You are on page 1of 6

Secara kasar data 1975 dibanding 1993 (satuan rumah tangga) menunjukkan jumlah petani turun dari 48%

ke 30% rmt, buruh tani turun sedikit saja (dari 12% ke 10%) sebaliknya bukan-petani di desa naik dari 18% ke 22% dimana jumlah golongan atas diantara bukan-petani menjadi lebih besar dari bukan-petani golongan rendah. Di lingkungan kota, golongan bukan-petani juga meningkat dari 15% menjadi 24%. Dalam hal golongan bukan angkatan kerja (penerima bantuan) jumlah itu turun di desa, tapi naik di kota (masing-masing di bawah 3%). (Perlu dicatat: angka % rumah tangga terhadap jumlah rumah tangga, desa plus kota, total penduduk) Secara ringkas, 7 bab yang berisi analisa perkembangan ekonomi pedesaan di Jawa dan Sulawesi Selatan, wilayah utama padi sawah yang telah memasuki revolusi hijau, menyimpulkan dalam hal : a.) Kelembagaan penguasaan tanah : telah terjadi differensiasi kelas petani. Dengan menyisihkan peluang reformasi agraria (sikon masa itu) peluang kerja makin banyak ditemukan di luar pertanian. Ada juga usulan hal tenancy reform mengingat ketentuan UU Bagi Hasil tak diikuti di desa-desa itu. b.) Penyerapan tenaga kerja dikaitkan tingkat upah, teknologi unggul bias pada pemilik tanah dan penggarap (persentase bagian untuk tenaga kerja bayaran menurun : dari 38% ke 28% nilai tambah). Peningkatan produktivitas tanah itu mendorong perluasan kepemilikan tanah. Perluasan kepemilikan tanah memperkecil peluang tenaga kerja, peningkatan produktivitas tanah sawah dan harga gabah yang lebih tinggi lebih meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Kenaikan upah pertanian didorong naiknya upah di luar pertanian. Perbaikan peluang kerja dan pendapatan ditemukan di luar pertanian dan dari pekerjaan berburuh tani pada golongan tanpa-tanah. c.) Perkembangan teknologi mekanisasi di Jawa : pemakaian bibit unggul (padi) dan pupuk pabrik mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja di desa. Mekanisasi terutama terjadi pada proses pengolahan gabah menjadi beras (mesin huller), sedangkan masuknya traktor pengolah tanah masih terbatas. d.) Penyerapan tenaga kerja luar pertanian di desa : industri rumah tangga memerlukan proses lama; dimulai dari pengalaman berburuh, berdagang, barulah meningkat menjadi pengusaha. Pembinaan usaha industri rumah tangga bisa merupakan pendidikan untuk menjadi pengusaha.

e.) Perkreditan pertanian di desa : dalam masa 1972-1981, kredit perbankan untuk pertanian seIndonesia tumbuh 28% per tahun. Namun porsi nilai kredit pertanian menurun, beralih ke bidangbidang dagang, industri, dan jasa. Sistem perbankan belum sesuai kebutuhan masyarakat desa. Di desa-desa sampel baru 15% rumah tangga yang terlibat dalam kredit formal, sedangkan 19% lainnya dari kredit informal. Sejumah saran : perbaikan sistem informasi, memperkenalkan bentuk-bentuk baru kredit untuk golongan ekonomi lemah yang sesuai kebutuhan modal usaha rumah tangga. f.) Hal pola pengeluaran rumah tangga desa dan pemilikan modal bukan-tanah : saran pelatihan bagi rumah tangga miskin agar lebih terampil dan berjiwa wiraswasta. Saran lain agar arus informasi dalam hal konsumsi mewah dihambat (mengingat dampaknya di desa). g.) Analisa data pendapatan rumah tangga di desa-desa wilayah utama padi sawah itu (1981) mengacu pelapisan yang menunjukkan keragaman sumber nafkah rumah tangga (beda dari data BPS) dan disertai data penguasaan tanah (38% tak-bertanah) (Tabel 2). Memakai ukuran garis kemiskinan (ekuivalen nilai jual beras 240 kg/orang/tahun) buruh tani, rumah tangga dan petani gurem (kurang 0,5 ha) tergolong miskin (54%, tiga lapisan). Di antara yang miskin itu sumber pendapatan dari usaha luar pertanian cenderung meningkatkan pendapatan.

