You are on page 1of 29

PRESENTASI KASUS

Seorang Wanita 32 Tahun dengan Kehamilan Ektopik Terganggu dan Infertilitas Primer

Oleh : Tegar Harputra Raya Eko Setyo Pamrikso Dewi Wulandari Christianus Arie W.W. Rizka Farah Hilma Pembimbing : Dr. Supriyadi Hari Respati, dr., Sp.OG G0005026 G0005088 G0006069 G0007006 G0007145

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA 2011 1

ABSTRAK
Tujuan : Tempat : Membahas kasus kehamilan ektopik terganggu dengan infertilitas primer. Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Bahan dan Cara Kerja : Laporan kasus, seorang wanita G1P0A0, 32 tahun, kehamilan ektpoik terganggu dengan infertilitas primer 7 tahun. Hasil : Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah. Dari pemeriksaan didapatkan perdarahan jalan lahir, slinger pain, anemia (Hb=9 mg/dl), PP test positif, dan pemeriksaan USG menyokong kehamilan ekstrauterin dengan umur kehamilan 7 +2 minggu. Dilakukan operasi laparotomi eksplorasi dan salphingektomi dekstra. Didapatkan diagnosis post operasi dengan ruptur pars ampularis tuba dekstra. Selain itu, pasien sudah menikah selama 7 tahun, tetapi belum pernah hamil dan melahirkan anak hidup. Kesimpulan : Seorang G1P0A0, 32 tahun, umur kehamilan 7+2 minggu dengan kehamilan ektopik terganggu dan infertilitas primer 7 tahun. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Kata Kunci : kehamilan ektopik terganggu, infertilitas

TINJAUAN PUSTAKA

I.

KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU (KET) A. DEFINISI Kehamilan Ektopik adalah kehamilan dengan hasil konsepsi berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uteri.1 Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) ialah kehamilan ektopik yang mengalami gangguan, dapat berupa abortus atau ruptur tuba, dan hal ini dapat berbahaya bagi wanita tersebut.2 B. KLASIFIKASI Menurut lokasinya, kehamilan ektopik dapat dibagi dalam beberapa golongan, yaitu; 1. Tuba Fallopii (95%-98% dari seluruh kehamilan ektopik), yaitu pada: - Pars interstisialis (2%) - Istmus (25%) - Ampulla (55%) - Infundibulum (1%) - Fimbria (17%) 2. Uterus, yaitu pada : - Kanalis servikalis (<1%) - Divertikulum - Kornu (1-2%) - Tanduk rudimenter 3

3. Ovarium (<1%) 4. Intraligamenter (<1%) 5. Abdominal (1-2%) - Primer - Sekunder 6. Kehamilan ektopik kombinasi (combined ectopic pregnancy).3 C. ETIOLOGI Sebagian besar etiologi kehamilan ektopik tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan angka kejadian terjadinya kehamilan ektopik. Tiap kehamilan ektopik dimulai dengan pembuahan telur di bagian ampula tuba, dan dalam perjalanan ke uterus mengalami hambatan sehingga pada saat nidasi masih di tuba, atau nidasinya di tuba dipermudah. Faktor-faktor yang mungkin sebagai penyebabnya adalah; Faktor Uterus 1. 2. Tumor rahim yang menekan tuba Uterus hipoplastis

Faktor Tuba 1. Faktor dalam lumen a. Lumen tuba menyempit karena i. ii. Endosalphingitis Operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tak sempurna

b. Pada hipoplasia uteri lumen sempit dan berlekuk-lekuk, sering disertai gangguan silia endosalphing 4

2.

Faktor dinding tuba a. Endometriosis tuba dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi dalam tuba b. Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius dapat menahan telur yang dibuahi di tempat itu

2.

Faktor di luar dinding tuba a. Perlengketan perituba dengan distorsi atau lekukan tuba dapat menghambat perjalanan telur b. Tumor yang menekan dinding tuba.

Faktor Ovum 1. Migrasi eksterna ovum, yaitu perjalanan ovum dari ovarium kanan ke tuba kiri atau sebaliknya, dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke uterus, pertumbuhan telur yang terlalu cepat menyebabkan prematur. 2. Fertilisasi Invitro.4 Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat faktor-faktor resiko yang berperan dalam kejadian kehamilan ektopik. 1. Penyakit radang panggul (PID: Pelvic Inflammatory Disease) 2. Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya 3. Riwayat pembedahan tuba ataupun sterilisasi 4. Riwayat endometriosis 5. Riwayat akseptor IUD 6. Riwayat penggunaan obat untuk induksi ovulasi.5 5

