You are on page 1of 227

PRANATA SOSIAL

JAWA

DR. PURWADI, M. HUM

ISBN 978-979-16061-1-0

YOGYAKARTA PENERBIT TANAH AIR

KATA PENGANTAR

Keberadaan struktur sosial Jawa telah didukung oleh lembaga-lembaga adat yang telah mengakar di lingkungan masyarakat. Nilai-nilai etis filosofis yang terkandung dalam kesusastraan dan kesenian semakin memperkokoh jati diri budaya Jawa. Seiring dengan perkembangan zaman, nilai luhur budaya Jawa tetap diwariskan secara turun-temurun. Usaha pelestarian sosial budaya yang dilakukan oleh masing-masing generasi tersebut masih berlanjut hingga sekarang, dengan mengalami kreasi dan modifikasi baru, nuting jaman kelakone. Sistem penyelenggaraan upacara tradisional dilakukan demi memenuhi kebutuhan rohani yang berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat Jawa.

Siklus hidup manusia yang meliputi masa kelahiran, perkawinan dan kematian mendapat perhatian dengan melakukan upacara khusus. Tujuannya adalah

memperoleh kebahagiaan lahir batin, setelah mengetahui hakikat sangkan paraning dumadi atau dari mana dan ke mana arah kehidupan. Dalam hal ini, puncak pribadi manusia paripurna ditandai oleh kemampuannya dalam mengendalikan diri sebagaimana tersirat dalam ngelmu kasampurnan yang menghendaki hubungan selaras antara Tuhan dan alam. Pranata sosial Jawa bersifat spiritual religius dengan titik orientasi manunggaling kawula Gusti. Keutamaan hidup dalam bidang keruhanian

tercermin dalam sesanti agama ageming aji, bahwa agama merupakan sarana pokok untuk memperoleh kemuliaan tertinggi. Sedangkan hubungannya dengan tertib kosmis berpangkal tolak dari idiom mangasah mingising budi, memasuh malaning bumi. Penajaman akal budi yang berintegritas dan menghindari polusi yang destruktif menjadi sarat mutlak dalam pengelolaan alam sekitar. Dengan demikian pranata sosial Jawa dapat membuat tata laksana hubungan manusia dengan Tuhan serta alam berlangsung secara harmonis.

Pada kesempatan ini saya hendak mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. H. Soetrisno R., M.Si. dan Ibu Dra. Doni Rekro Harijani, M.Si. yang telah memberi dorongan semangat untuk terus berkarya. 2. Keluarga Bapak Ibu Rasyid Baswedan, Anis Baswedan, dan Samhari Baswedan atas dukungannya sejak saya kuliah di tingkat Sarjana, Master dan Doktor di Universitas Gadjah Mada. 3. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang selalu memberi pencerahan hidup. 4. Bapak Ir. Purwo Jatmiko, dari PT. Krakatau Steel yang telah mengajari saya tentang kearifan lokal. 5. Bapak H. Agus Purnomo, S.I.P, Anggota DPR RI yang telah memberi contoh tentang moralitas berpolitik 6. Bapak Drs. H. Solichin, Ketua Senawangi (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia) yang selalu memberi inspirasi tentang arti penting kebudayaan. 7. Prof. Dr. Kazunori Toyoda, Rektor Tokyo Royal University di Jepang yang telah memberi sumbangan finansial secara terus-menerus sejak tahun 1990 sampai sekarang. 8. Prof. Dr. Husain Haikal, dari Jurusan Sejarah FISE UNY dan Rektor Universitas Pekalongan atas kritik dan sarannya. 9. Bapak Ridjan, ayahanda yang selalu mengajari lara lapa dan tapa brata. 10. Donga kaswargan kagem Embok Yatinem, ibunda yang telah surud ing kasedan jati pada hari Kamis Pahing, 1 Januari 2004/9 Sela 1424 di Grogol, Mojorembun, Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur. Matur nuwun.

Yogyakarta, 10 Februari 2007

Dr. Purwadi, M.Hum

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I . SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT JAWA A. Munculnya Gerakan Kebatinan B. Orientasi Kehidupan Rohani C. Peranan Pemuka Adat D. Pengetahuan Astrologi Tradisional E. Keyakinan Pada Kekuatan Gaib BAB II. PERHITUNGAN PRANATA MANGSA A. Kalender Saka B. Pranata Mangsa C. Kalender Sultan Agungan D. Dasar Perhitungan Waktu 1. Petungan Jawi 2. Hari dan Pasaran 3. Rolas Titi Mangsa 4. Petungan Pawukon 5. Petungan Paringkelan 6. Petungan Tahun 7. Petungan Windu 8. Petungan Padewan Astawara BAB III. TATA LAKSANA UPACARA PERKAWINAN A. Slametan Among Tuwuh B. Pasang Tarub Agung C. Tirakatan Malam Midodareni D. Janji Suci Ijab Qabul E. Prosesi Temu Pengantin F. Sungkeman Tanda Darma Bakti BAB IV. PANDANGAN TERHADAP KEHIDUPAN MAKHLUK HALUS A. Ratu Laut Selatan B. Mistik Gunung Merapi C. Kyai Sapu Jagad D. Jin Kali Opak E. Dunia Pedanyangan

BAB V. PELAKSANAAN UPACARA SELAMATAN A. Keselamatan Sebagai Tujuan Hidup B. Tradisi Kenduri C. Demi Ketentraman Jiwa D. Mencapai Keselarasan Hidup Bersama E. Selamat Lahir Batin F. Hubungan Antar Warga BAB VI. UPACARA TRADISIONAL DAN TERTIB KOSMOS A. Pemikiran Kefilsafatan B. Tradisi Garebeg Sekaten C. Penghormatan pada Dewi Sri D. Tradisi Labuhan E. Ngundhuh Sarang Burung F. Pengaruh Mistik Gunung BAB VII. KIDUNG PENOLAK BALAK A. Kidung Rumeksa Ing Wengi B. Kidung Waringin Sungsang C. Kidung Bale Anyar D. Kidung Pamungkas Hayu E. Kidung Sifat Iman F. Kidung Sekar Artati G. Kidung Jati Mulya H. Kidung Sekar Marwati BAB VIII. PAKAIAN DAN PERLENGKAPAN UPACARA TRADISIONAL Kampuh atau Dodot Keris dan Wedhung Aneka Ragam Kuluk Ragam Ageman Pengantin Songsong Gilap Payung Agung Busana Bangsawan Gaya Kraton BAB IX. ETIKA DASAR MEMBANGUN STRUKTUR SOSIAL A. Nilai Warisan Luhur B. Basis Intisari Keluarga C. Kebersamaan dalam Keluarga D. Struktur Sarwa Tunggal E. Menggapai Kebahagiaan Sejati F. Pandangan Hidup Berkeluarga BAB X. NILAI LUHUR DALAM SASTRA PIWULANG A. Laksana Mimi Lan Mintuna

B. Sigaraning Nyawa C. Gemi Nastiti D. Mendhem Jero Mikul Dhuwur E. Rumeksa Rahayuning Garwa F. Pasang Sumeh Jroning Ati G. Datan Sepi ing Pambudi DAFTAR PUSTAKA BIOGRAFI PENULIS

TEKS SAMPUL BELAKANG: Keberadaan struktur sosial Jawa telah didukung oleh lembaga-lembaga adat yang telah mengakar di lingkungan masyarakat. Nilai-nilai etis filosofis yang terkandung dalam kesusastraan dan kesenian semakin memperkokoh jati diri budaya Jawa. Seiring dengan perkembangan zaman, nilai luhur budaya Jawa tetap diwariskan secara turun-temurun. Usaha pelestarian sosial budaya yang dilakukan oleh masing-masing generasi tersebut masih berlanjut hingga sekarang, dengan mengalami kreasi dan modifikasi baru, nuting jaman kelakone. Sistem penyelenggaraan upacara tradisional dilakukan demi memenuhi kebutuhan rohani yang berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat Jawa.

Siklus hidup manusia yang meliputi masa kelahiran, perkawinan dan kematian mendapat perhatian dengan melakukan upacara khusus. Tujuannya adalah

memperoleh kebahagiaan lahir batin, setelah mengetahui hakikat sangkan paraning dumadi atau dari mana dan ke mana arah kehidupan. Dalam hal ini, puncak pribadi manusia paripurna ditandai oleh kemampuannya dalam mengendalikan diri sebagaimana tersirat dalam ngelmu kasampurnan yang menghendaki hubungan selaras antara Tuhan dan alam. Pranata sosial Jawa bersifat spiritual religius dengan titik orientasi manunggaling kawula Gusti. Keutamaan hidup dalam bidang keruhanian tercermin dalam sesanti agama ageming aji, bahwa agama merupakan sarana pokok untuk memperoleh kemuliaan tertinggi. Sedangkan hubungannya dengan tertib kosmis berpangkal tolak dari idiom mangasah mingising budi, memasuh malaning bumi. Penajaman akal budi yang berintegritas dan menghindari polusi yang destruktif menjadi sarat mutlak dalam pengelolaan alam sekitar. Dengan demikian pranata sosial Jawa dapat membuat tata laksana hubungan manusia dengan Tuhan serta alam berlangsung secara harmonis. ISBN 978-979-16061-1-0

BAB I SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT JAWA

A. Munculnya Gerakan Kebatinan Timbulnya ilmu kebatinan disebabkan karena sebagian besar orang Jawa mencari hakikat alam semesta, intisari kehidupan dan hakekat Tuhan. Orang Jawa pada umumnya cenderung untuk mencari keselarasan dengan lingkungannya dan hati nurninya, yang sering dilakukan dengan cara-cara metafisik. (Selo Soemardjan, 1974: 83). Gerakan-gerakan kebatinan, khususnya yang ada di Yogyakarta, munculnya gerakan-gerakan yang jumlahnya demikian besar, merupakan suatu kesadaran akan kebudayan kejawen, dan bahwa ..... at least part of the Abangan cultural awakening has been brough about by the vehement pursuit of organized Islam to push its views and ways of life upon the syncretism mojority of the Javanese population. (Niels Mulder, 1975: 3). Bertambah cepatnya perubahan-perubahan sosial budaya yang telah terjadi selama jangka waktu masa peralihan, penderitan luar biasa, kemiskinan dan keresahan yang diderita oleh penduduk selama Perang Pasifik selama jaman Jepang, dan selama jaman revolusi, demikian pula keadaan yang tidak menentu selama dasawarsa pertama setelah kemerdekaan, menjadi sebab makin banyaknya timbul berbagai gerakan kebatinan di Jawa. Gerakan mistik dianggapnya

merupakan tema pokok dalam kebanyakan gerakan kebatinan di Jawa. Hal itu tentu saja tidak benar. Paling sedikit empat macam gerakan kebatinan di Jawa, yaitu : 1). Yang berpokok pada mistik 2). Yang berpokok pada teosofi 3). Gerakan-gerakan moralistik dan etik yang berpokok pada pemurnian jiwa, dan 4). Gerakan-gerakan yang berpokok pada praktek-praktek ilmu gaib dan ilmu dukun (Subagya, 1973:39-45). Saya sendiri masih dapat menambahkan satu macam gerakan kebatinan lain, yaitu gerakan-gerakan Ratu Adil. Semua itu, kecuali jenis gerakan kebatinan yang berpokok pada teosofi akan kita bicarakan dalam alineaalinea berikut ini. Di dalam bukunya Protest Movements in Rural Java (1973: 64-65), Sartono Kartodirdjo telah membuat suatu ihktisar singkat tetapi sangat baik dan komprehensif mengenai gerakan-gerakan Ratu Adil di daerah pedesaan Jawa. Buku itu juga memuat ikhtisar dari studi-studi terdahulu mengenai gejala itu. Kebanyakan dari ke-15 gerakan mesianik di Jawa yang terjadi dalam tiga abad terakhir, menurut analisa Sartono memiliki sifat-sifat yang serupa. Berbeda dengan banyak gerakan kebatinan lain, gerakan mesianik di Jawa mempunyai tujuan praktis dan duniawi, dan tidak didasari gagasan-gagasan mengenai kehidupan akhirat. Gerakan mesianik muncul tidak untuk melarikan diri dari kenyataan hidup akan tetapi sifatnya yang sinkretis menyebabkan bahwa sukar untuk membedakan dengan jelas antara gerakan seperti itu dengan gerakangerakan keagamaan lainnya. Banyak dari gerakan mesianik timbul dalam suatu suasana sosial budaya, di mana penduduk pedesaan tidak puas dengan eksploitasi ekonomi yang dilakukan terhadap mereka, serta tekanan-tekanan administratif yang dikenakan

pada mereka oleh pemerintah kolonial setempat, dan di mana rusaknya tradisi sebagai akibat dari perubahan kebudayaan yang berlangsung terlalu cepat itu telah menyebabkan tidak puasnya mereka. Dalam kebanyakan kasus gerakan mesianik, seorang pemimpin karismatik yang telah memiliki kekuatan gaib untuk dapat menyembuhkan dan yang dianggap telah menerima panggilan untuk melakukan gerakan mesianik, mampu menghimpun suatu jumlah penganut yang lumayan banyaknya. Sifat dari hampir semua gerakan mesianik Jawa pada umumnya adalah untuk berusaha kembali ke kebudayaan dan tradisi nenek moyang, dan mengagung-agungkan kebudayaan dan tradisi nenek moyang itu. Karena tradisi seperti itu sering dianggap telah dilanggar oleh orang-orang yang berpikiran menurut jaman masa kini, yang terpengaruh oleh pendidikan Belanda dan kebudayaan masing, dan juga oleh para pegawai pemerintah setempat yang mendapat tekanan dari pemerintah kolonial, maka keinginan utama, atau harapan yang tetap dikobarkan dengan ritus-ritus dalam gerakan-gerakan mesianik Jawa itu adalah kebangkitan kembali dari kebudayaan tradisional nenek moyang dan didirikannya kembali suatu kerajaan yang dipimpin oleh seorang Ratu Adil. Mereka yakin bahwa akan terjadi suatu bencana yang didahului oleh kelaparan, epidemi, panen gagal, bencana alam, dan jaman edan. Sifat gerakan mesianik Jawa ini mirip dengan gerakan cargo yang terjadi di Irian Jaya, Papua Nuigini dan Melanesia, selama hampir satu setengah abad yang lalu. Seperti apa yang kita ketahui, banyak dari gerakan cargo ini meledak menjadi gerakan-garakan yang menentang pemerintah, yang anti kolonialisme,

10

dan anti orang asing. Di Jawa gerakan-gerakan itu juga mulai melakukan kekerasan ketika para pemimpinnya berperan sebagai Ratu Adil dan memerintahkan perang jihad untuk menggulingkan pemerintah kolonial atau pemerintah daerah setempat.

B. Orientasi Kehidupan Rohani Ada gerakan-gerakan yang berorientasi kepada kerohanian, yang beranggotakan orang-orang santri. Gerakan-gerakan seperti itu biasanya berpusat pada suatu pesantren tertentu, dan hampir serupa dengan gerakan-gerakan kerohanian Kejawen gerakan-gerakan kerohanian santri ini dapat juga diklasifikasikan ke dalam: 1). Gerakan yang titik beratnya pada mistik, 2). Gerakan-gerakan puritan yang berpedoman kepada kembalinya suatu masyarakat keagamaan yang bersifat murni, dan keyakinan serta perilaku agama serta tradisi Islam, 3). Gerakan-gerakan yang berpedoman pada keyakinan mesianik, 4). Gerakan-gerakan yang berpusat pada kegiatan-kegiatan ilmu gaib dn ilmu dukun. Dalam agama Islam mistik juga diakui, dan telah menjadi pranata keramat yang resmi, dengan sebutan thasawuf. Para ahli mistik Islam disebut sufi, dan istilah sufisme yang menjadi terkenal dalam karangan-karangan mengenai studi Islam, berasal dari istilah itu. Orang-orang yang menganut aliran itu di Indonesia, khususnya Jawa, biasanya menjadi anggota gerakan-gerakan mistik yang disebut tarekat, di bawah pimpinan seorang guru (mursyid) yang disegani, yang oleh penduduk di sekitarnya biasanya disebut kyai.

11

Untuk menjadi seorang guru mistik, orang biasanya sudah menjalani latihan dalam sebuah pesantren atau dalam tarekat lain, dan telah mendapat suatu ijazah atau sertifikat. Dengan ijazah itu ia dapat mendirikan pesantren atau tarekat baru. Namun biasannya ia hanya meneruskan pesantren atau tarekat yang diwarisi dari ayahnya. Walaupun banyak yang benar-benar telah menjalani latihan untuk menjadi guru dan ahli mistik, banyak juga yang sebenarnya bukan guru yang sesungguhnya, melainkan hanya merupakan pemimpin yang memilki kharisma. Para pemimpin tarekat yang terkenal biasanya mempunyai riwayat hidup yang panjang mereka biasanya mulai belajar ilmu mistik pada guru-guru terkenal juga di berbagai pesantren atau tarekat, dan kemudian mengajar di berbagai pesantren dan sekolah tarekat. Baru setelah mereka merasa cukup pengalaman, mereka mulai mendirikan tarekat sendiri. Di Pulau Jawa ada beberapa aliran mistik yang terpusat di beberapa daerah tertentu. Suatu pesantren tarekat menganut aliran mistik yang sesuai dengan latar belakang pendidikan serta orientasi pemimpinnya. Dengan demikian kita mengenal tarekat Qodariyyah, tarekat Naqshabandiyyah, tarekat Syaththariyyah, tarekat Siddiqiyyah, tarekat Wahidiyyah, tarekat Sazaliyyah dan lain-lain. Kedua tarekat tersebut pertama adalah aliran-aliranya sudah masuk ke Indonesia sejak awal abad ke-17 dan terutama berkembang di daerah Banten, Priangan, dan Pesisir Barat di Cirebon (Soebardi, 1978: 76). Aliran yang lain lebih banyak terdapat di Jawa Timur. Tarekat Syaththariyyah juga sudah tua umurnya, tetapi tarekat Shiddiqiyyah dan Wahidiyyah masih relatif muda, dan umumnya terdapat di sepanjang aliran sungai Brantas, yaitu di kota Kediri dan Pare.

12

Seorang pemimpin tarekat yang terkenal mempunyai wakil-wakilnya yang taat kepadanya, dan siap melayaninya setiap waktu. Mereka juga tersebar di beberapa daerah di Pulau Jawa, dan telah menerima kekuasaan dari pemimpin mereka untuk mendirikan cabang-cabang di daerah-daerah tersebut. Sebagai wakil (badhal) mereka seringkali mendapat kekuasaan untuk mengambil sumpah dari para calon siswa tarekat cabang tersebut. Namun, karena biasanya pesantren tarekat tidak terorganisassi secara administratif, dengan suatu pimpinan pusat, maka cabang-cabang yang dipimpin seorang badhal biasanya boleh dikata mempunyai sifat otonom. Hanya karisma pemimpin mereka yang tertinggi itulah yang merupakan pemersatu antara cabang-cabang dengan tarekat pusat. Pemimpin tarekat pusat mengumpulkan para wakilnya untuk berkumpul pada waktu-waktu tertentu untuk bersama-sama menjalani berbagai ritus tarekat yang utama. Seringkali rasa solidaritas para siswa, para penganut, dan para pengikut suatu pesantren tarekat dibuat intensif dengan mengadakan ritus-ritus sekeliling makam tokohtokoh pemimpin legendaris dari tarekat itu, yang dibangun di halaman pesantren. Makam ini oleh para siswa, penganut dan pengikut pesantren tarekat itu dipuja-puja sebgai sesuatu pepundhen , tetapi juga oleh penduduk desadesa sekelilingnya, yang bahkan tidak dapat kita kategorikan sebagai santri. Para siswa pesantren tarekat mendapat pelajaran dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan agama Islam, yaitu ilmu fiqh (hukum Islam), ilmu kalam (teologi), dan ilmu tasawuf (ilmu mistik) seperti dalam sekolah-sekolah pesantren biasa, tetapi mereka didik untuk menjalankan kewajiban agama dengan lebih ketat, taat sepenuhnya kepada guru, dan diharuskan membaca zikir. Zikir

13

merupakan kegiatan keagamaan yang terpenting dalam suatu tarekat, dan jenis zikir yang dilakukan, yaitu zikir jahar, atau zikir kapi, atau suatu kombinasi dari keduanya, dilakukan sesuai dengan aliran mistik tarekat yang bersangkutan. Menurut para ahli yang telah mengamati berbagai pesantren tarekat berbeda dengan pesantren biasa, tarekat juga mempunyai siswa serta penganut yang sudah lebih tua usianya, yang bergabung karena merasakan tekanan ekonomi yang terlalu berat, tetapi mungkin juga karena mereka merasa tidak cocok untuk hidup dalam masyarakat yang mereka anggap telah bobrok itu. Banyak juga di antara mereka yang datang ke pesantren tarekat karena ingin mendapatkan ketenangan batin, dan bukan untuk mempelajari hukum atau teologi. Para siswa serta para anggota dari suatu pesantren tarekat tidak selamanya harus tinggal di komplek pesantren, tetapi mereka diwajibkan untuk menjalankan kehidupan yang ketat dan berdisplin seperti para sufi yang memilih tinggal di pesantren, menjauhi kebendaan, melakukan sholat, dan lebih banyak menjalankan puasa dari pada orang Islam lainnya. Kecuali itu mereka juga harus turut latihan zikir dengan ketat. Sewaktu melakukannya mereka harus mengunakan jubah sufi berwarna putih. Seorang guru tarekat yang termasyhur kadang-kadang juga mempunyai banyak pengikut orang biasa, yang tak turut menjalankan latihan-latihan zikir. Mereka sering datang ke masjid untuk mendengarkan khotbah-khotbahnya, atau mengunjungi makam pendiri tarekat yang bersangkutan. Ahli filologi Soebardi, yang telah lama meneliti beberapa gerakan tarekat dan sekolah tarekat di Jawa Barat dan daerah Cirebon di Jawa Tengah, melaporkan bahwa banyak pesantren

14

tarekat itu bersifat tertutup dan menyendiri. Para anggotanya umumnya sangat mencurigai orang luar, dan menolak untuk menerima segala bentuk perubahan sosial budaya maupun penemuan baru. Tetapi para pengamat pesantren tarekat juga melaporkan bahwa banyak pesantren tarekat lain yang bersifat lebih terbuka terhadap pegaruh-pengaruh jaman baru (Soebardi, 1978: 130). Gerakan-gerakan agama yang bersifat Islam puritan, menghendaki kembalinya agama Islam kepada pelajarannya yang asli. Hubungan antara pemimpin dari suatu gerakan Islam santri dengan para pengikutnya itu dalam banyak hal mirip dengan hubungan antara pemimpin suatu pesantren tarekat dengan para pengikutnya. Bedanya, dalam gerakan Islam santri yang puritan itu upacara zikir tidak ada. Salah satu gerakan puritan yang ada adalah Sekte Budiah, yang didirikan pada petengahan abad ke-19 oleh Haji Mohammad Rifangi dari desa Kalisalak. Ahli sejarah Sartono Kartodirdjo yang meneliti sejarah gerakan ini (1973: 118127) melaporkan bahwa para penganut gerakan itu sekarang. Masih ada di Pekalongan dan daerah Bagelen. Sartono juga menyebutkan bahwa gerakan puritan Islam tidak melakukan kegiatan pemberontakan yang nyata, walaupun mereka memang menentng pemerintah dan mengutuk agama-agama asing yang berkembang di sini. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip gerakan tarekat, yang seperti apa telah terbukti dalam sejarah, seringkali merupakan sumber kegitan pemberontakan. Juga gerakan Imam Mahdi mempunyai potensi yang lebih besar untuk berkembang menjadi kegiatan pemberontakan, yang mungkin disebabkan karena

15

sifat dari gerakan mesianik, yang memang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran orang akan datangnya seorang Ratu Adil. Lagi pula, gerakan mesianik dengan mudah sekali dapat membangkitkan apara penganutnya untuk melakukan perang jihad, atau perang sabil. Adanya gerakan-gerakan yang juga memberontak terhadap kekuasaan yang ada dengan dasar melakukan jihad, tetapi dengan menggunakan teror, perampokan, intimidasi dan cara-cara kriminal lainnya. Ia membuat suatu pelukisan dari sejarah dari suatu gerkan semacam itu yang ada di daerah Priangan dan Banten dalam tahun-tahun sekitar 1920, tetapi ia juga menyebutkan berbagai gerakan yang mirip, yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam usaha menghidupkan kembali suatu masyarakat tradisional atau mengembalikan agama kepada bentuknya yang asli, dapat dimengerti bahwa upacara dan tindakantindakan ilmu gaib malahan banyak sekali digunakan. Ilmu gaib memang merupakan unsur yang sangat penting dalam kebudayaan petani maupun kebudayaan priyayi.

C. Peranan Pemuka Adat Peranan Pemuka Adat sangat berpengaruh pada kehidupan orang Jawa, misalnya saja kehadiran para dhukun. Kata dhukun mempunyai arti yang sangat luas. Bukan hanya orang yang ahli dalam ilmu petangan saja yang mendapat sebutan seperti itu, tetapi juga orang yang menjalankan praktek penyembuhan tradisional, ilmu gaib dan ilmu sihir. Sebutan dhukun bahkan tidak hanya untuk orang yang melakukan aktifitas ilmu gaib saja, melainkan juga untuk orang yang

16

ahli dalam membantu wanita pada waktu melahirkan, yaitu seorang dhukun bayi, ahli pijat yang disebut dukun pijet, ahli sunat yang dinamakan dhukun calak, atau ahli merias pengantin yaitu dhukun paes. Sebutan dhukun mungkin mereka peroleh karena mereka dianggap memiliki pengetahuan yang mendetail mengenai berbagai upacara adat yang berhubungan dengan peritiwa bersangkutan. Seorang dhukun bayi tahu semua upacara adat yang harus dilakukan pada waktu seorang bayi dilahirkan, dhukun pijet mempunyai pengetahuan yang luas mengenai jamujamu tradisional yang dipakai untuk memulihkan tenaga, dhukun calak mengetahui dengan tepat upacara adat apa yang harus dilakukan berhubungan dengan khitanan, demikian juga seorang dukun paes mengetahui segala seluk beluk yang berhubungan dengan upacara dan persyaratan upacara adat serta slametan sekitar pernikahan. Berbagai macam dhukun yang dikenal oleh orang Jawa dapat kita bagi ke dalam empat kategori berdasarkan keempat jenis tindakan ilmu gaib yang telah kita sebutkan di atas. Para dhukun yang melakukan ilmu gaib produktif sering kali termasuk golongan sosial yang dihormati dan disegani dalam masyarakat mereka, dan biasanya melaksanakan tugas mereka pada upacara umum. Seperti pada upacara bersih dhusun, atau mereka kerap kali juga minta untuk melakukan berbagai upacara yang berkenaan dengan pertanian. Beberapa di antara mereka dianggap mampu mendatangkan hujan, dan mereka sering kali diminta untuk mencegah suatu bencana yang diduga akan datang, dan bahkan untuk mencarikan benda-benda atau orang yang hilang. Dhukun seperti ini tidak merupakan ahli

17

dalam hal menyembuhkan orang, tetapi pekerjaan mereka sehari-hari biasanya adalah sebagai tukang, pandai besi, dalang dan sebaginya. Para dhukun yang melakukan ilmu gaib agresif atau destruktif adalah para dhukun sihir atau dhukun tenung. Mereka merupakan suatu kategori khusus dalam suatu masyarakat: orang-orang yang mempunyai maksud baik tidak akan pergi kepada seorang dhukun tenung, dan para dukun yang melakukan ilmu gaib produktif dan protektif tidak melakukan ilmu hitam. Para dukun ilmu hitam biasanya melayani orang-orang yang mempunyai maksud yang tidak baik, seperti misalnya penjahat. Namun adakalanya orang biasa pun ingin agar musuh atau saingannya disakiti atau dirugikan, dan untuk tujuan itu mereka pergi ke seorang dukun sihir. Akhirnya ada segolongan dukun yang ahli dalam hal meramal dan dalam hal menghitung-hitung tanggal dan hari yang baik, yaitu para dukun petangan tersebut di atas. Jasa-jasa mereka tidak hanya diperlukan oleh para petani yang ingin mengetahui saat yang paling baik untuk memulai menanam benih padi, atau oleh para pedagang yang ingin mengatahui pada hari apa mereka sebaiknya mengadakan perjalanan untuk melakukan transaksi usaha dagang mereka, atau oleh orang-orang yang minta dicarikan hari yang cocok untuk melangsungkan pernikahan anaknya, tetapi juga oleh seorang kepala polisi yang ingin mengetahui tempat disembunyikannya barang-barang curian warga.

18

D. Pengetahuan Astrologi Tradisional Dalam ilmu gaib Jawa ada dukun yang memiliki kepandaian yang khusus, yaitu sebagai peramal (dhukun petangan). Kecuali meramal, ahli-ahli peramal Jawa harus mempelajari berbagai teknik meramal yang bersifat universal, seperti misalnya meramal dengan menghitung hubungan antar bintang (astromancy), meramal dengan perhitungan berdasarkan letak tulang belulang yang disebarkan berserakan (astragolomancy), meramal dengan menghitung jatuhnya usus ayam yang ditaburkan (haruspication), meramal dengan mengamati arah terbang dan suara burung (ornithomancy) dll. Seperti kita lihat dalam buku-buku pegangan mengenai ilmu gaib dan ilmu meramal, yaitu dalam buku-buku Primbon, ilmu meramal penting dan banyak sekali digunakan dalam ilmu gaib dan ilmu meramal adalah ilmu petangan (Koentjaraningrat, 1986: 214). Petangan adalah cara menghitung saat-saat serta tanggal-tanggal yang baik, dengan memperhatikan kelima hari pasaran, tanggal-tanggal penting yang ditentukan pada sistem-sistem penanggalan yang ada, yang memang dimanfaatkan oleh orang Jawa untuk berbagai tujuan. Seperti telah kita lihat di atas, kelima hari pasar mempunyai tempatnya sendiri di dalam kelima kategori yang ditentukan oleh sitem klasifikasi prelogik orang Jawa, dan karena itu merupakan perantara antara tanggal-tanggal pada berbagai penanggalan, dan alam semesta manusia. Kecuali membagi waktunya dalam kesatuan waktu siang dan malam, orang Jawa juga mengenal paling sedikit tiga jenis pekan, yaitu yang terdiri dari lima pasar (pancawara), yang konon merupakan kesatuan waktu Austrenesia Kuno, yang terdiri dari enam hari (sadwara), dan yang terdiri dari tujuh hari

19

(saptawara). Orang Jawa masih menggunakan penanggalan HinduJawa yang kuno, yang berselisih 78 tahun dengan penanggalan Nasrani, untuk berbagai tujuan tertentu. Penanggalan Islam Jawa yang berdasarkan peredaran bulan terdiri dari 12 bulan, juga digunakan. Bulan-bulan yang ganjil terdiri dari 30 hari, dan yang genap 29 hari, kecuali dalam tahun yang ke-12, di mana bulan yang ke-12 juga terdiri dari 30 hari. Tahun-tahun kabisat dalam penanggalan Muslim-Jawa ini terjadi setiap dua, empat dan delapan tahun dalam setiap windu. Kecuali windu, orang Jawa juga menganggap selapan sebagi kesatuan waktu, yang terdiri dari 35 hari, dan wiku yang terdiri dari 30 pekan tujuh hari (jadi 210 hari). Sistem yang terkhir ini mungkin pengaruh Austronesia. Untuk menentukan hari-hari dan tanggal-tanggal yang baik untuk melakukan pekerjaanya penting dalam kehidupan seseorang, seperti misalnya bepergian jauh, menikah, atau untuk dapat mujur dalam berjudi, seorang ahli ilmu petangan harus memperhitungkan dan membuat perhitungan berdasarkan berbagai sistem kalender yang ada, dan berdasarkan angka-angka keramat (neptu) yang ada dalam tiap penanggalan itu, tetapi ia juga harus berusaha mengetahui posisi dari dewa-dewa dan mahluk-mahluk gaib lainnya di berbagai penjuru mata angin pada tanggal tertentu, dan arah gerak dari dewa-dewa serta mahluk-mahluk gaib itu. Kehadiran dan arah gerak mereka tentu sangat penting dan besar pengaruhnya terhadapp manusia, karena mereka yakin bahwa periaku masnuia danberhasiltidaknya manusia dalam menjalankan sesuatu ditentukan oleh konstelasi para dewa dan mahluk gaib.

20

Sampai sekarang pun hampir semua orang Jawa, juga yang hidupnya sudah sangat terpengaruh oleh gaya hidup masa kini, masih memerlukan seorang dhukun petangan paling sedikit sekali dalam hidupnya, yaitu apabila ia harus menentukan tanggal untuk merayakan pernikahannya. Dalam kebudayaan Jawa orang memang belum dapat mengabaikan kehadiran seorang dhukun petangan. Para dukun, termasuk mereka yang melakukan praktek ilmu hitam, dalam kehidupan sehari-hari biasanya adalah orang biasa, yang hidup bergaul dengan warga desa lainnya. Beberapa di antara mereka bahkan tidak khusus bekerja sebagai dhukun. Namun jelas bahwa aktifitas sebagai dukun yang berhubungan dengan penyembuhan, peramalan, serta yang dapat berperan sebagai medium dan sebagainya, menuntut suatu kemampuan yang khusus. Kemampuan khusus ini mungkin sebagian diperoleh karena mempunyai bakat, tetapi sebagian besar didapatnya dengan belajar. Untuk menjadi dukun tentu tidak ada sekolah formal. Para calon dukun mula-mula bekerja sebagai pembantu dari seorang dukun, yang biasanya adalah orang tua mereka sendiri. Dengan demikian ada kesan seakan-akan keahlian itu diwariskan kepada keturunannya. Kecuali mampu meramal masa depan dan mengobati orang sakit, yaitu keahlianya diangap sudah ada dalam diri seorang dukun, orang yang ingin menjadi dukun harus belajar berbagai teknik khusus untuk melakukan ritus-ritus untuk menyembuhkan dan ritus-ritus ilmu gaib, ia juga harus mengetahui khasiat dari berbagai tumbuh-tumbuhan, menghafal mantera-mantra, dan tentu saja juga mempelajari buku-buku primbon, terutama mereka yang ingin memiliki kepandaian ilmu gaib petangan, mereka yang ingin

21

memiliki kepandaian untuk mengobati orang harus mempelajari buku-buku usada dan sebagainya. Orang Jawa sangat yakin bahwa kemampuan serta ketrampilan yang dimiliki oleh seorang dukun hanya dapat diperoleh dengan melakukan disiplin yang ketat dan bertapa. Karena itu orang yang menjadi dukun sering menjalankan puasa, bersamadi dan melakukan latihan-latihan kebatinan lainnya. Cara-cara inilah yang terutama membuat orang percaya bahwa seorang dukun memiliki kekuatan yang luar biasa. Berbagai cerita yang kemudian beredar mengenai kekuatan sakti seorang dukun tertentu, membuatnya terkenal. Geertz agaknya benar bila ia mengatakan bahwa para dukun ilmu gaib Jawa menggunakan teknik-teknik ilmu gaib, ucapan mantra-mantra dan memberikan jamu tradisional, tetapi yang terpenting adalah kondisi dari para pelakunya sendiri. Baik pria maupun wanita dapat menjadi dukun. Walaupun demikian upacara umum yang bersifat religio magic selalu dilakukan oleh seorang dukun pria. Demikian khitanan selalu dilakukan seorang dukun pria. Sebaliknya, seorang dukun bayi dan seorang dukun yang bertindak sebagai medium adalah selalu wanita. Dukun pijat kadang-kadang pria kadang-kadang wanita. Seorang yang menjadi dukun pada umumnya adalah orang dewasa yang sudah setengah tua. Tetapi ada kalanya kita juga melihat dukun yang masih kanak-kanak, yang konon memiliki kemampuan untuk mengobati dan meramal, dan ada anak-anak gadis yang menjadi dukun prewangan, yang dapat mengundang roh ke dalam tubuhnya.

22

Dalam masyarakat Jawa dukun tidak merupakan suatu kelas sosial tersendiri. Mereka pada umumnya tinggal di daerah pedesaan, dan karena itu termasuk golongan sosial petani dan tiyang alit. Mereka pada umumnya tidak tergolong yang paling miskin, bahkan banyak yang termasuk orang-orang yang disegani di desa, yang pekerjaannya sehari-hari adalah sebagai tukang pandai besi, dalang, guru agama dan pegawai pemerintah daerah. Di kota-kota pun banyak dukun, yang kendatipun kadang-kadang melakukan praktek perdukunan, sering kali bekerja sebagai pegawai negeri sehingga dapat dimasukkan ke dalam kategori orang priyayi. Bekerja sebagai dukun merupakan pekerjaan mereka yang kedua. Akhirnya ada dukun yang lebih banyak berorientasi kepada agama Islam, dan mereka ini dinamakan dukun santri. Mereka pada umumnya melakukan praktik sebagai dukun penyembuh penyakit, untuk mana mereka banyak menggunakan ayat-ayat suci dan mantra-mantra dalam bahasa arab untuk kegiatan mereka. Tetapi ada kalanya mereka juga menggunakan buku-buku Primbon untuk menghitung petungan, dan buku-buku usada untuk cara-cara pengobatan.

E. Keyakinan Pada Kekuatan Gaib Seperti pada banyak kebudayaan di dunia, ilmu gaib (ngelmi) dan tenung pada orang Jawa merupakan sub sistem dari religi, karena mengenai manusia yang berhubungan dengan kekuatankekuatan supranatural, dan karena itu dianggap keramat. Orang Jawa menganggap ngelmi itu bagian dari religi. Walaupun demikian, ia dapat dibedakan dari religi, karena dari orang yang melakukannya diperlukan sikap yang berbeda dalam menghadapi kekuatan-kekuatan gaib. Orang yang melakukan praktek ilmu gaib berusaha mencapai suatu tujuan dengan cara

23

aktif, yaitu dengan menganggap bahwa ia dapat memanipulasi dan mengendalikan berbagai kekuatan gaib. Dalam menjalankan aktifitas itu ia mengucapkan mantramantra di mana ia mengutarakan kehendaknya (gadhah pikajeng). Sebaliknya, orang yang melakukan suatu upacara religi menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada mahluk-mahluk gaib yang lain, dan berdoa agar permintaannya bisa terkabul (nyenyuwun). Berbagai sistem keyakinan orang Jawa mengandung konsep mengenai hubungan jalin menjalin antara segala unsur serta aspek alam semesta ini dan antara lingkungan sosial serta spiritual manusia. Untuk berhubungan dengan alam semesta dan lingkungannya itu seseorang yang melakukan upacara gaib oleh karena itu berpegangan pada suatu sistem klasifikasi simbolik yang dimilikinya berdasarkan asas-asas pikiran asosiasi prelogik. Berdasarkan sistem ini berbagai hal yang terdapat dalam lingkungan alam serta kehidupan sosial budaya seseorang, seperti misalnya bagian-bagian tubuh, sifat-sifat kepribadian seseorang, keadaan perasaan orang, hari-hari pasar, makanan dan minuman, keselamatan, pekerjaan, planet-planet dan benda-benda ruang angkasa lain, dewadewa, mahluk-mahluk halus dan sebagainya, diklasifikasikan menjadi lima kategori pokok. Seorang ahli hukum Van Ossenbruggen, adalah orang yang pertama yang menyinggung mengenai sistem klasifikasi primitif, atau sistem klasifikasi prelogik, orang Jawa. Van Ossenbruggen, mendasarkan diri kepada suatu hipotesa yang diajukan ole E. Durkheim dan M. Mauss bahwa pikiran prelogik manusia pada awal perkembangan kebudayaannya membayangkan bagian-bagian dari masyarakatnya sebagai dasar suatu kerangka berpikir, di dalam

24

mana harus diklasifikasikan semua konsep yang dikenalnya dan semua gejala yang ada dalam lingkungannya. Orang Jawa membagi masyarakatnya ke dalam lima bagian yang ditentukan oleh keempat arah mata angin dan titik pusatnya. Kelima bagian itu memang merupakan kelima ketegori pokok tersebut di atas, ke dalam mana alam semesta orang Jawa diklasifikasikan. Klasifikasi itu sendiri sudah dengan sendirinya terpahat di dalam jiwanya, yang dipengaruhi oleh asas-asas pikiran asosiasi prelogik. Hal ini menyebabkan bahwa orang yang menyangka ada suatu kaitan yang erat antara gejala-gejala yang seringkali berbeda sama sekali dalam prinsip dan fungsinya, tetapi yang kebetulan mirip dalam hal bentuk atau warnanya, yang terjadi bersamaan, berurutan, dan saling tumpang tindih, yang terjadi di tempat yang sama, atau yang disebut dengan istilahistilah yang mirip bunyinya. Orang Jawa yang sedang melakukan tindakan ilmu gaib, misalnya, yakin bahwa sebuah nasi tumpeng dan sebuah gunung mempunyai kaitan yang mendalam, yang disebabkan karena persamaan bentuknya, bahwa padi sudah masak kekuning-kuningan, dan emas dua (praos) berkaitan, karena persamaan warnanya juga saling berkaitan. Orang Jawa yang condong untuk percaya kepada ilmu gaib juga yakin bahwa dapur adalah bagian rumah yang paling lemah, karena dapur merupakan tempat para wanita, dan wanita dianggap mahluk paling lemah (liyu). Ia juga percaya bahwa katak dapat mengakibatkan hujan. Pedagangpedagang wanita Jawa acap kali memakai rambut palsu (cemara) untuk menarik pembeli, kebiasaan yang merupakan bagian dari tindakan ilmu gaib itu didasari

25

keyakinan bahwa cemaranya akan membuat para pembeli itu datang kepadanya (mara). Di sini terlihat bahwa dua gejala berbeda, yang istilah sebutnya hampir sama bunyinya (cemara dan mara), mempunyai kaitan yang terselubung. Mekanisme pikiran yang berasaskan pikiran asosiasi prelogik juga menyebabkan bahwa banyak orang Jawa yang buta huruf yakin bahwa tindakantindakan yang hampir serupa mempunyai kaitan sebab-akibat. Oleh karena itu tindakan meniru sesuatu keadaan konon dapat memaksa agar keadaan itu benarbenar terjadi. Upacara-upacara ilmu gaib yang menggunakan keyakinan seperti itu sering kali disebut ilmu gaib imitatif dan orang Jawa memang sering kali mengunakan ilmu gaib seperti itu. Banyak tindakan ilmu gaib Jawa juga ditentukan oleh keyakinan tentang adanya suatu kekuatan sakti (kesakten) yang seperti apa yang telah disebutkan di atas, ada dalam bagian-bagian tertentu dari tubuh, dalam tubuh binatang, dan tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat atau yang aneh rupa atau bentunya, dalam barang-barang keramat serta pusaka, dalam jimat, dan benda-benda lain yang tidak lumrah. Kekuatan sakti juga dianggap dapat dipancarkan oleh kekuatan suara, melalui ujaran yang mempunyai sifat gaib, seperti suara, japa mantra, dan juga dapat ditimbulkan karena suara kutukan (sepata). Menurut keyakinan orang Jawa, kekuatan sakti dapat mempunyai aspek baik dan buruk, tetapi ada juga beberapa jenis kekuatan energi yang bersifat baik, seperti misalnya pulung, wahyu, dan ndaru. Kekuatan-kekuatan lain yang pada dasarnya bersifat buruk dan jahat adalah misalnya guntur dan teluh braja (kekuatan jahat). Orang Jawa juga yakin bahwa tidak hanya kekuatan gaib saja

26

yang dapat dimanipulasikan dan dikendalikan untuk mencapai sesuatu tujuan dengan cara gaib, tetapi juga mahluk-mahluk gaib.

BAB II PERHITUNGAN PRANATA MANGSA

A. Kalender Saka Kalender Saka merupakan warisan jaman Hindu-Budha yang kemudian diganti dengan kalender Jawa atau kalender Sultan Agung yang berlaku sampai sekarang. Banyak orang dan banyak kalender yang beredar membuat kesalahan, dengan keterangannya, bahwa kalender Jawa sama dengan kalender Saka, padahal amat berbeda. Oleh karena itu perlu diberikan penjelasan sebagai berikut: Pertama, kalender Saka dimulai pada tahun 78 Masehi. Permulaan kalender itu konon pada saat mendaratnya Ajisaka di pulau Jawa. Adapula yang mengabarkan, bahwa permulaan adalah saat Raja Sariwahana Ajisaka naik tahta di India. Aji saka adalah tokoh mitologi yang konon mencipta abjad huruf Jawa: ha na ca ra ka. Kalender yang tahunnya disebut Saka, dimulai pada tanggal 15 Maret tahun Masehi 78. Tahun Masehi dan tahun Saka, duaduanya berdasarkan

27

perhitungan solair yaitu mengikuti perjalanan bumi mengitari matahari. Dalam bahasa Arab disebut Syamsiyah. Kedua, Sebelum bangsa Hindu datang, orang Jawa sudah memiliki kalender sendiri yang kita kenal sekarang sebagai Petangan Jawi, yaitu perhitungan Pranata Mangsa dengan rangkaiannya berupa bermacam-macam petangan seperti wuku, peringkelan, padewan, padangan dan lain-lainnya. Sistem Pranata Mangsa itu adalah solair (Syamsiyah) seperti halnya kalender Saka dan Masehi. Ketiga, berikut ini penjelasan tentang kalender Saka dan Pranata Mangsa. Kalender Saka membagi satu tahun dalam 12 bulan dan Pranata Mangsa membagi satu tahun dalam 12 mangsa (Kamajaya, 1995). Nama-nama bulan dan umurnya. 1. Srawana 2. Bhadra 3. Asuji 4. Kartika 5. Posya (12 Juli (13 Agustus -12 Agustus) -10 September) 32 hari 29 hari 31 hari 30 hari 32 hari 29 hari 32 hari 29 hari 31 hari 30 hari 32 hari

(11 September- 11 Oktober) (12 Oktober -100 November)

(1 November -12 Desember)

6. Margasira (13 Desember -10 Januari) 7. Magha 8. Phalguna 9. Cetra (11 Januari (12 Februari (12 Maret -11 Februari) -11 Maret) -11 April) -11 Mei) -12 Juni)

10. Wasekha (12 April 11. Jyesta (12 Mei

28

12. Asadha

(13 Juni

-11 Juli)

29 hari

B. Pranata Mangsa Nama-nama mangsa dan umurnya: 1. Kasa (Kartika): (22 Juni -1 Agustus) 2. Karo (Pusa): (2 Agustus -24 Agustus) 3. Katelu: (25 Agustus -17 September) 4. Kapat (Sitra): (18 September-12 Oktober) 41 hari 23 hari 24 hari 25 hari

5. Kalima (manggala): (13 Oktober -8 November) 27 hari 6. Kanem (Naya): (9 November- 21 Desember) 7. Kapitu (Palguna): (22 Desember- 22 Februari) 8. Kawolu (Wasika): (3 Februari- 28 Februari) 9. Kasanga(Jita): (1 Maret- 25 Maret) 10. Kasapuluh (Srawana): (26 maret- 18 April) 11. Dhesta (Padrawana): (19 April- 11 Mei) 12. Sadha (Asuji): (12 Mei- 21 Juni) 43 hari 43 hari 26/27 hari 25 hari 24 hari 23 hari 41 hari

Kalender Pranata Mangsa sudah dimiliki orang Jawa sebelum bangsa Hindu datang di Pulau Jawa. Kalender atau perhitungan Pranata Mangsa itu dapat dikatakan kalendernya kaum tani yang memanfaatkannya sebagai pedoman bekerja (Kamajaya, 1995: 43). Pada mulanya Pranata Mangsa hanya memiliki 10 mangsa sesudah mangsa kesepuluh tanggal 18 April, orang menunggu saat dimulainya mangsa yang pertama (Kasa atau Kartika), yaitu pada tanggal 22 Juni. Masa menunggu itu

29

cukup lama sehingga akhirnya ditetapkan mangsa yang kesebelas (Destha atau Padrawana) dan mangsa kedua belas (Sadha atau Asuji). Maka genaplah satu tahun menjadi 12 mangsa dan dimulainya hari pertama mangsa kesatu pada 22 Juni. Kalender Saka berjalan bersama Pranata Mangsa. Meskipun Pranata Mangsa sudah berlaku sejak dahulu milik orang Jawa, namun pembakuannya baru diadakan pada waktu yang memerintah kerajaan Surakarta Sri Paku Buwana VII, yaitu tepatnya tahun 1855 masehi. Kecuali untuk pedoman kaum tani, Pranata mangsa pun merupakan perhitungan yang membawakan watak atau pengaruh kepada kehidupan manusia seperti halnya perhitungan-perhitungan Jawa lain-lainnya. Mangsa Kasa. Kadang mangsa ini disebut pula mangsa Kaso yang berawal 23 Juni sampai 2 Agustus. Mangsa ini dalam pengaruh kuat Batara Antaboga dan Nagagini. Pancaran pengaruh kuat kedua dewa ini terhadap alam diibaratkan sebagai Sotya murca ing embanan. Artinya Permata yang terlepas dari cincin pengikatnya. Musimnya jatuh musim kemarau. Batu mulia yang memiliki efek baik bagi kelompok masyarakat Kasa adalah Aquamarine, jamrud, mutiara, Mata Kucing, Kristal dan Biduri Bulan. Semua ini diharapkan bisa mencegah atau menutupi kelemahan kelompok ini yang lemah pada lever dan pencernaannya. Warna serasi bagi kelompok ini kuning, biru, hijau, coklat dan merah anggur. Lambang bunganya Melati, Sedap Malam, dan Gardena. Hari baik: Semua hari pada bulan Jumadilawal baik, kecuali tanggal Jawa 1, 5, 10, 11, 16, 26, 28 dengan Tali Wangke atau hari naas Senin Kliwon.

