You are on page 1of 10

MAKALAH PENDEK DISKUSI ARKEOLOGI PRASEJARAH KETERKAITAN ANTARA TEKNOLOGI PEMBUATAN ALAT BATU DENGAN SUMBER BAHAN STUDI

KASUS TEMUAN ALAT BATU DI SITUS GUA-GUA GUNUNG SEWU DAN GUNUNG WATANGAN Pendahuluan Masa Plestosen, sekitar 1,8-11.800 tahun lalu merupakan periode penting dalam perubahan lingkungan global. Ditandai dengan proses glasiasi (meningkatnya suhu bumi kemudian menyebabkan es mencair) yang mengakibatkan perubahan tinggi muka air laut. Pada masa Plestosen berbagai perubahan iklim terjadi, dan hal ini terjadi di seluruh dunia. Di Nusantara, fase glasial-interglasial menyebabkan perubahan bentuk paleogegrafis, dan tiap periode memunculkan bentuk-bentuk yang berbeda, tergantung dari fluktuasi atau naik-turunnya muka air laut. Ketika pada masa interglasial tinggi muka air laut turun, terjadi perluasan area di sebelah barat kepulauan. Sumatra, Jawa, dan Kalimantan, yang disebut paparan Sunda, terhubung dengan paparan benua Asia Tenggara. Sedangakan wilayah di sebelah timur Nusantara, Australia, Irian, dan kep.Aru bersatu dalam area paparan Sahul. Proses glasiasi dan tektonik yang berlangsung selama periode Plestosen mengakibatkan kenaikan dan penurunan level air laut yang mana menciptakan bentuk Nusantara sekarang ini (Sartono, 1991). Perubahan-perubahan yang paling mendasar tersebut telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan dan lingkungan di sekitarnya (Simanjuntak, 1997; 1998). Termasuk juga fenomena biologis yang terjadi, ketika para ahli berpendapat pada masa 40.000 tahun lalu adalah masa dimana manusia modern yakni, Homo Sapiens muncul dan berkembang. Berdasarkan penelitian di berbagai situs,

dapat diasumsikan bahwa Homo sapiens telah sampai di Asia Tenggara dan bahkan Australia dan Melanesia Barat (Bowdler, 1990; Jones; 1979). Fenomena lain yang muncul pada masa akhir Plestosen adalah trend baru aktifitas hunian yang berorientasi pada gua-gua dan ceruk-ceruk batu. Banyak gua dan ceruk batu yang digunakan sejak akhir Plestosen hingga awal Holosen (Simanjuntak, 1997). Kehidupan di gua-gua dan ceruk-ceruk di wilayah Gunung Sewu dan Gunung Watangan dalam hal ini menjadi bukti nyata okupasi manusia prasejarah pada masa awal hunian gua di Nusantara. Ketika manusia telah menetap dan memiliki tempat tinggal yang memadai, dalam hal ini gua atau ceruk yang memang relatif lebih aman, maka mereka akan memilki waktu luang untuk kemudian mencoba mengembangkan kemampuan berpikirnya. Misalnya adalah menciptakan sesuatu (alat) yang bisa mempermudah mereka untuk bertahan hidup. Pembuatan alat batu adalah suatu bentuk usaha manusia dalam memanfaatkan bahan-bahan yang disediakan alam untuk memudahkan pekerjaan sehariharinya. Variasi yang muncul pada temuan alat batu baik dari segi bentuk maupun bahan dasar pembuatannya membuktikan bahwa manusia pada masa itu telah mampu menemukan tidak hanya satu teknologi pembuatan alat batu. Temuan di situs Gunung Sewu dan Gunung Watangan dapat dijadikan sampel untuk mengetahui ada atau tidaknya keterkaitan teknologi pembuatan alat batu dengan sumber bahannya. Pembahasan Temuan Alat Batu (litik) Gunung Sewu Gunung Sewu termasuk dalam gugusan pegunungan kapur bagian selatan dengan bentuk topografi yang berbukit-bukit. Gunung Sewu memiliki banyak sekali potensi arkeologis karena telah sejak lama dikenal sebagai lokasi ditemukannya temuan-temuan

