You are on page 1of 53

KAJIAN KRITIS TERHADAP PERMASALAHAN HUKUM YANG TIMBUL

DALAM KEGIATAN USAHA HULU MIGAS


(Studi Kasus Exxon Mobile Oil Indonesia Sebagai Lead
Operator Blok Cepu)

Teddy Anggoro1

BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang Permasalahan


Dalam Undang-undang Dasar 45 pasal 33 (3) diatur
bahwa bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagai salah satu
sumber daya mineral yang tak terbaharui (unrenewable)
minyak dan gas bumi menempati posisi yang penting dalam
pembangunan Negara dan kesejahteraan rakyat, oleh karena
itu Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan
menentukan kebijakan dan melakukan pengusahaan terhadap
minyak dan gas bumi untuk mencapai tujuan yang termaktub
dalam pasal 33 (3) UUD 45.
Pengusahaan minyak dan gas bumi terdiri dari 2
kegiatan yaitu :
1. Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup:
a. Eksplorasi;
b. Eksploitasi;
2. Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup:
a. Pengolahan;
b. Pengangkutan;
c. Penyimpanan;

1
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2003
Reguler, Sekretaris Redaksi Jurnal Hukum Dan Pembangunan FHUI.

1
d. Niaga.2
Kegiatan Usaha Hulu memakai rezim kontrak sedangkan
kegiatan usaha hilir menggunakan rezim perijinan.
Kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan
melalui, Kontrak Kerja Sama yang merupakan kontrak bagi
hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan
Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.3
Kontrak Kerja Sama dilakukan antara pemerintah dengan
kontraktor yang merupakan Badan Usaha dan Bentuk Usaha
Tetap, dalam perkembangannya Kontrak Kerja Sama ini
menjadi hal krusial karena disebabkan banyaknya pihak
yang memiliki kepentingan terhadap minyak dan gas bumi.
Dalam penelitian ini mengangkat isu nasional yang
terkait dengan kegiatan usaha hulu, yaitu Penetapan Exxon
Mobil sebagai Lead Operator di Blok Cepu dimana banyak
kalangan yang menilai bahwa tindakan tersebut tidak
menunjukan nasionalisme karena dalam hal ini Pertamina
sebagai partner operator Exxon Mobil di Blok Cepu telah
menyatakan kesanggupannya menjadi Lead Operator Blok Cepu
sehubungan dengan permasalahan ini, menyeruak kembali
permasalahan lama dimana banyak kalangan yang menyatakan
bahwa sejak awal keberadaan Exxon Mobil sebagai operator
Technical Assistance Contract Pertamina penuh dengan
rekayasa hukum yang dilakukan penguasa pada masa itu.
Sehingga banyak kalangan yang menilai kontrak tersebut
cacat hukum dan menekan pemerintah agar membatalkan
kontrak yang sudah ditandatangani pada tanggal 17

2
Indonesia, Undang-undang Tentang Minyak Dan Gas Bumi, UU No.
22 tahun 2001, Psl. 5.
3
Ibid. Psl. 1 Angka 19

2
September 2005 yang kesepakatan Joint Operation
Agreement (JOA)-nya ditandatangani pada tanggal 15 Maret
2006. Dalam penelitian ini akan membedah apakah penetapan
Exxon Mobil sebagai Lead Operator Blok Cepu sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku dan menguntungkan bagi
Negara, dan akan membuktikan apakah pendapat dari
kalangan yang menentang Exxon Mobil sebagai Lead
Operator Blok Cepu benar.

B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah
diungkapkan diatas, dapat ditarik beberapa pokok
permasalahan menarik untuk dianalisa dan dikaji di dalam
ini. Pokok permasalahan adalah:
1. Bagaimanakah Substansi dan pengaturan Kontrak Kerja
Sama Minyak Dan Gas Bumi, dan lembaga-lembaga apa
saja yang berperan dalam kontrak tersebut?
2. Permasalahan hukum apa saja yang timbul dalam
Kontrak Kerja Sama yang melibatkan Exxon Mobil
sebagai salah satu pihak kontraktor?
3. Bagaimana kronologis sehingga Exxon Mobil menjadi
Lead Operator Blok Cepu dikaitkan dengan prinsip-
prinsip tata pemerintahan yang baik?
4. Benarkah dengan Exxon Mobil menjadi Lead Operator,
Negara lebih diuntungkan?
5. Benarkah telah terjadi rekayasa hukum dalam
terpilihnya Exxon Mobil sebagai Kontraktor Blok
Cepu?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari ini dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian, yang terdiri atas:

3
1. Tujuan Umum
Mendapatkan gambaran yang jelas mengenai permasalahan
dalam Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi di Blok
Cepu.
2. Tujuan Khusus
a. Mendapatkan informasi mengenai alasan pemerintah
lebih cenderung mendukung Exxon Mobil sebagai
Lead Operator Blok Cepu.
b. Menemukan faktor-faktor yang melatarbelakangi
sehingga Exxon Mobil terpilih menjadi Lead
Operator Blok Cepu.

D. Metodalogi Penelitian
Penulisan ini menggunakan metode penelitian
kepustakaan (library research) yaitu metoda yang memiliki
kegiatan mengumpulkan data sekunder (bahan pustaka).
Metoda penelitian ini dijadikan pedoman atau petunjuk
dalam mempelajari, menganalisa dan memahami permasalahan
yang dihadapi. Dalam penulisan ini penulis juga
menggunakan alat pengumpulan data yang berupa :
1. Bahan hukum primer seperti peraturan perundang-
undangan mengenai pertambangan minyak dan gas
bumi.
2. Bahan hukum sekunder seperti buku-buku cetak,
artikel dan dokumen lainnya yang memiliki hubungan
dengan permasalahan.
Ditinjau dari sifatnya, penelitian yang dilakukan di
dalam penulisan ini memiliki sifat deskriptif. Dengan
sifat penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan
gambaran mengenai permasalahan pemilihan Exxon Mobil
sebagai Kontraktor dan Lead Operator di Blok Cepu.

4
Pendekatan normatif diarahkan pada sinkronisasi
fakta-fakta yang terjadi dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta ketentuan hukum lainnya.
Penelitian ini dalam melakukan pengolahan dan
analisa data menggunakan metoda kualitatif yaitu metoda
yang akan menghasilkan tulisan dalam bentuk deskriptif-
analitis. Dengan bentuk tersebut diharapkan penulisan ini
dapat memberikan gambaran secara jelas mengenai keabsahan
Exxon Mobil sebagai kontraktor dan Lead Operator di Blok
Cepu.
E. Kegunaan Teoritis dan Praktis
Kegunaan teoritis dari penelitian ini sangat berguna
bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam rangka
mengembangkan kesimpulan-kesimpulan yang didapat menjadi
hipotesa-hipotesa, yang di kemudian hari dapat diuji
kebenarannya.
Secara praktis, penelitian ini memiliki manfaat bagi
pihak yang membutuhkan informasi mengenai apakah
terpilihnya Exxon Mobil sebagai kontraktor dan Lead
Operator di Blok Cepu adalah tindakan yang paling tepat
dan tidak bertentangan dengan hukum.

5
BAB II
Pembahasan Teori
A. Kegiatan Hulu Migas
Dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 diatur
mengenai kegiatan hulu migas yaitu kegiatan usaha yang
berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha eksplorasi
dan eksploitasi. Yang dimaksud dengan eksplorasi adalah
kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai
kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan
cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang
ditentukan, sedangkan eksploitasi adalah rangkaian
kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas
bumi dari wilayah kerja yang ditentukan,yang terdiri
dari pengeboran dan penyelesaian sumur ,pembangunan
sarana pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan untuk
pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan
serta kegiatan lain yang mendukungnya.
Kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan
melalui Kontrak Kerja Sama (KKS) antara Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap tetap dengan Badan Pelaksana Minyak
dan Gas Bumi (BP MIGAS), didalam KKS tersebut paling
sedikit memenuhi persyaratan :
a. kepemilikan sumberdaya alam tetap di tangan
pemerintah sampai pada titik penyerahan;
b. pengendalian manajemen operasi berada pada badan
pelaksana;
c. modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha

atau Bentuk Usaha Tetap.4


Kegiatan usaha hulu dan hilir dapat dilakukan oleh :
a. Badan Usaha Milim Negara;

4
Undang-undang No. 22 Tahun 2001.Op.cit. Psl.6 (2)

6
b. Badan usaha Milik daerah;
c. Koperasi; usaha kecil;
d. Badan usaha swasta.5
Dengan ketentuan untuk bentuk usaha tetap hanya
dapat melakukan kegiatan usaha hulu saja, badan usaha dan
bentuk usaha tetap yang telah melakukan kegiatan usaha
hulu tidak diperbolehkan melakukan kegiatan usaha hilir
demikian sebaliknya.

B. Tugas Fungsi dan Wewenang badan Pemerintah Dalam


Kegiatan Usaha Hulu Migas
Sebagai Negara yang dianugerahi dengan limpahan
kekayaan sumber daya alam yang terbentang dari ujung
barat sampai timur, pemerintah memprioritaskan kekayaan
tersebut sebagai sumber untuk meningkatkan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat, salah satunya dengan
menitikberatkan pada sektor minyak dan gas bumi. Dalam
hal ini minyak dan gas bumi memiliki peranan sebagai
berikut :
 Sumber Energi Dalam Negeri
 Sumber Penerimaan Negara dan Devisa
 Bahan Baku Industri Nasional
 Wahana Ahli Teknologi
 Pendukung Pengembangan Wilayah
 Menciptakan Lapangan Kerja
 Pendorong Pertumbuhan Sektor non Migas
Agar peranan minyak dan gas bumi tersebut terlaksana
dengan baik didalam UU Nomor 22 Tahun 2001 diatur

5
Ibid, Psl. 9 (1)

7
mengenai tugas kelembagaan dalam bidang minyak dan gas
bumi ini, yaitu:
1. Pemerintah (Departemen ESDM cq. Direktorat
Jenderal Minyak dan Gas Bumi)
Melaksanakan Tugas-tugas kebijakan, pengaturan,
pembinaan dan pengawasan dalam
penyelenggaraan penguasaan minyak dan gas
bumi.
2. Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS)
Melaksanakan tugas pengendalian ketentuan
dalam kontrak kerja sama pada kegiatan usaha
hulu migas.
3. Badan Pengatur Minyak dan Gas Bumi (BPH MIGAS)
Mengalokasikan persediaan dan
pendistribusian BBM serta menetapkan
tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa.
Berdasarkan apa yang dipaparkan diatas
penyelenggaraan kegiatan usaha hulu migas terdiri dari
kuasa pertambangan, pembinaan, pengawasan dan
pengendalian.
Sebagai sumber daya alam strategis yang tak dapat
diperbaharui, minyak dan gas bumi dimasukan sebagai
kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara, dengan
tujuan agar kekayaan nasional tersebut dapat dimanfaatkan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat
Indonesia, sehingga baik perseorangan, masyarakat maupun
pelaku usaha walaupun memiliki hak atas sebidang tanah
dipermukaan, tidak mempunyai hak menguasai ataupun
memiliki minyak dan gas bumi yang terkandung dibawahnya.
Penguasaan Negara tersebut diselenggarakan oleh
pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan, kemudian
pemerintah membentuk Badan Pelaksana sebagai lembaga yang

