You are on page 1of 100

BAB XV GENETIKA POPULASI Populasi Mendelian Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Polimorfisme Lokus sebagai Indeks Keanekaragaman

man Genetik Hukum Keseimbangan Hardy-Weinberg Perubahan Frekuensi Alel BAB XV. GENETIKA POPULASI Pola pewarisan suatu sifat tidak selalu dapat dipelajari melalui percobaan persilangan buatan. Pada tanaman keras atau hewan-hewan dengan daur hidup panjang seperti gajah, misalnya, suatu persilangan baru akan memberikan hasil yang dapat dianalisis setelah kurun waktu yang sangat lama. Demikian pula, untuk mempelajari pola pewarisan sifat tertentu pada manusia jelas tidak mungkin dilakukan percobaan persilangan. Pola pewarisan sifat pada organisme-organisme semacam itu harus dianalisis menggunakan data hasil pengamatan langsung pada populasi yang ada. Seluk-beluk pewarisan sifat pada tingkat populasi dipelajari pada cabang genetika yang disebut genetika populasi. Ruang lingkup genetika populasi secara garis besar oleh beberapa penulis dikatakan terdiri atas dua bagian, yaitu (1) deduksi prinsip-prinsip Mendel pada tingkat populasi, dan (2) mekanisme pewarisan sifat kuantitatif. Bagian yang kedua ini berkaitan dengan penjelasan pada Bab XIV bahwa analisis genetik sifat-sifat kuantitatif hanya dapat dilakukan pada tingkat populasi karena individu tidak informatif. Namun, beberapa penulis lainnya, seperti halnya Bab XV ini, menyebutkan bahwa materi yang dibahas dalam genetika populasi hanya meliputi deduksi prinsip-prinsip Mendel pada tingkat populasi. Populasi dalam arti Genetika Untuk mempelajari pola pewarisan sifat pada tingkat populasi terlebih dahulu perlu difahami pengertian populasi dalam arti genetika atau lazim disebut juga populasi Mendelian. Populasi mendelian ialah sekelompok individu suatu spesies yang bereproduksi secara seksual, hidup di tempat tertentu pada saat yang sama, dan di antara mereka terjadi perkawinan (interbreeding) sehingga masing-masing akan memberikan kontribusi genetik ke dalam lungkang gen (gene pool), yaitu sekumpulan informasi genetik yang dibawa oleh semua individu di dalam populasi. Deskripsi susunan genetik suatu populasi mendelian dapat diperoleh apabila kita mengetahui macam genotipe yang ada dan juga banyaknya masing-masing genotipe tersebut. Sebagai contoh, di dalam populasi tertentu terdapat tiga macam genotipe, yaitu AA, Aa, dan aa. Maka, proporsi atau persentase genotipe AA, Aa, dan aa akan menggambarkan susunan genetik populasi tempat mereka berada. Adapun nilai proporsi atau persentase genotipe tersebut dikenal dengan istilah frekuensi genotipe. Jadi, frekuensi genotipe dapat dikatakan sebagai proporsi atau persentase genotipe tertentu di dalam suatu populasi. Dengan perkataan lain, dapat juga didefinisikan bahwa frekuensi genotipe adalah proporsi atau persentase individu di dalam suatu populasi yang tergolong ke dalam genotipe tertentu. Pada contoh di atas jika banyaknya genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing 30, 50, dan 20 individu, maka frekuensi genotipe AA = 0,30 (30%), Aa = 0,50 (50%), dan aa = 0,20 (20%). Di samping dengan melihat macam dan jumlah genotipenya, susunan genetik suatu populasi dapat juga dideskripsi atas dasar keberadaan gennya. Hal ini karena populasi dalam arti genetika, seperti telah dikatakan di atas, bukan sekedar kumpulan individu, melainkan kumpulan individu yang dapat melangsungkan perkawinan sehingga terjadi transmisi gen

dari generasi ke generasi. Dalam proses transmisi ini, genotipe tetua (parental) akan dibongkar dan dirakit kembali menjadi genotipe keturunannya melalui segregasi dan rekombinasi gen-gen yang dibawa oleh tiap gamet yang terbentuk, sementara gen-gen itu sendiri akan mengalami kesinambungan (kontinyuitas). Dengan demikian, deskripsi susunan genetik populasi dilihat dari gen-gen yang terdapat di dalamnya sebenarnya justru lebih bermakna bila dibandingkan dengan tinjauan dari genotipenya. Susunan genetik suatu populasi ditinjau dari gen-gen yang ada dinyatakan sebagai frekuensi gen, atau disebut juga frekuensi alel, yaitu proporsi atau persentase alel tertentu pada suatu lokus. Jika kita gunakan contoh perhitungan frekuensi genotipe tersebut di atas, maka frekuensi alelnya dapat dihitung sebagai berikut. AA Aa aa Total Banyaknya individu 30 50 20 100 Banyaknya alel A 60 50 - 110 Banyaknya alel a - 50 40 90 Karena di dalam tiap individu AA terdapat dua buah alel A, maka di dalam populasi yang mempunyai 30 individu AA terdapat 60 alel A. Demikian juga, karena tiap individu Aa membawa sebuah alel A, maka populasi yang mempunyai 50 individu Aa akan membawa 50 alel A. Sementara itu, pada individu aa dengan sendirinya tidak terdapat alel A, sehingga secara keseluruhan banyaknya alel A di dalam populasi tersebut adalah 60 + 50 + 0 = 110. Dengan cara yang sama dapat dihitung banyaknya alel a di dalam populasi, yaitu 0 + 50 + 40 = 90. Oleh karena itu, frekuensi alel A = 110/200 = 0,55 (55%), sedang frekuensi a = 90/200 = 0,45 (45%). Frekuensi alel berkisar dari 0 hingga 1. Suatu populasi yang mempunyai alel dengan frekuensi = 1 dikatakan mengalami fiksasi untuk alel tersebut. Hubungan matematika antara frekuensi genotipe dan frekuensi alel Seandainya di dalam suatu populasi terdapat genotipe AA, Aa, dan aa, masing-masing dengan frekuensi sebesar P, H, dan Q, sementara diketahui bahwa frekuensi alel A dan a masing-masing adalah p dan q, maka antara frekuensi genotipe dan frekuensi alel terdapat hubungan matematika sebagai berikut. p = P + H dan q = Q + H Dalam hal ini P + H + Q = 1 dan p + q = 1. Agar diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai hubungan tersebut, kita perhatikan contoh perhitungan berikut ini. Data frekuensi golongan darah sistem MN pada orang Eskimo di Greenland menurut Mourant (1954) menunjukkan bahwa frekuensi golongan darah M, MN, dan N masingmasing sebesar 83,5 %, 15,6%, dan 0,9% dari 569 sampel individu. Kita telah mengetahui pada Bab II bagian alel ganda bahwa genotipe golongan darah M, MN, dan N masing-masing adalah IMIM, IMIN, dan ININ. Maka, dari data frekuensi genotipe tersebut dapat dihitung besarnya frekuensi alel IM dan IN. Frekuensi alel IM = 83,5% + (15,6%) = 91,3%, sedang frekuensi alel IN = 0,9% + (15,6%) = 8,7%. Hasil perhitungan frekuensi alel dapat digunakan untuk menentukan sifat lokus tempat alel tersebut berada. Suatu lokus dikatakan bersifat polimorfik jika frekuensi alelnya yang terbesar sama atau kurang dari 0,95. Sebaliknya, suatu lokus dikatakan bersifat monomorfik jika frekuensi alelnya yang terbesar melebihi 0,95. Jadi, pada contoh golongan darah sistem MN tersebut lokus yang ditempati oleh alel IM dan IN adalah lokus polimorfik karena frekuensi alel terbesarnya ( IM = 91,3%), masih lebih kecil dari 0,95. Proporsi lokus polimorfik pada suatu populasi sering kali digunakan sebagai salah satu indeks keanekaragaman genetik. Nilai lainnya yang juga sering digunakan sebagai indeks keanekaragaman genetik suatu populasi adalah heterozigositas rata-rata atau frekuensi heterozigot (H) rata-rata. Pada contoh di atas besarnya nilai H untuk lokus MN adalah 15,6%.

Seandainya dapat diperoleh nilai H untuk lokus-lokus yang lain, maka dapat dihitung nilai heterozigositas rata-rata pada populasi tersebut. Perhitungan frekuensi alel menggunakan data elektroforesis Frekuensi alel pada suatu populasi spesies organisme dapat dihitung atas dasar data elektroforesis protein/enzim atau zimogram yang menampilkan pita-pita sebagai gambaran mobililitas masing-masing polipeptida penyusun protein (Gambar 15.1). Elektroforesis merupakan teknik pemisahan molekul yang berbeda-beda ukuran dan muatan listriknya. Oleh karena itu, molekul-molekul yang akan dipisahkan tersebut harus bermuatan listrik seperti halnya protein dan DNA. Jarak migrasi (cm) 4 3 2 1 Individu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Genotipe CL LL LL CL CL CL LL CL CL CL LL CL LL LL CL Gambar 15.1. Zimogram esterase dari ikan sidat (Anguilla sp) di kawasan Segara Anakan, Cilacap (Sumber : Susanto, 2003) Prinsip kerja elektroforesis secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut. Sampel ditempatkan pada salah satu ujung media berupa gel, kemudian kedua ujung gel tersebut diberi aliran listrik selama beberapa jam sehingga komponen-komponen penyusun sampel akan bergerak menuju kutub yang muatan listriknya berlawanan dengannya. Kecepatan gerakan (mobilitas) tiap komponen ini akan berbeda-beda sesuai dengan ukuran molekulnya. Makin besar ukuran molekul, makin lambat gerakannya. Akibatnya, dalam satuan waktu yang sama molekul berukuran besar akan menempuh jarak migrasi yang lebih pendek daripada jarak migrasi molekul berukuran kecil. Pola pita seperti pada zimogram esterase di atas sebenarnya merupakan gambaran fenotipe, bukan genotipe. Namun, analisis variasi fenotipe terhadap kebanyakan enzim pada berbagai macam organisme sering kali dapat memberikan dasar genetik secara sederhana. Seperti diketahui, tiap enzim dapat mengandung sebuah polipeptida atau lebih dengan susunan asam amino yang berbeda sehingga menghasilkan fenotipe berupa pita-pita dengan mobilitas yang berbeda. Variasi fenotipe ini disebabkan oleh perbedaan alel yang menyusun genotipe. Jika alel-alel yang menyebabkan perbedaan polipeptida pada enzim tertentu terletak pada suatu lokus, maka bentuk alternatif enzim yang diekspresikannya dikenal sebagai alozim. Alel yang mengatur alozim biasanya bersifat kodominan, yang berarti dalam keadaan heterozigot kedua-duanya akan diekspresikan. Dengan demikian, individu pada Gambar 15.1 yang menampilkan pita lambat dan pita cepat (nomor 1, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 12, dan 15) memiliki genotipe heterozigot, yaitu CL (C=cepat; L=lambat). Sementara itu, individu yang hanya menampilkan pita lambat (nomor 2, 3, 7, 11, 13, dan 14) adalah homozigot LL. Begitu pula individu dengan hanya satu pita cepat (kebetulan pada zimogram tersebut tidak ada) dikatakan mempunyai genotipe homozigot CC. Dari data genotipe yang diturunkan dari data variasi fenotipe tersebut, kita dengan mudah dapat menghitung baik frekuensi genotipe maupun frekuensi alelnya. Frekuensi genotipe CC, CL, dan LL masing-masing adalah 0, 9/15, dan 6/15. Frekuensi alel C = 0 + (9/15) = 9/30, sedang frekuensi alel L = 6/15 + (9/15) = 21/30. Hukum Keseimbangan Hardy-Weinberg Populasi mendelian yang berukuran besar sangat memungkinkan terjadinya kawin acak

(panmiksia) di antara individu-individu anggotanya. Artinya, tiap individu memiliki peluang yang sama untuk bertemu dengan individu lain, baik dengan genotipe yang sama maupun berbeda dengannya. Dengan adanya sistem kawin acak ini, frekuensi alel akan senantiasa konstan dari generasi ke generasi. Prinsip ini dirumuskan oleh G.H. Hardy, ahli matematika dari Inggris, dan W.Weinberg, dokter dari Jerman,. sehingga selanjutnya dikenal sebagai hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Di samping kawin acak, ada persyaratan lain yang harus dipenuhi bagi berlakunya hukum keseimbangan Hardy-Weinberg, yaitu tidak terjadi migrasi, mutasi, dan seleksi. Dengan perkatan lain, terjadinya peristiwa-peristiwa ini serta sistem kawin yang tidak acak akan mengakibatkan perubahan frekuensi alel. Deduksi terhadap hukum keseimbangan Hardy-Weinberg meliputi tiga langkah, yaitu (1) dari tetua kepada gamet-gamet yang dihasilkannya, (2) dari penggabungan gamet-gamet kepada genotipe zigot yang dibentuk, dan (3) dari genotipe zigot kepada frekuensi alel pada generasi keturunan. Secara lebih rinci ketiga langkah ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Kembali kita misalkan bahwa pada generasi tetua terdapat genotipe AA, Aa, dan aa, masingmasing dengan frekuensi P, H, dan Q. Sementara itu, frekuensi alel A adalah p, sedang frekuensi alel a adalah q. Dari populasi generasi tetua ini akan dihasilkan dua macam gamet, yaitu A dan a. Frekuensi gamet A sama dengan frekuensi alel A (p). Begitu juga, frekuensi gamet a sama dengan frekuensi alel a (q). Dengan berlangsungnya kawin acak, maka terjadi penggabungan gamet A dan a secara acak pula. Oleh karena itu, zigot-zigot yang terbentuk akan memilki frekuensi genotipe sebagai hasil kali frekuensi gamet yang bergabung. Pada Tabel 15.1 terlihat bahwa tiga macam genotipe zigot akan terbentuk, yakni AA, Aa, dan aa, masing-masing dengan frekuensi p2, 2pq, dan q2. Tabel 15.1. Pembentukan zigot pada kawin acak Gamet-gamet dan frekuensinya A (p) a (q) Gamet-gamet dan frekuensinya A (p) AA (p2) Aa (pq) a (q) Aa (pq) aa (q2) Oleh karena frekuensi genotipe zigot telah didapatkan, maka frekuensi alel pada populasi zigot atau populasi generasi keturunan dapat dihitung. Fekuensi alel A = p2 + (2pq) = p2 + pq = p (p + q) = p. Frekuensi alel a = q2 + (2pq) = q2 + pq = q (p + q) = q. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa frekuensi alel pada generasi keturunan sama dengan frekuensi alel pada generasi tetua. Aplikasi hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel autosomal Kemampuan sesesorang untuk merasakan zat kimia feniltiokarbamid (PTC) disebabkan oleh alel autosomal dominan T. Individu dengan genotipe TT dan Tt dapat merasakan PTC, sedang individu tt tidak. Pada suatu pengujian terhadap 228 orang diperoleh bahwa hanya

160 di antaranya yang dapat merasakan PTC. Dari 160 orang ini dapat dihitung individu yang bergenotipe TT dan Tt sebagai berikut. Individu yang tidak dapat merasakan PTC (genotipe tt) jumlahnya 228 160 = 68 sehingga frekuensi genotipe tt = 68/228 = 0,30. Dengan mudah dapat diperoleh frekuensi alel t = 0,30 = 0,55 dan frekuensi alel T = 1 0,55 = 0,45. Selanjutnya, frekuensi genotipe TT = (0,45)2 = 0,20, sedang frekuensi genotipe Tt = 2(0,45)(0,55) = 0,50. Banyaknya individu yang bergenotipe TT = 0,20 x 228 =46, sedang individu yang bergenotipe Tt = 0,50 x 228 = 114. Jika TT dijumlahkan dengan Tt, maka diperoleh individu sebanyak 160 orang, yang semuanya dapat merasakan PTC. Aplikasi hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel ganda Salah satu contoh alel ganda yang sering dikemukakan adalah alel pengatur golongan darah sistem ABO pada manusia. Seperti telah kita bicarakan pada Bab II, sistem ini diatur oleh tiga buah alel, yaitu IA, IB, dan I0. Jika frekuensi ketiga alel tersebut masing-masing adalah p, q, dan r, maka sebaran frekuensi genotipenya = (p + q + r)2 = p2 + 2pq + 2pr + q2 + 2qr + q2. Frekuensi golongan darah A adalah penjumlahan frekuensi genotipe IA IA dan IA I0 , yakni p2 + 2pr. Demikian pula, frekuensi golongan darah B, AB, dan O pada suatu populasi dapat dicari dari sebaran frekuensi tersebut. Sebaliknya, dari data frekuensi golongan darah (fenotipe) dapat dihitung besarnya frekuensi alel. Misalnya, dari 500 mahasiswa Fakultas Biologi Unsoed diketahui 196 orang bergolongan darah A, 73 golongan B, 205 O, dan 26 AB. Alel yang langsung dapat dihitung frekuensinya adalah I0 , yang merupakan akar kuadrat frekuensi O. Jadi, frekuensi I0 = 205/500 = 0,64. Selanjutnya, jumlah frekuensi A dan O = p2 + 2pr + r2 = (p + r)2 = (1 q) 2 sehingga akar kuadrat frekuensi A + O = 1 q. Dengan demikian, frekuensi IB (q) = 1 akar kuadrat frekuensi A + O = 1 (196 + 205)/500 = 0,11. Dengan cara yang sama dapat diperoleh frekuensi alel IA (p) = 1 (73 + 205)/500 = 0,25. Aplikasi hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel rangkai X Telah kita ketahui bahwa pada manusia dan beberapa spesies organisme lainnya dikenal adanya jenis kelamin homogametik (XX) dan heterogametik (XY). Pada jenis kelamin homogametik hubungan matematika antara frekuensi alel yang terdapat pada kromosom X (rangkai X) dan frekuensi genotipenya mengikuti formula seperti pada autosom. Namun, pada jenis kelamin heterogametik formula tersebut tidak berlaku karena frekuensi alel rangkai X benar-benar sama dengan frekuensi genotipe. Pada jenis kelamin ini tiap individu hanya membawa sebuah alel untuk masing-masing lokus pada kromosom X-nya. Agar lebih jelas dapat dilihat Tabel 15.2 berikut ini. Tabel 15.2. Hubungan matematika antara fekuensi alel rangkai X dan frekuensi genotipe Homogametik Heterogametik Genotipe AA Aa aa A a Frekuensi genotipe P H Q R S Alel A a A a Frekuensi alel pm = P + H qm = Q + H pt = R qt = S pm = frekuensi alel A pada individu homogametik qm = frekuensi alel a pada individu homogametik pt = frekuensi alel A pada individu heterogametik qt = frekuensi alel a pada individu heterogametik Untuk seluruh populasi frekuensi alel A dapat dihitung, yaitu p = 2/3 pm + 1/3 pt = 1/3 (2 pm + pt) = 1/3 (2P + H + R). Dengan cara yang sama dapat dihitung pula frekuensi alel a pada seluruh populasi, yaitu q = 2/3 qm + 1/3 qt = 1/3 (2 qm + qt) = 1/3 (2Q + H + S). Kontribusi alel sebanyak 2/3 bagian oleh individu homogametik disebabkan oleh keberadaan dua buah kromosom X pada individu tersebut, sementara individu heterogametik memberikan

kontribusi alel 1/3 bagian karena hanya mempunyai sebuah kromosom X. Sebagai contoh perhitungan frekuensi alel rangkai X dapat dikemukakan alel rangkai X yang mengatur warna tortoise shell pada kucing. Misalnya, dalam suatu populasi terdapat 277 ekor kucing betina berwarna hitam (BB), 311 kucing jantan hitam (B), 54 betina tortoise shell (Bb), 7 betina kuning (bb), dan 42 jantan kuning (b). Dari data ini dapat dihitung frekuensi genotipe BB pada populasi kucing betina, yaitu P = 277 / (277+54+7) = 0.82. Sementara itu, frekuensi genotipe Bb (H) = 54 / (277+54+7) = 0,16 dan frekuensi genotipe bb (Q) = 7 / (277+54+7) = 0,02. Di antara populasi kucing jantan frekuensi genotipe B, yaitu R = 311 / (311+42) = 0,88, sedang frekuensi genotipe b, yaitu S = 42 / (311+42) = 0,12. Sekarang kita dapat menghitung frekuensi alel B pada seluruh populasi, yaitu p = 1/3 (2.0,82 + 0,16 + 0,88) = 0,89, dan frekuensi alel b pada seluruh populasi, yaitu q = 1/3 (2.0,02 + 0,16 + 0,12) = 0,11. Migrasi Di atas telah disebutkan bahwa migrasi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi berlakunya hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Hal ini berarti bahwa peristiwa migrasi akan menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel. Lebih jauh, kuantifikasi migrasi dalam bentuk laju migrasi (lazim dilambangkan sebagai m), sering kali digunakan untuk menjelaskan adanya perbedaan frekuensi alel tertentu di antara berbagai populasi, misalnya perbedaan frekuensi golongan darah sistem ABO yang terlihat sangat nyata antara ras yang satu dan lainnya. Laju migrasi dapat didefinisikan sebagai proporsi atau persentase alel tertentu di dalam suatu populasi yang digantikan oleh alel migran pada tiap generasi. Sebagai contoh, jika pada tiap generasi sebanyak 80 dari 1000 ekor ikan normal digantikan oleh ikan albino, maka dikatakan bahwa laju migrasinya 0,08 atau 8%. Secara matematika, hubungan antara perubahan frekuensi alel dan laju migrasi dapat dilihat sebagai persamaan berikut ini. pn P = (po P)(1 m)n pn = frekuensi alel pada populasi yang diamati setelah n generasi migrasi P = frekuensi alel pada populasi migran po = frekuensi alel pada populasi awal (sebelum terjadi migrasi) m = laju migrasi n = jumlah generasi Mutasi Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel adalah mutasi. Namun, peristiwa yang sangat mendasari proses evolusi ini sebenarnya tidak begitu nyata pengaruhnya dalam perubahan frekuensi alel. Hal ini terutama karena laju mutasi yang umumnya terlalu rendah untuk dapat menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel. Selain itu, individu-individu mutan biasanya mempunyai daya hidup (viabilitas), dan juga tingkat kesuburan (fertilitas), yang rendah. Dari kenyataan tersebut di atas dapat dimengerti bahwa mutasi hanya akan memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan frekuensi alel jika mutasi berlangsung berulang kali (recurrent mutation) dan mutan yang dihasilkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Hubungan matematika antara laju mutasi dan perubahan frekuensi alel dapat dirumuskan seperti pada contoh berikut ini. Misalnya, di dalam suatu populasi terdapat alel A dan a, masing-masing dengan frekuensi awal po dan qo. Mutasi berlangsung dari A ke a dengan laju mutasi sebesar u. Sebaliknya, laju mutasi alel a menjadi A adalah v. Dengan demikian, perubahan frekuensi alel A akibat mutasi adalah p = vqo upo, sedang perubahan frekuensi alel a akibat mutasi adalah q = upo vqo. Ketika dicapai keseimbangan di antara kedua arah mutasi tersebut nilai p dan q adalah 0. Oleh karena itu, vqo = upo, atau secara umum vq = up. Jika persamaan ini dielaborasi, maka

akan didapatkan p = v/(u + v) dan q = u/(u + v). Seleksi Sebegitu jauh kita mengasumsikan bahwa semua individu di dalam populasi akan memberikan kontribusi jumlah keturunan yang sama kepada generasi berikutnya. Namun, kenyataan yang sebenarnya sering dijumpai tidaklah demikian. Individu-individu dapat memberikan kontribusi genetik yang berbeda karena mereka mempunyai daya hidup dan tingkat kesuburan yang berbeda. Proporsi atau persentase kontribusi genetik suatu individu kepada generasi berikutnya dikenal sebagai fitnes relatif atau nilai seleksi individu tersebut. Nilai fitnes relatif berkisar antara 0 dan 1. Genotipe superior di dalam suatu populasi, atau disebut juga genotipe baku, dikatakan memiliki nilai fitnes relatif sama dengan 1, sementara untuk genotipe-genotipe lainnya nilai fitnes relatif besarnya kurang dari 1. Proporsi pengurangan kontribusi genetik suatu genotipe bila dibandingkan dengan kontribusi genetik genotipe baku disebut koefisien seleksi (s) genotipe tersebut. Dengan perkataan lain, nilai fitnes relatif genotipe ini adalah 1 s. Kembali kita misalkan bahwa di dalam suatu populasi terdapat genotipe AA, Aa, dan aa. Kondisi dominansi ketiga genotipe ini berdasarkan atas nilai fitnes relatifnya dapat dilihat pada Gambar 15.2 berikut ini. aa Aa AA (1-s) (1-s) 1 a) aa Aa AA (1-s) (1-s) 1 b) aa AA/Aa (1-s) 1 c) aa AA Aa (1-s2) (1-s1) 1 d) Fitnes relatif Gambar 15.2. Berbagai kondisi dominansi dilihat dari nilai fitnes relatifnya a) Semi dominansi b) Dominansi parsial c) Dominansi penuh d) Overdominansi Pada kondisi semi dominansi dan dominansi parsial (Gambar 15.2 a dan b) genotipe Aa memberikan kontribusi genetik yang lebih kecil bila dibandingkan dengan kontribusi genotipe baku (AA), sedang pada kondisi dominansi penuh (Gambar 15.2 c) genotipe ini memberikan kontribusi genetik sama besar dengan kontribusi genotipe AA. Bahkan pada kondisi overdominansi, genotipe Aa menjadi genotipe baku dan kontribusi genetiknya justru lebih besar daripada kontribusi genotipe AA. Dominansi heterozigot (kondisi overdominansi) ini dapat dijumpai misalnya pada kasus resistensi individu karier anemia bulan sabit (sickle cell anemia) terhadap penyakit malaria. Individu dengan genotipe homozigot HbSHbS akan mengalami pengkristalan molekul hemoglobin, dan eritrositnya berbentuk seperti bulan sabit, sehingga individu ini akan menderita anemia berat dan biasanya meninggal pada usia muda. Namun, individu heterozigot HbSHbA justru memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap

infeksi parasit penyebab malaria bila dibandingkan dengan individu normal (HbAHbA). Di tempat-tempat yang menjadi endemi penyakit malaria, genotipe HbSHbA merupakan genotipe baku (fitnes relatif = 1), sedang individu normal HbAHbA mempunyai nilai fitnes relatif kurang dari 1. Perubahan frekuensi alel akibat seleksi berlangsung sesuai dengan kondisi dominansi yang ada. Pada kondisi dominansi penuh, misalnya, perubahan frekuensi alel dapat dihitung sebagai berikut. Genotipe AA Aa aa Total Frekuensi awal p2 2pq q2 1 Fitnes relatif 1 1 1 s Kontribusi genetik p2 2pq q2(1 s ) 1 sq2 Terlihat bahwa kontribusi genetik total mejadi lebih kecil dari 1 karena genotipe aa mempunyai nilai fitnes relatif 1 s. Dari rumus hubungan matematika antara frekuensi alel dan frekuensi genotipe dapat dihitung besarnya frekuensi alel a setelah seleksi, yaitu q1 = q2(1 s ) + pq / 1-sq2. Jika perubahan frekuensi alel a dilambangkan dengan q, maka q = q1 q = q2(1 s ) + pq / 1-sq2 q. Setelah persamaan ini kita elaborasi akan didapatkan q = sq2( 1 q) / 1 sq2. Untuk kondisi dominansi yang lain besarnya perubahan frekuensi alel akibat seleksi dapat dirumuskan dengan cara seperti di atas. Sistem Kawin Tidak Acak Faktor lain yang meyebabkan gangguan keseimbangan Hardy-Weinberg adalah sistem kawin tidak acak (non random mating). Jika dilihat dari segi fenotipe, ada sistem kawin tidak acak yang dikenal sebagai perkawinan asortatif. Dengan perkataan lain, perkawinan asortatif adalah sistem kawin tidak acak yang didasarkan atas fenotipe. Perkawinan asortatif dapat berupa perkawinan asortatif positif atau asortatif negatif (disasortatif). Pada perkawinan asortatif positif individu-individu yang mempunyai fenotipe sama cenderung untuk lebih sering bertemu bila dibandingkan dengan individu-individu dengan fenotipe berbeda. Sebaliknya, pada perkawinan asortatif negatif individu-individu yang mempunyai fenotipe berbeda cenderung untuk lebih sering bertemu bila dibandingkan dengan individu-individu dengan fenotipe yang sama. Di samping perkawinan asortatif ada pula sistem kawin tidak acak yang tidak memandang fenotipe individu tetapi dilihat dari hubungan genetiknya. Sistem kawin semacam ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu silang dalam (inbreeding) dan silang luar (outbreeding). Silang dalam adalah perkawinan di antara individu-individu yang secara genetik memiliki hubungan kekerabatan, sedang silang luar adalah perkawinan di antara individu-individu yang secara genetik tidak memiliki hubungan kekerabatan. Perkawinan asortatif positif dan silang dalam akan meningkatkan frekuensi genotipe homozigot. Sebaliknya, perkawinan asortatif negatif dan silang luar akan meningkatkan frekuensi genotipe heterozigot. Silang dalam Contoh silang dalam yang paling ekstrim dapat dilihat pada tanaman yang melakukan penyerbukan sendiri. Katakanlah generasi pertama suatu populasi tanaman menyerbuk sendiri hanya terdiri atas individu-individu dengan genotipe Aa. Oleh karena terjadi penyerbukan sendiri di antara genotipe Aa, maka pada generasi kedua dari seluruh populasi akan terdapat genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing sebanyak 1/4, 1/2, dan 1/4 bagian. Pada generasi ketiga genotipe AA dan aa akan bertambah 1/8 bagian yang berasal dari segregasi genotipe Aa pada generasi kedua. Sebaliknya, genotipe Aa akan berkurang menjadi 1/4 bagian sehingga populasi generasi ketiga akan terdiri atas (1/4+1/8) AA, 1/4 Aa, dan (1/4+1/8) aa atau 3/8 AA, 1/4 Aa, 3/8 aa. Dengan demikian, sampai dengan generasi ketiga saja sudah terlihat bahwa frekuensi genotipe homozigot, baik AA maupun aa, mengalami peningkatan, sedang frekuensi heterozigot Aa berkurang. Genotipe homozigot untuk suatu lokus tertentu jika kita berbicara individu normal diploid

mempunyai dua buah alel yang sama pada lokus tersebut. Persamaan di antara dua alel pada genotipe homozigot dapat terjadi dengan dua kemungkinan. Pertama, mereka secara fungsional sama sehingga menghasilkan fenotipe yang sama pula. Dua alel semacam ini dikatakan sebagai alel serupa (alike in state). Kemungkinan kedua, mereka berasal dari hasil replikasi sebuah alel pada generasi sebelumnya. Jika hal ini yang terjadi, maka kedua alel tersebut dikatakan seasal atau identik (identical by descent). Untuk menggambarkan besarnya peluang bahwa dua buah alel yang sama pada individu homozigot merupakan alel identik digunakan suatu nilai yang disebut sebagai koefisien silang dalam (inbreeding coefficient). Nilai ini besarnya berkisar dari 0 hingga 1, dan biasanya dilambangkan dengan F. Nilai F sama dengan 0 apabila kedua alel pada individu homozigot tidak mempunyai asal- usul yang sama atau merupakan hasil kawin acak. Sebaliknya, nilai F sama dengan 1 apabila kedua alel sepenuhnya merupakan alel identik atau berasal dari leluhur bersama (common ancestor) yang sangat dekat. Besarnya nilai F dapat dihitung dari diagram silsilah seperti contoh pada Gambar 15.3. Misalnya, individu A kawin dengan B menghasilkan dua anak, yaitu C dan D. Selanjutnya, kakak beradik C dan D kawin, mempunyai anak X. Koefisien silang dalam individu X dapat dihitung sebagai berikut. A B * Hitung jumlah loop. Loop adalah jalan yang menghubungkan kedua orang tua C D X (C dan D) melewati leluhur bersama (A dan B). Pada soal ini terdapat dua X loop, yaitu CAD dan CBD. Gambar 15.3.Contoh diagram silsilah *Hitung jumlah individu yang terdapat pada tiap loop sebagai nilai n. * Hitung nilai F dengan rumus : F = ()n(1 + FA) n = jumlah individu yang terdapat pada tiap loop (pada soal ini terdapat 3 individu, baik pada loop CAD maupun CBD) FA = koefisien silang dalam leluhur bersama (pada soal ini FA dan FB masing-masing sama dengan 0 karena dianggap sebagai individu hasil kawin acak) Dengan demikian, nilai F individu X (FX) pada contoh soal tersebut di atas adalah ()3(1 + 0) + ()3(1 + 0) = . Hal ini berarti bahwa peluang bertemunya alel-alel identik yang berasal dari leluhur bersama, baik A maupun B, pada individu X besarnya . Makin besar nilai F, makin cepat diperoleh tingkat homozigositas yang tinggi. Sebagai gambaran, pembuahan sendiri dapat mencapai homozigositas 100% pada generasi keenam, sementara perkawinan antara saudara kandung baru mencapainya pada generasi keenam belas. Peningkatan homozigositas akibat silang dalam dapat menimbulkan tekanan silang dalam (inbreeding depression) apabila di antara alel-alel identik yang bertemu terdapat sejumlah alel resesif yang kurang menguntungkan. Perubahan frekuensi alel yang disebabkan oleh terjadinya silang dalam dapat dihitung dari perubahan frekuensi genotipe seperti pada Tabel 15.3. Tabel 15.3. Frekuensi genotipe hasil kawin acak dan silang dalam Genotipe Frekuensi Kawin acak Silang dalam AA p2 p2 (1 F) + pF Aa 2 pq 2 pq (1 F) aa q2 q2 (1 F) + qF Jika nilai F = 0, maka frekuensi genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing adalah p2, 2 pq, dan q2 . Frekuensi tersebut ternyata sama dengan frekuensi genotipe hasil kawin acak. Jika nilai F = 1, maka frekuensi genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing menjadi p, 0, dan q. Hal ini berarti di dalam populasi hanya tinggal individu homozigot, sedang individu heterozigot tidak

dijumpai lagi. Silang luar Berkebalikan dengan silang dalam, silang luar akan meningkatkan frekuensi heterozigot. Di samping itu, jika silang dalam dapat menyebabkan terjadinya tekanan silang dalam yang berpengaruh buruk terhadap individu yang dihasilkan, silang luar justru dapat memunculkan individu hibrid dengan sifat-sifat yang lebih baik daripada kedua tetuanya yang homozigot. Fenomena keunggulan yang diperlihatkan oleh individu hibrid hasil persilangan dua tetua galur murni (homozigot) disebut sebagai vigor hibrida atau heterosis. Ada beberapa teori mengenai mekanisme genetik yang menjelaskan terjadinya heterosis. Salah satu di antaranya adalah teori dominansi, yang pada prinsipnya menyebutkan bahwa alel-alel reseif merugikan yang dibawa oleh masing-masing galur murni akan tertutupi oleh alel dominan pada individu hibrid yang heterozigot. Misalnya, ada alel A yang menyebabkan akar tanaman tumbuh kuat sementara alel a menjadikan akar tanaman lemah. Sementara itu, alel B menyebabkan batang menjadi kokoh, sedang alel b menyebabkan batang lemah. Persilangan antara galur murni AAbb (akar kuat, batang lemah) dan aaBB (akar lemah, batang kuat) akan menghasilkan hibrid AaBb yang mempunyai akar dan batang kuat. Fenomena heterosis sudah sering sekali dimanfaatkan pada bidang pemuliaan tanaman, antara lain untuk merakit varietas jagung hibrida. Galur murni A disilangkan dengan galur murni B, mendapatkan hibrid H. Namun, karena biji hibrid H ini dibawa oleh tongkol tetuanya (A atau B) yang kecil, maka jumlah bijinya menjadi sedikit dan tidak cukup untuk dijual kepada petani. Oleh karena itu, jagung hibrida yang dipasarkan biasanya bukan hasil silang tunggal (single cross) seperti itu, melainkan hasil silang tiga arah (three-way cross) atau silang ganda (double cross). Pada silang tiga arah hibrid H digunakan sebagai tetua betina untuk disilangkan lagi dengan galur murni lain sehingga biji hibrid yang dihasilkan akan dibawa oleh tongkol hibrid H yang ukurannya besar. Agak berbeda dengan silang tiga arah, pada silang ganda hibrid H disilangkan dengan hibrid I hasil silang tunggal antara galur murni C dan D. Dalam silang ganda ini, sebagai tetua betina dapat digunakan baik hibrid H maupun hibrid I karena kedua-duanya mempunyai tongkol yang besar. 11/03/2009 Posted by zaifbio | Genetika Dasar | 2 Komentar

