You are on page 1of 21

Lomba Karya Tulis Nasional (LKTN)

"PERTAMBANGAN DAN RESIKO BENCANA"


Tema utama II :
Pertambangan dan peredaman risiko bencana serta keberlanjutan kehidupan
Tema pilihan 3:
Pengelolaan kekayaan tambang dan atau energi fosil dalam meningkatkan kualitas
hidup masyarakat dan menjaga kelestarian alam guna peredaman risiko bencana

KATEGORI UMUM

DEKORPORATOKRASI DAN SWAKELOLA SUMBER DAYA TAMBANG


DEMI KEBERLANJUTAN HIDUP MANUSIA DAN EKOLOGI

Oleh: Yusuf Wibisono, S.TP.

Alumnus Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian IPB,


Staf Pengajar Universitas Brawijaya

Alamat:
Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Brawijaya Malang
Jl. Veteran No. 1 Malang
Telp/Faks 0341-571708
HP. 0813 1604 0251
Email: yewebis@yahoo.com atau
y_wibisono@brawijaya.ac.id

JATAM – WALHI – DREAM – POKJA PA-PSDA


JAKARTA
DEKORPORATOKRASI DAN SWAKELOLA SUMBER DAYA TAMBANG
DEMI KEBERLANJUTAN HIDUP MANUSIA DAN EKOLOGI

Oleh: Yusuf Wibisono, S.TP.


Alumnus Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian IPB,
Staf Pengajar Universitas Brawijaya

Thaksin Shinawatra, Perdana Menteri Thailand, didesak mundur dari kursi


kekuasaannya oleh para demonstran—(hanya) gara-gara menjual perusahaan
telekomunikasi (milik keluarga sendiri!) Shin Corporation kepada
perusahaan asing Temasek Holdings, yang notabene adalah perusahaan dari
tetangga seberang pintu, Singapura. Orang Thai marah dan tersinggung
karena Shin Corp sudah dianggap sebagai aset nasional. Di republik kita nan
gagah perkasa ini, banyak aset negara, milik swasta, maupun pribadi, yang
dijual ke tangan asing (dengan harga murah!) dengan berbagai dalih yang
patriotik “demi kepentingan rakyat dan negara”. Yang sekarang sedang
hangat diperjualbelikan dan seperti dirayakan sebagai “kemenangan” adalah
keunggulan bumi Indonesia dengan sebutan Blok Cepu dan perut bumi
Papua yang dihamili oleh PT Freeport Indonesia, penguasaan (atau
penjualan?) pulau-pulau dan hutan belantara, laut dan udara Nusantara yang
dulu pada tahun 1945 telah berhasil dikuasai kembali oleh anak negeri:
“Bumi, laut dan udara dengan segenap kandungan kekayaannya, dikuasai
oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Begitu kira-kira
kredo semangat undang-undang aslinya. Dikuasai oleh negara untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Benarkah? Siapa jual, siapa untung, siapa rugi,
siapa merampas, siapa kehilangan? (Kompas, 19/3/2006)

Sebutlah sebait solilokui alias senandika yang ditelorkan Suka Hardjana dalam
rubrik Asal Usul Kompas Minggu, yang keluar dari tsunami tanda tanya tentang apa
yang telah terjadi di negeri seribu pulau ini. Sebuah pangudarasa yang dikatakan
Suka Hardjana menjustifikasi kebenaran pepatah lama – lain lubuk lain ikannya, lain
ladang lain belalang. Kemudian diakhirinya dengan pertanyaan besar (atau
pernyataan?). Apakah kredo para founding fathers republik ini tidak lagi diwarisi oleh
para anak cucunya? Apakah kredo itu telah tergadai pula?

Indonesia: Negara atau Paguyuban?


Itulah, pertanyaan yang lazim teracungkan atas berbagai kebijakan yang tidak
bijak di republik ini. Ketika bangsa yang memiliki ikon guyub rukun, berubah
menjadi pelakon dalam kebrutalan, pertikaian, perselisihan, bentrokan massal dan
baku bunuh. Sebuah lakon dalam pagelaran yang dimainkan dengan wicara dan
sabetan yang luar biasa lihai oleh Ki Dalang Penjajah Asing, dengan wayang-wayang
yang terlihat telanjang. Ada kembul bojana Senapati Kuda Laut yang telah
menyerahkan Kurusetra Cepu kepada Raja Raksasa Patra Exxon. Ada perang tanding
antara para punggawa dan para kawula yang mengakibatkan tewasnya 5 punggawa,
disaksikan oleh Buto Emas Freeport dengan terbahak-bahak. Sang Raja, Patih, Adipati
seluruhnya telah menjadi wayang-wayang yang hanya bisa mobat-mabit kesana-
kemari dimainkan Sang Dalang. Sebuah lakon Goro-goro yang teramat layak meraih
Academy Award.

1
Jadi, apakah Indonesia adalah sekedar pagelaran wayang? Kita harap tidak.
Kalau begitu apakah Indonesia sebuah paguyuban? Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, paguyuban adalah perkumpulan yang didirikan orang-orang yang sepaham
untuk membina persatuan dan kerukunan diantara para anggotanya. Jika kita melihat
adanya perangkat-perang perundang-undangan, struktur pemerintahan dan tata relasi
kewarganegaraan, sepertinya Indonesia bukan sekedar paguyuban. Lantas, apakah
Indonesia adalah sebuah negara? Entah, jawabannya bisa bukan negara atau negara
yang bukan-bukan.
Roger H. Soltau menyatakan bahwa negara adalah an agency or authority
managing or controlling these common affairs on behalf of and in the name of the
community—dengan mengatasnamakan masyarakat, negara menjadi alat dan
wewenang dalam mengatur dan mengendalikan persoalan-persoalan bersama.
Kemudian menyangkut fungsi negara, Charles E. Merriam menyebutkan setidaknya
lima fungsi, 1) keamanan ekstern, 2) ketertiban intern, 3) keadilan, 4) kesejahteraan
umum, dan 5) kebebasan.
Lebih khusus dalam bidang perekonomian, Irawan (Republika, 29/3/2006)
menyebutkan bahwa setidaknya ada tiga fungsi negara yang diketahui secara umum
oleh para ekonom, yaitu fungsi alokatif, fungsi distributif, dan fungsi stabilitatif.
Fungsi alokatif yaitu negara mengalokasikan anggarannya dengan tujuan
menyediakan secara memadai barang-barang publik kepada masyarakat. Barang-
barang publik ini diserahkan kepada negara penyediaannya karena sangat dibutuhkan
publik. Fungsi distributif ditujukan untuk menolong kelompok-kelompok masyarakat
yang terpaksa terpinggirkan dan termajinalisasi dalam interaksi ekonomi melalui
mekanisme pasar. Sedangkan melalui fungsi stabilitatif, negara mencoba melakukan
tindakan-tindakan antisipasi terhadap instabilitas ekonomi. Maka, sebenarnya negara
dapat dipandang sebagai asosiasi manusia yang hidup dan bekerjasama untuk
mengejar beberapa tujuan bersama. Dapat dikatakan bahwa tujuan terakhir setiap
negara ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum).
Jadi, sebuah negarakah Indonesia? Sepertinya..., ya! Tujuan negara Republik
Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Dasar 1945 ialah:
“Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial”. Jadi, sebuah isyarat bonum publicum?
Akan tetapi, semua orang juga tahu, kini Indonesia menjadi negara miskin.
Pendapatan kotor nasional (GNP) perkapitanya hanya sedikit lebih besar dari
Zimbabme, sebuah negara miskin di Afrika. Kekayaan Indonesia lebih banyak
tergadai ke pihak asing, seperti minyak hampir 90% didominasi pihak asing. Emas di
Freeport, Indosat, BCA, Danamon, sebagian Perkebunan, juga tergadai ke pihak
asing. Utang negara luar biasa besar, lebih dari Rp 1.200-an triliun. Pertanyaannya,
siapa yang harus menanggung beban utang yang demikian besar itu ? Tidak lain, tentu
saja adalah rakyat Indonesia sendiri. Hal ini tampak pada pos penerimaan dalam
APBN dari sektor pajak yang mencapai sekitar 70 persen.
Maka tampaknya, kebahagiaan itu masih sekedar isyarat. Survei Biro Pusat
Statistik (BPS) tahun 2005 menunjukkan penduduk Indonesia dengan pendapatan 120
ribu/orang/bulan sebanyak 4,7 juta kepala keluarga/KK (16 juta jiwa), pendapatan 150
ribu/orang/bulan sebanyak 10 juta KK (40 juta jiwa) dan pendapatan 175
ribu/orang/bulan sebanyak 15,5 juta KK (62 juta jiwa). Sementara itu angka
pengangguran pada Oktober 2005, masih menurut BPS sebanyak 11,6 juta jiwa.