30

Mangsa Karo. Berlangsung 3 Agustus hingga 25 Agustus. Dalam pengaruh kuat Batara Sakri. Musimnya musim kemarau. Pengaruh kuat Batara Sakri mempengaruhi alam dan manusia. Pengaruh ini begitu kuat sehingga diibaratkan seperti Bantala Rengka atau tanah retak. Batu mulia yang selaras dengan kelompok Karo adalah Berlian, Ruby, Topas dan Tourmalin. Semua itu diharapkan untuk menutupi kelemahan kalangan Karo. Berlian untuk penolak ilmu sihir, menambah kekuatan tubuh. Ruby berdaya menolak impotensi. Topas diyakini menyembuhkan penyakit dada. Tourmalin berpengaruh kepada si pemakai sebagai penolak rasa takut. Hari baik: Untuk Rejeb semua hari baik, kecuali tanggal 2, 11, 12, 13, 14, 18, 22, 27 dengan Tali Wangke Rabu Pahing. Mangsa Katelu dengan candra Suta manut ing bapa. Artinya anak patuh pada ayahnya. Mangsa Ketiga atau Katelu berorbit selama 24 hari dan berada di langit belahan Tenggara. Mangsa katelu ini candranya Suta manut ing bapa atau anak patuh pada ayah. Penjabarannya adalah semua nasehat orang tua diturut oleh anak-anaknya. Ini berkat pengaruh kedua pasangan serasi batara-batari yang menjadi simbol asmara itu. Hari baik: Untuk bulan Jumadilakir semua hari baik, kecuali tanggal 4, 12, 13, 14, 19, 26, 28 dengan hari naas atau tali Wangke Kamis Pon. Warna ideal bagi mangsa ini adalah kuning dan hijau. Sementara untuk batu mulia yang sesuai untuk orang yang lahir mangsa ini adalah Batu Giok, Lapis Lazuli, Cornelian, Yasper. Batu-batu ini untuk menolak sakit mata, pencernaan, keracunan, penawar sakit paru-paru, dan sakit perut. Bunga yang menjadi kegemaran mangsa ini adalah Sedap Malam, Melati dan Anggrek.

31

Mangsa Kapat memiliki candra Waspa kumembeng jroning kalbu. Artinya hati sedih. Mangsa Kapat ini banyak terpengaruh oleh Wisnu yang berorbit 25 hari sejak 19 September sampai 13 Oktober, terletak di belahan langit Selatan. Hari baik: Semua hari pada bulan Rejeb baik, kecuali tanggal 7, 9, 10, 15, 20, 21, 24, 25 dengan hari naas, atau Tali Wangke Jumat Wage. Sementara batu mulia yang sesuai dengan orang yang lahir mangsa ini adalah Batu Opal, Berlian yang diharapkan menetramkan pikiran, Merjan atau Coraal yang membebaskan diri dari flu berat serta Mirah yang menolak infeksi. Warna ideal untuk kelompok ini biru dan merah anggur. Sementara bunga idamannya adalah Wijaya Kusuma dan Gradiol. Mangsa Kalima memiliki candra: Pancuran emas sumawur ing jagad. Hari baik: Semua hari untuk bulan Ruwah adalah baik kecuali tanggal yang ditetapkan berdasar perhitungan naga yaitu tanggal 2, 10, 17, 27, dengan Tali Wangke atau hari naas pada Sabtu Kliwon. Batu mulia yang sesuai dengan kelompok mangsa ini adalah Topas, Kalimaya untuk menghindarkan diri dari gangguan mata dan sakit dada dan terbakar. Kalimaya untuk menghindarkan diri dari gangguan mata dan meningkatkan daya pikir. Sementara Aquamarine untuk penyembuhan sakit lever dan tenaga kurang. Warna ideal bagi kelompok ini adalah merah, sementara bunga idamannya Melati, Anggrek, Sedap Malam dan Ceplok Piring. Mangsa Kanem bercandra: Rasa mulia kasucian. Ada pula yang mengatakan Genthong Pecah. Mangsa Kanem berorbit 43 hari sejak 10 November 22 Desember. Candra yang tersirat adalah Rasa mulia kasucian, sebagai ibarat bahwa rasa ini akan muncul jikalau orang berbuat baik. Sebab kemurahan Tuhan

32

diberikan kepada siapa saja tanpa pandang bulu. Semua tanggal baik kecuali untuk bulan Pasa tanggal 7, 8, 10, 20, 21, 24, 25, 28 dengan Tali Wangke atau hari naas Jumat Wage. Warna ideal untuk mangsa ini adalah hijau, merah jingga dan kuning terang. Batu mulia yang sesuai untuk yang lahir pada mangsa Kanem adalah Berlian, yang mampu menentramkan pikiran. Batu Nilam (Carbuncle). Selain indah, berkhasiat untuk menyembuhkan sakit yang menular dan mengurangi rangsangan seks. Pirus berguna mengatasi bahaya ilmu hitam. Topas berkhasiat mneyembuhkan penyakit reumatik. Mangsa Kapitu memiliki candra: Wisa kentas ing maruta. Mangsa kapitu lamanya 43 hari dari tanggal 23 Desember 3 Februari. Banyak penyakit menular, oleh karena itu diberi candra: Wisa kentas ing maruta. Bertiupnya angin mengandung bisa, musim timbulnya banyak penyakit. Semua hari baik pada Syawal Mangsa Kapitu kecuali: Tanggal 2, 10, 20, 27 dengan Tali Wangke Sabtu Kliwon. Warna ideal yang sesuai untuk wuku dan mangsa ini adalah biru laut, hijau tua, hitam, merah darah dan biru langit. Batu mulia yang sesuai untuk orang weton mangsa Kapitu adalah Black Onyx yang mampu mengusir makhluk jahat. Ruby, yang berhkasiat menyembuhkan impotensi dan menolak penyakit infeksi. Batu Giok yang berkhasiat mencegah penyakit pinggang, keletihan, sakit mata dan gangguan pada pencernaan. Mangsa Kawolu atau Masa Surya VIII memiliki candra: Anjrah jroning kayun. Mangsa kawolu lamanya 27 hari, tanggal 4/5 Februari sampai dengan 1 Maret. Padang pertanian menghijau menentramkan hati, maka keluarlah candra Anjrah jroning kayun, menentramkan. Masa baik untuk mengerjakan atau

33

mendirikan sesuatu. Mangsa ini adalah akhir bulan Februari hingga 15 Maret. Pada saat itu Batara Brama sedang memancarkan berkahnya ke mayapada. Semua hari baik dengan kekecualian Dulkangidah tanggal 2, 6, 11, 12, 13, 21, 24, 28 dengan Tali Wangsa (Naas) Senin Kliwon. Batu mulia yang sesuai untuk orang weton mangsa ini adalah Safir Biru yang diharapkan bisa menolak berbagai penyakit kulit, keracunan, sakit panas, penyakit menular. Mangsa Kasanga, Bulan Besar masuk dalam Pranata mangsa Kasanga: Wedharing wacana mulia. Mangsa kasanga memiliki lama orbit 25 hari antara tanggal 2 Maret sampai 26 Maret. Musim ini tercandra dengan Wedharing wacana mulia, tersiarnya kabar gembira. Mangsa ini berpengaruh besar terhadap kehidupan terutama putaran cakra panggilingan. Begitu pula nasib manusia silih berganti, ada senang, ada susah kembali ke bahagia lagi. Semua hari Besar dalam catatan horoskop Jawa baik, kecuali tanggal 1, 6, 10, 13, 20, 23, 25, dengan Tali Wangke Selasa Wage. Batu mulia yang sesuai untuk mangsa kasanga adalah Safir Biru yang dipercaya melindungi mata, Amethyst, yang mendatangkan rasa kasih. Kemudian Jamrud yang dipercaya bisa mencegah sakit kepala. Mangsa Kasedasa dengan Candra, Gedhong minep jroning kayun, artinya Pintu gerbang tertutup dalam hati, lama berjalan 24 hari di dalam pengaruh kuat Resi Bisma. Disebut pula mangsa Mareng, wataknya teguh, pemberani. Tidak mau mengalah, lantaran memiliki jiwa militer yang disiplin dan tegas. Semua hari baik untuk bulan Sura ini kecuali tanggal 6, 11, 13, 14, 17, 18, dan 27 dengan Tali Wangke Rabu Pahing. Batu mulia yang sesuai untuk weton mangsa kasadasa adalah Amethyst, atau Kecubung. Dengan sinar ungunya, batu mulia ini

34

diharapkan mampu memberi semangat kepemimpinan kepada yang memakainya. Di samping batu mulia ini baik untuk mencegah racun dan sakit jantung. Bila tak ada Amethyst bisa pula Aquamarine atau sinar laut hijau yang mengesankan rasa damai dan agung, yang dipercaya mencegah penyakit liver, dan pencernaan. Baik pula mengenakan intan yang menjauhkan diri dari ilmu hitam. Mangsa Dhesta, Mangsa dhesta atau ke sebelas ini berlangsung dari 20 April sampai 12 Mei. Mangsa ini memiliki candra Sotya Sinarawadi yang berarti permata hati dengan pengaruh kuat Batara Yamadipati. Penjabaran candra menggambarkan mangsa Dhesta adalah Sotya sinarawadi yang artinya permata hati. Penuh kasih sayang dan kegembiraan. Hari baik: Untuk bulan Sapar semua hari baik kecuali 1, 10, 12, 20, 22 dengan Tali Wangke Kamis Pon. Untuk Bulan Mulud semua hari baik kecuali tanggal 1, 3, 8, 13, 15, 20, 23, dengan Tali Wangke Jumat Wage. Batu mulia yang sesuai untuk kelompok masyarakat Dhesta Jamrud atau Emerald yang diyakini bisa melindungi kepala dari penyakit. Kemudian Safir Biru atau Blue Safir yang sangat dipercaya menolak racun dan melindungi mata. Selain itu juga Pirus Biru yang dianggap berkhasiat mencegah pengaruh rejeki besar dan mendapat kemuliaan dari tenaga ghaib. Mangsa Saddha. Mangsa ini berlangsung antara 13 Mei sampai 22 Juni, yang berorbit 41 hari. Peristiwa mangsa ini candranya Tirta sot saka sasana yang artinya adalah Air lenyap dari tempatnya. Mangsa ini terpengaruh kuat oleh Batari Sri dan Batara Sadana. Batu mulia yang selaras dengan kelompok masyarakat Saddha adalah Aquamarine atau Batu Sinar Laut Hijau. Kadang berwarna hijau kadang biru yang dipercaya mencegah sakit lever, pencernaan dan lemah badan.

35

Hari baik: Untuk bulan Bakda Mulud semua hari baik kecuali tanggal Jawa 10, 15, 16, 25, 28 dengan hari naas atau Tali wangke Sabtu Kliwon.

C. Kalender Sultan Agungan Kalender yang merupakan perpaduan Jawa asli dan Hindu dengan nama tahunnya Saka (kalender Saka) dipakai oleh orang Jawa sampai tahun 1633 M. Pada saat Sultan Agung Hanyakrakusuma bertahta. Raja Mataram yang terkenal patuh beragama Islam itu merubah kalender di Jawa secara Revolusioner. Pada waktu itu kalender Saka sudah berjalan sampai akhir tahun 1554. Angka tahun 1554 itu diteruskan dalam kalender Sultan Agung dengan angka tahun 1955, padahal dasar perhitungannya sama sekali berlainan (Asdi, 1990: 36). Kalender Saka mengikuti sistem Solar (Syamsiyah), perjalanan bumi mengitari matahari, sedangkan kalender Sultan Agung mengikuti sistem lunair (Komariyah), yaitu perjalanan bulan mengitari bumi seperti kalender Hijriyah. Perubahan kalender di Jawa itu terjadi dan mulai dengan tanggal 1 Sura tahun Alip 1555, tepat pada tanggal 1 Muharam tahun 1043 Hijriyah, tepat pula dengan tanggal 8 Juli 1633. Harinya, Jumat Legi. Kebijakan Sultan Agung itu terpuji sebagai tindakan seorang muslim dengan kemahirannya yang tinggi dalam ilmu falak. Kalender Sultan Agung adalah suatu karya raksasa, karya besar. Tindakan Sultan Agung itu tidak hanya didorong oleh maksud memeprluas pengaruh agaam Islam, tetapi didorong pula oleh kepentingan politiknya. Dengan mengubah kalender Saka menjadi kalender Jawa yang berdasarkan sistem Komariyah seperti kalender Hijriyah (kalender Islam), Sultan

36

Agung bermaksud memusatkan kekuasaan agama kepada dirinya. Di samping itu, tindakan merubah kalender pun mengandung maksud untuk memusatkan kekuasaan politik pada dirinya dalam memimpin kerajaannya. Sejak keruntuhan Kerajaan Majapahit, dan berdirilah kerajaan Demak dengan Raden Patah sebagai raja yang bergelar Sultan Syah Alam Akbar. Ia dinobatkan oleh Sunan Giri. Bahkan dengan dalih pengamanan Sunan Giri mengawali kerajaan Demak dengan memegang tampuk pimpinan selama 40 hari. Selanjutnya raja-raja di Jawa ditradisikan memperoleh restu Sunan Giri atau dinobatkan oleh Wali tertua ini. Gelar Sunan Giri itu turun temurun. Yang menobatkan Raden patah menjadi Raja Demak adalah Sunan Giri I. Restu atau penobatan raja-raja Jawa seterusnya dilakukan oleh Sunan Giri pula, keturunan langsung dari Sunan Giri I. Di jaman Sultan Agung, kewalian Giri sudah sampai dengan yang keempat di bawah pimpinan Sunan Giri ke-4 (Asdi, 1990: 57). Kewalian Sunan Giri sebagai pemimpin Islam tertinggi di Pulau Jawa diakui sepenuhnya oleh masyarakat, bahkan pengaruhnya sampai di luar pulau Jawa. Pada tahun 1629 di jaman Sultan Agung, masih ada utusan Sunan Giri yang datang di Pulau Hitu untuk melestarikan persahabatannya kepada rakyat di kepulauan Maluku itu. Pengaruh Sunan Giri itu amat diketahui oleh Sultan Agung. Meskipun demikian, pada waktu beliau naik tahta kerajaan mataram, beliau tidak mohon restu kepada raja pendeta di Giri itu seperti halnya sultansultan terdahulu. Sultan Agung sejak bertahta selalu menghadapi pemberontakanpemberontakan. Para adipati dan bupati di Jawa Timur sampai Blambangan yang berkiblat pada Sunan Giri, tidak mau tunduk kepada Sultan Agung. Maka Sultan

37

Agung adalah raja Jawa yang paling banyak mendapat lawan dengan berperang termasuk usahanya menyerang VOC Belanda di Jakarta pada tahun 1628 dan 1629. Dalam memipin kerajaan Mataram dan menghadapi pemberontakanpemberontakan, Sultan Agung bersiasat untuk mengupayakan kepercayaan rakyat sepenuhnya terpusat kepada dirinya. Usaha ini tidak saja dengan memenangkan perang menindas para pemberontak, tetapi juga meliputi kekuasaan di dalam agama Islam yang amat dipatuhinya. Sultan Agung menggalang kekuasaan mutlak agar kekuasaan keagamaan pun berpusat pada dirinya. Siasat itu dilancarkan dengan memerangi kewalian Giri yang diakui seluruh negeri sebagai pimpinan agama Islam tertinggi. Dengan bantuan Pangeran Pekik dari surabaya dengan istrinya Ratu Pandansari yang adik Sultan Agung, tentara Giri dapat dikalahkan sekeluarganya diboyong ke Mataram. Tindak lanjut dari Sultan Agung dalam memusatkan kepercayaan rakyat kepada dirinya adalah dengan merubah kalender di Jawa, disesuaikan dengan kalender Hijriyah. Ide raksasa itu didukung oleh para ulama dan abdi dalem, khususnya yang menguasai ilmu falak atau perbintangan. Maka diciptakanlah Kalender Jawa yang boleh disebut Kalender Sultan Agung atau Anno Javanico (AJ). Kalender Sultan Agung mengandung perpaduan Jawa, Hindu-Jawa dan Islam. Kalender ini dimulai pada tanggal 1 Sura tahun Alip, dengan angka tahun 1555. Itu jatuh bersamaan dengan 1 Muharram 1043 atau 8 Juli 1633 Masehi. Tindakan Sultan Agung itu dapat dikatakan revolusioner, oleh karena perhitungannya berbeda sama sekali dengan tahun saka yang sampai waktu itu

38

dipakai oleh masyarakat Jawa. Kalender Saka dengan dasar solair, sedang kalender Jawa Sultan Agung berdasarkan lunair seperti sistem Kalender Hijriyah. Nama-nama bulan kalender Sultan Agung berbeda dengan kalender Hijriyah. Demikian pula jumlah hari dan umur masing-masing bulan, seperti terlihat berikut ini:

Kalender Hijriyah dan umurnya: 1. Muharam 2. Syafat 3. Rabiulawal 4. Rabiulakhir 5. Jumadilawal 6. Jumadilakhir 7. Rajab 8. Syaban 9. Ramadan 10. Syawal 11. Dzulqaidah 12. Dzulhijah -30 hari -29 hari -30 hari -29 hari -30 hari -29 hari -30 hari -29 hari -30 hari -29 hari -30 hari -29 hari

Kalender Sultan Agung dan Umurnya Nama Bulan 1,3,6,7 Tahun Jawa 2,4,8, 5

39

1. Sura 2. Sapar 3. Mulud 4. Bakda Mulud 5. Jumadilawal 6. Jumadilakhir 7. Rejeb 8. Ruwah 9. Pasa 10. Syawal 11. Dulkangidah 12. Besar

30 29 30 29 30 29 30 29 30 29 30 29

30 29 30 29 30 29 30 29 30 29 30 30

30 30 29 29 29 29 30 29 30 29 30 30

D. Dasar Perhitungan Waktu Perbedaan antara kalender Hijriyah dengan Kalender Jawa yang keduaduanya berdasarkan lunair, terletak pada: Dalam kalender Jawa dikenal tahun wastu yang artinya pendek, dan tahun wuntu. Dalam tahun pendek umur bulan besar 29 hari, dalam tahun panjang umur bulan Besar 30 hari. Dalam satu windu (8) tahun ada 3 tahun panjang, yaitu: 1. Ehe, 2. Je, 3. Jimakir, umurnya a 355 hari. Yang 5 tahun lainnya adalah tahun pendek, yaitu: 1. Alip, 2. Jimawal, 3. Dal, 4. Be, 5. Wawu, umurnya a 354. Kalender Jawa disebut Kalender Huruf (asal kata Arab: huruf, karena nama tahun-tahunnya berawalan huruf Arab, yaitu: 1. Alip, 2. Ahe, 3. Jimawal, 4. Je, 5. dal, 6. Be, 7. Wawu, 8. Jimakhir. Pada permulaan Kalender Jawa, yaitu tanggal 1. Sura, tahun Alip 1555 jatuh pada hari Jumat legi, disebut Huruf Jamiyah, Huruf itu berubah setelah 120 tahun. Tanggal 1 Sura tahun Alip 1675, jatuh pada hari Kamis Kliwon, disebut Huruf Kamsiyah. Umurnya 72 tahun. Kemudian tanggal 1 Sura, Alip 1747 jatuh pada hari Selasa Pon, disebut Huruf Salasangiyah. Pergantian Huruf seperti tersebut adalah demi penyesuaiannya dengan kalender Hijriyah. Lain pada itu

40

Kalender Jawa memiliki 3 tahun panjang dalam 1 Windu (8 tahun), sedang siklus Hijriyah dalam siklusnya 30 tahun, tahun panjangnya ada 11. Inipun termasuk perangkat penyesuaiannya tersebut. Kalau hingga sekarang terkadang masih ada perbedaan, hal itu disebabkan oleh hal hal tersebut. Perhitungan ini memang sulit. Sri Sultan Agung merasa perlu mengubah kalender dan menyesuaikannya dengan kalender Hijriyah dengan maksud pula agar hari-hari raya Islam (Maulid Nabi, Idul Fitri dan Idul adha) yang dirayakan di kraton Mataram dengan sebutan grebeg dapat dilaksanakan pada hari dan tanggal yang tepat sesuai dengan ketentuan dalam kalender Hijriyah. Kalender Sultan Agung dimulai pada tanggal 1 Sura 1555, tahun Jawa atau tahun Sultan Agungan memiliki ciri-ciri khasnya: Dasar perhitungannya lunair atau komariyah, perjalanan bulan mengitari bumi seperti kalender Hijriyah. Angka tahunnya meneruskan angka tahun Saka dan dimulai dengan tanggal 1 Sura tahun Alip 1555. Perhitungan Jawa yang dipakai dalam kalender Saka seperti Pranata Mangsa. Wuku dan lain-lainnya tetap dilestarikan dalam kalender Jawa atau Kalender Sultan Agungan. Seperti diketahui, petangan Jawi adalah sebagian Jawa asli dan sebagai Hindu Budha.

1. Petungan Jawi Kalender adalah penanggalan yang memuat nama-nama bulan, hari tanggal dan hari hari keagamaan seperti terdapat pada kalender Masehi. Kalender Jawa memiliki arti dan fungsi tidak hanya sebagai petunjuk hari tanggal dan hari libur atau hari keagamaan, tetapi menjadi dasar dan ada hubungannya dengan apa

41

yang disebut Petangan Jawi, yaitu perhitungan baik-buruk yang dilukiskan dalam lambang dan watak suatu hari, tanggal, bulan, tahun, Pranata Mangsa, wuku dan lain-lainnya. Semua itu warisan asli leluhur Jawa yang dilestarikan dalam kebijaksanaan Sultan Agung dalam kalendernya. Petangan Jawi sudah ada sejak dahulu, merupakan catatan dari leluhur berdasarkan pengalaman baik buruk yang dicatat dan dihimpun dalam Primbon. Kata Primbon berasal dari kata: rimbu, berarti simpan atau simpanan, maka Primbon memuat bermacam-macam catatan oleh suatu generasi diturunkan kepada generasi penerusnya. Pada hakikatnya Primbon tidak merupakan hal yang mutlak kebenarannya, namun sedikitnya patut menjadi perhatian sebagai jalan mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup lahirbatin. Primbon hendaklah tidak diremehkan, meskipun diketahui tidak mengandung kebenaran mutlak. Primbon sebagai pedoman penghati-hati mengingat pengalaman leluhur, jangan menjadikan surut atau mengurangi keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yanag Maha Esa Maha Pengatur segenap makhluk dengan kodrat dan iradat-Nya (Kamajaya, 1995: 67). Petangan Jawi memberikan pedoman atau petunjuk akan lambang dan watak berbagai jenis hitungan sebagai petunjuk sebagi berikut:

2. Hari dan Pasaran a. Ahad, wataknya: samudana (pura-pura) artinya: suka kepada lahir, yang kelihatan. b. Senin, wataknya: Samuwa (meriah), artinya: harus baik segalap pakaryan c. Selasa, wataknya: Sujana (curiga), artinya: serba tidak percaya

42

d. Rabu, wataknya: Sembada (serba sanggup, kuat) aratinya: mantab dalam segala pakaryan e. Kemis, wataknya: Surasa (perasa), artinya: suka berpikir (merasakan sesuatu) dalam-dalam. f. Jumat, wataknya: suci, artinya bersih tingkah lakunya g. Sabtu, wataknya: Kasumbung (tersohor), artinya suka pamer

Petungan Pasaran a. Pahing, wataknya: melikan, artinya suka kepada barang yang kelihatan b. Pon, wataknya, pamer artinya suak memamerkan harta miliknya c. Wage, wataknya kedher artinya kaku hati d. Kliwon, wataknya micara artinya dapat mengubah bahsa e. Legi, watakanya komat artinya sanggup menerima segala macam keadaan

3. Rolas Titi Mangsa Jumlah Pranata Mangsa ada 12 yaitu: Nama-nama mangsa dan umurnya 1. Kasa (Kartika): (22 Juni -1 Agustus) 2. Karo (Pusa): (2 Agustus -24 Agustus) 3. Katelu: (25 Agustus -17 September) 4. Kapat (Sitra): (18 September-12 Oktober) 5. Kalima (manggala): (13 Oktober -8 November) 6. Kanem (Naya): (9 November- 21 Desember) 41 hari 23 hari 24 hari 25 hari 27 hari 43 hari

43

7. Kapitu (Palguna): (22 Desember- 22 Februari) 8. Kawolu (Wasika): (3 Februari- 28 Februari) 9. Kasanga(Jita): (1 Maret- 25 Maret) 10. Kasapuluh (Srawana): (26 maret- 18 April) 11. Dhesta (Padrawana): (19 April- 11 Mei) 12. Sadha (Asuji): (12 Mei- 21 Juni)

43 hari 26/27 hari 25 hari 24 hari 23 hari 41 hari

Yang watak bawaan atau pengaruh tiga macam mangsa sebagai berikut: a. Kasa (kartika), candra/cirinya sotya murca ing embanan (mutiara lepas dari pengikatya). Watak pengaruhnya: dedaunan rontok, kayu-kayu patah di atas. Saat mulai menanam palawija, belalang bertelur. Bayi yang lahir dalam mangsa Kasa itu wataknya belas kasihan. b. Karo (pusa) candra (cirinya): Bantala rengka (tanah retak), watak (pengaruhnya) Tanah retak, tanam-tanam palawija harus dicarikan air, pohon randu dan mangsa tumbuh daun-daunnya. Bayi yang lahir dalam mangsa itu wataknya ceroboh, kotor. c. Sadha (Asuji), candra (cirinya) Tirta sasana (air pergi dari tempatnya) Watak (pengaruhnya) musim dingin, jarang orang berkeringat. Usai panen. Bayi yang lahir dalam masa itu wataknya cukupan.

4. Petungan Pawukon Pawukon berasal dari perkatan Wuku, jumlah wuku ada 30 buah dengan nama masing-masing, dari yang ke-1 Wuku Sinta hingga yang terakhir ke-30,

44

wuku Watugunung. Tiap-tiap wuku berumur 7 hari sehingga siklus berumur 30 x 7 hari = 210 hari. Wuku ke-1 (Sinta) mulai hari Minggu Pahing sampai dengan Sabtu Pon. Waktu ke-30 atau terakhir (Watugunung) mulai hari Minggu Kliwon sampai dengan Sabtu Legi (Kamajaya, 1995). Perhitungan Pawukon dilengkapi dengan lain-lain perhitungan antara lain: 1. Hari 2. Pasaran 3. Paringkelan 4. Padangon dan lain-lainnya. Pawukon dengan kelengkapannya itu dipercaya sebagai melukiskan watak bawaan atau pengaruhnya kepada kehidupan manusia dan kesesuaiannya dengan alam. Adapun nama wuku 30 tersebut adalah: 1. Sinta 2. Landep 3. Wukir 4. Kurantil 5. Tolu 6. Gumbreg 7. Warigalit 8. Warigagung 9. Julungwangi 10. Sungsang 11. Galungan 12. Kuningan 13. Langkir 14. Mandhasiya 16. Pahang 17. Kuruwelut 18. Marakeh 19. Tambir 20. Madhangkungan 21. Maktal 22. Wuye 23. Manail 24. Prangbakat 25. Bala 26. Wugu 27. wayang 28. Kulawu 29. Dhukut

45

15. Julungpujut

30. Watugunung

Watak bawaan atau pengaruh wuku dilukiskan dalam lambanglambang dewa, air, daun, kayu dan burung, seperti terdapat dalam kutipan dua wuku (ke-1 dan ke-30). a. Wuku Sinta Dewanya Batara Yamadipati laksana Pendeta, wataknya bagaikan raja, cemburu, besar nafsunya, tidak sabar, sering kecelakaan, lembut budinya, enak bicaranya, tidak percaya, tetapi banyak rejekinya, kaya harta benda. Memanggul panji-panji: memiliki kesenangan. Kakinya di dalam air: perintahnya keras pada awal, lunak pada akhirnya. Gedongnya di muka: Menjadi memperlihatkan kekayaannya, rela pada lahirnya, tetapi dalam hatinya tak setuju. Kayunya Kendayakan: menjadi tempat bernaung orang sakit, orang sengsara dan melarikan diri. Burungnya Gagak: tahu akan gelagat, cepat dalam segala pakaryan. Bencananya: mati setengah umur. Candranya: Indra janma nestapa, wataknya: besar perhatiannya, sangat tinggi dan suka ulah kependetaan. Selamatan penolakan: Nasi pulen masakan beras sapitrah (satu takaran: dua tangan digabung dan dikerungkan kurang lebih kg), daging kerbau seharga 21 ketheng (mata uang Jawa jaman lampau nilainya kurang lebih sen) tanpa menawar, di masak pindang. Slawatnya 4 ketheng. Doanya Tolak bencana, jabungkala jaya bumi (ancaman bahayanya) di timur laut: 7 hari jangan pergi ke timur laut (Kamajaya, 1995: 68).

46

b. Wuku Watugunung Dewanya Batara Antaboga dan Bathari Naga gini: Antaboga: banyak kemauannya, selalu prihatin, menantang adu kepandaian, tak mau diatasi. Naga gini: Mendua kasih, mengharapkan kesalahan orang lain, percaya kepada tahayul, menurut. Mengahadap candi: gemar sepi, bila ia pendeta ada derajatnya, senang bersemadi, selalu prihatin. Kayunya Wijayakusuma: bagus rupanya, tak suka keramaian, bermutu bicaranya. Burungnya Gogik: dengki, tak suka keramaian. Bencananya: dianiaya. Selamatan penolaknya: tumpeng masakan beras sapitrah ikan kali, binatang darat, binatang terbang dan binatang hidup di liang, semuanya halal, di masak pedas, asin,asam dan pahit, buah-buahan, bermacam-macam juadah dengan jenang, sayur 7 macam. Slawatnya: 19 ketheng. Doanya: mubarak. Candranya: bintang dan bulan kesiangan, wataknya terang cahaya hatinya. Jabungkala jaya bumi (ancaman bahayanya) di timur; 7 hari jangan pergi ke arah timur.

5. Petungan Paringkelan Paringkelan, dari asal kata ringkel, artinya lemah, kelemahan. Ada 6 jenis Paringkelan, yaitu: 1. Tungle, 2. Aryang, 3. Warukung, 4. Paningron, 5. Uwas, 6. Mawulu. Watak dari tiga macam Paringkel sebagai berikut: a. Tungle, ringkel Daun artinya kelemahan daun. Wataknya sanggup, tetapi mungkir. Manfaatnya membikin malu. Pantangannya: jangan menanam yang diharapkan daunnya.

47

b. Aryang ringkel: ringkel janam (manusia) artinya: kelemahan manusia. Manfaatnya: membikin upas dan racun. Pantangannya: jangan bersesuai tanam, jangan melakukan pernikahan dan jangan mendirikan rumah. c. Mawulu, ringkel biji. Wataknya: berpenyakitan. Manfaatnya: mengerjakan sawah. Pantangannya: jangan menabur biji (benih).

6. Petungan Tahun Tahun dalam kalender Jawa atau Kalender Sultan Agungan ada 8, namanamanya: 1. Alip, 2. Ehe, 3. Jimawal, 4. Je, 5. Dal, 6. Be, 7. Wawu, 8. Jimakir, nama-nama itu diambil dari huruf Arab. Satu tahun Jawa berumur 354 hari. Tahunini disebut tahun wastu (pendek). Tahun yang panjang berumur 355 hari disebut tahun wuntu (panjang). Dalam tahun panjang ini umur bulan besar ditambah 1 menjadi 30 hari. Watak bawaan atau pengaruh tahun Jawa jatuhnya tanggal 1 Sura seperti berikut: 1. Bilamana tanggal 1 Sura jatuh pada hari Minggu, tahun ini disebut tahun Dite-kalaba, yaitu tahun kelabang. Wataknya: jarang hujan. 2. tanggal 1 Sura jatuh pada hari Senin, tahun Soma Wrejita, tahun cacing. Wataknya: banyak hujan. 3. Tanggal 1 Sura jatuh pada hari selasa, tahun Anggara Wrestija, tahun katak. Wataknya: banyak hujan 4. tanggal 1 Sura jatuh pada hari Rabu, tahun Buda Wisaba, tahun kerbau, wataknya: banyak hujan

48

5. Tanggal 1 Sura jatuh pada hari Kemis, tahun Respati Mintuna, tahun mimi. Wataknya banyak hujan 6. Tanggal 1 Sura jatuh pada hari Jumaat, tahun Sukra Minangkara, tahun Udang. Wataknya: jarang hujan 7. Tanggal 1 Sura jatuh pada hari Sabtu, tahun Tumpak Menda, tahun Kambing. Wataknya: jarang hujan (Kamajaya, 1995).

7. Petungan Windu Satu windu berumur 8 tahun, satu siklus ada 4 windu. Nama-nama dan watak bawaannya: a. Kuthara, artinya ulah atau tingkah laku. Wataknya Banya tingkahlaku orang yang aneh-aneh seperti belum pernah terjadi b. Sangara, artinya banjir. Wataknya: banyak air besar c. Sancaya, artinya banjir. Wataknya: banyak orang bersetuju hati (rukun) d. Adi, artinya unggul. Wataknya: banyak bangunan baru yang indah menyenangkan (Kamajaya, 1995).

8. Petungan Padewan Astawara Menurut Kamajaya (1995), perhitungan Padewan ada 8 yaitu: 1. Sri, 2. Endra, 3. Guru, 4. Yama, 5. Rudra, 6. Brama, 7. Kala, 8. Uma. Masing-masing dari perhitungan ini memiliki watak bawaannya, antara lain sebagai berikut: a. Sri, yaitu Batari Sri. Wataknya: Asih, cinta, belas kasihan. Manfaatnya: menanamn padi dan tanaman sampingan (tirisan Jawa)

49

b. Endra, yaitu batara Endra. Wataknya: teliti dan sombong. Manfatanya: belajar segala pengetahuan. c. Kala, yaitu batara kala. Wataknya: jahat, serakah, bohong dan berpurapura. Manfaatnya: membikin sara-sarana. d. Uma, yaitu Batari Uma. Wataknya: Belas kasihan pada penderita, jahil,. manfaatnya: membikin pagar dan tanda batas. Menurut Kamajaya (1995), perhitungan ini ada 9, yaitu: 1. Dangu (batu), 2. Jagur (harimau), 3. Gigis (bumi) 4, Karangan (matahari), 5. Nohan (bulan), 6. Wogan (ulat), 7. Tulus (air) 8. Wurung (api), Dadi (kayu). Watak masing-masing antara lain: Dangu, wataknya: diam saja. Manfaatnya: membuat tugu, tutup atau wadah. Dadi, wataknya: tak mau kalah. Manfaatnya: menanam tanaman di kebun.

50

BAB III TATA LAKSANA UPACARA PERKAWINAN

A. Slametan Among Tuwuh Slametan among tuwuh diselenggarakan oleh keluarga mempelai wanita. Sesuai dengan namanya, slametan adalah ritual Jawa yang bertujuan untuk memperoleh keselamatan. Terlebih-lebih hajatan besar seperti upacara pernikahan yang telah menguras tenaga dan pikiran, maka slametan mendapat perhatian utama. Sedangkan makna among tuwuh adalah sarana untuk mengemban sejarah keluarga. Among berarti mengemban dan tuwuh berarti tumbuh atau berkembang. Dengan adanya upacara pernikahan itu diharapkan akan lahir generasi atau keturunan yang dapat menurunkan perkembangan sebuah dinasti keluarga. Anak yang lahir adalah karunia Tuhan yang selalu diharap-harap oleh semua pihak. Orang Jawa menyebut bathi atau untung. Ritual tradisional diadakan untuk menjaga atau mendapatkan keselamatan dan kehidupan yang baik untuk pribadi seseorang atau sekelompok orang seperti keluarga, penduduk desa, penduduk negeri, keselamatan dan berkah untuk suatu tempat, misalnya rumah atau rumah peribadatan, desa, negeri dan sebagainya. Selanjutnya menurut Suryo S. Negoro (2001: 43), ritual bisa dibagi menjadi tiga kelompok : a. Ritual pribadi

51

Meliputi selamatan sederhana dengan nasi tumpeng, lauk pauk dan sesaji, yang diselenggarakan oleh seseorang sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa, misalnya karena telah mendapatkan kenaikan pangkat, diangkat menjadi lurah, direktur perusahaan, bupati, menteri dan sebagainya. Acara seperti ini biasanya dihadiri oleh tetangga, saudara-saudara, teman-teman dekat dan teman-teman sejawat. Ritual sederhana yang diadakan sebagai ungkapan rasa syukur bahwa misalnya seseorang telah sembuh dari sakit gawat atau terlepas dari beban penderitaan yang berat. Upacara seperti ini disebut sukuran mengungkapkan rasa syukur atau slametan, permohonan supaya hidup selamat dan mapan. Ritual yang berhubungan dengan siklus kehidupan seseorang seperti upacara-upacara: Perkawinan tradisional, Mitoni - kehamilan tujuh bulan pertama dan Ruwatan Murwakala, ritual untuk keselamatan dan hidup yang baik, supaya terbebas dari ancaman Batara Kala yang jahat, salah satu putra Batata Guru. Ruwatan ini bisa dilakukan untuk seseorang atau sekelompok orang sekaligus. b. Ritual Umum, misalnya untuk satu desa dan seluruh penduduk desa seperti dalam upacara Bersih Desa. c. Ritual kenegaraan, untuk Raja, Ratu, pimpinan, negeri dan rakyat, seperti: Upacara Garebeg, Upacara Labuhan Karaton Yogyakarta, Upacara Rajawedha/Mahesa Lawung.

52

Peringatan 1 Suro, bisa merupakan ritual negeri atau umum atau gabungan dari keduanya. Upacara slametan among tuwuh bahannya lebih didominasi oleh hasil bumi dari daerah setempat. Dari segi finansial tentu biayanya sangat murah dan bisa dijangkau oleh segala lapisan masyarakat. Bahan-bahannya yaitu nasi tumpeng, yang disertai dengan lauk-pauk ala kadarnya. Biasanya panggang ayam dan sayur mayur yang dirajang-rajang. Dengan mengundang tetangga dan kerabat dekat, biasanya suasananya sudah berlangsung secara khitmat. Mereka turut serta berbagi kebahagiaan atas akan datangnya hari yang dinanti-nanti. Dengan dipimpin oleh para sesepuh desa, mereka akan serempak memberi doa yang tulus ikhlas. Mereka kemudian makan nasi tumpeng yang dibagikan dengan suka cita.

B. Pasang Tarub Agung Pasang tarub agung adalah salah satu syarat yang biasa dipenuhi oleh orang Jawa. Dengan memasang tarub agung itu, masyarakat umum akan cepat mengetahui bahwa keluarga yang bersangkutan sedang mempunyai hajad untuk menyelenggarakan upacara pernikahan. Secara simbolis bahwa rumah yang dipasang tarub sedang mempunyai gawe besar. Keutamaan pemasangan tarub agung ini adalah semacam tanda buat masyarakat luas. Tanda ini efektif sekali fungsinya, sehingga selama tarub itu dipasang, maka keluarga yang bersangkutan akan mendapat hak-hak istimewa. Bahkan jalan umum yang ramai lalu lintasnya pun diperbolehkan untuk digunakan. Semua pihak akan menyadari dan mau

53

mengalah secara ikhlas. Di samping fungsi praktis itu, tarub juga mempunyai fungsi filsafat simbolis. Sebelum pemasangan tarub, sesaji khusus disiapkan, yang terdiri antara lain dari nasi tumpeng, berbagai macam buah-buahan termasuk pisang dan kelapa, berbagai macam lauk-pauk, kue-kue, minuman, bunga, jamu, tempe, daging kerbau, gula kelapa, dan sebuah lentera. Sesaji ini melambangkan sebuah p.errnohonan supaya mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan para leluhur dan sekaligus sebagai sarana untuk menolak mahluk-mahluk jahat. Sesaji itu ditempatkan dibeberapa tempat dimana prosesi upacara dilaksanakan seperti di: kamar mandi, dapur, pintu depan, di bawah tarub, di jalan dekat rumah dan lain-lain (Suryo S. Negoro, 2001: 73). Sebuah upacara perkawinan Jawa memiliki beberapa acara ritual tradisional. Dalam hal ini peranan seorang perias pengantin sangatlah penting, pemaes itu akan merias dan mendandani kedua pengantin, memimpin seluruh jalannya upacara perkawinan bertanggung jawab mengenai sesaji dan lain-lain. Sepasang tebu wulung tebu yang berwarna ungu melambangkan mantabnya kalbu, pasangan baru itu akan membina keluarga dengan sepenuh hati, dengan segala tekad dan pikiran bijak, akan selalu mempertahankan

kehidupan keluarga. Cengkir gading-kelapa. kecil yang berwarna kuning melambangkan kencang-kuatnya pikiran baik, artinya pasangan itu saling mencintai dengan sungguh-sungguh dan akan saling memelihara. Berbagai macam dedaunan segar seperti: beringin, mojokoro, alang-alang, dadap srep, diharapkan supaya pasangan tersebut tumbuh dengan kuat dalam kehidupan

54

berkeluarga dan selalu berada dalam keadaan selamat. Yang sangat penting, di atas gapura sebuah perhiasan yang dinamakan bekletepe yang terbuat dari anyaman daun kelapa harus digantungkan, ini dimaksudkan untuk mengusir roh jahat dan sebagai tanda bahwasanya pesta perkawinan sedang diselenggarakan di rumah ini. Sedangkan menurut Adjied dan Tessa (2002: 6) kata tarub berasal dari kata benda yang menunjukkan pengertian tentang suatu "bangunan darurat" yang khusus didirikan di depan rumah atau di sekitar rumah orang yang mempunyai hajad menyelenggarakan perhelatan perkawinan dengan tujuan rasionil dan irrasionil. Rasionil yaitu membuat tambahan ruang untuk tempat duduk tamu, menata meja dan perlengkapan untuk resepsi perkawinan. Irrasionil karena pembuatan "Tarub" menurut adat harus disertai dengan macam-macam persyaratan khas yang disebut srana-srana/sesaji, maka yang demikian mempunyai tujuan "keselamatan lahir batin" dalam arti luas. Adapun srana tarub yang pokok yang disebut "Tuwuhan" terdiri dari: Sepasang pohon pisang raja yang berbuah yang maknanya secara singkat demikian: Agar mempelai kelak menjadi pimpinan keluarganya/lingkungannya dan masyarakat dengan sebaik-baiknya. Seperti pohon pisang dapat tumbuh dan hidup dimanapun saja, maka diharapkan bahwa mempelai berdua pun dapat hidup dan menyesuaikan diri di lingkungan manapun juga dan berhasil (berbuah). Sepasang tebu wulung : Tebu artinya "anteping kalbu" tekad yang bulat. Wulung artinya mulus matang, maknanya dari mempelai diharapkan agar segala sesuatu yang sudah dipikir matang-matang dikerjakan/dilaksanakan dengan tekad

55

yang bulat, pantang mundur atau mulat sarira hangrasa wani. Dua janjang buah kelapa gading yang masih muda - cengkir. Kelapa gading adalah kelapa yang kulitnya kuning, cengkir adalah kelapa muda yang berwarna kuning. Maknanya : cengkir - kencenging pikir, kemauan yang keras. Dari mempelai diharapkan, agar memiliki "kemauan yang keras" untuk dapat mencapai tujuan hidup yang penuh perjuangan bahagia dan harmonis. Kelengkapan tarub (uborampen tuwuh). Terdiri dari daun ringin, daun mojo, daun koro, daun andong, daun alang-alang, dan daun opo-opo. Maknanya : diharapkan dari mempelai agar kelak dapat tumbuh seperti pohon beringin menjadi pengayoman lingkungannya, dan agar semuanya dapat berjalan dengan selamat sentausa lahir batin atau aja ana sekara-kara alias alangan sawiji apa.