8
melakukan pengendalian dalam kegiatan usaha hulu migas
berdasarkan kontrak kerja sama yang ditandatangani badan
pelaksana dengan kontraktor, selain sebagai pengendali,
badan pelaksana bersama-sama Departemen ESDM/ Direktorat
Jenderal Minyak dan Gas Bumi dan departemen lain yang
terkait bertindak pula sebagai pengawas hanya yang
membedakannya adalah, Badan Pelaksana melakukan
pengawasan berdasarkan KKS yang ditandatangani, sedangkan
Departemen ESDM/Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
dan departemen lain yang terkait, melakukan pengawasan
terhadap ditaatinya peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang terkait dengan pengaturan kegiatan usaha
hulu migas meliputi:
a. konservasi sumber daya dan cadangan Minyak
dan Gas bumi;
b. pengelolaan data Minyak dan Gas Bumi;
c. penerapan kaidah keteknikan yang baik;
d. jenis dan mutu hasil olahan minyak dan gas
bumi;
e. alokasi dan distribusi bahan bakar minyak
dan bahan baku;
f. keselamatan dan kesehatan kerja;
g. pengelolaan lingkungan hidup;
h. pemanfaatan barang, jasa, teknologi dan
kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam
negeri;
i. penggunaan tenaga kerja asing;
j. pengembangan tenaga kerja Indonesia;
k. pengembangan lingkungan dan masyarakat
setempat;

9
l. penguasaan, pengembangan,dan penerapan
teknologi Minyak dabn Gas Bumi;
m. Kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan
usaha minyak dan gas bumi sepanjang
menyangkut kepentingan umum.
Selain hal tersebut yang membedakan lingkup
pengawasan Badan Pelaksana dan Departemen ESDM/
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi adalah,
pengawasan yang dilakukan oleh Departemen ESDM/
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi melingkupi tahap
sebelum kontrak kerja sama, saat pelaksanaan kontrak
kerja sama dan sesudah kontrak kerja sama berakhir
sedangkan lingkup pengawasan dari badan pelaksana adalah
sebelum kontrak kerjasama dan saat pelaksanaan kontrak
kerja sama. Untuk pembinaan sepenuhnya dilakukan oleh
Departemen ESDM/ Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
sebagai lembaga yang melakukan penyelenggaraan urusan
pemerintah dibidang kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas
Bumi dan melakukan penetapan kebijakan atau pengaturan
mengenai kegiatan usaha hulu migas berdasarkan:
 Cadangan dan potensi sumber daya minyak dan gas
bumi yang dimiliki;
 Kemampuan produksi;
 Kebutuhan bahan baker minyak dan gas bumi dalam
negeri;
 Pengusaan teknologi;
 Aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan hidup;
 Kemampuan nasional;
 Dan kebijakan pembangunan.

10
Pelaksanaan pembinaan dilakukan secara cermat, transparan
dan adil terhadap pelaksanaan kegiatan usaha hulu minyak
dan gas bumi.
Berdasarkan KEPPRES No. 44 dan 45 Tahun 1975 yang
diperbaharui dengan KEPPRES No. 172 Tahun 2000 diatur
mengenai tugas pokok dari Departemen ESDM dan departemen
lain yang terkait, yaitu:
 Menyelenggarakan fungsi kegiatan perumusan
kebijaksanaan dan kebijaksanaan teknis, bimbingan
dan pembinaan, pemberian izin serta penetapan
kebijakan umum lainnya;
 Menyelenggarakan fungsi pengawasan atas
pelaksanan tugasnya.

Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi memiliki tugas


dan fungsi sebagai berikut:
Tugas:
Merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan
standardisasi teknis bidang minyak dan gas bumi.
Fungsi:
 Penyiapan perumusan kebujakan depertemen dibidang
minyak dan gas bumi;
 Pelaksanaan kebijakan dibidang minyak dan gas bumi
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku;
 Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, dan
prosedur dibidang minyak dan gas bumi;
 Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi;
 Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal

11
Badan Pelaksana memiliki fungsi, tugas dan wewenang
sebagai berikut:
Tugas:
Melakukan pengendalian kegiatan hulu migas, dengan
pengaturan khusus sebagai berikut:
 Memberikan pertimbangan kepada menteri atas
kebijaksaannya dalam hal penyiapan dan penawaran
Wilayah Kerja serta KKS;
 Melaksanakan penandatangan KKS;
 Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan
lapangan yang pertama kali akan diproduksikan
dalam suatu wilayah kerja kepada menteri untuk
mendapatkan persetujuan;
 Memberikan persetujuan rencana pengembangan
lapangan selain dari dari pada yang dimaksud dalam
poin sebelumnya;
 Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;
 Melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada
menteri mengenai pelaksanaan KKS;
 Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi
bagian Negara yang dapat memberikan keuntungan
yang sebesar-besarnya bagi Negara.
Fungsi:
Melakukan pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu
agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi
milik Negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang
maksimal bagi Negara untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Wewenang:

12
 Membina kerja sama dalam rangka terwujudnya
integrasi dan sinkronisasi kegiatan operasional
kontraktor Kontrak Kerja Sama;
 Merumuskan kebijakan atas anggaran dan program
kerja kontraktor Kontrak Kerja Sama;
 Mengawasi kegiatan utama operasional kontraktor K
K S;
 Membina seluruh asset kontraktor KKS yang menjadi
milik Negara;
 Melakukan koordinasi dengan pihak dan/atau
instansi terkait yang diperlukan dalam pelaksanaan
Kegiatan Usaha Hulu.
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disimpulkan
perbedaan fungsi Badan Pelaksana dan Direktorat Jenderal
Minyak dan Gas Bumi adalah, manajemen, pengendalian dan
pengawasan terhadap Kontrak Kerja Sama merupakan fungsi
dari Badan Pelaksana sedangkan kebijaksanaan teknis,
pembinaan, pengawasan, penetapan kebijaksanaan umum,
pemberian ijin, standardisasi, keselamatan operasional,
perlindungan lingkungan adalah fungsi dari Direktorat
Jenderal Minyak dan Gas Bumi.

C. Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi


Dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 Tentang
Minyak dan Gas Bumi diatur bahwa kegiatan usaha minyak
dan gas bumi dilaksanakan dalam wilayah hukum
pertambangan Indonesia. Wilayah hukum pertambangan
Indonesia adalah seluruh:
a. Wilayah daratan;
b. perairan; dan
c. landas kontinen Indonesia.

13
Wilayah hukum pertambangan Indonesia dibagi per
Wilayah Kerja. Hak atas wilayah kerja tidak meliputi hak
atas tanah diatasnya, namun apabila badan usaha atau
bentuk usaha tetap akan menggunakan bidang-bidang tanah
hak atau tanah Negara didalam wilayah kerjanya, badan
usaha atau bentuk usaha tetap yang bersangkutan wajib
terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemegang
hak atau pemakai tanah di atas tanah Negara, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Berdasarkan pasal 34 Undang-undang Nomor 22
tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi diatur bahwa
penyelesaian dapat dilakukan musyawarah dan mufakat
dengan cara:
a. jual beli;
b. tukar menukar;
c. ganti rugi yang layak;
d. pengakuan; atau
e. bentuk penggantian lain kepada pemegang hak
atau pemakai tanah diatas tanah Negara.

Perencanaan dan penyiapan wilayah Kerja dari Wilayah


Terbuka atau dari Wilayah Kerja yang akan disisihkan atau
Wilayah Kerja yang akan berakhir masa Kontrak Kerja
Samanya dilakukan oleh Menteri ESDM dengan memperhatikan
pertimbangan Badan Pelaksana. Perencanaan dan penyiapan
ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas
Bumi dengan melakukan pengkajian dan pengolahan data
dalam hal ini Direktur Jenderal pihak lain yang memiliki
kemampuan dan keahlian dibidang ini diluar badan usaha
dan bentuk usaha tetap. Setelah melakukan pengkajian dan
pengolahan data Direktur Jenderal mengusulkan kepada
Menteri mengenai wilayah yang akan ditawarkan. Usulan

14
wilayah kerja yang akan ditawarkan dapat diajukan
berdasarkan kajian teknis dari:
a. Direktorat Jenderal; atau
b. badan usaha atau bentuk usaha tetap; atau
c. Direktorat Jenderal bersama-sama dengan
badan usaha dan bentuk usaha tetap dalam
bentuk Joint Study.
Setelah itu Menteri menetapkan wilayah kerja serta
ketentuan dan persyaratan Kontrak Kerja Sama untuk
ditawarkan kepada badan dan bentuk uasaha tetap setelah
mendapatkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan
berkonsultasi dengan Gubernur yang wilayah
administrasinya meliputi wilayah kerja yang ditawarkan.
Setelah melalui tahap perencanaan dan penetapan
Menteri menawarkan wilayah kerja tersebut yang
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas
Bumi, untuk melaksanakan penawaran wilayah kerja
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi menyiapkan dan
menerbitkan Dokumen Lelang yang dokumen lelang tersebut
memuat:
a. tata waktu lelang;
b. tata cara lelang;
c. informasi teknis wilayah kerja;
d. tata cara akses data;
e. konsep kontrak kerja sama;
f. persyaratan lain yang diperlukan.6
Konsep kontrak kerja sama yang termuat dalam Dokumen
Lelang disiapkan oleh Tim Penawaran Wilayah Kerja yang

6
Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral, Keputusan Menteri
Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1480 Tahun 2004: Psl. 5 (5)

15
terdiri dari wakil-wakil dari Departemen, Direktorat
Jenderal, dan Badan Pelaksana.
Dalam rangka penawaran wilayah kerja Direktorat
Jenderal melaksanakan pengumuman wilayah kerja melalui
media cetak, elektronik dan lainnya serta melakukan
promosi dalam berbagai forum baik dalam tingkat nasional
maupun internasional. Penawaran lelang dilakukan dengan
cara:
a. lelang Wilayah Kerja tahunan (regular)
berdasarkan kajian teknis oleh Direktorat
Jenderal;
b. lelang Wilayah Kerja melalui penawaran
langsung (direct offer) berdasarkan kajian
teknis oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha
Tetap pada suatu Wilayah Kerja yang
diajukan kepada Direktur Jenderal;
c. lelang Wilayah Kerja melalui penawaran
langsung (direct offer) berdasarkan kajian
teknis oleh Direktorat Jenderal bersama-
sama dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha
Tetap dalam kerangka Joint Study.

