You are on page 1of 52

[HOTD] mendiRikan masjid

Desember 21st, 2006

Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah
dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada
siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk
golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.
(QS. At-Taubah, 9 : 18)

Hadist riwayat Usman bin Affan ra.:


Bahwa beliau meluruskan persoalan yang dibicarakan antara para sahabat ketika mesjid Nabawi
telah dibangun: Kalian berlebih-lebihan, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw.
bersabda: Barang siapa yang membangun sebuah mesjid karena Allah Taala. (Bukair berkata:
Aku kira) beliau bersabda: Karena mengharap keridaan Allah, maka Allah akan membangun
untuknya sebuah rumah di surga.

Links:
[memakmuRkan masjid dan mendatangi masjid [untuk beRibadah]]
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=829&bagian=0
[membina istana di syuRga]
http://www.darulkautsar.com/hadispilihan/0006.htm
[kedudukan masjid dalam islam]
http://www.al-azim.com/masjid/kedudukanmasjid.html
[menata kembali manajemen masjid indonesia]
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=144431&kat_id=105&kat_id
1=147&kat_id2=291
[memakmuRkan masjid]
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1104/05/0108.htm
[menyuap malaikat, membeli suRga!]
http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3016&Itemid=63
[mempeRindah masjid dan beRmegah-megahan dengannya]
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=795&bagian=0
[pelajaRan dan faedah kisah ashabul ukhdud]
http://www.mediamuslim.info/index.php?option=com_content&task=view&id=238&Itemid=15
[zakat pROfesi/mal untuk bangun masjid]
http://syariahonline.com/new_index.php/id/8/cn/3887
[membelanjakan atau menyaluRkan zakat untuk pembangunan masjid ?]
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1620&bagian=0
[manajemen masjid]
http://www.muslimsources.com/id/NEWS/detail.php?cat=3&iid=130
[60 pintu pahala dan pelebuR dOsa]
http://www.galeribisnis.com/artikel/iman/pahala_dosa.php
[masjid]
http://mujtabahamdi.blogspot.com/2006/10/masjid.html
[bid’ah dan syiRik]
http://www.darulkautsar.com/fatwaqardawi/bidaahqardawi.htm

-perbanyakamalmenujusurga-
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=829&bagian=0

Memakmurkan Dan Mendatangi Masjid [Untuk Beribadah]

Kamis, 17 Juni 2004 11:18:32 WIB


Kategori : Shalat

MEMAKMURKAN MASJID DAN MENDATANGI MASJID [UNTUK BERIBADAH]

Oleh
Dr Shalih bin Ghanim bin Abdillah As-Sadlani.

Masjid merupakan Baitullah, di dalamnya Ia disembah dan senantiasa disebut nama-Nya. Masjid
merupakan menara petunjuk dan bendera Islam. Allah memuliakan serta mengagungkan orang
yang mengikatkan dirinya dengan masjid.

Allah berfirman.

"Artinya : Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu
menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah" [Al-Jin : 18]

Masjid-masjid itu dibangun agar manusia mengerjakan shalat dan berdzikir kepada Allah,
membaca Al-Qur'an dan taqarrub kepada-Nya, merendah di hadapan-Nya dan mengharapkan
pahala di sisi-Nya.

Sesungguhnya memakmurkan masjid adalah bagian terbesar untuk taqarub kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Di antara bagian dari memakmurkan masjid adalah membangun,
membersihkan, membentangkan permadani, meneranginya dan masih banyak lagi bagian-
bagian dari pemerliharaan masjid. Adapula memakmurkan masjid dengan i'tikaf di dalamnya,
shalat dan senantiasa mendatanginya dengan berjama'ah, mengajarkan ilmu-ilmu yang
bermanfaat, membaca Al-Qur'an, belajar dan mengajarkannya. As-Sunnah telah menjelaskan
keutamaan dan balasan yang besar dalam memakmurkan, membangun dan memelihara masjid.

Diriwayatkan dalam shahih Muslim, Utsman Radhiyallahu 'anhu telah mendengar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Barangsiapa telah membangun masjid karena Allah Subhanahu wa Ta'ala (Bukair
berkata : Saya menyangka beliau berkata dengan mengharap wajah Allah), maka Allah akan
membangunkannya rumah di Jannah" [Shahih Muslim 1/378 no. 533 urutan 24 kitab al-Masajid
bab 4]

Maksudnya karena ikhlas dengan mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala semata serta
mengharap keridhaan-Nya, tidak riya, sum'ah dan tidak pula karena mencari pujian manusia
serta bukan karena satu tujuan atau tujuan-tujuan yang lain.

Seperti telah dijelaskan tentang keutamaan memakmurkan masjid, dijelaskan pula tentang
keutamaan menyiapkan masjid untuk shalat dan pujian bagi orang yang melaksanakannya.
Dalam shahih Muslim, Abu Hurairah berkata : Sesungguhnya ada seorang wanita berkulit hitam
yang berkhidmat pada masjid (dalam riwayat lain ; seorang pemuda). Suatu ketika Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melihatnya, maka beliau bertanya tentang dia, para
shahabat menjawab, Ia telah meninggal. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Apakah tidak ada kemampuan bagimu untuk memberitahukan kepadaku (tentang kematiannya,
ada yang menjawab, sepertinya mereka menganggap kecil masalah itu. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda :
"Tunjukkan padaku kuburannya, maka ditunjukkanlah beliau pada kuburan tersebut, beliau
mendo'akannya kemudian bersabda:"Artinya : Sesungguhnya ahli kubur ini dipenuhi kegelapan
dan Allah meneranginya dengan shalatku terhadap mereka" [Shahih Muslim 2/658 no 956 urutan
71 Kitab al-Janaiz bab ash-shalat 'ala al-Kubur]

Telah ada beberapa nash sharih lagi shahih yang menjelaskan keutamaan mendatangi masjid
untuk menunaikan shalat, dzikir dan qira'ah Qur'an. Orang yang menziarahi masjid itu berada
dalam penjagaan Allah dan mendapatkan rahmat-Nya selagi ia duduk didalamnya, menjaga
adab-adabnya dan selalu menghubungkan hatinya dengan Allah.

Sesungguhnya shalat seseorang di dalam masjid dilebihkan dari shalat yang dilakukan di rumah
atau di pasar dengan 25 derajat atau 27 derajat. Beberapa nash telah menjelaskan bahwa
orang yang mendatangi masjid dalam gelap, maka Allah akan meneranginya dengan sempurna
pada hari kiamat, seperti orang yang pergi ke masjid di pagi hari atau di malam hari, Allah akan
menyediakan baginya rumah di jannah. Ini merupakan fadhilah yang besar, takkan ada orang
yang melampui batas atau meremehkannya kecuali orang yang lalai atau pemalas, maka haram
baginya mendapatkan kebaikan saudaranya semuslim.

Lihat beberapa hadits yang telah menjelaskan apa yang telah saya katakana ini, supaya
menjadi ilmu, bashirah dan petunjuk, dengan itu pula supaya kalian melaksanakan rukun ini
sebagai ilham dari syi'ar-syi'ar Islam di masjid bersama jama'ah lain untuk mendapatkan ridha
dan balasan dari Allah di dunia dan di akhirat.

