b) Dalam hal rumah susun yang bersangkutan dibangun pada lingkungan yang berstatus HPL, penyelenggaraan pembangunannya wajib menyelesaikan status HGB di atas HPL baik sebagian maupun keseluruhan untuk mengetahui batas tanah bersama; c) Pemberian status HGB sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) di atas dilaksanakan sebelum rumah susun yang bersangkutan dijual. Sedangkan sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977 bahwa sebelum HGB diterbitkan harus dibuat Surat Perjanjian antara pemegang HPL, baik itu Pemerintah Daerah, Departemen atau Perusahaan Pemerintah Pusat/Daerah dengan yang bersangkutan. Dalam perjanjian tersebut ditetapkan hak yang akan diberikan oleh pemegang HPL baik itu berupa Hak Milik, Hak Guna Bangunan ataupun Hak Pakai. Peralihan hak disini tidak perlu diproses dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Hal ini tidak lazim dan tidak perlu, sesuai dengan lembaga HPL, dalam hal ini pemerintah pusat sebagai organisasi kekuasaan yang diberikan wewenang Hak Menguasai dari Negara untuk menyerahkan hak atas tanah kepada yang bersangkutan karena HPL adalah pelimpahan wewenang Hak Menguasai dari Negara kepada Lembaga Pemerintah, departemen, pemerintah daerah maupun pemisahan-pemisahan pemerintah pusat/daerah. Dalam kondisi seperti ini seyogyanya konstruksi hukum yang ditempuh adalah pemegang HPL

mengadakan suatu perjanjian pemberian HGB kepada suatu perusahaan dan perusahaan inilah yang akan membuat Akta PPAT dengan user-user pembelu rumah susun tersebut. HGB perusahaan tersebut dapat berupa HGB Induk dan kemudian memecahnya menjadi HGB yang sesuai dengan setiap kavling tersebut. b. Pengelolaan dan Pemanfaatan HPL oleh Pemegang HPL 1) Jenis dan Pemegang HPL Berdasarkan hasil penelitian, jenis dan Pemegang HPL di daerah sampel terdiri atas: a) HPL Pemda yakni dikuasakan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten maupun Pemerintah Daerah Kota; HPL Transmigrasi yakni dikuasakan kepada Departemen/Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja; HPL instansi pemerintah lainnya yang antara lain dikuasakan kepada Badan Administrasi Kependudukan dan Mobilitas, Departemen Pertanian dan Departemen Perindustrian; HPL Pelabuhan yakni dikuasakan kepada PT (Persero) Pelabuhan Indonesia dan Perum Pelabuhan; HPL Bandara Udara yang dikuasakan kepada PT. Angkasa Pura; HPL Industri yakni dikuasakan kepada Kawasan Industri, seperti Kawasan Industri Makassar (KIMA) dan PT. Sie Rungkut; HPL Perkereta Apian yang dikuasakan kepada PT. Kereta Api Indonesia; HPL Perumnas yakni dikuasakan kepada Perumnas untuk tujuan pembangunan perumahan; HPL Otorita yakni dikuasakan kepada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (OPDIPB) sebagaimana ketentuan Keppres Nomor 41 Tahun 1971 dimana obyek HPL tersebut adalah seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam termasuk areal tanah di gugusan Pulau Janda Berhias, Tanjung Sauh, Ngenang dan Pulau Kasem Kabupaten Kepulauan Riau.

b)

c)

d)

e) f)

g) h)

i)

2)

Peruntukan dan Pemanfaatan HPL di Kabupaten/Kota Pemegang HPL ada yang menggunakan tanah HPL untuk keperluan pelaksanaan tugasnya seperti untuk gedung instansi dan sebagian besar ada pula yang diberikan kepada pihak III untuk berbagai peruntukan, seperti : Pasar, terminal, hotel dan restauran, rumah dinas, perumahan, pertokoan dan sebagainya. Namun demikian, tidak di semua kabupaten/kota sudah tersedia data peruntukan, terlebih data mengenai pemanfaatan HPL. Untuk data pihak III pun hampir di semua kabupaten/kota belum melakukan inventarisasi dan data masih tersebar di warkah-warkah di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Dengan demikian, belum bisa diketahui kesesuaian peruntukan dan pemanfaatan tanahnya.

