You are on page 1of 25

PENDEKATAN BEHAVIORAL KOGNITIF MAKALAH

Mata Kuliah: Psikologi Konseling Dosen Pengampu Mata Kuliah: Nina Permata Sari, S.Psi, M.Pd

KELOMPOK 5 Nama Kelompok: Tommy Muchlisin Rakhmawati Foe Suimin Abidin M. Rizki Ikhwan Henny Nurlianti Rustiani Melna Aulia Anisa Khadijah NIM. A1E209202 NIM. A1E209204 NIM. A1E209211 NIM. A1E209221 NIM. A1E209224 NIM. A1E209230 NIM. A1E209239 NIM. A1E209245

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT FAKULTAS PENDIDIKAN DAN ILMU KEGURUAN JURUSAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING BANJARMASIN 2010

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillah, dengan memanjatkan segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang denngan rahmat-Nya Makalah Psikologi Konseling yang berjudul Pendekatan Behavioral Kognitif dapat kami selesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Pendekatan ini merupakan gabungan dari dua pendekatan yang sudah ada, yaitu pendekatan Behavioral dan pendekatan Kognitif. Pendekatan ini mempunyai pandangan bahwa setiap individu berperilaku karena adanya komponen kognitif dalam dirinya. Pendekatan Behavioral Kognitif ini mempunyai banyak teknikteknik. Hal ini membuat kami tertarik untuk mengupas pendekatan ini secara lebih mendalam. Kami ucapkan terimakasih kepada ibu Rizki Wanda Sari, S.Pd yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyusun makalah ini. Terakhir, kami ucapkan maaf yang sebesar-sebesarnya jika dalam penyajian makalah ini terdapat berbagai kekurangan karena saya hanyalah makhluk yang lemah dan penuh dengan kesalahan. Segala kekurangan berasal dari diri saya yang masih belajar ini dan segala kelebihan hanyalah datangnya dari Allah SWT.

Banjarmasin, 03 November 2010

Penulis

ii

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .......................................................................... ii DAFTAR ISI ......................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1 B. Rumusan Masalah.......................................................... 2 C. Tujuan............................................................................. 2 BAB II PEMBAHASAN A. Pendekatan Behavioral .................................................. 3 1. Pandangan Tentang Manusia................................... 3 2. Peran dan Fungsi Konselor..................................... 4 3. Teknik-Teknik Terapi............................................. 5 B. Pendekatan Kognitif ...................................................... 9 1. Pandangan Tentang Manusia.................................. 9 2. Teknik-Teknik Terapi............................................. 9 C. Pendekatan Behavioral Kognitif.................................... 16 1. Pandangan Tentang Manusia.................................. 16 2. Peran dan Fungsi Konselor..................................... 16 3. Teknik-Teknik Terapi............................................. 17 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan.................................................................... 21 B. Saran............................................................................... 21 DAFTAR PUSTAKA

iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pendekatan kognitif dan behavioral atau yang lebih dikenal dengan nama cognitive-behavioral therapy menjadi suatu praktek yang terkenal dalam psikologi konseling. Sebagai contoh lebih dari setengah fakultas dan praktisi di dunia berdasarkan survey mendapatkan pengaruh besar dari pendekatan kognitif dan behavioral, disamping itu mereka juga mejadikan pendekatan ini sebagai pendekatan yang mereka gunakan pertama atau kedua dalam orientasi pendekatan mereka. Walaupun teori ini telah muncul beberapa tahun yang lalu akan tetapi semua komponen yang ada relevan dengan keadaan sekarang. Pada mulanya pendekatan kognitif dan behavioral adalah pendekatan yang berdiri sendiri. Keduanya memiliki pandangan sendiri terhadap manusia, bahkan memiliki metode terapi yang berbeda pula. Pendekatan Behavioral muncul berasal dari B.F Skinner dengan teori kondisi pengoperan. Kemudian pendekatan behavioral ini menjadi pendekatan yang populer pada masa1960an. Pada tahun 1970an pendekatan behavioral mendapatkan pengaruh dari teori kognitif. Bandura merupakan salah seorang yang pertama kali menggunakan konsep pendekatan Kognitif-Behavioral. Pendekatan Kognitif-Behavioral memiliki pandangan bahwa seorang individu memiliki perilaku yang dipengaruhi oleh kondisi internal (kognitif). Berdasarkan hal tersebut, terapi Kognitif-Behavioral menekankan bahwa perubahan tingkah laku dapat terjadi jika seorang individu mengalami perubahan dalam masalah kognitif. Terapi dalam pendekatan KognitifBehavioral merupakan gabungan dari terapi yang ada pada pendekatan Kognitif dan pendekatan Behavioral.