C. Tirakatan Malam Midodareni Malam midodareni biasanya dilakukan dengan cara tirakatan dan leklekan. Para sesepuh, pinisepuh dan orang tua sering semalam suntuk tidak tidur. Hampir di tiap-tiap desa ritual lek-lekan yang tidak tidur semalam ini selalu dilakukan. Tujuannya adalah untuk menolak balak. Keluarga yang sedang mempunyai gawe besar itu biasanya jauh dari mara bahaya, sehingga pelaksanaan upacara pernikahan menjadi lancar. Tradisi lek-lekan ini sebenarnya sudah berlangsung lama sekali dalam perkembangan peradaban budaya Jawa. Sinuhun Paku Buwana IV telah menyusun petuah luhur, agar manusia sering mencegah dhahar lawan guling. Dalam Serat Wulangreh pupuh tembang Kinanthi beliau berpesan demikian. Padha gulangen ing kalbu

56

Ing sasmita amrih lanthip Aja pijer mangan nendra Kaprawiran den kaesthi Pesunen sarira nira Cegah dhahar lawan guling Upacara tirakatan malam midodareni ini berlangsung di malam hari sebelum pelaksanaan Ijab dan Panggih di keesokan harinya. Midodareni berasal dari kata widodari artinya Dewi (Suryo S. Negoro, 2001: 41). Calon pengantin putri malam ini menjadi sangat cantik bak seorang dewi dan dia akan dikunjungi oleh beberapa dewi kahyangan sesuai dengan kepercayaan kuno. Dia harus tinggal di kamar malam itu dari jam enam sore hingga tengah malam ditemani oleh beberapa ibu yang memberikan kepadanya nasihat-nasihat yang berguna. Keluarga dari calon mempelai pria dan teman-teman dekatnya yang semuanya adalah wanita boleh menengok calon pengantin wanita untuk sejenak. Orang tua calon pengantin putri memberikan suapan makan kepadanya untuk yang terakhir kalinya, karena mulai besok dia sudah berada di bawah tanggung jawab suaminya. Sesaji untuk midodareni, meliputi : nasi gurih, ingkung ayam, beberapa sayuran masak, kembang telon, teh dan kopi pahit, minuman dari air kelapa dengan gula kelapa, lampu minyak yang dinyalakan, pisang raja, kembang setaman, jadah ketan, serutu dan pipa yang dibuat dari daun pepaya. Barang-barang yang diletakkan di kamar pelaminan terdiri dari sepasang kembar mayang, dua pot tanah diisi dengan bumbu-bumbu, jamu, beras, kacang dan lain-lain ditutupi dengan kain bermotif banguntulak, dua kendi diisi air suci dihit' :p dengan daun dadap srep, ukub yaitu nampan yang di atasnya ditaruh beberapa dedaunan dan bunga wangi dan ditaruh dibawah tempat tidur, suruh ayu,

57

daun sirih dengan seperangkatnya, buah pinang, dan tujuh macam kain dengan pola lorek. Sesaji ini bisa dikeluarkan dari kamar pada waktu tengah malam, anggota keluarga ataupun tamu boleh memakannya. Bersamaan dengan malam tirakatan midodareni, dilakukan pula upacara siraman untuk calon pengantin putri. Siraman ini menggunakan air khusus yang dinamakan tirta perwita sari. Siraman artinya mandi. Siraman dalam upacara perkawinan dimaksudkan untuk membersihkan sepasang calon pengantin itu lahir dan batin. Upacara siraman diselenggarakan satu hari sebelum ritual ijab dan panggih. Siraman untuk calon pengantin putri dilakukan di rumah orang tuanya demikian juga calon pengantin pria dimandikan di rumah orang tuanya. Upacara ini membutuhkan beberapa persiapan antara lain: Siraman diadakan di kamar mandi atau di tempat khusus yang dibikin untuk maksud tersebut, pada hari ini lebih populer ditempat khusus. Daftar dari orang-orang yang akan memandikan pengantin, selain orang tua pengantin juga beberapa ibu yang lanjut usia dengan reputasi yang baik akan diundang untuk ikut memandikan pengantin termasuk juga para nenek dari pengantin. Mereka tersebut diundang berdasarkan pilihan atas sikapnya yang baik, jumlahnya biasanya tujuh orang, tujuh dalam bahasa Jawa adalah pitu, mereka diharapkan untuk bisa memberi pitulungan artinya pertolongan. Barang-barang yang harus disiapkan terdiri dari tempat air yang besar, biasanya terbuat dari tembaga atau perunggu, air dari sumber atau sumur, kembang setaman, yang terdiri dari mawar, melati, kantil dan kenanga yang ditaruh di dalam air yang untuk mandi, bedak basah lima warna yang berfungsi sebagai sabun, sampo tradisional yang terbuat dari abu merang, air

58

kelapa dan air jeruk, dua kelapa yang diikat jadi satu, kursi kecil yang ditutup dengan tikar tua, kain putih, beberapa macam dedaunan, dlingo-bengle, kain bangun tulak empat pola untuk melawan perbuatan jahat, kain tenun lurik dengan pola yuyu sekandang dan pula watu, selembar kain putih yang dipakai selama siraman, kain batik dengan motif grompol dan nagasari, handuk, kendi dan gayung (Suryo S. Negoro, 2001: 45). Sesaji untuk siraman. Sesaji tradisional untuk ritual Jawa dianggap sangat penting karena mempunyai arti simbolis, singkatnya bertujuan memohon perlindungan dari Tuhan Sang Pencipta, mengingat dan menghormat para leluhur, sehingga arwah mereka berada dalam ketenangan dan mengharapkan restu dari para leluhur, menghindari perbuatan jahat dari mahluk-mahluk halus maupun manusia-manusia jahat, upacara akan berlangsung dengan selamat dan sukses. Sesaji siraman antara lain terdiri dari: tumpeng robyong, tumpeng gundul, makanan-makanan dingin, pisang dan buah-buahan yang lain, telur ayam, kelapa yang telah dikupas kulitnya, gula kelapa, lentera, kembang telon-kenanga, melati dan kantil, tujuh macam bubur, kue-kue manis, penganan dari beras ketan, seekor ayam jago (Adjied dan Tessa, 2002: 3). Sesudah upacara siraman kemudian dilanjutkan dengan upacara ngerik rikma, yaitu menggunting sebagian rambut calon pengantin putri. Sesudah siraman selesai, calon pengantin wanita duduk di ruang pelaminan, pemaes mengeringkan rambutnya dengan handuk dan mengasapi rambutnya dengan ratus (asap wangi). Ketika rambut sudah kering disisir lurus ke arah belakang lalu diikat erat-erat untuk digelung. Pemaes

59

membersihkan wajah dan lehernya dan mulai merias. Ngerik berarti mencukur rambut-rambut kecil di mukanya dengan menggunakan pisau cukur. Sesaji untuk ngerik sama dengan sesaji untuk siraman, untuk praktisnya semua sesaji siraman dibawa masuk kekamar pelaminan dan berfungsi sebagai sesaji untuk ngerik. Pemaes dengan hati-hati mempergunakan seluruh kemampuannya mulai merias calon pengantin wanita. Mukanya akan dirias rambutnya digelung, sesuai dengan pola perkawinan yang telah ditentukan. Sesudah selesai calon pengantin wanita akan didandani dengan kebaya dan kain batik dengan pola sidomukti atau sidoasih melambangkan dia akan hidup makmur dan dihormati oleh orang lain. Sarana siraman untuk calon pengantin putri telah selesai disiapkan berupa air kembang setaman. Siraman dimulai dilaksanakan oleh para pinisepuh yang kemudian dilanjutkan dengan merias calon pengantin putri dengan ubo rampen sesuai dengan tata cara adat pengantin Jawa. Selesai acara siraman diadakan acara selamatan tumpeng robyong yang terdiri dari sego golong, jajan pasar, jenang sengkolo dan pisang raja. Arti dari selamatan ini ialah : Tumpeng robyong artinya supaya bisa jumeneng ngayomi keluarga. Sego golong artinya supaya gumelondong rejekinya. Jajan pasar artinya supaya lancar segala usaha yang ditempuhnya. Jenang sengkolo artinya supaya hilang sengkalanya (segala macam rintangan). Rapak yaitu kedatangan dari Kantor Urusan Agama untuk mencatat keterangan-keterangan tentang calon pengantin putri didampingi oleh rama ibu calon pengantin putri. Midodareni berasal dari kata benda. Widodari - bidadari.

60

Malam midodareni adalah malam menjelang langsungnya perkawinan. Pada malam itu diadakan selamatan sekadarnya dengan sesaji-sesaji khusus untuk memohon turunnya bidadari dari Khayangan untuk memberkahi dan merestui calon pengantin putri agar wajahnya menjadi secantik bidadari. Yang hadir para pinisepuh, keluarga terdekat dan kerabat lainnya.

D. Janji Suci Ijab Qabul Di antara segala rangkaian upacara pernikahan, sebenarnya upacara ijab qabul itu menduduki derajat yang paling utama. Dikatakan utama karena menyangkut hukum agama dan hukum negara. Upacara ijab qabul pasti melibatkan aparat negara yang khusus bertugas dalam urusan pernikahan. Biasanya petugas berasal dari KUA yang menjadi urusan Departemen Agama RI. Petugas dari KUA di samping ahli dalam tata administrasi juga pasti menguasai dalam bidang keagamaan. Dengan upacara ijab qabul berarti telah terjadi pemindahan kekuasaan seorang wanita dari tangan wali ke pihak pengantin pria. Setelah syah dinikahkan dalam upacara ijab qabul, berarti wanita itu telah menjadi wewenang suaminya. Adapun suaminya juga dituntut untuk bertanggung jawab penuh terhadap istrinya. Upacara ijab adalah hal yang paling penting untuk melegalisir sebuah perkawinan, ijab dilaksanakan sesuai dengan agama dari pengantin tersebut yaitu : Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Apapun agama yang mereka peluk, pada waktu pelaksanaan ijab mereka memakai pakaian tradisional. Di tempat di mana ijab itu dilaksanakan sebuah sesaji yang berupa sanggan ditempatkan. Sesudah

61

ijab upacara tradisional panggih dan lain-lain serta resepsi dilaksanakan untuk melengkapi seluruh proses upacara perkawinan. Di bawah ini adalah contoh rangkaian upacara ijab qabul yang dilakukan dengan memakai bahasa Jawa. Assalamualaikum wr. wb. Kawula nuwun, sadherengipun keparenga kawula matur dhumateng ngarsanipun para rawuh, pinisepuh, ingkang tansah sinuyudan, sumangga panjenengan sekalian kula dherekaken manungku jejering hastungkara, konjuk dhumateng ngarsaning Allah ingkang Maha Agung, awit saking keparengipun kita saget makempal pahargyan menika, wilujeng nir ing sambikala, boten wonten alangan satunggal menapa. Kejawi menika kawula ugi ngaturaken pembagya harja sugeng rawuh saha agunging panuwun ingkang tanpa pepindan, ingkang sampun kersa rawuh ing dalemipun Bapak saperlu masrahaken Adhimas Bagusputra Bapak ingkang badhe kanikahaken kalian Dyah Rara putri Bapak. Kangge cekaking atur, wekdal kula sumanggakaken dhumateng Bapak minangka silih saliranipun Bapak.Sedaya titi laksana upacara ijab qabul sampun sumadya. Nuwun. Wassalamu'alaikum wr. wb.

Persiapan ijab qabul di rumah calon pengantin wanita. Para petugas among tamu telah siap di tempat masing-masing dengan mempersiapkan segalanya. Petugas menjemput penghulu beserta pejabat pencatat nikah dari KUA. Para saksi diharapkan sudah hadir di tempat upacara setengah jam sebelum acara ijab qabul dimulai. Penghulu dan 2 (dua) orang saksi dari kalangan keluarga maupun teman terdekat. Mempelai pria dengan pengiring datang langsung di tempat upacara. Setelah upacara ijab selesai, diteruskan pembacaan do'a. Menurut Adjied dan Tessa (2002: 4) selama diadakan upacara ijab qabul pengantin wanita duduk di pelaminan didampingi oleh ibu dan perias. Setelah pembacaan do'a selesai diteruskan dengan upacara temu/panggih. Bapak pengantin wanita membawa pengantin pria ke tempat upacara dan ibu pengantin

62

wanita membawa pengantin wanita ke tempat upacara untuk melakukan sawatan sadak (lempar sirih atau lebih dikenal dengan nama balangan). Mempelai pria diapit oleh 2 (dua) orang pinisepuh pria menuju ke tempat bertemu, berhenti 2 (dua) langkah dari tempat tersebut. Mempelai wanita diapit 2 (dua) orang pinisepuh putri dari pelaminan menuju ke tempat tersebut. Setelah masing-masing berhenti, dimulailah balang-balangan masing-masing

melemparkan sirih yang digulung. Makna dari melempar sirih adalah untuk menguji keaslian kedua pengantin. Menurut kepercayaan dahulu sering terjadi bahwa pada upacara perkawinan salah satu dari pengantin bukan aslinya akan tetapi jadi-jadian. Dengan dilempar sirih maka yang palsu menjadi aslinya menjadi hewan atau orang lain.

E. Prosesi Temu Pengantin Paripurna upacara ijab qabul, kemudian dilanjutkan dengan prosesi temu pengantin. Kedua mempelai pengantin sudah resmi menjadi pasangan suami istri. Secara legal maka keduanya sudah seharusnya dipertemukan. Prosesi temu pengantin ini juga sering disebut dengan upacara panggih. Untuk upacara panggih ini biasanya masing-masing mempelai disertai dengan pengiring. Prosesi temu pengantin ini sekaligus menjadi ajang publikasi bagi kedua mempelai bahwa dirinya adalah pasangan sah suami istri. Ini juga dimaksudkan untuk memohon doa restu bagi hadirin. Namun caranya lewat simbolis. Secara esensial sebenarnya setelah ijab qabul sudah resmi, namun lebih baik kalau disiarkan secara meluas pada masyarakat.

63

Dhandhanggula Anyarkara kinarya ngrenggani, Mamrih regu regenging pahargyan, Karya umiring lampahe Nenggih cucuking laku Dera arsa manjing ing panti Penganten wus samapta Kinirapaken tuhu Minta lunturing haksama tresna asih puja-puji pangastuti hayuning palakrama.

Bentuk hiasan seperti pecut, mengandung maksud supaya pasangan itu tidak mudah putus asa, harus selalu optimis dan dengan ketetapan hati membina kehidupan yang baik. Bentuk hiasan seperti payung, dimaksudkan supaya mereka menjadi pelindung keluarga dan masyarakat. Bentuk hiasan seperti belalang, supaya mereka bersemangat, cepat dalam berpikir dan bertindak untuk menyelamatkan keluarga. Bentuk hiasan seperti burung, supaya mereka mempunyai motivasi yang tinggi dalam hidupnya. Daun beringin supaya mereka melindungi keluarga dan orang lain. Daun kruton dimaksudkan supaya terlepas dari godaan mahluk-mahluk jahat. Daun dadap srep, daun ini dikenal sebagai kompres yang baik untuk menurunkan panas, dimaksudkan supaya keluarga itu selalu mempunyai pikiran yang jernih dan tenang dalam menghadapi berbagai macam masalah. Dhandhanggula Anteng tajem jatmika kaeksi Ngegungaken susila nuraga Tan kuciwa prayitnane Siyaga sureng kewuh Ubayane tan mbalenjani Tur sembada ing warna

64

Tegen tanggon tangguh Pan alon tanggah jumangkah Hanyaketi unggyane penganten kalih Mangsah lumampah kirap. Dlingo-bengle jamu ini bisa mengobati infeksi dan berbagai penyakit, ini dimaksudkan untuk melindungi diri dari gangguan roh-roh jahat. Bunga Patra Manggala untuk memperindah hiasan dan sekaligus menolak perbuatan jahat. Ritual Wiji Dadi. Pengantin pria menginjak hingga pecah sebuah telur ayam dengan kaki kanannya, kemudian pengantin wanita membersihkan kaki tersebut dengan air yang dicampuri oleh beberapa macam bunga. Ini melambangkan bahwa pengantin pria telah siap untuk menjadi ayah yang bertanggung jawab sedangkan pengantin putri akan mengurusi suaminya dengan setia. Selanjutnya adalah ritual kacar kucur atau tampa kaya. Kemudian dilanjutkan dengan ritual dakar klimah atau dahar kembul. Sepasang pengantin itu makan bersama, saling menyuapi. Ibu pemaes sebagai pimpinan upacara memberikan sebuah piring, serbet kepada mempelai wanita dan juga nasi kuning dengan lauk-pauk bcrupa telur goreng, kedelai, tempe, abon dan ati ayam. Mempelai pria membuat tiga kepal nasi dan lauk-pauknya dengan tangan kanannya. Mempelai wanita makan dulu kemudian mempelai pria, sesudah itu mereka minum teh manis. Acara ini melambangkan mereka akan bersama-sama mempergunakan dan menikmati kekayaannya. Krobongan atau petanen adalah kamar khusus yang terletak di tengahtengah rumah Joglo gaya Jawa, di depan kamar itu berdiri dua patung kayu yang disebut Loro Blonyo, yang melambangkan kemakmuran. Pada saat ini banyak rumah yang tidak mempunyai Krobongan, maka pada tempat itu ritual perkawinan

65

tersebut dilakukan, dihias dengan ornamen yang menyerupai Krobongan, hal yang sama juga dilakukan bila pesta itu diadakan di hotel atau gedung pertemuan (Suryo S. Negoro, 2001: 86). Orang tua mempelai wanita menjemput orang tua mempelai pria di depan rumah dimana upacara ini diselenggarakan. Kemudian mereka berjalan bersama-sama ke tempat upacara, para ibu berjalan di depan sedang bapak-bapak mengiringi dari belakang. Kedua orang tua mempelai pria didudukkan di sebelah kiri pengantin, sedangkan kedua orang tua mempelai wanita duduk di sebelah kanan pengantin. Dhandhanggula Mudha kalih siyaga umiring, Lampahira risang Adimuka Putri Dhomas sawurine Sulistya warna punjul Rinengga ing busana adi, Karya gawok kang miyat, Temah cipta ngungun Mangkana lampahe prapta, Ing ngarsane risang penganten sarimbit, Gya tinabuh tengara. Wiji Dadi (Menginjak telur). Setelah balangan masing-masing mempelai maju ke tempat pertemuan, yang telah disediakan telur di atas cowek. Setelah mempelai pria menginjak telur sampai pecah maka mempelai wanita berjongkok dan mencuci kaki yang telah menginjak telur tadi dengan air bunga dan dibersihkan sama sekali dengan serbet yang telah tersedia. Setelah itu mempelai pria membantu mempelai wanita untuk berdiri lagi dengan cara mengangkat kedua tangannya. Sebagai seorang pria, dengan tekad yang bulat (telur) sekali sudah melangkah dengan itikad yang baik, maka pantang mundur, maju terus untuk meraih kebahagiaan hidup bersama. Sebagai seorang isteri, yang setia

66

berkewajiban mensucikan nama baik suami, supaya tetap harum, bila suami salah langkah atau salah tindak. Karena kesetiaan sang isteri sang suami membantu sang isteri mengangkatnya sebagai rasa terima kasih atas kesetiaannya. Sinduran. Pengantin berdua bergandengan tangan (kanten) menghadap ke pelaminan, bapak dari pengantin wanita di depan, kedua pengantin dibelakang dan masing-masing pegangan ujung baju belakang kiri kanan bapaknya. Di belakang, ibunya mengkerodongkan "sindur" di bahu kedua pengantin, dan dengan demikian bersama-sama menuju ke pelaminan. Sebagai seorang ayah

berkewajiban memberi contoh dan menunjukkan jalan ke kebahagiaan keluarga (berkeluarga), dan sang ibu mendorong dan memberikan restunya untuk mencapai cita-citanya dengan bekal persatu paduan mempelai berdua yang abadi. Mangku/nimbang. Setelah sampai di pelaminan, sang bapak duduk di kursi dan kedua pengantin dipangku, yang pria di sebelah kanan, dan yang wanita di sebelah kiri. Lantas ibunya bertanya "berat mana pak?" yang dijawab oleh bapaknya "sama saja", biasanya pertanyaan tersebut dilakukan dalam bahasa Jawa. Sebagai seorang ayah tidak boleh membeda-bedakan anak sendiri dengan menantu. Sama-sama sudah menjadi anak. Tanem. Setelah bapaknya memutar menghadapi kedua mempelai tersebut, dan dengan memegang bahu kedua mempelai, mendudukkan mereka di atas pelaminan. Setelah duduk, diambillah rucuh kelapa muda, diminum oleh bapaknya, kemudian ibunya, dan selanjutnya kedua mempelai meminumnya yang didahului oleh pengantin pria. Mengesahkan dan merestui kedua mempelai sebagai suami isteri. Rucuh dengan rasanya yang segar, dingin dan berkhasiat

67

kekuatan. Pada permulaan perjalanan hidup berkeluarga, supaya jiwa raganya segar, sehat dan tenang untuk menghadapi tugas-tugas yang berat sebagai suami isteri. Kacar Kucur. Mempelai wanita membeberkan kacu "bangun tulak" dipangkuannya dan mempelai pria menyertakan "gunokoyo" (kacang-kacangan) dari kantung tikar ke atasnya, sampai habis dan pengantin wanita

membungkusnya rapat-rapat dengan kacu tersebut dan setelah diikatnya, diserahkan kepada ibunya untuk disimpan. Maknanya semua hasil jerih payah suami diserahkan seluruhnya kepada sang isteri, untuk disimpan dan dimanfaatkan bagi keluarganya. Dahar Kembul. Telah tersedia nasi ketan kuning masing-masing mengambil dengan tangan dan disuapkan kesatu dan yang lain (suap-suapan), sampai 3 (tiga) kali, setelah itu mengambil air minum untuk diminum setiap orang seteguk. Maknanya walau hidup berkeluarga, tidak hanya suami saja yang mencari nafkah, tetapi juga isterinya dapat mencarinya. Maka menjadi kewajiban, bahwa hasil sang suami maupun si isteri boleh dinikmati mereka berdua. Menjemput Besan. Ibu dan bapak pengantin wanita menuju ke pintu depan untuk menjemput besan. Besan dipersilahkan mengambil tempat sebelah kiri pengantin wanita. Sewaktu upacara dahar kembul, besan dipersilahkan berangkat dari rumah kediaman.

F. Sungkeman Tanda Darma Bakti

68

Dari prosesi temu pengantin kemudian dilanjutkan dengan acara sungkeman. Sungkeman ini ditujukan kepada dua pasang orang tua pengantin. Maksudnya adalah untuk menunjukkan darma bakti si anak kepada dua pasang orang tuanya. Kedua pasang orang tua itu harus diperlakukan secara sama tanpa ada perbedaan. Acara sungkeman ini akan membuat hati orang tua menjadi mongkog, bombong, bahagia, gembira. Namun juga bercampur haru. Karena terlalu haru, maka tak jarang ada orang tua yang mbrebes mili air matanya. Itulah puncak dari kegembiraan. Malah yang tak kuat membendung air mata biasanya seorang bapak dan ayah mempelai wanita. Sang bapak merasa berhasil mengantarkan putrinya memasuki dunia rumah tangga yang sangat berbahagia. Sepasang pengantin tersebut siap untuk melaksanakan sungkeman, mereka dengan sikap hormat berjongkok dan menghaturkan sembah kepada kedua orang tuanya untuk memohon restu. Pertama kepada kedua orang tua pengantin wanita, kemudian kepada kedua orang tua pengantin pria. Menurut Suryo S. Negoro (2001: 89), masih ada ritual tambahan yakni sebagai berikut : Sindur Binayang. Sesudah ritual Wiji Dadi, ayah dari pengantin putri berjalan di depan pengantin menuju ke kursi pengantin di depan Krobongan, sedangkan ibu dari pengantin wanita berjalan di belakang pengantin sambil menutupi pundak pasangan pengantin tersebut dengan kain sindur. Ini melambangkan ayah menunjukkan jalan ke kebahagiaan, sedangkan ibu memberikan dukungan. Pengantin pria dan wanita bersama-sama duduk di pangkuan ayahanda pengantin wanita, beliau akan berkata bahwa kedua-keduanya mempunyai berat yang sama, artinya beliau sama-sama mencintai keduanya. Selanjutnya ayahanda

69

mendudukkan sepasang pengantin itu di kursi mahligai perkawinan yang merupakan tanda bahwa beliau telah menyetujui perkawinan tersebut dan memberikan restunya. Bubak Kawah. Ayah pengantin putri, sesudah upacara Panggih, minum rujak degan kelapa muda di depan krobongan. Istrinya bertanya : Bagaimana Pak? Sang ayah menjawab: Wah segar sekali, semoga orang serumah juga segar!. Lalu istrinya ikut mencicipi sedikit dari gelas yang sama, diikuti anak mantu dan terakhir pengantin putri. Bubak kawah ini hanya dilakukan oleh orang tua yang mengawinkan untuk pertama kali anak putrinya. Bubak kawah ini merupakan perlambang permohonan, agar sepasang pengantin itu cepat mendapatkan keturunan. Tumplak Punjen. Tumplak punjen dilaksanakan oleh orang tua yang mengawinkan putrinya untuk terakhir kali. Tumplak artinya menuangkan atau memberikan semua, punjen adalah harta milik orang tua yang telah dikumpulkan sejak berumah tangga. Dalam acara ini, di depan krobongan orang tua yang berbahagia memberikan miliknya (punjen) kepada semua anak dan keturunannya, secara simbolis kepada masing-masing dibagikan bungkusan-bungkusan kecil yang berisi: bumbu-bumbu, nasi kuning, uang logam dari emas, perunggu, dan tembaga. Menurut Adjied dan Tessa (2002: 2) orang tua berbahagia karena telah berhasil menyelesaikan tugasnya dalam membesarkan anak-anaknya sehingga bisa hidup mandiri. Dengan mengadakan tumplak punjen, mereka ingin memberi teladan hidup yang baik, diharapkan generasi penerus dalam melakukan tugas hidupnya mampu mengurusi dengan sebaik-baiknya: harta milik, kesehatan,

70

keselamatan dan harus selalu menyukuri pemberian Tuhan. Kemudian pengantin saling menukar cincin kawin sebagai lambang cinta kasih. Sinom Ugere wong jejodhowan Ati loro dadi juga Priya bisa ngemong estri .. Jejodhowan kang mangkana Wus sasat munggah suwargi Sumingkir sakehing godha Sanadyan tinitah miskin Nora nggresuleng pikir Apa maneh lamun brewu Anane amung suka Yeku nugrahaning Widhi, Mring manungsa kang nenggih apalakrama.

Sungkeman. Masing-masing orang tua (bapak, ibu dari kedua mempelai telah siap duduk di samping kanan kiri pelaminan). Kedua mempelai memberikan sungkem, mohon do'a restu kepada keempat orang tua. Berurutan sebagai berikut: Ayah mempelai pria, Ibu mempelai pria, Ayah mempelai wanita dan Ibu mempelai wanita. Yang memberikan sungkem dahulu mempelai pria disusul oleh mempelai wanita. Setelah menjadi suami isteri, mereka berkewajiban

menghormati dan merasa terima kasih kepada para orang tua, bahwa beliau-beliau telah memelihara dan mengentaskan sehingga menjadi dewasa. Setelah keseluruhan acara selesai para tamu memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai yang didampingi oleh kedua orang tua masing-masing.

71

BAB IV PANDANGAN TERHADAP KEHIDUPAN MAKHLUK HALUS

A. Ratu Laut Selatan Alkisah, bertahtalah seorang ratu di laut selatan. Ia cantik rupawan, parasnya elok menawan. Tiada yang menyamai kecantikannya di seluruh dunia. Ia bernama Nyai Roro Kidul. Dialah ratu para lelembut di tanah Jawa. Kala itu, Nyai Roro Kidul sedang bercengkerama di tilam emas, dalam istananya yang megah berhiaskan intan mutiara. Di sampingnya jin setan peri prayangan siap melayani segala kebutuhannya. Dalam suasana yang tenang itu, tiba-tiba terdengar huruhara. Ikan-ikan di lautan pingsan karena air laut mendidih dan bergejolak. Ombak berdebur keras membuat suara menjadi gaduh. Nyai Roro Kidul terkejut, Ada apa ini? Mengapa air laut tiba-tiba panas mendidih? Apakah matahari runtuh dan akan terjadi kiamat? Sang Ratu kemudian keluar istana diikuti dayang-dayang. Di air atas lautan yang luas, ia melihat alam terang benderang. Tidak ada hal apapun yang mencurigakan. Ia hanya melihat seorang pemuda yang sedang berdiri tegak di pantai. Pemuda itu tampaknya sedang bersemedi memohon sesuatu kepada Tuhan. Mungkin itulah yang membuat laut kidul menjadi geger, batin Nyai Rara. Nyai Roro Kidul lalu mendekati pemuda itu. Nyai Roro Kidul kemudian berkata pelan, Hilangkanlah gundah hati tuan. Hamba mohon hentikan perbuatan tuan ini, karena gara-gara perbuatan tuan, laut

72

kidul menjadi gerah. Hamba menginginkan laut menjadi tenang kembali seperti sedia kala. Kasihanilah hamba, karena laut kidul itu hamba yang menjaga. Adapun permohonan tuan kepada Tuhan, sudah terkabul. Tuan dan anak cucu tuan akan menjadi raja diraja tanah Jawa. Jin peri prayangan dan seluruh makhluk halus akan tunduk di bawah duli tuan. Pabila kelak tuan berperang, maka mereka pun akan membantu pasukan tuan. Mereka akan menuruti apa kehendak tuan, karena tuan adalah pimpinan para raja di tanah Jawa ini. Mendengar perkataan Nyai Roro Kidul, Senopati Ingalaga sangat gembira. Maka ia menghentikan semedinya dan lautan tenang kembali. Ikan-ikan yang pingsan telah sadar dan kembali berenang-renang. Nyai Roro Kidul menghaturkan sembah sambil menyungging senyum. Tak lama kemudian ia lantas membalikkan tubuh dan kembali menuju lautan. Senapati Ingalaga sangat terkesima dengan ratu yang cantik itu. Sekonyongkonyong ia ikuti langkah wanita itu hingga masuk ke arah lautan. Namun Senopati merasakan seperti berjalan di atas jalan yang mulus menuju sebuah istana yang megah. Setibanya wanita itu di dalam istana, ia duduk di sebuah ruangan bernuansakan kuning keemasan. Dayang-dayang sibuk melayani Sang Ratu. Senopati takjub dan terheran-heran melihat sekeliling. Semua hiasan rumah dan pagar-pagar berlapis emas berlian. Buah-buahan dan bunga-bunga menarik perhatian. Senopati dipersilahkan duduk di dekat Nyai Roro Kidul. Ia mencoba selalu waspada karena ratu cantik rupawan ini bukan jenis manusia. Senopati selalu melempar lirikan kepada Sang Ratu. Demikian pula Sang Ratu menangkap

73

pasemon yang dari Senopati dan senyumnya semakin menawan. Sang Ratu mengajak Senopati berjalan-jalan melihat-lihat isi istana. Senopati Ingalaga tersenyum dan berkata, Nimas, bolehkah aku melihat kamar tidurmu? Boleh saja tuan, jangan malu-malu. Semua adalah milik tuan, hamba hanya menunggu. Nyai Roro Kidul segera menggamit tangan Senopati masuk ke dalam kamar tidurnya. Keduanya duduk di tepi pembaringan. Nimas, rasanya seperti di dalam surga saja. Aku belum pernah melihat ruangan seindah ini. Bagaikan mimpi, aku dapat melihat kamar yang demikian elok. Sangat cocok dengan pemiliknya, yang cantik dan pandai merawat. Aku menjadi malas untuk pulang ke Mataram. Betah rasanya di sini. Tapi sayangnya, kamar seindah ini tidak ada lelakinya. Kalau ada lelakinya yang tampan, akan lebih sempurna. Ah Tuan ini. Enak juga kok menjadi ratu sendirian. Tidak ada yang memerintah, tukas Nyai Roro Kidul sambil menyelipkan senyum di bibirnya yang tipis. Senopati tersenyum sambil berkata, Nimas, berilah aku obat, aku sungguh tergila-gila kepadamu. Roro Kidul berbisik sambil melempar senyum, Hamba tidak bisa memberi obat, sebab hamba bukan dukun. Tuan raja besar, tidak akan kekurangan wanita yang lebih cantik daripada hamba. Senapati merasa berbunga-bunga. Nyai Roro Kidul kemudian dipondong untuk menuntaskan kehendaknya. Diceritakan, Senapati berada di laut kidul selama tiga hari tiga malam. Ia selalu berkasih-kasihan dengan Roro Kidul. Setiap

74

hari, Senapati diwejang tata cara menjadi raja, yang memimpin semua manungsa dan makhluk halus. Senapati berkata, Besar terima kasihku padamu, Nimas, atas segala petunjukmu. Aku percaya. Sebaliknya jika kelak, aku mendapati musuh, siapa yang aku suruh memanggil kamu? Orang Mataram pasti tidak ada yang tahu akan kamu? Roro Kidul berkata, Hal itu mudah saja. Apabila tuan hendak memanggil hamba, bersedekaplah dengan satu kaki, kemudian mendongaklah ke angkasa. Hamba pasti segera datang membawa pasukan jin, peri prayangan dan persenjataan perang. Senopati lalu berpamitan, Nimas, aku pamit kembali ke Mataram. Pesanmu akan kulaksanakan semua. Senopati lalu berangkat, berjalan di atas air seperti di daratan saja. Setelah tiba di Parangtritis, ia kaget melihat Sang Pandhita, Sunan Kalijaga. Ia sedang duduk tafakur di pantai. Senapati lalu menghaturkan sembah dan memohon maaf, karena telah menunjukkan kesaktian berjalan di lautan tanpa basah. Sunan Kalijaga menasehati, Senapati, hentikanlah mengandalkan kesaktianmu itu. Yang demikian namanya orang congkak. Para wali tidak mau berbuat demikian. Mesti akan terkena murka Allah. Jika kamu ingin tetap menjadi raja, bersyukurlah kepada Allah. Ayo sekarang ke Mataram, aku ingin tahu rumahmu. Dari Babad Tanah Jawi disebutkan demikian: Kacariyos, ing seganten kidul ngriku wonten ingkang jumeneng ratu wanudya, nglangkungi ayunipun. Ing

75

sajagad mboten wonten ingkang nyameni. Anama Roro Kidul. Angreh sawernine lelembut tanah Jawi sedaya. Kala semanten Roro Kidul pinuju wonten ing dalem. Pinarak ing Katil Mas, tinaretes ing sesotya, ingadhep para jim, setan, peri, prayangan. Ratu Kidul kaget ningali gegeripun ulam ing seganten. Toyanipun panas kados digodhog. Swaraning seganten nggegirisi. Ratu Kidul wicanten salebeting galih. Salawasku urip aku urip durung ndeleng segara kaya iki. Kiye geneya? Apa kena ing gara-gara, apa srengenge runtuh bakal kiamat? Nyai Kidul lajeng medal ing Jawi, jumeneng ing sanginggiling toya. Ningali jagad padhang, mboten wonten punapa-punapa. Amung tiyang linuwih satunggil, jumeneng sapinggiring seganten, ngeningaken paningal, nenedha ing Allah. Nyai Kidul wicanten piyambak, Iku layake kang gawe gara-gara ing segara. Sarta lajeng sumerep ing saciptanipun Senopati. Roro Kidul enggal murugi, lajeng nyembah, nyungkemi sukunipun Senopati sarta matur ngrerepa. Mugi sampeyan icalaken susah ing galih sampeyan, supados sirna gara-gara punika. Tumunten mulyaa saisining seganten kang sami risak, kenging ing garagara. Sampeyan mugi welasa dhateng ing kula, sebab seganten punika kula kang ngreksa. Dene anggen sampeyan nyenyuwun ing Gusti Allah, samangke sampun angsal. Sampeyan lan satedhak-tedhak sampeyan sedaya mesthi jumeneng ratu, angreh ing tanah Jawi tanpa timbang. Utawi jim, setan, peri, prayangan ing tanah Jawi sedaya inggih kareh ing sampeyan. Upami ing benjing sampeyan manggih mengsah, sedaya inggih sampi mitulungi. Ing sakarsa-karsa sampeyan sedaya anut, sebab sampeyan kang minangka bapa babuning ratu para ratu ing tanah Jawi.

76

Senapati Ingalaga, sareng mireng ature Nyai Kidul, sakelangkung suka ing galihipun. Sarta gara-gara wau inggih sampun sirna. Utawi ulam ingkang sami pejah inggih sampun gesang malih. Nyai Kidul nyembah sarwi ngujiwati, lumampah kondur satengahing seganten. Senapati Ingalaga sanget kasmaranipun, lajeng anut wngking dhateng Nyai Kidul. Senopati lumampah sanginggiling toya kados ngambah dharatan. Sadhatengipun ing kedhaton seganten, lajeng sami pinarak ing katil mas sekalian, ingadhep para jim setan peri prayangan. Senapati Ingalaga eram ningali kedhatonipun Nyai Roro Kidul, nglangkungi sae. Woh-wohan saha sesekaranipun adi-adi sedaya, ing dharatan mboten wonten sesaminipun. Senopati wau anggenipun pinarak dhedhepelan kemawon lan Nyai Kidul, sarta tansah nyantosakaken ing galih, emot, yen dede jinis. Wondene Nyai Kidul inggih nempeni semonipun Senopati, sarta tansah ngujiwati. Senapati Ingalaga mesem. Sarwi ngandika dhumateng Nyai Roro Kidul, Nimas, ingsun arep weruh ing pasareyanira, kaya apa rakite? Nyai Kidul matur, Sumangga, mboten wonten pekewedipun, kula darmi tengga, sampeyan ingkang kagungan. Senapati astane lajeng dipunkanthi, kabekta lumebet dhateng ing pasareyan. Sami pinarak. Senapati ngandika, Nimas, ingsun banget eram ningali paturonira. Layake caritaning kaswargan iya kaya iki. Sajegku durung weruh pepajangan kaya iki. Sembada lan kang duwe. Dhasar ayu bisa ngrerakit. Ingsun aras-arasen mulih menyang Mataram. Bakal katrem ana kene. Nanging cacade mung siji, dene ora nana wonge lanang. Yen ana wonge lanang kang kagus, iba becike.

77

Aturipun Nyai Kidul, Sae lamban, jumeneng ratu estri kemawon. Ing sakajeng-kajeng mboten wonten ingkang marentah. Senopati mesem sarwi ngandika, Nimas, ingsun muga paringana tamba, nggoningsun kedanan marang sira. Roro Kidul matur sarwi mlerok, Kula mboten saged ngaturi jejampi, sebab kula dede dhukun. Sampeyan ratu ageng, mangsa kiranga wanudya ingkang ngungkuli kula. Senapati manahipun kados dipununggar. Roro Kidul lajeng pinondhong ndumugekaken karsanipun. Kacariyos Senapati anggenipun wonten seganten kidul tigang dinten tigang dalu. Tansah sih-sinisihan kaliyan Roro Kidul. Senapati wau ing saben dinten dipunwejang ngelmunipun tiyang umadeg ratu, ingkang ngedhepaken sakathahing manungsa lan jim peri. Senapati ngandika, Banget panrimaningsun, Nimas, ing sakehe wurukira. Lan ingsun iya pracaya. Balikan ing besuk, yen ingsun nemu mungsuh, kang sun kongkon ngaturi ing sira sapa? Wong ing Mataram mesthi ora ana kang weruh marang sira? Roro Kidul matur, Mekaten punika gampil kemawon. Bilih sampeyan karsa nimbali dhateng kula, sedhakep suku setunggal, nunten tumengaa ing awang-awang. Amesthi kula enggal dhateng, sarta kula mbekta bala jim, peri prayangan lan sededameling prang. Senopati ngandika malih, Nimas, ingsun pamit mulih marang Mataram. Wewekasira kabeh ya bakal ingsun estokaken. Senopati sampun mangkat, ngambah toya seganten kados ngembah dharatan. Sareng dumugi ing Prangtritis, kaget ningali dhateng Sang Pandhita, Sunan Kalijaga, lenggah pitekur wonten sangandhaping Parangtritis. Senapati

78

enggal ngujungi, sarta ngrerepa, nyuwun pangapunten, amargi nggenipun ngatingalaken kasektenipun ngambah seganten mboten teles. Sunan Kalijaga ngandika, Senapati, marenana nggonmu ngendelaken sekti digjayanira iku. Dadi iku jenenge wong kibir. Para wali ora gelem nganggo kaya mengkono. Mesthi bakal kesiku marang ing Allah. Yen sira bakal sumedya tulus jumeneng ratu, nganggoa syukur ing satitahe bae. Ayo marang Mataram, ingsun arsa weruh ing omahira.

B. Mistik Gunung Merapi Keindahan Kraton Nyai Roro Kidul dapat diibaratkan seperti asrinya Taman Keputren Kadilengeng, seperti panyandra ki dalang: Anenggih kang kacarita, ing kenya puri Ngastina, gegununganipun para putri, Sri Narendra garini kusumanig ayu Dewi Banowati. Putri Nata saking Mandaraka, ginarwa Narendra dahat dahing warnikarengga ing busana widagda ngadi sarira. Galak ulat tur raga karana. Gonas ganes merak ati, mbesengut saya patut, ambombrong saya mencorong. Yen cinandra citrane sang putri, pranyata kurang candra luwih warna saking endahing sarira. Rema anyekar bakung ameles wilis tur panjang. Athi-athi ngudup turi, larapan nila cendhani imba nanggal sapisan, netra lindri anjait, idep tumengeng tawang, grana ngrungih, lathi manggis karengat, uwang anyangkal putung, jangga nglungid nglunging gadhung. Widhangan nrajumas, racikan amucuk ri, pamulu ambengle keris. Prembayun anyengkir gadhing. Mencepe kang pranaja, wong-wonga gumebyar apindha thathit. Lambung nawo kemit, suku amukang gangsir. Lamun tindak, kicating pada gumebyaring wentis kang kengis pindha thathit sasanderan, karya kumesare kang mulat. Sinten

79

ingkang marek ing ngarsa, apan punika putrine sang Nata dwita, akekasih kusumaning ayu Dewi Lesmanawati. Dhasar wanodya sulistya ing warna, kaduk ruruh tur ta ambeg ngumala rum, marma anggung dadi kondhanging kidung (Siswoharsoyo, 1979: 38). Sejak jaman dahulu gunung api telah menarik perhatian nenek moyang kita, teristimewa yang berkait erat dengan kepercayaan mereka sehari-hari. Pada jaman prasejarah mereka mempunyai kepercayaan bahwa roh orang mati dianggap masih tinggal di sekeliling mereka di pohon, di batu, di sungai, di laut, di gunung dan dianggap sebagai pelindung kuat yang dapat dimintai pertolongan. Dalam pertunjukan wayang kulit media komunikasi dengan roh nenek moyang yang timbul pertama kali pada jaman Neolithicum atau lebih kurang 1.500 SM (Mulyono, 1983: 24), replika gunung, yaitu gunungan, dipergunakan sebagai simbol kehidupan. Sebelum pertunjukan wayang kulit dimulai, gunungan ditancapkan di tengah-tengah kelir, untuk melambangkan awal mula dunia sebelum ada manusia kecuali tetumbuhan dan binatang seperti yang tergambar dalam gunungan. Kemudian gunungan ditarik ke bawah dan berhenti tiga kali; melambangkan adanya cipta, rasa dan karsa, yang mempunyai arti akan ada kelahiran. Kelahiran terjadi setelah dalang memisahkan dua gunungan di simpingan kiri dan kanan untuk melambangkan pecahnya lapisan plasenta. Gunungan beserta isinya merupakan lukisan kehidupan duniawi dan batiniah di mana Tuhan Yang Maha Esa menentukan segala kegiatan di alam semesta. Di dalam gunungan terdapat lukisan makhluk raksasa menjulurkan lidahnya yang merah panjang, kera memanjat pohon bertarung dengan hewan

80

lainnya, burung-burung beterbangan dan segala jenis hewan lainnya, pohon-pohon dan bunga-bungaan. Kesemuanya itu melambangkan pohon kehidupan duniawi yang diciptakan Tuhan. Di tengah-tengah gunungan terdapat lukisan sebuah rumah Jawa dengan dua pintunya terkunci rapat dan masing-masing sisinya dijaga oleh seorang raksasa bersenjata gada. Ini melambangkan hukuman bagi orang yang berbuat salah satu jahat. Dua pintu yang terkunci rapat dalam lukisan itu melambangkan kedamaian batin yang tersembunyi di belakang kedua pintu itu (Triyoga, 1991: 122). Dimulai jaman prasejarah itu pulalah, mulai terdapat kepercayaan bahwa roh orang mati bertempat tinggal di atas dunia atau di gunung. Kepercayaan seperti ini diungkapkan dalam bentuk-bentuk bangunan pemujaan nenek moyang yang menjulang tinggi, berundak-undak menyerupai gunung ; melambangkan tingkatan-tingkatan yang harus dilalui untuk mencapai tempat tertinggi, sempurna. Acapkali pula, roh nenek moyang dinyatakan dalam bentuk patung-patung yang diletakkan di atas bangunan pemujaan yang terdapat di bukit atau di gunung (Soekmono, 1973: 32). Realitas mitos diyakini sebagai sesuatu Yang Sakral. Dan Yang Sakral adalah Yang Maha lain. Pengkudusan terhadap sesuatu terjadi pertama kali karena suatu peristiwa dianggap sebagai hierofani atau peristiwa suci. Menurut Mircea Eliade manusia agama menjadi semakin yakin akan adanya Yang Suci, karena Yang Suci sudi menampakkan diri kepada manusia lewat peristiwa hierofani. Hierofani secara etimologis berasal dari hieros berasal dari kata phainomai, yang berarti menampakkan diri. Penampakan yang suci ini dapat terjadi kapan saja,

81

siang, sore, malam atau pagi hari. Dan lewat apa saja, manusia, binatang, tumbuhtumbuhan, tempat di bumi seperti gua, sungai, gunung, hutan. Dalam peristiwa hierofani ini sesuatu yang bukan bagian dunia, bukan berasal dari dunia, tampak pada benda-benda dan makhluk-makhluk yang menjadi bagian dari dunia. Dalam peristiwa ini manusia bertemu dengan Yang sama sekali lain. Dengan menampakkan diri itu Yang Suci menjadi tidak absolut lagi, melainkan terbatas pada benda atau makhluk yang menjadi alat hierofani itu. Peristiwa-peristiwa hierofani diperingati setiap kali, agar supaya penampakan suci itu bisa dialami lagi dan manusia dapat ikut mengambil bagian dalam Yang Suci yang sudi menampakkan diri itu. Berbicara masalah kenyataan, pengalaman profan melampaui suatu ritual tak pernah ada dalam keadaan yang murni. Manusia tidak pernah berhasil secara penuh untuk memisahkan dirinya sama sekali dari sikap religius. Bahkan eksistensi yang sudah sangat di desakralisasikan sekalipun masih mengandung unsur-unsur religius. Pengalaman manusia modern mengenai ruang profan tetap memiliki nilai kekhususan yang homogen begitu saja seperti halnya religius mengenai ruang kudus. Ada tempat-tempat istimewa yang secara kualitatif berbeda dengan yang lain, misalnya saja tempat-tempat tertentu di daerah asing yang dia kunjungi untuk pertama kalinya, dan sebagainya. Bahkan bagi manusia yang dianggap sangat tidak religius sekalipun, semua tempat tersebut tetap merupakan suatu hal yang istimewa, yang mempunyai makna tersendiri, merupakan tempat suci kehidupan pribadinya. Di situ ia mengalami suatu realitas yang lain dari kenyataan yang biasanya dijumpai dalam hidupnya sehari-hari.

82

Lawan Yang Sakral adalah yang profan. Antara Yang Sakral dan yang profan secara kongkrit tidak mempunyai perbedaan yang mendasar. Keduanya adalah sama, karena yang membedakan antara Yang Sakral dari yang profan, bukan terletak pada wujud kongkrit benda, tetapi pada sikap dan perasaan manusia yang meyakini keprofanan suatu benda karena dari satu benda dapat terbentuk dua sikap dan perasaan yang berbeda. Sebagai contoh salib di atas altar, itu mempunyai nilai sakral bagi umat Kristiani, tetapi tidak bagi umat yang lain. Dengan demikian kesakralan terwujud dari sikap dan perasaan manusia dari sikap mental yang dilandasi oleh perasaan.

