You are on page 1of 28

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA I.

PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Adanya potensi sumber daya alam kelautan yang berlimpah telah mendorong negara-negara pantai untuk memperluas garis batas yurisdiksinya sesuai dengan kesepakatan internasional yang berlaku. Salah satunya adalah klaim atas landas kontinen yang mana diketahui mengandung minyak dan bahan-bahan mineral berharga lainnya. Klaim atas landas kontinen pertama kali dideklarasikan oleh Amerika Serikat secara sepihak melalui Proklamasi Truman pada 28 September 1945 tentang Continental Shelf. Klaim tersebut segera diikuti oleh negara-negara lain dan merupakan awal lahirnya pengertian landas kontinen secara yuridis. Mempertimbangkan potensi konflik yang meluas akan klaim mengklaim wilayah laut beserta potensi sumber daya alamnya maka diadakan Konferensi Hukum Laut PBB I di Jenewa tahun 1958 yang menghasilkan kesepakatan yang dikenal dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau lebih dikenal UNCLOS 1958, yang didalamnya juga membahas tentang landas kontinen. Menindaklanjuti konvensi ini maka pada tahun 1960 pemerintah Indonesia menetapkan Undang Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dan lebih spesifik diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia yang mengacu pada UNCLOS 1958. Ketentuan landas kontinen dalam UNCLOS 1958 yang lebih didasarkan pada kriteria ekploitasi teknis (technical exploitability) ternyata kurang memuaskan terutama bagi negaranegara yang sedang berkembang yang memiliki keterbatasan kemampuan dan teknologi dalam pemanfaatannya sehingga ini menjadi pertimbanga kuat untuk meninjau kembali konvensi ini. PBB menyelenggarakan Konferensi Hukum Laut PBB II pada tahun 1960 sebagai usaha untuk membuat rumusan baru tentang landas kontinen yang dapat memuaskan semua pihak, namun usaha tersebut gagal dan konferensi tersebut tidak menghasilkan kesepakatan baru sebagai pengganti UNCLOS 1958. Rumusan tentang landas kontinen terselesaikan dalam Konferensi Hukum Laut PBB III di Teluk Montego Jamaica pada tahun 1982 yang dikenal UNCLOS 1982. Konferensi ini dihadiri oleh 119 negara termasuk Indonesia telah diakui secara internasional dan berlaku efektif menggantikan ketentuan UNCLOS 1958. UNCLOS 1982 kemudian diratifikasi menjadi Undang-undang Nomor 17 tahun 1985. Namun disisi lain, Indonesia masih tetap memberlakukan Undang-undang No. 1 Tahun 1973 sebagai dasar hukum yang mengatur tentang Landas Kontinen Indonesia, padahal dalam prakteknya tidak lagi mendasarkan pada undang-undang tersebut meskipun hingga saat ini masih belum ada penggantinya. Oleh karena itu perlu untuk dilakukan peninjauan kembali dan penyesuaian terhadap Undang-undang tentang Landas Kontinen Indonesia sebagai implementasi dan konsekuensi logis dari ratifikasi UNCLOS 1982 tersebut. Bab ini akan menjelaskan alasan pentingnya peninjauan kembali UU No. 1 Tahun 1973 terutama ditinjau dari sisi aspek teknis. 1.2. MAKSUD DAN TUJUAN 1. Untuk melakukan analisis kesesuaian Undang-undang nasional tentang landas kontinen yang berlaku saat ini (UU No. 1 Tahun 1973) dengan hukum internasional (UNCLOS 1982) yang telah diratifikasi melalui UU No. 17 Tahun 1985.

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia 2. Sebagai rekomendasi teknis dan bahan pertimbangan apakah UU No. 1 Tahun 1973 hanya perlu direvisi atau dirubah seluruhnya. 1.3. PERMASALAHAN Permasalahan-permasalahan yang dikaji mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Keselarasan peraturan nasional tentang landas kontinen berdasarkan UU No. 1 tahun 1973 yang masih berlandaskan pada UNCLOS 1958 dengan konvensi hukum laut UNCLOS 1982 yang berlaku saat ini dan telah diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985. 2. Implementasi di lapangan melalui perjanjian dengan negara tetangga. 3. Kajian untuk melakukan perubahan dalam peraturan perundang-undangan nasional tentang landas kontinen sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia. II. KONSEPSI LANDAS KONTINEN Landas kontinen dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah (natural prolongation) dari wilayah daratan. Landas kontinen di beberapa tempat menyimpan deposit minyak dan gas bumi serta berbagai sumber daya alam baik hayati maupun non-hayati. Sesuai kemampuan teknologi saat klaim landas kontinen mulai digagas, landas kontinen biasanya tidak terlalu dalam hanya sekitar 50 hingga 550 meter. Klaim Landas Kontinen pertama kali diproklamirkan oleh Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman pada 28 September 1945. Tindakan Amerika Serikat ini bertujuan untuk mencadangkan kekayaan alam dasar laut dan tanah di bawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat. Proklamasi Truman tersebut mengundang berbagai reaksi dari negara-negara pantai lain yang juga menuntut eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam laut di landas kontinen negaranya. Tidak adanya batasan yang jelas mengenai landas kontinen menyebabkan banyak negara menuntut landas kontinen seluas-luasnya tanpa memperdulikan kepentingan negara tetangganya. Sehingga untuk menghindari terjadinya perselisihan maka diadakan Konferensi Hukum Laut PBB yang menghasilkan kesepakatan yang dikenal dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

2.1. DEFINISI LANDAS KONTINEN 2.1.1. Menurut Istilah Geologi Topografi dasar laut secara geologis dibagi menjadi Continental Margin (dasar laut yang masih berhubungan dengan benua) dan Abyssal Plains (dasar laut dalam yang bukan merupakan bagian dari benua). Continental margin mencakup continental shelf, continental rise dan continental slope. Continental shelf (dataran kontinen) merupakan wilayah dasar laut yang berbatasan dengan benua atau pulau-pulau yang turun ke bawah secara bertahap yang diukur dari garis air rendah sampai kedalaman mencapai 130 meter (R.R. Churchil dalam Hasibuan, 2002). Seiring perkembangan teknologi di bidang eksplorasi dasar laut, diketahui bahwa continental shelf menyimpan deposit minyak dan gas bumi serta berbagai sumberdaya alam hayati. Hal tersebut melatarbelakangi klaim pemerintah Amerika Serikat atas continental shelf melalui proklamasi Truman tanggal 28 September 1945, yang kemudian diikuti oleh negaranegara lain dan menjadi permasalahan baru dalam bidang hukum laut. Klaim ini merupakan awal lahirnya pengertian landas kontinen secara yuridis (hukum). 2.1.2. Menurut Istilah Hukum Continental shelf berdasarkan istilah hukum telah jauh berbeda dengan istilah yang sebenarnya secara geologis. Jika dalam istilah geologis continental shelf diartikan secara fisik 2

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia sebagai kelanjutan alamiah dari daratan (natural prolongation), maka dalam istilah hukum continental shelf adalah salah satu batas maritim dimana suatu negara pantai memiliki hak berdaulat untuk memanfaatkan sumberdaya alam di dasar lautnya. Istilah landas kontinen untuk continental shelf dalam istilah hukum diberikan untuk membedakan continental shelf dalam pengertian geologis (dataran kontinen). Rejim hukum laut di Indonesia termasuk mengenai landas kontinen tunduk pada ketentuan UNCLOS. Berikut adalah definisi landas kontinen menurut UNCLOS: UNCLOS 1958 Konvensi mengakui kedalaman negara pantai atas landas kontinen sampai kedalaman 200 meter atau di luar batas itu sampai kedalaman air yang memungkinkan eksploitasi sumbersumber alam dari daerah tersebut [pasal 1 dan 2]. UNCLOS 1982 Landas kontinen meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah daratan hingga pinggiran luar tepian kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut [pasal 76]. Dari definisi diatas, terlihat perbedaan signifikan dalam menentukan batas terluar landas kontinen antara UNCLOS 1958 dengan UNCLOS 1982, yaitu UNCLOS 1958 mendasarkan pada kedalaman 200 meter dan kemampuan eksploitasi, sedangkan UNCLOS 1982 berdasarkan jarak 200 mil laut . Lebih lanjut akan dibahas di sub-bagian berikut. 2.2. DASAR HUKUM LANDAS KONTINEN 2.2.1. UNCLOS 1958 Konferensi Hukum Laut PBB di Jenewa Tahun 1958 menghasilkan konvensi yang dikenal dengan UNCLOS 1958. Indonesia meratifikasi konvensi ini menjadi UU No. 1 Tahun 1973. Berikut dikemukakan substansi dari konvensi yang terdiri atas 15 pasal ini sebagai analisa mengapa konvensi ini perlu dilakukan penyesuaian dan kemudian digantikan dengan UNCLOS 1982. Convention on the Continental Shelf Done at Geneva on 29 April 1958 Article 1 For the purpose of these articles, the term continental shelf is used as referring a) to the seabed and subsoil of the submarine areas adjacent to the coast but outside the area of the territorial sea, to a depth of 200 metres or, beyond that limit, to where the depth of the superjacent waters admits of the exploitation of the natural resources of the said areas; b) to the seabed and subsoil of similar submarine areas adjacent to the coasts of islands. 1. The coastal State exercises over the continental shelf sovereign rights for the purpose of exploring it and exploiting its natural resources. 2. The rights referred to in paragraph 1 of this article are exclusive in the sense that if the coastal State does not explore the continental shelf or exploit its natural resources, no one may undertake these activities, or make a claim to

