You are on page 1of 28

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING 1 BLOK TROPICAL MEDICINE CUTANEUS LARVA MIGRANS

Tutor : dr. Khusnul Muflikhah

Disusun Oleh : Kelompok 5 GALIH RAKASIWI RAHMAH FITRI UTAMI MUFTI AKBAR FAHMY BEN BELLA IRHAM TAHKIK SURYANA JEANITA INDRIASARI AULIA RAHMAWATI DIAN KRISTIANI I.O. ALDILA VIDYA D.A. IKA SUHARTATI ANDHITA CHAIRUNNISA G1A008014 G1A008035 G1A008040 G1A008047 G1A008067 G1A008068 G1A008069 G1A008076 G1A008082 G1A008099 G1A008115

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER PURWOKERTO 2011

BAB I PENDAHULUAN

Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu metode pembelajaran yang bertujuan untuk menyiapkan mahasiswa dalam menghadapi suatu kasus yang nantinya akan timbul dalam masyarakat jika kelak sudah menjadi seorang dokter. Selain itu, metode tersebut juga

menyiapkan mahasiswa agar mampu menggunakan prinsip-prinsip komunikasi yang efektif dalam hubungan antar teman saat berdiskusi. Melalui PBL, mahasiswa diharapkan akan mampu menggunakan komunikasi efektif saat berkomuikasi dengan pasien nantinya. Metode pembelajaran tersebut menuntut mahasiswa untuk menggunakan sarana informasi yang sudah tersedia seperti buku, internet, jurnal dan sarana informasi lain untuk mencari bahan dan menjadi acuan dalam mempelajari setiap permasalahan medis yang dimunculkan dalam proses diskusi. Metode PBL menuntut mahasiswa untuk mampu menjelaskan hubungan antara ilmu kedokteran dasar dengan ilmu-ilmu kedokteran klinis yang praktis dan dapat dengan mudah dipahami dan dimengerti serta diaplikasikan dalam praktek. Adapun scenario PBL kasis 1, yaitu :

INFO 1 : Bapak M, 5 tahun, datang ke poliklinik dengan keluhan gatal di telapak kaki kanan. Gatal dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Bapak M bekerja sebagai penebang kayu di hutan dan terbiasa tidak memakai alas kaki pada saat bekerja.

INFO 2 : Telapak kaki kanan gatal, agak nyeri, tampak kemerahan, terdapat terowongan berkelok-kelok. Karena sering gatalpenderita sering menggaruk. 2 hri sebelum datang berobat, pasien mengeluhkan adanya batuk. Pemeriksaan tanda vital: Suhu: 38 C Tekanan darah : normal Pemeriksaan paru: Pada auskultasi terdapat ronki basah halus di kedua lapang paru.

INFO 3 : Pemeriksaan darah Px feses 2 x24 jam Ro thoraks : eosinofilia (+) : larva filariform (+) : infiltrate kedua lapang paru (+)

Hasil biopsi sebagai berikut. Photomicrograph of skin showing creeping eruption nematoda in burrow X 480 (Kirby Smith, et. al.)

BAB II ISI DAN PEMBAHASAN

A. KLARIFIKASI ISTILAH Gatal atau pruritus adalah sensasi tidak nyaman di kulit yang menimbulkan keinginan untuk menggaruk daerah tertentu.

B. BATASAN MASALAH Identitas : Nama : Bapak M Usia : 55 tahun : gatal : telapak kaki kanan : 1 minggu yang lalu : : Penebang kayu : tidak memakai alas kaki saat bekerja di hutan

Keluhan Utama Lokasi Onset Riwayat Sosek Pekerjaan Kebiasaan

C. IDENTIFIKASI MASALAH 1) Penyebab Gatal 2) Patofisiologi Gatal 3) Informasi Tambahan yang Dibutuhkan 4) Interpretasi Informasi 2 5) Diagnosa Banding

D. ANALISIS MASALAH 1) Penyebab Gatal Gatal atau pruritus dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah : a. Infeksi bakteri, virus, jamur dan parasit b. Alergi c. Penyakit sistemik

d. Kehamilan (Djuanda, 2005) Menurut Twcross, jenis penyebab pruritus digolongkan menjadi beberapa kelompok : a. Gatal pruritoseptif : gatal yang berasal dari kulit dan terjadi akibat adanya pruritogen, seperti kulit yang kering, terjadi inflamasi, serta terjadi kerusakan kulit. b. Gatal neuropatik : gatal yang terjadi akibat terdapatnya lesi dijaras aferen penghantaran impuls, seperti neuralgia dan gangguan serebrovaskuler. c. Gatal neurogenik: gatal yang berasal dari pusat (sentral) disertai keadaan patologis. Contohnya adalah sumbatan kantung empedu yang akan meningkatkan kadar senyawa opoid yang akan memicu timbulnya pruritus. d. Gatal psikogenik: gatal yang cenderung ditimbulkan akibat aktivitas psikologis dan kebiasaan berulang. Misalnya ketakutan terhadap parasit (parasitofobia) dapat menyebabkan sensasi gatal. (Djuanda, 2007)

2) Patofisiologi Gatal Mekanisme pasti sampai saat ini belum jelas. Diduga banyak neurotransmitter yang berperan dalam proses tersebut diantaranya adalah neuropeptida, VIP dan calcitonin. Secara umum gatal disebabkan oleh 4 hal yaitu alergen, iritan, keringat dan elembapan. Rangsangan dapat dicetuskan oleh mediator inflamasi diantaranya histamin rasa gatal ditimbulkan oleh serabut ujung saraf bebas dekat perbatasan dermis dan epidermis. Dihubungkan secra sentripetal oleh sistem saraf afferent masuk ke corda spinalis melewati dorsal. Saraf yang sensitif terhadap gatal, kecil, tidak bermielin dengan konduksi yang lambat. Rangsangan tersebut akan sampai ke thalamus akhirnya rangsangan terhubung pada korteks serebral. Misalkan area rangsang pada central girus belakang. Lokasi tersebut akan diketahui dan dirasakan sesuai intensitas dan kualitas gatal tersebut. Pruritus merupakan hasil stimulasi ringan pada sel saraf. Garukan memperingan rasa gatal karena mengubah ritme impuls efferen pada korpus spinalis.

