You are on page 1of 59

MultiplyLogo Do you know Wirat?

Become his contact Learn more about Multiply Take the Tour Who is on Multiply? Find friends before you join a no bhadrah krtavo yantu vishvatah * * * * * * * * Home Blog Photos Video Music Calendar Reviews Links

artikel Blog Entry for everyone Awatara Bukan 10 tapi 6? Oct 26, '07 11:09 PM

Paritraanaaya sadhuunaam vinaashaaya ca dushkRtaam; Dharma-samsthaapanaarthaaya sambhavaami yuge-yuge. (Bhagavad-Gita IV.8)

Untuk melindungi orang-orang baik dan membinasakan yang jahat Juga untuk menegakkan ajaran dharma Aku menjelma dari masa ke masa.

Seperti yang sudah populer, jumlah awatara adalah sepuluh, yaitu Matsya, Kurma, Waraha, Narasimha, Wamanadewa, Parasurama, Ramachandra, Krishna, Buddha, dan awa tara masa depan Kalki. Tuhan menjelma menjadi matsya ketika terjadi banjir besar pada sekitar akhir zaman es, dalam masa pemerintahan Manu Waiwaswata. Avatara k edua adalah Kurma, yang menjadi dasar gunung Mandara ketika peristiwa Samudraman thana, pengadukan lautan susu oleh para dewa dan asura. Selanjutnya adalah Adiwa raha sang babi hutan ilahi, yang mengangkat bumi dari dalam lautan susu. Ia juga membunuh Hiranyaksa, asura jahat yang kejam. Lalu, Tuhan menjelma kembali menja di Narasimha, makhluk manusia berkepala singa untuk membunuh Hiranyakasipu dan m enyelamatkan Prahlada, bhaktaNya yang setia. Awatara lainnya yaitu Wamanadewa, s eorang brahmana cebol. Kemunculan awatara selanjutnya adalah Parasurama, Ramacha ndra, Krsna, Buddha, dan awatara yang belum muncul yaitu Kalki. Kesepuluh awatara tersebut disebut Dasa Awatara. Ada kumpulan syair pujian untuk kesepuluh awatara utama ini yang disebut Dasa Avatara Stotra.

Sebenarnya, awatara tidak hanya sepuluh, tetapi sangat banyak. Di mana pun terda pat kelaliman dan kemerosotan dharma, dan adharma yang merajalela, di sana lah T uhan akan turun, sabda Bhagawad Gita. Purana, seperti Srimad-Bhagawata menyataka n ada enam jenis awatara yang memiliki fungsi berbeda. Keenamnya adalah Purusa A watara, Lila Awatara, Guna Awatara, Saktyavesha Awatara, Manwantara Awatara, dan Yuga Awatara.

LILA AVATARA Lila berarti permainan dalam Bahasa Sanskerta. Lila awatara adalah penjelmaan Tu han untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Lila awatara dikatakan tidak terbat as seperti jumlah buih di lautan. Beberapa di antaranya adalah Matsya, Kurma, Na rasimha, Wamana, dan Rama.

GUNA AVATARA Guna berarti keadaan atau sifat. Alam semesta memiliki tiga sifat, yaitu Sattwa, Rajah, dan Tamah yang menyebabkan penciptaan, pemelihaaan, dan peleburan alam s emesta. Tuhan mengontrol keadaan dan keseimbangan ketiga guna ini dengan menurun menjadi Trimurti, yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa. Brahma menguasai sifat Rajah, Wisnu untuk Sattwa, dan Siwa menguasai Tamas.

PURUSA AVATARA Purusa awatara adalah penjelmaan Tuhan dalam kaitannya dengan penciptaan dan pen jagaan alam semesta. Ada tiga purusa, yaitu Purusa yang menjaga alam semesta mat eri (Brahmanda yang maha besar di mana seluruh alam semesta yang jumlahnya tidak terbatas ada di dalamnya), purusa kedua adalah Ia yang masuk ke dalam setiap al am semesta yang ada dalam Brahmanda. Purusa ketiga adalah Ia yang masuk ke dalam setiap makhluk dan setiap atom (paramatma). Dalam paham Siwa ketiga purusa ini dikenal dengan Paramasiwa, Sadasiwa, dan Siwa.

MANWANTARA AWATARA Manwantara awatara adalah inkarnasi Tuhan sebagai Manu dalam setiap satu periode manwantara. Ada 14 manwantara dalam setiap satu hari Brahma, dan kita sekarang sedang ada dalam manwantara ketujuh dengan Manu-nya yaitu Waiwaswata Manu, putra Surya. (tentang Manwantara lihat artikel WAKTU).

SAKTYAWESA AWATARA Adalah inkarnasi Tuhan berupa makhluk hidup yang diberi kekuatan khusus sehingga berkualitas lebih. Contoh Saktyawesa Awatara antara lain Rsi Narada yang memili ki kekuatan Bhakti, Maharaja Prthu yang memiliki kekuatan kepemimpinan, dan Para surama yang memiliki kekuatan peleburan. Selain itu terdapat jeni Saktyawesa lai n yaitu Wibhuti, atau cerminan kekuatan Tuhan (dapat dibaca di Bhagawad Gita bab Wibhuti Yoga). Mereka antara lain: dari para dewa Ia adalah Indra, dari para gu nung Ia (Tuhan) adalah Gunung Meru, dari para jenderal perang Ia adalah Kartttik eya, dari orang suci Ia adalah Brghu.

YUGA AWATARA Adalah inkarnasi Tuhan dalam setiap nilai agama dalam setiap yuga. Pada ng berkulit putih, pada zaman Treta hitam, dan pada zaman kali berkulit Tags: awatara reply share Blog Entry for everyone Pendidikan, Kesadaran, Pelayanan Oct 26, '07 10:56 PM yuga untuk mengajarkan dan menegakkan nilaizaman Satyayuga, Tuhan turun sebagai seseora berkulit merah, pada zaman Dwapara berkulit kuning keemasan.

PENDIDIKAN, KESADARAN, PELAYANAN

Pendidikan, spiritualitas, dan pelayanan tanpa pamrih (Sri Satya Narayana)

Orang-orang tua mengatakan bahwa belajarlah seperti ilmu padi. Semakin ia berisi , semakin merunduk. Pepatah ini ada benarnya juga. Ia mengajarkan kita untuk tid ak sombong akan kepandaian dan kemampuan kita, karena ada satu hal yang mesti di ingat bahwa semua itu: kemampuan, kecerdasan, prestasi, dan kecekatan pikiran ak an sirna seiring meningkatnya usia. Ketika manusia dalam puncak usianya, semua i tu tidak ada artinya karena ia akan mati. Dengan matinya si manusia, hilang pula semua intelektualitas, kecakapan, dan kemampuannya. Pendidikan, khususnya yang masih diberlakukan negeri kita hingga detik ini belum sempat menyampaikan ilmu ini kepada peserta didik. Jika boleh dikatakan, ilmu p adi ini adalah ilmu pengetahuan yang paling tepat untuk kehidupan. Konsep ilmu p adi menekankan pendidikan yang berbasis nguntul, manon, rumaksa (Bali: merunduk, melihat, menolong), dalam artian yaitu PERTAMA, pendidikan berkonsep ilmu padi menekankan kepada pendidikan yang berdasar kepada peningkatan kesadaran univesal akan keberadaan makhluk lain serta kewajiban untuk memberikan pelayanan/pengabd ian tanpa pamrih kepada makhluk lain. Pendidikan masa kini cenderung mengabaikan aspek-aspek tersebut. Orang-orang mengejar pendidikan tinggi dengan tujuan utam a mencari nafkah, dan hampir melupakan sebuah pelayanan tanpa pamrih yang harus dilakukan terhadap makhluk lain. Pendidikan juga seharusnya bisa meredam ego man usia yang ingin berkuasa sendiri. Pendidikan yang salahlah yang akhirnya melahir kan Hitler, Mussolini, Napoleon, dan pembantai-pembantai barbar lainnya yang ber ego tinggi dan mendatangkan nasib buruk bagi keberadaan entitas hidup lain. KEDUA, Pendidikan seharusnya membuat kita sadar bahwa semuanya akan berakhir. In i disebut pendidikan berbasis kesadaran spiritual. Semua yang ada di dunia ini m emang harus dijelajahi dan diketahui sebanyak mungkin namun jangan lupa bahwa se mua ini akan berakhir suatu saat nanti. Orang suci zaman dulu mengatakan bahwa s eseorang dikatakan pandai apabila ia mampu menolong orang lain dengan kemampuann ya. Segala pengetahuan yang kita dapatkan dan kumpulkan dalam otak suatu saat na nti akan sirna ketika meninggal, maka hendaknya pengetahuan itu digunakan (disum bangkan) untuk kebahagiaan orang lain karena itu akan lebih berguna ketimbang di simpan sendiri. KETIGA, pendidikan seharusnya membuat seseorang merasa lebih bertanggung jawab.

Pendidikan dan titel yang tinggi bukan berarti seseorang dapat duduk tenang, nam un ia harus mengabdi dengan lebih keras karena ilmunya yang tinggi itu. KEEMPAT, pendidikan harus membuat seseorang merasa malu. Seorang manusia yang be rpendidikan seharusnya merasa lebih malu daripada yang tidak berpendidikan karen a ia mengetahui bahwa yang diketahuinya adalah hanya setetes dari lautan pengeta huan yang luas tak terbatas. Dengan demikian, ia akan menjadi orang yang rendah hati dan mengangap hanya Tuhan yang mengetahui sementara ia hanyalah bagian terk ecil dari pengetahuan itu. Ia akan berusaha lebih giat untuk mengungkap pengetah uan lainnya. KELIMA dan yang terpenting adalah pendidikan harus dapat membentuk karakter seor ang manusia. Karakter manusia adalah ciri khas mental yang membedakannya dengan makhluk lain. Pendidikan harus bisa membuat manusia meningkat derajat mental dan spiritualnya agar tidak bertingkah seperti hewan. Banyak dari kita yang berting kah seperti hewan, bahkan lebih rendah dari hewan, seperti melakukan aborsi, pes ta seks, narkotika, mabuk, hingga memakan teman sendiri. Itukah yang disebut man usia makhluk sempurna? Itukah karakter manusia yang dibentuk pandidikan masa kin i? Kalau begini terus, ras manusia akan kehilangan karakter dan tiada bedanya de ngan hewan. Basis pendidikan harus sesegera mungkin diubah menjadi berbasis ngun tul, manon, rumaksa tersebut sebelum manusia dengan egonya melahap habis dunia i ni, dan akhirnya kehilangan jati diri (Aryarakawi). reply share Blog Entry for everyone Pura Besakih Sebagai Pangenteg Jagat Oct 18, '07 4:11 AM

WACANA IDA PANDITA NABE SRI BAGAWAN DWIJA WARSA NAWA SANDHI:

PURA BESAKIH SEBAGAI PANGENTEG JAGAD disusun oleh I.B. Arya Lawa Manuaba

Trihita Karana adalah suatu pedoman hidup yang didasarkan kepada keharmonisan hu bungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan sesamanya, serta manusia dan lingku ngannya agar tercapai kehidupan sejahtera lahir dan batin. Konsep yang kini menj iwa dalam tatanan masyarakat Bali ini dicetuskan kali pertamanya oleh Mp Kuturan pada abad kesebelas saat beliau menjabat sebagai pendeta kerajaan (purohita) Ba li Aga yang saat itu diperintah oleh Warmadewa. Sumber-sumber sastra mengenai Tr ihita Karana dapat dijumpai dalam karya-karya Mpu Kuturan di antaranya Lontar Tu tur Kuturan, Lontar Kusuma Dewa, dan Lontar Dewa Tattwa. Semua lontar tersebut d itulis oleh Mpu Kuturan pada saat beliau menjabat sebagai purohita. Ida Pandita Sri Bhagawan Dwija, seorang pendeta terkemuka di Buleleng menyatakan bahwa sentral dari Trihita Karana sebenarnya adalah manusia, karena manusia mem iliki kemampuan tri pramana (sabda, bayu, idhep) untuk memegang peranan penting dalam menjaga kelestarian dan keharmonisan antarsesama dan lingkungannya. Jadi di sini sentralnya adalah manusia. Apabila hubungan manusia dengan Tuhan terjalin dengan baik dan harmonis, apabila hubungan manusia dengan manusia terjalin denga n harmonis, dan hubungan antara manusia dengan alam baik dan harmonis, maka terj aminlah kesejahteraan dan kebaikan kehidupan manusia itu sendiri, jelas Ida Pandi ta ketika diwawancarai di kediaman beliau di Griya Taman Sari, Banyuasri. Pengembangan pemikiran dari Mpu Kuturan mengenai Trihita Karana dapat kita baca

dari kesimpulan beliau mengenai Trimurti, Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasiN ya sebagai Brahma, Wisnu, dan Siva. Dari Trimurti inilah berkembang adanya trika hyangan yang dilangsir oleh beliau di setiap desa pakraman ada Pura Desa, Pura P useh, dan Pura Dalem. Kemudian dari sini pula berkembang Trihita karana. Wujud p arahyangan dalam Trimurti (Trikahyangan) adalah hubungan manusia dengan Tuhan it u diwujudkan dalam adanya Pura Dalem, yaitu hubungan manusia dengan Sang Hyang W idhi dalam manifestasiNya sebagai Dewi Durga atau sakti Siva. Karena Siva dalam Agama Hindu di Bali itu adalah Tuhan, dengan kata lain di Bali adalah penganut H indu dari sekte Siva Siddhanta, maka dalam pemahaman Siva Siddhanta, Tuhan itu a dalah Siva. Maka, sakti dari Siva berwujud sebagai devi Durga yang distanakan di Pura Dalem. Hubungan manusia dengan Tuhan terwujud pada Pura Dalem. Kedua, hubu ngan manusia sesama manusia terwujud pada stana Bhattara Brahma di Pura Desa. Pu ra Desa adalah pura milik desa, di mana di dalam kegiatan pura terjadi interaksi selain kepada Sang Hyang Widhi juga interaksi kepada sesama krama desa. Jadi di sini perwujudan hubungan antara manusia dengan manusia. Kemudian, hubungan manu sia dengan alam atau palemahan itu terwujud dalam Pura Puseh, stana Bhattara Wis nu oleh karena Wisnu adalah dewa yang memberikan kehidupan kepada umat manusia d an salah satu sumber kehidupan yang terpenting adalah air. Oleh karena itulah Pu ra Puseh disebut sebagai manifestasi dari konsep Trihita Karana dalam unsur pale mahan.

Berbicara mengenai konsep Trihita karana, utamanya zaman sekarang, berarti berbi cara mengenai relevansi. Trihita karana memang merupakan sebuah konsep yang luhu r yang diteruskan oleh leluhur kita di masa lalu, untuk membangun masyarakat sej ahtera dalam kehidupan sekala maupun niskala. Namun zaman sekarang, konsep Trihi ta Karana telah menyimpang dari segi pelaksanaannya. Kita semua mengetahui kosep yang berpedoman kepada keharmonisan manusia dengan alam, sesama, dan Tuhan itu, namun dewasa ini, masyarakat sepertinya baru mengenal hanya sebatas teori saja. Bagaimana penerapannya? Katakanlah belum sempurna. Jangankan peraturan tidak me mbuang sampah ke sungai sebagai wujud keharmonisan manusia dengan alamnya, dalam mengadakan upacara yadnya pun kita sering bertengkar. Konsep ini sangat relevan dan berlanjut terus. Bahkan tidak hanya relevan di Bali saja, tetapi juga di Nusantara bahkan di seluruh dunia, dan ini applicable sepa njang masa, karena memang itu adalah inti-inti yang diambil dari Rgveda oleh Ida Mpu Kuturan, tegas Ida Pandita. Konsep ini sebenarnya telah ada dalam Rgveda, ha nya saja di Rgveda tidak jelas disebutkan kalimat-kalimat Trihita karana, tetapi Mpu Kuturanlah yang pertama kali mencetuskan istilah Trihita karana itu yang be rintisari dari Veda. Jadi kita mengetahui bahwa Veda itu mengandung kebenaran ya ng hakiki, kebenaran yang mutak. Oleh karena itu, apa yang ditulis dalam ayat-ay at Veda berlaku untuk umat manusia di seluruh dunia dan merupakan suatu kebenara n yang tidak bisa dibantah. Beralih ke masalah Trihita Karana dalam kaitannya dengan kasus Pura Besakih yang kabarnya akan disaingkan dengan lapangan golf. Bagaimana dampak pembangunan lap angan golf tersebut (jika seandainya jadi) dengan Pura Besakih? Besakih itu yang merupakan Pura Pangenteg Jagad, merupakan pura induk yang sangat sakral, demikian jawaban Ida Pandita. Beliau juga menuturkan perihal sejarah Gunung Agung yang d ikaitkan dengan keberadaan Pura Besakih sebagai pura Pangenteg Jagad. Keberadaan Pura Besakih tidak lepas dari Gunung Agung sebagai gunung tertinggi d i Pulau Bali. Ida Pandita menyatakan bahwa Gunung Agung memiliki sejarah dan mi tologi tersendiri yang menyatakan kesuciannya. Sebagai contoh ditemukan dalam Ba bad Pasek dan Bendesa, bahwa Gunung Agung pada hakikatnya adalah saudara dari Gu nung Mahameru di Jambudwipa (India), bersama-sama dengan Gunung Rinjani, Gunung Batur, dan Gunung Semeru. Untuk itu kita mengambil sumber dari Babad Pasek dan Bendesa, di mana pendahuluan

Babad Pasek dan Bendesa menceritakan keadaaan Bali yang pada awalnya hanya memp unyai gunung yaitu di timur Gunung Lempuyang, di selatan Gunung Andakasa, di bar at Gunung Watukaru, dan di utara Gunung Mangu dan Gunung Bratan, tutur Ida Pandit a. Oleh karena hanya mempunyai gunung seperti itu, maka Bali menjadi goncang. Bh attara Pasupati (dalam hal ini sebagai wujud Sang Hyang Widhi) berkeinginan agar Bali ini tidak goncang. Maka, bagian gunung Mahameru dibawa ke Bali, di mana Bh attara Badhawang Nala diperintahkan untuk bertahan di pangkal gunung, sedangkan Naga Anantabhoga dan Wasuki menjadi tali pengikat gunung itu. Naga Taksaka yang menerbangkan puncak gunung Mahameru kemudian diturunkan di Bali pada Kamis Mraki h, sasih Kadasa, bulan mati, rah 1, tenggek 1, tahun Saka 11 atau tahun 87 sebel um masehi. Kemudian setelah Mahameru didudukkan di tengah-tengah pulau Bali seba gai gunung Agung atau Toh Langkir, maka pada hari Selasa Kliwon wuku Kulantir sa sih Kalima pada bulan purnama tahun saka 31, atau 20 tahun setelah distanakan, G unung Agung Meletus. Dari letusannya itu terciptalah Gunung Lebah atau Gunung Ba tur. Jadi, dalam mitologi ini, Gunung Agung melahirkan gunung Batur. Ini disebut di dalam prasasti-prasasti lama bahwa Gunung Agung adalah Purusa, Gunung Lebah (Gunung Batur) adalha Pradhana. Sehingga hukum alam yang dinamakan Rwa Bhinneda terwujud dalam kedua gunung itu. Oleh karena itu pula Sang Hyang Pasupati bersabda bahwa Mahameru, Gunung Agung, dan Gunung Ulun Danu, atau Gunung Lebah itu adalah bersaudara. Sebelumnya perlu dijelaskan lagi bahwa Gunung Mahameru itu tidak hanya menciptakan Gunung Agung t etapi juga Gunung Semeru dan Gunung Rinjani. Oleh karena itu sampai sekarang pem eluk Hindu di Bali sangat yakin bahwa Gunung Semeru, Gunung Agung, dan Gunung Ri njani itu bersaudara.Dengan demikian maka di gunung-gunung ini pun diyakini bers tana Sang Hyang Pasupati dengan Putra-Putra Beliau yaitu Mahadewa (Hyang Putraja ya, red.), Hyang Gnijaya, kemudian Dewi Danu. Sekaligus juga karena di Gunung Agung dibangun Pura Besakih, maka Pura Besakih i tu yang merupakan Pura Pangenteg Jagad, merupakan pura induk yang sangat sakral. Mengenai pembangunan lapangan golf di Besakih, Ida pandita menyatakan bahwa ada beberapa syarat pembangunan di sekitar areal pura agar tidak mengganggu kesucia n pura bersangkutan. Beliau menjelaskan bahwa PHDI Pusat pada tahun 1959 sudah m engeluarkan Bhisama bahwa kawasan suci hendaknya dilindungi. Perlindungan itu an tara lain dengan jarak, sehingga waktu itu timbul istilah jarak dari pura yang k ita sakralkan ke tempat-tempat hunian, perumahan penduduk, apalagi tempat-tempat lain (hotel, dsb) yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan kegiatan keagamaan hendaknya mengambil jarak dari pura bersangkutan. Jarak itu tergantung dari bes ar-kecilnya pura. Ada jarak yang dinamakan apanimpug, apaneleng, dan apangambuan, papar Ida Pandita. Apanimpug adalah jarak yang dapat dicapai hasil dari lemparan batu sebesar genggaman tangan dari laki-laki dewasa. Kemudian apangambuan (ambu ) artinya mencium. Jadi tidak boleh ada kegiatan di luar keagamaan yang baunya s ampai tercium ke pura itu, seperti kandang babi. Tidak boleh bau kotoran babi it u sampai tercium ke pura. Ini tentu jaraknya relatif. Apabila pura itu berada di puncak bukit, maka dengan sendirinya bau itu akan terbawa oleh angin. Berapa ja raknya ini tidak ditentukan dalam meter. Yang ketiga, jarak yang disebut apanele ng. Apaneleng ini artinya apabila kita melihat sesuatu sampai kabur, kita tidak bisa lagi melihat pada jarak tertentu yang tidak terhalang oleh tembok atau poho n-pohonan. Demikian pula dalam hubungannnya dengan tempat-tempat suci, maka dala m jarak apaneleng tidak boleh ada kegiatan-kegiatan yang tidak berhubungan denga n keagamaan. Kembali kepada pertanyaan bahwa pembangunan lapangan golf di areal Besakih apakah itu tidak mengganggu jarak apaneleng? ujar Ida Pandita, Keberadaan lapangan golf mungkin lolos dari satuan apangambuan karena lapangan golf tidak berbau. Kalau m isalnya apanimpug, mungkin lolos, artinya tidak mungkin orang bisa melempar batu sejauh satu kilometer (misalnya. red), tapi kalau apaneleng, karena jarak apane leng itu pada lapangan yang terbuka bisa mencapai tiga, empat, atau lima kilomet er. Apabila ini dilanggar, maka nilai sakral dari pura itu akan tercemar. Kemudia

n yang penting adalah pengaruhnya kepada umat Hindu di Bali. Mereka akan merasa pura yang besar itu akan tercemar oleh kegiatan lapangan golf itu. Pura Besakih adalah pura yang sangat disucikan oleh umat Hindu. Pembangunan di a real pura, terutama yang tidak berkaitan dengan kegiatan keagamaan dapat mendata ngkan ketidaksucian bagi pura tersebut. Sebuah pura memancarkan vibrasi kesucian dan keharmonisan yang idcari banyak orang. Pura adalah sentral spiritual di man a dengan kehadiran pura, maka masyarakat yang berdiam di wilayah tersebut akan m erasakan suatu keharmonisan. Apabila keharmonisan itu diganggu, muncullah berbag ai masalah, baik sekala maupun niskala. Pembangunan lapangan golf di Besakih hen daknya memerhatikan aspek keselarasan dan kesucian. Jangan sampai daerah suci te rsebut tercemar dengan kehadiran pembangunan itu. Proyek tersebut hendaknya dipi ndahkan ke daerah lain yang memerlukan pengembangan. Tags: pura besakih reply share Blog Entry for everyone WAKTU BERGULIR DALAM RODA SEMESTA Oleh I.B. Arya Lawa Manuaba Waktu dalam Hindu Oct 16, '07 2:25 AM

Om gurubhyo namah, harih Om. I praise my spiritual master who opens the gate of self-consciousness for me.

Om trikaladarsanaya namah. I praise The Supreme God who knows the past, the present, and the future.

Menghitung periode waktu dalam Veda tidak sesederhana menghitung jam-jam dan har i-hari dalam satu tahun. Konsep waktu dalam Veda, meskipun dapat dikatakan hampi r sama dengan konsep waktu modern, ia mencakup tidak hanya konsep waktu jam, har i, minggu, bulan, dan tahun yang ada di bumi. Konsep waktu Veda mencakup satuan ukuran waktu kosmis, dalam artian bagaimana suatu satuan waktu di bagian tertent u di alam semesta ini memengaruhi waktu di bagian alam semesta lainnya. Tulisan ini akan menjabarkan konsep waktu dalam Veda, dari satuan terkecil yaitu nimesha (satu kedipan mata) hingga satuan kalpa. Konsep waktu dalam Veda ini ak an berkaitan dengan proses Trikona (utpatti, sthiti, pralaya) yang terus-menerus berputar tanpa akhir. Konsep waktu juga akan bertalian dengan saat-saat kapan s uatu yadnya harus dilakukan, saat bagaimana avatara-avatara Tuhan Yang Agung tur un dari masa-ke masa untuk menegakkan dharma di dunia. Semua itu dihitung dengan mempergunakan satuan waktu (kala) dalam Veda.