D. DIAGNOSIS Pada kehamilan ektopik belum terganggu kadang menimbulkan kesulitan diagnosis karena biasanya penderita menyampaikan keluhan yang tidak khas. Yang penting dalam pembuatan diagnosis kehamilan ektopik adalah supaya pada pemeriksaan penderita selalu waspada terhadap kemungkinan kehamilan ini. Gejala-gejala yang perlu diperhatikan adalah; a. Nyeri perut, merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu Pada kehamilan ektopik yang terganggu rasa nyeri perut bawah bertambah sering dan keras. Rasa nyeri mungkin unilateral atau bilateral pada abdomen bagian bawah atau pada seluruh abdomen, atau malahan di abdomen bagian atas. Dengan adanya hemiperitoneum , rasa nyeri akibat iritasi diafragma bisa dialami pasien. Diperkirakan bahwa serangan nyeri hebat pada ruptura kehamilan ektopik, ini disebabkan oleh darah yang mengalir ke kavum peritonei.6 b. Perdarahan. Gangguan kehamilan sedikit saja sudah dapat menimbulkan perdarahan yang berasal dari uterus. Perdarahan dapat berlangsung kontinyu dan biasanya berwarna hitam. Selama fungsi endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus biasanya tidak ditemukan, tetapi bila dukungan endokrin dari endometrium sudah tidak memadai lagi, mukosa uterus akan mengalami perdarahan. Perdarahan tersebut biasanya sedikitsedikit, berwarna coklat gelap dan dapat terputus-putus atau terus menerus. Meskipun perdarahan vaginal yang masif lebih menunjukkan kemungkinan abortus inkompletus intrauteri daripada kehamilan ektopik, tetapi perdarahan semacam ini bisa terjadi pada kehamilan tuba. c. Adanya Amenorea, amenorea sering ditemukan walau hanya pendek sebelum diikuti perdarahan, malah kadang-kadang tidak amenorea. Tidak 6

ada riwayat haid yang terlambat bukan berarti kemungkinan kehamilan tuba dapat disingkirkan. Salah satu sebabnya adalah karena pasien menganggap perdarahan pervaginam sebagai periode menstruasi yang normal, dengan demikian memberikan tanggal haid yang keliru. d. Keadaan Umum, tergantung dari banyaknya darah yang keluar dari tuba, keadaan umum ialah kurang lebih normal sampai gawat dengan syok berat dan anemia. Hb dan hematokrit perlu diperiksa pada dugaan kehamilan ektopik terganggu.1 e. Perut, pada abortus tuba terdapat nyeri tekan di perut bagian bawah di sisi uterus. Hematokel retrouterina dapat ditemukan. Pada ruptur tuba perut menegang dan nyeri tekan, dan dapat ditemukan cairan bebas dalam rongga peritoneum. Tanda Cullen dapat terlihat di sekitar pusat atau linea alba terlihat biru hitam dan lebam. Pada pemeriksaan dalam didapatkan kavum Douglas menonjol karena darah yang terkumpul di tempat tersebut. Baik pada abortus tuba maupun pada ruptur bila serviks digerakan akan terasa nyeri sekali (slinger pain). Douglas crise: nyeri pada penekanan kavum Douglas.3 E. PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Laboratorium: Pemeriksaan Hb serial setiap 1 jam menunjukkan penurunan kadar Hb, ditemukan juga adanya leukositosis. b. Tes Kehamilan: Apabila tesnya positif, itu dapat membantu diagnosis khususnya terhadap tumor-tumor adneksa yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehamilan. c. Ultrasonografi: Diagnosis pasti ialah apabila ditemukan kantung gestasi di luar uterus yang di dalamnya tampak denyut jantung janin. d. Kuldosintesis: Adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglas ada darah. Jika darah segar berwarna merah yang 7

dalam beberapa menit akan membeku; darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk, sedangkan darah tua berwarna coklat sampai hitam yang tidak membeku, atau yang berupa bekuan kecil-kecil; darah ini menunjukkan adanya hematokel retrouterina. e. Laparoskopi: Hanya digunakan sebagai alat diagnosis terakhir untuk kehamilan ektopik. Dikerjakan apabila pada pemeriksaan klinik tidak dijumpai tanda klasik dari kehamilan ektopik yang pecah, ataupun hasil kuldosintesis tidak positif. f. Dilatasi dan kuretase: Biasanya dilakukan apabila setelah amenorea terjadi perdarahan yang cukup lama tanpa ditemukan kelainan nyata di samping uterus, sehingga dipikirkan abortus inkompletus atau perdarahan uterus disfungsional. Apabila pada spesimen kuretase itu tidak dijumpai villus korealis sekalipun terdapat desidua dengan atau tanpa reaksi AriasStella pada endometriumnya, maka diagnosis kehamilan ektopik dapat ditegakkan.5

F. DIAGNOSIS DIFERENSIAL Yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis diferensial ialah: 1) Infeksi pelvik, 2) Abortus iminens atau abortus inkompletus, dan 3) Torsi kista ovarium, 4) Appendisitis. Biasanya anamnesis, gambaran klinik, dan beberapa metode pemeriksaan dapat menegakkan diagnosis kehamilan ektopik. Ruptur korpus luteum dapat menimbulkan gejala yang menyerupai kehamilan ektopik terganggu. Anamesis yang cermat mengenai siklus haid penderita dapat menduga ruptur korpus luteum. Jika keadaan mengizinkan dengan laparoskopi dapat diperoleh kepastian apa yang menyebabkan perdarahan intraperitoneal.3

G. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan kehamilan ektopik berupa pembedahan atau medikamentosa. 1. Operatif Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah

laparotomi. Namun, harus diperhatikan dan dipertimbangkan, yaitu; a. b. c. d. e. f. Kondisi Pasien saat itu Kondisi anatomik organ pelvis Keinginan penderita akan organ reproduksinya Lokasi kehamilan ektopik Kemampuan teknik pembedahan mikro operator Kemampuan teknologi fertilisasi in vitro setempat.2,3 Hasil pertimbangan tersebut menentukan apakah perlu

dilakukan salphingektomi pada kehamilan tuba, atau dapat dilakukan pembedahan konservatif dalam arti hanya dilakukan salphingostomi atau reanostomosis tuba. Apabila kondisi pasien buruk, misalnya syok, lebih baik dilakukan salphingektomi. Pada kehamilan tuba dilakukan salphingostomi, partial

salphingektomi, salphingektomi, atau salphingo-ooforektomi, dengan mempertimbangkan jumlah anak, umur, lokasi kehamilan ektopik, umur kehamilan, dan ukuran produk kehamilan.5 2. Kemoterapi 9

Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampularis yang belum pecah pernah dicoba ditangani dengan kemoterapi untuk menghindari tindakan pembedahan. Kriteria kasusnya, yaitu: a. b. c. d. Kehamilan di pars ampularis tuba belum pecah Diameter kantung gestasi < 4 cm Perdarahan dalam rongga perut kurang dari 100 ml Tanda vital baik dan stabil. Obat yang digunakan adalah methotrexate 1 mg/kg IV dan citrovorum faktor 0,1 mg/kg IM berselang-seling selama 8 hari. 4 Methotrexat merupakan antagonis asam folat (4-amino-10-methylfolic acid). Methotrexat bekerja mempengaruhi sintesis DNA dan multiplikasi sel dengan menginhibisi kerja enzim dihydrofolate reduktase, maka selanjutnya akan menghentikan proliferasi trofoblas.

H. PROGNOSIS Prognosis tergantung dari jumlah darah yang keluar, kecepatan menetapkan diagnosis, dan tindakan yang tepat. Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Prognosis juga tergantung dari cepatnya pertolongan, jika pertolongan terlambat, angka kematian dapat tinggi.

I. VARIAN-VARIAN KEHAMILAN EKTOPIK 1. Kehamilan Abdominal 10

Kebanyakan kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik sekunder akibat ruptur atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium ke dalam rongga abdomen. Implantasi primer di dalam rongga abdomen amatlah jarang. Mortalitas akibat kehamilan abdominal tujuh kali lebih tinggi daripada kehamilan tuba, dan 90 kali lebih tinggi daripada kehamila intrauterin. Morbiditas maternal dapat disebabkan perdarahan, infeksi, anemia, koagulasi intravaskular diseminata (DIC), emboli paru atau terbentuknya fistula antara kantong amnion dengan usus. Pada kehamilan abdominal yang khas, plasenta yang telah menembus dinding tuba secara bertahap membuat perlekatan baru dengan jaringan serosa di sekitarnya, namun juga mempertahankan perlekatannya dengan tuba. Pada beberapa kasus, setelah ruptur tuba plasenta mengadakan implantasi di tempat yang terpisah dari tuba dalam rongga abdomen. Kehamilan abdominal dapat juga terjadi akibat ruptur bekas insisi seksio sesaria, dan pada kasus ini kehamilan berlanjut di balik plika vesikouterina. Diagnosis kehamilan abdominal berawal dari indeks kecurigaan yang tinggi. Temuan-temuan ultrasonografik berikut, meskipun tidak patognomonis, harus segera membuat kita berpikir akan suatu kehamilan abdominal: 1) tidak tampaknya dinding uterus antara kandung kemih dengan janin, 2) plasenta terletak di luar uterus, 3) bagian-bagian janin dekat dengan dinding abdomen ibu, 4) letak janin abnormal, dan 5) tidak ada cairan amnion antara plasenta dan janin. Kehamilan abdominal pula memberikan ancaman-ancaman

kesehatan bagi si ibu. Oleh sebab itu, terminasi sedini mungkin sangat dianjurkan. Janin yang mati namun terlalu besar untuk diresorbsi dapat mengalami proses supurasi, mumifikasi atau kalsifikasi. Karena letak janin yang sangat dekat dengan traktus gastrointestinal, bakteri dengan mudah mencapai janin dan berkembang biak dengan subur. Selanjutnya, janin akan mengalami supurasi, terbentuk abses, dan abses tersebut dapat ruptur sehingga terjadi peritonitis. Bagian-bagian janin pun dapat merusak organ-organ ibu di sekitarnya. Pada satu atau dua kasus yang telah dilaporkan, janin yang mati 11