C. Kyai Sapu Jagad Mitos tentang letusan Gunung Merapi diyakini berasal dari dua sumber kekuatan manusia yaitu Nyai Roro Kidul (sebagai wanita) penguasa dan penjaga Laut Selatan dan Kyai Sapu Jagad sebagai penguasa Gunung Merapi (sebagai laki-laki). Kemudian peristiwa letusan yang ditandai dengan keluarnya lava diasosiasikan sebagai keluarnya benih laki-laki pada saat persetubuhan, tanda persatuan laki-laki dan perempuan. Mitos ini benar karna keberadaan alam semesta membuktikan keberadaannya. Mitos tentang dewa-dewa dan makhlukmakhluk-makhluk Ilahi itu benar, karena kepercayaan kepada hal-hal itu membuktikan kebenaran dan keberadaannya. Mitos tentang dunia ini benar, karena moralitas di alam membuktikannya (Minsarwati, 2002: 70). Orang Jawa dalam mengungkapkan tentang suatu kepercayaan juga selalu hari-hari baik. Contohnya orang Jawa mengenal adanya perputaran musim yaitu

83

waktu selama lima hari yang disebut pasaran yaitu: Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon, kemudian perputaran waktu selama tujuh hari yang disebut Saptawaca yaitu : Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at, Sabtu dan Minggu. Sistem yang dipergunakan dalam pasaran atau disebut pula Pancakara, berhubungan dengan Mitologi Hindu yang mengatakan bahwa Batara Guru sewaktu memerintah dunia untuk pertama kalinya telah membagi dunia menjadi lima bagian yaitu: Timur, Barat, Utara, Selatan dan Tengah. Bagi orang Jawa hari Selasan Kliwon dan Jum'at Kliwon dianggap sebagai hari sakral, karena pada hari-hari itu banyak makhluk halus yang keluar mencari makan atau sesaji yang disediakan manusia. Orang Jawa yang tinggal di lereng Gunung Merapi agaknya tidak bisa mengungkapkan pengalaman-pengalaman mereka dengan bahasa teknis yang lugas seperti istilah fertilitas tanah kaitannya dengan abu vulkanik letusan Gunung Merapi. Akan tetapi secara masuk akal mereka memiliki pengalaman dan pengetahuan fertilitas itu, yang disediakan dari mitos dan ritua adat, seperti mitos tentang terjadinya letusan Gunung Merapi yang menurut anggapan mereka selalu dihubungkan dengan keberadaan keraton Mataram dan Laut Selatan. Keberadaan itu terlihat dengan jelas pada kedudukan letak mitis geografi kerajaan Mataram, yang membagi dunia menjadi lima bagian yaitu bagian Utara ditempati oleh Gunung Merapi yang dihuni oleh Kanjeng Ratu Sekar Kedaton (Kyai Sapu Jagad), bagian Selatan yang dihuni oleh Kanjeng Ratu Kidul, bagian Barat adalah Khayangan Dlepih yang dihuni oleh Sang Hyang Pramoni, bagian Timur Gunung Lawu yang dihuni oleh Kanjeng Sunan Lawu, dan letak Keraton Mataram yang berada di tengah-tengah. Letak mitis geografi inilah yang akan digunakan penduduk sekitar lereng Merapi ataupun kalangan orang Jawa terutama yang

84

tinggal di Yogyakarta untuk memahami terjadinya mitos-mitos yang berhubungan dengan letusan Gunung Merapi.

Letak Mitis Geografis Keraton Mataram Gunung Merapi Kanjeng Ratu Sekar Kedaton Kyai Sapu Jagad Khayangan, Dlepih Sang Hyang Pramoni KERATON MATARAM Laut Selatan Kanjeng Ratu Kidul Gunung Lawu Kanjeng Sunan Lawu

Dalam usahanya untuk menegakkan kekuasaan Pajang, Sultan Hadiwijaya harus berhadapan dengan Adipati Jipang, Arya Penangsang, putra Sinuwun Sekar Seda Lepen yang tidak rela tahta Demak diambil oleh Sultan Hadiwijaya, karena ia hanya menantu Sultan Trenggana. Sultan Hadiwijaya membuat strategi yang jitu untuk menghadapinya. Ia percaya bahwa dirinya akan mampu mengalahkan, walaupun pasti tidak mudah. Arya Penangsang, terkenal memiliki senjata ampuh, yakni Keris Kyai Setan Kober, yang selalu menggetarkan dan mempecundangi musuh. Kemudian atas nasihat dari para pinisepuh, Sultan Hadiwijaya mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat mengalahkan Penangsang akan mendapatkan hadiah, tanah Pati dan Mataram. Akhirnya Penangsang dapat dikalahkan oleh Danang Sutawijaya, putra Pemanahan. Karena kesuksesan ini merupakan strategi Pemanahan dan Penjawi, maka Sultan Hadiwijaya menganggap kemenangan Danang Sutawijaya tersebut adalah juga kemenangan Pemanahan dan Penjawi. Maka Sultan memberikan

85

tanah tersebut kepada mereka berdua. Penjawi mendapatkan tanah Pati, sebuah kadipaten di pesisir utara yang telah maju. Sedangkan Pemanahan mendapatkan tanah Mataram yang masih berupa hutan Mentaok. Menurut silsilah, Pemanahan adalah putra dari Ki Ageng Enis, cucu Ki Ageng Sela. Alas Mentaok tersebut berada saat ini tepatnya di sekitar Kota Gede, Yogyakarta. Pemanahan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Ki Gede Mataram. Namun awalnya Sultan Hadiwijaya nampak ragu untuk menyerahkan tanah Mentaok atau Mataram kepada Pemanahan. Berdasarkan ramalan Sunan Giri, diprediksikan Mataram kelak akan menjadi sebuah kekuatan yang besar yang menjadi pusat politik di tanah Jawa. Hal ini jika terjadi kelak akan mengancam keutuhan eksistensi Pajang. Karena itu, Sultan Pajang mengulur-ulur waktu untuk menyerahkan tanah Mataram (Moedjanto, 1994: 146). Dari apa yang telah diuraikan di atas, jelas sekali bahwa kedudukan sebagai raja dapat diperoleh oleh orang yang berjuang dengan penuh ketekunan. Jaka Tingkir telah melakukan daya dan upaya, penuh rintangan dan tantangan, tidak kenal menyerah, tekun dan ulet, tidak mengenal waktu sehingga ia dapat menduduki tahta kerajaan Pajang. Apalagi dengan dilegitimasi oleh berbagai ceritera tentang dirinya, wajarlah bahwa ia merupakan salah satu unsur asal kekuasaan negara (Sunoto, 1983: 52). Kerajaan Mataram didirikan oleh Ki Ageng Pemanahan dengan membuka Alas Mentaok sebagai hadiah dari Sultan Hadiwijaya, raja Pajang. Setelah Pajang surut dari gelanggang kekuasaan, maka Mataram menjadi penggantinya, berhubung Sutawijaya itu juga anak angkat Sultan Pajang yang telah berhasil

86

mengalahkan Arya Penangsang. Kemudian Sutawijaya menjadi raja Mataram pertama dengan gelar Panembahan Senopati. Dari ceritera tentang Ken Arok ada beberapa hal yang perlu dicatat yaitu: Ken Arok sebenarnya bukan anak orang biasa tetapi anak Dewa Brahma. Ken Arok sudah hampir tertangkap oleh para pendeta dan rakyat di desa Kabalon, terdengarlah suara Dewa Brahma di langut yang mencegah mereka, karena Ken Arok adalah anaknya. Danyang Loghawe pergi ke Tumapel karena mendapat wangsit atau suara gaib untuk memelihara anak bernama Ken Arok yang nantinya akan menurunkan raja-raja di Jawa. Dewa-dewa bermusyawarah untuk menetapkan siapa yang akan menjadi raja dan menurunkan raja-raja di Jawa, Ken Arok mendengarkan dengan cara bersembunyi di tempat sampah. Ken Arok telah terkepung oleh tentara Kediri dan tidak ada alternatif lain kecuali haru memanjat pohon enau dan bersembunyi di atasnya. Namun ia diketahui oleh para prajurit yang kemudian memotong pohon tersebut. Dalam keadaan yang sangat berbahaya itu ia menerima wangsit atau suara gaib agar segera memotong dahan enau, kemudian meluncur ke seberang sungai dan bertemu dengan Danyang Lohgawe. Contoh tersebut menunjukkan bahwa Ken Arok adalah seorang yang mempunyai kemauan keras, dan dengan segala upaya serta kegigihannya ia dapat mencapai cita-citanya. Perjuangan yang hebat ini disyahkan lebih lanjut dengan berbagai ceritera tentang dirinya. Dengan legitimasi ini berarti tidak mustahillah bila Ken Arok merupakan salah satu asal kekuasaan negara. Bagi masyarakat Jawa, yang tinggal di sekitar lereng Gunung Merapi dan masyarakat lainnya, dikenal ada tiga simbol kekuasaan Jawa yaitu : Gunung

87

Merapi (api), Keraton Mataram (udara) dan Laut Selatan (air). Gunung Merapi melambangkan kekuasaan, Laut Selatan melambangkan kerakyatan, dan keraton Mataram melambangkan keseimbangan. Ketiga simbol kekuasaan Jawa ini dihubungkan dengan adanya Kali Opak yang diyakini juru kunci Merapi Mbah Marijan. Kali Opak ini penting bagi kehidupan keraton Mataram dan Kasultanan Yogyakarta sekarang, karena keraton Yogyakarta keberadaannya tidak bisa dipisahkan dengan Segara Kidul (Laut Selatan), kemudian antara Gunung Merapi dan Laut Selatan disambungkan oleh aliran Kali Opak (Minsarwati, 2002: 14). Sudah menjadi mitos umum, bahwa raja-raja Mataram sejak Senopati mempunyai hubungan khusus dengan Kanjeng Ratu Kidul penguasa Laut Selatan. Kanjeng Ratu Kidul sendiri adalah "Permaisuri Halus" dari Senopati. Penguasa Laut Selatan itu berjanji akan selalu melindungi Senopati turun-temurun. Dan pertemuan antara mereka berdua terjadi di desa Wonokromo, di tepi Kali Opak.

D. Jin Kali Opak Menurut versi mitos lain, Kali Opak juga berperan dalam pertemuan antara Senopati dan Ratu Kidul. Menjelang pengambilalihan kekuasaan Pajang, Senopati mendapat wahyu keraton, disaksikan oleh pamannya Ki Juru Martani. Mereka berdua berpisah. Ki Juru Martani ke Gunung Merapi untuk bersemedi, dan Senopati menyelam di Kali Opak. Di Kali Opak ia melihat ikan "Olor". Indah bentuknya. Ia mengikuti terus ke mana perginya ikan itu. Alkisah ia sampai ke Laut Selatan. Di sanalah ia berjumpa dengan seorang wanita cantik jelita. Wanita itu jatuh cinta pada Senopati. Dialah penguasa Laut Selatan, Kanjeng Ratu Kidul

88

yang akhirnya menjadi permaisuri Senopati. Pada waktu bulan purnama Ki Juru Martani keluar rumahnya untuk menjenguk puteranya. Sesampainya di rumah Sutawijaya pintu sudah tertutup sedang penjaga rumah tidak tahu mana tuannya. Ki Juru mengingatkan agar Sutawijaya selalu berprihatin dan bersamaan dengan itu turunlah wahyu di atas puteranya yang sedang tidur (Sunoto, 1983: 75). Kemudian atas anjuran Ki Juru ia meneruskan bertapa di laut selatan. Ia melakukan tapa ngeli artinya masuk di dalam sungai Opak dan terus berenang mengikuti arus air sungai itu. Dengan bantuan seekor ikan olor, ia sampai di tepi laut selatan dan bersemadi di situ, mengakibatkan angin laut dan gelombang menjadi besar. Kanjeng Nyai Roro Kidul tidak ragu-ragu lagi apa yang terjadi dan keluarlah ia dari kratonnya menemui yang sedang bersemadi. Keduanya bertemu dan bersama-sama memasuki kraton laut selatan yang indah. Setelah segala sesuatunya berjalan baik, dan mendapat kesanggupan dari Nyai Roro Kidul untuk membantu sepenuhnya, Sutawijaya lalu pulang ke Mataram. Pada pagi hari ia sudah sampai di Parangtritis dan bertemu dengan Sunan Kalijaga yang memberikan berbagai petunjuk kepadanya tentang cara mengendalikan negara serta bagaimana sikap seorang raja. Keduanya bersama-sama pergi ke Mataram dan sesampainya di sana karena Sunan Kalijaga melihat bahwa rumah Sutawijaya belum mempunyai pagar, lalu dinasehati agar dilengkapi dengan pagar tersebut, agar tidak meninggalkan kewaspadaan. Tentang mitos terjadinya letusan Gunung Merapi itu menurut kisahnya juga diceritakan bahwa saat letusan berlangsung, hal itu adalah pertanda terjadi perkawinan antara dewa laki-laki yaitu Kyai Sapu Jagad dengan perempuan Nyai

89

Roro Kidul. Dalam kepercayaan Jawa, gunung sering dianggap melambangkan kekuatan laki-laki, sedang lautan yang dikuasai Nyai Roro Kidul (dewi) melambangkan perempuan (Laksono, 1985: 46). Peristiwa letusan yang ditandai dengan keluarnya lava diasosiasikan dengan keluarnya benih laki-laki pada saat persetubuhan, tanda persetubuhan laki-laki dan perempuan. Perpaduan muntahan gunungapi menuju laut melalui Kali Opak melambangkan wiji (sperma) calon raja Senopati. Konsepsi perbedaan ini juga bermakna kesuburan yang dalam bahasa awam menjadi berkah. Interpretasi ini didasarkan atas pemahaman kejawen, bahwa gunung yang diasosiasikan dengan lingga yaitu simbol dari Siwa atau Batara Guru, sedang laut diasosiasikan dengan Yoni simbol dari isteri Siwa yaitu Umo. Seperti halnya perkawinan yang seolah-olah tidak bisa dicegah, tetapi bisa ditata, maka "perkawinan dua kekuatan alam" atau letusan Gunung Merapi juga tidak bisa dicegah dan perlu ditata. Oleh karena itu untuk mendapatkan selamat, penduduk tidak menolak Nyai Roro Kidul berhubungan dengan Merapi, tetapi mereka meminta agar jika Nyai Roro Kidul mengutus atau menginginkan sesuatu dari Gunung Merapi (yaitu benih laki-laki) jangan melalui desa mereka, tetapi cukup di kiri kanan desa saja. Untuk itu mereka memberikan sesaji kepada kekuatan-kekuatan gaib tersebut agar hubungan baik dengan kekuatan-kekuatan itu terjalin, sehingga mereka bisa dijauhkan dari bencana Merapi. Riwayat letusan Gunung Merapi juga ada hubungan dengan mitos terjadinya Kali Opak dan gempa bumi. Berdasarkan dari cerita mitos itu maka Mbah Marijan juga menuturkan bahwa terjadinya Kali Opak sampai sekarang

90

masih ada hubungannya dengan jalan untuk menuju ke Laut Selatan dan Gunung Merapi. Di Kali Opak inilah berjalan Kyai Antoboga, seekor naga, tokoh ini bertugas memimpin segenap makhluk halus yang berada di dasar Merapi untuk menjaga keseimbangan berat Gunung Merapi, berniat mencari ayahnya. Dia merayapi Kali Opak, dan sepanjang jalan merayap sambil berteriak "O Pak, O Pak, O Pak", karena itulah jalan yang dilalui tadi diberi nama Kali Opak. Sesampainya di atas, ternyata Ki Wanabaya, ayahnya, baru mau mengakui Antoboga sebagai anak, jika ia dapat melingkari Gunung Merapi dalam semalam. Matahari hampir terbit, ketika kurang sejari saja jarak antara kepala dan ekornya Antoboga lalu menjulurkan lidahnya. Tapi tiba-tiba lidah itu dipotong oleh ayahnya. Dan jadilah dari lidah itu pusaka Kyai Baru Klinting. Antoboga lalu diberi tugas menjaga keseimbangan Gunung Merapi. Merapi bisa sewaktu-waktu goyah (terjadi gempa bumi). Dalam mitos tentang terjadinya gempa bumi yang ditimbulkan oleh Gunung Merapi, penduduk mempunyai kepercayaan, bahwa hal ini ditimbulkan oleh ulah Kyai Antoboga yang menggerakkan ekor atau kepalanya untuk menghilangkan rasa pegal (Minsarwati, 2002: 17). Ceritera di atas menunjukkan bahwa kedudukan sebagai pendiri kerajaan Mataram dicapai olehnya dengan segala liku-liku perjuangan yang cukup berat. Keberhasilan itu tidak lain adalah akibat jerih payahnya sendiri. Apa yang dicapai bukanlah sekedar pemberian yang datang sendiri tanpa usaha. Meskipun ia sudah diberi tahu bahwa kelak akan menjadi raja, namun ia mematuhi nasehat ayahnya agar tidak langsung memusuhi Sultan Pajang. Berikut ini kita kutipkan tulisan Jayasubrata dalam Serat Babad Tanah Jawi.

91

"Iya kulup rasane tyas mami, lamun sira mungsuh Sultan Pajang, tri prakara kainane, kang dhingin mungsuh guru, kapindhone amungsuh gusti, kaping tri mungsuh bapak, iya nadyan iku, dudu kang yoga ing sira, nanging sira kinempit sangkaning alit, kongsi prapteng diwasa. Lawan dadi gurunira kaki, apan sira winuruk agama, timur kongsi akil balig, tata sarengat rampung, angungkuli putra pribadi, paran wewalesira, mring ramanireki, wit sira duwe negara, ing Mataram tan liya saking sang ngaji, lah mara rasakena" Karena itu setelah menjadi raja dan memegang seluruh kekuasaan negara, harus diartikan bahwa kekuasaan tersebut antara lain berasal dari dirinya yang berpribadi luhur. Seseorang yang telah mendapat wahyu kraton atau pulung dengan sendirinya dapat mengatasi segala rintangan yang dihadapi. Sebaliknya seorang raja yang kehilangan wahyu kraton berarti akan turun dari tahta. Karena itu barang siapa telah mendapat wahyu kraton atau pulung tidak dapat diganggu gugat, sebab pasti akan gagal. Wahyu kraton atau pulung dilukiskan dengan berbagai bentuk antara lain berupa sinar atau cahaya yang terang benderang dan kebiru-biruan, kadang-kadang berupa satriya dan puteri. Wahyu kraton atau pulung datang kepada manusia dalam situasi yang berbeda-beda. Misalnya ada yang baru lahir sudah mendapat pulung, ada pula pulung baru datang setelah yang bersangkutan melakukan tapa brata dan perjuangan

92

hebat. Berikut ini akan disajikan beberapa contohnya. Peristiwa tentang bayi lahir dan mengandung cahaya. Bayi ini kelak kalau sudah dewasa akan mempunyai kekuasaan atau setidak-tidaknya mempunyai keturunan yang mempunyai kekuasaan kenegaraan. Peristiwa ini dialami oleh Ken Arok. Setelah Ken Endok melahirkan anak laki-laki dan diberi nama Ken Arok, ia lalu membuangnya ke tempat pemakaman anak-anak. Pada waktu itu ada seorang pencuri bernama Lembong tersesat memasuki makam tersebut dan melihat ada benda menyala. Setelah didekati ternyata yang menyala itu ialah seorang anak bayi laki-laki, yang olehnya diambil dan dibawa pulang dan dipelihara sebagai anak sendiri. Di dalam Serat Pararaton tulisan Padmapuspita (1966: 12) antara lain disebutkan: "Selanjutnya ada seorang pencuri bernama Lembong, tersesat di kuburan anak-anak itu, melihat benda bernyala, didatangi oleh Lembong, mendengar anak menangis, setelah didekati oleh Lembong itu nyatalah yang menyala itu anak yang menangis tadi, diambil dan dibawa pulang, diaku anak oleh Lembong. Ken Endok mendengar bahwa Lembong memungut seorang anak, teman Lembonglah yang memberitakan itu dengan menyebut-nyebut anak, yang didapatinya di kuburan kanak-kanak, tampak bernyala pada waktu malam hari. Lalu Ken Endok datang kepadanya, sungguhlah itu anaknya sendiri".

E. Dunia Pedanyangan

93

Mengingat latar belakang terjadinya raja-raja sebagaimana telah kita uraikan, kemungkinan terjadinya sifat totaliteristik masih dapat dicegah, terutama bagi raja-raja yang bercikal bakal membangun negara. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka dapat menjadi raja di samping sebagai hasil jerih payahnya sendiri, tetapi juga karena dukungan rakyat dan karunia Tuhan. Jelaslah bahwa Raja bukanlah manusia yang lepas dari masyarakat, tetapi justru berhubungan secara luas dengan masyarakat. Raja mempunyai peranan dalam kehidupan masyarakat, tempat di mana ia berkiprah. Di samping itu karena raja telah dipilih dan ditetapkan oleh Tuhan, maka unsur ketuhanan ini lalu ikut berperanan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu unsur asal kekuasaan dari Raja bukanlah satu-satunya. Kecuali itu ada unsur-unsur lain yang akan dibicarakan lebih lanjut. Unsur inilah yang mencegah atau membatasi raja untuk tidak berlaku totaliter, sebaliknya yang membimbing agar raja berlaku bijaksana. Unsur lain itulah yang mendorong agar perbuatan raja juga memperhatikan kepentingan rakyat banyak, tetapi sekaligus juga mengerem agar tidak berbuat sekehendaknya sendiri (Sunoto, 1983: 37). Bila hubungan antara Gunung Merapi Keraton Yogyakarta Laut Selatan dihubungkan dengan persoalan kosmologis yang meliputi tertib dunia, asal mula alam semesta, dan tujuan alam semesta, maka akan diperoleh makna kosmologis tentang bagaimana hubungan dari sudut keseluruhan dan dari sudut unsur-unsurnya. Kesemuanya ini bisa dijawab melalui suatu bentuk fisik dari Gunung merapi (api) - Keraton Yogyakarta (udara) Laut Selatan (air). Hal ini menyangkut pada ajaran "Manunggaling Kawula Gusti" yang merupakan tindak

94

lanjut pemahaman Sangkan Paraning Dumadi. Ajaran Manunggaling Kawula Gusti mengandung pengertian hubungan horizontal antara sesama makhluk ciptaan Sang Pencipta. Oleh karena itu lebih condong pada wujud masyarakat (makrokosmos) yang digambarkan dengan hubungan simbolik antara Gunung Merapi Keraton Yogyakarta Laut Selatan. Gunung Merapi, sebagaimana gunung berapi lainnya, mempunyai bentuk kerucut menyatu ke atas, berkesan kokoh, kuat, sejuk bila berada di sekitarnya, namun dapat menimbulkan malapetaka tak terhingga bila tidak terkendali. Gunung Merapi adalah simbolisasi dari keteguhan masyarakat dalam iman dan takwa kepada Allah yang satu, merupakan kekuasaan besar masyarakat melawan kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan serta pengendalian nafsu duniawi. Demi terwujudnya kesejahteraan rakyat lahir dan batin. Keraton Yogyakarta, sebagai simbolisasi dari Sang Pemimpin yang bergelar Ngarso-Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamangku Buwono Ing Ngalogo Ngabdulrakhman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng Ing Ngayogyakarta Hadiningrat, mengandung arti Pemimpin yang senantiasa di depan sebagai teladan, mempersatukan dengan kekuasaan ngrengkuh, sengguh ora mingguh mempersatukan, mengutamakan dan melindungi rakyatnya (makna Hamengku, Hamangku, Hamengkoni), karena sebagai Panglima Perang harus mampu menghalau musuh manusia yang berwujud kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan akibat ulah nafsu duniawi, dalam kapasitas dirinya sebagai hamba Allah yang senantiasa tunduk akan perintah Allah, dan menjauhkan larangan-Nya.

95

Pemimpin di tengah rakyatnya, mendorong menuju tujuan serta mewujudkan kesejahteraan dengan keteguhan keyakinan hanya karena Allah semata. Laut Selatan, yang dalamnya tidak teratur, mengandung kekayaan alam tak terhingga, deburan ombak yang kadang deras, keras dan besar, diiringi angin yang kencang, namun kadang pelan, lembut dan nyaman diiringi angin yang sepoi basah, ibarat kehidupan masyarakat yang keras, brutal namun juga lembut, sejuk, tenteram, damai, penuh dengan kreasi, apresiasi, dinamika, dan aspirasi yang harus diserap, dipahami, diolah, diyakini, diutamakan, diperjuangkan, dan dilindungi oleh Sang Pemimpin. Oleh karena itu Sang Pemimpin harus manjing ajur ajer dengan yang dipimpin, menjadikan hati nurani rakyat sebagai isteri pertama dan utama, itulah makna Kanjeng Ratu Kidul sebagai personifikasi Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat. Berdasarkan pada uraian tentang tiga makna simbol dari Gunung Merapi, Keraton Yogyakarta dan Laut Selatan di atas, dapat disimpulkan tentang makna kosmologi yang ada pada mitos letusan Gunung Merapi, yaitu terjadinya "dua kekuatan alam", yaitu antara Gunung Merapi sebagai kekuatan api dan Laut Selatan sebagai kekuatan air. Hasil perpaduan dua kekuatan alam ini berupa calon raja Senopati yang berada di Keraton Yogyakarta, yaitu berupa Keraton sebagai unsur udara. Perlu kita sadari bahwa contoh-contoh yang telah kita uraikan sebenarnya merupakan sejarah, hanya bentuk penyampaiannya yang perlu kita pelajari secara saksama. Jika kita baca sepintas lalu saja seolah-olah hanya merupakan ceritera atau dongeng belaka tidak ada bedanya dengan ceritera atau dongeng yang lain.

96

Lebih-lebih jika kita perhatikan isinya, seolah-olah banyak yang tidak masuk akal. Misalnya raja Dhandhang Gendhis yang dikalahkan Ken Arok lalu naik ke langit dengan istananya; Ken Arok mendengarkan Dewa yang sedang berapat; R. Paku yang waktu lahir dimasukkan di dalam kendhaga; Jaka Tingkir yang berperang melawan buaya; Sutawijaya dengan Nyai Roro Kidul; Sutawijaya bertemu dengan Sunan Kalijaga dan lain-lain. Timbul pertanyaan di dalam diri kita bagaimana hal-hal semacam itu terjadi, bagaimana mengartikan simbol itu dengan sebaik-baiknya. Kita harus dapat melakukan analisa secara kualitatif, terhadap simbol-simbol itu, kemudian secara kuantitatif kita melakukan abstraksi. Ceritera-ceritera itu merupakan legitimasi terhadap diri orang yang bersangkutan, agar syah dalam melakukan tugasnya dan berwibawa serta berkharisma (Sunoto, 1983: 14). Nagari Pajang lajeng pindhah dateng Mataram. Ingkang jumeneng narpati, Risang Sutawijaya ajejuluk Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Panembahan Senopati Ngalaga ing Nagari Mataram. Prameswari dalem angka setunggal Kanjeng Ratu Mas, putrinipun Ki Ageng Penjawi ing Pathi. Peputra : Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Prabu Hadi Hanyakrawati ing Mataram. Putra Dalem nomer 3 Adipati Puger ing Demak, peputra Adipati Pragola ing Jambean, peputra Tumenggung Aria Mataun, Patih ing Jipang. Adipati Pragola ing Pathi, kaleres naksederek kaliyan Ingkang Sinuwun Sultan Agung, mengsah perang kaliyan Mataram, dipun lawan Ingkang Sinuwun Sultan Agung piyambak, awit mangertos manawi Adipati Pragola pancen sekti. Namung gugur kenging Kyai Tumbak Kyai Pleret. Sumare wonten Makam Pragola ing kota Solo. Saben dinten malem Jumah pasareanipun Adipati Pragola wonten rah teles

97

ateges inggal. Namung bibar perang Jepang sapriki sampun boten wonten. Pancen pasareanipun ngajrih-ajrihi. Ingkang nurunaken nata, putra nomer 12. Panembahan Juminah, putra K.R. Retno Dumilah peputra Pangeran Hario Balitar, peputra Tumenggung Balitar, peputra Kanjeng Ratu Paku Buwana I, Prameswari Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun P.B.I, peputra Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat Jawa ing Kartasura (Bratadiningrat, 1990: 58). Setelah berhasil menggeser kekuasaan Pajang, Sutawijaya tahun 1584 memindah pusat kerajaan menuju Mataram. Dalam bidang budaya Panembahan Senopati menyempurnakan bentuk wayang dengan tatahan gempuran (Haryanto, 1988: 204). Panembahan Senopati merupakan tokoh yang berhasil membuat anyaman mistik dan politik yang keteladanannya memandu alam pikiran Jawa. Pribadinya sebagai personifikasi tahapan pemahaman tertinggi, yaitu manggalih artinya mengenai soal-soal esensial, pasca manah, artinya membidikkan anakpanah, mengenai soal-soal problematis di jantung kehidupan, pusat-lingkaran, yang dikenal sebagai jangka. Itulah makna jangka jangkah jangkaning jaman (Damardjati, 1993: 27).

98

BAB V PELAKSANAAN UPACARA SELAMATAN

A. Keselamatan Sebagai Tujuan Hidup Jika diteliti dengan seksama kehidupan keluarga Jawa mempunyai tujuan kebahagiaan dan dalam hal ini ujudnya antara lain adalah selamat tidak ada gangguan apapun. Itulah sebabnya keluarga Jawa disibukkan oleh berbagai selamatan yang harus diselenggarakan olehnya. Maksud mengadakan selamatan tidak lain agar seluruh keluarganya memperoleh selamat. Selamat dalam melakukan pekerjaan, selamat.dalam perjalanan,- selamat dalam segala tingkah laku dan perbuatannya. Keluarga Jawa mengerlal berbagai jenis upacara selamatan antara lain upacara tingkeban, babaran, sepasaran, selapanan, pitonan, atau tedhak siten, sunat, perkawinan, kematian. Di dalam peristiwa-peristiwa tersebut selalu diadakan selamatan menurut pola atau kebiasaan yang berlaku. Kecuali sarana yang berbentuk fisik dalam upacara selamatan itu disampaikan pula doa-doa tertentu. Maksud doa tersebut adalah agar yang bersangkutan terlepasdari berbagai rintangan dan halangan, sebaliknya akan mendapat keselamatan. Clifford Geertz (1969: 126) antara lain menulis tentang selamatan sebagai upacara kecil di dalam sistem religius Jawa. Bagi sebagian penduduk Jawa, slametan masih tetap menarik. Berbagai upacara dalam keluarga yang bertujuan untuk memperoleh keselamatan antara lain adalah sebagai berikut :

99

Di dalam upacara ini antara lain digunakan cengkir (kelapa muda) gadhing. Cengkir gadhing adalah lambang kecantikan, mungil, indah. Menggunakan cengkir mengandung maksud bahwa orang tua mengharapkan memperoleh anak yang cantik, suci, bersih lahir batinnya. Di samping itu disediakan pula rujak yang terdiri atas bermacam - macam buah-buahan. Rujak juga mengandung arti harapan. Kecuali rujak, dalam selamatan tersebut disajikan tiga macam nasi yaitu nasi putih, nasi merah dan bubur. Nasi putih melambangkan air dari ibu, nasi merah melambangkan air dari bapak dan bubur untuk menjaga terhadap gangguan makhluk jahat. Dalam hal nasi, Clifford Geertz menulis bahwa ada tiga macam yaitu putih mulus, merah dan gabungan keduanya, putih di sekeliling yang di luar dan merah di tengah-tengah meja. Putih melukiskan pemuas ibu, merah air bagi ayah, dan campuran keduanya dipandang mujarab untuk mencegar masuknya roh yang merugikan. Dalam hal rujak ia menulis : bahwa rujak legi merupakan ramuan berbagai buah-buahan yang sangat pedas, cabai penyedap dan gula. Dikatakan bahwa apabila rujak rasanya pedas atau sedap bagi calon ibu, maka ia akan mempunyai seorang anak perempuan, tetapi jika rujak rasanya hambar baginya, ia akan mempunyai anak lelaki. Meskipun tidak disebutkan secara terinci,terutama mengenai kelengkapan upacara sebagaimana telah diuraikan, Koentjaraningrat (1967: 42) antara lain menulis bahwa sebelum melahiran seorang anak, calon ibu memperoleh berbagai. tabu berupa larangan untuk melakukan sesuatu. Selama bulan ketujuh mengandung, diselenggarakanlah sebuah upacara yang disebut tingkeban atau

100

mitoni. Upacara itu dipandang menjamin persalinan yang berhasil dan membawa slamet (selamat) kepada anak yang belum dilahirkan dan kepada keluarganya.

B. Tradisi Kenduri 1. Upacara brokohan Setelah kelahiran anak diadakanlah selamatan yang biasanya disebut brokohan. Seperti layaknya selamatan pada umumnya, dalam brokohan ini disajikan tumpeng beserta lauk-pauknya dan berbagai macam buah-buahan. Maksud selamatan ini ialah menyatakan rasa syukur kepada Tuhan dan mohon agar ibu beserta bayinya diberikan keselamatan, 2. Upacara sepasaran Setelah bayi lahir di serieliling rumah dipasang benang putih, untuk mengusir roh jahat. Di sudut rumah, ditaruh sajen, sebatang tanaman, daun nanas yang diruncingkan dan tumbak seribu (sapu dengan cabai di ujungnya). Di samping itu terdapat pula bambu yang dicat hitam dan putih. Di bawah tempat tidur ibu ditaruh sajen berupa macam-macam makanan. Di dekat ibu ditaruh sebuah keris. Semua.itu melambangxan bahwa dalam waktu itu suami diingatkan adanya pantangan demi keselamatan ibu. Selanjutnya setelah anak berusia tiga puluh lima hari lalu diadakan upacara selapanan. Pelaksanaannya tidak banyak berbeda dengan upacara brokohan dan sepasaran yaitu menyelenggarakan selamatan yang sama dengan selamatan lainnya.

101

Tentang slametan kecil dalam rangka sepasaran dan selapanan Koentjaraningrat (1967: 47) menulis bahwa ada serentetan upacara slametan kecil berupa upacara memotong rambut bayi weton yaitu hari kelahiran bayi. 3. Upacara Tedhak Siten Di dalam upacara turun tanah yaitu waktu bayi berumur 7 bulan dan dianggap untuk pertama kalinya turun ke tanah juga digunakan berbagai makanan dan buah-buahan dalam selamatan. Anak dimasukkan ke dalam kurungan yang di dalamnya terdapat berbagai jenis benda antara lain uang, pensil, beras, kaca dan pisau. Jika anak mengambil salah satu benda tersebut kelak ia akan mempunyai kecakapan dan pekerjaan seperti itu. Misalnya mengambil pensil berarti akan menjadi pegawai atau orang yang tugasnya menulis. Kepada bayi dihidangkan sebuah baki yang di atasnya telah diletakkan sejumlah barang lambang yang menunjukkan pekerjaan atau ciri khas watak : pensil (juru tulis-pandai); beras/nasi (petani-rajin); uang (pedagang kaya); cermin (aktor, suka bersolek); pisau (prajurit-berani). Pekerjaan dan watak bayi kelak kemudian diramal berdasarkan dua benda yang diambilnya dari baki. 4. Upacara perkawinan Di dalam upacara perkawinan digunakan pula kelengkapan terdiri atas berbagai hasil pertanian. Misalnya janur kuning, pohon pisang yang sudah berbuah disertai dengan tebu hijau, buah kelapa dan bermacam-macam buahbuahan antara lain : rambutan, pepaya, jambu, atau buah - buahan yang terdapat di daerah tersebut. Dalam upacara panggih digunakan pula kembarmayang sebagai salah satu alat upacara, demikian pula digunakan sirih dalam upacara mbalang

102

sirih. Dalam hal ini dikatakan bahwa kembang mayang atau bunga yang lagi mekar merupakan tanaman komposit besar, tangkainya terbuat dari batang pohon pisang, kembangnya terbuat dari daun pohon yang tepinya dibuat seperti gerigi tumpul dan semua dibungkus dengan pelepah hijau kelapa, melukiskan kegadisan mempelai perempuan dan mempelai laki-laki.

C. Demi Ketentraman Jiwa Di samping upacara yang telah diuraikan di atas, keluarga Jawa mengenal pula berbagai upacara lain yang disebabkan oleh kasus tertentu. Tujuannya tidak lain untuk memperoleh keselamatan bagi orang yang bersangkutan khu susnya dan bagi keluarga pada umumnya. Kasus-kasus tersebut antara lain ialah: Anak ontang-anting yaitu anak yang tidak mempunyai saudara. Anak julung yaitu yang lahirnya bersamaan dengan terbit atau terbenamnya matahari. Anak pendhawa yaitu lima laki-laki semua. Anak sendhang kapit pancuran yaitu tiga orang anak yang nomor dua perempuan. Anak pancuran kapit sen .dhang ya.itu tiga orang anak yang nomor dua laki-laki. Keluarga Jawa mempunyai kepercayaan bahwa anak-anak tersebut di atas selalu dibayangi oleh bahaya yang datang dari seorang raksasa yaitu Bethara Kala. Dewa Kala akan memangsa anak-anak tersebut karena mereka ini memang dilahirkan untuk menjadi mangsa. Untuk menghindari bahaya

103

tersebut, keluarganya lalu mengadakan upacara dengan menanggap wayang kulit yang lakonnya murwa kala. Dengan menyelenggarakan upacara ini, keluarga akan terhindar dari mara bahaya dan anak yang bersangkutan akan selamat. Tujuan pokok dari upacara ini tidak lain adalah untuk mencari selamat. Di samping kasus di atas ada pula jenis yang lain misalnya upacara penggantian nama. Jika ada seseorang yang sering menderita sakit, dianggap bahwa nama orang tersebut tidak cocok. Sakit dihubungkan dengan nama seseorang. Karena itu lalu diadakan upacara selamatan mengganti namanya, misalnya semula bernama Supardi lalu diganti dengan nama Slamet atau Basuki atau Beja atau Untung. Nama pengganti tersebut dipilih yang mempunyai arti baik.

D. Mencapai Keselarasan Hidup Bersama Slametan adalah upacara sedekah makanan dan doa bersama yang

bertujuan untuk memohon keselamatan dan ketentraman untuk ahli keluarga yang menyelenggarakan. Biasanya untuk hajatan keberangkatan naik haji ke tanah suci, keberangkatan anak yang mau sekolah ke luar daerah, pendirian sebuah rumah baru, dan sebagainya. Harapan pada masa depan yang lebih cemerlang, di

samping harus dilakukan dengan pendekatan yang ilmiah rasional dan yang serba kasat mata, perlu juga dilakukan pendekatan adikodrati atau supranatural yang bersifat spiritual. Upacara slametan termasuk kegiatan batiniah yang bertujuan untuk mendapat ridha dari Tuhan.

104

Kegiatan slametan menjadi tradisi

hampir seluruh kehidupan di

pedusunan Jawa. Ada bahkan yang meyakini bahwa slametan adalah syarat spiritual yang wajib dan jika dilanggar akan mendapatkan ketidakberkahan atau kecelakaan. Bancakan adalah upacara sedekah makanan karena suatu hajat leluhur, yaitu yang berkaitan dengan problem dum-duman 'pembagian' terhadap

kenikmatan, kekuasaan, dan kekayaan. Maksudnya supaya terhindar dari konflik yang disebabkan oleh pembagian yang tidak adil. Upacara bancakan sering digunakan dalam acara bagi waris, sisa hasil usaha dan keuntungan perusahaan. Harapannya agar masing-masing pihak merasa dihargai hak dan jerih payahnya sehingga solidaritas anggota terjaga. Di mana-mana solidaritas mudah dibangun dalam suasana terjepit. Akan tetapi sulit dicapai dalam masa pembagian

keuntungan karena orang cepat lupa diri, ingin saling jegal dan cenderung menang sendiri. Upacara bancakan dimaksudkan untuk menghindari hal tersebut. Yang dimaksud dengan kenduren adalah upacara sedekah makanan karena seseorang telah memperoleh anugrah atau kesuksesan sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Dalam hal ini kenduren mirip dengan cara tasyakuran.Acara kenduren bersifat personal. Undangan biasanya terdiri dari kerabat, kawan sejawat, dan tetangga. Mereka berkumpul untuk berbagi suka. Suasananya santai, sambil membicarakan tauladan yang bisa ditiru misalnya kenaikan pangkat, lulus ujian, terpilih untuk mengemban amanat jabatan dan sukses-sukses lain yang perlu dan pantas ditiru. Hidangan sedekah kenduren menunya lebih bebas. Hampir tidak ada kewajiban menu tertentu sehingga terbangun suasana suka dan meriah.

105

Kata slamet di tengah-tengah pergaulan orang Jawa sangat populer. Pengertian slamet adalah selamat dan terbebas dari segala aral rintangan. Begitu populernya sehingga banyak orang Jawa memberi nama anaknya dengan kata slamet. Misalnya Slamet Sutrisno, Slamet Raharja, Slamet Riyadi, dan sebagainya. Maksud utama pemberian nama demikian adalah agar anaknya mendapat keselamatan dan kedamaian hidup. Dalam pergaulan sehari-hari sering terdengar, "Piye kabare? Rak pada slamet ta?"

E. Selamat Lahir Batin Secara umum kata slamet digunakan untuk melukiskan keadaan, pemberian nama anak, menanyakan kabar seseorang dan menyebut suatu jenis upacara. Karena keselamatan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia baik di dunia apalagi di akhirat. Apabila ada sebuah resepsi pada

keluarga Jawa, dengan mudah di sana ditemukan jajaran kata "Sugeng Rawuh", yang berarti selamat datang yang ditujukan kepada para tamu. Kata sugeng itu merupakan bentuk krama dari akad slamet sehingga terkesan lebih halus. Untuk sapaan hangat dan hormat, kata sugeng digunakan demikian, "Sugeng rawuhipun, Pak." Dan pihak yang disapa akan menjawab singkat, "Injih, pengestunipun." Kata sugeng memang dapat menciptakan suasana hangat, hormat dan hikmat. Kata sugeng untuk memberi nama orang misalnya Sugeng Santosa, Sugeng Hartono, Sugeng Pamungkas, dan lain-lain. Widada juga mengandung makna selamat. Hanya saja kata widada digunakan dalam suasana yang formal keistanaan serta lebih estetis dan puitis

106

(bahasa Kawi). Kata widada yang bernilai estetis dan puitis lantas digunakan untuk memberi nama anak laki-laki, misalnya Jatmika Widada, Budi Widada, Jaka Widada, Endar Widada, dan sebagainya. Semuanya bermaksud agar

anaknya mendapatkan keselamatan dan kewibawaan. Selain untuk nama orang, percakapan resmi dalam istana serta upacara, kata widada tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk kata keseharian orang lebih biasa dengan istilah slamet yang merupakan tataran bahasa ngoko. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur

menggunakan semboyan "Jer Basuki Mawa Beya". Artinya adalah cita-cita untuk memperoleh kesejahteraan pasti memerlukan biaya. Biaya di sini bisa berarti tenaga, semangat dan kemauan. Di samping menunjuk pada soal

kesejahteraan, kata basuki juga mengandung makna keselamatan. Misalnya puji memuji: manggiha basuki, mugi kalis ing sambikala. Artinya saling mendoakan agar mendapat keselamatan terbebas dari segala gangguan. Basuki, lestari, widada, slamet, sugeng, yuwana, raharja, rahayu, makna harapan akan keselamatan. basuki di Jawa juga sangat banyak. Setiap kali MC bahasa Jawa mau mengakhiri pembicaraan, senantiasa terdengar ungkapan: mugi rahayu ingkang sami pinanggih. Artinya semoga selalu bertemu dalam keselamatan. Rahayu di sini juga mengandung makna doa selamat. Ayu-hayu-rahayu adalah kondisi yang memungkinkan bagi terwujudnya keselamatan. Wanita ayu adalah wanita yang bisa menghadirkan suasana keselamatan, kesejukan dan kedamaian. Demikian juga kata hayu-dirgahayu Nama anak semuanya mengandung

yang menggunakan istilah

107

adalah ungkapan yang menghendaki datangnya keselamatan. Untuk anak putri sering diberi nama rahayu. Misalnya Nanik Rahayu, Sulastri Rahayu, Prapti Rahayu dan Sulistya Rahayu. Harapannya agar si anak mendapat kecantikan fisik dan kecantikan batin, sehingga kehadirannya membawa kedamaian. Salah satu gendhing yang terkenal dalam kerawitan yaitu gendhing ladrang wilujeng. Lagu ini memberi suasana damai, ayem, tentrem, dan tenang. Ladrang wilujeng ini cocok untuk mengisi suasana santai namun agung dan hikmat. Kata wilujeng juga dapat digunakan untuk sapaan hangat bernada halus, "Kepripun Mas kabaripun?" Maka akan dijawab, "Pangestunipun, dhawah wilujeng." Secara umum kata wilujeng bermakna selamat juga. Hanya saja kata ini jarang digunakan untuk memberi nama anak. Wilujengan berarti selamatan, yang sejajar maknanya dengan slametan. Dengan wilujengan atau selamatan itu, mereka berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar dalam kehidupannya diberikan keselamatan dan kesejahteraan, terbebas dari malapetaka, terhindar dari hal-hal yang menjebak mereka sehingga gagal meraih kebahagiaan hidup dunia dan akherat. keindahan dan

F. Hubungan Antar Warga Sama halnya dengan struktur keluarga, masyarakat Jawa terdiri atas manusia-manusia yang mempunyai hubungan dan saling butuh-membutuhkan satu sama lain. Keluarga merupakan masyarakat yang paling kecil. Di atas

108

keluarga tidak ada struktur dalam bentuk clan seperti di Minangkabau atau marga di Batak. Meskipun demikian hubungan kekeluargaan masih erat bahkan ada bentuk trah di berbagai tempat. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya sistem kekerabatan yang berlaku di masyarakat (Jawa, trah), misalnya pernyataan atau ucapan : kerabat Mangkunegaran, trah Somadiharjan, dheweke iku isih kerabate dhewe (dia masih kerabat sendiri). Dasar hubungan ini adalah pertalian darah atau keturunan. Dalam struktur ini pada umumnya tidak ada hubungan hak dan wajib yang berbentuk material-fisik, misalnya mengenai harta pusaka, demikian pula tidak ada struktur berupa hirarki kekuasaan dengan segala aturan dan sangsi-sangsi. Di lingkungan kerabat tertentu hirarki itu ada, karena secara historik, tradisi itu memang sudah berlaku. Hubungan dalam struktur kekerabatan lebih bercorak kejiwaan, berdasarkan kekeluargaan dan berasaskan moral. Struktur yang nampak jelas adalah dalam bentuk dukuh, desa, kecamatan atau RT (Rukun Tetangga), RW (Rukun Wilayah) dan seterusnya. Di dalam struktur ini kumpulan ke luarga lalu terikat dalam RT atau dukuh, kemudian dalam RW atau desa dan selanjutnya. Hubungan mereka tidak didasarkan atas keturunan atau hubungan darah, tetapi atas daerah tempat tinggal mereka. Di dalam struktur ini berlakulah berbagai aturan, sangsi hukum, hak dan wajib. Dengan demikian jelas masyarakat Jawa pada hakekatnya belum melepaskan diri dari struktur yang berdasarkan hubungan darah, tetapi tidak menjadikannya sebagai pola dasar kehidupan mereka. Karena itu sepintas lalu nampaknya mengambang, sebab memang tidak bertumpu sepenuhnya pada dasar

109

hubungan darah. Meskipun demikian struktur tersebut masih nampak jelas lebihlebih di lingkungan tertentu. Di samping itu terdapat berbagai organisasi kemasyarakatan yang berdasarkan agama, ekonomi, sosial, politik, budaya, seni, olah raga dan lain-lain. Bahkan kita dapati pula kelompok profesi misalnya masyarakat petani, nelayan, pedagang. Dalam struktur kekerabatan ini kerukunan dan keguyuban merupakan sendi dasar dalam kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu kekerabatan merupakan jenis masyarakat paguyuban. Di dalam struktur masyarakat Jawa seseorang pasti menjadi warga keluarga dan kampung atau desa atau RW (Rukun Warga)nya, serta dengan sendirinya menjadi warga kerabatnya. Menurut hemat kita ikatan keluarga dalam masyarakat Jawa yang dwitunggal menunjukkan bahwa masih ada pola yang jelas. Mereka masih mengenal saudara-saudaranya yang tunggal nenek bahkan tunggal buyut. Hubungan mereka dapat tampak erat, terbukti jika ada kejadian atau peristiwa tertentu, misalnya perkawinan, hari raya Idul Fitri. Mereka masih memerlukan berkumpul pada waktu itu untuk membina persaudaraan agar tali hubungan tidak terputus. Mereka masih saling bantu-membantu, meskipun tidak terorganisir dengan baik. Di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang makin berkembang ini, ternyata struktur keluarga dan kekerabatan masih bertahan menurut caranya sendiri. Sistem kekerabatan, karena dasar hubungannya adalah kekeluargaan, maka tidak selalu terikat oleh tempat tertentu. Artinya anggota-anggotanya dapat tersebar menempati ruang yang berjauhan satu sama lain. Mereka berkumpul hanya pada waktu-waktu tertentu jika kebetulan ada keperluan yang penting.