Waktu: dari satuan terkecil Kitab Srimad-Bhagavatam, salah satu kitab penting Vaisnava memuat sa tuan-satuan waktu yang terkecil hingga terbesar. Diketahui bahwa dua atom adalah sama dengan atom kembar, dan tiga kali atom kembar adalah satu heksa-atom (dala m hal ini heksa atom adalah partikel terkecil dari sinar matahari yang dapat dil ihat). Tiga heksa-atom disebut satu truti (18 partikel atom). Seratus truti adal ah sama dengan satu veda, sedangkan tiga veda sama dengan satu lava. Tiga lava s ama dengan satu kedipan mata, disebut satu nimesha. Tiga nimesha membentuk satu ksana, lalu lima ksana membentuk satu satuan kastha (sekitar delapan detik). Lim a belas kastha sama dengan satu laghu (dua menit). Kemudian, lima belas laghu sa ma dengan satu nadika-nanda (tiga puluh menit). Dua danda tiada lain sama dengan satu jam (satu muhurta). Enam atau tujuh danda sama dengan satu prahara, atau s eperempat hari. Empat prahara adalah satu hari, tujuh hari adalah dua minggu. Dalam periode waktu dua minggu (paksha), terdapat dua kriteria. Pert ama, periode dua mingguan dari purnama menuju tilem disebut Krsnapaksa, atau pan glong dalam Bahasa Jawa Kuno, sementara periode dua mingguan dari tilem menuju p urnama disebut periode Suklapaksha, atau pananggal. Masing-masing hari dalam sat u paksha disebut tithi. Hari pertama dalam satu paksha, baik setelah purnama ata u tilem disebut....., hingga hari keempat belas yang disebut dengan caturdasi at au purvani. Biasanya, tithi dikaitkan dengan upacara harian dalam Hindu. Satu tahun terdiri atas dua belas bulan. Kedua belas bulan tersebut adalah ....... Kita sering melihat dalam satu tahun, matahari berubah posisi dar i condong ke utara menjadi condong ke selatan, atau sebaliknya. Peristiwa ini te rjadi masing-masing satu kali dalam setahun. Condongnya matahari ke utara disedb ut Uttarayana, sedangkan condongnya matahari ke selatan disebut Dakshinayana. Bh agavad-Gita menyatakan bahwa apabila seseorang meninggalkan jasadnya pada saat u ttarayana, maka ia akan sampai ke alam yang luhur, seperti alam para dewa. Semen tara apabila ia meninggal pada saat dakshinayana, ia akan pergi ke alam bawah (l ihat artikel: Pandangan Hindu tentang Alien). Perlu diingat bahwa Hindu memakai dua sistem kalender (sistem bi-cal endar) yang dikenal dengan kalendar luni-solar. Dalam kalender bulan, perhitunga n tithi dan paksha menjadi acuan pelaksanaan ritual suci. Ritual yang memakai si stem lunar adalah hari raya Nyepi, purnama, tilem, Sivaratri, Krsna Janmasthami, Ganesha Caturthi, dan sebagainya. Sebaliknya dalam kalender matahari, yang menj adi perhitungan adalah satuan ayana (uttarayana-dakshinayana). Sistem wuku dan w ewaran (di Bali) juga mengacu kepada sistem kalender matahari. Contoh perayaan y ang menggunakan perhitungan kalender matahari antara lain Tumpek, Budha Kliwon, Budha Wage, Anggara Kasih, Galungan, Kuningan, otonan seseorang, serta piodalan di pura-pura pada umumnya.

Waktu Kosmis Waktu kosmis adalah waktu universal yang berlaku di seantero jagad raya. Waktu k osmis memiliki tingkatannya sendiri yang saling memengaruhi dari alam semesta ba gian atas hingga bagian bawah. Waktu kosmis memiliki tingkatannya sendiri-sendir i, yang berlaku di seluruh jagat daya. Satuan waktu terbesar adalah kalpa, atau satu hari Brahma. Brahman diciptakan oleh Narayana pada awal penciptaan dan Beli au akan berusia 100 tahun pada satuan planet Brahma, yaitu di Satyaloka, planet suci yang letaknya paling atas di alam semesta kita (lihat artikel: Alam Semesta ). Umur alam semesta sama dengan umur Brahma, yaitu 100 tahun menurut satun Planet Satyaloka (planet Brahma). Ketika Brahma meninggal, alam semesta akan ikut hancu r. Satu tahun Brahma terdiri atas 360 hari Brahma. Satu hari Brahma, atau lebih

tepat disebut satu kalpa terdiri atas siang hari Brahma (Brahmadivya) dan malam hari Brahma (Brahmanakta). Satu kalpa terdiri atas 14 periode manvantara yang di pimpin oleh seorang Manu. Tujuh Manvantara ada pada siang hari Brahma, dan tujuh lagi pada malam hari Brahma. Dalam satu manvantara ada satu Manu dan satu Indra . Saat ini kita berada pada manvantara ke-7 di mana Manu-nya adalah Vaivasvata M anu, putra Devata Surya. Masih ada 7 manu lagi sebelum alam semesta dihancurkan secara periodik (sebagian). Urutan waktu kosmis adalah sebagai berikut: 1 tahun Brahma 1 hari Brahma 1 kalpa 1 manvantara li) 1 mahayuga = = = = = 360 hari Brahma 1 kalpa 14 manvantara = 1000 mahayuga +/- 71 mahayuga (krta, treta, dvapara, ka 4 yuga, yaitu krta, treta, dvapara, kali.

Saat ini kita berada pada kali yuga ke-28 dalam periode Manu Vaivasvata. Berarti , masih ada 42 kaliyuga lagi sebelum Vaivasvata Manu diganti oleh Manu berikutny a (Manu kedelapan, yaitu Manu Savarni dengan Indranya bernama Bali Maharaja). Perlu diketahui bahwa Indra bukanlah nama dewa. Indra adalah nama se buah gelar yang dipakai oleh pemimpin para dewa. Indra pada manvantara sekarang bernama Hyang Purandara, sementara pada akhir manvantara ini kursi ke-Indra-anny a akan digantikan oleh Maharaja Bali.

Yuga dan Mahayuga Satu mahayuga, seperti yang telah dijabarkan di bagian terdahulu, terdiri atas e mpat periode waktu yang disebut catur yuga. Caturyuga adalah Saytayuga (Krtayuga ), Tretayuga, Dvaparayuga, dan Kaliyuga. Masing-masing yuga dihitung berdasarkan tahun deva, atau tahun yang berlaku di loka para devata. Satu hari para devata adalah satu tahun manusia. Telah diuraikan tadi bahwa satu tahun terdiri atas dua periode, yaitu Uttarayana dan Dakshinayana. Dalam hal in i, uttarayana adalah siang hari para deva, dan dakshinayana adalah malam hari pa ra deva. Jadi, jika dihitung kembali, satu tahun deva sama dengan 360 tahun man usia. Satyayuga berlangsung selama 4.800 tahun para deva, sementara Tretayuga berlangs ung selama 3.600 tahun para deva, Dvaparayuga selama 2.400 tahun para deva, dan Kaliyuga selama 1.200 tahun para deva. Jadi, satu mahayuga adalah 12.000 tahun p ara deva (mahayuga disebut juga satu divya-yuga). Jika dihitung berdasarkan tahun manusia, Satyayuga berlangsung selama 1.728.000 tahun manusia, sementara Tretayuga selama 1.296.000 thun manusia, Dvaparayuga se lama 864.000 tahun manusia, dan akhirnya Kaliyuga berlangsung selama 432.000 tah un manusia. Jadi, satu mahayuga berlangsung selama 4.320.000 tahun manusia. Keti ka yuga-yuga berganti, manusia mengalami berbagai kemerosotan, seperti kemerosot an umur, moral, dan agama, seperti yang dijabarkan dalam kutipan dari www.veda.h arekrsna.cz sebagai berikut: Empat zaman kosmis (yuga)

Krta atau Satya-yuga (Zaman Emas) Durasi - 4,800 tahun deva atau 1,728,000 tahun manusia Jangka hidup [manusia] - 100,000 tahun Yuga-dharma [kewajiban utama manusia] - meditasi atau astanga yoga Yuga-avatara putih dengan empat lengan, rambut tergulung dan memakai pakaian kul it kayu. Ia membawa kulit rusa hitam, benang suci, ganitri, dan tongkat serta ke ndi air seorang Brahmacari. (Srimad-Bhagavatam 11.5.21) (tentang Yuga Avatara li hat artikel Avataras: Not Ten but Six). Ciri-ciri zaman Satyayuga adalah: orang-orang berhati damai, tidak iri hati, ram ah, dan secara alami memiliki kesadaran terhadap Tuhan. Dalam zaman ini tidak ad a pengelompokan catur asrama karena setiap orang adalah orang yang telah menyada ri jati dirinya (paramahamsa). Tidak ada pemujaan kepada deva-deva, hanya memuja Kepribadian Agung Tuhan Yang Maha Esa. Agama diamalkan dengan sempurna. (Srimad -Bhagavatam 9.14, 11.5.21-22) Treta-yuga (Zaman Perak). (disebut zaman perak kar ena Dharma mulai merosot kecemerlangannya} Durasi - 3,600 tahun deva atau 1,296,000 tahun manusia Jangka hidup - 10,000 tahun Yuga-dharma korban api (agnihotra) (yajna) Yuga-avatara Merah dengan empat lengan dan rambut keemasan. Ia memakai tiga ikat pinggang sebagai simbol inisiasi ke dalam Triveda. Simbolnya adalah sruk, sruva , dan sebagainya. (sendok panjang dan sendok pendek untuk agnihotra, serta alatalat persembahan lain). Ciri-ciri zaman ini: orang-orang seluruhnya taat beragama. Dalam Satyayuga, oran g-orang seara alami adalah penyembah Kepribadian Agung Tuhan Yang Maha Esa, namu n pada zaman ini seseorang diajarkan untuk menjadi penyembah Tuhan. Untuk mencap ai tujuan itu, orang-orang harus mengikuti aturan-aturan Veda secara ketat.

Dvapara-yuga (Zaman Tembaga) Durasi - 2,400 tahun deva atau 864,000 tahun manusia Jangka hidup - 1,000 tahun Yuga-dharma kebaktian di tempat suci (arcana) Yuga-avatara Warna kulit-Nya biru tua. Ia mengenakan pakaian kuning. Tubuhnya di hiasi dengan kalung bunga dan berbagai perhiasan lain. Ia memanifestasikan senja ta-Nya sendiri. Ciri-ciri zaman Dvaparayuga adalah: orang-orang memiliki kelemahan terhadap sesu atu yang tidak abadi. Namun mereka memiliki kemauan keras untuk mengetahui tenta ng Kenyataan yang Absolut. Mereka menyembah Tuhan sebagai Raja yang Agung dengan mengikuti perintah-perintah Veda dan Tantra. Kali-yuga (Zaman Besi) Duration - 1,200 tahun deva atau 432,000 tahun manusia Jangka hidup - 100 tahun [terus berkurang seiring semakin berlalunya zaman) Yuga-dharma [menyanyikan nama-nama suci Tuhan] (harinama sankirtana) Yuga-avatara berkulit keemasan tetapi pada umumnya hitam. Sri Caitanya Mahaprabh

u adalah Yuga Avatara untuk Kaliyuga ini. Ciri-ciri zaman kali: Wahai yang terpelajar di zaan Kali, manusia berumur pendek. Mereka suka berceloteh, malas, tersesat ke jalan adharma, dan di atas segalanya : mereka selalu terganggu. (Srimad-Bhagavatam 1.1.10) Demikianlah penjabaran tentang keempat yuga oleh kitab suci Srimad-B hagavatam (juga populer dengan nama Bhagavata Purana). Rentang waktu kosmis; walaupun hanya satu yuga saja, tidak akan sanggup kita lal ui dalam sekali reinkarnasi. Lalu apa yang kita dapatkan dengan mengetahui konse p waktu ini? Tentu saja, kita mendapat sebuah kepastian bahwa ternyata hidup seb agai manusia ini sangat singkat, apalagi jika dilihat dari sudut pandang waktu y ang lebih panjang. Mengingat ini, kita hendaknya sadar, bahwa hidup singkat seba gai manusia ini seharusnya digunakan untuk memperoleh dan mengamalkan dharma, ag ar dharma itu sendiri menjadi sebuah cahaya yang menerangi jalan panjang kita me nuju rumah kebahagiaan sejati: kesadaran akan jati diri. Semoga tulisan ini berguna.

Aum gurubhyo namah, harih Om. Aum shantih, shantih, shantih.

*** Tags: waktu dalam hindu reply share Blog Entry for everyone Mengapa Memakai Bija di Kening? Oct 16, '07 2:21 AM

MENGAPA MEMAKAI BIJA DI KENING? OLEH I.B. ARYA LAWA MANUABA

Ajna padmam bhruvor madhye hakshopetam dvi patrakam; shuklabham tan mahakalah siddho devy atra haakinii.

(Siva Samhita 96: ajna cakra vivaranam)

Cakra yang berdaun bunga dua disebut Ajna, terletak di antara kedua alis mata da

n memiliki aksara ham dan ksam. Pimpinannya disebut Sukla Mahakala (waktu agung putih); pimpinan devinya disebut Hakini.

Suatu hal sesederhana memakai bija pun sesungguhnya memiliki makna yang luas dal am ajaran Veda. Ketika kita bersembahyang dan meminum tirtha, kita akan dibagika n butiran-butiran beras yang kita tempelkan di kening dan di leher yang disebut bija. Tidak hanya di kening dan leher, bahkan banyak orang yang juga memakai bij a di atas kepala, di bahu, di balik telinga, bahkan tidak jarang ada yang memaka inya di kedua pelipis (lihat artikel Peranti Sembahyang oleh Ida Bhagawan Dwija di situs ini). Keberadaan bija sangat erat dengan kegiatan beragama Hindu. Bija adalah salah sa tu bahan yang dipakai di kening ketika seorang Hindu selesai melakukan persembah yangan. Ada bahan-bahan lain yang disebut bhasma, yang terbuat dari pasta cendan a. Bahan-bahan ini dipercaya sebagai bahan yang suci sebagai lambang Tuhan. Bija juga disebut tilaka di tempat lain dengan bahan-bahan seperti abu agnihotra dan pasta merah. Bija memiliki beberapa makna filosofis yang dikaitkan dengan spiritualisme. Pert ama, kita lihat dari asal katanya. Bija berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang diado psi dari kata vija (Sanskrit). Vija dapat dikaitkan dengan kata (pranava) Om seb agai nama utama dari Tuhan. Om juga disebut vijaksara, sebagai aksara Brahman ya ng tertinggi. Om adalah nama Tuhan yang paling sakral dan memiliki makna yang ti dak terbatas. Memakai bija di kening berarti memuja Tuhan dalam wujud Omkara. Ha l ini juga berarti konsentrasi pikiran menuju kesempurnaan Tuhan. Orang yang mem akai bija (tilaka) diharapkan dapat mewujudan perilaku sattvika, pengasih, dan b ijaksana. Demikianlah makna kata bija yaitu sebagai kata lain dari Omkara. Kedua, bija memiliki makna anatomis. Dalam Siva Samhita ditemukan sloka-sloka te ntang tujuh cakra (simpul syaraf) utama yang membujur di sepanjang tulang belaka ng. Ketujuh cakra itu memengaruhi fungsi biologis dan fisiologis tubuh. Salah sa tu cakra adalah cakra Ajna (baca: adnya) yang terletak di kedua alis. Cakra ajna memiliki daun bunga dua yang dalam masing-masing kelopaknya bertuliskan aksara vam dan ksam. Siva Samhita juga menyatakan bahwa cakra ini adalah petemuan tiga pembuluh, yaitu ida, pinggala, dan susumna. Pertemuan ketiganya ini disebut Triv eni. Pembuluh ida (pembuluh bulan) yang dingin mengalir dari bagian kanan cakra ajna dan berbelok menuju lubang hidung sebelah kiri, semantara pinggala (pembulu h matahari) yang hangat mengalir dari bagian kiri ajna dan berbelok ke lubang hi dung kanan. Ida membawa hawa dingin dan aktif pada malam hari, sedangkan pinggal a membawa hawa panas yang aktif pada siang hari. Oleh sebab itu, seseorang yang sehat akan menghembuskan udara yang agak hangat dari lubang hidung kanannya, sem entara dari lubang hidung kirinya akan terhembus udara yang agak dingin. Pembulu h ketiga yaitu susumna adalah jalan keluar-masuk roh. Dalam kaitannya dengan pem akaian bija di kening, kita diharapkan mampu mengaktifkan energi dari ketiga pem buluh tersebut untuk menciptakan kesehatan yang baik. Apalagi jika seseorang mam pu berkonsentrasi pada ajna, makhluk-makhluk seperti yaksa, gandharva, kinnara, dan apsara akan mematuhi perintahnya (Siva Samhita 113). Ketiga, bija memiliki makna benih. Bija terbuat dari beras yang seharusnya lonjo ng sempurna, bukan butiran-butiran yang terpecah-pecah seperti yang sering kita temui. Beras yang bentuknya sempurna melambangkan lingga, stana Siva Mahadeva. S elain itu, beras yang bentuknya sempurna juga melambangkan alam semesta yang jug a berbentuk bulat. Bija adalah benih padi yang berwarna putih yang bermakna hend aknya kita menumbuhkan benih-benih kesucian dalam kehidupan. Kini banyak kita li hat orang-orang yang memakai bija tetapi tidak mampu menumbuhkan benih-benih kes ucian dalam dirinya. Apabila semua orang dapat menumbuhkan kesucian dalam diriny

a, semua akan dapat memanen hasilnya yaitu padi keharmonisan. Keempat, bija memiliki makna kesungguhan dan kesadaran karena seseorang yang mem akai bija berarti orang yang seharusnya memiliki keyakinan dan kesadaran akan ke wajibannya untuk mendekatkan diri ke hadapan Tuhan. Orang yang memakai bija akan merasakan bahwa Tuhan berstana dalam dirinya sebagai Paramatman dan merasa terl indungi. Ia juga akan merasakan bahwa Tuhan berada dalam setiap makhluk hidup, t ermasuk kuman-kuman, bakteri, tumbuhan, dan hewan. Dengan demikian, ia akan bela jar untuk menghormati eksistensi makhluk lain sebagai bagian dari kekuasaan Tuha n. Demikianlah makna filosofis dari bija. Banyak yang tidak menyadari hal-hal kecil seperti ini dan menjadikan agama sendiri sebagai bahan olok-olok yang lainnya s ebagai agama tahayul. Padahal sebenarnya peradaban Hindu dan Veda bukan hanya se buah agama tua yang komplit, melainkan juga sebuah jalan pengetahuan tiada batas . Tags: bija di kening? reply share Blog Entry for everyone TOH LANGKIR rewritten by I.B. Arya Lawa Manuaba, Ary Wijaya, and Wirayadnya Once upon a time in Bali, it was said that then island was in unstable position. Earthquakes happened frequently and the nature was not good for living. Bali it self only had four main mounts; they were Mount Lempuyang in the east, Mount And akasa in the south, Mount Batukaru in the West, and Mount Mangu and Mount Bratan in the north. Then, Hyang Pasupati (one manifestation of Siva) decided to add o ne more mount in the centre of the island. Therefore, He commanded Taksaka, Wasu ki, Anantabhoga, and a magnificent turtle Badawang Nala to lift the peak of Moun t Mahameru in India to Bali. When the four of the magical creatures reached the island of Java, the upper part of the peak cracked and fell onto East Java, form ing Mount Semeru. Then, on the Wednesday of the tenth month, in Saka 11, the mid dle part of the peak cracked again and fell off the island of Bali, and then for med Mount Agung or Toh Langkir in the centre of the island. Next, the lower part of the peak was eventually placed in Lombok which is now known as Mount Rinjani . In Mount Toh Langkir, there resided Badawang Nala (fire turtle) as the base of t he mount. Two dragons, Anantabhoga and Wasuki resided in the middle of the mount , then a winged-dragon Taksaka resided in the peak of the mount. This position o f the creatures resembles Padmasana, a sacred shrine of Balinese Hindu people fu nctioning for praying upon The God. Twenty years after Mount Agung had been placed in the centre of Bali; it erupted for the first time. From the Eruption, a new mount was eventually formed in the area of Batur. It was called Mount Lebah or Mount Batur. So, there were two new mounts in Bali: Mount Agung and Mount Batur, as well as Mount Semeru in East Ja va and Mount Rinjani in Lombok. They were form one single source: Mount Mahameru in Jambudwipa (India). If we translate the word Mahameru into Balinese language , it will be Gunung Agung (Mount Agung). The literature reference such as Babad Pasek and Babad Bendesa explained that th ere is a connection between the four mounts. In Mount Semeru, there resides Hyan g Pasupati who has three offspring: Hyang Putrajaya, Hyang Gnijaya, and Dewi Dan u. The realm of Hyang Putrajaya is in Mount Agung, Hyang Gnijaya in Mount Lempuy ang, and Dewi Danu in Mount Batur. If there is significant problem happen in Bal The Myth of Mount Agung Oct 7, '07 6:19 AM

i, and it cannot be overcome by the local Gods, Hyang Putrajaya and the other de migods will go to Semeru to consult it with His Father. If there is still proble m, it will go on to Mahameru in India where Siva resides. That is the connection of the mounts and the demigods residing in it. Tags: toh langkir reply share Blog Entry for everyone Mantra-Mantra Umum bagi Pelajar Oct 2, '07 10:20 PM

Sebelum kita melangkah lebih jauh ke dalam dunia mantra untuk pelajar, perlu dii ngat bahwa mantra saja tidak akan bisa membuat kepandaian Anda bertambah. Perlu usaha secara dunawi, tentunya dengan belajar. Mantra-mantra umum di sini bisa di ucapkan oleh setiap siswa untuk menyiapkan diri secara spiritual dalam menghadap i pelajaran. Mantra dimulai dengan Ganesha Gayatri, sebagai Dewata pengusir hala ngan. Ganesha adalah dewata pertama yang dipuja sebelum kegiatan lainnya dilakuk an karena Ia akan mengusir segala halangan dalam kegiatan. Aum Ganeshaya namah!

