You are on page 1of 17

Tugas Individu Perlindungan dan Pengamanan Hutan

Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2010

Oleh:

Nama NIM Kelas

: Hulyana : M 111 08 329 : D (Kamis)

FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011

Ulasan PP No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan Definisi

Hutan : suatu kesatuan ekosistem (hamparan, sumber daya alam hayati, didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan). Kawasan hutan : wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Fungsi Kawasan Hutan Kawasan Hutan diarahkan untuk memenuhi fungsi hutan melalui penetapan sesuai kriteria tertentu (UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan), yaitu: Hutan Konservasi,Hutan Lindung dan Hutan Produksi, yang terdiri dari: Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi yang dapat Dikonversi.

Dasar Penerbitan PP Nomor 10 tahun 2010 adalah Pasal 19 UU No. 41/1999,yaitu : (1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu. (2) Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2010 diundangkan tgl 22 Januari 2010, Lembaran Negara Nomor 15 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5097. Perubahan fungsi dan perubahan peruntukan kawasan hutan dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi, manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan serta keberadaan kawasan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional.

Pengertian Pasal 1 1. Perubahan peruntukan kawasan hutan adalah perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. 2. perubahan fungsi kawasan hutan adalah perubahan sebagian atau seluruh fungsi hutan dalam satu atau beberapa kelompok hutan menjadi fungsi kawasan hutan yang lain. 3. Pelepasan kawasan hutan adalah perubahan peruntukan kawasan HPK menjadu bukan Kawasan Hutan. 4. TMKH adalah perubahan kawasan HP dan atau HPT menjadi bukan kawasan hutan yang diimbangi dengan memasukkan kawasan lahan pengganti dari bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan. Perubahan peruntukan Kawasan Hutan (diatur dalam pasal 6 s/d pasal 32) Perubahan peruntukan kawasan hutan dapat dilakukan: 1. secara parsial; atau 2. untuk wilayah provinsi. Perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial dilakukan melalui: 1. tukar menukar kawasan hutan; atau 2. pelepasan kawasan hutan. Perubahan peruntukan kawasan hutan untuk wilayah provinsi dilakukan berdasarkan usulan gubernur kepada Menteri Kehutanan yang diintegrasikan dalam revisi RTRWP. Tukar Menukar Kawasan Hutan diatur dalam Pasal 10 s/d Pasal 18 Hanya dapat dilakukan pada Hutan Produksi Terbatas dan/atau Hutan Produksi Tetap dilakukan untuk : pembangunan non kehutanan yg permanen menghilangkan enclave memperbaiki kawasan hutan

dengan ketentuan :

tetap terjaminnya luas kh paling sedikit 30% dari luas DAS, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional mempertahankan daya dukung kawasan hutan tetap layak kelola.

Pembangunan non kehutanan yg bersifat permanen (Pasal 11) Pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen meliputi pembangunan untuk : penempatan korban bencana alam; waduk; bendungan; fasilitas pemakaman; fasilitas pendidikan; fasilitas keselamatan umum; kantor pemerintah; permukiman penduduk bukan real estate; bangunan industri; pelabuhan; bandar udara; pengembangan/pemekaran wilayah; atau budidaya pertanian, perikanan, atau perkebunan. Tahapan Proses Tukar Menukar Kawasan Hutan (Pasal 13 sd. 18)

Permohonan tukar menukar kawasan hutan yang memuat kawasan hutan yang dimohon
dan lahan pengganti. Penelitian oleh Tim Terpadu

Persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan oleh Menteri. Berita Acara Tukar Menukar Kawasan Hutan yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal
Planologi Kehutanan atas nama Menteri dengan pemohon.

Penunjukan lahan pengganti sebagai kawasan hutan oleh Menteri. Penataan batas kawasan hutan yang dimohon dan lahan pengganti oleh Panitia Tata
Batas kawasan hutan.