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pandangan pendekatan Behavioral terhadap manusia? 2. Apa peran dan fungsi konselor dalam pendekatan Behavioral? 3. Apa saja terapi pada pendekatan Behavioral? 4. Bagaimana pandangan pendekatan Kognitif terhadap manusia? 5. Apa saja terapi pada pendekatan Kognitif? 6. Bagaimana manusia? 7. Apa peran dan fungsi konselor dalam pendekatan Kognitif-Behavioral? 8. Apa saja terapi dalam pendekatan Kognitif-Behavioral C. Tujuan 1. Menjelaskan pandangan pendekatan Behavioral terhadap manusia. 2. Menjelaskan peran dan fungsi konselor dalam pendekatan Behavioral. 3. Menjelaskan terapi yang digunakan dalam pendekatan Behavioral. 4. Menjelaskan pandangan pendekatan Kognitif terhadap manusia. 5. Menjelaskan terapi yang digunakan dalam pendekatan Behavioral. 6. Menjelaskan pandangan pendekatan Kognitif-Behavioral mengenai manusia. 7. Menjelaskan peran dan fungsi konselor dalam pendekatan KognitifBehavioral. 8. Menjelaskan terapi yang digunakan dalam pendekatan KognitifBehavioral. pandangan pendekatan Kognitif-Behavioral mengenai

BAB II PEMBAHASAN A. Pendekatan Behavioral 1. Pandangan Tentang Manusia Behaviorisme adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia. Dalil dasarnya adalah bahwa tingkah laku itu tertib dan bahwa eksperimen yang dikendalikan dengan cermat akan menyingkapkan hukumhukum yang mengendalikan tingkah laku. Behaviorisme ditandai oleh sikap membatasi metode-metode dan prosedur-prosedur pada data yang dapat diamati. Pendekatan Beharioval berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia, yaitu sebagian bersifat falsafah dan sebagian lagi bercorak psikologis, yaitu: a. Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek. Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku baik atau buruk, tepat atau salah. Berdasarkan bekal keturunan atau pembawaan dan berkat interaksi antara bekal keturunan dan lingkungan, terbentuk aneka pola tingkah laku yang menjadi suatu ciri khas pada kepribadiannya. b. Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkah lakunya sendiri, menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri. c. Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri suatu pola tingkah laku yang baru melalui suatu proses belajar. Kalau pola yang lama dahulu dibentuk melalui belajar, pola itu dapat pula diganti melalui usaha belajar yang baru. d. Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya pun dipengaruhi oleh perilaku orang lain. Terapi Behavioral modern bertumpu pada pandangan ilmiah tentang perilaku manusia yang mencakup pendekatan sistematik dan terstruktur pada konseling. Pandangan ini tidak berpijak pada asumsi deterministik bahwa manusia adalah sekadar produk dari pengkondisian sosio kultural mereka. Melainkan,

pandangan yang ada sekarang adalah bahwa orang itu adalah yang memproduksi dan produk dari lingkungannya. (Bandura dalam Gerard Corey, 1995). Behaviorisme radikal-nya B.F Skinner menyebukan bahwa para behavioris radikal menekankan manusia sebagai dikendalikan oleh kondisi-kondisi lingkungan. Pendirian deterministik mereka yang kuat berkaitan erat dengan komitmen terhadap pencarian pola-pola tingkah laku yang dapat diamati. Mereka menjabarkan melalui rincian spesifik berbagai faktor yang dapat diamati yang mempengaruhi belajar serta membuat argumen bahwa manusia dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Pandangan Behaviorisme Radikal tidak memberi tempat kepada asumsi yang menyebutkan bahwa tingkah laku manusia dipengaruhi oleh pilihan dan kebebasan. Filsafat Behavioristik radikal menolak konsep tentang individu sebagai agen bebas yang membentuk nasibnya sendiri. Situasi-situasi dalam dunia objektif masa lampau dan hari ini menentukan tingkah laku. Lingkungan adalah pembentuk utama keberadaan manusia. 2. Peran dan Fungsi Konselor Istilah Konseling Behavioristik berasal dari istilah bahasa Inggris Beharioral Counseling, yang pertama kali digunakan oleh John D. Krumboltz (1964), untuk menggarisbawahi bahwa konseling yang diharapkan menghasilkan perubahan yang nyata dalam perilaku konseli. Krumboltz adalah promotor utama dalam menerapkan pendekatan Behavoiral dalam konseling, meskipun ia melanjutkan suatu aliran yang sudah ada sejak tahun1950, sebagai reaksi terhadap corak konseling yang memandang hubungan antar pribadi, antara konselor dengan konseli sebagai komponen yang mutlak diperlukan dan sekaligus cukup untuk memberikan bantuan psikologis kepada seseorang. Aliran baru ini menekankan bahwa hubungan antarpribadi itu tidak dapat diteliti secara ilmiah, sedangkan perubahan nyata dalam perilaku konseli memungkinkan dilakukan penelitian secara ilmiah. Perubahan dalam perilaku itu harus diusahakan melalui suatu proses belajar atau belajar kembali, yang berlangsung selama proses konseling. Oleh karena itu, proses konseling dipandang sebagai suatu proses pendidikan yang berpusat pada usaha membantu dan kesediaan dibantu untuk belajar perilaku baru