3) Informasi Tambahan yang Dibutuhkan a. Anamnesis 1. RPS

a. Gejalan gatalnya seperti apa? b. Pola penyebaran bagaimana? c. Adakah gejala penyerta seperti mual,muntah,lemah,letih dan lesu? 2. RPD a. Adakah riwayat penyakit internal seperti DM, ginjal atau hepar? b. Apakah ada riwayat alergi? c. Apakah ada riwayat kontak dengan bahan irritan? d. Riwayat pengobatan? 3. RPK a. Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit yang sama? b. Apakah ada riwayat penyakit DM? 4. RPSOSEk a. Bagaimana personal hygene? b. Dimana tempat tinggalnya dan satu rumah untuk berapa orang?

b. Pemeriksaan fisik 1. UKK 2. Tanda vital 3. Pemeriksaan fisik semua sistem

c. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan darah lengkap 2. Pemeriksaan fungsi hati, ginjal dan gula darah untuk mengetahui adanya penyakit interna 3. Pemerksaan feses: apakah terdapat telur atau larva cacing 4. Pemerisaan prick test: mengetahui apakah terdapat alergi 5. Pemeriksaan sputum: akah terdapat penyakit paru yang mendasari

4) Interpretasi Informasi 2 Status lokalis: tampak papul eritem, vesikel, canalikuli, ekskoriasi, krusta, panjang kanalikuli=6 cm.

Dari info 2 didapatkan: Di telapak kaki pasien ditemukan creeping eruption, pasien mengalami demam dan ditemukan suara ronki basah halus di kedua lapang paru.

5) Diagnosa Banding a) Cutaneus Larva Migrans 1. Sinonim: Sand Worms Eruption, Creeping Eruption 2. Etiologi: a. Ankilostoma brasiliense b. Ankilostoma caninum

c. Ankilostoma duodenale d. Necator americanus e. Strongyloides sterconalis ( Lynne S. Garcia & David A. Bruckner, 1996 ) 3. Patofisiologi Bila larva filariform menembus kulit, timbul kelainan kulit yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai rasa gatal yang hebat. Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus. Infeksi ringan terjadi pada umumnya tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti ditusuk-tusuk didaerah epigastrik dan disertai mual dan muntah, diare dan konstipasi saling bergantian. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan diseluruh traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan pada paru, hati dan kandung empedu. Larva menembus kulit tetapi tidak mencapai pembuluh darah dan menyebar disubkutis. Pada tempat masuk larva tampak papula yang selnjutnya menjalar dan berkelok-kelok, polisiklis sehingga tampak merupakan garis liniar atau berkelok-kelok di kulit. Penderita akan merasa gatal dan nyeri. (Inge sutanto et al, 2008) 4. Diagnosis

Dapat dilakukan dengan mencari larva pada ruam yang menjalar. Pada pemeriksaan tinja ditemukan dijumpai larva cacing. (Inge sutanto et al, 2008) 5. Pengobatan (i) Medikamentosa creeping eruption: Krioterapi dengan liquid nitrogen dan Kloretilen spray, tiabendazol topikal selama 1 minggu. Mengobati 18 kasus cutaneus larva migrans dengan albendazol 400 mg selama 5 hari berturut-turut, mendapaatkan hasil yang sangat memuaskan. (ii) Non medikamenosa 1. Cuci tangan sebelum makan dengan sabun 2. Cuci kaki sampai ke sela-sela jari dengan sabun 3. Menggunakan sandal saat keluar rumah 4. Membuang kotoran di jamban ( Eric Caumes, 2000)

b) Scabies Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya. Beberapa sinonim penyakit ini yaitu: Kudis, The Itch, Gudig, Budukan, Gatal Agogo. 1. Epidemiologi Skabies merupakan penyakit epidemik pada banyak masyarakat. Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemik scabies. Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi dapat juga mengenai semua umur. Insidensi sama pada pria dan wanita. Insidensi skabies di negara berkembang menunjukan siklus fluktasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu epidemic dan permulaan epidemik berikutnya kurang lebih 10-15 tahun. Beberapa factor yang dapat membantu penyebarannya adalah kemiskinan, hygiene yang jelek, seksual promiskuitas, diagnosis yang salah, demografi, ekologi dan derajat sensitasi individual. Insidensinya di Indonesia masih cukup tinggi, terendah di Sulawesi Utara dan tertinggi di Jawa Barat.