Penetapan lahan pengganti menjadi kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan oleh
Menteri. Permohonan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Secara Parsial (Pasal 8) Diajukan oleh : 1. menteri atau pejabat setingkat menteri 2. gubernur atau bupati/walikota; 3. pimpinan badan usaha; atau

4. ketua yayasan

dengan Persyaratan : 1. administrasi dan 2. teknis Persyaratan Teknis Lahan Pengganti (Pasal 12 ayat (4) letak, luas, dan batas usulan lahan pengganti jelas; berbatasan langsung dengan kawasan hutan; dalam DAS, pulau, dan atau provinsi yang sama; dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional;

bebas dari penguasaan lahan oleh pihak ketiga secara fisik di lapangan; tidak dalam sengketa dan bebas dari segala jenis pembebanan dan hak tanggungan.
Penelitian Terpadu Pasal 13 ayat (4), Pasal 31 ayat (3), Pasal 44 ayat (2) Tugas : melakukan penelitian dan memberikan rekomendasi kepada Menhut terhadap perubahan peruntukan dan fungsi KH, dengan mendasarkan pada aspek teknis, lingkungan, sosial, ekonomi dan budaya, serta hukum.

Anggota : LIPI, Kementerian LH, Perguruan Tinggi, Kementrian Pekerjaan Umum,


Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Daerah Provinsi/Kab, Instansi lain yang ditunjuk

Untuk TMKH dengan luas paling banyak 2 hektar dan untuk kepentingan umum terbatas
yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemda, Tim cukup dari kementerian kehutanan Biaya : ditanggung pemohon Persetujuan prinsip (Pasal 15) Persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan diberikan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali masing-masing untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Persetujuan prinsip memuat kewajiban bagi pemohon paling sedikit: menyelesaikan clear and clean calon lahan pengganti dengan luasan yang surat pernyataan kesanggupan untuk: cukup dan diketahui oleh instansi pertanahan setempat;

menanggung biaya tata batas terhadap kawasan hutan yang dimohon dan calon
lahan pengganti sesuai dengan standar kegiatan dan biaya tata batas yang berlaku;

membayar nilai tegakan, dan pungutan PSDH atas hutan tanaman atau PSDH
dan DR atas hutan alam atas kawasan hutan yang dimohon yang tata cara penghitungannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

menanggung biaya reboisasi dan pemeliharaan tanaman terhadap calon lahan


pengganti sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

menyerahkan surat jaminan secara notarial yang berisi bahwa tidak terdapat

cacat tersembunyi terhadap calon lahan pengganti. Pelepasan Kawasan Hutan (Pasal 19 s/d Pasal 28)

hanya dapat dilakukan pada Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) baik dalam
keadaan berhutan maupun tidak berhutan. Pada provinsi yang luas kawasan hutannya 30% HPK tidak dapat dilepas kecuali dengan cara TMKH

dilakukan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang ditetapkan


oleh Menhut. Tahapan Pelepasan HPK (Pasal 20 s/d Pasal 24) Permohonan pelepasan HPK Persetujuan prinsip pelepasan HPK oleh Menteri. Tata batas kawasan hutan yang dimohon (BA Hasil Tata Batas Keputusan pelepasan HPK Pasal 27 Setiap perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial yang memperoleh keputusan pelepasan kawasan hutan dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 24 dapat melakukan kegiatan sesuai peraturan perundang-undangan. Penjelasan Pasal 27 Yang dimaksud dengan peraturan perundangundangan dalam ketentuan ini adalah peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Untuk Wilayah Provinsi (Pasal 30, Pasal 31)

Perubahan peruntukan kawasan hutan untuk wilayah provinsi dilakukan berdasarkan


usulan dari gubernur kepada Menteri.

Usulan perubahan peruntukan kawasan hutan untuk wilayah provinsi diintegrasikan oleh
gubernur dalam revisi rencana tata ruang wilayah provinsi.

Menteri setelah menerima usulan perubahan peruntukan kawasan hutan untuk wilayah
provinsi dari gubernur, melakukan telaahan teknis. Berdasarkan hasil telaahan teknis Menteri membentuk Tim Terpadu.

Tim Terpadu menyampaikan hasil penelitian dan rekomendasi terhadap perubahan


peruntukan kawasan hutan kepada Menteri.

Dalam hal hasil penelitian, usulan perubahan peruntukan kawasan hutan berpotensi
menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan, wajib melaksanakan kajian lingkungan hidup strategis.

Menteri menyampaikan hasil penelitian Tim Terpadu kepada DPR untuk mendapatkan
persetujuan, baik terhadap sebagian atau keseluruhan kawasan hutan yang diusulkan.

Dalam hal DPR menyetujui hasil penelitian Tim Terpadu, Menteri menerbitkan keputusan
tentang perubahan peruntukan kawasan hutan wilayah provinsi.

