You are on page 1of 624

Kisah Klan Otori IV Page 1 KISAH KLAN OTORI IV: THE HARSH CRY OF THE HERON By Lian Hearn

Kisah Klan Otori IV Page 2 KISAH KLAN OTORI: THE HARSH CRY OF THE HERON Copyrigth@Lian Hearn Associates Pty Ltd 2006 All rights reserved Hak terjemahan ada pada Penerbit Matahati Diterbitkan oleh Penerbit Matahati Judul asli: TALES OF THE OTORI: The Harsh Cry of the Heron by Lian Hearn Simbol Klan oleh Claire Aher Terjemah Tales of the Heiki adalah dari Helen Craig McCullough, dan diterbitkan oleh Stanford University Press, 1988

Dentang genta Gion Shoja mengumandangkan ketidakabadian segalanya. Warna bunga sala mengungkapkan kebenaran bahwa kemakmuran akan mengalami kemunduran. Keangkuhan tak akan bertahan lama, layaknya mimpi di malam musim semi Kekuasaan pada akhirnya akan jatuh, layaknya debu yang tertiup angin. THE TALE OF THE HEIKI entang genta Gion Shoja mengumandangkan ketidakabadian segalanya. Warna bunga sala mengungkapkan kebenaran bahwa kemakmuran akan mengalami kemunduran. Keangkuhan tak akan bertahan lama, layaknya mimpi di malam musim semi Kekuasaan pada akhirnya akan jatuh, layaknya debu yang tertiup angin. THE TALE OF THE HEIKI Kisah Klan Otori IV Page 3

Kisah Klan Otori IV Page 4 THE HARSH CRY OF THE HERON TOKOH UTAMA : Otori Takco penguasa Tiga Negara Otori Kaede istrinya Shigeko putri sulung mereka, pewaris Maruyama Maya putri Kembar mereka Miki Arai Zenko pemimpin Klan Arai, penguasa Kumomoto Arai Hana istrinya, adik Kaede Sunaomi dan Chikara anak mereka MutoKenji ketua keluarga Muto dan Tribe Muro Shizuka pengganti dan keponakan Kenji, ibu dari Zenko dan Taku Muto Taku mata-mata Takeo Sada anggota Tribe sahabat Maya Mai adik dari Sada Yuki (Yusetyu) putri Kenji, ibu dari Hisao Muto Yasu pedagang Imai Bunta informan Shizuka Tabib Ishida suami Shizuka, tabibnya Takco Sugita Hiroshi pengawal senior Maruyama Miyoshi Kahei panglima perang Takeo,penguasa Yamagata Miyoshi Gemba saudaranya Sonoda Mitsuru penguasa Inuyama Matsuda Shingen Kepala biara Terayama Kubo Makoto (Eiken) penggantinya,sahabat Takeo Minoru jurutulis Takeo Kurado Junpei Kurado Shinsaku pengawal Takeo Terada Fumio pemimpin angkatan laut Lord Kono putra Lord Fujiwara Saga Hideki jenderal Kaisar Don Joao orang asing, pedagang Don Carlo orang asing, pendeta Madaren penerjemah mereka Kikuta Akio ketua keluarga Kikuta Kikuta Hisao anaknya Kikuta Gosaburo paman Akio

KUDDAA :: Tenba kuda hitam pemberian Shigeko untuk Taeko Dua anak Raku, surai dan ekor mereka berwarna abuabu Ryume kuda tunggangan Taku Keri kuda tunggangan Hiroshi Ashiege kuda tunggangan Shigeko Kisah Klan Otori IV Page 5

"Cepat kemari! Ayah dan Ibu sedang bertarung!" Otori Takeo mendengar putrinya memanggil adik-adik-nya dari kediaman mereka di kastil Inuyama, dengan cara yang sama ia mendengarkan semua hiruk-pikuk baik di dalam kastil dan juga dari kota di luar kastil. Namun dia mengabaikan suara-suara itu, sama seperti ia mengabaikan nyanyian yang mengalun dari nightingale floor di bawah kakinya. Ia hanya berkonsentrasi pada lawannya: Kaede, istrinya. Mereka bertarung menggunakan tongkat: ia memang lebih tinggi, tapi istrinya terlahir kidal dan mampu menggunakan tangan kanan dengan sama baiknya. Sementara jari tangan kanannya putus karena tebasan belati bertahun-tahun lalu dan harus belajar menggunakan tangan kiri. Saat ini hari terakhir di tahun ini, hawa dingin menusuk, langit pucat kelabu, matahari musim dingin meredup. Mereka sering berlatih dengan cara ini di musim dingin: menghangatkan tubuh dan membuat sendi-sendi tetap lentur, dan Kaede suka putri-putrinya melihat baga imana perempuan mampu bertarung layaknya laki-laki. Ketiga putri mereka berlarian: Shigeko, si sulung. yang akan berusia lima belas lahun pada tahun baru ini, kedua adiknya tiga belas tahun. Papan lantai melantunkan nyanyian di bawah langk ah kaki Shigeko, tapi si kembar menjejakkan kaki mereka begitu ringan dengan cara Tribe. Mereka sudah sering berlarian melintasi nightingale floor sejak kecil, dan tanpa menyadari be lajar untuk membuatnya tidak bersuara. Kepala Kaede ditutupi selendang sutra merah yang dililitkan menutupi wajahnya, m aka Takeo hanya bisa melihat matanya. Mata yang penuh dengan energi bertarung, dan gerakan-gerak annya masih cepat serta kuat. Sulit dipercaya Kaede adalah ibu dari tiga anak: dia masih ber gerak dengan kekuatan dan kebebasan seorang gadis. Serangannya membuat Takeo menyadari akan u sia dan kelemahan fisiknya. Hentakan serangan Kaede pada tongkat miliknya membuat tangann ya terasa nyeri. "Aku mengaku kalah," ujar Takeo. "Ibu menang!" seru ketiga putrinya dengan bangga. Shigeko lari menghampiri ibuny a dengan membawa handuk. "Untuk sang pemenang," ujarnya seraya membungkuk dan menyodorkan handuk dengan dua tangan. "Kita harus bersyukur karena hidup dalam damai," tutur Kaede, seraya tersenyum d an menyeka wajahnya. "Ayah kalian belajar keahlian berdiplomasi dan tak perlu lagi bertarung mempertaruhkan nyawanya!"

"Setidaknya kini aku sudah mendapat peringatan!" sahut Takeo, memberi isyarat pa da salah satu penjaga, yang tengah menyaksikan dari taman untuk mengambil longkatnya. Kisah Klan Otori IV Page 6

"Ijinkan kami bertarung melawan Ayah!" ujar Miki, si bungsu, dengan nada memohon. Dia berjalaIjinkan kami bertarung melawan Ayah!" ujar Miki, si bungsu, dengan n ada memohon. Dia berjalan ke tepian beranda dan mengacungkan kepalan tangan ke arah ayahnya. Takeo berhatihati untuk tidak menatap langsung mata atau menyentuh putrinya itu selagi memberikan tongka tnya. Takeo sadar akan rasa enggan dalam dirinya. Bahkan orang dewasa dan prajurit tan gguh sekalipun, takut pada si kembar bahkan, batinnya dengan hati pilu, ibunya sendiri juga takut . "Ayah ingin lihat apa saja yang telah dipelajari Shigeko," sahutnya. "Kalian ber dua boleh menjajal kebolehannya." Selama beberapa tahun putri sulungnya menghabiskan sebagian besar waktu di Teray ama, di bawah pengawasan mantan Kepala Biara, Matsuda Shingen, mantan guru Takeo, untuk mempel ajari Ajaran Houou. Shigeko tiba di Inuyama sehari sebelumnya, untuk merayakan Tahun Baru ber sama keluarganya, juga perayaan memasuki usia akil balik. Kini Takeo memerhatikan putri nya selagi mengambil tongkat yang tadi digunakannya serta meyakinkan kalau Miki menggunakan tongkat yang lebih ringan. Secara fisik, Shigeko mirip ibunya: bentuk tubuh ramping yang sama serta kerapuhan yang jelas terlihat, namun memiliki karakter, berpengetahuan luas berkat latihan dan pengalaman, periang serta tegas dan tidak mudah berubah pendirian. Ajaran Houou amat keras d alam pengajarannya, dan guru-gurunya tidak membuat pengecualian untuk usia dan jenis kelamin, namun ia tetap menerima ajaran dan latihan yang diberikan, hari-hari panjang dalam kes endirian serta kcsunyian, dengan sepenuh hati. Dia ke Terayama atas kemnuannya sendiri, karena Ajaran Houou merupakan ajaran jalan kedamaian, dan sejak kecil Shigeko telah diajarkan ayahny a tentang pandangan untuk mewujudkan wilayah yang damai tempat kekcrasan tak pernah meraja lela. Cara bertarungnya agak berbeda dari cara yang diajarkan kepada Takeo, dan dia sa ngat suka memerhatikan putrinya itu, menikmati bagaimana gerakan-gerakan tradisional menye rang diubah menjadi gerakan beladiri, dengan tujuan melemahkan lawan tanpa menyakiti. "Jangan curang," kata Shigeko pada Miki, karena si kembar memiliki semua kemampu an Tribe bahkan lebih, Takeo curiga. Saat ini, kemampuan mereka berkembang pesat, dan mesk ipun dilarang

menggunakannya dalam kehidupan seharihari, terkadang godaan untuk mempermainkan gu ruguru serta mengelabui para pelayan sulit untuk dibendung. "Mengapa aku tidak boleh memperlihatkan apa yang sudah kupelajari?" tanya Miki, karena dia juga baru kembali dari pelatihan di desa Tribe bersama keluarga Muto. Kakaknya Maya aka n kembali ke sana setelah perayaan. Akhir-akhir ini jarang sekali seluruh anggota keluarga bi sa berkumpul bersama: pendidikan yang berbeda bagi tiap anak, tuntutan pada orangtua untuk me mberi perhatian yang sama besarnya untuk seluruh Tiga Negara berarti perjalanan tanpa henti sert a sering berjauhan. Tuntutan dalam pemerintahan kian meningkat: perundingan dengan orang asing; penj elajahan dan perdagangan; pengembangan persenjataan; pengawasan distrik lokal yang mengatur se ndiri administrasinya; percobaan pertanian; impor perajin asing dan teknologi baru; pe ngadilan untuk mendengarkan keluhan serta ketidakpuasan. Takeo dan Kaede memikul beban ini bers ama. Kaede lebih banyak menangani wilayah Barat, sedang Takeo Negara Tengah dan keduanya be kerjasama menangani wilayah timur, tempat adik Kaede, Ai beserta suaminya, Sonoda Mitsuru, memegang bekas wilayah Tohan. Miki setengah kepala lebih pendek dari kakaknya, tapi sangat kuat dan cepat; Shi geko tampak nyaris tak mampu mengimbangi gerakannya, tapi adiknya tak mampu menembus pertahanannya. Dala m beberapa saat Miki sudah kehilangan tongkatnya, yang tampak seperti terbang mela yang dari jemarinya, dan sewaktu tongkat itu membumbung tinggi Shigeko menangkapnya dengan mudah. "Kau curang!" Miki terengah-engah. "Lord Gemba yang mengajari," sahut Shigeko dengan bangga. Adik kembarnya yang satu lagi, Maya, mengambil giliran selanjutnya juga kalah de ngan cara yang sama. Shigeko berkata, pipinya bersemu merah, "Ayah, ayo bertarung denganku!" "Baiklah," Takeo setuju karena terkesan dengan apa yang telah dipelajari putriny a dan ingin tahu sampai di mana kemampuannya menghadapi ksatria yang terlatih. Takeo menyerang putrinya dengan cepat, tanpa menahan tenaga, dan serangan pertam a Kisah Klan Otori IV Page 7

mengejutkan gadis itu. Tongkat ayahnya mengenai dadanya; Takco menahan tikamanny a agar tidak menyakiti putrinya. engejutkan gadis itu. Tongkat ayahnya mengenai dadanya; Takco menahan tikamannya agar tidak menyakiti putrinya. Kisah Klan Otori IV Page 8

"Jika ini pedang, nyawamu pasti sudah melayang," ujarnya. Jika ini pedang, nyawa mu pasti sudah melayang," ujarnya. "Lagi," sahut Shigeko dengan tenang, dan kali ini siap bersiap menghadapi serang an yang akan dilancarkan ayahnya; bergerak dengan kecepatan tanpa banyak tenaga, mengelak dar i dua pukulan dan berhasil masuk ke sisi kanan ayahnya tempat tangan yang lebih lemah, menghen tak sedikit, cukup untuk menggoyahkan keseimbangan ayahnya, kemudian meliukkan tubuhnya. Tongk at milik Takeo jatuh ke tanah. Didengarnya helaan napas si kembar, dan para penjaga terperangah. "Bagus sekali," ujarnya. "Ayah tidak berusaha sekuat tenaga," sahut Shigeko kecewa. "Tentu saja ayah berusaha sekuat tenaga. Sama kuatnya seperti yang pertama tadi. Tapi, ayah sudah dibuat lelah oleh ibumu, juga karena sudah tua dan tidak sekuat dulu lagi!" "Tidak," pekik Maya. "Shigeko menang!" "Tapi itu sama saja kau curang," timpal Miki dengan serius. "Bagaimana kau melak ukannya?" Shigeko tersenyum, menggelengkan kepala. "Itu yang harus kau lakukan dengan pikiran, jiwa serta tangan di saat bersamaan. Butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa menguasainya. Aku tidak bisa memperlihatkan nya begitu saja pada kalian." "Kau melakukannya dengan sangat baik," ujar Kaede. "Aku bangga." Nada suaranya t erdengar penuh kasih sayang dan kekaguman, seperti biasa hanya tertuju pada putri sulungnya. Si kembar saling benukar pandang. Mereka iri, pikir Takeo. Mereka tahu ibunya tidak memiliki kasih sayang yang sam a kuatnya pada mereka. Dan dirasakannya debaran perasaan ingin melindungi yang tak asing lagi at as kedua putri kembarnya. Sepertinya ia selalu berusaha menjauhkan mereka dari segala yang baha ya sejak mereka lahir, ketika Chiyo ingin menyingkirkan bayi kedua, Miki, lalu membiarkann ya mati. Ini tindakan yang biasa lakukan pada anak kembar karena anak kembar dianggap tidak wajar bagi manusia, membuat mereka kelihatan lebih mirip hewan, kucing atau anjing. "Mungkin tampak kejam bagi Anda, Lord Takeo," Chiyo memeringatkannya. "Tapi lebi h baik bertindak sekarang daripada menanggung malu dan sial, sebagai ayah dari anak kembar, rakya

t akan percaya kalau Anda menjadi sasarannya." "Bagaimana mereka bisa berhenti percaya pada takhayul dan kekejaman semacam itu bila bukan kita yang memberi contoh?" sahutnya dengan gusar karena bagi orang yang terlahir di k alangan kaum Hidden, ia sangat menghargai nyawa manusia lebih dari apa pun, dan tak percaya k alau mempertahankan nyawa anak akan mendatangkan hinaan atau nasib buruk. Kemudian ia terkejul oleh kekuatan takhayul ini. Kaede pun bukannya tidak terpeng aruh, dan sikapnya pada putri kembarnya menggambarkan kegelisahannya yang bercabang. Dia le bih memilih mereka tinggal terpisah, satu atau yang lainnya biasanya tinggal bersama Tribe; dan Kaede tak menginginkan kehadiran mereka saat perayaan usia akil balik sang kakak, takut kal au kehadiran mereka akan mendatangkan nasib sial bagi Shigeko. Tapi Shigeko, yang sama protek tifnya terhadap si kembar seperti ayahnya, memaksa mereka harus hadir. Takeo senang dengan hal it u, tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat semua anggota keluarga berkumpul bersama , berada dekat dengannya. Dipandanginya mereka semua dengan penuh kasih sayang, dan sadar kalau perasaan itu diambil alih oleh sesuatu yang lebih menggairahkan: hasrat untuk be rbaring bersama dan merasakan kulit istrinya. Pertarungan tongkat tadi telah membangkitkan kenang annya saat pertama kali jatuh cinta pada Kaede, pertama kali mereka bertanding di Tsuwano s ewaktu ia masih berusia tujuh belas tahun sedangkan Kaede lima belas tahun. Adu tanding itu berla ngsung di Inuyama, tepat di tempat yang sama hari ini, untuk pertama kalinya mereka tidur bersama, terdorong hasrat yang timbul dari keputusasaan juga kesedihan. Rumah yang lama, kastil mil ik Iida, nightingale floor yang pertama habis terbakar ketika Inuyama jatuh namun Arai Daiichi memban gunnya kembali dengan cara yang hampir sama, dan kini menjadi salah satu dari Empat Kota yang t ermasyhur di Kisah Klan Otori IV Page 9

penjuru Tiga Negara. juru Tiga Negara. Kisah Klan Otori IV Page 10

"Anak-anak harus segera beristirahat," ujar Takeo, "karena perayaan di biara dim ulai tengah malamAnak-anak harus segera beristirahat," ujar Takeo, "karena peray aan di biara dimulai tengah malam, lalu ada Jamuan Makan Tahun Baru. Acara baru akan selesai pada Waktu Macan*. Aku juga ingin berbaring sebentar." "Akan kuminta agar tungku disiapkan di kamar," sahut Kaede, "sebentar lagi aku a kan bergabung denganmu." *** Sinar matahari telah memudar saat Kaede mendatangi Takeo, dan malam musim dingin mulai menjelang. Meskipun ada tungku, hembusan napas Kaede membentuk kabut putih di te ngah dinginnya udara. Selesai mandi, aroma kulit padi dan aloe dari air masih melekat di kulitnya. Di balik jubah tebal musim dingin tubuhnya terasa hangat. Takeo melepas sabuk istrinya la lu menyelinakan tangan ke balik pakaiannya, menarik tubuh Kaede agar berdekatan dengannya. Kemud ian dilepasnya syal yang menutupi kepala Kaede lalu menarik, mengusapkan tangannya di atas kulit lembut berbulu halus. "Jangan," ujar Kaede. "Buruk sekali." Takeo tahu kalau istrinya tak rela kehilan gan rambut panjangnya yang indah, maupun bekas luka di tengkuk lehernya yang putih, yang mencoreng kec antikan yang pernah menjadi legenda sekaligus takhayul; tapi tidak nampak olehnya ketidaksempumaan t ubuh istrinya, yang tampak hanyalah makin bertambahnya kerapuhan yang justru di matan ya membuat sang istri semakin terlihat memesona. "Aku menyukainya. Seperti pemain sandiwara. Membuatmu kelihatan seperti laki-lak i sekaligus perempuan, juga orang dewasa sekaligus anak-anak." "Kau juga harus perlihatkan bekas lukamu." Kaede menarik sarung tangan sutra yang biasa dikenakan Takeo di tangan kanannya, lalu membawa sisa bekas jarinya yang putus k e bibirnya. "Apakah tadi aku menyakitimu?" "Tidak juga. Hanya sisa rasa sakit pukulan seperti apa pun menyakitkan persendian dan membangkitkan rasa sakitnya." Takeo bicara lagi dengan suara pelan, "Saat ini aku merasa kesakitan, tapi karena alasan lain."

"Rasa sakit semacam itu bisa kusembuhkan," bisik Kaede, seraya menarik tubuh suam inya, membuka diri pada Takeo, membawanya memasuki dirinya, mempertemukan hasrat mereka . "Kau selalu menyembuhkan diriku," ujar Takeo kemudian. "Kau membuat diriku utuh ." Kaede berbaring dalam dekapan Takeo, dengan kepala bersandar di bahunya. Pandang annya menjelajahi setiap sudut kamar. Cahaya lampu bersinar dari pegangan best, tapi d i balik daun penutup jendela langit tampak kelam. "Mungkin tadi kau sudah memberiku seorang putra," ujar Kaede, tidak mampu menyem bunyikan kerinduan dalam nada suaranya. "Kuharap tidak!" seru Takeo. "Dua kali hamil nyaris merenggut nyawamu. Lagipula kita tidak perlu anak laki-laki," imbuhnya dengan ringan. "Kita sudah punya tiga anak perempuan."

"Aku pernah mengatakan hal yang sama pada ayahku," aku Kaede. "Aku percaya kalau diriku bernilai sama dengan laki-laki." "Begitu pula dengan Shigeko," sahut Takeo. "Dia akan mewarisi Tiga Negara, juga anak-anaknya kelak." "Anak-anaknya! Shigeko masih anak-anak. tapi sudah cukup dewasa untuk ditunangka n. Siapa orang yang bisa kita calonkan dengannya?" "Jangan terburu-buru. Shigeko seperti piala, perhiasan yang nyaris tak ternilai harganya. Kita takkan melepasnya dengan percuma." Kaede kembali pada pokok pembicaraan sebelumnya seolah hal itu menggerogoti diri nya. "Aku ingin memberimu anak lakilaki." "Meskipun dengan adanya pewarisanmu sendiri serta contoh dari Lady Maruyama! Kau masih saja bicara layaknya putri dari keluarga ksatria!" Kisah Klan Otori IV Page 11

Kegelapan dan ketenangan membawa Kaede menyuarakan kecemasannya lebih jauh lagi. "Kadanegelapan dan ketenangan membawa Kaede menyuarakan kecemasannya lebih jauh lagi. "Kadang aku berpikir si kembar menutup rahimku. Aku merasa andai mereka tidak dilahirkan aku akan dikaruniai anak laki-laki." "Kau terlalu banyak mendengar takhayul!" "Mungkin kau benar. Tapi apa yang akan terjadi pada anak kembar kita? Mereka tid ak bisa mewarisi, kalau-kalau terjadi sesuatu pada Shigeko, semoga Surga tidak membiarkan itu terja di. Maka siapa yang akan dinikahkan? Tidak satu pun keluarga bangsawan atau ksatria mau menerim a si kembar, terutama yang ternoda maaf oleh darah Tribe serta kemampuan yang mirip ilmu sihir. " Takeo tak bisa menyangkal bahwa hal yang sama juga mengganggu pikirannya, namun ia berusaha menyingkirkannya. Putri kembarnya masih amat muda: siapa yang tahu apa yang disi apkan nasib untuk mereka? Setelah beberapa saat, Kaede berkata pelan, "Tapi mungkin kita memang sudah terl alu tua. Semua orang penasaran mengapa kau tidak mengambil istri muda, atau selir, agar bisa pu nya lebih banyak anak." "Aku hanya menginginkan satu istri," sahut Takeo dengan sungguh-sungguh. "Perasa an apa pun yang pernah kuperlihatkan untuk berpura-pura, peran apa pun yang kumainkan, cinta ku padamu sederhana dan sejatj adanya aku takkan bercinta dengan siapa pun selain kau. Perna h kukatakan padamu, aku pernah bersumpah pada Kannon di Ohama. Aku tidak melanggar sumpah it u selama enam belas tahun. Dan aku tak akan melanggamya sekarang." "Kurasa aku bisa mati cemburu," aku Kaede. "Namun perasaanku tidaklah penting di bandingkan kepentingan negara." "Aku percaya kita dipersatukan dalam cinta yang merupakan landasan pemerintahan k ita yang baik. Aku tak akan merusaknya," sahutnya. Takeo merengkuh Kaede lebih dekat lagi, mengu sapkan tangannya di atas bekas luka leher istrinya, merasakan tulang rusuk yang mengera s dari jaringan yang tertinggal bekas luka bakar. "Selama kita bersatu, negara kita akan tetap d amai dan kuat." Setengah mengantuk Kaede berkata, "Kau ingat saat kita berpisah di Terayama? Kau

menatap mataku lalu aku jatuh tertidur. Aku tidak pernah menceritakan ini padamu. Aku be rmimpi tentang Dewi Putih: dia berbicara padaku. Bersabarlah, katanya: dia akan menjemputmu. Kemudia n satu kali lagi di Gua Suci kudengar suaranya mengatakan hal yang sama. Itu satu-satunya hal yang m embuatku bertahan selama dikurung di kediaman Lord Fujiwara. Di sana aku belajar bersabar . Aku terpaksa belajar bagaimana harus menunggu, tidak melakukan apa-apa, agar ia tidak punya a lasan untuk mencabut nyawaku, Setelah itu, saat dia mati, satusatunya tempat yang terpikir ol ehku hanyalah kembali ke gua suci, kembali pada sang dewi. Bila kau tidak datang, mungkin aku akan terus tinggal di sana melayani sang dewi sepanjang sisa hidupku. Lalu kau datang: aku melihatm u, begitu kurus, racun masih bersarang di tubuhmu, tangan indahmu hancur. Aku tak pernah melupakan saat itu; tanganmu di atas leherku, salju turun, jeritan pilu sang bangau...." "Aku tak layak mendapatkan cintamu," bisik Takeo. "Cintamu adalah anugerah terin dah dalam hidupku, dan aku tak bisa hidup tanpa dirimu. Kau tahu, hidupku dibimbing oleh ra malan..." "Kau pernah bilang. Dan kita sudah melihatnya terpenuhi: Lima Peperangan, campur tangan Surga " Akan kuceritakan sisanya sekarang, pikir Takeo. Akan kukatakan mengapa aku tidak menginginkan anak laki-laki, karena si peramal buta itu mengatakan hanya putraku yang bisa me mbawa kematian padaku. Akan kukatakan padanya tentang Yuki, dan anak yang dilahirkannya, putrak u, yang kini berusia enam belas tahun. Namun ia tak ingin menyakiti istrinya. Untuk apa mengorek-ngorek masa lalu? Lima pertempuran telah menjadi bagian dari mitologi Otori, walaupun Takeo sadar hahwa ia yang mem ilih bagaimana menghitung semua pertempuran itu: bisa saja jumlah mencapai enam, empat atau tig a. Kata-kata bisa diubah dan dimanipulasi agar terkesan sarat makna. Bila suatu ramalan dipercaya, seringkali terpenuhi. Maka ia takkan mengeluarkan ramalan yang satu itu dalam kata-kata, ka rena dengan begitu justru meng-hidupkan ramalan itu. Dilihatnya Kaede hampir tertidur. Terasa hangat di bawah selimut, meskipun udara di wajahnya terasa dingin menusuk. Tak lama lagi ia sudah harus bangun, mandi serta berpakaian resmi dan Kisah Klan Otori IV Page 12

menyiapkan diri untuk upacara menyambut datangnya Tahun Baru. Malam ini akan jad i malam yang panjang. Tubuhnya mulai terasa rileks, dan akhirnya ia pun tertidur.* enyiapkan diri untuk upacara menyambut datangnya Tahun Baru. Malam ini akan jadi malam yang panjang. Tubuhnya mulai terasa rileks, dan akhirnya ia pun tertidur.* Kisah Klan Otori IV Page 13

Takeo ingin memberi Taku warisan dengan cara yang sama; tapi ditolaknya, seraya mengatakan akeo ingin memberi Taku warisan dengan cara yang sama; tapi ditolakny a, seraya mengatakan Kisah Klan Otori IV Page 16

bahwa dia tak ingin memiliki wilayah kekuasaan dan kehormatan. Dia lebih memilih bekerja dengan paman dari ibunya. Kenji, dalam mengendalikan jaringan mata-mata yang telah Take o bangun melalui Tribe. Dia menerima pernikahan politis dengan gadis Tohan yang disukainya dan te lah memberinya seorang putra dan seorang putri. Orang cenderung meremehkannya, yang justru disu kainya. Sosok dan wajah Taku menurun dari keluarga Muto sedangkan Arai mewarisi keberanian dan kegagahannya, serta pada dasarnya menganggap hidup itu menyenangkan dan pengalama n yang mengasyikkan. hwa dia tak ingin memiliki wilayah kekuasaan dan kehormatan. Dia lebih memilih b ekerja dengan paman dari ibunya. Kenji, dalam mengendalikan jaringan mata-mata yang telah Take o bangun melalui Tribe. Dia menerima pernikahan politis dengan gadis Tohan yang disukainya dan te lah memberinya seorang putra dan seorang putri. Orang cenderung meremehkannya, yang justru disu kainya. Sosok dan wajah Taku menurun dari keluarga Muto sedangkan Arai mewarisi keberanian dan kegagahannya, serta pada dasarnya menganggap hidup itu menyenangkan dan pengalama n yang mengasyikkan. Taku tersenyum saat menjawab. "Tidak. Mereka menolak bicara. Aku hanya terkejut mereka masih hidup; kau tahu kalau Kikuta bunuh diri dengan menggigit lidah mereka sendiri! T entu saja, aku belum berusaha sebegitu kerasnya untuk membujuk mereka." "Aku tidak harus mengingatkanmu kalau kekerasan dilarang di Tiga Negara." "Tentu saja tidak. Tapi apakah peraturan itu juga berlaku bahkan untuk Kikuta?" "Peraturan itu berlaku bagi semua orang," sahut Takeo ringan. "Mereka bersalah a tas percobaan pembunuhan dan akan dieksekusi atas kesalahan itu pada akhirnya nanti. Untuk saa t ini mereka tidak boleh diperlaku-kan dengan kasar. Akan kita lihat seberapa kuat keinginan ayah m ereka agar anakanaknya bisa kembali." "Mereka berasal dari mana?" selidik Sonoda Mitsuru, yang menikah dengan adik Kae de, Ai, dan meskipun keluarganya, Akita, dulunya adalah pengawal Arai, ia diyakinkan untuk b ersumpah setia pada Otori dalam perdamaian besar-besaran setelah gempa. Sebagai imbalannya, dia dan Ai diberikan wilayah Inuyama. "Di mana bisa kau menemukan Si Gosaburo ini?" "Kukira di pegunungan di luar perbatasan wilayah timur," tutur Taku, dan Takeo m elihat si gadis sedikit memicingkan mata.

Sonoda berkata, "Maka untuk sementara waktu tidak mungkin mengadakan perundingan , karena salju pertama akan turun dalam minggu ini." "Musim semi nanti kita akan kirim surat pada ayah mereka," sahut Takeo. "Tidak a da salahnya membuat batin Gosaburo menderita memikirkan nasib anaknya. Bahkan mungkin membua tnya semakin ingin menyelamatkan mereka. Sementara itu, tetap rahasiakan identitas me reka dan jangan biarkan mereka berhubungan dengan orang lain selain kau." Didekatinya Taku. "Pamanmu berada di kota, kan?" "Ya; paman akan bergabung dengan kita di kuil untuk perayaan Tahun Baru, tapi ke sehatannya sedang tidak baik, dan udara malam yang dingin menimbulkan kejang otot yang memb uatnya batukbatuk." "Besok aku akan memanggilnya. Apakah dia berada di rumah lama?" Taku mengangguk. "Paman menyukai aroma pabrik pembuatan sake. Menurutnya udara d i sana lebih mudah dihirup." "Kurasa sakenya juga ikut membantu." *** "Hanya ini kesenangan yang tersisa untukku," ujar Muto Kenji, seraya mengisi cang kir Takeo dan memberikan botol sake kepadanya. "Ishida memintaku mengurangi minum, mengatakan k alau alkohol buruk bagi paru paru, tapi... sake membuatku tetap bersemangat dan memban tuku agar bisa tidur." Takeo menuang sake yang bening serta keras ke cangkir gurunya yang sudah tua itu . "Ishida juga memintaku mengurangi minum sake," akunya saat mereka berdua menenggak habis minu mannya. "Tapi bagiku sake meredakan rasa sakitku. Dan Ishida pun hampir tidak mengikuti sarannya sendiri, lalu mengapa kita harus mengikuti anjurannya?" "Kita adalah dua orang laki-laki tua," sahut Kenji, tertawa. "Siapa yang bisa me ngira, melihatmu mencoba membunuhku tujuh belas tahun yang lalu di rumah ini, kalau kita akan dud uk di sini saling mem-bandingkan penyakit?" "Bersyukurlah kita berdua masih hidup sampai saat ini!" timpal Takeo. Ia melihat ke sekeliling rumah yang dibangun begitu kuat dengan langit-langit tinggi, pilar kayu cedar dan bera nda serta penutup

Kisah Klan Otori IV Page 17

jendela dari kayu cemara cypress. Rumah ini penuh kenangan. "Ruangan ini amat ja uh lebih nyamaendela dari kayu cemara cypress. Rumah ini penuh kenangan. "Ruanga n ini amat jauh lebih nyaman ketimbang lemari terkutuk tempat aku dikurung!" Kenji tertawa lagi. "Itu hanya karena kau bertingkah bak hewan liar! Keluarga Mu to selalu menyukai kemewahan. Dan kini bertahun-tahun dalam kedamaian, permintaan ak an produk buatan kami membuat kami sangat kaya raya, berkat kau, Lord Otoriku tercinta." D inaikkan cangkirnya ke arah Takeo; mereka berdua minum lagi, kemudian mengisi lagi wadah mereka masingmasing. "Rasanya aku akan menyesal meninggalkan semua ini, Aku sangsi masih bisa menyaksi kan Tahun Baru." kata Kenji. Tapi kau kau tahu orang bilang kalau kau tak bisa mati!" Takeo tertawa. "Tidak ada manusia yang tidak bisa mati. Kematian menantiku sama halnya seperti semua orang. Hanya saja waktuku belum tiba." Kenji adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu isi ramalan tentang Takeo, termasuk bagian yang dirahasiakannya: bahwa ia aman dari kematian kecuali di tangan putranya sen diri. Semua sisa ramalannya telah menjadi kenyataan, sampai tahap ini: lima pertempuran telah mem bawa kedamaian di Tiga Negara, dan Takeo berkuasa dari ujung laut ke ujung laut lainny a. Gempa bumi yang menyengsarakan mengakhiri pertempuran terakhir serta menyapu habis pasukan Arai Daiichi, bisa digambarkan sebagai memenuhi keinginan Surga. Dan sejauh ini, tak seorang p un bisa membunuh Takeo, membuat ramalan yang terakhir ini semakin bisa di percaya. Takeo berbagi banyak rahasia dengan Kenji, yang dulu pernah menjadi gurunya di H agi. Dengan bantuan Kenji, Takeo berhasil menembus kastil di Hagi dan membalaskan dendam ata s kematian Shigeru. Kenji orang yang pintar, cerdik tanpa perasaan sentimentil. Kenji adalah utusan dan juru runding yang baik, dan membuat Takeo sangat mengandalkannya. Kenji tidak punya h asrat lain di luar kegemarannya yang abadi pada sake dan perempuan dari rumah bordil setempat. Tampak tidak peduli pada harta benda, kekayaan maupun status. Mengabdikan hidupnya pada Takeo dan bersumpah untuk melayaninya; memiliki kasih sayang istimewa atas Lady Otori, yan g dikaguminya; amat menyayangi keponakannya sendiri, Shizuka; dan rasa hormat pada putra Shizuk a, Taku, ahli mata-mata; namun sejak kematian putrinya, Kenji semakin terasingkan dari istrinya

, Seiko, yang meninggal beberapa tahun lalu, dan tak memiliki baik ikatan cinta maupun kebenci an dengan orang lain. Semenjak kematian Arai dan para lord Otori enam belas tahun yang lalu, Kenji bek erja dengan kesabaran dan cerdik terhadap tujuan Takeo: menarik semua sumber daya dan perang kat kekerasan ke tangan pemerintahan, mengendalikan kekuatan prajurit perseorangan dan kelompok bandit yang tak mengenal hukum. Kenj ilah yang tahu keberadaan kelompok rahasia masyarakat kuno yang tidak diketahui Takeo Kesetiaan p ada Burung Bangau, Amarah Macan Putih, Jalan Sempit Ular petani dan penduduk desa menggabung kan diri dalam kelompok masyarakat ini selama masa-masa anarkis. Kelompok ini kini dimanf aatkan dan terus dibangun agar masyarakatnya bisa mengatur masalah mereka sendiri di tingkat desa dan memilih sendiri pemimpinnya untuk mewakili mereka dan mengajukan tuntutan atas ketidakpu asan atau keluhan mereka di pengadilan tingkat propinsi. Pengadilan diatur oleh klas ksatria; anak laki-laki mereka dengan pola pikir yan g tidak terlalu militer, dan terkadang juga anak perempuan, dikirim ke sekolah-sekolah besar di Hagi, Yam agata dan Inuyama untuk mempelajari etika pelayanan, pembukuan dan ekonomi, sejarah serta bahasa dan kesusastraan klasik. Saat kembali ke daerah asal, mereka memegang jabatan terten tu, diberi status dan penghasilan yang cukup: mereka bertanggung jawab langsung kepada tetua dari setiap klan, tanggung jawab yang sama juga dipikul pemimpin klan; para pemimpin klan ini bert emu Takeo dan Kaede secara teratur untuk membahas soal kebijakan, menentukan besarnya pajak se rta mempertahankan pelatihan dan perlengkapan pasukan. Setiap daerah harus menyediak an sejumlah orang icrbaik untuk pasukan pusat: separuh tentara, dan sepa-ruh lagi petugas ke amanan yang bertugas menangani bandit dan penjahat lainnya. Kenji menangani semua administrasi dengan trampil, mengatakan kalau cara ini mir ip hirarki Tribe hanya saja ada perbedaan yang mendasar: kekerasan dilarang, dan membunuh serta me nerima suap di-ancam hukuman mati. Aturan yang terakhir terbukti paling sulit dilaksana kan. Tribe mendapat cara untuk menghindar, tapi mereka tidak bertransaksi dalam jumlah besar atau me mamerkan kekayaan. Makin kuatnya usaha Takeo membasmi korupsi membawa hasil, korupsi dan suap makin Kisah Klan Otori IV Page 18

berkurang. Lalu bentuk praktik yang lain berjalan: praktik tukar menukar hadiah dalam bentuk rkurang. Lalu bentuk praktik yang lain berjalan: praktik tukar menu kar hadiah dalam bentuk Kisah Klan Otori IV Page 19

keindahan dan selera, di mana nilainya tersembunyi. Hal ini menyebabkan datangnya para perajin dan seniman ke Tiga Negara, bukan hanya mereka yang berasal dari Delapan Pulau t api juga dari negerinegeri di daratan utama, Silla, Shin dan Tenjiku. Setelah gempa mengakhiri perang di Tiga Negara, para ketua dari keluarga dan klan yang masih hidup bertemu di Inuyama da n menerima Otori Takeo sebagai pemimpin mereka. Semua pertikaian karena hubungan darah yang menen tang Takeo maupun percekcokan antara mereka sendiri dinyatakan berakhir. Terjadi pemandangan yang mengharukan saat para ksatria saling berdamai setelah puluhan tahun bermusuhan. N amun Takeo dan Kenji menyadari bahwa ksatria terlahir untuk bertarung: masalahnya, mereka a kan bertarung melawan siapa? Dan jika mereka tidak bertarung, bagaimana menyibukkan mereka? eindahan dan selera, di mana nilainya tersembunyi. Hal ini menyebabkan datangnya para perajin dan seniman ke Tiga Negara, bukan hanya mereka yang berasal dari Delapan Pulau t api juga dari negerinegeri di daratan utama, Silla, Shin dan Tenjiku. Setelah gempa mengakhiri perang di Tiga Negara, para ketua dari keluarga dan klan yang masih hidup bertemu di Inuyama da n menerima Otori Takeo sebagai pemimpin mereka. Semua pertikaian karena hubungan darah yang menen tang Takeo maupun percekcokan antara mereka sendiri dinyatakan berakhir. Terjadi pemandangan yang mengharukan saat para ksatria saling berdamai setelah puluhan tahun bermusuhan. N amun Takeo dan Kenji menyadari bahwa ksatria terlahir untuk bertarung: masalahnya, mereka a kan bertarung melawan siapa? Dan jika mereka tidak bertarung, bagaimana menyibukkan mereka? Beberapa prajurit menjaga perbatasan di wilayah Timur, tapi hanya terjadi sediki t peristiwa dan musuh utama mereka adalah rasa jenuh; beberapa yang lainnya mendampingi Terada Fumio da n tabib Ishida dalam perjalanan penjelajahan mereka, melindungi kapal dagang di laut dan toko serta gudang mereka di pelabuhan yang jauh; yang lainnya mengikuti lomba yang dibuat Takeo un tuk keahlian berpedang dan memanah; sedang yang lainnya dipilih untuk mengikuti jalan utama d ari pertarungan: penguasaan diri, Ajaran Houou. Ajaran Houou bermarkas di Biara Terayama yang dipimpin kepala biara Matsuda Shin gen dan Kubo Makoto. Ajaran ini hanya dapat diikuti segelintir laki-laki dan perempuan dengan ke kuatan fisik dan mental yang hebat. Keahlian Tribe adalah bakat dari lahir pendengaran dan pengl ihatan yang sangat kuat, kemampuan menghilang, penggunaan sosok kedua tapi sebagian besar manu sia memiliki kemampuan seperti ini namun belum terasah. Menemukan dan memurnikan kema mpuan seperti inilah yang menjadi inti Ajaran Houou, mengambil nama burung suci yang b ersarang jauh di

dalam hutan-hutan di sekitar Terayama. Sumpah pertama yang dilakukan para ksatria yang terpilih ini yaitu tidak membunuh , baik nyamuk atau pun manusia, bahkan demi membela diri. Kenji menganggap itu aturan yang gila karena dia sering menikam jantung orang, membunuh dengan garotte, menyisipkan racun ke dala m cangkir, mangkuk atau bahkan langsung ke orang yang tidur dengan mulut menganga. Berapa b anyak? Dia tak bisa menghitungnya lagi. Tak ada penyesalan atas mereka yang telah dikirimny a ke alam baka cepat atau lambat manusia juga akan mati. Dia melihat bahwa larangan membunuh te rnyata jauh lebih berat daripada keputusan untuk membunuh. Dia tak kebal dengan kedamaian da n kekuatan spiritual Terayama. Akhir-akhir ini kesenangan terbesarnya yaitu menemani Takeo di sana dan menghabiskan waktu bersama Matsuda dan Makoto. Disadarinya kalau akhir hidupnya sudah dekat. Ia sudah tua; kesehatan dan kekuat annya makin memburuk: selama berbulan bulan paru-parunya terasa makin lemah dan seringkali m untah darah. Takeo berhasil menjinakkan baik Tribe maupun para ksatria: hanya Kikuta yang mas ih bertahan menentangnya. Kikuta bukan hanya berusaha membunuhnya tapi juga bersekutu dengan ksatria yang kurang puas, melakukan pembunuhan secara acak dengan harapan menggoyahkan kestab ilan masyarakat, menyebarkan desas-desus. Takeo angkat bicara lagi, lebih serius. "Serangan yang terakhir ini membuatku ja uh lebih waspada karena ditujukan pada keluargaku, bukan diriku. Jika istri atau anakku mati, itu akan menghancurkan diriku, dan Tiga Negara." "Kurasa itulah tujuan Kikuta," sahut Kenji ringan. "Kapan mereka akan berhenri?" "Akio takkan berhenri. Kebenciannya padamu hanya akan berakhir dengan kematianny a atau kematianmu. Dia telah mengabdikan hidupnya demi tujuannya itu." Wajah Kenji beru bah tenang dan bibimya berkerut menggambarkan kegetiran. Ia minum lagi. "Tapi Gosaburo seorang pedagang dan pragmatis: dia akan ketakutan setengah mati bila kehilangan anakanaknya satu putran ya telah tewas, dan nasib dua lainnya ada di tanganmu. Mungkin kita bisa memberinya sedik it tekanan." "Kupikir juga begitu. Kita akan biarkan dua anaknya yang tersisa tetap hidup hin

gga musim semi, kemudian melihat apakah ayah mereka siap untuk berunding." "Mungkin sementara ini kita juga bisa mengorek keterangan yang berguna dari kedu anya," gerutu Kenji. Takeo menaikkan pandangannya ke arah Kenji melalui pinggiran cangkir. Kisah Klan Otori IV Page 20

bisa dilakukannya agar orang tertidur yaitu rasa bosan karena dia jarang bicara. Andai dia buka mulut, isa dilakukannya agar orang tertidur yaitu rasa bosan kar ena dia jarang bicara. Andai dia buka mulut, Kisah Klan Otori IV Page 22

bicaranya pelan, tersendatsendat, tanpa ada tanda-tanda kecerdasan atau kreativit as. icaranya pelan, tersendatsendat, tanpa ada tanda-tanda kecerdasan atau kreati vitas. Akio adalah Ketua Kikuta, keluarga terbesar dalam Tribe, yang menguasai berbagai kemampuan serta bakat yang kini mulai lenyap. Sejak kecil Hisao sudah menyadari kekecewaan ayahnya pada dirinya. Karena Tribe membesarkan anak mereka dengan cara sangat keras, melatih mereka de ngan kepatuhan mutlak, bertahan menahan lapar, haus, panas, dingin dan rasa sakit yang luar biasa, serta melenyapkan semua perasaan, simpati maupun welas asih. Akio sangat keras p ada putra tunggalnya itu dan tak pernah menunjukkan pengertian maupun kasih sayang. Perlak uan Akio yang kejam, bahkan mengejutkan kerabatnya sendiri. Tapi Akio adalah Ketua keluarga, p enerus pamannya, Kotaro, yang mati di Hagi oleh Otori Takeo dan Muto Kenji. Dan sebagai Pimpinan, Akio bisa bertindak sesuka hati; tak seorang pun bisa meng-kritiknya. Akio tumbuh menjadi laki-laki sinis dan susah ditebak. Dia selalu menyalahkan Ot ori Takeo atas terpecah-belahnya Tribe, kematian Kotaro yang disayangi, serta kematian pesumo t angguh, Hajime, serta banyak kematian lainnya. Keluarga Kikuta dikejar-kejar sehingga mereka keluar dari Tiga Negara untuk pindah ke Utara, men inggalkan usaha mereka yang menghasilkan banyak uang. Anak-anak Kikuta tidur dengan kaki mengarah ke Barat, dan saling menyapa dengan kalimat, "Apakah Otori sudah mati?" dan dibalas dengan, "Belum, tapi tak lama lagi." Konon kabarnya kematian istrinya, Muto Yuki, dan kematian Kotaro yang membuat Ak io begitu penuh dendam dan hidup dalam kebencian. Para tetua mengatakan kalau Yuki meninggal kar ena demam setelah melahir-kan, tapi tampaknya Hisao sudah tahu yang sebenarnya: ibunya mat i diracun. Dapat dilihatnya kejadian itu dengan jelas, seolah menyaksikan dengan mata bayinya yan g masih belum fokus. Keputusasaan dan kemarahan ibunya, kesedihan karena harus meninggalkan pu tranya; penolakan ibunya saat dipaksa menelan pil racun; jerit dan tangis ibunya; sering ai puas Akio karena sebagian dendamnya terlaksana; penderitaan dan kenikmatan keji yang dirasakan Ak io menjadi awal mula tenggelamnya dia dalam kekejaman. Hisao merasakan ini seiring ia tumbuh dewasa; tapi lupa bagaimana ia tahu itu. A pakah ia memimpikannya, atau ada yang menceritakannya? Ia ingat ibunya lebih jelas dari y ang seharusnya usianya baru beberapa hari saat ibunya meninggal dan menyadari adanya hubungan dir

inya dengan sang ibu. Seringkali ia merasakan kalau ibunya menginginkan sesuatu darinya, tapi ia takut mendengarkan karena itu berarti ia membuka diri memasuki alam baka. Antara kemara han si hantu dan rasa enggan dalam dirinya, kepalanya terasa seperti terbelah karena rasa saki t. Itu sebabnya dia mengetahui kemarahan ibunya dan sakit hati ayahnya, dan itu mem buat ia benci sekaligus iba pada Akio. Hal-hal buruk yang terjadi di antara mereka berdua yang setengah menakutkan, setengah diharapkan, karena hanya saat itulah ada orang yang memeluk nya atau kelihaian membutuhkan dirinya. Hisao tidak pernah menceritakannya sehingga tak seorang pun tahu satu bakat Trib e yang telah hilang selama beberapa generasi ternyata ada pada dirinya. Kemampuan mengarungi dua dunia, menjadi penghubung antara arwah dengan orang yang masih hidup. Anugerah semacam i ni semestinya diasah dan pemiliknya akan ditakuti serta dihormati; tapi Hisao tak t ahu cara mengatur bakatnya ini; apa yang dilihatnya di alam baka tampak berkabut dan sulit dimenge rti: ia tidak mengetahui simbol dan bahasa untuk berkomunikasi dengan arwah. Ia hanya tahu kalau hantu itu adalah ibunya yang mati dibunuh. Meskipun Hisao suka membuat kerajinan tangan, dan menyukai hewan, namun ia merah asiakannya. Sekali dia terlihat mengelus seekor kucing, yang kemudian ia lihat hewan malang i tu digorok ayahnya di hadapannya. Roh kucing itu juga sesekali seperti menjerat Hisao dari dunianya, dan lolongan yang memusingkan terdengar makin keras hingga ia tak percaya kalau oran g lain tak mendengarnya. Ketika alam baka membuka jalan dan mengajaknya masuk, kepalanya lu ar biasa sakit, dan satu sisi matanya menjadi gelap. Satu-satunya cara meredakan rasa sak it dan suara-suara si kucing serta si hantu perempuan adalah membuat benda-benda dengan tangannya. Ia membangun kincir air dan orang-orangan dari bambu untuk menakuti rusa, seolah pengetahuan itu sudah ada dalam darahnya. Ia dapat membuat ukiran kayu berbentuk hewan yang begitu hidup h ingga tampak Kisah Klan Otori IV Page 23

seperti hewan yang disihir menjadi patung. Ia menyukai semua aspek penempaan: me mbuat besi dan baja, pedang, pisau serta berbagai peralatan. eperti hewan yang disihir menjadi patung. Ia menyukai semua aspek penempaan: memb uat besi dan baja, pedang, pisau serta berbagai peralatan. Kisah Klan Otori IV Page 24

Keluarga Kikuta ahli membuat senjata, terutama sen-jata rahasia Tribe pisau lempar , jarum, belateluarga Kikuta ahli membuat senjata, terutama sen-jata rahasia Tri be pisau lempar, jarum, belati kecil dan sebagainya tapi mereka tak tahu cara membuat senjata yang disebut senja ta api. Senjata yang digunakan Otori begitu dirahasiakan cara buatnya hingga membuat orang iri. Keluarga Kikuta terpecah untuk memiliki senjata itu. Ada yang beranggapan senjata itu menghilangkan semua kemampuan dan kenikmatan dala m membunuh, kalau cara tradisional lebih bisa diandalkan; sementara yang lainnya b eranggapan kalau ingin menyingkirkan Otori, mereka harus menyeimbangkan kekuatan dengan memiliki s enjata yang sama. Namun usaha mereka untuk mendapatkan senjata api selalu gagal. Otori membatasi p enggunaan senjata ini hanya untuk sekelompok kecil orang: setiap pucuk senjata api yang ad a di negara ini dihitung. Jika ada yang hilang, si pemilik harus membayar dengan nyawanya. Senja ta ini pernah sekali digunakan orang barbar. Sejak itu semua orang barbar digeledah ketika dat ang, senjata-senjata mereka dirampas dan mereka hanya boleh berdagang di pelabuhan Hofu. Tapi berbaga i laporan tentang pembunuhan yang memakan banyak korban jiwa terbukti sama efektifnya deng an senjata itu sendiri: semua musuh Otori, termasuk Kikuta, berusaha mendapatkan senjata itu de ngan cara mencuri, berkhianat, atau mencari sendiri. Senjata-senjata milik Otori bentuknya panjang, berat serta tidak praktis: kurang prakris menurut cara pembunuhan yang dibanggakan Kikuta. Senjata-senjata itu tak bisa disembunyikan d an digunakan dengan cepat; bila terkena air maka senjata itu tak berguna. Hisao mendengar aya hnya dan seorang laki-laki yang lebih tua membahas benda ini, dan ia membayangkan senjata api yan g kecil dan ringan, yang bisa di-sembunyikan di balik pakaian dan tak bersuara, senjata yang bahkan t ak mampu dilawan Otori Takeo. Setiap tahun ada saja pemuda yang ingin menjadi pahlawan, atau orang tua yang in gin mati terhormat yang pergi hendak membunuh Otori Takeo untuk membalaskan kematian Kikuta Kotaro d an anggota Tribe lainnya. Mereka tak pernah kembali: kabar tentang tertangkapnya mereka dat ang beberapa bulan kemudian. Mereka disidang di depan umum yang disebut sebagai pengadilan Ot ori, dan dieksekusi. Ada kalanya Otori Takeo dilaporkan terluka sehingga harapan mereka membumbung tin ggi, tapi dia

selalu sembuh, bahkan dari racun, seperti pulihnya dia dari belati beracun milik Kotaro. Mendengar desasdesus kalau Otori tak bisa mati membuat kebencian serta kegeriran Akio semak in bertambah. Akio mulai bersekutu dengan musuh Takeo lainnya, menyerangnya melalui istri atau anak-anaknya. Tapi cara ini juga terbukti gagal. Keluarga Muto yang sudah bersumpah setia pada Otori telah menggandeng keluarga Tribe lainnya: Imai, Kuroda dan Kudo. Sejak keluarga Tribe melakukan pe rkawinan campuran, banyak pengkhianat yang memiliki darah Kikuta, diantaranya adalah Muto Shizuka serta kedua putranya, Taku dan Zenko. Taku seperti ibu dan paman buyutnya, mempunyai b anyak kemampuan, memimpin jaringan mata-mata dan melindungi Otori; sementara Zenko, ya ng kurang berbakat, bersekutu dengan Otori melalui pernikahan: mereka bersaudara ipar. Belakangan sepupu Akio, dua putra Gosaburo, diutus bersama saudari perempuan mer eka ke Inuyama tempat keluarga Otori merayakan Tahun Baru. Mereka berbaur dalam kerumun an di biara dan mencoba menikam Lady Otori dan putri-putrinya. Apa yang terjadi setelah itu tidak jelas, lapi ternyata para perempuan yang menjadi sasaran berhasil mempertahankan diri dengan kekejaman yang tak terduga: salah satu penyerang, putra sulung Gosaburo, terluka dan dipuk uli sampai mati oleh kerumunan orang. Sedang yang lainnya berhasil ditangkap dan dibawa ke kastil Inu yama. Tak ada yang tahu apakah mereka masih hidup atau sudah mati. Kehilangan tiga anggota muda yang ada hubungan erat dengan sang Ketua merupakan p ukulan berat. Karena hingga musim semi tiba masih belum ada kabar tentang kedua orang y ang ditawan, Kikuta menduga mereka sudah mati. Ritual pemakaman mulai diatur dalam kedukaan y ang mendalam karena tak ada jenazah yang bisa dibakar dan tak ada abu jenazah. Suatu sore Hisao bekerja seorang diri di sepetak pegunungan. Selama malam-malam di musim dingin yang panjang, ri sawah dengan memanfaatkan kincir air. Ia menghabiskan li: embernya dibuat dari bambu yang paling ringan dan talinya rambat yang cukup kaku untuk bisa mengangkat ember kincir. kecil sawah, jauh di kedalaman ia telah memikirkan cara mengali musim dingin membuat ember dan ta diperkuat dengan batang tanaman

Hisao tengah berkonsentrasi penuh pada pekerjaannya, tiba-tiba katak terdiam. Ia tengok kanan-kiri. Kisah Klan Otori IV Page 25

Tak ada orang, tapi ia tahu ada orang yang menggunakan kemampuan menghilang Trib e. ak ada orang, tapi ia tahu ada orang yang menggunakan kemampuan menghilang Tr ibe. Kisah Klan Otori IV Page 26

Mengira itu hanya salah satu anak yang datang membawa pesan, dia berseru, "Siapa di sana?" gira itu hanya salah satu anak yang datang membawa pesan, dia berseru , "Siapa di sana?" Tiba-tiba muncul seorang laki-laki dengan usia tak bisa diperkirakan dan berpena mpilan biasa berdiri di hadapannya. Tangan Hisao segera bergerak ke arah pisaunya karena yakin ia bel um mengenal orang itu. Sosok laki-laki itu bergoyang-goyang selagi menghilang. Hisao merasaka n jari-jari yang tak terlihat memiting pergelangan tangannya dan ototnya langsung terasa lumpuh saat telapak tangannya terbuka dan pisaunya terjatuh. "Aku takkan menyakitimu," ujar orang itu, dan menyebut namanya dengan cara yang membuat Hisao percaya padanya, dan dunia ibunya menyelubungi ambang batas dunianya; dirasakan kebahagiaan dan pendcritaan ibunya dan pertanda pertama dari sakit kepalanya serta kemampuan melihat separuh dari dua dunia yang berbeda. "Siapa kau?" bisiknya, segera menyadari kalau orang mi dikenal ibunya. "Kau bisa melihatku?" sahut laki-laki itu. "Tidak. Aku tak memiliki kemampuan me nghilang, maupun mengenalinya." "Tapi tadi kau mendengarku mendekat, kan?" "Hanya dari katak. Aku mendengarkan mereka. Tapi aku tak bisa mendengar dari jau h. Aku tidak tahu orang yang bias melakukannya di kalangan Kikuta saat ini." Ia heran telah bersik ap biasa dan bebas pada orang yang belum dikenalnya. Orang itu kembali menampakkan diri dalam jarak serentangan tangan dari wajah His ao. Sorot matanya tajam dan kelihatan penuh selidik. "Kau tidak memiliki satu pun kemampuan Tribe?" tuturnya. Hisao mengangguk, kemudian mengalihkan pandangannya ke seberang lembah. "Kau bcrnama Kikuta Hisao, putra Akio?" "Ya, dan ibuku bemama Muto Yuki." Ekspresi wajah orang itu agak berubah, dan dirasakan reaksi penyesalan serta ras a iba ibunya. "Sudah kuduga. Kalau begitu, aku kakekmu: Muto Kenji." Hisao menyerap semua keterangan ini. Sakit kepalanya kian menjadi-jadi: Muto Ken ji adalah pengkhianat, kebencian Kikuta pada orang ini hampir sama besarnya seperti kebenc ian pada Otori

Takeo, namun kehadiran ibunya terasa membebani dirinya dan bisa dirasakan ibunya memanggil, "Ayah!" "Apa itu?" tanya Kenji. "Bukan apa apa. Kadang-kadang kepalaku sakit. Aku sudah biasa. Mengapa kau kemar i? Kau akan dibunuh. Seharusnya aku membunuhmu, tapi kau bilang kalau kau kakekku, lagipula ak u tidak ahli membunuh." Pandangannya turun menatap ke konstruksi yang tengah dikerjakannya. " Aku lebih suka membuat benda-benda." Betapa anehnya, pikir orang tua itu. Dia tidak punya kemampuan apa pun, baik dar i ayah maupun dan ibunya. Rasa kecewa dan lega menyapu dirinya. Mirip siapa dia? Tidak mirip Kikut a, Muto, maupun Otori. Dia pasti mirip ibunya Takeo, berkulit gelap dan berwajah lebar. Kenji menatap bocah di hadapannya dengan tatapan iba, tahu betapa kerasnya masa kanak-kanak di Tribe, apalagi pada mereka yang tak berbakat. Jelas sekali Hisao punya beberapa kemampuan: benda itu dibuat dengan kreatif dan dengan keahlian tinggi. Dan ada sesuatu yang lain pada dirinya, gerakan matanya yang cepat menunjukkan kalau dia bisa melihat hal lain. Apa yang bisa dilihatnya? Pemuda ini berbadan sehat, agak lebih pendek dari Kenji sendin tapi kuat, dengan kulit mulus tanpa cacat dan rambut tebal serta mengkilap, mirip rambut Takeo. "Mari kita temui Akio," ajak Kenji. "Ada yang aku sampaikan padanya." Ia tidak bersusah payah menyembunyikan sosoknya selagi mengikuti bocah itu menur uni jalan setapak dari atas gunung menuju desa. Sadar kalau akhirnya ia akan dikenali juga s iapa lagi yang bisa sampai sejauh ini, menghindari para penjaga di gerbang, bergerak tak terlih at dan tak terdengar melewati hutan? dan juga Akio harus tahu kalau ia datang sebagai utusan Takeo. Kisah Klan Otori IV Page 27

Perjalanan itu membuat napasnya terasa sesak, dan saat berhenti sebentar di tepi sawah yang penuh air, terasa ada darah di tenggorokannya. Tubuhnya terasa lebih panas dari yang s emestinya. Langit berubah keemasan saat mentari mulai tenggelam di ufuk barat. Pematang sawah berw arna cerah dengan bunga liar, vicia, buttercup, dan bunga krisan, dan cahaya matahari jatuh di sel a-sela hijaunya dedaunan. Suasana terasa dipenuhi musik musim semi, nyanyian burung, katak serta jangkrik. erjalanan itu membuat napasnya terasa sesak, dan saat berhenti sebentar di tepi sawah yang penuh air, terasa ada darah di tenggorokannya. Tubuhnya terasa lebih panas dari yang s emestinya. Langit berubah keemasan saat mentari mulai tenggelam di ufuk barat. Pematang sawah berw arna cerah dengan bunga liar, vicia, buttercup, dan bunga krisan, dan cahaya matahari jatuh di sel a-sela hijaunya dedaunan. Suasana terasa dipenuhi musik musim semi, nyanyian burung, katak serta jangkrik. Bila hari ini memang ditakdirkan menjadihari terakhir hidupku, maka tak ada hari yang lebih indah daripada hari ini, pikir kenji dengan sedikit bersyukur, dan merasakan dengan li dahnya kapsul beracun yang terselip rapi di bekas rongga gigi gerahamnya yang sudah tanggal. Kenji belum tahu tempat istimewa ini sebelum Hisao lahir, enam belas tahun lalu d an butuh waktu lima tahun untuk menemukannya. Sejak saat itu, sesekali ia mengunjungi tempat in i tanpa diketahui penghuninya, dan mendapatkan laporan tentang Hisao dari Taku, keponakan buyutnya . Tempat ini sama seperti kebanyakan desa Tribe: tersembunyi di dalam lembah seperti lipatan kecil dalam barisan pegunungan. Pada kunjungan yang pertama ia sempat terkejut melihat ada l ebih dari dua ratus orang di desa itu. Tapi kemudian ia tahu kalau keluarga Kikuta mundur ke t empat ini sejak dikejar Takeo. Mereka membangun desa di utara ini sebagai markas, jauh dari jang kauan Takeo, walaupun tidak di luar jangkauan matamatanya. Hisao tidak berbicara pada siapa pun saat mereka berjalan di antara rumah kayu b eratap rendah, dan meskipun beberapa anjing melompat-lompat penuh semangat ke arahnya, dia tak berh enti. Ketika sampai di bangunan yang paling besar, orang berkumpul di belakang mereka; Kenji m endengar bisik-bisik dan tahu kalau ia telah dikenali. Rumah itu jauh lebih nyaman dan mewah ketimbang rumah-rumah di sekelilingnya, de ngan beranda dari kayu runjung serta pilar kokoh dari kayu cedar. Seperti kuilnya, yang bisa dilihat dari kejauhan, atapnya terbuat dari rusuk atap yang tipis, dengan lekukan luwes yang sama indah

nya seperti kediaman para ksatria. Seraya melepaskan sandal, Hisao naik ke beranda dan berse ru ke dalam rumah. "Ayah! Kita kedatangan tamu!" Selang beberapa saat, seorang perempuan muda muncul, membawa air untuk membasuh kaki sang tamu. Kerumunan orang di belakang Kenji terdiam. Saat melangkah masuk ke dalam r umah, ia seperti mendengar tarikan napas tiba-tiba, seolah semua orang yang berkumpul di luar menarik napas di saat bersamaan. Dadanya terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk dan rasanya tak ta han ingin batuk. Betapa lemah tubuhnya saat ini! Teringat dengan rasa penyesalan kalau semua kemam puan yang ia miliki kini hanya menjadi bayang-bayang. Ia ingin sekali meninggalkan raganya la lu pindah ke alam baka, kehidupan yang lain, kehidupan apa pun yang ada di sana. Andai ia bisa men yelamatkan bocah itu... tapi siapa yang bisa menyelamatkan orang dari takdir? Semua pikiran ini melintas di benaknya saat duduk di lantai berlapis karpet samb il menunggu Akio. Ruangan itu remangremang: ia nyaris tidak bisa melihat gulungan yang tergantung d i dinding sebelah kanannya. Perempuan muda yang sama datang membawa semangkuk teh. Hisao su dah pergi, namun terdengar olehnya anak itu sedang bicara dengan pelan di belakang r umah. Aroma minyak wijen merebak dari arah dapur dan didengarnya desis makanan di penggoreng an. Lalu terdengar langkah kaki; pintu banian dalam bergeser terbuka dan Kikuta Akio mela ngkah masuk. Dia diikuti dua laki-laki yang lebih tua, yang satu bertubuh gempal dengan raut waja h halus yang dikenal Kenji sebagai Gosaburo, pedagang dari Matsue, adik Kotaro, paman Akio. Sedang ya ng satunya lagi pasti Imai Kazuo, yang menurut kabar telah menentang keluarga Imai untuk tinggal bersama Kikuta, keluarga dari pihak istrinya. Semua orang ini, setahunya, sudah bertahun-tahun m engincar dirinya. Mereka berusaha menyembunyikan keterkejutan dengan kemunculannya. Mereka duduk di ujung lain ruangan seraya mengamati. Tak seorang pun membungkuk normal maupun memberi s alam. Kenji pun diam saja. Akhirnya Akio angkat bicara, "Letakkan senjatamu." "Aku tak membawa senjata," sahut Kenji. "Aku datang dengan membawa misi yang dam ai." Gosaburo tertawa sinis tidak percaya. Sedang dua laki-laki lainnya tersenyum, ta pi tanpa rasa riang.

"Benar, seperti serigala di musim dingin," ujar Akio. "Kazuo yang akan menggeled ahmu." Kazuo mendekati Kenji dengan hati-hati dan agak malu-malu. "Maaf, Ketua,"gumamny a. Kenji membiarkan orang itu meraba pakaiannya dengan jari-jarinya yang panjang dan ceka tan. Kisah Klan Otori IV Page 28

"Dia berkata jujur. Dia tidak membawa senjata." Dia berkata jujur. Dia tidak mem bawa senjata." Kisah Klan Otori IV Page 29

"Mengapa kau kemari?" sera Akio. "Rupanya kau sudah bosan hidup!" Mengapa kau kem ari?" sera Akio. "Rupanya kau sudah bosan hidup!" Kenji menatap tajam. Selama bertahuntahun ia bermimpi berhadapan dengan orang yan g telah menikahi dan terlibat dalam kematian putrinya. Tampak ada kerutankerutan di wajah Akio, rambutnya pun mulai memutih. Tapi badannya tampak sekuat baja; temyata usia tak mampu melunakkan maupun melembutkan sikapnya. "Aku datang membawa pesan dari Lord Otori," tutur Kenji tenang. "Kami tidak memanggilnya Lord Otori. Dia dikenal dengan nama Otori si Anjing. Ka mi tak ingin mendengar pesan apa pun darinya!" "Aku khawatir salah satu putramu sudah mati," Kenji bicara pada Gosaburo. "Putra sulungmu, Kunio. Tapi yang lainnya masih hidup, termasuk putrimu." Gosaburo menelan ludah. "Biarkan dia bicara," katanya pada Akio."Kita tak mau be randing dengan Si Anjing," sahut Akio. "Dengan mengutus pembawa pesan itu telah menunjukkan kelemahan," kata Gosaburo d engan nada memohon. "Dia sedang memohon pada kita. Setidaknya kita dengar dulu apa yang aka n Muto sampaikan." Gosaburo mencondongkan badan lalu bertanya pada Kenji. "Putriku? Dia tidak terluka?" "Tidak, dia baik-baik saja." Tapi putriku sudah mati enam belas tahun lalu. "Dia tidak disiksa?" "Kau harus tahu kalau penyiksaan kini dilarang. Anak-anakmu akan diadili dengan tuduhan percobaan pembunuhan, dan bisa dihukum mati, tapi mereka tidak disiksa. Kau tentu pernah m endengar bahwa Lord Otori memiliki sifat welas asih." "Satu lagi kebohongan dari Si Anjing," ejek Akio. "Tinggalkan kami, paman. Kesed ihan membuatmu lemah. Aku akan bicara dengan Muto berdua saja." "Anak-anak itu akan tetap hidup jika kau setuju untuk berdamai," sahut Kenji cep at, sebelum Gosaburo berdiri. "Akio!" Gosaburo memohon, air matamulai berlinang.

"Tinggalkan kami!" Akio juga berdiri, gusar, seraya mendorong tubuh orang tua it u ke pintu, menyuruhnya agar cepat keluar dari ruangan itu. "Sejujurnya," katanya saat kembali duduk. "Tua bangka bodoh itu tidak berguna la gi! Dia sudah mis kin, dan yang kini dia lakukan hanyalah meratap dan menyesali nasibnya. Biarkan Otori membunuh anak-anak itu, dan aku akan menghabisi ayahnya: kita akan menyingkirkan orang le mah." "Akio," tutur Kenji. "Kita bicara sebagai sesama Ketua, sesuai cara Tribe menyel esaikan masalah. Dengar dulu apa yang akan kusampaikan. Setelah itu baru kau putuskan apa yang te rbaik bagi Kikuta dan Tribe, bukan berdasarkan kebencian dan amarah pribadimu, karena ini akan men ghancurkan mereka dan dirimu. Mari kita ingat lagi sejarah Tribe, bagaimana kita bisa berta han sejak dulu kala. Kita selalu bekerjasama dengan para bangsawan yang hebat: janganlah kita menentan g Otori. Apa yang dilakukannya di Tiga Negara baik adanya: disetujui masyarakat, baik petani a taupun ksatria. Masyarakat yang dibentuknya berjalan lancar; rakyat bahagia; tak ada yang mati k elaparan dan tak ada penyiksaan. Hentikan permusuhanmu. Sebagai imbalannya, keluarga Kikuta akan d imaafkan: Tribe akan bersatu lagi. Menguntungkan bagi kita semua." Nada suaranya seakan mengandung sihir yang membuat ruangan senyap dan semua oran g yang berada di luar bungkam. Kenji tahu kalau Hisao sudah kembali dan sedang berlutut tepat di balik pintu. Saat ia berhenti bicara, dikumpulkan tenaga lalu membiarkan gelombang ten aganya mengalir memenuhi ruangan itu. Dirasakannya ketenangan menyapu semua orang, mereka duduk dengan mata setengah terpejam. "Dasar penyihir tua bangka." Akio memecahkan kesunyian dengan teriakan penuh amar ah. "Tua bangka licik. Kau tak bisa menjebakku dengan kebohonganmu. Tadi kau mengatakan S i Anjing melakukan hal baik! Rakyat gembira! Apa untungnya semua ini bagi Tribe? Kau suda h lemah seperti Gosaburo. Ada apa dengan kalian, orangorang tua? Apakah Tribe membusuk dari dalam ? Andai Kotaro masih hidup! Tapi Si Anjing membunuhnya dia membunuh pemimpin keluarganya s endiri, pada Kisah Klan Otori IV Page 30

siapa dia harus menyerahkan hidupnya atas kejahatan yang dia lakukan. Kau saksin ya: kau mendengar sumpah si Anjing saat di Inuyama. Dia melanggar sumpah itu jadi dia sud ah iapa dia harus menyerahkan hidupnya atas kejahatan yang dia lakukan. Kau saksiny a: kau mendengar sumpah si Anjing saat di Inuyama. Dia melanggar sumpah itu jadi dia sud ah Kisah Klan Otori IV Page 31

sepantasnya mati. Tapi dia malah membunuh Kotaro, Ketua dari keluarganya dengan ep antasnya mati. Tapi dia malah membunuh Kotaro, Ketua dari keluarganya dengan bantuannmu. Dia tidak bisa dimaafkan. Dia harus mati!" "Aku takkan berdebat tentang mana tindakannya yang salah dan yang benar," sahut Kenji. "Dia melakukan apa yang harus dilakukan saat itu, dan yang pasti, hidupnya dijalani l ebih baik sebagai Otori ketimbang sebagai Kikuta. Tapi semua itu telah berlalu. Kumohon kau hentik an perlawananmu agar Kikuta bisa kembali ke Tiga Negara Gosaburo bisa menjalankan lagi bisnisnya! dan menikmati hidup selayaknya. Jika tetap tak mau berdamai, maka menyerahlah: kau t akkan berhasil membunuhnya." "Semua orang pasti mati," sahut Akio. "Tapi dia takkan mati di tanganmu," ujar Kenji. "Betapa pun kau menginginkannya. Aku bisa meyakinkanmu akan hal itu." Akio menatapnya dengan memicingkan mata. "Pengkhianatanmu pada Tribe harus dihuk um." "Aku telah melindungi keluargaku dan Tribe. Kau yang menghancurkannya. Aku kemar i sebagai utusan, dan aku akan kembali dengan cara yang sama. Akan kusampaikan pesanmu yan g patut disesalkan pada Lord Otori." Kenji begitu berwibawa sehingga Akio membiarkannya berdiri lalu berjalan keluar ruangan. Sewaktu lewat Hisao masih berlutut di luar, Kenji berkata, seraya membalikkan badan, "In i putramu? Kurasa dia tidak memiliki kemampuan Tribe. Ijinkan dia menemaniku sampai ke gerbang. Mari, Hisao." Kenji bicara ke belakang dalam bayang-bayang. "Kau tahu di mana bisa menemukan kami bi la kau berubah pikiran." Baiklah, pikimya saat melangkah keluar dari beranda dan kerumunan memberi jalan padanya, ternyata aku masih hidup lebih lama. Begitu sampai di tempat terbuka dan di luar jangkauan tatapan Akio, ia bisa saja menghilang lalu melenyapkan diri ke pedesaan. Tapi adakah pel uang ia membawa bocah itu? Penolakan Akio tidak mengejutkannya. Tapi ia senang Gosaburo dan yang lainnya ju ga mendengar. Selain rumah utama, desa itu kelihatan menyedihkan. Pasti sulit menjalani hidup d i sini, apalagi di

musim dingin. Kebanyakan penghuninya pasti mendambakan, seperti halnya Gosaburo, hidup nyaman di Matsue dan Inuyama. Kepatuhan mereka pada Akio, dirasakan oleh Kenji, lebih karena ketakutan ketimbang rasa hormat; ada kemungkinan anggota lain Kikuta menentang ke putusannya, apalagi jika itu berarti sandera akan dibiarkan hidup. Saat Hisao muncul dari belakang dan berjalan di sampingnya, Kenji menyadari ada kehadiran lain yang mengambil tempat setengah tubuh dan pikiran bocah itu. Dahinya berkerut, dan sesekali menaikkan tangan-nya memegangi pelipis kirinya dengan ujung jari. "Kepalamu saki t?" "Mmm." Dia mengangguk tanpa bicara. Mereka sudah separuh jalan. Bila berhasil sampai di tepi sawah, lalu berlari di pematang ke hutan bambu.... "Hisao," bisik Kenji. "Aku ingin kau ikut denganku ke Inuyama. Temui aku di temp at tadi kita bertemu. Kau mau?" "Aku tak bisa pergi dari sini! Aku tak bisa meninggalkan ayahku!" Lalu ia berser u kesakitan, lalu terjatuh. Hanya tinggal lima puluh langkah lagi. Kenji tidak berani berbalik, tapi ia yaki n tak ada yang mengikutinya. la terus berjalan dengan tenang, tanpa tergesa-gesa, tapi Hisao be rjalan terseok-seok di belakangnya. Saat berbalik untuk memberi Hisao semangat, Kenji melihat kerumunan orang masih memerhatikan. Tiba-tiba ada yang menyeruak dari sela-sela mereka. Akio, diikuti oleh Kazuo: ke duanya sudah menarik belati. "Hisao, temui aku," katanya, lalu menghilang, tapi ketika sosok tubuhnya menghila ng, Hisao menangkap lengannya dan berteriak, "Bawa aku! Mereka takkan membiarkanku pergi! Tapi dia ingin ikut denganmu!" Mungkin karena Kenji sedang dalam keadaan menghilang dan berada di antara dua du nia, mungkin Kisah Klan Otori IV Page 32

juga karena perasaan Hisao yang meledak-ledak, tapi saat itu Kenji melihat apa y ang Hisao lihat.... uga karena perasaan Hisao yang meledak-ledak, tapi saat itu Kenji melihat apa yang Hisao lihat.... Kisah Klan Otori IV Page 33

Inuyama. Meskipun diperlakukan dengan baik, namun tetap saja mereka adalah tawan an. nuyama. Meskipun diperlakukan dengan baik, namun tetap saja mereka adalah ta wanan. Kisah Klan Otori IV Page 35

Setelah salju mencair, dan Kenji berangkat melaksanakan misinya, Kaede serta put riputrinya pergi ke Hagi bersama Shizuka. Takeo melihat kegelisahan istrinya pada si kembar semak in bertambah. Ia memikirkan kemungkinan Shizuka mengajak salah satu dari mereka, mungkin Maya, ke desa tersembunyi Muto, Kagemura selama beberapa minggu. Takeo pun menunda waktu untuk meninggalkan Inuyama, berharap mendapat kabar dari Kenji di bulan ini. Namun ket ika hingga bulan keempat muncul dan masih belum ada kabar, dengan enggan ia pergi ke Hofu. Ia mem beri instruksi agar Taku mengirimkan semua pesan kepadanya di sana. etelah salju mencair, dan Kenji berangkat melaksanakan misinya, Kaede serta putr iputrinya pergi ke Hagi bersama Shizuka. Takeo melihat kegelisahan istrinya pada si kembar semak in bertambah. Ia memikirkan kemungkinan Shizuka mengajak salah satu dari mereka, mungkin Maya, ke desa tersembunyi Muto, Kagemura selama beberapa minggu. Takeo pun menunda waktu untuk meninggalkan Inuyama, berharap mendapat kabar dari Kenji di bulan ini. Namun ket ika hingga bulan keempat muncul dan masih belum ada kabar, dengan enggan ia pergi ke Hofu. Ia mem beri instruksi agar Taku mengirimkan semua pesan kepadanya di sana. Selama berkuasa, ia sering melakukan perjalanan, membagi hari-hari dalam setahun dari satu kota ke kota lainnya di Tiga Negara. Kadang ia melakukan perjalanan dengan semua keme gahan yang diharapkan dari seorang penguasa besar, kadang ia menyamar untuk dapat berbaur d engan rakyat biasa dan mengetahui pendapat, kegembiraan serta kebahagiaan mereka. Takeo tidak akan melupakan kata-kata Otori Shigeru kepadanya: Karena Kaisar yang begitu lemah seh ingga bangsawan seperti Iida bisa merajalela. Sebenarnya kaisar berkuasa atas Delapan Pulau, namun dalam pelaksanaannya, berbagai daerah mengurus masalah mereka sendiri: Tiga Negara dilanda konflik akibat para bangsawan berebu t wilayah dan kekuasaan. Kini ia dan Kaede telah membawa kedamaian dan mempertahankannya dengan penuh perhatian pada seluruh wilayah dan berbagai aspek kehidupan rakyatnya. Hasil dari semua itu terlihat saat ia berkuda ke wilayah Barat. Didampingi para p engawal, dua pengawal terpercaya dari Tribe saudara sepupu Kuroda: Junpei dan Shinsaku, yang d ikenal sebagai Jun dan Shin serta jurutulisnya. Selama perjalanan ia memerhatikan tanda-t anda negeri yang damai: anak-anak yang sehat, desa yang makmur, sedikit pengemis serta tidak ada bandit. Tujuannya untuk membuat negara ini sangat aman hingga gadis belia pun bisa memeg ang kekuasaan, dan ketika tiba di Hofu, ia bangga dan puas bahwa Tiga Negara telah s esuai dengan

tujuannya itu. Ia tidak menduga apa yang menantinya di kota pelabuhan itu, ataupun curiga kalau di sana nanti kepercayaan dirinya akan goyah dan kekuasaannya terancam. Tampaknya begitu ia tiba di kota mana pun di Tiga Negara, utusan bermunculan di gerbang kastil atau kediaman ia tinggal: ingin mengadakan pertemuan, meminta bantuan, membutuhk an keputusan yang hanya bisa diputuskan olehnya. Beberapa dari masalah ini sebenarnya dapat d isampaikan pada petugas setempat, tapi terkadang ada keluhan atas para petugas itu sehingga haki m-hakim yang adil harus didatangkan. Musim semi ini, di Hofu, ada tiga mau empat kasus semacam ini , lebih dari yang Takeo harapkan. Hal ini membuatnya mempertanyakan keadilan dari administrasi sete mpat. Bahkan dua petani mengeluh kalau putra mereka dipaksa menjadi prajurit, dan seorang ped agang memberi informasi bahwa para prajurit menyita sejumlah besar batu bara, kayu, belerang d an nitrat. Zenko tengah menghimpun kekuatan dan senjata, pikirnya. Aku harus bicara padanya. Takeo mengatur untuk mengirim kurir ke Kumamoto. Namun, keesokan harinya Arai Ze nko yang telah diberi bekas wilayah ayahnya di bagian Barat dan juga Hofu datang dari Kuma moto dengan alasan hendak menyambut Lord Otori. Istrinya, Shirakawa Hana, adik bungsu Kaede, ikut bersamanya. Hana sangat mirip dengan kakak sulungnya, bahkan bila diperhatikan l ebih lama lagi kelihatan lebih cantik dibandingkan Kaede saat masih muda. Ia tidak suka maupun p ercaya pada Hana. Sepanjang tahun yang sulit setelah kelahiran si kembar, saat empat belas t ahun, Hana selalu mencari kesempatan untuk menggoda dirinya agar menjadikannya istri kedua atau se lir. Hana menjadi lebih dari sekadar godaan yang bisa diakui Takeo, dengan paras yang sama persis seperti Kaede muda, sebelum kecantikannya tercoreng. Bahkan Hana pernah menawarkan diri ketika kesehatan Kaede memburuk. Penolakan mantap Takeo untuk menganggap serius tawaran nya telah melukai dan mem-permalukan Hana: keinginan Takeo untuk menikahkannya dengan Zenk o justru membuat Hana kian gusar. Tapi Takeo memaksa: mereka menikah ketika Zenko berusia delapan belas tahun dan Hana enam belas tahun. Zenko sangat senang: persekutuan itu meru pakan kehormatan besar baginya; Hana bukan hanya cantik, tapi juga segera memberinya ti ga putra, semuanya sehat. Rasa tergila-gilanya pada Takeo segera digantikan rasa dendam pa danya dan iri pada kakaknya. Dia pun bertekad untuk mengambil alih kedudukan mereka. Takeo tahu niat ini karena adik iparnya lupa kalau ia memiliki pendengaran yang

sangat peka. Pendengarannya memang tidak setajam saat masih tujuh belas tahun, tapi masih cuk up baik untuk menguping per-cakapan rahasia, menyadari segala sesuatu yang ada di sekelilingny a, di mana posisi tiap orang di kastil, kegiatan mereka yang ada di pos jaga dan istal, siapa meng unjungi siapa di Kisah Klan Otori IV Page 36

malam hari dan untuk tujuan apa. Ia juga dapat membaca niat orang itu dari cara berdiri hingga gerakan tubuh. alam hari dan untuk tujuan apa. Ia juga dapat membaca niat orang itu dari cara b erdiri hingga gerakan tubuh. Kisah Klan Otori IV Page 37

Saat ini ia mengamati Hana yang sedang membungkuk di hadapannya, dengan rambut m enjuntai ke lantai, sedikit tersibak hingga menampakkan tengkuknya yang putih sempurna. Hana bergerak dengan luwes, terlepas dari kenyataan bahwa dia adalah ibu dari tiga orang anak: orang akan mengira usianya tak lebih dari delapan belas tahun, tapi sebenarnya dia seumur d engan adik Zenko, Taku: dua puluh enam tahun. aat ini ia mengamati Hana yang sedang membungkuk di hadapannya, dengan rambut me njuntai ke lantai, sedikit tersibak hingga menampakkan tengkuknya yang putih sempurna. Hana bergerak dengan luwes, terlepas dari kenyataan bahwa dia adalah ibu dari tiga orang anak: orang akan mengira usianya tak lebih dari delapan belas tahun, tapi sebenarnya dia seumur d engan adik Zenko, Taku: dua puluh enam tahun. Suaminya, di usia dua puluh delapan tahun, tampak sangat mirip dengan ayahnya be rtubuh besar, gagah perkasa, bertenaga besar, ahli menggunakan panah dan pedang. Pada usia dua belas tahun dia menyaksikan ayahnya mati ditembak dengan senjata api, orang ketiga di Tiga Negar a yang mati dengan cara begitu. Dua orang lainnya adalah para bandit. Ia menyadari bila semu a ini dijadikan satu maka bisa menimbulkan sakit hati yang mendalam pada pemuda itu, dan bisa berubah menjadi kebencian. Kedua orang ini tidak menunjukkan tanda-tanda kedengkian. Sambutan dan pertanyaa n mereka mengenai kesehatan diri juga keluarganya terasa berlebihan. Ia menjawab dengan s ikap yang sama sopannya, menutupi kenyataan kalau ia merasa lebih kesakitan ketimbang biasanya karena udara yang lembap. "Kalian tidak perlu repot-repot datang," katanya. "Aku hanya akan berada di Hofu selama satu atau dua hari." "Oh, tapi Lord Takeo harus tinggal lebih lama." Hana angkat bicara, seperti yang sering dia lakukan sebelum suaminya sempat bicara. "Anda harus tinggal di sini sampai musim hujan s elesai. Anda tidak bisa bepergian dalam keadaan cuaca seperti ini." "Aku pernah melakukan perjalanan dalam cuaca yang lebih buruk," sahut Takeo samb il tersenyum. "Kami senang bisa menghabiskan waktu bersama kakak ipar," kata Zenko. "Baiklah, ada satu atau dua hal yang perlu kita bicarakan," sahut Takeo, memutus kan untuk menanggapi basa-basi ini. "Tidak ada kebutuhan, pastinya, untuk meningkatkan jum

lah pasukan, dan aku ingin tahu lebih banyak tentang kekuatan apa yang sedang kau himpun." Keterusterangannya yang keluar tepat setelah sopan-santun tadi, mengejutkan mere ka. Takeo tersenyum lagi. Mereka pasti tahu, tak banyak hal yang bisa luput dari perhatian nya di seluruh Tiga Negara. "Kebutuhan senjata selalu ada," tutur Zenko. "Tombak, pedang, panah dan sebagain ya." "Berapa banyak orang yang kau kumpulkan? Paling banyak lima ribu orang. Catatan k ami menunjukkan mereka semua dipersenjatai. Bila senjata mereka hilang atau rusak, ma ka mereka harus menggantinya dengan biaya sendiri. Keuangan wilayah bisa dijalankan dengan baik." "Dari Kumamoto dan distrik selatan, ya, benar lima ribu orang. Tapi ada banyak o rang yang tidak terlatih dengan usia cukup untuk bertempur di wilayah Seishuu lainnya. Tampaknya ini kese mpatan emas untuk memberi mereka pelatihan dan senjata, bahkan jika mereka kembali ke sawahnya unt uk panen." "Klan Seishuu kini tunduk pada Maruyama," sahut Takeo dengan nada ringan. "Bagai mana pendapat Sugita Hiroshi tentang rencanamu?" Hiroshi dan Zenko tidak menyukai satu sama lain. Takeo tahu Hiroshi memendam has rat untuk menikahi Hana, dan kecewa ketika perempuan idamannya itu menikah dengan Arai Zen ko, walaupun Hiroshi tidak pernah mengatakannya. Kedua pemuda itu tidak saling menyukai sejak pertama kali mereka bertemu bertahun-tahun silam semasa perang saudara. Hiroshi dan Taku, adik Zenko , adalah teman dekat, jauh lebih dekat ketimbang. Kedua kakak beradik yang semakin dingin. "Aku belum sempat bicara dengan Sugita," aku Zenko. "Baiklah, kelak kita bicarakan masalah ini dengannya. Nanti kita semua akan bertemu di Maruyama pada bulan kesepuluh dan mengkaji ulang kebutuhan pasukan di wilayah Barat." "Kita menghadapi ancaman dari kaum barbar," tutur Zenko. "Wilayah Barat terbuka lebar bagi mereka: Klan Snshuu belum pernah menghadapi serangan dari laut. Kami tidak siap. " Kisah Klan Otori IV Page 38

"Tujuan orang-orang asing itu sebenarnya hanyalah berdagang," sahut Takeo. "Mere ka berada jauTujuan orang-orang asing itu sebenarnya hanyalah berdagang," sahut Takeo. "Mereka berada jauh dari kampung halaman mereka, kapal-kapal mereka kecil. Mereka mestinya jera deng an serangan di Mijima; maka sekarang mereka harus berurusan dengan kita melalui diplomasi. Pert ahanan terbaik kita melawan mereka adalah berdagang dengan damai." "Tapi mereka selalu membual tentang pasukan hebat raja mereka," timpal Hana. "Se ribu orang bersenjata api. Lima puluh ribu kuda. Satu ekor kuda mereka lebih besar dibandin gkan dua ekor kuda kita, kata mereka. Dan pasukan pejalan kaki mereka menyandang senjata api." "Semua ini, seperti yang kau katakan, hanyalah bualan," Takeo mengamati. "Aku be rani katakan kalau Terada Fumio membuat pernyataan serupa tentang keunggulan kita di kepulauan wilayah Barat dan pelabuhan di Tenjiku dan Shin." Dilihatnya ekspresi wajah Zenko berker ut saat nama Fumio disebut. Fumio yang menembak ayah Zenko saat gempa mengguncang dan menghancurkan pasukan Arai. Takeo menghela napas panjang, ingin tahu apakah mungkin menghapusk an keinginan balas dendam Zenko. Zenko berkata, "Di sana kaum barbar juga menggunakan perdagangan sebagai alasan untuk menjejakkan kaki. Lalu mereka melemahkan dari dalam dengan agama mereka, dan ser angan dari luar. Mereka akan mengubah kita semua menjadi budak mereka." Zenko mungkin benar, pikir Takeo. Orangorang asing itu sebagian besar terkurung d i Hofu, dan Zenko bertemu dengan lebih banyak orang-orang itu ketimbang ksatrianya sendiri. K endati menyebut dengan kata kaum barbar, Zenko tampak terkesan dengan senjata dan kapal mereka. Seandainya mereka bergabung di wilayah Barat... "Kau tahu kalau aku menghormati pendapatmu dalam masalah ini," sahutnya. "Akan k ita tingkatkan pengawasan terhadap orang-orang asing itu. Apabila nanti diperlukan lebih banyak pasukan, akan kuberitahukan kepadamu. Dan nitrat hanya boleh dibeli langsung oleh klan." Takeo memerhatikan selagi Zenko membungkuk dengan enggan, segaris rona warna di l ehernya menandakan kekesalannya atas peringatan keras tadi. Takeo teringat saat menempel kan pisau di leher Zenko. Kalau saja saat itu ia menggunakan pisau dengan baik, ia bisa terhi ndar dari banyak masalah. Namun kala itu Zenko hanyalah bocah kecil; ia belum pernah membunuh ana k-anak dan berdoa semoga tidak akan pernah. Zenko adalah bagian dari takdirku, pikirnya. Ak

u harus hadapi dia dengan hati-hati. Apa lagi yang bisa kulakukan untuk menjinakkan dirinya? Hana berkata dengan suara selembut madu. "Kami takkan melakukan apa pun tanpa be rkonsultasi dengan Lord Otori. Sesungguhnya kami hanya menaruh perhatian pada Anda sekeluarga serta kemakmuran Tiga Negara. Anda sehat-sehat saja, kurasa. Bagaimana dengan kakak sul ungku, juga ketiga putri Anda yang cantik-cantik?" "Terima kasih: mereka semua sehat-sehat saja." "Satu kesedihan yang mendalam bagiku karena tidak punya anak perempuan," lanjut Hana, tatapan matanya lenang, serius dan agak malu-malu. "Seperti yang Lord Otori ketahui, kam i hanya punya anak laki-laki." Mau ke mana arah pembicaraannya? Takeo penasaran. Zenko yang kurang memiliki kehalusan dalam berbicara dibandingkan istrinya lalu bicara dengan nada datar. "Lord Otori pasti sangat ingin memiliki putra." Ah! pikir Takeo, lalu berkata, "Karena sepertiga negara kiia sudah diwariskan me lalui garis keturunan perempuan, hal itu tak menjadi masalah. Putri sulung kami pada akhirnya akan men jadi penguasa Tiga Negara." "Tapi Anda harus tahu kebahagiaan memiliki anak laki-laki," seru Hana. "Ijinkan kami memberikan salah satu putra kami." "Kami ingin Anda mengangkat salah satu putra kami," ujar Zenko, tanpa basa-basi. "Sungguh itu suatu kehormatan besar serta membawa kebahagiaan tak terbilang bagi kami," gumam Kisah Klan Otori IV Page 39

Hana. Kisah Klan Otori IV Page 40

"Kalian sangat murah hati dan penuh pengertian," sahut Takeo. Kebenarannya adala h: ia tak ingin anak laki-laki. Ia lega Kaede tidak melahirkan lagi dan berharap istrinya tidak hamil lagi. Ramalan bahwa ia akan mati di tangan putranya sendiri tidaklah menakutkan, namun menoreh kan kesedihan mendalam pada dirinya. Saat itu Takeo berdoa, seperti yang sering dilakukannya, kalau kematiannya seperti kematian Shigeru, bukan seperti pemimpin Otori yang lain, Masahiro, yang mati digorok oleh anak haramnya. Ia juga berdoa dibiarkan hidup hingga tugasnya selesai dan putrin ya telah cukup dewasa untuk memerintah negeri ini. Kalian sangat murah hati dan penuh pengertian," sahut Takeo. Kebenarannya adalah : ia tak ingin anak laki-laki. Ia lega Kaede tidak melahirkan lagi dan berharap istrinya tidak hamil lagi. Ramalan bahwa ia akan mati di tangan putranya sendiri tidaklah menakutkan, namun menoreh kan kesedihan mendalam pada dirinya. Saat itu Takeo berdoa, seperti yang sering dilakukannya, kalau kematiannya seperti kematian Shigeru, bukan seperti pemimpin Otori yang lain, Masahiro, yang mati digorok oleh anak haramnya. Ia juga berdoa dibiarkan hidup hingga tugasnya selesai dan putrin ya telah cukup dewasa untuk memerintah negeri ini. Karena tak ingin menghina mereka dengan langsung menolak tawaran itu. Sesungguhny a amat pantas mengangkat keponakan istrinya: bahkan mungkin kelak ia bisa menjodohkan a nak itu dengan salah satu putrinya. "Mohon kami diberi kehormatan dengan menerima dua putra tertua kami," tutur Hana . Ketika Takeo mengangguk setuju, Hana bangkit dan berjalan ke pintu dengan luwes, sangat mirip dengan Kaede. Lalu masuk kembali bersama kedua anaknya: usia mereka delapan dan enam tahun, me ngena-kan jubah resmi, diam terpaku dengan khidmat dalam pertemuan itu. Rambut mereka dita ta dengan bagian rambut yang panjang di bagian depan. "Yang sulung bernama Sunaomi, sedang adiknya, Chikara," tutur Hana selagi kedua bocah itu membungkuk sampai ke lantai di hadapan paman mereka. "Ya, aku ingat," sahut Takeo. Sudah tiga tahun ia belum bertemu kedua bocah ini, dan belum pernah bertemu putra bungsu Hana yang lahir tahun lalu. Kedua anak itu tampan: yang sul ung mirip dengan Shirakawa bersaudara, dengan tulang punggung yang panjang serta struktur tulang y ang ramping. Sedangkan adiknya lebih bulat dan kekar, lebih mirip ayahnya. Takeo ingin tahu a pakah salah satu dari mereka mewarisi kemampuan Tribe dari neneknya, Shizuka. Nanti akan ditanyak annya pada

Taku atau Shizuka. Akan menyenangkan, renungnya, bagi Shizuka untuk mengasuh cuc unya. "Duduk tegak, anak-anak," kata Takeo. "Biarkan paman melihat wajah kalian." Takeo tertarik pada si sulung yang amat mirip Kaede. Usianya hanya tujuh tahun l ebih muda dari Shigeko, dan lima tahun lebih muda dari Maya dan Miki: perbedaan ini bukanlah ma salah dalam perkawinan. Diajukannya pertanyaan tentang pelajaran, kemajuan berpedang dan mem anah, dan senang dengan jawaban mereka yang cerdas serta jelas. Apa pun ambisi tersembunyi dan motif terselubung dari orangtua mereka, kedua bocah ini telah dididik dengan baik. "Kalian sangat murah hati," ujar Takeo lagi. "Aku akan membicarakannya dengan is triku." "Anak-anak akan bergabung bersama kita saat makan malam," ujar Hana. "Anda bisa lebih mengenal mereka nanti. Tentu saja, Sunaomi sudah menjadi kesayangan kakak sulungku." Kini Takeo ingat kalau ia pernah mendengar Kaede memuji Sunaomi karena kecerdasan nya. Ia tahu istrinya iri pada Hana dan menyesal karena tidak punya anak lakilaki. Mengangkat keponakannya mungkin bisa menjadi kompensasi, tapi jika Sunaomi menjadi putranya... Disingkirkannya pikiran itu jauh-jauh. Ia harus memutuskan yang terbaik saat ini : jangan sampai ia terpengaruh oleh ramalan yang mungkin saja tidak akan terjadi. Ketika Hana pergi bersama kedua anaknya, Zenko berkata, "Aku ingin ulangi kalau i ni akan menjadi kehormatan bagi kami bila Anda mengangkat Sunaomi atau Chikara: Anda harus memilih ." "Kita bicarakan ini pada bulan kesepuluh." "Bolehkah aku mengajukan satu permoho nan lagi?" Ketika Takeo mengangguk, Zenko melanjutkan, "Aku tak ingin menyinggung perasaan dengan mengingat masa lalu, tapi Anda ingat Lord Fujiwara?" "Tentu saja," jawab Takeo, menahan rasa kaget dan marah. Lord Fujiwara adalah ba ngsawan yang telah menculik istrinya. Bangsawan itu mati dalam bencana gempa tapi Takeo tidak pernah memaafkannya. Kaede telah bersumpah bahwa bangsawan itu tak pernah tidur dengann ya, namun ada semacam ikatan aneh antara mereka berdua; Fujiwara telah memikat dan menyanj ungnya; Kaede telah membuat perjanjian dengan lakilaki itu dan menceritakan rahasia palin g pribadi tentang cinta Takeo. Juga pernah membantu keluarga Kaede dengan uang, makanan, juga bany

ak hadiah. Fujiwara menikahi Kaede dengan restu Kaisar. Fujiwara pernah berusaha agar Kaede mati Kisah Klan Otori IV Page 41

bersamanya: Kaede berhasil lolos walaupun rambutnya terbakar, menyebabkan bekas lukarsamanya: Kaede berhasil lolos walaupun rambutnya terbakar, menyebabkan beka s luka, kehilangan kecantikannya. "Putranya berada di Hofu dan ingin bertemu secara resmi dengan Anda." Takeo tidak berkata sepatah kata pun, enggan untuk mengakui kalau ia tidak menge tahuinya. "Dia menggunakan nama keluarga ibunya, Kono. Tiba dengan kapal beberapa hari lal u, berharap bisa bertemu Anda. Kami telah berhubungan melalui surat tentang hana warisan ayahnya. Ayahku, seperti yang Anda tahu, berhubungan baik dengan ayahnya aku mohon maaf telah membu at Anda teringat masa-masa yang tak menyenangkan dan Lord Kono membicarakan tentang masala h penyewaan dan pajak." "Sepanjang ingatanku, harta Fujiwara telah digabungkan dengan wilayah Shirakawa." "Secara hukum Shirakawa juga merupakan milik Fujiwara, setelah pernikahannya, ma ka kini menjadi milik putranya. Karena Fujiwara diwariskan melalui garis keturunan laki-laki. Ji ka wilayah itu bukan hak Kono, maka seharusnya diteruskan pada pewaris laki-laki berikutnya." "Yaitu putra sulungmu, Sunaomi," timpal Takeo. Zenko menunduk tanpa bicara. "Enam belas tahun telah berlalu sejak kematian ayahnya. Mengapa kini dia tibatiba muncul?" tanya Takeo. "Waktu berlalu dengan cepat di ibukota," sahut Zenko. "Dia utusan Yang Mulia Kai sar." Atau barangkali karena seseo rang punya rencana jahat, kau atau istrimu hampir pas ti istrimu melihat bagaimana Kono bisa dimanfaatkan untuk lebih menekanku, maka Kono dihubu ngi melalui surat, pikir Takeo, menyembunyikan kemarahannya. Hujan semakin deras menerpa atap, dan bau tanah yang basah mengapung di depan ta man. "Dia boleh datang dan bertemu denganku besok," kata Takeo akhirnya. "Ya. Keputusan yang bijaksana," sahut Zenko. "Lagi pula jalan terlalu becek dan berlumpur untuk meneruskan perjalanan."

*** Pertemuan ini semakin menambah kegelisahan Takeo, mengingatkannya betapa Arai Zen ko sangat perlu diawasi: betapa mudahnya ambisi mereka dapat menggiring Tiga Negara kembal i perang saudara. Sore berlalu dengan suasana cukup menyenangkan: ia minum sake secukupnya untuk menyembunyikan rasa sakit, dan kedua anak laki-laki itu menghidupkan suasana dan menghibur. Meteka baru saja bertemu dengan dua orang asing di ruangan ini dan sangat bersem angat dengan pertemuan itu: bagaimana Sunaomi bicara pada mereka dengan menggunakan bahasa me reka yang telah dipelajari bersama ibunya; bagaimana orang-orang asing itu kelihatan seper ti goblin dengan hidung panjang dan janggut lebatnya, yang satu berambut merah sedangkan yang lain nya berambut hitam, tapi Chikara sama sekali tidak takut. Mereka memerintahkan para pelayan un tuk mengambilkan salah satu kursi yang dibuat oleh orang asing dari kayu eksotis, jati, dibawa dari pelabuhan pedagangan besar yang dikenal dengan n ama Fragrant Harbour dalam kekuasaan kapal nana milik Terada yang juga membawa mangkuk jasper , lapis lazuli, kulit macan, gading dan giok menuju kota-kota di Tiga Negara. "Sangat nyaman," ujar Sunaomi, memperagakan. "Agak mirip tahta Kaisar," kata Hana, tertawa. "Tapi mereka tidak makan menggunakan tangan!" kata Chikara, kecewa. "Aku ingin m elihatnya." "Mereka belajar sopan santun dari bangsa kita," tutur Hana. "Mereka berusaha ker as, sama kerasnya dengan usaha Lord Joao mempelajari bahasa kita." Takeo agak merinding mendengar nama itu, sangat mirip dengan nama gelandangan Jo -An. Ia begitu menyesali tindakannya yang telah memenggal Jo-An, dan pengemis itu sering hadir dalam mimpinya. Kisah Klan Otori IV Page 42

Orang-orang asing itu memiliki kepercayaan yang serupa dengan kepercayaan kaum H idden dan berdoa pada Tuhan Rahasia. Bedanya, orangorang asing itu mempraktikannya secara te rbuka, ang-orang asing itu memiliki kepercayaan yang serupa dengan kepercayaan kaum Hid den dan berdoa pada Tuhan Rahasia. Bedanya, orangorang asing itu mempraktikannya secara te rbuka, Kisah Klan Otori IV Page 43

bersama mereka lalu memeriksa catatan-catatan Shirakawa dan Fujiwara, membicarak an rincian serta mempertanyakan ketidaksesuaian sampai langit mulai berwarna pucat dan terd engar kicau rsama mereka lalu memeriksa catatan-catatan Shirakawa dan Fujiwara, membicarakan rincian serta mempertanyakan ketidaksesuaian sampai langit mulai berwarna pucat dan terd engar kicau Kisah Klan Otori IV Page 45

burung dari taman. Takeo memiliki ingatan yang baik, visualisasi dan daya tangka p yang kuat; semua itu berkat latihan selama bertahuntahun. Sejak bertarung melawan Kotaro, saat keh ilangan kedua jari di tangan kanannya. Ia mendiktekan banyak hal pada juru tulisnya, dan ini j uga menambah kekuatan ingatan. Dan seperti ayah angkatnya, Shigeru. ia menjadi sangat menyuka i serta menghargai catatan: bagaimana segalanya bisa dicatat serta diingat; bagaimana ca tatan bisa mendukung dan memperbaiki ingatan. rung dari taman. Takeo memiliki ingatan yang baik, visualisasi dan daya tangkap yang kuat; semua itu berkat latihan selama bertahuntahun. Sejak bertarung melawan Kotaro, saat keh ilangan kedua jari di tangan kanannya. Ia mendiktekan banyak hal pada juru tulisnya, dan ini j uga menambah kekuatan ingatan. Dan seperti ayah angkatnya, Shigeru. ia menjadi sangat menyuka i serta menghargai catatan: bagaimana segalanya bisa dicatat serta diingat; bagaimana ca tatan bisa mendukung dan memperbaiki ingatan. Pemuda istimewa ini mendampinginya hampir sepanjang waktu akhir-akhir ini; salah satu dari banyak anak laki-Iaki yang menjadi yatim piatu karena bencana gempa bumi di usia sepulu h tahun, dia menemukan tempat berlindung di Terayama dan dididik di sana; kecerdasan dan kemam puannya yang cepat dengan kuas sudah diakui, begitu pula dengan kerajinannya ia merupakan salah satu dari orang-orang yang belajar dengan hanya ditemani cahaya kunang-kunang dan pan tulan salju, begitu kata pepatah dan akhirnya dia dipilih Makoto untuk bergabung dalam lingkung an rumah tangga Lord Otori di Hagi. Bersifat pendiam, dan tidak peduli dengan sake, kepribadiannya agak membosankan bila ditilik dari penampilannya, namun memiliki komentar tajam bernada sarkasme saat hanya berdua dengan Takeo, tidak terkesan oleh siapa pun atau apa pun, memperlakukan semua orang dengan ras a hormat, memerhatikan semua kekurangan dan kelebihan dengan jernih dan sikap welas asih tanpa prasangka. Namanya Minoru, yang membuat Takeo senang karena ia sendiri pernah me mbawa nama itu dalam jangka waktu yang begitu pendek hingga terasa seperti kehidupanny a yang lain. Ia menulis dengan cepat dan indah. Kedua tanah warisan itu rusak parah akibat gempa, rumah-rumah yang besar dan ind ah di pedesaan luluh lantak terbakar api. Shirakawa telah dibangun kembali dan adik iparnya yan g satu lagi, Ai, secara teratur mengunjunginya dalam satu tahun bersama putri-putrinya. Suaminya, Sonoda Mitsuru sesekali mendampingi, namun tugas seringkali menahannya di Inuyama. Ai adalah ora

ng yang praktis dan pekerja keras serta memanfaatkan contoh yang telah dibuat kakaknya. Shirakawa telah pulih dari pengelolaan yang salah serta diabaikan oleh ayah mereka dan semakin b erkembang, memberi keuntungan besar dalam bentuk beras, mulberi, persimmon, sutra serta ker tas. Tanah kekayaan milik Fujiwara selama ini diatur oleh Shirakawa; pada dasarnya lebih ka ya dan kini pun menunjukkan keuntungan yang mencukupi. Takeo agak enggan untuk mengembalikannya ke tangan putra Fujiwara, bahkan kalau pun dia merupakan pemilik yang sah. Seperti saat ini , keuntungan bekas wilayah Fujiwara ini meyumbang pada perekonomian Tiga Negara. Ia curiga Ko no ingin mengambil sebanyak mungkin, memeras sumber daya yang ada sebanyak-banyaknya, tal u menghabiskan hasilnya di ibukota. Ketika hari sudah terang, Takeo mandi. kemudian tukang cukur mencabut dan merapi kan rambut dan janggutnya. Makan sedikit nasi dan sup kemudian mengenakan pakaian resmi untuk p ertemuan dengan putra Fujiwara, menemukan sedikit kenyamanan pada kelembutan kain sutra s erta motif yang tidak mengumbar keanggunan: bunga belukar wisteria berwarna ungu muda di atas lat ar berwarna ungu tua pada jubah bagian dalam dan tenunan yang lebih abstrak pada bagian luar nya. Pelayan menempatkan sebuah topi hitam kecil di atas kepalanya, dan Takeo mengambi l pedangnya, Jato, dari rak ukiran yang sangat indah tempat pedang itu berada sepanjang malam lalu menggantungkan di sabuknya, seraya memikirkan segala macam bentuk sarung pembung kus yang pernah dilihatnya, mulai dari kulit ikan hiu hitam lusuh yang membungkus peganga nnya ketika, di tangan Shigeru telah menyelamat-kan hidupnya. Kini baik pegangan maupun sarungny a dihiasi dengan dekorasi yang indah dan Jato sudah tidak pernah lagi merasakan darah sela ma bertahuntahun. Ia ingin tahu apakah akan mengeluarkan pedang itu dari sarungnya lagi dalam perte mpuran, dan bagaimana ia bisa menggunakan pedang itu dengan tangan kanannya yang sudah ti dak utuh. Takeo berjalan melintasi taman dari sayap timur menuju aula utama rumah besar da n indah itu. Hujan telah reda namun taman masih basah dan bunga wisteria bergelayut berat dengan si sa titik air hujan, aromanya berbaur dengan aroma rumput basah, aroma garam dari pelabuhan dan segal a macam bebauan dari kota. Di balik dinding bisa didengamya debak-debuk bunyi daun jende la ketika kota terbangun, dan dari kejauhan terdengar teriakan pedagang jalanan di pagi hari. Para pelayan melangkah tanpa suara di depannya, membuka pintu, pijakan lembut ka ki mereka di

lantai yang mengkilap. Minoru, yang tidak selesai sarapan, bergabung dengannya ta npa suara, membungkuk hormat kemudian berjalan beberapa langkah mengikuti di belakangnya. Seo rang pelayan berjalan di sampingnya membawa meja tulis, kertas, kuas, batu tinta dan air. Kisah Klan Otori IV Page 46

Zenko sudah di aula utama, berpakaian resmi seperti Takeo namun lebih mewah lagi , benang emaenko sudah di aula utama, berpakaian resmi seperti Takeo namun lebih mewah lagi, benang emas berkilauan di bagian kerah dan sabuknya. Takeo mengangguk ke arahnya, menyambut penghormatannya, lalu menyerahkan Jato ke tangan Minoru, yang kemudian menempatka n pedang itu dengan hati-hati di sebuah rak indah yang ada di sebelah samping. Pedang Zen ko sudah ditempatkan di rak yang sama. Takeo lalu duduk di ujung ruangan, melayangkan pan dangan ke sekeliling ruangan, melihat dekorasi, kertas kasa, ingin tahu bagaimana anggapan Kono tentang semua yang ada di sini setelah melihat istana Kaisar. Kediaman itu tidak sebesar maupun semegah seperti di Hagi atau Inuyama, dan ia menyesal karena tidak menerima kedatangan t amu bangsawannya di sana. Dia akan mendapat kesan yang salah mengenai kami: dia akan mengira kami tidak sopan dan sederhana. Apakah memang lebih baik dia berpikir seperti it u? Zenko berbicara tentang malam sebelumnya. Takeo mengungkapkan persetujuannya dan memuji mereka. Minoru menyiapkan tinta di atas meja tulis kecil lalu duduk dengan tumit , pandangan mata menunduk seolah sedang bermeditasi. Hujan turun perlahan. Tak lama kemudian mereka mendengar suara yang menyerukan ada tamu yang datang, a njing menyalak dan derap kaki berat pengangkat tandu. Zenko bangkit lalu berjalan ke b eranda. Takeo mendengarnya memberi salam pada tamu mereka, kemudian Kono melangkah masuk ke da lam ruangan. Keadaan menjadi agak canggung selama beberapa saat ketika tak satu pun dari mere ka merasa harus membungkuk memberi hormat lebih dulu; alis mata Kono bergerak cepat naik l alu membungkuk hormat, tapi dengan sikap santun santun yang dibuat-buat hingga menghilangkan ta nda penghormatan. Takeo menunggu lama satu helaan napas, kemudian membalas salam. "Lord Kono," sapanya dengan tenang. "Suatu kehormatan bagiku Anda bisa berkunjung kemari." Sewaktu Kono duduk tegak, Takeo mengamati wajahnya. Ia belum pernah bertemu denga n ayah bangsawan ini, tapi itu tidak mencegah Fujiwara untuk datang menghantui mimpi-mim pinya. Kini ia tengah memberi muka pada putra dari musuh lamanya, yang berdahi lebar, bentuk mu lut berlekuk, tanpa mengetahui bahwa Kono memang mirip ayahnya dalam beberapa hal, meskipun ti dak mirip sekali.

"Justru kehormatan bagiku bisa bertemu Lord Otori," sahut Kono, dan walaupun kat a-kata itu sopan, Takeo tahu bukan itu maksudnya. Dan hanya ada sedikit peluang untuk perbincangan yang jujur. Pertemuan itu akan alot dan tegang, dan ia haras bersikap cerdik, kelihatan mahi r serta penuh semangat. Takeo berusaha menenangkan diri, melawan kelelahan juga rasa sakit. Mereka mulai membicarakan tentang harta kekayaan, Zenko menjelaskan apa yang dia ketahui. Kono mengungkapkan keinginan untuk melihatnya sendiri, dan langsung dipenuhi Takeo ta npa protes karena merasa kalau Kono sebenarnya tidak terlalu tertarik pada wilayah itu dan tak bermaksud tinggal di sana; kalau dia mungkin hanya ingin diakui sebagai pemilik wilayah it u; kalau dia hanya ingin dikirimi sejumlah keuntungan tidak seluruh pajak tapi sebagian saja. Harta k ekayaan itu hanyalah alasan dari kunjungan Kono: alasan sempurna yang masuk akal. Kono datan g dengan tujuan lain, tapi dia terus membahas tentang hasil bumi sehingga Takeo mulai ber tanya-tanya kapan dia akan mengatakan tujuannya yang sebenarnya. Tak lama setelah itu, seorang penjaga datang membawa pesan untuk Lord Arai. Zenko meminta maaf dengan berlebihan lalu berkata kalau dia terpaksa pergi tapi akan bergabung lagi saat makan siang. Kepergiannya meninggalkan mereka berdua dalam kesenyapan. Minoru meletakkan kuasn ya, semua pembicaraan telah ditulisnya. Kono berkata, "Aku harus membicarakan satu hal yang memerlukan penanganan yang b ijaksana. Sebaiknya memang dibicarakan berdua saja dengan Lord Otori." Takeo menaikkan ali s lalu menjawab, "Juru tulisku tetap di sini." Ia memberi isyarat pada sisa pengawal ya ng lain untuk meninggalkan ruangan. Setelah semua orang pergi, Kono diam selama beberapa saat. Ketika bicara, nada s uaranya lebih hangat dan sikapnya lebih alami, tidak terlalu dibuat-buat. "Aku ingin Lord Otori tahu bahwa aku hanyalah seorang utusan. Aku tidak memendam kebencian terhadap Anda. Aku tahu sedikit sejarah dari kedua keluarga kita keadaan yang tida k sepantasnya terjadi pada Lady Shirakawa namun tindakan ayahku acapkali membuat ibuku dan aku t ertekan, ketika beliau masih hidup. Aku tidak percaya kalau ayahku tidak bersalah." Kisah Klan Otori IV Page 47

Tidak bersalah? pikir Takeo. Semua kesalahan justru ada padanya: penderitaan dan rusaknya wajaidak bersalah? pikir Takeo. Semua kesalahan justru ada padanya: pe nderitaan dan rusaknya wajah istriku, terbunuhnya Amano Tenzo, pembantaian tanpa perasaan pada kuda pertamaku , Raku, serta semua yang kehilangan nyawa di pertempuran Kusahara dan pada saat menarik mundur . Ia tidak bicara sepatah kata pun. Kono meneruskan, "Ketenaran Lord Otori telah menyebar ke seluruh Delapan Pulau. Kaisar pun sudah mendengarnya. Paduka Yang Mulia beserta kalangan Istananya mengagumi cara Anda mewujudkan kedamaian di Tiga Negara." "Aku merasa tersanjung." "Sayangnya semua prestasi hebat itu tidak mendapat persetujuan Kaisar." Kono ters enyum dengan keramahan dan pengertian yang tidak tulus. "Dan prestasi Anda berasal dari kemat ian aku tak ingin mengatakan itu sebagai pembunuhan perwakilan di Tiga Negara yang diakui Kaisar, Ar ai Daiichi." "Lord Arai tewas, seperti ayahmu, dalam gempa." "Aku rasa Lord Arai ditembak oleh salah satu pengikut Anda, perompak Terada Fumi o, yang pada dasarnya sudah penjahat. Gempa itu merupakan hukuman dari Surga sebagai akibat d ari tindak pengkhianatan melawan wakil kaisar: itu yang dipercaya di ibukota. Ada juga kema tian yang tak dapat dijelaskan, berhubungan dengan Kaisar yang berkuasa saat itu: kematian Lord Shir akawa, misalnya, kemungkinan di tangan Kondo Koichi, yang saat itu bekerja pada Anda, dan yang ju ga terlibat dalam kematian ayahku." Takeo membalas, "Kondo sudah meninggal bertahun-tahun lalu. Semua ini sudah menjadi masa lalu. Di Tiga Negara dipercaya bahwa Surga turun tangan untuk menghukum saudara-saudara dari kakekku dan Arai atas ti ndakan dan pengkhianatan keji mereka. Arai menyerang pasukanku yang tidak bersenjata. Bila ada yang disebut pengkhianatan, maka dialah yang berkhianat." Bumi menghantarkan apa yang diingink an Surga. "Nah, putranya, Lord Zenko, adalah saksinya dan laki-laki dengan kejujuran pasti lah berkata yang sebenarnya," sahut Kono acuh tak acuh. Tugasku yang tidak menyenangkan adalah me mberitahukan bahwa karena Anda tidak pernah meminta ijin atau dukungan dari Kaisar, tidak per nah mengirim pajak atau upeti ke ibukota, maka pemerintahan Anda dianggap tidak sah dan Anda diminta untuk turun takhta. Anda akan diampuni bila mengasingkan diri ke pulau terpencil. Peda ng keturunan leluhur

Otori harus dikembalikan kepada Kaisar." "Aku sungguh tidak mengerti Anda berani membawa pesan semacam ini," sahut Takeo, seraya menyembunyikan rasa kaget dan marahnya. "Di bawah kekuasaankulah Tiga Negara men jadi damai dan sejahtera. Aku tak berniat turun takhta sampai putriku cukup dewasa untuk me njadi pewarisku. Aku ingin membuat perjanjian dengan Kaisar, dan orang lain yang ingin mendekatik u dengan damai; aku memiliki tiga putri yang bisa kuaturkan pernikahan politis bagi mereka. Namu n aku takkan terintimidasi oleh ancaman." "Tidak seorang pun berani mengancam Anda," gumam Kono, sulit membaca ekspresi wa jahnya. Takeo bertanya, "Mengapa baru sekarang kau datang? Di mana minat Kaisar bertahunt ahun lalu, ketika Iida Sadamu menjarah Tiga Negara dan membunuhi rakyatnya? Apakah Iida ber tindak atas persetujuan Kaisar?" Dilihatnya Minoru agak menggerakkan kepala, dan berusaha mengendalikan kegusarann ya. Tentu saja Kono memang berharap untuk membuatnya gusar, berharap menggiringnya membuat pernyataan terbuka tentang sikap membangkang yang akan diartikan sebagai pembero ntakan selanjutnya. Zenko dan Hana ada di balik semua ini, pikirnya. Tapi pasti ada alasan lain meng apa mereka dan Kaisar berani bergerak menentang dirinya saat ini Kelemahan macam apa yang sedang mereka eksploitasi? Kekuatan tambahan apa yang mereka kira mereka punya? "Aku tak bermaksud untuk tidak menghormati Kaisar," ujar Takeo dengan hatihati. "N amun beliau dihormati di seluruh penjuru Delapan Pulau atas tujuannya untuk mewujudkan kedam aian. Tentu saja beliau takkan berperang melawan rakyatnya sendiri, kan?" Benarkah Kaisar takkan menggalang kekuatan untuk melawanku? "Lord Otori belum mendengar kabar terbaru," tutur Kono dengan nada sedih. "Kaisar telah menunjuk jenderal baru: keturunan salah satu keluarga tertua di wilayah Timur, pemimpin s epuluh ribu pasukan. Kisah Klan Otori IV Page 48

Lebih dari segalanya, Kaisar bertujuan damai, namun beliau tidak dapat mengampuni tindakan kriminal, dan kini beliau memiliki tangan kanan yang kuat untuk menegakkan hukum dan keadilan." bih dari segalanya, Kaisar bertujuan damai, namun beliau tidak dapat mengampuni t indakan kriminal, dan kini beliau memiliki tangan kanan yang kuat untuk menegakkan hukum dan keadilan." Kisah Klan Otori IV Page 49

Kata-kata yang dilontarkan dengan lembut itu mengandung sengatan penghinaan, dan Takeo merasakan gelombang panas dalam dirinya. Hampir tak tertahankan karena ia diangg ap penjahat: darah Otori dalam dirinya berontak menentang anggapan tersebut. Namun selama bertahuntahun ia telah memadamkan tantangan dan perselisihan melalui perundingan dan diplomasi yang cerd as. Ia tidak percaya kalau cara ini akan mengecewakannya sekarang. Dibiarkannya hinaan itu men yirami dirinya sambil berusaha mengendalikan diri, dan mulai mempertimbangkan jawaban s eperti apa yang akan ia berikan. ata-kata yang dilontarkan dengan lembut itu mengandung sengatan penghinaan, dan Takeo merasakan gelombang panas dalam dirinya. Hampir tak tertahankan karena ia diangg ap penjahat: darah Otori dalam dirinya berontak menentang anggapan tersebut. Namun selama bertahuntahun ia telah memadamkan tantangan dan perselisihan melalui perundingan dan diplomasi yang cerd as. Ia tidak percaya kalau cara ini akan mengecewakannya sekarang. Dibiarkannya hinaan itu men yirami dirinya sambil berusaha mengendalikan diri, dan mulai mempertimbangkan jawaban s eperti apa yang akan ia berikan. Jadi mereka mempunyai jenderal perang. Mengapa aku tak pernah mendengar namanya? Di mana Taku saat aku membutuhkannya? Di mana Kenji? Kelebihan senjata serta pasukan yang disiapkan Arai Zenko: mungkinkah mereka men dukung ancaman baru ini? Senjatasenjata: bagaimana kalau itu ternyata senjata api? Bagai mana jika mereka dalam perjalanan ke Timur? "Anda di sini sebagai tamu dari penguasa yang berada di bawah kekuasaanku, Arai Zenko," akhirnya ia berkata. "itu berarti tamuku juga. Kurasa Anda harus memper panjang masa ting gal Anda di wilayah Barat, mengunjungi kekayaan mendiang ayah Anda, lalu kembali bersama Lord Arai k e Kumamoto. Aku akan memanggil Anda sewaktu sudah kuputuskan bagaimana menjawab ke Kaisar, ke mana aku akan pergi jika ingin mengundurkan diri, dan bagaimana cara terbaik untuk me mpertahankan kedamaian." "Kuulangi lagi, aku hanyalah utusan," sahut Kono, lalu membungkuk dengan ketulus an yang jelas. Zenko kembali dan makan siang sudah siap: meskipun hidangannya mewah dan lezat, Takeo nyaris tidak bisa merasakannya. Perbincangan berjalan dengan ringan dan sopan; ia menco ba turut ambil

bagian di dalamnya. Saat mereka selesai makan, Kono dikawal oleh Zenko menuju ke wisma tamu. Jun dan Shin sudah menunggu di luar di beranda. Mereka bangkit dan mengikuti Takeo tanpa suara keti ka ia kembali ke kamarnya. "Lord Kono tidak boleh meninggalkan kediaman ini," katanya pada mereka, "Jun, te mpatkan penjaga di gerbang. Shin, segera ambil alih perintah di pelabuhan. Lord Kono akan tingga l di wilayah Barat sampai kuberikan ijin tertulis baginya untuk kembali ke Miyako. Hal yang sama ber laku juga untuk Lady Arai dan kedua putranya." Kedua saudara sepupu itu bertukar pandang tapi tidak berkomentar selain, "Tentu saja, Lord Otori." "Minoru," ujar Takeo pada juru tulisnya. "Pergilah dengan Shin ke pelabuhan dan cari tahu rincian tentang kapal-kapal yang sedang merapat, terutama yang menuju ke Akashi." "Aku mengerti," sahut Minoru. "Aku akan kembali secepatnya." Takeo bersantai di beranda lalu mendengarkan suasana di kediaman berubah ketika s emua instruksinya dilaksanakan: langkah kaki penjaga, perintah Jun yang keras serta dengan paksaan , para pelayan yang bingung berjalan bergegas dan komentar bisik-bisik, satu seruan terkejut dari Ze nko, saran Hana yang diucapkan dengan bergumam. Ketika Jun kembali, Takeo menyuruhnya untuk tetap berada di luar kamar dan jangan sampai ada orang yang mengganggunya. Kemudian ia istirahat di dalamnya, lalu membolak-balik catatan Minoru tentang pertemuan dengan Kono selag i menunggu juru tulisnya kembali. Huruf-huruf dalam tulisan seakan melompat ke arahnya dari halaman catatan, kaku dan goresan dalam tulisan tangan Minoru yang nyaris sempurna. Pengasingan, penjahat, pengkhi anatan. Takeo berjuang untuk mengendalikan amarahnya yang timbul akibat penghinaan semac am ini, sadar kalau Jun hanya berada tiga langkah darinya. Hanya tinggal mengeluarkan satu peri ntah lagi, dan mereka semua akan mati: Kono, Zenko, Hana dan anak-anaknya... darah mereka akan menyapu rasa malu yang bisa dirasakan menoreh lulangnya, mengikis organ-organ tubuhnya. Lalu ia akan menyerang Kaisar serta jenderalnya sebelum musim panas berakhir, mendesak mereka kembali ke Miyako, memporakporandakan ibukota. Hanya dengan cara inilah kemarahannya bisa re

da. Dipejamkan matanya, melihat motif gambar di kertas kasa terukir di kelopak matan ya, lalu menghela napas panjang, mengenang bangsawan lain yang telah membunuh untuk menyapu habis penghinaan dan akhimya mencabut nyawa orang lain demi kesenangannya sendiri, mem bayangkan betapa mudahnya mengambil jalan keluar seperti itu dan menjadi seperti Iida Sada mu. Kisah Klan Otori IV Page 50

Dengan penuh kesadaran, disingkirkannya rasa terhina dan tikaman rasa malu jauh-j auh, seraygan penuh kesadaran, disingkirkannya rasa terhina dan tikaman rasa malu jauh-jauh, seraya berkata pada dirinya sendiri kalau pemerintahannya memang ditakdirkan dan direstu i Surga: ia melihat restu ini dengan kehadiran burung houou, dengan kebahagiaan rakyatnya. P ada akhirnya kembali lagi pada keputusan untuk menghindari pertumpahan darah dan perang sebisa mungkin, dan tidak akan melakukan apa pun tanpa berkonsultasi dengan Kaede dan penasihat lainnya. Keputusan ini segera saja diuji kebenarannya, ketika Minoru kembali dari ruang ca tatan petugas pelabuhan. "Kecurigaan Lord Otori benar," tuturnya. "Dibuat seolah-olah satu kapal berangka t ke Akashi saat laut pasang semalam, tapi sertifikat pemeriksaan muatannya belum diisi. Shin membujuk kepala pelabuhan untuk segera menyelidikinya." Takeo memicingkan mata tanpa berkomentar. "Lord Otori jangan khawatir," ujar Minoru untuk meyakinkan. "Shin hamper tidak p erlu bertindak kasar. Orang-orang yang bertanggung jawab sudah dikenali; pegawai pabean yang mengijink an kapalnya berangkat, dan pedagang yang menangani muatan. Mereka sudah ditahan, menunggu ke putusan Anda tentang kelanjutan nasib mereka." Ia merendahkan suara. "Tak satu pun dari mereka mengakui dari mana asal muatan tersebut." "Kita harus mencurigai yang terburuk," sahut Takeo. "Mengapa pula harus menghinda ri prosedur pemeriksaan? Tapi jangan bicarakan hal ini secara terang-terangan. Kita harus be rusaha menangani mereka sebelum sampai di Akashi." Minoru tersenyum tipis. "Aku juga ada kabar baik untuk Anda. Kapal Terada Fumio sedang menunggu di galangan. Mereka akan tiba di Hofu saat laut pasang malam ini." "Dia datang di saat yang tepat," seru Takeo, semangatnya segera bangkit. Fumio d an ayahnya adalah teman lamanya yang mengawasi pasukan kapal yang digunakan Klan Otori untuk melak ukan perdagangan dan mempertahankan garis pantai mereka. Fumio pergi selama berbulanbulan bersama tabib Ishida, dalam perjalanan yang sering dilakukan untuk perdagangan d an penjelajahan.

"Katakan pada Shin untuk membawa pesan pada Fumio kalau dia akan kedatangan tamu malam ini. Pesannya tak perlu terlalu jelas. Fumio pasti mengerti." Takeo sangat lega untuk beberapa hal. Fumio pasti punya berita terbaru mengenai Kaisar; jika ia bisa segera berangkat, maka peluang untuk mengejar kapal ilegal itu cukup besar; dan Ishida pasti membawa obat-obatan, sesuatu yang bisa meredakan rasa sakitnya yang berkepanjangan. "Dan sekarang aku harus bicara dengan adik iparku. Panggil Lord Zenko untuk data ng menghadap." Ia senang punya alasan tentang petugas pabean untuk menekan adik iparnya. Zenko mengungkapkan permintaan maaf dan berjanji untuk mengatur eksekusinya, meyakinkan Takeo kalau itu adalah peristiwa yang jarang terjadi, hanya contoh dari keserakahan ma nusia. "Kuharap kau benar," sahut Takeo. "Aku ingin kau meyakinkan kesetiaan penuhmu ke padaku: kau berhutang nyawa padaku; kau menikah dengan adik istriku; ibumu adalah sepupuku d an sahabatku. Kau memegang Kumamoto atas keinginan dan ijinku. Kemarin kau menawarkan salah sa tu putramu kepadaku. Kuterima tawaranmu. Tentu saja aku akan membawa keduanya; saat berangk at ke Hagi mereka akan menemaniku. Mulai saat ini mereka akan tinggal bersama keluargaku da n dibesarkan sebagai putraku. Aku akan mengangkat Sunaomi, bila kau tetap setia padaku. Hidup Sunaomi dan adiknya akan diserahkan ke tanganku bila ada sedikit saja tanda ketidaksetiaan. Masalah pernikahan akan diputuskan nanti. Istrimu boleh bergabung dengan kedua putranya di Hagi, ji ka dia mau, tapi aku yakin kau menginginkan istrimu tetap bersamamu." Takeo mengamati wajah adik iparnya lekat-lekat ia bicara. Zenko tidak berani men atapnya. Bola matanya ikit berputar dan bicara terlalu cepat untuk memberi tanggapan. "Lord Takeo harus tahu kalau aku betulbetul setia. Apa yang telah Kono katakan hi ngga Anda beranggapan seperti ini? Apakah dia bicara tentang masalah-masalah di wilayah Ti mur? "Jangan pura-pura tidak tahu! Takeo tergoda ingin langsung menantangnya, tapi memutuskan kalau saatnya belum tiba. "Kita abaikan saja apa yang telah dikatakannya: itu tidak penting. Sekarang, di hadapan semua saksi di sini, ucapkan sumpah setiamu kepadaku." Kisah Klan Otori IV Page 51

Zenko melakukannya dengan membungkuk dalam-dalam, tapi Takeo ingat bagaimana ayah nya, Arai Daiichi, telah bersumpah setia hanya untuk mengkhianatinya, dan di saat yang pali ng genting lebih memilih kekuasaan melebihi dari nyawa kedua putranya. enko melakukannya dengan membungkuk dalam-dalam, tapi Takeo ingat bagaimana ayahn ya, Arai Daiichi, telah bersumpah setia hanya untuk mengkhianatinya, dan di saat yang pali ng genting lebih memilih kekuasaan melebihi dari nyawa kedua putranya. Putranya pun akan bersikap sama, pikirnya. Seharusnya kuperintahkan dia menca bu t nyawanya sekarang juga. Namun tak kuasa bertindak seperti itu, karena pada akhirnya semua kesedihan hanya akan menimpa keluarganya sendiri. Lebih baik tetap mencoba menjinakkannya, ketim bang membunuhnya. Tapi betapa lebih mudahnya kalau dia mati. Disingkirkannya pikiran itu seraya berjanji pada dirinya sendiri sekali lagi unt uk berpegang pada jalan yang lebih rumit dan sulit, jauh dari kemudahan yang menipu dari pembunuhan atau bunuh diri. Begitu Zenko selesai menyampaikan semua keberatannya, semua dicatat oleh Minoru, Takeo beristirahat di wismanya, berkata kalau ia akan makan sendirian dan istirahat lebih awal karena hendak berangkat ke Hagi keesokan paginya. Ia ingin sekali berada di rumah, berbaring bersama ist rinya dan membuka hati kepadanya, bertemu dengan putriputrinya. Dikatakannya pada Zenko agar kedua putranya harus siap melakukan perjalanan bersamanya. Sepanjang hari hujan turun dan reda. tapi saat ini langit mulai cerah, angin ber hembus lembut dari selatan meluluhkan awan gelap. Matahari tenggelam dalam warna merah muda dan cah aya keemasan yang membuat banyak warna hijau di taman bermandikan cahaya. Keadaan ak an baikbaik saja pada pagi hari, hari yang baik untuk melakukan perjalanan, baik juga untuk kegiatan malam hari yang terlintas di benaknya. Takeo mandi lalu mengenakan jubah dari bahan katun tipis seolah bersiap pergi ti dur, makan sedikit tapi tanpa minum sake, kemudian menyuruh semua pelayan pergi, mengatakan pada me reka kalau ia tak mau diganggu. Kemudian menenangkan dirinya sendiri, bersila di matras dengan mata terpejam dan kedua jari telunjuk dan ibu jari saling bersentuhan ditekan seakan tenggelam dalam posisi meditasi. Dipasang telinganya baik-baik untuk mendengarkan suara-suara di dalam kediaman. Tiap suara terdengar olehnya: percakapan pelan para penjaga di gerbang, pelayan dapur mengobrol sambil membersihkan piring lalu menyimpannya, anjing-anjing menyalak, musik dan

tempat minumminum di sekitar pelabuhan, gemuruh tanpa henti air laut, gemerisik dedaunan dan teria kan burung hantu dari gunung. Terdengar olehnya Zenko dan Hana membicarakan pengaturan untuk keesokan harinya, tapi percakapan yang sepele, seolah mereka ingat kalau ia mungkin saja sedang mendeng arkan. Dalam permainan berbahaya yang telah mereka mulai, mereka tidak mau ambil resiko Takeo mencuri dengar strategi mereka, terutama bila ia memang jadi menahan kedua putra mereka. Tak la ma kemudian, mereka bertemu Kono untuk makan malam, namun mereka sama berhatihatinya: yang ter dengar tak lebih dari tata rambut model terbaru dan cara berpakaian di istana, kegemaran Ko no akan puisi dan drama, serta olahraga para bangsawan, bola tendang dan berburu anjing. Percakapan itu menjadi semakin hidup: seperti ayahnya, Zenko gemar minum sake. T akeo berdiri dan mengganti pakaiannya, memakai jubah yang tidak mencolok berwarna pudar seperti y ang biasa dikenakan pedagang. Ketika melewati Jun dan Shin, yang sedari tadi duduk di luar pintu, Jun menaikkan alis; Takeo menggelengkan kepala. Tak ingin ada yang tahu kalau ia per gi. Dipakainya sandal jerami di anak tangga taman, menghilang lalu berjalan lewat gerbang yang masih terbuka. Anjing-anjing menggiringnya dengan tatapan mata tapi para penjaga tidak memerhat ikannya. Bersyukurlah kalian tak berjaga di gerbang istana di Miyako, katanya tanpa suara pada anjing-anjing. Karena mereka akan memburu kalian dengan hujan anak panah untuk olahraga. Di satu sudut yang gelap tidak jauh dari pelabuhan, Takeo melangkah masuk ke bay angan tak tertihat dan keluar dengan penyamarannya sebagai pedagang yang sedang terburu-buru untuk pekerjaan di kota. Udara terasa penuh dengan aroma garam, ikan yang sedang dikeringkan dan ru mput laut di atas rak-rak di tepi pantai, ikan dan gurita panggang di rumah makan. Lentera me nerangi jalanan sempit dan cahaya lampu bersinar jingga dari balik kertas kasa. Di tepi galangan, kapal-kapal kayu saling bergesekan, terombang-ambing oleh omba k, air menghantam badan kapal, dengan tiang pancang yang kekar dan berwarna gelap di ba wah siraman cahaya malam penuh bintang. Di kejauhan dapat dilihatnya pulaupulau dari Laut Lin gkar; di balik bentuknya yang menyembul tajam tampak cahaya temaram bulan yang baru naik. Tungku bara menyala di samping tali tambatan salah satu kapal besar, dan Takeo, dengan menggunakan dialek kota itu, berseru pada orang-orang yang, memanggang potongan-p otongan

Kisah Klan Otori IV Page 52

Berdiri tanpa dikenali dalam kegelapan, Takeo mengamati kawan lamanya selama beb erapa waktuerdiri tanpa dikenali dalam kegelapan, Takeo mengamati kawan lamanya selama beberapa waktu. Fumio tetap kelihatan kekar seperti biasa, dengan pipi tembam dan kumis tipis, m eskipun kini kelihatan ada bekas luka baru di salah satu pelipisnya. Ishida kelihatan lebih t ua, lebih kurus kering, kulitnya kekuningan. Takeo senang melihat keduanya lalu melangkah naik ke area duduk. Salah satu mant an perompak segera melompat berdiri menghalangi jalannya, mengira kalau ia hanyalah pedagang yang tak penting. Tapi setelah beberapa saat terkejut dan kebingungan, Fumio bangkit, mend orong anak buahnya ke samping, sambil berbisik, "Ini Lord Otori!" lalu memeluk Takeo. "Walaupun memang sedang menunggumu, aku tidak mengenalimu!" serunya. "Misterius d an aneh: aku tidak akan terbiasa." Tabib Ishida tersenyum lebar. "Lord Otori!" Dipanggilnya pelayan untuk membawakan sake lagi. Takeo duduk di samping Fumio, berhadapan dengan si tabib, yang mengamatinya deng an seksama di bawah cahaya temaram. "Ada masalah?" tanya Ishida setelah mereka bersulang. "Ada beberapa hal yang perlu kubicarakan," sahut Takeo. Fumio memberikan isyarat dengan kepala, lalu anak buahnya pindah ke meja lain. "Aku ada hadiah untukmu," katanya pada Takeo. "Hadiah yang akan mengalihkan perh atianmu dari masalah. Coba tebak apa hadiahnya! Lebih hebat dari apa pun yang pernah kau ingi nkan!" "Ada satu hal yang kudambakan lebih dari segalanya," jawab Takeo. "Yaitu melihat seekor kirin sebelum aku mati." "Ah. Mereka sudah mengatakannya padamu. Dasar manusia brengsek yang tak berguna. A kan kurobek mulut mereka." "Mereka menceritakannya pada seorang pedagang miskin yang tak berani," sahut Tak eo tertawa. "Aku harus mencegahmu menghukum mereka. Lagipula, aku juga hampir tidak percaya pada mereka. Apakah itu benar?"

"Ya dan tidak," kata Ishida. "Tentu saja, bukan kirin yang sesungguhnya: kirin a dalah hewan dalam dongeng, sedangkan yang ini adalah hewan sungguhan. Tapi hewan yang luar biasa, dan yang paling mirip dengan kirin dibanding hewan lain yang pernah kulihat." "Ishida jatuh hati pada hewan itu," tutur Fumio. "Dia menghabiskan waktu berjamja m menemaninya. Ia lebih parah ketimbang kau dan kuda tuamu itu, siapa namanya?" "Shun," sahut Takeo. Shun mati karena usia tua tahun lalu; tak akan ada lagi kud a sepertinya. "Kau tidak bisa menunggangi hewan ini, tapi mungkin bisa menggantikan Shun, agar kau bisa mencurahkan kasih sayangmu," tutur Fumio. "Aku ingin sekali melihatnya. Di mana hewan itu sekarang?" "Di kuil Daifukuji; mereka menemukan taman yang tenang untuk hewan itu, dengan d inding yang tinggi. Kami akan perlihatkan padamu besok. Karena kau sudah merusak kejutan kam i, maka sekalian saja ceritakan masalah-masalahmu pada kami." Fumio menuang sake lagi. "Apa yang kau tahu tentang jenderal baru Kaisar?" tanya Takeo. "Kalau kau tanya aku beberapa minggu lalu, aku akan jawab, 'Tidak tahu apa-apa,' karena kami sudah pergi selama enam bulan, tapi kami pulang melalui Akashi, dan kota itu sib uk membicarakannya. Namanya Saga Hideki, dengan julukan Pemburu Anjing." "Pemburu Anjing?" "Dia sangat suka berburu anjing, dan kabarnya mahir melakukannya. Jenderal itu m ahir berkuda dan memanah, serta ahli siasat perang yang cerdas. Mendominasi propinsi-propinsi di wilayah Timur, kabarnya memiliki ambisi menaklukkan seluruh Delapan Pulau, dan baru-baru ini dit unjuk Kaisar untuk bertempur atas nama Paduka Yang Mulia serta membinasakan musuhmusuhnya dala m rangka mencapai tujuan itu." Kisah Klan Otori IV Page 54

"Sepertinya aku termasuk dalam daftar musuhnya," ujar Takeo. "Putra Lord Fujiwar a, Kono, datanSepertinya aku termasuk dalam daftar musuhnya," ujar Takeo. "Putra Lord Fujiwara, Kono, datang menghadapku hari ini. Ternyata Kaisar memintaku mengundurkan diri, dan jika aku m enolak, beliau akan mengirim si Penangkap Anjing untuk melawanku." Wajah Ishida berubah pucat ketika nama Fujiwara disebut. "masalah," gumamnya. "Apakah ada indikasi kalau senjata api di perdagangkan di Imai?" "Tidak, justru sebaliknya; beberapa pedagang mendekatiku, menanyakan ten-tang se njata dan bubuk mesiu, berharap menghindar pelarangan dari Otori. Mesti kuperingatkan padamu, me reka menawarkan uang dalam jumlah besar. Jika jenderal Kaisar tengah bersiap melawanmu , kemungkinan dia berusaha membeli senjata api: demi uang sebesar itu, cepat atau l ambat akan ada orang yang akan menyediakan senjata api." "Aku khawatir mereka sudah dalam perjalanan," ujar Takeo, dan menceritakan pada F umio tentang kecurigaannya pada Zenko. "Mereka punya waktu kurang dari sehari untuk memulainya," sahut Fumio, menenggak habis minumnya lalu berdiri. "Kita bisa hentikan mereka. Aku ingin melihat wajahmu saat kuperlihatkan kirin, tapi nanti Ishida bisa menceritakannya padaku. Tahan Lord Kono di wilayah Barat sampai aku kembali. Sebelum mereka bisa menandingi jumlah senjata api, mereka takkan memanc ingmu dalam pertempuran. Angin bertiup dari arah barat: kita bisa mendapat laut pasang jika berangkat sekarang." Dipanggil anak buahnya, dan mereka pun berdiri, menjejalkan sisa makanan, menengg ak habis sake, mengucapkan selamat tinggal pada pelayan perempuan dengan perasaan enggan. Takeo memberitahu mereka nama kapalnya. Fumio pergi begitu cepat hingga mereka hampir tidak sempat mengucapkan selamat b erpisah. Takeo ditinggal bersama Ishida. "Fumio tak berubah," katanya, terhibur dengan ti ndakan cekatan kawannya. "Dia masih tetap sama," sahut Ishida. "Seperti angin topan, tidak pernah bisa di am." Si tabib menuang sake lagi lalu minum sampai habis. "Dia adalah teman seperjalanan yang memberi s emangat, namun melelahkan." Mereka berbincang-bincang tentang perjalanan, dan Takeo memberi kabar tentang kel uarganya

yang selalu menyita perhatian Ishida, karena dia sudah menikah dengan Muto Shizu ka selama lima belas tahun. "Rasa sakitmu terasa lagi?" tanya si tabib. "Kelihatan dari wajahmu." "Ya, cuaca yang lembap memperburuknya: kadang kurasa masih ada sisa racun yang h ingga terasa panas. Acapkali lukanya kelihatan memerah di balik carutannya. Membuat sekujur t ubuhku sakit." "Akan kuperiksa nanti, berdua saja," sahut Ishida. "Bisakah sekarang kau kembali bersamaku?" "Aku punya cukup persediaan akar-akaran dari Shin, dan obat tidur terbuat dari b unga candu. Untung saja kuputuskan untuk membawanya," komentar Ishida seraya mengambil sebuah buntala n kain dan kotak kayu kecil. Tadinya aku bermaksud meninggalkannya di kapal. Kalau tidak kubawa pasti barang-barang ini sudah setengah perjalanan menuju Akashi dan tidak terlalu berg una bagimu." Nada suara Ishida kedengaran murung. Takeo mengira dia akan melanjutkan bicaranya , namun setelah beberapa saat dalam hening yang tidak mengenakkan, si tabib tampak berha sil mengendalikan perasaannya; dikumpulkan barang-barangnya lalu berkata dengan rian g, "Setelah itu aku harus pergi memeriksa kirin. Aku akan menginap di Daifukuji malam ini. Kirin sudah terbiasa denganku, bahkan terikat dengan diriku: aku tak ingin membuatnya gelisah." Sedari tadi Takeo menyadari ada suara orang berdebat dari an, seorang laki-laki berbicara dengan bahasa asing dan suara seorang n. Suara perempuan itu membuatnya tertarik karena logatnya berasal skipun perempuan itu bicara dengan dialek setempat, dan ada sesuatu dengan tidak asing bagi Takeo. bagian dalam rumah mak perempuan menerjemahka dari wilayah Timur, me intonasi suaranya yang

Ketika berjalan melewati ruang bagian dalam, Takeo mengenali si orang asing, yan g dipanggil Don Joao. Ia yakin belum pernah bertemu dengan perempuan yang berlutut di samping or ang asing itu, Kisah Klan Otori IV Page 55

namun seperti ada sesuatu... mun seperti ada sesuatu... Kisah Klan Otori IV Page 56

Selagi ia mengira-ngira siapa perempuan itu, si orang asing melihat Ishida lalu memanggilnya. Ishidelagi ia mengira-ngira siapa perempuan itu, si orang asing me lihat Ishida lalu memanggilnya. Ishida amat disukai orang asing itu dan menghabiskan banyak waktu menemani mereka, sali ng bertukar ilmu pengetahuan medis, informasi tentang perawatan serta tanaman herbal, serta membandingkan kebiasaan dan bahasa mereka. Don Joao pernah bertemu Takeo beberapa kali, tapi selalu dalam suasana resmi, da n sepertinya saat ini dia tidak bisa mengenali. Orang asing itu gembira bertemu sang tabib dan ing in agar dia duduk dan mengobrol, tapi Ishida memohon pergi karena ada pasien yang membutuhkannya. Pere mpuan itu, yang mungkin berusia dua puluh lima tahunan, melihat sekilas ke arah Takeo, yang terus memalingkan wajah dari perempuan itu. Dia menerjemahkan perkataan Ishida sepertin ya perempuan itu cukup fasih berbicara bahasa asing lalu melayangkan pandangannya ke arah Takeo lagi; kelihatannya tengah mengamati Takeo dengan penuh seksama, seakan-akan mengi ra kalau mungkin mengenal Takeo. Perempuan itu mengangkat tangan untuk menutup mulut, dengan pakaiannya terlipat ke belakang dan memperlihatkan kulit lengannya, halus dan gelap. Takeo merasa kulit perempua n itu amat mirip dengan kulitnya, amat mirip dengan kulit ibunya. Keterkejutannya tak terlukiskan, hingga tak kuasa mengendalikan diri, mengubahdi rinya menjadi seorang bocah yang ketakutan serta tersiksa. Perempuan itu tercekat lalu berkata , "Tomasu?" Air mata menggenang di matanya. Tubuh perempuan itu terguncang karena luapan per asaan. Takeo ingat pada seorang gadis cilik yang menangis dengan cara yang sama karena menang isi seekor burung yang mati, kehilangan mainan. Selama ini ia menduga gadis cilik itu sudah tiada, tergeletak di sebelah ibu dan kakak perempuannya yang mati terbujur kaku perempuan itu memiliki k etenangan serta wajah yang lebar mirip ibu dan kakak perempuannya, dan warna kulit yang sa ma dengannya. Takeo menyebut nama adiknya dengan keras untuk pertama kalinya selama lebih dari enam belas tahun: "Madaren!" Sirna sudah semua hal yang ada dibenaknya: ancaman dan wilayah Timur, misi Fumio merebut senjata api yang diselundupkan, Kono, bahkan rasa sakitnya, bahkan kirin sekalipu n. Ia hanya

mampu memandangi adik yang dikiranya sudah tiada; hidupnya seperti meluruh lalu m emudar. Yang ada dalam ingatannya hanyalah masa kecilnya, keluarganya. Ishida bertanya, "Lord, Anda baik-baik saja? Anda tidak sehat." Takeo bicara dengan cepat pada Madaren, "Katakan pada Don Joao aku akan menemuin ya besok. Kabari aku di Daifukuji." "Aku akan datang ke sana besok," sahutnya, dengan tatapan terpaku pada wajah Tak eo. Ia berhasil mcngendalikan diri lalu berkata, "Kita tidak bisa bicara sekarang. Ak u akan datang ke Daifukuji; tunggu aku di sana." "Semoga Dia memberkati dan melindungimu," ujarnya, memanjatkan doa kaum Hidden sa at berpisah. Meskipun atas perintahnya kaum Hidden kini bebas untuk beribadah secara terbuka, tetap saja membuatnya terkejut melihat terungkapnya sesuatu yang sebelumnya merup akan rahasia, sama seperti salib yang dikenakan Don Joao di dadanya tampak seperti pameran ses uatu yang keji. "Kau lebih tidak sehat dari yang kukira," seru Ishida saat mereka berdua berada di luar. "Perlu kupanggilkan tandu?" "Tidak, tentu saja tidak perlu!" Takeo mengambil napas dalam-dalam. Tadi hanya u dara yang terasa pengap. Juga terlalu banyak minum sake, terlalu cepat." "Kelihatannya kau sangat terguncang. Kau mengenal perempuan itu?" "Bertahun-tahun yang silam. Aku tidak tahu kalau dia menerjemahkan untuk orang a sing." "Aku pernah bertemu dengannya, tapi tidak akhir-akhir ini aku pergi selama berbulan -bulan." Kota itu semakin senyap, cahaya dimatikan satu demi satu. Selagi mereka menyeberangi jembatan kayu di luar Umedaya dan mengambil salah satu jalan sempit yang mengarah ke kediaman, Is hida berkomentar, "Perempuan itu mengenalmu bukan sebagai Lord Otori, tapi sebagai or ang lain." Kisah Klan Otori IV Page 57

"Seperti yang tadi kubilang, aku sudah sangat lama mengenalnya, sebelum aku menj adi Otori." Seperti yang tadi kubilang, aku sudah sangat lama mengenalnya, sebel um aku menjadi Otori." Takeo masih setengah tercengang dengan pertemuan tadi dan cenderung setengah menyangsikannya. Bagaimana mungkin itu adiknya? Bagaimana dia bisa selamat dari pembantaian yang menghabisi keluarga dan membakar habis desanya? Tak diragukan lagi bahwa di a bukan sekadar seorang juru bahasa: terlihat olehnya pada tangan dan mata Don Joao. Pri a asing itu kerap mengunjungi rumah pelacuran itu seperti laki-laki lain, tapi sebagian besar perem puan penghuninya enggan tidur dengan mereka, hanya pelacur kelas terendah yang tidur d engan mereka. Ia merasa ngeri saat memikirkan hidup seperti apa yang telah dijalani adiknya. Namun perempuan itu memanggil dengan nama aslinya. Dan Takeo pun mengenalinya. Di rumah terakhir sebelum sampai di gerbang kediaman, Takeo menarik Ishida ke ba wah bayangan gelap. "Tunggu di sini sebentar. Aku harus masuk tanpa terlihat. Aku akan mengir im perintah pada penjaga agar membiarkanmu masuk." Gerbang sudah ditutup, disingsingkannya keliman panjang jubahnya ke sabuk lalu m emanjat dinding dengan cukup ringan, kendati hentakan saat mendarat di sisi dinding satunya memb uat sakitnya terasa lagi. Menghilang, lalu menyelinap melewati taman yang sunyi, melewati Jun dan Shin menuju ke kamarnya. Mengganti pakaian dengan jubah tidur lalu meminta dibawakan lentera dan teh, mengirim Jun untuk mengatakan pada penjaga agar membiarkan Ishida masuk. Si tabib tiba: mereka saling memberi salam dengan riang, seolah belum bertemu se lama enam bulan lamanya. Pelayan perempuan menuang teh dan membawakan lagi air panas, lalu Takeo menyuruhnya pergi. Dilepasnya sarung tangan sutra yang menutupi tangan cacatnya d an Ishida menarik lentera lebih dekat agar bisa melihatnya. Ditekannya jaringan kulit yang tumbuh menggantikan jaringan yang rusak dengan ujung jarinya lalu melemaskan jari yang t ersisa. "Kau masih bisa menulis dengan tangan ini?" "Setelah berlatih berulang kali. Aku menulis dengan tangan kiri." Diperlihatkanny a pada Ishida. "Rasanya aku masih bisa bertarung menggunakan pedang, tapi tidak ada alasan untuk itu selama bertahun-tahun." "Tidak kelihatan memerah karena infeksi," kata Ishida akhirnya. "Aku akan mencob

a dengan jarum besok, untuk mengiris garis bujurnya. Untuk sementara waktu, ini akan membantumu untuk tidur." Selagi menyiapkan teh, Ishida bicara dengan suara pelan, "Aku sering membuat ini untuk istriku. Aku takut bertemu Kono; hanya mengetahui putranya berbaring di dalam kediaman ini, t elah mengorek banyak kenangan. Aku ingin tahu apakah dia seperti ayahnya." "Aku belum pernah bertemu Fujiwara." "Kau beruntung. Aku menjalankan perintahnya, selama hampir seumur hidupku. Aku ta hu dia orang yang kejam tapi dia selalu memperlakukan diriku dengan baik, menyemangatiku untuk belajar dan melakukan perjalanan, mengijinkan aku melihat koleksi buku-bukunya yang berharga juga harta benda yang lainnya. Kupalingkan wajahku dari kegermarannya yang keji. Aku tidak pernah menyangka kekejamannya akan menimpa diriku." Tiba-tiba Ishida berhenti bicara dan menuang air mendidih ke atas herba kering. Aroma samar-samar dari rumput musim panas menyeruak, harum dan menenangkan. "Istriku pernah cerita sedikit tentang saatsaat itu," sahut Takeo pelan. "Hanya gempa yang menyelamatkan kami. Belum pernah aku begitu ketakutan, meskipun pernah menghadapi berbagai macam bahaya: badai di laut, kapal karam, perompak dan orang primitif. Aku pernah menghempa-skan diri di bawah kakinya dan memohon agar diijinkan bunuh dir i. Dia berpurapura mengabulkannya, mempermainkan rasa takutku. Terkadang aku memimpikannya; sesuatu yang tak akan pulih dalam diriku; sungguh suatu perwujudan iblis dalam diri manusia." Ishida berhenti sebentar, tenggelam dalam kenangannya. "Saat itu anjingku melolo ng," tuturnya dengan amat pelan. "Bisa kudengar anjingku melolong. Dia selalu memperingatkanku tentang gempa dengan cara seperti itu. Kutemukan diriku bertanya-tanya apakah ada orang yang memeliharanya." Diambilnya mangkuk lalu diberikan pada Takeo, "Aku mohon maaf yang sedalamdalamny a atas keterlibatanku dalam memenjarakan istrimu." Kisah Klan Otori IV Page 58

kastil di salah satu jalan sempit yang terbentang di jalan utama, tempat rumah-r umah kecil yang dibangun kembali setelah kobaran api meluluhlantakkan semuanya bak sarang tawon y ang saling astil di salah satu jalan sempit yang terbentang di jalan utama, tempat rumah-ru mah kecil yang dibangun kembali setelah kobaran api meluluhlantakkan semuanya bak sarang tawon y ang saling Kisah Klan Otori IV Page 60

berdempetan. Tapi semua laki-laki memiliki hasrat, bahkan kuli pengangkut barang , buruh serta kulrdempetan. Tapi semua laki-laki memiliki hasrat, bahkan kuli pe ngangkut barang, buruh serta kuli angkut tanah di malam hari, dan di antara mereka ini banyak yang bisa diperdayai oleh cinta seperti lakilaki golongan klas lainnya. Itulah yang dipelajari Madaren; pada waktu yang b er samaan ia juga belajar bahwa perempuan yang dikuasai cinta merupakan makhluk yan g paling tak berdaya di kota ini, dengan mudahnya disingkirkan bak anak kucing yang tidak dii nginkan, dan ia memanfaatkan apa yang dipelajarinya ini dengan cerdas. Ia mau pergi dengan lakilaki yang dijauhi oleh gadis-gadis lain, memanfaatkan rasa terima kasih mereka. Ia bisa memeras ha diah dari mereka, atau kadang mencurinya, dan pada akhirnya membiarkan seorang pedagang yang hampi r bangkrut membawanya ke Hofu, pergi meninggalkan rumah sebelum matahari terbit lalu menemu i laki-laki itu galangan kapal yang masih berkabut. Mereka menumpang kapal yang mengangkut kayu c edar dari hutan menuju wilayah Timur, dan aroma kayu itu mengingatkannya pada Mino, tanah kelahirannya. Hal itu mengingatkannya pada keluarganya dan laki-laki agak aneh yang menjadi kak aknya, yang membuat gusar sekaligus memesona ibu mereka. Air mata menggenang di matanya saat meringkuk di bawah papan tebal, dan ketika kekasihnya berbalik untuk memeluknya. Madaren me nampiknya. Pedagang itu membosankan serta membuatnya gusar, dan akhimya ia kembali ke kehidupan lamanya, bergabung ke rumah pelacuran yang lebih tinggi kelasnya dibandingkan yang pertama. Kemudian orang-orang asing berjanggut berdatangan, bau mereka yang aneh dan tubu h mereka yang besar. Madaren melihat ada semacam kekuatan dalam diri mereka yang mungkin bisa dimanfaatkan dan dengan sukarela tidur dengan mereka; ia memilih orang yang bern ama Don Joao, walaupun laki-laki itu mengira kalau dialah yang memilih Madaren: orang-orang as ing bersifat sentimental sekaligus pemalu bila sudah berhubungan dengan kebutuhan jasmani: me reka ingin merasa istimewa bagi seorang perempuan, bahkan setelah mereka membelinya. Mereka memberi bayaran yang memadai dalam mata uang perak; Madaren berhasil menjelaskan pada pe milik rumah bahwa Don Joao hanya menginginkannya, dan tak lama kemudian ia tidak harus tidur dengan lakilaki lain. Awalnya, bahasa mereka hanyalah bahasa tubuh: nafsu si laki-laki, kemampuan si p erempuan

memuaskannya. Orang-orang asing sebelumnya memiliki seorang juru bahasa, seorang nelayan yang mereka selamatkan dari laut oleh kaum mereka karena kapalnya tenggelam dan dibawa ke ma rkas mereka di Kepulauan Selatan. Nelayan itu mempelajari bahasa mereka: kadang menemani mereka ke rumah pelacuran; jelas dari cara bicaranya kalau si nelayan tidak berpendidikan dan be rasal dari klas rendahan, namun hubungannya dengan orang asing memberinya status dan kekuasaan. M ereka bergantung sepenuhnya kepadanya. Nelayan itu merupakan pintu masuk mereka ke duni a baru yang rumit, yang mereka temukan dan mereka harapkan bisa meraih kekayaan dan kem enangan. Mereka percaya semua yang dikatakannya, bahkan ketika dia hanya mengarang sembar angan. Aku juga bisa meraih kekuasaan semacam itu, karena nelayan itu tidak lebih baik dariku, pikir Madaren, dan ia mulai berusaha memahami Don Joao, lalu mendorong laki-laki itu un tuk mengajarinya. Bahasanya sulit, penuh dengan bunyi aneh dan dikumpulkan dari depa n ke belakang semuanya memiliki jenis kelamin. Ia tak bisa membayangkan alasannya, tapi pintu termasuk jenis perempuan, begitu pula hujan; sedangkan lantai matahari berjenis laki-laki tapi ha l itu justru memesonanya; dan jika bicara dengan bahasa itu pada Don Joao, ia merasa s eperti menjadi orang lain. Karena Madaren semakin fasih Don Joao tidak menguasai lebih dari bebera pa patah kata dari bahasa Madaren mereka mulai membicarakan halhal yang lebih mendalam. Don Joao mempunyai istri dan anak-anak di Porutogaru*, kampung halamannya, orang-orang yan g dia tangisi ketika sedang mabuk. Madaren tidak mengindahkan mereka, tak percaya kalau Don Jo ao bisa bertemu mereka lagi. Mereka begitu jauh hingga ia tak mampu membayangkan seperti apa kehidupan mereka, dan Don Joao bicara tentang kepercayaan serta Tuhannya Deus** dan kata-kata serta salib yang dikalungkan di lehernya membangkitkan kenangan masa kecil Madar en tentang Kisah Klan Otori IV Page 61

kepercayaan keluarganya dan ritual kaum Hidden. epercayaan keluarganya dan ritual kaum Hidden. Kisah Klan Otori IV Page 62

Don Joao bicara penuh semangat tentang Deus, dan menceritakan tentang pendeta da lam agamanyJoao bicara penuh semangat tentang Deus, dan menceritakan tentang pen deta dalam agamanya yang berkeinginan kuat agar negara lain menganut kepercayaan mereka. Hal ini men gejutkan Madaren. Ia hanya *) Porutogaru adalah lafal Jepang untuk menyebut Portugal [pent.] **) Deus berarti Tuhan dalam bahasa Portugal [pent.] ingat sedikit tentang kepercayaan kaum Hidden, hanya ingat gema doa serta ritual yang dilakukan keluarganya dengan komunitas kecil mereka. Penguasa baru Tiga Negara, Otori Takeo , mengeluarkan keputusan bahwa rakyatnya bebas beribadah dan percaya pada kepercaya an pilihan mereka, dan prasangka lama pun perlahan menghilang. Tentu saja, banyak yang terta rik dengan agama orang asing dan bahkan berkeinginan mencoba bila itu bisa meningkatkan perd agangan dan kekayaan bagi semua orang. Ada juga kabar burung yang mengatakan bahwa Lord Otor i dulunya adalah orang Hidden, dan bahwa penguasa Maruyama yang sebelumnya, Maruyama Naomi , juga menganut kepercayaan itu. Tapi menurut Madaren keduanya tak mungkin melakukannya k arena bukankah Lord Otori membunuh kakek pamannya untuk balas dendam? Bukankah Lady Ma ruyama menceburkan diri ke sungai di Inuyama bersama putrinya? Satu hal yang diketahui s emua orang tentang kaum Hidden yaitu Tuhan mereka, Tuhan Rahasia, melarang mereka mencabut nyawa, baik nyawa mereka sendiri maupun nyawa orang lain. Pada titik inilah sepertinya Tuhan Rahasia dan Deus berbeda, karena Don Joao menc eritakan kalau mereka adalah orang beragama sekaligus prajurit. Apakah itu keduanya atau tidak s atu pun, selalu atau tidak pernah, sudah atau belum? Don Joao selalu bersenjatakan pedang panjan g tipis, penutup kepalanya berlekuk dan melindungi, bertahtakan emas dan kerang mutiara, dan memb ual bila dia selalu punya tujuan untuk menggunakan pedang ini. Orang asing itu terkejut karen a penyiksaan dilarang di Tiga Negara, dan menceritakan bagaimana kekerasan digunakan di negara nya dan terhadap penduduk asli Kepulauan lain untuk menghukum, untuk mendapatkan informas i serta menyelamatkan nyawa. "Saat pendeta datang, kau harus dibaptis," kata Don Joao, dan ketika Madaren mema hami maksudnya, ia ingat yang sering dikatakan ibunya: dilahirkan dengan air, lalu me nyebut nama baptisnya.