110

Masyarakat Jawa telah mempunyai sejarahnya yang cukup panjang. Dalam perjalanan sejarah tersebut berbagai pengaruh baik yang berasal dari diri sendiri maupun dari luar serta lingkungan telah banyak terjadi. Karena masyarakat juga mengalami perkembangan baik mengenai jum1ah anggotanya, maupun kebutuhan anggotanya maka mau tidak mau dari dalam diri mereka sendiri timbul tuntutan sesuai dengan kebutuhan hidup mereka. Mereka sendiri harus mampu memberi jawaban dan memenuhi kebutuhan tersebut agar tetap hidup. Di samping itu masyarakatjuga mendapat rangsangan dan tantangan dari luar dirinya baik dari alam lingkungannya maupun dari masyarakat luar. Mereka harus mampu memberikan jawaban terhadap tantangan tersebut jika ingin tetap hidup dan berkembang. Jika diteliti dengan seksama maka struktur masyarakat Jawa merupakan kesatuan yang harmonik. Anggota-anggotanya berhubungan secara harmonik. Sebagai kelompok merupakan sistem yang harmonik dengan kelompok lain dan alam sekitarnya, demikian pula harmonik dengan Tuhannya sebagai sangkan paraning dumadi. Pada dasarnya masyarakat Jawa mempercayai bahwa apa yang gumelar di jagad raya ini asalnya dari Tuhan dan karena itu akan kembali kepada asal tersebut. Karena pendirian yang demikian inilah masyarakat Jawa mudah menerima pandangan hidup yang selaras dengan-Nya termasuk agama-agama. Di dalam kegiatan hidup, mereka bahkan tidak dapat terlepas dari pengaruh ini. Nilai-nilai ketuhanan tampak di dalam bermacam-macam kegiatan berupa upacara-upacara baik keagamaan maupun adat. Selamatan selalu dimulai atau ditutup dengan doa.

111

Alam sekitar mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakat termasuk masyarakat Jawa. Pulau Jawa dikelilingi oleh lautan, terdiri atas pegunungan dan daratan. Karena itu mata pencaharian mereka ialah pertanian, perdagangan, penangkapan ikan dan industri kecil. Yang paling besar ialah hidup dari bercocok tanam. Karena setiap hari mereka bergumul dengan alam yang demikian itu, maka pengaruh daratan, lautan dan pegunungan terhadap kehidupan masyarakat Jawa cukup kuat. Sebagai petani lalu diwarnai filsafat baik pertanian maupun gunung. Demikian pula masyarakat Jawa yang hidup di pantailalu diwarnai filsafat laut. Di samping itu agar mereka mampu menjawab berbagai tantangan yang cukup berat, maka mereka lalu berusaha mencari kasekten (kesaktian). Barang siapa sakti akan dapat mengatasi masalah yang mereka hadapi. Kasekten merupakan salah satu ciri kehidupan masyarakat Jawa.

112

BAB VI UPACARA TRADISIONAL DAN TERTIB KOSMOS

A. Pemikiran Kefilsafatan Filsafat sebagai hasil budaya manusia tidak lepas dari pengaruh alam sekitar. Alam Indonesia berupa tanah pertanian, pegunungan dan lautan, maka filsafat masyarakat Jawa juga mencerminkan filsafat tani, gunung, laut dan kasekten. Ini tidak berarti bertentangan dengan pandangan mereka yaitu bahwa segala sesua.tu berasal dari Tuhan, sebagai sangkan paraning dumadi atau asal dan tujuan segala yang ada. Filsafat tani dan laut serta gunung sebagai bukti keterbatasan kemampuan manusia, sebaliknya betapa agungnya kekuasaan Tuhan yang pengejawantahannya dapat dilihat di mana-mana. Kecuali itu hal yang sangat menonjol di dalam filsafat masyarakat Jawa ialah soal kasekten. Kasekten mempunyai peranan penting dalam tata kehidupan masyarakat Jawa. Hal ini nampak antara lain pada pimpinan masyarakat. Seorang pemimpin harus memenuhi berbagai syarat, antara lain memiliki kasekten. Dengan kasekten itu ia mempunyai wibawa dalam memimpin masyarakat. Berdasarkan atas uraian tersebut di atas filsafat masyarakat Jawa mempunyai ciri monopluralistik sinkretik. Pluralistik karena mempunyai lebih dari satu ciri yaitu pertanian, gunung, laut dan kasekten. Sinkretik karena filsafat masyarakat Jawa mempunyai ciri yang luwes, dapat menerima berbagai ciri tanpa menimbulkan goncangan. Monopluralistik karena segala ciri tersebut tidak dapat

113

dipisahkan satu sama lain, akan tetapi merupakan kesatuan yang bulat. Puncak dari padanya adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Di bagian atas sudah disinggung berbagai upacara yang bertujuan agar orang yang menyelenggarakan upacara beserta seluruh keluarganya memperoleh selamat. Upacara-upacara tersebut ialah: tingkeb, brokohan, sepasaran, selapanan, tedhak siten dan perkawinan. Di dalam upacara tersebut salah satu sarana kelengkapannya ialah hasil-hasil pertanian. Lebih-lebih di dalam upacara perkawinan, digunakanlah berbagai jenis hasil pertanian antara lain daun kelapa muda, buah kelapa, padi, tebu, buah-buahan dan daun-daunan. Hal itu menunjukkan bahwa pertanian dapat memberi corak kefilsafatan Jawa. Untuk mendapatkan hasil pertanian yang cukup berbagai usaha dilakukan baik di bidang pertanian maupun perdagangan. Usaha-usaha tersebut kadangkadang dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat adi-kodrati misalnya kepercayaan adanya kekuatan adikodrati yang dapat membantu mereka. Bentuknya nampak pada waktu mulai menanam, memelihara tanaman dan memetik hasilnya. Demikian pula pada waktu mereka memperdagangkan hasil-hasil pertanian dan peternakan. Mereka mengadakan upacara dan membaca doa demi suksesnya hasil karya mereka. Di antara berbagai kebiasaan itu adalah sebagai berikut : Dalam bidang pertanian masih ada kebiasaan yang seka,ang ini tetap dijalankan. Misalnya waktu pabrik akan mulai menggiling tebu diadakan keramaian yang dikenal degan nama b u k a k g i l i n g artinya mulai menggiling tebu. Dalam pada itu diadakan pula upacara selamatan dengan maksud agar hasil giling akan sukses dan tidak terjadi suau apapun selama musim giling tersebut.

114

Dengan adanya upacara itu terbukti bahwa hasil kerja suatu pabrik tidak hanya ditentukan oleh kemajuan teknologi saja, akan tetapi juga oleh kekuatan lain di luar itu. Kejadian seperti ini tidak hanya terdapat di pabrik tebu saja, akan tetapi juga di pabrik-pabrik lain meskipun dengan cara yang berbeda-beda. Pada waktu menjelang mengetam padi diadakan upacara bernama wiwit artinya mulai mengetam padi. Dalam upacara tersebut hasil-hasil pertanian misalnya talas, pisang, ubi, ketela, garut, ganyong dipakai sebagai bahan selamatan.

B. Tradisi Garebeg Sekaten Tidak asing bagi masyarakat Yogyakarta yang biasa meyaksikan keramaian yang mengandung nilai religius khuusnya nilai yang terkandung di dalam agama Islam setiap setahun sekali yaitu pada bulan Maulud. Oleh karena itu paca.ra ini dinamakan garebeg Maulud. Yaitu upacara selmatan atau hajad Dalem berupa tumpeng yang besar atau inungan yang dibawa dari kraton ke mesjid besar pada aktu dan hari-yang telah ditetapkan. Pada hari tersebut digarebeg atau diikuti oleh pengiringnya menuju mesjid besar untuk melakukan upacara selamatan bersama-sama dengan para penghulu kraton, ulama, pembesar lain dan rakyat pada umumnya. Oleh karena diadakan pada bulan Maulud lalu

dinamakan garebeq mulud. Di samping garebeg Mulud masih ada garebeg lain yang diadakan pada bulan Sawal dan Besar. Karena itu upacara tersebut juga dinaman Garebeg Besar. Ketiga macam upacara itu hampir sama bentuknya dan nilai yang terkandung di dalamnya juga sama yaitu nilai agama khususnya agama Islam.

115

Istilah sekaten mempunyai arti bermacam-macam. Ada yang mengatakan nama tersebut diambil dari kata sekati yaitu nama gamelan yang ditabuh di muka masjid besar selama perayaan sekaten itu berlangsung. Ada pula yang mengartikan lain yaitu diambil dari kata sahadatain atau dua kalimah sahadat atau pengakuan setiap orang Islam bahwa tidak ada Tuhan lain kecuali Allah dan Nabi Muhammad saw, adalah pesuruh-Nya. Dengan demikian kata Syahadatain lalu menjadi sekaten artinya perayaan atau upacara sebagai pengejawantahan pelaksanaan nilai yang terkandung di dalam agama Islam. (Sunoto, 1989: 36). Pada waktu para wali menyebarkan agama Islam di Jawa mereka secara bijaksana menggunakan cara yang sangat baik yaitu bagaimana agar agama Islam dapat diterima oleh rakyat dengan baik, dengan penuh kesadaran. Salah satu cara yang mereka gunakan adalah dengan memakai alat berupa gamelan. Mereka memahami benar-benar bahwa rakyat pada umumnya gemar akan pertunjukan; gemar akan kesenian. Dengan demikian agar rakyat dapat dikumpulkan dengan mudah maka cara yang paling baik adalah melalui pertunjukan berupa nyanyian yang diiringi oleh gamelan yang dipukul di muka atau di halaman masjid. Setelah rakyat ber kumpul mendengarkan bunyi gamelan yang indah itu, terbukalah kesempatan untuk meberi penerangan tentang agama Islam kepada mereka. Dengan cara demikian maka rakyat secara sadar mengetahui tentang agama Islam dan kemudian memeluk agama tersebut dengan senang dan penuh tanggung jawab. Sesuai dengan ajaran agama Islam bahwa tidak ada paksaan dalam agama maka penyebaran dan perkembangan

116

agama Islam di Jawa berjalan secara tertib dan damai. Demikianlah tradisi ini terus berjalan sampai sekarang dengan penyempurnaan pelaksanaannya sesuai dengan tuntutan waktu dan jaman. Berikut ini adalah sekelumit contoh tentang Sekaten di Yogyakarta. Beberapa hari sebelum gunungan dibawa dari kraton ke mesjid besar telah diadakan berbagai keramaian yang diadakan di alun-alun Utara Yogyakarta. Pada hari dan jam yang telah ditentukan gamelan nyahi dan kyahi Sekati dibawa dari kraton ke mesjid besar untuk ditabuh selama perayaan tersebut berlangsung. Kemudian puncak acara adalah membawa gunungan dari kraton ke mesjid besar. Upacara ini dilakukan dengan penuh kebesaran dan khidmat. Sebagaimana disebutkan di atas maka pada puncak acara ini Sri Sultan yang mempunyai hajad dengan diiringkan oleh pembesar kraton dan kerabat pergi dari kraton ke mesjid besar untuk melakukan selamatan bersama para ulama, penghulu dan rakyaL pada umumnya. Beberapa waktu kemudian gamelan yang selama perayaan itu dibunyikan lalu dibawa kembali ke kraton. Upacara sekaten secara resmi telah selesai. Gunungan sebenarnya adalah sebuah tumpeng yang besar dimaksudkan untuk selamatan atau kendhuri. Yang mempunyai hajad adalah raja. Ada dua jenis gunungan yaitu laki-laki dan perempuan. Dari seluruh kegiatan dalam rangka sekatenseperti diuraikan di atas nampak dengan jelas bagaimana bentuk filsafat hidup masyarakat Jawa. Sekaten penuh diliputi oleh nilai religius khususnya nilai agama yang terkandung di

117

dalam Islam. Lagu-lagu telah dipilih sedemikian rupa agar mempunyai nilai sakral. Upacara-upacara harus dipenuhi dan dijalankan secara runtut; misalnya waktu membawa gunungan telah ditetapkan harinya, jamnya dan siapa yang mengangkat. Nilai moral dan keindahan jelas nampak dalam upacara sekaten. Terlihat dalam hal hubungannya dengan tujuan upacara, kepada siapa tumpeng harus dibagikan, pakaian yang bagaimana harus dipakai pada waktu melakukan upacara itu agar semuanya tampak susila dan indah. Upacara sekaten menunjukkan bagaimana hubungan antara raja dengan para ulama dan rakyat pada umumnya. Raja'.dengan para Pangeran dan Pembesar kraton tedhak ke mesjid besar bersama-sama dengan ulama ddn rakyatmengadakan selamatan. Raja bergaul akrab dengan rakyat dalam melaksanakan kepentingan bersama yaitu berbakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar mendapat rahmat dan keselamatan dari-Nya. Gunungan terdiri atas makanan dan berbagai buah-buahan. Ini berarti bahwa dalam upacara ini hasil-hasil pertanian digunakan sebagai perlengkapan upacara.Karena itu nilai pertanian ikut pula berperanan di dalam upacara ini.

C. Penghormatan pada Dewi Sri Bagi masyarakat Jawa nama Dewi Sri selalu dihubungkan dengan kegiatan di bidang pertanian. Hingga pada waktu sekarang ini jika orang akan mengetam padi masih ada yang disertai ucapan tertentu yang dikaitkan dengan Dewi Sri agar hasil padi yang diharapkan akan berlimpah. Pengaruh ini tidak hanya terbatas pada soal pertanian saja tetapi juga mempengaruhi kehidupan

118

sehari-hari di dalam rumah tangga. Sebagaimana kita ketahui rumah asli orang Jawa terdiri atas tiga bagian yaitu pendhapa, paringgitan dan dalem. Dalem adalah bagian rumah yang ditempati untuk tidur terdiri atas tiga ruangan atau senthong, yaitu senthong kiri, senthong kanan dan senthong tengah. Senthong kiri dan kanan ditempati untuk tidur sedangkan senthong tengah dianggap sebagai ruangan yang suci digunakan jika ada upacara-upacara yang suci misalnya perkawinan. Di dalam ruangan ini terdapat berbagai benda misalnya kendhi, tempat sirih, pengidon dan lain-lain. Ruangan ini dihubungkan dengan suatu anggapan sebagai tempat Dewi Sri. Dari uraian tersebut di atas dapat dibuktikan betapa peranan unsur pertanian. Sebagai peran utama dalam hal ini adalah Dewi Sri, bahkan sering disebut bersama dengan adik yang kemudian menjadi suaminya yaitu Sadana. Ceritera Dewi Sri di dalam wayang: Sebenarnya apa yang diceriterakan mengenai lakon Dewi Sri adalah lambang mengenai pertanian. Di dalam ceritera tersebut Dewi Sri dilukiskan sebagai puteri seorang raja yang diusir dari kerajaan karena menolak pinangan seorang raja raksasa. Kemudian ia dikejar-kejar oleh utusan raja dan dilindungi oleh siapa saja yang didatangi olehnya. Akhirnya ia selamat, para pengejarnya dihancurkan dan Dewi Sri menjadi isteri adiknya sendiri. Karena Dewi Sri adalah lambang pertanian maka perjalanannya adalah lambang bagaimana pertanian mendapat serangan dari hama dan

119

bagaimana dapat terhindar dari hama tersebut. Bagaimanapun juga ceritera tersebut sangat terkenal dan digemari oleh masyarakat Jawa.

Di tepi-tepi pantai masyarakat menghadapi tantangan yang berbeda dengan mereka yang hidup di tengah-tengah atau di daerah pedalaman. Mereka harus menjawab.tantangan dengan sebaik-baiknya. Timbullah berbagai bentuk jawaban yang diberikan oleh mereka yang intinya adalah halhal yang bersangkut paut dengan laut misalnya nyai Roro Kidul sebagai Dewi lautan, Sebagai bukti berikut ini adalah contoh-contohnya. Upacara Langse, langse adalah kain yang digunakan untuk menutup makam Sultan Agung Anyakrakusuma di makam raja-raja Imagiri. Kain penutup tersebut dalam waktu tertentu misalnya satu windu harus diganti. Yang mempunyai tugas untuk mengganti kain penutup bergantian yaitu kerabat kesunanan Surakarta, dan kerabat kesultanan Yogyakarta. Penggantian tersebut dilakukan dengan upacara tertentu. Upacara inilah yang kemudian bernama langse. Setelah upacara caos, tahlilan dan penggantian langse, akhirnya diadakan upacara melabuh langse tersebut di laut Selatan.

D. Tradisi Labuhan Di daerah Surakarta dan Yogyakarta ada upacara laut yang disebut labuhan. Upacara ini ti.dak dapat dipisahkan dengan rangkaian mengenang peristiwa berdirinya kerajaan Mataram terutama ceritera pada waktu Panembahan Senapati berhubungan dengan Nyai Rara Kidul. Upacara labuhan diadakan pada

120

waktu tertentu yang intinya adalah melabuh atau membuang pakaian-pakaian bekas dari raja ke laut. Untuk kraton Surakarta pakaian tersebut dilabuh di pantai Brosot, sedangkan untuk kraton Yogyakarta dilabuh di pantai Parangtritis. Upacara labuhan disertai dengan sarana-sarana dan prosedur yang bersifat sakral antara lain mengenai alat-alat sajian, pakaian, pembawa pakaian yang akan dilabuh. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam menyelenggarakan upacara labuhan sebagai berikut: Pada saat persiapan upacara labuhan bersifat tertutup artinya hanya dilakukan di dalam Kraton Yogyakarta. Adapun yang terlibat dalam menyelenggarakan persiapan upacara ini adalah para puteri kerabat kraton yang sudah tua usianya, abdi dalem Keparak, abdi dalem Kawedanan Ageng Punakawan Widyabudaya dan Kyai Penghulu. Pada saat persiapan ini yang boleh menyaksikan adalah Sri Sultan Hamengku Buwana IX dan keluarganya serta para abdi dalem Kraton Yogyakarta. Pada saat persiapan ini kecuali menyiapkan perlengkapan upacara labuhan juga menyiapkan perlengkapan ulang tahun (tingalan dalem) Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Demikian juga pada saat upacara ulang tahun (tingalan dalem) ini masih bersifat tertutup sebab masih dilakukan di dalam kraton. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam upacara ini yaitu abdi dalem Kawedanan Ageng Punakawan Widyabudaya, abdi dalem Keparak,.kerabat kraton dan abdi dalem Pengulon. Kemudian pada pelaksanaan upacara labuhan, bersifat terbuka artinya dilakukan di luar kraton sampai di tempat di mana dilaksanakan labuhan di Parangkusuma, Gunung Merapi, Gunung Lawu maupun Dlepih Kahyangan.

121

Pelaksanaan upacara labuhan melibatkan abdi dalem Kawedanan Ageng Punakawan Widyabudaya dan pejabat di luar kraton seperti bupati, camat, lurah, juru kunci serta masyarakat di sekitar tempat upacara. Pada jaman sebelum Sri Sultan Hamengku Buwana IX naik tahta tata-cara pelaksanaan upacara labuhan harus melalui Patih Kasultanan. Patih Kasunanan Surakarta (bagi labuhan di Gunung Lawu dan Dlepih Kahyangan), Residen Yogyakarta, Residen Surakarta (bagi labuhan di Gunung Lawu dan Dlepih Kahyangan) sebagai administrator yang mewakili pemerintah Hindia Belanda. Para pejabat itu semua menjadi saksi resmi bahwa upacara labuhan dilaksanakan. Kesaksian para pejabat tersebut baik dari lingkungan pemerintah Kraton Yogyakarta maupun dari lingkungan pemerintah Hindia Belanda, menjadi bukti bahwa upacara labuhan merupakan suatu upacara resmi dari Kraton Yogyakarta. Pada pelaksanaan upacara labuhan yang dilaksanakan di tempat-tempat tertentu, masyarakat setempat juga ikut bertindak sebagai saksi. Sejak di kecamatan masing-masing, masyarakat setempat menyambut dan memberikan penghormatan kepada benda-benda labuhan yang dibawa oleh para petugas. Kemudian masyarakat setempat, bersama-sama mengantar sampai di tempattempat di mana upacara labuhan dilaksanakan oleh juru kunci. Juru kunci boleh dikatakan mewakili masyarakat setempat di mana upacara labuhan dilakukan dan bertindak atas nama raja pada waktu melaksanakan labuhan di tempat-tempat tersebut. Kecuali itu juru kunci juga mempunyai hak untuk memiliki benda-benda yang telah selesai dilabuh (Sularto, 1981 : 34).

122

E. Ngundhuh Sarang Burung Untuk menambah kepercayaan diri dan menghindari bahaya yang mengancam, mereka mengadakan upacara yang pokoknya berisi harapan mendapat ijin dari Nyai Rara Kidul. Mereka harus mematuhi larangan-larangan dan melakukan berbagai ketentuan antara lain : pemberian sesaji-sesaji. Larangan memakai baju, kain dan selendang yang berwarna seperti pakaian Nyai Rara Kidul. Selamatan dan berbagai pertunjukan misalnya wayang, tarub, kuda kepang, topeng. Upacara laut di Pantai Popoh. Upacara tersebut dahulu belum pernah ada. Upacara diadakan pada hari Raya Idul Fitri, Tahun Baru dan Maulud Nabi. Upacara pada waktu Maulud Nabi isinya menyerupai upacara gunungan. Ada pula Upacara Rebo Wekasan. Keramaian itu dinamakan Rebo Wekasan, karena diadakan pada hari malam Rebo terakhir yang ada di bulan Sapar. Keramaian atau adat-istiadat berupa Rebo Wekasan mengandung nilai alam, khususnya laut. Nilai alam nampak pada hubungan antara keramaian dan idat istiadat berupa penyeberangan sungai, berjalan ke beberapa tempat dan dilakukan pada malam hari. Di samping itu orang-orang masih mempunyai anggapan bahwa tempat tersebut dahulu juga merupakan pertemuan antara Nyai Rara Kidul dengan Sultan Agung. Sebenarnya upacara laut tidak hanya terdapat di pantai Selatan, akan tetapi juga dilakukan oleh Masyarakat Jawa yang bertempat tinggal di pesisir Utara dan Timur. Upacara ini biasanya dikerjakan oleh masyarakat nelayan misalnya yang

123

bertempat tinggal di Tegal, Tuban dan Banyuwangi. Sudah barang tentu mereka tidak berhubungan dengan Nyai Rara Kidul, akan tetapi makhluk halus yang menghuni lautan pada umumnya.

F. Pengaruh Mistik Gunung Di samping pertanian dan laut, masyarakat Jawa juga menempatkan gunung sebagai sesuatu yang memegang peranan penting di dalam tata kehidupan mereka. Pada waktu sekarang inipun masih ada anggapan bahwa gunung-gunung tertentu dihuni oleh para makhluk halus, masih angker atau gawat. Misalnya gunung Semeru, gunung Brama, gunung KElut, gunung Liman, gunung Lawu, gunung Merapi, gunung Merbabu, gunung Sumbing, gunung Sindara, gunung Slamet. Pada waktu-waktu tertentu masih diadakan upacara-upacara untuk mengenang keangkeran gunung-gunung tersebut. Upacara-upacara berikut ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa di dalam kehidupannya harmonik dengan alam lingkungannya termasuk pegunungan. Upacara Gunungan, adalah salah satu sarana dalam upacara gerebeg adalah gunungan. Meskipun pada hakekatnya upacara ini bernilai religius, namun disamping mengandung filsafat tani sebagaimana telah dikemukakan, mengandung pula filsafat gunung. Hal ini nampak dalam bentuk gunungan, yang melambangkan hirarki hubungan antara Tuhan dengan yang diciptakannya dan hirarki hubungan antara raja dengan rakyatnya. Hubungan-hubungan tersebut bila berjalan baik akan membawa kemakmuran dan kebahagiaan hidup. Istilah

124

gunungan juga dipakai untuk sebutan dalam wayang yaitu lukisan gunung yang mempunyai multi fungsi antara lain untuk memulai dan menutup pertunjukan. Upacara tumpengan. Masyarakat Jawa mempunyai kebiasaan

mengadakan selamatan pada waktu-waktu tertentu untuk memperingati kejadian-kejadian penting, misalnya peringatan kelahiran anak, puputan, khitanan, perkawinan, hari ulang tahun, membuat rumah atau gedung baru, menempati rumah baru, ulang tahun kantor atau lembaga, ulang tahun organisasi, hari-hari besar atau hari bersejarah. Salah satu alat yang digunakan dalam upacara ini adalah tumpeng. Karena itu selamatan semacam ini juga dinamakan tumpengan. Tumpeng terbuat dari nasi dan berbentuk kerucut atau gunung. Selamatan dengan tumpeng mengingatkan kepada kita bagaimana masyarakat menempatkan gunung sebagai salah satu yang mempunyai nilai tinggi. Mengingatkan bahwa ada kekuasaan tertinggi yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa yang wajib dimintai keselamatan oleh manusia. Upacara kesada, Masyarakat Tengger mengadakan Upacara kesada di puncak gunung Brama, Upacara ini jatuh pada bulan purnama sidi di bulan kesada atau bulan kedua belas. Upacara dilakukan di laut pasir gunung Brama, semalam suntuk dan diakhiri pagi hari setelah mereka menyaksikari terbitnya matahari dan sudah tidak ada lagi orang yang melemparkan korban ke bawah, sebagai upacara korban kepada Sang Hyang Brama. Bangunan di pesarean Imagiri juga berbentuk gunung yaitu bertingkattingkat. Tingkat-tingkat tersebut juga melambangkan perjalanan hidup manusia.

125

Demikian pula bangunan candi Borobudur bertingkat-tingkat yang berarti pula sebagai lambang perjalanan hidup manusia. Yogyakarta memang kaya akan berbagai adat kebiasaan yang secara turun temurun masih dijalankan oleh masyarakat seperti halnya upacara saparan di gunung Gamping yang juga terkenal dengan bekakak. Upacaranya sendiri dilakukan pada hari Jum'at Wage pada bulan Sapar setiap tahun sekali dengan mengarak bekakak yang akan disembelih di tempat yang telah ditetapkan. Karena itu adat kebiasaan tersebut dinamakan upacara saparan.

126

BAB VII KIDUNG PENOLAK BALAK

A. Kidung Rumeksa Ing Wengi Ada nyanyian yang menjaga di malam hari. Kukuh selamat terbebas dari penyakit. Terbebas dari semua malapetaka. Jin setan jahat pun tidak berkenan. Guna-guna pun tidak ada yang berani. Juga perbuatan jahat. Ilmu orang yang bersalah. Api dan juga air. Pencuri pun jauh tak ada yang menuju padaku. Gunaguna sakti pun lenyap. Semua penyakit pun bersama-sama kembali. Berbagai hama sama-sama habis. Dipandang dengan kasih sayang. Semua senjata lenyap. Seperti kapuk jatuhnya besi. Semua racun menjadi hambar. Binatang buas jinak. Kayu ajaib dan tanah angker. Lubang landak rumah manusia tanah miring. Dan tempat merak berkipu. Tempat tinggal semua badak. Walaupun arca dan lautan kering. Pada akhirnya, semua selamat. Semuanya sejahtera. Dikelilingi bidadari. Dijaga oleh malaikat. Semua rasul. Menyatu menjadi berbadan tunggal. Hati Adam, otaku Baginda Sis. Bibirku Musa. Napasku Nabi Isa as. Nabi Yakub mataku. Yusuf wajahku. Nabi Dawud suaraku. Nabi Sulaiman kesaktianku. Nabi Ibrahim nyawaku. Idris di rambutku. Baginda Ali kulitku. Darah daging Abu Bakar Umar. Tulang Baginda Usman. Sumsumku Fatimah yang mulia. Siti Aminah kekuatan badanku. Ayub kin dalam ususku. Nabi Nuh di jantung. Nabi Yunus di ototku. Mataku Nabi Muhammad. Wajahku rasul. Dipayungi oleh syariat Adam. Sudah meliputi seluruh para nabi. Menjadi satu dalam tubuhku.

127

Kejadian berasal dari biji yang satu. Kemudian berpencar ke seluruh dunia. Terimbas oleh zat-Nya. Yang membaca dan mendengarkan. Yang menyalin dan menyimpannya. Menjadi keselamatan badan. Sebagai sarana pengusir. Jika dibacakan alam air. Dipakai mandi perawan tua cepat bersuami. Orang dila cepat sembuh. Jika ada orang didenda cucuku. Atau orang yang terbelenggu keberatan hutang. Maka bacalah dengan segera. Di malam hari. Bacalah dengan sungguhsungguh sebelas kali. Maka tidak akan jadi didenda. Segera terbayarkan oleh Tuhan. Karena Tuhanlah yang menjadikannya berhutang. Yang sakit segera sembuh. Jika ingin bagus menanam padi. Berpuasalah sehari semalam. Kelilingilah pematangnya. Bacalah nyanyian itu. Semua hama kembali. Jika engkau pergi berperang. Bacakan ke dalam nasi. Makanlah tiga suapan. Musuhmu tersihir tidak ada yang berani. Selamat di medan perang. Siapa saja yang dapat melaksanakan. Puasa mutih dan minum air putih. Selama 40 hari. Dan bangun waktu subuh. Bersabar dan bersyukur di hati. Insya Allah tercapai. Semua cita-citamu. Dan semua sanak keluargamu. Dari daya kekuatan seperti yang mengikatku. Ketika di Kalijaga.

Dhandhanggula Ana kidung rumeksa ing wengi Teguh ayu luputa ing lelara Luputa bilahi kabeh Jim setan datan purun Paneluhan tan ana wani Miwah panggawe ala Gunaning wong luput Geni atemahan tirta Maling adoh tan ana ngarah mring mami Guna duduk pan sirna

128

Sakabehing lara pan samnya bali Sakeh ngama pan sami miruda Welas asih pandulune Sakehing braja luput Kadi kapuk tibaning wesi Sakehing wisa tawa Sato galak lulut Kayu aeng lemah sangar Songing landhak guwaning wong lemah miring Myang pokiponing merak Pagupakaning warak sakalir Nadyan arca myang segara asat Temahan rahayu kabeh Apan sarira ayu Ingideran kang widadari Rineksa malaikat Sakathahing rasul Pan dadi sarira tunggal Ati Adam uteku Baginda Esis Pangucapku ya Musa. Napasku Nabi Musa linuwih Nabi Yakub pamyarsaningwang Yusup ing rupaku mangke Nabi Dawud swaraku Jeng Suleman kasekten mami Nabi Ibrahim nyawaku Edris ing rambutku Bagendha Li kulitingwang Getih daging Abu Bakar singgih Balung Bagenda Usman Sungsumingsun Patimah linuwih Siti Aminah bayuning angga Ayub ing ususku mangke Nabi Nuh ing jejantung Nabi Yunus ing otot mami Netraku ya Muhammad Pamuluku rasul Pinayungan Adam sarak Sampun pepak sakathahing para nabi Dadya sarira tunggal Wiji sawiji mulune dadi Apan pencar saisining jagat

129

Kasamadan dening date Kang maca kang angrungu Kang anurat kang anyimpeni Dadi ayuning badan Kinarya sesembur Yen winacakna ing toya Kinarya dus rara gelis laki Wong edan nuli waras Lamun ana wong kadhendha kaki Wong kabanda wong kabotan utang Yogya wacanen den age Nalika tengah dalu Ping sawelas macanen singgih Luwar saking kabanda Kang kadhendha wurung Aglis nuli sinauran mring hyang Suksma kang utang puniku singgih Kang agring nuli waras Lamun arsa tulus nandur pari Puwasaa sawengi sadina Iderana galengane Wacanen kidung iku Sakeh ngama sami abali Yen sira lunga perang Wateken ing sekul Antuka tigang pulukan Musuhira rep sirep tan ana wani Rahayu ing payudan. Sing sapa reke bisa nglakoni Amutiya lawan anawaa Patang puluh dina wae Lan tangi wektu subuh Lan den sabar sukuring ati Insya Allah tinekan Sakarsanireku Tumrap sanak rakyatira Saking sawabing ngelmu pangiket mami Duk aneng Kalijaga.

B. Kidung Waringin Sungsang

130

Durma Wringin Sungsang wajahira tumaruna ngaubi awak-mami turti nut ing bala pinacak suji kembar pepitu jajar maripit asri yen siyang angker kalaning wengi. Duk samana pakumpul-kumpul ing rasa netra kang dadi dhihin netraningsun emas peputihe mutyara ireng-ireng wesi manik ceploking mata hawa nrang adarati. Idepingsun kencana ure ruwetan alisku sarpa mandi kiwa tengen pisan curengku surya kembar kedhepku pan kilat thathit kang munggeng sirah wesi Kekenten adi. Rambut kawat sinomku pamor anglayang bathuk sela Cendhani kupingku salaka pipiku arit gobang irungku pasado aji pasungku loyang pilingan wesi kuning. Watu item lungguhe ing janggut ing wang untuku rajeg wesi lidhah wesi abang rawis wesi Mangangkang: iduku tawa sakalir lambeku iya, sela matangkep kalih. Guluningsun wesi palon galigiran dhadha wesi sadacin pundak wesi Angkab walikat wesi Ambal; salangku wesi Walulin bahuku Dhendha, sikutku pukul wesi. Astaningsun Curiga pek-epek Cakra Jangkar jempol kekalih panuduh Trisula panunggulku Malela memanisku supit wesi jenthikku iya kang aran Pasopati

131

Bebokongku sela ageng kumalasa akawet wesi gilig eboling sun karah taiku pulut bendha balubukan entut-mami uyuhku wedang dakarku Pulasani. Jembut kawat ganthanganku wesi Mentah walakang wesi Tasik pupu Kalataka wentisku Kalanadhah dhengkulku garendha kalih garesku pedhang kempolku wesi Lengis. Pagelangan ingaran wesi Lelidhah tungkak waja karipik pepolokku waja kadya mamas Malela otot bayu rante wesi ing dalamakan ingaran Kantonwesi. Sampun pepak sariraningsun sadaya samya pangawak wesi pan ratuning braja manjing aneng sarira tan ana braja nedhasi teguh leksana ayu sarira-mami.

C. Kidung Bale Anyar

Durma Ana kidung sun angidung Bale Anyar tanpa galar asepi ninis samun-samar patining Wuluh Kembang Siwur Burut tanpa kancing kayu trisula gegarannya Calimprit. Sumur Bandhung sesirah talaga muncar tibeng jaja ajail dhindhing endhas parah

132

ulur-ulur liweran tetambang jaringing maling dhadhal dhadhanya gegulung ing gegapit. Naga Raja pangawasan manik kembang kembang gubel abaji tajem neng kadhutan udhune sarwi nungsang karangsangan angutihpil angajak-ajak jujul jujul anjungkir. Prapteng ngandhap cinandak inguluk salam ingaweran tumuli ana kenya prapta sajodho ngaku kondhang endi jambe roro janji roro binuwang aja na wani-wani. Rara Wudhu apepayung Kalacakra titihane nagaji sabet ala lanang sinabetaken ngetan larut lara pan kabalik katulak ngetan : sinabetaken malih Lara saking nginggil sinabet katulak bali manginggil malih : lara saking ngandhap sinabet bali mandhap pancabaya wus kapipit sanak kang prapta saking wetan aputih. Kuthanipun salaka Ki Tarulata nggawa bala sakethi ayu pan reksanya teguh luput ing lara sanakingsun kidul prapti Ki Manguntara abang kuthanira brit. Gawa bala pitung ewu pangreksanya nulak sagung panyakit sirna sunya baya sanak-sun kulon prapta Ki Mangit warnanya kuning kuthanya emas

133

balane pitung kethi.

Pangresanya ayu luput ing rencana teluh tuju lan telik pan sirna sadaya sanak sun elor prapta ireng ran Ki Balesupi kuthanya tosan nggawa bala sakethi. Pangreksanya ayu luput ing rencana Allahumma seksi bumi ingkang neksenane ing langit keblat papat malaekat angideri nabi seleksa rumeksa siyang ratri. Araketa malaekat kawan nambang sadaya rupa peksi anucuki lara utawa impen ala upamane sadayeki cinucuk sirna rampas papas wus titi.

D. Kidung Pamungkas Hayu

Sinom Wus tamat kidung sadaya pepalining janma luwih kinarya jimat tetulak anulak sakeh bilahi mungguh lakunireki wong anom dipun sumurub maring wahyuning Patrap duga prayoganing urip urip iku neng praja kudu rumeksa. Rumeksa inguripira ing tindak kudu ngawruhi aja dhemen lelemeran bisaa nuhon janji

134

ujar kang wur kawijil awasna aywa tumpang suh mulane nora gampang lakune wong ulah ilmu ilmu iku ngawruhi sajatinira. Nyatane wus aneng Kita Kita Pribadi puniki dudu angen-angen nafas utek lan jejantung kaki rokh rasa lawan ati kabeh sajatine dudu iku mung titipan mangka busananing dhiri kabeh iku anglindung Zat ing Manusa. Dene kang aran Manusa unusaning Suksma jati ya iku Pangeran Kita ingkang boya ika iki padha dipun mangerti jatine kang aran Ingsun kang esa ingkang tunggal kang mengku ing sahir kabir yen tan wruha durung tetep aran Gesang. Nadyan amung limang pada kaya iki wus mumpuni maring dumununging Zat kita kang langgeng tan owah gingsir mungguh Kita kang Urip kang mengku ing rasul-rasul lan mengku wewayangan neng sajroning netra kalih kabeh iku aneg sajroning Manusa.

E. Kidung Sifat Iman Dhandhanggula Sifat Iman : wa man tu billahi tegesipun pracaya ing Allah ing Pangeran sajatine ya pangeran kang Agung kang akarya bumi dan langit angganjar lawan niksa

135

mring manusa sagung langgeng tur murba misesa maha suci angganjar paring rejeki aniksa angapura. Kaping kalih : wa malekati tegesipun pracaya malaekat anapunika tegese ingulus ing Hyang Agung pakaryane anenulisi marang kawulanira kang dosa Jin agung kang karya purbawisesa neka-neka karyane sawiji-wiji sakehing malaekat. Kaping tigane : wa kitabihi tegesipun pracaya ing kitab kang tinurunaken kabeh kitab Adam sapuluh. Nabi Esis seket wanilis anenggih ponang kitab Idris telung puluh Ibrahim sepuluh kitab Toret Musa Dawud Jabur Isa Injil Kitab Kuran Muhammad. Yogya sira kawruhana sami muga-muga antuka sapangat iya iku andikane Gusti Jeng Nabi Rasul sinung rahmat dening Hyang Widdhi sing sapa ngapalena iya janjinipun den padhakken asidhekah saben warsa sami lan wong munggah kaji sapisan marang Mekah. Lan den dohken sakehing bilahi sinung rahmat ing dunya akhirat sarta linebur dosane lan malih sawabipun lamun janma kang sakit lah sira wacakena ulon-ulonipun ngalamat ingkang alara oleh tamba saking sabdaning Hyang Widdhi lan berkahing Panutan.

136

Kawruhano kehing para nabi Nabi Adam kang mangke kawitan Nabiullah wekasane kathahe yen pinitang kawan dasa langkung kekalih lah sira estokena sadaya den emut luwih agung kang supangat lemah sangar kayu neng lebur sami tan ana kara-kara.

F. Kidung Sekar Artati Dhandhanggula Ana kidung atembang Artati sapa wruha reke aran ingwang duk ingsun ana ing ngare miwah duk aneng gunung Ki Artati lan Wisamarti ngalih aran ping tiga Artadaya tengsun, aran ingsun duk jejaka mangkya aran Ismail Jatimalangis aneng tengahing jagat. Sapa weruh kembang tepus kaki sasat weruh reke Artadaya tunggal pancer ing uripe sapa wruh ing panuju sasat sugih pagere wesi sinihan wong sajagat kang angidung iku bratanana aywa nendra ing sadina sawengi sawabireki sarwa cinipta dadya. Kang sinedya tinekan ing Widdhi kang kinarsan dumadakan ana tur rinekseng Pangerane nadyan tan weruh iku lamun sedya mudya semadi sesandi ing nagara angumbara wiku dumadi sarira tunggal tunggal jati-swara amor ing Artati aran Sekar Jempina. Somahira ingaran Panjari milu urip lawan milu pejah datan pisah saparane paripurna satuhu yen nirmala waluya jati kena ing kene kana ing wasananipun

137

ajejuluk Aniksuksma cahya ening jumeneng aneng Artati anom tan keneng tuwa. Tigalana kamulanireki Nila ening arane duk gesang duk mati Layangsuksma-ne lan Suksma ngumbareku ing asmara mor raga yekti durung darbe peparab duk anome iku awayah bisa dedolan aran Sang Tyasjati iya Sang Artati iya Sang Artadaya. Dadi wisa mangkya amartani lamun marta temah amisaya marma artajaya rane duk lagi aneng gunung ngalih aran Asmarajati wayah tumekeng tuwa emut ibunipun tinari lunga mangelan Ki Artati nurut gigiring Merapi angancik ing Sundara. Ana pandhita akarya wangsit pinda kombang angajab ing tawang susuh angin ngendi nggone lawan galihing kangkung wekasaning langit jaladri isining wuluh wungwang myang giring punglu tapaking kontul anglayang paksi miber uluke ngungkuli langit kusumanjrah ing tawang. Wong angangsu pikulane warih lawan amot geni adedamar miwah kang srengenge pine tuwin kang banyu kinum myang dahana murub binasmi bumi kapetak ingkang pawanatiniyup tanggal pisan kapurnaman yen anenun sentek pisan anigasi kuda agrap ing pandengan. Ana kayu apurwa sawiji

138

wit buwana epang kabiat papat agodhong mega rumemba apradapa kekuwung kembang lintang salaga langit sari andaru kilat woh surya lan tengsu asirat bun lawan udan apepacuk akasa brungkah pratiwi soyod bayu bajra. Wiwitane duk anemu candhi gegodhongan miwah wewerangkan sih ing Hyang kabasmi kabeh tan ana janma kang wruh yen weruha purwaning dadi candhi sagara wetan ingbar karuhun kahyanganing Sang Hyang Tunggal sapa reke kang jumeneng mung Artati katon tengahing tawang. Gunung Agung sagara Serandil langit iku amengku buwana kawruhana ing atine gunung sagara umung guntur sirna kang mengku bumi langit bawana rugsa dadya kawruh iku mudya madyaning awiyat mangasrama ing gunung agung sabumi cecandhi ing sagara. Jin prayangan padha wedi asih samya asih sakehing drubiksa angreksa siyang dalune ingkang anempuh/lumpuh tan tumama ing awak-mami kang sedya tan raharja sadaya linebur sakehe kang nedya ala larut sirna kang nedya becik basuki kang sinedya waluya. Siyang dalu rinekseng Hyang Widdhi sasedyane tinekan ing Suksma kaidepan janma akeh aran wikuning wiku wikan lir ing pudya semadi dadi sasedyanira mangunah linuhung peparab Hyang Tigalana kang asimpen yen tuwajuh jroning ati kalis sagung durjana.

139

Yen kinarya atunggu wong sakit ejin syaitan tan wani angambah rinekseng malaikat nabi wali angepung sakeh lara pada sumingkir ingkang nedya fitnah marang awak ingsun rinusak dening Pangeran iblis laknat sato mara pada mati tumpes tapis daya.

G. Kidung Jati Mulya Dhandhanggula Ana kidung sun angidung wengi bebaratan duk amrem winaca Batara Guru pangadege lumaku Sang Hyang Bayu alembeyan Asmara-ening ngadeg pangawak teja kang angidung iku yen kinarya angawula myang lelungan gusti getting dadi asih syaitan sato sumimpang. Sakatahing upas tawa sami lara roga waluya nirmala tulak tanggul kang panggawe duduk pada kawangsul katawuran saguning sikir ngadam makdum sadaya datanpa pangrungu pangucap lawan pangrasa myang paningal kang sedya tumeka nafi pangreksaning malaikat. Jabaril ingkang angemongi milanipun katetapan iman dadi angandel atine Ijrail puniku kang rumeksa ing pati urip Israpil dadi damar padang jroning kalbu

140

Mikail kang angsung sandang lawan pangan enggale katekan kapti sabar lan anarima. Ja Hu Zat njeng pamujining wengi bale arasy sesakane mulya Kirun (Munkar) saka tengen nggone wa Nakirun (Nakir) atunggu saka kiwa gadane wesi nulak panggawe ala satru lawan mungsuh pangeret tarajurrijal ander-ander kulhu balik kang linuwih ambalik lara roga. Dudur majenge ajatulkursi ungguhe atine surah anam pangleburan lara kabeh usuk-usuk ing luhur ingaranan telenging langit nenggih Nabi Muhammad kawekasan iku atunggu latri lan siyang kinedepan ing tumuwuh wedi asih tunduk nembah maring wang. Satru mungsuh mundur pada wedi pamidangane baitulmukaddas tulak balik pangreksane pan nabi patang puluh aweh wahyu ing awak-mami pana Nabi Wekasan sabda Nabi Daud apetak Baginda Hamzah kineweden sato mara padha mati luput ing wisa guna. Pepayone godhong dhukut langit tali barat kumandhang ing tawang tinundha tan katon mangke arajeg gunung sewu jala sutra ing luhur-mami kabeh padha rumeksa angandhangi mungsuh anulak panggawe ala lara roga sumingkir langkung anebih kang agring dadi waras. Gunung sewu dadya pager mami

141

katon murub sakehing tumingal sirna salwir lara kabeh luput ing tuju teluh tarag nyana tenung alenggi mondhong gambar suminggah Sri Sadana lulut puniku sih rahmatullah rahmat jati jumeneng rahmat jasmani iya Sang Jatimulya. Ingaranan Rara Sumbaningsih kang tumingal padha sih sadaya kedhep saparipolahe lelara sirna larut tan tumama ing awak mami kang sangar dadi tawa kang agething lulut memolone sifat rahman iya rahmat rahayu pangreksaneki sarana nganggo pethak. Yen lumampah ingkang mulat wingwrin singa barong kang padha rumeksa gajah meta ing wurine macan galak ing ngayun naga raja ing kanan kering singa mulat jrih tresna marang awak ingsun lelembut ing nusa Jawa samya kedhep antu lawan teluh bumi ajrih lumayu nginthar. Yen sinimpen atawa sakalir upas bruwang racun miwah banjar sakeh bedhil buntu kabeh jemparing towok putung pan kumleyang tibanireki miwah salwiring braja tan tumama mring sun tuju teluh tarugnyana padha bali sagung sambang padha wedi madhep kedhep saya.