Gambar 1 (sumber : Sinaga /White, 1979) mencoba menunjukkan pengaruh luas dan distribusi penguasaan tanah serta ragam sumber nafkah atas distribusi pendapatan. Segitiga berwarna abuabu menunjukkan distribusi luas tanah di antara petani, dimana yang tak-bertanah tak termasuk segitiga itu. Di sebelah kanan digambarkan distribusi pendapatan dan sumber-sumber pendapatan, ada yang dari usaha tani berdasar lahan, dan dari potensi bukan-lahan (misal : usaha ayam berteknologi batere) dan dari usaha di luar pertanian. Gamba 1 ini menunjukkan kasus desa dimana dari tiga sumber pendapatan itu, rumah tangga dengan luas tanah lebih yang selalu unggul. Sebaliknya rumah tangga tanpa-tanah memperoleh pendapatan terkecil, bahkan tergolong rumah tangga defisit bila dibandingkan tingkat pendapatan sebatas biaya hidup sebagai patokan. Pada Gambar 1 petani tanah terluas punya pendapatan dari usaha tani yang melebihi biaya hidup. Bisa kita simpulkan, di pedesaan Jawa di wilayah sawah padi yang padat penduduk, tanpa peluang suatu re-distribusi tanah (reforma agraria) peluang di luar pertanian (sering di luar desa sendiri) yang membuka peluang lebih meningkatkan pendapatan dan mengatasi kemiskinan.

Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang besar. Kedua potensi ini harus dikombinasikan dengan memberikan hak penguasaan lahan dan sumberdaya alam bagi tenaga kerja yang kualitas dan kemampuan manajemennya ditingkatkan disertai pengembangan teknologi maju. Dengan strategi ini pertanian akan dapat menjadi basis pertumbuhan ekonomi Indonesia masa depan. Krisis ekonomi juga menumbuhkan kembali keyakinan bahwa sektor pertanian dapat berperan sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Untuk itu paradigma pembangunan pertanian harus diubah menjadi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan petani serta masyarakat pedesaan. Untuk itu perlu dilakukan kebijakan pembangunan pertanian baru antara lain: partisipasi aktif petani dan masyarakat pedesaan disertai pengembangan sumberdaya manusia, peningkatan penguasaan lahan dan aset produktif per tenaga kerja pertanian dan pemerataan jangkauan pada asset produktif pertanian, teknologi, dan pembiayaan, diversifikasi pertanian dalam arti luas (broad base agricultural diversification), pengembangan lembaga keuangan pedesaan yang mandiri, pengembangan kelembagaan pertanian dan pedesaan dan pengembangan prasarana pertanian dan pedesaan, dan pengembangan basis sumberdaya pertanian. Kebijakan baru ini perlu didukung dengan pelaksanaan secara konsekuen land reform dan agrarian reforrm, sehingga lahan pertanian hanya boleh dimiliki oleh petani Indonesia. Untuk paket deregulasi tahun 1993 yang membolehkan penguasaan lahan 100 % oleh perusahaan swasta dan bahkan swasta asing harus ditinjau kembali. Perusahaan swasta dan asing hanya boleh menguasai pabrik pengolahan, dan petani diberi hak untuk dapat membeli saham perusahaan pengolahan untuk membina keterkaitan dan kerja sama. Hanya dengan penerapan kebijakan ini kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat pedesaan dapat ditingkatkan dan harus didukung oleh program jaring pengaman sosial. Di masa Orde Baru juga telah dilaksanakan transmigrasi secara besar-besaran (sebagian dengan dana Bank Dunia), suatu bentuk reforma agraria yang melibatkan penduduk migran, pendatang dari wilayah padat penduduk di Jawa/Bali. Sampai mana keberhasilan membentuk desa-desa baru dengan pola pertanian yang berkelanjutan ? Riwanto (dari LIPI) baru-baru ini (2001) menilai program transmigrasi itu telah gagal, tak berkelanjutan, disertai konflik-konflik sosial di wilayah tertentu antara pendatang dengan penduduk asal (sejak krisis 1997). Kasus terakhir yang disebut rencana lahan sejuta hektar di Kalimantan Tengah, merupakan kegagalan yang terutama disebabkan oleh salah pilihan lokasi dan upaya membangun yang meleset, kurang waspada terhadap tantangan lingkungan di wilayah seluas itu. Akibat ekologis dari salah pilih itu (dalam berbagai arti) masih belum diperkirakan, setelah sekian luas lahan gambut rusak dan kawasan hutan aslinya tersisihkan. Hanya belum ada penilaian atas hasil gerak penduduk yang terjadi spontan di luar program transmigrasi dan PIR-BUN (diperkirakan melibatkan jumlah orang yang sampai 4 kali jumlah transmigran resmi, mungkin lebih). Sejumlah konflik yang terjadi sejak krisis ekonomi (1997) dan melibatkan petani di desa-desa baru itu (sebagian terjadi juga di kota, di KTI), melibatkan penduduk berbagai suku dan asal. Dalam hal melibatkan golongan petani (penduduk pendatang dan asal), sama sekali tak dapat disebut revolusi petani. Apalagi yang terwujud dalam gerakan penjarahan atas kebun dan hutan milik perusahaan besar (atau hutan negara di Jawa), petani yang terlibat hanya memperoleh keuntungan seketika, menjadi alat yang dikendalikan oleh pihak yang punya uang dan pengaruh di daerah. Bahkan hal berlanjutnya usaha merambah hutan (ada pasaran kayu bermutu berkat cukong-cukong yang aktif), tidak membuat petani dan orang-orang desa yang lain menyadari keterlibatan mereka dalam suatu konflik, yaitu konflik dengan kepentingan generasi baru, anak-anak mereka. Upaya memberdayakan petani di desa yang bermasalah maupun yang tidak bermasalah berarti pilihan jalur demokrasi yang dikembangkan dalam masyarakat desa. Sampai mana proses membangun desa atas dasar daulat rakyat desa berpeluang terwujud di era Otonomi Daerah? Ada dua undang-undang yang dihasilkan tahun 1999. Yang satu, dengan model Depdagri-Otda, dan yang lain, visi Departemen Keuangan (kabarnya yang pertama sedang direvisi pemerintah, setahun setelah mulai diberlakukan). Di sini pun corak kebijakan pembangunan desa semasa Orde Baru berpotensi kendala besar, akibat negatif dari kuatnya Negara masuk desa (M.Masud), dan akan perlu waktu untuk mengatasinya. Di