"Madalena!" ulang Don Joao dengan terperanjat, lalu membuat gerakan berbentuk ta nda salib di depannya. Orang itu tertarik setengah mati pada kaum Hidden, dan ingin bertemu l ebih banyak lagi penganutnya; Madaren menangkap ketertarikannya dan mereka mulai bertemu dengan para penganut dalam jamuan makan di kalangan kaum Hidden. Don Joao mengajukan banyak pertanyaan dan M adaren menerjemahkannya, juga jawabannya. Madaren bertemu dengan orang-orang yang menge tahui desanya dan mendengar tentang pembantaian bertahuntahun yang lalu di Mino; menurut mereka , ia bisa selamat merupakan mukjizat, dan menyatakan kalau Madaren masih dibiarkan hidup o leh Tuhan Rahasia untuk tujuan istimewa tertentu. Madaren menyambut kembali kepercayaan yang pernah hilang dari masa kecilnya dengan hangat, lalu mulai menunggu waktu untuk menjala nkan misi. Kemudian Tomasu dikirimkan padanya, maka ia tahu misi itu berhubungan dengan kak aknya. Orang-orang asing hanya memahami sedikit sekali tentang sikap dan kesopanan, dan Don Joao berharap Madaren menemaninya kemana pun ia pergi, terutama untuk menerjemahkan. D engan keyakinan mencapai tujuan yang dibawanya sejak berhasil lolos dari Inuyama dan m empelajari bahasa asing, ia mempelajari keadaan di sekelilingnya yang masih asing, selalu berlutut dengan rendah hati sedikit di bel akang orang-orang asing dan lawan bicara mereka, bicara dengan pelan dan jelas, serta memperindah t erjemahannya bila terdengar kurang sopan. Seringkali ditemukan dirinya berada di rumah para p edagang, sadar akan tatapan penuh hina serta kecurigaan dari istri-istri dan anak perempuan mer eka dan bahkan kadang di tempat-tempat yang lebih berkelas, terakhir bahkan di kediaman Lord Ar ai. Ia merasa Kisah Klan Otori IV Page 63

kagum pada dirinya sendiri, satu hari berada di ruangan yang sama dengan Lord Ar ai Zenko, lalu agum pada dirinya sendiri, satu hari berada di ruangan yang sama dengan Lord Arai Zenko, lalu Kisah Klan Otori IV Page 64

berikutnya di penginapan semacam Umedaya. Nalurinya ternyata benar: kemampuannya berbahasa asing membuka jalan pada sebagian dari kekuasaan serta kebebasan mereka. Dan seb agian dari kekuasaan itu dia gunakan untuk memanfaatkan orang-orang itu: mereka membutuhkan nya dan mulai mengandalkan dirinya. rikutnya di penginapan semacam Umedaya. Nalurinya ternyata benar: kemampuannya b erbahasa asing membuka jalan pada sebagian dari kekuasaan serta kebebasan mereka. Dan seb agian dari kekuasaan itu dia gunakan untuk memanfaatkan orang-orang itu: mereka membutuhkan nya dan mulai mengandalkan dirinya. Madaren pernah bertemu tabib Ishida beberapa kali, dan bertindak sebagai juru ba hasa dalam perbincangan yang panjang; Ishida kadang membawa teks-teks dan membacakannya untu k diterjemahkan karena Madaren tidak bisa membaca maupun menulis; Don Joao juga membacakan kitab suci u ntuknya dan mengenali potonganpoiongan kalimai dari doa dan pemberkatan di masa kecilnya. Malam itu Don Joao melihat Ishida lalu memanggilnya, berharap bisa berbincang, n amun Ishida memohon pergi karena ada pasien yang membutuhkannya. Madaren menduga kalau pasie nnya itu adalah kawannya dan memelihat laki-laki yang satunya lagi, memerhatikan tangannya yang cacat dan kerutan di matanya. Ia tidak langsung mengenalinya, namun jantungnya seperti berhenti berdetak kemudian berdebar-debar, seolah kulitnya mengenali laki-laki itu dan segera meng enalinya kalau mereka lahir dari ibu yang sama. Madaren nyaris tak bisa tidur, menemukan tubuh si orang asing di sebelahnya teram at sangat panas, dan menyelinap keluar sebelum matahari terbit, dan berjalan menyusuri tep i sungai di bawah pohon willow. Bulan melintasi langit dan kini menggantung di barat, membulat ser ta pucat. Ombak laut surut dan kepiting berlarian cepat di atas lumpur yang mengering, bayangan mereka tampak seperti tangan yang sedang menggenggam. Madarien tidak in gin mengatakan pada Don Joao kemana ia pergi: tidak ingin harus berpikir dalam bahas a lakilaki itu atau khawatir tentang laki-laki itu. Ia berjalan melewati jalanan sempit menuju rumah tempat ia dulu bekerja, membangunkan pelayannya, mandi dan berpakaian di sana; lalu duduk tenang dan minum teh hingga mentari pagi bersinar terang. Selama berjalan ke Daifukuji, benak Mad aren tersita oleh keragu-raguan: kemarin itu bukan Tomasu; dia salah lihat, memimpikan tentang sem uanya; dia takkan datang; jelas sekali kalau kedudukannya amat tinggi, dia seperti pedagang meskipun jelas

bukan pedagang yang berhasil yang tak ingin punya hubungan apa-apa dengannya. Dia tidak datang menghampiri untuk menolongnya; selama ini ternyata dia masih hidup dan tid ak berusaha mencarinya. Madaren berjalan perlahan, melupakan aliran sungai yang tergesa-gesa di sekelilingnya ketika gelombang laut pasang menyapu. Daifukuji menghadap ke laut: gerbang merahnya bisa terlihat dari seberang ombak laut, menyambut para pelaut dan pedagang serta mengingatkan mereka untuk bersyukur pada Ebisu, dewa laut, agar melindungi mereka selama perjalanan. Madaren melihatlihat ukiran dan area di kuil itu dengan perasaan tida k suka, karena ia telah percaya, seperti halnya Don Jolo, kalau benda-benda semacam itu dibenci Tuhan Ra hasia dan sama seperti menyembah setan. Ia bertanyatanya sendiri mengapa memilih tempat seperti ini untuk bertemu, takut kalau kakaknya bukan lagi penganut kepercayaan, menyelipkan tangannya di ba lik jubahnya untuk menyentuh salib pemberian Don Joao, dan menyadari pasti inilah misinya: me nyelamatkan Tomasu. Madaren berjalan masuk gerbang, menunggu kakaknya, setengah tidak nyaman dengan l antunan doa dan genta dari dalam kuil, meskipun terpesona dan terbuai oleh keindahan tamanny a. Bunga lili menghiasi tepian kolam, dan belukar azalea musim panas pertama bermekaran menjad i bunga berwarna merah tua. Sinar matahari terasa makin panas dan bayangan taman semakin menariknya masuk. Ia berjalan ke aula utama. Di sebelah kanannya berdiri beberapa pohon ced ar tua, yang dililit tali jerami yang berkilauan, dan tepat di belakangnya terdapat kurungan berdinding putih di sekita r taman dengan pepohonan yang jauh lebih kecil, ia menduga itu pohon ceri walaupun bunganya sud ah lama gugur. Kerumunan kecil sebagian besar rahib dengan kepala botak dan jubah berwarna tida k mencolok, Kisah Klan Otori IV Page 65

berdiri di luar dinding, memandang ke atas. Madaren mengikuti arah pandangan mer eka dan dan melihat apa yang sedang mereka perhatikan: awalnya ia mengira itu, patung ukiran , penggambaran rdiri di luar dinding, memandang ke atas. Madaren mengikuti arah pandangan merek a dan dan melihat apa yang sedang mereka perhatikan: awalnya ia mengira itu, patung ukiran , penggambaran Kisah Klan Otori IV Page 66

tumbuh semakin besar, pada saat itulah kita bisa yakin." umbuh semakin besar, pa da saat itulah kita bisa yakin." Kisah Klan Otori IV Page 68

"Di mana kau menemukannya?" Di mana kau menemukannya?" "Di selatan Tenjiku. Tapi dia berasal dari pulau lain, masih jauh lagi ke barat; para pelaut membicarakan tentang benua yang amat besar tempat hewan-hewan seperti ini merump ut dalam jumlah besar bersama gajah darat dan sungai, singa emas raksasa dan burung berwa rna merah muda. Orangorangnya berukuran dua kali lebih besar daripada kita, berkulit sehitam warn a pernis, dan mampu membengkokkan besi dengan tangan kosong." "Dan bagaimana kau bisa mendapatkannya? Tentunya hewan seperti ini tak ternilai h arganya?" "Hewan ini ditawarkan padaku sebagai semacam alat pembayaran," sahut Ishida. "Ak u berhasil mengobati seorang pangeran di daerah itu. Aku langsung berpikir tentang Lady Shi geko, dan betapa dia akan sangat menyukainya, maka aku terima tawaran ini dan mengatur agar hewan ini bisa menemani kami pulang." Takeo tersenyum memikirkan keahlian putrinya dengan kuda dan kasih sayangnya pad a semua hewan. "Tidakkah sulit untuk mempertahankan agar dia tetap hidup? Apa makanannya?" "Untungnya perjalanan pulang tidak berombak, dan kirin bersifat tenang serta muda h dihibur. Makanannya dedaunan dari pohon tempat asalnya, tapi ternyata se-nang juga meneri ma rumput, segar atau pun kering, serta dedaunan hijau yang lezat." "Bisakah dia berjalan sampai ke Hagi?" "Barangkali kita harus mengangkutnya dengan kapal. Hewan ini bisa berjalan bermi l-mil jauhnya tanpa kelelahan, namun kurasa tidak bisa berjalan melewati pegunungan." Ketika selesai mengagumi kirin, Ishida membawa hewan itu kembali ke kandang, kem udian pergi bersama Takeo menuju kuil, tempat upacara singkat dilakukan, doa dipanjatkan bag i kesehatan kirin dan Lord Otori. Takeo menyalakan dupa dan lilin serta berlutut di depan patung d ewa; dilakukannya semua praktik keagamaan yang diharapkan darinya dengan khidmat dan hormat; semua sekte dan kepercayaan diperb olehkan di Tiga Negara, selama tidak mengancam tatanan rnasyarakat. Ia sendiri memercayai tuhan manapun, walau diakui-nya keseluruhan manusia akan alasan spiritual bagi keberadaan mereka, dan

tentu dirinya pun memiliki kebutuhan yang sama. Setelah melakukan upacara, yang ada penyembahan atas sang Pencerah dan Ebisu dew a laut, teh dibawa masuk dengan manisan osenbei. Takeo, Ishida dan Kepala Biara setempat ber cerita dengan gembira dan menggubah puisi penuh dengan permainan kata-kata tentang kirin. Sesaat sebelum tengah hari, Takeo berdiri dan mengatakan bahwa ingin sendirian d i taman sebentar, lalu berjalan menyusuri aula utama ke aula yang lebih kecil di belakangnya. Pere mpuan itu masih berlutut dengan sabar di tempat yang sama. Takeo memberi isyarat dengan gerakan tangan saat berjalan melewatinya, meminta agar perempuan itu mengikutinya. Bangunan kuil menghadap ke timur; sisi sebelah selatan bermandikan cahaya, namun di beranda. di bawah bayangan gelap dari atap yang melengkung, udara masih terasa dingin. Dua rahib muda yang sedang bert ugas membersihkan patung dan menyapu lantai mengundurkan diri tanpa bicara. Takeo dud uk di pinggiran beranda: hayunya yang telah termakan cuaca berwarna abu-abu ke-pcrakan dan masih hangat terkena cahaya matahari. Terdengar olehnya keraguan dalam langkah kaki Madaren d i atas kerikil jalan setapak, terdengar pula deru napasnya yang cepat dan pendek. Burung gereja berkicau di taman dan merpati bergumam di pepohonan cedar. Madaren berlutut lagi, menyembuny ikan wajahnya. "Tidak perlu takut," ujar Takeo. Kisah Klan Otori IV Page 69

"Ini bukan ketakutan," sahut Madaren setelah beberapa saat. "Aku... tidak menger ti. Mungkin akIni bukan ketakutan," sahut Madaren setelah beberapa saat. "Aku... tidak mengerti. Mungkin aku telah melakukan kesalahan besar. Tapi Lord Otori sekarang bicara berdua saja den ganku, yang tak akan pernah terjadi kecuali dugaanku benar adanya." "Kita saling mengenali semalam," ujar Takeo. "Memang benar aku kakakmu. Tapi sud ah bertahuntahun lamanya sejak terakhir kali ada orang yang memanggilku Tomasu." Madaren menatap langsung matanya; Takeo tidak membalas tatapannya, malah memalingkan wajah ke arah bayangan gelap rumpun pepohonan, dan dinding di kejauha n tempat kirin mengayunkan kepalanya di atas genteng bak mainan anak-anak. Ia sadar kalau ketenangannya tampak seperti ketidakacuhan bagi Madaren, dan juga tahu ada semacam amarah terpendam dalam diri adiknya. Nada suara Madaren nyaris terdengar seperti tuduhan. "Selama enam belas tahun kudengar balada dan cerita yang digubah tentang dirimu. Kau tampak seperti pahlawan yang jauh tak tergapai dan cuma legenda: bagaimana bisa kau adal ah Tomasu dari Mino? Apa yang terjadi padamu ketika aku dijual dari satu rumah bordil ke r umah bordil lainnya?" "Aku diselamatkan Lord Otori Shigeru: beliau mengangkatku menjadi pewarisnya dan menginginkan aku menikah dengan Shirakawa Kaede, pewaris Maruyama." Itu garis besar paling sederhana dari perjalanan luar penuh gejolak yang telah m enggiringnya menjadi orang paling berkuasa di Tiga Negara. Madaren bicara dengan nada kecut, "Kulihat kau berdiri di hadapan patung emas. Dan aku tahu dari cerita-cerita bahwa kau pemah membunuh orang lain.." Kepala Takeo bergerak sedikit untuk membenarkan kata-kata adiknya. Seraya bertany a-tanya apa yang diinginkan Madaren darinya, apa yang bisa ia lakukan untuk adiknya : apa sa ja, yang bisa memulihkan hidupnya yang telah terlanjur hancur. "Kurasa ibu dan kakak kita..." kata Takeo dengan sedih. "Keduanya sudah mati. Aku bahkan tidak tahu di mana jasad mereka."

"Aku minta maaf atas semua penderitaan yang telah kau alami." Takeo menyadari ba hkan saat ia bicara pun nada suaranya kaku dan terlalu dibuat-buat, ia tak punya cukup kata-k ata untuk mengungkapkannya. Jarak di antara mereka sudah terbentang terlalu jauh. Tidak ad a cara yang bisa mereka lakukan untuk saling mendekati. Bila mereka masih menganut kepercayaan ya ng sama mungkin mereka bisa memanjatkan doa bersama, namun kini kepercayaan masa kecil yang dulu menyatukan mereka justru menjadi penghalang yang tak bisa dilalui. Mengetahui itu membuat i a tertekan dan iba. "Jika kau butuh apa pun, kau bisa mendekati pejabat kota yang berwenang," tutur Takeo. "Akan kupastikan kau diurus dengan baik. Tapi aku tidak bisa mengumumkan tentang hubungan kekeluargaan kita, dan aku harus memi ntamu umuk tidak mengatakannya pada siapa pun." Takeo melihat kalau ia telah menyakiti adiknya, dan rasa iba muncul lagi, tapi j uga tahu kalau ia tak bisa membiarkan adiknya mengambil tempat lebih banyak lagi dalam kehidupannya se lain dengan cara seperti ini: berada dalam perlindungannya. "Tomasu," kata Madaren. "Kau adalah kakakku. Kita saling memiliki kewajiban. Kau satu-satunya keluargaku. Aku bibi dari anak-anakmu. Dan aku pun memiliki tugas spiritual terh adapmu. Aku peduli pada jiwamu. Aku tak bisa melihatmu masuk neraka!" Takeo bangkit lalu berjalan menjauh. "Tidak ada yang namanya neraka," sahutnya s ambil sedikit memalingkan wajah. "Selain neraka yang diciptakan manusia di bumi. Jangan coba-c oba mendekatiku lagi."* Kisah Klan Otori IV Page 70

Saat nama Kikuta disebut, si kembar tanpa sadar menyentuh ujung jari mereka pada lekukan yanaat nama Kikuta disebut, si kembar tanpa sadar menyentuh ujung jari mereka pada lekukan yang melintang di telapak tangan mereka, menandai diri mereka seperti sang ayah, sepe rti Taku, sebagai Kikuta. Itu merupakan lambang jalur sempit yang mereka lalui di antara dunia. Mereka tahu kalau sang ibu tidak menyukai kemampuan Tribe yang mereka miliki, da n bahwa klas ksatria menganggap mereka penyihir: mereka belajar sejak dini apa yang bisa diba nggakan di desa Muto haruslah disembunyikan di kastil seperti Hagi atau Yamagata, tapi terkadang godaan untuk mengelabui guru-guru mereka, mempermainkan kakak perempuan mereka atau menghukum orang yang lewat di depan mereka sulit dibendung. "Kau seperti aku ketika aku masih kecil," ujar Shizuka ketika Maya bersembunyi s elama setengah hari tanpa bergerak di dalam keranjang bambu, atau ketika Miki memanjat kayu kaso selentur dan secepal kera liar, menghilang di balik atap yang terbuat dari ilalang. Shizuka jarang marah. "Nikmati saja," tuturnya. "Tidak ada yang lebih menyenangk an." "Kau beruntung Shizuka. Kau ada di sana saat Inuyama jatuh! Kau bertarung bersam a Ayah!" "Sekarang Ayah mengatakan tak akan ada lagi perang; kita takkan menghadapi pertar ungan yang sebenamya." "Berdoa saja takkan ada perang lagi," ujar Shigeko. Si kembar mengerang. "Berdoalah seperti kakak kalian agar kalian tidak pernah mengenal perang yang se benarnya," Shizuka memperingatkan mereka. Maya kembali ke pokok pembicaraan tadi. "Jika tidak akan ada perang, mengapa Aya h dan Ibu memaksa kami belajar kemampuan bertarung?" tanyanya, karena ketiga gadis itu, la yaknya anak kelas ksatria, belajar memanah, menunggang kuda serta menggunakan pedang, diajar kan oleh Shizuka dan Sugita Hiroshi atau ksatria besar lainnya di Tiga Negara. "Kata Lord Hiroshi siap perang adalah pertahanan terbaik melawannya," sahut Shigeko. "Lord Hiroshi," bisik Miki, sambil menyikut Maya. Kedua gadis kembar itu tertawa cekikikan.

Wajah Shigeko bersemu merah. "Apa?" tanyanya. "Kau selalu mengatakan ucapan Lord Hiroshi, lalu wajahmu bersemu merah." "Aku tidak menyadari itu," kata Shigeko, menutupi rasa malu dengan berbicara den gan nada resmi. "Lagipula, itu tidak berarti apaapa. Hiroshi adalah salah satu guru yang sangat bij aksana. Sudah sewajarnya aku mempelajari peribahasa yang dipakainya." "Lord Miyoshi Gemba juga salah satu gurumu," ujar Miki. "Tapi kau jarang menguti p apa yang dikatakannya." "Dan Lord Miyoshi tidak membuat wajahmu merah!" timpal Maya. "Kurasa kalian seharusnya bisa jauh lebih baik dalam menulis, adik-adikku. Jelas sekali kalian perlu banyak latihan. Ambil kuasnya!" Shigeko membuka satu gulungan lagi lalu mulai m endiktekannya. Isinya adalah salah satu hikayat kuno Tiga Negara, penuh dengan istilah sulit da n kejadian yang sukar dimengerti. Shigeko harus mempelajari semua sejarah ini, begitu pula dengan si kembar. Shigeko berharap pelajaran itu bisa meng-hukum mereka karena menggodanya soal Hiroshi, dan berharap mencegah mereka membicaraka n tentang topik itu lagi. Shigeko memutuskan untuk lebih berhatihati, tidak membiarkan diri nya dengan bodohnya menyebut nama Hiroshi. Untungnya laki-laki itu sudah kembali ke Maruyam a untuk mengawasi hasil panen dan persiapan upacara pengukuhan ia menjadi pewaris wilaya h itu. Hiroshi sering menulis surat, karena dia pengawal senior dan orangtuanya berhara p ia mengenal setiap detil wilayahnya. Suratsuratnya bersifat resmi, tapi Shigeko suka melihat tulisan tangannya, Kisah Klan Otori IV Page 72

bergaya tulisan tangan ksatria, tebal dan dibentuk dengan baik. Surat-surat itu menyebut nama para tetua serta karakter mereka, dan tentang kuda. Hiroshi menceritakan dengan rinci setiap anak kuda rgaya tulisan tangan ksatria, tebal dan dibentuk dengan baik. Surat-surat itu me nyebut nama para tetua serta karakter mereka, dan tentang kuda. Hiroshi menceritakan dengan rinci setiap anak kuda Kisah Klan Otori IV Page 73

yang baru lahir dan perkembangan kuda-kuda jantan yang pernah mereka jinakkan be rsama. Kudaang baru lahir dan perkembangan kuda-kuda jantan yang pernah mereka j inakkan bersama. Kudakuda Maruyama sudah tumbuh satu tangan lebih tinggi dibandingkan dua puluh tahun lalu , ketika Hiroshi masih kecil. Shigeko merindukannya dan amat ingin berjumpa lagi dengannya: Hiroshi sudah sepe rti kakaknya, tinggal di kediaman Otori, dianggap sebagai putra dalam keluarga. Dia mengajari Shigeko menunggang kuda, me-manah serta bertarung dengan pedang: Hiroshi juga mengajarin ya seni perang, strategi dan taktik, begitu pula dengan seni pemerintahan. Lebih dari se galanya, Shigeko berharap Hiroshi menjadi suaminya, tapi menduga kalau itu tidak mungkin. Hiroshi bisa menjadi penasihat yang paling berharga, bahkan teman yang paling baik, tapi tidak akan l ebih. Ia pernah mendengar perbincangan soal pernikahan dirinya karena kini usianya beranjak lima belas tahun. Ia tahu akan ada rencana pertunangan, pernikahan yang akan memperkuat posisi keluarg anya dan menopang hasrat ayahnya untuk kedamaian. Semua pikiran ini melintas di benaknya selagi membaca secara perlahan dan hati-h ati dari gulungan. Tangan si kembar terasa sakit dan mata mereka terasa gatal saat Shigeko selesai membacanya. Tak satu pun dari keduanya berani berkomentar, dan Shigeko mengurangi ketegasannya. Shigeko memper baiki pekerjaan adik-adiknya dengan baik hati, cukup sering menyuruh mereka berl atih lagi menulis huruf yang salah guratannya. Ketika matahari mulai tenggelam dan udara terasa ag ak dingin, Shigeko menyarankan agar mereka berjalan-jalan sebelum latihan di sore hari. Si kembar, yang melemah dengan beratnya hukuman yang mereka dapatkan, menyetujuin ya dengan patuh. "Kita ke biara," seru Shigeko, membuat kedua adiknya bersorak kegirangan, karena biara itu dipersembahkan bagi dewa sungai dan kuda. "Bolehkah kita berjalan melewati pagar penangkap ikan?" tanya Maya dengan nada memohon. "Tentu saja tidak bisa," sahut Shigeko. "Tempat itu hanya boleh digunakan anak b erandalan, bukan putri-putri Lord Otori. Kita akan berjalan menuju jembatan batu. memanggil Shizu ka dan memintanya untuk ikut bersama kita. Dan kurasa kita sebaiknya membawa beberapa pengawal."

"Kita tidak butuh pengawal." "Bolehkah kami membawa pedang?" tanya Maya dan Miki serempak. "Untuk berkunjung ke biara, di jantung Hagi? Kita tidak butuh pedang." "Ingat serangan di Inuyama!" Miki mengingatkan. "Seorang ksatria sebaiknya selalu siaga," ujar Maya lumayan mirip menirukan Hiro shi. "Mungkin kau perlu latihan menulis lagi," balas Shigeko, kelihatan seakan ingin duduk lagi. "Baiklah, mari kita pergi seperti yang kau katakan, kakak," sahut Miki cepat. "P engawal, tidak ada pedang." *** Shigeko memikirkan selama beberapa saat tentang masalah tandu: apakah memaksa si kembar ditandu dalam kegelapan atau membiarkan mereka berjalan kaki. Tak satu satu pun dari kedu anya ingin ditandu, tapi ia tahu kalau Ibunya tidak suka si kembar terlihat bersama di temp at umum. Di sisi lain, ini di Hagi. kampung halaman mereka, tidak seformal dan sekeras di Inuyama, dan kedu a adiknya yang gelisah mungkin bisa tenang dan lelah setelah berjalan kaki. Shigek o pun ingin berjalan kaki, ingin melihat kehidupan Kisah Klan Otori IV Page 74

kota yang penuh semangat, jalan-jalan sempitnya serta toko-toko kecil penuh berba gai hasil bumi dan kerajinan. Di belakang jalan utama lebar yang mengarah dari gerbang kastil m enuju jembatan batu, terbentang dunia yang sangat menyenangkan, tempat yang jarang bisa dikunjun gi si kembar. ota yang penuh semangat, jalan-jalan sempitnya serta toko-toko kecil penuh berbag ai hasil bumi dan kerajinan. Di belakang jalan utama lebar yang mengarah dari gerbang kastil m enuju jembatan batu, terbentang dunia yang sangat menyenangkan, tempat yang jarang bisa dikunjun gi si kembar. Dua pengawal berjalan di depan mereka dan dua lagi di belakang; satu pelayan per empuan membawa keranjang bambu berisi botol sake serta sesaji lain, termasuk wortel unt uk kuil kuda. Shizuka berjalan di samping Maya, dan Miki berdampingan dengan Shigeko. Mereka s emua mengenakan sandal kayu serta jubah tipis musim panas. Shigeko memegang parasol, karena kulitnya seputih kulit ibunya dan takut terkena sinar matahari, tapi kulit si kembar keku ningan seperti ayahnya merasa tidak perlu melindungi kulit mereka. Gelombang menghempas ketika mereka tiba di jembatan batu, sungai berbau asin dan lumpur. Di jembatan yang pernah hancur dalam peristiwa gempa yang dipercaya rakyat sebagai hu kuman atas pengkhianatan Arai Daiichi ada pahatan kalimat: Klan Otori menyambut keadilan dan kesetiaan. Wasp adalah ketidakadilan dan ketidakseti aan. "Lihat apa yang terjadi padanya!" ujar Maya dengan nada puas selagi mereka berdi ri di depan batu itu. Mereka mempersembahkan sesaji sake, berterima kasih pada dewa sungai karena melin dungi Otori dan mem-peringati tukang batu yang dikubur hiduphidup di dalam dinding itu bertah un-tahun silam. Tulang belulangnya ditemukan di sungai dan dikuburkan kembali selama pemb angunan kembali jembatan. Shizuka sering menceritakan ini pada ketiga gadis itu, juga ce rita tentang putri si tukang batu, Akane, dan terkadang mereka mengunjungi kuil di kawah gunung berapi tempat kematian tragis Akane diperingati dan arwahnya yang dipanggil kembali oleh para kekasih yang tidak bahagia, laki-laki maupun perempuan. "Shizuka pasti bersedih atas kematian Lord Arai," kata Shigeko pelan saat mereka meninggalkan jembatan, Sesaat si kembar berjalan berdampingan: para pejalan kaki berlutut ket ika Shigeko lewat, tapi memalingkan wajah ketika si kembar lewat. "Aku bersedih atas cinta yang pernah ada di antara kami," sahut Shizuka. "Juga u ntuk kedua putraku, yang menyaksikan ayah mereka mati di depan mata mereka. Tapi Arai telah membuatk

u menjadi musuhnya, dan telah memberi perintah agar aku dibunuh. Kematiannya tidak lebih da ri akhir yang adil atas cara hidup yang dipilihnya." "Kau tahu banyak tentang masa-masa itu!" seru Shigeko. "Benar, barangkali lebih banyak dari siapa pun," aku Shizuka. "Semakin usiaku be rtambah, semua yang terjadi di masa lalu menjadi lebih jelas di benakku. Selama ini Isihida dan aku mencatat semua ingatanku: ayah kalian yang memintanya." "Dan kau mengenal Lord Shigeru?" "Namamu, Shigeko, adalah nama perempuan dari Shigeru. Ya, aku mengenalnya dekat. Kami saling menaruh kepercayaan satu sama lain selama bertahun-tahun, dan saling percaya den gan taruhan nyawa kami." "Beliau pasti orang yang baik." "Aku belum pernah bertemu orang seperti dia." "Apakah dia lebih baik ketimbang Ayah?" "Shigeko! Aku tidak bisa menilai ayahmu! " "Kenapa tidak? Ayah adalah sepupumu. Kau mengenalnya lebih baik ketimbang kebany akan orang." "Takeo sangat mirip Shigeru: dia seorang laki-laki serta pemimpin yang hebat." " Tapi...?" "Semua orang memiliki kelemahan," tutur Shizuka. "Ayahmu berusaha mcnguasai kelem ahannya, namun sifatnya terbagi dengan cara yang tidak terjadi pada Shigeru." Shigeko tiba-tiba merinding, meskipun udara masih terasa hangat. "Jangan teruska n lagi! Aku menyesal sudah bertanya." Kisah Klan Otori IV Page 75

"Ada apa? Apakah kau mendapatkan firasat?" Ada apa? Apakah kau mendapatkan firas at?" Kisah Klan Otori IV Page 76

"Aku selalu mendapatkan firasat," sahut Shigeko pelan. "Aku tahu berapa banyak o rang yang menginginkan kematian ayahku." Ia memberi isyarat pada si kembar yang tengah men unggu di gerbang kuil. "Keluarga kami terbelah dengan cara yang sama: kami adalah gambara n dari sifat ayah. Apa yang akan terjadi pada adik-adikku kelak? Di mana tempat mereka di dunia ini ?" Shigeko bergidik lagi, dan berusaha mengubah topik pembicaraan. ku selalu mendapatkan firasat," sahut Shigeko pelan. "Aku tahu berapa banyak ora ng yang menginginkan kematian ayahku." Ia memberi isyarat pada si kembar yang tengah men unggu di gerbang kuil. "Keluarga kami terbelah dengan cara yang sama: kami adalah gambara n dari sifat ayah. Apa yang akan terjadi pada adik-adikku kelak? Di mana tempat mereka di dunia ini ?" Shigeko bergidik lagi, dan berusaha mengubah topik pembicaraan. "Suamimu sudah kembali?" tanya Shigeko. "Mungkin pulang dalam beberapa hari ini; mungkin dia sudah di Hofu. Aku belum me ndengar kabarnya." "Ayah sedang di Hofu! Mungkin mereka bertemu di sana. Mungkin mereka akan pulang bersama." Shigeko berbalik dan menatap kembali ke arah teluk. "Besok kita akan mendaki buki t dan melihat apakah kapal mereka sudah terlihat." Mereka memasuki pintu kuil, lewat bagian bawah gerbang besar. Di lengkungan gerb ang dipenuhi ukiran hewan dalam dongeng: houou, kirin dan shishi. Kuil itu dibalut hijaunya te tumbuhan. Pepohonan willow besar berbaris di tepi sungai; di samping pepohonan tumbuh pohon oak dan cedar, unsur terakhir dari hutan jaman purba yang pernah menyelimuti tanah ini. Hiruk-pikuk kota memudar menjadi senyap, hanya ter-pecahkan oleh kicau burung. Arah cahaya tampak miring dari barat menerangi debu di sela-sela besarnya batang pohon dengan pancaran sinar ke emasan. Seekor kuda putih di dalam istal berukiran indah meringkik kelaparan melihat mer eka, dan si kembar pergi meinpersembahkan sesaji bagi hewan yang dianggap keramat itu. Seorang laki-laki tua muncul dari belakang aula utama. Dia adalah seorang biaraw an, dan mengabdikan diri melayani dewa sungai sejak kecil setelah kakaknya tenggelam di pagar penangkap ikan. Namanya Hiroki. Putra ketiga Mori Yusuke, pawang kuda dari Klan Otori. Kak ak laki-lakinya, Kiyoshige, dulu adalah teman dekat Lord Shigeru.

Hiroki tersenyum sewaktu menghampiri mereka. Dia memiliki ikatan khusus dengan S higeko melalui kecintaan mereka terhadap kuda. Hiroki mempertahankan tradisi keluarganya, meraw at kuda Klan Otori setelah ayahnya pergi ke ujung dunia dalam rangka mencari kuda-kuda cepat dari tanah datar yang luas. Yusuke sendiri tidak pemah kembali, namun mengirimkan seekor kuda hit am jantan yang menjadi ayah dari Raku dan Shun, keduanya dijinakkan dan dilatih oleh Takeshi, a dik Shigeru, selama berbulanbulan sebelum kematiannya. "Selamat datang, Lady!" Layaknya banyak orang yang mengabaikan si kembar, seolah keberadaan mereka terlalu memalukan untuk diakui. Kedua gadis itu sedikit menarik din di ba wah bayangan pepohonan, memerhatikan si pendeta baik-baik dengan tatapan mata yang sukar dimengerti. Shigeko melihat kalau mereka marah. Terutama Miki ya ng mempunyai sifat pemarah, yang belum belajar cara mengendalikan amarahnya. Watak Maya lebih dingin, namun lebih sulit untuk diredam. Setelah beramah tamah dan Shigeko mempersembahkan sesaji, Hiroki menarik tali ge nta untuk membangkitkan arwah dan Shigeko memanjatkan doa, memandang dirinya sebagai penghu bung antara dunia fana dan dunia arwah bagi makhluk-makhtuk yang tidak bisa bicara se hingga tidak ada doa. Seekor anak kucing berlari terbirit-birit di sepanjang beranda, mengejar sehelai daun gugur. Hiroki menangkap kucing itu dengan kedua tangannya, mengelus-elus kepala dan telinganya . Kucing itu pun mendengkur dengan suara parau. Matanya besar dan berwarna kuning kecoklatan, bola matanya me-mantulkan cerahnya cahaya matahari, bulu berwarna coklat muda pucat dengan bi ntik hitam dan coklat kemerahan. "Anda punya teman baru," seru Shigeko. "Benar, dia datang mencari tempat tinggal pada suatu malam saat hujan deras dan sejak saat itu dia tinggal di sini. Dia teman yang Kisah Klan Otori IV Page 77

baik, kuda-kuda suka padanya, dan membungkam tikus-tikus." ik, kuda-kuda suka pad anya, dan membungkam tikus-tikus." Shigeko belum pemah melihat kucing setampan itu; warna bulunya yang kontras sung guh memukau. Dilihatnya Hiroki amat menyayangi hewan itu, dan merasa senang. Semua anggota ke luarga Hiroki telah tiada: dia hidup dengan menyaksikan kekalahan Otori di Yaegahara hingga kehancur an kota saat gempa. Satu-satunya hal yang menarik baginya saat ini adalah melayani dewa sungai dan kasih sayangnya pada kuda. Si kucing membiarkan dirinya ditepuktepuk selama beberapa saat, kemudian meronta sampai Hiroki melepasnya. Kucing itu pergi tergesa-gesa dengan ekor tegak lurus. "Akan terjadi badai," ujar Hiroki, tertawa kecil. "Dia bisa merasakan cuaca di b ulubulunya." Maya memungut sebatang ranting. Membungkuk lalu menggores dedaunan dengan ranting itu. Kucing itu diam saja, tatapan matanya tajam. "Mari pergi melihat kuda," ajak Shigeko. "Ikutlah bersamaku, Shizuka." Miki berlari mengejar mereka, tapi Maya tetap membungkuk di bawah bayangan, membujuk si kucing untuk mendekat. Sementara pelayan menunggu dengan sabar di beranda. Salah satu sudut di ladang kecil dipagari bambu, dan seekor kuda jantan hitam dik urung di dalamnya. Tanah tempat si kuda agak menanjak, rumputnya kering dan banyak bekas jejak kaki. Saat melihat mereka, kuda itu meringkik nyaring lalu bergerak mundur. Dua kuda yang l ebih muda berseru menyahutinya. Mereka gelisah dan mudah gugup. Keduanya memiliki bekas luka gigit an baru di leher dan bagian sampingnya. Seorang anak laki-laki lengah mengisi ember air minum kuda hitam jantan itu. "Di a sengaja menendang ember itu," gerutunya. Di salah satu lengannya terlihat tanda bekas gig itan dan lebam. "Apakah dia menggigitmu?" tanya Shigeko. Orang itu mengangguk. "Dia juga menendangku." Diperlihatkannya lebam berwarna ung u gelap di betisnya. "Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan," tutur Hiroki. "Dia selalu menyulitkan:

sekarang malah menjadi berbahaya." "Dia tampan sekali," ujar Shigeko, mengagumi kaki panjang dan punggungnya yang be rotot, bentuk kepala yang sempuma dan mata yang besar. "Ya, dia memang tampan, juga tinggi: kuda tertinggi yang kami miliki. Tapi dia s angat keras kepala, aku tidak tahu apakah dia bisa dijinakkan, atau apakah kita mesti mengawinkannya ." "Tampaknya dia sudah siap dikawinkan!" komentar Shizuka, dan mereka semua tertawa karena si kuda memperlihatkan semua gejala kuda jantan yang birahi. "Aku khawatir menaruhnya bersama kuda betina justru akan memperparah keadaan," t utur Hiroki. Shigeko mendekati si kuda hitam jantan. Bola mata kuda itu berputar dan telingan ya menegakkan. "Hati-hati," Hiroki memperingatkan, dan saat itulah si kuda mencoba menggigit Sh igeko. Bocah pengurus kuda memukulnya ketika Shigeko undur di luar jangkauan gigi si ku da. Diamatinya kuda itu selama beberapa saat tanpa bicara sepatah kata pun. "Dikurung pasti membuat keadaannya lebih buruk," ujarnya. "Pindahkan kuda yang lebih muda dan biarkan dia memiliki ladang ini sendirian. Bagaimana bila kau membawa sepasang kuda betina yang tua dan mandul apakah mereka bisa menenangkannya dan mengajarinya sopan santun?" Kisah Klan Otori IV Page 78

"Gagasan yang bagus; aku akan mencobanya," sahut si laki-laki tua, dan menyuruh b ocah tadi menuntun dua kuda tadi ke padang rumput yang lebih jauh. "Kami akan membawa kuda betina dalam satu atau dua hari. Dia akan lebih menghargai teman bila kesepian!" Gagasan yang bagus; aku akan mencobanya," sahut si laki-laki tua, dan menyuruh bo cah tadi menuntun dua kuda tadi ke padang rumput yang lebih jauh. "Kami akan membawa kuda betina dalam satu atau dua hari. Dia akan lebih menghargai teman bila kesepian!" Aku akan datang setiap hari dan melihat apakah kuda ini bisa dijinakkan," kata S higeko, seraya berpikir akan menulis surat pada Hiroshi dan menanyakan sarannya. Mungkin Hirosh i akan datang dan membantuku menjinakkannya.... Shigeko tersenyum pada diri sendiri sewaktu mereka kembali ke kuil. Maya tengah duduk di beranda di sebelah pelayan, matanya menatap ke bawah. Si ku cing tergeletak lemas di atas tanah, semua keindahan dan semangat hidup kucing itu tidak terliha t lagi. Laki-laki tua itu menjerit, lalu bergegas menghampiri, kemudian tersandung, ke arah kucing itu. Diraihnya hewan itu lalu d ipeluknya eraterat. Kucing itu bergerak tedikit, tapi tidak bangun. Shizuka langsung menghampiri Maya. "Apa yang kau lakukan?" Tidak ada," jawabnya. "Kucing itu menatapku, lalu tertidur." "Bangun, Mikkan," laki-laki tua itu memohon dengan sia-sia. "Bangunlah!" Shizuka menatap kucing itu dengan perasaan panik. Dengan usaha yang kentara meng endalikan reaksinya, dia berkata pelan, "Kucing itu takkan bangun. Kalaupun terbangun, tida k dalam waktu yang lama." "Ada apa?" tanya Shigeko. "Apa yang Maya lakukan pada kucing itu?" "Aku tidak melakukan apa-apa," kata Maya lagi, tapi dari tatapan matanya saat me ndongak, Maya terlihat seperti kegirangan. Dan ketika menatap Hiroki yang mulai menangis pelan, bibirnya berkerut dengan sinis. Ketika tersadar, Shigeko berkata dengan kesal, "Itu pasti salah satu kemampuan r ahasia, kan? Sesuatu yang dipelajarinya sewaktu dia pergi? Kemampuan sihir yang mengerikan!"

"Jangan bicarakan itu di sini," gumam Shizuka, karena para pelayan kuil berkumpu l dan menatap dengan mulut menganga seraya memegangi jimat. "Kita harus pulang. Maya harus dih ukum. Tapi mungkin sudah ter-lambat." "Terlambat untuk apa?' tanya Shigeko. "Nanti kuceritakan. Aku hanya mengerti sebagian tentang kemampuan Kikuta seperti ini. Kuharap ayahmu ada di sini." *** Shigeko bahkan lebih merindukan ayahnya pulang saat menghadapi kemarahan ibunya. Sorenya di hari yang sama: Shizuka mengajak si kembar pergi untuk menghukum Maya, dan merek a berdua diperintahkan tidur di kamar yang terpisah. Badai menderu di kejauhan, dan dari tempatnya berlutut, kepala tertunduk di hadapan ibunya, dapat Shigeko melihat cahaya samar di dindin g berhiaskan motif emas menonjol saat kilatan halilintar tampak mengarah ke laut. Ramalan cuaca si kucing ternyata benar. Kaede berkata, "Seharusnya kau tidak ajak mereka ke sana! Kau tahu kalau Ibu tak ingin mereka terlihat berdua di depan umu m." "Maaf, Ibu," bisik Shigeko. Ia tidak terbiasa dengan kemarahan ibunya dan itu ama t menyakitkan baginya. Tapi ia juga khawatir pada si kembar, dan merasa kalau ibunya bersikap tidak adil pada mereka. "Hari ini panas sekali; mereka sudah belajar dengan giat. Mereka perlu p ergi keluar." Kisah Klan Otori IV Page 79

"Mereka bisa bermain di taman sini," sahut Kaede. "Maya harus dikirim pergi." Me reka bisa bermain di taman sini," sahut Kaede. "Maya harus dikirim pergi." Kisah Klan Otori IV Page 80

dia tidak berdaya. ia tidak berdaya. Kisah Klan Otori IV Page 82

Selama pemerintahan Takeo dan Kaede, jalan-jalan di seluruh Tiga Negara telah di perbaiki daelama pemerintahan Takeo dan Kaede, jalan-jalan di seluruh Tiga Negar a telah diperbaiki dan pesan-pesan dibawa dengan cepat antar kota-kota besar. Tapi di luar wilayah Timu r, tempat Barisan Awan Tinggi membentuk penghalang alami, terbentang bermil-mil negeri tak bertuan sampai ke kota bebas Akashi, pelabuhan yang membentuk gerbang masuk ke ibukota Kaisar, Miyako. Desas-desus tentang kematian Muto Kenji terdengar di Akashi kira-kira di bulan keempat, dan dari sana kabar itu tersiar hingga ke Inumaya melalui pedagang yang sering meneruskan kabar berita dari wilayah Timur kepada Muto Taku. Walaupun sudah menduganya, Taku merasa sedih juga marah atas berita itu. Ia mera sa seharusnya Kenji mati dengan damai di kampung halamannya sendiri, karena kematian seperti i tu akan dianggap kelemahan di mata Kikuta dan hanya akan membuat mereka lebih bersemangat. Ia ber doa agar kematian Kenji terjadi dengan cepat dan bukannya tanpa makna. Taku merasa harus memberitahukan kabar itu pada Takeo, dan Sonoda juga Ai setuju kalau ia harus segera bewingkat ke Hofu, tempat Takeo pergi untuk beberapa alasan pemerintahan, sementara Kaede dan anak-anaknya sudah kembali ke Hagi selama musim panas. Keputusan atas nasib tawanan juga harus secara resmi dilaksanakan baik oleh Take o maupun Kaede. Mungkin mereka akan dieksekusi sekarang, tapi harus dilakukan sesuai huku m agar tidak dianggap sebagai tindakan balas dendam. Taku sendiri mewarisi sifat sinis Kenji dan tidak enggan melakukan tindakan balas dendam, namun dia menghormati ketegasan Takeo pada keadilan atau setidaknya memberi kesan adil. Kematian Kenji juga memengaruhi Tribe , karena dia sudah menjadi ketua lebih dari dua puluh tahun: seorang keluarga Muto harus dipi lih untuk menggantikan keduduk-annya. Kakak Taku, Zenko, merupakan kerabat laki-laki terdekat karena Ke nji hanya memiliki seorang putri yang sudah mati, Yuki, namun Zenko mengambil nama keluarga ayahnya dan tidak memiliki ke-mampuan Tribe. Apalagi kini dia berstatus sebagai ksatria berkedudukan tertinggi, pimpinan Klan Arai yang memimpin wilayah Kumamoto. Orang yang tersisa hanyalah Taku yang sudah jelas oinat berbakat dalam kemampuan menghilang serta menggunakan sosok kedua, dilatih oleh Kenji, dipercaya oleh Takeo. Satu al asan lagi untuk mengadakan per-jalanan saat ini yaitu untuk bertemu keluarga Tribe, untuk memast ikan kesetiaan dan dukungan mereka serta membahas tentang siapa yang akan menjadi Ketua.

Lagipula Taku merasa gelisah: ia sudah di Inuyama sepanjang musim dingin. Istrin ya menyenangkan, anak-anak menghiburnya, tapi kehidupan rumah tangga membuatnya bosan; diucapkannya selamat tinggal pada keluarganya tanpa penyesalan, dan meski pun misinya membawa kabar menyedihkan, ia bersiap pergi keesokan harinya dengan lega bercamp ur penuh harapan, menunggang kuda pemberian Takeo kepadanya saat masih kecil: anak dari R aku, kuda dengan kulit abu-abu pucat, surai dan ekor sehitam arang warna yang amat dihargai di Tiga Negara. Taku menamainya Ryume. Ryume sudah menjadi ayah dari banyak kuda jantan, dan kini sudah tua, namun ia t ak pernah menyukai kuda seperti kuda yang satu ini, yang dijinakkannya sendiri serta tumbu h dewasa bersama dirinya. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan, hujan musim semi bar u saja mulai turun, tapi berita itu tidak bisa ditunda lagi, tak ingin orang lain yang membaw a berita ini. Taku berkuda dengan cepat meskipun di tengah cuaca buruk, seraya berharap bisa bertem u Takeo sebelum meninggalkan Hofu. Kedatangan kirin dan pertemuan dengan adik perempuannya mencegah Takeo untuk per gi secepatnya ke Hagi seperti yang diinginkannya. Keponakannya, Sunaomi dan Chikara bersiap-siap melakukan perjalanan, namun badai hebat menunda keberangkatan mereka selama dua hari. Itulah sebabnya Takeo masih berada di Hofu ketika Muto Taku datang dari Inuyama ke ruma h kakaknya, meminta segera dipertemukan dengan Lord Otori. Sangat jelas bahwa Taku membawa be rita buruk. Kisah Klan Otori IV Page 83

Ia tiba hampir malam, kelelahan dan tubuhnya yang kotor karena berjalan jauh, ta pi tidak ingin mandi atau makan sebelum bicara dengan Takeo. Tidak ada rincian, hanya kenyataan keji bahwa Muto Kenji tiba hampir malam, kelelahan dan tubuhnya yang kotor karena berjalan jauh, tapi tidak ingin mandi atau makan sebelum bicara dengan Takeo. Tidak ada rincian, hanya kenyataan keji bahwa Muto Kenji Kisah Klan Otori IV Page 84

sudah tiada. Tak ada jenazah yang bisa ditangisi, tak ada batu nisan untuk menan dai makamnyaudah tiada. Tak ada jenazah yang bisa ditangisi, tak ada batu nisan untuk menandai makamnya: cara kematian yang paling sulit untuk ditangisi, jauh dan tak terlihat. Kesediha n Takeo memuncak, semakin diperburuk oleh keputusasaannya. Namun ia merasa tak mampu menumpahkan perasaannya di rumah Zenko, dan tak mampu menahan Taku sepenuhnya sesuai dengan kehendaknya. Diputuskannya untuk pergi ke Hagi keesokan harinya, dan menunggang kuda dengan cepat. Keinginan utamanya adalah bertemu Kaede, agar istr inya itu bisa menghiburnya. Namun kekhawatirannya yang lain tak bisa disingkirkan dan menunggu sementara ia meng-hadapi kesedihannya. Setidaknya ia harus membawa salah satu putra Zenko; Su naomi yang akan dibawanya bocah itu pasti bisa menunggang kuda dengan cepat lalu mengirim adikn ya bersama Ishida dan kirin dengan naik kapal begitu cuaca membaik. Taku bisa mengu rusnya. Dan Kono? Mungkin Taku bisa tinggal di wilayah Barat untuk mengawasinya. Berapa lama lagi sampai ia bisa mendapat kabar dari Fumio? Berhasilkah dia menggagalkan penyelundupansenjata api? Dan jika tidak berhasil, berapa lama lagi waktu yang mereka butuhkan untuk menanding i jumlah persenjataan miliknya? Kenangan tentang gurunya dan masa lalu menghujani dirinya. Ia berduka tidak hany a karena kehilangan Kenji, tapi juga kehilangan semua yang berhubungan dengannya. Kenji sah abat Shigeru: satu mata rantai lagi yang terputus. Lalu masalah tawanan di Inuyama yang harus dihukum mati, namun harus dilakukan sesuai hukum, dan ia atau salah satu a nggota keluarganya harus hadir. Ia harus menulis surat pada suami Ai, Sonoda, mengirim perintah agar Ai menggantikan Kaede, se-suatu tugas yang akan menciutkan nyali adik iparnya yang berhati lembut itu. Takeo terjaga semalaman hanya ditemani kesedihan. Saat matahari terbit, ia meman ggil Minoru dan mendiktekan surat untuk Sonoda dan Ai, tapi sebelum membubuhkan cap, ia berbicar a lagi dengan Taku. "Aku merasa enggan untuk memerintahkan hukuman mati kedua pemuda-pemudi itu. Apak ah ada cara lain?" "Mereka hendak membunuh keluargamu," sahut Taku. "Kau yang membuat aturan dan hu

kuman. Apa yang akan kau lakukan pada mereka? Memaafkan lalu membebaskan mereka justru akan kelihatan seperti kelemahan; dan dipenjara dalam waktu lama lebih kejam ketimbang kematian dengan cara cepat." "Tapi apakah kematian mereka akan mencegah serangan-serangan selanjutnya? Bukankah ini semakin membangkitkan amarah Kikuta pada diriku dan keluargaku?" "Dendam Akio padamu sudah mutlak sifatnya. Ia tak akan mundur selama kau masih hidup," sahut Taku, lalu menambahka n, "Namun kematian akan menyingkirkan dua pembunuh lagi, dan cepat atau lambat mereka akan kehabisan orang yang mau dan mampu melakukannya. Kau harus hidup lebih lama daripada merek a." "Kau seperti Kenji," ujar Takeo. "Sama realistis dan pragmatisnya seperti Kenji. Kurasa kau yang akan mengambil alih kepemimpinan keluarga sekarang?" "Aku akan bicarakan dengan ibuku. Dan kakakku, tentu saja, demi formalitas. Zenk o hanya memiliki sedikit kemampuan Tribe, dan mengambil nama ayah kami, tapi tetap saja dia lebih tua dariku." Takeo menaikkan alis sedikit. Ia lebih suka menyerahkan penanganan masalah pada Kenji dan Taku, memercayai Kenji sepenuhnya. Ia merasa tak nyaman dengan pemikiran harus berbagi rahasia mereka dengan Zenko. "Kakakmu mengusulkan agar aku mengangkat salah satu putranya," tutur Takeo, membi arkan nada terkejut terdengar dalam suaranya, yang diketahuinya tak akan luput dari perhati an Taku. "Sunaomi akan menemaniku ke Hagi. Aku akan berangkat Kisah Klan Otori IV Page 85

sebentar lagi. Tapi ada banyak hal yang harus kita bicarakan terlebih dulu. Mari berjalanjalan debentar lagi. Tapi ada banyak hal yang harus kita bicarakan terle bih dulu. Mari berjalanjalan di taman." "Lord Otori," Minoru mengingatkannya. "Tidakkah Anda harus menyelesaikan suratnya lebih dulu?" "Tidak, bawa saja bersama kita. Aku akan membicarakan masalah itu lebih jauh lag i dengan istriku sebelum aku memutuskan. Kita akan mengirimnya dari Hagi." Sinar matahari yang baru terbit tampak kelabu, pagi terasa lembap dan basah, den gan hujan yang mengancam akan turun. Perjalanan itu akan basah dan tidak nyaman. Takeo sudah bisa memperkirakan bagaimana rasa sakit pada luka lamanya akan memper buruk harihari selama menunggang kuda. Ia sadar kalau Zenko mungkin sedang mengawasinya, memben ci kedekatannya dengan Taku, tahu kalau dirinya akan menaruh kepercayaan pada adikn ya. Mengingat kalau Zenko juga keluarga Muto, serta ada hubungan saudara dengan Kikut a, membuatnya selalu siaga. Berharap benar adanya kalau Zenko tak memiliki kemampuan Tribe, Takeo menceritakan dengan pelan pada Taku secara singkat tentang pesan Lord Kono, begitu pula dengan masalah penyelundupan senjata. Taku menyerap semua penjelasan ini dalam diam; satu-satunya komentar darinya, "K urasa, kepercayaanmu pada kakakku sudah terkikis." "Kakakmu telah memperbarui sumpah setianya padaku, tapi kita semua tahu sumpah s etia tidak ada artinya bila berhadapan dengan ambisi akan kekuasaan. Kakakmu selalu menyalahkank u atas kematian ayahmu dan kini sepertinya Kaisar dan kalangan istananya pun beranggapan s ama. Aku tidak memercayai kakakmu maupun istrinya, tapi selama kedua putra mereka di tang anku, kurasa ambisi mereka masih bisa dibendung. Ambisi mereka harus dibendung: alternatif la innya adalah akan terjadi perang saudara lagi atau aku harus memerintahkan kakakmu bunuh diri. Aku akan menghindari ini selama mungkin. Tapi aku harus memintamu menutup mulut lebih rap at dari biasanya, dan tidak mengungkap apa pun yang bisa menguntungkan dirinya." Kebiasaan Taku dalam ekspresi sinisme yang senang, menjadi lebih gelap lagi. "Aku yang akan membunuhnya bila dia mengkhianatimu," sahutnya. "Jangan!" sahut Takeo cepat. "Jangan sekali-kali membunuh saudara kandung. Masa-

masa pertumpahan darah antar keluarga telah berakhir. Kakakmu, seperti juga semua ora ng termasuk dirimu sendiri, Taku harus dibatasi Hukum." Ia berhenti sesaat, kemudian berkata p elan, "Tapi katakan: apakah Kenji pernah mengatakan ramalan tentang diriku, bahwa aku aman d ari kematian, kecuali di tangan putraku sendiri?" "Ya pernah, setelah salah satu percobaan pembunuhan padamu, dia berkomentar mung kin ramalan itu benar adanya tak biasanya paman percaya pada ramalan dan pertanda. Saat itu pa man menceritakan apa yang telah dikatakan tentang dirimu. Paman menceritakan itu seb agian untuk menjelaskan ketidaktakutanmu, dan mengapa ancaman serangan tidak melumpuhkan dirim u atau membuatmu bertindak kejam, seperti yang akan dilakukan sebagian besar orang." "Aku juga tidak mudah percaya," sahut Takeo, sambil tersenyum penuh penyesalan. "Kadang aku percaya kebenaran kata-kata itu, kadang tidak. Ramalan itu membuat aku percaya karena telah memberiku waktu untuk meraih segala yang kuinginkan tanpa ketakutan. Bagaimana pun juga, anak itu kini berusi a enam belas tahun: cukup usia, dalam kalangan Tribe, untuk membunuh. Maka kini aku merasa te rjebak: dapatkah aku berhenti percaya ketika ramalan itu tidak lagi sesuai dengan keadaanku?" "Bakal cukup mudah untuk menyingkirkan bocah itu," Taku menawarkan. "Taku, kau tidak belajar apa-apa dari semua jerih payahku! Masa-masa pembunuhan r ahasia sudah berakhir. Aku tak mampu mencabut nyawa kakakmu ketika pisauku di lehernya saat s engitnya pertempuran. Aku tak akan memerintahkan untuk membunuh putraku sendiri." Kisah Klan Otori IV Page 86

Setelah beberapa saat Takeo melanjutkan, "Siapa lagi yang tahu tentang ramalan i ni?" etelah beberapa saat Takeo melanjutkan, "Siapa lagi yang tahu tentang ramal an ini?" Kisah Klan Otori IV Page 87

"Saat Kenji menceritakan hal ini padaku, tabib Ishida ada di sana. Dia sedang me ngobati luka dan mencoba meredakan demammu. Kenji mengatakan itu untuk meyakinkan Ishida bahwa kau takkan mati, karena tabib itu hampir menyerah." Saat Kenji menceritakan hal ini padaku, tabib Ishida ada di sana. Dia sedang men gobati luka dan mencoba meredakan demammu. Kenji mengatakan itu untuk meyakinkan Ishida bahwa kau takkan mati, karena tabib itu hampir menyerah." "Zenko tidak tahu?" "Dia tahu keberadaan putramu dia di desa Muto ketika berita kematian Yuki datang. Semua orang terus membicarakannya selama berminggu-minggu. Tapi kurasa Kenji tidak mencerita kan soal ramalan itu pada orang lain." "Maka biarkan ramalan itu tetap menjadi rahasia." Taku mengangguk. "Aku akan tinggal di sini bersama mereka, seperti yang kau sara nkan," ujarnya. "Awasi dengan baik, pastikan kalau Chikara berangkat bersama Ishida, dan mungkin cari tahu lebih banyak lagi tentang niat orangtuanya yang sebenarnya." Sewaktu mereka berpisah, Taku berkata, "Satu hal lagi. Bila kau mengangkat Sunao mi sebagai anak, dan dia menjadi putramu...." "Saat itu aku akan memilih untuk tidak percaya!" sahut Takeo pura-pura bicara de ngan nada ringan yang justru tidak dirasakannya." * Takeo berangkat kira-kira pada Waktu Ular* di mana hujan belum turun, namun menj elang malam hujan turun dengan deras. Sunaomi diam saja, bersemangat untuk bersikap dengan be nar dan berani. namun jelas terlihat kalau dia khawatir meninggalkan orangtua dan keluar ganya. Dua pengawal Zenko ikut untuk mengurusnya. Sementara Takeo didampingi Jun dan Shin, dua puluh prajurit serta Minoru. Di malam pertama mereka menginap di desa kecil, tempat be berapa penginapan dibangun selama masa kemakmuran negara ini. Desa ini acapkali menjadi tempat tra nsit para pedagang yang melakukan perjalanan antara Hofu dan Hagi. Jalanan terawat dengan baik, dilapisi batu kerikil atau diratakan setiap jengkalnya; setiap kota kecil dijaga sehingga perjalanan menjadi aman dan cepat. Meskipun hujan, mereka sampai di sungai pada sore di hari ketiga , dan bertemu Miyoshi Kahei yang sudah diberitahu kurir bahwa Lord Otori dalam perjalanan ke utara.

Atas kesetiaannya pada Takeo, Kahei dianugerahi kota Yamagata dan daerahdaerah ya ng mengelilinginya, hutan lebat yang membentuk jantung Negara Tengah serta tanah pe rtanian yang kaya di kedua sisi sungai. Yamagata dulu diserahkan pada Tohan setelah kekalahan Otori di Yaegahara. Keluarga Miyoshi merupakan salah satu keluarga terhebat dalam Klan Oto ri, dan Kahei merupakan pemimpin yang disukai banyak orang. Dia juga pemimpin yang ahli strate gi dan taktik sehingga, pikir Takeo, Kahei pasti menyesali tahun-tahun yang penuh kedamaian da n merindukan konflik baru untuk menguji keabsahan teori-teorinya serta kekuatan dan ketrampila n pasukannya. Adiknya, Gemba. lebih bersimpati pada keinginan Takeo untuk mengakhiri kekerasan, dan menjadi murid Kubo Makoto dan pengikut Ajaran Houou. "Kau akan ke Terayama?" Kahei bertanya setelah mereka saling memberi salam dan m enunggang kuda berdampingan ke utara, menuju ke kota. "Aku belum memutuskan," jawab Takeo. "Bukannya aku tidak menginginkannya, tapi aku tak ingin tertunda sampai di Hagi." "Apa sebaiknya kukirim kabar ke biara agar mereka datang ke kastil?'" Halaman 88 dari 500

Takeo melihat tidak ada lagi cara menghindar tanpa menyinggung perasaan sahabat l amanya ini. Takeo pikir tidak ada salahnya kalau Sunaomi berkunjung ke tempat suci Klan Otor i, ziarah ke makam Shigeru, Takeshi dan Ichiro, serta bertemu Makoto dan para ksatria lain dengan k ematangan spiritual yang menjadikan biara itu pusat kegiatan serta rumah mereka. Sunaomi tampak pand ai sekaligus sensitif: Ajaran Houou mungkin bisa menjadi ajaran yang tepat baginya, seperti yang telah terbukti pada putrinya, Shigeko. Ia merasakan percikan ketertarikan yang tak terduga: beta pa indahnya memiliki seorang putra untuk dibesarkan dan dididik dengan ajaran ini; timbulnya kekuatan emosi ini mengejutkan dirinya. Segala iiamnya sesuatunya diatur untuk pergi pagi-pagi kees okan harinya. Minoru tinggal di Yamagata untuk mengawasi rincian administratif dan menyiapkan b ukti catatan yang akan diperlukan untuk pengadilan nanti. akeo melihat tidak ada lagi cara menghindar tanpa menyinggung perasaan sahabat la manya ini. Takeo pikir tidak ada salahnya kalau Sunaomi berkunjung ke tempat suci Klan Otor i, ziarah ke makam Shigeru, Takeshi dan Ichiro, serta bertemu Makoto dan para ksatria lain dengan k ematangan spiritual yang menjadikan biara itu pusat kegiatan serta rumah mereka. Sunaomi tampak pand ai sekaligus sensitif: Ajaran Houou mungkin bisa menjadi ajaran yang tepat baginya, seperti yang telah terbukti pada putrinya, Shigeko. Ia merasakan percikan ketertarikan yang tak terduga: beta pa indahnya memiliki seorang putra untuk dibesarkan dan dididik dengan ajaran ini; timbulnya kekuatan emosi ini mengejutkan dirinya. Segala iiamnya sesuatunya diatur untuk pergi pagi-pagi kees okan harinya. Minoru tinggal di Yamagata untuk mengawasi rincian administratif dan menyiapkan b ukti catatan yang akan diperlukan untuk pengadilan nanti. Hujan berubah menjadi kabut: wajah bumi terselubung awan kelabu; di atas pegunungan langit tampak bermain, dan balu tan awan seputih mutiara tampak bak umbul-umbul di lereng. Air hujan membentuk torehan garis pada batang pepohonan cedar, meneteskan embun. Langkah kuda diredam oleh tanah yang basah. M ereka berkuda tanpa bicara; nyeri yang dirasakan Takeo ternyata tidak separah dugaanny a, dan benaknya penuh dengan kenangan akan kunjungannya yang pertama ke biara ini beserta orangorang yang menunggang kuda bersamanya bertahun-tahun lalu. Orang yang paling diingatnya, te rutama Muto Kenji, nama paling baru yang dituliskan di buku besar nama orang-orang yang tela h tiada. Kenji yang dalam perjalanan itu berpurapura menjadi kakek-kakek yang bodoh, gemar minum sake dan lukisan. Aku menyayangimu. Aku tidak ingin kehilanganmu. Takeo merasakan kesendirian yang menyakitkan, karena kematian Kenji meninggalkan kekosongan besar dalam hidupnya y

ang tak akan bisa terisi lagi, dan sekali lagi ia merasa rapuh, serapuh yang pernah dira sakannya setelah bertarung dengan Kikuta Kotaro yang telah membuat tangannya cacat. Kenji mengajarinya cara mempertahankan diri dengan menggunakan tangan kiri, mendukung d an memberi nasehat di masa-masa awal berkuasa di Tiga Negara, memecah Tribe dan mem bawa empat dari lima keluarga di bawah kekuasaannya, semua keluarga kecuali Kikuta, dan mem pertahankan jaringan mata-mata yang menjaga Takeo dan negara agar tetap aman. Pikirannya lalu melayang ke satu-satunya keturunan Kenji yang masih hidup, cucun ya, yang ditahan Kikuta. Putraku, pikirnya dengan penyesalan, kerinduan serta kemarahan. Dia tak pernah m engenal ayah maupun kakeknya. Dia takkan memanjatkan doa yang dibutuhkan bagi nenek moyangnya. Tak ada orang lain lagi yang bisa menghormati kenangan akan Kenji. Bagaimana kalau aku m encoba mendapatkan anak itu kembali? Tapi itu berarti mengungkap keberadaan anak itu pada istri serta ketiga putrinya , pada seluruh negara. Rahasia itu telah tersembunyi sekian lama hingga Takeo tidak tahu bagaima na mengutarakannya. Andai Kikuta mau berunding agar bisa diberi semacam hak khusus. Kenji telah menduga kalau mereka mungkin mau; dia memilih untuk mendekati Akio, dan kini dia telah tiada, dan dua pemuda lagi akan kehilangan nyawa sebagai hasilnya. Seperti Taku, Takeo ingin tahu berapa banyak lagi pembunuh yang Kikuta miliki, tapi tidak seperti Taku, ia tidak bersemangat bila jumlahnya makin berkurang. Jalan setapak itu sempit sehingga mereka dalam kelompok kecil Sunaomi dan kedua pe ngawalnya, kedua pengawal Takeo serta tiga ksatria Otori lainnya, ditambah dua anak buah Ka hei berkuda dalam satu barisan. Tapi setelah mereka meninggalkan kuda di tempat penginapan d i kaki gunung suci, Takeo memanggil Sunaomi agar berjalan bersamanya, menceritakan padanya sed ikit tentang sejarah biara, tentang pahlawan-pahlawan Otori yang dimakamkan di sana, tentang houou, burung suci yang bersarang di hutan kecil di belakang biara, dan ksatria yang mengabdik an dirinya pada Ajaran Houou. "Kami akan mengirimmu kemari bila kau sudah lebih besar; putriku datang ke sini setiap musim dingin, dan sudah melakukannya sejak usia sembilan tahun." Halaman 89

dari 500

"Aku akan melakukan apa saja yang paman inginkan," sahut bocah itu. "Aku berhara p bisa melihat burung houou dengan mata kepalaku sendiri!" ku akan melakukan apa saja yang paman inginkan," sahut bocah itu. "Aku berharap bisa melihat burung houou dengan mata kepalaku sendiri!" "Kita akan bangun pagi-pagi sekali dan pergi ke hutan kecil itu sebelum kembali ke Yamagata. Hampir dipastikan kau bisa melihat burung itu karena sekarang jumlahnya banyak." "Chikara melakukan perjalanan bersama kirin," seru Sunaomi, "dan aku berkesempata n melihat houou. Itu adil. Tapi. Paman, apa yang harus dipelajari untuk mengikuti Ajaran H ouou?" "Orangorang yang akan kita temui yang akan memberitahukan: biarawan seperti Kubo Makoto; ksatria seperti Miyoshi Gemba. Ajaran utamanya yaitu tidak menginginkan kekerasan." Sunaomi tampak kecewa. "Jadi aku tidak akan belajar memanah dan berpedang? Itu y ang ayah ajarkan pada kami, dan ayah ingin kami mahir dalam keduanya." "Kau akan melanjutkan pelatihan bersama putra-putra ksatria di Hagi, atau di Inu yama saat kita sudah sampai. Tapi Ajaran Houou sangat menuntut pengendalian diri, dan juga kekuatan fisik serta mental. Mungkin kau tidak cocok dengan ajaran ini." Takeo melihat cahaya berkilap di mata bocah itu. "Kuharap diriku cocok dengan aj aran ini," sahut Sunaomi, setengah berteriak. "Putri sulungku akan menceritakan lebih banyak lagi tentang ajaran ini begitu ki ta tiba di Hagi." Takeo hampir tidak bisa mengucapkan nama kota itu, begitu besar keinginannya unt uk berada di sana dan bersama Kaede. Tapi ia berusaha menyembunyikan perasaannya dengan cara yang s ama seperti yang dilakukannya seharian berusaha menyembunyikan rasa nyeri dan penderi taannya. Di gerbang biara mereka disambut dengan kegembiraan, dan seorang biarawan diminta u ntuk memberitahukan Kepala Biara, Matsuda Shingen, dan Makoto tentang kedatangan mere ka. Mereka dikawal menuju griya tamu. Meninggalkan Sunaomi dan anak buahnya di sana, Takeo berjalan melewati taman, melewati kolam ikan tempat ikan air tawar merah dan keemasan berd esakan dan mencipakkan air, menuju hutan kecil suci di belakang biara, menyusuri tanjakan terjal jalan pegunungan, tempat para bangsawan Otori dimakamkan. Kabut lebih tebal menyelimuti tentera abu-abu dan batu nisan yang dipersuram ole h embun dan bintik-bintik lumut hijau dan putih. Lumut yang berwarna hijau tua menutupi bagi an dasarnya. Ada

seutas tali rami baru berkilauan di sekeliling makam Shigeru, dan sekerumunan or ang berdiri menundukkan kepala di depan makam, berdoa bagi laki-laki yang telah menjadi pahl awan dan perwujudan dewa, kekuatan Negara Tengah dan Klan Otori. Sebagian besar dari mere ka adalah petani, pikir Takeo, mungkin ada satu atau dua pedagang dari Yamagata yang turut serta. Ketika melihat ia mendekat, mereka langsung mengenalinya dari lencana di jubahnya, dari tangan yang terbungkus sarung tangan hitam. Mereka menjatuhkan diri ke tanah, namun Takeo me mberi salam lalu menyuruh mereka berdiri, kemudian meminta meninggalkan dirinya sendiri di d ekat makam. Takeo berlutut, menatap sesaji yang ada di sana, segenggam penuh bunga warna mer ah tua, kue mochi dan sake. Masa lalu muncul di sekelilingnya, dengan semua kenangan menyakitkan. Ia berhutang nyawa pada Shigeru; dan telah menjalani hidupnya sesuai dengan tujuan sang mendiang. Wajahnya basah karena kabut dan air mata. Terasa ada gerakan di belakangnya, dan Takeo berbalik melihat Makoto berjalan me nghampiri sambil membawa lentera di satu tangan dan tempat dupa kecil di tangan yang satunya lagi . Makoto berlutut lalu meletakkan kedua benda itu di depan makam. Asap ketabu naik perlahan, berat , bercampur kabut, memenuhi udara dengan aromanya. Lentera menyala dengan tenang, menerangi suramnya hari ini. Dalam waktu lama mereka berdua tidak bicara sepatah kata pun. Kemudian genta ber dentang dari pelataran biara, dan Makoto berkata, "Mari masuk dan makan. Kau pasti lapar. Sen ang sekali bertemu denganmu." Halaman 90 dari 500

Mereka berdua bangkit dan saling mengamati. Mereka pertama kali bertemu tepat di tempat ini, tujuh belas lahun lalu, sempat timbul rasa saling menyukai di mereka berdua, dan untuk sesaat kasih sayang di antara mereka begitu kuatnya bak sepasang kekasih. Makoto pernah berte mpur reka berdua bangkit dan saling mengamati. Mereka pertama kali bertemu tepat di t empat ini, tujuh belas lahun lalu, sempat timbul rasa saling menyukai di mereka berdua, dan untuk sesaat kasih sayang di antara mereka begitu kuatnya bak sepasang kekasih. Makoto pernah berte mpur bersama Takeo di Asagawa dan Kusahara dan selama bertahun-tahun menjadi teman te rdekatnya. Karena sudah begitu mengenal Takeo, Makoto merasakan bila sahabatnya itu sedang menghadapi masalah, maka Makoto bertanya, "Apa yang terjadi?" "Aku akan menceritakannya dengan cepat. Muto telah tiada. Dia pergi untuk berund ing dengan keluarga Kikuta dan tidak kembali. Aku akan ke Hagi untuk memberitahukan kabar i ni pada keluargaku. Kami akan ke Yamagata besok." "Aku turut berduka atas kehilangan ini. Kenji teman yang setia. Tentu saja kau i ngin bersama Lady Otori di saat seperti ini. Tapi haruskah kau pergi begitu cepat? Maaf, tapi kau tampak lelah. Tinggallah selama beberapa hari di sini untuk memulihkan kekuatanmu." Takeo tersenyum, tergoda oleh ajakan itu, merasa iri pada Makoto dengan penampil annya yang sempurna secara fisik dan spiritualnya. Makoto saat ini berusia tiga puluhan, tan pa kerutan di wajahnya yang tenang; sinar matanya penuh kehangatan dan kegembiraan. Seluruh sik apnya memancarkan ketenangan dan pengendalian diri. Takeo yakin kalau teman lamanya yang satu lagi, Miyoshi Gemba pasti kelihatan sama, la yaknya para pengikut ajaran ini. Takeo merasakan ada sedikit penyesalan karena jalan hidup ya ng memanggilnya untuk dijalani sangat berbeda. Seperti yang selalu dilakukannya saa t mengunjungi Terayama, ia berangan-angan mengundurkan di sini, mengabdikan diri dengan meluki s dan merancang taman seperti seniman besar Sesshu; ia akan menyumbangkan Jato pedang y ang selalu ia bawa meskipun tak lagi digunakan selama bertahun-tahun lalu berhenti men jalani hidup sebagai ksatria dan penguasa. Bersumpah untuk tidak mem-bunuh lagi, melepaskan d iri dari kekuasaan atas hidup dan mati setiap orang di negara ini, membebaskan diri dari beban yang berat dan menyakitkan di balik kekuatan ini. Suara-suara biara yang tidak asing lagi menyelimuti dirinya. Dengan sadar dibukan ya gerbang

pendengarannya dan membiarkan suara-suara itu menyirami dirinya, percikan air ter jun di kejauhan, gumaman doa dari aula utama, suara Sunaomi dari griya tamu, desingan layang-laya ng dari puncak pepohonan. Dua burung gereja hing gap di ranting, bulu warna abu-abu mereka tampak jelas dengan sinar agak redup s erta gelapnya warna dedaunan. Dibayangkannya bagaimana ia bisa melukis mereka. Namun tak ada orang lain yang bisa mengambil alih perannya: mustahil bisa menjau h dari semua itu. "Aku baik-baik saja," ujarnya. "Aku minum terlalu banyak, tapi sake meredakan ra sa sakitku. Ishida memberiku minuman pengurang rasa sakit, tapi aku sudah kebal dengannya aku jarangjarang meminum-nya. Kami akan menginap semalam di sini: aku ingin putra Arai melihat bi ara ini dan bertemu denganmu. Dia akan tinggal bersama keluargaku. Mungkin aku akan mengirimn ya kemari dalam satu atau dua tahun lagi." Dahi Makoto berkerut. "Zenko sedang buat masalah?" "Lebih dari biasanya. Dan ada perkembangan di wilayah Timur yang harus kuceritaka n padamu. Aku harus merencanakan jawabanku dengan hati-hati. Bahkan mungkin aku harus pergi ke Miyako. Kita akan bicarakan hal iiu nanti. Bagaimana kabar Lord Matsuda? Aku juga berharap bi sa mendapatkan saran darinya." "Beliau masih bersama kami," sahut Makoto. "Jarang makan, bahkan sepertinya tida k pernah tidur. Tampaknya beliau sudah separuh berada di dunia lain. Tapi pikirannya masih tetap jernih, bahkan mungkin lebih jernih, seperti danau di pegunungan." Halaman 91 dari 500

"Kuharap pikiranku ada di sini," ujar Takeo, selagi mereka berjalan kembali ke b iara. "Tapi pikiran lebih menyerupai salah satu kolam ikan itu: penuh gagasan dan masalah juga sampa h di sekelilingnya, masing-masing berusaha menarik perhatianku." Kuharap pikiranku ada di sini," ujar Takeo, selagi mereka berjalan kembali ke bi ara. "Tapi pikiran lebih menyerupai salah satu kolam ikan itu: penuh gagasan dan masalah juga sampa h di sekelilingnya, masing-masing berusaha menarik perhatianku." "Kau seharusnya mencoba menenangkan pikiran setiap harinya," Makoto mengamati. "Satu-satu kemampuan meditasi yang kumiliki adalah kemampuan Tribe dan tujuannya a gak berbeda!" "Tapi bila kuamati kemampuan itu begitu memang ada dalam dirimu dan anggota Trib e lainnya, sangat berbeda dengan kami yang harus melalui disiplin diri dan pengenalan diri. " Takeo tidak setuju: ia belum pernah melihat Makoto atau murid-muridnya menggunaka n kemampuan menghilang, atau menggunakan sosok kedua. Dirasakannya keraguan Makoto, dan menyesalinya. "Aku tak punya waktu bermeditasi, lagipula aku hanya mendapat sedikit pelatihan a tau pendidikan tentang ajaran itu. Dan aku tidak tahu kalau itu bisa membantu. Aku terlibat dal am pemerintahan... paling tidak, saat ini, jika tidak bisa disebut peperangan." Makoto tersenyum. "Kami di sini mendoakanmu setiap waktu." "Kukira itu bisa membuat perbedaan! Mungkin doa kalian yang telah mempertahankan kedamaian selama hampir lima belas tahun." "Aku yakin begitu," sahut Makoto tenang. "Bukan hanya doa yang hampa atau lantun an pujian tanpa makna, tapi keseimbangan spiritual yang kami pertahankan di sini. Kupakai kata " mempertahankan" untuk menunjukkan otot dan kekuatan yang dibutuhkan; kekuatan pemanah untuk membengkokkan busur atau balok di menara lonceng untuk menahan berat lonceng." "Aku percaya. Aku melihat perbedaan dalam diri para ksatria yang mengikuti ajara nmu: disiplin dan welas asih mereka. Tapi bagaimana ini bisa membantuku menghadapi Kaisar dan jenderal barunya, yang akan memerintahkan aku mengasingkan diri?" "Saat kau ceritakan semuanya nanti, kami akan berikan saran untukmu," Makoto berj anji. "Kita makan dulu, lalu kau beristirahat." ***

Setelah selesai makan siang sederhana yang terdiri dari sayuran, sedikit nasi, d an sop, hujan mulai turun dengan derasnya. Cahaya mulai meredup, kehijauan, dan tiba-tiba keinginan untuk berbaring tak tertahankan lagi. Makoto mengajak Sunaomi bertemu dengan beberapa murid yang masih muda; Jun dan Shin duduk di luar, minum teh dan berbincang-bincang dengan suara pelan. Takeo tertidur, rasa sakitnya berkurang seolah luruh dengan bunyi rintik hujan b ak gendang bertalutalu di aiap. Ia tidak bermimpi, dan terbangun dengan pikiran yang lebih jernih. Lalu mandi di mata air panas, menge-nang ketika ia berendam di kolam yang sama saat salju turun sew aktu melarikan diri ke Terayama bertahun-tahun lalu. Setelah selesai berpakaian, Takeo melangkah ke beranda tepat saat Makoto dan Sun aomi kembali. Takeo menyadari kalau bocah itu tersentuh oleh sesuatu. Wajahnya bersinar dan mat anya berkilauan. "Lord Miyoshi menceritakan bagaimana dia hidup di pegunungan sendirian selama li ma tahun. Beruang memberinya makan, dan pada malam-malam yang dingin membeku meringkuk memeluknya agar tetap hangat!" "Gemba ada di sini?" tanya Takeo pada Makoto. "Dia kembali saat kau tidur. Dia s udah tahu kau ada di sini." "Bagaimana Lord Miyoshi bisa tahu?" tanya Sunaomi. "Lord Miyoshi tahu hal-hal semacam ini," sahut Makoto sambil tertawa. Halaman 92 dari 500

"Apakah beruang-beruang itu yang mem beri tahunya?" Apakah beruang-beruang itu y ang mem beri tahunya?" "Kemungkinan begitu! Lord Otori, mari kita menemui Kepala Biara." Meninggalkan Sunaomi bersama kedua pengawal pribadinya, Takeo berjalan bersama M akoto melewati aula tempat makan di biara, tempat rahib-rahib muda mem bereskan mangkuk bekas makan malam, menyeberangi sungai kecil yang dialihkan air nya agar mengalir melewati dapur, dan ke pelataran di depan aula utama. Di dalam aula uta ma ada ratusan lentera dan lilin yang menyinari patung emas Sang Pencerah, dan Takeo mengenal s osok tanpa suara yang sedang duduk bermeditasi di dalamnya. Mereka mengikuti jalan setapak terbuat dari papan menyeberangi satu cabang lagi aliran sungai kecil menuju aula tempat lukis an Sesshu, dan menghadap ke taman. Hujan telah reda, malam telah menjelang dan bebatuan di taman tampak seperti bayangan hitam, nyaris tak terlihat. Harum lembut bunga serta tanah yang basah merebak ke dalam aula. Bunyi air terjun kedengaran lebih keras di sini. Di ujung cabang uta ma sungai kecil, yang mengalir di sepanjang taman dan menuruni gunung, berdiri griya tamu perempuan te mpat Takeo dan Kaede menghabiskan malam pertama pernikahan mereka. Tempat itu kini kosong; tak ada cahaya yang bersinar dari dalamnya. Matsuda sudah berada di aula, bersandar pada bantalan tebal yang disangga dua ra hib tanpa suara dan tidak bergerak. Matsuda sudah tua saat pertama kali Takeo bertemu dengannya; kini sepertinya dia telah m elewati jauh dari batasan usia yang mengekang, bahkan batasan kehidupan, dan telah memasuki dunia j iwa yang suci. Takeo berlutut lalu membungkuk sampai ke lantai di hadapannya. Matsuda adalah sa tu-satunya orang di Tiga Negara yang paling dihormatinya. "Mendekatlah," ujar Matsuda. "Biar kulihat dirimu. Biar kusentuh dirimu." Kasih sayang dalam nada suaranya membuat Takeo terharu. Dirasakannya air mata men gambang ketika laki-laki tua itu mencondongkan badan ke depan lalu menepukkan tangan. Mata Matsuda mencari-cari wajah Takeo; merasa malu akan air mata yang sebentar lagi tumpah, T akeo tidak membalas tatapannya malah melihat ke belakang, ke lukisan-lukisan Sesshu indah. Waktu tidaklah bergerak bagi lukisanlukisan itu, pikirnya. Kuda, bangau mereka masi h seperti dulu, sedangkan begitu banyak orang yang pernah melihat mereka kini telah tiada, terba ng jauh bak burung

gereja. Satu satu kasa yang kosong, menurut legenda, lukisan burung-burung itu b egitu hidup hingga akhimya terbang. "Jadi Kaisar merasa khawatir dengan dirimu," ujar Matsuda. "Putra Fujiwara, Kono, datang berpurapura mengunjungi tanah milik ayahnya, tapi s ebenarnya dia memberitahuku bahwa aku telah membuat Kaisar merasa tidak senang bahkan dianggap penjahat; aku diminta untuk mengundurkan diri dan mengasingkan diri." "Aku tidak kaget kalau Kaisar bingung dan takut padamu," Matsuda tertawa kecil. "Aku hanya terkejut mengapa begitu lama baru mereka mengancammu." "Kurasa ada dua alasan; pertama Kaisar memiliki jenderal baru yang telah menaklu kkan wilayah Timur dan sekarang pasti menganggap dirinya cukup kuat untuk memancing kita. Alasa n yang lainnya adalah Arai Zenko telah berhubungan dengan Kono. Aku mencurigai Zenko me nganggap dirinya sebagai penerusku." Takeo merasakan amarahnya meletup lagi, dan segera menyadari kalau Matsuda dan M akoto melihatnya. Di saat bersamaan, diperhatikannya ada satu orang lain berada di dal am aula, duduk di bawah bayangan di belakang Matsuda. Orang ini mencondongkan badan ke depan sekarang, dan Takeo sada r kalau orang itu adalah Miyoshi Gemba. Usia mereka hampir sebaya, tapi seperti halnya Ma koto, Gemba Halaman 93 dari 500

nampak tidak berubah seiring dengan berjalannya waktu. Gemba memandangnya dengan tatapan lembut, santai namun penuh kekuatan hampir seperti beruang. mpak tidak berubah seiring dengan berjalannya waktu. Gemba memandangnya dengan t atapan lembut, santai namun penuh kekuatan hampir seperti beruang. Sesuatu terjadi pada lentera. Cahayanya berkedip-kedip dan seberkas cahaya teran g melompat di depan mata Takeo. Sesaat melayang-layang, kemudian melesat bak bintang jatuh ke arah taman yang gelap. Terdengar olehnya desisan cahaya tadi saat hujan memadamkannya. Di saat yang sama amarahnya lenyap. "Gemba," ujar Takeo. "Aku senang bertemu denganmu! Tapi apakah kau menghabiskan wa ktu dengan belajar tipuan sulap di sini?" "Kaisar dan istananya sangat percaya takhayul," sahut Gemba. "Mereka punya banya k peramal, ahli nujum dan penyihir. Bila aku menemanimu, kau mungkin bisa yakin kalau kami mampu menandingi tipuan mereka." "Jadi aku harus pergi ke Miyako?" "Ya," sahut Matsuda. "Kau harus hadapi mereka sendiri. Kau akan mendapatkan duku ngan Kaisar." "Aku akan membutuhkan lebih dari sekadar tipuan Gemba untuk membujuknya. Kaisar sedang membangun kekuatan untuk melawanku. Aku takut kalau satu-satunya jawaban yang ma suk akal yaitu dengan kekerasan." "Sebentar lagi akan ada pertandingan bertaraf kecil di Miyako," ujar Gemba. "Itu sebabnya aku harus ikut bersamamu. Putrimu juga harus ikut." "Shigeko? Tidak, terlalu berbahaya." "Kaisar harus bertemu dengannya dan memberi restu serta persetujuan kepadanya bi la dia memang akan menjadi penerusmu seperti yang seharusnya." Seperti Gemba, Matsuda mengeluarkan kata-kata ini dengan penuh keyakinan. "Kita tidak perlu membahas hal ini?" tanya Takeo. "Kita tidak perlu mempenimbang kan pilihan Iain, dan mencapai kesimpulan yang bijaksana?" "Kita bisa membahasnya bila kau mau," sahut Matsuda. "Tapi aku sudah sampai pada

usia dimana perbincangan membuatku lelah. Aku bisa lihat titik akhir yang akan d

icapai. Maka langsung saja ke bagian akhirnya." "Aku juga harus meminta pendapat dan saran istriku," ujar Takeo. "Begitu pula ha lnya dengan para pengawal senior, dan jenderalku, Kahei." "Kahei akan selalu memilih perang," kata Gemba. "Begitulah sifatnya. Tapi kau ha rus menghindari bentrokan senjata secara terbuka, terutama bila prajurit dari wilayah Timur mempu nyai senjata api." Kulit kepala dan leher Takeo terasa seperti dihujam perasaan gelisah. "Kau yakin ?" "Tidak, aku hanya menduga kalau tak lama lagi mereka akan memilikinya." "Sekali lagi, ini ulah Zenko yang mengkhianatiku." "Takeo, sahabatku, bila kau memperkenalkan penemuan baru, baik itu senjata atau a pa saja, jika memang efektif, rahasianya akan dicuri. Begitulah sifat manusia." "Jadi seharusnya tidak kubiarkan pengembangan senjata api?" Satu hal yang kerap d isesalinya. "Begitu benda itu diperkenalkan padamu, tak dapat dihindari kalau kau akan mengembangkannya dalam pencarianmu akan kekuatan dan kekuasan. Sama tidak terhind arkannya ketika musuh-musuhmu menggunakannya dalam usaha untuk menjatuhkan dirimu." "Maka aku harus memiliki senjata api yang lebih banyak dan lebih baik dibandingka n mereka! Aku harus serang mereka lebih dulu, mengejutkan mereka, sebelum mereka sempat memper senjatai diri." "Itu bisa menjadi strategi yang baik," kata Matsuda mengamati. Halaman 94 dari 500

"Tentu saja, adikku, Kahei, akan memberimu saran seperti itu," timpal Gemba. Tent u saja, adikku, Kahei, akan memberimu saran seperti itu," timpal Gemba. "Makoto," kata Takeo. "Kau diam saja. Bagaimana pendapatmu?" "Kau tahu aku tidak bisa menyarankanmu memulai perang." "Jadi kau takkan memberi saran? Kau akan duduk di sini dan melantunkan doa serta memainkan tipuanmu dengan api, sementara semua yang sudah kuraih hancur berantakan?" Bisa didengarnya nada suaranya sendiri lalu ia diam seribu bahasa, setengah merasa malu atas keke salannya dan setengah takut Gemba akan menggunakan api untuk membuang amarahnya. Kali ini tak ada unjuk kebolehan tipuan, namun kesunyian yang makin dalam menghas ilkan efek yang sama kuatnya. Takeo merasakan kombinasi antara ketenangan dun kejernihan dar i pikiran ketiga orang itu dan tahu kalau mereka mendukungnya, namun berusaha mencegahnya agar tidak bertindak gegabah ataupun berbahaya. Banyak orang di sekitarnya yang hanya bisa memuji dan tunduk padanya. Sedangkan orang-orang ini tidak melakukan itu, dan Takeo lebih m emercayai mereka. "Bila aku harus ke Miyako, haruskah aku pergi secepatnya? Saat musim gugur, saat cuaca membaik?" "Tahun depan, mungkin, saat salju sudah mencair," tutur Matsuda. "Jangan terburub uru." "Itu memberi mereka waktu untuk membangun kekuatan militer!" "Itu juga memberimu waktu untuk menyiapkan diri," sahut Makoto. "Kurasa kau haru s pergi dengan kemewahan yang tiada tara, membawa hadiah-hadiah yang paling indah." "Juga memberi waktu pada putrimu untuk menyiapkan dirinya," tutur Gemba. "Tahun ini Shigeko berusia lima betas tahun," ujar Takeo. "Dia sudah cukup dewas a untuk ditunangkan." Pikiran itu mengganggunya: baginya Shigeko masih anak-anak. Siapa orang yang pan tas menjadi jodohnya? "Itu juga menjadi nilai lebih di pihakmu," gumam Makoto. "Sementara ini dia harus menyempurnakan keahlian berkuda, dan memanah," seru Gemb a. "Dia takkan sempat menunjukkan semua keahliannya di ibukota," kata Takeo. "Kita lihat saja nanti," sahut Gemba, dan tersenyum dengan ekspresi penuh teka-t eki. "Jangan

khawatir," imbuhnya, seolah memerhatikan rasa kesal Takeo. "Aku akan ikut dengan mu, dan takkan ada yang akan menyakitinya." Kemudian dia berkata dengan nada bijaksana: "Putri-putri yang layak mendapatkan p erhatianmu lebih dari putra-putra yang tidak kau miliki." Kata-kata itu terasa bagaikan hujaman kritikan tajam dan menyengat, karena ia me ngagumi kenyataan bahwa dirnya menjalani semua pendidikan dan pelatihan bagi anak laki-laki: Shigeko dengan cara ksatria, si kembar dengan ketrampilan Tribe. Takeo mengatupkan bibir lalu membungkuk hormat di hadapan Matsuda. Orang itu memberi isyarat untuk mendekat dan merangkulkan tangannya yang lemah pada Takeo. Ia tidak bicara sepatah ia pun, ta pi tiba-tiba ia sadar kalau Matsuda sedang mengucapkan selamat tinggal, kalau ini adalah pertemu an mereka yang terakhir. Takeo mundur sedikit agar bisa menatap dalam-dalam mata sang pendeta t ua. Matsuda adalah satu-satunya orang yang bisa kutatap langsung wajahnya, pikirnya. Satusatu nya orang yang tidak jatuh dalam sihir tidur Kikuta. Seolah bisa membaca pikirannya, Matsuda berkata, "Aku tidak meninggalkan siapa-s iapa selain dua penerus yang berharga tak ternilai harganya. Jangan membuang waktumu dengan menyesa li kepergianku. Kau sudah tahu apa yang perlu kau ketahui. Berusahalah mengingatnya ." Halaman 95 dari 500

Nada suaranya mengandung gabungan antara kasih sayang dan amarah yang sering dig unakannya saat mengajari Takeo cara menggunakan pedang. Sekali lagi Takeo suaranya mengandung gabungan antara kasih sayang dan amarah yang sering digunaka nnya saat mengajari Takeo cara menggunakan pedang. Sekali lagi Takeo harus mengedipkan mata agar air matanya tidak jatuh. Sewaktu Makoto menemaninya ke griya tamu, sang biarawan berkata, "Kau ingat saat pergi seorang diri ke sarang perompak di Oshima? Miyako tidak mungkin lebih berbahaya dari temp at itu!" "Kala itu aku masih muda dan tanpa rasa takut. Aku tak percaya ada orang yang bi sa membunuhku. Kini aku sudah tua, cacat, dan rasa takutku jauh lebih banyak bukan hanya takut kehilangan nyawaku sendiri, tapi juga nyawa anak-anakku, dan istriku, juga negara dan rakyatku, bil a aku mati, mereka tanpa perlindungan." "Itu sebabnya yang terbaik yaitu dengan menunda jawabanmu: kirimkan pesan yang p enuh pujian, hadiah dan janji-janji. Kau selalu bertindak tanpa berpikir: semua yang kau laku kan dilakukan dengan tergesa-gesa. " "Itu karena aku sadar kalau aku tak akan hidup lama. Hanya ada sedikit waktu unt uk meraih apa yang ingin kuraih." *** pikir panjang, dan bermimpi berada di Yamagata, di malam ia memanjat ke kastil l alu mengakhiri penderitaan kaum Hidden yang disiksa. Dalam mimpinya, ia bergerak lagi dengan ke sabaran tanpa batas Tribe, melewati malam yang terasa tanpa akhir. Kenji mengajarinya cara mem buat waktu bergerak lambat atau mempercepatnya sesuai keinginan. Dilihat dalam mimpinya bag aimana dunia berubah sesuai dengan harapan-nya, dan terbangun dengan perasaan kalau semacam m isteri baru saja terangkat dari dalam dirinya, tapi juga dengan semacam kebahagiaan tiada ta ra, dan dengan anehnya ia terbebas dari rasa sakit. Saat itu hari hampir terang. Tak terdengar rintik hujan, hanya kicau burung dan tetesan sisa air hujan dari tepi atap. Sunaomi duduk di atas matras sambil menatapnya. "Paman? Paman sudah bangun? Bisakah kita pergi dan melihat burung houou?" Para pengawal Arai tetap berjaga semalaman di luar, walaupun Takeo sudah meyakin kan mereka kalau Sunaomi lak dalam bahaya. Kini mereka berdiri setengah melompat, membantu tuan muda mereka memakai sandal, lalu mengikuti sewaktu

Takeo membimbingnya berjalan ke gerbang utama. Palang gerbang sudah dibuka sejak matahari terbit dan sudah ditinggalkan penjaganya untuk sarapan. Setelah melewati gerbang itu, mereka berbelok ke kanan dan mengambil jalan sempit menuju dinding sebelah luar dari da taran biara dan berjalan naik ke lereng gunung yang curam. Tanahnya keras dan berbatu, kerap terasa licin karena hujan. Setelah beberapa sa at, salah seorang pengawal menggendong Sunaomi. Langit tampak cerah, biru pucat, matahari baru saj a terbit di timur pegunungan. Jalannya menanjak dan menuju hutan pohon beech dan pohon ek. Hampara n bunga liar musim panas menyelimuti permukaan tanah, dan burung melantunkan nyanyian dengan s aling bersahutan. Nanti udara akan terasa panas, tapi kini udara terasa sempurna, didi nginkan hujan, dan tenang. Takeo bisa mendengar gemerisik dedaunan dan kepakan sayap yang menunjukkan keberad aan burung houou di dalam hutan di depan sana. Di sini, di antara pepohonan berdaun lebar, terdapat sebuah rumput ilalang tinggi yang menjadi tempat yang paling disukai burung-burung itu untuk bersarang dan bertelur, walaupun kab arnya mereka makan daun bambu. Kini jalannya lebih mudah dilewati, Sunaomi meminta agar diturunkan, dan yang me mbuat Takeo terkejut, anak itu memerintahkan kedua orang itu menunggu di sini sementara dia berjalan ke depan bersama Lord Otori. Halaman 96 dari 500

Sewaktu mereka sudah berada di luar jangkauan pendengaran kedua pengawal itu, Su naomi berkata dengan nada penuh rahasia pada Takeo, "Aku pikir Tanaka dan Suzuki tidak perlu m elihat burung houou. Mungkin saja mereka ingin memburu atau mencuri telurnya. Aku pemah menden gar kalau telur burung houou bernilai tinggi." ewaktu mereka sudah berada di luar jangkauan pendengaran kedua pengawal itu, Sun aomi berkata dengan nada penuh rahasia pada Takeo, "Aku pikir Tanaka dan Suzuki tidak perlu m elihat burung houou. Mungkin saja mereka ingin memburu atau mencuri telurnya. Aku pemah menden gar kalau telur burung houou bernilai tinggi." "Mungkin nalurimu benar," sahut Takeo. "Mereka tidak seperti Lord Gemba dan Lord Makoto," ujar Sunaomi. "Aku tidak tahu cara mengungkapkannya. Kedua pengawal itu bisa melihat, tapi takkan mengerti." "Kau mengutarakannya dengan sangat baik," sahut Takeo sambil tersenyum. Kicau penuh semangat terdengar dari atas kepala mereka, diikuti oleh jeritan par au sebagai jawabannya. "Itu mereka," bisik Takeo, seperti biasa rasa kagum pada burung suci itu bangkit dalam dirinya. Seruan mereka seperti juga kehadiran mereka, indah serta aneh, anggun juga cangg ung. Burungburung itu memang memberi semangat sekaligus agak lucu. Ia takkan terbiasa dengan kehad iran mereka. Sunaomi mendongak, wajahnya tampak terpesona. Lalu seekor burung melesat keluar dari balik rimbunnya dedaunan dan mengepakkan sayap ke pohon berikumya. "Itu burung jantan," tutur Takeo. "Dan ini dia yang betina." Sunaomi tertawa gembira sewaktu burung kedua terbang menukik melintasi padang ru mput, ekornya panjang dan halus, matanya cemerlang bak kilauan emas. Bulunya berwarna-warni, d an saat mendarat di dahan, selembar melayang jatuh. Kedua burung itu memalingkan kepala saling berpandagan, berseru lagi, masingmasin g dengan suara yang khas melihat sebentar tapi dengan tatapan tajam ke arah kro, kemudian terbang menjauh ke dalam hutan. "Ah!" Sunaomi menahan napas lalu mengejar mereka, menatap ke atas tanpa memerhatikan jalan hingga dia jatuh di at as rumput. Ketika berdiri, bulu itu berada di tangannya.

"Lihat, Paman!" Takeo menghampiri bocah itu kemudian mengambil bulu itu. Matsuda pemah memperliha tkan bulu burung houou, bersayap putih. dengan ujung bulu warna merah. Bulu itu berasal da ri burung yang pernah dilihat Shigeru ketika masih kecil, dan sejak saat itu diawetkan di biara . Bulu yang ini berwarna kuning keemasan gelap, selain dari batang bulunya yang berwarna putih bersih. "Simpanlah," katanya pada Sunaomi. "Bulu itu akan mengingatkanmu pada hari ini, dan anugerah yang kau peroleh. Inilah sebabnya kami selalu mencari kedamaian, agar burung hou ou tidak meninggalkan Tiga Negara." "Aku akan berikan bulu ini ke biara," sahut Sunaomi, "sebagai sumpah bahwa kelak aku akan kembali dan belajar pada Lord Gemba." Anak ini baik hati, pikir Takeo. Aku akan membesarkannya sebagai putraku.* Setelah kepergian Takeo dan Sunaomi, Taku duduk d beranda sambil menatap taman y ang basah kuyup tersiram hujan, memikirkan semua ucapan sepupu ibunya itu. Masalah itu meng ganggunya lebih dari yang ia duga, karena hal itu dapat menjerumuskan ia dalam konflik ter buka dengan kakaknya, sesuatu yang ia berharap bisa dihindari. Betapa bodohnya Zenko, pikirn ya, dan sedari dulu dia selalu begitu. Sama seperti ayah! Halaman 97 dari 500

Di usia sepuluh tahun, sebelum gempa mengguncang kota, ia menyaksikan ayahnya me ngkhianati Takeo. Zenko menyalahkan Takeo atas kematian Arai, namun Taku menafsirkan seluruh adegan itu dengan cara yang berbeda. Ia tahu kalau ayahnya memerintahkan untuk membunuh ibun ya: ia tak bisa melupakan atau memaafkan niat ayahnya untuk ia dan kakaknya. Taku mengira T akeo akan membunuh Zenko seringkali setelah kejadian itu ia bermimpi usia sepuluh tahun, sebelum gempa mengguncang kota, ia menyaksikan ayahnya mengk hianati Takeo. Zenko menyalahkan Takeo atas kematian Arai, namun Taku menafsirkan seluruh adegan itu dengan cara yang berbeda. Ia tahu kalau ayahnya memerintahkan untuk membunuh ibun ya: ia tak bisa melupakan atau memaafkan niat ayahnya untuk ia dan kakaknya. Taku mengira T akeo akan membunuh Zenko seringkali setelah kejadian itu ia bermimpi kalau Takeo memang membunuhnya dan tidak pernah bisa memahami kebencian Zenko terh adap Takeo karena membiarkannya tetap hidup. Sejak kecil Taku memuja Takeo sebagai pahlawan, dan sebagai laki-laki dewasa, ia menghormati dan mengagumi Takeo. Terlebih lagi, keluarga Muto telah bersumpah pada keluarga Otori : ia tak akan melanggar sumpah itu. Bila tidak terikat oleh kewajiban pcnghormatan dan kesetia an, ia pasti akan sama bodohnya dengan Zenko: kedudukan di Tiga Negara adalah segala yang diinginka nya, memberinya kekuasaan dan status serta memungkinkan dirinya mengambil banyak keun tungan dari semua bakatnya. Takeo juga mengajarinya semua hal yang pernah dia pelajari dari Kikuta. Taku ter senyum pada dirinya sendiri, mengenang seringkali tertidur terkena ilmu tidur Kikuta sampai akhimya bisa menghindarinya bahkan sampai ia pun mampu melakukannya. Ada ikatan kuat antara mer eka berdua; mereka mirip dalam banyak hal, dan keduanya memahami konflik akibat dara h campuran. Namun, seorang kakak tetap saja kakak, dan Taku dibesarkan untuk menghormati hierarki Tribe. Ia mungkin siap membunuh Z enko, seperti yang diucapkan pada Takeo, tapi takkan menghina kakaknya dengan mengabaikan hakn ya untuk mengajukan pendapat siapa yang akan menjadi kepemimpinan keluarga Muto. Taku memu tuskan akan mengusulkan ibunya, Shizuka, keponakan Kenji. Usulan ini mungkin bisa diter ima semua pihak. Suami ibunya, tabib Ishida, akan membawa anak Zenko yang satu lagi ke Hagi. Ia bi sa membawa surat atau pesan lisan kepada Shizuka. Ishida, menurut Taku, cukup bisa dipercay a. Kelemahan

utama laki-laki itu terletak pada keluguannya, seolah dia sulit memahami kekejia n yang mungkin terpendam dalam sifat manusia. Terlepas dari keberanian yang dibutuhkan untuk bi sa pergi jauh dalam penjelajahannya, secara fisik, Ishida bukan seorang pemberani, dan tidak s uka bertarung. Taku sendiri akan tetap berada di dekat Zenko dan Kono, bahkan mungkin melakukan perjalanan bersama Kono ke wilayah Barat, tempat ia akan mengatur pertemuan dengan Sugita H iroshi, teman lamanya. Penting bagi Kono mendapat gambaran Tiga Negara yang sebenarnya untuk dibawa pul ang ke ibukota, menjelaskannya kepada Kaisar bahwa Lord Otori didukung penuh di Maruyam a dan Inuyama, sedangkan Zenko berdiri sendiri. Cukup puas dengan keputusan ini, Taku pergi ke istal untuk melihat keadaan si ku da tua, Ryume, yang sudah pulih dari kelelahan karena perjalanan jauh. la senang dengan apa yan g ditemukannya di sana: apa pun kesalahan kakaknya, pengetahuan dan kepeduliannya pada kuda tak ada tandingannya. Ryume sudah dibersihkan: surai dan ekornya dibersihkan dari lumpur dan tak lagi kusut; kuda itu diberi makan cukup dan kelihatan senang. Meskipun sudah tua, Ryu me masih tetap kuda yang baik, dan perawat kuda mengaguminya secara terang-terangan, bahkan memp erlakukan Taku dengan rasa hormat yang lebih besar lagi. Taku masih mengelus-elus dan memberinya makan wortel sewaktu Zenko datang ke area istal. Mereka saling menyapa dengan penuh kehangatan, karena masih ada sisa-sisa kasih sayang di antara mereka, ikatan dari masa kanak-kanak yang sejauh ini bisa mencegah keretakan hubungan mereka. "Kau masih memiliki anak Raku," ujar Zenko, mengulurkan tangan dan menggosok-goso k alis si kuda. Taku ingat pada rasa iri Zenko ketika mereka kembali ke Hagi pada musim se mi bersama dua kuda jantan yang tampan, satu milik Hiroshi dan satu lagi miliknya, indikasi jel as kasih sayang Takeo pada mereka berdua, hanya semakin menekankan sikap dinginnya terhadap Zenko. Halaman 98 dari 500

"Akan kuberikan kuda ini untukmu," ujarnya tanpa rpikir panjang. "Dia belum terl alu tua untuk dikawinkan dan mendapatkan anak." Selain anak-anaknya, Taku tidak bisa menawarkan sesuatu yang lebih berharga lagi. Ia berharap kemurahan hatinya bisa melembutkan perasaa n Zenko terhadapnya. kan kuberikan kuda ini untukmu," ujarnya tanpa rpikir panjang. "Dia belum terlal u tua untuk dikawinkan dan mendapatkan anak." Selain anak-anaknya, Taku tidak bisa menawarkan sesuatu yang lebih berharga lagi. Ia berharap kemurahan hatinya bisa melembutkan perasaa n Zenko terhadapnya. "Terima kasih, tapi aku takkan menerimanya," sahut Zenko. "Ryume adalah hadiah da ri Lord Otori, lagipula kurasa dia sudah terlalu tua untuk punya anak." "Seperti Lord Otori," komentarnya sewaktu mereka kembali ke kediaman, "yang harus memiliki putra dari laki-laki yang lebih muda." Taku sadar kalau perkataan ini semestinya hanyalah lelucon, tapi ada nada sinis di dalamnya. Kakakku mengartikan segala ses uatunya sebagai penghinaan, pikirnya. "Sungguh kehormatan bagimu dan istrimu," katanya dengan ringan, tapi wajah Zenko tampak murung. "Benarkah suatu kehormatan, atau kini mereka menjadi tawanan?" tanyanya. "Itu tergantung padamu," sahut Taku. Zenko menanggapi dengan jawaban yang tidak tegas lalu mengalihkan topik pembicaraan. "Bukankah kau harus pergi ke rumah keluarga Muto untuk upacara pemakaman?" tanya Zenko sewaktu mereka duduk di datam. "Lord Takeo ingin mengadakan upacara di Hagi. Ibu ada di sana, dan karena tak ad a jenazah yang bisa makamkan...." "Tidak ada jenazah? Jadi Kenji mati di mana? Dan bagaimana kita tahu kalau dia m emang sudah mati? Ini bukan pertama kalinya dia menghilang demi kepentingannya sendiri?" "Aku yakin Paman sudah tiada." Taku melihat kakaknya sekilas lalu melanjutkan pe rkataannya, "Paman sakit parah: mungkin meninggal akibat sakit paru-paru, tapi misi yang sedang dilaksanakannya luar bia sa berbahaya, dan telah mengatur untuk kembali secepatnya ke Inuyama jika berhasil. Aku katakan in i padamu dengan

penuh keyakinan. Kabar resminya adalah: Paman meninggal karena sakit paru-paru." "Bukan mati di tangan Kikuta?" ujar Zenko setelah terdiam lama. "Mengapa kau berpikir begitu?" "Aku mungkin saja memakai nama Ayah, adikku, tapi itu tak mengubah kenyataan kal au aku sama sepertimu, keluarga Tribe. Aku punya orang dalam di kalangan Muto dan di kalangan Kikuta. Semua orang tahu kalau putra Akio adalah cucu Kenji. Pasti Kenji sangat ingin be rtemu dengannya Kenji sudah tua, kesehatannya memburuk. Akio, kabarnya, tidak pernah memaafkanny a dan juga Takeo atas kematian Kotaro. Aku hanya menarik kesimpulan dari fakta yang ada. Ak u harus melakukannya karena Takeo tak memercayaiku seperti dia memercayaimu." Taku merasakan kebencian dalam suara kakaknya, tapi yang mengkhawatirkannya diba ndingkan komentamya bahwa dia me miliki orang dalam di kalangan Kikuta. Benarkah itu, atau Zenko hanya membual? Taku menanti dalam diam, melihat apa lagi yang akan Zenko ungkapkan. "Tentu saja ada desas-desus di desa Muto mengenai anak itu," lanjut Zenko. "Bahw a Takeo adalah ayahnya, bukan Akio." Zenko berkata dengan santai, tapi Taku tahu betul minat me ndalam di balik kata-kata itu. "Hanya Muto Yuki yang tahu pasti," sahut Taku. "Dan dia meninggal tak lama setel ah anak itu lahir." "Ya, aku ingat," kata Zenko. "Baiklah, siapa pun ayahnya, anak itu adalah cucu K enji, dan keluarga Muto memiliki kepentingan padanya. Bila aku menjadi Ketua, aku akan menghubungi K ikuta berkaitan dengan anak itu." Halaman 99 dari 500

"Mungkin sebaiknya kita biarkan saja pertanyaan tentang siapa yang akan menjadi penerus Kenji sampai kita membicarakannya dengan ibu," sahut Taku sopan. "Aku ngak terkejut bi la harus mengingatkanmu bahwa Ketua keluarga biasanya memiliki kemampuan tinggi." Mungkin sebaiknya kita biarkan saja pertanyaan tentang siapa yang akan menjadi p enerus Kenji sampai kita membicarakannya dengan ibu," sahut Taku sopan. "Aku ngak terkejut bi la harus mengingatkanmu bahwa Ketua keluarga biasanya memiliki kemampuan tinggi." Kemarahan Zenko mulai meluap, matanya menyipit. "Aku memiliki banyak kemampu an Tribe, adikku. Kemampuan-kemampuan itu mungkin tidak semenyolok kemampuan yan g kau miliki, tapi sangat efektifl! Taku agak menunduk dengan tidak tulus agar kelihatan patuh, lalu mereka berganti topi k pembicaraan yang lebih aman. Tak lama kemudian Lord Kono datang bergabung; menya ntap makan siang bersama kemudian pergi bersama Hana dan kedua putranya untuk melihat kirin . Setelah itu tabib Ishida diundang ke kediaman agar bisa lebih akrab dengan Chikara sebelum m engajaknya pergi ke Hagi. Ishida tampak sangat gugup bertemu Kono, dan bahkan lebih tegang lagi sewaktu sa ng bangsawan bertanya tentang waktu yang pernah dilewatkannya di kediaman Lord Fujiwara. Ishi da menerima undangan itu dengan enggan, dan datang agak terlambat saat makan malam, dalam ke adaan agak mabuk. Taku sendiri merasa tegang, gelisah memikirkan pembicaraannya dengan Zenko dan sa dar akan semua perasaan terpendam di ruangan itu selama mereka makan. Sesuai kebiasaannya , Taku tidak memperlihatkan-nya, ia berbincang ringan dengan Kono, memuji Hana atas hidangannya dan kedua putranya serta berusaha menarik Ishida ke topik pembicaraan yang tidak menyinggung, seperti adat istiadat orang-orang nomaden at au siklus hidup ikan paus. Hubungan Taku dengan kakak iparnya agak menyakitkan hati. Taku tidak terlalu suka ataupun percaya pada Hana tapi perempuan itu punya kecerdasan dan semangat yang tak pernah berhenti dikaguminya dan tak ada laki-laki yang tidak terpesona oleh kecantikannya . Kini Taku ingat bagaimana mereka semua terpesona olehnya saat masih anak-anak-dia, Zenko dan Hir oshi. Mereka semua membuntutinya ke mana pun Hana pergi bak anjing dengan lidah terjulur kelua r, dan saling bersaing untuk merebut perhatian gadis itu. Sudah menjadi rahasia umum kalau ayah Kono lebih suka berhubungan dengan lakilaki ketimbang

perempuan, tapi Taku tak melihat apa pun yang menunjukkan kemiripan sifat Kono de ngan ayahnya. Taku seperti melihat ketertarikan yang cukup alami di balik perhatian Kono pada Hana. Mustahil bila tidak berhasrat pada Hana, pikirnya. dan pikirannya melayang mem bayangkan bagaimana rasanya terbangun dalam kegelapan dengan perempuan itu di si sinya. Hampir saja ia iri pada Zenko. "Tabib Ishidalah yang merawat ayah Anda," komentar Hana pada Kono. "Dan sekarang dia merawat kesehatan Lord Otori." Taku mendengar nada mendua hati sekaligus kedengkian dalam suaranya, dan hasratn ya berubah menjadi rasa tidak suka. Ia bersyukur telah pulih dari perasaan tergilagila pada perempuan itu dan tidak pernah merasakannya lagi. Ia langsung berpikir tentang istrinya sendiri, y ang ia tahu bisa dipercaya dan dirindukannya. Musim panas kali ini akan berlangsung lama, dan melelahkan. "Dengan keberhasilan yang gemilang," sambung Zenko, "Tabib Ishida sudah sangat s ering menyelamatkan Lord Otori dari kematian." "Ayahku selalu menghargai kemampuan Anda," ujar Kono pada Ishida. "Anda terialu berlebihan menyanjungku. Kemampuanku biasa saja." Taku mengira Ishida takkan berkomentar lebih banyak lagi tentang masalah ini, na mun setelah menenggak habis sake sekali lagi, si tabib melanjutkan perkataannya, "Tentu saja kasus Lord Otori cukup mengagumkan, dari sudut pandang seorang laki-laki seperti diriku yang tertarik pada bagaimana cara manus ia berpikir." Dia berhemi sejenak, kemudian membungkuk dan berkata dengan nada penuh rahasia. "Lor d Otori percaya tak ada yang bisa membunuh dirinya dia telah membuat dirinya kekal." Halaman 100 dari 500

"Bcnarkah?" gumam Kono. "Kedengarannya terlalu pongah. Apakah itu semacam takhayu l?" cnarkah?" gumam Kono. "Kedengarannya terlalu pongah. Apakah itu semacam takha yul?" "Kurang lebih begitu. Dan sangat berguna. Ada semacam ramalan Taku, kau ada di san a ketika pamanmu yang malang " "Aku tidak ingat," sahut Taku cepat. "Chikara, bagaimana perasaanmu tentang perj alanan lewat laut bersama kirin?" Chikara menelan ludah saat diajak bicara pamannya, dan belum sempat dia menyahut , Zenko lalu bertanya, "Ramalan apa?" "Bahwa Lord Otori hanya bisa mati di tangan putranya." Ishida minum lagi. "Menga pa aku membicarakan hal itu? Oh ya, efek dari kuatnya kepercayaan itu berimbas pada tub uhnya. Dia percaya tidak bisa dibunuh, dan tubuhnya bereaksi dengan sembuh dengan sendirinya." "Mengagumkan," sahut Kono dengan sikap halus. "Lord Otori memang berhasil luput dari banyak serangan atas dirinya. Pernahkah kau tahu kasus-kasus serupa?" "Tentu aku tahu," sahut Ishida. "Dalam perjalanan ke Tenjiku, di sana ada orangor ang suci yang bisa berjalan di atas api tanpa terbakar, serta berbaring di atas ranjang berpaku tan pa melukai kulit mereka." "Kau tahu hal ini, adikku?" tanya Zenko pelan, sementara Kono mendesak Ishida me nceritakan lebih banyak banyak lagi ten-tang perjalanan-perjalanannya. "Itu tidak lebih dari kepercayaan takhayul," sahut Taku ringan, dalam hati berha rap segala siksaan neraka menimpa si tabib yang sedang mabuk. "Keluarga Otori merupakan sasaran des as-desus." "Kakakku, Kaede, pernah menjadi sasaran desas-desus semacam itu," timpal Hana. " Dia seharusnya membawa kematian pada laki-laki manapun yang menginginkan dirinya, tapi Lord Tak eo terhindar dari bahaya itu. Syukur dipanjatkan pada Surga," imbuhnya, seraya melirik ke ara h Taku. Tawa yang mengikuti kata-kata Hana selanjutnya terdengar agak kurang nyaman, karena lebih dari satu orang yang hadi r di sana mengingat kalau Lord Fujiwara menikahi lain Kaede secara paksa hingga bangsawan i tu mati. "Tapi semua orang tahu tentang Lima Pertempuran," lanjut Zenko. "Dan gempa bumi 'B umi

menghantarkan apa yang diinginkan Surga.'" Dilihatnya wajah Kono yang penuh tand a tanya lalu menjelaskan, "Ada ramalan seorang perempuan suci, yang dipastikan oleh kemenanga n Takeo dalam perang. Gempa bumi itu di percaya sebagai pertanda dari Surga, yang berpihak kep adanya." "Ya, begitulah yang aku dengar," sahut Kono, dengan nada mengejek. "Alangkah ena knya bagi sebuah kemenangan memiliki ramalan yang berguna." Dia minum lalu bicara dengan l ebih serius, "Di ibukota gempa bumi biasanya dianggap sebagai hukuman atas tindak kejahatan, buka n anugerah." Taku tidak tahu apakah harus bicara dan memberi tahu Kono di mana kesetiaannya b erpihak, atau diam saja dan kelihatan mendukung kakaknya. Ishida menyelamatkannya yang bicara dengan perasaan yang meluapluap. "Gempa itu menyelamatkan nyawaku. Da n nyawa istriku. Menurutku, kejahatan telah mendapatkan balasannya." Air matanya mengambang, lalu diseka dengan lengan baju. "Maaf, aku tak bermaksud menghina kenangan tentang kedua ayah kalian." Lalu dia berpaling ke arah Hana. "Aku harus beristirahat. Aku lelah sekali. Kuharap kalian memaafkan orang tua ini." "Tentu saja, Ayah," ujar Hana, bicara padanya dengan sopan, karena Ishida adalah ayah tiri suaminya. "Chikara, antar kakek ke kamar dan minta pelayan membantunya." "Aku khawatir dia sudah terlalu banyak minum," Hana minta maaf pada Kono setelah Chikara membantu si tabib berdiri dan pergi. Halaman 101 dari 500

"Ishida, laki-laki yang menarik. Aku menyesal dia harus pergi ke Hagi. Kuharap b isa berbincanIshida, laki-laki yang menarik. Aku menyesal dia harus pergi ke Hag i. Kuharap bisa berbincang banyak dengannya. Kurasa dia lebih mengenal ayahku ketimbang orang lain yang mas ih hidup." Dan beruntung dia tidak mati seperti ayahnya, pikir Taku. "Ramalan yang menarik bukan?" tanya Kono. "Kurasa, Lord Otori tidak memiliki putra." "Beliau memiliki tiga putri," sahut Taku. Zenko tertawa, ledakan tawa yang mengandung konspirasi jahat. "Secara resmi," tam bahnya. "Ada lagi desas-desus tentang Takeo... tapi aku harus bertindak bijak!" Kono menaikkan alisnya. "Wah, wah!" komentarnya. Paman, apa yang harus kulakukan tanpa dirimu? pikir Taku.*

Miyoshi Kahei menemani Takeo ke Hagi bersama putra sulungnya, Katsumori. Hagi ad alah kota kelahirannya, dan gembira bisa bertemu dengan sanak saudaranya. Sebaliknya, Take o tahu kalau ia membutuhkan saran Kahei tentang cara terbaik menghadapi ancaman yang makin besar dari ibukota, Miyako. Dari Kaisar dan jenderalnya, bagaimana ia menghabiskan musim dingin untuk mengadakan persiapan. Sulit memikirkan tentang musim dingin saat ini, di akhir musim hujan plum*, di m ana hawa panas masih lerjadi. Kecemasan lain yang harus dipikirkan sebelum perang adalah panen, wabah penyakit menular, dan penyakit akibat cuaca panas, penyimpanan cadangan air untuk berjaga -jaga kalau terjadi kekeringan di akhir musim panas. Tapi _ * Hujan plum adalah hujan yang terjadi saat musim buah plum (Juni-Juli). Fenomen a cuaca ini melanda pantai timur Cina, melintasi Taiwan lalu ke timur sampai ke selatan pasifik Jepang. Dal am bahasa Jepang discbut meiyu dan baiu. [pent.] semua masalah ini tak lagi terasa mendesak sewaktu memikirkan kalau tak lama lag i ia akan bertemu Kaede dan ketiga putrinya. Mereka berkuda menyeberangi jembatan batu di senja hari bermandikan rintik hujan disertai cahaya matahari. Takeo sadar pakaiannya terasa lembap: begitu sering pakaiannya basah kuy up sampai menempel di kulit selama perjalanan hingga nyaris tidak ingat bagaimana rasanya kering. Bahkan tempat penginapannya pun terasa lembap, berbau lembap dan jamur. Di atas laut, langit cerah biru berubah kuning di bagian barat saat matahari terb

enam. Pegunungan di belakangnya tertutup awan tebal, dan guntur bergemuruh sehingga kuda-kuda ter kejut dalam kelelahan. Kuda tunggangannya udaklah istimewa; ia merindukan kuda lamanya, Shun, dan berta nya-tanya apakah bisa menemukan kuda seperti itu. Ia akan bicara pada Mori Hiroki tentang kuda, dan juga pada Shigeko. Bila mereka harus berperang, maka akan dibutuhkan lebih banyak kuda ... tapi ia tidak ingin berperang. Miyoshi bersaudara meninggalkannya di depan gerbang. Turun dari kuda di dinding luar utama kastil: kuda-kuda diiuntun pergi, dan hanya mengajak Sunaomi, Takeo b erjalan melewati taman. Kabar sudah tersiar lebih dulu ke kastil. Kaede menantinya di beranda pan jang yang Halaman 102 dari 500

mengelilingi ke-diaman. Suara laut memenuhi udara, dan seruan burung dara terden gar dari atap rumah. Wajah Kaede bersinar gembira. engelilingi ke-diaman. Suara laut memenuhi udara, dan seruan burung dara terdeng ar dari atap rumah. Wajah Kaede bersinar gembira. "Kami tak menduga kau kembali begitu cepat! Kau berkuda dalam cuaca yang begitu buruk! Kau pasti kelelahan. Dan basah kuyup." Indahnya hardikan sayang istrinya membangkitkan perasaan begitu kuat dalam diri T akeo hingga sesaat ingin berdiri di sana untuk selamanya. Lalu perasaan itu berganti dengan hasrat untuk memeluknya, melarut-kan diri dalam dekapannya. Namun kabar pertama harus segera disampaikan, pada Kaede, pada Shizuka. Shigeko berlari menghampiri dari dalam kediaman. "Ayah!" pekiknya, lalu berlutut untuk melepaskan sandal lakeo. Kemudian dia melihat Sunaomi yang tengah berdiri malu-malu di bela kang. "Benarkah ini sepupu kami?" tanyanya. "Ya, Sunaomi akan tinggal bersama kita selama beberapa waktu." "Sunaomi!" seru Kaede. "Tapi kenapa? Apakah ibunya baik-baik saja? Apakah ada se suatu terjadi pada Hana?" Takeo melihat kecemasan Kaede dan bertanya-tanya seberapa banyak yang dapat ia ce ritakan tentang kecurigaannya. "Hana baik-baik saja," sahut Takeo. "Nanti kuceritakan alasan kunjungan Sunaomi. " "Tentu saja. Ayo masuk. Kau harus segera mandi, dan mengganti pakaian yang kerin g. Lord Takeo, kau pikir masih berusia delapan betas tahun? Kau sama sekali tak memikirkan kese hatanmu!" "Shizuka ada di sini?" tanyanya saat Kaede membimbingnya di beranda menuju belaka ng kediaman, tempat sebuah kolam dibuat di sekeliling mata air panas. "Ya, apa yang terjadi?" Kaede mendongak sekilas ke wajah Takeo lalu berkata, "Sh igeko, katakan pada Shizuka untuk segera menemui kami. Minta pelayan untuk membawakan pakaian unt uk ayahmu." Wajah Shigeko tampak serius selagi membungkuk normal lalu meninggalkan mereka. Ta keo bisa mendengar langkah ringan putri nya di lantai papan; terdengar olehnya Shigeko bicara pada kedua adiknya. "Ya, a

yah sudah pulang. Tapi kalian belum boleh menemuinya. Ayo ikut aku. Kita harus menemukan Shizuka." Mereka hanya berdua. Sinar matahari keluar dari sela-sela bunga-bunga dan semakse mak. Di sekeliling kolam dan sungai, bunga iris tampak berkilauan. Langit dan laut berba ur menjadi satu dalam kabut senja. Satu demi satu api dan lentera di sekitar teluk mulai dinyala kan dalam kegelapan. Kaede tidak bicara sepatah kata pun sewaktu melepaskan pakaian Takeo. "Muto Kenji sudah tiada," kata Takeo. Kaede mengambil air dari kolam dengan ember bambu dan mulai memandikan suaminya. Takeo melihat air mata menggenang di mata istrinya lalu mulai berlinang di pipinya. Sen tuhannya menenangkan. Tiap jengkal tubuhnya terasa sakit. Takeo ingin Kaede melingkarkan tangan lalu memeluknya, tapi ia harus bicara dulu pada Shizuka. Kaede berkata, "Suatu kehilangan yang menyakitkan. Bagaimana kejadiannya? Apakah dia meninggal karena sakit?" Takeo mendengar dirinya berkata, "Se pertinya begitu. Dia mengadakan perjalanan sampai keluar perbatasan. Tak ada kab ar yang jelas. Taku mengabarkan hal ini padaku di Hofu." Ia tidak berlama-lama di dalam air panas seperti yang ia inginkan, dan segera ke luar dan berpakaian secepatnya. "Aku harus bicara berdua dengan Shizuka." Halaman 103 dari 500

"Tentunya tak ada yang kau rahasiakan padaku?" Tentunya tak ada yang kau rahasia kan padaku?" "Hanya masalah Tribe," sahutnya. "Kenji adalah Ketua Muto. Shizuka harus memilih penggantinya. Hal ini tak bisa dibicarakan dengan orang luar." Dilihatnya kalau Kaede tidak senang, kalau istrinya masih ingin bersamanya. "Ada banyak hal lain yang perlu kita bicarakan," tutur Takeo untuk meredam kemar ahan Kaede. "Saat kita hanya berdua, aku akan menceritakan tentang Sunaomi, dan kunjungan putra Lo rd Fujiwara..." "Baiklah, Lord Takeo. Akan kusiapkan makan untukmu," sahut Kaede lalu meninggalka nnya. Ketika Takeo kembali ke ruang utama, Shizuka sudah ada di sana. Takeo langsung bicara tanpa salam lebih dulu. "Kau tentu sudah bisa menduga kenapa aku di sini. Aku pulang membawa kabar bahwa pamanmu telah tiada. Taku datang ke Hofu untuk mengabarkanny a, dan kukira kau harus segera tahu." "Kabar seperti itu tidak pernah disambut baik," sahut Shizuka dengan nada resmi, "tapi bukannya tidak diharapkan. Terima kasih, sepupu, atas keprihatinanmu, atas sikapmu mengho rmati pamanku." "Kurasa kau sudah tahu seberapa besar arti Kenji bagiku. Tak ada jenazah, tapi k ita akan menghormatinya dengan mengadakan upacara di sini atau di Yamagata, di mana pun me nurutmu yang paling sesuai." "Kukira kemungkinan paman meninggal di Inuyama," sahutnya perlahan. "Paman tingg al di sana, kan?" Tak seorang pun tahu misi yang dilakukan Kenji kecuali ia dan Taku. Kini Takeo m enyesal mengapa tidak memberitahu Shizuka sebelumnya. "Mendekatlah," katanya. "Aku harus ceritaka n semua yang aku tahu karena hal itu memengaruhi Tribe." Belum sempat Shizuka bergerak mendekat, seorang pelayan datang membawa teh. Shizuka menuangkannya untuk Takeo. Selagi Takeo minum, Shizuka bangkit, melihat k e sekeliling ruangan dengan cepat, membuka pintu lemari, kemudian melangkah ke beranda dan men gintip di bawahnya. Dia kembali dan duduk di hadapan Takeo, lutut mereka saling berhadapan. "Apakah kau dengar ada orang di dekat sini?" Takeo memasang telinga, "Tidak, tidak ada orang lain."

"Kedua putrimu mulai mahir menguping, dan bisa bersembunyi di tempat yang paling sempit sekalipun." "Terima kasih. Aku tak ingin putriku atau istriku mendengar pembicaraan kita. Ku katakan pada Kaede kalau Kenji meninggal karena penyakit; kalau Kenji mencari obat sampai kel uar perbatasan wilayah Timur." "Dan yang sebenarnya?" "Kenji pergi berunding dengan Kikuta. Setelah peristiwa di Inuyama, kami pikir b isa memanfaatkan anak-anak Gosaburo untuk menekan mereka agar mau berdamai." Takeo menghela napas , lalu melanjutkan bicara. "Kenji ingin bertemu anak Yuki, cucunya. Taku hanya tahu kal au Yuki meninggal di desa Kikuta tempat Akio dan anak itu bersembunyi selama beberapa tahun ini." "Takeo, kau harus ceritakan semua ini pa da Kaede..." Tidak dibiarkannya Shizuka melanjutkan kata-katanya. "Ini kuceritakan karena meny angkut masalah keluarga Muto yang kini menjadikanmu anggota yang dituakan. Kaede atau orang lai n di luar Tribe tidak perlu tahu." "Lebih baik dia mendengar tentang anakmu itu dari mulutmu ketimbang dari orang la in," sahut Shizuka. Halaman 104 dari 500

"Aku sudah menyimpannya rapat-rapat begitu lama hingga tak tahu bagaimana member itahukannya. Semua tudah berlalu: anak itu putra Akio; putriku adalah pewarisku. Untuk saat in i, ada pertanyaan mengenai keluarga Muto dan Tribe. Kenji dan Taku bekerjasama dengan baik: ilmu d an ketrampilan yang Kenji miliki tak ada bandingnya. Taku memiliki kemampuan yang hebat, tapi k urasa kau sependapat kalau ada semacam kegoyahan dalam dirinya: aku ragu apakah dia cukup dewasa untuk memimpin Tribe. Zenko adalah putra sulungmu, dan pewaris langsung Kenji, dan aku t ak ingin menghina atau mengganggunya, atau ku sudah menyimpannya rapat-rapat begitu lama hingga tak tahu bagaimana memberit ahukannya. Semua tudah berlalu: anak itu putra Akio; putriku adalah pewarisku. Untuk saat in i, ada pertanyaan mengenai keluarga Muto dan Tribe. Kenji dan Taku bekerjasama dengan baik: ilmu d an ketrampilan yang Kenji miliki tak ada bandingnya. Taku memiliki kemampuan yang hebat, tapi k urasa kau sependapat kalau ada semacam kegoyahan dalam dirinya: aku ragu apakah dia cukup dewasa untuk memimpin Tribe. Zenko adalah putra sulungmu, dan pewaris langsung Kenji, dan aku t ak ingin menghina atau mengganggunya, atau memberinya dalih untuk..." Takeo berhenti bicara. "Untuk apa?" Shizuka menyela. "Baiklah, kurasa kau tahu betapa mirip sifat putramu dengan ayahnya. Aku khawati r dengan niatnya. Aku tidak bermaksud membiarkannya mengembalikan kita dalam perang saudara lagi." Takeo bicara dengan nada serius, lalu tersenyum dan meneruskan dengan nada lebih ringan. "Mak a aku mengatur agar kedua putranya menghabiskan waktu bersama kita. Kurasa kau ingin be rtemu cucumu." "Aku sudah bertemu Sunaomi," tutur Shizuka. "Tentu saja ini sangat menyenangkan. Apakah Chikara juga akan datang?" "Suamimu akan membawanya dengan kapal, bersama makhluk luar biasa yang dia diseb ut kirin," sahut Takeo. "Ah, Ishida sudah kembali; aku senang mendengarnya. Kukatakan yang sebenarnya, T akeo, aku sudah senang dengan hidupku yang tenang, mendampingi Kaede dan anakanakmu, istri dari tabibmu. ..tapi rasanya kau hendak membuat tuntutan lain padaku." "Kau masih cepat tanggap seperti biasa," sahut Takeo. "ingin kau menjadi pemimpi n Muto. Taku akan bekerjasama denganmu seperti yang dia lakukan bersama Kenji, dan

Zenko tentu akan tunduk padamu." "Pemimpin keluarga disebut Ketua," Shizuka mengingatkan. "Dan belum pernah ada K etua perempuan!" tambahnya. "Kau bisa menyebutnya apa saja. Itu akan menjadi contoh yang baik. Aku hendak memperkenalkannya ke wilayah lokal juga: kita akan memulai dengan Negara Tengah lalu kita sebarkan ke luar. Sudah banyak area di mana perempuan dengan kebaikan dan kemamp uan dapat menggantikan posisi suaminya. Mereka akan diakui dan diberi wewenang yang sama s eperti laki-laki." "Jadi kau akan memperkuat negara ini dari akar, dan para ksatria akan mendukung putrimu?" "Bila Shigeko menjadi satu-satunya penguasa perempuan, dia juga harus bersikap l ayaknya laki-laki. Bila perempuan lain berada di puncak kekuasaan, kita mungkin bisa melihat peruba han mengalir ke seluruh Tiga Negara." "Kau masih saja senang berkhayal, sepupuku!" sahut Shizuka seraya tersenyum, ter lepas dari penderitaan yang ditanggung nya. "Kau mau melakukannya, kan?" "Baiklah, sebagian karena pamanku pernah mengisyaratkan bahwa hal ini juga keing inannya. Dan setidaknya sampai Taku mantap dan Zenko sadar. Kurasa dia akan sadar, Takeo, dan terima kasih atas tindakanmu yang berhati-hati padanya. Namun apa pun hasilnya nanti, keluarga Muto akan tetap setia padamu dan keluargamu." Shizuka membungkuk hormat dengan sikap resmi . "Aku bersumpah padamu sekarang, Lord Otori, sebagai pemimpim mereka." "Aku tahu apa yang telah kau lakukan untuk Lord Shigeru dan keluarga Otori. Aku berhutang banyak padamu," ujar Takeo dengan penuh perasaan. "Aku senang kita bisa bicara berdua," imbuh Shizuka, "karena kita harus membicara kan tentang si kembar. Aku berharap bisa bertanya pada pamanku mengenai sesuatu yang baru saja t erjadi, tapi mungkin kau tahu cara mengatasinya." Halaman 105 dari 500

Diceritakannya pada Takeo mengenai peristiwa yang terjadi pada kucing, bagaimana kucing itu tertidur dan tak pernah bangun lagi. iceritakannya pada Takeo mengenai peristiwa yang terjadi pada kucing, bagaimana k ucing itu tertidur dan tak pernah bangun lagi. "Aku tahu Maya memiliki kemampuan ini," tutur Shizuka, "karena dia pemah memperli hatkan tandatandanya selama musim semi. Satu atau dua kali aku bahkan pusing ketika dia menatapku. Ta pi tak seorang pun dari keluarga Muto tahu tentang sihir tidur Kikuta, meskipun banyak takhayul yang berkaitan dengan hal itu." "Kemampuan itu seperti obat yang sangat mujarab," sahut Takeo. "Sedikit akan men guntungkan, tapi jika terlalu banyak justru bisa menyebabkan kematian. Orang membuat diri mereka terbuka pada kemampuan itu karena kelemahan diri mereka sendiri, karena kurangnya pengendalian diri mereka. Aku diajarkan untuk mengendalikannya di Matsue dan di sana aku belajar bahwa Kikuta tak pernah menatap langsung anak-anak mereka karena seorang anak tidak dapat melawan tatapa n itu. Kurasa seekor kucing kecil sama lemahnya. Aku belum pernah mencobanya pada kucing, hany a pada anjing dan aku sudah mahir melakukannya." "Kau belum pernah mendengar perpindahan antara orang yang sudah mati dengan orang yang membuat mereka tertidur?" Pertanyaan itu membuat bulu kuduk Takeo berdiri. Hujan mulai turun lagi, dan kin i gemuruhnya semakin keras di atap. "Biasanya bukan sihir tidur yang mampu membunuh," tuturnya dengan hati-hati. "Di gunakan hanya untuk melemahkan: kematian pasti disebabkan oleh hal lain." "Itu yang mereka ajarkan padamu?" "Mengapa kau menanyakan hal ini?" "Aku mencemaskan Maya. Dia menunjukkan tanda-tanda kerasukan. Ini pernah terjadi d i keluarga Muto, kau tahu; Kenji dijuluki Si Rubah saat masih muda: kabarnya dia pernah ker asukan roh rubah bahkan menikah dengan seekor rubah tapi selain pamanku, aku tidak tahu ada perubah an bentuk yang pernah terjadi. Hampir seolah Maya yang menarik roh kucing itu masuk ke dal am dirinya. Semua anak suka bertingkah seperti hewan, tapi seharusnya mereka lebih manusiawi ketik a mulai dewasa; Maya justru sebaliknya. Aku tidak membicarakan hal ini pada Kaede; Shigeko sudah curiga ada yang

tidak beres. Aku senang kau sudah kembali." Takeo mengangguk, merasa gelisah dengan kabar ini. "Cucu-cucumu tidak me nunjukkan tanda-tanda ketrampilan Tribe," komentarnya. "idak, dan aku cukup lega. Biarlah mereka menjadi putra Zenko, ksatria. Kenji me ngatakan bahwa kemampuan itu akan menghilang dalam dua generasi. Mungkin, dalam diri si kembar kita menyaksikan pancaran sinar yang terakhir sebelum lenteranya padam." Pancaran sinar yang terakhir ini bisa membuat bayangan-bayangan aneh, pikir Takeo . *** Tak seorang pun mengganggu selama mereka berbincang-bincang: setengah sadar ia s eperti mendengar ada tarikan napas, bunyi sambungan papan yang bergerak, langkah ringan yang menandakan ada yang menguping. Tapi saat memerhatikan lagi, yang terdengar hanya lah siraman air hujan, halilintar di kejauhan, dan hempasan ombak. Namun ketika mereka selesai, dan Takeo berjalan ke kamar Kaede di koridor yang m engkilap, ia mendengar suara luar biasa di depannya, semacam raungan dan geraman, setengah ma nusia dan setengah hewan. Kemudian terdengar suara memekik ke takutan, dan derap langkah kaki. Takeo berbelok di sudut dan Sunaomi menabrak-nya . "Paman! Maaf!" Bocah itu tertawa cekikikan kegirangan. "Macan itu ingin menangkap ku!" Halaman 106 dari 500

Awalnya Takeo melihat bayangan di kertas kasa. Sesaat terlihat jelas olehnya sos ok tubuh manusia, dan satu sosok lagi di belakangnya dengan telinga rata, kuku yang siap mencakar dan kibaskan ekor. Lalu si kembar datang berlarian dari sudut, dan mereka berdua hanyalah anak pere mpuan biasa, bahkan saat sedang menggeram. Mereka langsung berhenti mematung ketika melihat ayahnya. walnya Takeo melihat bayangan di kertas kasa. Sesaat terlihat jelas olehnya soso k tubuh manusia, dan satu sosok lagi di belakangnya dengan telinga rata, kuku yang siap mencakar dan kibaskan ekor. Lalu si kembar datang berlarian dari sudut, dan mereka berdua hanyalah anak pere mpuan biasa, bahkan saat sedang menggeram. Mereka langsung berhenti mematung ketika melihat ayahnya. "Ayah!" "Itu dia macannya!" jerit Sunaomi. Miki melihat wajah ayahnya, menarik lengan baju Maya lalu berkata, "Kami cuma ma in-main." "Kalian sudah terlalu besar untuk permainan seperti itu," ujarnya, menyembunyikan kekhawatirannya. "Bukan begini caranya menyambut ayah kalian. Ayah berharap menem ukan kalian tumbuh menjadi perempuan muda." Seperti biasa, rasa tidak senang sang ayah menciutkan nyali mereka. "Maaf," kata Miki. "Maafkan kami, Ayah," ujar Maya memohon, tanpa sedikit pun sisa geraman macan dal am suaranya. "Ini salahku juga," imbuh Sunaomi. "Semestinya aku sudah tahu. Lagipula, mereka hanyalah anak perempuan." "Ayah tampaknya perlu bicara serius dengan kalian berdua. Di mana ibu kalian?" "Ibu sedang menunggu Ayah. Kata ibu mungkin kami boleh makan bersama Ayah," bisi k Miki. "Baiklah, Ayah kira kita harus menyambut kedatangan Sunaomi. Kalian boleh makan bersama kami. Tapi tidak ada lagi permainan berubah menjadi macan!" "Tapi manusia seharusnya mengumpankan diri mereka pada macan," ujar Maya selagi m ereka berjalan di sampingnya. "Shigeko yang menceritakan itu pada kami." Maya tidak bisa menahan untuk berbisik pada Sunaomi, "Dan yang paling disukai ma can adalah anak laki-laki." Merasa jera atas teguran pamannya, Sunaomi tidak menyahut. Takeo bermaksud untuk berbicara dengan si kembar malam ini, tapi seusai makan

malam, ia merasa kelelahan dan keinginan berdua saja dengan Kaede. Kedua putri k embarnya bersikap sempurna selama makan malam, bersikap baik pada sepupu mereka, dan sopa n pada orangtua dan kakak sulung mereka. *** Saat ini Takeo menatap Kaede di bawah keremangan cahaya lentera, tampak lekuk tu lang pipi dan siluet istrinya. Jubah tidur membungkus tubuh Kaede yang duduk bersila di matras , tubuh rampingnya tampak putih samar-samar dengan selimut sutra. Takeo berbaring dengan kepala di pangkuan Kaede, merasakan panas tubuh istrinya, mengenang dulu ia sering berbaring seperti ini p ada ibunya saat kecil. Rambutnya dibelai lembut oleh Kaede sampai ke leher, melemaskan syarafnya yang tegang. Mereka hanyut dalam perasaan cinta, tak lama setelah hanya berdua, nyaris tanpa katakata, mencari kedekatan serta meleburkan diri dalam kesatuan, senantiasa begitu akrab. Mereka berbagi kesedihan atas kematian Kenji tanpa suara, atau perasaan terasing dari rahasia T akeo tentang Tribe atau pun kekhawatiran tentang putri mereka. Semua kecemasan ini kian membakar keintiman t anpa kata-kata dari hasrat mereka dan seperti biasa, ketika hasrat mereda, bak mukjizat, pemuli han pun terjadi: sikap dingin Kaede menguap; kesedihan Takeo seperti bisa dilalui. Banyak hal yang mesti dibicarakan. Pertama tentang kecurigaan terhadap Zenko dan alasan ia membawa kedua putra Arai ke rumah mereka. Halaman 107 dari 500

"Tentu kau takkan mengangkat mereka secara sah menurut hukum, kan?" seru Kaede. Tentu kau takkan mengangkat mereka secara sah menurut hukum, kan?" seru Kaede. "Bagaimana jika aku melakukannya?" "Aku menganggap Sunaomi seperti anak kandungku tapi Shigeko akan tetap menjadi pew arismu?" "Ada banyak kemungkinan: bahkan pernikahan, saat dia cukup dewasa. Aku tak ingin melakukannya dengan tergesa-gesa. Semakin lama kita menunda keputusan, semakin besar kemungki nan Zenko tersadar dan tenang. Tapi aku khawatir dia didukung Kaisar dan para pendukungnya di wilayah Timur. Kita harus berterima kasih pada penculikmu untuk hal itu!" Diceritakannya tentang penemuannya dengan Lord Kono. "Mereka mencap diriku sebag ai penjahat. Karena Fujiwara adalah kerabat Kaisar sehingga dia terbebas dari kejahatannya!" "Kuatnya tekadmu soal sistem keadilan mungkin telah membuat mereka ketakutan," k ata Kaede. "Karena hingga saat ini tak seorang pun berani mencela atau menghukum orang seper ti Fujiwara. Aku tahu dia bisa saja membunuhku tanpa berpikir panjang. Tak seorang pun berani menolak perintahnya, tidak ada yang berpikir kalau apa yang dilakukannya salah. Perasaan lakilaki tidak lebih berharga dari sebuah lukisan atau jambangan berharga karena dia bisa membunuh pere mpuan dengan entengnya seolah hanya menghancurkan salah satu hartanya aku nyaris tidak b isa mengungkapkan dengan kata-kata betapa sikapnya melemahkan keinginanku dan membuat tubuhku serasa lumpuh. Kini pembunuhan atas perempuan di Tiga Negara akan dihuku m sama seperti pembunuhan terhadap laki-laki, dan tidak ada orang yang bisa lolos dari keadilan hanya karena derajat mereka. Keluarga-keluarga ksatria kita lelah me nerimanya, namun di luar perbatasan kita, baik itu ksatria maupun bangsawan akan menganggap hukum sebagai penghinaan. "Kau mengingatkan betapa banyak hal yang dipertaruhkan. Aku takkan mengundurkan d iri seperti permintaan Kaisar, tapi aku juga tak ingin terjadi peperangan. Namun bila kita m emang harus berperang di wilayah Timur, maka makin cepat makin baik." Takeo menceritakan ten tang senjata api, dan misi Fumio. Tentu saja Kahei berpikir kita harus segera bersiap: kita punya waktu untuk membangun kekuatan sebelum musim dingin. Tapi di Terayama semua Guru Besar menen tangnya. Mereka mengatakan kalau aku harus pergi ke ibukota musim semi depan bersama Shige ko, dan semua masalah akan terpecahkan." Takeo mengernyitkan dahi. Kaede menggosokkan jari di dahi Takeo, menghaluskan gar

is-garis kerutannya. "Gemba memiliki serangkaian tipuan baru," ujarnya. "Tapi kukira akan membutuhkan lebih dari sekadar itu untuk meredam nafsu kekuasaan jenderal Kaisar, Saga Hideki, Si Pembu ru Anjing."** Keesokan harinya dilakukan persiapkan upacara pemakaman Kenji, dan mendiktekan s urat-surat. Minoru dibuat sibuk seharian, menulis surat untuk Zenko dan Hana bahwa Sunaomi t iba dengan selamat; surat kepada Sugita Hiroshi, memintanya datang ke Hagi secepat mungkin; surat kepada Terada Fumifusa, mengabarkan tentang kepulangan Takeo dan keberadaan putranya, F umio, dan terakhir surat kepada Sonoda Mitsuru di Inuyama, memberitahukan bahwa belum ada Keputusan mengenai nasib kedua sandera; masalah ini akan dibicarakan pada pertemuan mendata ng. Kaede memberitahukan pada Takeo dan Minoru tentang semua masalah terbaru yang be rkaitan dengan kota Hagi dan penduduknya. Minoru mencatat dengan hati-hati ten-tang Keput usan yang akan diambil. Di pengujung hari yang panjang, panas serta melelahkan, Takeo perg i mandi, dan me Halaman 108 dari 500

ngirim perintah agar putri kembarnya datang menghadapnya ke sanairim perintah ag ar putri kembarnya datang menghadapnya ke sana. Mereka menyelinap masuk ke air beruap dengan tubuh telanjang: badan mereka tak l agi seperti badan anak-anak, rambut mereka panjang dan tebal. Sikap mereka lebih tenang dari biasanya, jelas masih belum yakin apakah Takeo sudah memaafkan tingkah mereka pada hari sebelumny a. "Kalian kelihatan lelah," kata Takeo. "Ayah berharap kalian bekerja keras hari i ni." "Shizuka galak sekali hari ini," Miki menghela napas. "Dia bilang kami perlu lebi h disiplin." "Dan Shigeko memaksa kami menulis begitu banyak," keluh Maya. "Jika aku tidak pu nya jari seperti Ayah, apakah Lord Minoru akan menulis untukku?" "Ayah dulu belajar menulis, maka kalian pun begitu," sahutnya. "Dan menulis jauh lebih sulit bagi Ayah karena usia Ayah sudah lebih tua. Makin muda, makin mudah belajar. Bersyuku rlah kalian memiliki guru yang sangat baik!" Nada suaranya terdengar tegas. Miki memegang-megang bekas luka ayahnya yang melintang dari leher samping ke dada. Takeo bicara dengan suara lebih lembut. "Banyak hal dituntut dari kalian. Kalian harus belajar cara ksatria, begitu pula dengan semua rahasia Tribe. Ayah tahu itu tidak mudah. Kali an memiliki banyak bakat: kalian harus hati-hati menggunakannya." Miki berkata, "Karena kejadian pada kucing itu?" "Coba ceritakan," sahut Takeo. Si kembar saling bertukar pandang tanpa bicara. Takeo berkata, "Kalian adalah darah daging Ayah. Kalian ditandai, seperti juga A yah, sebagai Kikuta. Tidak ada yang tidak bisa kalian ceritakan pada Ayah. Maya, apa yang terjadi pad a kucing itu?" "Aku tak bermaksud menyakiti," Maya mulai bicara. "Jangan bohong," Takeo memperingatkan. Maya meneruskan, "Aku ingin melihat apa yang akan terjadi." Suaranya kedengaran serius; menatap lurus pada Takeo. Kelak Maya ingin menantang tatapan ayahnya. "Aku marah sekali dengan Mori Hiroki." "Hiroki menatap kami," Miki menjelaskan. "Semua begitu. Seolah kami ini setan." "Dia menyukai Shigeko dan tidak menyukai kami," tutur Maya.