Article 2

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia the continental shelf, without the express consent of the coastal State. 3. The rights of the coastal State over the continental shelf do not depend on occupation, effective or notional, or on any express proclamation. 4. The natural resources referred to in these articles consist of the mineral and other non-living resources of the seabed and subsoil together with living organisms belonging to sedentary species, that is to say, organisms which, at the harvestable stage, either are immobile on or under the seabed or are unable to move except in constant physical contact with the seabed or the subsoil. The rights of the coastal State over the continental shelf do not affect the legal status of the superjacent waters as high seas, or that of the airspace above those waters. Subject to its right to take reasonable measures for the exploration of the continental shelf and the exploitation of its natural resources, the coastal State may not impede the laying or maintenance of submarine cables or pipelines on the continental shelf. 1. The exploration of the continental shelf and the exploitation of its natural resources must not result in any unjustifiable interference with navigation, fishing or the conservation of the living resources of the sea, nor result in any interference with fundamental oceanographic or other scientific research carried out with the intention of open publication. 2. Subject to the provisions of paragraphs 1 and 6 of this article, the coastal State is entitled to construct and maintain or operate on the continental shelf installations and other devices necessary for its exploration and the exploitation of its natural resources, and to establish safety zones around such installations and devices and to take in those zones measures necessary for their protection. 3. The safety zones referred to in paragraph 2 of this article may extend to a distance of 500 metres around the installations and other devices which have been erected, measured from each point of their outer edge. Ships of all nationalities must respect these safety zones. 4. Such installations and devices, though under the jurisdiction of the coastal State, do not possess the status of islands. They have no territorial sea of their own, and their presence does not affect the delimitation of the territorial sea of the coastal State. 5. Due notice must be given of the construction of any such installations, and permanent means for giving warning of their presence must be maintained. Any installations which are abandoned or disused must be entirely removed. 6. Neither the installations or devices, nor the safety zones around them, may be established where interference may be caused to the use of recognized sea lanes essential to international navigation. 7. The coastal State is obliged to undertake, in the safety zones, all appropriate measures for the protection of the living resources of the sea from harmful agents. 8. The consent of the coastal State shall be obtained in respect of any research concerning the continental shelf and undertaken there. Nevertheless, the coastal State shall not normally withhold its consent if the request is submitted by a qualified institution with a view to purely scientific research into the physical or biological characteristics of the continental shelf, subject to the proviso that the coastal State shall have the right, if it so desires, to participate or to be represented in the research, and that in any event the results shall be published. 1. Where the same continental shelf is adjacent to the territories of two or more States whose coasts are opposite each other, the boundary of the continental

Article 3

Article 4

Article 5

Article 6

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia shelf appertaining to such States shall be determined by agreement between them. In the absence of agreement, and unless another boundary line is justified by special circumstances, the boundary is the median line, every point of which is equidistant from the nearest points of the baselines from which the breadth of the territorial sea of each State is measured. 2. Where the same continental shelf is adjacent to the territories of two adjacent States, the boundary of the continental shelf shall be determined by agreement between them. In the absence of agreement, and unless another boundary line is justified by special circumstances, the boundary shall be determined by application of the principle of equidistance from the nearest points of the baselines from which the breadth of the territorial sea of each State is measured. 3. In delimiting the boundaries of the continental shelf, any lines which are drawn in accordance with the principles set out in paragraphs 1 and 2 of this article should be defined with reference to charts and geographical features as they exist at a particular date, and reference should be made to fixed permanent identifiable points on the land. The provisions of these articles shall not prejudice the right of the coastal State to exploit the subsoil by means of tunnelling irrespective of the depth of water above the subsoil. This Convention shall, until 31 October 1958, be open for signature by all States Members of the United Nations or of any of the specialized agencies, and by any other State invited by the General Assembly of the United Nations to become a Party to the Convention. This Convention is subject to ratification. The instruments of ratification shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations. This Convention shall be open for accession by any States belonging to any of the categories mentioned in article 8. The instruments of accession shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations. 1. This Convention shall come into force on the thirtieth day following the date of deposit of the twentysecond instrument of ratification or accession with the Secretary-General of the United Nations. 2. For each State ratifying or acceding to the Convention after the deposit of the twenty-second instrument of ratification or accession, the Convention shall enter into force on the thirtieth day after deposit by such State of its instrument of ratification or accession. 1. At the time of signature, ratification or accession, any State may make reservations to articles of the Convention other than to articles 1 to 3 inclusive. 2. Any Contracting State making a reservation in accordance with the preceding paragraph may at any time withdraw the reservation by a communication to that effect addressed to the Secretary-General of the United Nations. 1. After the expiration of a period of five years from the date on which this Convention shall enter into force, a request for the revision of this Convention may be made at any time by any Contracting Party by means of a notification in writing addressed to the Secretary-General of the United Nations. 2. The General Assembly of the United Nations shall decide upon the steps, if any, to be taken in respect of such request. The Secretary-General of the United Nations shall inform all States Members of the United Nations and the other States referred to in article 8: a) Of signatures to this Convention and of the deposit of instruments of ratification or accession, in accordance with articles 8, 9 and 10;

Article 7

Article 8

Article 9 Article 10

Article 11

Article 12

Article 13

Article 14

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia b) Of the date on which this Convention will come into force, in accordance with article 11; c) Of requests for revision, in accordance with article 13; d) Of reservations to this Convention, in accordance with article 12. The original of this Convention, of which the Chinese, English, French, Russian and Spanish texts are equally authentic, shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations, who shall send certified copies thereof to all States referred to in article 8.

Article 15

Pada saat perumusan UNCLOS 1958 teknik pengeboran minyak lepas pantai belum melebihi kedalaman 50 meter, sehingga penetapan batas terluar landas kontinen atas dasar ukuran geologis yakni batas kedalaman 200 meter hingga kedalaman air yang masih memungkinkan eksploitasi kekayaan alamnya dianggap sebagai penyelesaian yang memuaskan. Namun perkiraan itu keliru, karena perkembangan teknologi pengeboran maju sedemikian pesatnya sampai beberapa ribu meter, seperti keberhasilan Ekspedisi Glomar Challenger tahun 1965. UNCLOS 1982 yang mendasarkan pada kemampuan eksploitasi sumberdaya alam dipertanyakan dan tidak lagi memuaskan semua pihak. Ketidakjelasan batasan ini mendapat protes dari negara-negara berkembang dan kemudian mendapat perhatian PBB dengan ditetapkannya kekayaan alam di luar batas yurisdiksi nasional sebagai common heritage of mankind yang diurus oleh Badan Internasional untuk kepentingan seluruh umat manusia. Wacana tersebut ditindaklanjuti dengan diadakannya Konferensi Hukum Laut PBB II pada tahun 1960, tetapi konferensi ini hanya membahas tentang Laut Teritorial dan itu pun tidak berhasil. Rumusan tentang landas kontinen terselesaikan pada Konferensi Hukum Laut PBB III tahun 1982 yang menghasilkan sebuah konvensi yaitu UNCLOS 1982. 2.2.2. UNCLOS 1982 UNCLOS 1982 dihasilkan pada Konferensi Hukum Laut PBB di Teluk Montego pada tahun 1982. Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 menjadi Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut. Terkait dengan landas kontinen, dimuat dalam UNCLOS 1982 Part VI Article 76. Pasal 76 Batas Landas Kontinen 1. Landas kontinen suatu Negara meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. 2. Landas kontinen suatu negara pantai tidak boleh melebihi batas-batas sebagaimana ditentukan dalam ayat 4 hingga 6. 3. Tepian kontinen meliputi kelanjutan bagian daratan negara pantai yang berada dibawah permukaan air, dan terdiri dari dasar laut dan tanah di bawahnya dari dataran kontinen, lereng (slope) dan tanjakan (rise). Tepian kontinen ini tidak mencakup dasar samudera dalam dengan bukit-bukit samudera atau tanah di bawahnya. (a) Untuk maksud konvensi ini, Negara pantai akan menetapkan pinggiran luar tepian kontinen dalam hal tepian kontinen tersebut lebih lebar dari 200 mil laut dari garis pangkal dan lebar laut teritorial diukur, atau dengan: (i) suatu garis yang ditarik sesuai dengan ayat 7 menunjuk pada titik tetap terluar 6

