You are on page 1of 6

Cipratan Rezeki di Tiap Titik

Kamis, 12 Mei 2005


Oleh : Taufik Hidayat

Distribusi menjadi salah satu faktor utama penunjang kesuksesan Sinar Sosro. Tingkat
ketersediaan produknya tak dapat ditandingipemain lain. Bagaimana Sosro membangun
kekuatan distribusinya?

“Perubahan yang paling besar akan terjadi dalam bidang jalur-jalur pemasaran, bukan dalam
metode produksi atau konsumsi.”
(Peter F. Drucker)

Apa pun makanannya, minumnya Teh Botol Sosro.Demikian bunyi slogan citra (tag line) yang
selalu menyertai setiap iklan Teh Botol Sosro di berbagai media, baik televisi maupun cetak.
Slogan yang mengisyaratkan tingginya rasa percaya diri PT Sinar Sosro (SS). Bagaimana tidak,
iklan itu secara tersirat menyatakan bahwa ketersediaan (availability) Teh Botol Sosro bukan
masalah.

Di kategori minuman dalam kemasan, Teh Botol Sosro memang sangat dominan. Hampir 90%
pasar teh dalam kemasan -- yang mengambil porsi 30% total pasar minuman dalam kemasan
di lingkup domestik -- berhasil ia kuasai. Sebuah pencapaian yang terbilang fantastis
mengingat ia harus bersaing dengan produk sejenis keluaran pemain kaliber raksasa macam
Coca-Cola dan Pepsi, ataupun pemain-pemain lokal di daerah yang relatif lebih kecil.

Seilidik punya selidik, tanpa mengurangi arti penting faktor-faktor lainnya (4P, marketing mix –
Red.), kesuksesan Teh Botol Sosro mendominasi pasar, bisa dikatakan banyak ditopang faktor
distribusi produk yang sangat kuat dan mengakar hingga ke pelosok negeri. “Distribusi
memegang peranan yang sangat penting dalam kesuksesan Sosro,” ungkap Andre Vincent
Wenas, Direktur Pengelola Strategic Management Services.

Mantan Direktur Pengelola PT Pepsi Cola Indobeverages ini menjelaskan, di kategori ready to
drink tea, faktor rasa sebenarnya tidak terlalu banyak berperan. Apalagi harga produk di
kategori ini relatif sama satu dengan lainnya. “Yang terpenting adalah availability. Orang tidak
akan menunggu atau malah tidak jadi beli hanya karena Teh Botol Sosronya belum dikirim,”
ujarnya. Artinya jelas, bicara availability adalah bicara distribusi.

Ungkapan Andre dibenarkan Bambang Bhakti, praktisi dan pengamat pemasaran yang juga
Direktur Teammaster Indonesia. Dia mengatakan, Teh Botol Sosro mampu mengisi 80% lebih
dari total gerai (modern dan tradisional) yang ada. Ini tidak dimiliki pemain lain, termasuk
Coca-Cola yang juga dikenal memiliki distribusi sangat dalam. “Di tempat Coca-Cola ada, pasti
ada Sosro. Tapi, di tempat Sosro ada? Belum tentu ada Coca-Cola,” ujarnya.

Artinya, penetrasi horisontal Teh Botol Sosro jauh lebih bagus ketimbang Coca-Cola. Sebagai
gambaran, lanjut Bambang, di setiap 100 gerai yang jual minuman, Teh Botol Sosro dapat
ditemui di 100 gerai itu. Namun, untuk jumlah gerai yang sama, Coca-Cola paling tidak baru
dapat ditemui di 80 gerai dari 100 gerai. Masih ada 20 gerai yang belum diisi Coca-Cola. “Ini
disebabkan adanya perbedaan sistem distribusi yang dilakukan kedua perusahaan,”
ungkapnya.

Sistem distribusi SS jauh lebih luwes dibanding Coca-Cola. Perusahaan Amerika Serikat ini
menangani sendiri seluruh distribusinya. Tak heran, tenaga penjualnya mencapai 1.500 orang,
begitu juga armadanya (truk – Red.). Jumlah truknya hampir menyamai tenaga wiraniaga
(salesman)-nya. Truk-truk inilah yang mengangkut langsung Coca-Cola dari pabrik dan
mengantarkannya ke 400 ribu gerai di seluruh Indonesia.