Dari Abu Hurairah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Shalat seseorang (di masjid dengan berjama'ah) itu dilebihkan dengan 25 derajat dari
shalat yang dikerjakan di rumah dan di pasar, sesungguhnya salah seorang di antara kalian jika
berwudlu kemudian menyempurnakannya lalu mendatangi masjid, tak ada keinginan yang lain
kecuali untuk shalat, maka tidaklah ia melangkah dengan satu langkah pun kecuali Allah
mengangkatnya satu derajat, dan terhapus darinya satu kesalahan hingga ia masuk masjid ..."
[Muttafaqun 'alaih, Lu'lu wal Marjan, yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim 1/131 no. 387]

Orang yang menziarahi masjid berada dalam perlindungan dan rahmat dari Allah selagi tetap
dalam duduk dan menjaga adab-adabnya dengan menghadapkan hati kepada Allah semata.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Maukah aku tunjukkan kepadamu sesuatu yang menyebabkan Allah


menghapuskan kesalahan-kesalahan dan mengangkat derajat ..? para shahabat menjawab ; Ya
wahai Rasulullah, beliau bersabda, "Menyempurnakan wudlu meski dalam keadaan susah dan
banyak-banyak mendatangi masjid, menunggu shalat setelah shalat.... itulah ribat, itulah ribat,
itulah ribat" [Shahih Muslim 1/219 no 251 urutan 41 bab 14 kitab At-Thaharah]

Allah berfirman.

"Artinya : Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk


dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki
yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan
(dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari
yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian
itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan
Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas" [An-Nur : 36-38]

Banyak sekali ayat dan hadits-hadits dalam bab ini, maka bagi orang yang berkhidmat di masjid
dan bertanggung jawab atas masjid baik atas nama pribadi, jama'ah, yayasan atau yang lain
haruslah menghidupkan masjid dengan membangun, membersihkan, menghamparkan
permadani, penerangan dan kesinambungan pemenuhan air serta lainnya yang termasuk di
dalamnya demi kemudahan dan kelancaran hamba Allah untuk melaksanakan amal-amal yang
besar di dalam masjid.

[Disalin dari kitab Shalat Al-Jama'ah Hukmuha Wa Ahkamuha Wat Tanbih 'Ala Ma Yaqa'u Fiiha Min
Bid'ain Wa Akhthain edisi Indoensia Shalat Berjama'ah, Panduan Hukum, Adab, Hikmah. hal 61-
65, Pustaka Arafah]

MEMBINA ISTANA DI SYURGA

‫ بنى ال له مثله في الجنة‬،‫ (من بنى مسجدا يبتغي به وجه ال‬:‫ إني سمعت النبي صلى ال عليه وسلم يقول‬،‫)عن عثمان بن عفان يقول‬.

Daripada Uthman bin`Affan katanya sesungguhnya saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sesiapa yang membina masjid ikhlas kerana Allah, Allah akan membina untuknya rumah
seperti itu di dalam syurga. (al-Bukhari: 439, Muslim: 533)

Setiap orang mengimpikan untuk memiliki kediaman sendiri yang indah dan selesa supaya dia
mendapat merehatkan diri dan mendapatkan ketenangan. Bagaimana pun sesetengah orang,
disebabkan kemampuan kewangan yang tidak mencukupi tidak dapat memenuhi impiannya.
Yang hanya dimiliki adalah tenaga. Membina masjid dalam hadis di atas merangkumi pembinaan
dengan modal benda dan modal tenaga manusia. Masing-masing mempunyai peranan dan
sumbangan.

Di sini Rasulullah s.a.w. menarik perhatian umatnya supaya melihat ke hadapan yang lebih jauh
lagi. Bagaimana sepatutnya setiap mukmin itu memiliki istananya sendiri di dalam syurga.
Kekecewaan dengan kehidupan dunia tidak sepatutnya menghalang seseorang berusaha untuk
kehidupan akhirat.

Rumah atau istana di syurga tentunya tidak akan dapat ditandingi oleh mana-mana istana di
dunia. Keindahan dan kemewahan syurga yang tidak dapat dibayangkan

Hadis ini mengandungi isyarat supaya orang mukmin mengingati negeri asal sendiri. Dari mana
kita datang ke situlah kita akan kembali. Oleh kerana itu, Allah s.w.t. sentiasa menyeru hamba-
hamba-Nya kepada kembali ke syurga. Allah s.w.t. berfirman:

ٍ‫وَالُّ يَدْعُو إِلَى دَارِ السّلَمِ َو َيهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْ َتقِيم‬

(Itulah dia kesudahan kehidupan dunia) dan sebaliknya Allah menyeru manusia ke tempat
kediaman yang selamat sentosa dan Dia sentiasa memberi petunjuk hidayatNya kepada sesiapa
yang dikehendakiNya (menurut undang-undang peraturanNya) ke jalan yang betul lurus (yang
selamat itu). (surah Yunus: 25)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah s.a.w. menyebutkan tujuan pembinaan masjid. Masjid
hendaklah dibina sebagai tanda mengingati Allah, memakmurkannya dengan ibadat dan
ketaqwaan bukan untuk berbangga dan bermegah-megah. Sabda baginda:

‫ بنى الّ له بيتاً في‬،‫ سمعت رَسُول الِّ صَلَى الُّ عََل ْيهِ وَسلّمْ يقول ((من بنى مسجداً يذكر فيه اسم ال‬:َ‫عن عمر بن الخطاب؛ قَال‬
‫))الجنة‬.

Daripada Umar bin al-al-Khattab katanya saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesiapa
yang membina masjid yang diingati padanya nama Allah, Allah akan binakan untuknya sebuah
rumah di dalam syurga. (Ibn Majah, no: 735)

Sebagaimana jumlah tidak menjadi syarat dalam bersedekah begitu juga dalam pembinaan
masjid, saiz bukan menjadi ukuran tetapi keikhlasan. Sabda baginda:

‫ بنى الّ له بيتاً في‬،‫ أو أصغر‬،‫عبْد الّ؛ أن رَسُول الِّ صَلَى الُّ عََل ْيهِ وَسلّمْ قال ((من بنى مسجداً ل كمفحص قطاة‬
َ ‫عن جابر بْن‬
‫))الجنة‬.

Daripada Jabir bin Abdullah bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesiapa yang membina masjid
kerana sebesar sarang burung atau lebih kecil lagi, Allah akan binakan untuknya sebuah rumah
di dalam syurga. (Ibn Majah, no: 738)

Hadis ini bukan untuk menyatakan saiz sebesar itu bagi masjid kerana ruang sekadar itu tidak
boleh untuk bersembahyang padanya. Apa yang ditekankan oleh hadis ini ialah pahala membina
masjid tetap sabit walaupun masjid itu kecil, biar sebanyak mana sumbangan kita.

Hadis-hadis di atas juga mengisyaratkan di sebalik pahala sebegitu besar ini adanya peranan
institusi masjid dalam sesebuah masyarakat. Oleh kerana itulah, setibanya Rasulullah s.a.w. ke
Madinah, baginda merencanakan untuk mendirikan masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam.
Setelah mempersaudarakan antara Muhajirin dan Ansar, baginda mengukuhkan lagi ikatan
masyarakat baru itu dengan tautan aqidah, syariat dan akhlak. Semua ini terpancar dari roh
dan sinar masjid. Persaudaraan bertambah erat dengan pertemuan sesama sendiri sekurang-
kurang lima kali sehari tanpa ada pembeza dari segi darjat, keturunan dan kekayaan. Semuanya
sama-sama datang sebagai hamba Allah. Mereka berada di peringkat yang sama dalam
mengabdikan diri kepada Allah s.w.t. Bermula dari masjid dapat dirancang pelbagai kegiatan
keilmuan, perekonomian dan kemasyarakatan.

Selain itu, ada beberapa hadis yang lain menyebutkan amalan-amalan lain yang membolehkan
seseorang itu mendapat istana di dalam syurga. Antaranya ialah sembahyang sunat rawatib.

‫ بني له بهن بيت في‬،‫ سمعت رسول ال صلى ال عليه وسلم يقول "من صلى اثنتي عشرة ركعة في يوم وليلة‬:‫عن أم حبيبة تقول‬
‫"الجنة‬.