MUTASI
BAB XI MUTASI Pengertian Mutasi Mekanisme Molekuler Mutasi Mutasi Spontan dan Mutasi Induksi Estimasi Laju Mutasi Spontan dengan Metode Clb Mutagen Kimia dan Fisika Mekanisme Perbaikan DNA Mutasi Balik dan Mutasi Penekan Uji Ames BAB XI. MUTASI Fungsi ketiga materi genetik adalah fungsi evolusi, yang agar dapat melaksanakannya materi genetik harus mempunyai kemampuan untuk melakukan mutasi. Peristiwa mutasi atau perubahan materi genetik, di samping segregasi dan rekombinasi, akan menciptakan variasi genetik yang berguna untuk mengantisipasi perubahan kondisi lingkungan yang sewaktu-

waktu dapat terjadi. Pengaruh fenotipik yang ditimbulkan oleh mutasi sangat bervariasi, mulai dari perubahan kecil yang hanya dapat dideteksi melalui analisis biokimia hingga perubahan pada prosesproses esensial yang dapat mengakibatkan kematian sel atau bahkan organisme yang mengalaminya. Jenis sel dan tahap perkembangan individu menentukan besar kecilnya pengaruh mutasi. Selain itu, pada organisme diploid pengaruh mutasi juga bergantung kepada dominansi alel. Dalam hal ini, alel mutan resesif tidak akan memunculkan pengaruh fenotipik selama berada di dalam individu heterozigot karena tertutupi oleh alel dominannya yang normal. Kita mengenal berbagai macam peristiwa mutasi sesuai dengan kriteria yang digunakan untuk mengelompokkannya. Pada organisme multiseluler dapat dibedakan antara mutasi germinal dan mutasi somatis. Mutasi germinal terjadi pada sel-sel germinal atau sel-sel penghasil gamet, sedangkan mutasi somatis terjadi pada sel-sel selain sel germinal. Mutasi somatis akan menyebabkan terbentuknya khimera, yaitu individu dengan jaringan normal dan jaringan yang terdiri atas sel-sel somatis mutan. Alel-alel hasil mutasi somatis tidak akan diwariskan kepada keturunan individu yang mengalaminya karena mutasi ini tidak mempengaruhi sel-sel germinal. Pada tanaman tingkat tinggi mutasi somatis justru sering kali menghasilkan varietas-varietas yang diinginkan dan untuk perbanyakannya harus dilakukan secara vegetatif. Mekanisme Molekuler Mutasi Meskipun tidak selalu, perubahan urutan asam amino pada suatu protein dapat menyebabkan perubahan sifat-sifat biologi protein tersebut. Hal ini karena pelipatan rantai polipeptida sebagai penentu struktur tiga dimensi molekul protein sangat bergantung kepada interaksi di antara asam-asam amino dengan muatan yang berlawanan. Contoh yang paling sering dikemukakan adalah perubahan sifat biologi yang terjadi pada molekul hemoglobin. Hemoglobin pada individu dewasa normal terdiri atas dua rantai polipeptida yang identik dan dua rantai polipeptida yang identik juga. Namun, pada penderita anemia bulan sabit (sickle cell anemia) salah satu asam amino pada polipeptida , yakni asam glutamat, digantikan atau disubstitusi oleh valin. Substitusi asam glutamat, yang bermuatan negatif, oleh valin, yang tidak bermuatan atau netral, mengakibatkan perubahan struktur hemoglobin dan juga eritrosit yang membawanya. Hemoglobin penderita anemia bulan sabit akan mengalami kristalisasi ketika tidak bereaksi dengan oksigen sehingga akan mengendap di pembuluh darah dan menyumbatnya. Demikian juga, eritrositnya menjadi lonjong dan mudah pecah. Seperti dikatakan di atas, perubahan urutan asam amino tidak selalu menyebabkan perubahan sifat-sifat biologi protein atau menghasilkan fenotipe mutan. Substitusi sebuah asam amino oleh asam amino lain yang muatannya sama, misalnya substitusi histidin oleh lisin, sering kali tidak berpengaruh terhadap struktur molekul protein atau fenotipe individu. Jadi, ada tidaknya pengaruh substitusi suatu asam amino terhadap perubahan sifat protein bergantung kepada peran asam amino tersebut dalam struktur dan fungsi protein. Setiap perubahan asam amino disebabkan oleh perubahan urutan basa nukleotida pada molekul DNA. Akan tetapi, perubahan sebuah basa pada DNA tidak selamanya disertai oleh substitusi asam amino karena sebuah asam amino dapat disandi oleh lebih dari sebuah triplet kodon (lihat Bab X). Perubahan atau mutasi basa pada DNA yang tidak menyebabkan substitusi asam amino atau tidak memberikan pengaruh fenotipik dinamakan mutasi tenang (silent mutation). Namun, substitusi asam amino yang tidak menghasilkan perubahan sifat protein atau perubahan fenotipik pun dapat dikatakan sebagai mutasi tenang. Mutasi yang terjadi pada sebuah atau sepasang basa pada DNA disebut sebagai mutasi titik (point mutation). Mekanisme terjadinya mutasi titik ini ada dua macam, yaitu (1) substitusi basa dan (2) perubahan rangka baca akibat adanya penambahan basa (adisi) atau kehilangan

basa (delesi). Mutasi titik yang disebabkan oleh substitusi basa dinamakan mutasi substitusi basa, sedangkan mutasi yang terjadi karena perubahan rangka baca dinamakan mutasi rangka baca (frameshift mutation) seperti telah disinggung pada Bab X. Apabila substitusi basa menyebabkan substitusi asam amino seperti pada kasus hemoglobin anemia bulan sabit, maka mutasinya dinamakan mutasi salah makna (missense mutation). Sementara itu, jika substitusi basa menghasilkan kodon stop, misalnya UAU (tirosin) menjadi UAG (stop), maka mutasinya dinamakan mutasi tanpa makna (nonsense mutation) atau mutasi terminasi rantai (chain termination mutation). Substitusi basa pada sebuah triplet kodon dapat menghasilkan sembilan kemungkinan perubahan triplet kodon karena tiap basa mempunyai tiga kemungkinan substitusi. Sebagai contoh, kodon UAU dapat mengalami substitusi basa menjadi AAU (asparagin), GAU (asam aspartat), CAU (histidin), UUU (fenilalanin), UGU (sistein), UCU (serin), UAA (stop), UAG (stop), dan UAC (tirosin). Kita bisa melihat bahwa perubahan yang terakhir, yakni UAC, tidak menghasilkan substitusi asam amino karena baik UAC maupun UAU menyandi asam amino tirosin. Mutasi substitusi basa dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu transisi dan transversi. Pada transisi terjadi substitusi basa purin oleh purin atau substitusi pirimidin oleh pirimidin, sedangkan pada transversi terjadi substitusi purin oleh pirimidin atau pirimidin oleh purin. Secara skema kedua macam substitusi basa tersebut dapat dilihat pada Gambar 11.1. A TC G Gambar 11.1. Skema substitusi basa nukleotida transisi transversi Sementara itu, mutasi rangka baca akan mengakibatkan perubahan rangka baca semua triplet kodon di belakang tempat terjadinya mutasi tersebut. Akan tetapi, adisi atau pun delesi sebanyak kelipatan tiga basa pada umumnya tidak akan menimbulkan pengaruh fenotipik mutasi rangka baca. Demikian pula, seperti dikatakan pada Bab X adisi satu basa yang diimbangi oleh delesi satu basa di tempat lain, atau sebaliknya, akan memperbaiki kembali rangka baca di belakang tempat tersebut. Selain itu, apabila adisi atau delesi terjadi pada daerah yang sangat dekat dengan ujung karboksil suatu protein, maka mutasi rangka baca yang ditimbulkannya tidak akan menyebabkan sintesis protein nonfungsional. Dengan perkataan lain, mutasi tidak memberikan pengaruh fenotipik. Mutasi Spontan Perubahan urutan basa nukleotida berlangsung spontan dan acak. Tidak ada satu pun cara yang dapat digunakan untuk memprediksi saat dan tempat akan terjadinya suatu mutasi. Meskipun demikian, setiap gen dapat dipastikan mengalami mutasi dengan laju tertentu sehingga memungkinkan untuk ditetapkan peluang mutasinya. Artinya, kita dapat menentukan besarnya peluang bagi suatu gen untuk bermutasi sehingga besarnya peluang untuk mendapatkan suatu alel mutan dari gen tersebut di dalam populasi juga dapat dihitung. Terjadinya suatu peristiwa mutasi tidak dapat dikatakan sebagai hasil adaptasi sel atau organisme terhadap kondisi lingkungannya. Kebanyakan mutasi memperlihatkan pengaruh yang sangat bervariasi terhadap tingkat kemampuan adaptasi sel atau organisme, mulai dari netral (sangat adaptable) hingga letal (tidak adaptable). Oleh karena itu, tidak ada korelasi yang nyata antara mutasi dan adaptasi. Namun, pemikiran bahwa mutasi tidak ada sangkut pautnya dengan adaptasi tidak diterima oleh sebagian besar ahli biologi hingga akhir tahun 1940-an ketika Joshua dan Esther Lederberg melalui percobaannya pada bakteri

membuktikan bahwa mutasi bukanlah hasil adaptasi. Dengan teknik yang dinamakan replica plating koloni-koloni bakteri pada kultur awal (master plate) dipindahkan ke medium baru (replica plate) menggunakan velvet steril sehingga posisi setiap koloni pada medium baru akan sama dengan posisinya masing-masing pada kultur awal. Medium baru dibuat dua macam, yaitu medium nonselektif seperti pada kultur awal dan medium selektif yang mengandung lebih kurang 109 fag T1. Hanya koloni-koloni mutan yang resisten terhadap infeksi fag T1 (mutan T1-r) yang dapat tumbuh pada medium selektif ini. Dari percobaan tersebut terlihat bahwa koloni-koloni mutan T1-r yang tumbuh pada medium selektif tidak terbentuk sebagai hasil adaptasi terhadap kehadiran fag T1, tetapi sebenarnya sudah ada semenjak pada kultur awal. Dengan demikian, teknik selektif semacam itu hanya akan menyeleksi mutan-mutan yang telah ada sebelumnya di dalam suatu populasi. master plate transfer replica plate replica plate (medium nonselektif) (medium selektif) Gambar 11.2. Percobaan transfer koloni (replica plating) = koloni mutan T1-r Teknik selektif seperti yang diuraikan di atas memberikan dasar bagi pemahaman tentang munculnya resistensi berbagai populasi hama dan penyakit terhadap senyawa kimia yang digunakan untuk mengendalikannya. Sebagai contoh, sejumlah populasi lalat rumah saat ini nampak sangat resisten terhadap insektisida DDT. Hal ini menunjukkan betapa seleksi telah memunculkan populasi lalat rumah dengan kombinasi mekanisme enzimatik, anatomi, dan perilaku untuk dapat resisten terhadap atau menghindari bahan kimia tersebut. Begitu pula, gejala peningkatan resistensi terhadap antibiotik yang diperlihatkan oleh berbagai macam bakteri penyebab penyakit pada manusia tidak lain merupakan akibat proses seleksi untuk memunculkan dominansi strain-strain mutan tahan antibiotik yang sebenarnya memang telah ada sebelumnya. Laju mutasi Laju mutasi adalah peluang terjadinya mutasi pada sebuah gen dalam satu generasi atau dalam pembentukan satu gamet. Pengukuran laju mutasi penting untuk dilakukan di dalam genetika populasi, studi evolusi, dan analisis pengaruh mutagen lingkungan. Mutasi spontan biasanya merupakan peristiwa yang sangat jarang terjadi sehingga untuk memperkirakan peluang kejadiannya diperlukan populasi yang sangat besar dengan teknik tertentu. Salah satu teknik yang telah digunakan untuk mengukur laju mutasi adalah metode ClB yang ditemukan oleh Herman Muller. Metode ClB mengacu kepada suatu kromosom X lalat Drosophila melanogaster yang memiliki sifat-sifat tertentu. Teknik ini dirancang untuk mendeteksi mutasi yang terjadi pada kromosom X normal. Kromosom X pada metode ClB mempunyai tiga ciri penting, yaitu (1) inversi yang sangat besar (C), yang menghalangi terjadinya pindah silang pada individu betina heterozigot; (2) letal resesif (l); dan (3) marker dominan Bar (B) yang menjadikan mata sempit (lihat Bab VII). Dengan adanya letal resesif, individu jantan dengan kromosom tersebut dan individu betina homozigot tidak akan bertahan hidup. Persilangan pertama dilakukan antara betina heterozigot untuk kromosom ClB dan jantan dengan kromosom X normal. Di antara keturunan yang diperoleh, dipilih individu betina yang mempunyai mata Bar untuk selanjutnya pada persilangan kedua dikawinkan dengan jantan normal. Individu betina dengan mata Bar ini jelas mempunyai genotipe heterozigot

karena menerima kromosom ClB dari tetua betina dan kromosom X normal dari tetua jantannya. Hasil persilangan kedua yang diharapkan adalah dua betina berbanding dengan satu jantan. Ada tidaknya individu jantan hasil persilangan kedua ini digunakan untuk mengestimasi laju mutasi letal resesif. Oleh karena pindah silang pada kromosom X dihalangi oleh adanya inversi (C) pada individu betina, maka semua individu jantan hasil persilangan hanya akan mempunyai genotipe + . Kromosom X pada individu jantan ini berasal dari tetua jantan awal (persilangan pertama). Sementara itu, individu jantan dengan kromosom X ClB selalu mengalami kematian. Meskipun demikian, kadang-kadang pada persilangan kedua tidak diperoleh individu jantan sama sekali. Artinya, individu jantan yang mati tidak hanya yang membawa kromosom ClB, tetapi juga individu yang membawa kromosom X dari tetua jantan awal. Jika hal ini terjadi, kita dapat menyimpulkan bahwa kromosom X pada tetua jantan awal yang semula normal berubah atau bermutasi menjadi kromosom X dengan letal resesif. Dengan menghitung frekuensi terjadinya kematian pada individu jantan yang seharusnya hidup ini, dapat dilakukan estimasi kuantitatif terhadap laju mutasi yang menyebabkan terbentuknya alel letal resesif pada kromosom X. Ternyata, lebih kurang 0,15% kromosom X terlihat mengalami mutasi semacam itu selama spermatogenesis, yang berarti bahwa laju mutasi untuk mendapatkan letal resesif per kromosom X per gamet adalah 1,5 x 10-3. betina Bar ClB + jantan normal ClB ? + ? ClB + letal betina Bar (dipilih untuk disilangkan dengan jantan normal) ClB ? + ClB + ? + ClB ? letal letal jika X-nya membawa letal resesif Gambar 11.3. Metode ClB untuk mengestimasi laju mutasi = kromosom X yang berasal dari tetua jantan pada persilangan pertama Pada metode ClB tidak diketahui laju mutasi gen tertentu karena kita tidak dapat memastikan banyaknya gen pada kromosom X yang apabila mengalami mutasi akan berubah menjadi alel resesif yang mematikan. Namun, semenjak ditemukannya metode ClB berkembang pula sejumlah metode lain untuk mengestimasi laju mutasi pada berbagai organisme. Hasilnya menunjukkan bahwa laju mutasi sangat bervariasi antara gen yang satu dan lainnya. Sebagai contoh, laju mutasi untuk terbentuknya tubuh berwarna kuning pada Drosophila adalah 10-4 per gamet per generasi, sementara laju mutasi untuk terbentuknya resitensi terhadap streptomisin pada E. coli adalah 10-9 per sel per generasi. Asal-mula terjadinya mutasi spontan Ada tiga mekanisme yang paling penting pada mutasi spontan, yaitu (1) kesalahan selama replikasi, (2) perubahan basa nukleotida secara spontan, dan (3) peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan penyisipan (insersi) dan pemotongan (eksisi) unsur-unsur yang dapat

berpindah (transposable elements). Pada Bab IX telah kita bicarakan bahwa enzim Pol I dan Pol III adakalanya membuat kesalahan dengan menyisipkan basa yang salah ketika replikasi DNA sedang berlangsung. Namun, enzim-enzim DNA polimerase ini juga diketahui mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kesalahan (proof reading) melalui aktivitas eksonukleasenya dengan cara memotong basa yang salah pada ujung 3 untai DNA yang sedang dipolimerisasi. Aktivitas penyuntingan oleh DNA polimerase boleh dikatakan sangat efisien meskipun tidak berarti sempurna benar. Kadang-kadang suatu kesalahan replikasi luput dari mekanisme penyuntingan tersebut. Akan tetapi, ada sistem lain yang berfungsi dalam perbaikan kesalahan replikasi DNA. Sistem ini dikenal sebagai sistem perbaikan salah pasangan (mismatch repair). Berbeda dengan sistem penyuntingan oleh DNA polimerase, sistem perbaikan salah pasangan tidak bekerja pada ujung 3 untai DNA yang sedang tumbuh, tetapi mengenali kesalahan basa di dalam untai DNA. Caranya, segmen DNA yang membawa basa yang salah dibuang sehingga terdapat celah (gap) di dalam untai DNA. Selanjutnya, dengan bantuan enzim Pol I celah ini akan diisi oleh segmen baru yang membawa basa yang telah diperbaiki. Sistem perbaikan salah pasangan, seperti halnya mekanisme penyuntingan oleh DNA polimerase, tidaklah sempurna sama sekali. Kadang-kadang ada juga kesalahan pasangan basa yang tidak dikenalinya. Jika hal ini terjadi, timbullah mutasi spontan. 5 GAGTCGAATC 3 untai cetakan 3 CTCAGTTTAG 5 untai baru GAGTCGAATC CTC AG AGTTT segmen dengan perbaikan eksisi basa yang salah GAGTCGAATC CTCAGCTTAG untai yang telah diperbaiki Gambar 11.4. Mekanisme perbaikan salah pasangan Basa-basa tautomerik adakalanya dapat tergabung dengan benar ke dalam molekul DNA. Pada saat penggabungan berlangsung, basa tersebut akan membentuk ikatan hidrogen yang benar dengan basa pada untai DNA cetakan sehingga fungsi penyuntingan oleh DNA polimerase tidak dapat mengenalinya. Sistem perbaikan salah pasangan akan mengoreksi kesalahan semacam itu. Akan tetapi, jika segmen yang membawa kesalahan basa tersebut telah mengalami metilasi, maka sistem perbaikan salah pasangan tidak dapat membedakan antara untai cetakan dan untai baru. Hal ini akan menimbulkan mutasi spontan. Sumber mutasi spontan lainnya adalah perubahan basa sitosin yang telah termetilasi menjadi timin karena hilangnya gugus amino. Sitosin yang seharusnya berpasangan dengan guanin berubah menjadi timin yang berpasangan dengan adenin sehingga terjadilah mutasi transisi (purin menjadi purin, pirimidin menjadi pirimidin). Dalam hal ini hilangnya gugus amino dari sitosin yang telah termetilasi tidak dapat dikenali oleh sistem perbaikan salah pasangan, dan basa timin yang seharusnya sitosin tersebut tidak dilihat sebagai basa yang salah. Mutasi Induksi Laju mutasi spontan yang sangat rendah ternyata dapat ditingkatkan dengan aplikasi berbagai agen eksternal. Mutasi dengan laju yang ditingkatkan ini dinamakan mutasi induksi. Bukti pertama bahwa agen eksternal dapat meningkatkan laju mutasi diperoleh dari penelitian H. Muller pada tahun 1927 yang memperlihatkan bahwa sinar X dapat menyebabkan mutasi pada Drosophila. Agen yang dapat menyebabkan terjadinya mutasi seperti sinar X ini dinamakan mutagen.

Semenjak penemuan Muller tersebut, berbagai mutagen fisika dan kimia digunakan untuk meningkatkan laju mutasi. Dengan mutagen-mutagen ini dapat diperoleh bermacam-macam mutan pada beberapa spesies organisme. Basa analog Basa analog merupakan senyawa kimia yang struktur molekulnya sangat menyerupai basa nukleotida DNA sehingga dapat menjadi bagian yang menyatu di dalam molekul DNA selama berlangsungnya replikasi normal. Hal ini karena suatu basa analog dapat berpasangan dengan basa tertentu pada untai DNA cetakan. Namun, bisa juga masuknya sebuah basa analog terkoreksi melalui mekanisme penyuntingan oleh enzim DNA polimerase. Apabila suatu basa analog dapat membentuk ikatan hidrogen dengan dua macam cara, maka basa analog ini dikatakan bersifat mutagenik. Sebagai contoh, basa 5-bromourasil (BU) yang diketahui mudah sekali bergabung dengan DNA bakteri dan virus, dapat mempunyai dua macam bentuk, yaitu keto dan enol sehingga dapat membentuk ikatan hidrogen dengan dua macam cara. Basa ini analog dengan basa timin karena hanya berbeda pada posisi gugus metil yang diganti dengan atom bromium. Jika sel yang akan dimutasi ditumbuhkan pada medium yang mengandung BU dalam bentuk keto, maka selama replikasi DNA adakalanya timin digantikan oleh BU sehingga pasangan basa AT berubah menjadi ABU. Penggantian ini belum dapat dikatakan sebagai peristiwa mutasi. Akan tetapi, jika BU berada dalam bentuk enol, maka BU akan berpasangan dengan guanin (GBU), dan pada putaran replikasi berikutnya, molekul DNA yang baru akan mempunyai pasangan basa GC pada posisi yang seharusnya ditempati oleh pasangan basa AT. Dengan demikian, telah terjadi mutasi tautomerik berupa transisi dari AT ke GC (Gambar 11.5). Percobaan-percobaan berikutnya menunjukkan bahwa mekanisme mutagenesis BU dapat terjadi dengan cara lain. Konsentrasi deoksinukleosida trifofat (dNTP) di dalam sel pada umumnya diatur oleh konsentrasi deoksitimidin trifosfat (dTTP). Artinya, konsentrasi dTTP akan menentukan konsentrasi ketiga dNTP lainnya untuk keperluan sintesis DNA. Apabila suatu saat dTTP terdapat dalam jumlah yang sangat berlebihan, maka akan terjadi hambatan dalam sintesis dCTP. Sementara itu, BU sebagai basa yang analog dengan timin juga dapat menghambat sintesis dCTP. Jika BU ditambahkan ke dalam medium pertumbuhan, maka dTTP akan disintesis dalam jumlah normal tetapi sintesis dCTP akan sangat terhambat. Akibatnya, nisbah dTTP terhadap dCTP menjadi sangat tinggi dan frekuensi salah pasangan GT, yang seharusnya GC, akan meningkat. Mekanisme penyuntingan dan perbaikan salah pasangan sebenarnya dapat membuang basa timin yang salah berpasangan dengan guanin tersebut. Akan tetapi, keberadaan BU ternyata menyebabkan laju perbaikan menjadi tertinggal oleh laju salah pasangan. Pada putaran replikasi berikutnya basa timin pada pasangan GT akan berpasangan dengan adenin sehingga posisi yang seharusnya ditempati oleh GC sekarang diganti dengan AT. Dengan perkataan lain, BU telah menginduksi mutasi tautomerik berupa transisi GC menjadi AT. A=T substitusi T oleh BU (keto) A=BU replikasi 1 A=T G=BU pengikatan G oleh BU (enol) replikasi 2 A=T A=T G=C A=BU transisi Gambar 11.5. Mutasi tautomerik (transisi) akibat basa analog 5-bromourasil Mutagen-mutagen kimia Berbeda dengan basa analog yang hanya bersifat mutagenik ketika DNA sedang melakukan replikasi, mutagen kimia dapat mengakibatkan mutasi pada DNA baik yang sedang

bereplikasi maupun yang tidak sedang bereplikasi. Beberapa di antara mutagen kimia, misalnya asam nitros (HNO2), menimbulkan perubahan yang sangat khas. Namun, beberapa lainnya, misalnya agen-agen alkilasi, memberikan pengaruh dengan spektrum yang luas. HNO2 bekerja sebagai mutagen dengan mengubah gugus amino (NH2) pada basa adenin, sitosin, dan guanin menjadi gugus keto (=O) sehingga spesifisitas pengikatan hidrogen pada basa-basa tersebut juga mengalami perubahan. Deaminasi adenin akan menghasilkan hipoksantin (H), yang berpasangan dengan sitosin. Hal ini mengakibatkan terjadinya transisi AT menjadi GC melaui HC. Dengan mekanisme serupa, deaminasi sitosin yang menghasilkan urasil akan mengakibatkan transisi GC menjadi AT melalui AU. Agen alkilasi etilmetan sulfonat (EMS) dan mustard nitrogen merupakan mutagen-mutagen kimia yang banyak digunakan dalam penelitian genetika. Kedua-duanya akan memberikan gugus etil (C2H5) atau sejenisnya kepada basa DNA. Jika HNO2 terbukti sangat bermanfaat pada sistem prokariot, maka agen-agen alkilasi sangat efektif untuk digunakan pada sistem eukariot. Alkilasi pada basa G atau T akan menyebabkan terjadinya salah pasangan yang mengarah kepada transisi AT GC dan GC AT. Selain itu, EMS dapat juga bereaksi dengan A dan C. O CH2 CH2 Cl CH3 CH2 O S CH3 HN O CH2 CH2 Cl etilmetan sulfonat mustard nitrogen Gambar 11.6. Struktur molekul dua agen alkilasi yang umum digunakan Fenomena lain yang dapat muncul akibat terjadinya alkilasi guanin adalah depurinasi, yaitu hilangnya basa purin yang telah mengalami alkilasi tersebut dari molekul DNA karena patahnya ikatan yang menghubungkannya dengan gula deoksiribosa. Depurinasi tidak selalu bersifat mutagenik karena celah yang terbentuk dengan hilangnya basa purin tadi dapat segera diperbaiki. Akan tetapi, garpu replikasi sering kali terlebih dahulu telah mencapai celah tersebut sebelum perbaikan sempat dilakukan. Jika hal ini terjadi, maka replikasi akan terhenti tepat di depan celah dan kemudian dimulai lagi dengan menyisipkan basa adenin pada posisi yang komplementer dengan celah tersebut. Akibatnya, setelah replikasi basa adenin di posisi celah tersebut akan berpasangan dengan timin atau terjadi pasangan TA. Padahal seharusnya pasangan basa pada posisi celah tersebut adalah GC (bukankah yang hilang adalah G?). Oleh karena itu pada posisi celah tersebut terjadi perubahan dari GC menjadi TA atau purin-pirimidin menjadi pirimidin-purin. Perubahan ini tidak lain merupakan mutasi tautomerik jenis transversi. Interkalasi Senyawa kimia akridin, yang salah satu contohnya adalah proflavin (Bab X), memiliki struktur molekul berupa tiga cincin sehingga sangat menyerupai pasangan basa purin pirimidin atau pirimidin purin. Dengan struktur yang sangat menyerupai sebuah pasangan basa, akridin dapat menyisip di antara dua pasangan basa yang berdekatan pada molekul DNA. Peristiwa penyisipan semacam ini dinamakan interkalasi. Pengaruh interkalasi terhadap molekul DNA adalah terjadinya perenggangan jarak antara dua pasangan basa yang berurutan. Besarnya perenggangan sama dengan tebal molekul akridin. Apabila DNA yang membawa akridin tadi melakukan replikasi, maka untai DNA hasil replikasi akan ada yang mengalami adisi dan ada yang mengalami delesi pada posisi terjadinya interkalasi. Dengan demikian, mutasi yang ditimbulkan bukanlah mutasi tautomerik, melainkan mutasi rangka baca. Iradiasi ultraviolet Sinar ultraviolet (UV) dapat menghasilkan pengaruh, baik letal maupun mutagenik, pada semua jenis virus dan sel. Pengaruh ini disebabkan oleh terjadinya perubahan kimia pada