"Sama seperti semua orang," ujar Miki, dan seolah diamnya Takeo melepaskan sesuat u dalam dirinya, Miki menangis. "Kami dibenci karena kami kembar!" Si kembar jarang menangis. Satu lagi sifat yang membuat mereka nampak tidak waja r. Maya juga menangis. "Ibu juga membenci kami karena ibu menginginkan anak lakilaki , dan bukannya dua anak perempuan!" "Chiyo yang bilang pada kami," Miki menelan ludah. Takeo merasa hatinya remuk redam karena kesedihan. Memang mudah menyayangi putri sulungnya, tapi ia lebih menyayangi si kembar karena mereka tidak mudah disayangi , dan juga merasa iba pada mereka. "Kalian sangat berharga bagi ayah," sahutnya. "Ayah merasa gembira karena kalian kembar dan kalian anak perempuan. Ayah lebih senang anak perempuan ketimbang semua anak lak i-laki di dunia ini." "Saat Ayah ada di sini, kami merasa aman. dan kami tak ingin melakukan hal-hal y ang buruk. Tapi Ayah sering pergi jauh." "Ayah ingin mengajak kalian tapi tidak Halaman 109 dari 500

selalu bisa. Kalian harus bersikap baik bahkan saat Ayah tidak ada di sini." ela lu bisa. Kalian harus bersikap baik bahkan saat Ayah tidak ada di sini." "Orang-orang seharusnya tidak boleh menatap kami," ujar Maya. "Maya, mulai saat ini kau yang harus berhati-hati saat menatap. Kau sudah tahu c eritanya Ayah sudah sering ceritakan padamu tentang pertemuan Ayah dengan raksasa Jin-emon?" tan ya Takeo. "Ya," sahut mereka serempak dengan penuh semangat. "Ayah menatap matanya dan dia tertidur. Itulah sihir tidur Kikuta yang berguna u ntuk melumpuhkan musuh. Itulah yang kau lakukan pada kucing itu, Maya. Tapi Jin-emon bertubuh besa r, setinggi gerbang kastil serta lebih berat dari banteng. Kucing bertubuh kecil, dan masih muda, dan sihir tidur itu membunuhnya." "Kucing itu tidak benar-benar mati," tutur Maya, bergerak mendekati lalu bergela yut di lengan kiri ayahnya. "Kucing itu mendatangiku." Takeo berusaha tak menunjukkan kekagetannya, tak ingin membungkam putrinya. "Kucing itu datang tinggal bersamaku," ujar Maya. "Kucing itu tidak keberatan. Karena sebelumnya kucing itu tidak bisa bicara, kini dia bisa bicara. Dan aku pun tidak keberatan. Aku suka kucing itu. Aku suka menjadi kucin g." 'Tapi Jin-emon tidak mendatangi Ayah, kan?" tanya Miki. Bagi mereka hal ini tida k lebih aneh dibandingkan dengan kemampuan menghilang, atau sosok kedua, dan mungkin tidak leb ih berbahaya. "Tidak, karena akhirnya Ayah menggorok tenggorokannya dengan Jato. Dia mati kare na digorok, bukan karena sihir tidur itu." "Apa Ayah marah dengan kejadian kucing itu?" tanya Maya. Takeo tahu kalau mereka percaya padanya, dan ia tak ingin kehilangan kepercayaan itu, juga sadar kalau mereka bersifat pemalu layaknya hewan liar yang dapat kabur dalam sekejap. Terkenang masamasa penuh penderitaan selama bersama Kikuta. kekejaman dalam pelatihannya. "Tidak. Ayah tidak marah," sahut Takeo dengan tenang. "Shizuka marah sekali," gumam Miki. "Tapi Ayah harus tahu semuanya agar bisa mel indungi kalian, dan menghentikan kalian agar tak menyakiti orang lain. Ayah adalah orangtua dan juga senior kalian dalam keluarga Kikuta.

Kalian berhutang kepatuhan pada Ayah dalam kedua hal itu." "Kejadiannya begini," tutur Maya. "Aku marah pada Mori Hiroki. Kulihat betapa sa yangnya dia pada kucing itu. Aku ingin dia membayar perbuatannya karena tidak mau menatap kami. D an kucing itu manis sekali. Aku ingin bermain dengannya. Maka kutatap matanya, dan aku tidak b isa berhenti menatapnya. Kucing itu lucu, dan aku ingin menyakiti Hiroki, dan aku tak bisa me nghentikannya." Maya berhenti, menatap tak berdaya ke arah Takeo. "Teruskan," ujarnya. "Aku menariknya masuk. Dari tatapan matanya, melalui tatapan mataku. Kucing melo mpat masuk ke dalam diriku. Kucing itu melolong dan mengeong. Tapi aku tidak bisa berhenti men atapnya. Kemudian kucing itu mati. Tapi dia masih hidup." "Lalu?" "Lalu Mori Hiroki sedih, dan itu membuatku senang." Maya menghela napas panjang, seolah habis susah mengingat pelajaran yang telah dihapalkannya. "Hanya itu. Ayah, sungguh." Takeo menyentuh pipi Maya. "Kau telah berkata jujur. Tapi kau tahu betapa membing ungkan perasaanmu. Pikiranmu tidak jernih, yang justru harus sebaliknya saat menggunaka n kemampuan Tribe itu. Saat menatap mata orang lain, kalian akan melihat kelemahan mereka. I tulah yang membuat mereka rapuh pada tatapan kalian." Halaman 110 dari 500

"Apa yang akan terjadi padaku?" tanya MayaApa yang akan terjadi padaku?" tanya M aya. "Ayah tidak tahu. Kita harus mengamatimu untuk mencari tahu. Tindakanmu salah; ka u membuat kesalahan. Kau akan harus menanggung akibatnya. Tapi kau harus berjanji pada Ayah untuk tidak menggunakan sihir tidur Kikuta pada orang lain sampai Ayah ijinkan." "Mestinya Kenji tahu," ujar Miki, dan mulai menangis lagi. "Dia menceritakan ten tang roh-roh hewan dan cara Tribe memanfaatkannya." "Kuharap dia belum mati," kata Maya di sela-sela isak tangisnya yang baru meleda k lagi. Dan Takeo merasakan matanya pun menghangat, menangisi kepergian gurunya, dan kedua putri kembarnya yang belum bi sa dilindunginya dari kerasukan yang akibatnya pun belum bisa diperkirakannya. Kedua putrinya berada di dekatnya, tubuh mereka begitu mirip dengan tekstur dan warna kulit dirinya. "Kami tidak harus menikah dengan Sunaomi, kan?" tanya Maya, kini lebih tenang. "Mengapa? Siapa yang mengatakan kalian harus menikah dengannya?" "Sunaomi mengatakan pada kami kalau dia ditunangkan dengan salah satu dari kami! " "Hanya kalau dia benar-benar nakal," sahut Takeo. "Sebagai hukuman!" "Aku tak ingin ditunangkan dengan siapa pun," ujar Miki. "Kelak kau pasti berubah pikiran," Takeo menggoda. "Aku ingin menikah dengan Miki," kata Maya, sambil tertawa cekikikan. "Kita berdua menikah saja," sahut Miki sepakat. "Lalu kalian takkan punya anak. Kalian membutuhkan laki-laki untuk bisa punya anak." "Aku tak ingin punya anak," sahut Miki. "Aku benci anak-anak," sahut Maya setuju. "Terutama Sunaomi! Ayah tidak akan men gangkat Sunaomi sebagai anak, kan?" "Ayah tak membutuhkan anak laki-laki," sahut Takeo. *** Pemakaman Kenji dilaksanakan keesokan harinya, dan batu nisan didirikan untuknya di kuil Hachiman di sebelah Tokoji, yang tak lama kemudian menjadi tempat ziarah bagi ke luarga Muto dan anggota Tribe yang lain. Kenji telah berpulang ke alam baka, seperti juga Shiger u, juga Jo-An. Kini mereka bertiga menginspirasi dan melindungi orang yang masih hidup di dunia fana ini.*

Musim hujan plum sudah selesai dan hawa panas musim panas dimulai. Shigeko bangu

n sebelum matahari terbit dan pergi ke kuil di tepi sungai untuk menghabiskan waktu bersama si kuda hitam jantan saat udara masih dingin. Dua kuda betina tua menggigit dan menendang, mengajarin ya sopan santun; sedangkan kuda jantan mulai bisa menerima kehadiran Shigeko, meringkik saat meli hatnya dan menunjukkan tanda sayang. Halaman 111 dari 500

"Dia tidak pernah melakukannya pada siapa pun," komentar Mori Hiroki, memerhatika n kuda jantan itu menggesek-gesekkan kepalanya di bahu Shigeko. Dia tidak pernah melakukannya pada siapa pun," komentar Mori Hiroki, memerhatikan kuda jantan itu menggesek-gesekkan kepalanya di bahu Shigeko. "Aku ingin berikan untuk ayahku," sahut Shigeko. "Ayah tak memiliki kuda yang di sukai sejak Shun mati." "Kuda ini sudah siap dijinakkan." ujar Hiroki. "Tapi Anda jangan mencobanya dulu , yang pasti jangan seorang diri. Aku sudah terlalu tua dan lamban, sedangkan ayah Anda terlalu sibuk." "Tapi harus aku lakukan," bantah Shigeko. "Kuda ini mulai menyayangiku." Lalu pi kiran itu terbersit di benaknya, Hiroshi akan datang ke Hagi Kami bisa menjinakkan kuda ini bersama-sam a. Dan Ayah bisa menungganginya saat kami melakukan perjalanan ke Miyako. Dinamainya kuda itu Tenba karena ada sesuatu bersifat surgawi pada kuda itu, dan sewaktu berderap mengelilingi padang rumput, kuda itu tampak seolah terbang. Hari-hari yang panas berlalu. Anak-anak berenang di laut dan melanjutkan pelajar an dan pelatihan dengan gembira karena sang ayah sudah pulang. Meskipun urusan pemerintahan membu atnya sibuk, Takeo selalu menyempatkan waktu bersama mereka, pada malam-malam yang hangat ket ika langit hitam kelam dan bintangbintang terlihat membesar, serta hembusan lembut angin dari laut membuat kediaman terasa dingin. Bagi Shigeko, peristiwa besar selanjutnya di musim panas adalah kedatangan Sugit a Hiroshi dari Maruyama. Hiroshi tinggal bersama keluarga Otori sampai usia dua puluh tahun lalu pindah ke Maruyama, tempat dia menjalankan pemerintahan wilayah milik ibu Shigeko dan suatu kelak akan menjadi miliknya. Kedatangannya terasa seperti kemb alinya kakak lakilaki bagi ketiga gadis itu. Setiap kali menerima surat, Shigeko berharap membaca kala u Hiroshi sudah menikah, karena usianya sudah dua puluh enam tahun dan belum beristri. Hal ini t ak bisa dijelaskan, tapi dia hanya setengah mengakui kalau dia lega saat Hiroshi berkuda ke Hagi seo rang diri, dan tidak menyebut istri atau tunangan yang ditinggalkan di Maruyama. Menunggu hingga bisa bicara berdua pada Shizuka, Shigeko membuka topik pembicaraan dengan santai. "Shizuka, berapa usia kedua putramu saat mereka menikah?" "Zenko delapan belas tahun, dan Taku tujuh belas tahun," jawab Shizuka. "Tidak t erlalu muda."

"Dan usia Taku dan Sugita sebaya, kan?" "Ya, dan mereka lahir di tahun yang sama bibimu Hana juga lahir di tahun itu." Shi zuka tertawa. "Kukira ketiganya berharap bisa menikahi Hana. Terutama Hiroshi yang selalu mend ambakan menjadi suami Hana: dia amat mengagumi ibumu dan menganggap Hana mirip dengannya. Taku berhasil mengat asi patah hatinya, tapi sudah menjadi rahasia umum kalau Hiroshi tak dapat menghapus kekecewaannya, dan itulah alasannya dia tidak menikah." "Sungguh aneh," ujar Shigeko, setengah ingin meneruskan pembicaraan, dan setenga h tercengang dengan rasa sakit di hatinya. Hiroshi jatuh cinta pada Hana sehingga tak mau men ikah lagi? "Bila ada unsur persekutuan pada diri mereka, sudah pasti ayahmu akan menikahkan mereka," tutur Shizuka. "Tapi posisi Hiroshi itu unik. Kedudukannya kurang tinggi. Kedekatannya pada keluargamu hampir seperti anak laki-laki di keluarga ini, namun dia tak punya tanah warisan nya sendiri. Dia akan menyerahkan Maruyama padamu tahun ini." "Kuharap dia akan terus mengabdi padaku di sana," kata Shigeko. "Tapi aku terpak sa harus mencarikan istri untuknya! Apakah dia memiliki perempuan simpanan?" "Kurasa ada," sahut Shizuka. "Kebanyakan laki-laki memiliki perempuan simpanan!" "Ayahku tidak," sahut Shigeko. Halaman 112 dari 500

"Memang tidak, begitu pula Lord Shigeru." Tatapan mata Shizuka menerawang jauh. Memang tidak, begitu pula Lord Shigeru." Tatapan mata Shizuka menerawang jauh. "Ingin tahu mengapa mereka sangat berbeda dengan laki-laki lain." "Mungkin perempuan lain tidak menarik perhatian mereka. Dan kurasa mereka tak in gin membuat orang yang mereka sayangi tersiksa rasa cemburu." "Cemburu adalah perasaan yang menakutkan." 'Tapi untungnya kau masih terlalu muda untuk mempunyai perasaan semacam itu," sa hut Shizuka. "Dan ayahmu akan memilih jodohmu dengan bijaksana. Bahkan ayahmu memilih dengan sangat teliti, aku ingin tahu apakah dia bisa menemukan orang yang cukup baik." "Tak menikah pun aku sudah bahagia," seru Shigeko, tapi ia tahu kalau ini tidak sepenuhnya benar. Sejak mulai beranjak dewasa ditemukan ia gelisah dengan keinginan disentuh lakilaki. "Sayang sekali para gadis tidak dibolehkan memiliki kekasih layaknya anak laki-l aki," katanya. "Mereka harus sedikit lebih bijaksana," sahut Shizuka, tertawa. "Apakah ada orang yang kau sukai, Shigeko? Kau sudah leb ih dewasa dari yang kukira?" "Tentu saja tidak. Aku hanya ingin tahu seperti apa: hal-hal yang dilakukan laki -laki dan perempuan bersama, pernikahan, cinta." Shigeko mengamati Hiroshi malam itu saat makan malam. Dia tidak mirip orang yang dimabuk cinta. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, kira-kira setinggi ayahnya tapi lebih tegap dan d engan wajah lebih gemuk. Bentuk matanya panjang dan ekspresinya hidup, rambutnya tebal dan hitam p ekat. Tampak suasana hatinya sangat baik, penuh optimisme tentang panen yang akan datang dan dengan bersemangat menceritakan hasil teknik inovasi dalam melatih kuda dan manusia; me nggoda si kembar dan memuji Kaede, berkelakar dengan Takeo dan mengingatkannya tentang mund urnya pasukan saat badai topan dan pertempuran merebut Hagi. Satu atau dua kali Shigek o merasa kalau laki-laki itu menatapnya, tapi saat ia melihat ke arahnya, Hiroshi selalu memanda ng ke arah lain, dan hanya bicara langsung pada Shigeko satu atau dua kali, itu pun dengan sikap form al. Saat itu wajah Hiroshi tak bersemangat, ekspresinya tenang, malah hampir tak bersahabat. Mengin gatkan Shigeko pada wajah guru-gurunya di biara saat bermeditasi; dan ingat kalau, seperti diri nya, Hiroshi dilatih dengan Ajaran Houou. Hal itu agak menenangkannya: mereka selalu menjadi teman se

perjuangan, meskipun hubungan mereka tak bisa lebih dari itu; Hiroshi selalu memahami dan me ndukungnya. Tepat sebelum beristirahat, Hiroshi bertanya padanya tentang kuda muda itu karena Shigeko pernah menyuratinya tentang masalah itu. "Datanglah ke kuil besok pagi dan kau bisa lihat sendiri," sahut Shigeko. Sesaat Hiroshi ragu-ragu, kemudian berkata, "Dengan senang hati. Ijinkan aku meng awalmu." Nada suaranya terdengar dingin, dan kata-katanya resmi. Mereka berjalan berdampingan menyeberangi jembatan batu, seperti yang sering mere ka lakukan ketika Shigeko masih kecil. Udara terasa tenang, cahaya cerah dan keemasan, saat matahari terbit di atas pegunungan dan mengubah permukaan tenang sungai menjadi cermin yang berkilauan memantulkan dunia yang tampak lebih nyata ketimbang dunia yang mereka lalui. Biasanya dua penjaga kastil mendampingi Shigeko, tapi hari ini Hiroshi menyuruh mereka pergi. Dia berpakaian untuk menunggang kuda, mengenakan celana panjang dan pembalut kaki, d an pedang di sabuknya. Shigeko mengenakan pakaian yang hampir serupa, rambutnya diikat ke bel akang dengan tali, dan hanya bersenjatakan tongkat pendek yang disembunyikan. Shigeko mencerit akan tentang kuda itu, dan sikap kaku Hiroshi perlahan luruh, dan berani berdebat dengan Shig eko seperti yang sering dilakukannya lima tahun silam. Sebaliknya, perdebatan ini bagi Shigeko sama mengecewakannya dengan sikap resmi laki-laki itu. Dia hanya menganggapku sebagai adik, sama seperti pada si kembar. Halaman 113 dari 500

Matahari pagi menyinari kuil tua: Hiroki sudah siap dan Hiroshi menyambutnya den gan gembira karena dia menghabiskan masa kecilnya dengan orang tua itu, belajar ketrampilan menjinakkan dan mengembangbiakkan kuda. ahari pagi menyinari kuil tua: Hiroki sudah siap dan Hiroshi menyambutnya dengan gembira karena dia menghabiskan masa kecilnya dengan orang tua itu, belajar ketrampilan menjinakkan dan mengembangbiakkan kuda. Tenba mendengar suara Shigeko dan meringkik. Ketika mereka menghampirinya, kuda itu berderap ke arah Shigeko, tapi telinganya berdiri tegak dan memutar bola matanya saat melihat Hiroki. "Kuda ini menakutkan sekaligus tampan," seru Hiroshi. "Jika bisa dijinakkan, dia bisa menjadi kuda perang yang luar biasa." "Aku ingin menghadiahkannya kepada Ayah," ujar Shigeko. "Tapi aku tak ingin ayah membawanya ke kancah pertempuran! Sekarang kita dalam kedamaian, kan?" "Ada awan badai di kaki langit," ujar Hiroshi. "Itu sebabnya aku dipanggil." Tadinya aku berharap kau datang untuk melihat kuda milikku!" kata Shigeko, membe ranikan diri menggoda. "Bukan hanya melihat kudamu," sahutnya pelan. Shigeko terkejut sewaktu melihat s ekilas ke arah Hiroshi, wajah laki-laki itu agak memerah hingga ke lehernya. Setelah beberapa saat, Shigeko bicara dengan sikap canggung, "Kuharap kau ada wa ktu untuk membantuku menjinakkannya. Aku tak ingin orang lain yang melakukannya kuda ini perc aya padaku, dan kepercayaan itu tak boleh dihancurkan, jadi aku harus ada di sini te rus." "Nantinya kuda ini juga akan percaya padaku," sahut Hiroshi. "Aku akan ke sini k apan saja ayahmu tak membutuhkan diriku. Kita akan menjinakkannya bersama-sama, dengan cara yang pernah diajarkan pada kita." Ajaran Houou merupakan ajaran tentang unsur-unsur laki-laki dan perempuan: kekua tan yang lembut, welas asih yang kuat, kegelapan dan cahaya, bayangan dan matahari, yang tersembu nyi serta yang terungkap. Kelembutan saja tak bisa menjinakkan kuda seperti ini. Dibutuhkan jug a kekuatan serta ketegasan seorang lakilaki. Mereka memulainya pagi itu, sebelum hawa panas semakin kuat, membiasakan si kuda dengan sentuhan Hiroshi, di kepala, sekitar telinga, pinggul bagian samping dan di bagi

an bawah perutnya. Kemudian mereka menempatkan pita halus di sepanjang punggung hingga ke leher, te rakhir mengikat dengan longgar satu pita lagi di hidung dan kepalanya tali kekang pertamanya. Tenb a berkeringat dan kulitnya menggigil, namun patuh pada cara mereka menanganinya. Mori Hiroki mengamati mereka dengan sikap setuju, dan setelah itu, ketika kuda jantan itu dihadiahi wortel dan Shige ko serta Hiroshi disajikan teh dingin, dia berkata, "Wilayah lain di Tiga Negara dan di luarnya, kuda-kuda dijinakkan dengan paksaan, seringkah dengan kekerasan. Hewan-hewan dipukul agar patuh. Namu n ayahku selalu percaya pada pendekatan yang lembut." "Itu sebabnya mengapa kuda-kuda Otori termashur," tutur Hiroshi. "Mereka jauh le bih patuh dibandingkan kuda-kuda lain, lebih bisa diandalkan dalam pertempuran, dan dengan stamina yang lebih kuat, karena mereka tidak membuang tenaga melawan si penunggangnya dan ber usaha berlari dengan cepat! Aku selalu menggunakan metode yang kupelajari darimu." Wajah Shigeko bersinar. "Kita akan berhasil menjinakkannya, kan?" "Aku tak meragukan hal itu," sahut Hiroshi, membalas senyuman Shigeko dengan sik ap hangat.* Halaman 114 dari 500

Takeo mengetahui kerjasama putrinya dengan Sugita Hiroshi dalam menjinakkan si k uda jantan hitam meskipun tidak mengetahui kalau kuda itu akan dihadiahkan padanya karena dia mengetahui hampir segalanya, tidak hanya di Hagi tapi di seluruh Tiga Negara. Ku rir pergi atau berkuda menyampaikan pesan antarkota, dan burungburung dara digunakan untuk mengi rim kabar darurat dari kapal di laut. Takeo mengira Hiroshi sudah seperti kakak bagi putri nya; terkadang mengkhawatirkan masa depan dan statusnya yang masih melajang, dan memikirkan pas angan yang cocok dan berguna bagi pemuda yang telah mengabdi dengan setia padanya sejak mas ih kecil. Pemah terdengar olehnya desas-desus kalau Hiroshi tergila-gila pada Hana; ia tid ak percaya begitu saja, mengenal karakter Hiroshi yang kuat dan kecerdasannya namun Hiroshi menghin dari semua calon yang diajukan. Akhirnya ia memutuskan untuk memperbarui usahanya mencarikan istr i bagi Hiroshi dari keluarga ksatria di Hagi. Di satu senja yang panas pada bulan ketujuh, tak lama setelah Festival Tanabata, Takeo, Kaede, Shigeko dan Hiroshi pergi melintasi teluk menuju kediaman Terada Fumifusa. Ayah dari sahabatnya, Fumio, mantan kepala perompak yang kini memelihara dan mengawasi armada kapal pe rang maupun kapal dagang sehingga Tiga Negara termashur dalam perdagangan dan keamanan dari serangan lewat laut. Kini Terada berusia kira-kira lima puluh tahun, namun hanya menunjuk kan sedikit kelemahan karena usia. Takeo sangat menghargai ketajaman otak, keberanian dan peng etahuan Terada. Terada tidak memedulikan harta benda indah yang diperolehnya saat menjadi peromp ak dendamnya pada pemimpin Klan Otori menjadi penggerak kekuatannya, dan kejatuhan para paman Shigeru adalah keinginan terbesarnya. Setelah pertempuran merebut Hagi dan gempa bumi, dia membangun kembali rumah lamanya yang dirancang oleh putra dan menantunya, Eriko, sepupu keluarga Endo. Eriko menyukai lukisan, taman dan benda-benda yang indah: dia menulis puisi dengan goresan kuas yang indah, da n membuat kediaman itu tampak mewah dan memesona dilihat dari kastil. Bangunan itu berada di dekat kawah gunung membuatnya dapat menanam tanaman eksotis yang dibawa bib Ishida. Sifatnya yang artistik membuatnya menjadi Putri sulung Terada akrab dengan Shigeko karena mereka berapi, tempat cuaca yang tidak biasa Fumio, dan tanaman obat yang dibawa Ta teman yang disenangi Takeo dan Kaede. seumur.

Paviliun kecil dibangun di atas sungai kecil di taman, dan bunyi tenang air yang mengalir memenuhi udara. Kolam dipenuhi warna ungu muda dan bunga teratai putih kekuningan, dinaungi pepo honan aneh dari Kepulauan Selatan yang mirip kipas. Udara terasa harum oleh aroma adas manis dan jahe. Semua tamu mengenakan jubah musim panas berwarna cerah, menyaingi warna-warni kupu-kup u yang beterbangan di antara bunga. Burung tekukur menyerukan nyanyiannya yang memecah kesunyian, dan jangkrik berderik tia da henti. Eriko memperkenalkan permainan lama di mana para tamu harus menggubah puisi, lal u mengapungkannya di atas nampan kayu kecil untuk dibaca pengunjung di paviliun se belahnya. Kaede mahir dalam membuat puisi semacam ini, dengan pengetahuan luasnya tentang kiasan klasik dan kemampuan berpikir cepat, namun Eriko hampir menandinginya. Mereka bersaing penuh persahabatan. Cangkir-cangkir sake juga diapungkan di permukaan air yang mengalir pelan, dan s esekali satu atau dua tamu mengambilnya lalu diberikan kepada temannya. Irama katakata dan tawa ber baur dengan suara air, serangga serta burung membuat diri Takeo merasakan kebahagiaan murni yang jarang dirasakannya, menghilangkan kecemasannya serta meringankan kesedihannya. Halaman 115 dari 500

Takeo tengah mengamati Hiroshi yang duduk bersama Shigeko dan putri Eriko, Kaori , di paviliun sebelah. Usia Kaori cukup dewasa untuk dinikahkan: mungkin dia bisa menjadi pasa ngan yang cocok bagi Hiroshi; akeo tengah mengamati Hiroshi yang duduk bersama Shigeko dan putri Eriko, Kaori, di paviliun sebelah. Usia Kaori cukup dewasa untuk dinikahkan: mungkin dia bisa menjadi pasa ngan yang cocok bagi Hiroshi; nanti akan dibicarakannya dengan Kaede. Kaori mirip ayahnya: tubuh berisi serta sehat. Kaori dan Shigeko tengah tertawa melihat usaha Hiroshi. Namun di sela-sela tawa dan semua suara lain di senja yang damai ini, ada suara lain, mungkin kepakan sayap burung. Ia mendongak menatap langit dan melihat sekawanan kecil bin tik jauh di arah tenggara. Sewaktu kawanan itu mendekat, semakin jelas terlihat kalau itu ad alah kawanan burung dara yang kembali ke kediaman Terada, tempat mereka menetas. Burung-burung selalu kembali kemana pun semua kapal Terada yang membawanya, tapi arah datangnya kawanan ini membuat ia gelisah karena di tenggara terbentang kota beba s Akashi.... Burung-burung dara melayang di atas kepala menuju kandang. Semua orang mendongak ke atas mengamati. Kemudian pesta itu ditutup dengan perasaan gembira, tapi Takeo kini s adar akan panasnya cuaca sore ini, dari peluh di ketiaknya, derik kasar suara jangkrik. Seorang pelayan keluar dari rumah, berlutut di belakang Lord Terada lalu berbisik padanya. Terada melihat ke arah Takeo dan membuat isyarat dengan kepala. Mereka berdua berdiri bersamaan, meminta maaf pada para tamu, lalu pergi bersama si pelayan itu ke dal am rumah. Begitu sampai di beranda, Terada berkata, "Pesan dari putraku." Diambilnya lembaran kert as yang dilipat, terbuat dari sutra, lebih ringan dari bulu. "Gagal. Senjata sudah di tangan Saga. Segera kembali." Takeo melihat dari bayangan beranda ke arah pemandangan yang indah di taman. Did engarnya suara Kaede saat membaca, mendengar suara yang menyambut keanggunan dan kepandaia nnya. "Kita harus persiapkan dewan peperangan," ujarnya. "Kita akan bertemu besok dan memutuskan apa yang dilakukan." Dewan terdiri dari Terada, ayah dan anak, Miyoshi Kahei, Sugita Hiroshi, Muto Sh izuka, Takeo, Kaede dan Shigeko. Takeo menceritakan tentang pertemuannya dengan Kono, tuntutan

Kaisar, jenderal baru dan senjata yang diselundupkan. Miyoshi Kahei ingin bertindak cepa t: membangun kekuatan militer selama musim panas, kematian Arai Zenko dan Lord Kono lalu diikuti denga n pemusatan pasukan di perbatasan wilayah Timur yang bisa tiba lebih dulu di ibukota saat mu sim semi, mengalahkan si Pemburu Anjing dan membujuk Kaisar untuk mempertimbangkan lagi ten tang ancaman serta penghinaan atas Otori. "Kapalmu juga bisa memblokade Akashi," tuturnya pada Terada. "Pelabuhan itu haru s dalam kendali kita untuk mencegah ancaman Arai." Kemudian teringat kalau Zenko adalah putra Shizuka, dan dia pun meminta maaf. "T api aku tak menarik kembali saranku," ujarnya pada Takeo. "Sementara Zenko merongrong di Bara t, kau tak mungkin meng-hadapi ancaman dari wilayah Timur." "Putra Zenko ada di tangan kita," tutur Kaede. "Kami rasa ini dapat membuatnya p atuh." "Dia tak bisa dianggap sebagai sandera," sahut Kahei. "Inti dari adanya sandera yaitu siap mencabut nyawa mereka. Aku tak bermaksud menghinamu, Takeo, tapi aku tak percaya kau tega memerintahkan untuk membunuh anak-anak. Orangtuanya tahu kalau putranya aman bersamamu layaknya berada di tangan ibunya sendiri!" "Zenko sudah bersumpah sekali lagi bahwa dia akan tetap setia padaku." tutur Tak eo. "Aku tak bisa menyerangnya sebelum dia menyerang. Aku lebih memilih untuk memercayainya, denga n harapan Halaman 116 dari 500

dia layak mendapatkannya. Dan kita harus berusaha untuk mempertahankan kedamaian melalui perundingan. Aku tak akan membawa perang saudara di Tiga Negara." ia layak mendapatkannya. Dan kita harus berusaha untuk mempertahankan kedamaian melalui perundingan. Aku tak akan membawa perang saudara di Tiga Negara." Kahei menggelengkan kepala, wajahnya suram. "Kakakmu, Gemba, dan yang lainnya di Terayama menganjurkan untuk menenangkan Kais ar dengan berkunjung ke Miyako tahun depan." "Saat itulah Saga Hideki akan mempersenjatai pasukannya dengan senjata api. Setid aknya biarkan kami mendekati Akashi dan mencegahnya memperdagangkan bubuk mesiu. Karena kalau tidak, kau akan langsung menuju ke kematian!" "Aku mendukung tindakan yang tegas," ujar Terada. "Aku setuju dengan Miyoshi. Se mua pedagang di Akashi sudah lupa daratan. Mereka telah menghina. Kita akan beri mereka pelajaran." Terada tampak merindukan masa ketika kapal-kapal miliknya mengendalikan semua perdagangan di sepanjang garis pantai utara dan barat. "Tindakan semacam itu akan membuat geram pedagang kita sendiri," tutur Shizuka. "Dan kita mengandalkan mereka untuk mendapat persediaan, bubuk mesiu dan bijih besi. Bakal sulit bertempur tanpa dukungan itu." "Klas pedagang mulai semakin kuat hingga menjadi berbahaya," gerutu Terada. Take o tahu kalau itu sudah lama dikeluhkan Terada, Miyoshi, Kahei dan banyak ksatria lainnya, yang me mbenci para pedagang yang semakin kaya raya dan makmur. "Bila tidak menyerang sekarang, kelak akan terlambat," ujar Kahei. "Itu saranku. " "Bagaimana denganmu?" Takeo bertanya pada Hiroshi yang hingga saat ini belum bic ara. "Aku memahami pandangan Lord Miyoshi," kata Hiroshi. "Beliau punya alasan. Menur ut seni perang memang itu yang terbaik. Tapi aku harus tunduk pada kearifan para Guru Ajaran Ho uou. Kirimkan pesan pada Kaisar bahwa Anda akan datang berkunjung. Ini akan meredam rencana serangan apa pun di pihaknya. Aku menganjur kan, seperti Kahei, memperkuat pasukan di wilayah Timur, menyiapkan serangan tapi tidak menyo lok. Kita harus membangun kekuatan prajurit pejalan kaki yang membawa senjata api, dan melatih m ereka untuk menghadapi prajurit yang hampir sama kekuatannya karena sudah pasti tahun depan Saga telah

memiliki senjata dalam jumlah besar. Hal itu tak bisa kita cegah. Sementara untu k adik ipar Anda, kurasa ikatan keluarga akan menjadi lebih kuat ketimbang dendam apa pun yang dip endamnya pada diri Anda, atau ambisi apa pun untuk menyingkirkan Anda. Sekali lagi aku menganjurkan agar jangan tergesagesa, dan jangan bertindak terburu-buru." Hiroshi memang ahli strategi yang handal, pikir Takeo. Bahkan sejak dia masih ke cil! Takeo berpaling ke arah putrinya, "Shigeko?" "Aku sependapat dengan Lord Hiroshi," sahut Shigeko. "Jika aku ikut dengan Ayah ke Miyako, kurasa Ajaran Houou akan menang, bahkan untuk menghadapi Kaisar."* Selama di Hagi, Takeo sering bertemu Shizuka yang tinggal di kastil untuk menema ni Kaede atau putri-putri-nya. Tidak ada pertemuan resmi, maupun pengumuman atas penunjukkan S hizuka sebagai ketua Tribe. Beberapa hari setelah pertemuan dewan perang, di pagi hari Festival Tanabata, se olah kebetulan, mereka berjumpa saat Takeo hendak ke kastil. Minoru yang selalu mengikuti dengan membawa peralatan menulis, menyingkir agar mereka bisa bicara berdua saja. Halaman 117 dari 500

"Aku dapat pesan dari Taku," ujar Shizuka pelan. "Tadi malam. Ishida dan Chikara meninggalkan Hofu saat bulan purnama terakhir. Cuaca sedang cerah: mestinya mereka datang tid ak lama lagi." ku dapat pesan dari Taku," ujar Shizuka pelan. "Tadi malam. Ishida dan Chikara m eninggalkan Hofu saat bulan purnama terakhir. Cuaca sedang cerah: mestinya mereka datang tid ak lama lagi." "Itu kabar baik," sahutnya. "Kau pasti menantikan kepulangan suamimu." Lalu Take o berkata, karena tak ada alasan mengapa kabar ini harus dirahasiakan, "Apa lagi?" "Ternyata Zenko memberi ijin orang asing ikut bersama mereka. Dua dari mereka be rada di kapal, bersama penerjemah mereka perempuan itu." Takeo mengernyitkan dahi. "Apa tujuan mereka?" "Taku tidak mengatakannya. Tapi menurutnya kau harus diberitahu." "Menyebalkan," sahut Takeo. "Kita terpaksa menerima mereka dengan segala macam up acara dan kemegahan, serta berpura-pura terkesan atas hadiah tidak berharga mereka. "Aku ti dak ingin mereka merasa bebas pergi ke mana saja sesuka hati. Aku lebih suka mengurung mer eka di satu tempat: Hofu tempat yang sangat bagus untuk itu. Carikan tempat yang tidak nyama n untuk mereka tinggal, dan awasi terus mereka. Adakah orang lain yang bisa bicara bahasa merek a?" Shizuka menggelengkan kepala. "Baiklah, seseorang harus mempelajari secepatnya. Penerjemah mereka harus mengaja ri kita saat dia di sini." Takeo berpikir cepat. Ia tak ingin bertemu Madaren; ia merasa tidak nyaman atas kemunculan adiknya. Takut pada kesulitan yang pasti mun cul dengan kehadiran adiknya itu, tapi bila ia harus menggunakan jasa penerjemah, maka seba iknya memang adiknya orang yang memiliki hubungan dengannya. Takeo memikirkan Kaede yang mampu belajar dengan cepat, yang menguasai bahasa Sh in dan Tenjiku agar bisa membaca karya klasik, sastra dan kitab suci. Ia akan minta Kae de mempelajari bahasa orang asing dari Madaren, dan akan menceritakan bahwa si penerjemah itu a dalah adiknya... pikiran kalau ia akan mengurangi satu rahasia lagi dari istrinya, anehnya justru membuatnya bahagia. "Cari gadis pandai yang bisa menjadi pelayan mereka," pintanya pada Shizuka. "Bi arkan gadis itu berusaha sekuat tenaga memahami apa yang mereka katakan. Dan kita akan mengatur agar

pelajaran diadakan di sini." "Kau bermaksud untuk belajar, sepupu?" "Aku meragukan kemampuanku," sahut Takeo. "Tapi aku yakin Kaede pasti mampu. Kau juga." "Aku sudah terlalu tua," sahut Shizuka seraya tertawa. "'Tapi, Ishida cukup berminat, dan sudah menyusun daftar istilah ilmiah dan medis." "Bagus. Biarkan dia melanjutkan pekerjaan ini bersama mereka. Semakin banyak yang bisa kita pelajari, semakin baik. Dan lihat apa kau bisa cari tahu lebih banyak lagi dari suamimu tentang tujuan mereka yang sebenarnya, dan kedekatan mereka dengan Zenko." "Taku baik-baik saja?" Takeo menyuarakan pikiran yang muncul kemudian. "Sepertinya begitu. Menurutku, hanya sedikit frustrasi terjebak di wilayah Barat . Dia baru akan berangkat bersama Lord Kono untuk menginspeksi harta kekayaan, dan bermaksud mela njutkan dari sana ke Maruyama." "Begitu? Maka Hiroshi sebaiknya ada di sana untuk bertemu mereka," ujar Takeo. " Dia bisa menumpang kapal yang sama, dan mengabari keputusan kita pada Taku." *** Kapalnya terlihat di laut dua hari kemudian. Shigeko mendengar lonceng dari bukit di Halaman 118 dari 500

atas kastil berdentang sewaktu dia dan as kastil berdentang sewaktu dia dan Hiroshi menjinakkan si kuda jantan. Tenba menerima sedikit dan membiarkan Shigek o menuntunnya dengan tali kekang halus, tapi mereka belum mencoba menaruh pelana, atau beban a pa pun di punggungnya selain kain berlapis yang masih membuatnya bergerak mundur dan menend ang. "Ada kapal datang," kata Shigeko, berusaha melihat tapi sia-sia menentang silauny a matahari pagi. "Kuharap itu kapal tabib Ishida." "Kalau benar itu kapalnya, berarti aku harus segera kembali ke Maruyama," ujar H iroshi. "Secepat itu!" Shigeko tidak bisa menahan seruannya, kemudian merasa malu, "Ayah bilang tabib Ishida membawa hadiah istimewa untukku tanpa mengatakan apa hadiahnya." Aku kede nga ran seperti anak kecil, pikirnya, kesal pada dirinya sendiri. "Aku dengar dia membicarakan itu," sahut Hiroshi, dia memperlakukan aku seperti anak kecil, pikir Shigeko. "Kau tahu apa hadiahnya?" "Itu rahasia!" sahut Hiroshi menggoda. "Aku tak boleh membocorkan rahasia Lord O tori." "Mengapa ayah hanya mengatakannya padamu, tidak kepadaku?" "Ayahmu tidak mengatakannya," sahut Hiroshi dengan suara lebih lembut. "Hanya sa ja dia mengharapkan cuaca cerah dan perjalanan yang tenang untuk hadiah itu." "Pasti hewan," seru Shigeko dengan gembira. "Kuda! Atau mungkin anak singa! Bebe rapa hari ini cuaca cerah. Aku gembira bila cuaca cerah saat Festival Tanabata." Shigeko ingat keindahan malam tanpa bulan yang tenang, percikan sinar bintang, s atu malam selama tahun ketika seorang Puteri dan kekasihnya bisa bertemu menyeberangi jembatan aj aib yang dibangun burung magpies. "Saat masih kecil aku suka sekali Festival Tanabata." tutur Hiroshi. "Tapi kini hal itu membuatku sedih. Karena tak ada yang namanya pasangan pengantin impian, tidak dalam kehidupan nya ta." Dia membicarakan tentang dirinya sendiri dan Hana, pikir Shigeko. Dia sudah mend erita begitu lama. Dia harus menikah. Dia akan melupakan Hana jika dia memiliki istri dan anak. Nam un Shigeko tak bisa memaksa dirinya untuk menyarankan agar Hiroshi menikah.

"Dulu aku suka membayangkan Putri Bintang dengan wajah ibumu," tuturnya. Tapi mu ngkin putri itu mirip denganmu, menjinakkan kuda-kuda di surga." Tenba, yang berjalan di antara mereka berdua, mendadak ketakutan dan melompat mu ndur saat seekor burung merpati terbang dari atap kuil sehingga menarik pita yang dipegang Shigeko. Secepatnya Shigeko me-nenangkannya, tapi Tenba masih bertingkah tidak karuan, da n melompat lalu terjatuh, menerjang tubuh Shigeko dengan bahu. Shigeko hampir terjatuh, tap i entah bagaimana Hiroshi berhasil menjatuhkan tubuhnya di antara Shigeko dan kuda itu, dan sesaat Shigeko menyadari kekuatan pemuda itu, dan hasratnya begitu kuat hingga mengejutkan dirin ya sendiri untuk dipeluk pemuda itu. Kuda itu berlari dengan langkah panjang, tali kekangny a berayunayun. Hiroshi bertanya, "Kau tidak apa-apa? Kuda itu tidak menginjakmu, kan?" Shigeko menggelengkan kepala, tiba-tiba perasaannya bergejolak. Mereka berdiri b erdekatan, tidak bersentuhan. Shigeko menemukan lagi suaranya. "Kukira sudah cukup untuk hari ini. Kita buat Tenba berjalan pelan lagi. Lalu ak u harus pulang untuk bersiap menerima hadiah. Ayah pasti ingin mengadakan upacara untuk itu." "Tentu, Lady Shigeko," sahut Hiroshi, sekali lagi bersikap dingin dan formal. Ku da jantan itu membiarkannya mendekat, dan Hiroshi menuntunnya mengembalikan kepada Shigeko. An gin sepoiHalaman 119 dari 500

sepoi berhembus pelan dan merpati terbang melayang di atas kepala, namun kuda mud a itu berjalan tenang di antara mereka berdua dengan kepala tertunduk. Tak satu pun dar i keduanya bicara. epoi berhembus pelan dan merpati terbang melayang di atas kepala, namun kuda muda itu berjalan tenang di antara mereka berdua dengan kepala tertunduk. Tak satu pun dar i keduanya bicara. *** Di galangan kapal, kesibukan biasa di pagi hari menjadi hening. Nelayan berhenti membongkar muatan hasil tangkapan malam hari berupa ikan sarden perak dan mackarel sisik bi ru. Pedagang berhenti memuat berkarung-karung garam, beras dan sutra ke kapal bertiang lebar, dan orang-orang berkumpul di jalanan berkerikil, menyambut kapal dari Hofu dengan muatan anehnya . Shigeko kembali ke kediaman lalu berganti pakaian yang lebih sesuai untuk menyambut hadiah untuknya. Untungnya jarak antar a gerbang kastil ke tangga pelabuhan dekat dan bisa dilalui dengan berjalan kaki. Dia berjalan se panjang pantai, melewati rumah kecil di bawah pohon pinus tempat Akane, pelacur kelas tinggi yan g pemah menghibur Lord Shigeru, aroma semak wangi yang ditanamnya masih tercium di udara . Shizuka telah menunggu, tapi ibunya tetap tinggal di rumah, mengatakan kalau merasa kurang seh at. Takeo sudah pergi lebih dulu bersama Sunaomi. Sewaktu Shizuka dan Shigeko bergabung dengan T akeo, bisa dilihat susana hati ayahnya sedang gembira: tak hentinya melihat ke arah Shigeko yang ada di sampingnya dan tersenyum. Shigeko berharap reaksinya tidak mengecewakan ayahnya, dan memutuskan untuk berpurapura senang menerima hadiah itu. Namun, ketika kapal mendekati dermaga, dan hewan aneh itu bisa terlihat jelas leh ernya yang panjang kekaguman Shigeko sebesar dan setulus kerumunan orang yang menonton. Ia be gitu gembira ketika tabib Ishida menuntun hewan itu dengan berhatihati menuruni tangga kapal dan menyerah kan kepadanya. Shigeko terpesona oleh kelembutan dan pola aneh kulit hewan itu, oleh bola mata yang gelap dan tatapannya yang lembut, dihiasi bulu mata panjang dan tebal, oleh gayanya yang anggun serta pem-bawaan diri yang tenang selagi mengamati lingkungan asing di ha dapannya. Takeo tertawa gembira karena kirin dalam keadaan sehat dan juga karena reaksi Sh igeko. Shizuka

menyambut suaminya dengan kasih sayang yang tidak diperlihatkan, dan si bocah, Ch ikara, tercengang dengan sambutan serta kerumunan, mengenali wajah kakaknya dan berusah a menahan tangis. "Jangan berkecil hati," tabib Ishida menegurnya. "Beri salam pada paman dan sepu pumu dengan baik. Sunaomi, bantu adikmu." "Lord Otori," Chikara berhasil bicara, membungkuk dalam-dalam. "Lady..." "Shigeko," ia menyela perkataan Chikara. "Selamat datang di Hagi!" Ishida berkata pada Takeo, "Kami membawa penumpang lain, mungkin kurang disambut baik." "Ya, aku sudah dikabari Taku. Istrimu akan menunjukkan tempat mereka menginap. Nanti akan kuceritakan rencana kita untu k mereka. Kuharap aku dapat membujukmu untuk menghibur mereka sementara waktu." Orang-orang asing itu ada dua orang, baru pertama kali datang ke Hagi muncul di tang ga kapal, membuat orang tak kalah terperangahnya ketimbang melihat kirin. Kedua orang itu mengenakan celana panjang dan sepatu bot dari kulit; emas berkilauan di leher dan dada mere ka. Satu orang berwajah agak hitam yang dipenuhi janggut berwarna gelap; yang satunya lagi berk ulit lebih pucat dengan rambut dan jenggot berwarna karat pucat. Warna mata orang ini juga pucat, sehijau teh hijau; warna rambut dan mata seperti ini membuat orang merinding, dan Shigeko mendengar bisik-bisik, "Itukah raksasa?" "Hantu." "Goblin." Mereka diikuti seorang perempuan pendek yang tampak memberitahukan tata cara yan g sopan. Setelah dibisiki perempuan muda itu, kedua orang asing membungkuk dengan cara ya ng kaku, cenderung berlagak, lalu bicara dengan bahasa mereka yang kasar. Halaman 120 dari 500

Takeo membalas dengan isyarat kecil akeo membalas dengan isyarat kecil dengan kepala. Ia tak lagi tertawa: tampak tegas, gagah dengan jubah resminya, b erhias bordiran burung bangau, serta tutup kepala warna hitam pekat. Orang-orang asing itu mungk in lebih tinggi dan lebih besar, tapi di mata Shigeko, Ayahnya jauh lebih gagah. Perempuan itu menyembah, dan ayahnya dengan begitu ramah, pikir Shigeko, memberi isyarat agar perempuan itu boleh berdiri dan berbicara kepadanya. Meskipun Shigeko memegang tali sutra yang mengikat leher kirin, dan perhatiannya tertuju pada makhluk mengagumkan ini, tapi ia mendengar ayahnya bicara beberapa patah kata pa da orang asing itu. Ketika perempuan itu menerjemahkan, lalu menyampaikan jawaban orang asing itu, S higeko seperti mendengar sesuatu yang tidak biasa dalam suaranya. Dilihatnya kalau pere mpuan itu terpaku menatap wajah Takeo. Dia mengenal Ayah, pikir Shigeko. Dia berani menatap langsu ng wajah Ayah. Ada sesuatu dalam tatapan perempuan itu, semacam ekspresi akrab yang mendekati s ikap tidak sopan, yang membuat Shigeko gelisah dan bersikap waspada. *** Kerumunan yang ada di dermaga dihadapkan pada keputusan yang sulit, apakah mengi kuti kirin yang luar biasa, yang dituntun Ishida dan Shigeko menuju kuil, tempat hewan itu akan diperlihatkan pada Mori Hiroki dan dipersembahkan pada dewa sungai; atau mengikuti orang asing yang sama luar biasanya, yang dengan sebarisan pelayan yang didampingi Shizuka membawa sejumlah besar kotak dan bal menuju ke perahu kecil yang akan membawa mereka menyeberangi sungai ke t empat penginapan di sepanjang bangunan biara tua Tokoji. Beruntung Hagi berpenduduk banyak, dan ketika kerumunan mulai terbagi untuk seti ap arak-arakan terdiri dari kerumunan yang cukup besar. Orang-orang asing itu merasa hal ini le bih menjengkelkan dibandingkan kirin yang menunjukkan ekspresi kesal karena terus menjadi tontonan. Mereka bahkan akan lebih kesal lagi dengan jauhnya jarak tempat penginapan dari kastil dan pen jaga serta berbagai larangan yang diberlakukan pada mereka demi melindungi mereka. Kirin berjalan se perti yang sedari tadi dilakukannya, dengan langkah lambat dan hati-hati yang anggun. "Aku langsung jatuh hati padanya," ujar Shigeko pada ayahnya selagi mereka mendek ati biara. "Bagaimana aku harus berterima kasih kepada Ayah?" "Kau harus berterima kasih pada tabib Ishida," sahut Takeo. "Ini adalah hadiah d arinya untuk kita:

hadiah yang berharga karena dia sendiri juga sudah jatuh hati padanya seperti ha lnya dirimu, dan sudah mengenalnya cukup lama. Dia akan tunjukkan cara merawatnya." "Sungguh indah memiliki sesuatu seperti itu di Hagi," seru Mori Hiroki saat meli hatnya. "Betapa diberkatinya Tiga Negara!" Dan Shigeko juga berpikir begitu. Bahkan Tenba tampak terpikat oleh kirin, berla ri ke pagar bambu untuk memeriksa dan menyentuhkan hidung perlahan padanya. Satu-satunya hal yang Shigeko sedihkan yaitu Hiroshi akan segera pergi. Tapi saat teringat kejadian tadi pagi, berpikir mungkin memang sebaiknya laki-laki itu pulang.* Sewaktu kembali ke kediaman setelah menyambut kirin, Takeo langsung bergegas men emui Kaede. Istrinya tampak duduk di beranda di sisi utara kediaman, sedang bicara dengan Ta ro, putra sulung si tukang kayu, Shiro. Dia dan ayahnya kembali ke Hagi untuk membangun kembali kota itu setelah gempa. Halaman 121 dari 500

Takeo memberi salam dengan ceria, dan Taro menjawab tanpa sungkan karena masa la lu mengikat hubungan mereka dalam jalinan persahabatan. akeo memberi salam dengan ceria, dan Taro menjawab tanpa sungkan karena masa lal u mengikat hubungan mereka dalam jalinan persahabatan. "Sudah lama aku hendak menciptakan figur Dewi Welas Asih," tutur Taro, seraya me natap kedua tangannya seolah berharap tangan itu bisa memberi jawaban. "Lady Otori punya usu lan." "Kau tahu rumah di dekat tepi pantai," kata Kaede. "Rumah itu sudah kosong selam a bertahun-tahun, sejak Akane meninggal. Orang bilang kalau rumah itu berhantu, dan Akane menggunak an mantra untuk me mikat Lord Shigeru tapi akhirnya dia sendiri yang terjebak dalam ilmu hitamnya. Para pelaut mengatakan kalau arwah Akane menyalakan lampu di bebatuan, memberi sinyal palsu ke kapal karena dia membenci semua pria. Kita runtuhkan saja rumahnya lalu menyucikan tam annya. Taro dan adiknya bisa membangun kuil baru untuk dewa Kannon, dan patung yang melambangkann ya akan memberkati pesisir dan teluk." "Chiyo menceritakan tentang kisah Akane ketika aku masih kecil," sahut Takeo. "T api Shigeru tak pernah menceritakannya, begitu pula tentang istrinya." "Mungkin arwah kedua wanita yang telah berpulang itu pada akhirnya bisa beristir ahat dengan tenang," kata Taro. "Aku membayangkan bangunan kecil kita tak perlu menebang pohonpohon pinus tapi akan membangun di sela-sela pepohonan itu. Kukira dengan atap rangkap dua, dengan lekukan tajam seperti ini, dan sambungan siku yang saling mengunci untuk menyangg anya." Diperlihatkannya pada Takeo sketsa yang telah dibuatnya untuk bangunan itu. "Ata p yang lebih rendah menyeimbangkan atap di atasnya, memberi kesan tampilan yang kuat serta lembut. Kuharap bisa memberi pen ghormatan yang sama kepada Yang Diberkati. Kuharap tadinya bisa menunjukkan sketsa sang De wi, tapi figurnya tetap tersembunyi di balik kayu hingga tanganku menemukannya." "Kau akan memahat dari satu pohon?" tanya Takeo. "Ya, saat ini aku sedang memilih pohon yang tepat." Mereka membicarakan tentang berbagai jenis pohon, usia kayu dan semacamnya. Kemu dian Taro meninggalkan mereka berdua.

"Rencana yang bagus," ujar Takeo pada Kaede sewaktu mereka tinggal berdua. "Aku menyukai rencana itu." "Rasanya aku punya alasan khusus untuk bersyukur pada sang dewi," kata Kaede pel an. "Rasa mual tadi pagi, yang pulih dengan cepat...." "Istriku sayang," gumamnya, dan karena mereka hanya berdua, Takeo memeluknya. "Aku malu," kata Kaede, seraya tertawa kecil. "Aku sepertinya terlalu tua untuk hamil! Shigeko sudah menjadi wanita. Namun aku juga bahagia. Kukira aku tak bisa hamil lagi, mengira kesempatan kita memiliki anak lakilaki sudah sirna." "Aku sudah sering bilang padamu, aku bahagia dengan ketiga putri kita," ujarnya. "Bila nanti kita tambah satu anak perempuan lagi, aku akan gembira." "Aku tidak ingin mengatakannya," bisik Kaede. "Tapi aku yakin yang satu ini lakil aki." Takeo mendekap istrinya, berpikir tentang mukjizat dari makhluk baru yang tumbuh dalam tubuh istrinya. Mereka tak bicara selama beberapa waktu, bernapas dalam kedekatan. Kem udian langkah kaki pelayan di lantai papan beranda menarik mereka kembali ke dunia nyata. "Apakah kirin tiba dengan selamat?" tanya Kaede, karena Takeo sudah mengungkapka n hadiah kejutan itu pada istrinya. Halaman 122 dari 500

"Ya, kemunculannya sangat kuharapkan. Shigeko langsung jatuh hati padanya. Selur uh penduduk diam dalam kekaguman." Ya, kemunculannya sangat kuharapkan. Shigeko langsung jatuh hati padanya. Seluru h penduduk diam dalam kekaguman." "Bisa membuat orang Otori terkagumkagum adalah prestasi yang sangat baik!" sahut Kaede. "Kuharap mereka sudah menggubah nyanyian tentang hewan itu. Aku akan pergi melihatnya sendiri nanti." "Kau tak boleh berpanas-panasan," kata Takeo cepat. "Kau jangan terlalu lelah. I shida harus menengokmu, dan kau harus melakukan semua yang dimintanya." "Ishida juga tiba dengan selamat. Aku senang, lalu bagaimana dengan si kecil Chi kara?" "Mabuk laut berat dia malu dengan hal itu. Tapi gembira bertemu kakaknya." Takeo t erdiam sesaat, lalu berkata, "Kita tunda dulu soal pengangkatan mereka sampai anak kita lahir. Aku tak ingin melambungkan harapan yang kelak tak bisa terpenuhi, atau menciptakan kerumitan na ntinya." "yang arif," sahut Kaede setuju. "Meski aku takut Zenko dan Hana akan kecewa." "Hanya ditunda," Takeo menekankan. "Kau s emakin bijaksana dan berhati-hati, suamiku!" kata Kaede sambil tertawa. "Sudah semestinya," sahutnya. "Kuharap kini aku dapat mengendalikan sikap terges agesa dan ceroboh." Takeo menimbangnimbang apa yang mesti dikatakan selanjutnya, dan tiba pa da satu keputusan, berkata, "Ada penumpang lain dari Hofu. Dua orang asing, dan seorang wanita yang menerjemah k an merek a." "Untuk tujuan apa mereka datang?" "Membuka peluang untuk berdagang, kurasa; melihat lebih banyak lagi bagian neger i ini yang masih menjadi misteri besar bagi mereka. Aku belum sempat bicara dengan Ishida. Mungki n dia tahu lebih banyak. Kita harus bisa memahami mereka. Aku ingin mau mempelajari bahasa mereka , dibantu perempuan yang datang bersama mereka, tapi aku tak ingin membebanimu." "Belajar, mempelajari bahasa adalah salah satu yang paling kugemari," sahut Kaed e. "Kelihatannya itu tugas yang cocok di saat kegiatan lain harus dibatasi. Tentu saja aku mau. S iapa perempuan yang

datang bersama mereka? Aku tertarik karena dia telah menguasai bahasa asing." Takeo berkata dengan suara pelan, "Aku tak ingin mengejutkan dirimu, tapi aku ha rus mengatakannya. Perempuan itu berasal dari wilayah Timur, dan sempat tinggal di I nuyama. Dia lahir di desa yang sama denganku, dari ibu yang sama. Dia adik perempuanku." "Adik yang kau kira sudah tiada?" tanya Kaede tercengang. "Benar, adikku, Madaren." Kaede mengernyitkan dahi. "Nama yang aneh." "Nama itu cukup umum digunakan di kalangan kaum Hidden. Dia berganti nama, kuras a, setelah peristiwa pembantaian itu. Dia dijual ke rumah bordil oleh prajurit yang membunu h ibunya ibuku dan kakak perempuanku. Dia melarikan diri ke Hofu, dan bekerja di rumah bordil l ainnya, tempat di mana dia bertemu orang asing yang bernama Don Joao: dia fasih berbicara dalam b ah asa merek a." "Bagaimana kau tahu semua ini?" "Kami kebetulan bertemu di penginapan di Hofu. Saat itu aku menyamar untuk berte mu Terada Fumio untuk memintanya menghentikan penyelundupan senjata. Kami saling mengenali." "Setelah sekian tahun...?" Kaede menatap Takeo, setengah bersimpati, setengah ta k percaya. Halaman 123 dari 500

"Aku yakin itu dia. Kami bertemu satu kali lagi, hanya sebentar, dan aku semakin yakin. Aku menyelidiki tentang dirinya dan tahu sedikit riwayat hidupnya. Kukatakan padanya kalau aku akan menjamin hidupnya ku yakin itu dia. Kami bertemu satu kali lagi, hanya sebentar, dan aku semakin y akin. Aku menyelidiki tentang dirinya dan tahu sedikit riwayat hidupnya. Kukatakan padanya kalau aku akan menjamin hidupnya tapi tidak ingin bertemu dengannya lagi. Jarak di antara kami sudah begitu lebar . Tapi kini dia datang ke sini.... Wajar kalau dia tertarik dalam pergaulan orang asing, karena inti aj aran mereka serupa dengan kaum Hidden. Aku takkan mengakuinya sebagai saudaraku, tapi desas-desus m ungkin akan tersebar, dan aku ingin kau mengetahui kebenarannya dariku." "Kurasa dia bermanfaat bagi kita sebagai jurubahasa maupun guru. "Bisakah kau bu juk dia untuk menjadi mata-mata?" Sepertinya Kaede berusaha menyembunyikan kekagetannya dan bi cara secara masuk akal. "Aku yakin dia bisa menjadi sumber informasi, dengan disengaja atau tidak. Tapi informasi mengalir dari dua arah. Dia bisa berguna untuk menanamkan pemikiran kita pada kedua orang asing itu. Aku memintamu untuk memperlakukannya dengan baik, bahkan dengan hormat, tapi jangan p ernah membicarakan tentang diriku padanya." "Apakah dia mirip denganmu? Aku ingin sekali bertemu dengannya." Takeo menggeleng. "Dia mirip ibunya." Kaede berkata, "Kau kedengaran sangat ding in. Tidakkah kau gembira menemukan nya masih hidup? Kau tidak ingin membawanya masuk ke dalam keluargamu?" "Kukira dia sudah mati. Aku menangisi kematiannya serta kematian yang lainnya. K ini aku tidak tahu harus bersikap bagaimana: aku sudah berubah menjadi orang yang berbeda dari bocah yang pernah menjadi kakaknya. Kesenjangan derajat dan status kami sudah menganga lebar. Terl ebih lagi, dia penganut kepercayaan yang saleh: sedangkan aku tak memercayai kepercayaan mana p un, dan tidak lagi mengikuti kepercayaan masa kecilku. Aku curiga kalau orang-orang asing itu ingin menyebarkan kepercayaan mereka. Siapa yang tahu alasannya? Aku tak bisa membiarkan siapa pun mengira bisa memengaruhi diriku, karena aku harus melindungi mereka semua dari kedua belah pi hak, mungkin alasan orang-orang itu untuk memecah belah rakyat kita." "Tak seorang pun yang menyaksikan dirimu melakukan upacara di biara atau kuil me rasa yakin akan

ketidakpercayaanmu," ujar Kaede. "Dan bagaimana dengan kuil dan patung baruku?" "Kau tahu kemampuanku sebagai pemain sandiwara," sahut Takco dengan nada getir, "Aku sungguh ya kepercayaan demi kepentingan stabilitas negara. Tapi bila kau salah k tidak boleh berpura-pura bila sudah menyangkut masalah kepercayaan. oleh Yang Maha Melihat, tatapan tanpa belas kasihan Tuhan." Andai m Hidden, mungkin dia masih hidup, pikirnya. Dan aku akan menjadi bahagia berpura-pura pun satu orang Hidden, mutla Dirimu terpampang jelas ayahku tidak memihak kau orang lain.

"Tentu tuhan kaum Hidden itu Maha Pengampun, kan?" seru Kaede. "Bagi penganutnya, mungkin. Sedangkan yang lainnya dikutuk ke neraka untuk selam anya." "Aku tidak percaya itu!" sahut Kaede, setelah sesaat tenggelam dalam pikirannya. "Begitu pula aku. Tapi itulah yang dipercayai kaum Hidden, begitu juga orangorang asing itu. Kita harus sangat berhatihati dengan mereka bila mereka telah berpikir kita dikutuk, mer eka mungkin merasa benar untuk memperlakukan kita dengan cara menghina atau keji." Dilihatnya Kaede agak gemetar, dan takut kalau istrinya merasakan suatu firasat. * Halaman 124 dari 500

Pada bulan kedelapan tibalah Festival Obon. Tepi pantai dan sungai dipenuhi oran g, bentuk tarian mereka tampak jelas diterangi kembang api yang bersinar terang. Lampion yang tak terhitung jumlahnya mengapung di gelapnya permukaan air. Arwah orang yang mati disambut ke mbali, dirayakan dengan jamuan, lalu diucapkan selamat jalan dengan gabungan antara per asaan sedih sekaligus gembira, ketakutan dan kegembiraan. Maya dan Miki menyalakan lilin bag i Kenji yang amat mereka rindukan, tapi kesedihan mereka yang tulus tak menghalangi mereka dari ke giatan senggang baru, menyiksa Sunaomi dan Chikara. Mereka menguping pembicaraan dan tahu ada us ulan untuk mengangkat salah satu atau kedua anak itu. Melihat kasih sayang Kaede pada kedua bocah itu, mereka menduga itu karena kedua anak itu laki-laki. Mereka tak diberitahu tentang kehamilan Kaede, tapi sifat mereka yang selalu mem er hatikan, akhirnya mereka tahu. Kenyataan bahwa hal itu tidak dibicarakan secara terang-terangan membuat mereka gelisah. Hari-hari di musim panas terasa panjang dan panas: semua orang mudah marah. Shigeko tampak semakin cepat memasuki masa kedewasaan dan menjadi makin m enjauh. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan ayah, membicarakan tentang kunjungan k e ibukota tahun depan, serta hal-hal lain yang menyangkut urusan kenegaraan. Shizuka sibuk dengan administrasi Tribe. Si kembar tak diijinkan keluar berdua saja, tapi mereka sudah terampil dengan pe latihan Tribe. Meskipun tak diijinkan menggunakannya, namun rasa jenuh dan diabaikan membuat mer eka mencoba hasil pelatihan mereka. "Apa gunanya semua pelatihan itu bila tidak digunakan?" gerutu Maya pelan, dan M iki setuju dengannya. Miki dapat menggunakan sosok kedua cukup lama untuk memberi kesan kalau Maya ada di ruangan sementara Maya menghilang agar bisa menakuti Sunaomi dan Chikara dengan hembusan napas seperti desah napas hantu di tengkuk, atau sentuhan di rambut. Mereka mematuhi peraturan untuk tidak keluyuran di luar, namun aturan itu menjengkelkan mereka: keduanya ingin menjelajahi kota yang sibuk, hutan di seberang sungai, ar ea di sekitar gunung berapi, dan hutan berbukit di atas kastil. "Di sana ada goblin," kata Maya kepada Sunaomi, "dengan hidung panjang dan mata yang selalu mengintai!"

Maya menunjuk ke arah bukit, tempat pepohonan yang begitu lebat hingga kelihatan tak bisa ditembus. Dua layanglayang bergulung-gulung di atas mereka. Sore pada hari ketiga Festival Obon, keempat anak itu berada di taman. Hari terasa menyesakkan; bahkan di taman, di ba wah pepohonan, tetap saja terasa panas tak terkira. "Aku tidak takut pada tengu," sahut Sunaomi. "Aku tidak takut pada apa pun!" "Tengu yang ini suka makan anak lakilaki," bisik Miki. "Mereka memakannya mentahmentahi" "Seperti macan?" sahut Sunaomi seraya mengejek, sehingga membuat Maya makin kesa l. Ia belum melupakan kata-kata Sunaomi pada ayahnya, anggapan yang terucap tanpa disadariny a, tentang keung gulan anak lelaki: Lagipula, mereka hanyalah anak perempuan. Maya ingin membalas perkataan itu. Dirasakan si kucing berputarputar di dalam dirinya, dan melemaskan jarijarinya. "Mereka tak bisa mengerjai kita di sini," kata Chikara gugup. "Terlalu banyak pe njaga." Halaman 125 dari 500

"Memang mudah bersikap berani saat dikelilingi penjaga," kata Maya pada Sunaomi. "Jika kau memang pemberani, kau pasti berani keluar sendirian!" Memang mudah bersikap berani saat dikelilingi penjaga," kata Maya pada Sunaomi. "Jika kau memang pemberani, kau pasti berani keluar sendirian!" "Aku tidak diijinkan," sahutnya. "Kau takut!" "Tidak!" "Ya sudah, pergilah keluar. Aku tidak takut. Aku sudah pernah pergi ke rumah Aka ne, walaupun arwahnya gentayangan di rumah itu. Aku pernah melihatnya." "Akane membenci anak laki-laki," bisik Miki. "Dia mengubur anak laki-laki hiduphi dup di tamannya supaya semak-semak tumbuh subur dan wangi." "Sunaomi takkan berani ke sana," kata Maya dengan setengah tersenyum. "Di Kumamoto aku dikirim ke pemakaman saat malam hari untuk mem bawa pulang sebuah lentera," tutur Sunaomi. "Aku tak melihat satu pun hantu!" "Kalau begitu, pergilah ke rumah Akane dan bawa pulang beberapa tangkai bunga." "Itu mudah," hardik Sunaomi. "Hanya saja aku tidak diperbolehkan ayahmu yang bilan g begitu." "Kau takut," kata Maya. 'Tidak mudah keluar tanpa terlihat." "Mudah jika kau tidak takut. Itu cuma alasanmu saja." Maya berdiri dan berjalan ke pinggiran dinding laut. "Kau turun lewat dinding ini saat laut surut dan berjalan di atas bebatuan menuju pantai." Sunaomi mengikutinya, dan Maya menunjuk rumah Akane yang kosong dan kelihatan mu ram. Rumah itu sudah setengah dibongkar karena akan dibangun kuil. Bangunan itu tak lagi be rbentuk rumah, tapi belum menjadi kuil, mengesankan persimpangan antara dunia nyata dan alam baka. G elombang sudah hampir naik, sebagian menampakkan bebatuan yang menonjol dan licin. "Kau b isa pergi malam ini." Maya berpaling ke arah Sunaomi, menahan tatapan bocah itu selama beb erapa saat. "Maya!" seru Miki memperingatkan. "Oh, maaf, sepupu! Aku lupa. Aku tak boleh menatap orang lain. Aku sudah berjanj i pada Ayah." Cepat-cepai Maya menampar pipi Sunaomi untuk menyadarkannya, lalu kembali pada Ch ikara. "Kau tahu, bila kau menatap mataku maka kau akan tertidur dan tidak akan terbang

un lagi!" Sunaomi menghampiri untuk membela adiknya. 'Tahukah kalian kalau kalian akan dib unuh jika tinggal di Kumamoto? Di sana kami membunuh orang kembar!" "Aku tidak percaya sedikit pun apa yang kau katakan," sahut Maya. "Semua orang l ahu kalau Arai adalah pengkhianat dan pengecut." Sunaomi menegakkan badan dengan bangga. "Jika kau anak laki-laki, aku akan membu nuhmu. Tapi karena kau hanya anak perempuan, aku akan ke rumah itu dan membawa pulang apa pu n yang kau minta." Saat matahari mulai terbenam, langit tampak cerah tanpa angin, namun saat bulan mulai naik, gumpalan awan aneh berwarna kelabu berarak dari timur, melenyapkan bintang dan a khirnya menelan bulan. Laut dan daratan berbaur menjadi satu. Api terakhir masih mengepulkan asap di pantai; selain itu tak ada api lain lagi. Sunaomi adalah putra sulung dalam keluarga ksatria. Sejak kecil dia dilatih deng an disiplin dan diajari untuk mengatasi rasa takut. Tak sulit baginya, meskipun baru delapan tahun, untu k tetap terjaga sampai tengah malam. Sunaomi, meski dengan keberanian yang mantap, dia tetap gel isah dan lebih takut karena tak mematuhi pamannya ketimbang bahaya terluka atau pun hantu. Para pengawal yang mendampinginya sejak dari Hofu tinggal di aula di kota atas perint ah Lord Otori: penjaga kastil sebagian besar berada di gerbang dan di sekitar dinding depan. Pa sukan patroli Halaman 126 dari 500

berjalan melintasi taman dalam jarak waktu yang teratur. Sunaomi mendengar suara mereka melewati pintu yang terbuka dari ruangan tempat dia dan Chikara tidur, bersama dua pelaya n yang merawat mereka. Kedua gadis pelayan itu tidur cepat, salah satunya mendengkur. Sunaomi c epat-cepat berdiri, siap mengatakan kalau ia ingin ke kamar mandi bila mereka terbangun, na mun tak satu pun dari keduanya bergerak. rjalan melintasi taman dalam jarak waktu yang teratur. Sunaomi mendengar suara m ereka melewati pintu yang terbuka dari ruangan tempat dia dan Chikara tidur, bersama dua pelaya n yang merawat mereka. Kedua gadis pelayan itu tidur cepat, salah satunya mendengkur. Sunaomi c epat-cepat berdiri, siap mengatakan kalau ia ingin ke kamar mandi bila mereka terbangun, na mun tak satu pun dari keduanya bergerak. Di luar, malam terasa tenang. Kastil maupun kota sudah terlelap. Di bawah dinding, laut bergumam lembut. Hampir tidak bisa melihat apaapa, Sunaomi menghela napas panjang dan mulai merabaraba jalan yang dilaluinya menurun i landaian besar di dinding batu besar yang dirapatkan. Beberapa kali mengira kala u dirinya terjepit, tak bisa naik atau turun; memikirkan tentang monster yang muncul dari laut, ikan ata u gurita raksasa yang bisa menelannya ke dalam kegelapan. Laut terdengar meraung, kini lebih keras lag i. Bisa terdengar olehnya pusaran air di bebatuan. Ketika kakinya yang bersandal jerami menyentuh permukaan bebatuan, dia terpeleset dan hampir jatuh ke dalam air. Menggaruk berusaha mencengkeram sesuatu untuk pegangan, dira sakannya kulit kerang setajam pisau di telapak kaki dan lututnya. Ombak merayap di bawah tubuhn ya, menyebabkan luka tadi terasa perih. Seraya menggertakkan gigi, dia bergeser sedikit demi sed ikit bak kepiting ke arah api terakhir yang masih mengepulkan asap, menuju ke pantai. Pantai tampak kelabu pucat; ombak berdesis berbuih putih. Ketika sampai di atas pasir, dia lega merasakan kelembutan di telapak kakinya. Lalu berganti rumput kaku; Sunaomi tersandung dan terus berjala n dengan merangkak ke hutan kecil tempat pepohonan pinus bermunculan di sekelilingnya. Sua ra burung hantu terdengar di atas kepala membuatnya melonjak terkejut, dan bentuk burung y ang seperti hantu itu sesaat mengapung di hadapannya dengan kepakan sayap. Cahaya api berada tepat di belakangnya. Sunaomi berhenti sebentar, meringkuk di balik pepohonan. Tercium olehnya bau damar yang terbawa asap api unggun tadi dan aroma kuat lainny a yang

terasa manis dan memikat. Wangi tanaman di taman Akane diperkuat dengan darah dan tulang anak laki-laki. Anak laki-laki sering disuruh pergi ke makam atau tempat eksekusi di malam hari untuk uji nyali. Sunaomi sudah menyombongkan diri pada Maya kalau dia tak pernah melihat hantu. Ta pi itu bukan berarti dia tak percaya akan keberadaannya: perempuan berleher panjang bak ular dan gigi setajam kucing, makhluk bermata satu serta tanpa tangan dan kaki, bandit tanpa kepala ya ng marah karena dihukum mati, orang yang mati penasaran, akan balas dendam dengan memangsa darah manusia. Sunaomi menelan ludah dengan susah payah, lalu berusaha menahan gemetar yang sem akin melemaskan tubuhnya. Aku adalah Arai Sunaomi, katanya dalam hati, putra Zenko, c ucu Daiichi. Aku tak takut pada apa pun. Dipaksa dirinya untuk berdiri, lalu berjalan ke depan, walau kakinya terasa berat , dan tak tahan ingin buang air kecil. Ia mencapai dinding taman, lekukan atap di belakangnya. Gerbang terbuka lebar; dinding mulai runtuh. Ketika melangkah masuk ke gerbang, tubuhnya terhalang sarang laba-laba, jaringnya lengket di wajah dan rambutnya. Napasnya makin memburu, tapi dia berkata pada dirinya sendi ri, Jangan menangis, aku tidak boleh menangis, meskipun bisa dirasakannya air mata mulai men gambang di pelupuk mata. Rumah itu gelap gulita. Sesuatu berlari cepat menyeberangi beranda, mungkin kuci ng, atau tikus besar. Ia menggapaikan tangannya seakan mengikuti bau wangi itu sampai ke belaka ng rumah lalu sampai ke taman. Kucing itu pasti kucing tiba-tiba melolong dari balik bayang-bayang. Halaman 127 dari 500

Sunaomi bisa melihat bunganya: satusatunya benda yang terlihat dalam kegelapan. D ia bergegas ke arah bunga itu, dan dengan sembarangan mencabut beberapa tangkai. Dia lalu lari, tapi tersandung sebongkah batu dan jatuh terjerembab. Bau tanah dan rasanya mengingatkannya pada pemakaman dan mayat, dan betapa tak lama lagi dia akan ter-baring di kuburan, merasakan se nsasi terakhir dalam hidupnya. unaomi bisa melihat bunganya: satusatunya benda yang terlihat dalam kegelapan. Di a bergegas ke arah bunga itu, dan dengan sembarangan mencabut beberapa tangkai. Dia lalu lari, tapi tersandung sebongkah batu dan jatuh terjerembab. Bau tanah dan rasanya mengingatkannya pada pemakaman dan mayat, dan betapa tak lama lagi dia akan ter-baring di kuburan, merasakan se nsasi terakhir dalam hidupnya. Lalu dia memaksakan diri berjalan merangkak sekuat tenaga dan meludahkan tanah di mulutnya. Sunaomi berdiri, menggapai dan mematahkan sebatang ranting. Semak itu segera men geluarkan getah berbau tajam, dan Sunaomi mendengar langkah kaki di di belakangnya. Saat berbalik, matanya langsung silau terkena cahaya. Yang terlihat hanyalah sat u sosok setengah badan seorang perempuan, tapi hanya sebagian badan, yang pasti baru keluar dari liang lahat. Bayangan bergerakgerak di atasnya; tangan itu terulur ke arah Sunaomi. Lenteranya agak sedikit naik; cahaya jatuh tepat di wajah perempuan itu. Perempuan itu tidak punya mata, mulut juga hidung. Pertahanan dirinya bobol. Sunaomi menjerit; air terasa mengalir di celananya. Di buangnya ranting yang ada di tangannya. "Maafkan aku, Lady Akane. Maaf. Kumohon jangan sakiti aku. Jangan kubur aku!" "Apa-apaan ini?" ada suara, suara manusia, suara laki-laki. "Apa yang sedang kau lakukan tengah malam begini?" Tapi Sunaomi tak mampu menjawab. *** Taro yang menginap di rumah Akane sambil mengerjakan patung, segera membawa boca h itu kembali ke kastil. Sunaomi tidak terluka, selain ketakutan setengah mati. Keesok an paginya dia tidak mengakui, namun luka telah tertoreh di hatinya, dan meskipun sudah pulih, luka y ang masih membekas mengandung kebencian yang mendalam terhadap Maya dan Miki. Sejak itu, Su naomi terus merenungkan kematian kakeknya, dan serangan Klan Otori terhadap Arai. Piki ran kanakkanaknya

mencari cara untuk menyakiti Maya dan Miki. Dia mulai meng ambil hati para perempuan penghuni rumah itu, menebar pesona dan menghibur merek a; lagipula sebagian besar dari mereka menyukai anak laki-laki. Sunaomi merindukan ibunya, t api nalurinya mengatakan bahwa ia bisa mendapatkan tempat yang tinggi dalam kasih sayang bibin ya, Kaede, jauh lebih tinggi ketimbang pada si kembar. *** Takeo dan Kaede merasa gusar atas kejadian ini. Jika Sunaomi terbunuh atau terlu ka parah saat dalam perlindungan mereka, terlepas dari kesedihan orang di kastil menyayangi ked ua bocah, maka strategi untuk meredam dan membendung Zenko akan hancur berantakan. Takeo juga m emarahi Sunaomi atas ketidakpatuhan dan keberaniannya yang gegabah, dan menanyainya penuh selidik tentang alasannya, curiga kalau keponakannya tak akan melakukan hal itu tanpa ad a yang memancingnya. Tidak butuh waktu lama untuk mengungkap kebenarannya, dan kemudian giliran Maya menghadapi kemarahan ayahnya. Kali ini Takeo lebih gusar pada Maya, karena putrinya tidak menunjukkan penyesalan ataupun rasa bersalah, dan tatapan m atanya kejam dan tanpa belas kasihan, bak seekor hewan. Dia tidak menangis, bahkan ketika Kaede m engutarakan ketidak-senangannya dan menamparnya beberapa kali. "Maya benar-benar keterlaluan," kata Kaede, berlinang air mata karena kesal. "Di a tidak bisa tinggal di sini. Bila dia tak bisa dipercaya tinggal bersama anak laki-laki..." Takeo mendengar kecemasan Kaede pada bayi yang dikandungnya. Ia tak ingin mengir im Maya pergi; Ia merasa putrinya butuh pengawasannya, tapi ia terlalu sibuk untuk terus berada di samping putrinya. Halaman 128 dari 500

"Tak baik menginginkan putri kandungmu pergi jauh, dan lebih menyayangi putra ora ng lain," katTak baik menginginkan putri kandungmu pergi jauh, dan lebih menyayan gi putra orang lain," kata Maya pelan. Kaede menamparnya lagi. "Beraninya benar kau bicara seperti itu padaku, ibumu se ndiri? Kau tahu apa tentang urusan negara? Semua yang kami lakukan ada alasan politis. Akan sela lu seperti ini. Kau putri Lord Otori. Kau tidak bisa bersikap seperti anak-anak lain." Shizuka berkata, "Dia menyadarinya: dia memiliki kemampuan Tribe yang tidak boleh dia gunakan sebagai putri seorang ksat ria. Sungguh sayang bila kemampuan seperti itu disia-siakan." Maya berbisik, "Kalau begitu, biarkan aku menjadi putri seorang Tribe." "Maya perlu pengawasan dan pelatihan. Tapi siapa yang mengetahui hal semacam ini dalam keluarga Muto? Bahkan kau, Shizuka, dengan darah Kikuta, tak punya pengalaman dengan kera sukan semacam ini." "Kau mengajarkan banyak kemampuan Tribe pada putraku," sahut Shizuka. "Mungkin Ta ku adalah orang yang paling tepat." "Tapi Taku harus tetap di wilayah Barat. Kita tak bisa memintanya kemari hanya u ntuk kepentingan Maya." "Maka kirim Maya kepadanya." Takeo menghela napas. "Sepertinya hanya itu jalan keluarnya. Adakah yang dapat m engantar Maya?" "Ada seorang gadis; dia baru datang dari desa Muto bersama adiknya. Mereka berdu a bekerja di rumah penginapan orang asing saat ini." "Siapa namanya?" "Sada: kerabat dari istri Kenji, Seiko." Takeo mengangguk: kini ia ingat gadis itu; bertubuh tinggi dan tegap, dan bisa b eralih rupa menjadi laki-laki, penyamaran yang sering digunakan saat melaksanakan tugas Tribe. "Kau akan menemui Taku di Maruyama," kata Takeo pada Maya. "Kau harus mematuhi S ada." Sunaomi berusaha menghindar, tapi sebelum pergi Maya memojokkan bocah itu, seray

a berbisik, "Kau gagal dalam uji nyali itu. Sudah kubilang kalau Arai pengecut." "Aku ke rumah itu," sahutnya. Taro ada di sana. Dia yang memaksaku pulang." Maya tersenyum. "Kau tidak bawa rantingnya!" "Tidak ada bunga di sana!" "Tidak ada bunga! Kau memetik sebatang. Lalu kau buang, dan mengompol di celana. Aku melihatmu." "Kau tidak ada di sana!" "Ya, aku di sana." Sunaomi berteriak memanggil pelayan, tapi Maya sudah pergi.*

Seiring musim panas berganti musim gugur, Takeo bersiap untuk bepergian lagi. Su dah menjadi kebiasaan negeri ini kendalikan dari Yamagata dari akhir bulan kesembilan hingga puncak musim Halaman 129 dari 500

dingin, tapi ia terpaksa berangkat lebih awal karena kematian Matsuda Shingen; Mi yoshi Gemba membawa kabar ini ke Hagi dan Takeo langsung berangkat ke Terayama bersama Gemba dan Shigeko. Laporan kerja selama musim panas berbagai keputusan, perencanaan pertanian sena keuangan, kode etik hukum, dan hasil pengadilan dibagi-bagi dalam kotak dan keranj ang pada barisan panjang kuda beban. ingin, tapi ia terpaksa berangkat lebih awal karena kematian Matsuda Shingen; Miy oshi Gemba membawa kabar ini ke Hagi dan Takeo langsung berangkat ke Terayama bersama Gemba dan Shigeko. Laporan kerja selama musim panas berbagai keputusan, perencanaan pertanian sena keuangan, kode etik hukum, dan hasil pengadilan dibagi-bagi dalam kotak dan keranj ang pada barisan panjang kuda beban. Tak ada yang perlu disesali atas kepergian Matsuda. Tujuan hidupnya telah tercap ai, jiwanya merupakan kesatuan antara kemurnian dan kekuatan. Cita-citanya siap diteruskan mur id-muridnya: Takeo dan Shigeko, sena banyak yang lainnya. Namun Takeo begitu merindukan, dan merasa kehilangan orang bijak tersebut sebagai kerugian bagi Tiga Negara. Makoto kini menggantikan kedudukannya sebagai Kepala Biara, dan berganti nama me njadi Eikan, tapi Takeo tetap menggunakan nama lamanya. Setetah upacara pemakaman selesai, mere ka melanjutkan per-jalanan ke Yamagata. Ia senang karena tahu Makoto tetap akan men dukungnya; dan ia memikirkan dengan penuh kerinduan saat ia akan mengundurkan diri ke Terayama dan sisa hidupnya dengan meditasi dan melukis. Gemba menemani mereka ke Yamagata, tempat berbagai urusan administrasi menyita s eluruh perhatian Takeo. Shigeko bangun lebih awal setiap pagi untuk berlatih menunggang kuda dan memanah bersama Gemba untuk kemudian menghadiri sebagian besar rapat bersamanya. Tepat sebelum berangkat ke Maruyama pada minggu pertama di bulan kesepuluh, sura t datang dari Hagi. Takeo membacanya dengan penuh semangat, dan segera memberitahukan kabar ten tang keluarga pada putri sulungnya. "Ibumu pindah bersama kedua bocah itu ke rumah lama Lord Shigeru. Dan ibumu mulai membelajari bahasa orang-orang asing itu." "Dari si juru bahasa?" Shigeko ingin bertanya lagi pada ayahnya, tapi Minoru dan pelayan rumah Miyoshi ada bersama mereka seperti biasa, serta Jun dan Shin yang berada di luar tapi tetap masih

bisa mendengar. Setelah itu, Shigeko mendapat kesempatan saat mereka berdua berj alan di taman. "Ayah hams menceritakan lebih banyak lagi tentang orang-orang asing itu," katany a. "Apakah sebaiknya mereka diijinkan berdagang di Maruyama?" "Ayah ingin mereka berada di tempat yang bisa kita awasi," sahut Takeo. "Mereka akan tinggal di Hagi selama musim dingin. Kita harus belajar sebanyak mungkin tentang bahasa, ad at kebiasaan dan tujuan mereka." "Juru bahasa itu: dia memandang ayah dengan pandangan aneh, seakan dia mengenal Ayah dengan baik." Sesaat Takeo ragu. Daun berguguran di taman yang tenang, menyelimuti tanah denga n onggokan berwama emas. Saat itu hari sudah senja, kabut merangkak naik dari parit yang me ngelilingi bangunan sehingga mengaburkan garis bentuk dan detil. "Ibumu tahu siapa dia, tapi orang lain tidak." akhimya ia berkata. "Ayah akan ce ritakan kepadamu, tapi simpan rahasia ini baik-baik. Namanya Madaren; itu nama yang dipakai kaum Hidden . Mereka memiliki kepercayaan yang sama dengan para orang asing, dan dulu pernah dibantai oleh Klan Tohan. Semua keluarganya dibunuh, kecuali kakak laki-lakinya yang diselamatkan o leh Lord Shigeru." Bola mata Shigeko terbelalak dan urat nadinya berdenyut cepat. Ayahnya tersenyum. "Ya, anak itu adalah Ayah. Saat itu Ayah bernama Tomasu, tapi Shigeru mengganti nama Ayah menjadi Takeo. Madaren adalah adik perempuanku: kami lahir dari satu ibu, tapi l ain bapak ayahku, seperti kau tahu, berasal dari Tribe. Selama ini Ayah mengira dia sudah mati." "Sungguh luar biasa," ujar Shigeko, lalu dengan sifatnya yang lekas bersimpati, "Pasti hidupnya menderita." Halaman 130 dari 500

"Dia berhasil bertahan, belajar bahasa asing, meraih semua kesempatan yang ada," sahut Takeo. "Madaren melakukannya lebih baik dibandingkan orang lain. Kini dia dalam Dia berhasil bertahan, belajar bahasa asing, meraih semua kesempatan yang ada," sahut Takeo. "Madaren melakukannya lebih baik dibandingkan orang lain. Kini dia dalam perlindungan Ayah, dan diijinkan mengajarkan ibumu." Setelah beberapa saat, ia me nambahkan, "Dari dulu memang sudah banyak kaum Hidden di Maruyama. Lady Naomi melindungi me reka karena dia juga mengikuti ajaran mereka. Kau harus berkenalan dengan pemimpin mereka. Jo-An, tentu saja, juga salah satu pengikutnya, serta banyak mantan gelandangan masih tinggal di pedesaan di sekitar kota." Shigeko melihat wajah ayahnya muram. dan tak ingin membahas lebih jauh lagi topi k pembicaraan yang mengingatkan Ayahnya pada kenangan yang menyakitkan. "Ayah sangsi bisa hidup bahkan separuh dari usia Matsuda," lanjut Takeo dengan s angat serius. "Kelak, keamanan mereka ini ada di tanganmu. Tapi jangan memercayai orang asing, begitu juga pada Madaren, meskipun dia kerabatmu. Dan ingat untuk menghormati semua kepercay aan, tapi jangan ikuti satu pun dari semua itu, karena itu satu-satunya jalan yang harus d itempuh seorang pemimpin sejati." Shigeko merenungkan hal ini selama beberapa saat, "Bolehkah aku bertanya lagi?" " Tentu. Kau boleh tanya apa saja dan kapan saja. Ayah tak ingin menyembunyikan apa pun darimu." "Ramalan membenarkan kekuasaan Ayah seperti yang ditakdirkan dan direstui Surga. Burung houou bersarang lagi di Tiga Negara. Bahkan kita memiliki kirin salah satu tanda adanya penguasa yang adil. Apa Ayah memercayai semua ini?" "Ayah tidak memercayai sepenuhnya," sahut Takeo. "Ayah sangat bersyukur atas sem ua yang dianugerahkan Surga pada Ayah, dan Ayah berharap tidak menyalahgunakan kekuasaan yang telah diberikan kepada Ayah." "Orang tua semakin lama semakin akan bertindak bodoh," tambahnya nngan "Bila itu terjadi, kau harus mendorong Ayah untuk mengundurkan diri. Meskipun, Ayah tak berharap hidup sampai tua." "Aku ingin Ayah tidak pernah mati," seru Shigeko, mendadak ketakutan. "Ayah akan mati dengan bahagia karena tahu akan meninggalkan semuanya di tangan yang aman," sahutnya, teraenyum. Tapi Shigeko tahu kalau ayahnya menyembunyikan banyak kekhaw

atiran. Beberapa hari kemudian ia dan Gemba menyeberangi jembatan di dekat Kibi, dan Tak eo mengenang masa lalu bersama Gemba: pergi dari Terayama di tengah guyuran hujan, bantuan Jo -An bersama kelompok gelandangannya, dan kematian si raksasa, Jin-Emon. Biara dewa rubah yan g ada di tepi sungai kini, secara aneh, diidentikkan pada Jo-An dan sekarang dia dipuja di sini . "Pada saat itu Amano Tenzo memberiku Shun," ujar Takeo. Ditepuknya leher kuda hi tam yang sedang ditungganginya. "Kuda yang ini cukup menyenangkan, tapi Shun membuatku te rcengang pada peperangan pertama kami. Dia lebih tahu banyak tentang peperangan ketimbang diriku sendiri!" "Kukira dia sudah mati sekarang?" tanya Gemba. "Ya, dia mati dua tahun lalu. Tidak ada kuda seperti dia. Tahukah kau kalau Shun ternyata adalah kuda Takeshi? Mori Hiroki yang mengatakannya." "Aku tidak tahu," sahut Gemba. Tapi, Shigeko sudah tahu hal itu, dia tumbuh dewasa bersama salah seorang yang m elegenda itu. Kuda coklat kemerahan itu dijinakkan oleh Lord Takeshi, adik Shigeru, yang membawanya ke Yamagata. Takeshi dibunuh prajurit Tohan, dan kuda itu menghilang sampai Amano Tenzo membeli dan memberikan nya kepada Takeo. Ia memikirkan dengan gembira atas hadiah rahasia yang akan ia berikan untu k ayahnya. Ia Halaman 131 dari 500

sudah lama berharap akan ke Maruyama karena ia memang bermaksud menghadiahkan ku da itu sebagai kejutan saat upacara yang akan datang. udah lama berharap akan ke Maruyama karena ia memang bermaksud menghadiahkan kud a itu sebagai kejutan saat upacara yang akan datang. Memikirkan legenda dan hewan-hewan yang mengagumkan memunculkan gagasan di benak nya. Begitu cemerlangnya gagasan itu hingga ia ingin langsung mengatakannya. "Ayah, saat kita ke Miyako tahun depan, kita hadiahkan kirin kepada Kaisar." Gemba tertawa terbahak-bahak. "Hadiah yang sempurna! Hadiah yang belum pernah te rlihat di ibukota!" Takeo berpaling dari pelana dan menatap Shigeko. "Gagasan yang menakjubkan. Tapi Ayah telah memberikan kirin untukmu. Ayah tak ingin memintanya kembali. Dan apakah hewan it u dapat bertahan dalam perjalanan sejauh itu?" "Hewan itu berhasil menempuh per jalanan dengan kapal. Aku bisa menemaninya sampai ke Akashi. Mungkin Lord Gemba a tau Lord Hiroshi bisa ikut bersamak u." "Kaisar serta orang istana akan terpesona dengan hadiah itu," kata Gemba, pipi t embamnya merona merah karena senang. "Sepertinya Lord Saga akan takluk pada Lady Shigeko." Shigeko, menunggang kuda melalui pedesaan di musim gugur yang damai menuju wilay ah yang akan segera menjadi miliknya, tempat ia akan bertemu Hiroshi lagi. merasakan kalau me reka memang direstui Surga. dan Ajaran Houou, ajaran kedamaian akan menang.* Setelah kematian Muto Kenji, jasadnya dibuang ke parit dan tertimbun tanah. Tida k ada benda yang menandakan tempat itu, tapi Hisao tidak sulit menemukannya karena ibunya membimbi ng langkahnya ke sana. Seringkali hujan turun tiba-tiba selagi ia melewatinya, memb iaskan sinar matahari menjadi penggalan-penggalan bianglala di awan yang membumbung tinggi. H isao melihatnya dan memanjatkan doa bagi arwah kakeknya agar dapat menempuh jalan ama n menuju alam baka dan kelahiran kembali yang lebih baik pada kehidupan kelak. Ia kemudia n melihat ke bawah, ke barisan pegunungan yang terbentang ke timur dan utara, untuk melihat a pakah ada orang yang datang Hisao merasa lega tapi juga menyesal karena arwah kakeknya telah kel uar. Arwah itu menggantung di tepi kesadaran seperti juga arwah ibunya, membuatnya sakit kepala dengan tuntutan yang tak bisa dipahami. Ia hanya mengenal kakeknya sebentar, namun telah merindu

kannya: Kenji bunuh diri atas kemauannya sendiri; Hisao senang arwah kakeknya sudah pergi dengan damai, tapi m enyesali kematiannya, dan walaupun tidak pernah membicarakan hal itu, dia membenci Akio k arena menjadi penyebabnya. Musim panas berlalu dan tak ada yang datang. Penduduk desa merasa khawatir selama musim panas, terutama Kotaro Gosaburo, kare na tak ada kabar tentang nasib anakanaknya yang ditahan di Inuyama. Desasdesus dan spekulasi kian bertambah: bahwa mereka sekarat karena disiksa, bahwa salah satu atau keduanya s udah tewas. Gosaburo semakin kurus, lipatan kulit keriputnya semakin bergelayut, sinar matan ya hampa. Akio makin tak sabar pada Gosaburo; dia menjadi cepat kesal dan sikapnya menjadi susa h ditebak. Hisao agak senang mendengar kabar baik tentang eksekusi para pemuda itu karena akan mem adamkan harapan Gosaburo dan menguatkan ke-putusannya untuk balas dendam. Bunga lili musim gugur berwarna merah tua pekat tumbuh di atas jasad Kenji, mesk i tak ada yang menanamnya. Burung-burung mulai bermigrasi ke utara, dan malam Halaman 132 dari 500

dipenuhi jeritan angsa dan kepakan sayap mereka. Rembulan di bulan kesembilan ta mpak besar dan keemasan. Pohon maple dan pohon sumac berubah warna menjadi merah tua, pohon bee ch berwarna tembaga, willow dan ginko berwarna keemasan. Harihari dilalui Hisao deng an memperbaiki pematang sebelum musim dingin, menyebar dedaunan kering dan kotoran hewan di sawah, mengumpulkan kayu bakar dari hutan. Sistem pengairannya berhasil: sawah d i pegunungan menghasilkan panen kedelai, wortel dan labu yang baik. la membuat penggaruk tana h baru sehingga pupuk tersebar lebih merata, dan bereksperimen dengan bilah kapak, bobot, sudut s erta ketajamannya. Ada sebuah tempat penempaan besi di desa itu, dan Hisao ke sana saa t ada waktu luang untuk memerhatikan dan membantu meniup panas dengan alat pengembus dalam pr oses mengubah besi menjadi baja. ipenuhi jeritan angsa dan kepakan sayap mereka. Rembulan di bulan kesembilan tam pak besar dan keemasan. Pohon maple dan pohon sumac berubah warna menjadi merah tua, pohon bee ch berwarna tembaga, willow dan ginko berwarna keemasan. Harihari dilalui Hisao deng an memperbaiki pematang sebelum musim dingin, menyebar dedaunan kering dan kotoran hewan di sawah, mengumpulkan kayu bakar dari hutan. Sistem pengairannya berhasil: sawah d i pegunungan menghasilkan panen kedelai, wortel dan labu yang baik. la membuat penggaruk tana h baru sehingga pupuk tersebar lebih merata, dan bereksperimen dengan bilah kapak, bobot, sudut s erta ketajamannya. Ada sebuah tempat penempaan besi di desa itu, dan Hisao ke sana saa t ada waktu luang untuk memerhatikan dan membantu meniup panas dengan alat pengembus dalam pr oses mengubah besi menjadi baja. Di awal bulan ketujuh, Imai Kazuo dikirim ke Inuyama untuk mencari berita. Dia k embali di pertengahan musim gugur dengan kabar gembira namun membingungkan: para sandera ma sih hidup, masih di tahan di Inuyama. Dia juga membawa kabar lain: Lady Otori sedang hamil dan Lord Otori mengirim utusan dengan prosesi yang mewah ke ibukota. Rombongan itu berada di Inuyama di waktu yang bersamaan dengan Kazuo, dan baru akan berangkat ke Miyako. Sikap Akio kurang senang dengan potongan berita yang pertama, iri pada berita ya ng kedua, dan amat gelisah dengan berita yang ketiga. "Mengapa Otori melakukan pendekatan pada Kaisar?" tanyanya pada Kazuo. "Apa maks udnya?" "Kaisar telah menunjuk jenderal baru, Saga Hideki, yang selama sepuluh tahun ini

sibuk memperluas kekuasaannya di seluruh penjuru wilayah Timur. Kini muncul seorang ksatria yang bisa menantang Otori." Mata Akio berkilap dengan ekspresi yang tidak biasa. "Ada yang berubah; aku dapa t merasakannya. Otori menjadi lebih rapuh, bereaksi pada ancaman semacam itu. Kita harus ambil b agian dalam kejatuhannya: dengan bersembunyi kita tidak bisa menunggu sampai orang lain memba wa kabar kematiannya kepada kita." "Memang ada tanda-tanda kelemahan," Kazuo sepakat. "Mengutus orang ke Kaisar, dan anak-anak itu masih hidup... sebel umnya ia tidak ragu membunuh keluarga Kikuta." "Muto Kenji berhasil mengetahui keberadaan kita," ujar Akio penuh pertimbangan. Ta keo pasti sudah tahu tempat kita ini. Aku tidak percaya dia maupun Taku akan membiarkan ke matian Kenji begitu saja tanpa membalas dendam, kecuali mereka disibukkan dengan hal-hal yang lebih mendesak." "Ini waktunya bagimu untuk bepergian lagi," kata Kazuo. "Ada banyak keluarga Kik uta di Akashi. Keluarga kita yang ada di Tiga Negara ini juga butuh tuntunan, dan akan mengikut imu bila kau yang ke sana." "Kalau begitu kita pergi ke Akashi lebih dulu," sahut Akio. Sebagai anak, ayah Hisao mengajarinya ketrampilan teater keliling Kikuta memainkan drum, atraksi lempar bola, menyanyikan balada kuno yang disukai penduduk desa, tentang perang zaman dulu, pertikaian, pengkhianatan dan tindakan balas dendam yang selalu mereka laku kan dalam perjalanan ke seluruh Tiga Negara. Seminggu setelah pulangnya Kazuo, Akio mulai berlatih at raksi lempar bola lagi; sandal jerami disiapkan dalam jumlah banyak, asinan persimmon dan chestnut dikumpulkan lalu dikemas, jimatjimat dikeluarkan dan dibersihkan, senjatasenjata diasah. Hisao bukanlah pemain pertunjukan yang berbakat: terlalu pemalu dan tidak menikma ti menjadi pusat perhatian, tapi kombinasi antara pukulan dan makian Akio telah menjadikanny a cukup terampil. Ia jarang membuat kesalahan, ia pun hapal semua lirik lagu-lagu, walaup un orang Halaman 133 dari 500

mengeluhkan kalau ia seperti bergumam sehingga sulit didengar. Gagasan untuk bep ergian membuat ia bersemangat sekaligus takut. Tak sabar untuk segera berada di jalan, p ergi meninggalkan desa, melihat hal-hal baru, tapi kurang bersemangat dengan pertunju kan dan gelisah meninggalkan makam kakeknya. engeluhkan kalau ia seperti bergumam sehingga sulit didengar. Gagasan untuk bepe rgian membuat ia bersemangat sekaligus takut. Tak sabar untuk segera berada di jalan, p ergi meninggalkan desa, melihat hal-hal baru, tapi kurang bersemangat dengan pertunju kan dan gelisah meninggalkan makam kakeknya. Gosaburo gembira menerima kabar dari Kazuo, dan menanyainya dengan penuh selidik . Dia tidak langsung bicara pada Akio, tapi di malam sebelum keberangkatan mereka, ketika Hi sao tengah bersiap untuk tidur, Gosaburo menghampiri pintu kamar dan meminta apakah bisa bicara berdua dengan Akio. Akio sudah setengah telanjang dan Hisao bisa melihat ekspresi kemarahan ayahnya, tapi memberi isyarat agar tamunya boleh masuk dengan menggerakkan kepala. Gosaburo melangkah ke dalam kamar, menggeser tutup pintu lalu berlutut dengan gugup. "Keponakan," ujarnya, seolah menekankan otoritas usia. "Sudah saatnya kita berun ding dengan Otori. Tiga Negara semakin kaya dan makmur sementara kita bersembunyi di pegunungan, ny aris kelaparan dan tidak lama akan musim dingin. Kita juga bisa berkembang: pengaruh k ita bisa diperluas melalui perdagangan. Hentikanlah semua pertikaian ini." Akio menjawab, "Tidak akan." Gosaburo menghela napas panjang. "Aku akan kembali ke Matsue. Aku akan pergi bes ok pagi." "Tidak ada yang boleh pergi meninggalkan keluarga Kikuta," Akio memperingatkan, suaranya datar. "Aku mulai membusuk di sini. Kita semua juga. Otori membiarkan anak-anakku tetap hidup. Mari kita terima lawarannya untuk berdamai. Aku akan setia padamu. Aku ak an bekerja untukmu di Matsue seperti yang pernah kulakukan, menyediakan dana, menyimpan cat atan...." "Begitu Takeo dan juga Taku mati, baru kita bicara tentang perdamaian," sahut Akio. "Sekarang enyahlah. Aku lelah, dan kehadiranmu membuatku jijik." Tak lama setelah Gosaburo pergi, Akio memadamkan lampu. Hisao sudah berbaring: ma lam itu

terasa hangat dan ia tidak menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Penggalan ca haya menari-nari di balik kelopak matanya. Sesaat ia berpikir tentang sepupu-sepupunya dan ingin tahu bagaimana cara mereka mati di Inuyama, tapi kemudian ia mendengarkan gerakan Akio: setiap s el dalam tubuh orang itu seakan merindukan belai kasih sayang. Kemarahan Akio membuatnya bersikap kasar dan gegabah. Hisao berusaha untuk tidak bersuara karena kekerasan yang sewaktu-waktu akan menimpa dirinya. Suara Akio terdengar h ampir lembut saat menyuruh ia tidur, jangan bangun, dan jangan pedulikan apa pun yang akan di degarnya, dan Hisao merasakan kelembutan sesaat yang amat dirindukannya saat ram butnya dibelai sang ayah. Setelah Akio pergi meninggalkan kamar, Hisao membenamkan diri di balik selimut dan berusaha menutup telinganya. Terdengar beberapa kali suara pelan, seseorang tercekik dan meronta-roma: suara berdebuk berat, diseret di atas papan, lalu ke tanah. Aku sudah tidur, kata Hisao berulang kali pada dirinya sampai tiba-tiba, sebelum Akio kembali, ia sudah tertidur nyenyak dan tanpa mimpi bak orang mati. Keesokan harinya tubuh Gosaburo tergeletak di lorong. Dia mati dibunuh dengan gar otte. Tak seorang pun berani menangisi kematiannya. "Tak ada yang boleh meninggalkan Kikuta dan bebas pergi tanpa hukuman," kata Aki o pada Hisao sewaktu mereka bersiap berangkat. "Ingat itu. Takeo dan Isamu, ayahnya, berani m eninggalkan Tribe. Isamu sudah dieksekusi, dan Takeo akan mengalami hal yang sama." dalam konflik dan kebingungan sehingga para saudagar mengambil keuntungan dari k ebutuhan pangan dan senjata para ksatria. Begitu mereka kaya, mereka tidak ingin kekayaan mereka dirampas ksatria yang sama sehingga mereka bergabung untuk melindungi barang serta usaha m ereka. Kota Halaman 134 dari 500

ini dikelilingi parit lebar yang digali untuk melindungi diri dari musuh, dan ma singmasing parit dengan sepuluh jembatannya dijaga prajurit dari masing-masing kesatuan. Ada beberapa ku il besar yang melindungi dan mendukung perdagangan, baik dalam bidang materi maupun spiritual. ni dikelilingi parit lebar yang digali untuk melindungi diri dari musuh, dan mas ingmasing parit dengan sepuluh jembatannya dijaga prajurit dari masing-masing kesatuan. Ada beberapa ku il besar yang melindungi dan mendukung perdagangan, baik dalam bidang materi maupun spiritual. Saat para penguasa semakin berkuasa, mereka mencari benda dan pakaian yang indah , karya seni dan kemewahan lain dari Shin dan daerah yang lebih jauh lagi, dan pedagang pelab uhan bebas ini menyediakan-nya dengan senang hati. Keluarga Tribe pernah menjadi pedagang yang paling berkuasa di kota itu, tapi meningkatnya kesejahteraan di Tiga Negara serta permusu han dengan Otori membuat banyak yang pindah ke Hofu. "Masa kejayaan telah berlalu," kata Jizaemon, pemilik usaha importir sukses, pada Akio saat menyambutnya dengan sikap setengah hati. "Kita harus bergerak. Ki ta bisa lebih berkiprah dalam banyak peristiwa dengan menyediakan senjata dan kebutuhan lainny a. Mari kita dukung persiapan perang, dan dari keuntungan kita bisa menghindari akibatnya." Mengira ayahnya akan bertindak seperti yang dilakukan pada Gosaburo, Hisao sedih . Ia tak ingin Jizaemon mati sebelum memperlihatkan sebagian dari nana bendanya, alat yang bisa menghitung waktu, botol kaca dan cabung minuman, cermin dan makanan baru yang lezat, manis dan pedas, kayu manis dan gula: kata-kata yang belum pernah didengarnya. Perjalanan terasa panjang dan melelahkan. Baik Akio maupun Kazuo tidak muda lagi , dan penampilan mereka sebagai seniman jalanan sudah hilang gregetnya. Lagu-lagu mere ka telah ketinggalan jaman dan tak lagi populer. Kehadiran mereka di jalanan tidak mendap at sambutan baik, bahkan di satu desa yang tidak ramah: tak seorang pun mau memberi mereka tempat menginap sehingga mereka terpaksa berjalan lagi semalaman. Saat ini Hisao tengah mengamati ayahnya, dia melihat kalau ayahnya sudah tua. Di desa kelahirannya, Akio adalah Ketua Kik uta, ditakuti dan dihormati semua orang; sementara di sini, dengan pakaian tua yang lusuh, ayahnya kelihatan seperti bukan siapasiapa. Hisao merasa iba, lalu berusaha menyingkirkan perasaan itu, kar ena rasa iba, seperti biasa, membuka dirinya pada suarasuara arwah. Sakit kepala yang tak asing mulai terasa

lagi: separuh dunia menyelinap ke balik kabut; perempuan itu berbisik, tapi ia t idak mau mendengarkan. "Baiklah, mungkin kau benar," terdengar olehnya Akio bicara, seolah dari kejauha n. "Tapi yang pasti peperangan tidak bisa dihindari selamanya. Kami sudah mendengar tentang kurir-ku rir yang dikirim Otori kepada Kaisar." "Ya, mereka berangkat hanya selang beberapa minggu sebelum kau datang: aku belum pernah melihat prosesi yang begitu mewah. Otori pasti benar-benar kaya, dan lebih dari itu, dikaruniai dengan selera dan tingkah laku serta tutur bahasa yang halus: kabarnya itu karena penga ruh istrinya..." "Dan Kaisar memiliki jenderal baru?" Akio memotong perkataan si pedagang yang penuh semangat. "Benar, dan ada lagi, sepupu, tak lama lagi jenderal itu akan memiliki senjata-s enjata baru. Kabarnya, itu sebabnya Lord Otori mencari dukungan Kaisar." "Apa maksudmu?" "Selama bertahun-tahun Otori memberlakukan embargo senjata api. Tapi baru-baru in i embargo itu dilanggar, dan senjata api diselundupkan keluar Hofu kabamya dengan bantuan Arai Z enko! Kau kenal Terada Fumio?" Akio mengangguk. "Nah, Fumio tiba dua hari setelah penyelundupan itu dan berusaha mendapatkannya k embali. Dia gusar sekali; pertamatama dia menawarkan sejumlah besar uang, lalu mengancam akan kembali dengan pasukan lalu membakar habis kota itu jika tidak dikembalikan. Tapi sudah terlambat: senjata Halaman 135 dari 500

itu sudah dalam perjalanan ke tempat Saga. Dan harga jual besi dan bubuk mesiu i tu setinggi langit, sepupu, setinggi langit!" tu sudah dalam perjalanan ke tempat Saga. Dan harga jual besi dan bubuk mesiu it u setinggi langit, sepupu, setinggi langit!" Jizaemon menuang secangkir lagi sake dan memaksa mereka minum bersamanya. "Tak ada yang memedulikan ancaman Terada," katanya tertawa kecil. "Dia tak lebih dari perompak. Dulu dia juga penyelundup. Dan Lord Otori takkan menyerang kota i tu, tidak selama dia membutuhkan pedagang itu untuk memberi makan dan mempersenjatai pasukannya." Hisao penasaran dengan jawaban Akio yang singkat. Ayahnya memang sudah mabuk ber at, dan mengangguk setuju pada semua perkataan Jizaemon, meskipun dahinya makin berkerut dan wajahnya makin muram. Hisao terbangun tengah malam mendengar ayahnya berbisik pada Kazuo. Dirasakan sel uruh ototnya menegang, dan setengah berharap mendengar lagi suara pelan pembunuhan, t api kedua orang itu tengah membicarakan hal lain: tentang Arai Zenko yang membiarkan senja ta api keluar dari jaringan Otori. Hisao tahu riwayat Zenko: putra sulung Muto Shizuka, cucu keponakan Kenji, dan s audara sepupu dirinya. Zenko satu-satunya keluarga Muto yang tidak dikutuk keluarga Kikuta: di a tak terlibat dalam kematian Kotaro, dan kabarnya dia tak sepenuhnya setia pada Takeo. Dicurigai kal au dia menyalahkan Takeo atas kematian ayahnya, dan bahkan menyimpan hasrat untuk balas dendam. "Zenko kuat sekaligus ambisius," bisik Kazuo. "Jika dia berusaha mengambil hati Lord Saga, dia pasti tengah bersiap bergerak melawan Si Anjing." "Waktu yang tepat untuk mendekati Zenko," gumam Akio. "Takeo sedang mendapat anca man dari Timur; jika Zenko menyerang dari Barat maka dia akan terjebak di antara dua wila yah tersebut." "Kurasa Zenko akan menyambutmu," sahut Kazuo. "Sejak kematian Kenji, Zenko yang seharusnya menjadi Ketua Muto. Kapan lagi waktu yang tepat untuk pergi ke keluarga Muto gun a memperbaiki keretakan dalam Tribe, guna menyatukan kembali semua keluarga?" Jizaemon, mungkin senang berhasil menyingkirkan tamunya, menyediakan surat ijin perjalanan dan memberi pakaian bam serta barang dagangan lainnya. Diaturnya agar mereka bisa be

pergian dengan kapal pedagang, dan dalam beberapa hari mereka angkat sauh ke Kumamoto melalui H ofu, memanfaatkan cuaca cerah dan tenang di akhir musim gugur.* Maya tidak bepergian sebagai putri Lord Otori, tapi dengan menyamar cara Tribe. Sebagai adik Sada, dan mereka pergi ke Maruyama untuk bertemu dengan kerabat di sana dan mencan pek erjaan setelah kematian orangtua mereka. Maya menyukai perannya sebagai anak yatim piat u, dan menyenangkan baginya membayangkan kalau orangtuanya mati karena marah, terutama pada ibunya, dan amat terluka dengan sikap kedua orangtuanya karena lebih sayang pada Sunaomi. Maya pernah melihat Sunaomi menjadi anak cengeng karena mengira melihat hantu yan g sebenarnya adalah patung Kanon maha Penyayang yang belum selesai dibuat. Maya se makin membenci rasa takut Sunaomi karena itu belum apa-apa dibandingkan apa yang perna h dilihatnya di malam yang sama, malam ketiga Perayaan Obon. Waktu itu ia mengikuti Sunaomi dengan menggunakan kemampuan Tribe, tapi saat sam pai di pantai, ada sesuatu di malam itu Halaman 136 dari 500

yang menyentuh perasaannya, dan suara si kucing berbicara dalam dirinya, mengata kan, "Lihatlah apa yang bisa kulihat!" ang menyentuh perasaannya, dan suara si kucing berbicara dalam dirinya, mengatak an, "Lihatlah apa yang bisa kulihat!" Awalnya seperti permainan: latar yang gelap dadak terang, bola matanya yang besa r menangkap semua gerakan yang ada, hewanhewan kecil berlarian ke sana kemari, getaran dedaun an, semburan air terbawa angin. Lalu tubuhnya melemas dan meregang seperti tubuh kuc ing, dan Maya menyadari kalau pantai dan hutan pinus penuh dengan hantu. Ia melihat hantu-hantu itu dengan penglihatan si kucing, wajah mereka abu-abu, ju bah mereka putih, tubuh pucat mereka mengambang di permukaan tanah. Arwah orang-orang mati itu mem alingkan pandangan ke arah Maya dan si kucing menanggapi mereka, mengenali penyesalan pahit , dendam tak berkesudahan, hasrat yang tak terpenuhi dalam diri mereka. Maya menjerit kaget; si kucing melolong. Maya berusaha kembali ke tubuh manusiany a; cakar si kucing menggaruk-garuk batu kerikil di pasir pantai: melompat ke pepohonan di se kitar rumah itu. Arwah-arwah mengejar Maya, berdesakan di sekelilingnya, sentuhan mereka terasa sedingin es di kulit hewan berbulunya. Terdengar olehnya suara-suara seperti geme risik dedaunan tertiup angin musim gugur, penuh kesedihan dan kelaparan. "Di mana Penguasa kami? Bawa kami padanya. Kami sedang menunggunya." Kata-kata mereka memenuhi dirinya bak teror yang menakutkan, meskipun tidak memah ami apa maksudnya, seperti dalam mimpi buruk ketika sepotong kalimat yang tak jelas memb uat orang yang bermimpi me rasa ketakutan setengah mati. Terdengar olehnya derak ranting patah, lalu melihat seorang laki-laki keluar dari rumah yang baru separuh hancur dengan membawa lent era. Para arwah gentayangan tadi mundur terkena sinar lentera, dan membuat bola mata Maya mengec il dan akhirnya tidak bisa lagi melihat mereka. Tapi didengarnya Sunaomi menjerit, dan juga geme ricik air ketika bocah itu kencing di celana. Penghinaan atas ketakutan Sunaomi membantu Maya men gatasi ketakutannya sendiri, cukup untuk mundur ke semak-semak dan pulang tanpa terlihat ke kastii. Ia tidak ingat bagaimana si kucing meninggalkan dirinya hingga ia kembali menjadi M aya, sama tidak jelasnya dengan apa yang membuat tubuh kucing merasuk dalam sendirinya. Tapi ia juga tak bisa me nyingkirkan ingatan akan pandangan mata si kucing dan suara-suara bergema dari arwah gentaya ngan. Di mana

Penguasa kami? Maya ketakutan setengah mati, tak ingin melihat dan mendengar dengan cara sepert i itu lagi, dan berusaha melindungi dirinya dari kerasukan arwah si kucing. Ia telah mewarisi si fat kejam dari Kikuta seiring dengan banyak bakat yang lain. Tapi kucing itu mendatanginya lewat mimpi , meminta, menakuti-nakuti dan membujuk dirinya. "Kau bisa jadi mata-mata yang sangat hebat!" seru Sada setelah malam pertama di atas kapal. "Aku lebih suka jadi mata-mata ketimbang harus menikah dengan lord," sahut Maya. "Aku ingin sepertimu, atau seperti Shizuka dulu." Maya menatap gelombang ke Timur, tempat kota Hagi hampir menghilang di kejauhan: Pulau Oshima juga terbentang jauh di belakang mereka, hanya awan di atas gunung berapi di pul au itu yang terlihat. Mereka telah melewatinya semalam, dan itu membuat Maya menyesal karena pernah me ndengar banyak cerita tentang para perompak jaman dulu dan kunjungan ayahnya kepada Lord Terada. Ia ingin melihat-nya, tapi kapal tidak boleh berangkat terlambat: angin timur laut h anya terjadi beberapa hari lagi, dan mereka membutuhkannya untuk membantu kapal melaju ke pantai Barat. "Dulu Shizuka suka melakukan sesuka hatinya," sambung Maya. "Tapi dia menikah de ngan tabib Ishida, dan kini dia sama saja seperti istri-istri yang lainnya." Sada tertawa. "Jangan meremehkan Muto Shizuka! Dia selalu jauh lebih dari yang k elihatannya." "Dia juga nenek Sunaomi," gerutu Maya. "Kau iri, Maya; itu masalahmu!" Halaman 137 dari 500

"Sangat tidak adil," sahut gadis itu. "Andai aku laki-laki, tak masalah kalau ak u kembar. Andai aku lakiSangat tidak adil," sahut gadis itu. "Andai aku laki-lak i, tak masalah kalau aku kembar. Andai aku lakilaki, Sunaomi tidak akan datang tinggal bersama kami, dan Ayah takkan berpikir untuk mengangkatnya sebagai anak!" Dan aku takkan berpikir untuk menantang pengecut ci lik itu pergi ke biara. Maya menatap Sada. "Pernahkah kau ber harap menjadi seorang laki-laki?" "Ya, sering, ketika aku masih kecil. Bahkan di kalangan Tribe, di mana perempuan diberi banyak kebebasan, anak laki-laki sepertinya lebih dihargai. Aku selalu menentang mereka , selalu berusaha mengalahkan mereka. Muto Kenji sering bilang itu sebabnya kenapa aku tumbuh besar sama tinggi dan kuatnya seperti laki-laki. Dia mengajariku cara meniru anak laki-laki, bicara dengan gaya bahasa mereka dan menirukan gerakan mereka. Kini aku bisa jadi laki-laki atau perempuan , dan itu sebabnya aku menyukainya." "Kenji mengajarkan kita hal yang sama!" seru Maya, karena seperti semua anak-ana k Tribe, ia belajar bicara dengan gaya bahasa laki-laki dan perempuan, serta gerakan, dan bisa berti ngkah seperti keduanya. Sada mengamatinya. "Ya, kau bisa menjadi laki-laki." "Benar, aku tidak menyesal disuruh pergi jauh," Maya berusaha meyakinkan. "Karen a aku suka padamu dan aku sayang pada Taku!" "Semua orang menyayangi Taku," Sada tertawa. Maya tidak sempat menangkap lebih banyak lagi bahasa pelaut yang menggoda dan ny aris tak bisa dimengerti karena gelombang laut mulai naik. Gerakan kapal yang naik turun membu atnya pusing dan tubuhnya terasa tidak enak. Sada merawatnya tanpa mengeluh atau kata-kata bersim pati, memegang tengkuknya sewaktu ia muntah dan setelah itu mengelap wajahnya, membujuknya untuk minum teh untuk membasahi bibirnya. Ketika sampai di tahap yang paling buruk, Maya berbarin g di pangkuan Sada yang melingkarkan lengannya yang panjang dan dingin di alis Maya. Sada seperti m erasa kalau di balik kulit Maya ada sifat hewan, bak kulit bulu hewan, gelap, padat dan bera t, tapi juga lembut untuk disentuh. Maya merasakan sentuhan itu seperti sentuhan seorang pengasuh at au seorang ibu; ia tersadar ketika kapal berbelok mengitari tanjung tepat saat angin berubah ara h dan angin barat berhembus membawa mereka ke tepi pantai, lalu menatap wajah Sada yang tajam, den gan tulang pipi tinggi seperti anak laki-laki, dan berpikir betapa bahagianya bisa selamanya ber

baring di dalam pelukannya, dan merasakan sekujur tubuhnya bereaksi dengan menggeliat. Pada saat itu hasrat menyelimuti dirinya pada gadis yang lebi h tua itu, kombinasi antara kekaguman dan kebutuhan: itu pertama kalinya Maya jatuh cinta. Diregangka n tubuhnya untuk memeluk Sada, melingkarkan lengan di tubuhnya, merasakan otot kuat seperti otot la kilaki, dan kelembutan yang tak terduga dari buah dadanya. Diusap-usapkan hidungnya ke leher Sada, hampir seperti anak kecil, sekaligus seperti hewan. "Kuanggap sikapmu ini berarti kau sudah baikan?" tanya Sada, balas memeluknya. "Sedikit. Tadi rasanya sakit sekali. Aku tak ingin naik kapal lagi!" Maya berhen ti sebentar lalu melanjutkan, "Kau mencintaiku Sada?" "Pertanyaan apa itu?" "Aku bermimpi kau mencintaiku. Tapi aku tidak yakin apakah aku bermimpi, alaukah ...." "Atau apa?" "Atau si kucing." "Mimpi sepeni apa yang dialami kucing itu?" tanya Sada dengan enggan. "Mimpi yang dialami hewan." Maya tengah menatap ke pantai di kejauhan, bukit Halaman 138 dari 500

ditumbuhi pinus di atasnya yang muncul dari air laut berwarna biru tua, bebatuan hitam yang berada di tepiannya dengan ombak keabuan hijau dan putih. Permukaan air di sekitar telu k lebih tenang, dan sampai ke muara, rak kayu penopang rumput laut dan kapal nelayan berbadan cembun g tengah ditarik ke pantai, tempat rumput laut tumbuh. Orang-orang meringkuk di tepi pant ai, membetulkan jala dan menjaga agar api unggun tetap menyala yang memaksa garam keluar dari air lau t. itumbuhi pinus di atasnya yang muncul dari air laut berwarna biru tua, bebatuan hitam yang berada di tepiannya dengan ombak keabuan hijau dan putih. Permukaan air di sekitar telu k lebih tenang, dan sampai ke muara, rak kayu penopang rumput laut dan kapal nelayan berbadan cembun g tengah ditarik ke pantai, tempat rumput laut tumbuh. Orang-orang meringkuk di tepi pant ai, membetulkan jala dan menjaga agar api unggun tetap menyala yang memaksa garam keluar dari air lau t. "Aku tak tahu kalau kau mencintaiku," goda Sada. "Tapi aku memang menyayangi kuc ing itu!" Diraih lalu diusapnya leher Maya seakan-akan sedang membelai kucing, dan punggung gadis itu melengkung karena nyaman. Sada mengira hampir bisa merasakan lagi bulu di jari je marinya. "Kalau kau terus lakukan itu, kurasa aku akan berubah menjadi si kucing," ujar M aya sambil melamun. "Aku yakin kelak ini bisa berguna." Nada suara Sada terdengar praktis. Maya menyeringai. "Itu sebabnya aku menyukai Tribe," sahutnya. "Mereka tidak keb eratan kalau aku ini anak kembar, atau roh si kucing merasuki diriku. Apa pun yang berguna bagi mereka, baik adanya. It u menurutku. Aku tidak mau kembali pada kehidupan di istana, atau kastil. Aku akan tinggal bersam a Tribe." "Kita lihat apa pendapat Taku!" Maya tahu Taku adalah guru yang tegas dan tidak punya perasaan sentimentil, tapi ia takut kalau gurunya itu terpengaruh dengan kewajiban pada ayahnya sehingga cenderung memperl akukannya dengan pengecualian. Ia tak tahu mana yang lebih buruk: diterima oleh Taku hanya karena ia adalah putri Otori, atau ia ditolak karena kurang trampil. Di satu saat ditemukan dirin ya mengira kalau Taku akan mengenyahkannya karena tak mampu menolongnya; atau sebaliknya kagum dengan segala yang bisa dilakukannya dan semua potensi dirinya. Akhirnya akan jadi sesuatu di antara dua hal: tidak terlalu kecewa, tapi juga tidak terlalu memuaskan. Muara berpasir terlalu dangkal untuk dimasuki kapal, dan mereka turun dengan men

ggunakan tali ke perahu nelayan yang reot. Perahu-perahu itu sempit dan tidak stabil; para awakny a tertawa ketika Maya memegang erat-erat bagian pinggir atas dari sisi perahu, serta berusaha menarik Sada ke dalam percakapan cabul saat mengayuh ke hulu, ke kota Maruyama. Kastil berdiri di atas bukit kecil di atas sungai dan kota yang menyebar di seke lilingnya. Bangunannya kecil dan indah, berdinding putih dan beratap abu-abu, terlihat mirip burung yang baru saja beristirahat, sayapnya masih membentang, sinar matahari mewarnainya dengan warna merah muda. Maya mengenalnya dengan baik dan sering tinggal di sana bersama ibu dan saudarasaudaranya, tapi hari ini tujuannya bukan ke kastil itu. Ia terus merendah kan pandangan mata dan tidak bicara dengan siapa pun agar tidak dikenali. Sesekali Sada berbic ara kepadanya dengan kasar, membentaknya agar tidak berjalan dengan menggesekkan kaki ke tanah . Maya menyahut, ya kak, tentu kak, sambil berjalan tanpa mengeluh, walaupun perjalanan nya jauh dan bawaannya banyak. Hari sudah hampir gelap saat mereka tiba di rumah yang memanja ng sampai ke sudut jalan. Jendelanya dipalang dengan kayu, dan atap rendahnya memanjang sampa i ke pinggiran atap. Di satu sisinya adalah toko depan, yang kini tutup dan sepi. Dipasang ke dinding satunya, ada gerbang besar. Dua laki-laki berdiri di luar dengan bersenj ata pedang dan tombak lengkung panjang. Sada bicara kepada salah satunya. "Apakah mengira akan ada serangan, sepupu?" "Ini dia masalah datang," sahutnya. "Apa yang kau lakukan? Siapa anak itu?" "Adikku, kau ingat padanya?" "Pasti bukan Mai!" "Bukan, bukan Mai, Maya. Kita masuk saja dulu. Nanti akan kuceritakan. Taku ada di Maruyama?" imbuhnya selagi gerbang dibuka lalu mereka menyelinap masuk. Halaman 139 dari 500

"Ya, dia datang beberapa hari lalu. Dia bersama Lord Kono, dari Miyako, dan Lord Sugita sedang menghibur mereka. Dia belum mampir seperti biasa. Kami akan beri tahu kalau kau dan adikmu ada di sini." Ya, dia datang beberapa hari lalu. Dia bersama Lord Kono, dari Miyako, dan Lord Sugita sedang menghibur mereka. Dia belum mampir seperti biasa. Kami akan beri tahu kalau kau dan adikmu ada di sini." "Mereka kenal aku?" bisik Maya sewaktu Sada meng-gandengnya melewati taman yang gelap ke pintu masuk. "Ya. Tapi mereka juga tahu kalau ini bukan urusan mereka, jadi mereka takkan bic ara banyak." Maya membayangkan bagaimana seorang laki-laki atau perempuan menyamar sebagai prajuri t, penjaga atau pelayan: mereka mendekati Taku dengan komentar tentang kuda atau makanan, lalu menambah sepotong kalimat yang kedengaran sembarangan, lalu Taku bisa tahu.... "Mereka akan memanggilku apa?" ia bertanya pada Sada seraya melangkah ringan ke a tas beranda. "Memanggilmu? Dengan nama apa?" "Apa nama rahasiaku yang hanya diketahui Tribe?" Sada tertawa hingga kehabisan suara. "Mereka akan mengarangnya. Anak Kucing, bar angkali." Anak Ku ci ng sudah kembali malam ini. Maya hampir bisa mendengar suara pelayan memutus kan kalau pelayan itu perempuan berbisik di telinga Taku selagi membungkuk membasuh kaki Tak u, atau menuang sake untuknya, dan kemudian ... apa yang akan Taku lakukan? Maya merasakan agak tahu: apa pun yang akan terjadi tidak akan mudah. Ia harus menunggu sampai dua hari. Tidak ada waktu untuk bosan atau cemas, karen a Sada menyibukkannya dengan berbagai latihan Tribe yang tak ada akhirnya, karena kemamp uan Tribe bisa selalu dikembangkan, dan tak seorang pun, bahkan Muto Kenji atau Kikuta Kotaro, menguasainya dengan sempurna. Dan Maya hanyalah anak k ecil: waktunya masih banyak. Ia latihan berdiri tak bergerak dalam waktu lama, meregangkan dan me lipat tubuh agar tetap lemas, latihan mengingat dan mengamati, bergerak cepat hingga nyaris tak terlihat dan menggunakan sosok kedua. Maya lakukan semua itu tanpa mengeluh karena sudah memut uskan untuk mencintai Sada tanpa syarat, dan berusaha membuatnya senang.

Di senja hari kedua, setelah malam menjelang dan mereka selesai makan, Sada member i isyarat pada Maya yang tengah menaruh mangkuk di nampan karena di rumah ini dia bukan lagi putri Lord Otori tapi gadis termuda sehingga menjadi pelayan bagi semua orang. Diselesaikan tugasnya, membawa nampan ke dapur, lalu melangkah keluar beranda. Di ujung beranda, Sada be rdiri sambil memegang lentera. Maya bisa melihat wajah Taku, separuh terkena sinar, se paruh dalam kegelapan. Maya menghampiri lalu berlutut di hadapannya, tapi sebelumnya ia mengamati reaks i di wajah Taku. Saat wajah itu terlihat lelah, ekspresi wajah yang tegang, dan bahkan kesal, hati Maya terpuruk. "Guru," bisiknya. Taku mengerutkan dahi, dan memberi isyarat pada Sada untuk mendekatkan lentera. Maya merasakan panasnya lentera di pipinya, lalu menutup mata. Cahaya lentera berkeda p-kedip di balik kelopak matanya. "Pandang aku," kata Taku. Mata Taku yang hitam, buram, menatap lurus ke arahnya. Maya menahan tatapan mata Taku tanpa berkedip, membuat pikirannya kosong, tidak membiarkan ekspresi yang menunjukkan kelemahannya terlihat; dan di waktu yang bersamaan tidak berani mencari-cari ada ekspresi apa di wajah Taku. Tapi ia tak mampu mempertahankan diri dari Taku: merasakan seolah ada semacam bias si nar, atau pikiran, menembus dirinya, melihat rahasia yang ia sendiri , tidak tahu ada dala m dirinya. "Uhhh," gerutu Taku, tapi Maya tak tahu apakah gerutuan itu karena Taku setuju a tau terkejut. "Mengapa ayahmu mengirimmu padaku?" Halaman 140 dari 500

"Menurut Ayah aku dirasuki roh kucing," sahutnya pelan. "Ayah mengira Kenji kemu ngkinan mewariskan ilmu Tribe Menurut Ayah aku dirasuki roh kucing," sahutnya pelan. "Ayah mengira Kenji kemun gkinan mewariskan ilmu Tribe tentang hal-hal seperti ini kepadamu." "Tunjukkan padaku." "Aku tidak mau," sahut Maya. "Biarkan aku melihat roh kucing ini, kalau memang ada di sana." Suaranya mengand ung kecurigaan dan tak acuh. Maya bereaksi dengan marah. Kemarahan menjalar ke sekujur tubuhnya , langsung dan bukan seperti manusia, membuat tubuhnya melembut dan meregang, bulunya beriak; t elinganya menegak dan memamerkan giginya, bersiap menerkam. "Cukup," kata Taku pelan, lalu menyentuh pipi Maya dengan lembut. Hewan itu menu rut dengan sendirinya, lalu mengeong. "Kau tak memercayaiku," kata Maya datar. Tubuhnya gemetar. "Bila sebelumnya aku tak percaya, maka kini aku percaya," sahutnya. "Sangat menar ik. Pertanyaannya yaitu, bagaimana kita bisa memanfaatkannya? Pernahkah kau berubah wujud hingga benar-benar menjadi kucing?" "Pernah, sekali," akunya. "Aku membuntuti Sunaomi ke kuil Akane lalu melihatnya k encing di celana!" Taku mendengar sesuatu di balik keberanian yang dibuat-buat itu. "Lalu?" tanyanya. Maya tidak menjawab selama beberapa saat; kemudian ia bergumam, "Aku tak mau mel akukannya lagi! Aku tidak menyukai perasaan yang menyertainya." "Tidak ada hubungannya kau suka atau tidak," sahut Taku. "Jangan buang waktu. Ka u harus berjanji kalau kau hanya akan melakukan apa yang Sada atau aku pinta, tidak pergi sendiri sesuka hatimu, jangan ambil resiko, jangan menyimpan rahasia pada kami." "Aku bersumpah." "Ini bukan waktu yang tepat," kata Taku dengan agak kesal pada Sada. "Aku sedang berusaha mengawasi Kono, dan mengawasi kakakku kalau-kalau dia bertindak yang tak terduga . Tetap saja, bila Takeo memintanya, kurasa sebaiknya aku menjaga agar Maya tetap di dekatku. Kau bisa ikut ke kastil denganku besok. Dandani dia seperti anak laki-laki, tapi tinggallah di si ni. Terserah kau mau menjadi apa, tapi di sini ia harus tetap sebagai anak perempuan. Sebagian besar

penghuni rumah ini sudah mengenalnya; dia harus dilindungi sebaik-baiknya sebagai putri Lord Otori. Aku akan memperingatka n Hiroshi. Apa akan ada orang lain yang bisa mengenalimu?" "Tak seorang pun berani menatap langsung padaku," tutur Maya. "Karena aku anak k embar." "Anak kembar cukup istimewa di kalangan Tribe," tutur Taku. "Tapi di mana adikmu ?" "Dia di Hagi dan akan segera pergi ke Kagemura." Mendadak rasa sakit hati menerja ng diri Maya karena merindukan Miki, Shigeko dan orangtuanya. Aku di sini seperti anakyatim p iatu, pikimya, atau orang yang diasingkan. Mungkin aku akan menjadi seperti Ayah, ditemukan di desa terpencil dengan lebih banyak bakat yang dimiliki orang Tribe lainnya. "Sekarang pergi tidur," kata Taku tibatiba. "Ada yang harus kubicarakan dengan Sa da." "Guru." Maya membungkuk normal dengan patuh dan mengucapkan selamat malam kepada keduanya. Tidak lama setelah ia masuk ke dalam rumah, seorang pelayan mendekatin ya lalu menyuruhnya menyiapkan alas tidur. Dibukanya lipatan matras lalu membentangkan selimut, berjalan pelan melewati kamar-kamar panjang dan rendah ru mah itu. Angin berhembus dan bersiul melalui celahnya, membawa musim gugur, tapi Maya tidak mer asa Halaman 141 dari 500

kedinginan. Didengarkannya suara-suara dari taman. Mereka menyuruhnya pergi tidu r dan ia mematuhinya, tapi mereka tidak melarangnya untuk mendengarkan. edinginan. Didengarkannya suara-suara dari taman. Mereka menyuruhnya pergi tidur dan ia mematuhinya, tapi mereka tidak melarangnya untuk mendengarkan. Maya mewarisi pendengaran tajam ayahnya, dan kini semakin peka. Ketika akhirnya i a berbaring, dipasang telinganya baik-baik, berusaha menyaring bisik-bisik dari para gadis ya ng berbaring di sisi kanan dan kirinya. Perlahan-lahan akhirnya mereka terdiam, suara pelan mereka ber ganti dengan nyanyian terakhir serangga musim panas, meratapi musim dingin yang akan datang d an kematian mereka. Didengarnya kepakan sayap burung hantu yang tenang sewaktu terbang melew ati taman, dan menghembuskan napas dengan amat perlahan hingga nyaris tak terdengar. Sinar r embulan membentuk kisi-kisi di layar kertas; bulan menarik darahnya dengan keras, membuatn ya mengalir cepat melalui urat nadinya. Di kejauhan Taku berkata, "Aku ajak Kono kemari agar dia bisa melihat kesetiaan di Maruyama kepada Otori. Aku cemas Zenko telah membiarkannya percaya bahwa Seishuu hendak memberontak, dan bahwa wilayah Barat takkan berpihak kepada Takeo." "Bisakah Hiroshi dipercaya?" gumam Sada. "Kalau tidak, akan kugorok leherku," sahut Taku. Sada tertawa. "Kau tidak akan bunuh diri, sepupu." "Kuharap aku tidak harus melakukannya. Aku mungkin akan melakukannya karena bosa n harus bersama Lord Kono lebih lama lagi." "Maya akan menjadi hiburan yang menyenangkan, bila kau takut merasa bosan." "Atau tanggung jawab lain yang tak bisa kuhindari!" "Kenapa kau terkejut saat menatap matanya?" "Aku mengharapkan tatapan anak perempuan. Yang kulihat bukanlah seperti anak per empuan: sesuatu yang tak berwujud, menanti untuk menemukan wujudnya." "Apakah arwah seorang laki-laki, atau sesuatu yang berhubungan dengan kerasukan si kucing?" "Aku sungguh-sungguh tidak tahu. Sepertinya berbeda. Maya unik kemungkinan sangat kuat." "Dan berbahaya?" "Mungkin. Terutama sekali bagi dirinya sendiri." "Kau lelah." Sesuatu dalam nada suara Sada yang membuat tubuh Maya gemetar denga n gabungan

antara kerinduan dan kecemburuan. Sada berkata, lebih pelan lagi, "Mari, kupijat dahimu." Sesaat hening. Maya menahan napas. Taku menghembuskan napas panjang. Ada semacam

kekuatan hasrat jatuh di taman yang gelap, pada pasangan yang tidak terlihat. Ma ya tidak tahan mendengarnya, lalu menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Lama setelah itu, sepertinya Maya mendengar langkah kaki di beranda. Taku bicara dengan suara pelan, "Aku tidak mengharapkan itu!" "Kita tumbuh dewasa bersama," sahut Sada. 'Tidak perlu berarti apa-apa." "Sada, tidak ada yang terjadi di antara kita yang tidak berani apa-apa." Taku be rhenti sejenak seolah ingin berkata lagi, tapi lalu berkata dengan singkat, "Aku akan menemuimu dan May a besok pagi. Bawa dia ke kastil saat tengah hari." Sada masuk ke kamar perlahan lalu berbaring di sebelah Maya. Berpura-pura tertidur , Maya berbalik menghadapnya, menghirup aroma tubuh itu bercampur dengan aroma Taku masi h teninggal Halaman 142 dari 500

di tubuhnya. Ia tidak dapat memutuskan mana yang paling ia cintai: ia ingin meme luk mereka berduatubuhnya. Ia tidak dapat memutuskan mana yang paling ia cintai: ia ingin memeluk mereka berdua. Pada saat itu Maya merasakan dirinya menjadi milik mereka selamanya. Keesokan harinya Sada membangunkannya pagi-pagi lain bersiap memotong rambutnya yang panjang sebahu dan menariknya ke belakang dan diikat ke atas, membiarkan dahinya tidak dicukur, seperti laki-laki yang masih di bawah umur. "Kau bukanlah gadis yang cantik," kata Sada seraya tertawa. "Tapi bisa menjadi a nak laki-laki yang tampan. Membentak sedikit lagi, lalu katupkan bibirmu. Kau tidak boleh kelihatan cantik! Nanti ada ksatria yang membawamu kabur." Maya mencoba mengatur tubuh agar terlihat lebih mirip anak laki-laki, tapi rasa s enang, rambut dan pakaiannya yang masih terasa asing membuat matanya berkilat dan pipinya bersemu merah. "Tenang," Sada menghardiknya. "Kau jangan terlalu menarik perhatian. Kau adalah salah seorang pelayan Lord Taku; pelayan yang terendah derajatnya." "Apa yang nanti harus kulakukan?" "Sedikit sekali, kuharap. Beajarlah mengatasi rasa bosan." "Seperti Taku," sahut Maya tanpa pikir panjang. Sada mencengkeram lengannya. "Kau mendengarnya mengatakan itu? Apa lagi yang kau dengar?" Maya menjauhkan diri dari gadis itu. Selama beberapa saat ia tidak membuka mulut , tapi kemudian ia berkata, "Aku dengar semuanya." Sada tidak bisa menahan senyum. "Jangan bilang pada siapa-siapa," gumamnya, deng an nada mendukung. Ditariknya Maya lalu dipeluknya. Maya balas memeluk, merasakan panas tubuhnya, dan berharap Sada adal ah Taku.*

Sebagian laki-laki mengutamakan cinta, tapi Muto Taku bukanlah salah satunya, at au berhasrat ingin mengabdikan diri hanya untuk orang yang dicintai. Menurutnya perasaan berlebihan semacam itu aneh, bahkan menjijikkan, dan selalu menertawai orang yang tergila-gila karena ci

nta, terangterangan membenci kelemahan mereka. Ketika ada perempuan menyatakan terang-terangan mencintainya, seperti yang sering terjadi, Taku justru menjauhkan diri. Ia menyu kai perempuan, dan semua kesenangan yang bisa dinikmati dari tubuh perempuan, menyayangi juga memerc ayai istrinya untuk mengatur rumah tangga, mengasuh anak-anak dengan baik dan setia ke padanya, tapi gagasan bersikap setia kepada istrinya tidak pernah melintas di benaknya. Maka i ngatan yang tak mau pergi di benaknya tentang keintiman yang terjadi tiba-tiba serta tidak dihar apkan bersama Sada mengganggu pikirannya. Kejadian seperti itu belum pernah dialaminya, hasrat yang begitu bes ar, kepuasan yang begitu menusuk serta sempurna; tubuh Sada yang sama tinggi dan kuat dengan tubuh nya, hampir seperti tubuh laki-laki namun sekaligus tubuh perempuan; hasrat keperempuanan Sa da yang menanggapi hasrat dirinya, berserah diri kepadanya. Taku hampir tidak bisa tidur, hanya menginginkan kehadiran Sada di sisinya. Dan saat bicara dengan Sugita Hiroshi di taman kastil di Maruyama, ia sulit berkonsentrasi pada apa yang sedang dibicarakan. Kita tumbuh de wasa bersama. Tidak perlu berarti apa-apa, kata Sada waktu itu, dan dia berubah dari teman, hampir Halaman 143 dari 500

seperti adik, menjadi kekasih; dan Taku pun berkata, tanpa tahu dari mana datangn ya katakata ini, Tak ada hal yang terjadi di antara kita yang tidak berarti apa-apa. eperti adik, menjadi kekasih; dan Taku pun berkata, tanpa tahu dari mana datangny a katakata ini, Tak ada hal yang terjadi di antara kita yang tidak berarti apa-apa. Taku mengalihkan kembali perhatiannya pada kawannya. Mereka sebaya, beranjak dua puluh tujuh saat tahun baru nanti. Taku berperawakan kuat dan sulit digambarkan, wajah yang mudah berubahubah ekspresi khas Muto, sedangkan Sugita Hiroshi dianggap tampan, setengah kepala leb ih tinggi dari Taku dan berbahu lebih bidang, dengan kulit pucat dan bentuk tubuh gagah kh as klas ksatria. Saat masih kecil, mereka berdua sering bertengkar dan saling bersaing merebut pe rhatian Takeo, mereka pernah menjinakkan kuda-kuda jantan bersama, dan sejak itu terikat oleh h ubungan persahabatan yang amat dalam. Saat itu masih pagi, cuaca tampak cerah di musim gugur ini. Langit biru pucat te rang bak telur burung, matahari baru saja mulai mengangkat kabut dari tum-pukan jerami berwarna keemasa n di sawah. Ini kesem-patan pertama bagi kedua laki-laki ini bisa bicara berdua sejnk kedatangan Taku bersama Lord Kono. Mereka membicaraknn tentang pertemuan yang akan datang dengan Lord Ot ori dan Arai Zenko, yang diadakan dalam beberapa minggu mendatang di Maruyama. "Takeo dan Lady Shigeko sudah harus di sini pada bulan purnama berikutnya," kata Hiroshi, "tapi kedatangan mereka agak tertunda karena mereka ke Terayama untuk ziarah ke makam M atsuda Shingen." "Pasti Takeo sedih kehilangan dua gurunya di tahun yang sama. Dia belum bisa melupakan kematian Kenji," komentar Taku. "Kepergian Matsuda tidak semendadak atau mengejutkan seperti kematian Kenji. Kep ala Biara kami sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun, waktu yang luar biasa panjang. Dan beliau memiliki penerus yang layak. Seperti yang dimiliki pamanmu pada dirimu. Kau akan serasi d engan Lord Takeo seperti layaknya Kenji." "Aku merindukan ketrampilan dan pengetahuan pamanku," aku Taku. "Tampaknya keadaa n semakin rumit setiap minggunya. Niat buruk kakakku, yang bahkan aku sendiri tak bisa mem ahaminya; Lord Kono dan tuntutan dari Kaisar; penolakan Kikuta untuk berunding...." "Selama aku di Hagi, kesibukan Takeo tampak tidak seperti biasa," tutur Hiroshi ragu-ragu.

"Baiklah, terlepas dari kesedihan dan urusan-urusan negara ini, dia memiliki kek hawatiran lain, kurasa," sahut Taku. "Kehamilan Lady Otori, masalah putriputrinya." "Terjadi sesuatu pada Lady Shigeko?" sela Hiroshi. "Dia dalam keadaan sehat keti ka aku bertemu dengannya belum lama ini...." "Sejauh yang kutahu, dia baik-baik saja. Masalah si kembar," ujar Taku. "Maya ik ut bersamaku di sini; aku harus memperingatkanmu kalau-kalau kau mengenalinya." "Di sini bersamamu?" ulang Hiroshi merasa terkejut. "Dia berpakaian seperti anak laki-laki. Barangkali kau bahkan tidak memerhatikann ya. Dia dirawat seorang perempuan muda yang juga menyamar menjadi laki-laki, kerabat jauh keluar gaku: namanya Sada." Sebenarnya ia tidak perlu menyebut nama itu, namun ia tak mampu menahan diri: Ak u terobsesi, pikirnya. "Zenko dan Hana akan datang," seru Hiroshi. "Mereka pasti akan mengenalinya!" "Hana mungkin saja. Tidak banyak yang luput dari pandangannya." "Memang benar," Hiroshi setuju. Mereka berdua terdiam sesaat, kemudian tertawa d i saat bersamaan. Halaman 144 dari 500

"Kau tahu," kata Taku, "orang bilang kau tidak bisa melupakannya, dan itu sebabn ya kau tidaKau tahu," kata Taku, "orang bilang kau tidak bisa melupakannya, dan itu sebabnya kau tidak menikah!" Mereka sudah pernah membicarakan masalah ini, tapi keingintahuan Taku b angkit oleh obsesi barunya sendiri. "Memang benar ada saat ketika aku sangat bersemangat ingin menikah dengannya. Ku kira aku memujanya dan amat menginginkannya menjadi bagian dari keluarga itu ayah kandungku, seperti yang kau tahu, gugur dalam perang, dan paman beserta putranya lebih memilih untu k mencabut nyawa ketimbang menyerah pada Arai Daiichi. Aku tidak memiliki keluargaku sendir i; ketika Maruyama habis karena gempa bumi, aku tinggal di kediaman Lord Takeo. Tanah mili k keluargaku dikembalikan ke wilayah kekuasaan itu. Aku dikirim ke Terayama untuk mempelajari Ajaran Houou. Saat itu aku masih sama bodoh dan angkuhnya dengan para pemuda pada umumnya. Kuk ira nantinya Takeo akan mengangkatku sebagai putranya, terutama ketika dia tidak pun ya anak laki-laki." Hiroshi tersenyum mengejek dirinya sendiri namun tanpa perasaan getir. "Jangan s alah paham. Aku tidak kecewa atau pun tertekan. Aku melihat panggilan hidupku adalah untuk melayani; a ku senang menjadi pengurus Maruyama dan mempertahankannya untuk Lady Shigeko. Bulan depan d ia akan menerima wilayah itu; aku akan kembali ke Terayama, kecuali kalau dia memintaku berada di sini." "Aku yakin Lady Shigeko akan membutuhkanmu setidaknya selama satu atau dua tahun. T ak perlu mengubur diri di Terayama bak pertapa. Kau harus menikah dan punya anak. Sementa ra itu untuk tanah, Takeo atau Shigeko akan memberi apa pun yang kau minta." "Tidak semua yang kuminta," sahut Hiroshi pelan, nyaris bicara pada dirinya send iri. "Jadi kau masih tergila-gila pada Hana." 'Tidak, aku cepat pulih dari perasaan itu. Hana memang cantik, tapi aku senang k akakmu yang menjadi suaminya." "Akan lebih baik bagi Takeo bila kau yang menikah dengannya," ujar Taku, penasar an apa lagi yang menahan Hiroshi tidak ingin menikah. "Mereka saling mengisi ambisi," Hiroshi sepakat, dan dengan tangkasnya mengubah topik pembicaraan. "Tapi kau belum mengatakan alasan Maya berada di sini."