H. Kidung Sekar Marwati Dhandhanggula Ana kidung ing kadang Mar Mati among tuwuh ing kawasani ra nganakaken saciptane

142

kakang Kawah puniku kang rumeksa sarira-mami anakakaken sedya ing kawasanipun aji ari-ari ika amayungi laku ing kawasaneki nganakaken pangarah. Punang Getih ing rahina wengi ngrerewangi ulah kang kawasa andadekaken karsane Puser kawasanipun nguyu-uyu sabawa mami anuruti panedha kawasanireku sangkep kadang ingsun papat kalimane pancer wus dadi sawiji tunggal sawujud ingwang. Mangkya kadang ingsun kang umijil saking marga hina pareng samya sadina amor anggone kalawan kadang-ingsun ing kang ora umijil saking marga hina punika kumpule lan ingsun dadi Makdum-sarpin sira wewayanganing Zat reke dadya kanthi saparan datan pisah. Yen angidung sarwi den pepetri amemuleya golong lelima takir ponthang wewadhahe iwak-iwakanipun ulam tasik rawa myang kali lawan ulam bengawan mawa gantalipun rong supit winungkusana dadya limang wungkus artanya nyaduwit sawungkuse punika. Tumpangena ponthang anyawiji dadya limang wungkus ponthang lima sinung sekar cepakane roro sapothanganipun kembang boreh dupa ywa kari memetri ujubira dongane Majemu poma dipun lakonana saben nuju dina kalahiraneki agung sawabe uga.

143

Balik lamun ora den lakoni kadangireku samya rencana temah uga saciptane sasedyanira wurung lawan luput pangarahneki sakarsanira wigar anggagar tanpantuk barang ing sakayunira marma kaki eling-elingen sayekti supaya waluyaa.

144

BAB VIII PAKAIAN DAN PERLENGKAPAN UPACARA TRADISIONAL

A. Kampuh atau Dodot Busana kebesaran yang sering digunakan untuk upacara pernikahan adalah kampuh. Kampuh atau dodot yang dipakai oleh kaum pria dan wanita, adalah kain penutup. Kaum pria memakainya sebagai lapisan di atas celana, sedang kaum wanita sebagai lapisan di atas kain panjang. Kampuh untuk kaum pria. Kampuh yang terdiri atas 2 helai kain disebut 1 tangkep, jika terdiri atas 1 helai kain disebut 1 lirang. Panjangnya antara 7 sampai 9 kacu, berarti 3,5; 3,75; 4 dan 4,5 kacu per lirang. Yang panjangnya 9 kacu adalah untuk raja, 8 kacu untuk pangeran putra dan pepatih dalem; 7,5 kacu untuk pangeran sentana, para aria, bupati dan bupati anom; 7 kacu untuk panewu, mantri ke bawah. Panjang 1 kacu kira-kira 90 cm. Lebar kampuh 2 sampai 2,22 m. Kampuh belenggen artinya salah satu sisi kampuh itu benangnya dibiarkan terlepas, sehingga nampak seperti jumbai. Dengan mengenakan kampuh balenggen, orang akan tampak lebih gagah daripada memakai kampuh lugas, yaitu kampuh tanpa balenggen. Istilah kampuh dipakai untuk abdi dalem bupati anom ke atas, sedang istilah dodot adalah untuk panewu ke bawah. Selain adanya kampuh balenggen, dikenal juga yang disebut kampuh tengahan atau kampuh blumbangan dan kampuh lugas. Kampuh blumbangan adalah kampuh yang bagian

145

tengahnya diberi warna polos: merah, putih, hijau, ungu dan seterusnya. Tengahan ini dapat dilakukan dengan menyisipkan bahan sutera atau pelangi; garis tengahnya tidak selalu lurus, dapat juga miring, bengkok-bengkok atau rintikrintik. Jika tanpa blumbangan atau tengahan, kampuh itu disebut kampuh lugas. Adapun yang berhak memakai kampuh tengahan adalah raja, putra mahkota, para pangeran putra sentana dan pepatih dalem; kampuh tengahan ini dipakai pada hari-hari besar. Kampuh tanpa tengahan disebut kampuh lugas. Dengan demikian dikenal adanya kampuh balenggen batik yang tengahnya memakai blumbangan untuk raja, putra mahkota, para pangeran putra sentana, dan pepatih dalem. Kampuh balenggen batik latar putih lar ageng untuk bupati dan bupati anom. Kampuh balenggen batik rejeng latar putih untuk abdi dalem mayor dan bupati anom gandhek. Kampuh pengantin ada tiga macam, yaitu : Bango buthak, berupa kampuh balenggen latar hitam, dengan tengahan putih; khusus untuk pengantin, warna tengahannya adalah hijau. Gadhung mlathi, berupa kampuh hijau dengan tengahan putih, motifnya alas-alasan atau hewan di hutan diperada; kampuh ini dipakai oleh pengantin pada upacara panggih atau pengantin pria dipertemukan dengan pengantin wanita. Bangun tulak adalah kampuh biru dengan tengahan putih, motifnya alas-alasan; dipakai oleh pengantin pada upacara sepasaran. Kampuh memiliki bagian yang disebut kunca, yaitu bagian ujung atas kampuh di bagian belakang yang dibiarkan lepas, sehingga menggeser tanah. Jika orang mengenakan kampuh, maka akan dihasilkan berbagai macam bentuk, yaitu (1) Grebong ka(n)dhem, (2) Ngumbar

146

kunca, (3) Sampir kunca, (4) Kepuh ukel. Grebong ka(n)dhem adalah pemakaian kampuh dengan tiga lipatan besar di bagian depan, dan khusus diperuntukkan raja. Ngumbar kunca hanya dilakukan oleh raja. Kunca kampuh raja cukup panjang dan dibiarkan lepas ke bawah. Supaya kunca itu tidak mengena tanah, maka diperlukan pemegang kunca yang berjalan di belakang raja. Sampir kunca dipakai oleh putra mahkota, para pangeran putra sentana dan pepatih dalem, kunca dililitkan pada keris, sehingga hanya sedikit saja yang jatuh mengena tanah. Kepuh sampir untuk kerabat raja, termasuk ariya nginggil; kunca dilipat, lalu disampirkan pada keris. Kepuh berarti lipatan kunca. Kepuh ukel untuk abdi dalem bupati ke bawah sampai jajar, kunca dilipat, kemudian diselipkan ke dalam. Orang yang mengenakan kampuh atau dodot harus memperhatikan yang disebut cincingan wingking. Panjang cincingan untuk raja 22 cm, untuk putra raja 24 cm, untuk pangeran sentana 26 cm, untuk pepatih dalem 24 cm, bupati 27 cm, bupati anom 30 cm dan makin rendah pangkatnya, cincingan makin panjang, berarti sampai di bawah tengahnya betis.

B. Keris dan Wedhung Keris adalah salah satu perlengkapan dalam upacara pernikahan adat Jawa. Keris mempunyai banyak fungsi. Salah satu di antaranya adalah sebagai pelengkap busana. Bilah (wilahan) keris ada yang berkelok-kelok (luk), ada pula yang lurus. Bilah atau mata keris itu diberi tempat yang disebut sarungan atau warangka. Warangka ini dibuat dari kayu, misalnya kayu cendana, timaha, trembelo, atau kayu lainnya. Dua macam bentuk warangka adalah gayaman dan

147

ladrang. Gandar keris diberi pendhok, yang dibuat dari bahan mas, suasa, perak, kuningan atau lainnya. Di antara penduk (pendhok) itu ada yang disebut penduk slorok, artinya penduk yang bertatahkan permata. Penduk keris mengenal beberapa motif hiasan, misalnya motif lung paksa, lung kukila, lung kastuba dan lung prabageni. Raja dan keluarga serta kerabatnya, pepatih dalem ke bawah sampai pada priyayi pangkat terendah, jika berpakaian secara Jawa memakai keris, baik yang warangkanya ladrang, maupun gayaman, tergantung pada kebutuhannya. Keris dengan warangka ladrang dipakai di belakang, demikian pula dengan keris berwarangka gayaman. Jika seseorang memakai busana prajuritan, ia mengenakan dua macam keris itu secara bersama-sama, ladrang dipakai di belakang, dengan cara diselipkan pada sabuknya, sedang keris gayaman dipakai di depan, secara dianggar, letaknya digantungkan pada epek timang. Epek adalah sabuk yang diberi timang (gesper besar). Jika mengenakan busana keprajuritan alit (kecil) atau klanthungan, priyagung bupati dan bupati anom mengenakan keris (wang-kingan) dengan cara diwangking, artinya disisipkan pada pinggang. Kerisnya dapat gayaman dan yang dianggar diganti dengan pasikon. Abdi dalem panewu mantri ke bawah, jika klanthungan harus memakai keris ladrang yang disisipkan, dan anggarnya diganti dengan wedhung. Istilah pasikon yang artinya sama dengan wedhung diperuntukkan priyagung, sedang istilah wedhung untuk priyayi tingkat bawah. Pada hari-hari besar, semua abdi dalem yang menghadap raja, baik yang mengenakan kampuh (dodot), maupun bebed (kain panjang dengan biku-biku di

148

bagian depannya), diharuskan memakai keris dengan warangka ladrang, kecuali abdi dalem prajurit yang hanya diizinkan memakai keris dengan warangka gayaman. Para pangeran putra sentana diperkenankan memakai penduk slorok permata, sedang para abdi dalem yang bukan kerabat raja tidak diizinkan. Wedhung. Wedhung merupakan alat senjata, dibuat oleh pande besi atau mpu dan menggunakan bahan besi. Bentuk wedhung seperti pisau besar, ujungnya runcing dan tajam. Ukuran panjangnya kira-kira 26 cm, lebar 4 cm, dan tebalnya 0,5 cm. Gandarnya dibuat dari kayu cendana, kemuning atau lainnya, berbentuk pisau dan diberi simpai (suh) berupa bunga turi yang masih belum mekar (kudhup turen). Tiga macam pasikon (wedhung) berdasarkan tingkat-tingkatannya adalah: pasikon dengan suh tiga dan kudhup turen menjadi hak pangeran adipati anom, jika mengenakan pakaian kebesaran, dan pasikonnya memakai pamor. pasikon dengan suh empat dan kudhup turen dipakai oleh para pangeran putra sentana, pepatih dalem, bupati dan bupati anom. wedhung dengan suh empat tanpa hiasan untuk panewu, mantri ke bawah. besi wadhung harus tanpa pamor. Para keluarga serta kerabat raja dan pada abdi dalem, jika mengenakan pakaian kebesaran, bebedan atau prajuritan klanthungan, atau jika naik ke Sitihinggil, masuk ke Srimanganti, atau ke kedhaton harus memakai wedhung. hanya abdi dalem Priyantaka yang masuk ke kedhaton pada hari Kamis untuk mengeluarkan benda-benda upacara raja, tidak mengenakan wedhung. demikian pula dengan abdi dalem yang mengenak pakaian prajuritan dengan menganggar keris. Di tempat-tempat lain, seperti di Sasanasumewa, jika menghadap raja yang sedang berada di Sitihinggil, di pasanggrahan raja, jagong atau melayat, yang di

149

tempat itu raja hadir, semua abdi dalem harus memakai wedhung. Jika abdi dalem naik ke Sitihinggil, atau melewati Kori Brajanala, Kemandhungan, atau Srimanganti dan masuk Kedhaton, wedhungnya tidak boleh dibawa oleh panakawannya. Dari uraian di atas, yang berhak tidak memakai pasikon adalah raja dan bupati Gandhek yang sedang melaksanakan tugas menjadi utusan raja pada hari besar. selain itu, pengantin juga tidak memakai wedhung (pasikon). (Darsiti Soeratman, 2000: 54).

rr. C. Aneka Ragam Kuluk Kuluk adalah salah satu perlengkapan yang sering dipakai dalam upacara pernikahan adat Jawa. Kuluk yang juga disebut dengan istilah makutha atau panunggul merupakan bagian dari busana tradisional. Kuluk dipakai oleh raja, para pangeran putra sentana, pepatih dalem ke bawah sampai jajar dan mereka yang diperkenankan, misalnya pengantin dan sebagainya. istilah panunggul hanya diperuntukkan raja. Di kerajaan Surakarta dikenal adanya lima macam kuluk. Mathak (warna bening mengkilat) : Mathak biru sekar gundha, biru muda sekali, dipakai oleh raja. Mathak biru sekar weweyan, biru muda, dipakai oleh pangeran adipati anom, para pangeran putra sentana dan pepatih dalem. Mathak sekar teleng, berwarna biru tua, dipakai oleh sentana dalem riya nginggil. Mathak pethak, berwarna putih, dipakai oleh para priyagung bupati ke bawah sampai lurah. Mathak balibar, yaitu mathak yang berwarna putih atau biru di bagian dalamnya diberi daun bambu, dipakai kalau hujan.

150

Kestur : Kestur cemeng (hitam) dipakai untuk kanigaran, menjadi busana raja, pangeran adipati anom, para pangeran putra sentana, pepatih dalem, bupati, bupati dalem, kolonel komandan, mayor dan riya ngandhap nginggil. Kesting cemeng untuk para panemu, mantri, lurah, bekel dan lainnya. Kesting pethak (putih) untuk abdi dalem jajar. Breci dipakai oleh priyagung bupati, bupati anom, abdi dalem prajurit berpangkat letnan kolonel, mayor, kapten dan opsir, juga dipakai oleh abdi dalem prajurit onder letnan ke bawah. Kuluk berbentuk buah semangka yang dibelah dua, dikenal sebagai tugel semangka, dan dibuat dari bahan beledu, dipakai oleh abdi dalem katib. Kuluk mur, dipakai oleh priyagung bupati, bupati anom dan panewu mantri, jika mereka menghadap, caos harian masuk keraton. Kuluk mur ini kemudian tidak dipakai. Selain kuluk atau makutha tersebut di atas, masih terdapat lainnya yang disebut songkok. Bentuk songkok seperti kuluk tugel semangka yang dipakai oleh abdi dalem katib, tetapi di bagian belakangnya diberi tutup yang tingginya melebihi tinggi kuluk itu. Bahan yang dipakai adalah beledu hitam, dan diberi hiasan. Songkok ini merupakan busana raja ke bawah sampai abdi dalem bupati dan mayor. Songkok dipakai, jika raja dan abdi dalem, para keluarga dan kerabat raja menyambut kedatangan gubernur jenderal yang berkunjung ke kraton dan jika melepas tamu agung itu meninggalkan kraton. Di bagian atas kuluk, tepat ditengahnya diberi nyamat sebagai hiasan. Nyamat ini dipakai oleh pangeran adipati anom sampai tingkat-tingkat di bawahnya, dan oleh pepatih dalem ke bawah. Bahan untuk membuat nyamat adalah mas, suasa, perak, memes dan sebagainya. Ada juga nyamat yang diberi pertama berlian atau intan, sesuai dengan keinginan yang memakai. Bentuk nyamat ada empat macam, yaitu :

151

Cengkehan, bentuknya seperti tumpeng agak bundar. Tumpeng, bentuknya seperti tumpeng. Tajung, seperti tumpeng persegi, makin ke atas makin meruncing, dengan permata di puncaknya. Bandhilan dengan permata. Sekar katu (bungan katu) untuk nyamat kanigara, bentuknya bundar gepeng, di tepinya diberi hiasan melingkar-lingkar, mirip bunga katu. Seperti krun atau mahkota kerajaan di Eropa, dipakai oleh abdi dalem prajurit. Ukuran nyamat ini pada umumnya sebesar bunga melati. Perlu diketahui, bahwa panunggul raja tidak diberi nyamat atau mundri, karena raja berkedudukan sebagai tetunggul (tertinggi). Panunggul adalah kuluk, sebuah istilah yang diperuntukkan raja. Untuk kepentingan harian, misalnya sowan atau caos atau bekerja di kantor, para abdi dalem memakai kuluk berwarna hitam, tetapi yang berpangkat rendah memakai putih. Kuluk ini dibuat dari mika, nampak mengkilat dan tahan lama. Untuk keperluan harian para pangeran menggunakan dhester, yaitu ikat kepala, kemudian diganti dengan blangkon.

D. Ragam Ageman Pengantin Ragam ageman pengantin Jawa banyak jumlahnya. Keterangan mengenai baju sikepan ageng, yang terdiri atas empat macam seperti tercantum di bawah ini. 1. a. Baju sikepan ageng dari bahan beledu hitam, ungu, biru atau warna lainnya dilapis kain sutera hitam, dipakai oleh raja dan pangeran adipati anom. b. Baju sikepan ageng dari bahan laken atau beledu hitam, atau warna lainnya, dilapis kain hitam, dipakai oleh para pangeran putra sentana.

152

c. Baju sikepan ageng dari bahan laken hitam dilapis kain kesting, sutera kuning, dipakai oleh pepatih dalem, abdi dalem bupati dan bupati anom. d. Baju sikepan ageng dari bahan laken hitam dilapis kain kesting, sutera biru, dipakai oleh para panewu, jika lapisan itu berwarna ungu dipakai oleh mantri, warna merah untuk lurah dan putih (kain mori) untuk jajar. 2. Baju sikepan ageng, berwarna hitam dengan sulaman berwarna keemasan, dipakai oleh para pangeran putra sentana, pepatih dalem, abdi dalem bupati, bupati anom, panewu dan mantri. Untuk abdi dalem hurdenas (ordonans), lapisan baju itu berwarna kesting sutera kuning. 3. Baju sikepan ageng laken merah dengan sulaman dipakai oleh abdi dalem panewu mantri Kaparak dan Nandhon; jika lugas, artinya tanpa sulaman, dipakai oleh lurah dan jajar. 4. Baju sikepan ageng laken hijau dengan sulaman, dipakai oleh abdi dalem Kadipaten Anom, dimulai dari pangkat bupati sampai pada panewu mantri, untuk mereka yang pangkatnya rendah, yaitu lurah, bekel, dan jajar, bajunya tanpa sulaman, berarti berwarna hijau polos. Lapisan untuk baju ini berwarna kuning dari bahan kesting. Baju sikepan ageng tersebut memakai kancing berjumlah sembilan buah dengan diberi tanda tulisan : P.B., dibuat dari bahan mas, perak atau silih asih (mas dan perak), mengikuti kedudukannya masing-masing dan disesuaikan dengan sulaman bajunya. Lebar dan bentuk sulaman itu disesuaikan dengan pangkat atau tingkat kebangsawanan pemakainya. Sebelum baju sikepan itu dipakai, dikenakan terlebih dulu baju kemeja (hem) sebagai lapisan bawah.

153

Selain baju sikepan ageng, terdapat baju sikepan cekak (sikepan pendek), dipakai oleh raja, para pangeran putra sentana, dan pepatih dalem. Untuk raja, baju itu dibuat dari bahan beledu atau bahan lainnya. Untuk para pangeran dan pepatih dalem dipakai bahan beledu atau laken hitam, tanpa sulaman. Baik raja, para pangeran, maupun pepatih dalem juga mengenakan potongan lain, yaitu baju atila, takwa, beskap, langenarjan dan pakaian model Barat. Baju atila berwarna hitam, putih atau hijau dipakai oleh para bupati dan bupati anom. Selain itu mereka diwajibkan mempunyai baju langenarjan, beskap dan lainnya, berwarna putih dan hitam. Mereka juga diijinkan memiliki pakaian model Barat, tetapi hanya berwarna putih dan dipakai jika ada perintah dari raja. Baju untuk para panewu, mantri dan lurah adalah atila berwarna hitam atau putih. Jajar hanya diperkenankan memakai baju atila berwarna hitam saja. Di luar dinas, mereka diijinkan memakai warna lain, misalnya hijau dan lainnya.

E. Songsong Gilap Payung Agung Songsong gilap payung agung adalah salah satu perlengkapan yang sering dipakai dalam upacara pernikahan adat Jawa. Di bawah ini dikutipkan berbagai macam songsong kebesaran menurut kebangsawanan dan payung abdi dalem berdasarkan jenjang kepangkatan. Yang disebut seret adalah lebar atau sempitnya warna keemasan pada songsong kebesaran. Jika seret merupakan tepian yang berwarna keemasan, kendhit (ikat pinggang) letaknya agak ke atas atau tengah.

154

Songsong raja, sekar waru (bunga waru) dan tepian payung diberi bara (jumbai). Songsong ini disebut gilap-gubeg, artinya berwarna keemasan penuh untuk bagian luar dan dalam.

Songsong prameswari dalem, pangeran adipati anom dan ibu raja sama dengan milik raja, disebut gilap-gubeg, tetapi tanpa jumbai pada tepi daun payung dan pada bunga warunya.

Songsong putra dan putri raja lahir dari permaisuri, dan putra raja lahir dari garwa ampeyan tetapi telah mendapat sebutan K.G.P. Adipati juga gilap-gubeg seperti no. 2 dengan hiasan yang berbeda.

Songsong putra raja lahir dari garwa ampeyan yang telah mendapat sebutan Kanjeng Gusti atau kalau wanita dengan sebutan Kanjang Ratu, disebut gilap, yaitu bagian luar keemasan dan bagian dalam berwarna kuning atal.

Songsong wadana atau bekel putra sentana dalem disebut sagara muncar dengan kendhit. Seret keemasan, kendhit kuning atal, kendhit keemasan, kendhit kuning atal, diikuti warna keemasan sampai ke atas.

Songsong putra raja lahir dari garwa ampeyan disebut sagara muncar. Seret keemasan, kendhit kuning atal, atas semua warna keemasan.

Songsong putri raja yang sudah kawin, lahir dari garwa ampeyan disebut padhang bulan (terang bulan). Seret keemasan, kendhit putih, atas seluruhnya warna keemasan.

155

Songsong putra raja yang masih kecil, lahir dari garwa ampeyan. Seret keemasan, kuning, kendhit keemasan, kuning, kendhit keemasan dan seluruhnya berwarna kuning.

Songsong putri raja yang belum kawin, lahir dari garwa ampeyan. Seret keemasan, kuning, kendhit keemasan, putih, kendhit keemasan, di atasnya kuning sepenuhnya.

Songsong pangeran sentana disebut endhog satugel (telor separoh). Separoh bagian atas putih dan separoh bawah berwarna keemasan.

Songsong sentana dalem riya nginggil. Seret keemasan, putih, kendhit keemasan, putih, kendhit keemasan, di atasnya seluruhnya putih.

Songsong sentana dalem riya ngandhap. Seret keemasan, putih, kendhit keemasan, atas semuanya putih.

Songsong sentana dalem cucu laki-laki dan perempuan. Seret keemasan, atas sepenuhnya putih.

Songsong cicit raja laki-laki dan perempuan. Seret keemasan (agak kecil), atas sepenuhnya putih.

Songsong piut raja laki-laki dan perempuan. Seret keemasan (agak kecil), atas sepenuhnya putih.

Songsong priyantun dalem dengan sebutan Raden Ayu. Seret keemasan, putih, kendhit kuning, atas seluruhnya kuning.

Songsong priyantun dalem dengan sebutan Raden. Seret keemasan, hijau, kendhit kuning, atas seluruhnya hijau.

156

Songsong priyantun dalem Raden Kiranarukmi ke bawah. Seret keemasan, hijau, putih, hijau.

Payung R. Ayu Adipati Sedhahmirah. Seret keemasan, hijau, atas seluruhnya berwarna keemasan.

Payung abdi dalem wedana (bupati) wanita. Seret keemasan, hijau, kendhit keemasan, kuning, kendhit keemasan, atas sepenuhnya hijau.

Payung abdi dalem riya wanita. Seret keemasan, putih, kendhit keemasan, kuning, kendhit keemasan, putih.

Payung abdi dalem kliwon wanita. Seret keemasan, hijau, kendhit keemasan, putih, kendhit keemasan, hijau.

Payung abdi dalem lurah berpangkat panewu. Seret keemasan, hijau, kendhit keemasan, hijau.

Payung abdi dalem Nyai lurah berpangkat mantri. Seret keemasan, hijau, kendhit keemasan, hijau.

Payung abdi dalem Nyai lurah. Seret keemasan atas sepenuhnya hijau. Songsong pepatih dalem. Seret keemasan, hijau, kendhit keemasan, hijau, atas seluruhnya berwarna keemasan.

Payung abdi dalem bupati bekel. Seret keemasan, hijau, atas sepenuhnya keemasan.

Payung abdi dalem bupati nayaka. Seret keemasan, hijau, kendhit keemasan, atas sepenuhnya kuning.

Payung abdi dalem bupati anon-anon. Seret keemasan, hijau, kendhit keemasan, atas sepenuhnya putih.

157

Payung abdi dalem bupati pangreh praja. Seret keemasan, hijau, kendhit keemasan, putih, kendhit keemasan, atas sepenuhnya hijau.

Payung abdi dalem bupati Pamajegan. Seret keemasan, putih, kendhit keemasan, atas warna hijau sepenuhnya.

Payung abdi dalem bupati Imagiri. Seret keemasan, hijau, kendhit keemasan, hijau, putih, kuning atal.

Payung abdi dalem kliwon gawe. Seret keemasan, biru, kendhit keemasan, putih.

Payung abdi dalem kliwon anon-anon. Seret keemasan, biru, kendhit keemasan, putih.

Payung abdi dalem kliwon Pangreh Praja. Seret keemasan, biru, kendhit keemasan, putih, kendhit biru.

Payung abdi dalem kliwon Pamajegan. Seret keemasan, putih, kendhit keemasan, biru.

Payung abdi dalem panewu damel. Seret keemasan, biru, kendhit keemasan, hijau.

Payung abdi dalem panewu Jaksa. Seret keemasan, hijau, kendhit keemasan, biru.

Payung abdi dalem panewu Narawreksa. Seret keemasan, biru, kendhit keemasan, merah, kendhit keemasan, hijau.

Payung abdi dalem panewu Distrik (Pangreh praja). Seret keemasan, hijau, kendhit keemasan, merah, kendhit keemasan, merah.

158

Payung abdi dalem panewu Pamajegan Bayalali. Seret keemasan, hijau, kendhit keemasan, hitam.

Payung abdi dalem panewu Pangrembe Dhusun. Seret keemasan, biru, kendhit keemasan, biru, kendhit keemasan, biru.

Payung abdi dalem mantri damel dan anon-anon. Seret keemasan, hijau, kendhit keemasan, hitam.

Payung abdi dalem mantri polisi kabupaten. Seret keemasan, merah, kendhit keemasan, hijau.

Payung abdi dalem Narawreksa sepuh. Seret keemasan, biru, kendhit keemasan, merah tua, hijau.

F. Busana Bangsawan Gaya Kraton Busana bangsawan gaya kraton sering digunakan dalam rangkaian upacara pernikahan adat Jawa. Menurut Mari S. Condronegoro (1995: 52) skema kategorisasi busana adat bangsawan Kraton Yogyakarta menurut tingkat umur adalah sebagai berikut: Busana Anak-anak. Busana sabukwala untuk putri raja terdiri dari : Sabukwala nyamping praos (kain prada), dipergunakan untuk upacara tetesan pada masa HB VIII. Sabukwala nyamping cindhe untuk upacara garebeg dan tetesan. Sabukwala nyamping batik untuk kegiatan sehari-hari dan upacara alit. Busana kencongan untuk anak laki-laki, dipakai sehari-hari dan dalam upacara resmi, tergantung jenis dan kelengkapan busananya. Busana Remaja. Busana pra remaja untuk putri raja ini disebut dengan busana pinjung. Terdiri dari : Pinjung padintenan untuk busana sehari-hari.

159

Pinjung tingalan dalem dipakai pada peringatan hari kelahiran raja. Pinjung tarapan dipergunakan saat menjalani upacara haid pertama. Pinjung garebeg dengan kain bermotif cindhe, dipergunakan pada upacara garebeg. Busana Dewasa untuk Putri. Semekanan. Semekanan rasukan kebaya bikakan untuk remaja putri. Ubed-ubed merupakan busana siang hari, baik untuk upacara resmi maupun kegiatan sehari-hari. Semekan tritik dipakai untuk busana harian. Semekan tritik tengahan sutra. Semekan sutra bleg-blegan (sutra penuh), dipergunakan untuk tuguran (malam sebelum berlangsungnya upacara tertentu). Semekan sindur untuk upacara midadareni. Semekan dringin untuk calon pengantin saat akan menjalani upacara ijab. Semekan praos dipergunakan calon pengantin pada malam midadareni masa pemerintahan HB VII. Plangi tengahan sutra. Cemukiran tengahan sutra putih. Busana cara putri : Busana untuk menghadiri upacara alit baik di dalam kraton maupun di luar kraton, seperti upacara tetesan, tarapan atau miyosan. Busana cara putri terdiri dari : rasukan sutra cekak peniti setunggal, rasukan sutra cekak peniti sungsun, dan rasukan sutra cekak peniti renteng. Busana untuk upacara ageng bagi putri raja yang sudah menikah terdiri dari : rasukan panjang peniti renteng, rasukan panjang peniti setunggal, rasukan panjang peniti sungsun, busana Agustusan dan busana pesiar. Busana untuk upacara ageng bagi putra raja terdiri dari : kasatriyan ageng, pranakan untuk kegiatan sehari-hari, busana kaprajuritan, malem selikuran, untuk upacara khusus yang diadakan bertepatan dengan tanggal 21 pada bulan Puasa dan busana cara Walandi.

160

Busana Kampuhan/Dodotan untuk upacara ageng. Untuk putri raja, sebagai berikut : kampuhan lukar rasukan (tanpa baju), kampuhan dengan rasukan panjang bludiran, dipergunakan apabila ada tamu Belanda, kampuhan ngapem dan kampuhan untuk upacara sedan/kematian dan kampuhan randa (janda). Kampuhan putra, sebagai berikut : dodotan (kuluk biru), kanigaran (kuluk kanigara), sikepan lugas (tanpa benang emas) dan sikepan wedung untuk upacara ijab (mengenakan celana putih). Kampuhan prawan untuk remaja putri, hampir sama dengan kampuh putri dewasa hanya ditambah perhiasan peniti renteng di sanggulnya dan perhiasan berupa raja keputren.

161

BAB IX ETIKA DASAR MEMBANGUN STRUKTUR SOSIAL

A. Nilai Warisan Luhur Nilai-nilai yang terkandung dalam keluarga Jawa dan masyarakat Jawa masih sesuai dengan perkembangan jaman. Meskipun demikian kita yakin bahwa diantara nilai-nilai luhur itu ada yang bersifat universal, artinya masih dapat dimanfaatkan dalam menunjang pembangunan nasional. Itulah sebabnya tujuan penelitian ini ialah menemukan kembali nilai-nilai luhur yang terkandung atau dimiliki oleh keluarga dan masyarakat Jawa. Kemudian dalam menghadapi berbagai pengaruh negatif dari luar, nilai luhur kita itu dimaksudkan dapat berfungsi sebagai penangkal. Jika sekiranya sebagian masalah yang timbul disebabkan oleh pelanggaran bahkan pengabaian terhadap nilai-nilai tradiaional yang luhur, maka hasil penelitian ini kiranya dapat menjadi masukan bagi pelaksanaan dan suksesnya pembangunan nasional. Serat Candrarini karya Mangkunegoro IV menceritakan tentang kesusilaan wanita yang mengambil contoh pewayangan yaitu : kehidupan keluarga Harjuna antara lain : Pantas menjadi tauladan wanita yang terhormat dalam keluarga, yaitu wanita yang memiliki sifat-sifat seperti: Woro Sembodro sederhana, tenang, tidak suka mencela orang lain, kasih dan sayang kepada sesama. Yang kedua ialah Dewi Manuhara atau Larasati - tutur katanya halus, sikap dan perbuatannya menarik

162

hati. Ketiga Wara Sirikandi manis dan simpatik, jujur lahir batin apabila berbicara kepada orang lain bersikap sopan, trampil dan rajin, hormat dan setia terhadap suami, waspada terhadap situasi dan kondisi, hemat, cermat, hati-hati, mampu menghadapi segala persoalan keluarga. Sri Mulyono dalam buku Wayang dan Karakter Manusia, hal 56 menyebutkan Wara Srikandi Prajurit wanita yang mampu mengalahkan Bisma (Bisma adalah Senopati Ngastina pada waktu perang Baratayuda). Dalam sisi lain karakter wanita yang digambarkan dalam pewayangan ialah Dewi Genderi (Ibu dari Kurawa) haus akan kekuasaan dan mengabdi kepada kemewahan dan kenikmatan. Banowati wanita cantik yang senang menggangu kehidupan orang lain, dan tipe wanita yang tidak setia. Wanita merupakan suatu rahasia besar dalam kehidupan umat manusia. Banyak persoalan yang terkandung dalam isteri wanita yang belum terpecahkan. Apabila dilihat sepintas kaum wanita seolah-olah umat manusia yang lemah, bila dibandingkan dengan kaum laki-laki-laki. Namun dengan

kelemahannya itu wanit mampu menggoncangkan dunia, menghancurkan kehidupan, di sisi yang lainwanita merupakan pendamai dunia, serta menadi penyebab lahirnya manusai besar yang luhur (Sri Widayanti, 1993: 33). Ada pepatah yang menyatakan Sorga anak itu ada di telapak kaki ibu. Yang artinya secara luas bahwa kebahagiaan si anak tergantung tingkah lakusang ibu. Hal tersebut apabila tingkah laku ibu, sejak awal anak di dalam kandungan dan selama dalam kandungan serta sesudah lahir, sang ibu sanggup menjaga diri dalam tingkah lakunya, besar kemungkinannya anak-anak asuhnyaakan mendapatkan

163

kebahagiaan hidup. Dengan demikian itu adalah besar sekali pengaruhnya terhadap anak keturunnnya. Susila adalah cerminan suara hati manusia yang memahami diri sendiri sebagai mahluksusila atau bermoral. Antara wanita dengan kesusilaan tidak bisa dipisahkan, sebab dalam kenyataan hidup membuktikan, bahwa wanita dinilai sebagai wanita yang baik susila atau luhur. Wanita itu memiliki kesadaran yang tinggi atas sebab dalam kesadaran moral yang tinggi inilah manusia memhami dirinya sendiri yang sedalam-dalamnya, yaitu memahami diri sebagai kodratnya mahluk yang berakal, berasa dan berkehendak, serta memahami diri sebagai mahluk Gusti Allah. Jadi kesusilaan di sini adalah bagaimana seharusnya manusia harus mencerminkan suara hatinya yang baik dan benar, sesuai dengan sifat kodratnya, baik sebagai makhluk berakal, berasa dan berkehendak atau cipta, rasa, karsa serta mahluk Gusti Allah, kesemuanya ini untuk mewujudkan manusia berbudi pekerti yang luhur. Pada masa sekarang ini roda pembangunan sudah menginjak tahap keempat. Kita semua merasa berbahagia karena telah berhasil menyelesaikan tahap-tahap sebelumnya sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat. Meskipun demikian kita menyadari bahwa di samping keberhasil an itu masih ada berbagai kekurangan yang perlu mendapat perhatian agar dapat diatasi dengan baik, Kita mengetahui bahwa berbagai usaha telah dil akukan untuk mengatasi masalah pengangguran, kenak alan anak, narkotika, lalu lintas dan masih banyak lagi lainnya.

164

B. Basis Intisari Keluarga Ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan sangat mempengaruhi keluarga. Sebagai bangsa yang luwes, yang bersifat terbuka, dalam suatu segi kadangkadang pengaruh dari luar terasa kuat sekali. Orang lebih banyak mendengarkan lagu-lagu dan melihat pertunjukkan dari luar daripada milik kita sendiri. Orang cenderung menyukai barang-barang; buatan luar negeri daripada hasil produksi dalam negeri. Anehnya lagi, ada sementara orang yang secara apriori lebih mempercayai kata-kata, pendapat, hasil penemuan, metodeyang diberikan orang asing daripada hasil kita sendiri. Hal yang demikian lebih dipacu lagi dengan keadaan lingkungan yang cukup besar pengaruhnya. Orang mengingin kan tercukupi kebutuhan hidup sehari-hari, alat-alat rumah tangga, alat-alat transpor serta benda-bendalainnya. Mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengejar tercapainya keinginan itu dan jika perlu menempuh cara yang tidak wajar. Dengan demikian nampaklah bahwa sebagian nilai luhur yang semula termasuk diagungkan sudah mulai mundur kebelakang. Sebagai contoh antara lain ialah kurang dihargainya nilai moral atau mental. Di dalam masyarakat banyak kita dengar ucapan-ucapan yang sumbang seolah-olah tidak ada harapan untuk bangkit lagi dari kemunduran itu. Ada yang mengatakan sudah terjadi erosi kebudayaan, merajalelanya kebobrokan moral dan mental, kecenderungan hidup sekularistik dan materialistik serta hilangnya idealisme perjuangan. Kita harus mengakui seperti pepatah meng atak an tiada asap tanpa api, bahwa apa yang dinyatakan di atas setidak-tidaknya merupakan

165

fakta yang perlu mendapat perhatian. Salah satu penyebabnya terletak di dalam diri para pelaksana yaitu manusianya. Berbagai usaha untuk menemukan dan mengungkapkan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh keluarga dan masyarakat Jawa telah banyak dilakukan. Di dalam keluarga, kita jumpai istilah anak,orang tua atau bapak dan ibu, embah, embah buyut, canggah, wareng, udheg-udheg, gantung siwur. Istilahistilah tersebut menunjukkan adanya rantai hubungan yang merupakan garis keturunan. Secara runtut digambarkan bahwa seseorang merupakan keturunan dari beberapa generasi sebelumnya. Di samping itu jika kita perhatikan hubungan-hubungan menyamping terdapatlah berbagai istilah kakang-adik, nak ndulur, misanan, mindhoan, ipe, pripean, kadang. Istilah kakang, adhi, nak ndulur, misanan, mindhoan menunjukkan hubungan kaluarga menyamping. Kakang dan adhi adalah saudara sekandung, nak ndulur adalah saudara tunggal nenek misanan adalah saudara tunggal nenek buyut, dan mindhoan adalah saudara tunggal canggah. Istilah ipe dan pripean menunjukkan hubungan saudara melalui perkawinan. Ipe adalah adik atau kakak suami atau isteri. Pripean adalah hubungan antara saudara suami dengan saudara isteri. Keluarga Jawa mengenal silsilah yang menggambarkan urut-urutan hubungan dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Salasilah yang ada sekarang ini biasanya hanya dimiliki oleh keluarga yang memegang peranan dan kedudukan penting dalam masyarakat, misalnya keluarga raja-raja. Kita mengenal berbagai salasilah raja di Jawa misalnya : Keluarga raja Kalingga

166

Keluarga raja Daha Keluarga raja Singasari Keluarga raja Majapahit Keluarga raja Demak Keluarga raja Mataram Keluarga raja Surakarta Keluarga raja Yogyakarta Ada pula silsilah yang dimulai dari Nabi Adam dan secara urut serta runtut dilukiskan hubungan generasi. yang satu dengan generasi berikutnya. Bentuk hubungan dalam dinasti sebagaimana tersebut di atas tercermin pula dalam Trah. Hubungan di dalam Trah memang ada yang runtut seperti salasilah di atas, misalnya Trah Notokusuman, tetapi pada umumnya tidaklah demikian. Dalam hal ini ikatan keluarga besar yang bernama Trah adalah dwitunggal ayah dan ibu. Keluarga Jawa menganut sistem kekuasaan dwitunggal, artinya yang memegang kekuasaan dalam keluarga adalah ayah dan ibu bersama-sama, meskipun keputusan akhir masih di tangan ayah. Itulah sebabnya ada juga yang berpendapat dan menyebut bersifat paternalistik. Di dallam keluarga, isteri juga mempunyai peranan yang penting. Hildred Geertz (1961: 31) memberi contoh betapa peranan isteri terutama dalam hal mengelola ekonomi. Dalam hal ini dikatakan bahwa suami dan isteri bersama-sama pada umumnya merupakan inti sebuah unit hidup yang berurusan bukan saja dengan prosesing dan distribusi barang-barang konsumsi tetapi juga dengan produksi barang-barang atau jasa bagi

167

pendapatan untuk kelompok. Keikutsertaan isteri di segala segi usaha ekonomi memberikan kepadanya kedudukan yang sama kuat dengan suaminya.

C. Kebersamaan dalam Keluarga Mengenai kerja sama antara suami isteri dalam bidang ekonomi ia menulis antara lain bahwa ada yang suaminya bekerja dan isterinya di rumah, ada yang suami-isteri bekerja, ada yang suaminya melakukan pekerjaan produktif sedang isterinya berusaha kecil-kecilan di rumah, dan ada pula suami isteri bekerja terpisah. Jika keluarga Jawa mempunyai rencana untuk mengadakan hajad misalnya khitanan, perkawinan, darmawisata, biasanya mereka merundingkannya bersama. Dalam hal ini pendapat anggota keluarga juga menjadi bahan pertimbangan. Demikian pula jika keluarga mempunyai masalah tertentu biasanya juga dibicarakan bersama. Dalam pembicaraan ini mereka saling asah, saling asuh dan saling asih. Mereka dapat menyatakan pendapatnya dengan penuh tenggang rasa dan rasa kasih sayang. Akhirnya ayah sebagai penanggung jawab merundingkan lagi dengan isterinya, kemudian ia lalu mengambil keputusan. Dalam hal-hal yang tidak begitu penting biasanya pembicaraan cukup dilakukan oleh ayah dan ibu. Meskipun putusan akhir ada di tangan ayah, namun kekuasaan dalam keluarga pada hakekatnya ada di tangan ayah dan ibu. Inilah demokrasi dalam keluarga. Di dalam keluarga Jawa suami isteri bekerja sama dalam mencari nafkah hidupnya sehari-hari. Jika pada waktu pagi seorang suami bekerja di ladang, isteripun biasanya ikut membantu. Sang suami membajak atau mencangkul,

168

sang isteri membantu mengairi dan menyiangi tanamannya. Jika isteri bekerjadi rumah misalnya mencuci, memasak, maka iapun membuatkan makanan dan mengantarkannya kepada suami yang sedang bekerja di ladang. Pada sore hari dan malam hari mereka masih disibukkan membenahi hasil ladangnya, misalnya kacang, jagung, padi. Bagi keluarga pedagang, mereka juga disibukkan dengan menyiapkan dagangannya, menunggu dan melayani pembeli, menghitung hasil penjualannya. Tidak sedikit seorang is:eri yang harus membeli dagangannya sendiri dan menjajakannya pula. Bahkan sementara dari mereka ada yang secara rutin hidup bergumul dengan dagangannya sehingga ha ya pada malam hari saja tidur di rumah. Pagi hari jam dua atau tiga malam mereka sudah berangkat ke pasar, jam dua atau tiga siang tiba di rumah, lalu mencari dagangan lagi. Mereka mengatur dan menyiapkan dagangan yang akan dijual sampai jauh malam. Demikianlah halnya dengan isteri-isteri yang ikut aktif mencari nafkah di kantor, di pabrik, di perusahaan. Ada pula diantara suami isteri yang pekerjaannya berbeda, misalnya suami menjadi petani isterinya pedagang,suami menjadi pegawai atau pekerja isterinya menjadi pedagang. Isteri bekerja berjualan dengan maksud menambah penghasilan suaminya. Sebaliknya jika isteri menjadi pegawai atau pekerja, sang suami lalu berdagang atau berjualan dengan tujuan yang sama seperti di atas. Bagi isteri yang tidak bekerja semacam itu, toh tetap sibuk dengan pekerjaan rutin di rumah yaitu membersihkan dan mengatur rumah, menyiapkan makanan untuk keluarga, mengawasi putra-putranya. Tampaklah dengan jelas

169

bahwa suami dan isteri merupakan dua sejoli dalam rumah tangga. Mereka bekerja sama dalam membina keluarga mereka. Keluarga sering dihadapkan pada berbagai masalah yang cukup penting, misalnya pada waktu mereka mempunyai hajad mengawinkan anaknya. Dalam hal ini ayah dan ibu wajib menanyai puteranya lebih dahulu, apakah ia bersedia menrima pinangan seseorang atau bersedia dikawirikan dengan seseorang. Jika anaknya telah bersedia, ayah dan ibu ialu merundingkan mengenai

pelaksanaannya. Hal-hal yang dibicarakan antara lain meliputi waktu, beaya, dan segala hal yang berkaitan dengan kebutuhan perkawinan. Semunya itu dirundingkan dan diputuskan bersama. Jika dalam hal ini putera mereka sudah ada yang dapat diajak berunding, iapun diikut sertakan pula, meskipun akhir putusan ada di tangan orang tua. Dalam menghadapi soal semacam itu misalnya hajad mengkhitankan anak, hajad mendirikan rumah, membelisawah dan ladang, membuka usaha baru selalu dibicarakan bersama oleh suami isteri. Jika dalam kenyataan ada di antara keluarga yang memberi ayah atau ibu kekuasaan yang lebih besar, tidaklah berarti ada sistem kekuasaar. ayah atau kekuasaan ibu, akan tetapi lebih merupakan variasi saja dalam sistem keluarga Jawa yang prinsipnya berstruktur kekuasaan ayah dan ibu atau dwitunggal. Di bagian atas sudah dikemukakan bahwa persatuan dan kesatuan merupakan bagian penting dalam kehidupan keluarga Jawa. Hubungan antara anggota keluarga sangat erat, bahkan sedemikian rupa sehingga anak yang sudah kawinpun masih banyak yang bertempat tinggal bersama keluarga. Di dalam

170

keluarga anak-anak merupakan kesatuan yang bulat. Oleh karena itu wajib saling mengetahui kedudukan masing-masing. Dalam hubungan ini Paku Buwana IV antara lain menegaskan : Pan sadulur tuwa kang wajib pitutur, marang kang taruna, kang anom wajibe wedi, sarta manut wuruke sadulur tuwa. Kang tinitah dadi anom aja masgul, balik rumangsaha, yen wus tinitah hyang Widhi, yen masgula ngowahi kodrat ing suksma. Nadyan bener yen wong anom dadi luput, yen ta anganggowa, pikirira pribadi, pramilane wong anom aja ugungan. Yen dadi nom den weruh ing enomipun, dene ingkang tuwa den kaya banyu ing beji, den awening paningale aja samar. Lawan maning ana ing pituturingsun, lamun sira maca iya sadhengah kinteki, aja pijer katungkul, ningali sastra. Caritane ala becik dipun weruh, nuli rasakna, saunine layang iki, den karasa kang becik sira anggowa".