Daripada Ummu Habibah katanya saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesiapa
bersembahyang 12 rakaat dalam sehari dan semalam, dibina untuknya sebuah rumah di dalam
syurga. (Muslim, no: 728)

Dalam riwayat Aishah 12 belas rakaat itu adalah sunat rawatib.

َ ْ‫ مَنْ ثَابَرَ عَلَى ا ْثنَتَىْ عَشْ َرةَ َركْعَةً َبنَى الُّ عَزّ وَجَلّ َل ُه بَيْتاً فِى ال‬:َ‫عنِ الّنبِىّ صلى ال عليه وسلم قَال‬
ً‫جنّةِ أَ ْربَعا‬ َ ‫عنْهَا‬َ ُّ‫عنْ عَائِشَةَ َرضِىَ ال‬
َ
ِ‫ظهْرِ وَ َركْ َعتَيْنِ َبعْدَ ا ْل َمغْ ِربِ وَ َر ْكعَ َتيْنِ بَعْدَ ا ْلعِشَاءِ وَ َر ْكعَ َتيْنِ َقبْلَ ا ْلفَجْر‬ ّ ‫» َقبْلَ ال‬
ّ ‫ظهْرِ وَ َركْ َعتَيْنِ َبعْدَ ال‬

Daripada `Aishah daripada Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesiapa sentiasa melazimi sembahyang
12 rakaat dalam sehari dan semalam, Allah s.w.t. akan binakan untuknya sebuah rumah di
dalam syurga. 4 rakaat sebelum zuhur, 2 rakaat selepas zuhur, 2 rakaat selepas maghrib, 2
rakaat selepas isya’ dan 2 rakaat sebelum subuh. (riwayat al-Nasai’i no: 1795, al-Tirmizi, no:
414,Ibn Majah, no: 1140)

Amalan lain yang membolehkan kita memperolehi rumah di dalam syurga ialah meninggalkan
perbalahan, berdusta dan melazimkan diri dengan akhlak yang mulia.

‫ وببيتٍ في‬،‫ " أنا زعيمٌ ببيتٍ في ربض الجنة لمن ترك المراء وإن كان محقّا‬:‫ قال رسول الّ صلى الّ عليه وسلم‬:‫عن أبي أمامة قال‬
‫ وببيتٍ في أعلى الجنة لمن حسّن خلقه‬،ً‫ لمن ترك الكذب وإن كان مازحا‬،‫"وسط الجنة‬.

Daripada Abi Umamah katanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Saya menjadi penjamin terhadap
rumah di pinggir syurga kepada orang meninggalkan perbalahan walaupun dia yang betul,
terhadap rumah di tengah-tengah syurga bagi sesiapa yang meninggalkan berdusta walaupun
dalam bergurau senda dan terhadap rumah di bahagian atas syurga bagi sesiapa yang
memperelokkan pekertinya. (Abu Daud, no: 4800)

http://www.al-azim.com/masjid/kedudukanmasjid.html

ARTIKEL PILIHAN

Kedudukan Masjid Dalam Islam

Masjid adalah sebuah bangunan yang dikhaskan untuk melakukan amal ibadat kepada Allah
Subhanahu Wata’ala, dan ia merupakan tempat yang mulia dan suci dalam Islam.

Selain dari menjadi lambang kepada syiar Islam, masjid juga sebagai pusat bagi
mengembangkan ajaran-ajaran Islam, pusat perhimpunan yang menyatupadukan umat Islam
kerana di dalamnya umat Islam dapat beribadat dengan lebih khusyuk dan tawaduk, dapat
mengerjakan sembahyang berjemaah, memperolehi ilmu pengetahuan dan dapat menerima
nasihat dan pengajaran demi untuk kebaikan dan kesejahteraan mereka di dunia dan di
akhirat.

Justeru itulah usaha yang mula-mula sekali dibuat oleh Rasulullah s.a.w. semasa baginda
berhijrah ke Madinah al-Munawwarah, ialah mendirikan masjid Quba', iaitu sebuah masjid yang
disifatkan oleh Allah di dalam Al-Quran sebagai masjid yang didirikan atas dasar takwa.

Firman Allah,

Ertinya, sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa semenjak mula-mula dibina
adalah lebih patut engkau mendirikan sembahyang di dalamnya. Di dalam masjid itu terdapat
beberapa orang lelaki yang suka supaya dirinya bersih, sedang Allah kasih kepada orang yang
bersih.

Firmannya lagi,

Ertinya, manakah yang lebih baik, orang yang mendasarkan pembinaan masjidnya atas takwa
kepada Allah dan keredhaannya, atau orang yang mendasarkan pembinaan masjidnya di atas
tepi jurang yang runtuh sehingga ia jatuh bersama-samanya dalam neraka jahanam ? sedang
Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang aniaya.
Kemudian tidak lama selepas Rasulullah menetap di Madinah baginda mendirikan sebuah .lagi
masjid di bandar Madinah yang lebih terkenal dengan Masjid an Nabawi yang juga disifatkan
oleh baginda sebagai "masjid yang telah dibina atas dasar takwa". Sebagaimana diterangkan
oleh baginda di dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Al-Tarmizi dalam "Syarhu Jamiu At-
Tarmizi."

Memandangkan kepada pentingnya pembinaan masjid dalam perkembangan agama Islam


Rasulullah telah menggalakkan umatnya supaya mendirikan masjid di mana sahaja mereka
berkampung, sebagaimana yang diterangkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Saidatina Aishah Radiallahu Anha, katanya ;

Etinya ;Rasulullah s.a.w. telah menyuruh umatnya mendirikan masjid di tempat-tempat


perkampungan dan hendaklah sentiasa dibersihkan dan diharumkan

( Ahmad dan Abu daud dan Al-Tarmizi )

Dalam hadis yang lain pula Rasulullah telah menerangkan kelebihan orang yang mendirikan
masjid atau balasan yang akan didapati oleh orang-orang yang mendermakan hartanya untuk
mendirikan masjid seperti tersebut di dalam sebuah hadis :

Dari Usman Radiallahu Anhu katanya Rasulullah s.a.w. telah bersabda

Ertinya: "barangsiapa membina sebuah masjid semata-mata ikhlas kerana Allah Taala nescaya
Allah taala akan membinakan untuknya sebuah rumah di syurga."

Berdasarkan kepada ayat-ayat Al-Quran dan hadis tersebut jelaslah bahawa seseorang yang
hendak membuat amal jariah mendirikan masjid atau mengeluarkan harta sebagai derma
mendirikan masjid mestilah dengan hati yang ikhlas semata-mata kerana Allah sebagaimana
yang dicontohkan oleh nabi Muhammad s.a.w.. Seterusnya elakkan diri dari mengandungi niat
atau tujuan yang kotor yang tidak diredhai oleh Allah.

Sebagaimana firmannya ;

Ertinya ;Di antara mereka terdapat juga orang-orang yang mendirikan masjid untuk
mendatangkan mudarat dan kufur, dan mencerai beraikan antara orang-orang yang beriman
dan sebagai pengintip kepada orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya semasa dahulu
serta mereka bersumpah dengan katanya, "Tiadalah kami bermaksud untuk memperbuat
masjid ini melainkan semata-mata kebaikan " sedang Allah mengetahui bahawa mereka orang
yang bohong.

Surah At-Taubah ayat 107

http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=144431&kat_id=105&kat_id
1=147&kat_id2=291

Jumat, 31 Oktober 2003


Menata Kembali Manajemen Masjid Indonesia

Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah
dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada
siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk
golongan orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. At Taubah: 9: 18).