basa DNA akibat absorpsi energi dari sinar tersebut. Pengaruh terbesar yang ditimbulkan oleh iradiasi sinar UV adalah terbentuknya pirimidin dimer, khususnya timin dimer, yaitu saling terikatnya dua molekul timin yang berurutan pada sebuah untai DNA. Dengan adanya timin dimer, replikasi DNA akan terhalang pada posisi terjadinya timin dimer tersebut. Namun, kerusakan DNA ini pada umumnya dapat diperbaiki melalui salah satu di antara empat macam mekanisme, yaitu fotoreaktivasi, eksisi, rekombinasi, dan SOS. Fotoreaktivasi Mekanisme perbaikan ini bergantung kepada cahaya. Dengan adanya cahaya, ikatan antara timin dan timin akan terputus oleh suatu enzim tertentu. Sebenarnya enzim tersebut telah mengikat dimer, baik ketika ada cahaya maupun tidak ada cahaya. Akan tetapi, aktivasinya memerlukan spektrum biru cahaya sehingga enzim tersebut hanya bisa bekerja apabila ada cahaya. Eksisi Perbaikan dengan cara eksisi merupakan proses enzimatik bertahap yang diawali dengan pembuangan dimer dari molekul DNA, diikuti oleh resintesis segmen DNA baru, dan diakhiri oleh ligasi segmen tersebut dengan untai DNA. Ada dua mekanisme eksisi yang agak berbeda. Pada mekanisme pertama, enzim endonuklease melakukan pemotongan (eksisi) pada dua tempat yang mengapit dimer. Akibatnya, segmen yang membawa dimer akan terlepas dari untai DNA. Pembuangan segmen ini kemudian diikuti oleh sintesis segmen baru yang akan menggantikannya dengan bantuan enzim DNA polimerase I. Akhirnya, segmen yang baru tersebut diligasi dengan untai DNA sehingga untai DNA ini sekarang tidak lagi membawa dimer. Pada mekanisme yang kedua pemotongan mula-mula hanya terjadi pada satu tempat, yakni di sekitar dimer. Pada celah yang terbentuk akibat pemotongan tersebut segera terjadi sintesis segmen baru dengan urutan basa yang benar. Pada waktu yang sama terjadi pemotongan lagi pada segmen yang membawa dimer sehingga segmen ini terlepas dari untai DNA. Seperti pada mekanisme yang pertama, proses ini diakhiri dengan ligasi segmen yang baru tadi dengan untai DNA. Rekombinasi Berbeda dengan dua mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya, perbaikan kerusakan DNA dengan cara rekombinasi terjadi setelah replikasi berlangsung. Oleh karena itu, mekanisme ini sering juga dikatakan sebagai rekombinasi pascareplikasi. Ketika DNA polimerase sampai pada suatu dimer, maka polimerisasi akan terhenti sejenak untuk kemudian dimulai lagi dari posisi setelah dimer. Akibatnya, untai DNA hasil polimerisasi akan mempunyai celah pada posisi dimer. Mekanisme rekombinasi pada prinsipnya merupakan cara untuk menutup celah tersebut menggunakan segmen yang sesuai pada untai DNA cetakan yang membawa dimer. Untuk jelasnya, skema mekanisme tersebut dapat dilihat pada Gambar 11.8. DNA yang membawa dimer pada kedua untainya melakukan replikasi (Gambar 11.8.a) sehingga pada waktu garpu replikasi mencapai dimer akan terbentuk celah pada kedua untai DNA yang baru (Gambar 11.8.b). Celah akan diisi oleh segmen yang sesuai dari masingmasing untai DNA cetakan yang membawa dimer. Akibatnya, pada untai DNA cetakan terdapat segmen yang hilang. Jadi, sekarang kedua untai DNA cetakan selain membawa dimer juga mempunyai celah, sedangkan kedua untai DNA baru tidak mempunyai celah lagi (Gambar 11.8.c). Akhirnya, segmen penutup celah akan terligasi dengan sempurna pada masing-masing untai DNA baru (Gambar 11.8.d). Mekanisme SOS Mekanisme perbaikan DNA dengan sistem SOS dapat dilihat sebagai jalan pintas yang memungkinkan replikasi tetap berlangsung meskipun harus melintasi dimer. Hasilnya berupa

untai DNA yang utuh tetapi sering kali sangat defektif. Oleh karena itu, mekanisme SOS dapat dikatakan sebagai sistem perbaikan yang rentan terhadap kesalahan. dimer pemotongan di dua tempat pemotongan di satu tempat di sekitar dimer resintesis segmen baru oleh Pol I pemotongan segmen ligasi yang membawa dimer ligasi Gambar 11.7. Mekanisme eksisi untuk memperbaiki DNA Ketika sistem SOS aktif, sistem penyuntingan oleh DNA polimerase III justru menjadi tidak aktif. Hal ini dimaksudkan agar polimerisasi tetap dapat berjalan melintasi dimer. Untai DNA yang baru akan mempunyai dua basa adenin berurutan pada posisi dimer (dalam kasus timin dimer). Dengan sendirinya, kedua adenin ini tidak dapat berpasangan dengan timin karena kedua timin berada dalam bentuk dimer. Sistem penyuntingan tidak dapat memperbaiki kesalahan ini karena tidak aktif, sedangkan sistem perbaikan salah pasangan sebenarnya dapat memperbaikinya. Namun, karena jumlah dimer di dalam setiap sel yang mengalami iradiasi UV biasanya begitu banyak, maka sistem perbaikan salah pasangan tidak dapat memperbaiki semua kesalahan yang ada. Akibatnya, mutasi tetap terjadi. Pengaruh mutagenik iradiasi UV memang hampir selalu merupakan akibat perbaikan yang rentan terhadap kesalahan. a) b) d) c) Gambar 11.8. Skema mekanisme rekombinasi pascareplikasi = pirimidin dimer = penutupan celah oleh segmen dari untai DNA cetakan yang membawa dimer Radiasi pengion Radiasi pengion mempunyai energi yang begitu besar sehingga molekul air dan senyawa kimia lainnya yang terkena olehnya akan terurai menjadi fragmen-fragmen bermuatan listrik. Semua bentuk radiasi pengion akan menyebabkan pengaruh mutagenik dan letal pada virus dan sel. Radiasi pengion meliputi sinar X beserta partikel-partikelnya dan radiasi yang dihasilkan oleh unsur-unsur radioaktif seperti partikel , , dan sinar . Intensitas radiasi pengion dinyatakan secara kuantitatif dengan beberapa macam cara. Ukuran yang paling lazim digunakan adalah rad, yang didefinisikan sebagai besarnya radiasi yang menyebabkan absorpsi energi sebesar 100 erg pada setiap gram materi. Frekuensi mutasi yang diinduksi oleh sinar X sebanding dengan dosis radiasi yang diberikan. Sebagai contoh, frekuensi letal resesif pada kromosom X Drosophila meningkat linier sejalan dengan meningkatnya dosis radiasi sinar X. Pemaparan sebesar 1000 rad meningkatkan

frekuensi mutasi dari laju mutasi spontan sebesar 0,15% menjadi 3%. Pada Drosophila tidak terdapat ambang bawah dosis pemaparan yang yang tidak menyebabkan mutasi. Artinya, betapapun rendahnya dosis radiasi, mutasi akan tetap terinduksi. Pengaruh mutagenik dan letal yang ditimbulkan oleh radiasi pengion terutama berkaitan dengan kerusakan DNA. Ada tiga macam kerusakan DNA yang disebabkan oleh radiasi pengion, yaitu kerusakan pada salah satu untai, kerusakan pada kedua untai, dan perubahan basa nukleotida. Pada eukariot radiasi pengion dapat menyebabkan kerusakan kromosom, yang biasanya bersifat letal. Akan tetapi, pada beberapa organisme terdapat sistem yang dapat memperbaiki kerusakan kromosom tersebut meskipun perbaikan yang dilakukan sering mengakibatkan delesi, duplikasi, inversi, dan translokasi. Radiasi pengion banyak digunakan dalam terapi tumor. Pada prinsipnya perlakuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan frekuensi kerusakan kromosom pada sel-sel yang sedang mengalami mitosis. Oleh karena tumor mengandung banyak sekali sel yang mengalami mitosis sementara jaringan normal tidak, maka sel tumor yang dirusak akan jauh lebih banyak daripada sel normal yang dirusak. Namun, tidak semua sel tumor mengalami mitosis pada waktu yang sama. Oleh karena itu, iradiasi biasanya dilakukan dengan selang waktu beberapa hari agar sel-sel tumor yang semula sedang beristirahat kemudian melakukan mitosis. Diharapkan setelah iradiasi diberikan selama kurun waktu tertentu, semua sel tumor akan rusak. Mutasi Balik dan Mutasi Penekan Kebanyakan mutasi yang telah kita bicarakan hingga saat ini adalah perubahan dari bentuk alami atau normal ke bentuk mutan, atau sering dikatakan sebagai mutasi ke depan (forward mutation). Namun, seperti telah disinggung pada Bab X, mutasi dapat juga berlangsung dari bentuk mutan ke bentuk normal. Mutasi semacam ini dinamakan mutasi balik atau reversi. Ada dua mekanisme yang berbeda pada mutasi balik, yaitu (1) perubahan urutan basa pada DNA mutan sehingga benar-benar pulih seperti urutan basa pada fenotipe normalnya dan (2) terjadinya mutasi kedua di suatu tempat lainnya di dalam genom yang mengimbangi atau menekan pengaruh mutasi pertama sehingga mutasi yang kedua tersebut sering disebut sebagai mutasi penekan (suppressor mutation). Mekanisme mutasi balik berupa mutasi penekan jauh lebih umum dijumpai daripada mekanisme yang pertama. Mutasi penekan dapat terjadi di suatu tempat di dalam gen yang sama dengan mutasi pertama yang ditekannya. Dengan perkataan lain, terjadi penekanan intragenik. Akan tetapi, mutasi penekan dapat juga terjadi di dalam gen yang lain atau bahkan di dalam kromosom yang lain sehingga peristiwanya dinamakan penekanan intergenik. Kebanyakan mutasi penekan, baik intra- maupun intergenik, tidak dapat sepenuhnya memulihkan mutan ke fenotipe normalnya seperti yang akan diuraikan di bawah ini. Penekanan intragenik Pada garis besarnya ada dua macam cara penekanan intragenik. Cara yang pertama telah kita jelaskan pada Bab X, yaitu perbaikan rangka baca dengan kompensasi adisi-delesi sehingga rangka baca yang bergeser sebagian besar dapat dikembalikan seperti semula. Jika bagian yang tidak dapat dipulihkan bukan merupakan urutan yang esensial, maka pembacaan rangka baca akan menghasilkan fenotipe normal. Pada cara yang kedua tidak terjadi adisi dan delesi pada urutan basa, tetapi perubahan suatu asam amino yang mengakibatkan hilangnya aktivitas protein akan diimbangi oleh perubahan asam amino lainnya yang memulihkan aktivitas protein tersebut. Sebagai contoh dapat dikemukakan penekanan mutasi enzim triptofan sintetase pada E. coli, yang disandi oleh gen trpA pada. Salah satu di antara dua polipeptida yang menyusun enzim tersebut adalah polipeptida A yang terdiri atas 268 asam amino. Pada strain normal asam amino yang ke-210 adalah glisin. Jika asam amino glisin ini berubah menjadi asam glutamat, maka enzim triptofan sintetase menjadi tidak aktif. Perubahan glisin menjadi asam glutamat sebenarnya

tidak menyebabkan inaktivasi enzim secara langsung karena glisin tidak terletak pada tapak aktif. Namun, perubahan ini mengakibatkan perubahan struktur pelipatan enzim sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi tapak aktifnya. Sementara itu, asam amino normal yang ke-174 adalah tirosin, yang interaksinya dengan asam amino ke-210 menentukan aktivitas enzim. Apabila tirosin berubah menjadi sistein, maka struktur pelipatan enzim yang telah berubah karena glisin digantikan oleh asam glutamat justru akan dipulihkan oleh interaksi sistein dengan asam glutamat. Dengan demikian, aktivitas enzim pun dapat dipulihkan. Jadi, perubahan glisin menjadi asam glutamat akan ditekan pengaruhnya oleh perubahan tirosin menjadi sistein. Begitu pula sebaliknya, jika perubahan tirosin menjadi sistein terjadi terlebih dahulu, maka pengaruhnya akan ditekan oleh perubahan glisin menjadi asam glutamat. Penekanan intergenik Penekanan intergenik yang paling umum dijumpai adalah penekanan oleh suatu produk mutasi gen terhadap pengaruh mutasi yang ditimbulkan oleh sejumlah gen lainnya. Contoh yang paling dikenal dapat dilihat pada gen-gen penyandi tRNA. Pengaruh yang ditimbulkannya adalah mengubah kekhususan pengenalan kodon pada mRNA oleh antikodon pada tRNA. Mutasi semacam itu pertama kali ditemukan pada strain-strain E. coli yang dapat menekan mutan-mutan fag T4 tertentu. Mutan-mutan ini gagal untuk membentuk plak (lihat Bab XII) pada strain bakteri standar tetapi dapat membentuk plak pada strain yang mengalami mutasi penekan. Strain yang mengalami mutasi penekan ini ternyata juga dapat menekan mutasi pada sejumlah gen yang terdapat pada genom bakteri sendiri. Mutasi penekan intergenik dapat memulihkan baik mutasi tanpa makna (nonsense) maupun mutasi salah makna (missense). Penekanan mutasi tanpa makna disebabkan oleh mutasi gen penyandi tRNA sehingga terjadi perubahan antikodon pada tRNA yang memungkinkannya untuk mengenali kodon stop hasil mutasi. Sebagai contoh, salah satu kodon untuk tirosin, yakni UAC dapat berubah menjadi kodon stop UAG. Mutasi ini dapat ditekan oleh molekul tRNA mutan yang membawa triptofan dengan antikodon AUC. Antikodon pada molekul tRNA normal yang membawa triptofan adalah AAC. Dengan tRNA mutan, kodon UAG yang seharusnya merupakan kodon stop berubah menjadi kodon yang menyandi triptofan. Akibatnya, terminasi dapat dibatalkan, atau dengan perkataan lain, mutasi tRNA telah memulihkan mutasi tanpa makna. Penekanan mutasi salah makna oleh mutasi penekan intergenik antara lain dapat dilihat contohnya pada pemulihan aktivitas protein yang hilang akibat perubahan valin (tidak bermuatan) menjadi asam aspartat (bermuatan negatif). Pemulihan terjadi karena asam aspartat digantikan oleh alanin (tidak bermuatan). Substitusi ini dapat terjadi dengan empat macam cara, yaitu (1) mutasi antikodon yang memungkinkan tRNA untuk mengenali kodon yang berbeda seperti halnya yang terjadi pada pemulihan mutasi tanpa makna, (2) mutasi pada tRNA yang mengubah sebuah basa di dekat antikodon sehingga tRNA dapat mengenali dua kodon yang berbeda, (3) mutasi di luar kala (loop) antikodon yang memungkinkan aminoasil sintetase mengenali tRNA sehingga terjadi asilasi yang menyebabkan tRNA ini membawa asam amino yang lain, dan (4) mutasi aminoasil sintetase yang kadang-kadang salah mengasilasi tRNA. Pada notasi konvensional, mutasi penekan diberi lambang sup diikuti dengan angka (atau kadang-kadang huruf) yang membedakan penekan yang satu dengan penekan lainnya. Sel yang tidak mempunyai penekan dilambangkan dengan sup0. Mutasi balik sebagai cara untuk mendeteksi mutagen dan karsinogen Dewasa ini terjadi peningkatan jumlah dan macam bahan kimia yang mencemari lingkungan. Beberapa di antaranya dikenal potensial sebagai mutagen. Selain itu, kebanyakan karsinogen juga merupakan mutagen. Oleh karena itu, uji mutagenesis terhadap bahan-bahan kimia

semacam ini perlu dilakukan. Cara yang paling sederhana untuk melihat mutagenesis suatu bahan kimia adalah uji mutasi balik menggunakan mutan nutrisional pada bakteri. Senyawa yang dicurigai potensial sebagai mutagen ditambahkan ke dalam medium padat, diikuti dengan penaburan (plating) suatu mutan bakteri dalam jumlah tertentu. Banyaknya koloni revertan (fenotipe normal hasil mutasi balik) yang muncul dihitung. Peningkatan frekuensi revertan yang tajam apabila dibandingkan dengan frekuensi yang diperoleh di dalam medium tanpa senyawa kimia yang dicurigai tersebut mengindikasikan bahwa senyawa yang diuji adalah mutagen. Meskipun demikian, cara seperti tersebut di atas tidak dapat digunakan untuk memperlihatkan mutagenesis sejumlah besar karsinogen yang potensial. Hal ini karena banyak sekali senyawa kimia yang tidak langsung bersifat mutagenik / karsinogenik, tetapi harus melalui beberapa reaksi enzimatik terlebih dahulu sebelum menjadi mutagen. Reaksireaksi enzimatik tersebut terjadi di dalam organ hati hewan dan tidak ada kesepadanannya di dalam sel bakteri. Fungsi normal enzim-enzim itu adalah melindungi organisme dari berbagai bahan beracun dengan cara mengubahnya menjadi bahan yang tidak beracun. Akan tetapi, ketika enzim-enzim itu bertemu dengan bahan kimia tertentu, maka mereka akan mengubah bahan tersebut dari sifatnya yang semula tidak mutagenik menjadi mutagenik. Enzim-enzim tersebut terdapat di dalam komponen sel-sel hati yang dinamakan fraksi mikrosomal. Pemberian fraksi mikrosomal yang berasal dari hati tikus ke dalam medium pertumbuhan bakteri memungkinkan dilakukannya deteksi mutagenisitas. Perlakuan ini mendasari teknik pemeriksaan karsinogen menggunakan metode yang dinamakan uji Ames. Di dalam uji Ames mutan-mutan bakteri Salmonella typhimurium yang memerlukan pemberian histidin eksternal atau disebut dengan mutan His- digunakan untuk menguji mutagenisitas senyawa kimia atas dasar mutasi baliknya menjadi His+. Mutan-mutan Hismembawa baik mutasi tautomerik maupun mutasi rangka baca. Di samping itu, strain-strain bakteri tersebut dibuat menjadi lebih sensitif terhadap mutagenesis dengan menggabungkan beberapa alel mutan yang dapat menginaktifkan sistem perbaikan eksisi dan menjadikannya lebih permiabel terhadap molekul-molekul asing. Oleh karena beberapa mutagen hanya bekerja pada DNA yang sedang melakukan replikasi, maka medium pertumbuhan yang digunakan harus mengandung histidin dalam jumlah yang cukup untuk mendukung beberapa putaran replikasi tetapi tidak cukup untuk memungkinkan terbentuknya koloni yang dapat dilihat. Ke dalam medium tersebut kemudian ditambahkan mutagen potensial yang akan diuji. Fraksi mikrosomal dari hati tikus disebarkan ke permukaan medium, diikuti dengan penaburan bakteri. Apabila bahan kimia yang diuji adalah mutagen atau diubah menjadi mutagen, maka koloni bakteri akan terbentuk. Analisis kuantitatif terhadap frekuensi mutasi balik dapat dilakukan juga dengan membuat variasi jumlah mutagen potensial tersebut di dalam medium. Frekuensi mutasi balik ternyata bergantung kepada konsentrasi bahan kimia yang diuji, dan pada karsinogen tertentu juga nampak adanya korelasi dengan efektivitasnya pada hewan. Uji Ames saat ini telah banyak digunakan pada beribu-ribu senyawa seperti pengawet makanan, pestisida, pewarna rambut, dan kosmetika. Frekuensi mutasi balik yang tinggi tidak serta-merta berarti bahwa senyawa yang diuji adalah karsinogen, tetapi setidak-tidaknya memperlihatkan adanya peluang seperti itu. Akibat dilakukannya uji Ames, banyak industri terpaksa mereformulasi produk-produknya. Bukti terakhir tentang karsinogenisitas suatu bahan kimia ditentukan atas dasar hasil uji pembentukan tumor pada hewan-hewan percobaan. Jadi, uji Ames sebenarnya hanya berperan dalam mengurangi jumlah bahan kimia yang harus diuji menggunakan hewan percobaan. 11/03/2009 Posted by zaifbio | Genetika Dasar | 8 Komentar

EKSPRESI GEN
BAB X EKSPRESI GEN

Dogma Sentral Genetika Molekuler Perkembangan Konsep tentang Gen Transkripsi Tiga Macam RNA Translasi, khususnya pada Prokariot Kode Genetik Mekanisme Pengaturan Ekspresi Gen pada Prokariot Mekanisme Pengaturan Ekspresi Gen pada Eukariot

BAB X. EKSPRESI GEN Pada Bab IX telah disebutkan bahwa salah satu fungsi dasar yang harus dijalankan oleh DNA sebagai materi genetik adalah fungsi fenotipik. Artinya, DNA harus mampu mengatur pertumbuhan dan diferensiasi individu organisme sehingga dihasilkan suatu fenotipe tertentu. Fenotipe organisme sangat ditentukan oleh hasil interaksi protein-protein di dalam sel. Setiap protein tersusun dari sejumlah asam amino dengan urutan tertentu, dan setiap asam amino pembentukannya disandi (dikode) oleh urutan basa nitrogen di dalam molekul DNA. Rangkaian proses ini, mulai dari DNA hingga terbentuknya asam amino, dikenal sebagai dogma sentral genetika molekuler.

DNA replikasi

RNA transkripsi translasi

asam amino

Gambar 10.1. Diagram dogma sentral genetika molekuler Perubahan urutan basa di dalam molekul DNA menjadi urutan basa molekul RNA dinamakan transkripsi, sedangkan penerjemahan urutan basa RNA menjadi urutan asam amino suatu protein dinamakan translasi. Jadi, proses tanskripsi dan translasi dapat dilihat sebagai tahaptahap ekspresi urutan basa DNA. Namun, tidak semua urutan basa DNA akan diekspresikan menjadi urutan asam amino. Urutan basa DNA yang pada akhirnya menyandi urutan asam amino disebut sebagai gen. Dengan demikian, secara kimia gen adalah urutan basa nitrogen tertentu pada molekul DNA yang dapat dieskpresikan melalui tahap-tahap transkripsi dan translasi menjadi urutan asam amino tertentu.

Di atas telah kita katakan bahwa sejumlah asam amino dengan urutan (sekuens) tertentu akan menyusun sebuah molekul protein. Namun, setiap molekul protein sendiri dapat dilihat sebagai gabungan beberapa subunit yang dinamakan polipeptida. Oleh karena itu, muncul pertanyaan tentang hakekat sebuah gen : tiap gen menyandi satu protein ataukah tiap gen menyandi satu polipeptida ? Perkembangan konsep tentang gen dapat diikuti semenjak awal abad ke-20 ketika seorang dokter sekaligus ahli biokimia dari Inggris, Sir Archibald E. Garrod, mengajukan konsep satu gen mutan satu hambatan metabolisme. Garrod mempelajari sejumlah penyakit metabolik bawaan pada manusia dan menyimpulkan bahwa setiap gangguan metabolisme bawaan yang menimbulkan penyakit tertentu, misalnya alkaptonuria, disebabkan oleh satu gen mutan resesif. Sekitar 50 tahun kemudian dua orang peneliti, G. W. Beadle dan E.L. Tatum, mempelajari mutasi gen pada jamur Neurospora crassa dengan menumbuhkan berbagai strain mutan hasil iradiasi menggunakan sinar X atau sinar ultraviolet pada medium lengkap dan medium minimal. Medium minimal adalah medium untuk pertumbuhan mikroorganisme yang hanya mengandung garam-garam anorganik, sebuah gula sederhana, dan satu macam vitamin. Mutan yang digunakan adalah mutan dengan hanya satu kelainan, yang untuk mendapatkannya dilakukan silang balik dengan strain tipe liar. Mutan hasil silang balik dengan nisbah keturunan tipe liar : mutan = 1 : 1 dipastikan sebagai mutan dengan hanya satu kelainan (mutasi). Strain tipe liar, sebagai kontrol, mampu tumbuh baik pada medium lengkap maupun pada medium minimal, sedangkan strain mutan hanya mampu tumbuh pada medium lengkap. Strain-strain mutan ini kemudian dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui macam faktor pertumbuhan yang diperlukannya dengan cara melakukan variasi penambahannya ke dalam medium minimal. Sebagai contoh, mutan yang hanya tumbuh pada medium minimal yang ditambah dengan tiamin adalah mutan yang mengalami mutasi pada gen untuk biosintesis tiamin. Dengan cara seperti ini Beadle dan Tatum memperlihatkan bahwa tiap mutasi menyebabkan kebutuhan akan pemberian satu macam faktor pertumbuhan. Selanjutnya, dengan mengorelasikan hasil analisis genetik dengan hasil analisis biokimia terhadap strainstrain mutan Neurospora tersebut dapat diketahui bahwa tiap mutasi menyebabkan hilangnya satu aktivitas enzim. Maka, konsep satu gen mutan satu hambatan metabolisme bergeser menjadi satu gen satu enzim. Dalam perkembangan berikutnya, setelah diketahui bahwa sebagian besar enzim tersusun dari beberapa polipetida, dan masing-masing polipeptida merupakan produk gen yang berbeda, maka konsep terbaru tentang gen yang dianut hingga kini adalah satu gen satu polipeptida. Sebagai contoh, enzim triptofan sintetase pada Escherichia coli terdiri atas dua buah polipeptida, yaitu polipeptida dan polipeptida . Polipeptida merupakan produk gen trpA, sedangkan polipeptida merupakan produk gen trpB.

sinarX atau sinar uv

spora seksual konidia tipe liar silang balik medium lengkap medium minimal

riboflavin piridoksin tiamin asam pantotenat kholin asam folat asam nukleat

niasin

inositol

Gambar 10.2. Diagram percobaan yang memperlihatkan satu gen satu enzim Transkripsi Tahap pertama ekspresi gen adalah transkripsi atau sintesis molekul RNA dari DNA (gen). Sintesis RNA mempunyai ciri-ciri kimiawi yang serupa dengan sintesis DNA, yaitu 1. Adanya sumber basa nitrogen berupa nukleosida trifosfat. Bedanya dengan sumber basa untuk DNA hanyalah pada molekul gula pentosanya yang tidak berupa deoksiribosa tetapi ribosa dan tidak adanya basa timin tetapi tetapi digantikan oleh urasil. Jadi, keempat nukleosida trifosfat yang diperlukan adalah adenosin trifosfat (ATP), guanosin trifosfat (GTP), sitidin trifosfat (CTP), dan uridin trifosfat (UTP). 2. Adanya molekul cetakan berupa untai DNA. Dalam hal ini hanya salah satu di antara kedua untai DNA yang akan berfungsi sebagai cetakan bagi sintesis molekul RNA. Untai DNA ini mempunyai urutan basa yang komplementer dengan urutan basa RNA hasil transkripsinya, dan disebut sebagai pita antisens. Sementara itu, untai DNA pasangannya, yang mempunyai urutan basa sama dengan urutan basa RNA, disebut sebagai pita sens. Meskipun demikian, sebenarnya transkripsi pada umumnya tidak terjadi pada urutan basa di sepanjang salah satu untai DNA. Jadi, bisa saja urutan basa yang ditranskripsi terdapat berselang-seling di antara kedua untai DNA. 3. Sintesis berlangsung dengan arah 5 3 seperti halnya arah sintesis DNA. 4. Gugus 3- OH pada suatu nukleotida bereaksi dengan gugus 5- trifosfat pada nukleotida berikutnya menghasilkan ikatan fosofodiester dengan membebaskan dua atom pirofosfat anorganik (PPi). Reaksi ini jelas sama dengan reaksi polimerisasi DNA. Hanya saja enzim yang bekerja bukannya DNA polimerase, melainkan RNA polimerase. Perbedaan yang sangat nyata di antara kedua enzim ini terletak pada

kemampuan enzim RNA polimerase untuk melakukan inisiasi sintesis RNA tanpa adanya molekul primer. Tahap-tahap transkripsi Transkripsi berlangsung dalam empat tahap, yaitu pengenalan promoter, inisiasi, elongasi, dan teminasi. Masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut. 1. Enzim RNA polimerase mengikat untai DNA cetakan pada suatu daerah yang mempunyai urutan basa tertentu sepanjang 20 hingga 200 basa. Daerah ini dinamakan promoter. Baik pada prokariot maupun eukariot, promoter selalu membawa suatu urutan basa yang tetap atau hampir tetap sehingga urutan ini dikatakan sebagai urutan konsensus. Pada prokariot urutan konsensusnya adalah TATAAT dan disebut kotak Pribnow, sedangkan pada eukariot urutan konsensusnya adalah TATAAAT dan disebut kotak TATA. Urutan konsensus akan menunjukkan kepada RNA polimerase tempat dimulainya sintesis. Kekuatan pengikatan RNA polimerase oleh promoter yang berbeda sangat bervariasi. Hal ini mengakibatkan perbedaan kekuatan ekspresi gen. 2. Setelah mengalami pengikatan oleh promoter, RNA polimerase akan terikat pada suatu tempat di dekat daerah promoter, yang dinamakan tempat awal polimerisasi. Nukleosida trifosfat pertama akan diletakkan di tempat ini dan sintesis RNA pun segera dimulai. 3. Selama sintesis RNA berlangsung RNA polimerase bergerak di sepanjang molekul DNA cetakan sambil menambahkan nukleotida demi nukleotida kepada untai RNA yang sedang diperpanjang. 4. Molekul RNA yang baru saja selesai disintesis, dan juga enzim RNA polimerase, segera terlepas dari untai DNA cetakan begitu enzim tersebut mencapai urutan basa pengakhir (terminasi). Terminasi dapat terjadi oleh dua macam sebab, yaitu terminasi yang hanya bergantung kepada urutan basa cetakan (disebut terminasi diri) dan terminasi yang memerlukan kehadiran suatu protein khusus (protein rho). Di antara keduanya terminasi diri lebih umum dijumpai. Terminasi diri terjadi pada urutan basa palindrom yang diikuti oleh beberapa adenin (A). Urutan palindrom adalah urutan yang sama jika dibaca dari dua arah yang berlawanan. Oleh karena urutan palindom ini biasanya diselingi oleh beberapa basa tertentu, maka molekul RNA yang dihasilkan akan mempunyai ujung terminasi berbentuk batang dan kala (loop) seperti pada Gambar 10.3. urutan penyela 5 ATTAAAGGCTCCTTTTGGAGCCTTTTTTTT T A A T T T C C G A G GA AA A C C T C G G A A AAA A AA 3 5 3 DNA

transkripsi

U U U C C U C G G A A 5 A U U G G A G C C U U A U 3 RNA U

U U U U U

Gambar 10.3 Terminasi sintesis RNA menghasilkan ujung berbentuk batang dan kala Inisiasi transkripsi tidak harus menunggu selesainya transkripsi sebelumnya. Hal ini karena begitu RNA polimerase telah melakukan pemanjangan 50 hingga 60 nukleotida, promoter dapat mengikat RNA polimerase yang lain. Pada gen-gen yang ditranskripsi dengan cepat reinisiasi transkripsi dapat terjadi berulang-ulang sehingga gen tersebut akan terselubungi oleh sejumlah molekul RNA dengan tingkat penyelesaian yang berbeda-beda. Secara umum mekanisme transkripsi pada prokariot dan eukariot hampir sama. Hanya saja, pada prokariot produk langsung transkripsi atau transkrip primernya adalah mRNA (akan dijelaskan di bawah), sedangkan pada eukariot transkrip primernya harus mengalami prosesing RNA terlebih dahulu sebelum menjadi mRNA. Prosesing RNA ini mencakup dua peristiwa, yaitu modifikasi kedua ujung transkrip primer dan pembuangan urutan basa pada transkrip primer yang tidak akan ditranslasi (disebut intron). Ujung 5 dimodifikasi dengan penambahan guanosin dalam ikatan 5-5 yang tidak umum hingga terbentuk suatu gugus terminal yang dinamakan cap, sedangkan ujung 3 dimodifikasi dengan urutan poliadenosin (poli A) sepanjang lebih kurang 200 basa. Sementara itu, panjang intron yang harus dibuang dapat mencapai 50% hingga 90% dari panjang transkrip primer, tetapi segmen yang mengandung ujung 5 (gugus cap) tidak pernah dibuang. Setelah intron dibuang, segmensegmen sisanya (disebut ekson) segera digabungkan menjadi mRNA. Pembuangan intron dan

penggabungan ekson menjadi molekul mRNA dinamakan penyatuan RNA atau RNA splicing. Macam-macam RNA Transkripsi DNA menghasilkan molekul RNA yang kemudian akan mengalami diferensiasi struktur sesuai dengan fungsinya masing-masing. Kita mengenal tiga macam RNA, yaitu 1. RNA duta atau messenger RNA (mRNA), yang mempunyai struktur linier kecuali bagian ujung terminasinya yang berbentuk batang dan kala (Gambar 10.3). Molekul mRNA membawa urutan basa yang sebagian di antaranya akan ditranslasi menjadi urutan asam amino. Urutan basa yang dinamakan urutan penyandi (coding sequences) ini dibaca tiga demi tiga. Artinya, tiap tiga basa akan menyandi pembentukan satu asam amino sehingga tiap tiga basa ini dinamakan triplet kodon. Daftar triplet kodon beserta asam amino yang disandinya dapat dilihat pada Tabel 10.1. Pada prokariot bagian mRNA yang tidak ditranslasi terletak di depan urutan penyandi (disebut pengarah atau leader) dan di antara dua urutan penyandi (disebut spacer sequences atau noncoding sequences). Sementara itu, pada eukariot di samping kedua bagian tadi ada juga bagian di dalam urutan penyandi yang tidak ditranslasi. Bagian inilah yang dinamakan intron seperti telah dijelaskan di atas. Molekul mRNA pada prokariot sering kali membawa sejumlah urutan penyandi bagi beberapa polipeptida yang berbeda. Molekul mRNA seperti ini dinamakan mRNA polisistronik. Dengan adanya mRNA polisistronik, sintesis beberapa protein yang masih terkait satu sama lain dapat diatur dengan lebih efisien karena hanya dibutuhkan satu sinyal. Pada eukariot hampir tidak pernah dijumpai mRNA polisistronik. 2. RNA pemindah atau transfer RNA (tRNA), yang strukturnya mengalami modifikasi hingga berbentuk seperti daun semanggi. Seperti halnya struktur ujung terminasi mRNA, struktur seperti daun semanggi ini terjadi karena adanya urutan palindrom yang diselingi oleh beberapa basa (Gambar 10.4). Pada salah satu kalanya, tRNA membawa tiga buah basa yang komplemeter dengan triplet kodon pada mRNA. Ketiga basa ini dinamakan antikodon. Sementara itu, pada ujung 3-nya terdapat tempat pengikatan asam amino tertentu. Pengikatan yang membentuk molekul aminoasil-tRNA ini terjadi dengan bantuan enzim aminoasil-tRNA sintetase. Dalam hal ini gugus hidroksil (OH) pada ujung 3 tRNA terikat sangat kuat dengan gugus karboksil (COOH) asam amino. Macam asam amino yang dibawa ditentukan oleh urutan basa pada antikodon. Jadi, ada beberapa macam aminoasil-tRNA sesuai dengan antikodon dan macam asam amino yang dibawanya. antikodon

3 (tempat pengikatan asam amino) Gambar 10.4. Diagram struktur tRNA

3. RNA ribosomal atau ribosomal RNA (rRNA), yang strukturnya merupakan bagian struktur ribosom. Lebih kurang separuh struktur kimia ribosom berupa rRNA dan separuh lainnya berupa protein. Molekul rRNA, dan juga tRNA, dapat dikatakan sebagai RNA struktural dan tidak ditranslasi menjadi asam amino/protein. Akan tetapi, mereka adalah bagian mesin sel yang menyintesis protein (lihat uraian tentang translasi di bawah ini). Translasi Bila dibandingkan dengan transkripsi, translasi merupakan proses yang lebih rumit karena melibatkan fungsi berbagai makromolekul. Oleh karena kebanyakan di antara makromolekul ini terdapat dalam jumlah besar di dalam sel, maka sistem translasi menjadi bagian utama mesin metabolisme pada tiap sel. Makromolekul yang harus berperan dalam proses translasi tersebut meliputi 1. Lebih dari 50 polipeptida serta 3 hingga 5 molekul RNA di dalam tiap ribosom 2. Sekurang-kurangnya 20 macam enzim aminoasil-tRNA sintetase yang akan mengaktifkan asam amino 3. Empat puluh hingga 60 molekul tRNA yang berbeda 4. Sedikitnya 9 protein terlarut yang terlibat dalam inisiasi, elongasi, dan terminasi polipeptida. Translasi, atau pada hakekatnya sintesis protein, berlangsung di dalam ribosom, suatu struktur organel yang banyak terdapat di dalam sitoplasma. Ribosom terdiri atas dua subunit, besar dan kecil, yang akan menyatu selama inisiasi translasi dan terpisah ketika translasi telah selesai. Ukuran ribosom sering dinyatakan atas dasar laju pengendapannya selama sentrifugasi sebagai satuan yang disebut satuan Svedberg (S). Pada kebanyakan prokariot ribosom mempunyai ukuran 70S, sedangkan pada eukariot biasanya sekitar 80S. Tiap ribosom mempunyai dua tempat pengikatan tRNA, yang masing-masing dinamakan tapak aminoasil (tapak A) dan tapak peptidil (tapak P). Molekul aminoasil-tRNA yang baru memasuki ribosom akan terikat di tapak A, sedangkan molekul tRNA yang membawa rantai polipeptida yang sedang diperpanjang terikat di tapak P. Gambaran penting sintesis protein adalah bahwa proses ini berlangsung dengan arah tertentu sebagai berikut. 1. Molekul mRNA ditranslasi dengan arah 5 3, tetapi tidak dari ujung 5 hingga ujung 3. 2. Polipeptida disintesis dari ujung amino ke ujung karboksil dengan menambahkan asam-asam amino satu demi satu ke ujung karboksil. Sebagai contoh, sintesis protein yang mempunyai urutan NH2-Met-Pro- . . . -Gly-Ser-COOH pasti dimulai dengan metionin dan diakhiri dengan serin. Mekanisme sintesis protein secara skema garis besar dapat dilihat pada Gambar 10.5. Sebuah molekul mRNA akan terikat pada permukaan ribosom yang kedua subunitnya telah bergabung. Pengikatan ini terjadi karena pada mRNA prokariot terdapat urutan basa tertentu yang disebut sebagai tempat pengikatan ribosom (ribosom binding site) atau urutan Shine-Dalgarno. Sementara itu, pada eukariot pengikatan ribosom dilakukan oleh ujung 5 mRNA. Selanjutnya, berbagai aminoasil-tRNA akan berdatangan satu demi satu ke kompleks ribosom-mRNA ini dengan urutan sesuai dengan antikodon dan asam amino yang dibawanya.