dan dengan demikian mengatasi berbagai macam permasalah. Perhatian difokuskan pada perilaku-perilaku tertentu yang dapat diamati, yang selama proses konseling melalui berbagai prosedur dan aneka teknik tertentu akhirnya menghasilkan perubahan yang nyata, yang juga dapat disaksikan dengan jelas. Semua usaha untuk mendatangkan perubahan dalam tingkah laku didasarkan pada teori belajar yang dikenal dengan nama Behaviorism dan sudah dikembangkan sebelum lahirnya aliran Behavioral dalam konseling. Konselor behavoral memiliki peran yang sangat penting dalam membantu konseli. Wolpe mengemukakan peran yang harus dilakukan konselor, yaitu bersikap menerima, mencoba memahami konseli dan apa yang dikemukakan tanpa menilai atau mengkritiknya. Dalam hal menciptakan iklim yang baik adalah sangat penting untuk mempermudah melakukan modifikasi perilaku. Konselor lebih berperan sebagai guru yang membantu konseli melakukan teknik-teknik modifikasi perilaku yang sesuai dengan masalah, tujuan yang hendak dicapai. 3. Teknik-Teknik Terapi a. Reality Therapy Reality Therapy dikembangkan oleh William Glasser. Yang dimaksudkan dengan istilah reality adalah suatu standar atau patokan obyektif, yang menjadi kenyataan atau realitas yang harus diterima. Realitas atau kenyataan itu dapat berwujud suatu realitas praktis, realitas sosial, atau realitas moral. Sesuai dengan pandangan Behavioristik, yang terutama disoroti pada seseorang adalah tingkah laku yang nyata. Tingkah laku itu dievaluasi menurut kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan realitas yang ada. Glasser menfokuskan perhatian pada perilaku seseorang pada saat sekarang, dengan menitikberatkan tanggung jawab yang dipikul setiap orang untuk berperilaku sesuai dengan realitas atau kenyataan yang dihadapi. Penyimpangan/ketimpangan dalam tingkah laku seseorang dipandang sebagai akibat dari tidak adanya kesadaran mengenai tanggung jawab pribadi; bukan sebagai indikasi/gejala adanya gangguan dalam kesehatan mental menurut konsepsi tradisional. Bagi Glasser, bermental sehat adalah menunjukkan rasa tanggung jawab dalam semua perilaku.

Selama proses konseling, konselor membantu konseli untuk menilai kembali tingkah lakunya dari sudut bertindak secara bertanggung jawab. Dengan demikian, proses konseling bagi konseli menjadi pengalaman belajar menilai diri sendiri, dan dimana perlu, menggantikan tingkah laku yang keliru dengan tingkah laku yang tepat. Sampai taraf tertentu, konselor berperan sebagai seorang guru yang mengajarkan tata cara bertindak secara bertanggung jawab, memberikan pujian bilamana konseli mulai bertindak secara tepat, dan mencela bila konseli tidak bertindak secara bertanggung jawab. Konselor menolak segala macam alasan untuk membela diri bila konseli tidak menunjukkan tanggung jawab itu, apalagi menimpakan kesalahannya sendiri pada orang lain atau situasi dan kondisi. b. Multimodal Counseling Pendekatan konseling ini memadukan berbagai unsur dari beberapa pendekatan yang tersedia, sehingga terciptalah sistematika yang baru. Mengingat sejarah perkembangannya yang demikian, pendekatan ini bersifat eklektik. Pelopornya adalah A. Lazarus yang mengembangkan pendekatan ini selama 1970-an. Pendekatan ini berakar dalam medan teori Behavioristik, tetapi sekaligus mencakup banyak unsur lain yang saling berkaitan dalam lingkup sejarah perkembangan individu, proses belajar dan hubungan antarpribadi. Selain itu, pendekatan ini sekaligus dirancang untuk mengembangkan suatu proses konseling yang dapat memenuhi kebutuhan masing-masing konseli. Untuk ini selama proses konseling perhatian konselor terpusat pada tujuan faktor atau komponen dalam pola kehidupan konseli, yaitu perilaku nyata (Behavior), alam perasaan (Affect), proses persepsi melalui alat indera (Sensation), konsep diri dalam berbagai aspeknya (Imagery), keyakinan dan nilai-nilai dasar sebagai pegangan dalam berpikir dan menentukan sikap (Cognition), hubungan antarpribadi dengan orang yang dekat (Interpersonal Relationship), dan keadaan fisik serta kesehatan jasmani (Biological Functioning). Setiap komponen ditinjau dan dibahas untuk mengumpulkan data yang relevan. Data yang terhimpun itu

kemudian dikaji oleh konselor dengan mengaitkan satu sama lain, sehingga pola kehidupan konseli dapat dikonsepsikan secara jelas dan ditemukan sumber timbulnya masalah pada saat sekarang. Kemudian ditentukan cara penanggulangan masalah yang paling tepat dan cara membantu konseli mengatasi masalah yang paling efisien, dengan memilih dari sekian banyak siasat yang tersedia. c. Desensitisasi Sistematik Desensitisasi sistematik adalah salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam terapi Behavioral. Desensitisasi sistematik digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku atau respons yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu. Desensitisasi diarahkan pada mengajar konseli untuk menampilkan suatu respons yang tidak konsisten dengan kecemasan. Wolpe, pengembang teknik desensitisasi, mengajukan argumen bahwa segenap tingkah laku neurotik adalah ungkapan dari kecemasan dan bahwa respons kecemasan bisa dihapus oleh penemuan respons-respons yang secara inheren berlawanan dengan respons tersebut. Cara yang digunakan dalam keadaan santai, stimulus yang menimbulkan kecemasan dipasangkan dengan stimulus yang menimbulkan keadaaan santai. Dipasangkan secara berulang-ulang sehingga stimulus yang semula menimbulkan kecemasan hilang secara berangsur-angsur. d. Latihan Perilaku Asertif Latihan asertif digunakan untuk melatih individu yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu orang yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon positif lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok diterapkan untuk latihan asertif ini.