mengalami proses mumifikasi, menjadi lithopedion, dan menetap dalam rongga abdomen selama lebih dari 15 tahun. Penanganan kehamilan abdominal sangat berisiko tinggi. Penyulit utama adalah perdarahan yang disebabkan ketidakmampuan tempat implantasi plasenta untuk mengadakan vasokonstriksi seperti miometrium.4 Sebelum operasi, cairan resusitasi dan darah harus tersedia, dan pada pasien harus terpasang minimal dua jalur intravena yang cukup besar. Pengangkatan plasenta membawa masalah tersendiri pula. Plasenta boleh diangkat hanya jika pembuluh darah yang mendarahi implantasi plasenta tersebut dapat diidentifikasi dan diligasi. Karena hal tersebut tidak selalu dapat dilaksanakan, dan lepasnya plasenta sering mengakibatkan perdarahan hebat, umumnya plasenta ditinggalkan in situ. Pada sebuah laporan kasus, plasenta yang lepas sebagian terpaksa dijahit kembali karena perdarahan tidak dapat dihentikan dengan berbagai macam manuver hemostasis. Dengan ditinggalkan in situ, plasenta diharapkan mengalami regresi dalam 4 bulan.7 Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi adalah ileus, peritonitis, pembentukan abses intraabdomen dan infeksi organ-organ sekitar plasenta, serta preeklamsia persisten. Regresi plasenta dimonitor dengan pencitraan ultrasonografi dan pengukuran kadar b-hCG serum. Pemberian methotrexate untuk mempercepat involusi plasenta tidak dianjurkan, karena degradasi jaringan plasenta yang terlalu cepat akan menyebabkan akumulasi jaringan nekrotik, yang selanjutnya dapat mengakibatkan sepsis. Embolisasi per angiografi arteri-arteri yang mendarahi tempat implantasi plasenta adalah sebuah alternatif yang baik.8 2. Kehamilan Ovarium Kehamilan ektopik pada ovarium jarang terjadi. Spiegelberg merumuskan kriteria diagnosis kehamilan ovarium: 1) tuba pada sisi ipsilateral harus utuh, 2) kantong gestasi harus menempati posisi ovarium, 3) ovarium dan uterus harus berhubungan melalui ligamentum ovarii, dan 4) jaringan ovarium harus ditemukan dalam dinding kantong gestasi. Secara umum faktor risiko kehamilan ovarium sama dengan faktor risiko kehamilan tuba. Meskipun daya 12

akomodasi ovarium terhadap kehamilan lebih besar daripada daya akomodasi tuba, kehamilan ovarium umumnya mengalami ruptur pada tahap awal. Manifestasi klinik kehamilan ovarium menyerupai manifestasi klinik kehamilan tuba atau perdarahan korpus luteum. Umumnya kehamilan ovarium pada awalnya dicurigai sebagai kista korpus luteum atau perdarahan korpus luteum. Kehamilan ovarium terganggu ditangani dengan pembedahan yang sering kali mencakup ovariektomi. Bila hasil konsepsi masih kecil, maka reseksi parsial ovarium masih mungkin dilakukan. Methotrexate dapat pula digunakan untuk terminasi kehamilan ovarium yang belum terganggu.3 3. Kehamilan Serviks Kehamilan serviks juga merupakan varian kehamilan ektopik yang cukup jarang. Etiologinya masih belum jelas, namun beberapa kemungkinan telah diajukan. Burg mengatakan bahwa kehamilan serviks disebabkan transpor zigot yang terlalu cepat, yang disertai oleh belum siapnya endometrium untuk implantasi. Dikatakan pula bahwa instrumentasi dan kuretase mengakibatkan kerusakan endometrium sehingga endometrium tidak lagi menjadi tempat nidasi yang baik. Sebuah pengamatan pada 5 kasus kehamilan serviks mengindikasikan adanya hubungan antara kehamilan serviks dengan kuretase traumatik dan penggunaan IUD pada sindroma Asherman.9 Kehamilan serviks juga berhubungan dengan fertilisasi in-vitro dan transfer embrio. Pada kehamilan serviks, endoserviks tererosi oleh trofoblas dan kehamilan berkembang dalam jaringan fibrosa dinding serviks. Lamanya kehamilan tergantung pada tempat nidasi. Semakin tinggi tempat nidasi di kanalis servikalis, semakin besar kemungkinan janin dapat tumbuh dan semakin besar pula tendensi perdarahan hebat. Perdarahan per vaginam tanpa rasa sakit dijumpai pada 90% kasus, dan sepertiganya mengalami perdarahan hebat. Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu. Prinsip dasar penanganan kehamilan serviks, seperti kehamilan ektopik lainnya, adalah evakuasi. Karena kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu, umumnya hasil konsepsi masih kecil dan dievakuasi dengan kuretase. Namun 13

evakuasi hasil konsepsi pada kehamilan serviks sering kali mengakibatkan perdarahan hebat karena serviks mengandung sedikit jaringan otot dan tidak mampu berkontraksi seperti miometrium. Bila perdarahan tidak terkontrol, sering kali histerektomi harus dilakukan. Hal ini menjadi dilema, terutama bila pasien ingin mempertahankan kemampuan reproduksinya. Beberapa metodemetode nonradikal yang digunakan sebagai alternatif histerektomi antara lain pemasangan kateter Foley, ligasi arteri hipogastrika dan cabang desendens arteri uterina, embolisasi arteri dan terapi medis. Kateter Foley dipasang pada kanalis servikalis segera setelah kuretase, dan balon kateter segera dikembangkan untuk mengkompresi sumber perdarahan. Selanjutnya vagina ditampon dengan kasa. Beberapa pakar mengusulkan penjahitan serviks pada jam 3 dan 9 untuk tujuan hemostasis (hemostatic suture) sebelum dilakukan kuretase. Embolisasi angiografik arteri uterina adalah teknik yang belakangan ini dikembangkan dan memberikan hasil yang baik, seperti pada sebuah laporan kasus kehamilan serviks di Italia.2,4 Sebelum kuretase dilakukan, arteri uterina diembolisasi dengan fibrin, gel atau kolagen dengan bantuan angiografi. Pada kasus tersebut, perdarahan yang terjadi saat dan setelah kuretase tidak signifikan. Seperti pada kehamilan tuba, methotrexate pun digunakan untuk terminasi kehamilan serviks. Methotrexate adalah modalitas terapeutik yang pertama kali digunakan setelah diagnosis kehamilan serviks ditegakkan. Namun pada umumnya methotrexate hanya memberikan hasil yang baik bila usia gestasi belum melewati 12 minggu. Methotrexate dapat diberikan secara intramuskular, intraarterial maupun intraamnion.10