Kita sering mendengar bahwa umat Islam masih mengabaikan masjidnya sehingga dimana-mana
masjid terlihat kosong pada saat shalat fardhu, khususnya shalat Subuh. Masjid hanya tampak
penuh saat shalat Jum'at. Ini menjadi bukti bahwa upaya memakmurkan masjid masih sangat
rendah. Namun demikian, hasrat membangun masjid masih tetap tinggi sehingga masjid terus
dibangun dimana-mana.

Masih juga terdapat beberapa fenomena penyimpangan yang sangat mendasar dalam
pengelolaan masjid di Indonesia. Pertama, pengelolaan yang tanpa mengikuti sunnah Rasulullah
SAW. Kedua, ketidakdisiplinan dalam berjamaah, terlihat dengan pakaian yamg beragam bentuk
dan berwarna-warni pada saat shalat Jum'at. Padahal Rasulullah menyontohkan dengan
memakai pakaian polos terutama putih. Selain itu, kerapian dan kebersihan masjid seringkali
tidak terjaga dengan baik. Kertiga, banyak orang kaya yang membiarkan rumah Allah, tempat
mereka bershalat, lebih sederhana daripada rumah dan kendaraannya.

Krisis multi-dimensi berkepanjangan yang melanda negara kita haruslah menjadi momen untuk
melakukan introspeksi. Mungkinkah salah satunya terkait dengan kelalaian kita dalam
mengelola masjid yang belum benar? Ini merupakan persoalan klasik dan sangat mendasar
sehingga perlu diatasi melalui pendekatan secara klasik dan mendasar pula.

Klasifikasi, registrasi dan akreditasi masjid


Kini terdapat banyak pedoman baku (manual) manajemen masjid. Namun, ternyata belum
mencakup hal-hal sebagaimana yang terjadi di zaman Rasulullah. Karena itu perlu dilakukan
berbagai penyempurnaan terhadap manajemen masjid.

Masjid memiliki makna besar dalam kehidupan umat Islam, baik fisik, emosional maupun makna
spiritual. Pemahaman mengenai masjid harus benar-benar terkait dengan unsur ibadah, baik
yang menyangkut hablumminallah maupun hablumminanas. Bagi umat Islam, masjid dapat
dikategorikan dalam dua jenis, yaitu Masjid Allah yang dibangun semata-mata untuk
mendapatkan ridlo Allah dan Masjid Riya yang dibangun bukan atas dasar ketakwaan dan niat
bukan karena Allah. Ciri masjid kedua ini antara lain untuk menimbulkan kemudharatan bagi
umat Islam, memecah belah antara orang mukmin dan didirikan seolah-olah untuk kebaikan.

Masjid adalah rumah Allah. Karena itu, membangun masjid harus diawali dengan niat yang lurus
dan suci, untuk mendapat ridlo Allah semata. Sehingga masjid yang dibangunnya menjadi
tempat perlindungan umat Islam, pembangunan kualitas akhlaq, iman dan taqwa kepada Allah
SWT.

Kehadiran masjid di satu tempat perlu dibuat klasifikasinya sehingga akan terjalin ukhuwah
antara masjid di daerah yang memiliki keterbatasan dengan masjid yang berada di ibu kota
provinsi ataupun pusat. Klasifikasi masjid dapat dilakukan di antaranya berdasarkan luas masjid
dan daya tampung jamaah serta ketersediaan fasilitas pendukung dan usaha pemakmuran
masjid.

Klasifikasi ini berdasarkan lokasi, status, dan fasilitas yang dimiliki masing-masing kategori
masjid tersebut. Bahkan seperti halnya di Malaysia, status masjid juga menunjukkan senioritas
ranking Imam Masjidnya, karena status mereka adalah pegawai kerajaan.

Dari model di atas, masjid di Indonesia dapat diklasifikasikan dengan memberikan tipe bagi
masing-masing strata masjid. Yaitu, tipe A untuk Masjid Negara, tipe B untuk Masjid Akbar, tipe
C untuk Masjid Raya, tipe D untuk Masjid Agung, tipe E untuk Masjid Besar, tipe F untuk Masjid
Jami', dan tipe G untuk Masjid RW.
Masing-masing tipe masjid dapat ditentukan akreditasinya. Misalnya, untuk Masjid Kecamatan
atau Masjid Besar dengan tipe E. Maka dapat diklasifikasikan menjadi masjid tipe E satu
bintang (E 1B atau E*) sampai dengan tipe E lima bintang (E 5B atau E*****). Klasifikasinya
ditentukan berdasarkan ketersediaan fasilitas yang sekaligus menunjukkan kualitas masjid
tersebut. Sehingga masjid dengan tipe E 1B dapat meningkat menjadi tipe E 2B dan seterusnya
sampai menjadi masjid tipe E 5B.

Fasilitas masjid pada umumnya dapat digolongkan sebagai fasilitas utama dan fasilitas
pendukung. Yang termasuk fasilitas utama adalah mimbar, mihrab, tempat adzan, tempat
wudlu, kamar mandi, toilet, menara dan sebagainya. Adapun fasilitas pendukung adalah kantor
pengurus, majelis taklim, perpustakaan, poliklinik, baitul mal, UPZ, Asy Syifa dan lain-lain.
Semakin baik fasilitas dan semakin disiplin dalam mengelolanya, maka akan memperoleh
penilaian dengan akreditasi yang semakin tinggi.

Dalam rangka melakukan penataan, pengorganisasian maupun pembinaan terhadap masjid,


maka setiap masjid harus mencatatkan keberadaannya kepada yang berwenang, yaitu Dewan
Masjid Indonesia yang berada di Masjid Istiqlal atau dewan masjid daerah yang berdomisili di
masjid provinsi. Dengan pencatatan ini, masjid akan mendapatkan Nomor Pokok Masjid (NPM)
yang dikeluarkan secara terpusat oleh Dewan Masjid Indonesia. Nomor ini terdiri atas 11 digit
yang mencantumkan identifikasi strata, tipe, dan lokasi masjid.

Registrasi jamaah
Registrasi jamaah masjid sangat diperlukan sebagai dasar untuk membina jamaahnya. Contoh
pelaksanaan registrasi jamaah sebenarnya sudah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW,
walaupun dengan cara sangat sederhana. Hal ini dapat terlihat dari Hadis Nabi sebagai berikut:
"Ketika Nabi akan shalat maka terlebih dahulu melihat ke arah jamaah, ketika meneliti shafnya
dan beliau mengetahui ada seorang jamaah yang biasanya hadir tidak ada dalam barisan shaf
itu, maka Nabi bertanya: Kemana si fulan? Salah seorang jamaah menyampaikan bahwa yang
bersangkutan sakit. Kemudian setelah menunaikan shalat, Rasulullah mendatangi rumah si
fulan untuk takziyah."

Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi sangat perhatian terhadap jamaahnya. Karena itu, pengurus
atau imam masjid selayaknya mengikutinya. Bahkan setelah shalat Jum'at, dari atas mimbar
Nabi selalu menanyai jamaahnya: "Siapa yang hari ini ada kesulitan atau kekurangan?

" Kemudian Nabi bertanya lagi apakah ada yang telah diberi rezeki Allah dan mempunyai
kelebihan sehingga dapat membantu mereka yang kesulitan dan kekurangan itu? Dengan cara
ini, problematika umat dapat langsung diselesaikan. Selaiknya bila contoh Nabi tersebut dapat
kita praktikkan di tanah air.

Episode yang diceritakan dengan sederhana itu mengandung makna sangat mendalam dan
mendasar. Selaiknya bila pengurus masjid melakukan registrasi jamaahnya, mengetahui dan
peduli keadaan mereka, dan melakukan silaturahmi untuk mengatasi persoalan mereka.

Mengenali setiap jamaah bukanlah hal yang mudah, terlebih bagi masjid besar. Perlu dibuat
suatu sistem yang memudahkan pekerjaan itu dan sekaligus membangun silaturahmi di antara
mereka. Registrasi juga dimaksudkan untuk menumbuhkan keterkaitan jamaah dengan masjid.
Setiap jamaah diberikan nomor keanggotaan dengan Kartu Jamaah Masjid (KJM).