3) Asal Perolehan Tanah HPL

Asal perolehan tanah HPL di daerah sampel penelitian adalah berasal tanah negara yang merupakan kewenangan pemerintah pusat dengan hak menguasai dari negara. Adapun HPL diberikan untuk tujuan digunakan bagi keperluan pelaksanaan tugasnya dan juga untuk pemberian kepada pihak ketiga. Adapun tujuan pemberian bagian tanah HPL dari pemegang HPL kepada pihak ke III adalah tujuan pemanfaatan tanah yang tidak dimungkinkan dilaksanakan seluruhnya oleh pemegang HPL dikarenakan faktor keuangan dalam pembangunan fisik bagian tanah HPL tersebut dan untuk mendatangkan pemasukan bagi pemegang HPL yang bersangkutan.. 4) Realisasi Pemanfaatan Tanah-Tanah HPL Sebagian besar tanah HPL di daerah penelitian yang telah dikuasakan kepada pemegang HPL telah dimanfaatkan. Namun banyak pula daerah yang belum menginventarisasi tanah-tanah HPL yang belum dimanfaatkan oleh pemegang HPL. Padahal data-data HPL yang belum dimanfaatkan ini sangat berguna untuk memonitoring pemanfaatan tanah-tanah HPL sehingga tanah HPL tidak diterlantarkan. c. Pengelolaan Data HPL di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Maksud dari pengelolaan Data HPL di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota disini adalah pengadministrasian HPL yang sudah terdaftar baik yang diberikan kepada pemegang HPL maupun pemegang bagian-bagian HPL. Dari hasil penelitian lapang dapat diketahui bahwa : 1) Data HPL masih tersebar di warkah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tidak seluruhnya sudah melakukan inventarisasi data HPL baik yang dikuasai oleh pemegang HPL maupun yang telah dikuasakan kepada Pihak III. Data-data HPL di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota masih berupa data-data yang tersebar di dalam warkah-warkah. Belum terinventarisasinya data-data HPL yang tersebar dalam warkah ini menyebabkan kecepatan untuk mendapatkan data sebagai bahan informasi HPL sangat memakan waktu lama, bahkan tidak semua informasi mengenai HPL dapat disajikan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Lemahnya data HPL mengakibatkan lemahnya informasi HPL. Padahal kita ketahui data merupakan bahan dasar yang perlu diolah sehingga dapat menjadi informasi. Informasi ini dapat digunakan sebagai bahan perencanaan, pengendalian maupun penentuan kebijakan-kebijakan HPL di masa yang akan datang. 2) Lemahnya Monitoring Terhadap HPL Selama ini pelaksanaan monitoring terhadap tanah-tanah HPL yang sudah terdaftar di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota belum pernah dilaksanakan. Dari hasil wawancara diketahui bahwa setelah tanah-tanah HPL didaftarkan oleh pemegang HPL maka sampai sejauh mana pemanfaatannya belum dilakukan monitoring. Demikian pula monitoring pemanfaatan HPL setelah pemegang HPL memberikan ke Pihak III tidak dilaksanakan. Hal ini dikarenakan pendanaan untuk monitoring HPL selama ini tidak ada. d. Permasalahan dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah HPL 1) Pemegang HPL seringkali melalaikan kewajibannya tanpa adanya tindakan hukum. Sebagai contoh: tanah-tanah HPL untuk transmigrasi sebelum waktu 10 tahun sudah banyak dialihkan oleh para transmigran sehingga tujuan HPL transmigrasi tidak tercapai.