Ganesha Gayatri: OM EKADANTAYA WIDMAHE WAKRATUNDAYA DHIMAHI, TANNO DANTIH PRACODAYAT (Kami bermeditasi kepada Ganesha Bergading satu yang bertubuh besar. Semoga piki ran kami tercerahi). Sarasvati Mantra: OM SARASVATI NAMOSTUBHYAM WARADE KAMARUPINI, SIDDHARAMBAM KARISYAMI SIDDHIR BHAWANTU ME SADA (aku memuja Saraswati yang berwajah cantik, semoga berhasil baik segala karya ya ng akan hamba lakukan). Laksmi Gayatri: OM MAHALAKSMI CA WIDMAHE WISNUPATNI CA DHIMAHI, TANNO LAKSMIH PRACODAYAT (aku memuja Laksmi dewi kekayaan, istri (sakti) dari Wisnu, dan semoga Ia mencer ahi pikiranku). Durga Gayatri:

OM KATYANYAI CA WIDMAHE KANYAKUMARYAI CA DHIMAHI, TANNO DURGA PRACODAYAT (aku memuja Durga yang berwujud seorang gadis. Semoga Ia mencerahi kami). Ketiga dewi tersebut adalah tiga aspek sakti sebagai ibu alam semesta. Mantra ke mudian dilanjutkan dengan guru mantra: OM GURUR BRAHMA GURUR WISNUR GURUR DEVO MAHESWARAH, GURUR SAKSAT PARABRAHMAN TASMAI SRI GURAWE NAMAH (pujaku kepada Brahma, Wisnu, dan Siva sebagai Hyang Guru, juga kepada Parabrahm an. Terpujilah Tuhan sebagai guru alam semesta). Setelah mantra ini, bisa dilanjutkan dengan Gayatri mantram OM BHUR BHUWAH SWAH, TAT SAWITUR WARENIYAM, BHARGO DEWASYA DHIMAHI, DHIYO YO NAH PRACODAYAT (Tuhan p enguasa ketiga jagad, cahaya Brahman yang patut dipuja. Kami bermeditasi pada ke cemerlangan-Mu, dan cerahilah intelek kami). Setelah itu, ucapkan OM SHANTIH, SHANTIH, SHANTIH sebagai lambang kedamaian di k etiga loka. Anda dapat juga ikut mendoakan kedamaian dunia beserta penghuninya d engan mantra OM LOKA SAMASTA SUKHINO BHAWANTU, SARWA JANA SUKHINO BHAWANTU. Perlu diingat bahwa Orang tua adalah juga guru. Anda bisa mendoakan kedua orang tua di akhir sembahyang dengan mantra OM SWASTI MATA UTA PITRE NO ASTU, SWASTI GOBHYO JAGATE PURUSEBHYAH. Mantra-mantra di atas adalah mantra-mantra umum. Sebagai pelajar Hindu yang ingi n menjadi Sadhaka (siswa yang berkemampuan spiritual), mantra-mantra ini sangat berguna. Dalam mantra-mantra ini terdapat pemujaan Guru, Saraswati, dan Ganesha. Semoga dengan mengucapkan mantra-mantra itu dengan tulus dan sabar, Anda diberk ahi dengan wiweka dan kecemerlangan pikiran yang lebih baik. Akhir kata, semoga mantra-mantra ini berguna untuk kemajuan pendidikan berbasis spiritual yang lama kita cita-citakan. Siddhirastu. (REDAKSI). Tags: mantra pelajar reply 1 reply share Blog Entry for everyone Gayatri Ibu Universal Oct 2, '07 10:18 PM

GAYATRI IBU UNIVERSAL Pernahkah Anda mengucapkan mantra Gayatri? Umat Hindu di Nusantara pasti sebagia n besar menjawab ya, karena Gayatri adalah nama mantra tri sandhya bait pertama. Namun, apakah semuanya tahu asal-usul mantra yang satu ini sehingga Ia menjadi mantra Ibu dari seluruh mantra Veda? Sehingga Ia menjadi mantra yang sangat sacr al? Sehingga Ia menjadi mantra yang sangat ampuh untuk pengobatan, pene-nangan, dan meditasi? Gayatri sebenarnya adalah nama metrum mantra dalam Veda yang terdiri atas 24 suk u kata. Bhagavad Gita menyatakan bahwa Tuhan mewujudkan dirinya dalam metrum Gay atri sebagai Ibu dari Veda. Mantram Gayatri yang sering kita dengar ditemukan da

lam Rigveda mandala III, Sukta 62, mantra 10 yang ditujukan kepada aspek sinar m atahari yang bergelar Savita. Savita adalah aspek dari sinar, yang memusnahkan s egala kebodohan, kegelapan, dan ketidaktahuan. Oleh sebab itu, Savita dipuja den gan Gayatri mantram. Orang suci biasanya akan bangun pada dini hari, mandi, lal u berdiri menghadap ke timur dan mengucapkan Gayatri. Mantram Gayatri yang kita kenal dalam Tri Sandhya terdiri atas tiga bagian. Pert ama adalah Vijaksara OM, kedua adalah Vyahrti BHUR BHUVAH SVAH dan yang ketiga adal ah Gayatri TAT SAVITUR VARENYAM BHARGO DEVASYA DHIMAHI, DHIYO YO NAH PRACODAYAT. Bagian ketiga adalah Gayatri yang sebenarnya yaitu 24 suku kata. Pemujaan Gayatr i dengan Vijaksara dan Vyahrti ditujukan kepada Tuhan penguasa seluruh alam (Tri loka) guna pencerahan pikiran menuju spiritualitas. Lalu, siapa yang menemukan mantram ini, dan kekuatan apa yang tersembunyi di bal ik pengucapan mantram tertinggi dalam Veda ini? Brahmarsi Visvamitra adalah penerima mantra ini. Dengan kekuatan Gayatri, Ia dap at menciptakan alam semesta yang serupa dengan alam semesta kita, namun pada saa t Beliau menciptakan konstalasi bintang, para Dewata menghentikannya. Oleh karen a Beliau adalah penerima wahyu mantra ini, sebelum mengucapkan (berjapa) Gayatri kita harus memberi hormat kepada Brahmarsi Visvamitra. Kekuatan Gayatri tidak terbatas. Kekuatannya akan berlipat ganda apabila diucap kan berulang-ulang dengan khusuk. Ia akan menghancurkan karma masa lalu, membaka r dosa-dosa, meningkatkan intelektualitas, dan menyembuhkan berbagai penyakit. Lalu, di mana sumber kekuatan mantram ini? Gayatri berada di mana pun mantra itu diucapkan. Gayatri akan melindungi pemujaNya. Ia adalah ibu dari Veda (Veda mataram) yang memiliki tiga aspek, yaitu Gaya tri penguasa indera, Savitri penguasa energi kehidupan, dan Sarasvati penguasa k ata-kata. Manfaat pengucapan Gayatri: Sebenarnya, manfaat pengucapan Gayatri tidak terbatas pada kehidupan fisik di du nia ini, tetapi akan berpengaruh pada kelahiran-kelahiran terdahulu dan kelahira n yang akan datang. Berikut beberapa manfaat pengucapan Gayatri: Gayatri membebaskan pemujanya dari berbagai penyakit. Gayatri mengikis segala kesengsaraan. Di sini jangan diartikan secara gamblang b ahwa kesengsaraan akan segera sirna ketika pengucapkan Gayatri. Kesengsaraan ini dapat berupa karma masa lalu (sancita karma), maupun perbaikan kualitas kehidup an di kelahiran mendatang (kriyamana karma). Gayatri dapat membakar dosa-dosa da n karma masa lalu dengan api spiritual. Ia juga dapat memutus lingkaran reinkarn asi yang tiada akhirnya. Gayatri adalah pengabul segala keinginan. Jika mantram Gayatri diucapkan dengan ketulusan dan kesucian hati, mantram ini d apat membuka cakra-cakra dalam tubuh serta membuat si pengucapnya mendapatkan ke kuatan rohani. Untuk melaksanakan ini, seorang guru suci yang ahli dalam yoga di perlukan. Gayatri memancarkan vibrasi (getaran) spiritual yang dapat memurnikan atmosfer d an menormalkan gelombang pikiran. Mantra ini sangat cocok untuk meditasi dan jap a.

Bagaimana Ia seharusnya diucapkan? Gayatri adalah mantram keramat yang berkekuatan mahadahsyat. Kesalahan pengucapa n mantram ini akan membawa efek terbalik dari manfaat-manfaat tadi. Banyak orang yang dengan sengaja mempermainkan mantram ini sebagai sebuah lelucon dan itu sa ngat bodoh. Gayatri akan memutar balik kekuatan-Nya dan mengenai orang itu. Disa rankan agar Gayatri diucapkan tidak secara sembarangan, tidak diucapkan di tempa t sembarangan, dan pada waktu-waktu yang tidak baik. Ada beberapa ketentuan pengucapannya, yaitu: Ucapkan dengan pelan, dengan tegas dan jelas. Setiap kata harus jelas dan tepat. Jangan mengucapkan dengan tergesa-gesa atau berteriak. Ucapkan dengan hati yang damai, tulus, penuh hormat, dan penuh kasih karena Gaya tri ditujukan kepada Tuhan yang penuh kasih. Gayatri dapat diucapkan di sepanjang perjalanan sebagai mantra pelindung. Menghormatlah kepada Rsi Visvamitra sebelum mengucapkan mantram. Anda bisa menga takan JAYA BRAHMARSI WISWAMITRA! Kapan saat-saat terbaik mengucapkannya? Waktu terbaik mengucapkan Gayatri adalah pada waktu Sandhyakala, atau pertemuan tiga waktu. Ketiga sandhyakala itu adalah dini hari (pukul 4-5 pagi), tengah har i, dan senja hari. Selain itu, Gayatri bisa diucapkan pada saat mandi suci (melu kat), dalam tirthayatra, sebelum bersembahyang, dan ketika akan memulai suatu ka rya. Jika Anda memiliki japamala (ganitri), Gayatri dapat diucapkan dengan berja pa. Namun ingat, mantra ini bukan mantra untuk bermain. Setiap mantra adalah kat a-kata Yang Kuasa, jadi mantra apa pun (termasuk Om Kara) tidak boleh dipakai se mbarangan, apalagi untuk bersenda gurau. (I.B. Arya, dari berbagai sumber). Lebih lanjut tentang Gayatri, Anda dapat membaca buku KEBANGKITAN HINDU oleh Sar gede atau GAYATRI SADHANA oleh I Wayan Maswinara.

Tags: gayatri reply share Blog Entry for everyone Surya Namaskara Puja Oct 2, '07 10:00 PM

SURYA NAMASKARA PUJA oleh I.B. Arya Lawa Manuaba Angurip sarwa jiwana, purna bhakti pramana Angabar mwang gumilang hrdaya.

Sira palungguh dewata diwya pankaja Dharmaprawira diwyabhawana.

Menghidupkan segala yang hidup, bhakti mereka sempurna Berkobar dan bersinar cemerlang di hatiku Dewata yang terhormat bagai teratai yang bersinar Pelindung dharma, wahai sinar yang berlimpah.

(Bait reff. dalam Surya Pankaja: I.B. Arya Lawa Manuaba)

Mengapa Pemujaan kepada Matahari Begitu Penting? Tradisi Hindu sangat beragam. Tradisi ini biasanya terkait dengan peristiwa tert entu di masa lampau, seperti kisah kelahiran Ganesha yang diperingati setiap har i keempat sasih Kapat, Mahashivaratri yang jatuh pada hari keempat belas krsnapa ksa sasih Kapitu, serta Dipavali setiap tahun untuk menghormati Ganesha, Sarasva ti, dan Laksmi. Hampir seluruh hari suci dan ritual umat Hindu didasarkan kepada peristiwa tertentu di masa lampau, namun tidak sedikit upacara yang dilakukan s ebagai pengejawantahan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seperti apa saja jenis up acara tersebut? Salah satu ritual yang penting dalam Hindu adalah ritual Surya Namaskara Puja. K ata ini diambil dari Bahasa Sanskrit yang berarti puja penghormatan kepada matah ari. Ritual ini dilakukan setiap pagi oleh orang-orang Hindu di Tanah India deng an mempersembahkan air berisi bunga-bungaan segar kepada matahari. Mengapa pemujaan ini begitu penting? Matahari adalah sumber energi terbesar di tata surya. Matahari memeiliki gravita si yang sanggup membuat kedelapan planet serta ribuan meteorit dan komet beredar teratur mengelilinginya. Sinar matahari yang terang dan panas menembus atmosfer bumi dan menjadi bgian vital dalam mendukung kelangsungan kehidupan para makhlu k di bumi. Matahari juga yang membuat penyaluran energi dalam rantai makanan ber langsung. Matahari juga dipuja dalam Veda sebagai Surya yang cemerlang. Ia dikatakan menge ndarai sebuah kereta beroda satu yang ditarik tujuh ekor kuda putih. Oleh karena itu Ia disebut Ekacakra Ratha. Kusir Dewa Surya adalah Aruna, kakak burung ilah i garuda, tunggangan Visnu yang memiliki tubuh tidak normal karena dilahirkan se cara paksa. Aruna inilah yang bersinar merah di pagi hari tepat sebelum matahari terbit. Veda menguraikan ada dua belas aspek matahari dengan fungsi-fungsi yang berbeda. Kedua belas aspek itu adalah: 1. 2. 3. 4. 5. Mitra Rawi Surya Bhanu Khaga : Ia sebagai sinar persahabatan universal. : Ia sebagai sinar yang mengandung kekuatan. : Ia sebagai sinar pemusnah kegelapan dan kebodohan. : Ia sebagai sumber cahaya. : Ia sebagai sinar yang menembus segalanya.

6. Pusa : Ia sebagai sinar mistis dari api suci. 7. Hiranyagarbha : Ia sebagai sinar penyembuh berwarna keemasan. 8. Marici : Ia sebagai sinar halus di pagi dan senja hari. 9. Aditya : Ia sebagai sinar dari para guru suci; juga adalah as pek dari Wisnu. 10. Sawitra : Ia sebagai sinar yang mencerahkan. 11. Arka : Ia sebagai sinar yang menghancurkan kecemasan dan ke takutan. 12. Bhaskara : Ia sebagai sinar dari kecerdasan.

Jadi, jelaslah matahari begitu penting sehingga mendapat kedudukan khusus dalam ayat-ayat mantra Veda. Mantram Gayatri yang kita kenal adalah salah satu mantra yang ditujukan kepada matahari (Surya). Mengapa mempersembahkan air? Sudah bukan zamannya lagi tradisi anak mula keto (walaupun tidak semua pertanyaa n harus memerlukan jawaban secara sains) berlaku di era sekarang. Terkait dengan persembahan air kepada matahari, apakah Dewa Surya selalu haus karena ia sangat panas? Atau ia ingin mengurangi intensitas sinarnya dengan mandi? Tentu saja ti dak. Matahari merupakan ayah agung bagi semua makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan di mu ka bumi. Mempersembahkan air kepada matahari merupakan wujud bhakti yang tulus. Secara biologis, air adalah sumber utama kehidupan. Gabungan antara air dan mata hari akan menciptakan kehidupan dalam air itu. Coba saja Anda menaruh segelas ai r di bawah etrik matahari selama beberapa hari. Dalam gelas akan muncul serat-se rat hijau yang merupakan lumut chlorella. Air juga mengatur sistem kehidupan di bumi dan juga sistem biologis di tubuh kita. Alasan lain mengapa kita mempersembahkan air adalah terkait dengan konsep pembia san cahaya. Air yang dijatuhkan pada saat persembahan akan menjadi titik-titik k ecil yang membiaskan sinar matahari menjadi tujuh warna. Ketujuh biasan itu dipe rcaya dapat menghancurkan bakteri dan penyakit, selain itu, ketujuh warna melamb angkan warna-warna kehidupan. Bagaimana ber-Surya Namaskara Puja? Langkah pertama untuk ini adalah bangun pagi-pagi! Sastra menganjurkan kita untu k bangun sebelum matahari terbit. Persiapkanlah bejana, sebaiknya yang tidak ber bahan tanah liat. Lebih baik jika memakai bejana tembaga, emas, perak, atau kuni ngan. Isilah bejana dengan air bersih (bukan tirtha), lalu berdirilah menghadap ke timur (ke arah matahari), atau ke barat pada sore hari. Tuangkan air perlahan -lahan dari ketinggian setinggi dahi. Lihat dan konsentrasi kepada matahari yang terbias melalui cucuran air itu. Sastra menganjurkan bahwa sembari menuangkan air, seluruh nama matahari harus di sebutkan. Ada satu mantra yang diambil dari Gayatri Sadhana untuk pemujaan matah ari:

Aum Sri savitre surya narayanaya namah

Mitra Ravi Surya Bhanu Khaga Pusa Hiranyagarbha Maricyaditya Savitrarka Bhaskarebhyo namo namah.

Setelah itu, kita dapat melantunkan mantra-mantra lain seperti Aum loka samasta sukhino bhavantu, sarva jana sukhino bhavantu. Untuk kedua orang tua kita dengan mantra: Aum svasti maata uta pitra no astu, svasti gobhyo jagate purusebhyah. Semoga bermanfaat.

Aum shantih, shantih, shantih. Tags: surya namaskara reply share Blog Entry for everyone The Role of Karma Sep 10, '07 9:47 PM

Man, like I myself really never learn to accept, as he mostly complains a certai n thing that doesnt match with him, especially something with a word too: too big , too small, too selfish, and too smart. Man, too, really needs to have a two-se mester credit for saying thank you course since he hardly ever thanks God of wha t he has received. I sometimes feel unready to thank. We may feel that we do the same thing, never thank and accept. Imagine that you were in a rainy season when almost everyday w as completed by rain and rain. When it rained a lot, you could hardly dry your c lothes and you might prepare raincoat which must have been extremely complicated to wear if you had planned to go somewhere. This, of course would make you so b ored that you might expect the sun would rise the next morning and dry the earth out. Your expectation came true: the sun really shone the earth entirely the ne xt day. You felt happy because your clothes were dried at all, and you did not n eed to wear raincoat anymore. Yet, as the world getting hotter and hotter, you b egan to expect the rain come down and drive the hotness away. This probably will go on and on and you will never be satisfied by the weather. If God always list ens to your requests, the world will probably be destroyed. That is, humans rare ly want and realise to thank. God has always surely given us many things in life, bad or good depending upon m any factors. The first factor is Sancita; it is our rest of deed results in our previous life which we could not receive totally at that time, so we have to be reborn to complete the expenditure of the results. Everybody must have Sancita s ince we (including animals, floras, and other creatures) are the souls that are circling around the Bhavasagara, or the ocean of death and life. In our previous life, we must have done many things that certainly too, remain results. The res ult of the many of actions could have been obtained at that certain period of li fe, while the rest will be received in the next reincarnation. This remaining re sult is called Sancita. The other cause is our attempt. Trying on doing somethin g is a part of karma, which means action. We do a certain action and we will sur ely get the implication either good or bad. This is just like an action-reaction case. We act towards something and we get the reaction from it. The harder we a ttempt, the better the implication. Lastly, what happens to us relies on a speci

fic circumstance that may be called Lords grant. Actually, the grant from The Lor d is basically also depends on how sincere our devotional service towards Him is . This means the grant is also a part of reaction of our devotion. So, everythin g, what God has given us is a ripen fruit of karma, or the reaction of our actio n; that is, the result of our own deeds. In other word, we harvest what we have grown. We rarely know if we have been granted or just a result of such a hard ac tion (Gus Arya). Tags: karmaphala reply share Blog Entry for everyone The Full Moon is not Correct Sep 10, 07 9:44 PM

Human can make mistake, but nature cannot. This also happens in controversy of t he last full moon on 27th of August 2007. If you had thought critically and had seen many calendars of many compilers, you must have seen some differences (and of course confusion) of them placing the red spot that indicates the full moon b etween 27th and 28th of August 2007. I dont know who the compiler of the calendar is, but I really have seen that there is a picture of Buleleng Regent in the to p of it. The calendar with an image of Buleleng Regent shows that the full moon is on August 28th, 2007, while other calendars confirm that the true full moon i s on 27th of August, like Bambang Gede Rawis calendar and Marayanas calendar. So which one is the true full moon? My father and I have discussed about this phenomena. He said that the full moon of Bambang Gede Rawis calendar version is right. He proved his argument by checki ng his Balinese Hindu lunar calendar calculation called Wariga Gemet. He explain ed that every several wukus (weeks) of Hindus lunar calendar, there is a one day r eduction named Nguna Latri. Nguna Latri is like this: from the new moon (tilem) u ntil full moon (purnama) is commonly 15 days, but if in that wuku where the 15 d ays pass is a wuku of Nguna Latri, there must be one lost day. The missing day i s usually the 8th or the 12th day. In the calendar, you will usually see for ins tance KATIGA 8/9 or KADASA 12/13 meaning that the former date is missing and is changed by the next date. Nguna Latri frequently happens in the wuku of Tambir. This wuku (if you see carefully) is usually named Dwi TAMBIR. This name indicate s that in this wuku there must be one missing day. If you are keen to know the c alculation, please kindly call my father because I am still being made dizzy abo ut it. So, the explanation proves us that the calendar with an image of Buleleng Regent is less accurate since he has forgotten to reduce the 8th day in wuku of Tambir . As I have said before that human can make mistake, but nature cannot. However, for me myself, I tend to agree with the less accurate calendar. Why? Sometimes we have to come back to put our belief in the power of reality. For me , this is still a weird thing to explain. Let now us see the Buddhists Vaisak day on last June 1st 2007 and the Magha Puja on last March 4th 2007. Everybody know s that the Vaisak in Buddhist tenth month and Magha Puja in the ninth month is c elebrated exactly in the full moon. So, why do our (Hindus) latest full moons thi s year always come a day before those celebrations? It is impossible that there are successively two days full moons made by two different religions in the same place. That is weird, isnt that? There must be some mistakes: ours, or the Buddh ists. Moreover, every time I look up to the moon every full moon, its light is no t as bright as the next day, however; the moon on the next day is much circular and brighter than the moon of the day noted as the full moon day. Have you ever seen (or felt) this strange phenomenon? This explanation is based on my own observation. Who knows I have eye dysfunctio n or mind malfunction. Everything is up to you all my friends whether you agree

with Mr. Bambang Gede Rawis or with my version, but the most important thing is t hat we should not look this down. Full moon is important for us Hindus. Wrong da te means wrong prayer, and who knows, at a certain time in the past, the calenda r compilers had made significant mistake about placing the red spot in their cal endars. We must look for the truth in PHDI, or perhaps WALUBI. (Will it work? PH DI is busy with intern coup, isnt?).

Singaraja, 28th August 2007. Tags: full moon reply 1 reply share Blog Entry The Art of Bhajan for everyone The Art of Bhajans Aug 22, 07 11:32 PM

"Bhajan is one of the processes by which you can train the mind to expand into e ternal values. Teach the mind to revel in the glory and majesty of God; wean it away from petty horizons of pleasure. Bhajan induces in you a desire for experie ncing the truth, to glimpse the beauty that is God, to taste the bliss that is t he self. It encourages man to dive into himself and be genuinely his real self. Once that search is desired, the path is easy. One has only to be reminded that he is divine. Man has come for a great destiny, on a sacred mission, endowed wit h special skills and tendences to help him on; but, he fritters these precious g ifts and crawls on earth from birth to death, worse than any animal. Exercises l ike Bhajan elevate the mind and exhort the individual to seek and find the sourc e of eternal joy that lies within him. Naturally, therefore, the spiritual vibrations produced by bhajans confer great joy both on those who sing them and on those who hear the songs. Bhajans remove all negative thoughts, soothe the nerves, purify the mind and fill the body and the heart with a sweet love. As one sings bhajans, the mind gets saturated with God-consciousness and a great ecstacy wells up from within. No mental or intelle ctual effort is called for, as there is no need to understand anything while utt ering the holy names of God and singing His glory. On the other hand, the very s inging and the atmosphere created by bhajans takes one beyond the realm of the b ody, mind and intellect and helps to establish communion with the self or the co nsciousness within. Therefore, singing bhajans becomes a beautiful, blissful exp erience. "When asked if singing bhajans in English [or any other language] would spoil th e sound vibrations: "No, the vibrations come from the heart!" "Bhajan must spread good-will, love, ecstasy; it must cleanse the polluted atmos phere; it must invite all to share in the joy and peace. The Nagarsankirtan must be radiating devotion and love. The Ananda, I derive from Bhajan, I do not deri ve from anything else. That is the reason why I am emphasizing these points. Fil l every moment with energy, enthusiasm and effort." "God says, wherever My devotees sing, there I seat Myself .

- Baba Tags: the art of bhajan reply share Blog Entry for everyone Masturbasi dan Daya Spiritual Aug 18, 07 11:55 PM

MASTURBASI DAN DAYA SPIRITUAL oleh I.B. Arya Lawa Manuaba

Tidak banyak kalangan spiritual Hindu yang membicarakan masalah masturbasi, yang notabene merupakan masalah pelik bagi remaja. Kegamangan ini menyebabkan kalang an remaja Hindu mengalami anomi yang tidak berujung-pangkal. Sementara ahli-ahli agama lain marak membicarakan perilaku seksual ini. Saudara kita di Islam misal nya, telah menerbitkan buku berjudul ONANI yang membedah perilaku masturbasi dal am hukum agama mereka. Saudara Kristen telah membuka blog khusus yang membahas t entang masturbasi dalam kepercayaan mereka. Agama-agama tersebut dengan jelas me larang kegiatan tersebut, lalu bagaimana kepastian agama Hindu? Masturbasi bukan lagi hal yang tabu dan harus dibicarakan khusus dalam suatu forum antarkaum sej enis. Namun masturbasi, tidak dielakkan lagi sudah menjadi sebuah tren bagi rema ja, bahkan hingga orang dewasa. Ada hal menarik yang patut menjadi pembicaraan s emua kalangan spiritual Hindu mengenai masturbasi, yaitu apakah hal ini dilarang atau tidak dalam Hindu, mengingat pertimbangan-pertimbangan lain seperti seks b ebas yang membuktikan bahwa remaja semakin tidak bisa mengontrol dirinya sendiri . Jika masturbasi memang dilarang, apa penyebabnya? Jika tidak, mengapa? Adakah sumber sastra yang mengatur hal ini? Satu lagi, jika sastra tidak memperbolehkan hal ini untuk dilakukan, bagaimana dengan fenomena masturbasi sebagai pengganti seks bebas? Bukankah jika kita pertimbangkan dengan akal sehat, masturbasi akan lebih baik dilakukan daripada seorang remaja harus menyia-nyiakan masa depan de ngan seks bebas?

MENGAPA MASTURBASI? Setiap manusia akan memasuki tahap-tahap perkembangan. Tahapan perkembangan ters ebut dimulai ketika ia dilahirkan hingga mencapai tahapan perkembangan dewasa (2 5 tahun ke atas). Perkembangan-perkembangan dalam diri manusia meliputi seluruh aspek diri manusia, seperti fisik, emosi, intelegensi, dan seksualitas. Perkemba ngan yang cukup menyolok terjadi ketika remaja baik perempuan dan laki-laki mema suki usia antara 9 sampai 15 tahun (masa remaja awal). Pada saat itu manusia tid ak hanya tumbuh menjadi lebih tinggi dan lebih besar saja, tetapi perubahan-peru bahan juga terjadi di dalam tubuh yang memungkinkan untuk bereproduksi atau berk eturunan. Perubahan ini dikenal dengan perkembangan seksualitas. Dalam perkembangan seksualitas, manusia akan memiliki dorongan seks sebagai hasi l reaksi hormon-hormon seks dalam tubuh. Dorongan seks adalah keinginan untuk me lakukan hubungan seksual yang sering disebut sebagai birahi. Dorongan seks memer lukan pemuasan, yaitu dengan melakukan hubungan seks. Dalam kehidupan manusia ya ng dilandasi agama, moral, dan nilai-nilai masyarakat, hubungan seksual hanya bo leh dilangsungkan ketika seseorang telah menikah (meskipun dewasa ini aturan sep erti ini cenderung dilanggar). Untuk memuaskan dorongan seksual tersebut, banyak yang melakukan rangsangan sendiri yang disebut masturbasi. Menurut BKKBN, masturbasi diartikan sebagai perilaku merangsang diri sendiri unt uk memperoleh kenikmatan seksual. Demikian halnya menurut Wikipedia yang menyata kan bahwa masturbasi adalah rangsangan disengaja yang dilakukan pada organ alat kelamin untuk memperoleh kenikmatan dan kepuasan seksual. Masturbasi biasa dilak ukan, khususnya oleh remaja baik laki-laki maupun perempuan. Namun demikian menu rut penelitian, laki-laki lebih banyak melakukan masturbasi dari pada perempuan. Hal ini terjadi karena bagian alat kelamin laki-laki sebagian besar berada di l uar tubuh, seperti penis dan skrotum. Sementara pada perempuan lebih merupakan o rgan dalam seperti rahim dan indung telur. Keadaan ini memudahkan laki-laki untu k merangsang alat kelaminnya sendiri. Sebuah penelitian menyatakan bahwa 95% lak

i-laki dan 89% perempuan pernah melakukan masturbasi. Thomas Szasz, seorang psikolog Amerika kelahiran Hongaria menyatakan bahwa mastu rbasi pada abad ke-19 adalah penyakit, namun pada abad 20 adalah pengobatan. Ini dapat dimengerti karena pada abad 20 penyakit kelamin sudah semakin merajalela seiring dengan semakin maraknya seks bebas. Karena itu, masturbasi yang memang a dalah salah satu jalan pemuasan dorongan seksual menjadi sebuah alternatif yang aman. Menurut ilmu kedokteran, perilaku ini bukanlah perilaku seksual menyimpang . Namun, orang-orang yang melakukannya (khususnya remaja) sering merasa bahwa ma sturbasi dapat mengundang datangnya hal-hal buruk pada diri yang bersangkutan. S elain itu, masturbasi konon dapat menurunkan daya ingat. Banyak remaja yang sete lah bermasturbasi muncul perasaan bersalah dan berdosa dalam pikiran mereka. Seb agian kalangan berpendapat hal tersebut hanya perasaan seseorang sebagai akibat benturan antara dorongan seksual dengan norma-norma agama yang tidak perlu diris aukan. Ini berakibat pada pemahaman tentang masturbasi sebagai perilaku yang bol eh saja dilakukan tanpa memandang akibatnya. Sebaiknya, agar tidak memunculkan perilaku yang membabi buta, mitos-mitos mastur basi tersebut perlu dikaji ulang. Bagi Hindu sendiri, setiap perbuatan manusia, baik disengaja maupun tidak akan membawa akibatnya sendiri. Akibat yang akan dit erima tidak hanya dari segi fisik saja, tetapi juga dari aspek spiritual (kejiwa an). Masturbasi sebagai sebuah perbuatan juga pasti akan mendatangkan akibat sec ara fisik dan spiritual. Oleh karena itu, ada baiknya perilaku masturbasi ini di kaji kembali dari sudut pandang spiritual.