KJM akan terkait dengan Nomor Pokok Masjid (NPM)nya karena dikeluarkan oleh masjid yang
bersangkutan. Jamaah mendapatkan KJM secara cuma-cuma setelah mengajukan permohonan
kepada Pengurus Masjid. Memiliki KJM tertentu bukan berarti ia hanya boleh shalat di masjid
tersebut, melainkan agar jamaah lebih peduli dengan persoalan yang terjadi di masjidnya. Juga
dalam rangka memakmurkan masjid.
Memakmurkan masjid
Masjid sejak zaman Nabi Muhammad SAW telah dijadikan pusat kegiatan umat Islam. Dari
masjid, Rasulullah membangun umat Islam dan mengendalikan pemerintahannya. Sebagaimana
dinyatakan dalam surat At Taubah 18, mereka yang memakmurkan masjid adalah orang yang
mendapat petunjuk dari Allah.

Meski demikian, saat ini masjid masih belum diberdayakan secara proporsional bagi
pembangunan umat Islam. Memang tidak mudah mengajak umat untuk kembali ke masjid
seperti zaman Rasulullah. Persepsi yang berkembang adalah bahwa masjid hanya untuk
kegiatan spiritual belaka, sehingga umat Islam pun tercerai berai dalam persaudaraannya.

Memakmurkan masjid memiliki arti yang sangat luas. Yaitu, menyelenggarakan kegiatan yang
bernilai ibadah. Di antara kegiatan yang tergolong memakmurkan masjid adalah Pengelolaan
Masjid, Majelis Taklim, Taman Pendidikan Alquran, Remaja Masjid, Perpustakaan, Koperasi,
Poliklinik, Unit Pelayanan Zakat (UPZ), Konsultasi, Asy Syifa, Bantuan Hukum, Bursa Tenaga
Kerja, Sekolah, Bank Syariah, BMT, BPRS, Kantor Pos, Penyelenggaraan Haji dan Umroh, Rumah
Sakit, Toko Buku, Pusat Informasi, Wartel, dan sebagainya.

Selanjutnya tingkat kemakmuran masjid sangat dipengaruhi oleh kepengurusan masjid yang
ada. Tanpa takmir yang amanah dan taqwa, masjid nyaris sepi dari berbagai kegiatan ibadah.
Masjid seringkali menjadi simbol kebesaran Islam, namun jauh dari kegiatan memakmurkannya.

Upaya pemakmuran masjid juga dapat dilakukan melalui suatu aliansi antara masjid dengan
Baznas/Bazda dan Babinrohis Pusat/Daerah. Adanya UU No 38 tahun 1999, pemerintah telah
memfasilitasi berdirinya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Badan Amil Zakat Daerah
(BAZDA) serta LAZ (Lembaga Amil Zakat).

Untuk mewujudkan istem penyelenggaraan zakat maka Baznas maupun Bazda dapat
membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang berada di masjid maupun unit-unit usaha. Kerja
sama antara masjid dengan Badan Amil Zakat dan Badan Pembina Rohani Islam (BABINROHIS)
yang ada di Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, BUMN dan swasta secara
berjamaah, diharapkan dapat mengangkat harkat umat melalui program pengentasan
kemiskinan dan peningkatan pemberdayaan ekonomi. Kerja sama ketiga pilar itu akan menjadi
suatu kekuatan yang dahsyat dalam pemberdayaan umat.

Dalam hal ini masjid akan bertindak selaku pengumpul dan penyalur zakat dan infaq. Pengurus
masjid dituntut mengetahui kondisi jamaahnya, siapa saja yang digolongkan mampu (muzakki)
dan siapa yang harus dibantu (mustahiq). Untuk itulah perlunya dilakukan reposisi dan
penataan kembali masjid.

Dengan demikian akan sangat dimungkinkan terlaksananya distribusi zakat secara transparan
dan menyeluruh, seluruh masjid atau jamaah mempunyai kesempatan sama, para pengemis
tidak akan lagi berkeliaran di berbagai tempat karena sudah diurus oleh masjid. Di samping itu,
tidak akan terjadi duplikasi bantuan karena setiap orang hanya terkait dengan satu masjid dan
jamaah yang tidak memerlukan bantuan harian akan diberikan bantuan yang bersifat produktif.

*) Penulis adalah direktur utama PT Taspen (Persero) dan ketua umum


Fokkus Babinrohis Pusat.

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1104/05/0108.htm
Memakmurkan Masjid

Ir. H. BAMBANG PRANGGONO, M.B.A, I.A.I.

KEGIATAN Rasulullah saw. yang pertama ketika hijrah ke Madinah ialah membangun sebuah
masjid. Dindingnya dari tanah liat, tiangnya batang kurma, lantainya pasir dan atapnya pelepah
kurma. Apakah karena kondisi ekonomi masih prihatin? Ternyata tidak.

Dalam kitab Dalail Al-Nubuwwah, Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ubadah ibn Shamit bahwa kaum
Ansar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw. seraya berkata "Wahai Rasulullah,
bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai
kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?"

Beliau menjawab, "Aku mau seperti saudaraku Nabi Musa a.s., masjidku cukup seperti arisy
(gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s. Hasan menjelaskan bahwa ukuran arisy Musa a.s.
adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh. Kisah itu
membuktikan bahwa kesederhanaan arsitektur Masjid Nabawi yang asli di Madinah bukanlah
karena kurang biaya. Tetapi memang disengaja oleh Rasulullah saw. untuk diteladani umat
Islam.

Beliau bersabda. "Aku tidak diutus untuk menghias-hias masjid". Dalam Hadis lain beliau
bersabda, "La taqumu al-sa'ah hatta yatabahannasu bil masajid" tidak datang saat kehancuran
sampai manusia berlomba bermegah-megahan dengan masjid-masjid. Masih banyak lagi hadis
serupa, misalnya yang terdapat dalam kitab At-Targhih wa at-Tarhib bahwa sahabat Anas r.a.
pernah keluar menyertai Rasulullah saw. Lalu tampak oleh beliau bangunan tinggi berkubah.

Beliau bertaya, "Apa itu?" Para sahabat menjawab bahwa itu adalah kubah milik si Fulan, orang
Ansar. Rasulullah saw. bersabda, "Semua bangunan megah akan menjadi beban bagi pemiliknya
di hari kiamat." Maka sahabat Ansar tadi dengan patuh meruntuhkan kubah itu. Lantas
Rasulullah saw. mendoakannya dua kali, "Yarhamullah, yarhamullah" Semoga Allah merahmati
dia. Prinsip bangunan masjid sederhana ini dipegang teguh oleh beliau sampai wafat.

Ini diteruskan oleh empat Khulafa'ur rasyidin, Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali r.a. Mereka
adalah para khalifah yang paling saleh dan paling paham tentang Islam. Di zaman merekalah
wilayah Islam meluas dengan pesat meliputi kerajaan Mesir, Persia, dan Rumawi. Tetapi di
tengah melimpahnya harta dari segala penjuru, arsitektur masjid Nabawi tetap sederhana
sesuai pedoman Rasulullah saw., walaupun ukuran masjid mengalami perluasan berkali-kali.

Baru setelah Muawiyah, anak Abi Sufyan menjadi khalifah, negara diubah menjadi kerajaan dan
ibu kota pindah dari Madinah ke Damaskus. Dia dan keturunan hidup bermewah-mewah
membangun istana pribadi berkubah hijau dan juga masjid Umayah yang megah. Pelanggaran
prinsip ini berkelanjutan sepanjang sejarah Islam. Masjid-masjid mulai dibangun dengan
arsitektur semakin mewah di seluruh dunia.