e. Pengkondisian Aversi Teknik pengkondisian aversi dilakukan untuk meredakan perilaku simptomatik dengan cara menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan (menyakitkan) sehingga perilaku yang tidak dikehendaki (simptomatik) tersebut terhambat kemunculannya. Stimulus dapat berupa sengatan listrik atau ramuan-ramuan yang membuat mual. Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya perilaku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara perilaku yang tidak dikehendaki dengan stimulasi yang tidak menyenangkan. Perilaku yang dapat dimodifikasi dengan teknik ini adalah perilaku maladaptif. Perilaku maladaptif ini tidak dihentikan secara seketika, tetapi dibiarkan terjadi dan pada waktu yang bersamaan dikondisikan dengan stimulus yang tidak menyenangkan. Jadi terapi aversi ini menahan perilaku yang maladaptif dan individu berkesempatan untuk memperoleh perilaku alternatif yang adaptif. f. Pembentukan Perilaku Model Perilaku model digunakan untuk membentuk perilaku baru pada konseli dan memperkuat perilaku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada konseli tentang perilaku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup, atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis perilaku yang hendak dicontoh. Perilaku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial. g. Kontrak Perilaku Kontrak perilaku didasarkan atas pandangan bahwa membantu konseli untuk membentuk perilaku tertentu yang diinginkan dan memperoleh ganjaran tertentu sesuai dengan kontrak yang disepakati. Dalam hal ini individu mengantisipasi perubahan perilaku mereka atas dasar persetujuan bahwa beberapa konsekuensi yang muncul.

Kontrak perilaku adalah persetujuan antara dua orang atau lebih (konselor dan konseli) untuk mengubah perilaku tertentu pada konseli. Konselor dapat memilih perilaku yang realistik dan dimunculkan sesuai dengan kesepakatan, ganjaran dapat diberikan kepada konseli. Dalam terapi ini ganjaran positif terhadap perilaku yang dibentuk lebih dipentingkan daripada pemberian hukuman jika kontrak tidak berhasil. B. Pendekatan Kognitif 1. Pandangan Tentang Manusia Pada tahun 1962 pendekatan Kognitif mulai dikenalkan oleh Albert Ellis dengan teori Rasional Emosi Psikoterapi. Albert Ellis berpendapat bahwa perasaan dan tingkah laku manusia disebabkan oleh pikiran manusia sendiri. Pendekatan Kognitif bertujuan menolong konseli mengenali dan membuang kognisi yang menaklukan diri-sendiri. Teori dasar dari model kognitif pada kelainan emosional yang diajarkan oleh Beck mengatakan bahwa agar bisa memahami gangguan emosional, maka hal yang esensial adalah memfokuskan pada isi kognitif dari reaksi individual terhadap peristiwa maupun alur pikiran yang menimbulkan amarah. Sasarannya adalah mengubah cara berpikir konseli. 2. Teknik-Teknik Terapi a. Analisis Transaksional Analisis transaksional dipelopori oleh Eric Berne dan diuraikan dalam beberapa buku yang dikarang oleh Berne sendiri, atau dikarang oleh orang lain, seperti Thomas A. Harris. Analisis Transaksional menekankan pada pola interaksi antara orang-orang, baik verbal maupun nonverbal. Corak konseling ini dapat diterapkan dalam konseling individual, tetapi dianggap paling bermanfaat dalam konseling kelompok, karena konselor mendapat kesempatan untuk langsung mengamati pola-pola interaksi antara seluruh anggota kelompok. Perhatian utama diberikan pada manipulasi dan siasat yang digunakan oleh orang dalam berkomunikasi satu sama lain. Terdapat tiga pola perilaku, yaitu:

10

1) Keadaan orang tua, adalah berperilaku yang dianjurkan oleh pihak atau instansi sosial yang berperanan penting selama masa pendidikan seseorang, seperti orang tua kandung, sekolah dan badan keagamaan. Dalam keadaan ini seseorang berpesan kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain seperti yang dialami sendiri dari pihak orang atau instansi yang memiliki wewenang terhadapnya. 2) Kondisi orang dewasa, adalah bagian kepribadian yang

berhadapan dengan realitas bagaimana adanya dan mengolah fakta serta data untuk membuat keputusan-keputusan. Segala situasi kehidupan yang dihadapi ditafsirkan untuk kemudian mengambil sikap dan bertindak menurut apa yang dianggap tepat. 3) Keadaan anak, adalah bagian kepribadian yang didorong oleh beraneka perasaan spontan dan keinginan untuk melakukan apa yang disukai. Dalam keadaan ini orang berperilaku secara bebas dan spontan. Pada kebanyakan orang, hal ini berarti bahwa mereka mengejar kesenangannya sendiri. Selama proses konseling orang belajar mengidentifikasikan tiga keadaan diri pada dirinya sendiri, dan menyadari keadaan diri manakah yang menjadi dominan serta menentukan pola-pola interkasi dengan orang lain. Konselor memberikan informasi tentang pola-pola interkasi sosial sesuai dengan berbagai keadaan diri, dan membantu untuk mengalisis diri sendiri sehingga disadari keadaaa diri mana yang dominan dalam perilakunya. Tujuan dari konseling menurut pendekatan Analisis

Transaksional adalah supaya konseli menjadi sadar akan seluruh hambatan yang diciptakannya sendiri dalam berkomunikasi dengan orang lain, serta kemudian mengembangkan suatu pola interaksi sosial yang sesuai dengan situasi dan kondisi, dengan menempatkan diri dalam keadaan diri yang memungkinkan proses komunikasi yang sehat.