Urutan ini ditentukan oleh urutan triplet kodon pada mRNA. Ikatan peptida terbentuk di antara asam-asam amino yang terangkai menjadi rantai polipeptida di tapak P ribosom. Penggabungan asam-asam amino terjadi karena gugus amino pada asam amino yang baru masuk berikatan dengan gugus karboksil pada asam amino yang terdapat pada rantai polipeptida yang sedang diperpanjang. Penjelasan tentang mekanisme sintesis protein yang lebih rinci disertai contoh, khususnya pada prokariot, akan diberikan di bawah ini. arah gerakan ribosom

ribosom AUC UAG ACC UGG

aa 5

aa CUG GGG 3 mRNA

GAC COOH aa tRNA aa NH2 aa NH2 COOH aminoasil-tRNA

ikatan peptida Gambar 10.5. Skema garis besar sintesis protein Inisiasi sintesis protein dilakukan oleh aminoasil-tRNA khusus, yaitu tRNA yang membawa metionin (dilambangkan sebagai metionil-tRNAiMet). Hal ini berarti bahwa sintesis semua polipeptida selalu dimulai dengan metionin. Khusus pada prokariot akan terjadi formilasi

gugus amino pada metionil-tRNAiMet (dilambangkan sebagai metionil-tRNAfMet) yang mencegah terbentuknya ikatan peptida antara gugus amin tersebut dengan gugus karboksil asam amino pada ujung polipetida yang sedang diperpanjang sehingga asam amino awal pada polipeptida prokariot selalu berupa f-metionin. Pada eukariot metionil-tRNAiMet tidak mengalami formilasi gugus amin, tetapi molekul ini akan bereaksi dengan protein-protein tertentu yang berfungsi sebagai faktor inisiasi (IF-1, IF-2, dan IF-3). Selain itu, baik pada prokariot maupun eukariot, terdapat pula metionil-tRNA yang metioninnya bukan merupakan asam amino awal (dilambangkan sebagai metionil-tRNAMet). Kompleks inisiasi pada prokariot terbentuk antara mRNA, metionil-tRNAfMet, dan subunit kecil ribosom (30S) dengan bantuan protein IF-1, IF-2, dan IF-3, serta sebuah molekul GTP. Pembentukan kompleks inisiasi ini diduga difasilitasi oleh perpasangan basa antara suatu urutan di dekat ujung 3 rRNA berukuran 16S dan sebagian urutan pengarah (leader sequence) pada mRNA. Selanjutnya, kompleks inisiasi bergabung dengan subunit besar ribosom (50S), dan metionil-tRNAfMet terikat pada tapak P. Berpasangannya triplet kodon inisiasi pada mRNA dengan antikodon pada metionil-tRNAfMet di tapak P menentukan urutan triplet kodon dan aminoasil-tRNAfMet berikutnya yang akan masuk ke tapak A. Pengikatan aminoasil-tRNAfMet berikutnya, misalnya alanil- tRNAala, ke tapak A memerlukan proteinprotein elongasi EF-Ts dan EF-Tu. Pembentukan ikatan peptida antara gugus karboksil pada metionil-tRNAfMet di tapak P dan gugus amino pada alanil-tRNAala di tapak A dikatalisis oleh enzim peptidil transferase, suatu enzim yang terikat pada subunit ribosom 50S. Reaksi ini menghasilkan dipeptida yang terdiri atas f-metionin dan alanin yang terikat pada tRNAala di tapak A. Langkah berikutnya adalah translokasi, yang melibatkan (1) perpindahan f-met-ala- tRNAala dari tapak A ke tapak P dan (2) pergeseran posisi mRNA pada ribosom sepanjang tiga basa sehingga triplet kodon yang semula berada di tapak A masuk ke tapak P. Dalam contoh ini triplet kodon yang bergeser dari tapak A ke P tersebut adalah triplet kodon untuk alanin. Triplet kodon berikutnya, misalnya penyandi serin, akan masuk ke tapak A dan proses seperti di atas hingga translokasi akan terulang kembali. Translokasi memerlukan aktivitas faktor elongasi berupa enzim yang biasa dilambangkan dengan EF-G. Pemanjangan atau elongasi rantai polipeptida akan terus berlangsung hingga suatu tripet kodon yang menyandi terminasi memasuki tapak A. Sebelum suatu rantai polipeptida selesai disintesis terlebih dahulu terjadi deformilisasi pada f-metionin menjadi metionin. Terminasi ditandai oleh terlepasnya mRNA, tRNA di tapak P, dan rantai polipeptida dari ribosom. Selain itu, kedua subunit ribosom pun memisah. Pada terminasi diperlukan aktivitas dua protein yang berperan sebagai faktor pelepas atau releasing factors, yaitu RF-1 dan RF-2. Sesungguhnya setiap mRNA tidak hanya ditranslasi oleh sebuah ribosom. Pada umumnya sebuah mRNA akan ditranslasi secara serempak oleh beberapa ribosom yang satu sama lain berjarak sekitar 90 basa di sepanjang molekul mRNA. Kompleks translasi yang terdiri atas sebuah mRNA dan beberapa ribosom ini dinamakan poliribosom atau polisom. Besarnya polisom sangat bervariasi dan berkorelasi dengan ukuran polipeptida yang akan disintesis. Sebagai contoh, rantai hemoglobin yang tersusun dari sekitar 150 asam amino disintesis oleh polisom yang terdiri atas lima buah ribosom (pentaribosom). Pada prokariot translasi seringkali dimulai sebelum transkripsi berakhir. Hal ini dimungkinkan terjadi karena tidak adanya dinding nukleus yang memisahkan antara transkripsi dan translasi. Dengan berlangsungnya kedua proses tersebut secara bersamaan,

ekspresi gen menjadi sangat cepat dan mekanisme nyala-padam (turn on-turn off) ekspresi gen, seperti yang akan dijelaskan nanti, juga menjadi sangat efisien. Namun, tidak demikian halnya pada eukariot. Transkripsi terjadi di dalam nukleus, sedangkan translasi terjadi di sitoplasma (ribosom). Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mRNA hasil transkripsi dipindahkan dari nukleus ke sitoplasma, faktor-faktor apa yang menentukan saat dan tempat translasi? Sayangnya, hingga kini kita belum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan memuaskan. Kita baru mengetahui bahwa transkripsi dan translasi pada eukariot jauh lebih rumit daripada proses yang ada pada prokariot. Salah satu di antaranya seperti telah kita bicarakan di atas, yaitu bahwa mRNA hasil transkripsi (transkrip primer) pada eukariot memerlukan prosesing terlebih dahulu sebelum dapat ditranslasi. Kode genetik Penetapan triplet kodon pada mRNA sebagai pembawa informasi genetik atau kode genetik yang akan menyandi pembentukan suatu asam amino tertentu berawal dari pemikiran bahwa macam basa nitrogen jauh lebih sedikit daripada macam asam amino. Basa nitrogen pada mRNA hanya ada empat macam, sedangkan asam amino ada 20 macam. Oleh karena itu, jelas tidak mungkin tiap asam amino disandi oleh satu basa. Begitu juga, kombinasi dua basa hanya akan menghasilkan 42 atau 16 macam duplet, masih lebih sedikit daripada macam amino yang ada. Kombinasi tiga basa akan menghasilkan 43 atau 64 triplet, melebihi jumlah macam asam amino. Dalam hal ini, satu macam asam amino dapat disandi oleh lebih dari satu macam triplet kodon. Tabel 10.1. Kode genetik Basa I (5) Basa II U Phe Phe Leu Leu Leu Leu Leu Leu ILe Ile ILe Met Val Val Val Val C Ser Ser Ser Ser Pro Pro Pro Pro Thr Thr Thr Thr Ala Ala Ala Ala A Tyr Tyr Stop Stop His His Gln Gln Asn Asn Lys Lys Asp Asp Glu Glu G Cys Cys Stop Trp Arg Arg Arg Arg Ser Ser Arg Arg Gly Gly Gly Gly U C A G U C A G U C A G U C A G Basa III (3)

Keterangan : phe = fenilalanin leu = leusin ile = isoleusin met = metionin val = valin ser = serin pro = prolin thr = treonin ala = alanin tyr = tirosin his = histidin gln = glutamin asn = asparagin lys = lisin asp = asam aspartat glu = asam glutamat cys = sistein trp = triptofan arg = arginin gly = glisin

AUG (kodon metionin) dapat menjadi kodon awal (start codon) stop = kodon stop (stop codon)

Bukti bahwa kode genetik berupa triplet kodon diperoleh dari hasil penelitian F.H.C. Crick dan kawan-kawannya yang mempelajari mutasi pada lokus rIIB bakteriofag T4. Mutasi tersebut diinduksi oleh proflavin, suatu molekul yang dapat menyisip di sela-sela pasangan basa nitrogen sehingga kesalahan replikasi DNA dapat terjadi sewaktu-waktu, menghasilkan DNA yang kelebihan atau kekurangan satu pasangan basa. Hal ini akan menyebabkan perubahan rangka baca (reading frame), yaitu urutan pembacaan basa-basa nitrogen untuk diterjemahkan menjadi urutan asam amino tertentu. Mutasi yang disebabkan oleh perubahan rangka baca akibat kelebihan atau kekurangan pasangan basa disebut sebagai mutasi rangka baca (frameshift mutation) (lihat Bab XI). Jika mutan (hasil mutasi) rangka baca yang diinduksi oleh proflavin ditumbuhkan pada medium yang mengandung proflavin, akan diperoleh beberapa fag tipe liar sehingga mutasi seolah-olah dapat dipulihkan atau terjadi mutasi balik (reverse mutation). Pada awalnya mutasi balik diduga karena kelebihan pasangan basa dibuang dari rangka baca yang salah sehingga rangka baca tersebut telah diperbaiki menjadi seperti semula. Namun, karena mutasi bersifat acak, maka mekanisme semacam itu kecil sekali kemungkinannya untuk terjadi dan dugaan tersebut nampaknya tidak benar. Crick dan kawan-kawannya menjelaskan bahwa mutasi balik disebabkan oleh hilangnya (delesi) satu pasangan basa lain yang letaknya tidak terlalu jauh dari pasangan basa yang menyisip (adisi). Rangka baca yang baru ini akan menghasilkan urutan asam amino yang masih sama fungsinya dengan urutan sebelum terjadi mutasi. Dengan perkataan lain, mutasi balik terjadi karena efek mutasi awal akibat penambahan basa ditekan oleh mutasi kedua akibat pengurangan basa sehingga mutasi yang kedua ini disebut juga sebagai mutasi penekan (suppressor mutation). Protein rIIB pada T4 mempunyai bagian-bagian yang di dalamnya dapat terjadi perubahan urutan asam amino. Perubahan ini dapat berpengaruh atau tidak berpengaruh terhadap fungsi proteinnya. Jika dua strain mutan T4 yang satu sama lain mengalami mutasi berbeda di dalam bagian protein rIIB disilangkan melalui infeksi campuran pada suatu inang, maka T4 tipe liar akan diperoleh sebagai hasil rekombinasi genetik antara kedua tempat mutasi yang berbeda itu. Akan tetapi, ketika kedua strain mutan rIIB yang disilangkan merupakan strain-strain yang diseleksi secara acak (tidak harus mengalami mutasi yang berbeda), ternyata tidak selalu diperoleh tipe liar. Hasil ini menunjukkan bahwa strain-strain mutan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu strain + dan strain -. Dalam hal ini, strain + tidak harus selalu mutan adisi, dan strain tidak harus selalu mutan delesi. Namun, sekali kita menggunakan tanda + untuk mutan adisi berarti strain + adalah mutan adisi. Begitu pula sebaliknya, sekali kita gunakan tanda + untuk mutan delesi berarti strain + adalah mutan delesi.

Persilangan antara strain + dan strain hanya menghasilkan rekombinasi berupa fenotipe tipe liar, sedangkan persilangan antara sesama + atau sesama tidak pernah menghasilkan tipe liar. Hal ini karena persilangan sesama + atau sesama akan menyebabkan adisi atau delesi ganda sehingga selalu menghasilkan fenotipe mutan. Sementara itu, persilangan antara starin + dan akan menyebabkan terjadinya mutasi penekan (adisi ditekan oleh delesi atau delesi ditekan oleh adisi) atau hanya menghasilkan mutasi pada urutan asam amino yang tidak berpengaruh terhadap fungsi protein sehingga diperoleh fenotipe tipe liar. AUG UUU CCC AAA GGG UUU . . . . . . CCC UAG met phe pro lys gly phe pro stop mRNA tipe liar

penambahan pasangan basa A=T (mutasi rangka baca I)

AUG AUU UCC CAA AGG GUU U . . . . . CCU AG . . . mRNA mutan met ile ser gln arg val leu

pengurangan pasangan basa G = G(mutasi rangka baca II)

AUG AUU UCC AAA GGG UUU . . . . . . CCC UAG met ile ser lys gly phe pro stop

mRNA tipe liar

urutan asam

urutan asam amino tipe liar

amino yang berubah Gambar 10.6. Mutasi penekan yang memulihkan rangka baca Oleh karena persilangan sesama + atau sesama tidak pernah menghasilkan tipe liar, kode genetik jelas tidak mungkin terdiri atas dua basa. Seandainya, kode genetik berupa duplet, maka akan terjadi pemulihan rangka baca hasil persilangan tersebut. Kenyataannya tidak demikian. Pemulihan rangka baca akibat mutasi penekan justru terjadi apabila persilangan dilakukan antara strain + dan strain -. Apabila kode genetik berupa triplet, maka persilangan teoretis sesama + atau sesama akan menghasilkan fenotipe mutan, sesuai dengan hasil kenyataannya. Namun, rekombinasi antara tiga + atau tiga akan menghasilkan tipe liar. Hal ini memperlihatkan bahwa kode genetik terdiri atas tiga basa.

urutan yang bila berubah tidak berpengaruh

urutan yang bila berubah berpengaruh

tipe liar AB CD EF GH IJ KL protein tipe liar +1 AB C1 DE FG HI JK +2 AB CD E2 FG HI JK -1 AB DE FG HI JK LM -2 AB CD FG HI JK LM +1 x +2 AB C1 DE 2F GH IJ KL liar -1 x -2 AB CD EF GH IJ KL liar +1 x -1 AB C1 DE FG HI JK mutan

MN OP QR ST UV WX

LM NO PQ RS TU VW X protein mutan LM NO PQ RS TU VW X protein mutan NO PQ RS TU VW X NO PQ RS TU VW X MN OP QR ST UV WX protein mutan protein mutan protein tipe

MN OP QR ST UV WX

protein tipe

LM NO PQ RS TU VW X

protein

a)

urutan yang bila berubah tidak berpengaruh

urutan yang bila berubah berpengaruh

tipe liar ABC DEF GHI JKL protein tipe liar +1 AB1 CDE FGH IJK +2 ABC DE2 FGH IJK +3 ABC DEF GHI J3K +1 x +2 AB1 CDE 2FG HIJ mutan +1 x +2 x +3 AB1 protein tipe liar CDE 2FG HIJ 3KL

MNO PQR STU VWX

LMN OPQ RST UVW X LMN OPQ RST UVW X LMN OPQ RST UVW X

protein mutan protein mutan protein mutan protein

KLM NOP QRS TUV WX

MNO PQR STU VWX

b) Gambar 10.7. Diagram persilangan mutan rIIB pada T4 yang memperlihatkan bahwa kode genetik berupa triplet kodon a) Jika kode genetik berupa duplet, hasil persilangan teoretis tidak sesuai dengan kenyataan yang diperoleh. b) Jika kode genetik berupa triplet, hasil persilangan teoretis sesuai dengan kenyataan yang diperoleh. Sifat-sifat kode genetik Kode genetik mempunyai sifat-sifat yang akan dijelaskan sebagai berikut. 1. Kode genetik bersifat universal. Artinya, kode genetik berlaku sama hampir di setiap spesies organisme. 2. Kode genetik bersifat degenerate atau redundant, yaitu bahwa satu macam asam amino dapat disandi oleh lebih dari satu triplet kodon. Sebagai contoh, treonin dapat disandi oleh ACU, ACC, ACA, dan ACG. Sifat ini erat kaitannya dengan sifat wobble basa ketiga, yang artinya bahwa basa ketiga dapat berubah-ubah tanpa selalu disertai perubahan macam asam amino yang disandinya. Diketahuinya sifat wobble bermula dari penemuan basa inosin (I) sebagai basa pertama pada antikodon tRNAala ragi, yang ternyata dapat berpasangan dengan basa A, U, atau pun C. Dengan demikian, satu antikodon pada tRNA dapat mengenali lebih dari satu macam kodon pada mRNA. 3. Oleh karena tiap kodon terdiri atas tiga buah basa, maka tiap urutan basa mRNA, atau berarti juga DNA, mempunyai tiga rangka baca yang berbeda (open reading frame). Di samping itu, di dalam suatu segmen tertentu pada DNA dapat terjadi transkripsi dan translasi urutan basa dengan panjang yang berbeda. Dengan perkataan lain, suatu segmen DNA dapat terdiri atas lebih dari sebuah gen yang saling tumpang tindih (overlapping). Sebagai contoh, bakteriofag X174 mempunyai sebuah untai tunggal DNA yang panjangnya lebih kurang hanya 5000 basa. Seandainya dari urutan basa ini hanya digunakan sebuah rangka baca, maka akan terdapat sekitar 1700 asam amino yang dapat disintesis. Kemudian, jika sebuah molekul protein rata-rata tersusun dari 400 asam amino, maka dari sekitar 1700 asam amino tersebut hanya akan terbentuk 4 hingga 5 buah molekul protein. Padahal kenyataannya, bakteriofag X174 mempunyai 11 protein yang secara keseluruhan terdiri atas 2300 asam amino. Dengan demikian, jelaslah bahwa dari urutan basa DNA yang ada tidak hanya digunakan sebuah rangka baca, dan urutan basa yang diekspresikan (gen) dapat tumpang tindih satu sama lain. Pengaturan Ekspresi Gen Produk-produk gen tertentu seperti protein ribosomal, rRNA, tRNA, RNA polimerase, dan enzim-enzim yang mengatalisis berbagai reaksi metabolisme yang berkaitan dengan fungsi pemeliharaan sel merupakan komponen esensial bagi semua sel. Gen-gen yang menyandi

pembentukan produk semacam itu perlu diekspresikan terus-menerus sepanjang umur individu di hampir semua jenis sel tanpa bergantung kepada kondisi lingkungan di sekitarnya. Sementara itu, banyak pula gen lainnya yang ekspresinya sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan sehingga mereka hanya akan diekspresikan pada waktu dan di dalam jenis sel tertentu. Untuk gen-gen semacam ini harus ada mekanisme pengaturan ekspresinya. Pengaturan ekspresi gen dapat terjadi pada berbagai tahap, misalnya transkripsi, prosesing mRNA, atau translasi. Namun, sejumlah data hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan ekspresi gen, khususnya pada prokariot, paling banyak terjadi pada tahap transkripsi. Mekanisme pengaturan transkripsi, baik pada prokariot maupun pada eukariot, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kategori utama, yaitu (1) mekanisme yang melibatkan penyalapadaman (turn on and turn off) ekspresi gen sebagai respon terhadap perubahan kondisi lingkungan dan (2) sirkit ekspresi gen yang telah terprogram (preprogramed circuits). Mekanisme penyalapadaman sangat penting bagi mikroorganisme untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan yang seringkali terjadi secara tiba-tiba. Sebaliknya, bagi eukariot mekanisme ini nampaknya tidak terlalu penting karena pada organisme ini sel justru cenderung merespon sinyal-sinyal yang datang dari dalam tubuh, dan di sisi lain, sistem sirkulasi akan menjadi penyangga bagi sel terhadap perubahan kondisi lingkungan yang mendadak tersebut. Pada mekanisme sirkit, produk suatu gen akan menekan transkripsi gen itu sendiri dan sekaligus memacu transkripsi gen kedua, produk gen kedua akan menekan transkripsi gen kedua dan memacu transkripsi gen ketiga, demikian seterusnya. Ekspresi gen yang berurutan ini telah terprogram secara genetik sehingga gen-gen tersebut tidak akan dapat diekspresikan di luar urutan. Oleh karena urutan ekspresinya berupa sirkit, maka mekanisme tersebut dinamakan sirkit ekspresi gen. Induksi dan represi pada prokariot Escherichia coli merupakan bakteri yang sering dijadikan model untuk mempelajari berbagai mekanisme genetika molekuler. Bakteri ini secara alami hidup di dalam usus besar manusia dengan memanfaatkan sumber karbon yang umumnya berupa glukosa. Apabila suatu ketika E. coli ditumbuhkan pada medium yang sumber karbonnya bukan glukosa melainkan laktosa, maka enzim pemecah laktosa akan disintesis, sesuatu yang tidak biasa dilakukannya. Untuk itu, gen-gen penyandi berbagai enzim yang terlibat dalam pemanfaatan laktosa akan diekspresikan (turned on). Sebaliknya, dalam keadaan normal, yaitu ketika tersedia glukosa sebagai sumber karbon, maka gen-gen tersebut tidak diekspresikan (turned off). Proses yang terjadi ketika ekspresi gen merupakan respon terhadap keberadaan suatu zat di lingkungannya dikenal sebagai induksi, sedangkan zat atau molekul yang menyebabkan terjadinya induksi disebut sebagai induser. Jadi, dalam contoh ini laktosa merupakan induser. Induksi secara molekuler terjadi pada tingkat transkripsi. Peristiwa ini berkenaan dengan laju sintesis enzim, bukan dengan aktivitas enzim. Pada pengaktifan enzim suatu molekul kecil akan terikat pada enzim sehingga akan terjadi peningkatan aktivitas enzim tersebut, bukan peningkatan laju sintesisnya. Selain mempunyai kemampuan untuk memecah suatu molekul (katabolisme), bakteri juga dapat menyintesis (anabolisme) berbagai molekul organik yang diperlukan bagi pertumbuhannya. Sebagai contoh, Salmonella typhimurium mempunyai sejumlah gen yang menyandi enzim-enzim untuk biosintesis triptofan. Dalam medium pertumbuhan yang tidak

mengandung triptofan, S. typhimurium akan mengekspresikan (turned on) gen-gen tersebut. Akan tetapi, jika suatu saat ke dalam medium pertumbuhannya ditambahkan triptofan, maka gen-gen tersebut tidak perlu diekspresikan (turned off). Proses pemadaman (turn off) ekspresi gen sebagai respon terhadap keberadaan suatu zat di lingkungannya dinamakan represi, sedangkan zat yang menyebabkan terjadinya represi disebut sebagai korepresor. Jadi, dalam contoh ini triptofan merupakan korepresor. Seperti halnya induksi, represi juga terjadi pada tahap transkripsi. Represi sering dikacaukan dengan inhibisi umpan balik (feedback inhibition), yaitu penghambatan aktivitas enzim akibat pengikatan produk akhir reaksi yang dikatalisis oleh enzim itu sendiri. Represi tidak menghambat aktivitas enzim, tetapi menekan laju sintesisnya. Model operon Mekanisme molekuler induksi dan represi telah dapat dijelaskan menurut model yang diajukan oleh F. Jacob dan J. Monod pada tahun 1961. Menurut model yang dikenal sebagai operon ini ada dua unsur yang mengatur transkripsi gen struktural penyandi enzim, yaitu gen regulator (gen represor) dan operator yang letaknya berdekatan dengan gen-gen struktural yang diaturnya. Gen regulator menyandi pembentukan suatu protein yang dinamakan represor. Pada kondisi tertentu represor akan berikatan dengan operator, menyebabkan terhalangnya transkripsi gen-gen struktural. Hal ini terjadi karena enzim RNA polimerase tidak dapat memasuki promoter yang letaknya berdekatan, atau bahkan tumpang tindih, dengan operator. Secara keseluruhan setiap operon terdiri atas promoter operon atau promoter bagi gen-gen struktural (PO), operator (O), dan gen-gen struktural (GS). Di luar operon terdapat gen regulator (R) beserta promoternya (PR), molekul protein represor yang dihasilkan oleh gen regulator, dan molekul efektor. Molekul efektor pada induksi adalah induser, sedangkan pada represi adalah korepresor. operon PR R PO O GS1 GS2 GS3

represor a)

efektor (induser atau korepresor)

RNA polimerase induser RNA polimerase berjalan

transkripsi kompleks represor-induser translasi b) RNA polimerase berjalan transkripsi korepresor translasi

kompleks represor-korepresor c) Gambar 10.8. Model operon untuk pengaturan ekspresi gen a) komponen operon b) induksi c) represi

Pada Gambar 10.8 terlihat bahwa terikatnya represor pada operator terjadi dalam keadaan yang berkebalikan antara induksi dan represi. Pada induksi represor secara normal akan berikatan dengan operator sehingga RNA polimerase tidak dapat memasuki promoter operon. Akibatnya, transkripsi gen-gen struktural tidak dapat berlangsung. Namun, dengan terikatnya represor oleh induser, promoter operon menjadi terbuka bagi RNA polimerase sehingga gengen struktural dapat ditranskripsi dan selanjutnya ditranslasi. Dengan demikian, gen-gen struktural akan diekspresikan apabila terdapat molekul induser yang mengikat represor. Operon yang terdiri atas gen-gen yang ekspresinya terinduksi dinamakan operon induksi. Salah satu contohnya adalah operon lac, yang terdiri atas gen-gen penyandi enzim pemecah laktosa seperti telah disebutkan di atas. Sebaliknya, pada represi secara normal represor tidak berikatan dengan operator sehingga RNA polimerase dapat memasuki promoter operon dan transkripsi gen-gen struktural dapat terjadi. Akan tetapi, dengan adanya korepresor, akan terbentuk kompleks represor-korepresor yang kemudian berikatan dengan operator. Dengan pengikatan ini, RNA polimerase tidak dapat memasuki promoter operon sehingga transkripsi gen-gen struktural menjadi terhalang. Jadi, ekspresi gen-gen struktural akan terepresi apabila terdapat molekul korepresor yang berikatan dengan represor.

