Professional Documents
Culture Documents
SULAWESI TENGAH
SYAMSUDDIN HM
JAMALUDDIN SAKKUNG
NUR HASNI HARUN
NI WAYAN
FUAD
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan (a) Untuk mengetahui respon ibu balita terhadap
program imunisasi; (b)Untuk mengetahui tingkat cakupan imunisasi di Provinsi
Sulawesi Tengah; (c) Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan
rendahnya cakupan imunisasi Penelitian ini mengambil lokasi pada tiga
kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah. Ketiga kabupaten /kota tersebut adalah
Kabupaten Morowali, Kabupaten Banggai, dan Kabupaten Parimo. Pengambilan
ketiga kabupaten/kota ini dilakukan dengan purposive sampling dengan
pertimbangan bahwa ketiga kabupaten tersebut dapat merepresentasifan
keadaan sebagai berikut. Kabupaten Banggai memiliki cakupan tinggi akan
tetapi mengalami KLB campak. Kabupaten Morowali merepresentasikan
cakupan rendah dengan KLB tinggi dan Kabupaten Parimo merepresentasikan
cakupan tinggi tetapi tidak mengalami KLB di Sulawesi Tengah. Langkah –
langkah penentuan sampel adalah sebagai berikut : Untuk penentuan sampel
lokasi kabupaten ditentukan dengan pendekatan purposive sampling. Sementara
untuk penentuan sampel kecamatan dan sampel desa dilakukan secara cluster.
Sedangkan penentuan sampel ibu bayi dilakukan secara snowball method. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa respon ibu balita terhadap program imunisasi
masih relatif rendah. Rendahnya respon tercermin pada masih rendahnya
tingkat cakupan imunisasi bayi dari berbagai antigen yang ada.Tingkat cakupan
imunisasi dari 5 antigen yang ada adalah sebagai berikut : Cakupan imunisasi
kumulatif untuk vaksin BCG adalah sebesar 88 %. Cakupan Imunisasi
kumulatif untuk DPT 75,75 %, Sementara untuk cakupan imunisasi campak
sebesar 25,7 %.Tingkat cakupan imunisasi kumulatif polio sebesar 91,3%
Sedangkan cakupan imunisasi kumulatif untuk HB sebesar 76,5 %.Faktor yang
menyebabkan masih rendahnya cakupan imunisasi adalah sebagai berikut : (1).
adanya kepercayaan masyarakat yang melarang bayi keluar rumah sebelum
berusia 1 bulan,(2) masih adanya keengganan ibu bayi untuk mengimunisasi
karena takut resiko sakit pada anak.(3) Jarak rumah dengan tempat pelayananan
imunisasi. (4) Kurang tetapnya jadual imunisasi pada posyandu-posyandu
tertentu.
2
I. PENDAHULUAN
tubuh kita membentuk antibodi. Tubuh kita juga memproduksi mekanisme perlawanan
lainnya, seperti sel-sel darah putih yang melahap organisme yang masuk ke tubuh kita,
dan hati yang menghancurkan racun yang dihasilkan oleh organsime tersebut. Kita perlu
mendapat serangan dari organisme tertentu (cukup sekali saja) untuk memacu tubub
membentuk anti bodi yang akan terus berfungsi seumur hidup kita.(Ronald H. Sitorus,
1996).
Kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnolog, khususnya tehnologi kedokteran
telah memberikan pengaruh yang cukup berarti dalam pembangunan di bidang
kesehatan. Akibat dari pengembangan tehnologi ini banyak sekali penyakit-penyakit
yang sudah mampu dieliminasi dengan adanya vaksin sebagai intrumen untuk
membentuk zat antibodi yang menyebabkan adanya kekebalan tubuh manusia untuk
menghadang antigen kuman yang masuk dalam tubuh. Keberhasilan manusia dalam
menemukan vaksin untuk memerangi campak, telah memberikan pengaruh yang cukup
berarti dalam menurunkan resiko kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh campak.
Selanjutnya para ahli kedokteran pula telah menemukan suatu vaksin untuk memerangi
rubella yaitu suatu penyakit infeksi yang apabila ditularkan oleh seorang ibu selama 3
bulan pertama dari masa kehamilan, akan mengandung resiko tinggi dalam
menimbulkan keterbelakangan mental serta cacad jasmani pada si bayi yang
dikandungnya. (Sitorus, 1996 : 136).