11

Harris mendeskripsikan empat sikap hidup terhadap orang lain, yaitu: 1) I am okay you are okay: sikap hidup seseorang yang mampu mengatur dirinya dengan baik dan membina kontrak sosial yang memuaskan. 2) I am okay you are not okay: sikap hidup seseorang yang melimpahkan kesukaran-kesukaran sendiri pada orang lain dan menyalahkan orang lain. Dia bersikap sombong dan menjauhkan diri dari orang lain. 3) I am not okay you are okay: sikap hidup seseorang yang merasa depresif dan tak berdaya, dibandingkan dengan orang lain. Dia cenderung untuk mengasingkan diri atau melayani orang lain untuk mendapatkan pengakuan dan simpatik. 4) I am not okay you are not okay: sikap hidup seseorang yang menyerah saja, tidak mempunyai harapan dan membiarkan dirinya dibawa oleh pasang surut kehidupan. b. Sistematika Carkhuff Sistematika ini dipandang sebagai suatu pola eklektik dalam konseling karena merupakan perpaduan dari berbagai unsur yang diambil dari beberapa konsepsi serta pendekatan terhadap konseling, namun berbeda dengan konseling eklektik yang dikembangkan oleh Frederick Thorne. Dalam sistematika Carkhuff proses konseling dipandang sebagai suatu proses belajar, baik bagi konseli sebagai orang yang dibantu maupun bagi konselor sebagai orang yang membantu. Konseli akan belajar bagaimana cara menghadapi dan mengatasi masalah dengan berpikir dan bertindak secara lebih konstruktif; bahkan, konseli belajar bahwa cara menyelesaikan masalah tertentu pada saat sekarang dapat pula diterpakan dalam menghadapi kesulitan/persolaan yang lain di kemudian hari. Konselor akan belajar, melalui penghayatan pengalamannya membantu orangorang tertentu, meningkatkan kemampuannya untuk membantu orang lain dengan memperoleh semakin banyak keterampilan praktis dalam

12

berwawancara konseling. Dalam sejarah perkembangan teori-teori konseling, Carkhuff menemukan dua konsepsi pokok serta dua pola dasar pendekatan dalam konseling, yaitu konsepsi serta pendekatan yang menekankan insight approach dan konsepsi serta pendekatan yang mengutamakan action approach. Kedua pola pendekatan dipandang sebagai pola yang berat sebelah dam kurang menjamin keberhasilan dalam konseling, karena memahami tidak dituangkan dalam suatu program kerja nyata, dan bertindak tidak disadarka pada pengertian serta keyakinan yang harus menjamin kelangsungan dari berbagai tindakan yang diambil. Oleh karena itu, kedua pola pendekatan harus dipadukan dalam suatu pendekatan sistematis yang menjamin efisiensi dan efektivitas dari proses konseling serta menghasilkan perubahan positif yang nyata dalam perilaku konseli. Orang yang menjalani proses konseling akan mengalami tiga fase pokok dalam proses itu, yaitu eksplorasi (exploration), pemahaman diri (understanding), dan bertindak (action). Untuk membantu konseli melewati ketiga fase tersebut secara tuntas, konselor harus memiliki keterampilan berwawancara

konseling. Keterampilan ini harus berakar dalam kondisi-kondisi internal yang harus dipenuhi oleh konselor yang disebut oleh Carkhuff sebagai dimensi-dimensi pada konselor. Terdapat tujuh kondisi yang memperlancar proses komunikasi antarpribadi yaitu: 1) Pengertian yang tepat terhadap konseli (accurate emphathy) 2) Penghargaan (respect) 3) Kejujuran dan keterbukaan (guniuneness) 4) Kemampuan berbicara secara konkret dan spesifik (concreteness, specificity) 5) Kemampuan dan kerelaan untuk membuka diri sejauh menyangkut kepentingan konseli (selfdisclosure) 6) Kemampuan untuk menghadapkan konseli dengan dirinya sendiri (confrontation)

13

7) Kemampuan (immediacy).

menanggapi

keadaan

konseli

dengan

segera

c. Rational Emotive Therapy Penggunaan Rational Emotive Therapy dalam konseling, menurut Ellis akan membantu konseli menerima dirinya secara penuh. Orang yang selalu melakukan penilaian terhadap dirinya akan menimbulkan masalah besar bagi dirinya sendiri. Rational Emotive Therapy dapat diterapkan dalam berbagai macam konseling, termasuk didalamnya adalah konseling individual, kelompok encounter marathon, terapi singkat, terapi keluarga, terapi seks, dan situasi kelas. Tentunya konseli yang sangat cocok dengan terapi ini adalah konseli yang mengalami kecemasan pada tingkat moderat, gangguan neorotik, gangguan karakter, problem psikosomatik, gangguan makan, ketidak mampuan dalam hal hubungan interpersonal, problem perkawinan, keterampilan dalam pengasuhan, adiksi, dan disfungsi seksual. Kesemuanya efektif dengan catatan tidak terlalu serius gangguannya. Beberapa dari teknik kognitif yang digunakan terapis RET adalah: 1) Mempertanyakan keyakinan irasional. Metode kognitif RET yang paling umum terdiri dari aktivitas terapis dalam hal