Dalam hal DPR menolak hasil penelitian Tim Terpadu, Menteri menerbitkan surat
penolakan usulan perubahan peruntukan kawasan hutan wilayah provinsi. Pasal 32 Keputusan Menteri tentang perubahan peruntukan kawasan hutan untuk wilayah provinsi sebagaimanadimaksud dalam Pasal 31 ayat (7) diintegrasikan oleh gubernur dalam revisi rencana tata ruang wilayah provinsi yang dilakukan untuk ditetapkan dalam peraturan daerah provinsi. Perubahan Fungsi Kawasan Pasal 33 s/d Pasal 47 Perubahan fungsi kawasan hutan dilakukan untuk memantapkan dan mengoptimalisasikan fungsi kawasan hutan. Perubahan fungsi kawasan hutan dilakukan: 1. secara parsial; atau 2. untuk wilayah provinsi.

Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi HPK tidak dapat dilakukan pada provinsi yang
luas kawasan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh perseratus). Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Secara Parsial (Pasal 35 Pasal 44)

Perubahan fungsi kawasan hutan secara parsial dilakukan melalui perubahan fungsi:
antar fungsi pokok kawasan hutan; atau dalam fungsi pokok kawasan hutan.

Perubahan fungsi antar fungsi pokok kawasan hutan meliputi perubahan fungsi dari: kawasan hutan konservasi menjadi kawasan hutan lindung dan/atau kawasan
hutan produksi;

kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan konservasi dan/atau kawasan


hutan produksi;

kawasan hutan produksi menjadi kawasan hutan konservasi dan/atau kawasan


hutan lindung. Syarat Perubahan dalam fungsi pokok Hutan Konservasi (Pasal 41 ayat 2)

sudah terjadi perubahan kondisi biofisik kawasan hutan akibat fenomena alam,
lingkungan, atau manusia;

diperlukan jangka benah untuk optimalisasi fungsi dan manfaat kawasan hutan; atau cakupan luasnya sangat kecil dan dikelilingi oleh lingkungan sosial dan ekonomi akibat
pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang tidak mendukung kelangsungan proses ekologi secara alami. Syarat Perubahan fungsi dalam fungsi pokok kawasan HP (Pasal 42 ayat 2)

untuk memenuhi kebutuhan luas hutan produksi optimal untuk mendukung stabilitas
ketersediaan bahan baku industri pengolahan kayu; atau Jangka benah fungsi kawasan hutan Usulan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan (Pasal 43 ayat 2) Usulan diajukan oleh :

Bupati/Walikota, untuk kawasan hutan yang berada dalam satu kabupaten/kota; atau Gubernur, untuk kawasan hutan lintas kabupaten/kota.
Pasal 47 Setiap perubahan fungsi kawasan hutan secara parsial yang memperoleh keputusan perubahan fungsi kawasan hutan dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dapat melakukan pengelolaan dan/atau kegiatan sesuai fungsinya sesuai peraturan perundangundangan. Penjelasan Pasal 47 :

Yang dimaksud dengan peraturan perundangundangan dalam ketentuan ini adalah peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.

Perubahan peruntukan kawasan hutan yg berdampak penting dan cakupan yg luas serta bernilai strategis (Pasal 48)

merupakan perubahan peruntukan kawasan hutan yang menimbulkan pengaruh


terhadap: kondisi biofisik; atau kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.

Perubahan yang menimbulkan pengaruh terhadap kondisi biofisik merupakan perubahan


yang mengakibatkan penurunan atau peningkatan kualitas iklim atau ekosistem dan/atau tata air.

Perubahan yang menimbulkan pengaruh terhadap kondisi sosial dan ekonomi


masyarakat merupakan perubahan yang mengakibatkan penurunan atau peningkatan sosial dan ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan yang akan datang. Sanksi (Pasal 49)

2.

Persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan dapat dibatalkan oleh Menteri apabila:

1. tidak memenuhi kewajiban dalam tenggang waktu yangndiberikan; dan/atau


memindahtangankan persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan kepada pihak lain tanpa persetujuan Menteri. Pembatalan persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan dikenai setelah diberikan peringatan tertulis oleh Menteri sebanyak 3 (tiga) kali masing-masing dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja untuk setiap kali peringatan. Sanksi Pasal 50

Persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan dapat dibatalkan oleh Menteri apabila:

1. tidak memenuhi kewajiban dalam tenggang waktu yang diberikan 2. memindahtangankan persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan kepada pihak lain
tanpa persetujuan Menteri atau

3. pemegang persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan membuka kawasan hutan


sebelum mendapat dispensasi dari Menteri

Pembatalan persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan dikenai setelah diberikan peringatan tertulis oleh Menteri sebanyak 3 (tiga) kali masing-masing dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja untuk setiap kali peringatan.