masa Orde Baru itu ditetapkan UU tahun 1974 (tentang pemerintahan di daerah) dan UU Desa (1979) yang terutama mengikuti model desa di Jawa yang di daerah lain ternyata sulit dipraktekkan (tak jalan). Dalam proses itu tersedia dana Inpres Desa (tiap tahun) : peluang untuk ikut makan dari proyek berkembang, yang melibatkan pemerintah desa juga. Jalur formal untuk partisipasi masyarakat desa ditetapkan oleh suatu Keputusan Presiden yaitu lembaga yang dikenal sebagai LKMD, boleh dikata sebagai perencana dan pelaksana pembangunan di desa membantu Pemerintah desa yang ditetapkan sesuai UU Desa 1979. Suatu lembaga lain juga ditetapkan LMD, tempat musyawarah di antara pemuka desa, yang dalam kenyataannya nyaris tanpa suara, dibandingkan LKMD, dimana salah satu seksi yang lebih dikenal adalah PKK yang diketuai Ibu Kepala Desa, di kecamatan oleh Ibu Camat, terus sampai ke puncak hierarki di Jakarta, dimana Ibu Menteri Dalam Negeri adalah Ketua Nasionalnya. Itulah salah satu bentuk nasionalisasi desa di masa Orde Baru. Menurut pakar sosiologi (Sediono M.P. Tjondronegoro), setiap lembaga di desa menunjukkan satu ciri yaitu tunduk pada kekuasaan (atasdesa)/power compliance, berdasarkan kajian dari desa-desa di Jawa Barat dan Jawa Tengah pada tahun 1975-an. Gambaran umum itu dilukiskan oleh Sajogyo (1993), pola itu yang berlaku di masa Orde Baru, hasil rezim yang sentralistik itu. Ada sumber bacaan lain yang ditulis berdasarkan studistudi kasus, yaitu berasal dari Hskens (kasus desa di Pati dan di Comal, Jawa Tengah, berdasarkan data sejarah, hampir seabad). Jika N.G. Schulte-Nordholt mencantumkan hasil kajiannya perihal hubungan antara camat dengan kepala desa dengan judul Ojo Dumeh, Antlv cs. memilih judul buku (kumpulan hasil kajian 7 orang pakar, termasuk sejarahwan Sartono), Kepemimpinan Jawa : Perintah Halus, Kepemimpinan Otoriter (terjemahan, Yayasan Obor Indonesia, 2001). Perlu dicatat bahwa ada juga buku, hasil kajian lain di Jawa, yang berisi hasil yang lebih memberi harapan, yaitu oleh K. Suwondo yang mencatat tanda-tanda kehidupan kelembagaan sipil di pedesaan di Klaten. Dengan sejarah dan sikon seperti yang digambarkan itu (kekuatan Negara Masuk Desa jauh lebih dominan daripada Desa Masuk Negara, pemikiran M. Masud), apa peluang bagi desa dalam UU Otonomi Daerah tahun 1999 ? Di situ ada pasal 99 dan 100 yang baik bila kita ikut kembangkan karena menyebutkan salah satu wewenag desa adalah melaksanakan suatu tugas perbantuan dari pemerintah : propinsi/kabupaten, dengan persyaratan bahwa perbantuan itu disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia. Kalau hal ini benar, kini desa (tak jelas apakah langsung pemerintah desa atau lembaga lain di desa yang ditentukan oleh pemerintah desa) dalam posisi bisa bilang tidak jika tak setuju maksud dari suatu program masuk ke desanya ! Sementara kita menunggu laporan mengenai praktek pelaksanaan dua pasal itu, sudah ada SK Menteri Dalam Negeri yang menghidupkan kembali lembaga LKMD (bisa nama lain, pilihan penduduk) yang dapat berfungsi sebagai LSM-nya desa. LKMD itu berasal dari masa Orde Baru, bentukan Keppres, dan tidak ada dalam UU Desa 1979. Sementara ini ada pula suatu peraturan pemerintah yang berisi petunjuk panjang lebar tentang bagaimana mengurus hal desa yang isinya berpotensi campur tangan pemerintah (terdekat Pemda Kabupaten) tetap berkelanjutan ke bidangbidang yang termasuk wewenang desa ! Dan bagaimana halnya urusan demokrasi di kelurahan, yang ada di wilayah kota/urban ? Dengan adanya Kepala Kelurahan yang pegawai negeri (Pemda Kota), bukan pilihan rakyat, penduduk dipersilahkan menemukan sendiri saluran-saluran demokrasi di aras bawah itu. Ada persamaan dengan apa yang pernah ditetapkan Orde Baru dalam hal kemandirian orang desa dalam membentuk koperasi yang dibuat berbeda. Bagi orang desa (dengan Kepala Desa yang dipilih) hanya terbuka lembaga koperasi berbentuk KUD (antar desa), sebaliknya bagi orang kota, berlaku ketentuan undang-undang koperasi boleh membentuk sendiri jenis koperasi apapun ! Apakah konsekuensi dari perbedaan peluang rakyat berkoperasi itu ? Jika praktek di alam Orde Baru itu akan bertahan di era reformasi, hal itu dapat menentukan corak hubungan desa-kota, terutama di jalur emansipasi orang desa menjadi orang kota.