mempertanyakan keyakinan irasional konseli dan mengajarkan kepada mereka cara untuk mengatasinya tanpa bantuan orang lain. Terapis menunjukkan kepada konseli bahwa mereka terganggu bukan karena peristiwa atau situasi tertentu yang terjadi tetapi karena persepsi mereka sendiri atas peristiwa itu dan karena sifat dari pernyataan mereka terhadap diri mereka sendiri. 2) Pekerjaan rumah kognitif. Konseli RET diharapkan untuk membuat daftar dari masalah yang mereka hadapi, mencari keyakinannya dan mempertanyakan keyakinan ini.

14

3) Mengubah gaya berbahasa seseorang. RET berpendapat bahwa bahasa yang kurang tepat merupakan salah satu sebab dari distorsi proses berpikir seseorang. 4) Penggunaan humor. RET berpendapat bahwa gangguan

emosional sering kali merupakan hasil dari sikap diri yang terlalu serius dan dalam hal memandang hidup mereka kehilangan cita rasa perspektifnya serta cita rasa humor. d. Terapi Kognitif Terapi Kognitif adalah terapi pemahaman yang menekankan pada pengenalan dan pengubahan jalan pikiran negatif dan keyakinan yang salah adaptasi. Pendekatan yang berasal dari Beck ini disadarkan pada rasionalisasi teoritis bahwasanya cara orang merasakan dan berperilaku itu ditentukan oleh cara mereka menyusun pengalaman. Teori dasar dari model kognitif pada kelainan emosional yang diajarkan oleh Beck dalam memahami gangguan emosional, maka hal esensial adalah menfokuskan pada isi kognitif dari reaksi individual terhadap peristiwa atau alur pikiran yang menimbulkan masalah. Sasarannya adalah mengubah cara berpikir konseli. Terapi kognitif telah menunjukkan hasilnya jika diaplikasikan pada penanganan depresi, kecemasan umum, kecemasan sosial, kecemasan terhadap tes, fobia, kelainan psikosomatik, kelainan persoalan makanan, amarah, masalah rasa sakit yang kronis. Terapi kognitif didasarkan pada asumsi bahwa kognisi merupakan penentu utama mengenai bagaimana kita merasakan dan berbuat. Beck (1976) menulis bahwa, dalam arti yang paling luas terapi kognitif terdiri dari semua pendekatan yang menjadikan kepedihan psikologis lebih bisa tertahankan melalui medium mengoreksi konsepsi keliru dan sinyal-sinyal dirinya sendiri. Menurut Beck rute yang paling langsung ke berubahnya emosi dan perilaku yang tidak berfungsi adalah dengan memodifikasi jalan pikiran yang tidak tepat dan tidak berfungsi. Distorsi umum dalam memroses

15

informasi berikut telah diidentifikasi sebagai yang membawa yang membawa asumsi keliru dan konsepsi yang salah: 1) Inferensi arbitrer, berarti mencapai kesimpulan tanpa bukti yang cukup relevan. Yang termasuk ke dalam kerancuan ini penciptaan mala petaka, atau memikirkan suatu skenario yang sangat buruk dari suatu situasi. 2) Abtraksi yang selektif, terdiri dari membuat kesimpulan didasarkan pada detail dari suatu peristiwa yang terpisah satu sama lain, dan oleh karenanya kehilangan signifikasi konteks secara keseluruha. Asumsinya adalah bahwa peristiwa yang dipersoalkan adalah yang berurusan dengan kegagalan dan kekurangan-kekurangan. 3) Generalisasi yang berlebihan, adalah proses memegang keyakinan ekstrim berdasarkan suatu insiden tunggal dan mengaplikasikannya secara tidak pada tempatnya pada peristiwa atau latar yang tidak serupa. 4) Membesar-besarkan dan menyangatkan, terdiri dari estimasi secara berlebihan atas signifikansi peristiwa-peristiwa negatif. 5) Personalisasi, adalah kecenderungan orang untuk menghubungkan peristiwa eksternal dengan dirinya sendiri, biarpun untuk menghubung-hubungkan itu tidak ada dasarnya. 6) Polarisasi berpikir, menyangkut berpikir dan menginterpretasi dalam arti mencakup semua atau tidak sama sekali, atau mengkategorikan pengalaman secara ekstrim. Seorang terapis kognitif mengajarkan kepada konseli cara mengidentifikasi kognisi yang rancu dan tidak berfungsi melalui proses evaluasi. Melalui usaha saling membantu antara terapis dan konseli, konseli belajar memilah-milah antara yang mereka kira dan kenyataan. Mereka belajar tentang pengaruh kognisi atas perasaan, perilaku, dan bahkan peristiwa sekitar. Konseli diajarkan mengenali, mengamati, dan memantau jalan pikiran serta asumsi mereka sendiri, terutama jalan pikiran otomatis mereka.