Gen-gen yang ekspresinya dapat terepresi merupakan komponen operon yang dinamakan operon represi. Operon trp, yang terdiri atas gen-gen penyandi enzim untuk biosintesis triptofan merupakan contoh operon represi. Pengaturan ekspresi gen pada eukariot Hingga sekarang kita baru sedikit sekali mengetahui mekanisme pengaturan ekspresi gen pada eukariot. Namun, kita telah mengetahui bahwa pada eukariot tingkat tinggi gen-gen yang berbeda akan ditranskripsi pada jenis sel yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme pengaturan pada tahap transkripsi, dan juga prosesing mRNA, memegang peran yang sangat penting dalam proses diferensiasi sel. Operon, kalau pun ada, nampaknya tidak begitu penting pada eukariot. Hanya pada eukariot tingkat rendah seperti jamur dapat ditemukan satuan-satuan operon atau mirip operon. Semua mRNA pada eukariot tingkat tinggi adalah monosistronik, yaitu hanya membawa urutan sebuah gen struktural. Transkrip primer yang adakalanya menyerupai polisistronik pun akan diproses menjadi mRNA yang monosistronik. Selain itu, terindikasi juga bahwa diferensiasi sel sedikit banyak melibatkan ekspresi seperangkat gen yang telah terprogram (preprogramed). Berbagai macam sinyal seperti molekul-molekul sitoplasmik, hormon, dan rangsangan dari lingkungan memicu dimulainya pembacaan program-program dengan urutan tertentu pada waktu dan tempat yang tepat selama perkembangan individu. Bukti paling nyata mengenai adanya keharusan urutan pembacaan program pada waktu dan tempat tertentu dapat dilihat pada kasus mutasi yang terjadi pada lalat Drosophila, misalnya munculnya sayap di kepala di tempat yang seharusnya untuk mata. Dengan mempelajari mutasi-mutasi semacam ini diharapkan akan diperoleh pengetahuan tentang mekanisme pengaturan ekspresi gen selama perkembangan normal individu. Pada eukariot tingkat tinggi kurang dari 10 persen gen yang terdapat di dalam seluruh genom akan terepresentasikan urutan basanya di antara populasi mRNA yang telah mengalami prosesing. Sebagai contoh, hanya ada dua hingga lima persen urutan DNA mencit yang akan terepresentasikan pada mRNA di dalam sel-sel hatinya. Demikian pula, mRNA di dalam selsel otak katak Xenopus hanya merepresentasikan delapan persen urutan DNAnya. Jadi, sebagian besar urutan basa DNA di dalam genom eukariot tingkat tinggi tidak terepresentasikan di antara populasi mRNA yang ada di dalam sel atau jaringan tertentu. Dengan perkataan lain, molekul mRNA yang dihasilkan dari perangkat gen yang berbeda akan dijumpai di dalam sel atau jaringan yang berbeda pula. Dosis gen dan amplifikasi gen Kebutuhan akan produk-produk gen pada eukariot dapat sangat bervariasi. Beberapa produk gen dibutuhkan dalam jumlah yang jauh lebih besar daripada produk gen lainnya sehingga terdapat nisbah kebutuhan di antara produk-produk gen yang berbeda. Untuk memenuhi nisbah kebutuhan ini antara lain dapat ditempuh melalui dosis gen. Katakanlah, ada gen A dan gen B yang ditranskripsi dan ditranslasi dengan efisiensi yang sama. Produk gen A dapat 20 kali lebih banyak daripada produk gen B apabila terdapat 20 salinan (kopi) gen A untuk setiap salinan gen B. Contoh yang nyata dapat dilihat pada gen-gen penyandi histon. Untuk menyintesis histon dalam jumlah besar yang dibutuhkan dalam pembentukan kromatin,

kebanyakan sel mempunyai beratus-ratus kali salinan gen histon daripada jumlah salinan gen yang diperlukan untuk replikasi DNA. Salah satu pengaruh dosis gen adalah amplifikasi gen, yaitu peningkatan jumlah gen sebagai respon terhadap sinyal tertentu. Sebagai contoh, amplifikasi gen terjadi selama perkembangan oosit katak Xenopus laevis. Pembentukan oosit dari prekursornya (oogonium) merupakan proses kompleks yang membutuhkan sejumlah besar sintesis protein. Untuk itu dibutuhkan sejumlah besar ribosom. Kita mengetahui bahwa ribosom antara lain terdiri atas molekulmolekul rRNA. Padahal, sel-sel prekursor tidak mempunyai gen penyandi rRNA dalam jumlah yang mencukupi untuk sintesis molekul tersebut dalam waktu yang relatif singkat. Namun, sejalan dengan perkembangan oosit terjadi peningkatan jumlah gen rRNA hingga 4000 kali sehingga dari sebanyak 600 gen yang ada pada prekursor akan diperoleh sekitar dua juta gen setelah amplifikasi. Jika sebelum amplifikasi ke-600 gen rRNA berada di dalam satu segmen DNA linier, maka selama dan setelah amplifikasi gen tersebut akan berada di dalam gulungan-gulungan kecil yang mengalami replikasi. Molekul rRNA tidak diperlukan lagi ketika oosit telah matang hingga saat terjadinya fertilisasi. Oleh karena itu, gen rRNA yang telah begitu banyak disalin kemudian didegradasi kembali oleh berbagai enzim intrasel. Jika waktu yang tersedia untuk melakukan sintesis sejumlah besar protein cukup banyak, amplifikasi gen sebenarnya tidak perlu dilakukan. Cara lain untuk mengatasi kebutuhan protein tersebut adalah dengan meningkatkan masa hidup mRNA (lihat bagian pengaturan translasi). Pengaturan transkripsi Berdasarkan atas banyaknya salinan di dalam tiap sel, molekul mRNA dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) mRNA salinan tunggal (single copy), (2) mRNA semiprevalen dengan jumlah salinan lebih dari satu hingga beberapa ratus per sel, dan (3) mRNA superprevalen dengan jumlah salinan beberapa ratus hingga beberapa ribu per sel. Molekul mRNA salinan tunggal dan semiprevalen masing-masing menyandi enzim dan protein struktural. Sementara itu, mRNA superprevalen biasanya dihasilkan sejalan dengan terjadinya perubahan di dalam suatu tahap perkembangan organisme eukariot. Sebagai contoh, sel-sel eritroblas di dalam sumsum tulang belakang mempunyai sejumlah besar mRNA yang dapat ditranslasi menjadi globin matang. Di sisi lain, hanya sedikit sekali atau bahkan tidak ada globin yang dihasilkan oleh sel-sel prekursor yang belum berkembang menjadi eritroblas. Dengan demikian, kita dapat memastikan adanya suatu mekanisme pengaturan ekspresi gen penyandi mRNA superprevalen pada tahap transkripsi eukariot meskipun hingga kini belum terlalu banyak rincian prosesnya yang dapat diungkapkan. Salah satu regulator yang diketahui berperan dalam transkripsi eukariot adalah hormon, molekul protein kecil yang dibawa dari sel tertentu menuju ke sel target. Mekanisme kerja hormon dalam mengatur transkripsi eukariot lebih kurang dapat disetarakan dengan induksi pada prokariot. Namun, penetrasi hormon ke dalam sel target dan pengangkutannya ke dalam nukleus merupakan proses yang jauh lebih rumit bila dibandingkan dengan induksi oleh laktosa pada E. coli. Secara garis besar pengaturan transkripsi oleh hormon dimulai dengan masuknya hormon ke dalam sel target melewati membran sel, yang kemudian ditangkap oleh reseptor khusus yang terdapat di dalam sitoplasma sehingga terbentuk kompleks hormon-reseptor. Setelah kompleks ini terbentuk biasanya reseptor akan mengalami modifikasi struktur kimia.

Kompleks hormon-reseptor yang termodifikasi kemudian menembus dinding nukleus untuk memasuki nukleus. Proses selanjutnya belum banyak diketahui, tetapi rupanya di dalam nukleus kompleks tersebut, atau mungkin hormonnya saja, akan mengalami salah satu di antara beberapa peristiwa, yaitu (1) pengikatan langsung pada DNA, (2) pengikatan pada suatu protein efektor, (3) aktivasi protein yang terikat DNA, (4) inaktivasi represor, dan (5) perubahan struktur kromatin agar DNA terbuka bagi enzim RNA polimerase. Contoh induksi transkripsi oleh hormon antara lain dapat dilihat pada stimulasi sintesis ovalbumin pada saluran telur (oviduktus) ayam oleh hormon kelamin estrogen. Jika ayam disuntik dengan estrogen, jaringan-jaringan oviduktus akan memberikan respon berupa sintesis mRNA untuk ovalbumin. Sintesis ini akan terus berlanjut selama estrogen diberikan, dan hanya sel-sel oviduktus yang akan menyintesis mRNA tersebut. Hal ini karena sel-sel atau jaringan lainnya tidak mempunyai reseptor hormon estrogen di dalam sitoplasmanya. Pengaturan pada tahap prosesing mRNA Dua jenis sel yang berbeda dapat membuat protein yang sama tetapi dalam jumlah yang berbeda meskipun transkripsi di dalam kedua sel tersebut terjadi pada gen yang sama. Fenomena ini seringkali berkaitan dengan adanya molekul-molekul mRNA yang berbeda, yang akan ditranslasi dengan efisiensi berbeda pula. Pada tikus, misalnya, ditemukan bahwa perbedaan sintesis enzim -amilase oleh berbagai mRNA yang berasal dari gen yang sama dapat terjadi karena adanya perbedaan pola pembuangan intron. Kelenjar ludah menghasilkan -amilase lebih banyak daripada yang dihasilkan oleh jaringan hati meskipun gen yang ditranskripsi sama. Jadi, dalam hal ini transkrip primernya sebenarnya sama, tetapi kemudian ada perbedaan mekanisme prosesing, khususnya pada penyatuan (splicing) mRNA. Pengaturan translasi Berbeda dengan translasi mRNA pada prokariot yang terjadi dalam jumlah yang lebih kurang sama, pada eukariot ada mekanisme pengaturan translasi. Macam-macam pengaturan tersebut adalah (1) kondisi bahwa mRNA tidak akan ditranslasi sama sekali sebelum datangnya suatu sinyal, (2) pengaturan umur (lifetime) molekul mRNA, dan (3) pengaturan laju seluruh sintesis protein. Telur yang tidak dibuahi secara biologi bersifat statis. Akan tetapi, begitu fertilisasi terjadi, sejumlah protein akan disintesis. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam sel telur yang belum dibuahi akan dijumpai sejumlah mRNA yang menantikan datangnya sinyal untuk translasi. Sinyal tersebut tidak lain adalah fertilisasi oleh spermatozoon, sedangkan molekul mRNA yang belum ditranslasi itu dinamakan mRNA tersembunyi (masked mRNA). Pengaturan umur mRNA juga dijumpai pada telur yang belum dibuahi. Sel telur ini akan mempertahankan diri untuk tidak mengalami pertumbuhan atau perkembangan. Dengan demikian, laju sintesis protein menjadi sangat rendah. Namun, hal ini bukan akibat kurangnya pasokan mRNA, melainkan karena terbatasnya ketersediaan suatu unsur yang dinamakan faktor rekrutmen. Hingga kini belum diketahui hakekat unsur tersebut, tetapi rupanya berperan dalam pembentukan kompleks ribosom-mRNA.

Sintesis beberapa protein tertentu diatur oleh aktivitas protein itu sendiri terhadap mRNA. Sebagai contoh, konsentrasi suatu jenis molekul antibodi dipertahankan konstan oleh mekanisme inhibisi atau penghambatan diri dalam proses translasi. Jadi, molekul antibodi tersebut berikatan secara khusus dengan molekul mRNA yang menyandinya sehingga inisiasi translasi akan terhambat. Sintesis beberapa protein dari satu segmen DNA Pada prokariot terdapat mRNA polisistronik yang menyandi semua produk gen. Sebaliknya, pada eukariot tidak pernah dijumpai mRNA polisistronik, tetapi ada kondisi yang dapat disetarakan dengannya, yakni sintesis poliprotein. Poliprotein adalah polipeptida berukuran besar yang setelah berakhirnya translasi akan terpotong-potong untuk menghasilkan sejumlah molekul protein yang utuh. Tiap protein ini dapat dilihat sebagai produk satu gen tunggal. Dalam sistem semacam itu urutan penyandi pada masing-masing gen tidak saling dipisahkan oleh kodon stop dan kodon awal, tetapi dipisahkan oleh urutan asam amino tertentu yang dikenal sebagai tempat pemotongan (cleavage sites) oleh enzim protease tertentu. Tempattempat pemotongan ini tidak akan berfungsi serempak, tetapi bergantian mengikuti suatu urutan.

11/01/2009 Posted by zaifbio | Genetika Dasar | Tinggalkan sebuah Komentar

MATERI GENETIK
BAB IX MATERI GENETIK

Pembuktian DNA sebagai Materi Genetik Pembuktian RNA sebagai Materi Genetik pada Virus Tertentu Model Struktur Molekul DNA menurut Watson-Crick Tiga Fungsi Materi Genetik Replikasi Semi Konservatif Replikasi dan Replikasi Lingkaran Menggulung

BAB IX. MATERI GENETIK Pada tahun 1868 seorang mahasiswa kedokteran di Swedia, J.F. Miescher, menemukan suatu zat kimia bersifat asam yang banyak mengandung nitrogen dan fosfor. Zat ini diisolasi dari nukleus sel nanah manusia dan kemudian dikenal dengan nama nuklein atau asam nukleat. Meskipun ternyata asam nukleat selalu dapat diisolasi dari nukleus berbagai macam sel, waktu itu fungsinya sama sekali belum diketahui.

Dari hasil analisis kimia yang dilakukan sekitar empat puluh tahun kemudian ditemukan bahwa asam nukleat ada dua macam, yaitu asam deoksiribonukleat atau deoxyribonucleic acid (DNA) dan asam ribonukleat atau ribonucleic acid (RNA). Pada tahun 1924 studi mikroskopis menunjukkan bahwa DNA terdapat di dalam kromosom, yang waktu itu telah diketahui sebagai organel pembawa gen (materi genetik). Akan tetapi, selain DNA di dalam kromosom juga terdapat protein sehingga muncul perbedaan pendapat mengenai hakekat materi genetik, DNA atau protein. Dugaan DNA sebagai materi genetik secara tidak langsung sebenarnya dapat dibuktikan dari kenyataan bahwa hampir semua sel somatis pada spesies tertentu mempunyai kandungan DNA yang selalu tetap, sedangkan kandungan RNA dan proteinnya berbeda-beda antara satu sel dan sel yang lain. Di samping itu, nukleus hasil meiosis baik pada tumbuhan maupun hewan mempunyai kandungan DNA separuh kandungan DNA di dalam nukleus sel somatisnya. Meskipun demikian, dalam kurun waktu yang cukup lama fakta semacam itu tidak cukup kuat untuk meyakinkan bahwa DNA adalah materi genetik. Hal ini terutama karena dari hasil analisis kimia secara kasar terlihat kurangnya variasi kimia pada molekul DNA. Di sisi lain, protein dengan variasi kimia yang tinggi sangat memenuhi syarat sebagai materi genetik. Oleh karena itu, selama bertahun-tahun protein lebih diyakini sebagai materi genetik, sementara DNA hanya merupakan kerangka struktur kromosom. Namun, pada pertengahan tahun 1940-an terbukti bahwa justru DNA-lah yang merupakan materi genetik pada sebagian besar organisme. DNA sebagai Materi Genetik Ada dua bukti percobaan yang menunjukkan bahwa DNA adalah materi genetik. Masingmasing akan diuraikan berikut ini. Percobaan transformasi F. Griffith pada tahun 1928 melakukan percobaan infeksi bakteri pneumokokus (Streptococcus pneumonia) pada mencit. Bakteri penyebab penyakit pneumonia ini dapat menyintesis kapsul polisakarida yang akan melindunginya dari mekanisme pertahanan tubuh hewan yang terinfeksi sehingga bersifat virulen (menimbulkan penyakit). Jika ditumbuhkan pada medium padat, bakteri pneumokokus akan membentuk koloni dengan kenampakan halus mengkilap. Sementara itu, ada pula strain mutan pneumokokus yang kehilangan kemampuan untuk menyintesis kapsul polisakarida sehingga menjadi tidak tahan terhadap sistem kekebalan tubuh hewan inangnya, dan akibatnya tidak bersifat virulen. Strain mutan ini akan membentuk koloni dengan kenampakan kasar apabila ditumbuhkan pada medium padat. Pneumokokus yang virulen sering dilambangkan dengan S, sedangkan strain mutannya yang tidak virulen dilambangkan dengan R. Mencit yang diinfeksi dengan pneumokokus S akan mengalami kematian, dan dari organ paru-parunya dapat diisolasi strain S tersebut. Sebaliknya, mencit yang diinfeksi dengan strain R dapat bertahan hidup. Demikian juga, mencit yang diinfeksi dengan strain S yang sebelumnya telah dipanaskan terlebih dahulu akan dapat bertahan hidup. Hasil yang mengundang pertanyaan adalah ketika mencit diinfeksi dengan campuran antara strain S yang telah dipanaskan dan strain R yang masih hidup. Ternyata dengan perlakuan ini mencit mengalami kematian, dan dari organ paru-parunya dapat diisolasi strain S yang masih hidup.

Dengan hasil tersebut Griffith menyimpulkan bahwa telah terjadi perubahan (transformasi) sifat strain R menjadi S. Transformasi terjadi karena ada sesuatu yang dipindahkan dari selsel strain S yang telah mati (dipanaskan) ke strain R yang masih hidup sehingga strain R yang semula tidak dapat membentuk kapsul berubah menjadi strain S yang dapat membentuk kapsul dan bersifat virulen. Percobaan Griffith sedikit pun tidak memberikan bukti tentang materi genetik. Namun, pada tahun 1944 tiga orang peneliti, yakni O. Avery, C. MacLeod, dan M. McCarty melakukan percobaan untuk mengetahui hakekat materi yang dipindahkan dari strain S ke strain R. Mereka melakukan percobaan transformasi secara in vitro, yaitu dengan menambahkan ekstrak DNA dari strain S yang telah mati kepada strain R yang ditumbuhkan di medium padat. Di dalam ekstrak DNA ini terdapat juga sejumlah protein kontaminan, dan penambahan tersebut ternyata menyebabkan strain R berubah menjadi S seperti pada percobaan Griffith. Jika pada percobaan Avery dan kawan-kawannya itu ditambahkan enzim RNase (pemecah RNA) atau enzim protease (pemecah protein), transformasi tetap berjalan atau strain R berubah juga menjadi S. Akan tetapi, jika enzim yang diberikan adalah DNase (pemecah DNA), maka transformasi tidak terjadi. Artinya, strain R tidak berubah menjadi strain S. Hal ini jelas membuktikan bahwa materi yang bertanggung jawab atas terjadinya transformasi pada bakteri pneumonia, dan ternyata juga pada hampir semua organisme, adalah DNA, bukan RNA atau protein.

kultur strain S ekstraksi DNA ekstrak DNA + protein kontaminan ditambahkan ke kultur strain R protease kultur strain R RNase kultur strain R DNase kultur strain R

strain R + S

strain R + S

strain R

Gambar 9.1. Diagram percobaan transformasi yang membuktikan DNA sebagai materi genetik Percobaan infeksi bakteriofag

Percobaan lain yang membuktikan bahwa DNA adalah materi genetik dilaporkan pada tahun 1952 oleh A. Hershey dan M. Chase. Percobaan dilakukan dengan mengamati reproduksi bakteriofag (virus yang menyerang bakteri) T2 di dalam sel bakteri inangnya, yaitu Escherichia coli. Sebelumnya, cara berlangsungnya infeksi T2 pada E. coli telah diketahui (lihat Bab XII). Mula-mula partikel T2 melekatkan ujung ekornya pada dinding sel E. coli, diikuti oleh masuknya materi genetik T2 ke dalam sel E. coli sehingga memungkinkan terjadinya penggandaan partikel T2 di dalam sel inangnya itu. Ketika hasil penggandaan partikel T2 telah mencapai jumlah yang sangat besar, sel E. coli akan mengalami lisis. Akhirnya, partikel-partikel T2 yang keluar akan mencari sel inang yang baru, dan siklus reproduksi tadi akan terulang kembali. Bakteriofag T2 diketahui mempunyai kandungan protein dan DNA dalam jumlah yang lebih kurang sama. Untuk memastikan sifat kimia materi genetik yang dimasukkan ke dalam sel inang dilakukan pelabelan terhadap molekul protein dan DNAnya. Protein, yang umumnya banyak mengandung sulfur tetapi tidak mengandung fosfor dilabeli dengan radioisotop 35S. Sebaliknya, DNA yang sangat banyak mengandung fosfor tetapi tidak mengandung sulfur dilabeli dengan radioisotop 32P. materi genetik masuk dilabeli dengan 35S dan 32P ke sel inang banyak didapatkan 35 S

sel inang lisis banyak Gambar 9.2. Daur hidup bakteriofag T2 dan diagram percobaan infeksi T2 pada E. coli yang membuktikan DNA sebagai materi genetik didapatkan 32 P Bakteriofag T2 dengan protein yang telah dilabeli diinfeksikan pada E. coli. Dengan sentrifugasi, sel-sel E. coli ini kemudian dipisahkan dari partikel-partikel T2 yang sudah tidak melekat lagi pada dinding selnya. Ternyata di dalam sel-sel E. coli sangat sedikit ditemukan radioisotop 35S, sedangkan pada partikel-partikel T2 masih banyak didapatkan radioisotop tersebut. Apabila dengan cara yang sama digunakan bakteriofag T2 yang dilabeli DNAnya, maka di dalam sel-sel E. coli ditemukan banyak sekali radiosiotop 32P, sedangkan pada partikel-partikel T2 hanya ada sedikit sekali radioisotop tersebut. Hasil percobaan ini jelas menunjukkan bahwa materi genetik yang dimasukkan oleh bakteriofag T2 ke dalam sel E. coli adalah materi yang dilabeli dengan 32P atau DNA, bukannya protein. RNA sebagai Materi Genetik pada Beberapa Virus

Beberapa virus tertentu diketahui tidak mempunyai DNA, tetapi hanya tersusun dari RNA dan protein. Untuk memastikan di antara kedua makromolekul tersebut yang berperan sebagai materi genetik, antara lain telah dilakukan percobaan rekonstitusi yang dilaporkan oleh H. Fraenkel-Conrat dan B. Singer pada tahun 1957. Mereka melakukan penelitian pada virus mozaik tembakau atau tobacco mozaic virus (TMV), yaitu virus yang menyebabkan timbulnya penyakit mozaik pada daun tembakau. Virus ini mengandung molekul RNA yang terbungkus di dalam selubung protein. Dengan perlakuan kimia tertentu molekul RNA dapat dipisahkan dari selubung proteinnya untuk kemudian digabungkan (direkonstitusi) dengan selubung protein dari strain TMV yang lain. protein RNA pemisahan RNA dari protein Gambar 9.3. Percobaan yang membuktikan RNA sebagai materi genetik pada TMV = TMV strain A = TMV strain B rekonstitusi infeksi ke daun tembakau

RNA dari strain A direkonstitusi dengan protein strain B. Sebaliknya, RNA dari strain B direkonstitusi dengan protein dari strain A. Kedua TMV hasil rekonstitusi ini kemudian diinfeksikan ke inangnya (daun tembakau) agar mengalami penggandaan. TMV hasil penggandaan ternyata merupakan strain A jika RNAnya berasal dari strain A dan merupakan strain B jika RNAnya berasal dari strain B. Jadi, faktor yang menentukan strain hasil penggandaan adalah RNA, bukan protein. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa materi genetik pada virus-virus yang tidak mempunyai DNA, seperti halnya TMV, adalah RNA. Komposisi Kimia Asam Nukleat Hasil analisis kimia asam nukleat menunjukkan bahwa makromolekul ini tersusun dari subunit-subunit berulang (monomer) yang disebut nukleotida sehingga asam nukleat dapat juga dikatakan sebagai polinukleotida. Nukleotida yang satu dengan nukleotida berikutnya dihubungkan oleh ikatan fosfodiester yang sangat kuat. Tiap nukleotida terdiri atas tiga komponen, yaitu gugus fosfat, gula pentosa (gula dengan lima atom karbon), dan basa nukleotida atau basa nitrogen (basa siklik yang mengandung nitrogen). Pada DNA basa nitrogen berikatan secara kimia dengan gula pentosa membentuk molekul yang disebut nukleosida sehingga setiap nukleotida pada DNA dapat disebut juga sebagai nukleosida monofosfat. Gula pentosa pada DNA adalah 2-deoksiribosa, sedangkan pada RNA adalah ribosa. Menurut kebiasaan, penomoran atom C pada gula pentosa dilakukan menggunakan tanda aksen () untuk membedakannya dengan penomoran atom C pada basa nitrogen. Atom C pada gula pentosa yang berikatan dengan basa nitrogen ditentukan sebagai atom C pertama

(1). Atom C nomor 2 pada DNA tidak mengikat gugus OH seperti halnya pada RNA, tetapi mengikat gugus H sehingga gula pentosanya dinamakan deoksiribosa. Sementara tu, basa nitrogen ada dua macam, yakni basa dengan cincin rangkap atau disebut purin dan basa dengan cincin tunggal atau disebut pirimidin. Basa purin, baik pada DNA maupun RNA, dapat berupa adenin (A) atau guanin (G), sedangkan basa pirimidin pada DNA dapat berupa sitosin (C) atau timin (T). Pada RNA tidak terdapat basa timin, tetapi diganti dengan urasil (U). Biasanya DNA mempunyai struktur sebagai molekul polinukleotida untai ganda, sedangkan RNA adalah polinukleotida untai tunggal. Ini merupakan perbedaan lain di antara kedua macam asam nukleat tersebut. O

O O

P=O

gugus fosfat

5CH2OH OH 4 H 3 H

5CH2OH OH 1 H H 4 H 3 H

1 H 2 H

OH

H OH

OH gula ribosa

gula 2-deoksiribosa

NH2 O

N N 1 H 2 3 N adenin 4 N H 9 6 5 7 8 H

N H N 1 NH2 2 3 N guanin 4 N H 9 6 5 7 8 H

NH2 4 N3 5 H H

O 4 N3 5 CH3 H

O 4 N3 5 H

2 O

1 6

2 O

1 6 NH

2 O

1 6

NH

NH

sitosin

timin

urasil

Gambar 9.4. Komponen kimia asam nukleat Model Struktur DNA Watson-Crick Model struktur fisik molekul DNA pertama kali diajukan pada tahun 1953 oleh J.D. Watson dan F.H.C. Crick. Ada dua dasar yang digunakan dalam melakukan deduksi terhadap model tersebut, yaitu 1. Hasil analisis kimia yang dilakukan oleh E. Chargaff terhadap kandungan basa nitrogen molekul DNA dari berbagai organisme selalu menunjukkan bahwa konsentrasi adenin sama dengan timin, sedangkan guanin sama dengan sitosin. Dengan sendirinya, konsentrasi basa purin total menjadi sama dengan konsentrasi basa pirimidin total. Akan tetapi, nisbah konsentrasi adenin + timin terhadap konsentrasi guanin + sitosin sangat bervariasi dari spesies ke spesies.

2. Pola difraksi yang diperoleh dari hasil pemotretan molekul DNA menggunakan sinar X oleh M.H.F. Wilkins, R. Franklin, dan para koleganya menunjukkan bahwa basabasa nitrogen tersusun vertikal di sepanjang sumbu molekul dengan interval 3,4 . Dari data kimia Chargaff serta difraksi sinar X Wilkins dan Franklin tersebut Watson dan Crick mengusulkan model struktur DNA yang dikenal sebagai model tangga berpilin (double helix). Menurut model ini kedua untai polinukleotida saling memilin di sepanjang sumbu yang sama. Satu sama lain arahnya sejajar tetapi berlawanan (antiparalel). Basa-basa nitrogen menghadap ke arah dalam sumbu, dan terjadi ikatan hidrogen antara basa A pada satu untai dan basa T pada untai lainnya. Begitu pula, basa G pada satu untai selalu berpasangan dengan basa C pada untai lainnya melalui ikatan hidrogen. Oleh karena itu, begitu urutan basa pada satu untai polinukleotida diketahui, maka urutan basa pada untai lainnya dapat ditentukan pula. Adanya perpasangan yang khas di antara basa-basa nitrogen itu menyebabkan kedua untai polinukleotida komplementer satu sama lain. Setiap pasangan basa berjarak 3,4 dengan pasangan basa berikutnya. Di dalam satu kali pilinan (360) terdapat 10 pasangan basa. Antara basa A dan T yang berpasangan terdapat ikatan hidrogen rangkap dua, sedangkan antara basa G dan C yang berpasangan terdapat ikatan hidrogen rangkap tiga. Hal ini menyebabkan nisbah A+T terhadap G+C mempengaruhi stabilitas molekul DNA. Makin tinggi nisbah tersebut, makin rendah stabilitas molekul DNAnya, dan begitu pula sebaliknya. Gugus fosfat dan gula terletak di sebelah luar sumbu. Seperti telah disebutkan di atas, nukleotida-nukleotida yang berurutan dihubungkan oleh ikatan fosfodiester. Ikatan ini menghubungkan atom C nomor 3 dengan atom C nomor 5 pada gula deoksiribosa. Di salah satu ujung untai polinukleotida, atom C nomor 3 tidak lagi dihubungkan oleh ikatan fosfodiester dengan nukleotida berikutnya, tetapi akan mengikat gugus OH. Oleh karena itu, ujung ini dinamakan ujung 3 atau ujung OH. Di ujung lainnya atom C nomor 5 akan mengikat gugus fosfat sehingga ujung ini dinamakan ujung 5 atau ujung P. Kedudukan antiparalel di antara kedua untai polinukleotida sebenarnya dilihat dari ujung-ujung ini. Jika untai yang satu mempunyai arah dari ujung 5 ke 3, maka untai komplementernya mempunyai arah dari ujung 3 ke 5. OH(3) P(5)

P(5)

OH(3) = gula

Gambar 9.5 Diagram struktur molekul DNA = adenin = timin = guanin = sitosin

Fungsi Materi Genetik Setelah terbukti bahwa DNA merupakan materi genetik pada sebagian besar organisme, kita akan melihat fungsi yang harus dapat dilaksanakan oleh molekul tersebut sebagai materi genetik. Dalam beberapa dasawarsa pertama semenjak gen dikemukakan sebagai faktor yang diwariskan dari generasi ke generasi, sifat-sifat molekulernya baru sedikit sekali terungkap. Meskipun demikan, ketika itu telah disepakati bahwa gen sebagai materi genetik, yang sekarang ternyata adalah DNA, harus dapat menjalankan tiga fungsi pokok berikut ini. 1. Materi genetik harus mampu menyimpan informasi genetik dan dengan tepat dapat meneruskan informasi tersebut dari tetua kepada keturunannya, dari generasi ke generasi. Fungsi ini merupakan fungsi genotipik, yang dilaksanakan melalui replikasi. Bagian setelah ini akan membahas replikasi DNA. 2. Materi genetik harus mengatur perkembangan fenotipe organisme. Artinya, materi genetik harus mengarahkan pertumbuhan dan diferensiasi organisme mulai dari zigot hingga individu dewasa. Fungsi ini merupakan fungsi fenotipik, yang dilaksanakan melalui ekspresi gen (Bab X). 3. Materi genetik sewaktu-waktu harus dapat mengalami perubahan sehingga organisme yang bersangkutan akan mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang berubah. Tanpa perubahan semacam ini, evolusi tidak akan pernah berlangsung. Fungsi ini merupakan fungsi evolusioner, yang dilaksanakan melalui peristiwa mutasi (Bab XI).