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia dimana ketebalan batu endapan adalah paling sedikit 1 % dari jarak terdekat antara titik tersebut dan kaki lereng kontinen; atau (ii) suatu garis yang ditarik sesuai dengan ayat 7 dengan menunjuk apada titik-titik tetap yang terletak tidak lebih dari 60 mil laut dari kaki lereng kontinen. (b) Dalam hal tidak terdapatnya bukti yang bertentangan, kaki lereng kontinen harus ditetapkan sebagai titik perubahan maksimum dalam tanjakan pada kakinya. Titik-titik tetap yang merupakan garis batas luar landas kontinen pada dasar laut, yang ditarik sesuai dengan ayat 4 (a) (i) dan (ii), atau tidak akan boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial diukur atau tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman (isobath) 2.500 meter, yaitu suatu garis yang menghubungkan kedalaman 2.500 meter. Walaupun ada ketentuan ayat 5, pada bukit-bukit dasar laut, batas luar landas kontinen tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial diukur. Ayat ini tidak berlaku bagi elevasi dasar laut yang merupakan bagian-bagian alamiah tepian kontinen, seperti pelataran (plateau), tanjakan (rise), puncak (caps), ketinggian yang datar (banks) dan puncak gunung yang bulat (spurs) nya. Negara pantai harus menetapkan batas terluar landas kontinennya di mana landas kontinen itu melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial diukur dengan cara menarik garis-garis lurus yang tidak melebihi 60 mil laut panjangnya, dengan menghubungakan titik-titik tetap, yang ditetapkan dengan koordinat-koordinat lintang dan bujur. Keterangan mengenai batas-batas kontinen di luar 200 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial diukur harus disampaikan oleh Negara pantai kepada Komisi Batasbatas Landas Kontinen (Commision on the Limits of the Continental Shelf) yang didirikan berdasarkan Lampiran II atas dasar perwakilan geografis yang adil. Komisi ini harus membuat rekomendasi kepada Negara pantai mengenai masalah yang bertalian dengan penetapan batas luar landas kontinen mereka. Batas-batas landas kontinen yang ditetapkan oleh suatu Negara pantai berdasarkan rekomendasi-rekomendsai ini adalah tuntas dan mengikat. Negara pantai harus mendepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa peta-peta dan keterangan yang relevan termasuk data geodesi, yang secara permanen menggambarkan batas luar landas kontinennya. Sekretris Jenderal ini tidak boleh mengurangi arti masalah penetapan batas landas kontinen antara Negara-negara yang berhadapan atau berdampingan. Ketentuan pasal ini tidak boleh mengurangi arti masalah penetapan batas landas kontinen antara Negara-negara yang berhadapan atau berdampingan.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia 2.2.3. PERBEDAAN MENDASAR UNCLOS 1958 dan UNCLOS 1982 Perbedaan UNCLOS 1958 UNCLOS 1982 Keterangan Definisi dan pengukuran Pasal 1 : Pasal 76 : Terdapat perbedaan yang landas kontinen Berada di luar wilayah laut teritorial, Ayat 1, memberikan empat alternatif cara mencolok antara definisi mengingat bahwa dasar laut dan tanah di mengukur batas terluar landas kontinen, yaitu : landas kontinen dalam bawah batas laut territorial ada di bawah a. Sampai batas terluar tepian kontinen (the UNCLOS 1958 Tahun 1958 kedaulatan negara pantai. continental margin). dengan UNCLOS 1982 b. Sampai jarak 200 mil dari garis pangkal laut Tahun 1982. Dalam Batas terluar ditentukan dengan ukuran teritorial, apabila tepian kontinen tidak UNCLOS 1958 batas terluar kedalaman 200 meter. Batas tersebut mencapai batas tersebut. landas kontinen ditentukan diperluas dengan ...or beyond that limit to c. Apabila tepian kontinen melebihi 200 mil ke pada kedalaman 200 meter where the depth of the superjacent waters arah laut maka batas terluar landas kontinen dengan kriteria technical admits of the exploitation of the natural tidak boleh melebihi 350 mil. exploitability, sedangkan resources of the said areas. Perluasan d. Boleh melebihi 100 mil dari kedalaman UNCLOS 1982 memberikan tersebut menimbulkan keraguan apakah (isobath) 2500 meter. empat alternatif cara ketentuan yang didasarkan atas technical mengukur batas terluar landas exploitability itu dapat dianggap sebagai Cara pengukuran batas terluar landas kontinen kontinen. Dalam UNCLOS alternatif yang dapat menggantikan ketentuan tersebut tergantung pada konfigurasi tepian 1982, pengertian landas yang didasarkan atas kriteria 200 meter kontinen dari suatu negara pantai. Oleh karena kontinen selain mencakup isobath seandainya tidak ada dataran kontinen itu, suatu negara pantai dapat menetapkan batas pengertian yuridis juga dalam arti geologis. terluar landas kontinen yang berbeda-beda mencakup pengertian disekeliling wilayahnya. geologis yang merupakan penyempurnaan dari pengertian landas kontinen itu Landas kontinen suatu negara pantai tidak sendiri. boleh melebihi batas-batas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 76 ayat 4 hingga 6. Jika dibandingkan dengan Tepian kontinen meliputi kelanjutan bagian ketentuan UNCLOS 1958 daratan negara pantai yang berada di bawah Tahun 1958, perumusan yang permukaan air, dan terdiri dari dasar laut dan terdapat dalam pasal 76 tanah di bawahnya dari daratan kontinen, UNCLOS 1982 memberikan lereng (slope) dan tanjakan (rise). Tepian batasan yang lebih jelas kontinen tidak mencakup dasar samudera tentang batas terluar landas dalam dengan bukit-bukit samudera atau tanah kontinen. dibawahnya. Dalam UNCLOS 1958 tidak 8

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia Konvensi menentukan bahwa negara pantai akan menetapkan pinggiran luar tepian kontinen dalam hal tepian kontinen tersebut tidak lebih lebar dari 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur, atau dengan: a. Suatu garis yang ditarik sesuai dengan ayat 7 dengan menunjuk pada titik-titik tetap terluar dimana ketebalan batu endapan adalah paling sedikit 1% dari jarak terdekat antara titik tersebut dan kaki lereng kontinen; atau b. Suatu garis yang ditarik sesuai dengan ayat 7 dengan menunjuk pada titik-titik tetap yang terletak tidak lebih dari 60 mil laut dari kaki lereng kontinen. Dalam hal tidak terdapatnya bukti yang bertentangan, kaki lereng kontinen harus ditetapkan sebagai titik perubahan maksimum dalam tanjakan pada kakinya. Titik-titik tetap yang merupakan garis batas luar landas kontinen pada dasar laut, yang ditarik sesuai dengan ayat 4 (a) (i) dan (ii), atau tidak akan boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial diukur atau tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman (isobath) 2.500 meter, yaitu suatu garis yang menghubungkan kedalaman 2.500 meter. Walaupun ada ketentuan ayat 5, pada bukitbukit dasar laut , batas luar landas kontinen tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial diukur. Ayat ini tidak berlaku bagi elevasi dasar laut yang terdapat ketentuan yang mengatur tentang landas kontinen ekstensi. Setiap negara pantai boleh melakukan klaim batas terluar landas kontinen di luar 200 mil asalkan mampu melakukan eksplorasi dan eksploitasi di luar batas tersebut.