16

C. Pendekatan Behavioral Kognitif 1. Pandangan Tentang Manusia Tokoh/pakar seperti Bandura (1977), Kamfer dan Philips (1970), Cautela dan Baron (1977), dan Ellis (1977) menekankan peranan dari persepsi, pikiran, dan keyakinan, yang semuanya bersifat kognitif, sebagai komponen yang sangat menentukan dalam rangkaian S-r-R. Manusia dapat mengatur perilakunya sendiri, dengan mengubah tanggapan kognitifnya terhadap Antecedent dan menentukan sendiri Reinforcement yang diberikan kepada dirinya sendiri. 2. Peran dan Fungsi Konselor Pada pendekatan kognitif behavioral, seorang konselor bersifat lebih menjadi pendengar yang sensitif dan empatik ketika mendengarkan masalah konseli. Hubungan yang demikian akan memudahkan konselor mencari informasi dari konseli. Dengan menggunakan teori behavioral dan konseling sebagai petunjuk, konselor mencari secara detail informasi mengenai masalah yang dialami oleh konseli, sehingga konselor dapat mengetahui bagaimana, kapan, dan situasi ketika masalah itu terjadi. Pada saat konseling, seorang konselor yang menggunakan pendekatan kognitif behavioral sangat jarang menggunakan kata kenapa seperti kenapa kamu cemas sebelum ujian? atau kenapa kamu merasa stres saat bekerja?. Biasanya seorang konselor lebih suka menggunakan kata bagaimana, kapan, dimana, dan apa ketika mereka memahami faktor yang menjadi inti dari masalah konseli. Tugas konselor kognitif-behavioral adalah membantu konseli untuk bertindak bak ilmuwan dalam menemukan validitas peta atau model pribadinya, dan membuat pilihan berkenaan dengan elemen mana yang dipertahankan dan mana yang diubah. Konselor kognitif-behavioral biasanya akan menggunakan berbagai teknik intervensi untuk mendapatkan kesepakatan perilaku sasaran dengan konseli. Teknik yang biasa digunakan adalah: a. Menantang keyakinan irasional b. Membingkai kembali isu; misalnya menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu yang menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan.

17

c. Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role play dengan konselor d. Mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam situasi riil. e. Mengukur perasaan; misalnya dengan menempatkan perasaan cemas yang ada saat ini dalam skala 0-100 f. Menghentikan pikiran. Ketimbang membiarkan pikiran cemas atau obsesional mengambil alih, lebih baik konseli belajar untuk menghentikan mereka dengan cara seperti menyaber karet ke pergelangan tangan. 3. Teknik-Teknik Terapi a. Operant Conditioning Terdapat 2 prinsip dalam Operant Conditioning yaitu bagaimana kebiasaan itu dipelajari dan teknik yang digunakan untuk memodifikasi tingkah laku. Penggunaan teknik operan kondisi dapat digunakan oleh konselor jika tempat konselor sebaik dengan lingungan tempat masalah konseli terjadi. Jika konseli merasakan adanya koneksi yang positif dengan konselor, maka dia akan menerima apa yang diarahkan oleh konselor. Konselor dapat menjadi seorang yang memberikan dukungan potensial untuk mengubah perilaku seorang individu. Konselor

Behavioral memutuskan perilaku apa yang harus dirubah dan jika teknik reinforcement sesuai dengan kondisi konseli maka konselor akan menggunakan teknik tersebut biasanya dalam bentuk verbal. b. Desensitization Terdapat empat langkah dalam melaksanakan metode

Systematic Desensitization (SD), yaitu: 1) Memberikan kepada konseli rasionalisasi 2) Relaksasi training. 3) Konselor dan konseli bekerjasama dalam membangun bayangan tentang hierarki dari kecemasan 4) Desensitization proper.

18

Salah satu jenis dari SD adalah in vivo desensitization. Jenis ini memiliki kesamaan prosedur dalam penanganan kecuali masalah hierarki kecemasan. Pada in vivo desensitization, konselor memegang penuh dalam penanganan hierarki kecemasan konseli. c. Flooding Flooding Desensitization. adalah Jika SD kebalikan menekankan daripada kepada Systematic minimalisasi

kecemasan, maka Flooding menekankan kepada pemaksimalisasian kecemasan. Salah satu bentuk dari Flooding adalah in vivo flooding yang mana sangat cocok jika digunakan untuk menghadapi Agoraphobics. Flooding adalah salah satu metode yang potensial dan memiliki tingkat resiko yang tinggi. Jika metode ini dilakukan oleh seorang konselor yang tidak berpengalaman akan menyebabkan seorang konseli mengalami stres. d. Assertiveness dan Social Skill Training Ketika konselor sedang melakukan konseling kepada seorang konseli kadang-kadang mereka segan untuk menunjukkan ekspresinya dan mereka tidak menjadi diri mereka yang sebenarnya. Dalam hal ini keahlian seorang konselor behavior-kognitif diuji. Salah satu strategi yang sering digunakan adalah behavior rehearsal. Strategi ini berupa upaya konselor membantu konseli dengan cara bermain peran. Konselor pada strategi ini berperan sebagai seseorang yang berpengaruh terhadap konseli. e. Participant Modeling Participant modeling efektif jika digunakan untuk menolong seseorang yang mengalami kecemasan yang bersifat tidak menentu dan sangat baik digunakan ketika menolong seseorang yang mengalami ketakutan sosial (social phobia). Terdapat beberapa langkah yang diperlukan untuk dapat melakukan Participant Modeling secara baik yaitu yang pertama mengajarkan kepada konseli teknik relaksasi seperti mengambil nafas