Bagaimana dengan distribusi SS? Sebelum tahun 2004, distribusi Teh Botol Sosro dan
“saudara-saudaranya”, seperti Fruit tea dan S-tee, resminya dipegang langsung oleh 7
perusahaan distribusi milik SS seperti PT Sasana Caraka Mekarjaya. Kini, peran itu ditarik
kembali SS. Akan tetapi, SS hanya mendistribusikan produk-produknya hingga ke kantor
penjualan (KP) yang tersebar di hampir semua kabupaten dan kotamadya di seluruh Indonesia
(Indonesia Timur baru sampai Manado). Sebagai distributor, KP sendiri berada dalam naungan
kantor penjualan wilayah (KPW) -- yang saat ini berjumlah 11 -- di seluruh wilayah Indonesia,
dari Medan hingga Manado. Selain mendistribusikan, KP juga bertugas dalam penarikan
kembali botol-botol kosong (returnable glass bottle).

1
Di bawah KP, selanjutnya jalur distribusi memiliki tiga tingkat: (1)
agen/subdistributor/wholesaler -- yang di lingkungan SS disebut Dister; (2) subwholesaler,
yang sering juga disebut subagen; dan (3) retailer (pengecer). Lebih lengkap, lihat: Bagan
Distribusi Sosro.

Untuk tingkatan Dister, dikenal Dister Aktif (DA) dan Dister Pasif (DP). DA tidak hanya
menunggu pembeli datang ke tempatnya, tapi juga mendistribusikan produk hingga tingkatan
pengecer. Sementara DP hanya menunggu pembeli datang ke tempatnya. Di Indonesia, jumlah
Dister terbanyak berada di Jakarta, mencapai 60 Dister. Adapun untuk level pengecer, SS
menyegmentasikan dalam 7 segmen -- dalam istilah mereka klasifikasi outlet – yaitu:
kantin/kafe, lokasi makan (resto), street market (toko, warung, PKL), supermarket, hotel dan
tempat hiburan, institusi (koperasi), dan end user. Perihal jumlah gerai ini, Bambang menaksir
lebih dari 600 ribu.

Melalui jalur-jaur distribusi itulah produk SS dipasarkan hingga ke end user. “Sepintas pola
seperti ini terkesan sangat sederhana dan mudah ditiru, tapi nyatanya kompetitor sangat sulit
menerapkan pola seperti itu,” ujar Sambas Winata, GM Pemasaran PT Tang Mas, produsen
2Tang dan Frutang.

Dari tingkatan distribusi yang ada, SS bukan hanya luwes karena Dister adalah mitra
independen, tapi juga treatment yang diberikan. Pada aspek pricing, misalnya. Di level Dister,
harga yang diberikan SS untuk Teh Botol Sosro yang merupakan primadona air teh dalam
kemasan Rp 16.900/krat. Di level subwholesaler,mereka mengambil dari Dister di kisaran Rp
17.300/krat.

Di level pengecer? Wow, dengan patokan harga dari agen Rp 18 ribu/krat, mereka bisa
mengambil keuntungan mencapai 100%, atau bahkan lebih, karena bisa menjual Rp 36
ribu/krat (Rp 1.500/botol). Khusus pengecer, mereka juga bisa langsung mengambil ke pabrik
atau KP, dengan pricing yang sama, Rp 18 ribu/krat.

Selain margin yang lumayan, syarat yang ditetapkan SS untuk menjadi bagian dari jalur
distribusinya pun terbilang tak sulit. Di level pengecer, dikenakan syarat minimal harus
membeli 2-5 krat per minggu. Selain itu, juga harus menyetor deposit Rp 9.600/krat dan Rp
350 untuk setiap botol kosong.

Untuk level subwholesaler, syaratnya minimal membeli 200 krat per bulan atau 50 krat per
minggu. Selain harus memiliki pelanggan, jaminan lain sama dengan tingkat pengecer
(menyetor deposit Rp 9.600/krat dan Rp 350 untuk setiap botol kosong). Setingkat dengan
penjual level subwholesaler ini SS juga memiliki jalur tersendiri, yakni pedagang roda dorong.
Mereka dikoordiniasi oleh koordinator yang ditunjuk langsung SS, dan syarat yang dikenakan
untuk para pedagang roda dorong ini sama dengan pedagang subwholesaler.