Badan usaha dan bentuk usaha tetap peserta lelang


diwajibkan menyerahkan Dokumen Penawaran Lelang yang
isinya diatur dalam Keputusan Menteri, setelah itu Tim
Penawaran Wilayah Kerja melakukan evaluasi dan penilaian
terhadap Dokumen Penawaran dari peserta lelang untuk
menentukan pemenang lelang. Evaluasi dan penilaian
tersebut dilakukan berdasarkan pertama; penilaian teknis
yang meliputi penilaian terhadap rencana kerja untuk 3
(tiga) tahun pertama komitmen pasti masa eksplorasi
(firm commitment) yang didukung oleh evaluasi geologi dan

16
justifikasi teknis yang ditunjukkan dengan rencana lokasi
pemboran sumur taruhan (new field wildcat well) serta
petroleum system yang didasarkan pada kaidah keteknikan
yang baik, kedua; penilaian keuangan dilakukan terhadap
besaran kompensasi pemenang (awarded compensation)dan
kemampuan keuangan untuk mendukung rencana kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi yang ditunjukkan dalam Iaporan
keuangan tahunan (annual financial statements) yang
terdiri dari neraca dan laporan laba-rugi perusahaan yang
telah diaudit oleh akuntan publik, ketiga; penilaian
kinerja badan usaha dan bentuk usaha tetap yang meliputi
pengalaman di bidang perminyakan dan kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
untuk perusahaan yang pernah beroperasi di Indonesia.
Dari ketiga penilaian tersebut dapat diperingkatkan dalam
hal penilaian utama penentuan peringkat calon pemenang
lelang yaitu pertama adalah penilaian teknis kemudian
penilaian keuangan dalam hal ini besaran kompensasi
pemenang memegang peranan yang sangat penting, yang
terakhir baru penilaian kinerja.
Berdasarkan evaluasi dan penilaian terhadap Dokumen
Penawaran Tim Penawaran Wilayah Kerja menyampaikan urutan
peringkat badan usaha atau bentuk usaha tetap calon
pemenang lelang kepada Direktur Jenderal yang kemudian
oleh Direktur Jenderal dilaporkan kepada Menteri untuk
menentukan pemenang badan usaha dan bentuk usaha tetap
yang menjadi pemenang lelang. Terhadap badan usaha atau
bentuk usaha tetap yang menjadi pemenang lelang Direktur
Jenderal melakukan pemberitahuan tertulis, dalam waktu
maksimal 7 hari setelah pemberitahuan diterima pemenang
lelang wajib menyampaikan Surat Kesanggupan untuk
memenuhi seluruh komitmen yang tercantum dalam Dokumen

17
Lelang, apabila pemenang lelang tersebut tidak
menyerahkan Surat Kesanggupan tersebut dalam tempo yang
telah ditetapkan maka Direktur Jenderal menetapkan badan
usaha atau bentuk usaha tetap urutan peringkat berikutnya
sebagai pemenang lelang.
Terhadap pengaturan lelang tersebut terdapat
pengecualian yaitu Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap
yang melakukan penawaran langsung (direct offer) dalam
kerangka Joint Study mempunyai hak untuk melakukan
perubahan penawaran yaitu sekurang-kurangnya menyamai
penawaran tertinggi yang disampaikan oleh peserta lelang
lain, badan usaha dan bentuk usaha tetap tersebut akan
ditetapkan sebagai pemenang lelang apabila penawarannya
minimal sama dengan nilai penawaran tertinggi peserta
lelang lain.
Sedangkan terhadap kewajiban melakukan lelang dapat
dikecualikan apabila PT Pertamina (Persero) mengajukan
permohonan kepada Menteri untuk mendapatkan wilayah kerja
terbuka tertentu, Menteri dapat menyetujui permohonan
tersebut dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan
teknis dan kemampuan keuangan PT Pertamina (Persero),
sepanjang saham PT Pertamina (Persero) 100% dimiliki oleh
Negara hal ini berdasarkan pasal 5 ayat 4 PP No. 35 Tahun
2004.

D. Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi


Pasal 1 angka 14 Undang-undang Nomor 22 tahun 2001
mengatur bahwa Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi
Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan
eksploitasi dan eksplorasi yang lebih menguntungkan
Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Berdasarkan pasal tersebut berarti ada

18
jenis kontrak kerjasama selain Kontrak Bagi Hasil yang
masih diakui eksistensinya hal ini terkait dengan
perkembangan KKS yang ada di Indonesia.
Sejak zaman hindia belanda sampai dengan sekarang
tahun 2006 di Indonesia telah terjadi 2 kali pergantian
sistem kerjasama dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas
bumi, sistem-sistem tersebut sebagai berikut;
a. Sistem Konsesi (Kontrak 5A)
Sistem ini berlaku pada zaman Pemerintahan Hindia
Belanda, dalam system ini perusahaan pertambangan
yang memiliki hak untuk mengelola pertambangan
minyak dan gas bumi diberikan kuasa pertambanagan
dan hak untuk menguasai hak atas tanah sehingga
kontraktor memiliki kekuasaan penuh minyak yang
ditambang dan kontraktor berkewajiban untuk membayar
royalty pada Negara;
b. Kontrak Karya
Berlaku sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 1963.
Dalam system ini, perusahaan pertambangan minyak dan
gas bumi hanya diberikan kuasa pertambangan saja,
tetapi tidak meliputi hak atas tanah, kontraktor
memegang manajemen operasi dan sifat kontraknya
adalah profit sharing;
c. Kontrak Production Sharing
Berlaku sejak tahun 1964 sampai dengan sekarang.
Dalam system ini perusahaan pertambangan minyak dan
gas bumi hanya diberikan kuasa pertambangan dengan
prinsip pembagiannya adalah pembagian hasil minyak
dan gas bumi bukan pembagian keuntungan dalam bentuk

financial.7

7
Salim H.S. . Hukum Pertambangan Di Indonesia. (Jakarta:
Rajagrafindo Persada. 2006). Hal. 268.

19
Selain sistem-sistem yang pernah dan sedang dipakai
Indonesia tersebut, pada praktiknya masih ada jenis
kontrak lainnya yaitu:
a. Technical Assistance Contract (TAC) atau kontrak
bantuan teknik yaitu kontrak PERTAMINA dengan
perusahaan swasta nasional dalam rangka
merehabilitasi sumur-sumur atau lapangan minyak
yang ditinggalkan dalam kuasa pertambangan
PERTAMINA, tujuannya untuk meningkatkan produksi
sumur-sumur yang sudah tua. Produksi yang dibagi
adalah produksi setelah dikurangi secondary
recovery, pembagian produksi sebesar 65% - 35%
bagian kontraktor TAC lebih besar bila dibandingkan
dengan bagian kontraktor Kontrak Production
Sharing, hal ini disebabkan, pertama; resiko yang
lebih besar karena TAC dilakukan terhadap wilayah
kerja yang kuantitas minyaknya tidak lagi banyak
karena merupakan wilayah kerja “sisa”, kedua;
kontrak ini hanya ditujukan pada perusahaan swasta
nasional dengan tujuan untuk menumbuhkan dan
meningkatkan perekonomian nasional dasarnya
terdapat pada ketentuan Kontrak Kerja Sama Minyak
dan Gas Bumi pasal V ayat 5.1. yang intinya
mengatur mengenai larangan penjualan,
pengalihan,menyerahkan atau melepaskan interest TAC
kepada pihak asing, hanya saja ketentuan pasal V
ayat 5.1. ini pada tahun 1996 dihapuskan dan
kemudian ditambahkan ketentuan ayat 5.2.6 dan 5.2.7
sebagai ketentuan pengganti ayat 5.1. yang intinya
mengatur mengenai hak kontraktor untuk menjual,
mengalihkan, menyerahkan atau melepaskan interest
kontrak kepada perusahaan afiliasi atau non

20
afiliasi dengan sepengetahuan atau persetujuan
pemerintah. Prinsip-prinsip dasar Technical
Assistance Contract adalah sebagai berikut:
1. Technical Assistance Contract hanya mencakup
eksploitasi atau pengembangan saja. Kontraktor
tidak diwajibkan melakukan kegiatan eksplorasi
berupa seismic, pengeboran eksplorasi dan lain-
lain;
2. Penggantian biaya operasi sebesar maximum 65%
dari minyak dan gas bumi yang dihasilkan dan
tidak digunakan untuk kegiatan produksi;
3. Technical Assistance Contract tidak mengenal
First Tranche Petroleum sebagaimana dikenal
dalam Kontrak Production Sharing
4. masa laku Technical Assistance Contract adalah
20 tahun. Jangka waktu 20 tahun diberikan untuk
menyesuaikan dengan Kontrak Production Sharing.
Masa laku Kontrak Production Sharing yang 30
tahun artinya adalah 10 tahun pertama digunakan
untuk masa eksplorasi dan 20 tahun berikutnya
untuk masa pengembangan atau produksi. Oleh
karena dalam Technical Assistance Contract
tidak ada kegiatan eksplorasi masa laku
kontraknya hanya untuk 20 tahun. Dalam jangka
waktu 20 tahun tersebut, jika dalam 2 tahun
pertama belum dapat dipastikan akan ada
produksi komersial, kontraktor dapat meminta
perpanjangan untuk 1 kali 2 tahun berikutnya,
dan jika sampai tahun keempat produksi
komersial tetap tidak dapat dilakukan maka
Technical Assistance Contract putus dengan
sendirinya;