bukti keberadaan manusia prasejarah. Situs-situs gua atau ceruk yang termasuk dalam area Gunung Sewu diantaranya adalah Song Braholo, Song Tritis, Song Keplek, Song Terus, dan Song Gupuh. Situs-situs tersebut diatas merupakan situs yang kaya akan temuan tidak hanya alat batu tetapi juga temuan artefak lainnya (gerabah, kerang, kerngka manusia). Ketika membicarakan mengenai teknologi pembuatan pada temuan alat batu maka tidak akan lepas dari penyebutan khusus satu budaya pembuatan alat yakni, Pacitanian. Budaya Pacitanian, seperti namanya memang merujuk pada alat-alat batu yang ditemukan di situs-situs Gunung Sewu, kab.Pacitan. Dimana alat-alat batu nya memiliki bentuk yang spesifik, dengan ciri khasnya adalah chopper-chopping tool (kapak perimbas-penetak). Alat-alat batu yang digolongkan dalam Pacitanian tua dapat ditemukan pada sepanjang teras Sungai Baksoka. Sungai Baksoka memang tergolong sungai purba (sungai tua) yang mengalir hampir sepanjang 23 km dengan lebar sungai 50 meter dari sumber mata airnya di Gunung Batok. Sungai Baksoka memiliki banyak anak sungai yang mengaliri seluruh wilayah Pacitan. Kapak genggam dengan teknologi pembuatan bifasial (diserpih kedua sisinya) menciptakan bentuk alat batu yang hampir simetris, terbuat dari batugamping kersikan (silicified limestone) (Bartstra,1976), bahan dasar yang memang banyak terdapat di sekitar sungai Baksoka. Bahan dasar lain yang biasa digunakan untuk pembuatan alat batu adalah tuff kersikan dan fossil kayu. Kemudian pada masa akhir Plestosen, sekita 40.000-12.000 tahun lalu muncul trend baru tempat hunian manusia yang berorientasi di gua atau ceruk-ceruk di pegunungan kapur. Aktivitas di sekitar sungai mulai ditinggalkan, dan beralih pada gua atau ceruk. Kondisi yang lebih aman (baik dalam hal perubahan cuaca maupun binatang

buas) memungkinkan manusia untuk melakukan inovasi-inovasi dalam kehidupannya. Perkembangan teknologi yang luar biasa terjadi pada periode ini terutama pada pembuatan alat batu. Ketersediaan berbagai jenis batuan di sekitar area hunian memancing perkembangan industri teknologi batu. Di Gunung Sewu bagian utara, alat batu umunya dibuat dari batuan chert (rijang), dan sebagian kecil dari batuan lain seperti andesit dan jasper (jaspis). Batuan rijang (berwarna kecoklatan, kehitaman, kemerahan, kekuningan) yang paling banyak ditemukan di wilayah ini, sedangkan di wilayah Gunung Sewu bagian barat, batuan rijang atau batu kersikan jarang ditemukan. Sehingga jenis batuan yang dijadikan bahan dasar pembuatan alat batu lebih bervariasi. Beberapa temuan alat batu menunjukkan bahwa jenis batu kapur, andesit dan jasper ( berwarna kehitaman, coklat, merah tua) juga telah dieksploitasi. Alat batu yang umum ditemukan pada gua-gua hunian prasejarah di wilayah timur Gunung Sewu, dimana batuan rijang melimpah, adalah alat-alat yang cenderung berukuran kecil. Diantaranya adalah alat serpih, serpih-bilah, penyerut, dan lancipan. Contohnya adalah temuan alat serpih di Song Braholo dan Song Keplek yang sebagian besar tebuat dari batuan rijang dan batu kersikan (disamping batu kapur, andesit, kalsedon, jasper, dll). Alat serpih yang ditemukan menunjukkan tanda-tanda bekas pakai (retus) yang jelas. Teknologi pembuatannya adalah dengan pemangkasan langsung seperti ini dikarenakan sifat batuan rijang yang keras (antara 6-7 dalam skala Mohs), sehingga otomatis membentuk sudut tajaman ketika diserpih dari batu intinya. Alat batu yang ditemukan di Song Braholo yang terbuat dari batu kapur bisa berupa serpih tebal maupun batu inti. Apabila dibandingkan, alat batu serupa juga ditemukan di tempat lain seperti di Gua Tabuhan dan Song Keplek, hanya saja sebagian

