You are on page 1of 195

STRATEGI PEMBELAJARAN

DRS SUPRIHADI SAPUTRO, S.Pd; M.Pd

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS NEGERI MALANG 2004

TEKNOLOGI PENDIDIKAN

KATA PENGANTAR Pembelajaran sebagai kegiatan untuk mencapai tujuan instruksional, jenis dan prosedur kegiatannya, membutuhkan rangkaian pemikiran yang cermat. Rangkaian pemikiran yang cermat itu, diperlukan agar jenis dan prosedur kegiatan yang dipilih dan ditetapkan nantinya mempunyai nilai fungsional yang tinggi sebagai alat untuk pencapaian tujuan. Terlebih lagi,faktor-faktor yang ikut terlibatkan dalam kegiatan pembelajaran sangat beranekaragam, maka kecermatan itu diperlukan, agar koherensi hubungan antar faktor tersebut, dapat sinergis dalam pencapaian tujuan. Kegiatan guru yang berkenaan dengan penelusuran, pemilihan jenis dan prosedur kegiatan serta lain-lain pendukung kegiatan pembelajaran tersebut, lazimnya disebut kegiatan pemilihan strategi pembelajaran. Strategi pembelajaran secara substansial berwujud jenis dan prosedur kegiatan serta lain-lain yang merupakan implikasi dari jenis dan prosedur kegiatan tersebut. Namun, makna strategi tidak diletakkan pada jenis dan prosedur kegiatan itu sendiri, tetapi pada nilai strategisfungsional jenis dan prosedur kegiatan tersebut sebagai alat dan wahana pencapaian tujuan pembelajaran. Nilai strategis-fungsional yang dimaksud, diukur atas dasar kadar keefektifan dan keefisiensianya sebagai alat untuk pencapaian tujuan pembelajaran. Jenis dan prosedur kegiatan yang tidak bernilai strategis-fungsional untuk tercapainya tujuan, maka kegiatan tersebut dikatakan terjadi kesalahan strategi. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, teks dalam tulisan ini berisi paparan tentang jenis dan prosedur kegiatan pembelajaran yang bernilai fungsional-strategis sebagai alat untuk pencapaian tujuan instruksional. Lingkup paparan diawali dari penglihatan secara rinci realita substansial kegiatan-kegiatan serta unsur-unsur yang di bangun dalam proses pembelajaran. Kupasan konseptual tentang hakekat strategi dan keterkaitannya dengan komponen lainnya diuraikan secara cermat untuk memudahkan pemahaman pembaca. Paparan dilanjutkan ke kajian tentang prinsip-prinsip dan pendekatan pembelajaran yang menjadi landasan asumsi dan paradigma dasar proses pembelajaran. Pola dan model-model bangunan proses pembelajaran dipaparkan di kajian berikutnya untuk acuan dalam penelusuran pola dan model pembelajaran yang relevan dengan karakteristik tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Paparan berikutnya berturut-turut berisi sajian tentang jenis dan prosedur penggunaan metode-metode pembelajaran.

Teks paparan tentang strategi pembelajaran ini, diperuntukan mahasiswa calon guru dan guru-guru. Namun demikian, siapapun yang berkeinginan untuk mendalami persoalan strategi pembelajaran, dapat pula mengaji dari teks ini. Utama sekali, teks ini dipersiapkan sebagai bahan ajar peserta akta mengajar. Bagi peserta akta mengajar buku ini sangat membantudalam memahami strategi mengajar, mengingat paparannya disusun secara sistematis dengan uraiannya bersifat rinci. Semoga bernilai dan bermanfaat.

Malang 24 September 2004

Penulis

DAFTAR ISI BAB I KONSEPSI STRATEGI PEMBELAJARAN A. Pengertian Strategi Pembelajaran B. Substansi Strategi Pembelajaran C. Taktik dan Siasat Pembelajaran D. Kaitan Strategi, Pendekatan, Metode, Teknik dan Prosedur Pembelajaran E. Perencanaan Strategi Pembelajaran BAB II OPTIMALISASI STRATEGI PEMBELAJARAN A. Faktor-Faktor Penentu Efektivitas Pembelajaran B. Optimalisasi Proses Pembelajaran C. Implikasi Pembelajaran Optimal D. Prinsip-prinsip Umum Pembelajaran Optimal BAB III CARA BELAJAR SISWA AKTIF DALAM PEMBELAJARAN A. Hakekat CBSA B. Prinsip-prinsip CBSA C. Indikator-indikator CBSA D. Implikasi CBSA terhadap Sistem Penyampaian E. Faktor-Faktor Optimalisasi Cara Belajar Siswa Aktif BAB IV KETERAMPILAN PROSES DALAM PEMBELAJARAN A. Paradigma Baru dalam Pembelajaran B. Pengertian Pendekatan Keterampilam Proses C. Jenis-jenis Keterampilan dalam Keterampilan Proses BAB V STRUKTUR DAN POLA PENGATURAN PEMBELAJARAN A. Pengantar B. Pola Dasar Kegiatan Pembelajaran C. Variasi Pola pengaturan Pembelajaran 1. Pola Pengaturan Guru dalam Pembelajaran 2. Pola Pengaturan Siswa dalam Proses Belajar. 3. Pola Pengaturan Hubungan Guru Siswa 4. Struktur Peristiwa Pembelajaran 5. Pola Peranan Guru dalam Pengelolaan Pesan 6. Pola Pengorganisasian Pesan

BAB VI MANAJEMEN IKLIM PEMBELAJARAN A. Pengertian B. Sifat manajemen iklim kelas C. Pembinaan disiplin kelas D. Iklim sosial kelas E. Iklim Sosio emosional kelas F. Pengelolaam fisikal kelas BAB VII METODE CERAMAH DALAM PEMBELAJARAN A. Tujuan Penggunaan Metode Ceramah B. Keterampilan Dasar Berceramah C. Prinsip-prinsip Penggunaan Metode Ceramah D. Perencanaan Ceramah E. Persiapan Ceramah F. Teknik Penyajian Ceramah G. Prosedur Berceramah Yang Efektif H. Cara Mengorganisasi Materi Ceramah I. Mempertahankan Perhatian Anak BAB VIII METODE BERTANYA DALAM PEMBELAJARAN A. Fungsi Pertanyaan B. Tipe-tipe Pertanyaan C. Pedoman Mengajukan Pertanyaan D. Penggunaan Kata Bertanya Dasar E. Keterampilan Bertanya Dasar BAB VIII METODE BERTANYA DALAM PEMBELAJARAN F. Fungsi Pertanyaan G. Tipe-tipe Pertanyaan H. Pedoman Mengajukan Pertanyaan I. Penggunaan Kata Bertanya Dasar J. Keterampilan Bertanya Dasar

BAB IX METODE DISKUSI DALAM PEMBELAJARAN A. Pengertian Metode Diskusi B. Pemecahan Masalah sebagai Tujuan Diskusi C. Beberapa Jenis Diskusi D. Kegunaan Metode Diskusi E. Langkah-Langkah Pelaksanaan Diskusi Kelompok F. Peranan Guru Sebagai Pemimpin Diskusi BAB X METODE SIMULASI DALAM PEMBELAJARAN A. Pengertian Metode Simulasi B. Manfaat Simulasi C. Tujuan simulasi D. Prinsip-Prinsip Simulasi E. Bentuk-Bentuk Simulasi F. Langkah-Langkah Pelaksanaan Simulasi G. Keuntungan Simulasi H. Rambu-Rambu Penggunaan dan Pelaksanaan Metode Simulasi I. Peranan Guru dalam Simulasi BAB XI PENERAPAN METODE DEMONSTRASI DALAM PEMBELAJARAN A. Pengertian Metode Demontrasi dalam Pembelajaran B. Penggunaan Metode Demontrasi dalam Pembelajaran C. Bagaimana merencanakan suatu demonstrasi yang efektif D. Langkah Penutup/follow up E. Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Metode Demontrasi F. Keuntungan Metode Demonstrasi G. Kelemahan Metode Demonstrasi BAB XII PENERAPAN METODE PENEMUAN DALAM PEMBELAJARAN A. Pengantar B. Konsep dasar C. Bentuk bentuk penemuan D. Peranan Guru - Murid Dalam Metode penemuan

BAB XIII PEMBELAJARAN KELOMPOK A. Pengertian Pembelajaran Kelompok B. Fungsi Pembelajaran kelompok C. Aspek-aspek kelompok D. Peranan Guru Dalam Pembelajaran Kelompok E. Rambu-Rambu Penggunaan Pembelajaran Kelompok F. Keterampilan Dasar Pembelajaran Secara Kelompok G. Kriteria Pembentukan Kelompok BAB XIV PROSES PEMBELAJARAN DENGAN MODUL A. Pengantar B. Belajar tuntas ( mastery learning), Maju berkelanjutan (continous progress), dan Program percepatan (acceleration). C. Program Pengayaan, Tutor sebaya dan Program Remidial D. Peranan Guru dan Fasilitas kelas dalam Pembelajaran dengan Modul

BAB I STRATEGI PEMBELAJARAN A. Pengertian Pembelajaran Perubahan wawasan tentang hahekat belajar dan mengajar mendorong pula terjadinya perubahan penggunaan istilah yang berkait dengan terminologi mengajar. Mengajar--Pengajaran dalam kurikulum 1975, dan 1984 digunakan istilah instruksional. Kata instruksional itu sendiri diambil dari istilah instruction yang diartikan belajar-mengajar. Istilah belajar-mengajar itu sendiri dimaknai sebagai proses interaktif antara guru dan siswa, yang berbeda dengan istilah mengajar yang konotasinya hanya guru yang aktif. Kata instruksional selanjutnya dalam kurikulum 1994, tidak lagi digunakan dan diganti menjadi pembelajaran. Perubahan makna tentang hakekat belajar-mengajar, dilatari oleh perubahan peranan guru dalam proses pembelajaran. Dalam menjalankan perannya di samping menyampaikan informasi, tugas guru di kelas adalah juga mendiagnosis kesulitan belajar siswa, menyeleksi material belajar, mensupervisi kegiatan belajar, menstimulasi interaksi belajar siswa, memberikan bimbingan belajar,menggunakan multi media, strategi dan metode. Peranan guru juga menunjukkan film, mengajak diskusi, mengajukan pertanyaan, mediator debat, menyelenggarakan field trip, simulasi dan berbagai peranan lainnya (Simpson; Anderson , 1981-60). Berbagai peran yang dimainkan guru tersebut bahwa pembelajaran pada dasarnya adalah berkenaan dengan hal membelajarkan anak. Dalam pada itu, peranan guru tidak lain adalah memfasilitasi terjadinya belajar pada diri anak. Perlu digarisbawahi bahwa perubahan-perubahan perilaku siswa sebagai indikator hasil belajarnya, adalah akibat keaktifan yang dilakukan anak sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan belajarnya. Guru dalam berbagai perannya hanyalah sebagai fasilitator yang mengarahkan dan memfasilitasi terjadinya aktivitas belajar. Oleh karena itu, maka istilah instruksional, yang bermakna proses interaktif guru-siswa, digantikan dengan istilah pembelajaran, dengan makna sebagai proses penciptaan lingkungan yang merangsang terjadinya proses belajar pada diri anak.

Perubahan penggunaan istilah pembelajaran juga di latari oleh asumsi-asumsi pandangan modern tentang belajar. Misalnya belajar menurut Gagne (1975), merupakan aktivitas mental-intelektual yang bersifat internal. Aktivitas belajar aktualisasinya adalah proses beroperasinya mental-intelektual anak. Indikator adanya proses beroperasinya mentalintelektual tersebut dapat di lacak dari hasil operasi-operasi mentalintelektual tersebut. Hasil-hasil operasi itu, dalam hal ini diaktualisasikan anak dalam bentuk perubahan perilaku. Perubahan perilaku yang dimaksud berupa kemampuan-kemampuan kognitif seperti kemampuan mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis dan menilai. Selain itu, perubahan perilaku itu, juga diwujudkan anak berupa kemampuan-kemampuan afektif seperti penghayatan sikap, motivasi, kesediaan anak, penghargaan terhadap sesuatu dan sejenisnya. Di samping juga , perubahan perilaku anak tersebut termanifestasikan dalam wujud perubahan keterampilan fisik anak yang berupa kemampuan mengkordinasikan sistem otot-ototnya untuk melakukan gerakan-gerakan keterampilan tertentu. Beroperasinya mental-intelektual anak tersebut di atas, dapat terjadi manakala ada obyek eksternal di lingkungan sekitar yang menstimulasinya. Obyek eksternal yang dimaksud dapat berwujud data, fakta, peristiwa, problema, perintah, tugas, penjelasan, dan sejenisnya. Ini berarti reaksi mental-intelektual tersebut tidak dapat terjadi tanpa obyek eksternal yang merangsangnya. Jikalau reaksi mental-intelektual itu tidak terjadi, maka gilirannya belajar itupun tidak terjadi. Terjadinya belajar (reaksi mental-intelektual) pada diri anak, memerlukan obyek eksternal yang berupa peristiwa ataupun sistem lingkungan, yaitu serangkaian kondisioning yang dapat merangsang terjadinya belajar pada diri anak. Aktivitas guru yang berupa kegiatan penciptaan peristiwa atau sistem lingkungan, yang dimaksudkan agar mentalintelektual anak terdorong dan terangsang untuk melakukan aktivitas belajar disebut pembelajaran. Dalam kaitan ini Gagne (1975) mendefinisikan pembelajaran adalah seperangkat peristiwa yang diciptakan dan dirancang untuk mendorong, menggiatkan dan mendukung belajar siswa (Hanafi dan Manan, 1988:14). Sedangkan Raka Joni (1980:1) menyebutkan, pembelajaran adalah penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya belajar. Penciptaan sistem lingkungan berarti menyediakan seperangkat peristiwa-

kondisi lingkungan yang dapat merangsang anak untuk melakukan aktivitas belajar. Berkenaan dengan perubahan-perubahan pemaknaan yang berujung digantinya beberapa istilah yang bertalian dengan proses belajar-mengajar, sesungguhnya, Smith, B.O dalam Dunkin, M.J (1987) menjelaskan bahwa secara etimologi, sebenarnya kata learn (belajar) dan teach (mengajar) mempunyai makna yang sama. Kata learn berasal dari kata bahasa Inggris kuno learned yang bermakna to learn atau to teach. Misalnya dalam struktur kalimat bahasa inggris, I will learn you typewriting. Kajian-kajian lain menyebutkan pula kata teaching yang dalam bahasa Indonesia diartikan mengajar berasal dari kata teach. Kata ini berasal dari bahasa Inggris kuno teacon yang diambil dari teutonic kuno kata teik artinya to show yang maknanya menyajikan/ menunjukkan. Kata teach dalam bahasa Inggris berkenaan dengan kata token yang artinya tanda atau simbol. Berkenaan dengan dua akar kata bahasa Inggris tersebut, mengajar di artikan menyajikan atau menunjukkan seseuatu kepada seseorang melalui tanda atau simbol (Karhami, Karim, A tanpa tahun). Sementara itu, penggunaan kata pembelajaran yang diterjemahkan dari kata Instruction berasal dari kata Instruct yang maknanya menurut kamus adalah mengajar/ melatih/memerintah. Instructional artinya bersifat pelajaran. Berdasarkan kajian akar bahasa, kata teaching and instruction tidak mempunyai arti yang berbeda. Keduanya berarti menyajikan/menunjukkan sesuatu kepada seseorang melalui simbol, atau melatih/memerintah yang bersifat pelajaran kepada seseorang.

B. Faktor-Faktor Penentu Aktualisasi Pembelajaran Proses pembelajaran bersifat kompleks mengingat aktualisasinya melibatkan dan ditentukan oleh sejumlah variabel. Secara diagramatis, variabel-variabel dasar pembelajaran tersebut dapat diperhatikan dalam gambar diagram berikut ini.

Variabel-Variabel Pembelajaran Tujuan

Guru

Proses pembelajaran di kelas

Materi

Siswa

Media

Manajemen Pembelajaran Pada dasarnya, variable-variabel dasar pembelajaran tersebut aktualisasinya dapat dipengaruhi oleh karakteristik sejumlah komponen yang meliputi input,( row in put, instrumental in put dan environmental in put), proses, output,dan umpan balik. Komponen input (masukan) adalah (1) row in put- siswa yakni peserta didik yang diharapkan mengalami perubahan tingkah laku setelah mengikuti proses pembelajaran, (2) instrumental in put, yakni komponen guru, materi, media, termasuk manajemen kelas, (3) environmental input yakni: kondisi social ekonomi, kultural, filsafat masyarakat dan sejenisnya dan (4) structural in put adalah setting formal kelembagaan, misalnya tujuan sekolah, tujuan pendidikan, visi dan misi sekolah. Komponen proses, yakni serangkaian interaksi dinamis pembelajaran antara siswa sebagai masukan dengan sejumlah komponen instrumental-environmental dan structural input pembelajaran. Komponen out-put adalah hasil belajar sebagaimana yang dirumuskan dalam tujuan pembelajaran yang berupa kualifikasi tingkah laku yang diharapkan dapat dikuasai anak setelah mengikuti interaksi pembelajaran. Komponen ini pada dasarnya terdiri atas domain kognitif, afektif dan psikomotor. Sementara komponen umpan-balik merupakan komponen yang memiliki fungsi informatif bagi efektivitas pencapaian tujuan dan relevansi dari komponen-komponen yang terkait.

Sehubungan dengan hal itu, berdasarkan keseluruhan faktor penentunya, proses pembelajaran itu dapat didiagramkan sebagaimana berikut ini. Faktor Penentu Pembelajaran Environmental in-put = Sosial, kultural, filosofis,

SISWA Kapasitas IQ Motivasi sekolah Minat belajar Kebiasaan N-Ach Kematangan Sikap belajar Kapasitas EQ/SQ

Instrumental = StrategiMetode- Tehnik- MediaSumber- Program- Guru

Mnj kelas = Disiplin kelas, iklim sosial dan psikologis kelas, kondisi fisikal kelas

Domain Kognitif

Row input

Proses Pembelajaran

Expected Out-put

Domain Afektif

Structural setting input=Filsafat negara, Tujuan Nasional, Tujuan Pendidikan Nasional, Tujuan Sekolah, Visi, misi, tujuan dan kebijakan pendidikan

Domain Psikomotor

C. Pengertian Strategi Pembelajaran Pembelajaran sebagaimana disebut di atas, dimaknakan sebagai proses penciptaan sistem lingkungan belajar. Berkait dengan makna tersebut, maka strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai proses penetapan, pengorganisasian dan pengoperasian system lingkungan yang bersifat efektif dan efisien untuk pencapaian tujuan pembelajaran tetentu. Aktualisasi strategi terwujud dalam bentuk interaksi pembelajaran yang sedang berlangsung di kelas. Interaksi yang dimaksud adalah berbagai

bentuk aktivitas guru dan siswa dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaan. Strategi itu sendiri sesungguhnya pungutan dari kosa kata militer. Kata strategi berhubungan erat dengan pengetahuan tentang perang. Dalam bahasa Yunani, strategi berasal dari kata stratos yang artinya pasukan dan agein yang artinya memimpin-membimbing . Strategi berarti kegiatan memimpin pasukan. Jendral Karl Von Clausewitz (1780-1831) menegaskan bahwa Strategi adalah pengetahuan tentang penggunaan pertempuran untuk kepentingan perang. Demikian pula Antonie Henri Jomini (1779-1869) menyatakan bahwa strategi adalah seni menyelenggarakan perang di atas peta dan meliputi seluruh kawasan operasi. Sementara Liddle Hart menyebutkan bahwa strategi adalah seni mendistribusikan dan menggunakan sarana-sarana militer untuk mencapai tujuan-tujuan politik . Bertolak dari pengertian-pengertian ini, strategi memiliki dua hal, (1) perencanaan tindakan secara sistematis dan, (2) implementasi perencanaan dalam tindakan di lapangan. ( Al Hakim S. dkk.; 2002:80). Dan ujung dari penggunaan strategi adalah memenangkan pertempuran. Berangkat dari konsep strategi tersebut diatas, maka strategi pembelajaran sesungguhnya dapat definisikan sebagai pengetahuan tentang perencanaan dan penyelenggaraan pembelajaran. Dapat juga dikatakan bahwa strategi pembelajaran adalah seni untuk merencanakan dan menyelenggarakan pembelajaran yang meliputi seluruh komponen yang terkait dengan kegiatan pembelajaran. Berikut ini disajikan beberapa pengertian strategi pembelajaran yang berbeda-beda tersebut. Menurut Hilda Taba, proses pembelajaran merupakan aktivitas yang kompleks. Proses pembelajaran mencakup banyak variabel, yaitu variabel tujuan, guru, siswa, proses belajar, dan susunan pembelajaran. Untuk mengembangkan strategi pembelajaran, variabel-variabel penting tersebut di atas, perlu dipertimbangkan. Oleh karena itu, Strategi pembelajaran menurut Hilda Taba adalah pola dan urutan tingkah laku guru untuk menampung semua variabel-variabel pembelajaran secara sadar dan sistematis, (Suprihadi, 1993: 93). Strategi pembelajaran merupakan bagian dari keseluruhan komponen pembelajaran. Strategi pembelajaran berhubungan dengan cara-cara yang dipilih guru untuk pencapaian tujuan pembelajaran. Cara-cara itu, mencakup

sifat, ruang lingkup dan urutan kegiatan yang berwujud pengalaman belajar bagi siswa. Oleh sebab itu, Hilda Taba menyatakan pula strategi pembelajaran adalah cara-cara yang dipilih guru dalam proses pembelajaran yang dapat memberikan kemudahan atau fasilitas bagi siswa menuju tercapainya tujuan pembelajaran (Suprihadi, 1993:94) Dick dan Carrey dalam membuat pengertian strategi tidak membatasi hanya prosedur pembelajaran. Strategi pembelajaran mencakup materi atau paket pembelajaran. Menurut Dick dan Carrey strategi pembelajaran adalah semua komponen materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan untuk membantu siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran tertentu ( Suprihadi, 1993:94). Gropper sesuai dengan pendapat Elly mengatakan, Strategi adalah rencana untuk pencapaian tujuan pembelajaran. Strategi pembelajaran, terdiri atas metode dan teknik, tetapi, strategi lebih luas dari metode dan teknik pembelajaran (Suprihadi,1993:94). Davies (1987:121) menyatakan, Strategi pembelajaran meliputi garisgaris besar metode pembelajaran. Hal tersebut antara lain meliputi strategi perkuliahan atau ceramah, strategi tutorial, strategi dari studi kasus. Dengan perkataan lain, strategi adalah garis-garis besar yang menggambarkan cara mengerjakan dan mengolah tugas-tugas pembelajaran. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Syamsudin (1983:66) dengan menyatakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu garis besar haluan bertindak untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan Raka Joni (1980:1) menyatakan istilah strategi banyak dipakai dalam banyak konteks dengan makna yang berbeda-beda. Dalam konteks pembelajaran, strategi pembelajaran adalah pola umum perbuatan gurumurid di dalam perwujudan peristiwa pembelajaran. Memperhatikan beberapa pengertian strategi yang dikemukakan oleh beberapa ahli pembelajaran di atas, dapat dicermati bahwa Strategi pembelajaran pada dasarnya bukan perencanaan pembelajaran. Perencanaan pembelajaran substansinya meliputi semua variabel atau komponen program pembelajaran, termasuk di dalamnya variabel strategi pembelajaran itu sendiri. Strategi pembelajaran, sebagai salah satu komponen program pembelajaran, berfungsi untuk mewujudkan aktualisasi proses pembelajaran. Strategi pembelajaran perwujudannya berupa ketetapan guru tentang tindakan strategis untuk mewujudkan proses pembelajaran. Dalam

pada itu, dari segi waktu penetapannya, strategi pembelajaran ditetapkan ketika guru merancang disain perencanaan pembelajaran. Oleh karena sifatnya yang kondisional-transaksional, keputusan strategi pembelajaran dapat terjadi ditetapkan bersamaan ketika proses pembelajaran itu sendiri sedang berlangsung. Hal ini dilakukan untuk membuat penyesuaianpenyesuaian dengan realitas yang ada ketika proses pembelajaran sedang berlangsung. Strategi pembelajaran aktualisasinya terwujud sebagai seperangkat tindakan guru untuk mewujudkan proses pembelajaran yang memudahkan siswa untuk mencapai tujuan belajarnya. Cakupan tindakan tersebut substansial yang meliputi variabel : (1) setting (latar) pembelajaran, (2) pengelolaan dan pengorganisasian bahan ajar, (3) pengalokasian waktu, (4) pengaturan pola aktivitas pembelajaran, (5) metode, teknik, dan prosedur pembelajaran, (6) pengaturan dalam pemanfaatan media pembelajaran, (7) penerapan prinsip-prinsip pembelajaran, (8) penerapan pendekatan pola aktivitas pembelajaran, (9) pengembangan dan pengaturan iklim pembelajaran. Strategi pembelajaran perwujudannya bersifat sistemik karena antar variabel terangkai sebagai pola pembelajaran yang utuh, terpadu, rasional, sistematis dan strategis. Keutuhan dan keterpaduan variabel strategi pembelajaran, ditengarai oleh adanya sinkronitas antar variabel tersebut, sehingga mewujudkan kerelevansian antar variabel, yang gilirannya mampu memudahkan dan mengefektifkan optimalisasi tercapainya tujuan belajar. Rasional dalam arti bahwa hubungan setiap variabel yang mendukung perwujudan pembelajaran tersebut, memiliki alasan yang dapat diterima karena antar aspek bersifat kontributif-komplementatif- implikatif. Aktualisasi pembelajaran di katakan strategis, manakala setiap jenis dan atau pola aktivitas pembelajaran beserta seluruh variabel yang terkait dapat dilacak rasionalitasnya, kadar keefektifan dan keefisiensiannya untuk pencapaian tujuan pembelajaran. Nilai strategis suatu strategi pembelajaran dapat juga diuji atas dasar kesesuaiannya dengan karakteristik variabelvariabel penentu pembelajaran, seperti : (1) sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, (2) sesuai dengan karakteristik bahan pembelajaran, (3) karakeristik guru, (4) karateristik siswa, (5) karakteristik sarana dan prasarana yang tersedia. Dan ujung dari semua itu adalah keakuratan

strategi tersebut dalam memfasilitasi keoptimalan pencapaian tujuan belajar oleh setiap anak. D. Taktik dan Siasat Pembelajaran Sebagaimana contoh tersebut di atas, untuk menjalankan strategi, diperlukan kiat-kiat tertentu agar nilai strategis atau rasionalitas dari setiap bentuk aktivitas pembelajaran di kelas dapat diwujudkan. Kiat-kiat tertentu dari setiap bentuk aktivitas guru-murid di kelas tersebut dinamakan taktik pembelajaran. Dengan perkataan lain, taktik pembelajaran adalah kiat guru dalam merealisasi aktivitas pembelajaran di kelas. Davies (1987:121) menyatakan, taktik pembelajaran meliputi aspekaspek pembelajaran yang lebih rinci dan lebih teknis dari pada strategi. Baik-buruknya pembelajaran lebih banyak ditentukan oleh taktik dari pada strategi. Taktik pembelajaran terwujud dalam bentuk langkah-langkah tindakan taktis yang tersusun dalam suatu prosedur pembelajaran. Dengan langkah-langkah tindakan yang taktis, proses belajar anak menjadi efektif dan efisien. Efektif dalam arti, kualitas dan kuantitas pencapaian tujuan pembelajaran sesuai dengan kualitas dan kuantitas tujuan yang direncanakan. Sedangkan efisien artinya pencapaian tujuan tersebut sesuai dengan daya yang tersedia. Baik daya yang berkait dengan tenaga dan kemampuan guru, fasilitas belajar yang ada, maupun biaya yang digunakan guru untuk pelaksanaan pembelajaran tersebut. Kiat atau taktik untuk melaksanakan aktivitas pembelajaran di kelas, di samping bersifat terencana, juga bersifat kondisional dan transaksional. Artinya sejumlah aktivitas kelas baik aktivitas guru maupun aktivitas siswa di kelas ada yang secara sistematis telah direncanakan sebelumnya. Perencanaan tersebut secara tertulis didokumentasikan di persiapan pembelajaran. Meskipun demikian, belum bisa dijamin bahwa seluruh rencana pembelajaran tersebut dapat direalisasikan dalam aktivitas aktual di kelas. Kondisi dan keadaan kelas dapat saja berubah dari asumsi-asumsi keadaan kelas yang diperkirakan saat perencanaan tersebut dibuat. Akibat dari itu, aktivitas-aktivitas kelas perlu diubah dari rencana semula dan disesuaikan seketika itu, berdasarkan penyesuaian-penyesuaiannya dengan realitas yang ada di kelas. Kiat untuk menjalankan aktivitas kelas yang sifatnya kondisional dan transaksional tersebut dinamakan siasat. Dengan kata lain, untuk menjalankan taktik pembelajaran diperlukan siasat.

Berdasarkan gambaran tersebut, siasat pembelajaran adalah triktrik atau tindakan khusus yang diperbuat guru dan atau murid yang dipilih secara seketika untuk mensukseskan taktik pembelajaran berdasarkan penyesuaiannya dengan realitas yang terjadi di kelas.

F. Perencanaan Strategi Pembelajaran Setelah tujuan pembelajaran berhasil dirumuskan di dalam perencanaan, tugas guru selanjutnya adalah memikirkan rencana tentang bagaimana tujuan pembelajaran tersebut dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Pemikiran guru mengenai rencana tentang bagaimana tujuan pembelajaran itu dapat dicapai dengan efektif dan efisien, berarti guru berfikir tentang rencana strategi pembelajaran. Berkait dengan masalah perencanaan strategi, John Glasson (1990) secara sistimatis mengidentifikasi langkah-langkah perencanaan yang meliputi (1) identifikasi persoalan/kebutuhan, (2) merumuskan tujuan dan sasaran, (3) identifikasi pembatas-pembataskekuatan dan kelemahan, (4) proyeksi dan antisipasi kedepan, (5) penelusuran alternatif kegiatan dan , (6) penyusunan rencana tindakan yang dipilih. ( Al Hakim S. dkk; 2002:80). Menyusun rencana strategi pembelajaran, ada tiga hal yang perlu dicermati guru: (1) pada variabel-variabel penentu strategi, dan (2) substansi strategi, (3) jenis-jenis dan bentuk strategi yang akan digunakan. Variabel-variabel penentu dalam perencanaan strategi menurut meliputi: (1) variabel tujuan pembelajaran, (2) variabel materi pembelajaran, (3) variabel kemampuan diri guru, (4) variabel kemampuan siswa, (5) variabel sarana dan prasarana pembelajaran yang tersedia. Memilih dan menentukan strategi yang akan digunakan untuk pelaksanaan kegiatan pembelajaran, perlu dipertimbangkan kesesuaian jenis strategi itu dengan variabel-variabel penentunya. Suatu bentuk aktivitas pembelajaran, memiliki nilai strategis jika aktivitas tersebut relevan dengan karakteristik variabel penentunya. Strategi pembelajaran mana yang akan dipilih tidaklah ditentukan secara kebetulan, atau sambil lalu saja. Kita harus membuat pertimbangan secara hati-hati. Pertimbangan mana yang dapat digunakan sebagai tersebut di bawah ini (Suprihadi, 1993: 104). aspek-aspek tujuan pembelajaran yang akan dicapai masalah efisiensi yang bertalian dengan waktu yang dipilih oleh siswa, fasilitas dan peralatan yang

10

ada. perbedaan kesempatan, kecepatan dan langgam/irama belajar siswa, metode penyampaian yang dapat mengembangkan interaksi antara siswasiswa dapat juga guru siswa. Berdasarkan pengalaman, kegiatan pembelajaran pola presentasi dan studi independen (belajar sendiri) lebih tepat untuk pencapaian tujuan pembelajaran khusus aspek kognitif dan psikomotor. Strategi kegiatan yang terbaik untuk mencapai tujuan pembelajaran khusus dalam aspek afektif ialah melalui pengalaman studi interaksi. Ketiga pola kegiatan pembelajaran di atas memberikan suatu kerangka acuan dalam perencanaan strategi pembelajaran. Demikian pula pola kegiatan pembelajaran tersebut memberikan bantuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penting sebagai berikut: a. Apakah terdapat materi pelajaran yang dapat dipresentasikan atau disajikan yang paling baik secara klasikal atau pada semua siswa pada waktu yang sama. b. Apakah terdapat materi pelajaran yang dapat dipelajari oleh siswa secara baik melalui kegiatan individual menurut cara dan kecepatan belajarnya masing-masing. c. Apakah terdapat pengalaman belajar yang dapat diberikan kepada siswa melalui sistim diskusi dengan atau tanpa kehadiran guru. d. Apakah diperlukan diskusi antara guru siswa secara individual atau konsultasi secara pribadi. Sehubungan dengan pertimbangan dalam pemilihan strategi pembelajaran, Hilda Taba menyebutkan variabel-variabel pembelajaran menjadi pertimbangannya. Dalam pernyataannya Hilda Taba mengatakan bahwa, tin-dakan pembelajaran kepada seseorang yang lain menyangkut banyak variabel, yaitu: guru, subyect matter (hakekat pokok masalah yang diajarkan); siswa, proses belajar; dan susunan pembelajaran. Selanjutnya, variabel-variabel pembelajaran itu sendiri yang merupakan pertimbangan utama dalam memilih dan mengembangkan suatu strategi pembelajaran (Suprihadi, 1993:105). Lawrence T. Alexander dan Robert H. Davis dalam Suprihadi (1993: 106) menyebutkan ada empat faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih strategi pembelajaran. Faktor tersebut adalah (1) tujuan pembelajaran khusus, (2) keadaan siswa (karakteristik siswa), (3) sumber dan fasilitas untuk melaksanakan dari suatu strategi tertentu, dan (4)

11

karakteristik teknik penyajian tertentu. Keempat faktor tersebut diatas oleh Lawrence T. Alexander dan Robert H. Davis selanjutnya dijelaskan secara rinci sebagaimana uraian di bawah ini. Faktor pertama, yang mempengaruhi pemilihan strategi adalah tujuan pembelajaran khusus. Seperti disebut di dalam bahasan di atas, bahwa strategi kegiatan pembelajaran presentasi tepat apabila digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran aspek kognitif dan psikomotor, tetapi hal ini tidak tepat digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran segi afektif. Tujuan pembelajaran aspek afektif lebih tepat menggunakan pola kegiatan interaktif. Tujuan-tujuan pembelajaran segi kognitif tingkat rendah "recall" penggunnaan metode pembelajaran yang bermacam-macam dapat digunakan dengan hasil yang relatif sama. Tetapi apabila tujuan pembelajaran tingkat tinggi seperti, mengembangkan kemampuan untuk memecahkan masalah, teknik diskusi adalah tepat. Metode diskusi juga tepat digunakan untuk mengembangkan keterampilan berkomunikasi antar pribadi, mengembangkan kemampuan berfikir secara logis dan sebagainya. Faktor kedua, yang mempengaruhi pemilihan strategi pembela jaran adalah keadaan siswa yang mengikuti proses belajar. Setiap guru harus menyadari adanya kenyataan bahwa senantiasa terdapat perbedaan individual dikalangan siswa. Berbeda dalam kemampuan belajar, cara belajar, latar belakang, pengalaman mereka dan kepribadian mereka. Kecuali apabila kelas yang dihadapi guru tidak cukup untuk melayani kebutuihan individual siswa, maka masalah utama yang biasa dijumpai guru adalah sangat heteroginitas keadaan kelasnya. Problem yang muncul terutama jika guru menggunakan metode ceramah. Jika ceramah dilakukan dengan standart anak-anak yang mampu mempunyai motivasi tinggi maka anak-anak yang lemah akan tertinggal. Sebaliknya jika standar ceramah anak-anak yang kurang mampu menjadi bosan. Ada dua strategi yang dapat digunakan untuk pembelajaran kelas besar. Pertama digunakan sejumlah metode yang bervariasi sehingga setiap siswa akan mengalami paling sedikit sebuah metode yang sesuai deangan gaya belajarnya. Kedua digunakan metode tertentu yang dapat menampung pribadi individu diantara siswa, misalnya menggunakan model untuk pembelajaran mandiri, diskusi dalam kelompok kecil, atau simulasi. Contoh: Bagaimana menggunakan metode yang berbeda dapat menampung perbedaan individual siswa adalah sebagai berikut.

12

a. Gunakan metode untuk pembelajaran mandiri dalam membantu murid yang belum sepenuhnya siap untuk suatu ceramah diskusi atau praktek laboratorium. b. Gunakan metode ceramah atau diskusi kelompok sesudah praktek laboratorium atau simulasi untuk mengumpulkan, menjelaskan, dan saling tukar pengalaman apa yang sudah dipelajari. c. Sajikan informasi dalam suatu ceramah dan kemudian latihan mengamplikasikan informasi dalam suatu diskusi kerja laboratorium atau simulasi d. Gunakan modul sebagai pelengkap siswa yang ingin menyelidiki topik lebih lanjut. Faktor ketiga, yang mempengaruhi pemilihan strategi pembelajaran adalah sumber atau fasilitator untuk melaksanakan strategi pembelajaran tersebut. Sumber atau fasilitator disini menyangkut peralatan, ruangan. Strategi pembelajaran sangat ditentukan oleh jenis dan jumlah sumber yang tersedia untuk melaksanakan strategi tersebut secara efektif. Misalnya strategi pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah untuk kelas besar membutuhkan sedikit sumber dan fasilitas dibanding suatu kerja laboratorium yang membutuhkan peralatan yang cukup banyak dan ruangan yang mencukupi. Dengan begitu nampak jelas bahwa dipengaruhi oleh bagaimana tersedianya sumber dan fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan strategitersebut Faktor keempat, pemilihan strategi pembelajaran ditentukan tidak saja oleh kemampuan guru di dalam menggunakan metode pembelajaran, akan tetapi juga oleh sifat dan karakteristik masing-masing metode yang dapat dipilih untuk mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, unsur pokok yang harus diketahui oleh guru adalah sifat dan karakteristik masing-masing metode pembelajaran. Tentunya dapat difahami bahwa metode tersebut dapat mempengaruhi pemilihan strategi, sebab realisasi penggunaan metode ataupun teknik pembelajaran. Karenanya adalah wajar untuk dapat menentukan pilihan tentang metode tertentu untuk kegiatan pembelajaran didahului dengan pemahaman tentang sifat dan karakteristik metode-metode tersebut. Gambaran di atas memperlihatkan, secara umum pemilihan suatu strategi pembelajaran tertentu mempertimbangkan karakteristik jenis tujuan pembelajaran. Terkait didalam penggunaan strategi pembelajaran,

13

adalah suatu metode atau teknik pemyampaian yang kiranya paling sesuai untuk mencapai jenis tujuan pembelajaran tersebut, sesuai dengan keadaan besar-kecilnya kelas atau jumlah siswa. Raka Joni (1980) menyebutkan faktor-faktor penentu aktualisasi pembelajaran, kata lain dari strategi pembelajaran. Untuk dapat mengelola dan merancang strategi pembelajaran, seorang guru hendaknya mengenal faktor-faktor penentu kegiatan pembelajaran. KEPUSTAKAAN Al Hakim, Suparlan dkk, 2002 , Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Penerbit Universitas Negeri Malang Depdikbud-Dikti, 1980.Pokok-Pokok Pedoman Proses Belajar-Mengajar Buku II Penyempurnaan Proses Belajar-Mengajar, Jakarta : Proyek NKK-Depdikbud-Dikti. ----------- 1981, Materi Dasar Pendidikan AKTA Mengajar V, Buku IIIC, Teknologi Instruksional, Jakarta: Depdikbud-dikti,\ Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan Tinggi. ------------ 1983.Sistem Penyampaian Instruksional, Jakarta: Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan Tinggi. Moedjiono, Dkk, 1996. Strategi Belajar-Mengajar, Malang: Pendidikan Akta IV IKIP MALANG. Raka Joni, 1980a.Strategi Belajar-Mengajar: suatu tinjauan Pengantar, Jakarta: P3G, Depdikbud. --------- 1980b. Cara Belajar Siswa Aktif, Jakarta: P3G Depdikbud. Suprihadi, 1993. Dasar-Dasar Metodologi pengajaran Umum, Pengembangan Proses Belajar-Mengajar, Malang : Penerbit IKIP MALANG. ---------- 1987. Dasar-dasar Metodologi pengajaran Umum, Pengembangan Proses Belajar-Mengajar, Buku III, Malang: Kurikulumdan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, IKIP MALANG.

14

BAB II OPTIMALISASI STRATEGI PEMBELAJARAN A. Peningkatan Efektivitas Strategi Pembelajaran Optimasi strategi pembelajaran akan tampak pada keefektifan proses pembelajaran yang dilaksakan guru. Berikut ini dikemukan beberapa faktor penentu kefektifan strategi pembelajaran meliputi : (1) struktur pembelajaran, (2) motivasi siswa, (3) efektasi guru, (4) pertanyaanpertanyaan terhadap kelas.(5) memaksimalkan waktu, dan (6) pembelajaran konstruktivis 1. Struktur Pembelajaran Selama tahun 1970-an dan 1980-an, Madeline Hunter (1982), Barak Rosenshine ( Rasenshine dan Stevens, 1986) dan para peneliti lainya mencoba untuk mengidentifikasi keefektifan tipe-tipe struktur pembelajaran. Meskipun berbeda-beda sebutan, mereka menyepakati struktur pembelajaran efektif pada dasarnya mencakup komponen : (1) pendahuluan pembelajaran, (2) penjelasan dan klarifikasi isi pembelajaran secara jelas, (3) monitoring terhadap pemahaman anak, (4) pemberian waktu untuk praktek/berlatih, (5) fase penyimpulan dan penutupan pembelajaran, (6) pendalaman secara terstruktur maupun mandiri dan review 2. Motivasi anak Motivasi mengimplikasi pada terbentuknya energi belajar pada diri anak. Review terhadap hasil-hasil penelitian terhadap motivasi belajar anak (brophy, 1987), sejumlah variabel motivasi anak meliputi (1) mengacukan belajar anak dengan interes/minat anak diluar sekolah, (2) menyesuaikan aktivitas belajar anak dengan kebutuhan anak, (3) kebaruan dan kebervariasian aktivitas belajar, (4) pengalaman sukses anak atas belajarnya, (5) tensi-tekanan yang mengarahkan tingginya kepedulian belajar anak, (6) atmosfir/iklim psikologis kelas yang kondusif untuk belajar, (7) monitoring terhadap kinerja anak, (8) belajar yang menantang (Levin dan F. Nolan; 1996:98-103).