"Dia perlu dijauhkan dari sepupusepupunya yang kini berada di Hagi, dan dari kembar annya. Dan harus ada yang meng awasinya terus-menerus, itu sebabnya Sada ikut bersamanya. Aku harus selalu menga wasinya juga. Aku tak bisa menjelaskan semua alasannya. Aku mengandalkanmu untuk menutupi keti dakhadiranku dan menghibur Lord Kono dan sebelum aku lupa, meyakinkan agar klan Seishuu benarbenar s etia pada Otori." "Apakah anak itu dalam bahaya?" "Dialah yang bahaya," sahut Taku. "Tapi kenapa dia tidak datang secara terbuka, sebagai putri Lord Otori, dan tingg al di sini seperti yang sudah sering dilakukannya?" Ketika Taku tidak segera menjawab, Hiroshi berkata, "Pada dasarnya kau memang su ka intrik, akui saja!" "Dia lebih berguna bila tidak dikenali," ujar Taku akhirnya. "Lagipula dia adala h anak dari kalangan Tribe. Bila dia menjadi Lady Otori Maya, maka hanya sampai sebatas itu perannya; sedangkan di Tribe dia bisa mengambil berbagai peran yang berbeda." "Kurasa dia bisa melakukan semua tipuan yang kau gunakan untuk menggodaku," kata Hiroshi tersenyum. Halaman 145 dari 500

"Tipuan-tipuan itu, sebagaimana kau menyebutnya, pernah menyelamatkanku lebih dar i sekali!" sahut Taku dengan pedas. "Selain itu, aku percaya Ajaran Houou juga memiliki tip uan!" Tipuan-tipuan itu, sebagaimana kau menyebutnya, pernah menyelamatkanku lebih dari sekali!" sahut Taku dengan pedas. "Selain itu, aku percaya Ajaran Houou juga memiliki tip uan!" "Para Guru Besar, seperti Miyoshi Gemba dan Makoto, memiliki banyak kemampuan ya ng kelihatannya supernatural, tapi sebenarnya itu adalah hasil dari latihan selama b ertahun-tahun dan pengendalian diri." "Baiklah, kurang lebih sama dengan Tribe. Kemampuan kami mungkin saja berasal da ri keturunan, tapi tidak ada artinya tanpa latihan. Tapi apa para Guru Besarmu berhasil membuj uk Takeo agar tidak berperang, baik di Wilayah Timur atau pun di Wilayah Barat?" "Ya, saat datang nanti dia akan memberitahukan pada Lord Kono bahwa utusan khusus kami dalam perjalanan ke Miyako untuk menyiapkan kunjungan tahun depan." "Apakah menurutmu kunjungan ini bijaksana? Bukankah Takeo justru menempatkan diri di bawah kekuasaan jenderal baru ini, Si Pemburu Anjing?" "Tindakan apa pun yang menghindari perang adalah tindakan yang bijaksana," sahut Hiroshi. "Maaf, tapi ini adalah kata-kata aneh yang keluar dari mulut seorang ksatria!" "Taku, kita berdua menyaksikan ayah kita mati di depan mata kepala kita..." "Ayah, paling tidak, pantas mati! Aku takkan lupa saat itu ketika kupikir Takeo s eharusnya membunuh Zenko..." "Ayahmu bertindak dengan benar, menurut keyakinan dan kode kehormatannya," tutur Hiroshi tenang. "Dia mengkhianati Takeo setelah bersumpah untuk bersekutu dengannya!" seru Taku. "Tapi bila dia tidak bertindak seperti itu, cepat atau lambat Takeo juga akan me nyerangnya. Ini wajar dalam masyarakat kita. Kita bertempur sampai bosan, dan setelah beberapa tahun b osan dengan kedamaian lalu berperang lagi. Kita menyembunyikan hasrat haus darah dan hasrat untuk balas dendam dengan kode etik kehormatan, yang kita langgar sendiri ketika tampak pant as dilakukan." "Apa benar kau belum pernah membunuh seorang pun?" tanya Taku sekonyongkonyong. "Aku diajari banyak cara untuk membunuh, dan belajar strategi perang sebelum beru

mur sepuluh tahun, tapi aku belum pernah bertarung dalam penempuran yang sesungguhnya, dan a ku belum pernah membunuh siapa pun. Kuharap takkan pernah." "Saat nanti kalau kau di medan perang, kau akan berubah pikiran," kata Taku. "Ka u akan mempertahankan diri layaknya semua orang." "Barangkali. Untuk sementara ini aku akan lakukan apa pun untuk menghindari pera ng." "Aku khawatir kalau kakakku dan Kaisar akan membawamu ke kancah peperangan. Teru tama karena kini mereka sudah memiliki senjata api. Kau bisa pastikan kalau mereka takkan ti nggal diam sampai mereka menjajal habis-habisan senjata baru mereka." Ada gerakan di ujung taman, dan seorang penjaga berlari menghampiri lalu berlutu t di depan Hiroshi. "Lord Kono sudah datang. Lord Sugita!" Dengan kehadiran si bangsawan, sikap mereka berdua agak berubah: Taku menjadi le bih waspada, tapi Hiroshi tampak lebih terbuka dan ramah. Kono ingin melihat berbagai kota dan pedesaan sehingga mereka melakukan banyak ekspedisi. Si bangsa wan ditandu mewah yang berlapis emas, sedangkan kedua pemuda itu menunggang kuda, anak-anak R aku. Cuaca musim gugur tetap cerah dan terang, warna dedaunan semakin hari semakin tu a. Hiroshi dan Taku menjelaskan kepada Kono tentang kekayaan wilayah itu, pertahanan serta juml ah tentara, kepuasan penduduknya, dan kesetiaan mutlaknya pada Lord Otori. Si bangsawan mene rima semua Halaman 146 dari 500

informasi ini dengan sopan santunnya yang tenang seperti biasa, hingga perasaann ya yang sebenarnya tidak diketahui. nformasi ini dengan sopan santunnya yang tenang seperti biasa, hingga perasaanny a yang sebenarnya tidak diketahui. Terkadang Maya turut dalam perjalananperjalanan ini, menunggang kuda milik Sada, sesekali menemukan dirinya berada cukup dekat dengan Kono dan para penasihatnya untuk men dengarkan apa yang mereka gumamkan. Percakapannya kedengaran tidak menarik dan sepele, tap i ia mengingat dan mengulang kata demi kata untuk Taku sewaktu datang ke rumah tempat ia dan Sada tinggal, seperti yang Taku lakukan setiap dua atau tiga hari sekali. Kadang-kada ng Taku datang larut malam, dan betapa pun larutnya, Taku selalu ingin bertemu Maya, bahkan bila Maya sudah tertidur. Maya harus bangun cepat, sesuai cara Tribe yang mengendalikan kebutuhan tidur mereka dengan cara yang sama untuk mengendalikan semua kebutuhan dan hasrat mereka. Maya harus mengerahkan seluruh tenaga dan konsentrasinya untuk pertemuan malam hari ini dengan gurunya. Taku kerapkali kelelahan dan tegang, kesabarannya hampir habis; pekerjaan ini be rjalan lambat dan banyak tuntutannya. Maya ingin bekerja sama, tapi takut dengan apa yang kemungki nan terjadi padanya. Acapkali ia merindukan berada di rumahnya di Hagi bersama ibu dan kakak juga adiknya. Ia ingin menjadi anak-anak saja; ingin menjadi seperti Shigeko, tanpa kemampuan Trib e dan tidak punya saudara kembar. Menjadi anak laki-laki seharian telah menguras tenaganya, tapi itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan tuntutan yang baru. Sebelumnya ia merasa pelatihan Tribe mudah: menghilang, menggunakan sosok kedua, tapi cara yang baru ini sepertinya j auh lebih sulit dan lebih berbahaya. Maya tidak membiarkan sikap Taku memengaruhi dirinya, kadang dengan wajah cemberut yang dingin, kadang dengan kemarahan. Maya mulai menyesali kematian si kucing dan ker asukan roh hewan itu; ia memohon pada Taku untuk menyingkirkannya. "Aku tidak bisa," sahut Taku. "Yang bisa kulakukan hanyalah membantumu belajar mengendalikannya, dan menguasainya." "Kau sudah terlanjur melakukannya," kata Sada. "Kau harus menerimanya." Kemudian Maya merasa malu dengan kelemahannya. Dikiranya ia akan suka menjadi si kucing, tapi ternyata kucing itu lebih kejam dan menakutkan dari yang ia perkirakan. Kucing it u ingin menariknya masuk ke dunia lain, dunia tempat para hantu dan arwah.

"Kucing itu bisa memberimu kekuatan," kata Taku. "Kekuatan itu sudah ada; kau ha rus meraih dan memanfaatkannya!" Tapi meski berada di bawah pengawasan dan bimbingan Taku hingga Maya sudah terbi asa dengan roh yang hidup dalam dirinya, tapi ia tetap tidak bisa melakukan apa yang Taku h arapkan: mengambil bentuk kucing itu lalu memanfaatkannya.* Bulan purnama di bulan kesepuluh semakin dekat, dan di mana-mana persiapan Peray aan Musim Gugur telah dimulai. Kegembiraan kian bertambah tahun ini dengan kenyataan bahwa Lord Otori sena putri sulungnya, pewaris Maruyama, Lady Shigeko, akan menghadiri perayaan. Pendudu k kota turun ke jalan setiap malam dengan pakaian berwarna cerah dan sandal baru sambil bernyanyi, melambaikan tangan di atas kepala. Maya sudah tahu kalau ayahnya dikenal banyak o rang, bahkan dicintai, tapi tak sepenuhnya menyadari sampai tahap apa hingga mendengarnya sendi ri dari mulut orang-orang yang saat ini berbaur dengan dirinya. Tersiar juga berita bahwa wila yah ini secara resmi akan dipersembahkan kepada Shigeko karena sekarang usianya sudah mencukupi. "Memang benar," kata Taku pada Maya saat ia menanyakannya. "Hiroshi sudah membic arakannya denganku. Shigeko akan mengganti nama dan sejak saat ini dikenal Halaman 147 dari 500

sebagai Lady Maruyama.ebagai Lady Maruyama." "Lady Maruyama," ulang Maya. Kedengarannya seperti legenda, nama yang sering dide ngar, dari Chiyo, dari Shizuka, dari para penyanyi balada yang menyanyikan dan menceritakan kisah-kisah Otori di sudut jalanan dan tepi sungai. "Ibuku sekarang yang memimpin Tribe, Lady Shigeko kelak akan memimpin Tiga Negar a; sebaiknya kau berubah menjadi anak perempuan lagi sebelum usiamu semakin bertambah!" Taku menggodanya. "Aku tidak tertarik dengan Tiga Negara, tapi aku ingin memimpin Tribe!" sahut Ma ya. "Kau harus tunggu sampai aku mati!" Taku tertawa. "Jangan bilang begitu!" Sada memperingatkannya, seraya menyentuh lengannya. Taku langsung berpaling dan menatap Sada dengan pandangan yang membuat hati Maya berdebar seka ligus cemburu. Ketiganya berada di kamar kecil di ujung rumah Tribe. Maya tak menduga Taku datang begitu cepat ia sudah di sana sejak kemarin malam. "Lihat saja, aku tidak bisa jauh darimu," kata Taku sewaktu Sada mengungkapkan rasa terkejutnya karena Taku datang cepat. Sada yang tak bisa menyembunyikan rasa senang, tidak bisa menahan diri untuk terus menyentuh T aku. Malam itu dingin dan terang. Empat hari sebelum pumama, bulan sudah makin membes ar dan menguning. Meski udara dingin, daun jendela tetap terbuka; mereka bertiga duduk berdekatan di dekat tungku batu bara, selimut tebal menyelimuti tubuh mereka. Taku minum sake, tapi baik Sada maupun Maya tak suka rasanya. Satu lentera kecil kalah dengan gelapnya ruangan i tu, tapi taman penuh sinar bulan dan bayang-bayang pekat. "Lalu ada kakakku," bisik Taku pada Sada, tidak lagi berkelakar, "yang percaya k alau sudah menjadi haknya untuk memimpin Tribe, sebagai kerabat tertua Kenji." "Aku takut ada juga orang lain yang tidak setuju Shizuka menjadi Ketua Muto. Per empuan belum

pernah memimpin keluarga itu; orang-orang tidak suka bila tradisi diubah. Mereka menggerutu kalau tindakan ini menying-gung dewa-dewa. Bukannya menginginkan Zenko; mereka lebih memilihmu, pastinya, tapi penunjukan ibumu telah menyebabkan perpecahan." Maya mendengarkan dengan cermat, tanpa bicara, sadar akan hawa panas di satu sis i wajahnya, dan udara dingin di sisi wajah yang satunya lagi. Dari kota terdengar musik dan nyan yian, tabuhan genderang dengan irama tegas, disela dengan teriakan-teriakan parau. "Aku mendengar satu desas-desus hari ini," kata Sada. "Kikuta Akio terlihat di A kashi. Dia berangkat ke Hofu dua minggu lalu." "Sebaiknya kita segera kirim orang ke Hofu," kata Taku. "Dan cari tahu mau ke ma na dia dan apa tujuannya. Apakah dia bepergian seorang diri?" "Imai Kazuo bersamanya, dan putranya." "Putra siapa?" Taku duduk tegak. "Bukan p utra Akio, kan?" "Sepertinya ya, anak laki-laki berusia sekitar enam belas tahun. Mengapa kau beg itu kaget?" "Kau tidak mengenal siapa anak itu?" "Dia adalah cucu Muto Kenji, semua orang tahu itu," sahut Sada. "Tidak ada lagi?" Sada menggeleng. "Kurasa itu adalah rahasia Kikuta," gumam Taku. Lalu sepertinya dia ingat akan k ehadiran Maya. "Suruh anak itu tidur," katanya pada Sada. Halaman 148 dari 500

"Maya, tidurlah di kamar pelayan," perintah Sada. Sebulan lalu ia pasti akan pro tes, tapi ia sudah belajar mematuhi Sada dan Taku dalam segala hal. Maya, tidurlah di kamar pelayan," perintah Sada. Sebulan lalu ia pasti akan prot es, tapi ia sudah belajar mematuhi Sada dan Taku dalam segala hal. "Selamat malam," gumamnya, lalu bangkit berdiri. "Tutup jendelanya sebelum pergi," kata Taku. "Udara semakin dingin." Sada berdiri membantu. Jauh dari api membuat Maya kedinginan, dan begitu berada di kamar pelayan ia justru merasa lebih dingin. Semua orang sepertinya sudah tidur; Maya menemukan tempat di sela dua orang gadis dan merangkak melewati mereka. Di sini, di rumah Tribe s emua orang tahu kalau ia anak perempuan; hanya di dunia luarlah ia harus tetap menyamar sebagai anak laki-laki. Tubuh Maya gemetar; ingin men-dengar apa yang Taku katakan, ingin bersamanya dan Sada: Maya memikirkan bulu kucing yang tebal dan halus menyelimuti dirinya, menghangatkan tu buhnya, dan gemetar tubuhnya berubah menjadi sesuatu yang lain, riak kekuatan menjalar k e sekujur tubuhnya karena si kucing meregangkan otot-ototnya dan hidup lagi, Maya menyelinap dari balik selimut dan melangkah tanpa bersuara dari kamar itu, sadar akan bola matanya yang membesar dan pandangannya yang tajam, mengingat bagaimana dunia itu penuh dengan gerakan kecil yang belum pernah diperhatikannya, mendengarkan dengan agak takut suarasuara hampa para arwah. Ia sudah berada separuh jalan ke gang selasar ketika ia sadar tengah bergerak melayang di atas permukaan tanah, lalu menjerit keras ketakutan. Aku tidak bisa membuka pintunya, pikir Maya, tapi roh kucing lebih tahu, dan melo mpat ke jendela, melayang melewatinya, melambung menyeberangi beranda dan memasuki ruangan tempat Sada dan Taku berangkulan. Maya berpikir akan menampakkan diri kepada mereka, kalau Ta ku akan merasa senang dan memujinya. Ia ingin berbaring di antara mereka. Sada bicara dengan nada setengah malas, merangkum percakapan sebelumnya, katakata yang paling mengguncang diri Maya daripada semua yang pemah dialaminya, tapi bergema dalam roh kucing yang belum m ati. "Bocah itu benar-benar putra Takeo?" "Ya, dan menurut ramalan, akan menjadi saru-satunya orang yang bisa membawa kema tian padanya."

Maya mengetahui keberadaan kakak lakilakinya, dan ancaman terhadap ayahnya. Ia be rusaha tetap diam tapi tidak bisa menahan lolongan ketakutan dan putus asa yang memaksa kelua r dari tenggorokannya. Didengarnya Taku berseru, "Siapa di sana?" dan mendengar teriakan kaget Sada, dan ia melompat menerobos kasa dan keluar ke taman seolah bisa lari selama-laman ya, jauh dari segalanya. Tapi ia tidak bisa berlari dari suara-suara arwah yang bergemerisik d i telinganya yang berdiri tegak dan merasuk ke dalam tulangnya yang rapuh dan cair. Di mana Penguasa kami?* Otori Takeo dan Arai Zenko tiba di Maruyama selang beberapa jam, sehari sebelum bulan purnama. Takeo datang dari Yamagata dan membawa sebagian besar orang istana Otori, termas uk Miyoshi Kahei dan adiknya Gemba, satu iring-iringan kuda membawa catatan-catatan adminis trasi yang harus ditangani saat ia berada di wilayah Barat, sejumlah besar pengawal, dan putri su lungnya, Udy Shigeko. Zenko didampingi pengawal yang sama banyaknya, kuda-kuda pengangkut ker anjang berisi hadiah-hadiah mewah dan pakaian-pakaian mahal, burung rajawali dan anjing kecil milik Lady Arai, serta Lady Arai sendiri, di dalam tandu yang diukir dan dihias dengan indah. Halaman 149 dari 500

Kedatangan para pemimpin dengan iringiringan mereka menutupi jalan dan memenuhi ru mah penginapan membuat penduduk kota gembira. Sebulan terakhir ini mereka telah menam bah persediaan beras, ikan, kedelai, sake dan makanan khas daerah edatangan para pemimpin dengan iringiringan mereka menutupi jalan dan memenuhi rum ah penginapan membuat penduduk kota gembira. Sebulan terakhir ini mereka telah menam bah persediaan beras, ikan, kedelai, sake dan makanan khas daerah mereka, dan kini berharap bisa mendapat keuntungan besar. Musim panas bermurah h aii menghasilkan panen berlimpah; Maruyama segera diserahkan pada pewaris perempuann ya: banyak yang harus dirayakan. Di mana-mana umbul-umbul berkibar tertiup angin, menggambar kan bukit bulat Maruyama bersama bangau Otori, dan jurumasak saling berlomba menciptakan s antapan berbentuk bulat untuk menghormati bulan purnama. Takeo melihat itu semua dengan gembira. Maruyama adalah wilayah yang amat disayan ginya karena di sinilah ia menghabiskan bulan-bulan pertama setelah pernikahannya dan mulai mempratikkan semua yang telah ia pelajari dari Lord Shigeru tentang pemerintahan dan pertanian. Wilayah ini nyaris hancur tersapu badai dan gempa bumi di tahun pertama pemerint ahannya. Kini, setelah enam belas tahun berlalu, wilayah ini menjadi kaya dan damai; perdaganga n maju pesat, seni berkembang, anak-anak makan berkecukupan, semua luka bekas perang tampak telah l ama pulih, dan Shigeko akan mengambil alih wilayah ini lalu memerintah berdasarkan hak dan kewajibannya. Takeo tahu putrinya layak mendapatkannya. Ia harus terus mengingatkan dirinya sendiri kalau ia berada di sini untuk menemu i dua laki-laki yang mungkin akan merampas wilayah ini dari Shigeko. Salah satunya, Lord Kono, diberi penginapan seperti dirinya di dalam kastil. Zen ko tinggal di kediaman yang paling bergengsi dan mewah di balik dinding kastil, yang dulunya a dalah kediaman Sugita Haruki, pengawal senior wilayah tersebut yang bersama putranya memilih bu nuh diri ketimbang setuju untuk menyerahkan kota ini kepada Arai Daiichi. Takeo penasaran apakah Zenko menyadari sejarah kesetiaan dari rumah itu, dan berharap kalau laki-laki itu dip engaruhi arwah dari para mendiang yang setia. Sebelum makan malam, saat Takeo harus bertemu dengan musuh-musuh potensialnya in i, dipanggilnya Hiroshi untuk bicara berdua. Pemuda itu tampak tenang dan waspada. S etelah

membahas prosedur dan upacara untuk keesokan harinya, Takeo mengucapkan terima k asih atas kerja kerasnya. "Kau telah bertahun-tahun mengabdi pada keluargaku. Kami harus me mberimu imbalan. Kau ingin tinggal di wilayah Barat? Akan kucarikan tanah dan bangunan u ntukmu serta seorang istri. Aku sudah mempertimbangkan cucu Lord Terada, Kaori. Dia gadis yang amat baik, kawan baik putriku." "Untuk memberiku tanah di Maruyama, berarti akan mengambilnya dari orang lain, a tau dari Lady Shigeko," sahut Hiroshi. "Aku sudah bilang pada Taku: aku akan tetap di sini sel ama dibutuhkan tapi keinginanku yang sebenarnya yaitu diijinkan mengundurkan diri ke Terayama dan men gikuti Ajaran Houou." Takeo menatapnya tanpa langsung menjawab. Tatapan mata Hiroshi beradu pandang den gannya lalu berpaling ke arah lain. "Dan untuk pernikahan... aku berterima kasih atas p erhatian Anda, tapi aku sungguh-sungguh tak ingin menikah, dan aku tidak punya apa-apa untuk diberikan p ada seorang istri." "Keluarga mana pun di Tiga Negara akan menyambutmu dengan gembira sebagai menant u. Kau kurang menghargai dirimu. Bila kau tidak suka pada Terada Kaori, biar kucarikan gadis lain. Apakah ada gadis lain?" "Tidak ada," sahut Hiroshi. "Kau tahu betapa besar rasa sayang keluargaku padamu," lanjut Takeo. "Kau sudah seperti kakak laki-laki bagi ketiga putriku; andai usia kita tidak terlalu dekat jaraknya, aku pasti akan mengangkatmu menjadi putraku." "Kumohon, Lord Takeo, jangan Halaman 150 dari 500

diteruskan," kata Hiroshi dengan nada memohon. Wajahnya mulai memerah. Berusaha menyembunyikan rasa tertekannya dengan tersenyum. "Anda bahagia dalam perkawinan hingga ingin kami semua memiliki keadaan yang sama! Tapi aku terpanggil ke jalan lain. Satu-sa tunya permintaanku adalah diijinkan mengikuti jalan itu." iteruskan," kata Hiroshi dengan nada memohon. Wajahnya mulai memerah. Berusaha menyembunyikan rasa tertekannya dengan tersenyum. "Anda bahagia dalam perkawinan hingga ingin kami semua memiliki keadaan yang sama! Tapi aku terpanggil ke jalan lain. Satu-sa tunya permintaanku adalah diijinkan mengikuti jalan itu." "Aku tidak akan menentang keinginanmu itu!" sahut Takeo, lalu memutuskan untuk m enghentikan masalah pernikahan ini sementara waktu. "Tapi aku punya satu permintaan, yaitu m endampingi kami ke ibukota tahun depan. Seperti yang kau tahu, aku mengatur kunjungan damai ini atas permintaan para Guru Besar Ajaran Houou. Aku ingin kau ambil bagian dalam kunjungan ini." "Ini merupakan kehormatan bagiku,' sahut Hiroshi. "Terima kasih." "Shigeko juga akan ikut denganku atas saran para Guru Besar. Kau harus melindung inya, seperti yang sudah biasa kau lakukan." Hiroshi membungkuk tanpa bicara. "Putriku mengusulkan agar kita membawa kirin, yang akan menjadi hadiah yang tak ada bandingnya untuk Kaisar." "Anda ingin memberikan kirin!" seru Hiroshi. "Aku rela memberikan segalanya bila itu mempertahankan kedamaian di negeri ini," sahut Takeo. Bahkan Shigeko? Keduanya tidak menyuarakan kata-kata itu, namun kata-kata itu ber gema di benak Takeo. Ia tidak tahu apakah sudah bisa menjawab atau belum. Sesuatu dari perbincangan ini pasti telah membuatnya waspada sehingga di saat ia tidak disibukkan oleh Lord Kono, Zenko dan Hana, ditemukan dirinya lebih memerhatikan Hiroshi dan putrinya saat makan malam. Mereka berdua, entah mengapa, lebih pendiam, dan sedih, nyaris tida k saling bicara atau bertatapan. Takeo tidak bisa mengungkapkan ada perasaan khusus apa di antara mereka berdua; dibayangkannya hati Shigeko tidak tersentuh. Tapi tentu saja mere ka berdua sangat mahir menyembunyikan perasaan masing-masing. Makan malam berlangsung resmi dan anggun, dengan menu khas musim gugur di wilaya h Barat:

jamur pohon pinus, kepiting dan udang kecil, gurih dan gating, chestnuts and kac ang ginko, disajikan di atas nampan berpernis dan tembikar berwarna coklat muda kekuningan pucat dari Hagi. Kaede telah membantu mengembalikan kediaman itu pada keindahan aslinya: tikar berwarna hijau keemasan dan beraroma manis; lantai dan balok-balok penyangga berkilau dengan ha ngat; di belakangnya berdiri kasa berhiaskan burung dan bunga musim gugur, burung gelatik dengan semak semanggi, burung puyuh dengan krisan. Takeo bertanya-tanya bagaimana pendapat Ko no tentang semua yang dilihatnya di sini, dan bagaimana bila dibandingkan dengan istana Kai sar. Takeo meminta maaf atas ketidakhadiran istrinya, menjelaskan tentang kehamilan i strinya, dan ingin tahu apakah Zenko dan Hana kecewa dengan kabar ini karena akan menunda rencana pengangkatan kedua putra mereka. Takeo seakan melihat perasaan tidak suka sesaat sebelum Hana mulai mengucapkan s elamat yang berlebihan, mengungkapkan kebahagiaannya, dan berharap kakaknya mendapatkan anak laki-laki. Takeo, pada gilirannya, dengan berhati-hati memuji Sunaomi dan Chikara yang tidakl ah sulit dilakukan karena ia dengan tulus memang menyayangi kedua anak itu. Kono berkata dengan sopan, "Aku sudah menerima surat dari Miyako. Aku paham Anda akan mengunjungi Kaisar tahun depan." "Bila beliau berkenan menerimaku, ituiah tujuanku," sahut Takeo. "Kurasa beliau akan menerima Anda. Semua orang ingin tahu tentang Anda. Bahkan L ord Saga Hideki telah mengungkapkan keinginannya untuk berjumpa dengan Anda." Halaman 151 dari 500

Takeo menyadari kalau Arai Zenko memerhatikan tiap kata dengan tetap menunduk. D an bila mereka menyerang lalu membunuhku di sana, Zenko akan menunggu di wilayah Barat, mendahu lui restu sang akeo menyadari kalau Arai Zenko memerhatikan tiap kata dengan tetap menunduk. Da n bila mereka menyerang lalu membunuhku di sana, Zenko akan menunggu di wilayah Barat, mendahu lui restu sang Kaisar... "Lord Saga saat ini tengah memikirkan semacam olah-raga atau pertandingan. Belia u menulis surat kepadaku bahwa ketimbang menumpahkan darah ribuan orang, beliau lebih suka berte mu Lord Otori dalam pertandingan berburu anjing, mungkin. Itu kegemarannya." Takeo tersenyum. "Lord Saga tidak mengetahui masalah-masalah kecil kami. Beliau tidak tahu kalau tanganku yang cacat menghambatku untuk menarik busur." Untungnya, Takeo tidak bi sa menahan untuk berpikir, karena aku tidak mahir memanah. "Baiklah, mungkin ada pertandingan yang lain. Keadaan istri Anda yang mengharuska nnya berdiam diri di rumah jadi tidak memungkinkannya mendampingi Anda?" "Begitulah. Tapi putriku akan ikut." Shigeko mengangkat kepala lalu melihat ke a rah ayahnya. Tampak mata mereka bertemu lalu dia tersenyum kepada ayahnya. "Lady Shigeko bertunangan?" tanya Kono. "Belum, belum," jawab Takeo. "Lord Saga baru saja menduda." Suara Kono terdengar dingin dan datar. "Aku turut berduka." Takeo ingin tahu apakah ia bisa tahan menyerahkan putri sulungnya pada orang seperti Lord Saga nam un bisa menjadi persekutuan yang baik, dan bila itu bisa memastikan kedamaian di Tiga Ne gara... Shigeko angkat bicara, suaranya terdengar jernih dan tegas. "Aku tak sabar ingin berjumpa Lord Saga. Mungkin beliau akan menerimaku sebagai pengganti ayahku dalam pertandingan apa pun nantinya." "Lady Shigeko amat mahir memanah," imbuh Hiroshi. Takeo mengingat dengan takjub kata-kata Gemba: Akan ada semacam pertandingan di Miyako... putrimu sebaiknya ikut. Dia harus menyempurnakan keahlian menunggang kuda, meman ah... Bagaimana Gemba bisa tahu hal ini? Takeo memandang ke seberang ruangan, ke arah Gemba yang duduk agak menjauh di se

belah adiknya, Kahei. Gemba tidak melihatnya, tapi ada senyum tipis tersungging di waja h montoknya. Kahei terlihat lebih tegas, menyembunyikan ketidaksetujuannya. Ini memperkuat bukti anjuran para Guru Besar, pikir Takeo cepat. Aku akan datang ke Miyako. Aku akan terima tantangan Saga, apa pun itu. Kami akan selesaikan masaln h tanpa harus berperang. Tampaknya Kono sama terkejutnya dengan Takeo, walaupun dengan alasan lain. "Aku tidak menyadari kalau perempuan di Tiga Negara begitu berbakat, dan pemberani," katanya pada akhirnya. "Seperti halnya Lord Saga, mungkin Anda belum mengenal kami dengan baik," sahut Shigeko. "Ini semakin menambah alasan mengapa kami harus berkunjung ke ibukota, agar Anda sema kin memahami kami." Shigeko berbicara dengan sopan, namun juga tak bisa menghilangka n kesan berkuasa yang ada di balik kata-katanya. Dia tidak memperlihatkan rasa tidak suka bertemu dengan putra orang yang pernah menculik ibunya, atau kelihatan terintimidasi dengan keha dirannya. Rambut panjangnya tergerai di bahu; punggungnya tegak lurus, kulitnya nyaris bercahaya dengan jubah wama kuning pucat dan emas yang dikenakannya, dengan dedauan maple yang cerah. Takeo ingat saat pertama kali melihat Lady Maruyama Naomi: menurutnya perempuan itu seperti Jato, pedangnya, kecantikan yang menyem Halaman 152 dari 500

bunyikan kekuatan. Kini dilihatnya kekuatan yang sama pada putrinya, dan merasa agak lega. Apa pun yang terjadi, ia telah memiliki pewaris. Ini memastikan bahwa Tiga Negara ak an tetap bersatu bila diwariskan kepadanya. nyikan kekuatan. Kini dilihatnya kekuatan yang sama pada putrinya, dan merasa ag ak lega. Apa pun yang terjadi, ia telah memiliki pewaris. Ini memastikan bahwa Tiga Negara ak an tetap bersatu bila diwariskan kepadanya. "Aku sungguh tidak sabar menantinya!" seru Kono. "Kuharap aku bisa dibebaskan da ri keramahan Lord Otori untuk kembali ke Miyako sebelum Anda tiba di sana, dan memberitahukan kepada Yang Mulia Kaisar tentang semua yang kudapatkan di sini." Dia membungkuk dan bicara d engan bersemangat, "Aku bisa meyakinkan bahwa semua taporanku akan berpihak kepada Anda ." Takeo membungkuk sedikit tanda setuju, ingin tahu seberapa banyak kata-kata ini diucapkan dengan tulus, seberapa banyak pujian dan niat buruk apa yang direncanakan Kono dan Zenko. Berharap Taku tahu lebih banyak, dan ingin tahu ada di mana dia sekarang, mengapa dia tid ak hadir saat santap malam. Apakah Zenko tersinggung atas kehadiran dan pengawasan Taku sehing ga sengaja tidak mengundang adiknya? Dan ia pun cemas ingin mendengar kabar tentang Maya. Ia tak dapat menahan diri untuk berpikir kalau ketidakhadiran Taku tak berk aitan dengan putrinya itu: kalau Maya dalam masalah; atau melarikan diri.... Disadarinya kala u pikirannya melayang jauh, dan tak mendengarkan kalimat terakhir Lord Kono. Dipaksa dirinya berkonsen trasi pada saat ini. Tampaknya tidak ada lagi alasan untuk menahan bangsawan itu; tentu saja, saat in i merupakan waktu yang tepat untuk mengirimnya pulang dengan pikiran yang penuh dengan kesejahtera an wilayah ini, kesetiaan klan Seishuu serta keindahannya, karakter dan kecantikan putri sulungnya . Tapi Takeo lebih suka mendengarnya dari Taku, detail mengenai kunjungan singkat Kono di wil ayah Barat, hubungan bangsawan itu dengan Zenko dan Hana. Keramaian perayaan berlanjut hingga larut malam: pemusik memainkan kecapi tiga s enar dan harpa, sementara dari kota terdengar genderang dan nyanyian. Takeo tidur tidak nyaman, pikirannya masih penuh dengan kecemasan atas ketiga putrinya, Kaede yang sedang mengandung. Saat bangun pagipagi, merasakan nyeri di tangan dan rasa sakit menjalari sekujur tubuhnya. Ia meminta Minoru dibangunkan, dan se lagi minum teh ia mengingat-ingat apa saja yang ia katakan semalam, memeriksa kalau segalanya telah dicatat

dengan benar karena Minoru ditempatkan di balik kasa semalaman. Karena Kono diij inkan pergi, banyak hal yang harus disiapkan. "Apakah Lord Kono bepergian lewat laut atau darat?" tanya Minoru. "Lewat laut, bila ingin tiba sebelum musim dingin," sahut Takeo. "Pasti salju su dah turun di Jajaran Awan Tinggi: dia takkan tiba di sana sebelum perbatasan ditutup. Dia bisa saja l ewat darat menuju Hofu dan naik kapal laut dari sana." "Jadi beliau akan melakukan perjalanan bersama Lord Otori sampai Yamagata?" "Ya, kurasa bagusnya begitu. Kita harus tunjukkan satu pemandangan lagi padanya. Sebaiknya kau siapkan Lady Miyoshi." Minoru membungkuk hormat. "Minoru, kau selalu hadir dalam pertemuanku dengan Lord Kono. Sikapnya padaku sem alam sepertinya sedikit berubah, bagaimana pendapatmu?" "Sikapnya seperti hendak berbaikan," sahut Minoru. "Beliau pasti mengamati kepopuleran Lord Otori, pengabdian dan kes etiaan rakyat di sini. Di Yamagata aku yakin Lord Miyoshi akan menjelaskan ukuran dan kekuatan ba la tentara kita. Lord Kono pasti membawa kabar kepada Kaisar dengan keyakinan bahwa Tiga Negara t ak mudah ditaklukkan, dan...." "Teruskan," sela Takeo. "Aku tidak berhak untuk mengatakannya, tapi Lady Shigeko belum menikah, dan Lord Kono pastinya akan lebih memilih untuk merundingkan pernikahan ketimbang memulai perang yang ti dak bisa Halaman 153 dari 500

dimenangkan. Apabila beliau yang akan menjadi perantara, maka beliau harus menda pat kepercayaan dan persetujuan ayah calon mempelai perempuan." imenangkan. Apabila beliau yang akan menjadi perantara, maka beliau harus mendap at kepercayaan dan persetujuan ayah calon mempelai perempuan." "Baiklah, kita akan terus menyanjung dan berusaha membuatnya terkesan. Ada kabar dari Taku? Aku menantikannya tadi malam." "Dia mengirim permintaan maaf kepada kakaknya, mengatakan bahwa dia sedang kuran g sehat hanya itu," sahut Minoru. "Apa aku harus menghubunginya?" "Tidak perlu, pasti ada alasan lain dengan ketidakhadirannya. Selama kita tahu d ia masih hidup, maka semuanya baik-baik saja." "Tentunya tak ada orang yang akan menyerang Lord Kono, di Maruyama sini?" "Taku telah menyinggung banyak pihak dengan mengabdi padaku," tutur Takeo. "Tak satu pun dari kita yang benar-benar aman." *** Panji-panji Klan Maruyama, Otori serta Seishuu berkibaran di atas lapangan kuda di depan kastil. Parit yang mengelilinginya penuh dengan perahu-perahu berlambung datar yang ditu mpangi para penonton. Anjungan dari sutra didirikan bagi kelompok masyarakat dengan klas leb ih tinggi, dan lambang berhias rumbai bergelanmngan dari atap dan dari tiang pancang yang ditan am di sekelilingnya. Takeo duduk di atas mimbar yang ditinggikan di salah satu pavilio n ini, bantal dan karpet bertebaran di lantai. Kono di sebelah kanan, dan Zenko di sebelah kiri, d an di belakang Zenko, Hana. Hiroshi berada di depan mereka dengan menunggang kuda abu-abu pucat dengan surat dan ekor hitam. Kuda pemberian Takeo bertahun-tahun lalu itu menunggu diam tak bergerak bak patung. Di belakangn ya, tanpa kuda, memegang kotak-kotak berpernis, berdiri para tetua klan, semua mengenakan jubah tebal berhias bordiran emas, dan bertopi hitam. Di dalam kotakkotak terdapat harta kekayaan wil ayah ini, dan gulungan berisi silsilah keluarga menggambarkan silsilah Shigeko melalui semua pe rempuan Maruyama. Kaede seharusnya berada di sini, pikir Takeo dengan rasa menyesal; rindu berjump a dengan istrinya untuk menceritakan pemandangan ini.

Takeo turut merencanakan upacara ini semuanya dilakukan Hiroshi karena ini merupa kan ritual kuno Maruyama yang belum dilaksanakan lagi sejak Lady Naomi mewarisi wilayah ini . Takeo memindai kerumunan orang, ingin tahu di mana Shigeko, dan kapan putrinya akan mu ncul. Di antara kerumunan perahu, tiba-tiba dilihatnya Taku, tidak berpakaian resmi seperti kaka knya, Zenko, tapi berpakaian pedagang biasa yang lusuh. Di sampingnya berdiri seorang pemuda tingg i dan seorang lagi yang tampak amat tidak asing. Butuh beberapa waktu bagi Takeo untuk menyadari kalau orang itu adalah putrinya, Maya. Takeo merasa takjub kalau ternyata Taku mengajak putrinya datang dengan menyamar, kalau ternyata ia tidak mengenalinya diikuti dengan rasa lega yang berdesir cepat kalau p utrinya masih hidup dan baik-baik saja. Maya tampak lebih kurus, agak lebih tinggi, bola matan ya lebih jelas dengan wajah tajamnya. Seorang lagi pastilah Sada, pikirnya, meskipun dia menyamar hing ga hampir tidak dikenali. Taku pasti tak ingin meninggalkan Maya karena bila tidak, dia pasti da tang sebagai dirinya sendiri. Taku pasti tahu ia akan mengenali mereka bertiga, saat orang lain tak a da yang tahu. Pesan apa yang dibawanya? Ia harus bertemu mereka: ia akan temui mereka malam ini. Perhatiannya tertuju kembali ke upacara setelah mendengar derap kaki kuda. Dari ujung arah barat di sebelah luar kastil datang iring-iringan kecil perempuan yang menunggang kuda. Me reka adalah istri dan putri para tetua yang menunggu di belakang Hiroshi. Mereka bersenjatakan ala perempuan wilayah Barat, menyandang busur di bahu serta tabung berisi anak panah di Halaman 154 dari 500

punggung mereka. Takeo mengagumi kudakuda Maruyama yang tinggi dan gagah, dan hat inya makin meluap-luap saat melihat putrinya berada di punggung kuda yang paling bagu s, di tengah iringan itu kuda hitam yang dijinakkannya sendiri, dan diberi nama Tenba. ggung mereka. Takeo mengagumi kudakuda Maruyama yang tinggi dan gagah, dan hatiny a makin meluap-luap saat melihat putrinya berada di punggung kuda yang paling bagu s, di tengah iringan itu kuda hitam yang dijinakkannya sendiri, dan diberi nama Tenba. Kuda itu terlalu bersemangat dan berjingkrak, mengi-baskan kepala dan agak mundur selagi Shigeko menyuruhnya berhenti. Shigeko duduk tenang bak patung; rambutnya, dikunci r ke belakang, sama hitamnya dengan surai dan ekor kuda yang dia tunggangi, juga berk ilauan seperti kulitnya yang tertimpa sinar matahari musim gugur. Tenba tenang dan santai. Para perempuan di atas kuda menghadap ke arah para laki-laki yang berdiri, dan t epat di saat bersamaan, para tetua berlutut sambil memegang kotak dengan merentangkan tangan dan membungkuk dalam-dalam. Hiroshi bicara dengan lantang. "Lady Maruyama Shigeko, putri Shirakawa Kaede dan sepupu kedua Maruyama Naomi, kami menyambut Anda ke wilayah yang telah dipertahankan atas kep ercayaan bagi Anda." Hiroshi melepaskan kakinya dari pijakan sadel lalu turun dari kuda, menarik pedang dari sabuknya lalu berlutut di hadapa n Shigeko, menyerahkan pedang dengan kedua tangannya. Sesaat Tenba terkejut karena gerakan Hiroshi yang mendadak, dan Takeo melihat pe nguasaan diri Hiroshi langsung buyar. Disadarinya ternyata sikap Hiroshi lebih dari sikap seor ang ksatria pada atasannya. Teringat olehnya minggu-minggu yang mereka habiskan bersama untuk men jinakkan Tenba. Kecurigaannya terbukti sudah. Ia tak tahu bagaimana perasaan putrinya, ta pi perasaan Hiroshi tak diragukan lagi. Kini sudah jelas baginya, dan ia merasa heran tidak menyadari hal itu sebelumnya. Perasaan Takeo kesal sekaligus iba mustahil memberikan keinginan Hiros hi tapi ia mengagumi pengendalian diri dan pengabdian pemuda itu. Itu karena mereka dibesark an bersama, pikirnya. Shigeko menyayanginya, tapi hatinya tak tersentuh. Dicermati putrinya baik-baik sewaktu dua perempuan berkuda turun dari kuda lalu memegangi tali kekang Tenba. Shigeko meluncur turun dengan anggun dari punggung kuda lalu menghadap ke Hiroshi. Ketika Hiroshi menengadah, tatapan mereka bertemu. Shigeko tersenyum tipis lalu mengambil

pedang itu. Kemudian ia berbalik dan mengacungkan pedang itu tinggi-tinggi ke se tiap arah bergantian, membungkuk hormat ke arah kerumunan orang, kepada semua tetua dan ra kyatnya. Teriakan rakyat bergemuruh, seolah semua yang hadir bicara dalam satu suara, lal u suaranya pecan, bak gelombang menghempas batu karang, menjadi sorak-sorai gegap gempita. Kuda-ku da berjingkrak penuh semangat. Shigeko menghunjamkan pedang ke sabuknya lalu naik k e kudanya kembali, begitu pula halnya dengan para perempuan yang lain. Kuda-kuda berderap mengitari dinding sebelah luar kastil, kemudian ber-baris dalam satu barisan lurus ke arah pinggir an, menuju sasaran. Tiap penunggang kuda menjatuhkan tali kekang di leher kuda, mengambil busur, men empatkan anak panah lalu menariknya, semuanya dalam satu gerakan cepat dan luwes. Anak-anak pa nah beterbangan satu menyusul yang lainnya, mengenai sasaran berbarengan. Akhirnya S higeko mendekat, kuda hitamnya berlari laksana angin, laksana kuda dari surga, dan anak panahnya tepat mengenai sasaran. Shigeko membalikkan kuda lalu berderap kem bali, menarik tali kekangnya agar berhenti di depan Takeo. Dia melompat dari punggung Tenba la lu berkata dengan lantang, "Maruyama bersumpah untuk bersekutu dan setia pada Klan Otori, dan sebag ai pengakuannya saya persembahkan kuda ini kepada Lord Otori, ayahku." Dipegangnya tali kekang, lalu menunduk. Sekali lagi terdengar seruan dari kerumunan saat Takeo berdiri dan melangkah turu n dari mimbar. Menghampiri Shigeko lalu mengambil tali kekang kuda itu dengan begitu terharu se hingga tak mampu berkatakata. Tenba menurunkan kepala lalu menggesek-gesekkan kepalanya ke bahu Ta keo. Kuda itu jelas keturunan kuda Shigeru, Kyu dan Aoi, yang pernah terluka parah oleh ra ksasa Jin-emon. Takeo menyadari kalau bayangan masa lalu kini mengelilingi dirinya: arwah mereka yang telah berpulang, tatapan setuju mereka. Ia merasa bangga dan bersyukur telah membesark an anak yang cantik ini, kalau putrinya ini telah dewasa dan mendapaikan warisannya. Halaman 155 dari 500

"Kuharap Tenba bisa menjadi kuda kesayangan Ayah seperti halnya Shun," ujar Shig eko. Kuharap Tenba bisa menjadi kuda kesayangan Ayah seperti halnya Shun," ujar Shigeko. "Aku belum pernah melihat kuda yang lebih hebat yang bergerak seperti terbang." Ta keo ingin sekali menunggangi kuda itu, memulai ikatan panjang misterius antarmakhluk hidup. Dia a kan hidup Ubih lama dariku, pikirnya dengan gembira. "Maukah Ayah menungganginya?" "Pakaian Ayah ini kurang cocok bila berkuda," sahut Takeo. "Biar Ayah menuntunnya, dan kita akan berkuda bersama nanti. Sementara itu, Ayah sangat berterima kasih. Ini hadi ah yang terindah." Menjelang akhir senja, ketika matahari mulai tenggelam. mereka berkuda di jalur melewati pesisir ke mulut sungai. Rombongan itu tidak hanya terdiri dari Takeo, Shigeko dan Hiroshi me skipun ketiganya lebih suka begitu tapi juga ada Lord Kono, Zenko dan Hana. Zenko menyata kan kalau ia merasa mual dengan jamuan dan upacara, dan perlu berkuda untuk menjernihkan piki ran. Hana ingin membawa keluar burung-burung rajawali miliknya, dan Kono mengaku ingin berbagi kegemaran dengan Hana saat berburu menggunakan burung rajawali yang terlatih. Rut e perjalanan mereka melewati desa gelandangan yang dibangun Takeo bertahuntahun lalu, ketika Jo -An masih hidup. Para gelandangan masih menjemur kulit hewan di sini sehingga dijauhi pend uduk, tapi mereka dibiarkan hidup dengan damai. Kini anakanak dari para gelandangan yang pernah mem bangun jembatan yang memungkinkan Takeo melarikan diri dari kejaran pasukan Otori, juga terlihat cukup makan, sehat seperti orangtuanya. Takeo, Hiroshi dan Shigeko berhenti untuk menyalami kepala desa, sementara yang lainnya berjalan terus. Ketika mereka menyusul kelompok berburu, rajawali yang sudah dilepas terb ang melayang di atas padang rumput, bergerak kian kemari bak ombak di laut, pancaran terakhir si nar matahari berkilauan di sela-sela jambul di kepalanya. Takeo yang sudah bisa menyesuaikan diri dengan kuda itu, membiarkannya melangkah lebih bersemangat. Kuda ini mungkin tidak sepandai Shun, tapi bersemangat dan sama res ponsifnya, dan jauh lebih cepat. Satu kali Tenba mundur ketika seekor ayam hutan tertembak di bawah kakinya dengan gerakan cepat dari sayapnya yang terbentang, dan Takeo mesti mengerahkan tenaga untuk mengingatkan siapa yang pegang kendali. Beruntung aku tidak harus mengandalkannya dalam pertempuran, kat

anya pada dirinya sendiri. Masa-masa itu telah berakhir. "Kau mengurusnya dengan baik," katanya pada Shigeko. "Meskipun Lord Otori memiliki kekurangan, tapi itu tak mengurangi kemahirannya berkuda," komentar Kono. "Benar, aku lupa itu saat berkuda," kata Takeo, tersenyum. Menunggang kuda membu atnya merasa seperti muda kembali. Merasa hampir menyukai Kono, kalau ternyata dia telah sala h menilai laki-laki itu, dan kemudian marah pada dirinya sendiri karena begitu mudah merasa tersanju ng. Di atas kepalanya keempat rajawali terbang berputar-putar, dua di antaranya menu kik berbarengan dan tegak lurus ke tanah. Salah satunya terbang tinggi lagi, seekor ayam hutan dalam cengkeraman cakarnya menggelepar: yang lainnya memekik marah. Mengingatkan Takeo bahwa yang kuat memangsa yang lemah, begitu pula nantinya musuh-musuhnya memangs anya. Dibayangkannya mereka seperti rajawali, terbang melayang, menunggu. Mereka kembali saat matahari tenggelam, bulan purnama muncul di balik pepohonan plum, bentuk tubuh kelinci terlihat jelas di bulatan yang berkilat. Jalan-jalan dipenuhi keru munan orang, biara dan toko kebanjiran pengunjung, udara penuh aroma kue mochi yang dipang-gang, ikan d an belut panggang, minyak wijen dan kecap. Takeo bersyukur dengan reaksi rakyatnya. Pendu duk kota memberi jalan dengan penuh hormat, banyak di antaranya yang berlutut atau menyer u namanya atau nama Shigeko. Mereka tidak menatap dengan ketakutan, atau pandangan putus asa da n kelaparan seperti yang dialami Shigeru. Mereka tak lagi butuh pahlawan menolong mereka. Me reka melihat Halaman 156 dari 500

kesejahteraan dan kedamaian mereka sebagai jalan hidup yang benar, diraih dengan kerja keras dan kepandaian mereka sendiri.* esejahteraan dan kedamaian mereka sebagai jalan hidup yang benar, diraih dengan kerja keras dan kepandaian mereka sendiri.* Kastil dan kota sudah sunyi senyap. Bulan sudah meninggi; langit malam penuh bin tang berkilauan. Takeo duduk bersama Minoru, dua lentera menyala di dekat mereka, meninjau kembal i percakapan tadi sore dan kesan yang didapat pemuda itu. "Aku ingin keluar sebentar," kata Takeo saat mereka sudah selesai. "Aku harus men emui Taku karena aku hanya punya waktu dua hari ini bila ingin mengantar Kono ke Hofu sebe lum musim dingin. Tetap di sini, dan jika ada yang tanya, berpura-puralah kita sedang mengurus bis nis penting jadi tak ingin diganggu. Aku akan kembali sebelum pagi." Minoru sudah terbiasa dengan pengaturan seperti ini dan dia hanya membungkuk. Di bantunya Takeo berganti pakaian berwarna gelap yang sering dipakainya di malam hari. Takeo melil itkan sehelai syal di kepala untuk menutup wajah, dua botol sake, pedang pendek dan sarung pisau le mpar, lalu disembunyikan di balik pakaiannya. Andai Kono bisa melihatku seka rang, pikirnya selagi melewati kamar bangsawan it u. Takeo tahu kalau tak seorang pun bisa melihatnya karena ia sedang menghilangkan diri. Bila menunggang kuda membuatnya merasa kembali muda, begitu pula dengan yang sat u ini kenikmatan mendalam yang timbul oleh kemampuan kuno ini tak pernah hilang, Setel ah yakin tidak ada orang di ujung caman, ia melompat ke puncak dinding antara taman dan dinding sebelah luar yang pertama. Berlari melintasi puncak dinding ke seberang lalu menjatuhkan diri ke atas lapangan kuda di dalam dinding sebelah luar yang kedua. Umbul-umbul masih menggelantung di sana, terkulai di bawah cahaya bintang. Karena berpikir saat itu terlalu dingin untuk berenang, maka setelah menyeberang sungai ia memanjat merayap dinding dan menyusuri sampai ke gerbang u tama. Para penjaga masih terjaga: ia men-dengar para penjaga bicara saat ia melintasi atap yang lebar dan melengkung, tapi mereka tidak mendengarnya. Ia berlari melewati jembatan, membia rkan dirinya terlihat setelah sampai di ujungnya lalu berjalan cepat-cepat ke kota yang penuh dengan j alan dan lorong yang berliku-liku.

Ia tahu di mana Taku berada: kediaman lama Muto. Dulu ia mengenai setiap rumah T ribe di Maruyama, letak, ukuran dan penghuninya. Ia masih menyesali cara yang pernah ia gunakan saat pertama kali ke Maruyama bersama Kaede; bertekad menunjukkan kekejamannya pada T ribe: membunuh atau mengeksekusi sebagian besar dari mereka. Ia mengira satu-satunya c ara menghadapi kejahatan yaitu dengan dibasmi, tapi kini, bila bisa mengulang masa i tu ia akan berusaha berunding tanpa pertumpahn darah... Ia masih harus menghadapi dilema itu: bila sa at itu ia memperlihatkan kelemahannya, maka ia takkan sekuat sekarang untuk dapat memaksaka n kehendaknya dengan welas asih. Tribe mungkin membencinya karena itu, tapi setida knya mereka tidak meremehkannya. Ia sudah menyediakan cukup waktu untuk membuat negerinya am an. Di biara di ujung jalan, ia berhenti seperti yang selalu dilakukannya, dan menar uh botol sake di depan dewa keluarga Muto, me mohon maaf dari para mendiang. Muto Kenji memaafkanku, katanya, dan aku pun memaafkannya. Kami adalah teman dek at dan sekutu. Semoga kalian mau melakukan hal yang sama padaku. Tidak ada yang memecahkan kesunyian malam itu, tapi ia merasa tidak sendirian. T akeo merangsek kembali ke dalam bayangan, tangan di gagang pedang. Ia mendengar gemerisik di ded aunan yang telah jatuh, seolah ada makhluk yang bergerak melintasinya. Diintipnya ke arah s uara tadi, dan melihat dedaunan terserak pelan di bawah pijakan kaki yang tak terlihat. Ditangk upkan kedua tangan Halaman 157 dari 500

di depan dahi untuk membuka mata lebih lebar, dan kemudian melihat ke arah kirin ya, mendeteksi kemampuan menghilang. Makhluk itu menatapnya dengan mata hijau berkilau terkena sinar bintang. depan dahi untuk membuka mata lebih lebar, dan kemudian melihat ke arah kirinya, mendeteksi kemampuan menghilang. Makhluk itu menatapnya dengan mata hijau berkilau terkena sinar bintang. Hanya seekor kucing, pikirnya, tipuan cahaya kemudian ia menyadari dengan terperan jat ternyata tatapan mata kucing itu mengunci tatapannya; ia merasa terkejut karena ketakutan yang amat dalam. Kucing itu seperti makhluk halus yang tinggal di tempat ini, dikirim mereka yang sudah mati untuk menghukumnya. Takeo merasa hampir jatuh ke dalam sihir tidur Kikuta, meras a kalau pembunuh Kikuta sedang memanfaatkan makhluk halus ini. Segera mempertahankan dir i kini sudah menjadi sifat keduanya, membunuh sebelum dibunuh. Memanggil semua kekuatan dalam dirinya untuk mematahkan tatapan mematikan itu, lalu merogoh pisau lemparnya dengan semba rangan. Begitu pisau pertama yang terpegang langsung dilemparnya, melihat pantulan cahaya bintang selagi pisau itu berputar, mendengar akibatnya dan jerit kesakitan hewan itu. Kemampuan menghilang kucing itu sirna di saat melompat ke arahnya. Kini pedang sudah di tangannya. Dilihatnya kucing itu menunjukkan sederetan gigi. Mahkluk itu memang kucing, tapi kucing dengan ukuran dan kekuatan serigala. Serangkaian caka rnya menggaruk wajah Takeo saat ia berkelit lalu berbalik agar cukup dekat untuk bisa menikam l eher kucing itu, lalu ia menampakkan diri agar bisa lebih fokus pada serangannya. Tapi kucing itu berkelit melarikan diri. Jeritan kucing itu terdengar seperti je ritan manusia. Di sela-sela rasa kaget dan takut karena pertarungan itu, Takeo mendeng ar suara yang sudah dikenalnya. "Ayah," jerit hewan itu lagi. "Jangan sakiti aku! Ini aku, Maya!" Maya berdiri di hadapannya. Takeo membutuhkan seluruh kekuatannya untuk dapat men ghentikan tikaman pisau yang nyaris menggorok leher putrinya sendiri. Ia mendengar juga jer it putus asanya sendiri selagi memaksa tangannya membelokkan arah pisaunya. Pisau itu terjatuh d ari genggamannya. Meraih tubuh Maya lalu menyentuh wajahnya, merasakan basah karena darah atau air mata atau keduanya, "Aku nyaris membunuhmu," kata Takeo iba karena putrinya hampir terbunuh, sadar d engan air mata

di pelupuk matanya sendiri, dan ketika menyingsingkan lengan baju untuk menyekan ya, dirasakannya sengatan bekas dicakar, tetesan darah di wajahnya. "Apa yang kau lakukan di sini ? Kenapa kau di luar sendirian?" Hampir lega rasanya mengungkapkan kebingungannya dengan kemarah an. "Maaf, aku menyesal," Maya menangis seperti anak kecil, bingung dan sedih. Dipeluknya Maya erat-erat, terkejut ternyata putrinya sudah besar. Kepala Maya m enyembul di antara tulang dada Takeo; badannya tegak dan keras, lebih mirip badan anak lakilaki. "Jangan menangis," ujar Takeo dengan ketenangan penuh pengertian. "Kita akan men emui Taku, dan dia akan menceritakan pada Ayah apa yang terjadi pada dirimu." "Aku menyesal telah menangis," katanya dengan sesunggukan. "Ayah kira kau menyesal karena sudah berusaha membunuh ayahmu sendiri," sahut Ta keo seraya menggandeng tangan putrinya melewati gerbang kuil ke jalanan. "Tadi aku tidak tahu kalau itu Ayah. Aku tidak bisa melihat Ayah. Kukira Ayah ad alah pembunuh Kikuta. Begitu mengenali Ayah, aku berubah wujud. Aku tidak selalu melakukan itu dengan cepat, tapi aku makin pandai. Kendati aku tidak perlu menangis. Aku tak pernah menangis. Lal u tadi kenapa aku menangis?" "Mungkin karena kau senang berjumpa Ayah?" "Memang," Maya meyakinkan. "Tapi aku belum pernah menangis bahagia. Itu pasti karena terkejut. Aku takkan menangis lagi." "Tidak ada salahnya menangis," tutur Takeo. "Tadi Ayah juga menangis." Halaman 158 dari 500

"Kenapa? Apakah aku menyakiti Ayah? Pasti tidak ada apa-apanya dibandingkan deng an luka-luka yang pernah Ayah derita." Maya menyentuh wajahnya sendiri, "Ayah melukaiku lebih parah." Kenapa? Apakah aku menyakiti Ayah? Pasti tidak ada apa-apanya dibandingkan denga n luka-luka yang pernah Ayah derita." Maya menyentuh wajahnya sendiri, "Ayah melukaiku lebih parah." "Dan Ayah amat menyesal. Ayah lebih baik mati dari pada menyakitimu." Dia sudah berubah, pikir Takeo; bahkan cara bicaranya kasar, tanpa perasaan. Dan ada semacam tuduhan yang kuat di balik katakatanya, sesuatu yang lebih dari sekadar luka fisi k. Ketidakpuasan apa lagi yang ada dalam diri putrinya pada dirinya? Apakah kebencian karena diki rim jauh dari rumah, atau sesuatu yang lain? "Kau seharusnya tidak di luar sendirian." "Ini bukan salah Taku," sahut Maya cep at. "Ayah jangan menyalahkannya." "Siapa lagi yang harus disalahkan? Ayah memercayakan dirimu padanya. Dan di mana Sada? Ayah lihat kalian bertiga bersama tadi pagi. Mengapa dia tak bersamamu?" "Bukankah itu indah?" sahut Maya, menghindari pertanyaannya. "Shigeko kelihatan sangat cantik. Dan kuda itu! Ayah suka dengan hadiahnya? Apakah Ayah t erkejut?" "Entah mereka yang lengah atau kau yang tak patuh," kata Takeo, menampik perharia nnya dialihkan oleh komentar tiba-tiba Maya yang kekanak-kanakan. "Aku yang tidak patuh. Tapi aku memang harus bersikap begitu karena aku bisa mel akukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan orang lain. Tak ada orang yang bisa mengajariku. Aku ya ng harus mencari tahu." Maya menatap Takeo dengan tajam. "Kurasa Ayah belum pernah melakukannya?" Sekali lagi Takeo merasakan tantangan yang lebih berat. Tak bisa disangkalnya, t api memutuskan untuk tak menjawab, apalagi sekarang karena mereka sudah dekat gerbang kediaman Muto. Pe dih terasa menyengai wajahnya, dan tubuhnya terasa sakit karena pertarungan yang tiba-tiba dan keras tadi. Ia tak bisa melihat luka Maya dengan jelas, tapi bisa membayangkannya luka itu harus segera diobati bila tidak ingin berbekas. "Apakah keluarga di sini bisa dipercaya?" bisik Takeo. "Aku belum menanyakannya pada diriku sendiri!" sahut Maya. "Mereka keluarga Muto , kerabat Taku dan Sada. Pastinya begitu, kan?"

"Baiklah, segera saja kita cari tahu," gumam Takeo, dan mengetuk gerbang yang di palang, memanggil-manggil penjaga di dalam. Anjing menyalak marah. Perlu waktu agar dapat meyakinkan mereka untuk membuka gerbang karena tidak sege ra mengenali Takeo, tapi mereka mengenal Maya. Mereka melihat darah di bawah sinar lentera ya ng mereka bawa, berseru kaget lalu memanggil Taku Takeo perhatikan, tidak satu pun dari mereka men yentuh Maya. Tentu saja mereka menghindari berdekatan dengannya, maka Maya berdiri seolah dike liligi pagar yang tak nampak. "Dan Anda, tuan, apakah Anda terluka juga?" Salah satu orang menaikkan lentera h ingga sinarnya jatuh menimpa pipi Takeo yang tak berusaha untuk menutupi dirinya; ingin melihat reaksi mereka. "Ini Lord Otori!" bisik laki-laki itu, dan yang lainnya langsung berlutut. "Masu klah, tuan." Laki-laki yang memegang lentera tadi berdiri di samping, menerangi teras. "Bangunlah," kata Takeo kepada orangorang yang berlutut. "Bawakan air, dan sediki t kertas halus atau gumpalan kain sutra untuk menghentikan pendarahannya." Takeo melangkah mele wati teras, dan gerbang ditutup dengan cepat lalu dipalang. Penghuni rumah sudah terbangun; lentera di dalam rumah dinyalakan, dan pelayan b erdatangan dengan mata masih mengantuk. Taku muncul dari ujung beranda, berpakaian jubah ti dur berbahan katun, jaket berlapis meng-gantung di bahunya. Dia melihat Maya lebih dulu, dan langsung segera menghampiri. Takeo kira Maya akan dipukul tapi Taku memberi isyarat kepada penjaga untuk Halaman 159 dari 500

membawakan lentera, lalu memegangi kepala Maya dengan kedua tangan lalu memiring kannya kembawakan lentera, lalu memegangi kepala Maya dengan kedua tangan lalu m emiringkannya ke kanan dan ke kiri agar bisa melihat luka di pipinya. "Apa yang terjadi?" tanyanya. "Kecelakaan," sahut Maya. "Aku menghalangi jalan." Taku membimbing Maya ke beranda, menyuruhnya duduk lalu berlutut di sampingnya, mengambil segumpal kain dari pelayan lalu merendamnya dalam air. Di basuhnya luka Maya dengan hati-hati, meminta agar lentera lebih didekatkan. "Ini kelihaian seperti terkena pisau lempar. Siapa yang ada di luar sana dengan pisau lempar?" "Tuan, Lord Otori ada di sini," kata penjaga. "Beliau juga terluka." "Lord Takeo?" Taku memicingkan mala ke arah Takeo. "Maaf tadi aku tak melihat. A nda tak terluka parah, kan?" 'Tidak apa-apa," sahut Takeo, bergerak menghampiri beranda. Di anak tangga, sala h satu pelayan maju untuk melepas sandalnya. Takeo berlutut di samping Maya. "Mungkin sulit unt uk menjelaskan bagaimana aku bisa melakukannya. Bekas lukanya akan kelihatan selama beberapa wa ktu." "Maafkan aku," Taku mulai angkat bicara, tapi Takeo menaikkan tangan memberi isy arat agar Taku diam. "Kita bicara lagi nanti. Lakukan yang terbaik untuk mengobati luka putriku. Aku cemas lukanya akan berbekas." "Panggilkan Sada." perintah Taku kepada salah satu pelayan, dan beberapa waktu k emudian perempuan muda itu muncul dari ujung beranda, berpakaian seperti Taku dengan jubah tidur, rambutnya yang sepanjang bahu tergerai di wajahnya. Dia meli hat Maya secepatnya lalu masuk ke rumah, kembali dengan membawa kotak kecil. "Ini salep pemberian Ishida," kata Taku, seraya mengambil dan membukanya. "Pisaun ya tidak beracun, kan?" Tidak," sahut Takeo.

"Untung tidak terkena mata. Kau yang melemparnya?" "Kurasa begitu." "Setidaknya kita tak harus mencari para pembunuh Kikuta." Sada memegangi kepala Maya sementara Taku mengoleskan salep itu di lukanya; salep itu tampak agak lengket, seperti lem, dan menyatukan pinggiran luka sa-yatan. Maya duduk diam tanpa bergerak kesakitan, bi birnya mengkerut seolah ingin tersenyum, matanya terbuka lebar. Ada semacam ikatan aneh di antara mereka bertiga, pikir Takeo, karena adegan yang ada di depannya ini sarat dengan muatan emosi. "Ikut dengan Sada," kata Taku pada Maya. "Berikan sesuatu untuk membuatnya tidur ," katanya pada Sada. "Dan temani dia malam ini. Aku ingin bicara dengannya besok pagi." "Aku benar-benar menyesal," kata Maya. "Aku tidak bermaksud menyakiti ayahku." Namun nada suaranya justru kedengaran bertentangan dengan perkataannya. "Kami akan pikirkan hukuman yang akan membuatmu lebih menyesal lagi," ujar Taku. "Aku sangat marah, dan aku yakin Lord Otori juga begitu." "Mendekatlah," katanya pada Takeo. "Biar kulihat apa yang telah dilakukannya pad amu." "Mari masuk ke dalam," sahut Takeo. "Lebih baik kita bicara berdua saja." Sambil menyuruh pelayan membawakan air segar dan teh, Taku berjalan di depan ke ruang kecil di ujung beranda. Dilipatnya tikar tidur lalu mendorongnya ke sudut. Satu lentera m asih menyala, dan di Halaman 160 dari 500

sebelahnya berdiri sebotol sake dan mangkuk minum. Takeo mengamati semua yang di ada debelahnya berdiri sebotol sake dan mangkuk minum. Takeo mengamati semua ya ng di ada di ruangan itu tanpa sepatah kata pun. "Semula aku berharap bertemu denganmu sebelum kejadian ini," ujar Takeo, nada su aranya terdengar dingin. "Aku tak berharap berjumpa putriku dengan cara seperti ini." "Benar-benar tak ada alasan," sahut Taku. "Tapi aku obati dulu luka Anda; duduk di sini, dan minum ini." Taku menuang sake terakhir ke mangkuk dan memberikannya kepada Takeo. "Kau tidak tidur sendirian, tapi kau minum sendirian?" Takeo menghabiskan sake d engan sekali leguk. "Sada tidak menyukainya." Dua laki-laki muncul di pintu, yang satu membawa air, dan yang satunya lagi membawa teh. Taku mengambil mangkuk berisi air lalu membasuh pipi Takeo, Be kas cakarannya terasa perih. "Bawakan sake lagi untuk Lord Otori," pinta Taku pada si pelayan. "Darahnya cuku p banyak," gumamnya. "Cakarnya menyayat cukup dalam." Taku terdiam ketika si pelayan kembali dengan membawa sebotol sake. Lalu pelayan itu mengisi mangkuk minum sampai penuh lalu Takeo menenggaknya sampai habis lagi. "Kau punya cermin?" tanya Takeo pada pelayan itu. Dia mengangguk. "Akan kuambilkan." Si pelayan kembali dengan membawa sebuah benda yang lerbungkus kain coklat tua, berlutut lalu menyerahkannya pada Takeo. Dibukanya bungkusan itu. Cermin itu sangat berbeda dengan yang pernah dil ihatnya, pegangannya panjang, bulat, permukaan kacanya mengkilap. Takeo jarang melihat ba yangannya sendiri dan belum melihat dengan begitu jelas dan kini takjub pada wajahnya sendiri. Ia tidak pernah tahu bagaimana wajahnya sangat mirip Shigeru, namun lebih kurus dan lebih t ua. Bekas cakaran di pipinya memang dalam, pinggiran luka merah hati, darah yang mengering berwarna lebih gelap.

"Cermin ini berasal dari mana?" Pelayan itu menatap Taku dan bergumam, "Dari Kumamoto. Sesekali pedagang membawa barang dagangan, seorang laki-laki Kuroda, Yasu. Kami membeli pisau dan peralatan darin ya dia juga membawa cermin ini." "Kau pernah lihat cermin ini?" tanya Tiikeo pada Taku. "Belum untuk yang satu ini. Aku pernah lihat cermin yang serupa di Hofu dan Akas hi. Cermin-cermin ini cukup populer." Diketuk bagian permukaannya. "Terbuat dari kaca." Bagian belakangnya terbuat dari semacam logam yang tidak segera dikenali oleh Ta keo, diukir atau dibentuk menjadi motif bungabunga yang saling terjalin. "Benda ini dibuat di negeri seberang," tuturnya. "Sepertinya begitu," Taku setuju. Takeo melihat lagi bayangan wajahnya. Sesuatu tentang cermin asing itu mengganggu nya. Dan ia berusaha menyingkirkan perasaan itu sekarang. "Bekas luka ini akan lama hilangnya," katanya. "Uhh," Taku setuju, seraya menyeka luka itu dengan segumpal kertas bersih untuk mengeringkannya; lalu dia mulai mengoleskan salep yang lengket itu. Takeo mengembalikan cermin itu kepada si pelayan. Ketika perempuan itu pergi, Ta ku berkata, "Seperti apa wujudnya?" Halaman 161 dari 500

"Kucing itu? Ukurannya sebesar serigala, dan memiliki tatapan maut Kikuta. Kau b elum pernah Kucing itu? Ukurannya sebesar serigala, dan memiliki tatapan maut Ki kuta. Kau belum pernah melihainya?" "Aku pernah merasakan kucing itu ada dalam diri Maya, dan beberapa malam lalu Sa da dan aku sempat melihatnya sekilas. Kucing itu bisa menembus dinding. Kekuatannya luar bi asa besar. Maya menolak kehadirannya saat aku ada, kendati aku sudah berusaha membujuknya agar membiarkan sosok kucing itu keluar. Maya harus b elajar mengendalikannya: saat ini sepertinya roh kucing itu mengambil alih saat pertaha nan diri Maya lemah." "Dan ketika dia sendirian?" "Kami tak bisa mengawasinya setiap waktu. Dia harus patuh; harus bertanggung jaw ab atas perbuatannya." Takeo merasakan amarahnya meluap. "Aku tak mengharapkan dua orang yang kupercaya kan putriku akan berakhir dengan tidur bersama!" "Aku pun tidak mengharapkannya," sahut Taku pelan. "Tapi itu sudah terjadi. dan akan berlanjut." "Mungkin kau harus kembali ke Inuyama, dan kepada istrimu!" "Istriku tahu kalau aku selalu punya perempuan lain, di Inuyama dan dalam perjal anan-perjalananku. Tapi Sada berbeda. Sepertinya aku tidak bisa hidup tanpa dia." "Kebodohan macam apa ini? Jangan katakan kalau kau sedang dimabuk cinta!" "Mungkin benar. Bisa kukatakan kalau kemanapun aku pergi, dia akan ikut denganku , bahkan ke Inuyama." Takeo tercengang karena Taku begitu dimabuk cinta dan dia tidak berusaha menyemb unyikannya. "Kurasa ini menjelaskan alasan kau pergi jauh dari kastil." "Hanya sebagian. Sebelum kejadian dengan si kucing, setiap hari aku bersama Hiro shi dan Lord Kono. Tapi Maya merasa amat tertekan dan aku tak ingin meninggalkannya. Jika kuaj ak dia bersamaku. Hana pasti akan mengenalinya, bertanya-tanya tentang Maya. Semakin se dikit orang

yang tahu tentang masalah kerasukan ini. lebih baik. Ini bukan jenis laporan yan g mesti dibawa Kono kembali ke ibukota. Aku tengah memikirkan rencana Anda menikahkan putri sulung An da. Aku tidak ingin memberikan Hana dan Zenko senjata lebih banyak lagi untuk mereka gunakan m elawan Anda. Aku tidak memercayai keduanya. Aku sempat berbincang dengan kakakku tentang topik pe mbicaraan yang cukup mengganggu yaitu kepemimpinan keluarga Muto. Dia bertekad untuk memak sakan haknya sebagai penerus Kenji, dan ada beberapa aku tak tahu ada berapa banyak pihak yang tidak senang dengan gagasan perempuan berkuasa atas diri mereka." Jadi naluri Takeo benar untuk tidak memercayai keluarga Muto. "Apakah mereka mau menerimamu?" tanya Takeo. Takeo menuang sake lagi untuk mereka berdua, lalu meminumnya. "Aku tak ingin men yinggung Anda, Lord Otori, tapi hal-hal semacam ini selalu diputuskan dalam lingkup kelua rga, bukan dengan orang luar." Takeo mengambil cangkirnya lalu minum tanpa bicara. Akhirnya dia berkata, "Kau m embawa banyak berita huruk malam ini. Apa lagi yang mesti kau katakan padaku?" "Akio berada di Hofu, dan sejauh yang bisa kami tahu, dia berencana menghabiskan musim dingin di wilayah Barat aku takut kalau dia akan pergi ke Kumamoto." "Bersama anak itu?" "Sepertinya begitu." Tak satu pun dari mereka bicara selama beberapa saat. Kemud ian Taku berkata, "Akan cukup mudah untuk menyingkirkan mereka di Hofu, atau dalam perjalanan. Bia r aku yang Halaman 162 dari 500

mengaturnya. Begitu Akio sampai di Kumamoto, jika dia menghubungi kakakku maka d ia akan engaturnya. Begitu Akio sampai di Kumamoto, jika dia menghubungi kakakku maka dia akan disambut di sana, bahkan ditampung." "Tak boleh ada orang yang menyentuh anak itu." "Baiklah, hanya Anda yang bisa memutuskan itu. Satu lagi yang kutahu adalah Gosab uro sudah mati. Dia ingin berunding dengan Anda demi nyawa anak-anaknya, olah karena itula h Akio membunuhnya." Berita ini, dan juga sikap Taku yang terus terang, amat mengejutkannya. Gosaburo pernah memerintahkan hukuman mati untuk banyak orang salah satunya, setidaknya, pernah dilaksanakan Takeo sendiri tapi ternyata Akio malah berbalik membunuh pamannya, sa ma seperti saran Taku kalau ia sendiri yang harus membunuh putranya sendiri, memaksa dirinya mengingat kekejaman tanpa ampun Tribe. Melalui Kenji, dia berhasil mengendalikannya, tapi kini kendalinya atas diri mereka sedang diuji. Mereka selalu menyatakan bahwa bangsawan bisa berkuasa dan jatuh, tapi Tribe akan selamanya ada. Tapi bagaimana ia menghadapi musuh yang tak mudah ditan gani ini, yang tak mau berunding dengannya? "Anda harus memutuskan nasib sandera di Inuyama," ujar Taku. "Anda mesti meng eksekusi mereka sesegera mungkin. Bila tidak Tribe akan menganggap Anda lemah, d an itu akan menimbulkan lebih banyak perselisihan." "Aku akan bicarakan itu dengan istriku saat sudah kembali ke Hagi nanti." "Jangan terlalu lama," Taku mendesak. Takeo bertanya pada dirinya sendiri apakah Maya mesti pulang bersamanya tapi cemas dengan ketenangan pikiran Kaede, dan kesehatan istrinya selama kehamilannya. "Bagaimana dengan Maya?" "Dia bisa tinggal bersamaku. Aku tahu Anda merasa kecewa, tapi terlepas dari kej adian malam ini, kami sudah membuat kemajuan. Dia belajar mengendalikan kerasukan itu dan siapa yang tah u manfaat apa yang mungkin bisa kita ambil darinya. Maya berusaha membuat Sada dan aku sen ang: dia memercayai kami." "Tapi yang pasti kau tidak berencana jauh dari Inuyama selama musim dingin, lean ?"

"Aku tidak boleh terlalu jauh dari wilayah Barat. Aku harus terus mengawasi kaka kku. Mungkin aku akan menghabiskan musim dingin di Hofu: cuacanya lebih lembut, dan aku bisa mend engar semua desas-desus yang datang dan pergi melalui pelabuhan." "Dan Sada akan ikut denganmu?" "Aku membutuhkan Sada, terutama bila aku harus membawa Maya." "Baiklah." Kehidupan pribadinya bukanlah urusanku, pikir Takeo. "Lord Kono juga a kan ke Hofu. Dia akan kembali ke ibukota." "Dan Anda sendiri?" "Kuharap bisa tiba di rumah sebelum musim dingin. Aku akan tinggal di Hagi sampa i anak kami lahir. Lalu saat musim semi aku harus pergi ke Miyako." *** Takeo kembali ke kastil Maruyama tepat sebelum matahari terbit, kelelahan dengan kejadian malam itu, bertanya-tanya apa yang sedang dilakukannya selagi mengumpulkan lagi semua tenag anya yang melemah untuk ecnghilang, merayap di dinding lalu kembali ke kamarnya tanpa keta huan. Perasaan senangnya pada kemampuan Tribe sebelumnya telah sirna. Kini ia hanya merasa jijik pada dunia yang gelap itu. Aku sudah terlalu tua untuk ini, katanya pada dirinya saat menggeser pintu terbu ka Halaman 163 dari 500

lalu melangkah masuk. Penguasa macam apa yang mengendap-ngendap malam-malam deng an cara seperti ini, bak pencoleng? Aku pernah lolos dari cengkeraman Tribe, dan kukira aku telah meninggalkannya untuk selama-lamanya, tapi kekuatannya masih saja menjerat dirik u, dan warisan yang kuturunkan pada putri-putriku bukan berarti aku akan bebas. alu melangkah masuk. Penguasa macam apa yang mengendap-ngendap malam-malam denga n cara seperti ini, bak pencoleng? Aku pernah lolos dari cengkeraman Tribe, dan kukira aku telah meninggalkannya untuk selama-lamanya, tapi kekuatannya masih saja menjerat dirik u, dan warisan yang kuturunkan pada putri-putriku bukan berarti aku akan bebas. Takeo merasa amat terganggu dengan semua hal yang belum diketahuinya: lebih dari semuanya, keadaan Maya. Wajahnya meringis kesakitan; kepalanya pusing. Kemudian teringat m asalah dengan cermin tadi. Itu menandakan kalau barang-barang asing diperdagangkan di Kumamoto . Tapi orangorang asing itu seharusnya dikurung di Hofu, dan kini di Hagi: adakah orang asin g lain di negeri ini? Jika mereka berada di Kumamoto, Zenko pasti mengetahuinya, namun dia tidak menga takan sepatah kata pun tentang hal ini begitu pula Taku. Pikiran kalau Taku menyembunyikan sesua tu memenuhi dirinya dengan ke-marahan. Entah Taku menyembunyikannya atau dia memang tidak ta hu. Perselingkuhannya dengan Sada juga membuatnya khawatir. Laki-laki cenderung bersikap ceroboh saat terjerat asmara. Bila aku tak bisa mem ercayai Taku, tamatlah riwayatku. Tapi mereka kakak beradik... Kamar itu sudah terang saat Takeo tertidur. Ketika terbangun, diperintahkannya untuk mengurus keberangkatannya, dan menginstr uksikan Minoru untuk menulis surat pada Arai Zenko, memintanya menunggu Lord Otori. Hari sudah sore ketika Zenko datang, dibawa dengan tandu dan didampingi sebarisa n pengawal, semuanya berpakaian mewah, cakar beruang Kumamoto tergambar jelas di jubah dan p anji-panjinya. Bahkan dalam beberapa bulan sejak berjumpa di Hofu, penampilan Zenko dan pendamp ingnya sudah berubah. Dia semakin mirip ayahnya, secara fisik mengesankan dan dengan ke percayaan diri yang makin tinggi: tingkahnya, anak buah dan semua pakaian sena senjata mereka b erbicara dengan kemewahan dan mementingkan diri sendiri. Takeo sendiri telah mandi dan berpakaian dengan patut untuk pertemuan ini, menge nakan jubah resminya yang tampak menambah tinggi badannya dengan bentuk bahu melebar dan kaku sena lengan panjang . Tapi ia

tidak bisa menyembunyikan luka di pipinya, sayatan cakar, dan Zenko berseru kage t saat melihatnya, "Apa yang terjadi? Anda terluka? Tentunya tidak ada yang menyerang Anda, kan? Ak u tidak mendengar b eritanya'" "Bukan apa-apa," sahut Takeo. "Aku jatuh tersandung ranting di taman semalam." D ia akan mengira aku mabuk, atau bersama perempuan, pikirnya, dan akan makin membenciku. Karena di lihatnya ekspresi wajah Zenko yang merengut seperti tidak suka dan benci. Hari itu terasa dingin dan lembap, hujan turun tadi pagi. Daun-daun merah pohon maple berubah warna menjadi lebih gelap dan mulai berguguran. Sesekali angin berhembus di taman , membuat dedaunan melayang dan menari-nari. "Ketika kita bertemu di Hofu awal tahun ini, aku berjanji membicarakan masalah p engangkatan anak pada saat ini," tutur Takeo. "Kau tentunya mengerti kalau kehamilan istriku menye babkan tindakan formal apa pun sebaiknya ditunda." "Tentu saja kami berharap Lady Otori memberi Anda anak laki-laki," sahut Zenko. "Pada dasarnya, putra-putraku takkan mendahului keturunan Anda." "Aku menyadari kepercayaan yang kau miliki pada keluargaku," kata Takeo. "Dan ak u berterima kasih yang sedalam-dalamnya padamu. Aku menganggap Sunaomi dan Chikara sebagai anakku sendiri...." Takeo seperti melihat kekecewaan di wajah Zenko, dan merasa, aku harus menawarka n sesuatu kepadanya. Ia berhenti bicara selama beberapa saat. Takeo pernah berjanji untuk tidak menjodohkan putri-putrinya saat mereka masih mu da, namun ternyata ia berkata, "Aku usulkan Sunaomi dan putri bungsuku, Miki, ditunangkan saat mereka memasuki usia akil balik kelak." Halaman 164 dari 500

"Sungguh suatu kehormatan." Zenko tidak terdengar gembira dengan usulan ini, ken dati semua kataSungguh suatu kehormatan." Zenko tidak terdengar gembira dengan u sulan ini, kendati semua katakatanya terdengar patut. "Aku akan bicarakan kebaikan yang tiada tara ini dengan istriku saat kami menerima dokumen res mi tentang tawaran ini: harta benda apa yang akan mereka te rima, di mana mereka akan tinggal dan sebagainya." "Tentu saja," sahut Takeo, seraya berpikir, Dan aku harus membicarakannya dengan istriku. "Mereka berdua masih sangat muda. Masih ada banyak waktu." Setidaknya ta wa ran sudah di ajukan. Dia tidak bisa menyatakan kalau aku telah menghinanya. Tak lama kemudian Shigeko, Hiroshi, dan Miyoshi bersaudara datang bergabung, dan perbincangan beralih ke pertahanan wilayah Barat, ancaman atau kekurangan yang ditanyakan ora ng-orang asing, hasil dan bahan-bahan yang orang-orang asing ingin perjualbelikan. Takeo menyebu tkan tentang cermin, bertanya dengan santai apakah benda semacam itu bisa dibeli di Kumamoto. "Mungkin," sahut Zenko mengelak. "Benda-benda itu masuk melalui Hofu, kurasa. Pe rempuan sangat menyukai barangbarang baru semacam itu! Kurasa istriku pernah menerima beberapa s ebagai hadiah." "Jadi tidak ada orang asing di Kumamoto?" "Tentu saja tidak ada!" Zenko membawa catatan dan laporan tentang semua kegiatannya: senjata yang sudah ditempanya, biji besi yang dibelinya; segalanya tampak teratur, dan dia mengulang keberatannya atas kesetiaaan kewajiban feodal. Takeo tidak berbuat apa-apa selai n menerima kalau catatan itu benar, keberatan tersebut memang apa adanya. Ia berbicara singkat te ntang usulan untuk mengunjungi Kaisar, mengetahui kalau Kono pasti sudah membicarakannya dengan Zen ko; ditekankan niatnya yang penuh damai, dan menceritakan pada Zenko kalau Hiroshi mau pun Shigeko akan ikut mendampinginya. "Bagaimana dengan Lord Miyoshi?" tanya Zenko, menatap sekilas ke arah Kahei. "Di a akan berada di mana tahun depan?" "Kahei akan tinggal di Tiga Negara," sahut Takeo. "Tapi dia akan pindah ke Inuyama sampai aku kembali dengan selamat. Gemba ikut b ersama kami ke Miyako." Tak ada yang menyebutkan bahwa sebagian besar kekuatan Negara Tengah akan menung

gu di perbatasan wilayah Timur di bawah perintah Miyoshi Kahei, tapi tak mungkin menut upi kabar ini dari Zenko. Pikiran Takeo melayang pada bahaya meninggalkan Negara Tengah tanpa perlin dungan tapi Yamagata dan Hagi hampir tak mungkin diduduki, dan penduduknya pasti akan melawan. Kaede pasti mempertahankan Hagi melawan serangan dari manapun , dan istri juga putra-putra Kahei akan melakukan hal yang sama di Yamagata. Mereka melanjutkan pembicaraan hingga hampir larut malam, sementara sake dan mak anan disajikan. Selagi undur diri, Zenko berkata kepada Takeo, "Ada satu hal lagi yan g harus kita bicarakan. Bisakah Anda keluar ke beranda? Sebaiknya hal ini kubicarakan berdua s aja." "Tentu," sahut Takeo setuju dengan ramah. Hujan turun lagi; angin terasa dingin Ta keo merasa lelah, ingin sekali tidur. Mereka berdiri di bawah naungan tepian atap yang mene teskan air hujan. Zenko berkata, "Ini soal keluarga Muto. Kesan yang kudapat adalah banyak pihak d i keluargaku, di seluruh penjuru Tiga Negara. sementara mereka amat menghormati ibuku dan juga An da, merasa kalau bagaimana cara mengatakannya? tidak beruntung, bahkan salah, dipimpin perempua n. Mereka mempertimbangkan aku sebagai kerabat lakilaki tertua dari Kenji untuk menj adi pewarisnya." Zenko melihat sekilas pada Takeo. "Aku tak ingin menyinggung Anda, t api orang-orang tahu keberadaan cucu Kenji, putra Yuki. Ada rumor yang mengatakan ka lau dialah yang seharusnya mewarisi jabatan itu. Sebaiknya aku cepat-cepat ditunjuk sebagai pimpi nan keluarga: ini Halaman 165 dari 500

bisa membungkam rumor semacam itu dan meyakinkan untuk menegakkan tradisi." Seny um tipis kepuasan sesaat menari-nari di wajahnya. isa membungkam rumor semacam itu dan meyakinkan untuk menegakkan tradisi." Senyu m tipis kepuasan sesaat menari-nari di wajahnya. "Anak itu tentu saja merupakan pewaris Kikuta," lanjutnya. "Lebih baik tetap men jauhkannya dari Muto." "Tidak ada yang tahu apakah dia masih hidup atau sudah mati, ditambah lagi keber adaannya," ujar Takeo, berpura-pura bersikap ramah yang sebenarnya telah sirna dari dalam diriny a. "Oh, kurasa mereka tahu," bisik Zenko, dan seraya memperhatikan reaksi kemarahan Takeo, "Aku hanya berusaha membantu Lord Otori dalam situasi yang sulit ini." Andai kita bukan saudara ipar, Andai ibunya bukan sepupuku dan salah satu sahaba tku, aku akan penntah dia menca but nyawanya sendiri! Aku harus melakukannya. Aku tak bisa mem ercayainya. Aku hams melakukannya sekarang juga, saat dia masih di Maruyama dan dalam kekuasaanku. Takeo diam sementara pikirannya berkecamuk hebat. Akhirnya ia berkata, berusaha b ersikap halus, "Zenko, aku sarankan kau tidak mendesakku lebih jauh lagi. Kau memiliki tanah da n bangunan yang luas, tiga putra, serta istri yang cantik. Aku telah menawarimu persekutuan yang lebih dalam dengan keluargaku melalui ikatan pernikahan. Aku menghargai persahabatan kita dan meman dangmu dengan penuh hormat. Tapi aku takkan membiarkanmu menantangku...." "Lord Otori!" protes Zenko. "Atau menyebabkan perang saudara di negara kita. Kau sudah bersumpah setia kepad aku; kau berutang nyawa padaku. Mengapa aku selalu harus mengulang-ulangnya? Aku lelah. Un tuk yang terakhir kalinya, kuanjurkan kau kembali ke Kumamoto dan menikmati hidup yang ku berikan padamu. Bila tidak, aku akan memintamu untuk mengakhirinya." "Anda tidak akan mempertimbangkan pendapatku tentang pewarisan di keluarga Muto? " "Aku mendesakmu untuk mendukung ibumu sebagai pimpinan keluarga dan mematuhinya. Lagipula, kau sudah memilih car a hidup sebagai ksatria aku tidak mengerti mengapa kau mencampuri masalah Tribe!" Saat ini Zenko gusar, dan kurang berhasil menutupinya! "Aku dibesarkan oleh Trib e. Aku juga

anggota keluarga Muto seperti halnya Taku." "Hanya ketika kau melihat ada keuntungan politis di baliknya! Jangan pikir kau bi sa terus tidak terkendali untuk menentang wewenangku. Jangan pernah lupa kalau kedua putramu ada di tanganku sebagai sandera atas kesetiaanmu." Itu pertama kalinya Takeo secara langsung mengancam anak-anak itu. Surga selamat kan diriku karena aku harus membuat ancaman ini, pikirnya. Tapi yang pasti Zenko takkan mem pertaruhkan nyawa kedua putranya. "Aku mengusulkan ini agar seluruh negara ini lebih kuat, dan untuk mendukung Lor d Otori," tutur Zenko. "Aku minta maaf karena telah membicarakannya. Mohon dilupakan saja." Saat kembali, bagi Takeo, peran mereka bak dalam pertunjukan drama, diarahkan oleh tangan nasib untuk memainkan peran mereka sampai habis; ruang penonton, dih iasi dengan pahatan timbul emas di pilar dan kasaunya, penuh dengan pengawal berjubah warnawarna cemerlang menjadi latarnya. Saling menyembunyikan kemarahan, mereka mengucapkan s elamat tinggal dengan sikap sopan yang dingin. Keberangkatan Zenko dari Maruyama direnc anakan keesokan harinya, sementara Takeo lusa. "Jadi kau akan sendirian di wilayahmu ini," kata Takeo kepada Shigeko sebelum me reka beristirahat. "Hiroshi akan berada di sini untuk membantuku, setidaknya sampai tahun depan," sa hut Shigeko. "Tapi apa yang terjadi pada Ayah tadi malam? Siapa yang membuat Ayah terluka sep erti itu?" Halaman 166 dari 500

"Aku tidak bisa menyimpan rahasia darimu," sahut Takeo. "Tapi aku tak ingin meng anggu ibumu di saat seperti ini, jadi pastikan kalau ibumu tak mendengarnya," Takeo menceritaka n dengan singkat tentang Maya, tentang kerasukan dan hasilnya. Shigeko mendengarkan tanpa bicara, tidak menunjukkan ekspresi kaget maupun takut, ku tidak bisa menyimpan rahasia darimu," sahut Takeo. "Tapi aku tak ingin mengan ggu ibumu di saat seperti ini, jadi pastikan kalau ibumu tak mendengarnya," Takeo menceritaka n dengan singkat tentang Maya, tentang kerasukan dan hasilnya. Shigeko mendengarkan tanpa bicara, tidak menunjukkan ekspresi kaget maupun takut, dan Takeo berterima kasih yang tak terkira kepadanya. "Maya akan berada di Hofu bersama Taku selama musim dingin," ujar Takeo. "Kemudian kita harus terus berhubungan dengan mereka. Dan kita juga akan mengawas i Zenko dengan cermat. Ayah jangan khawatir. Dalam Ajaran Houou kami sering menghadapi m asalah seperti kerasukan hewan ini. Gemba tahu banyak tentang hal ini, dan dia pernah mengajari ku." "Apakah Maya mesti ke Terayama?" "Dia akan ke sana di waktu yang tepat." Shigeko tersenyum lembut saat Takeo mela njutkan bicara. "Semua roh mencari kekuatan yang lebih besar yang bisa mengendalikan mereka dan m emberi kedamaian." Takeo bergidik. Shigeko tampak seperti orang asing, penuh teka-teki dan bijaksan a, Tiba-tiba ia teringat pada perempuan buta yang mengatakan ramalannya, yang menyebut nama kecil nya dan mengenal siapa dirinya sebenarnya. Aku harus kembali ke sana, pikirnya. Aku akan ziarah ke pegunungan, tahun depan setelah anakku lahir, setelah perjalananku ke ibukota. Ia merasa kalau Shigeko memiliki kemampuan spiritual yang sama. Semangatnya bangkit lagi selagi memeluk putrinya l alu mengucapkan selamat malam. "Kurasa Ayah harus menceritakannya pada Ibu," kata Shigeko. "Seharusnya Ayah jan gan menyimpan rahasia dari Ibu. Ceritakan tentang Maya. Ceritakan semuanya pada Ibu."* Kumamoto, kota kastil Arai, terbentang di barat daya Tiga Negara, dikelilingi peg unungan yang kaya akan bijih besi dan batu bara. Sumber alam ini menyebabkan perkembangan industrin ya maju pesat untuk segala macam bentuk peralatan dari logam, dan terutama pembuatan pedang. B anyak perajin

pedang serta tempat penempaan besi yang sudah terkenal, begitu pula halnya waktu belakangan ini, berkembang bisnis yang bahkan lebih menguntungkan, yaitu membuat senjata api. "Paling tidak," gerutu si tua, Koji, "Akan lebih menguntungkan jika Otori ijinka n kita memproduksi hasil yang cukup untuk memenuhi permintaan. Pompa yang keras, nak." Hisao memompa pegangan dengan tiupan sekuat tenaga dan kotak pemanas semakin pan as, dengan hawa panas yang seakan membakar wajah dan tangannya. Hisao tidak keberatan karena musim dingin sudah tiba sejak mereka sampai di Kumamoto dua min ggu lalu; angin dingin berhembus dari laut keabuan, dan tiap malam terasa dingin menggigit. "Apa hak mereka mendikte Arai apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dib uat, apa yang boleh kami jual dan apa yang dilarang!" imbuh Koji. Hisao mendengar nada tidak senang yang sama di mana-mana. Ayahnya mengatakan, de ngan gembira, bahwa para pengawal Arai tiada henti menghembuskan desas-desus, membang kitkan ketidaksenangan untuk menentang Otori, mempertanyakan mengapa Kumamoto kini tundu k pada Hagi ketika Arai Daiichi sudah menaklukkan seluruh Tiga Negara, tak seperti Otor i Takeo yang hanya Halaman 167 dari 500

mengambil keuntungan dari gempa, lalu menyebabkan kematian Lord Arai dengan meng gunakan senjata api yang sama yang kini dilarangnya. engambil keuntungan dari gempa, lalu menyebabkan kematian Lord Arai dengan mengg unakan senjata api yang sama yang kini dilarangnya. Akio dan Hisao mengetahui saat mereka tiba di Kumamoto bahwa Zenko tidak ada di sana dia dipanggil ke Maruyama oleh Lord Otori. "Memperlakukannya bak pelayan," ujar penjaga penginapan pada malam pertama mereka, saat makan malam. "Mengharapkan Ar ai menyerahkan semuanya. Belum cukupkah Otori menyandera kedua putra Arai?" "Dia suka mempermalukan sekutu maupun musuhnya," ujar Akio. "Untuk memuaskan kesombongannya sendiri. Tapi sebenarnya dia tidak punya kekuatan. Dia akan jatuh, dan Otori pun akan tumbang ber-samanya." "Akan ada perayaan di Kumamoto pada hari itu," sahut laki-laki yang satu lagi, s ambil mengangkat semua piring lalu kembali ke dapur. "Kita tunggu sampai Arai kembali," kata Akio pada Kazuo. "Setelah itu kita akan membutuhkan dana," ujar Kazuo. "Terutama dengan tibanya mu sim dingin. Uang Jizaemon sudah hampir habis." Hisao tahu kalau hanya ada sedikit keluarga Kikuta di wilayah ujung Barat, dan m ereka adalah keluarga yang kehilangan kekuasaan dan pengaruh selama masa pemerintahan Otori. K endati demikian, beberapa hari kemudian, seorang pemuda berwajah tajam datang meminta d ipanggilkan Akio pada satu malam. Dia memberi salam dengan sikap tunduk dan gembira, dan memanggi l Akio dengan sebutan Ketua serta menggunakan bahasa dan lambang rahasia keluarga Kuroda . Pemuda itu bernama Yasu; berasal dari Hofu dan lari ke Kumamoto setelah bermasalah di s ana karena terlibat dalam penyelundupan senjata api. "Aku sudah mati!" selorohnya. "Lord Arai harus mengeksekusi diriku atas perintah Lord Otori; tapi untungnya dia masih menganggapku terlalu berharga, dan membuat pertukaran." "Apakah ada banyak orang sepertimu yang bekerja pada Arai?" "Ya, ada banyak. Keluarga Kuroda selalu berhubungan dengan Muto, seperti yang ka u tahu, tapi kami juga punya banyak hubungan dengan Kikuta. Lihatlah Shintaro yang hebat! Separuh Kuroda, separuh Kikuta."

"Dibunuh Otori, seperti Kotaro," Akio mengamati dengan tenang. "Masih banyak kematian yang belum terbalaskan," ujar Yasu sepakat. "Keadaannya be rbeda saat Kenji masih hidup, tapi sejak kematiannya, semenjak Shizuka menjadi ketua segalany a berubah. Tak ada yang merasa senang. Pertama-tama karena merasa tidak benar dipimpin seorang perempuan , dan yang kedua karena Otori yang mengaturnya. Seharusnya Zenko yang menjadi pimpinan, dial ah kerabat laki-laki tertua dan bila dia tak ingin meneruskannya, dengan menjadi bangsawan besar, maka seharusnya jabatan itu dipegang Taku." "Taku adalah tangan kanan Otori, dan terlibat dalam kematian Kotaro," tutur Kazuo . "Lagipula, saat itu dia masih kecil, dan masih bisa dimaafkan tapi tidak benar kal au hubungan antara Muto dan Kikuta menjadi begitu jauh. Dan itu juga ulah Otori." "Kami di sini untuk memperbaiki jembatan yang terputus dan menyembuhkan luka," t utur Akio kepadanya. "Memang itulah yang kami harapkan. Lord Zenko akan senang, bisa kukatakan itu pa damu." Halaman 168 dari 500

Yasu membayar penjaga penginapan lalu mengajak mereka ke tempat menginapnya send iri, di belakang toko tempat dia menjual pisau dan peralatan dapur lainnya. Yasu sangat menyukai golok, yang digunakan jurumasak hebat di kastil hingga bilah pisau asu membayar penjaga penginapan lalu mengajak mereka ke tempat menginapnya sendi ri, di belakang toko tempat dia menjual pisau dan peralatan dapur lainnya. Yasu sangat menyukai golok, yang digunakan jurumasak hebat di kastil hingga bilah pisau kecil dengan ketajaman luar biasa untuk memotong daging. Saat mengetahui ketertar ikan Hisao pada segala macam peralatan, diajaknya Hisao ke tempat penempaan besi yang dibel inya; salah satu pandai besi, Koji, membutuhkan asisten, dan Hisao mengasah ketrampilannya bersam a laki-laki itu. Hisao menyukainya, bukan hanya pekerjaannya dia memang terampil mengerjakannya tapi juga karena pekerjaan itu memberinya lebih banyak kebebasan, dan menjauhkannya dari k ehadiran Akio yang membuatnya merasa tertekan. Sejak meninggalkan rumah, dipandangnya sang ayah dengan pandangan baru. Ia sudah dewasa. Bukan lagi bocah yang bisa didominasi dan dilec ehkan. Pada tahun baru nanti usianya beranjak tujuh belas tahun. Karena utang dan kewajiban, pekerjaannya pada Koji dibayar dengan makanan dan te mpat tinggal, kendati Yasu sering mengaku kalau dia tidak mengambil keuntungan apa pun dari Pi mpinan Kikuta, suatu ke-hormatan diijinkan membantu. Namun menurut Hisao, Yasu adalah orang yan g penuh perhitungan yang tidak mau memberi dengan cuma-cuma: bila Yasu menolong mereka sekarang, itu karena dia melihat akan ada keuntungan di masa akan datang. Dan Hisao juga melihat kalau Akio sudah semakin tua, dan betapa kuno cara berpikirnya, seolah su dah membeku selama bertahun-tahun karena mengasingkan diri di Kitamura. Hisao menyadari bagaimana Akio merasa tersanjung dengan perhatian Yasu, bahwa ay ahnya haus akan rasa hormat dan status dengan cara yang hampir ketinggaian jaman di kota ya ng sibuk dan moderen ini. Klan Arai penuh dengan rasa percaya diri serta kebanggaan. Wilayah mereka kini terbentang melintasi wilayah Barat: Noguchi dan Hofu milik mereka. Mereka mengen dalikan pesisir dan jalur kapal laut. Kumamoto dipenuhi pedagang bahkan beberapa orang asing, tida k hanya dari Shin dan Shilla, tapi juga, kabarnya, dari Kepulauan Kecil Barat, orang barbar d engan mata seperti buah ek serta berjanggut lebat, dan barang-barang yang indah tiada tara. Kehadiran mereka di Kumamoto ditandai dengan bisik-bisik karena seluruh kota tah u larangan Otori yang tak masuk akal pada siapa pun bertransaksi dengan orang asing

secara langsung: semua perdagangan harus melalui pusat pemerintahan Klan Otori, diatur dari Hofu satu-satunya pelabuhan tempat kapal asing diijinkan secara resmi merapat. Hal in i dipercaya banyak orang begitu adanya karena Negara Tengah ingin mengambil keuntungan bagi mereka sendiri, begitu pula dengan berbagai penemuan, dan begitu pula dengan masalah pe rsenjataan yang sangat efektif, sangat mematikan. Klan Arai mulai membara di balik ketidakadilan . Meskipun Hisao belum pernah melihat orang barbar, tapi dia tertarik saat Jizaemo n memperlihatkan benda-benda mereka. Yasu kerapkali memanggilnya ke tempat penempaan di sore hari untuk memberi perintah baru, mengumpulkan persediaan baru pisau, mengirim kayu untuk b agian pembakaran; suatu hari dia ditemani laki-laki bertubuh tinggi berpakaian mantel panjang dengan tudung yang menutupi wajahnya. Mereka tiba pada sore hari; matahari sudah mulai tenggelam dan langit suram membawa ancaman salju yang akan turun. Kala itu kirakira pertengahan bulan kesebelas. Hanya bara api yang mewarnai bumi yang berubah dari hitam menjadi abu -abu pada musim dingin. Begitu tiba di jalanan, si orang asing menyibakkan tudungnya dan Hisao menyadari dengan terkejut dan keingintahuan kalau itu orang barbar. Orang barbar itu hampir tidak bisa berbicara dengan mereka dia hanya tahu beberapa kata, tapi dia dan Koji adalah tipe orang yang bicara dengan bahasa isyarat, yang lebih memaham i permesinan ketimbang bahasa, dan selagi Hisao mengikuti mereka di sekitar tempat penempaan, disadarinya kalau ia juga seperti itu. Ia menangkap maksud si orang barbar secepat Koji mema haminya. Perhatian orang asing itu tersita oleh metode mereka, mempelajari semuanya dengan kilatan matanya yang cepat, menggambar sketsa tempat pembakaran, tempat meniup bara api, belanga, cet akan dan pipa; setelah itu, ketika mereka minum sake, orang itu mengeluarkan buku, dilipat deng an cara yang aneh, dicetak, bukan ditulis, dan memperlihatkan gambar-gambar yang terlihat jelas kala u itu cara-cara Halaman 169 dari 500

penempaan. Koji mengamatinya dengan cermat, dahinya berkerut, jemarinya menggaruk -garuk belakang telinga. Hisao, yang berlutut di satu sisi, mengintip di bawah cahaya r emang-remang, bisa me mpaan. Koji mengamatinya dengan cermat, dahinya berkerut, jemarinya menggaruk-gar uk belakang telinga. Hisao, yang berlutut di satu sisi, mengintip di bawah cahaya r emang-remang, bisa me rasakan semangat dalam dirinya yang semakin tinggi selagi halaman buku dibolakbal ik. Di benaknya muncul berbagai macam kemungkinan yang bisa dilakukan. Pada halaman terakhir ada beberapa senjata api: sebagian besar senjata panjang dengan benluk aneh yang sudah dikenalnya, tap i ada satu, di bagian bawah halaman, terselip di antara senjata yang lain bak seekor a nak kuda di antara kaki induknya. Bentuknya kecil, hampir berukuran sepertiga dari panjang semua se njata lainnya. Hisao tidak tahan untuk mengulurkan dan menyentuh dengan jari telunjuknya. Si barbar tertawa cekikikan. "Pistola!" dia membuat gerakan menyembunyikan senja ta itu di balik pakaian, lalu mengeluarkannya dan mengarahkannya pada Hisao. "Pa! Pa!" Dia tertawa. "Morto!" (=mati) Hisao belum pernah melihat benda seindah itu, dan segera menginginkannya. Laki-laki itu menjentikkan jari, dan mereka semua memahami maksudnya. Senjata se macam itu mahal. Tapi bisa dibuat, pikir Hisao, dan bertekad untuk mempelajari cara membua tnya. Yasu menyuruh Hisao pergi sewaktu dia membicarakan soal pembayaran. Bocah itu membereskan tempat penempaan, memadamkan api lalu menyiapkan semua peralatan untuk keesokan harinya. Ia membuat teh untuk ora ng-orang itu, lalu mengisi mangkuk sake mereka kemudian pulang, benaknya dipenuhi dengan berbagai i de tapi entah karena ide-ide itu, atau tidak terbiasa dengan sake, atau angin dingin set elah hawa panas di tempat penempaan telah membuat kepalanya pening. Saat sampai di rumah Yasu, yang terlihat olehnya hanyalah separuh dari bangunan, hanya separuh dari pajangan pisau dan ka pak. Hisao tersandung anak tangga, dan selagi berusaha menyeimbangkan tubuh, dilihatn ya ibunya dalam kabut hampa tempat separuh dari dunia berada. Wajah ibunya tampak memohon dengan penuh kelembutan dan ketakutan. Hisao merasa mual sewaktu kekuatan meminta bantuan perempuan itu menghantam dirinya. Rasa sakitnya makin tak

tertahankan. Tidak tahan untuk mengerang, kemudian disadarinya kalau ia ingin mu ntah, jatuh dengan tangan dan lutut menahan tubuh, merangkak ke teras lalu membungkuk ke parit. Sake tadi terasa masam di mulutnya; matanya berair karena rasa sakit, angin sedi ngin es membuat air matanya terasa membeku di pipinya. Perempuan itu mengikutinya keluar mengambang di atas tanah, garis bayangan tubuh nya tersamar oleh kabut dan hujan salju. Akio, ayahnya, berseru dari dalam. "Siapa di sana? Hisao? Tutup pintunya, dingin sekali." Ibunya bicara, suaranya di kepala Hisao menyengat bak es. "Kau tidak boleh membun uh ayahmu." Hisao tidak tahu kalau ia pernah ingin melakukannya. Saat itu ia merasa ketakuta n kalau ibunya tahu semua vang ada di benaknya, kebencian juga kasih sayangnya. Perempuan itu berkata, "Aku takkan membiarkanmu melakukannya." Suara perempuan itu tidak bisa ditolerir lagi, menggetarkan seluruh urat syaraf di sekujur tubuhnya, membuat semua syarafnya bak terbakar api. Hisao berteriak ke arah perempuan itu. "Pergi! Tinggalkan aku sendiri!" Di sela-sela erangannya, disadarinya ada yang mendekat, dan mendengar suara Yasu . "Apa-apaan ini!" seru laki-laki itu, kemudian memanggil Akio, "Ketua! Cepat kema ri! Putramu...." Mereka membopongnya ke dalam dan membersihkan muntahan dari wajah dan rambutnya. Halaman 170 dari 500

"Si bodoh ini minum terlalu banyak sake," kata Akio. "Seharusnya dia tidak boleh minum. Kepalanya tidak kuat untuk itu. Biarkan dia tidur." Si bodoh ini minum terlalu banyak sake," kata Akio. "Seharusnya dia tidak boleh minum. Kepalanya tidak kuat untuk itu. Biarkan dia tidur." "Hisao hampir tidak minum sake," sahut Yasu. "Mestinya dia tidak mabuk. Mungkin dia sakit?" "Terkadang dia sakit kepala. Penyakitnya itu sudah dideritanya sejak kecil. Tida k apaapa. Rasa sakitnya akan hilang dalam satu atau dua hari." "Anak malang, dibesarkan tanpa ibu!" ujar Yasu, separuh bicara pada diri sendiri , selagi membantu Hisao berbaring dan menyelimutinya. "Dia menggigil kedinginan. Akan kuseduh sesua tu untuk raembantunya tidur." Hisao minum teh dan merasakan kehangatan perlahan mulai kembali ke tubuhnya; mengg igilnya berkurang, tapi rasa sakitnya tidak berkurang, begitu pula dengan suara perempuan itu. Kini perempuan itu melayang di kamar yang gelap Hisao tidak perlu lentera untuk bisa melihatnya. Mengerti samar-s amar kalau ia mendengarkan perkataan perempuan itu maka rasa sakitnya akan berkurang, tapi ia t ak ingin mendengarnya. Hisao menarik rasa sakit itu di sekeliling dirinya sebagai tameng untuk melawan perempuan itu, dan ingatan tentang senjata api kecil yang indah tadi serta betap a ia ingin membuatnya. Rasa sakit membuatnya liar, bak hewan yang disiksa. Membuatnya ingin melampiaskan nya pada orang lain. Teh meredakan ambang batas kesadarannya, dan ia pasti tertidur sebentar. Saat terb angun, didengarnya Akio dan Yasu tengah berbincang, mendengar dentingan mangkuk sake da n suara pelan mereka selagi minum. "Zenko sudah kembali," kata Yasu. "Aku tidak bisa menahan perasaan kalau pertemua n kalian akan membawa keuntungan bagi semua orang." "Itu tujuan utama kami keraari," sahut Akio. "Bisakah kau mengatumya?" "Aku yakin bisa. Zenko pasti sangat ingin menyatukan keretakan antara Muto dan Kikuta. Dan lagipula, kalian ada hubungan k erabat dengan ikatan pernikahan, kan? Putramu dan putra Zenko semestinya saudara sepupu." "Zenko memiliki kemampuan Tribe?"

"Bukan seperti yang diketahui banyak orang. Dia seperti ayahnya, seorang ksatria . Tidak seperti adiknya." "Putraku hanya memiliki sedikit kemampuan," aku Akio. "Dia pernah belajar beberapa hal, tapi tak berbakat. Hal i tu membuat kalangan Kikuta kecewa. Ibunya dulu sangatlah berkemampuan tinggi, tapi dia tak mewariska n apa pun pada putranya." "Tapi tangannya terampil. Koji cukup menyanjung anak itu dan Koji tak pernah memuj i siapa pun." "Tapi itu tak membuatnya sebanding dengan Otori." "Itukah yang kau harapkan? Kalau Hisao akan menjadi pembunuh agar bisa menghabisi Takeo?" "Hidupku tidak akan damai sampai Otori mati." "Aku memahami perasaanmu, tapi Takeo itu amat pandai sekaligus beruntung. Itu sebabnya kau harus bicara dengan Zenko. Sepasukan ksatria mungkin bisa berhasil menggantikan kegagalan para pembunuh Tribe." Yasu minum lagi lalu tertawa terkekeh. "Selain itu, Hisao menyukai senjata. Sepu cuk senjata lebih kuat ketimbang kekuatan magis Tribe mana pun, bisa kupastikan itu. Barangkali di a akan mengejutkanmu!"* Halaman 171 dari 500

"Kau bilang dia mengancam anak-anak kita secara terang-terangan?" Lady Arai mena rik baju luarnya yang terbuat dari bulu. Angin bercampur hujan es yang berhembus dari laut sepanj ang minggu sejak kembalinya mereka dari Maruyama akhirnya berubah menjadi salju. Angin berhenti b erhembus dan serpihan salju mulai berjatuhan perlahan dan mantap. "Jangan khawatir," sahut suaminya, Zenko. "Dia hanya menggertak. Takeo takkan men yakiti mereka. Dia terlalu lemah untuk melakukan hal itu." "Di Hagi pasti sudah turun salju," ujar Hana, seraya menatap ke laut di kejauhan dan memikirkan anak-anaknya. Dia belum bertemu dengan mereka lagi sejak mereka pergi saat musim panas. Zenko berkata, dengan niat buruk mewarnai nada suaranya, "Dan di pegunungan; deng an keberuntungan Takeo akan terjebak di Yamagaia dan takkan bisa kembali ke Hagi sebelum musim semi. Salju turun lebih awal tahun ini." "Setidaknya kita tahu Lord Kono sudah aman dalam perjalanannya kembali ke Miyako ," komentar Hana, karena mereka telah menerima pesan dari sang bangsawan saat hendak meningg alkan Hofu. "Mari berharap dia menyiapkan penyambutan yang hangat bagi Lord Otori tahun depan," ujar Zenko, lalu tawanya m eledak. "Menyenangkan melihat Takeo terbuai pujian," gumam Hana. "Kono memang pendusta y ang lihai dan patut dipercaya!" "Seperti yang dikatakannya sebelum pergi," komentar Zenko, "Jaring Surga amatlah luas, lubang jaringnya tipis. Kini jaringnya ditarik lebih kencang. Pada akhirnya Takeo akan t erjerat di dalamnya." "Aku terkejut dengan kabar tentang kakakku," ujar Hana. "Kukira dia sudah tak bi sa hamil lagi." Dibelainya permukaan bulu, dan ingin merasakan di kulitnya. "Bagaimana kalau nan ti anaknya lakilaki?" "Tak ada perbedaan besar, jika semuanya berjalan sesuai tencana." sahut Zenko. " Begitu pula halnya dengan perjodohan antara Sunaomi dan putri mereka." "Sunaomi tak boleh menikah dengan si kembar!" ujar Hana. "Tapi kita akan purapura menerima itu." Mereka tersenyum dengan tatapan penuh kelicikan.

"Satu-satunya hal baik yang pernah Takeo lakukan yaitu menikahkanku denganmu," u jar Zenko. Sedangkan bagi Takeo merupakan kesalahan fatal, pikir Hana. Andai dia menyerah pa daku dan mengambilku sebagai istri keduanya, betapa berbedanya keadaan jadinya? Aku bisa memberinya anak laki-laki; tanpa diriku Zenko akan jadi tak lebih dari bangsawan kecil, tid ak menjadi ancaman baginya. Dia harus membayarnya. Begitu pula dengan Kaede. Hana tidak pernah memaafkan Takeo karena telah menolak dirinya, sama halnya deng an kakaknya karena menelantarkan dirinya ketika mereka masih kecil. Hana memuja Kaede, bergan tung padanya ketika kesedihan akibat kematian orangtua mereka nyaris membuat dirinya tidak wa ras dan Kaede justru meninggalkannya, pergi menunggang kuda pada satu pagi di musim semi dan t ak pernah kembali. Setelah itu, Hana dan kakaknya, Ai, ditahan di Inuyama sebagai s andera, dan akan dibunuh di sana andai Sonoda Mitsuru tak menyelamatkan mereka. "Kau masih bisa punya anak lagi!" seru Zenko. "Ayo kita buat anak laki-laki lagi sepasukan anak laki-laki." Halaman 172 dari 500

Mereka hanya berdua di ruangan itu, dan Hana mengira suaminya akan mulai bergera k tapreka hanya berdua di ruangan itu, dan Hana mengira suaminya akan mulai berg erak tapi kemudian, saat itu terdengar ketukan ringan di pintu. Pintunya bergeser terbuka dan seorang pelayan laki-laki bicara pelan, "Lord Arai, Kuroda Yasu datang bersama seorang laki-laki ." "Mereka datang dalam cuaca seburuk ini," ujar Zenko. "Sajikan minuman, tapi biar kan mereka tunggu sebentar sebelum kau membawanya masuk, dan pastikan kelak kami tidak diganggu." "Kuroda datang secara terang-terangan?" tanya Hana. "Taku sedang di Hofu tidak ada yang memata-matai kita sekarang." "Aku tak pernah suka pada Taku," kata Hana tiba-tiba. Tatapan tidak senang terpancar sekilas di wajah Zenko yang lebar. "Dia adikku," Zenko memperingatkan istrinya. "Seharusnya kesetiaannya yang pertama mestinya kepadamu, bukan pada Takeo," hard ik istrinya. "Dia menipumu setiap hari tapi kau tidak memerhatikannya. Dia memata-mataimu pal ing sering tahun ini, dan bisa dipastikan kalau dia mengacaukan surat-surat kita." "Itu semua akan segera berubah," sahut Zenko dengan tenang. "Kita akan bereskan masalah penerus Muto. Taku kelak harus mematuhiku, atau...." "Atau apa?" "Hukuman dalam Tribe atas ketidakpatuhan adalah kematian. Aku tak bisa mengubah p eraturan itu bahkan untuk saudara kandungku sendiri." "Taku amat populer, kau sendiri sering bilang begitu. Dan ibumu juga. Pastinya b anyak pihak yang tak ingin menentang mereka?" "Kurasakita akan mendapatkan dukungan. Dan jika teman Kuroda adalah orang yang sudah kuperkirakan, sedikit ba nyak akan cukup menambah kekuatan." "Aku tak sabar ingin bertemu dengannya," Hana menaikkan alisnya. "Sebaiknya kuceritakan sedikit tentang dia. Namanya Kikuta Akio; dia ketua Kikut a sejak kematian Kotaro. Menikah dengan putri Kenji, Yuki; setelah istrinya mati, dia bersembunyi dengan anak laki-laki Yuki." Zenko berhenti sejenak lalu menatap Hana, mata dengan kelopak tebalnya be rbinar.

"Bukan anaknya Akio?" tanya Hana, "Bukan anaknya Takeo, kan?" Zenko mengangguk, lalu tertawa lagi. "Sudah berapa lama kau tahu ini?" tanya Hana. Dia terkejut sekaligus bersemangar dengan tersingkapnya kenyataan ini, benaknya sudah mencari-cari cara untuk memanfaatkan b erita ini. "Aku mendengar semua desas-desus di keluarga Muto sewaktu aku masih kecil. Kenap a Yuki dipaksa minum racun? Alasan Kikuta membunuhnya adalah pasti karena mereka tak memercayai nya. Dan kenapa Kenji berpindah memihak Otori, bersama empat dari lima keluarga? Kenji pe rcaya kelak Takeo akan mengakui anak itu, atau setidaknya dengan melindunginya. Anak itu -me reka memanggilnya Hisao ternyata anak laki-laki Takeo." "Kakakku pasti tak tahu, aku yakin itu." Hana merasakan ada getar kesenangan memikirkan hal itu. "Mungkin kau bisa beritahukan pada saat yang tepat," suaminya menyarankan. "Oh, tentu." Hana sepakat. Tapi mengapa Takeo tak pernah mencari anak itu?" Halaman 173 dari 500

"Kurasa ada alasannya: dia tidak ingin istrinya tahu, dan ketakutan kalau putran ya yang bisa membunuhnya. Sebagaimana Tabib Ishida yang dengan baik hati mengungkapkan pada ka mi, ada ramalan yang mengatakan seperti itu, dan Takeo memercayainya." Kurasa ada alasannya: dia tidak ingin istrinya tahu, dan ketakutan kalau putrany a yang bisa membunuhnya. Sebagaimana Tabib Ishida yang dengan baik hati mengungkapkan pada ka mi, ada ramalan yang mengatakan seperti itu, dan Takeo memercayainya." Hana bisa merasakan nadinya berdenyut lebih kencang. "Saat kakakku tahu ini, mer eka pasti akan berpisah. Kaede sudah bertahun-tahun menginginkan anak laki-laki: maka dia takka n memaafkan Takeo karena anak yang disembunyikan ini." "Banyak laki-laki memiliki perempuan simpanan dan anak haram, dan istri mereka m emaafkannya." "Tapi kebanyakan istri bersikap seperti diriku," sahut Hana. "Realistis dan prak tis. Bila kau punya perempuan simpanan, hal itu tidak menggangguku. Aku memahami kebutuhan dan hasra t laki-laki, dan tahu kalau aku akan menjadi yang utama bagimu. Kakakku adalah orang yang idealis: dia percaya pada cinta. Takeo juga pasti begitu: dia tak pemah mengambil perempuan lain itu sebabn ya dia tak punya anak laki-laki. Lebih dari itu, keduanya dipengaruhi oleh Terayama dan apa yang mereka sebut Ajaran Houou. Pemerintahan mereka diseimbangkan dengan bersatunya mereka berdua: dengan menyatukan laki-laki dan perempuan. Berpisahnya kesatuan itu akan membuat Tiga N egara hancur berantakan." Hana menambahkan, "Dan kau akan mewarisi semua yang telah diperjuangkan ayahmu, dengan restu dari sang Kaisar, serta dukungan dari jenderalnya." "Dan Tribe takkan terpecah belah lagi," ujar Zenko. "Kita akan mengakui anak ini sebagai pewaris dari keluarga Kikuta dan Muto, dan melalui dirinya kita mengendalikan Tribe." Hana mendengar langkah kaki di luar. "Mereka sudah datang," katanya. Suaminya meminta dibawakan sake lagi, dan saat sudah datang, Hana menyuruh pelay an pergi karena dia yang akan melayani tamunya. Dia mengenal Kuroda Yasu yang mengambil keuntungan dari barang-barang mewah yang diimpornya dari Tenjiku, gadi ng dan emas. Ia pun memiliki beberapa cermin yang terbuat dari kaca keras, berkilau yang menu njukkan bayangan orang yang nyata. Ia senang karena benda ini disimpan di Kumamoto. Hana tak pern ah memperlihatkannya di Hofu. Kini ia pun mempunyai rahasia hebat dan besar ini, raha

sia yang mengungkap siapa Takeo sebenamya. Hana mengamati laki-laki itu, Akio. Lakilaki itu melihat sekilas ke arahnya, kemu dian duduk dengan menunduk. Dari luar orang itu kelihatan rendah hari, tapi segera ia tahu kalau l aki-laki itu bukanlah orang yang rendah hati. Tubuhnya tinggi dan tegap; walau usianya tidak muda lagi ; dia kelihatan sangat kuat. Memancarkan semacam kekuatan, yang mambangkitkan secercah ketertarika n dalam dirinya. Hana tidak suka kalau laki-laki itu menjadi musuhnya, tapi dia bisa men jadi sekutu yang kejam juga tanpa belas kasihan. Zenko memberi salam pada kedua tamunya dengan sikap yang sangat sopan, berusaha ag ar terlihat menghormati Akio sebagai pimpinan Kikuta tanpa mengurangi status nya sendiri sebagai lord tinggi Arai. "Tribe sudah terpecah belah begitu lama," tuturnya. "Aku sangat menyesalkan perpe cahan ini, juga kematian Kotaro. Kini Muto Kenji sudah tiada, maka sudah waktunya luka-luka lama ini disembuhkan." "Kurasa kita memiliki tujuan yang sama," sahut Akio. Cara bicaranya singkat, den gan aksen Timur. Hana merasa kalau laki-laki itu akan tetap diam ketimbang menggunakan sanjungan, dan tidak mudah terpengaruh dengan sanjungan, atau pun bentuk bujukan lainnya. "Kita bisa bicara dengan bebas di sini," ujar Zenko. "Aku tak pernah menyembunyikan apa yang paling kuinginkan," ujar Akio. "Kematian Otori. Dia telah divonis mati oleh Kikuta karena melanggar aturan Tribe, dan juga atas pembunuhan Kotaro. Hal ini membuat marah keluarga, nenek moyang dan tradisi, serta dewa-dewa karena dia masi h hidup." Halaman 174 dari 500

"Kabamya dia tidak bisa dibunuh," komentar Yasu. "Tapi yang pasti dia hanya manu sia biasa.Kabamya dia tidak bisa dibunuh," komentar Yasu. "Tapi yang pasti dia h anya manusia biasa." "Aku pernah hampir menggorok leher nya," Akio membungkuk, tatapan matanya semakin tajam. "Aku masih tak mengerti ba gaimana dia bisa lolos. Dia memiliki banyak keahlian seharusnya aku tahu; aku yang melatihnya di Matsue dia lolos dari semua usaha pembunuhan." "Baiklah," kata Zenko perlahan, seraya bertukar pandangan dengan Hana. "Aku tahu sesuatu yang kau belum tahu. Hanya beberapa orang yang mengetahuinya." "Tabib Ishida yang mengatakannya pada kami," ujar Hana. "Dia adalah tabib pribad i Takeo, dan pernah mengobari banyak lukanya. Dia tahu ini dari Muto Kenji." Akio mengangkat kepala lalu menatap langsung pada Hana. "Takeo percaya kalau hanya putranya yang bisa membunuhnya," lanjut Zenko. "Ada s emacam ramalan yang bisa dibuktikan." "Seperti halnya Lima Pertempuran?" tanya Yasu. "Ya, dan ramalan itu digunakan untuk membenarkan pembunuhan atas ayahku dan kebe rhasilannya meraih kekuasaan," tutur Zenko. "Kata-kata yang masih tetap dirahasiakan." "Kendati demikian, Lord Takeo tidak memiliki anak laki-laki" ujar Yasu seraya menatap mereka semua secara bergantian . "Meski ada hal-hal tertentu yang terdengar..." Akio duduk dengan wajah tanpa eksp resi. Hana merasakan lagi secercah semangat. Akio berkata pada Zenko, suaranya terdengar semakin rendah dan keras. "Kau tahu t entang putraku?" Zenko agak menggerakkan kepala mengiyakan. "Siapa lagi yang tahu tentang ramalan ini?" "Terlepas dari semua orang yang ada di ruangan ini dan Ishida: adikku, kemungkin an juga ibuku, walaupun ibuku tidak pernah mengatakannya padaku."

"Bagaimana dengan yang ada di Terayama? Kubo Makoto mungkin juga tahu: Takeo men ceritakan segalanya kepadanya," gumam Hana. "Mungkin juga. Intinya hanya sedikit orang. Dan yang paling penting adalah Takeo percaya itu," ujar Zenko. Yasu meneguk cepat sake lalu berkata pada Akio, "Jadi semua desas-desus itu bena r?" "Ya. Hisao adalah putra Takeo." Lalu Akio menenggak minumannya, tampak seperti tersenyum. "Anak itu tidak mengetahuinya. Dia juga tidak memiliki keahlian Tribe . Tapi kini aku tahu akan mudah baginya untuk membunuh ayah kandungnya." Yasu menepuk alas lantai dengan telapak tangan terbuka. "Bukankah sudah kukataka n kalau anak itu bisa saja mengejutkan dirimu? Itu lelucon terbaik yang pernah ada selama bertahu n-tahun..." Sekonyong-konyong keempat orang itu tertawa gaduh.* Halaman 175 dari 500

Kaede telah memutuskan untuk tinggal di Hagi selama musim dingin sampai anaknya lahir, dan Shizuka serta Ishida tinggal bersamanya. Mereka semua pindah dari kastil ke rumah lama Lord Shigeru di tepi sungai: rumah itu menghadap ke selatan, menangkap semua sinar ma tahari musim dingin, dan lebih mudah dibuat hangat selama hari-hari yang panjang dan dingin. Chiyo masih tinggal di sana, semakin bungkuk, usianya sudah di ambang senja tapi masih mampu menyedu h teh obat serta menceritakan tentang masa lalu, dan apa yang dilupakannya diisi oleh Haruka , tetap ceria dan gamblang seperti dulu. Kaede mengundurkan diri dari publik. Takeo dan Shigeko sud ah pergi ke Yamagata; Maya dikirim bersama gadis Muto, Sada, ke Maruyama, kepada Taku; sedan gkan Miki pergi ke desa Tribe di Kagemura. Kaede senang memikirkan kalau ketiga putrinya si buk dengan pelatihan serius semacam itu, dan sering mendoakan agar mereka mengembangkan dan mengendalikan berbagai bakat yang mereka miliki, dan agar dewa-dewi melindungi mereka dari bahaya. Lebih mudah, pikirnya sedih, me nyayangi si kembar dari jauh, saat kelahiran mereka yang tak wajar dan bakat aneh bisa tak d iacuhkan. Kaede tidak kesepian karena selalu ada yang menemani: Shizuka, kedua bocah, dan juga hewan peliharaan putrinya, kera dan anjing. Dengan ketidakhadiran ketiga putrinya, Kaed e mencurahkan kasih sayangnya pada keponakannya. Sunaomi dan Chikara juga menikmati kepindahan itu, jauh dari formalitas kehidupan di kastil. Mereka bermain di tepi sungai. "Seakan Shigeru da n Takeshi hidup kembali," ujar Chiyo dengan berlinang air mata selagi mendengarkan teriakan anak -anak dari taman atau langkah kaki mereka di atas nightingale floor. Kaede merengkuh perutnya yan g membuncit dan memikirkan janin yang tumbuh di dalamnya. Kelak putranya akan menjadi pewaris Sh igeru, pewaris sah Klan Otori. Beberapa kali dalam seminggu Kaede mengajak kedua anak itu ke biara. Ia telah be rjanji pada Shigeko untuk mengawasi Tenba dan kirin. Ishida turut menemani karena rasa sayangnya pada kirin kian ber tambah. Mori Hiroshi memberi pelana dan tali kekang pada Tenba dan mengangkat Sunaomi ke pelan a, lalu Kaede menuntunnya berjalan mengelilingi padang rumput. Kuda itu sepertinya menci um sesuatu dari tubuhnya yang hamil dan senang berjalan perlahan di samping Kaede, dengan cuping hidung merekah, sesekali mengusapusap dengan hidungnya. "Apa aku ini indukmu?" Kaede memarahinya dengan lembut, sambil berdoa semoga anak lakilakinya

akan sepemberani dan setampan kuda itu. Kaede mengingat kudanya, Raku, dan Amano Tenzo: keduanya sudah lama tiada, namun roh mereka akan tetap hidup selama ada ku da-kuda Otori. Kemudian Shigeko mengirim surat agar kuda itu dikirim padanya karena telah memut uskan untuk dihadiahkan kepada ayahnya, seraya meminta ibunya agar tetap merahasiakannya. Te nba segera dikirim ber-sama pemuda pengurus kuda dengan naik kapal ke Maruyama. Kaede dan I shida mencemaskan kalau kirin akan panik saat temannya pergi nanti. Kirin memang tampak kurang bersemangat, tapi ini justru ma kin meningkatkan rasa sayangnya pada teman manusianya. Kaede sering menulis, karena ia sangat senang menulis membalas surat yang dituju kan untuk suaminya; menulis surat pada Shigeko dan Miki, mendesak mereka belajar dengan ra jin dan mematuhi guru; kepada adik-adiknya, menceritakan pada Hana tentang kesehatan ser ta kemajuan kedua putranya dan mengundang mereka datang pada musim semi. Tapi Kaede tidak menyurati Maya karena Maya tinggal di tempat rahasia di Maruyam a, dan adanya surat justru malah membahayakan dirinya. Halaman 176 dari 500

Kaede pergi ke biara lain; bekas rumah Akane, dan mengagumi bentuk ramping dan a nggun dari patung kayu yang dikelilingi rumah yang baru dibangun. aede pergi ke biara lain; bekas rumah Akane, dan mengagumi bentuk ramping dan an ggun dari patung kayu yang dikelilingi rumah yang baru dibangun. "Dia mirip Lady Kaede," ujar Sunaomi, karena Kaede selalu memaksanya turut ke te mpat dia pernah dipermalukan dan ketakutan. Sunaomi berhasil meraih kembali kepercayaan dirinya, tapi Kaede masih melihat sisa-sisa rasa malu dan luka yang membekas, dan berdoa agar arwah sang dewi muncul menyembuhkan segalanya. Tak lama setelah Takeo pergi ke Yamagata, Fumio kembali. Selama ketidakhadiran Ta keo dan penarikan diri Kaede, Fumio beserta ayahnya bertindak sebagai wakilnya. Satu dar i masalah yang meng-ganggu dan alot adalah apa yang harus dilakukan dengan kedatangan orang-ora ng asing yang mengganggu dari Hofu. "Bukannya aku tidak suka pada mereka," kata Fumio pada Kaede suatu sore pada per tengahan bulan kesepuluh. "Seperti yang kau tahu, aku sudah terbiasa dengan orang asing; menikm ati kehadiran mereka serta menurutku mereka itu menarik. Tapi kian hari kian sulit untuk tahu apa yan g mesti kulakukan. Mereka sangat gelisah; dan kurang senang saat tahu Lord Otori tidak di Hagi lagi . Mereka ingin bertemu dengannya; mereka mulai tidak sabar. Aku sudah katakan kalau aku tidak bisa memu tuskan sampai Lord Otori kembali ke Hagi. Mereka minta penjelasan mengapa tidak boleh ke Yamagata s endiri." "Suamiku tak ingin mereka bepergian ke seluruh penjuru negeri," sahut Kaede. "Makin sedikit yang mereka tahu tentang kita, makin baik." "Aku setuju dan aku tak tahu kesepakatan apa yang mereka buat dengan Zenko. Dia me mbiarkan mereka pergi dari Hofu, tapi aku tidak tahu apa tujuannya. Kuharap mereka mengir im surat yang dapat mengungkap sesuatu, tapi jurubahasa mereka tak bisa menulis sesuatu yang b isa dibaca oleh Zenko." "Ishida bisa menawarkan diri untuk menjadi jurutulis mereka," saran Kaede. "Itu b isa membantumu agar tidak kesulitan mengacaukan surat-surat mereka." Mereka saling bertukar senyum. "Mungkin Zenko hanya ingin menyingkirkan mereka," lanjut Kaede. "Sepertinya semua orang menganggap mereka sebagai beban." "Kendati demikian, banyak juga manfaat yang bisa kita ambil dari mereka ilmu penge

tahuan dan kekayaan, selama mereka bisa dikendalikan, bukan sebaliknya." "Demi tujuan itu aku harus segera belajar bahasa mereka," ujar Kaede. "Kau harus bawa orang-orang asing itu dan jurubahasanya ke sini." "Kegiatan itu tentu bisa memberi mereka kesibukan sepanjang musim dingin," ujar Fumio setuju. "Aku akan berikan kesan betapa besar kehormatan bagi mereka bisa diundang bertemu Lad y Otori." Pertemuan itu lalu diatur, dan Kaede menemukan dirinya menanti dengan perasaan ta kut: bukan karena orang-orang asing itu, tapi karena ia tidak tahu bagaimana bersikap pada jurubahasa mereka: anak dari keluarga petani, perempuan dari rumah pelacuran, pengikut kepercayaan Hidden, dan adik perempuan suaminya. Kaede tak ingin berhubungan dengan bagian hidup Takeo yang sa tu ini. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan pada orang seperti itu. Semua nalurinya, dit ambah dengan kehamilannya, memperingatkan dirinya akan hal itu. Tapi ia telah berjanji pada T akeo untuk mempelajari bahasa orang asing, dan menemukan cara lain. Ia mengakui kalau dirinya juga ingin tahu: terutama, katanya pada diri sendiri, tentang orang-orang asing dan kebiasaan mereka, tapi ia lebih ingin melihat seperti apa adik perempu an Takeo. Hal pertama yang terlintas di benaknya, sewaktu Fumio menunjukkan jalan pada dua laki-laki berbadan besar, diikuti oleh perempuan bertubuh kecil, masuk ke dalam ruangan, y aitu perempuan itu tidak mirip suamiku. Ia yakin tak seorang pun akan mencurigai hubungan tersebul. Kaede Halaman 177 dari 500

menyambut dengan bahasa resmi pada para laki-laki. Mereka membungkuk hormat sambi l berdiri, sebelum Fumio memberitahu kalau mereka seharusnya duduk. enyambut dengan bahasa resmi pada para laki-laki. Mereka membungkuk hormat sambil berdiri, sebelum Fumio memberitahu kalau mereka seharusnya duduk. Kaede duduk dengan punggung bersandar ke dinding panjang ruangan itu, menghadap ke beranda. Pepohonan yang tersentuh oleh kepingan salju pertama terlihat begitu indah. Hamp aran daun-daun yang berwarna merah tui berserakan di tanah, kontras dengan bebatuan keabu-abuan sert a warna lentera. Di sebelah kanan Kaede, sebuah gulungan kaligrafi hasil karyanya sendiri digantung di ruang kecil yang terpisah. Isi gulungan itu adalah puisl kesukaannya tentang belukar semanggi di musim gugur, yang merupakan asal nama kota Hagi. Kiasan pemandangan yang indah itu amat memesona o rang-orang asing beserta jurubahasanya. Orang asing itu duduk dengan canggung. Mereka harus melepas alas kaki di luar, dan Kaede memerhatikan sarung ketat yang melekat di kulit yang menutupi kaki mereka. Pakaian luar mereka aneh, berbentuk gembung, membuat pinggul dan bahu mereka kelihatan membesar. Bahannya berwarna hitam, dengan tambalan berwarna dijahitkan ke dalamnya: kelihatannya bukan dari sutra, katun maupun rami. Perempu an itu merangkak ke samping Kaede, kepalanya menyentuh tikar, dan tetap menunduk. Kaede mengamati secara sembunyisembunyi pada kedua laki-laki tersebut, sadar akan bau mereka yang terasa asing dengan rasa jijik. Ia juga menyadari kalau perempuan di samping nya itu memiliki tekstur rambut dan warna kulit yang mirip Takeo. Kenyataan itu membuat Jimtungny a berdebar kencang. Perempuan ini memang adik suaminya. Sesaat Kaede mengira kalau ia harus bereaksi tak tahu apakah harus menangis atau tak sadarkan diri tapi untungnya Shizuka datang de ngan membawa mangkuk teh dan kue kedelai manis. Kaede berhasil mengendalikan dirinya lagi. Perempuan itu, Madaren, justru lebih tercengang. Dia menerjemahkan begitu pelan dan tidak jelas hingga kedua pihak tidak tahu apa yang diucapkannya. Mereka pura -pura bertutur kata serta bersikap sopan; menerima hadiah; kedua orang asing itu sering tersenyum agak menyeramkan dan Kaede bicara selembut dan membungkuk seanggun mungkin. Fumio sudah mengenai beberapa kata bahasa orang asing itu, dan menggunakan semuanya, sementara semua orang mengataka n Terima kasih, Dengan senang hari, dan maaf berulang kali dalam bahasa mereka. Status salah satu dari kedua orang itu, bernama Don .loao, membingungkan: ksatria

sekaligus pedagang, Se-dangkan yang satu lagi adalah pendeta. Butuh waktu lama untuk berca kap-cakap karena Madaren begitu khawatir akan menyinggung Lady Otori. Dia bicara sangat be rbelii-belit dan penuh hormat. Setelah beberapa percakapan yang panjang soal tempat tinggal dan k ebutuhan orang-orang itu, Kaede menyadari musim dingin mungkin berlalu tanpa ia bisa bela jar apa-apa. "Ajak keluar dan perlihatkan taman pada mereka," katanya pada Fumio. "Perempuan ini tetap di sini bersamaku." Kaede menyuruh semua orang pergi. Shizuka menatap penuh tanya sewaktu mengundurk an diri. Para laki-laki kelihatannya cukup senang bisa keluar, dan selagi mereka bicara d engan keras tapi bernada ramah, mungkin mereka bicara soal taman, Kaede mendekati Madaren. "Jangan takut. Suamiku sudah menceritakan siapa dirimu. Sebaiknya tidak ada orang lain yang tahu tentang ini. Demi suamiku aku akan menghormati dan melindungimu." "Keramahan Lady Otori terlalu agung bagi orang seperti diriku," Madaren mulai bi cara, tapi Kaede menghentikannya. "Aku ada satu permintaan padamu dan kedua laki-laki terhormat yang kau layani. Kau telah mempelajari bahasa mereka. Aku ingin kau mengajariku. Kita akan belajar setiap h ari. Kelak saat aku telah lancar bicara bahasa itu, aku akan mempertimbangkan semua permintaan merek a. Makin cepat aku belajar, makin besar kemungkinan semua hal itu dilaksanakan. Kuharap kau men gerti maksudku. Salah satu dari mereka harus ikut denganmu, karena aku juga harus belajar tulisa n mereka, tentunya." Halaman 178 dari 500

"Aku hanyalah orang rendahan dari Was yang terendah, tapi aku akan lakukan semam puku untuk memenuhi keinginan Lady Otori." Madaren menyembah lagi. ku hanyalah orang rendahan dari Was yang terendah, tapi aku akan lakukan semampu ku untuk memenuhi keinginan Lady Otori." Madaren menyembah lagi. "Madaren," kata Kaede, mengucapkan nama aneh itu untuk yang pertama kalinya. "Ka u akan menjadi guruku. Jangan terlalu bersikap formal." "Anda baik sekali," ujar Madaren. Dia tersenyum tipis saat duduk tegak. "Kita akan mulai belajar besok," kata Kaede. *** Madaren datang setiap hari, menyeberangi sungai dengan perahu dan berjalan melew ati jalan-jalan sempit ke rumah di tepi sungai. Belajar setiap hari menjadi bagian dari rutinita s kediaman itu, dan ia menyatu dengan iramanya. Si pendeta Don Carlo datang dua kali seminggu untuk mengaj ari kedua perempuan itu menulis apa yang disebutnya abjad, menggunakan kuas yang paling ti pis. Rambut dan janggut kemerahan, serta mata hijau biru pucat bak air laut, laki-lak i itu menjadi sasaran keingintahuan dan keheranan. Dia biasanya datang dengan dibu ntuti anak-anak dan orang-orang dewasa yang tidak punya hal lebih baik yang bisa dikerjakan. Don Carlo juga sama ingin tahunya, sesekali dia mendekati anak-anak lalu memeriksa pakaian dan alas kaki mereka. Dia juga mengamati setiap tanaman di taman. dan sering mengajak Madaren pergi ke saw ah untuk bertanya pada para petani tentang hasil panen dan musim. Dia menyimpan banyak bu ku catatan, yang di dalamnya dibuat daftar kata dan sketsa bunga, pohon, bangunan dan alat p ertanian. Kaede melihat sebagian besar kegiatan ini karena Don Carlo mengajak mereka berdu a sebagai sarana belajar bahasa, dan kerapkali membuat sketsa untuk menjelaskan sebuah kata. Oran g itu benar-benar pandai, dan Kaede malu sekaligus kagum karena saat pertama kali bertemu ia berpi kir kalau orang ini hampir bukan manusia. Bahasanya sulit: segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa itu sepertinya terb olak-balik, dan sukar untuk mengingat bentuk maskulin dan feminin dan cara kata kerjanya berubah . Suatu hari ketika Kaede merasa putus asa, ia berkata pada Madaren, "Aku takkan menguasai bahasa ini. Aku tak tahu bagaimana kau mempelajarinya." Ini menyakitkan hatinya: Madaren, perempuan dari

kalangan rendah dan tidak ber-pendidikan, bisa begitu fasih menguasai bahasa itu. "Aku belajar dalam keadaan terpaksa, bukan pilihan," sahut Madaren. Begitu sudah bisa mengatasi rasa malu, sifat aslinya mulai muncul. Percakapan mereka menjadi lebih santai, t erutama saat ada Shizuka. "Aku membuat Don Joao mengajariku di tempat tidur." Kaede tertawa, "Kurasa suamiku tak memikirkan itu." "Don Carlo masih belum punya pasangan," goda Shizuka. "Mungkin aku bisa meniru c aramu." "Tampaknya Don Carlo tidak punya hasrat terhadap perempuan ataupun lakilaki," kata Madaren. "Bahkan dia sama sekali tidak menyetujuinya. Di matanya, bercinta adalah yang di sebutnya dosa dan cinta antar laki-laki khususnya, mengejutkan baginya." Itu merupakan pemikiran yang baik Shizuka maupun Kaede tidak terlalu memahaminya. "Barangkali saat aku sudah lebih memahami bahasa mereka, Don Carlo akan menjelask annya," seloroh Kaede. "Jangan pernah bicarakan hal semacam itu dengannya," kata Madaren dengan nada me mohon. "Itu akan membuatnya sangat malu." "Pastinya begitu. Dia menghabiskan banyak waktu untuk berdoa, dan acapkali memba ca dengan suara keras kitab sucinya demi meraih kesucian dan pengendalian nafsu dalam diri nya." "Tidakkah Don Joao memercayai hal yang sama?" tanya Shizuka. Halaman 179 dari 500

"Sebagian dari dirinya percaya pada hal yang sama, tapi hasratnya lebih kuat. Di a memuaskan dirinya sendiri, kemudian membenci dirinya karena hal itu." Sebagian dari dirinya percaya pada hal yang sama, tapi hasratnya lebih kuat. Dia memuaskan dirinya sendiri, kemudian membenci dirinya karena hal itu." Kaede penasaran apakah perilaku aneh ini menular pada Madaren, tapi tak ingin be rtanya secara langsung. Kaede mengamati lekat-lekat ketika kedua orang asing hadir, dan berpik ir kalau mereka berdua memang membenci Madaren, meski mereka membutuhkan keahlian dan bergantung kepadanya. Kaede berpikir kalau hubungan itu aneh dan terbolak-balik, dengan man ipulasi, bahkan eksploitasi, dari kedua belah pihak. Kaede menemukan dirinya ingin tahu tentang masa lalu Madaren, betapa aneh perjalanan hidup yang telah membawa dia ke tempat ini. Seringkali sa at mereka hanya berdua, ia berada di ambang keraguan untuk bertanya pada Madaren bagaimana Takeo ketika masih kecil. Namun pertanyaan bersifat pribadi semacam itu bisa dianggap terlalu mengan cam. Musim dingin tiba. Bulan kesebelas membawa hawa dingin yang menggigit; meskipun s udah memakai baju berlapis-lapis dan ada tungku batu bara agar tetap hangat. Kaede ta k berani lagi berlatih pedang bersama Shizuka: kenangan buruk tentang keguguran bayinya selalu melekat di benaknya, dan ia sangat takut akan kehilangan bayinya ini. Terbungkus karpet bul u, Kaede tak bisa melakukan banyak hal selain belajar dan bicara dengan Madaren. Tepat sebelum rembulan di bulan kesebelas muncul, surat berdatangan dari Yamagat a. Ia hanya berdua dengan Madaren; Shizuka mengajak kedua cucunya pergi melihat kirin. Kaede meminta maaf karena menghentikan pelajaran kemudian segera pergi ke ruang belajarnya sendiri ruangan tempat Ichiro membaca dan menulis dan membaca surat-surat itu di sana. Takeo menulis panjang lebar atau tepatnya mendiktekan, karena dia kenal tuli san tangan Minoru tentang semua keputusan yang telah diambil. Masih banyak persiapan yang har us dibicarakan dengan Kahei dan Gemba tentang kunjungan ke ibukota: Takeo masih men unggu kabar dari Sonoda tentang penerimaan utusan pembawa pesan. Takeo merasa berkewajiban un tuk melewatkan Tahun Baru di sana. Kaede sangat kecewa: ia berharap Takeo akan kembali sebelum salju menutup jalur pegunungan. Kini ia merasa khawatir kalau keberangkatan suaminya akan tertunda hingga salju mencair. Ketika kembali pada Madaren, perhatiannya teralihkan. "Apakah Lady Otori mendapat kabar buruk dari Yamagata?" tanya Madaren sewaktu Kae

de membuat kesalahan pelajaran dasar untuk yang ketiga kalinya. "Tidak juga. Semula aku berharap suamiku akan kembali lebih awal, itu saja." "Lord Otori baik-baik saja?" "Kesehatannya baik-baik saja, terima kasih Surga." Kaede berhenti sejenak lalu b erkata, "Kau memanggilnya dengan nama apa, saat kalian masih kecil?" "Tomasu, tuanku." "Tomasu? Kedengarannya aneh sekali. Apa artinya?" "Itu nama salah satu guru besar di kalangan Hidden." "Dan Madaren?" "Madaren adalah perempuan yang, katanya, mencintai putra Tuhan saat beliau berjal an di bumi." "Apakah putra Tuhan itu mencintai perempuan itu?" tanya Kaede, seraya mengingat-i ngat percakapan mereka sebelumnya. "Beliau mencintai kita semua," sahut Madaren serius. Saat itu ketertarikan Kaede bukanlah pada kepercayaan orang Hidden, melainkan pa da suaminya yang tumbuh dewasa di lingkungan mereka. "Kurasa kau tak ingat banyak tentang suamiku. Waktu itu kau pasti masih kecil." "Dari dulu dia memang berbeda," tutur Madaren perlahan. "Itu yang paling kuingat . Wajahnya tidak mirip dengan kami se Halaman 180 dari 500

keluarga, dan sepertinya tidak berpikir dengan cara yang sama. Ayahku sering mar ah padanya; ibu pura-pura marah, tapi ibu sayang sekali padanya. Aku selalu mengusiknya. Aku ingi n dia memerhatikan aku. Kurasa itu sebabnya aku mengenalinya sewaktu bertemu di Hofu. A ku selalu memimpikannya. Aku selalu memanjatkan doa baginya." eluarga, dan sepertinya tidak berpikir dengan cara yang sama. Ayahku sering mara h padanya; ibu pura-pura marah, tapi ibu sayang sekali padanya. Aku selalu mengusiknya. Aku ingi n dia memerhatikan aku. Kurasa itu sebabnya aku mengenalinya sewaktu bertemu di Hofu. A ku selalu memimpikannya. Aku selalu memanjatkan doa baginya." Madaren terdiam, seolah takut sudah terlalu banyak bicara. Kaede pun agak terper anjat, meski ia tidak tahu apa sebabnya. "Sebaiknya kita mulai lagi pelajaran kita," ujar Kaede dengan suara yang lebih t enang. "Tentu saja, tuanku," sahut Madaren patuh. Malam itu salju turun dengan lebat, hujan salju pertama tahun itu. Kaede terjaga di pagi harinya dengan cahaya putih yang terasa asing, dan hampir menangis. Karena itu artinya j alan pasti sudah ditutup, dan Takeo akan tetap di Yamagata sampai musim semi. *** semakin sadar harus tahu apa yang mereka percayai, untuk bisa memahami mereka. D on Carlo nampak juga bersemangat untuk dapat membuat ia memahaminya. Ketika akhirnya salj u turun, lakilaki itu tidak bisa ke sawah untuk melakukan penelitiannya, maka dia makin sering dat ang bersama Madaren dan percakapan mereka menjadi lebih mendalam lagi. "Don Carlo memerhatikan aku dengan cara laki-laki normal memandang perempuan," ko mentarnya pada Shizuka. "Mungkin dia harus diperingatkan tentang reputasimu!" sahut Shizuka. "Pernah ada satu saat ketika hasrat berarti kematian bagi lakilaki mana pun!" "Aku telah menikah enam belas tahun, Shizuka! Kuharap reputasiku sudah dilupakan. Lagipula itu bukan nafsu, karena kita tahu Don Carlo tak merasakan desakan semacam itu." "Kita tidak pernah tahu itu! Kita hanya tahu kalau dia tidak menanggapi hasratny a." Shizuka menjelaskan. "Tapi bila kau mau dengar pendapatku: kurasa dia berharap bisa meng ambil hatimu dengan agamanya. Dia tak menginginkan tubuhmu; dia meng inginkan jiwamu. Dia sudah mulai bicara tentang Deus, kan? Juga menjelaskan tent

ang aga-ma di negaranya?" "Sungguh aneh," ujar Kaede. "Apa bedanya baginya atas apa yang kupercayai?" "Mai, gadis yang kukirim untuk bekerja pada mereka, mengatakan nama Lady Otori s ering disebut dalam perbincangan mereka. Meskipun Mai belum memahami bahasa mereka dengan semp urna, tapi dia merasa kalau mereka berharap bisa mendapatkan keuntungan dan pengikut dalam juml ah yang sama besarnya, dan akhirnya mendapatkan wilayah baru bagi diri mereka sendiri. In ilah yang mereka lakukan di seluruh penjuru dunia." "Dari apa yang mereka katakan, negeri mereka sangat jauh dari sini: berjarak sat u tahun atau lebih dengan berlayar," tutur Kaede. "Bagaimana mereka bisa hidup begitu jauh dari rum ah dalam waktu lama?" "Kata Fumio itu adalah sifat dari semua pedagang dan petualang. Membuat mereka m erasa sangat berkuasa, dan berbahaya." "Baiklah, tapi aku tidak bisa membayangkan diriku mengikuti kepercayaan mereka." Kaede membuang jauh-jauh pikiran itu dengan sengit. "Bagiku itu seperti omong kosong!" "Semua kepercayaan bisa kelihatan seperti kegilaan," sahut Shizuka. "Tapi bisa t iba-tiba menjangkiti manusia, seperti wabah. Aku pernah melihatnya. Waspadalah." Halaman 181 dari 500

Kata-kata Shizuka membuat Kaede teringat saat dirinya menjadi istri Lord Fujiwara , dan bagaimana ia melalui hari-hari yang panjang dalam doa dan puisi, memegang semua janji yang telah dikatakan padanya sementara dirinya terbaring dalam sihir tidur Kikuta seolah masuk ke pet i es. Bersabarlah: dia akan menjemputmu. ata-kata Shizuka membuat Kaede teringat saat dirinya menjadi istri Lord Fujiwara, dan bagaimana ia melalui hari-hari yang panjang dalam doa dan puisi, memegang semua janji yang telah dikatakan padanya sementara dirinya terbaring dalam sihir tidur Kikuta seolah masuk ke pet i es. Bersabarlah: dia akan menjemputmu. Kaede merasa bayinya menendang dalam perutnya. Kini seluruh kesabarannya sudah h ampir habis dengan kehamilannya, salju serta ketidakhadiran Takeo. "Ah, punggungku sakit," katanya seraya menghcla napas. "Mari kupijat. Membungkuk." Selagi Shizuka memijat, dia diam saja; dan kesunyian itu semakin senyap seakan dia tenggelam dalam lamunan. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Kaede. "Hantu-hantu dari masa lalu. Dulu aku suka duduk bersama Lord Shigeru tepat di ruangan ini. Beberapa kali aku membawa pesan dari Lady Maruyama: kau tahu kalau dia adalah salah satu pengikut." "Ajaran kaum Hidden," ujar Kaede. "Kurasa agama orang asing itu, meski tampak sa ma, tapi lebih dogmatis dan tidak mengenai kompromi." "Semakin menguatkan alasan untuk memperlakukannya dengan curiga!" Selama musim dingin, Don Carlo memperkenalkannya lebih banyak kata: neraka, huku man, kutukan, dan ia ingat apa yang pernah Takeo katakan tentang Tuhan yang Maha Melihat milik kaum Hidden dan tatapannya yang tanpa ampun. Kaede menyadari betapa Takeo telah memilih meng hindari tatapan itu, dan itu makin membuat ia makin mengagumi dan mencintai suaminya. Karena tentu saja dewa atau tuhan itu baik, dan menginginkan kehidupan berjalan dengan selaras bagi semua mahkluk, musim berlalu, malam berganti siang dan musim panas berganti dengan musim dingin, dan seperti ajaran Sang Pencerah, kematian itu tak lebih hanya pemberehe ntian sejenak sebelum kelahiran selanjutnya.... Kaede berusaha menjelaskan hal ini pada Don Carlo dengan kosa katanya yang terbat as. Saat tidak berhasil dengan kata-kata, diajaknya laki-laki itu melihat pahatan patung Kannon Sang Maha

Pengampun yang sudah selesai di kuil yang telah dibangun untuknya. Saat itu cuaca terasa lembut di awal musim semi. Hunga-bunga plum masih bergelant ungan bak serpihan salju di ranting tanpa daun di taman Akane; salju di bawah telapak kaki terasa lembap dan mencair. Kendati tidak suka dengan caranya diantar, Kaede dibawa dalam tandu; ke hamilannya sudah berusia tujuh bulan dan diperlambat dengan berat bayi yang dikandungnya. D on Carlo juga dibawa dengan tandu terpisah di belakangnya, dan Madaren mengikutinya. Para tukang kayu, di bawah pengawasan Taro, tengah memberi sentuhan akhir pada k uil, memanfaatkan cuaca vang lebih hangat. Kaede senang melihat bangunan baru itu bis a bertahan menghadapi musim dingin, dengan dinaungi atap rangkap dua, keseimbangan sempurna pada kedua lengkungannya seperti yang Taro janjikan. Bentuk bangunan itu mencuat ke atas da n dipantulkan dengan dedaunan pinus yang membentuk seperti payung pelindung. Salju masih menempel di atap, menyilaukan saat icrkena pantulan cahaya matahari; tetesan air yang membeku mula i mencair dari tepi atap, membiaskan cahaya. Jendela kecil di atas pintu samping berbentuk seperti daun, dan hasil karya seni ukiran yang amat halus mem-biarkan cahaya matahari masuk. Pintu utama terbuka lebar, dan sinar ma tahari musim dingin jatuh menyirami lantai yang baru. Kayunya berwarna seperti madu dan berbau semanis madu pula. Kaede memberi salam pada Taro, lalu melepas sandal di beranda. Halaman 182 dari 500

"Orang asing ini tertarik pada karyamu," katanya pada Taro, dan melihat ke belak angnya tempat Don Carlo dan Madaren mendekati bangunan kuil. Orang asing ini tertarik pada karyamu," katanya pada Taro, dan melihat ke belaka ngnya tempat Don Carlo dan Madaren mendekati bangunan kuil. "Selamat datang," sambut Kaede pada si pendeta dengan bahasa orang itu. "Ini tem pat istimewa untukku. Masih baru. Orang ini yang membuatnya." Taro membungkuk, dan Don Carlo membuat gerakan canggung dengan kepala. Orang itu terlihat lebih gelisah dari biasanya, dan saat Kaede berkata, "Mari masuk. Kau harus lihat karya paling indah dari ora ng ini," si pendeta menggeleng lalu menyahut, "Aku lihat dari sini saja." "Tapi kau tak bisa melihatnya dari sini," desak Kaede, kemudian Madaren berbisik , "Dia takkan masuk; ini bertentangan dengan kepercayaannya." Kaede merasa marah atas sikap kasar lakilaki itu, ia tak bisa memahami alasan di baliknya, tapi ia tak menyerah begitu saja. Ia sudah mendengarkan Don Carlo sepanjang musim dingin , dan sudah belajar banyak darinya. Kini giliran orang itu yang harus mendengarkan. "Ayolah," kata Kaede. "Lakukan seperti yang kuminta." "Pasti menarik," saran Madaren kepadanya. "Kau bisa lihat bagaimana konstruksi ba ngunan ini dan bagaimana pahatan kayunya." Don Carlo melepas alas kaki dengan sikap enggan yang sengaja diperlihatkan. Taro membantunya dengan senyum yang memberi semangat. Kaede melangkah ke dalam kuil; patung yang s udah selesai berdiri di depan mereka. Satu tangan, menekan dada, memegangi bunga teratai; sedangkan tangan yang satu lagi menyibak keliman jubah dengan dua jari yang ramping. Lipatan jubah itu dipahat sangat halus hingga terlihat seperti ber goyang saat tertiup angin sepoisepoi. Mata sang dewi menatap ke bawah, ekspresinya tegas sekaligus pe nuh welas asih, senyum dengan bibir agak mencuat ke atas. Kaede menangkupkan telapak tangan lalu menunduk berdoa untuk bayi dalam kandungann ya, untuk suami dan ketiga putrinya, dan untuk arwah Akane yang mungkin pada akhirny a bisa istirahat dengan tenang. "Dia cantik sekali," kata Don Carlo, dengan semacam rasa ingin tahu, tapi tidak berdoa. Kaede mengatakan pada Taro betapa si orang asing mengagumi patungnya, melebihlebi

hkan pujiannya untuk menebus sikap kasarnya tadi. "Keahlianku biasa saja. Tanganku mendengarkan apa yang ada di dalam kayu, dan mem bantunya menemukan jalan keluamya," sahut Taro. Kaede berusaha menerjemahkan kalimat ini sebisa mungkin. Taro, dengan gerakan dan sketsa gambar, memperlihatkan pada Don Carlo konstruksi bagian dalam atap, b agaimana penyangganya saling menopang. Kemudian Don Carlo mengeluarkan buku catatan lalu menggambar apa yang dilihatnya, menanyakan tentang nama kayu, dan nama setiap sambungan. Matanya kerapkali menerawang kembali ke arah sang dewi, kemudian ke arah wajah K aede. Sewaktu mereka pergi, Don Carlo bergumam, "Kurasa aku tidak bisa menemukan Bunda Maria dari Timur." Itulah pertama kalinya Kaede mendengar kata itu, dan tak mengerti artinya, namun melihat ada sesuatu yang telah meningkatkan ketertarikan Don Carlo pada dirinya; hal itu men gganggunya; merasakan tiba-tiba bayi dalam perutnya menendang keras, dan ingin sekali agar T akeo kembali.* Halaman 183 dari 500

Sisa luka cakaran membekas di wajahnya sudah hampir memudar ketika Takeo kembali ke Hagi di akhir bulan ketiga. Salju belum lagi mencair: musim dingin berlangaing lama dan s ulit. Dengan ditutupnya semua perbatasan antar kota di seluruh Tiga Negara, ia tidak bisa men erima surat, dan kecemasannya terhadap Kaede makin menjadi-jadi. Takeo senang Ishida tinggal bers ama istrinya selama masa kehamilanya, namun juga menyesali ketidakhadiran si tabib selagi cua ca yang tak bersahabat membuat luka lamanya terasa makin sakit, sedangkan minuman penenang te lah habis. Takeo terpaksa menghabiskan waktu bersama Miyoshi Kahei, membahas strategi untuk musim semi yang akan datang serta kunjungan ke ibukota, dan membaca catatan administrasi Ti ga Negara. Kedua hal itu membangkitkan semangatnya: merasa siap untuk apa saja yang akan te rjadi saat kunjungan nanti. Ia akan pergi dengan damai, namun takkan meninggalkan negerinya tanpa penjagaan. Dan catatan administ rasi memastikan sekali lagi seberapa kuat negaranya, sampai ke tingkat desa di mana pem impinnya dipilih oleh para petani dapat dimobilisasi untuk mempertahankan diri mereka dan wi layahnya. Musim semi tiba dan ia langsung memutuskan untuk pulang. Saat menunggang kuda mel ewati pedesaan, semua itu kian memantapkan hatinya. Tenba melewati musim dingin dengan baik, hampir tidak berkurang berat badan maupun kondisinya. Bulu musim dinginnya telah disika t bersih oleh bocah-bocah pengurus kuda, dan tubuh hitamnya berkilauan bak pernis. Gembira kar ena berada di jalanan, menuju tempat kelahirannya, membuat kuda itu melompat dan berjingkrak, cuping hidungnya mengembang, surai dan ekornya melambai-lambai. *** "Apa yang terjadi pada wajahmu?" tanya Kaede ketika mereka hanya berdua, menyelu juri tanda bekas luka yang mulai menghilang dengan jari-jarinya. Takeo tiba tadi pagi. Udara masih terasa dingin, angin segar; jalanannya berlump ur, seringkali tergenang. Ia langsung ke rumah lama, tempat Chiyo dan Haruka menyambutnya dengan suka cita, mandi dan makan bersama Kaede, Ishida serta kedua bocah. Saat ini ia dan Kaede d uduk di kamar lantai atas, penutup jendela terbuka, percikan sungai terdengar di telinga merek a, dan di mana-mana tercium aroma musim semi. Bagaimana mengatakannya? Takeo menatap istrinya dengan penuh kekhawatiran. Waktu melahirkan hampir tiba, tidak lebih dari tiga atau empat minggu lagi. Teringat o lehnya apa yang Shigeko katakan: Ayah harus ceritakan pada Ibu. Ayah seharusnya tidak menyimpan

rahasia dari Ibu. Ceritakan semuanya pada Ibu. Takeo berkata, "Aku tak sengaja menabrak dahan. Tidak apa-apa." "Kelihatannya seperti dicakar. Aku tahu, kau kesepian di Yamagata lalu menemukan perempuan yang menggairahkan!" Kaede menggodanya, senang suaminya sudah berada di rumah lagi. "Tidak," sahutnya dengan nada lebih serius. "Aku sudah sering mengatakan pada mu, aku tidak akan tidur dengan siapa pun selain dirimu." "Seumur hidupmu?" "Seumur hidupku." "Bahkan kalau aku mati lebih dulu?" Ditempelkan jarinya dengan lembut ke bibir i strinya. "Jangan bilang begitu." Ia merengkuh Kaede dan memeluknya erat-erat sesaat tanpa sepatah kata pun. Halaman 184 dari 500

"Ceritakan semuanya," akhirnya Kaede berkata. "Bagaimana Shigeko? Aku sangat gem bira memikirkan dia sebagai Lady Maruyama saat ini." Ceritakan semuanya," akhirnya Kaede berkata. "Bagaimana Shigeko? Aku sangat gemb ira memikirkan dia sebagai Lady Maruyama saat ini." "Shigeko baik-baik saja. Andai kau bisa melihatnya saat upacara. Dia mengingatka nku pada Naomi. Tapi saat itu baru kusadari kalau Hiroshi jatuh cinta padanya." "Hiroshi? Tidak mungkin. Dia selalu memperlakukannya sebagai adik. Apakah dia bi lang begitu?" "Tidak dengan kata-kata. Tapi aku yakin itu sebabnya dia selalu menghindari perni kahan." "Dia berharap menikah dengan Shigeko?" "Menurutku Shigeko juga menyayanginya." "Shigeko masih gadis kecil!" ujar Kaede, kedengaran seolah marah dengan pendapat seperti itu. "Usianya sama dengan kau saat kita bertemu," Takeo memperingatkan. Sesaat mereka saling pandang. Lalu Kaede berkata, "Mereka tidak boleh berada di Maruyama bersama-sama. Jangan terlalu banyak berharap dari mereka berdua!" "Hiroshi jauh lebih tua ketimbang diriku saat itu! Kuyakin dia lebih bisa mengen dalikan diri. Dan mereka tak berharap hidup mereka berakhir dalam hitungan jam." Cinta kita pun me rupakan hasrat yang buta, pikirnya. Kita belum terlalu mengenal satu sama lain. Kita dirasuki k egi-laan yang begitu kuat hingga mengakibatkan terjadinya pembunuhan yang tiada henti. Shigeko dan Hir oshi sudah seperti kakak adik. Bukan dasar yang buruk untuk sebuah pernikahan. "Kono mengisyaratkan persekutuan politis melalui pernikahan dengan jenderal Kais ar, Saga Hideki," tuturnya pada Kaede. "Pendapat yang tidak bisa kita abaikan begitu saja," sahut Kaede, menghela napas panjang. "Aku yakin Hiroshi bisa menjadi suami yang baik, tapi pernikahan semacam itu akan men yiakan-nyiakan Shigeko, dan tidak memberi keuntungan yang sebenarnya belum kita miliki." "Baiklah, Shigeko akan ikut bersamaku ke Miyako; kami akan bertemu dengan Saga d an memutuskan nanti." Takeo meneruskan ceritanya tentang kelanjutan masalah dengan Zenko. Mereka memut uskan untuk mengundang Hana saat musim panas agar bisa bertemu kedua putranya dan menemani K aede

setelah melahirkan. "Dan kuharap kau sudah fasih bicara dengan bahasa yang baru," ujar Takeo. "Aku sudah membuat kemajuan," sahut Kaede. "Don Carlo maupun adikmu adalah guru yang baik." "Adikku baik-baik saja?" "Secara umum, ya, baik-baik saja. Kami terserang flu, tapi tidak serius. Aku suk a padanya: kelihatannya dia baik dan pandai, meskipun tidak mendapat pendidikan." "Dia mirip ibuku," ujar Takeo. "Apakah orang-orang asing itu berhubungan dengan Hofu atau Kumamoto?" "Ya, mereka sering menulis surat. Ishida kadang membantu mereka, dan sudah sewaj arnya kami membacanya." "Kau memahami semua isinya?" "Sulit sekali. Bahkan bila sudah mengenal setiap kata, aku masih saja kesulitan menangkap maknanya. Aku harus sangat berhati-hati agar tidak membuat Don Carlo takut: lakilaki itu amat tertarik dengan semua yang kukatakan, dan menimbangnimbang setiap perkataan. Dia menulis banyak hal tentang diriku, pengaruhku pada dirimu, kekuatan yang tidak biasa seb agai seorang perempuan." Sesaat Kaede terdiam. "Menurutku dia ingin aku masuk agamanya, dan m eraih dirimu melalui aku. Madaren pasti sudah menceritakan kalau kau lahir di antara kaum Hid den. Don Carlo Halaman 185 dari 500

nyaris mengira kau adalah pengikut ajaran mereka sehingga akan diberi ijin menye barkan agama, sedangkan Don Joao diijinkan berdagang di Tiga Negara." yaris mengira kau adalah pengikut ajaran mereka sehingga akan diberi ijin menyeb arkan agama, sedangkan Don Joao diijinkan berdagang di Tiga Negara." "Perdagangan itu masalah lain: boleh selama kita bisa mengendalikannya dan demi kepentingan kita. Tapi tak akan kuijinkan dia menyebarkan agama, atau bepergian." "Tahukah kau kal au sudah ada orang asing di Kumamoto?" tanya Kaede. "Don Joao menerima sepucuk surat dari sal ah satunya. Mereka adalah kenalan bisnis, sepertinya, dari kampung halaman mereka." "Aku sudah curigai." Takeo menceritakan tentang cermin yang diperlihatkan kepadan ya di Maruyama. "Aku juga punya cermin yang sama!" Kaede memanggil Haruka, dan pelayan itu memba wakan cermin itu, terbungkus kain sutra tebal. "Ini pemberian Don Carlo," tutur Kaede, seraya membuka bungkusnya. Takeo mengambilnya dan bercermin. Ia merasa aneh dan terkejut. "Hal ini mencemaskanku," kata Takeo. "Apa lagi yang diperdagangkan dari Kumamoto yang kita belum tahu?" "Satu lagi alasan yang tepat agar Hana berada di sini," kata Kaede. "Dia tidak t ahan untuk memamerkan barang-barang baru kepunyaannya dan akan mengumbar tentang kehebatan Kumamoto. Aku yakin bisa me-mancingnya agar bercerita lebih banyak lagi." "Shizuka tidak ada di sini? Aku ingin bicara dengannya tentang masalah ini, dan mengenai Zenko." "Dia ke Kagemura begitu salju mencair. Aku mencemaskan Miki dalam cuaca dingin s eperti ini, dan Shizuka punya masalah yang harus dibicarakan dengan keluarga Muto." "Miki akan kembali bersamanya?" Takeo terperangkap oleh kerinduan ingin bertemu dengan putri bungsunya. "Belum diputuskan." Kaede menepuk Kin, anjing yang berbaring meringkuk di sampin gnya. "Kin pasti senang saat Maya pulang dia merindukan si kembar. Kau bertemu Maya?" "Ya, aku bertemu." Takeo tak yakin bagaimana meneruskannya.