Replikasi DNA Ada tiga cara teoretis replikasi DNA yang pernah diusulkan, yaitu konservatif, semikonservatif, dan dispersif. Pada replikasi konservatif seluruh tangga berpilin DNA awal tetap dipertahankan dan akan mengarahkan pembentukan tangga berpilin baru. Pada replikasi semikonservatif tangga berpilin mengalami pembukaan terlebih dahulu sehingga kedua untai polinukleotida akan saling terpisah. Namun, masing-masing untai ini tetap dipertahankan dan akan bertindak sebagai cetakan (template) bagi pembentukan untai polinukleotida baru. Sementara itu, pada replikasi dispersif kedua untai polinukleotida mengalami fragmentasi di sejumlah tempat. Kemudian, fragmen-fragmen polinukleotida yang terbentuk akan menjadi cetakan bagi fragmen nukleotida baru sehingga fragmen lama dan baru akan dijumpai berselang-seling di dalam tangga berpilin yang baru.

konservatif

semikonservatif

dispersif

Gambar 9.6. Tiga cara teoretis replikasi DNA = untai lama = untai baru

Di antara ketiga cara replikasi DNA yang diusulkan tersebut, hanya cara semikonservatif yang dapat dibuktikan kebenarannya melalui percobaan yang dikenal dengan nama sentrifugasi seimbang dalam tingkat kerapatan atau equilibrium density-gradient centrifugation. Percobaan ini dilaporkan hasilnya pada tahun 1958 oleh M.S. Meselson dan F.W. Stahl. Mereka menumbuhkan bakteri Escherichia coli selama beberapa generasi di dalam medium yang mengandung isotop nitrogen 15N untuk menggantikan isotop nitrogen normal 14N yang lebih ringan. Akibatnya, basa-basa nitrogen pada molekul DNA sel-sel bakteri tersebut akan memiliki 15N yang berat. Molekul DNA dengan basa nitrogen yang mengandung 15N mempunyai tingkat kerapatan (berat per satuan volume) yang lebih tinggi daripada DNA normal (14N). Oleh karena molekul-molekul dengan tingkat kerapatan yang berbeda dapat dipisahkan dengan cara sentrifugasi tersebut di atas, maka Meselson dan Stahl dapat mengikuti perubahan tingkat kerapatan DNA sel-sel bakteri E. coli yang semula ditumbuhkan pada medium 15N selama beberapa generasi, kemudian dikembalikan ke medium normal 14N selama beberapa generasi berikutnya. Molekul DNA mempunyai kerapatan yang lebih kurang sama dengan kerapatan larutan garam yang sangat pekat seperti larutan 6M CsCl (sesium khlorida). Sebagai perbandingan, kerapatan DNA E.coli dengan basa nitrogen yang mengandung isotop 14N dan 15N masingmasing adalah 1,708 g/cm3 dan 1,724 g/cm3, sedangkan kerapatan larutan 6M CsCl adalah 1,700 g/cm3. Ketika larutan 6M CsCl yang di dalamnya terdapat molekul DNA disentrifugasi dengan kecepatan sangat tinggi, katakanlah 30.000 hingga 50.000 rpm, dalam waktu 48 hingga 72 jam, maka akan terjadi keseimbangan tingkat kerapatan. Hal ini karena molekul-molekul garam tersebut akan mengendap ke dasar tabung sentrifuga akibat adanya gaya sentrifugal, sementara di sisi lain difusi akan menggerakkan molekul-molekul garam kembali ke atas tabung. Molekul DNA dengan tingkat kerapatan tertentu akan menempati kedudukan yang sama dengan kedudukan larutan garam yang tingkat kerapatannya sama dengannya. DNA yang diekstrak dari sel E. coli yang ditumbuhkan pada medium 15N terlihat menempati dasar tabung. Selanjutnya, DNA yang diekstrak dari sel E.coli yang pertama kali dipindahkan kembali ke medium 14N terlihat menempati bagian tengah tabung. Pada generasi kedua setelah E.coli ditumbuhkan pada medium 14N ternyata DNAnya menempati bagian tengah dan atas tabung. Ketika E.coli telah ditumbuhkan selama beberapa generasi pada medium 14 N, DNAnya nampak makin banyak berada di bagian atas tabung, sedangkan DNA yang berada di bagian tengah tabung tetap. Meselson dan Stahl menjelaskan bahwa pada generasi 15 N, atau dianggap sebagai generasi 0, DNAnya mempunyai kerapatan tinggi. Kemudian, pada generasi 14N yang pertama, atau disebut sebagai generasi 1, DNAnya merupakan hibrid

antara DNA dengan kerapatan tinggi dan rendah. Pada generasi 2 DNA hibridnya masih ada, tetapi muncul pula DNA baru dengan kerapatan rendah. Demikian seterusnya, DNA hibrid akan tetap jumlahnya, sedangkan DNA baru dengan kerapatan rendah akan makin banyak dijumpai. Pada Gambar 9.7 terlihat bahwa interpretasi data hasil percobaan sentrifugasi ini jelas sejalan dengan cara pembentukan molekul DNA melalui replikasi semikonservatif.

medium 15N (generasi 0)

ekstrak DNA

ekstrak DNA medium 14N (generasi 1)

ekstrak DNA (generasi 2) medium 14N

ekstrak DNA medium 14N (generasi 3)

interpretasi data hasil sentrifugasi DNA Gambar 9.7. Diagram percobaan Meselson dan Stahl yang memperlihatkan replikasi DNA secara semikonservatif

Pada percobaan Meselson dan Stahl ekstrak DNA yang diperoleh dari sel-sel E. coli berada dalam keadaan terfragmentasi sehingga replikasi molekul DNA dalam bentuknya yang utuh sebenarnya belum diketahui. Replikasi DNA kromosom dalam keadaan utuh _ yang pada prokariot ternyata berbentuk melingkar atau sirkular _ baru dapat diamati menggunakan teknik autoradiografi dan mikroskopi elektron. Dengan kedua teknik ini terlihat bahwa DNA berbagai virus, khloroplas, dan mitokhondria melakukan replikasi yang dikenal sebagai replikasi (theta) karena autoradiogramnya menghasilkan gambaran seperti huruf Yunani tersebut. Selain replikasi , pada sejumlah bakteri dan organisme eukariot dikenal pula replikasi yang dinamakan replikasi lingkaran menggulung (rolling circle replication). Replikasi ini diawali dengan pemotongan ikatan fosfodiester pada daerah tertentu yang menghasilkan ujung 3 dan ujung 5. Pembentukan (sintesis) untai DNA baru terjadi dengan penambahan deoksinukleotida pada ujung 3 yang diikuti oleh pelepasan ujung 5 dari lingkaran molekul DNA. Sejalan dengan berlangsungnya replikasi di seputar lingkaran DNA, ujung 5 akan makin terlepas dari lingkaran tersebut sehingga membentuk ekor yang makin memanjang (Gambar 9.8).

penambahan nukleotida ujung 3 tempat ujung 5 pelepasan ujung 5 terpotongnya ikatan fosfodiester Gambar 9.8. Replikasi lingkaran menggulung = untai lama = untai baru pemanjangan ekor

Dimulainya (inisiasi) replikasi DNA terjadi di suatu tempat tertentu di dalam lingkaran molekul DNA yang dinamakan titik awal replikasi atau origin of replication (ori). Proses inisiasi ini ditandai oleh saling memisahnya kedua untai DNA, yang masing-masing akan berperan sebagai cetakan bagi pembentukan untai DNA baru sehingga akan diperoleh suatu gambaran yang disebut sebagai garpu replikasi. Biasanya, inisiasi replikasi DNA, baik pada prokariot maupun eukariot, terjadi dua arah (bidireksional). Dalam hal ini dua garpu replikasi akan bergerak melebar dari ori menuju dua arah yang berlawanan. Pada eukariot, selain terjadi replikasi dua arah, ori dapat ditemukan di beberapa tempat. Enzim-enzim yang berperan dalam replikasi DNA Replikasi DNA, atau sintesis DNA, melibatkan sejumlah reaksi kimia yang diatur oleh beberapa enzim. Salah satu diantaranya adalah enzim DNA polimerase, yang mengatur pembentukan ikatan fosfodiester antara dua nukleotida yang berdekatan sehingga akan terjadi pemanjangan untai DNA (polinukleotida). Agar DNA polimerase dapat bekerja mengatalisis reaksi sintesis DNA, diperlukan tiga komponen reaksi, yaitu 1. Deoksinukleosida trifosfat, yang terdiri atas deoksiadenosin trifosfat (dATP), deoksiguanosin trifosfat (dGTP), deoksisitidin trifosfat (dCTP), dan deoksitimidin trifosfat (dTTP). Keempat molekul ini berfungsi sebagai sumber basa nukleotida. 1. Untai DNA yang akan digunakan sebagai cetakan (template). 2. Segmen asam nukleat pendek, dapat berupa DNA atau RNA, yang mempunyai gugus 3- OH bebas. Molekul yang dinamakan primer ini diperlukan karena tidak ada enzim DNA polimerase yang diketahui mampu melakukan inisiasi sintesis DNA. Reaksi sintesis DNA secara skema dapat dilihat pada Gambar 9.9. Dalam gambar tersebut sebuah molekul dGTP ditambahkan ke molekul primer yang terdiri atas tiga nukleotida (A-CA). Penambahan dGTP terjadi karena untai DNA cetakannya mempunyai urutan basa T-G-TC- . . . . . Hasil penambahan yang diperoleh adalah molekul DNA yang terdiri atas empat nukleotida (A-C-A-G). Dua buah atom fosfat (PPi) dilepaskan dari dGTP karena sebuah atom fosfatnya diberikan ke primer dalam bentuk nukleotida dengan basa G atau deoksinukleosida monofosfat (dGMP). Kita lihat bahwa sintesis DNA (penambahan basa demi basa) berlangsung dari ujung 5 ke ujung 3. T A dGTP 3 P 5 5 3 P G C T A PPi 3 P 5 OH 3 DNA polimerase P Mg2+ 5 5 5 3 P 5 3 P 3 P OH C . . . . . DNA cetakan T A G C T A C...... G

Gambar 9.9. Skema reaksi sintesis DNA Enzim DNA polimerase yang diperlukan untuk sintesis DNA pada E. coli ada dua macam, yaitu DNA polimerase I (Pol I) dan DNA polimerase III (Pol III). Dalam sintesis DNA, Pol III merupakan enzim replikasi yang utama, sedangkan enzim Pol I memegang peran sekunder. Sementara itu, enzim DNA polimerase untuk sintesis DNA kromosom pada eukariot disebut polimerase . Selain mampu melakukan pemanjangan atau polimerisasi DNA, sebagian besar enzim DNA polimerase mempunyai aktivitas nuklease, yaitu pembuangan molekul nukleotida dari untai polinukleotida. Aktivitas nuklease dapat dibedakan menjadi (1) eksonuklease atau pembuangan nukleotida dari ujung polinukleotida dan (2) endonuklease atau pemotongan ikatan fosfodiester di dalam untai polinukleotida. Enzim Pol I dan Pol III dari E. coli mempunyai aktivitas eksonuklease yang hanya bekerja pada ujung 3. Artinya, pemotongan terjadi dari ujung 3 ke arah ujung 5. Hal ini bermanfaat untuk memperbaiki kesalahan sintesis DNA atau kesalahan penambahan basa, yang bisa saja terjadi meskipun sangat jarang (sekitar satu di antara sejuta basa !). Kesalahan penambahan basa pada untai polinukleotida yang sedang tumbuh (dipolimerisasi) menjadikan basa-basa salah berpasangan, misalnya A dengan C. Fungsi perbaikan kesalahan yang dijalankan oleh enzim Pol I dan III tersebut dinamakan fungsi penyuntingan (proofreading). Khusus enzim Pol I ternyata juga mempunyai aktivitas eksonuklease 5 3 di samping aktivitas eksonuklease 35 (lihat juga Bab XI). Enzim lain yang berperan dalam proses sintesis DNA adalah primase. Enzim ini bekerja pada tahap inisiasi dengan cara mengatur pembentukan molekul primer di daerah ori. Setelah primer terbentuk barulah DNA polimerase melakukan elongasi atau pemanjangan untai DNA. Tahap inisiasi sintesis DNA juga melibatkan enzim DNA girase dan protein yang mendestabilkan pilinan (helix destabilizing protein). Kedua enzim ini berperan dalam pembukaan pilinan di antara kedua untai DNA sehingga kedua untai tersebut dapat saling memisah. Pada bagian berikut ini akan dijelaskan bahwa sintesis DNA baru tidak hanya terjadi pada salah satu untai DNA, tetapi pada kedua-duanya. Hanya saja sintesis DNA pada salah satu untai berlangsung tidak kontinyu sehingga menghasilkan fragmen yang terputus-putus. Untuk menyambung fragmen-fragmen ini diperlukan enzim yang disebut DNA ligase. Replikasi pada kedua untai DNA Proses replikasi DNA yang kita bicarakan di atas sebenarnya barulah proses yang terjadi pada salah satu untai DNA. Untai DNA tersebut sering dinamakan untai pengarah (leading strand). Sintesis DNA baru pada untai pengarah ini berlangsung secara kontinyu dari ujung 5 ke ujung 3 atau bergerak di sepanjang untai pengarah dari ujung 3 ke ujung 5. Pada untai DNA pasangannya ternyata juga terjadi sintesis DNA baru dari ujung 5 ke ujung 3 atau bergerak di sepanjang untai DNA cetakannya ini dari ujung 3 ke ujung 5. Namun, sintesis DNA pada untai yang satu ini tidak berjalan kontinyu sehingga menghasilkan fragmen terputus-putus, yang masing-masing mempunyai arah 5 3. Terjadinya sintesis

DNA yang tidak kontinyu sebenarnya disebabkan oleh sifat enzim DNA polimerase yang hanya dapat menyintesis DNA dari arah 5 ke 3 serta ketidakmampuannya untuk melakukan inisiasi sintesis DNA. Untai DNA yang menjadi cetakan bagi sintesis DNA tidak kontinyu itu disebut untai tertinggal (lagging strand). Sementara itu, fragmen-fragmen DNA yang dihasilkan dari sintesis yang tidak kontinyu dinamakan fragmen Okazaki, sesuai dengan nama penemunya. Seperti telah dikemukakan di atas, fragmen-fragmen Okazaki akan disatukan menjadi sebuah untai DNA yang utuh dengan bantuan enzim DNA ligase.

ori 5 3 5 3 5 3 3 5 untai baru kontinyu untai pengarah fragmen-fragmen 5 3 3 5 Okazaki

untai tertinggal

5 3

Gambar 9.10. Diagram replikasi pada kedua untai DNA

11/01/2009 Posted by zaifbio | Genetika Dasar | 3 Komentar

Sterilitas Jantan pada Jagung


hingga dihasilkan delapan mikronuklei haploid, yang tujuh di antaranya akan mengalami degenerasi. Satu mikronukleus yang tersisa mengalami mitosis menjadi dua mikronuklei yang juga haploid. Selanjutnya, membran sel di tempat kedua sel berlekatan akan rusak sehingga terjadi pertukaran salah satu mironuklei antarsel, yang diikuti dengan fusi kedua mikronuklei menjadi satu mikronukleus diploid. Mulai tahap ini kedua sel (ekskonjugan) secara genetik menjadi sama. Fase aseksual juga diawali dengan meiosis mikronuklei menjadi delapan mikronuklei haploid, yang tujuh di antaranya mengalami degenerasi. Satu mikronukleus yang tersisa mengalami mitosis menjadi dua mikronuklei haploid. Kedua mikronuklei ini bergabung membentuk satu mikronukleus diploid, yang kemudian mengalami dua kali mitosis menjadi

empat mikronuklei diploid. Dua di antara mikronuklei ini berkembang menjadi makronuklei. Kedua mikronuklei yang tersisa mengalami mitosis menjadi empat mikronuklei diploid. Setelah terjadi sitokinesis (pemisahan sel) diperoleh dua buah sel masing-masing dengan dua mikronuklei dan satu makronukleus yang semuanya diploid. Hal yang perlu untuk diketahui pada fase aseksual ini adalah bahwa meskipun sel yang mengalami autogami pada awalnya heterozigot, sel-sel yang dihasilkan semuanya akan menjadi homozigot karena sel awal heterozigot tersebut terlebih dahulu mengalami meiosis menjadi sel haploid. Dengan demikian, peristiwa autogami pada hakekatnya sangat menyerupai pembuahan sendiri, khususnya dalam hal peningkatan homozigositas. Dari hasil autogami dapat dipelajari bahwa pewarisan suatu sifat diatur oleh gen-gen kromosomal ataukah sitoplasmik. Pada strain tertentu Paramecium aurelia ditemukan adanya fenomena pembunuh (killer) yang berkaitan dengan keberadaan sejumlah partikel yang disebut sebagai kappa di dalam sitoplasmanya. Keberadaan kappa bergantung kepada gen kromosomal dominan K. Beberapa peneliti, seperti T.M. Sonneborn, mengamati bahwa sel P. aurelia yang mengandung partikel-partikel kappa akan menghasilkan senyawa beracun yang dapat mematikan strainstrain protozoa lainnya yang ada di sekitarnya. Senyawa beracun ini selanjutnya disebut sebagai paramesin, sedangkan partikel-partikel kappa ternyata merupakan bakteri simbion yang kemudian dikenal dengan nama Caedobacter taeniospiralis, yang artinya bakteri pembunuh berbentuk pita spiral. Apabila strain pembunuh melakukan konjugasi dengan strain bukan pembunuh (pada suatu kondisi yang memungkinkan strain bukan pembunuh untuk bertahan hidup), maka ada dua kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama, kedua sel tidak bertukar materi sitoplasmik tetapi hanya bertukar mikronuklei (Gambar 8.5.a) sehingga diperoleh dua kelompok sel, yakni sel pembunuh dan sel bukan pembunuh yang kedua-duanya bergenotipe Kk. Jika masing-masing sel ini melakukan autogami, maka akan diperoleh sel pembunuh (KK) dan sel bukan pembunuh (kk) yang berasal dari sel pembunuh (Kk) serta sel bukan pembunuh (baik KK maupun kk) yang berasal dari sel bukan pembunuh (Kk). Jadi, genotipe KK dapat menghasilkan fenotipe bukan pembunuh jika di dalam sitoplasma tidak terdapat partikel kappa. Sebaliknya sel pembunuh (Kk) melalui autogami dapat menghasilkan sel bukan pembunuh (kk) karena partikel kappa tidak akan mampu bertahan di dalam sitoplasma tanpa adanya gen K. Dengan demikian, dari hasil tersebut tampak jelas bahwa sifat pembunuh atau bukan pembunuh ditentukan oleh ada tidaknya partikel kappa di dalam sitoplasma walaupun partikel itu sendiri keberadaannya bergantung kepada gen K di dalam nukleus. Kemungkinan ke dua terjadi pertukaran materi sitoplasmik di antara kedua sel (Gambar 8.5 b) sehingga hanya diperoleh satu kelompok sel, yakni sel pembunuh yang bergenotipe Kk. Jika sel-sel ini melakukan autogami, maka akan diperoleh sel pembunuh (KK) dan sel bukan pembunuh (kk) dengan nisbah 1 : 1.

Sterilitas Jantan pada Jagung Di bidang pertanian ada satu contoh fenomena pewarisan sitoplasmik yang sangat penting, yaitu sterilitas jantan sitoplasmik pada jagung. Tanaman jagung dikatakan steril atau mandul jantan sitoplasmik apabila tidak mampu menghasilkan polen yang aktif dalam jumlah normal sementara proses reproduksi dan fertilitas betinanya normal. Sterilitas jantan sitoplasmik tidak diatur oleh gen-gen kromosomal tetapi diwariskan melalui sitoplasma gamet betina dari

generasi ke generasi. Jenis sterilitas ini telah banyak digunakan dalam produksi biji jagung hibrida. Pola pewarisan sterilitas jantan pertama kali dipelajari oleh M. Rhoades melalui percobaan persilangan pada jagung, yang secara skema dapat dilihat pada Gambar 8.6. Individu mandul jantan sebagai tetua betina disilangkan dengan individu normal sebagai 11/01/2009 Posted by zaifbio | Genetika Dasar | Tinggalkan sebuah Komentar

Materi Genetik di dalam Kloroplas.

betina tersebut dinamakan mutan poki (poky mutant). Persilangan antara betina poki dan jantan tipe liar menghasilkan keturunan yang semuanya poki. Sebaliknya, persilangan antara betina tipe liar dan jantan poki menghasilkan keturunan yang semuanya normal. Mutan poki menyerupai mutan petit pada S. cerevisae dalam hal pertumbuhannya yang lambat dan kerusakan fungsi mitokondrianya. Secara biokimia kelainan ini berupa gangguan pada sistem sintesis protein mitokondria yang diatur oleh materi genetik di dalam mitokondria. Akibatnya, sel kehilangan kemampuan untuk membentuk protein yang diperlukan dalam metabolisme oksidatif. Seperti halnya mutan petit, mutan poki juga memperoleh energi untuk pertumbuhannya

melalui jalur fermentasi anaerob yang sangat tidak efisien. Materi Genetik di dalam Kloroplas. Carl Correns pada tahun 1908 melihat adanya perbedaan hasil persilangan resiprok pada pewarisan warna bagian vegetatif tanaman, khususnya daun, pada beberapa tanaman tertentu seperti bunga pukul empat (Mirabilis jalapa). Dia mengamati bahwa pewarisan warna tersebut semata-mata ditentukan oleh tetua betina dan berkaitan dengan ada tidaknya kloroplas di dalam sitoplasma. Suatu tanaman bunga pukul empat dapat memiliki bagian vegetatif yang berbedabeda warnanya, yaitu hijau, putih, dan belang-belang hjau-putih (variegated). Selsel pada bagian yang berwarna hijau mempunyai kloroplas yang mengandung klorofil, sedang sel-sel pada bagian yang berwarna putih tidak mempunyai kloroplas tetapi berisi plastida yang tidak berwarna. Sementara itu, bagian yang belang-belang

terdiri atas sel-sel, baik dengan maupun tanpa kloroplas. Ketiga macam bagian tanaman tersebut dapat menghasilkan bunga, baik sebagai sumber polen (tetua jantan) maupun sebagai pembawa putik (tetua betina), sehingga dimungkinkan adanya sembilan kombinasi persilangan, yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 8.1.
Jelas dapat disimpulkan dari Tabel 8.1 bahwa fenotipe keturunan akan selalu sama dengan fenotipe tetua betina atau terjadi pewarisan maternal. Hal ini karena seperti telah dikatakan di atas bahwa warna hijau bergantung kepada ada tidaknya kloroplas, sementara polen hanya sedikit sekali atau bahkan sama sekali tidak memiliki kloropas. Dengan demikian, kontribusi kloroplas kepada zigot dapat dipastikan hanya berasal dari sel kelamin betina. Model yang menjelaskan pewarisan maternal ini dapat dilihat pada Gambar 8.2. Tabel 8.1 Hasil persilangan pada tanaman bunga pukul empat Fenotipe cabang yang membawa bunga sebagai tetua betina putih putih putih hijau hijau hijau belang-belang belang-belang belang-belang Fenotipe cabang yang membawa bunga sebagai tetua jantan Putih Hijau belang-belang Putih Hijau belang-belang Putih Hijau belang-belang

Fenotipe keturunan

putih putih putih hijau hijau hijau belang-belang, hijau, atau putih belang-belang, hijau, atau putih belang-belang, hijau, atau putih

Penelitian tentang pewarisan sitoplasmik telah dilakukan pula pada alga uniseluler Chlamydomonas reinhardii, yakni mengenai pewarisan sifat ketahanan terhadap antibiotik. Sel alga ini memiliki sebuah kloroplas yang besar ukurannya dan di dalamya terdapat sejumlah materi genetik. Ada dua macam sel pada Chlamydomonas bila dilihat dari tipe kawinnya, yakni mt + dan mt . Kedua macam sel haploid ini dapat bergabung membentuk zigot diploid, yang selanjutnya

akan mengalami meiosis untuk menghasilkan tetrad yang terdiri atas empat buah sel haploid. Oleh karena kedua sel tipe kawin tersebut ukurannya sama besar, maka kontribusi sitoplasma kepada zigot yang terbentuk akan sama banyaknya. Sel-sel haploid di dalam tetrad dapat ditumbuhkan pada medium selektif padat dan membentuk koloni yang menunjukkan genotipenya.

putih

hijau

belang-belang

sel telur

x polen

zigot

Gambar 8.2. Model pewarisan maternal pada tanaman bunga pukul empat = plastida tanpa klorofil ; = kloroplas

Persilangan resiprok antara tipe liar (rentan antibiotik) dan mutan-mutan yang tahan antibiotik memberikan hasil yang berbeda-beda. Sebagai contoh, persilangan antara tipe liar dan mutan yang tahan terhadap streptomisin menghasilkan keturunan yang sifat ketahanannya terhadap streptomisin bergantung kepada tetua mt+. Secara skema persilangan tersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar 8.3. Keturunan hasil persilangan antara kedua tipe kawin selalu mempunyai genotipe seperti salah satu tetuanya. Persilangan mt+ str+ dengan mt str - menghasilkan keturunan yang semuanya tahan streptomisin (str+) sementara persilangan mt+ str - dengan mt - str+ menghasilkan keturunan yang semuanya rentan streptomisin (str -) . Jadi, pewarisan sifat ketahanan terhadap streptomisin berlangsung uniparental atau bergantung kepada genotipe salah satu tetuanya, dalam hal ini mt+. Dengan perkataan lain, pewarisan alel str mengikuti pola pewarisan uniparental. Meskipun demikian, alel yang menentukan tipe kawin itu sendiri (alel mt) tampak bersegregasi mengikuti pola Mendel, yakni menghasilkan keturunan dengan nisbah 1 : 1, yang menunjukkan bahwa alel tersebut terletak di dalam kromosom nukleus. Berbagai penelitian mengenai ketahanan terhadap antibiotik selain streptomisin telah dilakukan pula pada Chlamydomonas, dan semuanya memperlihatkan terjadinya pewarisan uniparental. Analisis biokimia membuktikan bahwa sifat ketahanan terhadap antibiotik berhubungan dengan kloroplas. Seperti telah kita ketahui bahwa sel haploid Chlamydomonas hanya mempunyai sebuah kloroplas. Jika kloroplas ini berasal dari penggabungan kloroplas kedua sel tipe kawin yang digunakan sebagai tetua dengan nisbah yang sama, maka tidak mungkin terjadi pewarisan uniparental. Dengan demikian, kloroplas dapat dipastikan berasal dari salah satu tipe kawin saja. Hal ini didukung oleh penelitian menggunakan penanda fisik untuk membedakan kloroplas dari kedua tipe kawin yang telah menunjukkan bahwa setelah terjadi penggabungan, kloroplas dari mt akan hilang oleh suatu sebab yang hingga kini beluim diketahui. Jadi, kloroplas yang diwariskan hanya berasal dari tetua mt +. Oleh karena pewarisan sifat ketahanan terhadap antibiotik selalu ditentukan oleh tetua mt +, yang berarti sejalan dengan pola pewarisan kloroplas, maka sifat ini jelas dibawa oleh kloroplas. Dengan perkataan lain, pewarisan sifat ketahanan terhadap antibiotik pada Chlamydomonas merupakan pewarisan ekstrakromosomal atau pewarisan sitoplasmik.

mt+ str+ zigot mt str - mt+ str - zigot

mt str+

mt+ mt mt+ mt mt+ mt mt+ mt

semuanya str+ semuanya str

mt+ str+ mt - str+ mt+str - mt str

Gambar 8.3. Diagram pewarisan sifat ketahanan terhadap streptomisin pada Chlamydomonas (mt = tipe kawin ; str+ = tahan streptomisin ; str - =rentan streptomisin)

11/01/2009 Posted by zaifbio | Genetika Dasar | Tinggalkan sebuah Komentar

PEWARISAN SITOPLASMIK
BAB VIII
PEWARISAN SITOPLASMIK

Kriteria Pewarisan Sitoplasmik Organel Sitoplasmik Pembawa Materi Genetik Pengaruh Genetik Simbion Sitoplasmik pada Paramaecium Mekanisme Sterilitas Jantan pada Jagung Pengaruh Maternal dan Pewarisan Maternal

BAB VIII. PEWARISAN SITOPLASMIK


Sebegitu jauh pembicaraan kita tentang pewarisan sifat pada eukariot selalu dikaitkan dengan gen-gen yang terletak di dalam kromosom/nukleus. Kenyataannya gengen kromosomal ini memang memegang peranan utama di dalam pewarisan sebagian besar sifat genetik. Meskipun demikian, sesekali pernah pula dilaporkan bahwa ada sejumlah sifat genetik pada eukariot yang

pewarisannya diatur oleh unsur-unsur di luar nukleus. Pewarisan ekstranukleus, atau dikenal pula sebagai pewarisan sitoplasmik, ini tidak mengikuti pola Mendel. Pewarisan sifat sitoplasmik diatur oleh materi genetik yang terdapat di dalam organel-organel seperti mitokondria, kloroplas (pada tumbuhan), dan beberapa komponen sitoplasmik lainnya. Begitu juga virus dan partikel mirip bakteri dapat bertindak sebagai pembawa sifat herediter sitoplasmik. Pada Bab VIII ini akan dibahas berbagai contoh kasus yang termasuk dalam pewarisan sitoplasmik. Di bagian akhir dibicarakan pula suatu fenomena lain yang masih ada sangkut pautnya dengan pewarisan sitoplasmik. Kriteria Pewarisan Sitoplasmik Sebenarnya tidak ada kriteria yang dapat berlaku universal untuk membedakan pewarisan sitoplasmik dengan pewarisan gen-gen kromosomal. Namun, setidaktidaknya lima hal di bawah ini dapat digunakan untuk keperluan tersebut. 1. Perbedaan hasil perkawinan resiprok merupakan penyimpangan dari pola Mendel. Sebagai contoh, hasil persilangan antara betina A dan jantan B tidak sama dengan hasil persilangan antara betina B dan jantan A. Jika dalam hal ini pengaruh rangkai kelamin (Bab VI) dikesampingkan, maka perbedaan hasil perkawinan resiprok tersebut menunjukkan bahwa salah satu tetua (biasanya betina) memberikan pengaruh lebih besar daripada pengaruh tetua lainnya dalam pewarisan suatu sifat tertentu.

2. Sel kelamin betina biasanya membawa sitoplasma dan organel sitoplasmik dalam jumlah lebih besar daripada sel kelamin jantan. Organel dan simbion di dalam sitoplasma dimungkinkan untuk diisolasi dan dianalisis untuk mendukung pembuktian tentang adanya transmisi maternal dalam pewarisan sifat. Jika materi sitoplasmik terbukti berkaitan dengan pewarisan sifat tertentu, maka dapat dipastikan bahwa pewarisan sifat tersebut merupakan pewarisan sitoplasmik. 3. Gen-gen kromosomal menempati loki tertentu dengan jarak satu sama lain yang tertentu pula sehingga dapat membentuk kelompok berangkai (Bab V). Oleh karena itu, jika ada suatu materi penentu sifat tidak dapat dipetakan ke dalam kelompok-kelompok berangkai yang ada, sangat dimungkinkan bahwa materi genetik tersebut terdapat di dalam sitoplasma 4. Tidak adanya nisbah segregasi Mendel menunjukkan bahwa pewarisan sifat tidak diatur oleh gen-gen kromosomal tetapi oleh materi sitoplasmik. 5. Substitusi nukleus dapat memperjelas pengaruh relatif nukleus dan sitoplasma. Jika pewarisan suatu sifat berlangsung tanpa adanya pewarisan gen-gen kromosomal, maka pewarisan tersebut terjadi karena pengaruh materi sitoplasmik. Organel Sitoplasmik Pembawa Materi Genetik Di dalam sitoplasma antara lain terdapat organel-organel seperti mitokondria dan kloroplas, yang memiliki molekul DNA (lihat Bab IX) dan dapat melakukan replikasi subseluler sendiri. Oleh karena itu, kedua organel ini sering kali disebut sebagai organel otonom. Beberapa hasil

penelitian memberikan petunjuk bahwa mitokondria dan kloroplas pada awalnya masing-masing merupakan bakteri dan alga yang hidup bebas. Dalam kurun waktu yang sangat panjang mereka kemudian membangun simbiosis turun-temurun dengan sel inang eukariotnya dan akhirnya berkembang menjadi organel yang menetap di dalam sel. Mitokondria, yang dijumpai pada semua jenis organisme eukariot, diduga membawa hingga lebih kurang 50 gen di dalam molekul DNAnya. Gen-gen ini di antaranya bertanggung jawab atas struktur mitokondria itu sendiri dan juga pengaturan berbagai bentuk metabolisme energi. Enzim-enzim untuk keperluan respirasi sel dan produksi energi terdapat di dalam mitokondria. Begitu juga bahan makanan akan dioksidasi di dalam organel ini untuk menghasilkan senyawa adenosin trifosfat (ATP), yang merupakan bahan bakar bagi berbagai reaksi biokomia. Sementara itu, kloroplas sebagai organel fotosintetik pada tumbuhan dan beberapa mikroorganisme membawa sejumlah materi genetik yang diperlukan bagi struktur dan fungsinya dalam melaksanakan proses fotosintesis. Klorofil beserta kelengkapan untuk sintesisnya telah dirakit ketika kloroplas masih dalam bentuk alga yang hidup bebas. Pada alga hijau plastida diduga membawa mekanisme genetik lainnya, misalnya mekanisme ketahanan terhadap antibiotik streptomisin pada Chlamydomonas, yang nanti akan dibicarakan pada bagian lain bab ini. Mutan Mitokondria Pada suatu penelitian menggunakan khamir Saccharomyces cerevisae B. Ephrusi menemukan sejumlah

koloni berukuran sangat kecil yang kadang-kadang terlihat ketika sel ditumbuhkan pada medium padat. Koloni-koloni ini dinamakan mutan petit (petite mutant). Hasil pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa selsel pada koloni tersebut berukuran normal. Namun, hasil studi fisiologi menunjukkan bahwa sel-sel tersebut mengalami petumbuhan yang sangat lambat karena adanya kelainan dalam metabolisme senyawa karbon. Mutan petit melakukan metabolisme karbon bukan dengan respirasi menggunakan oksigen, melainkan melalui fermentasi glukosa secara anaerob yang jelas jauh kurang efisien bila dibandingkan dengan respirasi aerob. Analisis genetik terhadap hasil persilangan antara mutan petit dan tipe liarnya memperlihatkan adanya tiga tipe mutan petit seperti dapat dilihat pada Gambar 8.1.

Tipe pertama memperlihatkan segregasi Mendel seperti biasanya sehingga dinamakan petit segregasional. Persilangan dengan tipe liarnya menghasilkan zigot diploid yang normal. Jika zigot ini mengalami pembelahan meiosis, akan diperoleh empat askopora haploid dengan nisbah fenotipe 2 normal : 2 petit. Hal ini menunjukkan bahwa petit segregasional ditimbulkan oleh mutasi di dalam nukleus. Selain itu, oleh karena zigot diploid mempunyai fenotipe normal, maka dapat

dipastikan bahwa alel yang mengatur mutan petit merupakan alel resesif. Tipe ke dua, yang disebut petit netral, berbeda dengan tipe pertama jika dilihat dari keempat askopora hasil pembelahan meiosis zigot diploid. Keempat askospora ini semuanya normal. Hasil yang sama akan diperoleh apabila zigot diploid disilang balik dengan tetua petitnya. Jadi, fenotipe keturunan hanya ditentukan oleh tetua normalnya. Dengan perkataan lain, pewarisan sifatnya merupakan pewarisan uniparental. Berlangsungnya pewarisan uniparental tersebut disebabkan oleh hilangnya sebagian besar atau seluruh materi genetik di dalam mitokondria yang menyandi sintesis enzim respirasi oksidatif pada kebanyakan petit netral. Ketika sel petit netral bertemu dengan sel tipe liar, sitoplasma sel tipe liar akan menjadi sumber materi genetik mitokhodria bagi spora-spora hasil persilangan petit dengan tipe liar sehingga semuanya akan mempunyai fenotipe normal.