15

3. Efektasi guru Riset tahun 1970-an yang dilakukan oleh sejumlah peneliti seperti Thomas Good dan Jere Brophy terhadap perilaku guru ditemukan bahwa guru-guru kurang berpengharapan terhadap siswa-siswanya yang dipahaminya sebagai anak yang kurang cerdas. Dalam komunikasinya terhadap anak-anak yang dipahaminya kurang cerdas tersebut, guru-guru menampakan perilaku dinama mereka (1) kurang memberikan pertanyaan, (2) kalau toh memberikan pertanyaan , kurang memberi waktu anak untuk berfikir, (3) kurang memberikan arahan bila anak yang kurang cerdas tersebut mengalami kesukaran, (4) kurang memberikan reinforcement, (5) sering memberikan kritik, (6) menjauh terhadap anak baik fisik dan psikologis, (7) jarang berekspresi secara personal, (8) memarjinalkan anak atas pertanyaan anak, (9) sedikit sekali tersenyum terhadap anak kurang cerdas, (10) kurang kontak pandang terhadap anak kurang cerdas, dan (11) kurang memberikan masukan terhadap anak kurang cerdas(Levin dan F. Nolan; 1996:102-103). Hal-hal tersebut berlaku sebaliknya terhadap anak-anak yang dipahaminya sebagai anak yang cerdas. Perlakuan yang buruk terhadap anak yang kurang cerdas tersebut, gilirannya memperngaruhi pula harapan anak terhadap dirinya sendiri, yang dampaknya dapat menumbuhkan perilaku belajar yang negatif seperti kurang berpengharapan terhadap diri sendiri, kurang produktif, serta kurang percaya diri untuk konfirmasi kepada guru. Perlakuan guru yang berat sebelah tersebut secara kumulatif akan memperparah ketertinggalan anakanak yang kurang cerdas. Namun, apabila anak-anak yang kurang cerdas tersebut memperoleh perlakuan yang sama dengan mereka yang dipahami guru sebagai anak yang cerdas, maka prestasinya cenderung meningkat. Hal ini terbuktikan dalam riset bahwa guru-guru yang memberikan respon dan kesempatan, umpan balik dan partisipasinya, belajar anak cenderung meningkat cerdas (Levin dan F. Nolan; 1996:103). Kesimpulannya, ekspektasi guru terhadap anak, berpengaruh positif terhadap belajar anak. 4. Pertanyaan kelas Diantara semua jenis metode atau teknik pembelajaran, pertanyaan merupakan metode atau teknik pembelajaran yang memiliki multi guna. Pertanyaan dapat digunakan untuk menilai kesiapan dan kematangan anak

16

untuk mempelajari sesuatu topik, Dengan pertanyaan dapat digunakan untuk mengarahkan minat , motivasi dan perhatian anak, mengarahkan pembentukan konsep secara benar, untuk mendeteksi pemahaman anak, mengarahkan pemahaman anak atas batas-batas tugas-tugas yang perlu di kerjakan, membimbing perilaku positif dan keterlibatan anak dalam belajar. Wilen (1986) dalam simpulan yang dikumpulkannya dari beberapa riset tentang penggunaan pertanyaan oleh guru di kelas menemukan bahwa pertanyaan kelas membantu meningkatkan belajar anak cerdas(Levin dan F. Nolan; 1996:104-105). Beberapa temuan penelitian penggunaan pertanyaan menunjukan berikut. a. Pertanyaan yang diajukan dengan variasi tingkat berfikir dapat meningkatkan kemampuan berfikir kritis anak dan retensi yang lebih baik atas pengetahuan dasar anak ( Good dan Brophy, 1987). b. Pertanyaan umumnya disampaikan kemudian ditunggu beberapa saat antara 3 atau 5 detik, kemudian guru baru menunjuk salah seorang anak. c. Penelitian Brophy dan Good, (1986) menemukan bahwa penggunaan predictable order dalam seleksi anak untuk menjawab pertanyaan dari pada dengan cara random order hasilnya lebih efektif. d. Penggunaan waktu berfikir antara 3 sampai 5 detik setelah pertanyaan disampaikan, diperlukan khusus hanya untuk pertanyaan tingkat tinggi yang jawabanya menuntut anak untuk membuat kesimpulan, hubungan dan penilaian. e. Menggali beberapa jawaban anak keseluruh kelas, sebelum memberikan umpan balik. f. Setelah anak menjawab pertanyaan, kemudian ditunggu beberapa saat antara 3-5 detik baru kemudian direspon, teknik ini cenderung dapat meningkatkan jumlah anak yang merespon pertanyaan, meningkatkan kualitas jawaban ( length of answers), meningkatkan interaksi antar anak, meningkatkan diversitas jawaban anak. g. Menggunakan variasi penguatan positif dan membuat anak memahami secara jelas mengapa mereka memperoleh penguatan positif. h. Memberikan pertanyaan tingkat lanjut misalnya dengan pertanyaan melacak yang dapat memperluas cakrawala berfikir anak, setelah siswa menjawab baik jawaban benar atau salah. Pertanyaan lanjut yang di maksud misalnya, (1) pertanyaan untuk klarifikasi jawaban, (2) pertanyaan untuk memikirkan kembali proses berfikir anak dalam menemukan

17

jawaban, (3) pertanyaan yang dapat mendukung pernyataan anak, (4) pertanyaan untuk mengelaborasi jawaban, (5) pertanyaan yang mengarahkan anak untuk mengaitkan dengan jawaban atas pertanyaan sebelumnya. 5 Memaksimalkan Waktu belajar Ada hubungan antara waktu yang diberikan untuk belajar dengan prestasi belajar yang dicapai anak (Lieberman.dan Denham, 1980). ). Seperti halnya para pendukung belajar tuntas, mereka berpendapat bahwa tingkat keberasilan siswa lebih banyak ditentukan oleh kesempatan belajar serta kualitas pembelajaran yang diperoleh siswa dari pada tingkat kecerdasan tradisional yang diyakini selama ini. Carroll dalam Syamsudin (1983:84) berasumsi bahwa, jika setiap siswa diberi kesempatan belajar dengan waktu yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masing-masing anak, maka mereka akan mampu mencapai tarap penguasaan yang sama. Oleh karena itu, tingkat penguasaan belajar merupakan fungsi dari proporsi jumlah waktu yang disediakan guru, dengan jumlah waktu yang diperlukan anak untuk belajar. Meskipun demikian, motivasi belajar, kemampuan memahamai pembelajaran dan kualitas pembelajaran merupakan faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap kualitas penguasaan belajar. Sehubungan dengan hal itu, maka tingkat penguasaan belajar tersebut dapat diformulakan sebagai berikut. Formula Tingkat Penguasaan Bahan (Degre of Learning-DL). (Time allowed for learn a. DL. : F --------------------------(Time needed for learning) (Time allowed for learning x motivation) b. DL.: F --------------------------------------------(Time needed to learning x quality of instruction x ability to understand instruction) Hal terpenting dari pemaksimalan waktu adalah pemanfaatan waktu untuk pelaksanaan tugas anak. Banyaknya alokasi waktu yang diberikan untuk

18

suatu mata pelajaran, belum berarti apapun tanpa penggunaannya untuk aktivitas pembelajaran. Hasil riset menyatakan bahwa keberhasilan managemen termasuk kegiatan pembelajaran adalah kemampuan guru dalam memaksimalkan alokasi waktu untuk belajar akademik, menyelesaikan tugastugas meminimalkan penggunaan waktu untuk menunggu pelajaran, pergantian matapelajaran, jam kosong tanpa pelajaran ( Brophy,1988). Hasil riset mengisyaratkan untuk memanfaatkan alokasi waktu belajar, disarankan berikut (Levin dan F. Nolan; 1996:107). a. Memanfaatkan waktu untuk interaksi substantivemodel pembelajaran dimana guru menyajikan informasitanya jawabmelakukan unpan balik memonitor kerja siswamendorong siswa belajar secara independent belajar dalam kelompok kecil tanpa banyak intervensi guru. b. Guru memonitor keseluruhan kelas selama pembelajaran dimulai hingga berakhirnya anak menyelesaikan tugas, selama aktivitas anak berlangsung guru mendorong dan mengarahkannya. c. Meningkatkan pemahaman anak terhadap aktivitas apa yang mereka perlu lakukan, keterampilan yang perlu dikuasai agar mampu melaksanakan tugas dengan berhasil, mengarahkan anak untuk mencari sendiri semua bahan yang diperlukan dalam belajarnya, dan mengarahkan anak agar mampu mengendalikan diri untuk tidak berperilaku menyimpang selama penyelesaian tugas. d. Memberikan pengarahan secara verbal-oral kepada anak agar memusatkan perhatian tentang bagaimana mengerjakan tugas dan bilamana pekerjaan selesai, serta mendayagunakan waktu sebaik mungkin untuk mengerjakan tugas. e. Memahami perilaku anak yang tampak dan mengarahkannya untuk meningkatkan keterlibatan dan partisipasinyaan dalam mengerjakan tugas. f. Menyediakan variasi kegiatan dengan acuan untuk mempertahankan perhatian anak terhadap tugas tanpa bayak interupsi atas kegiatan anak dalam kelompok kecil ( Evertson, 1989). 5. Penerapan Pembelajaran Konstruktivis Tiga dasa warsa antara tahun 1970-2000, usaha-usaha inovasi pembelajaran di Indonesia sangat intensif. Saat ini, inovasi pembelajaran berakar dari paradigma pembelajaran yang dimotori oleh filsafat

19

konstruktivisme. Pandangan konstruktifis tentang belajar menurut Brophy dalam Sulton, (1997:1), dipengaruhi oleh pandangannya terhadap ilmu pengetahuan. Konstruktifis memiliki dua pandangan dasar terhadap sifat ilmu pengetahuan. Pertama, empiricist-oriented constructivists, pandangan ini melihat ilmu pengetahuan berada pada lingkungan eksternal, serta keberadaannya tidak bergantung pada aktifitas kognitif siswa. Karena itu dalam pandangan Case yang dikutip oleh Brophy dalam Sulton (1997:1) menyarankan dalam pembelajaran hendaknya guru memberikan bantuan kepada siswa dalam membangun konsep-konsep yang akurat. Kedua, radical constructivists, menyatakan bahwa ilmu pengetahuan terbentuk dalam struktur kognisi siswa. Oleh karena itu, Rumel Hart & Norman yang dikutip Brophy dalam Sulton, (1997:1) menyarankan bahwa dalam pembelajaran, guru dituntut untuk memberikan kesempatan pada siswa untuk membangun konsep yang akurat. Sejalan dengan dua pandangan tersebut di atas dapat dikemukakan konsep belajar sebagai berikut. Pertama, belajar sebagai proses konstruksi, yaitu aktifitas siswa untuk membangun pengetahuan, representasi internal terhadap pengalaman. Pada tahun 1983, Resnick dalam penelitiannya merangkum bahwa seseorang yang belajar itu membentuk pengertian. Orang yang belajar tidak sekedar meniru atau mencerminkan yang diajarkan atau yang dibaca, melainkan secara aktif membentuk pengertian (Bettencour dalam Suparno, 1997:11). Interpretasi siswa terhadap lingkungan merupakan aktifitas yang penting untuk membentuk pengetahuan baru dalam diri kognisi siswa. Kedua, belajar merupakan suatu proses yang aktif dalam mengembangkan makna berdasarkan pengalaman. Ketiga, belajar merupakan interpertasi terhadap lingkungan melalui perbedaan struktur atau skemata sehingga merupakan pemaknaan baru (Brooks dalam Sulton, 1997:1). Idea proses pembelajaran optimal dalam kajian ini bertolak dari akar konstruktivis, yang menekankan pentingnya peranan aktif siswa dalam proses belajarnya. Dalam pada itu maka proses pembelajaran optimal, akan tampak pada optimasi keterlibatan mental emosional anak pada proses asimilasi dan akomodasi kognitif dalam pemerolehan pengetahuan melalui perbuatan serta pengalaman langsung dalam pembentukan keterampilan, dan penghayatan serta internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap dan nilai (Raka Joni; 1980).

20

Memandu terwujudnya proses pembelajaran optimal, pola dasarnya menggariskan terciptanya proses pembelajaran dengan menerapkan "innovatory knowledge" ( Pembentukan pengetahuan). Pengembangan keterampilan kognitif dalam proses belajar dengan penekanan pada terbentuknya pengertian dan penggunaan informasi untuk pemecahan masalah, dari pada perolehan informasinya itu sendiri. Siswa dalam proses belajarnya terarahkan untuk mengetahui dan menemukan pengetahuan melalui kegiatan analisis terhadap pengalaman belajarnya. Tujuan kegiatan belajar anak adalah berkembangnya kemampuan berpikir produktif dan kreatif. Oleh karena itu, perolehan dan pemilikan ilmu pengetahuan disikapi sebagai sarana bagi terjadinya proses berpikir produktif dan bukan sebagai tujuan belajar utama. (T. Raka Joni; 1980). Peran guru di kelas sebagai implikasi dari proses pembelajaran optimal tersebut di atas, adalah sebagai fasilitator yang mampu mengembangkan kemampuan belajar anak. Sehubungan dengan itu, maka tugas guru yang utama adalah menyediakan kondisi belajar yang relevan yang memungkinkan terwujudnya aktivitas belajar anak dalam situasi yang wajar dengan penuh kegembiraan. Kondisi belajar yang efektif sebagai wujud proses pembelajaran optimal, di susun dengan ketentuan sebagai berikut: (1) disusun dengan memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan penemuan-penemuan sebagai wujud perolehan hasil belajarnya (2) mampu menuntun anak untuk mengolah perolehan hasil belajarnya sendiri, (3) memacu kemampuan mental, fisik, dan sosial anak sebagai penggerak tercapainya kemampuan-kemampuan berikutnya yang lebih tinggi, (4) memberikan kesempatan kepada anak untuk menunjukkan kreatifitas dan bertangung jawab terhadap kegiatan itu, (5) memberi kesempatan kepada anak untuk menetapkan kegiatan belajar sesuai dengan kecepatan masing-masing, (6) memberi kesempatan anak untuk mengembangan kegiatan belajar sesuai dengan minat dan perbedaan bakatnya, (7) memberi peluang terjadinya akselerasi belajar individual dengan tetap terbinanya sikap kebersamaan dalam proses pembelajaran. B. Implikasi Pembelajaran Optimal Proses pembelajaran optimal akan berimplikasi terhadap perubahan peranan murid, perubahan peranan guru, pemanfaatan sumber-sumber belajar, penilaian dan pola interaksi-komunikasi proses pembelajaran.

21

1. Peranan anak dalam belajar Ditinjau dari sudut psikologi proses pembelajaran optimal memerlukan perkembangan domain intelektual, kognitif, motivasi dan sosio afektif. Terjadinya keterkaitan di bidang intelektual dan kognitif, dimana pengetahuan dasar saat ini merupakan dasar (preriquisite) untuk mengembangkan kognitif tingkat yang lebih tinggi. Dalam kerangka itu, anak harus diperlengkapi dengan teknik-teknik untuk mendapatkan pengetahuan dan disadarkan akan sumber-sumber pengetahuan di luar guru dan sekolah. Dan yang lebih penting dari itu, mereka harus terampil untuk menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah-masalah belajar. Dalam rangka optimasi proses pembelajaran, anak harus mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Anak harus mampu mengembangkan kemampuannya untuk belajar dalam berbagai teknik dan setting belajar. Anak harus dapat menemukan sendiri pengetahuannya dan mengolah pengetahuannya itu, dan dengan terampil dapat memanfaatkannya untuk memecahkan masalah. Pembelajaran optimal mempersyaratkan Anak sudah dapat belajar dengan berbagai strategi dan setting, misalnya belajar perorangan, kelompok dan seterusnya. Anak telah mempunyai (1) ketrampilan belajar, seperti ketrampilan membaca, menulis, mengamati dan mendengarkan, komunikasi verbal dan non verbal, (2) ketrampilan dasar intelektual seperti mengadakan penalaran, berpikir kritis, dan menafsirkan data, (3) keterampilan menggunakan bermacam-macam alat belajar seperti, media cetak, media masa dan berbagai intruksional ma-terial, (4) kemampuan mengidentifikasi kebutuhan belajarnya. Pendek kata untuk menunjang proses pembelajaran optimal, anak dituntut mempunyai hal-hal sebagai berikut, (1) kemampuan mendapatkan dan menggunakan informasi, (2) ketrampilan intelektual dan kognitif yang tinggi, (3) kemampuan belajar melalui berbagai strategi dan setting belajar, (4) kemampuan menilai hasil belajar sendiri, (5) memiliki motivasi belajar yang tinggi, (6) dimilikinya pemahaman diri sendiri. Kegiatan belajar, perlu diarahkan kepada peningkatan cara belajar siswa aktif agar pembelajaran menjadi optimal. Melalui cara belajar aktif tersebut, anak dapat berkembang kemampuan dan keinginannya untuk belajar secara mandiri. Dengan CBSA anak mampu belajar dalam arti yang

22

sebenarnya. Anak dapat memproses dan menggunakan pengetahuan sebagai dasar untuk mengembangkan kemampuan dalam berpikir kritis, kreatif dan penalaran yang tinggi. Peningkatan kadar CBSA dalam kegiatan pembelajaran, berarti menuntut penggunaan strategi dan metode pembelajaran secara kaya dan beraneka ragam. Penerapan berbagai metode pembelajaran secara self directed learning (dapat mengarahkan dirinya sendiri untuk belajar) dan interlearning (belajar sesama teman). Pembelajaran optimal menuntut anak untuk mengambil peran aktif dalam belajarnya. Pengambilan bagian secara aktif dalam kegiatan belajar terindikasikan oleh adanya keterlibatan mental, emosional anak disamping keterlibatan fisik. Keterlibatan mental intelektual dan emosional sekaligus berarti pembangkitan motivasi. 2. Peranan guru dalam proses pembelajaran optimal Peranan guru dalam proses pembelajaran optimal memiliki berbagai bentuk sesuai dengan pengaruhnya terhadap sikap, struktur motivasi dan ketrampilan kognitif anak. Di dalam domain sikap, tugas guru membantu anak untuk mengambil sikap yang kreatif dalam proses pembelajaran. Membantu anak untuk berpikir kritis dalam menghadapi masalah-masalah agar dapat mengatasi secara efektif dan efisien. Membantu anak untuk memperoleh pengalaman, menjadi peran guru dalam pembelajaran. Di bidang motivasi, tugas guru adalah membangkitkan anak dalam proses belajar dan membangkitkan keinginan anak untuk secara kontinyu mau belajar. Sedangkan dalam domain kognitif tugas guru adalah memperlengkapi kemampuan untuk belajar dalam memperoleh pengetahuan dan ketrampilan. Tugas ini dapat dikembangkan melalui pembinaan dalam mengenal dan menggunakan metode-metode ilmiah dan pembinaan untuk mengenal sumber-sumber belajar. Peranan fundamental guru, utamanya dalam bidang kognitif yaitu meningkatkan kemampuan anak untuk menemukan pengetahuan baru menganalisa proses belajar anak. Untuk yang terakhir ini dikembangkan melalui pembelajaran dengan pendekatan ketrampilan proses. Dalam rangka memandu konsep belajar sepanjang hayat, guru hendaknya telah menjadi pelajar sepanjang hayat. Guru tidak pernah berhenti belajar. Sehingga tindakannya itu, menjadi contoh bagi anak-anak.

23

Peranan tradisional yang mengatakan guru sebagai penyalur pengetahuan dan sumber dari segala ilmu pengetahuan harus berubah. Guru lebih berperan sebagai fasilitator dalam kegiatan belajar anak. Guru sebagai fasilitator belajar anak, akan berfungsi sebagai manajer dalam setting belajar anak. Sebagai advisor, penasehat anak dalam meghadapi kesulitan. Sebagai observer, pengamat kegiatan anak. Dan sebagai evaluator, yang bertugas untuk mendeteksi kemajuan belajar anak. Guru tidak berperan sebagai "pemberi fakta" yaitu orang yang hanya menyampaikan pengetahuan kepada anak, tetapi membantu anak untuk mendiaknosis kebutuhan belajar, mengkoordinasikan anak dalam setting belajar yang tepat. Guru-guru menjadi penasehat (advizor) bagi anak-anak. Guru sebagai penasehat berarti harus mampu mendiaknosis kesulitan belajar anak sehingga dapat memberikan layanan belajar dengan tepat. 3. Penilaian Pembelajaran Sebagai konsekuensi dari pembelajaran optimal, ada pada sistem penilaian. Penilaian tidak semata-mata diarahkan untuk mengukur hasil belajar saja. Penilaian kegiatan pembelajaran harus mencakup hasil dan proses belajar anak. Penilaian hasil maksudnya penilaian terhadap penguasaan pengetahuan anak. Sedang penilaian proses mengacu pada penilaian terhadap kualitas aktivitas belajar anak. Misalnya penilaian tentang sikap belajar, penilaian terhadap keterampilan proses (keterampilan mengamati, menggolongkan, menafsirkan, penelitian, dan keterampilan komunikasi). 4. Pemanfaatan sumber-sumber belajar Proses pembelajaran optimal pada hakekatnya adalah penerapan proses pembelajaran yang dilandasi oleh prinsip CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Peningkatan kadar CBSA dalam kegiatan pembelajaran, menuntut penggunaan strategi dan metode pembelajaran secara beraneka ragam. Pemilihan dan penerapan strategi bertolak dari karateristik strategi yang memungkinkan adalah "self directed" dan "inter learning". Selanjutnya, dalam rangka peningkatan Cara Belajar Siswa Aktif, anak-anak diharapkan telah mempunyai pengetahuan yang memadai; kenal akan berbagai ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Anak-anak harus terampil

24

menggunakan alat-alat belajar. Anak-anak mempunyai ketrampilan dasar pembelajaran, membaca, mengamati, mampu berkomunikasi dengan baik. Dalam rangka Cara Belajar Siswa Aktif, kegiatan pembelajaran membiasakan anak untuk menggunakan berbagai sumber belajar, baik yang ada di dalam sekolah, maupun di luar sekolah. Yang dimaksud sumber belajar adalah segala sumber pesan, manusia, lingkungan dan teknik yang dapat digunakan oleh anak, baik sendiri maupun bersama-sama,untuk membantu belajarnya. Ada dua macam sumber belajar yaitu: (1) sumber belajar yang memang dikembangkan dan disiapkan untuk membantu belajar, yang merupakan komponen sistem pembelajaran, biasa disebut "resources by design". (2) sumber belajar yang tidak secara khusus untuk pembelajaran, tapi dapat digunakan untuk belajar, yang biasa disebut "resources by utilization" (Suprihadi, 1993:9). Penggunaan jenis sumber belajar tersebut mengisyaratkan, bahwa guru bukan satu-satunya sumber belajar. Dengan perancangan sumber belajar yang demikian itu akan membantu siswa untuk terbiasa belajar sendiri tanpa harus dibawah pengaruh otoritas guru. Anak diarahkan untuk mengembangkan kemampuan menggali berbagai sumber belajar di luar arahan guru, di luar buku paket dan bahkan di luar sekolah. Implikasi dari proses belajar optimal adalah nara sumber dalam belajar anak bukan semata-mata guru. Atau bahkan konsep tentang guru diperluas. Dalam pengertian ini, yang disebut guru adalah semua orang yang dapat dijadikan nara sumber dalam kegiatan belajar anak . Tentu saja akan menjadi perdebatan sebab konsep guru yang sedemikian akan mengaburkan siapa guru yang sebenarnya. Apapun sebutannya, apakah nara sumber atau juga guru, yang jelas dalam prose pembelajaran murid harus dapat menfaatkan pengetahuan, pengalaman orang sumber di luar guru kelas atau guru bidang studi. Guru bukanlah satu-satunya sumber yang menguasai segalanya. Sehubungan dengan itu, dituntut kemampuan guru untuk mengkoordinasikan orang-orang sumber tersebut agar dapat membantu belajar anak. Orang-orang sumber yang dapat dikoordinasikan untuk membantu anak dalam belajar misalnya ahli pustakawan, perawat kesehatan, penjaga musium, dokter, ahli farmasi petani dll.

25

Perancangan penggunaan sumber pembelajaran di atas, menuntut kemampuan profesional guru. Banyak meminta pula, pemikiran matang guru, sehingga pemanfaatan sumber-sumber belajar tersebut dapat terkoordinasikan secara relevan dengan tujuan-tujuan belajar yang akan dicapai. 5. Interaksi-Komunikasi dalam Pembelajaran Pembelajaran terwujud dalam bentuk interaksi timbal balik secara dinamis antara guru dengan siswa dan atau siswa dengan kondisionong belajarnya. Guru pada saat tertentu berposisi sebagai perangsang atau stimulasi yang memancing anak untuk bereaksi sebagai wujud aktivitasnya yang disebut belajar. Pada saat yang lain guru bereaksi atas aksi-aksi yang diperbuat anak. Interaksi diantara kedua belah pihak berjalan secara dinamis bertolak dari kondisi awal melalui titik-titik sepanjang garis kontinum hingga akhir kegiatan pembelajaran. Interaksi dinamis guru-siswa dalam pembelajaran dapat terwujud dalam berbagai bentuk hubungan. Interaksi guru-murid dapat mengambil bentuk hubungan langsung, yakni interaksi secara tatap muka. Dalam bentuknya yang lain hubungan guru-siswa bersifat tidak langsung, yakni melalui perantaraan media pembelajaran seperti paket belajar, modul pembelajaran, penyelesaian tugas-tugas terstruktur, dan sejenisnya. Di samping itu interaksi guru-siswa terealisasi pula melalui hubungan yang bersifat campuran. Meskipun guru telah memanfaatkan media pembelajaran, tetapi guru tetap hadir dalam pembelajaran. Pola arus interaksi guru-murid di kelas memiliki berbagai kemungkinan arus komunikasi. Sedikitnya menurut H.C Lindgren dalam Raka Joni (1980), ada empat pola arus komunikasi: (1) komunikasi gurusiswa searah, (2) komunikasi dua arah -- arus bolak-balik--, (3) komunikasi dua arah antara guru-siswa dan siswa-siswa, (4) komunikasi optimal total arah. Arus komunikasi dalam pembelajaran ada pula yang membedakan kedalam dua jenis, yakni one way traffic comunication dan two way traffic comunication. Pengaturan materi interaksi, dapat dibedakan dalam beberapa bentuk pengaturan. Pengaturan materi dapat dibedakan menjadi tiga sifat, yakni implisit, eksplisit, dan implikatif. Pengaturan materi secara implisit yakni pengaturan materi yang bersifat terselubung. Makna (meaning) isi

26

komunikasi tersirat dibalik yang tersurat. Sedangkan pengaturan secara eksplisit, bila mana makna isi komunikasi, tersurat secara lahiriah atau tekstual. Sementara pengaturan secara implikatif, yakni pengaturan materi komunikasi yang maknanya hanya dapat ditemukan dari apa yang tersorot oleh proses komunikasi tersebut. C. Prinsip-prinsip Umum Pembelajaran Optimal Ada beberapa prinsip pembelajaran yang perlu diperhatikan untuk membantu kemudahan belajar anak. Prinsip pembelajaran tersebut bertolak dari asumsi dasar (postulat) tentang hal-hal yang menjadi penentu kemudahan dan keberhasilan belajar anak. Prinsip-prinsip pembelajaran yang dimaksud, diantaranya adalah berikut ini. 1. Prinsip Motivasi Belajar Keberhasilan belajar siswa bergantung pula pada derajat motivasi belajar yang dimilikinya. Siswa yang sukses dalam belajarnya, banyak didukung oleh derajat motivasi yang tinggi untuk berhasil. Sebaliknya, fasilitas belajar yang baik, cara guru mengajar yang optimal, kurikulum sekolah yang modern, lingkungan belajar yang kondusif dan seterusnya, tidak dengan sendirinya dapat menjamin kesuksesan belajar anak bilamana tidak dilandasi oleh motivasi belajar yang tinggi dari siswa itu sendiri. Oleh karena itu, motivasi belajar dari siswa memegang peranan penting bagi keberhasilan belajarnya. Pentingnya peranan motivasi untuk mencapai keberhasilan belajar mengingatkan guru untuk mampu mendorong siswa agar memiliki motivasi yang tinggi dalam belajarnya. Oleh karena itu, dalam pembelajaran, mendorong timbulnya motivasi merupakan tugas guru yang tidak dapat dielakan. Untuk itu, guru dituntut agar memiliki kecermatan dalam memperhatikan kondisi motivasi belajar anak. Sehingga guru peka terhadap kondisi motivasi belajar anak-anak. Kepekaan guru itu sangat diperlukan mengingat dalam kurun waktu pembelajaran, motivasi belajar anak bersifat pasang surut. Berhubung demikian, maka sepanjang pembelajaran, guru dituntut untuk senantiasa mampu mempertahankan dan memperbaharui motivasi anak. Derajat motivasi belajar anak dapat diamati dari perilaku belajar anak dikelas. Ada tiga aspek perilaku belajar siswa yang memperlihatkan

27

adanya motivasi positif dalam belajarnya (Worell dan Stilwell, 1981: 282) . Pertama,adanya inisiasi aktivitas belajar anak, yang diperlihatkan oleh perilaku anak dengan indikator sebagai berikut: (1) anak menunjukkan minat dan keingintahuan yang tinggi, (2) tingginya perhatian anak terhadap pembelajaran yang disajikan, (3) mempunyai dorongan yang kuat untuk menyelesaikan sejumlah tugas dari guru. Kedua, kuantitas dan kualitas usaha anak dalam upaya mencapai kesuksesan belajarnya. Hal ini tampak dari usaha anak untuk belajar keras, menggunakan waktu untuk belajar secara optimal, memanfaatkan waktu untuk belajar di perpustakaan, banyak membaca buku, melengkapi fasilitas belajarnya. Ketiga, tingkat ketepatan dalam menyelesaikan tugas-tugas dari guru. Adanya motivasi positif dalam belajar, diperlihatkan anak dengan sikap senang untuk memecahkan masalah-masalah yang ditugaskan kepadanya dan meningkatnya partisipasi anak dalam penyelesaian tugastugas kelompok. Motivasi menjadi sumber tenaga bagi perilaku belajar anak. Tanpa disertai motivasi yang kuat, anak tidak akan memiliki usaha yang kuat untuk beraktivitas belajar. Sebaliknya, dengan motivasi yang kuat, dapat mnjadi tenaga pendorong kuatnya usaha belajar siswa. Kuatnya motivasi tersebut, gilirannya dapat berpengaruh terhadap prestasi belajar yang dicapai anak ( Worell dan Stilwell, 1981:294). Ada dua sumber motivasi yang dapat dijadikan landasan untuk memotivasi anak. Pertama, motivasi yang bersumber dari dalam diri anak, dan kedua, motivasi yang bersumber dari luar diri anak. Motivasi yang bersumber dari dalam menjadi kontrol internal bagi anak dalam mengelola perilaku belajarnya sendiri (self management of learning). Sedangkan motivasi yang bersumber dari luar (lingkungan anak), dapat diciptakan guru dengan menciptakan kondisi yang dapat menarik minat anak, misalnya dengan gaya mengajar yang antusias, memberikan balikan, dan memberikan reward or incentives (Worell dan Stilwell, 1981: 299). Prinsip Keaktifan Keaktifan belajar berarti keterlibatan intelektual dan emosional anak, disamping keterlibatan fisik dalam perilaku belajarnya. Pola keaktifan sebagaimana yang dimaksud, mengimplisitkan perlunya penerapan

28

Cara Belajar Siswa aktif dalam pembelajaran. Konsep Cara Belajar Siswa Aktif merupakan pengertian yang secara jelas telah menunjuk makna dan atau isi pengertiannya itu sendiri. Cara Belajar Siswa Aktif yaitu konsep yang menjelaskan peranan aktif siswa dalam proses belajar. Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa cara belajar siswa aktif merupakan prinsip pembelajaran yang merangsang munculnya aktifitas siswa secara individual maupun berkelompok. Mengapa aktifitas siswa merupakan sorotan dalam pembelajaran? Kiranya dapat dipahami bahwa kebermaknaan hasil belajar (kualitas hasil belajar) sangat bergantung pada tingkat keaktifan siswa. Peranan aktif siswa dalam kegiatan pembelajaran memegang peranan yang amat penting. Dalam hal retensi hasil belajar ( apakah hasil belajar tahan lama dalam ingatan siswa), dipengaruhi oleh tingkat keaktifan belajarnya. Di samping itu harus di sadari, bagaimanapun belajar dengan sendirinya terwujud dalam bentuk keaktifan siswa, walaupun tentu saja dengan derajad yang berbeda-beda. Keaktifan itu dapat berbentuk aneka ragam sepeti mendengarkan ceramah, berdiskusi, membuat paper, dan menulis laporan mengadakan simulasi. Keaktifan yang lebih penting bahkan sulit diamati misalnya menggunakan khasanah ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah dan menyusun percobaan. Dari berbagai keaktifan seperti telah disebutkan di atas, dapat dirangkum bahwa keaktifankeaktifan kegiatan belajar tersebut, sebagaimana yang dikehendaki oleh prinsip CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), adalah keaktifan mentalintelektual dan keaktifan emosional siswa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hakekat Cara Belajar Aktif menunjuk pada keterlibatan mental-intelektual siswa dan keterlibatan emosional siswa didalam kegiatan pembelajaran. Tentu saja, keaktifankeaktifan intelektual dan emosional tersebut, aktualisasinya mempersyaratkan keterlibatan langsung dalam berbagai bentuk keaktifan fisik. Keaktifan mental intelektual dan keaktifan emosional di samping ini juga keaktifan fisik dalam aktifitas pembelajaran, berkaitan dengan asimilasi dan akomodasi kognitif dalam pencapaian pengetahuan, serta penghayatan dan internalisasi nilai-nilai dalam pembetukan sikap dan nilai. Rosjidan, dkk (1996:62) menyebutkan, untuk menciptakan keaktifan anak, kegiatan pembelajaran perlu memperhatikan berikut ini.

29

a. Tercipta situasi kelas yang memungkinkan siswa belajar dengan bebas dan tidak terancam, namun tetap terkendali. b. Kecuali menunjukkan kerangka dasar, siswa lebih bersifat tut wuri handayani dalam proses pembelajaran. c. Siswa dihadapkan dengan topik-topik yang problematis. d. Tersedia sumber dan media belajar yang diperlukan siswa. e. Diupayakan adanya pemanfaatan metode, teknik, dan media pembelajaran yang bervariasi namun tetap relevan dengan tujuan. f. Proses belajar yang benar dipandang sam pentingnya dengan pemerolehan hasil yang benar. g. Terjadi interaksi dan komunikasi multiarah antara guru dengan para siswa atau anak. h. Ada sistem reward atau penghargaan yang dapat memuaskan dan meningkatkan motivasi siswa. i. Ada kesempatan bagi siswa untuk memperoleh bantuan dan memecahkan masalah-masalahnya, baik akademik maupun pribadi. Prinsip Pembelajaran Individual Istilah pembelajaran individual mempunyai arti yang luas, bisa berarti setiap siswa diberi kebebasan untuk maju berdasarkan kemampuannya dan kecepatannya masi-masing. Ia juga bisa berarti setiap siswa diberi kesempatan memilih tujuan pembelajaran yang sesuai dengan minat dan kemampuannya masing-masing. Individual juga bisa berarti memberi kesempatan kepada siswa untuk memilih tujuan pembelajaran dan menunjukkan tingkat penguasaannya dalam berbagai cara (laporan, ujian tulis, ujian lisan, dan sebagainya). Namun demikian, dari berbagai bentuk pembelajaran yang di individual itu semuanya menunjuk kepada perhatian, bantuan dan perlakuan khusus ditujukan kepada orang yang tidak sama minat dan kemampuannya. Perbedaan-perbedaan individual pada umumnya dapat dilihat antara lain berikut ini. a. Perbedaan kematangan intelektual. Perbedaan ini ditengarahi oleh adanya perbedaan kemampuan intelektual anak. Beberapa anak lebih cepat untuk memhami konsep-konsep abstrak, sementara beberapa anak yang lain masih memerlukan kongkritisasi konsep. b. Kemampuan berbahasa, beberapa siswa lebih mudah belajar bahan-bahan pelajaran yang bersifat verbal dan disajikan secara verbal pula.

30

c. Latar belakang pengalaman, beberapa siswa lebih mudah belajar bahanbahan pelajaran yang ada hubungannya dengan pengalaman masa lalunya. d. Cara/gaya belajar, beberapa siswa lebih mudah menyesuaikan diri dengan kegiatan-kegiatan pembelajaran dan alat-alat pembelajaran yang dipergunakan daripada siswa yang lain. e. Bakat dan minat, beberapa siswa lebih bergairah dan tidak menemui kesulitan mengikuti beberapa mata pelajaran dibandung dengan temanteman yang lain. f. Kepribadian, ini menyebabkan siswa bebeda-beda reaksi dan tanggapannya terhadap tingkah laku/ sikap dan cara-cara guru mengajar. Perbedaan-perbedaan individual tersebut di atas (dan masih banyak lagi jenis-jenis perbedaan individual) menuntut perlunya pembelajaran yang diindividualisasikan. 4. Prinsip Belajar Tuntas Belajar Tuntas (Matery Learning) atau belajar sebagai penguasaan (learning for mastery) adalah suatu falsafah tentang pembelajaran yang mengatakan bahwa dengan sistem pembelajaran yang tepat semua siswa akan dapat belajar dengan hasil yang baik dari seluruh bahan pelajaran yang di berikan di guru. Pandangan ini menolak pendapat yang mengatakan bahwa tingkat keberhasilan siswa lebih banyak ditentukan oleh tingkat kecerdasan anak (IQ). Seperti telah disebutkan di atas, para pendukung strategi belajar tuntas berpendapat bahwa tingkat keberasilan siswa leih banyak ditentukan oleh kesempatan belajar serta kualitas pembelajaran yang diperoleh siswa daripada tingkat kecerdasan tradisional yang diyakini selama ini. Dijelaskan pula di atas, bahwa Carroll dalam Syamsudin (1983:84) berasumsi bahwa, jika setiap siswa diberi kesempatan belajar dengan waktu yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masing-masing anak, maka mereka akan mampu mencapai tarap penguasaan yang sama. Oleh karena itu, tingkat penguasaan belajar merupakan fungsi dari proporsi jumlah waktu yang disediakan guru, dengan jumlah waktu yang diperlukan anak untuk belajar. Meskipun demikian, motivasi belajar, kemampuan memahamai pembela- jaran dan kualitas pembelajaran merupakan faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap kualitas penguasaan belajar.

31

Maksud utama belajar tuntas ialah agar sebagaian besar siswa (75100%) dapat mencapai tingkat Mastery (penguasaan bahan). Kecuali itu, belajar tuntas juga di maksudkan untuk efisiensi belajar, meningkatkan minat belajar dan membiasakan/melatih sikap dan cara-cara belajar yang benar. Ada dua macam konsep belajar tuntas, yaitu (1) strategi belajar tuntas perorangan dan (2) strategi belajar tuntas kelompok. Namun demikian keduanya berusaha untuk mengembangkan setiap siswa sebaikbaiknya, yaitu dengan cara berikut. a. Membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar. b. Menyediakan waktu yang cukup unuk belajar. c. Memberi kepastian kepada siswa mengenai bahan yang harus dipelajari, baik ruang lingkup maupun tingkat kesukarannya. Kepustakaan Azis, Ishar, 1985. Pedoman Studi Remedial Teaching, Diagnosis Kesulitan Belajar dan Pengajaran Remedial, Depdikbud-Dikti. Depdikbud, 1982/83, Program AKTA Mengajar V-B, Komponen Bidang

Institusi Pendidikan Tinggi. Levin dan F. Nolan; 1996 , Principles of Classroom Management, A Profesional Decision Making Model, second Edition, Needham Heights, Mass 02194: Allyn & Bacon A. Simon & Schuster Company Moedjiono, Dkk, 1996. Strategi Belajar-Mengajar, Malang: Pendidikan Akta IV IKIP MALANG. Raka Joni, 1980. Cara Belajar Siswa Aktif, Jakarta: P3G Depdikbud. Rosjidan, dkk, 1996. Belajar dan Pembelajaran, Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, FIP-IKIP MALANG. Suprihadi, 1993. Dasar-Dasar Metodologi pengajaran Umum, Pengem bangan Proses Belajar-Mengajar, Malang : Penerbit IKIP MALANG. Syamsudin, A, 1983.Pedoman Studi Psikologi Kependidikan, Bandung: Pustaka Martiana. Worell and Stilwell, 1981. Psychology for Teacher and Studens, USA: McGraw-Hill.

studi Teknologi Instruksional Buku II, Pengajaran Perorangan dan Kelompok Kecil, Jakarta: Depdikbud-dikti, Proyek Pengembangan

32

BAB III PROSEDUR DAN POLA PENGATURAN KEGIATAN PEMBELAJARAN A. Pengertian Pembelajaran dari sisi proses, berlangsung dalam bentuk serangkaian kegiatan yang berjalan secara bertahap. Kegiatan pembelajaran berlangsung dari satu tahap ketahap selanjutnya, sehingga membentuk alur yang konsisten. Langkah-langkah penyajian sistematis dalam bentuk serangkaian urutan tindakan prosedural-bertahap berkesinambungan tersebut dinamakan prosedur pembelajaran. Prosedur pembelajaran memiliki tipe-tipe tertentu, sesuai variable pembentuknya yang meliputi topik, tujuan, spesifikasi materi dan tingkat pengalaman belajar anak. Variabel-variabel tersebut menuntut perlunya spesifikasi urutan tetentu, sehingga efektivitas dan efisiensi pembelajaran dapat dicapai. Tuntutan akan karakteristik urutan tersebut gilirannya melahirkan suatu tipe-tipe prosedur pembelajaran tertentu, menjadi sebuah struktur pembelajaran. Berkait dengan itu, maka struktur pembelajaran adalah tipe prosedural urutan anatomis tindakan pembelajaran. Berikut dibawah ini disajikan tipe-tipe tertentu secara generic mengenai struktur pembelajaran. Pola kegiatan pembelajaran diartikan sebagai pola umum perbuatan guru-murid dalam perwujudan kegiatan pembelajaran. Keumuman pola kegiatan dalam arti macam dan urutan perbuatan yang dimaksudkan bahwa pola kegiatan pembelajaran tampak dipergunakan guru-murid dalam bermacam-macam peristiwa belajar. Konsep pola kegiatan pembelajaran dalam hal ini menunjuk karakteristik abstrak dari rentetan perbuatan guru murid di dalam peristiwa pembelajaran. Raka Joni (1980), dalam hal ini membedakan antara pola kegiatan pembelajaran dengan desain pembelajaran. Pola kegiatan pembelajaran berkenaan dengan kemungkinan variasi pola dalam arti macam dan urutan umum perbuatan pembelajaran, sedang desain pembelajaran menunjuk tentang cara-cara merencanakan suatu lingkungan belajar tertentu. Kalau disejajarkan dengan pembuatan rumah, pola kegiatan pembelajaran, disamakan dengan usaha mencari kemungkinan macam rumah, misalnya apakah rumah yang akan dibangun itu nantinya

33

berbentuk joglo atau bentuk Spanyol. Sedangkan desain lebih merupakan penetapan rengrengan dari jenis rumah yang telah ditetapkan, bahan serta langkah-langkah konstruksinya. B. Struktur Pembelajaran Selama tahun 1970-an dan 1980-an, Madeline Hunter (1982), Barak Rosenshine ( Rasenshine dan Stevens, 1986) dan para peneliti lainya mencoba untuk mengidentifikasi keefektifan tipe-tipe struktur pembelajaran. Meskipun berbeda-beda sebutan, mereka menyepakati struktur pembelajaran efektif pada dasarnya mencakup komponen : (1) pendahuluan pembelajaran, (2) penjelasan dan klarifikasi isi pembelajaran secara jelas, (3) monitoring terhadap pemahaman anak, (4) pemberian waktu untuk praktek/berlatih, (5) fase penyimpulan dan penutupan pembelajaran, (6) pendalaman secara terstruktur maupun mandiri dan review. Suprihadi Saputro (2004) mempola enam fase kegiatan guru sebagai struktur pembelajaran klasikal. Enam fase tersebut meliputi, ( 1) fase motivasi, (2) fase eksplorasi, (3) fase intensifikasi, (4) fase elaborasi, (5) fase signifikasi, dan (6) fase evaluasi. Masing-masing fase berisi teknik-teknik kegiatan guru, yang mencerminkan fase-fase yang bersangkutan. Herbart dalam Moedjiono , dkk. (1996) mengemukakan lima langkah induksi dalam pembelajaran. Kelima langkah tersebut adalah berikut ini. a. Persiapan meliputi: (a) mengemukakan tujuan pembelajaran secara jelas kepada siswa; (b) memberi pandangan ke depan bahwa apa yang dialami siswa akan membantu pemahaman materi. b. Penyajian. Pada tahap ini data-data yang berhubungan erat dengan masalah-masalah yang harus dipecahkan dikemukakan pada siswa. c. Komparasi - Abstraksi. Data-data itu diperbandingkan dan dianalisa secara seksama untuk menunjukkan keterkaitan yang dapat dipergunakan selanjutnya untuk menemukan implikasinya.

34

d. Generalisasi. Pada tahap ini unsur-unsur kesamaan dan perbedaan dikemukakan bersama sebagai bukti untuk menemukan implikasinya secara pasti. e. Penerapan. Kesimpulan yang diperoleh diterapkan dalam berbagai situasi untuk memperjelas signifikasi kesimpulan yang diperoleh terdahulu. Gagne (1962:304); Gagne dan Briggs (1974:123), mengidentifikasi ada sembilan langkah kegiatan pembelajaran (Dikbud-Dikti,1983:8-9). Sembilan langkah pembelajaran tersebut adalah berikut ini. a. Mengarahkan perhatian. Suatu rangsangan yang disampaikan untuk membangkitkan minat atau keingintahuan anak. Untuk ini guru dapat mengajukan pertanyaan, memberi tantangan, mendemonstrasikan, menunjukkan gambar, dan lain-lain.. b. Memberitahukan tujuan yang hendak dicapai. Siswa hendaknya diberitahu tujuan belajar yang harus dicapai dalam belajar yang akan dilakukan. Siswa perlu mengetahui tujuan yang diharapkan untuk di kuasai setelah selesai mengikuti pelajaran. Contoh tujuan: setelah mempelajari topik ini, diharapkan anak dapat menghitung luas empat persegi panjang. c. Merangsang timbulnya ingatan tentang kemampuan prasyarat yang telah dipelajari. Kecuali hasil belajar yang paling fundamental, siswa harus memiliki pengetahuan dan keterampilan tertentu yang telah di pelajari sehingga dapat digunakan ketika melakukan tugas baru. d. Menyampaikan bahan pembelajaran. Bila siswa telah siap sedia, selanjutnya guru menyampaikan bahan ceramah yang akan dipelajari. Disini guru berceramah atau menyampaikan informasi tentang isi pelajaran. Informasi itu dapat berupa pengetahuan, sikap dan prosedur melakukan keterampilan motorik. Dapat pula berupa fakta, konsep, dalil, dan prosedur. e. Memberikan petunjuk atau tuntunan dalam kegiatan belajar. Siswa memerlukan pengarahan dengan jalan memberikan petunjuk, mengadakan pertanyaan atau isyarat, yang menuju pada pemahaman tentang sasaran yang hendak dicapai. f. Memancing pengetahuan siswa. Setelah anak mengikuti ceramah, guru dapat memonitor pencapaian tujuan atau pemahaman bahan yang

35

diceramahkan. Untuk itu, guru dapat mengajukan pertanyaanpertanyaan untuk mengontrol tingkat pemahaman anak. Anak dapat diminta untuk memberikan contoh, atau dengan menyajikan kesimpulan, mengajukan pertanyaan, melakukan demontrasi, dan lainlain. g. Memberikan umpan balik (feedback). Siswa perlu diberitahu tentang ketepatan jawaban dengan kata-kata atau anggukan, atau dengan cara yang lain, yang dapat menunjukkan bahwa hasil belajar yang telah dicapainya adalah tepat atau tidak tepat. h. Menilai penampilan atau hasil belajar. Guru ingin mengetahui bahwa muridnya benar-benar telah belajar mencapai tujuan yang diharapkan. Salah satu cara yang paling lazim digunakan ialah dengan mengadakan tes.. i. Merangsang kemampuan mengingat-ingat dan mentransfer (hasil belajar). Hal ini menghendaki untuk mempraktekkan yang telah dipelajari, lebih-lebih melalui tugas-tugas yang menghendaki keterampilan. C. Pola Dasar Kegiatan Pembelajaran Berdasarkan bentuk kegiatan pembelajaran yang digunakan, dapat dibedakan tiga pola dasar pembelajaran, (1) pola presentasi, (2) pola interaksi, dan (3) pola pembelajaran mandiri (DepdikbudDikti,1980:45-46). 1. Pola Presentasi Pola presentasi dapat diaktualisasikan melalui penggunaan metode ceramah, penggunaan teks yang mengharuskan siswa membaca, penggunaan transfaransi, multi media, dan opaqeu proyektor. Inti dari pola presentasi adalah siswa bertindak selaku reseptor atas sejumlah informasi yang disajikan guru baik langsung maupun melalui perantaraan media. 2. Pola Studi Independen Pola kegiatan pembelajaran individual menuntut siswa belajar secara individual dengan membaca text, pemecahan problem, membuat

36

laporan tertulis/paper, menggunakan perpustakaan, kerja di laboratorium, dan sebagainya. 3. Pola Interaksi Pola kegiatan belajar melalui interaksi guru siswa dan atau siswasiswa, secara positip melalui diskusi, tanya jawab, seminar dari hasil suatu proyek individual atau laporan-laporan ilmiah, dan sebagainya.

C. Variasi Pola pengaturan Pembelajaran

Pola pengaturan pembelajaran dapat dikenakan pada unsur-unsur tertentu dari variabel-variabel yang membentuk perwujudan proses pembelajaran. Pola pengaturan pembelajaran yang dimaksud adalah sebagai berikut.

Berdasarkan Jenis klasifikasi ini dapat ditemukan beberapa macam pola pembelajaran berikut a. Pola Pembelajaran dengan Seorang Guru. Pola kegiatan pembelajaran dalam klasifikasi ini ditandai oleh kegiatan dimana proses belajar-mengajar dipimpim hanya oleh seorang guru. Dalam mana guru bertindak sebagai fasilitator, motivator, manajer dan evaluator kegiatan pembelajaran. Semua tindakan mengajar menjadi tanggung jawabnya secara penuh. Mulai dari perencanaan pelaksanaan hingga penilaian dilaksanakan oleh seorang guru. Dalam bentuknya yang ekstrim, guru merupakan satu-satunya, pemegang tunggal suatu kelas tertentu, yang sering dikenal dengan istilah guru kelas. Sedangkan dalam bentuknya yang lebih longgar, guru mempunyai tanggung jawab bidang studi tertentu saja, sesuai dengan bidang keahkliannya. b. Pembelajaran Melalui Team Pola pembelajaran dalam kategori ini, pembelajaran untuk suatu topik tertentu dilaksanakan oleh sejumlah guru. Pelaksanaan terdapat variasi teknik. Guru dalam suatu team merupakan team yang utuh dalam arti pertemuan pembelajaran tertentu, perencanaan, pelaksanaan dan penilaian untuk suatu topik pembelajaran, digarap bersama oleh team

1. Pola Pengaturan Guru dalam Pembelajaran

37

yang bersangkutan. Sedangkan dalam variasi lain setiap anggota dari team tersebut mempunyai tugas dan peranan masing-masing. Terdapat pembagian tanggung jawab tertentu. Setiap anggota team melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang dibebankan padanya.

2. Pola Pengaturan Siswa dalam Proses Belajar.


a. Pola Pembelajaran klasikal Pola kegiatan pembelajaran klasikal merupakan suatu pembelajaran yang diperuntukkan kepada sejumlah anak dalam satu kelas tertentu. pembelajaran ini berangkat dari kesamaan-kesamaan yang dimiliki oleh anak. Dengan demikian pembelajaran ini mengabaikan bentuk perbedaan individual anak. Dalam suatu kelas yang sama guru memperlakukan anak secara sama untuk materi yang sama dalam waktu yang sama pula. Guru menghendaki pencapaian tujuan secara sama pula, sehingga pembelajaran meningkat untuk anak-anak secara bersamaan. b. Pola Pembelajaran Kelompok Kecil (5--7 anak) Berbeda dengan pola klasikal, dalam pola kegiatan ini pembelajaran diperlakukan untuk sejumlah anak dalam kelompok kecil. Suatu kelas yang besar dapat dibagi dalam kelompok-kelompok kecil (5--7 anak) untuk menyelesaikan suatu tugas kontrol terhadap individual lebih baik, dibanding dengan bentuk klasikal. Tugas-tugas dapat diselesaikan secara komplementer, dapat juga seluruh kelompok mempunya tanggung jawab tugas yang sama. c. Pola Pembelajaran Individual atau Perorangan Secara mandiri siswa menyelesaikan tanggung jawab yang diberikan kepadanya oleh guru. Di sini siswa bekerja sendiri misalnya dengan membaca buku, memecahkan masalah, menyusun laporan mengadakan eksperimen menggunakan laboratorium, ke perpustakaan dan sebagainya. Kontrol guru terhadap kemajuan siswa secara individual sangat efektif.