21
5. sejalan dengan prinsip-prinsip diatas, firm
commitment Dario kontraktor dalam bentuk
rencana kerja dan rancangan hanya untuk jangka
waktu 4 tahun pertama yang dirancang untuk
program pengembangan bukan eksplorasi seperti
Kontrak Production Sharing;
6. dalam Technical Assistance Contract juga tidak
dikenal penyisihan/penyerahan kembali sebagian
wilayah kerja (relinquishment) karena wilayah
kerja yang dikelola oleh kontraktor adalah
wilayah kerja PERTAMINA dan PERTAMINA tidak
pernah menyerahkannya kepada kontraktor. Akan
tetapi kontraktor, setiap saat dalam masa laku
perjanjian, tetap diwajibkan untuk menyerahkan
kembali kepada PERTAMINA lapangan-lapangan yang
terbukti sudah tidak komersial;
7. prinsip kepemilikan peralatan dan asset sama
seperti Kontrak Production Sharing, akan tetapi
kepada kontraktor diberikan hak pengawasan atas
asset-asset tersebut dan berkewajiban untuk

memelihara sepanjang masa laku perjanjian.8

b. Kontrak Enhanced Oil Recovery, yaitu kerja sama


antara PERTAMINA dan perusahaan swasta dalam rangka
meningkatkan produksi minyak pada sumur dan
lapangan minyak yang masih dioperasikan PERTAMINA
dan sudah mengalami penurunan produksi dengan
menggunakan teknologi tinggi meliputi usaha

secondary dan tertiary recovery.9

8
Rudi M. Simamora. Hukum Minyak dan Gas Bumi. (Jakarta:
Jambatan. 2000). Hal. 102-104
9
Salim H.S. Op.cit. Hal.271.

22
c. Kerjasama Operasi Bersama (Joint Operating
Arrangement). Prinsip-prinsip Joint Operating
Arrangement dasarnya sama dengan prinsip-prinsip
yang dianut dalam Kontrak Production Sharing.
Perbedaan utamanya adalah dalam masalah penyertaan
modal. Kalau di Kontrak Production Sharing seluruh
dana disediakan oleh kontraktor sedangkan dalam
Joint Operating Arrangement sebagian dana, misalnya
disediakan oleh PERTAMINA, sisanya oleh

kontraktor.10

d. Badan Operasi Bersama (Joint Operating Body). Joint


Operating Body pada prinsipnya sama dengan Joint
Operating Arrangement. PERTAMINA ikut serta dalam
pendanaan. Akan tetapi dalam Joint Operating Body
peranan PERTAMINA lebih dominan lagi yaitu
ditempatkannya wakil dari PERTAMINA di struktur
manajemen secara langsung. Biasanya General Manager
dari Joint Operating Body merupakan wakil
PERTAMINA. Dan yang bertindak sebagai operator

adalah PERTAMINA bukan kontraktor.11

D.1. Kontrak Production Sharing dan Karakteristiknya


Kontrak production sharing pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1960 di Venezuela oleh Begawan Ekonomi Ibnu
Sutowo. Kemudian untuk pertama kalinya, pada tahun 1966
Ibnu Sutowo menawarkan substansi kontrak production
sharing kepada kontraktor asing berupa:
a. kendali manajemen dipegang oleh Perusahaan Negara;
b. kontrak didasarkan pada pembagian produksi;

10
Rudi M. Simamora. Op.cit Hal. 106
11
Simamora. Op.cit Hal. 106-107

23
c. kontraktor menanggung resiko pra produksi, dan bila
minyak ditemukan, penggantian biaya dibatasi sampai
maksimum 40% per tahun dari minyak yang dihasilkan;
d. Sisa dari minyak yang dihasilkan setelah dikurangi
biaya penggantian akan dibagi komposisi 65% untuk
perusahaan Negara dan 35% untuk kontraktor;
e. Hak atas semua peralatan yang dibeli kontraktor
akan menjadi milik perusahaan Negara ketika
peralatan tersebut masuk ke Indonesia, dan biayanya
akan ditutup dengan formula 40% tersebut;
f. Pertamina membayar pajak pendapatan kontraktor
kepada pemerintah;
g. Kontraktor wajib mempekerjakan tenaga kerja
Indonesia;
h. Kontraktor wajib memenuhi kebutuhan bahan bakar
minyak dalam negeri secara proporsional (maksimum

25% bagiannya).12
Sejak tahun 1964 sampai dengan sekarang kontrak
production sharing telah beberapa kali mengalami
generasi, sehingga Kontrak Production Sharing dapat
dibagi menjadi 4 generasi, yaitu:
a. Kontrak Production Sharing Generasi I (1964-1977)
Dengan substansi yang sama dengan yang dikemukakan
oleh Ibnu Sutowo hanya karena pada tahun 1973/1974
terjadi lonjakan harga minyak dunia sehingga
pemerintah menetapkan kebijakan, sejak tahun 1974
kontraktor wajib melaksanakan pembayaran tambahan
kepada pemerintah;
b. Kontrak Production Sharing Generasi II (1978-1987)
Perubahan generasi ini lebih disebabkan oleh
pengaruh asing, dalam hal ini adalah Pemerintah
12
Salim. Op.cit. hal.266.267,273.

24
Amerika Serikat yang mengeluarkan IRS Ruling yang
antara lain menetapkan bahwa penyetoran Net Operating
Income KPS dianggap sebagai pembayaran royalty kepada
pemerintah, karena pembayaran pajak pertamina dan
kontraktor dibayarkan oleh pertamina, sehingga
disarankan kontraktor membayar pajak secara langsung
kepada pemerintah sehingga kontraktor membayar pajak
sebesar 56% secara langsung kepada pemerintah, selain
itu perlu diterapkan Generally Accepted Acounting
Procedure (GAP) dimana pembatasan pengembalian biaya
operasi (Cost Recovery Ceiling) 40%/tahun dihapuskan;
c. Kontrak Production Sharing Generasi III (1988-2002)
Perubahan lebih disebabkan karena pemerintah
menetapkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang baru pada tahun 1984 hanya saja peraturan
perpajakan ini baru dapat diterapkan pada tahun 1988;
d. Kontrak Production Sharing Generasi IV (2002-
Sekarang).
Untuk perubahan pada generasi IV ini merupakan imbas
dari diberlakukannya UU No. 22 tahun 2001 tentang
Minyak dan gas Bumi dimana para pihak dari kontrak
ini berubah yang sebelumnya antara pertamina dengan
kontraktor menjadi Badan Pelaksana dengan badan usaha

dan bentuk usaha tetap.13


Filosofi dari Ibnu Sutowo memperkenalkan bentuk
kontrak dengan bagi hasil ini adalah karena Indonesia
pada pada saat itu merupakan Negara yang memiliki
kandungan minyak dan gas bumi yang melimpah tetapi
Indonesia tidak memiliki kemampuan financial yang kuat
untuk melakukan investasi terhadap kegiatan usaha hulu
minyak dan gas bumi karena kegiatan usaha hulu ini
13
Salim. Op.cit. Hal. 273,274,275.

25
merupakan usaha yang membutuhkan modal yang besar dan
beresiko tinggi, selain itu Indonesia saat itu tidak
memiliki teknologi yang memadai untuk melakukan kegiatan
usaha hulu migas ini, dan yang terakhir Indonesia tidak
memiliki tenaga kerja yang berkompeten untuk melakukan

kegiatan usaha hulu ini.14 Filosofi Ibnu Sutowo tersebut


bukan tanpa prospek kedepan yang jelas tapi didalam
filosofi tersebut Ibnu Sutowo menginginkan dimasa yang
akan datang setelah Indonesia mendapatkan modal,
teknologi dan sumber daya manusia untuk kegiatan usaha
hulu migas, Indonesia melalui Perusahaan Negaranya yang
kemudian dibentuk Pertamina pada tahun 1971 dapat
melakukan pengusahaan kegiatan usaha hulu secara mandiri
sehingga kekayaan alam yang berhasil diproduksi dapat
sepenuhnya masuk ke kantong negara dan dimanfaatkan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam perkembangannya apa yang diharapkan oleh Ibnu
Sutowo tidak pernah terjadi hal ini disebabkan karena
PERTAMINA lebih disibukkan sebagai pihak pemerintah dalam
menandatangani Kontrak Production Sharing dengan
kontraktor ketimbang menjalankan fungsinya sebagai
Perusahaan Negara yang melakukan pembangunan dan
pengusahaan minyak dan gas bumi yang meliputi kegiatan
usaha hulu dan hilir, sehingga kekurangan PERTAMINA untuk
melakukan pengusahaan kegiatan usaha hulu secara mandiri
tidak pernah dapat terpenuhi, hal ini yang menjadi rasio
dari Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 memberikan kuasa
pertambangan kepada pemerintah, yang sebelumnya dalam
Undang-undang Nomor 8 tahun 1971 tentang PERTAMINA pasal
11 ayat 2 dinyatakan bahwa kuasa pertambangan diberikan
Negara kepada PERTAMINA. Yang kemudian implikasi dari
14
.Simamora. Op.cit Hal. 93.

26
perubahan tersebut adalah PERTAMINA tidak berhak lagi
menjadi pihak pemerintah dalam Kontrak Production Sharing
dengan kontraktor karena pemerintah sebagai pemegang
kuasa pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagai
penyelenggara kegiatan usaha hulu yang salah satu
tugasnya adalah menandatangani Kontrak Kerja Sama.

TABEL : JENIS-JENIS KONTRAK PRODUCTION SHARING


No. Jenis Kontrak Split Risk Invest Operator
1. KPS Murni 85% - 15% 100% K.A. K.A./P
2. KPS JOA 50% K.A. K.A.
Joint Operating 50% - 50% 50% P
Arrangement
3. KPS JOA-JOB 50% K.A. P
Joint Operating Body 50% - 50% 50% P

4. TAC 65% -35% 100% K. K


Sumber: BPMIGAS, Workshop KKS Migas, FHUI Depok 2005

D.2. SUBSTANSI KONTRAK KERJA SAMA MINYAK DAN GAS BUMI


Terdapat beberapa substansi atau klausul yang menjadi
point penting dalam kontrak kerja sama migas yaitu:
a. Jangka Waktu
Jangka waktu kontrak adalah 30 tahun dengan masa
eksplorasi 6 tahun dan perpanjangan masa eksplorasi
selama 4 tahun, adapun kontrak yang telah habis
jangka waktunya dapat diperpanjang kembali 20 tahun;
b. Penyisihan Wilayah Kerja
Ditujukan untuk mempercepat kegiatan
eksplorasi, dengan prosentase 25% pada tiga tahun
pertama, 25% pada 6 tahun pertama dan 30% pada saat
atau sebelum akhir tahun ke sepuluh. Kontraktor hanya
diperbolehkan mempertahankan wilayah kerja yang
diusahakan dengan prosentase 20% (termasuk wilayah

27
yang dikembangkan), penyisihan secara keseluruhan
pada saat pengakhiran kontrak.;
c. Program Kerja dan Anggaran
disiapkan dan diajukan untuk mendapatkan
persetujuan Badan Pelaksana terdiri dari KOMITMEN
PASTI selama 3 tahun (tercantum dalam Dokumen
Penawaran Lelang) dan komitmen 6 tahun dengan
penekanan pada program kerja berdasarkan ketentuan
kontrak;
d. Manajemen Kontrak
Manajemen operasi (termasuk persetujuan program
kerja dan anggaran) menjadi tanggung jawab badan
pelaksana, sedangkan pelaksanaan program kerja dan
anggaran menjadi tanggung jawab kontraktor;
e. Pengalihan
Pengalihan interest ekonomi kepada perusahaan
afiliasi cukup dengan sepengetahuan Badan pelaksana,
sedangkan pengalihan terhadap perusahaan non
afiliasi harus dengan persetujuan Badan Pelaksana
dan Pemerintah batasan terhadap pengalihan ini
terdapat pada 3 tahun pertama, terhadap kontraktor
berlaku kebijakan RING FENCE dimana kontraktor hanya
boleh menangani 1 wilayah kerja;
f. Kredit Investasi dan Biaya Operasi
Kredit investasi (dapat diterapkan pada lapangan
baru dan pengembangan yang langsung berhubungan
dengan fasilitas produksi minyak mentah) dan biaya
operasi yang dikeluarkan oleh kontraktor akan
diperoleh kembali melalui hasil penjualan atau
pembagian minyak mentah setiap tahun calendar;
g. Peralatan