2
Ironinya, pada bulan Oktober 2005 pula pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM
rata-rata 108 persen. Masih untung TDL yang rencananya bakal naik 15 persen, batal
dinaikkan tahun ini, entah tahun depan. Tentu, kenaikan-kenaikan itu tentu akan
menambah angka-angka itu. BPS saja menyatakan, kenaikan BBM 35 persen, akan
membuat angka kemiskinan baru sekitar 20 juta orang.
Kondisi demikian, akhirnya memunculkan bola salju permasalahan. Hasil
Susenas 2003 menyebutkan bahwa sekitar 27,3 persen balita Indonesia kekuragan
gizi. Artinya, dari jumlah 18 juta balita pada tahun 2003, 4,9 juta mengalami masalah
gizi buruk. Tahun 2005, sesuai proyeksi penduduk Indonesia oleh BPS, anak usia 1-4
tahun adalah sebanyak 20,87 juta. Jika angka 27,3 persen digunakan, maka
diperkirakan 5,7 juta anak balita akan mengalami masalah gizi buruk. Kemudian,
sebanyak 8 persen, atau 1,67 juta balita mengalami busung lapar atau kekurangan gizi
yang amat parah.
Sementara itu, perhatian pemerintah terhadap kebutuhan dasar (basic need)
menyangkut masalah pendidikan dan kesehatan juga sangat rendah. Hal ini tercermin
dari neraca APBN 2005, dimana hanya 5,82 persen anggaran dialokasikan untuk
pendidikan dan 1,54 persen untuk bidang kesehatan. Sementara agenda privatisasi
pendidikan mengemuka, kasus endemi penyakit-penyakit terus meluas.
Jadi, bagaimana dengan bonum publicum? Jangan-jangan kedepan Indonesia
masuk dalam kategori ketiga atau keempat dalam kategorisasi negara-bangsa (nation-
state) menurut Stoddar, yaitu: 1) kuat (powerfulstate), 2) lemah (weakstate), 3) gagal
(failedstate), dan 4) runtuh (collapsedstate).

“Menggali” Pertambangan Indonesia


Salah satu sektor yang potensial mendatangkan pemasukan bagi negara adalah
mengambil sumberdaya dari alam. Dan diantara sumberdaya alam (SDA) yang paling
berpengaruh adalah sumberdaya mineral dan energi yang penyebarannya meluas dari
Sabang sampai Merauke, baik yang terletak di darat maupun di daerah lepas pantai.
Selain endapan batubara, minyak bumi dan gas alam, sumberdaya mineral tersebut
merupakan bahan galian logam, bahan galian industri dan bahan bangunan. Sebagian
dari bahan galian mineral logam seperti emas, perak, timah, nikel, tembaga dan
sebagainya telah ditambang, tetapi masih banyak potensi yang belum dieksploitasi,
bahkan belum diselidiki atau dieksplorasi.
Subandoro (2001) menyebutkan, secara umum penyebaran bahan galian logam
terdapat didaerah pegunungan karena berkaitan dengan kegiatan intrusi dan ekstrusi
magma di daerah-daerah pegunungan yang terangkat karena gerakan tektonik akibat
benturan antara Lempeng Benua. Misalnya, penyebaran mineral logam di sepanjang
Pegunungan Bukit Barisan di Sumatra, Pegunungan Selatan Pulau Jawa-
Nusatenggara, Pegunungan Meratus di Kalimantan, Pegunungan yang memanjang
dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah sampai Sulawesi Utara, Pegunungan di
Kepulauan Maluku, dan Pegunungan di Irian Jaya. Deretan pegunungan-pegunungan
tersebut terbentuk karena terjadinya benturan antara Lempeng Benua. Lempeng yang
merupakan dasar Samudra Hindia bergerak kearah utara sehingga membentur Paparan
Sunda yang stabil. Akibatnya, terjadilah pengangkatan daratan yang membentuk
pegunungan di daerah Sumatra dan Jawa. Di wilayah Indonesia bagian timur terjadi
benturan antara tiga lempeng benua, yaitu antara Lempeng Samudra Pasifik, Lempeng
Benua Australia dan Paparan Sunda.

3
Potensi yang sedemikian besar ini digambarkan oleh Survei Industri
Pertambangan Indonesia 2002 yang dipublikasikan pada November 2002 oleh
PricewaterhouseCoopers, bahwa industri pertambangan Indonesia memainkan
peranan yang penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Hal ini ditunjukkan
dengan kinerja indutri pertambangan yang menyetorkan:
a. Kontribusi total pada ekonomi Indonesia: 11.777,8 milyar rupiah (1999), 13.540,4
milyar rupiah (2000), 14.309,4 milyar rupiah (2001).
b. Kontribusi industri tambang pada GDP: 31.208,5 milyar rupiah (1999), 34.031,6
milyar rupiah (2000), 45.558,1 milyar rupiah (2001).
c. Pendapatan total pemerintah: 6.651,6 milyar rupiah (1999), 6.762,8 milyar rupiah
(2000), 8.329,8 milyar rupiah (2001).
d. Total pajak perusahaan (termasuk royalti dan pajak tidak langsung): 478,2 juta
US$ (1999), 571,9 juta US$ (2000), 577,1 juta US$ (2001), pada 2001
melambangkan total kurs pajak 60.1%.
e. Pembangunan masyarakat dan daerah: 211,0 milyar rupiah (1999), 269,7 milyar
rupiah (2000), 279,1 milyar rupiah (2001).
f. Jumlah tenaga kerja langsung Indonesia: lebih dari 36.887 (1999), 32.189 (2000)
dan 32.909 (2001), mewakili 98% dari total angkatan kerja.
g. Pelatihan tenaga kerja: 118,6 milyar rupiah (1999), 134,6 milyar rupiah (2000),
108,5 milyar rupiah (2001).

Sungguh suatu kontribusi yang lumayan besar bagi pengelolaan negara.


Namun harus disadari bahwa sumberdaya mineral dan energi merupakan sumber daya
alam yang tak terbaharui atau non-renewable resource, artinya sekali bahan galian ini
dikeruk, maka tidak akan dapat pulih atau kembali ke keadaan semula. Oleh
karenanya, pemanfaatan sumberdaya mineral ini haruslah dilakukan secara bijaksana
dan haruslah dipandang sebagai aset alam sehingga pengelolaannya pun harus juga
mempertimbangkan kebutuhan generasi yang akan datang.
Misalnya tambang di bumi Papua saja, adalah potensi SDA yang luar biasa
besar. Jika saja SDA itu dikelola dan dimanfaatkan secara optimal oleh negeri ini,
niscaya ia akan bisa menyelesaikan berbagai problem ekonomi yang tersebut diatas
yang sedang melilit negeri ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh Menteri BUMN,
akibat pemblokiran Freeport oleh penduduk setempat beberapa saat lalu, Pemerintah
Indonesia rugi 2,7 triliun setiap hari. Padahal kita tahu bahwa nilai tersebut baru dari
9% royalti dan sedikit pajak. Menurut Econit, royalti yang diberikan Freeport ke
pemerintah tidak berubah, hanya 1-3,5 persen sehingga penerimaan pemerintah dari
pajak, royalti, dan dividen FI hanya 479 juta dolar AS. Jumlah itu tentu masih sangat
jauh dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh Freeport sekitar 1,5 miliar dolar
AS (tahun 1996), yang dipotong 1 persen untuk dana pengembangan masyarakat
Papua yang ketika itu sekitar 15 juta dolar AS (Gatra, 10/1998).
Bagaimana jika kita tidak hanya mendapatkan royalti dan pajaknya saja, tetapi
juga keuntungan/laba secara penuh. Jelas, Pemerintah Indonesia akan mendapatkan
dana segar minimal Rp 73,71 trilun perbulannya atau setara dengan Rp 884,52 triliun
pertahun. Sungguh, angka ini cukup untuk memberikan subsidi kepada rakyat
sehingga BBM tidak perlu naik (Rp 10,5 triliun). Jika BBM tidak naik, maka TDL
pun tidak akan pernah naik. Uang itu juga bisa digunakan untuk menutupi defisit
APBN Rp 198 triliun), juga bisa digunakan untuk membayar utang (pokok dan
bunganya sebesar Rp 159,7 triliun). Sisanya bisa digunakan untuk membiayai
pendidikan gratis, biaya kesehatan murah, dan perumahan bagi rakyat.