Bila sejarah diteliti, maka akan terungkap bawah sebagian besar istana masjid-masjid
monumental itu dibagun oleh penguasa yang perilakunya tidak terlalu islami. Barangkali untuk
mengimbangi rasa bersalah kemewahan hidupnya, mereka membangun juga masjid yang
megah. Raja-raja yang saleh biasanya tidak meninggalkan arsitektur masjid mewah. Arsitek
masjid megah tedapat dari Maroko sampai Spanyol. Dari Turki sampai India, Iran, sampia Asia
Tenggara.

Termasuk masjid Nabawi di Madinah sendiri saat ini dibangun super mewah, dan sangat boros
energi. Saking mahalnya sampai pintu dikunci jam 10 malam, takut ada pencuri hiasan emas
murni di dalamnya. Dan anehnya kita ikut berbangga untuk hal yang dikecam oleh Rasulullah
saw. Alasan klasik biasanya ialah, demi syi'ar Islam, bangunan masjid harus melebihi megahnya
gereja dan kuil. Tetapi adakah hal itu diperintahkan dalam Alquran atau hadis atau ucapan
sahabat?

Sayang sekali perintah itu tidak ditemukan, yang ada justru kecaman. "Alhakum at-takatsur
hatta zurtumu al-maqobir". Kalian dilengahkan oleh berlomba kemegahan dan kuantitas,
sampai ke tepi liang kubur.(At-Takatsur 1,2). Memang ada hadis, "Inna'llaha jamilun yuhibbu al-
jamal" Allah itu indah dan Dia cinta keindahan. Namun ketika keindahan itu harus dibayar
mahal perbuatan itu bisa masuk kategori isrof (berlebihan), yang justru dibenci Allah dalam
Alquran Al-An'aam: 141: "Innahu lau Yuhibbu al-musrifin". Sesungguhnya Dia Allah tidak
mencintai orang yang berlebihan.

Kita hanya mengagumi tampilan fisik tetapi lupa akan jiwa dan niat dan aktivitas masjid.
Padahal Rasulullah saw. bersabda, "Inna 'Illaha la yandzuru ila suwarikum wala ila amwalikum.
Walakin yandzuru ila qulubikum wa a'alikum" Sesungguhnya Allah tidak melihat penampilanmu
dan kekayaanmu. Melainkan Dia melihat hatimu dan amalmu. Bila prinsip ini diterapkan kepada
penilaian masjid, maka yang dinilai seharusnya bukan hal fisik keindahan luar seperti tingginya
kubah dan menara, mengkilatnya lantai granit dan empuknya permadani. Mahalnya lampu
kristal. Indahnya ukiran ornamen di mimbar dan kaligrafi di dinding. Melainkan hal yang lebih
abstrak berupa ketulusan niat membangun masjid, keikhlasan pengurus.

Kemakmuran salat berjama'ah sejak salat subuh, kreativitas pemuda, kesucian sumber dana,
kejujuran penyaluran dana, dan efektivitas dakwah yang dirasakan oleh masyarakat sekitarnya.
Kebersihan fisik memang dianjurkan oleh Rasulullah saw., dengan melarang meludah dan
makan sejenis bawang bila masuk masjid. Tetapi kebersihan batin juga disyari'atkan, dilarang
berjual beli dan mengumumkan barang hilang di masjid.

Niat juga penting. Allah SWT memerintahkan menghancurkan masjid dlirar yang bagus di
Madinah, hanya karena niat buruk kaum munafik yang membangunnya untuk memecah belah
kaum Muslimin. Paradigma arsitektur masjid harus dikoreksi. Tampilan fisik masjid tidak
penting. Keindahan bukan prioritas pertama. Fungsi pokok masjid harus didahulukan. Tegaknya
syari'at di lingkungan sekitar masjid, kekompakan persaudaraan Islam, Kepekaan terhadap
kesenjangan sosial adalah standar yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para penerusnya.
Setelah sasaran itu terlaksana, barangkali tidak mengapa sisa dana dipakai memperindah
masjid. Wallahu a'lam.***

Penulis Ketua Korps Mubalig, Dewan Masjid Indonesia, Jawa Barat.

http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3016&Itemid=63

Menyuap Malaikat, Membeli Surga!


Rabu, 19 April 2006

Ada banyak koruptor yang rajin bersedekah dan menyantuni anak yatim. Ada artis-artis erotis
yang membangun masjid dan pesantren. Inilah femonema 'membeli surga'

Oleh: Nasrulloh Afandi *


Membeli surga? Rasanya kok mengada-ada. Tapi fenomena seperti ini banyak kita rasakan dan
cukup “ngetrend” di negeri kita. Gelombang “simbolis religius” akhir-akhir ini banyak terjadi,
khususnya di kalangan artis, pejabat dan orang-orang superkaya. Surga dan malaikat, seolah-
olah bisa disuap dengan uang dan harta kekayaan mereka.

Meski tak banyak, ada saja kalangan pejabat yang nampak alim ketika pulang kampung.
Bersedah kemana-mana, membantu masjid dan royal pada anak yatim. Sebaliknya, di luar
rumah, dia justru di kenal sebagai pejabat paling korup dan suka memarkup dana APBN/APBD.

Pernah suatu kali, di sebuah surat pembaca konsultasi fikih di majalah Islam, seseorang
pembaca bertanya, “Ustad, sebelum ramai-ramai istilah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),
saya bergelimang uang haram. Bisakah dosa saja terhapus bila kami sumbangkan pada yayasan
Yatim Piatu?’

Ini adalah fenomena nyata di masyarakat. Artis-artis kita, nampak sopan di kala Ramadhan.
Seorang penyanyi erotis seperti Inul Dara Tista, bahkan berjanji mengenakan jilbab bila di
panggung selama puasa. Artis-artis lain juga beramai-ramai bersedekah. Meski selesai
Ramadhan, kegiatannya mengundang syahwat kembali lebih ‘gila’ dari bulan puasa.

Uang, seolah bisa “menyuap malaikat Rokib”, malaikan pencacat amal ibadah.Inilah adalah
fenomena “pragmatisme ibadah”, yang dilematis bagi Muslimin.

Makelar Surga

Para artis dan para koruptor, yang mulutnya sering meletup-letup memproklamirkan diri
katanya “cinta agama”, mayoritas –mestik tidak untuk dimaksud tidak semuanya-- mereka
adalah para “makelar surga” paling berpengaruh. Di depan publip, ia mempromosikan, bahwa
surga adalah “komoditas” yang bisa diraih dengan bermodal materi.

Kalaulah hal itu dianggap ibadah sampingan, tentu tidak masalah. Ironisnya mengesampingkan
esensialitas ibadah kepada Allah SWT. Memang, dalam hati kecilnya, mereka pun mungkin takut
atas dosa-dosanya. Namun magnet godaan setan dengan umpan fatamorgana duniawi eksis
lebih kuat mengalahkan keimanannya.

Kroposnya akar-akar Islam “di lapangan Ibadah”, baik vertical (kepada Allah) maupun
horizontal (sesama ummat beragama), adalah resiko dominan dari “komoditas surga”.

Faktor utamanya, mereka, umumnya berpikir pragmatis. Bahwa dalam konteks ibadah cukup
mengeluarkan sebagian duitnya saja. Naifnya lagi, sering tanpa memperdulikan uang halal atau
haram. Lebih menggelikan, ada yang berceletuk , "Berbuat demikian itu lebih baik, daripada
tidak sama sekali ".

Karena itu, para koruptor, yang tak malu mengeruk duit rakyat atau artis, tak terkecuali artis
bintang porno, yang mempublikasikan diri melalui berbagai media massa secara gegap gempita
menjadi “santri” dan sopan. Bergagah-gagahan berebut membangun masjid-masjid dan
menyantuni para yatim piatu dengan mengundang wartawan.