2. Etiologi Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthopoda, kelas Arachnida, ordo Ackarina, superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var. hominis, sedangkan varietas pada mamalia lain dapat menginfestasi manusia, tetapi tidak dapat hidup lama. Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini transient, berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Tungau betina panjangnya 300-450 mikron, sedangkan tungau jantan lebih kecil, kurang lebih setengahnya yakni 200 240 mikron x 150 200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki dan bergerak dengan kecepatan 2,5 cm permenit di permukaan kulit. Sarcoptes scabiei betina setelah dibuahi mencari lokasi yang tepat di permukaan kulit untuk kemudian membentuk terowongan, dengan kecepatan 0,5 mm 5 mm per hari. Terowongan pada kulit dapat sampai ke perbatasan stratum korneum dan stratum granulosum. Di dalam terowongan ini tungau betina akan tinggal selama hidupnya yaitu kurang lebih 30 hari dan bertelur sebanyak 2-3 butir telur sehari. Telur akan menetas setelah 3-4 hari menjadi larva yang akan keluar ke permukaan kulit untuk kemudian masuk kulit lagi dengan menggali terowongan biasanya sekitar folikel rambut untuk melindungi dirinya dan mendapat makanan. Setelah beberapa hari, menjadi bentuk dewasa melalui bentuk nimfa. Waktu yang diperlukan dari telur hingga bentuk dewasa sekitar 10-14 hari. Tungau jantan mempunyai masa hidup yang lebih pendek dari pada tungau betina, dan mempunyai peran yang kecil pada patogenesis penyakit. Biasanya hanya hidup dipermukaan kulit dan akan mati setelah membuahi tungau betina.

Sarcoptes scabiei betina dapat hidup diluar pada suhu kamar selama lebih kurang 7 14 hari. Yang diserang adalah bagian kulit yang tipis dan lembab, contohnya lipatan kulit pada orang dewasa. Pada bayi, karena seluruh kulitnya masih tipis, maka seluruh badan dapat terserang.

3. Patogenesis Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Dan karena bersalaman atau bergandengan sehingga terjadi kontak kulit yang kuat, menyebabkan kulit timbul pada pergelangan tangan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. Kelainan kulit dan gatal yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi tungau. Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Dan karena bersalaman atau bergandengan sehingga terjadi kontak kulit yang kuat, menyebabkan kulit timbul pada pergelangan tangan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. Kelainan kulit dan gatal yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi tungau. 4. Cara Penularan Penyakit skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tak langsung. Skabies ditularkan oleh kutu betina yang telah dibuahi, melalui kontak fisik yang erat penularan melalui pakaian dalam, tempat tidur, handuk, setelah itu kutu betina akan menggali lobang kedalam epidermis kemudian membentu terowongan didalam stratum korneum. Dua hari setelah fertilisasi, skabies betina mulai mengeluarkan telur yang kemudian berkembang melalui stadium larva, nimpa dan kemungkinan menjadi kutu dewasa dalam 10-14 hari. Lama hidup kutu betina kira-kira 30 hari, kemudian kutu mati di ujung terowongan. Terowongan lebih banyak terdapat didaerah yang berkulit tipis dan tidak banyak mengandung folikel pilosebasea.

Penyakit ini sangat mudah menular, karena itu bila salah satu anggota keluarga terkena, maka biasanya anggota keluarga lain akan ikut tertular juga. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan lingkungan. Apabila tingkat kesadaran yang dimiliki oleh banyak kalangan masyarakat masih cukup rendah, derajat keterlibatan penduduk dalam melayani kebutuhan akan kesehatan yang masih kurang, kurangnya pemantauan kesehatan oleh pemerintah, faktor lingkungan terutama masalah penyediaan air bersih, serta kegagalan pelaksanaan program kesehatan yang masih sering kita jumpai, akan menambah panjang permasalahan kesehatan lingkungan yang telah ada. 5. Faktor Predisposisi Kebersihan lingkungan sangat penting pada penularan penyakit ini. Scabies pada umumnya terdapat pada komunitas yang berpenghasilan rendah (low income communities) yang kurang memperhatikan kebersihan diri (personal hygiene). Skabies juga dapat terjangkit pada mereka yang tinggal berdesakan seperti pengungsi, anggota tentara pada saat perang, asrama, panti, sekolah, dll. 6. Gejala Klinis Terdapat empat tanda kardinal skabies: a. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas. b. Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya terkena, walaupun mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier). c. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, ratarata panjang 1 cm, pada ujung terowongan ini ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustule, ekskoriasi dan lain-lain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat

dengan stratum korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria) dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki. d. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini. Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda kardinal tersebut. 7. Klasifikasi Skabies Terdapat beberapa bentuk skabies apitik yang jarang ditemukan dan sulit dikenal, sehingga dapat menimbulkan kesalahan diagnosis. Beberapa bentuk tersebut antara lain: a. Skabies pada Orang Bersih Terdapat pada orang yang tingkat kebersihannya cukup. Biasanya sangat sukar ditemukan terowongan. Kutu biasanya hilang akibat mandi secara teratur. Bentuk ini ditandai dengan lesi berupa papul dan terowongan yang sedikit jumlahnya sehingga sangat sukar ditemukan. b. Skabies Inkognito Obat steroid topikal atau sistemik dapat menyamarkan gejala dan tanda scabies, sementara infestasi tetap ada. Sebaliknya pengobatan dengan steroid topical yang lama dapat pula menyebabkan lesi bertambah hebat. Hal ini disebabkan mungkin oleh karena penurunan respon imum seluler. c. Skabies Nodular Pada bentuk ini lesi berupa nodus coklat kemerahan yang agtal. Nodus biasanya terdapat di daerah tertutup, terutama pada genitalia laki-laki, inguinal dan aksila. Nodus ini timbul sebagai reaksi hipersensetivitas terhadap tungau scabies. Pada nodus yang berumur lebih dari satu bulan tungau jarang ditemukan. Nodus mungkin dapat menetap selama beberapa bulan sampai satu tahun meskipun telah diberi pengobatan anti skabies dan kortikosteroid. d. Skabies yang ditularkan melalui hewan