4
Lainnya, misalnya blok Cepu yang berdasarkan hasil survei dan kajian
(technical evaluation study/TEA) Humpuss Patragas tahun 1992-1995, cadangan
minyaknya mencapai 10,9 miliar barel dan sebanyak 2,6 miliar barel yang dapat
dieksplorasi dalam bentuk minyak. Maka blok Cepu mengandung cadangan minyak
terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia. Cadangan minyak di Indonesia secara
keseluruhan, selama ini diperkirakan hanya sekitar 9,7 miliar barel.
Sungguh, tambang di bumi Papua, Cepu dan dibanyak tempat lainnya, adalah
salah satu aset bangsa yang sangat strategis dan mampu dijadikan penopang bagi
pelayanan masyarakat secara berkeadilan dan menyejahterakan. Namun, itu semua
hanya menjadi fatamorgana jika dikelola oleh asing, bukan oleh bangsa sendiri,
apalagi dilakukan secara eksploitatif dan dalam skala yang massif.
Walhi (2004) mencatat, tidak kurang dari 30% wilayah daratan Indonesia
sudah dialokasikan bagi operasi pertambangan, yang meliputi baik pertambangan
mineral, batubara maupun pertambangan galian C. Tidak jarang wilayah-wilayah
konsesi pertambangan tersebut tumpang tindih dengan wilayah hutan yang kaya
dengan keanekaragaman hayati dan juga wilayah-wilayah hidup masyarakat adat.
Menurut Walhi, operasi pertambangan yang dilakukan di Indonesia seringkali
menimbulkan berbagai dampak negatif, baik terhadap lingkungan hidup, kehidupan
sosial, ekonomi, budaya masyarakat adat maupun budaya masyarakat lokal. Beberapa
dampak negatif aktivitas pertambangan antara lain:
a. Pertambangan Menciptakan Bencana Lingkungan
Di seluruh Indonesia, operasi pertambangan menciptakan kehancuran dan
pencemaran lingkungan. Ongkos produksi rendah yang dibangga-banggakan
perusahaan dalam laporan tahunannya dicapai dengan mengorbankan lingkungan.
Sebagian besar operasi pertambangan dilakukan secara terbuka (open pit) di mana
ketika suatu wilayah sudah dibuka untuk pertambangan, maka kerusakan yang
terjadi di wilayah tersebut tidak dapat dipulihkan kembali (irreversible damage).
Selain itu, hampir semua operasi pertambangan melakukan pembuangan limbah
secara langsung ke sungai, lembah, dan laut. Hal ini mengakibatkan perusakan
dan pencemaran sungai dan laut yang merupakan sumber kehidupan masyarakat
setempat.
b. Pertambangan Menghancurkan Sumber-Sumber Kehidupan Masyarakat
Wilayah operasi pertambangan yang seringkali tumpang tindih dengan wilayah
hutan serta wilayah hidup masyarakat adat dan lokal telah menimbulkan konflik
atas hak kelola dan hak kuasa masyarakat setempat. Tidak adanya pengakuan
pemerintah terhadap hak-hak masyarakat adat atas wilayah hidup mereka
menyebabkan pemberian wilayah konsesi dengan semena-mena tanpa ada
persetujuan dari masyarakat. Kelompok masyarakat harus terusir dan kehilangan
sumber-sumber kehidupannya, baik akibat tanah yang dirampas mapun akibat
tercemar dan rusaknya lingkungan akibat limbah operasi pertambangan.
c. Pertambangan Memicu Kekerasan dan Ketidakadilan terhadap Perempuan
Perempuan adalah kelompok yang paling rentan di dalam komunitas yang akan
memikul dampak terbesar dari operasi pertambangan. Dalam banyak kasus,
perempuan telah menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual dari personel
perusahaan, maupun kekerasan oleh aparat keamanan dan personel perusahaan.
Sebagian dari dampak terhadap perekonomian setempat adalah bahwa perempuan
seringkali dijauhkan dari sumber penghidupannya semula. Hal ini dalam banyak
kasus memaksa mereka untuk terlibat dalam prostitusi.

5
d. Pertambangan Meningkatkan Pelanggaran HAM dan Militerisme
Di banyak operasi pertambangan di seluruh Indonesia, aparat keamanan dan
militer seringkali menjadi pendukung pengamanan operasi pertambangan. Ketika
perusahaan pertambangan pertama kali datang ke suatu lokasi, sering terjadi
pengusiran-pengusiran dan kekerasan terhadap warga masyarakat setempat. Di
dalam UU Pertambangan No. 11 tahun 1967, operasi pertambangan dikategorikan
sebagai proyek vital dan strategis. Hal ini menjadi pembenaran bagi dilakukannya
pengamanan, baik oleh tentara maupun aparat keamanan lainnya. Dalam banyak
kasus, perusahaan-perusahaan pertambangan multinasional juga melakukan
pembayaran terhadap aparat keamanan dengan tujuan untuk menjaga keamanan
perusahaan.

Detail tentang dampak-dampak negatif tersebut misalnya bisa dilihat dari


kasus Freeport. Sejak bulan April tahun 1967 Freeport telah memulai kegiatan
eksplorasinya di Papua—yang diperkirakan mengandung cadangan bijih emas
terbesar di dunia—sebanyak 2,5 miliar ton melalui Kontrak Karya I yang penuh
dengan intrik dan tipudaya. Kegiatan eksplorasinya pun tak tanggung-tanggung.
Sepanjang tahun 1998, misalnya, PT Freeport Indonesia menghasilkan agregat
penjualan 1,71 miliar pon tembaga dan 2,77 juta ons emas (Sabili, 16/02/2006).
Menurut Catatan Departemen Energi dan Sumber Daya Alam, pada tahun 1992
hingga 2002 Freeport memproduksi 5,5 juta ton tembaga, 828 ton perak dan 533 ton
emas. Dengan penghasilan itu Freeport mengantongi keuntungan triliunan rupiah
sepanjang tahun.
Wajar jika hanya dalam kurun waktu dua tahun berproduksi (tahun 1973),
Freeport yang dulunya perusahaan tambang kecil berhasil mengantongi perolehan
bersih US$ 60 juta dari tembaga yang ditambangnya itu. Itu belum termasuk hasil
tambang ikutannya seperti emas, perak, dan yang lainnya. Itu juga belum ditambah
penemuan lokasi tambang baru (tahun 1988) di Pegunungan Grasberg yang
mempunyai timbunan emas, perak, dan tembaga senilai US$ 60 juta miliar. Walhasil,
sejak awal Freeport telah mengeruk dengan serakah kekayaan sumberdaya alam
Papua pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Pada zaman reformasi nasib PT Freeport Indonesia semakin bersinar. Pada
tahun 2001, laba bersih yang dibukukan perusahaan ini mencapai US$ 304,2 juta.
Pada tahun 2002 naik menjadi US$ 398,5 juta. Tahun berikutnya, 2003 laba bersihnya
melonjak hingga US$ 484,9 juta. Yang mengherankan, dari laba bersih sebesar itu,
sesungguhnya yang dibagikan sebagai deviden hanya 15%-nya saja. Padahal
Pemerintah sampai saat ini hanya memiliki saham sebanyak 9,36%, sedangkan PT
Freeport menguasai 90,64% (Kontan, 6/9/2004).
Kemudian, masalah pencemaran lingkungan juga menjadi persoalan yang
serius. Penambangan oleh Freeport telah menghasilkan galian berupa potential acid
drainage (air asam tambang) dan limbah tailing (butiran pasir alami yang halus hasil
pengolahan konsentrat). Sehari-hari Freeport memproduksi tidak kurang dari 250 ribu
metrik ton bahan tambang. Material bahan yang diambil hanya 3%-nya. Inilah yang
diolah menjadi konsentrat yang kemudian diangkut ke luar negeri melalui pipa yang
dipasang ke kapal pengangkut di Laut Arafuru. Sisanya, sebanyak 97% berbentuk
tailing. Akibatnya, sungai-sungai di sana tidak lagi disebut sungai karena berwarna
coklat lumpur tempat pembuangan limbah tailing. Limbah Freeport juga telah
menghancurkan vegetasi hutan daratan di wilayah Timika. Selain itu, Danau
Wanagon pernah jebol dan menelan korban jiwa karena kelebihan kapasitas
pembuangan dan terjadinya perubahan iklim mikro akibat penambangan terbuka.

6
Sebuah lembaga audit lingkungan independen Dames & Moore melaporkan
pada tahun 1996—dan disetujui oleh pihak Freeport—bahwa ada sekitar 3,2 miliar
ton limbah yang bakal dihasilkan tambang tersebut selama beroperasinya. Faktanya,
telah terjadi pencemaran dan lingkungan baik hutan, danau dan sungai maupun
kawasan tropis seluas 11 mil persegi.
Dampak sosial dari keberadaan Freeport juga tidak bisa dipandang remeh.
Berlimpahnya dana yang beredar di sana justru melahirkan bisnis prostitusi.
Ironisnya, dari tahun ke tahun, bisnis esek-esek ini cenderung meningkat. Silitonga
(2002) menyebutkan bahwa propinsi Papua menduduki peringkat teratas penderita
HIV/AIDS di Indonesia, dan dalam interaksi kota-kota dengan penyebaran tertinggi
seperti Merauke, Sorong dan Jayapura, menempatkan masyarakat Timika dalam
daftar paling beresiko terkena HIV/AIDS. Silitonga merilis ulang data yang
dipublikasikan oleh Subdin BPP dan PL Dinas Kesehatan Propinsi Papua bahwa pada
akhir Desember 2001 dilaporkan sebayak 718 kasus HIV/AIDS di propinsi Papua,
dan 164 kasus diantaranya ditemukan di Timika. Di Timika sendiri, tempat
beroperasinya PT Freeport Indonesia yang mempekerjakan sekitar 12,000 pekerja
laki-laki, diidentifikasikan dari 164 kasus HIV/AIDS tersebut, 73 persen penderitanya
adalah penduduk Papua sendiri, dimana 60 persen dari jumlah itu adalah perempuan
Papua. Jumlah ini cenderung semakin meningkat.
Semua hal tersebut terjadi jelas karena pengelolaan pertambangan di Indonesia
menggunakan paradigma dan cara-cara kapitalistik dan imperialistik, yang hanya
mementingkan golongan kapitalis tertentu dan segelintir pejabat saja.
Richardson misalnya dalam International Herald Tribune (3/4/2000)
menyebutkan bahwa 81,28 persen saham Freeport dimiliki oleh Freeport-McMoran
Copper & Gold Inc. Pemerintah Indonesia hanya memiliki 9,36 persen saham,
sebagaimana PT Indocopper Investama Corp. 49 saham Indocopper dimiliki oleh
Freeport-McMoran dan 50,48 persen dimiliki oleh Nusamba Mineral Industries,
perusahaan yang memiliki hubungan dengan Suharto sebagai penguasa Orde Baru.
The New York Times (27/12/2005) memaparkan bahwa anggota TNI dan Polri secara
resmi dibayar oleh Freeport. Sementara itu, Blok Cepu yang kini akhirnya jatuh
kedalam pelukan Exxon Mobil, sebelumnya dikuasai oleh Humpuss Patragas yang
merupakan bisnis keluarga Cendana. Dalam skala lebih kecil, belakangan muncul
pengusaha-pengusaha swasta nasional yang ikut terjun dalam bisnis minyak bumi
seperti Arifin Panigoro dengan Medco-nya, Ibrahim Risjad, Srikandi Hakim, dan
Astra International (SWA, April-Mei 1996).
Jadi, wajar jika kemudian Suka Hardjana bertanya, “Siapa jual, siapa untung,
siapa rugi, siapa merampas, siapa kehilangan?”