II. INFERTILITAS A. DEFINISI Fertilitas ialah kemampuan seorang istri untuk menjadi hamil dan melahirkan anak hidup oleh suami yang mampu menghamilkannya. Disebut infertilitas primer jika seorang istri belum mampu hamil walaupun 14

bersenggama dan dihadapkan pada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan. Disebut infertilitas sekunder jika seorang istri pernah mengalami hamil, tetapi kemudian tidak terjadi lagi kehamilan walaupun bersenggama dan dihadapkan pada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan.11 B. BEBERAPA PENYEBAB INFERTILITAS Banyak faktor yang menyebabkan mengapa seorang wanita tidak bisa atau sukar menjadi hamil setelah kehidupan seksual normal yang cukup lama. Di antara faktor-faktor tersebut yaitu faktor organik/fisiologik, faktor ketidakseimbangan jiwa dan kecemasan berlebihan. Dimic dkk di Yugoslavia mendapatkan 554 kasus (81,6%) dari 678 kasus pasangan infertil disebabkan oleh kelainan organik, dan 124 kasus (18,4%) disebabkan oleh faktor psikologik. Ingerslev dalam penelitiannya mengelompokkan penyebab infertilitas menjadi 5 kelompok yaitu faktor anatomi, endokrin, suami, kombinasi, dan tidak diketahui (unexplained infertility).12,13 Sumapraja membagi masalah infertilitas dalam beberapa kelompok yaitu air mani, masalah vagina, masalah serviks, masalah uterus, masalah tuba, masalah ovarium, dan masalah peritoneum. 1. Masalah air mani, meliputi karakteristiknya yang terdiri dari koagulasinya dan likuefasi, viskositas, rupa dan bau, volume, pH dan adanya fruktosa dalam air mani. Pemeriksaan mikroskopis spermatozoa dan uji ketidakcocokan imunologi dimasukkan juga ke dalam masalah air mani. 2. Masalah vagina, kemungkinan adanya sumbatan atau peradangan yang mengurangi kemampuan menyampaikan air mani ke dalam vagina sekitar serviks. Masalah serviks meliputi keadaan anatomi serviks, bentuk kanalis servikalis sendiri dan keadaan lendir serviks. Uji pascasenggama merupakan test yang erat berhubungan dengan faktor serviks dan imunologi. 3. Masalah uterus, meliputi kontraksi uterus, adanya distorsi kavum uteri karena sinekia, mioma atau polip, peradangan endometrium. Masalah uterus ini mengganggu dalam hal implantasi, pertumbuhan intra uterin, dan nutrisi serta oksigenasi janin. Pemeriksaan untuk masalah uterus ini meliputi 15

biopsi endometrium, histerosalphingografi, dan histeroskopi. Masalah tuba merupakan yang paling sering ditemukan (25-50%). Penilaian patensi tuba merupakan salah satu pemeriksaan terpenting dalam pengelolhan infertilitas. 4. Masalah ovarium, meliputi ada tidaknya ovulasi, dan fungsi korpus luteum. Fungsi hormonal berhubungan dengan masalah ovarium, ini yang dapat dinilai antara lain perubahan lendir serviks, suhu basal badan, pemeriksaan hormonal dan biopsi endometrium.14 5. Masalah imunologi, biasanya dibahas bersama-sama masalah lainnya yaitu masalah serviks dan masalah air mani karena memang kedua faktor ini erat hubungannya dengan mekanisme imunologi.12,14 C. Diagnosis 1. Syarat Pemeriksaan Pasangan Infertil a. Istri yang berusia 20-30 tahun baru akan diperiksa setelah berusaha untuk mendapatkan anak selama 12 bulan. Pemeriksaan dapat dilakukan lebih dini apabila; 1) Pernah mengalami keguguran berulang 2) Diketahui mengidap kelainan endokrin 3) Pernah mengalami infeksi rongga panggul ataupun rongga perut 4) Pernah mengalami bedah ginekologik b. Istri yang berusia 31-35 tahun dapat diperiksa pada kesempatan pertama pasangan itu datang ke dokter. c. Istri pasangan infertil yang berumur antara 36-40 tahun hanya dilakukan pemeriksaan infertilitas dari perkawinan ini. d. Pemeriksaan infertilitas tidak dilakukan pada pasangan infertil yang salah satu anggota pasangannya mengidap penyakit yang dapat membahayakan kesehatan pasangan atau anaknya. 2. Pemeriksaan masalah infertilitas a. Pemeriksaan air mani b. Pemeriksaan vagina c. Pemeriksaan serviks 16

d. Pemeriksaan uterus e. Pemeriksaan tuba f. Pemeriksaan ovarium g. Pemeriksaan peritoneum 3. Rencana dan jadwal pemeriksaan.11 Tabel Rencana pemeriksaan pasangan infertil dalam 3 siklus haid istri11
Siklus haid Hari siklus haid Kunjungan ke dokter Wawancara Analisis mani Lab. Rutin Periksa dalam Nasehat senggama Konsultasi urologi Suhu basal badan Uji lendir servik Uji pascasenggama Sitologi vagina Biopsi endometrium Pertubasi Histerosalphingo grafi Laparoskopi/ histeroskopi Pertama 14 21 28 Kedua 14 21 Ketiga 14 21

28

28

D. Penanganan Infertilitas Penanganan masalah infertilitas disesuaikan dengan penyebabnya, berikut adalah beberapa penanganan infertilitas berdasarkan penyebabnya;

17

1. 2. 3. 4. spermatogenesis 5. 6. 7.