Kekurangan gizi merupakan satu rentetan yang saling kait mengkait antara satu
dengan lainnya. Dari segi epidemilogik kejadian ini merupakan interaksi antara
lingkungan (environment) dan manusia (host) melalui agennya yaitu kekurangan energi
dan protein pada tingkat sel-sel tubuh. Lingkungan sendiri dibagi menjadi dua yaitu
lingkungan yang bersifat makro misalnya berupa kemiskinan (poverty), tingkat
pendidikan yang rendah, tingkat kesehatan yang jauh dari memuaskan, produktifitas
yang rendah, neraca ekononi yang tidak menguntungkan, utilisasi sumber daya alam
yang tidak tepat, dan sebagainya. Kesemuanya ini menimbulkan tidak cukupnya
produksi pangan dan rendahnya tabungan serta terjadinya ketimpangan dalam
pendistribusian. Kedua, lingkungan yang bersifat mikro, misalnya adanya daya beli
masyarakat yang rendah, konsep yang salah mengenai makanan dan pengolahannya
serta distribusi makanan diantara anggota rumah tangga yang tidak merata, pola
7
penyapihan (penghentian menyusui anak) serta pemberian makan tambahan yang cukup
(Munir, 1986).
Pendidikan ibu yang tinggi memberikan kontribusi bagi dirinya dalam memahami
tentang masalah-masalah kesehatan melalui bacaan, media cetak dan media elektronik.
Sebagai implikasi dari pemahaman terhadap masalah-masalah kesehatan tersebut akan
membentuk suatu tingkat keterampilan yang baik terhadap masalah kesehatan serta
adanya waktu yang dimanfaatkan dalam perawatan anak akan berpengaruh langsung
terhadap kelangsungan hidup balita. Karena hubungan biologis antara ibu dan bayinya
selama masa kehamilan dan masa menyusui, kesehatan dan status gizi ibu serta pola
reproduksinya akan mempengaruhi kesehatan dan kelangsungan hidup anaknya.
Mosley, 1983 (dalam Singarimbun, 1988) mengemukan bahwa tingkat pendidikan dapat
mempengaruhi kelangsungan hidup balita melalui peningkatan keterampilan dalam
upaya perawatan kesehatan yang berkaitan dengan kontrasepsi, gizi, ilmu kesehatan,
pencegahan dan pengobatan penyakit.
Di samping pendidikan ibu, pendidikan ayah juga ikut memberi peranan dalam
menurunkan angka mortalitas balita. Mosley, 1983 (dalam Singarimbun, 1988)
menyatakan pendidikan ayah merupakan faktor yang sangat mempengaruhi aset rumah
tangga dan komoditi pasar yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Pendidikan ayah dapat
mempengaruhi sikap dan kecenderungan dalam memilih barang-barang konsumsi,
termasuk pelayanan pengobatan anak. Efek ini merupakan hal yang paling berarti untuk
kelangsungan hidup anak pada saat ayah yang lebih berpendidikan menikah dengan
wanita yang kurang berpendidikan.
Bila seseorang dikenai sesuatu penyebab penyakit atau ditulari bibit penyakit,
belum tentu akan menjadi sakit, karena masih tergantung pada beberapa hal. Salah satu
diantaranya adalah daya tahan tubuh yang tinggi baik jasmani, rohani maupun sosialnya
dapat menghindarkan manusia dari berbagai jenis penyakit. Menurut Entjang (1993)
daya tahan tubuh ini dapat dipertinggi dengan :
1. Makanan yang sehat, cukup kualitas maupun kuantitasnya
2. Vaksinasi untuk mencegah penyakit infeksi tertentu
3. Cara hidup teratur seperti bekerja, beristirahat, berekreasi dan menikmati hiburan
pada waktunya
4. Pemeliharaan pembinaan jasmani dengan olah raga secara teratur
8
2. Pendapatan Responden
Pola distribusi pendapatan responden menurut tempat tinggal juga
memperlihatkan keragaman. Sebagian besar dari responden yaitu 306 responden yang
terpilih dalam penelitian ini memiliki pendapatan antara 200000 hingga 500.000. Dari
306 responden tersebut 31,0 % bertempat tinggal di Kabupaten Parimo, Sementara 36,9
% bertempat tinggal di Kabupaten Banggai dan lainnya sebesar 32,0 % bertempat
tinggal di Kabupaten Morowali.