Dekorporatokrasi dan Swakelola Pertambangan


Korporatokrasi atau kadang disebut korporokrasi adalah neologisme atau
bentukan baru untuk menggambarkan sebuah pemerintah yang tunduk dibawah
tekanan korporasi. Terkadang korporatokrasi dihubungkan dengan plutokrasi,
pemerintahan oleh pemilik kekayaan (the have).
Dalam korporatokrasi, ketika seseorang secara prinsip menjadi shareholder
dalam sebuah korporasi, dalam kenyataannya hanya yang kuat yang dapat
memberikan pengaruh pada pengambilan keputusan dan akhirnya pada seluruh
aktivitas korporasi. Dalam kasus kenegaraan, korporatokrasi akan muncul ketika
pemerintah ‘melegalkan’ politik uang yang terjadi diantara para politikus. Sehingga
para politikus di eksekutif maupun di legislatif akan sangat corporate-friendly, dan
sangat membantu korporasi memain-mainkan hukum sesuai keinginan dan kebutuhan

7
mereka. Hal ini kiranya yang terjadi pada kasus Freeport, dimana tampak jelas bahwa
justru UU Pertambangan No. 11 tahun 1967 dibuat untuk ‘memanjakan’ Freeport
yang beroperasi di Papua beberapa waktu sebelum UU tersebut dibuat dan disahkan
oleh penguasa Orde Baru, Suharto.
Lebih jauh, bahkan dalam kampanye untuk menjadi penguasa negara atau
daerah, para politikus didukung oleh para pengusaha untuk biaya kampanyenya.
Konsekuensinya, ketika si politikus berhasil suara rakyat, maka kepentingan korporasi
akan mendominasi kebijakannya. Bahkan, dalam kasus yang lebih jahat, para
politikus itu pulalah yang menjadi pengelola korporasi, dan kebijakan-kebijakan yang
dibuatnya akan mengikuti kaidah ekonomi kapitalis yang hanya menguntungkan
korporasinya.
John Perkins dalam bukunya yang terkenal Confessions of an Economic Hit
Man (2004) mendeskripsikan korporatokrasi sebagai pemerintahan yang dikendalikan
oleh “perusahaan besar, bank internasional dan pemerintah”. Perkins melihat
korporatokrasi menjelma dalam siklus seperti berikut: Bank Dunia mengeluarkan
bantuan untuk membangun bangsa-bangsa khususnya untuk membayar proyek-proyek
pembangunan berskala besar; kontrak-kontrak kemudian disetujui dengan memakai
perusahaan-perusahaan Amerika; dan hasilnya, negara-negara resipien tersebut
menjadi terjerat dalam jaring bunga dan pokok utang yang tidak dapat mereka bayar.
Korporasi-korporasi Amerika terus meningkatkan keuntungan korporasinya, dan
pemerintah AS mendapatkan keuntungan terus dengan mengamankan operasi
korporasi melalui kontrol dan kekuatan politik pada negara-negara berkembang
dengan kepemilikan SDA yang besar. Dan akhirnya, Perkins menegaskan bahwa
mayoritas penduduk di negara-negara berkembang ini tidak akan menikmati
keuntungan yang ada, bahkan bagian terbesar dari anggaran negara lebih dialokasikan
untuk mengatasi utang negara daripada untuk memberikan kesejahteraan pada
rakyatnya. Indonesia adalah contoh yang tepat dalam pembuktian tesis Perkins ini.
Kemudian, Perkins menggambarkan bagaimana harmoni antara korporasi
besar, bank internasional dan pemerintah yang menurutnya sebagai ‘Tiga Pilar
Korporatokrasi’, memberikan kemudahan bagi elite untuk bergerak pada sektor ini.
Perkins mencontohkan sepak terjang Halliburton yang dikomandani oleh Wapres AS
Dick Cheney. Begitu pula kepentingan keluarga Bush dan Condoleeza Rice dalam
pengerukan SDA di Iraq dan Afghanistan. Bisnis minyak sangat mewarnai kebijakan
pemerintah Amerika Serikat. Penyerangan terhadap Afghanistan yang berdalih
penyerbuan terhadap sarang teroris adalah karena minyak. Begitu juga invasi ke Irak,
semata-mata karena Amerika ingin menguasai minyak di negara tersebut.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Putusan bahwa Exxon yang menjadi
pengelola adalah putusan bisnis, tapi keputusan bisnis yang dilandasi kepentingan
politis. Pemerintah Amerika sangat berperan dalam menentukan keputusan tersebut.
Sebagai 'orang minyak', Bush tahu betul bahwa Exxon sangat berkepentingan
mengelola Cepu. Lagi pula, ini balas budi Bush terhadap perusahaan itu. Maklum,
Exxon yang berhasil memupuk keuntungan 36,2 miliar dolar AS pada 2005, sudah
menyumbang 2,8 juta dolar AS kepada Bush dalam pemilu presiden 2004 silam.
Belum terhitung sumbangan-sumbangan lain terhadap orang-orang di sekitar Bush.
Ulasan Perkins ini cukup membuat gerah pemerintah Amerika. Melalui U.S.
National Security Agency (NSA), pemerintah Amerika membantah tuduhan Perkins
dengan argumen bahwa pemerintah AS baru-baru ini telah berinisiatif untuk
menghapus utang banyak negara-negara miskin–heavily indebted poor countries
(HIPC). Misalnya pada tahun 2004, Bush berkehendak untuk menghapus utang
negara-negara termiskin di dunia. Setahun kemudian, pada konferensi para pemimpin

8
Kelompok Delapan (G8) di Gleneagles pada Juli 2005, menyepakati untuk
menghapus 18 negara miskin, dan mengabaikan 17 juta dollar US utang Nigeria,
sebagai penghapusan utang terbesar yang pernah terjadi. Pada September 2005,
Timothy Adams, Sekretaris untuk Hubungan Internasional pada Departemen
Keuangan AS menjelaskan, “Dibawah program ini, 18 negara termiskin dunia akan
dihapuskan utang-utangnya, meliputi: Benin, Bolivia, Burkina Faso, Ethiopia, Ghana,
Guyana, Honduras, Madagaskar, Mali, Mauritania, Mozambik, Nikaragua, Niger,
Rwanda, Senegal, Tanzania, Uganda, dan Zambia. Total utang yang dihapus itu
hingga mencapai 60 juta dollar AS ketika proses penghapusan itu selesai.”
Walaupun ulasan Perkins ini dibantah dan bantahan itu terkesan elegan,
namun jangan lupa bahwa penghapusan itu dilakukan setelah kurang lebih 60 tahun
mereka memeras penduduk di negara-negara berkembang dan merampok kekayaan
SDA-nya. Gambaran Freeport yang telah merubah gunung emas menjadi lembah
adalah bukti kerakusan para negara kapitalis tersebut. Belum lagi syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh negara-negara yang masuk dalam skema penghapusan utang itu.
Dominasi politik dan ekonomi oleh AS dan para kompradornya akan terus
menghantui negara-negara yang terperangkap dalam utang-utang internasional.
Sebuah kajian industri ekstraktif— EIR (Extractive Industries Review), pada
ulang tahun Bank Dunia ke-60, 22 Juli 2004, meminta Bank Dunia untuk mengakhiri
pendanaan bagi proyek pertambangan minyak dan tambang. Jika Bank Dunia terus
melanjutkan kebijakan ini, berarti Bank Dunia tetap meletakkan profit bagi korporasi
di atas rakyat dan planet. Artinya ulang tahun ke-60 Bank Dunia ini, tidak hanya
menandai 60 tahun kegagalan kebijakan, 60 tahun penyalahgunaan hutang, 60 tahun
peningkatan hutang dan 60 tahun proyek-proyek pembangunan Bank Dunia yang
meragukan dan mengorbankan lingkungan, perempuan, masyarakat adat dan
kelompok marginal lain di seluruh dunia, tapi juga sebagai titik lanjut penghancuran
dunia.
EIR antara lain menuntut agar Bank Dunia:
1. Mendapatkan Prior Informed Consent (persetujuan tanpa paksa) dari masyarakat
lokal dan masyarakat adat yang akan terkena dampak projek sebagai suatu syarat
pendanaan;
2. Mengurangi secara bertahap hingga berhenti mendanai batubara (sekarang) dan
minyak (pada tahun 2008); dan menggunakan sumberdayanya yang terbatas untuk
meningkatkan pendanaannya untuk energi terbarukan 20% per tahun;
3. Menghormati hak masyarakat adat atas tanah adat sebagai prekondisi pendanaan;
4. Memastikan bahwa hasil dari proyek yang didanai oleh Bank Dunia juga
bermanfaat untuk semua masyarakat lokal dimana proyek dilaksanan;
5. Menjamin hak-hak buruh sebagaimana telah dijamin oleh ILO;
6. Meminta Bank Dunia untuk tidak mendanai proyek yang menggunakan metode
Submarine Tailing Disposal sampai dibuktikan tidak berbahaya;
7. Meningkatkan transparansi keuangan, dan transparansi proyek secara umum
kepada publik; dan
8. Segera melakukan berbagai reformasi yang diperlukan dalam tubuh Bank Dunia
untuk memungkinkan terlaksananya rekomendasi-rekomendasi yang lain, ini
sangat penting mengingat hingga kini tekanan untuk 'segera memberi pinjaman'
dialami oleh banyak staf Bank Dunia sehingga berakibat melemahnya kebijakan
perlindungan sosial dan lingkungan dalam proyek-proyek Bank Dunia.