Di Amerika, sumber utama skabies adalah anjing. Kelainan ini berbeda dengan skabies manusia yaitu tidak terdapat terowongan, tidak menyerang sela jari dan genitalia eksterna. Lesi biasanya terdapat pada daerah dimana orang sering kontak/memeluk binatang kesayangannya yaitu paha, perut, dada dan lengan. Masa inkubasi lebih pendek dan transmisi lebih mudah. Kelainan ini bersifat sementara (4 8 minggu) dan dapat sembuh sendiri karena Sarcoptes scabiei pada binatang tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya pada manusia. e. Skabies Norwegia Skabies Norwegia atau skabies krustosa ditandai oleh lesi yang luas dengan krusta, skuama generalisata dan hyperkeratosis yang tebal. Tempat predileksi biasanya kulit kepala yang berambut, telinga bokong, siku, lutut, telapak tangan dan kaki yang dapat disertai distrofi kuku. Berbeda dengan skabies biasa, rasa gatal pada penderita skabies Norwegia tidak menonjol tetapi bentuk ini sangat menular karena jumlah tungau yang menginfestasi sangat banyak (ribuan). Skabies Norwegia terjadi akibat defisiensi imunologik sehingga sistem imun tubuh gagal membatasi proliferasi tungau dapat berkembangbiak dengan mudah. f. Skabies pada bayi dan anak Lesi skabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki dan sering terjadi infeksi sekunder berupa impetigo, ektima sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, lesi di muka. g. Skabies terbaring ditempat tidur (bed ridden). Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus tinggal ditempat tidur dapat menderita skabies yang lesinya terbatas. h. Skabies yang disertai penyakit menular seksual yang lain Skabies sering dijumpai bersama penyakit menular seksual yang lain seperti gonore, sifilis, pedikulosis pubis, herpes genitalis dan lainnya.

8. Komplikasi Bila skabies tidak diobati selama beberapa minggu atau bulan, dapat timbul dermatitis akibat garukan. Erupsi dapat berbentuk impetigo, ektima, sellulitis, limfangitis, dan furunkel. Infeksi bakteri pada bayi dan anak kecil yang diserang scabies dapat menimbulkan komplikasi pada ginjal. Dermatitis iritan dapat timbul karena penggunaan preparat anti skabies yang berlebihan, baik pada terapi awal ataupun pemakaian yang terlalu sering. 9. Pencegahan Pencegahan skabies dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a)

Mencuci bersih, bahkan sebagian ahli menganjurkan dengan cara direbus, handuk, seprai maupun baju penderita skabies, kemudian menjemurnya hingga kering.

b) c)

Menghindari pemakaian baju, handuk, seprai secara bersama-sama. Mengobati seluruh anggota keluarga, atau masyarakat yang terinfeksi untuk memutuskan rantai penularan.

c) Tuberculosis Kutis Tuberculosis kutis adalah tuberculosis pada kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan mikobacteria atipikal. Tuberculosis kutis ini dibedakan menjadi beberapa kelompok, salah satunya adalah tuberculosis kutis verukosa yang infeksinya terjadi secara eksogen, jadi kuman langsung masuk kedalam kulit, oleh sebab itu tempat predileksinya pada tungkai bawah dan kaki. Gambaran klinisnya khas sekali, biasanya berbentuk bulan sabit akibat penjalaran secara serpiginosa, yang berarti penyakit menjalar ke satu jurusan diikuti penyembuhan dijurusan yang lain. Ruam terdiri atas papul-papul lentikular diatas kulit yang eritematosa. Pada bagian yang cekung terdapat sikatrik. Selain menjalar ke perifer sehingga terbentuk sikatrik ditengah. (Djuanda, 2005)

E. SASARAN BELAJAR 1) Anatomi dan Histologi Kulit 2) Fisiologi Kulit

3) Ujud Kelainan Kulit Primer dan Sekunder 4) Ancylostoma sp. 5) Strongyloides sp. 6) Diagnosa Kerja

F. PEMBAHASAN SASARAN BELAJAR 1) Anatomi dan Histologi Kulit Kulit adalah alat indera kita yang mampu menerima rangsangan temperatur suhu, sentuhan, rasa sakit, tekanan, tekstur, dan lain sebagainya. Pada kulit terdapat reseptor yang merupakan percabangan dendrit dari neuron sensorik yang banyak terdapat di sekitar ujung jari, ujung lidah, dahi, dll. Kulit manusia terdiri atas epidermis dan dermis. Kulit juga berfungsi sebagai alat eksresikarena adanya kelenjar keringat (kelenjar sudorifera) yang terletak di lapisan dermis.

Epidermis Epidermis tersusun atas lapisan tanduk lapisan korneum dan lapisan Malpighi. Lapisan korneum merupakan lapisan kulit mati, yang dapat mengelupas dan digantikan oleh selsel baru. Lapisan Malpighi terdiri atas lapisan spinosum dan lapisan germinativum. Lapisan spinosum berfungsi menahan gesekan dari luar. Lapisan germinativum mengandung sel-sel yang aktif membelah diri, mengantikan lapisan sel-sel pada lapisan korneum.Lapisan Malphighi mengandung pigmenmelanin yang memberi warna pada kulit. Bagian dari Epidermis

a. Lapisan germinatum / lapisan basal Lapisan terbawah dari lapisan epidermis yang bergerak secara terus menerus menuju keatas memisahkan antara lapisan epidermis dengan lapisan dermis, gambaran dari lapisan ini adalah:

Disusun oleh sel basal aktif yang terus menerus membelah diri, seperti terlihat pada gambar, sel di bagian ini mempunyai inti (berwarna gelap) yang sangat penting dalam proses pembelahan sel, sehingga bagian inilah yang terus menerus membuat sel-sel kulit baru untuk mengantikan bagian sel-sel yang tua dan rusak, oleh karena itu disebut juga sel induk. lapisan ini setiap harinya selalu melakukan pembelahan (mitosis). Proses mitosis ini sendiri dapat dipicu dengan bahan Natrium Lauril sulfat sehingga terjadi peremajaan sel secara terus menerus, namun kortikoid dan flusinolon asetonida dapat menganggu proses regenerasi sel dengan menghambat proses mitosis. Bagian ini juga cikal bakal terbentuknya keratinocit baru. Terdapat melanocyt yaitu sel yang memproduksi melanin untuk memberi warna pada kulit, dan yang paling penting fungsi melanocyt untuk melindungi DNA di inti sel kulit agar tidak bermutasi karena radiasi sinar matahari. Mutasi DNA di inti sel kulit karena sinar matahari dapat menyebabkan kerusakan sel sehingga terlihat lebih cepat menua dan dapat menyebabkan kanker. Semua jenis kulit putih mempunyai resiko lebih besar menderita kanker kulit.inilah contoh kanker kulit pada wajah : Paparan sinar matahari yang sering pada kulit wajah menyebabkan produksi melanin makin meningkat dan sel-sel melanocyt yang memproduksi melanin menggandakan diri lebih cepat yang sebenarnya bertujuan melindungi sel kulit dari kerusakan tapi menjadikan warna kulit lebih gelap dan terbentuk flek. b. Lapisan Stratum spinosum/prickle-cell layer

Adalah lapisan di atas sel basal tersusun dari sel keratinocyt bertugas mengisi sel-sel dengan protein keratin yang bersifat bahan keras sehingga dapat melindungi lapisan sel basal yang aktif membelah agar terhindar dari subtansi yang dapat merusak dan dari infeksi mikroorganisme serta mengurangi kehilangan kelembaban sel kulit. Keratinocyt yang ada dilapisan ini juga memproduksi lemak perekat dilapisan tanduk. Sel-sel dibagian ini ada sebagian yang masih hidup dan aktif membelah diri terutama sel yang paling dekat dengan lapisan sel basal. Sel-sel yang sudah penuh terisi keratin secara berangsur-angsur akan mati dan naik kepermukaan. c. Stratum Granulosum

Sel dilapisan ini sudah merupakan sel mati dan tidak dapat membelah diri tersusun dari sel-sel keratin atau sel yang sudah berisi bahan protein dan mengeras, dan banyak terdapat filaggrin merupakan bahan penghubung sel keratin dengan bagian luar sel untuk tetap memberikan nutrisi bagi sel keratin melalui cairan antar sel karena bagian sel ini semakin jauh dari aliran darah. Pada orang kekurangan filaggrin dapat menyebabkan kulit kering bersisik dan mengelupas secara terus menerus. Karena letak lapisan ini makin jauh dari aliran darah maka sedkit saja pembuluh darah yang ada di lapisan dermis mengalami gangguan aliran darah, maka akan sangat mempengaruhi lapisan ini, sehingga sel kulit di lapisan ini akan menjadi semakin pipih dan mati sebelum waktunya, itulah yang menyebabkan kondisi kulit kita terlihat kusam dan tidak sehat, bila aliran darah kepermukaan kulit tidak lancar, padahal sering sekali pada kenyataannya pembuluh kapiler darah di lapisan dermis yang memberi nutisi pada kulit mudah sekali mengalami hambatan dan gangguan salah satunya disebabkan oleh dinding pembuluh kapiler dan

struktur jaringan kolagen di lapisan dermis tidak adekuat, hal itu juga yang menyebabkan mengapa walaupun sudah mencuci muka dengan bersih tapi wajah tidak terlihat bersinar. d. Stratum Lucidum

Adalah lapisan tebal sel berbentuk gepeng yang tidak berwarna dan bening, banyak terdapat zat eleidin (lapisan mengeras) yang ditemukan hanya pada lapisan telapak kaki dan tangan sehingga terlihat pada bagian tersebut lebih tebal, tentusaja ketebalan ini berfungsi sebagai pelindung. Contohnya adalah pada telapak kaki. e. Stratum corneum /lapisan Horny/ lapisan tanduk/lapisan bersisik Merupakan lapisan paling atas tersusun dari 15 -20 lapisan sel, diantara sel-selnya terdapat lemak yang berfungsi sebagai perekat antara sel-sel, ibarat seperti susunan batu bata dengan semen.

Selain itu lemak antar sel juga untuk menstabilkan lapisan tanduk, menjaga kesediaan air untuk kelembaban dengan kemampuan tinggi menyerap air , mencegah kulit dari kekeringan dan dehidrasi saat penguapan akibat panasnya matahari, menjaga elastisitas dan kekenyalan kulit, dan sebagai lapisan yang menyaring serta mencegah sel-sel kontak dengan mikroorganisme, toksin, bahan-bahan kimia atau zat alergen yang dapat merusak. Lemak yang ada di lapisan ini di buat oleh sel keratinocyt di lapisan stratum granulosum seperti yang sudah di jelaskan di atas.

2) Fisiologi Kulit ?????????

3) Ujud Kelainan Kulit Primer dan Sekunder

Dikenal beberapa efloresensi primer : 1. Makula 2. Papula 3. Plaque (Plak) 4. Urtika 5. Nodul 6. Papiloma 7. Kista 8. Vesikel dan Bula 9. Pustula 10. Purpura 11. Teleangiektasi 12. Komedo Efloresensi sekunder: 1. Skuama 2. Krusta 3. Erosi 4. Ulkus 5. Ekskoriasi 6. Fisura 7. Atropi 8. Sikatriks 9. Sklerosis 10. Likenifikasi 11. Hiperkeratosis 12. Kunikulus 13. Sinus MAKULA : Perubahan warna kulit tanpa disertai perubahan konsistensi dan permukaannya.