38

2. Pola Pengaturan Hubungan Guru - Siswa

Dilihat dari segi hubungan guru- murid, dapat dilihat beberapa bentuk pola kegiatan mengajar. a. Pola Kegiatan Pembelajaran Tatap muka Kegiatan pembelajaran dalam pola ini terjadi secara face to face, antara guru dengan murid. Guru mengikuti belajar siswa. Guru berceramah, tanya jawab atau menstimulasi dengan tugas-tugas kepada siswa. Berbagai kesulitan siswa, guru dapat memonitor dengan segera. Guru sebagai partner dalam kegiatan belajar bagi siswa dan sekaligus sebagai sumber belajar. b. Pola Kegiatan Pembelajaran dengan Perantaraan Media Penemuan-penemuan pembaharuan dibidang teknologi pembelajaran, tidak menafikan kemungkinan kegiatan pembelajaran tanpa kehadiran guru secara tatap muka. Guru harus hadir di tengahtengah kegiatan siswa hanyalah alternatif. Kegiatan belajar siswa dapat terjadi hanya dengan media-media yang dimanfaatkan guru. Segala instruksi kegiatan belajar didesain melalui media cetak atau yang lain, sehingga kegiatan belajar siswa tinggal mengikutinya, melalui paket belajar dengan pola kegiatan individual, siswa tidak mendapatkan kontrol langsung dari guru pada saat proses belajar terjadi. Buku modul telah diberikan berbagai petunjuk kerja serta peralatan yang harus dikerjakan siswa dalam proses pembelajaran. Bahkan sampai pada suatu waktu yang harus digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas telah didesain dalam buku modul tersebut. Teaching machine dapat dengan cepat memberikan umpan balik, apabila siswa salah dalam menyelesaikan tugas. Keterangan diatas menggambarkan bentuk pembelajaran di mana guru tidak ikut terlibat di dalam kegiatan langsung dengan proses belajar siswa.

3. Struktur Peristiwa Pembelajaran


a.Pola Struktur terbuka

39

Luasnya struktur peristiwa pembelajaran sebenarnya bersifat kontinum mencakup dari terbuka sama sekali sampai yang tertutup sama sekali. Broudy, Smith dan Burnes dalam Depdikbud-Dikti (1980:60), menyebutkan pola terbuka adalah pola tanpa struktur dan membutuhkan cara berpikir adventurous karena guru sedikit sekali memberikan informasi sebagai tuntunan, dan siswa menentukan caranya sendiri untuk memperoleh pengetahuan. Pola ini kadang-kadang disejajarkan dengan pola yang berkadar penyuluhan minimal. Dalam hal ini seorang guru dapat mengajukan problem untuk diselesaikan siswa tanpa bimbingan guru lebih lanjut. b. Pola Struktur Tertutup Kebalikan dari pola terbuka, adalah pola tertutup sama sekali. Pola yang sama sekali tertutup menunjukkan suatu respons yang implisit di dalam situasi itu sendiri. Struktur peristiwa-peristiwa pembelajaran demikian dapat bersifat ketat dalam arti segala sesuatunya telah ditentukan oleh guru. Dilihat dari kadar penyuluhannya, dapat bersifat maksimal. Guru telah memberikan tuntunannya pada setiap tingkah laku yang diperbuat siswa. Kenyataan bahwa bila berbicara mengenai suatu kontinum ini berarti diantara pola yang terbuka sampai pola tertutup sama sekali, terdapat variasi pola yang sejajar dengan garis lurus suatu kontinum tersebut.

4. Pola Peranan Guru dalam Pengelolaan Pesan

Kalau Broudy, Smith dan Burnes berbicara kontinum tentang terbuka sampai tertutup, Jerom S. Bruner membedakan kontinum antar mengajar ekspositori dan heuristik atau hipotetik. a. Pola ekspositori Melalui pola ini pengetahuan yang diperuntukkan dalam proses pembelajaran telah dipersiapkan secara tuntas oleh guru, sedangkan siswa tinggal menerimanya. Dalam pola ekspositori, guru adalah melulu seorang pencerita atau ekspositor, sedang siswa seorang pendengar yang terikat bangku atau penerimaan dengan positif. Ekspositor adalah suatu penguraian dan dapat berupa bahan tertulis atau presentasi verbal. Dalam pembelajaran ekspositori kadang-kadang disebut

40

pembelajaran deduktif, siwa adalah penerima dari bagian ilmu pengetahuan melalui presentasi ekspositori guru. b. Pola Heuristik atau Hipotetik Pola pembelajaran yang mengharuskan siswa mengolah sendiri bagian pengetahuan (pesan) untuk dimiliki sendiri dinamakan heuristik atau hipotetik. Dalam pola hipotetik, guru dan siswa berada dalam hubungan yang kooperatif, siswa memainkan peranan yang aktif di dalam proses memperoleh informasi, rumusan hipotesis-hipotesis dan mengevaluasi informasi itu. Dengan heuristik, guru pertama-tama mengarahkan perhatian siswa kepada beberapa data yang terpilih, sedang siswa membuat suatu kesimpulan dari data tersebut. Di dalam heuristik, guru tidak menginformasikan pengetahuan, melainkan menuntun atau mengarahkan saja sehingga siswa menemukan sendiri. Dalam pola heuristik terdapat sub-pola yaitu dicavery dan inquiry. Perbedaan yang jelas antara discovery dan inquiry adalah terletak pada belajar yang disiapkan dan belajar dengan kebebasan. Dalam discavery, guru mempersiapkan situasi belajar itu sehingga kepada siswa disuguhkan kondisi belajar yang dapat menyadarkan siswa dengan sepenuhnya. Dalam hal ini discovery menggunakan prosedur terkontrol agar tercapai hasil-hasil yang telah ditetapkan sebelumnya. Pola inquiry berbeda secara kontinum dengan pola diskoveri. Pola Inkuiri, proses belajar terbuka secara lebar, siswa sendiri mengontrol proses dari pengumpulan data, analisa dan eksprimentasi. Siswa bebas mengatur belajarnya sendiri. Siswa mendapatkan bagian pengetahuan bebas dari campur tangan guru. 5. Pola Pengorganisasian Pesan a. Pola Induktif Dalam arti yang paling murni, Induktif adalah proses penalaran yang beranjak dari suatu bagian menuju simpulan keseluruhan. Dari yang khusus ke yang umum, dari individual ke yang universal. Pola pembelajaran yang menerapkan pola ini dalam proses pembelajaran dapat dianggap pola induktif. Dictionary of Education mendefinisikan pola induktif sebagai pola pembelajaran yang didasarkan kepada pemberian sejumlah

41

contoh spesifik kepada siswa secara menyukupi untuk memampukan dia (siswa) sampai pada pemahaman suatu aturan, atau prinsip pasti. Karakteristik fundamental dari pola induktif adalah dari pemberian contoh-contoh spesifik yang memungkinkan siswa memahami aturan umum yang berkenaan dengan masalah itu. Sudah barang tentu variasi-variasi di dalam pendekatan induktif akan dapat diperoleh dalam praktek sesungguhnya. b. Pola Deduktif Deduktif, sebagai kebalikan induktif adalah proses penalaran yang beranjak dari umum ke yang khusus atau dari suatu premis menunjuk ke suatu konklusi logis. Kesimpulan-kesimpulan tentang suatu kasus tertentu dapat dideduksi dari suatu prinsip umum yang berlaku bagi semua kasus yang semacam. Dictionary of Education mendefinisikan pola deduktif sebagai suatu pola dalam mengajar yang beranjak dari aturanaturan atau generalisasi ke contoh-contoh dan kemudian sampai pada konklusi-konklusi atau penerapan dari generalisasi-generalisasi.

42

BAB IV CARA BELAJAR SISWA AKTIF A. Latar Belakang Berbagai kajian tentang belajar menyatakan bahwa, pada dasarnya belajar terwujud sebagai proses aktif dari sipelajar. John Dewey (1916 dalam Davies, 1987: 31) menyatakan bahwa belajar adalah menyangkut apa yang harus dikerjakan murid-murid untuk dirinya sendiri. Maka inisiatif harus datang dari murid-murid sendiri. Guru adalah pembimbing dan pengarah, sementara yang harus mengemudikan kegiatan belajar adalah murid yang belajar". Sejalan dengan John Dewey, Yoakam dan Simpson (1934) mengutarakan: "Learning is active ... Learning is guide by purpose and consists is living and doing, in having experiences and seeking to understand them". (T. Raka Joni, 1980). Sedangkan Gage dan Berliner secara sederhana mengemukakan: "Learning may be defined as the process where by an organism changes its behavior as a result of experience". (Gage dan Berliner, 1984:252) Gagne (1975), demikian pula menyatakan bahwa belajar merupakan aktivitas mental-intelektual yang bersifat internal. Seperti yang telah disebutkan dalam kajian bab pertama bahwa, aktivitas belajar aktualisasinya adalah proses beroperasinya mental-intelektual anak. Tilikan untuk menandai hal itu, Indikator nya dapat di lacak dari hasil perubahan perilaku anak yang belajar yang berupa kemampuan-kemampuan kognitif seperti kemampuan mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis dan menilai. Selain itu, perubahan perilaku itu, juga diwujudkan anak berupa kemampuankemampuan afektif seperti penghayatan sikap, motivasi, kesediaan anak, penghargaan terhadap sesuatu dan sejenisnya. Di samping juga , perubahan perilaku anak tersebut termanifestasikan dalam wujud perubahan keterampilan fisik anak yang berupa kemampuan mengkordinasikan sistem otot-ototnya untuk melakukan gerakan-gerakan keterampilan tertentu. Ada dua hal penting yang perlu disadari dalam kaitannya dengan proses belajar. Dua hal dimaksud bahwa belajar mengandung makna: (a) confrontation with new information or experience, dan (b) the leaner's personal discovery of the meaning of that experience.Bertolak dari beberapa kajian tersebut di atas, memperlihatkan bahwa belajar dari sisi proses merupakan keaktifan pada diri sipelajar. Berbagai bentuk keaktifan itu, terwujud sebagai keaktifan kognitif, afektif dan fisik. Dalam pada itu, Gagne (Suprihadi,dkk. 2002), menandai bahwa keaktifan sebagai hakekat dari

43

kegiatan belajar, adalah aktivitas internal yang tidak lain adalah proses beroperasinya mental-intelektual anak. Kenyataannya bahwa belajar adalah proses aktif si pelajar membawa konsekuensi pada kegiatan pembelajaran yang perlu diciptakan guru. Atas dasar itu maka pembelajaran sebagai aktivitas membelajarkan anak, struktur kegiatannya dituntut agar mengikuti hakekat bagaimana proses belajar itu berlangsung. Oleh karena itu, penerapan cara belajar siswa aktif dalam pembelajaran adalah konsekuensi logis dari penyesuaian pembelajaran yang diciptakan guru terhadap hakekat keaktifan sebagai indikator proses belajar. B. Hakekat CBSA Sebagaimana dikatakan diatas, bahwa ada dua hal penting dalam proses belajar, yakni : (a) confrontation with new information or experience, dan (b) the leaner's personal discovery of the meaning of that experience. Kedua hal ini bersifat kontinum. Ujung kegiatan belajar tidak hanya pada proses keaktifan kognitif semata. Pada gilirannya keaktifan kognitif harus mampu memandu anak untuk memperoleh makna (hikmah). Hikmah (makna) adalah nilainilai ( value) formal-material maupun substansial yang terpetik dari akibat pergaulan anak ( pengalaman belajar) dengan obyek belajar. Nilai-nilai inilah sesungguhnya yang menjadi soko guru meluasnya cakrawala pandang maupun pendalaman kemampuan anak menyikapi dunianya. Berkenaan dengan pengertian bahwa belajar adalah confrontation with new information or experience, kiranya sejalan dengan pandangan yang dikatakan oleh Gagne ( Suprihadi,dkk.2002), bahwa belajar perwujudannya sebagai reaksi mental-intelektual. Reaksi mental atau kognitif itu terjadi, manakala anak berhadapan dengan obyek eksternal di lingkungan sekitar anak yang menstimulasinya. Obyek eksternal yang dimaksud dapat berwujud data, fakta, peristiwa, problema, perintah, tugas penjelasan, dan sejenisnya. Dalam kaitan itu, maka cara belajar siswa aktif apa bila dihubungkan dengan konsep bahwa belajar adalah confrontation with new information or experience, maka CBSA berarti reaksi mental-intelektual anak dalam kaitannya dengan proses penelusuran makna (hikmah) terhadap sejumlah data, fakta, peristiwa, penyelesaian problem, pelaksanaan perintah/tugas, dan sebagainya. Sementara apabila dikaitkan dengan konsep bahwa belajar adalah the learnes personal discovery of the meaning of that experience, maka CBSA berarti proses pemerolehan makna (hikmah) sebagai hasil dari pengalaman belajar anak dengan lingkungan maupun obyek belajarnya.

44

Berkenaan dengan uraian di atas, maka pembelajaran yang menerapkan prinsip CBSA, dapat dilihat sebagai proses pengaktifan anak untuk berinteraksi dengan obyek belajar untuk mendapatkan hikmah yang terkandung dalam obyek belajat tersebut. Apa bila disepadankan dengan Gagne (1975) maka pembelajaran adalah seperangkat peristiwa yang diciptakan dan dirancang untuk mendorong, menggiatkan dan mendukung belajar siswa (Hanafi dan Manan, 1988:14). Demikian pula dengan pandangan Raka Joni (1980:1) bahwa pembelajaran adalah penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya belajar. Berbagai pandangan tersebut pada dasarnya setara bahwa pembelajaran yang berprinsip CBSA adalah proses penciptaan sistem lingkungan yang menyediakan seperangkat peristiwa untuk merangsang anak agar melakukan aktivitas belajar. Walaupun telah lama kita menyadari bahwa belajar memerlukan keterlibatan secara aktif orang yang belajar (si pelajar), dalam kenyataanya masih menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Dalam suatu proses pembelajaran yang diselenggarakan, masih tampak adanya kecenderungan meminimalkan peran dan keterlibatan si belajar. Dominasi guru dalam proses pembelajaran menyebabkan si pembelajar (siswa) hanya berperan dan terlibat secara pasif, mereka (para siswa) lebih banyak menunggu sajian dari guru ketimbang mencari dan menemukan sendiri pengetahuan, keterampilan, serta sikap yang mereka butuhkan. Apabila kondisi proses pembelajaran yang memaksimalkan peran dan keterlibatan guru serta meminimalkan peran dan keterlibatan si belajar, akan mengakibatkan sulit tecapainya tujuan pendidikan yakni meletakkan dasar yang dapat dipakai sebagai loncatan untuk menggapai pendidikan yang lebih tinggi, di samping kemampuan dan gairah untuk belajar terus menerus. Bertolak pada pemikiran-pemikiran yang terkandung dalam konsepsi pendidikan seumur hidup dan konsepsi belajar serta kenyataan proses pembelajaran, maka peningkatan menerapkan CBSA merupakan kebutuhan yang harus segera terpenuhi. Guru hendaknya tidak lagi mengajar sebagai kegiatan menyapaikan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap kepada siswanya. Guru hendaknya mengajar untuk membelajarkan siswa dalam konteks belajar bagaimana belajar mencari, menemukan dan meresapi pengetahuan, keterampilam dan sikap. Setiap proses belajar berdasarkan konsep diatas, sudah pasti menampakkan keaktifan siswa. CBSA bukanlah menyiratkan dikotomi antara pembelajaran dengan CBSA dan tidak CBSA. Ke-CBSA-an pembelajaran hanya dapat dilihat dari kadarnya. Oleh karena itu, ada pembelajaran dengan kadar

45

CBSA tinggi atau rendah. Kadar ke CBSA-an ini dapat ditilik dari kadar keaktifan belajar yang tampak pada diri anak. Keaktifan-keaktifan siswa dalam peristiwa pembelajaran beraneka ragam bentuknya, dari kegiatan fisik yang mudah diamati sampai kegiatan psikis yang sulit diamati. Kegiatan fisik yang dapat diamati seperti membaca, mendengarkan, menulis memeragakan, dan kegiatan fisik lainnya. Contohcontoh kegiatan psikis seperti misalnya menggunakan khasanah pengetahuan yang dimiliki dalam memecahkan masalah yang dihadapi, menyimpulkan hasil eksperimen, membandingkan satu konsep dengan yang lain, dan kegiatan psikis yang lainnya. Namun demikian semuanya itu harus dapat dipulangkan kepada satu karakteristik, yaitu keterlibatan intelektual emosional siswa dalam kegiatan pembelajaran, yang bersangkut paut dengan: asimilasi dan akomodasi kognitif dalam pencapaian atau pemerolehan pengetahuan, perbuatan serta pengalaman langsung terhadap balikan yang diberikan dalam pembentukan ketrampilan, dan penghayatan serta internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap dan nilai. Dengan kata lain, keaktifan dalam rangka CBSA menunjuk kepada keaktifan mental, intelektual maupun emosional, meskipun untuk merealisasikan ini dalam banyak hal dipersyaratkan atau dibutuhkan keterlibatan langsung dalam berbagai bentuk keaktifan fisik. Berdasarkan pembahasan tentang hakekat CBSA, kita dapat menandai adanya rentangan derajat/kadar ke-CBSA-an dari peristiwa pembelajaran. Rentangan ini terjadi sebagai akibat dari adanya arah kecenderungan peristiwa pembelajaran, yakni pembelajaran berorientasi pada guru dan pembelajaran berorientasi siswa. CBSA akan lebih tampak dan menunjukkan kadar yang tinggi apabila pembelajaran lebih berorientasi kepada siswa, dan akan sebaliknya bila arah kecenderungan pembela jarannya berorientasi kepada guru. Mc Keachie mengemukakan 7 (tujuh) dimensi proses pembelajaran yang mengakibatkan terjadinya variasi ke-CBSA-an, dimensi-dimensi yang dimaksud adalah: 1. Partisipasi siswa dalam menetapkan tujuan kegiatan belajar-mengajar. 2. Tekanan pada aspek Efektif dalam pembelajaran, 3. Partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran, terutama yang berbentuk interaksi antar siswa, 4. Penerimaan (acceptance) guru terhadap perbuatan dan konstribusi siswa yang kurang relevan atau bahkan sama sekali salah,

46

5. Kekohesifan kelas sebagai kelompok, 6. Kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk ikut mengambil bagian dalam penetapan keputusan-keputusan penting dalam kegiatan pembelajaran 7.Jumlah waktu yang digunakan untuk menanggulangi masalah pribadi siswa baik yang tidak berhubungan dengan sekolah/pembelajaran.

Yamamoto meninjau ke-CBSAan suatu pembelajaran dari segi kesadaran para siswa dan guru yang terlibat dalam proses pembelajaran. Lebih jauh Yamamoto mengungkapkan bahwa proses pembelajaran yang optimal terjadi apabila siswa yang belajar maupun guru yang membelajarkan memiliki kesadaran dan kesengajaan terlibat dalam proses pembelajaran. Kesadaran dan kesengajaan melibatkan diri dalam proses pembelajaran pada diri para
47

siswa dan guru, akan dapat memunculkan berbagai interaksi pembelajaran. H.C Lindgren mengemukakan empat kemungkinan interaksi belajar mengajar, yakni:" (1) Interaksi satu arah, dimana guru bertindak sebagai penyampai pesan dan siswa sebagai penerima pesan. Pola interaksi satu arah dimaksud dapat diperhatikan gb berikut. G S4 S1
48

S3 S2

S2 S3 (2) Interaksi dua arah antara guru-siswa, di mana guru memperoleh umpan balik dari siswa, Pola tersebut dapat diamati dalam Gb berikut G S1 S1 S4

49

S2 S3

(3). Interaksi dua arah antara guru-siswa, di mana guru mendapat balikan dari siswa. Selain itu siswa saling berinteraksi atau belajar satu dengan yang lain. G S1 S4

50

S2

S3

(4 Interaksi) optimal antara gurusiswa, dan antara siswa-siswa. G S1 S2 S4 S3

(H.C Lindgren, 1976 :251)

51

Kadar ke-CBSA-an dan kebermaknaan suatu proses pembelajaran, Ausubel (1978) mengungkapkannya dalam dua dimensi yang dipertentangkan. Dua dimensi tersebut ialah (1) kebermaknaan bahan dan proses pembelajaran, dan (2) modus-modus pembelajaran. Keterhubungan antara dua dimensi tersebut, dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Keterhubungan dua dimensi proses pembelajaran yang dikemukakan oleh Ausubel, kita dapat melihat bahwa tidak semua modus ekspositoris selalu kurang/tidak bermakna bagi si belajar(siswa). Dan tidak semua dan/atau selamanya modus discovery selalu bermakna penuh bagi si belajar. Hal yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa dua dimensi proses pembelajaran sebagaimana dikemukakan oleh Ausubel merupakan dua variabel independent. Dari uraian pada alinea-alinea sebelumnya, pada akhirnya kita dapat memahami keragaman hakekat CBSA dalam suatu proses pebelajaran. Untuk memudahkan pemahamannya, kita dapat kembalikan pada empat variabel independent proses pembelajaran, yakni berikut. 1. Ciri siswa, misalnya kemampuan skolastik, motivasi, dan lainnya. 2. Ciri guru, misalnya kemampuan pembuatan program pembelajaran, sikap dan kewibawaan terhadap siswa, dan lainnya; 3. Ciri matapelajaran, misalnya jenis isi pelajaran, cara membelajarinya, dan yang lain; 4. Ciri situasi pembelajaran, misalnya komponen perilaku pembelajaran kubu-kubu teori belajar, ketersediaan sumber belajar, dan yang lain.
Diagram Kontinum belajar reseptif, penemuan dan mandiri pada jarak antara belajar hapalan dan belajar penuh kebermaknaan. Belajar penuh ^ Kebermaknaan (gumeaningfull learning) Penelitian Audio-tutorial ilmiah bahan musik, arsitektur

keterhubungan konsep yang dirancang baik Ceramah atau penyajian buku teks pada umumnya.

"Penelitian" atau hasil Intelektual rutin pada umumnya. Kerja labora-

52

Belajar hapalan/tanpa pemahaman (rote learning)

Tabel perkalian

toris sekolah Penerapan formula untuk pemecahan masalah

Pemecahan "teka-teki" dengan coba - salah

Belajar reseptif

Belajar penemuan

Belajar mandiri

(Sumber : Ausubel, 1978 : 25)

C. Prinsip-prinsip CBSA Banyak guru dan ahli pendidikan yang tidak sepemahaman tentang hakekat proses belajar dan hakekat CBSA secara tepat, namun mereka mengakui adanya prinsip-prinsip belajar dan prinsip CBSA yang hendaknya dapat dipatuhi. Alvin C. Eurich dari Ford Foundation (1962 dalam Davies, 1987:32), telah menyimpulkan prinsip-prinsip belajar sebagai berikut 1. Hal apapun yang dipelajari siswa, maka ia harus mempelajari sendiri. Tidak ada seorangpun yang dapat melakukan kegiatan belajar tersebut untuknya. 2. Setiap siswa, belajar menurut temponya sendiri-sendiri dan untuk setiap kelompok umur terdapat variasi dalam kecepatan belajarnya. 3. Seorang siswa belajar lebih banyak bilamana setiap langkah segera diberikan pengukuhan (reinforcement). 4. Penguasaan secara penuh dari setiap langkah, memungkinkan belajar secara keseluruhan lebih berarti. 5. Apabila siswa diberikan tanggungjawab untuk membelajari sendiri, maka ia lebih termotivasikan untuk belajar dan ia akan belajar serta mengingant secara lebih baik. Bertolak dari prinsip-prinsip belajar yang disimpulkan oleh Alvin C. Eurich, ( Moedjiono, dkk, 1986) prinsip-prinsip CBSA berikut ini. Pertama kita terlebih dahulu perlu mengingat sekali lagi, bawah CBSA ada dan tercipta dalam setiap proses pembelajaran. Hal ini mengandung konsekuensi bawah prinsip-prinsip CBSA tertampak pada dimensi manusia (baik siswa

53

maupun guru), dimensi program, dan dimensi situasi dari proses pembelajaran.

Prinsip-prinsip CBSA yang hendaknya dipatuhi adalah: 1. Keberanian siswa untuk mewujudkan minat, keinginan, dan dorongan/motif yang ada pada dirinya. Siswa yang terlibat dalam proses pembelajaran hendaknya hendaknya menyadari bahwa belajar merupakan tugasnya, dan agar siswa belajar secara aktif ia dapat memulai dengan belajar untuk mewujudkan minatnya, belajar untuk mewujudkan dorongan/motifnya.
54

2. Keinginan dan keberanian siswa untuk ikut serta. Prinsip ini menuntut agar siswa memiliki keinginan dan keberanian mewujudkan minat, keinginan, dan dorongan yang ada didalam dirinya melalui partisipasi atau keikutsertaan mereka dalam proses pembelajaran. Hal ini akan menyebabkan siswa menyadari pentingnya partisipasi atau keikutsertaan dalam proses pembelajaran, sehingga mereka belajar secara aktif. 3. Usaha dan kreativitas siswa. Prinsip ini menuntut agar siswa tidak berhenti apabila suatu saat
55

menghadapi masalah, mereka diharapkan mau berusaha dan menggunakan kreativitasnya untuyk memecahkan masalah tersebut. 4. Keinginantahu yang besar. Prinsip ini menuntut agar siswa selalu bertanya tentang segala sesuatu yang belum mereka ketahui, misalnya: apa yang menyebabkan baterai dapat menghidupkan bola lampu? Dengan memiliki keinginantahuan yang benar, siswa akan menjadi selalu aktif menemukan dan mencari jawaban atas pertanyaan-

56

pertanyaan yang ada pada diri mereka. 5. Rasa lapang dan bebas. Prinsip ini menuntut agar perasaan siswa tidak berada dalam ketakutan sewaktu berbuat, dan juga mereka tidak tertekan serta terbelenggu dalam mengemukakan maupun mengungkapkan suatu ide atau gagasan. 6. Usaha guru membina dan mendorong siswa. Prinsip ini menuntut kepada guru agar selalu mempertahankan keaktifan siswa selama berlangsungnya proses pembelajaran, dengan jalan mengusahakan terbinanya dan
57

terdorongnya siswa untuk belajar secara aktif. 7. Guru sebagai inovator dan fasilitator. Prinsip ini menuntut agar guru selalu tanggap terhadap setiap pembaharuan dan berusaha menyebarluaskan pembaharuan tersebut. Selain itu, guru juga dituntut untuk bertindak sebagai fasilitator yang siap menyediakan kemudahankemudahan dalam proses pembelajaran. 8. Sikap tidak mendominir. Prinsip ini menuntut agar guru menyadari bahwa yang primer dalam proses
58

pembelajaran adalah siswa, sedangkan guru memiliki peran sekunder. Hal ini lebih jauh menuntut agar guru lebih meningkatkan terjadinya proses belajar pada diri siswa, ketimbang mementingkan terjadinya proses mengajar atau aktivitas pada diri guru yang belum tentu membelajarkan siswa. 9. Memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar menurut cara, irama, dan kemampuannya. Prinsip ini menuntut agar guru selalu memperhatikan kekarakteristik siswa secara
59

orang per orang, sehingga dapat menyediakan kesempatan dan kemudahan kepada siswa untuk belajar. Hal ini berarti pula guru hendaknya selalu siap membantu siswa secara orang per orang. 10.Pemilihan dan penggunaan berbagai strategi pembelajaran dan multi media. Prinsip ini menuntut agar guru mampu memilih dan sekaligus menggunakan berbagai strategi pembelajaran, dimana strategi pembelajaran itu hendaknya menciptakan kondisi belajar yang penuh kebermaknaan. Selain
60

itu, guru hendaknya dapat memilih dan menggunakan multi media dalam pembelajaran. 11.Tujuan dan materi (isi) pelajaran memenuhi kebutuhan, minat serta kemampuan siswa. Prinsip ini menuntut agar dalam mengembangkan program pembelajaran hendaknya menyesuaikan tujuan dan isi pelajaran dengan karakteristik siswa, sehingga dapat memenuhi kebutuhan, minat, dan kemampuan siswa.

61

12.Kemungkinan terjadinya pengembangan konsep dan aktivitas siswa. Prisip ini mempersyaratkan agar program mampu menyajikan alternatif kegiatan yang mengarah pada pengembangan konsep dan aktifitas belajar siswa. 13.Penentuan metode dan media yang fleksibel. Prinsip ini mempersyratkan agar program memberikan alternatif metode dan media yang dapat dipilih secara luwes. Hal ini berarti, pengembangan program hendaknya mampu me-milih metode dan/atau
62

media yang dijadikan alternatif memiliki kesetaraan. 14.Komunikasi guru-siswa yang intim dan hangat. Prinsip ini mempersyaratkan agar dalam situasi pembelajaran terjadi hubungan dua persona (gurusiswa) yang secara hakiki setara, sehingga mereka dapat berbuat bersama dan sejalan. Hubungan kewibawaan dalam kesetaraan guru-siswa, akan dapat diharapkan terjadinya komunikasi yang intim dan hangat antara keduanya. Adanya komu-nikasi yang intim dan hangat antara
63

guru-siswa, akan memperlancar jalannya proser pembelajaran yang pada akhirnya dapat meningkat keaktifan siswa dalam belajar. 15. Kegairahan dan kegembiraan belajar. Prinsip ini mempersyaratkan situasi pembelajaran yang dapat meningkatkan kegairahan dan kegembiraan belajar pada diri siswa. Kegairahan dan kegembiraan belajar akan tercipta apabila aktivitas belajar yang disediakan bersesuaian dengan karakteristik siswa. Adanya
64

kegairahan dan kegembiraan belajar pada diri siswa, akam memaksimalkan keaktifan siswa dalam belajar.
Lima belas prinsip CBSA yang dikemukakan sebelumnya, apabila nampak dalam dimensi masing-masing, maka dapat diharapkan kadar CBSA yang nampak pada dimensi siswa, dimensi guru, dimensi program, dan dimensi situasi pembelajaran; hendaknya menjadi perhatian setiap guru yang akan menyelenggarakan proses pembelajaran. D. Indikator-indikator CBSA Hakekat CBSA adalah keterlibatan intelektual, emosional dan dan fisik si belajar dalam proses pembelajaran; dan setiap proses pembelajaran meiliki kadar CBSA yang berbeda- beda. Agar kita dapat menentukan kadar CBSA dari suatu proses pembelajaran, maka perlu mengenal terlebih dahulu indikatorindikator CBSA. Yang dimaksud dengan indikator CBSA adalah gejalagejala yang nampak pada perilaku siswa dan guru mampu didalam pembelajaran dan proses pembelajaran. Indikator-indikator CBSA yang dimaksud adalah berikut. 1. Prakarsa/keberanian siswa dalam mewujudkan minat, dan dorongan/motif yang ada pada dirinya, meliputi: a. Kuantitas dan kualitas usul dari siswa terhadap bentuk kegiatan belajar yang diminati. b. Kuantitas dan kualitas usul dan saran dari siswa terhadap prosedur kegiatan belajar, c. Kuantitas dan kualitas usul dan saran siswa terhadap topik-topik pembahasan,

65

d. Prakarsa siswa dalam menentukan kelompok kerja, dan e. Prakarsa siswa dalam mengusulkan sumber-sumber belajar yang akan dimanfaatkan dalam proses pembelajaran. 2. Keberanian dan keinginan siswa untuk ikut serta dalam proses pembelajaran, meliputi: a. Kesediaan siswa dalam mencari dan menyediakan sumber belajar yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran, b. Kesediaan siswa untuk mengerjakan tugas-tugas belajar yang ada dalam proses pembelajaran, c. Kuantitas dan kualitas untuk berbuat dan menghasilkan lebih dari pada yang diharapkan 3. Usaha dan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran,meliputi. a. Kuantitas dan kualitas usaha yang dilakukan siswa dalam mencari dan menentukan sumber-sumber belajar yang ditentukan, b. Kuantitas dan kualitas alternatif yang diajukan siswa dalam memecahkan permasalahan yang ada dalam proses pembelajaran, c. Keberanian siswa untuk memilih cara kerja yang berbeda dari delapan cara kerja yang telah ditentukan guru, 4. Keinginantahuan yang ada pada diri siswa meliputi: a. Kuantitas dan kualitas pertanyaan yang diajukan kepada guru, b. Kuantitas dan kualitas pertanyaan yang menyimpang dari topik pembahasan, 5. Rasa lapang dan bebas yang ada pada diri siswa, meliputi : a. Sebaran siswa yang mengemukakan usul dan saran b. Kuantitas dan kualitas respon guru terhadap usul dan saran siswa, 5. Kuantitas dan kualitas usaha yang dilakukan guru dalam membina dan mendorong keaktifan siswa, meliputi: a. Kuantitas dan kualitas balikan yang diberikan oleh guru atas pertanyaan siswa, b. Kuantitas kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk menyelesaikan secara tuntas yang diberikan, 7. Kualitas guru sebagai inovator dan fasilitator, meliputi : a. Kuantitas sumber-sumber belajar baru yang disediakan oleh guru,

66

b. Kemampuan guru menyediakan sumber-sumber belajar yang dibutuhkan siswa dalam proses pembelajaran, c. kecepatan memilih sumber belajar, 8. Tidak adanya dominasi guru dalam proses pembelajaran,meliputi: a. Kuantitas guru dalam menentukan bentuk dan jenis kegiatan belajar, b. Kuantitas guru dalam menjawab pertanyaan yang diajukan oleh para siswa, 9. Kuantitas dan kualitas strategi belajar mengajar dan media yang diterapkan dalam proses pembelajaran, meliputi: a. Fleksibilitas penerapan strategi pembelajaran, b. Kuantitas jenis media yang digunakan, c. Jenis-jenis kegiatan/ketrampilan yang dilibatkan dalam penggunaan media, 10.Keterikatan guru terhadap program pembelajaran, meliputi: a. Keterikatan guru terhadap tujuan yang dirumuskan dalam program pembelajaran, b. Keterikatan guru tehadap prosedur pembelajaran yang ditetapkan dalam program pembelajaran, c. Keterikatan guru terhadap sumber belajar yang telah ditetapkan dalam program pembelajaran, 11.Variasi interaksi guru-siswa dalam proses pembelajaran meliputi: a. kuantitas interaksi searah guru-siswa, b. Kuantitas interaksi dua arah guru-siswa, c. Kuantitas interaksi dua arah guru-siswa dan siswa-siswa, d. Kuantitas interaksi multi arah guru-siswa 12.Kegairahan dan kegembiraan siswa dalam belajar, meliputi: a. Kuantitas siswa yang mencatat informasi/pesan yang disajikan guru, b. Kuantitas siswa yang menggangu siswa lain, dan yang lain. Dari indikator-indikator yang diuraikan sebelumnya, kita dapat melihat bahwa indikator-indikator tersebut berada dalam suatu rentangan. Indikator-indikator CBSA tersebut, akan dapat digunakan mengetahui

67

kadar ke-CBSA-an suatu proses pembelajaran apabila dirumuskan kembali ke dalam bentuk paduan observasi atau instrumen yang lain. E. Implikasi CBSA terhadap Sistem Penyampaian Peningkatan kadar CBSA dari suatu proses pembelajaran berarti pula mengarahkan proses pembelajaran yang berorientasi pada siswa, atau dengan kata lain menciptakan pembelajar-an berdasarkan siswa (Studen-Based Instruction). Konsekuensi yang harus diterima dari adanya pembelajaran berdasarkan siswa, (Gale, 1975 :204) ialah berikut. 1. Guru merupakan seorang pengelola (manager) dan perancang (designer) dari pengalaman belajar. 2. Guru dan siswa menerima peran kerjasama (partneship). 3. Bahan-bahan pembelajaran dipilih berdasarkan kelayakannya. 4. Penting untuk melakukan indentifikasi dan penuntasan syarat-syarat belajar (learning requirements). 5. Siswa dilibatkan dalam pembelajaran. 6. Tujuan ditulis secara jelas. 7. Semua tujuan diukur/dites. Adanya konsekuensi dari penerapan pembelajaran berdasarkan siswa yang akan dapat meningkatkan kadar CBSA suatu proses pembelajaran, lebih jauh agar guru: (1) memiliki khasanah pengetahuan yang luas tentang teknik/cara menyampaikan atau sistem penyampaian, dan (2) memiliki kriteria tertentu untuk memilih sistem penyampaian yang tepat untuk memberikan pengalaman belajar kepada siswa yang terlibat dalam proses pembelajaran. Selain itu, nilai intriksik gerakan untuk meningkatkan kadar CBSA dalam proses pembelajaran juga muncul sebagai reaksi terhadap kecenderungan umum penerapan pembelajaran berdasarkan guru (Teacher-Based Instruction). Pembelajaran berdasarkan guru menunjukkan peran guru sebagai leveransir (purveyor) informasi, sehingga pembelajaran hanya sekedar proses perekaman informasi per siswa. Dalam situasi pem-belajaran berdasarkan guru, strategi pembelajaran yang dominan adalah strategi yang bersifat ekspositorik. Sistem penyampaian yang paling diminati adalah yang ba-nyak memberikan otoritas kepada guru dengan variasi yang paling kurang bermutu. Adanya pembelajaran berdasarkan guru ini mengakibatkan kecenderungan umum, untuk menyadarkan diri pada ceramah sebagai

68

sistem penyampaian. Kecenderungan umum ini dapat dimaklumi, mengingat ceramah sebagai sistem penyampaian memberikan kesempatan yang paling besar kepada guru untuk melaksanakan tugasnya sebagai liveransir informasi sekaligus menunjukkan otoritasnya sebagai "Sang Maha Tahu". Ditinjau dari karakteristik sistem penyampaian itu sendiri, menunjukkan kadar potensial keterlibatan mental guru-siswa yang berbedabeda untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, dibawah ini dapat diperiksa diagram tentang kadar potensial keterlibatan mental guru-siswa dalam proses pembelajaran berdasarkan tinjauan karakteristik tiap-tiap sistem penyampaian. Diagram Kadar Potensial Keterlibatan Mental Guru-siswa dalam Peristiwa Belajar Mengajar Tinggi Independen Study Latihan Keterlibatan Mental Siswa Diskusi Kerja Kelompok Ceramah Penemuan (discovery)

Rendah

Keterlibatan mental guru Tinggi

Dari diagram di atas, jelas menampakkan bahwa ditinjau dari karakteristik sistem penyampaian itu sendiri, ceramah merupakam sistem penyampaian yang memiliki kadar potensial yang rendah dalam melibatkan mentalsiswa. Namun demikian kita tidak dapat secara apriori menolak ceramah sebagai sistem penyampaian yang digunakan guru, masih ada faktor-faktor penentu lain kegiatan pembelajaran. Untuk mengelola dan merancang program pembelajaran, seorang guru hendaknya mengenal faktor-faktor penentu kegiatan pembelajaran. Faktor-faktor penentu tersebut adalah:

69

1. Karakteristik matapelajaran/bidang studi, yang meliputi tujuan, isi pelajaran, urutan dan cara mempelajarinya. 2. Karakteristik siswa, yang mencakup karakteristik perilaku masukan kognitif dan efektif, usia, jenis kelamin, dan yang lain. 3. Karakteristik dan ketersediaan bahan dan/atau alat pembelajaran. 4. Karakteristik lingkungan/setting pembelajaran, mencakup kuantitas dan kualitas prasarana, alokasi jam pertemuan, dan yang lainnya. 5. Karakteristik guru, meliputi filosofinya tentang pendidikan dan pembelajaran, kompetensinya dalam teknik pembelajaran, kebiasaannya, pengalaman kependidikan, dan yang lainya. Faktor-faktor penentu kegiatan pembelajaran sebagaimana dikemukakan di atas, merupakan suatu kesatuan yang saling pengaruh mempengaruhi satu dengan yang lain. Hal ini berarti, guru bebas dari kewajibannya untuk selalu memperhatikan faktor-faktor penentu kegiatan pembelajaran. Untuk memperjelas faktor-faktor penentu kegiatan pembelajaran, dapat kita perhatikan diagramatik pada halaman berikut ini. Dari diagram di bawah ini, kita dapat melihat dengan jelas bahwa selain faktor-faktor eksternal di luar diri guru, maka faktor internal pada guru juga mempengaruhi kegiatan pembelajaran. Di mana kegiatan pembelajaran tersebut merupakan perwujudan dari teknik-teknik pembelajaran yang dilaksanakan. Dengan demikian guru yang hanya memiliki kepotensian dalam satu jenis teknik pembelajaran untuk semua kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan, maka guru yang demikian patut disamakan dengan mesin yang memiliki satu fungsi. Diagram Hubungan Antara Faktor-faktor Penentu Kegiatan Pembelajaran. Karakteristik Tujuan Karakteristik siswa Proses Pembelajaran Aktual Karakteristik guru

70

Karakteristik Lingkungan/Setting Pembelajaran Agar seorang guru mampu menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang memiliki kadar CBSA tinggi, maka dalam memilih dan menentukan teknik pembelajaran atau sistem penyampaian hendaknya benar-benar mempertimbangkan kemanfaatan dari teknik pembelajaran yang dipilihnya. Teknik pembelajaran yang dipilih hendaknya diupayakan keserasiannya dengan karakteristik tujuan dan isi pelajaran serta cara-cara bagaimana mempelajarinya, karakteristik bahan dan/atau alat pembelajaran yang tersedia, karakteristik gedung dan ruang kelas beserta isinya dan alternatif pengelolaannya. Faktor yang benar-benar harus disadari oleh guru adalah karakteristik siswa yang dihadapi, baik karakteristik kognitifnya maupun karakteristik afektifnya. Kesadaran tentang karakteristik faktor-faktor yang berada di luar diri guru dan faktor-faktor yang ada didalam diri siswa, hendaknya dijadikan titik tolak bagi guru untuk menyadari akan tugasnya sebagai seorang pengajar. Sebagai pengajar, guru kiranya lebih pantas berperan sebagai katalisator yang menciptakan kegiatan pembelajaran melalui pemilihan teknik pembelajaran yang tepat, sehingga membuat proses belajar yang efektif. Tiada seorangpun yang belajar hanya karena diperintah oleh orang lain. Inilah suatu kenyataan yang benar, benar-benar nyata. Suatu perangsang harus diciptakan untuk mendorong siswa supaya mau belajar. Akan tetapi perangsang itu mungkin sudah termasuk di dalam teknik pembelajaran itu sendiri: di dalam kesempatan untuk melakukan kegiatan, untuk berkreasi, dan untuk berbuat secara bebas. Dengan teknik pembelajaran yang diperhitungkan kemanfaatannya inilah akan dapat ditingkatkan CBSA, yang pada akhirnya akan membantu siswa menyempurnakan dirinya sendiri sehingga mampu menjadi katalisator yang semakin meningkat. F. Faktor-Faktor Penentu Optimalisasi Cara Belajar Siswa Aktif Penerapan CBSA dalam kegiatan belajar mngajar mempunyai implikasi bagi guru dalam penciptaan proses belajar mengajar. Rancangan persiapan pengajaran harus diarahkan pada kemungkinan untuk terjadinya

Mata pelajaran Bahan dan/atau bidang Studi

KarakteristikProses Kegiatan

71

kemandirian belajar siswa. Untuk keperluan tersebut, seorang guru dituntut untuk memiliki khasanah strategi maupun metode pengajaran yang kaya. Metode pengajaran yang bersifat informatif (one way communication) dihindari. Pengajaran hendaknya memberikan berbagai alternatif kegiatan ( pengalaman belajar) yang memungkinkan siswa dapat memilih jenis kegiatan tertentu sesuai dengan minat dan cara belajar yang paling efektif bagi setiap individu siswa. Ada dua hal yang penting yang harus disadari oleh guru dalam kaitannya dengan proses belajar. Dua hal dimaksud bahwa proses belajar mengandung makna: (a) confrontation with new information or experience, dan (b) the leaner's personal discovery of the meaning of that experience. Sehubungan dengan hal itu, proses pembelajaran memerlukan kreatifitas guru untuk menemukan pengalaman belajar yang baru sehingga mendorong motivasi siswa untuk belajar dari pengalaman baru tersebut. Proses belajar siswa perlu diorganisasikan secara mandiri agar anak mampu mengolah hasil pengalaman belajarnya tersebut menjadi hasil temuan sendiri. Dengan pola pengorganisasian belajar mandiri tersebut, hasil belajar anak akan lebih bermakna. Ini berarti bahwa proses pembelajaran perlu diorganisasikan dalam suatu pola pembelajaran yang menekankan prinsip dasar cara belajar siswa aktif. Untuk melaksanakan prinsip dasar cara belajar siswa aktif tersebut, ada beberapa faktor penentu yang secara prinsip perlu diperhatikan guru dalam pelaksanaannya, yakni uraian berikut ini. Self Concept Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, salah satu konstribusi gerakan CBSA adalah pentingnya pembentukan self-concept. Self concept merupakan penentu utama dalam setiap tingkah laku manusia. Sehubungan dengan hal tersebut, guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar harus mengupayakan agar terbentuknya self concept secara positif. Selfconcept secara positif akan dapat meningkatkan adalah munculnya motivasi belajar yang bersifat intristik. Kenyataan pentingnya menumbuhkan self concept ini didasrkan atas psikologi humanistic yang melihat individu sebagai functioning or organisme yang masing-masing berusaha membangun self-concept. Peranan guru didalam kerangka ini adalah secara terus menerus melakukan segala sesuatu yang membantu membangun self-concept mereka. Ini berarti bahwa guru melibatkan siswa didalam proses pembelajaran,

72

sehingga mereka memiliki pengalaman sukses, membantu sikap dengan sikap terbuka, tidak mengancam, menerima, menyukai, dan mengurangi rasa takut. Melalui penerapan prinsip CBSA, guru hendaknya semakin menyadari bahwa siswa mempelajari ilmu pengetahuan saja tidak cukup, pembeljaran harus lebih aktif dalam membantu anak menghadapi tantangan hidup modern. Untuk itu, guru harus lebih aktif dalam membantu siswa mengembangkan positive awareness (sadar diri), positive self consciousness (insaf diri), dan menjadi individu yang utuh dengan positive self-concept. Positive Self Consept dapat menumbuhkan sikap-sikap positif dalam belajar. Sikap positif tersebut antara lain adalah : (1) percaya dirisendiri (self confident), (2) berani mengemukakan pendapat, (3) peka terhadap permasalahan, (4) kreatif dan berani mengambil resiko, (5) bertanggung jawab, (6) terbuka dan demokratis, (7) tidak mudah putus asa-ulet (Suprihadi, 1993:125). Kreatifitas Kreatifitas siswa merupakan faktor utama dalam ke-CBSA-an proses belajar mengajar. Dengan kata lain CBSA dapat dapat terwujud secara nyata apabila siswa mempunyai kreatifitas yang tinggi. Abraham Maslow menyatakan bahwa tidak mungkin bagi siswa dapat mewujudkan diri sepenuhnya (self actualized person) tanpa dipersyarati kreatifitas. Piramida berikut ini menunjukkan pengaruh usaha kreatif terhadap self actualizing

Con tributes to good mental health Make people more open and free Increases positive self concept Builds capabilities Creative enter prise