9
EIR menyimpulkan bahwa jika Bank Dunia ingin memenuhi mandatnya untuk
mencapai pengentasan kemiskinan, maka seharusnya hanya mendukung industri
ekstraktif jika sejumlah kondisi 'good governance' dan kondisi yang positif lainnya
sudah ada. Lebih lanjut EIR menyatakan bahwa jika ingin menyumbang kepada
pembangunan berkelanjutan secara lebih efektif, maka sebaiknya Bank Dunia
menjadikan dirinya pendukung utama bagi energi terbarukan, daripada terus
mendanai pertambangan batu bara dan minyak. Bank Dunia disarankan untuk
merealokasikan dana-dananya dan secara agresif meningkatkan portfolio proyek-
proyek energi terbarukan sebesar 20% pertahun, hingga pada akhirnya di tahun 2008
nanti portfolio energi Bank Dunia didominasi oleh proyek-proyek energi terbarukan.
Pertanyaannya kemudian, akankah Bank Dunia memenuhi rekomendasi itu, jika
peranan dan dominasi negara-negara kapitalis masih sangat mengakar dalam tubuh
Bank Dunia??
Tidak hanya Bank Dunia, permainan bola ekonomi dunia juga dimainkan oleh
dua lembaga lain, IMF dan WTO. Dan lagi-lagi, keputusan-keputusan yang dihasilkan
di kedua lembaga itu setali tiga uang dengan Bank Dunia. Sampai-sampai, Joseph E
Stiglitz, peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001 mengatakan bahwa Barat bersikap
hipokrit dalam permainan ekonomi dunia. Stiglitz, yang juga warga negara Amerika
mengatakan pada pertemuan WTO di Hongkong Desember 2005, bahwa negara
berkembang, sama sekali tidak bisa menandatangani perjanjian perdagangan. Hal ini
sama tidak adilnya seperti perundingan perdagangan di masa lalu. Barat
memperlakukan barang-barang yang diproduksi di dalam negeri secara berbeda
dengan barang- barang yang diproduksi di luar AS. Barat memiliki sebuah standar
ganda
Tentang IMF, Stiglitz juga pernah mengucapkan kritikan pedas. Pada April
2001 ia mengatakan, "Ketika sebuah negara sedang terpuruk, IMF mengambil
kesempatan dan memeras titik darah terakhirnya. IMF mengipasi api sehingga,
akhirnya, seluruh kualinya meledak. Ia menyebabkan kematian banyak orang. Ia tak
peduli orang hidup atau mati. Kebijakannya mengecilkan demokrasi... agak mirip
dengan Zaman Pertengahan atau Perang Opium."
Pada tahun 2002, Stiglitz menulis buku Globalization and Its Discontents, saat
ia menegaskan bahwa IMF meletakkan kepentingan pemegang saham terbesar
(Amerika Serikat) di atas kepentingan negara-negara miskin yang justru seharusnya ia
bantu. Masih kata Stiglitz, dalam rangka menanggulangi krisis moneter yang dialami
oleh beberapa negara Amerika Latin, bekerja sama dengan Departemen keuangan AS
dan Bank Dunia, IMF sepakat meluncurkan sebuah paket kebijakan ekonomi yang
dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington. Agenda pokok paket
kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian
struktural IMF tersebut dalam garis besarnya meliputi : (1) pelaksanaan kebijakan
anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya, (2)
pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan, (3) pelaksanaan liberalisasi sektor
perdagangan, dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN.
Di Indonesia, menyusul kemerosotan nilai rupiah tahun 1997, Pemerintah
Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian
Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF,
pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington
melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), yang salah satu butir
kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang
sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu
juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom,

10
BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang. Akhirnya hal ini menjadi momentum
pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara lebih massif yang sebenarnya
telah dimulai sejak pertengahan 1980-an.
Neoliberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi neoliberal mengacu
pada filosofi ekonomi-politik yang mengurangi atau menolak campur tangan
pemerintah dalam ekonomi domestik. Paham ini memfokuskan pada metode pasar
bebas, pembatasan yang sedikit perilaku bisnis, dan hak-hak milik pribadi. Dalam
kebijakan luar negeri, neoliberalisme erat kaitannya dengan pembukaan pasar luar
negeri melalui cara-cara politis, menggunakan tekanan ekonomi, diplomasi, dan atau
intervensi militer. Pembukaan pasar merujuk pada perdagangan bebas. Neoliberalisme
secara umum berkaitan dengan tekanan politis multilateral, melalui berbagai kartel
pengelolaan perdagangan seperti WTO dan Bank Dunia. Ini mengakibatkan
berkurangnya wewenang pemerintahan sampai titik minimum. Neoliberalisme
melalui ekonomi pasar bebas berhasil menekan intervensi pemerintah (seperti paham
Keynesianisme), dan melangkah sukses dalam pertumbuhan ekonomi keseluruhan.
Untuk meningkatkan efisiensi korporasi, neoliberalisme berusaha keras untuk
menolak atau mengurangi kebijakan buruh seperti upah minimun, dan hak-hak daya
tawar kolektif.
Neoliberalisme bertujuan mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar,
dengan pembenaran mengacu pada kebebasan. Seperti pada contoh kasus upah
pekerja, dalam pemahaman neoliberalisme pemerintah tidak berhak ikut campur
dalam penentuan gaji pekerja atau dalam masalah-masalah tenaga kerja sepenuhnya
ini urusan antara si pengusaha pemilik modal dan si pekerja. Pendorong utama
kembalinya kekuatan kekuasaan pasar adalah privatisasi aktivitas-aktivitas ekonomi,
terlebih pada usaha-usaha industri yang dimiliki-dikelola pemerintah. Tapi privatisasi
ini tidak terjadi pada negara-negara kapitalis besar, justru terjadi pada negara-negara
Amerika Latin dan negara-negara miskin berkembang lainnya. Privatisasi ini telah
mengalahkan proses panjang nasionalisasi yang menjadi kunci negara berbasis
kesejahteraan. Nasionalisasi yang menghambat aktivitas pengusaha harus dihapuskan.
Revolusi neoliberalisme ini bermakna bergantinya sebuah manajemen
ekonomi yang berbasiskan persediaan menjadi berbasis permintaan. Sehingga
menurut kaum Neoliberal, sebuah perekonomian dengan inflasi rendah dan
pengangguran tinggi, tetap lebih baik dibanding inflasi tinggi dengan pengangguran
rendah. Tugas pemerintah hanya menciptakan lingkungan sehingga modal dapat
bergerak bebas dengan baik. Dalam titik ini pemerintah menjalankan kebijakan-
kebijakan memotong pengeluaran, memotong biaya-biaya publik seperti subsidi,
sehingga fasilitas-fasilitas untuk kesejahteraan publik harus dikurangi.
Akhirnya logika pasarlah yang berjaya diatas kehidupan publik. ini menjadi
pondasi dasar neoliberalisme, menundukan kehidupan publik ke dalam logika pasar.
Semua pelayanan publik yang diselenggarakan negara harusnya menggunakan prinsip
untung-rugi bagi penyelenggara bisnis publik tersebut, dalam hal ini untung rugi
ekonomi bagi pemerintah. Pelayanan publik semata seperti subsidi dianggap akan
menjadi pemborosan dan inefisiensi. Neoliberalisme tidak mengistimewakan kualitas
kesejahteraan umum. Tidak ada wilayah kehidupan yang tidak bisa dijadikan
komoditi barang jualan. Semangat neoliberalisme adalah melihat seluruh kehidupan
sebagai sumber laba korporasi.
Misalnya dengan sektor Sumber Daya Air, program liberalisasi sektor sumber
daya air yang implementasinya dikaitkan oleh Bank Dunia dengan skema watsal atau
water resources sector adjustment loan. Air dinilai sebagai barang ekonomis yang
pengelolaannya pun harus dilakukan sebagaimana layaknya mengelola barang