2) Pemberian bagian HPL kepada pihak ketiga secara normatif tidak dapat diberikan dengan Hak Milik. Hal ini mengingat Hak Milik mempunyai sifat turun temurun, terkuat dan terpenuh. Tetapi berdasarkan hasil penelitian lapang ternyata terdapat juga HM di atas HGB di atas HPL yang berupa pembangunan rumah susun. 3) Keppres No. 41 Tahun 1973 maupun Keputusan Mendagri No. 43 Tahun 1977 menyatakan pemberian Hak Pengelolaan (HPL) kepada OTORITA PENGEMBANGAN DAERAH INDUSTRI PULAU BATAM (OPDIPB) terhadap seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam termasuk areal tanah di gugusan Pulau Janda Berhias, Tanjung Sauh, Ngenang dan Pulau Kasem Kabupaten Kepulauan Riau. Tanah-tanah yang telah diperoleh OPDIPB tersebut banyak yang belum didaftarkan secara parsial HPLnya namun sudah dialokasikan kepada pihak III. Pihak III ini salah satunya adalah pengembangan perumahan/developer yang kemudian mengalokasikan kepada pihak IV (user-user) tanpa HGB induk dimana proses jual beli antara developer dengan masyarakat (user) dilakukan melalui notaris tanpa sesuatu hak, hanya dengan PL/Skep/SPJ. User-user inilah yang kemudian berusaha memperoleh hak atas tanah. Dengan terjadinya penyimpangan tersebut maka masyarakat (user) dibebani dengan biaya-biaya: a) Pembuatan Akta Jual Beli Bangunan (Akta Notaris); b) Biaya pemecahan PL dari PL induk atas nama pengembang ke atas nama konsumen; c) Biaya rekomendasi OPDIPB; d) Pembayaran uang pemasukan kepada kas negara dalam rangka pemberian hak atas tanah. 4) Permasalahan yang terjadi terkait dengan IPT (Surat Hijau) di Kota Surabaya adalah : a) Warga Masyarakat menuntut kepada Pemerintah Kota Surabaya untuk dapat diberikan Hak Milik tanpa syarat/kompensasi dengan alasan Pemerintah Kota Surabaya tidak mempunyai kewenangan menyewakan tanah Negara dan melangggar hukum; b) Terdapat beberapa kelompok warga yang sudah tidak bersedia/ mengehentikan pembayaran uang sewa kepada Pemerintah Kota; c) Bangunan yang berdiri di atas tanah Surat Hijau adalah milik warga; d) Dengan adanya Surat Hijau maka kewenangan Pemerintah Kota Surabaya seperti layaknya Negara di dalam Negara dimana Pemerintah Kota memberikan hak sesuai dengan jangka waktu (jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang), ijin perpanjangan, ijin pengalihan hak/balik nama maupun rekomendasi bank. Kewenangannya Pemerintah Kota Surabaya dalam hal ini sangat besar; e) Surat Hijau tidak memberikan perlindungan hukum. Dengan demikian penggunaan tanah bagian HPL Pemerintah Kota Surabaya tidak dilekati dengan hak atas tanah dengan bukti hak berupa sertifikat sebagaimana diatur dalam UUPA dan peraturan pelaksanaannya sehingga kedudukan pemegang surat hijau dihadapkan pada posisi yang sangat lemah untuk perlindungan hukum secara represif dan preventif dimana Pemerintah Kota Surabaya seketika dapat mencabut Izin Pemakaian Tanah secara sepihak.

e. Peranan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dalam Pengendalian HPL Berdasarkan uraian di atas, maka langkah-langkah pengendalian terhadap HPL sudah sangat mendesak dan penting karena selama ini BPN dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota memposisikan diri hanya sebagai administrator yang melakukan pencatatan hanya dari segi : 1) Administrasi : 2) Hukum 3) Teknis : : Jangan salah catat Jangan salah subyek/obyek atas tanah Jangan salah ukuran

