You are on page 1of 5

Tips Menjadi Hamba Yang Bersyukur

Menjadi seorang hamba yang bersyukur adalah idaman bagi seorang Nabi yang
terkenal sebagai Nabi yang terkaya yaitu Rasulullah Sulaiman a.s, tidak hanya itu
keinginan menjadi hamba yang selalu mukhlis itu sering kali dikumandangkan
dari lisannya di saat-saat bermunajat kepada Allah SWT, fakta historis ini
membuktikan ternyata kebahagiaan sejati itu tidaklah terletak pada "kekayaan"
namun kebahagiaan sejati didapati pula jiwa manusia yang bersyukur.

Memang rasa syukur itu sendiri adalah "anugerah" tidak semua orang bisa
menikmati perasaan itu, karena belum tentu orang yang selalu bertaburan dari
lidahnya ungkapan syukur ia adalah benar-benar pengamal sikap syukur. Karena
seringkali apa yang tampil dari diri kita ternyata belem tentu cerminan dari
kesungguhan hati, semua sekadar tradisi atau pergaulan. Akhirnya begitu
menerima kenikmatan "lupa" dengan mengungkapkan syukur baik kepada yang
memberi maupun pada diri sendiri.

Banyak di antara kita terjebak memandang fatamorgana ini menjadi standar


kebahagiaan dan pergaulan, padahal tatkala itu semua tidak ada lagi maka
alangkah sedihnya, karena kita akan sendiri, tidak dipandang dan diakrabi orang
lagi. Sungguh kita akan menuai hasil sebagai akibat desain pergaulan yang kita
buat itu. Harta, tahta dan mahkota sangat "labil" dibalik itu semua tersimpan
"amanah" untuk mensyukurinya, bahkan seperti yang dijelaskan pada ayat-ayat
yang sering diulang-ulang dalam surah ar-Rahman bahwa Allah SWT kerap
bertanya "dari sekian banyak dari nikmat Tuhan yang mana lagikah yang akan
kamu dustakan"? Sudah menjadi sifat dasar dari manusia bahwa ia adalah
makhluk yang sering mengalami rasa "berkeluh kesah" disebutkan dalam Al-
Qur'an: "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat
kebaikan (keberuntungan) maka ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang
mengerjakan shalat". (Q.S: al-Ma'arij, ayat: 19-22).

Makna Kata "Syukur" dalam kamus besar bahasa Indonesia "syukur" diartikan
sebagai rasa terima kasih, sementara itu ar-Raghib al-Asfahani seorang yang ahli
bahasa mengulas dalam bukunya "al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an" menyatakan;
rasa syukur itu berarti "gambaran tentang nikmat dan menampilkannya ke
permukaan. Kata syukur dasarnya berarti "membuka" dan kebalikan dari kata ini
adalah "kufur" yang artinya menutup. Jadi hakikat rasa syukur itu adalah
"menampakkan nikmat dengan menyebut-nyebut sipemberi dengan lidah"
sedangkan kata kufur "menyembunyikannya".

Dengan demikian letak mendasar dari esensial "syukur" itu adalah bagaimana
kita dapat menampakkannya sesuai dengan fungsi dan kegunaannya melalui
petunjuk al-Qur'an dan al-Hadis, karena dengan petunjuknya kita akan
mengetahui arah dan tujuan sipemberi sehingga tidak "mengecewakan" si
pemberi.
Dalam literatur ke Islaman dipahami bahwa seluruh keberadaan alam semesta
ini adalah "pemberian Allah SWT, Ialah yang menjadikan alat untuk menikmati
kenikmatan begitu pula "materi" yang akan dinikmati. Tugas kita sebatas
mengubahnya menjadi yang kita minati dan sukai sesuai kebutuhan, hanya saja
dalam beberapa proses ini kita sering lupa bahwa "seolah" kita telah
"menciptakan" yang telah diciptakan Allah. Sikap itu lama-lama mengkristal
menjadi "kesombongan" untuk menggeser peran Allah SWT sebagai Sang Maha
Pencipta.

Quraish-Shihab dalam buku "Wawasan al-Qur'an" mengatakan: Ulama ketika


menafsirkan firman Allah "Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu
mengingkari (nikmat)-Ku" (QS. al-Baqarah, ayat: 152), menjelaskan bahwa ayat
tersebut mengandung perintah untuk mengingat Tuhan tanpa melupakannya,
patuh kepada-Nya tanpa menodainya dengan kedurhakaan. Hal ini
menunjukkan bahwa makna syukur sebenarnya menghadirkan Allah disegenap
nikmat-nikmat-Nya, dengan mensyukuri nikmat-Nya maka secara otomatis kita
mengakui eksistensi Allah SWT, dalam kehidupan ini.