PAPULA : Penonjolan kulit yang solid dengaan diameter < 1 cm PLAK : Kelainan kulit seperti papula dengan permukaan datarr dan diameter > 1 cm URTIKARIA : Penonjolan kulit dengan batas tegas, timbulnya cepat, tetapi hilangnya juga cepat, biasanya berwarna kemerahan dan pucat di bagian tengah, sering terdapat pseudopodia (kaki semut)

NODUL : Penonjolan kulit dengan batas tegas letaknya dalam diameternya 1 cm. VESIKEL dan BULA : Suatu Penonjolan kulit dengan batas tegas, berisi cairan seous dan diameternya 1cm disebut bula PAPILOMA : Penonjolan kulit yang berbentuk seperti jari-jari tangan yang disebabkan karena meningginya papilla dermis dan ditutupi oleh epidermis yang mengalami hiperplasi.

KISTA : Suatu rongga yang dibatasi oleh epitel dan di dalamnya beirisi massa cair atau solid. PUSTULA : Penonjolan kulit berbatas tegas, diameternya < 1 cm, berisi cairan pus/nanah PURPURA : Perubahan warna kulit menjadi kemerahan yang terjadi karena perdarahan di dalam kulit. TELANGIEKTASIS : Terjadinya pelebaran pembuluh darah kapiler, vena atau arteri tang nampak pada permukaan kulit KOMEDO : Penonjolan kulit karena adanya pelebaran infundibulum folikel rambut yang berisi masa keratin, sebum dan mikroorganisme tertentu. SKUAMA : lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit. KRUSTA : Cairan badan yang mengering. EROSI : Kelainan kulit yang disebabkan kehilangan jaringan yang tidak melampaui stratum basal ULKUS : Hilangnya jaringan yang lebih dalam dari ekskoriasi. EKSKORIASI : Bila garukan lebih dalam lagi sehingga tergores sampai ujung papil, maka akan terlihat darah yang ke luar selain serum. FISURA : Defek linier yang dapat mulai dari permukaan samapai lapisan dermis ATROPI : penipisan kulit, baik epidermis maupun dermis.

SIKATRIK : Penonjolan kulit akibat penumpukan jaringan fibrosa sebagai pengganti jaringan kolagen normal SKLEROSIS : Mengerasnyaa kulit yang hanya dapat ditemukan dengan palpasi LIKENIFIKASI : Penebalan kulit yang ditandai dengan penegasan gambaran garis-garis permukaan kulit baik longitudinal maupun transfersal, biasanya disertai hiperpigmentasi. HIPERKERATOSIS : Penebalan kulit yang terjadi karena stratum korneum. KUNIKULUS : Suatu lorong yang terdapat pada stratum korneum atau stratum spinosum, yang biasanya terjafi karena adanya infestasi larva suatu parasit tertentu. SINUS : Saluran yang dibatasi oleh epitel dan bermuara pada kulit. ABSES : kumpulan nanah dalam jaringan, bila mengenai kulit berarti di dalam kutis atau subkutis. (Adhy, 2002)

4) Ancylostoma sp. a. Insiden Insiden cacing di seluruh dunia cukup tinggi, di indonesia mendapatkan 79 % dari 383 anak (Rampengan dan Laurentz, 1993). b. Morfologi cacing tambang Cacing tambang dewasa adalah nematoda yang kecil seperti silinder yang bebentuk kumparan berwarna putih keabu-abuan. Cacing betina panjangnya rata-rata 9-13 mm dan diameter 0,35-0,6 mm, sedangkan yang jantan hanya berukuran panjang rata-rata 5-11 mm dengan diameter 0,3-0,45 mm. Ankilostoma lebih besar daripada nekator americanus. Cacing ini memiliki kutikula yang relatif tebal. Alat kelamin jantan tunggal dan betina berpasangan. Pada ujung posterior cacing tambang jantan terdapat bursa caudal yang merupakan membran yang lebar dan jernih dengan garis-garis seperti tulang iga, dimana bursa ini dipakai untuk memegang cacing betina pada saat kopulasi (Rampengan dan Laurentz, 1993). Perbedaan morfologis utama pada berbagai spesies adalah bentuknya,rongga mulut, dan bursa pada caudal. Vulva terletak anterior pada ankilostoma sedangkan spina caudal tidak ada pada nekator betina. Telur mempunyai ujung-ujung yang bulat dan selapiskulit hialin tipis yang transparan. Telur ini belum bersegmen bila baru dikeluarkan dan