Ketentuan Peralihan (Pasal 51)

TMKH hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas yang belum memperoleh
persetujuan prinsip, penyelesaiannya diproses sesuai PP ini.

TMKH yang telah memperoleh Keputusan Menteri tentang pelepasan kawasan hutan
dan Keputusan Menteri tentang penetapan lahan pengganti sebagai kawasan hutan yang telah ditetapkan sebelum ditetapkannya PP ini dinyatakan tetap berlaku.

pelepasan

kawasan

hutan

yang

belum

memperoleh

persetujuan

prinsip,

penyelesaiannya diproses sesuai dengan ketentuan dalam PP ini.

TMKH atau pelepasan kawasan hutan yang telah memperoleh persetujuan prinsip tetapi
belum memperoleh keputusan pelepasan kawasan hutan dari Menteri, wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam PP ini.

Pelepasan kawasan hutan yang telah memperoleh Keputusan Menteri tentang


pelepasan kawasan hutan yang ditetapkan sebelum ditetapkannya PP ini dinyatakan tetap berlaku.

Perubahan fungsi kawasan hutan yang belum memperoleh Keputusan Menteri, diproses
sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.

Perubahan fungsi kawasan hutan yang telah memperoleh Keputusan Menteri tentang
perubahan fungsi kawasan hutan yang ditetapkan sebelum ditetapkannya PP ini dinyatakan tetap berlaku.

Perubahan peruntukan kawasan hutan wilayah provinsi atau perubahan fungsi kawasan
hutan wilayah provinsi, yang belum memperoleh Keputusan Menteri diproses sesuai dengan PP ini.

perubahan peruntukan kawasan hutan wilayah provinsi atau perubahan fungsi kawasan
hutan wilayah provinsi, yang telah memperoleh Keputusan Menteri sebelum ditetapkannya PP ini dinyatakan tetap berlaku. Pasal 52

Kawasan hutan produksi yang telah diberikan persetujuan prinsip pelepasan kawasan
hutan untuk usaha perkebunan kepada badan usaha sebelum berlakunya UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, maka:

badan usaha wajib menyerahkan lahan pengganti dengan ratio 1:1 dan memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) kecuali huruf c.

penyerahan lahan pengganti sebagaimana dimaksud pada huruf a dilakukan paling lama
12 (dua belas) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

Lahan pengganti harus terletak di dalam wilayah daerah aliran sungai yang sama, pada
wilayah daerah aliran sungai lain dalam provinsi yang sama, atau provinsi yang lain dalam pulau yang sama.

Penyerahan lahan pengganti merupakan dasar pelepasan kawasan hutan dari Menteri.

Contoh Studi Kasus Kebakaran Hutan dan Upaya Penanggulangannya

I.

Pendahuluan Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung

keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat. Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini telah melintasi batas negara. Berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah dilakukan termasuk mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan SK Menteri sampai Dirjen), namun belum memberikan hasil yang optimal. Sejak kebakaran hutan yang cukup besar tahun 1982/83 di Kalimantan Timur, intensitas kebakaran hutan makin sering terjadi dan sebarannya makin meluas. Tercatat beberapa

kebakaran cukup besar berikutnya yaitu tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997 hingga 2003. Oleh karena itu perlu pengkajian yang mendalam untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan. Tulisan ini merupakan sintesa dari berbagai pengetahuan tentang hutan, kebakaran hutan dan penanggulangannya yang dikumpulkan dari berbagai sumber dengan harapan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi para peneliti, pengambil kebijakan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi para pencinta lingkungan dan kehutanan.