Terjemahan : Adalah saudara tua yang wajib memberi nasehat kepada yang muda, yang muda wajib takut, serta menuruti petunjuk atau ajaran saudara tua. Yang ditakdirkan menjadi muda jangan kecewa, sebaliknya merasalah bahwa sudah ditakdirkan Gusti Allah, bila kecewa merubah kodrat Gusti Allah. Meskipun benar bila orang muda menjadi salah,jika memakai, pikirannya sendiri, oleh karena itu orang muda jangan senang dipuji. Bila menjadi muda hendaknya tahu bahwa muda, sedang yang tua, hendaknya seperti air di bak, yang bersih penglihatannya dan jangan khawatir. Dan lagi di dalam petuah saya, jika engkau membaca, setiap surat ini, jangan selalu terpikat melihat tulisan.

Ceriteranya baik-buruk harap tahu, kemudian rasakankanlah bunyinya surat ini, agar terasa dan yang baik pakailah". Saudara tua mempunyai kewajiban memberi petuah adikadiknya. Ia ibarat air dalam jamban, artinya penglihatannya terang dan jelas tak perlu ragu-ragu. Sebagai kodrat saudara yang lebih muda wajib memperhatikan dan menuruti petunjuk serta nasehat saudaranya yang lebih tua. Ia harus takut dalam arti patuh kepada saudaranya yang lebih tua, meskipun ia tahu bahwa ia benar dan mungkin saudara tuanya yang salah. Ia tidak boleh

171

berlaku manja sekali sehingga sebagai anak muda menyadari kedudukannya sebagai orang muda. Saudara kakak beradik dalam keluarga merupakan kesatuan dan saling merasakan suka dan duka bersama. Pende ritaan salah satu dari padanya merupakan penderitaan bersama, demikian pula jika salah seorang mendapat kesenangan berarti juga buat yang lain. Mereka hidup bersama laksana endhog sapetarangan atau seperti telur dalam satu sangkar. Uraian di atas tidak berarti bahwa masing-masing anak tidak mempunyai identitas, atau kepribadian sendiri. Mereka masing-masing sebagai individu tetap mandiri, akan tetapi dalam kemandiriannya itu ia sekaligus merupakan totalitas atau keseluruhan dengan yang lain, tidak dipisahkan. Hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya juga sangat penting dan merupakan bagian dari seluruh hubungan yang serasi di dalam keluarga. Demikian pula hubungan antara anak yang satu dengan anak yang lain. Mereka hidu.p secara harmonik artinya saling merasakan suka dan duka bersama, saling memikul bila berat dan saling menjinjing bila ringan bebannya. Oleh karena itu di dalam keluarga Jawa para anggotanya tidak saling menganggap sebagai orang lain, akan tetapi seperti dirinya sendiri. Kegagalan yang dialami oleh salah seorang anggotanya berarti juga kegagalan bagi anggota keluarga yang lain. Mereka tidak memperlakukan akunya lebih penting dari anggotalainnya, sehingga hubungannya tidak sebagai-aku-engkau, akan tetapi sebagai aku-aku. Dalam hal ini Ki Ageng Surya Mentaram antara lain mengatakan bahwa siapa mencari enak tanpa mengenakkan tetangga, sama dengan membuat tali untuk

172

menjerat lehernya sendiri. Ungkapan tersebut berarti tak ada keenakan kecuali mengenakkan orang lain. Selanjutnya dikatakan semboyan enak hanyalah mengenakkan orang lain didasarkan atas anggapan bahwa orang lain bukanlah kamu. Sikap jiwa yang menganggap orang lain bukan kamu, mewajarkan tindakannya mengenakkan orang lain, dan kemungkinannya melihat rasa enak atau tidak enak orang lain. Di dalam hubungan antara suami dan isteri antara lain disebutkan bahwa perkawinan dengan dasar untung rugi menimbulkan rasa dijebloskan atau menjebloskan. Setelah orang merasa bahwa dengan cacadnya ia menyusahkan suami/isteri, timbullah hasrat minta maaf pada suami/isterinya. Hasrat minta maaf ini mengubah pandangannya terhadap suami/isteri dan inilah permulaan rasa rukun dan damai, rasa demikian itu adalah lenyapnya rasamu. Jadi hilangnya rasa kamu karena mengerti kesalahan sendiri ketika hubungan dengan orang lain dan merasa tidak enak. Hubungan suami dan isteri tersebut di atas menunjukkan bahwa keduanya merupakan kesatuan. Selanjutnya jika kita perhatikan anak-anak juga merupakan kesatuan, demikian pula orang tua. Masing-masing mempunyai kebebasan dalam batas-batas yang wajar yaitu tidak melanggar kepentingan bersama. Struktur pertama keluarga Jawa Family nukler. Dalam hal ini dikatakan bahwa sementara penekanan struktural terhadap keluarga inti, ada sebuah struktur yang melengkapi yakni strtiktur jaringan ikatan antara wanita yang mempunyai hubungan kekeluargaan yang disebut matrifokal yang masih nampak jelas dalam komposisi rumah tangga.

173

D. Struktur Sarwa Tunggal Suami isteri sebagai orang tua anak serta anak-anak merupakan dua unsur yang merupakan kesatuan, maka keluarga Jawa dapat disebut sebagai keluarga yang berstruktur dwitunggal. Selanjutnya karena keseluaruhan anggota

merupakan kesatuan maka keluarga Jawa dapat disebut berstruktur sarwa tunggal. Keluarga Jawa merupakan masyarakat yang terkecil terkecil atas ayah-ibu beserta anak-anaknya yang mempunyai hubungan erat dan merupakan satu kesatuan bulat dalam suatu sistem. Dilihat dari garis keturunannya, keluarga Jawa pada hakekatnya bersistem dwitunggal karena hubungan dalam keluarga menbikuti kedua garis yaitu ayah dan ibu. Dilihat dari ruang dan waktu, struktur keluarga Jawa meliputi tempat yang tak terbatas dan berbagai generasi. Dilihat dari siapa yang memegang kedaulatan, keluarga Jawa bersistem dwitunggal artinya kedaulatan ada di tangan ayah dan ibu bersama-sama, dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang ada. Sebagai masyarakat terkecil, anggota keluarga Jawa mempunyai bakat, kemampuan, kesenangan dan ciri masing-masing. Dengan kata lain mereka mempunyai perbedaan-perbedaan. Meskipun demikian perbedaan-perbedaan tersebut

bukannya mendorong ke perpecahan, tetapi justru mendorong untuk bersatu. Keluarga Jawa adalah dwitunggal atau bahkan sarwa tunggal. Setiap keluarga mempunyai cita-cita agar memperoleh kebahagiaan di dalam hidupnya. Kebahagiaan berarti kesejahteraan dan ketenteraman lahir serta batin, duniawi dan ukrowi. Keadaan yang demikian ini tercapai bila seluruh anggota keluarga tidak dihinggapi oleh rasa takut misalnya takut kekurangan makan, takut

174

tidak mempunyai tempat tinggal, takut menghadapi hari tua, takut akan berbagai penderitaan lainnya. Di samping itu juga terbebas dari berbagai gangguan misalnya gangguan penyakit, oangguan keamanan, sehingga mereka merasakan hidup yang' tenang dan tenteram. Itulah kebaikan yang mereka dambakan. Agar cita-cita tersebut tercapai ayah dan ibu harus berusaha dan bekerja dengan tekun untuk memenuhi kebutuhan material dan spiritual. Mereka juga wajib memperhatikan dan mengasuh anak-anaknya agar menjadi manusia yang mempunyai tabiat baik. Oleh karena itu di dalam keluarga harus tercipta adanya suasana yang menunjang tercapainya tujuan tersebut. Suasana itu harus terlihat di dalamseluruh hub ungan antara anggota-anggotanya. Semua anggota keluarga harus mengetahui bagaimana kedudul;an dan fungsi mereka masing-masing. Tujuan langsung. Keluarga sebagai masyarakat terkecil mempunyai tuju an yang langsung antara lain kebutuhan akan makan, minum, pakaian, uang, perumahan, kesehatan diri, kedudukan, kekuasaan dan pangkat. Keluarga dalam kehidupan masyarakat mempunyai peranan penting dalam mengejar tujuan itu. Kebutuhan sehari-hari seperti makan, minum, pakaian, perumahan menjadi tugas utama keluarga untuk mencukupinya. Mereka bekerja dan berusaha sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan itu agar tidak mengalami kekurangan dan penderitaan. Mereka percaya bahwa Tuhan yang Maha Murah dan Kasih akan memberikan rejeki kepada umat manusia. Keyakinan ini diwujudkan berupa suatu optimisme yang besar, dengan ujud pernyataan ana dina ana upa artinya ada hari ada nasi.

175

Pernyataan ini memang dapat diartikan negatif seolah-olah mereka pasrah kepada nasib dan takdir, bersikap pasip tanpa semangat. Pada hal jika kita perhatikan dengan seksama, di dalam pernyataan itu terkandung optimisme yang mendorong dan memberi semangat kepada mereka untuk bekerja keras tanpa mengenal lelah. Bukankah jam tiga malam pedagang sudah berbondong-bondong ke pasar untuk berjualan dan jam lima pagi para petani sudah mulai mengerjakan sawahnya. Mereka percaya bahwa dengan kerja keras setiap orang masih dapat memenuhi kebutuhan hidup yang pokok yaitu makan. Demikian pula mereka berusaha menjaga diri para anggotanya agar tetap sehat sehingga dapat melakukan tugas keluarga dengan baik. Masih banyak yang mereka lakukan yaitu di samping memenuhi kebutuhan sebagaimana di sebutkan di atas juga berusaha antara lain memperoleh kekuasaan. Tujuan langsung tidak hanya terbatas mengenai kebutuhan jasmani dan duniawi saja, akan tetapi juga kebutuhan rohani, non duniawi. Meskipun demikian titik beratnya terletak pada pemenuhan yang bersifat jasmani atau yang material. Di dalam kenyataan hidup sebagian besar waktu digunakan justru untuk memenuhi tujuan hidup yang langsung ini, karena kebutuhan sehari-hari memberikan rangsangan yang cukup besar. Kebutuhan semacam itu selalu ada di sekitar kita dan menuntut agar segera kita penuhi. Itulah sebabnya tujuan langsung juga disebut tujuan jangka pendek. Tujuan tidak langsung. Setiap keluarga Jawa mempunyai cita-cita yang mulia yaitu ingin mencapai kebahagiaan yang sempurna, sama halnya dengan tujuan manusia. Kebahagiaan sempurna bagi keluarga yaitu ketenangan, ketenteraman

176

dan keselamatan bagi setiap anggotanya, baik lahir maupun batin, baik duniawi maupun ukhrowi merupakan sesuatu yang ideal yang didambakan oleh keluarga pada umumnya. Tujuan tidak langsung atau jangka panjang ini sangat penting, meskipun kenyataannya lebih sukar dilaksanakan dari pada tujuan yang langsung. Itulah sebabnya di dalam keluarga, para anggotanya didorong dan diarahkan melalui berbagai cara agar menyadari bahwa yang harus mereka capai di samping tujuan yang langsung, adalah tujuan yang jauh, yang tidak langsung. Dalam hal ini adanya kehidupan yang serasi dan selaras serta seimbang dalam keluarga sangat diutamakan. Di dalam keluarga harus berlaku keadilan. Karena keluarga yang satu hidup bersama dengan keluarga lain maka mereka harus melaksanakan keadilan baik oleh dan untuk anggota-anggotanya, maupun dalam hubungannya dengan keluarga lain.

E. Menggapai Kebahagiaan Sejati Setiap keluarga mempunyai cita-cita yang mulia yaitu keinginan mencapai kebahagiaan yang sempurna. Kebahagiaan sempurna. Bagi keluarga yaitu ketenangan, ketenteraman dan keselamatan bagi setiap anggotanya, baik lahir maupun batin, baik duniawi maupun ukhrowi merupakan sesuatu yang ideal yang didambakan oleh keluarga pada umumnya (Sunoto, 1989: 33). Bagi orang Jawa, keluarga, orang tua, anak-anaknya merupakan rakyat yang paling penting di dunia. Oleh karena itu mereka selalu mendapat bimbingan serta petunjuk mengenai berbagai nilai kebudayaan Jawa yang berguna bagi sosialitas agar tidak menyimpang dari norma-norma kebudayaan yang ada.

177

Dalam Serat Wulang Putri ini diajarkan bahwa Waniti dikatakan utama apabila ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan mempunyai keturunan sebagai penyambung cita-cita hidupnya. Dari sini tersirat bahwa selain sebagai anak, wanita yang mempunyai kekhususan sebagai pelahir anak maka ia pun dituntut untuk memberikan pendidikan pada anaknya dalam mencapai tujuan dan cita-cita sebagai manusia. Banyak petuah yang ditujukan kepada anak bagaimana ia bersikap dan berbuat di dalam pegaulan keluarga. Jika dalam tata pergaulan orang dapat menempatkan dirinya sedemikian rupa, tentu akan terjalin suatu pergaulan yang serasi, selaras dan seimbang. Bagi masyarakat Jawa pergaulan yang baik harus tetap bersandarkan atas sikap yang pada hakikatnya berlandaskan nilai-nilai religius dan moral. Istilah seperti sing ngerti suba sita lan duga watara menunjukkan betapa pentingnya nilainilai tersebut diperhatikan baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Masyarakat memberikan penghargaan yang tinggi terhadap keberadaan anak karena sebagaimana dikatakan bahwa anak merupakan kunci kebahagiaan orang tua. Anak mempunyai kedudukan penting di dalam hati orang tua karena merupakan tali pengikat yang kokoh terhadap ayah ibunya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam ungkapan Jawa anak iku dadi ganthelaning ati anak itu selalu ada dalam hati orang tuanya. Oleh karena itulah merupakan kewajiban bagi seorang anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Sebagaimana dipaparkan dalam Serat Wulang Putri : Maning sira angidhepa, mring rama ibunta nini, tegese sira nucekna,

178

iya sasiranireki, dene dennya nglakoni, eneng eninga ing kalbu, awas eling supaya, sirnaa nepsunta nini, angakna ing asih kalawan arah. Terjemahan : Ada lagi hendaknya engkau berbakti, kepada bapak dlan ibumu wahai putriku, artinya sucikanlah, jiwamu ini, adapun cara menjalankannya, eneng eninga di hati, waspada dan ingat sadar, hilanglah napsumu, berilah kasih dari segala arah.

Kewajiban berbakti kepada orang tua ini merupakan suatu kewajiban yang harus diemban oleh seorang anak sebagai sarana berbakti kepada Gusti Allah. Adapun jalannya untuk berbakti seorang wanita dinasehatkan untuk mensucikan jiwa dengan cara eneng -ening-awas -eling dalam hati serta mengasihi mereka berdua dengan setulus-tulusnya. Kewajiban berbakti ini sebagai bukti timbal balik kita kepada kedua orang tua yeng telah menyebabkan kita hadir di dunia, yang merawat dan membesarkan. Kewajiban ini sebagai balas budi anak terhadap jerih payah orang tua. Sebagaimana dinyatakan bahwa ketika ibu mengandung merupakan beban berat yang berlipat atau wahnan 'ala wahnin (Qur'an 46: 16). Kewajiban berbakti kepada orang tua ini juga dijelaskan dalam Wulang Reh (Paku Buwana IV) pupuh Maskumambang :

179

Iku pantes sira tirua ta kaki, miwah bapa-biyung, kang muruk watek kang becik, iku kaki estokena. Wong tan manut pitutur wong tuwa ugi, anemu duraka, ing donya turnekeng akir, tan wurung kasu rang-su rang. Ana uga etang-etanganane kaki, lilima sinembah, dununge sawiji-wiji, sembah lilima punika. Ingkang dhingin rama ibu kaping kalih, marang mertuwa, lanang wadon kang kaping tri, ya marang sedulur tuwa. Pramilane rama ibu denbekteni, kinarya jalaran, anane badan puniki, wineruhan padhang hawa. Uripira pinter samubarang kardi, saking ibu rama, ing batin saking Hyang widhi, mulane wajib sinembah.

Terjemahan : Itu pantas bila kautauladani anakku, juga bapak ibu, yang mengajarkan watak tang baik, yang demikian itu patuhilah anakku. Orang yang tidak patuh pada nasehat orang tua,

180

akan menemui celaka, di dunia sampai akhirat, tidak luput hidupnya pun selalu dalam keresahan. Ada juga hitungannya anakku, lima yang disembah, hal itu masing-masing, kelima sembah itu adalah. Yang pertama ayah-ibu, kedua terhadap mertua, laki-laki perempuan, yang ketiga kepada saudara tua. Sebab hendaknya engkau berbakti pada ayah-ibu, karena, adanya diri ini, tahu akan dunia yang terang. Hidupmu menjadi tahu akan segala hal, karena ibu dan ayah, dalam batin dari Yang Maha Kuasa, karena itulah wajib disembah.

Selain ada kewajiban berbakti pada orang tua wanita juga berperan sebagai pendidik anak. Kewajiban ini tidaklah diungkapkan secara eksplisit dalam Serat Wulang Putri. Keimplisitan ini sebagaimana dipaparkan bahwa salah satu keberuntungan bagi manusia apabila ia mempunyai anak. Pernyataan ini secara tidak langsung menuntut kaum wanita untuk merawat dan mendidik anak yang telah dilahirkannya. Ungkapan itu tampak dalam pupuh Maskumambang bait II, kaping pat berawan maksude nini, mapan sugih anak, yang keempat berawan maksudnya

181

putriku, mempunyai anak. Pernyataan bahwa salah satu keberuntungan dalam hidup adalah memiliki seorang anak menunjukkan bahwa fungsi reproduksi dari wanita benar-benar menjadi pusat penilaian masyarakat. Hal ini sebagaimana dipaparkan dalam Serat Panitisastra bahwa sepining garwa tan darbe suta sepi satuhu, istri kosong apabila tidak mempunyai anak benar-benar kosong (Sadewa, 1996: 74). Ungkapan ini menunjukkan bahwa wanita tanpa anak dianggap sebagai wanita yang sia-sia. Kebahagiaan orang tua ada pada diri anak ini dipaparkan pula dalam Serat Panitisastra, yaitu anak yang baik menjadikan kebagiaan, anak yang jahat mendatangkan susah orang tuanya. Untuk menjadikan anak yang berbudi pekerti luhur ini diperlukanlah sosok yang mampu merawat, mengasuh dan mendidik, yakni seorang wanita yang dalam dirinya memiliki sifat-sifat luhur. Wanita merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya. Dalam sebuah rumah tangga dibutuhkan seorang penanggung jawab utama terhadap perkembangan jiwa dan mental anak. Di sini masyarakat menunjuk kepada wanita sebagai ibu yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki laki-laki, bahkan tidak dimiliki oleh wanita-wanita selain ibu kandung.

F. Pandangan Hidup Berkeluarga Dengan mempelajari hubungan-hubungan tersebut akan dapat diketahui ciriciri khusus filsafat hidup mereka. Oleh karena keluarga terdiri atas ayah ibu dan anak-anak, maka sesuai dengan idaman ajaran kefilsafatan Jawa, tujuan keluarga pada hakekatnya diharapkan serasi dengan tujuan para anggotanya. Berdasarkan

182

uraian tersebut,dalam penelitian ini akan dibuktikan bahwa ada kesamaan antara manusia yang menjadi idaman masyarakat Jawa dengan manusia anggota keluarga yang juga diidamkan oleh keluarga. Selanjutnya karena keluarga merupakan masyarakat terkecil, maka ia merupakan unsur masyarakat. Hakekat dan tujuan serta hubungan-hubungan yang berlaku dalam keluarga Jawa diharapkan juga serasi dengan yang berlaku dalam masyarakat pada umumnya. Meskipun sebagai unit, keluarga itu mandiri, namun sebagai unsur masyarakatia juga terikat oleh tata cara dan tata krama masyarakat. Membicarakan keluarga Jawa dari segi filsafat, setidaktidaknya memberi sumbangan bagi pembicaraan filsafat masyarakat Jawa pada umumnya. Oleh karena filsafat masyarakat Jawa merupakan sebagian dari filsafat Indonesia, maka hasil penelitian ini akan memberikan andil dan masukan bagi kefilsafatan Indonesia tersebut. Dengan demikian tata cara dan tata krama keluarga Jawa yang ada secara selektif dapat dikembangkan dan dipelihara menjadi unsur tata cara dan tata krama nasional. Syarat untuk menjalankan tapa tersebut tidak boleh mengganggu berjalannya hidup sehari-hari. Di pilih jalan tengah antara keadaan puas dan keadaan lapar (De Jong, 1976: 24). Tapa brata puja mantra tersebut pada hakikatnya mempunyai tujuan utama yaitu agar seorang wanita dapat menguasai hawa nafsu dlan membersihkan jiwa sebagai sarana mendekatkan diri kepada Gusti Allah. Manusia yang memperturutkan hawa nafsu, dirinya terhalang dari Gusti Allah dan untuk menyingkap tabir itu harus melakukan latihan kerohanian dengan mengosongkan

183

hati dan membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan mengisi dengan sifat-sifat terpuji. Sifat-sifat tercela tersebut sebagaimana diungkapkan dalam Serat Wulang Putri disebut pancadriya dalam pupuh Sinom bait 1-2 adalah cengil sengitan; panasten kemeren lawan dahwen; kumingsun, ewan cekak dan rupak artinya dengki dan suka membenci, panas hati, iri hati dan suka mencampuri urusan orang lain,. sombong; mudah tidak senang dan berpikiran sempit serta picik. Seorang wanita dalam menjalankan tapa brata tersebut harus mengetahui dan memahami empan papan. Empan itu apabila waktu malam tiba terbukanya semua kehendak. Papan adalah suasana sepi artinya bahwa di waktu sepi itulah waktu yang tepat untuk menghilangkan duka nestapa. Dengan demikian, manusia akan mencapai moring kawula Pusti 'bersatunya hamba dengan Gusti Allah. Konsep empan papan ini menggambarkan bahwa waktu malam merupakan waktu yang suci dan angker. Pada waktu malam orang dapat menghayati bersatunya diri manusia dengan alam raya yang tenang dengan sangat mesranya. Dalam moring kawula Gusti itu lenyaplah segala perasaan yang tinggal sebagai ciri khas dari kesatuan tersebut ialah arah suprasosial terhadap sesama manusia. Segala pikiran dan perasaan yang diarahkan pada suatu tujuan tertentu (misal: pamrih) akan merintangi pemersatuan itu, sama seperti kotoran. Manusia yang merasakan benar-benar dirinya hamba-Nya, kumawula artinya merupakan cermin yang sejati, sehingga Gusti Allah dalam bayangan yang sungguh-sungguh tidak terhalang oleh kotoran sedikitpun. Sumber kebagiaan di

184

sini bukanlah hidup di dunia tetapi apabila seorang hamba merasa bersatu dengan Gusti Allahnya (De Jong, 1976: 26). Kepasrahan kepada Gusti Allah merupakan salah satu sikap hidup orang Jawa yang sering dikenal dengan ungkapan nrima ing pandum 'menerima apa yang telah diberikan' karena segala sesuatu sudah diatur. Sartono Kartodirdjo mengatakan bahwa narima refers to the state of being content or accepting something with fullness. Bagi masyarakat Jawa ungkapan narima merupakan ungkapan terima kasih atas segala pemberian yang diperoleh dari Gusti Allah yang Maha Pemurah. Dengan prinsip hidup nrima ing pandum seseorang tidak mempunyai sifat serakah atau iri hati. Di atas sudah dijelaskan bahwa keluarga terdiri atas ayah dan ibu beserta anak-anaknya, demikian pula keluarga Jawa. Bahkan orang-orang lain yang bukan anak dan bertempattinggal bersama serumah termasuk anggota keluarga. Inilah wujud keluarga yang telah diperluas. Anggota-anggota keluarga meskipun mandiri pada hakekatnya tidak terpisahkan satu sama lain, tetapi merupakan kesatuan yang bulat. Mandiri artinya setiap anggota keluarga bebas dalam menentukan jalan hidupnya antara lain dalam hal memilih pekerjaan, mencari nafkah, menuntut ilmu. Meskipun orang tua berhak memberikan nasehat dan saran, namun keputusan akhir ada di tangan anggota-anggotanya. Meskipun demikian kebebasan mereka ini bukannya tanpa batas, malahan sebenarnya mereka terikat oleh berbagai ketentuan adat atau norma yang berlaku. Persatuan, karena keluarga terdiri atas anggota-anggota atau individu-individu, atau merupakan kumpulan dari anggota-anggotanya. Kesatuan, karena kumpulan anggota-anggota tersebut pada hakekatnya tidak dapat dipisah-pisahkan lagi.

185

Kumpulan anggota yang telah bersatu itu tidak dapat dipecah-pecah lagi, karena sudah merupakan satu kebersamaan, senasib sepenanggungan, serta merasakan suka dan duka bersama. Keluarga merupakan suatu unit kesatuan yang mempunyai ciri-cirinya sendiri. Oleh karena itu di dalam keluarga Jawa masing-masing anggotanya harus mampu bersosialitas dengan anggotanya yang lain, di samping harus mampu mengembangkan dirinya. Ada pepatah Jawa yaitu anak molah bapa kepradhah artinya jika anak berbuat sesuatu yang kurang baik yang terkena akibatnya tidak hanya dia sendiri, tetapi juga orang tuanya. Tega larane ora tega patine. Pepatah ini menunjukkan bahwa betapapun bencinya orang tua kepada anaknya namun toh masih dalam batas-batas tertentu. Jiniwit katut artinya kalau orang dicubit kulitnya, dagingnya juga turut kena. Ini berarti bahwa jika salah satu anggota keluarga menderita berarti juga penderitaan bagi anggota lainnya. Nasib anak-anak dalam keluarga selama mereka belum mendapat penghasilan sendiri masih menjadi tanggung jawab orang tuanya. Bahkan walaupun anak sudah berkeluarga sendiri, jika mendapat kesulitan, orang tua selalu siap membantu. Keluarga Jawa sebagai suatu sistem, mempunyai hubungan baik material maupun spiritual. Dalam hal ini dikatakan bahwa pendidikan dalam keluarga tidak bermaksud untuk menghasilkan orang yang dapat berdiri sendiri melainkan menekankan orang yang sosial, sedangkan individualitas personality seseorang akan mewujudkan suatu dasar moril yang kuat. Orang memerlukan bimbingan dalam segala bidang.

186

Hildred Geertz (1961: 51) menulis bahwa bagi orang Jawa, keluarganya, orang tuanya, anak-anaknya, merupakan rakyat yang paling penting di dunia. Oleh kerena itu mereka selalu mendapat bimbingan serta petunjuk mengenai berbagai nilai kebudayaan Jawa yang berguna bagi sosialitas mereka agar tidak menyimpang dari norma-norma kebudayaan mereka. Betapa pentingnya kesatuan dan kerukunan hidup keluarga antara lain dikemukakan dalam Serat Wulang Reh (Pakubuwono IV) sebagai berikut : Kamulane kaluwak nom-nomanipun, pan dadi satunggal, pucung arane puniki, yen wis tuwa si kaluwak pisah-pisah. Den budiya kepriye ing becikipun, aja nganti pisah, kumpula kaya ing nguni, anom kumpul tuwa kumpul kang prayoga. Terjemahan : Permulaannya keluwak waktu masih muda, masih menjadi satu, namanya pucung, jika sudah tua, keluwak lalu bercerai berai. Berusahalah bagaimana baiknya, jangan sampai berpisah, berkumpullah seperti dahulu, muda kumpul tua kumpul yang baik.

Bait di atas menunjukkan betapa pentingnya persatuan dan kesatuan dalam keluarga. Meskipun ajaran tersebut agaknya ditujukan kepada anak-anak, namun intinya ialah kesatuan dalam keluarga. Dilukiskan bahwa keluarga harus bersatu dan harus berkumpul sebagaimana anak-anak waktu masih hidup bersama orang tuanya. Sedemikian rupa dambaan persatuan dan kesatuan tersebut tampak pula dalam pernyataan mangan ora mangan waton kumpul. Pernyataan ini dapat ditafsirkan secara nebatif yaitu hanya menekankan berkumpulnya atau

187

kesatuannya, sedang kebutuhan makannya kurang mendapat perhatian. Disamping itu pernyataan tersebut seolah-olah hanya berisi ajaran yang membentuk manusia berpikiran dan berkepribadian sempit. Ajaran tersebut mendidik manusia narima ing pandum, menerima nasib dan menggantungkan diri atas pemberian atau bagian yang diberikan oleh Gusti Allah. Dorongan untuk berkembang dengan cara yang kreatif tidak tersirat dalam pernyataan itu. Sebenarnya jika pernyataan itu dilihat dari kurun waktu beberapa puluh atau ratus tahun yang lalu masih dapat diterima oleh akal. Pada waktu itu alam masih kaya dan luas, sedang jumlah manusia masih sedikit. Karenaitu pada hakekatnya tidak mungkin kekurangan makan. Apakah anggota keluarga itu berkumpul atau tidalc sebenarnya tidak menjadi masalah, sebab mereka pasti dapat makan. Istilah makan atau tidak makan asal kumpul dalam pernyataan di atas terang dimaksudkan betapa pentingnya nilai persatuan dan kesatuan, sebab pada waktu itu tidak mungkin berkumpul tanpa makan, karena makanan sudah cukup tersedia. Jika sekarang pernyataan tersebut diterapkan sebagaimana apa adanya sudah barang tentu tidak kena, sebab kondisi keluarga memang berbeda. Salah-salah dapat terjadi berkumpul tidak makan sungguh-sungguh. Karena itu dalam hal ini yang penting adalah arti berkumpulnya, bersatu nya anggota keluarga. Jika pada waktu dahulu berkumpul diartikan berkumpul serumah, tentunya harus diberi arti yang lebih luas (Sunoto, 1989: 83). Sewaktu anak-anak masih menjadi tanggungan orang tua dan belum dapat mandiri, berkumpul memang dalam arti serumah. Jika kemudian anak-anak bahkan cucucucu mereka sudah bertebaran di berbagai tempat,istilah berkumpul masih

188

mengandung makna yang cukup berarti, karena bagaimanapun juga mereka harus tetap bersatu-padu dalam keluarga besar. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa struktur keluarga Jawa merupakan suatu sistem yang menekankan betapa pentingnya persatuan dan kesatuan sebagai dasarnya. Jika seseorang berjumpa dengan orang lain dalam perjalanan, misalnya di kereta api, di bis atau dalam pertemuan, misalnya rapat, sering kali lalu berkenalan dan membicarakan berbagai masalah. Hal-hal yang dibicarakan antara lain mengenai iceluarga masing-masing. Di sinilah kadangkadang mereka bertemu sebagai keluarga,karena setelah diurut-urut antara mereka masih ada hubungan keluarga. Kedua orang itu saling menceritakan asal-usul mereka, akhirnya diketahui bahwa nenek buyut mereka sama. Contoh sederhana di atas menunjukkan bahwa struktur keluarga Jawa, meskipun secara formal nampaknyatidak mengenal jenis hubungan dan ikatan seperti marga dan namun pada hakekatnya mengenal pula hubungan darah atau famili atau hubungan yang berdasarkan atas keturunan. Di atas keluarga masih ada ikatan yang cukup jelas meskipun tidak mempunyai organisasi yang teratur yang mempunyai tempat, pengurus, harta, dan peraturan yang me ngikat anggotanya. Ikatan semacam inilah yang biasanya dinamakan trah. Hubunganhubungan di dalamnya sudah agak longgar.

189

BAB X NILAI LUHUR DALAM SASTRA PIWULANG

A. Laksana Mimi Lan Mintuna Harapan hidup berumah tangga adalah keserasian yang meliputi seluruh warganya. Hal ini akan tercermin dalam hubungan antara suami dan isteri. Suatu rumah tangga yang penuh berisi pertentangan antara suami dan isteri memberikan bukti bahwa hidup mereka di dalam keluarga tidak serasi. Sebaliknya hubungan suami isteri yang serasi, rukun, tenteram, bahagia, tidak pernah cekcok, memenuhi harapan orang tuanya yaitu hidup serasi laksana mimi lan mintuna. Harapan agar hidup sebagai mimi lan mintuna biasanya diucapkan di dalam berbagai kesempatan misalnya dalam upacara perkawinan. Nasehat yang diberikan oleh para pini sepuh kepada dua mempelai yang sedang bersanding biasanya agar keduanya hidup rukun, tenang dan tenteram serta selamat dalam mengarungi hidup baru yaitu berkeluarga. Mimi dan Mintuna adalah binatang yang tidak pernah berpisah satu sama lain. Karena itu dijadikan lambang agar keluarga dalam hal ini suami dan isteri mempunyai pandangan hidup dan perbuatan hidup yang sama agar keluarga mereka dapat hidup tenang, tenteram dan selamat.

190

B. Sigaraning Nyawa Hidup sebagai mimi dan mintuna, sebagaimana diuraikan di atas sering juga disertai contohnya yaitu kehidupan Kamajaya dan Ratih. Kedua insan ini adalah Dewa dan Dewi yang terkenal dalam ceritera wayang, hidup rukun tidak pernah bertengkar apalagi berpisah satu sama lain. Kebahagiaan hidup dalam bentuk kerukunan dan kesatuan nasib antara suami dan isteri dapat kita lihat pada istilah garwa atau isteri. Istilah ini sering ditafsirkan sebagai sigaraning nyawa. Artinya pecahan atau konkritnya separonya nyawa. Nyawa menunjukkan terhadap sesuatu yang hidup. Sigaraning nyawa berarti hidup itu untuk suami dan isteri, yang memiliki dan men anggung konsekuensi dari padanya ialah mereka berdua. Demikianlah jika dilanjutkan, kebahagiaan mereka berarti akan membawa keluarganya hidup bahagia. Abot entheng disangga bareng. Berat sama dipikul ringan sama dijinjing demikian pepatah dalam bahasa Indonesia. Suami isteri diharapkan selalu hidup rukun dan tenteram, sehingga dapat menikmati kedamaian sampai hari tuanya. Pernyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa jika suami isteri dapat mencapai kaken-kaken dan ninenninen berarti mereka telah dapat mengarungi perjalanan yang panjang dan penuh dengan liku-liku. Hal ini merupakan bukti bahwa suami isteri yang demikian itu telah berhasil mengatasi segala macam tantangan dan rintangan hidup dengan sebaik-baiknya. Pada hari tuanya mereka tinggal menikmati dan mengecap hasil jerih payahnya selama itu dan menyaksikan anak-cucu beserta buyutnya dengan penuh nikmat. Sebaliknya anak-cucu dan buyut mereka juga akan merasa bahagia hidupnya karena masih ditunggui oleh ayah-ibu atau nenek mereka. Ini

191

berarti bahwa kebahagiaan hidup dalam keluarga dapat dirasakan oleh seluruh anggotanya. Dengan kata lain tujuan hidup keluarga dapat direalisasi. Meskipun nampaknya semboyan atau pernyataan tersebut di atas hanya ditujukan untuk ayah dan ibu, karena keduanya mempunyai peranan penting, toh akan memberi pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan keluarga. Sebagaimana kita ketahui, pada umumnya kakek dan nenek masih hidup bersama dengan anak cucu mereka, sehngga kebahagiaan mereka langsung dapat dirasakan bersama. Anak cucu mereka menaruh hormat dan menganggap kakek dan nenek mereka sebagai pepundhen artinya yang sangat dihormati. Di dalam serat wedhatama disebutkan : Bonggan kang tan merlokena, mungguh ugering ngaurip, uripe lan tri prakara, wirya artati winasis, manawa kongsi sepi, saka wilangan ketelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman ngulandara. Trjemahan : Karena salah sendiri orang yang tidak memperhatikan, mengenai hukumnya yang hidup, hidupnya dengan tiga perkara, keluhuran, uang, atau keduniaan dan kecakapan, jika sampai sepi, dari ketiga hal tersebut, habislah jejak manusia, lebih berharga daun jati kering, akhirnya sengsara sebagai pemintaminta yang berkelana. Serba terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari merupakan salah satu syarat hidup bahagia. Karena itu menjadi kewajiban keluarga untuk memenuhi kebutuhan tersebut, jika ingin hidup bahagia. Namun terpenuhinya, kebutuhan tersebut masih harus dilengkapi dua hal lainnya yaitu kecakapan dan keluhuran. Keluhuran merupakan kebutuhan batin yang mau tidak mau wajib dipenuhi pula. Keluhuran pribadi dapat terlihat antara lain pada

192

hati nurani, ucapan dan perbuatannya. Karena itu keluarga bahagia, jika para anggotanya memiliki pribadi yang luhur yang tampak dalam watak, sikap dan perbuatan sehari-hari baik di dalam maupun di luar keluarga.

C. Gemi Nastiti Kecakapan mencakup dua hal baik lahir maupun batin. Kecakapan lahir dapat berupa ketrampilan sedang kecakapan batin dapat berupa ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Kecakapan sangat berpengaruh terhadap kebahagiaan hidup keluarga. Jika masing-masing anggota keluarga mempunyai kecakapan semacam itu, berarti ikut menunjang terciptanya kebahagiaan keluarga. Dalam hal ini Mangkunegara IV mengajarkan agar anggota keluarga dapat memenuhi kebutuhannya dengan sebaik-baiknya berupa asthagina. Astha berarti delapan, gina atau guna berarti kegunaan. Kedelapan kegunaan tersebut adalah : panggaotan (pekerjaan), rigen (teliti), gemi (tidak boros), titi (tertib), wruh ing petungan (tahu perhitungan), taberi tetanya (rajin bertanya), nyegah kayun (mengendalikan kehendak) dan nemeni seja (niat yang sungguh-sungguh). Jika setiap anggota dapat melakukan kedelapan hal tersebut ia akan mencukupi kebutuhannya, mendapatkan sesuatu yang dikehendaki, cukup, tahu nasib, memperhitungkan segala perbuatannya, bertambah pengetahuannya, dapat mengendalikan dirinya dan kaya. Berikut ini kutipan ajaran tersebut, Panggautan gelaring pambudi, warnawarna sakaconggahira nuting jaman kelakone, rigen ping kalihipun, dadi pamrih marang pakolih, katri gemi garapnya, margane mrih cukup, ping pat nastiti

193

pamriksa, iku margane wruh ing pasthi, lima wruh ing petungan'. Watek adoh mring butuh sehari, kaping nenem taberitatarya.ngundhakkdn marang kawruhe, ping pitu nyegah kayun, pepinginan kang tanpa kardi, tan boros maring arta Terjemahan : 'Pekerjaan dan siasat atau uraian cara-cara usaha, berbagai macam menurut kemampuan, sesuai dengan jamannya, yang kedua adalah cekatan hemat kerjamu yaitu menjadi pemrih untuk memperoleh, ketiga hemat kerjanya, jalannya agar cukup, keempat berhati-hati dalam mengetahui, itu menjadi jalan tahu kepastian,lima tahu perhitungan. "Wataknya jauh dari kebutuhan sehari-hari, keenam rajin bertanya, menambah pengetahuannya, ketujuh mencegah kehendak, keinginan yang tidak berarti, tidak boros terhadap uang..... ". Menjaga diri pribadi agar tetap sehat wal afiat merupakan salah satu kewajiban setiap manusia. Betapapun kaya seseorang tetapi jika badannya tidak sehat, akan mempengaruhi kehidupannya sehari-hari, yaitu perasaan kecewa. Berikut ini adalah pendapat Purbanegara (1918: 29): Nanging yen den aku sirik, lan kajarah tur kasiyasiya, marang raganire dhewe, marma manungsa wajib padha awas lan eling, den agung sukurira, mring hyang maha luhur, ingkang murba amisesa, raganira ing reh mobah lawan mosik, sarta lawan nugraha. Anut dhawuh wewarahing Gusti, kangjeng Nabi duta nayakaningrat, jumbuh lawan.wewarahe, sang Sri Bathara Wisnu, wong ngaurip ing donya iki jalu miwah wanita, dhingin wajib nggayuh, muga raga kasinungan seger kuwat bagas kuwarasan kalis, saliring pancabaya. Akarana sanadyan wus olih, kawiryawan sugih bandha arta, putus ing reh kawignyane, samckta karsanipun, nanging tansah anandhang sakit, tan bagaskuwarasan, barang karsanipun, sayekti tansah kacuwan angarasa rasanira nggenira sakit, was uwas temah maras ".

Terjemahan : Tetapi jika diakui sebagai larangan, dan direbut dengan paksa serta dianiaya, terhadap badannya sendiri, sebab manusia hanyalah, harus awas

194

dan ingat, hendaknya besar sukurmu, kepada Gusti Allah Yang Maha Agung yang memperlakukan dan menguasai, badanmu daTam gerak-gerik serta mengenai anugerah. Menurut printah petunjuk Gusti, Nabi utusan di,jagad, persis sama dengan potunjuknya, Sang Hyang Wisnu, orang hidup di dunia ini, laki-laki dan perempuan, lebih dahulu harus mencapai, semoga raga diberi, segar kuat sehat, dan terhindar dari segala mara bahaya.

Sebab meskipun sudah memperoleh, kemuliaan kaya harta benda, ahli dalam hal kecakapannya, tiap kehendaitnya, pasti selalu kecewa merasakan sakitnya, ragu-ragu akhirnya takut". Jelaslah menurut ajaran tersebut betapa pentingnya kesehatan jasmani bagi manusia. Selanjutnya dikatakan bahwa orang yang sehat badannya mampu berkarya. Sehubungan dengan hal ini keluarga Jawa mengenal berbagai petunjuk yang dinyatakan dalam bentuk ungkapan. Jika orang Barat mempunyai semboyan men sana corpore sano, keluarga Jawa juga sudah mengenal semboyan aja kalah karo tangine pitik. Pernyataan ini sangat sederhana, tetapi jika kita perhatikan didalamnya terkandung ajaran atau nilai yang sangat berharga Pernyataan tersebut hanyalah metode untuk menyampaikan ajaran agar mudah diterima oleh orang-orang. Metode ini boleh berubah sesuai dengan situasi dan kondisi jamannya, akan tetapi inti ajarannya masih tetap mempunyai makna yang baik. Jika dikatakan jangan kalah bangunnya dengan orang lain mungkin orang yang mendengarnya tidak begitu perduli dan tidak malu karena masih dibandingkan orang. Dengan kata lain andaikata kalah ia masih kalah dengan orang, karena itu ia tidak terlalu menyandang beban. Lain halnya jika dibandingkan dengan hewan, manusia akan merasa malu. Mengapa ayam yang dipilih sebagai hewan pembanding dan bukan binatang lain. Hal ini buicannya secara kebetulan tetapi orang-orang tua dahulu

195

telah memilih dengan teliti bahwa ayam adalah hewan yang tidak pernah bangun itesiangan, karena pada pagi-pagi buta hewan tersebut sudah bangun dan mencari makan. Inti pernyataan di atas adalah suatu petunjuk atau nasehat agar orang bangun pada pagi-pagi hari, jangan terlalu siang. Dengan bangun pagi ia dapat bekerja mencari nafkahnya misalnya pergi ke sawah atau berangkat ke pasar. Dengan demikian badan a.kan terjaga dari gangguan penyakit dan akan selalu sehat wal afiat. Perhatikanlah dengan orang-orang yang sekarang berjalan pagi hari untuk berolah raga dan menghirup udara segar. Di samping agar dengan bangun pagi orang akan menjadi sehat badannya, maka dengan bangun pagi orang dapat melakukan tugas rohaninya dengan tepat, misalnya tidak terlambat sholat subuh. Dengan demikian pernyataan aja kalah karo tangine pitik mengandung petunjuk bahwa orang yang menaati ketentuan itu, dirinya, yaitu jasmani dan rokhaninya, akan sehat. Dalam hal menjaga kesehatan, keluarga Jawa juga telah mempunyai petunjuknya antara lain agar menjaga dan mengatur makannya. Ada ucapan nyegah dhahar lawan guling artinya janganlah makan dan tidur tanpa batas. Nasehat tersebut meliputi dua hal yaitu lahir dan batin, artinya barang siapa mau mengatur tidurnya akan sehat rokhaninya. Bandingkan dengan orang

melaksanakan diet. Dari sekelumit contoh tersebut kita dapat menarik inti ajaran yang terkandung di dalamnya yaitu di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat dan di dalam jiwa yang sehat terdapat badan yang sehat.

196

Adil artinya memberikan kepada setiap orang haknya masing-masing. Berikan kepada diri kita sendiri dan orang lain apa yang menjadi haknya masingmasing. Karena adil adalah keserasian antara hak dan kewajiban, maka yang didambakan oleh keluarga Jawa ialah adanya kesadaran para anggotanya akan hak dan kewajibannya masing-masing. Sama halnya di dalam kelompok-kelompok masyarakat dan negara, dalam keluarga ada beberapa jenis keadilan yaitu distributif, legal dan komutatif. Ini berarti bahwa orang tua harus berlaku adil terhadap semua anaknya (keadilan distributif). Selanjutnya anak juga harus berlaku adil terhadap orang tuanya (keadilan legal). Kemudian anak harus berlaku adil terhadap sesama saudaranya (keadilan komutatif).