didalam tinja segar ditemukan sebagai stadium yangmembagi dalam 2-8 sel. Telur bebagai spesies ini tidak dapat dibedakan, hanya dapat dibedakan, hanya dapat dibedakan dalam hal ukuran (Rampengan dan Laurentz, 1993). Cacing tambang melekat pada mukosa usus dengan rongga mulutnya. Tempat yang paling disukai adalah usus halus, tetapi pada infeksi berat cacing dapat ditemukan sampai bagian caudal ileum. Nekator ditemukan pada duodenum dan jejunum,sedangkan ankilostoma pada jejunum dan bagian proksimal ileum. Cacing ini menghisap darah hospes, dalam waktu 24 jam sebanyak 0,026 0,200 ml darah dapat dihisap seekor cacing. Infeksi ankilostoma berlagsung 6-8 tahun,bahkan lebih sedangkan nekator kebanyakan menghilang dalam waktu 2 tahun tetapi ada yang bertahan sampai 4-5 tahun (Rampengan dan Laurentz, 1993). c. Siklus hidup Lingkaran hidup berbagai spesies ankilostomiasis adalah sama. Manusia hampir selalu merupakan hospes satu-satunya. Telur dikeluarkan tinja dapat menjadi matang dan mengeluarkan larva rabditiformis dalam waktu 1-2 hari pada keadaan yang menguntungkan serta pada suhu yang optimal (230C-330C). Kemudian larva ini berubah untuk keduakalinya menjadi larva filariform. Larva ini sering beradadi lapisan tanah dan menonjol ke permukaan dan mempunyai daya tigmotaktis yang kuat sehingga memudahkan larva ini masuk ke dalam kulit hospes (Rampengan dan Laurentz, 1993). Larva ini paling baik pada tempat yang teduh seperti tanah berpasir atau tanah liat,tanah berlumpur yang tertutup oleh daun, menyebabkan larva larva ini terlindung terhadap pengeringan atau keadaan basah yang berlebihan. Larva filariform masuk ke dalam hospesnya melaluifolikel rambut dan pori-pori. Tanah yan basah dan melekat mempermudah penularan. Biasanya tempat yang terineksi adalah bagian dorsal kaki atau diantara jari-jari kaki pada penambang dan petani mungkin dapat terinfeksi melalui tangan, terutama mengenai sela-sela jari. Kadang-kadang infeksi dapat terjadi melalui mulut, bila larva masuk ke dalam badan dengan perantaraan air minum atau makanan yang terkontaminasi (Rampengan dan Laurentz, 1993). Larva masuk aliran darah melalui jantung parumenembus kapiler alveoli. Larva ini masuk ke bronkus dan trakhea akhirnya tertean masuk ke usus. Migrasi larva melalui darah dan paru-paru berlangsung selama kira-kira satu minggu. Selama periode ini larva

yang mengalami perubahan yang ketiga dan mempunyai rongga mulut sementara yang memungkinkan cacing dewasa muda ini mengambil makanan. Cacing betina dewasa yang bertelur ditemukan dalam waktu 5 sampai 6 minggu setelah infeksi (Rampengan dan Laurentz, 1993). d. Patogenesis dan simtompatologi Larva stadium infektif secara aktif menembus kulit kapan saja mereka kontak. Pada tempat masuk kerusakan adalah minimal tetapi panetrasi dari larva menyebabkan perasaan gatal. Dalam beberapa jam dapat timbul reaksi-reaksi alergi terhadap cacing, yaitu pruritus,rash, papula eritematosus yang dapat menjadi vesikel. Reaksi ini dikenal sebagai ground itch. Kadang-kadang Ancylostoma masuk ke dalam kulit menyebabkan creeping eruption (cutaneus larva migran) kemudian menembus jaringan yang lebih dalam untuk seterusnya masuk kedalam pembuluh limfe atau vena-vena kecil dan dibawa oleh aliran darah melalui jantung masuk ke paru-paru, ketika keluar dari kapiler masuk ke paru-paru dapat menyebabkan perdarahan-perdarahan kecil terutama pada kasus migrasi yang masif sehingga terjadi pneumonitis (Rampengan dan Laurentz, 1993). Larva dapat juga tertelan dan langsung masuk ke usus halus, tetapi larva-larva lain menembus membran mukosa mulut dan faring menyebabkan imigrasi ke paru. Dalam usus halus cacing ini melekatkan diri pada mukosa usus dengan kapsul permanen. Kemudian menghisap darah dari jaringan akan tetapi lebih banyak darah yang hilang akibat perdarahan pada tempat perlengketan. Pada daerah perlengketan sering menimbulkan ulkus, sehingga menyebabkan nyeri perut dan rasa terbakar. Gajala ini lebih sering karena ankilostoma daripada nekator. Diare dapat terjadi dengan feses yang bervariasi warnanya dari hitam sampai merah tergantung banyaknya darah yang hilang (Rampengan dan Laurentz, 1993). e. Diagnosis Diagnosis yang pasti adalah dengan ditemukannya telur dalam tinja penderita. Secara praktis,telur ankilostoma tidak bisa dibedakan dengan telur nekator americanus. Dalam waktu yang lama mungkin ditemukan larva (Rampengan dan Laurentz, 1993). f. Terapi

Pemberian bermacam-macam anthelmentika adalah efektif. Terapi biasanya diulang kira-kira dalam 3 minggu untuk membunuh parasit yang masuk pada lumen intestinal dari jaringan. Ancylostomiasis biasanya diterapi dengan pemberian mebendazole. Obat lain yang dapat diberikan antara lain albendazole dan pyrantel. Anemia karena difisiensi Fe adalah masalah utama pada ancylostomiasis, pemberian suplemen Fe dan konsumsi makanan tinggi protein dapat memperbaiaki kosdisi (Rampengan dan Laurentz, 1993).

5) Strongyloides sp. a) Siklus hidup dan morfologi Strongyloides stercoralis Manusia adalah hospes utama Strongyloides stercoralis. Cacing betina yang hidup sebagai parasit, dengan ukuran 2,20 x 0,04 mm, adalah seekor nematoda filariform yang kecil, tidak berwarna, semitransparan dengan kutikulum yang bergaris halus. Cacing ini mempunyai ruang mulut esofagus yang panjang, langsing dan silindrik. Sepasang uterus berisi sebaris telur yang berbanding tipis, jernih dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas, lebih kecil daripada yang hidup sebagai parasit, menyerupai seekor nematoda rabditoid khas yang hidup bebas dan mempunyai sepasang alat reproduksi. Cacing jantan lebih kecil daripada betina dan berekor melingkar. Telur diletakkan di mukosa usus, menetas menjadi larva rabditiform yang menembus sel epitel kelenjar, kemudian masuk ke dalam lumen usus serta keluar bersama tinja. Parasit ini mempunyai 3 macam lingkaran hidup: 1. Siklus langsung (seperti cacing tambang) Sesudah periode makan yang pendek selama 2-3 hari di tanah, larva rhabditiform menjadi larva filariform yang langsing tidak makan dan infektif. Larva infektif kemudian menembus kulit manusia, masuk ke dalam peredaran vena dan melewati jantung kanan samapai ke paru-paru, tempat dia akan menembus alveolus. Dari paru-paru naik ke epiglotis, tertelan dan sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Kadang-kadang beberapa larva melewati barrier paru-paru sehingga masuk ek peredaran arteri dan samapi di