28
Kontraktor berkewajiban menyediakan semua dana
untuk membeli dan menyewa peralatan, peralatan yang
dibeli tersebut status hukumnya menjadi milik
pemerintah ketika peralatan tersebut memasuki
wilayah Indonesia tetapi penguasaannya diserahkan
pada kontraktor;
h. FTP – I dan FTP – II
First Tranche Petroleum - I adalah hak para pihak
untuk mengambil dan menerima sebagian minyaknnya (20
atau 15 %) terlebih dahulu sebelum dikurangi dengan
biaya operasi dan produksi setiap tahunnya, FTP
tersebut akan dibagi antara Badan Pelaksana dan
kontraktor sesuai dengan bagian masing-masing dalam
kontrak kerja sama. First Tranche Petroleum – II
adalah hak Badan Pelaksana untuk mengambil dan
menerima sebagian minyaknya (10%) terlebih dahulu
sebelum dikurangi dengan biaya operasi dan produksi
setiap tahunnya, FTP ini tidak akan dibagi antara
Badan pelaksana dan kontraktor;
i. Kompensasi, Bantuan dan Bonus
Terdiri dari kompenasi informasi, bonus peralatan
dan bonus produksi wajib diserahkan Kontraktor
kepada pemerintah tanpa membebankan pada biaya
operasi;
j. Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri
Kontraktor berkewajiban untuk mnyediakan hasil
produksinya untuk kebutuhan dalam negeri (minyak
mentah dan gas dengan perhitungan: 25% x produksi x
prosentase bagian kontraktor;
k. Tenaga Kerja
Kontraktor harus menyediakan semua teknologi yang
diperlukan dan tenaga kerja asing (ekspatriat).

29
Kontraktor setuju untuk mempekerjakan tenaga kerja
Indonesia yang bermutu dan memperhatikan pendidikan
dan pelatihan tenaga kerja Indonesia, selain itu
kontraktor berkewajiban membantu pelatiahan tenaga
kerja Badan Pelaksana;
l. Arbitrase
Perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara
damai akan diserahkan pada Putusan Badan Arbitrase
dengan sebelumnya melalui usaha Alternative Dispute
Resolution, arbitrase akan menggunakan aturan ICC
(International Chamber of Commerce);
m. Pembukuan, Akuntansi dan Pemeriksaan
Badan Pelaksana berkewajiban untuk membuat
pembukuan dan akuntansi yang lengkap, pada masa
eksplorasi kewajiban membuat pembukuan dan akuntansi
tersebut berada pada kontraktor. Badan Pelaksana dan
Pemerintah berwenang untuk memeriksa pembukuan yang
dibuat oleh kontraktor;
n. Partisipasi
Badan Pelaksana mempunyai hak untuk meminta
kepada kontraktor sebesar 10% interest penuh dari
keseluruhan hak dan kewajiban dalam kontrak untuk
ditawarkan kepada “Partisipan Indonesia” (Pemda,
BUMD atau Perusahaan berbadan hukum Indonesia dan

sahamnya dimiliki oleh Indonesia.15

15
Bambang Suminto. Perkembangan KKS Di Indonesia dan Syarat-
syarat Kontrak Kerja Sama. 23 Maret 2005. FHUI,Depok. Workshop KKS
Migas.

30
SKEMA PEMBAGIAN HASIL PRODUKSI

GROSS PRODUCTION

AFTER FTP

FTP
(INVEST. CREDIT)

(COST RECOVERY)

EQUITY TO BE SPLIT

INDONESIA PORTION CONTRACTOR PORTION


OIL : (*)% OIL : (*)%
GAS : (*)% GAS : (*)%

DMO : 25%

DMO FEE

TAX : (*)%

INDONESIA CONTRACTOR
OIL : (*)% OIL : (*)%
GAS : (*)% GAS : (*)%

Sumber: BPMIGAS, Workshop KKS Migas, FHUI Depok 2005

31
BAB III
Analisa Kasus
A. Kasus Posisi
Blok Cepu adalah sebuah daerah di Cepu, Kabupaten
Blora, Provinsi Jawa Tengah yang terkenal karena
persediaan minyak buminya yang melimpah. Sebenarnya
penambangan minyak bumi di Cepu telah berlangsung sejak
zaman penjajahan, yaitu oleh perusahaan asing BPM.
Sebelum penemuan terbaru cadangan minyak yang cukup besar
di daerah Cepu dan sekitarnya yaitu di Kabupaten
Bojonegoro dan Tuban, ladang minyak Cepu hanya
difungsikan sebagai wahana pendidikan bidang perminyakan
yaitu dengan adanya Akademi Migas di Cepu.16
Bermula dari surat BUMN PERTAMINA No. 0616/C0000/90-
S1 tanggal 19 April 1990 prihal TAC cepu antara PERTAMINA
dan PT Humpuss Patragas yang ditandatangani Direktur
Utama BUMN PERTAMINA yang ditujukan kepada Direktur
Jenderal MIGAS. TAC Cepu ditandatangani pada 3 Agustus
1990 antara Pertamina dan Humpuss Patra Gas (HPG), untuk
jangka waktu 20 tahun yang melingkupi kegiatan eksplorasi
walaupun TAC seharusnya berdasarkan Undang-undang No.8
Tahun 1971 Tentang PERTAMINA hanya mencakup kegiatan
eksploitasi untuk sumur-sumur tus di wilayah kuasa
pertambangan PERTAMINA

16
http://id.wikipedia.org/wiki/Blok_Cepu

32
Pada Mei 1996, perusahaan Australia Ampolex Pte. Ltd
mendatangani perjanjian farm-in untuk memperoleh 49% dari
interest Kontraktor di TAC Cepu dari Humpuss PG. Untuk
memperkuatkan apa yang telah dilakukan PT Humpuss
Patragas, pada tanggal 21 maret 1997 Kontrak TAC tersebut
diamandemen (ditandatangani oleh Direktur Utama BUMN
PERTAMINA dengan President and CEO PT Humpuss Patragas)
yang menghapus section V.1.2 paragraph (i) tentang
larangan pengalihan hak dan saham kepada pihak asing,
setelah itu keluar Surat BUMN PERTAMINA No. 782/C0000/97-
30 tanggal 12 juni 1997 perihal pengalihan interest di
Wilayah Kerja Ons. Central East Java (51% PT Humpuss
Patragas dan 49% Ampolex Cepu Pte Ltd).
Pada Desember 1996 Mobil Corporation mengakuisisi
Ampolex untuk portfolio globalnya sehingga otomatis Mobil
mempunyai interest di blok Cepu sebesar 49%.
Di tahun 1999, Exxon Corporation dan Mobil
Corporation melakukan merger dan membentuk ExxonMobil
Corporation. Pada Juni 2000, Mobil Cepu Ltd, anak
perusahaan ExxonMobil, memperoleh sisa 51% interest
Kontraktor milik HPG dan mengambil alih hak sebagai
operator untuk TAC Cepu dengan persetujuan dari Pertamina
dan Pemerintah RI berdasarkan Surat Menteri Pertambangan
dan Energi No. 990/30/MPE.M/1999 tanggal 29 Maret 1999.
Pada akhir tahun 2003 Exxon Mobil mengajukan proposal
untuk memperpanjang TAC-nya dengan alasan sisa waktu
hingga 2010 tidak akan cukup untuk mengembalikan ongkos
eksplorasi yang mencapai US$ 450 Juta walaupun
berdasarkan hasil audit BPKP ongkos eksplorasi yang
dikeluarkan oleh Exxon Mobil baru US$ 179 Juta.17

17
Kado Cepu Buat Ibu Menlu, http://www.gatra.com/2006-03-
20/artikel.php?id=93111,

33
Pemerintah sangat berkepentingan atas beroperasinya
Blok Cepu, mengingat kandungan minyak dan gas yang ada di
areal tersebut serta permasalahan energi nasional yang
tengah dihadapi pemerintah. Namun kenyataannya sejak
ditandatanganinya Head of Agreement (HoA) Juni 2004
antara Pertamina dan ExxonMobil, Direksi Pertamina tidak
menindaklanjuti perundingan dengan pihak ExxonMobil
sebagai pemegang Technical Assitance Contract (TAC) atas
Blok Cepu karena menurut Direktur Utama Pertamina saat
itu Widya Purnama, PERTAMINA merasa mampu mengerjakan
Blok Cepu sendiri berdasarkan perhitungan ekonomi
keuntungan besar akan didapatkan bila PERTAMINA
mengerjakan sendiri. Atas dasar itu pemerintah menempuh
langkah sebagai berikut:
 26 November 2004: Menko Perekonomian mengeluarkan
surat No: S-54/M.EKON/11/2004 kepada Dirut
Pertamina, mengenai arahan Presiden untuk memulai
kembali perundingan Blok Cepu dan menyelesaikannya
dalam waktu tidak terlalu lama.
 25 Februari 2005: Surat Menteri Sekretaris Negara
No: R.22/M.Sesneg/2/2005 ditujukan kepada Menko
Perekonomian, Menteri ESDM, Menteri Negara BUMN,
Dirut Pertamina, mengenai arahan Presiden agar PT
Pertamina memulai perundingan Blok Cepu untuk
mendapatkan nilai maksimum bagi pendapatan negara.
Meski demikian, tetap tidak terlihat upaya Direksi
Pertamina untuk mendapatkan kesepakatan dan penyelesaian
dengan pihak Exxon. Atas dasar itu, pada tanggal 29 Maret
2005 Menteri Negara BUMN menerbitkan Surat keputusan No:
Kep-16/MBU/2005 tentang Pembentukan Tim Negosiasi
Penyelesaian Permasalahan antara PT Pertamina (Persero)
dan ExxonMobil Terkait dengan Blok Cepu Tim ini diketuai