II. Kebakaran Hutan dan Faktor Penyebabnya Api sebagai alat atau teknologi awal yang dikuasai manusia untuk mengubah lingkungan hidup dan sumberdaya alam dimulai pada pertengahan hingga akhir zaman Paleolitik, 1.400.000-700.000 tahun lalu. Sejak manusia mengenal dan menguasai teknologi api, maka api dianggap sebagai modal dasar bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk membuka hutan, meningkatkan kualitas lahan pengembalaan, memburu satwa liar, mengusir satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan sebagainya (Soeriaatmadja, 1997). Analisis terhadap arang dari tanah Kalimantan menunjukkan bahwa hutan telah terbakar secara berkala dimulai, setidaknya sejak 17.500 tahun yang lalu. Kebakaran besar kemungkinan terjadi secara alamiah selama periode iklim yang lebih kering dari iklim saat itu. Namun, manusia juga telah membakar hutan lebih dari 10 ribu tahun yang lalu untuk mempermudah perburuan dan membuka lahan pertanian. Catatan tertulis satu abad yang lalu dan sejarah lisan dari masyarakat yang tinggal di hutan membenarkan bahwa kebakaran hutan bukanlah hal yang baru bagi hutan Indonesia (Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999). Menurut Danny (2001), penyebab utama terjadinya kebakaran hutan di Kalimantan Timur adalah karena aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian alam. Proses kebakaran alami menurut Soeriaatmadja (1997), bisa terjadi karena sambaran petir, benturan longsuran batu, singkapan batu bara, dan tumpukan srasahan. Namun menurut Saharjo dan Husaeni (1998), kebakaran karena proses alam tersebut sangat kecil dan untuk kasus Kalimatan kurang dari 1 %. Kebakaran hutan besar terpicu pula oleh munculnya fenomena iklim El-Nino seperti kebakaran yang terjadi pada tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997 (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998). Perkembangan kebakaran tersebut juga memperlihatkan terjadinya perluasan penyebaran lokasi kebakaran yang tidak hanya di Kalimantan Timur, tetapi hampir di seluruh propinsi, serta tidak hanya terjadi di kawasan hutan tetapi juga di lahan non hutan. Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik perdebatan, apakah karena alami atau karena kegiatan manusia. Namun berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau permasalahan sebagai berikut: 1. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah.

2.

Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk insdustri kayu

maupun perkebunan kelapa sawit. 3. Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata

pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif negara. Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran liar mungkin terjadi karena kegiatan perladangan hanya sebagai kamuflasa dari penebang liar yang memanfaatkan jalan HPH dan berada di kawasan HPH. Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat. Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya. Sedangkan penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidak adilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya. III. Kerugian dan Dampak Kebakaran Hutan 3.1. Areal hutan yang terbakar Beberapa tahun terakhir kebakaran hutan terjadi hampir setiap tahun, khususnya pada musim kering. Kebakaran yang cukup besar terjadi di Kalimantan Timur yaitu pada tahun 1982/83 dan tahun 1997/98. Pada tahun 1982/83 kebakaran telah menghanguskan hutan sekitar 3,5 juta hektar di Kalimantan Timur dan ini merupakan rekor terbesar kebakaran hutan dunia setelah kebakaran hutan di Brazil yang mencapai 2 juta hektar pada tahun 1963 (Soeriaatmadja, 1997). Kemudian rekor tersebut dipecahkan lagi oleh kebakaran hutan Indonesia pada tahun 1997/98 yang telah menghanguskan seluas 11,7 juta hektar. Kebakaran terluas terjadi di Kalimantan dengan total lahan terbakar 8,13 juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat, Sulawesi dan Jawa masing-masing 2,07 juta hektar, 1 juta hektar, 400 ribu hektar dan 100 ribu hektar (Tacconi, 2003). Selanjutnya kebakaran hutan Indonesia terus berlangsung setiap tahun meskipun luas areal yang terbakar dan kerugian yang ditimbulkannya relatif kecil dan umumnya tidak terdokumentasi dengan baik. Data dari Direktotar Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi Alam menunjukkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi tiap tahun sejak tahun 1998 hingga tahun 2002 tercatat berkisar antara 3 ribu hektar sampai 515 ribu hektar (Direktotar Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi Alam, 2003).