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia merupakan bagian-bagian ilmiah tepian kontinen, seperti pelataran (plateau), tanjakan (rise), puncak (caps), ketinggian yang datar (banks) dan pucak gunung yang bulat (spurs)nya. Status hukum landas Pasal 3 : Hak negara pantai atas landas kontinen tidak Sama-sama mengakui hak kontinen Hak-hak negara pantai atas landas kontinen mempengaruhi status hukum perairan atau berdaulat di atas landas tidak merubah status hukum wilayah tersebut ruang udara di atasnya. Negara pantai memiliki kontinen. dan udara di atasnya yang tunduk terhadap hak berdaulat di atas landas kontinen untuk rejim laut bebas. Negara pantai hanya secara eksklusif melakukan eksplorasi dan memiliki sovereign right atau hak berdaulat eksploitasi di wilayah tersebut, tetapi tidak atas landas kontinen. boleh mengurangi atau mengakibatkan gangguan apapun terhadap pelayaran dan hak Praktik negara-negara Amerika Latin negara lain sebagaimana ditentukan dalam (Argentine, Chile, Peru, El Salvador, ketentuan Konvensi ini. Guatemala, Honduras, Mexico dan Brasil), yang dalam peraturan perundang-undangan nasional mereka telah menetapkan kedaulatan negaranya atas landas kontinen termasuk perairan di atasnya tidak dapat dibenarkan. Hak Negara pantai atas landas kontinen a. Hak eksplorasi dan Pasal 2 : Hak eksplorasi dan eksploitasi negara pantai di Baik UNCLOS 1958 dan eksploitasi Hak eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya landas kontinen diatur dalam pasal 77 ayat 1 UNCLOS 1982 menyepakati alam yang menyatakan : bahwa sumberdaya alam yang Negara pantai menjalankan hak berdaulat di boleh dieksplorasi dan Hak untuk tidak melakukan eksplorasi dan landas kontinen untuk tujuan mengeksplorasi eksploitasi adalah eksploitasi sumberdaya alam. Negara lain dan mengeksploitasi sumber kekayaan sumberdaya non-hayati yang yang ingin melakukan kegiatan eksplorasi dan alamnya ada di dasar laut maupun eksploitasi sumberdaya alam di wilayah tanah di bawahnya serta tersebut harus mendapat izin dari negara yang sumberdaya hayati berupa bersangkutan. Penggunaan istilah hak berdaulat organisme sedenter. mengisyaratkan bahwa landas kontinen tidak Tidak perlu melakukan klaim tertentu untuk dianggap sebagai wilayah negara pantai. Hak UNCLOS 1958 membatasi mendapatkan haknya atas landas kontinen. Negara pantai di landas kontinen adalah adalah eksploitasi di dasar laut yang Sumberdaya alam yang dimaksud meliputi eksklusif, yang berarti apabila negara pantai berdekatan dengan pantai mineral dan sumberdaya tak hidup lainnya di tidak mengeksplorasi atau mengeksploitasi melalui pembuatan dasar laut maupun tanah di bawahnya serta sumber kekayaan alamnya, tidak ada yang terowongan, sedangkan organisme jenis sedenter. 10

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia dapat melakukan kegiatan tersebut tanpa UNCLOS 1982 memberikan Pasal 7 : persetujuan dari negara pantai tersebut. Hak kebebasan untuk melakukan tersebut tidak tergantung pada pendudukan atau eksplorasi di wilayah landas Menjamin hak negara pantai untuk proklamasi apapun. kontinen baik lokasi maupun melakukan eksploitasi di dasar laut yang metode yang digunakan. berdekatan dengan pantainya dengan jalan Sumber kekayaan alam di landas kontinen pembuatan terowongan (tunelling) dari terdiri dari sumber kekayaan mineral dan daratan. sumber kekayaan non-hayati lainnya pada dasar laut dan tanah di bawahnya, bersama dengan organisme hidup yang tergolong jenis sedenter yaitu organisme yang pada tingkat yang sudah bisa dipanen dengan tidak bergerak berada pada atau di bawah dasar laut atau tidak dapat bergerak kecuali jika berada dalam kontak fisik tetap dengan dasar laut atau tanah di bawahnya. b. Hak membangun dan Pasal 5 : Pasal 60 ayat 2 menyatakan bahwa negara UNCLOS 1982 mencakup mempergunakan Pemasangan instalasi-instalasi dan alat-alat pantai mempunyai yurisdiksi eksklusif atas pengaturan yang lebih luas pulau-pulau buatan, eksploitasi serta penetapan safety zone di pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan dibandingkan UNCLOS instalasi-instalasi dan sekelilingnya. bangunan, dan termasuk yang bertalian dengan 1958. Selain mengatur bangunan peraturan bea-cukai, fiskal, keselamatan, tentang instalasi, UNCLOS kesehatan dan imigrasi. 1982 juga mengatur mengenai bea-cukai, fiskal, keselamatan, kesehatan dan imigrasi. Kewajiban Negara pantai atas landas kontinen a. Kewajiban yang Pasal 82 menyatakan bahwa bagi Negara pantai Tidak diatur dalam UNCLOS berhubungan diwajibkan untuk membayar sumbangan 1958. dengan kegiatan bertalian dengan kegiatan eksploitasi di landas eksplorasi dan kontinennya di luar 200 mil. eksploitasi Pembayarannya diberikan setelah produksi 5 tahun pertama pada tempat itu sebesar 1 % dari jumlah produksi di tempat itu kemudian akan naik 1 % untuk tiap tahun berikutnya hingga tahun ke 12 akan tetap 7 %. Sumbangan ini hanya menyangkut kegiatan 11

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia eksploitasi sumber mineral dan tidak dikenakan pada kegiatan landas kontinen 200 mil dari garis pangkal yang berhimpit dengan zona ekonomi eksklusif. Negara pantai harus menetapkan batas terluar UNCLOS 1958 tidak landas kontinennya di mana landas kontinen itu mencantumkan secara melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari eksplisit kewajiban negara mana laut teritorial diukur dengan cara menarik pantai untuk melakukan garis-garis lurus yang panjangnya tidak melebihi delimitasi batas landas 60 mil laut dengan menghubungkan titik-titik kontinen, sehingga tidak yang ditetapkan dengan koordinat lintang dan memiliki dasar hukum yang bujur. cukup kuat dan mengikat dalam pelaksanaannya. Keterangan mengenai batas-batas terluar landas kontinen di luar 200 mil laut harus disampaikan kepada Komisi Batas Landas Kontinen (Commision on the Limits of the Continental Shelf - CLCS). Komisi ini harus membuat rekomendasi yang bersifat final dan mengikat kepada negara pantai mengenai masalah penetapan batas terluar landas kontinen. Negara pantai harus mendepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa peta-peta dan keterangan yang relevan termasuk data geodesi, yang secara permanen menggambarkan batas terluar landas kontinennya. Pasal 4 : Kepentingan Pelayaran Pada prinsipnya UNCLOS Negara pantai tidak boleh menghalangi Sebagaimana telah dijelaskan bahwa 1958 dan UNCLOS 1982 pemasangan kabel dan pipa bawah laut di terdapat dua perairan di atas landas kontinen, mengatur hal yang sama landas kontinen. yaitu perairan di atas landas kontinen 200 mil mengenai hak Negara lain di yang merupakan perairan zona ekonomi landas kontinen, tetapi dalam Pasal 5 : eksklusif dan perairan di atas landas kontinen di UNCLOS 1982 hal tersebut luar 200 mil yang merupakan laut lepas. Tetapi diatur secara lebih terperinci. Pelaksanaan hak-hak negara pantai atas landas menyangkut kepentingan negara lain dalam hal kontinen tidak boleh menyebabkan gangguan ini kepentingan pelayaran tetap dijamin (unjustifiable interference) terhadap keberadaannya di perairan tersebut. pelayaran, penangkapan ikan atau tindakan12

b. Kewajiban untuk menentukan batas/delimitasi landas kontinen

c. Kepentingan Negara lain

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia tindakan perlindungan sumber daya alam Kepentingan Untuk menangkap Ikan Di hayati laut dan juga tidak boleh mengganggu Perairan Di Atas Landas Kontinen. penyelidikan oseanografi dan penyelidikan Perairan di atas landas kontinen 200 mil ilmiah lainnya. yang berhimpit dengan zona ekonomi eksklusif adalah perairan zona ekonomi eksklusif pengaturannya tunduk pada rejim hukum zona ekonomi eksklusif, maka sesuai dengan ketentuan pasal 56 ayat (1)(a) Konvensi Hukum Laut 1982 di perairan di atas landas kontinen yang berhimpit dengan zona ekonomi eksklusif adalah perairan zona ekonomu eksklusif di mana Negara pantai tidak saja mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya, tetapi juga mempunyai hak berdaulat atas kekayaan hayati (ikan) di perairan tersebut. Perairan di atas landas kontinen di luar 200 mil adalah laut lepas yang tunduk pada pengaturan rejim hukum laut lepas. maka dapat dinikmati oleh semua negara. Kepentingan Untuk Melakukan Riset Ilmiah Kelautan Di Zona Ekonomi Eksklusif Dan Di Landas Kontinen Peraturan mengenai riset ilmiah kelautan di laut teritorial, di zona ekonomi eksklusif dan di landas kontinen di atur dalam BAB XIII dari pasal 238 sampai dengan pasal 265. Negara pantai berkewajiban memberikan ijin riset ilmiah kelautan kepada negara lain atau organisasi yang berkompeten dalam zona ekonomi eksklusif maupun di landas kontinen hanya untuk tujuan damai dan menambah pengetahuan ilmiah kelautan demi untuk kepentingan umat manusia (pasal 246 ayat 5).