Segregasional Supresif

Netral

ha ploid : x x x

zigot diploid : normal normal petit

askospor a:

2 normal : 2 petit normal

4 4 petit

Gambar 8.1. Pewarisan mutasi petit pada persilangan dengan tipe liarnya
(lingkaran kecil menggambarkan sel petit ; nukleus bergaris untuk pembentukan petit) mendatar membawa alel

Tipe ke tiga disebut petit supresif, yang hingga kini belum dapat dijelaskan dengan baik. Pada persilangannya dengan tipe liar dihasilkan zigot diploid dengan fenotipe petit. Selanjutnya, hasil meiosis zigot petit ini adalah empat askospora yang semuanya mempunyai fenotipe petit. Dengan demikian, seperti halnya pada tipe petit netral, pewarisan uniparental juga terjadi pada tipe petit supresif. Bedanya, pada petit supresif alel penyebab petit bertindak sebagai penghambat (supresor) dominan terhadap aktivitas mitokondria tipe liar. Petit supresif juga mengalami kerusakan pada materi genetik mitokondrianya tetapi kerusakannya tidak separah pada petit netral.
Selain pada khamir S. cerevisae, kasus mutasi mitokondria juga dijumpai pada jamur Neurospora, yang pewarisannya berlangsung uniparental melalui tetua betina (pewarisan maternal) meskipun sebenarnya pada jamur ini belum ada perbedaan jenis kelamin yang nyata. Mutan mitokondria pada Neurospora yang diwariskan melalui tetua 10/31/2009 Posted by zaifbio | Genetika Dasar | Tinggalkan sebuah Komentar

RANGKAI KELAMIN DAN PENENTUAN JENIS KELAMIN BAB VI RANGKAI KELAMIN


DAN
PENENTUAN JENIS KELAMIN

Kromosom Kelamin dan Autosom


Gen Rangkai Kelamin Tipe Penentuan Jenis Kelamin Organisme Kromatin Kelamin dan Hipotesis Lyon Pengaruh Hormon Kelamin dalam Penentuan Jenis Kelamin

BAB VI. RANGKAI KELAMIN DAN PENENTUAN JENIS KELAMIN Pada Bab V telah kita pelajari pola pewarisan sifat yang diatur oleh gen-gen berangkai atau gen-gen yang terletak pada satu kromosom. Keberadaan gen berangkai pada suatu spesies organisme, yang meliputi urutan dan jaraknya satu sama lain, menghasilkan peta kromosom untuk spesies tersebut, misalnya peta kromosom pada lalat Drosophila melanogaster yang terdiri atas empat kelompok gen berangkai (Gambar 5.4). Salah satu dari keempat kelompok gen berangkai atau keempat pasang kromosom pada D. melanogaster tersebut, dalam hal ini kromosom nomor 1, disebut sebagai kromosom kelamin. Pemberian nama ini karena strukturnya pada individu jantan dan individu betina memperlihatkan perbedaan sehingga dapat digunakan untuk membedakan jenis kelamin individu. Ternyata banyak sekali spesies organisme lainnya, terutama hewan dan juga manusia, mempunyai kromosom kelamin. Gen-gen yang terletak pada kromosom kelamin dinamakan gen rangkai kelamin (sex-linked genes) sementara fenomena yang melibatkan pewarisan gen-gen ini disebut peristiwa rangkai kelamin (linkage). Adapun gen berangkai yang dibicarakan pada Bab V adalah gengen yang terletak pada kromosom selain kromosom kelamin, yaitu kromosom yang pada individu jantan dan betina sama strukturnya sehingga tidak dapat digunakan untuk membedakan jenis kelamin. Kromosom semacam ini dinamakan autosom. Seperti halnya gen berangkai (autosomal), gen-gen rangkai kelamin tidak mengalami segregasi dan penggabungan secara acak di dalam gamet-gamet yang terbentuk. Akibatnya, individu-individu yang dihasilkan melalui kombinasi gamet tersebut memperlihatkan nisbah

fenotipe dan genotipe yang menyimpang dari hukum Mendel. Selain itu, jika pada percobaan Mendel perkawinan resiprok (genotipe tetua jantan dan betina dipertukarkan) menghasilkan keturunan yang sama, tidak demikian halnya untuk sifat-sifat yang diatur oleh gen rangkai kelamin. Gen rangkai kelamin dapat dikelompok-kelompokkan berdasarkan atas macam kromosom kelamin tempatnya berada. Oleh karena kromosom kelamin pada umumnya dapat dibedakan menjadi kromosom X dan Y, maka gen rangkai kelamin dapat menjadi gen rangkai X (Xlinked genes) dan gen rangkai Y (Y-linked genes). Di samping itu, ada pula beberapa gen yang terletak pada kromosom X tetapi memiliki pasangan pada kromosom Y. Gen semacam ini dinamakan gen rangkai kelamin tak sempurna (incompletely sex-linked genes). Pada bab ini akan dijelaskan cara pewarisan macam-macam gen rangkai kelamin tersebut serta beberapa sistem penentuan jenis kelamin pada berbagai spesies organisme. Pewarisan Rangkai X Percobaan yang pertama kali mengungkapkan adanya peristiwa rangkai kelamin dilakukan oleh T.H Morgan pada tahun 1910. Dia menyilangkan lalat D. melanogaster jantan bermata putih dengan betina bermata merah. Lalat bermata merah lazim dianggap sebagai lalat normal atau tipe alami (wild type), sedang gen pengatur tipe alami, misalnya pengatur warna mata merah ini, dapat dilambangkan dengan tanda +. Biasanya, meskipun tidak selalu, gen tipe alami bersifat dominan terhadap alel mutannya. Hasil persilangan Morgan tersebut, khususnya pada generasi F1, ternyata berbeda jika tetua jantan yang digunakan adalah tipe alami (bermata merah) dan tetua betinanya bermata putih. Dengan perkataan lain, perkawinan resiprok menghasilkan keturunan yang berbeda. Persilangan resiprok dengan hasil yang berbeda ini memberikan petunjuk bahwa pewarisan warna mata pada Drosophila ada hubungannya dengan jenis kelamin, dan ternyata kemudian memang diketahui bahwa gen yang mengatur warna mata pada Drosophila terletak pada kromosom kelamin, dalam hal ini kromosom X. Oleh karena itu, gen pengatur warna mata ini dikatakan sebagai gen rangkai X. Secara skema pewarisan warna mata pada Drosophila dapat dilihat pada Gambar 6.1. Kromosom X dan Y masimg-masing lazim dilambangkan dengan tanda dan . P: x betina normal jantan mata putih + + w x betina mata putih jantan normal P: w w +

F1 :

+ w

F1:

+ w

betina normal

jantan normal

betina normal

jantan mata putih

a)

b)

Gambar 6.1. Diagram persilangan rangkai X pada Drosophila Jika kita perhatikan Gambar 6.1.b, akan nampak bahwa lalat F1 betina mempunyai mata seperti tetua jantannya, yaitu normal/merah. Sebaliknya, lalat F1 jantan warna matanya seperti tetua betinanya, yaitu putih. Pewarisan sifat semacam ini disebut sebagai criss cross inheritance. Pada Drosophila, dan juga beberapa spesies organisme lainnya, individu betina membawa dua buah kromosom X, yang dengan sendirinya homolog, sehingga gamet-gamet yang dihasilkannya akan mempunyai susunan gen yang sama. Oleh karena itu, individu betina ini dikatakan bersifat homogametik. Sebaliknya, individu jantan yang hanya membawa sebuah kromosom X akan menghasilkan dua macam gamet yang berbeda, yaitu gamet yang membawa kromosom X dan gamet yang membawa kromosom Y. Individu jantan ini dikatakan bersifat heterogametik. Rangkai X pada kucing Warna bulu pada kucing ditentukan oleh suatu gen rangkai X. Dalam keadaan heterozigot gen ini menyebabkan warna bulu yang dikenal dengan istilah tortoise shell. Oleh karena genotipe heterozigot untuk gen rangkai X hanya dapat dijumpai pada individu betina, maka kucing berbulu tortoise shell hanya terdapat pada jenis kelamin betina. Sementara itu, individu homozigot dominan (betina) dan hemizigot dominan (jantan) mempunyai bulu berwarna hitam. Individu homozigot resesif (betina) dan hemizigot resesif (jantan) akan berbulu kuning. Istilah hemizigot digunakan untuk menyebutkan genotipe individu dengan sebuah kromosom X. Individu dengan gen dominan yang terdapat pada satu-satunya kromosom X dikatakan hemizigot dominan. Sebaliknya, jika gen tersebut resesif, individu yang memilikinya disebut hemizigot resesif. Rangkai X pada manusia Salah satu contoh gen rangkai X pada manusia adalah gen resesif yang menyebabkan penyakit hemofilia, yaitu gangguan dalam proses pembekuan darah. Sebenarnya, kasus hemofilia telah dijumpai sejak lama di negara-negara Arab ketika beberapa anak laki-laki meninggal akibat perdarahan hebat setelah dikhitan. Namun, waktu itu kematian akibat perdarahan ini hanya dianggap sebagai takdir semata. Hemofilia baru menjadi terkenal dan dipelajari pola pewarisannya setelah beberapa anggota keluarga Kerajaan Inggris mengalaminya. Awalnya, salah seorang di antara putra Ratu Victoria menderita hemofilia sementara dua di antara putrinya karier atau heterozigot. Dari kedua putri yang heterozigot ini lahir tiga cucu laki-laki yang menderita hemofilia dan empat cucu wanita yang heterozigot. Melalui dua dari keempat cucu yang heterozigot inilah penyakit hemofilia tersebar di kalangan keluarga Kerajaan Rusia dan Spanyol. Sementara itu, anggota keluarga Kerajaan Inggris saat ini yang merupakan keturunan putra/putri normal Ratu Victoria bebas dari penyakit hemofilia. Rangkai Z pada ayam

Pada dasarnya pola pewarisan sifat rangkai Z sama dengan pewarisan sifat rangkai X. Hanya saja, kalau pada rangkai X individu homogametik berjenis kelamin pria/jantan sementara individu heterogametik berjenis kelamin wanita/betina, pada rangkai Z justru terjadi sebaliknya. Individu homogametik (ZZ) adalah jantan, sedang individu heterogametik (ZW) adalah betina. Contoh gen rangkai Z yang lazim dikemukakan adalah gen resesif br yang menyebabkan pemerataan pigmentasi bulu secara normal pada ayam. Alelnya, Br, menyebabkan bulu ayam menjadi burik. Jadi, pada kasus ini alel resesif justru dianggap sebagai tipe alami atau normal (dilambangkan dengan +), sedang alel dominannya merupakan alel mutan. Pewarisan Rangkai Y Pada umumnya kromosom Y hanya sedikit sekali mengandung gen yang aktif. Jumlah yang sangat sedikit ini mungkin disebabkan oleh sulitnya menemukan alel mutan bagi gen rangkai Y yang dapat menghasilkan fenotipe abnormal. Biasanya suatu gen/alel dapat dideteksi keberadaannya apabila fenotipe yang dihasilkannya adalah abnormal. Oleh karena fenotipe abnormal yang disebabkan oleh gen rangkai Y jumlahnya sangat sedikit, maka gen rangkai Y diduga merupakan gen yang sangat stabil. Gen rangkai Y jelas tidak mungkin diekspresikan pada individu betina/wanita sehingga gen ini disebut juga gen holandrik. Contoh gen holandrik pada manusia adalah Hg dengan alelnya hg yang menyebabkan bulu kasar dan panjang, Ht dengan alelnya ht yang menyebabkan pertumbuhan bulu panjang di sekitar telinga, dan Wt dengan alelnya wt yang menyebabkan abnormalitas kulit pada jari. Pewarisan Rangkai Kelamin Tak Sempurna Meskipun dari uraian di atas secara tersirat dapat ditafsirkan bahwa kromosom X tidak homolog dengan kromosom Y, ternyata ada bagian atau segmen tertentu pada kedua kromosom tersebut yang homolog satu sama lain. Dengan perkataan lain, ada beberapa gen pada kromosom X yang mempunyai alel pada kromosom Y. Pewarisan sifat yang diatur oleh gen semacam ini dapat dikatakan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, dan berlangsung seperti halnya pewarisan gen autosomal. Oleh karena itu, gen-gen pada segmen kromosom X dan Y yang homolog ini disebut juga gen rangkai kelamin tak sempurna. Pada D. melanogaster terdapat gen rangkai kelamin tak sempurna yang menyebabkan pertumbuhan bulu pendek. Pewarisan gen yang bersifat resesif ini dapat dilihat pada Gambar 6.2. P: + + x b b P: b b x + + jantan normal

betina normal

jantan bulu pendek

betina bulu pendek

F1 : + b betina normal a) + b jantan normal

F1: + b betina normal b) + b jantan normal

Gambar 6.2. Diagram pewarisan gen rangkai kelamin tak sempurna Dapat dilihat pada Gambar 6.2 bahwa perkawinan resiprok untuk gen rangkai kelamin tak sempurna akan memberikan hasil yang sama seperti halnya hasil yang diperoleh dari perkawinan resiprok untuk gen-gen autosomal. Jadi, pewarisan gen rangkai kelamin tak sempurna mempunyai pola seperti pewarisan gen autosomal. Sistem Penentuan Jenis Kelamin Telah disebutkan di atas bahwa pada manusia dan mamalia, dalam hal ini kucing, individu pria/jantan adalah heterogametik (XY) sementara wanita/betina adalah homogametik (XX). Sebaliknya, pada ayam individu jantan justru homogametik (ZZ) sementara individu betinanya heterogametik (ZW). Penentuan jenis kelamin pada manusia/mamalia dikatakan mengikuti sistem XY, sedang pada ayam, dan unggas lainnya serta ikan tertentu, mengikuti sistem ZW. Selain kedua sistem tersebut, masih banyak sistem penentuan jenis kelamin lainnya. Berikut ini akan dijelaskan beberapa di antaranya. Sistem XO Sistem XO dijumpai pada beberapa jenis serangga, misalnya belalang. Di dalam sel somatisnya, individu betina memiliki dua buah kromosom X sementara individu jantan hanya mempunyai sebuah kromosom X. Jadi, hal ini mirip dengan sistem XY. Bedanya, pada sistem XO individu jantan tidak mempunyai kromosom Y. Dengan demikian, jumlah kromosom sel somatis individu betina lebih banyak daripada jumlah pada individu jantan. Sebagai contoh, E.B. Wilson menemukan bahwa sel somatis serangga Protenor betina mempunyai 14 kromosom, sedang pada individu jantannya hanya ada 13 kromosom. Sistem nisbah X/A C.B. Bridge melakukan serangkaian penelitian mengenai jenis kelamin pada lalat Drosophila. Dia berhasil menyimpulkan bahwa sistem penentuan jenis kelamin pada organisme tersebut berkaitan dengan nisbah banyaknya kromosom X terhadap banyaknya autosom, dan tidak ada hubungannya dengan kromosom Y. Dalam hal ini kromosom Y hanya berperan mengatur fertilitas jantan. Secara ringkas penentuan jenis kelamin dengan sistem X/A pada lalat Drosophila dapat dilihat pada Tabel 6.1. Tabel 6.1. Penentuan jenis kelamin pada lalat Drosophila kromosom X 1 autosom 2 nibah X/A 0,5 jenis kelamin jantan

2 3 4 4 3 3 2 2 1

2 2 3 4 3 4 3 4 3

1 1,5 1,33 1 1 0,75 0,67 0,5 0,33

betina metabetina metabetina betina 4n betina 3n interseks interseks jantan metajantan

Jika kita perhatikan kolom pertama pada Tabel 6.1 akan terlihat bahwa ada beberapa individu yang jumlah kromosom X-nya lebih dari dua buah, yakni individu dengan jenis kelamin metabetina, betina triploid dan tetraploid, serta interseks. Adanya kromosom X yang didapatkan melebihi jumlah kromosom X pada individu normal (diploid) ini disebabkan oleh terjadinya peristiwa yang dinamakan gagal pisah (non disjunction), yaitu gagal berpisahnya kedua kromosom X pada waktu pembelahan meiosis. Pada Drosophila terjadinya gagal pisah dapat menyebabkan terbentuknya beberapa individu abnormal seperti nampak pada Gambar 6.3. P: E AAXX x AAXY G

gagal pisah

gamet : F1 :

AXX

AO

AX AAXXY

AY AAXO letal AAOY

AAXXX betina

betina super

jantan steril

Gambar 6.3. Diagram munculnya beberapa individu abnormal pada Drosophila akibat peristiwa gagal pisah Di samping kelainan-kelainan tersebut pernah pula dilaporkan adanya lalat Drosophila yang sebagian tubuhnya memperlihatkan sifat-sifat sebagai jenis kelamin jantan sementara sebagian lainnya betina. Lalat ini dikatakan mengalami mozaik seksual atau biasa disebut dengan istilah ginandromorfi. Penyebabnya adalah ketidakteraturan distribusi kromosom X pada masa-masa awal pembelahan mitosis zigot. Dalam hal ini ada sel yang menerima dua kromosom X tetapi ada pula yang hanya menerima satu kromosom X. Partenogenesis

Pada beberapa spesies Hymenoptera seperti semut, lebah, dan tawon, individu jantan berkembang dengan cara partenogenesis, yaitu melalui telur yang tidak dibuahi. Oleh karena itu, individu jantan ini hanya memiliki sebuah genom atau perangkat kromosomnya haploid. Sementara itu, individu betina dan golongan pekerja, khususnya pada lebah, berkembang dari telur yang dibuahi sehingga perangkat kromosomnya adalah diploid. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partenogenesis merupakan sistem penentuan jenis kelamin yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kromosom kelamin tetapi hanya bergantung kepada jumlah genom (perangkat kromosom). Sistem gen Sk-Ts Di atas disebutkan bahwa sistem penentuan jenis kelamin pada lebah tidak berhubungan dengan kromosom kelamin. Meskipun demikian, sistem tersebut masih ada kaitannya dengan jumlah perangkat kromosom. Pada jagung dikenal sistem penentuan jenis kelamin yang tidak bergantung, baik kepada kromosom kelamin maupun jumlah genom, tetapi didasarkan atas keberadaan gen tertentu. Jagung normal monosius (berumah satu) mempunyai gen Sk, yang mengatur pembentukan bunga betina, dan gen Ts, yang mengatur pembentukan bunga jantan. Jagung monosius ini mempunyai fenotipe Sk_Ts_. Sementara itu, alel-alel resesif sk dan ts masing-masing menghalangi pembentukan bunga betina dan mensterilkan bunga jantan. Oleh karena itu, jagung dengan fenotipe Sk_tsts adalah betina diosius (berumah dua), sedang jagung skskTs_ adalah jantan diosius. Jagung sksktsts berjenis kelamin betina karena ts dapat mengatasi pengaruh sk, atau dengan perkataan lain, bunga betina tetap terbentuk seakan-akan tidak ada alel sk. Pengaruh lingkungan Sistem penentuan jenis kelamin bahkan ada pula yang bersifat nongenetik. Hal ini misalnya dijumpai pada cacing laut Bonellia, yang jenis kelaminnya semata-mata ditentukan oleh faktor lingkungan.. F. Baltzer menemukan bahwa cacing Bonellia yang berasal dari sebuah telur yang diisolasi akan berkembang menjadi individu betina. Sebaliknya, cacing yang hidup di lingkungan betina dewasa akan mendekati dan memasuki saluran reproduksi cacing betina dewasa tersebut untuk kemudian berkembang menjadi individu jantan yang parasitik. Kromatin Kelamin Seorang ahli genetika dari Kanada, M.L. Barr, pada tahun 1949 menemukan adanya struktur tertentu yang dapat memperlihatkan reaksi pewarnaan di dalam nukleus sel syaraf kucing betina. Struktur semacam ini ternyata tidak dijumpai pada sel-sel kucing jantan. Pada manusia dilaporkan pula bahwa sel-sel somatis pria, misalnya sel epitel selaput lendir mulut, dapat dibedakan dengan sel somatis wanita atas dasar ada tidaknya struktur tertentu yang kemudian dikenal dengan nama kromatin kelamin atau badan Barr. Pada sel somatis wanita terdapat sebuah kromatin kelamin sementara sel somatis pria tidak memilikinya. Selanjutnya diketahui bahwa banyaknya kromatin kelamin ternyata sama dengan banyaknya kromosom X dikurangi satu. Jadi, wanita normal mempunyai sebuah

kromatin kelamin karena kromosom X-nya ada dua. Demikian pula, pria normal tidak mempunyai kromatin kelamin karena kromosom X-nya hanya satu. Dewasa ini keberadaan kromatin kelamin sering kali digunakan untuk menentukan jenis kelamin serta mendiagnosis berbagai kelainan kromosom kelamin pada janin melalui pengambilan cairan amnion embrio (amniosentesis). Pria dengan kelainan kromosom kelamin, misalnya penderita sindrom Klinefelter (XXY), mempunyai sebuah kromatin kelamin yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang pria normal. Sebaliknya, wanita penderita sindrom Turner (XO) tidak mempunyai kromatin kelamin yang seharusnya ada pada wanita normal. Mary F. Lyon, seorang ahli genetika dari Inggris mengajukan hipotesis bahwa kromatin kelamin merupakan kromosom X yang mengalami kondensasi atau heterokromatinisasi sehingga secara genetik menjadi inaktif. Hipotesis ini dilandasi hasil pengamatannya atas ekspresi gen rangkai X yang mengatur warna bulu pada mencit. Individu betina heterozigot memperlihatkan fenotipe mozaik yang jelas berbeda dengan ekspresi gen semidominan (warna antara yang seragam). Hal ini menunjukkan bahwa hanya ada satu kromosom X yang aktif di antara kedua kromosom X pada individu betina. Kromosom X yang aktif pada suatu sel mungkin membawa gen dominan sementara pada sel yang lain mungkin justru membawa gen resesif. Hipotesis Lyon juga menjelaskan adanya mekanisme kompensasi dosis pada mamalia. Mekanisme kompensasi dosis diusulkan karena adanya fenomena bahwa suatu gen rangkai X akan mempunyai dosis efektif yang sama pada kedua jenis kelamin. Dengan perkataan lain, gen rangkai X pada individu homozigot akan diekspesikan sama kuat dengan gen rangkai X pada individu hemizigot. Hormon dan Diferensiasi Kelamin Dari penjelasan mengenai berbagai sistem penentuan jenis kelamin organisme diketahui bahwa faktor genetis memegang peranan utama dalam ekspresi sifat kelamin primer. Selanjutnya, sistem hormon akan mengatur kondisi fisiologi dalam tubuh individu sehingga mempengaruhi perkembangan sifat kelamin sekunder. Pada hewan tingkat tinggi dan manusia hormon kelamin disintesis oleh ovarium, testes, dan kelenjar adrenalin. Ovarium dan testes masing-masing mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai penghasil sel kelamin (gamet) dan sebagai penghasil hormon kelamin. Sementara itu, kelenjar adrenalin menghasilkan steroid yang secara kimia berhubungan erat dengan gonad. Gen terpengaruh kelamin Gen terpengaruh kelamin (sex influenced genes) ialah gen yang memperlihatkan perbedaan ekspresi antara individu jantan dan betina akibat pengaruh hormon kelamin. Sebagai contoh, gen autosomal H yang mengatur pembentukan tanduk pada domba akan bersifat dominan pada individu jantan tetapi resesif pada individu betina. Sebaliknya, alelnya h, bersifat dominan pada domba betina tetapi resesif pada domba jantan. Oleh karena itu, untuk dapat bertanduk domba betina harus mempunyai dua gen H (homozigot) sementara domba jantan cukup dengan satu gen H (heterozigot). Tabel 6.2. Ekspresi gen terpengaruh kelamin pada domba

Genotipe HH Hh hh

Domba jantan bertanduk bertanduk tidak bertanduk

Domba betina bertanduk tidak bertanduk tidak bertanduk

Contoh lain gen terpengaruh kelamin adalah gen autosomal B yang mengatur kebotakan pada manusia. Gen B dominan pada pria tetapi resesif pada wanita. Sebaliknya, gen b dominan pada wanita tetapi resesif pada pria. Akibatnya, pria heterozigot akan mengalami kebotakan, sedang wanita heterozigot akan normal. Untuk dapat mengalami kebotakan seorang wanita harus mempunyai gen B dalam keadaan homozigot. Gen terbatasi kelamin Selain mempengaruhi perbedaan ekspresi gen di antara jenis kelamin, hormon kelamin juga dapat membatasi ekspresi gen pada salah satu jenis kelamin. Gen yang hanya dapat diekspresikan pada salah satu jenis kelamin dinamakan gen terbatasi kelamin (sex limited genes). Contoh gen semacam ini adalah gen yang mengatur produksi susu pada sapi perah, yang dengan sendirinya hanya dapat diekspresikan pada individu betina. Namun, individu jantan dengan genotipe tertentu sebenarnya juga mempunyai potensi untuk menghasilkan keturunan dengan produksi susu yang tinggi sehingga keberadaannya sangat diperlukan dalam upaya pemuliaan ternak tersebut. 10/31/2009 Posted by zaifbio | Genetika Dasar | 7 Komentar

BERANGKAI
BAB V

BERANGKAI

Dua Gen Berangkai dan Pindah Silang Tiga Gen Berangkai dan Pindah Silang Ganda Pemetaan Kromosom Pemetaan Kromosom

pada Manusia BAB V. BERANGKAI Percobaan-percobaan persilangan pada kacang ercis yang dilakukan oleh Mendel, baik monohibrid maupun dihibrid, telah menghasilkan dua hukum Mendel, yakni hukum segegasi dan hukum pemilihan bebas. Jika kembali kita perhatikan persilangan dihibrid menyangkut pewarisan warna biji dan bentuk biji, maka akan terlihat bahwa gamet-gamet yang terbentuk tidak hanya mengandung kombinasi gen dominan untuk warna biji (K) dengan gen dominan untuk bentuk biji (B), tetapi memungkinkan pula kombinasi gen resesif untuk warna biji (k) dengan gen resesif untuk bentuk biji (b), dan juga kombinasi gen K dengan gen b, serta gen k dengan gen B. Oleh karena peluang terjadinya kombinasi-kombinasi tersebut sama besar,

maka keempat macam gamet yang dihasilkan, yaitu KB, Kb, kB, dan kb, akan mempunyai nisbah 1 : 1 : 1 : 1. Gen-gen yang mengatur warna biji dan bentuk biji dewasa ini telah diketahui letaknya masing-masing. Gen pengatur warna biji terletak pada kromosom 1, sedang gen pengatur bentuk biji terletak pada kromosom 7. Inilah keuntungan lain yang diperoleh Mendel di samping secara kebetulan tanaman yang digunakan adalah diploid. Seandainya gen pengatur warna biji dan gen pengatur bentuk biji terletak pada kromosom yang sama, barangkali Mendel tidak akan berhasil merumuskan hukum pemilihan bebas. Saat ini kita telah mengetahui bahwa banyaknya gen pada kacang ercis, dan juga pada setiap spesies organisme lainnya, jauh lebih banyak daripada jumlah kromosomnya. Artinya, di dalam sebuah kromosom tertentu dapat dijumpai lebih dari sebuah gen. Gen-gen yang terdapat pada kromosom yang sama dinamakan gen-gen berangkai (linked genes), sedang fenomenanya sendiri dinamakan berangkai (linkage). Fenomena berangkai pertama kali ditemukan pada percobaan dihibrid oleh W.Bateson dan R.C Punnet pada tahun 1906. Akan tetapi, mereka tidak dapat memberikan interpretasi terhadap hasil persilangan yang diperoleh. Baru sekitar lima tahun kemudian seorang ahli genetika dan embriologi dari Amerika Serikat, T.H. Morgan, dapat menjelaskan mekanisme pewarisan gen-gen berangkai pada lalat Drosophila melanogaster. Dari konsep mengenai berangkai ini selanjutnya berkembang pengetahuan mengenai pindah silang (crossing over) dan pemetaan kromosom, yang sebagian besar melibatkan karya Morgan dan para mahasiswanya seperti C.B. Bridges, H.J. Muller, dan A.H. Sturtevant. Seluk-beluk mengenai gen-gen berangkai, termasuk cara memetakannya pada kromosom tempat mereka berada, akan menjadi pokok bahasan pada Bab V ini. Dua Gen Berangkai Dua buah gen yang berangkai akan mengalami segregasi dan rekombinasi dengan pola yang tidak mengikuti hukum Mendel. Artinya, pola segregasi dan rekombinasinya tidak bebas sehingga tiap macam gamet yang dihasilkannya pun menjadi tidak sama jumlahnya. Adanya perbedaan jumlah di antara macam gamet yang terbentuk tersebut disebabkan oleh kecenderungan gen-gen berangkai untuk selalu berada bersama-sama. Jadi, kalau gen-gen yang berangkai adalah sesama dominan dan sesama resesif, maka gamet yang mengandung gen-gen dominan dan gamet yang mengandung gen-gen resesif akan dijumpai lebih banyak daripada gamet dengan kombinasi gen dominan-resesif. Demikian pula, dalam keadaan gen dominan berangkai dengan gen resesif, gamet yang mengandung kombinasi gen dominanresesif akan lebih banyak jumlahnya daripada gamet dengan kandungan gen sesama dominan dan sesama resesif. Sebagai contoh, jika gen A dan gen B berangkai pada suatu kromosom sementara alel-alel resesifnya, a dan b, juga berangkai pada kromosom homolognya, maka gamet-gamet yang dihasilkan akan terdiri atas AB, Ab, aB, dan ab dengan nisbah n : 1 : 1 : n. Sebaliknya, jika gen A berangkai dengan gen b, dan gen a berangkai dengan gen B, maka nisbah gamet AB : Ab : aB : ab menjadi 1 : n : n : 1. Dalam hal ini n merupakan bilangan positif dengan nilai lebih dari satu.

Untuk lebih jelasnya pada Gambar 5.1 di bawah ini secara skema dapat diperbandingkan tiga kemungkinan segregasi dan rekombinasi gen-gen pada individu dihibrid AaBb. Gambar 5.1.a) memperlihatkan pola segregasi dan rekombinasi gen-gen yang terjadi secara bebas karena keduanya tidak berangkai. Sementara itu, pada Gambar 5.1.b) dan 5.1.c) tampak bahwa segregasi dan rekombinasi kedua gen tidak terjadi secara bebas. Dua gen yang berangkai cenderung untuk selalu bersama-sama atau tidak bersegregasi di dalam gametgamet yang terbentuk. A a gamet : A A a a a) B b B b 1 1 1 1 A a A a b) B b b B c) n n 1 1 A a A a b B B b n n 1 1 B b A a B b A a b B

Gambar 5.1. Gamet yang terbentuk dari individu dihibrid a) Kedua gen tidak berangkai b) Kedua gen berangkai dengan kedudukan sis c) Kedua gen berangkai dengan kedudukan trans Kedudukan Dua Gen Berangkai Kalau kita perhatikan lagi Gambar 5.1, akan tampak bahwa dua buah gen yang berangkai dapat berada pada dua macam kedudukan atau konfigurasi yang berbeda. Pada Gambar 5.1.b) gen dominan A berangkai dengan gen dominan B dan gen resesif a berangkai dengan gen resesif b. Kedudukan gen berangkai semacam ini dinamakan sis atau coupling phase. Sebaliknya, jika gen dominan berangkai dengan gen resesif seperti pada Gambar 5.1.c), maka kedudukannya dinamakan trans atau repulsion phase. Kedudukan gen berangkai harus tercerminkan pada notasi individu yang bersangkutan. Individu dihibrid AaBb, misalnya, ditulis sebagai AB/ab jika kedua gen tersebut berangkai dengan kedudukan sis, dan ditulis sebagai Ab/aB jika kedudukan berangkainya adalah trans. Jadi, penulisan AaBb hanya digunakan apabila kedua gen tersebut tidak berangkai. Baik pada kedudukan sis maupun trans terdapat dua macam gamet, yang masing-masing disebut sebagai gamet tipe parental dan gamet tipe rekombinasi. Gamet tipe parental mempunyai susunan gen yang sama dengan susunan gen pada individu, sedang gamet tipe rekombinasi susunan gennya merupakan rekombinasi susunan gen pada individu. Jadi, individu dihibrid AaBb akan menghasilkan gamet tipe parental AB dan ab serta gamet tipe rekombinasi Ab dan aB jika kedua gen tersebut berangkai dengan kedudukan sis.