Adapun untuk agen/subdistributor/wholesaler, mereka diwajibkan minimal membeli 3 ribu krat


setiap bulan. Di luar syarat itu, untuk menjadi pemain di jalur ini terbilang tidak semudah jalur
lainnya. Pasalnya, otoritas penunjukan mereka langsung dari direksi SS. Selain mengajukan
aplikasi ke kantor pusat, mereka juga harus memenuhi persyaratan lain, seperti mempunyai
gudang, wilayah dan kendaraan operasional. Meski syarat yang diberlakukan tergolong cukup
rumit dan membutuhkan deposit yang tak sedikit, minat masyarakat menjadi bagian dari mata
rantai distribusi SS tergolong sangat tinggi. Apalagi di kalangan pengecer. Jumlah pengecer SS
yang mencapai 600 ribu gerai lebih itu, ditaksir tidak tertandingi oleh produsen minuman
lainnya. Maklum, siapa yang tak mau untung 100%?

Bandingkan dengan Coca-Cola. Modal awalnya saja bisa sekitar Rp 24 ribu/krat. Jika harga
jualnya sekitar Rp 1.500/botol, keuntungan yang bisa diperoleh hanya Rp 12 ribu/krat. Selisih
Rp 6 ribu/krat dari Teh Botol Sosro.

Dari riset SWA ke lapangan, rata-rata penjualan Teh Botol Sosro tingkatan pengecer warung
rokok bisa mencapai dua krat per hari. Sementara itu jualan Coca-Cola & the gank (Fanta dan
Sprite) rata-rata satu krat per hari. Jadi, dari jualan Teh Botol Sosro sebanyak dua krat saja,
tukang rokok ini dapat keuntungan bersih Rp 36 ribu/hari. Lalu, ditambah keuntungan
penjualan satu krat Coca-Cola & the gank Rp 12 ribu/bulan. Bisa dibayangkan berapa
keuntungan yang bakal diperoleh tukang rokok itu dalam sebulan jika tidak pernah berhenti
jualan. Kalau setiap hari berjalan mulus (menjual dua krat Teh Botol Sosro dan satu krat Coca-
Cola & the gank), maka setidaknya keuntungan Rp 1,4 juta per bulan bisa dikantongi. Sebuah
multiplier effect yang besar untuk dunia ekonomi, terutama bagi sektor informal.

2
Demikian pula tingkatan di atasnya. Kendati marginnya tidak sebesar pengecer, tetap
menguntungkan, karena volume botol yang dijual jauh lebih besar. Dan keuntungan akan
berlipat bila segenap “saudara” Teh Botol Sosro seperti Fruit tea atau S-tee juga laris diserap
para pengecer. Pasalnya, jika itu berhasil dilakukan subwholesaler, selain volume penjualan
yang meningkat dari pelbagai merek, pihak SS juga akan memberi reward seperti pembayaran
dengan sistem kredit satu bulan dan bonus gratis produk SS.

Khusus sistem pembayaran, lazimnya SS mengenakan sistem bayar tunai untuk setiap jalur
distribusinya. Tidak ada sistem kredit atau uang di muka. Adapun target yang diberikan
kepada mereka (seperti minimal pembelian krat dalam seminggu atau sebulan), lebih pada
upaya memacu motivasi sehingga bisa beroleh bonus.
Dalam kerangka memacu penjualan ini, SS juga berani berinvestasi dalam pemberian mesin
pendingin kepada para pengecer. Memang, kebijakan pemberian mesin pendingin (cooler) ini
berbeda-beda di setiap daerah. Di wilayah Jawa Timur atau Surabaya misalnya, SS dikenal
sangat royal dalam memberi mesin pendingin. Tak peduli berapa banyak penjualan yang bisa
dicetak sebuah gerai, SS akan berani memberi cooler. Berbeda dengan di wilayah Ja-Teng yang
masih berhitung panjang sebelum memberi mesin pendingin.