73

Kreatifitas siswa dalam proses pembelajaran akan termanifestasikan dalam tingkah laku belajar seperti berikut di bawah ini. 1. Fluency (kelancaran), yaitu kemampuan untuk mengemukakan ide-ide untuk memecahkan masalah. 2. Flexibility (keluwesan), yaitu kemempuan menemukan berbagai macam ide untuk masalah di luar kategori yang biasa. 3. Orginality (keaslian), yaitu kemampuan memberikan respon yang unik atas dasar hasil pemikirannya sendiri. 4. Elaboration (keterperincian), yaitu kemampuan memberikan pengarahan secara terperinci untuk mewujudkan ide menjadi kenyataan. 5. Sentivity (kepekaan), yaitu kemampuan menangkap masalah dari suatu situasi. Orang-orang kreatif, memiliki ciri-ciri tertentu. Menurut Ornstein, (1977:380), ciri-ciri individu kreatif adalah inteligent, interesting, imaginative, flexible and perceptive, socially effective, and personally dominant. Sementara Taylor dalam Ornstein, (1977:380) menyebutkan ciri-ciri individu kreatif adalah berikut ini. 1. Intellectual. Individu kreatif dari segi intelek tidak sama dengan individu inteligen, tetapi kemampuan kognitif yang esensial bagi individu kreatif adalah memiliki kemampuan berfikir secara divergen (originally, flexibility, and sensitivity), memiliki memory (daya ingat yang baik) dan mampu berfikir secara evaluatif. 2. Motivational interest. Individu kreatif adalah memiliki rasa ingintahu yang tinggi, suka bermain ide, dan suka terhadap tantangan, tidak putus asa, toleran dan serius dalam bekerja. 3. Personality. Individu kreatif memiliki kepribadian yang mandiri, berani mengambil resiko, banyak akal, dan suka berpetualangan. Kemampuan kreatif seperti yang digambarkan tersebut merupakan prasyarat penerapan CBSA dalam proses pembelajaran. Untuk menuju terwujudnya CBSA, diperlukan kreatifitas siswa. Sudah barang tentu kreatifitas guru diperlukan pula, terutama dalam menciptakan sistem lingkungan pembelajaran. Sehubungan dengan hal itu, untuk mewujudkan sistem lingkungan belajar yang memiliki ketinggian kadar CBSA, guru

74

dituntut agar mempunyai khasanah pengetahuan tentang berbagai macam sistem penyampaian, serta kadar ke CBSA-annya sebagaimana digambarkan pada diagram tentang kadar potensial keterlibatan guru dan siswa dalam sejumlah metode mengajar diatas. Disamping memiliki khasanah pengetahuan tentang berbagai macam sistem penyampaian dan kadar CBSAnya, sudah barang tentu mempunyai kemampuan juga dalam penerapan macam-macam sistem penyampaian tersebut. Penyediaan sarana dan prasarana yang memadai merupakan implikasi logis dari penerapan CBSA. CBSA dapat terlaksana secara wajar, apabila didukung oleh penggunaan multi media yang sesuai dengan sarana lain misalnya laboratorium, perpustakaan, bengkel, dan lain-lain. Pengaruh Sikap Guru Sikap guru dalam proses pembelajaran berpengaruh juga terhadap kewajaran penerapan CBSA. Dalam rangka CBSA, guru dituntut untuk berperan sebagai fasilitator. Ini berarti tugas utama guru adalah membantu memberikan kemudahan bagi kegiatan belajar siswa. Beberapa sikap yang harus dimiliki guru sehubungan dengan CBSA antara lain adalah: (a) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya; (b) mengakui/menerima/menghargai ide-ide siswa; (c) bersifat terbuka atas kritik siswa; (d) bersikap sebagai patner dalam belajar; (e) bersedia membantu siswa yang mengalami kesulitan; (f) bersikap empati terhadap siswa; (g) dan lain-lain. Berkaitan dengan sikap guru tehadap siswa, Carl Rogers melalui pendekatan iklim sosio-emosional mengatakan faktor yang amat berpengaruh terhadap peristiwa belajar ialah mutu sikap yang ada dalam hubungan interpersonal antara guru dan siswa. Rogers mengemukakan beberapa sifat yang amat perlu ada, jika guru ingin membantu, percaya, dan sikap mau mengerti dengan penuh empati. Penilaian Secara Komprehensif Kecenderungan penilaian hasil belajar selama ini terarah pada bidang kognitif semata. kalau kita mencoba mengamati tampak bahwa bidang kognitif pun terletak pada tingkatan yang rendah. Penilaian sebagai alat untuk mengetahui kemajuan hasil belajar tidak memiliki nilai vadilitas apabila dalam prakteknya hanya mengacu bidang kognitif saja. Secara ideal penilaian hasil belajar harus menyeluruh sehingga nilai hasil belajar dapat

75

menggambarkan secara tepat kemajuan belajar siswa. Menyeluruh (komprehensif) dalam pengertian bahwa semua aspek. Aspek-aspek yang menjadi sasaran penilaian untuk mengukur kemajuan belajar siswa adalah sebagai berikut. 1. Aspek kognitif: (a) produk ilmiah : fakta, konsep, prinsip, generalisasi, dan teori, (b) proses ilmiah: pengamatan, pemahaman, aplikasi, analisis, evaluasi, problem solving. 2. Aspek afektif: emosional, minat, sikap, nilai, apresiasi, dan seterusnya. 3. Aspek psikomotor: keterampilan motorik atau manipulasi obyek. Penilaian secara komprehensif untuk mengukur kemajuan belajar yang meliputi semua aspek tersebut mempunyai implikasi tersendiri, baik menyangkut kemampuan guru, teknik penilaian, maupun instrumennya. Kemampuan guru dalam kaitan ini, dituntut benar-benar menguasai aspekaspek yang perlu dinilai dan secara terampil dapat menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai dengan masing-masing aspek yang akan di nilai, dan selanjutnya mampu menyusun instrumen secara tepat

76

BAB V STRATEGI PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES DALAM PEMBELAJARAN A. Paradigma Baru dalam Pembelajaran Konsepsi tentang belajar saat ini mengalami perubahan, sejalan dengan perubahan pandangan tentang hahekat ilmu pengetahuan yang dimotori oleh filsafat konstruktivisme. Resnick (1983) menerangkan bahwa seseorang yang belajar itu pada dasarnya adalah membentuk pengertian. Interpretasi siswa terhadap lingkungan merupakan aktifitas yang penting untuk membentuk pengetahuan baru dalam diri kognisi siswa.Orang yang belajar tidak sekedar meniru atau mencerminkan yang diajarkan atau yang dibaca, melainkan secara aktif membentuk pengertian (Bettencour dalam Suparno, 1997:11). Bertolak dari pandangan konstruktivisme, Pertama, belajar sebagai proses konstruksi, yaitu aktifitas siswa untuk membangun pengetahuan, representasi internal terhadap pengalaman. Kedua, belajar merupakan suatu proses aktif mengembangkan makna berdasarkan pengalaman. Ketiga, belajar merupakan interpertasi terhadap lingkungan melalui perbedaan struktur atau skema sehingga terjadi pemaknaan baru (Brooks dalam Sulton, 1997:1). Bertolak dari hahekat belajar tersebut di atas, belajar pada dasarnya mengandung dua kegiatan :(a) confrontation with new information or experience, dan (b) the leaner's personal discovery of the meaning of that experience. Berdasar dua hal tersebut, terjadinya belajar mempersyaratkan individu-siswa berhadapan dengan pengalaman dan dari interaksinya dengan pengalaman belajarnya tersebut, sebagai hasilnya individu siswa menemukan makna Sejalan dengan hahekat belajar sebagaimana dijelaskan di atas, pada dasarnya pembelajaran merupakan proses membelajarkan anak. Menggarisbawahi mekanisme terjadinya belajar. Sedikitnya dua hal penting yang perlu diaktualisasikan dalam mewujudkan proses pembelajaran, (1) tersedianya seperangkat pengalaman belajar ( informasi baru ataupun pengalaman langsung) yang mencakup substansi dan aktivitas ( prosedur dan

65

alat bantu), yang mampu menjadi pemicu terjadinya proses belajar pada anak, (2) penstrukturisasian pembelajaran secara didaktis yang mampu memfasilitasi bagi kemudahan anak dalam pembentukan makna (pengertian). Berkait dengan dua hal itu, maka model pembelajaran dengan pendekatan keterampilan proses menjadi salah satu acuan dalam pembelajaran saat ini. B. Pengertian Pendekatan Keterampilam Proses Keterampilan proses dapat merupakan teknik pengembangan keterampilan-keterampilan intelektual, sosial, dan fisik yang bersumber dari kemampuan-kemampuan mendasar yang telah ada dalam diri siswa. Funk (dalam Moedjiono Dkk. 2002) mengungkapkan bahwa: (1) Pendekatan proses memberikan kepada siswa pengertian yang tepat tentang hakekat ilmu pengetahuan. Siswa dapat mengalami rangsangan ilmu pengetahuan dan dapat lebih baik mengerti fakta dan konsep ilmu pengetahuan. (2) Mengajar dengan keterampilan proses berarti memberi kesempatan siswa bekerja dengan ilmu pengetahuan, tidak sekedar menceriterakan atau mendengarkan ceritera tentang ilmu pengetahuan. Di sisi yang lain, siswa merasa bahagia sebab mereka aktif dan tidak menjadi si pelajar yang pasif, dan (3) menggunakan keterampilan proses untuk mengajar ilmu pengetahuan, membuat siswa belajar proses dan produk ilmu pengetahuan sekaligus. PKP memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara nyata bertindak sebagai seorang ilmuwan. Konsekuensi yang harus diterima dengan penerapan PKP ini, guru tidak saja dituntut untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan memproses dan memperoleh ilmu pengetahuan. Lebih dari pada itu, guru hendaknya juga menanamkan sikap dan nilai sebagai ilmuwan kepada para siswanya. Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian tentang Pendekatan keterampilan Proses ini adalah berikut. 1. PKP sebagai wahana penemuan dan pengembangan fakta, konsep, dan prinsip ilmu pengetahuan pada diri siswa. 2. Fakta, konsep, dan prinsip ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan siswa berperan pula menunjang pengembangan keterampilan proses pada diri siswa, dan 3. Interaksi antara pengembangan keterampilan proses dengan fakta, konsep serta prinsip ilmu pengetahuan, pada akhirnya akan

66

mengembangkan sikap dan nilai ilmuwan pada diri siswa. Dengan demikian unsur keterampilan proses, ilmu pengetahuan, serta sikap dan nilai yang terjadi dalam kegiatan pembelajaran yang menerapkan PKP, saling berinteraksi dan berpengaruh satu dengan yang lain. C. Jenis-jenis Keterampilan dalam Keterampilan Proses Ada berbagai keterampilan dalam keterampilan proses, keterampilanketerampilan tersebut terdiri dari keterampilan-keterampilan dasar (basic skills) dan keterampilan-keterampilan terintegrasi (integrated skills). Keterampilan-keterampilan dasar terdiri dari enam keterampilan, yakni: mengobservasi, mengklasifikasi, memprediksi, mengukur, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan. Sedangkan keterampilan-keterampilan terintegrasi terdiri dari: mengindentifikasi variabel, membuat tabulasi data, menyajikan data dalam bentuk grafik, menggambarkan keterhubungan antar variabel, mengumpulkan dan mengelolah data, menganalisa penelitian, menyusun hipotesa, mendinifisikan variabel secara operasional, merancang penelitian, dan melaksanakan eksperimen. (Funk, dalam Moedjiono, dkk) Sejumlah keterampilan proses yang dikemukakan oleh Funk di atas, dalam kurikulum 1984 (Pedoman Proses Belajar Mengajar) dikelompokkan menjadi tujuh keterampilan proses. Adapun 7 (tujuh) keterampilan proses tersebut adalah mengamati, menggolongkan, menafsirkan, meramalkan, menerapkan, merencanakan penelitian dan mengkomunikasikan. (Depdikbud., 1986b:9-10) Funk (dalam Moedjiono, dkk, 2002) lebih lanjut mengemukakan, meskipun keterampilan-keterampilan tersebut saling bergantung, masingmasing menitikberatkan pada pengembangan suatu area keterampilan khusus. Selain itu, keteramapilan-keterampilan proses dasar, menyediakan suatu landasan keterampilan-keterampilan terintegrasi yang lebih kompleks. Dari pernyataan dalam dua kalimat sebelumnya, kita dapat memperoleh gambaran bahwa keterampilan-keterampilan proses suatu saat dapat dikembangkan secara terpisah akan tetapi saat yang lain harus dikembangkan secara terintegrasi satu dengan yang lain. Keterampilanketerampilan proses yang perlu dikembangkan, tidak dapat dikembangkan pada semua bidang studi untuk semuaketerampilan yang ada. Hal ini menuntut adanya kemampuan guru mengenal karakteristik bidang studi dan pemahaman terhadap masing-masing keterampilan proses.

67

Penjelasan dari tiap-tiap keterampilan proses, akan terurai pada pembahasan berikut ini. Pembahasan menyangkut mengapa suatu keterampilan proses penting dikembangkan, pengertian keterampilan proses tersebut, dan kegiatan-kegiatan yang menunjukkan penampakan dari keterampilan proses tersebut. 1. Mengamati Melalui mengamati kita belajar tentang dunia sekitar kita yang fantastis. manusia mengamati obyek-obyek dengan phenomena alam melalui panca indra: penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan perasa/pencecap. Informasi yang kita peroleh, dapat menuntun keinginantahu, mempertanyakan, memikirkan, melakukan interprestasi tentang lingkungan kita, dan meneliti lebih lanjut. Selain itu, kemampuan mengamati merupakan keterampilan paling dasar dalam memproses dan memperoleh ilmu pengetahuan serta merupakan hal esensial untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan proses lain. Mengamati merupakan tanggapan kita terhadap berbagai obyek dan peristiwa alam dengan menggunakan panca indra. dengan kata lain, melalui observasi kita mengumpulkan data tentang tanggapan-tanggapan kita. (Fukn, 1985:4; Gage dan Berliner, 1984:349) Mengamati memiliki dua sifat utama, yakni sifat kualitatif dan sifat kuantitatif. Mengamati bersifat kualitatif apabila dalam pelaksanaannya hanya menggunakan panca indra untuk memperoleh informasi. Contoh kegiatan mengamati yang bersifat kualitatif ialah menentukan warna (penglihatan), mengenali suara jengkerik (pendengaran), membandingkan rasa manis gula dengan sakarin (pengecap), menentukan struktur suatu obyek (perabaan), mengenal bau tajam amoniak (penciuman). Mengamati bersifat kuantitatif apabila dalam pelaksanaannya selain menggunakan panca indera,juga digunakan peralatan lain yang memberi informasi khusus dan tepat. Contoh kegiatan mengamati yang bersifat kuantitatif ialah menghitung panjang ruang kelas dengan satuan ukuran tegel, menentukan titik didih air dengan bantuan thermometer, membedakan luas daerah satu dengan daerah lain, dan kegiatan lain yang sejenis.

68

2. Mengklasifikasikan Agar kita memahami sejumlah besar obyek, peristiwa, dan segala yang ada dalam kehidupan di sekitar kita, lebih mudah apabila menentukan berbagai jenis golongan. Kita menentukan golongan dengan mengamati persamaan, perbedaan, dan keterhubungan serta pengelompokan obyek berdasarkan kesesuaiannya dengan berbagai tujuan. Syarat-syarat dasar dari berbagai sistem pengelompokan adalah bahwa hal itu berguna sepenuhnya. Mengklasifikasikan merupakan keterampilan proses untuk memilahkan berbagai obyek dan/atau peristiwa berdasarkan sifat-sifat khususnya, sehingga didapatkan golong-an/kelompok sejenis dari obyek dan/atau peristiwa yang dimaksud. Contoh kegiatan yang menampakkan ketrampilam mengklasifikasikan adalah mengklasifikasikan makhluk hidup selain manusia menjadi dua kelompok: binatang dan tumbuhan, mengklasifikasikan binatang beranak dan bertelur, mengklasifikasikan cat berdasarkan warna, dan kegiatan lain yang sejenis. 3. Mengkomunikasikan Kemampuan berkomunikasi dengan yang lain merupakan dasar untuk segala yang kita kerjakan. Grafik, bagan, peta, lambang-lambang, diagram, persamaan matematika, dan demonstrasi visual, sama baiknya dengan kata-kata yang ditulis atau dibicarakan, semua adalah cara-cara komunikasi yang sering kali digunakan dalam ilmu pengetahuan. Komunikasi efektif yang jelas, tepat, dan tidak samar-samar serta menggunakan keterampilan-keterampilan yang perlu dalam komunikasi, hendaknya dilatih dan dikembangkan pada diri siswa. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa semua orang mempunyai kebutuhan untuk mengemukakan ide, perasaan, dan kebutuhan lain pada diri kita. Manusia mulai belajar pada awal-awal kehidupan bahwa komunikasi merupakan dasar untuk memecahkan masalah. Mengkomunikasikan dapat diartikan sebagai menyampaikan dan memperoleh fakta, konsep dan prinsip ilmu pengetahuan dalam bentuk suara, visual, dan/atau suara visual. Contoh-contoh kegiatan dari keterampilan mengkomunikasikan adalah mendiskusikan masalah, membuat laporan, membaca peta, dan kegiatan lain yang sejenis.

69

4. Mengukur Berapa banyak? Berapa jaraknya? Berapa ukurannya? Berapa jumlahnya? Pertanyaan-pertanyaan ini sering kita dengar atau ajukan dalam kehidupan sehari-hari dan kita perlu untuk memiliki kemampuan menjawabnya dengan mudah. Pengembangan yang baik terhadap keterampilan-keterampilan mengukur merupakan hal yang esensial dalam membina observasi kuantitatif, mengklasifikasikan dan membandingkan segala sesuatu disekeliling kita, serta mengkomunikasikan secara tepat dan efektif kepada yang lain. Mengukur dapat diartikan sebagai membandingkan yang diukur dengan satuan ukuran tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Contohcontoh kegiatan yang menampakkan keterampilan mengukur antara lain: mengukur panjang garis, mengukur berat badan, mengukur temperatur kamar, dan kegiatan lain yang sejenis. 5. Memprediksi Suatu prediksi merupakan suatu ramalan dari apa yang kemudian hari mungkin dapat diamati. Untuk dapat membuat prediksi yang dapat dipercaya tentang obyek dan peristiwa maka dapat dilakukan dengan memperhitungkan penentuan secara tepat perilaku terhadap lingkungan kita. Keteraturan dalam lingkungan kita mengijinkan untuk mengenal polapola dan untuk memprediksi terhadap pola-pola apa yang mungkin dapat diamati kemudian hari. Memprediksi dapat diartikan sebagai mengantisipasi atau membuat ramalan tentang segala hal yang akan terjadi pada waktu mendatang, berdasarkan perkiraan atas pola atau kecenderungan tertentu, atau keterhubungan antara fakta, konsep, dan prinsip dalam ilmu pengetahuan. Kegiatan-kegiatan yang dapat digolongkan sebagai keterampilan memprediksi, antara lain: berdasarkan pola-pola waktu terbitnya matahari yang telah diobservasi dapat diprediksikan waktu terbitnya matahari pada tanggal tertentu, memprediksikan waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tertentu dengan menggunakan kendaraan yang kecepatannya tertentu, dan kegiatan lain yang sejenis.

70

6. Menyimpulkan Kita mempunyai apresiasi yang lebih baik terhadap lingkungan kita, jikalau kita mampu menjabarkan dan menjelaskan segala sesuatu yang membahagiakan dari sekitar kita. Kita belajar untuk mengenal pola-pola dan memperkirakan pola-pola ini akan terjadi lagi pada kondisi yang sama. Pada umumnya perilaku manusia didasarkan pada pembuatan kesimpulan tetang kejadian-kejadian. Sebagai contoh, belajar adalah merupakan suatu kesimpulan yang dibuat dari perubahan dalam perilaku si pelajar yang diamati. Menyimpulkan dapat diartikan sebagai suatu keterampilan untuk memutuskan keadaan suatu obyek atau peristiwa berdasarkan fakta, konsep, dan prinsip yang diketahui. Kegiatan-kegiatan yang menampakkan keterampilan menyimpulkan, antara lain: berdasarkan pengamatan diketahui bahwa api lilin mati setelah ditutup dengan gelas rapat-rapat, siswa menyimpulkan bahwa lilin dapat menyala bila ada udara yang mengandung oksigen. 7. Merancang penelitian Seperti kita ketahui, ilmu pengetahuan dan teknologi terlahir dari sejunmlah penelitian yang mendahuluinya. Hasil-hasil penelitian boleh jadi mengkonstruksikan suatu ilmu pengetahuan, atau merenkonstruksi ilmu pengetahuan. Agar suatu penelituian dapat dilaksanakan secara baik dan menghasilkan sesuatu yang berguna dan bermakna, maka diperlukannya adanya rancangan penelitian. Rancangan penelitian ini, diharapkan selalu dibuat pada setiap kegiatan penelitian. Berdasarkan pentingnya rancangan penelitian terhadap perolehan penelitian itu sendiri, maka keterampilan merancang penelitian perlu diberikan sejak dini. Merancang penelitian dapat diartikan sebagai suatu kegiatan untuk mendeskripsikan variabel-variabel yang dimanipulasi dan direspon dalam penelitian secara operasional, kemungkinan dikontrolnya variabel, hipotesis yang diuji dan cara mengujinya, serta hasil yang diharapkan dari penelitian yang akan dilaksanakan.

71

Contoh kegiatan yang tercakup dalam keterampilan merancang penelitian, antara lain: menyusun hipotesis, mendefinisikan variabel secara operasional, menggambarkan hubungan antar variabel, dan kegiatan yang lain. 8. Bereksperimen Eksperimen merupakan salah satu bentuk penelitian yang sering kali dilaksanakan oleh seseorang tanpa disadari. Anak sering kali terlibat "bermain" dengan hewan peliharaannya, atau membongkarpasang mainannya sehingga anak tersebut memperoleh hal-hal baru dari kegiatannya. Kegiatan yang menyenangkan bagi anak, bila diarahkan dan dihubungkan dengan pengujian hipotesis secara praktis dan akan menimbulkan kegiatan eksperimen sederhana. Bereksperimen dapat diartikan sebagai keterampilan untuk dapat mengadakan pengujian terhadap ide-ide yang bersumber dari fakta, konsep, dan prinsip ilmu pengetahuan, sehingga dapat diperoleh informasi yang menerima atau menolak ide-ide itu. Contoh-contoh yang menampakkan keterampilan bereksperimen, antara lain: menguji kebenaran pernyataan bahwa semua zat memuai bila terkena panas, menanam tanaman yang terkena sinar matahari langsung dan yang tidak langsung terkena sinar matahari, dan kegiatan yang lain. Keterampilan Proses dan Jabaran Kemampuan Keteram pilan proses terdiri atas tujuh keterampilan. Setiap keterampilan terbina melalui beberapa kemampuan. Keterampilan poses dan penjabarannya dapat dilihat pada daftar berikut. No Komponen Keterampilan 1 Mengamati Jabaran Kemampuan Mendengar Melihat Merasa (kulit), Membaui Meraba Mencicipi, Keterangan

72

Menggolongkan

Menafsirkan

Meramalkanmemprediksi

Mempratekkan

Mengecap Menyimak Mengukur Membaca membandingkan Menyamakan Mengklasifikasi Mencari perbedaan Membedakan Mencari persamaan Mengkontrasikan Mencari dasar penggolongan Menaksir Menginterpretasi Memberi arti Mengartikan Memproposisikan Mencari bungan ruang/waktu Menemukan pola Menarik kesimpulan Menempatkan Menggeneralisasi Mengantisipasi berdasarkan ke-cenderungan pola, atau hubungan antar data atau informasi Menggunakan informasi, kesimPulan, konsep, hukum, teori, Sikap, nilai, atau keterampilan dalam situasi baru atau situasi lain Menghitung menentukan variabel mengendalikan variabel menghubungkan konsep Merumuskan pertanyaan

73

Merencanakan Penelitian

penelitian. Menyusun hipotesis Membuat model Menentukan masalah/obyek yang akan diteliti Menentukan tujuan penelitian Menentukan ruang lingkup Penelitian Menentukan sumber data/ informasi Menentukan cara analisis Menentukan langkah-langkah pe ngumpulan data/informasi Menentukan alat, bahan,dan sumber kepustakaan Kepustakaan Menentukan cara melakukan penelitian Berdiskusi Mendeklamasikan Mendramakan Bertanya Merenungkan Mengarang Meragakan Mengungkapkan/melaporkan da lam bentuk lisan, tulisan, gerak, atau penampilan

Mengkomunikasikan

74

BAB VI STRATEGI MANAJEMEN IKLIM KELAS A. Pengertian Manajemen Iklim Kelas Manajemen iklim kelas yang baik diperlukan agar kelas menjadi kondusif bagi aktivitas belajar anak. Bagaimanapun cermatnya guru dalam merancang sistem pembelajaran -- (rumusan tujuan pembelajarannya sangat operasional, bahan pembelajaran sudah relevan dengan tujuan, strategi pembelajarannya tepat, demikian pula material belajar dan media yang digunakan lengkap) --, tidak akan mampu mengoptimalkan aktivitas belajar anak, manakala guru tidak mampu mengelola kelas dengan baik. Dengan lain perkataan, perencanaan sistem pembelajaran yang baik tidak dengan sendirinya mampu menciptakan aktivitas belajar anak secara optimal, tanpa diikuti oleh iklim kelas yang kondusif. Oleh karena itu, untuk menopang kelancaran belajar anak, di samping perencanaan sistem pembelajarannya yang optimal, iklim kelas dan ruang kelasnyapun juga harus kondusif. Keadaan iklim kelas dapat diukur dari kondisi variabel-variabel kelas berikut, yakni keberadaan aspek kedisiplinan kelas, sosial kelas, sosioemosional kelas dan aspek fisikal kelas. Kedisiplinan kelas merujuk pada ketaatan dan kepatuhan perilaku anak terhadap norma-norma kelas. Aspek sosial kelas merujuk pada aktualisasi interaksi sosial dan disiplin sosial yang positif. Sedangkan aspek sosio-emosional kelas merujuk pada aktualisasi hubungan interpersonal antar pribadi anggota kelas yang hangat dan harmonis. Dan aspek fisikal kelas merujuk pada keadaan fisik maupun kondisi fisis kelas yang kondusif untuk kegiatan pembelajaran. Iklim kelas yang kondusif , ditandai oleh adanya fasilitasi belajar anak dari keempat variabel tersebut di atas. Akibat fasilitasi oleh variabel-variabel tersebut, maka kondisi kelas mampu menumbuhkan dan menciptakan dinamika belajar yang tinggi, efektif dan efisien. Gambaran umum kondisi kelas yang fasilitatif dapat diamati dari indikator indikator perilaku anak dan kondisi fisik kelas seperti: tidak adanya penyimpangan perilaku, dan pelanggaran tatatertib; hubungan sosial kelas yang dinamis, akrab dan kompak ; keadaan sosioemosional kelas yang hangat dan menyenangkan; serta keadaan fisikal kelas yang memudahkan terjadinya dinamika belajar anak.

75

Keberhasilan kegiatan pembelajaran, dapat ditunjang ataupun dihambat oleh keadaan iklim kelas. Manajemen kelas yang baik, dan organisasi kelas yang jelas, dapat menyokong terwujudnya lingkungan belajar atau kelas yang efektif, berbeda halnya apabila manajemen kelas buruk, maka lingkungan belajar tidak terorganisasi. Lingkungan belajar yang terorganisasi melalui perencanaan manajemen kelas yang cermat, mendorong perilaku belajar siswa di kelas akan bersifat penuh perhatian, responsif, terkontrol, interaksi sosial dan personal berjalan positif, disiplin diri sendiri berkembang dengan baik (Evans dan Brueckner, 1992:61). Keberhasilan belajar anak di kelas juga tidak semata-mata ditentukan oleh keakuratan faktor-faktor pembelajaran, seperti keakuratan dalam penentuan tujuan, materi, metode, media, sumber belajar, dan evaluasi. Ada sejumlah aspek non pembelajaran yang ikut berpengaruh terhadap kemudahan dan keberhasilan belajar anak, seperti :(1) aspek psikologis anak (motivasi-persepsi-ekspektasi-perhatian), (2) aspek emosional (kondisi emosional anak pada saat proses belajar berlangsung), (3) aspek sosial (hubungan antar anak di kelas dan anak dengan guru), (4) aspek fisikal (susunan tempat duduk, keadaan temperatur kelas, pencahayaan dll.). Adalah tugas guru untuk menciptakan, menjaga, mempertahankan, mengendalikan, mengembangkan dan menyembuhkan, aspek aspek tersebut, agar senantiasa dalam kondisi yang sebaik-baiknya untuk belajar anak. Serangkaian kegiatan guru yang terkait dengan pelaksanaan tugas-tugas tersebut, merupakan fungsi guru di bidang manajemen kelas. Oleh karena itu, manajemen kelas adalah serangkaian kegiatan guru untuk menciptakan, menjaga, mempertahankan dan mengembalikan kondusifitas kelas, agar didapat kelas yang efektif untuk belajar, sehingga masing-masing anak dapat mencapai tujuan belajarnya secara optimal. Manajemen kelas yang baik, dapat menyokong terwujudnya lingkungan belajar atau kelas yang efektif. Berbeda halnya apabila manajemen kelasnya buruk, maka lingkungan belajar tidak terorganisasi. Lingkungan belajar yang terorganisasi melalui perencanaan manajemen kelas yang cermat, mendorong perilaku belajar siswa di kelas akan bersifat penuh perhatian, responsif, terkontrol, interaksi sosial dan personal berjalan positif, disiplin diri sendiri berkembang dengan baik (Evans dan Brueckner, 1992:61). Manajemen kelas yang efektif adalah manajemen kelas yang dapat menumbuhkan kelas yang efektif. Ciri-ciri kelas yang efektif adalah, (1)

76

suasana kelas yang tertib, (2) kebebasan belajar anak yang maksimal, (3) berkembangnya tingkah laku anak sesuai dengan tingkah laku yang diinginkan, (4) iklim sosio-emosional kelas yang positif, dan (5) organisasi kelas yang efektif (Cooper,-1982:1--3). Sebaliknya, manajemen kelas yang tidak efektif dapat menghambat kelangsungan dan keberhasilan kegiatan pembelajaran. Kemudahan dan keberhasilan belajar anak di kelas tidak semata-mata ditentukan oleh keakuratan faktor-faktor pembelajaran, seperti penentuan tujuan, materi, metode, media, sumber belajar, dan evaluasi. Masih ada sejumlah aspek non pembelajaran yang ikut berpengaruh terhadap kemudahan dan keberhasilan belajar anak. Sejumlah aspek non pembelajaran yang dimaksud adalah :(1) aspek psikologis anak (motivasi- persepsiekspektasi-perhatian), (2) aspek emosional (kondisi emosional anak pada saat proses belajar berlangsung), (3) aspek sosial (hubungan antar anak di kelas dan anak dengan guru),(4) aspek fisikal (susunan tempat duduk, keadaan tem peratur kelas, pencahayaan dll.). Mengingat adanya aspek-aspek non pembelajaran yang turut serta berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pembelajaran, maka tugas guru dalam kaitannya dengan aspek-aspek non pembelajaran tersebut adalah tugas untuk menciptakan, menjaga, mempertahankan, mengendalikan, mengembangkan dan menyembuhkan, aspek non pembelajaran tersebut, agar senantiasa dalam kondisi yang sebaik-baiknya untuk belajar anak. Serangkaian kegiatan guru yang berkait dengan pelaksanaan tugas-tugas non pembelajaran tersebut merupakan fungsi guru di bidang manajemen kelas. Karena itu, manajemen kelas adalah serangkaian kegiatan guru untuk menciptakan, menjaga, mempertahankan dan menyembuhkan aspek-aspek non pembelajaran di kelas, agar didapat iklim kelas yang produktif dan efektif untuk belajar. Manajemen kelas yang efektif adalah manajemen kelas yang dapat menumbuhkan kelas yang efektif. Ciri-ciri kelas yang efektif adalah, (1) suasana kelas yang tertib, (2) kebebasan belajar anak yang maksimal, (3) berkembangnya tingkah laku anak sesuai dengan tingkah laku yang diinginkan, (4) iklim sosio-emosional kelas yang positif, dan (5) organisasi kelas yang efektif (Cooper,-1982:1--3). Sebaliknya, manajemen kelas yang tidak efektif dapat menghambat kelangsungan dan keberhasilan kegiatan pembelajaran.

77

B. Sifat Kegiatan Manajemen kelas Sifat kegiatan manajemen kelas meliputi: (1) preventif, dan (2) kuratif. Manajemen kelas yang bersifat preventif. Menurut Jacobsen dkk.(1989) manajemen kelas yang bersifat preventif merupakan kegiatan mengantisipasi masalah (problem) kelas sebelum masalah itu terjadi, secara sengaja merencanakan bagaimana menghindari terjadinya masalah tersebut, dengan mengembangkan prosedur yang sistematis. Kegiatan preventif berarti kegiatan pencegahan atau berjaga-jaga agar tidak sampai terjadi masalah-masalah yang mengganggu efektivitas dan produktivitas iklim belajar anak. Oleh karena itu, manajemen kelas yang bersifat preventif adalah seperangkat kegiatan guru yang diarahkan untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap efektivitas dan produktivitas iklim belajar anak. Manajemen kelas yang bersifat preventif ini, aktualisasinya berupa kegiatan guru yang berkaitan dengan pengembangan dan pemertahanan ketertiban kelas, kondisi sosial kelas, kondisi sosio-emosional kelas, kebebasan anak untuk berekspresi, dan keutuhan organisasi kelas. Hasibuan dkk, (1991: 179--180), menyebutkan manajemen kelas yang dikategorikan preventif meliputi tindakan guru yang : (1) bersikap terbuka terhadap anak, (2) bersikap menerima dan menghargai anak, (3) bersikap empatik, (4) bersikap demokratis, (5) mengarahkan anak untuk pencapaian tujuan kelompok kelas, (6) mengarahkan anak untuk mampu menghasilkan aturan yang disepakati bersama, (7) mengusahakan tercapainya kompromi dalam menetapkan aturan bersama,(8) memperjelas komunikasi, (9) menunjukkan kehadiran, dll. Dengan lain perkataan, manajemen kelas yang bersifat preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya masalah di kelas, baik masalah individual, sosial, emosional, maupun fisikal. Manajemen kelas yang Bersifat Kuratif. Manajemen kelas yang bersifat kuratif diterapkan manakala kondisi kelas terjadi gangguan. Kuratif berarti penyembuhan, artinya manajemen kelas yang berfungsi untuk mengembalikan kondisi kelas yang terganggu kedalam keadaansemula. Kondisi kelas yang terganggu misalnya, terjadi konflik terbuka antara beberapa anak saat proses belajar berlangsung, kelas gaduh akibat adanya perilaku menyimpang dari beberapa anak, anak-anak masuk kelas dengan menunjukkan tingkah laku yang tidak disiplin, kedaan udara dalam kelas yang pengap dan menyesakkan nafas,

78

ataupun keadaan kelas yang tegang karena guru marah-marah, dll. Masalahmasalah ganguan kelas tersebut dapat menyangkut masalah sosial kelas, masalah sosio-emosional kelas maupun masalah fisikal kelas. Tugas manajemen kelas yang bersifat kuratif adalah mengembalikan kondisi kelas dalam keadaan yang normal, keadaan yang kondusif untuk belajar anak. manajemen kelas yang berfungsi untuk mengembalikan kondisi kelas dari keadaannya yang terganggu tersebut adalah manajemen kelas yang bersifat kuratif. Hasibuan dkk. (1991:180) menyebutkan bentuk-bentuk kegiatan manajemen kelas yang bersifat kuratif adalah : (1) penguatan negatif, (2) penghapusan, (3) hukuman, (4) membicarakan situasi pelanggaran dan bukan pelanggarnya, (5) bersikap masa bodoh terhadap pelanggaran, tetapi memberikan respon positif bagi tingkah laku yang positif, (6) memberikan tugas yang bersifat memimpin, (7) memberikan tugas yang menuntut keberanian, (8) memberikan tugas yang menuntut kekuatan fisik, (9) tidak memberikan respon dan melarang anak untuk merespon kepada anak yang menunjukkan tingkah laku menyimpang, (10) tidak menyalahkan siswa scara langsung, (11) memperbaiki partisipasi, (12) mendistribusikan partisipasi, (13) menurunkan ketegangan kelas, (14) mendamaikan konflik antar siswa atau antar kelompok siswa. C. PEMBINAAN DISIPLIN Kedisipilinan siswa di kelas merupakan unsur perilaku di kelas yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan belajar di kelas itu sendiri. Keadaan kelas yang penuh kedisiplinan, kehidupan belajarnya akan tampak lancar. Tidak terlihat munculnya peilaku-perilaku yang keluar dari ketentuan belajar. Kelas yang disiplin, akan menampakan keadaan kelas dimana masing-masing anak dapat: (1) mengendalikan dirinya, sehingga tidak berperilaku yang menimbulkan gangguan belajar di kelas, (2) setiap anak mampu memahami batas-batas perilaku yang dapat diterima oleh semua anggota kelas, (3) tumbuhnya tanggungjawab terhadap diri sendiri dan sosial kelas, (4) menghayati akan tugas dan tanggungjawab belajar yang diikutinya. Disiplin dapat diartikan sebagai suatu perilaku yang aktualisasinya bersandarkan pada norma-norma yang berlaku. Wayson. William W. (Ed) ; 1985, menyatakan disiplin adalah kepatuhan terhadap sejumlah pola perilaku yang secara sosial dapat diterima. Secara ideal, perilaku disiplin juga menyangkut

79

kepatuhan seseorang terhadap sangsi sosial, nilai-nilai dan sikap yang diaktualisasikan pada perilaku. Kedisiplinan dari masing-masing anak sesuai dengan aturan dan tata tertib kelas, dalam kehidupan kelas sangat diperlukan. Tanpa adanya kedisiplinan dari masing-masing anak, berarti kelas tidak ada ketertiban. Keadaan kelas sangat mungkin wujudnya hanya berupa kekacauan. Sebab, masing-masing anak bertindak sesuai dengan kehendak masing-masing. Jika demikian halnya, maka proses pembelajaran tidak bisa berlangsung dengan semestinya. Akibatnya, benturan kepentingan antar anak di kelas sangat mungkin akan terjadi. Gambaran kondisi kelas yang tidak ada kedisiplinan dari anak, sama seperti dalam pengguna jalan yang tidak mematuhi lampu lalu lintas. Akibatnya, tubrukan antar pengguna jalan tidak terhindarkan lagi Sumber-sumber acuan kedisiplinan berupa seperangkat tata tertib, norma-norma, nilai-nilai dan etika yang diacu untuk mengatur perilaku bagi anggota suatu komunitas kelas atau sekolah tertentu. Tata-tertib adalah seperangkat aturan yang yang secara eksplisit (tertulis) dibuat oleh suatu komunitas tertentu yang berfungsi untuk mengatur perilaku anggota komunitas yang bersangkutan atau orang lain yang bersangkut-paut dengan komunitas tersebut. Komunitas tertentu dalam hal ini misalnya, komunitas sekolah, komunitas ke-RT-an, komunitas keluarga dan sejenisnya. Oleh karena tata-tertib keberlakuannya hanya sebatas pada komunitas tertentu, maka tata-tertib antara komunitas yang satu akan berbeda dengan komunitas yang lain. Demikian pula sangsi-sangsi yang dikenakan kepada pelanggaran terhadap tata-tertib, diantara komunitas akan terdapat perbedaan-perbedaan Norma pada dasarnya adalah standart perilaku yang dijadikan patokan untuk menetapkan antara perilaku yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Lampu lalu lintas, misalnya adalah simbol norma bagi pengguna jalan. Ketika lampu merah menyala, maka semua pengguna jalan wajib berhenti. Pengguna jalan dapat melanjutkan perjalanan ketika lampu hijau menyala. Demikian pula, dikelas terdapat seperangkat norma yang mengatur perilaku siswa maupun guru. Norma-norma mengatur perilaku siswa dan guru, yang dengan norma-norma itu, ditetapkan perilaku dan atau tindakan yang tidak boleh dan yang diperbolehkan. Nilai dalam pengertiannya yang luas, bertalian dengan makna yang didapat dari proses penilaian terhadap obyek yang dinilainya. Makna yang

80

didapat dari penilaian itu, bergantung kriteria yang digunakannya. Ketika kriteria itu didasarkan atas kepentingan dirinya, maka nilai-nilai yang ditetapkan bermakna pribadi. Contoh, komputer sangat bernilai, karena dia seorang penulis, tetapi bagi petani tradisional, komputer itu tidak punya arti apa-apa. Jembatan memiliki nilai sosial karena untuk kepetingan orang banyak. Bertolak dari contoh tersebut, pengguna nilai bisa bersifat pribadi, dan juga bersifat sosial, yakni bagi kepentingan orang banyak. Dilihat dari obyek penilaiannya, nilai bisa bertalian dengan : (1) benda material, (2) perilaku yang mengacu pada kualifikasi tindakan yang bermakna baik atau buruk, terpuji atau tidak terpuji, bermoral atau tidak bermoral, etis atau tidak etis, (3) aturan. Di lihat dari standart penilaian yang dipakai untuk menilai, nilai dapat bertalian dengan (1) pribadi, (2) sosial, (3) etika (4) kemanusiaan, (5) agama , (6) aturan negara, (7) lembaga, dan lain-lain Etika adalah norma-norma yang mengatur tata kesopanan perilaku dan kepatutan tampilan seseorang bertalian dengan pakaian dan cara-cara berinteraksi atau berkomunikasi dengan antar anggota sosial kelas atau sekolah. Bertolak dari paparan diatas dapat disarikan bahwa, kedisiplinan pada dasarnya merupakan kesediaan individu untuk berpola perilaku sesuai dengan tata-tertib, norma, nilai dan etika kesopanan dan kepatutan yang disepakati. Acuan kedisiplinan bersumber dari tata-tertib, norma, nilai dan etika yang telah hidup dimasyarakat maupun yang dibuat lembaga. Tata-tertib, norma, nilai dan etika pada gilirannya merupakan azas dan landasan perilaku. Pelanggaran terhadap tata-tertib, norma , nilai dan etika berimplikasi terhadap dikenakannya sangsi-sangsi. Sangsi mana yang akan diterima, sangat bervariasi sesuai dengan jenis tata-tertib, norma, nilai, etika yang dilanggarnya. D Iklim Sosial kelas Kajian tentang iklim sosial kelas bertolak dari asumsi bahwa kelas yang di dalamnya terdiri dari sejumlah siswa merupakan komunitas sosial atau sistem sosial. Kelompok anak di kelas sebagai suatu sistem sosial memiliki ciri-ciri sebagaimana yang dimiliki oleh sistem sosial pada umumnya, sehingga kelas yang efektif dan produktif, adalah kelas yang kondusif bagi mobilitas sistem sosial (Cooper,1982:79).

81

Seperti halnya dikatakan oleh Durkheim (1956), sebuah kelas sesungguhnya merupakan sebuah masyarakat kecil, yang tidak hanya merupakan kumpulan anak-anak belaka. Begitu pula halnya, menurut Waller (1932), ruang kelas merupakan titik pertemuan dari hubungan sosial yang saling terjalin (Robinson,1986:140). Ruang kelas merupakan tempat berinteraksinya anak dengan latar belakang sosial yang berbeda-beda. Mengingat hal itu, iklim sosial kelas sangat rawan kemungkinannya untuk terganggu. Seperti halnya masyarakat pada umumnya, kasus-kasus sosial seperti pelanggaran tata tertib, penyimpangan tingkah laku, dapat terjadi pula di kelas. Peranan utama guru dalam kaitannya dengan kelas sebagai sistem sosial adalah menciptakan, mengembangkan, mempertahankan dan mengendalikan keeratan hubungan sosial anak, semangat produktivitas, dan orientasi pada pencapaian tujuan kelompok kelas. Terkait dengan peranan tersebut, tugas guru adalah menciptakan dan mengembangkan keeratan hubungan sosial dengan jalan menumbuhkan sikap saling menghargai dan mengembangkan komunikasi yang sehat dan terbuka yang dilandasi oleh norma-norma yang disepakati bersama (Cooper, 1982:38). Membina iklim sosial kelas Membina mengandung arti menciptakan, mempertahankan dan mengendalikan. Sedangkan iklim sosial kelas adalah pola interaksi sosial antar anggota sosial kelas, baik pola interaksi sosial antar anak maupun interaksi sosial antara anak dengan guru. Pola interaksi sosial yang dimaksud berkaitan dengan bentuk-bentuk hubungan sosial anak maupun guru, seperti sikap sosial, persepsi sosial, kerjasama sosial, dll. Dengan demikian, membina iklim sosial kelas adalah seperangkat kegiatan guru yang mengandung makna untuk menciptakan, mempertahankan dan mengendalikan pola interaksi sosial kelas agar kondusif bagi kelancaran kegiatan instruksional. Bertolak dari batasan di atas, maka menciptakan iklim sosial kelas berarti kegiatan guru yang bermakna menumbuhkan iklim pergaulan sosial yang positif yang dilandasi oleh sikap, persepsi dan kerjasama yang positif diantara anak maupun antara anak dengan guru. Sedangkan mempertahankan iklim sosial kelas berarti kegiatan guru yang bermakna menjaga kondisi perilaku sosial anak di kelas agar tetap positif dan kondusif bagi kelancaran kegiatan instruksional. Dan mengendalikan iklim sosial kelas berarti kegiatan guru yang bermakna

82

mencegah hal-hal yang dapat merangsang timbulnya gangguan iklim sosial kelas. Pola interaksi sosial anak di kelas dapat memiliki dua kecenderungan, yakni pola interaksi sosial yang bersifat positif dan yang bersifat negatif. Pola interaksi sosial kelas bersifat positif manakala pola interaksi sosial yang berkembang mendukung kelancaran kegiatan instruksional. Misalnya antar anak dapat bekerjasama secara harmonis dalam kerja kelompok, adanya partisipasi aktif dari setiap anggota kelas untuk melaksanakan kegiatan diskusi, suasana sosial kelas mengindikasikan adanya rasa kebersamaan, kesamaan hak dan kewajiban, kelas sebagai satu keutuhan organisasi sosial, demokratis, terhindar dari adanya penyimpangan-penyimpangan tingkah laku oleh individu tertentu maupun kelompok, dll. Sebaliknya, interaksi sosial kelas bersifat negatif manakala pola interaksi sosial yang berkembang, dapat menghambat aktivitas instruksional. Misalnya, saling menggoda, tidak saling menyapa, berkelai di kelas, individualis, sering ribut, hubungan sosial anak renggang, stratifikasi sosial tampak secara menyolok, tidak ada kebersamaan, tanggung jawab sosial kelas rendah, banyak pelanggaran tata tertib kelas, disiplin sosial rendah, banyak penyimpangan tingkah laku oleh individu maupun kelompok, dll. Membina iklim sosial kelas dapat pula berarti aktivitas guru yang dapat meniadakan terjadinya masalah-masalah sosial kelas. Baik masalah yang bersifat terbuka, maupun yang terselubung. Masalah-masalah sosial kelas tidak selamanya aktual. Bahkan banyak masalah-masalah sosial kelas yang laten dan tersembunyi. Terutama untuk kelas-kelas anak usia adolesence (remaja). Anak usia adolesence mampu menyembunyikan masalah sosial kelas yang dialaminya dari pengamatan guru. Sehingga guru tidak dapat menangkap masalah-masalah sosial kelas yang sebenarnya terjadi. Keadaan ini baru dapat dipahami guru saat kegiatan-kegiatan yang memerlukan kerja sama dilaksanakan. Meskipun tersembunyi, masalah sosial kelas tersebut, berpengaruh sekali terhadap kelancaran belajar anak. Lebih-lebih masalah sosial kelas yang bersifat terbuka. Misalnya, berkelai di kelas, membuat keonaran kelas, berbicara dengan temannya, dll. Unsur-Unsur dalam Pembinaan Iklim Sosial Kelas Schmuck dan Schmuck menyebutkan enam unsur pembinaan terhadap iklim sosial kelas yang efektif dan produktif, yakni (1) harapan, (2)

83

kepemimpinan, (3) kemenarikan, (4) norma, (5) komunikasi, dan (6) keeratan (Cooper, 1982:79--80). Harapan. Guru maupun siswa di kelas mempunyai harapan-harapan tertentu. Untuk mewujudkan harapannya tersebut, guru ataupun siswa melakukan aktivitas atau perilaku tertentu tertentu. Oleh karena itu aktivitas guru maupun siswa di kelas tidak jauh dari upaya mewujudkan harapannya tersebut. Guru menaruh harapannya pada perilaku belajarnya anak, demikian pula siswa menaruh harapannya pada guru maupun pada temantemannya. Konflik sosial kelas terjadi dapat bersumber dari adanya benturan harapan. Dalam kaitan tersebut, maka tugas guru dalam manajemen kelas adalah sinkronisasi sejumlah harapan dari semua pihak, yakni harapan guru, harapan siswa, dan harapan teman-teman sekelasnya. Harapan yang sinkron dari berbagai pihak gilirannya dapat menjadi harapan bersama, sehingga iklim sosial kelas dapat terjaga. Kepemimpinan. Hakekat kepemimpinan adalah human relationship. Sedangkan prinsip dasar kepemimpinan adalah motivasi. Berkaitan dengan konsep tersebut, guru selaku manajer kelas berfungsi untuk menumbuhkan iklim sosial kelas yang berlandaskan hubungan manusiawi dan kerjasama. Dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan, guru berfungsi sebagai motivator. Guru bertugas sebagai penggerak aktivitas belajar anak. Oleh karena itu, dua aspek penting dalam kepemimpinan adalah kekohesifan kelas dan produktivitas kelas (Suprihadi, 1993). Kemenarikan. Kemenarikan dalam kaitan ini adalah tumbuhnya rasa simpati dan empati diantara anggota kelas. Simpati berarti dapat menempatkan diri pada posisi perasaan orang lain. Sedangkan empati adalah rasa ikut merasakan kejadian yang dirasakan oleh perasaan orang lain (Rahmat, 1986: 166). Dalam kultur jawa kedua istilah tersebut dinamakan tepo sliro ( BI: tenggang rasa). Manakala hubungan sosial kelas dilandasi oleh rasa simpati dan empati, maka hubungan sosial kelas akan tumbuh secara positif. Demikian pula apabila secara kultural masing-masing individu anggota kelas dapat menempatkan dirinya pada tempatnya masing-masing (jawa: ngrumangsani--tahu diri), maka hubungan sosial kelas dapat terhindar dari konflik sosial kelas. Iklim sosial kelas yang berdasar atas kedua konsep perilaku tersebut, akan terwujud suasana kelas saling tertarik satu sama lain, saling menghormati, dan penuh penghargaan.