11
ekonomis. Dimensi sosial dalam sumberdaya public goods direduksi hanya sebatas
sebagai komoditas ekonomi semata. Hak penguasaan atau konsesi atas sumber daya
air ini dapat dipindah tangankan dari pemilik satu ke pemilik lainnya, dari satu
korporasi ke korporasi lainnya, melalui mekanisme transaksi jual beli. Selanjutnya
sistem pengaturan beserta hak pengaturan penguasaan sumber air ini lambat laun akan
dialihkan ke suatu badan berbentuk korporasi bisnis atau konsorsium korporasi bisnis
yang dimiliki oleh pemerintah atau perusahaan swasta nasional atau perusahaan
swasta atau bahkan perusahaan multinasional dan perusahaan transnasional.
Maka, melihat permainan ekonomi yang sedemikian rakus menempatkan
negara-negara miskin dan berkembang sebagai mangsa negara-negara besar kapitalis,
sudah selayaknya kita menakar ulang paradigma pembangunan ekonomi kita. Diakui
atau tidak, penyelenggaraan pembangunan ekonomi Indonesia telah terjerat
korporatokrasi seperti gambaran Perkins dan “terjajah” para lembaga pengusung
ekonomi neoliberal seperti deskripsi Stiglitz.
Setelah menghapuskan korporatokrasi, tidak ada jalan lain kecuali mengelola
sendiri (swakelola) kekayaan SDA kita. Lebih khusus dalam sektor pertambangan,
karena penguasaan pihak asing di sektor ini, telah terjadi korupsi berskala besar.
Dalam hal penguasaan pertambangan oleh pihak asing, menurut Tamagola (Kompas,
14/2/2005), telah terjadi pengaplingan atas daerah-daerah tambang di Indonesia.
Kapling-kapling itu meliputi: Timika untuk Freeport, Lhok Seumawe untuk Exxon
Mobil, Sulawesi Selatan untuk Mosanto, Buyat-Minahasa dan Sumbawa untuk
Newmont International, Teluk Bintuni di Papua untuk British Petrolium, Kaltim untuk
PT Kaltim Prima Coal, dsb. Pengaplingan tersebut menunjukkan telah terjadi
persekongkolan antara penguasa dan kekuatan modal asing.
Amien Rais (Kompas, 5/1/2006) mengatakan, banyak proyek pertambangan
yang perlu disoroti, antara lain yaitu PT Freeport Indonesia, tambang emas raksasa di
Timika, Papua; Proyek Liquefied Natural Gas Tangguh yang dibangun di Teluk
Bintuni, Kabupaten Manokwari, Papua; serta PT Newmont Minahasa Raya,
pertambangan emas dan tembaga di Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, dan Nusa
Tenggara Barat. Informasi yang diperolehnya, kata Amien, areal yang sudah hancur
ekologinya di daerah Freeport mencapai 200 kilometer persegi. Padahal, rakyat tak
pernah tahu berapa puluh atau ratus ton emas dan perak yang sudah dibawa ke luar
negeri. Tapi, anehnya, delapan tahun sebelum kontrak habis, kontrak karya sudah
diperpanjang lagi.
Terkait dengan proyek Tangguh, kata Amien, saat ini sudah dikontrakkan
dengan RRC selama 30 tahun. Harga gas dipatok secara flat 2,6 dollar AS per mbtu.
Padahal, berdasarkan informasi yang diperolehnya dari seorang ahli sudah mencapai 9
dollar AS. ”Jadi, berapa ratus triliun rupiah kerugian kita,” ujarnya. Amien juga
menyebut sejumlah perusahaan pengelolaan semen yang mayoritas sahamnya sudah
jatuh ke tangan pihak asing, seperti Semen Cibinong, Semen Tiga Roda, Semen
Gresik, maupun Semen Padang. Belum lagi pihak asing yang juga akan menguasai
SPBU-SPBU.
Fakta ini harus diperhatikan oleh para pengambil kebijakan di republik ini.
Suara vokal para tokoh masyarakat, janganlah dituding beraroma politis untuk
mengguncang kekuasaan. Janganlah pemerintah suudzon (berburuk sangka) pada
rakyatnya, karena semuanya demi keberlangsungan hidup dan kehidupan kita.
Menarik untuk mencermati ‘jeritan rakyat yang terdengar’ dalam jajak
pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada tanggal 22-23 Maret 2006 kemarin.
Dalam publikasi hasil jajak pendapat itu (Kompas, 27/03/2006), dari sampel sebanyak

12
831 responden di 10 kota besar di Indonesia mulai Medan hingga Jayapura, terekam
suara rakyat sebagai berikut:
☺ 71,5 persen responden menyatakan “tidak puas” dengan pemanfaatan hasil
kekayaan tambang untuk kesejahteraan masyarakat.
☺ 72,2 persen responden menyatakan bahwa tindakan eksploitasi kekayaan alam
Indonesia, khususnya sektor pertambangan oleh perusahaan-perusahaan asing
merupakan “gejala yang berlebihan” dan “hanya menguntungkan asing”.
☺ 72,6 persen responden menyatakan bahwa “pemerintah terlalu lamban” dan “tidak
tegas menindak” perusahaan-perusahaan asing yang melakukan pelanggaran-
pelanggaran dalam eksploitasi pertambangan.
☺ 54,5 persen responden menyatakan pemerintah cenderung “berpihak pada pemilik
modal asing dibandingkan rakyatnya sendiri”, hal ini tercermin dalam kebijakan-
kebijakan pemerintah yang dikeluarkan selama ini.
☺ 77,5 persen responden menyatakan “sangsi” bahwa keberadaan perusahaan-
perusahaan asing penguasa pertambangan yang tersebar di beberapa daerah di
Indonesia itu dapat memberikan kesejahteraan pada masyarakat sekitarnya.
☺ 78,5 persen responden menilai kehadiran perusahaan pertambangan asing “lebih
banyak membawa dampak buruk bagi lingkungan hidup” masyarakat sekitar area
pertambangan.
☺ Tak pelak, sebanyak 89,9 persen responden SETUJU jika kontrak kerja yang
mengatur bagi hasil antara perusahaan asing, pemerintah dan masyarakat lokal
“ditinjau kembali”.

Walaupun hasil jajak pendapat itu tidak dimaksudkan untuk mewakili


pendapat seluruh rakyat di negeri ini, namun setidaknya bisa memberikan gambaran
bahwa rakyat sudah cukup muak dengan kehadiran perusahaan-perusahaan asing
pertambangan di Indonesia yang sangat merugikan rakyat Indonesia. Sudah
seharusnya pemerintah mendengar jeritan ini dengan membuka telinga lebar-lebar dan
mencernanya dengan pikiran yang jernih. Sungguh tidak ada motif dibalik seruan dan
suara itu, kecuali “ini menyangkut keberlanjutan hidup dan kehidupan kita”.
Masih dari hasil jajak pendapat itu, 69,3 persen responden menyatakan bahwa
kita masih membutuhkan keterlibatan asing dalam pengelolaan pertambangan.
Mereka menyatakan bahwa teknologi dan SDM kita masih belum mampu untuk
mengelolanya. Keresahan awam ini dijawab oleh para pakar. Jika alasannya adalah
teknis pengelolaan, Batubara mengatakan bahwa dalam hal kemampuan teknis,
Pertamina sudah punya banyak pengalaman eksplorasi, seperti di Tuban (Sumur
Sukowati); Bekasi (Tambun dan Pondok Tengah) Patrol, Jawa Barat; Prabumulih,
Sumsel, dan lain-lain. Profil daerah-daerah itu hampir sama dengan Blok Cepu:
eksplorasi on-shore, sumur dangkal, flow minyak bersifat natural, dan tak butuh
teknologi tinggi. Belum lagi dari tingkat efisiensi, di mana biaya pengeboran dan
operasional Pertamina jelas lebih murah. (Republika, 6/3/2006). Utomo bahkan
menandaskan, sebetulnya, jika landasannya murni bisnis, Pertamina sanggup. Soal
biaya, siapa lembaga keuangan yang tidak tergiur dengan keuntungan Cepu? Soal
kemampuan, Pertamina punya pengalaman–kalaupun kurang, panggil saja ahli
perminyakan yang bekerja di perusahaan asing. Begitu juga teknologi, ibaratnya kalau
tidak punya, tinggal beli (Republika, 15/3/2006).
Jadi sebenarnya kita mampu, tinggal mau apa tidak memulainya. Niat ini yang
harus dimulai oleh pemerintah. Pemerintah harus segera beritikad untuk
mengembalikan pengelolaan seluruh kekayaan alam kita, utamanya kekayaan
tambang, kepada anak-anak bangsa. Sudah saatnya kita ‘mencangkul sawah kita

13
sendiri’. Jangan lagi pemerintah abai terhadap permasalahan ini, karena rakyat bukan
sekumpulan manusia bodoh yang gampang dikibuli dengan janji-janji manis yang
pepesan kosong semata. Karena, 61,7 persen responden dalam jajak pendapat Kompas
tersebut menuding “pemerintah belum serius” mengembangkan teknologi pengelolaan
hasil kekayaan alam kita sendiri.
Kalau Sukarno pernah mengatakan tentang harus sangat selektifnya kita
menerima penanaman modal asing (PMA) dalam pengelolaan SDA. Bahkan jika kita
belum mampu mengelola, ''Kita simpan di bawah tanah sampai para insinyur kita
mampu menggarapnya sendiri,'' katanya. Tapi Bung, kita sudah mampu sekarang. Jadi
persoalannya bukan kemampuan, tapi kemauan. Kalo masih ada saja pihak yang
enggan dengan swakelola SDA kita, ingatlah klimaks yang diperlihatkan dalam pidato
founding fathers Indonesia yang lain, Bung Hatta. Dia menegaskan, “Camkanlah!
Negara Republik Indonesia belum lagi berdasarkan Pancasila, apabila pemerintah dan
masyarakat belum sanggup menaati Undang-undang Dasar 1945, terutama belum
dapat melaksanakan pasal 27 ayat 2, pasal 31, pasal 33 dan pasal 34. Dan camkanlah
pula, bahwa (nilai-nilai) Pancasila itu adalah kontrak Rakyat Indonesia untuk menjaga
persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa. Angkatan muda sekarang tidak boleh
melupakan ini dan mengabaikannya! Sekian.”