Seyogyanya BPN juga merupakan regulator dan pengendali terhadap HPL. Pengendalian pengelolaan dan pemanfaatan HPL dilakukan di bawah koordinasi Deputi Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat (Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2006) yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Direktorat Pengendalian Penerapan Kebijakan dan Program dan Direktorat Pengelolaan Tanah Negara, Tanah Terlantar dan Tanah Kritis. Adapun bidang dan seksi penyelenggara pengendalian pengelolaan dan pemanfaatan HPL di daerah (Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2006) adalah Seksi Pengendalian dan pemberdayaan masyarakat Cq Subseksi Pengendalian Pertanahan untuk Kantor Pertanahan Kabupaten maupun Kota di bawah Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat Cq Seksi Pengendalian Pertanahan Kantor Wilayah BPN. 1. Rekomendasi Hasil Penelitian a. Perlunya penyusunan Database HPL dikarenakan data HPL di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota belum terinventarisasi dan masih tersebar dalam warkah sehingga memerlukan waktu yang lama untuk mencarinya. Database HPL ini disusun dalam suatu sistem yang baku dalam format database sehingga hasilnya dapat digunakan sebagai bahan monitoring dan pengendalian pengelolaan dan pemanfaatan HPL seperti : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) Informasi subyek HPL; Informasi obyek HPL; Informasi pihak III dan pihak lainnya yang menerima bagian tanah HPL; Informasi luasan dan jumlah HPL yang sudah terdaftar; Informasi jenis-jenis hak atas tanah di atas HPL; Informasi peruntukan HPL; Informasi pemanfaatan HPL; Informasi kesesuaian peruntukan dan pemanfaatan HPL; Informasi luasan dan jumlah HPL terdaftar yang belum dimanfaatkan; Informasi jangka waktu berakhirnya hak-hak atas tanah di atas HPL;

a. Format database HPL yang diusulkan antara lain berisi sebagai berikut : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) Nama pemegang HPL; Luas HPL; Lokasi HPL; Peruntukan HPL; Gambar Situasi HPL; Peruntukan/pemanfaatan HPL; Luas HPL yang telah dimanfaatkan; Luas HPL yang belum dimanfaatkan; Pihak III yang memanfaatkan bagian-bagian HPL;

10) 11) 12) 13) 14) 15)

Jenis Hak Pihak III; Luas bagian HPL yang dikuasai; Peruntukan bagian HPL; Luas bagian HPL yang telah dimanfaatkan; Luas bagian HPL yang belum dimanfaatkan; Gambar situasi;