84

Norma. Norma adalah standar perilaku anggota kelas. Norma menjadi ukuran perasaan, pikiran dan perbuatan dari masing-masing anggota kelas. Oleh karena itu, yang harus diupayakan guru adalah adanya norma kelas yang jelas dan dapat diterima oleh semua anggota kelas. Menyertai norma adalah sangsi bagi pelanggar norma. Sangsi yang jelas dan disepakati oleh kelas, dan ditegakkan secara konsekuen akan mampu mengurangi terjadinya penyimpangan kelas. Komunikasi. Hambatan-hambatan sosial kelas dapat terjadi karena komunikasi sosial kelas yang tidak lancar. Komunikasi yang dilandasi oleh adanya saling keterbukaan diantara anggota kelas dapat menumbuhkan terjadi hubungan interpersonal yang kokoh. Komunikasi sosial yang terbuka mampu menumbuhkan suasana kelas yang bebas dari prasangka-prasangka sosial yang negatif. Keeratan. Keeratan atau kekohesifan hubungan sosial kelas menjadi dasar dari kerja sama diantara anak dan antara anak dengan guru di kelas. Kelas yang erat, kerjasama anak akan meningkat, gilirannya dapat menjaga keutuhan kelas. Adalah tugas guru untuk mendorong tumbuhnya kerjasama kelas, sehingga kelas dirasakan sebagai tempat yang menyenangkan. Schumuck dan Schumuck melihat beberapa alasan yang mendorong berkembangnya keeratan dalam kelompok (1) karena adanya minat yang besar terhadap tugas-tugas kelompok, (2) karena para anggota saling menyukai, dan (3) karena kelompok itu memberikan prestise tertentu kepada anggotanya. dengan demikian, kelompok kelas erat apabila sebagaian besar anggota kelompok kelas, termasuk gurunya, merasa amat tertarik terhadap kelompok kelasnya itu scara keseluruhan. Keeratan kelompok dapat tumbuh apabila kebutuhan individu dapat terpenuhi dengan jalan menjadi anggota kelompok itu. Schumuck dan Schumuck menekankan bahwa keeratan merupakan hasil dari dinamika antara harapan-harapan yang ada dalam hubungan interpersonal, gaya kepimpinan, pola kemenarikan dan arus komunikasi yang ada disuatu kelompok kelas melalui penggunaan komunikasi dua arah. Keeratan merupakan hal yang penting untuk kelompok yang produktif. Kelompok yang erat memiliki norma-norma kelompok yang jelas. Dengan demikian, pengelola kelas yang efektif ialah yang mampu menciptakan kelompok yang erat dan memiliki norma yang terarah pada tujuan. Sebagaian kesimpulan dari pendapat Schmuck dan Schmuck, dapatlah dikatakan bahwa mereka menekankan pentingnya kemampuan guru untuk

85

menciptakan dan menelola kelompok kelas yang berfungsi secara efektif dan terarah pada tujuan. Implikasi dari pendapat ini ialah berikut ini. 1. Guru, bersama-sama siswa, perlu mengungkapkan harapan-harapan yang ada dalam hubungan interpersonal antar anggota kelompok kelas; memahami harapan-harapan itu berdasarkan informasi-informasi baru; memperkuat harapan-harapan (yang baik) berdasarkan kemampuan siswa (dan tidak berdasarkan ketidak kemampuan siswa); dan berusaha sekuat tenaga untuk menerima dan memberi dukungan kepada setiap siswa.2. Guru hendaknya mewujudkan pengaruh-pengaruh yang bersifat terarah pada tujuan dengan jalan menerapkan tingkah laku kepemimpinan; dan menyebarkan kepemimpinan dengan membagikan fungsi-fungsi kepemimpinan bersama siswa serta mendorong siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan kepemimpinan. 2. Guru hendaknya memperlihatkan empati dan membantu siswa mengembangkan saling pengertian yang disertai sikap empati di antara sesama anggota kelompok kelas; menerima semua siswa dan mendorong siswa untuk saling menerima; menenyediakan kesempatan bagi siswa untuk kerjasama dengan baik; dan membantu siswa mengembangkan suasana keakraban berkawan dan keakraban hubungan guru-siswa. 3. Guru hendaklah membantu siswa mengatasi konflik antara peraturan sekolah, norma kelompok, dan sikap-sikap individu siswa; menerapkan berbagai teknik pemecahan masalah dan diskusi kelompok untuk membantu siswa mengembangkan norma-norma yang produktif dan terarah pada tujuan; mendorong siswa agar mampu bertanggung jawab atas tingkah lakunya sendiri. 4. Guru hendaklah mewujudkan keterampilan berkomunikasi yang efektif dan membantu siswa mengembangkan keterampilan seperti itu; membangun saluran komunikasi yang terbuka yang mendorong siswa menyatakan secara konstruktif pikiran-pikiran dan perasaannya; meningkatkan interaksi antar siswa, yang memungkinkan mereka saling mengenal dan bekerja sama; dan menyediakan kesempatan bagi siswa untuk mendiskusikan secara terbuka proses kelompok. 5. Guru hendaklah meningkatkan keeratan kelompok dengan jalan menumbuhkan dan mempertahankan kelompok kelas yang memiliki ciri-ciri adanya harapan-harapan yang dimengerti secara jelas; kepemimpinan yang

86

tersebar dengan baik dan terarah pada tujuan; empati, penerimaan, dan keakraban perkawanan yang tinggi; dan saluran komunikasi yang terbuka. Manajemen Iklim Sosial Kelas Johnson dan Bany (Cooper, 1982) mengemukakan dua jenis kegiatan manajemen kelas yang paling penting, yaitu pemudahan (fasilition) dan mempertahankan (main essence). Pemudahan merupakan tingkah laku pengelolaan yang mengembangkan atau mempermudah perkembangan kondisikondisi yang efektif di kelas. Guru yang mengelola kelas secara efektif melaksanakan kedua macam tindakan tersebut. 1. Kegiatan Pemudahan Johnson dan Bany mengemukakan empat jenis tindakan pemudahan yakni, (1) mengusahakan terbinanya kesatuan dan kerjasama, (2) mengembangkan aturan dan prosedur kerja, (3) menerapkan cara-cara pemecahan masalah, dan (4) mengubah tingkah laku kelompok. Maksud kegiatan pemudahan adalah mengembangkan kondisi sosial kelas agar kondusif bagi efektivitas pembelajaran. Secara singkat, empat jenis kegiatan pemudahan tersebut dapat diperhatikan dalam rincian berikut ini. a. Mengusahakan terbinanya kesatuan dan kerjasama Kegiatan ini berfungsi untuk membina keeratan anggota kelas. Keeratan di antara anggota kelas dapat terbina apabila diantara anggota kelas tersebut tumbuh rasa saling menyukai. Maka tugas guru adalah membuat keanggotaan kelompok kelas dapat memberikan kepuasan diantara mereka. Johnson dan Bany menegaskan bahwa keeratan kelompok bergantung pada frekuensi interaksi dan komunikasi antar siswa, jenis struktur yang ada dalam kelompok, serta pemahaman anggota kelompok terhadap tujuan-tujuan yang akan dicapai. Untuk itu, tugas guru adalah mendorong terjadinya interaksi dan komunikasi. Guru perlu menyediakan kesempatan untuk saling bekerjasama, mendiskusikan pikiran dan perasaan-perasaan mereka, menerima dan menyokong semua siswa untuk mengembangkan diri, menumbuhkan rasa saling memiliki, dan membantu siswa untuk memahami tujuan-tujuan bersama. b. Mengembangkan Aturan dan Prosedur Kerja Aturan diperlukan sebagai akibat dari tuntutan dalam bertingkah laku bersama. Sedangkan prosedur kerja merupakan aturan yang berkaitan

87

dengan interaksi dalam suasana latihan. Suatu prosedur kerja misalnya mengatur bagaimana tingkah laku siswa setelah selesai mengerjakan tugas tertulis di dalam kelas, atau jika ingin bertanya kepada guru. Demikianlah, pengajaran yang efektif tergantung pada sampai berapa jauh guru mampu mengembangkan aturan-aturan dan prosedur seperti itu. Johson dan Bany menekankan pentingnya metode diskusi kelompok untuk mengembangkan aturan dan prosedur seperti itu serta pemahaman dan kepatuhan siswa pada aturan dan prosedur yang dimaksud c. Menerapkan Cara-Cara Pemecahan Masalah Strategi yang baik sekali di pakai dalam mengatasi masalah-masalah sosial kelas ini adalah pendekatan proses kelompok. Proses pemecahan masalah meliputi: (1) mengenali (mengidentifikasikan) masalah, (2) analisis masalah, (3) mempertimbangkan alternatif pemecahan (4) menilai hasil pemecahan dan memperoleh umpan balik. Anggapan dasar yang melatar belakangi strategi ialah bahwa, jika siswa-siswa diberi kesempatan, dilatih dan dibimbing seperlunya akan berkehendak dan bertanggung jawab berkenan dengan tingkah laku mereka di dalam kelas. Anggapan dasar ini menasehatkan agar guru menyediakan kesempatan bagi siswa untuk terlibat dalam diskusi untuk memecahkan masalah; melatih siswa dalam mengembangkan keterampilan pemecahan masalah; membimbing siswa dalam proses pemecahan masalah. d. Mengubah Tingkah laku Kelompok Meliputi penggunaan teknik-teknik pengubahan yang telah direncanakan yang mirip dengan pemecahan masalah kelompok. Perbedaannya adalah, proses pemecahan masalah bertujuan memecahkan masalah, sedangkan proses pengubahan yang direncanakan itu bertujuan agar cara-cara pemecahan yang telah direncanakan itu dimaksudkan untuk mengembangkan kondisi positif di dalam kelompok dengan jalan mengganti tujuan-tujuan yang tidak diinginkan dengan tujuan-tujuan kelompok itu bertentangan atau tidak sesuai dengan tuntutan pengajaran, maka siswa akan bertingkah laku menyimpang. Dengan demikian amatlah perlu bagi guru membantu kelompok kelas mengganti tujuan-tujuan dan tingkah laku anggota kelompok dengan tujuantujuan dan tingkah laku yang lebih sesuai, yaitu tujuan-tujuan dan tingkah laku yang memuaskan bagi anggota kelompok dan sesuai dengan tuntutan pengajaran (sekolah)

88

2. Kegiatan Pemertahanan Kegiatan pemertahanan meliputi tiga jenis kegiatan, (1) mempertahankan dan memperbaiki semangat, (2) mengatasi konflik, dan (3) mengurangi masalah-masalah pengelolaan. a. Mempertahankan Semangat Kelas Semangat kelas perlu dipertahankan agar produktivitasnya dan keeratan kelompok dapat dipelihara. Untuk itu, guru perlu senantiasa memperbaharui semangat kelas melalui keeratan diantara anggota kelas, meningkatkan interaksi dan komunikasi, melalui kerjasama, kerja kelompok, diskusi. b. Meningkatkan pemahanan tujuan-tujuan kelompok. Guru perlu bertindak untuk mengurangi faktor-faktor yang mendorong terjadinya konflik, menetapkan aturan bersama, menghilangkan susana yang mengancam timbulnya perpecahan kelas. Guru perlu menerapkan pola kepemimpinan yang adil dan demokratis, dan menghilangkan kemungkinan terjadinya frustrasi pada kelas c. Mengatasi Konflik Kelas Johnson dan Bany (Cooper, 1982) berpendapat untuk mengurangi dan mengatasi konflik, (1) perlu ditetapkan pedoman tingkah laku belajar bersama di kelas, (2) mengungkapkan perbedaan pandangan yang mungkin terjadi, (3) mengenali sebab-sebab konflik dan mencari alternatif penyelesaiannya, (4) mengembangkan kesepakatan, (5) mengembangkan penilaian atas alternatif penyelesaian konflik. d. Memperkecil Timbulnya Masalah Untuk memperkecil timbulnya masalah, ada tiga hal yang dapat dilakukan guru (1) melakukan kegiatan pemudahan dan pemertahanan efektivitas kelompok, (2) mendiagnosis dan menganalisis kelompok agar dapat mengetahui dengan segera kemungkinan terjadinya perpecahan kelompok, (3) segera bertindak untuk meredam gejala-gejala perpecahan kelompok agar tidak berkembang secara kronis. E. Iklim Sosio-emosional Kelas Iklim sosio-emosional kelas, menekankan kajian pada hubungan interpersonal (hubungan psikologis) antar anggota kelas. Oleh karena itu,

89

Iklim sosio-emosional kelas adalah kecenderungan-kecenderungan suasana psikologis yang mewarnai hubungan interpersonal anak di kelas, atau pola psikososio-emosional yang berkembang di kelas. Iklim sosio-emosional kelas dapat merupakan refleksi dari efektivitas hubungan interpersonal antar anak dan antara anak dengan guru di kelas. Iklim sosio-emosional kelas menjadi baik apabila hubungan interpersonal yang terjadi di kelas juga baik, atau tidak ada hambatan psikologis yang berarti. Sebaliknya iklim sosio-emosional kelas yang buruk dan tidak berkembang, ditandai oleh adanya hubungan interpersonal di kelas yang tidak harmonis dan tidak kohesif. Cooper (1982:63) menjelaskan bahwa iklim sosio-emosional kelas yang positif merupakan fungsi dari kondisi hubungan interpersonal yang positif antar siswa dan siswa dengan guru di kelas. Disamping itu, iklim sosio-emosional kelas juga merupakan fungsi dari iklim psikososial yang positif. Suasana psikososial yang berkembang di kelas merupakan pula ciri dari iklim sosio-emosional kelas. Suasana psikoso-sial berhubungan dengan suasana psikologis dari keseluruhan anak dalam kelas. Misalnya kelas yang gembira, kelas yang tegang, kelas yang tertekan, kelas yang kohesif (akrab, hangat dan nyaman). Perasaan kejiwaan ini tidak hanya dirasakan oleh individu-individu tertentu saja, tetapi dirasakan oleh semua anggota kelas. Suasana psikososial kelas dapat bersifat negatif dan atau bersifat positif. Suasana psikoso-sial kelas yang bersifat negatif adalah suasana psikososial yang bersifat tidak menyenangkan semua anggota kelas. Contoh suasana kelas yang menegangkan, suasana kelas yang mencemaskan, suasana kelas yang menakutkan, dan lain-lain. Sedangkan suasana kelas yang bersifat positif adalah suasana psikososial kelas yang menyenangkan semua anggota kelas. Contoh suasana kelas yang positif misalnya suasana kelas yang akrab, menggembirakan, tidak ada tekanan-tekanan dari guru atau dari anak-anak tertentu yang ingin menguasai kelas, suasana kelas yang nyaman, dan hangat. Bertolak dari itu, iklim sosio-emosional kelas adalah fungsi dari hubungan interpersonal dan iklim psikososial yang terjadi di kelas saat kegiatan instruksional berlangsung. Inti dari hubungan interpersonal adalah komunikasi pribadi. Oleh karena itu, keadaan iklim sosio-emosional kelas dapat ditelusuri dari keadaan komunikasi antar pribadi yang berkembang di kelas.

90

Hubungan interpersonal yang mendorong terwujudnya iklim sosioemosional kelas yang positif menjadi perhatian mengingat pencapaian prestasi belajar siswa maupun perilaku siswa di kelas sangat dipengaruhi oleh kualitas hubungan guru-murid ( V.F. Jones and L.S. Jones, 1998:70). Penelitian Davidson and Lang (1960) mencatat bahwa siswa-siswa yang merasa senang dengan gurunya memiliki prestasi belajar yang tinggi dan memperlihatkan perilaku yang produktif. Demikian pula penelitian Truax dan Tatum (1966) memperlihatkan bahwa guru yang empatik dan mempunyai pandangan yang positif terhadap anak-anak, menyebabkan anak-anak mempunyai penyesuaian diri yang lebih baik dengan sekolah, guru maupun teman-temanya Keterampilan Komunikasi Guru di Kelas Keterampilan berkomunikasi merupakan fondasi dari manajemen kelas yang efektif ( V.F. Jones and L.S. Jones, 1998:93). 1. Orientasi dan Gaya komunikasi Pierre Casse (Sujak,1990) mengelompokan orientasi gaya kepemimpinan kedalam empat tipe orientasi gaya komunikasi, yakni (1) tindakan, (2) proses, (3) orang, dan (4) ide, dan dua jenis gaya komunikasi, yakni (1) gaya komunikasi yang mementingkan isi, dan (2) gaya komunikasi yang mementingkan proses.Karakteristik komunikasi dari masing-masing orientasi gaya komunikasi dan jenis gaya komunikasi tersebut, dapat diuraikan berikut a. Orientasi Tindakan Karakteristik guru yang gaya komunikasinya berorientasi pada tindakan, ditinjau dari segi isi, guru senantiasa berbicara tentang, (1) hasil belajar, (2) sasaran belajar (3) prestasi belajar, (4) produktivitas belajar, (5) efisiensi belajar, (6) kemajuan belajar, (7) tanggungjawab belajar, (8) balikan (9) tantangan, (10) pengalaman, (11) keberhasilan, (12) perubahan, (13) keputusan. Sedangkan ditinjau dari segi proses, karakteristik tindakan guru bersifat, (1) pragmatis, (2) langsung pada pencapaian tujuan, (3) tidak sabar, (4) cepat memutuskan, (5) melompat-lompat dari satu pendapat ke pendapat yang lain, (6) bersemangat. b. Orientasi Proses Gaya komunikasi guru yang berorientasi pada proses, ditinjau dari isi komunikasinya, guru cenderung bertindak dan berbicara yang berkait

91

tentang, (1) fakta-fakta, (2) prosedur, (3) perencanaan, (4) pengorganisasian, (5) pengawasan, (6) pengujian, (7) percobaan, (8) analisis, (9) observasi, (10) bukti, (11) perincian. Sedangkan dari segi proses, karakteristik tindakan guru bersifat, (1) sistematis, (2) logis, (3) faktual, (4) berbicara panjang, (5) tidak emosional, (6) hati-hati, dan (7) sabar. c. Orientasi Orang Gaya komunikasi guru yang berorientasi pada orang, dari segi isi komunikasinya memiliki karakteristik tindakan dan berbicara tentang, (1) orang, (2) kebutuhan, (3), motivasi, (4) kerjasama, (5) kelompok, (6) komunikasi, (7) perasaan, (8) semangat kelompok, (9) pengertian, (10) sensitivitas, (12) kewaspadaan, (13) kepercayaan, (14) nilai-nilai, (15) harapanharapan, (16) hubungan, (17) pengembangan diri. Sementara dari segi proses, karakteristik tindakan guru bersifat, (1) spontan, (2) dapat membagi perasaan, (3) hangat, (4) subyektif, (5) emosional, (6) perseptif, (7) sensitif. d. Orientasi Ide Karakteristik tindakan dan ucapan guru yang memiliki gaya komunikasi yang berorientasi pada ide adalah, (1) konsep, (2) inovatif, (3) kreativitas, (4) kesempatan, (5) kemungkinan, (6) perancang besar, (7) isu-isu, (8) saling bergantung, (9) cara-cara baru, (10) peingkatan, (11) persoalan, (12) potensi, (13) alternatif, (14) apa yang baru dalam suatu bidang. Sementara dari segi proses, tindakan guru bersifat, (1) imajinatif, (2) kharismatik, (3) sulit dimengerti, (4) egosentris, (5) tidak realistik, (6) kreatif, (7) penuh ide, dan (8) provokatif. 2. Tipe Komunikasi Guru di Kelas Tipe komunikasi guru di kelas dapat dibedakan dalam dua pola, yakni tipe komunikasi verbal dan tipe komunikasi non verbal. Tipe komunikasi verbal yakni tipe komunikasi dengan menggunakan bahasa, sedang tipe komunikasi non verbal yaitu tipe komunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh. Menurut Bellack, interaksi verbal antara guru-siswa di kelas dapat dibedakan ke dalam empat jenis, (1) ucapan penstrukturan pembelajaran, yakni ungkapan guru yang berfungsi untuk memfokuskan perhatian anak terhadap topik pembelajaran yang akan dipelajari, (2) ungkapan permintaan, yang dapat

92

berupa tanya jawab tentang topik yang akan dipe-lajari, dengan maksud untuk mendorong respon siswa, (3) ungkapan tanggapan, yang berfungsi untuk memenuhi harapan, (4) ungkapan yang merupakan reaksi guru yang berfungsi untuk mengubah, mengklarifikasi atau memutuskan dalam kaitannya dengan ungkapan penstrukturan, permintaan dan penanggapan (Ornstein, 1990:537). Komunikasi non verbal yang dilakukan guru di kelas menurut Miles Patterson, memiliki lima fungsi, (1) penyediaan informasi, (2) interaksi, (3) ekspresi, (4) latihan kontrol sosial, dan (5) fasilitasi pencapaian tujuan. Stephens dan Valentin mengamati ada sepuluh perilaku guru yang bersifat non verbal yakni, (1) senyuman, (2) kontak pandang, (3) anggukan kepala, (4) gerak isyarat, (5) pakaian, (6) jarak interaksi, (7) sentuhan, (8) perubahan posisi, (9) sikap badan, dan (10) susunan tempat duduk (Ornstein, 1990: 539). Pengembangan Kualitas Komunikasi Interpersonal Efektivitas komunikasi antar pribadi di kelas dapat dilacak dari kualitas komunikasinya. Sedangkan kualitas komunikasi dapat diukur berdasarkan bagaimana komunikasi itu dilakukan (Rakhmat,1986: 162). Ada tiga hal yang sangat menentukan kualitas hubungan interpersonal di kelas, menurut Rakhmat (1986) yakni: (1) rasa percaya, (2) sikap suportif, dan sikap terbuka. Rasa percaya dapat terjadi manakala berdasarkan pengalaman, orang yang dipercaya tersebut berlaku jujur, tidak mengkianati dan laian-lain. Menurut Rakhmat (1986:165), ada tiga faktor penentu rasa percaya kepada yang lain, (1) menerima, (2) empati, dan (3) kejujuran. Disebutkan, menerima berarti kemampuan berhubungan dengan yang lain tanpa menilai dan mengendalikan. Dengan kata lain dapat menerima orang lain sebagimana adanya. Sedangkan empati adalah menempatkan posisinya orang lain dalam diri sendiri. Dengan empati kita dapat memandang, menilai sesuatu seperti cara pandang yang dipakai orang lain. Berbeda dengan empati adalah simpati, yakni merasakan apa yang dirasakan orang lain. Penentu rasa percaya yang ketiga adalah kejujuran. Dalam pengalaman, tidak seorangpun yang senang berhubungan secara interpersonal dengan orang yang tidak jujur. Sikap suportif sangat diperlukan untuk mengembangkan kualitas hubungan interpersonal. Sikap suportif menurut Jack Gibb (1961) bercirikan: deskriptif (penyampaian persepsi dan perasaan tanpa menilai), orientasi

93

masalah (mencari pemecahan bersama), spontanitas (tidak menyimpan motif pribadi), empati (menempatkan orang lain dalam dirinya), persamaan (tidak membedakan), dan provisionalism (menerima pendapat orang lain). Sedang kebalikannya adalah sikap defensif yakni sikap dalam komunikasi yang bercirikan: evaluatif (bersikap menilai), kontrol (mengendalikan), taktisstrategis (manipulatif), netralis (impersonal), superioritas (menunjukkan kelebihan), dan kepastian ( pendapatnya sebagai hal yang mesti benar) (Rakhmat, 1986:168--170). Sikap terbuka berpengaruh besar dalam pembentukan kualitas hubungan interpersonal. Karakteristik guru yang bersikap terbuka adalah obyektif, rasional, familier, personal, tidak memiliki motif pribadi, menerima kritik, dst. 4. Teknik Berkomunikasi dengan Siswa secara Efektif Keterampilan berkomunikasi menurut V.F. Jones dan L.S. Jones (1998: 94-95) dibagi kedalam dua kategori yakni (1) keterampilan menyampaikan pesan dan (2) keterampilan menerima pesan. Keterampilan mengirim pesan secara umum dikategorikan dalam tiga kelompok yakni (1) keterampilan mengemukakan perilaku siswa yang perlu diubah, (2) keterampilan memberikan balikan tentang prestasi akademik dan (3) keterampilan dalam menyampaikan harapannya kepada siswa. Komunikasi personal antara guru dengan murid di kelas dapat dibina apabila guru mampu menghindar dari gaya bicara yang dapat menimbulkan ketimpangan komunikasi. Thomas Gordon (Charles, 1980: 49), mengidentifikasi dua belas gaya bicara yang dapat menimbulkan ketimpangan komunikasi antara guru dan murid di kelas. 1. memberi pesan-pesan, mengarahkan, dan mengomando 2. memperingatkan, mengancam 3. mendesak, kotbah moral, menggurui 4. menasehati, memberi saran-saran 5. menceramahi, mengajari, memberi argumen 6. mengadili, mengritik, tidak menyetujui, menyalahkan 7. memuji, menyetujui 8. menyebut nama, mentertawakan, mempermalukan 9. menginterpretasi, mendiagnosis, menganalisis

94

10. menenangkan, bersimpati, menghibur, mendukung 11. melacak, bertanya, menginterograsi 12. menarik kembali, membingungkan (mengacaukan), humor, mengasyikan Ketika berkomunikasi dengan anak, lebih baik menghindar dari dua belas gaya bicara tersebut dan lebih tepat jika guru melakukan berikut ini. 1. Dengarkan secara aktif, jaga kontak pandang, dan tunjukkan bahwa anda mengikuti apa yang dikatakan anak. 2. Refleksikan kembali dengan memparafrase atau mengikhtisarkan, perasaan yang kuat dari ekpressi anak. 3. Menyatakan kepada anak mengenai situasi yang bagaimana yang membuat mereka merasa senang, dan menghindari pernyataan yang salah dimata anak. 4. Bersama anak, bekerja sama untuk memecahkan masalah, tanpa menyalahkan atau jangan antagonis dengan anak. Ginot (Cooper, 1982:65) mengemukakan daftar yang berisi saran-saran untuk guru dalam berkomunikasi secara efektif, yaitu berikut ini. 1. Jangan menilai sifat pribadi siswa. 2. Jelaskan keadaan sebagaimana adanya. 3. Kemukakan perasaan yang benar-benar dari hati sanubari. 4. Hilangkan kekerasan dan beri kesempatan kepada siswa untuk bertindak secara merdeka. 5. Kurangi penolakan siswa dengan jalan tidak memerintah melakukan sesuatu yang dapat membangkitkan siswa untuk mempertahankan diri. 6. Kenalilah, hormatilah, dan ide-ide serta perasaan siswa yang membangkitkan kesadaran harga dirinya. 7. Hindarkanlah usaha diagnosis dan pragnosis yang menghasilakan pemberian ciri-ciri tertentu pada siswa yang sering kali tidak tepat. 8. Jelaskanlah prosesnya, bukan menilai hasil atau orangnya, berikanlah bimbingan, bukan kritik 9. Hindarilah pertanyaan atau komentar yang dapat menimbulkan kemarahan dan mengundang sikap bertahan. 10. Hindarilah penggunaan kata-kata kasar, sebab hal itu dapat menghilangkan harga diri siswa.

95

11Tahanlah keinginan untuk memberikan pemecahan yang segera terhadap masalah yang dihadapi siswa; pakailah waktu yang tersedia untuk membimbing siswa sehingga mereka mampu mengatasi sendiri masalah yang ada. Kembangkanlah otonomi siswa. 12. Berusahalah untuk berbicara singkat saja; hindarilah memberikan ceramah yang panjang lebar dan bertele-tele karena hal itu tidak akan memotivasi siswa. 13.Sadarilah dan amatilah pengaruh kata-kata tertentu terhadap siswa. 14. pakailah pujian-pujian yang bersifat menghargai siswa, karena hal itu bersifat produktif; hindarilah pemakaian pujian-pujian atas pertimbangan yang tidak wajar, karena hal itu bersifat destruktif. 15. Dengarkanlah apa yang dikatakan para siswa dan doronglah mereka untuk menyatakan ide dan perasaan-perasaan mereka. Glasser (Cooper, 1982) mengemukakan proses dengan delapan langkah yang hendaknya dilakukan oleh guru untuk membantu siswa mengubah tingkah lakunya. 1. secara pribadi terlibat dalam dalam kegiatan bersama siswa; menerima siswa yang bersangkutan tetapi tidak menerima tingkah lakunya yang menyimpang itu; menya-takan kesediaan untuk membantu siswa dalam memecahkan kesulitan-kesulitan siswa. 2. menjelaskan tingkah laku siswa tanpa memberikan penilaian kepada siswa itu; yang dibicarakan ialah masalahnya, bukan orangnya. 3. Membantu siswa melakukan penilaian terhadap tingkah lakunya yang menimbulkan masalah itu; memusatkan perhatian pada hal-hal yang dilakukan siswa yang ikut membantu timbulnya masalah. 4. Membantu siswa merencanakan tindakan yang lebih baik diperlukan,mengajukan alternatif-alternatif;membantu siswa mencapai kesimpulan atau keputusan tentang apa yang hendaknya dilakukan berdasarkan penilaiannya terhadap keadaan. Dengan demikian guru mendorong timbulnya tanggung jawab pribadi. 5. Membimbing siswa dalam melaksanakan tindakan yang telah dipilihnya. 6. Memberikan penguatan apabila siswa melaksanakan rencana yang dibuatnya; mengusahakan agar siswa tahu bahwa guru mengetahui kemajuan yang dicapai siswa.

96

7. Tidak mempersoalkan alasan mengapa siswa memang gagal melaksanakan tinakan yang telah direncanakan -- apabila siswa memang gagal, membantu siswa memahami bahwa siswa itu bertanggung jawab atas tingkah lakunya sendiri; menunjukkan bahwa siswa memerlukan rencana yang lebih baik. Menerima alasan-alasan kegagalan berarti, mengkomunikasikan sikap bahwa guru sebenarnya kurang mau membantu. 8. memberi kesempatan siswa mengalami akibat-akibat perbuatannya yang menyimpang itu, tetapi tidak menghukumnya; membantu siswa mencoba lagi membat rencana yang lebih baik dan mengharapkan tekadnya yang penuh untuk melaksanakan rencana itu. F. Pengelolaan Fisikal kelas Kondisi fisikal kelas dapat menjadi sumber gangguan belajar siswa manakala kondisinya tidak kondusif. Bahkan kondisi fisikal kelas juga dapat menjadi pemicu munculnya penyimpangan-penyimpangan perilaku anak di kelas. Kondisi kelas yang menimbulkan gangguan belajar misalnya kelas yang kurang terang, tempat duduk yang kurang sehingga anak duduk berdesakan, susunan tempat duduk dan bangku yang tidak relevan dengan format kegiatan belajar yang diterapkan guru, lingkungan kelas yang ramai kendaraan, sirkulasi udara yang tidak lancar, temperatur kelas yang panas, kelas yang mudah terinterferensi oleh aktivitas lain di luar kelas, dan sejenisnya. Kondisi kelas yang demikian itu, gilirannya dapat merangsang timbulnya penyimpangan-penyimpangan perilaku anak. Baik penyimpangan perilaku yang bersifat individual, maupun kelompok. Kondisi fisikal kelas dapat dikategorikan dalam dua kategori, yaitu kondisi fisikal kelas yang dapat dimanipulasi guru dan kondisi kelas yang tidak dapat dimanipulasi guru. Kondisi fisikal kelas yang dapat dimanipulasi guru, misalnya susunan tempat duduk, temperatur ruang kelas. Sedangkan kondisi fisikal kelas yang tidak dapat dimanipulasi guru, misalnya disain bangunan ruang kelas, lokasi sekolah. Untuk kondisi fisikal kelas yang tidak dapat dimanipulasi guru, dengan sendirinya bukan bagian dari kegiatan manajemen kelas. Sementara kegiatan manajemen kelas terhadap kondisi fisikal kelas, hanya yang berkaitan dengan kondisi yang dapat dimanipulasi guru. Oleh karena itu, pengertian membina kondisi fisikal kelas dalam kaitannya dengan manajemen kelas di sini adalah merencanakan, mengatur, memanfaatkan

97

kondisi fisikal kelas untuk semaksimal mungkin bagi kelancaran dan kemudahan proses instruksional. Lingkungan Fisikal Kelas Evans dan Brueckner (1992:93), menyebutkan kondisi fisikal kelas (physical environment of the classroom) meliputi segala sesuatu yang ada di ruang kelas: papan buletin, furniture, penerangan, temperatur ruang. Todd dan Mancillas dalam Barker, editor. (1982:77) menyebutkan lingkungan ruang kelas itu mencakup, (1) ruang, (2) Waktu, (3) suara, (4) temperatur, (5) warna, (6) penerangan, (7) artefak. Disain Ruang Kelas Pada umumnya ruang kelas memiliki perlengkapan yang meliputi: bangku atau meja beserta tempat buku siswa, kursi siswa, meja dan kursi guru beserta tempat buku guru, lemari buku, alat-alat peraga, papan tulis, tempat cuci tangan guru, dan lain-lain. Pengaturan keseluruhan perlengkapan kelas tersebut amat penting bagi penampilan kelas. Seseorang yang masuk kelas dengan penampilan kelas yang rapi dan menarik akan memberikan respon yang positif. Bagi guru maupun siswa ruang kelas adalah tempat mereka bekerja. Sehingga ruang kelas yang rapi dan menarik dapat memberi dampak yang positif bagi guru dan siswa yang sedang bekerja. Ruang kelas yang bersih, nyaman, rapi, dan menarik, menjadi tempat kerja yang menyenangkan, sehingga mampu memaksimalkan produktivitas kerja. Hal penting yang berhubungan dengan perlengkapan fisik ruang kelas tersebut adalah penyusunan atau pengelolaannya. Penyusunan yang sesuai, dapat memberikan dampak positif bagi kelancaran dan keberhasilan kegiatan instruksional. Manajemen fisikal ruang kelas meliputi kegiatan guru untuk mengatur format fisikal kelas. Untuk suatu kegiatan tertentu, bagaimana susunan meja siswa, dimana posisi guru, apa saja alat peraga yang perlu disiapkan, apakah diperlukan OHP, dimana layar OHP ditempatkan, apakah dengan format yang ditetapkan memungkinkan anak mudah dikontrol, memudahkan siswa untuk berpartisipasi di kelas, memudahkan siswa untuk berinteraksi, dan lain-lain. Pada tingkatan yang berbeda, perlengkapan fisik ruang kelas berbeda pula. Oleh karena itu, untuk tingkat pendidikan dasar, perlengkapan ruang kelas berbeda dengan perlengkapan ruang kelas untuk tingkatan sekolah menengah, berbeda pula dengan perlengkapan ruang kelas

98

untuk tingkatan pendidikan tinggi. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh perbedaankebutuhan belajar dari masing-masing tingkatan pendidikannya. Mercer dan Mercer (1989:83--84), menyebutkan susunan ruang kelas terdiri atas beberapa area, yaitu: area akademik, area guru, area individual siswa, area rekreasi, area audiovisual. Masing-masing area memerlukan kelengkapan dan pengaturan yang sesuai dengan keperluannya. Ornstein (1990:406) menyebutkan, disain ruang kelas ditentukan oleh beberapa faktor, yakni (1) ukuran ruang kelas, (2) jumlah siswa per kelas, (3) jumlah deret bangku dan kursi, (4) kelengkapan peralatan kelas, (5) posisi pintu, cendela, kloset, tempat cuci tangan, tempat papan tulis, dan tempat pengerat pensil, (6) alat-alat peraga yang digunakan guru, (7) pengalaman guru. Selanjutanya Ornstein menyebutkan tujuh faktor pertimbangan dalam mendisain ruang kelas. 1. Mengatur ruang sesuai dengan keadaan yang sudah ada. Guru tidak dapat mengubah yang sudah ada dalam ruangan. Oleh karena itu untuk mengatur ruang kelas, guru harus mempertimbangkan letak pintu, jendela, lemari, stop kontak dan seterusnya. Tas dasar pertimbangan tersebut, maka guru dapat mengatur misalnya bangku jangan terlalu dekat dengan jalan keluar dan kabel tidak melintang di ruang tengah. 2. Area lalu lintas di ruang kelas. Hal-hal yang sering digunakan seperti, almari buku, tempat peraut pensil, cuci tangan, perlu di tempat terbuka dan mudah didatangi. Meja guru harus berada di lalu lintas yang sepi. 3. Area tempat belajar, harus khusus dan tenang. Lebih baik diujung atau bagian belakang ruang jauh dari tempat bising. 4. Perkakas dan peralatan, harus bersih dan siap pakai. Meja-kursi yang sudah tua, grafik dan gambar yang usang disingkirkan. Peralatan disimpan dalam ruangan. 5. Material pembelajaran, harus mudah dan dapat dijangkau sehingga aktifitas belajar dimulai dan berakhir tepat waktu. 6. Visibilitas. Kemudahan mengamati seluruh anak di kelas.Guru harus dapat melihat semua siswa untuk mengurangi masalah managerial dan meningkatkan supervisi pengajaran. Siswa dapat melihat guru bayangan OHP, demontrasi tanpa memindahbangku atau memutar kepala. 7. Fleksibel. Desain harus fleksibel sehingga dapat dimodifikasi untuk aktifitas yang berbeda dan kelompok yang berbeda.

99

C. Disain Tempat Duduk 1. Kriteria Pengaturan Tempat Duduk Siswa Format belajar berdasarkan pengaturan anak dalam belajarnya dapat dibedakan menjadi, (1) belajar secara klasikal, (2) belajar secara kelompok, dan (3) belajar secara individual. Berdasarkan format belajar tersebut, pengaturan posisi tempat duduk anak dapat diformat secara klasikal, kelompok, dan individual. Serupa dengan itu, Ornstein (1990:401) membagi tiga format dasar pembelajaran, yakni (1) pembelajaran klasikal (whole-group instruction/ large-group instruction), (2) pembelajaran kelompok kecil (small-group instruction), (3) individualized instruction. Mercer dan Mercer (1989:-84), menyebutkan lima dasar susunan instruksional sebagai dasar untuk pengaturan ruang kelas. Lima dasar susunan instruksional tersebut meliputi: susunan kelompok besar dengan guru, kelompok kecil dengan guru, siswa perseorangan dengan guru, peer teaching, dan bahan belajar dengan siswa. Kelima dasar susunan instruksional tersebut, mengimplikasikan pengaturan susunan tempat duduk, peralatan dan pengaturan bahan-bahan belajar yang diperlukan. Jacobsen, dkk. (1989:242), Everton (1987) dalam Eggen dan Kauchak (1994: 494-495), menyebutkan perlunya mempertimbangkan tiga hal dalam mendesain ruang kelas, yakni: visibility, accesibility, dan distractibility. Visibility berarti disain ruang kelas yang memungkinkan semua anakdapat melihat dengan jelas tulisan guru di papan, atau papan display ataupun transparansi OHP, dan lain-lain. yang disajikan di depan kelas. Termasuk dalam tataan disain ini adalah kemudahan guru dalam memonitor semua anak di kelas. Accesibility, menyangkut kemudahan arus keterlibatan anak dalam aktivitas interaksi antar siswa maupun interaksi guru dengan siswa. Sementara distractibility berhubungan dengan tidak mudahnya kelas terganggu oleh hal-hal lain yang ada di luar kelas, misalnya ruang kelas yang tidak mudah terganggu oleh anak yang sedang bermain di luar kelas. Di samping tiga pertimbangan tersebut di atas, Jacobsen, dkk.(1989:240), juga mempertibangkan pola struktur organisasi belajar siswa. Disebutkan ada tiga pola organisasi belajar di kelas yang meliputi pola kompetitif, pola koperatif, dan pola individualistik. Sehubungan dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, susunan tempat

100

duduk anak menurut Jacobsen, dkk. (1989), dapat diatur secara tradisional, alternatif, maupun individualistik. Perbedaan format belajar tersebut berimplikasi pada susunan tempat duduk yang diperlukan. 2. Alternatif Susunan Tempat Duduk Secara tradisional, studi yang dilakukan Adams dan Biddle mendapatkan bahwa guru cenderung berada di depan kelas dan 85 % waktunya untuk mengajar secara klasikal (Ornstein, 1990:401). Selanjutnya Adams dan Biddle menemukan pula bahwa dengan pola tradisional tersebut, partisipasi siswa di kelas cenderung terbatas. Guru yang berorientasi pada student Centered instruction, indirect instruction, dan berkomunikasi secara hangat dan bersahabat dengan siswa, cenderung menolak bentuk pengaturan tempat duduk secara tradisional tersebut. Pengajaran yang berorientasi pada siswa, memilih pola pengaturan tempat duduk yang bersifat informal. Misalnya pola melingkar, pola tapal kuda dan sejenisnya yang memungkinkan siswa dapat saling bertatap muka dan berinteraksi. KEPUSTAKAAN Barker, Ed. 1982 Communication in the classroom. Englewood Cliff: PrenticeHall, Inc. Charles, 1980. Individualizing Instruction. Si Louis Toronto: CV. Mosby Company Cooper, 1982.Penelolaan Kelas, Jakarta: Depdikbud, Dikti. Evans dan Brueckner, 1992. Teaching and You, commiting, preparing, and succeeding, Needham Heights, Massachusets: Allyn and Bacon A Division of Simon & Schuster,Inc. Jacobsen Dkk. 1989. Methods For Teaching A Skill Approach, Columbus, Ohio: Merill Publishing Company, A Bell & Howel Information Company. Mercer and Mercer, 1989. Teaching Student with Learning Problems, Columbus, Ohio: Merrill Publishing Company A Bell & Howel Information Company.

101

Ornstein, 1990. Strategies for effective Teaching, USA: Harper Collins Publisher, Inc. Rakhmat. 1986. Psikologi Komunikasi. Bandung : CV. Remaja Karya. Sujak, Abi,1990. Kepemimpinan Manajer, Eksistensi dalam Perilaku Organisasi, Jakarta: Pusdiklat Dipdikbud. Suprihadi, 1993. Metodologi Pengajaran Umum, Pengembangan Proses Belajar-Mengajar. Malang: Penerbit IKIP Malang.

102

BAB VII PEMBELAJARAN DENGAN METODE CERAMAH Metode ceramah telah lama dipergunakan untuk menyampaikan infomasi kepada sekelompok pendengar. Orang-orang Yunani, Hindu dan China misalnya, sejak beberapa abad yang silam, telah menggunakan ceramah sebagai alat utama untuk menyampaikan informasi (Suprihadi, 1993:143). Dalam tradisi pembelajaran, ceramah juga telah lama menjadi alat yang dipergunakan untuk menyampaikan ilmu pengetahuan kepada siswa. Mc Leish (1976) memperkirakan usia penggunaan metode ceramah sudah lebih dari dua ribu tahun. Sampai saat ini, metode ceramah masih dominan dalam pembelajaran di sekolah. Terlebih ketika bahan-bahan belajar yang tercetak belum banyak diterbitkan, ceramah menjadi andalan dalam sistem pembelajaran. Ceramah adalah penerangan secara lisan atas bahan pembelajaran kepada sekelompok pendengar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam jumlah yang relatif besar. Seperti ditunjukkan oleh Mc Leish (1976), melalui ceramah, dapat dicapai beberapa tujuan. Dengan metode ceramah, guru dapat mendorong timbulnya inspirasi bagi pendengarnya. Demikian pula ceramah dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antar ide atau konsep yang dicermahkan atau menjelaskan hubungan antara teori dan hasil-hasil penelitian. Gage dan Berliner (1981:457), menyatakan metode ceramah cocok untuk digunakan dalam pembelajaran dengan ciri-ciri tertentu. Ceramah cocok untuk penyampaian bahan belajar yang berupa informasi dan jika bahan belajar tersebut sukar didapatkan. Tetapi jika bahan tersebut banyak dan mudah diperoleh, penggunaan ceramah kurang efisien. Demikian pula untuk penyampaian bahan yang mempunyai struktur yang kompleks dan abstraks, penggunaan metode ceramah juga tidak tepat. Untuk tujuan belajar yang berupa kognitif tingkat tinggi seperti kemampuan analisis, sintesis, evaluasi dan tujuan yang berupa keterampilan, metode

103

ceramah tidak efektif. Ceramah cocok untuk pembangkitan minat dan motivasi belajar. Penggunaan ceramah secara terus menerus tanpa divariasikan dengan teknik-teknik yang lain dapat menurunkan konsentrasi siswa. Hasil penelitian membuktikan bahwa konsentrasi siswa menurun dengan cepat setelah lebih dari 20 menit guru menggunakan ceramah secara terus-menerus (Budiardjo, 1994 :15). Demikian pula, untuk pembelajaran yang memerlukan retensi jangka panjang, ceramah tidak efektif. Mc Leish (1966) mencatat bahwa seusai ceramah, daya ingat anak terhadap bahan ceramah hanya mencapai 40 %, sedangkan stelah satu minggu, ingatan siswa terhadap bahan ceramah menurun tinggal 15--20 %. Menurut Head (1974) atas dasar penelitian Trenaman (Sudiran, Ed, 1989: 5), tentang pendidikan orang dewasa me- nyebutkan bahwa orang dewasa yang mendengarkan ceramah melalui siaran radio, memperlihatkan bahwa mereka yang mendengarkan ceramah dengan waktu 15 menit dapat mengingat kembali 41 % fakta yang diceramahkan. Sementara mereka yang mendengarkan ceramah dengan waktu dengar selama 30 menit, hasil tes bahkan hanya mencapai 25 %. Ini berarti ceramah tidak tepat digunakan untuk waktu yang lama. Untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam kelas, ceramah juga tidak tepat. Oleh karena ceramah memang metode pembelajaran yang bersifat one way communication. A. Tujuan Penggunaan Metode Ceramah Penggunaan metode ceramah memiliki beberapa tujuan. Tujuan penggunaan metode ceramah untuk pembelajaran adalah berikut ini (Turney, dalam Moedjiono, dkk, 1996). 1. Untuk mengarahkan siswa memperoleh pemahaman yang jelas tentang masalah yang dihadapi; 2. Untuk membantu siswa memahami generalisasi, rules, prinsip berdasar penalaran dan objektivitas; 3. Untuk melibatkan siswa dalam berpikir melalui pemecahan masalah;

104

4. Memperoleh umpan balik dari siswa tentang kualitas pemahamannya dan mengatasi kesalah pahaman; 5. Untuk membantu siswa dalam apresiasi dan memperoses penalaran serta penggunaan bukti dalam memecahkan keraguan. B. Keterampilan Dasar Berceramah Agar ceramah dapat mencapai tujuan secara efektif, maka guru perlu menguasai keterampilan dasar berceramah. Keterampilan berceramah memiliki komponen pokok berikut ini. 1. Komponen Kejelasan Bahasa yang digunakan guru harus lugas, sederhana, dan tepat. Pengungkapan pernyataan-pernyataannya dari berbagai seginya, baik dari segi pilihan kata, pengucapan maupun volume dan intonasi suara (prosodi), hendaknya tepat. Pilihan katanya perlu disesuaikan dengan perkembangan bahasa dan kemampuan daya nalar siswa. Kelancaran dalam pengungkapan pernyataan sangat dibutuhkan untuk memudahkan siswa dalam menangkap keutuhan makna yang diceramahkan. Kalimat-kalimat yang dipakai sebaiknya menggunakan kata dan istilah yang lugas. Penggunaan kalimat yang tidak logis dan tidak gramatikal perlu dihindari. Demikian pula gunakan struktur kalimat yang sederhana dan menhindari sedapat mungkin penggunaan kalimat kompleks. Struktur penyampaian bahan ceramah merupakan bagian yang tak kalah pentingnya , agar pesan yang disampaikan dapat dipahami anak dengan baik. Penyaji dapat menggunakan berbagai pilihan struktur penyampaian dengan pertimbangan tertentu yang matang. Struktur penyajian dapat berupa: (1) bertolak dari yang mudah ke yang sukar, (2) bertolak dari yang dekat dengan anak, (3) penyajian secara induktif, (4) penyajian secara deduktif, (5) berangkat dari bahan yang meprasyarati untuk memahami konsep diatasnya yang lebih tinggi, (6) bertolak dari konsep kongkrit ke yang abstrak.