BAGAIMANA SEBENARNYA HINDU MENANGGAPI HAL INI? Tidak diragukan lagi bahwa Veda adalah kitab suci terlengkap di jagad raya. Veda merangkum segala pengetahuan yang diperlukan manusia untuk mengarungi kehidupan materi maupun rohani. Veda menguraikan segala hal dari Tuhan yang suci dan abso lut hingga bagaimana memuaskan diri dalam Vatsyayana Kamasutra. Jika metode seks saja ada dalam Veda Smrti Kamasutra, bagaimana katalog masturbasi bisa tidak mu ncul? Veda, khususnya pada kitab Sutra banyak membahas permasalahan seks, namun sangat sedikit membahas tentang masturbasi. Hal ini memunculkan istilah Hindu yang dia m terhadap perilaku masturbasi. Namun sesedikitnya sumber mengenai hal ini, ada beberapa rujukan sastra mengenai masturbasi seperti yang terdapat dalam Manava D harmasastra bab II sloka 180 yang menyatakan bahwa perilaku masturbasi sama deng an menyia-nyiakan kelaki-lakikan.

Ekah shayita sarvatrana retah skandayet kvacit; Kamaddhi skandyan reto hinasti vratam atmanah . (Manava Dharmasastra II.180)

Hendaknya ia (siswa) tidak sendirian, tidak pernah menyia-nyiakan kelaki-lakiannya. Karena yang dengan sengaja menyia-nyiakan kelakiannya (onani) adalah melanggar pantangan.

Dari uraian sloka di atas, jelas-jelas Dharmasastra tidak menganjurkan perilaku masturbasi khususnya bagi siswa yang sedang menuntut ilmu, walaupun masturbasi m enurut sastra tidak sama dengan hubungan seks. Aturan yang hampir sama juga disa mpaikan dalam Visnu Dharmasastra bab XXVIII sloka 48. Dengan demikian, jelaslah bahwa Hindu tidak diam ketika berhadapan dengan masalah masturbasi. Agama Hindu tidak melarang dengan tegas kegiatan masturbasi, tetapi juga tidak menganjurkan. Inilah salah satu keunikan Hindu. Ia tidak pernah memaksa umatnya untuk terpaku ke dalam dogma-dogma. Hindu memberikan kebebasan kepada pemeluknya asalkan sang pemeluk ingat dan sadar akan akibat dari setiap perbuatannya. Agama Hindu mendi dik umatnya tidak dengan aturan ketat dan sanksi-sanksi dalam kitab suci, tetapi mendidik dengan membibing umatnya untuk belajar dari akibat perbuatan sebelumny a. Inilah sebenarnya yang disebut pendidikan karma phala. Hindu membimbing umatn ya untuk maju selangkah demi selangkah ke level kesadaran akan baik-buruk perbua tan dengan mengajak umat belajar dari memetik langsung akibat perbuatannya. Deng an demikian, kesadaran baik-buruknya perbuatan akan tertanam di hati umat, sehin gga umat akan melaksanakannya dengan kesadaran hati, bukan karena iming-iming su rga dan takut neraka. Dalam kitab sucinya, Hindu memberikan penjelasan-penjelasa n mendalam mengenai konsekuensi jika seseorang melakukan suatu perbuatan. Selanj utnya, ia menyerahkan sepenuhnya kepada umat: apakah perbuatan itu akan dilakuka n atau tidak berdasarkan risiko-risiko tersebut? Hal yang sama berlaku pula dalam perilaku masturbasi. Inilah yang menimbulkan pr asangka bahwa Hindu dikatakan diam ketika berhadapan dengan permasalahan masturb asi. Padahal, Hindu sedang mendidik dengan cara lain. Di saat orang-orang menutu p telinganya terhadap nasihat-nasihat yang baik, mereka setidaknya akan tahu mak na nasihat-nasihat tersebut dengan mengalami dan merasakan akibatnya sendiri. De ngan itu, ia akan tahu mana yang patut dilakukan dan mana yang tidak. Terkait dengan masturbasi, terdapat beberapa konsekuensi yang perlu diperhatikan sebelum perbuatan tersebut terlanjur dilakukan:

1) Seorang siswa remaja dituntut untuk mengoptimalkan ojas shakti atau keku atan pikiran yang nantinya sangat berguna dalam menuntut ilmu. Ojas shakti adala h kekuatan mental yang mana dengan meningkatkan kekuatan tersebut, seseorang aka n memiliki daya ingat yang luar biasa dan dapat menerima energi-energi spiritual yang suci. Ketika seseorang bermasturbasi dan mengalami orgasme, tubuh akan men ghabiskan banyak energi. Orgasme ini akan bermanfaat apabila terjadi pada saat h ubungan kelamin yang sah antara suami dan istri. Namun dalam masturbasi, orgasme hanya membuang-buang tenaga. Ketika peristiwa orgasme terjadi, ojas shakti atau energi pikiran ikut terkuras. Maka dari itu, setelah orgasme baik pada saat mas turbasi atau hubungan seks, umumnya seseorang mengalami keletihan fisik dan ment

al. Keletihan fisik terjadi karena kontraksi otot daerah kelamin membutuhkan ene rgi sebanding dengan energi yang dibutuhkan pemain tenis dalam dua set pertandin gan. Keletihan mental terjadi karena terkurasnya ojas shakti. Terkurasnya ojas s hakti menyebabkan kemunduran dalam daya ingat. Terkurasnya ojas shakti juga meny ebabkan cahaya (aura) spiritual di badan memudar dan rasa percaya diri yang menu run. Sekalipun ojas shakti dapat meningkat kembali, itu memerlukan usaha secara spiritual dengan meditasi, japa, kirtanam (bhajan), sembahyang, dan diet makanan seimbang. 2) Mengenai masturbasi sebagai penyia-nyiaan terhadap kelaki-lakian mungkin dapat dikaitkan dengan peristiwa orgasme. Dalam sastra dikenal adanya pengekang an terhadap nafsu kelamin (upasthanigraha). Kelamin hendaknya tidak dipermainkan sembarangan karena melalui penggabungan antara dua kelamin (purusha-pradhana) a kan terbentuk kehidupan. Jadi, hendaknya kelamin sebagai lambang kehidupan dan r egenerasi tidak diperlakukan sembarangan. Dalam alat kelamin terdapat unsur pemb entuk kehidupan yaitu air mani pada laki-laki dan sel telur pada perempuan. Dala m air mani terkandung jutaan sel sperma yang dalam setiap sel terdapat jiwa yang menghidupinya. Air mani juga merupakan lambang kelaki-lakian yang berfungsi mem buahi sel telur. Ketika seseorang bermasturbasi dan mengalami orgasme, air mani yang keluar akan tersia-siakan. Itu berarti lambang-kelaki-lakian juga disia-sia kan. Selain itu, air mani mengandung jiwa-jiwa yang hidup, dengan demikian jiwajiwa cikal-bakal benih kehidupan tersebut juga terbuang percuma. 3) Meskipun tidak disamakan dengan hubungan seksual, pengeluaran air mani s emasa brahmacari dikatakan melanggar pantangan. Pantangan yang dimaksud adalah p antangan bagi seorang wajib belajar untuk tidak menghumbar nafsu. 4) Dalam sebuah situs Ayurveda, masturbasi memang merupakan perilaku yang m enyehatkan, sama seperti seks dalam Kamasutra. Namun, apa yang berlebihan pasti tidak baik. Masturbasi berlebihan dapat meningkatkan kinerja saraf simpatik dan memperbanyak produksi zat neurotransmiter berupa asetilkolin, dopamin, dan serot onin. Peningkatan jumlah hormon seks juga akan terjadi. Apabila masturbasi terus -menerus dilakukan, akan terjadi perubahan kimiawi besar-besaran dalam tubuh. Pe rubahan kimiawi tersebut menimbulkan gejala pusing, rasa lelah yang terus-meneru s, penurunan daya ingat, sakit pinggang, kerontokan rambut, impotensi, ejakulasi dini, pengelihatan yang buruk, sakit pada testis atau pada selangkangan, serta sakit pada pinggul dan tulang ekor.

Pemerian tentang risiko masturbasi di atas dikaji dari segi spiritual-religius. Secara ilmu kesehatan modern, masturbasi juga dapat menyebabkan penyakit kelamin walaupun telah dinyatakan bahwa masturbasi adalah tindakan yang aman. Dr. Sjaif ul Fahmi Daili, Sp.K.K dalam wawancara dengan tabloid Hai menyatakan bahwa penya kit yang muncul akibat masturbasi dapat berupa penyakit infeksi dan alergi. Peny akit infeksi timbul karena perilaku masturbasi yang tidak bersih, seperti penggu naan alat-alat yang tidak higienis dan cara bermasturbasi yang beresiko menyebab kan luka pada alat kelamin. Alergi biasanya timbul karena penggunaan zat-zat yan g tidak cocok dengan kulit sebagai pelumas. Demikian beberapa konsekuensi dari masturbasi yang dapat dihimpun dari berbagai sumber sastra Hindu maupun dari literatur kesehatan modern. Sekarang keputusan a da pada para umat untuk menyikapinya. Satu hal yang perlu mendapat perhatian bag i kita semua adalah bahwa setiap perbuatan dalam kehidupan di dunia material pas ti membawa konsekuensinya masing-masing. Setiap perbuatan pasti memiliki isi bai k dan buruk, tergantung dalam situasi dan waktu yang bagaimana kita melakukan pe rbuatan tersebut. Seorang tentara yang membunuh musuh yang mengancam keselamatan suatu negara adalah perbuatan benar dan berpahala besar meskipun membunuh itu d ilarang. Namun, seseorang yang membunuh rekannya karena marah adalah sebuah dosa besar. Demikian pula masturbasi. Memang benar masturbasi dapat menjadi perbuata

n yang dianjurkan dan dapat pula dilarang karena dosa. Semuanya tergantung bagai mana dan pada saat apa perbuatan tersebut dilakukan. Jika seseorang dihadapkan k epada seks bebas yang penuh risiko dan merusak masa depan, sekiranya masturbasi dapat dilakukan sebagai pengganti demi mencegah perbuatan yang lebih merusak itu . Dikatakan dalam itihasa, bahwa setiap manusia tidak sempurna, jadi pasti akan juga pernah masuk neraka. Namun sekarang kita jelas bisa menebak neraka mana yan g lebih mengerikan: neraka yang akan dikunjungi akibat seks bebas atau akibat ma sturbasi? Sekalipun demikian, hendaknya kita tidak menjadikan masturbasi sebagai suatu keb iasaan. Banyak orang yang melampiaskan segala sesuatu dengan masturbasi, dan itu bisa dikatakan melanggar aturan. Lama-kelamaan, perilaku tersebut akan menjadi kebiasaan dan menyebabkan bertambahnya papa atau dosa kita yang dapat menjerumus kan kita ke tingkatan kehidupan yang lebih rendah. Selain itu, masturbasi juga m embuang-buang waktu yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk berkreasi secara po sitif. Kita sebagai manusia, yang dianugerahi kelebihan oleh Yang Kuasa hendakny a tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Sedapat mungkin, (walaupun kita memi liki otoritas dalam berbuat yang terbaik buat kita) masturbasi dan juga seks beb as dihindari demi peningkatan mutu kehidupan fisik-spiritual dalam mencapai keba hagiaan materi dan rohani (jagadhita dan moksha).

MENGURANGI KEBIASAAN: MENGAPA SAAT PURNAMA DAN TILEM? Masa remaja dikatakan masa di mana seorang anak berada dalam masa yang serba lab il. Emosi, fisik, kepribadian, intelegensi, bahkan dorongan seksual pun sangat l abil pada masa ini. Ini disebabkan oleh hormon seksual yang mulai diproduksi ole h tubuh mengalami penyesuaian. Remaja mulai belajar menerima dirinya yang sedang mengalami perubahan, termasuk mulai mengeksplorasi dirinya. Terkait dengan eksp lorasi tubuh, organ seks adalah obyek yang mendapat perhatian khusus. Diperkuat oleh dorongan seksual, remaja khususnya akan mulai menjelajahi dan mengenal fung si organ-organ seksnya. Tidak jarang eksplorasi yang tanpa pemetaan yang benar i tu berbuah kehamilan di luar nikah, prostitusi, dan aborsi. Inilah salah satu ha l dari perkembangan remaja yang perlu mendapat perhatian pranata sosial untuk di tindaklanjuti. Pengekangan terhadap dorongan nafsu adalah hal yang tidak mudah dilakukan, bahka n oleh orang suci sekalipun. Seseorang dalam mengekang hawa nafsunya melakukan b erbagai cara, mulai dari meditasi, puasa, kirtanam, japa, menyiksa diri, hingga memotong alat kelaminnya sendiri seperti kasus yang dilakukan seorang pendeta Bu dha di Thailand tahun 2006 lalu. Pengekangan terhadap hawa nafsu juga hendaknya menjadi fokus utama bagi seorang Brahmacari. Tidak hanya bagi brahmacari, seluru h manusia dianjurkan oleh sastra untuk mengekang hawa nafsu, karena dari nafsu m uncul loba, dari loba (ketamakan) muncul kemarahan. Ketiganya adalah pintu masuk VIP ke neraka. Kemunculan hawa nafsu memang tidak dapat ditebak. Nafsu selalu ada dalam diri se bagai musuh terbesar yang harus ditaklukkan manusia seperti yang dinyatakan dala m Kakawin Ramayana karya Mpu Yogiswara. Nafsu akan terus ada, namun ia seperti g elombang. Kadang nafsu sangat besar, namun beberapa saat kemudian turun dan mere da kembali. Demikian pula dorongan seksual. Setiap makhluk memiliki dorongan sek sual, namun anehnya manusia memiliki potensi yang lebih besar untuk terhanyut di dalamnya. Jika hewan menggunakan dorongan seksualnya hanya untuk berkembang bia k, manusia menggunakannya juga untuk kesenangan. Sebenarnya, tinggi-rendahnya dorongan seksual (libido) selain oleh situasi dalam diri, dipengaruhi juga oleh keadaan alam. Filsafat Hindu menguraikan tentang hu bungan yang erat antara manusia (mikrokosmos) dan alam semesta (makrokosmos). Ap a yang terjadi di makrokosmos terjadi pula di mikrokosmos. Jika makrokosmos meng

alami kerusakan, maka kerusakan juga menjalar pada mikrokosmos. Nafsu dan libido seksual juga dipengaruhi oleh keadaan makrokosmos, yaitu oleh keberadaan bulan. Hal ini diperkuat oleh beberapa remaja yang pernah melakukan masturbasi yang me ngaku dorongan seks mereka memuncak ketika purnama dan tilem. Demikian pula pada saat hari-hari rerahinan seperti kajeng kliwon dan tumpek. Hal ini memang masuk akal jika dikaji berdasarkan hubungan makro-mikro tadi. Bulan menurut kajian Hindu memang benar dapat memengaruhi pikiran manusia, seper ti yang dipaparkan Niken Tambang Rara dalam bukunya Purnama Tilem: Rahasia Kasih Rwa Bhineda sebagai berikut.

Bulan Purnama dan Bulan Tilem juga sering diistilahkan dengan hati atau pikiran manusia yang sedang menyusut dan terang-benderang. Dengan perumpamaan yang berba sis pada kekuatan kala (waktu). Bulan disimboliskan dengan Ketua Dewatanya pikir an (Candrama Manaso Jatah). Itulah sebabnya terkadang hati dan pikiran seseorang bisa menyamai sifat-sifat kedewataan. Jadi bisa dikatakan bahwa, jika pikiran s eseorang sedang keruh, dirasuki oleh sifat-sifat angkara murka, maka diistilahka n Bulan Dewatanya sedang menyusut menuju dapa kegelapan (Tilem) (Niken Tambang R aras, 2004 : 12).

Susutnya bulan, atau periode menuju bulan mati (sering disebut krsnapaksa) memil iki pengaruh terhadap penyusutan pikiran manusia. Sebaliknya pada saat periode m enuju pulan purnama (suklapaksa) memengaruhi pikiran menjadi lebih ekstrem. Pada saat bulan mati (tilem), pikiran yang menyusut menjadi kosong dan akan dengan s angat mudah dirasuki oleh pengaruh sadripu. Oleh karena itu, pada saat Tilem ses eorang dianjurkan untuk mengingat nama Tuhan. Sedangkan pada saat purnama, apa y ang dipikirkan akan berlipat ganda kekuatannya. Jika seseorang memikirkan Tuhan, maka pikirannya itu akan menjadi semakin kuat, sebaliknya jika ia memikirkan ha l-hal buruk, keburukan juga akan berlipat ganda dalam pikirannya. Kekuatan sinar bulan yang demikian kuat memengaruhi pikiran menjadi alasan menga pa dua orang yang sedang jatuh cinta dilarang bertemu dan berkasih-kasihan pada saat malam bulan purnama. Perasaan cinta tersebut akan berlipat ganda menjadi na fsu yang menggebu-gebu, dan akhirnya dapat berakibat terjadinya hal mesum. Tidak hanya pasangan yang belum menikah, pasangan suami-istri pun dilarang tidur dala m satu kamar pada saat purnama dan tilem karena kesucian hari akan tercemar apab ila terjadi persetubuhan. Dari hasil persetubuhan yang salah waktu tersebut akan lahir anak yang cacat, penyakitan, dan berperilaku jahat (kuputra) karena pembu ahan terjadi di waktu yang tidak tepat. Kitab Sarasamuccaya dan Manava Dharmasas tra adalah contoh sastra yang mengatur hari-hari yang tepat dan tidak tepat mela kukan hubungan seksual agar tercipta keturunan yang suci. Peningkatan libido pada saat bulan purnama dan tilem secara ilmiah mungkin dapat dijelaskan seperti ini. Tubuh manusia terdiri atas 70% air yang berbentuk darah , cairan tubuh, keringat, enzim, dan air seni. Seperti air pada makrokosmos, air dalam tubuh manusia pun dapat ditarik oleh gaya gravitasi bulan. Ketika bulan p urnama, air di pesisir pantai barat akan pasang, sementara air di pesisir pantai timur akan surut. Pengaruh tersebut terjadi juga terhadap air di tubuh manusia. Gravitasi bulan dapat memengaruhi sistem hormon dan sirkulasinya dalam tubuh. J ika sistem hormon terangsang dan dipengaruhi juga oleh pikiran, timbullah dorong an-dorongan baik positif maupun negatif. Oleh karena itu, tidak mengherankan jik a libido memuncak pada bulan purnama dan tilem. Ketika pengendalian diri tidak a da, seseorang akan mencari cara untuk memuaskannya, seperti dengan bermasturbasi . Bagaimanapun juga, nafsu yang terlalu besar perlu dikurangi, termasuk melakukan

masturbasi. Bermasturbasi pada hari purnama, tilem, dan rerahinan lain dapat men odai kesucian diri sendiri selain menodai kesucian hari. Hendaknya purnama dan t ilem diisi dengan pemikiran-pemikiran tentang Tuhan dan hal-hal yang suci. Biasa kanlah mengucapkan nama Tuhan berulang-ulang (namasmaranam), meditasi, berjapa, atau menyanyikan kidung pada hari-hari seperti itu. Satu hal lagi, alangkah baik nya bila persembahyangan bersama di pura saat purnama dan tilem tidak dilakukan bersama pacar. Berdasarkan uraian di atas tentang gejolak nafsu dalam hubungannya dengan kekuat an bulan serta risiko-risiko melakukan perbuatan kotor pada hari-hari itu, ada b eberapa solusi untuk menenangkan dorongan nafsu: 1. Berpuasalah pada purnama dan tilem. Para yogi menyarankan agar seseorang m elakukan puasa ketika purnama dan tilem. Pada saat itu sistem ritmik tubuh terga nggu, sehingga perlu diseimbangkan dengan jalan berpuasa. 2. Biasakan mengidungkan nama Tuhan pada hari-hari tersebut. Nama-nama Tuhan sangat banyak jumlahnya, dan dapat dipilih sesuai keinginan. 3. Mulailah hari dengan mengucapkan nama Tuhan. Ketika bangun pagi, ucapkan s ebuah-dua buah nama Tuhan. Ini adalah suatu kepercayaan yang mana jika hari dimu lai dengan kesucian, maka kesucian itu akan berpengaruh dalam satu hari itu. 4. Hindari memikirkan, membicarakan, atau melakukan hal-hal kotor. 5. Bersembahyang dengan ikhlas. Jangan bersembahyang jika tidak ada minat ber sembahyang. Lebih baik mengidungkan lagu-lagu suci. 6. Lakukanlah meditasi. 7. Buatlah komitmen untuk bertahan dari gejolak nafsu. Ucapkan komitmen untuk bertahan tersebut pada saat purnama sehingga kekuatannya meningkat.

Masih ada beberapa cara lain untuk mencegah bergejolaknya nafsu. Cara itu dapat berupa mengontrol makanan dengan diet vegetarian, memperbanyak minum air murni, dan jika memungkinkan ikutlah dalam kursus-kursus meditasi dan yoga. Pada dasarnya, hal terpenting dari pengendalian dorongan bermasturbasi bukan ter letak pada seberapa sering kita mengucapkan doa, berpantang makanan, dan melakuk an olah raga, tetapi yang paling diperlukan dalam mengekang nafsu untuk bermastu rbasi adalah komitmen. Veda menyatakan bahwa pikiran adalah rajendriya, yaitu pe nggerak segala indriya. Pikiran menjadi pusat kontrol segala aktivitas indera, t ermasuk konrol nafsu dan keinginan. Oleh karena itu, jalan terbaik adalah dengan memusatkan pikiran dan menjauhkannya dari hal-hal yang dapat membangkitkan doro ngan nafsu. Namun perlu diingat bahwa tidak selamanya nafsu itu merugikan. Nafsu justru akan sangat berguna dalam meniti kehidupan. Hanya saja, nafsu harus dike kang dan ditundukkan, jangan sampai kita sendiri yang ditundukkan oleh nafsu.

RITUAL UNTUK PRAYASCITTA Ritual prayascitta adalah ritual penyucian diri secara jasmani dan rohani. Ritua l prayascitta tidak hanya dilakukan untuk menyucikan benda-benda dan alam, tetap i manusia pun perlu dibersihkan. Manava Dharmasastra menyatakan bahwa tubuh dibe rsihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, jiwa dibersihkan denga n ilmu dan tapa, kecerdasan dibersihkan dengan pengetahuan. Pembersihan unsur-un sur diri ini sangat penting karena manusia perlu meningkatkan kesuciannya agar d apat lebih mendekatkan diri dengan Tuhan. Beberapa kitab Dharmasastra seperti Manava Dharmasastra dan Visnu Dharmasastra s erta kitab Bhagavatam mengutarakan mengenai ritual-ritual penyucian bagi seorang siswa yang telah mengeluarkan air maninya. Kitab Bhagavatam menganjurkan siswa tersebut melakukan pemandian sebelum mengikuti pelajaran lagi, sementara Visnu D

harmasastra (bab XXVIII sloka 48 dan 49) menganjurkan prayascitta khusus bagi se orang siswa yang melakukan persetubuhan dalam masa belajarnya untuk mengemis ke tujuh rumah dengan mengenakan pakaian dari kulit keledai sambil mengakui perbua tannya. Tentunya dosa-dosanya tidak hilang sepenuhnya dengan jalan seperti itu. Bagaimanapun, bersetubuh sebelum menikah adalah sebuah dosa besar. Sementara Manava Dharmasastra bab II sloka 181 menguraikan tentang ritual penyuc ian yang harus dilakukan oleh seorang siswa yang mengalami mimpi basah.

Svapne siktva brahmacari dvijah shukramakamatah; Snatvarkamarcayitva trih Punarmamityrcam japet.