19

yang dalam. Langkah kedua konselor dan klien berjalan bersama dan konseli sambil mengambil nafas dalam. Langkah terakhir, konseli memperaktekan apa yang telah dia pelajari. Dalam setiap langkah diatas konselor hendaknya melakukan dukungan yang positif kepada setiap perilaku konseli dengan cara pujian.

f. Self-Control Procedures Metode Self-control bertujuan untuk membantu konseli mengontrol dirinya sendiri. Metode self-control menegaskan bahwa konseli adalah sebagai agen aktif yang dapat mengatasi dan menggunakan pengendalian secara efektif dalam kondisi mengalami masalah. Metode ini paling tepat digunakan dalam kondisi dimana lingkungan terdapat penguatan jangka panjang secara natural. Terdapat tiga langkah bagian dalam self-contorl procedures, yaitu: 1) Meminta konseli secara teliti memerhatikan kebiasaannya. 2) Meminta kejelasan target/tujuan yang ingin dicapai 3) Melaksanakan treatment. g. Contingency Contracting Contingency contracting adalah bentuk dari managemen behavioral dimana hadiah dan hukuman untuk perilaku yang diinginkan dan perilaku yang tidak dapat dihindari terbentuk. Konselor dan konseli bekerjasama untuk mengidentifikasi perilaku yang perlu dirubah. Saat penilaian, konselor dan konsel memutuskan siapa yang memberikan penguatan dan dan berupa apa penguatan tersebut. Treatment dapat berlangsung dengan menggunakan konseli sendiri atau orang lain. Penguatan dapat diberikan setiap tujuan perilaku yang ingin dibentuk termanifestasi. Setelah hal itu terjadi, konseli bisa mendapatkan hadiah atau hukuman. Hadiah akan

20

diberikan jika perilaku yang diinginkan tercapai, dan hukuman diberikan jika perilaku yang tidak diinginkan muncul. h. Cognitive Restructuring Cognitive restructuring berbeda dengan metode yang lain karena metode ini menginginkan perubahan kognitif tidak seperti metode yang lain yang berakhir ketika adanya perubahan perilaku. Meichenbaum dan Deffenbacher menjelaskan cognitions may be in the form of cognitive events, cognitive processes, cognitive structures, or all these. Peristiwa kognitif dapat berupa apa yang konseli katakan tentang dirinya sendiri, bayangan yang mereka miliki, apa yang mereka sadari dan rasakan. Proses kognitif berupa proses pemrosesan informasi. Struktur kognitif berupa anggapan dan kepercayaan tentang dirinya sendiri dan dunia yang berhubungan dengan dirinya. Prosedur dari cognitive restructuring adalah sebagai berikut: 1) Evaluating how valid and vaible are the clients thought dan beliefs 2) Assessing what clients expect, what they tend to predict about their behavior and others responses to them 3) Exploring what might be a range of causes for clients behavior and others reactions 4) Training clients to make more effective attributions about these causes 5) Altering absolutistic, catastrophic thinking styles. (Meichenbaum and Deffenbacher dalam Charles Gelso dan Bruce Fretz)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Pendekatan Kognitif-Behavioral merupakan pendekatan yang

menggabungkan antara pendekatan Behavioral dan pendekatan Kognitif. Pendekatan Kognitif-Behavioral mempunyai anggapan bahwa tingkah laku dapat dirubah dengan cara mengubah struktur kognitif seseorang. Pendekatan Behavioral mempunyai pandangan bahwa seseorang individu tersebut segala tingkah laku diperoleh dengan belajar. Pendekatan Behavioral pada awalnya tidak memperhatikan tentang masalah kognitif. Para teoritisi dan praktisi memandang bahwa seseorang hanya sebagai seorang yang dapat dimanipulasi perilakunya dengan cara belajar, mereka tidak memperhatikan bahwa manusia salah satunya terdiri dari komponen kognitif seperti perasaan, nilai dan sebagainya. Pendekatan Kognitif-Behavioral mempunyai berbagai macam terapi yang merupakan gabungan dari terapi Kognitif dan Behavioral. Terapi pendekatan Kognitif-Behavioral sangatlah banyak diantaranya terdapat operant conditioning, Desensitization, Assertivenesses, Flooding,Participan Modeling, Self-Control Procedures, Cognitive restructuring dll. B. Saran Pendekatan Kognitif-Behavioral ini memberikan kemudahan kepada konselor dalam memahami dan memodifikasi tingkah laku seseorang. Dalam pendekatan ini konselor dapat menggunakan berbagai terapi yang jumlahnya sangat banyak.

DAFTAR PUSTAKA

Corey, G. 1995. Teori dan Praktik dari Konseling dan Psikoterapi. Edisi ke 4. Semarang: IKIP Semarang Press. Corey, G. 2007. Teori dan Praktik Konseling dan Psikoterapi. Edisi ke 2. Bandung: Refika Aditama. Gelson, C dan Bruce Fretz. 2001. Counseling Psychology (Second Edision). USA: Wadsworth Group/Thomson Learning. Latipun, 2008. Psikologi Konseling (Edisi ke 3). Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press. McLeod, J. 2003. Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Edisi ke 3. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Winkel, W.S & Hastuti, S.M.M. 2004. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Edisi ke 3. Jokjakarta: Media Abadi.

You might also like