34
Martiono Hadiyanto, Komisaris Pertamina. Anggotanya
antara lain Aburizal Bakrie (Menko Perekonomian kala
itu), Mohammad Ikhsan, Rizal Mallarangeng (keduanya staf
ahli Menko Perekonomian), Lin Che Wei, dan Iin Arifin
Takhyan, Dirjen Migas yang kini menjadi Wakil Dirut
Pertamina. Pembentukan tim tersebut adalah langkah yang
terpaksa ditempuh untuk mendorong dimulainya kembali
perundingan.
Sejak pembentukannya, Tim Negosiasi telah melakukan
sebanyak 31 kali pertemuan. Yaitu 12 kali pertemuan
koordinasi dengan Komite Pengarah (Menko Perekonomian,
Menneg BUMN, Menteri ESDM), termasuk di dalamnya 1 kali
pertemuan dengan Presiden dan 3 kali pertemuan dengan
Wakil Presiden. 8 kali pertemuan internal, dan 11 kali
pertemuan dengan pihak ExxonMobil.
Hasil kesepakatan antara Tim Negosiasi dan ExxonMobil
yang telah mendapatkan persetujuan Pemerintah, dituangkan
dalam Memorandum of Understanding (MoU) yang
ditandatangani pada 25 Juni 2005, atau yang disebut MoU
2005. Isinya, pengelolaan Blok Cepu akan dikelola
bersama. Pertamina dan Exxon masing-masing memegang saham
45% dan Pemerintah Daerah Bojonegoro (Jawa Timur) serta
Blora (Jawa Tengah) masing-masing 5%. MoU itu bertanggal
25 Juni 2005
Berdasarkan kesepakatan pihak terkait, yaitu BP Migas
atas nama Pemerintah, Pertamina, dan ExxonMobil, pada 17
September 2005 ditandatangani Kontrak Kerja Sama (KKS)
yang mengubah Technical Assistance Contract (TAC) Mobil
cepu Ltd menjadi Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan jangka
waktu 30 tahun berdasarkan PP 34 tahun 2005 pasal 103D
yang memungkinkan TAC yang belum habis masa kontraknya

35
berubah menjadi KKS yang dikeluarkan pada tanggal 10
september 2005.
Posisi Exxon berubah menjadi kontraktor kerja sama.
Exxon kini berdiri sama tinggi dengan Pertamina di Cepu.
Tetapi skema kerja sama itu berhenti di Widya Purnama. Ia
menuntut, pada perjanjian operasi kerja sama (JOA) Blok
Cepu tersebut, Pertamina yang menjadi pengendali
penambangan (operator). Kalaupun tak memimpin, ia
mengusulkan operatornya bergantian setiap lima tahun, dan
Pertamina yang pertama tetapi hal itu ditolak oleh Exxon
Mobil dengan alasan akan menimbulkan ketidakstabilan
manajemen.
Pemerintah menghendaki proses selanjutnya dilakukan
atas dasar business to business (b to b) antara Pertamina
dan ExxonMobil. Pemerintah berulangkali mendesak kedua
pihak untuk segera menuntaskan perundingan, sehingga
persoalan Blok Cepu segera bisa diselesaikan. Hasilnya
adalah pada tanggal 13 Maret 2006, kedua belah pihak
menyepakati bentuk Kerjasama Operasi (Joint Operation),
untuk bersama-sama bertindak sebagai kontraktor
pemerintah dalam pengoperasian Blok Cepu dengan struktur
organisasi Terdiri dari Komite Operasi Bersama (KOB,
Joint Operating Committe/JOC) dan Organisasi Pelaksana
Proyek Cepu (OPPC). Ibarat perusahaan, KOB adalah dewan
komisaris sedangkan OPPC adalah direksi. KOB terdiri dari
5 orang, masing-masing 2 dari Pertamina EP Cepu (PEPC)
dan Mobil Cepu Ltd./Ampolex Cepu Ltd. (MCL/ACL), dan 1
dari unsur Pemda. KOB dipimpin seorang Chairman/Ketua
dari pihak PEPC (Pertamina), sedangkan OPPC dipimpin
seorang General Manager dari pihak MCL/ACL (ExxonMobil),
dengan Deputy Genaral Manager dari PEPC. Di bawahnya ada

36
manager pelaksana, dengan komposisi berimbang antara PEPC
dan MCL/ACL.
Joint Operating Agreement (JOA) ditandatangani pada
15 Maret 2006, penandatanganan dilakukan antara Dirut PT
Pertamina EP Cepu (PEPC), anak perusahaan Pertamina,
Hestu Bagyo dan Presiden Direktur ExxonMobil Oil
Indonesia (EMOI), Peter Coleman, yang mewakili anak
perusahaan Mobil Cepu Limited (MCL) dan Ampolex Cepu Ltd
(ACL).penandatangan itu disaksikan Direktur Utama PT.
PERTAMINA (Persero) Ari H Soemarno, Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, dan Menneg BUMN
Sugiharto. Hadir pula Kepala Badan Pelaksana Kegiatan
Hulu (BP) Migas Kardaya Warnika, Komisaris Utama
Pertamina Martiono Hadianto, Ketua Tim Negosiasi Blok
Cepu Roes Aryawijaya, Vice President Planning, Commercial
and Public Affairs EMOI Maman Budiman, dan Executive
Director Exploration EMOI Budiono.
(Sumber : dirangkum dari berbagai sumber)

B. Analisa Study Kasus


Kajian terhadap permasalahan penunjukan Exxon Mobil
sebagai Lead Operator Blok Cepu merupakan kajian yang
sifatnya multidisipliner karena mencakup aspek ekonomi,
hokum, politik, social, dan lingkungan. Pada penelitian
kepustakaan ini akan membahas permasalahan penunjukan
Exxon Mobil sebagai Lead Operator Blok Cepu dari aspek
hukum dengan didukung pembahasan aspek lainnya yang
terkait.
Bila dilihat runtut menurut waktu, apa yang sekarang
menjadi permasalahan adalah akumulasi dari berbagai
tindakan illegal yang dilakukan oleh para pihak dalam
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi di Blok Cepu ini.

37
B.1. Analisa Hukum
Sejak awal cerita, bagaimana Exxon Mobil melalui anak
perusahaannya Mobil Cepu Ltd. Dapat memegang 100% saham
kegiatan Usaha HUlu di Blok Cepu dipenuhi dengan tindakan
yang illegal, bermula saat PERTAMINA menyerahkan
pengerjaan teknis di Blok Cepu kepada PT Humpuss Patragas
berdasarkan TAC tanggal 3 Agustus 1990, dengan alasan
PERTAMINA tidak mempunyai modal untuk melakukan
eksploitasi terhadap sumur-sumur tua peninggalan Belanda
dan Jepang di Blok Cepu tersebut, tetapi faktanya dalam
TAC antara PERTAMINA dengan PT Humpuss Patragas tersebut
PT Humpus Patragas mendapatkan hak untuk melakukan
eksplorasi padahal lingkup kerja dari TAC hanya pada
kegiatan eksploitasi karena TAC itu hanya untuk
peningkatan hasil sumur-sumur tua yang berada dibawah
kuasa PERTAMINA jadi yang dimaksud dengan TAC adalah
kontrak eksploitasi, sehingga sebenarnya pada saat itu PT
Humpuss Patragas seharusnya melakukan KPS yang lingkup
kerjanya meliputi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.
Pengalihan interest PT Humpuss Patragas sebesar 49%
kepada Ampolex Pte Ltd. Juga merupakan tindakan ilegal
karena dalam Kontrak TAC dalam section V.1.2 paragraph
(i) diatur mengenai larangan pengalihan hak dan saham
kepada pihak asing, tetapi oleh PERTAMINA saat itu
kontrak tersebut diamandemen dengan menghapus pasal yang
mengatur larangan pengalihan hak dan saham kepada pihak
asing agar pengalihan interest tersebut tidak
bertentangan denganhukum.
Pengalihan sisa interest sebesar 51% yang dilakukan
pada awal tahun 2000 juga merupakan rekayasa hukum karena

38
tindakan yang didasarkan pada Surat Menteri Pertambangan
dan Energi No. 990/30/MPE.M/1999 tanggal 29 Maret 1999
telah menyebabkan terjadi kerugian bagi negara karena
pembagian antara PERTAMINA dan Exxon Mobil menjadi 65% -
35% karena dengan memiliki 100% interest Exxon Mobil
menjadi pihak kontraktor menggantikan PT Humpuss
Patragas, sebelumnya Exxon Mobil hanya mendapatkan
deviden dari kepemilikan sahamnya melalui Ampolex Pte
Ltd. di TAC antara PERTAMINA dengan PT Humpuss Patragas.
Rekayasa hukum yang telah dipaparkan diataslah yang
mengakibatkan Exxon Mobile merasa memiliki peranan di
Blok Cepu, yang kemudian pada akhir tahun 2003 mengajukan
proposal untuk memperpanjang TAC yang hanya berlaku
sampai tahun 2010, setelah melalui proses yang panjang
akhirnya pada tanggal 17 September 2005 ditandatangani
Kontrak Kerja Sama (KKS) antara Badan Pelaksana dengan
Pertamina (Persero) dan Exxon Mobil, tetapi permasalahan
saat itu belum selesai karena Pertamina (persero) melalui
Widya Purnama sebagai Direktur Utama bertahan agar
Pertamina menjadi Lead Operator dalam Joint Operation
dengan Exxon Mobil, sampai kemudian pada tanggal 15 Maret
2006 ditandatangni kesepakatan Joint Operation Agreement
yang menempatkan Exxon Mobil sebagai pemegang Organisasi
Pelaksanaan Proyek Cepu (OPPC).
Selain permasalahan yang sifatnya teknis dan financial
dalam kontrak tersebut terdapat permasalahan hukum,
yaitu:
a. Pemerintah mengeluarkan PP No. 34 Tahun 2005, 10
hari sebelum penandatangan Kontrak Kerja Sama
tanggal 17 September 2005 yang melandasi
berubahnya TAC menjadi Kontrak Kerja Sama, dimana
dalam pasal 103A ayat 1 huruf c jo. Pasal 103D

39
diatur bahwa Menteri dengan persetujuan Presiden
dapat melakukan pengecualian mengenai jangka
waktu kontrak, dalam hal ini berdasarkan pasal
104 huruf e dan g PP No. 35 Tahun 2004, kontrak-
kontrak yang berupa TAC dan EOR beralih kepada PT
Pertamina (Persero), berlaku sampai habis waktu
kontraknya dan setelah kontrak berakhir wilayah
bekas kontrak tersebut menjadi wilayah kerja
Pertamina. Jadi berdasarkan PP No. 34 Tahun 2005
pasal 103A ayat 1 huruf c jo. Pasal 103D ini lah
kemudian TAC Blok Cepu yang baru berakhir tahun
2010 pada tahun 2005 dihapuskan berubah menjadi
Kontrak Kerja Sama.18
b. Penetapan Kontraktor Wilayah Kerja Cepu tanpa
melalui mekanisme tender terbuka sebagaimana yang
diatur dalam Keputusan Menteri ESDM No. 1480
Tahun 2004 Tentang Penetapan dan Penawaran
Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi.
c. Pengangkatan Arie Sumarno sebagai Direktur Utama
Pertamina (Persero) menggantikan Widya Purnama
pada tanggal 8 Maret 2006.19

18

Kedudukan Exxon Mobil yang sebelumnya adalah Operator dari


Pertamina (subordinat) menjadi partnership Pertamina sebagai
Operator Blok Cepu.
19
Permasalahan timbul karena 5 hari setelah pengangkatan Arie
Sumarno sebagai Direktur Utama Pertamina (persero) tanggal 13 maret
2006, ia mengumumkan bahwa telah tercapai kesepakatan antara
Pertamina (Persero) dan Exxon Mobil dengan Exxon Mobil sebagai Lead
Oprator Blok Cepu sedangkan pada saat Pertamina (persero) dipimpin
Widya Purnama mempertahankan agar Pertamina menjadi Lead Operator
Blok Cepu.