Dengan demikian begitu besarnya "hikmah dan makna" syukur itu, wajar kalau
Nabi Sulaiman berulang-ulang mengatakan: "Ini adalah sebagian anugerah
Tuhan-Ku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur". (QS. an-Naml,
ayat: 40). Bagi Nabi Sulaiman a.s, mengontrol hawa nafsu untuk selalu bersyukur
itu teramat penting, karena di saat-saat manusia bersyukur maka saat itu pulalah
hadir pengakuan kebesaran Allah dengan segenap keagungan-Nya, dan biasanya
yang iringi dengan kata pujian "alhamdulillah". Menurut pakar-pakar bahasa
kata "alhamdulillah" disebut al lil-istighraq, yakni mengandung arti
"keseluruhan" yaitu yang paling berhak menerima segala pujian adalah Allah
SWT, bahkan segala pujian harus tertuju dan bermuara kepada-Nya.

Jadi jika dilihat yang baik muncul pada orang-orang terdekat kita; karyawan kita
jika kita seorang pimpinan, isteri kita anak kita, karya atau hasil kerja kita dan
alam ini hendaknya kita cepat-cepat mengucapkan "Subhanallah" maha suci
Allah karena hanya Allahlah yang mampu dan kuasa meridhoi dan
menghadirkan semua itu, karena meskipun kita sangat berkehendak namun
Allah maha segalanya, semua yang kita usahakan tidak akan terlaksana dengan
"baik" jika ridho Allah tak bersama kita. Begitupun segala bentuk usaha kita
sebagaimana janji Allah jika menuruti hukum alam (sunatullah) dengan baik
maka insya Allah akan menghasilkan yang baik pula itu berarti kita telah
memahami pesan-pesan-Nya.

Realitasnya banyak manusia yang meragukan apa yang telah diturunkanNya,


baik berupa kitab suci maupun tanda-tanda (ayat-ayat kauniyah) alam semesta
ini. Sikap-sikap itulah yang dalam perkembangan keyakinan kita menjadi insan
yang kufur, karena tidak mau mengakui nikmat Allah bahkan menutupinya
dengan berbagai sifat dan sikap mazmumah.
Tips Menjadi Hamba yang Bersyukur

Nabi Muhammad SAW, bersabda: "Allah senang melihat bekas (bukti) nikmat-
Nya dalam penampilan hamba-Nya". (HR: Tarmizi). Hadis ini beriringan
dengan tujuan firman Allah bahwa "Dan barang siapa bersyukur, maka
sesungguhnya ia mensyukuri dirinya sendiri dan barang siapa yang kufur
maka sesungguhnya Tuhan-Ku maha kaya lagi mulia". (QS: an-Naml, ayat:
40). Ayat-ayat Allah yang menyatakan bahwa Allah akan menambah dan
menjamin nikmat-Nya" itu pada hamba-hamba yang bersyukur sangat banyak,
ini menunjukkah bahwa letak jaminan sukses seseorang bukan ketika
mengingkari nikmat-nikmat-Nya, namun di saat-saat manusia mau tafakur dan
tazkir kepada Allah SWT buah dari sikap tasyakurnya. Dengan demikian
hendaknya kita kembali bersyukur tidak melupai dan mengkhianati pemberian-
Nya, kalau demikian menurut saya ada tiga tips yang akan mengembalikan kita
untuk menjadi hamba yang bersyukur ("abdan syakura), dan itu lewat tiga indra
yang kita miliki, yaitu:

1. Bersyukur dengan hati


Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat
yang diperoleh adalah semata-mata karena anugerah dan kemurahan Ilahi.
Syukur dengan hati mengantar manusia untuk menerima anugerah dengan
penuh kerelaan tanpa menggerutu dan keberatan betapapun kecilnya nikmat.
Syukur ini juga mengharuskan yang bersyukur menyadari menyadari betapa
besarnya kemurahan dan kasih sayang Ilahi sehingga terlontar dari lidahnya
pujian kepada-Nya. Qorun yang mengingkari keberhasilannya atas bantuan Ilahi,
dan menegaskan bahwa itu diperolehnya semata-mata karena kemampuannya,
dinilai oleh al-Qur'an sebagai kafir atau tidak mensyukuri nikmat-Nya (kisah ini
termaktub dalam surah al-Qashash, ayat: 76-82).

Seorang yang bersyukur dengan hatinya saat ditimpa malapetakapun, boleh jadi
dapat memuji Tuhan, bukan atas malapetaka itu, tetapi karena terbayang
olehnya bahwa yang dialaminya pasti lebih kecil dari kemungkinan lain yang
dapat terjadi. Dengan rasa syukur seperti ini seseorang akan jatuh tersungkur
sujud untuk menyatakan perasaan syukurnya kepada Allah SWT.