13

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia Pelaksanaan riset ilmiah ini disertai persyaratan-persyaratan sebagaimana disebutkan dalam pasal 246 ayat 5, bahwa tidak boleh mempunyai arti langsung bagi sumber alam dan tidak boleh memasukkan bahan peledak, tidak boleh meliputi konstruksi, operasi dan penggunaan pulau-pulau buatan serta instalasi lainnya. Selain itu juga informasi yang disampaikan kepada Negara mengenai tujuan dan sifat-sifat tujuan ilmiah tersebut harus tepat. Dalam pasal 83 ayat 1 menyatakan, bagi negara- Dalam UNCLOS 1958, batas negara yang landas kontinennya berhadap atau landas kontinen antar dua berdampingan dalam menetapkan garis batas Negara yang berhadapan atau landas kontinen harus dilakukan dengan berdampingan diselesaikan persetujuan atau atas dasar hukum internasional menggunakan prinsip sama sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal 38 jarak (median line), sementara Statuta Mahkamah Internasional untuk UNCLOS 1982 memberi mencapai suatu penyelesaian yang adil. keleluasaan tentang metode yang digunakan serta lebih Apabila tidak dapat dicapai persetujuan dalam menekankan kepada jangka waktu yang pantas, negara yang tercapainya kesepakatan antar bersangkutan harus menggunakan prosedur yang negara-negara tersebut. ditentukan dalam Bab XV. Sementara menunggu tercapainya persetujuan, negara-negara yang bersangkutan harus membuat aturan sementara yang bersifat praktis dan tidak membahayakan atau mengganggu pencapaian persetujuan yang final. Pasal 76 ayat 8 Peta untuk representasi batas Garis batas terluar landas kontinen harus landas kontinen dalam dicantumkan dalam peta dengan skala yang UNCLOS 1958 belum memadai untuk penetapan posisinya. Peta mengatur tentang skala dan tersebut perlu dilengkapi dengan daftar titik-titik daftar koordinat. geografis serta rincian datum geodetik untuk kemudian didepositkan kepada Sekretariat Jenderal PBB. 14

Penetapan atas garis batas landas kontinen antar Negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan

Pasal 6 : Mengatur penetapan batas landas kontinen antara dua negara yang berhadapan (opposite) maupun berdampingan (adjacent) menggunakan prinsip sama jarak (median line).

Peta dan daftar koordinat geografis

Pasal 6 : Delimitasi batas diwujudkan dalam peta.

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia 2.3. ASPEK TEKNIS PENENTUAN BATAS TERLUAR LANDAS KONTINEN Batas maritim antar negara merupakan sub-bagian dari ilmu batas wilayah yang mengkaji aspek teknis batas antar negara dan hukum laut serta perjanjian bilateral maupun multilateral. Aspek teknis meliputi cara penentuan batas maritim secara survey dan pemetaan, sedangkan aspek hukum meliputi pidana dan perdata (Julzarika, 2010). Delimitasi batas maritim adalah penentuan batas wilayah atau kekuasaan antar satu Negara dengan Negara lain (tetangganya) di laut (Arsana, 2007). Batas maritim yang terdefinisikan dengan jelas merupakan hal yang penting bagi hubungan internasional yang baik dan pengelolaan laut yang efektif. Konsep dasar delimitasi batas maritim harus didukung oleh dasar hukum, aspek ilmiah dan aspek teknis. Delimitasi batas maritim diatur oleh hukum internasional yang dikenal dengan UNCLOS dan aspek teknisnya diatur dalam A Manual of Technical Aspects of the United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 atau lebih dikenal dengan TALOS yang diterbitkan oleh International Hydrographic Bureau (IHB). Menurut UNCLOS 1982, sebuah negara pantai baik negara benua (continental state) maupun Negara kepulauan (archipelagic state) berhak mengklaim wilayah maritim tertentu diukur dari garis pangkalnya. Wilayah maritim yang bias diklaim meliputi perairan dalam (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters) khusus untuk Negara kepulauan, laut territorial sejauh 12 mil laut, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil laut dan landas kontinen (continental shelf). Teknis penentuan batas terluar landas kontinen diatur dalam Pasal 76 ayat 4 6 UNCLOS 1982. Secara umum, penentuan batas landas kontinen dapat dibagi menjadi tiga kondisi, yaitu : 1. Penentuan batas landas kontinen kurang dari 200 mil laut. Batas terluar dari landas kontinen adalah sejauh 200 mil laut atau berhimpit dengan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Konsep ini dikenal dengan Coextensive Principle. 2. Penentuan batas landas kontinen lebih dari 200 mil laut. Batas terluar landas kontinen mengacu pada empat ketentuan penentuan pinggiran luar tepian kontinen. 3. Penentuan batas landas kontinen yang berbatasan dengan negara pantai lainnya. Batas terluar landas kontinen mengacu pada perjanjian antara negara yang berkepentingan. Hal ini terjadi jika jarak antar negara kurang dari 400 mil laut. Jika suatu negara pantai berada jauh dari negara pantai lainnya, maka ada kemungkinan semua klaim wilayah maritim dapat dilakukan tanpa mengganggu hak negara lain atau bisa dilakukan secara sepihak (unilateral). Bahkan untuk landas kontinen, dimungkinkan untuk melakukan klaim batas terluar landas kontinen di luar 200 mil laut atau dikenal dengan Landas Kontinen Ekstensi (LKE). Berdasarkan UNCLOS 1982, penentuan batas landas kontinen ekstensi dapat dilakukan dengan memperhatikan empat criteria seperti diatur dalam pasal 76 sebagai berikut (Arsana, 2007) : Kriteria yang membolehkan (formulae) 1. Didasarkan pada titik tetap terluar pada titik mana ketebalan batu endapan (sedimentary rock) peling sedikit 1% dari jarak terdekat antara titik tersebut dengan kaki lereng kontinen (gardiner line). Batas terluar landas kontinen ekstensi adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan ketebalan batu sedimen 1% dihitung dari kaki lereng kontinen. Persentase ini dihitung dengan membandingkan tebalnya batu sedimen di suatu titik terhadap jarak titik tersebut dari kaki lereng. 2. Batas terluar landas kontinen ekstensi juga bias ditentukan dengan menarik garis berjarak 60 mil laut dari kaki lereng kontinen (hedberg line) ke arah laut lepas.

15

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia Pada penerapannya, batas terluar landas kontinen ekstensi merupakan kombinasi dari dua syarat di atas, dalam hal ini akan dipilih garis terluar yang paling menguntungkan negara yang bersangkutan. Garis terluar landas kontinen ini belum final karena harus diuji dan memenuhi Kriteria yang membatasi terlebih dahulu. Kriteria yang membatasi (constraints) 1. Batas terluar dari landas kontinen tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal sebagai referensi mengukur garis batas territorial; atau 2. Batas terluar dari landas kontinen tidak melebihi 100 mil laut dari kontur kedalaman 2.500 m isobaths. Kedua syarat tersebut membatasi dan berlaku salah satu yang paling menguntungkan garis terluar yang dihasilkan. Dengan kata lain, adalah tidak benar jika dikatakan bahwa lebar landas kontinen ekstensi maksimum adalah 350 mil laut karena ada kalanya garis 2.500 m isobath terletak lebih jauh dari garis tersebut.

Gambar 1 : Penentuan batas terluar landas kontinen TALOS

Gambar 2 : Diagram alir penentuan batas terluar landas kontinen

16

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia Batas terluar landas kontinen dapat ditentukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Penentuan Garis Pangkal Garis pangkal digambarkan berdasarkan daftar koordinat titik dasar yang dapat diperoleh dalam PP No. 38 Tahun 2002 dan telah diperbarui dengan PP No. 37 Tahun 2008. 2. Penarikan Garis Batas Maritim Berdasarkan garis pangkal, maka batas maritim Indonesia terkait dengan penarikan batas terluar landas kontinen dapat ditentukan batas-batas sebagai berikut: Garis ZEE merupakan garis proyeksi garis pangkal ke arah laut sejauh 200 mil laut Batas-batas dengan negara tetangga berdasarkan hasil perjanjian

Gambar 3 : Penentuan garis pangkal dan garis batas maritim 3. Penarikan Garis Constraint (cut-off)

Gambar 4 : Penentuan garis constraint (cut-off) Berdasarkan pasal 76 ayat 5 UNCLOS 1982, garis constraint (cut off) didefinisikan sebagai garis yang tidak melebihi 350 mil laut dari garis pangkal atau tidak melebihi garis isobath 2500m + 100 mil laut. Garis constraint (cut off) ini merupakan batas maximal yang diperbolehkan untuk mensubmisi batas terluar landas kontinen melebihi 200 mil laut.