besar serpih tebal dan batu intinya dari batuan rijang. Yang menarik, di Song Braholo juga ditemukan beberapa alat batu dari bahan andesit, diantaranya adalah andesitic pebble (alat pebble andesit). Batuan andesit ini digunakan sebagai kapak batu, dilihat dari bekas luka pada permukaannya. Ada pula indikasi yang menunjukkan bahwa batuan ini juga digunakan dalam proses pembuatan alat serpih, ditunjukkan oleh bekas luka serpihan pada permukaannya. Jenis batuan andesit seperti ini biasanya ditemukan di daerah dekat sungai, padahal didekat Song Braholo tidak terdapat sungai. Sungai terdekat berjarak 10 km timur laut Song Braholo, yakni sungai Dungrahu, Alang, dan Ngendang. Jadi, ada kemungkinan batuan andesit ini terbawa sungai-sungai di daerah timur laut sampai ke dekat Song Braholo. Berdasarkan temuan-temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa alat-alat batu yang berbahan dasar dari chert (rijang) ataupun batu kersikan memiliki ukuran yang relatif kecil (kurang dari 5cm) dibandingkan dengan alat-alat batu yang terbuat dari jenis batuan yang lebih lunak seperti andesit, limestone, atau jaspis (dengan kekerasan antara 4-6 dalam skala Mohs). Temuan Alat Batu (litik) Gunung Watangan Gunung Watangan merupakan barisan pegunungan karst yang kondisi geologisnya mirip dengan kondisi geologis dan geomorfologis Gunung Sewu. Situs gua prasejarah umumnya memang memiliki kondisi-kondisi yang relatif sama. Diantaranya adalah, sama-sama berada pada wilayah dengan morfologi karst dan memiliki tipe-tipe sungai tua. Hal ini otomatis mempengaruhi kondisi batuan yang ada di sekitar lokasi gua prasejarah tersebut. Demikian pula pada gua-gua atau ceruk yang merupakan situs prasejarah di Gunung Watangan. Kesamaan kondisi geomorfologisnya menyebabkan

temuan-temuan alat batu di situs gua prasejarah Gunung Watangan dan Gunung Sewu, dalam beberapa hal memiliki kemiripan. Meski begitu ada beberapa poin menarik pada temuan alat-alat batu pada gua-gua Gunung Watangan yang menjadikannya berbeda dari temuan di situs-situs Gunung Sewu. Situs-situs yang berada di Gunung Watangan dibagi menjadi dua kelompok. Gua Sodong, Gua Marjan dan Gua Macan, merupakan situs gua prasejarah yang termasuk dalam kelompok Jember. Kelompok yang lain adalah kelompok Tuban, yakni situs-situs yang terletak dekat pantai dan situs semi Gua Cantelan. Situs pedalaman yakni situs gua Gunung Watangan, masa huniannnya di gua-gua Gunung Watangan diperkirakan hampir bersamaan dengan hunian situs Gunung Sewu, yakni akhir Plestosen hingga awal Holosen. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di situs-situs tersebut, dapat dikategorikan bahwa Gua Macan merupakan situs hunian (tempat tinggal), Gua Marjan merupakan tempat penguburan, kemudian terdapat satu situs lain yakni, Gua Gelatik yang diduga digunakan sebagai situs perbengkelan. Temuan-temuan alat batu yang ditemukan pada Gua Marjan, Sodong, maupun Gua Macan relatif sama. Yakni terdiri dari alat-alat batu berupa alat serpih, alat bilah, kapak perimbas, kapak penetak, serut, mata panah, kapak pendek, dan kapak genggam. Kapak genggam Sumatralith atau dikenal sebagai kapak Sumatralith juga ditemukan di situs Gua Sodong dan Gua Marjan. Kapak genggam ini dibuat dari bahan andesit dengan teknologi pemangkasan pada satu sisi (monofacial), teknik bipolar yakni cara meletakkan bahan dasar pada sebuah landasan yang kemudian dipukul dengan sebuah batu pemukul. Kapak Sumatralith berbentuk lonjong, bulat atau runcing. Temuan kapak Sumatralith ini sekaligus menjadi ciri-ciri masa mesolitik. Alat batu dari bahan batu gamping juga

banyak ditemukan. Seperti serpih bilah yang tergolong sederhana. Pengerjaanya dengan cara melepaskan serpihan dari gumpalan batu dengan pemangkasan khusus secara langsung atau tidak langsung digunakan. Perbedaan bahan dasar batu dengan tingkat silikaan rendah (gua-gua Gunung Watangan) dengan bahan dasar batu yang tingkat silikaan tinggi (gua-gua Gunung Sewu) memberikan dampak pada perbedaan alat batu. Sedangkan teknologi yang digunakan dalam industri pembuatan alat batu di dua kelompok situs gua prasejarah ini relatif sama (setara). Alat batu yang dihasilkan dari bahan dasar batu dengan tingkat silikaan rendah (kekerasan tidak mencapai angka 6-7 dalam skala Mohs) berukuran relatif besar (masif). Sedangkan alat batu yang dihasilkan dari bahan dasar dengan tingkat silikaan tinggi relatif kecil (mikrolit). Sedangkan pengaruh bahan dasar batuan pada masing-masing situs tersebut hanya tampak pada ukuran alatnya saja. Industri alat batu pada Gua Watangan menunjukkan alat-alat batu yang relatif besar (masif) dikarenakan

pemangkasan dan penyerpihan yang tidak optimal. Hal ini disebabkan bahan dasar dengan tingkat silikaan rendah (cenderung lebih rapuh) sulit dikendalikan proses pemangkasannya. Kesimpulan Alat-alat batu dari Gunung Sewu mewakili tipe alat batu yang terbuat dari bahan dasar batuan dengan tingkat silikaan tinggi. Ditunjukkan dengan banyaknya temuan alat-alat batu yang terbuat dari batuan chert atau batuan rijang atau kalsedon. Batuan dengan kadar silikaan tinggi tersebut merupakan bahan dasar terbaik untuk dibuat menjadi alat batu. Teknologi yang diterapkan pada pembuatannya adalah pemangkasan langsung dengan membenturkan ke batu lain. Yang lebih spesifik, kapak perimbas