40
Berdasarkan pada permasalahan hukum diatas dan
rekayasa hukum yang terjadi sampai Exxon Mobil menjadi
kontraktor TAC menggantikan PT Humpuss Patragas yang
telah dijelaskan sebelumnya, dapat dinilai bahwa Kontrak
Kerja Sama tersebut cacat hukum dan tindakan yang
dilakukan pemerintah tidak memenuhi Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik (AUPB).20 Karena tindakan
Pemerintah tersebut tidak sesuai dengan asas bertindak
cermat, asas kebijaksaan, asas penyelenggaraan
kepentingan umum dan asas pertanggung jawaban
(akuntabilitas dan transparansi).
Sejumlah pihak banyak yang meminta pembatalan Kontrak
Kerja Sama tersebut, hal ini memang dimungkinkan dengan
cara membuktikan bahwa pemerintah telah melanggar AUPB,
tapi yang perlu diperhatikan adalah bahwa pembatalan
tersebut akan menimbulkan konsekuensi hukum lain karena
amat dimungkinkan pemerintah menghadapi gugatan dari
pihak Exxon Mobil di Arbitrase Internasional dan hal yang
paling menakutkan bila hal tersebut terjadi, akan
menimbulkan stigma negatif dimata investor baik yang
sudah menanamkan investasinya ataupun yang belum, karena
Exxon Mobil adalah perusahaan minyak Amerika Serikat

20
Asas yang bertujuan untuk mencapai dan memelihara adanya
pemerintahan dan administrasi yang baik,yang bersih (behoorlijk
bestuur). Dapat digolongkan menjadi 2 kategori, yakni:
a. asas-asas yang mengenai prosedur dan atau proses
pengambilan keputusan, yang bilamana dilanggar secara
otamatis membuat keputusan yang bersangkutan batal
demi hokum tanpa memeriksa lagi kasusnya;
b. asas-asas yang mengenai kebenaran dari fakta-fakta
yang dipakai sebagai dasar pembuatan keputusannya.
Prajudi Atmosidirjo. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1994) hal.90.

41
memiliki pengaruh yang besar baik di Negara maupun
Pemerintahan Amerika Serikat.
Penulis berpendapat sebenarnya pemerintah tidak perlu
terjebak dalam tindakan yang oleh banyak kalangan dinilai
sebagai rekayasa hukum tersebut, seandainya pemerintah
menunggu sampai kontrak TAC Pertamina – Exxon Mobil
berakhir pada tahun 2010 baru kemudian pemerintah
melakukan mekanisme penawaran wilayah kerja melalui
tender terbuka, seandainya pemerintah dalam tender
tersebut menetapkan Exxon Mobil sebagai pemenang tender
dengan pertimbangan, Exxon Mobil telah mengeluarkan biaya
besar untuk eksplorasi dan eksploitasi selama kontrak TAC
tersebut, hal ini mungkin lebih dapat diterima dan fair
dalam etika bisnis serta sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.

B.2. Analisa Politik


Dalam permasalahan Blok Cepu ternyata terdapat
intervensi politik internasinal, dimana Peranan
Pemerintah Amerika Serikat ternyata cukup besar dalam
menentukan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam
menetapkan Exxon Mobil sebagai Lead Operator Blok Cepu
karena seperti dilansir beberapa media massa Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono terhitung 2 kali ditanya oleh
petinggi Pemerintahan Amerika Serikat mengenai
perkembangan perundingan Blok Cepu, yaitu: Pertama; oleh
Presiden George W. Bush disela-sela acara Asia Pacific
Economic Council (APEC) di Santiago, Chile, November
2004, saat itu Bush meminta kepada Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono untuk memperhatikan nasib Exxon di
Cepu.21 Kedua; menurut Abdilah Toha, Ketua Fraksi Partai

21
Loc.cit, Kado Ultah Ibu Menlu

42
Amanat Nasional, ketika ia mengikuti kunjungan Presiden
ke Amerika Serikat bulan Mei tahun 2005, Dick Cheney
(Wakil Presiden Amerika Serikat) bertanya mengenai
keputusan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono soal Blok
Cepu.22
Kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat
Condoleezza Rice pada tanggal 16 Maret 2006, sehari
sesudah penandatangan JOA Pertamina (Persero) – Exxon
Mobil oleh beberapa kalangan diasumsikan sebagai pemicu
dipercepatnya penandatangan JOA tersebut, karena
penandatangan dilakukan 5 hari setelah pengangkatan Arie
Sumarno sebagai Direktur Utama Pertamina (Persero)
padahal sampai hari pengangkatan tersebut Direktur
Pertamina (Persero) Widya Purnama yang digantikan Arie
Sumarno, menyatakan bahwa Pertamina (Persero) masih
bertahan untuk menjadi Lead Operator penuh selama 30
tahun atau bergantian selama 5 tahun di Blok Cepu.
Harus diakui bahwa permasalahan Blok Cepu ini bukan
saja permasalahan yang multidisipliner tetapi juga
merupakan permasalahn yang multinasional, karena semua
pihak maupun semua Negara memiliki kepentingan terhadap
sumber daya minyak dan gas.

B.3. Analisa Ekonomi


Penetapan Exxon Mobil sebagai Lead Operator ternyata
diwarnai dengan permasalahan ekonomi, hal ini disebabkan
karena Pemerintah sejak jauh-jauh hari sebelum JOA
disepakati pada tanggal 13 Maret 2006 telah menunjukkan
tendensi keberpihakan kepada Exxon Mobil sebagai Lead

22
Exxon Mobil Segera Garap Cepu.
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2005/04/20/brk,20050420-
48,id.html

43
Operator hal ini sangat bertentangan dengan komitmen
pemerintah untuk membesarkan BUMN Pertamina (Persero).
Seperti dikemukakan oleh Menteri Negara BUMN Sugiharto
setelah mengikuti Sidang Kabinet pada tanggal 7 Maret
2006 mengenai kemampuan Pertamina menjadi Lead Operator,
Terpilihnya Exxon Mobil sebagai Lead Operator Blok Cepu
oleh Pemerintah dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
 Pertamina (persero) tidak mimiliki modal yang kuat
dan kegiatan usaha hulu ini merupakan usaha yang
beresiko tinggi;
 Pertamina (persero) tidak memiliki SDM dan
teknologi yang mutakhir untuk menghasilkan minyak
dari Blok Cepu dalam waktu singkat.23
 Negara akan mendapatkan keuntungan yang besar
dengan bagian 93,25% (85% split pemerintah + 6,75%
split Pertamina (persero) + 1,5% split Pemda)
Tetapi alasan-alasan yang menjadi justifikasi pemerintah
tidaklah semuanya benar karena:
 Pertamina memang tidak memiliki modal yang kuat
tetapi Pertamina (Persero)memiliki kesanggupan
untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dengan
mengajukan Capital Expenditure (CAPEX) atau biaya
investasi dan Operational Expenditure (OPEX)
kepada pemerintah sebesar US$ 100 juta pertahun
ini menunjukan bahwa Pertamina (Persero) memiliki
modal yang cukup menjalankan usaha di Blok Cepu.
Pemerintah tetap memilih Exxon Mobil sebagai Lead
Operator dengan total Capital Expenditure dan
Operational Expenditure sebesar US$ 260 juta per
23
Diana Lestari. JOA Blok Cepu, B to B atau… .
http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=477&_dad=portal30&_schema
=PORTAL30&pared_id=427129&patop_id=O06

44
tahun yang sebenarnya sangat tidak menguntungkan
bila melihat bahwa biaya yang dikeluarkan oleh
akan di Cost Recovery.24
 Pertamina tidak memiliki teknologi, tapi bukankah
pengadaan teknologi tersebut masuk dalam biaya
operasi yang oleh Pertamina (telah disanggupi
sebesar US$ 100 juta per tahun). Mengenai SDM
dibantah oleh Abdul Muthalib Masdar yang merupakan
Ketua Umum Himpunan Ahli Geofisika Indonesia
(HAGI)dan juru bicara Ikatan Ahli Geologi
Indonesia (IAGI) bahwa anggota HAGI dan IAGI yang
bekerja di Pertamina (Persero) sebanyak 2.417
orang berpendidikan S3, S2 dan S1.25
 Negara mendapatkan keuntungan 93,25% produksi
memang benar tetapi setelah dikurangi Cost
Recovery yang sejak KPS Generasi II jumlahnya
tidak dibatasi jadi bagian pemerintah per tahun
adalah sebesar 93,25% setelah dikurangi cost
recovery terhadap Capital Expenditure (CAPEX) dan
Operational Expenditure (OPEX) sebesar US$ 260
Juta per tahun hal ini oleh beberapa pengamat
dinilai sebagai kerugian bagi negara karena
seandainya Pertamina (persero) yang menjadi Lead
Operator, Cost Recovery yang dikeluarkan hanya US$
100 Juta per tahun, jadi uang sebesar US$ 160 juta
yang seharusnya masuk kedalam kas negara menjadi
milik Exxon Mobil.

24
Pelacuran Partai Politik Sebagai Partai Dakwah,
pkswatch.blogspot.com/2006/04/emoi-pelacuran-politik-sebuah-
partai.html - 55k -

25
Loc.cit, Kado Ultah Ibu Menlu

45
Cost recovery ini menjadi posisi vital karena
kemungkinan negara akan dirugikan, sangat besar selain
transparansi CAPEX dan OPEX, permasalahan lainnya adalah
kemungkinan Exxon Mobil memasukkan biaya dalam proses
akuisis Cepu dari PT Humpuss Patragas kepada Exxon Mobil
dan biaya eksplorasi sebelum Kontrak Kerja Sama mencapai
US$ 450 Juta walaupun berdasarkan hasil audit BPKP ongkos
eksplorasi yang dikeluarkan oleh Exxon Mobil baru US$ 179
Juta, untuk menghindari hal itu terjadi sebaiknya
pemerintah mewajibkan kepada Badan Pelaksana untuk
membuat system control and cross check terhadap cost
recovery untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas
pengeluaran cost recovery tersebut.