berbagai alat tubuh. Cacing betina yang bertelur ditemukan 28 hari sesudah permulaan infeksi. 2. Siklus tidak langsung Selama siklus tidak langsung larva rhabditiform menjadi cacing jantan dan betina dewasa di dalam tanah. Sesudah pembuahan, cacing betina hidup bebas dan menghasilkan telur dan menjadi larva rhabditiform. Larva rhabditiform ini emnajadi filariform dan dalam beberapa hari amsuk ke tubuh hospes yang abru,a tau larva ini emngulangi lagi fase hidup bebas. Cara tidak langsung ini berhubingan dengan keadaan sektar yang optimum yang diperlukan untuk kehidupan bebas di negeri tropik,s edangkan cara yang langsung lebih sering terjadi di negara-negara yang lebih dingin dan kurang menguntungkan 3. Autoinfeksi Kadang-kadang larva menjadi larva dilariform di dalam usus dan menembus mukosa intestinal atau kuit perianal, emnagalami siklus perkembangan di dalam hospes. Autoinfeksi menandakan adanya strongyloidasis yang persisten, mungkin selama 36 tahun, di dalam penderita yang hidup di daerah nonendemik.

b) Gejala klinis Infeksi Strongyloides stercoralis akan terasa rasa sakit di daerah epigastrium, mual muantah, diare konstripasi yang salaing bergantian. Infeksi yang lama dan berat dapat menimbulkan anemia, BB turun dan disentri menahun yang disertai dengan gejala demam ringan. Saat cacing ini, menembus alveolus paru akan emnimbulkan reaksi inflamasi dan menimbulkan pengeluaran mukus dan menimbulkan suara ronkhi basah. Gejala ini juga disertai dengan eosinofilia. Sindrom ini disebut Loffler Sindrom. Saat baru menembus kulit hospes, akan emnimbulkan gelajala2 gatal dan membuat terowongan yang disebut dengan creeping eruption.

c) Diagnosis Diagnosis klinis tidak pasti, akrena strongyloidasis tidak ememberikan gejala klinis yang jelas. Terjadinya bronchitits yang tidak khas dan dalam waktu beberapa minggu disusul oleh diare yang berlendir, sakit di epigastrium, dan eosinofil, mengarah ke diagnosis penyakit strongyloidasis. Dalam diagnosis laboratorium termasuk pemeriksaan tinja dan isi duodenum dengan cara langsung atau konsentrasi. Diagnosis pasti adalah menemukan larva pada tinja yang segar.

d) Terapi Tiabendazol adalah obat pilihannya (25mg/kgBB) selama 2-3 hari. Tidak ememerlukan obat pencahar maupun diet yang istimewa. Albendazol juga bisa digunakan sebagai obat, namun tidak direkomendasikan untuk emnggunakan mebendazol sebagai obat terapi, karena hanya 50% yang sembuh menggunakan terapi ini.

6) Diagnosa Kerja Creeping eruption et causa Strongyloides stercoralis Syndrome. dengan komplikasi Loffler

BAB III KESIMPULAN

1. Gatal merupaakn suatu sensasi yang tidak nyaman pada kulit dan menimbulkan keinginan untuk menggaruk sebagai kompensasinya. 2. Penegakkan diagnosis penuyakit kulit membutuhkan anamnesis lengkap mengenai riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga dan riwayat sosial ekonomi. Selain itu, pemeriksaan fisik (lokal dan general) serta pemeriksaan penunjang juga berperan sangat penting, termasuk dalam menentukan penyebab utamanya. 3. Cutaneus Larva Migrans (CLM) merupakan suatu penyakit akibat larva cacing yang melakukan penetrasi ke kulit manusia dan mengikuti aliran darah. Penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan pada berbagai jaringan tubuh manusia. 4. Penyebab penyakit CLM disebabkan oleh berbagai jenis cacing parasit. Dua spesies cacing yang merupakan penyebab tersering penyakit tersebut adalah Strongyloides stercoralis dan Ancylostoma sp. 5. Diagnosis pasti CLM dapat ditegakkan apabila sudah ditemukan larva cacing pada pemeriksaan feses. Melalui pemeriksaan tersebut juga dapat diketahui cacing penyebab penyakit sehingga penatalaksanaannya dapat lebih tepat dan komprehensif, baik secara medikamentosa maupun non medikamentosa. 6. Penyakit CLM dapat didiagnosa banding dengan beberapa penyakit yang gejala dan tandanya mirip, antara lain scabies dan tuberculosis kutis.

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda A. Hamzah M. Alsah S. 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: edisi keempat. Jakarta: fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Djuanda A. Hamzah M. Alsah S. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: edisi keempat. Jakarta: fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Garcia, Lynne S; Bruckner, David A. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Sutanto, Inge; Ismid, Is Suhariah; Sjarifuddin, Pudji K; Sungkar, Saleha. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran ed. 4. Jakarta: FKUI. Caumes, Eric. 2000. Treatment of Cutaneous Larva Migrans. Diakses dari

http://cid.oxfordjournals.org/content/30/5/811.full.pdf pada tanggal 14 September 2011. Rampengan, T.H, dan Laurentz, I.R.(1993). Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta: EGC. Brown, Harold W. 1982. Dasar parasitologi klinis. Jakarta; PT Gramedia Adhi, Prof DR Djuanda. 2002. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketiga. Jakarta: FKUI.

You might also like