"Kau juga mengkhawatirkannya? Dia baikbaik saja?" "Maya baik-baik saja. Dia sedang belajar pada Taku. Dia tengah belajar mengendal ikan diri dan juga disiplin. Tapi Taku sepertinya tergila-gila pada gadis itu." "Dengan Sada? Apa semua laki-laki sudah gila? Sada! Dia orang terakhir yang kudu ga bisa membuat Taku mabuk kepayang. Kukira gadis itu tidak peduli pada laki-laki dia berpenampil an seperti lakilaki." "Seharusnya tidak kuceritakan padamu," sahut Takeo. "Jangan sampai masalah ini m embuatmu tertekan. Kau harus memikirkan kesehatanmu." Kaede tertawa. "Aku lebih merasa terkejut ketimbang tertekan. Selama tidak mengganggu tugas mereka, biarkan saja mereka sal ing mencinta. Tak ada ruginya, kan? Hasrat seperti itu tidak bisa dihentikan toh, nanti akan pad am dengan sendirinya." "Hasrat kita tak pernah padam," sahut Takeo. Kaede meraih tangan suaminya dan menaruhnya di perutnya. "Putra kita sedang menendang," katanya, dan Takeo merasakan si bayi bergerak kua t dalam perut istrinya. Halaman 186 dari 500

"Sebenarnya aku tidak ingin membicara kannya," kata Takeo. "Tapi kita harus memut uskan nasib sandera yang kita tahan di Inuyama, keluarga Kikuta yang menyerangmu tahun lalu. Ayah mereka sudah mati dibunuh tahun lalu, dan aku ragu kalau Kikuta mau berunding. Keadilan menuntut kalau mereka dihukum mati atas kejahatan yang mereka lakukan. Kukira sudah waktunya men ulis surat pada Sonoda. Harus kelihatan sesuai hukum, bukan sebagai tindakan balas dendam. Mungkin aku harus ke sana uniuk menyaksikannya aku mempertimbangkan untuk meminta hukuman dilaksanakan saat aku melewati Inuyama Sebenarnya aku tidak ingin membicara kannya," kata Takeo. "Tapi kita harus memutu skan nasib sandera yang kita tahan di Inuyama, keluarga Kikuta yang menyerangmu tahun lalu. Ayah mereka sudah mati dibunuh tahun lalu, dan aku ragu kalau Kikuta mau berunding. Keadilan menuntut kalau mereka dihukum mati atas kejahatan yang mereka lakukan. Kukira sudah waktunya men ulis surat pada Sonoda. Harus kelihatan sesuai hukum, bukan sebagai tindakan balas dendam. Mungkin aku harus ke sana uniuk menyaksikannya aku mempertimbangkan untuk meminta hukuman dilaksanakan saat aku melewati Inuyama dalam perjalanan ke ibukota." Kaede gemetar. "Itu pertanda buruk untuk suatu perjalanan. Katakan pada Sonoda u ntuk melakukannya sendiri: dia dan Ai adalah wakil kita di Inuyama. Mereka bisa mewak ili kita. Dan harus laksanakan secepatnya. Jangan ditunda." "Minoru akan menulis suratnya sore ini." Takeo berterima kasih pada Kaede atas k eputusannya yang tegas. "Oh ya, Sonoda baru saja menulis surat. Kurirmu sudah kembali ke Inuyama. Mereka diterima Kaisar. Mereka diberi penginapan oleh Lord Kono selama musim dingin, dan dia selalu memu jimu dan Tiga Negara." "Tampaknya sikap Kono berubah," sahut Takeo. "Dia tahu cara memikat serta memuji . Aku tidak memercayai dia, tapi aku harus tetap pergi ke Miyako sesuai rencana." "Alternatif lain terlalu menakutkan untuk dipikirkan," gumam Kaede. "Kau pasti paham benar apa alternatif itu." "Tentu: menyerang dan mengalahkan Zenko dengan cepat di Barat dan bersiap melawan Kaisar di Timur. Pikirkan biaya yang dibutuhkan. Bahkan jika kita bisa

memenangkan kedua wilayah, kita membawa dua pertiga negara kita dalam kancah peperangan dan akan menghancurkan kerabat sen diri dan merenggut Sunaomi dan Chikara dari orangtuanya. Ibu mereka adalah adikku, dan ak u sayang padanya dan anak-anaknya." Takeo menarik tubuh Kaede lebih dekat, dan mengecup tengkuk istrinya, bekas luka itu masih tetap kelihatan. "Takkan kubiarkan hal itu tcrjadi. Aku janji." "Tapi kekuatan yang tengah digalang dimana dirimu, suamiku sayang, tidak bisa me ngendalikannya." Kaede membenamkan diri dalam pelukan Takeo. Napas mereka makin memburu dan kedua nya larut menjadi satu kesatuan. "Kuharap kita bisa seperti ini selamanya," kata Kaede pelan. "Aku sangat bahagia saat ini; tapi aku takut apa yang akan terjadi kelak." *** Semua orang menantikan bayi itu lahir, tapi sebelum Kaede dipingit, Takeo ingin bertemu dengan kedua orang asing. Ia ingin mencapai persetujuan yang memuaskan kedua belah pihak untuk masalah perdagangan dan memperingatkan mereka siapa penguasa Tiga Negara. Takeo khawatir kalau selama ia tidak ada di sana, saat Kaede sibuk dengan bayinya, orang-orang asing itu akan berpaling ke K umamoto untuk mendapatkan akses ke distrik lain, dan sumber daya lain. Halaman 187 dari 500

Cuaca hari itu semakin hangat; daun ginkgo dan maple merekah, cerah dan segar. S eketika bunga ceri bermekaran di manamana, gunung berwarna putih bersih. taman berwarna merah m uda. Burung kembali ke sawah yang berair, dan suara katak memenuhi udara. Bunga aconi tus dan violet bermekaran di hutan dan taman, diikuti dandelion, windflower, aster dan vetch. J erit jangkrik mulai terdengar, dan kicau burung warbler mengalun indah. ca hari itu semakin hangat; daun ginkgo dan maple merekah, cerah dan segar. Seke tika bunga ceri bermekaran di manamana, gunung berwarna putih bersih. taman berwarna merah m uda. Burung kembali ke sawah yang berair, dan suara katak memenuhi udara. Bunga aconi tus dan violet bermekaran di hutan dan taman, diikuti dandelion, windflower, aster dan vetch. J erit jangkrik mulai terdengar, dan kicau burung warbler mengalun indah. Don Carlo dan Don Joao datang bersama Madaren ke penemuan yang diadakan di ruang utama yang menghadap taman. Aliran sungai dan air terjun di taman memercikkan air dan ikan carp merah keemasan berenang dengan malas di kolam, sesekali melompat untuk menangkap seran gga musim semi. Takeo pi ia Kaede edua belah sebenarnya lebih senang menerima mereka di kastil dengan upacara megah, ta tak ingin melakukan perjalanan. Kaede harus hadir untuk membantu menjelaskan maksud k pihak.

Itu tugas yang berat. Kedua orang asing itu kini lebih mendesak. Mereka tak saba r untuk memulai perdagangan yang sesungguhnya, meskipun tidak menyatakannya secara terang-terang an. Madaren lebih gelisah dengan adanya Takeo. Dia tampak takut menyinggung, tapi juga ingin membuatnya terkesan. Ia pun gelisah, mencurigai kedua orang asing itu, karena mereka sepert i memandang rendah dirinya, tahu kalau Madaren adalah adiknya apakah mereka memang tahu itu? A pakah adiknya telah mengatakannya pada mereka? Kaede mengatakan mereka tahu kalau ia l ahir di kalangan Hidden... penerjemahan semakin memperlambat pembicaraan; sore segera me njelang. Takeo meminta mereka menyatakan dengan jelas keinginan mereka. Don Joao menjelas kan bahwa mereka berharap bisa membangun hubungan dagang secara teratur. Dia memuji sutra, kerang mutiara, dan keramik dan porselen yang diimpor dari Shin. Semua ini, katanya, banyak dicari d an bernilai tinggi di negaranya. Sebagai imbalan, dia menawarkan perak, pecah belah, rempah dan kayu w angi, dan tentunya senjata api.

Takeo menjawab bahwa semua ini bisa diterima: satu-satunya syarat yaitu adalah s emua itu harus dilakukan melalui Hofu dan di bawah pengawasannya, dan senjata api hanya bisa ma suk dengan seijin dirinya atau istrinya. Kedua orang itu saling bertukar pandang ketika syarat itu diterjemahkan, dan Don Joao menjawab, "Kami sudah biasa bepergian dan berdagang dengan bebas." Takeo berkata, "Mungkin kelak hal itu bisa dilakukan. Kami tahu bahwa Anda bisa membayar dengan mata uang perak, tapi bila terlalu banyak mata uang perak masuk, semua harga aka n jatuh. Kami harus melindungi rakyat, dan menjalankannya secara perlahan. Bila perdagangan in i ternyata mendatangkan keuntungan bagi kami, maka kami akan memperluasnya." "Dengan persyaratan seperti ini, maka keuntungan tak berada di pihak kami," bant ah Don Joao. "Bila itu keputusannya, maka kami berdua akan pergi." "Itu keputusan Anda," Takeo sepakat dengan sopan, sadar kalau hal itu sulit dite rima. Lalu Don Carlo mengungkit masalah agama, dan bertanya apakah mereka boleh memban gun kuil di Hofu dan di Hagi, dan apakah penduduk setempat boleh bergabung dengan mereka mem uja Deus. "Rakyat kami boleh beribadah sesuai keinginan mereka," sahut Takeo. "Tidak perlu membuat bangunan khusus untuk itu. Kami akan memberi akomodasi. Anda boleh memanfaatkan satu ruangan di sana. Tapi, saranku, jangan secara terang-terangan. Prasangka masih tetap ada , jangan sampai menganggu keselarasan dalam masyarakat." "Kami berharap Lord Otori bisa mengakui agama kami sebagai salah satu agama yang benar," tutur Don Carlo, dan Takeo mcngira kalau ia menangkap nada lebih bersemangat Madaren s ewaktu menerjemahkan. Halaman 188 dari 600

Takeo tersenyum, seolah gagasan itu terlalu absurd untuk dibicarakan. "Takkan ad a hal semacam itu," sahutnya, dan melihat kalau hal itu membuat mereka kesal. akeo tersenyum, seolah gagasan itu terlalu absurd untuk dibicarakan. "Takkan ada hal semacam itu," sahutnya, dan melihat kalau hal itu membuat mereka kesal. "Anda berdua harus kembali ke Hofu," ujarnya, seraya berpikir akan menulis surat kepada Taku. "Aku akan mengatur kapa l dengan Terada Fumio dia akan menemani Anda. Aku akan pergi selama musim panas, dan istriku akan sangat sibuk mengurus anak. Tak ada alasan lagi bagi kalian untuk tinggal di Hagi." "Aku akan merasa kehilangan Lady Otori," kata Don Carlo. "Lady Otori telah menja di murid sekaligus guru, dan hebat dalam keduanya." Kaede berbicara padanya menggunakan bahasa asing itu; Takeo kagum dengan kefasih an istrinya dalam bahasa yang aneh bunyinya itu. "Aku berterima kasih kepadanya dan bilang kalau dia juga pandai sebagai murid, s erta berharap dia mau terus belajar dari kita," tutur Kaede dengan pelan pada Takeo. "Kukira dia lebih suka menjadi guru ketimbang menjadi murid," bisik Takeo, tak i ngin Madaren mendengar. "Ada banyak hal yang dia merasa sudah tahu," sahut Kaede pelan. "Tapi Lord Otori akan ke mana begitu lama, begitu cepat setelah kelahiran anak A nda?" tanya Don Joao. Seturuh kota sudah tahu: tak ada alasan menyembunyikannya dari mereka. "Aku akan mengunjungi Kaisar." Ketika diterjemahkan, mereka tampak kebingungan. Mereka mengajukan pertanyaan pad a Madaren dengan hati-hati, seraya melihat sekilas ke arah Takeo dengan tatapan terkejut. "Apa yang mereka katakan?" Takeo mencondongkan badan ke arah Kaede dan berbicara d i telinga istrinya. "Mereka tidak tahu kalau ada Kaisar," gumamnya. "Mereka mengira kalau kaulah yan g mereka sebut raja." "Dari Delapan Pulau?" "Mereka tidak tahu tentang Delapan Pulau mereka mengira hanya ada Tiga Negara." Madaren bicara dengan ragu-ragu, "Maafkan aku, tapi mereka ingin tahu apakah mer eka boleh

menemani Lord Otori ke ibukota." "Apa mereka sudah gila?" imbuhnya cepat, "Jangan terjemahkan itu! Katakan pada m ereka kalau masalah ini telah dipersiapkan berbulan-bulan sebelumnya. Hal itu tidak mungkin. " Don Joao memaksa. "Kami adalah utusan raja kami. Sudah sepantasnya kami diperbole hkan memperlihatkan surat kepercayaan raja kami pada penguasa negeri ini, bila memang bukan Lord Otori orangnya." Don Carlo lebih diplomatis. "Mungkin memang seharusnya kami mengirim surat dan h adiah. Mungkin Lord Otori bisa menjadi duta bagi kami." "Kemungkinan itu bisa dilakukan," aku Takeo, dalam hati ia bertekad tidak akan m elakukannya. Setelah menerima makanan kecil dari Haruka, mereka mengucapkan selamat tinggal, berjanji akan mengirim surat dan hadiah sebelum Takeo pergi. "Ingatkan pada mereka kalau hadiahnya harus mewah dan indah," kata Takeo pada Ma daren, karena biasanya apa yang dianggap cukup oleh orang asing jauh dari yang biasa mereka la kukan. Takeo memikirkan dengan gembira kesan yang akan dibuat oleh kirin. Kaede sudah memerin tahkan dipersiapkannya kain sutra yang indah, dan dikemas dengan bungkusan kertas halus bersama contoh keramik terindah, kotak penyimpan teh dari emas dan pernis hitam, serta l ukisan pemandangan karya Sesshu; Shigeko akan Halaman 189 dari 600

membawa kuda-kuda dari Maruyama dan gulungan kaligrafi terbuat dari daun emas, k etel besi dan rak lentera. Semua itu untuk menghormati Kaisar dan memperlihatkan kekayaan dan status kedudukan Klan Otori serta kekayaan negaranya. Takeo sangsi benda apa pun yang b isa disediakan kedua orang asing itu bisa layak dibawa sampai ke ibukota, bahkan untuk diberika n kepada menteri sekali pun. embawa kuda-kuda dari Maruyama dan gulungan kaligrafi terbuat dari daun emas, ke tel besi dan rak lentera. Semua itu untuk menghormati Kaisar dan memperlihatkan kekayaan dan status kedudukan Klan Otori serta kekayaan negaranya. Takeo sangsi benda apa pun yang b isa disediakan kedua orang asing itu bisa layak dibawa sampai ke ibukota, bahkan untuk diberika n kepada menteri sekali pun. Takeo sudah melangkah keluar menuju taman sewaktu kedua orang asing itu mengundu rkan diri, seraya membungkuk dengan sikap mereka yang canggung dan kaku. Ketimbang menganta r mereka sampai ke gerbang, Madaren justru berlari mengejar. Tindakan adiknya membuat ia gusar karena tidak ingin didekati, namun ia pun sadar kalau Madaren sudah akrab dengan istrin ya selama musim dingin. Kebalikan dari sikapnya, ia merasa ada semacam kewajiban pada Madaren; m enyesali sikapnya yang dingin. Untungnya, bila ada yang melihat mereka bersama, mereka ak an mengira perempuan itu bicara padanya sebagai penerjemah, bukan kerabatnya. Madaren memanggil namanya; Takeo berbalik, dan saat Madaren tidak sanggup bicara, dia berkata dengan ramah, "Apa yang bisa kubantu? Adakah kebutuhanmu yang belum terpenuhi? Apakah kau perlu uang?" Madaren menggelengkan kepala. "Apa sebaiknya kuaturkan pernikahan untukmu? Aku akan mencarikan pedagang yang c ocok denganmu. Kau bisa memulai usahamu sendiri, dan juga keluargamu." "Aku tidak ingin semua itu," sahutnya. "Don Joao membutuhkan diriku. Aku tidak b isa meninggalkannya." Takeo mengira kalau adiknya ingin berterima kasih, dan terkejut ketika temyata bu kan itu yang dikatakannya. Sebaliknya, dia malah bicara dengan nada agak keras. "Ada satu hal yang kuinginkan lebih dari segalanya. Dan itu hanya kau yang bisa berikan." Takeo menaikkan alis dan menanti kelanjutan kata-kata adiknya. "Tomasu," katanya dengan berlinang air mata. "Aku tahu kau belum sepenuhnya berpa ling dari

Tuhan. Katakan padaku kalau kau masih menjadi pengikut Hidden." "Aku tidak lagi pengikut ajaran itu," sahutnya tenang. "Maksudku, seperti yang t adi kukatakan: tak ada satu agama pun yang b enar." "Saat kau mengeluarkan kata-kata tak pantas itu, Tuhan mengirimkan firasat kepad aku." Air mata berlinang di wajahnya. Rasa tertekan dan ketulusannya tak diragukan lagi. "Aku me lihatmu terbakar di neraka. Api neraka melahap dirimu. Itulah yang menantimu setelah kematian, ke cuali kau kembali kepada Tuhan." Takeo ingat pesan dari tuhan yang mendatangi dirinya setelah demam karena terken a racun yang membawa dirinya ke ambang alam baka. Ia takkan percaya pada kepercayaan mana pun , agar rakyatnya bebas memilih. Pendiriannya tidak akan goyah. "Madaren," ujarnya lembut. "Kau tidak boleh bicara denganku mengenai masalah ini . Aku melarangmu mendekatiku dengan cara seperti ini lagi." "Tapi kehidupan kekalmu menjadi taruhannya; jiwamu. Sudah menjadi tugasku untuk menyelamatkan dirimu. Kau pikir mudah bagiku untuk melakukannya? Lihat betapa gemetarnya tubuh ku! Aku takut mengutarakan kata-kata ini padamu. Tapi aku harus mengatakannya!" "Hidupku di sini, di dunia ini," sahutnya. Takeo memberi isyarat agar adiknya melihat ke taman, dalam segala keindahannya d i musim semi. "Tidakkah ini cukup? Dunia tempat kita lahir dan tempat kita mati; tempat kembal inya jiwa dan raga dalam siklus besar, siklus kehidupan dan kematian? Ini sudah cukup indah dan men akjubkan." Halaman 190 dari 600

"Tapi Tuhan yang menciptakan dunia ini," katanya. Tapi Tuhan yang menciptakan du nia ini," katanya. "Tidak, dunia menciptakan dirinya sendiri; jauh lebih hebat dari yang kau kira." "Tidak mungkin lebih hebat dibanding Tuhan." "Tuhan, dewa, semua itu diciptakan oleh manusia," tuturnya, "jauh lebih kecil ke timbang dunia yang kita diami ini." Ia tidak marah lagi, tapi tidak bisa melihat ada alasan mengapa dia tertahan di tempat itu oleh adiknya itu, meneruskan perbincangan yang tak ada tujuannya. "Kedua majikanmu sedang menunggu. Sebaiknya kau kembali pada mereka. Dan kularan g kau mengungkapkan masa laluku pada mereka. Kuharap kau sadar sekarang kalau masa lal u sudah ditutup rapat. Aku telah memutus tali hubungannya. Keadaanku saat ini membuatku mustahil untuk kembali. Kau akan selalu menikmati perlindunganku, tapi bukannya tanpa syarat." Ia merasa kedinginan, padahal cuaca hari itu hangat. Apa maksud perkataannya; ap a yang akan ia lakukan pada adiknya itu? Mengeksekusinya? Diingatnya, seperti yang diingatnya s etiap hari, kematian Jo-An di tangannya, gelandangan yang juga menganggap dirinya sebagai utu san Tuhan Rahasia. Tak peduli seberapa dalam penyesalan atas lindakannya itu, ia sadar kal au ia bisa melakukannya lagi tanpa ragu. Ia telah membunuh masa lalunya, keyakinan masa kec ilnya dengan Jo-An, dan tak satu pun dari mereka bisa dibangkitkan kembali. Madaren tunduk pada kata-katanya. "Lord Otori," dia membungkuk hormat sampai ke tanah, seolah sadar tempatnya yang sebenarnya, bukan sebagai adiknya tapi serendah pelayan seper ti Haruka yang menunggu setengah bersembunyi di beranda. "Semuanya baik-baik saja, Lord Takeo?" "Juru bahasa itu mengajukan beberapa pertanyaan," sahutnya. "Lalu kelihatannya d ia kurang sehat. Pastikan perempuan itu pulih kembali, dan pastikan kalau dia pergi secepatnya. " * Terada Fumio menghabiskan musim dingin di Hagi bersama istri dan anak-anaknya. T ak lama setelah pertemuan dengan orang asing selesai, Takeo pergi ke rumah mereka yang berida di sisi lain teluk. Taman beratap, dihangatkan dengan sumber air panas yang mengelilingi gunung bera pi, kelihatan cerah dengan azalea dan peony beserta tumbuhan eksotis lainnya yang dibawa Fumio untuk Eriko dari pulau-pulau yang jauh serta kekaisaran-kekaisaran terpencil: anggrek, lili

dan mawar. "Suatu hari nanti kau harus ikut denganku," kata Fumio selagi mereka berjalan mel ewati taman dan menceritakan tempat asal tiap tumbuhan. "Kau belum pernah keluar Tiga Negara." "Tidak perlu, karena kau sudah membawakan dunia kepadaku." sahut Takeo. "Tapi kel ak aku ingin ikut jika aku mengundurkan diri atau turun takhta." "Apa kau memang mempertimbangkan hal itu?" Fumio mengamati, tatapan matanya yang penuh semangat menelusuri wajah Takeo. "Lihat saja nanti apa yang akan terjadi di Miyako. Aku berharap bisa memecahkan masalah tanpa berperang. Saga Hideki mengusulkan suatu penandingan putriku yang akan menggantika n diriku dan yang lainnya sudah yakin kalau hasilnya kelak akan berpihak kepadaku." "Kau mempertaruhkan Tiga Negara hanya dalam satu penandingan? Jauh lebih baik be rsiap untuk berperang!" "Seperti yang kita putuskan tahun lalu, kita akan siap perang. Setidaknya aku bu tuh waktu satu bulan hingga sampai di ibukota. Selama itu Kahei akan mengumpulkan pasukan di perbatas an wilayah Halaman 191 dari 600

Timur. Aku diwajibkan ikut penandingan itu, menang atau kalah, tapi dengan syara t yang akan dibicarakan dengan Saga. Kekuatan kita akan berada di sana hanya jika syaratku t idak dipenuhi, atau jika mereka ingkar janji." imur. Aku diwajibkan ikut penandingan itu, menang atau kalah, tapi dengan syarat yang akan dibicarakan dengan Saga. Kekuatan kita akan berada di sana hanya jika syaratku t idak dipenuhi, atau jika mereka ingkar janji." "Kita harus menggerakkan armada dari Hagi ke Hofu," tutur Fumio. "Itu berarti ki ta mengendalikan bagian Barat dari laut, dan bisa menyerang di Kumamoto bila perlu." "Bahaya terbesar yaitu Zenko memanfaatkan ketidak-hadiranku dan memberontak. Tapi istrinya akan ke Hagi; kedua putranya sudah berada di sana. Menurutku, dia tak akan benin dak bodoh dengan mempertaruh-kan nyawa mereka. Kaede sepakat denganku, dan dia akan mengup ayakan seluruh pengaruhnya atas Hana. Kau dan ayahmu harus pergi dengan armada perang k e Hofu; bersiap menerima serangan dari laut. Taku ada di sana dan akan tetap memberitahu kan padamu apa pun yang terjadi. Dan kau bisa mengajak orang-orang asing itu bersamamu." "Mereka akan kembali ke Hofu?" "Mereka akan membangun pos dagang di sana. Kau bantu mereka melakukannya sambil mengawasi. Gadis Muto itu, Mai, juga akan pergi bersama mereka." Takeo terus menceritakan tentang kekhawatirannya atas orang-orang a,sing karena kemungkinan sudah ada yang tinggal di Kumamoto. "Aku akan mencari tahu semampuku," Fumio berjanji. "Aku harus mengenal Don Joao dengan cukup baik musim dingin ini, dan mulai mengerti bahasa mereka. Untung nya dia bukan orang yang tertutup, terutama setelah minum sake. Bicara tentang s ake," imbuhnya. "Mari kita minum beberapa cangkir. Ayahku ingin bertemu denganmu." *** Ia lupa pada semua kecemasannya saat menikmati sake dan makanan yang disiapkan E riko, ikan segar dan sayuran musim semi, ditemani kawannya si perompak tua Fumifusa, serta taman yang indah. Takeo pulang ke rumah melalui tepi sungai, masih dengan pikiran yang tenang dan ceria. Saat memasuki taman, semangatnya bangkit lagi ketika mendengar suara Shizuka.

"Kau tidak ajak Miki?" tanyanya saat bergabung dengan Shizuka di ruangan atas; Ha ruka menyajikan teh lalu meninggalkan mereka berdua. "Pikirannya bercabang tentang masalah itu," sahut Shizuka. "Dia ingin bertemu de nganmu. Dia merindukanmu, juga kakaknya. Tapi dia kini dalam usia ketika dapat menyerap semua pelajaran dengan cepat. Sepertinya tidak bijaksana kalau tidak dimanfaatkan. Dan karena kau akan pergi selama musim panas ini, serta Kaede akan sibuk dengan bayinya...." "Aku sebenarnya berharap bisa bertemu dengannya sebelum pergi," sahut Takeo. "Di a sehat-sehat saja?" Shizuka tersenyum. Tumbuh dengan baik. "Dia mengingatkanku pada Yuki saat seusia nya. Penuh percaya diri. Dia berkembang tanpa kehadiran Maya, bahkan ternyata sangat baik ba ginya keluar dari bayang-bayang kakaknya." Mendengar nama Yuki disebut membuat Takeo hanyut dalam lamunan. Menyadari itu, S hizuka berkata, "Aku dapat kabar dari Taku pada akhir musim dingin. Dia bilang Akio ber ada di Kumamoto bersama dengan putramu." "Benar. Aku tak ingin membicarakannya di sini, tapi kehadirannya di tempat Zenko berdampak pada banyak hal yang harus kubicarakan denganmu. Apakah para tetua Muto mendukungmu?" "Ada perbedaan pendapat," sahut Shizuka. "Bukan di Negara Tengah, tapi dari wila yah Timur dan Barat. Aku terkejut Taku belum kembali ke Inuyama, tempat dia bisa Halaman 192 dari 600

mengerahkan kendali atas kaum Tribe di wilayah Timur. Aku harus ke sana, tapi ak u enggan meninggalkan Kaede di saat seperti ini, apalagi kau akan segera berangkai." engerahkan kendali atas kaum Tribe di wilayah Timur. Aku harus ke sana, tapi aku enggan meninggalkan Kaede di saat seperti ini, apalagi kau akan segera berangkai." "Taku sudah terobsesi pada gadis yang kami kirim untuk merawat Maya," ujar Takeo , merasakan percikan kemarahan yang sama. "Kudengar desas-desus tentang itu. Aku khawatir bila kedua putraku membuatmu kec ewa, setelah semua yang kau lakukan demi mereka." Suaranya kedengaran teratur, tapi Takeo melihat kalau Shizuka benar-benar tertek an. "Aku percaya pada Taku," ujar Takeo. "Tapi gangguan semacam itu hanya akan membu atnya gegabah. Zenko lain lagi masalahnya, tapi untuk sementara ini dia masih bisa dik endalikan. Tampaknya dia bertekad untuk menuntut jabatan ketua Muto, dan itu akan menjadi k onflik dengan dirimu, dan Taku serta tentu saja aku.' Takeo berhenti sejenak, lalu berkata, "Aku sudah berusaha meredamnya; mengancam dan memberi perintah padanya, tapi dia tetap ingin memancing amarahku." Shizuka berkata, "Dia semakin mirip dengan ayahnya. Aku tak bisa lupa kalau Arai memerintahkan kematianku, dan sangg up menyaksikan kau membunuh putranya sendiri, demi kekuasaan. Saranku, sebagai pemimpin keluarg a Muto sekaligus sahabat keluarga Otori, yaitu secepatnya menyingkirkan Zenko, sebelum d ia mengumpulkan lebih banyak dukungan lagi. Aku yang akan mengaturnya. Kau hanya pe rlu memberi perintah." Mata Shizuka berkilat, tapi tidak ada air mata. "Hari pertama kita bertemu, Kenji berkata kalau aku harus belajar kekejaman dari dirimu," sahut Takeo, kagum karena Shizuka bisa dengan sikap dingin menyarankan untuk membunuh putra sulungnya sendiri. "Tapi Kenji dan aku tak sanggup menanamkan sifat itu ke dalam dirimu, Takeo. Zen ko tahu itu, itu sebabnya dia tidak takut atau hormat padamu." Kata-kata Shizuka menyengat dirinya, namun ia menjawab dengan ringan, "Aku sudah berjanji pada diriku dan pada negara ini untuk mengambil jalan perundingan demi mencapai keadi lan serta kedamaian. Aku tak membiarkan tantangan Zenko

mengingkari janji itu." "Maka tangkap dan adili dia dengan tuduhan makar. Buatlah sah menurut hukum, tap i bertindaklah cepat." Shizuka mengamati, dan saat tidak ada jawaban, dia meneruskan, "Tapi kau takkan mengikuti saranku, Takeo; kau tidak perlu mengatakan apa-apa. Tentu saja, aku berterima ka sih padamu karena membiarkan putraku tetap hidup, tapi akibat yang harus ditanggung kita se mua tak terbayangkan besarnya." Ucapan Shizuka membuat sapuan dingin firasat merayap hingga ke tulang punggungnya . Matahari telah tenggelam dan taman berganti dengan cahaya biru malam. Kunang-kunang berke lap-kelip di atas aliran sungai, dan dilihatnya Sunaomi dan Chikara datang sambil mencipakkan air di bawah dinding mereka pasti habis bermain di tepi sungai. Rasa lapar yang membawa mereka pulang. Bagaimana Takeo bisa membunuh ayah mereka? Ia justru hanya akan membuat kedua bo cah itu bersikap menentangnya dan keluarganya, lalu memperpanjang pertikaian. "Aku menawarkan Miki untuk ditunangkan dengan Sunaomi," komentar Takeo. "Tindakan yang sangat bagus." Shizuka tampak berusaha agar suaranya kedengaran lebih ringan, "Walaupun kupikir tak sat u pun dari keduanya akan berterima kasih padamu! Jangan katakan ini pada siapa pun; Sunaomi pasti Halaman 193 dari 600

membenci usulan ini. Dia sangat kesal dengan kejadian di musim panas kemarin itu . Kelak saat sudah dewasa baru dia bisa menyadari betapa besar kehormatan yang diterimanya." embenci usulan ini. Dia sangat kesal dengan kejadian di musim panas kemarin itu. Kelak saat sudah dewasa baru dia bisa menyadari betapa besar kehormatan yang diterimanya." "Masih terlalu dini untuk mengumumkannya mungkin setelah aku kembali pada akhir mus im panas." Dari ekspresi Shizuka, dia seakan memperingatkan kalau ia takkan punya negara lag i yang bisa dipulanginya, tapi pembicaraan mereka disela oleh teriakan dari belakang rumah, tempat para perempuan. Takeo mendengar langkah Haruka berlari di beranda, membuat nightingal e floor bernyanyi. Di taman kedua bocah berdiri dan menatap Haruka. "Shizuka, Tabib Ishida," teriak Haruka. "Cepat kemari! Lady Otori sudah mau mela hirkan." Bayi itu, seperti keinginan Kaede selama ini, berjenis kelamin laki-laki. Kabar itu langsung dirayakan di seluruh kota Hagi, meski dalam batasan tertentu karena cengkeraman si bayi pada tangan kehidupan masih lemah serta rapuh. Proses kelahiran berlangsung cepat, bayinya kuat dan se hat. Tampaknya jelas kalau Lady Otori akan memiliki seorang putra sebagai pewaris. Kutukan yang dibisikkan rakyat yang karena kelahiran si kembar telah sirna. Kabar itu diterima dengan kegembiraan yang sama selama beberapa minggu kemudian di seluruh penjuru Tiga Negara, setidaknya di Maruyama, Inuyama dan Hofu. Kemungkinan kegem biraan itu kurang dirasakan di Kumamoto, tapi Zenko dan Hana mengirimkan hadiah yang indah: jubah sutra untuk si bayi, pedang kecil milik keluarga Arai, dan seekor kuda poni. Hana bers iap melakukan perjalanan ke Hagi di akhir musim panas, bersemangat untuk bertemu dengan kedua putra kandungnya dan menemani kakaknya sementara Takeo pergi. Ketika masa pingitan Kaede berakhir, dan kediaman telah disucikan sesuai adat, Kaede membawa si bayi dan menaruh si bayi di gendongan sang ayah. "Ini yang kudambakan seumur hidupku," tutur Kaede. "Memberimu seorang putra." "Kau sudah memberiku lebih dari yang kuharapkan," sahutnya dengan penuh perasaan . Takeo belum siap untuk menerima makhluk mungil berwajah merah dan berambut hitam ini dan untuk kebanggaan dalam dirinya. Menggendong putranya sendiri membuat ia merasa berbeda

. Sudut matanya mulai terasa hangat, namun ia tak bisa berhenti tersenyum. "Kau bahagia!" seru Kaede. "Aku takut... begitu sering kau mengatakan tidak mengi nginkan anak laki-laki, bahwa kau bahagia dengan ketiga putri kita, hingga aku hampir saja me mercayaimu." "Aku memang bahagia," sahutnya. "Aku bisa mati saat ini juga." "Aku merasakan hal yang sama," gumam Kaede. "Tapi jangan bicara tentang kematian . Kita akan hidup untuk melihat putra kita dewasa." "Aku berharap tidak meninggalkanmu." Seketika ia terpukau pada pikiran untuk mengabaikan perjalanan ke Miyako. Biar saja Si Pemburu Anjing menyerang; pasukan Tiga Negara akan menghabisinya dengan mudah, dan kemudian menghadapi Zenko. Ia tercengang de ngan kekuatan perasaan itu; ia akan bertempur sampai titik darah penghabisan untuk me mpertahankan Tiga Negara agar bayi ini bisa mewarisinya. Dipertimbangkannya masak-masak hal i tu, lalu ia singkirkan dari benaknya. Ia akan mencoba cara damai dulu, seperti yang telah di putuskan; jika perjalanan itu ditunda, maka ia akan terlihat arogan sekaligus pengecut. "Aku juga berharap demikian," sahut Kaede. "Tapi kau harus pergi." Diambilnya si bayi lalu menatap wajah bayi mungil itu, wajah Kaede penuh kasih sayang. "Aku tidak akan sendirian lagi dengan lakilaki mungil ini di sisiku!"* Halaman 194 dari 600

Takeo harus pergi sesegera mungkin agar bisa sampai di tujuan sebelum mulai huja n plum. Shigeko dan Hiroshi tiba dari Maruyama, dan Miyoshi Gemba dari Terayama. Miyoshi Kahei s udah berangkat ke wilayah Timur tak lama setelah salju mencair. Dia membawa kekuatan utama pasu kan Otori: lima belas ribu pasukan dari Hagi dan Yamagata; sepuluh ribu orang lagi akan dihimpun Sonoda Mitsuru di Inuyama, Sejak musim panas, beras dan gandum, ikan kering serta miso telah disim pan sebagai cadangan dan disebar sampai ke perbatasan wilayah Timur untuk persediaan bagi pa sukan. Beruntung panen kali ini berlimpah: baik pasukan maupun mereka yang penduduk tak kan kelaparan. Dalam mengatur perjalanan, yang paling membebani yaitu kirin. Hewan itu kini leb ih tinggi, dan kulitnya menjadi lebih gelap seperti warna madu, tapi ketenangan dan kedamaianny a tak berubah. Menurut Tabib Ishida, hewan itu sebaiknya tidak ikut berjalan kaki ke sana karena Jajaran Awan Tinggi akan terlalu berat baginya. Pada akhimya diputuskan kalau Shigeko dan Hiroshi yang akan membawanya dengan ka pal sampai di Akashi. "Kita semua bisa menumpang kapal, Ayah," Shigeko menyarankan. "Ayah belum pernah keluar perbatasan Tiga Negara," sahut Takeo. "Ayah ingin meli hat daratan dan jalan melewati jajaran itu; bila ada badai di bulan kedelapan dan kesembilan, ma ka laut adalah jalan yang akan kita lalui untuk kembali. Fumio akan ke Hofu: dia akan membawamu dan k irin, begitu pula dengan orang-orang asing itu." Bunga ceri berguguran dan kelopaknya berganti daun hijau yang baru ketika Takeo dan rombongannya berkuda dari Hagi, melewati pegunungan dan jalan pantai menuju Mats ue. Takeo pernah melewati jalur bersama Lord Shigeru. Jalur ini mengembalikan kenangan pad a orang yang telah menyelamatkan dan mengangkatnya sebagai anak. Aku bilang kalau tidak memercayai apa pun, pikirnya, tapi aku sering mendoakan arwah Shigeru; terutama saat seka rang ini, ketika aku membutuhkan kearifan sert a keberaniannya. Padi mulai tumbuh di sawah yang tergenang, memantulkan kilau memesona saat disira mi cahaya matahari. Di tepiannya, di mana ada persimpangan jalan, berdiri sebuah kuil keci l; dilihatnya kalau kuil itu dipersembahkan bagi Jo-An, yang di beberapa tempat telah dianggap dewa. Alan gkah anehnya kepercayaan orang-o rang itu, pikirnya sambil mengenang percakapannya dengan Mada ren

beberapa minggu lalu: keyakinan yang memaksa adiknya bicara padanya. Keyakinan y ang sama ditunjukkan oleh Jo-An dan kini Jo-An telah menjadi orang suci. Ia melihat sekilas pada Miyoshi Gemba yang berkuda di sampingnya, teman seperjala nan yang paling tenang dan paling ceria yang bisa diharapkan. Gemba telah mengikuti Ajaran Houou; ajaran yang penuh pengendalian diri. Saat berkuda, Gemba acapkali tenggelam dalam medit asi, dan sesekali bersenandung pelan, bak suara halilintar dari kejauhan atau raungan ber uang. Ia membicarakan tentang Sunaomi, yang pernah bertemu Gemba di Terayama, menceritakan tentang rencananya untuk menjodohkan bocah itu dengan putrinya. "Dia akan menjadi menantuku. Itu akan memuaskan ayahnya!" "Kecuali Sunaomi memiliki perasan sebagai putra yang berbakti padamu, maka pertu nangan itu takkan berguna," sahut Gemba. Takeo terdiam, teringat kejadian di biara, perselisihan antarsepupu, takut kalau Sunaomi terluka atas kejadian itu. Halaman 195 dari 600

"Dia melihat burung houou," akhirnya ia berkata. "Aku percaya kalau anak itu pun ya naluri yang baik." Dia melihat burung houou," akhirnya ia berkata. "Aku perca ya kalau anak itu punya naluri yang baik." "Ya, aku juga berpikir begitu. Baiklah, kirim anak itu pada kami. Kami akan mera watnya, dan bila ada kebaikan dalam dirinya, maka akan dipupuk dan dikembangkan." "Kurasa usianya sudah cukup dewasa: tahun ini usianya sembilan tahun." "Ijinkan dia ke tempat kami saat kita kembali." "Dia tinggal bersamaku sebagai keponakanku, sebagai calon putraku, namun juga seb agai sandera atas kesetiaan ayahnya. Aku takut kelak terpaksa memerintahkan untuk membunuhnya," aku Takeo. "Hal itu tidak akan terjadi," kata Gemba. "Aku akan menyurati istriku nanti mala m tentang usulanmu itu." Minoru mendampinginya seperti biasa, dan malam itu di pemberhentian pertama mere ka, ia mendiktekan surat untuk Kaede, dan untuk Taku di Hofu. Ia merasa perlu bicara de ngan Taku; mendengar kabar terbaru dari wilayah Barat, serta memintanya datang ke Inuyama a gar bisa bertemu di sana. Bagi Taku, perjalanan itu mudah karena melalui laut dari Hofu, kemudian melalui sungai dengan menumpang kapal tongkang yang melintasi antara kota kastil dengan pesisir . "Datanglah sendiri," diktenya. "Jinggalkan tanggunganmu dan pendampingnya di Hof u. Bila tidak dapat melepaskan diri, kabari aku." "Apakah ini bijaksana?" tanya Minoru. "Surat bisa saja dikacaukan, terutama...." "Terutama apa?" "Bila keluarga Muto tidak lagi yakin kepada siapa mereka akan berpihak?" Karena Takeo mengandalkan Tribe untuk membawa pesan tertulis dengan cepat ke sel uruh Tiga Negara. Itulah yang ia harapkan dapat dikendalikan Taku. Ia menatap Minoru, keraguan mulai merayapi dirinya. Jurutulisnya tahu lebih bany ak rahasia Tiga Negara dibanding siapa pun. "Bila keluarga Muto memilih Zenko, mana yang akan Taku pilih?" katanya pelan.

Minoru menaikkan bahu, tapi bibimya terkatup rapat dan tidak langsung menjawab. "Perlu kutuliskan kalimat terakhir Anda?" dia bertanya. "Tekankan kalau Taku harus datang sendiri." Percakapan ini melekat di benak Takeo sewaktu mereka melanjutkan perjalanan ke w ilayah Timur. Aku telah memperdaya Kikuta begitu lama, pikirnya. Dapatkah aku lolos dari Muto juga , bila mereka berbalik menentangku? Takeo mulai mencurigai kesetiaan Kuroda bersaudara, Jun dan Shin, yang selalu me ndampinginya. Ia selalu memercayai mereka sampai saat ini: meski mereka tidak memiliki kemampu an menghilang, namun mereka bisa merasakannya, dan mereka telah dilatih teknik bertarung cara T ribe oleh Kenji. Mereka telah berulang kali melindunginya, tapi bila mereka harus memilih antara dirinya dan Tribe, Takeo bertanya pada dirinya sendiri lagi, jalan mana yang akan mereka ambil? Takeo tetap bersikap siaga, senantiasa mendengarkan suara terpelan yang bisa jad i pertanda satu serangan. Kudanya, Tenba, menangkap suasana hari penunggangnya; sudah beberapa b ulan ini Takeo menungganginya, hingga terjalin ikatan kuat antara mereka, hampir sama kua tnya dengan Shun; Tenba cepat tanggap dan pintar, tapi jauh lebih tegang. Penunggang dan kud a, keduanya tiba di Inuyama dalam keadaan tegang serta kelelahan, sementara bagian terberat dalam perjalanan itu masih belum tiba. Halaman 196 dari 600

Inuyama dipenuhi dengan kegembiraan dan sibuk; kedatangan Lord Otori dan penghim punan pasukan berarti pedagang dan pembuat senjata sibuk siang dan malam; uang dan sak e mengalir sama derasnya. Takeo disambut adik iparnya, Ai, dan suaminya Sonoda Mitsuru. nuyama dipenuhi dengan kegembiraan dan sibuk; kedatangan Lord Otori dan penghimp unan pasukan berarti pedagang dan pembuat senjata sibuk siang dan malam; uang dan sak e mengalir sama derasnya. Takeo disambut adik iparnya, Ai, dan suaminya Sonoda Mitsuru. Takeo menyayangi Ai, kagum akan sifat lembut dan kebaikan hatinya. Dia tidak sec antik kedua saudaranya, namun penampilannya menarik. Satu hal yang mem buat Takeo senang yaitu Ai dan Mitsuru menikah atas dasar cinta. Ai kerap menceri takan tentang bagaimana penjaga di Inuyama hampir membunuh dia dan Hana ketika mendengar kabar kematian Arai dan kehancuran pasukannya. Beruntung Mitsuru telah lebih dulu mengambil ali h kastil, menyembunyikan kedua gadis itu, lalu merundingkan penyerahan wilayah Timur pada Otori. Karena rasa terima kasih itulah maka Takeo menikahkannya dengan Ai, yang memang saling mencintai. Takeo memercayai kedua orang ini; mereka terikat oleh hubungan perkawinan, dan M itsuru telah menjadi orang yang pragmatis, sensitif tanpa berkurangnya keberaniannya. Seringk ali dia berhasil meng-gunakan keahlian berundingnya untuk mewakili Takeo: bersama istrinya, dia b erbagi angan Takeo akan negara yang makmur tanpa penyiksaan maupun suap. Namun rasa lelah membuat Takeo mencurigai semua orang di sekelilingnya. Sonoda be rasal dari Klan Arai, ia memperingatkan dirinya sendiri. Pamannya, Akita, dulu adalah orang kepercayaan Arai. Seberapa besar sisa kesetiaan ada dalam dirinya ter-hadap putra Arai? Takeo semakin gelisah dengan kenyataan tidak adanya tanda-tanda keberadaan Taku, ataupun kabarnya. Dipanggilnya istri Taku, Tomiko; yang mendapatkan surat dari suaminya saat musim semi, tapi akhir-akhir ini belum ada kabar. Tomiko tidak terlihat khawatir, lagipula; dia sudah terbiasa dengan ketidakhadiran suaminya. "Apabila ada masalah. Lord Otori, maka kita akan segera mendengar kabarnya. Berba gai urusan pasti menahannya di Hofu mungkin sesuatu yang tak ingin dia tulis dalam surat." Tomiko melihat sekilas ke arah Takeo lalu berkata, "Aku sudah dengar tentang per empuan itu, tentunya, tapi aku sudah menduga hal semacam itu. Semua laki-laki punya kebutuha n, dan suamiku berada jauh dalam waktu lama. Itu bukanlah hal yang serius. Suamiku tidak pernah

serius tentang hal itu." Kekhawatiran Takeo justru kian bertambah saat ia mendengar kalau para sandera yan g seharusnya telah dieksekusi ternyata masih hidup. "Aku sudah kirim suratnya beberapa minggu lalu, memerintahkan agar dilakukan secepatnya." "Maaf, Lord Otori: kami tidak menerima " Sonoda mulai angkat bicara, tapi Takeo mem otong perkataannya. "Tidak menerima atau mengabaikan?" Takeo sadar kalau cara bicaranya terlalu blakb lakan. Sonoda berusaha keras menyembunyikan rasa tersinggungnya. "Kuyakinkan kepada Anda," ujar Sonoda, "Bila kami menerima perintah itu, kami pa sti sudah melaksanakannya. Aku pun bertanyatanya mengapa masalah ini ditunda begitu lama. A ku pasti akan melakukannya sendiri, tapi istriku selalu berpihak kepada belas kasihan." "Mereka kelihatan masih begitu muda," kata Ai. "Dan gadis itu...." "Tadinya aku berharap mereka tetap hidup," sahut Takeo. "Jika keluarga mereka ma u berunding, mereka tidak harus mati. Tapi mereka tidak bereaksi apa-apa, serta tidak memberi kabar. Menundanya lebih lama akan dianggap sebagai kelemahan." "Akan kuatur agar dilakukan besok," Sonoda meyakinkan. "Ya, harus segera," Ai setuju. "Kau akan Halaman 197 dari 600

hadir?" dir?" "Karena aku sudah di sini, maka aku harus hadir," sahut Takeo, karena ia sendiri yang membuat aturan bahwa eksekusi untuk pengkhinatan harus disaksikan orang yang jabatannya paling tinggi, dirinya sendiri atau salah seorang keluarganya atau pengawal senior. Takeo meras a kalau peraturan itu menekankan perbedaan hukum antara eksekusi dan pembunuhan. Menurutnya, peman dangan semacam itu memuakkan sehingga ia berharap dengan menyaksikan itu akan mencegah dirinya dari mengeluarkan perintah dengan sembarangan. Eksekusi dengan menggunakan pedang dilaksanakan keesokan harinya. Ketika mereka d ibawa menghadap sebelum mata mereka ditutupi, Takeo mengatakan bahwa ayah mereka, Gosa buro, sudah dieksekusi Kikuta karena ingin merundingkan nyawa mereka. Tak satu pun dar i mereka bereaksi; mungkin mereka tidak percaya. Tampak kilatan air mata dari mata gadis itu; selain itu, kedua orang itu menghadapi kematian dengan berani, bahkan bersikap menantang. Ta keo kagum dengan keberanian mereka dan menyesali hidup mereka yang singkat, ber pikir dengan pedih bahwa mereka masih ada kerabatnya, bahwa ia telah mengenal me reka sejak kecil. Keputusan itu dibuat bersama Kaede, dan atas saran para pengawal seniornya. Kepu tusan yang berdasarkan hukum. Namun Takeo tetap berharap bisa melakukan yang sebaliknya, dan kematian tampak seperti pertanda buruk. * Sepanjang musim dingin, Hana dan Zenko sering bertemu Kuroda Yasu untuk membicara kan tentang pembukaan perdagangan dengan orang asing, dan mereka senang ketika Yasu mendengar Don Joao dan Don Carlo ke Hofu pada akhir bulan. Mereka kurang senang dengan ber ita bahwa Terada Fumio telah membawa armada perang ke perairan laut dalam dan kini mengawa si jalur perairan. "Katanya kapal mereka jauh lebih baik dari kapal kita," kata Yasu. "Andai kita b isa minta bantuan mereka!" "Kalau mereka ingin berpihak kepada kita menentang Otori..." ujar Hana, menyuarak an pikirannya. "Mereka ingin berdagang, dan agar rakyat mau berpindah memeluk agama mereka. Taw arkan pada mereka salah satu atau keduanya. Mereka akan berikan apa saja sebagai imbalannya."

Komentar ini melekat di benak Hana selagi bersiap-siap pergi ke Hagi. Sewaktu memikirkan menghadapi kakaknya dengan rahasia yang akan ia bawa, Hana merasa bersemangat sekaligus takut, semacam kegembiraan yang menghancurkan. Tapi ia tidak meremehkan Takeo, karena suaminya cenderung bersika p sebaliknya. Hana mengenal kekuatan dan karakter kakak iparnya yang selalu memenangkan cinta d ari rakyatnya serta pendukung setia dari berbagai kalangan. Mungkin juga Takeo akan memenangkan hati Kaisar dan kembali dengan restu dari Kaisar. Maka Hana berpikir keras selam a musim dingin tentang strategi lebih lanjut untuk menopang perjuangan suaminya demi balas dend am dan kekuasaan. Saat mendengar orang-orang asing itu sudah kembali bersama jurubahasa nya, Hana bertekad untuk pergi ke Hagi melalui Hofu. "Kau seharusnya ikut bersama kami," ujar Hana pada Akio yang sudah menjadi tamu tetap ke kastil selama musim dingin. Akio selalu melaporkan kabar dari seluruh penjuru negara, s erta perkembangan Halaman 198 dari 600

yang tengah dibuat Hisao dan Koji dalam penempaan. Darah Hana selalu menggelegak dengan kehadiran laki-laki itu. Menurutnya ang tengah dibuat Hisao dan Koji dalam penempaan. Darah Hana selalu menggelegak dengan kehadiran laki-laki itu. Menurutnya kekejaman pragmatis laki-laki itu menarik. Saat ini Akio melihat Hana dengan tatapan yang penuh perhitungan seperti biasa. "Ya, aku tidak keberatan. Tentu saja, aku akan ajak Hisao." Satu kali, mereka hanya berdua saja. Kala itu cuaca masih dingin di akhir musim se mi dengan cuaca yang tak menentu namun wangi bunga yang baru mekar tercium dan malam terasa lebih ringan. Saat itu Akio datang untuk menemui Zenko yang sedang melihat latihan pas ukan dan kuda. Akio semula enggan tinggal lama, tapi Hana memaksa dengan menawarkan sake dan ma kanan. Dia melayani sendiri laki-laki itu, membujuk serta menyanjungnya, membuat Akio tak m ungkin menolak. Hana mengira Akio tidak mudah dipengaruhi sanjungan, tapi bisa dilihatnya erhatiannya membuat laki-laki itu senang dan boleh dibilang menjadi lembut. Hana ingin bagaimana rasanya tidur dengan orang itu; walau ia berpikir takkan melakukannya, pikiran itu at ia bersemangat. Hana mengenakan jubah sutra berwarna gading, dihiasi bunga ceri merah muda urung bangau: motif penuh kalau p tahu membu dan b

warna yang digemarinya. Sesungguhnya cuaca terlalu dingin untuk mengenakan pakai an semacam itu, dan kulitnya terasa dingin membeku, tapi ia sedang gembira: ia masih muda, darahnya bergejolak dengan dorongan yang sama seperti dorongan akarakar dari dalam bumi, tunas dari r anting. Penuh percaya diri dengan kecantikannya, ia memberanikan diri bertanya pada Akio, seba gaimana yang diinginkannya sepanjang musim dingin ini, tentang Hisao. "Dia tidak mirip ayahnya," komentar Hana. "Apakah dia mirip dengan ibunya?" Saat Akio tidak segera menjawab, Hana mendesak, "Seharusnya kau ceritakan semuany a padaku. Makin banyak yang bisa kuungkapkan tentang dirimu pada kakakku, maka semakin kuat akibatnya pada dirinya." "Itu sudah bertahun-tahun silam," tuturnya. "Jangan berpura-pura kalau kau sudah melupakannya! Aku tahu bagaimana kecemburuan mengukirkan kisahnya dengan belati di hati kita." "Ibunya adalah perempuan yang luar biasa," Akio mulai bercerita. "Sewaktu disaran

kan agar dia tidur dengan Takeo, aku takut untuk menyuruhnya melakukan itu. Meminta Yuki melakukan hal semacam itu hal yang lazim di kalangan Tribe, dan kebanyakan perempuan melakukan apa yang diperintahkan, ta pi Yuki merasa itu sebagai penghinaan. Ketika dia setuju, kusadari kalau Yuki menginginkan Take o. Aku melihat dia menggoda Takeo; bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Aku tidak menyangka kalau hatiku akan terasa sepedih itu, atau ke-bencian yang begitu dalam pada Takeo. Aku belum pema h membenci siapa pun; aku membunuh atas perintah, bukan karena perasaan pribadi. Takeo memi liki apa yang paling kuinginkan, dan dia menyia-nyiakannya. Dia meninggalkan Tribe. Bila Takeo merasakan sedikit saja apa yang pernah kurasakan, maka itu yang disebut keadilan." Akio mendongak. "Aku tidak pernah tidur dengannya," tuturnya. "Aku menyesali itu lebih dari segalanya. Andai aku mampu melakukannya, sekali saja... Tapi aku tidak ingin men yentuhnya saat dia mengandung anak Takeo. Dan aku memaksanya bunuh diri. Aku harus melakukannya: ka rena Yuki tidak berhenti mencintai Takeo; dia tidak akan memaksa anak itu membenci Takeo seperti yang telah kulakukan. Aku tahu dia harus menjadi bagian dari balas denda mku, tapi seiring tumbuh dewasa, dia tidak menunjukkan bakat apa pun, aku tidak tahu mengapa. Dala m waktu yang lama kukira memang tidak ada harapan lagi: berulang kali, para pembunuh yang jau h lebih terampil dari Hisao saja gagal. Kini kutahu kalau Hisao yang akan mcmbalaskan dendamku. D an aku akan ada di sana untuk menyaksikannya." Mendadak Akio berhenti bicara. Halaman 199 dari 600

Kata-kata itu meluncur deras dari mulutnya. Dia telah menyimpan semua ini rap atrap at selama bertahun-tahun, pikir Hana, merasa tersanjung dan gembira karena lakilaki itu per caya padanya. ata-kata itu meluncur deras dari mulutnya. Dia telah menyimpan semua ini rap at-r ap at selama bertahun-tahun, pikir Hana, merasa tersanjung dan gembira karena lakilaki itu per caya padanya. "Saat Takeo kembali dari Timur, Kaede pasti akan tahu semua ini," ujar Hana. "Ma salah ini akan memisahkan mereka. Kaede takkan memaafkannya. Aku mengenalnya: Takeo akan melari kan diri dari Kaede dan dari dunia ini, dia akan mencari perlindungan di Terayama. Biara itu hampir tidak dijaga. Takkan ada yang menduga kau akan ke sana. Kau bisa mengejutkannya di san a." Mata Akio setengah terpejam. Lalu menghembuskan napas panjang. "Itu satu-satunya yang akan mengakhiri penderitaanku." Hana tergoda oleh hasrat untuk memeluk Akio, untuk meringankan sakit hati orang itu: yakin bisa menghibur laki-laki itu atas kematian ia ragu untuk menyebutnya sebagai pembunuhan i strinya. Namun dengan hati-hati menyimpan kenikmatan ini untuk masa yang akan datang. Ada hal lain lagi yang ingin dibicarakannya dengan Akio. "Hisao telah berhasil menempa senjata api kecil yang bisa dibawa tersembunyi?" t anya Hana. "Tak ada pun bisa mendekati Takeo untuk bisa membunuhnya dengan pedang, tapi senjata api bisa digunakan dari jauh, kan?" Akio mengangguk dan bicara dengan lebih tenang, seolah lega topik pembicaraan su dah berganti. "Dia sudah mengujinya di tepi pantai. Jangkauannya lebih jauh dari panah, dan pe luru lebih cepat dibanding anak panah." Sesaat Akio berhenti bicara. "Suami Anda amat tertarik, s enjata yang menyebabkan kematian ayahnya. Dia ingin Takeo mati dengan cara yang sama memaluka nnya." "Memang ada semacam keadilan di dalam nya," ujar Hana setuju. "Cukup menyenangkan. Tapi agar benar-benar berhasil, kau pasti akan melatih Hisao secara khusus? Sebaiknya dilakukan uji coba untuk memastikan semua berjalan lancar, agar dia tidak kehilangan nyali, agar bidikannya benar-benar tepat." "Apakah Lady Arai punya orang yang bisa diusulkan?" Akio menatap langsung pada H ana dan ketika tatapan mereka beradu, hati Hana serasa melompat gembira. "Sebenarnya aku memang punya," sahutnya pelan. "Mendekatlah dan aku akan membisik kan

namanya." "Tidak perlu," sahutnya. "Aku bisa menebaknya." Tapi Akio akhirnya mendekat, begitu dekat hingga Hana bisa mencium napasnya sert a mendengar detak jantungnya. Tak satu pun dari keduanya bicara atau bergerak. Angin mengget arkan layar kasa, dan dari arah pelabuhan terdengar jerit burung camar. Setelah beberapa saat, Hana mendengar suara Zenko dari pelataran. "Suamiku sudah kembali," katanya, sambil berdiri, tak yakin apakah merasa lega a tau kecewa. *** Lord dan Lady Arai sering bepergian antara Kumamoto dan Hofu, maka kedatangan me reka di kota itu tidak lama setelah kembalinya orang-orang asing, tidaklah mengherankan. Kapa l yang ditumpangi para orang asing segera berangkat lagi menuju Akashi bersama Shigeko, Sugita Hir oshi dan kirin. Penduduk Hagi melepas kepergian kirin dengan rasa bangga dan sedih; mereka telah merasa memiliki hewan itu sejak kedatangannya yang mencengangkan di pelabuhan mereka. T ak lama kemudian, Terada Fumio bersiap berlayar untuk bergabung dengan ayahnya, Fumifusa , di teluk, bersama dengan armada Otori. Orang-orang asing sudah sering berkunjung ke tempat Lord Arai sehingga tidak mena rik perhatian. Perbincangan mengalir lebih lancar karena si jurubahasa makin berani dan percaya diri, dan Don Carlo pun makin fasih. "Anda pasti mengira kami bodoh," katanya, "karena tidak mengetahui ada Kaisar. K ini kami sadar kalau kami harus mendekati beliau karena kami adalah utusan Halaman 200 dari 600

raja kami, dan monarki harus berhadapan dengan monarki.aja kami, dan monarki har us berhadapan dengan monarki." Hana tersenyum. "Lord Kono yang barubaru ini kembali ke ibukota, dan yang pernah bertemu Anda berdua, adalah keluarga kekaisaran. Dia meyakinkan kami bahwa Lord Arai mendapat dukungan Kaisar. Kepemimpinan Lord Otori di Tiga Negara dianggap tidak sah, maka dia hend ak mengajukan pembelaan atas tuduhan itu." Don Joao nampak tertarik saat kalimat ini diterjemahkan. "Mungkinkah Lord Arai b isa membantu kami mendekati Yang Mulia Kaisar?" "Akan kulakukan dengan senang hati," sahut Zenko, wajahnya bersemu merah karena gembira dan juga karena minum sake. Perempuan itu, si jurubahasa, menerjemahkan kalimat ini, lalu mengatakan beberapa kalimat lagi. Don Carlo tersenyum agak sedih, Hana pikir, lalu menganggukkan kepala dua atau t iga kali. "Apa yang kau katakan?" tanya Hana langsung pada Madaren. "Maaf, Lady Arai. Aku bicara soal masalah keagamaan pada Don Carlo." "Ceritakan lebih banyak lagi pada kami. Kami tertarik pada ajaran para orang asing, dan terbuka dengan kepercayaan merek a." "Tidak seperti Lord Otori," kata Don Carlo. "Tadinya aku mengira dia akan bersika p simpatik, dan aku menaruh harapan besar untuk penyelamatan jiwa dari dosa dan kematian bagi is trinya yang cantik itu, tapi dia melarang kami menyebarkan agama secara terang-terangan atau membangun gerej a." "Kami tertarik mendengarkan masalah ini," ujar Hana sopan. "Dan sebagai imbalann ya kami ingin tahu berapa banyak kapal yang dimiliki raja Anda di Kepulauan Kecil Selatan, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk berlayar dari sini ke sana." "Kau punya rencana baru," kata Zenko malam itu saat mereka hanya berdua saja. "Aku tahu sedikit tentang kepercayaan orang-orang asing itu. Alasan mengapa kaum Hidden selalu dibenci adalah karena mereka lebih mematuhi Tuhan Rahasia ketimbang penguasa man a pun. Deus

milik orang-orang asing itu juga sama, menuntut kesetiaan yang utuh." "Aku telah bersumpah setia berulang kali pada Takeo," ujar Zenko. "Aku tidak menyukai gagasan dikenal sebagai pelanggar sumpah, seperti Noguchi: kukatakan ya ng sesungguhnya padamu, hanya itu yang masih menahanku." "Takeo telah menolak Deus sudah jelas dari apa yang kita dengar tadi. Bagaimana ka lau Deus memilihmu untuk menghukumnya?" Zenko tertawa. "Bila Deus membawakanku kapal dan senjata, maka aku siap berhadapan dengannya!" "Bila Kaisar sekaligus Deus memerintahkan kita untuk menghancurkan Takeo, bagaima na kita bisa membantah atau tidak mematuhinya?" ujar Hana. "Kita memiliki restu; juga peralat an." Tatapan mereka ber-temu, lalu mereka berdua tertawa terbahakbahak. *** "Aku ada satu rencana lagi," kata Hana kemudian, ketika kota sudah sunyi, dan di a berbaring di pelukan suaminya, setengah tertidur dan merasa puas. Zenko sudah hampir tertidur. "Kau memang sarang berharga dari gagasan yang baik," sahutnya, seraya membelai istrinya dengan malas. "Terima kasih, tuanku! Tapi apakah kau tidak ingin mendengarnya?" Halaman 201 dari 600

"Tidak bisakah menunggu sampai besok?" "Ada beberapa hal yang lebih baik dibicara kan dalam kegelapan." Tidak bisakah menunggu sampai besok?" "Ada beberapa hal yang lebih baik dibicarak an dalam kegelapan." Zenko menguap dan berpaling ke arah istrinya. "Bisikkan rencanamu itu dan aku ak an mempertimbangkannya dalam mimpiku." Setelah Hana memberi tahukan, Zenko terbaring dalam waktu lama tanpa bicara hing ga seperti sudah tertidur, namun Hana tahu kalau suaminya itu masih terjaga. Akhirnya Zenko berkat a, "Aku akan berikan dia satu kesempatan lagi. Bagaimana pun, dia adikku."* Meskipun Sada telah berusaha, ditambah salep dari Ishida, luka di wajah Maya tet ap berbekas, garis kemerahan di tulang pipinya bak bayangan daun perilla. Maya dihukum dengan berba gai cara atas ketidakpatuhannya. Meskipun dia dipaksa melakukan tugas paling rendah di rumah, d ilarang bicara, dilarang tidur dan makan, dia tetap lakukan semua ini tanpa dendam, sadar kalau ia memang pantas dihukum karena menyerang dan melukai ayahnya. Maya belum bertemu Taku selama sem inggu, dan walau Sada merawat lukanya, tapi dia tidak bicara atau pun memeluk serta membela inya seperti yang diinginkan Maya. Sendirian sepanjang waktu, dijauhi semua orang, Maya punya bany ak waktu untuk memikirkan apa yang telah terjadi. Begitu teringat kalau ia telah menyerang ayah nya, air mata berlinang. Biasanya ia tidak pernah menangis: satusatunya yang diingatnya yaitu s aat berada di sumber air panas, bersama Takeo dan Miki, ketika menceritakan pada ayahnya bagaimana cara membuat si kucing tertidur dengan tatapan maut Kikuta. Hanya ketika ada Ayah aku bisa menangis, pikirnya. Mungkin air mata adalah bagian dari kemarahan. Ia ingat kemarahannya pada ayahny a karena tidak mengatakan kalau punya anak laki-laki, karena semua rahasia yang mungkin disembu nyikan ayah dari dirinya, karena semua muslihat yang terjadi antara orangtua dan anaknya. Namun Maya juga ingat kalau tatapannya menguasai tatapan ayahnya, kalau ia bisa mendengar langkah ringan dan merasakan kehadiran ayahnya saat tidak kelihatan. Maya meliha t betapa kekuatan si kucing telah bertambah dan memperkuat kekuataan dirinya. Kekuatan itu masih saja menakutkan baginya, tapi setiap hari, di saat kurang tidur, makan dan bicara, day a tarik kekuatan itu semakin bertambah, dan mulai bisa melihat bagaimana ia bisa mengendalikannya.

Di akhir minggu, Taku memanggilnya dan mengatakan kalau mereka akan pergi ke Hof u keesokan harinya. "Kakakmu, Lady Shigeko, membawa kuda-kuda," katanya. "Dia ingin mengucapkan selamat tinggal padamu." Saat Maya hanya membungkuk hormat tanpa menjawab, Taku berkata, "Kau boleh bicar a sekarang: hukumannya sudah selesai." "Terima kasih, Guru," sahutnya dengan patuh, kemudian berkata, "Aku benar-benar menyesal." "Kita semua pernah melakukan kesalahan yang berbahaya. Aku yakin kalau aku perna h menceritakan saat ayahmu menangkapku di Shuho." Maya tersenyum. Kedua saudara perempuannya senang sekali mendengarkan cerita itu saat mereka masih kecil. "Shizuka sering menceritakannya pada kami, untuk memperingatk an agar kami patuh!" "Kami berdua beruntung karena ayahmu yang kami hadapi. Jangan lupa, kebanyakan o rang Tribe dewasa akan membunuh tanpa pikir panjang, anak-anak atau bukan." *** Halaman 202 dari 600

Shigeko membawa dua kuda betina tua higeko membawa dua kuda betina tua Maruyama, untuk Maya dan Sada, satu berwarna coklat kemerahan, dan satunya lagi, yang membuat Maya kegirangan, berwarna abu-abu pucat dengan surai dan ekor hitam , sangat mirip kuda tua milik Taku, Ryume, anak Raku. "Ya, yang abu-abu ini bisa menjadi milikmu," sahut Shigeko, memerhatikan mata May a yang berbinar. "Tapi, kau harus merawatnya baik-baik selama musim dingin." Shigeko me lihat wajah Maya: "Sekarang aku bisa bedakan antara kau dan Miki." Sambil menarik Maya ke samping, Shigeko berkata pelan, "Ayah menceritakan apa yang terjadi. Aku tahu ini sulit bagimu, m elakukan semua yang diminta Taku dan Sada. Buka mata dan telingamu lebar-lebar saat tiba di Hof u. Aku yakin kau bisa berguna di sana." Kedua kakak beradik itu berpelukan; setelah mereka berpis ah, Maya merasa diperkuat oleh kepercayaan Shigeko kepadanya. Itulah yang membuatnya mampu berta han selama musim dingin yang panjang di Hofu, saat angin dingin terus berhembus dari laut, bukannya membawa salju sebagaimana mestinya tapi malah membawa hujan es dan hujan sedingin es. Bul u kucing itu terasa hangat, dan Maya kerap tergoda untuk memanfaatkannya. Awalnya masih teras a janggal, lalu dengan rasa percaya diri yang makin besar, Maya belajar memaksa ro h kucing itu tunduk pada kehendaknya. Masih ada banyak unsur ruang antara dua dunia yang menakutkan baginya: hantu yang kelaparan dengan keinginan yang belum terpuaskan, serta kesadarannya tentang semacam kepandaian yang mencari dirinya. Rasanya seperti kilatan halilintar di k egelapan. Kadang ia menatap dunia itu dan merasakan daya tariknya, tapi seringkali ia menjauhi ki lauannya, tetap berada di balik bayang-bayang. Sesekali ia bisa menangkap penggalan kata, bisika n yang tak kunjung ia pahami. Satu hal yang menyita pikirannya sepanjang musim dingin adalah masalah yang membu at ia sangat marah pada ayahnya: bocah misterius yang merupakan kakak tirinya, yang tidak per nah dibicarakan siapa pun, yang kata Taku akan membunuh ayahnya ayahnya! Saat ia memikirkan tentan g bocah itu, ia menjadi bingung dan roh si kucing berusaha menguasai dirinya dan melakuk an apa yang diinginkannya. Ia sering terbangun berteriak karena mimpi buruk, sendirian di kamar karena kini setiap malam Sada bersama Taku. Maya berbaring terjaga sampai pagi, takut memejam

kan mata. Sada mengatur agar mereka tinggal di rumah keluarga Muto antara sungai dan kedia man Zenko. Rumah itu dulunya adalah tempat penyulingan sake, tapi dengan makin bertambahnya pelanggan karena Hofu kian makmur, keluarga itu pindah ke bangunan yang lebih besar, dan b angunan ini kini hanya dijadikan gudang. Seperti di Maruyama, keluarga Muto menyediakan penjaga dan pelayan, dan Maya mas ih berpakaian anak laki-laki di luar rumah, tapi diperlakukan sebagai anak perempuan ketika di dalam rumah. Teringat pesan Shigeko, dan ia membuka telinga lebar-lebar, mendengarkan bisik-b isik percakapan di sekelilingnya, berjalan-jaian melewati pelabuhan saat cuaca cukup cerah, dan m emberitahu Taku dan Sada apa yang didengarnya. Tapi ia tidak menceritakan semuanya: sebagian dar i desas-desus yang mengejutkan dan membuatnya marah sehingga ia tidak ingin mengulang kata-kat a itu. Ataupun berani bertanya pada Taku tentang pemuda yang merupakan kakaknya itu. Maya bertemu Shigeko lagi sebentar ketika musim semi, ketika kakaknya berlayar b ersama kirin dan Hiroshi dalam perjalanan ke Miyako. Ia sudah sangat terbiasa dengan segala hasra t Taku terhadap Sada, lalu mengamati kakaknya dan Hiroshi untuk melihat apakah mereka menunjukkan geja la yang sama. Terasa sudah begitu lama ketika ia dan Miki menggoda Shigeko tentang Hiroshi: ap akah hanya sekadar rasa tertarik seorang gadis belia, ataukah kakaknya masih tetap mencintai pemuda yang kini menjadi pengawal seniornya? Dan apakah Hiroshi mencintai kakaknya? Seperti halnya Takeo, Maya juga memerhatikan reaksi cepat Hiroshi sewaktu Tenba melompat dan mundur tiba-ti ba karena takut selama upacara di Maruyama, dan menarik kesimpulan yang sama. Kini ia kurang yak in: di satu sisi, Shigeko dan Hiroshi tampak saling menjauh sekaligus bersikap resmi; di sisi lain mereka seperti Halaman 203 dari 600

saling memahami pikiran masing-masing, dan ada semacam keselarasan yang terjalin di antara mereka. Shigeko telah mengemban wewenang baru, dan Maya tak berani lagi menggoda maupun bertanya padanya. aling memahami pikiran masing-masing, dan ada semacam keselarasan yang terjalin di antara mereka. Shigeko telah mengemban wewenang baru, dan Maya tak berani lagi menggoda maupun bertanya padanya. Di bulan keempat, setelah Shigeko dan Hiroshi pergi bersama kirin menuju Akashi, Taku disibukkan dengan permintaan dari orang-orang asing yang telah kembali dari Hagi dan bersem angat untuk membangun pos perdagangan secepatnya. Kira-kira di saat inilah Maya sadar atas p erubahan yang terjadi dengan perlahan sejak hari pertama musim semi. Semua perubahan itu seper ti memastikan desas-desus yang mulai di-dengarnya saat musim dingin. Sejak kecil ia sudah hidup dengan kepercayan bahwa kesetiaan keluarga Muto teguh kukuh terhadap Klan Otori, dan bahwa Muto mengendalikan kesetiaan Tribe terlepas dari Kikuta yang membenci dan berusaha membunuh ayahnya. Shizuka, Kenji, dan Taku adalah keluarga Muto dan telah menjadi penasihat terdekat keluarga Otori dan telah menjadi gurunya. Maka butuh waktu la ma baginya untuk dapat memahami dan menerima gejala-gej ala yang tampak di depan matanya. Kurir pembawa pesan yang datang ke rumah jumlahnya makin sedikit; informasi yang diantar amat terlambat hingga akhimya tidak berguna. Para penjaga tertawa sinis di belakang Taku tentang obsesinya terhadap Sada: laki-laki-perempuan yang lemah da n gila. Maya menemukan dirinya terbebani dengan lebih banyak pekerjaan karena para pelayan ma kin malas, bahkan kurang ajar. Seiring makin besar kecurigaannya, diikutinya para pelayan ke penginapan dan mendengar cerita-cerita mereka: kalau Taku dan Sada adalah penyihir, dan kedua or ang itu memanfaatkan arwah kucing dalam mantra-mantra mereka. Sewaktu di penginapan itulah Maya mendengar percakapan lain di kalangan keluarga Muto, Kuroda dan Imai: setelah lima belas tahun dalam damai, ketika pedagang dan petani biasa menikmati kesejahteraan, Tribe mulai menyesal karena sebelumnya mereka yang menguasai perd agangan, dan ketika bangsawan memanfaatkan ketrampilan mereka. Sumpah setia tidak pasti yang digabung Kenji dengan kekerasan karakternya, penga laman dan akal bulusnya mulai hancur, dan untuk memperbaikinya saat ini, maka Kikuta Akio muncu l dari pengasingan.

Maya mendengar nama laki-laki itu beberapa kali di awal-awal bulan keempat, dan setiap kali didengarnya, ketertarikan dan keingintahuannya semakin bertambah . Satu malam, sesaat sebelum bulan purnama, ia pergi diam-diam ke penginapan di tepi sungai, s aat itu kota terasa lebih hidup dari biasanya karena Zenko dan Hana sudah kembali bersama rombongan, dan penginapan penuh sesak dengan orang. Maya menyembunyikan diri di bawah beranda, menggunakan kemampuan menghilang untuk menyelinap di bawahnya; malam ini terlalu bising untuk bisa mendengar banyak bah kan dengan telinganya yang tajam, tapi ia menangkap kata ketua Kikuta, dan sadar kalau Akio ada di penginapan itu. Ia terkejut temyata laki-laki itu berani muncul secara terang-terangan di Hofu, dan bahkan lebih kagum lagi ternyata begitu banyak orang yang ia kenal dari kalangan Tribe bukan hanya mentolerir kehadirannya, tapi justru mencarinya, memperkenalkan diri pada Akio. Maya menyad ari kalau orang itu berada dalam perlindungan Zenko, dan ia bahkan mendengar Zenko disebut sebag ai ketua Muto. Ia tahu kalau itu pengkhianatan, meski ia tak tahu sampai sejauh mana kebenarannya. Selama ini ia dapat menghilang diri tanpa diketahui, dan menjadi so mbong karenanya. Ia meraba pisau di baju luamya lalu menggunakan kemampuan menghilang kemudian berjalan ke pintu penginapan. Semua pintu terbuka lebar, membiarkan angin sepoi-sepoi dari arah barat daya mas uk. Lentera menyala berasap, dan udara terasa pekat dengan berbagai aroma, ikan panggang dan sake, minyak wijen serta jahe. Maya memindai berbagai kelompok; langsung tahu mana yang bernama Akio karena lak i-laki itu melihat dirinya, langsung menembus kemampuan menghilangnya. Saat itu ia menyadar i betapa Halaman 204 dari 600

berbahayanya lakilaki itu, betapa lemah dirinya bila dibandingkan dengan Akio, bet apa laki-laki itu bisa membunuhnya tanpa ragu. Akio melompat dari lantai dan seperti terbang ke ar ahnya, melemparkan senjata selagi bergerak. Maya melihat kilau pisau, mendengar desingn ya di udara, dan tanpa pikir panjang ia menjatuhkan diri ke lantai. Semua yang ada di sekelilingny a berubah: ia melihat dengan mata si kucing; dirasakannya tekstur lantai di bawah kakinya; cak arnya di lantai papan rbahayanya lakilaki itu, betapa lemah dirinya bila dibandingkan dengan Akio, betap a laki-laki itu bisa membunuhnya tanpa ragu. Akio melompat dari lantai dan seperti terbang ke ar ahnya, melemparkan senjata selagi bergerak. Maya melihat kilau pisau, mendengar desingn ya di udara, dan tanpa pikir panjang ia menjatuhkan diri ke lantai. Semua yang ada di sekelilingny a berubah: ia melihat dengan mata si kucing; dirasakannya tekstur lantai di bawah kakinya; cak arnya di lantai papan beranda sewaktu ia melompat melarikan diri ke dalam gelapnya malam. Di belakangnya, Maya menyadari kehadiran pemuda itu, Hisao. Dirasakannya tatapan pemuda itu mencarinya, dan mendengar penggalan suara yang membentuk kata-kata. Saat memahami katakata itu, ia ketakutan setengah mati. Datanglah padaku. Sudah lama aku menunggumu. Dan si kucing hanya ingin kembali pada pemuda itu. Maya melarikan diri pada satu-satunya perlindungan yang dikenalnya, pada Sada da n Taku, membangunkan keduanya dari tidur nyenyak. Mereka berusaha menenangkan saat dia be rjuang sekuat tenaga mendapatkan kembali wujud manusianya, Sada memanggil-manggil namany a sementara Taku menatap matanya, melawan tatapan Maya yang amat kuat. Akhirnya tu buh Maya lemas; sepertinya tertidur selama beberapa saat. Ketika membuka mata, dia bisa b erpikir jelas lagi, dan ingin menceritakan segalanya pada mereka. Taku mendengarkan tanpa bicara selagi Maya menceritakan apa yang didengarnya. Ta ku mengagumi pengendalian diri gadis itu yang dapat menceritakan tanpa meneteskan air mata. "Jadi sesuatu menghubungkan Hisao dan kucing itu?" akhimya ia bertanya. "Dialah yang memanggil kucing itu," ujar Maya pelan. "Dialah penguasa si kucing. " "Penguasa si kucing? Darimana kau dapat kata itu?" "Itulah yang dikatakan para hantu, jika kubiarkan mereka bicara." Taku menggelengkan kepala dengan tatapan bertanya-tanya. "Kau tahu siapa Hisao i

tu?" "Dia cucu Muto Kenji." Ia berhenti sejenak lalu bicara tanpa perasaan, "Putra ay ahku." "Sudah berapa lama kau tahu?" "Aku pernah mendengar kau mengatakan pada Sada, di Maruyama pada musim gugur yan g lalu," jawab Maya. "Pertama kali kita melihat kucing itu," bisik Sada. "Hisao pasti seorang penguasa alam baka," ujar Taku, mendengar Sada menghela nap as, hembusan napasnya terasa di bulu kuduknya. "Kukira hal itu hanya legenda." "Apa artinya itu?" tanya Maya. "Artinya dia mampu untuk berjalan di antara dua dunia, mendengar suara orang yan g sudah mati. Para arwah akan patuh padanya. Dia memiliki kekuatan untuk menenangkan atau mengh asut mereka. Ini jauh lebih buruk dari yang kita bayangkan." Inilah pertama kalinya Taku merasakan ketakutan yang sesungguhnya. Takut pada ke kuatan supranatural, gelisah atas pengkhianatan yang telah diungkap Maya, dan kemarahan pada rasa puas dalam dirinya serta kurang waspada. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Sada pelan. Sada merengkuh dan memeluk Maya erat-erat. Tatapan Maya yang berkilat terpaku pada wajah Taku. "Kita harus membawa Maya pergi," sahutnya. "Tapi aku harus menemui kakakku lebih dulu, membuat satu tuntutan terakhir padanya, dan mencari tahu seberapa dalam keterlibatannya dengan Akio, dan berapa banyak yang mereka tahu tentang Hisao. Dugaanku adalah mereka belum menge tahui bakatnya. Tidak ada lagi orang yang tahu tentang hal semacam ini di kalangan Tri be: semua laporan kita menunjukkan kalau Hisao tidak memiliki kemampuan Tribe." Halaman 205 dari 600

Apakah Kenji tahu? Taku memikirkan hal itu, dan menyadari sekali lagi betapa ia sangat merindukan Gurunya itu, dan betapa besar kegagalannya untuk bisa menggantikan kedudukan gur unya itu. pakah Kenji tahu? Taku memikirkan hal itu, dan menyadari sekali lagi betapa ia s angat merindukan Gurunya itu, dan betapa besar kegagalannya untuk bisa menggantikan kedudukan gur unya itu. "Kita akan pergi ke Inuyama," katanya. "Aku akan menemui Zenko besok, tapi kita harus tetap pergi. Kita harus bawa Maya pergi." "Kita belum mendapat kabar dari Lord Takeo sejak Terada datang dari Hagi," kata Sada gelisah. "Sebelumnya aku tidak cemas," sahut Taku, dicekam perasaan kalau segala sesuatun ya akan terurai satu demi satu. *** Saat malam lebih larut, meski sulit untuk mengakui pada dirinya sendiri, terlebi h lagi mengaiakannya pada Sada atau orang lain, keyakinannya makin besar kalau Takeo akan hancur, kal au jaring mulai makin kencang di sekelilingnya dan tak ada jalan untuk lolos. Saat terjaga, sada r akan tubuh tinggi Sada di sisinya, mengamati malam yang pucat, Taku berpikir keras apa yang harus dilakukan. Rasanya masuk akal mematuhi kakaknya yang akan mengambil alih kepemimpinan Tribe a tau bahkan menyerahkan jabatan itu pada Taku sendiri: keluarga Muto dan Kikuta bisa berdamai; maka ia tak harus menyerahkan nyawa Sada atau nyawanya sendiri; naluri pragmatis Muto mendes aknya untuk mengikuti jalan ini. Ia berusaha menimbang apa saja yang dipertaruhkan. Ny awa Takeo, pastinya. Juga nyawa Kaede, kemungkinan anak-anak juga mungkin Shigeko tidak, kecu ali bila dia melawan, tapi Zenko pasti menganggap si kembar terlalu berbahaya. Jika Takeo mel awan balik, berarti kematian beberapa ribu prajurit Otori yang tak ada hubungan dengan dirin ya. Hiroshi... Memikirkan Hiroshi telah membuatnya berhenti secara tiba-tiba. Sebagai anak lakil aki, Taku punya rasa iri yang terpendam pada Hiroshi, terhadap sifat ksatria yang jujur, keberan ian fisiknya, kesadaran tergoyahkan pada kehormatan dan kesetiaan. Ia selalu berusaha membuat Hiroshi ter kesan; menyayangi sahabatnya itu lebih dari apa pun, sebelum ia bertemu Sada. Ia tahu k alau Hiroshi lebih memilih mencabut nyawanya ketimbang meninggalkan Takeo, dan ia tak tahan membayangkan wajah Hiroshi saat sadar kalau ia berpihak pada Zenko. Alangkah bodohnya kakakku, pikirnya, bukan untuk yang pertama kalinya. Ia menyes

alkan tindakan kakaknya yang menempatkan ia dalam posisi serba salah. Direngkuhnya Sada erat. T ak pernah kubayangkan kalau aku akan jatuh cinta, pikirnya saat membangunkan Sada dengan le mbut, dan meskipun tidak tahu kalau itulah terakhir kalinya dia membangunkan Sada. Tak per nah kubayangkan kalau aku akan menjadi ksatria yang mulia. *** Taku mengirim pesan keesokan harinya, dan menerima jawabannya sebelum tengah har i. Ia diperlakukan dengan santun seperti biasa, dan diundang ke kediaman di Hofu untuk makan malam bersama Zenko dan Hana. Dia menghabiskan waktu dengan mempersiapkan diri untuk be pergian, tidak secara terang-terangan, karena tak ingin menarik perhatian. Taku berkuda p ergi bersama empat orang yang telah menemaninya sejak dari Inuyama, lebih memercayai mereka ketimbang orang yang disediakan keluarga Muto di Hofu. Begitu bertemu, Taku melihat ada perubahan dalam diri kakaknya. Kumis dan janggu t Zenko tampak lebih lebat, tapi lebih dari itu, sang kakak menunjukkan kepercayaan diri yang ba ru, dengan langkah yang lebih angkuh. Taku juga memerhatikan, walau tak langsung mengomentari, kala u Zenko mengenakan kalung dari untaian rosario indah yang terbuat dari ukiran gading, mi rip yang dipakai Don Joao dan Don Carlo yang juga hadir saat makan malam. Sebelum mulai makan, Do n Carlo diminta untuk mengucapkan doa. Zenko dan Hana duduk dengan tangan terkatup, kepal a tertunduk, serta tampak hikmad. Taku memerhatikan kehangatan baru antara kedua orang asing itu dengan Zenko. Men dengar betapa sering Deus diucapkan, dan menyadari dengan campuran antara rasa tercengang dan jijik kalau kakaknya telah mengikuti kepercayaan orang asing. Halaman 206 dari 600

Berpindah agama atau hanya berpura-pura? Taku tidak percaya kalau tindakan Zenko tulus adanya. Ia mengenal kakaknya sebagai laki-laki tanpa agama dan tidak berminat erpindah agama atau hanya berpura-pura? Taku tidak percaya kalau tindakan Zenko tulus adanya. Ia mengenal kakaknya sebagai laki-laki tanpa agama dan tidak berminat pada sesuatu yang berbau spiritual sama seperti dirinya. Rupanya Zenko melihat ada keuntungan: pasti berhubungan dengan militer, pikirnya, dan kemarahannya muncul selagi memik irkan kalau yang bisa diberikan orang asing itu adalah senjata api dan kapal. Zenko menyadari kegelisahan Taku yang makin bertambah, dan ketika makan malam se lesai dia berkata, "Ada yang harus kubicarakan dengan adikku. Kami permisi sebentar. Taku, ikutlah ke taman. Malam ini indah: sudah hampir purnama." Taku mengikuti, membuka semua inderanya, memasang pendengarannya untuk langkah ka ki yang tak dikenal, hembusan napas yang tak terduga. Apakah sudah ada pembunuh yang ber sembunyi di taman, dan kakaknya membimbing ia ke dalam jangkauan pisau lempar mereka? Atau s enjata mereka? Dan bulu kuduknya merinding memikirkan senjata yang bisa membawa kematia n dari jarak jauh, yang bahkan tidak terdeteksi oleh semua kemampuan Tribe. Zenko berkata, seolah bisa membaca pikirannya, "Tak ada alasan bagi kita untuk b ermusuhan. Janganlah kita saling membunuh." "Kurasa kau tengah merencanakan persekongkolan menentang Lord Otori," sahut Taku, seraya menyembunyikan marahnya. "Tak bisa kubayangkan apa alasannya, karena kau telah b ersumpah setia dan berutang nyawa padanya, juga karena tindakan ini akan membahayakan kel uargamu ibu kita, aku bahkan kedua putramu. Mengapa Kikuta Akio berada di Hofu dan dalam perli ndunganmu? Perjanjian keji apa yang kau buat dengan orang-orang ini?" Taku memberi isyarat ke arah tempat percakapan orang asing itu terdengar seperti pekikan burung, pikirnya kecut. "Tidak ada kejahatan di dalamnya," sahut Zenko, mengacuhkan pertanyaan tentang A kio. "Aku melihat kebenaran dalam kepercayaan mereka dan aku memilih untuk mengikuti jalan mereka. Kebebasan itu diperbolehkan di seluruh Tiga Negara, kurasa." Taku melihat deretan gigi putih di atas janggut Zenko saat tersenyum. Ia ingin l angsung menyerang, namun menahan diri. "Dan sebagai imbalannya?" "Aku terkejut kau belum tahu, tapi aku yakin kau bisa menebaknya." Zenko

menatapnya, lalu mendekat dan memegang tangannya. "Taku, kita bersaudara, dan ak u sayang padamu, terlepas dari perbedaan pendapat kita. Mari kita bicara terns terang. Ta keo tidak punya masa depan: mengapa ikut jatuh bersamanya? Bergabunglah denganku: Tribe akan ber satu kembali: aku pernah bilang kalau aku punya orang dalam di kalangan Kikuta. Bukan rahasia lagi kalau menurutku alasan Akio sangat masuk akal. Dia akan mengabaikan peranmu dalam kematian Kotar o: semua orang tahu saat itu kau masih kecil. Akan kupenuhi semua keinginanmu. Takeo yang menye babkan kematian ayah kita. Tugas pertama kita adalah balas dendam atas kematian itu." "Ayah kita memang pantas mati," sahut Taku, seraya menahan kata-katanya. Dan kau juga pantas mati. "Tidak, Takeo itu penipu, perebut kekuasaan, juga pembunuh. Ayah kita seorang ks atria sejati." "Kau memandang Takeo seolah kau berkaca," sahut Taku. "Kau melihat bayangan dirim u sendiri. Kaulah si perebut kekuasaan." Taku merasa jarinya gatal ingin meraih pedang, dan tubuhnya terasa perih seakan siap menghilang. Yakin kalau Zenko past i hendak membunuhnya saat ini. Taku tergoda untuk menyerang, begitu kuatnya godaan itu hi ngga ia hampir tak sanggup menahannya, namun ada sesuatu yang mencegahnya: rasa enggan untuk mencab ut nyawa kakaknya, dan teringat kata-kata Takeo: Saudara saling membunuh, sungguh tak Halaman 207 dari 600

terbayangkan, Kakakmu, seperti layaknya orang lain, termasuk dirimu sendiri, Tak u sayang, harus taat pada hukum. erbayangkan, Kakakmu, seperti layaknya orang lain, termasuk dirimu sendiri, Taku sayang, harus taat pada hukum. Taku menghirup napas dalam-dalam. "Katakan apa yang kau inginkan dari Lord Otori . Mari kita rundingkan." "Tak ada yang bisa dirundingkan kecuali dengan kehancuran dan kematiannya," sahu t Zenko marah. "Dalam hal ini, terserah apakah kau memihak atau menentangku." Taku mundur dengan sikap hati-hati. "Biar kupertimbangkan dulu. Aku akan bicara lagi denganmu besok. Dan kau juga, pikirkan semua tindakanmu. Apakah keinginan balas dendammu bisa menjamin tidak akan menyebabkan perang saudara?" "Baiklah," ujar Zenko. "Oh ya, sebelum kau pergi: aku lupa berikan ini padamu." Dikeluarkannya wadah bambu dari balik jubah dan menyerahkannya. Taku mengambilnya dengan firasat: dikenalinya benda itu sebagai tempat surat, yang digunakan di Tiga Nega ra. Bagian bawahnya direkatkan dengan lilin dan dicap dengan lencana Otori, tapi yang satu ini sudah terbuka. "Kurasa ini dari Lord Otori," ujar Zenko, lalu tertawa. "Kuharap ini bisa memeng aruhi keputusanmu." Taku berjalan dengan cepat dari taman, berharap setiap waktu mendengar anak pana h atau pisau melesat di udara; ia meninggalkan kediaman tanpa pamitan. Para penjaga menunggu di gerbang dengan kudakuda. Diraihnya tali kekang Ryume lalu bergegas naik. "Lord Muto," laki-laki di sebelahnya berkata pelan. "Ada apa?" "Kuda Anda tadi batuk-batuk, seakan sulit bernapas." "Mungkin karena udara musim semi. Udara terasa sulit dihirup dengan pekatnya ser buk sari." Disingkirkannya kecemasan laki-laki itu, dikalahkan dengan kecemasan yang lebih besar dalam dirinya. Di tempat penginapannya, dia meminta agar pelana kuda jangan dibuka, dan menyiap kan dua kuda betina. Kemudian Taku masuk ke tempat Sada tengah menunggu. Sada masih berpakaia n lengkap. "Kita pergi sekarang," kata Taku padanya. "Apa yang kau temukan?"

"Zenko bukan hanya membuat kesepakatan dengan Akio, tapi juga telah bersekutu dengan orang asing. Dia menga ku telah menerima agama mereka, dan sebagai imbalannya mereka mempersenjatainya." Diserah kannya wadah surat pada Sada. "Dia mengacaukan surat-surat yang Takeo kirim. Itu sebabn ya tidak ada kabar darinya." Sada mengambil tabung itu lalu mengeluarkan suratnya. Dia membaca dengan cepat t ulisan dalam surat itu. "Takeo memintamu agar segera menemuinya di Inuyama tapi ini sudah terla mbat selama berminggu-minggu. Tentunya dia sudah berangkat saat ini?" "Kita harus ke sana malam ini. Bulan purnama cukup terang untuk berkuda. Bila Ta keo telah meninggalkan Inuyama, maka aku harus mengejarnya sampai di perbatasan. Dia harus kembali dan membawa pasukan kembali dari wilayah Timur. Bangunkan Maya; dia harus ikut. Aku tak ingin dia di temukan Akio. Di Inuyama kalian lebih aman." *** Maya tengah mimpi aneh serba merah di mana kakak laki-lakinya, yang wajahnya kin i bisa dilihat sekilas, muncul dalam berbagai samaran, terkadang ditemani para arwah. Kakaknya itu tampak kejam, membawa senjata yang menakutkan. Tatapannya membuat Maya merasakan ketakut an yang tak bisa dijelaskan, seolah Hisao tahu semua rahasia dalam dirinya. Kakakny a itu memiliki Halaman 208 dari 600

semacam jiwa kucing seperti dirinya. Malam ini Hisao membisikkan nama Maya, yang membuatnya ketakutan; karena tak tahu kalau Hisao mengenalnya; Maya terbangun dan sadar kal au Sada yang bicara pelan di telinganya. emacam jiwa kucing seperti dirinya. Malam ini Hisao membisikkan nama Maya, yang membuatnya ketakutan; karena tak tahu kalau Hisao mengenalnya; Maya terbangun dan sadar kal au Sada yang bicara pelan di telinganya. "Bangunlah, lekas berpakaian. Kita pergi sekarang." Tanpa bertanya, Maya melakukan seperti yang diminta karena bulan-bulan musim din gin telah mengajarkannya untuk patuh. "Kita akan ke Inuyama untuk menemui ayahmu," kata Taku selagi mengayunkan tubuh Maya ke punggung kuda. "Mengapa kita pergi di malam seperti ini?" "Aku tidak ingin menunggu sampai pagi." Selagi kuda-kuda berderap menyusuri jalan menuju jalan besar, Sada bertanya pada Taku, "Apakah kakakmu membiarkan kau pergi?" "Itu sebabnya kita pergi sekarang. Dia bisa saja menyerang atau membuntuti. Bersi agalah dengan senjata, dan bersiap untuk bertarung. Aku curiga ada jebakan." Hofu bukanlah kota yang dikelilingi dinding, dan kegiatan perdagangan dan pelabu han berarti orang datang dan pergi pada jam berapa saja, mengikuti bulan dan gelombang; di malam s eperti ini, di awal musim semi dengan bulan yang hampir penuh, ada pelancong lain di jalan, dan seke lompok kecil orang Taku, Sada, Maya serta empat pengawal tidak diberhentikan atau ditanyai. Tak lama setelah matahari terbit, mereka berhenti di sebuah penginapan untuk sarapan dan minum teh. Segera setelah mereka hanya bertiga di ruang makan kecil, Maya berkata pada Taku , "Apa yang terjadi?" "Akan kuceritakan sedikit saja demi keselamatanmu. Pamanmu Arai dan istrinya ber komplot menentang ayahmu. Kami mengira bisa membendungnya, tapi mendadak situasinya makin mengancam. Ayahmu harus segera kembali." Kelelahan tergambar di wajah Taku, dan suaranya terdengar sangat serius. "Bagaimana bisa paman dan bibi bertindak begitu, saat putra mereka tinggal di rum ah kami?" tanya Maya gusar. "Ibu harus diberitahu. Kedua bocah itu harus mati!"

"Kau kedengaran sangat berbeda dengan ayahmu," kata Sada. "Darimana datangnya ke kejaman itu?" Tapi suaranya terdengar penuh kasih sayang dan kekaguman. "Ayahmu berharap tak seorang pun harus mati," tutur Taku. "Itu sebabnya kita har us menyuruhnya kembali. Hanya ayahmu yang memiliki reputasi dan kekuatan untuk mencegah pecahny a perang." "Lagipula, Hana memang akan ke Hagi hari ini." Sada menarik Maya dan duduk denga n merangkulnya. "Selama musim panas ini Hana akan bersama ibumu dan adikmu." "Itu lebih buruk lagi! Ibu harus di peringatkan. Aku akan ke Hagi dan menceritakan pada Ibu tentang niat Hana yang se benarnya!" "Tidak, kau harus tetap bersama kami," sahut Taku, merangkul bahu Sada. Mereka d uduk diam selama beberapa saat. Seperti keluarga, pikir Maya. Aku tidak akan melupakan ini : makanan yang terasa begitu lezat saat aku begitu lapar, harumnya aroma ten, merasakan angin m usim semi, cahaya matahari yang berubah selagi gumpalan besar awan putih berarak. Sada dan Taku be rsamaku, begitu bersemangat, begitu pemberani, merasakan hari-hari yang kami lalui dalam perjala nan, terus maju. Bahaya... Cuaca hari itu tetap cerah dan segar. Kirakira tengah hari, angin sepoi-sepoi ber henti berhembus, awan menghilang ke arah timur laut, langit cerah, biru terang. Peluh membuat kul it kuda menjadi lebih gelap di bagian leher tubuh mereka selagi meninggalkan dataran pesisir dan mulai menanjak ke perbatasan pertama. Hutan kian lebat di sekeliling mereka; sesekali terdengar su ara jangkrik bak Halaman 209 dari 600

petikan alat musik. Maya mulai merasa lelah. Irama berjalan kuda, hangatnya senj a membuatnya mengantuk. Ia mengira ikan alat musik. Maya mulai merasa lelah. Irama berjalan kuda, hangatnya senja m embuatnya mengantuk. Ia mengira tengah bermimpi, dan sekonyong-konyong dilihatnya Hisao; lalu tersadar kaget. "Ada yang mengikuti kita!" Taku mengacungkan tangan, dan mereka berhenti. Mereka mendengarnya: derap kaki h ewan dari lereng. "Teruskan perjalanan dengan Maya," ujar Taku pada Sada. "Kami akan menahan merek a. Jumlah mereka paling banyak dua belas orang. Kami akan segera menyusul." Taku memberi perintah dengan cepat pada pengawalnya; mereka mengambil busur dari punggung, membelokkan kuda keluar dari jalan dan menghilang di balik batang-batang pohon b ambu. "Pergilah," perintah Taku pada Sada; dengan enggan melajukan kuda dan Maya mengi kuti. Mereka berkuda dengan cepat selama beberapa saat, tapi seiring dengan kuda-kuda yang mu lai lelah, Sada berhenti lalu menengok ke belakang. "Maya, apa yang kau dengar?" Ia seperti mendergar dentingan baja, ringkikan kuda, teriakan dan pekikan pertar ungan, dan satu suara lagi, dingin dan brutal, yang bergenia sampai ke perbatasan, membuat burun g-buning memekik ke takutan lalu terbang. Sada juga mendengarnya. "Mereka punya senjata api," serunya. "Tetap di sini jangan, jalan terus, lalu semb unyi. Aku harus kembali. Aku tak bisa meninggalkan Taku." "Aku juga," gumam Maya, membalikkan kuda betina yang ketakutan ke arah mereka da tang, tapi di kejauhan mereka melihat kepulan debu dan mendengar derap kuda, melihat kuda berk ulit abu-abu dan bersurai hitam. "Itu dia datang," teriak Sada lega. Taku masih memegang pedang, lengannya berlumuran darah darahnya atau darah orang l ain, mustahil diketahui. Taku meneriakkan sesuatu ketika melihat mereka, tapi Maya ta k memahaminya karena saat mengucapkan kata-kata itu Ryume, kudanya, jatuh; tertahan dengan lut utnya, kemudian terguling. Kejadiannya begitu cepat: Ryume jatuh lalu mati, menghempaskan tubuh

Taku ke jalanan. Secepatnya Sada menderapkan kuda menghampiri. Kuda betina tunggangan Sada menden gus dan menjadi liar saat melihat kematian Ryume. Taku berusaha bangkit. Sada menarik tali keitang kudanya agar berhenti di samping Taku. Kemudian dia me raih tangan Taku yang menggapai lalu mengayunon tubuh Taku di belakangnya. Dia baik-baik saja, pikir Maya lega. Dia tak bisa melakukan itu bila dia terluka . Taku tidak terlula parah, meski banyak orang yang mati di jalanan di belakangnya , pengawalnya dan sebagian besar penyerangnya. Dia merasakan sayatan yang sangat menyakitkan di waj ahnya, satu sayatan lagi di tangannya yang memegang pedang. Dia menyadari kuatnya punggung S ada saat memeluknya, kemudian tembakan itu meraung lagi. Dia merasakan tembakan itu menge na lehernya dan menembusnya; kemudian dia jatuh dan Sada jatuh bersamanya, dan kuda menimpa tubu h mereka. Dari kejauhan didengarnya Maya berteriak. Pergilah, nak, pergi, Taku ing in mengucapkannya, tapi tak sempat lagi. Matanya dipenuhi cahaya langit biru yang m enyilaukan: cahaya matahari berputar-putar dan kian redup. Waktunya telah tiba. Dia nyaris t ak sempat berpikir, aku sekarat, aku harus berkonsentrasi pada kematian, sebelum kegelapan membungka m pikirannya untuk selamanya. Kuda betina milik Sada berusaha bangkit dan berderap kembali ke Maya sambil meri ngkik keras. Kedua kuda betina itu mudah gugup, dan sudah berlari kencang, meski kelelahan. D engan sifat OtoriHalaman 210 dari 600

nya, Maya memikirkan kedua kuda itu; ia tidak boleh membiarkan keduanya kabur. I a membungkuk dan diraihnya tali kekang kuda Sada yang terayun-ayun. Tapi ia tidak tahu apa ya ng harus dilakukan selanjutnya. Sekujur tubuhnya gemetar, begitu pula kedua kuda itu; dan tak bisa memalingkan pandangannya dari tiga mayat yang tergeletak di jalan. Si kuda, Ryume, agak lebih jauh darinya, kemudian Sada dan Taku mati dalam keadaan berangkulan. ya, Maya memikirkan kedua kuda itu; ia tidak boleh membiarkan keduanya kabur. Ia membungkuk dan diraihnya tali kekang kuda Sada yang terayun-ayun. Tapi ia tidak tahu apa ya ng harus dilakukan selanjutnya. Sekujur tubuhnya gemetar, begitu pula kedua kuda itu; dan tak bisa memalingkan pandangannya dari tiga mayat yang tergeletak di jalan. Si kuda, Ryume, agak lebih jauh darinya, kemudian Sada dan Taku mati dalam keadaan berangkulan. Maya menggerakkan kudanya menghampiri mereka, turun lalu berlutut di sampingnya, menyentuh dan memanggilmanggil nama mereka. Bola mata Sada berdenyut: dia masih hidup. Luapan kepedihan di hatinya membuat Maya hampir tercekik tak bisa bernapas. Ia h arus membuka mulut lalu menjerit, "Sada!" Seolah menjawab jeritannya, tiba-tiba muncul dua orang tepat di belakang Ryume. Maya tahu kalau ia harus menggunakan k emampuan menghilang atau bentuk kucing lalu lari ke dalam hutan: ia berasal dari Tribe; s eharusnya bisa mengelabui siapa Saja. Tapi badannya terasa lumpuh karena terguncang dan sedih, ditambah lagi, ia tak ingin hidip di dunia yang kejam ini, dunia yang membiarkan Taku mati di bawah lan git biru dan matahari yang cerah. Maya berdiri di antara kedua kuda betina, memegangi tali kekang keduanya. Kedua laki-laki itu datang menghampiri. Maya hampir tidak bisa melihat mereka di malam sebelumnya, di bawah remangnya penerangan di penginapan, tapi ia segera mengenalinya. Kedua orang memegang senjata, Akio membawa pedang dan pisau, Hisao memegang senjata api. Mereka berasal dari Tribe: mereka takkan membiarkannya hidup hanya karena ia masih kecil. Setidaknya aku harus ber tarung, pikirnya, tapi bodohnya, ia tak ingin melepaskan kedua kuda betina itu. Bocah itu menatapnya, mengacungkan senjata api ke arahnya, sementara laki-laki y ang satu lagi membalik kedua mayat. Sada mergerang pelan. Akio berlutut, mengambil pisau dengan tangan kanan lalu menggor ok leher Sada dengan cepat. Ia meludahi wajah Taku yang damai. "Kematian Kotaro hampir terbalas," ujarnya. "Kedua Muto ini sudah membayarnya. Ki

ni tinggal Si Anjing." Bocah itu berkata, "Tapi ini siapa. Ayah?" Suaranya terdengar kebingungan, seola h pernah mengenal gadis itu. "Bocah pengurus kuda?" sahut laki-laki itu. "Sial sekali nasibnya!" Akio berjalan menghampirinya dan Maya mencoba menatap matanya, tapi laki-laki it u tak berbalik menatapnya. Ketakutan yang amat sangat mencekam Maya. Ia tak boleh membiarkan la ki-laki itu menangkapnya. Ia hanya ingin mati. Dijatuhkannya tali kekang kedua kuda, dan kar ena terkejut, kedua kuda itu bergerak mundur. Maya menarik pisau dari sabuknya lalu menaikkan tangannya untuk menancapkan pisau itu di lehernya. Akio bergerak lebih cepat dari gerakan manusia mana pun yang pernah Maya lihat, bahkan lebih cepat dibanding malam sebelumnya, lalu mencengkeram pergelangan tangan Maya. Pis aunya terjatuh seolah Akio membelokkannya. "Tapi bocah pengurus kuda macam apa yang berusaha menggorok lehernya sendiri?" t anyanya dengan sinis. "Seperti seorang ksatria perempuan?" Memegang Maya dengan tangannya yang sekuat baja, Akio lalu menarik pakaiannya da n menyelusupkan tangan satunya ke selangkangan Maya. Gadis itu menjerit dan meront a-ronta sewaktu Akio berusaha membuka telapak tangannya. Akio tersenyum ketika dilihatnya garis lurus melintang di telapak tangan gadis itu. "Jadi!" serunya. "Sekarang kita tahu siapa yang memata-matai kita semalam." Halaman 211 dari 600

Maya mengira hidupnya sudah berakhir. Tapi laki-laki itu melanjutkan, "Ini putri si Anjing, salah satu dari si kembar: dia ada tanda Kikuta. Gadis ini akan berguna. Jadi kita biarkan dia hidup untuk saat ini." Didekatinya Maya. "Kau kenal siapa aku?" Maya tak mau menjawab. aya mengira hidupnya sudah berakhir. Tapi laki-laki itu melanjutkan, "Ini putri si Anjing, salah satu dari si kembar: dia ada tanda Kikuta. Gadis ini akan berguna. Jadi kita biarkan dia hidup untuk saat ini." Didekatinya Maya. "Kau kenal siapa aku?" Maya tak mau menjawab. "Aku Kikuta Akio, ketua keluargamu. Ini putraku, Hisao." Maya sudah mengenalnya, karena wajahnya sama seperti yang ia lihat dalam mimpinya . "Benar aku Otori Maya," sahutnya. "Ada lagi, aku adalah adikmu...." Maya ingin mengatakan lebih banyak lagi, tapi Akio memindahkan cengkeramannya ke leher, meraba bagian urat nadi, lalu menekan hingga Maya tak sadarkan diri.* Shigeko sering berlayar antara Hagi dan Hofu, tapi belum pernah berlayar lebih k e timur, di sepanjang pantai yang dilindungi Laut Kitaran sampai Akashi. Cuaca cerah, udara terasa san gat segar, angin laut berhembus lembut dari selatan namun cukup kencang untuk memenuhi layar dan m embuat kapal meluncur cepat. Dari berbagai arah, pulau-pulau kecil bermunculan dari per mukaan laut, lerenglerengnya kehijauan tua dengan pepohonan cedar, buih gelombang menghiasi pantainya. Diliha tnya gerbang biara merah tua berkilauan di bawah sinar matahari musim semi, kuil-kuil beratapkan pohon runjung, dinding putih yang mencuat dari kastil ksatria. Tidak seperti Maya, Shigeko tidak pernah mabuk laut, bahkan dalam perjalanan yan g paling sulit antara Hagi dan Maruyama, ketika angin dari timur laut berpacu melintasi laut kea bu-abuan. Berlayar membuat Shigeko gembira, bau air laut, tali temali dan tiang kapal, bunyi kele-pak layar, kecipak air laut dan keriat-keriut kayu, nyan yian lambung kapal saat membelah lautan. Muatan kapal dipenuhi berbagai macam hadiah, termasuk pelana dan sanggurdi berhia s indah untuk Shigeko dan Hiroshi, serta jubah resmi yang kesemuanya baru dibordir, dicelup da n dilukis oleh perajin paling andal dari Hagi dan Maruyama. Tapi hadiah yang terpenting berdiri di atas dek; di bawah naungan jerami: kuda-kuda yang dibiakkan di Maruyama, masing-masing diikat dengan dua utas tali di kepala dan ikat pinggang di bawah perut; serta kirin, diikat dengan tali dari sutra merah. Shigeko menghabiskan banyak waktu dalam sehari di samping hewan-hewan itu. Ia ba ngga akan

kesehatan dan ketampanan mereka karena ia sendiri yang membesarkan hewan-hewan i tu: dua kuda berkulit belang, satu berwarna terang, dan satu lagi berwarna merah bata. Semua hewan itu kelihatan senang ditemani gadis itu, dan mengikuti dengan pandangan mata saat Shigeko berj alan di sekitar dek. Tak ada rasa sesal akan berpisah karena mereka akan diperlakukan dengan bai k. Mungkin hewanhewan itu takkan melupakannya namun juga takkan merindukan dirinya. Shigeko hanya mencemaskan kirin yang tidak memiliki p embawaan santai layaknya kuda. "Aku khawatir kirin akan ketakutan ketika berpisah dari kita, dan semua kawannya," katanya pada Hiroshi saat senja di hari ketiga perjalanan mereka dari Hofu. "Lih at, dia terus berpaling ke arah rumah. Seperti merindukan seseorang: Tenba, barangkali." "Sedan tadi kuperhatikan dia berusaha mendekatimu, saat kau di dekatnya," sahut Hiroshi. Tentunya dia akan merindukanmu. Aku terkejut kau bisa berpisah dengannya." "Aku hanya menyalahkan diriku! Aku yang menyarankannya. Kirin adalah hadiah yang sempurna: bahkan sang Kaisar pun pasti kagum dan tersanjung dengan hadiah ini. Tapi aku be rharap hewan itu terbuat dari gading atau logam berharga, tanpa perasaan, dan aku takkan merasa k hawatir memikirkannya akan kesepian." Halaman 212 dari 600

Hiroshi menatapnya lekat-lekat. "Lagipula, dia hanya seekor hewan. Mungkin tidak semenderita seperti yang kau bayangkan. Dia akan dirawat dengan baik, diberi cukup makan." iroshi menatapnya lekat-lekat. "Lagipula, dia hanya seekor hewan. Mungkin tidak semenderita seperti yang kau bayangkan. Dia akan dirawat dengan baik, diberi cukup makan." "Hewan memiliki perasaan yang dalam," hardik Shigeko. "Tapi dia tidak memiliki perasaan yang sama dengan manusia saat dipisahkan dari mereka yang disayanginya." Shigeko beradu pandang dengan Hiroshi; gadis itu menahan tatapan Hiroshi selama beberapa saat. Hiroshi yang berpaling lebih dulu. "Dan mungkin kirin itu takkan kesepian di Miyako," kata Hiroshi dengan suara pel an, "karena kau juga akan berada di sana." Shigeko tahu maksud ucapan Hiroshi karena dia hadir saat Lord Kono mengatakan ka lau istri Saga Hideki meninggal baru-baru ini, kehilangan yang membuat bangsawan yang paling be rkuasa di Delapan Pulau bebas untuk menikah. "Bila kirin merupakan hadiah yang sempurna bagi Kaisar," imbuhnya, "apa hadiah y ang lebih baik bagi jenderal Kaisar?" Mendengar kegetiran dalam suara Hiroshi, Shigeko merasa gundah. Ia sudah lama me nyadari kalau Hiroshi mencintainya seperti ia mencintai laki-laki itu. Mereka berdua tahu apa yang ada di benak masing-masing. Mereka berdua dilatih dengan Ajaran Houou, dan telah mencapai tah ap kesadaran serta kepekaan yang tinggi. Shigeko memercayai Hiroshi sepenuhnya. Nam un seperti tak ada gunanya membicarakan perasaannya: ia akan menikahi orang pilihan ayahnya. Ter kadang ia bermimpi ayahnya memilih Hiroshi, dan terjaga dalam rasa bahagia. Terkadang ia b ertanya-tanya apa bisa memilih calonnya sendiri karena kini ia penguasa Maruyama; terkadang ia sad ar kalau tak ingin mengecewakan ayah-nya. Shigeko dibesarkan dengan ajaran keras keluarga ksatria: ia tidak bisa mematahkannya begitu saja. "Aku berharap tidak harus tinggal jauh dari Tiga Negara," gumamnya. Kirin berdir i begitu dekat hingga bisa dirasakan hangatnya napas hewan itu di pipinya. "Kuakui, aku cemas dengan s emua tantangan yang me-nantiku di ibukota. Aku berharap perjalanan kita sudah berakhir tapi di si si lain aku juga tak ingin perjalanan ini berakhir."

"Kau tak menunjukkan kecemasan saat bicara dengan Lord Kono tahun lalu," Hiroshi mengingatkan. "Mudah untuk merasa percaya diri di Maruyama, saat dikelilingi begitu banyak ora ng yang mendukungku terutama kau." "Kau juga akan mendapatkan dukungan itu di Miyako. Miyoshi Gemba juga akan berad a di sana." "Guru-guruku yang terbaik kau dan dia." "Shigeko," kata Hiroshi, memanggil dengan nama yang sering dilakukannya ketika g adis itu masih kecil. "Jangan sampai ada hal yang mengurangi konsentrasimu selama penandingan i tu. Kita semua harus menyingkirkan keinginan pribadi untuk membiarkan ajaran kedamaian menang." "Bukan menyingkirkan," sahut Shigeko, "tapi mengatasinya." Gadis itu terdiam, ti dak berani berkata apa-apa lagi. Lalu satu kenangan melintas di benaknya: pertama kali ia melihat s epasang houou sewaktu kedua burung itu kembali ke hutan di sekitar Terayama untuk bersarang di pohon pauwlonia dan membesarkan anak-anaknya. "Ada ikatan yang kuat di antara kita," ujarnya. "Aku telah mengenalmu sejak keci l bahkan mungkin di kehidupan sebelumnya. Bila aku memang harus menikah dengan orang lain, ikatan itu jangan pernah putus." "Tidak akan, aku bersumpah. Busur di Halaman 213 dari 600

tanganmu, namun roh houou yang akan menuntun anak panahnya." anganmu, namun roh houou yang akan menuntun anak panahnya." Shigeko tersenyum, yakin kalau pikiran dan tujuan mereka berdua telah menyatu. Kemudian, sewaktu matahari tenggelam di ufuk barat, mereka berjalan ke bagian be lakang dek dan memulai latihan ritual kuno yang mengalir melewati udara bak air, namun mengubah otot dan urat daging menjadi sekeras baja. Kilau sinar matahari mewarnai layar, membuat lamban g bangau Otori menjadi keemasan; panji-panji Maruyama berkibar di tali tiang kapal. Kapal pun t ampak bermandikan cahaya, seolah burung suci itu telah bertengger di atasnya. Langit di arah barat masih memancarkan garis merah ketika di arah timur muncul bulan purnama dari bulan keempat.* Beberapa hari setelah bulan purnama, Takeo meninggalkan Inuyama menuju wilayah T imur. Kepergiannya dilepas dengan penuh semangat oleh penduduk kota. Saat itu ada pera yaan musim semi, ketika bumi hidup kembali, cairan dari dalam bumi mengalir ke pepohonan dan ke d alam aliran darah semua orang. Kota itu dikuasai rasa percaya diri serta harapan karena Lord Otori bukan hanya tengah mengunjungi Kaisar tokoh yang dianggap separuh mistis oleh rakyat tapi dia j uga meninggalkan seorang putra: kesedihan yang disebabkan oleh si kembar akhirnya te rsingkir. Tiga Negara belum pernah begitu sejahtera. Burung houou bersarang di Terayama, Lord Ot ori akan menghadiahkan kirin kepada Kaisar; semua pertanda ini menegaskan apa yang dilihat sebagian besar rakyat pada anak-anak mereka yang montok dan sawah yang subur. Semua ini m erupakan bukti dari penguasa yang adil dan memedulikan kesejahteraan rakyatnya. Namun semua sorak sorai, tarian, bunga dan umbul-umbul tak mampu menyingkirkan ke gelisahan Takeo. Meskipun ia berusaha menyembunyikannya, namun wajah tanpa ekspresi yang ki ni menjadi kebiasaannya. Kecemasannya yaitu tidak adanya kabar dari Taku: apakah dia membelo t atau sudah mati. Kedua hal itu sama-sama musibah baginya, dan di satu sisi lagi, bagaimana dengan nasib Maya? Takeo ingin sekali kembali dan mencari tahu sendiri, namun perjalanan memb awa dirinya makin jauh dari kemungkinan menerima kabar. Setelah memikirkan masak-masak, beber apa di antaranya diceritakannya pada Minoru, Takeo memutuskan untuk meninggalkan Kuroda bersaudara di Inuyama, mengatakan bahwa mereka akan lebih berguna di sana, dan bahwa mereka harus mengirim kurir secepatnya bila ada kabar dari Taku. "Jun dan Shin tidak senang," lapor Minoru. "Mereka bertanya kepadaku apa yang te lah mereka lakukan sehingga tidak dipercaya oleh Lord Otori."

"Tidak ada keluarga Tribe di Miyako," sahut Takeo. "Sungguh, aku tidak membutuhka n mereka di sana. Tapi kau tahu, Minoru, kalau kepercayaanku pada mereka telah terkikis: bukan karena kesalahan m ereka, hanya karena aku tahu kesetiaan pertama mereka pasti pada Tribe." "Kurasa Anda mestinya bisa lebih memercayai mereka," sahut Minoru. "Mungkin aku menyelamatkan mereka dari pilihan yang menyakitkan, dan kelak merek a akan berterima kasih padaku," sahut Takeo ringan, tapi sebenamya dia merindukan kedua pengawal Tribe tersebut, merasa telanjang dan tidak terlindungi tanpa mereka berdua. Empat hari keluar dari Inuyama, mereka berjalan melintasi Hinode, desa tempat Ta keo pernah beristirahat bersama Shigeru pada pagi setelah lari dari kejaran prajurit Iida S adamu. "Tempat kelahiranku berjarak satu hari perjalanan dari sini," komentarnya pada G emba. "Aku tidak melewati jalan ini lagi selama hampir delapan belas tahun. Aku ingin tahu apakah desa itu masih ada. Di sanalah Shigeru menyelamatkan aku." Halaman 214 dari 600

Tempat adikku, Madaren, dilahirkan, mengingatkan dirinya, tempat aku dibesarkan sebagai orang Hidden. empat adikku, Madaren, dilahirkan, mengingatkan dirinya, tempat aku dibesarkan s ebagai orang Hidden. "Aku bertanya pada diriku sendiri, alangkah beraninya aku muncul di hadapan Kais ar. Mereka semua akan membenciku k arena asal -usilk u." Takeo dan Gemba berkuda berdampingan di jalur yang sempit, gar tidak didengar orang lain. Gemba melihat sekilas ke arahnya lalu ku membawa semua dokumen yang membuktikan keturunanmu dari Terayama: alah kakekmu, dan pengangkatanmu oleh Shigeru sah menurut hukum . Tak ada yang bisa mempertanyakan legitimasimu." "Tapi Kaisar sudah mempertanyakannya lebih dulu." "Kau membawa pedang Otori, dan diberkati dengan semua pertanda persetujuan Surga. " Gemba tersenyum. "Kau mungkin tidak menyadari kekaguman Shigeru saat membawamu pulang: kau begitu mirip Takeshi. Seperti keajaiban: Takeshi tinggal cukup lama bersama kami sebelu mnya. Kakakku Kahri adalah sahabatnya. Rasanya seperti kehilangan saudara laki-laki tercinta. Namun kesedihan kami tidak ada artinya dibandingkan dengan Lord Shigeru, dan itu merupakan pukulan terakhir dari sekian banyak peristiwa buruk yang menimpanya." "Ya, Chiyo menceritakan kisah-kisah kehilangannya. Hidupnya diliputi kesedihan d an nasib buruk yang tidak layak diterimanya; namun Shigeru tidak menunjukkannya. Aku ingat perka taannya di malam pertama aku bertemu Kenji: Aku tidak diciptakan untuk berputus asa. Sering aku memikirkan kata-kata ini, dan tentang keberaniannya saat kami berkuda ke Inuyama dalam peng awasan Abe dan pasukannya. " "Kau harus mengatakan hal yang sama pada dirimu: kau tidak diciptakan untuk berp utus asa." Takeo berkata, "Seharusnya begitu, tapi dengan begitu banyak yang telah terjadi dalam hidupku, itu menjadi suatu kepurapuraan." Gemba tertawa. "Beruntunglah karena kau memiliki sekian banyak keahlian. Jangan remehkan dirimu sendiri. Sifatmu mungkin lebih kelam dari Shigeru, tapi tak kalah kuatnya. Lihat lah apa yang telah kau raih: hampir enam belas tahun kedamaian. Kau dan istrimu telah menyatukan semua pihak yang bertikai di seluruh Tiga Negara; kau dan ia bicara pelan a menyahut, "Kau tahu a bahwa Lord Shigemori ad dan disetujui oleh klan

menangani kesejahteraan negara dengan keseimbangan yang sempurna. Putrimu menjadi tangan kananmu, istrimu mendukung sepenuhnya di rumah. Percayalah pada mereka. Kau akan membuat kalangan istana Kaisar terkesan sesuai dengan kemampuanmu. Percayalah padaku." Ge mba terdiam dan setelah beberapa saat melanjutkan senandung kesabarannya. Kata-kata Gemba terasa lebih dari sekadar menenangkan; kata-kata itu tidak menen angkan tapi justru membuat Takeo mampu menguasainya, dan akhirnya bisa melaluinya. Selagi tu buh dan pikiran penunggangnya rileks, maka begitu pula dengan kudanya: Tenba menundukkan leher d an memperpanjang langkahnya seolah jarak yang ditempuh tengah dilahapnya, hari demi hari. Takeo merasa semua inderanya mulai terjaga: pendengarannya menjadi sama pekanya s aat ia berusia tujuh belas tahun; mata dan tangan senimannya mulai bergerak lagi dengan sendiri nya. Saat mendiktekan surat di malam hari pada Minoru, rasanya ingin sekali mengambil kuas dari tangan jurutulisnya itu. Kadang Takeo memang melakukannya dengan cara menopang tangan kanannya yang cacat dengan tangan kiri serta menjepit kuas dengan dua jarinya ya ng tersisa, dibuatnya sketsa pemandangan yang ada di benaknya selama berkuda di siang hari: sekawanan gagak beterbangan di sela-sela pepohonan cedar, barisan angsa di tebing dengan b entuk yang aneh, seekor burung tila dan bunga lonceng di bebatuan. Minoru mengumpulkan sketsa-ske tsa itu lalu mengirimnya dengan surat-surat untuk Kaede, dan Takeo teringat pada lukisan buru ng tila yang pernah ia berikan pada istrinya bertahun-tahun yang lalu di Terayama. Tangan cac atnya selama ini telah mencegahnya untuk melukis, namun belajar untuk mengatasi kendala itu telah mengasah bakat alaminya menjadi gaya lukisan yang unik dan luar biasa. Halaman 215 dari 600

Jalanan dari Inuyama menuju perbatasan terawat baik dan cukup lebar untuk tiga p enunggang kuda berjalan berdampingan. Permukaan jalan rata karena Miyoshi Kahei dan pasukannya melewati jalan ini beberapa minggu sebelumnya. Pasukan garda depan itu terdiri dari seribu oran g yang sebagian besar berkuda. Kahei juga membawa persediaan pangan di atas kuda beban dan alanan dari Inuyama menuju perbatasan terawat baik dan cukup lebar untuk tiga pe nunggang kuda berjalan berdampingan. Permukaan jalan rata karena Miyoshi Kahei dan pasukannya melewati jalan ini beberapa minggu sebelumnya. Pasukan garda depan itu terdiri dari seribu oran g yang sebagian besar berkuda. Kahei juga membawa persediaan pangan di atas kuda beban dan gerobak yang ditarik lembu. Sisanya akan bergerak dari Inuyama dalam beberapa mi nggu lagi. Daerah perbatasan berbukitbukit. Selain dari jalanan yang akan mereka lalui, punc aknya tak bisa dilewati. Menyiagakan pasukan yang begitu besar selama musim panas membutuhkan b anyak sumber daya, dan banyak pasukan pejalan kaki yang berasal dari desa-desa tempat panen tidak bisa dilakukan tanpa tenaga mereka di ladang. Takeo dan rombongannya berjumpa dengan Kahei di dataran tinggi tepat di bawah ja lur sempit. Saat itu udara masih dingin, rumput tepercik bintik putih salju terakhir, air sungai dan kolam membeku. Pos perbatasan kecil dibangun di sini, meski tidak banyak pengembara yang melakukan perjalanan dari wilayah Timur melewati jalur darat karena lebih memilih jalur laut melalui Akash i. Gugusan Awan Tinggi menjadi perbatasan alami yang selama bertahuntahun membuat Tiga Negara ter lindungi, terabaikan bagian negara yang lain, tidak dikuasai atau dilindungi Kaisar. Kemah yang dibangun tampak teratur dan disiapkan dengan baik: kuda-kuda berada d i barisannya, pasukan dipersenjatai lengkap serta terlatih. Dataran itu sudah diub ah dengan pagar penghalang yang didirikan dengan formasi kepala anak panah di sepanjang tepi dan gudang penyimpanan dibangun dengan cepat untuk melindungi persediaan makanan dari cuaca dan hewan. "Ada cukup tempat di ujung dataran bagi pasukan pemanah," tutur Kahei. "Tapi kit a juga memiliki cukup senjata api saat prajurit pejalan kaki datang dari Inuyama untuk mempertah ankan jalan bermilmil di belakang kita, begitu pula dengan pedesaan di sekitarnya. Kita akan mendirika n blokade. Tapi jika mereka masuk ke daerah di sekitarnya, kita akan gunakan kuda dan pedang." Ia menambahkan, "Apakah kita tahu senjata apa yang mereka miliki?" "Waktu mereka kurang dari setahun untuk mendapatkan atau menempa senjata api ser ta melatih

pasukan untuk menggunakannya," sahut Takeo. "Kita lebih unggul dalam hal itu. Ki ta juga memiliki pasukan pemanah: senjata tidak bisa diandalkan saat hujan atau angin. Aku berhar ap bisa mengirim pesan padamu. Aku akan mencari tahu sebisanya tapi aku harus kelihatan seperti mencari kedamaian; aku tidak boleh memberi alas an bagi mereka untuk menyerang. Semua persiapan ini demi mempertahankan Tiga Negara; kita tidak mengancam siapa pun di luar perbatasan wilayah kita. Kau harus tetap di dataran ini dalam posisi yang murni bertahan. Kita jangan sampai memancing Saga atau menantang Kaisar." "Rasanya aneh melihat Kaisar dengan mata kepala sendiri," komentar Kahei. "Aku i ri padamu: kami mendengar tentang Kaisar sejak kami masih kecil; beliau adalah keturunan dewa, k endati selama bertahuntahun aku tidak percaya kalau beliau memang benar-benar ada." "Klan Otori kabarnya adalah keluarga Kaisar," sahut Gemba. "Karena ketika Takeyo shi diberikan Jato, bayi dalam kandungan salah seorang selir Kaisar juga akan djodohkan dengannya." Gemba tersenyum pada Takeo. "Maka kau pun memiliki darah yang sama." *Agak tercampur setelah benahun-tahun," sahut Takeo dengan nada ringan. "Tapi mu ngkin karena beliau adalah kerabatku maka akan memandangku dengan sikap yang bersahabat. Bertahun-tahun lalu Shigeru mengatakan bahwa karena kelemahan sang K aisar sehingga orang seperti lida bisa merajalela tanpa bisa diawasi. Maka sudah menja di kewajibanku untuk memperkuat kedudukan Kaisar. Beliau adalah penguasa Delapan Pulau." Takeo melayangkan pandangan ke arah gugusan gunung yang warnanya berubah menjadi ungu tua di bawah cahaya malam. Langit tampak ber-warna putih kebiruan, dan bintang-bintang pertama mulai bermunculan. "Aku hanya tahu scdikit tentang sisanya: bagaimana pemerintahannya, apakah merek a sejahtera, apakah rakyatnya bahagia. Semua ini harus dicari tahu dan dibicarakan." Halaman 216 dari 600

"Dengan Saga Hideki-lah kau harus bicarakan semua itu," sahut Gemba. "Karena saa t ini dialah yang mengendalikan dua pertiga negara, termasuk Kaisar." Dengan Saga Hideki-lah kau harus bicarakan semua itu," sahut Gemba. "Karena saat ini dialah yang mengendalikan dua pertiga negara, termasuk Kaisar." "Tapi kita tidak akan membiarkannya mengendalikan Tiga Negara," seru Kahei. Ketidaksetujuan Takeo tidak diperlihatkan terang-terangan pada Kahei, tapi secar a pribadi, seperti biasa, ia telah memikirkan tentang negaranya dan cara terbaik untuk melindunginy a. Takeo sudah menyaksikan kehancuran dan kehilangan korban manusia akibat perang dan gempa. Ia tak ingin m enyerahkan negara yang telah makmur ini pada Zenko, tapi juga tidak ingin melihatnya terpec ah belah dan berperang lagi. Ia tidak percaya kalau Kaisar adalah dewa yang harus disembah. T api ia menyadari pentingnya kaisar sebagai simbol kesatuan, dan siap untuk tunduk pada Kaisar dem i mempertahankan kedamaian dan meningkatkan kesatuan seluruh negara. Namun aku takkan menyerahkan Tiga Negara kepada Zenko. Berulang kali dirinya kem bali lagi pada keyakinan ini. Aku takkan melihatnya berkuasa menggantikan diriku. Mereka menyeberangi jalur perbatasan saat bulan menghilang, dan sebelum bulan pe nuh lagi mereka hampir tiba di Sanda, kota kecil yang berada di jalur antara Miyako dan Akashi. Selagi menuruni lembah, sekaligus memeriksa jalur pulang mereka dan tempat sepasukan kecil pasukan kemungkinan berbelok dan menghadang musuh bila diperlukan Takeo mempelajari keadaa n desadesa, sistem pertanian, kesehatan anakanak, kerap berkuda keluar dari jalan memasuki di strik di sekitarnya. Ia tercengang menemukan bahwa ia tak dikenal penduduk desa: reaksi mereka seolah kedatangan pa hlawan dari legenda yang mendadak muncul di tengah-tengah mereka. Di malam hari terdengar ol ehnya penyanyi buta melantunkan lagi kisah Klan Otori: pengkhianatan atas Shigeru dan kematianny a, kejatuhan Inuyama, perang Asagawa, mundur ke Katte Jinja serta pengambilalihan kota Hagi. Ada juga nyanyian baru yang digubah tentang kirin karena hewan itu bersama putri Lord Oto ri yang cantik tengah ditunggu di Sanda. Daerah itu terbengkalai: Takeo terkejut dengan rumah-rumah yang setengah runtuh, sawah yang tidak digarap. Ia tahu dalam perjalanan, dengan bertanya pada para petani, bahwa temya ta semua wilayah itu bertempur habis-habisan melawan Saga sebelum akhirnya menyerah dua tahun lal u.