(chopper) dipangkas secara monofasial (satu sisi permukaannnya saja), yang biasanya berbentuk bundar, semi oval, atau lurus. Sedangkan kapak penetak (chopping) umumnya dipangkas secara bifasial (yakni dikedua sisi permukaannya). Untuk alat serpih, yang merupakan jenis alat batu yang paling banyak ditemukan, teknik pembuatannya adalah dengan pemangkasan langsung tanpa penajaman di kedua sisinya. Sifat batuan rijang yang keras mempengaruhi proses pemangkasan, jadi secara otomatis batuan rijang tersebut akan membentuk sudut tajaman ketika dipangkas dari batu intinya. Sedikit berbeda dengan alat-alat batu yang ditemukan pada gua-gua prasejarah Gunung Sewu, alat-alat batu yang ditemukan di gua-gua atau ceruk di sekitar kaki Gunung Watangan umumnya berbahan dasar silicified andesit dan silicified limestone (gamping kersikan). Tingkat silikaan batu andesit dan batu kapur relatif lebih rendah. Oleh karena itu temuan alat-alat batu seperti kapak genggam atau kapak pendeknya cenderung berukuran lebih besar. Hal ini dikarenakan batuan-batuan tersebut lebih rapuh sehingga pengendalian pemangkasannya sulit. Tingkat silikaan batu mempengaruhi kekerasan batu yang berpengaruh pada pengendalian pangkasan dalam pembuatan alat (Nurani, 2004). Perbedaan ukuran alat batu yang dipengaruhi oleh jenis batuan tidak terlepas dari pengaruh sumber bahannya. Kondisi paleo-lingkungan suatu wilayah tempat gua atau ceruk prasejarah memiliki peranan besar dalam menyediakan sumber bahan untuk pembuatan alat batu. Pada akhirnya, lokasi sumber bahan serta bahan dasar alat batu secara langsung berpengaruh dalam pembuatan alat batu itu sendiri, dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap ukuran alat-alat batu yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA Wiratno, Agung.1998.Skripsi S-1. Perbedaan Bentuk Budaya Masyarakat Penghuni GuaGua Prasejarah di Jawa Timur & Sulawesi Selatan.Universitas Gadjah Mada. Nurani, Indah Asikin.2005.CORE-PERIPHERY PERMUKIMAN GUA JAWA TIMUR. Naditira Widya 14/2005. Balai Arkeologi Banjarmasin.

Nurani, Indah Asikin.1996.Teknologi Alat batu dan Konteksnya Pada Komunitas Gua Gunung Watangan. PIA VII, Cipanas 12-16 Maret.Jakarta:Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Handini, Retno.2002.Gunung Sewu in Prehistoric Times.Editor:Truman Simanjuntak, Retno Handini, Bagyo Prasetyo.Jakarta:IAAI. Hidayat, Muhammad.2001.Tingkat Patinasi dan Pembundaran Artefak Litik sebagai Petunjuk Posisi Stratigrafis dan Lokasi Asal Pengendapan:Kajian Artefak Lembah Sungai Baksoka.Berkala Arkeologi Tahun XXI (2) November

2001.Yogyakarta:Balai Arkeologi Yogyakarta. Handini, Retno & Widianto, Harry.1998.Song Keplek:Okupasi Intensif Manusia Pada Periode Pasca-Plestosen di Gunung Sewu.Berkala Arkeologi Tahun XVIII (2) November 1998.Yogyakarta:Balai Arkeologi Yogyakarta. Intan, M.Fadhlan S.2008.Geologi Situs Paleolitik Pacitan Bagian Timur Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur.AMERTA:Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi.Jakarta:Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Badan Pengembangan Sumberdaya Kebudayaan&Pariwisata, Departemen Kebudayaan&Pariwisata. Widianto, Harry.1996.Situs Sangiran:Interpretasi Baru Berdasarkan Hasil Penelitian Terakhir.Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII jilid 2.

TUGAS MAKALAH PENDEK MATA KULIAH ARKEOLOGI PRASEJARAH Dosen: Prof.Dr.Sumijati Atmosudiro DR.Mahirta

Disusun Oleh: Citra Iqliyah Darojah (08/267943/SA/14362)

ARKEOLOGI

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2010

You might also like