Kebalikannya, jika kedua gen tersebut berangkai dengan kedudukan trans, maka gamet tipe parentalnya adalah Ab dan aB sementara gamet tipe rekombinasinya adalah AB dan ab. Gamet tipe parental jumlahnya selalu lebih besar atau setidak-tidaknya sama dengan jumlah gamet tipe rekombinasi. Dengan perkataan lain, gamet tipe parental jumlahnya berkisar dari 50% hingga 100%, sedang gamet tipe rekombinasi berkisar dari 0% hingga 50%. Jika gamet tipe parental sama banyaknya dengan gamet tipe rekombinasi (masing-masing 50% atau nisbah gamet = 1 : 1 : 1 : 1), maka hal ini berarti kedua gen tidak berangkai. Sebaliknya, jika semua gamet yang ada merupakan gamet tipe parental, atau dengan perkataan lain sama sekali tidak terdapat gamet tipe rekombinasi, maka kedua gen dikatakan mempunyai loki (tempat gen pada kromosom) yang sangat berdekatan. Besar kecilnya jumlah, atau persentase, gamet tipe rekombinasi oleh A.H. Sturtevant digunakan untuk menggambarkan jarak fisik antara dua gen berangkai. Setiap satuan peta ditetapkan sebagai jarak antara dua gen berangkai yang dapat menghasilkan gamet tipe rekombinasi sebanyak 1%. Makin panjang jarak antara dua gen berangkai, makin besar persentase gamet tipe rekombinasi yang dihasilkan. Sebagai contoh, jika suatu individu dihibrid dengan gen-gen yang berangkai menghasilkan gamet tipe parental sebanyak 80% atau gamet tipe rekombinasi sebanyak 20%, maka jarak antara kedua gen berangkai tersebut dikatakan sama dengan 20% atau 20 satuan peta atau 20 Morgan. Sebenarnya hubungan linier antara jarak dua gen berangkai dan persentase gamet tipe rekombinasi hanya berlaku lebih kurang hingga nilai 20%. Di atas nilai ini peningkatan jarak tidak terus-menerus diikuti oleh peningkatan persentase gamet tipe rekombinasi. Seperti telah dijelaskan, gamet tipe rekombinasi jumlahnya paling banyak hanya 50%. Di sisi lain jarak antara dua gen berangkai dapat mencapai lebih dari 100%, misalnya jarak terpanjang antara dua gen berangkai pada kromosom 1 tanaman jagung yang mencapai 161%. Pindah Silang Telah disebutkan bahwa dua buah gen yang berangkai akan cenderung untuk tetap bersamasama di dalam gamet yang terbentuk. Akan tetapi, di antara keduanya masih terdapat pula kemungkinan untuk mengalami segregasi dan rekombinasi sehingga akan diperoleh kombinasi gen-gen seperti yang dijumpai pada gamet tipe rekombinasi. Terjadinya segregasi dan rekombinasi dua buah gen berangkai ini tidak lain karena mereka mengalami peristiwa yang dinamakan pindah silang (crossing over), yaitu pertukaran materi genetik (gen) di antara kromosom-kromosom homolog. Dari pengertian pindah silang tersebut kita dapat menyederhanakan batasan tentang gamet tipe parental dan gamet tipe rekombinasi. Di atas telah dikatakan bahwa gamet tipe parental adalah gamet dengan susunan gen yang sama dengan susunan gen pada individu, sedang gamet tipe rekombinasi adalah gamet yang susunan gennya merupakan rekombinasi susunan gen pada individu. Sekarang dengan lebih mudah dapat kita katakan bahwa gamet tipe parental adalah gamet bukan hasil pindah silang, sedang gamet tipe rekombinasi adalah gamet hasil pindah silang. Peristiwa pindah silang, bersama-sama dengan pemilihan bebas (hukum Mendel II), merupakan mekanisme penting yang mendasari pembentukan keanekaragaman genetik karena kedua-duanya akan menghasilkan kombinasi baru di antara gen-gen yang terdapat pada individu sebelumnya. Selanjutnya, seleksi alam akan bekerja untuk mempertahankan

genotipe-genotipe dengan kombinasi gen yang adaptif saja. Oleh karena itulah, banyak ilmuwan yang menganggap bahwa pindah silang dan pemilihan bebas sangat penting bagi berlangsungnya proses evolusi. Pindah silang terjadi pascaduplikasi kromosom Pada profase I meiosis kedua kromosom homolog akan mengalami duplikasi menjadi empat buah kromatid (lihat Bab IV). Selanjutnya, keempat kromatid ini akan membentuk sinapsis yang dinamakan tetrad. Pada saat terbentuknya konfigurasi tetrad inilah pindah silang terjadi. Bukti bahwa pindah silang terjadi sesudah kromosom homolog mengalami duplikasi diperoleh dari hasil analisis genetik pada percobaan menggunakan kapang Neurospora crassa. Kapang ini sangat cocok untuk keperluan analisis genetik terutama karena dalam fase reproduksi aseksualnya terdapat askosopra haploid yang akan mengalami pembelahan mitosis sehingga berkecambah dan tumbuh menjadi miselium multisel yang juga haploid. Dengan adanya miselium haploid inilah, keberadaan gen-gen resesif dapat dideteksi karena ekspresinya tidak tertutup oleh gen dominan. Secara skema bukti yang menujukkan bahwa pindah silang terjadi pascaduplikasi kromosom dapat dilihat pada Gambar 5.2 di bawah ini. Pola askus

A b A a a a B B b B a B a B binasi A b A b A b 100% rekom-

Meiosis I Mitosis a)

Meiosis II,

Pola askus

parental A A a a a B B b b b a a B b a a B b A A B B A B A b A b rekombinasi

parental

Meiosis I Mitosis b)

Meiosis II,

Gambar 5.2. Hasil pindah silang dilihat dari pola askus pada Neurospora crassa Pada Gambar 5.2.a) pindah silang terjadi sebelum kromosom mengalami duplikasi. Ternyata dilihat dari kedelapan askospora hasil pembelahan mitosis gamet dapat dipastikan bahwa keempat gamet yang dihasilkan seluruhnya merupakan gamet tipe rekombinasi atau sama sekali tidak ada gamet tipe parental. Hal ini jelas sesuatu yang tidak mungkin terjadi karena dari penjelasan sebelumnya kita mengetahui bahwa persentase gamet tipe rekombinasi berkisar dari 0 hingga 50%. Sebaliknya, pada Gambar 5.2.b) pindah silang terjadi sesudah kromosom mengalami duplikasi. Tampak bahwa kedelapan askospora yang terbentuk terdiri atas dua macam, yaitu askospora yang berasal dari gamet tipe parental dan askosopra yang berasal dari gamet tipe rekombinasi. Di antara askospora tipe parental masih dapat dibedakan lagi askopora dari parental pertama (AB) dengan askospora dari parental kedua (ab). Oleh karena kemungkinan pada Gambar 5.2.b) ini masuk akal, maka dapat disimpulkan bahwa pindah silang terjadi setelah kromosom mengalami duplikasi. Persentase pindah silang menggambarkan jarak antara dua gen berangkai

Peristiwa pindah silang akan menyebabkan terbentuknya gamet tipe rekombinasi, atau seperti disebutkan di atas, gamet tipe rekombinasi merupakan gamet hasil pindah silang. Sementara itu, persentase gamet tipe rekombinasi sampai dengan batas tertentu (lebih kurang 20%) memperlihatkan korelasi positif dengan jarak fisik antara dua gen berangkai. Dengan demikian, besarnya persentase pindah silang juga menggambarkan jarak fisik antara dua gen berangkai. Tiga Gen Berangkai Di antara tiga buah gen berangkai, misalnya gen-gen dengan urutan A-B-C, dapat terjadi tiga kemungkinan pindah silang. Pertama, pindah silang terjadi antara A dan B atau pindah silang pada interval I. Ke dua, pindah silang terjadi antara B dan C atau pindah silang pada interval II. Ke tiga, pindah silang terjadi antara A dan B sekaligus antara B dan C. Kemungkinan yang terakhir ini dinamakan pindah silang ganda (double crossing over). Sesuai dengan banyaknya macam pindah silang yang terjadi, gamet tipe rekombinasi yang dihasilkan ada tiga macam, yaitu gamet tipe rekombinasi hasil pindah silang pada interval I, gamet tipe rekombinasi hasil pindah silang pada interval II, dan gamet tipe rekombinasi hasil pindah silang ganda. Kalau kita misalkan bahwa kedudukan ketiga gen berangkai tersebut seperti pada Gambar 5.3, maka gamet tipe rekombinasi yang dihasilkan adalah Abc dan aBC (hasil pindah silang I), ABc dan abC (hasil pindah silang II), serta AbC dan aBc (hasil pindah silang ganda). Selain itu, ada juga gamet tipe parental, yaitu ABC dan abc. A a interval I B b interval II C c

A A

B B

C C

a a

b b

c c

A A

B b

C C

a a

B b

c c

Gambar 5.3. Pindah silang di antara tiga gen berangkai Dari delapan macam gamet yang dihasilkan tersebut, gamet tipe parental dengan sendirinya paling besar persentasenya, sedang gamet yang paling kecil persentasenya adalah gamet tipe rekombinasi hasil pindah silang ganda. Bagaimana dengan gamet hasil pindah silang I dan gamet hasil pindah silang II ? Mana di antara kedua kelompok gamet tipe rekombinasi tersebut yang lebih besar persentasenya ? Jawabannya tentu saja bergantung kepada besarnya jarak A-B dan jarak B-C. Jika A-B lebih panjang daripada B-C, maka gamet hasil pindah silang I lebih banyak daripada gamet hasil pindah silang II. Begitu pula sebaliknya, gamet hasil pindah silang II akan dijumpai lebih banyak daripada gamet hasil pindah silang I jika jarak B-C lebih panjang daripada jarak A-B. Silang Uji Tiga Titik Silang uji, seperti telah dijelaskan pada Bab II, adalah persilangan suatu individu dengan individu homozigot resesif. Silang uji terhadap individu trihibrid dinamakan silang uji tiga titik (three-point test cross). Sebagai contoh, individu trihibrid AaBbCc disilang uji dengan aabbcc. Jika di antara ketiga gen tersebut tidak ada yang berangkai, maka hasil persilangannnya ada delapan macam fenotipe, yaitu A-B-C-, A-B-cc, A-bbC-, aaB-C-, Abbcc, aaB-cc, aabbC-, dan aabbcc, dengan nisbah 1 : 1 : 1 : 1 : 1 : 1 : 1 : 1. Namun, jika gen A berangkai dengan gen B dan gen C, maka nisbah fenotipe yang dihasilkan tidak akan sama tetapi bergantung kepada jumlah tiap macam gamet individu trihibrid tersebut. Seperti pada penjelasan Gambar 5.3, gamet dari individu ABC/abc dapat dibagi menjadi empat kelompok. Kelompok pertama adalah gamet tipe parental (ABC dan abc), kelompok ke dua gamet hasil pindah silang di daerah I (Abc dan aBC), kelompok ke tiga gamet pindah silang di daerah II (ABc dan abC), dan kelompok ke empat gamet hasil pindah silang ganda (AbC dan aBc). Sementara itu, dari individu homozigot resesif aabbcc (abc/abc) hanya akan dihasilkan satu macam gamet, yakni abc, karena baik gamet tipe parental maupun rekombinasi akan mempunyai susunan gen yang sama. Dengan demikian, fenotipe sekaligus genotipe hasil silang ujinya akan ada empat kelompok, yang masing-masing terdiri atas dua macam fenotipe, sesuai dengan nisbah gamet individu ABC/abc. ABC/abc tipe parental (persentasenya terbesar) abc/abc

Abc/abc tipe rekombinasi hasil pindah silang antara A dan B (persentasenya bergantung kepada posisi lokus B) aBC/abc ABc/abc tipe rekombinasi hasil pindah silang antara B dan C (persentasenya bergantung kepada posisi lokus B) abC/abc AbC/abc tipe rekombinasi hasil pindah silang ganda (persentasenya terkecil) aBc/abc Salah satu kromosom homolog pada tiap fenotipe/genotipe hasil silang uji tersebut di atas selalu membawa gen-gen dengan susunan yang sama, yaitu abc. Oleh karena itu, biasanya notasi fenotipe/genotipe individu hasil silang uji untuk gen-gen berangkai sama dengan notasi untuk gametnya masing-masing. Jadi, individu ABC/abc, misalnya, cukup ditulis dengan ABC. Begitu juga untuk ketujuh genotipe lainnya penulisannya cukup seperti notasi gametnya saja. Pemetaan Kromosom Data hasil silang uji tiga titik dapat dimanfaatkan untuk membuat peta kromosom. Di dalam peta kromosom tiap kromosom disebut sebagai satu kelompok gen berangkai (linkage group), yang terdiri atas sederetan gen-gen dengan urutan dan jarak tertentu. Dengan demikian, pada prinsipnya pembuatan peta kromosom meliputi penentuan urutan gen pada satu kromosom dan penghitungan jarak antara gen yang satu dan lainnya. Sebagai contoh, pada lalat Drosophila melanogaster telah ditemukan adanya empat kelompok gen berangkai seperti dapat dilihat pada Gambar 5.4. Langkah-langkah untuk membuat peta kromosom dari data hasil silang uji dapat dijelaskan dengan contoh berikut ini. ABC = 265 ABc = 133 AbC = 6 aBC = 441 Abc = 435 aBc = 4 abC = 139 abc = 227

Untuk menentukan urutan gen yang benar pertama-tama kita cari individu tipe parental di antara kedelapan genotipe tersebut, yaitu dua individu yang persentase atau jumlahnya terbesar (aBC dan Abc). Keduanya dipasangkan menjadi aBC/Abc. Kemudian, kita cari

individu hasil pindah silang ganda, yaitu dua individu yang jumlahnya terkecil (AbC dan aBc). Ini juga kita pasangkan menjadi AbC/aBc. Individu parental disimulasi untuk mengalami pindah silang ganda (psg). Artinya, aBC/Abc disimulasi untuk mengalami psg menjadi abC/ABc. Setelah hasil simuasi ini dicocokkan dengan individu psg yang ada ternyata susunan gennya tidak sama (abC/ABc tidak sama dengan AbC/aBc). Oleh karena itu, individu parental harus kita ubah urutan gennya, misalnya menjadi BaC/bAc. Jika individu ini mengalami psg, maka akan diperoleh BAC/bac, yang ternyata masih belum cocok juga dengan AbC/aBc. Alternatif ke tiga (terakhir) adalah mengubah urutan gen pada individu parental menjadi aCB/Acb. Individu parental dengan urutan gen seperti ini (lokus C di tengah) jika mengalami psg akan menjadi acB/ACb, yang ternyata cocok dengan AbC/aBc. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa urutan loki gen yang benar adalah A-C-B atau B-C-A. 0 y (yellow body) 0 ci (cubitus interruptus eyes) w (whirte eyes) (bent wings) N (Notch wings) (shaven bristles) ec (echinus eyes) rb (ruby eyes) bo (bordeaux eyes) cv (crossveinless wings) ov (oval eyes) ct (cut wings) sn (singed bristles) ed (echinoid eyes) dp (dumpy wings) cl (clot eyes) spd (spade wings) lys (lysine accumulation) jv (javelin bristles) Hn (Henna eyes) fs(3) G2 (betina steril) Cy (Curly wings) net (net wings) 0 ru (roughoid eyes) 0

S (Star eyes)

R (Roughened eyes)

bt

sv

IV

t (tan body) ras (raspberry eyes) m (miniature wings) wy (wavy wings) g (garnet eyes) pl (pleated wings)

tu-48 (abdominal tumors) fy (fuzzy hairs) corr (corrugated wings) J (Jammed wings)

se (sepia eyes) cur (curvoid wings) rs (rose eyes) Gl (Glued eyes) st (scarlet eyes)

b (black body)

eg (eagle wings)

sd (scalloped wings) r (rudimentary wings) B (Bar eyes) car (carnation eyes)

rd (reduced bristles) stw (straw bristles) cn (cinnabar eyes) che (cherub wings)

cu (curly wings)

bx (bithorax body) sr (stripe body)

bb (bobbed bristles) 68 I c (curved wings) Amy (Amylase) rf (roof wings) nw (narrow wings)

vg (vestigial wings) U (Upturmed wings)

Dl (Delta wings) e (ebony body)

cd (cardinal eyes) obt (obtuse wings)

dsr (disrupted wings) hy (humpy body) ra (rase britles) a (arc wings) Frd (Freckled body) M(2)c (Minute body) 106 108 II

Pr (Prickly bristles) r sd (raised wings)

ca (claret eyes)

M(3)g (Minute body) III

Gambar 5.4. Peta kromosom pada lalat Drosophila melanogaster = sentromir Kromosom I = kromosom kelamin

Mutan yang diawali dengan huruf besar = mutan dominan Setelah urutan gen yang benar diketahui, data hasil silang uji tersebut di atas diubah urutan gennya sehingga menjadi ACB = 265 AcB = 133 ACb = 6 aCB = 441 Acb = 435 acB = 4 aCb = 139 acb = 227

Selanjutnya, kita dapat menghitung jarak antara dua gen berurutan (A-C dan C-B), yang masing-masing sama dengan persentase pindah silang di antara kedua gen yang diukur jaraknya (ingat ! besarnya persentase pindah silang menggambarkan jarak fisik antara dua gen berangkai). Jadi, jarak A-C sama dengan pindah silang antara A dan C, sedang jarak C-B sama dengan pindah silang antara C dan B. Oleh karena individu parentalnya aCB/Acb, maka individu hasil pindah silang antara A dan C terdiri atas acb, ACB, acB, dan ACb. Dengan demikian, jarak A-C = (227 + 265 + 4 + 6) / 1650 x 100% = 30,4%. Sementara itu, individu hasil pindah silang antara C dan B masingmasing aCb, AcB, acB, dan ACb, sehingga jarak C-B = (139 + 133 + 4 + 6) / 1650 x 100% = 17,1%. A 30,4% Interferensi Kromosom Pada contoh soal tersebut di atas terlihat bahwa banyaknya individu hasil pindah silang ganda ada (4 + 6) / 1650 x 100% = 0,6%. Nilai ini merupakan persentase pindah silang ganda yang benar-benar terjadi (psg O). Namun, seperti telah dijelaskan sebelumnya, pindah silang ganda adalah dua peristiwa pindah silang yang terjadi bersama-sama pada dua daerah yang berurutan. Seandainya kedua pindah silang ini benar-benar independen satu sama lain, maka secara teori besarnya persentase pindah silang ganda seharusnya sama dengan hasil kali masing-masing pindah silang (lihat teori peluang pada Bab II). Pada soal tersebut di atas persentase pindah silang ganda yang diharapkan atau seharusnya terjadi (psg E) sama dengan 30,4% x 17,1% = 5,2%. Biasanya psg O lebih kecil daripada psg E. Fenomena ini pertama kali ditemukan oleh H.J. Muller pada tahun 1916, dan dinamakan interferensi kromosom atau interferensi kiasma. Jadi, interferensi ini menunjukkan bahwa pindah silang di suatu tempat akan menghalangi terjadinya pindah silang di dekatnya. Derajad interferensi secara kuantitatif diukur dengan suatu nilai yang disebut koefisien koinsidensi (KK), yang merupakan nisbah psg O terhadap psg E. Nilai KK berkisar dari 0 hingga 1, dan pada contoh soal di atas nilai KK = 0,6% / 5,2% = 0,12. Nilai KK = 1 menggambarkan adanya independensi yang sempurna di antara dua peristiwa pindah silang yang berurutan sehingga psg O sama besarnya dengan psg E. Sebaliknya, nilai KK = 0 menunjukkan bahwa dua peristiwa pindah silang yang berurutan benar-benar saling menghalangi. Oleh karena itu, nilai KK berbanding terbalik dengan besarnya interferensi. 17,1% C B

Makin besar KK, kedua pindah silang makin independen sehingga makin kecil interferensinya. Untuk menggambarkan derajad interferensi dapat pula digunakan koefisien interferensi (KI), yang nilainya sama dengan 1 KK. Dengan demikian, nilai KI juga berkisar dari 0 hingga 1 tetapi berbanding lurus dengan besarnya interferensi. Artinya, makin besar KI, kedua pindah silang makin menghalangi satu sama lain atau makin besar interferensinya. Pemetaan Kromosom pada Manusia Pada manusia dengan sendirinya tidak dapat dilakukan pembuatan peta kromosom menggunakan data hasil silang uji. Oleh karena itu, diperlukan cara lain untuk dapat mengetahui susunan gen pada suatu kromosom tertentu. Cara yang paling lama dikenal adalah analisis silsilah keluarga dengan mengamati pola pewarisan suatu sifat. Pada tahun 1960-an terjadi kemajuan yang pesat dalam pembuatan peta kromosom pada manusia berkat ditemukannya suatu teknik yang dikenal sebagai hibridisasi sel somatis. Sejalan dengan penemuan ini berkembang pula teknik sitologi yang memungkinkan dilakukannya identifikasi kromosom dan segmen kromosom manusia. Bahkan dewasa ini teknik DNA rekombinan dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi keberadaan masingmasing gen di dalam molekul DNA kromosom. Teknik hibridisasi sel somatis pertama kali digunakan oleh G. Barski dan koleganya pada tahun 1960 untuk menggabungkan sel somatis mencit dengan sel somatis manusia secara in vitro. Penggabungan (fusi) sel ini berlangsung dengan tingkat keberhasilan yang sangat rendah, yaitu sekitar satu di antara sejuta sel. Namun, frekuensi fusi tersebut dapat ditingkatkan dengan penambahan sejenis virus, yakni virus Sendai, yang telah diinaktifkan dengan radiasi ultraviolet. Selain dengan virus Sendai, frekuensi fusi dapat juga ditingkatkan dengan pemberian bahan kimia polietilen glikol. Sel hibrid yang terbentuk kemudian mengalami pembelahan mitosis sehingga dihasilkan sejumlah besar sel hibrid. Di antara sel-sel hibrid hasil mitosis ini selalu terjadi pengurangan jumlah kromosom manusia sementara jumlah kromosom mencitnya tetap. Dengan adanya variasi jumlah kromosom manusia pada sel hibrid, dapat ditentukan keberadaan gen tertentu pada suatu kromosom atas dasar aktivitas enzim yang dihasilkan. Sebagai contoh, keberadaan gen yang mengatur sintesis enzim timidin kinase dapat diketahui dari data seperti pada Tabel 5.1. Terlihat bahwa kromosom 17 merupakan satu-satunya kromosom yang keberadaannya berkorelasi positif dengan aktivitas timidin kinase. Dalam hal ini kromosom 17 selalu dijumpai pada setiap sel hibrid yang memperlihatkan aktivitas timidin kinase dan tidak dijumpai pada sel hibrid yang tidak memperlihatkan aktivitas enzim tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa gen yang mengatur sintesis timidin kinase terletak pada kromosom nomor 17. Cara yang sama digunakan untuk menentukan bahwa pada suatu kromosom terdapat gen-gen tertentu.

Tabel 5.1. Data hibridisasi sel somatis


Nomor Aktivitas Kromosom manusia

sel hibrid 1 2 3 4 5

timidin kinase aktif aktif aktif aktif tidak aktif

(+ = ada; = tidak ada) X Y 1 2 4 7 + + + + + + + + + + + + + + -

9 + + +

10 + + -

15 + + +

17 + + + + -

18 + -

21 + + -

10/31/2009 Posted by zaifbio | Genetika Dasar | 5 Komentar

GENOM ORGANISME

BAB III GENOM ORGANISME


Pengertian Genom Struktur Kromosom Jumlah Kromosom

BAB III. GENOM ORGANISME Analisis hasil percobaan persilangan yang dilakukan oleh Mendel telah memberikan pemahaman bahwa satuan-satuan herediter yang mengatur pemunculan sifat atau fenotipe individu bersifat diskrit (terpisah satu sama lain). Sebagai contoh, sifat tinggi tanaman kacang ercis diatur oleh pasangan gen D dan d, sedangkan bentuk bijinya diatur oleh pasangan gen W dan w. Demikian pula, sejumlah sifat lainnya diatur oleh pasangan-pasangan gen tersendiri. Jadi, masing-masing pasangan gen tersebut merupakan satuan-satuan herediter yang terpisah satu sama lain. Meskipun demikian, ketika itu belum dapat diungkapkan mekanisme transmisi gen dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam hukum Mendel I (segregasi) hanya disebutkan bahwa tiap pasangan gen akan dipisahkan ke dalam gamet-gamet yang terbentuk. Selanjutnya, rekombinasi gen akan berlangsung pada saat terjadi penggabungan gamet jantan dengan gamet betina melalui perkawinan. Begitu juga, hukum Mendel II (pemilihan bebas) hanya mengemukakan bahwa segregasi pasangan gen yang satu tidak bergantung kepada segregasi pasangan gen lainnya. Beberapa tahun kemudian barulah diketahui bahwa gen terdapat di dalam struktur intranukeus yang dinamakan kromosom (chromo=warna ; soma=badan). Salah satu kelompok peneliti, T.H. Morgan dan koleganya, melalui studi pada lalat buah Drosophila melanogaster mengajukan konsep bahwa gen merupakan satuan-satuan diskrit (terpisah satu sama lain) di dalam kromosom. Oleh karena gen terdapat di dalam kromosom, maka untuk mempelajari mekanisme transmisi gen perlu dilakukan pengamatan terhadap perilaku kromosom, khususnya selama

berlangsungnya pembelahan sel (lihat Bab IV). Pada Bab III ini hanya akan dibahas sekilas kedudukan gen di dalam kromosom.

Pengertian Genom
Secara keseluruhan kumpulan gen-gen yang terdapat di dalam setiap sel individu organisme disebut sebagai genom. Dengan perkataan lain, genom suatu organisme adalah kumpulan semua gen yang dimiliki oleh organisme tersebut pada setiap selnya. Lalu bagaimanakah hubungan antara genom dan kromosom? Organisme prokariot seperti bakteri diketahui hanya mempunyai sebuah kromosom yang tidak dikemas di dalam suatu nukleus sejati. Kromosom ini berbentuk lingkaran (sirkuler), dan semua gen tersusun di sepanjang lingkaran tersebut. Oleh karena itu, genom organisme prokariot dikatakan hanya terdiri atas sebuah kromosom tunggal (lihat juga Bab XII).

Gambar 3.1. Genom/kromosom prokariot


Berbeda dengan genom prokariot, genom eukariot tersusun dari beberapa buah kromosom. Tiap kromosom membawa sederetan gen tertentu. Selain itu, kromosom eukariot mempunyai bentuk linier. Posisi di dalam kromosom, baik pada prokariot maupun pada eukariot, yang ditempati oleh suatu gen disebut sebagai lokus (jamak: loki) bagi gen tersebut. Contoh deretan lokus sejumlah gen di dalam suatu kromosom eukariot dapat dilihat pada Gambar 5.4 (Bab V), yang menampilkan peta kromosom pada lalat D. melanogaster. Genom Eukariot Di atas telah disinggung bahwa genom eukariot terdiri atas beberapa buah kromosom. Jumlah kromosom dasar di dalam genom suatu organisme eukariot (biasa dilambangkan dengan n) dikatakan sebagai jumlah kromosom haploid (lihat juga Bab VII). Sel-sel kelamin (gamet) pada manusia merupakan contoh sel yang mempunyai seperangkat kromosom haploid, atau berarti hanya mempunyai sebuah genom. Sementara itu, sel-sel lainnya (sel somatis) hampir selalu mempunyai dua buah genom, atau dikatakan mempunyai genom diploid. Jumlah kromosom dasar di dalam genom haploid pada umumnya berbeda-beda antara satu spesies dan spesies lainnya. Namun, jumlah kromosom ini tidak ada kaitannya dengan ukuran atau kompleksitas biologi suatu organisme. Kebanyakan spesies mempunyai 10 hingga 40

buah kromosom di dalam genom haploidnya (Tabel 3.1). Muntjac, sejenis rusa kecil dari Asia, hanya mempunyai tiga buah kromosom, sedangkan beberapa spesies paku-pakuan diketahui mempunyai beratus-ratus kromosom di dalam genom haploidnya.

Tabel 3.1. Jumlah kromosom pada genom haploid beberapa spesies organisme eukariot Spesies organisme Jumlah kromosom haploid (n) 16 7 17 10 21 12 6 11 5 4 3 18 6 14 25 17 39 20 36 24 23

Eukariot sederhana Saccharomyces cerevisiae Neurospora crassa Chlamydomonas reinhardtii Tumbuhan Zea mays Triticum aestivum Lycopersicon esculentum Vicia faba Sequoia sempivirens Arabidopsis thaliana Hewan avertebrata Drosophila melanogaster Anopheles culicifacies Asterias forbesi Caenorhabditis elegans Mytilus edulis Hewan vertebrate Esox lucius Xenopus laevis Gallus domesticus Mus musculus Felis domesticus Pan tryglodites Homo sapiens

Pada organisme diploid kedua genom akan berpasangan pada setiap kromosom yang sesuai. Artinya, kromosom nomor 1 dari genom pertama akan berpasangan dengan kromosom nomor 1 pula dari genom kedua. Demikian seterusnya hingga pasangan kromosom yang ke-n. Kromosom-kromosom yang berpasangan ini dinamakan kromosom homolog.

Dengan adanya kromosom-kromosom homolog, tiap gen yang terletak pada lokus tertentu di dalam suatu kromosom dapat berpasangan dengan gen yang sesuai pada kromosom homolognya. Sebagai contoh, gen A (dominan) pada suatu kromosom dapat berpasangan dengan gen A pada kromosom homolognya sehingga terbentuk genotipe homozigot dominan untuk lokus tersebut. Jika pada kromosom yang satu terdapat gen A dan pada kromosom homolognya terdapat gen a, maka akan diperoleh genotipe heterozigot. Demikian pula, jika pada kedua kromosom homolog gen a berpasangan dengan gen a, maka akan didapatkan genotipe homozigot resesif.

Klasifikasi struktur kromosom eukariot


Kromosom eukariot, yang telah kita ketahui berbentuk linier, ternyata dapat dikelompokkan menurut kedudukan sentromirnya. Sentromir adalah suatu daerah pada kromosom yang merupakan tempat melekatnya benang-benang spindel dari sentriol selama berlangsungnya pembelahan sel (Bab IV). Dilihat dari kedudukan sentromirnya, dikenal ada tiga macam struktur kromosom eukariot, yaitu metasentrik, submetasentrik, dan akrosentrik. Struktur kromosom ini dapat dilihat dengan jelas ketika pembelahan sel berada pada tahap anafase. s

s a)

s b) c)

Gambar 3.2. Struktur kromosom pada anafase a) metasentrik b) submetasentrik c) akrosentrik s = sentromir Pada metasentrik kedudukan sentromir lebih kurang berada di tengah-tengah kromosom sehingga memberikan kenampakan kromosom seperti huruf V. Oleh karena itu, bentuk metasentrik ini menghasilkan dua lengan kromosom yang kira-kira sama panjangnya. Pada bentuk submetasentrik sentromir terletak di antara tengah dan ujung kromosom sehingga memberikan kenampakan kromosom seperti huruf J. Bentuk submetasentrik menghasilkan dua lengan kromosom yang tidak sama panjangnya. Lengan yang panjang biasanya dilambangkan dengan huruf q, sedang lengan yang pendek p. Bentuk yang ketiga, akrosentrik, dijumpai apabila sentromir terletak hampir di ujung kromosom sehingga memberikan kenampakan kromosom seperti huruf I, dan kedua lengan kromosom semakin jelas beda panjangnya. Klasifikasi struktur kromosom menjadi metasentrik, submetasentrik, dan akrosentrik tadi sebenarnya agak dipaksakan. Akan tetapi, istilah-sitilah tersebut sangat berguna untuk memberikan gambaran fisik tentang kromosom. Terlebih penting lagi, evolusi kromosom sering kali cenderung mempertahankan jumlah lengan kromosom tanpa mempertahankan jumlah kromosom. Sebagai contoh, lalat Drosophila melanogaster mempunyai dua buah

autosom metasentrik yang besar sementara banyak spesies Drosophila lainnya mempunyai empat autosom akrosentrik yang kecil. Autosom adalah kromosom yang bentuknya sama pada kedua jenis kelamin (Bab VI). Jika peta kromosom kedua kelompok Drosophila ini dibandingkan, akan nampak bahwa tiap lengan kromosom metasentrik pada D. melanogaster sesuai dengan lengan panjang kromosom akrosentrik pada Drosophila lainnya itu. Demikian juga, simpanse dan manusia sama-sama mempunyai 22 pasang autosom yang secara morfologi sangat mirip. Akan tetapi, pada simpanse terdapat dua pasang autosom akrosentrik yang tidak ada pada manusia. Sebaliknya, manusia mempunyai sepasang autosom metasentrik yang tidak dimiliki oleh simpanse. Dalam hal ini, masing-masing lengan metasentrik pada manusia homolog dengan lengan panjang akrosentrik pada simpanse. Kromatid Kromosom yang sedang mengalami pengandaan, yakni pada tahap S di dalam daur sel (lihat Bab IV), terdiri atas dua buah kromatid kembar (sister chromatids), yang satu sama lain dihubungkan pada daerah sentromir. Letak sentromir berbeda-beda, dan perbedaan letak ini dapat digunakan sebagai dasar untuk klasifikasi struktur kromosom seperti telah diuraikan di atas. Pada sentromir terdapat kinetokor, yaitu suatu protein struktural yang berperan dalam pergerakan kromosom selama berlangsungnya pembelahan sel. Bahan penyusun kromosom adalah DNA (asam deoksiribonukleat) dan protein. Tiap kromatid membawa sebuah molekul DNA yang strukturnya berupa untai ganda (Bab IX) sehingga di dalam kedua kromatid terdapat dua molekul DNA. Pada Bab X akan dijelaskan bahwa bagian-bagian tertentu molekul DNA merupakan gen-gen yang mengekspresikan fenotipenya masing-masing sehingga DNA dapat juga dilihat sebagai materi genetik. telomir (ujung kromosom)

sentromir (konstriksi primer)

kinetokor

kromatid kembar (sister chromatids)

a)

b)

Gambar 3.3. Gambaran umum struktur kromosom eukariot yang sedang mengalami penggandaan a) kromosom b) molekul DNA

10/31/2009 Posted by zaifbio | Genetika Dasar | 2 Komentar Entri Sebelumnya

SINOPSIS
BLOG INI BERISI SEMUA MATERI TENTANG BIOLOGI DAN PENDIDIKAN YANG DIBUAT OLEH ORANG YANG HAUS AKAN ILMU DAN BERCITA-CITA TINGGI UNTUK MENJADI DOSEN DAN MEMAJUKAN ILMU PENGETAHUAN DIMANAPUN DIA BERADA DAN MENGABDI

You might also like