Sejak itu pasukan bersenjata dan buruh yang dibutuhkan telah melemahkan sumber d aya manusia desa-desa tersebut. "Tapi setidaknya kini sudah damai, dan kami berterima kasih pada Lord Saga," kat a salah seorang laki-laki yang lebih tua. Takeo ingin tahu berapa banyak pengorbanan yang mereka lakukan, dan masih ingin bertanyatanya lebih banyak lagi, tapi saat makin mendekati kota ia bergabung lagi dengan rombongannya dengan sikap yang lebih formal. Banyak dari o rang-orang itu mengikutinya, berharap melihat kirin secara langsung. Ketika tiba di Sanda, mere ka ditemani oleh sekerumunan besar orang, dan makin bertambah ketika penduduk kota berhamburan kel uar untuk bertemu dengannya. Mereka melambaikan umbul-umbul serta rumbai-rumbai, menari da n menabuh genderang. Sanda merupakan kota perdagangan dan tidak memiliki kastil atau benten g. Masih tampak sisa-sisa kehancuran akibat perang, tapi sebagian besar toko dan rumah ya ng hangus terbakar sudah dibangun kembali. Ada beberapa rumah penginapan besar di dekat ku il; di jalan utama di depan mereka, Takeo dipertemukan dengan sekelompok kecil prajurit, memb awa panjipanji bergambarkan puncak gunung kembar lambang Klan Saga. "Lord Otori," ujar pemimpinnya, laki-laki bertubuh besar dan gemuk yang mengingat kan Takeo pada Abe, pengawal senior Lord Iida. "Namaku Okuda Tadamasa. Ini putra sulungku, Tadayoshi. Pemimpin kami yang agung dan jenderal Kaisar mengucapk an selamat datang kepada Anda. Kami diutus untuk mendampingi Anda." Orang itu bicara dengan bahasa resmi dan sopan. Sebelum Takeo sempat menjawab, Tenba meringkik lantang. Di atas atap laman di penginapan muncul kirin dengan telinga yang seperti kipas, kepala bermata besar di atas leher panjang bercorak. Kerumunan orang berseru kegirangan dengan serempak. Mata dan h idung kirin Halaman 217 dari 600

tampak mencari-cari sahabatnya. Ketika melihat Tenba, wajahnya melembut seakan t ersenyum; dan bagi kerumunan itu, kirin seakan tersenyum pada Lord Otori. ampak mencari-cari sahabatnya. Ketika melihat Tenba, wajahnya melembut seakan te rsenyum; dan bagi kerumunan itu, kirin seakan tersenyum pada Lord Otori. Bahkan Okuda pun tak mampu menahan diri untuk meliriknya. Ekspresi kekaguman mel intas sesaat di wajahnya. Ototnya berkerut tegang berusaha keras menahan diri, matanya terbela lak. Putranya, pemuda ber-usia kira-kira delapan tahun, terang-terangan menyeringai. "Aku berterima kasih pada Anda dan Lord Saga," sahut Takeo tenang, mengabaikan k eheranan itu seolah kirin hanyalah hewan peliharaan biasa. "Kuharap Anda bisa mem beri kehormatan dengan mengajakku dan putriku makan malam bersama." "Kurasa Lady Maruyama sudah menunggu di dalam," sahut Okuda. "Aku terima undanga n Anda dengan senang hati." Mereka semua turun dari kuda. Para pengurus kuda berlarian menghampiri untuk men gambil tali kekang. Pelayan bergegas datang ke tepi beranda membawa baskom air untuk mencuci kaki para tamu. Pemilik penginapan pun muncul, seorang tokoh penting dalam pemerintahan ko ta itu; dia berkeringat karena gugup; membungkuk rendah, kemudian bangkit, mengatur pelayan dengan banyak instruksi dan tepukan tangan, serta menggiring Takeo dan Gemba ke kamar t amu utama. Kamarnya cukup menyenangkan, meskipun tidak mewah. Alas lantainya masih baru dan wangi, dan pintu-pintu bagian dalam terbuka ke arah taman kecil yang berisikan rumput dan s ebongkah batu hitam yang tidak biasa, seperti miniatur puncak kembar gunung. Takeo menatapnya, seraya mendengarkan hiruk-pikuk kesibukan dalam penginapan di sekelilingnya, suara bersemangat sang pemilik penginapan. Kegiatan di dapur selagi makan malam disiapkan, ringkikan Tenba dari istal, dan terakhir suara putrinya, langkah kakinya di luar. Takeo berbalik saat pintu bergeser terb uka. "Ayah! Aku sudah tak sabar ingin bertemu ayah!" "Shigeko," sahutnya, lalu dengan penuh kasih sayang, "Lady Maruyama!" Gemba yang sedari tadi duduk di beranda sebelah dalam, kini berdiri dan menyeruk an kata yang sama. "Lady Maruyama!" "Lord Miyoshi! Aku senang bertemu Anda." "Hmm, hmm," sahutnya seraya tersenyum le bar dan

bersenandung riang. "Kau tampak baik." Benar, pikir Takeo, putrinya bukan hanya berada di puncak kecantikan masa mudany a, tapi juga memancarkan kekuatan dan kepercayaan diri seorang perempuan dewasa, seorang peng uasa. "Dan Ayah lihai bawaanmu tiba dengan sehat," ujar Takeo. "Aku baru kembali dari kandang kirin. Hewan itu senang bertemu dengan Tenba. Aga k mengharukan. Tapi apa Ayah baik-baik saja? Perjalanan Ayah lebih berat. Ayah tidak merasa kesakitan?" "Ayah baik-baik saja," sahutnya. "Cuaca hangat seperti ini rasa sakitnya masih b isa diatasi. Gemba adalah teman seperjalanan yang baik, dan kudamu itu luar biasa." "Tidak ada kabar dari rumah?" tanya Shigeko. "Tidak ada, tapi karena Ayah tidak menunggu kabar, maka ketenangan ini tidak mem buat Ayah cemas. Di mana Hiroshi?" tanyanya. "Dia sedang menengok keadaan kuda dan kirin," sahut Shigeko dengan tenang. "Bers ama Sakai Masaki, yang ikut bersama kami dari Maruyama." Takeo mengamati putrinya yang tidak menunjukkan emosi apa pun. Setelah beberapa saat ia bertanya, "Ada pesan dari Taku di Akashi?" Halaman 218 dari 600

Shigeko menggeleng. "Hiroshi juga tengah menunggu sesuatu, tapi tak satu pun ora ng Muto di sana mendapat kabar darinya. Mungkinkah terjadi sesuatu?" higeko menggeleng. "Hiroshi juga tengah menunggu sesuatu, tapi tak satu pun oran g Muto di sana mendapat kabar darinya. Mungkinkah terjadi sesuatu?" "Aku tidak tahu; sudah lama tidak ada kabar darinya." "Aku bertemu dengannya dan Maya di Hofu sebelum kami berangkat. Maya datang untuk melihat kirin. Dia sehat, lebih mantap, juga lebih bisa menerima anugerah bakatnya dan lebih bisa mengendalikannya." "Kau anggap kerasukan itu sebagai anugerah?" seru Takeo, terkejut. "Kelak akan begitu," sahut Gemba, lalu dia dan Shigeko saling tersenyum. "Jadi, katakan padaku para Guru Besarku," ujar Takeo sinis, menyembunyikan kekesa lannya. "Mestikah aku mencemaskan Taku dan Maya?" "Karena kau tak bisa berbuat apa-apa dari sini," Gemba menjelaskan, "maka tak ad a gunanya membuang energimu dengan mengkhawatirkan mereka. Kabar buruk cepat tersebar: kau akan mendengarnya secepatnya." Takeo menyadari kearifan kalimat ini, lalu berusaha menyingkirkan masalah ini da ri benaknya. Tapi di malam-malam selanjutnya, selagi mereka melanjutkan perjalanan ke ibukota, ia seri ng memimpikan kedua putri kembarnya, dan di dunia lain yang berkabut itu, disadarinya kalau me reka berdua tengah menjalani semacam ujian berat yang aneh. Maya berkilau bak emas, menarik semua c ahaya dari Miki yang dalam mimpinya terlihat sehebat dan setajam sebilah pedang. Sekali dia bermimpi mereka berdua s ebagai kucing dan bayangannya: ia memanggilmanggil, tapi meskipun menengok, keduanya bukan saja lid ak melihat dirinya tapi juga berlari menjauh dengan langkah tak terdengar hingga berada di l uar jangkauan pendengaran dan perlindungannya. Takeo terbangun dengan perasaan kehilangan yang begitu menyakitkan kalau kedua putrinya itu bukan anak-anak lagi. Bahkan bayi lakilakiny a akhirnya akan tumbuh menjadi lakilaki dewasa dan menantang dirinya; bahwa orangtua membesarkan anak-anak hanya untuk digantikan kedudukannya oleh mereka, bahwa harga yang hams dibayar u ntuk kehidupan adalah dengan kematian. Malam terasa lebih pendek, dan saat matahari makin bersinar cerah, Takeo kembali dari dunia mimpi, mengumpulkan kembali tekad dan kekuatannya untuk melakukan tugas yang ada di had apannya,

membingungkan lawan-lawannya dan memenangkan keberpihakan mereka, mempertahankan negara serta Klan Otori, di atas segalanya, mencegah tejadinya perang.* Perjalanan berlanjut tanpa insiden. Ini adalah waktu yang paling tepat untuk mel akukan perjalanan. Siang kian panjang seiring makin dekatnya waktu ketika matahari berada pada jara k terjauh dari garis khatulistiwa. Okuda nampak terkesan pada kirin, pada kuda Maruyama, dan pada Shige ko yang memilih untuk berkuda di sisi ayahnya; laki-laki itu banyak bertanya pada Takeo tentang Tiga Negara, perdagangan, administrasi, dan kapal. Jawaban jujur Takeo membuat matanya makin t erbelalak. Kabar tentang kedatangan kirin sudah sampai mendahului mereka, dan sewaktu mende kati ibukota, kerumunan orang semakin banyak saat penduduk kota berhamburan keluar untuk menya mbut. Mereka membuat hari itu sebagai hari libun mereka mengajak istri dan anak dengan mengenakan pakaian berwarna cerah, menggetar tikar dan mendirikan payung penahan sinar mata hari warna merah tua serta tenda putih, makan dan minum dengan gembira. Takeo merasakan semua kemeria han ini sebagai pemberkatan atas perjalanannya, menyingkirkan pertanda buruk dari eksekusi di Inu yama. Halaman 219 dari 600

Kesan ini diperkuat dengan Lord Kono yang mengirim undangan untuk mengunjunginya pada malam pertama di ibukota. esan ini diperkuat dengan Lord Kono yang mengirim undangan untuk mengunjunginya p ada malam pertama di ibukota. Kota itu dikelilingi tebing; danau besar di bagian utara menyediakan kota itu de ngan air dan ikan. Dua sungai yang mengaliri kota dihubungkan dengan beberapa jembatan yang indah. Kota itu dibangun seperti kota kuno di Shin: berbentuk persegi dengan jalan lebar terbentang dari utara sampai ke selatan, dengan jalanan yang lebih kecil bersalingsilang. Istana kekaisaran terle tak di ujung jalanan utama, di sebelah biara agung. Takeo serta rombongannya menginap di kediaman yang tidak jauh dari tempat Kono. Sebuah kandang dibangun dengan tergesagesa untuk kirin. Takeo berpakaian dengan ekstra h ati-hati untuk menghadiri pertemuan itu, lalu menaiki salah satu tandu mewah berpernis yang dian gkut dengan kapal laut dari Hagi menuju Akashi. Hadiah-hadiah untuk Kono dibawa oleh sebaris an pelayan: produk Tiga Negara yang menjadi bukti kesejahteran dan pemerintahan yang baik, apa saja yang dinikmati atau dikagumi Kono selama di wilayah Barat salah satu hasil pengintaian Taku. "Lord Otori telah tiba di ibukota saat matahari mendekati titik puncaknya," seru Kono. "Waktu yang amat menguntungkan. Aku berharap dengan amat sangat atas keberhasilan Anda." Ini orang yang membawa kabar bahwa pemerintahanku ilegal dan Kaisar memintaku ag ar turun takhta serta mengasingkan diri, Takeo memperingatkan dirinya. Aku tidak boleh te rbuai pada sanjungannya. Takeo tersenyum dan berterima kasih pada Kono, lalu berkaia, "Semu a ini ada di tangan Surga. Aku akan tunduk pada kehendak Yang Mulia Kaisar." "Lord Saga ingin sekali bertemu Anda. Apakah besok tidak terlalu cepat? Beliau i ngin menyelesaikan beberapa masalah sebelum musim hujan mulai." "Tentu saja." Takto bisa melihat tidak ada gunanya menunda. Hujan pasti akan men ahan dirinya di ibukota sampai bulan ketujuh: tiba-tiba dilihat dirinya sendiri kalah dalam pertandingan itu. Lantas apa yang harus ia lakukan? Bersembunyi di kota ya ng lembap dan menjemukan ini sampai dirinya bisa menyelinap pulang dan mengatur pengasingan di rinya sendiri? Atau mencabut nyawanya sendiri, meninggalkan Shigeko sendirian di tangan Saga, d i bawah kekuasaannya? Apakah ia memang tengah mempertaruhlan Tiga Negara, dirinya dan pu trinya, dalam

sebuah pertandingan? Takeo tak menunjukkan sedikit pun kekhawatirannya, tapi justru menghabiskan sisa malam itu dengan mengagumi koleksi Kono dan membicarakan tentang lukisan dengan orang ters ebut. "Sebagian di antaranya adalah milik ayahku," tutur Kono ketika salah satu pendamp ingnya membuka bungkusan sutra yang berisi benda-benda berharga. "Tentu saja sebagian besar kol eksnya sudah hilang.... Tapi kita tidak perlu mengingat masa-masa yang tidak menyenangkan itu . Aku minta maaf. Aku pernah mendengar kalau Lord Otori sendiri adalah seniman yang berbakat." "Aku sama sekali tidak berbakat," sahut Takeo. "Tapi melukis memberi kenikmatan besar bagiku; meski aku tak sempat melakukannya." Kono tersenyum dan mengerutkan bibirnya dengan sengaja. Tak diragukan lagi dia pasti berpikir kalau tak lama lagi aku ada waktu luang ya ng banyak, renung Takeo, dan tak bisa menahan diri untuk tersenyum juga pada ironinya keadaan diri nya. "Aku memberanikan diri untuk meminta Anda memberikan salah satu karya Anda. Dan Lord Saga pasti gembira kalau bisa menerima satu juga." "Kau berlebihan menyanjungku," sahut Takeo. "Aku tidak membawanya. Beberapa sket sa yang kubuat selama perjalanan sudah kukirim pada istriku." Halaman 220 dari 600

"Menyesal aku tidak bisa membujuk Anda," seru Kono dengan hangat. "Menurut penga lamanku, semakin jarang seniman memamerkan karyanya, berarti semakin besar bakatnya. Sepe rti harta terpendam, itu justru lebih mengesankan dan lebih berharga." Menyesal aku tidak bisa membujuk Anda," seru Kono dengan hangat. "Menurut pengal amanku, semakin jarang seniman memamerkan karyanya, berarti semakin besar bakatnya. Sepe rti harta terpendam, itu justru lebih mengesankan dan lebih berharga." Kemudian dia melanjutkan dengan halus, "Putri Anda tentunya merupakan harta Lord Otori yang paling berharga. Dia akan menemani Anda besok?" Kedengarannya hanya sebagian dari sebuah pertanyaan. Takeo agak memiringkan kepa la. "Lord Saga amat menantikan bertemu dengan lawannya," gumam Kono. *** Lord Kono datang keesokan harinya bersama Okuda, ayah dan anak, serta ksatria la in dari kediaman Saga, untuk menjemput Takeo, Shigeko, dan Gemba ke kediaman jenderal itu. Sewakt u mereka turun dari tandu di taman sebuah kediaman yang besar serta megah, Kono bergumam, "Lord Saga memintaku untuk menyampaikan permintaan maafnya. Beliau sedang membangun kastil b aru kelak akan ditunjukkannya pada Anda. Untuk sementara, beliau khawatir Anda meras a kalau kediamannya ini terlalu sederhana tidak sebanding dengan yang biasa Anda lihat di Hagi." Takeo menaikkan alisnya dan melihat sekilas ke wajah Kono, tapi tidak dilihat ad anya sindiran di sana. "Kami mendapat keuntungan hidup selama bertahun-tahun dalam kedamaian," sahut Takeo. "Kendati demikian, aku yakin tak satu pun yang kami miliki di Tiga Negara bisa dibandingkan dengan kemegahan ibukota. Kalian pasti memiliki perajin paling tera mpil, serta seniman yang paling berbakat." "Menurutku, orang-orang seperti itu mencari lingkungan yang tenang agar bisa men ghasilkan karya seni mereka. Banyak yang pergi dari ibukota dan baru sekarangsekarang ini mulai k embali. Lord Saga memberi banyak komisi. Beliau sangat mengagumi semua bentuk seni." Minoru juga menemani mereka dengan membawa gulungan berisi silsilah keluarga dar i semua yang datang dan daftar hadiah untuk Lord Saga. Hiroshi memohon undur diri, berdalih t ak ingin meninggalkan kirin tidak terjaga, meski Takeo menduga ada alasan lain: kesadaran pemuda itu akan

kurangnya status dirinya, juga rasa enggan bertemu laki-laki yang mungkin akan d inikahi Shigeko. Okuda, mengenakan pakaian formal ketimbang baju zirah yang dia pakai sebelumnya, membimbing mereka berjalan menelusuri beranda yang lebar dan melewati banyak ruangan yang masing-masing dihiasi lukisan yang cemerlang, warna-warna ce rah berlatar berwarna emas. Takeo tak tahan untuk tidak mengagumi ketegasan desain dan kemahi ran pembuatannya. Namun dirasakannya semua lukisan itu dibuat untuk memamerkan kekua tan dari penguasa: semuanya berbicara tentang kemenangan; tujuannya adalah untuk mendomin asi. Ada lukisan burung merak berjalan dengan angkuh di bawah lebatnya pepohonan pinu s. Dua ekor singa mistis berjalan di sepanjang dinding; naga dan harimau saling menggeram; el ang menatap dengan berlagak penting dari tempat yang memungkinkan pandangan luas dan jelas d i puncak tebing kembar. Bahkan ada juga sepasang burung houou sedang mematuk daun bambu. Di ruangan terakhir inilah Okuda meminta mereka menunggu, sementara dia pergi be rsama Kono. Takeo telah menduga ini: ia pun kerap menggunakan tipu muslihat yang sama. Tak s eorang pun bisa dengan mudah bertemu seorang penguasa. Takeo menenangkan diri sambil memandang l ukisan burung houou. Ia yakin si seniman belum pernah melihat burung itu, namun melukisnya dari legenda. Dilayangkannya pikirannya ke biara Terayama, ke hutan s uci pepohonan pawlonia di mana burung houou tengah menetas. Di benaknya ia melihat Makoto, sah abat karibnya yang mengabdikan diri pada Ajaran Houou; ia merasakan kekuatan spiritual sahabat nya itu dalam diri kedua pendampingnya yang ada di dekatnya, Gemba dan Shigeko. Mereka duduk tanpa bicara, dan dirasakannya energi dalam ruangan itu semakin menguat, memenuhi dirinya dengan r asa percaya diri Halaman 221 dari 600

yang mantap. Dipasang telinganya seperti yang pernah dilakukanya di kastil Hagi ketika dipaksa menunggu dengan cara yang sama; di sana ia dengar pengkhianatan para paman Shige ru. Kini ia dengar Kono berbicara pelan pada seorang laki-laki yang diduganya adalah Saga, t api mereka hanya membicarakan halhal yang biasa-biasa saja. ang mantap. Dipasang telinganya seperti yang pernah dilakukanya di kastil Hagi k etika dipaksa menunggu dengan cara yang sama; di sana ia dengar pengkhianatan para paman Shige ru. Kini ia dengar Kono berbicara pelan pada seorang laki-laki yang diduganya adalah Saga, t api mereka hanya membicarakan halhal yang biasa-biasa saja. Kono sudah diperingatkan tentang pendengaranku, pikirnya. Apa lagi yang telah diu ngkap Zenko kepadanya? Takeo mengenang masa lalunya yang hanya diketahui oleh Tribe; seberapa banyak ya ng Zenko tahu? Beberapa saat kemudian Okuda datang bersama seorang laki-laki yang diperkenalkannya sebagai kepala pelayan dan pengur us administrasi Lord Saga. Orang itulah yang akan mendampingi mereka ke ruang pertemuan, menerim a daftar hadiah yang disiapkan Minoru serta mengawasi para jurutulis yang mencatat acara yang akan berlangsung. Dia membungkuk sampai ke lantai di hadapan Takeo dan berbicara denga n sopan santun yang luar biasa. Jalan lebar mengkilap membawa mereka melewati taman kecil yang indah menuju ke b angunan lainnya yang jauh lebih besar dan lebih indah. Cuaca hari itu terasa semakin han gat, dan gemericik air di kolam dan tangki air memberi perasaan dingin. Takeo bisa mendengar burung-bur ung di sangkar berkicau di suatu tempat di kediaman ini, dan menduga semua itu peliharaan Lady Saga; lalu teringat kehilangan tragis yang dialami Saga. Sesaat ia merasakan ketakutan akan istrinya yang begitu jauh: bagaimana ia bisa bertahan bila istrinya tiada? Bisakah ia hidup tanpa istrinya? Menikah lagi demi alasan negara? Teringat lagi nasihat Gemba, disingkirkannya pikiran itu jauh-jauh, memusatkan perhatiannya pada laki-laki yang akan ditemuinya. Kepala pelayan itu berlutut, menggeser layar kasa agar terbuka dan menyembah hin gga kepalanya menyentuh lantai. Takeo melangkah masuk dan membungkuk. Gemba mengikutinya, tapi Shigeko menunggu di ambang pintu. Hanya ketika Takeo dan Gemba diminta duduk tegak, baru lah gadis itu

masuk dengan gerakan anggun dan menyembah di sebelah ayahnya. Saga Hideki duduk di ujung ruangan. Ruang kecil di sebelahnya terdapat lukisan d engan gaya daerah daratan utama. Shin. Mungkin itu lukisan bernama Genta Malam Hari dari Biara di Kejauhan yang termahsyur, yang pernah Takeo dengar tapi belum pernah dilihatnya. Dibandingkan dengan ruang an lainnya, dekorasi ruangan ini yang paling sederhana, seolah tak ada yang boleh m enyaingi kuatnya kehadiran orang itu. Ternyata efeknya luar biasa, pikir Takeo. Lukisan yang bers ifat pamer hanya menjadi pembungkus berhias: di sini hanya pedang yang dipamerkan, tak perlu hias an, hanya baja tajam nan mematikan itu. Semula Takeo mengira Saga adalah orang yang brutal serta gegabah; kini ia mengubah pendapatnya. Mungkin kejam, tapi tid ak gegabah dia laki-laki yang mengendalikan pikiran sama ketatnya dengan mengendalian tubuhnya. Tak diragukan lagi kalau ia menghadapi lawan yang menakjubkan. Disesalinya kekurangan dirinya, kurang terampil memanah, dan kemudian mendengar setiap senandung pelan dari sisi kirinya, tempat Gemba duduk dengan sikap rileks. Dan tibatiba dilihatnya kalau Saga takkan bisa dikalahkan den gan kekuatan, tapi justru dengan kelembutan. Shigeko tetap membungkuk dalam-dalam sementara kedua orang itu saling menatap. U sia Saga pasti beberapa tahun lebih tua dari Takeo, mendekati empat puluh tahun, dengan tubuh g emuk laki-laki separuh baya. Namun orang itu memiliki keluwesan yang tidak sesuai dengan usiany a: duduk dengan nyaman, gerakannya pun luwes. Memiliki bahu bidang dan berotot ciri khas pemanah , dan tampak lebih bidang karena sayap lebar dari jubah resminya. Suaranya kasar, dengan huru f konsonan diucapkan cepat, huruf hidup diperpendek: ini pertama kalinya Takeo mendengar ak sen daerah timur laut, Halaman 222 dari 600

tempat kelahiran Saga. Wajahnya lebar serta bergaris tegas, bentuk matanya panja ng dan agak seperti bertudung, sementara yang mengejutkan bentuk telinganya begitu halus, ham pir tanpa bagian bulat menonjol di bagian bawahnya, begitu dekat dengan kepalanya. Janggut dan kumisnya agak panjang, keduanya agak beruban meski rambutnya tidak beruban. empat kelahiran Saga. Wajahnya lebar serta bergaris tegas, bentuk matanya panjan g dan agak seperti bertudung, sementara yang mengejutkan bentuk telinganya begitu halus, ham pir tanpa bagian bulat menonjol di bagian bawahnya, begitu dekat dengan kepalanya. Janggut dan kumisnya agak panjang, keduanya agak beruban meski rambutnya tidak beruban. Pandangan mata Saga pun tak kalahnya mengamati Takeo, berkedip memerhatikan tubu hnya, berhenti sebentar saat melihat tangan kanan bersarung tangan hitam. Kemudian ban gsawan itu mencondongkan badan lalu berkata dengan kasar namun ramah, "Bagaimana pendapat A nda?" "Lord Saga?" Saga memberi isyarat ke arah ruangan kecil di sampingnya. "Tentu saja lukisan it u." "Luar biasa. Karya Yu-Chien, benar?" "Ha! Kono menyarankan aku menggantungnya. Dia bilang Anda pasti mengenalnya, dan bahwa lukisan ini lebih menarik perhatian Anda ketimbang bendabenda modern milikku. Bag aimana dengan yang satu itu?" Saga berdiri lalu berjalan ke dinding sebelah timur. Kemari dan lihatlah." Takeo bangkit lalu berdiri di sampingnya. Tinggi mereka hampir sama, walau tubuh Saga jauh lebih besar. Lukisan itu menggambarkan pemandangan taman yang dipenuhi bambu, plum dan pinus. Juga dibuat dengan lima hitam, dilukis dengan tenang serta menggugah. "Ini juga sangat bagus," sahut Takeo dengan kekaguman yang tulus. "Suatu maha ka rya." "Tiga kawan baik," ujar Saga, "luwes, wangi serta kuat. Lady Maruyama, mari berg abung bersama kami." Shigeko berdiri lalu berjalan perlahan ke sisi ayahnya. "Ketiganya mampu menahan kerasnya musim dingin," ujar Shigeko dengan suara pelan . "Memang," sahut Saga, kembali ke tempat duduknya. "Aku melihat kombinasi itu di sini." Dia memberi

isyarat agar mereka mendekat. "Lady Maruyama adalah plum, sedang Lord Miyoshi ada lah pinusnya." Gemba membungkuk hormat atas pujian ini. "Kurasa aku bagian yang luwes," sahut T akeo seraya tersenyum. "Dari riwayat Anda, kurasa juga begitu. Tapi bambu sangat sulit dibasmi bila tum buh di tempat yang salah." "Bambu akan selalu tumbuh," ujar Takeo setuju. "Lebih baik dibiarkan ditempatnya , dan mengambil manfaat dari kegunaannya yang banyak serta bervariasi." "Ha!" Saga mengeluarkan tawa kemenangan. Matanya menatap ke arah Shigeko dengan ekspresi ingin tahu, perhitung an sekaligus hasrat. Kelihatannya dia ingin bicara langsung pada gadis itu, namun kemudian me mbatalkannya dan kembali berbicara pada Takeo. "Apakah filsafat ini menjelaskan alasan Anda tidak menghadapi Arai?" Takeo menjawab, "Bahkan tanaman beracun pun bisa diambil manfaatnya, dalam ilmu ketabiban, misalnya." "Kudengar Anda tertarik dengan pertanian." "Ayahku, Lord Shigeru, yang mengajariku di bidang ini sebelum kematiannya. Bila petani bahagia, maka negara akan menjadi kaya dan stabil." "Baiklah, aku tidak punya banyak waktu untuk bertani beberapa tahun ini. Aku ter lalu Halaman 223 dari 600

disibukkan dengan peperangan. Tapi akibatnya kami kekurangan persediaan makanan d i musim dingin ini. Okuda mengatakan bahwa Tiga Negara menghasilkan beras lebih banyak d ari yang bisa dikonsumsi." isibukkan dengan peperangan. Tapi akibatnya kami kekurangan persediaan makanan di musim dingin ini. Okuda mengatakan bahwa Tiga Negara menghasilkan beras lebih banyak d ari yang bisa dikonsumsi." "Kini banyak dari daerah di negara kami yang mempraktikkan sistem panen ganda," tutur Takeo. "Memang benar, kami memiliki banyak persediaan beras, begitu pula kacang kedelai , gandum dan wijen. Kami diberkahi panen yang baik selama bertahun-tahun, serta terhindar dar i kekeringan dan kelaparan." "Anda telah menghasilkan permata. Tak heran begitu banyak orang yang mengincarnya dengan tamak." Takeo agak memiringkan kepala. "Aku pemimpin sah Klan Otori, dan menguasai Tiga Negara secara sah menurut hukum. Kekuasaanku adil dan direstui Surga. Aku tak mengatakan semua ini untuk membual, tapi untuk mengatakan bahwa sementara aku mencari dukungan Anda, dan ke berpihakan Kaisar memang, aku bersiap tunduk pada Anda sebagai jenderal Kaisar harus dengan per syaratan yang melindungi negara dan pewarisku." "Kita akan bicarakan itu nanti. Sekarang mari makan dan minum." Mengimbangi kesederhanaan ruangan itu, makanannya pun lezat: hidangan musiman ib ukota yang tertata rapi, masing-masing menawarkan pengalaman luar biasa bagi mata yang mema ndang sena lidah yang mengecap-nya. Sake juga dihidangkan, tapi Takeo hanya minum sedikit, mengingat perundingan bisa berlangsung hingga malam. Okuda dan Kono bergabung dengan merek a untuk santap siang, dan perbincangan berlangsung dengan suasana riang. Mereka hanya me mbicarakan lukisan, arsitektur, keistimewaan Tiga Negara dibandingkan yang ada di ibukota, yaitu puisi. Di pengujung santap siang, Okuda, yang sudah lebih mabuk ketimbang yang lainnya, me ngungkapkan lagi kekaguman bersemangatnya pada kirin. "Aku ingin sekali melihatnya dengan mata kepalaku sendiri," ujar Saga, dan kelih atan tanpa berpikir panjang berdiri. "Mari kita ke sana sekarang. Siang ini cuaca cerah. Kita akan l ihat lapangan tempat pertandingan kita." Digandengnya Takeo selagi berjalan kembali ke pintu masuk ut ama dan berkata dengan sikap penuh rahasia, "Dan aku harus menemui juara-juara Anda. Lord Miyosh

i pasti salah satunya, kurasa, dan beberapa ksatriamu yang lain." "Yang kedua adalah Sugita Hiroshi. Sedangkan yang ketiga Anda sudah bertemu. Put riku, Lady Maruyama." Cengkeraman tangan Saga mengencang ketika berhenti; diputarnya tubuh Takeo agar bisa menatap langsung wajahnya. "Memang itu yang dilaporkan Lord Kono, tapi aku mengira itu h anya lelucon." Orang itu menatap Takeo dengan tajam. Lalu tertawa dengan kasar, dan memelankan suaranya. "Selama ini Anda memang berniat untuk tunduk. Penandingan ini hanya formalitas b agi Anda? Aku mengerti alasannya: menyelamatkan mukamu." "Aku tidak ingin menyesatkan anggapan Anda," sahut Takeo. "Justru ini jauh dari formalitas. Aku menganggapnya sangat serius, begitu pula dengan putriku. Taruhannya tidak bisa le bih tinggi lagi." Tapi bahkan sewaktu bicara, keraguan berkecamuk dalam dirinya. Ke mana kepercaya annya pada Guru Besar Ajaran Houou membimbing dirinya? Takut kalau Saga akan menganggap pen g gantian dirinya dengan Shigeko sebagai penghinaan dan penolakan untuk berunding. Kendati demikian, setelah beberapa saat diam karena terkejut, bangsawan itu tert awa lagi. "Akan menjadi pertunjukan yang indah. Lady Maruyama yang cantik melawan bangsawan pali ng berkuasa di Delapan Pulau." Saga tenawa kecil sewaktu melepaskan tangan Takeo dan berjalan m enyusuri beranda, berseru dengan suara lantang, "Bawakan busur dan anak panahku, Okuda. A ku ingin memperlihatkannya pada lawanku." Mereka menunggu di bawah tepi atap yang melengkung sementara Okuda pergi ke temp at penyimpanan senjata. Orang itu kembali dengan membawa busur yang besamya lebih d ari serentangan lengan dan dilapisi pernis merah dan hitam. Seorang pengawal mengiku ti dengan membawa tabung panah berisi serangkaian anak panah. Halaman 224 dari 600

Anak panahnya tidak kalah mengesankan, diikat dengan tali berlapis pernis emas; Saga mengambil satu anak panah dari dalam tabung lalu mengacungkannya untuk diperlihatkan kepad a mereka, anak panah itu terbuat dari kayu pawlonia dengan ujung nak panahnya tidak kalah mengesankan, diikat dengan tali berlapis pernis emas; S aga mengambil satu anak panah dari dalam tabung lalu mengacungkannya untuk diperlihatkan kepad a mereka, anak panah itu terbuat dari kayu pawlonia dengan ujung tumpul, berbulu putih. "Bulu burung bangau," ujar Saga, sambil mengelus bulu-bulu itu dengan lembut lal u melirik ke arah Takeo, yang sadar sepenuhnya dengan lambang bangau Otori di bagian belakang juba hnya. "Kuharap Lord Otori tidak tersinggung. Menurutku, bulu bangau menghasilkan bidik an yang terbaik." Diserahkannya kembali anak panah itu pada pengawalnya lalu mengambil busur dari tangan Okuda, mengulur dan meregangkan dengan satu gerakan yang seperti tanpa tenaga. "Kurasa busur ini hampir sama tingginya dengan Lady Maruyama," ujarnya. "Pemahkah Anda turut dalam perburuan anjing?" "Tidak, kami tidak berburu anjing di wilayah Barat," sahut Shigeko. "Itu olahraga yang hebat. Anjing-anjing sangat bersemangat mengikutinya. Tentu s aja kami tidak membidik untuk membunuhnya. Kau harus menyatakan bagian yang hendak kau bidik. A ku ingin memburu singa atau harimau. Itu akan menjadi buruan yang lebih layak!" "Bicara tentang harimau," lanjutnya dengan karakternya yang sigap dan cepat, seraya mengembalikan busur dan mengenaka n sandalnya di anak tangga. "Kita harus ingat untuk membicarakan tentang perdaganga n. Anda mengirim kapal ke Shin dan Tenjiku, bukan begitu?" Takeo mengangguk patuh. "Dan Anda telah kedatangan orang-orang barbar dari selatan? Mereka amat menarik bagi kami." "Kami membawa hadiah-hadiah dari Tenjiku, Silla, Shin serta Kepulauan Selatan un tuk Lord Saga dan Yang Mulia Kaisar," sahut Takeo. "Hebat, hebat!" Para pemanggul tandu beristirahat di bawah tenda di luar gerbang. Mereka bergegas berdiri lalu membungkuk hormat sementara majikan mereka menaiki tandu, tanpa kenyamanan, menu

ju penginapan yang dijadikan tempat tinggal Otori. Panji-panji bergambar bangau ber kibar di atas gerbang dan di sepanjang jalan. Bangunan utamanya terletak di sebelah barat daer ah berundak: sebelah timur dibangun istal, tempat kudakuda Maruyama menghentak kaki serta meng ibaskan kepala. Di depan istal ini, di kandang beratap tiang bambu di satu sisi dengan atap ilalang, berdirilah kirin, Di sekeliling gerbang, telah berkumpul sekerumunan orang yang berusaha melihat kirin: anak-anak memanja t pohon, dan seorang pemuda yang penuh inisiatif menggunakan tangga. Lord Saga satu-satunya orang di kelompok itu yang belum pernah melihat makhluk m enakjubkan itu. Semua orang menatap dengan pandangan gembira. Mereka tidak kecewa. Bahkan Saga, dengan pengendalian diri yang nyaris sempuma, tak kuasa menahan tatapan penuh takjub di wajahnya. "Hewan ini jauh lebih tinggi dari yang kukira," serunya. "Pasti sangat kuat dan cepat." "Hewan ini justru sangat lembut," sahut Shigeko seraya mendekati kirin. Saat itu Hiroshi datang dari istal menuntun Tenba yang tengah melompat dan berjingkrak di ujung tali kekangny a. "Lady Maruyama," seru Hiroshi. "Aku tak menduga Anda kembali begitu cepat." Sesa at keadaan sunyi senyap. Takeo perhatikan saat Hiroshi melihat sekilas ke arah Saga lalu wajahnya pucat. Kemudian pemuda itu membungkuk hormat sebisa mungkin sambil mengendalikan kuda, dan berkata dengan c anggung, "Tadi aku menunggang Tenba." Halaman 225 dari 600

Kirin mulai melangkah dengan gembira ketika melihat tiga makhluk yang paling dis ayanginya. rin mulai melangkah dengan gembira ketika melihat tiga makhluk yang p aling disayanginya. "Aku akan mengembalikan Tenba bersama kirin," ujar Hiroshi. "Kirin merindukannya . Setelah berpisah kirin justru kelihatan semakin terikat dengannya!" Saga bicara seolah Hiroshi adalah pengurus kuda. "Keluarkan kirin itu. Aku ingin melihatnya lebih dekat." "Tentu, tuan," sahut Hoiroshi dengan membungkuk hormat lagi, rona merah kembali merayapi leher dan pipinya. "Kuda ini sangat tampan," komentar Saga sewaktu Hiroshi mengikat Tenba pada tali yang diregangkan dari masing-masing sisi sudut dalam kandang. "Bersemangat. Dan lumay an tinggi." "Kami membawa banyak kuda dari Maruyama sebagai hadiah," ujar Takeo padanya. "Ku da-kuda itu dibiakkan serta dibesarkan Lady Maruyama dan pengawal seniornya, Lord Sugita Hir oshi." Sewaktu Hiroshi menuntun kirin keluar dengan tali sutra merah di tangan, Takeo menambahkan, "Ini Sugita." Saga mengangguk ke arah Hiroshi dengan sikap asal-asalan: perhatiannya tersita h abis pada kirin. Tangannya menggapai dan mengelus kulit bercorak coklat muda kekuningan itu. "Lebi h halus dari kulit perempuan!" serunya. "Bayangkan kalau kulit ini dihamparkan di lantai atau di tempat tidur." Seolah sekonyong-konyong tersadar dengan kesunyian yang merasa sakit hati atas k ata-katanya terse-but, dia meminta maaf, "Hanya setelah hewan ini mati karena usia tua, sewa jarnya." Kirin menjulurkan lehernya yang panjang ke arah Shigeko dan dengan lembut mengus ap pipi gadis itu dengan hidung. "Kulihat, kau adalah kesayangannya," ujar Saga, memalingkan tatapan penuh kekagu man Shigeko. "Kuucapkan selamat pada Anda, Lord Otori. Kaisar akan terpesona dengan hadiah And a. Belum pernah ada makhluk seperti ini di ibukota." Kata-kata tadi diucapkan dengan murah hati, tapi Takeo menduga ada nada iri dan dengki di dalamnya. Setelah menginspeksi kuda-kuda lebih jauh lagi, serta memper sembahkan dua kuda betina dan tiga kuda jantan hitam kepada Lord Saga, mereka ke mbali ke kediaman Saga. Bukan ke ruangan sederhana sebelumnya, tapi ke aula pertemuan yan g didekorasi dengan megah, tempat lukisan seekor naga terbang melintasi dinding dan seekor ha

rimau berkeliaran mencari mangsa. Di sini Saga tidak duduk di lantai, melainkan di kursi ukiran, m irip Kaisar. Lebih banyak pengawalnya yang menghadiri pertemuan tersebut; Takeo menyadari keinginta huan mereka pada dirinya dan terutama pada Shigeko. Tidak biasa seorang perempuan duduk di t engahtengah laki-laki dalam acara seperti ini dan turut berbicara tentang kebijakan. Takeo m erasa kalau mereka cenderung tersinggung dengan pelanggaran adat semacam ini; namun silsilah Klan M aruyama lebih tua ketimbang Klan Saga dan klan wilayah Timur lainnya sama tuanya dengan keluarga kekaisaran yang merupakan keturunan Dewi Matahari. Pertama-tama mereka membicarakan tentang upacara dalam acara perburuan anjing, h ari-hari jamuan dan ritual, arakarakan Kaisar; peraturan penandingan. Dua lingkaran tali dipasang di atas tanah, satu tali di dalam tali yang satunya lagi . Di setiap babak enam anjing akan dilepas, satu demi satu. Si pemanah berderap di sekeliling lingkaran di tengah: nilai diberikan pada bagian tubuh anjing yang dibidik. Permainan itu merupakan permain an keterampilan, bukan pembantaian: anjing yang terluka parah atau mati dianggap tidak sah. Anjin g dipilih berbulu putih agar jika berdarah bisa segera terlihat. Shigeko menanyakan satu atau dua penanyaan teknis: lebar arena, apakah ada ketentuan ukuran busur atau anak panah. Saga menjawab de ngan cepat, dan dibumbui dengan kelakar sehingga membuat para pengawalnya tersenyum. "Dan sekarang kita bicara tentang hasilnya," ujarnya sopan. "Jika Lady Maruyama m enang, apa syarat Anda, Lord Otori?" "Kaisar mengakui aku dan istriku sebagai penguasa sah Tiga Negara; Anda mendukun g kami dan pewaris kami; Anda memerintahkan Arai Zenko tunduk pada kami. Sebagai imbalannya, kami akan Halaman 226 dari 600

bersumpah setia pada Anda dan Kaisar, demi kesatuan dan kedamaian Delapan Pulau; kami akan menyediakan makanan, tenaga manusia sera rsumpah setia pada Anda dan Kaisar, demi kesatuan dan kedamaian Delapan Pulau; ka mi akan menyediakan makanan, tenaga manusia sera kuda untuk kampanye militer Anda berikutnya, serta membuka pelabuhan kami bagi k alian untuk perdagangan. Kedamaian dan kesejahteraan Tiga Negara bergantung pada sistem peme rintahan kami, dan ini tidak boleh diubah." "Terlepas dari hal terakhir ini yang ingin kubicarakan dengan Anda lebih jauh la gi, semuanya aku terima dengan baik," sahut Saga, tersenyum dengan penuh percaya diri. Dia tidak merasa terganggu dengan satu pun syaratku karena memang dia tidak mera sa dirugikan, renung Takeo. "Dan apa syarat Lord Saga?" tanyanya. "Bahwa Anda segera mundur dari kehidupan publik, dan menyerahkan Tiga Negara pad a Arai Zenko yang telah bersumpah setia padaku dan juga pewaris sah ayahnya Arai Daiichi; bahw a Anda boleh mencabut nyawa Anda sendiri atau mengasingkan diri ke Pulau Sado; bahwa putra An da harus dikirim padaku sebagai tawanan; dan bahwa putri Anda harus menikah denganku." Kata-kata maupun nada suaranya seperti menghina, dan kemarahan Takeo mulai melua p. Dilihatnya ekspresi semua orang, kepuasan dan kesenangan yang mereka rasakan atas penghinaan terhadap dirinya. Mengapa aku ke sini? Lebih baik mati dalam perang ketimbang tunduk pada ial ini. Takeo duduk tanpa bergerak, sadar kalau tidak ada pilihan lain: setuju dengan usulan Saga at au menolaknya, lari dari ibukota bak penjahat dan bersiap, jika ia dan temantemannya hidup berhasil s ampai di perbatasan, untuk berperang. "Menang atau kalah," Saga melanjutkan bicaranya, "Kurasa Lady Maruyama pasti bis a menjadi istri yang baik bagiku, dan aku minta Anda pertimbangkan tawaranku." "Aku turut berduka atas meninggalnya istri Anda," sahut Takeo. "Mendiang istriku orang yang baik: dia memberiku empat anak yang sehat serta mer awat anakku yang lain; kurasa anakku jumlahnya sepuluh atau dua belas. Kurasa pernikahan ant ara keluarga kita bisa sangat menguntungkan kedua belah pihak." Semua rasa sakit hati yang pernah ia rasakan ketika Kaede diculik kembali menyap u dirinya. Sungguh keterlaluan kalau ia mesti menyerahkan putri tercintanya pada laki-laki kejam yang sudah

tua ini, laki-laki yang sudah memiliki beberapa selir, yang takkan memperlakukan putrinya sebagai p enguasa atas haknya sendiri, yang hanya ingin memiliki putrinya belaka. Namun orang ini yang paling berkuasa di seluruh Delapan Pulau; kehormatan dan manfaat politis dari pernikahan ini besar sekali. Tawaran itu telah diucapkan di depan orang banyak: bila ia tolak secara langsung itu berarti menghina. Shigeko duduk dengan tatapan tertunduk, tidak menunjukkan reaksinya pada pembicar aan tersebut. Takeo berkata, "Kehormatan ini terlalu besar bagi kami. Putriku masih sangat mud a, tapi aku berterima kasih pada Anda dari lubuk hatiku. Aku ingin bicarakan ini dengan istr iku Lord Saga mungkin belum tahu kalau istriku turut menjalankan pemerintahan Tiga Negara bers amaku aku yakin, seperti halnya aku, istriku akan sangat gembira dengan penyatuan antara k ita." "Semula aku ingin membiarkan istrimu hidup, karena baru saja melahirkan, tapi bi la peran istrimu sama besarnya dengan dirimu dalam pemerintahan, maka dia juga harus diperlakukan sama seperti dirimu: kematian atau pengasingan," sahut Saga dengan kesal. "Andaikata Lady Maruyama menang, dia boleh pulang untuk membicarakan hal ini dengan ibunya." Untuk pertama kalinya Shigeko angkat bicara, "Aku juga memiliki syarat, jika aku diperbolehkan bicara." Halaman 227 dari 600

Saga melihat sekilas ke arah anak buahnya lalu tersenyum dengan sabar. "Kami mend engarnya, nona." aga melihat sekilas ke arah anak buahnya lalu tersenyum dengan sabar. "Kami mende ngarnya, nona." "Aku minta Lord Saga untuk bersumpah mempertahankan garis pewarisan keturunan pe rempuan di Maruyama. Dan sebagai pimpinan klan, aku bisa membuat pilihanku sendiri dalam pe rnikahan, setelah berkonsultasi dengan para pengawal seniorku, juga dengan ayah dan ibuku s ebagai atasanku. Aku sangatlah berterima kasih pada Lord Saga atas kemurahan hatinya se rta kehormatan yang dianugerahkan pada diriku, tapi aku tak bisa menerimanya tanpa persetujuan dari klanku." Shigeko bicara dengan tegas, sekaligus dengan pesona yang kuat, hingga sulit bag i siapa pun untuk merasa tersinggung. Saga membungkuk hormat. "Kulihat kalau aku punya lawan se banding," serunya, dan riak tawa melanda anak buahnya.* Bulan baru dari bulan keenam bergelayut di langit sebelah timur di balik pagoda enam lapis selagi mereka kembali ke kediaman. Setelah mandi, Takeo meminta dipanggilkan Hiroshi la lu menceritakan tentang pem-bicaraan hari itu kepadanya, tidak ketinggalan satu pun, dan menutupn ya dengan usulan pernikahan. Hiroshi hanya diam mendengarkan, hanya mengatakan, 'Tentu saja ini tak terduga, dan suatu kehormatan besar." "Namun laki-laki seperti itu..." ujar Takeo pelan. "Shigeko akan mengikuti saran mu, juga saran aku dan istriku. Kita harus mem pertimbangkan masa depannya sama pentingnya dengan y ang terbaik bagi Tiga Negara. Kurasa hanya ada sedikit peluang untuk memutuskan secepatnya." Takeo menghela napas. "Begitu banyak yang dipertaruhkan pada pertandingan ini dan semua orang di pihak Saga sudah memutus kan hasilnya!" "Matsuda Shingen yang menyarankan Anda untuk kemari, kan? Anda harus memercayai penilaiannya." "Ya harus datang, dan aku percaya padanya. Tapi akankah Saga mematuhi kesepakatan nya? Dia

orang yang tidak mau kalah, dan begitu yakin akan menang." "Seluruh kota terpukau dengan kegembiraan pada Anda, Lady Shigeko, juga kirin. L ukisan-lukisan bergambar kirin sudah dijual, dan gambarnya ditenun menjadi kain dan bordiran di jubah. Sewaktu Lady Shigeko memenangkan lomba ini, dan memang dia akan memenangkannya, Anda aka n didukung dan dilindungi oleh rakyat. Mereka bahkan telah menggubah nyanyian tentang hal itu." "Cinta rakyat adalah kisah tentang kehilangan dan tragedi," sahut Takeo "Saat ak u di pengasingan di Pulau Sado, mereka akan mendengar kisah melankolis tentang diriku dan menangis, dan menikmatinya!" Kemudian terdengar langkah ringan di luar. Ketika pintu digeser terbuka, Shigeko masuk diikuti Gemba yang membawa kotak berpenis hitam dengan motif houou berlapis emas. Saat melihat putrinya saling menatap dengan Hiroshi dalam tatapan yang pen uh kasih sayang, membuat hati Takeo pedih dengan penyesalan dan rasa iba. Mereka sudah seperti pa sangan suami istri, pikirnya, terikat dengan ikatan yang kuat seperti itu. Takeo berharap dapat memb erikan putrinya pada pemuda yang sangat dihormatinya ini, yang setia sejak masih kecil, pemuda y ang pandai dan Halaman 228 dari 600

pemberani, dan sangat mencintai putrinya. Namun semua ini tidak sebanding dengan status dan kekuasaan yang dimiliki Saga Hideki. mberani, dan sangat mencintai putrinya. Namun semua ini tidak sebanding dengan s tatus dan kekuasaan yang dimiliki Saga Hideki. Gemba menyela renungannya. "Takeo, kami mengira kau ingin melihat senjatasenjata Lady Shigeko." Ditaruhnya kotak itu di lama: dan Shigeko berlutut membukanya. Takeo berkata dengan gelisah, "Kotaknya kecil sekali pasti tidak bisa memuat busur dan anak panah." "Baiklah, memang ukurannya kecil," aku Gemba. "Tapi Shigeko tidak terlalu tinggi : dia harus memiliki sesuatu yang bisa dipegang." Shigeko mengeluarkan busur miniatur yang indah, tabung anak panah, dan kemudian anak panah, berujung tumpul serta dengan bulu putih dan emas. "Ini lelucon, kan?" ujar Takeo, jantungnya berdebar ketakutan. "Tidak, Ayah. Lihat, anak panahnya dibului dengan bulu burung houou." "Begitu banyak burung houou di musim semi ini hingga kita bisa mengumpulkan cuku p bulu," jelas Gemba. "Mereka membiarkan bulu-bulunya jatuh seolah mereka menawarkannya." "Mainan ini hampir tidak bisa menembak burung gereja, apalagi anjing," sahut Tak eo. "Ayah tak ingin kami menyakiti anjingnya, bukan begitu Ayah?" kata Shigeko seray a tersenyum. "Kami tahu betapa sayangnya Ayah pada anjing." "Tapi ini perburuan anjing!" serunya. "Tujuannya yaitu memanah anjing sebanyak m ungkin, lebih banyak dari Saga!" "Anjing-anjing itu pasti bisa dipanah," ujar Gemba. "Tapi dengan anak panah ini tidak berbahaya dan tidak menyakiti anjing-anjing itu." Teringat cahaya api yang Gemba lemparkan untuk membakar habis kekesalan waktu it u, ia mencoba menekan kekesalannya sekarang. "Tipuan sulap?" "Lebih dari itu," sahut Gemba. "Kami akan gunakan kekuatan Ajaran Houou: keseimb angan antara laki-laki dan perempuan. Selama keseimbangannya bisa dipertahankan, maka kekuata nnya tak terkalahkan. Kekuatan ini yang menyatukan Tiga Negara: kau dan istrimu merupakan simbol hidup

kekuatan itu; putrimu adalah hasilnya, buktinya." Gemba tersenyum yakin, seolah memahami keberatan Takeo yang tak terucap. "Kesejah teraan dan kebahagiaan yang kau banggakan itu takkan terwujud tanpa kekuatan itu. Lord Saga sama sekali tidak mengenal kekuatan unsur perempuan, maka dengan begitu dia akan dikalahkan. " "Ngomong-ngomong," kata Gemba sewaktu mereka saling mengucapkan selamat malam. " Jangan lupa menawarkan Jato kepada Kaisar besok." Melihat tatapan Takeo yang terkejut, dia lalu meneruskan, "Hal itu sudah diminta dalam pesan pertama Kono, kan?" "Ya, memang, tapi begitu juga dengan pengasingan diriku. Bagaimana kalau Kaisar ingin menyimpannya?" "Jato senantiasa menemukan pemiliknya yang berhak, bukan begitu? Lagipula, kau tidak menggunakannya lagi. Sudah waktun ya diserahkan." Memang benar Takeo tak lagi menggunakan pedang itu dalam pertempuran sejak kehila ngan jarijarinya, tapi nyaris tak satu hari pun berlalu tanpa dirinya menyandang pedang itu. Ia ju ga cukup mahir menggunakan tangan kiri untuk menopang tangan kanannya, setidaknya dalam latihan pertarungan. Jato memiliki arti paling besar bagi dirinya; pedang itu pemberian S higeru dan merupakan simbol nyata dari pemerintahannya yang sah. Pikiran untuk melepaskannya amat mengganggunya hingga ia merasa perlu menghabiskan waktu beberapa lama untuk berm editasi, setelah berganti dengan pakaian tidur. Halaman 229 dari 600

Disuruhnya Minoru dan pelayannya pergi, lalu ia duduk sendirian dalam ruangan ya ng gelap, mendengarkan suara-suara malam dan melambatkan napas dan pikirannya. Nyanyian da n genderang bergema dari tepi sungai, tempat penduduk kota menari-nari. Katak berkuak di kol am taman, dan jangkrik berderik di sela-sela semak. Perlahan-lahan disadarinya kearifan dari s aran Gemba: ia isuruhnya Minoru dan pelayannya pergi, lalu ia duduk sendirian dalam ruangan yan g gelap, mendengarkan suara-suara malam dan melambatkan napas dan pikirannya. Nyanyian da n genderang bergema dari tepi sungai, tempat penduduk kota menari-nari. Katak berkuak di kol am taman, dan jangkrik berderik di sela-sela semak. Perlahan-lahan disadarinya kearifan dari s aran Gemba: ia akan mengembalikan Jato kepada Kaisar, tempat pedang itu berasal. *** Musik dan genderang terus terdengar hingga larut malam, dan keesokan harinya jal anan dipenuhi orang dewasa dan anak-anak yang menari-nari. Mendengarkan suara mereka saat ia b ersiap menemui Kaisar, Takeo bukan hanya mendengar nyanyian tentang kirin tapi juga ten tang burung houou: Burung houou bersarang di Tiga Negara; Lord Otori telah muncul di ibukota. Kirin adalah hadiah bagi Kaisar; Kuda-kudanya menggetarkan tanah kami Selamat datang Lord Otori! "Semalam aku keluar untuk melihat suasana kota," ujar Hiroshi. "Aku menceritakan pada satu atau dua orang lentang bulu burung houou." "Ternyata sangat efektif!" sahut Takeo, menjulurkan tangan untuk mengambil jubah sutra tebalnya. "Rakyat menganggap kunjungan Anda sebagai pertanda datangnya kedamaian." Perasaan tenang yang telah dicapainya semalam kian dalam. Diingatnya semua pelat ihannya, dari Shigeru dan Matsuda juga dari Tribe. Takeo menjadi terasing dan tanpa ekspresi; semua kegelisahan telah sirna dari dirinya. Para pendampingnya pun tampak dirasuki kepercayaan diri yang sama. Takeo dibawa dengan tandu berhias yang indah. Shigeko dan Hiroshi menunggang kuda bersurai abuabu pucat, As hige dan Keri, masing-masing di kanan dan kiri kirin, keduanya memegangi tali sutra merah tua y ang terikat di kalung berwarna emas berbentuk daun berlapiskan kulit. Kirin berjalan dengan ang gun tanpa terganggu, memalingkan lehernya untuk melihat kerumunan yang tengah mengagumi di

rinya. Teriakan dan seruan tidak mempengaruhi ketenangan dirinya maupun pendampingnya. Kaisar telah melakukan perjalanan singkat dari Istana Kekaisaran menuju Biara Ag ung dengan kereta megah berpernis yang ditarik sapi jantan hitam. Ada banyak lagi kereta yang memb awa bangsawan laki-laki dan perempuan. Bangunan biara berwarna merah cerah, baru dipugar dan dicat ulang. Di depan bagian dalam gerbang, terdapat sat u arena yang luas, lingkaran-lingkaran yang memiliki titik pusat telah diiandai dengan warna-warna kontras, tempat perlombaan akan diadakan. Para pemanggul tandu berderap melintasi lingkaran ini, diikuti rombongan Takeo. Para penjaga dengan ramah menghadang kerumunan tapi membiarkan gerbang seb elah luar tetap terbuka. Pohon pinus berderet di bagian sampingnya, dan di bawahnya gerai kayu dan tenda serta anjungan sutra didirikan bagi para penonton, dan ratusan bendera dan umbul -umbul berkibar ditiup angin. Banyak orang, ksatria dan bangsawan, sudah duduk di sini meski perburuan anjing baru dimulai besok, memanfaatkan tempat menonton yang sangat bagus ini untuk melihat kirin. P ara perempuan herambut hitam panjang, sedangkan laki-laki mengenakan topi resmi kecil, membawa bantal sutra dan payung pelindung sinar matahari, makanan dalam kotak-kotak berp ernis. Di gerbang berikutnya tandu diturunkan dan Takeo melangkah keluar. Shigeko dan Hiroshi turun dari kuda; Hiroshi mengambil tali kekang dan Takeo berjalan dengan putrinya serta kirin menuju bangunan utama biara. Dinding putih dan balok merah berkilauan diterpa sinar matahari siang. Saga Hidek i dan Lord Kono telah menanti dengan pelayan di atas anak tangga. Semua pelayan itu mengenakan jubah r esmi yang sangat mewah, lubah Saga berhiaskan kura-kura dan burung jenjang, Halaman 230 dari 600

Sedangkan jubah Kono berhiaskan bunga peoni dan burung merak. Semuanya saling be rtukar hormat dan sopan santun, lalu Lord Saga membimbing Takeo ke dalam, menuju aula remang-r emang yang disinari ratusan lentera. Di bagian atas ruangan itu terdapat mimbar berundak, d i belakang tirai halus dari bambu yang melindunginya dari mata fana dunia, duduklah sang Kaisar, bagian dari dewa-dewa. edangkan jubah Kono berhiaskan bunga peoni dan burung merak. Semuanya saling ber tukar hormat dan sopan santun, lalu Lord Saga membimbing Takeo ke dalam, menuju aula remang-r emang yang disinari ratusan lentera. Di bagian atas ruangan itu terdapat mimbar berundak, d i belakang tirai halus dari bambu yang melindunginya dari mata fana dunia, duduklah sang Kaisar, bagian dari dewa-dewa. Takeo menyembah, mencium aroma asap minyak, keringat Saga tertutup oleh aroma du pa wangi, dan aroma wewangian pelayan Kaisar, Menteri Kanan dan Menteri Kiri duduk di anak tangga di bawah penguasa mereka. Ini sama seperti yang ia harapkan, diterima Kaisar, anggota pertama Klan Otori y ang dihormati sejak Takeyoshi yang legendaris. Saga mengumumkan dengan suara yang jelas namun sopan, "Lord Otori datang dari Ti ga Negara untuk mempersembahkan hadiah yang indah bagi Paduka Yang Mulia, serta meyakinkan Paduka Yang Mulia akan kesetiaannya." Kata-kata ini diulang ggi dengan suara bernada tinggi dengan Ketika dia selesai bicara, semua . Takeo merasa diamati Kaisar dengan salah satu Menteri yang duduk di anak tangga mimbar tertin banyak tambahan bahasa yang halus serta sopan santun kuno. orang membungkuk hormat lagi, dan sesaat kesunyian melanda seksama dari sela-sela celah tirai bambu.

Kemudian dari balik tirai sang Kaisar bicara, dengan suara yang tak lebih dari s ekadar bisikan. "Selamat datang, Lord Otori. Kami sangat senang menerima kedatanganmu. Kami tahu ikatan lama yang ada di antara keluarga kita." Takeo mendengar semua ini diucapkan ulang oleh sang Menteri, dan ia bisa menggera kkan sedikit posisinya untuk mengamati reaksi Saga. Ia seperti mendengar tarikan napas pelan dari laki-laki di sebelahnya. Kata kata Kaisar singkat namun lebih dari yang diharapkan: pengakuan atas hubungan Klan Otori. Sungguh kehormatan yang amat besar dan tak terduga.

Takeo memberanikan diri berkata, "Bolehkah hamba bicara kepada Paduka Yang Mulia ?" Permintaan itu diulang, dan ijin Kaisar diucapkan ulang. Takeo berkata, "Berabad-abad lampau nenek moyang Paduka Yang Mulia memberikan ped ang ini, Jato, kepada Otori Takeyoshi. Pedang ini diserahkan kepada hamba oleh ayah hamba , Shigeru, sebelum kematiannya. Hamba diminta mengembalikannya kepada Yang Mulia, dan kini h amba dengan rendah hati melaksanakannya, menawarkannya kepada Paduka sebagai tanda ke setiaan dan pengabdian hamba." Menteri Sebelah Kanan berunding dengan Kaisar, lalu bicara lagi kepada Takeo. "Kami menerima pedangmu dan pengabdianmu." Takeo maju dengan tutut, lalu mengambil pedang itu dari sabuknya. Rasa menyesal menghunjam selagi ia menyodorkan pedang itu dengan dua tangan. Selamat tinggal, ujarnya pelan dalam hati. Para menteri yang berada di undakan paling rendah mengambil Jato dan mengoperkan nya dari satu petugas ke petugas lainnya hingga sampai ke tangan Menteri Kiri yang kemudian me letakkannya di depan tirai. Jato akan bicara; Jato akan kembali padaku, pikir Takeo, namun Jato hanya tergel etak di lantai, diam dan tak bergerak. Kaisar bicara lagi, dan Takeo mendengar kalau itu bukan suara dewa atau bahkan b ukan suara penguasa besar, tapi suara manusia biasa yang penuh keingintahuan. Halaman 231 dari 600

"Aku ingin melihat kirin dengan mataku sendiri." Terjadi kegemparan mendadak kar ena tak seorang pun yakin akan cara tepat apa yang harus dilakukan. Kemudian Kaisar melangkah ke luar dari balik lirai serta menjulurkan tangan kepada para pelayannya untuk menuntunnya menuruni anak tangga. ku ingin melihat kirin dengan mataku sendiri." Terjadi kegemparan mendadak karen a tak seorang pun yakin akan cara tepat apa yang harus dilakukan. Kemudian Kaisar melangkah ke luar dari balik lirai serta menjulurkan tangan kepada para pelayannya untuk menuntunnya menuruni anak tangga. Kaisar mengenakar jubah emas dengan bordiran naga merah tua melintang di punggun g dan lengannya; hiasan itu menambah tinggi badannya, tapi penilaian Takeo sebelumnya ternyata benar. Di balik megahnya pakaian yang dikenakannya, berdiri seorang laki-laki berperawakan agak pendek berusia kira-kira dua puluh d elapan tahun; pipinya tembam, mulutnya kecil dan tegas, menunjukkan kecerdasan; matanya berkilat denga n harapan. "Biarkan Lord Otori ikut denganku," ujarnya sewaktu berjalan melewati Takeo, dan Takeo pun mengikutinya, berjalan dengan lutut. Shigeko menunggu di luar bersama kirin. Gadis itu berlutut dengan satu kaki keti ka Kaisar mendekat, dan dengan kepala tertunduk memegangi tali, dia berkata, "Paduka Yang Mulia: hewa n ini tak sebanding dengan keagungan Paduka Yang Mulia, namun kami menawarkannya dengan ha rapan Paduka Yang Mulia akan melihat dan mengakui bawahan Paduka di Tiga Negara." Ekspersi Kaisar merupakan salah satu kekaguman yang murni, mungkin sama kagumnya karena diajak bicara seorang perempuan dan saat melihat kirin. Diambilnya tali itu deng an hati-hati, menengok sekilas pada para pegawai tinggi kekaisaran, mendongak melihat leher ki rin yang panjang dan kepalanya, lalu tertawa gembira. Shigeko berkata, "Paduka Yang Mulia bisa menyentuhnya: hewan ini amatlah lembut, " dan manusia setengah dewa itu menjulurkan tangan lalu mengelus bulu halus hewan yang menakju bkan itu. Kaisar bergumam, ''Kirin hanya muncul ketika sang penguasa diberkati Surga." Shigeko menyahut dengan suara yang sama pelannya, "Maka Paduka Yang Mulia memang diberkati." "Ini laki-laki atau perempuan?" tanya Kaisar pada Saga yang datang menghampiri d engan cara sama yang dilakukan Takeo, berlutut, karena Shigeko bicara dengan menggunakan bahasa seorang penguasa lakilaki.

"Paduka Yang Mulia, ini putri Lord Otori, Lady Maruyama." "Dari tanah tempat perempuan berkuasa? Lord Otori telah membawa banyak benda yan g eksotis! Semua yang kami dengar tentang Tiga Negara memang benar adanya. Alangkah inginny a aku berkunjung ke sana, tapi mustahil aku meninggalkan ibukota." Dielusnya lagi kiri n. "Apa yang bisa kuberikan sebagai imbalannya?" tanyanya. "Aku sangsi kalau memiliki apa pun yang sebanding." Kaisar berdiri seolah berpikir keras selama beberapa saat, dan kemud ian berbalik dan menengok ke belakang seakan tersengat oleh ilham yang datang tiba-tiba. "Bawakan padaku pedang Otori," serunya. "Akan kuanugerahkan kepada Lady Maruyama!" Takeo ingat suara dari masa lalu: Pedang itu akan berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya. Kenji. Pedang yang Kenji serahkan kepada Shigeru setelah kekalahan Otori di Yaeg ahara, dan kemudian dibawa Yuki, putri Kenji, untuk Takeo, dan kini diserahkan ke tangan Ma ruyama Shigeko oleh Kaisar. Takeo membungkuk hingga menyentuh tanah lagi, dan selagi duduk legak, dilihatnya Kaisar tengah mengamatinya dengan penuh selidik. Pada saat itu, godaan akan kekuatan mutlak be rkilat di hadapannya. Siapa pun yang disukai Kaisar atau, bisa diungkapkan dengan kata yang lebih sederhana, mengendalikan Kaisar maka bisa mengendalikan Delapan Pulau. Itu bisa saja aku dan Kaede, pikirnya. Kami bisa bersaing dengan Saga: jika kami mengalahkannya besok dalam pertandingan, kami bisa menggantikan kedudukannya. Pasukan kami sudah siap. Aku bisa kirim kur ir kepada Kahei lebih awal. Kami akan mendesaknya kembali ke utara dan ke arah laut. Sagalah yan g akan diasingkan, bukan aku! Halaman 232 dari 600

Takeo menghibur diri dengan khayalannya selama beberapa saat, lalu menyingkirkan nya jauh-jauh. Ia tidak menginginkan Delapan Pulau; ia hanya menginginkan Tiga Negara, dan ingin a gar negaranya tetap damai. akeo menghibur diri dengan khayalannya selama beberapa saat, lalu menyingkirkann ya jauh-jauh. Ia tidak menginginkan Delapan Pulau; ia hanya menginginkan Tiga Negara, dan ingin a gar negaranya tetap damai. *** Sisa hari itu dihabiskan dengan jamuan makan, pertunjukan musik dan drama, kompe tisi puisi, dan bahkan peragaan permainan kegemaran para bangsawan muda, yaitu bola sepak. Lord Kono membuktikan diri sangat mahir dalam permainan ini. "Perilakunya yang acuh tak acuh menyembunyikan keahlian fisiknya," komentar Takeo pelan kepada Gemba. "Mereka akan menjadi lawan yang sebanding," sahut Gemba setuju dengan tenang. Kemudian ada juga balapan kuda sebelum matahari terbenam. Tim Lord Saga yang menunggang kuda perang Maruyama menang den gan mudah, menambah kekaguman pengunjung kepada sang jenderal, dan kegembiraan serta kekaguman akan hadiah yang tiada bandingannya. Takeo kembali ke kediaman dengan rasa gembira dan bersemangat atas hasil hari in i, meskipun masih cemas tentang esok hari. Ia telah menyaksikan keahlian berkuda lawan. Ia t ak percaya kalau putrinya bisa menang. Namun Gemba ternyata benar tentang pedang itu. Seharusnya ia juga percaya tentang hasil pertandingan itu. Dinaikkannya tirai tandu yang terbuat dari sutra untuk menikmati udara malam. Sa at ditandu melewati gerbang, dia melihat, dari sudut matanya, garis bentuk tubuh berbayang dari seseo rang yang menggunakan kemampuan menghilang. Ia terkejut karena tidak menduga ada anggota T ribe beroperasi di ibukota: tidak ada dalam catatannya, maupun sepengetahuan keluarga Muto yang pernah menyatakan kalau mereka telah menembus sejauh ini sampai ke wilayah Timur . Secara naluri disentuhnya pedang, sadar kalau ia tak bersenjata, percikan keingintahuannya muncul lagi saat menghadapi ke kekalan hidupnya apakah orang ini yang akan berhasil membunuhnya, dan membuktikan bahwa ram alan itu salah? saat tandu belum menyentuh tanah ia sudah turun. Dengan mengacuhkan par

a pelayannya, ia berlari ke gerbang dan mencari-cari dengan mata orang itu di antar a kemmunan, penasaran apakah tadi ia salah lihat. Namanya dilantunkan banyak suara, tapi ia seperti bisa membedakan satu orang yang dikenalnya, lalu dilihatnya gadis itu. Takeo segera mengenalinya sebagai anggota Muto, tapi butuh waktu beberapa saat u ntuk mengingat siapa gadis itu: Mai, adik Sada, yang ditempatkan di kediaman orang asing untuk mempelajari bahasa serta memata-matai mereka. "Mari cepat masuk," perintahnya pada gadis itu. Begitu sudah di dalam, diperinta hnya penjaga untuk menutup serta memalang gerbang, kemudian berbalik lagi pada gadis itu. Gadis itu kelihatan lelah dan kotor karena perjalanan jauh. "Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau membawa kabar dari Taku? Apakah Jun mengirimmu?" "Aku harus bicara dengan Lord Otori saja," bisiknya. Melihat kesedihan di garis bibir dan dalam tatapan matanya, jantungnya berdegup kencang karena takut pada apa yang akan disampaikan gadis itu. "Tunggu di sini. Aku akan langsung memanggilmu." Takeo memanggil pelayan untuk membantunya mengganti jubah resminya. Setelah menyu ruh mereka menyajikan teh, memanggil gadis itu lalu menyuruh mereka pergi; bahkan pu trinya, atau Lord Miyoshi tak boleh masuk. "Apa yang telah terjadi?" Halaman 233 dari 600

"Lord Taku, dan kakakku sudah tiada, tuanku." Lord Taku, dan kakakku sudah tiada , tuanku." Kabar itu menghantam dirinya bak pukulan ke dadanya. Takeo menatap gadis itu, ta k bisa bicara, merasakan gelombang kesedihan menggelegak hingga ke urat nadinya; Takeo memberi i syarat agar gadis itu melanjutkan. "Mereka diduga diserang bandit di tempat berjarak satu hari berkuda dari Hofu." "Bandit?" tanyanya tak percaya. "Bandit macam apa yang ada di Negara Tengah?" "Itulah pernyataan resmi yang dikeluarkan Zenko," sahut Mai. "Tapi Zenko sedang melindungi Kikuta Akio. Desas-desus yang beredar bahwa Akio dan putranya yang bunuh Taku untuk bal as dendam atas kematian Kotaro. Sada tewas bersamanya." "Dan putriku?" bisik Takeo, air mata menggenang di pelupuk matanya dan hampir me netes. "Lord Otori, tidak ada yang tahu di mana putri Anda. Mungkin putri Anda berhasil lari, atau ditangkap Akio...." "Ditangkap Akio?" ucapnya mengulang perkataan itu. "Mungkin dia melarikan diri," sahut Mai. "Tapi dia belum ke Kagemura, atau Teray ama, atau tempat lainnya yang diperkirakan sebagai tujuannya melarikan diri." "Apakah istriku tahu?" "Aku tidak tahu, tuan." Dilihatnya ada hal lain lagi, alasan lain mengapa gadis mi menempuh perjalanan s ejauh ini, mungkin tanpa ijin dari Tribe, dan tidak diketahui mereka, bahkan Shizuka. "Ibu Taku pasti sudah diberitahu?" "Sekali lagi, aku tak tahu. Sesuatu telah terjadi dalam jaringan Muto, tuan. Pes anpesan salah sasaran, atau dihaca oleh orang yang salah. Orang-orang mengatakan kalau mereka ingin kembali ke masa silam, saat Tribe memiliki kekuasaan yang sesungguhnya. Kikuta Akio sangat d ekat dengan Zenko dan banyak orang Muto menyetujui persahabatan mereka orang-orang mengatakan m ereka berdua seperti Kenji dan Kotaro sebelum..." "Sebelum aku datang," ujar Takeo murung. "Aku tidak berhak mengatakannya. Lord Otori. Keluarga Muto bersumpah setia kepad a Anda, dan Taku serta Sada setia kepada Anda. Itu sudah cukup bagiku. Aku meninggalkan Hofu

tanpa mengatakan pada siapa pun, berharap bisa menyusul Lady Shigeko dan Lord Hiroshi, tapi mereka sudah beberapa hari di depanku. Aku terus mengikuti hingga aku sadar sudah di ib ukota. Aku berjalan selama enam minggu." "Aku sangat berterima kasih." Teringat olehnya kalau gadis itu juga tengah berse dih. "Dan aku sangat berduka atas kematian kakakmu dalam melayani keluargaku." Mata gadis berkilat diterpa sinar lentera, namun tidak menangis. "Mereka diserang dengan menggunakan senjata api," tuturnya dengan nada sedih. "T ak ada yang bisa membunuh mereka dengan menggunakan senjata biasa. Taku tertembak di leher; dia pasti mati kehabisan darah, dan peluru itu menghantam Sada setelah menembus kuda, tapi dia bukan mati karena peluru: lehernya digorok." "Akio punya senjata api? Darimana dia dapat?" "Dia sudah di Kumamoto selama musim dingin. Senjata itu pasti pemberian Zenko; m ereka sudah melakukan perdagangan dengan orang-orang asing." Takeo duduk terdiam, teringat saat ia mencengkeram leher Taku yang menyelinap ma suk ke kamarnya di Shuho: saat itu Taku baru berumur sembilan atau sepuluh tahun. Kenan gan itu diikuti dengan kenangan lainnya, hampir membuat ia terpuruk. Seraya menutupi wajah denga n tangan, ia Halaman 234 dari 600

berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Kesedihannya disulut dengan kemarah annya atas Zenko yang telah ia biarkan hidup hanya untuk melihat orang itu bersekongkol mem rusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Kesedihannya disulut dengan kemarahan nya atas Zenko yang telah ia biarkan hidup hanya untuk melihat orang itu bersekongkol mem bunuh adiknya. "Lord Otori," ujar Mai ragu-ragu. "Haruskah aku memanggil seseorang agar menemui Anda?" "Tidak!" sahutnya, seraya berusaha mengendalikan diri, waktu untuk menjadi lemah sudah berakhir. "Kau tak tahu situasi kami di sini. Kau tidak boleh mengatakan ini pada siapa-si apa. Jangan ada hal yang mengganggu selama beberapa hari ke depan. Akan ada pertandingan yang meliba tkan putriku dan Lord Hiroshi. Mereka tidak boleh diganggu. Mereka tidak boleh tahu hal ini h ingga pertandingannya selesai. Tidak seorang pun boleh tahu." "Tapi Anda harus segera kembali ke Tiga Negara! Zenko..." "Aku akan kembali secepatnya, lebih awal ggung tuan rumah Lord Saga, Kaisar maupun membiarkan Saga ini aku dalam posisi yang menguntungkan lombanya selesai dan kami tahu hasilnya, aku akan hujan, namun hal ini tidak bisa dari rencana. Tapi aku tak ingin menyin mencium pengkhianatan Zenko. Sementara tapi itu bisa berubah kapan saja. Begitu pamit. Meskipun beresiko terjebak dalam

ditunda. Kau akan ikut dengan kami, tentu saja; tapi untuk sementara waktu ini a ku memintamu untuk menjauh. Shigeko bisa mengenalimu. Hanya dua hari. Nanti aku akan ceritakan tent ang kabar ini padanya dan juga Hiroshi." Takeo mengatur agar Mai diberi uang dan dicarikan penginapan, lalu gadis itu per gi, berjanji akan kembali dalam dua hari. Mai baru saja pergi ketika Shigeko dan Gemba datang. Sedari tadi mereka memeriks a keadaan kuda, menyiapkan pelana dan tali kekang untuk lomba besok, serta membahas strategi. Sh igeko, yang biasanya pandai mengendalikan diri serta tenang, kini gembira dengan kejadian ha ri ini, dan tak sabar menanti penandingan. Ia lega karena ini berarti putrinya takkan memerhatikan sik ap diam dan kurang bersemangat dirinya, juga lega karena gelapnya ruangan. Shigeko berkata, "Aku kembalikan Jato pada Ayah." "Tidak boleh," sahutnya. "Kaisar yang berikan padamu. Sekarang pedang itu menjad i milikmu."

"Pedang ini terlalu panjang," protes putrinya. Takeo memaksakan diri untuk tersenyum. "Kendati demikian, tetap saja itu milikmu ." "Akan kuberikan pada biara sampai...." "Sampai apa?" Takeo memotong ucapan putrinya. "Sampai putra Ayah, atau putraku, cukup dewasa untuk memilikinya." "Bukan penama kalinya pedang itu berada di biara," sahut Takeo. "Tapi pedang itu milikmu, dan pedang juga memastikan dirimu bukan hanya sebagai pewaris Klan Maruyama, tapi ju ga Klan Otori." Takeo menyadari bahkan saat ia bicara bahwa pengakuan Kaisar membuat persoalan p ernikahan Shigeko justru makin penting. Shigeko akan menyerahkan Tiga Negara kepada orang yang menikahinya, suami yang direstui Kaisar. Apa pun permintaan Saga, ia takkan meny erah begitu saja, tidak sebelum ia konsultasi dengan Kaede. Takeo sangat merindukan Kaede saat ini, bukan hanya menginginkan tubuhnya, tapi kearifan, kejernihan pikiran, sena kekuatannya yang lembut, aku tidak berarti tanpa dia, pi kirnya. Rasanya ingin sekali berada di rumah. Tak sulit untuk membujuk Shigeko beristirahat lebih awal, dan Gemba juga pergi t idur, meninggalkan Takeo sendirian menghadapi malam yang panjang.* Halaman 235 dari 600

Minoru datang, seperti biasa, saat matahari baru terbit. Dia datang bersama para pelayan perempuan yang membawa teh. "Hari ini sepertinya akan menjadi hari yang cerah," ujarnya. "Aku telah menyiapk an catatan atas semua yang terjadi kemarin, dan juga mencatat semua yang akan terjadi hari ini."

Ketika Takeo mengambil catatan itu tanpa menjawab, si jurutulis berkata dengan r agu, "Lord Otori kelihatannya tidak sehat." "Aku kurang tidur, itu saja. Aku sehatsehat saja, aku harus terus memesona serta mengesankan. Aku tidak bisa bersikap sebaliknya." Minoru menaikkan alis sedikit, terkejut dengan suara dingin Takeo. "Tentunya kunjungan Anda sangat berhasil, kan?" "Kita akan tahu sore ini." Takeo tiba-tiba memutuskan dan berkata, "Aku akan mendiktekan sesuatu padamu. Jangan berkomentar dan jangan beritahu siapa-siapa. Kau harus mengatur kepulanga n kita agak lebih awal dari rencana." Minoru menyiapkan batu tinta dan mengambil kuas tanpa bicara. Tanpa memihak Takeo menceritakan semua vang diceritakan Mai semalam, dan Minoru menulisnya. "Aku turut berduka cita," ujarnya ketika Takeo selesai mendikte. Takeo memandang Minoru dengan tatapan menuduh. "Aku minta maaf atas kurang terampilnya diriku ini. Tanganku ge metar dan tulisanku sangat buruk." "Tidak apa-apa, selama masih bisa dibaca. Simpan baik-baik: aku akan memintamu m embacakannya, malam ini atau besok." Minoru membungkuk hormat. Takeo sadar akan simpati tanpa kata-kata dari jurutuli snya; kenyataan bahwa ia telah berbagi kabar kematian Taku mengurangi penderitaannya. "Lord Saga mengirim surat untuk Anda," ujar Minoru, mengeluarkan gulungan kertas . "Beliau pasti menulisnya tadi malam. Beliau sangat menghormati Anda." "Biar kulihat." Tulisannya menggambarkan orangnya, tebal dan ditekan, guratan tinta kelihatan hitam dan legas, bergaya kotak. "Beliau mengucapkan selamat padaku atas keramahan Kaisar padaku, dan atas keberha

silan hadiahku, serta mengucapkan semoga berhasil hari ini." "Beliau khawatir atas popularitas Anda," ujar Minoru. "Dan takut bila Anda kalah dalam pertandingan itu, Kaisar masih tetap mendukung Anda." "Aku akan mematuhi kesepakatan, dan aku berharap dia pun begitu," sahut Takeo. "Beliau mengharapkan Anda menemukan cara untuk berkelit dari kesepakatan tersebu t, agar beliau mendapat alasan untuk tidak menepatinya." "Minoru, sikapmu menjadi begitu sinis! Lord Saga adalah bangsawan besar berasal dari klan kuno. Dia telah mengumumkan kesepakatannya. Dia takkan mengingkari kesepakatan itu tanpa m embuat dirinya tidak terhormat, dan begitu pula aku!" "Persis seperti itulah cara bangsawan menjadi besar," gumam Minoru. Halaman 236 dari 600

Jalanan jauh lebih ramai lagi dibanding kemarin, dan masyarakat menari-nari sepe rti kesurupan. Cuaca makin panas dengan kelembapan yang menandakan hujan plum. Arena di Biara A gung dipenuhi penonton: perempuan mengenakan kimono bertudung, laki-laki berpakaian c erah, anakalanan jauh lebih ramai lagi dibanding kemarin, dan masyarakat menarinari seperti kesurupan. Cuaca makin panas dengan kelembapan yang menandakan hujan plum. Arena di Biara A gung dipenuhi penonton: perempuan mengenakan kimono bertudung, laki-laki berpakaian c erah, anakanak, semua memegang payung dan kipas. Di dalam lingkaran terluar pasir merah para penu nggang kuda menunggu: kuda tim Saga memiliki sabuk kulit yang dikaitkan di bawah ekor s erta tali dada berwarna merah, sedangkan milik Shigeko berwarna putih. Pelana kuda dilapisi ker ang mutiara; surai dikepang; jambul dan ekornya mengkilat serta sehalus rambut seorang putri. Seuta s tali jerami kuning membagi lingkaran sebelah luar dari lingkaran yang sebelah dalam, dengan pasir b erwarna putih. Takeo bisa mendengar gongongan anjing yang bersemangat dari sisi timur arema, te mpat sekitar lima puluh ekor anjing dalam sebuah kerangkeng berhiaskan daun dan rumbai-rumbai puti h. Di bagian belakang lapangan terdapat bilik dari kain sutra didirikan bagi Kaisar, yang ter sembunyi seperti sebelumnya, di balik tirai bambu. Takeo dibimbing ke tempat di sebelah ambut para bangsawan, ksatria dan istri mereka, elumnya. Pengaruh kirin sudah tampak: seorang ng yang diukir mengikuti bentuk kirin, dan beberapa ar kirin. kanan bilik Kaisar. Di tempat itu Takeo dis sebagian sudah bertemu dengannya sehari seb laki-laki memperlihatkan padanya pena linta perempuan mengenakan tudung berhiaskan gamb

Suasana hari itu terasa bagai piknik di pedesaan, meriah dan ramai, dan Takeo be rusaha ikut ambil bagian di datamnya dengan sepenuh hati. Namun sesekali pemandangan tampak kabur dan langit semakin kelam, dan mata dan pikirannya dipenuhi dengan bayangan-bayangan Taku ya ng tertembak di leher lalu mati kehabisan darah. Ia mengalihkan perhatian pada mereka yang masih hidup, pada perwakilannya, Shige ko, Hiroshi dan Gemba. Kedua kuda abu-abu pucat dengan surai dan ekor hitam terlihat sangat kont ras dengan kuda Gemba yang berbulu hitam. Kuda-kuda melangkah tenang mengelilingi lingkaran. Sag a menunggang kuda besar dengan bulu warna coklat kemerahan. Kedua pendukungnya, Okuda dan Kono, menunggang kuda belang dan juga merah bata. Busur milik mereka jauh lebih besar dibandingkan dengan busur Shigek o dan ketiganya

memiliki anak panah yang dibului dengan bulu bangau warna putih dan abu-abu. Takeo belum pernah menyaksikan perburuan anjing, dan peraturan permainan itu dije laskan oleh kawan pendampingnya. "Anda hanya boleh menembak bagian tertentu di tubuh anjing: punggung, kaki, leher . Anda tidak boleh menembak kepala, bagian lunak di perut atau kematuan, dan nilai Anda akan dikurangi jika anjingnya berdarah atau mati. Makin banyak darah menetes, makin buruk tembakanny a. Ini semua tentang pengendalian sempurna yang sangat sulit dicapai sewaktu kuda berderap." Mereka berkuda dalam barisan menurut urutan pangkat, dari yang terendah sampai y ang tertinggi, pasangan pertama Okuda dan Hiroshi. "Okuda akan mulai lebih dulu untuk menunjukkan cara melakukannya," tutur Saga ke pada Hiroshi, dengan ramah, karena penunggang kedua memiliki peluang lebih menguntungkan. Anjing pertama dibawa masuk ke lingkaran: Okuda juga memasuki lingkaran lalu men derapkan kudanya, membiarkan tali kekang menggantung di leher kuda selagi dia menaikkan b usur panah dan menaruh anak panahnya. Tali anjing dilepaskan dan hewan itu segera berjingkrakan, mengonggong pada kuda yang tengah berderap. Anak panah pertama Okuda berdesing melewati telinga anjing itu, membua tnya menyalak kaget lalu mundur, dengan ekor di sela kaki belakangnya. Anak panah kedua mengena i dada. "Tembakan yang bagus!" seru laki-laki di sebelah Takeo. Tembakan yang ketiga terkena punggung anjing yang tengah berlari. Anak panah itu dilepaskan terlalu kuat: darah mulai menodai bulu putih anjing itu. Halaman 237 dari 600

"Kurang baik," adalah penilaian juri. Kurang baik," adalah penilaian juri. Takeo merasakan ketegangan mulai bertambah saat Hiroshi memasuki lingkaran dan Ke ri mulai berderap. Takeo sudah mengenai kuda itu selama ia mengenai pemuda itu: hampir de lapan belas tahun. Mampukah kuda abu-abu itu bertahan dalam per tandingan semacam ini? Akankah kuda itu mengecewakan penunggangnya? Takeo tahu H iroshi mahir memanah, tapi mampukah pemuda itu bersaing dengan pemanah nomor satu dari ibukota? Anjing dilepaskan. Mungkin anjing tiu sudah melihat nasib kawannya dan tahu apa yang menantinya dalam lingkaran itu; anjing itu secepatnya berlari keluar lingkaran, menghempaska n tubuhnya di antara anjing-anjing lain. Anak panah Hiroshi luput mengenai anjing itu sejauh s erentangan kaki. Anjing itu ditangkap, dibawa masuk lagi dan dilepas sekali lagi. Takeo bisa meli hat kalau anjing itu ketakutan dan menggeram. Anjing-anjing itu pasti mencium amis darah sehingga ket akutan, pikirnya. Atau mungkin anjing saling berkomunikasi lalu memperingatkan. Kali ini Hiroshi le bih siap, tapi anak panahnya tetap tidak kena sasaran. "Lebih sulit dari kelihatannya," ujar tetangga Takeo dengan simpatik. "Butuh lat ihan selama bertahuntahun." Takeo menatap anjing itu saat dibawa masuk untuk yang ketiga kalinya, berusaha m enyuruh agar anjing itu tenang. Ia tidak mau Hiroshi menyakiti anjing itu, tapi ia ingin pemuda itu setidaknya mendapat satu nilai untuk bidikannya. Penonton terdi am: di balik suara derap kuda, terdengar olehnya senandung yang amat pelan, suara yang dikeluarkan Gemba saat merasa gembira. Tak ada orang lain yang bisa mendengarnya, tapi anjing itu bisa mendengarnya. Hew an itu berhenti meronta dan menyalak. Anjing itu tidak kabur saat dilepas, tapi malah duduk dan menjilati bulunya sebelum bangkit lalu berjalan pelan mengitari lingkaran. Anak panah ketiga Hiros hi kena bagian samping anjing itu, membuatnya terjatuh dan menyalak, tapi tidak berdarah. "Itu tembakan yang mudah! Okuda akan memenangkan babak ini." Juri memutuskan demikian. Tembakan kedua Okuda, meski membuat si anjing berdarah, mendapat nilai lebih tinggi ketimbang dua tembakan Hiroshi yang meleset, Takeo bersiap menerima satu kekalahan lagi maka tak peduli sebaik apa pun Shigeko melakukannya, hasil pertandingan sudah ditentukan. Matanya terpaku pada Gemba ya ng tak lagi

bersenandung, tapi kelihatan sangat waspada. Kuda hitam tunggangannya juga tampa k was-pada, menatap pemandangan asing dengan telinga tegak dan bola mata mem besar. Lord Kon o menunggu di sebelah luar lingkaran di atas kuda merah bata yang kuat sena penuh semangat. Laki-laki itu mahir berkuda, seperti yang sudah diketahui, dan kudanya memang cepat. Karena Hiroshi kalah pada babak sebelumnya, kali ini Gemba mendapat giliran pertam a. Anjing yang berikutnya lebih lincah, dan kelihatan tidak takut pada kuda yang tengah be rderap. Panah pertama Gemba tampak melayang dan mendarat perlahan di tungging anjing itu. Temb akan yang bagus, dan tidak ada darah. Tembakannya yang kedua hampir sama, sekali lagi tida k mengeluarkan darah, tapi kini anjing itu ketakutan, berlarian ke kanan dan kiri melintasi lap angan. Tembakan ketiga Gemba meleset. Kemudian Kono keluar dengan menunggang kuda merah bata, membuat k udanya berderap mengelilingi lingkaran sebelah luar, membuat pasir merah beterbangan. P ara penonton berseru kagum. "Lord Kono sangat mahir dan terkenal," orang di sebelah Takeo memberitahunya. "Kemahirannya memang enak di pandang!" ujar Takeo setuju dengan sikap sopan, seraya berpikir, aku akan kehila ngan segalanya, tapi aku takkan terlihat marah atau sedih. Halaman 238 dari 600

Anjing-anjing dalam kerangkeng makin bersemangat; gonggongan berubah menjadi lol ongan, dan setiap anjing yang dibebaskan semakin liar karena ketakutan. Namun tetap saja Ko no membukukan dua nilai tembakan sempurna tanpa darah. Pada tembakan ketiga, kuda tungganganny a terlalu bersemangat karena sorak sorai penonton, agak meloncat saat Kono menarik busur. P anahnya melayang di atas kepala anjing dan kena bagian samping pangg:ung kayu di belakan gnya. Beberapa pemuda berlompatan turun untuk mengambilnya, pemenang yang beruntung mengayunkan anak panah itu di atas kepalanya. njing-anjing dalam kerangkeng makin bersemangat; gonggongan berubah menjadi lolo ngan, dan setiap anjing yang dibebaskan semakin liar karena ketakutan. Namun tetap saja Ko no membukukan dua nilai tembakan sempurna tanpa darah. Pada tembakan ketiga, kuda tungganganny a terlalu bersemangat karena sorak sorai penonton, agak meloncat saat Kono menarik busur. P anahnya melayang di atas kepala anjing dan kena bagian samping pangg:ung kayu di belakan gnya. Beberapa pemuda berlompatan turun untuk mengambilnya, pemenang yang beruntung mengayunkan anak panah itu di atas kepalanya. Setelah diskusi panjang para juri, babak kedua diputuskan seri. "Kini kita mungkin menunggu keputusan Kaisar," seru laki-laki di sebelah Takeo. "Cara ini sangat digemari pengunjung: bila hasilnya seri secara keseluruhan." "Tampaknya cara itu kurang sesuai karena kurasa Lord Saga akan dianggap memiliki lebih dalam olahraga ini." "Tentu, Anda benar. Aku hanya tidak ingin...." Laki-laki itu tak kuasa menahan m alu. Setelah diam dengan sikap canggung selama beberapa saat, dia lalu mohon diri menjauh untuk be rgabung dengan kelompok lain. Laki-laki itu berbisik kepada mereka, dan Takeo mendengar kata-ka tanya dengan jelas. "Sungguh, aku tak tahan duduk di sebelah Lord Otori saat dia menghadapi hukuman mati. Aku nyaris tidak bisa menikmati pertandingan karena mengasihani dirinya!" "Kabarnya pertandingan ini hanyalah alasan baginya untuk mengundurkan diri tanpa kalah dalam perang. Lord Otori tidak keberatan, maka kita tak perlu iba padanya." Kemudian kesunyian melanda seluruh arena sewaktu Shigeko memasuki lingkaran dan Ashige mulai berderap. Takeo hampir tidak sanggup memandang putrinya, namun ia juga tak mampu memalingkan wajah. Setelah peserta laki-laki, putrinya terlihat kecil dan rapuh.

Meskipun penonton bersorak-sorai, gonggongan anjing yang ketakutan, dan ketegangan yang makin meningkat, baik si kuda maupun penunggangnya tampak benarbenar tenang. Gaya berjalan si kuda cepat d an mulus. sedang si penunggang duduk tegak dan tenang. Busur miniatur dan anak panahnya me mbuat penonton terkesima, dan berubah menjadi kekaguman saat anak pertama menyentuh pelan bagia n samping tubuh anjing buruan. Anjing itu, terluka atau ketakutan, mengibaskan ana k panah itu seakan hanya lalat. Kemudian anjing itu seperti menganggap kalau ini adalah permainan ya ng menyenangkan. Anjing itu berlarian mengitari lingkaran di waktu yang bersamaan d engan si kuda: Shigeko membungkuk dan melepaskan anak panah kedua seolah benda itu adalah tangan nya dan tengah mengelus leher hewan itu. Si anjing menggelengkan kepala dan mengibaskan ekor. Shigeko mendesak kudanya untuk berderap lebih cepat dan anjing itu berlari tungga ng-langgang, moncong menganga, telinga melambai-lambai. Mereka mengitari arena sebanyak tiga kali seperti ini; kemudian Shigeko menarik kudanya berhenti di depan Kaisar. Anjing itu duduk di b elakangnya, berjingkrakan. Shigeko membungkuk dalam dalam, membuat kudanya berderap lagi, berjalan memutar semakin mendekati anjing y ang duduk memerhatikan, memutar kepalanya, dengan lidah merah mudanya terjulur. Anak panah ketiga terbang lebih cepat namun tak kurang lembutnya, mengenai anjing itu nyaris tanpa suara tepat di bawah kepalanya. Takeo tak kuasa mengagumi putrinya, kekuatan dan kemahirannya yang diperkuat den gan kelembutan. Dirasakan pelupuk matanya menghangat, dan takut kalau rasa bangga ak an menghilangkan kesedihannya. Takeo mengerutkan dahi lalu menahan agar wajahnya te tap tanpa ekspresi, tidak menggerakkan satu otot pun. Halaman 239 dari 600

Saga Hideki, peserta terakhir, kini menunggang kuda memasuki lingkaran berpasir putih. Kuda coklat kemerahan itu menarik-narik besi yang dipasang di mulutnya, melawan penunggangnya , namun lakilaki itu mengendalikan kuda dengan mudah. Saga mengenakan jubah hitam, berhia skan bulu anak panah di bagian punggungnya, dan kulit rusa di kedua paha untuk melindungi kakinya, ekor pendeknya menggantung hampir menyentuh tanah. Saat aga Hideki, peserta terakhir, kini menunggang kuda memasuki lingkaran berpasir p utih. Kuda coklat kemerahan itu menarik-narik besi yang dipasang di mulutnya, melawan penunggangnya , namun lakilaki itu mengendalikan kuda dengan mudah. Saga mengenakan jubah hitam, berhia skan bulu anak panah di bagian punggungnya, dan kulit rusa di kedua paha untuk melindungi kakinya, ekor pendeknya menggantung hampir menyentuh tanah. Saat dia mengangkat busur, penonton menghembuskan napas; ketika dia menaruh anak panah , mereka menahan napas. Kudanya berderap, buih dari mulutnya beterbangan. Anting dilepas: menggonggong dan melolong, tubuh anjing itu terhempas ke tanah. Anak panah Saga terbang lebih cepat dari pandangan mata, mendapat nilai sempurna; ke bagian samping tubuh si anjing dan b erhasil menjatuhkannya. Si anjing berusaha bangkit terhuyung-huyung dan kebingungan. Muda h bagi Saga untuk menembaknya lagi dengan anak panah kedua, sekali lagi ddak membuat anjing i tu berdarah. Matahari sudah di ufuk barat, hawa kian panas, bayangan kian memanjang. Meskipun orang-orang berteriak, anjing melolong, dan anak-anak menjerit, namun Takeo tenang sedingin es. Perasaan itu mematikan semua perasaannya, menutupi semua kesedihan, penyesalan dan amarah. Di saksikannya dengan perasaan tanpa memihak selagi Saga menderapkan kuda mengitari lingkaran l agi, seorang laki-laki dengan pengendalian jiwa dan raga yang sempurna. Pemandangan itu tampa k seperti dalam mimpi. Anak panah terakhir melesat di samping badan si anjing lagi dengan suara yang nyaris tak te rdengar. Pasti keluar darah, pikirnya, tapi bulu putih si anjing atau pasir berwarna pucat itu tetap b ersih. Semua orang terdiam. Takeo merasakan semua mata tertuju pada dirinya, meskipun i a tidak memandang siapa pun. Telah dirasakannya kekalahan di tenggorokan, perut, hingga empedunya. Saga dan Shigeko setidaknya seri. Dua seri dan satu menang Saga akan meraih kemen angan. Tiba-tiba, di depan matanya, seolah masih terus bermimpi, di pasir putih arena m ulai tercemar warna merah. Anjing tadi mengalami pendarahan hebat, dari mulut dan anusnya. Penonton b

erseru kaget. Punggung anjing itu melengkung, mencecerkan darah berbentuk melengkung di pasir, mendengking satu kali, lalu mari. Tenaga Saga terlalu besar, pikir Takeo. Dia tidak bisa menundukkan kekuatan lakil akinya: dia bisa melambatkan anak panah, namun tak mampu mengurangi tenaganya. Dua tembakan perta ma telah menghancurkan organ tubuh anjing itu dan membunuhnya. Takeo seperti mendengar teriakan dan sorak sorai yang berasal dari tempat jauh. Perlahan ia bangkit, menatap ke ujung arena, tempat Kaisar duduk di balik tirai bambu. Pertandingan b erakhir seri: kini keputusan ada di tangan Kaisar. Perlahan-lahan penonton terdiam. Para peserta men unggu, diam tak bergerak: kelompok merah di bagian timur, sementara kelompok putih di bagian barat. Bayangbayang panjang kaki kuda terbentang melintasi arena. Anjinganjing masih saja menyalak da ri balik kandang, tapi tidak ada suara lain. Takeo menyadari kalau selama pertandingan orang-orang telah menjauhinya, tak ingi n menyaksikan terlalu dekat penghinaan terhadap dirinya, atau berbagi takdirnya yang tidak mengu ntungkan. Kini ia menunggu seorang diri untuk mendengarkan hasilnya. Terdengar bisikan dari balik tirai, tapi Takeo sengaja menutup pendengarannya. H anya saat Menteri muncul dari balik tirai dan dilihatnya pandangan resmi pertama tertuju pada Shige ko, dan kemudian, pandangan yang lebih gugup, tenuju pada Saga, Takeo merasa ada secercah harapan. "Karena kelompok Lady Maruyama tidak menumpahkan darah, Kaisar menganugerahkan kemenangan kepada kelompok putih!" Takeo berlutuT dan menyembah. Kerumunan penonton bersorak menyetujuinya. Ketika T akeo duduk tegak, seketika dilihatnya ruang di sekelilingnya telah dipenuhi orang yan g berhambur menghampiri untuk memberinya selamat, ingin dekaT dengannya. Ketika berita itu me nyebar ke seluruh penjuru arena dan di luarnya, nyanyian pun mulai terdengar lagi. Halaman 240 dari 600

Lord Otori telah muncul di ibukota; Kuda-kudanya menggetarkan tanah kami. Putrin ya meraih kemenangan besar; rd Otori telah muncul di ibukota; Kuda-kudanya menggetarkan tanah kami. Putrinya meraih kemenangan besar; Lady Maruyama tidak menumpahkan darah. Pasir tetap putih. Anjing pun tetap putih . Para penunggang putih menang. Tiga Negara hidup dalam damai; Begitu pula Delapan Pulau Takeo memandang ke arah Saga, dan melihat bangsawan itu juga tengah menatapnya. Tatapan mata mereka bertemu, dan Saga menundukkan kepala sebagai pengakuan atas kemenangan itu . Ini tidak seperti dugaannya, pikir Takeo, lalu teringat kata-kata Minoru. Saga berharap bisa menyingkirkan diriku tanpa be rperang, namun dia gagal. Dia akan memanfaatkan alasan apa pun untuk mengingkari janjinya. *** Lord Saga telah merencanakan mengadakan jamuan makan besar untuk merayakan kemen angannya yang sudah diketahui lebih dulu; jamuan makan memang dilakukan seperti yang dire ncanakan, namun berbeda dengan kegembiraan tulus di jalan-jalan di kota, perayaan tersebut tidak sepenuhnya tulus. Kendati begitu, tata krama tetap berlaku, dan Saga mengumbar sanjungannya kepada Lady Maruyama; semakin jelas kalau dia menginginkan pernikahan itu lebih dari sebelum nya. "Kita akan menjadi sekutu, dan Anda akan menjadi ayah mertuaku," ujar Saga, tert awa dengan kegembiraan yang dipaksakan. "Walaupun aku percaya usiaku lebih tua beberapa tah un." "Aku akan senang sekali memanggil Anda putraku," sahut Takeo, dengan agak terceng ang selagi kata-kata itu meluncur dari mulutnya. "Tapi kita harus menunda pengumuman pertunangan sampai putriku meminta p endapat klannya. Termasuk ibunya." Takeo melihat sekilas ke arah Lord Kono dan ingin tah u reaksi jujur bangsawan itu, di balik sikap sopan yang ditunjukkannya; pesan apa yang akan ora ng itu kirim pada Zenko tentang hasil pertandingan ini, dan apa yang tengah dilakukan Zenko? Jamuan berlangsung hingga larut malam: bulan sudah muncul dan bintang-bintang ta mpak besar, cahayanya berpencar dan berkabut dengan lembapnya udara.

"Aku minta kalian semua tidak pergi tidur dulu," ujar Takeo ketika mereka kembal i ke kediaman. Ia membimbing Shigeko, Gemba dan Hiroshi ke ruangan paling terpencil di kediaman it u. Semua pintu terbuka lebar; air bergemericik di taman dan sesekali nyamuk berdengung. Minoru dipanggil. "Ayah, ada apa?" tanya Shigeko segera. "Apakah ada kabar buruk dari rumah Ibu? Adik bayiku?" apakah

"Minora akan membacakannya," sahut Takeo, dan memberi isyarat agar si jurutulis mulai membaca. Minora membaca tanpa perasaan, dengan sikap dinginnya seperti biasa, tapi perasaan mereka bertiga tidak kurang bergola knya. Shigeko menangis terang-terangan. Hiroshi terduduk pucat pasi, seolah terkena pukulan di dadanya lalu terhuyung-huyung. Gemba berdengus keras lalu berkata, "Kau merahasiakan ini sehar ian?" "Aku tidak ingin konsentrasi kalian terpecah. Aku tak menduga kalian akan menang. Bagaimana aku harus berterima kasih kepada kalian? Kalian tadi sangat luar biasa!" Takeo bicar a dengan berlinang air mata penuh perasaan. "Beruntung Kaisar cukup terkesan padamu dan tak ingin menyinggung dewa-dewa denga n memutuskan untuk menentangmu. Segalanya bercampur aduk untuk meyakinkan dirinya b ahwa kau memiliki restu dari Surga." "Kurasa dia memutuskan ini agar mendapatkan orang yang bisa mengimbangi kekuatan Saga," sahut Takeo. Halaman 241 dari 600

"Itu juga," Gemba setuju. "Tentu saja, dia manusia setengah dewa tapi juga tak berb eda dengan kita semua, termotivasi oleh gabungan antara idealisme, pragmadsme, penyelamatan diri sendiri dan niat yang Itu juga," Gemba setuju. "Tentu saja, dia manusia setengah dewa tapi juga tak berbe da dengan kita semua, termotivasi oleh gabungan antara idealisme, pragmadsme, penyelamatan diri sendiri dan niat yang baik!" "Kemenangan kalian membuat Kaisar berpihak pada kita," ujar Takeo. "Tapi kematian Taku berarti kita harus segera kembali. Zenko harus dihadapi sekarang juga." "Ya, kurasa kini waktunya kita pulang," sahut Gemba. "Bukan hanya karena Taku, t api demi mencegah kekacauan lebih jauh lagi. Ada satu hal lagi yang tidak beres." "Berkaitan dengan Maya?" tanya Shigeko dengan ketakutan yang terdengar dalam nad a suaranya. "Mungkin," sahut Gemba tanpa berkata lagi. "Hiroshi," ujar Takeo. "Kau telah kehilangan sahabat terdekatmu... Aku menyesal. " "Aku berusaha menahan keinginanku untuk balas dendam." Suara Hiroshi terdengar p arau. "Yang kuinginkan hanyalah kematian Zenko, begitu pula dengan Kikuta Akio dan putranya. Naluriku mengatakan kalau kita haras segera pergi dan memburu mereka tapi Ajaran Houou mena hanku untuk tidak melakukan kekerasan. Lalu bagaimana cara kita menghadapi para pembunu h ini?" "Kita memang akan memburu mereka," sahut Takeo. "Tapi akan dilakukan dengan adil . Aku telah diakui Kaisar, kekuasaanku telah ditegaskan oleh Paduka Yang Mulia. Zenko tidak memiliki lagi dasar hukum yang sah untuk menentangku. Bila dia tidak benar-benar tunduk, kita akan m engalahkannya dalam pertempuran dan dia akan mencabut nyawanya sendiri. Akio akan digantung se perti penjahat biasa. Tapi kita harus pergi secepatnya." "Ayah," ujar Shigeko. "Aku tahu Ayah benar. Tapi tidakkah kepergian yang tergesag esa akan menyinggung Lord Saga dan Kaisar? Dan jujur saja, aku cemas pada keadaan kirin. Kesehatannya merupakan masalah terpenting bagi kelangsungan kedudukan Ayah. Hewan itu akan ke takutan bila kita semua pergi begitu mendadak. Tadinya aku berharap bisa melihatnya tenang dul u sebelum kita pergi.... Mungkin aku bisa tinggal di sini menemaninya?" "Tidak, Ayah takkan meninggalkan dirimu di tangan Saga," sahutnya dengan suara k

eras yang mengejutkan mereka sendiri. "Apakah aku harus menyerahkan semua putriku kepada m usuhmusuhku? Kita telah berikan kirin kepada Kaisar. Kaisar dan orangorangnya yang harus bertanggung jawab atas n asib hewan itu. Kita harus pergi sebelum akhir minggu: kita akan memanfaatkan cahaya bulan antar a bulan sabit dan bulan purnama untuk melakukan perjalanan." "Kita akan berkuda di tengah hujan, dan mungkin tak melihat bulan sama sekali," gumam Hiroshi. Takeo berpaling ke arah Gemba. "Gemba, kau telah membuktikan kalau dirimu tahu s egalanya sejauh ini. Apakah Surga masih terus berpihak pada kita dengan menunda hujan plum?" "Kita lihat saja apa yang bisa kita lakukan," sahut Gemba berjanji sambil senyum, di sela-sela air matanya.* Sejak Takeo memintanya mengambil alih kepemimpinan Tribe, Muto Shizuka telah mel akukan perjalanan ke hampir seluruh Tiga Negara. Dia mengunjungi desa-desa tersembunyi d i pegunungan dan rumah-rumah pedagang tempat kerabatnya menjalankan berbagai usaha: membuat s ake, fermentasi kedelai, peminjaman uang, hingga kegiatan mata-mata. Hierarki kuno Tr ibe masih tetap Halaman 242 dari 600

ditegakkan dengan struktur vertikalnya serta kesetiaan tradisional keluarga, yan g berarti bahkan dalam kalangannya sendiri. Tribe menyimpan rahasia dan sering bertindak dengan c ara mereka sendiri. itegakkan dengan struktur vertikalnya serta kesetiaan tradisional keluarga, yang berarti bahkan dalam kalangannya sendiri. Tribe menyimpan rahasia dan sering bertindak dengan c ara mereka sendiri. Seperti biasa Shizuka disambut dengan sopan santun terta penghormatan, namun ia sadar ada sakit hati terhadap posisi barunya: andai Zenko mendukung, keadaannya pasti berbeda; t api sadar selagi putranya itu masih hidup, maka ketidakpuasan di dalam keluarga Muto bisa berkemb ang menjadi sikap membangkang. Karena alasan itulah dia merasa berkewajiban untuk mempertahankan kontak dengan semua kerabatnya, beru saha agar mereka tetap setia kepadanya, dan menentang putra sulungnya. Shizuka tahu betul kalau ada rahasia yang disimpan dan ketidakpatuhan berkembang di kalangan Tribe; karena, bertahun-tahun lalu, dia pernah mengungkapkan cara kerja pekerjaa n Tribe kepada Shigeru, dan catatan terperinci itu yang memungkinkan Takeo mengalahkan dan meng endalikan Tribe. Kenji sudah tahu tindakannya itu, dan telah memilih untuk mengabaikan sat u hal yang bisa disebut pengkhianatan; tapi Shizuka sendiri selalu ingin tahu siapa lagi yang mu ngkin mencurigai dirinya. Orang-orang di kalangan Tribe memiliki ingatan yang panjang, dan juga s abar dan pantang menyerah ketika berkaitan dengan balas dendam. Tak lama setelah Takeo berangkat ke Miyako, Shizuka bersiap pergi lagi, pertama ke Yamagata lalu ke Kagemura di pegunungan di belakang Yamagata, kemudian ke Hofu. "Kaede dan bayi laki-lakinya kelihatan sangat sehat, aku merasa aku bisa pergi sebelum hujan plum tiba," tutur Shizuka pada suaminya. "Kau ada di sini untuk me rawat mereka, kau tak boleh bepergian dengan Fumio tahun ini." "Bayi ini sangat kuat," sahut Ishida setuju. "Tapi kau takkan tahu apa akan terj adi pada bayi: cengkeraman mereka pada kehidupan masih lemah, dan bisa terlepas tanpa terduga. Tapi bayi ini tampak seperti pejuang cilik." "Dia adalah ksatria sejati," sahut Shizuka. "Kaede amat memujanya!" "Belum pemah aku melihat seorang ibu begitu terpesona pada anaknya sendiri," aku Ishida. Kaede hampir tidak sanggup berpisah dari anaknya. Dia merawatnya sendiri, yang t

idak dilakukannya pada anak-anaknya yang lain. Shizuka melihat itu dengan rasa iri bercampur iba: k onsentrasi penuh si bayi mengisap puting susu ibunya, perlindungan sang ibu yang sama kuatnya. "Anak ini akan diberi nama siapa?" tanyanya. "Kami belum memutuskan," jawab Kaede. "Takeo sangat suka nama Shigeru, tapi nama itu berkaitan dengan hal-hal yang menyedihkan, dan kami telah memiliki Shigeko. Mungkin nama Otori yang lainnya, Takeshi, Takeyoshi. Tapi anak ini takkan diberi nama sampai berusia dua tahun nanti. Aku memanggilnya singa kecilku." Shizuka teringat betapa ia amat sayang kepada kedua putranya saat mereka masih k ecil, merenungkan kekecewaan dan kecemasan yang mereka timbulkan saat ini. Sewaktu menikah dengan Ishida, Shizuka berharap bisa punya anak lagi, tapi tahunt ahun berlalu dan ia tidak juga hamil. Kini ia jarang mendapat haid; kesempatannya hampir habi s: dan tentu ia tak ingin harapannya terkabul. Ishida tidak punya anak dari pernikahan sebelumnya: is trinya sudah meninggal bertahun-tahun lamanya; meski tadinya dia ingin menikah lagi, tapi tak satu pun calon yang diterima oleh Lord Fujiwara. Ishida adalah laki-laki yang penuh cinta, serta san gat baik hati. Shizuka pernah mengatakan kepada Takeo, kalau ia cukup bahagia hidup tenang bersama Ishi da di Hagi dan bisa terus mendampingi Kaede. Tapi sejak menyetujui untuk menjadi ketua keluarga Muto dan Tribe, tugas itu menyita tenaga dan waktunya. Itu juga berarti ada banyak persoalan yang tak bisa dibicarakannya dengan Ishida: Halaman 243 dari 600

Shizuka mencintai suaminya, dan suaminya itu memiliki banyak sifat baik yang dik aguminya, tapi tutup mulut tidak termasuk di dalamnya. Ishida tidak terlalu memikirkan mana yang bisa dibicarakan dengan orang banyak serta mana yang harus dirahasiakan. Sake bahkan bisa lebih m elonggarkan lidahnya, dan bisa saja lupa dengan apa yang telah diocehkannya di malam sebelum nya. Ishida menyukai semua kesenangan dari kedamaian makanan yang berlimpah, kebebasannya untu k bepergian, berinteraksi dengan orang asing, bendabenda indah yang mereka bawa dar i bagian dunia lain hingga pada tahapan tidak ingin menghadapi kenyataan bahwa kedamaian se lalu berada di bawah ancaman, bahwa tidak semua orang bisa dipercaya, bahwa musuh bisa saja berada dalam lingkungan keluarganya sendiri. hizuka mencintai suaminya, dan suaminya itu memiliki banyak sifat baik yang dika guminya, tapi tutup mulut tidak termasuk di dalamnya. Ishida tidak terlalu memikirkan mana yang bisa dibicarakan dengan orang banyak serta mana yang harus dirahasiakan. Sake bahkan bisa lebih m elonggarkan lidahnya, dan bisa saja lupa dengan apa yang telah diocehkannya di malam sebelum nya. Ishida menyukai semua kesenangan dari kedamaian makanan yang berlimpah, kebebasannya untu k bepergian, berinteraksi dengan orang asing, bendabenda indah yang mereka bawa dar i bagian dunia lain hingga pada tahapan tidak ingin menghadapi kenyataan bahwa kedamaian se lalu berada di bawah ancaman, bahwa tidak semua orang bisa dipercaya, bahwa musuh bisa saja berada dalam lingkungan keluarganya sendiri. Maka Shizuka tidak mengutarakan pada suaminya tentang Taku dan Zenko, dan Ishida pun sudah hampir melupakan malam di Hofu ketika dalam keadaan mabuk diungkapkannya kepada Z enko, Hana dan Lord Kono tentang teori kekuatan pikiran manusia, serta efek menyembuhk an diri sendiri dengan percaya kepada ramalan, dan bagaimana semua ini berlaku pada diri Takeo. Sunaomi dan Chikara sedih atas kepergian Shizuka, tapi ibu mereka, Hana, diharap kan berada di Hagi sebelum akhir bulan, dan mereka berdua terlalu disibukkan dengan pendidikan dan latihan untuk bisa merindukan neneknya. Sejak mereka berdua tinggal di Hagi, Shizuka mengamati keduanya dengan cermat untuk melihat apakah ada tanda kemampuan yang berkembang, tapi kedua anak itu kelihatan layaknya putra ksatria, tak berbeda dari anak lelaki seusia mereka yang berlatih bersama mereka, saling bersaing dan bertengkar. Kaede memeluk, memberinya jubah baru dengan tudung model baru dan seekor kuda da ri istal, kuda

betina yang sudah sering ditunggangi Shizuka. Ia merasa lebih mudah mendapatkan kuda ketimbang teman seperjalanan: tersadar kalau ia merindukan Kondo Kiichi yang bisa menjadi t eman yang sempurna untuk perjalanan semacam ini, dengan keahlian bertarung dan kesetiaanny a; disesalinya kematian Kondo, dan ia pun mendoakannya. Ia menolak tawaran Kaede untuk dikawal ksatria Otori, dan memilih Bunta sebagai teman perjalanan. Bunta dulu menjadi informannya yang bekerja sebagai pelayan di kediaman Lady Mar uyama Naomi, dan menetap di Inuyama setelah kematian majikannya itu. Setelah perang dan gempa, la ki-laki itu menemukan jalannya ke Hagi, dan sejak saat itu bekerja melayani keluarga Otori. Usianya beberapa tahun lebih muda dari Shizuka, berasal dari keluarga Imai. Penampilannya kalem d an pendiam, namun sebenarnya dia pencopet ulung, pendongeng dengan keterampilan mengorek inf ormasi, dan jago sumo dan petarung tangan kosong yang tangguh. Masa lalu yang mereka lalui b ersama telah menciptakan ikatan antara mereka berdua, dan Shizuka merasa bisa memercayainya. Sepanjang musim dingin Bunta telah membawakannya potongan-potongan kecil informa si, dan begitu salju mencair, dia pergi ke Yamagata atas permintaan Shizuka untuk mencari infor masi. Kabar yang dibawanya sungguh mengganggu: Taku belum kembali ke Inuyama dan masih di Hofu; Z enko terlibat hubungan erat dengan Kikuta dan menganggap dirinya sebagai ketua Muto; keluarga Muto berbeda pendapat. Masalah i ni telah ia bicarakan dengan Takeo, tapi mereka belum memutuskan apa pun. Kelahiran putranya , persiapan untuk perjalanan ke Miyako telah menyita perhatian Takeo. Kini Shizuka merasa ber kewajiban untuk bertindak sendiri: berusaha mempertahankan agar keluarga Muto tetap setia dan mem astikan keamanan si kembar, Maya dan Miki. Shizuka menyayangi mereka berdua seperti putri yang tidak pernah dimilikinya. Di a yang merawat mereka ketika Kaede membutuhkan waktu yang begitu lama untuk memulihkan diri setel ah melahirkan; dialah yang mengawasi semua latihan mereka dengan cara Tribe; dia pu la yang telah melindungi dan membela mereka dari semua orang yang hendak menyakiti mereka. Ia punya harapan lain yang ia tak yakin mampu mewujudkannya, tujuan yang pernah diajukan namun ditolak Takeo. Shizuka tak kuasa menahan ingatannya pada Iida Sadamu, dan rencan a untuk membunuh bangsawan itu. Andai dunia sejujur seperti sekarang ini. Ia telah menga takan pada Halaman 244 dari

600

Takeo bahwa sebagai Ketua Muto dan sahabat keluarga Otori, ia menganjurkannya un tuk menyingkirkan Zenko. Ia masih tetap berpegang pada pendapatnya saat memikirkannya dengan pikiran yang jernih. Tapi ketika memikirkannya sebagai seorang ibu... akeo bahwa sebagai Ketua Muto dan sahabat keluarga Otori, ia menganjurkannya unt uk menyingkirkan Zenko. Ia masih tetap berpegang pada pendapatnya saat memikirkannya dengan pikiran yang jernih. Tapi ketika memikirkannya sebagai seorang ibu... Takeo sudah mengatakan kalau dia tak ingin membunuh Zenko, pikirnya. Aku tidak p erlu melakukan hal yang bertentangan dengan keinginannya. Tak seo rang pun akan menyangka usulan it u datang dariku. Tapi di lubuk hatinya, Shizuka mengharapkan anaknya itu mati ditangannya sendiri. Putra Bunta, pemuda berusia lima belas atau enam belas tahun, ikut bersama merek a untuk mengurus kuda, menyediakan makan, dan berkuda di depan untuk mengatur tempat pem berhentian selanjutnya. Cuaca hari itu cerah, jalanan aman dan terawat baik, kota-kota dama i dan sejahtera, makanan berlimpah dan lezat. Shizuka kagum atas semua yang Takeo dan Kaede capai demi kemakmuran dan kebahagi aan negara, dan meratapi hasrat yang haus kekuasaan dan keinginan kuat untuk balas d endam yang mengancamnya. Tapi tidak semua orang tidak menikmati kedamaian dan kemakmuran di negeri ini. K eluarga Muto tempat dia menginap di Tsuwano menggerutu karena berkurangnya status mereka di k alangan pedagang sejak banyak orang yang terlibat dalam perdagangan. Di Yamagata, di ruma h lama Kenji yang kini ditinggali sepupunya, Yoshio, perbincangan selalu soal kemakmuran di m asa lalu, ketika Kikuta dan Muto bersahabat dan semua orang takut dan menghormati mereka. Ia telah mengenal Yoshio sejak kecil karena mereka pernah dilatih bersama. Dia m emperlakiikan Shizuka dengan akrab dan berbicara blak-blakan. Shizuka tak tahu apakah ia bisa mengandalkan dukungan sepupunya ini, tapi setidaknya sepupunya ini bersikap jujur. "Ketika Kenji masih hidup," tutur Yoshio. "Semua orang menghormatinya, dan bisa melihat alasannya untuk berdamai dengan Otori. Takeo memiliki informasi yang bisa menghancurkan Tr ibe, seperti yang dilakukannya sebelumnya di Maruyama. Lalu, banyak hal yang harus ditakukan: membe ri kita waktu, dan menyimpan tenaga. Tapi semakin banyak orang mengatakan kalau tuntutan Kikuia akan keadilan perlu dideng ar: Takeo

bersalah atas penghinaan yang terburuk, lari dari Tribe dan membunuh Ketua dari k eluarganya. Selama bertahun-tahun dia belum dihukum atas perbuatannya, tapi kini Akio dan Arai Zenko siap menghukumnya." "Kenji bersumpah setia pada Takeo atas nama keluarga Muto," Shizuka mengingatkan. "Begitu pula putraku dia telah bersumpah berulang kali. Dan aku memimpin keluarga Muto bukan han ya karena Takeo menunjukku: ini juga keinginan Kenji." "Kenji tak bisa bicara dari dalam kuburnya, kan? Itulah keprihatinan kami aku juj ur padamu, Shizuka. Aku senantiasa kagum dan juga suka padamu, walaupun dulu kau anak yang menyebalkan, tapi kau sudah berubah: bahkan sempat cukup cantik juga!" Yoshio menyeringai dan menuangkan sake lagi untuknya. "Simpan saja pujianmu itu," balasnya, sambil minum sake dengan sekali tenggak. " Aku sudah terlalu tua untuk itu sekarang!" "Kau minum dan bertarung layaknya lakilaki!" seru Yoshio dengan kagum. "Aku pun bisa memimpin layaknya lakilaki," Shizuka meyakinkannya. "Aku tak menyangsikannya. Tapi seperti yang kukatakan, orang-orang di Tribe tersi nggung karena Takeo yang menunjukmu. Masalah dalam keluarga Muto tidak pernah diputuskan oleh bangsawan " "Takeo bukan sekadar bangsawan!" protes Shizuka. "Bagaimana dia mendapatkan kekuasaan? Layaknya bangsawan lain, dengan meraih kes empatan, menghadapi musuhnya dengan kejam, dan mengkhianati mereka yang telah bersumpah s etia kepadanya." Halaman 245 dari 600

"Itu hanya salah satu sisinya!" Itu hanya salah satu sisinya!" "Itu adalah cara Tribe," sahut Yoshio, tersenyum lebar. Shizuka berkata, "Bukti keberhasilan pemerintahannya ada di mana-mana: tanah yan g subur, anakanak yang sehat, pedagang yang kaya." "Ksatria yang frustrasi dan mata-mata yang menganggur," bantah Yoshio, menenggak sakenya lalu mengisi lagi. "Bunta, kau diam saja. Katakan kalau aku benar." Bunta mengangkat mangkuk ke mulutnya dan menatap Shizuka dari pinggiran mangkuknya selagi minum. "Bukan hanya karena Takeo yang menunjukmu, tapi juga ka rena kau perempuan. Ada kecurigaan lain pada dirimu yang jauh lebih berat." Senyum Yoshio hilang, dia duduk dengan bibir terkatup rapat dan menunduk. "Orang-orang ingin tahu bagaimana Takeo menemukan Tribe di Maruyama padahal dia belum pernah ke sana. Menurut kabar, Lord Shigeru memiliki catatan informasi tentang Tribe; o rang tahu kalau Lord Shigeru dan Kenji berteman, tapi Shigeru tahu jauh lebih banyak tentang Tribe da ri yang bisa dia tahu dari Kenji. Pasti ada orang yang memberi informasi padanya." Kedua orang itu meliriknya, namun ia tidak bereaksi. "Orang-orang yang mengatakan kaulah yang memberi informasi itu, dan itulah alasa nnya Takeo menunjukmu sebagai ketua Muto, sebagai imbalan atas pengkhianatanmu selama bertah un-tahun." Kata-kata itu menggantung di udara bak sebuah pukulan. "Maaf," imbuh Bunta cepat. "Aku bukannya mengatakan kalau aku salah satu dari mer eka; aku hanya ingin memperingatkan mu. Tentu saja Akio akan memanfaatkan desas-desus ini." "Itu sudah lama sekali," sahut Shizuka dengan nada ringan. "Selama Iida berkuasa , dan selama perang, banyak yang bertindak yang dapat dianggap sebagai pengkhianatan. Ayah Ze nko menyerang Takeo setelah bersumpah bersekutu dengannya, namun siapa yang bisa menyalahkannya ? Semua orang tahu cepat atau lambat Arai akan melawan Otori untuk mengendalikan Tiga Ne gara. Otori menang: Tribe juga merasakan kemenangannya, seperti yang sudah kita lakukan, dan kita akan terus begitu." "Uhh," gerutu Yoshio. "Sekarang nampaknya Arai akan menentang Otori lagi. Tidak a da yang berpikir kalau Takeo akan mengundurkan diri dengan sukarela, apa pun hasil pertan dingan di

Miyako. Dia akan kembali dan bertempur. Dia bisa saja mengalahkan Zenko di Barat , dan kemungkinan, meski sedikit peluangnya, mengalahkan Saga di Timur. Dia tak bisa m enang melawan mereka berdua. Kita harus memihak pada pemenangnya...." "Lalu Kikuta akan balas dendam," ujar Bunta. "Mereka sudah lama menanti. Akan terlihat kalau tidak ada yang bisa lepas dari Tribe." Shizuka mendengar kata-kata ini seperti gema. Ia pernah mengucapkan kata-kata ya ng sama tentang masa depan Takeo pada Kaede bertahun-tahun lalu di Terayama. "Kau bisa menyelamatkan diri, Shizuka, dan kemungkinan juga keluarga Muto. Yang mesti kau lakukan hanyalah mengakui Zenko sebagai ketua keluarga. Kami melepaskan diri dar i Takeo sebelum dia kalah; kami tak ingin terpuruk bersamanya, dan rahasia apa pun yang kau simpan d i masa lalu akan tetap tersimpan rapat-rapat." "Taku takkan setuju," sahut Shizuka menyuarakan pikirannya. "Dia akan setuju bila kau yang suruh, sebagai ketua dan sebagai ibunya. Dia tida k punya pilihan. Taku bisa berpikir dengan akal sehat. Dia akan memahami kalau ini demi yang terbaik. Zenko akan membayar upeti pada Saga, Tribe akan bersatu lagi, kita akan dapatkan kembali ke kuatan kita. Halaman 246 dari 600

Karena Saga berniat menyatukan Delapan Pulau di bawah kekuasaannya, kita akan pu nya pekerjaan yang menarik dan menguntungkan selama bertahun-tahun yang arena Saga berniat menyatukan Delapan Pulau di bawah kekuasaannya, kita akan pun ya pekerjaan yang menarik dan menguntungkan selama bertahun-tahun yang akan datang." Dan aku tak perlu membunuh putraku, pikir Shizuka. *** Shizuka berangkat ke desa Muto, Kagemura, keesokan harinya. Malam sebelumnya bul an purnama dan ia berkuda dengan murung, kesal dengan perbincangan semalam. Ia takut kalau keluarga Muto di situ juga akan mendesaknya untuk mengambil jalan yang sama. Bunta hanya bicara se dikit, dan Shizuka merasa marah dan tidak nyaman dengan lakilaki itu. Sudah berapa lama Bunt a curiga? Apakah sejak pertama kali orang itu melaporkan tentang hubungan Shigeru dengan Ma ruyama Naomi? Selama bertahun-tahun ia takut pengkhianatannya akan terungkap, namun sej ak mengakui perbuatannya pada Kenji, dan dimaafkan, rasa takut itu berkurang. Kini rasa takut itu muncul lagi, membuatnya waspada yang tidak ia lakukan selama bertahun-tahun, siap bertarung m embela diri. Ditemukan dirinya mengira-ngira tentang Bunta dan anaknya, berusaha memikirkan c ara untuk menghabisi mereka kalau mereka berbalik menentangnya. Shizuka masih berlatih setiap hari, tapi ia sudah tak muda lagi; ia bisa mengalahkan banyak laki-laki dengan pedang namun juga sadar kalau ia tid ak bisa menandingi kekuatan fisik mereka. Hari menjelang malam ketika mereka tiba di penginapan. Pagi harinya ia meninggal kan bocah itu dan kuda di belakang. Ia berjalan kaki seperti yang pernah ia lakukan bersama Kondo, melintasi pegunungan. Shizuka tak tidur karena gelisah. Ia hampir tak bisa menahan diri un tuk menangis. Tiada henti ia memikirkan Kondo: ia pernah bercinta dengan orang itu di tempat ini; ia tidak mencintai Kondo; ia mengasihani orang itu. Kemudian Kondo muncul lagi saat ia mengira hidu pnya akan berakhir, hanya untuk melihat orang terbakar hidup-hidup di depan matanya. Sifat Kondo yang sulit menunjukkan perasaan seperti mendapatkan kemuliaan tragis. Alangkah menyedihkan keadaan Kondo saat itu, serta alangkah mengagumkannya! Mengapa ia begitu terharu pada la ki-laki itu kini? Nyaris seperti arwah Kondo tengah menggapai dirinya untuk mengatakan sesuatu, un tuk memper ingatkannya.

Bahkan saat melihat desa Muto di lembah tersembunyi tak mampu membuatnya gembira seperti biasanya. Hari sudah sangat sore ketika mereka sampai, matahari mulai tenggelam di balik gugusan pegunungan terjal, kabut mulai menyelimuti lembah lagi. Saat itu hawa terasa din gin, membuatnya senang dengan jubah bertudung yang dipakainya. Gerbang desa tampak dibuka dengan rasa enggan. Bahkan rumah-rumah di dalamnya berkesan tertutup dan tidak ramah, dinding kayu k elam terkena embun, atap-atap diperberat dengan bebatuan. Kakek dan neneknya sudah lama meninggal: rumah lama kini dihuni keluargakeluarga yang sebaya dengan kedua putranya dan anak-anak; Shizuka tidak mengenal betul mereka, walaup un ia tahu nama, bakat dan sebagian besar rincian dalam hidup mereka. Kana dan Miyabi, kini sudah menjadi nenek, masih mengurus rumah, dan setidaknya mereka menyambut dirinya dengan kegembiraan yang tulus. Shizuka kurang yakin dengan ket ulusan sambutan dari orang lainnya, meskipun anak-anak sangat gembira atas kedatanganny a, terutama Miki. Belum sampai dua bulan sejak terakhir kali bertemu Miki: ia terkejut dengan peru bahan gadis itu. Miki lebih tinggi dan agak kurus sehingga tampak lentur dan ramping. Tulang-tulang ta jam di wajahnya kelihatan lebih menonjol dan matanya yang cekung berkilat. Sewaktu mereka berkumpul di dapur untuk menyiapkan makan malam, ia bertanya pada Kana, "Apakah Miki pernah sakit?" karena saat musim semi kerapkali terjadi demam menda dak dan sakit perut. Halaman 247 dari 600

"Kau mestinya tidak berada di sini bersama kami!" bentak Kana. "Kau tamu kehormata nKau mestinya tidak berada di sini bersama kami!" bentak Kana. "Kau tamu kehormata n: seharusnya kau duduk bersama para laki-laki." "Aku akan bergabung dengan mereka nanti. Ceritakan tentang keadaan Miki." Kana berpaling ke arah Miki yang tengah duduk di samping perapian, mengaduk sop di panci besi yang tergantung di atas api dengan kaitan besi berbentuk ikan. "Miki memang semakin kurus," sahut Kana setuju. "Tapi dia tidak mengeluh, bukan begitu, 'nak?" "Dia tidak megeluh," imbuh Miyabi tertawa. "Miki setangguh laki-laki. Kemarilah Miki, biarkan Shizuka memegang len ganmu." Miki datang dan berlutut di dekat Shizuka tanpa bicara. Shizuka mencengkeram len gan bagian atas gadis itu. Dirasakakannya lengan itu sekeras baja, tidak ada daging, hanya otot dan tulang. "Apakah semuanya baik-baik saja?" Miki mengangguk. "Ayo berjalan-jalan bersamaku: kau bisa ceritakan apa yang membuatmu sedih." "Dia akan bicara padamu saat tidak ingin bicara dengan orang lain," ujar Kana de ngan suara pelan. "Shizuka," bisik Miyabi bahkan lebih pelan lagi. "Waspadalah. Para pemuda...." M iyabi melirik sekilas ke ruang utama rumah tempat suara-suara laki-laki terdengar samarsamar, meski Shi zuka bisa mengenali suara Bunta. "Ada yang merasa tidak suka," ujar Miyabi tidak jelas, te rang-terangan takut ada yang menguping. "Begitulah yang diberitahukan kepadaku. Di Yamagata dan Tsuwano juga sama. Aku a kan melanjutkan perjalanan ke Hofu, tempat aku akan bicarakan keadaan ini dengan kedua putraku. Aku akan pergi satu atau dua hari lagi." Miki masih berlutut di dekatnya, dan Shizuka mendengarnya menghela napas pelan d an merasakan kalau gadis itu semakin tegang. Dirangkulnya Miki, tercengang dengan tajam dan r apuhnya tulang di balik kulitnya, tak ubahnya sayap burung. "Ayo, pakai sandalmu. Kita akan jalanjalan ke biara dan memberi salam kepada dewa -dewa."

Kana memberi Miki sedikit kue mochi sebagai sesaji bagi dewa-dewa. Shizuka membuk a tudung jubahnya; cuaca terasa dingin. Bulan bersinar redup menyinari udara yang berkabu t, membuat bayang-bayang di se-panjang jalan dan di balik pepohonan yang mengelilingi biara . Walau-pun sudah dua hari sejak purnama bulan keempat, udara masih terasa dingin. Jauh di ketingg ian pegunungan terdengar nyanyian katak dan jangkrik. Hanya seruan burung hantu yang tersendatsendat. Biara diterangi dua lentera di kedua sisi altarnya. Miki menaruh kue mochi di de pan patung Hachiman, dan mereka berdua menepukkan tangan lalu membungkuk hormat tiga kali. Shizuka pernah memanjatkan doa di sini bertahun-tahun yang silam untu k Takeo dan Kaede. Sekarang ia masih memanjatkan permintaan yang sama, dan mendoakan arwah Kondo dan mengucapkan rasa terima kasihnya kepada laki-laki itu. "Apakah para dewa akan melindungi Maya?" tanya Miki, seraya menatap pahatan patu ng di depannya. "Kau sudah memintanya?" "Sudah, aku selalu meminta begitu. Juga untuk Ayah. Tapi aku tidak mengerti baga imana para dewa bisa mengabulkan doa semua orang, saat semuanya menginginkan hal yang berbeda. A ku mendoakan ke-selamatan Ayah, tapi banyak orang lain yang mendoakan kematiannya."

"Inikah yang telah membuatmu kurus, mencemaskan ayahmu?" "Aku berharap bisa bersamanya. Dan Maya juga." Halaman 248 dari 600

"Terakhir kali kita benemu kau sangat gembira, dan baik-baik saja. Apa yang tela h terjadl?" Terakhir kali kita benemu kau sangat gembira, dan baik-baik saja. Ap a yang telah terjadl?" "Aku tidak dapat tidur nyenyak. Aku takut dengan mimpi." "Mimpi apa?" sela Shizuka saat gadis itu membisu. "Mimpi-mimpi saat aku bersama Maya. Dia menjadi si kucing dan aku menjadi bayang annya. Kucing mengambil segala yang ada dalam diriku dan aku harus mengikutinya. Ketika berusah a terus terjaga, aku men-dengar para laki-laki bicara: mereka selalu membicarakan hal ya ng sama, tentang keluarga Muto, dan apakah Ketua bisa dijabat oleh perempuan, dan Zenko juga Kiku ta. Dulu aku senang berada di sini. Aku merasa aman dan semua orang menyukaiku. Sekarang para laki-laki terdiam saat aku lewat, dan anak-anak lain menghindariku. Ada apa Shizuka?" "Para laki-laki memang selalu menggerutu. Nanti juga mereka bosan," sahut Shizuk a. "Lebih dari itu," ujar Miki dengan nada mendesak. "Sesuatu yang buruk sedang terj adi. Maya dalam bahaya. Kau tahu bagaimana kami berdua: aku bisa tahu apa yang terjadi pada Maya, begitu juga sebaliknya. Kami selalu begitu. Aku bisa merasakannya berseru memanggilku, tapi aku tidak tahu di mana Maya berada." "Maya ada di Hofu bersama Taku dan Sada," sahut Shizuka dengan percaya diri untuk menyembunyikan kegelisahannya sendiri. Ia tahu benar si kembar bisa mengetahui pikiran masing-masing dari jauh. "Maukah kau mengajakku ke sana?" "Mungkin sebaiknya begitu." Tentu saja, pikirnya, aku harus mengajaknya. Aku tak bisa meninggalkannya di sini Orang-orang akan memanfaatkan dia melawan Takto. Semakin cepat aku bicara dengan Taku dan Zen ko, akan semakin baik. Kami harus menyelesaikan masalah kepemimpinan ini sebelum perasaan tidak senang ini makin tak terkendali "Kita akan berangkat lusa." *** Shizuka menghabiskan keesokan harinya untuk berkonsultasi dengan para pemuda yan g kini

membentuk inti keluarga Muto. Mereka memperlakukannya dengan normat dan mendenga rkannya dengan sopan. Silsilah keluarga, sejarah dan bakatnya telah mengendalikan rasa h ormat dan rasa takut mereka. Shizuka lega, terlepas dari usia dan bentuk tubuhnya yang kecil, i a masih bisa mengendalikan mereka. Diulangi lagi niatnya untuk membicarakan masalah kepemimpinan dengan Zenko dan Taku, serta menekankan b ahwa ia takkan turun dari jabatannya sebagai Ketua sebelum Takeo kembali dari wilayah Ti mur. Ia mengatakan bahwa ini keinginan Kenji dan ia mengharapkan kepatuhan total mereka s esuai tradisi keluarga Muto. Tak seorang pun keberatan saat ia mengatakan Miki akan ikut bersamanya, tapi dua hari kemudian di jalan menuju Yamagata, Bunta berkata, "Orang di desa kini tahu kau tidak memerca yai mereka karena kau membawa Miki." "Saat ini aku tidak memercayai siapa pun." Mereka berkuda berdampingan, Miki di depan menunggang kuda anak lelaki Bunta. Shizuka berencana meminjam satu kuda lagi dar i istal Lord Miyoshi di Yamagata. Itu akan membuat mereka berdua lebih leluasa, lebih aman. Shizuka memalingkan wajah lalu menatap langsung ke arah Bunta, menantang laki-la ki itu. "Apa aku salah? Haruskah aku percaya padamu?" "Jujur saja, semua ini hanya masalah apa yang diputuskan Tribe. Aku takkan meng Halaman 249 dari 600

gorok lehermu selagi kau tidur, kalau itu yang kau maksud. Aku sudah lama mengen almu dan lagi, aku tak suka membunuh perempuan." rok lehermu selagi kau tidur, kalau itu yang kau maksud. Aku sudah lama mengenal mu dan lagi, aku tak suka membunuh perempuan." "Jadi beritahu aku lebih dulu sebelum kau mengkhianati diriku," ujarnya. Mata agak Bunta mengerut. "Akan kukatakan." "Suruh Bunta dan putranya pulang," ujar Miki kemudian, ketika mereka tiba di Yam agata dan sedang berdua saja. Tidak ingin tinggal di rumah Muto dengan Yoshio, Shizuka lalu pergi ke kastil. Di sana mereka disambut istri Kahei yang membujuk mereka agar tinggal lebih lama. Saat b ujukannya tidak berhasil, dia lalu menawarkan pen-damping dan juga kuda tambahan. "Sulit untuk memutuskan," ujar Shizuka kepada Miki. "Jika aku kirim mereka pulan g, maka aku tidak punya lagi kontak dengan keluarga Muto selama di perjalanan, dan aku justru sema kin mendorong Bunta untuk menjauhiku; jika kuterima tawaran Lady Miyoshi berarti kita akan bep ergian secara terbuka kau sebagai putri Lord Otori." Miki mengerutkan wajah pertanda tidak menyukai usulan itu. Shizuka tertawa. "Keputusan ini tidak pernah sesederhana yang kau kira." "Mengapa kita tidak pergi berdua saja?" "Dua orang perempuan bepergian tanpa pelayan atau pendamping justru akan lebih m enarik perhatian biasa-nya perhatian yang tidak diinginkan!" "Andai kita dilahirkan sebagai laki-laki!" ujar Miki, dan meski berusaha bicara dengan nada ringan. Shizuka menangkap nada kesedihan di balik kata-katanya. Teringat olehnya rasa sa yang Kaede pada bayi lakilakinya, kasih sayang yang tak pernah ditunjukkan pada putri kembarnya. Ia melihat kesepian yang dialami si kembar: tumbuh dewasa di antara dua dunia. Bila keluarg a Muto berbalik menentang ayah mereka, maka mereka pun akan menolak kehadiran si kembar. Mereka bahkan akan berusaha untuk menghabisi si kembar dan Takeo. "Bunta dan putranya akan ikut dengan kita ke Hofu. Setibanya di sana, Taku akan mengurus kita; kau akan bersama Maya dan kita semua akan aman!" Miki mengangguk dan berusaha tersenyum. Malam itu terjadi gempa kecil, membuat bangunan berguncang dan menyebabkan kebak aran di beberapa bagian kota. Udara tetap terasa penuh debu dan asap saat mereka pergi d engan dua kuda

tambahan, satu ditung-gangi oleh pengurus kuda dari kediaman Miyoshi. Mereka ber temu Bunta dan putranya sesuai rencana, di tepi parit lebar kota, tepat di luar gerbang kastil. "Kau dapat kabar dari Taku?" tanya Shizuka pada Bunta, seraya memikirkan Taku mu ngkin menghubungi keluarga Muto. "Yoshio tidak mendengar kabar apa-apa. Hanya ada laporan bahwa dia masih di Hofu ." Bunta menyeringai dengan kesan tidak senonoh sewaktu mengatakannya, lalu berkedip kepa da putranya yang tertawa. Apakah semua orang tahu kalau putranya tengah tergila-gila pada Sada? Shizuka be rtanya pada dirinya sendiri, merasakan kesal pada putra bungsunya itu. Namun di malam pertama perjalanan mereka, setelah Shizuka dan Miki pergi tidur, Bunta mengetuk pintu dan memanggil namanya pelan. Shizuka mencium bau sake. "Keluarlah. Aku mendengar kabar buruk." Bunta mabuk, sake sudah menghilangkan kepekaan serta membebaskan lidahnya. Shizuka mengambil pisaunya dari bawah tikar dan menyelipkannya di balik jubah ti durnya, sambil merapatkan jubah luarnya. Diikutinya Bunta sampai ke ujung be-randa. Bulan tidak kelihatan; terlalu gelap untuk melihat ekspresi di wajah Bunta. Halaman 250 dari 600

"Mungkin ini hanya rumor, tapi kurasa kau perlu dengar." Dia berhenti sejenak la lu bicara dengan canggung, "Ini bukan berita bagus: kau sebaiknya menyiapkan diri." Mungkin ini hanya rumor, tapi kurasa kau perlu dengar." Dia berhenti sejenak lal u bicara dengan canggung, "Ini bukan berita bagus: kau sebaiknya menyiapkan diri." "Apa?" tanya Shizuka, lebih keras dari yang diingin-kannya. "Taku diserang bandit. Dia dan kekasihnya, Sada, tewas." "Tidak mungkin," ujar Shizuka. "Tidak ada yang tahu detailnya. Tapi orang-orang membicarakannya di kedai." "Ora ng-orang Tribe? Muto?" "Muto dan Kuroda." jawabnya canggung. "Aku turut berduka." Dia tahu kalau berita itu benar, pikirnya, karena ia pun tahu kalau itu benar. S aat merasakan kesedihan yang mendalam selama perjalanan ke Kagemura, ia merasa arwah Kondo ber seru memanggil. Kini Taku berada di antara mereka. Ini bisa membunuhku, pikirnya. Penderitaan yang dirasakannya b egitu menusuk hingga tak tahu bagaimana bisa bertahan, bagaimana ia bisa terus hidup di dunia yang tak ada Taku di dalamnya. Shizuka meraba pisau di jubahnya, bermaksud menikam lehernya sendiri , menyambut rasa sakit di tubuhnya yang bisa mengakhiri penderitaannya. Tapi sesuat u mencegahnya. Shizuka memelankan suara, ingat kalau Miki sedang tidur di dekat situ. "Putri Lo rd Otori, Maya, ada bersama Taku. Apakah dia juga ikut tewas?" "Tidak ada yang menyebut-nyebutnya, " sahut Bunta. "Kurasa tidak ada yang tahu k alau Maya ikut bersama mereka, kecuali keluarga Muto di Maruyama." "Apakah kau tahu?" "Aku dengar ada anak yang dijuluki Si Kucing Kecil bersama Taku. Aku sedang menc ari tahu siapa orangnya." Shizuka tidak menjawab. Ia tengah berjuang mengendalikan diri. Di benaknya melin tas kenangan masa lalu, bayangan pamannya, Kenji, saat mendengar kabar tentang kematian putri nya di tangan Kikuta. Paman, dipanggilnya arwah Kenji. Kau mengerti penderitaan yang kualami saat ini dan kini aku bisa rasakan sakit hatimu. Beri aku kekuatan untuk terus hidup, seperti dirimu.

Maya, aku harus memikirkan Maya. Aku takkan memikirkan Taku, belum saatnya. Aku harus selamatkan Maya. "Apakah kita akan tetap ke Hofu?" tanya Bunta. "Ya, aku harus mencari tahu kebenarannya." Ia memikirkan semua ritual yang harus dilakukan bagi arwah Taku, ingin tahu di mana putranya dikubur. Ia merasakan lilitan penderitaa n sekuat baja menghimpit dadanya saat memikirkan jasad putranya di dalam tanah, dalam kegelapa n. "Zenko ada di Hofu?" tanyanya, merasa kagum ternyata kata-kata itu terlontar dengan tenang. "Ya, istrinya pergi ke Hagi naik kapal laut minggu lalu, tapi dia tidak ikut. Di a tengah mengawasi pengaturan perdagangan dengan orang-orang asing. Dia makin dekat dengan mereka, begitulah beritanya." "Zenko pasti tahu. Bila memang perbuatan bandit, maka dia bertanggung jawab untuk menangkap dan menghukum mereka, dan menyelamatkan Maya bila masih hidup." Namun bahkan saat ia bicara pun, Shizuka tahu kalau putranya tidak tewas dibunuh sembarangan bandit. Dan tak satu pun orang Tribe berani menyentuh Taku kecuali Kikuta. Akio te lah menghabiskan musim dingin di Kumamoto. Akio pasti telah berhubungan dengan Zenko . Halaman 251 dari 600

Shizuka tak percaya Zenko terlibat dalam kematian Taku. Apakah ia akan segera keh ilangan kedua putranya? hizuka tak percaya Zenko terlibat dalam kematian Taku. Apakah ia akan segera kehi langan kedua putranya? Aku tidak boleh menuduh sebelum bicara dengannya. Bunta menyentuh lengan Shizuka dengan ragu-ragu. "Ada yang bisa kubantu? Mau kua mbilkan sake, atau teh?" Ia menarik lengan, membaca sesuatu yang lebih dari sekadar simpati dari gerakan Bunta. Seketika membenci semua laki-laki dengan nafsu dan kekerasan mereka yang berujung pada ke matian. "Aku ingin sendiri. Kita pergi saat matahari terbenam. Jangan katakan apa pun pada Mi ki. Akan kuputuskan kapan akan memberitahunya." "Aku sangat berduka," sahut Bunta. "Semua orang menyukai Taku. Ini benarbenar keh ilangan yang menyedihkan." Ketika langkah kaki Bunta semakin menghilang, Shizuka terpuruk di beranda. Ia mas ih memegang pisau, alat yang bisa ia gunakan untuk lari dari dunia nan penuh derita ini. Terdengar olehnya langkah kaki ringan di lantai papan. Miki mendekat lalu memelu knya erat. "Kukira kau sudah tidur," Shizuka memeluk gadis itu dan membelai rambutnya. "Ketukan pintu tadi membuatku terbangun, lalu aku tak tahan untuk mendengarkan." T ubuh kurusnya gemetaran. "Maya belum mati. Aku pasti tahu kalau dia sudah mati." "Di mana dia? Bisakah kau menemukannya?" Shizuka berpikir bila ia berkonsentrasi pada Maya, pada mereka yang masih hidup, maka ia takkan larut dalam kesedihan. Dan Miki, de ngan kepekaan yang amat tinggi, nampaknya menyadari ini. Miki tidak mengucapkan sepatah kata pu n tentang Taku, tapi membantu Shizuka berdiri. "Kemari dan berbaringlah," katanya, seolah Shizuka adalah anaknya. "Meskipun tid ak bisa tidur, kau bisa beristirahat. Aku ingin tidur karena Maya berbicara padaku dalam mimpi. Cepat atau lambat dia akan mengatakan padaku di mana dia berada, da n kemudian aku akan bertemu dengannya." "Kita harus kembali ke Hagi. Aku harus membawamu pulang." "Tidak, kita harus ke Hofu," bisik Miki. "Maya masih di Hofu. Bila kelak kau tid ak menemukanku, jangan cemas. Aku akan bersama Maya."

Mereka berbaring dan Miki meringkuk di sebelah Shizuka. Gadis itu sepertinya tert idur, namun Shizuka tetap terjaga memikirkan tentang hidup putranya. Semua perempuan di kalan gan Tribe dan ksatria harus membiasakan diri mendengar kabar tentang kematian kejam putra mere ka. Anak lakilaki diajarkan untuk tidak takut mati, dan anak perempuan dilatih untuk tidak menunju kkan kelemahan atau kesedihan. Ia melihat bagaimana kasih sayang seorang ibu yang terlalu melin dungi telah mengubah putranya menjadi pengecut atau mengarahkan mereka bertindak gegabah. Taku telah t iada, ia menangisinya, namun yakin kalau kematian putranya karena tidak ingin mengkhianat i Takeo: Taku dibunuh karena kesetiaannya. Kematiannya bukanlah sesuatu yang tidak disengaja atau tidak bermakna. Dengan cara ini Shizuka sanggup menenangkan serta menguatkan dirinya selama bebe rapa hari berikutnya saat berkuda ke Hofu. Ia bertekad tidak akan bersikap seperti seorang ibu yang kebingungan dan bersedih, tapi bersikap sebagai ketua Muto; ia takkan memperliha tkan kelemahan tapi justru akan mencari tahu bagaimana putranya bisa mati dan menyerei pembunuhn ya untuk dihukum. *** Cuaca panas dan pengap: bahkan angin laut tidak mampu mendinginkan kota pelabuha n itu. Hujan musim semi hanya turun sedikit, dan orang-orang bicara dengan cemas tentang pana snya cuaca yang tidak biasa. Cuaca seperti ini dapat menyebabkan kekeringan karena selama e nam belas tahun Halaman 252 dari 600

atau lebih tidak terjadi kekeringan. Hujan musim semi dan hujan plum senantiasa datang di saat yang tepat sehingga banyak pemuda yang belum pernah mengalami kekeringan. au lebih tidak terjadi kekeringan. Hujan musim semi dan hujan plum senantiasa da tang di saat yang tepat sehingga banyak pemuda yang belum pernah mengalami kekeringan. Suasana di kota terasa menggelisahkan, bukan hanya karena cuaca. Berbagai pertanda yang mengancam dilaporkan setiap har i; wajah-wajah yang bicara tentang takdir buruk terlihat di lentera-lentera di luar biara Daifu kuji; kawanan burung yang terbang membentuk huruf nasib buruk di udara. Segera setelah mereka tiba di sana, Shizuka menyadari kesedihan dan kemarahan yang sebenar-nya dari penduduk kota atas kemat ian Taku. Ia tidak pergi ke kediaman Zenko, tapi menginap di penginapan yang menghadap ke sun gai, tidak jauh dari Umedaya. Di malam pertama, pemilik penginapan menceritakan kalau Taku dan Sada dimakamkan di Daifukuji. Dikirimnya Bunta untuk memberitahu Zenko tentang kedatangannya. Ia bangun pagi-pa gi, meninggalkan Miki yang masih tidur, berjalan ke biara warna merah tua yang berdir i di antara pepohonan suci, menghadap ke laut untuk menyambut kepulangan para pelaut ke Nega ra Tengah. Lantunan doa terdengar dari dalam biara, dan dikenalinya kata-kata suci dan alun an sutra bagi orang meninggal. Dua biarawan tengah menyebarkan air di papan jalan sebelum menyapunya. Salah sat u dari mereka mengenali Shizuka, lalu berkata, "Ajak Lady Muto ke pemakaman. Aku a kan memberitahu Kepala Biara." Dilihatnya simpati mereka, dan ia berterima kasih. Di bawah pepohonan besar terasa dingin. Sang Biarawan membimbingnya ke makam yan g baru digali; belum ada batu nisan; lentera menyala di sisi makam dan sese-orang telah menaruh sesaji bunga iris ungu di depannya. Dipaksa dirinya membayangkan putranya diletakkan dalam peti mati di bawah tanah, tubuh yang kuat dan lincah kini terbujur kaku. Arwah putranya pa sti gentayangan gelisah di antara dua dunia, menuntut keadilan. Biarawan yang kedua datang membawa dupa, dan tak lama kemudian, saat Shizuka ber lutut berdoa tanpa suara, Kepala Biara datang lalu berlutut di sampingnya. Mereka tetap membi su beberapa saat; kemudian Kepala Biara melantunkan suara yang sama bagi orang meninggal. Air mata mengambang di pelupuk matanya dan mengalir turun di pipi. Kata-kata kuno

naik terbang ke bawah naungan pepohonan, bercampur dengan kicau pagi burung gereja serta kicau lembut burung merpati. Kemudian, Kepala Biara mengajaknya masuk ke ruangannya dan menyajikan teh untukn ya. "Aku sendiri yang mengurus pengukiran batu nisannya. Kurasa itulah yang diinginkan Lo rd Otori." Shizuka menatap orang itu. Ia mengenal Kepala Biara selama beberapa tahun, tapi dia selalu dalam suasana hati yang gembira, dia bisa berkelakar dengan para pelaut dalam dialek k asar mereka sama baiknya dengan menggubah syair indah penuh humor bersama Takeo, dan Tabib Ishida. Kini wajahnya murung, dengan ekspresi sedih. "Apakah kakaknya, Lord Zenko, berhubungan dengan semua ini?" tanya Shizuka. "Aku khawatir Lord Zenko telah dipengaruhi orang asing: tidak ada pengumuman resmi , tapi semua orang membicarakannya. Dia telah menerima agama mereka dan kini mengakuinya sebag ai satu agama yang benar. Hal ini membuatnya tidak boleh masuk ke kuil dan biara kami, d an tidak boleh melakukan upacara yang diperlukan bagi adiknya." Shizuka menatap pendeta itu, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Sikapnya sangat meresahkan," lanjutnya. "Sudah ada pertanda kalau para dewa ters inggung. Orang-orang takut mereka akan dihukum dewa atas perbuatan pemimpin mereka. Sebal iknya, orangHalaman 253 dari 600

orang asing itu bersikeras kalau tuhan mereka, Deus, akan memberi pahala bagi Ze nko dan siapa pun yang bergabung dengannya." rang asing itu bersikeras kalau tuhan mereka, Deus, akan memberi pahala bagi Zen ko dan siapa pun yang bergabung dengannya." "Termasuk sebagian besar pengawal pribadinya," imbuhnya, "yang diperintahkan pin dah agama atau mati." "Benar-benar gila," ujar Shizuka, memutuskan untuk bicara dengan Zenko secepatnya . Ia tidak menunggu untuk dipanggil menghadap, namun segera kembali ke penginapan untuk berp akaian rapi dan memesan tandu. "Tunggu di sini," katanya pada Miki. "Bila aku tidak kembali nanti malam, pergil ah ke Daifukuji, mereka akan mengurusmu." Gadis itu memeluknya sangat erat. Zenko keluar menuju beranda begitu tandu diturunkan di dalam gerbang. Ia memaksa dirinya berpikir kalau ia salah menilai putra sutungnya itu. Kata-kata pertama Zenko adalah simpa ti, diikuii ungkapan betapa gembira dia bertemu ibunya, terkejut karena ibunya tidak langsun g menemui dirinya. Pandangan mata Shizuka jatuh ke kalung rosario di leher Zenko, lambang agama ora ng asing, menggantung di dadanya. "Kabar buruk ini merupakan pukulan bagi kita semua," ujarnya, selagi membimbing ibunya berjalan menuju ruangan yang menghadap ke taman. Seorang bocah, cucunya, tengah bermain di beranda, diawasi pengasuhnya. "Kemari dan sapa nenekmu," panggil Zenko, dan anak itu dengan patuh datang lalu berlutut di hadapan Shizuka. Itu pertama kalinya Shizuka bertemu cucunya: usianya kira-kira dua tahun. "Istriku, seperti yang Ibu tahu, sudah ke Hagi untuk menemani kakaknya. Sebenarn ya dia enggan meninggalkan Hinomasa kecil, tapi kukira sebaiknya mempertahankan setidaknya sala h satu putraku bersamaku." "Jadi kau mengakui kalau kau mempertaruhkan nyawa kedua putramu yang lain?" tanya Shizuka pelan. "Ibu, Hana akan bersama mereka dalam dua minggu lagi. Kukira mereka tidak dalam bahaya. Lagipula, aku tidak melakukan kesalahan apa-apa. Tanganku bersih." Diangk at kedua

tangannya lalu mengangkat tangan putranya. "Lebih bersih dari tangan Hinomasa," selorohnya. "Dia punya telapak tangan Kikuta!" seru Shizuka terkejut. "Mengapa kau tidak menc eritakannya?" "Menarik, bukan? Darah Tribe tidak habis terkikis." Zenko tersenyum lebar, dan m emberi isyarat pada pelayan perempuan itu untuk membawa putranya pergi. "Dia mengingatkanku pada Taku," tuturnya, sambil menyeka mata dengan lengan baju. "Satu hal yang menghibur bila ternyata adikku yang malang hidup dalam diri putraku." "Mungkin kau bisa ceritakan siapa yang membunuhnya," ujar Shizuka. "Bandit, tentu saja. Ada penjelasan apa lagi? Aku akan kejar dan adili mereka. T entu saja, dengan Takeo sedang di Ibukota, orangorang yang putus asa semakin berani dan keluar dari persembunyiannya." Jelas sekali kalau Zenko tidak peduli bila ia percaya atau tidak. "Bagaimana kalau kuperintahkan kau untuk memberitahu yang sebenarnya?" Pandangan Zenko menghindar, dan menyembunyikan wajahnya dengan lengan baju lagi. Shizuka merasa kalau putranya itu tidaklah menangis, tapi justru tersenyum, senang denga n keberaniannya sendiri. Halaman 254 dari 600

"Janganlah bicara tentang perintah memerintah, Ibu. Aku akan mematuhi semua kewaj ibanku sebagai anak, tapi dalam hal lain, sudah selayaknya Ibu mematuhiku, sebagai Muto maupun sebagai Arai." Janganlah bicara tentang perintah memerintah, Ibu. Aku akan mematuhi semua kewaji banku sebagai anak, tapi dalam hal lain, sudah selayaknya Ibu mematuhiku, sebagai Muto maupun sebagai Arai." "Aku melayani Otori," sahutnya. "Begitu pula Kenji, dan kau pun telah bersumpah setia padanya." "Ya, Ibu melayani Otori," ujarnya, kemarahannya mulai terlihat. "Itulah yang men jadi masalah selama bertahun-tahun. Kemana pun kita melihat sejarah kebangkitan Otori, kita melihat t angan Ibu dalam penganiayaan Takeo atas Tribe, dalam pembunuhan ayahku, bahkan dalam kematian Lor d Fujiwara kenapa Ibu tega mengkhianati rahasia-rahasia Tribe kepada Shigeru?" "Akan kukatakan kepadamu! Aku menginginkan dunia yang lebih baik bagi kau dan Tak u. Kurasa sudah semestinya kalian hidup di dalam dunia Shigeru, bukan dunia yang berisi pembunuh bayaran yang ada di sek elilingku. Takeo dan Kaede menciptakan dunia itu. Kami takkan membiarkan kau menghancurkannya." "Takeo sudah tamat. Apakah Ibu mengira Kaisar akan berpihak padanya? Kalau pun d ia kembali, kami akan membunuhnya, dan aku akan dinobatkan menjadi penguasa Tiga Negara. Itu hakk u dan aku sudah siap." "Kau sudah siap melawan Takeo, dan Kahei, Sugita, Sonoda sebagian besar ksatria Ti ga Negara?" "Takkan ada perang, yang ada hanyalah kerusuhan. Dengan Saga di wilayah Timur, s ena dukungan tambahan yang kami miliki dari orang-orang asing " Ditepuknya salib di dadanya "Den gan senjata serta kapal mereka, Takeo dapat dikalahkan dengan mudah. Sebenarnya dia juga buk an benarbenar ksatria: semua pertempurannya yang terkenal itu hanya dimenangkan oleh keberuntu ngan ketimbang keahlian." Zenko memelankan suaranya. "Aku dapat melindungi Ibu sampai tahap tertentu, tapi bila Ibu bersikeras menentangku, aku tak bisa menahan keluarga Kikuta. Mereka menuntut Ibu dihukum, atas ketidakpatuhan selama bertahun-tahun terhadap Tribe." "Aku akan bunuh diri terlebih dulu," seru Shizuka. "Mungkin itulah keputusan terbaik," sahutnya, seraya menatap ibunya lekat-lekat.