17

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia 4. Garis Formula Penarikan garis batas terluar landas kontinen harus didasarkan pada penentuan kaki lereng atau Foot of the Slope (FOS), yang didefinisikan sebagai perubahan maximum gradien pada permukaan dasar laut. Penarikan garis formula dapat dilakukan dengan cara salah satu atau kombinasi dari dua cara sebagai berikut: Rumus jarak merupakan garis berjarak 60 mil laut dari FOS Rumus Gardiner merupakan 1% ketebalan sediment

Gambar 5 : Penentuan garis formula 5. Batas Terluar Landas Kontinen Batas terluar landas kontinen melebihi 200 mil laut ditentukan berdasarkan kombinasi dari hasil-hasil perhitungan di atas. Selanjutnya jarak antar titik pada batas terluar landas kontinen ini tidak boleh melebihi 60 mil laut.

Gambar 6 : Penentuan batas terluar landas kontinen

III.

ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA 3.1. DASAR HUKUM LANDAS KONTINEN INDONESIA Dalam rangka menjamin kepastian hukum serta dasar bagi pelaksanaan hak-hak eksploitasi di landas kontinen Indonesia, pada tanggal 6 Januari 1973 Pemerintah mengukuhkan UU No.1

18

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Undang-undang ini terdiri atas 14 pasal dengan sistematika sebagai berikut : BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 Landas Kontinen Indonesia diartikan sebagai dasar laut dan tanah dibawahnya di luar perairan wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Kekayaan alam tersebut meliputi sumberdaya alam hayati (organisme jenis sedenter) maupun non-hayati (mineral dan sumber yang tak bernyawa lainnya di dasar laut) Status Kekayaan Alam di Landas Kontinen Pasal 2 Menyatakan bahwa penguasaan penuh dan hak eksklusif atas kekayaan alam di Landas Kontinen Indonesia serta pemilikannya ada pada Negara. Pasal 3 Dalam hal landas kontinen berbatasan dengan negara tetangga, penentuan batas dapat dilakukan dengan cara mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan. Eksplorasi, Ekploitasi dan Penyelidikan Ilmiah Pasal 4 dan 5 Mendelegasikan kepada peraturan perundangan yang berlaku di masing-masing bidang terkait kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan penyelidikan ilmiah di Landas Kontinen Indonesia. Instalasi Pasal 6 dan 7 Mengatur tentang pembangunan instalasi untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Landas Kontinen. Penetapan daerah terlarang (safety zone) yang lebarnya tidak melebihi 500 meter dihitung dari setiap titik terluar instalasi dimana kapal pihak ketiga dilarang lewat dan membuang/membongkar sauh. Penetapan daerah terbatas (prohibited area) selebar tidak melebihi 1.250 meter terhitung dari titik-titik terluar dari daerah terlarang, dimana kapal-kapal pihak ketiga boleh lewat tetapi dilarang membuang atau membongkar sauh. Pencemaran Pasal 8 Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilaksanakan di landas kontinen berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu diwajibkan mengambil langkah-langkah pencegahan terhadap terjadinya dan meluasnya pencemaran air laut di landas kontinen dan udara di atasnya. Yuridiksi Negara Pasal 9 Menyatakan bahwa hukum dan segala peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku terhadap setiap perbuatan dan peristiwa yang terjadi pada, di atas atau di bawah instalasi-instalasi, alat-alat lainnya atau kapal-kapal yang berada di landas kontinen. Prinsip yuridiksi tersebut telah diakui dan dibenarkan oleh Hukum Internasional. Untuk melindungi perekonomian nasional, instalasi dan alat-alat di landas kontinen Indonesia yang dipergunakan untuk eksplorasi dan eksploitasi

BAB II

BAB III

BAB IV

BAB V

BAB VI

19

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia sumber-sumber kekayaan alam dinyatakan sebagai daerah Pabean Indonesia. Perlindungan Terhadap Kepentingan-Kepentingan Lain Pasal 10 Mengatur tentang perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan lain yang ada di landas kontinen Indonesia, antara lain: b. Pertahanan dan keamanan nasional; c. Perhubungan; d. Telekomunikasi dan transmisi listrik dibawah laut; e. Perikanan; f. Penyelidikan oceanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya; g. Cagar alam. Apabila terjadi hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan tersebut, Pemerintah dapat menghentikan untuk sementara waktu pengusahaannya atau dapat mencabut izin usaha yang bersangkutan. Ketentuan-Ketentuan Pidana Pasal 11 dan 12 Mengatur sanksi atas pelanggaran terhadap Pasal 4, 5 dan 8 yaitu maksimal hukuman penjara 6 tahun dan/atau denda Rp. 1.000.000,Ketentuan Penutup Pasal 13 dan 14 Menyatakan pemberlakuan Undang-undang dan pengaturan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah.

BAB VII

BAB VIII

BAB IX

3.2. ANALISIS TERHADAP UNDANG-UNDANG LANDAS KONTINEN INDONESIA Landas Kontinen Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 yang pembuatannya mengacu kepada UNCLOS 1958 Tahun 1958. Undang-Undang ini ditindaklanjuti dengan Undang-Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 yang mana disebutkan bahwa Landas Kontinen adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar perairan wilayah Republik Indonesia sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Definisi diatas dinilai masih rancu, karena tidak ada batasan yang jelas tentang sejauh mana kegiatan eksplorasi dan eksploitasi boleh dilakukan mengingat kemampuan dan teknologi yang digunakan masing-masing negara tidaklah sama. Interpretasi seperti itu tidak dapat diterima karena hanya akan menguntungkan negara dengan letak geografis tertentu terutama negara dengan perkembangan teknologi yang sudah mencapai tingkat tinggi. Ketidakpastian mengenai landas kontinen berakhir dengan dirumuskannya UNCLOS 1982 yang kemudian ditetapkan sebagai satu-satunya Hukum Laut Internasional. Indonesia sebagai salah satu negara anggota harus tunduk kepada UNCLOS 1982 dan kemudian meratifikasi peraturan tersebut menjadi Undang-Undang No. 17 Tahun 1985. Bahwa Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 merupakan ratifikasi dari UNCLOS 1982 secara keseluruhan, Undang-Undang tersebut hanya memuat tentang Landas Kontinen secara umum. Hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara terperinci mengatur tentang Landas Kontinen Indonesia, sehingga Indonesia tidak mempunyai dasar hukum yang kuat untuk mengatur Landas Kontinen di wilayahnya. Mengingat Undangundang tentang landas kontinen Indonesia yang berlaku saat ini (Undang-Undang No. 1 Tahun 1973) sudah tidak relevan karena menggunakan acuan yang sama sekali berbeda, maka perlu dilakukan revisi atau pembuatan Undang-Undang baru untuk menggantikan Undang-Undang tersebut.

20

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia 3.3. PERMASALAHAN TERKAIT LANDAS KONTINEN INDONESIA Delimitasi batas maritim dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pertimbangan politik, strategis dan sejarah. Selain itu juga pertimbangan ekonomi, geografis, lingkungan, geologi dan geomorfologi. Dibawah ini membahas beberapa faktor yang dominan : 1. Ditinjau Dari Segi Hukum Terdapat perbedaan rejim hukum landas kontinen dalam UNCLOS 1982 dengan yang telah diatur sebelumnya dalam UNCLOS 1958. Jika UNCLOS 1958 menggunakan kriteria keterikatan geomorfologis (natural prolongation) dan kemampuan eksploitasi (technical exploitability), sebaliknya UNCLOS 1982 menggunakan kriteria jarak (distance criteria) minimal landas kontinen negara pantai sejauh 200 mil laut dan boleh melebihi jarak tersebut dengan syarat tertentu. Dibandingkan dengan UNCLOS 1958 yang menggunakan prinsip kemampuan eksploitasi (technical exploitability) sehingga menguntungkan negara-negara yang memiliki teknologi maju dalam bidang pertambangan, UNCLOS 1982 memberikan rumusan hukum yang jelas dan adil bagi semua negara. 2. Ditinjau Dari Segi Teknis Dasar hukum yang berbeda berdampak pada teknis penentuan batas landas kontinen yang berbeda pula. Salah satu contohnya adalah tata cara penentuan batas landas kontinen untuk negara yang berhadapan atau berdampingan (diatur dalam Pasal 6 UNCLOS 1958 dan Pasal 84 UNCLOS 1982). Pada UNCLOS 1958, menerapkan prinsip median line atau equidistance principle bilamana tidak terdapat keadaan khusus yang memungkinkan garis batas ditentukan tidak sama jarak. Sebaliknya, UNCLOS 1982 memberikan keleluasaan dengan merujuk pada tercapainya kesepakatan antar pihak yang terkait sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional publik. 3. Ditinjau Dari Segi Ekonomi Penetapan dan penegasan batas maritim sangat diperlukan terutama dalam pengelolaan laut. Penentuan batas sangat penting untuk menjamin kejelasan dan kepastian yurisdiksi (jurisdictional clarity and certainty) (Prescott dan Schofield, 2005 dalam Arsana, 2007). Hal ini dapat memberikan keuntungan multidimensi, misal dalam memfasilitasi pengelolaan lingkungan laut secara efektif dan berkesinambungan serta peningkatan keamanan maritim (maritim security). Perjanjian batas maritim akan memberikan jaminan hak Negara pantai untuk mengakses dan mengelola sumberdaya maritim hayati maupun non-hayati (Arsana, 2007). Wilayah landas kontinen mengandung sumber energi dan mineral, sehingga berpotensi besar mengakibatkan sengketa antar negara yang berbatasan dan berkepentingan. Kasus perebutan Blok Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia yang merebak mulai tahun 2005 merupakan salah satu contoh sengketa akibat ketidakpastian posisi, eksistensi dan status hukum di wilayah landas kontinen. 4. Ditinjau Dari Segi Politik dan Pertahanan Kemananan Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Singapura, Vietnam, Thailand, Malaysia, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Posisi tersebut membuat Indonesia rawan bersengketa dengan negara tetangga. Salah satu masalah yang rentan menjadi konflik adalah mengenai wilayah perbatasan, terutama batas maritim yang mana tidak terdapat tanda batas secara fisik sebagaimana batas darat. 21