Seorang siswa dwijati yang dengan tidak sengaja telah menyia-nyiakan kelaki-lakiannya pada waktu tidur, harus memuja Sang Hyang Surya dan kemudian tiga kali mengucapkan mantra Rik yang mulai dengan ucapan berikanlah kekuatanku kembali lagi kepadaku.

Dalam sloka di atas terdapat kata siswa dwijati. Siswa dwijati dapat diartikan s iswa yang telah diwinten melalui upacara Upanayana. Siswa yang beragama Hindu de wasa ini biasanya diwinten secara massal ketika pertama kali bersekolah, yaitu b ertepatan dengan acara matur piuning di parahyangan sekolah. Mantra Rik yaitu ma ntra yang terdapat dalam Rigveda, yang kita ketahui adalah Mantra Gayatri yang t erdapat dalam Rigveda Mandala III, sukta 62, mantra 10. Kita kenal juga Gayatri mantra sebagai mantra pertama dalam trisandhya. Kekuatan yang diminta kembali mu ngkin dapat diartikan sebagai ojas shakti. Dikatakan bahwa Surya dan energinya y aitu Savita adalah dewata penguasa ojas shakti dan dipuja melalui mantra-mantra Rig khususnya Gayatri Mantram. Gayatri ditujukan kepada aspek Savita, atau cahay a Tuhan yang mengandung energi spiritual.

Demikian beberapa penjelasan dan paparan mengenai masturbasi dalam Hindu. Semoga tulisan ini berguna untuk semuanya. Literatur Hindu mengenai masturbasi sangat minim, sehingga tulisan ini pun perlu perbaikan agar menjadi lebih baik dan lebi h sempurna. Namun sebuah usaha kecil sangat berarti daripada diam berpangku tang an.

Darmasaba, 13 Agustus 2007

REFERENSI

BUKU

Puja, Gede. Sarasamuccaya. . Mayasari, 1979.

Puja, Gede dan Tjokorda Rai Sudharta, M.A, Manawa Dharmasastra (Manu Dharma Sast ra) atau Weda Smrti Copendium Hukum Hindu. Jakarta. Pemda Tingkat II Badung, 199 5

Partia, I Gusti Rai. Berbuat Baik Belum Tentu Benar. Denpasar. Bali Post, 2002.

Raras, Niken Tambang. Purnama Tilem: Rahasia Kasih Rwa Bhineda. Surabaya. Parami ta, 2004.

Titib, I Made. Beragama Bukan Hanya di Pura. XXX. XXX, 1998.

HALAMAN WEB

Ayu, Penyakit Kelamin Akibat Onani. www.hai-online.com

, Over Masturbation. http://www.ayurvediccure.com/over_masturbation.htm

, Masturbasi. http://id.wikipedia.org/wiki/Masturbasi. Diunduh pada 16 Mei 2007.

BKKBN, Masturbasi (Onani): Sikap Orang Tua Menanganinya. http://hqweb01.bkkbn.go.i d/hqweb/ceria/mb4masturbasi.html

http://www.hindunet.com/forum/showthreaded.php?Cat=&Number=58339&page=4&view=col lapsed&sb=5&o=&vc=1 tentang Masturbasi dalam Vedanta Sutra.

Dasi, Subhangi Devi. Dying, Yamaraja and Yamadutas. www.dipika.org/2004/05/10/10_t erminal_restlessness/

Tags: onani spiritual reply 2 replies share Blog Entry for everyone Mari Mesatua untuk Kepribadian Anak Aug 5,

SATUA, BEKAL MORAL BAGI ANAK-ANAK artikel dalam Bali Mandalakawi

Sewaktu kanak-kanak; sekitar umur tiga hingga enam tahun, satua Bali (folklore B ali) telah menjadi ibu kedua yang menemani saya tidur tiap malam. Ketika menjelang tidur, saya akan merengek meminta agar ayah saya, atau kakek untuk menceritakan sepetik-dua petik cerita Tantri. Sayangnya sang ibu kurang mahir dalam mesatua, jadi, saya lebih sering tidur dengan ayah. Ketika cerita dimulai dengan ada katuturan satua..., saya seakan mulai masuk ke se buah pintu gerbang dunia maya. Kalimat-kalimat sederhana yang menjadi pendahulua n sebuah cerita Bali itu adalah sebuah kata kunci untuk membuka gerbang imajinas

07 4:21 AM

i anak-anak seperti saya dahulu, saat ayah, atau kakek mulai meneruskan ceritany a. Saya akan sibuk membayangkan bagaimana seekor anak ayam yang belum berganti b ulu dapat menipu seekor kucing dalam satua Siap Selem, atau bagaimana membayangk an istana keraton Mantri Kahuripan, yang konon untuk mengelilingi tembok istanan ya memerlukan waktu sehari penuh. Sebuah fenomena yang abstrak dalam pikiran saya terbentuk dari satua Sangat beru ntung sekali bahwa ayah, kakek, dan kadang-kadang nenek telah membangun sebuah n egeri maya dlam benak saya. Negeri-negeri atas pikiran itu kini sedang saya jela jahi kembali dalam dunia saya sendiri. Dengan kota-kota seperti Kahuripan, Ayodh ya, Lanka, dan Daha yang telah mereka bangun dalam benak saya ketika saya kecil, saya dapat menjelajahi kota-kota itu, dan saya adalah pemilik mutlak dari kota atas pikiran saya itu. Dengan menjelajahinya kembali, saya dapat menuliskannya l agi menjadi cerita-cerita baru, termasuk bahan-bahan untuk Mandalakawi ini. Pengaruh satua dalam membentuk karakter sangat besar. Masa anak-anak seharusnya diisi dengan hal-hal imajinatif, karena anak-anak mulai belajar mengenal kota yan g ada di luar dirinya melalui bayangan-bayangan kota khayalan. Dari cerita semacam itu, anak-anak bisa meresapi makna masyarakat, dan juga interaksi sosial yang te rjadi. Ketika mereka menginjakkan kaki dan menebar pandangan mereka untuk pertam a kali di luar rumah, mereka sudah mendapatkan gambaran tentang interaksi di mas yarakat. Semuanya akan lain jika anak-anak sejak dini diperkenalkan dengan televisi. Anta ra proses mesatua dan media televisi sangat besar perbedaannya dlam menumbuhkemb angkan pola interaksi anak. Dalam kegiatan mesatua, orang tua melibatkan aspek e mosi di dalamnya. Kegiatan mesatua dapat memberikan suatu hubungan emosi yang le bih akrab antara orang tua dan anak-anak, karena komunikasi akan berlangsung dua arah. Si anak dapat bertanya tentang hal-hal dalam cerita yang tidak ia ketahui , sementara oang tua dapat memberikan pesan moral dan cinta kasih sesuai dengan tingkat pemahaman anak. Secara umum, nilai-nilai budaya dan moral dalam sebuah satua bisa saja akan munc ul di kemudian hari setelah si anak tumbuh dewasa. Sebuah satua yang nilai-nilai nya telah tertanam dengan kuat pada si anak akan ikut berkembang seiring dengn p ertumbuhan emosi anak, dan bisa saja satua Sang Ekalawya akan menjadi inspirasi bagi kesuksesan anak dalam menempuh ujian skripsi. Dalam hal lain, satua berfungsi pula dalam penerusan tradisi. Ketika saya kecil, saya sering mengamati ayah menyanyikan kakawin. Bahasa Jawa Kuno yang beliau la gukan sungguh membuat saya heran. Saya bertanya tentang arti kata-kata itu, kebet ulan kakawin itu menceritakan tentang Jatayu, seekor burung magis dalam wiracari ta Ramayana. Ayah kemudian menceritakan kisah Rama kepada saya. Saya sangat kagu m dengan kisah itu, dan percayalah bahwa dari satu bait kakawin itu, saya tumbuh menjadi seorang penggemar Ramayana. Saya telah membaca buku terjemahannya berul ang kali dan saya tidak pernah bosan menonton filmnya. Tradisi mesatua di kalangan anak-anak Bali zaman ini telah mulai memudar. Mereka sejak kecil telah diperkenalkan dengan film kartun, komedi, dan kemungkinan tay angan sadis di televisi. Televisi, sebagai dampak globalisasi dapat juga meracun i mental anak jika tidak disertai peran orang tua. Tidak ada pertukaran emosi da n afeksi antara anak dan TV, sehingga ketika si anak datang ke dunia sebenarnya, ia bisa saja akan kurang mampu beradaptasi secara emosi karena ia telah terbias a hidup di dunianya sendiri. Bisa saja, ia tidak dpat menerima pendapat orang la in yang berbeda dengannya, karena TV tidak mengajarkannya untuk silang pendapat seperti kegiatan mesatua. Dalam mesatua, si anak diberikan kebebasan untuk meneb ak cerita selanjutnya dan berargumen sendiri. Di sini anak belajar mngungkapkan sesuatu dan juga belajar menanggapi pembicaraan orang lain. Mesatua adalah warisan budaya adiluhung yang diperuntukkan bagi generasi-generas

i berikutnya. Mesatua adalah salah satu bentuk diskusi perdana anak, dan juga me njadi sebuah buku panduan moral dan budi pekerti anak. Jadi, mengapa warisan itu kita tinggalkan hanya karena sebuah TV?

*** reply share Blog Entry for everyone Peranti Sembahyang Aug 5,

PERANTI SEMBAHYANG Narasumber: Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi

Ada berbagai peranti yang digunakan dalam persembahyangan. Peranti tersebut bia sanya digunakan dalam persembahyagan lengkap (resmi). Peranti yang pertama yaitu Karawista. Karawista adalah simbol dari Sang Hyang Widhi karena ada unsur-unsur Tri Murti yang terkandung di dalamnya, seperti ilalang yang berwarna hijau mela mbangkan Wisnu, bunga merah dan putih simbol Brahma dan Siwa, lalu pada bagian d epan karawista ada yang berbentuk yang bulat dan berdiri atau tegak, itu adalah windu dan ardacandra, sehingga karawista adalah simbol Omkara atau simbol Sang H yang Widhi.

Peranti kedua adalah kalpika, yang terbuat dari daun kembang sepatu atau kembang pucuk dalam bahasa Bali. Berbentuk segitiga yang merupakan simbol Trilingga. Tr ilingga adalah alam semesta ciptaan Sang Hyang Widhi yang terdiri dari bulan, bi ntang, dan matahari. Kemudian ada juga unsur-unsur Tri Murti, yaitu bunga putih, bunga merah, dan daun pucuk yang berwarna hijau di mana hijau dianggap sebagai hitam. Kemudian yang ketiga adalah bunga biasa. Bunga biasa, kalau yang berwarna putih itu adalah simbol Siwa, yang berwarna merah simbol Brahma, yang berwarna kuning itu simbol Mahadewa, berwarna biru atau hijau itu adalah simbol Wisnu.

Kemudian piranti yang lainnya adalah BIJA. Bija adalah sumber kemakmuran. Bija j uga melambangkan Trinetra. Trinetra dalam hal ini adalah mata ketiga dari Siwa. Oleh karena kita di Bali menganut paham Siwa Siddhanta, maka kita memuja Tuhan s ebagai Siwa. Dalam keyakinan Agama Hindu, Bhattara Siwa mempunyai tiga mata. Mat a yang dua seperti kita kemudian mata yang ditengah itu terletak di antara dua a lis sehingga disebut Tri netra. Maka, penggunaan bija adalah sebagai pemujaan Si wa di mana kita meletakkan bija di tengah-tengah di sini (di antara kedua alis: red) sebagai lambang Trinetra. Selain itu, bija adalah simbol kemakmuran sehingg a kita memohon kemakmuran kepada Sang Hyang Widhi dengan menggunakan bija.

Mebija yang benar adalah pertama di ubun-ubun, kedua di sela-sela alis atau di d ahi, ketiga di pangkal tengorokan, keempat di bahu kanan, kelima di bahu kiri, k eenam di leher bagian belakang, ketujuh kembali lagi di pangkal tenggorokan, ked elapan di ujung daun telinga kanan bagian bawah, kesembilan di ujung daun teling

07 4:20 AM

a kiri bagian bawah. Kesembilan tempat meletakkan bija adalah simbol Dewata Nawa Sangga.

Kemudian, piranti yang lain adalah bhasma. Bhasma ini adalah asapan kayu cendana atau serbuk kayu cendana dicapur air di mana kayu cendana atau cendana itu sendi ri adalah jenis tanaman yang harum yang dinamakan sebagai jenis tanaman dewa ata u yang disenangi oleh para dewa terang Ida Pandita ketika diwawancarai di pasrama n beliau di Griya Taman Sari. Dalam upacara-upacara di Bali, banyak sekali cenda na digunakan misalnya sebagai pasepan, sebagai pengawak, sebagai mudra, dan seba gainya.

Peranti yang lain adalah tirtha. Nunas Tirtha aturannya adalah: maketis atau dis iratkan di ubun-ubun tiga kali, itu simbol memohon kesucian pikiran atau manacik a parisuddha. Kemudian minum tiga kali itu adalah permohonan untuk kesucian waci ka atau perkataan yang suci. Kemudian meraup tiga kali di wajah itu adalah simbo l kayika, atau memohon agar kita diberi tuntunan untuk kayika atau berbuat baik. Oleh karena itu, metirtha adalah simbol permohonan Tri Kaya Parisuddha kepada S ang Hyang Widhi.

Yang berwenang menyiratkan tirtha tentunya yang pertama adalah para pendeta atau wiku. Kedua, para jero mangku. Ketiga, orang-orang yang sudah mewinten, apakah ia tukang banten, dalang, undagi, pragina yang sudah mewinten. Kemudian, kalau t idak ada orang-orang yang dimaksud, maka yang berhak adalah orang-orang yang dit uakan di lingkungan, seperti lingkungan keluarga atau lingkungan dadia.

Ida Pandita juga menerangkan cara-cara yang benar dalam memperbanyak tirtha. Rumusnya adalah, kalau kita mau memperbanyak tirtha ataupun mengganti tirtha kare na tirthanya sudah lama, kita pertama-tama menyiapkan suatu tempat, sanku atau g ebeh diisi air biasa. Kemudian air biasa ini baru dituangi sedikit tirtha (sisa tirtha yang lama: red.). Jadi rumusnya, air diisi tirtha maka menjadilah tirtha, jangan dibalik. Tirtha lalu diisi air, maka kekuatan magis yang ada dalam tirth a itu akan hilang oleh air. Dengan kata lain,kalau tirtha diisi air maka akan me njadi air. tegas Ida Pandita

Kemudian, cara membuang tirtha yang sudah tidak dipergunakan lagi adalah dengan cara dibuang dengan melemparkannya ke atas, tetapi usahakan jangan di tempat kita bia sa menginjakkan kaki. Dengan kata lain, buanglah tirtha di tempat yang suci. Di pamrajan misalnya dibuang di tanah bagian kaja kangin. Usahakan agar bekas buang an tirtha itu tidak terinjak-injak (I.B. Arya, Nopi, dan Yulia).

Sumber: Ida pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, Griya Taman Sari

Lingga Ashrama, Banyuasri, Singaraja. Wawancara dilakukan pada Mei 2007. reply share Blog Entry for everyone LAMBANG GANESHA SEBAGAI PANUTAN GENERASI MUDA OLEH IDA BAGUS ARYA LAWA MANUABA SHINDU Arti Atribut Ganesha Aug 5,

Sosok Dewata berbadan gemuk dan berkepala gajah ini sudah tidak asing lagi dalam kisah-kisah Purana maupun Itihasa. Bahkan, keagungannya sebagai dewata penguasa halangan tersebar menembus waktu. Kini Ganesha menjadi ikon lembaga-lembaga pen ting, sekolah-sekolah, atau pusat studi sebagai pembawa kebijaksanaan. Ganesha t elah menjadi begitu populer, dan kepopulerannya tidak hanya pada kalangan umat H indu, tetapi telah merambah dunia secara keseluruhan. Seluruh umat, dari Hindu, Jain, Islam, Kristen, hingga Budha mengakui Ganesha setidaknya sebagai sosok mak luk lucu yang unik. Semua menghormati Ganesha sebagai pembawa keberuntungan di s eluruh pelosok dunia. Ganesha, atau Vinayaka diambil dari dua kata Sanskrta Gana yang berarti pasukan, dan isa yang bermakna pemimpin. Kata gana di sini merujuk kepada pasukan, atau antek-antek Siva sang ayah. Pemberian nama Ganesha kepada Dewata unik ini terkai t dengan kisah dalam Siva Purana, di mana Gauri sang Ibu meminta anaknya dihidup kan kembali karena tewas dalam pertempuran melawan Siva. Siva dan Ganesha sebelu mnya mengalami kesalahpahaman sehingga mereka bertarung. Siva kemudian mengakui Ganesha sebagai anak yang diciptakan Gauri (Parvati) dari manisan. Hanya sayangn ya, Siva bukanlah ahli cangkok kepala yang mahir. Ia mengganti kepala anaknya de ngan kepala makhluk pertama yang ditemukan oleh Visnu. Visnu yang bertugas menca ri pengganti kepala Ganesha bertemu dengan seekor gajah bernama Airavata. Visnu memenggal kepala gajah itu dengan Sudarsana Cakra-Nya, lalu menyerahkannya kepad a Siva. Sementara sang gajah, karena telah dibunuh oleh Visnu mendapatkan kedudu kannya kembali sebagai kendaraan Indra. Ganesha kemudian diangkat sebagai kepala para gana. Ia diberikan kekuatan oleh s eluruh dewata, sehingga Ganesha juga merupakan manifestasi kekuatan dari seluruh dewata. Siva Purana menyatakan bahwa hendaknya seseorang memujan Ganesha sebelu m memulai suatu kegiatan, karena Ganesha telah diangkat menjadi dewata pertama y ang dipuja sebagai mengusir halangan (Vighnaraja). Kisah Ganesha dapat dilihat d alam Siva Purana, Lingga Purana, dan Purana-Purana Tamasika lainnya. Dalam literatur Veda, Ganesha menjadi figur Dewata lambang kepemudaan karena Ia sendiri memang diciptakan untuk menjadi muda. Ganesha, atau Vighnaraja (Dewata K esuksesan) memiliki berbagai atribut unik yang sebenarnya sarat makna. Ada baikn ya kita sebagai pemuda Hindu, khususnya yang kuliah di universitas berlambang Ga nesha ini mengetahui karakter-karakter unik dari atribut Dewata berpertu besar i ni. Mari kija mulai dari kepala-Nya. Ganapati memiliki kepala yang besar dengan dua telinga besar dan mata yang sipit. Kepala besar berarti kita sebagai manusia seh

07 4:18 AM

arusnya lebih banyak menggunakan akal daripada fisik dalam memecahkan masalah. S edangkan mata yang sipit berarti konsentrasi. Pikiran harus diarahkan ke hal-hal positif untuk memperbaiki daya nalar dan pengetahuan. Ganesha juga memiliki dua telinga besar yang mengajarkan mari kita mendengarkan orang lain. Kita selalu mendengar, tetapi jarang sekali kita mendengarkan orang lain. Dengarkan ucapan-ucapan suci, kata-kata dari Veda, dan seraplah pengetahua n dengan telingamu. Ganesha kehilangan satu gadingnya untuk menggurat Mahabharat a di atas daun tal. Satu gading (Ekadanta) berarti kesatuan. Atribut ini menyara nkan umat hendaknya bersatu untuk satu tujuan mulia. Lantas, Ganesha juga memili ki mulut yang hampir tidak kelihatan karena belalai-Nya yang dengan rakus menyan tap manisan susu di tangan-Nya. Mulut yang kecil itu mengajarkan agar kita mengo ntrol gerak mulut dan lidah. Maksudnya adalah bahwa kita harus mengurangi pembic araan yang tidak-tidak. Sementara belalai yang menjulur melambangkan efisiensi d an adaptasi yang tinggi. Banyak di antara kita yang membuang-buang waktu, biaya, dan energi untuk hal-hal yang tidak berguna. Waktu, biaya, dan energi itu dapat digunakan untuk menghasilkan sesuatu yang berguna, sehingga hidup ini juga berg una. Kita beralih ke badan Dewata yang besar ini. Hal pertama yang kita lihat pastila h perut-Nya, karena perut itu memang buncit. Ganesha memang selalu dimanja oleh ibu Parvati, istri Siva sebagai anak kesayangan. Perut buncit itu bukan sembaran gan, melainkan lambang keseimbangan dalam menerima baik-buruknya gejolak dunia. Dunia diliputi oleh Rwa Bhinneda, yakni pasangan dua hal yang bertolak belakang. Ada senang, ada pula sedih. Ada siang, ada pula malam. Kita seharusnya tahu bah wa ada wajah seram kesedihan di balik tawa riang kita. Kita juga harus bersemang at karena di balik hujan air mata kesedihan ada cahaya kegembiraan. Itulah hidup , dan kita harus menyadarinya. Figur Ganesha memegang sebilah kapak. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, I a adalah Dewata kesuksesan. Kapak berarti menumpas segala halangan dalam karya. Itulah sebabnya, ketika akan memulai suatu pekerjaan, berdoalah kepada Ganesha: Om Gam Ganapataye Namah! Sementara itu, di tangan kiri sang Dewa terdapat semang kuk manisan susu. Perlu diingat bahwa Ganesha adalah Dewata yang pemurah. Jika k ita tekun dalam sadhana (disiplin spiritual), Ia tidak akan segan-segan memberi limpahan anugerah, seperti semangkuk penuh manisan susu itu. Terakhir, ada seekor tikus yang selalu berada di dekat sang Dewata. Tikus, seper ti sifat hewan aslinya, adalah hewan yang penuh nafsu mengigit. Ia memakan apa s aja untuk memenuhi hasrat perutnya. Demikianlah tikus dijadikan lambang nafsu da lam figur Ganesha. Lalu mengapa tikus itu menjadi tunggangan (kendaraan) Dewata yang berberat badan tinggi ini? Tikus, atau nafsu harus ditundukkan. Kita harus bisa menjadikan nafsu sebagai kendaraan sehingga kita dapat mengendalikannya, na mun banyak manusia kini menjadi kendaraan dari nafsunya sendiri. reply share Blog Entry AM for everyone SITUS WEB UNTUK SUSASTRA HINDU NUSANTARA Situs Web untuk Susastra Hindu Nusantara Aug 5,

artikel dari BALI MANDALAKAWI Matahari akan selalu menyimpan sejarah anak-anaknya

07 4:17

untuk diceritakannya kembali pada masa depan...