105

2. Penggunaan Contoh Pemahaman siswa tentang konsep yang tidak lazim dan sulit dapat ditingkatkan dengan menghubungkan konsep itu dengan situasi-situasi yang dialami siswa. Menggunakan bermacam contoh: padanan-padanan verbal sederhana, diagram, sketsa gambar, benda, model, media audio visual dan sebagainya, 3. Penggunaan Penekanan Selama memberikan penjelasan guru harus memusatkan perhatian siswa pada rincian-rincian masalah yang esensial dan mengurangi sedikit mungkin informasi yang tidak esensial. Misalnya menggunakan tanda-tanda verbal yang penting: "pertama", "utamanya", "penting", "vital", "dengarkan baik-baik", "jangan lupa", dan "kesimpulan pokok adalah ...". 4. Pemberian Umpan Balik Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan pemahamannya atau memberi penjelasan hal yang membingungkan siswa. Hal ini dapat dilakukan guru dengan memberi kesempatan siswa bertanya atau menjawab pertanyaan guru. C. Prinsip-prinsip Penggunaan Metode Ceramah Agar pelaksanaan metode ceramah efektif, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan guru. 1. Penyiapan bahan ceramah secara matang. 2. Pemberitahuan kepada siswa tujuan belajar yang akan dicapai. 3. Penggunaan bahan pengait untuk memahamkan anak tentang keterkaitan bahan ceramah dengan pengetahuan yang telah dipahami anak sebelumnya. 4. Penyajian penjelasan awal secara garis besar (review) materi yang akan diceramahkan.

106

5. Penjajagan pengetahuan prasyarat yang telah dikuasai siswa. 6. Penyajian bahan ceramah diselingi tanya jawab, penggunaan peraga, ilustrasi dan contoh yang relevan. 7. Penilaian secara bertahap pada setiap satuan bahasan. 8. Pemberian kesempatan kepada anak untuk mengajukan pertanyaan, tanggapan dan kritik. 9. Penciptaan hubungan guru--siswa secara harmonis, terbuka, penuh humor, dan kegembiraan. 10. Penciptaan iklim sosio-emosional kelas secara hangat. 11. Memberikan rangkuman, kesimpulan pada setiap akhir satuan bahasan dan akhir ceramah. 12. Memberikan tugas-tugas lanjutan kepada siswa.

D. Perencanaan Ceramah Wilkins (1982:28) mengajukan beberapa gagasan mengenai persiapan ceramah yang perlu diperhatikan guru. Hal yang perlu menjadikan perhatian guru adalah (a) penyiapan struktur, (b) subtansi isi ceramah. Selain hal itu, tidak boleh dilupakan adalah (c) pengelolaan perhatian anak. Persiapan umum, berikut ini perlu dilakukan guru. 1. Siapkan rencana jenis bahan pengait yang akan digunakan. 2. Tuliskan ide-ide pokok dan ide-ide penjelas masing-masing ide pokok. 3. Mendesain bahan pengait untuk dijadikan kerangka fikir anak dalam memahami bahan yang diceramahkan. 4. Pikirkan contoh dan ilustrasi untuk memudahkan anak dalam mengklarifikasi konsep.

107

5. Pikirkan cara-cara untuk menghubungkan bahan ceramah dengan pengalaman nyata yang diketahui anak. 6. Rencanakan alat bantu alat batu yang diperlukan. 7. Siapkan tindak lanjutnya setelah ceramah berakhir. Moedjiono Dkk (1986) menyebutkan persiapan ceramah menyangkut, penulisan bahan ceramah, penggunaan alat bantu, dan pengorganisasian kelas. Berkenaan dengan itu, persiapan ceramah meliputi hal-hal berikut. 1. Persiapkan secara cermat segala sesuatu yang diperlukan untuk mendukung keefektifan penggunaan ceramah. Ceramah yang baik jika dipersiapkan secara baik keseluruhan aspek yang diperlukan sejak awal ceramah sampai dengan akhir ceramah. 2. Siapkan bahan pengait untuk memulai ceramah. 3. Tuliskan ide-ide pokok dengan tebal sebagai topik inti. 4. Hubungkan tiap-tiap ide pokok dengan bahan pengait. 5. Susunlah contoh dan ilustrasi untuk masing-masing satuan sajian. 6. Urutkan ide-ide pokok secara logis dan sitematis. 7. Berilah tanda bagi ide pokok yang penyajiannya membutuhkan penggunaan alat bantu. 8. Berikan tanda pada bagian sajian yang kiranya dapat digunakan untuk memancing partisipasi siswa. 9. Kembangkan simpulan secara ringkas point-point dan hubungkan dengan bahan pengait. 10. Susunan fisik kelas perlu diperhatikan agar setiap anak dapat mendengar dan melihat guru dengan baik.

108

Struktur Penyajian atau Prosedur Berceramah Teknik-teknik penyajian ceramah secara prosedural dapat dilakukan dengan teknik berikut ini. 1. Memperkenalkan topik Ceramah. 2. Membuka ceramah dengan memperkenalkan bahan pengait. 3. Sebutkan tujuan pembelajaran secara singkat tetapi jelas bagi siswa. 4. Sebutkan garis besar materi ceramah dalam bentuk ide-ide pokok, atau topik inti. 5. Ceramahkan topik inti secara berurutan mulai pertama dan dan selanjutnya dengan selalu mengaitkan dengan bahan pengait yang relevan. Jelaskan rincian masing-masing materi dengan disertai contoh dan ilustrasi dan alat bantu untuk topik-topik yang memerlukan. 6. Susunlah rangkuman atau ringkasan tiap-tiap sajian topik inti dan jangan lupa pertanyaan atau pemberian kesempatan bertanya untuk siswa sebagai masukan guru. 7. Gunakan teknik membuka yang benar tiap-tiap akan memulai topik inti yang baru, dan diakhri dengan rangkuman dan pertanyaan. 8. Rangkuman menyeluruh setelah akhir ceramah sangat diperlukan untuk membulatkan pemahaman anak terhadap bahan ceramah secara menyeluruh. Pengelolaan Perhatian Anak Tantangan terbesar dalam pembelajaran dengan metode ceramah adalah menjaga perhatian anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, perhatian anak cenderung menurun tajam untuk mendengarkan ceramah yang disampaikan guru dalam waktu lebih dari dua puluh menit (Budiardjo, 1994:15). Mengingat hal itu, guru memerlukan teknik-teknik khusus dalam berceramah agar perhatian anak tetap terjaga. Untuk mempertahankan

109

perhatian anak terhadap materi ceramah, guru dapat memvariasikan gaya mengajarnya. Gaya mengajar yang dapat divariasikan meliputi berikut. 1. Variasi gerak dan perubahan posisi guru selama ceramah berlangsung. Guru selama berceramah perlu bergerak dan mengubah-ubah posisi secara dinamis. Guru berceramah dengan diam di tempat, cenderung membosankan anak, se-hingga dapat menurunkan perhatiannya. 2. Variasi suara guru untuk menghindari kemonotonan. Suara guru yang monoton, tidak menarik perhatian anak. Oleh karena itu, suara guru dalam berceramah perlu divariasikan nada dan tekanannya agar tidak membosankan anak. 3. Menjaga kontak pandang dengan anak secara merata, sehingga setiap anak merasa memperloreh perhatian. 4. Penggunaan teknik diam sejenak manakala ada gejala anak meninggalkan perhatiannya terhadap ceramah yang disampakan guru. Hilangnya perhatian anak biasanya ditandai dengan munculnya pembicaraan anak dengan teman dekatnya tentang hal-hal diluar materi yang diceramahkan guru. Untuk mengembalikan perhatian anak akibat kasus tersebut, guru dapat menggunakan teknik diam sejenak. Dengan teknik tersebut, siswa akan memperbarui perhatiannya kembali. 5. Penggunaan teknik gestural. Selama berceramah guru perlu memanfaatkan anggota tubuhnya seperti tangan, kepala dan tubuh untuk memvisualisasikan konsep-konsep tertentu yang sedang diceramahkan. 6. Mengekspresikan mimik dengan ekspresi tertentu yang menggambarkan makna tertentu. Ekspresi mimik dapat digunakan pula untuk menggambarkan antusiasme dan keyakinan guru terhadap materi yang diceramahkan. Gage dan Berliner (1984:473-477) menyebutkan, untuk menjaga perhatian anak terhadap ceramah guru dapat menggunakan berbagai teknik diantaranya adalah berikut ini.

110

1. Variasi stimulus. Gage dan Berliner (1984:473) menyebutkan variasi stimulus mempunyai pengaruh terhadap motivasi. Macam variasi stimulus yang dapat dipadukan dalam berceramah mencakup variasi nada dan tekanan suara, penggunaan gerak dan gestural, variasi struktur gramatikal (panjang-pendeknya kalimat). Rosenshine, (1971) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa variasi bentuk gerakan dan gestural berkorelasi positif dengan prestsi siswa. Hal ini diperkuat pula oleh Wyckoff (1973) yang juga menyebutkan bahwa variasi stimulus berkorelasi secara linier dengan prestasi anak (Gage dan Berliner, 1984-473). 2. Perubahan saluran komunikasi. Bentuk lain untuk mempertahankan perhatian anak dalam mengikuti ceramah adalah dengan memadukan ceramah dengan penggunaan variasi saluran komunikasi. Hal ini dapat dilakukan guru dengan meman-faatkan media seperti slide, grafik, gambar, papan tukis, OHP,dan media visual yang lain. Dengan mengubah saluran komunikasi dari penuturan lisan kepenggunaan media visual dapat menjaga perhatian anak. Dalam hasil penelitian Stevenson dan Sigel (1969) menunjukkan bahwa perhatian siswa relatif tinggi terhadap informasi visual dari pada informasi audio (Gage dan Berliner, 1984:474). 3. Penggunaan humor yang diintegrasikan dalam penyampaian bahan ceramah dapat menjaga perhatian anak. Namun yang harus diingat dalam penggunaannya, guru perlu membatasinya agar humor yang digunakan guru tidak menenggelamkan pemerolehan makna dari materi yang diceramahkan. Humor berfungsi untuk mempertahankan perhatian. Oleh karena itu, apabila perhatian anak telah terpusat pada guru, maka penyampian materi pokok segera dilanjutkan. Di samping itu, penggunaan humor berfungsi untuk selingan agar siswa tidak mudah bosan dengan ceramah guru. Jadi penggunaan humor bukan tujuan utama, melainkan alat yang dapat dipakai guru untuk mempertahankan dan memperbarui perhatian anak terhadap penyajian materi pembelajaran. 4. Menunjukan antusiasme. Hasil penelitian Rosenshine (1971) menujukkan bahwa antusiasme guru dalam berceramah berkorelasi sekitar 0,37-0,58 dengan pencapaian prestasi belajar anak (Gage dan Berliner, 1984: 475). Antusiasme guru dalam penyampaian bahan ceramah dapat

111

mendorong motivasi anak. Guru yang memperlihatkan antusiame yang tinggi dalam berceramah, menjadikan ceramah lebih dinamis dan hidup. Berbeda dengan guru yang tidak antusias dalam berceramah. Siswa dapat mengingat lebih banyak materi yang disajikan secara dinamis dari pada materi yang disajikan secara statis ( Coats dan Smidchen dalam Gage dan Berliner, 1984:476). 5. Penggunaan pertanyaan untuk selingan ceramah dapat memancing respon anak. Sehingga dengan selingan pertanyaan dapat meningkatkan perhatian.

112

BAB VIII METODE BERTANYA Dalam proses pembelajaran bertanya memegang peranan yang sangat penting. Pertanyaan merupakan salah satu rangsangan berfikir yang baik untuk membelajarkan siswa. Ahli pendidikan banyak yang mengakui pentingnya bertanya dalam pembelajaran. Di katakan bahwa, pembelajaran dengan satu gambar, setara dengan seribu kata-kata, dan nilai satu pertanyaan setara dengan seribu gambar. Disamping berguna untuk merangsang berfikir anak, pertanyaan juga berguna untuk menilai efektivitas pembelajaran dan efektivitas kemajuan belajar anak. Melalui bertanya, guru dapat melihat apakah pembelajaran yang dilakukannya sudah efektif atau belum. Benar tidaknya jawaban anak atas pertanyaan yang disampaikan guru, dapat digunakan untuk menilai keefektifan pembelajaran. Demikian pula, jawaban anak atas pertanyaan guru itu pula, dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan indek kemajuan belajar anak. Ornstein (1990:275) menyatakan, pembelajaran yang baik ditandai oleh penggunaan bertanya yang baik, khususnya pembelajaran untuk kelompok anak yang besar jumlahnya. Bertanya yang baik dapat merangsang keingintahuan anak, menstimulasi imajinasi anak, dan memotivasi anak untuk memperoleh pengetahuan yang baru. Pertanyaan dapat menantang anak untuk berfikir, membantu anak untuk mengklarifikasi konsep dan problem yang berhubungan dengan pelajaran. A. Fungsi Pertanyaan Pertanyaan memiliki banyak fungsi. Di samping sebagaimana yang diuraikan dalam pendahuluan bab ini, Moedjiono, dkk (1996) fungsi pertanyaan berikut ini. 1. Untuk menguji prestasi belajar siswa. 2. Untuk membantu siswa mengaitkan pengalaman-pengalamannya yang tepat dengan pelajarannya. 3. Untuk menstimulasi minat siswa. Membangkitkan rasa ingin tahu siswa dan minat intelektual.

113

4. Untuk mendorong berpikir karena pertanyaan yang baik membantu siswa untuk menemukan jawaban yang baik pula. 5. Untuk mengembangkan kemampuan dan kebiasaan menilai. 6. Untuk menjamin pengorganisasian dan pemahaman meteri secara tepat. 7. Untuk mengarahkan perhatian siswa pada unsur-unsur penting dalam pelajaran. B. Tipe-tipe Pertanyaan Berdasarkan tingkat keterlibatan pikir anak, tipe pertanyaan dapat dibedakan menjadi (1) tipe pertanyaan tingkat rendah, dan (2) Tipe pertanyaan tingkat tinggi. Berdasarkan klasifikasi kognitif, tipe pertanyaan dibedakan menjadi: (1) pertanyaan pengetahuan, (2) pertanyaan pemahaman, (3) pertanyaan aplikasi, (4) pertanyaan analisis, (5) pertanyaan sintesis, dan (6) pertanyaan evaluasi. Berdasarkan tipe jawaban yang dikehendaki, tipe pertanyaan dibedakan menjadi: (1) pertanyaan konvergen, dan (2) pertanyaan divergen. 1. Tipe Pertanyaan Berdasarkan Tingkat pikir Anak a. Pertanyaan tingkat rendah. Pertanyaan tingkat rendah, menekankan daya ingat anak terhadap informasi yang diperoleh. Misalnya kapan Indonesia diproklamirkan? Pertanyaan terpokus pada fakta dan bukan pada tes pemahaman apalagi keterampilan pemecahan masalah. Pertanyaan tipe ini oleh Guilford disebut pertanyaan informasi, menurut Jerome Bruner disebut pertanyaan operasional kongkrit, sedang Arthur Jensen menyebutnya pertanyaan berfikir tingkat pertama. b. Pertanyaan tingkat tinggi. Pertanyaan tingkat tinggi menuntut jawaban dengan tingkat berpikir yang kompleks dan abstrak. Pertanyaan tingkat rendah, digunakan untuk menilai kesiapan anak untuk menjawab pertanyaan yang jawabannya bersifat komplek dan abstrak. Tipe pertanyaa ini menuntut anak untuk dapat berpikir analitis, sintesis, maupun berpikir evaluatif, dan keterampilan pemecahan masalah.

114

2. Tipe Pertanyaan Berdasarkan Taksonomi Kognitif a. Pertanyaan Pengetahuan Pertanyaan pengetahuan bertujuan untuk melacak daya ingat anak terhadap informasi yang pernah diterima. Informasi dimaksud dapat berupa fakta, konsep, dalil, rumus, metode dan lain-lain. Informasi (pengetahuan) dapat bersumber dari bahan teks maupun dari guru atau nara sumber yang lain. Contoh tipe pertanyaan pengetahuan adalah: 1. Siapa nama presiden Indonesia saat ini? 2. Sebutkan rumus empat persegi panjang? 3. Sebutkan kembali faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya gejolak moneter, menurut teks yang anda baca? b. Pertanyaan Pemahaman Pertanyaan pemahaman menuntut anak untuk mengorganisasikan informasi-informasi yang telah di terimanya dengan kata-kata sendiri, atau menginterprestasikan/membawa informasi yang di lukiskan melalui grafik atau kurva dengan jalan membandingkan/membeda-bedakan. 1. Jelaskan dengan kata-katamu sendiri apakah manfaat pariwisata? 2. Bandingkan antara nyamuk Culex dengan Anopheles! 3. Informasi apa yang kita peroleh dari kurva semacam ini? c. Pertanyaan Penerapan (application question) Pertanyaan yang menuntut siswa untuk memberikan jawaban tunggal dengan cara mengetrapkan pengetahuan, informasi, aturan-aturan, kriteria, dan lain-lain yang pernah di terima. 1. Berdasarkan batasan yang telah di uraikan tadi, maka persamaan mana yang memenuhi syarat? 2. Berdasarkan kriteria yang ada maka organisme mana yang termasuk protosoa? d. Pertanyaan Analisis (analysis question) Pertanyaan yang menuntut siswa untuk menemukan jawaban dengan cara: mengidentifikasi motif masalah yang ditampilkan; mencari buktibukti atau kejadian-kejadian yang menuntut suatu kesimpulan atau generalisasi; danmenarik kesimpulan berdasarkan informasi yang ada atau membuat generalisasi berdasarkan informasi yang ada.

115

1. Identifikasi motif Contoh: Mengapa paruh burung gagak dan burung kutilang tidak sama bentuknya ? 2. Menganalisa kesimpulan/generalisasi. Contoh: Kenakalan remaja di kotakota besar meningkat, dapatkah Saudara menunjukkan bukti-buktinya? 3. Menarik kesimpulan berdasarkan infomasi yang ada. Contoh: Setelah kita mempelajari perang Diponegoro, Paderi dan Trunojoyo, maka kesimpulan apa yang dapat kita tarik tentang latar belakang, motif serta sebab-sebab terjadinya peperangan? e. Pertanyaan Sintesis (synthesis question) Ciri pertanyaan ini ialah jawabannya yang benar tidak tunggal melainkan lebih dari satu dan menghendaki siswa untuk mengembangkan potensi serta daya kreasinya. Pertanyan sintesa menuntut siswa untuk membuat ramal an/predikasi. 1. Membuat ramalan. Contoh: Apa yang terjadi bila tanaman di siram dengan larutan asam cuka? 2. Memecahkan masalah berdasarkan imajinasi anak . Contoh: Bayangkan anda seolah-olah di tengah-tengah gerombolan serigala yang sedang kelaparan, reaksi apakah gerangan yang anda tampilkan untuk mengatasinya? 3. Mencari komunikasi. Contoh: Susunlah suatu karangan pendek yang menggambarkan nilai serta perasaan anda! f. Pertanyaan evaluasi (evaluation question) Pertanyaan semacam ini menghendaki siswa untuk menjawabnya dengan cara memberikan penilaian atau pendapatnya terhadap suatu issue yang di tampilkan. 1. Menurut pendapat anda mana yang lebih tepat dan murah dalam pemerataan kesempatan belajar, SD Inpres atau Sekolah Terbuka? 2. Tepatkah kebijakan melikuidasi sejumlah Bank swasta nasional sebagai langkah untuk menaikkan apresiasi Rupiah terhadap nilai Dolar Amerika? berikan alasan!

116

Tipe Pertanyaan menurut luas sempitnya. a. Pertanyaan sempit (narrow question) Pertanyaan ini membutuh kan jawaban yang tertutup dan biasanya kunci jawabanya telah bersedia. Bentuk pertanyaan ini ada dua yaitu 1. Pertanyaan sempit Tipe pertanyaan sempit memiliki jawaban yang tertutup. Biasanya sudah tersedia kunci jawabannya. Pertanyaan sempit informasi langsung. Pertanyaan semacam ini menuntut siswa untuk menghafal atau mengingat informasi yang ada. Contoh: Berapa derajad celcius temperatur tubuh manusia yang sehat? a. Pertanyaan sempit memusat. Pertanyaan ini menuntut siswa ini agar mengembangkan ide atau jawabannya melalui petunjuk tertentu. Contoh: Dengan metode apa agar konsep gotong royong mudah di mengerti oleh siswa? b. Pertanyaan luas Pertanyaan tipe ini menghendaki lebih dari satu jawaban. Dengan perkataan lain, pertanyaan tipe luas, memiliki jawaban yang masih terbuka. 2. Pertanyaan luas terbuka Pertanyaan tipe ini mendorong anak untuk menemukan jawaban secara terbuka sesuai dengan gaya masing-masing. Contoh: Bagaimana cara menanggulangi kenakalan remaja di kota kecil? a. Pertanyaan luas menilai Pertanyaan tipe ini menuntut anak untuk memberikan penilaiannya terhadap suatu pengetahuan tertentu. Jawaban untuk pertanyaan ini meminta anak untuk membuat pendapat, atau menentukan sikap tertentu dengan alasan yang rasional. Contoh: Bagaimana pendapatmu atas likuidasi bank oleh pemerintah dalam upaya mengatasi gejolak moneter yang terjadi saat ini?

117

Tipe Pertanyaan berdasarkan tipe jawaban yang diinginkan 1. Pertanyaan konvergen. Pertanyaan tipe konvergen serupa dengan pertanyaan sempit, dimana tipe pertanyaan ini memiliki hanya satu jawaban yang benar. Karena itu tipe pertanyaan ini sering dianggap sama dengan tipe pertanyaan tingkat rendah. Tipe pertanyaan konvergen dapat berkaitan dengan logika atau data yang kompleks, idea yang abstrak, analogis dan multi hubungan. Hasil penelitian menunjukkan tipe pertanyaan konvergen dapat digunakan ketika siswa hendak memecahkan kesulitan dalam latihan soal Matematika atau IPA utamanya analisis persamaan dan problem istilah. Kata tanya dasar untuk pertanyaan tipe konvergen dimulai dengan kata : apa, siapa, kapan atau dimana. 2. Pertanyaan divergen Pertanyaan divergen adalah pertanyaan yang bersifat terbuka dan memiliki banyak jawaban yang berbeda-beda. Pertanyaan ini menantang kreatifitas berfikir anak dengan terlebih dahulu guru menyediakan contoh dan bukti-bukti. Pertanyaan tipe divergen berhubungan dengan proses berfikir tingkat tinggi yang menentang anak untuk berfikir kreatif dan belajar proses penemuan. Kata tanya dasar untuk mengawali pertanyaan tipe divergen biasanya digunakan kata bagaimana, mengapa. Contoh : Mengapa biaya hidup di Jakarta lebih mahal dibanding di Malang? 3. Pedoman Menyusun Pertanyaan Moedjiono, dkk (1996) memberikan rambu-rambu untuk menyusun pertanyaan berikut ini. 1. Pertanyaan hendaknya dinyatakan secara ringkas. Pertanyaan hendaknya sedemikian pendek sehingga siswa dapat segera menangkap makna pertanyaan secara keseluruhan sementara itu juga merumuskan jawaban. 2. Pertanyaan hendaknya tidak mempunyai makna ganda (ambigius). Pemilihan kata dan penyusunan kalimat yang baik dan benar sangat penting untuk menjamin bahwa ide-ide yang terkandung dalam pertanyaan itu telah disampaikan secara tepat.

118

3. Pertanyaan hendaknya disesuaikan dengan umur dan pertumbuhan bahasa siswa. Kesalahan yang sering dilakukan guru adalah menilai kemampuan siswa terlalu tinggi atau terlalu rendah. Untuk menaksir kemampuan siswa perlu diperhatikan faktor usia, lingkungan kehidupan, kesiapan mental, serta banyaknya kesempatan memperoleh pengalaman dari lingkungannya. 4. Pertanyaan hendaknya mendorong meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Pertanyaan yang bersifat "drill" ditujukan untuk membantu siswa dalam memperoleh kemampuan kecepatan bereaksi. Pertanyaan dengan tujuan drill saja belum cukup; pertanyaan itu harus mampu mendorong siswa beripikir. Pertanyaan semacam itu membantu siswa untuk menumbuhkan kemampuan menganalisis, mensintesis, dan menyusun jawaban pertanyaan tidak dalam satu kata atau satu kalimat saja. 5. Hendaknya struktur kalimat tidak mengarah pemberian jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan. Seringkali guru terperosok ke dalam pengarahan jawaban dengan pertanyaan yang diajukan. Misalnya: "Bukankah Bung Karno itu Presiden pertama Republik Indonesia" 6. Pertanyaan yang diajukan hendaknya menghindarkan perolehan jawaban ya atau tidak. Pertanyaan yang menunjuk jawaban ya atau tidak, membuka peluang yang luas masuknya unsur menduga dalam jawaban. Meskipun siswa tidak mengetahui tentang masalah yang ditanyakan, kemungkinan jawaban ya atau tidak yang benar atau salah 50 - 50. 7. Pertanyaan hendaknya hanya berkaitan dengan satu ide. Pertanyaan yang mengandung beberapa ide sukar ditangkap dan membingungkan siswa. Misalnya dalam pertanyaan berikut: "Sebutkan nama dan tempat kelenjar pencernaan yang ada dalam tubuh kita dan terangkan bekerjanya masing-masing kelenjar secara terinci". Biasanya bagian akhir pertanyaan tidak dapat ditangkap siswa, sehingga memerlukan pengulangan. Pertanyaan yang dapat diingat hanya sebagian saja; misalnya: "Sebutkan nama dan tempat kelenjar". 8. Pertanyaan hendaknya mencerminkan satu tujuan. Pertanyaan tidak ada artinya bila tidak memiliki tujuan tertentu yang harus diketemukan siswa denganpertanyaan tersebut.

119

9. Pertanyaan hendaknya tidak menggunakan bahasa sebagai yang terdapat dalam buku teks. Pengulangan kembali kata-kata dalam buku teks mendorong siswa menghafal isi buku secara kata demi kata. Bahasa pertanyaan hendaknya bahasa non teks book. 4. Pedoman Mengajukan Pertanyaan Pertanyaan yang baik dapat meningkatkan fungsi pertanyaan. Moedjiono, dkk (1996) menyampaikan rambu-rambu mengajukan pertanyaan sebagai berikut. a. Pertanyaan hendaknya diarahkan ke seluruh kelas terlebih dahulu sebelum ditujukan kepada seorang siswa untuk menjawabnya. Teknik ini mempunyai nilai edukatif yang penting yakni berikut. (1) Untuk mengarahkan perhatian siswa ke arah situasi kelas. Siswa yang perhatiannya menyimpang, akan dikembalikan perhatiannya dalam situasi kelas bila terdapatpertanyaan untuk dijawab. (2) Memberi kesempatan kepada siswa untuk merumuskan jawaban yang tepat menurut pendapatnya masing-masing. Apabila pertanyaan langsung ditujukan kepada murid tertentu maka hanya murid itu saja yang harus memikirkan jawabannya sedang siswa yang lain masa bodoh. Kalau seorang siswa langsung harus memberi jawaban maka hanya siswasiswa yang berminat saja yang memperhatikan. (3) Mengajukan pertanyaan ke seluruh kelas akan mendorong siswa memperhatikan secara kritis terhadap jawaban yang diberikan oleh siswa yang lain karena semua siswa telah merumuskan jawabannya. Masing-masing dapat melihat persamaan dan perbedaan jawaban masing-masing. Adanya perbedaan atau pertentangan pendapat dalam kelas akan membantu penalaran siswa. b. Pertanyaan hendaknya sejauh mungkin menyebar ke seluruh kelas. Seringkali terjadi siswa tertentu memperoleh pertanyaan yang relatif banyak sedang siswa lain sedikit atau bahkan tidak pernah mendapat pertanyaan sepanjang jam pelajaran. Apabila tidak bijaksana guru akan cenderung mengajukan pertanyaan kepada siswa yang menjawab dengan tepat. Siswa tersebut berpartisipasi di kelas (memberi jawaban). c. Siswa mendapat waktu yang cukup untuk merumuskan jawaban pertanyaan. Dalam hal ini diperlukan kesabaran. Guru sering melupakan

120

d. e.

f. g.

h.

i.

menyatakan bahwa saat guru mengajukan pertanyaan pada siswa ia telah memiliki jawabannya dalan benaknya sebelum pertanyaan dilontarkan kepada siswa; sedang siswa masih harus memikirkan dan merumuskan makna pertanyaan tersebut, masih harus menggali pengalamanpengalaman yang sesuai dengan pertanyaan, mengevaluasi, membuat kesimpulan, memilih kata-kata yang tepat untuk menyusun jawaban pertanyaan itu. Meskipun mungkin siswa cukup menguasai bahan-bahan, dan kemampuan proses mental yang cepat masih memerlukan waktu untuk merumuskan pernyataan jawaban. Nada dan tekanan suara tidak memberikan petunjuk jawaban pertanyaan yang diajukan. Janganlah segera menyalahkan siswa bila tidak dapat menjawab pertanyaan. Usahakan tidak memberi pertanyaan di luar kemampuan siswa. Susunlah pertanyaan hanya bertalian dengan hal pokok saja. Hendaknya guru tidak mengulang pertanyaan yang diajukan. Bila siswa mengetahui guru akan mengulang pertanyaan yang akan diajukan maka perhatian siswa akan berkurang. Untuk mendapat perhatian yang tidak terbagi-bagi, lampauilah siswa yang tidak memperhatikan dengan mengajukan pertanyaan pada siswa yang lain. Dari pada kita berkata kurang baik, sikap demikian akan menjadikan siswa menyadari bahwa bila tidak memperhatikan maka menjadikan kehadirannya di kelas tidak mempunyai makna. Kebijaksanaan semacam ini akan menjadikan siswa terdorong untuk mencurahkan perhatian sepenuhnya. Hendaknya guru tidak mengulang jawaban. Dengan tidak mengulang jawaban siswa akan mendengarkan dengan penuh perhatian sementara guru dan siswa lain berbicara. Jawaban merupakan fakta yang berguna bagi kelas. Jawaban menimbulkan evaluasi kritis dan cermat bagi siswa lain. Selanjutnya siswa harus dilatih tata cara berbicara; cukup jelas dan keras, sehingga dapat didengar oleh seluruh kelas. Kesadaran siswa akan tanggung jawab kelas banyak membantu dalam merumuskan apa yang ingin dikatakan pada kelas dengan penuh hati-hati. Dituntut inisiatif guru untuk memperkenalkan dan menumbuhkan tanggung jawab siswa. Seringkali guru dapat bertanya kepada siswa yang tidak memperhatikan. Cara ini merupakan salah satu upaya untuk menegakkan situasi disipliner

121

dan mengembalikan perhatian. Namun bila terlalu sering dilakukan maka pertanyaan hanya melayani satu fungsi pendidikan saja j. Pertanyaan hendaknya diajukan sedemikian rupa sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan diri pada siswa. Misalnya dengan pernyataan: "Tentu kamu dapat menjawab"; adalah contoh menumbuhkan kepercayaan pada siswa yang menyertai pertanyaan yang diajukan Siswa mendapat tantangan untuk tidak mengecewakan guru. Secara psikologis murid akan menggunakan kekuatan yang tersembunyi (laten) secara maksimal. k. Dalam bertanya hendaknya guru dapat menyesuaikan situasi kelas yang sedang berlangsung. Misalnya siswa baru selesai menghadapi ulangan, atau baru memasuki hari pertama sesudah liburan. 5. Penggunaan Kata Bertanya Dasar Termasuk kata bertanya dasar adalah kata-kata berikut: apa, bagaimana, mengapa, siapa, di mana, kapan, yang mana. Setiap penggunaan kata bertanya dasar itu memiliki tujuan penggunaan kata bertanya dasar apa yang bertujuan mendorong siswa mengembangkan kejelasan sesuatu benda, orang, situasi, atau proses yang sedang diamati; melihat persamaan dan perbedaan pengamatannya sekarang dengan pengalaman yang sudah dimiliki. Penggunaan kata bertanya bagaimana bertujuan untuk memotivasi siswa untuk mengembangkan kemampuan menggunakan informasi yang telah dimiliki agar dapat memecahkan persoalan yang dihadapi. Penggunaan kata bertanya mengapa bertujuan untuk untuk memotivasi siswa berpikir kritis, menggunakan penalarannya dengan memadukan apa yang diamatinya sekarang dengan perbendaharaan pengetahuan yang sudah dimiliki. a. Penggunaan kata bertanya siapa bertujuan untuk memotivasi siswa, mengembangkan kemampuan melihat hubungan benda, situasi, proses, dengan pelakunya. b. Penggunaan kata bertanya di mana bertujuan untuk memotivasi siswa mengembangkan kemampuan siswa melihat hubungan benda, situasi, proses, orang dengan tempat terjadinya atau tempat berlangsungnya. c. Penggunaan kata bertanya kapan bertujuan untuk memotivasi siswa mengembangkan kemampuan melihat benda, situasi, proses, orang

122

dengan waktu (hari, tanggal, jam, saat pagi, siang, petang, malam, dan sebagainya) terjadinya atau berlangsungnya. d. Penggunaan kata bertanya yang mana bertujuan untuk memotivasi siswa mengembangkan kemampuan siswa melihat persamaan, perbedaan, membandingkan, memilih benda atau orang, atau situasi, atau proses sehingga dapat menentukan sikap terhadap sesuatu yang diamati. Karena peristiwa pembelajaran yang dilakukan guru di kelas itu merupakan kegiatan yang tujuannya sudah jelas yakni perolehan hasil belajar pada siswa sebagaimana yang telah ditetapkan rumusannya dalam GBPP maka penggunaan kata bertanya itu harus tetap dalam kaitan pencapaian tujuan pembelajaran tersebut. Oleh karena itu keterkaitan antara kata bertanya yang kita pergunakan dalam metode tanya jawab dengan TIK harus jelas. Keterampilan Bertanya Dasar Pertanyaan yang baik ditinjau dari segi isinya, tetapi cara menyajikannya kepada murid tidak tepat (umpamanya tidak jelas dalam menyampaikannya), akan mengakibatkan tidak tercapainya tujuan yang dikehendaki. Oleh karena itu aspek teknik pertanyaan harus pula dipahami dan dilatih, agar guru dapat menggunakan pertanyaan secara efektif dalam proses belajar mengajarnya. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam mengajukan pertanyaan antara lain adalah seperti berikut. Kejelasan dan kaitan pertanyaan Harap diusahakan agar pertanyaan yang dikemukakan itu jelas maksudnya, serta nampak benar kaitannya antara jalan pikiran yang satu dengan lainnya. Usahakan tidak diselingi oleh kata-kata sisipan yang bersifat mengganggu ,misalnya: ee, em, er, anu dan lain-lain. Berikut ini disajikan contoh pertanyaan yang tidak jelas maksud serta kaitannya. Guru: Nah, anak anak sekarang akan, eh saya maksud siapa dapat menjawab, em dapat menyebutkan, eh dapat memberikan alasan mana, yang lebih baik menggunakan kail atau membeli tombak untuk mendapatkan ikan di laut. Pertanyaan tersebut dikatakan tidak jelas maksudnya karena menggambarkan jalan pikiran yang belum terkonsolidasi dan bagaimana kaitannya antara menggunakan kail dan membeli tombak. Pertanyaan tersebut semestinya dapat disederhanakan sebagai berikut.

123

Guru: Nah anak-anak, bagaimana menurut pendapatmu, manakah yang lebih baik menggunakan kail atau tombak untuk memperoleh ikan di laut? Kecepatan dan selang waktu (pause) Kecepatan menyampaikan pertanyaan, tergantung pada jenis pertanyaan itu sendiri. Pada umumnya guru-guru muda (belum berpengalaman) cenderung banyak melontarkan pertanyaan dari pada menerima jawaban, dan pertanyaan-pertanyaannya diucapkan dengan cepat tanpa diselingi pause untuk memberi kesempatan murid berfikir.berikut ini disajikan semacam resep tata cara menyampaikan pertanyaan. Usahakan dalam menyampaikan pertanyaan dengan ucapan yang jelas serta tidak tergesa-gesa. Pertanyaan yang diucapkan dengan cepat dan tergesa-gesa akan menimbulkan ketidakmengertian pada murid. Begitu pertanyaan selesai diucapkan, berhentilah sejenak untuk memberikan kesempatan berfikir kepada murid sementara itu sambil memonitor keadaan kelas, apakah sudah ada yang siap mengajukan jawaban. Murid yang sudah siap untuk mengajukan jawaban biasanya gerakgeraknya dapat ditandai sebagai berikut. Menggeserkan duduknya agak maju dengan mulut setengah terbuka siap mengucapkan sesuatu. Menengadahkan wajahnya dengan pandangan mata yang agak lebar. Mengacungkan tangan bahkan ada yang sampai berdiri. Pemberian Waktu berfikir (Pausing) Berikan waktu sejenak (1-5 detik) kepada murid untuk berfikir dalam rangka menemukan jawabannya. Pemberian waktu untuk memberikan kesempatan berfikir pada murid itu ada efek positifnya, misalnya: Murid dapat memberikan jawaban lebih panjang dan lengkap. Jawaban murid lebih analistis, sintetis, dan kreatif. Murid akan merasa yakin akan jawabannya. Partisipasinya murid meningkat. Arah dan distribusi penunjukan (Penyebaran) Pertanyaan diajukan seharusnya kepada seluruh murid, sehingga seluruh murid di dorong untuk berusaha menentukan jawabannya. Hanya dalam keadaan tertentu, umpamanya untuk memusatan perhatian seorang siswa, pertanyaan langsung dapat ditujukan kepada seorang murid. Meskipun demikian pertanyaan harus disampaikan terlebih dahulu sebelum

124

menunjuk siswa yang dikehendaki. Secara teknis, teknik penyebaran pertanyaan ini dapat dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan ke seluruh anggota kelas, serta memberikan waktu berfikir untuk beberapa saat, kemudian guru baru menunjuk siswa yang dikehendaki untuk memjawabnya. Maksud dari teknik bertanya tersebut adalah pertanyaan dapat difikirkan oleh semua siswa. Dengan lain perkataan, penggunaan teknik penyebaran pertanyaan ini adalah menyangkut pemerataan pertanyaan. Sebab dengan cara siswa yang mampu agar mengangkat tangan seringkali tidak tepat. Ada sejumlah anak yang mampu menjawab tetapi mereka merasa malu untuk mengangkat tangannya. Dengan penunjukkan, siswa yang merasa malu untuk mengangkat tangan dapat memperoleh giliran menjawab. Secara didaktis, dengan teknik penunjukkan tersebut, jawaban yang disampaikan diharapkan dapat menjadi pengalaman belajar (pengetahuan) bagi teman-teman lainnya. Teknik Menuntun (promting Question) Teknik menuntun digunakan manakala siswa tidak segera menemukan jawaban dari pertanyaan yang diajukan guru. Mendapat kenyataan tersebut, maka guru perlu tanggap bahwa tidak adanya siswa yang menjawab tersebut sangat dimungkinkan karena pertanyaan yang diajukan terlalu tinggi tingkat abstraksinya. Dapat juga cakupan variabelnya terlalu luas sehingga siswa kesulitan dalam teknik menjawabnya. Disamping itu ketidakmampuan anak menjawab pertanyaan tersebut dapat juga akibat dari yang lain misalnya, kalimat pertanyaan yang digunakan guru kurang difahami anak. Dalam keadaan yang seperti itu, adalah tugas guru untuk menuntun langkah berfikirnya anak. Sehingga dengan tuntunan yang diberikan tersebut anak terarahkan jalan fikirannya untuk menjawab pertanyaan utama. Teknik menuntun tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya (1) menyederhanakan pertanyaan, (2) memecah pertanyaan menjadi beberapa bagian pertanyaan yang dapat mengarahkan anak secara perlahanlahan ke pertanyaan awal, (3) mengganti kalimat pertanyaan menjadi kalimat yang lain tetapi maksudnya sama, (4) memberikan pertanyaan yang

125

jawabannya dapat memancing fikiran anak untuk menemukan jawaban pertanyaan semula. Guru : Pada pertemuan yang lalu kita telah mempelajari tentang sistematika hewan rendah, khususnya protozoa, Porifera, Colenterata maupun Vermes. Coba kamu Habib.....menurut pendapatanmu mana yang lebih tinggi tingkatnya, Prifera atau Colenterata? Habib: diam (sedang berfikir) Guru : Silahkan ditinjau lebih dahulu tentang sistem pencernaan makanannya, naa.....bagaimana Habib? Teknik menggali (Probing Question) Probing question ialah pertanyaan yang bersifat menggali untuk mendapatkan jawaban lebih lanjut dari murid dengan maksud untuk mengembangkan kwalitas jawaban yang pertama, sehingga yang berikutnya lebih jelas, akurat, serta lebih beralasan. Disamping itu, dengan teknik bertanya menggali ini guru dapat mgetahui tingkat kedalaman pengetahuan anak. Contoh: Guru : Setelah kemarin kita bersama-sama meninjau tambak bandeng, bagaimana pendapatmu tentang tambak bandeng tersebut Ali? Murid: Sangat menarik, pak! Guru : Faktor apa yang menarik? Pemusatan (Focusing) Teknik ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang ruang lingkupnya luas, kemudian di lanjutkan ke pertanyaan yang lebih khusus. Contoh: "Meliputi jenis apa saja bahan bakar itu"? "Premium digunakan sebagai bahan bakar kendaraan jenis apa? (pertanyaan sempit memusat) Pindah gilir (re-derecting) Teknik pindah gilir digunakan untuk mengundang partisipasi semua anak. Untuk itu teknik ini di lakukan dengan cara, mengajukan pertanyaan ke seluruh kelas, kemudian memilih siswa tertentu, dan lanjutkan ke siswa yang lain.

126

Contoh: Sebutkan fungsi air bagi manusia? (diam sejenak), kemudian menunjuk siswa untuk menjawab, setelah salah satu anak menjawab, diteruskan lagi menunjuk anak yang lain untuk menjawab dengan jawaban yang lain lagi. Perubahan tingkat Kognitif Pertanyaan untuk kelas, diberikan dengan memperhatikan variasi tuntutan tingkat kognitif. Pertanyaan tertentu memiliki kadar kognitif tinggi ( analisis-sintesisi-evaluasi), divariasikan dengan pertanyaan-pertanyaan kognitif tingkat rendah ( pengetahuan hafalan-pemahaman aplikasi). Dapat juga secara bervariasi , mengubah-ubah tingkatan pertanyaan, misalnya pertanyaan konvergen-divergen, secara berganti-ganti.

127

BAB IX PENERAPAN METODE DISKUSI DALAM PEMBELAJARAN Diskusi sebagai metode pembelajaran adalah proses pelibatan dua orang peserta atau lebih untuk berinteraksi saling bertukar pendapat, dan atau saling mempertahankan pendapat dalam pemecahan masalah sehingga didapatkan kesepakatan diantara mereka. Pembelajaran yang menggunakan metode diskusi merupakan pembelajaran yang bersifat interaktif (Gagne & Briggs. 1979: 251). Manakala salah satu diantara siswa berbicara, maka siswa-siswa lain yang menjadi bagian dari kelompoknya aktif mendengarkan. Siapa yang berbicara terlebih dahulu dan begitu pula yang menanggapi, tidak harus diatur terlebih dahulu. Dalam berdiskusi, seringkali siswa saling menanggapi jawaban temannya atau berkomentar terhadap jawaban yang diajukan siswa lain. Demikian pula mereka kadang-kadang mengundang anggota kelompok lain untuk bicara, sebagai nara sumber. Dalam penentuan pimpinan diskusi, anggota kelompok dapat menetapkan pemimpin diskusi mereka sendiri. Sehingga melalui metode diskusi, keaktifan siswa sangat tinggi. Mc.Keachie dan Kulik (Gage dan Berliner, 1984: 487), menyebutkan bahwa dibanding dengan metode ceramah, dalam hal retensi, proses berfikir tingkat tinggi, pengembangan sikap dan pemertahanan motivasi, lebih baik dengan metode diskusi. Hal ini disebabkan metode diskusi memberikan kesempatan anak untuk lebih aktif dan memungkinkan adanya umpan balik yang bersifat langsung. Menurut Mc. Keachie-Kulik dari hasil penelitiannya, dibanding metode ceramah, metode diskusi dapat meningkatkan anak dalam pemahaman konsep dan keterampilan memecahkan masalah. Tetapi dalam transformasi pengetahuan, penggunaan metode diskusi hasilnya lambat dibanding penggunaan ceramah. Sehingga metode ceramah lebih efektif untuk meningkatkan kuantitas pengetahuan anak dari pada metode diskusi. Hasil-hasil penelitian tentang penggunaan metode diskusi kelompok oleh Lorge, Fox, Davitz, dan Brenner (Davies, 1984:237--239) dapat disimpulkan dalam rangkuman berikut.