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia Rejim hukum laut Indonesia mengacu pada hukum laut internasional yaitu UNCLOS 1982, yang mana membagi batas-batas maritim sebagai berikut : 1. Perairan pedalaman 2. Perairan Nusantara / Kepulauan 3. Laut Teritorial 4. Zona tambahan 5. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 6. Landas Kontinen Hingga saat ini, terdapat beberapa wilayah Indonesia yang overlap dengan negara tetangga belum ditentukan dan disepakati batas maritimnya, baik menyangkut laut teritorial, zona tambahan, ZEE maupun landas kontinen. Berikut adalah perjanjian yang telah ada berkaitan dengan Landas Kontinen Indonesia dapat dirangkum sebagai berikut (Djunarsjah dan Dewantara, 2002) : a. Indonesia Australia Perjanjian yang dibuat antara Indonesia dengan Australia menghasilkan ketentuan yang merugikan Indonesia. Kerugian tersebut muncul karena tidak ditegakkannya prinsip coextensive principle. Batas landas kontinen Australia masuk kedalam batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia, hal ini menyebabkan batas landas kontinen lebih dekat ke pantai Indonesia. Dengan ditegakkannya co-extensive principle batas landas kontinen Indonesia seharusnya berimpit dengan batas ZEE. b. Indonesia Malaysia Perjanjian batas landas kontinen dengan Malaysia masih menggunakan UNCLOS 1958 sebagai acuan. Terdapat persetujuan yang merugikan Indonesia dimana garis batas landas kontinen antara kedua negara lebih dekat ke pantai Indonesia di Selat Malaka (perjanjian menggunakan prinsip median line). c. Indonesia Vietnam Perjanjian antara Indonesia dengan Vietnam belum dapat menyelesaikan batas landas kontinen kedua negara. Jarak antar pulau yang berdekatan antara kedua negara tidak lebih dari 245 mil laut. Vietnam bersikeras untuk tidak menggunakan UNCLOS 1982 sebagai acuan secara menyeluruh. d. Indonesia Palau Untuk menarik suatu batas ZEE yang adil, mengingat jarak antara P. Helen (pulau paling Selatan Palau) dengan P. Fani/P.P. Asia kurang dari 400 mil laut, maka sebaiknya diterapkan metode sama jarak (equidistance). e. Indonesia Philipina Perjanjian antara Indonesia dan Philipina masih belum berhasil menetapkan batas landas kontinen antara kedua negara. Tertundanya perjanjian antara kedua negara ini lebih disebabkan karena belum akuratnya titik pangkal yang digunakan oleh Philipina. Akan tetapi berdasarkan jarak antara kedua negara di Utara Sulawesi kemungkinan besar perundingan penentuan batas landas kontinen antara kedua negara ditetapkan berdasarkan prinsip median line. IV. LANDAS KONTINEN INDONESIA 4.1. KETERSEDIAAN DATA Dalam penentuan batas terluar landas kontinen diperlukan data-data penunjang. Data-data yang dimaksud antara lain :

22

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia 1. Data koordinat titik dasar yang tertuang dalam PP No. 38 Tahun 2002 dan direvisi dengan PP No. 37 Tahun 2008 PP No. 38 Tahun 2002 memuat daftar koordinat 183 titik dasar yang dapat digunakan untuk menggambarkan garis pangkal wilayah kepulauan Indonesia. PP No. 38 Tahun 2002 kemudian direvisi dengan PP No. 37 Tahun 2008 terkait dengan perubahan titiktitik dasar akibat berdirinya negara Timor Leste dan keputusan Mahkamah Internasional tentang Pulau Sipadan dan Ligitan. 2. World Vector Shoreline (WVS) WVS adalah garis pantai digital skala 1:250,000 produk dari NIMA (National Imagery and Mapping Agency) dalam format ASCII. WVS ini berisikan data garis pantai yang diperoleh dari Digital Landmass Blanking (DLMB), Operational Navigation Charts (ONCs), dan Tactical Pilotage Charts (TPCs). Batas-batas Internasional dan nama-nama negara yang diperoleh dari peta hardcopy semisal ONCs, TPCs, dan Joint Operation Graphics (JOGs) juga termasuk di dalamnya. 3. Data batimetri hasil proyek DMRM Selama pelaksanaan proyek Digital Marine Resource Mapping (DMRM) tahun 19961999, dilakukan survei batimetri dengan menggunakan SIMRAD EM12D Multibeam Echosounder. Jarak antar lajur dalam survei ini berkisar 100 km dengan cakupan sampai 200 mil laut dari garis pangkal. 4. Data Batimetri Global: ETOPO2 ETOPO2 adalah basisdata atau model batimetri dan topografi yang mencakup seluruh permukaan bumi dengan resolusi 2 menit x 2 menit. Data ini dimodelkan dari berbagai sumber baik dari hasil survei lapangan maupun pemodekan dari data satelit altimetri. 5. Ketebalan Sedimen Data ketebalan sedimen yang dipakai dalam desktop study ini diperoleh dari the National Geophysical Data Center (NGDC). Data ini merupakan hasil kompilasi dari basisdata ketebalan sedimen digital dengan resolusi 5 menit x 5 menit. 4.2. MEKASNISME PENENTUAN DAN PUBLIKASI LANDAS KONTINEN (Contoh : Submisi Parsial Landas Kontinen di luar 200 mil laut sebelah barat laut Sumatera) Pasal 76 ayat 1 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa : Landas kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa untuk landas kontinen hingga 200 mil laut tidak perlu melakukan submisi untuk mendapatkan haknya, selama tidak mengganggu kepentingan negara yang berbatasan. Sebuah negara pantai juga memiliki kesempatan mengajukan klaim landas kontinen lebih dari 200 mil laut atau biasa disebut Landas Kontinen Ekstensi (LKE) jika negara tersebut telah memenuhi persyaratan seperti yang telah diatur dalam UNCLOS 1982. Negara tersebut diwajibkan untuk melakukan submisi ke Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLCS) sesuai dengan prosedur teknis yang telah ditentukan. Secara umum terdapat 4 (empat) tahapan untuk melakukan submisi landas kontinen di luar 200 mil laut. Berikut adalah pembahasan ketiga tahapan tersebut. 23

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia

4.2.1. Pengumpulan Data Tahap yang paling awal dalam setiap proses adalah tahap persiapan, dimana dalam kegiatan ini adalah persiapan data. Sebelum memasuki tahapan lebih lanjut, data harus sudah terkumpul terlebih dahulu. Data yang digunakan dalam kegiatan ini sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya antara lain : 1. Data batimetri global (ETOPO2, Geodas) dan proyek Digital Marine Resources Mapping (DMRM) kerjasama Bakosurtanal dengan BPPT dan Dishidros TNI-AL. 2. Data ketebalan sedimen global (NGDC/NOAA) 3. Koordinat titik dasar (PP No. 38 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan PP No. 37 Tahun 2008) 4. Garis Pantai dari World Vector Shoreline 5. Peta ZEE hasil DMRM 6. Data pendukung lainnya 4.2.2. Desktop Study Untuk mengetahui apakah suatu negara memiliki potensi untuk melakukan klaim batas terluar landas kontinen di luar 200 mil laut, perlu dilakukan appurtenance test melalui desktop study yaitu melakukan sketsa dan estimasi perhitungan awal menggunakan software di komputer. Dari data-data yang tersedia dan telah dilakukan desktop study, teridentifikasi 3 wilayah yang berpotensi untuk dilakukan submisi, yaitu: sebelah barat laut Sumatera, sebelah selatan Nusa Tenggara dan sebelah utara Papua.