Pemberian mesin pendingin kini memang menjadi ajang persaingan baru di antara sesama
produsen minuman dalam kemasan. Perebutan lokasi yang strategis pun tidak terelakkan.
Dalam hal ini, boleh dikata SS cukup cerdik. Tidak hanya rumah makan atau tempat keramaian
yang dibidik, tapi juga masuk ke sekolah dan kampus. Dengan dalih minuman teh lebih sehat
dibanding carbonated soft drink, Raja Teh van Slawi ini bisa mendapat hak eksklusif untuk
memasarkan produknya di sekolah atau kampus. Sebagai kompensasi bagi pihak sekolah atau
kampus, SS melengkapi fasilitas di institusi pendidikan itu, misalnya dengan membuat
lapangan basket atau lainnya.

Menurut Bambang, selain keluwesan dalam jalur distribusi dan pemberian potensi mengambil
margin yang besar, kekuatan distribusi SS juga terletak pada penerapan rewarding loyalty
partner. Kasus bonus (pembayaran sebulan ke belakang) buat subwholesaler yang kinerjanya
bagus, hanyalah contoh kecil. Buat para distributor di level agen/subdistributor/wholesaler
yang setia dan berkomitmen, dalam arti konsisten menjalani perjanjian kerja sama untuk
hanya menjual produk SS, hadiah berlimpah menanti mereka. “Kadang mereka suka buat
black bonus. Kumpulin 20 orang di restoran, pulang dikasih amplop berisi uang tunai, cek,
sampai kunci kendaraan. Itu yang tidak bisa dilakukan multinasional company,” tukasnya.
Sayang, pihak SS tak bersedia menjelaskan tentang hal ini.

Menariknya, besaran uang angpau itu hanya pihak SS yang tahu. Para Dister tak akan pernah
mengerti bagaimana cara perhitungannya. Namun yang pasti, bonus uang yang diberikan buat
mereka akan bertambah banyak bila target penjualan terlampaui. Kabarnya, cara ini sendiri
sebenarnya sudah lama dipraktikkan SS. Dan setelah perusahaan-perusahaan distributor
miliknya ditarik ke dalam pelukannya akhir tahun lalu, SS kian menggencarkan metode
rewarding seperti ini.

Dengan metode tersebut, ungkap Arton Widodo, Direktur Avigra Corporate Image Consultant,
para distributor SS akhirnya tidak pernah merasa menjadi distributor, tapi lebih sebagai mitra.
Dan itu bisa tercipta karena SS juga sanggup melakukan komunikasi yang intens dengan
mereka. “Distributor terus diikat agar muncul loyalitasnya,” ujar Arton. Akhirnya situasinya
memang membuat para mitra distribusi ini enggan untuk berpindah ke lain hati. Bayangkan,
selain margin yang lumayan, reward yang dijanjikan, produk SS itu sendiri, khususnya Teh
Botol Sosro, sudah jaminan untuk ditenggak konsumen. “Para distributor pastinya berhitung
tentang penerimaan pasar,” tandasnya.

Pendapat Arton didukung Chris Budi Setiawan. Mantan orang nomor satu di PT Gillette
Indonesia ini menyebutkan bahwa SS memang sangat menjaga relationship dengan jaringan
distribusinya. Bila di level pengecer disediakan cooler, di level Dister, SS membuat program
pengembangan armada. Caranya, memberi pinjaman modal untuk membeli kendaraan.
“Dengan demikian terlihat ada kebersamaan antara Sosro dengan jaringan distribusinya,”
ungkapnya. Bahkan, timpal Andre, “Setiap pesaing buat program promosi, langsung mereka
counter. Pokoknya setiap wilayah dijagain bener-bener.”

Sepintas, terbayang betapa nikmatnya jadi mitra distribusi SS. Namun, tunggu dulu. Ada
reward, tentunya ada punishment. Jangan sekali-kali bermain api dengan SS. Jika Dister
terbukti “berselingkuh”, alias menjual atau menyimpan produk kompetitor – meskipun hanya
satu krat – tidak ada ampun lagi. No way! SS bisa langsung mencabut izin keagenannya tanpa
mau mendengar alasan ini-itu.

3
Kejadian ini pernah dialami salah satu agen yang sebenarnya tergolong cukup besar (sanggup
menjual 20 ribu krat/bulan). Lisensinya langsung diputus begitu ditemukan dua krat produk
pesaing dalam gudangnya.