127

a. Mengenai soal-soal yang berisiko, keputusan kelompok lebih radikal dari pada keputusan perorangan. b. Kalau ada pelbagi pendapat tentang sebuah soal yang masih baru, maka pemecahan kelompok lebih tepat daripada pemecahan perorangan; tetapi tidak selalu demikian kalau soalnya biasa-biasa saja. c. Kalau bahan persoalan bukan materi baru, dan anggota-anggota kelompok mempunyai keterampilan dalam memecahkan soal-soal sejenis, pemecahan kelompok lebih baik dari pemecahan oleh anggota masingmasing, tetapi kadang-kadang pemcahan anggota yang paling cerdas lebih baik lagi. d. Kebaikan utama diskusi kelompok bukanlah pengajuan banyak pendekatan, melainkan penolakan terhadap pendekatan yang tidak masuk akal. (Konklusi ini tidak berlaku untuk "brain storming"). e. Yang memperoleh keuntungan dari diskusi kelompok, ialah siswa-siswa yang lemah dalam pemecahan soal. f. Superioritas kelompok merupakan fungsi dari kualitas tiap anggota kelompok. Sebuah kelompok dapat diharapkan memecahkan sebuah soal, kalau sekurang-kurangnya satu anggota dapat memecahkan soal itu secara individual, sekalipun ia memerlukan lebih banyak waktu. g. Dalam hal waktu, metode kelompok biasanya kurang efisien. Kalau anggota-anggota saling percaya dan bekerjasama dengan baik, maka kelompok dapat bekerja lebih cepat daripada kerja perorangan. h. Kehadiran orang luar mempengaruhi prestasi anggota-anggota kelompok. Kalau kelompok itu bekerjasama secara harmonis, dan orang luar bergabung dengan kelompok, hal itu mempunyai pengaruh positif; kalau kerja sama itu tidak harmonis, maka kehadiran itu merusak, jika dia hanya bertindak sebagai pendengar saja. i. Dengan metode diskusi perubahan sikap dapat dicapai dengan lebih baik daripada kritik langsung untuk mengubah sikap yang diharapkan. Metode diskusi juga paling baik untuk memperkenalkan inovasi-inovasi atau perubahan. j. Kalau dipakai struktur pembahasan yang cocok dengan tugas, dan cukup waktu untuk meninjau persoalan dari segala segi, serta jika anggota-anggota tidak saling mengevaluasi, maka diskusi kelompok terbukti lebih kreatif daripada belajar perorangan. (Kondisi-kondisi

128

ini terdapat pada "brain storming") Bertolak dari hasil-hasil penelitian tersebut di atas menyokong asumsi bahwa keunggulan metode diskusi terletak pada efektivitasnya untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran tingkat tinggi dan tujuan pembelajaran ranah afektif (Davies, 1984: 239). Karena itu, ada tiga macam tujuan pembelajaran yang cocok melalui penggunaan metode diskusi:(1) penguasaan bahan pelajaran, (2) pembentukkan dan modifikasi sikap, serta (3) pemecahan masalah (Gall dan Gall, dalam Depdikbud, 1983:28). Pembentukkan dan modifikasi sikap merupakan tujuan diskusi yang berorientasi pada isu yang sedang berkembang. Diskusi yang bertujuan membentuk atau memodifikasi sikap ini, dimulai dengan guru mengajukan permasalahan atau sejumlah peristiwa yang menggambarkan isu yang ada dalam masyarakat (seperti: kolusi dalam suatu lembaga, pelecehan seksual, gerakan disiplin nasional, penggusuran, dan lain sebagainya). Guru atau pimpinan kelompok selanjutnya meminta pandangan dari anggota kelompok untuk menemukan alternatif-alternatif pemecahan masalah isu tersebut. Komentar-komentar terhadap masalah atau jawaban masalah dapat diberikan anggota kelompok maupun pimpinan kelompok. Selama diskusi berlangsung, pemimpin diskusi mencoba memperoleh penajaman dan klarifikasi yang lebih baik tentang isu tersebut dengan memperkenalkan contoh-contoh yang berbeda, dan menggerakkan para anggota diskusi mengajukan pernyataan-pernyataannya. Pemecahan Masalah sebagai Tujuan Diskusi Pemecahan masalah merupakan tujuan utama dari diskusi (Maier, dalam Depdikbud, 1983:29). Masalah-masalah yang tepat untuk pembelajaran dengan metode diskusi adalah masalah yang menghasilkan banyak alternatif pemecahan. Dan juga masalah yang mengandung banyak variabel. Banyaknya alternatif dan atau variabel tersebut dapat memancing anak untuk berfikir. Oleh karena itu, masalah untuk diskusi yang pemecahannya tidak menuntut anak untuk berfikir, misalnya hanya menuntut anak untuk menghafal, maka masalah tersebut tidak cocok untuk didiskusikan. Menurut Maiyer (Depdikbud,1983:29) dalam diskusi kelompok

129

kecil, dapat meningkatkan siswa untuk berpartisipasi dalam memecahkan masalah. Untuk itu, bilamana guru menginginkan keterlibatan anak secara maksimal dalam diskusi, maka jumlah anggota kelompok diskusi perlu diperhatikan guru. Jumlah anggota kelompok diskusi yang mampu memaksimalkan partisipasi anggota adalah antara 3--7 anggota. Dari hasil pengamatan, kelompok diskusi yang jumlah anggotanya antara 3--7 itu saja, anggota yang diduga kurang berpartisipasi penuh berkisar 1--2 orang. Dalam diskusi dengan jumlah anggota yang relatif kecil memungkinkan setiap anak memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi. Masalah atau isu yang dijadikan topik diskusi hendaknya yang relevan dengan minat anak. Masalah diskusi yang cocok dengan minat anak dapat mendorong keterlibatan mental dan keterlibatan emosional siswa secara optimal. Melalui penggunaan metode diskusi, siswa juga mendapat kesempatan untuk latihan keterampilan berkomunikasi dan keterampilan untuk mengembangkan strategi berfikir dalam memecahkan masalah. Namun demikian pembelajaran dengan metode diskusi semacam ini keberhasilannya sangat bergantung pada anggota kelompok itu sendiri dalam memanfaatkan kesempatan untuk berpatisipasi dalam pembelajaran. Untuk meningkatkan proses diskusi, peranan pemimpin diskusi sangat menentukan. Pemimpin diskusi bertugas untuk mengklarifikasi topik yang tidak jelas. Jika diskusi tidak berjalan, pemimpin diskusi berkewajiban mengambil inisiatif dengan melontarkan ide-ide yang dapat memancing pendapat peserta diskusi. Demikian pula bila terjadi ketegangan dalam proses diskusi, tugas pemimpin diskusi adalah meredakan ketegangan. Tidak jarang pendapat-pendapat dalam diskusi menyimpang dari topik utama, karena itu pemimpin diskusi bertugas untuk mengembalikan pembicaraan kepada topik utama diskusi. Pemilikan pengetahuan secara umum tentang masalah yang didiskusikan adalah prasyarat agar setiap peserta mampu mengemukakan pendapat. Diskusi tidak akan berhasil manakala peserta diskusi belum memiliki pengetahuan yang menjadi masalah yang didiskusikan. Dalam diskusi formal, untuk membekali pengetahuan peserta, disajikan terlebih dahulu makalah yang disusun oleh salah satu peserta diskusi. Tujuan penyajian makalah adalah untuk membuka wawasan dan pikiran peserta agar mampu memberikan pendapatnya.

130

Beberapa Jenis Diskusi a. Diskusi Kelompok Besar (Whole Group Discussion. Jenis diskusi kelompok besar dilakukan dengan memandang kelas sebagai satu kelompok. Dalam diskusi ini, guru sekaligus sebagai pemimpin diskusi. Namun begitu, siswa yang dipandang cakap, dapat saja ditugasi guru sebagai pemimpin diskusi. Dalam diskusi kelompok besar, sebagai pemimpin diskusi, guru berperan dalam memprakarsai terjadinya diskusi. Untuk itu, guru dapat mengajukan permasalahan-permasalahan serta mengklarifikasinya sehingga mendorong anak untuk mengajukan pendapat. Dalam diskusi kelompok besar, tidak semua siswa menaruh perhatian yang sama, karena itu tugas guru sebagai pemimpin diskusi untuk membangkitkan perhatian anak terhadap masalah yang sedang didiskusikan. Di samping itu, distribusi siswa yang ingin berpendapat perlu diperhatikan. Dalam diskusi kelompok besar, pembicaraan sering didominasi oleh anak-anak tertentu. Akibatnya tidak semua anak berkesempatan untuk berpendapat. Untuk menghindari keadaan itu, pemimpin diskusi perlu mengatur distribusi pembicaraan. Tugas terberat bagi pemimpin diskusi adalah menumbuhkan keberanian peserta untuk mengemukakan pendapatnya. Dalam praktek, tidak sedikit anak-anak yang kurang berani berpendapat dalam berdiskusi. Terlebih bagi anak yang kurang menguasai permasalahan yang menjadi bahan diskusi. b. Diskusi Kelompok Kecil (Buzz Group Discussion) Kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil terdiri atas 4--5 orang. Tempat berdiskusi diatur agar siswa dapat berhadapan muka dan bertukar pikiran dengan mudah. Diskusi diadakan dipertengahan pelajaran atau diakhir pelajaran dengan maksud menajamkan pemahaman kerangka pelajaran, memperjelas penguasaan bahan pelajaran atau menjawab pertanyaanpertanyaan. Hasil belajar yang diharapkan ialah agar segenap individu membandingkan persepsinya yang mungkin berbeda-beda tentang bahan pelajaran, membandingkan interpretasi dan informasi yang diperoleh masing-masing individu yang dapat saling memperbaiki pengertian, persepsi, informasi, interpretasi, sehingga dapat dihindarkan kekeliruan-kekeliruan.

131

c. Diskusi Panel Fungsi utama diskusi panel adalah untuk mempertahankan keuntungan diskusi kelompok dengan situasi peserta besar, dimana ukuran kelompok tidak memungkinkan partisipasi kelompok secara mutlak. Dalam artian panel memberikan pada kelompok besar keuntungan partisipasi yang dilakukan orang lain dalam situasi diskusi yang dibawakan oleh beberapa peserta yang terplih. Peserta yang terpilih yang melaksanakan panel mewakili beberapa sudut pandangan yang dipertimbangkan dalam memecahkan masalah. Mereka memiliki latar belakang pengetahuan yang memenuhi syarat untuk berperan dalam diskusi tersebut. Forum panel secara fisik dapat dihadiri audience secara lansung atau tidak langsung (melalui TV, radio, dan sebagainya). d. Diskusi Kelompok. Suatu kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil terdiri atas 3--6 orang. Masing-masing kelompok kecil melaksanakan diskusi dengan masalah tertentu. Guru menjelaskan garis besar problem kepada kelas, ia menggambarkan aspek- aspek masalah kemudian tiaptiap kelompok (syndicate) diberi topik masalah yang sama atau berbedabeda selanjutnya masing-masing kelompok bertugas untuk menemukan kesepakatan jawaban penyelesaiannya. Untuk memudahkan diskusi anak, guru dapat menyediakan reference atau sumber-sumber informasi yang relevan. Setiap sindikat bersidang sendiri-sendiri atau membaca bahan, berdiskusi dan menysusun kesimpulan sindikat. Tiap-tiap kelompok mempresentasikan kesimpulan hasil diskusinya dalam sidang pleno untuk didiskusikan secara klasikal. e. Brain Storming Group. Kelompok menyumbangkan ide-ide baru tanpa dinilai segera. Setiap anggota kelompok mengeluarkan pendapatnya. Hasil belajar yang diharapkan ialah agar kelompok belajar menghargai pendapat orang lain, menumbuhkan ide-ide yang yang ditemukannya dianggap benar. f. Symposium. Beberapa orang membahas tentang aspek dari suatu subjek tertentu dan membacakan di muka peserta simposium secara singkat (5--20 menit). Kemudian dikuti dengan sanggahan dan pertanyaan dari para penyanggah dan juga dari pendengar. Bahasan dan sanggahan itu selanjutnya dirumuskan oleh panitia perumus sebagai hasil simposium. g. Informal Debate. Kelas dibagi menjadi dua tim yang agak sama besarnya dan mendiskusikan subjek yang cocok untuk diperdebatkan tanpa

132

memperdebatkan peraturan perdebatan. Bahan yang cocok untuk diperdebatkan ialah yang bersifat problematis, bukan yang bersifat faktual. h. Colloqium. Seseorang atau beberapa orang manusia sumber menjawab pertanyaan-pertanyaan dari audiensi. Dalam kegiatan belajar mengajar siswa/mahasiswa menginterview manusia sumber, selanjutnya mengundang pertanyaan lain/tambahan dari siswa mahasiswa lain. i. Fish Bowl. Beberapa orang peserta dipimpin oleh seorang ketua mengadakan suatu diskusi untuk mengambil suatu keputusan. Tempat duduk diatur merupakan setengah lingkaran dengan dua atau tiga kursi kosong menghadap peserta diskusi, kelompok pendengar duduk mengelilingi kelompok diskusi, seolah-olah melihat ikan yang berada dalam mangkuk (fish bowl). Selama kelompok diskusi berdiskusi, kelompok pendengar yang ingin menyumbang pikiran dapat masuk duduk di kursi kosong. Apabila ketua diskusi mempersilahkan berbicara ia dapat langsung berbicara, dan meninggalkan kursi setelah berbicara. Kegunaan Metode Diskusi Diskusi sebagai metode mengajar lebih cocok dan diperlukan apabila kita (guru) hendak memberi kesempatan kepada siswa: untuk mengekspresikan kemampuannya, berpikir kritis, menilai perannya dalam diskusi, memandang masalah dari pengalaman sendiri dan pelajaran yang diperoleh di sekolah, memotivasi, dan mengkaji lebih lanjut. Melalui diskusi dapat dikembangkan keterampilan mengklarifikasi, mengklasifikasi, menyusun hipotesis, menginterpretasi, menarik kesimpulan, mengaplikasikan teori, dan mengkomunikasikan pendapat. Disamping itu, metode diskusi dapat melatih sikap anak menghargai pendapat orang lain, melatih keberanian untuk mengutarakan pendapat, mempertahankan pendapat, dan memberi rasional sehubungan dengan pendapat yang dikemukakannya. Prinsip Umum Penggunaan Metode Diskusi Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan metode diskusi, antara lain sebagai berikut. a. Perumusan masalah atau masalah-masalah yang didiskusikan agar

133

b. c.

d. e. f.

dilakukan bersama-sama dengan siswa. Menjelaskan hakikat masalah itu disertai tujuan mengapa masalah tersebut dipilih untuk didiskusikan. Pengaturan peran siswa yang meliputi pemberian tanggapan, saran, pendapat, pertanyaan, dan jawaban yang timbul untuk memecahkan masalah. Memberitahukan tata tertib diskusi. Pengarahan pembicaraan agar sesuai dengan tujuan. Pemberian bimbingan siswa untuk mengambil kesimpulan.

Langkah-Langkah Pelaksanaan Diskusi Kelompok Langkah-langkah diskusi sangat bergantung pada jenis diskusi yang digunakan. Hal ini dikarenakan tiap-tiap jenis memiliki karakteristik masingmasing. Seminar memiliki karakteristik yang berbeda dengan simposium, brain storming, debat, panel, sindikat group dan lain-lain. Demikian pula siposium dan yang lain-lain tersebut juga memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Akibat perbedaan karakteristik tersebut, maka langkah dan atau prosedur pelaksanaannya berbeda satu dengan yang lain. Meskipun demikian, secara umum untuk keperluan pembelajaran di kelas, langkah-langkah diskusi kelas dapat dilaksanakan dengan prosedur yang lebih sederhana. Moedjiono, dkk (1996) menyebutkan langkah-langkah umum pelaksanaan diskusi sebagai berikut ini. a. Merumuskan masalah secara jelas b. Dengan pimpinan guru para siswa membentuk kelompok-kelompok diskusi, memilih pimpinan diskusi (ketua, sekretaris, pelapor), mengatur tempat duduk, ruangan, sarana, dan sebagainya sesuai dengan tujuan diskusi. Tugas pimpinan diskusi antara lain: (1) mengatur dan mengarahkan diskusi, (2) mengatur "lalu lintas" pembicaraan. c. Melaksanakan diskusi. Setiap anggota diskusi hendaknya tahu persis apa yang akan didiskusikan dan bagaimana cara berdiskusi. Diskusi harus berjalan dalam suasana bebas, setiap anggota tahu bahwa mereka mempunyai hak bicara yang sama. d. Melaporkan hasil diskusinya. Hasil-hasil tersebut ditanggapi oleh semua siswa, terutama dari kelompok lain. Guru memberi alasan atau

134

penjelasan terhadap laporan tersebut. e. Akhirnya siswa mencatat hasil diskusi, dan guru mengumpulkan laporan hasil diskusi dari tiap kelompok. Budiardjo, dkk, 1994:20--23 membuat langkah penggunaan metode diskusi melalui tahap-tahap berikut ini. 1. a. b. c. d. Tahap Persiapan Merumuskan tujuan pembelajaran Merumuskan permasalahan dengan jelas dan ringkas. Mempertimbangkan karakteristik anak dengan benar. Menyiapkan kerangka diskusi yang meliputi: (1) menentukan dan merumuskan aspek-aspek masalah,(2) menentukan alokasi waktu,(3) menuliskan garis besar bahan diskusi,(3) menentukan format susunan tempat,(4) menetukan aturan main jalannya diskusi. e. Menyiapkan fasilitas diskusi, meliputi: (1) menggandakan bahan diskusi,(2) menentukan dan mendisain tempat,(3) mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan. 2. a. b. c. d. e. 3. a. b. c. d. Tahap pelaksanaan Menyampaikan tujuan pembelajaran. Menyampaikan pokok-pokok yang akan didiskusikan. Menjelaskan prosedur diskusi. Mengatur kelompok-kelompok diskusi Melaksanakan diskusi. Tahap penutup Memberi kesempatan kelompok untuk melaporkan hasil. Memberi kesempatan kelompok untuk menanggapi. Memberikan umpan balik. Menyimpulkan hasil diskusi.

Peranan Guru Sebagai Pemimpin Diskusi Untuk mempertahankan kelangsungan, kelancaran dan efektivitas diskusi, guru sebagai pemimpin diskusi memegang peranan menentukan. Mainuddin, Hadisusanto dan Moedjiono, 1980:8--9, menyebutkan sejumlah

135

peranan yang harus dimainkan guru sebagai pemimpin diskusi, adalah berikut ini. a. Initiating, yakni menyarankan gagasan baru, atau cara baru dalam melihat masalah yang sedang didiskusikan. b. Seeking information, yakni meminta fakta yang relavan atau informasi yang otoritarif tentang topik diskusi. c. Giving information, yakni fakta yang relavan atau menghubungkan pokok diskusi dengan pengalaman pribadi peserta. d. Giving opinion, yakni memberi pendapat tentang pokok yang sedang dipertimbangkan kelompok, bisa dalam bentuk menantang konsesus atau sikap "nrimo" kelompok. e. Clarifying, yakni merumuskan kembali pernyataan sesorang; memperjelas pernyataan sesorang anggota. f. Elaborating, yakni mengembangkan pernyataan seseorang atau memberi contoh atau penerapan. g. Controlling, yakni menyakinkan bahwa giliran bicara merata; menyakinkan bahwa anggota yang perlu bicara, memperoleh giliran bicara. h. Encouraging, yakni bersikap resetif dan responsitif terhadap pernyataan serta buah pikiran anggota. i. Setting Standards, yakni memberi atau meminta kelompok menetapkan, kriteria untuk menilai urunan anggota. j. Harmonizing, yakni menurunkan kadar ketegangan yang terjadi dalam diskusi. k. Relieving tension, yakni melakukan penyembuhan setelah terjadinya tegangan. l. Coordinating, yakni menyimpulkan gagasan pokok yang timbul dalam diskusi, membantu kelompok mengembangkan gagasan. m. Orientating, yakni menyampaikan posisi yang telah dicapai kelompok dalam diskusi dan mengarahkan perjalanan diskusi selanjutnya. n. Testing, yakni menilai pendapat dan meluruskan pendapat kearah yang seharusnya dicapai. o. Consensus Testing, menialai tingkat kesepakatan yang telah dicapai dan menghindarkan perbedaan pandangan. p. Summarizing, yakni merangkum kesepakatan yang telah dicapai.

136

BAB X METODE SIMULASI DALAM PEMBELAJARAN Simulasi telah lama digunakan dalam pendidikan. Simulasi digunakan untuk pendidikan militer dalam latihan perang bagi personal militer. Simulator penerbangan misalnya dikembangkan untuk melatih pilot militer maupun pilot komersial. Simulator ruang angkasa digunakan untuk melatih astronut, demikian pula simulator otomobil dipakai untuk melatih para sopir. Pemanfaatan simulasi untuk pembelajaran dikelas, menurut Tornyay dan Thompson (1982:23), juga bukan hal yang baru. Game atau permainan sebagai salah satu jenis simulasi, digunakan dalam pembelajaran menulis pada awal tahun 1775 (Knight, 1949). James (1908) telah mendorong guru untuk membuat belajar lebih berorientasi pada aktivitas. Akhir-akhir ini, para pendidik berargumentasi bahwa variasi pengalaman dan aktivitas dalam belajar bagian yang penting dari keseluruhan situasi belajar (Carlson,1969). Simulasi menjadi penting seiring dengan perubahan pandangan pendidikan, dari proses pengalihan isi pengetahuan kearah proses pengaplikasian teori ke dalam realita pengalaman kehidupan. Lebih lanjut, pengenalan teknik simulasi lebih merupakan kegiatan untuk membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan menemukan dan memecahan masalah. Sehingga pada giliranya melalui simulasi, dapat meningkatkan efektivitas keterampilan siswa dalam menemukan dan memecahkan masalah untuk saat yang akan datang. Teknik simulasi dapat memberikan pengalaman langsung kepada siswa, akan menjadi bagian dari suasana pendidikan. Secara formal penggunaan simulasi dalam pendidikan sekitar tahun 1959 (Rossi dan Briddle, 1966). Pada tahun 1964, sekolah tinggi Bisnis telah menetapkan simulasi manajemen sebagai bagian dari kurikulum yang standar (Dale dan Klassen, 1964). Teknik simulasi digunakan dalam pendidikan medis sejak pertengahan tahun 1960-an (Barrows,1968; Hoban, 1978). Pendidik di lingkungan sekolah perawat juga telah menggunakan teknik simulasi bertahun-tahun, meskipun istilah tersebut baru digunakan pada tahun-tahun akhir ini (Tornyay dan Thompson, 1982: 24). Sebagai misal dalam latihan

137

keterampilan dasar setting laboratorium, latihan memahami perasaan pasien, latihan hubungan interpersonal, dan latihan keterampilan mengintervensi keadaan darurat. A. Pengertian Simulasi Beberapa buku yang menguraikan simulasi, kurang konsisten dalam menggunakan istilah simulasi. Istilah simulasi sering dipertukarkan dengan istilah game atau permainan. Robinson (1966) menyatakan bahwa simulasi sering berganti nama game. Coleman (1970) mendefinisikan simulasi dan game secara berbeda. Tornyay dan Thompson (1982:24), menyebutkan beberapa penulis berikut ini memberikan petunjuk dalam mengembangkan definisi yang dapat membantu untuk mengklarifikasi dan membedakan istilah simulasi dan game (Clarlson, 1969; Tansey dan Unwin, 1969; Raser, 1969; Abt, 1971; Curtis dan Rothert, 1972; Cruickshank,1977; Rockler,1978; McKe-achie,1978; Thiagarajan dan Stolovich, 1978; Cooper, 1979). Simulation: A realistic representation (model) of structure or dynamics of a real thing or process with which the participant, as an active part of the experience, interacts with person or thing in the environment, applies previously learned knowledge to make respones (decicions and action to deal with a problem or situation, and recieves feedback about responses without the direct real-life consequences. Game: An activity governed by precise rules that involves varying degrees of chance or risk and one or more players who compete (with self, the game, one another, or a computer) through the use of knowledge, skill, strength, or luck in an attempt to reach a specified goal (gain an intrinsic or extrinsic rreward) Simulation Game: An activity that incorporates the characteristic of both a simulationand a game; a game that also models some real life situation or proces. Simulasi adalah tiruan perbuatan yang hanya pura-pura. Simulasi dari kata simulate yang artinya pura-pura atau berbuat seolah-olah; dan simulation artinya tiruan atau perbuatan yang pura-pura. Menurut kamus Inggris-Indonesia ( Echols dan Shadily, 1975:527), simulation artinya pekerjaan tiruan atau meniru, sedang simulate, artinya menirukan, purapura atau berbuat seolah-olah. Dengan demikian simulasi adalah peniruan atau perbuatan yang bersifat menirukan suatu peristiwa seolah-olah seperti peristiwa yang sebenarnya. Permainan drama adalah permainan

138

simulasi dimana peristiwa yang diperankan oleh para pemegang peran menggambarkan peristiwa yang seolah-olah peristiwa yang sebenarnya. Dalam dunia penerbangan, sebelum menerbangkan pesawat yang sebenarnya, para calon pilot terlebih dahulu dilatih dengan menggunakan pesawat tiruan yang disebut simulator. B. Manfaat Simulasi Beberapa penulis menyebutkan manfaat simulasi, diantaranya adalah berikut ini. Simulasi dapat meningkatkan motivasi dan perhatian anak terhadap topik, dan belajar anak, serta meningkatkan keterlibatan langsung dan partisipasi aktif siswa dalam belajar. Meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar kognitif, meliputi informasi faktual, konsep, prinsip dan keterampilan membuat keputusan. Belajar siswa lebih bermakna. Meningkatkan afektif, atau sikap dan persepsi anak terhadap isu yang berkembang di masyarakat. Meningkatkan sikap empatik dan pemahaman adanya perbedaan antara dirinya dengan orang lain. Afeksi umum anak meningkat, kesadaran diri dan pandangan terhadap orang lain lebih efektif. Struktur kelas dan pola interaksi kelas berkembang, hubungan gurusiswa hangat, mendorong kebebasan anak dalam mengeksplorasi gagasan, peran guru minimal sedang otonomi anak meningkat, meningkatkan tukar pendapat dari pandangan anak yang berbeda-beda. C. Tujuan simulasi Untuk melatih keterampilan tertentu, baik yang bersifat profesional maupun bagi kehidupan sehari-hari. Untuk memperoleh pemahaman tentang suatu konsep atau prinsip. Untuk latihan memecahkan masalah. Mengembangkan sikap, dan pemahaman terhadap orang lain. Untuk meningkatkan partisipasi belajar yang optimal. Untuk meningkatkan motivasi belajar siswa, karena simulasi sangat menarik dan menyenangkan anak. Melatih anak untuk bekerjasama dalam kelompok secara efektif. Menimbulkan dan memupuk kreatifitas siswa. Melatih anak untuk memahami dan menghargai peran temannya. D. Prinsip-Prinsip Simulasi

139

Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan guru manakala menggunakan simulasi untuk pembelajaran. a. Simulasi dilakukan oleh kelompok siswa. b. Tiap kelompok mendapat kesempatan melaksanakan simulasi yang sama atau dapat juga berbeda. c. Semua siswa harus terlibat langsung menurut peranan masingmasing. Penentuan topik disesuaikan dengan tingkat kemampuan kelas, dibicarakan oleh siswa dan guru. d. Dalam simulasi seyogyanya dapat dicapai ketiga domain psikis. e. Hendaknya yang diusahakan terintegrasinya beberapa ilmu. Petunjuk simulasi hendaknya dibuat secara jelas dan mudah dipahami anak terutama bagi pemegang peran. f. Simulasi adalah latihan keterampilan motorik maupun sosial yang dapat memberikan pengalaman belajar bagi siswa dalam menghadapi keadaan yang sebenarnya. g. Pelaksanaan simulasi perlu menggambarkan situasi yang lengkap, proses yang rinci dan urut yang sesuai dengan situasi yang sesungguhnya. E. Bentuk-Bentuk Simulasi Menurut Gilstrap dengan melihat sifat tiruannya, simulasi itu dapat berbentuk: (1) Role Playing, (2) Sosiodrama, dan (3) simulation game atau permainan. Sedang menurut Hayan dalam bukunya "Ways of Teaching", simulasi merupakan salah satu metode yang termasuk dalam kelompok Role Playing. Bentuk-bentuk Role Playing lainnya adalah Sosiodrama, Permainan, dan Dramatisasi. Secara rinci, bentuk-bentuk simulasi tersebut adalah berikut ini. 1. Peer teaching Peer teaching dapat dikategorikan sebagai simulasi mengingat peer teaching adalah latihan mengajar yang dilakukan seorang mahasiswa dimana dia bertindak seolah-olah sebagai guru dan teman sekelasnya seolaholah sebagai murid suatu sekolah tertentu. Peer teaching ini banyak dipraktekan siswa atau mahasiswa di sekolah calon guru, untuk meningkatkan keterampilan mengajarnya, sebelum mengajar siswa yang sebenarnya pada saat praktek.

140

2. Sosiodrama Sosiodrama adalah salah satu bentuk simulasi, yakni suatu drama yang bertujuan untuk menemukan alternatif pemecahan masalah-masalah sosial yang timbul dalam hubungan antar anggota sosial. Masalah-masalah sosial yang cocok untuk sosiodrama misalnya, masalah konflik antara anggota keluarga, konflik antara buru dengan majikan, konflik antara masyarakat dengan pimpinannya, dan sejenisnya. Bagi siswa, dengan metode simulasi utamanya melalui sosio-drama dapat belajar menemukan alternatif pemecahan masalah sosial yang berkembang dimasyarakat. Dengan disosiodramakan, siswa dapat mengimajinasikan masalah sehingga terdorong untuk menemukan alternatif pemecahannya. F. Langkah-Langkah Pelaksanaan Simulasi Wilkins (1982:142) menyebutkan langkah-langkah simulasi sebagai berikut. a. Guru menjelaskan ciri dan tujuan simulasi. b. Guru memberikan pengantar simulasi, menjelaskan peran-peran, memilih pemegang peran, menjelaskan prosedur dan membagikan bahan. c. Pelaksanaan simulasi. d. Guru memimpin diskusi tindak lanjut. Joyce dan Weil (1992: 365) menyebutkan, pelaksanaan simulasi memiliki empat fase, yakni : (1) Fase orientasi, (2) fase latihan, (3) fase simulasi, dan (4) fase debriefing (pemantapan--tanyajawab atau wawancara). a. Fase orientasi, berisi penjelasan guru tentang topik dan memberikan gambaran tentang simulasi. b. Fase latihan, Guru menjelaskan skenario atau jalannya cerita, aturan main, pemegang peran, prosedur keputusan yang harus diambil, dan tujuan, membagi peran, dan memberikan kesempatan anak untuk berkordinasi dan berlatih sesuai dengan peran masing-masing. c. Fase pelaksanaan simulasi. Siswa pemegang peran melaksanakan simulasi sesuai dengan jalan cerita yang sudah ditentukan. Selama

141

simulasi berlangsung, guru berperan sebagai wasit dan pelatih. Secara periodik guru dapat menghentikan permainan siswa dan memberikan koreksi atau balikan, mengevaluasi penampilan pemegang peran dan mengklarifikasi kekeliruan dalam memainkan peran. d. Fase debriefing, berisi guru mengkonsentrasikan perhatian anak pada: (1) persepsi dan reaksi anak terhadap peristiwa simulasi, (2) menganalisis proses simulasi, (3) membandingkan simulasi dengan realitas yang sebenarnya, (4) menghubungkan aktivitas simulasi dengan bahan belajar, (5) simulasi lanjutan. G. Keuntungan Simulasi Hoban dan Casberque (dalam Tornyay dan Thompson, 1982:39) menyebutkan penggunaan simulasi dalam pembelajaran, dapat memudahkan (1) belajar dan retensi hasil belajar, (2) transfer hasil belajar, (3) pemahaman siswa, (4) pembentukan sikap, dan (5) motivasi belajar. Wilkins (1990:138), menyebutkan keuntungan-keuntungan simulasi antara lain adalah berikut ini: (1) simulasi dapat melibatkan anak untuk melakukan sesuatu, sehingga meningkatkan partisipasi anak secara aktif, (2) simulasi dapat mendekatkan belajar anak dengan kenyataan-kenyataan sosial yang ada dimasyarakat yang sebenarnya, (3) simulasi dapat mengembangkan isu-isu yang dapat memberi petunjuk dalam mencapai keberhasilan diskusi, (4) simulasi melibatkan anak untuk berbuat sesuatu dalam belajarnya, (5) simulasi dapat melibatkan afektif anak, sebagaimana halnya aspek kognitif, (6) simulasi dapat mendorong motivasi anak dalam belajarnya terutama anak yang tidak memiliki motivasi dalam belajar secara tradisional. Ornstein (1990:356) menyebutkan empat keuntungan penggunaan metode simulasi adalah: (1) simulasi merupakan alat motivasi belajar yang sangat baik, (2) keberhasilan simulasi menuntut penggunaan beberapa keterampilan dan teknik dan praktek, hubungan antara belajar dan hiburan, (3) simulasi penuh cara untuk membuat topik dari kehidupan, (4) keberhasilan simulasi sangat menyenangkan (rewarding) bagi guru. Mereka dapat duduk dibelakang menikmati permainan siswa yang penuh dengan keaktifan belajar. Pendek kata, simulasi memberi kesempatan kepada siswa untuk mendekatkan diri dengan pengalaman kehidupan yang nyata. Simulasi merupakan metode yang baik untuk pembelajaran moral, etik, klarifikasi nilai, dan pendidikan sikap.

142

H. Rambu-Rambu Penggunaan dan Pelaksanaan Metode Simulasi Ornstein, (1990:357) memberikan rambu-rambu dalam penggunaan dan pelaksanaan simulasi. Rambu-rambu yang dimaksud antara lain berikut ini. Setiap penggunaan dan atau pelaksanaan simulasi harus didasarkan atas tujuan pembelajaran. Tujuan penggunaan simulasi adalah memungkinkan siswa untuk memahami ciri-ciri masalah dan bagaimana memecahkan masalah. Simulasi digunakan untuk pembelajaran berfikir dan sarana sosialisasi bagi siswa untuk kelas rendah. Simulasi harus dipandang sebagai kegiatan untuk mendapatkan pengalaman belajar. Penggunaan simulasi harus berhubungan dengan isi mata pembelajaran (keterampilan, pemahaman konsep, dan nilai), dan isi mata pembelajaran tersebut harus berkaitan dengan kenyataan hidup yang sebenarnya. Hanya variabel, hal, atau masalah yang yang signifikan yang disimulasikan. Dalam simulasi, peran yang dimainkan oleh siswa harus jelas. Jika hal-hal yang telah terjadi di masyarakat disimulasikan, maka variabel atau latarbelakang yang ada dalam situasi kehidupan masyarakat tersebut perlu diperkenalkan terlebih dahulu. Pada saat sejumlah siswa pemain bersimulasi, dan yang lain sebagai pengamat, maka yang lain bertugas untuk mengkaji simulasi. Pemeranan simulasi harus singkat dan jelas. Guru harus mampu menjawab pertanyaan siswa, sebelum simulasi dimulai. Peran mudah dipahami dan mudah diperankan. Pada akhir simulasi, diskusi adalah penting bagi siswa untuk klarifikasi keterampilan, konsep, dan nilai yang telah dipelajari. Akhir simulasi, diskusi tentang studi kasus, gambaran tentang pengalaman siswa, terapan tentang apa yang diamati dalam kehidupan nyata di masyarakat, saran-saran untuk belajar selanjutnya. I. Peranan Guru dalam Simulasi Peranan guru dalam simulasi sangat penting mengingat tugas guru adalah membangkitkan kesadaran anak tentang konsep dan prinsip yang disimulasikan. Di samping itu, guru dalam pelaksanaan simulasi mempunyai fungsi manajerial. Joyce dan Weil (1992:364) mengidentifikasi empat

143

peranan guru dalam model pembelajaran melalui simulasi, yakni:explaining, refereeing, coaching, dan discussing.

Explaining. Siswa mampu melakukan peran-peran dalam simulasi, apabila

memiliki pemahaman yang cukup mengenai peran. Demikian pula jalan cerita harus dipahami betul oleh pelaku atau pemegang peran. Pemahaman pelaku terhadap peran yang dimainkan maupun jalannya cerita tidak terlepas dari pentingnya peranan guru. Sebelum simulasi dimulai, guru perlu memberikan gambaran tentang jalannya cerita. Selain itu, gambaran tokoh-tokoh cerita beserta karakterisasinya. Gambaran yang disampaikan guru tersebut dimaksudkan untuk memancing daya imajinasi anak, khususnya bagi pemegang peran agar mampu menghayati peran masing-masing. Refereeing Simulasi digunakan untuk menyediakan pengalaman belajar yang baik. Guru perlu mengontrol partisipasi siswa dalam bersimulasi agar simulasi mampu memberikan pengalaman belajar yang baik tersebut. Sebelum simulasi dilaksanakan, guru perlu menugaskan siswa memilih tim pemegang peran yang sesuai dengan kemampuan anak untuk memegang peran-peran tersebut. Guru perlu menghindari tugas yang sulit bagi anak dalam pemeranan. Coaching. Guru bertindak sebagai pelatih saat diperlukan, memberikan nasehat agar anak mampu bersimulasi secara betul. Sebagai pelatih, guru akan mendukung dan menasehati tetapi tidak menggurui. Discussing. Selama simulasi berlangsung, guru bertindak sebagai pemberi penjelasan, wasit, dan pelatih. Sesudah simulasi berakhir, guru perlu membuka diskusi berkaitan dengan signifikansi simulasi dengan kenyataan yang sebenarnya dimasyarakat atau dilapangan. Guru perlu menanyakan kepada siswa utamanya pemain tentang kesulitan dan pemahaman anak dalam bersimulasi, hubungan simulasi dengan matapelajaran yang sedang diikuti.

144

BAB XI METODE DEMONSTRASI Metode demontrasi merupakan metode pembelajaran yang sangat efektif untuk menolong siswa mencari jawaban atas pertanyaanpertanyaan seperti: Bagaimana cara mengaturnya? Bagaimana proses bekerjanya? Bagaimana proses mengerjakannya. Demonstrasi sebagai metode pembelajaran adalah bilamana seorang guru atau seorang demonstrator (orang luar yang sengaja diminta) atau seorang siswa memperlihatkan kepada seluruh kelas sesuatau proses. Misalnya bekerjanya suatu alat pencuci otomatis, cara membuat kue, dan sebagainya. A. Penggunaan Metode Demontrasi dalam Pembelajaran Metode demonstrasi wajar digunakan bila siswa ingin mengetahui tentang berikut ini a. Bagaimana mengaturnya? Misalnya: - Mempersiapkan tempat pasien yang baru. - Mempersiapkan peralatan medis untuk pengobatan. - Mengatur pasien yang akan mendapat perawatan. b. Bagaimana proses membuatnya? Misalnya: - Menyusun komposisi obat untuk keperluan penyuntikan - Menyusun menu untuk pasien yang menderita sakit tertentu. - Menyusun komposisi obat puyer bagi anak yang sakit batuk. c. Bagaimana proses mengerjakannya? Misalnya: - Memeriksa gigi atas yang mengalami sakit. - Teknik mencabut gigi - Teknik menyuntik yang tepat - Memandikan pasien yang memerlukan - menyuapi makan bagi pasien yang tidak dapat makan sendiri.

145

d. Terdiri dari apa? Misalnya: - Puyer obat batuk untuk bayi - Peralatan untuk mengadakan pemeriksaan gigi belakang - Perlengkapan pasien untuk penderita sakit tertentu. D. Bagaimana merencanakan suatu demonstrasi yang efektif a. Rumuskan dengan jelas kecakapan dan atau ketrampilan apa yang diharapkan dicapai oleh siswa sesudah demonstrasi itu dilakukan. b. Menyiapkan alat-alat yang tepat yang dipergunakan untuk demonstrasi. c. Menyiapkan siswa pada posisi yang memungkinkan dia dapat mengamati proses demonstrasi secarajelas. d. Menetapkan garis-garis besar langkah-langkah yang akan dilakukan. e. Menyediakan waktu yang dibutuhkan. Waktu untuk memberi kesempatan kepada siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan komentar selama dan sesudah demonstrasi. Memciptakan pertanyaanpertanyaan kepada siswa untuk merangsang observasi. f. Rancangan evaluasi pelaksanaan. g. Menetapkan rencana untuk menilai kemajuan siswa. h. Siapkan panduan pengamatan berupa daftar cek yang akan digunakan siswa untuk mengamati jalannya demonstrasi. Pelaksanaan Demontrasi a. Awali demonstrasi dengan penjelasan peristiwa b. Tunjukan alat peraga yang dipakai dalam demonstrasi c. Perlihatkan penggunaan alat-alat peraga tersebut atau cara kerjanya. d. Usahakan demonstrasi dapat diikuti atau diamati oleh semua murid e. Tumbuhkan sikap kritis waktu mengamati demontrasi sehingga timbul tanya jawab. f. Doronglah siswa untuk mengamati demonstrasi secara seksama dengan memanfaatkan daftar cek yang sudah dibagikan kepada siswa untuk memberi tanda sesuai dengan langkah kerja yang ditentukan dalam demonstrasi tersebut.

146

g. Berilah kesempatan pada setiap anak (bila waktu dan alat memungkinkan) untuk mencoba sehingga anak merasa yakin tentang suatu proses. C. Langkah Penutup/follow up Setelah demonstrasi selesai rangkumlah segala keterangan tadi (merupakan tugas murid dengan bimbingan guru) di samping itu juga berikanlah tugas-tugas kepada murid baik tertulis ataupun lesan. Misalnya: (1) membuat karangan tentang hal yang baru saja diamati, (2) membuat laporan setelah mengikuti demonstrasi, (3) menceritakan kembali tentang hal yang baru saja diamati, dan (4) mengerjakan tugas-tugas dan sebagainya. Dengan demikian kita dapat menilai sejauh mana demontrasi dipahami oleh murid. Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Metode Demontrasi 1. Keterangan-keterangan dapat didengar dengan jelas oleh siswa. 2. Posisi demonstrator sedemikian rupa sehingga seluruh siswa dapat mengamati secara jelas. 3. Alat-alat yang akan digunakan ditempatkan pada posisi yang tepat sehingga memudahkan demonstrator saat akan menggunakannya. 4. Disarankan kepada siswa untuk membuat catatan seperlunya. B. Keuntungan Metode Demonstrasi a. Perhatian siswa dapat dipusatkan kepada hal-hal yang dianggap penting oleh pengajar, sehingga siswa dapat menangkap hal-hal yang penting. Perhatian siswa lebih mudah dipusatkan pada proses belajar dan tidak tertuju pada hal lain. b. Dapat mengurangi kesalahan-kesalahan bila dibandingkan dengan hanya membaca atau mendengarkan keterangan guru karena siswa memperoleh persepsi yang jelas dari hasil pengamatannya. c. Bila siswa turut aktif melakukan demonstrasi, maka siswa akan memperoleh pengalaman praktek untuk mengembangkan kecakapan dan keterampilan.

147

d. Beberapa masalah yang menimbulkan pertanyaan pada diri siswa akan dapat dijawab pada waktu mengamati proses demonstrasi. e. Penggunaan metode demonstrasi mampu mengurangi pengertian anak yang bersifat verbalistik f. Memberikan kesempatan siswa untuk berfikir secara cermat dan kritis. g. Penggunaan metode demonstrasi dapat memberikan pengalaman belajar bagi siswa mengenai langkah-langkah atau prosedur penguasaan suatu keterampilan tanggan atau keterampilan motorik tertentu C. Kelemahan Metode Demonstrasi Metode demontrasi, apabila diterapkan dalam pembelajaran, disamping terdapat sejumlah kebaikan, terdapat pula kelamahankelamahannya. a. Kurang efisien waktu b. Memerlukan fasilitas yang tidak sedikit c. Bila guru kurang menguasai materi maka ia akan memberikan keterangan yang berbelit-belit yang sulit dipahami d. Demontrasi akan merupakan metode yang tidak wajar bila alat yang didemontrasikan tidak dapat diamati secara seksama oleh siswa. Misalnya: alatnya terlalu kecil, atau penjelasan tidak jelas. e. Tidak semua hal dapat didemontrasikan didalam kelas, misalnya alat yang sangat bessar atau yang jauh berada di kelas. f. Demontrasi menjadi kurang efektif bila tidak diikuti dengan sebuah aktifitas dimana siswa sendiri yang melakukan dan menjadikan aktivitas itu pengalaman yang berharga. g. Bila guru kurang dapat menggunakan alat-alat peraga yang dipakai maka akan menghambat jalannya pelajaran. h. Kadang-kadang tidak semua anak memperhatikan apa yang didemonstrasikan oleh guru. Cara Mengatasi Kelemahan Bila memperhatikan kelemahan -kelemahan diatas seorang guru kadang-kadang merasa ragu untuk menggunakan metode demontrasi. Tetapi perlu diketahui bahwametode demontrasi sangat efektif hasilnya. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan diatas seorang guru harus dapat

148

merencanakan demontrasi yang efektif agar metode ini dapat pula berhasil dengan baik. a. Merumuskan tujuan dengan jelas dari sudut kecakapan atau kegiatan yang diharapkan dapat dicapai atau dilaksanakan oleh siswa itu bila demontrasi telah berakhir. b. Menetapkan garis besar langkah-langkah demontrasi yang akan dilaksanakan. Dan sebaiknya sebelum demontrasi dilakukan oleh guru-guru sudah dicoba terlebih dahulu supaya tidak gagal pada waktunya. c. Memperhitungkan waktu yang dibutuhkan. Apakah tersedia waktu untuk memberi kesempatan siswa memajukan pertanyaan-pertanyaan dan komentar selama dan sesudah demontrasi. Menyiapkan pertanyaanpertanyaan kepada siswa untuk merangsang observasi. d. Selama demonstrasi berlangsung kita bertanya pada diri kita sendiri apakah:(1) keterangan-keterangan itu dapat didengar dengan jelas oleh siswa. (2) alat itu telah ditempatkan pada posisi yang baik sehingga setiap siswa dapat melihat dengan jelas,(3) telah disarankan kepada siswa untuk membuat catatan-catatan seperlunya dengan waktu secukupnya. e. Menetapkan rencana untuk menilai kemajuan murid. Sering kali perlu terlebih dahulu diadakan diskusi-diskusi dan siswa mencobakan lagi demontrasi agar memperoleh kecekatan yang lebih baik.

149

BAB XII METODE PENEMUAN Latihan penemuan (inkuiri) didesain untuk membimbing siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah melalui latihan yang menekankan proses ilmiah dalam suatu periode waktu yang pendek. Schlenker (1976) melaporkan bahwa latihan penemuan dapat meningkatkan produktivitas berfikir kreatif anak dan meningkatkan keterampilan dalam pemerolehan dan kemampuan analisis informasi. Namun begitu itu penemuan tidak lebih efektif untuk pemerolehan informasi dari pada metode pengajaran konvensional, tetapi sangat efisien dari pada metode tugas, ceramah yang digunakan dalam kegiatan laboratories. Latihan penemuan dikembangkan oleh Richard Suchman untuk membelajarkan siswa melalui proses investigasi dan penjelasan penomena yang khusus. Latihan penemuan oleh Richard Suchman dikembangkan sebagai metode analisis utamanya pada mata pelajaran fisika. Meskipun begitu prinsip-prinsip kerja dalam penemuan ini dapat diadopsi untuk pembelajaran mata pelajaran yang lain. Berdasarkan konsepsi metode ilmiah, penemuan dapat dicoba untuk membelajarkan anak tentang beberapa keterampilan dan bahasa (Suchman, 1962). Latihan penemuan dipercayai mampu mengembangkan independensi belajar siswa. penemuan merupakan metode yang memerlukan partisipasi aktif siswa dalam penemuan (penyelidikan) ilmiah. Tujuan umum latihan penemuan adalah untuk membantu siswa dalam mengembangkan disiplin berfikir dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah, dan mendapatkan jawaban dari keingintahuan siswa. Menurut Suchman, penggunaan penemuan bertujuan untuk membantu kemandirian siswa dalam mengadakan penyelidikan melalui disiplin berfikir yang benar. penemuan mendorong siswa untuk menemukan jawaban dari pertanyaan tentang mengapa sesuatu terjadi melalui pengumpulan data yang logis. Di samping itu, penemuan bertujuan untuk mengembangkan strategi berfikir siswa untuk menemukan jawaban dari pertanyaan mengapa sesuatu terjadi sebagaimana kejadiannya. penemuan dapat menyediakan kesempatan untuk membelajarkan siswa tentang prosedur penelitian. Seperti halnya pendapat Bruner dan Hilda Taba, menurut Suchman, melalui penemuan meningkatkan kesadaran siswa tentang bagaimana proses penyelidikan

150

dilakukan dan siswa dapat mmemahami prosedur berfikir ilmiah. Latihan penemuan ini banyak digunakan di sekolah-sekolah maju. Hal ini disebabkan karena alasan berikut. a. Merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa yang aktif. b. Dengan menemukan sendiri dan menyelidiki sendiri, maka hasil belajar yang diperoleh anak akan setia dan tahan lama dalam ingatan, dan tak mudah dilupakan. c. Pengertian yang ditemukan sendiri oleh anak, merupakan pengertian yang betul-betul dikuasai dan mudah dipergunakan/di transfer dalam situasi lain. d. Dengan menggunakan latihan penemuan, anak belajar menguasai metode ilmiah yang dapat dikembangkan oleh anak sendiri. e. Dengan metode penemuan ini anak juga belajar berpikir analisis dan mencoba memecahkan problem yang dihadapi sendiri, kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan masyarakat. 1. KONSEP DASAR Metode penemuan diartikan sebagai suatu prosedur pembelajaran yang mementingkan pengajaran-perseorangan, manipulasi objek dan lain-lain percobaan, sebelum sampai kepada generalisasi. Sebelum siswa sadar akan pengertian, guru tidak menjelaskan dengan kata-kata. Metode penemuan merupakan komponen dari praktek pendidikan yang meliputi metode pembelajaran yang memajukan cara belajar aktif, berorientasi pada proses, mengarahkan diri siswa sendiri dan reflektif. Menurut Encyclopedia of Educational Research, penemuan merupakan strategi yang unik dapat diberi bentuk oleh guru dalam berbagai cara, termasuk pembelajarankan ketrampilan menyelidiki, memecahkan masalah sebagai alat bagi siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode penemuan adalah suatu metode dimana proses pembelajaran menekankan murid untuk menemukan sendiri informasi yang secara tradisional biasanya diceramahkan guru. 2. Beberapa Istilah Yang Sering Dipertukarkan Penemuan (penyelidikan), sering dipertukarkan pemakaiannya dengan discovery (penemuan) dan pemecahan masalah (problem solving).