Sementara untuk responden yang berpendapatan 1.500.000 ke atas sebagian
besar (33,9 %) responden bertempat tinggal di Kabupaten Morowali. Disusul Kabupaten
Banggai dan Kabupaten Parimo.
Jika dilihat dari aspek pendapatan, tampak responden Kabupaten Morowali dan
Kabupaten Banggai memiliki pendapatan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
Kabupaten Parimo akan tetapi jika dilihat dari aspek cakupan iminisasi justru kabupaten
Parimo lebih tinggi tingkat cakupannya dibandingkan dengan kabupaten Morowali
maupun kabupaten Banggai. Keadaan ini memberikan gambaran bahwa pendapatan
tidak memberikan pengaruh yang berarti dalam cakupan imunisasi. Demikian pula
dengan aspek pendidikan. Hasil uji beda antara pendidikan dan cakupan imunisasi tidak
memperlihat perbedaan yang berarti.
13
untuk memberikan pemahaman terhadap ibu tentang manfaat pemberian vaksin campak
dan dampak yang ditimbulkankan.
Menurunnya cakupan imunisasi campak pada daerah riset disebabkan oleh
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang telah dijalani bayi pada saat pemberian
vaksin sebelumnya yang diduga membuat bayi kesakitan (gejala panas) dan bahkan
mengalami kematian.
Proporsi bayi responden yang telah memperoleh vaksin imunisasi polio hampir
setengah (44,6%), menunjukkan peningkatan disebabkan jadwal penerimaan vaksin
polio yang teratur oleh petugas kesehatan, selain itu pemahaman ibu tentang manfaat
dan dampak bagi bayi yang tidak menerima vaksin polio. Walaupun sekitar 40 bayi
responden (8.7%) yang belum memperoleh vaksin polio, hal tersebut menunjukkan
masih ada responden yang tidak mau membawa bayi untuk diberi vaksin imunisasi
disebabkan berbagai alasan. Variasi pada bayi responden yang telah memperoleh vaksin
polio disebabkan oleh variasi umur bayi responden yang tidak merata, seiring dengan
pemberian vaksin polio yang diberikan dalam selang waktu pemberian minimal 4
minggu.
Pemberian imunisasi pada bayi dengan menggunakan vaksin HB yang dilakukan
selama 3 kali menunjukkan variasi proporsi yang disebabkan oleh variasi umur bayi
responden. Bayi responden yang telah memperoleh vaksin imunisasi HB sudah 3 kali
mencapai 167 bayi responden (36,3%), bayi yang telah memperoleh vaksin imunisasi 1
kali mencapai 20,7%, hal ini terjadi pada bayi yang lahir dipuskesmas langsung
menerima vaksin HB dalam kurun waktu 24 jam pertama kelahiran.
Masih adanya bayi responden yang belum pernah memperoleh vaksin HB
mencapai 108 bayi responden (23,5%) menunjukkan bahwa masih ada responden yang
tidak memahami menfaat imunisasi HB.
Status vaksin yang diberikan pada imunisasi rutin pada bayi adalah Vaksin BCG
1 kali, DPT 3 kali, Polio 4 kali, campak 1 kali dan HB 3 kali. Distribusi status imunisasi
yang tidak lengkap artinya ada 357 bayi responden (77,6%) yang rata-rata baru
memperoleh imunisasi 1 hingga 11 kali. Proporsi 22,4% yang telah memperoleh vaksin
imunisasi lengkap artinya sekitar 103 bayi responden telah memperoleh 12 kali vaksin
imunisasi.
15
4. Reaksi Pada Tubuh Bayi Atau Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
Peningkatan jawaban responden yang merasakan defek pemberian vaksin
imunisasi mencapai 63,3% (291 responden dari 460 responden) dengan variasi reaksi
yang berbeda-beda diantaranya peningkatan suhu tubuh mencapai 41,5%, demam
19,6%, bekas suntikan bengkak 1,3% dan Diare 0,7%. Reaksi yang terjadi pada bayi
setelah memperoleh vaksin imunisasi merupakan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
(KIPI) berupa kejadian kesakitan, hal itu terjadi karena reaksi vaksin atau gejala yang
timbul dipicu oleh vaksin walaupun diberikan secara benar karena sifat dasar dari
vaksin tersebut.
Kejadian reaksi setelah imunisasi selain disebabkan vaksin juga faktor kebetulan
ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada masyarakat setempat dengan
karakter serupa tetapi tidak mendapat imunisasi (adanya jawaban responden gejala diare
yang merupakan faktor kebetulan), reaksi suntikan juga merupakan penyebab kejadian
ikutan pasca imunisasi misalnya rasa sakit dan bengkak.