Suatu hari, saya membaca sebuah majalah Hindu yang redaksinya berada di Jakarta. Di satu sudut halaman saya membaca sebuah berita ringan mengnai web site (beran da warta) Hindu yang masuk ke jaringan UNESCO sebagai salah satu arsip warisan b udaya dunia yang masih terpelihara. Alamat web site itu di www.vedamu.org. Kebetulan, salah satu hobi saya waktu itu adalah mengutak-atik internet. Beberap a hari setelah membaca artikel itu, saya pergi ke sebuah warnet di Denpasar untu k membuka situs tersebut. Saya menyukai situs bernuansa Hindu karena saya memang peminat hal-hal religius. Ketika layar browser terbuka, saya terkejut bukan mai n. Ternyata, isi dari situs itu, salah satunya adalah rekaman total seluruh mant ra suci dari Caturweda dalam berbagai resensi (sakha). Ada pula rekaman kitab-ki tab lain yang dinyanyikan oleh beberapa orang yang mungkin pendeta. Situs itu di kelola oleh SSSVP (Shri Satya Sai Veda Pratisthan). Sejak saat itu, situs yang layar browser-nya berwarna dominan oranye dan merah h ati tersebut menjadi situs favorit saya. Ada satu kebanggaan dalam diri saya bah wa Hindu, setidaknya telah memiliki sebuah situs resmi yang diakui dunia. Sebuah situs yang merangkum teks-teks Hindu baik dalam bentuk audio maupun visual. Sebu ah situs yang mengumandangkan bahwa Hindu bukan agama yang miskin ajaran. Agama Hindu adalah agama terlengkap di mana setiap intisari kitab suci agama lain past i terdapat dalam Weda. Di tengah kekaguman saya, ada sebuah penyesalan. Mengapa yang masuk dlam kategor i web site itu hanya secuil dari susastra Hindu? Masih banyak susastra Hindu lai n yang tersebar di pelosok dunia. Jangan ditanya berapa jumlah lontar, buku agama, kakawin, mantra, dan filsafat d alam Agama Hindu. Jka Anda berkeyakian untuk mempelajari seluruh pustaka suci Hi ndu, maka Anda juga harus bersabar karena Anda harus lahir kembali beberapa kali untuk menuntaskannya. Belum lagi Weda selalu berkembang sesuai situasi. Pustaka Hindu demikan banyaknya. Kitab-kitab sruti yang beratus-ratus banyaknya berasal dari Tanah India, demikian pula setumpuk kitab agama yang ditulis oleh para was kita zaman dahulu, seperti tattwa-tattwa yang menjadi pedoman kehidupan beragama di Nusantara saat ini. Berbicara masalah pustaka suci Hindu, kita tidak akan lepas dari sejarah. Kita m engenal itihasa dan purana dalam kelompok smrt. Itihasa berarti cerita apa adany a. Dua kisah terkenal dalam itihasa adalah Ramayana dan Mahabharata. Sedangkan p uran adalah kitab smrti yang menceritakan kisah-kisah para dewa, orang suci, dan tempat-tempat suci. Itihasa dan purana adalah realisasi ajaran Weda dalam kehid upan nyata. Sejak zaman Singasari (leluhur Majapahit), dikenal sebuah proyek besar-besaran Ma ngjawaken Byasa Mantra. Proyek ini diserahkan kepada para rakawi (pujangga besar) untuk menerjemahkan kitab-kitab Hindu yang berdahasa Sanskerta ke dalam bahasa Jawa Kuno. Proyek itu berhasil mentransliterisasi kitab Ramayana, Mahabharata, d an beberapa kitab lainnya yang kemudian oleh para rakawi dikaitkan dengan kebera daan dan kekuasaan raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Metrum-metrum asli dal am kitab-kitab Sanskerta diadaptasi dan dikembangkan menjadi bentuk wirama (kaka win) yang kita kenal hingga kini. Wirama Sragdhara, Basantatilaka, Rajani, Kilay u Manedheng, serta ratusan bentuk metrum kakawin lainnya adalah hasil kolaborasi

metrum asli India dengan kemampuan olah vokal dan kosakata para rakawi zaman da hulu. Sekarang, berkat kejeniusan leluhur kita, lahirlah banyak kaya sastra bernuansa Hindu di Nusantara. Selain mengadopsi kisah Itihasa dan Purana dari India, para pujangga Nusantara kuno juga menyusun bayak karya lokal, seperti Nagarakrtagama o leh Mpu Prapanca, yang metode penulisannya adalah campuran dari sastra dan repor tase. Selain itu, kita mengenal kitab-kitab tantri, yang memuat aneka cerita yan g sarat pesan moral. Karya-karya etrsebut kini dapat kita jumpai dalam bentuk bu ku, baik dalam aksara Bali maupun aksara Latin. Kakawin, kidung, serta pupuh yang kita kenal dewasa ini sangat berperan penting tatkala melaksanakan upacara agama. Dalam kegiatan ritual agama Hindu di Bali, d ikenal adanya pancaswara, yang salah satunya adalah suara kidung atau lagu-lagu rohani. Lagu-lagu rohani berfungsi untuk megonsentrasikan pikiran agar terpusat pada obyek sembahyang. Jenis-jenis kakawin dan kidung yang banyak jumlahnya dike lompokkan menurut penggunaannya dalam ritual-ritual agama. Betapa besar karya leluhur kita zaman dahulu. Berkat mereka, kita dapat lebih me ndekatkan diri dengan sang Jiwa dengan lagu-lagu suci. Dengan keterbatasan tekno logi pada waktu itu, para leluhur kita hanya mengandalkan intuii, kosakata, dan kelihaian tangan mereka dalam menggurat daun lontar. Proyk besar Mangjawaken Bya sa Mantra telah menjadi tonggak besar perkembangan susastra Hindu di Nusantara, yang dpat kita kategorikan sebagai warisan budaya tanah air. Dalam hubungannya dengan kemajuan iptek, seperti Singasari 600 tahun yang lalu, mengapa kita tidak membuat proyek menginternetkan mantra-mantra kuno? Situs Weda yang telah saya lihat mengispirasikan saya tentang sebuah megaproyek, di mana d alam mega proyek tersebut dibentuk panitia besar yang terdiri atas para sulinggi h, para pengawi, ahli sastra, dan ahli komputer untuk mengumpulkan, mengklasifik asi, dan merekam ulang seluruh pustaka Hindu Nusantara, seperti kakawin, kidung, gaguritan, dan mantra-mantra lokal yang dipakai oleh pemeluk Hindu dari berbaga i daerah di Nusantara menjadi satu ensiklopedi dunia maya. Ensklopedi dunia maya ini, seperti situs-situs internet lain, akan dapat diakses dari seluruh belahan dunia. Apalagi zaman globalisasi menuntut pembelajaran dar i dunia maya (e-learning). Dalam ensiklopedi ini akan disertakan teks-teks kuno serta terjemahannya. Jadi, seseorang yang ingin belajar kakawin, dari mana pun a salnya, dapat belajar melalui internet. Keuntungan lain dari ensiklopedi ini, terutama adalah kita dapat melestarikan ka rya-karya luhur masa lalu sebagai landasan filsafat, etika, dan ritual. Dengan a danya proyek ini, pewarisan kesusastraan kuno dapat dipermudah melalui internet. Belajar bahasa Bali pun dapat melalui ensiklopedi ini. Alangkah bahagianya leluhur kita apabila karya-karya mereka dapat dilestarikan, apalagi berkolaborasi dengan perkembangan teknologi. Ini akan menjadi satu lagi tonggak emansipasi generasi Hindu untuk mengangkat mertabat Sanatana Dharma. Pro yek ini semata-mata bukan bertujuan untuk menjaga keutuhan naskah kuno saja, mel ainkan juga mewariskannya agar jiwa Dharma dapat terus ajeg di Nusantara.

***

reply share Blog Entry for everyone BALI; SEBUAH PASRAMAN artikel dari naskah buku "Bali Mandalakawi". Bali, Sebuah Pasraman Aug 5,

Hana ta pasraman Mandalakawi, gurukula singgihing adri Mwang nayaka sir di rakawi, ikang wihikan ing asing kawya

Inider wana, wana manggalya, mwang gangga kaliku halp Marut ngilir silir-sumilir, halpnya kadi sinwam sakeng basanta. (1)

Sebait puisi Jawa Kuno di atas adalah kawya karangan saya, yang rencananya akan saya pergunakan sebagai bahan tambahan dalam novel karangan saya (kini belum sel esai). Novel itu berjudul Rakawi, yang terinspirasi dari kejayaan kerajaan Majap ahit pada abad XIII-XIV. Ketika itu, saya sangat takjub mendengar komentar dari banyak teman tentang novel Harry Potter. Ketika kami berdiskusi bersama tentang novel itu, kami mendapat kesimpulan bahwa JK Rowling (penulisnya) adalah seorang yang mengerti tentang budaya negaranya. Mengapa? Kebanyakan cerita dalam novel terlaris di dunia tersebut bercerita tentang dunia sihir. Sihir memang sangat po puler di Inggris pada abad pertengahan. Ketika itu, terjadi pembantaian besar-be saran terhadap para penyihir wanita di negara itu, lantaran diduga mempopulerkan ajaran sesat (pemujaan setan). Kami menduga Rowling terinspirasi dari kisah-kis ah Inggris masa silam. Jika orang Inggris saja bisa membuat karya sastra berdasarkan folklore negerinya sendiri, mengapa kita tidak? Indonesia memiliki ribuan cerita rakyat yang kalau dikumpulkan tebalnya dapat menyamai KBBI, bahkan lebih. Kita memiliki kebanggaa n sebagai negeri yang pernah jaya di masa lalu, Majapahit. Sebuah negeri pusat p eradaban, ekonomi, sosial, politik, dan ekonomi Asia Tenggara. Jika kita mau ber imajinasi sedikit, kita bisa membuat karya fantasi seperti Harry Potter dengan m engambil setting di Majapahit. Majapahit bukanlah khayalan, namun nyata dan sisa -sisa peradabannya yang adiluhung masih banyak terkubur di tanah Trowulan, Jawa Timur. Sejak saat itu, saya yang senang main api dengan sastra, mulai tertarik dengan bud aya Majapahit. Kebetulan, ajik (bapak) saya seorang peminat kekawin (prosa Jawa Kuno) yang handal. Beliau menguasai banyak wirama dengan baik, dan kosakata baha sa Kawinya cukup banyak. Permainan api saya pun dimulai. Saya mulai memborong bu ku-buku tentang Jawa Kuno dari lemari ajik, termasuk kamus tebal dan tata bahasa nya. Saat itu saya berencana menyusun sebuah novel yang judulnya saya pikirkan s ecara tidak sengaja, Rakawi. Ambisi saya memang menggbu-gebu saat itu, dan kebetulan sedang libur setelah uji

07 4:14 AM

an nasional, seperti api yang baru tersiram bensin, semangat pun timbul. Saya bu ka komputer, dan mulai menulis. Novel Rakawi bercerita tentang kehidupan di kota Trowulan pada zaman sekarang. D isebutkan pada masa kejayaan Sri Jayanegara (raja Majapahit kedua), terjadi pemb erontakan yang dipimpin oleh Rakryan Kuti. Pemberontakan itu berhasil menggusur raja dari singgasana. Kemudian, atas kecerdikan Gajah Mada, raja pun akhirnya da pat menduduki singgasana kembali dan Kuti dihukum mati. Sebelum kematiannya, Rakryan Kuti mengucapkan sebuah pesan, bahwa sampai mati pu n rohnya akan terus menghantui keluarga keraton, dan hal itu terjadi dua belas h ari setelah kematiannya. Banyak anggota keluarga kerajaan yang meninggal tanpa s ebab, sakit-sakitan, dan gila. Akhirnya, raja Jayanegara meminta Dang Dharmadyak sa (pemimpin keagamaan) untuk melakukan sesuatu. Dang Dharmadyaksa lalu mengupac arai abu kremasi Kuti dan memenjarakan rohnya dalam sebuah candi bernama Mayakal a. Kunci dari candi itu berbentuk seperti uang kepeng (Bali: pis bolong) yang be rgambar ular menggigit ekornya sendiri. Uang kepeng itu bernama Bangsalpala. Ban gsalpala kemudian dititipkan kepada raja untuk menjaganya, namun, uang kepeng it u dicuri oleh Rakryan Tanca, seorang tabib kerajaan yang menguasai ilmu hitam. I a ingin memperoleh kekuatan dari roh Kuti untuk merebut kerajaan dan menguasai T anah Jawa. Tanca kemudian meracuni raja Jayanegara (ini ada dalam buku sejarah SMA kelas 2) . Peristiwa itu dikenal dengan Patanca. Tanca dibunuh oleh Gajah Mada, namun seb elum ajal menjemputnya, Tanca sempat menghanguskan bangsalpala yang dicurinya de ngan kesaktiannya. Akhirnya, legenda bangsalpala lenyap samasekali, hingga beber apa abad kemudian Majapahit runtuh dan peradaban baru berkembang. Akan tetapi, candi Mayakala hanya dapat dibuka dengan sebuah mantra. Mantra itu hanya Dang Rakawi (pemimpin ahli sastra kerajaan) yang mengetahui. Kelak, ia aka n bereinkarnasi menjadi lima orang anak, lima ratus tahun setelah beliau meningg al. Kelima orang anak inilah yang otomatis akan tahu mantranya. Lima ratus tahun kemudian, bencana yang bertubi-tubi tiba-tiba menerjang. Gejala pertama adalah panas membara selama beberapa minggu. Kota Trowulan menjadi gers ang. Diikuti dengan gempa bumi. Gempa ini menyebabkan beberapa situs purbakala p eninggalan Majapahit ambruk, namun, secara misterius, muncul candi-candi dan pat ung-patung baru. Candi-candi itu sebagian muncul di tengah jalan raya, atau di t engah hamparan sawah. Candi Mayakala sendiri muncul di dalam areal situs Trowula n. Gempa bumi beranjak menjadi gunung meletus. Gunung Merapi yang selama itu ten ang tiba-tiba mengamuk. Dalam pada itu, sekelompok arkeolog melakukan penelitian mengenai kemunculan can di-candi misterius itu. Beberapa di antara mereka adalah keturunan Dang Rakawi. Salah satunya bernama Hari Wijaya, sang pemimpin proyek. Ia mempunyai anak berna ma Andika, seorang murid SMA. Andika adalah salah satu dari kelima anak reinkarn asi Dang Rakawi, yang dapat membuka candi. Ketika proyek diadakan, seorang arkeolog menemukan sebongkah uang kepeng kuno. P enemuannya dikaitkan dengan peristiwa hilangnya bangsalpala lima ratus tahun sil am. Arkeolog itu yakin bahwa bangsalpala ternyata masih ada. Ia menyembunyikan u ang kepeng itu, lalu diberikan pada anaknya, Widi. Suatu hari, ia berniat meneli ti candi Mayakala yang saat itu oleh para arkeolog disebut candi Paras Pranaya ( yang kemudian jika disusun terbalik menjadi sarpa anyarap atau ular menggigit). Namu n, ketika pintu dibuka, muncul ratusan ular berbisa, yang menewaskan beberapa ar keolog, termasuk ayah Widi. Proyek pun terancam mandeg. Di lain cerita, Andika yang mendapat tugas semester mencari keterangan tentang M ajapahit, bertemu dengan seorang kakek agen koran. Kakek itu memiliki seorang cu cu laki-laki satu-satunya bernama Rangga. Sang kakek membantu Andika menyelesaik

an tugas semesternya, lantaran beliau memang seorang mantan guru sejarah SMA. Ke tika itu, Andika bersama dua temannya, Widi dan Utari, serta cucu sang kakek dib erikan empat lembar tiket untuk berkunjung ke lokasi situs Trowulan. Sang kakek berkata, situs itu akan lebih menarik saat malam hari. Di lembaran tiket yang ti dak lazim itu tercantum hanya tempat, tanggal, dan waktu, tidak ada penjelasan ac aranya. Keempat anak SMA itu akhirnya mengunjungi situs Trowulan pukul 7 malam pada bula n purnama. Ketika mereka tiba, ternyata banyak anak sebaya mereka yang berhambur an di sekitar situs. Beberapa saat kemudian, dari peninggalan gapura Waringin La wang, muncul sinar, dan dari dalam sinar terbang banyak kereta kuda, diikuti pas ukan Bhayangkara bersenjata dan berpakaian lengkap. Panji-panji Majapahit berkib ar di depan arakan. Ternyata, di tempat itu akan diadakan seleksi tahunan bagi p ara keturunan Rakawi untuk mengikuti pasraman di Majapahit. Majapahit ternyata m asih ada, namun sementara berada di alam Sahastha, alam yang sehasta lebih tingg i dari bumi, alam niskala. Ramalan Rakawi menunjukkan bahwa tanda-tanda alam yan g buruk yang saat itu melanda Trowulan adalah pertanda akan bangkitnya Kuti sang separator. Andika dan tiga temannya yang tak tahu apa-apa akhirnya sepakat mengikuti seleks i itu, dan mereka lulus. Seleksi dilakukan dengan tes kadar Aksamahi dalam darah . Kakak Andika, Raka, adalah mantan siswa pasraman Majapahit, yang juga hadir di sana. Raka mewakili orang tua Andika merelakan keberangkatan keempat anak itu, b ersama puluhan lainnya yang lulus seleksi. Pintu gerbang Waringin Lawang yang tinggi terbuka, dan calon sisya berangkat dii ringi pasukan Bhayangkari lengkap, menembus dimensi lain. Ketika mereka tiba di Santanaraja, Trowulan (Majapahit di Sahastaloka), mereka berbelok ke barat laut, menuju bukit Mandalagiri, lokasi Pasraman. Pasraman yang dipimpin oleh seorang Dang Rakawi itu bernama Mandalakawi. Sebait sajak di atas adalah bagian pertama dari Kawyamandala, sejenis mars untuk pasraman itu. Mars tersebut saya susun dengan susah payah, apalagi kosakata Kaw i saya sangat terbatas. Pertama saya tentukan jumlah suku kata tiap bait, yaitu 40 suku kata. Setelah itu, saya buat iramanya. Irama kawyamandala ini terinspira si dari alunan sekar rare, di mana anak-anak bermain gembira di tengah hutan yan g subur dan bersahaja. Akhirnya, tibalah saat menyusun kata-katanya. Beruntung s ekali banyak kosakata bahasa Kawi (nama lain bahasa Jawa Kuno, sebagai bahasanya para rakawi) yang serupa dengan bahasa Bali. Seperti ketika saya menyusun kawya mandala bait III, ada kata ...gumupta sarira ni sor kamala... menyembunyikan diri d i bawah teratai.... Saya bingung mencari kata di bawah dalam bahasa Kawi. Saya inga t bahasa Balinya, yaitu di batan. Kemudian saya cari kata batan dalam kamus Kawi-Ind onesia yang tidak ada entri Indonesia-Kawi-nya itu, namun tak saya temukan. Sesa at saya merenung, dan saya kembali menemukan kata bahasa Bali sor yang artinya bawa h. Saya buka entri S dan akhirnya saya temukan kata sor dalam bahasa Kawi. Penyusunan kawyamandala ini saya lakukan berdasarkan inspirasi alam. Saya bukan pencipta kawyamandala, melainkan alamlah yang memberikan kekuatan kosmis kepada saya dan saya mengembalikan seluruh nada itu kepada alam. Hal tersulit kedua ada lah mencari kata-kata agar menempati jumlah suku kata yang pas dalam sebait kawy amandala. Saya harus memutar otak dan mengerahkan seluruh imajinasi saya. Biasan ya saya sering mendapat inspirasi malam hari (Bali: tengai lemeng). Sementara itu, yang terjadi malah kebalikannya. Main api dengan sastra ternyata memang membakar otak saya. Kawyamandala selesai tiga bait, namun novel tak tentu kabarnya. Otak saya mumet, apalagi disertai libur tiga bulanan menunggu hari pe rtama kuliah di IKIP Singaraja. Saya mengambil jurusan keguruan Bahasa Inggris. Suatu sore, saya berniat jalan-jalan ke tapal batas desa. Teman-teman di banjar mengenal saya sebagai seorang yang hobi naik sepeda. Ketika saya SD kami sering

bersepeda bersama, mandi di sungai (tapi saya tak pernah mau mandi di sungai, ma lu), mencuri buah nanas di tegalan, menyusuri petak-petak sawah, sampai memporak -porandakan kebun tebu milik seorang warga. Sungguh masa kecil yang menyenangkan . Saya sering dimarah ajik jika terlambat pulang. Kulit saya jadi hitam sampai s ekarang karena main layangan. Sungguh menyenangkan sekali. Namun kini semuanya berubah. Kami mulai terpisah karena harus melanjutkan sekola h. Kami sering bertemu di warung dekat balai banjar, saya pun tidak pernah lagi naik sepeda bersama mereka, lantaran semuanya sekarang sudah dibelikan sepeda mo tor. Ke warung dekat rumah saja harus menggeber gas. Saya kangen pada masa kecil kami. Setiap akan ke warung, saya selalu naik sepeda , menyusuri gang gelap tanpa lampu. Teman-teman pasti tahu saya ada di warung ka rena melihat sepeda federal berumur belasan tahun terparkir di sana, satu-satunya sepeda tanpa mesin. Sore itupun, saya berniat naik sepeda. Sudah lama tidak naik sepeda ke batas uta ra desa. Desa Tegal Darmasaba, nama desa kelahiran saya. Di sebelah utaranya ter bentang areal sawah yang luas, dan di ujung utara berdiri sebuah bangunan pura, Pura Kaja, demikian istilah populer untuk Pura Enteg Gana stana Ida Ratu Agung K aja. Saya mendengar penuturan orang tua, perwujudan Beliau berupa arca Ganesa ya ng malinggih di sebuah gedong tinggi. Dahulu arca itu berukuran kecil, namun sec ara misterius berangsur-angsur membesar sehingga kini sulit dibawa pada saat mel asti. Di sebelah timur pura, terdapat lembah sungai. Di timurnya terbentang tegalan ya ng nyaris seperti hutan hujan tropis. Di ujung timur bentangan tegalan, ada lemb ah sungai lagi, dan di tepinya terdapat sebuah gua bernama Goa Peteng. Menurut kisah lama, desa kami sekarang dahulu berlokasi di daerah sekitar Pura K aja. Karena serangan semut-semut yang besar (semut-semut itu berasal dari bangka i raksasa yang konon bertempat tinggal di Goa Peteng), masyarakat kemudian mengg ali sungai dan memindahkan lokasi desa ke seberang selatan sungai, sehingga aman dari semut-semut itu. Karena itu, desa kami memiliki dua Kahyangan Tiga, dua se tra, dan dua Pura Prajapati. Sore itu pun saya naik sepeda terus ke utara pura. Kebetulan saat itu hari Kajen g Kliwon, banyak yang maaturan ke Pura Kaja. Setelah beberapa ratus meter ke uta ra, udara mulai terasa sejuk. Saya menyusuri jalan aspal di tepi sungai, yang di sebut Tanah Putih. Kemudian berbelok ke timur melewati turunan dan tanjakan. Say a harus mengerahkan seluruh kekuatan otot kaki untuk mengayuh di tanjakan yang b erkelok itu. Setelah tanjakan berakhir, saya melepas pandang di hamparan semak i lalang yang hijau. Angin mendadak menyambut saya, menghilangkan keringat di paka ian. Sewaktu saya kelas dua SMA, saya bertugas sebagai pembawa sesirat (alat untuk memercikkan tirtha) ke sekolah setiap minggu. Untuk membuatnya, saya harus menc ari ilalang di areal itu. Setelah saya kelas tiga, dan berhenti dari kepengurusa n OSIS, saya kadang-kadang mencari ilalang untuk membuat karawista, ikat kepala dari ilalang saat upacara tertentu. Niang (nenek) saya adalah seorang tukang ban ten, dan beliau selalu mengupah saya dan ibu untuk membuat ratusan karawista. Saat kelas dua SMA merupakan puncak religiusitas saya. Saya banyak membaca buku agama, terutama tentang Hindu masa kini. Puisi-puisi religius juga banyak saya t ulis, dan ilalang adalah salah satu sumber inspirasi saya. Sebuah puisi berjudul Ziarah Peri Ilalang saya tulis sebagai kenangan pada hamparan semak ilalang itu:

Tapi perlahan larih-larih tembang mulai menyurut,

Ilalang mendekam dalam ringkikan malam Akankah ada lagi musim berikutnya? Adakah tempatku menziarahi prasasti? Gerih, hanya desa ziarah bagi peri-peri hijau mungil, Yang memunguti bunga ilalang Dan dijadikannya bulan

Seorang peri Menenun tikar ilalang Untuk malam yang merintih.

(Ziarah Peri Ilalang, 2004)

Bait puisi di atas mengungkapkan kekecewaan saya. Suatu hari saya berniat mencar i ilalang untuk sesirat, namun setibanya saya di hamparan ilalang di desa Gerih itu, saya terkejut karena hampir semuanya telah dibabat habis. Saat saya naik sepeda sore itu pun, beberapa petak tanah yang ditumbuhi ilalang telah gundul. Sayangnya lagi, petak-petak tanah itu adalah tanah kavling yang di kelola seseorang yang namanya tercantum di sebuah papan yang dipajang di pinggir jalan. Hati saya berontak, ingin menyerukan sesuatu pada orang itu. Saya ingat sebuah fragmen yang pernah saya tonton di TV. Fragmen itu bercerita tentang sese orang bernama Cupak, yang membunuh adiknya sendiri, Grantang karena kerakusannya memakan tanah. Dia memiliki banyak anak buah, yang tiap hari membawakannya spes imen tanah dari seluruh penjuru Bali. Ada tanah dari Bukit Jimbaran, tanah dari Kuta, dan banyak tempat lain. Dengan rakusnya, si Cupak melahap satu demi satu s ampel tanah itu, dan mengatakan enak. Akhirnya, Cupak memakan habis tanah Bali. Namun, sebelum ia sempat melakukannya, arwah Grantang yang mati penasaran hidup kembali. Roh itu menghantui Cupak. Roh Grantang saya tafsirkan sebagai spiritnya pulau Bali, yang bakal menghantui sia pa pun yang menjual tanah leluhur kita ini kepada orang luar. Kalau terus begini , Bali akan menjadi seperti Hawaii, di mana tanah leluhurnya dikuasai orang-oran g asing, yang tidak masuk daftar panjak Bhattara Kahyangan Tiga.

Ibu, aku tak mau bicara tentang peradaban Sebab peradaban masih jauh untuk kita bicarakan, bahkan untuk kita pikirkan Yang terpenting bagaimana membangun benteng dari tanah tipe C

Atau bagaimana konversi harus berhasil Peradaban hanyalah sisa-sisa prasasti, seperti beliung persegi Peradaban hanyalah milik masa lalu Yang kini kita perjual-belikan Lalu apa yang kita bawa ke masa depan? Kecuali selembar kain untuk menutupi aurat Dan tanpa latar belakang yang jelas.... (Pertiwi; Sebuah Realita Tak Pasti, 2005)

Saya yakin banyak Cupak-Cupak yang bertebaran di pulau ini, yang seharusnya perl u diberikan program diet. Perjalanan saya lanjutkan ke timur. Di timur hamparan ilalang, terdapat tikungan ke utara, yang nantinya jalan itu tembus ke daerah Latu, sebelah utara desa Mam bal. Di tikungan itu, saya berbelok menyusuri jalan dari kerikil yang menuju sel atan. Jalan itu rencananya akan menjadi jalan utama perumahan baru yang tidak la ma lagi akan mengusir hamparan padang ilalang dan tegalan yang hijau. Dengan ter usirnya kehijauan dan keasrian padang ilalang, maka semakin berkurang pula energ i positif alam yang dihasilkan dari kealamian daerah itu, artinya spirit daerah itu juga akan musnah. Saya ingat ceramah ibu Luh Kartini ketika saya menghadiri bedah buku di rumah Dinas Gubernur. Ibu spesialis pertanian yang saya juluki seb agai ibu cacing ini berkomentar tentang energi positif yang dihasilkan oleh alam. Dis ela-sela diskusi, beliau selalu sempat membicarakan tentang cacing tanah. Be liau mengatakan, tanah Bali saat ini telah tercemar. Ketika menghaturkan banten, kita mengambil hasil alam dari tanah yang telah tercemar pestisida dan pupuk bu atan, sehingga aturan kita beracun. Bhattara tidak dapat memberikan anugerah kar ena energi positif yang berasal dari alam yang hijau dan asri sudah tidak ada la gi, digantikan tanaman beton yang menjulang tinggi. Saya setuju dengan hal itu. Saya sangat terkesima menyimak komentar beliau. Hal mengenai energi positif dari alam yang semakin pudar kini mulai melanda tempat f avorit saya untuk menghirup udara desa yang segar. Leluhur kita telah menanamkan konsep Tri Hita Karana, tiga penyebab kebahagiaan. Pertama Kahyangan, hubungan manusia dengan Tuhan. Konsep ber-kahyangan saya kir a sudah cukup baik di pualu Bali. Setiap umat beragama sudah menjalankan kewajib annya terhadap Tuhan dengan baik. Demikian pula khususnya umat Hindu. Kita melak ukan persembahyangan purnama-tilem, mecaru, podalan, hingga karya-karya besar se perti Ngusaba Desa, Ngenteg Linggih, dan lainnya. Semua itu mencerminkan hubunga n kita sebagai manusia dengan Tuhan sudah dapat dikatan lancar. Akan tetapi perlu diingat bahwa konsep beragama bukan hanya dilihat dari besar-kecilnya jumlah ban ten dan biaya yang dikeluarkan, namun lebih dari itu, apakah kita tulus atau tid ak. Tuhan tidak memakan banten dan sesari, namun Beliau memberikan pahala sesuai dengan ketulusan hati orang yang melakukan yadnya.