Perubahan Pola Mata Pencaharian Masyarakat desa Ketindan, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang Sebagai Strategi Adaptasi Ekonomi Terhadap Pembukaan Areal Wisata dan Industri Kebun Teh Wonosari: Sebuah Analisis Perubahan Cultural themes
Perubahan alam lingkungan yang lebih kita kenal dengan istilah perubahan sosial budaya. Perubahan-perubahan pada bentuk dan pola individu atau masyarakat inilah yang sangat menarik untuk kita pahami lebih lanjut, karena setiap perubahan memiliki efek dan makna yang berbedabeda. Perubahan sosial budaya yang ada dalam masyarakat melewati tiga tahapan penting, yaitu perubahan dalam tataran individu, tataran masyarakat dan tataran kebudayaan. Masing-masing tataran memiliki baberapa variabel yang mempengaruhi ataupun yang terpengaruh. Perubahan sosial budaya bisa terjadi akibat perubahan secara ekonomi yang dialami oleh suatu masyarakat atau individu. Perubahan ekonomi menyebabkan tingkat kesejahteraan seseorang berubah dan juga seseorang bisa memperoleh sesuatu yang diinginkan. Tingkat pemenuhan kebutuhan manusia dan tingkat kesejahteraan kehidupan materialnya ditentukan oleh oleh tingkat teknologi dan eKonomi, namun hal tersebut tidak terlepas dari unsur-unsur budaya yang ada, aspek-aspek biologi dan emosi manusia yang bersangkutan dan juga kualitas dan kuantitas sumber daya energi yang tersedia dan ada dalam lingkungan. Dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut salah satu aspek penting yang sering dilupakan oleh kebanyakan masyarakat

2. Tradisi Pemilihan Nama dan Tanda Tangan 2.1 Tradisi penamaan di Jepang Nama di Jepang terdiri dari dua bagian : family name dan first name. Nama ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan (kuyakusho), selambat-lambatnya 14 hari setelah seorang bayi dilahirkan. Semua orang di Jepang kecuali keluarga kaisar, memiliki nama keluarga. Tradisi pemakaian nama keluarga ini berlaku sejak jaman restorasi Meiji, sedangkan di era sebelumnya umumnya masyarakat biasa tidak memiliki nama keluarga. Sejak restorasi meiji, nama keluarga menjadi keharusan di Jepang. Dewasa ini ada sekitar 100 ribu nama keluarga di Jepang, dan diantaranya yang paling populer adalah Satou dan Suzuki. Jika seorang wanita menikah, maka dia akan berganti nama keluarga, mengikuti nama suaminya. Namun demikian, banyak juga wanita karir yang tetap mempertahankan nama keluarganya. Dari survey yang dilakukan pemerintah tahun 1997, sekitar 33% dari responden menginginkan agar walaupun menikah, mereka diizinkan untuk tidak berganti nama keluarga [2]. Hal ini terjadi karena pengaruh struktur masyarakat yang bergeser dari konsep ie() dalam tradisi keluarga Jepang. Semakin banyak generasi muda yang tinggal di kota besar, sehingga umumnya menjadi keluarga inti (ayah, ibu dan anak), dan tidak ada keharusan seorang wanita

setelah menikah kemudian tinggal di rumah keluarga suami. Tradisi di Jepang dalam memilih first name, dengan memperhatikan makna huruf Kanji, dan jumlah stroke, diiringi dengan harapan atau doa bagi kebaikan si anak.

You might also like