Paradigma Collective Property


Penjualan aset-aset bangsa oleh pemerintahnya sendiri tidak terlepas dari
pertentangan paham kepemilikan. Perspektif terhadap pertambangan, seperti halnya
air, dapat mengadopsi tabulasi yang disusun Perdana (2003):

Perspektif Negara Pemilik Modal Rakyat


Politik State Based Fasilitasi regulasi state Community based
Ekonomi Capital Based Jaminan pembengkakan Jaminan sumberdaya
(investasi/ capital/investasi dipergunakan untuk
privatisasi/utang) (industri tambang/ kesejahteraan
komoditas)
Sosial Rakyat sebagai Obyek Mementingkan diri Kebersamaan/
(Uniformitas) sendiri (Filantropi collectivity
sebagai hipokrisi)
Budaya Perilaku eksploitatif, Monopoli, eksploitatif Etika lingkungan
ekspansif dan ekspansif sebagai sistem lokal
(lokal knowledge &
wisdom)
Ekologi Eco-Developmentalism Eco-Proseduralism Eco-Populism

Dengan perbedaan perspektif yang demikian, yang terjadi adalah konflik yang
berkelanjutan. Dalam perspektif kapitalisme dan ekonomi neoliberal seperti diatas,
maka isu privatisasilah yang mendominasi. Privatisasi inilah yang menghadapkan
sumberdaya yang menguasai hajat hidup manusia versus subyek kepemilikan untuk
diperdagangkan. Ini sama halnya mempertentangkan komunitas publik versus
sekelompok pemilik modal. Hasilnya, 5 jiwa melayang di Abepura pada bentrok
antara (aparat) negara yang membela ‘hak-hak keamanan’ pemilik modal (baca:
Freeport) dan masyarakat. Yang rugi bukan pemilik modal, tapi lagi-lagi masyarakat.
‘Keberhasilan’ konspirasi antara lembaga-lembaga keuangan internasional
(Multilateral Development Bank’s/MDB’s), korporasi-korporasi transnasional (TNCs)
milik negara maju, Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) untuk menggasak

14
rakyat miskin telah terjadi di mana-mana. Lebih dari 10 tahun lalu sebenarnya
konspirasi tersebut dilakukan dengan membangun jalan memuluskan privatisasi
sebagai kondisionalitas pemberian utang ke negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia. Plus, didorong dengan perjanjian perdagangan yang mendesak negara
pengutang menderegulasi sektor air dan membukanya bagi investasi asing.
Liberalisasi sektor publik merupakan konsekuensi logis setelah liberalisasi modal,
barang dan jasa yang dilakukan secara bertahap mulai 1970-an. Perluasan pasar dan
pangsa pasar merupakan cita-cita para kapitalis monopolistik agar bisa
mempertahankan dominasinya. Ironinya, pemerintah lebih terkesan sebagai pelayan
korporasi asing, bukan pelayan rakyat.
Dilihat dari perspektif kepemilikan tanah, secara legal formal, Indonesia tidak
lagi menganut asas domein verklaring. Domein verklaring dengan arti bahwa semua
tanah-tanah tidak dapat dibuktikan siapa pemiliknya adalah menjadi tanah negara,
hanya diterapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di Indonesia. Kalo (2004)
mengatakan bahwa dengan diberlakukannya asas domein verklaring oleh pemerintah
Hindia Belanda di Indonesia, dapat diasumsikan bahwa kebijakan itu didasari atas
alasan-alasan karena pemerintah Belanda menganggap raja-raja di Indonesia yang
mempunyai kekuasaan hak domein atas tanah, maka dengan sendirinya hak domein
itu juga diambil over oleh Belanda karena Belanda memegang kedaulatan di
Indonesia. Padahal, anggapan pemerintah Belanda yang demikian itu, pada dasarnya
adalah sangat keliru. Karena tidak semua raja-raja di Indonesia mempunyai hak
domein atas tanah di wilayah kerajaannya. Bahkan di wilayah persekutuan hukum
adat yang berada di bawah kekuasaan kesultanan, tanah adalah merupakan milik
komunal (beschikkingsrecht).
Oleh sebab itu asas domein verklaring ini tidak bisa dipakai alasan pemerintah
untuk menjual area pertambangan yang menguasai hajat hidup orang banyak kepada
segelintir pemilik modal. Negara dalam hal ini harus merujuk pada pasal 1 UU No. 11
tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Pertambangan yang menyebutkan
“Segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan
Indonesiayang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan yang Maha
Esa, adalah kekayaan Nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan
dipergunakan oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Jelas dari pendekatan legal formal, sesuai dengan tujuan negara bonum
publicum, negara bertanggung jawab untuk mengelola kepemilikan umum (collective
property) untuk kepentingan rakyat banyak, memanfaatkan sumber-sumber
pendapatan negara untuk rakyat, menciptakan situasi perekonomian yang kondusif
seperti keluasan lapangan kerja dan kemampuan yang tinggi dari para pekerja
(profesionalitas). Paradigma ini harus menjadi mindset dalam pengelolaan SDA kita,
baik itu menjadi paradigma pemerintah, para pengusaha nasional ataupun masyarakat.
Tidak ada lagi grey area dalam ranah hukum Indonesia tentang kedudukan
bahan tambang, mineral, energi bahkan juga air sebagai milik umum. Negara hanya
berhak untuk menjadi regulator dan dipergunakan sebesar-besar untuk kesejahteraan
rakyat. Penyimpangan dari garis ini adalah pelanggaran hukum. Bahkan Agustianto
mengatakan sebagai “keharaman”. Dalam hal ini dia menawarkan pendekatan lain,
yaitu pendekatan sosio-religius, dimana pemerintah dan rakyat harus memahami
“fikih sumber daya alam/SDA’, sesuai dengan aturan agama bahwa sumber daya alam
yang termasuk milik umum seperti air, api, padang rumput, hutan dan barang tambang
harus dikelola hanya oleh negara yang hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat
dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal,
pangan, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum.

15
Pendekatan sosio-religius ini, mengedepankan konsep kepemilikan yang jelas,
dimana tambang yang jumlahnya sangat besar, baik yang tampak sehingga bisa
didapat tanpa harus bersusah payah seperti garam, batubara, dan sebagainya ataupun
tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan
usaha keras seperti tambang emas perak, besi, tembaga, timah dan sejenisnya baik
berbentuk padat semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak, termasuk
milik umum. Barang-barang tambang adalah milik orang banyak meskipun diperoleh
dari tanah hak milik khusus. Karena itu, siapa saja yang menemukan barang tambang
atau minyak bumi pada tanah miliknya, dilarang baginya untuk memilikinya dan
barang tambang tersebut harus diberikan kepada negara untuk dikelola. Pemerintah
harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya alam tersebut untuk
kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat umum (Waspada, 16/12/2005).
Menyangkut masalah contract of work (CoW) atau lebih populer disebut
kontrak karya, menarik untuk mencermati usulan Fahmi Amhar, Peneliti Utama
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Amhar (RRI-
Online, 7/2/2006) meminta pemerintah untuk memanfaatkan sistem syariah dalam
menandatangani kontrak karya pertambangan. Pengelolaan pertambangan dengan
sistem syariah tersebut menandaskan bahwa hutan dan barang tambang adalah milik
umum yang harus dikelola hanya oleh negara. Hasilnya dikembalikan kepada rakyat
dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer seperti
pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum lainnya.
Pendekatan legal-formal lewat sistem syariah ini bisa dijadikan alternatif
pemecahan. Apalagi UU kita telah banyak diwarnai oleh sistem syariah yang terbukti
memiliki dampak yang lebih baik dibandingkan ‘sistem konvensional’. Siapa tahu,
peninjauan ulang berbasis syariah terhadap UU Penanaman Modal Asing No. 1 tahun
1967 yang salah satu pasalnya memberikan jalan bagi masuknya investasi asing di
bidang pertambangan (lihat pasal 8 UU No 11 tahun 1967) dan UU No. 11 Tahun
1967 Tentang Pertambangan, yang semakin mengukuhkan jalan bagi investasi asing
di bidang mineral, bisa mengembalikan hasil kekayaan tambang kita ini untuk
kehidupan kita sendiri. Dalam UU baru ini nanti, pengelolaan sumber daya alam milik
umum yang berbasis swasta harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum
oleh negara. Tentu dengan tetap berorientasi kepada kelestarian sumber daya alam
tersebut, hasil pengelolaan tambang ini dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Negara sebagai Pelayan Publik


Dengan paradigma bahwa negara dan pemerintahan adalah pelayan publik,
maka derivat-derivat dari permasalahan pertambangan akibat pengelolaan yang
kapitalistik akan tereduksi.
Tentang permasalahan bencana misalnya, angka-angka bencana akan
terpangkas dengan pengelolaan yang terencana, berbasis rakyat dan berorientasi
kesejahteraan umum. Seperti yang dicatat Bakornas PB, sejak tahun 1998 hingga
pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia, di mana
85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor. Persentase tersebut
berarti bahwa bencana terbesar yang terjadi justru bencana yang bisa diatasi,
diantisipasi kejadian dan resikonya. Bencana banjir dan tanah longsor adalah bencana
yang terjadi bukan hanya karena faktor alamiah alam, namun lebih banyak karena
campur tangan manusia. Bencana banjir dan tanah longsor merupakan bencana yang
“bisa direncanakan”.

16
Bencana Alam di Indonesia (1998-2003)
Jenis Jumlah Kejadian Korban Jiwa Kerugian (juta rupiah)
Banjir 302 1066 191.312
Longsor 245 645 13.928
Gempa bumi 38 306 100.000
Gunung berapi 16 2 n.a
Angin topan 46 3 4.015
Jumlah 647 2022
Sumber: Bakornas PB.