SS memang memiliki supervisi kerja yang baik. Biarpun berhubungan baik dengan si pemilik
agen secara personal, hal ini tidak memengaruhi ketegasan sikap SS sebagai produsen
sekaligus mitra bisnis. Tidak ada toleransi bagi pelanggar komitmen kerja sama biarpun dia
teman baik sekalipun. Teman adalah teman, tetapi bisnis tetap bisnis. Persoalannya, bukan
pada satu atau dua krat, tetapi pelanggaran komitmen kerja sama. SS tak bisa menoleransi
segala bentuk pengkhianatan.

Agar sistem rewarding loyalty partner ini berjalan baik, SS menempatkan orang-orangnya di
seluruh Disternya. Dengan cara seperti ini, jangankan menyimpan atau menjual produk
pesaing, memainkan harga pun sudah mengundang sanksi keras. Disiplin yang ketat juga
dilakukan dalam hal jam kerja. Meski tak ada aturan secara tertulis, hampir semua Dister
bekerja sejak dini hari. Mereka menyalurkan dan mengambil botol kosong di subwholesaler-
nya. Hal yang sama juga dilakukan subwholesaler terhadap pengecer di bawahnya. Semuanya
dilakukan sebelum merek lain melakukan kegiatan yang sama. Ada spirit kewirausahaan
(entrepreneurship) yang terbangun di sini.
Ini berbeda dari wiraniaga merek minuman lain, yang baru datang ke pasar pada pukul 8.00
atau 8.30 pagi. Banyak kejadian, mereka hanya gigit jari ketika menagih para agen atau
pengecer karena uangnya sudah diambil SS.

Tugas para wiraniaga SS di Dister juga tak sekadar mengawasi agar tak terjadi
“perselingkuhan”. Lebih dari itu, mereka juga ditugaskan membina Dister agar terus sanggup
meningkatkan penjualan. Mereka juga mengedukasi Dister agar sanggup membina hubungan
baik dengan para subwholesaler. Maklum, jika Dister tak diperbolehkan menjual produk lain,
para subwholesaler diperkenankan menjajakan produk kompetitor. Jelas, SS ingin tingkat
penjualan produknya di level subwholesaler ini juga tinggi. Dan ujung tombak untuk mencapai
hal itu terletak pada Dister.

Di samping ketat dalam distribusi dan penjualan, SS juga memberlakukan aturan yang sangat
ketat dalam hal manajemen botol kosong. Maklum, botol berikut krat yang tersebar di
berbagai tempat merupakan aset vital perusahaan. Untuk urusan yang satu ini, setiap KP
langsung turun tangan lewat tim khusus. Mereka ini memiliki tugas memeriksa dan menyortir
botol sebelum dibawa ke gudang. Jika ada botol yang pecah atau gompal, pihak Dister harus
menggantinya.

Setelah dibawa ke gudang, botol-botol tersebut disortir lagi oleh asisten gudang. Kalau
ternyata masih ada botol yang cacat, botol itu akan dikembalikan ke pedagang untuk diganti.
Namun jika jumlahnya di atas 10 botol, wiraniaga yang berurusan dengan Dister tersebut
harus bertanggung jawab menggantinya. Berdasarkan informasi yang diperoleh SWA, jumlah
botol yang rusak atau pecah dalam peredaran tidaklah terlalu besar, sekitar 2%. Kerusakan
botol yang lebih besar terjadi pada saat proses pengisian di pabrik, di mana jumlahnya bisa
mencapai 5%. Rupanya, biarpun terlihat ongkos penggantiannya kecil, mitra distribusi tetap
tak mau kehilangan uang sekecil apa pun. Mereka juga tak mau terlihat buruk di mata SS
karena tak pandai mengelola botol.