Kini agama sesari dari canang tanpa sari Berkuntum-kuntum bunga Ikat-ikat janur Kuambil hanya keping-keping logam Yang ditaruh di atasnya

Cakupan tanganmu Akankah hormat batinmu? Kini agama cakupan tangan tanpa nama Pejaman mata tanpa arah

(Metamorfosis 2; 2004)

Dewasa ini banyak orang beryadnya hanya untuk kepentingan prestise semata. Hal y ang paling kentara adalah ketika ngaben. Tingginya bade dan besarnya lembu tidak akan menjamin sang mendiang mendapatkan kebahagiaan. Surga, naraka, atau moksa/ nirwana hanya dihitung dari alam perbuatan seseorang. Banten atiwa-tiwa hanyalah sebagai simbol/permohonan bagi seseorang telah meninggal, agar mencapai kesempu rnaan, bersatu dengan Yang Kuasa, Sangkan Paraning Dumadi. Sedangkan hasil yang diterima sang roh tetap Tuhan yang mengkalkulasi, apakah roh itu pantas masuk su rga atau neraka. Nirwana hanya dapat dicapai jika seseorang tidak mati, dalam arti an mampu melepaskan dirinya sendiri dari belenggu duniawi. Setiap yang mati tuju annya hanya dua, surga atau neraka saja. Setelah itu ia akan kembali menjelma se suai dengan perbuatannya di masa lalu. Inilah hukum kausal dalam Hindu yang kita kenal dengan Karmaphala. Kedua pawongan, hubungan manusia denga sesamanya. Masalah mulai timbul di pawong an. Salah satunya adalah perselisihan antardesa. Mengenai pawongan akan saya bah as dalam satu artikel. Demikian pula Palemahan, hubungan manusia dengan lingkung an, yang di dalamnya terkandung butir-butir konsep Sad Kertih. Terus terang, saya mempunyai cita-cita membangun sebuah pasraman. Pasraman itu a kan saya beri nama sesuai dengan pasraman di Majapahit, Mandalakawi. Lokasinya, tentu harus di puncak bukit. Ketika saya melanjutkan perjalanan bersepeda ke sel atan, saya melihat pemandangan yang begitu indah. Di sisi barat saya lihat deret an pohon kelapa, menyembul di sela-sela rimbunnya tegalan. Di samping tegalan ad a sebuah lembah sungai, dan angin kembali menyapu wajah saya. Saya jadi ingat ba it pertama kawyamandala: ...marutangilir, silir sumilir... dan suasana di tempat i tu persis seperti arti bait pertama kawyamandala.

Saya mulai mengkhayal. Seandainya tanah di sini bisa saya beli, saya akan memban gun sebuah pasraman yang besar. Pasraman itu akan menampung anak-anak di desa sa ya untuk belajar ilmu kerohanian. Mereka akan mengisi waktu luang di pasraman, d engan belajar membuat sarana upakara, makidung, mawirama, serta meditasi dan yog asana. Pemandangan alam yang asri akan membuat mereka lebih dekat dengan alam se kaligus berperan aktif mencintai dan melestarikannya. Pasraman akan dibangun den gan gaya arsitektur Bali asli. Saya akan menyediakan lahan yang luas untuk ditan ami aneka tanaman upakara yadnya, sehingga mereka tidak punah, dan kita tidak pe rlu mengimpor janur dari Banyuwangi. Sisya-sisya pasraman akan diajarkan abgaima na cara merawat lingkungan, berbahasa Bali yang benar, serta belajar mencintai t anah kelahirannya. Khayalan boleh-boleh saja. Tidak harus saya yang membangun pasraman itu. Saya ad alah seorang pengkhayal yang luar biasa luas daya khayalnya. Saya dapat seperti meninggalkan raga ini kalau sedang mengkhayal, begitu jauh. Tentang pasraman, bis a diwujudkan oleh siapa saja, saya akan mendukungnya, asalkan ia mempunyai konse p yang jelas dan tujuan yang pasti, menjadikan generasi muda sebagai tiang utama penjaga Bali ke depan, dengan berorientasi pada konsep Tri Hita Karana. Mengapa buku ini saya tulis, lantaran saya sangat terinspirasi dari hamparan ila lang di utara desa saya. Judul buku ini sebelumnya adalah Lingkaran dan Yang lain nya, sebuah judul yang abstrak. Lalu ketika saya mengunjungi tempat favorit saya itu, dan merenung dalam kesendirian sambil memandang pemandangan alam yang sulit digambarkan dengan ucapan, seolah-olah pohon-pohon perdu di samping jalan membe ri saya bisikan halus. Mereka seperti berbicara pada saya. Mereka takut. Saya me rasakan hal yang serupa, sebab pembangunan perumahan sebentar lagi akan menggila s mereka ke dalam tanah. Saya ingat tahun 2003 saya mencari bunga ilalang di uju ng jalan sebelah selatan. Di sana pada waktu itu terhampar padang ilalang yang h ijau penuh bunganya yang putih. Namun kini..., berganti menjadi perumahan kavlin g untuk orang-orang kelas menengah. Saya jadi takut sewaktu-waktu perumahan di t epi jurang itu bisa longsor. Saya menyentuh sebatang tanaman dengan iba. Ia menyambut saya dengan tetesan air . Seekor kupu-kupu menemani saya ketika menyusuri jalan setapak di antara semak. Di mana kupu-kupu ini akan hinggap jika padang ini berganti menjadi perumahan m ewah? Kemana udara segar akan pergi? Tanaman-tanaman perdu yang menangis. Begitu merananya palemahan kita di Bali. Saya tidak akan mau ke padang ilalang i tu tiga atau empat tahun lagi. Saya takut melihat roh-roh ilalang yang siap memb alas dendam. Kemudian saya sadar sepenuhnya. Bali ternyata adalah sebuah pasraman yang univer sal. Pasraman Mandalakawi yang saya cita-citakan ternyata sudah berdiri ribuan t auhn yang lalu, dan kini sedang dalam tahap renovasi, atau rekonstruksi, atau re gresi. Mengapa Bali saya katakan sebagai pasraman Mandalakawi yang universal? Ada tiga alasan. Pertama. Sebuah pasraman tempo dulu, adalah sekolah yang berbasis spiritual. Ket ika murid-murid diinisiasi, mereka diupacarai dengan upacara agama sehingga terb entuk bibit awal karakter orang yang religius. Maka dari itu, pendidikan pasrama n dimulai sedini mungkin. Ketika menjalani pendidikan di pasraman, seorang sisya didekatkan sedekat mungkin dengan alam, agar terbentuk mental serasi dan harmon is dengan lingkungan. Itulah sebabnya, dahulu sebuah pasraman pasti berlokasi di pegunungan, dan jauh dari pemukiman penduduk. Dalam konsep pawongan, aktivitas pasraman selalu berjalan harmonis dengan eratnya hubungan antara guru dan murid, murid dengan guru, serta murid dengan murid. Guru dalam sebuah pasraman adalah seorang guru spiritual, guru yang telah melepaskan semua ikatan duniawi. Guru pa sraman adalah ayah bagi murid-muridnya, sehingga sang murid dapat menyatakan kel

uh-kesah dan persoalan hidup pada gurunya. Setiap malam, murid tidur di bangsal yang sama, di lantai yang sama, dan tikar yang sama, menunjukkan kesederajatan m anusia. Demikian juga hubungan semua aspek yang berada di pulau Bali dan menduku ng tegaknya sistem sosio-kultural Bali. Makhluk hidup, mulai dari manusia, hewan , tumbuhan, hingga makhluk halus yang tidak terlihat adalah sisya dari pasraman Bali Mandalakawi. Sedangkan ketika setiap makhluk terlahir, ia diupacarai dengan upacara keagamaan. Untuk manusia, kita melakukan setidaknya tiga belas rentetan upacara dari lahir hingga meninggal. Hewan dan tumbuhan mempunyai hari otonan, yaitu Tumpek Wariga (Tumpek Uduh/Tumpek Pengatag/Tumpek Bubuh) untuk tumbuh-tumb uhan, dan Tumpek Uye untuk hewan. Kita dapat melihat, ada beberapa jenis hewan y ang disucikan. Jangan dianggap bahwa orang Bali menganut totemisme, memuja hewan tertentu. Penyucian terhadap hewan tertentu merupakan satu langkah untuk mengha rgai dan menghormati hewan sebagai satu keluarga besar dengan kita, sesama sisya dalam pasraman Bali Mandalakawi. Tumbuhan yang besar, seperti beringin kita ber ikan saput poleng, maknanya tiada lain untuk menghargai si tumbuhan karena denga n badannya yang besar, setiap orang bisa berteduh di bawah rimbun dedaunannya, d an akarnya yang kokoh dan menjalar kemana-mana dapat menyuplai air di musim kema rau. Kita seharusnya sadar bahwa Bali sudah mulai dilanda kekeringan akibat huta n di Bali Barat khususnya, rusak ditebangi. Sedangkan guru dari pasraman Bali Mandalakawi adalah Hyang Widhi sendiri. Beliau adalah Sang Guru Utama, yang memanifestasikan diriNya menjadi ribuan Bhattara d i setiap sudut pulau ini, melindungi dan mengayomi panjak-panjak-Nya. Tak heran, kalau ada banyak sekali sebutan Bhattara di Bali. Semua itu adalah cerminan dar i Yang Satu. Tak heran pula setiap jengkal tanah di Bali adalah tenget (keramat) .

Kedua. Bali adalah tempat moksa/nirwana bagi orang-orang suci zaman dahulu. Nama Rsi Markandeya tentu tak asing lagi bagi kita, terutama bagi penduduk desa Taro , Gianyar. Beliau diyakini sebagai orang suci pertama yang berkunjung ke Bali, s erta berhasil menanam panca dhatu di Basukihan (Besakih). Beliau diyakini pula y ang memprakarsai sistem irigasi dan desa di Bali. Dilanjutkan dengan kedatangan Mpu Kuturan, Dang Hyang Astapaka (Buddha), Sang Kul Putih, dan yang lain, yang b erjasa menambah vibrasi kesucian pualu Bali. Orang suci terakhir adalah Beliau y ang memprakarsai konsep bangunan Padmasana, yaitu Dang Hyang Dwijendra. Beliau d atang ke pulau Bali saat Majapahit mulai runtuh akibat serangan kerajaan Demak. Beliau menyayangkan banyak umat Dharma telah meninggalkan agama leluhur mereka d i kala itu. Beliau kemudian memilih Bali sebagai pusat spiritual, karena pasrama n-pasraman di Jawa sudah hampir semua tidak berfungsi lagi. Perjalanan Beliau me ngikuti pantai, dan membangun banyak tempat suci di sepanjang pantai Bali, sebag ai benteng spiritual bagi masyarakat Bali. Dengan adanya pura, maka akan ada pan gempon. Pangempon akan menjunjung tinggi keberadaan pura, sekaligus menjunjung t inggi agama leluhur mereka. Jika dikaitkan dengan Bali sebagai Mandalakawi, maka kedatangan orang-orang suci tersebut adalah sebagai guru bantu yang diutus Hyang Widhi bagi keberlangsungan pendidikan pasraman. Ketiga, Bali adalah tempat di mana kebudayaan-kebudayaan Jawa diungsikan (akibat serangan kebudayaan baru seiring runtuhnya Majapahit), diselamatkan, diakultura sikan, dan difungsikan kembali dalam upacara-upacara Hindu Bali. Mandalakawi ber asal dari kata bahasa Kawi mandala berarti tempat, lapangan, wilayah; sedangkan kaw i berari puisi, yang merujuk pada hasil kebudayaan Jawa Kuno, terutama karya sastr anya. Bali, sebagai pulau tempat kebudayaan Jawa diselamatkan adalah sebuah Mand alakawi (tempatnya sastra). Hingga kini, bahasa, syair, kidung, kakawin, mantramantra, dan cerita-cerita Jawa Kuno masih terpelihara dan menjadi bagian dari ke budayaan masyarakat Bali. Setiap upacara agama, para pendeta menguncarkan mantra berbahasa Jawa Kuno, para anggota sekaa kidung menyanyikan syair kidung berbaha sa campuran antara Bali Tengahan dengan bahasa Kawi, dan para anggota Sekaa Sant i secara berpasangan menyanyikan kakawin dalam bahasa Kawi, dan menjelaskan arti

nya dalam bahasa Bali halus. Bali memang menjadi sebuah pasraman yang mahaluas. Pasraman asal katanya asrama ya ng artinya tingkatan hidup. Dalam agama Hindu kita mengenal Catur Asrama, yaitu empat tingkatan hidup manusia, yaitu Brahmacari (masa menuntut ilmu), Grhasta (m asa berumah tangga), Wanaprastha (masa mulai melepaskan diri dari keduniawian), Sannyasin/Bhiksuka (masa terlepas dari keduniawian). Keempat proses tersebut di Bali dilambangkan dengan 13 rentetan upacara dari bayi dalam kandungan hingga me ninggal dunia. Selain itu, banyak orang yang ingin menghabiskan masa tua (Wanapr astin, Sannyasin) di pulau Dewata ini. Mereka ingin mati di Bali, yang katanya s ebagai surga terakhir. Jika kita renungkan bersama, ternyata pulau Bali memang merupakan sebuah pasrama n. Bali Mandalakawi, judul buku ini saya ambil dari kenyataan yang saya tangkap bahwa Bali adalah sebuah pasraman universal, di mana seisi pulau adalah siswa, t anah pulau adalah mandala pasraman, dan Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa adalah guru spiritual pasraman. Tinggal kini bagaimana kita sebagai penyangga pulau ini , menilai, apakah Bali saat ini sedang dalam tahap renovasi, rekonstruksi, atauk ah regresi. Jika ternyata Bali sedang dalam tahap regresi, mari kita perbaiki be rsama. Jadikan Bali seperti Bali Mandalakawi. reply share Blog Entry for everyone MUNTAH ITU BAIK Muntah Itu Sehat? Aug 5,

Panas dalam memang menjadi gejala demam yang paling awal. Panas dalam terjadi ka rena ketidakseimbangan enzim pencerna dalam tubuh. Dalam kajian Ayurveda, itu te rjadi karena ketidakseimbangan unsur pitta (api), kapha (air), dan vata (udara) dalam tubuh. Ketidakseimbangan tersebut terjadi karena berbagai sebab, di antara nya adalah makanan yang tidak seimbang. Biasanya, panas dalam terjadi jika kita terlalu banyak mengonsumsi lemak. Asam tripase memerlukan panas tubuh untuk meme cah lemak menjadi gliserol. Ketika tubuh kelebihan lemak (khususnya di lambung d an usus halus), maka panas tubuh yang diperlukan akan semakin bertambah. Selanju tnya, terjadilah panas dalam. Sebab kedua adalah kurangnya air. Lambung dan usus memerlukan air sebagai katali s dalam pencernaan. Kekurangan air akan meningkatkan suhu dalam lambung sehingga panas dalam tidak bisa dihindarkan. Sebab yang lain adalah karena makanan yang kita konsumsi terlalu padat dan kekurangan serat. Meskipun serat tidak dapat dic erna oleh tubuh karena ketiadaan enzim selulase, serat berfungsi mengaktifkan ot ot-otot alat cerna sehingga makanan melewatinya dengan lancar. Ketika makanan ya ng terlalu padat masuk ke dalam lambung, zat yang disebut gastric juice akan ter sekresi lebih banyak. Gastric juice ini adalah zat kental yang berfungsi sebagai pelumas pada saat pencernaan. Jika gastric juice terlalu banyak, perut akan berma salah. Ciri-ciri awal panas dalam adalah air ludah yang mengental. Dalam Ayurveda dijel askan bahwa unsur pitta, kapha, dan vata harus seimbang. Ketika pencernaan berma salah, unsur pitta (api) menjadi tidak seimbang sehingga harus diseimbangkan den gan air. Air liur mengental dan serasa menyangkut di kerongkongan ketika ditelan berarti unsur air dalam tubuh kurang. Ciri berikutnya adalah sakit ketika menelan. Jika ciri pertama dibiarkan, gejala ini akan tampak. Ketidakseimbangan ketiga unsur menjadi besar, sehingga jika in i terus dibiarkan, Anda akan terjangkit demam atau sakit panas. Mata berkunang-k unang, perut serasa sesak, pusing, dan suhu tubuh meningkat tajam. Jika ini terj

07 4:12 AM

adi, makanan yang dicerna dalam tubuh tidak tercerna dengan baik karena perut be rmasalah. Biasanya, orang akan pergi ke dokter jika panas tubuhnya meningkat. Dokter akan memberikan obat kimia yang tidak selamanya bagus buat tubuh. Orang suci menyatak an bahwa perut adalah pusat kesehatan; dengan kata lain, jika perut bermasalah, maka seseorang akan sakit, sebaliknya jika perut dijaga kebersihan dan kinerjany a, orang tersebut akan sehat. Bhagavan Sri Satya Sai Baba menyatakan bahwa perut merupakan posisi kunci dan segala penyakit bermula dari dalam perut. Untuk mengatasi masalah lebih lanjut dengan panas dalam, Ayurveda menawarkan sol usi mudah dan murah yang disebut MUNTAH. Dalam Ayurveda, muntah menjadi satu alt ernatif mencuci perut yang bermasalah. Ketika ciri pertama panas dalam terjadi, Anda harus cepat-cepat memutuskan untuk mengeluarkan seluruh isi perut. Jangan pedulikan makan malam atau dessert Anda yang mewah. Ketika air liur Anda mengent al dan kerongkongan Anda sakit ketika menelan, itu berarti perut memberikan siny al bahwa ia tidak sehat. Sebelum hal ini berlanjut, Anda dapat meminum satu boto l air, lalu bernapas dalam-dalam sebanyak tiga kali, dan pergilah ke kamar mandi untuk muntah. Cara muntah yang baik adalah sebagai berikut: cuci tangan Anda dengan sabun hing ga bersih. Kemudian, condongkan tubuh Anda ke depan. Gunakan jari tengah kanan A nda untuk menyentuh bagian belakang rongga mulut sehingga Anda terangsang untuk muntah. Jangan gunakan telunjuk karena menurut sudut pandang Sastra, jari telunj uk adalah jari yang melambangkan ego. Pastikan seluruh makanan Anda dikeluarkan ketika muntah. Proses pengeluaran ini memerlukan beberapa kali ronde muntah sehi ngga Anda harus meminum beberapa teguk air lagi sebelum ke ronde berikutnya. Set elah perut Anda kosong, minumlah air hangat hingga perut Anda cukup penuh. Selan jutnya, Anda hanya tinggal menunggu air tersebut dikeluarkan berupa urin. Anda d apat mengisi perut Anda dengan buah-buahan berair (disarankan apel) untuk menetr alkannya. Dengan muntah, perut Anda dicuci lalu dinetralkan. Muntah dapat menurunkan kadar pitta dalam perut sehingga sangat efektif menanggulangi panas dalam. Oleh sebeb itu, orang yang sakit panas dianjurkan untuk muntah. Anda sebaiknya melakukan h al ini ketika ciri-ciri pertama mulai terasa agar lebih mudah menanggulanginya. Namun, tidak semua penyakit panas dapat ditanggulangi dengan muntah. Jika bebera pa waktu setelah muntah suhu tubuh Anda semakin meningkat, segeralah ke dokter k arena bisa jadi itu adalah gejala penyakit lain. Muntah ini juga merupakan solusi bagi Anda yang hobi makan tak keruan. Namun cat atan saya, jangan memanjakan perut dengan muntah, sebab terlalu sering muntah da pat mengganggu sistem lain dalam tubuh. Tags: muntah itu baik reply share Blog Entry for everyone Saraswati dan Howard Gardner Aug 5,

SARASVATI DAN HOWARD GARDNER

Aum S rasvat namostubhyam

07 4:10 AM

Varade k

marpini mi .

Siddh rambham karisy Siddhir bhavantu me sad

(S rasvat Pj

Ibu Sarasvati memang tidak asing lagi bagi dunia pendidikan Hindu. Beliau telah menjadi figur wanita yang cerdas dan ibu yang mencerdaskan sejak peradaban Veda di sungai Pancanadi (Indus) sekitar enam ribu tahun sebelum masehi. Sarasvati te lah diagungkan dalam Rgveda sebagai ibu pemberi inspirasi dalam mantra pavaka na h sarasvati vajebhir vajinivati... (Rgveda Mandala I, sukta 1, mantra 10). Saras vati juga dipuja sebelum mantra Veda diuncarkan bersama dengan Brahmanaspati. Da lam kepercayaan Veda, Brahmanaspati merupakan devata yang dipuja pertama sebelum dimulainya suatu kegiatan, yang mana figur dewata ini merupakan cikal bakal mun culnya figur Ganesa sebagai penguasa halangan beberapa periode setelah periode V eda. Pada Kidung Veda dalam situs resmi vedamu.org milik Sri Satya Sai Veda Prat isthan (SSSVP), mantra Brahmanaspati (Rgveda Mandala II, sukta 23, mantra 1) yan g berbunyi: Gananam tva ganapatim havamahe kavim kavinam upamasravastamam; jyest harajam brahmanam brahmanas pata a nah srnvann utibhih sida sadanam diuncarkan p ertama kali sebagai mantra pembukaan demi kelancaran kegiatan, kemudian dilanjut kan dengan mantram Sarasvati. Rgveda juga mengagungkan Ibu Sarasvati sebagai nam a sebuah sungai sehingga dikaitkan dengan ibu yang memberi kesuburan dan pemurni an. Jadi, jelaslah bahwa Sarasvati memegang peranan sangat penting dalam Veda. Secara etimologi, kata Sarasvati berasal dari kata Sanskrit Srs yang berarti men galir, oleh karena itu, Sarasvati berarti ia yang mengalir. Di sini kata mengali r dapat dikaitkan dengan konsep ilmu pengetahuan yang senantiasa mengalir, berke mbang, dan merasuki seluruh peradaban manusia. Konsep aliran ini juga mendasari ajaran Hindu yang menyebar ke segala arah seperti air. Dari Sarasvati sebagai ia yang mengalir, sang Ibu ini juga memiliki beberapa nama agung lain, seperti Vag isvari atau Vagdevi (penguasa kata-kata), Sarada (pemberi intisari), Brahmi (san g pendamping Brahma), Mahavidya (pengetahuan utama) dan sebagainya. Ada keterkaitan yang unik mengapa Ibu Sarasvati lebih memilih Brahma, sang ayah yang berkepala empat sebagai dampingan Beliau. Brahma memiliki empat kepala yang masing-masing menguncarkan keempat Veda, oleh karena itulah Sarasvati sebagai d evi pengetahuan identik dengan Brahma. Oleh karena itu pula, Ibu Sarasvati dikat akan sebagai ibu dari segenap ciptaan. Figur Sarasvati adalah simbol dari pengetahuan yang merupakan kebalikan dari keb odohan. Maka dari itu, Beliau dilambangkan dengan berpakaian putih bersih sebaga i lambang kesucian pengetahuan. Ini pula yang menandakan bahwa pengetahuan bersi fat netral, tidak baik maupun buruk. Baik-buruk pengetahuan tergantung dari pema kai pengetahuan itu. Segala pengetahuan datang dan bersumber dari kepribadian Sa rasvati dan menyebar ke segala arah, meliputi berbagai tingkat kecerdasan, kepri badian, dan keinsyafan diri. Keadaan penerima pengetahuan yang berbeda yang meny ebabkan pengetahuan itu bersifat baik atau buruk. Kadang-kadang Ibu Sarasvati juga dilambangkan berpakaian kuning atau berwarna-wa rni. Dalam Gayatri Sadhana, Beliau adalah salah satu aspek dari Gayatri, ibu uni versal, penguasa mantra Gayatri, dan Savitri, penguasa sinar. Sarasvati, Savitri, dan Gayatri dikatakan sebagai devi penguasa perkataan, pikiran, dan perbuatan. Dalam beberapa literatur Veda lainnya, sang Ibu juga dikatakan sebagai personifi kasi lain dari Laksmi dan Durga.