"Bagaimana kalau kuperintahkan Ibu melakukannya sekarang juga?" "Aku mengandungmu dalam perut selama sembilan bulan." Seketika Shizuka terkenang saat ia menemui Kenji untuk mendapatkan ijin dari Tribe agar bisa melahirkan anak ini. P utranya adalah hadiah bagi kekasihnya: betapa bangganya Arai saat itu. Kini ayah dan anak telah memerintahkan kematiannya. Kemarahan serta kesedihan menyelimuti dirinya: menangis selama seta hun takkan mampu menguranginya. Bisa dirasakannya akal sehatnya bergulir ke tepi kegilaan. Aku be rha rap bisa menca but nyawaku sendiri, pikirnya, tergiur dengan pemusnahan yang disebab kan oleh kematian; hanya nasib si kembar yang mencegahnya. Ia ingin menanyakan keberadaan Maya, tapi takut mengungkap sesuatu yang mungkin Zenko belum tahu. Lebih baik tutup mulut, melakukan apa yang telah ia lakukan seumur hidupnya, bersandiwara sebaik mungkin. Shizuka berjuang membuang perasaannya dan berpurapura bersikap lembut. "Zenko, kau putra sulungku, dan aku ingin menjadi ibu yang baik dan berbakti pad amu. Aku akan memikirkan semua yang kau katakan. Beri aku waktu satu atau dua hari. Biarkan ak u mengatur pemakaman adikmu. Aku tak bisa memutuskan saat diliputi kesedihan." Selama beberapa saat Shizuka mengira kalau putranya akan menolak keinginannya: i a memperkirakan jarak antara taman dan luar dinding, tapi dalam kesunyian ia seper ti mendengar desah napas sesorang adakah penjaga yang bersembunyi di balik layar kasa, di taman ? Apakah dia takut aku akan membunuhnya? Peluangnya lolos kecil. Ia bisa menggunakan kemampua n menghilang: jika para penjaga datang setelah ia mengalahkan seorang penjaga, meng ambil pedang penjaga itu.... Halaman 255 dari 600

Ternyata sisa-sisa rasa hormat masih berhasil membujuknya. "Baiklah," akhirnya Z enko berkata. "Aku akan meminta penjaga mengawal Ibu. Jangan coba-coba kabur, dan jangan sekali-sek ali meninggalkan Hofu. ernyata sisa-sisa rasa hormat masih berhasil membujuknya. "Baiklah," akhirnya Ze nko berkata. "Aku akan meminta penjaga mengawal Ibu. Jangan coba-coba kabur, dan jangan sekali-sek ali meninggalkan Hofu. Ketika masa berkabung selesai, Ibu harus bergabung denganku atau mencabut nyawa I bu sendiri." "Kau akan datang untuk memanjatkan doa bagi adikmu?" Zenko melayangkan tatapan dingin, diikuti gelengan yang tidak sabar. Shizuka tak ingin memaksa karena takut Zenko akan menahannya di sini, mungkin dengan kekerasan. Shizuka me mbungkuk hormat, merasakan kemarahan yang membara dalam dirinya. Saat pergi, ia mendengar suara-suara di ujung beranda utama. Ketika menoleh, ia melihat Don Joao bersama jurubahasany a, Madaren menghampiri. Mereka mengenakan pakaian mewah, dan mereka berjalan dengan rasa pe rcaya diri yang baru. Setelah memberi salam pada Don Joao dengan sikap dingin, Shizuka lalu bicara pad a Madaren, tanpa sopan santun, "Kau pikir apa yang sedang kau lakukan di sini?" Madaren tersipu atas nada bicara Shizuka, tapi berhasil mengumpulkan keberanian lalu menjawab, "Melakukan kehendak Tuhan, layaknya yang kita semua lakukan." Tanpa menjawab Shizuka melangkah masuk ke dalam tandu. Selagi tandu itu digotong pergi dalam pengawalan enam orang, dirutukinya orang-orang asing itu ka rena mengganggu dengan kedatangan senjata dan Tuhan mereka. Ia hampir tidak ingat lagi kata-kata yang terlontar dari mulutnya tadi: kemarahan dan kesedihan membuat ia kacau; bisa dirasakannya peras aan-perasaan itu menarik-narik dirinya menuju kegilaan. Sewaktu tandu diturunkan di luar penginapan, Shizuka tidak segera turun. Ia berh arap bisa tetap berada dalam ruang sempit yang mirip peti mati ini, dan tidak berhubungan dengan orang yang hidup lagi. Tapi ketika memikirkan nasib Miki, tatapan matanya penuh amarah. Bunta berjongkok di beranda, sama seperti saat dia ditinggal, tapi kamar itu kos ong. "Di mana Miki?" tanyanya. "Di dalam," sahut Bunta, terkejut. "Tidak ada orang yang melewatiku, keluar atau masuk."

"Siapa yang membawanya?" jantung Shizuka mulai berdebar kencang ketakutan. "Tida k ada, aku bersumpah." "Sebaiknya kau jangan berbohong," ujar Shizuka, masuk kembali ke kamar itu lagi, mencari dengan sia-sia di tempat-tempat yang paling sempit. Kamar itu kosong, ta pi di satu sudut Shizuka menemukan goresan di balok kayu. Dua buah setengah lingkaran saling berh adapan, dan di bawahnya ada lingkaran penuh. "Dia pergi mencari Maya." Shizuka berlutut di lantai, berusaha menenangkan diri. Miki sudah pergi: menggun akan kemampuan menghilang, menyelinap melewati Bunta lalu pergi menuju kota gadis itu dilatih sel ama bertahuntahun untuk melakukan hal seperti. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk gadis itu saat i ni. Ia duduk lama, merasakan panasnya cuaca hari ini. Peluh mulai mengalir di sela p ayudara dan ketiaknya. Didengarnya para penjaga saling berseru dengan tidak sabar, dan menya dari kalau pilihannya semakin berkurang. Ia tidak bisa menghilang dan membiarkan Taku tidak diratapi, tapi apakah ia harus tinggal di Hofu sampai putranya atau Kikuta memutuskan kematiann ya? Tak ada waktu untuk menghubungi keluarga Muto dan meminta bantuan mereka dan lagipula, apa kah mereka akan menanggapi karena kini Zenko telah menyatakan diri sebagai ketua? Halaman 256 dari 600

Shizuka memanggil para mendiang untuk memberinya saran: memanggil Shigeru, Kenji , Kondo dan Taku. Kesedihan dan keadaan tidak tidur mulai menuntut bayarannya. Ia merasakan napas dingin arwah mereka, Doakan kami Oh, doakan kami. hizuka memanggil para mendiang untuk memberinya saran: memanggil Shigeru, Kenji, Kondo dan Taku. Kesedihan dan keadaan tidak tidur mulai menuntut bayarannya. Ia merasakan napas dingin arwah mereka, Doakan kami Oh, doakan kami. Benaknya yang kelelahan makin mencurahkan perhatiannya pada kata-kata tersebut. Ia akan ke biara dan meratapi mendiang, hingga dirinya menjadi salah satu dari mereka, atau mereka akan mengatakan apa yang harus ia lakukan. "Bunta," panggilnya. "Ada satu tugas terakhir yang kuminta kau lakukan. Pergi da n carikan gunting tajam dan jubah putih untukku." Bunta muncul di teras, wajahnya pucat karena kaget. "Apa yang terjadi? Jangan katakan kalau kau ingin menghabisi nyawamu sendiri." "Sudahlah, lakukan saja permintaanku. Aku harus ke biara dan mengurus nisan sert a ritual pemakaman Taku. Setelah memenuhi permintaanku, kubebaskan kau dari ke wajibanmu untuk melayaniku." Sewaktu Bunta kembali, Shizuka menyuruhnya menunggu di luar. Dibukanya bungkusan itu lalu mengeluarkan gunting. Dia melepas ikatan rambut, dibagi menjadi dua untai lalu m enggunting keduanya, membaringkan jalinan rambutnya dengan hatihati di alas lantai, terkejut memerhatikan betapa banyak ubannya. Lalu diguntingnya sisa rambutnya sampai pendek, merasakan helaiannya berjatuhan di sekelilingnya bak debu beterbangan. Dibuangnya sisa-sisa potongan rambut lalu mengenakan jubah putih. Diambilnya senjata miliknya pedang, pisau, garotte, serta pisau lemparlalu menaruhnya di lantai, di antara dua untaian rambut panjangnya. Membungkuk hingga ke lantai, menghaturkan terima kasih kepada semua senjata dan kepada hidupnya sampai saat i ni; lalu ia meminta dibawakan semangkuk teh, meminumnya lalu me-mecahkan cangkir kosong menj adi dua dengan gerakan cepat. "Aku takkan minum lagi," ujarnya lantang. "Shizuka!" prates Bunta dari teras, tapi Shizuka tidak mengacuhkannya. "Apakah dia sudah tidak waras?" didengarnya putra Bunta berbisik. "Perempuan yan g malang!" Berjalan dengan perlahan dan berhati-hati, Shizuka sampai ke bagian depan pengin

apan. Sekerumunan kecil orang berkumpul di sini. Ketika ia melangkah masuk ke dalam ta ndu, mereka mengikutinya sampai ke jalan di tepi sungai menuju Daifukuji. Para pengawal Zenk o dibuat gelisah dengan arak-arakan ini, dan berusaha menghalau, namun jumlahnya justru semakin b esar dan makin sulit dikendalikan serta makin tidak bersahabat; banyak yang berlarian ke sungai yang hampir kering, dan mengorek batu-batu dari endapan lumpur lalu melempamya ke arah pengawal, ber hasil menghalau mereka menjauh dari ger-bang biara. Pemanggul tandu menurunkan Shizuka di luar gerbang, dan ia berjalan perlahan memasuki pelataran utama, bergerak seolah meng ambang. Kerumunan kian banyak di pintu masuk. Shizuka duduk di tanah, kakinya dilipai ba k makhluk suci di atas bunga teratai, dan akhirnya ia membiarkan dirinya menangisi kematian putran ya dan pengkhianatan putranya yang satu lagi. Ritual pemakaman diadakan selagi Shizuka duduk di sana, dan batu nisan dipahat l alu didirikan. Harihari berlalu dan Shizuka tetap bergeming, juga tidak makan dan minum. Di malam ketiga hujan turun rintik-rintik, dan orang-orang mengatakan bahwa Surga tengah memberinya minum. S etelah itu hujan turun setiap malam; di siang hari sering terlihat burung-burung beterbangan di s ekitar kepalanya. "Mereka memberinya makan dengan butiran gandum dan madu," para biarawan mengumum kan. Penduduk kota mengatakan kalau Surga menangisi ibu yang ditinggalkan, dan mereka bersyukur terhindar dari kekeringan. Popularitas Zenko sedikit demi sedikit berkurang saat bulan dari bulan kelima mulai mendekati puncak purnamanya.* Halaman 257 dari 600

Selama berhari-hari Maya meratapi kepergian kuda-kudanya, tak sanggup membayangka n kehilangan yang lebih besar lagi. Shigeko telah memintanya untuk merawat kedua k uda itu, dan ia membiarkannya pergi. Diingat-ingatnya lagi sewaktu melepas tali kekang dan kedua kuda betina kabur. la menyesali ketidakmampuan dirinya untuk bergerak atau membela diri yang tak bisa dijelaskan. Saat itu ketiga kalinya ia menghadapi bahaya yang sesungguhnya setelah serangan di Inuyama dan pertemuan dengan ayahnya dan merasakan kalau saat itu ia merasa gagal, walau sudah berlatih selama bertahun-tahun di Tribe. Maya punya banyak waktu untuk merenungkan kegagalannya. Saat tersadar kembali, tenggorokannya terasa kering, perutnya mual. Ia sadar sedang berada di kamar kec il remang-remang, ruang rahasia rumah Tribe. Takeo sering menceritakan saat Tribe mengurungnya di kamar semacam ini, dan kini kenangan itu menghibur dan menenangkannya. Ia mengira Akio akan langsung membunuhnya, tapi ternyata tidak laki-laki itu menahan dirinya untuk tujuan terten tu. Maya tahu ia bisa kabur kapan saja karena pintu dan dinding takkan mampu menahan si kucing, t api ia masih belum ingin pergi. Ia ingin tetap dekat dengan Akio dan Hisao: tak dibiarkannya mereka membunuh ayahnya; dirinya yang akan membunuh mereka lebih dulu. Maka dikendalikan amarah dan rasa takutnya, dan bersiap mencari tahu semua tentang mereka. Ia melihat Akio ketika orang itu membawakan makanan dan minuman; makanannya jarang datang tapi ia tak terganggu dengan rasa lapar. Maya akhirnya memahami kalau makin sedi kit ia makan, makin mudah menggunakan kemampuan menghilang dan sosok kedua. Ia mempraktikkanny a saat sedang sendiri, terkadang bahkan ia pun terkecoh dan melihat Miki sedang bersand ar di dinding di seberangnya. Ia tidak bicara pada Akio tapi mengamati, seperti Akio mengamati di rinya. Maya tahu kalau Akio tidak memiliki kemampuan menghilang atau tatapan maut Kikuta, tapi la ki-laki itu bisa melihat orang yang menggunakan kemampuan menghilang dan menghindari tatapan maut. Gerak refleksnya sangat cepat ayahnya sering bilang kalau itu gerakan paling cepat yang pernah ada sangat kuat dan tidak punya perasaan. Dua atau tiga kali sehari, pelayan perempuan datang untuk mengantarnya ke kakus: selain itu ia tidak melihat ada orang lain lagi. Tapi setelah dikurung selama kirakira seminggu, di s atu malam laki-laki itu datang, berlutut di depannya lalu meraih dan membalik telapak tangannya. May a bisa mencium bau sake di napasnya, dan cara bicaranya pelan tapi aneh.

"Kuharap kau jawab pertanyaanku dengan jujur karena aku adalah ketua keluargamu: apakah kau memiliki kemampuan seperti ayahmu?" Maya menggeleng, dan sebelum selesai menggeleng dirasakan kepalanya terhempas da n pandangan matanya kabur selagi Akio menamparnya. Ia tidak melihat gerakan tangan laki-laki itu. "Kau pernah mencoba mengunci tatapan mataku: kau pasti memiliki bakat tatapan ma ut Kikuta. Bagaimana dengan kemampu an menghilang?" Maya menceritakan karena tidak ingin Akio membunuhnya saat itu juga, tapi tidak menceritakan tentang si kucing. "Lalu di mana adikmu?" "Aku tidak tahu." Halaman 258 dari 600

Bahkan meski sudah menduganya kali ini, Maya tidak bisa bergerak cukup cepat unt uk menghindari tamparan yang kedua. Akio menyeringai, seolah ini permainan yang sangat dinikmat inya. ahkan meski sudah menduganya kali ini, Maya tidak bisa bergerak cukup cepat untu k menghindari tamparan yang kedua. Akio menyeringai, seolah ini permainan yang sangat dinikmat inya. "Dia di Kagemura, bersama keluarga Muto." "Benarkah? Tapi dia bukan Muto; dia Kikuta. Kupikir sebaiknya dia berada di sini bersama kita." "Keluarga Muto takkan menyerahkan adikku padamu," sahut Maya. "Ada perubahan dalam keluarga Muto; kukira kau sudah tahu. Tribe selalu bersatu pada akhirnya," ujar Akio. "Begitulah cara kami bisa bertahan." Akio mengetuk-ngetuk gigi dengan kuku. Di bagian belakang tangan kanannya ada be kas luka lama, melintang dari pergelangan sampai ke bagian bawah ibu jarinya. "Kau melihatku membunuh penyihir Muto itu, Sada. Aku takkan ragu melakukan yang sama padamu." Maya tidak bereaksi atas perkataan itu; ia lebih tertarik pada reaksinya sendiri , tercengang kalau ternyata ia tidak takut pada laki-laki itu. Ia tak menyadari kalau ternyata, sep erti ayahnya, ia dianugerahi kemampuan untuk tidak takut pada Kikuta. "Ini yang pernah kudengar," ujarnya. "Kalau ibumu takkan melakukan apa-apa untuk menyelamatkanmu, tapi ayahmu menyayangimu." "Itu tidak benar," Maya berbohong. "Ayahku tidak memedulikan aku dan adikku. Par a ksatria membenci anak kembar dan menganggap mereka memalukan. Ayahku hanya bersifat baik , itu saja." "Dia berhati lembut," ujar Akio, dan Maya melihat kebencian serta rasa iri pada Takeo. "Mungkin kau bisa membawa Takeo kepadaku." "Hanya untuk membunuhmu," sahut Maya. Akio tertawa lalu berdiri. "Tapi dia takkan membunuh Hisao!" Maya menemukan dirinya memikirkan tentang Hisao. Selama setengah tahun ini ia harus menerima kenyataan kalau ini adalah putra ayahnya, kakak tirinya, yang tak pernah dibicarakan siapa pun, tak pernah diberitahukan pada ibunya. Dan Maya yakin kalau Hisao tak tahu ayah kandungnya. Ia memanggil Akio Ayah; Hisao menatap dengan pandangan tak mengerti ketika ia

mengatakan kalau ia adalah adiknya. Maya mendengar di benaknya berulang kali sua ra Sada, Jadi anak itu benar-benar putra Takeo? Dan jawaban Taku, Ya, dan menurut ramalan dial ah satu-satunya orang yang bisa membawa kematian Takeo. Karakter tidak mengenal kompromi, semacam warisan Kikuta yang membulatkan tekadn ya yang kejam mulai terbentuk. Keseimbangan baginya menjadi begitu sederhana: bila Hisao mati maka Takeo bisa hidup selamanya. Selain latihan gerak badan yang dilakukannya dengan tekun, ia tidak ada kesibukan lain, dan sering terombang-ambing antara sadar dan tidur, bermimpi bagaikan nyata. Ia memimpikan Miki, mimpi yang begitu jelas sehingga ia seperti yakin kalau Miki ada di kamar itu bersamanya; i a memimpikan Hisao. Ia berlutut di sampingnya saat pemuda itu tidur lalu berbisik di telinganya, "Aku adikmu." Ia bahkan pernah ber mimpi si kucing berbaring di sisi Hisao, dan merasakan kehangatan tubuh kakaknya itu. Ia menjadi terobsesi pada Hisao, ingin tahu semua tentang pemuda itu. Mulai berek sperimen dengan mengambil alih bentuk si kucing di malam hari selagi tidur. Awalnya ia ragu, kar ena hal itu ingin ia sembunyikan dari Akio, namun lama kelamaan kepercayaan dirinya makin meningkat. D i siang hari ia adalah tawanan, sementara di malam hari ia bisa keluyuran dengan bebas ke sel uruh bagian rumah, mengamati penghuninya, serta memasuki mimpi-mimpi mereka. Dilihatnya deng an sikap remeh rasa takut dan harapan mereka. Para pelayan perempuan mengeluhkan adanya h antu, merasakan hembusan napas di wajah mereka atau bulu hangat berbaring di sebelah m ereka, Halaman 259 dari 600

mendengar langkah pelan makhluk besar. Hal-hal aneh terjadi di seluruh kota, per tanda serta penampakan. endengar langkah pelan makhluk besar. Hal-hal aneh terjadi di seluruh kota, pert anda serta penampakan. Akio dan Hisao tidur terpisah dari penghuni laki-laki lainnya, di kamar bagian be lakang rumah. Maya berjalan pada waktu tersunyi, tepat sebelum fajar menyingsing untuk mengamati Hisao yang sedang tidur, kadang dalam pelukan Akio, kadang sendi ri. Pemuda itu tidur gelisah, bergoyang-goyang dan bergumam. Mimpi-mimpinya kejam dan tidak ber aturan, tapi itu justru membuat Maya tertarik. Kadang Hisao terbangun dan tidak bisa tidur lagi; kemudian pergi ke rumah kecil di belakang rumah, di sisi lain halaman, tempat bengkel penempaan da n perbaikan alatalat rumah tangga dan senjata. Maya mengikuti dan mengamatinya, memerhatikan gerakanny a yang berhari-hari dan sangat teliti. Para pelayan perempuan tak pernah mengajak bicara. Selain perjalanan ke kakus ia hampir tidak pernah bertemu mereka sampai suatu hari seorang perempuan muda datang membawakan makanan. Usianya kira-kira sebaya dengan Shigeko, dan dia menatap Maya dengan keingintahua n yang terang-terangan. Maya berkata, "Jangan menatapku. Kau tahu kalau aku sangat kuat." Gadis itu tertawa cekikikan tapi tidak memalingkan wajah. "Kau seperti anak lakil aki," ujarnya. "Kau tahu aku anak perempuan," bentak Maya. "Kau pernah mengintipku kencing ya?" Maya bicara dengan bahasa anak lakilak i, dan gadis itu tertawa. "Siapa namamu?" tanya Maya. "Noriko," bisiknya. "Noriko, akan kubuktikan betapa kuatnya diriku. Kau bermimpi tentang kain pembung kus: kau pernah membungkus beberapa kue mochi dengairkain itu dan saat kau buka bungkusan nya, kue-kue itu penuh ulat." "Aku tidak bilang siapa-siapa!" gadis itu tercekat, tapi malah mendekati Maya. " Bagaimana kau bisa tahu?" "Aku tahu banyak hal," sahut Maya. "Tatap mataku." Ditahannya tatapan gadis itu

selama beberapa saat, cukup lama untuk melihat kalau gadis itu percaya pada takhayul, dan satu l agi, sesuatu tentang Hisao.... Kepala gadis itu berputar saat Maya menarik kekuatan tatapan mautnya. Maya menam par kedua pipi gadis itu untuk menyadarkannya. Noriko menatap bingung. "Kau bodoh kalau mencintai Hisao," ujar Maya terus terang. Gadis itu tersipu. "Aku kasihan padanya," bisiknya. "Ayahnya sangat keras kepada nya, dan dia sering sakit." "Sakit yang bagaimana?" "Dia sering terserang sakit kepala yang parah. Muntah, dan pandangannya kabur. H ari ini dia sedang sakit. Ketua Kikuta sangat marah karena mereka seharusnya pergi menemui Lord Zen ko Akio akhirnya pergi sendiri." "Mungkin aku bisa menolongnya," kata Maya. "Kenapa kau tidak mengantarku kepadan ya?" 'Tidak bisa! Akio akan membunuhku kalau dia tahu." "Antar aku ke kakus," ujar Maya. "Tutup pintunya, tapi jangan dikunci. Aku akan ke kamar Hisao. Jangan khawatir; takkan ada orang yang melihatku. Tapi kau harus berhati-hati ka lau Akio datang. Peringatkan aku saat dia kembali." Halaman 260 dari 600

"Kau takkan menyakiti Hisao?" Kau takkan menyakiti Hisao?" "Dia laki-laki dewasa. Aku baru empat belas tahun bahkan masih anak-anak. Aku tida k punya senjata. Bagaimana bisa aku menyakitinya? Lagipula, sudah kukatakan kalau aku in gin menolongnya." Bahkan saai bicara, Maya ingat semua cara yang pernah diajarkan kepadanya untuk membunuh dengan tangan kosong. Lidahnya ering, tapi setain itu ia tenang-tenang saja. Hisao sedang karena penyakitnya. Dia akan mudah dilumpuhkan sendiri, meraba. urat nadinya, membayangkan urat akan memanggil si kucing.... menjilati bibir; tenggorokannya terasa k sakit, lemah, mungkin pandangannya kabur dengan tatapan maut; disentuhnya lehernya nadi Hisao. Dan kalau cara itu gagal, ia

"Ayo, Noriko, kita ke kamar Hisao. Dia membutuhkan bantuanmu." Ketika Noriko mas ih ragu, Maya berkata pelan, "Dia juga mencintaimu." "Benarkah?" mata gadis itu berbinar-binar di wajahnya yang kurus dan pucat. "Dia tidak bilang siapa-siapa, tapi dia memimpikan dirimu. Aku pernah melihat mi mpinya dengan cara yang sama aku melihat mimpimu. Dia memimpikan dirinya memelukmu dan mengigau dal am tidurnya." Maya memerhatikan wajah Noriko menjadi lembut; tidak suka pada gadis itu karena m abuk kepayang oleh cinta. Noriko menggeser pintu terbuka, melihat ke luar dan memberi isyarat kepada Maya. Mereka berjalan cepat-cepat ke belakang rumah, dan di pintu kakus Maya meremas perutnya dan berteriak seolah kesakitan. "Cepat, dan jangan berlama-lama di dalam situ," ujar Noriko, dengan spontan. "Mana bisa kutahan kalau sakit begini?" sahut Maya dengan nada yang sama. "Ini g ara-gara makanan menjijikkan yang kau bawa!" Disentuhnya bahu Noriko saat bentuk tubuhnya memudar. Noriko sudah terbiasa deng an keanehan semacam itu, mengarahkan pandangannya tetap ke depan. Maya bergegas pergi ke kama r Hisao tidur, menggeser pintunya terbuka, lalu melangkah masuk. Teriknya sinar matahari di luar telah mengecilkan pupil matanya, dan sesaat ia t ak bisa melihat apaapa. Kamar itu baunya masam, samar-samar tercium bau muntah. Kemudian dilihatnya pemu da itu meringkuk di matras di sudut, satu tangannya menutupi wajah. Dari irama napasnya yang teratur sepertinya dia memang tidur. Ia tak akan mendapat kesempatan seperti ini lagi. S

ambil menahan napas, ia melenturkan pergelangan tangan, mengumpulkan tenaga, berjalan melintas i kamar, berlutut di sebelah Hisao dan menyerang bagian lehernya Usahanya melemahkan konsentrasinya hingga kemampuan menghilangnya sirna. Mata Hi sao terbuka, dan menatap sejenak sebelum berkelit dari cengkeraman tangan gadis itu. Pemuda itu lebih kuat dari perkiraan, tapi ia langsung menatap mata pemuda itu dan selama beberap a saat membuat Hisao pusing; cengkeraman jarinya makin kuat bak tentakel, dan selagi punggung H isao melengkung dan memukul-mukul saat meronta berusaha melepaskan diri. Ia bergantung seperti hewan saat Hisao berusaha bangkit dengan tangan dan lutut. Kulit pemuda itu berkeringat, dan Maya merasakan cengkeramannya mulai terasa licin. Hisao juga merasakannya, lalu mengibaskan kep ala saat mencoba berkelit lagi. Ditangkapnya tubuh Maya lalu dihempaskannya ke dinding. L ayar kasa yang rapuh sobek, dan dari suatu tempat ia mendengar Noriko memanggil namanya. Aku ga gal, pikirnya, selagi tangan Hisao mencengkcram lehernya, dan Maya bersiap untuk mati. Miki! Ujarnya pelan, dan seolah Miki mendengarnya, dirasakannya kemarahan Miki p ada Hisao merasuki dirinya dan si kucing mulai muncul, meludah dan menggeram. Hisao berteriak kaget dan melepasnya; si kucing bergerak mundur, siap melarikan diri tapi masih belum ingin menyerah." Halaman 261 dari 600

Waktu sejenak itu memberi Maya waktu untuk meraih kembali kendali diri dan konse ntrasinya. Dilihatnya kalau ternyata ada sesuatu yang melemahkan Hisao. Mata pemuda itu tid ak tokus; agak terhuyung-huyung. Sepeninya pemuda itu berusaha melihat sesuatu di belakang Maya , dan mendengarkan suara berbisik. aktu sejenak itu memberi Maya waktu untuk meraih kembali kendali diri dan konsen trasinya. Dilihatnya kalau ternyata ada sesuatu yang melemahkan Hisao. Mata pemuda itu tid ak tokus; agak terhuyung-huyung. Sepeninya pemuda itu berusaha melihat sesuatu di belakang Maya , dan mendengarkan suara berbisik. Maya mengira itu semacam tipuan natap tajam pemuda itu. Bau busuk dan jamur rtahankan: bulu si kucing menyesakkan napasnya. endati tak memahami kata-kata itu. tapi ia n lagi di kamar itu. untuk mengecohkan pandangannya, maka ia terus me semakin menyengat: kamar itu terasa panas tak te Terdengar olehnya bisikan di sebelah kanannya; k tahu kalau itu bukan suara Noriko. Ada orang lai

Maya menoleh ke samping dan melihat perempuan itu. Masih muda, mungkin sembilan belas atau dua puluh tahun, potongan rambutnya pendek, wajahnya pucat. Perempuan itu mengenakan jubah putih, menyeberangi sisi seberang dunia fa na, dan tubuhnya melayang. Ekspresi di wajahnya melukiskan kemarahan dan putus asa yang b ahkan membuat hati Maya terharu. Dilihatnya kalau Hisao begitu ingin menatap hantu itu tapi juga takut; roh si kucing yang merasuki dirinya bergerak dengan bebas antara dua dunia. Jadi ini yang dimaksud Taku, renungnya saat menyadari hutang budinya pada si kuc ing dan bagaimana ia bisa memenuhinya. Dan kemudian ia menyadari kekuatan yang ini dan b agaimana ia bisa memanfaatkannya. Perempuan itu berseru memanggilnya, "Tolong aku! Tolong aku!" "Apa yang kau inginkan?" tanya si kucing. "Aku ingin putraku mendengarkan aku!" Belum sempat Maya menjawab, Hisao mendekat. "Kembali kau!" ujar Hisao. "Kau telah memaafkanku. Kemarilah, ijinkan aku menyen tuhmu. Apakah kau hantu juga? Boleh aku menyentuhmu?" Ia melihat perubahan tangan Hisao saat menggapai. Tangan itu melembut berbentuk melengkung yang ingin sekali mengelus bulu si kucing. Ia terkejut, si kucing bereaksi seolah tunduk pada majikannya, menund

ukkan kepala serta merebahkan telinga, dan membiarkan Hisao membelainya. Ia mematuhi keinginan si kucing. Sentuhan Hisao menyatukan sesuatu di dalam diri mereka. Hisao tercekat. Ia merasakan penderitaan saudaranya itu seolah berada di kepalanya send iri: lalu berkurang. Maya melihat, melalui mata Hisao: pandangan setengah buta, kumparan c ahaya bak roda bergerigi dari alat penyiksaan, dan Hisao berkata, "Ibu?" Hantu itu bicara. "Akhirnya!" ujarnya. "Sekarang maukah kau mendengarkan Ibu?" Tangan Hisao masih di atas kepala si kucing. Maya merasakan kebingungan pemuda i tu: rasa lega karena penderitaannya telah sirna, rasa takutnya memasuki dunia alam baka, rasa takut melihat sedikit kekuatan yang bangkit. Di tepi kesadaran Maya, bergelayut ketakutan yang sama, jalan yang terbentang ke depan yang tak ingin ia ambil, jalan yang dirinya dan Hisao harus lalui bersama, meski ia membenci pemuda itu dan ingin membunuhnya. Noriko memanggil-manggil dari luar. "Cepat! Ketua sudah datang!" Hisao mengangkat tangannya. Maya kembali ke wujud aslinya dengan rasa lega. Ia i ngin pergi dari pemuda itu, tapi Hisao menangkap lengannya; ia bisa merasakan cengkraman Hisao s ampai ke tulang sumsumnya. Pemuda itu tengah menatapnya, tatapannya kagum dan lapar. "Jangan pergi," ujarnya. "Katakan padaku. Apakah kau melihatnya?" Noriko, berdiri di teras, berganti-ganti memandang kedua orang. "kau sudah baika n," serunya. "Gadis itu menyembuhkanmu!" Mereka berdua tidak mengacuhkannya. Halaman 262 dari 600

"Tentu saja aku melihatnya," sahut Maya seraya menyelinap melewati Hisao. "Dia i tu ibumu, dan dia ingin agar kau mendengarkannya."* Tentu saja aku melihatnya," sahut Maya seraya menyelinap melewati Hisao. "Dia it u ibumu, dan dia ingin agar kau mendengarkannya."* Dia akan bilang pada Akio, pikir Maya, selagi Noriko bergegas kembali ke kamar y ang terkunci. Dia akan ceritakan semuanya. Akio akan tahu tentang si kucing. Entah dia akan membun uhku atau mereka akan memanfaatkan aku untuk mela wan Ayah. Aku harus melarikan dirinya, ak u harus pulang; aku akan memperingatkan Ibu tentang Zenko dan Hana. Aku harus pulang. Tapi sentuhan tangan majikannya membuat si kucing enggan pergi. Dan Maya ingin, b ertentangan dengan keputusannya, berjalan di antara dua dunia dan berbicara dengan hantu. Ia ingin tahu apa yang mereka ketahui, bagaimana rasanya mati, serta semua rahasia lain yang disim pan orang mati dari mereka yang masih hidup. Maya tidur nyenyak selama bermingguminggu, tapi segera setelah kembali ke kamar s empit, kelelahan yang menggiurkan menyelimuti dirinya. Kelopak matanya terasa makin bera t; sekujur tubuhnya terasa sakit karena kelelahan. Tanpa bicara kepada Noriko, ia berbaring di lantai dan langsun g tertidur lelap. Maya terbangun, seolah ditarik paksa keluar dari air, oleh sebuah perintah. Data nglah kepadaku. Kala itu malam gelap pekat, udara terasa lembap. Leher dan rambutnya terasa lemb ap karena keringat. Ia tak ingin merasakan bulu tebal si kucing. tapi majikannya memanggiln ya: si kucing harus menemuinya. Telinga si kucing berdiri tegak; kepalanya berputar. Kucing itu berjalan dengan mudahnya melewati layar kasa dan dinding menuju bengkel tempat api penempaan menyala semalaman. Pa ra penghuni rumah sudah terbiasa melihat Hisao berada di situ saat dini hari. Pemuda itu tel ah menemukan tempat yang cocok dan tidak ada orang yang mengganggunya. Hisao menggapaikan tangan dan kucing itu menghampiri, seolah merindukan sentuhan dan belaiannya. Pemuda itu membelai, dan si kucing menjilati pipinya dengan lidah ka sarnya. Tak satu pun dari keduanya bicara, tapi di antara mereka mengalir kerinduan akan kedekata n serta sentuhan kasih sayang yang dibutuhkan hewan itu.

Setelah agak lama, Hisao berkata, "Perlihatkan wujud aslimu." Maya tersadar kalau ia berdempetan dengan Hisao, tangan pemuda itu masih di teng kuknya. Rasanya menyenangkan sekaligus menjijikkan. Ia melepaskan diri dari pelukan Hisao . Tidak bisa dilihatnya ekspresi wajah Hisao dalam keremangan cahaya. Bara api meretih, asap membuat matanya pedih. Hisao mengangkat lentera lalu menatap. Ia terus menunduk, tak ingin menentang ta tapan pemuda itu. Tak satu pun dari mereka bicara, seakan tak ingin kembali ke dunia manusia yang penuh dengan kata-kata. Akhirnya Hisao berkata, "Mengapa kau datang sebagai kucing?" "Aku membunuh seekor kucing dengan tatapan maut Kikuta, dan rohnya merasuki diri ku," sahutnya. "Tak seorang Muto pun tahu bagaimana menghadapinya, tapi Taku telah membantuku mengendalikannya." "Aku adalah penguasanya: tapi aku tak tahu sebabnya atau bagaimana caranya. Kuci ng itu mengurangi sakitku, saat bersamaku, dan menenangkan suara-suara Halaman 263 dari 600

hingga aku bisa mendengarnya. Aku suka kucing, tapi ayahku pernah membunuh seeko r kucing di depan mataku karena aku menyukainya kau bukan kucing itu kan?" ingga aku bisa mendengarnya. Aku suka kucing, tapi ayahku pernah membunuh seekor kucing di depan mataku karena aku menyukainya kau bukan kucing itu kan?" Maya menggeleng. "Aku tetap menyukaimu," ujarnya. "Aku pasti sangat menyukaimu; aku tidak bisa be rhenti memikirkanmu. Aku memerlukan dirimu bersamaku. Berjanjilah kau akan tinggal bers amaku." Hisao meletakkan lentera kembali di atas lantai dan berusaha menarik tubuh Maya lebih dekat lagi. Maya menolaknya. "Kau tahu kalau kita bersaudara?" tanyanya. Wajah Hisao mengkerut. "Dia itu ibumu? Hantu perempuan itu? Itukah sebabnya kau bisa melihatnya?" "Bukan, ibu kita berbeda, tapi ayah kita sama." Kini Maya bisa melihatnya dengan lebih jelas. Hisao tidak mirip ayahnya, atau de ngannya atau Miki, namun rambutnya yang mengkilap mirip dengan rambut mereka, dan kulitnya memiliki tekstur dan warna yang sama, dengan nuansa warna madu. Seketika Maya teringat kenangan akan masa kecilnya payung pelindung sinar matahari dan cairan unluk membuat kulit lebih terang: betapa bodoh dan sia-sianya semua itu sekarang. "Ayahmu adalah Otori Takeo, yang kami sebut si Anjing," Hisao tertawa dengan ser ingai yang dibenci Maya. Tiba-tiba ia membenci pemuda itu lagi, dan merasa jijik pada dirinya sendi ri atas keinginan dan ketentraman yang dirasakan kucing itu hingga tunduk pada Hisao. "Aku dan ayahku akan membunuhnya." Hisao menjauh, menjauh dari cahaya lentera, dan mengeluarkan senjata api kecil. Cahaya berkilat di laras baja hitam senjata itu. "Dia itu penyihir, dan tidak seorang pun berhasil mendekatinya, tapi senjata ini lebih kuat ketimbang ilmu sihir." Takeo melirik ke arah Maya, lalu b erkata dengan nada kejam yang disengaja, "Kau sudah lihat bagaimana senjata ini menghabisi Muto Tak u." Maya tidak menjawab, tapi melihat dengan jelas dan tanpa perasaan terharu pada k ematian Taku. Laki-laki itu mati dalam pertarungan, penuh kehormatan; tidak mengkhianati siapa pun; Taku dan Sada mati bersama. Tidak ada yang harus disesali dari

kematiannya. Umpan Hisao tak membuatnya terpancing maupun melemahkan dirinya. "Lord Otori adalah ayahmu," ujar Maya. "Itu sebabnya aku berusaha membunuhmu, ag ar kau tidak membunuh ayahmu sendiri." "Akio adalah ayahku." Keraguan dan kemarahan terdengar dalam suaranya. "Akio memperlakukanmu dengan kejam, menganiaya dan berbohong padamu. Dia bukan a yahmu. Kau tidak tahu bagaimana seharusnya sikap ayah pada anaknya." "Dia sayang padaku," bisik Hisao. "Dia menyembunyikannya dari semua orang, tapi aku tahu. Dia membutuhkan diriku." "Tanya pada ibumu," sahut Maya. "Bukankah sudah kukatakan padamu untuk mendengar kannya? Ibumu akan mengatakan yang sebenarnya kepadamu." Kemudian keadaan hening dalam waktu lama. Udara terasa panas: Maya bisa merasaka n peluh di dahinya. Ia merasa kehausan. "Jadilah kucing lagi, maka aku akan mendengarkannya," katanya begitu pelan hingg a Maya hampir tidak bisa mendengar suaranya. "Apakah ibumu ada di sini?" "Dia selalu ada di sini," sahut Hisao. "Dia terikat pada diriku oleh seutas tali , seperti dulu aku pernah terikat pada tubuhnya. Aku tak pernah terbebas darinya. Kadang dia diam saja. It u tidak terlalu buruk. Saat dia ingin bicara maka rasa sakit itu menyerangku." Halaman 264 dari 600

"Karena kau berusaha melawan dunia arwah," ujar Maya. "Hal yang sama terjadi pad aku. Saat si kucing ingin muncul dan aku menolaknya, aku juga kesakitan." Karena kau berusaha melawan dunia arwah," ujar Maya. "Hal yang sama terjadi pada ku. Saat si kucing ingin muncul dan aku menolaknya, aku juga kesakitan." Hisao berkata, "Aku tidak memiliki kemampuan Tribe apa pun. Aku tidak seperti ka u. Aku tidak bisa menggunakan kemampuan menghilang. Aku tidak bisa menggunakan sosok kedua. Bahkan melihat semua kemampuan ini pun membuat perutku agak mual. Tapi tidak begitu dengan si k ucing. Dia membuatku nyaman dan kuat." Hisao tidak menyadari kalau suaranya berubah dan menjadi seperti hipnotis, dihia si dengan daya tarik yang tak bisa ditolak Maya. Gadis itu merasakan tubuh si kucing meregang dan mel entur dengan keinginan yang kuat. Hisao menarik tubuh si kucing yang lentur itu lebih mendekat dan membelai-belai bulu-bulu tebalnya. "Tetaplah di dekatku." bisiknya, dan kemudian, bicara lebih keras, "Aku akan men dengarkan, apa pun yang ingin kau katakan." Bara api penempaan dan cahaya lentera meredup dan berkelap-kelip saat angin hang at dan berbau busuk tiba-tiba berhembus meniup debu di lantai, menggerakkan debu dan membuat dau n jendela bergemeretak. Kemudian api makin berkobar, membara makin terang, menerangi arwah perempuan saat mendekat, melayang. Hisao duduk diam tak bergerak; si kucing berbaring di s ebelahnya dengan kepala di bawah tangan Hisao, matanya yang keemasan tidak berkedip. "Nak," kata sang ibu, suaranya gemetar. "Biarkan Ibu menyentuhmu, biarkan ibu me melukmu." Jemari kurusnya menyentuh dahi Hisao, membelai rambutnya, dan Hisao merasakan sosok tub uh ibunya begitu dekat, merasakan tekanan paling lemah saat ibunya memeluk dirinya. "Dulu Ibu suka memelukmu seperti ini saat kau bayi." "Aku ingat," bisiknya. "Ibu tak sanggup meninggalkanmu. Mereka, Kotaro dan Akio, memaksa Ibu minum racu n. Mereka menangisi kepergian Ibu dengan cinta, setelah mematuhi perintah Ketua dan memasu kkan dengan paksa pit beracun ke mulut Ibu. Mereka menyaksikan Ibu mati dengan jiwa dan raga yang menderita. Tapi mereka tidak memisahkan diri Ibu darimu. Kala itu usia Ibu baru dua puluh t ahun. Ibu tak ingin mati. Akio mem-bunuh Ibu karena dia membenci ayahmu. Tangan Hisao menggosok-gosok bulu si kucing, membuat hewan itu menunjukkan cakar nya.

"Siapakah ayahku?" "Gadis itu benar. Dia memang adikmu; Takeo adalah ayah kandungmu. Ibu mencintain ya. Mereka memerintahkan Ibu agar tidur dengannya, agar Ibu mengandung dirinya. Ibu mematuh i mereka. Tapi mereka tak menyangka kalau Ibu akan mencintainya, dan kalau kau akan dilahirkan hasil dari cinta. Mereka berusaha menghancurkan kita semua. Pertama Ibu; kini mereka akan memanfaa tkan dirimu untuk membunuh ayah kandungmu, lalu kau pun akan mati." "Bohong," sahutnya, tenggorokannya ter cekat. "Ibu sudah mati," sahutnya. "Hanya orang hidup yang berbohong." "Aku membenci si Anjing seumur hidupku; aku tidak bisa mengubahnya sekarang." "Kau tidak mengenal siapa dirimu? Tak ada lagi orang Tribe, dari lima keluarga, yang bisa mengenali dirimu. Ibu akan ceritakan apa yang dikatakan kakekmu saat kematiannya. Kau adala h penguasa alam baka." *** Lama setelah kejadian itu, ketika kembali ke kamarnya dan berbaring terjaga, mem andangi kegelapan yang pucat perlahan berubah terang, Maya mengingat-ingat kembali saat mendengar si arwah mengucapkan semua kata-kata ini: tengkuknya bergidik; bulu-bulunya tegak berdiri. Tangan Hisao memegang erai lehernya. Hisao belum sepenuhnya memahaminya, tapi Maya ingat kata -kata Taku: Halaman 265 dari 600

penguasa alam baka adalah orang yang bisa berjalan di antara dua dunia, dukun ya ng mampu menenangkan atau menghasut orang yang sudah mati. Diingatnya suara-suara hantu y ang guasa alam baka adalah orang yang bisa berjalan di antara dua dunia, dukun yang mampu menenangkan atau menghasut orang yang sudah mati. Diingatnya suara-suara hantu y ang berdesakan di sekelilingnya pada malam menjelang Perayaan Oban, di tepi pantai d i depan rumah Akane; dirasakannya penyesalan atas kematian mereka yang kejam dan tidak pada wak tunya, serta tuntutan mereka untuk balas dendam. Mereka mencari Hisao, penguasa mereka, dan d irinya sebagai si kucing, memberinya kekuatan untuk menguasai mereka. Tapi bagaimana Hisao, pem uda yang kejam dan brengsek ini, memiliki kekuatan semacam itu? Dan bagaimana Akio bisa m emanfaatkan dia bila tahu itu? Hisao tak ingin Maya meninggalkannya. Ia merasakan kuatnya keinginan Hisao itu, dan ia merasakan keinginan itu memikat sekaligus berbahaya. Tapi Hisao tak ingin Akio tahu itu, b elum... Ia tidak terlalu memahami bagaimana perasaan Hisao yang sebenarnya atas laki-laki yang selalu dip ercaya sebagai ayahnya: gabungan antara cinta dan kebencian, meremehkan serta iba, juga takut. Maya mengenali perasaan seperti itu karena ia merasakan hal yang sama pada pemud a itu. Ia tidak tidur, dan sewaktu Noriko membawakannya nasi dan sop untuk makan pagi, ia tidak terlalu berselera. Mata Noriko merah, sepertinya habis menangis. "Kau harus makan," ujar Noriko. "Dan setelah itu kau harus bersiap untuk bepergi an." "Bepergian? Aku akan pergi kemana?" "Lord Arai akan kembali ke Kumamoto. Hofu sedang gempar. Muto Shizuka tengah ber puasa di Daifukuji dan hanya diberi makan oleh burung." Noriko gemetar. "Seharusnya aku t idak mengatakan ini. Ketua harus menemaninya, dan Hisao juga. Mereka pasti mengajakmu." Matanya penuh dengan air mata dan disekanya dengan lengan jubah. "Hisao sudah cukup sehat untuk beper gian. Seharusnya aku senang." Bersyukurlah dia akan pergi jauh darimu, pikir Maya, lalu bertanya, "Shizuka ada di Hofu?" "Dia datang untuk memakamkan putra bungsunya, dan kabarnya dia sudah tidak waras . Orang-orang menyalahkan Lord Arai -serta menuduhnya terlibat dalam kematian Taku. Arai gusar dan segera pulang ke rumahnya menyiapkan pasukannya untuk berperang, sebelum Lord Otori kem

bali dari Miyako." "Omong kosong apa yang kau katakan! Kau tidak tahu apa-apa tentang hal ini!" May a menyembunyikan ketakutannya dengan kemarahan. "Aku memberitahumu hanya karena kau sudah menolong Hisao," sahut Noriko. "Aku ta kkan mengatakan apa-apa lagi." Gadis itu mengatupkan bibir rapat-rapat, marah dan ter singgung. Maya mengangkat mangkuk sop dan menghabiskannya, pikirannya berpacu kencang. Ia tak ingin membiarkan mereka membawanya ke Kumamoto. Ia tahu kalau kedua putra Zenko, Sunao mi dan Chikara, sudah dikirim ke Hagi untuk menjamin kesetiaan ayah mereka, dan bahwa Z enko takkan ragu-ragu menekan ayahnya. Hofu berada di Negara Tengah dan setia pada Otori ia me ngenal kota itu dan tahu jalan pulang. Sedangkan Kumamoto jauh di wilayah Barat; ia belum pe rnah ke sana. Begitu sampai di sana, ia tidak akan punya peluang kabur. "Kapan kami akan pergi?" tanya perlahan. "Begitu Ketua dan Hisao siap. Kau akan sudah di jalan sebelum siang. Kudengar Lo rd Arai akan mengirim pengawal." Noriko mengangkat mangkuk. "Aku harus membawa semua ini ke dapur." "Aku belum selesai makan." "Apa itu salahku kalau kau makan begitu lambat?" "Lagipula aku juga tidak lapar." "Kumamoto jauh dari sini," ujar Noriko saat kel uar. Halaman 266 dari 600

Maya tahu ia hanya punya sedikit waktu untuk mengambil keputusan. Mereka pasti m embawanya dengan disembunyikan, dengan tangan terikat mungkin; ia bisa saja mengecoh penga wal Zenko tapi takkan bisa lolos dari Akio. Ia mulai mengukur kamar itu dengan jarak langkah. U dara terasa semakin panas; ia lapar dan lelah; saat berjalan tanpa berpikir, ia hanyut dalam mimpi y ang terjaga, dan melihat Miki berada di gang di belakang rumah. Maya terbangun kaget. Ini mungkin nyata: Shizuka pasti mengajak Miki begitu mendengar kematian Taku. Mereka datang untuk mencarin ya. Miki ada di luar. Mereka bisa pergi ke Hagi bersamasama; mereka bisa pulang ke rumah. aya tahu ia hanya punya sedikit waktu untuk mengambil keputusan. Mereka pasti me mbawanya dengan disembunyikan, dengan tangan terikat mungkin; ia bisa saja mengecoh penga wal Zenko tapi takkan bisa lolos dari Akio. Ia mulai mengukur kamar itu dengan jarak langkah. U dara terasa semakin panas; ia lapar dan lelah; saat berjalan tanpa berpikir, ia hanyut dalam mimpi y ang terjaga, dan melihat Miki berada di gang di belakang rumah. Maya terbangun kaget. Ini mungkin nyata: Shizuka pasti mengajak Miki begitu mendengar kematian Taku. Mereka datang untuk mencarin ya. Miki ada di luar. Mereka bisa pergi ke Hagi bersamasama; mereka bisa pulang ke rumah. Ia tidak ingin berpikir lagi karena hanya akan membuang-buang waktu. Ia mengubah wujud menjadi kucing dan melewati dinding. Seorang perempuan di beranda berusaha menghalaunya dengan sapu sewaktu Maya berl ari melewatinya; terus berlari melintasi halaman, tidak berusaha sembunyisembunyi, ta pi ketika sampai di dinding sebelah luar, dilewatinya bangunan bengkel dan merasakan kehadiran Hi sao di sana. Jangan sampai dia mclihatku. Dia tidak akan membiarkan aku pergi Gerbang belakang terbuka, dan dari jalanan di depan-nya terdengar olehnya derap kuda mendekat. la menoleh ke belakang dan melihat Hisao berlari dengan senjata di tangan, matanya mencari-cari di halaman. Ketika melihat, dia berseru, "Kembali!" Ia merasakan kekuatan perintah itu, dan tekadnya melemah. Si kucing mendengarkan majikannya; si kucing tidak akan meninggalkannya. Ia sudah berada di luar, di jalanan, tapi kaki kucing itu terasa berat. Hisao memanggil lagi. Ia harus kembali kepadanya. Maya sadar dari sudut matanya melihat sosok samar yang tak kelihatan. Secepat bi lah pedang, dari seberang jalan, sesuatu melesat di antara kucing itu dan Hisao, dan sosok itu me miliki ketajaman yang luar biasa hingga memutuskan keterkaitan antara mereka berdua.

"Maya," didengarnya Miki memanggil. "Maya!" dan saat itulah Maya mendapatkan kek uatan untuk berubah wujud. Miki, sekarang kelihatan, berdiri di sampingnya. Adik kembarnya i tu memegang eraterat tangannya. Hisao berteriak dari gerbang, tapi suaranya hanya suara anak laki-lak i. Maya tidak harus mendengarkannya lagi. Kedua gadis itu menghilang lagi, dan selagi pengawal Lord Arai datang dari sudut jalan, mereka berlari tanpa terlihat memasuki jalan-jalan kota pelabuhan yang sempit dan berli ku-liku.* Keberangkatan Takeo dari Miyako dilepas dengan upacara dan kegembiraan yang lebi h besar, meski ada kekagetan dan kekecewaan karena ia pergi begitu cepat. "Kemunculan Anda ibarat komet," ujar Lord Kono, ketika bangsawan itu datang meng ucapkan selamat jalan. "Melesat bercahaya melintasi langit musim panas." Takeo ingin tahu seberapa tulus pujian ini, karena orang biasanya percaya kalau komet merupakan pertanda buruk datangnya kehancuran dan kelaparan. "Kurasa aku ada alasan mendesak untuk pulang," sahutnya, seraya memikirkan kalau Kono mungkin sudah tahu apa alasannya; tapi bangsawan itu tidak menunjukkannya, atau menyebut kan kematian Taku. Halaman 267 dari 600

Saga Hideki bahkan lebih tak bisa berkatakata karena terkejut dan merasa tidak se nang akan kepergiannya yang mendadak itu. Mendesak agar tinggal lebih lama lagi atau aga Hideki bahkan lebih tak bisa berkatakata karena terkejut dan merasa tidak sen ang akan kepergiannya yang mendadak itu. Mendesak agar tinggal lebih lama lagi atau jika Lord Otori benar-benar harus kembali ke Tiga Negara, agar setidaknya mening galkan Lady Maruyama untuk menikmati indahnya musim panas di ibukota. "Masih banyak yang perlu kita bicarakan aku ingin tahu cara Anda memerintah Tiga N egara, apa yang menopang kemakmuran dan kesejahteraan kalian, bagaimana cara Anda menghadap i kaum barbar." "Kami menyebutnya orang asing," Takeo berani membetulkan perkataannya. Saga menaikkan alisnya. "Orang asing, kaum barbar, sama saja." "Lord Kono menghabiskan banyak waktu bersama kami. Dia pasti sudah melaporkannya kepada Anda." "Lord Otori," Saga mencodongkan badan dan bicara dengan penuh rahasia. "Lord Kon o mendapatkan sebagian besar informasinya dari Arai. Keadaan sudah berubah sejak saat itu." "Apakah aku mendapat jaminan dari Lord Saga?" "Tentu saja! Kita sudah mengumumkan kesepakatan yang mengikat. Anda tidak perlu khawatir. Kita adalah sekutu dan tak lama akan menjadi kerabat." Takeo bersikeras menolak bujukannya dengan sikap sopan yang tegas; dari semua pe njelasan tentang keindahan yang perlu mereka lihat sebenarnya tidak bagus. Ibukota diland a hawa panas, dan hujan plum yang bisa terjadi kapan saja membuat udara menjadi lembap dan berjamu r. Ia tidak ingin Shigeko menderita dalam kondisi seperti itu. Ia ingin sekali pulang, merasakan d ingin angin laut di Hagi, bertemu Kaede dan putranya, kemudian menghadapi Zenko dengan tegas. Lord Saga memberi kehormatan dengan menemani mereka selama minggu pertama perjal anan sampai di Sanda, tempat dia mengatur jamuan makan perpisahan. Saat jamuan selesai dan mereka akhirnya mengucapkan selamat tinggal, Takeo meras a semangatnya bangkit. Ia nyaris tidak menduga bisa pulang membawa kemenangan besar seperti ini. Membawa dukungan dan pengakuan Kaisar, dan juga persekutuan yang tulus dengan Sa ga. Perbatasan wilayah Timur akan aman dari serangan; tanpa dukungan Saga, Zenko bis a disembuhkatt

dari ambisinya dan menerima kenyataan sahnya pemerintahan Takeo. "Bila ada bukti keterlibatannya dalam kematian Taku, maka dia akan dihukum. Tapi bila memungkinkan, demi Shizuka, maka aku akan membiarkannya tetap hidup." Takeo melakukan perjalanan dengan tandu, dengan formalitas besar, sampai ke Sand a. Sungguh lega Saga sudah pergi dan membuatnya bisa menanggalkan jubah indahnya lalu menun ggang Tenba lagi. Hiroshi yang menungganginya karena kuda itu menjadi terlalu bersemangat da n sulit dikendalikan bila tidak ditunggangi setiap hari; kini Hiroshi menunggang kuda tu a miliknya, Keri, anak Raku. "Gadis itu, Mai, menceritakan kalau Ryume, kuda Taku, mati bersama majikannya," t utur Hiroshi kepada Takeo saat mereka berkuda berdampingan. "Tapi tidak jelas apakah dia juga mati ditembak." Hari itu cuaca panas, langit tak berawan; kuda-kuda berkeringat selagi jalan sem akin menanjak menuju tanah lapang yang masih kelihatan jauh. "Aku ingat dengan jelas saat pertama kali kita lihat kuda-kuda jantan itu," sahu t Takeo. "Kau langsung mengenali kalau mereka adalah anak-anak Raku. Mereka adalah pertanda pertama bagiku akan kembalinya harapan, bahwa kehidupan senantiasa bermula dari kematian." Halaman 268 dari 600

"Aku merindukan Ryume hampir sebesar rinduku pada Taku," ujar Hiroshi pelan. ku merindukan Ryume hampir sebesar rinduku pada Taku," ujar Hiroshi pelan. "Untungnya kuda Otori tidak menunjukkan tanda-tanda kematian. Tentu saja, di bawa h bimbingan tangan ahlimu, kurasa mereka makin berkembang. Kukira aku tak akan memiliki kuda seperti Shun lagi, tapi mesti kuakui aku sangat senang dengan Tenba." 'Tenba menantang untuk dijinakkan, tapi ternyata hasilnya baik-baik saja." Tenba berderap cukup tenang, namun tepat saat Hiroshi bicara, kuda itu mengibask an kepala dan berputar ke arah mereka datang, seraya meringkik keras. "Kau terlalu cepat bicara," ujar Takeo, seraya mengarahkan kuda itu kembali dala m kendalinya dan memaksanya agar bergerak ke depan lagi. "Dia masih menjadi tantangan: kau takkan bisa mengabaikannya." Shigeko, yang sedari tadi berkuda di akhir arak-arakan bersama Gemba, datang men g hampiri mereka. "Sesuatu membuatnya kesal," ujar Shigeko, dan membelokkan pelana untuk memandang ke arah belakangnya. "Dia merindukan kirin," ujar Hiroshi. "Mungkin sebaiknya kita tinggalkan saja dia bersama kirin," ujat Takeo. "Sempat terpikir olehku, tapi aku tidak ingin berpisah dengannya." "Dia akan menjadi liar dan tidak bisa dikendalikan di Miyako." Hiroshi melirik k e arah Shigeko. Tenba dijinakkan dengan kelembutan; kini tidak bisa ditangani dengan kekerasan." Tenba terus gelisah, tapi Takeo menikmati tantangan untuk membujuk Tenba agar te nang, dan ikatan di antara mereka berdua semakin kuat. Bulan purnama di bulan keenam sudah berubah , tapi tidak membawa hujan yang diharapkan. Takeo takut kalau mereka harus melewati jalur peg unungan paling tinggi dalam keadaan hujan, dan lega karena hawa panas makin menyengat. Kudakuda semakin kurus; pengurus kuda khawatfr' mereka makan pasir atau cacingan. Lalat penghisap darah mengganggu manusia dan hewan di malam hari. Sewaktu bulan baru di bulan ketujuh muncul di ufuk timur, halilintar berge-muruh dan petir ber kilatan di langit tiap malam, tapi tetap tidak turun hujan. Gemba menjadi sangat pendiam; seringkali saat terbangun di malam hari Takeo melih at dia sedang duduk tanpa ber-gerak: bermeditasi atau berdoa. Satu atau dua kali ia bermimpi,

atau membayangkan Makoto, nun jauh di Terayama, melakukan hal yang sama. Mimpi-mimpi Takeo menggam barkan benang putus dan peti mati kosong, cermin tanpa bayangan, manusia tanpa bayangan . Ada yang tidak beres, Gemba pernah berkata, dan ia merasakan itu dalam aliran darah dan t ulangnya. Rasa sakitnya yang berkurang selama perjalanan, kini terasa lagi, lebih sakit dari ya ng pernah dirasakannya. Dengan desakan yang hanya setengah dipahaminya, diperintahkannya a gar kecepatan perjalanan ditingkatkan: mereka bangun sebelum matahari terbit dan berkuda di ba wah cahaya bulan. Sebelum bulan mencapai seperempat bagian pertama, mereka sudah tak jauh dari Jal ur Rajawali: kurang dari sehari perjalanan, Sakai Masaki yang berjalan lebih dulu untuk mengintai, melaporkan. Hutan semakin lebat di sekitar jalur itu, pohon ek serta hornbeam, dengan pohon cedar dan pinus di lereng yang lebih tinggi. Mereka berkemah di bawah pepohonan; air melimpah karen a ada mata air, tapi makanan yang mereka bawa menipis. Takeo tidur sedikit, dan terbangun dengan seruan salah satu pengawal, "Lord Otori!" Saat itu matahari baru akan terbit, burungburung baru mulai berkicau. Matanya terb uka, mengira masih bermimpi: ia melihat sekilas, seperti biasa, pertama ke barisan kuda, lalu melihat kirin. Halaman 269 dari 600

Hewan itu berdiri di samping Tenba, leher panjangnya membungkuk, kakinya meregan g keluar, kepalanya dekat dengan kuda-kuda, tanda putihnya berkilau menakutkan ditimpa cah aya keabuewan itu berdiri di samping Tenba, leher panjangnya membungkuk, kakinya meregang keluar, kepalanya dekat dengan kuda-kuda, tanda putihnya berkilau menakutkan ditimpa cah aya keabuabuan. Takeo berdiri, tubuhnya terasa kaku dan pegal. Hiroshi yang tidur tidak jauh dar inya sudah lebih dulu berdiri. "Kirin kembali?" pekiknya. Seruannya membangunkan yang lain, dan seketika itu juga kirin dikerumuni. Hewan itu menunjukkan semua tanda gembira karena berada di antara mereka: menggosokkan hidungnya pada Shigeko, serta menjilati tangan Hiroshi dengan lidah abu-abu panjangnya. Kulitnya tergores di mana-mana, lututnya berdarah; bagian belakang k aki kirinya tidak apa-apa, dan di lehernya ada bekas luka gesekan tali, seolah hewan itu berjuang melepaskan diri. "Apa artinya ini?" tanya Takeo dengan gempar. Dibayangkannya hewan itu lari meli ntasi daerah yang tidak dikenalnya, langkah panjangnya yang canggung, ketakutan dalam kesendiriann ya. "Bagaimana hewan ini bisa kabur? Apakah mereka melepasnya?" Shigeko menjawab, "Itulah yang kutakutkan. Seharusnya kita tinggal lebih lama, me mastikan agar kirin senang. Ayah, biarkan aku yang mengembalikannya." "Sudah terlambat," sahuinya. "Lihatlah; kita tak bisa menyerahkannya pada Kaisar dalam kondisiseperti ini." "Dia takkan sanggup bertahan dalam perjalanan," sahut Hiroshi setuju. Pemuda itu pergi ke mata air, mengisi ember dengan air dan membiarkan kirin minum, kemudian mulai membasuh dar ah kering di badannya. Kulitnya mengkerut dan gemetar tapi tetap berdiri tenang. Tenba meringkik pelan melihatnya. "Apa artinya ini?" tanya Takeo pada Gemba setelah hewan itu diberi makan dan per intah dikeluarkan agar perjalanan segera dilanjutkan. "Haruskah kita meneruskan perjalanan dengan membawa kirin? Atau haruskah kita mengirim semacam ganti rugi ke Miyako?" Sejenak Takeo berhent i bicara, menatap putrinya selagi menenangkan dan membelai kirin. "Kaisar pasti merasa ter hina karena hewan ini kabur," lanjutnya dengan suara pelan. "Ya, kirin memang disambut sebagai pertanda restu dari Surga," tutur Gemba. "Kin

i hewan itu menunjukkan kalau dia lebih memilihmu ketimbang Paduka Yang Mulia. Pasti akan di anggap sebagai peng-hinaan yang luar biasa." "Apa yang harus kulakukan?" "Bersiap untuk berperang, kurasa," sahut Gemba tenang. "Atau mencabut nyawamu se ndiri, bila kau pikir itu lebih baik." "Kau tahu segalanya hasil pertandingan, penyerahan Jato, kemenanganku. Tidakkah ka u tahu yang satu ini?" "Segala sesuatu ada sebab dan akibat," sahut Gemba. "Peristiwa keji seperti kematian Taku telah melepaskan semua rangka ian peristiwa: ini pasti salah satunya. Mustahil bisa diramalkan atau mencegah semuanya." Diulurkan tangannya dan menepuk bahu Takeo, dengan cara yang sama Shigeko menepuk kirin. "Maaf. Sudah kuk atakan sebelumnya bahwa ada yang tidak beres. Aku berusaha mempertahankan keseimbangann ya, namun keseimbangannya terputus." Takeo menatapnya, tidak sanggup memahami kata-katanya. "Apakah telah terjadi ses uatu pada kedua putriku?" Dihelanya napas dalam-dalam. "Istriku?" "Aku tak bisa mengatakan rincian semacam itu. Aku bukan penyihir atau dukun. Yan g kutahu hanyalah sesuatu yang menahan jaring yang rapuh telah terputus." Halaman 270 dari 600

Mulut Takeo terasa kering karena rasa takut. "Bisakah diperbaiki?" lut Takeo ter asa kering karena rasa takut. "Bisakah diperbaiki?" Gemba tidak menjawab, dan pada saat itu pula, di atas hiruk pikuk persiapan, Tak eo mendengar derap langkah kuda dari kejauhan. "Ada yang berkuda ke arah kita," ujarnya. Tak lama kemudian kuda-kuda dalam barisan menaik-kan kepala dan meringkik, dan kuda yang tengah berjalan menghampi ri meringkik balik selagi berjalan dengan santai di sekitar kelokan jalur dan mulai kelihatan . Ternyata itu salah satu kuda Maruyama pemberian Shigeko kepada Lord Saga, dan pe nunggangnya adalah Lord Kono. Hiroshi berlari ke depan untuk mengambil tali kekang sewaktu bangsawan itu menghe ntikan kudanya; Kono melompat turun dari punggung kudanya. Penampilannya yang tidak ber tenaga sirna sudah; laki-laki itu kelihatan kuat dan trampil, seperti saat pertandingan. "Lord Otori, aku senang berhasil menyusul Anda." "Lord Kono," balas Takeo. "Kurasa aku tak bisa menawarkan banyak untuk menyegark an diri. Kami baru saja hendak melanjutkan perjalanan. Kami akan berada di seberang perbatasan pada tengah hari nanti." Takeo tidak peduli jika si bangsawan tersinggung. Ia percaya tak ada sat u hal pun yang bisa memperbaiki posisinya sekarang ini. "Aku harus meminta Anda menunda perjalanan," desak Kono. "Mari bicara berdua saja." "Kurasa tidak ada yang perlu dibicarakan saat ini." Kegelisahannya telah berubah menjadi kemarahan. Takeo bisa merasakan kemarahannya memuncak di balik matanya. Selama b erbulanbulan ia telah berusaha keras untuk bersabar dan mengendalikan diri. Kini dilihatnya k alau semua upayanya akan hancur oleh kejadian yang tak beraturan, rasa suka kirin yang tidak terkendali pada kawannya ketimbang dengan orang asing. "Lord Otori, aku tahu Anda menganggapku sebagai musuh, tapi percayalah, perhatian ku pada Anda tulus dari lubuk hatiku. Mari, beri aku waktu untuk menyampaikan pesan Lord Saga ." Tanpa menunggu jawaban, Kono berjalan menjauh menuju pohon cedar yang sudah tumb ang hingga

seolah menyediakan tempat duduk yang alami. Kerabat Kaisar itu duduk dan memberi isyarat agar Takeo bergabung dengannya. Takeo melihat sekilas ke timur. Tepian pegunungan tam pak hitam pekat berlawanan dengan langit yang berkilauan, berlukiskan warna keemasan. "Kuberi waktu sampai matahari menyinari puncak gunung," ujar Takeo. "Ijinkan aku ceritakan apa yang terjadi. Kemenangan dari kunjungan Anda agak mer edup dengan kepergian Anda yang lebih awal. Tadinya Kaisar berharap bisa lebih mengenal Anda A nda membuat Kaisar terkesan. Tetap saja, Kaisar cukup gembira dengan hadiah-hadiah pemberian Anda, terutama hewan ini. Kaisar kemudian khawatir melihat kirin yang kian gelisah setelah kepe rgian Anda. Kaisar mengunjunginya setiap hari, tapi hewan itu ketakutan, dan tidak mau makan selama tiga hari. Kemudian dia kabur. Kami mengejarnya, tapi tentu saja, semua upaya kami untuk me nangkapnya gagal, dan akhirnya dia berhasil lolos. Suasana ibukota berubah dari gembira bah wa Kaisar direstui Surga menjadi ejekan, bahwa restu Surga berpindah, bahwa ternyata Lord Otori-lah yang didukung Surga, bukannya Kaisar dan Lord Saga." Kono berhenti sejenak. "Tentu saja, penghinaan ini tak bisa diabaikan. Aku bertem u Lord Saga saat beliau meninggalkan Sanda; dan segera berbalik arah. Lord Saga berada hampir tid ak sampai sehari menunggang kuda di belakangku. Kekuatan telah di himpun; pasukan khususnya senantiasa siaga, dan mereka sudah siap untuk kemungki nan semacam ini. Pasukan Anda kalah banyak dengannya. Aku diperintahkan menyampaikan bahwa bila An da Halaman 271 dari 600

tidak kembali bersamaku dan meminta maaf pada Kaisar: maka Anda harus bunuh diri a ku khawatir pilihan untuk mengasingkan diri sudah tidak ada lagi Saga akan memburu Anda, dan m erebut Tiga Negara dengan paksa. Anda dan keluarga Anda akan dihukum mati kecuali Lady Maruya ma, yang Lord Saga harap bisa dinikahinya." idak kembali bersamaku dan meminta maaf pada Kaisar: maka Anda harus bunuh diri ak u khawatir pilihan untuk mengasingkan diri sudah tidak ada lagi Saga akan memburu Anda, dan m erebut Tiga Negara dengan paksa. Anda dan keluarga Anda akan dihukum mati kecuali Lady Maruya ma, yang Lord Saga harap bisa dinikahinya." "Bukankah sejak awal dia telah merencanakan akan seperti ini jadinya?" sahut Take o, tidak berusaha mengendalikan amarahnya. "Biarkan dia mengejarku: dia akan kaget atas y ang akan menantinya." "Aku tidak bisa mengatakan kalau aku terkejut, tapi menyesali keputusan Anda," u jar Kono. "Anda harus tahu betapa aku mengagumi Anda...." Takeo memotong perkataannya. "Kau sering menyanjungku, tapi kurasa kau berniat j ahat padaku dan berusaha melemahkan diriku. Mungkin kau merasa dengan cara tertentu akan dapat me mbalaskan dendam atas kematian ayahmu. Jika kau memang memiliki kehormatan atau keberanian sejati , mestinya kau menantangku secara langsung, ketimbang diam-diam bersekongkol dengan Lord Arai, bawahanku dan adik iparku. Kau ular bermuka dua yang hebat. Kau telah menghina dan menipuk u." Wajah Kono yang sudah pucat makin pucat. "Kita akan berjumpa dalam pertempuran," sahutnya. "Saat itu tipuan dan ilmu sihir takkan bisa menyelamatkan Anda!" Kono berdiri, dan tanpa membungkuk hormat berjalan ke arah kudanya, melompat ke atas punggungnya lalu menarik tali kekang dengan kasar untuk memalingkan kepala kudan ya. Kuda itu enggan meninggalkan kawan-kawannya, dan agak melawan, Kono menghentakkan kaki di bagian samping kuda itu; kuda itu bereaksi dengan melompat dan menendang, melemparkan b angsawan itu yang terjatuh dengan memalukan ke tanah. Keadaan menjadi sunyi. Dua pengawal terdekat menarik pedang, dan Takeo tahu semu a orang berharap ia memberi perintah untuk membunuh Kono. Ia berharap melakukannya sendi ri, sesuatu untuk melampiaskan kemarahannya, ingin

menghukum orang yang berada di bawah kakinya atas semua penghinaan, rencana jaha t dan pengkhianatan yang mengepung dirinya. Tapi sesuatu mencegahnya untuk melakukan i tu. "Hiroshi, ambil kuda Lord Kono dan bantu dia," ujarnya, lalu berpaling agar tak lebih mempermalukan bangsawan itu. Para pengawal menurunkan pedang lalu menyarungkannya kembali. Saat didengarnya derap langkah kaki makin menjauh menyusuri jalan itu, Takeo ber paling ke arah Hiroshi dan berkata, "Kirim Sakai pergi untuk memberitahu Kahei dan perintahkan dia bersiap untuk berperang. Kita harus berhasil menyeberangi jalur sempit secepat mungkin." "Ayah, bagaimana dengan kirin?" tanya Shigeko. "Dia kelelahan. Dia takkan sanggu p mengikuti kita." "Hewan itu harus bisa mengikuti kita bila tidak maka lebih baik dibunuh sekarang juga," sahutnya, dan melihat wajah putrinya tercengang. Besok mungkin ia akan melihat putrinya be rtarung mempertahankan diri, Takeo sadar, namun putrinya itu belum pernah membunuh satu makhluk hidup pun. "Shigeko," tuturnya. "Ayah bisa menyelamatkanmu dan kirin hanya dengan cara menye rahkan diri pada Lord Saga. Ayah akan bunuh diri, kau akan menikah dengannya, dan kita masih bisa menghindari pe-perangan." "Kita tidak bisa lakukan itu," sahut Shigeko tanpa ragu. "Saga telah menipu dan mengancam kita, serta mengingkari semua janjinya pada kita. Akan kupastikan kirin tidak tertingg al." "Maka tunggangilah Tenba," sahut Takeo. "Mereka berdua akan saling memberi seman gat." Sebagai gantinya, Takeo mengambil kuda Shigeko, Ashige, dan menyuruhnya berjalan di depan bersama Gemba, seraya berpikir kalau putrinya akan lebih aman di sana ketimbang berada di belakang. Kemudian muncul masalah apa yang harus dilakukan dengan kuda beban, da n hadiahhadiah mewah dari Kaisar dan Lord Saga yang mereka bawa. Halaman 272 dari 600

Kuda-kuda itu tidak bisa mengimbangi jalan kuda lainnya merasa kalau Kaisar sudah terlanjur tersinggung dan tak bisa uda-kuda itu tidak bisa mengimbangi jalan kuda lainnya merasa kalau Kaisar sudah t erlanjur tersinggung dan tak bisa ditebus dengan apa pun, Takeo memerintahkan agar bal-bal dan keranjang ditinggalkan di dekat kuil batu kecil d i tepi mata air. Takeo menyesali kehilangan bendabenda indah itu: jubah sutra, cermin perunggu dan mangk uk berpernis. Ia berpikir betapa Kaede sangat senang atas itu semua, tapi tidak melihat ada ja lan keluar lain. Tandu pun ditinggalkannya, bahkan baju zirah berhias indah pemberian Lord Saga. Baju z irah itu berat dan tidak praktis, dan Takeo lebih suka baju zirah miliknya yang diurus oleh Kahei. "Semua benda itu adalah sesaji untuk dewa gunung," tuturnya pada Hiroshi, selagi mereka berkuda menjauh. "Meski aku tidak percaya dewa mana pun bisa menolong kita saat ini. Apa artinya restu dari Surga? Kita tahu kalau kirin hanyalah hewan biasa, bukan makhluk dalam dongeng. Hewan itu kabur karena merindukan kawannya." "Kini kirin sudah menjadi perlambang," sahut Hiroshi. "Begitulah cara manusia me nghadapi dunia." "Kini bukan saatnya untuk bicara filsafat! Sebaiknya kita bicarakan tentang renc ana pertempuran." "Ya, aku sudah memikirkannya sejak kita melewati jalan ini: perbatasan di depan kita dapat digunakan untuk bertahan menghadapi pasukan Saga. Tapi apakah kini perbatasan itu tidak dij aga? Andai aku menjadi Saga, akan kututup semua rute yang bisa kau lalui sebelum kau meninggalk an ibukota." "Itu juga terpikir olehku," aku Takeo, dan ketakutan mereka dipastikan tak lama kemudian saat Sakai kembali melaporkan bahwa jalur telah dipenuhi pasukan Saga yang bersembunyi di s ela bebatuan dan pepohonan, bersenjatakan panah dan senjata api. "Aku memanjat pohon dan melihat ke belakang ke arah Timur," tutur Sakai. "Dengan teropong aku melihat pasukan Saga dari kejauhan, sedang mengejar kita. Mereka mengibarkan pan ji-panji merah, dan pasukan pertahanan Saga di perbatasan pasti juga sudah melihatnya. Aku suruh Kitayama mengitari tempat itu bila orang lain bisa melewatinya, maka dia juga bisa melewatin ya tapi dia harus mendaki gunung dan turun di sisi gunung yang satunya lagi sebelum mencapai tempat Lord Miyoshi." "Butuh berapa lama hingga dia bisa sampai di sana?" tanya Takeo.

"Beruntung bila dia bisa sampai sebelum malam." "Ada berapa banyak pasukan di perbatasan?" "Lima puluh sampai seratus orang. Kami tak sempat menghitungnya." "Baiklah, pasukan kita kurang lebih sebanding dengan jumlah pasukan musuh," ujar Hiroshi. "Tapi mereka memiliki semua keuntungan dari tanah datar." "Terlambat untuk memberi kejutan: tapi bisakah kita mengecoh dengan mengitari me reka?" tanya Takeo. "Satu-satunya harapan kita adalah menggiring mereka ke lahan terbuka," sahut Hiro shi. "Saat itulah kita bisa menembak mereka satu demi satu Anda dan Lady Shigeko harus berkuda denga n kecepatan penuh sementara kami melindungi kalian." Takeo terdiam merenung selama beberapa saat, kemudian menyuruh Sakai pergi lebih dulu bersama pengawal lainnya untuk berhenti tepat di depan perbatasan lalu bersembunyi. Ia la lu menyusul Shigeko dan Gemba. "Ayah harus meminta kuda itu kembali," ujarnya. "Ayah hendak memancing musuh kel uar dari persembunyian." "Ayah takkan pergi sendirian, kan?" tanya Shigeko, sewaktu turun dari punggung T enba lalu mengambil tali kekang Ashige dari tangan ayahnya. Halaman 273 dari 600

"Ayah akan pergi bersama Tenba dan kirin," sahutnya. "Tapi takkan ada yang melih at Ayah." Ayah akan pergi bersama Tenba dan kirin," sahutnya. "Tapi takkan ada y ang melihat Ayah." Takeo jarang memperlihatkan kemampuan Tribe-nya pada Shigeko, atau bahkan membica rakannya, dan kini pun ia tak ingin menjelaskannya. Dilihatnya tatapan ragu putrinya yang kemudian dengan cepat dikendalikannya. "Jangan khawatir," ujarnya. "Tak ada yang bisa menyakiti Ayah. Tapi kau harus me nyiapkan panahmu dan bersiap untuk menembak mati." "Kami akan berusaha melumpuhkan mereka ketimbang membunuh mereka," sahutnya sera ya melirik ke arah Gemba yang duduk diam tanpa ekspresi di punggung kuda hitamnya. "Ini akan menjadi pertempuran yang sebenarnya, bukan perlombaan," tutur Takeo, ingin putrinya siap untuk peperangan yang haus darah. "Mungkin kelak kau tak punya pilihan." "Ayah harus ambil Jato kembali. Ayah jangan pergi tanpa membawanya." Takeo mengambil pedang itu dari putrinya dengan rasa terima kasih. Ada bingkai k husus yang sengaja dibuat pada pedang itu, hingga terlalu berat bagi Shigeko untuk membawan ya; pedang itu sudah di punggung Tenba, tepat di depan pelana. Pedang itu masih disarungi denga n kain upacaranya dan kelihatan luar biasa. Takeo mengikatkan tali sutra kirin ke tali leher Tenba dan sebelum menaiki kuda, dipeluknya Shigeko, berdoa dalam hati bagi keselamatan put rinya. Saat itu kira-kira tengah hari dan cuaca sangat panas. Takeo meraih tali kekang Tenba den gan tangan kiri, mendongak sesaat dan melihat awan tebal yang mengandung kilat menumpuk di arah B arat. Tenba mengibaskan kepala menghalau kerumunan serangga kecil yang menggigitinya. Sewaktu menunggang kuda menjauh dari pasukan bersama kirin, Takeo menyadari ada seseorang yang berjalan kaki mengikutinya. Ia telah memerintahkan bahwa dia harus pergi sendiri, lalu memalingkan pelananya untuk memerintahkan siapa pun itu agar kembali ke pasukan. "Lord Otori!" Ternyata itu Mai, gadis Muto, adik Sada. Takeo berhenti sejenak lalu gadis itu berjalan menghampiri ke samping kuda. Tenb a mengayunkan kepala ke arah gadis itu. "Mungkin aku bisa membantu," ujarnya. "Ijinkan aku pergi bersama Anda." "Kau bersenjata?"

Mai menarik sebilah belati dari balik jubahnya. "Aku juga punya pisau lempar, da n garotte. Lord Otori berencana menggunakan kemampuan menghilang?" Takeo mengangguk. "Aku juga bisa menggunakannya. Apakah Anda bermaksud memaksa musuh menampakkan d iri agar para pangawal bisa menyerang mereka?" "Mereka akan melihat seekor kuda perang dan kirin berjalan sendiri. Kuharap kein gintahuan dan keserakahan akan menggiring mereka menghampirinya. Jangan menyerang dulu sampai m ereka berada di daratan terbuka dan Sugita memerintahkan tembakan pertama. Mereka pasti terbuai dengan kecerobohannya sendiri. Berlindung di sisi mana pun yang kelihatannya hanya ada sedikit musuh, dan bunuh musuh sebanyak-banyaknya semampumu. Makin mereka kebingungan, makin ba gus." Mai tersenyum tipis. "Terima kasih, tuan. Setiap nyawa yang kuhabisi akan membala skan dendam kakakku." Kini aku yang memulai peperangan, pikirnya dengan perasaan sedih saat didesaknya Tenba agar berjalan lagi, lalu membiarkan kemampuan menghilang menyelimuti dirinya. Jalanan itu makin curam dan berbatu, tapi tepat di depan perbatasan, jalannya ag ak menanjak dan melebar. Matahari masih tinggi di langit, tapi sudah mulai tenggelam di ufuk bar at, dan bayangHalaman 274 dari 600

bayang mulai memanjang. Di kedua sisi jajaran pegunungan, muncul dari hutan leba t, terbentang Tiga Negara, kini berselimut awan. Petir berkilatan di kejauhan, dan terdengar g emuruh halilintar yang membuat Tenba mengibaskan kepala dan gemetar; kirin berjalan dengan tenang dan a nggun seperti ayang mulai memanjang. Di kedua sisi jajaran pegunungan, muncul dari hutan lebat , terbentang Tiga Negara, kini berselimut awan. Petir berkilatan di kejauhan, dan terdengar g emuruh halilintar yang membuat Tenba mengibaskan kepala dan gemetar; kirin berjalan dengan tenang dan a nggun seperti biasa. Dikejauhan Takeo mendengar desingan layang-layang dan kepakan sayap burung, keri at-keriut pepohonan tua, dan gemericik air. Saat memasuki lembah, terdengar olehnya suara b erbisik, gemerisik pelan orang berpindah tempat, helaan busur, dan bahkan lebih mengancam lagi, bunyi ketukan senjata api yang tengah diisi bubuk mesiu. Sesaat darahnya membeku. Takeo tidak takut mati; ia sudah sering bersentuhan den gan kematian hingga tidak membuatnya takut; terlebih lagi, ia sudah yakin kalau tak seorang p un yang bisa membunuhnya sampai putranya sanggup melakukannya, tapi kini rasa takut yang nyar is tak disadarinya muncul, pada peluru yang bisa membunuh dari jauh, bijih besi yang ma mpu mengoyak daging dan tulang. Bila aku harus mati, ijinkan aku mati oleh pedang, ia berdoa saat halilintar bergemuruh lagi, bila aku mati akibat senjata api, maka itu hanya untuk keadilan , karena akulah yang mengenalkan serta mengembangkan benda itu. Ia tak ingat pernah menggunakan kemampuan menghilang saat menunggang kuda, ia me mbiasakan diri untuk memisah kan ketrampilan ksatria dari kemampuan Tribe. Dibiarkannya tali kekang kuda meng gantung dan mengangkat kakinya dari sanggurdi agar tidak kelihatan ada penunggangnya. Ia ing in tahu apa yang ada dalam pikiran prajurit yang tengah memandangi kuda dan kirin berjalan melewat i lembah. Apakah pemandangan itu mimpi, atau legenda yang menjadi kenyataan? Kuda hitam, d engan surai dan ekor berkilau sama terangnya dengan pelana, pedang di samping pelana; serta kirin, tinggi dan asing, dengan leher panjang serta kulit yang bercorak aneh. Terdengar olehnya desingan sebatang anak panah: Tenba juga mendengarnya dan terk ejut, Takeo berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya selagi gerakan mendadak itu menarik tubuh nya ke kanan dan ke kiri. Tak ingin terjatuh seperti Kono atau pun kehilangan kemampuan menghi langnya karena

kurang konsentrasi. Dipelankan napasnya dan membiarkan tubuhnya mengikuti geraka n kuda seakan mereka adalah satu makhluk. Anak panah itu berjatuhan ke tanah sejauh beberapa langkah di depannya. Anak pan ah itu tidak dibidik langsung ke arah hewan hewan itu, hanya sekadar menguji reaksi alami mereka. Takeo membiarkan Tenba ber gerak dengan cepat dan ringan. Kemudian ia menekan kedua kaki agak di samping perut kuda itu, memaksanya maju, bersyukur atas reaksi kuda itu seperti yang diharapkannya. Kirin pun mengik uti dengan patuh. Terdengar teriakan di sebelah kanannya, dari sebelah utara lembah. Tenba menegakk an telinga dan memutamya ke arah suara tadi. Satu orang lagi menjawab teriakannya, dari arah se latan. Langkah Tenba mulai berderap dan kirin mulai berlari dengan lompatan naik turun di sebel ahnya. Anggota pasukan mulai menampakkan diri satu demi satu, bermunculan ersembunyian mereka lalu berlarian ke permukaan lembah. Mereka tidak bersenjata a mudah untuk mengepung dan lebih leluasa: mereka berharap bisa menyergap cepat. r mereka bersenjatakan busur panah, dan beberapa senjata api, tapi mereka mengesampingkan dari tempat p berat sehingg Sebagian besa senjata ini.

Tenba mendengus, panik karena mereka seperti sekawanan serigala, dan mempercepat langkahnya sampai akhirnya melangkah santai dan pelan lagi. Hal ini membuat lebih banyak lagi pasukan bermunculan dan berlarian lebih cepat, berusaha menghalangi agar kedua hewan itu jangan ke ujung lembah. Takeo m erasakan tanah mulai curam: mereka telah melewati titik tertinggi lembah; bisa dilihatnya tanah datar di bawahnya tempat pasukan Kahei menunggu. Kini teriakan terdengar di mana-mana, mereka berlomba-lomba menjadi orang pertam a yang memegang tali kekang kuda perang itu untuk menyatakan menjadi miliknya. Di depan, lima atau Halaman 275 dari 600

enam orang pasukan berkuda muncul dari celah antara tebing yang curam. Tenba ber derap, meliuk bak kuda jantan tengah menggiring kuda betina, menyeringai, bersiap menggigit; l angkah panjang kirin membuatnya seperti melayang di atas tanah. Takeo mendengar sebatang anak p anah berdesing melewati dirinya, dan melihat prajurit pertama terjatuh, anak panah menembus dad anya. Di belakangnya terdengar dentuman langkah kuda selagi pasukannya Hiroshi berhamburan memasuki lembah. orang pasukan berkuda muncul dari celah antara tebing yang curam. Tenba berderap , meliuk bak kuda jantan tengah menggiring kuda betina, menyeringai, bersiap menggigit; l angkah panjang kirin membuatnya seperti melayang di atas tanah. Takeo mendengar sebatang anak p anah berdesing melewati dirinya, dan melihat prajurit pertama terjatuh, anak panah menembus dad anya. Di belakangnya terdengar dentuman langkah kuda selagi pasukannya Hiroshi berhamburan memasuki lembah. Desingan mengerikan anak panah memenuhi udara, bak kepakan sayap. Terlambat, pasukan itu menyadari kalau itu jebakan dan mulai berlarian kembali u ntuk berlindung di antara bebatuan. Satu prajurit segera tumbang, sebilah pisau berbentuk bintang m enancap di matanya, membuat mereka yang berada di belakangnya cukup lama merasa ragu untuk lari ke luncuran anak panah selanjutnya. Baik Tenba maupun kirin berada tepat di luar ja ngkauan, atau kemahiran para pemanahnya memang luar biasa, karena tak satu pun mengenai kedua hewan itu. Pasukan berkuda muncul di depannya, pedang terhunus di tangan. Takeo merabaraba s anggurdi, memasukkan kakinya, menguatkan diri lalu menarik Jato dengan tangan kiri. Ia mem biarkan dirinya terlihat di waktu yang sama ketika mengayunkan pedang ke kiri, menghantam prajur it berkuda hingga jatuh dari pelana. Ia menghempaskan berat badannya ke belakang saat berusaha mel ambatkan gerakan Tenba, lalu ia menebas tali yang mengikat kirin ke kuda itu. Kirin berla ri dengan canggung ke depan sementara Tenba, mungkin mengingat untuk apa dia dilahirkan, melambatkan l angkah dan berputar untuk menghadapi prajurit berkuda lain yang kini mengepung Takeo. Dilupakannya usia dan cacat tangannya, tangan kiri mengambil alih peran tangan k anannya yang cacat. Jato melompat seperti yang biasa dilakukannya, seolah bergerak atas kehen daknya sendiri. Ia menyadari Hiroshi yang datang bergabung dengannya. Kuda tunggangan Hiroshi ya ng berkulit abuabu

pucat memerah karena darah. Lalu sekumpulan prajurit datang mengelilinginya: Shi geko dan Gemba dengan busur ter-sandang di punggung dan pedang di tangan. "Maju terus," serunya kepada mereka, dan tersenyum dalam hati selagi mereka berj alan melewatinya dan mulai berjalan menurun. Shigeko aman, setidaknya untuk hari ini. Bentrokan m ereda dan sadar kalau pasukan berkuda musuh yang terakhir tengah berusaha menyelamatkan diri, dan prajurit pejalan kaki juga kabur, mencari perlindungan di sela bebatuan dan pepohonan. "Apakah kita akan kejar mereka?" scru Hiroshi, sambil mengatur napas, membelokkan Keri. "Jangan, biarkan mereka pergi. Saga pasti sudah dekat di belakang. Jangan ditunda. Kita sudah berada di Tiga Negara. Kita akan bergabung dengan Kahei malam ini." Tadi hanyalah pertempuran kecil, pikir Takeo saat mengembalikan Jato ke sarung d an akal warasnya mulai kembali. Pertempuran besar akan terjadi nanti. "Kumpulkan prajurit kita yang terluka dan tewas," perintahnya pada Hiroshi. "Jan gan tinggalkan satu orang pun." Kemudian Takeo berteriak lantang, "Mai! Mai!" Dilihatnya kedipan sosok dengan kemampuan menghilang di sisi utara, lalu mengara hkan Tenba menghampiri saat gadis itu menampakkan diri. Takeo mengulurkan tangan lalu menga yunkan gadis itu naik di belakangnya. "Kau terluka?" serunya sambil menengok ke belakang. "Tidak," teriak Mai balik. "Aku membunuh tiga orang dan melukai dua orang." Dapat dirasakannya debar jantung Mai berpacu cepat menempel di punggungnya; arom a keringat Mai mengingatkan Takeo kalau sudah berbulan-bulan sejak ia tidur dengan istrinya. Be tapa ia sangat merindukan Kaede: istrinya memenuhi pikirannya saat mengamati lembah untuk melih at prajurit nya yang selamat dan mengumpulkan sisasisanya. Lima orang tewas, sepertinya, mung kin enam orang terluka. Takeo bersedih bagi mereka yang tewas, kesemuanya telah ia kenal selama Halaman 276 dari 600

bertahuntahun, dan bertekad memakamkan mereka dengan penghormatan yang tinggi di kampung halaman mereka di Tiga Negara. Pasukan Saga yang tewas ditinggalkannya di lembah , tidak bersusah payah menebas kepala mereka atau mengurus yang terluka. Saga akan berad a di tempat ini esok hari, lalu entah di hari yang sama atau keesokan harinya mereka akan be rtemu dalam pertempuran. rtahuntahun, dan bertekad memakamkan mereka dengan penghormatan yang tinggi di ka mpung halaman mereka di Tiga Negara. Pasukan Saga yang tewas ditinggalkannya di lembah , tidak bersusah payah menebas kepala mereka atau mengurus yang terluka. Saga akan berad a di tempat ini esok hari, lalu entah di hari yang sama atau keesokan harinya mereka akan be rtemu dalam pertempuran. Suasana hatinya murung saat memberi salam pada Kahei di tanah lapang di bawah. L ega melihat Minoru tidak terluka, ia pergi bersama jurutulis itu ke tenda Kahei, tempat dice ritakannya semua yang telah terjadi pada sang komandan, serta membicarakan rencana untuk keesokan hari nya. Hiroshi membawa kuda ke dalam barisan, tempat Takeo bisa melihat putrinya bersama kirin. Wajah putrinya pucat, dan entah bagaimana terlihat agak kurus, hatinya terasa pedih melihat pen deritaan putrinya. "Setidaknya kita tahu Saga tak bisa datang lewat jalan lain," tutur Takeo. "Dia harus melewati jalur sempit itu." "Kita akan segera kirim pasukan untuk mempertahankannya," sera Kahei. "Tidak, akan kita biarkan terbuka. Kita harap Saga mengira kita sedang kabur, ke hilangan semangat dan kebingungan. Dan dia harus kelihatan seperti penyerang. Kita sedang memperta hankan Tiga Negara, bukan menentang Saga atau Kaisar. Kita tidak bisa tinggal di sini dan me nahannya dengan tidak jelas. Kita haras mengalahkannya dengan telak dan membawa kembali pasukan ke wilayah Barat untuk menghadapi Zenko. Kau sudah mendengar tentang kematian Taku?" "Aku sudah mendengar desas-desus, tapi kami tidak ada kabar resmi dari Hagi." "T idak ada kabar dari istriku?" "Tidak ada kabar sejak bulan ketiga, dan dia juga tidak menyebutkan tentang beri ta duka ini. Mungkin saat itu Kaede memang belum mendengar kabar itu." Hal itu membuat Takeo lebih tertekan lagi, karena ia mengharapkan surat dari ist rinya, dengan berita tentang situasi Negara Tengah dan wilayah Barat, begitu pula dengan kabar tentang kesehatannya juga si

bayi. "Aku belum mendapat kabar dari istriku; kami pernah mendapat pesan dari Inuyama, tapi tidak ada kabar dari Negara Tengah." Kedua laki-laki itu terdiam sejenak, memikirkan rumah mereka nun jauh di sana da n anak-anak mereka. "Baiklah, orang bilang kalau kabar buruk tersebar lebih cepat ketimbang kabar ba ik," sera Kahei, membuang kekhawatirannya dengan cara yang biasa, dengan kegiatan fisik. "Mari ku tunjukkan pasukan kita." Kahei sudah mengatur pasukan dalam formasi tempur: kekuatan utama di sisi barat tanah datar, dan bagian samping di sepanjang tepi utara terlindungi oleh barisan bukit yang menonj ol. Di sini ditempatkan-nya para prajurit bersenjata api, begitu pula dengan pasukan pemanah tambahan. "Kita menghadapi cuaca buruk," ujarnya. "Jika terlalu basah untuk menggunakan se njata api, maka kita kehilangan keuntungan terbesar kita." Takeo berjalan bersamanya di bawah cahaya rembulan untuk menginspeksi posisi, penjaga juga membawakan obor ilalang. Bulan putih semakin mendekati purnama, nam un awan gelap berarak tidak beraturan, dan kilat menyala di langit barat. Gemba duduk di bawah sebatang pohon runjung kecil, di dekat kolam yang menyediakan air buat mereka: matanya te rpejam, jelas terpisah dari hiruk pikuk kemah di sekitamya. "Mungkin adikmu bisa terus menunda turunnya hujan," ujar Takeo, berusaha membang kitkan semangat dirinya dan juga Kahei. "Hujan atau tidak, kita harus bersiap menyambut serangan mereka," sahut Kahei. " Kau sudah bertempur satu kali hari ini. Aku akan berjaga sementara kau dan pendampingmu tid ur." Halaman 277 dari 600

Karena sudah berada di perkemahan sejak bulan kelima, Kahei mengatur agar ia bis a nyaman: Takeo mandi dengan air dingin, makan sedikit, kemudian meregangkan badan di bawah lipa tan sutra tenda. la langsung tertidur, dan memimpikan Kaede. arena sudah berada di perkemahan sejak bulan kelima, Kahei mengatur agar ia bisa nyaman: Takeo mandi dengan air dingin, makan sedikit, kemudian meregangkan badan di bawah lipa tan sutra tenda. la langsung tertidur, dan memimpikan Kaede. Mereka berada di penginapan di Tsuwano, dan malam itu adalah malam pertunangan K aede dengan Shigeru. Dilihatnya Kaede saat berusia lima belas tahun, wajahnya masih mulus tanpa kerutan, tanpa goresan bekas luka di leher, rambut tebalnya hitam te rgerai. Dilihatnya lentera berkelap-kelip di antara mereka berdua saat Kaede menatap tangannya lalu menaikkan pandangan ke wajah. Dalam mimpinya, Kaede ditunangkan dengan Shigeru sekaligus t elah menjadi istrinya; diserahkannya hadiah pertunangan kepada Kaede, dan di saat yang bersam aan meraih tubuh Kaede dan menariknya ke arahnya. Saat dirasakannya bentuk tubuh Kaede yang amat disayanginya dalam pelukannya, te rdengar olehnya gemeletak api dan menyadari kalau gerakannya yang tergesagesa menghantam lentera hingga jatuh. Ruangan itu meledak terbakar; api melahap tubuh Shigeru, Naomi, Ke nji... Takeo terbangun, bau terbakar menyesakkan cuping hidungnya, hujan sudah memerciki tenda, kilat menghanguskan perkemahan, cahaya terangnya yang mengerikan, halilintar memec ah langit.* Setelah Takeo memotong tali pengikat, kirin terus berlari melintasi lembah, namu n kakinya tidak cocok dengan permukaan tanah yang berbatu, dan segera saja langkahnya melambat, berjalan terpincang-pincang. Keributan di belakangnya membuatnya panik, namun di depannya nampak sosok manusia dan kuda yang tidak dikenalnya. Sadar kalau orang dan kuda yang sayang p adanya masih di belakang, hewan itu menunggu dengan kesabaran dan kepatuhannya yang biasa. Shigeko dan Gemba menemukannya di sana, lalu membawanya ke perkemahan. Shigeko d iam tanpa bicara saat melepas pelana Ashige, mengencangkan tali di barisan kuda. Gemba men gambil rumput kering dan air. Mereka dikelilingi prajurit dari perkemahan yang ingin mengetahui tentang pertaru ngan tadi, tapi Gemba menghalau mereka. Dia mengatakan bahwa Kahei harus diberitahu lebih dulu, dan bahwa Lord O

tori ada di belakang mereka. Shigeko melihat ayahnya berkuda memasuki perkemahan. Si gadis Muto, Mai, di belak ang ayahnya dan Hiroshi di sampingnya. Sesaat ia merasa mereka berdua seperti orang yang berb eda: berlumuran darah, kejam, ekspresi kemarahan sisa pertempuran masih tergambar di wajah mereka. Ekspresi wajah Mai pun sama, membuat figurnya kelihatan maskulin. Hiroshi yang p ertama turun dari kuda dan mengulurkan kedua tangannya untuk mengangkat gadis itu turun dari pungg ung Tenba. Setelah itu Takeo turun dan menyapa Kahei, Hiroshi mengambil tali kekang kedua k uda itu, tapi kemudian berdiri sebentar untuk berbicara dengan Mai. Shigeko berharap ia memiliki pendengaran tajam agar tahu apa yang sedang mereka bicarakan, kemudian mencaci dirinya sendiri karena merasa cemburu. Perasaan itu menodai ras a lega karena temyata ayahnya dan Hiroshi tidak terluka. Tenba mencium bau kirin dan meringkik keras. Hiroshi melihat ke arahnya dan Shigeko melihat ekspresi laki-laki yang sangat dikenalnya. Aku mencintainya, pikir Shigeko. Aku hanya akan menikah dengannya. Hiroshi mengucapkan selamat tinggal kepada Mai lalu membawa kedua kuda menuju ba risan kuda, mengikat kuda miliknya, Keri, di samping Ashige, dan Tenba di sebelah kirin. Halaman 278 dari 600

"Mereka semua bahagia sekarang," ujar Shigeko, saat hewan-hewan itu makan dan mi num. "Mereka punya makanan, punya teman, dan sudah lupa peristiwa mengerikan hari ini... Mere ka tidak tahu apa yang menanti besok." Mereka semua bahagia sekarang," ujar Shigeko, saat hewan-hewan itu makan dan min um. "Mereka punya makanan, punya teman, dan sudah lupa peristiwa mengerikan hari ini... Mere ka tidak tahu apa yang menanti besok." Gemba meninggalkan mereka, mengatakan kalau dia perlu menghabiskan waktu seorang diri. "Dia pergi untuk menguatkan dirinya dengan Ajaran Houou," ujar Shigeko. "Aku har us melakukan hal yang sama. Tapi aku merasa telah mengkhianati semua yang telah diajarkan para Gu ru Besar." Ia memalingkan wajah, seketika air mata terasa menusuk kelopak matanya. "Aku tak tahu apakah hari ini aku telah membunuh," ujarnya pelan. "Tapi panahku mengena banyak orang. Bidikanku tepat kena sasaran: tak satu pun anak panah yang meleset. Aku tidak ingin menyakiti anjinganjing itu, namun aku ingin menyakiti orang-orang itu . Aku merasa gembira saat darah mereka menyembur. Berapa banyak dari mereka yang sudah mati sekarang? " "Aku juga membunuh," tutur Hiroshi. "Aku dilatih semasa kecil untuk hal ini, dan sudah terbiasa. Namun kini, setelah kejadian itu, aku merasakan penyesalan dan kesedihan. Aku ti dak tahu bagaimana lagi cara untuk tetap setia pada ayahmu, kepada Tiga Negara, atau mela kukan semampuku untuk melindungi ayahmu juga dirimu." Setelah berhenti sejenak, Hiroshi lalu menambahkan, "Besok pasti lebih buruk lag i. Pertarungan kecil ini tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan pertempuran yang akan terjadi nanti. Seharusnya kau tidak terlibat. Aku tak bisa meninggalkan ayahmu, tapi biar kusarankan agar Gemba membawamu pergi. Kau bisa membawa kirin. Kembalilah ke Inuyama, ke tempat bibimu. " "Aku juga tak ingin meninggalkan Ayah," ujar Shigeko, dan tidak kuasa menambahka n, "Juga Lord Hiroshi." Dirasakan pipinya merona merah lalu berkata, "Apa yang kau bicarakan dengan gadis itu tadi?" "Gadis Muto itu? Aku berterima kasih padanya karena membantu kita lagi. Aku sung guh-sungguh berterima kasih padanya karena membawa kabar tentang kematian Taku, juga karena telah bertempur bersama kita hari ini." "Oh! Tentu saja," sahut Shigeko, dan memalingkan wajah ke arah kirin untuk menye

mbunyikan rasa bingungnya. Ia ingin dipeluk pemuda itu; takut kalau mereka akan mati tanpa semp at menyatakan cinta. Namun ia tak tahu bagaimana mengatakan saat dikelilingi prajurit, penguru s kuda, dan saat masa depan mereka kian tak menentu? Kuda-kuda sudah selesai diurus: tidak ada lagi alasan bagi mereka untuk berdiri di sana lebih lama lagi. "Mari berjalan-jalan sebentar," ajak Shigeko. "Kita harus melihat medan perang, lalu menemui ayahku." Hari masih terang, jauh di ufuk barat pancaran terakhir sinar matahari menyebar keluar dari balik awan tebal. Langit di antara tempat perlindungan mereka yang berwarna abu-abu tu a, berwama abuabu pucat. Bulan masih tinggi perlahan berwarna keperakan. Shigeko tidak tahu bagaimana memulai pembicaraan. Akhirnya Hiroshi bicara, "Lady Shigeko," ujarnya. "Satu-satunya kecemasanku saat ini adalah keselamatanmu." Nampaknya Hiros hi pun berusaha mengungkapkan perasaannya. "Kau harus tetap hidup, demi nasib seluruh n egeri." "Kau sudah seperti kakakku," tuturnya. "Tidak ada orang lain yang lebih berarti bagiku ketimbang dirimu." "Perasaanku padamu jauh melebihi perasaan kakak terhadap adiknya. Aku takkan meng ucapkannya padamu, namun kenyataan kalau salah satu dari kita mungkin mati besok. Kau adala h perempuan paling sempurna yang pernah kukenal. Aku tahu derajat dan kedudukan menempatkan dirimu jauh di atas diriku, tapi aku tak bisa mencintai atau menikah dengan orang lain selain d irimu." Shigeko tak kuasa menahan diri untuk tersenyum. Kata-kata Hiroshi menghalau kese dihannya, memenuhi dirinya dengan rasa gembira serta keberanian. Halaman 279 dari 600

"Hiroshi," ujarnya. "Mari kita menikah, akan kubujuk orangtuaku. Saat ini aku ta k Hiroshi," ujarnya. "Mari kita menikah, akan kubujuk orangtuaku. Saat ini aku t ak lagi merasa wajib menjadi istri Lord Saga karena dia telah memperlakukan ayahku dengan kejam. Seumur hidup, aku senantiasa berusaha mematuhi orangtuaku dan bertindak dengan be nar. Tapi kini kulihat ternyata, saat menghadapi kematian, ada hal lain yang lebih penting. Ked ua orangtuaku mengutamakan cinta di atas kewajiban pada orangtua mereka; mengapa aku tidak bol eh melakukan hal yang sama?" "Aku tidak bisa melakukan apa yang bertentangan dengan keinginan ayahmu," sahut H iroshi, dengan penuh perasaan. "Namun mengetahui bahwa kau merasakan apa yang kurasakan telah memuaskan semua keinginanku." Tidak semuanya, kuharap! Shigeko berani berpikir demikian saat mereka berpisah. Shigeko ingin segera menemui ayahnya, namun ia menahan diri. Setelah mandi dan m akan, ia diberitahu kalau ayahnya sudah tidur. Satu tenda terpisah didirikan untuknya, la lu ia duduk sendirian dalam waktu yang lama, berusaha mengatur pikirannya dan mengobarkan kembali api yang tenang dan kuat dari Ajaran Houou dalam dirinya. Namun semua usahanya kalah oleh kenangan yang melintas di benaknya ing anak panah dan wajah serta suara Hiroshi. Shigeko tertidur sebentar dan terbangun oleh gemuruh halilintar dan percikan air hujan. Terdengar olehnya perkemahan meledak dalam kesibukan di sekelilingnya, dan melompat bangun , cepat-cepat mengenakan pakaian berkuda yang dikenakannya kemarin. Semuanya mulai basah, jari nya terasa licin. "Lady Maruyama!" seorang perempuan berseru memanggil dari luar, dan Mai masuk ke tenda membawa teh dan nasi dingin. Sementara Shigeko makan dengan cepat, Mai menghilang lagi. Saat kembali, gadis itu membawa perisai pelindung dada kecil terbuat dari kulit dan besi serta helm. "Ayah Anda mengirimkan ini," ujarnya. "Anda harus segera bersiap, juga kuda Anda, lalu perg i menemui beliau. Mari kubantu Anda." Shigeko merasakan bobot asing perisai dada itu. Rambutnya tersangkut saat benda itu diikat talinya. jeritan dalam pertempuran, bau darah, des

"Ikat rambutku," ujarnya pada Mai; lalu diambil pedang dan mengencangkannya di s abuknya. Mai menaruh topi baja di kepala Shigeko lalu mengikatkan talinya. Hujan turun dengan deras, tapi langit tampak kian pucat. Matahari hampir terbit. Shigeko bergegas menuju barisan kuda, melewati siraman hujan bak tirai baja abuabu. Takeo sudah me ngenakan baju zirah, Jato di sampingnya, menunggu kedatangan Hiroshi dan pengurus kuda menyele saikan memakaikan pelana pada kuda. "Shigeko," panggilnya tanpa tersenyum. "Hiroshi memohon api sebenarnya Ayah membutuhkan semua orang yang ada. Saat ini terlalu senjata api, dan Saga tahu ini. Ayah yakin dia takkan menunggu hujan ah membutuhkan kau dan Gemba, karena kalian berdua adalah pemanah yang agar mengirimmu pergi, t basah untuk menggunakan reda untuk menyerang. Ay baik."

"Aku senang," sahutnya. "Aku tak ingin meninggalkan Ayah. Aku ingin bertempur di samping Ayah." "Tetaplah bersama Gemba," ujar Takeo. "Bila kekalahan tak terhindar, dia yang ak an menyelamatkanmu." "Aku akan mencabut nyawaku lebih dulu," hardik Shigeko. "Tidak, putriku, kau harus hidup. Jika kita kalah, kau harus menikah dengan Saga, dan mempertahankan negara dan rakyat kita sebagai istrinya." "Dan kalau kita menang?" Halaman 280 dari 600

"Maka kau bisa menikah dengan orang pilihanmu," sahut Takeo, matanya berkerut me lirik ke arah Hiroshi. Maka kau bisa menikah dengan orang pilihanmu," sahut Takeo, matanya berkerut mel irik ke arah Hiroshi. "Aku akan pegang janji Ayah," sahutnya ringan, selagi mereka berdua naik ke pung gung kuda. Takeo berkuda bersama Hiroshi menuju bagian tengah tanah datar, tempat pasukan b erkuda berkumpul, dan Shigeko mengikuti Gemba menuju sisi sebelah utara, tempat pasukan pejalan kaki, pemanah dan pasukan ber-senjata tombak berujung tajam dan tombak berkapak tengah mengatur posisi. Mereka berjumlah beberapa ribu orang, para pemanah diatur dalam dua tingkat, kar ena Kahei telah melatih seni tembakan alternatif hingga hujan panah seperti sambung menyambung. Andai keadaan tidak basah, mereka pasti melakukan hal yang sama untuk senjata api. "Saga menduga kita hanya berkonsentrasi pada senjata api," tutur Gemba. "Dia tak menduga kalau kekuatan pemanah kita sama hebatnya dengan pasukannya. Dia terkejut saat pertandingan berburu anjing itu be rlangsung, tapi tidak belajar dari kejadian itu. Kini dia akan sama terkejutnya seperti saat itu ." "Kita harus tetap di sini," tambahnya, "bahkan saat pasukan bergerak memutar dan maju. Ayahmu ingin agar kita membidik dengan hari-hati dan menyerang pemimpin mereka. Jangan sia-siakan sebatang anak panah pun." Mulut Shigeko terasa kering. "Lord Gemba," panggilnya. "Bagaimana bisa terjadi s eperti ini? Bagaimana kita bisa gagal menyelesaikan masalah dengan damai?" "Ketika keseimbangan hilang dan kekuatan laki-laki mendominasi, perang tidak bis a dihindari," sahut Gemba. "Beberapa luka telah diatasi oleh kekuatan perempuan, tapi aku tak tahu a pa itu. Sudah takdir kita untuk berada di sini, takdir yang mengharuskan kita membunuh atau te rbunuh. Kita harus merangkulnya dengan segala kejernihan pikiran, dengan sepenuh hati, bahwa sebena rnya kita tidak menginginkan atau pun mencarinya." Shigeko mendengarkan kata-kata ini, tapi nyaris tak bisa mengingatnya, perhatiannya dipusaikan pada pemandangan di depann ya saat matahari semakin terang: warna merah dan emas baju zirah serta pelana, kuda yang sudah tak sabar,

dan panji-panji Otori, Maruyama, Miyoshi dan klan lain dari Tiga Negara. Kemudian, dalam jumlah yang luar biasa besar, bak semut yang terganggu keluar da ri sarang, gelombang pertama pasukan Saga mengalir melewati perbatasan.* Perang Takahara berlangsung lebih dari tiga hari di tengah badai yang disertai k ilat dan petir. Perang berlangsung tiada henti dari matahari terbit hingga matahari terbenam. Malam har inya para prajurit merawat luka dan membersihkan medan perang dari anak panah yang berserakan. Juml ah pasukan Saga Hideki lebih besar tiga berbanding satu dengan pasukan Takeo, tapi jenderal Kaisar itu dirintangi oleh sempitnya jalur menuju dataran. dan posisi Takeo yang lebih mengu ntungkan. Selagi pasukan Saga merangsek memasuki dataran, mereka dihujani anak panah dari kanan; prajurit yang selamat dari panah dihadang oleh pasukan utama Otori, pertama dihadang pasukan b erkuda yang menggunakan pedang kemudian oleh prajurit pejalan kaki. Inilah perang paling brutal yang pernah Takeo alami, perang yang berusaha ia hin dari. Pasukan Saga sangat disiplin dan luar biasa terlatih. Mereka telah menakluk kan wilayah wilayah di utara; berharap dianugerahi harta rampasan dari Tiga Nega ra; berperang dengan restu Kaisar. Halaman 281 dari 600

Sebaliknya, pasukan Takeo tidak hanya berperang demi nyawa mereka, tapi juga dem i negara, kampung halaman, istri dan anak-anak serta tanah mereka. ebaliknya, pasukan Takeo tidak hanya berperang demi nyawa mereka, tapi juga demi negara, kampung halaman, istri dan anak-anak serta tanah mereka. Miyoshi Kahei sudah bertempur bersama pasukan Otori sejak perang Yaegahara saat berusia empat belas tahun, hampir tiga puluh tahun lalu. Klan Otori menderita kekalahan besar, sebagian disebabkan oleh pengkhianatan para pemimpin distrik. Kahei tak pernah lupa masa-m asa yang terjadi setelah itu: penghinaan atas ksatria, penderitaan rakyat di bawah pengua sa Iida Sadamu. Ia bertekad untuk tidak hidup dengan kekalahan seperti itu lagi. Keyakinannya bahwa Saga takkan bisa menang menguatkan tekad pasukannya. Sama pentingnya, persiapan Kahei dilakukan dengan sangat teliti dan penuh perencan aan. Ia telah merencanakan operasi militer ini sejak musim semi, serta mengatur pengangkutan p ersediaan dan senjata dari Inuyama. Dia sudah tak sabar selama berbulan-bulan, ingin menghadap i ancaman atas pemerintahan Takeo. Kini akhirnya perang sudah dimulai, semangatnya berkobar : hujan tak bisa dihindari, karena sebenarnya dia ingin pasukannya menggunakan senjata api. n amun ada yang luar biasa dengan senjata tradisional: busur panah dan pedang, tombak runcing da n tombak berkapak. Panji-panji klan basah karena lembap; tanah di bawah kaki dengan cepat berubah m enjadi lumpur. Kahei menyaksikan dari lereng, kuda merah bata miliknya siap di sampingnya. Mino ru, si juratulis, duduk di dekatnya bernaung di bawah payung, berusaha keras namun sia-sia menjaga agar tulisannya tetap kering serta mencatat semua kejadian. Ketika serangan pertama p asukan Saga dipukul mundur dan dihalau kembali ke jalur perbatasan, Kahei melompat ke kuda l alu bergabung dalam pengejaran itu, pedangnya mencincang dan menyabet punggung prajurit yang t engah melarikan diri. Di pagi di hari kedua, pasukan berkuda Saga kembali melewati jalur sempit sebelu m hari terang, menyebar untuk mengecoh pasukan pemanah ke utara dan mengitari sebelah selatan d ari pasukan utama Kahei. Takeo tidak tidur selain menyaksikan semalaman, mendengarkan suara pertama kegiatan dari musuh. Didengarnya langkah kuda, meskipun kaki mereka dibungkus jer ami, keriatkeriut dan gemerincing pelana serta senjata. Pemanah sebelah utara menembak membabibuta, dan hujan anak panah kurang efektif dibandingkan hari sebelumnya. Se

muanya basah kuyup makanan, senjata, dan pakaian. Ketika hari terang, perang sudah berlangsung lama, dan cahaya matahari yang baru terbit menerangi pertunjukan yang menyedihkan itu. Di bagian paling timur, pasukan pema nah terjebak dalam per-tarungan satu lawan satu dengan pasukan Saga. Takeo tak berhasil melih at seorang pun dengan jelas di tengah pertempuran sengit itu, meski lencana setiap kelompok pra jurit pejalan kaki bisa terlihat samar di bawah guyuran hujan. Segera dilihatnya kalau sisi kananny a dalam ancaman, dan tidak mendapat bantuan apa pun. Ia segera berkuda untuk membantu mereka dengan Jato di tangan. Tenba gemetaran penuh semangat. Seakan tak lagi memiliki rasa menyesal, ia berge rak memasuki kekejaman pertempuran. Ia melihat, setengah sadar, kalau Okuda berada tidak jauh di sebelah kanannya. Ia menggerakkan Tenba ke samping untuk menghindari tikaman pedang ke a rah kakinya, membelokkan kuda itu menghadapi si penyerang lalu menunduk menatap mata putra Ok uda, Tadayoshi. Bocah itu terjatuh dari kuda dan kehilangan topi bajanya, serta terkepung sewakt u berusaha membela diri dengan gagah berani. Bocah itu mengenali Takeo dan berteriak memanggil; Takeo men dengar suaranya dengan jelas di tengah gemuruhnya pertempuran. "Lord Otori!" Ia tidak pernah tahu apakah itu seruan menantang atau seruan minta tolong karena Jato sudah turun ke tempurung kepalanya dan membelahnya. Tadayoshi mati seketika itu juga. Kini Takeo mendengar jerit kemarahan dan kesedihan, dan melihat ayah bocah itu t engah berkuda ke arahnya, pedang di kedua Halaman 282 dari 600

tangannya. Takeo merasa tidak tenang dengan kematian Tadayoshi, dan tidak siap. Saat itu Tenba tersandung, dan Takeo agak tergelincir dari pelananya, terjatuh ke depan, berusa ha mencengkeram surai dengan tangan kanannya yang cacat. Tersandungnya Tenba membuat serangan Ok uda agak berbelok, tapi Takeo masih bisa merasakan akibatnya karena ujung pedang Okuda me ngenai bagian atas lengannya sampai ke bahu. Kuda Okuda terus berderap, memberi waktu bagi Tak eo dan Tenba memulihkan diri; ia tidak merasa sakit dan mengira kalau ia tak terluka. Okuda m embelokkan kuda lalu kembali menghampiri Takeo, jalannya dihalangi oleh kerumunan prajurit. Namu n Okuda tidak mengacuhkan mereka semua, pandanganya hanya tertuju kepada Takeo. Amukan lakilaki itu membakar amarah lama dalam diri Takeo, dan membiarkan kobarannya kian membara ka rena perasaan itu menghanguskan penyesalan; Jato menanggapi dan menemukan titik tak te rlindungi di leher Okuda. Gerakan yang cepat dan kuat lakilaki itu justru membawa Jato menembu s ke dalam daging dan pembuluh darahnya. angannya. Takeo merasa tidak tenang dengan kematian Tadayoshi, dan tidak siap. S aat itu Tenba tersandung, dan Takeo agak tergelincir dari pelananya, terjatuh ke depan, berusa ha mencengkeram surai dengan tangan kanannya yang cacat. Tersandungnya Tenba membuat serangan Ok uda agak berbelok, tapi Takeo masih bisa merasakan akibatnya karena ujung pedang Okuda me ngenai bagian atas lengannya sampai ke bahu. Kuda Okuda terus berderap, memberi waktu bagi Tak eo dan Tenba memulihkan diri; ia tidak merasa sakit dan mengira kalau ia tak terluka. Okuda m embelokkan kuda lalu kembali menghampiri Takeo, jalannya dihalangi oleh kerumunan prajurit. Namu n Okuda tidak mengacuhkan mereka semua, pandanganya hanya tertuju kepada Takeo. Amukan lakilaki itu membakar amarah lama dalam diri Takeo, dan membiarkan kobarannya kian membara ka rena perasaan itu menghanguskan penyesalan; Jato menanggapi dan menemukan titik tak te rlindungi di leher Okuda. Gerakan yang cepat dan kuat lakilaki itu justru membawa Jato menembu s ke dalam daging dan pembuluh darahnya. *** Masih di hari kedua, Hiroshi dan pasukannya mendesak pasukan Saga kembali ke jalu r sempit dalam serangan balasan; Kahei memulai gerakan mengepung lalu menjepit yang bisa menjebak pasukan musuh untuk mundur. Keberadaan sepupunya, Sakai Masaki, di belakangnya m embuat Hiroshi teringat perjalanan di tengah hujan seperti ini bersama sepupunya itu sa at berusia sepuluh tahun. Di usia itu, perang merupakan hal yang sangat diinginkannya, namun jalan yang diikutinya

sekarang adalah jalan kedamaian, Ajaran Houou. Kini dirasakannya semua darah yang mengalir dari nenek moyangnya menggelegak dalam pembuluh darahnya. Dibuangnya jauh-jauh semua p ikiran lain dan berkonsentrasi pada pertarungan, membunuh, menang, karena masa depannya bergantung pada kemenangan. Bila kalah dalam perang ini, ia merasa lebih baik terbunuh atau mencabut nyawanya sendiri. Hiroshi bertarung dengan kemarahan yang ia tidak tahu kalau ia memilikinya, memengaruhi semangat pasukan di sekitarnya, mendesak lawan kembali ke jalur sempit, tempat mereka terjebak di jalan yang menyempit. Tak bisa kemana-mana, pasukan Saga makin putus asa. Dalam salah satu desakan bal asan, Keri tumbang, darah menyembur dari leher dan bahunya. Hiroshi menemukan dirinya berta rung melawan dua prajurit tanpa kuda. Lumpur menyulitkan dirinya untuk menjejakkan kaki dan j atuh dengan satu lutut, berpaling selagi pedang menghampirinya dan terus menangkis dengan pedangny a ke atas. Pedang kedua turun ke arahnya: dilihatnya Sakai menghempaskan badan di balik huj aman pedang itu; darah, darahnya sendiri atau darah Sakai, membutakan matanya. Bobot tubuh Sa kai menahan tubuhnya berada di dalam lumpur saat pasukan yang bertempur menginjakinjak melewa ti mereka. Sesaat Hiroshi tak bisa percaya kalau beginilah akhirnya, lalu rasa sakit menyel imuti dirinya, menenggelamkan dirinya. Gemba menemukannya saat malam, sekarat karena kehilangan banyak darah dengan luk a sayatan di kepala dan kaki. Luka-lukanya sudah ditutupi lumpur. Gemba menghentikan aliran d arah serta membersihkannya sebisa mungkin, lalu menggendong Hiroshi kembali ke belakang bar isan untuk bergabung dengan prajurit yang terluka. Takeo berada di antara mereka, bahu dan lengannya tersayat cukup dalam, namun tidak berbahaya, sudah dibersihkan dan dibalut denga n perban kertas. Shigeko tidak terluka, wajahnya pucat kelelahan. Gemba berkata, "Aku menemukannya. Dia sekarat. Sakai tewas tergeletak di atas tu buhnya. Sakai pasti telah menyelamatkan Hiroshi." Dibaringkannya pemuda yang terluka itu di bawah. Lentera telah dinyalakan, tapi berasap di tengah hujan. Takeo berlutut di samping Hiroshi, meraih tangannya dan berseru memanggil nya. "Hiroshit Kawanku! Jangan tinggalkan kami. Berjuanglah! Berjuanglah!" Mata Hiroshi mengerjap-ngerjap. Napasnya terengah-engah; kulitnya basah oleh keri ngat bercampur air hujan.

Shigeko berlutut di samping ayahnya. "Dia tak mungkin sekarat! Dia tak boleh mat i!" "Dia berhasil bertahan sampai sejauh ini," Halaman 283 dari 600

ujar Gemba. "Bisa kau lihat betapa kuatnya dia." jar Gemba. "Bisa kau lihat beta pa kuatnya dia." "Jika dia bisa melewati malam ini, berarti masih ada harapan," sahut Takeo setuj u. "Jangan putus asa. " "Betapa mengerikan semua ini," bisik Shigeko. "Alangkah tidak termaafkan membunuh orang." "Begitulah jalan hidup ksatria," ujar Gemba. "Ksatria bertarung lalu mati." Shigeko tak menjawab, namun air mata bercucuran dengan deras dari matanya. "Sampai berapa lama lagi Saga akan bertahan seperti ini?" tanya Kahei pada Takeo malam itu, sebelum mereka menggunakan kesempatan istirahat singkat untuk tidur. "Ini benarbenar gila. Dia mengorbankan anak buahnya tanpa tujuan." "Dia adalah orang dengan kebanggaan yang tinggi," sahut Takeo. "Dia tidak pernah kalah sehingga dia tidak akan mengakui pemikiran semacam itu." "Bagaimana kita bisa membujuknya? Kita bisa saja menahan serangannya tanpa waktu yang pasti kuharap kau terkesan dengan para prajuritmu; menurutku mereka sangat luar biasa ta pi kita tak bisa menghindari besarnya korban. Semakin cepat kita bisa mengakhiri perang, semakin besar peluan g kita menyelamatkan yang terluka." "Seperti Sugita yang malang," imbuhnya. "Dan kau juga, tentunya. Demam karena lu ka tak bisa dihindari dalam kondisi buruk seperti ini, tanpa sinar matahari untuk mengeringk an dan menyembuhkan. Kau harus beristirahat besok; menjauhlah dari medan perang." "Lukanya tidak parah," sahut Takeo, meski rasa sakit semakin terasa sepanjang ha ri ini. "Beruntung aku sudah terbiasa memakai tangan kiri. Aku takkan menjauh dari perang tidak sebelum S aga mati atau kembali ke ibukota!" *** Shigeko menjaga Hiroshi semalaman, memandikannya dengan air dingin, berusaha men urunkan panas demamnya. Hiroshi masih hidup hingga pagi hari, tapi tubuhnya menggigil ke ncang sekali, dan Shigeko tak menemukan satu pun benda kering yang bisa menghangatkannya. Diseduhn ya teh dan berusaha membuat pemuda itu meminum

nya: Shigeko tercabik antara tetap menjaga Hiroshi atau kembali ke posisinya di samping Gemba untuk melawan serangan Saga selanjutnya. Tempat berlindung dari batang kayu yang didirikan untuk mereka yang terluka terus meneteskan air hujan; tanah di bawah mereka becek deng an air hujan. Mai sudah menghabiskan waktu siang dan malam di sana, dan Shigeko memanggilnya. "Apa yang harus kulakukan?" Mai berjongkok di samping Hiroshi dan meraba dahinya. "Ah, dia kedinginan," ujar nya. "Beginilah cara kami menghangatkan orang sakit di Tribe." Mai berbaring dan mendempetkan tubuhnya ke tubuh Hiroshi. "Berbaringlah di sebelah sana," pcrintahnya, dan Shigeko melakukannya, m erasakan kehangatan tubuhnya menyebar ke tubuh Hiroshi. Kedua gadis itu mengapit pemuda i tu tanpa bicara sampai suhu tubuhnya mulai naik lagi. "Dan begitulah kami menyembuhkan luka," ujar Mai pelan, lalu menyingkirkan perba n Gemba, menjilat pinggiran luka yang menganga dengan lidah lalu meludahkan air liurnya k e luka tersebut. Shigeko mengulangi gerakan yang sama, merasakan darah pemuda itu. Mai berkata, "Dia sekarat!" "Tidak!" sahut Shigeko. "Beraninya kau mengatakan begitu!" Halaman 284 dari 600

"Dia perlu dirawat dengan benar. Kita tak bisa melakukannya siang dan malam. Kau harus bertempur, dan aku harus merawat mereka yang lebih berpeluang hidup." Dia perlu dirawat dengan benar. Kita tak bisa melakukannya siang dan malam. Kau harus bertempur, dan aku harus merawat mereka yang lebih berpeluang hidup." "Bagaimana cara kita menghentikan perang ini?" "Laki-laki memang suka bertarung," ujar Mai. "Tapi bahkan laki-laki paling kejam sekalipun akan kelelahan, terutama jika mereka terluka." Mai menatap Hiroshi lalu menatap Shige ko. "Sakiti si Saga itu, maka dia akan kehilangan selera perangnya. Sakiti dia separah luka yang Hir oshi derita maka dia akan lari tunggang langgang mencari tabib di Miyako." Shigeko berkata, "Bagaimana cara mendekatinya? Dia tidak muncul di medan perang, dia hanya mengarahkan pasukan dari jauh." "Aku akan menemukan caranya untuk Anda," ujar Mai. "Kenakan pakaian berwarna cok lat seperti warna lumpur dan siapkan busur dan anak panah yang paling mematikan. Tidak banyak yang bisa kau lakukan untuk Lord Hiroshi," imbuhnya saat Shigeko raguragu. "Dia sudah berada di tangan para dewa." Shigeko mengikuti semua petunjuk Mai, membungkus kepala dan lehernya dengan sehe lai kain lebar lalu mencorengkan lumpur di dahi dan pipinya agar tidak dikenali, Diambilnya bus ur yang digunakannya untuk bertempur, mengencangkan talinya dan menemukan sepuluh anak p anah baru, ujung anak panah terbuat dari besi bermata satu, dibului dengan bulu elang. Dita ruhnya semua anak panah ini ke dalam tabung. Sementara menunggu Mai kembali, Shigeko duduk di samp ing Hiroshi, dan sesekali membasuh wajahnya dan memberinya minum karena saat ini dia terseran g demam lagi. Shigeko berusaha menenangkan pikiran seperti yang pernah diajarkan kepadanya di Terayama, oleh Hiroshi dan Guru Besar lainnya. Guruku yang terhormat, temanku sayang, panggilnya dalam hati kepada Hiroshi. Jan gan tinggalkan aku! Perang berlanjut dengan lebih kejam lagi, membawa teriakan-teriakan yang membuat gila, jeritan mereka yang terluka, dentingan baja, derap kaki kuda, tapi ada sem acam kesunyian menyelimuti diri mereka berdua, dan Shigeko merasakan jiwa mereka saling bertaut . Dia takkan meninggalkanku, pikirnya, dan seketika itu juga pergi ke tendanya lal u mengeluarkan

busur kecil dan anak panah dengan bulu burung houou miliknya: menjejalkan semua i ni ke dalam jubahnya, sementara disan-dangnya busur yang lebih besar di bahu kiri, tabung an ak panah di bahu kanannya. Saat kembali ke tempat Hiroshi, Mai sudah kembali. "Kau darimana?" tanya gadis itu. "Kukira kau sudah kembali bertempur. Mari, berge gaslah." Shigeko bertanya dalam hati apakah perlu memberitahukan Gemba kemana ia akan per gi. Ketika tiba di puncak lereng dan melihat pemandangan di medan perang, disadarinya kalau ia t akkan bisa menemukan gurunya itu. Strategi Saga kini tampaknya bisa mengungguli Otori denga n kekuatan jumlah pasukan yang lebih besar. Pasukan barunya masih segar dan telah beristira hat, sementara pasukan Otori sudah bertempur selama dua hari. Berapa lama lagi mereka bisa bertahan? tanyanya pada dirinya sendiri selagi meng ikuti Mai mengitari sisi selatan tanah datar. Perasaannya sudah mati rasa melihat begitu banyak oran g yang tewas. Pasukan Otori sudah membawa korban tewas dan terluka dari pihak mereka ke garis belakang, tapi pasukan Saga tergeletak di tempat mereka jatuh. Kuda-kuda yang terluka berusaha bangkit; segerombolan kecil kuda menderap, sesekali berhenti dan terpincangpincang, berjal an ke barat daya, tali kekang mereka yang putus bergelantungan terseret di lumpur. Mengurus mereka sebentar, Shigeko melihat kuda-kuda itu berhenti tepat di depan kemah Otori. Mereka menund ukkan kepala dan mulai makan rumput, seolah berada di padang rumput, terasing dan jauh dari medan perang. Agak di belakang mereka tampak kirin. Shigeko hampir tak memikirkannya selama dua hari in i: tidak ada yang punya waktu untuk membangun kandang baginya; hewan itu diikat dengan tali k ekang ke barisan kuda. Kirin terlihat menyedihkan dan merana karena sendirian serta makin Halaman 285 dari 600

kurus di bawah siraman hujan. t ini daurus di bawah siraman an berat ini dan perjalanan panjang kembali ke atinya, begitu kesepian dan jauh dari

Sanggupkah hewan itu bertahan melewati cobaan bera hujan. Sanggupkah hewan itu bertahan melewati coba Negara Tengah? Rasa iba pada hewan itu menghunjam h rumahnya.

Kedua gadis itu berjalan melewati belakang bebatuan dan tebing yang mengelilingi tanah datar. Di sini suara pertempuran agak berkurang. Di sekeliling mereka menjulang puncak-puncak Gu gusan Awan Tinggi, menghilang ditelan kabut yang bergelayut bak gumpalan sutra yang belum d ipilin. Tanahnya berbatu dan licin; kerapkali mereka harus merangkak di bebatuan besar. Kadang Mai berjalan di depan, memberi isyarat kepada Shigeko untuk menunggu. Shigeko meringkuk bernaung di bawah tonjolan batu besar yang meneteskan air hujan selama waktu yang dirasakan bak se umur hidupnya. Ia merasa seakan telah tewas dan sekarang sudah menjadi hantu, berkeliaran di an tara dua dunia. Mai kembali keluar dari kabut bak hantu, diam tanpa suara, dan memimpin untuk be rjalan terus. Akhirnya mereka tiba di batu besar dan memanjat sisi sebelah selatan. Dua batang pohon pinus kerdil melekat di puncak batu itu, akar kedua pohon yang meli ngkar dan berbentuk aneh membentuk semacam kisi-kisi yang alami. "Tetap menunduk," bisik Mai; Shigeko menggeliat bergeser hingga ke posisi tempat ia bisa melihat di sela-sela akar ke arah timur, dan pintu masuk ke jalur sempit. Shigeko menahan n apas dan menyejajarkan tubuhnya dengan bebatuan. Saga berada tepat di arah depan mereka, bertengger di tebing yang curam, tempat laki-laki itu mendapatkan pandangan bak burung rajawal i ke medan perang di bawahnya. Saga duduk di bangku kecil mewah berlapis pernis dan dinaung i payung besar. Dia bersenjata lengkap dengan pakaian warna hitam dan emas, topi bajanya berhiaskan dua puncak emas, seperti gununggunung di panji-panji hitam putih yang berkibar-kibar di sampingnya . Beberapa perwira yang sama cemerlang dan bersih dengan dirinya walaupun hujan, berdiri me ngelilinginya, bersama dengan peniup terompet perang dan kurir yang siap membawa pesan. Tepat di belakangnya, serangkaian tonjolan bebatuan yang terjatuh membentuk anak tangga ala mi menurun ke jalur sempit. Shigeko melihat beberapa orang melompat naik turun di anak tangga itu, m elaporkan perkembangan perang. Ia bahkan bisa mendengar suara Saga, mencermati suaranya ya

ng penuh kemarahan. Shigeko mengintip lagi dan melihat laki-laki itu berdiri, berteriak d an menggerakkan tangan dengan kipas perang besi di tangannya. Para perwiranya mundur selangkah d ari kemarahan besar itu, dan beberapa di antara mereka segera bergegas menuruni anak tangga ba tu untuk masuk ke kancah peperangan. Mai bemapas di telinganya, "Sekarang, saat dia berdiri. Kau hanya memiliki satu kesempatan." Shigeko menarik napas dalam-dalam dan berpikir di sela setiap gerakannya. Akan d igunakannya pohon pinus terdekat untuk menopang kakinya. Dia akan melangkah di bawah batang togoknya: permukaan bebatuan pasti licin, hingga ia harus mempertahankan keseimbangan saat menarik busur dari bahu dan anak panah dari tabung. Gerakan ini telah diterapkannya ribu an kali selama dua hari terakhir, dan bidikannya belum pernah meleset. Shigeko melihat sekali lagi dan memerhatikan titik kelemahan orang itu. Wajah ter lihat jelas, tatapan matanya kejam, dan terlihat jelas kulit leher yang lebih putih. Shigeko berdiri: busur meregang; anak panah tepat sasaran; hujan memercik di sek elilingnya. Saga melihat ke arahnya, terduduk dengan susah payah; orang di belakangnya memegang er at-erat dada Saga di mana anak panah melubangi perisai dadanya. Terdengar jerit kaget dan ter guncang, dan kini mereka membidiknya; satu anak panah melesat melewatinya, menghantam pohon pinus dan serpihan kayu terkena wajahnya; satu tembakan lagi menghantam batu di kakinya. Dirasakan s atu pukulan tajam, seolah tubuhnya tersandung sebatang tongkat, tapi tidak merasa kesakitan. "Menunduk!" teriak Mai, namun Shigeko tak bergerak, begitu pula Saga yang tak be rhenti memandangi dirinya. Ditariknya busur yang lebih kecil dari jubahnya dan menaruh sebatang anak panah di busur itu. Bulu burung houou berkilat keemasan. Aku akan mati, pikirnya , dan membiarkan anak panah itu melesat ke arah tatapan laki-laki Halaman 286 dari 600

itu. tu. Saat itu halilintar menyambar, dan udara di sekitar mereka seketika penuh dengan kepakan sayap. Anak buah Saga yang berada di sekelilingnya menjatuhkan busur dan menutup mata m ereka; hanya Saga yang tetap membuka mata, menatap anak panah itu hingga menembus mata kiriny a, dan darah membutakan matanya. *** Sepanjang pagi Kahei bertarung di bagian sebelah selatan, tempat dia menambah ju mlah pasukan, takut kekuatan pasukan Saga mengepung perkemahan dari sebelah sana. Terlepas dari kata-katanya yang penuh keyakinan kepada Takeo di malam sebelumnya . kini dia semakin cemas. Berapa lama prajuritnya yang tidak tidur sanggup dapat bertahan d ari serangan yang seolah takkan berakhir? Dia mengutuk hujan yang menghalangi mereka menggunakan s enjata api, mengingat saat-saat terakhir perang Yaegahara, ketika pasukan Otori, menyadari p engkhianatan dan kekalahan yang tak bisa dihindari, bertempur dengan putus asa hingga nyaris tak seorang pun tersisa. Aya hnya adalah salah satu dari sedikit prajurit yang selamat apakah sejarah keluarga itu akan terulang lagi, apakah ia pun ditakdirkan kembali ke Hagi dengan membawa berita kekalahan besar? Ketakutannya semakin membakar tekadnya untuk meraih kemenangan. *** Takeo bertarung di tengah, mengingat segala yang pernah Guru ksatria dan Tribe a jarkan untuk mengalahkan rasa lelah dan rasa sakit, mengagumi tekad dan disiplin mereka yang berada di sekelilingnya. Sewaktu pasukan Saga berhasil dipukul mundur, ia menunduk melihat Tenba terluka sayatan di bagian dada, merahnya darah bercampur bulu yang basah kuyup dengan ai r hujan. Sekarang ini, ketika perang berhenti untuk sementara, kuda itu seperti menyadari lukanya, dan mulai gemetar ketakutan. Takeo turun, memanggil seorang prajurit pejalan kaki untuk me mbawa kuda itu ke perkemahan, lalu bersiap untuk menghadapi serangan berikutnya dengan berjalan kaki. Sekelompok pasukan berkuda datang dari jalur sempit, kuda-kuda seperti terbang m elewati jalur itu. Pedang-pedang berkilat, menghabisi prajurit pejalan kaki yang mundur ke rintanga n yang telah mereka dirikan saat pemanah di sebelah utara meluncurkan anak panah. Banyak yang tepat sasaran, tapi Takeo tak tahan memerhatikan kalau jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingka

n hari sebelumnya, dan per-tempuran itu sedikit demi sedikit mengikis kekuatannya. Seperti Kahei, k eyakinannya pun mulai berkurang. Ada berapa banyak lagi pasukan yang dimiliki Saga? Persediaanny a seperti tidak ada habisnya, dan mereka semua segar dan sudah beristirahat... seperti prajurit berkuda yang kini hampir mendekatinya. Dengan rasa terkejut dikenali pemimpinnya adalah Kono. Dilihatnya kuda Maruyama, hadiahnya kini digunakan untuk melawan dirinya, dan merasakan kemarahan dirinya meluap. Setelah ayah orang ini nyaris menghancurkan hidupnya; kini sang anak berkomplot melawannya, berbohong p adanya, menyanjung sambil menyusun rencana jahat untuk menjatuhkan dirinya. Dipegang nya Jato dengan erat, mengabaikan rasa sakit dari luka di tangannya, lalu melomp at dengan cekatan ke samping agar si bangsawan berhadapan dengannya di sebelah kirinya. Tebasan pertamanya yang cepat ke atas mengenai kaki laki-laki itu dan hampir mem buatnya putus: Kono menjerit, membelokkan kuda dan kembali; kini Takeo berada di sebelah kananny a. Saat menunduk di bawah tebasan pedang, dan hendak menikam pergelangan Kono, terdengar pedang di sebelahnya mengarah ke arah punggung-nya. Ia berguling menjauh, berusaha agar ti dak terluka dengan pedangnya sendiri. Saat ini kaki-kaki kuda menginjak-injak di sekelilingn ya. Takeo beriuang keras menjejakkan kaki dalam genangan lumpur. Pasukan pejalan kaki miliknya suda h merangsek ke depan dengan tombak dan tombak runcing; seekor kuda terjatuh berdebam di sam-pin gnya, tersungkur dengan kepala lebih dulu, sudah mati, terperosok ke lumpur yang dalam. Halaman 287 dari 600

Seketika kilat menyala tepat di atas kepala, dan hujan turun makin deras. Di sel a-sela deru hujan, Takeo mendengar suara lain, eketika kilat menyala tepat di atas kepala, dan hujan turun makin deras. Di sela -sela deru hujan, Takeo mendengar suara lain, musik pelan dan seperti hantu yang menggema di seluruh tanah datar. Sejenak ia t ak memahami artinya. Kemudian kumpulan massa di sekitarnya berkurang. Takeo berdiri, menyeka air hujan dan lumpur dari matanya dengan tangan kanan. Kuda Maruyama tadi melewatinya, Kono memegangi surai dengan dua tangan; kakinya masih menyemburkan darah. Nampaknya laki-laki itu tak memerharikan Takeo; pandangannya terpaku pada keamanan jalur sempit. Mereka mundur, pikir Takeo tak percaya, selagi suara terompet perang tenggelam d alam teriakan kemenangan dan pasukan di sekelilingnya mendesak ke depan mengejar musuh yang me larikan diri.* Para mantan gelandangan, dari desa mereka di Maruyama, berjalan melintasi medan perang untuk merawat kuda yang terluka serta memakamkan yang tewas. Saat jenazah dibaringkan berderet, Kahei, Gemba dan Takeo berjalan menyusuri barisannya, mengenali semua yang bisa mereka kenali, sementara Minoru mencatat nama mereka. Sedangkan pasukan Saga yang tewas dimakam kan dalam satu kubur di tengah tanah lapang. Menebas kepala tak diijinkan. Tanahnya berbatu-batu sehingga kuburnya pun tidak dalam. Burung gagak telah berkumpul, saling memekik d ari tebing yang curam. Malam harinya, rubah berkcliaran mencari mangsa. Tonggak pagar pancang ditarik dan sebagian disusun menjadi tandu untuk mengangku t korban lukaluka kembali ke Inuyama. Sisanya digunakan untuk membuat barikade di sepanjang jalur sempit, dan Sonoda Mitsura serta dua ratus pasukannya tetap tinggal untuk menjaganya. Di malam hari keesokan harinya, saat korban tewa s sudah dimakamkan, pertahanan sudah ditempatkan dan tidak ada tanda-tanda Saga kembali, sepertinya perang telah berakhir. Kahei memerintahkan pasukan beristirahat; mereka melepas baju zirah, meletakkan senjata, dan segera tertidur. Hujan deras saai Saga Hidcki memerintahkan pasukannya mundur, kini berubah menjad i gerimis. Takeo berjalan di antara pasukan yang tertidur sama seperti ketika berjalan di a ntara korban tewas sebelumnya. Ia mendengarkan desis lembut rintik air hujan di dedaunan dan bebatu an, percik air

terjun di kejauhan, kicau burung, merasakan butiran embun di wajah dan rambutnya . Seluruh bagian kanan tubuhnya, dari tumit hingga ke bahu, terasa sakit sekali, dan kelegaan ata s kemenangan tenggelam oleh kesedihan melihat harga yang harus dibayar. Ia tahu kalau para pr ajurit yang kelelahan itu hanya bisa tidur sampai matahari terbit, kemudian harus berjalan k e Inuyama, lalu ke Negara Tengah untuk mencegah Zenko membangun kekuatan di wilayah Barat. Ia amat cemas, ingin pulang secepatnya; peringatan Gemba tentang peristiwa yang telah mengacaukan keselarasan pemerintaha nnya kembali menyiksa dirinya. Itu hanya bisa berarti sesuatu telah terjadi pada Kaed e... Hiroshi telah dipindahkan ke dalam tenda Kahei yang menawarkan kenyamanan tertin ggi, dan terlindung dari hujan. Takeo menemukan putrinya di sana, masih mengenakan baju p erang, wajahnya masih berlumuran lumpur, kakinya diperban dengan asal-asalan. "Bagaimana keadaannya?" tanyanya, sambil berlutut di samping Hiroshi, memerhatikan wajah pucat dan napasnya yang t erputus-putus. "Dia masih hidup," sahut Shigeko dengan suara pelan. "Kurasa dia agak membaik." "Kita akan membawanya ke Inuyama besok. Tabib Sonoda akan merawatnya." Halaman 288 dari 700

Takeo bicara dengan yakin, meski sebenarnya ia memperkirakan Hiroshi takkan bert ahan dalam perjalanan. Shigeko mengangguk tanpa bicara. akeo bicara dengan yakin, meski sebenarnya ia memperkirakan Hiroshi takkan berta han dalam perjalanan. Shigeko mengangguk tanpa bicara. "Kau terluka?" tanya Takeo. "Sebatang anak panah mengenai kakiku. Tidak parah. Aku tak menyadarinya sampai setelah itu. Aku hampir tak bisa berjalan kembali. Mai yang menggendongku." Takeo tidak mengerti ucapan putrinya. Shigeko menatapnya dan berkata dengan cepat, "Mai mengajakku ke tempat Lord Saga . Aku memanah matanya." Mendadak air mata mengambang di pelupuk matanya. "Dia takkan m au menikahiku sekarang!" Air matanya seketika berubah menjadi tawa. "Jadi kami harus berterima kasih padamu atas mundurnya pasukan Saga yang tiba-ti ba itu?" Takeo tak kuasa menahan perasaannya atas hasil yang adil ini. Saga tidak menerima kekalaha n dalam pertandingan, dia mencari konflik: kini Shigeko membuat dia terluka parah, bahka n mematikan, dan telah memastikan kemenangan mereka. "Aku tidak bermaksud membunuhnya, hanya melukai," ujarnya. "Seperti yang selalu kulakukan selama perang, melumpuhkan tapi tidak membunuh." "Kau telah melakukan tugasmu dengan luar biasa," sahut Takeo, "Kaulah pewaris se jati Klan Otori dan Maruyama." Pujian Takeo membuat air matanya berlinang lagi. "Kau lelah," ujar Takeo. "Tidak lebih lelah dibandingkan yang lainnya; tidak lebih lelah dibandingkan Aya h. Ayah harus tidur." "Pasti, segera setelah memeriksa keadaan Tenba. Ayah ingin menungganginya kembal i ke Inuyama. Kahei akan membawa pasukan. Kau dan Gemba harus mendampingi Hiroshi dan korban l uka lainnya. Semoga Tenba siap: bila tidak siap, Ayah akan meninggalkannya bersamamu ." "Dan kirin," ujar Shigeko. "Ya, bersama kirin yang malang. Hewan itu tidak tahu perjalanan panjang seperti apa yang menantinya, atau akibat apa yang akan terjadi di negeri ini." "Ayah jangan berkuda seorang diri. Ajak seseorang. Ajak Gemba. Dan Ayah boleh me nunggang

Ashige; aku tidak membutuhkan kuda." Awan agak menghilang, dan cahaya redup matahari menyembul saat matahari terbenam, pertanda munculnya pelangi di langit. Takeo berharap itu berarti besok akan lebih kering, meski saat ini hujan sudah mulai turun, dan mungkin akan berlangsung selama berminggu-minggu. Tenba berdiri di sebelah kirin, kembali ke bawah rintik hujan, dengan kepala tertunduk. Kuda itu meringkik pelan menyapa saa t Takeo menghampiri. Luka di dadanya sudah tertutup dan tampak bersih, tapi kaki kanan k uda itu agak pincang, walau kakinya kelihatan tidak terluka. Takeo menyimpulkan kalau otot bah unya terkilir, membawa kuda itu ke kolam air dan membasuhnya dengan air dingin, tapi Tenba teta p saja lebih menggunakan kaki kanan belakangnya, dan kemungkinan tak bisa ditunggangi. Kemudia n Takeo ingat pada kuda Hiroshi, Keri. Dia tak ada di antara kuda yang masih hidup. Kuda abu-abu pucat bersurai hitam, anak Raku, pasti tewas, tepat beberapa minggu setelah kematian s audara tirinya, kuda milik Taku, Ryume. Kuda-kuda itu mencapai usia tujuh belas tahun, usia yang baik, tapi kematian mereka membuat ia bersedih. Taku telah tiada, Hiroshi di ambang kematia n. Suasana hatinya murung saat kembali ke tenda. Di dalam tampak redup, cahayanya memudar. Shigeko sudah tertidur di samping Hiroshi, wajahnya dekat dengan wajah pemuda itu. Seperti pas angan suami istri. Takeo menatap dengan penuh kasih sayang. "Sekarang kau boleh menikahi laki Halaman 289 dari 700

laki pilihanmu," ujarnya kerasaki pilihanmu," ujarnya keras. Ia berlutut di sisi Hiroshi lalu menyentuh dahi pemuda itu. Tubuhnya dingin; nap asnya melambat dan kian dalam. Takeo mengira Hiroshi tidak sadarkan diri, namun Hiroshi tiba-tiba m embuka mata dan tersenyum. "Lord Takeo...." bisiknya. "Jangan bicara dulu. Kau akan baik-baik saja." "Perang?" "Sudah berakhir. Saga mundur." Hiroshi memejamkan mata lagi, namun senyum masih tetap tersungging di bibirnya. Takeo berbaring, semangatnya agak bangkit. Meskipun lukanya terasa sakit, ia seg era tertidur, bak awan gelap yang menghilang. *** Ia berangkat menuju Inuyama keesokan paginya, bersama Gemba sesuai anjurkan Shigek o dan Minora. Ia berkuda di punggung kuda betinanya yang tenang. Kuda betina dan kuda hitam Gemba segar seperti Ashige, dan perjalanan mereka tempuh dengan cepat; di hari ketiga, demam ringan menyerang Takeo. Perjalanan ditempuhn ya dalam rasa nyeri dan juga demam; ia dihantui mimpi dan halusinasi; sesekali suhu badannya m eninggi dan gemetaran, tapi menolak berhenti. Di setiap pemberhentian, mereka menyebar kabar tentang perang dan hasilnya, dan segera saja orang berduyunduyun ke arah Gugusan Awan Tinggi unt uk membawa makanan kepada para prajurit dan membantu membawa korban yang terluka. Hujan yang deras selama berhari-hari bisa berakibat gagal panen. Jalanan berlump ur dan acapkali tergenang air. Seringkali Takeo lupa di mana ia berada, dan mengira tengah berad a di masa lalu, menunggangi Aoi di samping Makoto menuju sungai yang meluap dan jembatan yang te rputus. Kaede pasti kedinginan, pikirnya. Dia kurang sehat. Aku harus datang dan menghang atkan tubuhnya. Namun badannya sendiri tengah gemetar, dan sekonyong-konyong Yuki ada di samping nya. "Kelihatannya kau kedinginan," ujarnya. "Mau kuambilkan teh?" "Ya," jawabnya. "Tapi aku tak boleh tidur denganmu karena aku telah beristri." Lalu diingatnya kalau Yuki sudah meninggal, dan takkan tidur dengan dirinya atau orang lain. Rasa menyesal menusuk hatinya atas nasib gadis itu dan peran dirinya dalam kematian i tu.