Berdasarkan analisis-analisis diatas dikaitkan dengan


keberpihakan pemerintah terhadap Exxon Mobil ketimbang
Pertamina (Persero), penulis berpendapat, rakyat akan
sangat setuju seandainya yang menjadi alasan pemerintah
adalah demi menyelamatkan perekonomian bangsa dan rencana
jangka panjang pemerintah dalam pemberantasan korupsi
karena Pertamina baik PN maupun Persero merupakan Top
Five lembaga terkorup di Indonesia sehingga ada ketakutan
bahwa keuntungan produksi minyak dan gas bumi di Blok
Cepu akan banyak dikorupsi oleh pejabat Pertamina
daripada dinikmati oleh rakyat, karena apabila alasan
pemerintah adalah alasan seperti yang telah dijelaskan
diatas, hal ini malah membangkitkan rasa nasionalisme
dari rakyat, dan hasilnya adalah seperti yang terjadi
saat ini.

46
BAB IV
Penutup
A. Kesimpulan
1. Kajian ini bukan merupakan kajian yang bersifat
nasionalisme sempit yang menolak segala jenis tindakan
kapitalis tapi merupakan kajian yang memberi gambaran
bahwa statement yang dilontarkan pemerintah melalui
Menteri dan pihak Pertamina (Persero) tidak semuanya
benar dan lebih mengarah pada pembentukan opini publik
semata.
2. Keberadaan Exxon Mobil di Blok Cepu sejak awal memang
diwarnai dengan rekayasa hukum yang dilakukan oleh
penguasa saat itu tetapi hal tersebut tidak menjadi
pertimbangan pemerintah dalam memilih Exxon Mobil
sebagai kontraktor di Blok Cepu.
3. Pemerintah lebih mempertimbangkan kepentingan ekonomi
dan intervensi politik ketimbang kepentingan penegakan
hukum, terbukti rekayasa hukum yang telah terjadi
sebelumnya kembali terulang dengan dikeluarkannya PP
No. 34 tahun 2005 yang melegitimasi perubahan TAC
antara Pertamina dengan Exxon Mobil yang belum habis
masa waktunya menjadi Kontrak Kerja Sama serta
pemilihan Pertamina (persero) dan Exxon Mobil sebagai
Kontraktor Wilayah Kerja Cepu tanpa melalui mekanisme
penawaran tender terbuka sebagaimana telah diatur
dalam Keputusan Menteri ESDM No. 1480 Tahun 2004
Tentang Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak
dan Gas Bumi.

47
4. Kesepakatan Exxon Mobil menjadi Lead Operator Blok
Cepu tidak sepenuhnya didasarkan B to B antara
Pertamina (persero) dengan Exxon Mobil terbukti jauh
hari sebelum kesepakatan terjadi Menteri Negara BUMN
Sugiharto, telah menunjukan tendensi kepada Exxon
Mobil sebagai Lead Operator Blok Cepu ditambah lagi
adanya isu intervensi dari Pemerintah Amerika Serikat.
5. Pendapat mengenai Negara akan mendapatkan bagian
sebesar 93,25% dari hasil yang didapat di Blok Cepu
tidak sepenuhnya benar karena yang dimaksud bagian
Negara 93,25% tersebut adalah bagian Negara setelah
dikurangi Cost Recovery terhadap Kredit Investasi dan
Biaya Investasi yang telah di keluarkan kontraktor.
6. Bahwa berdasarkan penjelasan-penjelasan pada bab-bab
sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa bentuk
kerjasama yang palin tepat adalah Joint Operating
Body, dimana PERTAMINA (Persero) menjadi Lead Operator
di Blok Cepu sedangkan Exxon Mobil bertindak sebagai
kontraktor yang turut dalam penyertaan modal.

B. Rekomendasi
Berdasarkan penelitian sebagaimana telah diuraikan di
bab-bab sebelumnya maka didapat beberapa rekomendasi
untuk permasalahan Exxon Mobil sebagai Lead Operator Blok
Cepu, sebagai berikut:
1. Kita harus menaati ketentuan-ketentuan Kontrak yang
telah disepakati hanya saja pemerintah harus benar-
benar memberdayakan lembaga-lembaga pemerintah yang
terkait dengan kegiatan usaha hulu migas berdasarkan
Tugas dan Fungsinya masing-masing, khususnya kepada
Badan Pelaksana sebagai Pengendali Manajemen Operasi

48
serta kewajibannya membuat pembukuan dan akuntansi
yang lengkap.
2. Pemerintah harus menambahkan kewajiban kepada Exxon
Mobil mengenai transparansi Capital Expenditure dan
Operational Expenditure, karena pengeluaran akan akan
diganti (reimburse), dan memiliki kemungkinan mark-up
paling besar.
3. Selain kewajiban Exxon Mobil sebagaimana pada Angka 3,
Badan Pelaksana juga harus diwajibkan membuat system

control and cross check terhadap cost recovery.26


4. Pemerintah membentuk tim khusus terkait dengan
permasalahan Community Development untuk memastikan
kewajiban kontraktor untuk mengembangkan lingkungan
dan masyarakat setempat sebagaimana diatur dalam UU
No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
terpenuhi sehingga ketakutan banyak kalangan mengenai
kasus Freeport akan terulang kembali dapat ditutupi.
5. Pemerintah mengamandemen KKS tersebut dengan
menambahkan pasal yang khusus mengenai Community

Development27 yang menjadi kewajiban dari kontraktor


bagi kontraktor .
6. Pemerintah hendaknya belajar menegakkan dan menaati
peraturan perundang-undangan, jangan sampai dimasa
yang akan datang pemerintah kembali mengulang
kesalahan dengan melakukan tindakan rekayasa hukum
yang menjadi kewenangannya (PP, Perpres, Kepmen dll),

26
Kurtubi. “Blok Cepu Dan Nasonalisme”.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/08/opini/2494245.htm

27
M. Sadli. “DILEMA PADA PT FREEPORT”.
http://kolom.pacific.net.id/ind/prof_m._sadli/artikel_prof_m._sadli/dilema_p
ada_pt_freeport.html

49
hanya karena kepentingan ekonomi “sepihak” dan
intervensi asing, karena rakyat Indonesia tidak lagi
bodoh untuk menilai apakah tindakan pemerintah
tersebut benar dan tepat atau tidak.

50
DAFTAR PUSTAKA

I. Buku
Atmosidirjo, Prajudi. Hukum Administrasi Negara.
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994)
HS, Salim. Hukum Pertambangan Di Indonesia.. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2006.
Simamora, Rudi M. Hukum Minyak Dan Gas Bumi. Jakarta;
Jambatan, 2000
Suminto, Bambang. Perkembangan KKS Di Indonesia dan
Syarat-syarat Kontrak Kerja Sama. FHUI,Depok.
Workshop KKS Migas. 23 Maret 2005.

II. Peraturan
Indonesia. Undang-undang Tentang Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi. UU Nomor 44 Prp Tahun 1960.
Indonesia, Undang-undang Tentang Pokok Pertambangan. UU
Nomor 11 Tahun 1967.
Indonesia, Undang-undang Tentang Pertamina. UU Nomor 8
Tahun 1971.
Indonesia, Undang-undang Tentang Perubahan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1971. UU Nomor 10 Tahun 1974.
Indonesia, Undang-undang Tentang Minyak Dan Gas Bumi. UU
Nomor 22 Tahun 2001.
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Syarat-syarat
dan Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak
dan Gas Bumi. PP Nomor 35 Tahun 1994.
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Badan Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. PP Nomor
42 Tahun 2001.
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi. PP Nomor 35 Tahun 2004.

51
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Perubahan
Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2004. PP Nomor
34 Tahun 2005.
Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral, Keputusan
Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1480
Tahun 2004.

III. Artikel.
“Blok Cepu”. <http://id.wikipedia.org/wiki/Blok_Cepu>
“Kado Cepu Buat Ibu Menlu”. <http://www.gatra.com/2006-
03-20/artikel.php?id=93111>.
“Exxon Mobil Segera Garap Cepu.”
<http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2005/04/20/
brk,20050420-48,id.html>
Lestari, Diana. “JOA Blok Cepu, B to B atau…” .
<http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=477&_dad
=portal30&_schema=PORTAL30&pared_id=427129&patop_id=
O06>
“Pelacuran Partai Politik Sebagai Partai Dakwah”,
<pkswatch.blogspot.com/2006/04/emoi-pelacuran-
politik-sebuah-partai.html - 55k –>
Sadli, M. “Dilema Pada PT FREEPORT”.
<http://kolom.pacific.net.id/ind/prof_m._sadli/artik
el_prof_m._sadli/dilema_pada_pt_freeport.html>
Sadli, M. “Operator Untuk Blok Cepu” .
<http://kolom.pacific.net.id/ind/prof_m._sadli/artik
el_prof_m._sadli/operator_untuk_blok_cepu.html>
“Pemerintah Tetap Miliki Blok Cepu” . <http://www.media-
indonesia.com/berita.asp?id=94746>
“Penerimaan Negara dari Blok Cepu Bisa di Bawah 93
Persen”.
<http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=2412

52
40&kat_id=3>
Warsito. “Rockefeller, ExxonMobil, dan Blok Cepu”.
<http://hizbut-
tahrir.or.id/main.php?page=opini&id=58>
Kurtubi. “Blok Cepu Dan Nasonalisme”.<
http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0603/08/opini/2494245.htm>
“Menelisik Kecurangan Dalam JOA Blok Cepu”. < hizbut-
tahrir.or.id/main.php?page=analisis&id=37 - 48k>

“Pro Kontra Warnai Kontrak ExxonMobil-Pertamina di Blok


Cepu”.
<http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14539&cl=B
erita>

“Pengoperasian Blok Cepu Memberikan Manfaat Besar Bagi


Indonesia”.
<http://www.esdm.go.id/listberita.php?news_id=609&ti
tle=Pengoperasian+Blok+Cepu+Memberikan+Manfaat+Besar
+Bagi+Indonesia>

Santoso, Agus. “Dari Freeport ke Blok Cepu”. Jawapos, 23


Maret 2006.

Hadinoto, Pandji R. “ Menyoal Hukum JOA Blok CEPU”.


Jawapos, 17 Maret 2006.

Gie, Kwik Kian. “Mental Budak”. Suara Karya, 15 Maret


2006.

Haq, Hayyan ul. “Mengadili Kontrak Blok Cepu”. Republika,


14 Maret 2006

53

You might also like