Sujud syukur adalah perwujudan dari kesyukuran dengan hati, yang dilakukan
saat hati dan pikiran menyadari betapa besar nikmat yang dianugerahkan Allah.
Bahkan sujud syukur dapat dilakukan saat melihat penderitaan orang lain
dengan membandingkan keadaannya, melihat betapa perihnya hati mereka yang
terkena musibah gempa dan Tsunami saudara-saudara kita baik yang ada di
NAD maupun di Nias. Meletakkan kening dan dahi ke atas tanah adalah
simbolisasi kerendahan dan kehambaan kita dihadapan Khalik, kemudian
menyadari dengan nikmat apa saja tidak merubah status manusia dihadapan
Allah yang sama-sama sebagai hamba yang "sama". Kesamaan inilah yang
menemani kesetiaan dan kesabaran seseorang untuk tetap bertahan pada jiwa
yang selalu bersyukur baik pada waktu senang maupun susah.
2. Syukur dengan lidah
Syukur dengan lidah adalah mengakui dengan ucapan bahwa sumber nikmat
adalah Allah sambil memuji-Nya. Seperti telah saya sebutkan di atas,
mengajarkan agar pujian kepada Allah disampaikan dengan redaksi
"alhamdulillah". Hamdu (pujian) disampaikan secara lisan kepada yang dipuji,
walaupun ia tidak memberi apapun baik pada kita (si pemuji) ataupun orang
lain, karena memang memuji tidak memerlukan "balasan" untaian kata itu
mengalir secara "ikhlash" karena pengakuan yang mendalam atas kekaguman
dan ketakjuban.

Jika mata dan hati kita secara sadar menyaksikan singgasana nikmat yang tak
ternilai harganya maka akan terurailah kata-kata sebagaimana firman Allah:
"Seandainya kamu (akan) menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan
sanggup menghitungnya". (QS. Ibrahim, ayat: 34). Semua hal yang datang
sebenarnya harus kita syukuri tetapi setidaknya secara garis besar kita pantas
mensyukuri beberapa nikmat terbesar Allah yaitu: kehidupan dan kematian,
hidayah Allah, pengampunan-Nya, panca indera dan akal, rezeki, sarana dan
prasarana, kemerdekaan semua nikmat ini sangat besar nilainya dan harus kita
syukuri dengan baik.

Masih banyak sebenarnya nikmat-nikmat Allah yang secara khusus kita syukuri,
tetapi beberapa nikmat di atas sebagian yang sering disebut-sebut dalam al-
Qur'an. Kemudian secara aplikatif nilai syukur ini akan "berharga" bila
dilanjutkan dengan gerak-gerik aktivitas kita sehari-hari alias diamalkan dengan
perbuatan.

3. Syukur dengan perbuatan


Aktivitas yang bernilai "syukur" bisa dilihat bagaimana kita mengamalkan hidup
ini dengan motivasi "ridha" Allah SWT, Nabi Daud a.s, beserta putranya Nabi
Sulaiman a.s, memperoleh aneka nikmat yang tiada tara. Kepada mereka Allah
berpesan: "Bekerjalah wahai keluarga Daud sebagai tanda syukur". (QS. Saba',
ayat: 13).

Makna bekerja di atas adalah menggunakan nikmat yang diperoleh sesuai


dengan tujuan penciptaan atau penganugerahan. Ini berarti setiap kali ada
nikmat Allah kita dituntut merenungkan tujuan nikmat tersebut. Nikmat-nikmat
Allah terbentang baik di daratan maupun di lautan, menuntut kemampuan akal
kita untuk menghadirkan teknologi yang canggih untuk menggali dan menuai
hasilnya.

Dengan "kerja keras" akhirnya setiap insan yang mau bekerja dengan baik akan
mendapatkan kesejahteraan hidup. Tetapi yang sangat disayangkan pernah
terjadi sebagai iktibar bagi kita dimana pengalaman pahit telah dilukiskan telah
terjadi terhadap sekian banyak masyarakat bangsa, kaum Saba' yang hidup di
Yaman dan yang pernah dipimpin oleh seorang Ratu yaitu Ratu Balqis.
Diceritakan keadaan bangsa yang kuat persatuan dan kesatuan, nikmat bumi
yang subur membuat mereka makmur, tetapi mereka berpaling, dan enggan
sehingga akhirnya mereka berserak-serakkan, tanahnya berubah gersang.
Tinggallah kenangan yang menghiasi hidup mereka akibat kelalaian untuk
bersyukur pada Allah SWT.

Penutup
Dengan segenap fasilitas yang kita miliki hari ini sebenarnya tidak ada alasan
untuk tidak bersyukur, karena kunci kesejahteraan diri bukan terletak pada
banyak sedikitnya harta tetapi pada besar-kecilnya ungkapan syukur yang
mampu kita wujudkan. Dengan bersyukur maka Allah akan semakin dekat
dengan begitu hati inipun semakin tenteram. Semoga! Amiin yaa Kariim.
Wallahua'lam bishawab.

sumber: kajian MyQ by: ncakrawala

You might also like