Sewaktu tiba di Inuyama, demamnya sudah reda dan pikirannya telah kembali jernih , tapi hatinya tetap cemas. Kecemasannya bahkan tak bisa dihilangkan dengan sambutan sepenuh hat i penduduk kota yang merayakan kabar kemenangan dengan menari di jalanan. Adik Kaede, Ai, k eluar menyambut di dinding sebelah luar kastil, tempat ia dibantu turun dari kuda oleh Minoru dan Gemba. "Suamimu selamat," katanya dengan segera, dan melihat wajah Ai bersinar dengan p erasaan lega. "Syukur kupanjatkan pada Surga," sahutnya. "Kau terluka?" "Kurasa aku sudah melewati bagian terburuk. Apakah kau mendapat kabar dari istrik u? Aku tidak mendapat kabar apa pun sejak kami pergi di bulan keempat." "Lord Takeo," Ai mulai bicara, dan hati Takeo berdebar ketakutan. Hujan turun la gi dan para pelayan berlari ke depan membawa payung. "Tabib Ishida ada di sini," lanjut Ai. "Akan kupanggil dia. Dia akan merawatmu." "Ishida di sini? Mengapa?" Halaman 290 dari 700

"Dia akan ceritakan semuanya," ujar Ai, kelembutannya menakutkan Takeo. "Mari ma suk. Kau ingin mandi dulu? Dan kami akan siapkan makanan bagi kalian." Dia akan ceritakan semuanya," ujar Ai, kelembutannya menakutkan Takeo. "Mari mas uk. Kau ingin mandi dulu? Dan kami akan siapkan makanan bagi kalian." "Ya, aku akan mandi dulu," sahutnya, ingin bersiap dan menguatkan diri untuk men dengar kabar itu. Demam dan nyeri membuat kepalanya pening: pendengarannya agak lebih peka dari bi asanya, tapi begitu jernihnya suara menyakitkan telinganya. Ia dan Gemba berjalan ke kolam sumber air panas dan melepas pakaian mereka yang kotor. Dengan hati-hati Gemba menyingkirkan perban dari bahu dan lengan Takeo lalu membasuh luk anya dengan air panas. "Lukanya semakin pulih," ujar Gemba, tapi Takeo hanya mengangguk setuju; mereka juga tidak bicara selagi membasuh dan mengeringkan tubuh lalu masuk ke dalam air yang berbuih dan mengandung belerang. Hujan membasahi lembut wajah dan bahu mereka, mengelilingi mereka berdu a seakan membawa mereka ke dunia lain. "Aku tidak bisa berlama-lama di sini," akhirnya Takeo berkata. "Bisakah kau ikut denganku untuk mendengar apa yang telah membawa Ishida ke Inuyama?" "Tentu saja," sahut Gemba. "Mengetahui yang terburuk adalah tahu cara bergerak m aju." Ai sendiri yang menyajikan sop dan ikan panggang, nasi dan sayuran musim panas. Mereka makan dengan cepat: Ai menyuruh pelayan membereskan nampan dan membawakan teh. Saat pel ayan kembali, Ishida datang bersama mereka. Ai menuangkan teh ke mangkuk biru berlapis kaca. "Akan kutinggalkan kalian." Sew aktu Ai berlutut untuk menggeser pintu terbuka, Takeo melihatnya mengangkat lengan baju untuk men yeka air mata. "Tak ada luka lainnya?" tanya Ishida, setelah mereka saling memberi salam. "Biar kuperiksa." "Nanti saja," ujar Takeo. "Sudah mulai sembuh." Takeo menghirup teh, hampir tanpa merasakannya. "Kau sudah jauh-jauh kemari, kuh arap kau membawa berita baik." "Menurutku kau harus segera mendengar nya," sahut Ishida. "Maafkan aku, aku merasa semua ini salahku. Kau menitipkan i stri dan putramu dalam perawatanku. Halhal seperti ini memang sering terjadi; bayi sangatlah lemah. Mere

ka terlepas dari genggaman kita." Ishida berhenti dan menatap tak berdaya ke arah Takeo, bibirnya berkerut sedih, air mata berlinang di pipinya. Darah Takeo berdentum di telinganya. "Apakah kau hendak mengatakan kalau putraku meninggal?" Kesedihan melanda dirinya, dan air mata menetes. Mahkluk mungil itu, yang nyaris belum dikenalnya, yang kini tak akan bisa dikenalnya. Aku tak kuasa menanggung kabar buruk ini, pikirnya, kemudian, Bila diriku saja t ak kuasa menanggungnya, bagaimana Kaede bisa tahan? "Aku harus segera menemui istriku," ujarnya. "Bagaimana istriku menerima keadaan ini? Apakah karena penyakit? Apakah Kaede juga sakit?" "Itu merupakan kematian di masa kanakkanak yang tak bisa dijelaskan," tutur Ishid a, suaranya pecah. "Bocah mungil itu sehat pada malam sebelumnya, diberi cukup makan, tersen yum juga tertawa, lalu tertidur tanpa rewel, namun tidak pernah terbangun lagi." "Bagaimana bisa begitu?" Tanya Takeo, nyaris marah. "Bukan karena sihir? Bagaiman a dengan racun?" Teringat olehnya kalau Hana berada di Hagi, mungkinkah dia penyebab kema tian putranya? Takeo menangis, tidak berusaha menyembunyikannya. "Tak ada tanda-tanda racun," ujar Ishida. "Sementara sihir aku benar-benar tidak t ahu. Kematian seperti ini tidak wajar, tapi aku sama sekali tak tahu penyebabnya." Halaman 291 dari 700

"Lalu istriku: bagaimana keadaannya? Dia pasti hampir gila karena sedih. Apakah Shizuka bersamanya?" Lalu istriku: bagaimana keadaannya? Dia pasti hampir gila karena sedih. Apakah S hizuka bersamanya?" "Banyak hal buruk terjadi sejak kau pergi," bisik Ishida. "Istriku baru saja keh ilangan putranya. Sepertinya dia menjadi gila karena sedih. Dia duduk tanpa makan di depan Daifuku ji, di Hofu, dan menyerukan pada putra sulungnya untuk bertindak dengan adil. Sebagai jawabnya, Z enko mundur dalam keadaan gusar ke Kumamoto, tempat dia membangun kekuatan militer." "Istri Zenko dan putranya berada di Hagi," ujar Takeo. "Tentu dia tidak akan menyia-nyiakan nyawa mereka." "Hana dan kedua putranya sudah tidak di Hagi," ujar Ishida. "Apa? Kaede membiarkan mereka pergi?" "Lord Takeo," tutur Ishida dengan sedih. "Kaede pergi bersama mereka. Mereka dal am perjalanan ke Kumamoto." "Ah!" ujar Gemba pelan. "Kini kita tahu apa yang salah." Dia tak menangis, namun ekspresi kesedihan serta welas asih terlukis di wajahnya. Dia bergeser mendekati Takeo, seakan ingi n menopang tubuh Takeo. Takeo duduk diam membeku. Telinganya sudah mendengar kata-kata itu, namun benakn ya masih belum memahaminya. Kaede meninggalkan Hagi? Dia pergi ke Kumamoto, menyerahkan d iri ke tangan yang tengah berkomplot menentang dirinya? Mengapa istrinya mau melakukan hal semacam itu? Bergabung dengan suami adiknya? Tidak bisa dipercaya kalau istrinya melakuka n itu. Namun sebagian dalam dirinya merasa tercabik-cabik, seolah seluruh tangannya ter enggut habis. Dirasakan semangatnya naik turun menuju kegelapan, dan melihat kalau kegelapan i tu akan melahap seluruh negara nya. "Aku harus menemuinya," ujarnya. "Gemba, siapkan kuda. Kira-kira sudah sampai di mana mereka sekarang? Kapan mereka berangkat?" "Aku pergi kira-kira dua minggu lalu," sahut Ishida. "Mereka pasti pergi beberap a hari kemudian, lewat Tsuwano dan Yamagata." "Bisakah aku mencegat mereka di Yamagata?" tanya Takeo pada Gemba. "Jaraknya sem

inggu berkuda." "Aku akan sampai di sana dalam tiga hari." "Mereka berjalan dengan lambat," tutur Ishida. "Tak satu pun sanggup menghibur a tau mencegah kepergiannya. Yang terpikir olehku adalah meminta bantuan Ai, maka aku pergi dia m-diam dari Hagi, seraya berharap bertemu denganmu dalam perjalanan pulang." Ishida tidak memandang Takeo: sikap bersalah sekaligus bingung. "Lord Takeo," la njutnya, tapi Takeo tak mengijinkannya melanjutkan. Benaknya seketika mulai berpacu, mencari-cari jaw aban, membantah dan memohon, menjanjikan apa saja pada dewa manapun, agar istrinya tid ak meninggalkan dirinya. "Hiroshi luka parah, Shigeko luka ringan," tutur Takeo. "Kirin juga mungkin butu h perhatianmu. Rawat mereka sebaik-baiknya, dan begitu sanggup bepergian, bawa mereka ke Yamagata. Ak u akan ke sana dan mencari tahu apa yang telah terjadi. Minoru, kirim pesan sekarang juga kepada Miyoshi Kahei; beritahukan keberangkatanku." Takeo berhenti bicara lalu menatap Gemba den gan pandangan penuh kesedihan. "Aku harus bersiap untuk bertarung melawan Zenko. Tapi bagaimana aku sanggup ber perang melawan istriku sendiri?"* Halaman 292 dari 700

Di Hofu, gelombang pasang di awal bulan kelima datang setelah siang hari di Wakt u Kuda*. Pelabuhan dalam puncak kesibukannya, dengan arus kapal yang datang dan pergi mema nfaatkan angin barat untuk menuju Akashi dengan membawa hasil bumi Tiga Negara. Rumah mak an dan penginapan dijejali orang yang baru turun dari kapal. Mereka minum sambil bertuk ar berita dan cerita, menyuarakan kekagetan dan penyesalan atas kematian Muto Taku; mengagumi mukjizat yang dialami Shizuka, yang diberi makan oleh burung-burung di Daifukuji; kesal pada Z enko yang sangat tidak berbakti pada orangtua dan menghina dewa-dewa serta pasti akan dihukum ata s perbuatannya. Penduduk Hofu adalah orangorang yang pemberani dan juga keras kepala. Mereka memb enci perbudakan oleh Tohan dan Noguchi; maka mereka pun tak ingin kembali ke masa-mas a di bawah kepemimpinan Arai. Kepergian Zenko dari kota itu disertai dengan cemooh dan berba gai bentuk *) Waktu Kuda: berkisar antara jam 11.00 s/d jam 13.00. ungkapan dendam atau kebencian: para pengawal Arai yang berada di bagian belakan g rombongan bahkan dilempari kotoran atau sampah, bahkan dilempari batu. Miki dan Maya melihat sedikit kejadian ini; mereka berlari dengan menghilangkan diri melewati jalanjalan yang sempit, dengan saru tujuan: menjauhkan diri dari Hisao dan Akio. Maya sudah kelelahan karena tidak tidur semalaman, pertemuan dengan Hisao, percakapan dengan hantu pe rempuan. Ia selalu menoleh ke belakang dengan gugup saat mereka lari, seolah yakin Hisao aka n mengejar; pemuda itu takkan membiarkannya pergi. Dan Akio pasti sudah tahu tentang si kucin g. Hisao pasti dihukum, pikirnya, tapi tak tahu apakah pikiran itu membuatnya gembira atau sedi h. Merasakan kalau kemampuan menghilangnya sirna saat ia kelelahan, Maya melambatkan larinya untuk mengatur napas, dan melihat Miki muncul kembali di sebelahnya. Jalan di si ni sepi; kebanyakan orang berada di dalam rumah untuk makan siang. Di luar toko kecil, seorang lakilaki tengah berjongkok mengasah pisau dengan batu asah, mengambil air dari kanal kecil. Orang itu melonjak kaget melihat kemunculan mereka yang tiba-tiba hingga pisau ya ng dipegangnya jatuh. Maya panik, tidak berdaya. Tanpa berpikir panjang, diambilnya pisau itu l alu dia tusuk tangan laki-laki itu. "Apa yang kau lakukan?" pekik Miki. "Kita butuh senjata, makanan dan uang," jawab Maya. "Dia akan berikan untuk kita ."

Laki-laki itu menatap dengan tak percaya pada darahnya sendiri. Maya berguling l alu muncul di belakang laki-laki itu, melukainya lagi, kali ini di leher. "Beri kami makanan dan uang, atau kau akan mati," ujarnya. "Adik, ambil pisau ju ga." Miki mengambil pisau kecil dari tempatnya tergetak di atas selembar kain yang ter hampar di tanah. Didekatinya laki-laki itu di bagian tangan yang tidak terluka lalu membimbingnya masuk ke dalam toko. Bola matanya terbelalak ketakutan, ditunjukkannya tempat dia menyimpan bebe rapa koin, dan memaksakan kue mochi ke dalam genggaman tangan Maya. "Jangan bunuh aku," dia memohon. "Aku membenci kejahatan Lord Arai: aku tahu dia telah manghasut dewa-dewa menentangnya, tapi aku tidak terlibat di dalamnya. Aku hanyalah seorang perajin yang miskin." "Dewa menghukum rakyat atas kejahatan penguasanya," Maya mengoceh. Kalau si bodo h ini mengira mereka adalah iblis atau hantu, maka ia harus memanfaatkan sebaikbaiknya. "Apa-apaan tadi itu?" tanya Miki sewaktu mereka meninggalkan toko, kini keduanya bersenjatakan pisau yang disembunyikan di balik pakaian. Halaman 293 dari 700

"Akan kuceritakan nanti. Ayo kita cari tempat untuk bersembunyi sebentar, tempat yang ada airnya." kan kuceritakan nanti. Ayo kita cari tempat untuk bersembunyi sebentar, tempat yang ada airnya." Mereka mengikuti kanal sampai ke jalan yang mengarah keluar kota menuju utara. M ereka tiba di jalan ke biara, hutan kecil mengelilingi kolam sumber air. Di sini mereka minum sebanyak-banyaknya, dan menemukan tempat yang terlindung di balik semak-semak, tempat mereka duduk d an berbagi kue mochi. Burung gagak memekik di ketinggian pohon cedar, dan jangkrik yang ber derik membosankan. Peluh bercucuran di wajah kedua gadis itu, dan di balik pakaian ter asa lembap dan gatal. Maya berkata, "Paman tengah menyiapkan pasukan melawan Ayah. Kita harus ke Hagi lalu memperingatkan Ibu. Bibi Hana sedang dalam perjalanan ke sana. Ibu tidak boleh p ercaya kepadanya." "Tapi Maya, kau gunakan kemampuan Tribe untuk melawan orang yang tidak bersalah. Ayah melarang kita melakukan hal itu." "Dengar, Miki, kau tidak tahu apa yang sudah kualami. Aku melihat Taku dan Sada dibunuh di depan mataku. Aku ditawan Kikuta Akio." Sesaat dikiranya kalau ia akan menangis, tapi perasaan itu segera berlalu. "Dan bocah itu, yang berseru-seru memanggilku, adalah Kikuta Hisao; dia adalah cucu Kenji. Kau pasti pernah mendengar tentang dia di Kagemura. Ibunya, Yuki, menikah dengan Akio, tapi setelah bocah itu lahir, Kikuta memaksanya bunuh diri. Itu sebabnya Kenji menggi ring Tribe kepada Ayah." Miki mengangguk, dia sudah mendengar semua kisah Tribe ini sejak kecil. "Lagipula, pada akhirnya, tidak ada orang yang tidak bersalah," tutur Maya. "Sud ah menjadi takdir orang itu berada di sana saat itu." Gadis itu menatap permukaan kolam dengan murung. Ranting pohon cedar dan a wan di belakangnya memantul di permukaan yang tenang. "Hisao adalah kakak kita," katanya seketika. "Orang mengira dia putra Akio, tapi sebenarnya bukan. Dia putra Ayah." "Itu tidak mungkin," ujar Miki dengan suara lemah. "Benar. Dan ada ramalan yang mengatakan bahwa Ayah hanya bisa dibunuh oleh putran ya sendiri. Hisao akan membunuh Ayah, kecuali bila kita mencegahnya." Maya menatap Miki. Dia hampir lupa akan keberadaan bayi yang baru lahir, seolah dengan tidak mengakui kelahiran adiknya itu. Maya belum pernah melihatnya, maupun memikirkanny

a. Seekor nyamuk hinggap di tangannya dan dia menepuknya. Miki berkata, "Ayah pasti tahu tentang ini." "Kalau sudah tahu, mengapa Ayah tidak berbuat apa-apa?" sahut Maya, merasa heran mengapa hal ini membuat ia begitu marah. "Jika Ayah memilih untuk tidak berbuat apa-apa, seharusnya kita juga begitu. Lag i-pula, apa yang bisa Ayah lakukan?" "Ayah seharusnya membunuh Hisao. Lagipula Hisao pantas mendapatkannya. Dia itu ja hat, orang paling jahat yang pernah kutemui, lebih jahat dari Akio." "Tapi bagaimana dengan adik bayi kita?" tanya Miki lagi. "Jangan membuat semuanya menjadi rumit, Miki!" Maya berdiri mengibaskan debu dar i pakaiannya. "Aku mau pipis," ujarnya, menggunakan bahasa laki-laki, lalu berjalan lebih jauh m emasuki hutan. Di sini ada batu nisan yang berlumut dan terbengkalai. Maya berpikir kalau ia ta k boleh mengotorinya, maka dipanjatnya dinding samping lalu membuang hajat. Saat ia meman jat dengan susah payah kembali ke sisi dinding yang sebelumnya, bumi bergetar, dan dirasaka nnya bebatuan merekah di bawah tangannya. Maya setengah terjatuh ke atas tanah, merasa pusing selama beberapa saat. Puncak pepohonan cedar masih bergetar. Pada saat itu dirasakannya keinginan untuk menjadi si kucing, bersamaan dengan perasaan yang tidak dikenalinya, yang membuatnya gelisah. Halaman 294 dari 700

Ketika dilihatnya Miki duduk di samping kolam, ia terkejut melihat betapa kurusn ya adiknya itu kinietika dilihatnya Miki duduk di samping kolam, ia terkejut mel ihat betapa kurusnya adiknya itu kini. Hal ini membuatnya merasa kesal. Maya tak ingin mencemaskan keadaan Miki: ia ingin segalanya tetap seperti biasanya, ketika mereka seperti memiliki satu pikiran. Ia tak ingin Miki tidak sepaham dengan dir inya. "Ayo," katanya. "Kita harus segera pergi." "Apa rencana kita?" tanya Miki sewakt u berdiri. "Tentu saja pulang." "Apakah kita akan berjalan kaki sampai ke rumah?" "Ada ide yang lebih baik?" "Kita bisa meminta bantuan dari seseorang. Seorang laki-laki bernama Bunta datang bersama Shizuka dan aku. Dia akan menolong kita." "Apakah dia Muto?" "Imai." 'Tak satu pun dari mereka bisa dipercaya lagi," sahut Maya dengan perasaan jijik . "Kita harus pergi sendiri." "Tapi jaraknya jauh sekali," ujar Miki. "Butuh waktu seminggu berkuda dari Yamag ata, berkuda secara terbuka dengan dua orang laki-laki yang membantu kita. Dari Yamagata ke Hagi ber jarak sepuluh hari. Bila kita berjalan kaki dan sambil ber sembunyi, akan makan waktu tiga kali lebih lama. Lalu bagaimana kita mendapatkan makanan?" "Seperti yang tadi kita lakukan," sahut Maya, seraya menyentuh pisaunya yang ter sembunyi. "Kita akan mencurinya." "Baiklah," ujar Miki tidak senang. "Apakah kita akan mengikuti jalanan mama?" Ia memberi isyarat ke arah jalan berdebu yang berbelok-belok menuju sawah yang menghijau ke arah pegunu ngan yang berselimutkan pepohonan. Maya mencermati para pelancong yang berjalan menyusuri j alan itu dari kedua arah: ksatria berkuda, perempuan bertopi dan berkerudung lebar pelindung s inar matahari, biarawan berjalan dengan tongkat dan mangkuk pengemis, penjaja dagangan, pedagan g, peziarah. Be-berapa di antara mereka mungkin saja menahan dan menghentikan mereka berdua, yang terburuk, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Atau mereka mungkin saja o rang Tribe

yang sedang mengejar. Maya menoleh ke belakang, ke arah kota, setengah berharap melihat Hisao dan Akio mengejar. Ia bimbang dan disadarinya ternyata ia rindu dan ingin bertem u Hisao lagi. Tapi aku membencinya! Bagaimana bisa aku ingin berjumpa dengannya? Berusaha menyembunyikan perasaan ini dari Miki, ia berkata, "Walau aku berpakaia n laki-laki, siapa pun bisa melihat kalau kita kembar. Kita tak ingin menjadi perhatian. Kita akan berjalan melewati pegunungan." "Kita akan kelaparan," protes Miki, "atau tersesat. Ayo kembali ke kota saja. Ay o kita temui Shizuka." "Dia berada di Daifukuji," ujar Maya, ingat perkataan gadis pelayan itu. "Berpua sa dan berdoa. Kita boleh kembali. Akio mungkin sudah menunggu kita di sana." Rasa tegangnya makin bertambah; Maya bisa merasakan tarikan itu dalam dirinya, m erasakan kalau pemuda itu sedang mencarinya. Mendadak Maya melompat, mendengar suara Hisao. Datanglah kepadaku. Suara itu bergema seperti bisikan di selasela hutan. "Kau dengar itu?" Dicengkera mnya tangan Miki. "Apa?" "Suara itu. Itu dia." Miki berdiri, mendengarkan dengan seksama. "Aku tidak dengar siapa-siapa," Halaman 295 dari 700

"Ayo pergi," ajak Maya, ia melihat ke angkasa. Matahari sudah bergeser dari titi k puncaknya ke arah barat. Jalan hampir mengarah ke utara, melewati sebagian besar daerah tersubur d i Tiga Negara, mengikuti aliran sungai di sepanjang jalan menuju Tsuwano. Sawah terbentang di k edua sisi lembah, rumah dan gubuk petani benebaran di tengah daerah persawahan. Jalan terbentang di sepanjang sisi barat sampai ke jembatan di Kibi. Juga ada jembatan baru, tepat sebelum Sun gai Yamagata. Sungai itu sering meluap, tapi berjarak satu hari perjalanan ke utara Hofu, sunga inya makin dangkal, deburan air berbuih menghempas bebatuan. Ayo pergi," ajak Maya, ia melihat ke angkasa. Matahari sudah bergeser dari titik puncaknya ke arah barat. Jalan hampir mengarah ke utara, melewati sebagian besar daerah tersubur d i Tiga Negara, mengikuti aliran sungai di sepanjang jalan menuju Tsuwano. Sawah terbentang di k edua sisi lembah, rumah dan gubuk petani benebaran di tengah daerah persawahan. Jalan terbentang di sepanjang sisi barat sampai ke jembatan di Kibi. Juga ada jembatan baru, tepat sebelum Sun gai Yamagata. Sungai itu sering meluap, tapi berjarak satu hari perjalanan ke utara Hofu, sunga inya makin dangkal, deburan air berbuih menghempas bebatuan. Mereka sudah sering melewati jalan ini; Miki yang terakhir kali, hanya beberapa hari lalu, sedangkan Maya saat musim gugur sebelumnya, bersama Taku dan Sada. "Aku penasaran di mana kedua kuda betina itu," ujarnya pada Miki saat melangkah d ari bawah naungan pepohonan lalu berjalan di bawah teriknya matahari. "Kau tahu, aku kehil angan mereka." "Kuda betina apa?" "Kuda pemberian Shigeko untuk perjalanan dari Maruyama." Selagi mereka mulai berjalan menanjak menaiki lereng ke pepohonan bambu, Maya me nceritakan dengan singkai tentang serangan itu, dan kematian Taku dan Sada. Setelah selesai bercerita, Miki menangis tanpa suara, namun mata Maya kering. "Aku memimpikanmu," ujar Miki, seraya menyeka mata dengan tangan. "Aku memimpika nmu sebagai si kucing, dan aku adalah bayangannya. Aku tahu sesuatu yang mengerikan terjadi padamu." Sejenak Miki terdiam, lalu berkata, "Apakah Akio menyakitimu?" "Dia mencekikku untuk membungkam mulutku, lalu memukulku beberapa kali, hanya it u."

"Bagaimana dengan Hisao?" Maya mulai berjalan lebih cepat, sampai hampir berlari kecil di sela-sela batang pohon yang berwarna keperakan. Seekor ular kecil melintas di depan mereka, menghilang ke semak beluk ar, dan di suatu tempat di sebelah kiri mereka terdengar kicau burung kecil. Derik jangkrik keden garan makin kencang. Miki pun ikut berlari. Mereka menyelinap dengan mudah di antara batang-batang ba mbu. "Hisao adalah penguasa alam baka," ujar Maya, ketika akhirnya lereng yang semaki n curam memaksanya untuk melambatkan langkah. "Penguasa alam baka dari Tribe?" "Ya. Dia bisa menjadi luar biasa kuat, hanya saja dia tidak tahu bagaimana mengat asinya. Tak ada orang yang pernah mengajarinya, selain cara bertindak kejam. Dan dia bisa membuat senjata api. Kurasa ada orang yang mengajarinya." Matahari tergelincir di balik puncak tinggi pegunungan di sebelah kiri mereka. T idak akan ada bulan, dan awan rendah menyebar di langit dari arah selatan; juga tidak akan ada bintang. R asanya waktu sudah lama berlalu sejak mereka makan kue mochi di biara tadi. Sambil berjalan, kedua gadis itu kini mulai secara naluriah mencari makanan: jamur yang tumbuh di bawah pohon pinus, wineber ry, akar halus bambu, pucuk pakis yang sudah tua, meski semua ini makin sulit ditemukan. Sejak kecil mereka diajarkan oleh Tribe untuk hidup dari alam, mengumpul kan daun, akar dan buah-buahan sebagai makanan juga racun. Mereka mengikuti buny i gemericik air dan minum dari sebuah sungai kecil. Di sungai juga menemukan kepiting kecil yang mereka makan hidup-hidup, mengisap daging berlumpur dari cangkangnya yang rapuh. Kemudian mer eka melanjutkan perjalanan selama senja yang panjang sampai malam sudah terlalu gela p hingga tak bisa melihat apa-apa. Kini mereka berada di lebatnya hutan, dan terdapat banyak tebin g dengan batuan yang menonjol dan pohon tumbang yang menyediakan tempat bernaung. Mereka sampai di sebatang pohon beech besar yang setengah tercabut akarnya akiba t gempa atau badai. Daun rontok selama bertahun-tahun menyediakan kasur yang empuk, dan batang nya yang besar dan akarnya membentuk liang. Bahkan ada kacangkacangan yang masih bisa dimak an di Halaman 296

dari 700

antara dedaunan. Kedua gadis itu berbaring, berangkulan. Dalam pelukan adiknya, M aya mulai merasa rileks, seolah dirinya menjadi utuh kembali. ara dedaunan. Kedua gadis itu berbaring, berangkulan. Dalam pelukan adiknya, Maya mulai merasa rileks, seolah dirinya menjadi utuh kembali. Maya tidak yakin apakah dia mengucapkan kata-kata itu atau hanya memikirkannya. Hisao menyayangi kucing itu dan dia adalah penguasanya. Miki agak memutar badannya. "Kurasa aku tahu itu. Aku merasakannya: aku memutuska n ikatan antara pemuda yang memanggilmu dan si kucing; dan kau berubah ke wujud aslimu." Tambahan lagi, ibunya selalu bersamanya. Saat Hisao bersama si kucing, ia bisa b icara dengan arwah ibunya." Tubuh Miki agak gemetar. "Kau pernah melihatnya?" "Sudah." Terdengar suara burung hantu di pepohonan di atas mereka, membuat keduanya melonj ak kaget, dan di kejauhan terdengar jerit rubah betina. "Apakah saat itu kau takut?" bisik Miki. "Tidak." Maya memikirkannya. "Tidak," ulangnya. "Aku merasa iba. Dia dipaksa mat i sebelum waktunya, dan harus menyaksikan putranya diubah menjadi jahat." "Mudah sekali menjadi jahat," ujar Miki pelan. Udara terasa menjadi agak dingin, dan cahaya menerangi tanah. "Hujan," ujar Maya. Dengan rintik-rintik pertamanya, bau lembap mulai muncul dar i tanah. Mengisi cuping hidungnya dengan kehidupan sekaligus kematian. "Apa kau lari darinya? Sekalian pulang, maksudku?" "Dia sedang mencariku, memanggilku." "Dia mengikuti kita?" Maya tak langsung menjawab. Tubuhnya menyentak-nyentak gelisah. "Aku tahu Ayah d an Shigeko belum pulang, tapi Ibu akan melindungi kita, kan? Begitu kita sampai di Hagi, ba ru aku akan merasa aman." Tapi bahkan setelah kata-kata itu lepas dari mulutnya, ia pun tak yakin kalau se mua ucapannya benar. Sebagian dari dirinya takut pada laki-laki itu dan ingin menjauh. Sebagia n lagi ditarik kembali kepadanya, ingin bersama pemuda itu dan berjalan bersama di antara dunia. Apakah aku sudah menjadi jahat? Maya mengingat tukang asah pisau yang dilukai da n dirampoknya

tanpa pikir panjang. Ayah pasti marah padaku, pikirnya; merasa bersalah dan tida k menyukai perasaan itu, ia menuangkan rasa marah untuk memadamkannya. Ayah yang memaksaku; ini salah Ayah hingga aku menjadi seperti ini. Seharusnya Ayah tidak mengirimku pergi jauh. Seh arusnya Ayah tidak boleh begitu sering meninggalkanku saat aku masih kecil. Seharusnya Ayah bilang kalau Ayah punya anak laki-laki. Seharusnya Ayah tidak boleh punya anak laki-laki! Miki sepertinya sudah tidur. Napasnya tenang dan teratur. Sikutnya menusuk badan Maya, dan Maya bergeser sedikit. Suara burung hantu tadi terdengar lagi. Nyamuk mencium bau ker ingat mereka dan berdengung di telinga Maya. Hujan membuatnya kedinginan. Nyaris tanpa berpikir dib iarkannya si kucing datang dengan bulu tebalnya yang hangat. Segera terdengar suara Hisao. Datanglah padaku. Dan Maya merasakan tatapan pemuda itu berpaling ke arahnya, seolah Hisao bisa me lihat melalui kegelapan, tepat ke mata keemasan si kucing, saat kepalanya berputar melihat ke arah Hisao. Kucing itu meregangkan badan, menegakkan telinganya serta mendengkur. Maya berjuang kembali ke wujud aslinya. Dibuka mulutnya, berusaha memanggil Miki . Halaman 297 dari 700

Miki duduk tegak. "Apa yang terjadi?" iki duduk tegak. "Apa yang terjadi?" Maya merasakan lagi kekuatan setajam pedang dari jiwa Miki yang menghalangi anta ra si kucing dan penguasanya. "Tadi kau melolong!" ujar Miki. "Tadi aku berubah menjadi kucing di luar kehendakku, dan Hisao melihatku." "Apakah dia sudah dekat?" "Aku tidak tahu, tapi dia tahu tempat kita berada. Kita harus pergi sekarang jug a." Miki berlutut di pinggiran gua pohon dan melihat dengan seksama keluar ke gelapn ya malam. "Aku tidak bisa lihat apa-apa. Gelap gulita, dan hujan. Kita tidak bisa pergi sekaran g." "Kau akan tetap terjaga?" tanya Maya gemetaran karena dingin dan emosi. "Ada ses uatu yang bisa kau lakukan yang menghalangi antara dia dan aku, serta membebaskan diriku darinya ." "Aku tidak tahu apa itu," ujar Miki. Suaranya lemah dan lelah. "Atau bagaimana m elakukannya. Kucing itu mengambil begitu banyak dari dalam diriku." Murni adalah kata yang terbersit di benak Maya, seperti murninya baja setelah di panaskan, dibengkokkan dan dipukul berulang kali. Dipeluknya Miki dan mendekapnya lebih erat. Berpelukan, kedua gadis itu men unggu cahaya matahari merayap perlahan menyinari mereka. *** Hujan berhenti saat hari mulai terang, membuat tanah terasa panas dan mengubah ra nting dan daun yang meneteskan air hujan menjadi bingkai keemasan dan potongan pelangi. Jaring laba-laba, rumpun bambu, pakis: semuanya berkilau dan bersinar. Dengan menjaga agar sinar m atahari tetap di kanan mereka, keduanya melanjutkan perjalanan ke utara, di sisi sebelah timur pegu nungan. Mereka berusaha sekuat tenaga naik turun parit yang dalam, seringkali harus mene lusuri kembali jejak kaki mereka sebelumnya; sesekali melihat jalan di bawah sana, dan sungai di belakangnya. Meskipun ingin berjalan sebentar di permukaan jalan yang mulus, mereka tak beran i melakukannya. Saat tengah hari, mereka berhenti di saat yang bersamaan. Di depan mereka tampak ada jalan yang tidak terlalu mulus, namun menjanjikan kalau bagian selanjutnya perjalanan mereka akan lebih mudah. Mereka b

elum makan sejak pagi, dan kini mulai mencari-cari di rerumputan, tanpa bersuara, dan menem ukan kacang beech, lumut, chestnut sisa musim gugur lalu yang telah bertunas, sedikit buah b eri yang hampir ranum. Udara terasa panas, bahkan dalam naungan lebatnya hutan. "Kita istirahat sebentar," ujar Miki, seraya melepas sandal dan menggosokkan tel apak kakinya di rumput yang lembap. Kakinya lecet dan berdarah, kulitnya berubah segelap tembaga . Maya sudah berbaring terlentang, menatap ke atas, ke arah hijau dedaunan yang be rubah bentuk. "Aku lapar sekali," katanya. "Kita harus mendapatkan makanan sungguhan. Aku pena saran apakah jalan itu mengarah ke sebuah desa." Kedua gadis itu tertidur sebentar, tapi rasa lapar membangunkan mereka. Sekali l agi, hampir tidak perlu bicara, mereka mengencangkan kembali sandal dan mulai mengikuti jalan kecil tadi yang berkelok di sepanjang sisi gunung. Sesekali mereka melihat atap rumah petani jauh di bawah, dan mengira kalau jalan kecil itu akan membawa merek a ke sana. Tapi mereka tidak menemukan tempat apa pun, tak ada desa, bahkan tak ada gubuk atau b iara terpencil di gunung, dan sawah garapan tetap berada di luar jangkauan di bawah tempat mereka berada. Mereka berjalan tanpa bicara, berhenti hanya untuk mengambil makanan yang disediakan ata m, perut mereka mulai keroncongan. Matahari berlalu tersembunyi di balik gunung; awan ber kumpul lagi di sebelah selatan. Tak satu pun dari kedua nya ingin menghabiskan semalam lagi di hutan, namun tidak tahu lagi apa yang bisa dilakukan, selain terus berjalan. Halaman 298 dari 700

Hutan dan gunung menyatu saat senja tiba; burung berkicau melantunkan nyanyian p engiring matahari teng-gelam. Maya yang berada di depan, tiba-tiba berhenti. an dan gunung menyatu saat senja tiba; burung berkicau melantunkan nyanyian peng iring matahari teng-gelam. Maya yang berada di depan, tiba-tiba berhenti. "Asap," bisik Miki. Maya mengangguk, dan mereka berjalan dengan lebih hati-hati. Baunya semakin kuat , kini bercampur dengan aroma daging panggang yang membuat perut mereka semakin keroncongan. Dagi ng burung kuau atau kelinci, pikir Maya, karena ia pernah mencicipi kedua daging itu di se kitar Kagemura. Segera saja terbit air liurnya. Di sela-sela pepohonan bisa dilihatnya sebuah gubuk kecil. Api unggun menyala di depannya, dan sesosok tubuh ramping berlutut menjaga daging yang sedang dimasak. Maya bisa memperkirakan dari bentuk tubuh dan gerakannya kalau sosok itu adalah perempuan dan ada sesuatu dengannya yang terasa sangat familiar. Miki berbisik di telinganya. "Perempuan itu mirip Shizuka!" Maya mencengkeram tangan adiknya saat Miki hendak berlari menghampiri. "Tidak mu ngkin. Bagaimana dia bisa ada di sini? Aku akan ke sana dan melihatnya." Menggunakan kemampuan menghilang, Maya menyelinap di sela pepohonan dan ke belak ang gubuk. Aroma daging begitu kuat hingga ia mengira akan kehilangan konsentrasinya. Diraba nya pisaunya. Sepertinya tidak ada orang lain lagi, hanya perempuan itu, kepalanya tertutup tu dung yang dipegangi dengan satu tangan sementara membolak-balik daging pada tusuk pemanggang dengan t angan satunya lagi. Angin sepoi-sepoi berhembus perlahan di dataran itu dan membuat bulu-bulu coklat dan hijau melambai-lambai terkena anginnya. Perempuan itu berkata, tanpa berpalin g, "Kau tak perlu menggunakan pisau itu. Aku akan memberimu dan adikmu makan." Suaranya mirip suara Shizuka, tapi juga tidak mirip. Maya berpikir, Kalau dia bi sa melihatku, maka dia pasti berasal dari Tribe. "Apakah kau Muto?" tanya Maya, lalu membuat dirinya terlihat lagi. "Ya, aku Muto," sahut perempuan itu. "Kau bisa memanggilku Yusetsu." Maya belum pernah mendengar nama itu. Suaranya pun dingin dan misterius, bak jej ak terakhir salju

yang tertinggal di sisi utara pegunungan di musim semi. "Apa yang kau lakukan di sini? Apakah ayahku yang menyuruhmu ke sini?" "Ayahmu? Takeo." Perempuan itu mengucapkan nama Takeo dengan semacam kerinduan ya ng dalam dan penyesalan, lembut sekaligus getir, yang membuat Maya bergidik. Kini p erempuan itu menatap Maya, namun tudung menutupi wajahnya. Bahkan dengan cahaya api unggun, M aya tidak bisa melihat wajahnya. "Sudah hampir matang," kata Yusetsu. "Panggil adikmu lalu cuci tangan dan kaki k alian." Ada teko air di anak tangga gubuk. Kedua gadis itu bergantian menuangkan air menc uci tangan dan kaki mereka. Di anak tangga, Yusetsu menaruh daging burung kuau bakar di lembara n kulit kayu yang di-bungkus daun. Dia lalu berlutut, mengiris daging menjadi potongan kecil. Si kembar makan tanpa bicara, melahap daging dengan rakus; panasnya membakar mulut dan lidah. Yu setsu tidak makan, dia hanya mengamati setiap suapan mereka, memerhatikan wajah dan tangan m ereka. Ketika keduanya sudah mengisap tulang yang terakhir, Yusetyu menuangkan air ke s elembar kain untuk mengelap tangan mereka. Dia membalikkan telapak tangan mereka dan menyusur i tanda Kikuta dengan jari-jarinya. Kemudian ditunjuknya tempat untuk buang hajat, dan memberikan lumut untuk member sihkannya; sikapnya penuh perhatian, seolah dia adalah ibu mereka. Setelah itu dinyalakannya lentera dari sisa api yang masih menyala, dan mereka berbaring di Halaman 299 dari 700

lantai gubuk sementara perempuan itu terus memandangi merekaantai gubuk sementar a perempuan itu terus memandangi mereka. "Jadi kalian anaknya Takeo," ujarnya lirih. "Kalian mirip dengannya. Kalian seha rusnya menjadi anakku." Dan kedua gadis itu, dalam keadaan hangat dan kenyang, merasakan juga lebih baik kalau mereka memang menjadi anak Yusetsu, meski mereka belum tahu siapa perempuan itu sebenar nya. Yusetsu memadamkan lentera dan menyelimuti mereka dengan jubahnya. "Tidurlah," uj arnya. "Tidak ada yang bisa menyakiti kalian saat aku di sini." Mereka tidur tanpa bermimpi dan terbangun saat hari mulai terang. Hujan menyirami wajah mereka, juga tanah lembap di bawah tubuh mereka. Tak ada tanda-tanda gubuk, teko, maupun perempuan itu. Hanya bulu burung di lumpur dan bekas bara api yang menandakan kalau perempuan i tu pernah ada di sana. Miki berkata, "Dia adalah hantu perempuan itu." "Mmm," gumam Maya, setuju. "Ibu Hisao? Yuki?" "Siapa lagi?" Maya mulai berjalan ke arah utara. Tak satu pun dari keduanya bica ra lagi tentang perempuan itu, namun rasa daging burung kuau masih tertinggal di lidah dan tengg orokan mereka. "Ada jalan kecil," ujar Miki, mengejar Maya. "Seperti kemarin." Jalannya tidak rata, seperti jalanan rubah, melalui semak belukar. Mereka berjal an menyusurinya sepanjang hari, beristirahat dalam panasnya siang hari di rimbunnya semak hazeln ut. Dan berjalan lagi sampai malam tiba saat bulan baru muncul, bulan sabit. Tiba-tiba tercium bau asap yang sama, aroma daging yang tengah dimasak yang mene rbitkan air liur, seoerang perempuan sedang menjaga makanan yang dimasak, wajahnya tersembunyi ole h jubah bertudung. Di belakangnya ada gubuk, teko berisi air. "Kita di rumah," ujar Maya menyapa dengan akrab. "Selamat datang di rumah," sahut perempuan itu. "Cuci tangan; makanannya sudah m atang." "Apakah itu makanan hantu?" tanya Miki saat perempuan itu membawakan daging

saat ini daging kelinci dan mengirisnya untuk mereka. Yusetsu tertawa. "Semua makanan adalah makanan hantu. Semua makanan sudah mati d an memberikan rohnya pada kalian agar kalian bisa hidup." "Jangan takut," tambahnya ketika Miki ragu; Maya sudah menjejalkan daging ke mul utnya. "Aku di sini untuk membantu kalian." "Apa yang kau inginkan sebagai imbalan?" tanya Miki, tetap belum mau makan. "Aku membalas pertolonganmu. Aku berutang padamu. Karena kau memutuskan ikatanku dengan anakku." "Benarkah?" "Kau membebaskan si kucing, dan sekaligus membebaskanku." "Bila sudah bebas, seharusnya kau melanjutkan perjalananmu," tutur Miki dengan su ara tenang dan tegas yang belum pernah Maya dengar. "Tugasmu sudah berakhir di dunia ini. Kau h arus merelakannya, dan membiarkan arwahmu berjalan terus menuju kelahirannya kembali." "Kau bijaksana," sahut Yuki. "Akan lebih bijaksana dan lebih kuat lagi begitu ka u dewasa. Dalam waktu satu atau dua bulan lagi, kau dan kakakmu akan mulai mendapa t haid. Menjadi perempuan membuat kalian lemah, jatuh cinta menghancurkan diri kalian, dan membu at seorang Halaman 300 dari 700

anak menempelkan pisau di lehermu. Jangan tidur dengan laki-laki; bila kalian tid ak memulainya, maka kalian takkan merindukannya. Aku sangat suka bercinta; ketika aku menganggap ayah kalian sebagai kekasihku, aku merasa seperti di Surga. Aku membiarkannya memiliki diriku seutuhnya. Aku merindukannya siang dan malam. Dan aku melakukan apa yang diperintahkan padaku: kalian anakmenempelkan pisau di lehermu. Jangan tidur dengan laki-laki; bila kali an tidak memulainya, maka kalian takkan merindukannya. Aku sangat suka bercinta; ketika aku menganggap ayah kalian sebagai kekasihku, aku merasa seperti di Surga. Aku membiarkannya memiliki diriku seutuhnya. Aku merindukannya siang dan malam. Dan aku melakukan apa yang diperintahkan padaku: kalian anakanak Tribe; kalian harus tahu tentang kepatuhan." Kedua gadis itu meng-angguk, tapi tidak bicara. "Aku patuh pada Ketua Kikuta dan Akio, yang kutahu mesti kunikahi di kemudian ha ri. Tapi aku mengira akan menikah dengan Takeo dan melahirkan anak-anaknya. Kami sangat seras i dalam kemampuan Tribe, dan kukira dia jatuh cinta padaku. Dia kelihatan terobsesi pada ku sama seperti aku terobsesi padanya. Kemudian aku tahu kalau Shirakawa Kaede yang dicintainya, kegilaan karena cinta yang bodoh membawa dirinya kabur dari Tribe dan membuat aku dihukum mati." Yuki terdiam membisu. Kedua gadis itu juga tidak berkata apa-apa. Mereka belum p ernah mendengar versi cerita ini dari riwayat orangtua mereka, diceritakan oleh perempuan yang s angat menderita disebab-kan oleh cintanya pada ayah mereka. Akhirnya Maya berkata, "Hisao berusa ha untuk tidak ingin mendengarkanmu." Miki mencondongkan badan ke depan dan mengambil sepotong daging, mengunyahnya pel an, merasakan lemak dan darahnya. "Dia tak mau tahu siapa dirinya," sahut Yuki. "Sifat dalam dirinya tercabik, itu sebabnya dia merasa sakit kepala yang sangat menusuk." "Dia tidak bisa dibebaskan dari dosa," ujar Maya, amarahnya kembali lagi. "Semak in lama dia menjadi semakin jahat." "Kalian adalah adiknya," tutur Yuki. "Salah satu dari kalian menjadi si kucing, yang disayanginya; sedang yang satunya lagi memiliki kualitas spritual yang menolak kekuatannya. Bil a dia menyadari kekuatan itu sepenuhnya, maka dia akan menjadi benarbenar jahat. Tapi sampai tiba waktunya nan ti, dia masih

bisa diselamatkan." Yuki mencondongkan badan, dan membiarkan tudung terlepas. "B egitu dia sudah selamat, aku akan melanjutkan perjalananku. Aku tidak bisa membiarkan anakku mem bunuh ayahnya. Namun ayah angkatnya harus membayar pembunuhan keji atas diriku." Dia cantik, pikir Maya, tidak seperti Ibu tapi dengan sifat yang selalu kuingin diriku menjadi seperti itu, kuat dan ptnuh semangat. Aku be rha rap dia yang menjadi ibuku. Aku berharap dia belum mati. "Sekarang kalian harus tidur. Teruslah berjalan ke utara. Aku akan memberi kalia n makan dan membimbing kalian kembali ke Hagi. Kita akan menemukan ayah kalian dan mempering atkannya, saat kita sudah bebas, kita akan selamatkan Hisao." Yuki mencuci tangan mereka seperti yang dilakukannya di malam sebelumnya, tapi k ali ini dibelainya tangan mereka dengan lebih lembut, layaknya seorang ibu; sentuhannya kuat dan ny ata: dia tidak terasa seperti arwah, tapi keesokan paginya, si kembar terbangun di hutan yang kosong. Hantu perempuan itu sudah pergi. Miki bahkan lebih pendiam lagi ketimbang sebelumnya. Suasana hati Maya labil, ber gerak antara gembira karena kemungkinan bertemu Yuki lagi malam itu, serta ketakutan akan Akio dan Hisao yang sudah dekat di balakang mereka. Dia mencoba memaksa Miki bicara, tapi jawab an Miki singkat dan tidak memuaskan. "Apakah menurutmu kita melakukan hal yang salah?" tanya Maya. "Sekarang sudah terlambat," bentak Miki, dan kemudian sikapnya melunak. "Kita su dah makan makanan darinya dan menerima bantuannya. Kita tidak bisa melakukan apa-apa lagi; k ita hanya harus segera sampai di rumah dan berharap Ayah cepat kembali." "Bagaimana kau bisa tahu begitu banyak tentang hal itu?" tanya Maya, kesal denga n kemarahan Miki. "Kau bukan seorang penguasa alam baka juga, kan?" Halaman 301 dari 700

"Bukan, tentu saja bukan," pekik Miki. "Aku bahkan tidak tahu apa itu. Aku belum pernah mendengarnya sampai kau mengatakan kalau Hisao adalah penguasa alam baka." Bukan, tentu saja bukan," pekik Miki. "Aku bahkan tidak tahu apa itu. Aku belum pernah mendengarnya sampai kau mengatakan kalau Hisao adalah penguasa alam baka." Mereka berjalan menuruni lereng yang curam. Jalur itu berkelok di antara tonjola n batu-batu besar: sepertinya itu tempat kesukaan ular untuk berjemur. Sewaktu tubuh-tubuh yang ben gkok bergerak cepat menghilang di balik bebatuan, Maya pun bergidik. Memikirkan arwah Akane, d an bagaimana ia menggoda Sunaomi dengan menyaru sebagai perempuan pelacur yang sudah mati itu. "Menurutmu apa yang sebenarnya Yuki inginkan?" tanyanya. "Semua hantu ingin balas dendam," jawab Miki. "Dia ingin balas dendam." "Pada Akio?" "Pada semua orang yang telah menyakiti dirinya." "Benar kan, kau memang tahu semuanya," ujar Maya. "Mengapa dia membimbing kita ke Hagi?" tanya Miki. "Untuk mencari Ayah; dia yang bilang begitu." "Tapi Ayah belum akan kembali sampai musim panas berakhir," lanjut Miki, seolah membuat bantahan kepada dirinya sendiri. *** Maka perjalanan mereka berlanjut saat bulan semakin penuh dan menyusut lagi. Bul an keenam tiba dan musim panas bergerak menuju puncaknya. Yuki menemui mereka setiap malam; mer eka mulai terbiasa dengan kehadirannya, dan tanpa disadari mulai menyayanginya seakan pere mpuan itu adalah ibu mereka. Yuki menemani mereka dari antara matahari terbenam sampai mat ahari terbit, tapi perjalanan setiap harinya terasa lebih mudah karena kini mereka tahu Yuki m enanti mereka di penghujung hari. Keinginannya pun menjadi keinginan mereka berdua. Setiap malam Yuki menceritakan masa lalunya: tentang masa kecil-nya di Tribe; kesedihan terbesar pe rtama dalam hidupnya, ketika temannya dari Yamagata dibakar sampai mati bersama semua keluar ganya di malam Otori Takeshi dibunuh prajurit Tohan; bagaimana dia membawa pedang Lord Sh igeru, Jato, lalu menyerahkannya ke tangan Takeo setelah sebelumnya mereka menyelamatkan Shig eru dari kastil Inuyama; dan bagaimana Yuki membawa kepala Lord Shigeru ke Terayama, seorang diri, melewati negeri yang tidak ramah. Mereka berdua kagum pada keberan ian dan

kesetiaan Yuki, dan terkejut serta gusar dengan kematiannya yang kejam, terharu dengan kesedihan dan rasa ibanya atas putranya.* Si kembar tiba di Hagi di sore hari. Matahari masih di langit barat, membuat air laut tampak seperti kuningan. Mereka meringkuk di hutan bambu tepat di tepi sawah, padi berwarna hij au terang. Ladang sayuran lebat dengan dedaunan, kedelai, wortel dan bawang. "Kita tidak membutuhkan Yuki malam ini," ujar Miki. "Kita bisa tidur di rumah." Namun pikiran itu membuat Maya sedih. Ia akan merindukan Yuki, dan seketika timb ul niat ingin pergi ke mana pun perempuan itu pergi. Gelombang sedang surut dan tepi yang berlumpur terlihat jelas di sepanjang sunga i kembar. Maya bisa melihat lengkungan jembatan batu, dan biara bagi dewa sungai tempat ia memb unuh kucing milik Mori Hiroki. Tiang pancang kayu dari pagar penangkap ikan, dan perahu-perahu yan g tertambat di tepinya, bak mayat yang tengah menanti air untuk menghidupkannya Halaman 302 dari 700

kembali. Di belakangnya tampak pepohonan dan taman rumah tua keluarga. Lebih jau h ke barat, di atas atap dan sirap rendah bangunan kota, menjulang kastil dengan panji-panji Ot ori berkibar tertiup angin. embali. Di belakangnya tampak pepohonan dan taman rumah tua keluarga. Lebih jauh ke barat, di atas atap dan sirap rendah bangunan kota, menjulang kastil dengan panji-panji Ot ori berkibar tertiup angin. Maya memicingkan mata melihat matahari. Bisa dilihatnya umbul-umbul bangau Otori, tapi di sebelahnya ada umbul-umbul lain, tapak beruang hitam dengan latar belakang merah : lambang Klan Arai. "Bibi Hana ada di sini," bisiknya pada Miki. "Aku tidak ingin dia melihatku." "Bibi pasti di kastil," ujar Miki, dan mereka saling tersenyum, berpikir tentang keciniaan Hana pada kemewahan dan kedudukan. "Kurasa Ibu juga di sana." "Ayo kita ke rumah lebih dulu," saran Maya. "Bertemu Haruka dan Chiyo. Mereka ak an kirim pesan pada Ibu." Maya menyadari kalau dirinya tidak yakin akan reaksi ibunya. Tiba-tiba teringat dengan penemuan terakhir mereka, kemarahan Kaede, tamparan itu. Sejak saat itu, Maya tak mendapa t kabar apa pun dari ibunya, tidak ada surat, tidak ada pesan. Bahkan kabar tentang kelahiran ad ik laki-lakinya ia dengar melalui Shigeko di Hofu. Aku bisa saja ikut terbunuh bersama Sada dan Taku, pikirnya. Ibu tidak akan peduli. Perasaan itu am at menusuk hati dan mengganggunya: ia begitu ingin pulang ke rumah, tapi kini takut pada penerim aan ibunya. Andai Yuki adalah ibuku, pikirnya. Aku bisa mengadu dan menceritakan segalanya, dan dia pasti percaya. Kesedihan yang mendalam menerpa dirinya: bahwa Yuki sudah mati dan tidak mengena l kasih sayang anaknya. Bahwa Kaede hidup.... "Aku akan pergi," ujarnya. "Akan kulihat siapa yang ada di sana, melihat apakah Ayah sudah kembali." "Ayah pasti belum kembali," sahut Miki. "Ayah pergi jauh ke Miyako." "Baiklah, Ayah justru lebih aman berada jauh di sana ketimbang berada di rumah," sahut Maya. "Tapi kita harus ceritakan pada Ibu tentang Paman Zenko, bagaimana dia telah membunuh Taku dan tengah mem-bangun kekuatan." "Bagaimana dia bisa begitu berani saat Hana dan kedua putranya ada di sini, di H

agi?" "Hana mungkin berencana membawa mereka lari; itu sebabnya dia datang. Kau tunggu di sini. Aku akan kembali secepatnya." Maya masih mengenakan pakaian laki-laki dan menu-rutnya tak ada orang yang bisa mengenalinya. Banyak anak laki-laki seusianya bermain di tepi sungai serta memanfaatkan pagar ja ring penangkap ikan untuk menyeberangi sungai. Gadis itu berlari dengan langkah ringa n di atasnya seperti yang sudah sering dilakukannya: bagian atas tiang pancang terasa lembap dan licin. Setelah sampai di seberang, Maya berhenti di depan lubang di dinding taman, tempat alira n air mengalir ke sungai. Dengan menggunakan kemampuan menghilang, Maya melangkah masuk ke taman. Seekor bangau abu-abu besar yang tengah mencari ikan di sungai merasakan ada ger akan, menoleh ke arah Maya kemudian terbang. Kepakan sayapnya kedengaran menghentak tajam sepe rti suara kibasan kipas. Di sungai, seekor ikan air tawar melompat. Ikan itu mencipakkan air, dan burung itu terbang dengan kepakan sayap pelan: tepat seperti biasanya. Maya berusaha mendengarkan suara-suara di dalam rumah, begitu merindukan Haruka dan Chiyo. Mereka pasti kaget, pikirnya. Dan gembira. Chiyo pasti akan menangis bahagia sep erti biasanya. Maya seperti mendengar suara mereka dari dapur. Tapi di balik gumaman tadi terdengar olehnya suara lain, berasal dari luar dindi ng dari tepi sungai. Suara anak laki-laki, berceloteh, tertawa. Halaman 303 dari 700

Maya merendahkan tubuhnya di balik batu paling besar sewaktu Sunaomi dan Chikara mencepukaya merendahkan tubuhnya di balik batu paling besar sewaktu Sunaomi dan Chikara mencepukcepuk air sungai. Di saat yang sama, terdengar langkah kaki dari dalam rumah, dan Kaed e serta Hana berjalan keluar menuju beranda. Kaede menggendong bayi yang tersenyum dan berusaha mencengkeram jubah ibunya. Ka ede mengangkatnya agar bisa melihat kedua bocah yang datang menghampiri. "Lihat, sayangku, mungilku. Lihatlah sepupumu. Kau akan tumbuh besar menjadi tam pan seperti mereka!" Si bayi tersenyum dan tersenyum lagi. Dia sudah berusaha menggunakan kakinya dan berdiri. "Alangkah kotornya kalian, anak-anakku," Hana membentak mereka, wajahnya berseris eri dengan rasa bangga. "Cuci tangan dan kaki kalian. Haruka! Bawakan air untuk kedua tuan muda!" Tuan muda! Maya mengamati Haruka datang lalu mencuci kaki kedua bocah itu. Dilih atnya rasa percaya diri dan keangkuhan mereka berdua, melihat kasih sayang dan rasa hormat yang mereka dapatkan tanpa ber-susah payah dari semua perempuan di sekeliling mereka. Hana mengelitik si bayi dan membuatnya tertawa cekikikan dan menggeliat-geliat. Tatapan penuh kasih sayang terlukis di wajah ibu dan bibinya. "Bukankah sudah kukatakan," ujar Hana, "Tidak ada yang bisa mengalahkan perasaan memiliki anak laki-laki." "Benar," sahui Kaede. "Aku tidak tahu kalau aku bisa merasa seperti ini." Dipelu knya bayi itu eraterat, wajahnya nampak gembira dengan perasaan cinta. Maya merasakan kebencian yang tak pernah dirasakan seumur hidupnya, seakan hatin ya hancur dan darah mendidih dalam dirinya. Apa yang akan kulakukan? pikirnya. Aku harus berusaha menemui Ibu tanpa ada orang lain. Apakah Ibu mau mendengarkan ku? Apa seharusnya aku kembali pada Miki saja? Pergi ke kastil menemui Lord Endo? Tidak, aku harus menemui Ibu dulu. Tapi jangan sampai Hana curiga kalau aku ada di sini Maya menunggu tanpa suara di ri di atas sungai, dan rumah berkilauan angan di lantai atas, mendengar kedua bocah ampan kembali ke dapur, dan tempat taman sewaktu matahari terbenam. Kunang-kunang mena dengan cahaya lentera. Ia mencium bau makanan di ru berbicara saat makan. Kemudian pelayan muda membawa n tidur digelar.

Kedua bocah itu tidur di bagian belakang rumah, tempat para pelayan beristirahat saat tugas mereka selesai. Hana dan Kaede tidur di kamar atas bersama si bayi. Saat rumah sudah sunyi, Maya memberanikan diri masuk. Dilewatinya nightingale flo or tanpa suara karena sudah begitu terbiasa. Ia berjingkat menaiki tangga dan menyaksikan ibuny a menyusui si bayi. Maya merasakan kehadiran yang akrab di sampingnya. Dia menengok ke belakang dan melihat hantu perempuan itu, Yusetsu. Prempuan itu tak lagi memakai jubah mantel bertudung namun berpakaian putih orang mati, seputih dagingnya. Napasnya terasa dingin dan berbau tanah, dan perempuan itu memandang pada si ibu dan anak dengan tatapan ir i yang begitu jelas terpancar di wajahnya. Kaede menyelimuti si bayi rapat-rapat lalu membaringkannya. "Aku harus menulis surat untuk suamiku," tuturnya pada Hana. "Panggil aku kalau bayinya terbangun." Kaede berjalan menuruni tangga menuju bekas kamar Ichiro, tempat catatan dan ala t tulis disimpan, seraya memanggil Haruka untuk membawakan lentera. Seka rang aku harus menemui Ibu, pikir Maya. Hana duduk di sisi jendela yang terbuka, menyisiri rambut panjangnya; sambil men yenandungkan nina bobo untuk dirinya sendiri. Lentera menyala di sebuah rak besi. Halaman 304 dari 700

Hana bernyanyi: bernyanyi: Tulislah surat untuk suamimu, Kakakku yang malang. Dia tak akan menerima surat-suratmu. Dia tidak layak mendapatkan cintamu. Kau akan segera tahu Laki-laki macam apa dia. Alangkah beraninya dia bernyanyi seperti itu, di rumah Ayahku! pikir Maya. Gadis itu bimbang antara keinginan untuk menyerang Hana saat itu juga atau ke bawah untuk menemui ibunya. Hana berbaring, kepalanya berada di atas bantal kayu. Aku bisa bunuh dia sekarang! pikir Maya, sambil meraba pisaunya. Dia pantas mati ! Tapi kemudian bcrpikir kalau sebaiknya membiarkan agar ayahnya yang menghukum bibinya itu. May a hendak keluar kamar ketika si bayi menggeliat. Maya berlutut di sampingnya. Bayi itu me nangis pelan. Matanya terbuka dan membalas tatapan Maya. Dia bisa melihatku! pikirnya kaget. Maya tak ingin si bayi benar-benar terbangun . Lalu ia sadar kalau ia tak bisa berhenti menatap si bayi. Maya tak bisa mengendalikan apa yang sedan g dilakukannya. Ditatap mata adiknya dengan tatapan Kikuta, dan si bayi tersenyum satu kali ke ar ahnya lalu tertidur, dan tidak pernah bangun lagi. Yuki berkata di sampingnya, Ayo, kita bisa pergi sekarang. Seketika itu juga Maya memahami kalau ini adalah bagian dari balas dendam peremp uan itu, balas dendam terhadap ibunya, pembalasan keji atas kecemburuan yang sudah sekian lama. Lalu menyadari kalau ia telah melakukan tindakan yang tidak termaafkan, bahwa tidak ad a lagi tempat baginya kecuali di dunia tempat para hantu berkeliaran. Bahkan Miki pun tak akan bisa menyelamatkannya saat ini. Dipanggilnya si kucing dan dibiarkannya mengambil ali h dirinya, kemudian melompat menembus dinding, berlari menyeberangi sungai, masuk ke dalam hutan dan berpikir lagi, kembali ke Hisao. Yuki mengikutinya, melayang di atas tanah, dengan hantu bayi dalam pelukannya. "*

Bayi laki-laki Kaede mati sebelum bulan purnama pertengahan musim panas. Bayi me mang mudah mati, tidak ada orang yang kaget: saat musim panas bayi mati karena penyakit ata u wabah, saat

musim dingin karena flu. Biasanya dianggap bijaksana untuk tidak terlalu terikat pada anak-anak karena sedikit yang bisa bertahan melewati masa bayinya; Kaede berjuang mengenda likan dan membendung kesedihannya, menyadari bahwa sebagai orang yang mewakili ketidakhadi ran suaminya, ia tidak boleh patah semangat. Walau sebenarnya ia lebih ingin mati. D irenungkanya berulang kali apa kesalahannya hingga menyebabkan kehilangan yang tak tertahanka n ini. Apakah ia memberi makan terlalu banyak. atau terlalu sedikit; seharusnya ia tidak boleh me ninggalkan bayinya; ia sudah dikutuk, pertama dengan kehadiran si kembar, lalu dengan kematian ini. Sia-sia Tabib Ishida berusaha meyakinkan bahwa mungkin saja memang tidak ada alasannya, bahwa sudah biasa bayi mati tanpa alasan yang jelas. Kaede ingin sekali Takeo pulang, tapi juga takut setengah mati untuk memberitahu kannya; merasa begitu ingin tidur bersamanya lalu merasakan cinta mereka bisa menghibur kesedih an hatinya seperti Halaman 305 dari 700

biasa. Namun ia juga merasa tak kuasa bercinta dengan suaminya karena tak sanggu p menanggung beban perasaan hamil hanya untuk kehilangannya lagi. iasa. Namun ia juga merasa tak kuasa bercinta dengan suaminya karena tak sanggup menanggung beban perasaan hamil hanya untuk kehilangannya lagi. Takeo harus diberi tahu, tapi bagaimana melakukannya? Kaede bahkan tidak tahu di mana suaminya. Butuh waktu bermingguminggu agar surat bisa sampai ke tangan suaminya. Kaede belu m mendapat kabar lagi sejak suaminya mengirim surat dari Inuyama. Setiap hari Kaede berteka d untuk menulis surat, namun setiap hari pula ia tak kuasa melakukannya. Sepanjang hari berharap agar malam segera tiba supaya bisa melampiaskan kesedihan dirinya. Dan sepanjang malam tida k tidur, berharap matahari segera terbit, agar bisa mengenyampingkan sedikit rasa sakit di hatinya untuk sementara. Satu-satunya yang bisa menghiburnya adalah adik dan kedua keponakannya, yang disayangi seperti anaknya sendiri. Ia bisa menghabiskan banyak waktu bersama mer eka, mengawasi pelajaran mereka serta menyaksikan pelatihan militer mereka. Si bayi dimakamkan di Daishoin; bulan semakin menyusut menjadi potongan kecil di atas makamnya ketika kurir akhirnya d atang membawa pesan dari Takeo. Saat dibuka gulungan kertasnya, sketsa burung karya suaminya t erjatuh. Dihaluskannya kertas itu lalu menatapnya, goresan hitam seekor burung gagak di a tas bebatuan tebing, burung tila serta bunga lonceng. "Takeo menulis surat ini dari daerah kecil bernama Sanda," tuturnya kepada Hana. "Dia bahkan belum sampai ke ibukota." Kaede melihat surat itu tanpa sungguhsungguh membacanya ; mengenali tulisan tangan Minoru, namun lukisan burung itu Takeo sendiri yang menggambarnya : bisa dilihatnya kekuatan dalam goresannya, melihatnya menopang tangan kanan dengan tangan kiriny a, keahlian yang keluar dari tangan cacatnya. Kaede hanya berdua dengan Hana, kedua keponaka nnya berada di area berkuda, para pelayan sibuk di dapur. Kaede membiarkan air matanya jatuh berlinang. "Dia tak tahu kalau putranya telah tiada !" Hana berkata, "Kesedihannya tak berarti apa-apa bila dibandingkan kesedihanmu. J angan menyiksa dirimu atas kesedihannya." Hana memeluk Kaede lalu berbisik pelan sekali. "Dia takkan bersedih. Dia justru akan lega." "Apa maksudmu?" Kaede agak menarik tubuhnya lalu menatap adiknya. Dilihatnya den gan tatapan nanar betapa cantiknya Hana, dan menyesali bekas luka yang ia derita. Namun tak

satu pun dari semua itu penting baginya. Dia rela terbakar lagi, mencongkel kedua bola matanya kalau itu bisa mengembalikan anaknya. Sejak kematian anak laki-lakinya, Kaede amat bergantung p ada Hana, menying-kirkan kecurigaan, hampir lupa bahwa Hana dan kedua putranya berada di H agi sebagai sandera. "Aku sedang memikirkan ramalan itu." "Ramalan apa?" tanya Kaede seraya mengingat ketika di Inuyama saat ia dan Takeo t idur bersama, kemudian berbicara tentang kata-kata yang mengendalikan hidup mereka berdua. "Ra malan tentang Lima Per tempuran? Apa hubungannya dengan ramalan itu?" Ia tak ingin membicarakan tentang ramalan itu saat ini, tapi ada sesuatu di dalam nada bicara Hana yang membuatnya ketakutan. H ana tahu sesuatu yang tidak diketahuinya. Kendati cuaca terasa panas, tubuhnya terasa din gin, gemetar. "Ada kata-kata lain dalam ramalan itu," tutur Hana. "Apakah Takeo tidak mengataka nnya?" Kaede menggeleng, benci untuk mengakuinya. "Bagaimana kau bisa tahu?" "Takeo mengutarakan pada Muto Kenji, dan kini telah diketahui luas di kalangan T ribe." Kaede merasakan kilatan amarah dalam dirinya. Ia selalu merasa benci dan takut p ada kehidupan rahasia Takeo: suaminya pernah meninggalkan ia bersama Tribe, meninggalkan ia den gan anaknya yang akhirnya meninggal dan dirinya sendiri sekarat. Kebencian lama berkecamuk l agi dalam dirinya. Kaede menyambut perasaan itu karena bisa membantunya menyembuhkan kesedihannya. "Sebaiknya kau katakan yang sebenarnya." Halaman 306 dari 700

"Bahwa Takeo selamat dari kematian, kecuali di tangan putra kandungnya.Bahwa Tak eo selamat dari kematian, kecuali di tangan putra kandungnya." Selama beberapa saat Kaede tak bereaksi. Tahu kalau Hana tidak berbohong kepadany a: ia tahu bagaimana Takeo dibentuk oleh ramalan ini, ketidaktakutannya serta tekadnya yang kuat. Dan Kaede memahami kelegaan Takeo saat semua anak mereka perempuan. "Semestinya dia mengatakannya kepadaku, tapi dia ingin melindungiku," tuturnya. "Aku tak percaya dia akan senang atas kematian anaknya. Aku mengenalnya lebih baik dari itu." Ras a lega menyelimuti dirinya: semula ia takut sesuatu yang lebih buruk akan dikatakan Hana. "Ramalan adalah hal yang berbahaya," ujarnya. "Sekarang yang satu ini tidak mung kin menjadi kenyataan. Putranya sudah mendahului dirinya, dan takkan ada anak lagi." Takeo akan kembali kepadaku, pikirnya, seperti yang senantiasa dilakukannya. Dia takkan mati di wilayah Timur. Bahkan mungkin seka rang dia dalam perjalanan pulang. "Semua orang berharap Lord Takeo berumur panjang dan bahagia," ujar Hana. "Mari k ita doakan kalau ramalan ini tidak mengacu ke putranya yang lain." Ketika Kaede menatapnya tanpa bicara, Hana melanjutkan kata-katanya, "Maaf, kak, kukira kau sudah tahu." "Ceritakan," kata Kaede tanpa perasaan. "Aku tak bisa menceritakannya. Bila hal ini dirahasiakan suamimu...." "Ceritakan," ulang Kaede, dan mendengar suaranya pecah. "Aku sangat takut bisa membuatmu lebih sakit hati. Biar Takeo yang menceritakan saat dia kembali nanti." "Dia punya anak laki-laki?" "Ya," sahut Hana sambil menarik napas. "Anak itu berusia tujuh betas tahun. Ibun ya adalah Muto Yuki." "Putrinya Kenji?" tanya Kaede lirih. "Jadi selama ini Kenji tahu?" "Kurasa begitu. Sekali lagi, hal ini bukan rahasia di kalangan Tribe." Shizuka, Zenko, Taku? Mereka semua tahu hal ini selama bertahun-tahun sementara ia sama sekali

tidak tahu? Tubuh Kaede gemetar. "Kau sakit," ujar Hana dengan penuh perhatian. "Biar kuambilkan teh. Perlu kupan ggilkan Ishida?" "Mengapa Takeo tidak mengatakan padaku?" tanya Kaede. Ia tidak terlalu marah pad a ketidaksetiaan suaminya; malah merasa agak cemburu pada perempuan yang sudah mati bertahun-tahu n lalu; tapi hatinya hancur karena merasa ditipu habis-habisan. "Andai Takeo mengatakannya pa daku." "Kurasa dia ingin melindungimu," ujar Hana. "Berita itu hanyalah kabar burung," kata Kaede. "Tidak, aku pernah bertemu anak itu. Aku melihatnya beberapa kali di Kumamoto. D ia seperti kebanyakan orang Tribe, tidak jujur dan kejam. Kau takkan percaya kalau anak itu adalah kakak tiri Shigeko." Kata-kata Hana menikam dirinya lagi. Diingatnya lagi semua hal yang ia cemaskan tentang Takeo selama mereka bersama: kekuatan aneh, darah campuran, kekuatan aneh yang diturun kan dalam diri si kembar. Kesedihan lalu kekagetannya atas rahasia yang baru terungkap ini meng acaukan segala yang telah dijalani dalam hidup. Kaede membenci Takeo: membenci dirinya sendiri karena telah mengabdikan hidupnya pada suaminya; menyalahkan suaminya atas semua penderitaan yang ia alami, kelahiran terkutuk si kembar, Halaman 307 dari 700

kematian bayi laki-laki yang amat disayanginya. Kaede ingin menyakiti, merampas s egalanya dari Takeo. ematian bayi laki-laki yang amat disayanginya. Kaede ingin menyakiti, merampas se galanya dari Takeo. Disadarinya kalau tangannya masih memegang sketsa tadi. Burung-burung itu mengin gatkannya dengan kebe-basan, seperti biasanya, tapi itu hanyalah ilusi. Burung tidak lebih bebas ketimbang manusia, sama terikatnya dengan rasa lapar, hasrat, serta kematian. Ia terikat s elama hampir separuh hidupnya pada laki-laki yang telah mengkhianati dirinya, yang tidak pernah layak mendapatkan dirinya. Dirobek-robek sketsa itu hingga hancur kecil-kecil lalu diinjakinjak. "Aku tak bisa tinggal di sini. Apa yang harus kulakukan?" "Ikutlah dengaku ke Kumamoto," ajak Hana. "Suamiku akan mengurusmu." Kaede teringat pada ayah Zenko yang telah dijadikan musuhnya, semuanya demi Take o. "Betapa bodohnya aku selama ini," tangisnya. Tenaga baru menyeruak dari dalam di rinya. "Panggil kedua anakmu dan siapkan mereka untuk melakukan perjalanan," pintanya pada Hana. "Berapa banyak pengawal yang ikut bersamamu?" "Tiga atau empat puluh," sahut Hana. "Mereka menginap di kastil." "Pengawalku juga menginap di sana," ujar Kaede. "Pengawal yang tidak ikut dengan nya ke wilayah Timur." Kaede tak sanggup mengucapkan kata suamiku maupun menyebut namanya. "Kit a akan membawa mereka semua, tapi suruh sepuluh pengawalmu datang ke sini. Ada tugas unt uk mereka. Kita akan pergi sebelum akhir minggu ini." "Terserah kau, kak," ujar Hana setuju.* Sudah semalaman di tepi sungai Miki menunggu Maya kembali. Saat matahari terbit dia menduga kalau saudara kembarnya itu sudah pergi ke alam baka, tempat ia tidak bisa mengi kuri. Lebih dari segalanya, Miki ingin pulang ke rumah; ia lelah dan lapar, dan bisa dirasakannya kekuatan si kucing meyerap semua tenaganya. Tapi ketika tiba di gerbang rumah di tepi sungai, terde ngar olehnya jeritan kesedihan, disadarinya kalau adik bayinya sudah meninggal malam itu. Kecurigaan yang amat dalam semakin besar dalam dirinya, memenuhi dirinya dengan ketakutan yang amat sangat. Miki meringkuk di luar dinding, menutupi kepala dengan tangan, takut masuk ke dalam tapi tidak tahu harus ke mana. Salah satu pelayan bergegas melewati dirinya tanpa mengenalinya, dan tak lama ke

mudian kembali bersama tabib Ishida yang nampak terkejut dan pucat. Tak satu pun dari mereka bi cara kepada Miki, tapi mereka pasti telah melihat dirinya, karena tidak lama setelah itu Haruka keluar dan mer ingkuk di sebelahnya. "Maya? Miki?" Miki melihat air mata yang mulai berlinang di pipinya. Ia ingin mengatakan sesuat u, tapi tidak berani bicara, kalau-kalau ia menyuarakan apa yang dicurigainya. "Demi Surga, apa yang kau lakukan di sini? Kau Miki, kan?" Gadis itu mengangguk. "Ini waktu yang buruk," ujar Haruka, menangisi dirinya sendiri. "Masuklah, nak. Lihatlah dirimu, lihat keadaanmu. Apa kau tinggal di hutan seperti hewan liar?" Cepat-cepat Haruka menuntunnya masuk ke dalam rumah, tempat Chiyo, dengan wajah yang juga basah dengan air mata, tengah menjaga api. Chiyo memekik terkejut, dan mulai meng gumamkan sesuatu tentang nasib buruk dan kutukan. Halaman 308 dari 700

"Jangan diteruskan," ujar Haruka. "Ini bukan salahnya." Jangan diteruskan," ujar Haruka. "Ini bukan salahnya." Ketel besi menggantung di atas api mengeluarkan bunyi berdesis, dan uap serta as ap memenuhi udara. Haruka membawa sebaskom air lalu membasuh wajah, tangan dan kaki Miki. Air hangat membuat semua luka dan lecetnya terasa perih. "Kami akan menyiapkan air mandi untukmu," kata Haruka. "Tapi kau harus makan dulu ." Ditaruhnya nasi di mangkuk lalu menuangkan kaldu di atasnya. "Alangkah kurusnya dia!" katan ya ke samping, ke arah Chiyo. "Perlukah kuberitahu ibunya kalau dia di sini?" "Sebaiknya tidak usah," sahut Chiyo. "Jangan dulu. Nanti malah membuatnya semaki n kesal." Tangis Miki terlalu keras untuk membuatnya bisa makan, napasnya tersengalsengal de ngan isak tangis. "Bicaralah, Miki," desak Haruka padanya. "Kau akan merasa lebih baik. Tidak ada masalah yang terlalu berat hingga tak bisa diceritakan." Sewaktu Miki menggelengkan kepala tanpa bicara, Haruka berkata, "Dia seperti aya hnya ketika pertama kali datang ke rumah ini. Dia tidak bicara selama bermingguminggu." "Pada akhirnya dia bicara juga," gumam Chiyo. "Rasa terguncang membungkam mulutnya, lalu perasaan itu pula yang membuka mulutnya." Beberapa saat kemudian tabib Ishida datang untuk bicara dengan Chiyo agar menyed uh teh khusus untuk membantu Kaede tidur. "Tabib, lihat siapa yang ada di sini," kata Haruka, seraya menunjuk Miki yang ma sih meringkuk di salah satu sudut dapur dengan wajah pucat dan badan gemetar. "Ya, tadi aku melihatnya," sahut Ishida kebingungan. "Jangan biarkan dia dekatdek at dengan ibunya. Lady Otori sedang bersedih. Bila makin tertekan maka dia bisa gila. Kau akan ber temu setelah ibumu lebih baikan," katanya pada Miki dengan nada agak tegas. "Sementara ini kau jang an mengganggu siapa pun. Kau boleh memberinya teh yang sama, Haruka; teh itu bisa menenangkann ya." Miki dikurung di gudang terpencil selama beberapa hari berikutnya. Didengarnya s uara-suara di dalam rumah di sekitarnya karena pendengaran Kikutanya makin peka. Didengarnya S unaomi dan Chikara saling berbisik, sedih tapi sekaligus gembira dengan kematian sepupu kec il mereka. Didengarnya

percakapan antara ibunya dan Hana, serta ingin sekali berlari menghampiri dan me nghalangi mereka, namun tak berani membuka mulut. Didengarnya tabib Ishida dengan siasia me ngajukan keberatan pada ibunya, lalu mengatakan kepada Haruka kalau dia akan pergi ke Inu yama untuk bertemu dengan ayahnya. Bawa aku bersamamu, Miki ingin berseru memanggilnya, tapi Ishida pergi dengan te rburu-buru, mencurahkan perhatiannya pada banyak persoalan: Kaede, istrinya sendiri, Shizuka , juga Takeo. Ia tak ingin dibebani oleh seorang anak yang bisu dan tidak sehat. Miki punya waktu yang banyak dalam kesunyian dan kesendirian, dengan penyesalan, perjalanan bersama Yuki dan tuntutan balas dendam perempuan itu pada ibunya. Ia merasa kala u dirinya sudah tahu sejak lama tujuan Yuki yang sebenarnya, dan kalau seharusnya ia bisa menceg ahnya. Kini ia kehilangan semuanya: saudara kembarnya, ibunya dan setiap malam memimpikan ayahnya dan takut kalau ia takkan bertemu ayahnya lagi. Dua hari setelah kepergian Ishida, Miki mendengar suara pengawal dan kuda di jal anan. Ibunya, Hana dan kedua putranya bersiap pergi. Terjadi adu mulut keras antara Haruka dan Chiyo tentang dirinya. Haruka berkata kalau Miki harus bertemu ibunya sebelum pergi, Chiyo menyahut kalau suasana hati Kaede sangat rap uh; tak bisa diduga akan bagaimana reaksinya nanti. Halaman 309 dari 700

"Tapi ini putrinya!" sahut Haruka dengan jengkel. Tapi ini putrinya!" sahut Haru ka dengan jengkel. "Apa artinya seorang putri baginya? Dia sudah kehilangan putranya; dia di ambang kegilaan," sahut Chiyo. Miki diam-diam masuk ke dapur dan Haruka menggandeng tangannya. "Kita akan menya ksikan kepergian ibumu," bisiknya. "Tapi jangan sampai terlihat." Jalanan penuh dengan orang, berkerumun dengan perasaan kegelisahan yang terlihat samar. Telinga Miki yang tajam menangkap potongan kata-kata yang mereka lontarkan. Lady Otori m eninggalkan kota bersama Lady Arai. Lord Otori tewas di wilayah Timur. Bukan, bukan tewas ta pi kalah dalam pertempuran. Lord Otori akan diasingkan, dan putrinya ada bersamanya.... Miki memerhatikan selagi ibunya dan Hana keluar dari rumah lalu menaiki kuda yan g menunggu di luar gerbang. Sunaomi dan Chikara diangkat menaiki kuda poni mereka. Pengawal me mbawa lambang Shirakawa dan Arai mengelilingi mereka. Sewaktu rombongan mulai berjalan , Miki berusaha menangkap tatapan mata ibunya, namun Kaede menatap lurus ke depan, tidak melihat nya. Ibunya bicara satu kali. Sepuluh orang atau lebih prajurit pejalan kaki berlari memasuk i taman; sebagian memegang obor yang menyala, sedang yang lainnya memegang jerami dan potongan kayu kecil untuk menyalakan api. Dengan sigap dan tangkas, mereka membakar rumah itu. Chiyo berlari keluar dan menghalangi mereka, memukuli mereka dengan tinjunya yan g lemah. Mereka mendorong dengan kasar; menghempaskan tubuh Chiyo ke atas beranda, yang kemudian memeluk erat salah satu tiang, seraya menangis, "Ini rumah Lord Shigeru. Beliau takkan m emaafkan kalian." Mereka tidak bersusah payah menyingkirkan perempuan tua itu, namun dengan ringannya menumpuk jerami di sekitar tubuh Chiyo. Haruka menjerit-jerit di sampi ngnya. Miki menatap ketakutan, asap membuat matanya pedih dan mengeluarkan air mata saat nightingale floor bernyanyi untuk yang terakhir kalinya. Ikan-ikan merah dan emas terebus di dalam kolam, be ndabenda seni yang berharga dan catatan di dalam rumah itu meleleh dan mengerut. Rumah yang be rtahan meski diguncang gempa, banjir dan perang luluh lantak dimakan api, bersama Chiyo yang menolak untuk meninggalkannya. Kaede berjalan ke kastil tanpa menengok. Kerumunan orang hanyut mengikutinya, me mbawa Haruka dan Miki bersama mereka. Di sini pengawal Hana telah menunggu, bersenjata dan ju ga membawa jerami

dan obor. Pimpinan pengawal, Endo Teruo, yang ayahnya menyerahkan kastil kepada Takeo dan tewas terbunuh di jembatan batu oleh anak buah Arai Daiichi, datang menghamp iri gerbang. "Lady Otori," ujarnya. "Apa yang terjadi? Kumohon Anda mendengarkanku. Mari masu k ke dalam. Mari kita bicarakan duduk persoalannya." "Aku bukan lagi Lady Otori," sahutnya. "Aku Shirakawa Kaede. Aku berasal dari Kl an Seishuu dan aku akan kembali kepada klanku. Tapi sebelum pergi, aku perintahkan kau serahkan kast il kepada pengawal-pengawal ini." "Aku tidak tahu apa yang telah terjadi pada Anda," sahutnya. "Tapi aku akan mati lebih dulu sebelum menyerahkan kastil Hagi saat Lord Otori tidak ada di sini." Laki-laki itu menarik pedang. Kaede menatap gusar. "Aku tahu seberapa sedikitnya anak buahmu yang tersisa," ujarnya. "Yang tersisa hanyalah pengawal yang sudah tua dan yang masih sangat muda. Dan aku mengutukmu, kota Hagi dan seluruh Klan Otori." "Lady Arai," seru Endo pada Hana. "Aku membesarkan suami Anda di rumahku bersama dengan putra kandungku sendiri. Jangan biarkan pengawal Anda melakukan kejahatan ini!" "Bunuh dia," ujar Hana, dan pengawal merangsek ke depan. Endo tidak memakai baju zirah, dan para penjaganya tidak siap. Kaede benar: kebanyakan dari mereka masih anak-anak. Kema tian mereka yang tiba-tiba Halaman 310 dari 700

membuat kerumunan orang ketakutan; orang-orang mulai melempar batu ke arah praju rit Arai dan dibalas dengan pedang dan tombak terhunus. Kaede dan Hana membelokkan kuda lalu berderap pergi bersama pendamping mereka sementara sisa pengawal yang tinggal mulai membak ar kastil. embuat kerumunan orang ketakutan; orang-orang mulai melempar batu ke arah prajur it Arai dan dibalas dengan pedang dan tombak terhunus. Kaede dan Hana membelokkan kuda lalu berderap pergi bersama pendamping mereka sementara sisa pengawal yang tinggal mulai membak ar kastil. Saat pasukan Arai melarikan diri, orangorang berjuang memadamkan atau menahan mel uasnya api dengan berember air, tapi angin kencang berhembus dari laut; percikan api melaha p atap dengan dahan kering yang mudah terbakar dan api segera saja melalap cepat, tak bisa dic egah. Penduduk kota berkumpul di jalan, di pantai dan sepanjang tepi sungai, tanpa bicara karen a terkejut. Mereka tidak sanggup memahami apa yang telah terjadi, betapa kehancuran telah menyerang di jantung Hagi, merasakan bahwa keselarasan telah sirna dan kedamaian telah berakhir. Haruka dan Miki menghabiskan malam itu di tepi sungai bersama ribuan orang lainn ya. Keesokan harinya mereka bergabung dengan orang-orang yang melarikan diri dari kota yang t engah ditalap api. Mereka menyeberangi jembatan, berjalan pelan agar Miki punya banyak waktu untuk membaca tulisan di jembatan. Klan Otori menyambut keadilan dan kesetiaan. Waspadalah ketidakadilan dan ketidaksetiaan. Kala itu hari kesembilan di bulan ketujuh.* "Ijinkan aku ikut dengan Lord Otori," Minoru memohon selagi Takeo bersiap pergi ke Yamagata. "Aku lebih senang kau tinggal di sini," sahut Takeo. "Keluarga dari korban yang tewas harus diberitahu, dan persediaan makanan disiapkan untuk perjalanan panjang berikutnya : Kahei harus membawa pasukan utama kita ke wilayah Barat. Dan selain itu ada tugas khusus unt ukmu," tambahnya, menyadari kekecewaan pemuda itu. "Tentu saja, Lord Otori," ujar si juratulis, memaksakan diri tersenyum. "Namun, aku punya satu permintaan. Kuroda Junpei menantikan Anda kembali. Maukah Anda ijinkan dia menda mpingi Anda? Aku sudah berjanji akan memohon kepada Anda."

"Jun dan Shin masih di sini?" tanya Takeo kaget. "Kukira mereka sudah kembali ke Barat." "Sepertinya tak semua orang senang dengan Zenko," gumam Minoru. "Aku curiga, Anda akan menemukan banyak dari mereka yang masih setia kepada Anda." "Apakah itu resiko yang harus kuambil?" nyadari kalau ia tidak terlalu peduli dengan jawabannya. an dan kelelahan, kecemasan dan rasa sakit. Berulang kali ar buruk itu, dirasakannya seperti berhalusinasi, dan h perasaannya menjadi semakin tidak nyata. Takeo bertanya pada diri sendiri, dan me Ia sudah hampir mati rasa dengan kesedih belakangan sejak Ishida menyampaikan kab kata-kata Minoru selanjutnya pun menamba

"Hanya Jun yang masih di sini, Shin di Hofu." "Mereka memisahkan diri? Aku tidak mengira kalau hal itu bisa terjadi." "Tidak, mereka memutuskan kalau salah satu harus pergi, dan yang lainnya haras t etap di sini. Mereka berbagi tugas. Shin ke Hofu untuk melindungi Shizuka, sedangkan Jun tingg al di sini untuk melindungi Anda." "Aku mengerti." Ishida menceritakan sedikit tentang Shizuka: bagaimana kabar yan g tersiar mengatakan kalau perempuan itu sudah gila setelah kematian putranya dan duduk di pelataran kuil Daifukuji, ditopang Halaman 311 dari 700

oleh Surga. Pikiran kalau Shin yang tenang dan tidak banyak bicara mengawasi Shi zuka membuatnya terharu. leh Surga. Pikiran kalau Shin yang tenang dan tidak banyak bicara mengawasi Shiz uka membuatnya terharu. "Kalau begitu Jun boleh ikut denganku," katanya. "Sekarang, Minoru aku mengandalkan mu untuk mencatat kejadian yang sebenarnya tentang perjalanan kita ke Miyako, janji Lord Saga, provokasi yang telah menyebabkan perang, serta kemenangan kita. Putriku, Lady Maruyama, aka n segera sampai di sini. Aku menugaskanmu untuk melayaninya sesetia kau melayaniku. Aku ak an mendiktekan surat wasiatku kepadamu. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku k elak, tapi aku memperkirakan hal yang terburuk: entah itu berbentuk pengasingan diri atau pun kem atian. Aku menyerahkan semua kekuasaan dan wewenang atas Tiga Negara pada putriku. Akan kuk atakan kepadamu siapa yang akan dinikahinya dan apa saja syaratnya." Dokumen itu didiktekan dan ditulis dengan cepat. Saat sudah selesai dan membubuhk an capnya, Takeo berkata, "Kau harus berikan ini langsung ke tangan Lady Shigeko. Kau bisa katakan kepadanya kalau aku minta maaf. Aku berharap segalanya bisa terjadi sebaliknya, namun aku memercayakan Tiga Negara kepadanya." Selama bertahun-tahun mengabdi pada Takeo, Minoru jarang menunjukkan perasaannya. Dia telah menghadapi kemegahan istana Kaisar dan kebiadaban perang dengan sikap acuh tak a cuh. Kini wajahnya menyeringai selagi berjuang agar air matanya tidak menetes. "Katakan pada Lord Gemba aku sudah siap pergi," kata Takeo. "Selamat tinggal." *** Hujan terlambat turun dan tidak sederas biasanya; setiap sore terjadi badai sebe ntar dan langit kerapkali berawan, tapi jalanan tidak banjir. Kini Takeo bersyukur telah membang un jalan raya di seluruh Tiga Negara sehingga perjalanannya bisa secepat sekarang ini. Meski, pik irnya, jalanan yang sama terbuka bagi Zenko dan pasukannya, dan ingin tahu sudah seberapa jauh merek a mendahului dari arah barat daya. Pada malam ketiga, mereka menyeberangi perbatasan di Kushimoto dan berhenti untu k makan dan beristirahat sebentar di peng inapan di ujung lembah. Jaraknya kurang dari satu hari dari Yamagata. Penginapan itu dipenuhi pelancong; pemilik tanah daerah setempat yang mengetahui kedatangan Takeo langsu ng

menghampiri untuk menyapa. Saat ia makan, laki-laki ini, Yamada, dan si pemilik penginapan menyampaikan kabar yang mereka dengar. Zenko dilaporkan berada di Kibi, tepat di seberang sungai. "Dia membawa sedikitnya sepuluh ribu pasukan," tutur Yamada murung. "Banyak di a ntara mereka yang membawa senjata api." "Apakah ada kabar dari Terada?" tanya Takeo, seraya berharap kapal-kapalnya mung kin melakukan serangan balasan di kota kastil Zenko, Kumamoto, dan memaksanya untuk mundur. "Kabarnya Zenko mendapatkan kapal dari kaum bar-bar," lapor si pemilik penginapa n, "dan mereka melindungi pelabuhan dan daerah pesisir pantai." Takeo membayangkan pasukannya kehabisan tenaga, serta masih berjarak sepuluh hari berjalan kaki. "Lady Miyoshi tengah menyiapkan Yamagata untuk pengepungan," tutur Yamada. "Aku sudah mengirim dua ratus pasukan ke sana, tapi tidak menyisakan sat u pun orang di sini; panen sudah hampir tiba, dan sebagian besar ksatria Yamagata berada di wil ayah Timur bersama Lord Kahei. Kota akan dipertahankan oleh petani, perempuan dan anak-anak ." "Tapi sekarang Lord Otori sudah di sini," ujar si pemilik penginapan, berusaha m embangkitkan semangat semua orang. "Negara Tengah aman dengan adanya Lord Otori bersama kita! " Halaman 312 dari 700

Takeo berterima kasih padanya dengan senyum seraya menyembunyikan keputusasaannya yang kian meningkat. Kelelahan membuatnya tertidur; lalu menunggu dengan gelisah dan tidak sabar sampai matahari terbit. Saat itu awal bulan, terlalu gelap untuk bisa berkuda di malam hari tanpa cahaya bulan. akeo berterima kasih padanya dengan senyum seraya menyembunyikan keputusasaannya yang kian meningkat. Kelelahan membuatnya tertidur; lalu menunggu dengan gelisah dan tidak sabar sampai matahari terbit. Saat itu awal bulan, terlalu gelap untuk bisa berkuda di malam hari tanpa cahaya bulan. Mereka berada di jalan lagi, tak lama setelah matahari terbit, bergerak dengan c epat. Langit masih kelabu dan udara terasa tenang, lereng pegunungan memamerkan kibaran panji-panji besar mereka di tengah kabut. Dua prajurit berkuda berderap menghampiri dari arah Yamagata. T akeo mengenali salah satunya sebagai putra bungsu Kahei, pemuda berusia tiga belas ta hun; sedang yang lainnya pengawal tua dari Klan Miyoshi. "Kintomo! Ada kabar apa?" "Lord Otori!" seru pemuda itu terengahengah. Wajahnya pucat karena kaget, dan tat apan matanya bingung di bawah topi bajanya. Topi dan baju zirahnya tampak kedodoran karena dia baru memasuki masa dewasa. "Istri Anda, Lady Otori...." "Teruskan," perintah Takeo saat bocah itu terbata-bata. "Beliau datang dua hari lalu, mengambil alih perintah di sana, lalu berniat meny erahkannya pada Zenko yang saat ini sedang berjalan dari Kibi." Pandangan Kintomo beralih ke Gemba lalu berkata dengan rasa lega, "Pamanku ada d i sini!" Tak lama kemudian air mata mengambang di pelupuk matanya. "Bagaimana dengan ibumu?" tanya Gemba. "Ibu berusaha bertahan dengan sisa pasukan yang ada. Sewaktu sudah tak berdaya la gi, ibu menyuruhku pergi selagi masih sempat, untuk memberitahu ayah dan kakak kakakku. Kurasa ibu akan mencabut nyawanya sendiri, juga kakak-kakak perempuanku ." Takeo membelokkan kuda, tak mampu menyembunyikan kekagetan dan kebingungannya. Is tri dan putri Kahei sudah mati, sementara suami dan ayah mereka bertempur mempertahankan Tiga Negara? Yamagata, permata Negara Tengah, akan diserahkan kepada Zenko oleh Kaede ?

Gemba mendekat ke sampingnya, dan menanti Takeo bicara. "Aku harus bicara dengan istriku," ujar Takeo. "Pasti ada penjelasannya. Kesedih an dan kesepian telah membuatnya gila. Tapi begitu aku ada bersamanya, akal sehatnya akan kembal i. Aku takkan ditolak untuk memasuki Yamagata. Kita semua akan ke sana semoga sempat menyelamatk an ibumu," imbuhnya kepada Kintomo. Jalanan dipenuhi orang yang melarikan diri dari kota untuk menghindari peperangan . Hal ini melambatkan perjalanan mereka, serta menambah kemarahan dan keputus-asaan Takeo. Ketika mereka tiba di Yamagata pada sore harinya, gerbang kastilnya dipalang. Utusan pe rtama yang mereka kirim ditolak masuk, sedangkan utusan yang kedua dipanah begitu masuk dal am jangkauan tembakan. "Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan sekarang," ujar pengawal Miyoshi sewaktu mereka menarik diri berlindung masuk ke hutan. "Ijinkan aku membawa tuan muda kepada ayahnya, Zenko akan tiba di sini besok. Lord Otori seharusnya juga mundur bersama kami. Jangan sampai tertan gkap." "Kalian boleh pergi," ujar Takeo. "Aku akan tinggal lebih lama lagi." "Kalau begitu aku akan menemanimu," kata Gemba. Dipeluknya keponakannya. Takeo m emanggil Jun dan menyuruhnya mendampingi Kintomo dan menjaganya sampai bergabung dengan K ahci. "Ijinkan aku menemani Anda," ujar Jun dengan sikap canggung. "Aku bisa masuk ke dalam dinding setelah malam tiba dan membawa pesan Anda kepada...." "Terima kasih, tapi hanya aku yang bisa menyampaikan pesan ini. Sekarang aku per intahkan kau pergi." Halaman 313 dari 700

"Aku akan mematuhi Anda, begitu tugas ini selesai, aku akan bergabung dengan And a: ku akan mematuhi Anda, begitu tugas ini selesai, aku akan bergabung dengan An da: dalam keadaan hidup bila memungkinkan; bila tidak, dalam kematian!" "Kalau begitu sampai jumpa lagi," sahut Takeo. Dipujinya Kintomo atas keberanian dan kesetiaannya, dan memerhatikan selama beberapa saat ketika bocah itu bergabung bersama kerumun an orang yang melarikan diri ke wilayah Timur. Lalu dialihkannya lagi perhatian kembali ke kota. Ia dan Gemba berkuda sedikit m engitari sisi timur, berhenti di pepohonan. Takeo turun dari Ashige lalu menyerahkan tali kekang pada Gemba. "Tunggu di sini. Bila aku tak kembali, baik itu malam ini, atau kalau aku berhas il melewati gerbang yang dibuka esok pagi, kau anggap saja aku sudah mati. Bila memungkinkan, makamka n aku di Terayama, di samping makam Shigeru. Dan simpan pedangku di sana untuk putriku!" Sebelum membalikkan badan, Takeo menambahkan, "Dan kau bisa melakukan kegiatan b erdoamu itu untukku, bila kau mau." "Aku tak pernah berhenti melakukannya," ujar Gemba. *** Ketika malam tiba, Takeo meringkuk di bawah pepohonan dan menatap dinding yang m elingkari kota. Teringat pada suatu senja di musim semi, bertahun-tahun silam, sewaktu Matsuda S hingen mengujinya dengan pertanyaan teoritis: bagaimana mengambil alih kota Yamagata? Ka la itu dipikirnya cara yang terbaik yaitu memasuki kastil secara diam-diam lalu membunu h pemimpinnya. Ia pernah memasuki kastil Yamagata sebagai Tribe, kini ia melihat apakah ia bisa me lakukannya, ingin tahu apakah ia sanggup membunuh. Ia pernah membunuh orang, dan masih ingat rasa bersalah, tanggung jawab dan penyesalan. Akan dimanfaatkannya bagian kecil dari pengetahua nnya tentang kota dan kastil ini untuk yang terakhir kalinya. Di belakangnya terdengar kuda sedang mengunyah rumput, dan Gemba bersenandung den gan gayanya yang seperti beruang. Burung malam pemakan serangga mengetuk-ngetuk di p ohon. Angin berdesir sejenak lalu tenang. Bulan baru dari bulan kedelapan bergelayut di atas pegunungan di sebelah kanannya . Bisa dilihatnya gelapnya kastil langsung ke arah utara. Di atasnya rasi bintang berua ng bermunculan di lembutnya langit musim panas.

Dari dinding yang mengelilingi kota dan gerbang, bisa didengamya suara para penj aga: pasukan Shirakawa, dan Arai, dengan aksen bicara dari wilayah Barat. Bersembunyi di balik kegelapan, Takeo melompat ke puncak dinding, sedikit salah perhitungan, mencengkeram atapnya. Sesaat lupa dengan luka di bahu kanannya yang baru setenga h sembuh, dan menahan napas menahan sakit ketika luka itu menganga lagi. Bunyi akibat gera kannya terdengar lebih gaduh dari yang diinginkannya. Ia lalu menyejajarkan diri tanpa terlihat d i atas atap. Ada dua orang yang muncul di bawahnya membawa obor yang menyala. Mereka berjalan menyusu ri jalanan lalu kembali lagi, sementara ia menahan napas dan mencoba mengacuhkan rasa sakit , menekuk sikutnya di atas puncak atap, menekan bahu kanan dengan tangan kiri. Ia merasaka n sedikit lembap saat darah mengalir dari lukanya, beruntung tak banyak sehingga tidak menetes yang bisa mengakibatkan dirinya tert angkap. Kedua penjaga itu kembali ke tempatnya. Takeo menjatuhkan diri ke permukaan tana h, kali ini tanpa bersuara, dan mulai berjalan menelusuri jalanan menuju kastil. Malam semakin lar ut, tapi suasana kota jauh dari sunyi. Orang-orang berkerumun dengan cemas, banyak yang hendak pe rgi begitu gerbang dibuka. Didengarnya para pemudapemudi mengatakan bahwa mereka akan melawa n pasukan Arai dengan tangan kosong, bahwa Yamagata takkan dirampas dari Otori lag i; didengarnya para pedagang meratapi berakhirnya kedamaian dan kemakmuran; para perempuan meng utuk Lady Otori karena telah menyebabkan perang. Hatinya hancur mengingat Kaede. bahkan di saat dirinya tengah mencari penjelasan tentang mengapa istrinya bertindak seperti ini. Kemudia n ia mendengar Halaman 314 dari 700

orangorang berbisik, '"Perempuan itu membawa kematian bagi semua yang menginginka n dirinya, dan kini dia akan membawa kematian pada suaminya, begitu pula dengan suami dan a nak laki-laki kita." rangorang berbisik, '"Perempuan itu membawa kematian bagi semua yang menginginkan dirinya, dan kini dia akan membawa kematian pada suaminya, begitu pula dengan suami dan a nak laki-laki kita." Tidak, Takeo ingin menjerit lantang. Tidak untuk diriku. Kaede tidak bisa membaw a diriku pada kematian. Tapi ia takut kalau istrinya memang sudah melakukannya. Takeo berjalan melewati mereka tanpa terlihat. Di tepi parit besar ia meringkuk di bawah rumpun pohon willow yang menyebar di sepanjang tepi sungai. Pohon-pohon itu belum pernah dite bang: Yamagata tidak pernah terancam selama lebih dari enam belas tahun; pohon willow telah men jadi simbol kedamaian dan keindahan kota itu. Ia menunggu dengan cara Tribe dalam waktu yang lama, melambatkan napas dan detak jantungnya. Bulan sudah terbenam, kota sunyi senyap. Akhirnya Takeo mengambil napas sedalam-dalamnya, lalu menyehnap, tersembunyi oleh daun-da un willow, masuk ke sungai, berenang di bawah permukaan aimya. Diikutinya jalur yang pernah dilewatinya hampir separuh hidupnya yang silam, saa t itu tujuannya adalah mengakhiri penderitaan kaum Hidden yang disiksa. Sudah bertahuntahun laman ya sejak para tawanan digantung di dalam kerangkeng di sini; yang pasti masa masa menyedihkan itu takkan kembali? Namun kala itu ia masih muda, dan saat itu ia membawa besi pengait untuk menuruni dinding. Kini, dalam keadaan cacat, terluka, lelah, ia me rasa bak seekor serangga cacat yang merayap dengan canggung menaiki bagian depan kastil. Takeo menyeberangi dinding sebelah luar yang kedua; di sini juga, para penjaga g ugup dan gelisah, bingung sekaligus gembira karena bisa menguasai kastil dengan mudah. Didengarnya perang kecil yang berlangsung cepat dan dengan pertumpahan darah untuk merebutnya. Kekagetan mereka diwarnai dengan kekaguman pada kekejaman Kaede, kegembiraan mereka atas kebangki tan Klan Seishuu dengan mengorbankan Klan Otori. Pemikiran mereka yang plin-plan dan semp it membangkitkan amarahnya. Sewaktu memanjat turun memasuki dinding sebelah luar da n berlari dengan langkah ringan melewati jalan batu yang sempit ke taman kediaman, suasana hatinya terasa sengit dan putus asa. Dua penjaga lagi duduk di samping tungku bara kecil di salah satu ujung beranda, lentera menyala di

kedua sisinya. Takeo melewati mereka begitu dekat hingga dilihatnya nyala api meliuk dan asapny a bergulung. Kedua penjaga itu terperanjat, lalu melihat ke gelapnya taman. Seekor burung han tu terbang rendah lewat, dan mereka menertawai ketakutan mereka sendiri. "Malam untuk hantu," kata salah sarunya dengan nada mengejek. Semua pintu terbuka, cahaya kecil samarsamar di sudut setiap ruangan. Bisa dideng arnya napas penghuninya yang sedang tidur. Aku mengenal napasnya, pikirnya. Dia tidur di sam pingku selama malam-malam kebersamaan kami. Takeo mengira sudah menemukan Kaede tidur di kamar yang besar, tapi saat berlutu t di samping perempuan yang sedang tidur itu, disadarinya kalau itu Hana. Ia terpana dengan k ebencian yang dirasakannya atas adik Kaede itu, namun kemudian meninggalkannya dan terus berjal an. Udara terasa pengap di dalam rumah itu: tubuhnya masih basah karena berenang di sungai sebelumnya tapi tidak merasa kedinginan. Ia membungkuk di atas beberapa perempuan yang tengah tertidur dan mendengarkan napas mereka. Tak satu pun dari mereka adalah Kaede. Saat itu puncak musim panas, kurang dari enam minggu dari waktu matahari berada pada jarak terjauh dari garis khatulistiwa. Matahari akan segera terbit. Ia tak bisa terus berada di sini. Satusatunya tujuannya adalah menemui Kaede: sekarang ia tidak bisa menemukannya sehingga tid ak tahu apa yang harus dilakukan. Takeo kembali ke taman; saat itulah diperhatikannya be ntuk samar bangunan terpisah yang tidak ia lihat sebelumnya. Berjalan ke arah bangunan itu, disadarinya kalau Halaman 315 dari 700

itu adalah paviliun yang dibangun di atas aliran sungai, dan di balik bunyi air sungai, dikenalinya napas Kaede. tu adalah paviliun yang dibangun di atas aliran sungai, dan di balik bunyi air s ungai, dikenalinya napas Kaede. Di sini juga ditaruh lentera yang menyala, sinarnya sangat redup seolah minyakny a sudah hampir habis. Kaede duduk bersila, menatap ke kegelapan. Takeo tidak bisa melihat wajah nya. Jantungnya berdetak jauh lebih kencang dibandingkan dengan saat menghadapi perte mpuran mana pun. Ia membiarkan dirinya terlihat saat melangkah di lantai papan, dan berbisik , "Kaede. Ini Takeo." Tangan Kaede langsung bergerak ke samping, lalu mengeluarkan sebilah pisau kecil . "Aku datang bukan untuk menyakitimu," ujarnya. "Bagaimana kau bisa berpikir begi tu?" "Kau tidak bisa menyakitiku lebih dari yang sudah kau lakukan," sahut Kaede. "Ak u bisa saja membunuhmu, tapi aku percaya kalau hanya putramu yang bisa melakukannya!" Takeo diam membisu, memahami apa yang telah terjadi. "Siapa yang mengatakannya?" "Apa itu penting? Sepertinya semua orang sudah tahu kecuali aku." "Itu sudah lama berlalu. Kukira...." Kaede tidak membiarkan Takeo melanjutkan. "Tindakannya mungkin sudah lama berlalu . Tapi kau menipuku tanpa henti. Kau membohongiku selama masa-masa kita bersama. Itulah yang tak kumaafkan." "Aku tidak ingin menyakitimu," ujar Takeo. "Bagaimana kau bisa menatap aku mengandung anakmu, senantiasa ketakutan kalau ak u mungkin mengandung anak laki laki yang akan membunuhmu? Sementara aku merindukan anak laki-laki, kau berdoa u ntuk menghindarinya. Kau lebih suka melihatku dikutuk dengan si kembar, dan saat putr amu lahir kau berharap dia mati. Bahkan mungkin kau yang mengatur kematiannya." "Tidak," sahut Takeo marah, "Aku takkan membunuh seorang anak pun, apalagi darah dagingku sendiri." Takeo berusaha bicara dengan lebih tenang, untuk menyelesaikan masalah . "Kematiannya adalah kehilangan besar membuatmu melakukan semua ini." "Kejadian itu membuka mataku melihat siapa sebenarnya dirimu." Takeo melihat betapa besar amarah dan kesedihan di hadapannya.

"Satu lagi kebohongan dalam hidup yang penuh dengan kebohongan," lanjut Kaede. " Kau tidak membunuh Iida; kau tidak dibesarkan sebagai ksatria; darahmu ternoda. Aku telah menyerahkan hidupku pada sesuatu yang kini kuanggap tak lebih hanya khayalan." "Aku tidak pernah berpura-pura padamu," sahutnya. "Aku tahu semua kegagalanku; sudah cukup sering aku membaginya denganmu." "Kau pura-pura bersikap terbuka sementara menyembunyikan banyak rahasia yang leb ih buruk. Apa lagi yang kau rahasiakan dariku? Berapa banyak perempuan lain? Berapa banyak anak laki-laki yang lain?" "Tidak ada. Aku bersumpah... hanya ada Muto Yuki, sewaktu aku mengira kau dan ak u telah dipisahkan selamanya." "Dipisahkan?" ulangnya. "Tidak ada yang memisahkan kita, kecuali dirimu sendiri. Kau memilih untuk pergi: meninggalkan diriku, karena kau tidak ingin mati." Kata-kata ini sedikit banyak benar adanya hingga membuatnya merasa sangat malu. Halaman 316 dari 700

"Kau benar," ujarnya. "Waktu itu aku memang bodoh dan pengecut. Kumohon kau mema afkanku. Demi nasib seluruh negara ini. Kumohon untuk tidak menghancurkan semua yang telah kita bangun bersama." Kau benar," ujarnya. "Waktu itu aku memang bodoh dan pengecut. Kumohon kau memaa fkanku. Demi nasib seluruh negara ini. Kumohon untuk tidak menghancurkan semua yang telah kita bangun bersama." Takeo ingin menjelaskan bagaimana mereka telah menjaga negara ini dalam keselara san, bagaimana keseimbangan itu jangan sampai hilang, namun tidak ada kata kata yang memperbaiki semua yang telah musnah. "Kaulah yang menghancurkannya," sahut Kaede. "Aku takkan memaafkanmu. Satusatunya yang bisa menghilangkan penderitaanku adalah melihatmu mati." Kaede menambahkan dengan nada getir, "Satu hal terhormat yaitu mencabut nyawamu sendiri, tapi kau bukanlah ksa tria dan takkan melakukannya, kan?" "Sesuai janjiku padamu, aku takkan melakukannya," sahut Takeo dengan nada lirih. "Aku membebaskanmu dari janji itu. Ini, ambil pisau ini! Habisi nyawamu, saat it ulah baru aku bisa maafkan!" Kaede menyodorkan pisau itu ke arah Takeo, menatap langsung ke wajahnya. Takeo t ak ingin menatapnya, takut istrinya terkena tatapan Kikuta. Ditatapnya pisau itu, tergoda untuk menggunakannya, dan menikam dirinya sendiri. Tak ada rasa sakit di tubuhnya yang akan terasa lebih sakit dibandingkan penderitaan yang menusuk jiwanya. Takeo berkata, berusaha mengendalikan diri, mendengarkan kata-katanya yang terdengar kaku dan formal seakan mereka tidak saling kenal, "Ada beberapa hal ya ng harus diatur terlebih dulu. Masa depan Shigeko harus dipastikan. Kaisar telah mengakui diriny a. Baiklah, ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu, tapi mungkin aku takkan sempat melakuk annya. Aku siap mengasingkan diri demi masa depan putri kita: aku yakin kau akan membuat kesepak atan yang sesuai dengan Zenko." "Kau takkan bertarung layaknya ksatria: kau takkan mati layaknya ksatria. Betapa hinanya kupandang dirimu di mataku! Kurasa kini kau akan menyelinap diam-diam, seperti layaknya pe nyihir, dan kau memang seperti itu." Kaede bangkit, seraya berteriak, "Penjaga! Tolong! Ada penyusup!"

Gerakannya yang tiba-tiba membuat lentera padam. Paviliun seketika gelap gulita. Obor para penjaga bersinar redup di sela-sela pepohonan. Dari kejauhan Takeo mendengar ayam jantan berkokok. Katakata Kaede menyengat dirinya seperti pisau belati Kotaro yang beracun. Ia tak ingin d itemukan di sini seperti pencuri atau buronan. Tak sanggup menanggung rasa malu lebih jauh lagi. Takeo tak pernah begitu kesulitan menggunakan kemampuan menghilangnya. Konsentra sinya buyar: merasa seakan dirinya hancur berkeping-keping. Ia berlari ke dinding taman lalu memanjat ke atasnya, menyeberangi pelataran menuju dinding sebelah luar lalu merayap memanja tnya. Saat di puncak, bisa dilihatnya ke bawah tempat permukaan parit berkilauan hitam pekat b ak cairan tinta. Langit semakin pucat di ufuk timur. Di belakangnya terdengar derap langkah kaki. Ia kehilangan kemampuan menghilang, mendengar keriat-keriut busur panah yang meregang, desing anak panah, dan setengah menyela m, setengah terjatuh ke dalam air; terjun dengan tiba-tiba membuat napasnya terputus dan tel inganya berdengung kencang. Ia muncul ke permukaan, menghela napas, melihat anak panah di sebelahny a, mendengar kecipak air lain di sekitarnya. Ia menyelam lagi lalu berenang menuju ke tepian, menarik dirinya untuk berlindung di bawah pepohonan willow. Takeo menghela napas beberapa kali, mengibaskan air dari tubuh bak seekor anjing , menghilang lagi lalu berlari melewati jalan-jalan menuju gerbang kota. Gerbang telah dibuka, dan orang-orang yang telah menunggu semalaman untuk meninggalkan kota, sudah berjalan melewatinya. Ha rta benda Halaman 317 dari 700

mereka terbungkus dalam buntalan di kayu panggul atau dimuat ke dalam kereta kec il yang ditarik dengan tangan, tatapan mata anak-anak mereka tampak serius dan kebingungan. ereka terbungkus dalam buntalan di kayu panggul atau dimuat ke dalam kereta keci l yang ditarik dengan tangan, tatapan mata anak-anak mereka tampak serius dan kebingungan. Takeo merasa amat iba melihat keadaan mereka, sekali lagi berada di bawah kekuas aan para bangsawan. Di sela kesedihannya, ia berusaha mencari cara untuk menolong mereka, namun ia merasa hampa, yang terpikirkan olehnya hanyalah, semuanya telah berakhir. Di dalam benaknya dilihatnya taman di Terayama dan lukisan-lukisan yang tiada ta ndingannya, mendengar kata-kata Matsuda bergema selama ini. Kembalilah kepada kami saat semu a ini telah berakhir. Akankah pernah berakhir? Kala itu ia bertanya. Semua yang memiliki permulaan pasti ada akhirnya, sahut Matsuda saat itu. Kini akhir dari segalanya telah tiba tanpa bisa dihindari; jaring tipis Surga te lah menjerat dirinya, seakan pada akhirnya menjerat semua makhluk hidup. Semuanya telah berakhir. Ia a kan kembali ke Terayama. Ditemukannya Gemba masih duduk bermeditasi di tepi hutan, kuda tengah makan rump ut di sampingnya, surai mereka berbintik-bintik dengan butiran embun. Kedua kuda itu m engangkat kepala dan meringkik melihat kedatangannya. Gemba tidak bicara, hanya menatap Takeo dengan matanya yang cerdas dan penuh wel as asih, kemudian berdiri dan memasang pelana, senantiasa bersenandung di balik napasnya. Bahu Takeo terasa sakit lagi dan dirasakannya demam menyerangnya. Matahari terbit, menghanguskan kabut saat mereka berjalan menyusuri jalanan semp it menuju kuil, jauh di tengah pegunungan. Ada semacam rasa ringan menyelimuti dirinya. Segalany a berangsur sirna di balik irama derap kaki kuda dan panasnya sinar matahari. Kesedihan, pen yesalan, rasa malu semuanya berbaur menjadi satu. Diingatnya keadaan seakan dalam mimpi yang pernah dialaminya saat di Mino ketika pertama kali berhadapan dengan kekerasan penuh pertumpahan darah dari para ksatr ia. Kini nampak baginya kalau dirinya memang sudah mati pada saat itu dan hidupnya sama tidak ny atanya seperti kabut, mimpi tentang hasrat dan perjuangan yang terbakar habis bersama cahaya matahari yang cerah serta menyilaukan.*

Shigeko melakukan perjalanan ke Inuyama dengan perlahan bersama banyak korban lu ka, termasuk kuda ayahnya, Tenba dan orang yang dicintainya. Kendati sebagian besar dari mere ka dalam kondisi yang parah, Kahei telah memerintahkan mereka menunggu di dataran sementara pasuka n utama kembali ke Inuyama. Kondisi jalan yang curam dan sempit, dan keadaan yang sudah sangat mendesak hingga mereka harus bergerak cepat. Ketika akhirnya jalan berangsur lebi h lebar, Shigeko mengira kalau kuda itu dan kirin sudah pulih, dan Hiroshi akan meninggal : di siang hari ia menghabiskan waktu untuk merawat mereka yang terluka bersama Mai. Di malam hari dibiarkannya kelemahan dalam dirinya membuat tawar-menawar yang mustahil, karena Surga dan para dewa mengabulkan semua yang mereka inginkan kecuali menyelamatkan Hiroshi. Luka Shigeko pulih dengan cepat: ia berjalan selama beberapa hari pertama; tak masalah kalau ia berjalan terpincang-pincang karena mereka bergerak secara perla han menuruni jalur pegunungan. Korban yang luka mengigau atau mengoceh karena demam, dan seti ap pagi mereka harus meninggalkan orang yang meninggal di malam harinya. Betapa mengerika nnya kemenangan dalam perang, pikirnya. Halaman 318 dari 700

Hiroshi berbaring tanpa mengeluh di tandu, terombang-ambing antara sadar dan tid ak sadar. Setiap pagi Shigeko berharap menemukan tubuh pemuda itu kaku dan dingin, namun meski ke adaannya tak kunjung membaik, Hiroshi belum mati. Pada hari ketiga, jalanan terasa lebih nyam an, lerengnya tak lagi terlalu curam dan mereka mulai melintasi jarak yang lebih jauh antara matah ari terbit hingga matahari terbenam. Malam itu mereka beristirahat di desa pertama yang layak disi nggahi. Tersedia seekor sapi jantan dan gerobak, dan Hiroshi dipindahkan ke atasnya pada keesokan harinya. Shigeko menaiki gerobak itu dan duduk di sampingnya, membasahi bibirnya dengan a ir serta melindungi wajahnya dari sinar matahari. Tenba dan kirin berjalan berdampingan, k eduanya pincang. iroshi berbaring tanpa mengeluh di tandu, terombang-ambing antara sadar dan tida k sadar. Setiap pagi Shigeko berharap menemukan tubuh pemuda itu kaku dan dingin, namun meski ke adaannya tak kunjung membaik, Hiroshi belum mati. Pada hari ketiga, jalanan terasa lebih nyam an, lerengnya tak lagi terlalu curam dan mereka mulai melintasi jarak yang lebih jauh antara matah ari terbit hingga matahari terbenam. Malam itu mereka beristirahat di desa pertama yang layak disi nggahi. Tersedia seekor sapi jantan dan gerobak, dan Hiroshi dipindahkan ke atasnya pada keesokan harinya. Shigeko menaiki gerobak itu dan duduk di sampingnya, membasahi bibirnya dengan a ir serta melindungi wajahnya dari sinar matahari. Tenba dan kirin berjalan berdampingan, k eduanya pincang. Tepat sebelum sampai di Inuyama, mereka bertemu Tabib Ishida dan iring-iringan k uda beban. Iringiringan itu membawa kertas halus dan kain sutra untuk membalut luka, begitu pula dengan tanaman obat-obatan dan salep. Dengan perawatannya, banyak dari mereka yang terluka bisa sembuh. Meskipun Ishida tidak menjanjikan apa-apa kepada Shigeko, dalam diri gadis itu m uncul secercah harapan kalau Hiroshi mungkin termasuk di antara mereka yang bisa sembuh. Suasana hati Ishida murung, jelas kalau pikirannya ada di tempat lain. Saat seda ng tidak sibuk merawat orang sakit, ia suka berjalan di samping kirin yang jalannya semakin mel ambat. Hewan itu nampak jelas tengah kesakitan: kotorannya hampir seperti cairan, dan tulang-tula ngnya menonjol seperti benjolan. Namun kirin tetap lembut seperti biasa, dan kelihatannya senan g ditemani Ishida. Shigeko mengetahui tentang kematian adik bungsunya dan ternyata ibunya kehilanga n akal karena sedih; ia ingin sekali pulang ke Negara Tengah untuk menemani ayahnya. Juga sang at khawatir dengan si kembar. Ishida mengatakan pernah bertemu

Miki di Hagi, tapi tidak ada yang tahu di mana Maya berada. Setelah satu minggu di Inuyama, Ishida juga mengatakan harus pergi ke Hofu karena tidak bisa berhenti memikirkan istriny a, Shizuka. Namun mereka juga tidak mendapat kabar apa-apa, dan tanpa kabar sepertinya akan menjadi tindakan bodoh mengambil resiko untuk melanjutkan perjalanan: mereka tidak tahu siapa yang menguasai Hofu; di mana Zenko bersama pasukannya berada atau sudah seberapa jauh Kahei dalam perjalanan pulang. Lagipula, kirin tidak bisa berjalan lebih jauh lagi, begitu pula Hiroshi. Shigek o kembali kepada keputusannya untuk tetap di Inuyama sampai mendapat kabar dari ayahnya. Ia memoh on pada Ishida untuk menemaninya dan membantunya merawat korban luka dan kirin, dan tabib itu d engan enggan menyetujui. Shigeko amat berterima kasih karena keberadaan Ishida sangat berarti baginya: Shigeko memaksa Ishida untuk menceritakan semua yang diketahuinya kepada Minora dan mema stikan semua peristiwa, walaupun buruk, dicatat dengan baik. Bulan dari bulan kedelapan berada dalam bentuk seperempat sewaktu pembawa pesan akhirnya tiba, tapi baik mereka maupun surat yang mereka bawa bukanlah yang diharapkan Shigeko. Mereka datang naik kapal dari Akashi dan mengenakan lencana Saga Hideki di jubah , bersikap penuh hormat dan kerendahan hati serta meminta berbicara dengan Lady Maruyama. Shigeko terkejut: terakhir kali dilihatnya Lord Saga dibuat buta oleh panahnya. Jika ia bisa mendug a sesuatu datang dari laki-laki itu, maka tak lain adalah kapal perang. Untuk pertama kalinya sel ama bermingguminggu Shigeko baru menyadari bagaimana keadaan dirinya. Ia mandi dan mengeramasi rambu t panjangnya, lalu meminjam jubah indah dari bibinya, Ai, karena semua benda milik nya sudah ditinggalkan dalam perjalanan pulang dari ibukota. Diterimanya para utusan itu d i raang pertemuan kediaman kastil: mereka membawa banyak hadiah, dan surat yang ditulis sendiri ol eh Saga Hideki. Shigeko menyambut mereka dengan sikap anggun, seraya menyembunyikan rasa malunya. "Kurasa Lord Saga sehat-sehat saja," tanyanya. Mereka meyakinkan dirinya kalau Saga sudah pulih dari luka yang dideri tanya akibat perang; mata kirinya buta, tapi selain itu kesehatannya baik-baik saja. Shigeko memberi perintah untuk menghibur para utusan itu dengan upacara semewah m ungkin. Kemudian ia mengundurkan diri untuk membaca surat Lord Saga untuknya. Dia pasti m engancam,

Halaman 319 dari 700

pikirnya, atau memberi hukuman yang setimpal. Namun ternyata isi surat itu agak berbeda, hangat dan penuh hormat. ikirnya, atau memberi hukuman yang setimpal. Namun ternyata isi surat itu agak b erbeda, hangat dan penuh hormat. Saga menulis bahwa dia sangat menyesali serangannya atas Lord Otori: merasa bahw a satu-satunya strategi untuk hasil akhir yang memuaskan adalah menghapuskan ancaman dari Arai terhadap Otori; pernikahan antara dirinya dan Lady Maruyama bisa menegaskan hal itu. Bila Shigeko setuju ditunangkan, maka ia akan segera menyebar pasukannya untuk bertempur bersama Lor d Ototi beserta komandannya, Miyoshi Kahei. Saga tak menyebut tentang luka yang diderita nya: setelah selesai membaca surat itu, Shigeko merasakan, bersama dengan keheranan dan marah , sesuatu yang mirip dengan kekaguman. Disadarinya kalau Saga berharap mengambil alih kendali atas Tiga Negara, pertama dengan ancaman, kemudi an dengan dalih, dan terakhir dengan kekerasan. Laki-laki itu sudah kalah dalam satu peper angan, namun belum menyerah: justru sebaliknya; dia menyiapkan serangan lain; tapi kemudian menguba h taktiknya. Shigeko kembali ke ruang pertemuan dan mengatakan kepada para tamunya bahwa dia akan menulis surat balasan kepada Lord Saga keesokan harinya. Setelah mereka beristirahat, Shi geko pergi ke ruangan tempat Hiroshi berbaring di dekat pintu-pintu yang terbuka, menghadap ke taman. Aroma dan suara malam musim panas memenuhi udara. Shigeko berlutut di sampingnya. Hiro shi terjaga. "Apakah kau kesakitan?" tanya Shigeko pelan. Hiroshi menggeleng pelan sekali, tapi Shigeko tahu kalau laki-laki itu berbohong ; bisa dilihat betapa kurus badannya, kulitnya mengencang dan menguning di atas tulangnya. "Ishida bilang kalau aku takkan mati, kali ini," ujar Hiroshi. "Tapi dia tidak b isa berjanji kalau aku bisa menggunakan kedua kakiku dengan baik lagi. Aku sangsi akan bisa menunggang kuda lagi, atau berguna dalam perang." "Kuharap kita tak perlu lagi berperang seperti itu," sahut Shigeko. Diraihnya ta ngan Hiroshi; meletakkan di dalam genggaman kedua tangannya. Tangan itu selemah dan sekering h elaian daun di musim gugur. "Kau masih demam." "Hanya sedikit. Malam ini terasa panas." Tiba-tiba air mata mengambang di pelupu k mata Shigeko.

"Aku takkan mati," kata Hiroshi lagi. "Jangan menangisi diriku. Aku akan kembali ke Terayama dan mengabdikan diriku sepenuhnya pada Ajaran Houou. Aku tak percaya kalau kita gaga l: kita pasti telah melakukan kesalahan, melupakan sesuatu." Suaranya kian melemah, dan Shigeko bisa melihat kalau laki-laki itu sudah pergi ke dunia lain. Matanya terpejam. "Hiroshi," serunya ketakutan. Tangan Hiroshi bergerak lalu menggenggam tangan Shigeko. Bisa dirasakannya tekana n jari pemuda itu; nadinya berdenyut, lemah namun teratur. Shigeko berkata, tidak tahu Hiroshi mendengarnya atau tidak, "Lord Saga menulis surat, menyarankan lagi kalau sebaiknya aku menikah dengannya ." Hiroshi tersenyum tipis. "Tentu saja kau akan menikah dengannya." "Aku belum memutuskan," sahutnya. Shigeko duduk memegangi tangan Hiroshi semalam an, sementara pemuda itu terombang-ambing antara keadaan tidur dan terjaga. Dari wakt u ke waktu mereka berbincang, tentang kuda dan masa kecil mereka di Hagi. Shigeko merasa se dang mengucapkan selamat tinggal pada Hiroshi; kalau mereka takkan berada sedekat ini lagi. Mereka berdua bak bintang yang beterbaran di langit, yang nampak saling berdekatan namu n kemudian berayun terpisahkan oleh gerakan tak terelakkan dari surga. Sejak malam itu, lin tasan nasib menjauhkan diri mereka dari satu dengan yang lainnya, meski mereka berdua tak ak an berhenti merasakan kasih sayang yang tak kasat mata. *** Halaman 320 dari 700

Seakan menjawab tawar-menawar yang tak eakan menjawab tawar-menawar yang tak terucapkan dari mulut Shigeko, ternyata kirin yang mati. Ishida, dengan pikirannya yang sangat kacau, datang memberi-tahu Shigeko keesokan sorenya. "Tadinya sudah lebih baik," tuturnya. "Kukira hewan itu sudah melewati masa krit isnya. Tapi kemudian berbaring saat malam hari lalu tidak bangun lagi. Sungguh hewan yang malang. Aku berharap tidak pernah membawa nya kemari." "Aku harus melihatnya," ujar Shigeko, lalu pergi bersama Ishida ke istal di sisi mata air padang rumput, tempat dibangun sebuah kandang. Shigeko pun merasakan kesedihan menyelim uti dirinya melihat kematian hewan yang cantik serta lembut itu. Saat dilihatnya hewan itu, besar dan terbaring kaku tak bernyawa, mata dengan bulu mata panjangnya tampak suram dan penuh debu. Shigeko merasakan firasat kuat dengan kejadian ini, "Inilah akhir dari segalanya," tuturnya pada Ishida. "Kirin muncul saat penguasa bersikap adil dan negara penuh damai: kematiannya berarti semuanya telah sirna." "Kirin hanyalah hewan biasa," sahut Ishida. "Luar biasa dan menakjubkan, tapi bu kan berasal dari dongeng." Kendati demikian, Shigeko tak bisa menyingkirkan keyakinan kalau ayahnya sudah t iada. Disentuhnya kulit lembut kirin yang masih kelihatan berkilau, dan teringat kataka ta Saga. "Dia akan mendapatkan keinginannya," katanya dengan lantang. Diperintahkannya ag ar hewan itu dikuliti untuk diawetkan. Ia akan mengirimnya, bersama surat balasannya kepada L ord Saga. Shigeko kembali ke penginapan, meminta dibawakan atat tulis. Ketika pelayan kemb ali, Minoru datang bersama mereka. Selama beberapa hari terakhir Shigeko merasa kalau Minoru ingin bicara berdua saja dengannya tapi tak pernah ada kesempatan. Kini Minoru berlutut di ha dapannya dan menghaturkan sebuah gulungan kertas. "Ayahanda Lady Maruyama memerintahkan aku untuk menaruh ini di tangan Lady Maruya ma," katanya dengan suara pelan. Ketika Shigeko mengambilnya, Minoru membungkuk hormat sampai ke lantai di hadapannya, orang pertama yang menghormati dirinya sebagai penguasa Tiga Negara.*

Dari Kubo Makoto, untuk Lady Otori. Aku ingin menceritakan kepadamu tentang harih ari terakhir dalam hidup suamimu. Kala itu sudah hampir musim gugur di pegunungan di sini. Malam-malam terasa ding in. Dua malam yang lalu, aku mendengar suara burung hantu rajawali di pemakaman, tapi tadi mal am sudah tidak ada. Burung itu sudah terbang ke selatan. Dedaunan mulai berganti warna: tak lam a lagi kami akan melihat es pertama, lalu salju. Takeo datang ke biara kami bersama Miyoshi Gemba di awal bulan kedelapan; aku le ga melihatnya masih hidup, karena kami sudah mendengar kehancu ran Hagi dan pasukan Zenko suda h sampai ke Yamagata. Menurutku jelas terlihat bahwa tidak ada serangan di Tiga Negara bisa berhasil saat Takeo masih hidup, dan aku tahu Zenko akan berusaha membunuhnya sesegera mungkin . Kala itu waktu tengah hari Takeo dan Gemba berkuda dari Yamagata. Hari itu Halaman 321 dari 700

cuaca terasa sangat panas; mereka tidak datang terburu-buru, tapi lebih dengan c ara yang menyenangkan, seperti peziarah. Jelas sekali kalau mereka kelelahan, dan Takeo a gak demam... tapi mereka tidak putus asa dan kelelahan layaknya buronan. Takeo menceritakan tentang pertemuannya denganmu di malam sebelumnya. Semuanya merupakan masalah antara sua mi dan istri, dan orang luar tidak bisa ikut campur. Yang bisa kukatakan hanyalah aku s angat menyesal, namun tidak terkejut. Cinta penuh hasrat tidak bisa hilang begitu saja, namun be rubah menjadi hasrat yang lain, yaitu kebencian, kecemburuan serta kekecewaan. Perasaaan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan tidak bisa diungkapkan dalam satu kata kecuali berbahaya. Aku suda h jelaskan berulangkali tentang perasaanku kepada Takeo. uaca terasa sangat panas; mereka tidak datang terburu-buru, tapi lebih dengan ca ra yang menyenangkan, seperti peziarah. Jelas sekali kalau mereka kelelahan, dan Takeo a gak demam... tapi mereka tidak putus asa dan kelelahan layaknya buronan. Takeo menceritakan tentang pertemuannya denganmu di malam sebelumnya. Semuanya merupakan masalah antara sua mi dan istri, dan orang luar tidak bisa ikut campur. Yang bisa kukatakan hanyalah aku s angat menyesal, namun tidak terkejut. Cinta penuh hasrat tidak bisa hilang begitu saja, namun be rubah menjadi hasrat yang lain, yaitu kebencian, kecemburuan serta kekecewaan. Perasaaan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan tidak bisa diungkapkan dalam satu kata kecuali berbahaya. Aku suda h jelaskan berulangkali tentang perasaanku kepada Takeo. Kemudian kusadari bahwa kejadian kau diberitahu tentang rahasia itu adalah bagia n dari rencana persekongkolan panjang untuk mengasingkan Takeo di biara, tempat kami semua bers umpah untuk tidak membunuh, serta tidak bersenjata. Memang, hal pertama yang dilakukan Takeo yaitu menyingkirkan Jato dari sabuknya. "Aku datang untuk melukis," tuturnya saat menyerahkan pedang itu kepadaku. "Kau pernah merawat pedang ini untukku. Sekarang aku meninggalkannya di sini sampai putriku, Shigeko , datang mengambilnya. Pedang ini diletakkan ke tangan Shigeko oleh Kaisar." Kemudian dia berkata, "Aku takkan membunuh lagi. Belum aku begitu gembira seperti saat ini." Kami pergi bersama ke makam Lord Shigeru. Takeo menghabiskan sisa hari itu di sa na. Biasanya banyak peziarah yang datang, tapi karena ada kabar bahwa perang maka tempat itu sepi. Setelah itu dia mengatakan tentang kekhawatirannya kalau rakyatnya akan mengira dia meningga lkan mereka, tapi mustahil baginya untuk berperang melawanmu. Aku sendiri mengalami pergulatan

batin terbesar yang pernah kualami sejak pertama kali bersumpah untuk takkan membunuh lagi Aku tak sanggup melihat kepasrahannya menerima kematian. Semua perasaaan manusiawi dalam diriku membuatku ingin mendesaknya untuk membela diri, untuk menghancurkan Zenko, dan harus kuakui, juga menghancurkan dirimu. Aku berjuang s ekuat tenaga mengendalikan semua perasaan ini siang dan malam. Takeo sepertinya tidak mengalami pergulatan batin dalam dirinya. Malah hampir kel ihatan gembira, meski kutahu ia merasakan kesedihan yang amat dalam. Bersedih atas kematian putr anya, dan tentu saja, perpisahan denganmu, namun dia telah menyerahkan kekuasaan pada Lady Shige ko dan membuang semua hasratnya. Sedikit demi sedikit campuran semua perasaan yang dipe rkuat ini melampaui kami semua yang ada di biara ini Semua yang kami lakukan, dari tugas b iasa sehari-hari, sampai ke waktu sakral melantunkan doa dan meditasi seperti tersentuh oleh suatu kesada ran yang sangat mulia. Takeo mengabdikan dirinya untuk melukis; mempelajari dan membuat banyak sketsa b urung. Di suatu hari sebelum kematiannya, dia menyelesaikan panel yang hilang di layar kas a kami. Kuha rap kau bisa melihatnya kelak. Burung-bu rung itu kelihatan begitu hidup hingga meng elabui kucingkucing di biara, dan kerap terlihat mengejar mereka. Setiap hari aku setengah be rha rap melihat burung-burung itu sudah terbang. Takeo juga merasa sangat terhibur dengan kehadi ran putrinya, Miki. Haruka memba wanya dari Hagi "Aku tidak bisa memikirkan temp at lain yang bisa kami tuju," kata Haruka padaku . Kami saling mengenal, bertahun-tahun lalu ketika Takeo berjuang mati-matian setelah gempa da n pertarungan dengan Kotaro. Aku sangat menyukainya. Haruka banyak akal dan pandai, dan kami s angat berterima kasih kepadanya karena telah membawa Miki kemari. Perasaan Miki terguncang dengan semua peristiwa mengerikan yang disaksikannya, h ingga membuatnya membisu. Ia membuntuti ayahnya seperti bayangan. Takeo menanyakan ten tang saudara kembarnya, tapi Miki tidak tahu di mana Maya berada; dia tidak bisa berb icara dengan ayahnya selain dengan isyarat tangan. *** Halaman 322 dari

700

menatap keindahan dan ketenangan taman di luar. Haruskah diceritakannya pada Lad y Otori tentang semua yang Takeo tahu tentang Maya dan kematian bayi lakilakinya? Ataukah membiar kan keenatap keindahan dan ketenangan taman di luar. Haruskah diceritakannya pad a Lady Otori tentang semua yang Takeo tahu tentang Maya dan kematian bayi lakilakinya? Ataukah membiar kan kebenaran tetap menjadi rahasia yang dibawa ke alam baka? Diambilnya kuas lagi, tinta baru membuat huruf-hurufnya kelihatan tebal. *** Di pagi hari kematiannya, Takeo dan Miki berada di taman. Takeo sudah mulai melu kis sebuah lukisan baru lukisan kuda. Gemba dan aku baru saja keluar untuk bergabung dengan m ereka. Waktu kira-kira menunjukkan setengah jam dari Waktu Kuda, seperempat kedua bulan kedelapan, cuaca sangat panas. Siraman derik jangkrik kedengaran lebih kuat dari biasanya. Ada dua jalan yang mengarah ke biara: jalan utama pertama dari penginapan menuju gerbang biara, dan yang kedua mengikuti aliran sungai, lebih banyak ditum-buhi tanaman dan lebih sempit, menga rah langsung ke taman. Melalui jalan inilah Kikuta masuk. Takeo mendengar lebih dulu kedatangan mereka dibandingkan yang lainnya, dan sepe rtinya langsung tahu siapa mereka. Aku belum pernah bertemu Akio, kendati aku tahu semu a tentang dirinya, dan aku sudah tahu tentang anak itu selama bertahun-tahun lamanya, juga tentang ramalan itu. Aku minta maaf kalau aku mengetahuinya sedang kau tidak. Andai suamimu mencerita kannya padamu bertahun-tahun yang lalu, tak diragukan lagi segalanya akan berbeda, namun dia m emilih untuk tidak menceritakannya; dengan demikian kita membangun nasib kita sendiri. Aku melihat dua orang laki-laki berjalan cepat memasuki taman; di sisi laki-laki yang lebih muda melompat seekor kucing besar berbulu hitam, putih dan emas, kucing paling besar yang pernah kulihat. Sesaat kukira itu singa. Takeo berkata pelan, "Itu Akio; bawa Miki perg i." Tak satu pun dari kami bergerak, kecuali Miki, yang berdiri lalu bergerak mendekati ayahnya. Pemuda itu memegang sepucuk senjata. Aku mengenali benda itu adalah senjata api, walau bentuknya jauh lebih kecil dibandingkan dengan senjata yang digunakan Otori, dan Akio memegang seperiuk arang yang berasap. Aku teringat dengan bau asap itu dan bentuknya yang lurus menjulang di udara yang tenang. Takeo menatap pemuda itu. Kusadari kalau itu adalah putranya saat itu pertama kali nya ayah dan anak saling memandang. Mereka tidak terlalu mirip, namun tetap ada kemiripannya;

warna rambut dan kulit mereka. Takeo benar-benar tenang, dan sikapnya membuat pemuda itu terpaku Hisao, begitu di a dipanggil, walau kurasa kami akan mengganti namanya. Akio berteriak pada nya. "Lakukan! Lak ukan!" Tapi Hisao seperti membeku. Perlahan ditaruh tangannya di atas kepala kucing itu, lal u mendongak seakan ada orang yang sedang bicara dengannya. Bulu kudukku berdiri. Aku tidak m elihat apa-apa, tapi Gemba bilang, "Aku bisa merasakan kehadi ran arwah orang mati ada di sini" Hisao berkata kepada Takeo, "Ibuku bitang kalau kau adalah ayahku." Takeo menjawab, "Aku memang ayahmu." Akio terus berteriak, "Dia bohong. Akulah a yahmu. Bunuh dia! Bunuh dia!" Takeo berkata, "Aku memohon agar ibumu memaafkan aku dan kau juga." Hisao tertawa tak percaya. "Aku membencimu seumur hidupku!" Akio memekik, "Dia adalah Si Anjing dia harus membayar kematian Kikuta Kotaro dan banyak lagi nyawa dari kalangan Tribe." Hisao menaikkan senjata api itu. Takeo bicara dengan jelas, "Jangan coba halangi dia; jangan sakiti dia." Tiba-tiba taman dipenuhi dengan burung, berbulu emas; cahaya matahari menyilauka n, Hisao menjerit, "Aku tak bisa melakukannya. Ibu tidak membiarkanku melakukannya," Halaman 323 dari 700

Beberapa peristiwa terjadi di waktu bersamaan. Gemba dan aku berusaha menyatukan kepinganeberapa peristiwa terjadi di waktu bersamaan. Gemba dan aku berusaha me nyatukan kepingankepingannya tapi kami berdua melihatnya dengan panda ngan yang agak berbeda. Akio merampas senjata api itu dari Hisao, lalu mendorongnya ke samping. Kucing itu melompat me nyerang Akio, membenamkan cakarnya di wajah laki-laki itu. Miki berteriak, "Maya!" Kemudian te rjadi kitatan dan ledakan yang memekakkan telinga, aroma daging dan bulu yang terbakar. Senjata itu ternyata salah tembak, dan entah mengapa meledak. Tangan Akio terbak ar, lalu tak lama kemudian mati kehabisan darah. Hisao terpaku, dan mengalami luka bakar di wajahnya, tapi selain itu dia tidak terluka. Kucing itu sekarat. Miki berlari menghampiri, meny ebut-nyebut nama saudara kembarnya; aku belum pernah melihat pemandangan yang begitu mencengangka n: Miki nampak berubah menjadi sebilah pedang. Cahaya yang terpantul darinya membutakan mata kami. Gemba dan aku merasakan kalau ada sesuatu yang ditebas. Kucing itu berubah wujud saat Miki menghempaskan tubuh menimpanya, dan ketika kami bisa melihat lagi, Miki tengah me meluk saudara kembamya yang sudah mati. Kami percaya kalau ternyata Miki menyelamatkan Maya dari menjadi roh kucing untuk selamanya, dan kami berdoa agar kelahiran kembali Maya terjadi dalam kehidupan yang lebih baik, tempat orang kembar tidak dibenci dan ditakuti. Takeo berlari menghampiri mereka berdua, lalu memeluk keduanya. Tatapan matanya bersinar, bak permata. Kemudian dia menghampiri Hisao dan membantunya berdiri lalu memeluknya, atau yang tadinya kami kira begitu. Tapi sebenarnya dia sedang mencaricari senjata rahasia Tribe di balik pakaian pemuda itu. Dia menemukan yang dicarinya, menariknya lalu mencengkeramkan tangan pemuda itu pada pegangannya. Dia tak berhenti menatap pemuda itu selagi mengarahkan pisaunya ke perutnya sendiri, menyayat dan memutarnya. Mata Hisao berkaca-kaca dan ketika Takeo melep askan tangannya dan mulai terhuyung-huyung, kaki Hisao juga tertekuk sewaktu terjatuh terkena tatapan tidur Kikuta. Takeo jatuh berlutut, di sebelah putranya yang tertidur. Kematian tak bisa dicegah akibat dari luka di perutnya, mengerikan dan menyakitk an. Aku berkata kepada Gemba, "Ambil Jato, " dan ketika dia kembali membawa Jato, aku membantu p edang itu melaksakanan tugas terakhirnya bagi tuannya. Aku takut kalau aku akan mengecewak annya namun pedang itu memahami kegunaannya sendiri dan melompat dari tanganku.

Udara penuh dengan burung memekik ketakutan, dan bulu emas dan putih beterbangan ke tanah, menutupi genangan darah yang mengalir dari tubuhnya. Itulah terakhir kalinya kami melihat burung houou. Mereka telah meninggalkan hut an. Siapa yang tahu kapan mereka akan kembali? Pada bagian ini, dia merasa kesedihan meliputi dirinya lagi. Sejenak dibiarkanny a perasaan itu menguasai dirinya, menghormati kematian sahabatnya dengan air mata. Tapi ada satu lagi yang harus ditulis. Ia mengangkat kuas lagi. *** Dua dari anak Takeo tinggal bersama kami Kami akan merawat Hisao di sini. Gemba percaya bahwa dari kejahatan yang sedemikian kejinya bisa lahir sebuah jiwa yang besar. Kita lihat saja nanti. Gemba mengajaknya masuk ke dalam hutan; anak itu tertarik pada hewan liar dan pemahama n yang mendalam tentang mereka. Dia sudah mulai membuat ukiranuki ran berbentuk hewan it u, yang kami anggap sebagai pertanda baik. Kami rasa Miki membutuhkan kehadi ran ibunya bila ingin memulihkan semua kesedihannya, dan aku memintamu untuk memanggilnya. Haruka bisa mengantarn ya kepadamu. Dalam diri Miki sudah terdapat jiwa yang besar, namun dia sangat rapuh . Dia membutuhkan dirimu. Makoto menatap ke arah taman lagi dan melihat Miki sedang termangu: dia begitu k urus hingga mirip hantu. Miki sering menghabiskan waktu di sana, tempat ayah dan saudara kembamya m eninggal. Makoto menggulung suratnya lalu menaruhnya bersama dengan surat yang lainnya yan g ditulisnya untuk Kaede. Ia mengulang kisah itu berkali-kali, dengan banyak selingan. Kadang mengungkapkan Halaman 324 dari 700

rahasia Maya, kadang menggunakan katakata bijak Takeo tentang perpisahan, untuk K aede, untuk dirinya sendiri. Versi surat yang jujur tanpa hiasan kata-kata ini dirasakannya hampir mendekati yang sebenarnya. Kendati demikian, ia tak bisa mengirimkannya karena tidak tahu di ma na Kaede berada, atau apakah dia masih hidup atau sudah mati.* ahasia Maya, kadang menggunakan katakata bijak Takeo tentang perpisahan, untuk Ka ede, untuk dirinya sendiri. Versi surat yang jujur tanpa hiasan kata-kata ini dirasakannya hampir mendekati yang sebenarnya. Kendati demikian, ia tak bisa mengirimkannya karena tidak tahu di ma na Kaede berada, atau apakah dia masih hidup atau sudah mati.* Daun-daun telah berguguran; pepohonan telah telanjang; burung-burung yang terakh ir bermigrasi telah melintasi langit dalam barisan panjang bak goresan kuas ketika Kaede datan g ke Terayama saat bulan purnama dari bulan kesebelas. Kaede mengajak kedua anak laki-laki, keponakannya, Sunaomi dan Chikara. "Aku senang bertemu dengan Sunaomi di sini," ujar Gemba saat keluar menyambut me reka. Dia sudah pernah bertemu Sunaomi tahun lalu, ketika bocah itu melihat burung houou. "Merupakan keinginan suamimu bila anak ini ikut dengan kami." "Mereka tidak tahu lagi harus pergi ke mana," sahut Kaede. Dia tak ingin berkata lebih banyak lagi di hadapan mereka berdua. "Ikutlah bersama Lord Gemba," desaknya pada mereka. "Lord Gemba akan menunjukkan tempat tinggal kalian." "Putrimu sedang ke hutan bersama Haruka untuk mencari jamur." ujar Gemba. "Putriku ada di sini?" tanya Kaede. Dia merasa hampir pingsan, lalu bertanya den gan tersendatsendat, "Putriku yang mana?" "Miki," sahut Gemba. "Lady Otori, mari masuk dan silakan duduk. Kau telah melalu i perjalanan panjang; hari ini cuaca dingin. Aku akan memanggil Makoto dan dia akan mencerita kan semuanya kepadamu." Kaede menyadari kalau ia berada di ambang kehancuran. Selama bermingguminggu mera sakan kalau dirinya sudah mati rasa diterpa kesedihan serta keputusasaan. Ia telah mun dur memasuki keadaan dingin membeku seperti es, seperti yang pernah dialaminya ketika masih m uda dan kesepian. Di tempat ini segalanya mengingatkan dirinya pada Takeo dengan ingatan sebening kaca. Tanpa sadar ia berkhayal kalau Takeo berada di sini, walau sudah mendengar tenta ng kabar kematiannya. Kini dilihatnya betapa bodohnya khayalan itu: Takeo tidak ada di si

ni; dia telah tiada, dan ia takkan berjumpa lagi dengannya. Genta biara berdentang, dan Kaede mendengar langkah kaki di seberang lantai papan . Gemba berkata, "Mari ke aula. Aku akan minta diambilkan tungku bara, juga teh. Kau tampak kedinginan." Kebaikan Gemba membuat air matanya berlinang. Chikara juga mulai terisak. Sunaomi bicara, berusaha menahan tangis, "Jangan menangis, adikku. Kita harus be rsikap berani." "Mari," ajak Gemba. "Kami akan ambilkan makanan untuk kalian, dan Kepala Biara ka mi akan bicara dengan Lady Otori." Mereka berdiri di lorong biara di pelataran utama. Kaede melihat Makoto datang dari arah yang berlawanan, hampir berlari melintasi jalan beraspal di sela pepohonan ceri yang gundul. Kaede tak sanggup melihat ekspresi di wajah Mak oto. Ditutupi wajahnya dengan lengan bajunya. Makoto meraih tangan Kaede yang satunya dan menopang tubuhnya, saat menuntunnya dengan penuh kelembutan menuju ke aula tempat lukisan-lukisan Sesshu disimpan. Halaman 325 dari 700

"Mari duduk di sini sebentar," ujarnya. Hembusan napas mereka terlihat putih. Se orang biarawan datang membawa tungku bara, dan tak lama setelah itu kembali Mari duduk di sini sebentar," ujarnya. Hembusan napas mereka terlihat putih. Seo rang biarawan datang membawa tungku bara, dan tak lama setelah itu kembali membawa teh, namun tak satu pun dari keduanya meminumnya. Berusaha untuk bicara, Kaede berkata, "Aku harus menceritakan tentang kedua boca h itu kepadamu. Zenko dikepung dan dikalahkan oleh Saga Hideki dan Miyoshi Kahei sebulan lalu. P utri sulungku, Shigeko, ditunangkan dengan Lord Saga. Mereka akan menikah pada Tahun Baru. Tiga Negara diambil alih oleh Saga, dan akan disatukan dengan sisa wilayah Delapan Pulau di bawah Kaisar. Takeo meninggalkan surat wasiat yang menyatakan persyaratannya dan Saga menyetuj ui semuanya. Shigeko akan memerintah Tiga Negara dengan derajat yang sama dengan Saga. Maruya ma akan diwariskan kepada pewaris keturunan perempuan darinya, dan Saga telah berjanji t akkan ada perubahan dalam cara kami memerintah." Sesaat Kaede diam membisu. "Itu hasil akhir yang baik," ujar Makoto lembut. "Tujuan Takeo akan tetap diperta hankan dan itu berarti berakhirnya peperangan." "Zenko dan Hana diperintahkan bunuh diri," lanjut Kaede. Membicarakan masalah ini agak membantunya untuk mengendalikan diri. "Sebelum mati, adikku membunuh pu tra bungsunya daripada meninggalkannya. Tapi aku berhasil membujuk Lord Saga, melalui putriku, untuk membiarkan Sunaomi dan Chikara tetap hidup, dengan syarat mereka dibesarkan di s ini. Saga adalah orang yang kejam dan pragmatis: mereka akan selamat selama tidak ada orang yang mencoba memanfaatkan mereka sebagai pemimpin. Saga akan membunuh mereka bila melihat ada tandatanda akan hal itu. Tentu saja, mereka akan kehilangan nama keluarganya: Klan Arai har us dihancurkan. Orang-orang asing diusir dan agama mereka dihancurkan. Kurasa kaum Hidden akan bersembunyi lagi." Kaede tengah memikirkan Madaren, adik Takeo. Apa yang akan terjadi padanya? Apak ah Don Joao mengajaknya ikut bersamanya? Atau malah akan ditinggalkan lagi? "Tentu saja kedua anak itu disambut baik di sini," ujar Makoto. Setelah itu, ked uanya diam membisu. Akhirnya Kaede angkat bicara, "Lord Makoto, aku ingin meminta maaf padamu. Aku selalu merasa tidak suka, bahkan bersikap tidak ramah padamu, namun kini, da

ri semua orang yang ada di dunia ini, hanya kaulah orang yang kuinginkan untuk menemaniku. Bole hkah aku juga tinggal di sini untuk beberapa waktu?" "Kau dapat tinggal selama yang kau inginkan. Kehadiranmu bisa menghiburku," sahu tnya. "Kita berdua mencintainya." Kaede melihat air mata mengambang di pelupuk mata Makoto. Lalu Makoto meraih ses uatu dari belakangnya dan mengeluarkan segulung kertas dari kotak di lantai, "Aku berusaha menulis semua yang telah terjadi dengan sejujur-jujurnya. Bacalah saat kau sudah merasa mampu melakukannya." "Aku harus membacanya sekarang," ujar Kaede, harinya berdebar kencang. "Maukah k au menemani saat aku membacanya?" *** Setelah selesai baca, ditaruhnya gulungan kertas itu dan melihat keluar ke arah taman. "Dia duduk di sini?" Makoto mengangguk. "Dan ini layar kasanya?" Kaede berdiri lalu melangkah mendekati. Burung-burung g ereja itu menatapnya dengan sinar mata yang bercahaya. Diulurkan tangannya untuk menye ntuh permukaan lukisan itu. Halaman 326 dari 700

"Aku tak bisa hidup tanpa dirinya," tibatiba Kaede bicara. "Diriku dipenuhi rasa bersalah dan menyesal. Aku mengusirnya hingga jatuh ke tangan para pembunuhnya. Aku takkan sa nggup memaafkan diriku." ku tak bisa hidup tanpa dirinya," tibatiba Kaede bicara. "Diriku dipenuhi rasa be rsalah dan menyesal. Aku mengusirnya hingga jatuh ke tangan para pembunuhnya. Aku takkan sa nggup memaafkan diriku." "Tak seorang pun dapat menghindari nasib," bisik Makoto. Kepala biara itu berdir i dan menghampiri Kaede hingga mereka saling berhadapan. "Aku juga merasa tak akan bisa terlepas d ari kesedihanku, tapi aku berusaha dan menghibur diri dengan mengetahui bahwa Takeo mati dengan cara y ang sama ketika dia hidup: tanpa rasa takut dan tetap welas asih. Dia menerima kalau waktunya te lah tiba, dan meninggal dengan penuh ketenangan. Dimakamkan seperti keinginannya, di samping makam Shigeru. Dan seperti Shigeru, dia tidak akan terlupakan. Terlebih lagi, dia meninggalkan anak-anaknya, dua putri dan seorang putra." Kaede berpikir, aku tak siap untuk menerima kehadiran putranya. Akankah aku siap menerimanya? Dalam hatiku, yang bisa kurasakan hanyalah kebencian kepadanya dan kecemburuan pada ibunya. Seka rang Takeo berada bersama Yuki. Akankah mereka ber sama dalam semua kehidupan masa datang mereka, akankah aku bisa berjumpa lagi dengannya? Ap akah jiwa kami akan terpisahkan untuk selamanya? "Putranya mengatakan bahwa para arwah kini sudah beristirahat dengan tenang," la njut Makoto. "Arwah ibunya telah menghantui seumur hidupnya, tapi kini dia telah terbebas dari nya. Kami rasa dia adalah seorang shaman. Bila penyimpangan dalam dirinya bisa diluruskan, maka dia bisa menjadi sumber kearifan dan karunia." "Maukah kau tunjukkan tempat suamiku meninggal?" bisik Kaede. Makoto mengangguk dan melangkah keluar ke beranda. Kaede memakai sandal. Sinar m atahari kian meredup; taman kehilangan semua warnanya, tapi di atas batu-batu tempat Takeo me ninggal ada percikan darah, mengering hingga berwarna kecoklatan. Kaede membayangkan kejadia nnya, tangan Takeo memegang pisau itu, bilahnya menembus tubuhnya, darah terpancar dari tubuhn ya. Kaede terpuruk di atas tanah, menangis hingga tubuhnya terguncang. Aku akan melakukan hal yang sama, pikirnya. Aku tak tahan menanggung beban derit a ini.

Diraba pisau miliknya, pisau yang selalu ada di balik jubahnya. Sudah berapa kal i ia berencana mencabut nyawanya sendiri? Di Inuyama, di rumahnya di Shirakawa, kemudian berjan ji kepada Takeo untuk tidak menghabisi nyawanya sendiri sampai Takeo mati lebih dulu. Diin gatnya dengan hati pedih kata-kata yang ia ucapkan pada Takeo. Ia memaksa suaminya untuk mengh abisi nyawanya sendiri, dan dia telah melakukannya. Kini ia akan melakukan hal yang sama. Dirasa kannya sebersit kebahagiaan. Jiwa dan raganya akan mengikuti suaminya. Aku harus melakukan dengan cepat, pikirnya. Jangan sampai Makoto menghalangi. Tapi bukan Makoto yang membuat pisau itu terjatuh dari tangannya; tapi teriakan seorang gadis dari aula yang mencegahnya, "Ibu!" Miki berlari ke taman, telanjang kaki, rambutnya tergerai. "Ibu! Ibu sudah datan g!" Kaede melihat dengan terkejut betapa saat ini Miki sangat mirip Takeo, lalu meli hat dirinya sendiri dalam diri putrinya, di usia itu, di ambang kedewasaan. Dulu ia adalah sandera, sendirian dan tidak terlindung: sepanjang masa remajanya, ibunya tidak berada di sampingnya. Dilihat nya kesedihan Miki dan berpikir, Aku tidak bisa menambah kesedihannya. Teringat olehnya kalau Miki telah kehilangan saudara kembarnya dan air matanya berlinang lagi menangisi Maya, menangisi anakn ya. Aku harus hidup demi Miki, dan demi Sunaomi juga Chikara. Dan tentu saja, demi Shigeko, da n bahkan demi Hisao, atau apa pun namanya: demi semua anak Takeo, demi semua anak kami. Diangkatnya pisau itu lalu dilempamya jauh-jauh, kemudian membentangkan kedua ta ngannya untuk memeluk putrinya. Halaman 327 dari 700

Sekawanan burung gereja hinggap di bebatuan dan rerumputan di sekiiar mereka, me menuhi udara dengan kicauannya. Kemudian seolah ada sinyal dari kejauhan, burung-burung itu n aik bersamaan lalu terbang jauh memasuki hutan. *** TAMAT Kisah klan otori IV Page 328

UCAPAN TKRIMA KASIH Saya ingin berterima kasih kepada a: Asialink atas beasiswa yang memu ungkinkan saya pergi ke Jepang selama dua belas mminggu di tahun 1999-2000; Australian Council dan n Department Luar Negeri dan Perdagangan yang tellah mendukung program Asialink; Kedutaan Besar Australia di Tokyo; Akiyoshidai International A rts Villlage, Yamaguchi Prefecture, yang telah h mensponsori saya selama masa tersebut; ArtsSA ,, the South Australian Department for the Arts s, yang telah memberi kesempatan saya untuk m en nulis; Urinko Gekidan di Nagoya karena telah m mengajak saya untuk bekerja dengan mereka di ta hunn 2003. Suami dan anak-anak saya yang teelah menyokong dan menyemangati saya dengan beer bagai cara, Di Jepang, Kimura Miyo, Mogi Mas saru, Mogi Akiko, Tokuriki Masako, Tokuriki Mik i, Sannto Yuko, Mark Brachmann, Maxine McArthur, Kor ri Manami, Yamaguchi Hiroi, Hosokawa Fumimasa, Imahori Goro, Imah hori Yoko, dan orangorang lainnyya yang telah membantu dengan riset dan memandu. Christopher E. Wesst dan Forest W. Seal dari situs wwww.samuraiarchieves. com. Semua penerbit daan agen yang kini menjadi bagian n dari dunia Otori, terutama Jen nny Fading, Donica Bettanin, Saarah Lutyens dan Joe Regal. Untuk editorku Bernnadette Foley (Hachette Livre) daan Harriet Wilson (Pan Macmillan), daan Christine Baker dari Gallimard. Sugiyama Kazuko, sang kaligrafi yang meninggal di tahun 2006.* Tetralogi Kisah Klann Otori : 1. Across The Nigh htingale Floor 2. Grass For His Pilllow 3. Brilliance Of Thee Moon 4. The Harsh Cry OOf The Heron Halaman 740 dari 740

Kisah klan otori IV Page 329

You might also like