Gambar 7 : Informasi tentang batas landas kontinen, garis 200 mil laut dan 350 mil laut dari garis pangkal, yang menunjukkan kontinental margin masih berada di dalam jarak 200 mil laut serta lokasi dari 3 (tiga) daerah prospek untuk submisi Landas Kontinen di luar 200 mil (Bakosurtanal, 2010) Indonesia berencana melakukan submisi LKE secara parsial yang artinya dilakukan secara bertahap untuk masing-masing wilayah yang berpotensi. Wilayah barat laut Sumatera dipilih sebagai wilayah submisi pertama.

24

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia

Gambar 8 : Daerah potensi batas terluar landas kontinen lebih dari 200 mil laut (Bakosurtanal, 2010) Desktop study dilakukan menggunakan Caris Lots 4.0 dan software pendukung lainnya (Matlab, AutoCAD dan Surfer). 4.2.3. Survei Seismik Multichannel Hasil desktop study mengindikasikan perlunya data ketebalan sedimen untuk mendukung data-data teknis, maka diperlukan survei seismik multichannel refleksi dan batimetri di sebelah barat laut Sumatera yang dillaksanakan pada 27 Januari 15 Februari 2010 menggunakan kapal riset Baruna Jaya II. Kegiatan ini merupakan hasil kerja tim Bakosurtanal berkoordinasi dengan Balai Teksurla (BTSK) BPPT, PPTISDA BPPT, P3GL, DISHIDROS TNI AL, Balitbang KP dan PT.Elnusa Geoscience. Tujuan survei ini adalah untuk menentukan ketebalan sedimen sebagai data pendukung untuk keperluan submisi seperti yang dipersyaratkan oleh CLCS.

Gambar 9 : pengolahan data hasil survei daerah potensi landas kontinen lebih dari 200 mil laut (Bakosurtanal, 2010) Data hasil survei tersebut kemudian diolah menggunakan software dan menghasilkan 3 alternatif batas terluar landas kontinen yang dapat dipertimbangkan, sebagai berikut :

25

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia

(a) Luas wilayah 3848 km2

(b) Luas wilayah 4232 km2

(c) Luas wilayah 4257 km2

Gambar 10 : Alternatif lajur survei potensi landas kontinen lebih dari 200 mil laut (Bakosurtanal, 2010) Dari perbandingan diatas, dapat disimpulkan bahwa opsi (c) adalah yang paling maksimal. 4.2.4. Submisi Batas Terluar Landas Kontinen Indonesia telah melakukan pengkajian tentang kemungkinan submisi LKE sejak meratifikasi UNCLOS 1982 pada tahun 1985. Pada tahun 1996, dibuat suatu proyek Digital Marine Resources Mapping (DMRM) untuk mendapatkan data batimetri. Berdasarkan datadata yang tersedia dan telah dilakukan desktop study serta survei seismik multichannel refleksi, pemerintah Indonesia memasukkan dokumen parsial submisi ke Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLCS) pada tanggal 16 Juni 2008. Submisi tersebut ditindaklanjuti dengan presentasi delegasi RI dalam sidang CLCS tanggal 24 Maret 2009. Secara umum, argumentasi pihak RI bisa diterima kecuali untuk titik nomor 1 dan 4 (FP1 dan FP4) diperlukan tambahan data seismik. Jika FP1 dan FP4 ditolak, maka hanya 39% saja dari total submisi yang bisa di klaim. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, dilakukan kembali survei seismik refleksi multichannel di wilayah barat laut Sumatera pada tanggal 10 Januari 18 Februari 2010 menggunakan kapal riset Baruna Jaya II.

(a) (b) Gambar 11 : (a) Submisi parsial landas kontinen barat laut Sumatera; (b) Cakupan wilayah batas landas kontinen Indonesia apabila FP 1 dan FP 4 ditolak oleh CLCS (Bakosurtanal, 2010)

26

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia Pemerintah Indonesia kembali melakukan submisi ke CLCS dengan ditunjang datadata hasil survei tersebut. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh sub-komisi selama sidang ke 23-26, pada 17 Agustus 2010 Indonesia berkesempatan menyampaikan presentasi guna menjelaskan seluruh rangkaian proses submisi Indonesia yang telah dilakukan sejak 16 Juni 2008 sesuai Rule of Procedure CLCS Annex III paragraph 15. Setelah melalui proses yang panjang, submisi landas kontinen Indonesia lebih dari 200 mil laut di sebelah barat laut Sumatera resmi diterima dan disahkan oleh CLCS. Pertambahan luas wilayah RI itu disampaikan Kepala Bakosurtanal dalam jumpa pers di Jakarta, 30 Agustus 2010. Pada tanggal 28 Maret 2011, CLCS menerbitkan dokumen resmi terkait submisi tersebut dan wilayah landas kontinen Indonesia resmi bertambah seluas 4209 km2 atau hampir seluas Pulau Madura.

Gambar 12 : Penambahan wilayah landas kontinen Indonesia (Bakosurtanal, 2010)

V. PENUTUP 5.1. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan penetapan Batas Landas Kontinen Indonesia, yaitu: 1. Pengertian landas kontinen berdasarkan istilah geologi (UNCLOS 1958) dengan pengertian hukum yang berlaku sekarang (UNCLOS 1982) adalah berbeda, sehingga Indonesia perlu meninjau kembali UU No.1 Tahun 1973. 2. Perjanjian batas landas kontinen antara Indonesia dengan negara sekitarnya umumnya masih didasarkan pada UNCLOS 1958, sehingga perlu dikaji secara seksama apakah perlu untuk merevisi perjanjian, terutama pertimbangan kerugian Indonesia akibat perjanjian yang telah ada. 3. Dari aspek teknis, persoalan utama yang dihadapi berupa masalah biaya untuk keperluan survei. Semua data dan dokumen terkait (peta dan keterangan lainnya) yang mengidentifikasikan tepian kontinen terutama untuk mengklaim batas landas kontinen yang melebihi 200 mil laut dari garis pangkal, akan membutuhkan biaya yang sangat besar. Perlu inventarisasi ulang semua data yang telah ada, terutama yang telah dikumpulkan oleh Dishidros, Bakosurtanal, PPGL, dan perusahaan- perusahaan eksplorasi lepas pantai.

27

Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia 4. Perlu dibuat suatu sumber hukum turunan dari UU No. 17 Tahun 1985 yang khusus mengatur tentang landas kontinen untuk menggantikan UU No. 1 Tahun 1973 agar Indonesia mempunyai dasar hukum yang kuat untuk mengatur Landas Kontinen di wilayahnya.

DAFTAR PUSTAKA Arsana, I.M.A. 2007. Batas Maritim Antarnegara. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Arsana, I.M.A. 2008. Delineasi Batas Terluar Landas Kontinen Ekstensi Indonesia: Status dan Permasalahannya. Yogyakarta : Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gajahmada. Bakosurtanal dan BPPT. 2010. Laporan Survei Seismik Multichannel Batas Landas Kontinen di luar 200 mil laut Sebelah Barat Laut Sumatera Tahap II : 20 Januari 18 Februari 2010. Cibinong : Bakosurtanal. Djajaatmadja, Bambang Iriana. 2006. Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan Tentang Landas Kontinen. Jakarta : Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Djunarsah, Eka dan Tangguh Dewantara. 2002. Penetapan Batas Landas Kontinen Indonesia. Bandung : Departemen Teknik Geodesi FTSP ITB. Hasibuan, Rosmi. _____ . Kaitan Permasalahan Rejim Hukum Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Dan Lintas Kontinen Dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Sumatera Utara : Fakultas Hukum Jurusan Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara. Julzarika, Atriyon dan Susanto. 2010. Penentuan Landas Kontinen Ekstensi Batas Maritim IndonesiaPalau pada Kedalaman 2500 m Isobaths + 100 NM di Sebelah Utara Papua Menggunakan Batimetri Turunan Data Penginderaan Jauh. Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 16 No. 1, Agustus 2010. Khafid. 2011. Pengalaman melakukan Parsial Submisi Landas Kontinen Indonesia di luar 200 mil laut di sebelah barat laut Sumatera untuk mendukung penyusunan Rancangan Undangundang Landas Kontinen Indonesia. Disampaikan pada : Sosialisasi RUU tentang Landas Kontinen Indonesia, Selasa 26 April 2011, Hotel Maharani Jakarta. Sutisna, Sobar. 2004. Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia. Cibinong : Bakosurtanal. Sutisna, Sobar. 2006. Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia : Aspek Permasalahan Batas Maritim Indonesia. Cibinong : Bakosurtanal. United Nations. 2005. Convention on the Continental Shelf 1958. United Nations Treaty Series, Vol. 499, p. 311.

28

You might also like