Seolah-olah mereka adalah "teladan beribadah” bagi segenap Muslimin. Ia hanya ingin
menunjukkan pada public, sesungguhnya, surga masih bisa dibeli. Fenomena tak menarik
seperti ini jelas jauh dari autentisitas ibadah secara syar’i.

Hak surga dan neraka adalah perogratif Allah SWT sebagamana surat yang berbunyi, “Dia
(Allah) mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-
Nya. Kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala
sesuatu." (QS 5:18).
Tapi merupakan kesalahan fatal, bila ada manusia bermaksud "mengaveling surga", hanya
dengan mengandalkan seonggok harta. Apalagi, I’tikad dari ibadahnya itu tetap tidak merubah
kebiasaan buruk sehari-hari.

Islam adalah agama yang tak bisa dipraktekkan seenaknya. Ada syarat dan rukun dalam ibadah.
Dan itu tidaklah berdasarkan karangan akal-akalan.

Dalam perspektif hukum fiqih, empat madzahib fuqoha ahlissunnah waljama'ah (Imam Hambali,
Imam Maliki, Imam Hanafi dan Imam Syafi’i) ada kesepakatan, bahwa generalitas dalam
beribadah selain ada rukun yang dilaksanakan, juga sebelum memulai ibadah terlebih dulu
harus memperhatikan terhadap syarat-syaratnya.

Selain ada syarat diwajibankannya (beribadah), utamanya harus memenuhi syarat syah, agar
sesuai prosedur (ibadah)nya menjadi syah.

Beragama jelas ada prosedurnya. Bolehkan membangun pesantren dengan uang hasil
memamerkan aurat badan di berbagai media massa? Misalnya hasil dari goyang erotis? Jelas
tidak. Beribadah jelas ada ketentuannya. Misalnya, Meski sama-sama air, tidak boleh mencuci
lantai masjid dengan air kencing. Ini sama halnya menyantuni anak yatim dengan uang hasil
korupsi.

Dalam Qawa’id al-Fiqh, dikenal “al-Ashlu baqou ma kana a’la makana” (hukum sesuatu hal, itu
sesuai dengan kondisi asalnya). Umpamanya, uang haram dijariahkan ke masjid, maka tetap
haramlah hukum menyalurkan duit (haram) itu.

Sedekah atau dermawan, memang dianjurkan. Namun dengan harta haram, dalam konteks
ibadah, hal itu hanya melaksanakan rukun, sedangkan menafikan syarat (ibadah) tentunya
menyebabkan tidak syah.

Sebuah hadis mengatakan, “Dan memang, harta itu, hisabnya (pertanggung jawaban di
hadapan Allah) dua hal; dari mana (dengan cara apa) diperoleh, dan untuk apa dipergunakan.”
(HR. at-Tirmidzi dari Abu Barzah R.A.).

Karena itu, Nabi pernah menghancurkan masjid dhirar karena karena dianggap dapat memecah
belah umat dan menimbulkan keresahan. Jika hanya menggunakan akal, penghancuran itu jelas
perbuatan tidak waras. Bukankah masjid adalah rumah Allah tempat orang bersujud?

Karenanya, tidaklah tepat, menjadikan hal haram atau subhat itu, sebagai argumentasi "untuk
mencari modal" beribadah. Bukankah sangat banyak jalan untuk mencari rezeki sekaligus tanpa
mencampakkan konstitusi (syariat) Ilahi?

Bila beribadah orientasinya masuk surga-menjauhi neraka, otomatis signifikan mengikis kualitas
orisinilitas ibadah. Perspektif Tauhid adalah termasuk asy-Syirku al-Asghar (bagian dari
penyekutuan kepada Allah SWT).

Efek Samping

Kompfleksnya sistem media informasi, berperan aktif menularkan hedonisme. Kenaifan itu pun
telah kronis mewabah ke plosok-plosok. Kini di daerah-daerah pun telah "ngetrend" terjangkit
virus "Menyuap Malaikat-Membeli Surga". Berujung semakin terpinggirkannya implementasi
kualitas ibadah.

Fenomenanya, mereka mau menyumbangkan materi untuk pembangunan masjid, namun berat
untuk melangkahkan kaki shalat berjamaah ke masjid. Atau marak pula (orang-orang daerah)
gemar menyumbangkan duit untuk acara-acara pengajian/majlis ta’lim, namun enggan
mengikuti pengajian di majlis yang didonasinya itu.

Inilah, kaum hedonis (pemuja harta) yang gede rasa (GR) bisa “membeli surga”. Prinsipnya,
“Boleh berpuas-puas berbuat dosa dengan kemewahan harta, termasuk cara (haram)
memperoleh hartanya. Toh, dengan harta itu, akan mampu ‘menyuap malaikat sekaligus
membeli surga!’ .”

Allah berfirman, “Akan datang suatu hari, yaitu pada hari di mana tidak bermanfaat lagi harta
dan anak-anak. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (QS. Asy-
Syu'araa': 88-89)

Melaksanakan perintah Alah dan menjauhi laranganNya sesuai orisinilitas syariat itulah
sesungguhnya esensi dari kehidupan manusia dan beribadah. Karenanya, bagi mereka yang
merasa bisa "menyuap malaikat dan membeli surga", Anda jangan merasa GR!. Wa Allohu
A'lamu bi ash-Showab.

*) Penulis adalah alumnus pesantren Lirboyo Kediri, aktivis muda NU, sedang "mengasingkan
diri" di universitas Karaouiyine Maroko

http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=795&bagian=0

Memperindah Masjid Dan Bermegah-Megahan Dengannya

Rabu, 9 Juni 2004 10:06:40 WIB


Kategori : Hadits

MEMPERINDAH MASJID DAN BERMEGAH-MEGAHAN DENGANNYA

Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil

MUKADIMAH
Artikel ini diambil dari sebagian kecil Tanda-Tanda Kiamat Shugro, yang dimaksud dengan
tanda-tanda kiamat shugro (kecil) ialah tanda-tandanya yang kecil, bukan kiamatnya. Tanda-
tanda ini terjadi mendahului hari kiamat dalam masa yang cukup panjang dan merupakan
berbagai kejadian yang biasa terjadi. Seperti, terangkatnya ilmu, munculnya kebodohan,
merajalelanya minuman keras, perzinaan, riba dan sejenisnya.

Dan yang penting lagi, bahwa pembahasan ini merupakan dakwah kepada iman kepada Allah
Ta'ala dan Hari Akhir, dan membenarkan apa yang disampaiakan oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, disamping itu juga merupakan seruan untuk bersiap-siap mencari bekal
setelah mati nanti karena kiamat itu telah dekat dan telah banyak tanda-tandanya yang
nampak.

Diantara tanda-tanda lainnya yang menunjukkan dekatnya kiamat ialah orang-orang


memperindah, menghias, bermegah-megahan dalam membangun masjid serta membangga-
banggakannya. Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berasabda.

“Artinya : Tidak akan datang kiamat sehingga manusia bermegah-megahan dalam


membangun masjid” [Musnad Ahmad 3 : 134 dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul
Ummal. Al-Albani berkata “Shahih”. Lihat : Shahih Al-Jami’ush Shagir 6 : 174, hadits
nomor 7298]

Dan dalam riwayat Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dari Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Diantara tanda-tanda telah dekatnya kiamat ialah orang-orang bermegah-


megahan dalam membangun masjid”. [Sunan Nasa’i 2 : 32 dengan syarah As-Suyuti. Al-
Albani mengesahkannya dalam Shahih Al-Jami’ush Shaghir 5 : 213, nomor 5771, Shahih Ibnu
Khuzaimah 2 : 282, hadits nomor 1322-1323 dengan tahqiq Dr Muhammad Musthafa Al-
A’zhami. Beliau berkata “Isnadnya shahih”]

Al-Bukhari berkata : Anas berkata, “Orang-orang bermegah-megahan dalam membangun


masjid, kemudian mereka tidak memakmurkannya kecuali hanya sedikit. Maka yang dimaksud
dengan At-Tabaahii (bermegah-megahan) ialah bersungguh-sungguh dalam memperindah dan
menghiasinya”.