Menurut Andre, mengelola distribusi produk returnable packaging seperti SS bukanlah


pekerjaan mudah. Di samping menjaga agar botol tidak pecah atau gompal, perjalanan botol
di jalur distribusi pun mesti pandai dikelola. Maklum, setiap hari truk keluar dengan botol
terisi, pulangnya membawa botol kosong. Ini berpeluang melahirkan tindakan curang. Untuk
memotong jalur distribusi, para pemain di industri minuman dalam kemasan (botol), bisa
memendam botol kosong di gudangnya. Asumsinya, semakin sedikit jumlah botol pesaing,
maka semakin terganggu proses bisnisnya. Kalau terganggu, ketersediaannya juga bisa kacau,
sementara perusahaan harus keluar investasi lebih banyak karena mesti mencetak botol baru.
Yang pasti, bicara delivery, rata-rata pengiriman SS ke Dister mencapai 1-10 truk per minggu.

Sukses Sosro dalam bidang distribusi bukanlah prestasi yang diraih dalam semalam. Mungkin
saat ini ada banyak orang yang menyesal karena dahulu (saat awal SS berdiri-- Red.) mereka
tidak mau menjadi mitra distributornya. Maklumlah, SS datang menawarkan sesuatu yang
baru dan tidak lazim pada saat itu sehingga Soetjipto Sosrodjojo dan saudara-saudaranya
terpaksa mendistribusikan sendiri ke toko-toko makanan dan pedagang di jalan-jalan.

4
Menurut Yadi Budhisetyawan, Direktur Pengelola Konsultan Penjualan dan Distribusi ForceOne,
kesuksesan distribusi SS tak lepas dari inovasi yang dilakukannya. “Mereka yang
memperkenalkan pola distribusi akar rumput,” ungkap Yadi. Di tahun 1981-82, SS sudah
melempar 30-an cooler box dengan roda dorong kepada pedagang dari prapatan Coca-Cola,
Cempaka Putih, Jakarta sampai kawasan Pasar Senen. Ini dilakukan karena pada saat itu SS
mengalami kesulitan masuk ke toko pengecer yang menganggap aneh minuman teh dalam
botol. “Sosro memelopori lahirnya generasi distributor baru,” ujarnya.

Yadi menambahkan, loyalitas di level grosir biasanya terletak pada cuan, keuntungan. Mereka
ingin sesuatu yang upayanya kecil tapi memberi keuntungan yang maksimal. “Ngurusin botol
kosong, distributor dulu ogah, SS yang menciptakan ini,” ujarnya. Maklum kalau distributor
merasa enggan. Satu krat isi 24 botol beratnya mencapai 18 kg (kosong 11 kg), tapi harganya
tidak seberapa. Bandingkan dengan jualan rokok yang beratnya ringan dan kemasannya kecil,
tapi harganya jauh lebih tinggi!

Namun itu dulu. Sekarang, hampir tidak ada pedagang yang menolak jika ditawari menjual
produk SS, apalagi Teh Botol Sosro. Tak heranlah, produk ini serasa berada di jangkauan
tangan konsumen, karena begitu banyaknya gerai yang memasarkannya.

Toh, tak ada gading yang tak retak. Kendati perkasa, di tengah dinamika distribusi SS, tetap
tersimpan rasa kecewa. Minimnya insentif yang diberikan kepada para wiraniaga, ujar seorang
karyawan yang tak mau menyebut identitasnya, membuat sebagian dari mereka mengaku
kehilangan motivasi. Menurutnya, di SS, jenjang karier cukup jelas. Strukturnya pun jelas.
Sayang, reward-nya kurang jelas. Terutama bagi tim operasional. Selain standarnya tidak jelas
karena gaji dan fasilitas antarwilayah tidak sama, penghasilan dan fasilitas yang diterima pun
tidak sebanding dengan beban kerja yang dilakoni.

Ia memberi gambaran seperti ini: untuk level wiraniaga, penghasilan dan fasilitas yang
diterima setiap bulan adalah gaji pokok standar (GPS) dengan kisaran Rp 700 ribu-1 juta,
tunjangan transportasi dan tunjangan makan masing-masing Rp 5 ribu/hari, dan uang lembur
Rp 20 ribu/hari untuk operasional. Yang mengganggu, uang lembur bagian administrasi
mencapai Rp 20 ribu/jam. Ia merasa kurang fair di sini karena sebagai penjual mestinya
mendapat penghargaan lebih besar, apalagi tugasnya menggenjot penjualan.