Air mani yang abnormal maka penanganannya adalah dengan penyesuaian coitus dengan masa subur istri Bila terdapat varikokele ataupun sumbatan vas deferens, penanganannya dengan tindakan bedah Infeksi genitalia diatasi dengan pemberian antibiotik Defisiensi gonadotropin dilakukan pengobatan hormonal dengan pemberian HCG dan FSH untuk merangsang Hiperprolaktinemia dopamin agonis 2-bromo-alfa-ergo-kriptin Adanya Mioma uteri , dilakukan myomektomi . Tuba yang tersumbat, dicari dulu penyebabnya apabila penyebabnya adalah infeksi , maka sumber infeksi harus dihilangkan dulu dengan antibiotik, bila perlu dilakukan pembedahan. diatasi dengan pemberian

8.

Endometriosis, terapinya dengan menunggu sampai terjadi kehamilan spontan, pengobatan hormonal dengan pil KB yang berkhasiat progestasional seperti noretinodrel 5 mg + mestranol 75 mcg ataupun tindakan pembedahan.

9. E. Prognosis

Induksi ovulasi dengan klomifen sitrat.11

Prognosis terjadinya kehamilan bergantung pada; 1. Umur suami, fertilitas maksimal pria dicapai pada umur 24-25 2. Umur istri, fertilitas maksimal wanita dicapai pada umur 24 tahun 3. Frekuensi senggama 4. Lamanya perkawinan.11

18

STATUS PENDERITA

A.

ANAMNESIS Tanggal 25 April 2011 jam 15.20 WIB 1. Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Agama Pendidikan Alamat Status Perkawinan HPMT HPL UK Tanggal Masuk No.CM Berat badan Tinggi Badan 2. Identitas Penderita : Ny. S : 32 tahun : Perempuan : Swasta : Islam : SD : Kedungwinong, RT 03/02, Nguter, Sukoharjo : Kawin 1 kali dengan suami 7 tahun : 5 Maret 2011 : 22 Desember 2011 : 7+2 minggu : 25 April 2011 : 01063161 : 55 Kg : 153 cm

Keluhan Utama

Nyeri perut sebelah kanan bawah. 3. Riwayat Penyakit Sekarang 19

Datang seorang G1P0A0, 32 tahun, kiriman RSU Sukoharjo dengan keterangan kehamilan intra tuba. Pasien tidak mengetahui bahwa dirinya hamil. Pasien merasakan nyeri pada perut sebelah kanan bawah yang menjalar sampai dengan punggung, perdarahan jalan lahir (+), tidak mrongkol-mrongkol, BAB & BAK dalam batas normal. Kemudian pasien memeriksakan diri ke RSU Sukoharjo kemudian diberi infus dan disuntik. Pasien kemudian dirujuk ke RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

4.

Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat sesak nafas Riwayat Hipertensi Riwayat Penyakit Jantung Riwayat DM Riwayat Asma Riwayat Alergi Obat/makanan : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal

Riwayat Minum Obat Selama Hamil : Disangkal 5. Riwayat operasi Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat Mondok Riwayat Hipertensi Riwayat Penyakit Jantung Riwayat DM Riwayat Asma Riwayat Alergi Obat/makanan 20 : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal

6. Jelek. 7. 8. 9. 10. tahun. 11. (-) B.

Riwayat Fertilitas Riwayat Obstetri Riwayat Ante Natal Care (ANC) Riwayat Haid Menarche Lama menstruasi Siklus menstruasi Riwayat Perkawinan : 13 tahun : 6-7 hari : 28-30 hari

Belum dapat dievaluasi (kehamilan pertama: sekarang) Belum pernah periksa.

Menikah 1 kali, sudah berlangsung 7 tahun, saat pasien berumur 25 Riwayat Keluarga Berencana

PEMERIKSAAN FISIK 1. Status Interna : Sedang, CM, Gizi kesan cukup : : 100/70 mmHg : 96 x/menit - RR - Suhu : : 22 36,8 Keadaan Umum Tanda Vital - Tensi x/menit - Nadi
0

C : Mesocephal : Conjuctiva anemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-) : Tonsil tidak membesar, Pharinx hiperemis (-) : Pembesaran kelenjar tiroid (-) : : IC tidak tampak : IC tidak kuat angkat 21

Kepala Mata THT Leher Cor Inspeksi Palpasi

Perkusi Pulmo : Inspeksi Palpasi Perkusi

: Batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler,bising (-) : Pengembangan dada ka = ki : Fremitus raba dada ka = ki : Sonor/Sonor

Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Ronki basah kasar (-/-) Abdomen: Inspeksi : Dinding perut // dinding dada Palpasi Perkusi : Supel, NT (+) bagian kanan bawah, massa : Tympani pada bawah processus (-), Mc burney sign (-) xiphoideus, redup pada daerah uterus Auskultasi : Peristaltik (+) normal Genital Ekstremitas : Lendir darah (+), air ketuban (-) : Oedema -

Akral dingin -

2.