Hal yang membuat Ibu sarasvati tidak asing bagi mata penyembah-Nya adalah atribu t Beliau yang khas. Figur Sarasvati selalu digambarkan duduk (atau berdiri) di a tas kembang teratai putih. Di sekeliling Beliau terdapat kolam yang penuh dengan teratai. Kadang-kadang teratai diganti dengan bunga padma (lotus). Karena Belia u adalah personifikasi dari segala pengetahuan, seni, kearifan, keterampilan, da n kecerdasan, maka atribut Beliau juga terkait dengan hal-hal itu. Sang Ibu seca ra umum memiliki empat lengan, namun dalam beberapa figur khusus digambarkan den gan delapan lengan. Jika Beliau dikaitkan dengan Durga, maka mata ketiga ditamba hkan di kening-Nya, dan gelar-Nya menjadi Mahasarasvati. Masing-masing lengan me megang vina, japamala, lontar, dan bunga teratai. Dalam beberapa versi, vina ata u gitar tradisional dipegang dengan dua tangan, karena pelukis atau pemahat patu ng Beliau mungkin berpikir bahwa Sarasvati tidak akan mungkin memainkan vina den gan satu tangan. Secara logis, vina adalah alat musik yang melambangkan kemampua n berkesenian. Sementara japamala, atau ganitri (tasbih) adalah lambang ilmu pen getahuan yang tidak berawal maupun berakhir. Terkait dengan Veda, japamala ini m enyimbolkan bahwa Veda tidak pernah berawal dan tidak akan pernah berakhir. Sela in itu, japamala berarti juga bahwa ilmu pengetahuan terus mengalir dan berkemba ng, diturunkan dari generasi ke generasi dengan pedidikan. Masing-masing butiran dalam japamala adalah generasi-generasi yang tidak pernah putus, dan pengetahua n terus-menerus diwariskan kepada generasi berikutnya demi menjaga roda dharma t etap berputar (dilambangkan dengan japamala yang terus bergerak dari satu butira n ke butiran lainnya). Dalam kaitannya dengan kecerdasan, japamala melambangkan kecerdasan spiritual, kecerdasan yang mengantarkan seseorang untuk insyaf akan k eberadaannya sebagai makhluk spiritual. Atribut lainnya adalah lontar. Lontar merupakan tempat pengetahuan itu disampaik an dalam bentuk tulisan, juga sebagai lambang kecerdasan kognitif, atau IQ. Zama n dahulu, Veda ditulis pertama kali oleh Rsi Vyasa pada 5000 SM beserta keempat muridnya dengan menggunakan lembaran-lembaran daun. Sebelum kertas digunakan sec ara konvensional sebagai media tulis, lontar merupakan media yang populer. Tidak jarang kita menjadi salah kaprah mengenai lontar dengan mensakralkan segala lon tar. Padahal, tidak semua lontar patut kita sakralkan. Sebelum memutuskan bahwa sebendel lontar adalah sakral, kita perlu memeriksa isinya dahulu, karena lontar -lontar pada zaman dahulu sama dengan buku-buku di toko buku zaman sekarang. Art inya, lontar tidak hanya memuat susastra keramat, tetapi bisa saja memuat tulisa n ngawur, catatan harian seorang penjudi, atau pelajaran menulis anak umur tujuh tahun. Maka dari itu, lontar harus kita baca agar jangan sampai kita mengkerama tkan komik-komik ngawur zaman dahulu. Lontar dalam figur Sarasvati bukan hanya b erarti tempat penyimpanan pengetahuan, melainkan juga bermakna penguasaan terhad ap pengetahuan. Sikap Sarasvati dalam memegang lontar menggambarkan penguasaan t erhadap pengetahuan, menggambarkan gairah dalam menggapai dan menguasai segala m acam pengetahuan. Sedangkan mengapa lontar di tangan Sarasvati tidak diganti den gan kertas sebagai media tulis konvensional masa kini semata-mata mungkin karena pengkeramatan, juga mengisyaratkan agar manusia selalu patuh pada tradisi-tradi si luhur masa lalu. Sarasvati juga dilambangkan berwajah cantik. Wajah seorang wanita yang menarik p erhatian setiap orang untuk mendekat dan berkenalan dengannya. Seperti itulah pe ngetahuan itu diibaratkan, Ia menarik semua orang untuk mendekat, dan tentunya de ngan latar belakang yang berbeda-beda; demi kekayaan materi, demi ketenaran, dem i keluarga, hingga demi kekayaan spiritual. Wajah cantiknya juga adalah lambang kecerdasan emosi (EQ) yang seharusnya diseimbangkan dengan IQ dan SQ. Emosi yang dapat dikendalikan, tenang, tidak mudah terombang-ambing, empatik, dan antusias . Emosi yang terkendali sudah tentu adalah hasil dari penyerapan ilmu pengetahua n yang baik serta pemahaman spiritual yang benar. Senyum Sarasvati yang tidak pe rnah berubah mengilhami kita bahwa pengetahuan selalu siap dipelajari. Ia siap m emberi apa yang kita inginkan, siap memberi kita kepuasan materi maupun batin. H anya saja manusia terkadang salah mengartikan senyuman itu dan menggunakannya se mbarangan, misalnya untuk mencelakakan orang lain. Einstein telah dianugerahi ke

cerdasan tinggi oleh Sarasvati, dan ia telah menyampaikan kasih ibu itu kepada i lmuwan lain, namun akhirnya ia menyesal karena kecerdasannya digunakan untuk men ghancurkan Hiroshima. Dalam figur-figur Sarasvati, terdapat beberapa atribut tambahan yang mengeliling i Beliau, antara lain seekor angsa, seekor merak, teratai, dan kolam. Merak mela mbangkan kewibawaan seseorang yang berilmu, sedangkan angsa, menurut Hindu adala h hewan yang suci. Kitab Niti Sataka oleh Bhartrihari menyatakan bahwa bahwa ang sa adalah hewan yang suci karena dapat memilah susu yang tercampur dalam air. Ha l ini dikaitkan dengan seseorang yang bijaksana dan mampu membedakan baik-buruk. Sedangkan teratai juga adalah tumbuhan yang suci. Teratai melambangkan kesucian , karena meskipun ia tumbuh dari lumpur dan air yang kotor, bunganya selalu meka r sempurna di atas permukaan air. Ini identik dengan orang suci yang terlepas da ri segala keduniawian. Sementara kolam melambangkan pengetahuan yang seharusnya digunakan demi keselarasan manusia dengan lingkungannya.

Sarasvati dan Simbolis Kecerdasan Sebagai ibu dari pengetahuan dan keterampilan, Sarasvati telah menjadi figur yan g unik sekaligus misterius bagi pemuja-Nya. Dalam figur Sarasvati, jika kita cuk up berani mengungkapkan keingintahuan kita untuk menjelajahi kecantikan-Nya, kita akan menemukan bahwa Sarasvati bukan hanya sekedar lambang-lambang seperti yang biasa kita diskusikan di buku-buku Agama Hindu SD hingga SMA, melainkan kita ju ga akan menemukan bahwa Sarasvati adalah suatu penjabaran implisit mengenai kons ep-konsep bagaimana seseorang seharusnya menjadi cerdas. Figur Sarasvati ternyat a menyimpan sebuah konsep keseimbangan kecerdasan yang seharusnya terdapat dalam setiap individu. Dalam dunia pendidikan, kita mengenal beberapa kriteria penilaian terhadap peser ta didik. Kemampuan kognitif, atau kemampuan logika adalah yang pertama. Di sini yang bermain adalah logika peserta didik; bagaimana ia menyelesaikan sebutir so al dan mendapat nilai yang baik. Sayangnya, di sekolah-sekolah kita, kemampuan i ni dianggap mewakili seluruh kemampuan anak. Ketika seorang anak ingin masuk kel as unggulan, ia harus dites berdasarkan IQ, kemampuannya menyelesaikan persamaan -persamaan matematis dan logis. Namun, pihak pendidik sering melupakan beberapa aspek penting lain yang juga memengaruhi, bahkan sangat berpengaruh pada kualita s keseluruhan dari seorang individu. Pendidik acap mengabaikan aspek emosi (Emot ional Intelligence), kemampuan untuk memahami, mengerti, mengekspresikan dan men gontrol emosi (Douglas K. Detterman: Intelligence dalam Encarta Reference Librar y Premium 2005). Emosi sangat berperan besar dalam menentukan keberhasilan seseo rang. Banyak orang pintar yang belum mampu mengembangkan dirinya di tengah suatu komunitas. Ia belum mampu menempatkan dirinya secara mental dengan situasi tert entu. Kita bisa melihat contoh anak-anak yang menjuarai lomba-lomba matematika, fisika, dan kimia. Mereka kadang-kadang tidak bisa menempatkan diri mereka dalam suatu kondisi dan bersikap tak acuh. Anak-anak pintar di sekolah pun sering mem persempit pergaulan mereka dan kurang bisa berinteraksi dengan anak-anak lain ya ng tidak selevel dengan mereka. Ini adalah kesalahan besar dalam dunia pendidika n kita dengan mengelompokkan anak-anak pintar itu ke dalam sebuah kelas unggulan . Anak-anak itu akan belajar hanya bagaimana mengisi otak mereka dengan hapalan dan rumus, sedangkan dalam kehidupan nyata, rumus-rumus itu jarang dipergunakan. Mereka akan lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang, membuat susunan organ isasi, bekerja sama, dan berkomunikasi tanpa henti. Di sinilah biasanya kelemaha n anak-anak pintar. Mereka belum diajarkan bagaimana menempatkan diri dalam suat u kondisi, mereka belum diajarkan bagaimana memahami perasaan orang lain, dan ba gaimana menolong orang lain dengan kecerdasan mereka. Howard Gardner, seorang ps ikolog yang mengemukakan teori kecerdasan ganda menyatakan bahwa kecerdasan adal ah kemampuan menyelesaikan masalah atau kemampuan untuk menghasilkan produk yang berguna dalam satu atau beberapa latar belakang budaya. Dengan kata lain, orang

-orang pintar perlu mencerdaskan diri lagi dalam menempatkan kecerdasan mereka d alam suatu posisi yang menguntungkan semuanya. Menurut Hindu, kecerdasan intelektual belum memenuhi standar kemanusiaan secara keseluruhan sebab mental manusia sendiri dibangun oleh buddhi (hati nurani), vi veka (logika), dan Atma (spirit). Harmonisasi menusia baru akan tercapai apabila ketiga aspek mental tersebut dipenuhi, dan yang paling jarang mendapat perhatia n kalangan pendidik adalah Spiritual Intelligence, yaitu bagaimana kita mengenal i jati diri kita yang adalah roh sejati, diri pribadi sejati yang tak lekang ole h waktu, yang bahagia, yang sama, dan yang abadi. Spiritual Intelligence ini aka n sangat memengaruhi kualitas pikiran seorang individu. Ketika ia mengenal tenta ng spirit, tentang keberadaan dirinya dan relasinya dengan alam semesta, maka ki ta tidak akan pernah mengenal lagi kerusakan lingkungan. Seorang individu yang c erdas secara spiritual akan menyadari bahwa yang hidup bukan hanya dia, melainka n seluruh isi alam semesta, dan bahkan ia akan menyadari bahwa alam semesta ini adalah makhluk hidup (I Ketut Donder dalam Kosmologi Hindu). Ia juga akan menyad ari bahwa perbedaan itu hanyalah selaput luar dari keberadaan sang Atma (jiwa) y ang transenden. Dengan demikian, seseorang akan menjadi lebih mencintai lingkung annya, mencintai pohon-pohon, mencintai binatang, dan mencintai sesamanya. Ia ak an menjadi bagian dari alam semesta yang benar-benar bertanggung jawab terhdap k edudukannya. Tidak akan ada lagi istilah terorisme yang mengatasnamakan agama. D engan kata lain: harmonisasi. Lalu, bagaimana Sarasvati, Ibu dari Veda yang kuno menjabarkan konsep kecerdasan seperti konsep para pakar psikologi modern itu? Jawabannya terletak pada sebera pa jauh kita mengenal dan menjelajahi kecantikan sang ibu. Veda adalah kitab ter tua, terlengkap, dan terilmiah. Dalam Veda juga terdapat cabang imu psikologi. B agaimana bisa kitab selengkap itu tidak menjabarkan teori kecerdasan modern? Bag aimana bisa ibu dari Veda sendiri tidak mengetahui teori itu? Beliau sendiri sud ah menjabarkan teori itu melalui atribut-atribut Beliau yang unik dan penuh makn a. Kita bisa melihat beberapa atribut dan mengait-ngaitkan maknanya. Pertama, ga nitri atau japamala. Japamala yang dipegang dengan tangan kanan atas Beliau mela mbangkan kecerdasan intelektual. Jumlah butiran japamala adalah 108 butir dan ha rus dihitung berturut-turut ketika seseorang melakukan japa. Hal ini melambangka n cara berpikir logis, atau berpikir berurutan dan berkerangka. Kedua, lontar. L ontar melambangkan kecerdasan spiritual. Lontar-lontar kuno banyak memuat ajaran -ajaran spiritual, dan Veda sendiri ditulis dengan media daun semacam itu pada z aman dahulu. Terakhir adalah vina, atau alat musik. Kecerdasan emosi dilambangka n oleh alat ini. Ketika seseorang mendengarkan musik, dengan cepat emosinya akan berubah. Musik adalah saah satu media yang dapat memengaruhi emosi seseorang. M usik dapat membuat seeorang menangis, tertawa, atau menyesal. Karena itulah kece rdasan emosi, atau pengontrolan terhadap emosi dilambangkan dengan vina. Sarasvati juga melambangkan kesatuan ketiganya. Beliau memegang ketiga alat itu pada masing-masing tangan yang melambangkan bahwa seseorang hendaknya mempelajar i dan menguasai ketiga jenis kecerdasan itu demi kesempurnaan hidup. Secara tida k langsung, Sarasvati telah mengajarkan kepada kita sebuah konsep pembelajaran b erbasis tiga kecerdasan. Konsep kesatuan ini dapat pula kita temukan dalam atrib ut japamala Beliau. Ketika seseorang berjapa, ia, secara bersamaan menghitung bu tiran japamala dengan penuh kesabaran. Sedangkan penghitungan japamala itu sendi ri menggunakan mantra untuk Tuhan. Menghitung japamala menggunakan kecerdasan in telektual, kesabaran mengerahkan kecerdasan emosi, sedangkan mantra dalam setiap butir japamala melambangkan kecerdasan spiritual. Itulah sebabnya (mungkin) par a pelukis figur Sarasvati menempatkan japamala di lengan kanan atas sebagai leta k yang paling tinggi, agar orang-orang dapat lebih melihat maknanya dari dekat. Kemungkinan para pendidik Hindu zaman dahulu telah memahami konsep ini dalam men gajar anak didik mereka. Itulah sebabnya sistem pedidikan dahulu banyak menghasi lkan manusia-manusia berbasis spiritual; manusia-manusia yang hidup selaras deng an alam, manusia-manusia yang murah senyum dan manusia-manusia yang berbudaya ti nggi, sampai datangnya paham baru yang menenggelamkan sistem pendidikan mulia it

u.

Sarasvati dan Teori Kecerdasan Ganda Satu lagi keistimewaan sang ibu yang dapat kita temukan dalam figurnya adalah me ngenai korelasinya dengan teori kecerdasan ganda. Teori ini dikemukakan pada tah un 1999 oleh Howard Gardner, seorang psikolog kelahiran Amerika Serikat yang ban yak bergelut di bidang intelegensi. Ia menyatakan bahwa setiap individu memiliki keunikan, dan sedikitnya terdapat tujuh macam kecerdasan dalam seorang individu . Kecerdasan yang beraneka ragam itu pasti ada dalam setiap individu dan membeda kannya dengan individu lain, dan oleh sebab itu, tidak ada individu yang bodoh, semua berpotensi untuk menjadi cerdas dengan meningkatkan kecenderungan kecerdas annya itu. Seorang individu bisa saja pintar dalam matematika, tetapi kurang dal am musik, demikian pula sebaliknya, seorang individu sangat pandai mengutarakan pendapatnya secara lisan, sementara yang lain lebih baik dengan jalan tertulis. Hal itulah yang disebutnya sebagai Teori Kecerdasan Ganda Multiple Intelligence. Gardner menyimpulkan bahwa terdapat sedikitnya tujuh jenis kecerdasan pada seseo rang. Ia mengategorikan ketujuh kecerdasan tersebut menjadi tiga. Dua yang perta ma adalah yang biasa dinilai di sekolah-sekolah; tiga jenis lagi biasanya dikait kan dengan seni; dan dua jenis terakhir disebutnya sebagai kecerdasan personal (Ga rdner dalam mark K. Smith. 2002). Ketujuh jenis kecerdasan tersebut adalah sebag ai berikut.

1. Kecerdasan Linguistik (bahasa) Adalah kecerdasan untuk membaca, menulis, dan berkomunikasi dengan kata-kata ata u bahasa. Penulis, penyair, orator, dan debator adalah contoh orang yang memilik i kecakapan linguistik.

2. Kecerdasan Logis-Matematis Adalah kecerdasan untuk berpikir (bernalar), berhitung, serta bepikir logis-mate matis. Kecerdasan ini terutama terdapat pada matamatikawan, insinyur, akuntan, d an detektif.

3. Kecerdasan Visual-Spasial Adalah kemampuan untuk berpikir menggunakan gambar. Orang dengan kecerdasan visu al-spasial tinggi dapat menentukan arah dengan tepat dan tidak mudah tersesat. P elaut, pelukis, fotografer, dan arsitek memiliki kemampuan ini.

4. Kecerdasan Musikal Adalah kemampuan menggubah atau mencipta musik, memahami nada-nada, dan dapat me nyanyi dengan baik.

5. Kecerdasan Kinestetik-Tubuh Adalah kemampuan untuk mengolah tubuh dengan baik untuk memecahkan masalah, melu apkan emosi, atau menciptakan sesuatu. Ahli bedah, aktor, dan olahragawan adalah orang-orang yang memiliki kemampuan kinestetis.

6. Kecerdasan Interpersonal Adalah kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain. Orang dengan kecerdasan i nterpersonal memiliki empati yang tinggi dan mudah berteman dengan orang lain. O rang-orang yang memiliki kemampuan interpersonal adalah doplomat, wartawan, poli tisi, dan pemuka agama.

7. Kecerdasan Intrapersonal Adalah kemampuan untuk menganalisis diri sendiri. Orang dengan kecerdasan intrap ersonal memiliki intuisi yang tinggi dan memiliki kata hati yang tajam serta mam pu merenungi diri sendiri. Kemampuan ini biasanya dimiliki oleh filosof, guru sp iritual, dan pembimbing.

Gardner menambahkan jenis kecerdasan baru yaitu kecerdasan naturalis yang mana a dalah kemampuan untuk berkorelasi dengan alam dan menjadi selaras dengannya. Kem ampuan ini dimiliki oleh ahli biologi dan pecinta alam. Setiap orang yang normal memiliki derajat setiap jenis kecerdasan yang bervarias i (Colin Rose dan Malcom J. Nichols, 2002 : 61). Akan tetapi, seluruh jenis kece rdasan tersebut berbaur dan menyatu dalam proses kehidupan seorang individu. Ada satu atau beberapa jenis kecerdasan yang lebih menonjol pada masing-masing indi vidu dan dengan kecerdasan tersebutlah seharusnya ia belajar. Barangkali konsep tiada seorang pun yang bodoh ini telah dikenal sejak zaman dah ulu dengan figur-figur Sarasvati sebagai ibu yang menarik dagi siapa pun. Kembal i kita harus melihat secara lebih cermat dan dalam terhadap figur-figur Sarasvat i, mengapa Ia dinyatakan mewakili seluruh kecedasan dalam teori ini. Pertama, kecerdasan linguistik. Kecerdasan linguistik dinyatakan dengan atribut lontar. Lontar telah dinyatakan berkali-kali sebagai media menulis. Menulis tid ak semudah berbicara. Menulis memerlukan kerangka berpikir yang terstruktur, bai k dari umum ke khusus atau sebaliknya. Dalam menulis diperlukan kemampuan berbah asa yang praktis, sistematis, lugas, dan tepat makna. Dengan kata lain, menulis memerlukan suatu keterampilan khusus. Untuk itu atribut lontar sebagai media tul is mewakili kemampuan linguistik seseorang. Kedua, kecerdasan logis-matematis di nyatakan dengan atribut japamala. Japamala memiliki 108 butir yang jika digunaka n dalam meditasi atau japa dihitung berturut-turut dengan tangan. Hal ini mengas osiasikan kemampuan berhitung dan berpikir (bernalar) secara cermat sebagai ciri khas orang berkecerdasan logis-matematis. Kecerdasan ketiga yaitu kecerdasan vi sual-spasial, yaitu kemampuan untuk mengenali arah dengan baik. Dalam figur Sara svati terdapat bunga teratai atau bisa juga lotus sebagai alas duduk Beliau. Ter atai atau lotus juga terkadang dipegang di salah satu tangan. Teratai memiliki d aun bunga yang mengembang ke segala arah. Dalam literatur Hindu, dikenal adanya Padmastadala atau lotus berdaun bunga delapan sebagai lambang Devata Navasangga.

Devata Navasangga adalah penjaga kedelapan penjuru mata angin, termasuk Siva di tengah-tengah. Selain itu, bentuk teratai yang bundar melambangkan kesimetrisan dan kekompleksan bentuk. Jadi, atribut teratai tersebut melambangkan arah dan j uga bentuk yang rumit, simetris, dan kompleks, di mana jika dikaitkan dengan ket ujuh kecerdasan akan mewakili kecerdasan visual-spasial. Keempat adalah kecerdas an musikal, atau kemampuan untuk mengenali, menyanyikan, dan menggubah musik. Da lam hal kecerdasan ini, atribut vina adalah alat yang sangat pas mewakili kecerd asan ini. Kecerdasan kinestetis-tubuh dapat diinterpretasikan dari empat lengan Sarasvati yang menyiratkan kemampuan untuk mengolah tubuh secara maksimal. Akhir nya, dua kecerdasan terakhir, yaitu kecerdasan interpersonal dan intrapersonal d ilambangkan dengan wajah Sarasvati yang memikat. Kecantikan-Nya, selain memikat orang-orang untuk datang ke arah-Nya, juga menyimpan inner beauty kecantikan dala m. Kecerdasan interpersonal mengarah ke luar, sedangkan kecerdasan intrapersonal mengarah ke dalam diri. Seperti kecantikan Sarasvati: kecantikan wajah Beliau ya ng memancar ke luar dan kecantikan dalam berupa kecantikan ilmu pengetahuan yang dikuasai di dalam diri. Mengenai kecerdasan terakhir, atau kecerdasan naturalis dapat dianalogikan sebag ai telaga tempat Sarasvati biasa menghabiskan waktu. Kadang Ia juga digambarkan duduk di hutan yang rindang sebagai sahabat alam. Analogi ini juga dapat diartik an bahwa manusia seharusnya mengembangkan kecerdasannya dengan tidak mengabaikan kesejahteraan dan kelestarian alam. Kecerdasan hendaknya bertujuan untuk menjga dan melestarikan alam, bukan hanya untuk mengeksploitasinya. Dua kecerdasan pertama, yaitu kecerdasan linguistik dan logis-matematis adalah d ua jenis kecerdasan yang sering mengecoh penilaian pendidik terhadap anak didikn ya. Pendidik sering melupakan aspek-aspek lain dari anak yang jika dipicu akan m embuatnya sukses dalam bidang itu. Eksistensi anak di bidang lain tersebut kadan g tidak dikenali dan diabaikan oleh guru, sehingga anak merasa tidak berguna. Pendidikan dan konsep kecerdasan ala figur Ibu Devi memiliki perspektif yang ham pir sama dengan konsep ilmuwan masa kini. Ini menandakan sekali lagi kajian ilmu filsafat Veda yang sangat dalam. Sayangnya para vedantist (istilah Svami Viveka nanda untuk pemeluk Hindu, atau orang-orang Veda) belum mau (atau mungkin tidak mau) menggali dan mempelajari kebijaksanaan Veda secara lebih serius. Banyak kon sep keilmuan modern diambil dari Veda yang mahaluas, dan sayangnya yang aktif me lakukannya adalah para sarjana barat. Lalu, apakah ini juga berarti Howard Gardn er terinspirasi dari Ibu Sarasvati dalam merumuskan teori kecerdasan gandanya?

***

REFERENSI DAN BACAAN LEBIH LANJUT

BUKU

Harsananda, Svami. Dewa-Dewi Hindu. Surabaya: Paramita, 2000. (terjemahan I Waya

n Maswinara).

Maswinara, I Wayan. Gayatri Sadhana. Surabaya: Paramita, 2002.

XXX, XXX. Rgveda Samhita. Surabaya, Paramita, XXXX.

Rose, Colin dan Malcom J. Nichols. Multiple Intelligence. New York: XXX, 2002.

Somvir. Niti Sataka, XXXX: XXXX, XXXX

Sudirga, I.B., dkk. Pelajaran Agama Hindu untuk Kelas XII SMA. Bandung: Ganeca E xact, 2004.

ARTIKEL

Detterman, Douglas K. Intelligence. Encarta Reference Library Premium 2005.

Manuaba, I.B. Arya Lawa. Usaha-Usaha Guru untuk Mengembangkan Aspek Intelektual d an Emosi Murid. Artikel mata kuliah Perkembangan Peserta Didik semester 2 tahun a jaran 2006/2007 halaman 2 3.

Manuaba, I.B. Arya Lawa. Sarasvati: Ibu yang Menghidupi Dunia. Wahana Brahma Widya Edisi II April 2007: halaman 1-2. Smith, Mark K. Howard Gardner, Multiple Intelligences, and Education. www.infed.or g.

VIDEO

Istilah vedantist terdapat dalam: Similarities Between Hinduism and Islam oleh Dr. Zakir Naik. Islamic Research Fo undation.

*** Tags: saraswati reply share wiratprakasa wiratprakasa * View Wirat s Profile * RSS Feed [?] * Report Abuse 2007 Multiply, Inc. About Blog Terms Privacy Corp Info Contact Us Help

You might also like