3.2. Kerugian yang ditimbulkannya Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di berbagai belahan dunia tahun 1997/98 yang menghanguskan lahan seluas 25 juta hektar. Kebakaran tahun 1997/98 mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya akibat pencemaran kabut sekitar US $ 674-799 juta. Kerugian yang diderita akibat kebakaran hutan tersebut kemungkinan jauh lebih besar lagi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon kemungkinan mencapai US $ 2,8 milyar (Tacconi, 2003). Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003), menunjukkan bahwa kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US $ 2,84 milayar sampai US $ 4,86 milyar yang meliputi kerugian yang dinilai dengan uang dan kerugian yang tidak dinilai dengan uang. Kerugian tersebut mencakup kerusakan yang terkait dengan kebakaran seperti kayu, kematian pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya pengendalian dan sebagainya serta biaya yang terkait dengan kabut asap seperti kesehatan, pariwisata dan transportasi. 3.3. Dampak Kebakaran Hutan Kebakaran hutan yang cukup besar seperti yang terjadi pada tahun 1997/98 menimbulkan dampak yang sangat luas disamping kerugian material kayu, non kayu dan hewan. Dampak negatif yang sampai menjadi isu global adalah asap dari hasil pembakaran yang telah melintasi batas negara. Sisa pembakaran selain menimbulkan kabut juga mencemari udara dan meningkatkan gas rumah kaca. Asap tebal dari kebakaran hutan berdampak negatif karena dapat mengganggu kesehatan masyarakat terutama gangguan saluran pernapasan. Selain itu asap tebal juga mengganggu transportasi khususnya tranportasi udara disamping transportasi darat, sungai, danau, dan laut. Pada saat kebakaran hutan yang cukup besar banyak kasus penerbangan terpaksa ditunda atau dibatalkan. Sementara pada transportasi darat, sungai, danau dan laut terjadi beberapa kasus tabrakan atau kecelakaan yang menyebabkan hilangnya nyawa dan harta benda. Kerugian karena terganggunya kesehatan masyarakat, penundaan atau pembatalan

penerbangan, dan kecelakaan transportasi di darat, dan di air memang tidak bisa diperhitungkan secara tepat, tetapi dapat dipastikan cukup besar membebani masyarakat dan pelaku bisnis. Dampak kebakaran hutan Indonesia berupa asap tersebut telah melintasi batas negara terutama Singapura, Brunai Darussalam, Malaysia dan Thailand. Dampak lainnya adalah kerusakan hutan setelah terjadi kebakaran dan hilangnya margasatwa. Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit diperhitungkan. Analisis dampak kebakaran hutan masih dalam tahap pengembangan awal, pengetahuan tentang ekosistem yang rumit belum berkembang dengan baik dan informasi berupa ambang kritis perubahan ekologis berkaitan dengan kebakaran sangat terbatas, sehingga dampak kebakaran hutan sulit diperhitungkan secara tepat. Meskipun demikian, berdasarkan perhitungan kasar yang telah diuraikan

diatas dapat disimpulkan bahwa kebakaran hutan menimbulkan dampak yang cukup besar bagi masyarakat sekitarnya, bahkan dampak tersebut sampai ke negara tetangga. IV. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan Sejak kebakaran hutan yang cukup besar yang terjadi pada tahun 1982/83 yang kemudian diikuti rentetan kebakaran hutan beberapa tahun berikutnya, sebenarnya telah dilaksanakan beberapa langkah, baik bersifat antisipatif (pencegahan) maupun penanggulangannya. 4.1. Upaya Pencegahan

Upaya yang telah dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan dilakukan antara lain (Soemarsono, 1997): (a) Memantapkan kelembagaan dengan membentuk dengan membentuk Sub Direktorat Kebakaran Hutan dan Lembaga non struktural berupa Pusdalkarhutnas, Pusdalkarhutda dan Satlak serta Brigade-brigade pemadam kebakaran hutan di masing-masing HPH dan HTI; (b) Melengkapi perangkat lunak berupa pedoman dan petunjuk teknis pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan; (c) (d) Melengkapi perangkat keras berupa peralatan pencegah dan pemadam kebakaran hutan; Melakukan pelatihan pengendalian kebakaran hutan bagi aparat pemerintah, tenaga BUMN dan perusahaan kehutanan serta masyarakat sekitar hutan; (e) (f) Kampanye dan penyuluhan melalui berbagai Apel Siaga pengendalian kebakaran hutan; Pemberian pembekalan kepada pengusaha (HPH, HTI, perkebunan dan Transmigrasi), Kanwil Dephut, dan jajaran Pemda oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup; (g) Dalam setiap persetujuan pelepasan kawasan hutan bagi pembangunan non kehutanan, selalu disyaratkan pembukaan hutan tanpa bakar. 4.2. Upaya Penanggulangan