151

Beberapa ahli membedakan antara penemuan dengan penemuan sebagai bagian dari penyelidikan sebaliknya ahli-ahli lain menulis tentang penemuan (heursitik modes) yang meliputi discovery dan penemuan. Untuk itu, maka dipandang perlu untuk mengemukakan pendapat Sund, dan Dr. J. Richard Suchman tentang hubungan metode discovery dan inquiry. Sund (1975) berpendapat bahwa discovery adalah proses mental dimana siswa mengasimilasi sesuatu konsep atau sesuatu prinsip, proses mental tersebut: logam apabila dipanasi mengembang, lingkungan berpengaruh terhadap kehidupan organisme, dan sebagainya. Sedangkan inquiry menurut dia meliputi juga discovery. Dengan perkataan lain, inquiry adalah perluasan proses discovery yang digunakan lebih mendalam. Artinya proses inquiry mengandung proses-proses mental yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya: merumuskan problema, merangsang eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan data, menganalisa data, menarik kesimpulan, dan sebagainya. Sund berpendapat bahwa penggunaan discovery dengan batas-batas tertentu adalah untuk siswa-siswa kelas rendah, sedangkan inquiry adalah baik untuk digunakan bagi siswa-siswa kelas yang lebih tinggi. DR. J. Richard Suchman dan asistennya mencoba "self learning". Dalam proses tersebut proses pengalaman dipindahkan dari situasi teacher dominated learning (vertical) ke situasi student dominate learning (horisontal) dengan menggunakan discovery learning yang melibatkan murid dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat yang berwujud diskusi, seminar, dan sebagainya. 3. BENTUK-BENTUK METODE penemuan a. Guided Discovery lesson Guided Discovery Lesson, mempunyai langkah-langkah: a. Adanya problem yang akan dipecahkan. Problema itu dapat dinyatakan sebagai pernyataanatau pertanyaan. b. jelas tingkat/kelasnya, dinyatakan dengan jelas tingkat siswa yang akan diberi pelajaran, misalnya anak SMP kelas II. c. Konsep atau prinsip yang harus ditemukan oleh siswa melalui kegiatan tersebut perlu ditulis dengan jelas. d. Alat/bahan perlu disediakan sesuai dengan kebutuhan siswa dalam melaksanakan kegiatan.

152

e. Diskusi pengarahan berwujud pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada siswa untuk didiskusikan sebelum para siswa melakukan kegiatan penemuan. f. Keadaan metode penemuan oleh siswa berupa kegiatan penyelidikan/percobaan untuk menemukan konsep-konsep atau prinsipprinsip maupun generalisasi yang ditetapkan ditetapkan. g. Proses berpikir kritis perlu dijelaskan untuk menunjukkan adanya "mental operation" siswa yang diharapkan dalam kegiatan. h. Pertanyaan yang bersifat "open ended" perlu diberikan berupa pertanyaan yang mengarah kepada pengembangan kegiatan penyelidikan yang dilakukan oleh siswa. i. Catatan guru meliputi penjelasan tentang bagian-bagian yang sulit dari pelajaran, dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasilnya, terutama bila kegiatan penyelidikan mengalami kegagalan atau tidak berjalan sebagaimana mestiny Sedangkan langkah-langkah inquiry approach menurut dia meliputi: (1) menemukan masalah (encounter with the problem), (2) pengumpulan data untuk memperoleh kejelasan, (3) pengumpulan data untuk mengadakan percobaan, (4) Perumusan keterangan yang diperoleh, (5) analisa dari proses inquiry. 3. Peranan Guru - Murid Dalam Metode penemuan a. Ditinjau dari segi siswa yang belajar: (1) Terjadinya proses mental yang tinggi dari siswa, sebab dengan kreativitas ini siswa mengasimilasi konsep, dan meng-asimilasi prinsip; (2) problem solving; (3) self learning activitas; (4) tanggung jawab sendiri. b. Ditinjau dari segi guru yang mengajar: 1) Guru sebagai diagnoser, yang berusaha mengetahui kebutuhan siswa dan kesiapan siswa. 2) Ditinjau dari segi guru mengajar: Menyiapkan tugas atau problem yang akan dipecahkan oleh para siswa; memberikan klarifikasi-klarifikasi; menyiapkan setting kelas; menyiapkan alat-alat dan fasilias bela-jar yang diperlukan; memberikan kesempatan pelaksanaan; sumber informasi, jika diperlukan oleh siswa; dan membantu siswa agar dapat sendiri merumuskan kesimpulan dan implikasi-implikasinya. 3) Guru sebagai dinamisator: merangsang terjadinya self analisis, merangsang

153

terjadinya interaksi, memuji, membesarkan hati siswa untuk lebih bergairah dalam kegiatan-kegiatannya. c. Ditinjau dari derajat keterlibatan proses mental dan jenis tujuan pengajaran yang ingin dicapai tidak terpimpin sama sekali; metode inquiry sebagaimana yang dikemukakan oleh Sund; dan metode penemuan terpimpin. 4. Langkah-langkah pelaksanaan Metode penemuan Gilstrap (1975) mengemukakan petunjuk lansung langkah-langkah yang harus ditempuh kalau seorang guru melaksanakan metode penemuan. Langkah-langkah yang dikerjakan itu ialah: a. Menilai kebutuhan dan minat siswa dan menggunakan sebagai dasar untuk menentukan tujuan yang berguna dan realistis untuk pembelajaran dengan penemuan. b. Seleksi pendahuluan atas dasar kebutuhan dan minat siswa, prinsipprinsip generalisasi, pengertian dalam hubungannya dengan apa yang akan dipelajari. c. Mengatur susunan kelas sedemikian rupa sehingga memudahkan terlibatnya arus bebas pikiran siswa dalam belajar dengan penemuan. d. Bercakap-cakap dengan siswa untuk membantu menjelaskan peranan. e. Menyiapkan situasi yang mengandung masalah yang minta dipecahkan. f. Mengecek pengertian siswa tentang masalah yang digunakan untuk merangsang belajar dengan penemuan. g. Menambah berbagai alat peraga untuk kepentingan pelaksanaan penemuan. h. Memeberi kesempatan kepada siswa untuk bergiat mengumpulkan dan bekerja dengan data, misalnya tiap siswa mempunyai sebuah tabung yang diamati dan dicatatnya. i. Mempersilahkan siswa mengumpulkan dan mengatur data sesuai dengan kecepatannya sendiri, sehinga memperoleh tilikan umum. j. Memberi kesempatan kepada siswa untuk melanjutkan pengalaman belajarnya walaupun sebagian atas tanggung jawabnya sendiri. k. Memberi jawaban dengan tepat dan cepat dengan data informasi bila ditanya dan kalau ternyata dibutuhkan siswa kelangsungan kegiatannya.

154

l. Memimpin analisisnya sendiri melalui percakapan dan eksplorasinya sendiri dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses. m. Pembelajaran keterampilan belajar, misalnya latihan penyelidikan. n. Merangsang interaksi siswa dengan siswa lain misalnya: merundingkan strategi penemuan, mendiskusikan, hipotesis, dan data yang terkumpul. o. Mengajukan pertanyaan tingkat tingi maupun pertanyaan ingatan. p. Bersikap membantu jawaban siswa, ide siswa, pandangan, dan tafsirannya yang berbeda. Bukan menilai secara kritis tetapi membantu kesimpulan yang benar. q. Membesarkan siswa untuk memperkuat pertanyaan dengan alasan dan fakta. r. Memuji siswa yang sedang giat dalam proses penemuan, misalnya seorang siswa yang bertanya kepada temuannya atau kepada guru tentang berbagai tingkat kesukaran dan siswa yang mengidentifikasi hasil dari penyelidikannya sendiri dengan kata-kata misalnya "saya mengenal teori tentang ........". s. Membantu siswa menulis atau merumuskan prinsip, aturan, ide, generalisasi, atau pengertian yang menjadi pusat dari masalah semula yang ditemukan melalui strategi penemuan. t. Mengecek apakah siswa menggunakan apa yang telah diketemukannya, misalnya pengertian atau teori atau teknik dalam situasi berikutnya; situasi dimana siswa bebas menentukan pendekatannya.

155

BAB XIII PEMBELAJARAN KELOMPOK A. Pengertian Pembelajaran Kelompok Pembelajaran kelompok sering dikacaukan dengan diskusi kelompok. Inti dari pembelajaran kelompok adalah penyelesaian tugas secara kelompok. Sementara dalam diskusi kelompok, pemecahan masalah melalui tukar pendapat, atau saling mempertahankan pendapat di antara peserta. Di lihat dari prosesnya penyelesaian tugas, dalam pembelajaran kelompok, yang terjadi adalah musyawarah antar anggota untuk memperoleh kesamaan pandang dalam penyelesaian tugas, baik menyangkut prosedur kerja maupun hasil kerja. Dimungkinkan sekali dalam penyelesaian tugas, anggota kelompok melakukan diskusi apabila tugas-tugas yang harus diselesaikan berupa persoalan-persoalan yang mengundang anggota kelompok untuk saling tukar pendapat atau saling mempertahankan pendapat. Pembelajaran kelompok dapat menyediakan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif, sedangkan dipihak guru, pembelajaran melalui kelompok ini, kegiatan pokok adalah monitoring terhadap proses kelompok dan kemajuan belajar anggota kelompok dilakukan secara intensif. Di samping itu, pembelajaran secara kelompok, dapat meningkatkan kerja kelompok dan keterampilan sosial anak (Ornstein, 1990:410). Di banding dengan pembelajaran klasikal, pembelajaran dengan kelompok kecil misalnya, memungkinkan dinamika anak di kelas lebih leluasa. Urunan pendapat dari individu siswa terhadap kelompok lebih produktif. Pembelajaran kelompok dapat menumbuhkan cooperative learning. Menurut hasil penelitian, kerja kelompok dalam kelompok belajar tersebut, dapat menumbuhkan (1) rasa kebersamaan dan rasa diri positif, (2) aktualisasi diri dan kesehatan mental berkembang, (3) siswa memperoleh pengetahuan dan tumbuhnya kesadaran pada diri anak akan adanya kebenaran yang lain yang berasal dari anggota kelompok, (4) tumbuhnya komunikasi positif, (5) penerimaan dan dukungan dari teman anggota kelompok, (6) keutuhan hubungan antar anggota, (7) dapat mereduksi timbulnya konflik antar anggota kelompok. Hal itu menggambarkan bahwa melalui penggunaan pembelajaran kelompok, efektif

156

untuk menumbuhkan keterampilan sosial dan keterampilan dalam mengadakan hubungan interpersonal dengan sesama anggota kelompok serta menghindari terjadinya kompetisi negatif maupun sikap yang individualistik (Ornstein, 1990: 422). Aspek-aspek kelompok yang perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran kelompok adalah berikut ini, 1. Tujuan Tujuan harus jelas bagi setiap anggota kelompok agar diperoleh hasil kerja yang baik. Tiap anggota harus tahu persis apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Itulah sebabnya dalam setiap kerja kelompok perlu didahului dengan kegiatan musyawarah ataupun diskusi untuk menentukan prosedur dan pembagian kerja apa dan oleh siapa. 2. Interaksi Salah satu persyaratan utama terjadinya kerja sama adalah komunikasi yang efektif dalam interaksi antar anggota kelompok. Keberhasilan pembelajaran kelompok bergantung oleh efektivitas komunikasi dan interaksi antar anggota kelompok. Oleh karena itu, faktorfaktor yang menghambat komunikasi dan interaksi antar anggota kelompok perlu dihindari. Untuk itu, dalam pembentukan kelompok, guru perlu bijak dalam menentukan anggota-anggota kelompok. Bilamana perlu dalam penentuan anggota kelompok dapat diserahkan kepada siswa sendiri. 3. Kepemimpinan Dalam kelompok perlu adanya pemimpin yang mengatur pembagian kerja, mengatur komunikasi antar anggota, dan mengatur penyelesaian bersama. Oleh karena itu, unsur kepemimpinan sangat diperlukan dalam pembelajaran kelompok. Pemimpin kelompok dapat dipilih diantara anggota kelompok dan dipilih oleh siswa sendiri. 4. Perasaan kelompok Produktivitas dan iklim sosio-emosional kelompok merupakan dua aspek yang saling berkait dalam proses kelompok. Mengingat hal itu, dalam penentuan anggota kelompok perlu dihindari adanya anggota yang tidak disenangi oleh anggota kelompok yang lain. Kekohesifan kelompok sangat diperlukan, sehingga semua anggota kelompok memiliki rasa kebersamaan

157

yang solid. Iklim sosial dan sosio-emosional kelompok perlu kondusif, sehingga interaksi antar anggota dalam kelompok berjalan secara wajar dan terbuka. B. Peranan Guru Dalam Pembelajaran Kelompok Peranan guru/instruktur dalam pembelajaran melalui kerja kelompok adalah berikut ini. 1. Organisator dalam proses kelompok. 2. Sumber informasi bagi siswa dalam penyelesaian tugas kelompok. 3. Pendorong bagi siswa untuk belajar. 4. Penyedia informasi kunci dan pemberi kesempatan kepada semua siswa untuk berpartisipasi dalam proses kelompok. 5. Orang yang mendiagnosa kesulitan siswa serta memberikan bantuan yang sesuai dengan kebutuhannya. 6. Ikut aktif sebagai peserta kegiatan yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti siswa, yang berarti guru ikut serta menyumbangkan pendapatnya kepada kelompok siswa dalam menemukan pemecahan masalah atau mencarikan jalan bagi kelompok siswa untuk mencapai suatu kesepakatan bersama. Bertolak dari jabaran peranan guru dalam pembelajaran melalui kerja kelompok tersebut, peranan guru pada dasarnya dapat di klasifikasikan dalam beberapa peranan berikut ini. 1. Manager Tugas guru selaku manajer adalah membantu para peserta mengorganisir diri, tempat duduk serta bahan yang diperlukan kelompok siswa dalam penyelesaian tugas-tugasnya. 2. Observer Mengamati dinamika kelompok yang terjadi sehingga ia dapat mengarahkan serta membantunya dimana perlu. Ia perlu memberi balikan kepada kelompok tentang kepemimpinan, interaksi, tujuan serta perasaan dan norma-norma yang terjadi dalam kelompok. 3. Advisor

158

Memberikan saran-saran tentang penyelesaian tugas bila diperlukan. Tetapi pemberian saran ini jangan berarti instruktur yang menyelesaikan tugas buat peserta. Berikan saran itu dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan, bukan pemberian informasi secara langsung. 3. Evaluator Nilailah proses kelompok yang terjadi bersama-sama dengan kelompok. Penilaian ini hendaknya selalu penilaian kelompok, bukan penilaian terhadap individu. C. Rambu-Rambu Penggunaan Pembelajaran Kelompok Agar dapat menggunakan pembelajaran kelompok secara efektif, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru, yakni berikut ini. a. Pesan terpenting format kerja kelompok adalah pemecahan masalah atau penuaian tugas melalui proses kelompok. Secara umum dapat dikatakan topik-topik yang cocok ditangani melalui kerja kelompok adalah topik-topik yang: (1) cukup kompleks isinya dan cukup luas ruang lingkupnya sehingga dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang cukup memadai sebagi tugas-tugas kelompok, baik secara pararel maupun komplementer, dan (2) membutuhkan bahan informasi dari pelbagai sumber untuk pemecahannya. b. Di dalam pelaksanaannya kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok. Pembentukan kelaompok dapat secara random atau berdasarkan pengaturan tertentu, misalnya dengan menyebarkan peserta kelompok yang kurang mampu dan yang mampu, cepat membuat ribut atau cepat teralihkan perhatiannya dari tugasnya, dan lain-lain dasar penggolongannya. Yang penting adalah bahwa penyebaran ini dilakukan untuk sejauh mungkin menyeragamkan profil kelompok, meskipun tugastugasnya dapat berbeda-beda (penugasan komplementer) secara random dilakukan bila kelompok-kelompok ditugaskan untuk melakukan pekerjaan penjajagan; sedangkan pengelompokkan yang diatur dilakukan bila produktivitas keberhasilan kelompok merupakan tujuan penting.

159

c. Sebagaimana diisyaratkan di atas, produktivitas dan kekohesifan kelompok adalah dua aspek yang harus selalu diperhatikan secara seimbang. Memang ada kalanya suatu tugas kelompok terutama dilakukan untuk mengembangkan keterampilan bekerja sama dan memupuk semangat kebersamaan, sedangkan pada kesempatan lain, tugas kelompok diberikan karena adanya produk-produk nyata yang perlu dicapai seperti pengetahuan yang cukup luas dan pengertian yang mendalam tentang fenomena, misalnya lingkungan ekologi di sawah atau tugas tentang perkembangan kebudayaan Indonesia. Akan tetapi secara keseluruhan, sasaran penilaian adalah produk kelompok dan peningkatan kemampuan kelompok di dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok serta semangat kebersamaan di dalam kelompok. Khusus dalam penilaian produk, maka hasil penilaian diberlakukan kepada semua anggota kelompok secara keseluruhan meskipun dalam kenyataannya kontribusi anggota-anggota di dalam menghasilkan produk tersebut dan kemungkinan tidak sama. Justru hal ini merupakan tantangan bagi guru/instruktur dan bagi kelompok untuk lebih meratakan partisipasi para anggota di dalam kesempatan-kesempatan kerja kelompok berikutnya. D. Keterampilan Dasar Pembelajaran Secara Kelompok Ada empat komponen keterampilan yang harus dimiliki oleh guru untuk pembelajaran kelompok. pembelajaran kelompok memerlukan Keterampilan yang berhubungan dengan penanganan orang dan penanganan tugas. Empat kelompok tersebut yaitu: mengatakan pendekatan secara pribadi , mengorganisasikan, membimbing dan memudahkan belajar, serta merencanakan dan melaksanakan kegiatan belajar-mengajar. Komponenkomponen tersebut akan diuraikan secara terperinci sebagai berikut ini. 1. Keterampilan Mengadakan Pendekatan Secara Pribadi Hubungan yang akrab dan sehat antara guru dengan siswa dan siswa-siswa adalah salah satu prinsip pembelajaran kelompok. Perwujudannya melalui Keterampilan guru berkomunikasi secara pribadi yang dapat menciptakan suasana terbuka sehingga siswa benar-benar merasa bebas dan leluasa mengemukakan segala pikiran dan permasalahan yang dimilikinya. Dengan demikian siswa merasa yakin guru akan siap

160

mendengarkan serta mempertimbangkan segala pendapatnya, serta akan membannya bila perlu. Penciptaan suasana seperti itu dengan cara berikut. a. Menunjukkan kehangatan dan kepekaan terhadap kebutuhan siswa, baik dalam krja kelompok maupun perorangan. b. Mendengarkan secara sistematik ide-ide yang dikemukakan siswa. c. Memberikan respon positif terhadap buah pikiran siswa. d. Membangun hubungan saling mempercayai. e. Menunjukkan kesiapan untuk membantu siswa tanpa kecenderungan untuk mendomonasi ataupun mengambil alih tugas siswa. f. Menerima perasaan siswa dengan penuh pengertian dan keterbukaan. g. Berusaha mengendalikan situasi hingga siswa merasa aman, penuh pemahaman, merasa dibantu, serta merasa menemukan alternatif pemecahan masalah yang dihadapi. 2. Keterampilan Mengorganisasikan Selama kegiatan kerja kelompok berlangsung, guru berperan sebagai organisator, yang mengatur dan memonitor kegiatan dari awal sampai akhir. Dalam hal ini guru memerlukan keterampilan untuk berikut ini. a. Memberikan orientasi umum tentang tujuan, tugas atau masalah yang akan dipecahkan, sebelum kelompok mengerjakan berbagai kegiatan yang telah ditetapkan bersama. b. Memvariasikan kegiatan, yang mencakup penetapan/penyediaan ruangan kerja, peralatan, cara kerja aturan-aturan yang perlu dilaksanakan, serta alokasi waktu untuk kegiatan tersebut. c. Membantu kelompok yang tepat dalam jumlah tingkat kemampuan dan lain-lain hingga siap mengerjakan tugasnya dengan sumber yang telah tersedia. d. Mengkoordinasikan kegiatan dengan cara melihat kemajuan serta penggunaan materi dan sumber, hingga dapat memberikan bantuan pada saat yang tepat. e. Membagi-bagi perhatian pada berbagai tugas dan kebutuhan siswa, hingga guru siap datang membantu siapa yang memerlukannya.

161

f. Mengakhiri kegiatan dengan suatu kulminasi yang dapat berupa: laporan yang dicapai siswa, kemudian disertai penyimpulan tentang kemajuan yang dicapai siswa dalam kegiatan tersebut. Hal ini sekaligus memberikan kesempatan saling belajar. 4. Keterampilan Membimbing dan Memudahkan Belajar Keterampilan ini memungkinkan guru membantu siswa untuk maju tanpa mengalami frustasi. Hal ini dapat dicapai bila guru memiliki keterampilan. a. Memberikan penguatan yang sesuai dalam bentuk, kuantitas dan kualitas, karena pada dasarnya penguatan merupakan dorongan yang penting bagi siswa untuk maju. b. Mengadakan supervisi proses awal yaitu yang mencakup sikap tanggap guru terhadap siswa secara perorangan maupun keseluruhan yang memungkinkan guru melihat atau menyatakan apa saja segala sesuatu yang perlu dilaksanakan pada awal kegiatan. Bimbingan pertama ini merupakan jaminan bagi tumbuhnya semangat dan percaya diri. c. Mengadakan supervisi proses lanjut yang memusatkan perhatian pada penekanan dan pemberian bantuan secara selektif setelah kegiatan berlangsung beberapa lama. Hal ini menuntut keterampilan guru untuk mengadakan interaksi guru-siswa. d. Memberikan pelajaran atau bimbingan tambahan (tutoring) kepada siswa tertentu baik secara perorangan maupun kelompok. Pelajaran atau bimbingan tersebut dapat berupa suatu konsep atau keterampilan khusus. e. Melibatkan diri sebagai peserta dengan hak dan kewajiban yang sama dengan siswa. Kehadiran guru dikelompok sebagai peserta aktif, akan merupakan motivasi bagi siswa, hingga siswa menyadari potensinya sendiri. f. Memimpin diskusi bila perlu. g. Bertindak senagai katalisator, yaitu meningkatkan kemampuan siswa untuk berfikir atau belajar melalui pertanyaan, komentar dan saran-saran. h. Mengadakan supervisi pemanduan yang memusatkan perhatian pada penilaian pencapaian tujuan dari berbagai kegiatan yang dilakukan dalam rangka menyiapkan pelaksanaan rangkuman dan pemantapan yang ada pada akhirnya memungkinkan siswa saling belajar serta memperoleh wawasan secara secara menyeluruh tentang kegiatan tersebut. Supervisi pemanduan ini dilakukan guru dengan mendatangi setiap kelompok,

162

menilai kemajuannya, serta menyiagakan mereka untuk mengikuti kegiatan akhir. Salah satu cara yang efektif dengan mengingatkan siswa akan waktu yang masih tersisa untuk menyelesaikan tugas. E. Kriteria Pembentukan Kelompok Ornstein (1990:411), menyebutkan tujuh kriteria logis dalam pembentukan kelompok. Kreteria yang dimaksud adalah berikut ini. 1. Kemampuan. Pembentukan kelompok berdasarkan kemampuan bertolak dari heteroginitas tugas yang akan diselesaikan. Berat-ringannya tugas dapat digunakan untuk menentukan anggota anggota kelompok. Tugas yang penyelesaiannya memerlukan kemampuan yang tinggi, membutuhkan anggota-anggota kelompok yang berkemampuan tinggi pula, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, adalah tidak bijak manakala guru membentuk kelompok dengan anggota-anggota yang diduga tidak mampu menyelesaikan beban tugas yang harus diselesaikan. 2. Minat. Kelompok dapat dibentuk dengan bertolak dari kesamaan minat anak. Untuk itu, guru perlu menentukan tugas-tugas yang harus diselesaikan terlebih dahulu, kemudian anggota kelompok dipilih dan ditentukan berdasarkan pilihan anak atas tugas-tugas yang diminatinya. 3. Keterampilan. Pembentukan kelompok dapat ditentukan pula dengan bertolak dari jenis keterampilan yang harus diselesaikan. Anak-anak yang memiliki keterampilan sejenis dapat disatukan dalam kelompok keterampilan tertentu. Misalnya kelompok keterampilan membaca puisi, kelompok keterampilan membuat puisi, kelompok keterampilan memfarafrasekan puisi. 4. Pandangan. Anak-anak yang memiliki pandangan yang sama terhadap isu tertentu, dapat dijadikan satu kelompok tersendiri. 5. Kegiatan atau proyek. Pembentukan kelompok dapat pula bertolak dari jenis kegiatan atau proyek-proyek yang akan diselesaikan. 6. Integrasi. Kelompok yang terbentuk terdiri dari anggota anggota yang beragam minat, kemampuan, keterampilan, dan jenis kelaminnya. Tujuan dari pembentukan kelompok ini adalah agar antar anak dapat saling belajar dari temannya. 7. Arbitrer. Pengelompokan anak berdasarkan acak atau random atau secara suka rela. Setiap guru memiliki alasan-alasan tertentu dalam

163

pengelompokan anak. Alasan-alasan tersebut dapat bertolak dari nilainilai didaktis atau nilai pengiring yang diharapkan dapat terbentuk dalam diri anak. Alasan yang dimaksud misalnya guru menginginkan agar anak yang lambat dapat memperoleh pengalaman belajar dari anak yang cerdas, untuk itu maka guru dapat menentukan anggota kelompok dengan kemampuan yang bervariasi. Oleh karena itu, tidak ada satupun dasar pembentukan kelompok yang terbaik diantara dasar pembentukan kelompok yang lain. Masing-masing dasar pembentukan kelompok memiliki kelemahan, di samping kelebihannya.

164

BAB XIV PEMBELAJARAN DENGAN MODUL Pembelajaran dengan modul, kali pertama di ujicobakan di Indonesia melalui Sekolah Pembangunan. Sekolah Pembangunan ini, dikembangkan melalui PPSP mulai tahun 1969. Pada saat ini, pembelajaran dengan modul , digunakan untuk UPBJJ-UT. Pembelajaran dengan modul merupakan bentuk pembelajaran individual. Ada beberapa model pembelajaran individual selain modul misalnya Diagnostic Prescriptif Teaching ( DPT), Non formal Basic Program, Learning Centers, Open experience dan sejumlah model yang dikategorikan dalam Comercial Programs and Materials yang berbasis teks maupun media, misalnya CAI ( Computer Asisted Instruction), IGE ( Individually Guided Education), IPI Individually Prescribed Instruction) , PLAN ( Programs for Learning in Accordance with Needs), ICSP ( Individualized Computa-tional Skills Program ( Charles, 1980:93-211). A module is an instructional package dealing with a single conceptual unit of subject matter. It is attempt to individualize learning by enabling the student to master one unit of content before moving to another ( James D. Russel, 1974). Secara bebas dapat diartikan bahwa modul adalah paket bahan belajar yang berisi satuan unit konsep yang tunggal/bulat dan atau utuh. Modul menggiring terjadinya individulisasi belajar yang mempersyaratkan anak untuk menguasai satu satuan unit konsep isi bahan belajar sebelum berpindah ke pengkajian satuan unit konsep bahan belajar berikutnya. Modul berupa unit terkecil dari suatu program pembelajaran yang terdiri atas komponen : petunjuk guru, petunjuk aktivitas siswa, lembaran kerja siswa, lembar jawaban siswa, asesmen siswa dan lembar jawaban asesmen (Soedijarto, 1976:25). Pembelajaran melalui modul merupakan cara pengorganisasian material dan aktivitas dengan ciri-ciri : anak memahami tujuan khusus yang akan dicapai, memiliki opsi aktivitas yang dapat dipilih untuk mencapai tujuan khusus, misalnya membaca teks, diskusi, observasi, penggunaan AVA dan sejenisnya, dapat membelajarkan diri sendiri dengan bantuan guru yang sangat kecil, dapat menentukan sendiri kecepatan belajarnya, dan memiliki prosedur pengecekan untuk mengetahui keberhasilan belajar. (Charles, 1980:116) 4.

Suprihadi , dkk.(2001) menyebutkan, modul merupakan suatu unit pembelajaran yang lengkap yang berdiri sendiri dan terdiri atas suatu rangkaian kegiatan belajar yang disusun untuk membantu sibelajar mencapai sejumlah tujuan yang telah dirumuskan secara khusus dan jelas. Di dalam menerapkan sistem modul, pembelajar hendaknya memperhatikan hal-hal berikut (Palardy, 1975). a. Menyediakan bahan-bahan bacaan alternatif pada berbagai tingkat kesukaran; b. Menyediakan bermacam-macam topik untuk dipelajari oleh sibelajar; c. Memberi kesempatan kepada sibelajar untuk memilih topik-topik yang akan dipelajarinya; d. Memberi kesempatan kepada sibelajar untuk menyusun tujuan pembelajaran; e. Memberi kesempatan kepada sibelajar untuk belajar dengan menggunakan atau sesuai dengan kebiasaan belajarnya; f. Mendorong sibelajar untuk mencari dan menemukan sumber-sumber informasi; g. Menyediakan bermacam-macam cara belajar; h. Memberi kesempatan kepada sibelajar untuk maju sesuai dengan kemampuannya; i. Menyediakan bantuan tutorial; j. Merencanakan dan melaksanakan pretes diagnostik untuk menentukan apa yang telah diketahui oleh sibelajar; k. Jika sibelajar ternyata telah menguasai suatu topik dalam pembelajaran, bebaskan ia dari pelajaran tersebut dan berikan alternatif topik untuk dipelajarinya; l. Mendorong sibelajar untuk memilih dan mengikuti topik-topik yang berhubungan dengan pelajarannya; m. Menyediakan suplemen-suplemen dan proyek-proyek baru untuk diikuti oleh sipebelajar; n. Mendorong sibelajar yang mengalami kesulitan belajar untuk berlatih dan dengan menggunakan metode-metode lainnya sehingga mereka dapat menemukan cara kerja yang sesuai dengan kemampuannya; o. Menyediakan bermacam-macam bahan-bahan visual, dengar dan taktil sebagai alat bantu belajar; p. Menyediakan pengajaran remedial.

166

q. Menyediakan tes akhir (post-test) untuk mengukur keberhasilan sibelajar. Penerapan pembelajaran dengan sistem modul bertujuan untuk membuka kesempatan bagi sibelajar untuk belajar menurut kecepatan dan caranyanya masing-masing. Modul juga menyediakan berbagai kegiatan pembelajaran, seperti membaca buku pelajaran, buku perpustakaan, majalah, karangan, gambar, foto, diagram, film, slide, mendengarkan audiotape, mempelajari alat-alat demonstrasi, turut serta dalam proyek atau percobaan serta mengikuti kegiatan ekstra kurikuler. Selain itu modul dapat memberikan pilihan dari sejumlah besar topik dalam rangka suatu pelajaran, serta memberi kesempatan kepada sipebelajar untuk mengenal kelebihan dan kekurangannya serta memperbaiki kelemahan-kelemahannya. Keuntungan yang bisa diperoleh melalui pembelajaran dengan sistem modul antara lain (i) dapat memberikan balikan sesegera mungkin dan berkali-kali, (ii) mengutamakan prinsip belajar tuntas, (iii) memiliki tujuan yang jelas dan spesifik, (iv) dapat menimbulkan motivasi yang kuat dalam belajar, (v) fleksibel, (vi) mengurangi rasa persaingan dan meningkatkan kerja sama, (vii) menyediakan program pengajaran remedial, (viii) dapat memberikan rasa puas pada sipebelajar, (ix) menyediakan bantuan individual, (x) pengayaan dan (xi) mencegah kemubasiran dalam kegiatan belajar.

Belajar tuntas ( mastery learning), Maju berkelanjutan (continous progress), dan Program percepatan (acceleration).

Mastery.learning merupakan standarisasi tingkat penguasaan kompetensi minimal yang dapat diterima, yang berimplikasi pada diperbolehkannya siswa untuk memasuki atau melangkah pada modul berikutnya. Standar minimal seorang siswa dinyatakan mastery (menguasai), indikatornya manakala siswa telah mampu mencapai tingkat penguasaan minimal 75 presen dari kompetensi yang ditetapkan. Konsep mastery learning ini, kali awal diajukan oleh J.B. Carool (1963). Dalam pernyataannya Caroll menyebutkan bahwa tingkat penguasaan itu tidak hanya tingkat kompetensi yang dapat dicapai anak dalam periode waktu yang ditetapkan, tetapi juga jumlah waktu yang diperlukan anak untuk mencapai kompetensi tersebut (R.J. Kibler, D.J. Cegala, D.T. Miles dan L.L. Baker, 1974:134). Berkenaan dengan hal itu, J.B Carool menyatakan pula

167

bahwa tingkat penguasaan belajar adalah fungsi dari rasio antara waktu yang disediakan dengan waktu yang diperlukan untuk belajar (Caroll,1971:38). Belajar Tuntas (Matery Learning) atau belajar sebagai penguasaan (learning for mastery) adalah suatu falsafah tentang pembelajaran yang mengatakan bahwa dengan sistem pembelajaran yang tepat semua siswa akan dapat belajar dengan hasil yang baik dari seluruh bahan pelajaran yang di berikan guru. Pandangan ini menolak pendapat yang mengatakan bahwa tingkat keberhasilan siswa lebih banyak ditentukan oleh tingkat kecerdasan anak (IQ). Para pendukung belajar tuntas berpendapat bahwa tingkat keberasilan siswa lebih banyak ditentukan oleh kesempatan belajar serta kualitas pembelajaran yang diperoleh siswa. Carroll dalam Syamsudin (1983:84) berasumsi bahwa, jika setiap siswa diberi kesempatan belajar dengan waktu yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masing-masing anak, maka mereka akan mampu mencapai tarap penguasaan yang sama. Oleh karena itu, tingkat penguasaan belajar merupakan fungsi dari proporsi jumlah waktu yang disediakan guru, dengan jumlah waktu yang diperlukan anak untuk belajar. Meskipun demikian, motivasi belajar, kemampuan memahamai pembelajaran dan kualitas pembelajaran merupakan faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap kualitas penguasaan belajar. Sehubungan dengan hal itu, maka tingkat penguasaan belajar tersebut dapat diformulakan sebagai berikut. Formula Tingkat Penguasaan Bahan (Degre of Learning-DL). (Time allowed for learn a. DL. : F --------------------------(Time needed for learning) (Time allowed for learning x motivation) b. DL.: F --------------------------------------------(Time needed to learning x quality of instruction x ability to understand instruction) Maju berkelanjutan (continous progress) adalah strategi yang merupakan konsekuensi dari pembelajaran melalui modul. Dengan maju berkelanjutan, siswa tertentu yang sudah mastery pada unit modul tertentu, dapat maju secara linier pada unit modul berikutnya.Dengan demikian siswa belajar bertahap berkelanjutan dari modul yang satu ke modul berikutnya

168

secara berturut-turut. Untuk dapat maju dari satu modul ke modul selanjutnya, siswa dipersyaratkan telah mastery (menguasai) terlebih dahulu unit modul sebelumnya, dengan tingkat mastery sedikitnya 75 presen. Sebelum mempelajari modul inti itu sendiri, siswa dipersyaratkan pula sudah menguasai pengetahuan prasyarat yang diperlukan untuk mempelajari modul inti tersebut. Secara sistematis, urutan-urutan belajar dengan strategi maju berkelanjutan itu dapat di pahami melalui diagram sebagai berikut Diagram Strategi Maju Berkelanjutan

pengayaan

Pre-tes

Modul 1

Post tes 1

Pre tes 2

Modul 2

Remidial

Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa konsep mastery learning bertolak dari asumsi bahwa yang disebut mastery adalah fungsi dari rasio waktu yang disediakan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas. Atas dasar konsep ini maka, siswa-siswa tertentu yang memiliki kecepatan belajar lebih dibanding yang lain, akan membutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk menyelesaikan tugas dibanding siswa yang lainya tersebut. Bagi siswa yang lebih sedikit jumlah waktu penyeledaian tugas, akan melaju dengan cepat untuk menyelesaikan modul-modul selanjutnya. Akibatnya, waktu penyelesaian beban studi akan semakin pendek. Pemberian peluang kepada siswa untuk menyelesaikan keseluruhan beban studi dengan waktu yang sependek-pendeknya itulah yang disebut program acceleration. Dengan demikian, dengan penyediaan program acceleration , sebenarnya sekolah harus diorganisasikan dalam model non grading ( tanpa kelas)

169

Program Pengayaan, Tutor sebaya dan Program Remidial

Belajar melalui modul apabila dikaitkan dengan waktu yang diperlukan untuk belajar, maka akan ditemukan sejumlah anak dengan kecepatan belajar yang tinggi. Sejumlah anak ini hanya membutuhkan waktu yang pendek untuk menyelesaikan modul pokok. Sebaliknya akan ditemukan pula sejumlah anak yang membutuhkan waktu yang lebih banyak. Hal ini dapat diperhatikan dalam ilustrasi berikut.
Kebutuhan Waktu Untuk Belajar
45 A 90 135

Keterangan: Berdasarkan diagram di atas, A,B,C, masing-masing memiliki kecepatan belajar yang berbeda. A hanya membutuhkan waktu 45 menit untuk mastery sampai Z, dalam waktu yang sama, B hanya mastery sampai Y, sementara C untuk waktu yang sama, baru masteri tingkat X. Sehingga untuk mastery pada unit Z, B masih membutuhkan tambahan waktu 45 menit lagi, sedang C masih butuh waktu tambahan sebesar 90 menit lagi

170

Berdasarkan diagram di atas, apabila waktu pertemuan 2x 45 menit, maka A masih masih menyisakan waktu 45 menit, B sesuai dengan waktu yang tersedia yakni 2x45menit, sementara C kekurangan waktu sebesar 45 menit dari waktu yang terstandar. Dengan kenyataan ini maka A masih memiliki sisa waktu 45 menit , untuk itu, bagi A, perlu disediakan kegiatan pengayaan atau menjadi tutor , baru melangkah modul berikutnya, sementara bagi C membutuhkan kegiatan remidial selama 45 menit, untuk TIK tertentu yang mengalami kesulitan. Materi pengayaan untuk A dapat berupa kegiatan pendalaman materi atau perluasan materi. Keterkaitan materi dengan modul pokok, layanan pengayaan dapat berupa materi yang berkait dengan modul pokok, dapat juga tidak berkait dengan modul pokok. Untuk yang terakhir ini, kegiatan pengayaan berfungsi sebagai reward dengan memberikan tambahan materi yang bersifat populer dan atau yang tidak terdapat dibuku-buku pelajaran sekolah ( Siswojo dalam Jujun S. Dkk.Ed. 1978:230-232).

Peranan Guru dan Fasilitas kelas dalam Pembelajaran dengan Modul

Modul pada dasarnya adalah self instruction. Oleh karena itu, belajar melalui modul lebih menekankan peranan aktif siswa untuk membelajarkan diri sendiri. Meskipun demikian, pembelajaran dengan modul tidak berarti membebaskan peranan guru dalam pembelajaran di kelas. Peranan guru tetap ada tetapi mengalami perubahan. Beberapa peranan guru dalam pembelajaran melalui modul adalah sebagai berikut: (1) guru mengkaji terlebih dahulu buku petunjuk guru yang berisi uraian tentang tujuan dan strategi belajar, media dan alat evaluasi, agar dapat menyiapkan lingkungan belajar yang diperlukan anak dalam beljarnya, (2) menjelaskan proses belajar yang harus diikuti anak sebelum menyampaikan modulnya itu sendiri, (3) memberikan bimbingan kepada anak dalam belajarnya, serta mampu menemukan kesalahan proses belajar yang dilakukan anak, sehingga segera dapat meluruskannya, memberikan informasi seperlunya , (4) memberikan penilaian atas pekerjaan anak atas tugas-tugasnya bersama anak itu sendiri, (5) menyiapkan keperluan anak untuk melanjutkan modul berikutnys. Pendek kata dalam pembelajaran dengan modul, peranan guru adalah manajer yang bertugas untuk menyiapkan dan mengondisi kemudahan belajarnya anak, sebagai observer yang bertugas untuk mendiagnosis kesulitan belajar anak

171

dan selanjutnya membantunya, serta evaluator yang bertugas untuk menilai tingkat penguasaan anak terhadap ketercapaian TIK ( Soedijarto, 1976:27) Fasilitas kelas untuk pembelajaran dengan modul sebagai berikut. Susunan ruang kelas perlu di atur untuk memudahkan anak belajar, dalam arti perlu pengaturan sehingga ada area membaca, area menulis, area ava, dan lain-lain relevan dengan bentuk-bentuk belajar yang terdapat di modul. Modul secara fisik berupa buku-buku cetakan yang meliputi , buku cetakan tentang petunjuk guru, buku kegiatan siswa, lembar kerja siswa, lembar jawaban kerja siswa, lembar penilaian dan lembara jawaban penilaian. Mengingat hal itu, maka setiap kelas perlu disediakan almari untuk penyimpanan nya. Di samping itu, tersedia pula alat-alat belajar yang diperlukan anak untuk melakukan kegiatan siswa. Semuanya membutuhkan tempat penyimpanan khusus, sehingga memudahkan anak ketika memerlukan maupun menyimpannya kembali. Referensi Block, Ed. 1971. Mastery Learning, Theory dan Practice, New York:Holt, Rinehart and Winston, Inc.. Charles, 1980. Individualizing Instruction, London-Toronto: The CV Mosby Company. Jujun S dkk, Perencanaan, Sistem Informasi, Supervisi dan Inovasi Pendidikan dan Evaluasi Program, Jakarta: Dirjen Dikti-Depdikbud Kibler, Cegala and Barker. 1974. Obective for Instruction and Evaluation,Boston: Allyn and Bacon Inc. Soedijarto, 1976. Tehe Modular Instructional System As The TeachingUnesco Soedijarto, 1977.Guide To The Implementation Of The Modular Jakarta : BP3 K

Learning Strategy In The Indonesian Development School,

Instruction System At The PPSP In The Development Stage.

172

DAFTAR KEPUSTAKAAN Ausubel, David P. 1963. The Psychology of Meaningful Verbal Learning. New York. Gruno and Startton. Bossing, Nelson L,. 1952. Teaching and Secondary School. 3th.ed. Boston. Houghton Mifflin Company. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi. Proyek Normalisasi Kehidupan Kampus. 1980. Pokok-Pokok Pedoman Proses Belajar Mengajar, Penyempurnaan Proses Belajar Mengajar. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1981. Materi Dasar Pendidikan Program Akte Mengajar V, Buku III C Teknologi Pendidikan. Pendidikan Tinggi. P2IPT. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. Konsep CBSA dan Berbagai Strategi Belajar Mengajar. Jakarta. Modul Akta Mengajar V-B. Komponen Dasar Kependidikan. Dirto Hadisusanto, dan kawan-kawan. 1980. Metode Ceramah. Jakarta. P3G Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ------ 1980. Metode Diskusi. Jakarta. P3G Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Elmer Harisson (Sudarsono Sudirdjo). 1981. Teori Pendidikan Modern. Malang. Gagne, R.M., 1975. Essentials of Learning for Instruction. New York. Rimahart and Winston. Gilstrap, R.M. dan W.R. Martin., 1975. Current Strategies for Theachers. Pasific Palisades. California. Goodyear Publishing Company. Inc. Hadiat (Editor). 1976. Metodologi Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Pengadaan Buku Sekolah pendidikan Guru. Ivor K. Davis (Sudarsono Sudirdjo dkk). 1987, Pengelolaan Belajar, Jakarta: PAUT dan CV Rajawali.

Joyce, B. dan M. Weil. 1972. Models of Theaching. Englewood Clits. New Jersey. Prentice-Hall. Inc. Maknun, Abin Syamsudin, M.A., 1983. Pedoman Studi Psikologi Pendidikan. Bandung. Pustaka Martiana. Mursell James L. (Simanjuntak, Soetoe). 1975. Pengajaran Berhasil. Jakarta. Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. Nana Sudjana. 1989, Cara Belajar Siswa Aktif Dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru. Raka Joni, T., 1980. Strategi Belajar Mengajar, Suatu Tinjauan Pengantar. Jakarta. P3G. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Raka Joni, T., 1980. Cara Belajar Siswa Aktif. P3T. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Raka Joni, T., dan Joke Van Unen 1980. Kerja Kelompok. Jakarta. P3G. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. S.L. La Sulo. dan kawan-kawan. 1980. Micro Theaching. Jakarta. P3G. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Soli Abimanyu, dan kawan-kawan. 1980. Simulasi Sebagai Metode Belajar Mengajar. P3G. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sudjarwo S., 1988, Beberapa Aspek Pengembangan Sumber Belajar, Jakarta: PT Mediyatama Sarana Perkasa. Yusufhadi Miarso dkk. 1984, Teknologi Komunikasi Pendidikan, Jakarta: Pustekkom Dikbud dan CV Rajawali. Charles, 1980. Individualizing instruction, St Louis, Missouri: The C.V. Mosby Company Jacobsen, Eggen, Kauchak, 1989. Methods For Teaching, A skill Approach, Third Edition, Colombus, Ohaio: Merrill Publishing Company.

Kibler, Cegala, Miles, Barker, 1974. Objective for Instruction and Evaluation,470 Atlantic Avenue, Boston: Allyn and Bacon,Inc. M. Gagne, 1975. Esential of Learning for Instruction, Hanafi dan Manan, 1988. Prinsip-prinsip belajar untuk Pengajaran, Surabaya: Usaha Nasional. Moedjiono, Dkk, 1996. Strategi Belajar-Mengajar, Malang: Pendidikan Akta IV IKIP MALANG. Ornstein,1990. Strategies For Effective Teaching, New York: Harper Collins Publisher, Inc. Suprihadi, 1993. Dasar-Dasar Metodologi Pengajaran Umum, Pengembangan Proses Belajar-Mengajar, Malang : Penerbit IKIP MALANG. Damin, 1996. Pendidikamn Abad Informasi dan Pengembangan Mutu Guru, Educatio Tahun IV, No 4 Oktober-Desember 1996. Suprihadi, 1987. Dasar-dasar Metodologi pengajaran Umum, Pengembangan Proses Belajar-Mengajar, Buku III, Malang: Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, IKIP MALANG. Worell and Stilwell, 1981. Psychology for Teacher and Studens, USA: McGraw-Hill.

You might also like