b. Dengan terbitnya Peraturan Kepala BPN RI No.3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPN RI, maka : 1) Pasal 290 menyatakan Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat (Deputi IV) sebagai unsur pelaksana sebagian tugas dan fungsi BPN di bidang pengendalian pertanahan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala BPN RI; 2) Pasal 291 menyatakan Deputi IV mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengendalian, 3) Pasal 292 menyatakan dalam pelaksanaan tugas sebagaimana Pasal 291, Deputi IV mempunyai fungsi antara lain : (i) perumusan kebijakan teknis di bidang pengendalian pertanahan, (ii) pelaksanaan pengendalian kebijakan, perencanaan dan program penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; 4) Pasal 293 menyatakan bahwa Deputi Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat terdiri antara lain (i) Direktorat Pengendalian Penerapan Kebijakan dan Program, (ii) Direktorat Pengelolaan Tanah Negara, Tanah Terlantar dan Tanah Kritis. Demikian pula dengan terbitnya Peraturan Kepala BPN RI No. 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan dimana sebagai instansi vertikal di provinsi, kabupaten dan kota yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala BPN maka terkait dengan langkah pengendalian HPL : 1) Pasal 23 menyatakan bahwa bidang pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat di Kantor Wilayah BPN terdiri dari : (i) Seksi Pengendalian Pertanahan, (ii) Seksi Pemberdayaan Masyarakat; 2) Pasal 24 menyatakan bahwa seksi pengendalian pertanahan bertugas mengelola basis data, evaluasi hasil inventarisasi dan atau identifikasi serta penyusunan saran tindak dan langkah-langkah penanaganan serta penyiapan usulan penertiban dan pendayagunaan dalam rangka penegakan hak dan kewajiban pemegang hak atas tanah, pengendalian penerapan kebijakan dan program pertanahan; pengelolaan tanah negara, serta penanganan tanah terlantar dan kritis; 3) Pasal 51 menyatakan bahwa seksi pengendalian dan pemberdayaan masyarakat di Kantor Pertanahan terdiri dari : (i) Sub Seksi Pengendalian Pertanahan, (ii) Subseksi Pemberdayaan Masyarakat; 4) Pasal 52 menyatakan bahwa Subseksi Pengendalian Pertanahan mempunyai tugas menyiapkan pengelolaan basis data dan melakukan inventarisasi dan identifikasi, penyusunan saran tindak dan langkah penanganan srta menyiapkan bahan koordinasi usulan penertiban dan pendayagunaan dalam rangka penegakan hak dan kewajiban pemegang hak atas tanah; pemantauan, evaluasi, harmonisasi dan pensinergian kebijakan

dan program pertanahan dan sektoral dalam pengelolaan tanah negara, penanganan tanah terlantar dan tanah kritis. Berdasarkan kebijakan di atas, perlu diselenggarakan pengendalian pengelolaan dan pemanfaatan HPL baik oleh pemegang HPL maupun pemegang hak-hak atas tanah di atas HPL (Pihak III) di bawah koordinasi Deputi Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Direktorat Pengendalian Penerapan Kebijakan dan Program dan Direktorat Pengelolaan Tanah Negara, Tanah Terlantar dan Tanah Kritis. Adapun bidang dan seksi penyelenggara pengendalian pengelolaan dan pemanfaatan HPL di daerah adalah Seksi Pengendalian dan pemberdayaan masyarakat Cq Subseksi Pengendalian Pertanahan untuk Kantor Pertanahan Kabupaten maupun Kota di bawah Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat Cq Seksi Pengendalian Pertanahan Kantor Wilayah BPN. Dengan difungsikannya bidang pengendalian ini maka dapat ditertibkan : (1) HPL-HPL yang belum didaftarkan karena bertentangan dengan UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, (2) hak-hak atas tanah di atas HPL yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan maupun kesesuaian peruntukan dan pemanfaatan HPL serta (3) penertiban jangka waktu berlakunya hak-hak atas tanah di atas HPL. c. Mengingat dengan adanya Deputi Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat (Deputi IV) sebagai unsur pelaksana sebagian tugas dan fungsi BPN di bidang pengendalian pertanahan berdasarkan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2006 dan Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat serta Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan Masyarakat sebagai instansi vertikal penunjang tugas dan fungsi BPN RI di provinsi, kota dan kabupaten berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI No. 4 Tahun 2006 maka perlu diterbitkan payung hukum pengendalian pengelolaan dan pemanfaatan HPL. Hal ini dimaksudkan untuk menyikapi bahwa BPN tidak hanya berfungsi sebagai administrator semata namun juga seyogyanya sebagai regulator pengendali HPL. d. Menyikapi adanya indikasi terdapat tanah HPL yang belum dimanfaatkan baik oleh pemegang HPL maupun pemegang hak-hak atas tanah di atas HPL (Pihak III) maka tanah HPL tersebut apakah dapat dikategorikan sebagai tanah terlantar. Untuk itu, perlu kejelasan tentang kategori tanah terlantar sehingga terhadap tanah terlantar tersebut dapat diimplementasikan bagaimana penanganannya oleh Deputi/Bidang maupun Seksi Pengendalian Pertanahan.

You might also like