Seperti halnya catatan Walhi (2004), banjir dan longsor di Bukit Lawang,
Bohorok 2003, banjir dan kekeringan di kawasan ekosistem Leuser, banjir bandang di
Jawa Tengah dan Langkat 2003, longsor di Mandalawangi Garut 2003, banjir dan
longsor di NTT 2003, kebakaran hutan di Palangkaraya, dan kekeringan di seluruh
pulau Jawa, semuanya disebabkan karena mismanagement dan human error. Artinya,
dengan paradigma pembangunan yang eksploitatif dan kapitalistik, keseimbangan
ekosistem akan terganggu akibat penambangan massif, illegal logging, kongkalikong
(oknum?) pemerintah dengan perusahaan eksplorasi swasta lokal ataupun asing.
Walhi menyebut sebagai ‘sejuta bencana terencana di Indonesia’.
Dengan paradigma pengelolaan SDA yang berbasis kesejahteraan umum,
maka penyebab bencana akan tereduksi hingga pada tingkat penyebab yang diluar
kuasa manusia, atau faktor natural menyangkut aspek hidrologi (air bawah tanah dll.),
meteorologi (kecuacaan) dan geologi (pergeseran lempeng, tsunami dll.). Sementara
itu penyebab yang lain menyangkut faktor legal-formal (agraria dll.), faktor tekno-
kultural (tata-ruang, tata guna lahan, perencanaan kawasan dll.), hingga faktor sosio-
politik (korporatokrasi, kapitalisme, kelalaian penguasa dll.) akan dengan sendirinya
tereduksi.
Tidak hanya itu saja, bahkan untuk memperkecil pencetus terjadinya bencana
akibat faktor natural, negara akan berusaha memperkecil (jika tidak bisa meniadakan)
kerugian yang mungkin akan terjadi melalui manajemen bencana yang sistematis.
Pengadaan peta-peta tematik kebencanaan hingga spot-spot yang detail, juga mitigasi
baik secara struktural maupun non-struktural, akan dilakukan oleh negara yang
‘menyayangi’ rakyatnya. Dengan kesiapan pemerintah beserta seluruh aparatnya,
dampak negatif bencana akan sangat terbatas mengemuka.
Demikian pula dengan permasalahan ekologi. Tanpa perlu repot-repot
mengadakan kampanye cinta lingkungan, atau memainkan spiritualitas baru yang
menganggap lingkungan sebagai ‘tuhan’ yang menentukan hidup matinya komunitas
manusia, dengan paradigma pembangunan yang berbasis kesejahteraan umum, maka
keseimbangan lingkungan akan terjadi dan keberlangsungan ekologi akan tercapai.
Secara otomatis, keberlanjutan kehidupan anak manusia juga akan terjamin.
Kemudian menyangkut pelanggaran terhadap sumber-sumber kehidupan
masyarakat, itupun tidak akan terjadi. Negara yang cinta rakyatnya akan menghormati
hak-hak kepemilikan individu yang memang menjadi hak asasi alamiah manusia.
Negara mengormati kepemilikan pribadi (individual property) yang didapatkan
dengan cara-cara yang sah, legal dan halal. Bahkan negara akan menjamin keamaanan
kepemilikan individu itu jika menghadapi ancaman atau gangguan dari individu,
kelompok atau bahkan negara lain. Kehilangan jiwa seorang individu saja, bahkan
harta kekayaan yang sah seorang individu yang diakibatkan oleh kelalaian atau
kesengajaan pihak lain akan mengakibatkan negara membela dengan segera dan
menyelesaikannya secara jantan. Maka dalam hal ini tidak akan terjadi perampasan
tanah pribadi atas nama ‘kepentingan umum’ untuk kepentinngan korporat-korporat

17
pertambangan misalnya, atau tidak akan muncul konflik Buyat yang menempatkan
rakyat Buyat seolah-olah sebagai anak tiri (atau anak yatim?) pemerintah.
Kasus-kasus pelecehan terhadap perempuan juga tidak akan terjadi. Wanita
sebagai tiang negara akan menjadi asas negara yang mencintai rakyatnya. Kasus
pemerkosaan, pembunuhan, penularan penyakit-penyakit berbahaya, pembayaran
upah yang tertunda dan minimalis tidak akan terjadi. Negara yang cinta rakyatnya
akan menempatkan perempuan sesuai dengan kedudukannya yang mulia. Kedudukan
perempuan bukan sebagai the second level, karena perempuan memiliki peran yang
luar biasa penting. Penyiapan generasi penerus yang kuat, cerdas dan berkualitas
sangat tergantung dari peran para perempuan. Dimata hukum perempuan juga tidak
dipandang sebelah mata, dia akan ditempatkan sesuai dengan kapasitasnya. Dalam
ranah privat dan publik perempuan akan menjadi mitra yang harmonis bagi laki-laki.
Semua itu terjadi jika pembangunan SDM dan SDA yang dilakukan negara berbasis
kesejahteraan dan bukan berparadigma kapitalistik. Paradigma kapitalistik
menyebabkan posisi perempuan sebagai obyek pemuas nafsu laki-laki, sebagai
binatang pelengkap dan bahkan tidak dianggap apa-apa.
Yang terakhir dari segi pemenuhan hak-hak kewarganegaraan. Paradigma
pengelolaan SDA oleh negara yang cinta rakyatnya akan mengacu pada tujuan
dibentuknya negara, yaitu kebahagiaan rakyat (bonum publicum). Perlu diingat
pernyataan Dwitunggal Indonesia. Sukarno pernah mengatakan, “Jikalau kita betul-
betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong-
menolong, paham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran,
tiap paham individualisme dan liberalisme daripadanya.” Hatta meneruskan,
“Walaupun yang dibentuk itu negara kekeluargaan, namun jangan lupa beberapa hak
dari warga negara, jangan sampai timbul negara kekuasaan (machtsstaat/negara
penindas).”
Semua hal itu akan terealisasi jika negara berparadigma kesejahteraan umum.
Kepemilikan individu dihormati dan diamankan, kepemilikan umum akan dikelola
oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan negara hanya memiliki aset-
aset yang tidak bisa menjadi hal milik individu namun juga tidak menjadi hajat hidup
orang banyak seperti pantai, tanah gersang/mati dll. Negara yang demikian itu akan
benar-benar menjadi negara yang mencintai rakyatnya dan negara yang dicintai
rakyatnya. Bagaimana Indonesia masa depan?

Menuju Masa Depan Gemilang


Dengan menempatkan aset-aset sesuai dengan konsep kepemilikan yang tepat,
paradigma pembangunan yang bertujuan untuk mencapai kebahagiaan bersama, maka
pengelolaan pertambangan mineral dan energi akan dipergunakan sebaik-baiknya
untuk kesejahteraan bersama dan menjamin keberlanjutan keseimbangan ekologis dan
kehidupan umat manusia. Paradigma kapitalistik, neoliberalistik dan korporatokrasi
harus segera dibersihkan dari otak-otak penyelenggara pemerintahan dan juga rakyat.
Kemandirian, kepercayaan diri dan keberanian untuk lepas dari pengaruh asing juga
harus segera dibentuk pada jiwa-jiwa anak bangsa. Semuanya itu jika kita semua
menginginkan Indonesia yang besar di masa mendatang. Indonesia yang bersatu, yang
mandiri, dan yang benar-benar merdeka.
Maka, teringatlah gelegar orasi Bung Karno, “Sungguh, kamu bukan bangsa
cacing, kamu adalah bangsa berkepribadian banteng! Hayo, maju terus! Jebol terus!
Tanam terus! Vivere Pericoloso! Ever onward, never retreat! Kita pasti menang.”***

18
DAFTAR ACUAN

Buku dan Makalah


Budiardjo, M. 1999. Dasar-dasar Ilmu Politik. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Kalo, S. 2004. Pencetus Timbulnya Sengketa Pertanahan antara Masyarakat Versus
Perkebunan di Sumatera Timur, Dari Zaman Kolonial Sampai Reformasi.
Program Studi Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera
Utara.
Kampanye Walhi, 14 Mei 2004. Sejuta Bencana Terencana di Indonesia
Rusaknya Lingkungan Sumber Bencana di Indonesia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1988. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia.
Kampanye Walhi, 27 Mei 2004. Pertambangan di Indonesia: Eksploitatif dan
Merusak
Perdana, R.H. 2003. Air, Dari Soal Kucuran Utang hingga Arus Kapitalisme Global.
Makalah untuk pengantar diskusi terbatas di Pusat Studi HAM Universitas
Airlangga. Surabaya.
Perkins, J. 2004. Confessions of an Economic Hit Man. Plume. USA.
Rakhmat, J. 1996. Retorika Modern, Pendekatan Praktis. Penerbit PT Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Siaran Pers Walhi, 21 Juli 2004. Bank Dunia Harus Keluar dari Bidang Minyak, Gas
dan Pertambangan.
Silitonga, N., A. Ruddick, Wignall FS. 2002. Mining, HIV/AIDS and women – Timika,
Papua Province, Indonesia. Anthology of Tunnel Vision Women, Mining
and Communities Oxfam Community Aid Abroad. Victoria, Australia.
Subandoro. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Optimal. Makalah sebagai
tanggapan terhadap TAP MPR No.IX dan No.X Tahun 2001 dan sebagai
masukan untuk Rencana Perubahan Undang-Undang Pertambangan. Jakarta.
Wahju, B.N. 2003. Current Status of The Indonesian Mining Industry. Makalah pada
Seminar “The Future of Oil & Gas, Mining Industry Investment in
Indonesia”. UNPAD. Bandung

Media Massa:
Gatra, 10/1998
International Herald Tribune, 3/4/2000
Kompas, 12/11/ 2005
Kompas, 5/1/2006
Kompas, 19/3/2006
Kompas, 27/03/2006
Kontan, 6/9/2004
Republika, 6/3/2006
Republika, 15/3/2006
Republika, 29/06/2006
RRI-Online, 7/2/2006
Sabili, 16/02/2006
SWA, April-Mei, 1996
The New York Times, 27/12/2005
Waspada, 16/12/2005

19
LAMPIRAN

Kartu Tanda Identitas Diri

20

You might also like