D. Mendhem Jero Mikul Dhuwur Ada ucapan ngalah marang bocah artinya orang tua harus memahami benar kehendak dan kebutuhan anaknya, sehingga jika terpaksa rela mengalahkan kepentingan diri demi-anaknya. Mendhem jero mikul dhuwur adalah ungkapan yang berisi nasehat sebagai pelaksanaan keadilan legal. Demikian pula anak berlaku adil terhadap sesama saudaranya merupakan pelaksanaan keadilan komutatif. Jika diteliti dengan seksama kehidupan keluarga Jawa mempunyai tujuan kebahagiaan dan dalam hal ini ujudnya antara lain adalah selamat tidak ada gangguan apapun. Itulah sebabnya keluarga Jawa disibukkan oleh berbagai selamatan yang harus diselenggarakan olehnya. Maksud mengadakan selamatan tidak lain agar seluruh keluarganya memperoleh selamat. Selamat dalam

197

melakukan pekerjaan, selamat dalam perjalanan selamat dalam segala tingkah laku dan perbuatannya. Keluarga Jawa mengenal berbagai jenis upacara selamatan antara lain upacara tingkeban, babaran, sepasaran, selapanan, pitonan, atau tedhak siten, sunat, perkawinan, kematian. Di dalam peristiwa-peristiwa tersebut selalu diadakan selamatan menurut pola atau kebiasaan yang berlaku. Kecuali sarana yang berbentuk fisik dalam upacara selamatan itu disampaikan pula doa-doa tertentu. Maksud doa tersebut adalah agar yang bersangkutan terlepasdari berbagai rintangan dan halangan, sebaliknya akan mendapat keselamatan. Selamatan sebagai upacara kecil di dalam sistem religius Jawa. Bagi sebagian penduduk Jawa, slametan masih tetap menarik. Berbagai upacara dalam keluarga yang bertujuan untuk memperoleh keselamatan antara lain adalah sebagai berikut : di dalam upacara ini antara lain digunakan cengkir gadhing. Cengkir gadhing adalah lambang kecantikan, mungil, indah. Menggunakan cengkir mengandung maksud bahwa orang tua mengharapkan memperoleh anak yang cantik, suci, bersih lahir batinnya. Di samping itu disediakan pula rujak yang terdiri atas bermacam-macam buah-buahan. Rujak juga mengandung arti harapan. Kecuali rujak, dalam selamatan tersebut disajikan tiga macam nasi yaitu nasi putih, nasi merah dan bubur. Nasi putih melambangkan air dari ibu, nasi merah melambangkan air dari bapak dan bubur untuk menjaga terhadap gangguan makhluk jahat. Dalam hal nasi, ada tiga macam yaitu putih mulus, merah dan gabungan keduanya, putih di sekeliling yang di luar dan merah di tengah-tengah meja. Putih melukiskan pemuas ibu, merah air bagi ayah, dan

198

campuran keduanya dipandang mujarab untuk mencegar masuknya roh yang merugikan. Dalam hal rujak: bahwa rujak legi merupakan ramuan berbagai buah-buahan yang sangat pedas, cabai penyedap dan gula. Dikatakan bahwa apabila rujak rasanya pedas atau sedap bagi calon ibu, maka ia akan mempunyai seorang anak perempuan, tetapi jika rujak rasanya hambar baginya, ia akan mempunyai anak lelaki. Meskipun tidak disebutkan secara terinci, terutama mengenai kelengkapan upacara sebagaimana telah diuraikan, Koentjaraningrat (1967: 48) antara lain menulis bahwa sebelum melahiran seorang anak, calon ibu memperoleh berbagai tabu berupa larangan untuk melakukan sesuatu. Selama bulan ketujuh mengandung, diselenggarakanlah sebuah upacara yang disebut tingkeban atau mitoni. Upacara itu dipandang menjamin persalinan yang berhasil dan membawa slamet (selamat) kepada anak yang belum dilahirkan dan kepada keluarganya. Upacara brokohan. Setelah kelahiran anak diadakanlah selamatan yang biasanya disebut brokohan. Seperti layaknya selamatan pada umumnya, dalam brokohan ini disajikan tumpeng beserta lauk-pauknya dan berbagai macam buahbuahan. Maksud selamatan ini ialah menyatakan rasa syukur kepada Gusti Allah dan mohon agar ibu beserta bayinya diberikan keselamatan. Upacara sepasaran. Setelah bayi lahir di serieliling rumah dipasang benang putih, untuk mengusir roh jahat. Di sudut rumah, ditaruh sajen, sebatang tanaman, daun nanas yang diruncingkan dan tumbak seribu (sapu dengan cabai di ujungnya). Di samping itu terdapat pula bambu yang dicat hitam dan putih. Di bawah tempat tidur ibu ditaruh sajen berupa macam-macam makanan. Di dekat ibu

199

ditaruh sebuah keris. Semua.itu melambangxan bahwa dalam waktu itu suami diingatkan adanya pantangan demi keselamatan ibu. Selanjutnya setelah anak berusia tiga puluh lima hari lalu diadakan upacara selapanan. Pelaksanaannya tidak banyak berbeda dengan upacara brokohan dan sepasaran yaitu menyelenggarakan selamatan yang sama dengan selamatan lainnya. Tentang slametan kecil dalam rangka sepasaran dan selapanan. Ada serentetan upacara slametan kecil berupa upacara memotong rambut bayi weton yaitu hari kelahiran bayi. Upacara Tedhak Siten. Di dalam upacara turun tanah yaitu waktu bayi berumur 7 bulan dan dianggap untuk pertama kalinya turun ke tanah juga digunakan berbagai makanan dan buah-buahan dalam selamatan. Anak dimasukkan ke dalam kurungan yang di dalamnya terdapat berbagai jenis benda antara lain uang, pensil, beras, kaca dan pisau. Jika anak mengambil salah satu benda tersebut kelak ia akan mempunyai kecakapan dan pekerjaan seperti itu. Misalnya mengambil pensil berarti akan menjadi pegawai atau orang yang tugasnya menulis. Upacara perkawinan. Di dalam upacara perkawinan digunakan pula kelengkapan terdiri atas berbagai hasil pertanian. Misalnya janur kuning, pohon pisang yang sudah berbuah disertai dengan tebu hijau, buah kelapa dan bermacam-macam buah-buahan antara lain : rambutan, pepaya, jambu, atau buah buahan yang terdapat di daerah tersebut. Dalam upacara panggih digunakan pula kembar mayang sebagai salah satu alat upacara, demikian pula digunakan sirih dalam upacara mbalang sirih. Dalam hal ini dikatakan bahwa kembang mayang

200

atau bunga yang lagi mekar merupakan tanaman komposit besar, tangkainya terbuat dari batang pohon pisang, kembangnya terbuat dari daun pohon yang tepinya dibuat seperti gerigi tumpul dan semua dibungkus dengan pelepah hijau kelapa, melukiskan kegadisan mempelai perempuan dan mempelai laki-laki.

E. Rumeksa Rahayuning Garwa Di samping upacara yang telah diuraikan di atas, keluarga Jawa mengenal pula berbagai upacara lain yang disebabkan oleh kasus tertentu. Tujuannya tidak lain untuk memperoleh keselamatan bagi orang yang bersangkutan khu susnya dan bagi keluarga pada umumnya. Kasus-kasus tersebut antara lain ialah : Anak ontang-anting yaitu anak yang tidak mempunyai saudara. Anak julung yaitu yang lahirnya bersamaan dengan terhit atau terbenamnya matahari, Anak pendhawa yaitu lima laki-laki semua, Anak sendhang kapit pancuran yaitu tiga orang anak yang nomor dua perempuan, Anak pancuran kapit sendhang yaitu tiga orang anak yang nomor dua laki-laki. Keluarga Jawa mempunyai kepercayaan bahwa anak-anak tersebut di atas selalu dibayangi oleh bahaya yang datang dari seorang raksasa yaitu Bethara Kala. Dewa Kala akan memangsa anak-anak tersebut karena mereka ini memang dilahirkan untuk menjadi mangsa. Untuk menghindari bahaya tersebut, keluarganya lalu mengadakan upacara dengan menanggap wayang kulit yang lakonnya murwa kala. Dengan menyelenggarakan upacara ini, keluarga akan terhindar dari mara bahaya dan anak yang bersangkutan akan selamat. Tujuan pokok dari upacara ini tidak lain adalah untuk mencari selamat.

201

Di samping kasus di atas ada pula jenis yang lain misalnya upacara penggantian nama. Jika ada seseorang yang sering menderita sakit, dianggap bahwa nama orang tersebut tidak cocok. Sakit dihubungkan dengan nama seseorang. Karena itu lalu diadakan upacara selamatan mengganti namanya, misalnya semula bernama Supardi lalu diganti dengan nama Slamet atau Basuki atau Beja atau Untung. Nama pengganti tersebut dipilih yang mempunyai arti baik. Tujuan pokok keluarga ialah mencapai kebahagiaan dan keselamatan keluarga. Kebahagiaan hidup keluarga digambarkan sebagai mimi dan mintuna, kaken-kaken dan ninen-ninen, sejahtera dan sehat lahir batin. Agar memperoleh keselamatan, keluarga Jawa mengadakan berbagai macam upacara selamatan. Tugas suami terhadap isteri. Hubungan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat Jawa erat sekali. Hal ini tampak dalam.hubungan antara suami isteri dan sebaliknya, hubungan antara anak dengan anak, hubungan antara orang tua dengan anak dan sebaliknya. Di samping itu juga hubungan antara keluarga yang satu dengan yang lain. Dalam hal tugas suami, terdapat beberapa pernyataan antara lain sing jodho marang bojo, momong mareng pawestri, asih marang garwa trusing driya, rumeksa mring rahayuning garwa, dadya guru ugering wanodya. Kalimat-kalimat tersebut di atas adalah pengejawantahan dari pandangan dan sikap hidup keluarga Jawa mengenai tugas-tugas suami. Meskipun dinyatakan dalam ucapan yang berbeda-beda, namun isinya sangat serasi dan runtut erat hubungannya satu sama lain, saling melengkapi. Sifat pernyataan atau ucapan tersebut adalah imperatif. Diperintahkan agar suami cocok dengan

202

isterinya, menjadi contoh

bagi isterinya agar mendapat karaharjan (keba-

hagiaan). Ajaran semacam itu antara lain terdapat dalam tulisan Sumaatmaka Atmasalaga (1929: 32) sebagaimana disebutkan dalam bait berikut, Dene sesanggamaning jejodhowan punika wonten warni kalih. Sepisan tumraping kakung kedah saged angayomi (rumeksa), anuntuni (memulang), saha angemong (anyabari), kados ayubing ronron anggening angayomi dhatdng delegipun dumugi oyod ".

Terjemahan : Adapun kewajiban orang yang telah kawin itu ada dua macam. Pertama bagi laki-laki harus dapat melindungi (menjaga) memberi tuntunan (mengajar), serta mengasuh (berbuat sabar), seperti teduhnya daun-daun yang mengayomi batang sampai akar". Inti petunjuk tersebut adalah keharusan suami untuk melindungi dan menjaga, memberi petunjuk serta memelihara isterinya seperti halnya sebatang pohon yang daunnya menaungi seluruh batang sampai akar. Itulah kewajiban laki-laki setelah perkawinan. Selanjutnya mengenai swarganing jejodhowan dikatakan sebagai berikut "Swarganing (kamulyaning) jejodhowan punika ugi warni kalih. Sepisan tumraping priya manawi dipun pituhu ing rabi sapangrehipun, kados panguluring oyod rumeseping kisma. Priya kedah angemong kanthi pamardi ingkang sareh, mangertosa bilih rabinipun wau dados tetanggelipun ingkang dipun sanggemi, awon saenipun siswa anut kabangkitanipun guru, mekaten awon saenipun rabi anut kawegiganing laki. Remening priya dhateng rabi, awit saking katuju ing prana, sihing priya dhateng rabi, awit saking dipun gumateni. Welasing priya dhateng rabi awit saking panalangsa". Terjemahan : Surga orang dalam berumah tangga ada dua macam. Pertama bagi laki-laki, jika semua perintahnya dipercaya oleh isteri, seperti akar yang memanjang masuk ke dalam tanah. Laki-laki harus mengasuh dengan cara berlaku

203

tenang dan sabar, tahulah bahwa isterinya tadi menjadi tanggung jawabnya yang telah ia sanggupi, buruk baiknya siswa mengikuti dorongan/acuan guru, demikan pula buruk baiknya isteri mengikuti kecerdikan suami. Senangnya laki-laki kepada isteri, disebabkan oleh cocoknya hati, cinta kasih laki-laki kepada isterinya, disebabkan oleh perhatian yang sangat baik. Belas kasihan laki-laki kepada isteri, disebabkan oleh keinsyafan diri ". Dalam bait ini ditegaskan bahwa seorang suami harus mengasuh dengan sabar dan sadar bahwa isterinya menjadi tanggung jawabnya, karena baikburuknya isteri tergantung pada kecakapan suaminya. Jika seseorang suami pandai menjadikan isterinya sebagai isteri yang baik dan taat, maka suami akan senang dan kasih kepada isterinya. Sikap hidup yang demikian membawa ketenteraman keluarga. Itulah sebabnya seorang suami wajib memberi pelajaran agar isterinya berbuat atau ber.laku utama. Suami jangan berbuat untuk menangnya sendiri apalagi berbuat n i s t h a yaitu sewenang-wenang terhadap isterinya. Hal laku utama itu ditegaskan dalam bait berikut : "Ingkang priya kedah among amengku amemulang punika lampah utami. Yen ingkang jaler angalap menang dumeh lanang nedha numpang punika tumindak kirang prayogi. Ingkang jaler siya sawenang-wenang mboten nganggep manungsa dhateng estrinipun ateges nistha ".

Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, Yang laki-laki harus mengasuh dan mengajari itulah laku yang baik. Jika yang laki-laki ingin menang hanya karena ia laki-laki minta menang, itu perbuatan yang kurang baik. Yang laki-laki berlaku

204

aniaya, sewenang-wenang tidak menganggap manusia terhadap isterinya, berarti perbuatan rendah ". Mengenai tugas suami kepada isteri, Sultan Agung menulis sebagai berikut, Paramasastra tegesipun limpad ing kasusastran warni-warni. Mardibasa tegesipun ingkang saged memantes tembung tata kramaning praja. Mardawalagu tegesipun ingkang saged angulur lelagoning tembung tembang, tepa. Awicarita tegesipun apil dhateng gancaring carita aluraning nagari. Manaraguna tegesipun sugih kesagetan ingkang kaanggep ing ngakathah. Nawungkridha tegesipun ingkang priksa dhateng kalipataning budi. Sambegana ingkang enget, mboteOn kenging supe. Sadaya punika sampun kalebet nugrahaning guru, mila kedah awas angupados guru, ingkang sae martabatipun ".

Terjemahan : Paramasastra artinya pandai tentang bermacam-macam kesusasteraan. Mardibasa artinya yang dapat membuat pantas kata tata krama negara. Mardawalagu artinya yang dapat memperpanjang lagu kata, nyanyian, contoh. Awicarita artinya hafal mengenai arti ceritera, sejarah negara. Mandraguna artinya kaya kecakapan yang diakui oleh orang banyak. Nawungkridha artinya tahu terhadap kesalahan budi. Sambegana artinya ingat, tidak boleh lupa. Semuanya itu sudah termasuk anugerah guru karena itu harus awas dalam mencari guru, yaitu yang baik martabatnya ".

Bait tersebut di atas sebenarnya berisi petunjuk bagaimana mencari guru yang baik (Sunoto, 1989: 71). Guru yang baik harus memenuhi beberapa syarat yaitu paramasastra, merdibasa, mardawalagu, awicarita, mandraguna,

nawungkridha lan sambegana. Oleh karena suami adalah guru laki, maka seorang suami juga wajib mempunyai kecakapan itu dan menerapkannya kepada isterinya. Ia wajib mempunyai kecakapan dan kearifan, Yasadipura dalam hal ini menegaskan, Welas marang rabine terus ing kalbu, tang nganggo sinangga runggi, yen wong tumemen ing kalbu, nugraha sayekti prapti, nuli wahyune mencongol".

205

Terjemahan : Kasih sayang kepada isterinya sampai batin, tanpa memakai kecurigaan, Jika orang sungguh-sungguh dalam hati, anugerah pasti datang, kemudian kebahagiaan muncul". Suami wajib berlaku kasih-sayang lahir batin terhadap isterinya. Orang yang berlaku demikian akan memperoleh anugerah. Demikianlah dasar-dasar pengetahuan tentang berumah tangga yang seharusnya diketahui oleh sang pengantin. Norma kesusilaan bagi manusia dalam kehidupan masyarakat adalah memgang peranan penting, sebab manusia dinilai baik dan buruk tergantung tingkah laku kesusilaan. Terutama bagi kaum wanita. Kesusilaan merupakan nilai tertinggi dalam martabat kehidupannya. Khususnya bagi mereka yang sudah berkeluarga, kesusilaan adalah sesuatu yang sama sekali tidak boleh ditingalkan, hal ini untuk menciptakan kehidupan rumah tangga yang baik aman tentera dan bahagia. Untuk mengetahui norma-norma kesusilaan kita dapat menerima petunjuk dari orang lain baik yang langsung mau pun yang tidak langsung, atau kita dapat meniru atau mencontoh perbuatan susila dari orang lain, yang kita anggap baik dan menurut pedoman moral. Dalam pewayangan ajaran moral kebanyakan berupa simbol-simbol, atau lambang yang dituangkan dalam cerita ataupun dalam tokoh-tokoh pewayangan. Seperti : Sumbodro, Srikandi, Larasati adalah lambang dari seorang istri (wanita) yang memiliki watak setia, sabar dan teguh (Sumbodro), Trampil trengginas dan mumpuni (Srikandi), rendah hati dan memikat (Larasati). Tiga tokoh wayang tersebut sebenarnya memberi petunjuk bahwa seorang wanita yang baik harus memiliki watak seperti tersebut. Dewi Sinta, Dewi Anggraini, perlambang kesetiaan istri pada suami. Banowati, Durgandini, Bethari Durga, Kencono Wungu lambang watak wanita yang kurang

206

baik (Damardjati Supadjar, 1993: 37). Guna hasil yang diharapkan : Untuk memberi petunjuk kepada seorang wanita hendaknya memegang nilai kesusilaan dan fungsinya. Agar dapat menciptakan kehidupan rumah tangga yang aman tenteram serta bahagia. Bagi ilmu pengetahuan: Untuk memahami dan mendalami ajaran yang terkandung dalam pewayangan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dilakukan penelitian ini yang sangat penting artinya. Dengan menyajikan hakekat keluarga dan masyarakat dan apakahtujuan mereka serta bagaimana hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, diharapkan akan menimbulkan kesadaran betapa pentingnya nilai tradisional yang luhur itu. Diharapkan kita menjadi sadar bahwa pelanggaran terhadap norma yang berlaku dalam keluarga dan masyarakat sebagian disebabkan oleh ketidaktahuan para anggotanya terhadap nilai luhur mereka sendiri. Diharapkan agar kita menjadi sadar bahwa timbulnya berbagai masala.h sebagian disebabkan oleh tidak dipatuhinya lagi norma yang bPrlaku dala.m keluarga dan masyarakat. Kita akan lebih sadar bahwa pengaruh dari luar akan kuat jika kita lemah. Ini tidak berarti bahwa kita ingin sekedar bernostalgia, dan seolah-olah se-ala lukaluka telah terobati, segala masalah telah teratasi, atau dengan kata lain kita hidup di dalam fantasi dan angan-angan belaka, Ini juga tidak berarti, bahwa kita mengajak hidup mundur beberapa puluh bahkan ratus ta hun yang lalu dan bahwa nilai-nilai tradisional yazig dapat ditemukan harus dilaksanakan tanpa mengingat situasi dan kondisi.

207

Kebanyakan orang mengakui bahwa dalam cerita wayang bukan hanya sekedar ceritat, melainkan mengandung maksud dan tujuan tertentu, terutama mempunyai arti dalam bidang agama. Kecuali itu juga mempunyai tujuan memberikan contoh-contoh tentang keksusilaan. Sehubungan dengan hal tersebut figur-figur wanita dalam pewayangan nampaknya memberikan petunjukterhadap kaum wanita tentang sikap kesusilaan dalam kehidupan sehari-hari. Tingkah laku kesusilan wanita dalam pewayangan atau cerita wayang digambarkan dalam berbagai sikap dan perbuatan oleh figur-figur wanita utama.

F. Pasang Sumeh Jroning Ati Karya sastra Jawa sejak kemunculannya hingga sekarang terdapat nilai-nilai luhur yang disebut nilai religius yakni nilai-nilai yang berkaitan dengan keagamaan atau kepercayaan. Nilai religius yang terkandung dalam kesusasteraan Jawa abad XVIII dan XIX mencerminkan konsep-konsep yang bersifat akulturatif dari sejarah Islam, Hindu, Buddha dan Jawa. Berkaitan dengan analisis religius, terdapat beberapa butir darma bakti dalam etika dan tata krama Jawa sebagai dasar penalaran yakni keimanan tauhidan manusia terhadap Gusti Allah, keteringatan manusia terhadap sifat Gusti Allah, ketaatan manusia terhadap firman Gusti Allah dan kepasrahan manusia terhadap kekuasaan Gusti Allah (Soedarsono, 1985 : 196). Orang Jawa menyebut Gusti Allah dengan berbagai sebutan sesuai dengan sifat yang ada pada-Nya. Dalam Serat Wulang Putri ini Gusti Allah disebut dengan Hyang Kang Murbeng Titah 'Tuhan sebagai Pencipta segala makhluk',

208

Hyang Widhi, Hyang Suksma, Allah dalam kata takdirollah, Gusti Kang Maha Mulya, dan Jawata. Keimantauhidan manusia terhadap Gusti Allah. Secara etimologis, iman mempunyai pengertian kepercayaan dan keyakinan terhadap Gusti Allah, sedangkan tauhid berarti keesaan. Dengan demikian, keimantauhidan dapat diartikan kepercayaan terhadap kemahatunggalan Gusti Allah (Badudu, 1996: 31). Unsur paling utama dalam setiap religiositas, termasuk religiositas Jawa adalah kepercayaan terhadap adanya Gusti Allah. Orang Jawa, Gusti Allah itu tan kena kinayangapa (tak dapat dibayangkan keadaannya). Orang Jawa dapat meyakini bahwa adanya Gusti Allah karena bagi orang Jawa keyakinan itu tidak semata-mata diperoleh hanya melalui rasio atau penalaran tetapi juga melalui rasa. Cipta, rasa dan karsa merupakan tiga anugerah Gusti Allah yang berfungsi untuk memahami seluruh kebenaran yang ada, baik tentang alam semesta ciptaan Gusti Allah maupun Sang Maha Pencipta itu sendiri. Keimantauhidan orang Jawa tampak pada penyebutan Gusti Allah dengan berbagai sebutan sesuai dengan sifat yang ada pada-Nya. Dalam Serat Wulang Putri ini Gusti Allah disebut dengan Hyang Kang Murbeng Titah 'Tuhan sebagai Pencipta segala makhluk, Hyang Widhi, Hyang Suksma, Allah dalam kata takdirollah, Gusti Kang Maha Mulya, dan Jawata. Manusia harus beriman/tauhid kepada Gusti Allah Yang Maha Esa. Maksudnya manusia harus percaya penuh bahwa Gusti Allah itu nyata Maha Ada. Manusia juga harus percaya penuh dengan kebulatan tekad, bahwa Gusti Allah itu sungguh-sungguh Maha Esa. Keimantauhidan manusia terhadap Gusti Allah harus meresap dan meliputi

209

pikirannya, perasaannya, perkataannya dan perbuatannya. Keteringatan Manusia terhadap sifat Gusti Allah. Dalam masyarakat Jawa terdapat kepercayaan bahwa Gusti Allah memiliki sifat utama seperti Maha Murah 'Maha Pemurah', Maha Asih 'Maha Pengasih', Maha Adil 'Maha Adil', Maha widagda 'Maha Pandai', Waha Wignya 'Maha Tahu', Maha Mulya 'Maha Mulia' dan sebagainya. Serat Wulang, Putri menyebutkan sifat Gusti Allah yaitu Kang Widagda, Kang Wignya dan Maha Mulya sebagaimana terdapat dalam pupuh Kinanthi bait 2 dan Sinom bait 6. Marmeng ngger awya sireku pasang sumeh jroning ati katitik tyas tan sambada marang apngaling Hyang Widhi Kang Widagda tuhu Wignya anyolahken barang maring. Pakartining pangrasanta kang mengkono iku nini ya bakal pinasthi sira pinituhu ing sasami lan maneh nini putri mugi bisoa sineba momong samaning janma supayanta sira nini kinasihan ing Gusti Kang Maha Mulya.

Dengan sifat-sifatnya yang demikian Gusti Allah memberikan karunia-Nya berupa kemurahan, kasih sayang, keadilan, kearifan, ilmu pengetahuan atau kawaskithan kepada umat manusia. Kenikmatan-kenikmatan yang diberikan Gusti Allah kepada manusia sebagaimana terdapat dalam pupuh Maskumambang yang merupakan keberuntungan bagi yang dapat meraihnya.

210

Gung-agunge ing begja puniku nini mung kawan prakara gunawan ingkang sawiji kasantikan tegesira. Dwi wiryawan kaluhuran lire nini kaping tri hartawan sira den samya mangerti tegese pan kasugihan. Kaping pat berawan maksude nini mapan sugih anak mungguh laku pat prakawis sayekti uwus tetela. Terjemahan : Sebesar-besarnya keberuntungan itu putriku, hanya empat hal gunawan yang pertama ilmu pengetahuan artinya. Dua wiryawan keluhuran budi artinya putriku yang ketiga hartawan kalian hendaknya mengerti maksudnya kekayaan. Keempat berawan maksudnya putriku mempunyai banyak anak apabila keempat hal sebagaimana disebutkan di atas.

Sebagai sarana untuk mengingat Gusti Allah, dikarunia pula manusia cobaan-cobaan yang harus dilalui sebagai sarana untuk mencapai kenikmatan tersebut di atas cobaan tersebut dinamakan panca wisaya yaitu rogarda, sararda,

211

wirangarda, cuwarda dan durgarda. Kelima hal tersebut sebagaimana dalam pupuh Maskumambang bait 18-20.

Dhuh putrengsun sarnya sumurupa nini tegese kang panca wisaya mengko winardi ingkang sepisan rogarda. Maksudira garaning badan sayekti kalih sang sararda yeku rekasaning dhiri katelu ingkang winarna, Wirangarda tegese laraning ati kaping pat cuwarda, yeku rekasaning ati, durgarda pringganing nala. Terjemahan : 'Wahai putraku hendaklah kau ketahui artinya panca wisaya tersebut pertama rogarda. Maksudnya sakitnya badan, kedua sararda, yaitu kesengsaraan dalam diri, ketiga yaitu'. 'Wirangarda artinya sakitnya hati, keempat cuwarda yaitu kesengsaraan hati, durgarda artinya kecewanya hati'.

Kelima perkara tersebut dapat dihindari oleh seorang wanita dengan melandaskan diri pada sikap-sikap yang positif, antara lain : setyaning tyas lawan

212

legawa; betah ngangkah lawan lembah manah; titi lan tata, teteg, ngati-ati; enengening-awas eling; angandel kandel kalawan kang kumandel netel santosa ing budi artinya setia dalam hati dan rela, teguh dan sabar, teliti dan teratur, teguh, hatihati, tenang-diam-waspada dan ingat, menebalkan hati agar sentosa dalam budi. (Maskumambang, bait 21 - 26). Dengan diberinya kenikmatan maupun cobaan itu manusia khususnya para wanita diharapkan senantiasa ingat terhadap Gusti Allah sebagai tempat bergantung dan memohon segala kebajikan. Salah satu cara untuk mengingat Gusti Allah dengan bersyukur atas segala nikmat-Nya sebagaimana terdapat dalam kutipan pupuh Kinanthi bait 14 di bawah ini :

Di adining putri prabu, utameng tyas kang pinesthi, tegese utama sabar, mring pancabayaning ati, tinampan sukur lan lila, legoweng tyas nrus ing ati. Terjemahan : 'Seutama-utaman yaputri raja, utama hatinya, artinya utama sabar, terhadap lima hal yang merintangi hati, diterima dengan rasa syukur dan ikhlas, dengan berlapang hati hingga ke budi'.

Perhatian terhadap nilai-nilai kejawen juga tampil dalam lingkungan sarjana asing. Betapapun gigih serta uletnya studi yang mereka lakukan, ternyata tidak selalu menjalankan interpretasi secara tepat, tidak lain karena terlalu terpengaruh oleh kerangka pikirannya sendiri, lebih-lebih karena belum dapat

213

menyelami jiwa kejawen ataupun dengan istilah metodologis belum dapat melihat segala sesuatu dari dalam. Sehubungan dengan itu, maka perlu diadakan usaha penelitian dari pihak pengemban kultur Jawa itu sendiri dengan harapan agar dapat menghindari segala macam salah tafsir tersebut. Perlu ditonjolkan di:sini bahwa dalam masyarakat kita sering dilontarkan ucapan yang menyangkut soal nilai-nilai Jawa, secara-tepat atau tidak tepat dengan kecenderungan kuat menulis akan kerangka pikiran dan pandangan dewasa ini kepada nilai-nilai tradisional, hal mana mudah terjadi kalau orang terlalu terdorong oleh pikiran spekulatif saja, tanpa didasarkan atas penelitian serta pembuktian empiris. Lagi pula tidak diusahakan melacak asal nilai-nilai atau istilah - istilah itu tanpa mengidentifikasikan sumbernya yang otentik.

G. Datan Sepi ing Pambudi Kesabaran seseorang biasanya diwujudkan dengan dimilikinya rasa syukur terhadap pemberian Gusti Allah. Sabar merupakan suatu sikap mental yang mendasar yang harus dimiliki oleh setiap orang. Sikap mental sabar, sangat diperlukan manusia sepanjang hidup dalam segala situasi. Ketika mendapatkan kesenangan diperlukan sabar agar tidak congkak. Di kala susah diperlukan sabar agar tetap teguh menerima cobaan dan tabah dalam menjalani kehidupan. Dengan mempraktekkan sikap sabar dapat mendidik diri, memperkuat kepribadian, meningkatkan kemampuan dalam menghadapi kesulitan. Orang yang demikian akan terhindar dari rasa kegelisahan dan terpelihara dari gangguan jiwa (Usman Najati, 1985: 28). Rasa syukur tersebut pada

214

hakikatnya hanya tertuju kepada Gusti Allah. Cara bersyukur terdiri dari tiga hal, yakni : Syukur dengan hati, yaitu berupa kepuasan batin atas anugerah yang telah diberikan oleh Gusti Allah. Syukur dengan lidah yakni dengan mengakui anugerah dan memuji pemberinya. Syukur dengan perbuatan yakni dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan

penganugerahannya. Sikap ingat kepada Gusti Allah itu perlu selalu ditanamkan dalam hati sanubari dengan ingat pada kodrat Gusti Allah sebagaimana terdapat dalam pupuh Maskumambang.

Kang kaping pat lakuning rahsa sarehning, rahseku wus mulya, kudu musthi awas eling, marang kodrating Hyang Suksma. Terjemahan : 'Yang keempat jalannya rahsa adapun, rahsa itu mulia, haruslah waspada dan ingat, terhadap kodrat Gusti Allah'.

Paku Buwana IX memberikan nasihat kepada putra-putrinya agar berbakti kepada Gusti Allah. Nasehat ini sebagaimana dalam kutipan pupuh Sinom :

Dhuh ngger wanita utama, dipuntansah angabekti, marang Hyang kang Murbeng Titah, tegese kang pangabekti, nyirnakaken pakerti, ing pancadriya puniku, dene ingkang winastan,

215

panca driya iku nini, beng sanapsu kayata cengil sengitan. Terjemahan : Wahai anakku wanita utama, hendaklah berbakti, kepada Gusti Allah Pencipta segala makhluk, artinya berbakti, menghilangkan tingkah laku, yang disebut panca driya, adapun yang dinamakan pancadriya itu putriku, nafsu seperti mudah tidak suka dengan orang lain.

Istilah bakti menunjukkan adanya sikap yang patuh yang dilandasi rasa cinta seorang hamba kepada Gusti Allah. Sarana dalam berbakti kepada Gusti Allah ini seseorang hendaknya menjalankan agama. iya ing manungsa sagung luwih maning dera kardi solah bawaning narendra kang datan sepi pambudi ngganya angampil agama kasucian kang dumedi Tinindakaken lawan patut pinantes pantes tiniti tinimbang lan isinira negara Surakarta di tan kena kinukuhan angkuh ing tyas anglakoni (Kinanthi, bait 3-4). Teriemahan : juga kepada sesama manusia terlebih-lebih dengan perbuatan

216

segala tingkah laku raja yang tidak lepas dari ikhtiar dalam meminjam agama hanya kesucian yang ada Dijalankan dengan baik pantas dan diteliti dipertimbangkan isinya negara Surakarta yang indah tidak dapat dipertahankan sombong dalam menjalankan Bagi para pemeluknya yang berusaha taat, agama adalah pedoman kehidupan yang sangat vital dan sangat menentukan. Agama merupakan toitalitas kehidupan yang sakral, mendalam, dan memandu serta menentukan arah kehidupan. Dengan agama, manusia menjadi memiliki rasa damai, tempat bergantung dan memiliki ketenteraman hidup (Haedar Nashir, 1999 : 14). Ketaatan pada Gusti Allah ini hendaknya diwujudkan pula pada ketaatan kepada kedua orang tua dan pada guru. Untuk mencapainya diperlukan sarana yakni tapa brata puja mantra sebagaimana dipaparkan dalam pupuh Sinom bait 8-112. Tapa brata puja mantra, dene kang dipun wastani, iya nini tapa brata, limang prakara sayekti, juga angingirangi, ing bukti sarananipun, narima nadyan nyegah, dhahar menawa sireki, tanarima apa ing sarananira. Iku sayektine gagar, ping kalih nyeyuda guling, sanadyan anyuda nendra,

217

nanging yen linali lali, bebasan tanpa kardi, katranganing nyuda turu, samya dipun waspada, upamane sira nini, wus mbaliyut ingkang panggah ciptanira. Den jak ngaluyub supaya, tan koyub dene pakarti, ning mbliyut kang kaping tiga, angawisana sanggami, srana lila ing ati, mangkene pakartinipun, anyuda ing sanggama, yen karep dipunsabari, mrih ywa kongsi kabanjur kajating nala. Lalu mburu karaharjan, kang kaping pat sira nini, angampeta pangandika, tegese panggagas nini, catur kang tanpa kardi, nini kalakoniku, kudu panggah santosa, sanadyana sira nini, tan ngandika yen mengko karsa sandeya. Ping lima sira ngilangna, duka cipta srana saking, cahyaning locananira, angresepe ingkang sami, sumawa nadyan nini, tanpa duga cipta, tuhu, nanging yen kurang marta, tan widada iku dadi, sadayeku kudu nganggo empan papan. Terjemahan : tapa brata puja mantra

218

adapun yang dikatakan tapa brata, anakku ada lima perkara yaitu mengurangi makan sarananya menerima walaupun mencegah makan apabila engkau menerima, apa adanya itu sesungguhnya batal kedua mengurangi tidur walaupun mengurangi tidur namun bila berusaha melupakan diumpamakan tanpa perbuatan keterangannya mengurangi tidur hendaklah diperhatikan seandainya engkau, putriku sudah mengantuk teguhkan ciptamu diajak mengembara agar tidak terpengaruh oleh perbuatan mengantuk, yang ketiga kurangilah bersenggama sarana ikhlas dalam hati demikian perbuatannya mengurangi bersenggama bila menginginkan hendaklah sabar agar tidak terlanjur hajat hati kemudian memburu keselamatan yang keempat, anakku tahanlah dalam berbicara artinya pemikiran, anakku perkataan yang tanpa tujuan anakku terlaksanya hal itu harus tetap santosa walaupun engkau, anakku tidak berbicara jika merupakan kebohongan

219

kelima hendaknya kauhilangkan kesedihan sebagai sarana dari cahaya mata meresapi semua yang menghadap walaupun anakku tanpa perkiraan yang benar namun bila kurang sabar tidaklah akan selamat semua itu harus dengan empan papan

Lewat tapa kekuatan badan diperlemah, sehingga sikap dan perasaan terhadap sesama manusia berubah. Orang menjadi lebih sadar akan relativitas eksistensinya. Tapa tidak hanya mengurangi nafsu-nafsu tertentu dengan tidak kenal ampun, melainkan dengan penyederhanaan menyeluruh, mengurangi segala aktivitas badan. Aja wareg, nanging aja luwe, aja kakehan melek, nanging aja kakehan turu, mangkono sapiturute kang sarwa sedheng, aja kongsi keladuk utawa mung umbara-umbaran bae. Mung bae anggone ngurang-ngurangi saparlu, lan aja nganti diprusa kang ndadekake karusakan raga, nanging dikulinakna cecegah saka sathithik manut kekuwatane. Telah kita pilih dan batasi pengertian tentang keluarga yaitu masyarakat terkecil terdiri atas ayah ibu dan anak-anak. Dalam bahasa Jawa keluarga disebut pula batih. Istilah batih menunjukkan bahwa keluarga Jawa terdiri atas anggotaanggota yang hubungannya antara yangsatu dengan yang lain erat sekali. Istilah batih menunjukkan adanya ikatan lahir dan batin yang erat dan merupakan suatu kesatuan bulat. Oleh karena keluarga Jawa terdiri atas unsur ayah, ibu beserta anak-anaknya kadang-kadang bahkan diperluas dengan pembantunya, maka di

220

dalam keluarga berlakulah berbagai hubungan yaitu : Hubungan antara suami dengan isteri dan sebaliknya. Hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya. Hubungan antara anak dengan anak. Hubungan antara keluarga dengan pembantu (jika ada pembantu). Setiap keluarga mempunyai cita-cita agar agar mereka memperoleh kebahagiaan di dalam hidupnya. Agar cita-cita tersebut tercapai di saiaping berusaha dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan material, ayah dan ibu selalu mengasuh anak-anaknya agar menjadi manusia yang mempunyai tabiat baik. Oleh karena itu di dalam keluarga harus tercipta adanya suasana yang menunjang tercapainya tujuan tersebut. Suasana itu harus terlihat di dalamseluruh hubungan antara anggota-anggotanya, semua pihak atau anggota harus mengetahui bagaimana kedudukan dan fungsi ma sing-masing. Supaya anak-anak mereka mempunyai watak sebagaimana yang diinginkan oleh keluarga, maka sejak kecil mereka harus diberi tahu dan diajar melakukannya dengan baik. Itulah sebabnya di dalam keluarga, kita jumpai berbagai macam aturan atau ketentuan yang biasanya tidak tertulis mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh seluruh anggotanya. Dalam hal ini ada aturan mengenai hubungan antara suami dan isteri yang sebaik - baiknya karena mereka adalah kepala keluarga dan wakilnya. Mereka harus memberikan contoh kepada anak-anaknya. Demikian pula ada aturan yang wajib dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anaknya, sebaliknya ada aturan yang wajib dilakukan oleh anak-anak terhadap orang tua mereka. Selanjutnya ada aturan yang berlaku bagi hubungan antara anak dengan anak agar terjalin kehidupan yang harmonis antar mereka. Meskipun aturan-aturan tersebut biasanya tidak tertulis, namun berlaku demikian kuatnya sehingga

221

mengikat masing-masing anggota keluarga. Aturan-aturan tersebut menyangkut berbagai hal baik ragawi maupun rohani, baik perorangan maupun keseluruhan, baik bidang ekonomi, sosial budaya maupun bidang-bidang lain. Hubunganhubungan tersebut tidak lepas dari pengaruh lingkungan, adat kebiasaan yang

turun temurun, agama dan kepercayaan.

222

DAFTAR PUSTAKA

Adjied Swastedi dan Tessa Theofile Prihatini, 2002, Tata Upacara Pengantin Adat Jawa, Pustaka Raja, Yogyakarta. Ali Mudofir, 1988, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat, Liberty, Yogyakarta. Asdi S. Dipodjoyo, 1990, Penentuan Titimangsa dalam Naskah, Yogyakarta, Liberty Badudu, 1996, Sari Kesusastraan Indonesia, Bandung, Pustaka Prima. Clifford Geertz, 1969, The Religion of Java, The Free Press, Glencoe Damardjati, 1993, Nawangsari, Wangsa Manggala, Yogyakarta. De Jong, 1976, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Kanisius. Hildred Geertz, 1961, The Javanese Family, The Free Press, Glencoe Kamajaya, 1985. Lima Karya Pujangga Ranggawarsita. Jakarta: Balai Pustaka. Koentjaraningrat, 1986, Kebudayaan Jawa, Jakarta, Balai Pustaka Laksono, P.M., 1985, Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Lucas Sasongko Triyoga, 1991, Manusia Jawa dan Gunung Merapi Persepsi dan Sistem Kepercayaannya, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Mari S. Condronegoro. 1995. Busana Adat Kraton Yogyakarta 1877-1937 Makna dan Fungsi Dalam Berbagai Upacara. Pustaka Nusatama. Yogyakarta. Moedjanto, G. 1994, Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram, Yogyakarta: Kanisius. Mulyono, 1983, Wayang dan Filsafat Nusantara, Jakarta, Masagung Niels Mulder, 1973, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

223

Padmapuspita. 1966. Pararaton. Yogyakarta: Taman Siswa. Purbanegara, 1918, Serat Pitutur Jati Mawi Sekar, Budi Utomo, Surakarta Rahmat Subagya, 1973, Kepercayaan Kebatinan Kerohanian Kejiawan dan Agama, dalam Spektrum 3. Sartono Kartodirdjo, A Sudewa, Suhardjo Hatmosuprobo, 1988, Beberapa Segi Etika dan Etiket Jawa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. Selo Soemardjan, 1974, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Yogyakarta, Jakarta, Balai Pustaka Siswoharsoyo, 1979, Serat Gunacara lan Agama, Yogyakarya, Gondolayu Soebardi, 1978, Serat Cabolek, Bandung, Angkasa Soedarsono, 1985, Seni Pertunjukan, Yogyakarta, Gama Press Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta : Kanisius. Soemaatmaka-Atmasalaga, 1929, serat Yatna susila, Uitgeverij en Boekhandel Stoomdrukerij De Bliksen, Solo. Sri Mulyono. 1982. Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: Haji Masagung. Sri Widayanti, 1993. Makna Filosofis Kembar Mayang Dalam Kehidupan Masyarakat Jawa di Yogyakarta. Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta. Sularto, 1981. Upacara Labuhan Kasultanan Yogyakarta, Jakarta: Media Sunoto, 1987, Menuju Filsafat Indonesia, PT. Hanindita, Yogyakarta Sunoto, 1989. Nilai-nilai Luhur yang Terkandung dalam Ajaran Masyarakat Jawa. Yogyakarta : Fakultas Filsafat UGM. Suryo S. Negoro, 2001, Upacara Tradisional Dan Ritual Jawa, CV. Buana Raya, Surakarta. Usman Najati, 1985, Mistisisme Serat Dewaruci. Yogyakarta : Fakultas Filsafat UGM.

224

Wisnu Minsarwati, 2002, Mitos Merapi dan Kearifan Ekologi, Menguak Bahasa Mitos dalam Kehidupan Masyarakat Jawa Pegunungan, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

225

BIOGRAFI PENULIS

DR. PURWADI, M.HUM lahir di Grogol, Mojorembun, Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 16 September 1971. Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan di tanah kelahirannya. Gelar sarjana diperoleh di Fakultas Sastra UGM yang ditempuh tahun 1990-1995, kemudian melanjutkan pada Program Pascasarjana UGM tahun 1996-1998. Gelar Doktor diperoleh tahun 2001. Sampai saat ini sudah menulis lebih dari 200 judul buku dan sering menjadi Narasumber TVRI, RCTI, Trans Tivi, Jogja Tivi, RRI dan Radio Komunitas, Narasumber Koran Kompas, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Republika, Majalah Gatra, Kabare Jogja, Djoko Lodang, Gama, Tabloid Adil, Nyata, dan Narasumber Seminar Nasional dan Internasional. Bukunya yang telah dipublikasikan di antaranya : Ceritera Sena Sinaraya dalam Pendekatan Struktur dan Makna, Pakem Pedhalangan, Ajaran Moral dalam Serat Bimapaksa, Konsep Moral dalam Serat Werkudara Suci, Desa Mawa Cara Negara Mawa Tata, Suwarga Nunut Neraka Katut, Sekar Putri Ambarwati, Penghayatan Keagamaan Orang Jawa, Babad Tanah Jawi, Pendidikan Budi Pekerti, Memutar Taman Sriwedari, Sejarah Susastra dan Budaya Jawa, Gotong Royong di Kabupaten Nganjuk, Kamus Jawa Indonesia untuk SD, Kamus Jawa Indonesia untuk SLTP SLTA, Kamus Jawa Indonesia Populer, Kamus Jawa Indonesia Lengkap, Kamus Jawa Kawi Indonesia, Gamelan dan Tembang Jawa, Teori Politik Jawa, Teori Militer Jawa, Wulangan Basa Jawa Kanggo SD Kelas I - VI, Wulangan Basa Jawa Kanggo SMP Kelas I III, Wulangan Basa Jawa Untuk Umum, Cara Memimpin Rakyat Desa, Kursus Percakapan Bahasa Jawa, Song of Java I-VIII, Pujangga Nusantara, Manunggaling Kawula Gusti Sejarah Tanah Jawa Jilid I IV, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SD Kelas I-VI, Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan untuk SLTP Kelas I III. Karya lainnya yaitu Biografi Ki Narto Sabdo, Biografi Pujangga Kyai Yasadipura I, Visi Negarawan Patih Gadjah Mada, Antropologi Budaya Sultan Agung, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Sosiologi Mistik R. Ng. Ranggawarsita, Ramalan Sakti Prabu Jayabaya, Kawruh Beja Ki Ageng Suryo Mentaram, Kamus Politik Lokal, Sultan Agung, Kajian Anthropologi Budaya, Sejarah Raja-raja Jawa, Filsafat Ilmu dalam Perspektif Islam, UUD 1945 Bahasa Jawa, UU Mahkamah Konstitusi Basa Jawa, Kamasutra Jawa, Babad Joko

226

Tingkir, Gerakan Spiritual Siti Jenar, Nyai Roro Kidul, Semar Jagad Mistik Jawa, Kisah Cinta Ken Arok Ken Dedes, Sejarah Ajisaka, Ilmu Kecantikan Ratu Kalinyamat, Tasawuf Muslim Jawa, Semar, Jagad Mistik Jawa, Sejarah Wali Songo, Ilmu Kasampurnan Sunan Gunungjati, Ilmu Makrifat Sunan Bonang, Filsafat Jawa, Ilmu Kesaktian Prabu Jayabaya, Arjuna Lelananging Jagad, Novel Ramayana, KIAT (Kamus Indah Alamat Teman), Seratus Tokoh Masa Depan Indonesia, Ilmu Sangkan Paraning Dumadi, Strategi Politik Ken Arok, Novel Mahabarata, Jalan Cinta Syekh Siti Jenar. Selanjutnya, disusul pula buku tentang Sejarah Presiden Soekarno, Kamus Sastra Indonesia, Kitab Makrifat Sejati, Babad Tanah Leluhur, Nenek Moyang Orang Jawa, Asal Usul Manusia Jawa, Dukun Jawa, Aji dan Mantranya, Wahyu Keprabon Susila Bambang Yudhoyono, Pamedhar Sabda, Sesorah Budi Rahayu, Babad Demak, Sejarah Prabu Brawijaya, Bung Karno Sang Pembebas, Ratu Kencana Wungu, Ilmu Kecantikan Putri Jawa, Membaca Batin Putri Jawa, Sistem Pemerintahan Indonesia Klasik, Integrasi Islam dengan Budaya Lokal, Kiat Bisnis Orang Jawa, Madhep Ngalor Sugih Madhep Ngidul Sugih, Hidup, Mistik dan Kematian Sultan Agung, Arjuna Mencuri Cinta, Tata Bahasa Jawa, Pangeran Diponegoro, Kisah Pendawa Lima, Ajaran Ilmu Sejati Wali Songo, Hidup dan Spiritual Sunan Kalijaga, Makrifat Sejati Sunan Kalijaga, Sufisme Sunan Kalijaga, Belajar Bahasa Jawa Krama Inggil, Tata Bahasa Jawa, Embok Yatinem Si Bakul Gendhong, Ki Ageng Mangir, Biografi Jimly Asshiddiqie, Biografi Sultan Hamengku Buwono IX. Kini bekerja sebagai Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, Dosen Pascasarjana Universitas Widyagama Malang, Dosen Institut Agama Islam Darussalam Ciamis Jawa Barat, Rektor Institut Budaya Jawa (Isbuja). Selain itu juga mengelola Pustaka Raja, sebuah jaringan kerja yang menjadi wadah aktivitas sosial dan budaya dari berbagai elemen masyarakat. Di samping itu Pustaka Raja juga bergerak di bidang penerbitan, percetakan dan pemasaran buku yang berkantor pusat di Jl. Kakap Raya No. 36 Minomartani Yogyakarta 55581, Telp 0274-881020. HP 0815 788 65170.

227

You might also like