Walaupun adanya reaksi atau kejadian ikutan pasca imunisasi tidak terlalu
berdampak secara proporsional terhadap sikap responden untuk tetap melanjutkan
imunisasi berikutnya mencapai lebih dari setengah responden (61,7%) atau sekitar 284
responden dari 460 responden, dengan alasan sebagian besar menyatakan supaya
anaknya tetap sehat dan kebal terhadap penyakit (61,1%) atau 281 responden, hal ini
menunjukkan adanya pemahaman ibu tentang manfaat dan dampak yang timbul akibat
tidak diimunisasinya bayi.
Masih adanya responden yang tidak melanjutkan imunisasi akibat reaksi pasca
imunisasi (37,2%) atau 171 responden disebabkan reaksi suntikan tidak langsung yakni
rasa takut dan kurangnya pengetahuan responden terhadap imunisasi. Gejala klinis yang
16
timbul secara cepat maupun lambat yang menyebabkan terjadinya gejala yang berat
pada bayi menyebabkan responden trauma melakukan imunisasi lanjutan.
kurang dari 1 km. Sementara mereka yang rumahnya lebih dari 4 km dari tempat
pelayanan imunisasi hanya sebesar 1,7 %.
Hasil uji beda antara jarak dengan kemungkinan imunisasi juga membuktikan
pernyataan tersebut di atas. Hasil uji beda dengan tingkat kepercayaan 5 % bahwa ada
berbedaan yang signifikan antara jarak rumah dengan keinginan imunisasi. Data hasil
penelitian ini memberikan makna bahwa dalah upaya memudahkan akses masyarakat
terhadap pusat-pusat pelayanan kesehatan di harapkan untuk membangunan sarana-
sarana kesehatan yang mudah terjangkau oleh masyarakat.
9. Aspek Pekerjaan
Salah satu informasi yang diperoleh dalam penelitian ini yang bersumber dari
ibu bayi, tentang penyebab tidak dilakukan imunisasi kepada anak mereka adalah
19
karena alasan sibuk bekerja. Pertanyaan penelitian apakah memang benar secara
kumulatif pekerjaan berpengaruh terhadap pelaksanaan imunisasi pada bayi mereka?
Data hasil penelitian memperlihatkan bahwa dilihat dari jenis pekerjaan yang
ditekuni oleh ibu rumah tangga, sebagian besar tidak bekerja atau hanya mengurus
rumah tangga, sementara sebagian lainnya bekerja sebagai pegawai negeri sipil,
ABRI/Polri, bertani, wiraswasta dan sebagainya. Dilihat dari perilaku imunisasi kepada
anak mereka, tampak tidak memperlihatkan perbedaan yang berarti. Pernyataan ini
diperkuat dengan hasil uji beda antara kecenderungan imunisasi dengan jenis pekerjaan
diperoleh Chi-Squares hitung lebih kecil jika dibandingkan dengan Chi-Squares tabel
dengan derajat bebas sebesar 4, yang memberi makna bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara jenis pekerjaan ibu bayi dengan kecenderungan mereka untuk
melakukan imunisasi pada bayi mereka.
Saran-Saran
1. Perlunya pemberian penyuluhan secara intensif kepada masyarakat tentang
pentingnya dan manfaat dari mengimunisasi anak.
2. Perlunya ketersediaan vaksin yang teratur dalam menunjang pelaksanaan imunisasi.
3. Perlunya ada ketepatan jadual untuk pelaksanaan imunisasi di setiap posyandu.
4. Perlunya pemberian penghargaan kepada petugas dan kader kesehatan desa yang
berprestasi
5. Dalam upaya meningkatkan partisipasi kader kesehatan di desa, maka disyarankan
untuk memberikan insentif kepada mereka dalam bentuk pembebasan biaya
pelayanan kesehatan baik untuk kader maupun untuk keluarganya yaitu suami/isteri
dan anak pada pelayanan kesehatan di puskesmas maupun di rumah sakit.
6. Perlunya penentuan pusat pelayanan imunisasi yang mudah terjangkau oleh ibu
bayi untuk melakukan imunisasi pada bayinya.
21
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Anonim, 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator
Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat, Departemen Kesehatan,
Jakarta.
Indah Entjang, 1993. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.