Sementara itu, untuk level penyelia (supervisor), besaran GPS yang diterima Rp 1,2-1,5 juta,
masih ditambah tunjangan (dibelikan) telepon genggam (ponsel), dengan pengisian pulsa
ditanggung sendiri. Lalu, mendapat inventaris mobil pikap untuk operasional plus uang bensin
Rp 600 ribu-1 juta/bulan. Ada juga fasilitas kontrakan rumah (untuk yang ditempatkan di luar
kota) yang lamanya dua tahun, dengan jumlah nominal sekitar Rp 2,5 juta/tahun. Lumayan?
“Ya, tapi setelah dua tahun, biaya kontrakan dibayar sendiri,” keluhnya.

Adapun uang insentif berkisar Rp 300-700 ribu/wiraniaga/bulan. Untuk level penyelia Rp 500-
800 ribu. Insentif itu diberikan bila target penjualan, jumlah pembeli dan target pelunasan
piutang tercapai setiap bulannya.

Dengan penetapan besaran insentif tersebut, maka berapa pun besaran pencapaian penjualan,
jumlah insentif yang diterima tidak akan melebihi Rp 700 ribu untuk wiraniaga, dan Rp 800
ribu untuk penyelia. Misalnya, jika target penjualan dalam sebulan 100 krat dan tercapai atau
terlampaui sebesar 110 atau 120 krat, maka jumlah insentif yang diterima sama, baik yang
mencapai 110 krat ataupun 120 krat. “Uniknya, jika salesman tidak berhasil mencapai target,
tidak ada hukuman apa pun yang diberikan. Namun, bila tahun berikutnya masih tidak
tercapai, kemungkinan sanksi terbesar adalah mutasi ke daerah lain,” ia menjelaskan.

Dengan model jumlah besaran insentif yang telah ditentukan tersebut, beberapa anggota tim
distribusi SS mengaku tengah kehilangan gairah untuk memperbesar pencapaian target.
“Sering muncul omongan di antara para salesman: buat apa mengejar penjualan tinggi karena
insentif yang diterimanya juga sama. Cukup sampai batas maksimal saja,” ujarnya menirukan
omongan sesama salesman.

Jika dibanding beban kerjanya, penghasilan yang diterima armada distribusi SS memang
tergolong berat. Bayangkan, mereka harus bekerja pukul 08.00 pagi hingga malam hari, Senin
hingga Sabtu. “Aneh, katanya tim sales ini dianggap sebagai ujung tombak, tapi
penghargaannya sangat kurang. Ini yang membuat demotivasi di sebagian besar kalangan
karyawan,” ungkap sumber yang tak ingin identitasnya disebutkan itu.

5
Tidak hanya karyawan yang mengeluh. Beberapa subwholesaler yang tidak terlalu besar pun
ikut mengeluh. Pasalnya, SS dianggap kurang memperhatikan mereka yang merasa sekecil
apa pun punya andil untuk menopang kesuksesannya. “Sosro tidak pernah memberikan
imbalan kepada kami,” ujar seorang subwholesaler. Padahal penjualannya tergolong lumayan,
1.300 krat/bulan atau sekitar 2 ribu krat jika digabung dengan Fruit tea dan S-tee.

Keluhan yang sama juga dilontarkan segelintir pengecer yang tetap tak puas dengan margin
besar yang sudah diraihnya. Barang-barang promosi seperti payung, kaus atau jam dinding,
dipandang kurang menggairahkan. Untuk yang satu ini, posisinya memang repot. Pasalnya, SS
memang tidak banyak memberikan bonus, mengingat keuntungan yang diperoleh pengecer
sudah sangat besar.
Di tengah kedigdayaannya, keluhan-keluhan semacam itu jelas mesti diperhatikan manajemen
SS. Maklum, sekecil apa pun ketidakpuasan, berpotensi melahirkan potensi pesaing untuk
memanfaatkannya. Namun, terlepas dari keluhan yang ada, memang terlihat SS amat
bertumpu pada jalur distribusinya. Dan jalur distribusi ini kuat karena SS sanggup
mencipratkan rezeki yang tidak sedikit di tiap titik distribusi, dan terus-menerus selama 31
tahun. Sesuatu yang tak mudah ditiru pesaingnya.

URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=2663

You might also like