Status Obstetri a. Inspekulo Vulva / uretra tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio utuh, OUE tertutup, darah (+), discharge (-), cavum Douglasi menonjol. 22

Pemeriksaan Dalam

b. VT (Vaginal Toucher) Vulva/uretra tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio lunak, OUE tertutup, corpus uteri sebesar telur bebek, Slinger pain (+), cavum Douglasi menonjol.

C.

PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Laboratorium Darah tanggal 25 April 2011 : Hemoglobin Hematokrit Antal Eritrosit Antal Leukosit Antal Trombosit Golongan Darah GDS Ureum Creatinin Na+ K+ Ion klorida HbS Ag PP Test PT APTT : 9 gr/dl : 28,8 % : 2,64 x 103/uL : 6,7 x 103/uL : 335 x 103/uL :B : 112 mg/dL : 13 mg/dL : 0,6 mg/dL : 141 mmol/L : 3,3 mmol/L : 107 mmol/L : negatif : positif : 13,7 detik : 32 detik

2.

Ultrasonografi (USG) tanggal 25 April 2011 : Vesica urinaria terisi cukup, tampak uterus ukuran 8x6x3 cm3, endometrium line (+), tampak gambaran hipoekhoik di adnexa kanan

23

berbatas tegas, kesan gestational sac ukuran 2,5 cm, tidak tampak fetal pole, tampak gambaran hematokel retrouterin. Kesimpulan : menyokong kehamilan ekstra uterin dengan umur kehamilan 7+2 minggu. D. KESIMPULAN Seorang G1P0A0, 32 tahun, UK 7+2 minggu, riwayat fertilitas jelek, riwayat obstetrik kehamilan pertama, vulva/uretra tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio utuh, OUE tertutup, darah (+), discharge (-), cavum Douglasi menonjol, Corpus uteri sebesar telur bebek, Slinger pain (+), terdapat hematokel retrouterin. E. DIAGNOSIS AWAL Kehamilan ektopik terganggu dengan infertilitas primer 7 tahun. F. PROGNOSIS Buruk G. TERAPI a. b. c. H. LAPORAN OPERASI Laparotomi eksplorasi emergency dilakukan pada 25 April 2011 dan dilakukan salphingectomi dekstra. Diagnosis post operasi: ruptur pars ampularis tuba dekstra. I. DIAGNOSIS AKHIR Ruptur pars ampularis tuba dekstra dengan riwayat infertil primer 7 tahun. J. FOLLOW UP Follow up tanggal 26 April 2011 24 Usul laparotomi eksplorasi emergency Konsul anestesi KIE keluarga

Kel KU VS Mata Thorax Genital

: nyeri di bekas operasi : sedang, CM, gizi kesan cukup : T: 100/80 mmHg N: 104 x/ menit : CA (-/-), SI (-/-) : cor/pulmo dbn : perdarahan (-), discharge (-) tuba dekstra dengan riwayat infertil primer 7 tahun DPH I Rr: 20 x/ menit t: 36,50C

Abdomen : supel, NT (+), luka bekas operasi tertutup verband Diagnosis : post laparotomi eksplorasi emergency pada ruptur pars ampularis Terapi : Awasi KU/VS Puasa s/d peristaltik (+) Balance cairan Cek Hb (bila Hb < 10 g/dl transfusi PRC) Infus RL 20 tpm Injeksi Cefotaxim 1 g/12 jam (iv) Injeksi Metronidazole 500 mg/8 jam (iv) Injeksi Alinamin F 1 ampul/8 jam (iv) Injeksi Vitamin C 1 ampul/12 jam (iv) Injeksi Vitamin B complex 2 cc/24 jam (im) Injeksi Asam traneksamat 1 ampul/8 jam Injeksi Antalgin 1 ampul/8 jam (iv) Follow up tanggal 27 April 2011 Kel KU VS Mata :: sedang, CM, gizi kesan cukup : T: 100/70 mmHg N: 100 x/ menit : CA (-/-), SI (-/-) 25 Rr: 20 x/ menit t: 36,20C

Thorax Genital

: cor/pulmo dbn : perdarahan (-), discharge (-) dan riwayat infertil primer 7 tahun DPH II

Abdomen : supel, NT (-), luka bekas operasi tertutup verband Diagnosis : post laparotomi eksplorasi pada ruptur pars ampularis tuba dekstra Terapi : Awasi KU/VS Infus RL 20 tpm Injeksi Cefotaxim 1 g/12 jam (iv) Injeksi Metronidazole 500 mg/8 jam (iv) Injeksi Alinamin F 1 ampul/8 jam (iv) Injeksi Vitamin C 1 ampul/12 jam (iv) Injeksi Vitamin B complex 2 cc/24 jam (im) Medikasi