Disamping melakukan pencegahan, pemerintah juga nelakukan penanggulangan melalui berbagai kegiatan antara lain (Soemarsono, 1997): (a) Memberdayakan posko-posko kebakaran hutan di semua tingkat, serta melakukan pembinaan mengenai hal-hal yang harus dilakukan selama siaga I dan II. (b) Mobilitas semua sumberdaya (manusia, peralatan & dana) di semua tingkatan, baik di jajaran Departemen Kehutanan maupun instansi lainnya, maupun perusahaan-perusahaan. (c) Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di tingkat pusat melalui PUSDALKARHUTNAS dan di tingkat daerah melalui PUSDALKARHUTDA Tk I dan SATLAK kebakaran hutan dan lahan. (d) Meminta bantuan luar negeri untuk memadamkan kebakaran antara lain: pasukan BOMBA dari Malaysia untuk kebakaran di Riau, Jambi, Sumsel dan Kalbar; Bantuan pesawat AT 130 dari Australia dan Herkulis dari USA untuk kebakaran di Lampung; Bantuan masker, obat-obatan dan sebagainya dari negara-negara Asean, Korea Selatan, Cina dan lain-lain. 4.3. Peningkatan Upaya Pencegahan dan Penanggulangan

Upaya pencegahan dan penanggulangan yang telah dilakukan selama ini ternyata belum memberikan hasil yang optimal dan kebakaran hutan masih terus terjadi pada setiap musim kemarau. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain: (a) (b) (c) Kemiskinan dan ketidak adilan bagi masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan. Kesadaran semua lapisan masyarakat terhadap bahaya kebakaran masih rendah. Kemampuan aparatur pemerintah khususnya untuk koordinasi, memberikan penyuluhan untuk kesadaran masyarakat, dan melakukan upaya pemadaman kebakaran semak belukar dan hutan masih rendah. (d) Upaya pendidikan baik formal maupun informal untuk penanggulangan kebakaran hutan belum memadai. Hasil identifikasi dari serentetan kebakaran hutan menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia dan faktor yang memicu meluasnya areal kebakaran adalah kegiatan perladangan, pembukaan HTI dan perkebunan serta konflik hukum adat dengan hukum negara, maka untuk meningkatkan efektivitas dan optimasi kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan perlu upaya penyelesaian masalah yang terkait dengan faktor-faktor tersebut. Di sisi lain belum efektifnya penanggulangan kebakaran disebabkan oleh faktor kemiskinan dan ketidak adilan, rendahnya kesadaran masyarakat, terbatasnya kemampuan aparat, dan minimnya fasilitas untuk penanggulangan kebakaran, maka untuk mengoptimalkan upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan di masa depan antara lain: a. Melakukan pembinaan dan penyuluhan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan, sekaligus berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya kebakaran hutan dan semak belukar. b. Memberikan penghargaan terhadap hukum adat sama seperti hukum negara, atau merevisi hukum negara dengan mengadopsi hukum adat. c. Peningkatan kemampuan sumberdaya aparat pemerintah melalui pelatihan maupun pendidikan formal. Pembukaan program studi penanggulangan kebakaran hutan merupakan alternatif yang bisa ditawarkan. d. Melengkapi fasilitas untuk menanggulagi kebakaran hutan, baik perangkat lunak maupun perangkat kerasnya. e. Penerapan sangsi hukum pada pelaku pelanggaran dibidang lingkungan khususnya yang memicu atau penyebab langsung terjadinya kebakaran. V. Penutup Sebagai penutup tulisan ini dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut: 1. Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai harganya karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu,

pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan dan perlindungannya diatur oleh Undang-undang dan peraturan pemerintah. 2. Kebakaran merupakan salah satu bentuk gangguan terhadap sumberdaya hutan dan akhir-akhir ini makin sering terjadi. Kebakaran hutan menimbulkan kerugian yang sangat besar dan dampaknya sangat luas, bahkan melintasi batas negara. 3. Berbagai upaya perbaikan yang perlu dilakukan antara lain dibidang penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab kebakaran hutan, peningkatan kemampuan aparatur pemerintah terutama dari Departemen Kehutanan, peningkatan fasilitas untuk mencegah dan menanggulagi kebakaran hutan, pembenahan bidang hukum dan penerapan sangsi secara tegas.

You might also like