Follow up tanggal 28 April 2011 Kel KU VS Mata Thorax Genital :: sedang, CM, gizi kesan cukup : T : 120/80 mmHg N : 76 x/ menit : CA (-/-), SI (-/-) : cor/pulmo dbn : perdarahan (-), discharge (-) dekstra dan riwayat infertil primer 7 tahun tahun DPH III Terapi : Awasi KU/VS Cefadroxil 2 x 500 mg - diet lunak 26 - medikasi Ferofort 2 x 1 tab Rr : 20 x/ menit t : 36,70C

Abdomen : supel, NT (-), luka bekas operasi tertutup verband Diagnosis : post laparotomi eksplorasi pada ruptur pars ampularis tuba

Asam mefenamat 3 x 1 tab Metronidazole 3 x 500 mg Vitamin C 3 x 100 mg

- mobilisasi

ANALISIS KASUS Pasien adalah seorang G1P0A0, 32 tahun, mengeluhkan nyeri perut kanan bawah yang menjalar sampai ke punggung. Dari keluhan ini harus dipikirkan diagnosis yang mungkin tegak di antaranya adalah kehamilan ektopik terganggu dan apendisitis akut. Hal ini karena terdapat sejumlah kelainan pada areal tersebut yang memberikan gejala yang sama. Pada pasien ini diagnosis mengarah pada KET karena beberapa hal, yaitu mengenai wanita, dari pemeriksaan didapatkan perdarahan jalan lahir, slinger pain, anemia (Hb=9 mg/dl), PP test positif, dan pemeriksaan USG didapatkan hematokel retrouterin dan menyokong kehamilan ekstrauterin dengan umur kehamilan 7+2 minggu. Pada pasien ini didapatkan nilai Hb=9 gr/dl, Hct=28,8 %, dan AE=2,64.103 /ul yang menindikasikan adanya perdarahan akut. Untuk menilai KET seharusnya diikuti pemeriksaan Hb serial setiap jam untuk memantau beratnya perdarahan. Karena dikhawatirkan pasien jatuh pada kondisi syok, maka dilakukan operasi laparatomi eksplorasi emergency sebagai terapi maupun diagnosis pasti. Setelah dilakukan operasi didapatkan diagnosis post operasi sebagai ruptur pars ampularis tuba dekstra. Pasien ini juga didiagnosis mengalami infertilitas primer. Pasien telah menikah selama 7 tahun dan belum pernah hamil dan melahirkan anak hidup. Untuk mencari penyebab pasti infertilitas maka harus dilakukan pemeriksaan 27

secara runtut seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sehingga penatalaksanaan disesuaikan dengan penyebabnya. Pada pasien ini pemeriksaan terhadap infertilitasnya tidak dilakukan karena pasien datang ke Rumah sakit tidak mengeluhkan infertilitasnya. Prognosis infertilitas pada pasien ini dubia. Menurut Jones and Pourmand (1962) pasangan yang telah dihadapkan pada kemungkinan kehamilan selama tiga tahun atau kurang dapat mengharapkan angka kehamilan sebesar 50% sedangkan yang lebih dari lima tahun menurun menjadi 30%. Namun, dengan kemajuan teknologi di bidang ginekologi, maka kemungkinan pasangan ini mempunyai anak masih ada.

DAFTAR PUSTAKA 1. Cunningham, F. Gary; Lenovo, Kenneth J.; Bloom, Steven L.; Hauth, John C.; Gilstrap III, Larry C.; Wenstrom Katherine D. Williams Obstetrics. Edisi 22. New York: McGraw Hill Company. 2005. 2. Mochtar, Rustam. Kelainan Letak Kehamilan (Kehamilan Ektopik). Sinopsis Obstetri Edisi Ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp.226-237 3. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kandungan Edisi Ke-2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. 1997. pp.250-260 4. Prawirodiharjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan Edisi Ke-2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. 1999. pp.323-237 5. Daiter E., Edison. N.J. Ectopic pregnancy. 1999. Available from: www.drdaiter.com/hyst_ecto?ectorable.html 6. Chalik, TMA. Hemoragi Utama Obstetri dan Ginekologi Edisi ke 1. Jakarta: Widya Medika. 1998. pp. 63-107 7. Clinical Practice Guidelines: Ectopic Pregnancy. Royal Womens Hospital. Available at: www.rwh.org.au 8. Lozeau AM, Potter B. Diagnosis and Management of Ectopic Pregnancy. American Academy of Family Physician. 2005. 72(9):1707-1714 9. Yusrawati, Salim A. Kehamilan Ektopik di Fetomaternal Obstetri Ginekologi RSUPNCM/ FKUI Jakarta dalam Makalah Bebas Kongres Obstetri dan Ginekologi Indonesia XII. KOGI. 2003 10. Sepilian V. Ectopic Pregnancy. Available at: www.emedicine.com 28

11. Winkjosastro, Hanifa. Infertilitas. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2007. pp. 496-533 12. Sumapraja S. Infertilitas. Ilmu kandungan Prawiroharjo S. Cetakan kelima. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prwirohardjo. 1991. pp.426463 13. Ingerslev M. Clinical findings in infertile women with circulating antibodies against spermatozoa. Fertil Steril. 1980; 33: 514-520 14. Sumapraja S. Pemeriksaan pasangan infertil. Manual infertilitas. Jakarta : Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 1985. pp. 1-44

29

You might also like