Ibnu Abbas berkata , “Sungguh kalian akan memperindah dan menghiasinya sebagaimana
orang-orang Yahudi dan Nasrani memperindah dan menghiasi tempat ibadah mereka” [Shahih
Bukhari, Kitab Ash-Shalah, Bab Bunyanil Masajid 1 : 539]

Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu melarang menghiasi masjid dan memperindahnya,
karena yang demikian itu dapat mengganggu shalat seseorang. Dan ketika beliau
memerintahkan merehab Masjid Nabawi, beliau berkata, “Lindungilah manusia dari hujan,
dan janganlah engkau beri warna merah atau kuning karena akan memfitnah (mengganggu)
manusia” [Shahih Bukhari 1 : 539]

Mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada Umar, karena orang-orang tidak mau
menerapkan wasiatnya, bahkan mereka tidak hanya memberi warna merah atau kuning, tapi
sudah lebih dari itu hingga mengukir dan melukis masjid seperti melukis pakaian. Dan para Raja
dan Khalifah sudah bermegah-megahan dalam membangun masjid sehingga sangat
mengagumkan. Masjid-masjid yang dibangun dengan kemegahan semacam itu sebagaimana
yang ada di Syam, Mesir, Maroko, Andalus dan sebagainya. Dan sampai sekarang kaum muslimin
senatiasa berlomba-lomba dan bermegah-megahan dalam memperindah dan menghiasi masjid.

Tidak disangsikan lagi bahwa memperindah, menghiasi dan bermegah-megahan dalam


membangun masjid termasuk perbuatan berlebih-lebihan dan mubadzir. Padahal,
memakmurkan masjid itu adalah dengan melaksanakan ketaatan dan berdzikir di dalamnya,
dan cukuplah bagi manusia sekiranya mereka sudah terlindung dari panas dan hujan di dalam
masjid. Sungguh diancam dengan kehancuran apabila masjid-masjid sudah diperindah dan
mushaf-mushaf sudah dihiasi sedemikian rupa. Al-Hakim At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu
Darda’ Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.

“Artinya : Apalagi kamu sudah menghiasi (memperindah) masjid-masjidmu dan mushaf-


mushafmu, maka kehancuran akan menimpamu” [1]

Al-Munawi [2] berkata , “Maka memperindah masjid dan menghiasi mushaf itu terlarang,
sebab dapat menggoda hati dan menghilangkan kekhusyu’an, perenungan, dan perasaan
hadir di hadapan Allah Ta’ala. Menurut golongan Syafi’iyah, menghiasi masjid atau
Ka’bah dengan emas atau perak adalah haram secara mutlak, dan dengan selain emas dan
perak hukumnya makruh” [Faidhul Qadir 1 : 367]

[Disalin dari kitab Asyratus Sa’ah edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, oleh Yusuf bin
Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA, Terbitan CV Pustaka Mantiq, hal.111-112]
_________
Foote Note
[1] Shahih Al-Jami Ash-Shagir 1 : 220, hadit nomor 599, Al-Albani berkata, “Isnadnya hasan”. Dan
beliau menyebutkan dalam kitab Silsilatul Ahaditsish Shahihah 3 : 337, hadit nomor 1351 bahwa hadist ini
diriwayatkan oleh Al-Hakim At-Tirmidzi dalam kitab Al-Akyas Wal-Mughtarrin, halaman 78 dari Abu Darda
secara marfu.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dengan mendahulukan dan mengakhirinya (membalik
susunannya) dalam Kitab Az-Zuhdi halaman 275, hadits nomor 797 dengan tahqiq Habibir-Rahman Al-
Azhami. Dan Al-Bani menyebutkan isnad Ibnu Mubarak dalam As-Silsilah dengan mangatakan, ‘Ini adalah
isnad yang perawi-perawinya adalah perawi-perawi kepercayaan, perawi-perawi Muslim, tetapi saya tidak
tahu apakah Bakar bin Suwadah (yang meriwayatkan dari Abu Darda) ini mendengar dari Abu Darda’
atau tidak ?” Hadits ini disebutkan oleh Al-Baghawi dalam Syarah As-Sunnah 2 ; 350 dan beliau
menisbatkannya kepada Abu Darda’.
As-Suyuthi menisbatkannya di dalam Al-Jami’ush Shagir halaman 27 kepada Al-Hakim dan Abu Darda’
dan memberi siyarat dha’if. Demikian pula Al-Munawi mendhaifkannya dalam Faidhul Qadir 1 ; 367,
hadits nomor 658.
[2] Belaiu adalah Zainuddin Muhammad bin Abdur Ra’uf bin Tajul Arifin bin Ali bin Zainul Abidin Al-
Haddadi Al-Munawi. Beliau memiliki delapan buah karangan, terutama dalam bidang hadits, biografi, dan
sejarah. Beliau wafat di Kairo pada tahun 1031H. Semoga Allah merahmati beliau. Lihat Al-A’lam 6 :
204

http://www.mediamuslim.info/index.php?option=com_content&task=view&id=238&Itemid=15

Pelajaran dan Faedah Kisah Ashabul Ukhdud


Dikirim oleh Kontributor || Senin, 28 Agustus 2006 - Pukul: 06:17 WIB

Dari kisah Ashabul Ukhdud yang telah terlebih dahulu dikontribusikan, terdapat berbagai
pelajaran dan faedah yang dapat kita petik kemudian dipahami, dipelajari dan diamalkan.
Sehingga kisah ini bukan hanya menjadi pengantar tidur ataupun pengetahuan belaka namun
memberikan manfaat bagi kehidupan kita di dunia dan akhirat. Amiin

Di antara rentang waktu tertentu Alloh menyiapkan orang-orang yang menegakkan menara
agamanya dan menyebarkannya di muka bumi. Sebagaimana Dia menyiapkan pemuda ini untuk
menjadi sebab berimannya kaumnya. Hal seperti ini terjadi pula pada umat ini dalam bentuk
yang lebih agung dan lebih besar. Alloh telah menyiapkan orang-orang yang menyebarkan,
menjaga, dan membela agamanya.

Raja memilih pemuda ini untuk dididik menjadi penyihir yang dapat menopang kekuasaannya,
akan tetapi Alloh menghendakinya menjadi seorang dai shalih yang menghancurkan
kerajaannya dan memberi petunjuk manusia kepada agama yang benar. Dan hal ini
mengandung pelajaran bagi orang-orang yang mengambil pelajaran. Alloh menyiapkan untuk
agama-Nya orang-orang yang tumbuh di rumah para thaghut agar mereka menjadi dai-dai
pemberi petunjuk.

Iman tidak memerlukan waktu yang lama untuk bersemayam di dalam jiwa dan hidup di dalam
hati. Kaum pemuda itu yang rela dengan siksa Neraka dunia, maka iman mereka hanya
berlangsung beberapa saat saja. Sama dengan mereka adalah para tukang sihir Fir'aun.
Ancaman siksa Fir'aun tidak menyurutkan mereka dari iman.

Kadangkala Alloh menampakkan karomah melalui sebagian wali-Nya untuk mendukungnya


dengannya dan meneguhkan iman dan keyakinannya. Pemuda ini bukanlah sembarang pemuda.
Alloh telah menjawab doanya sehingga binatang itu mati karenanya. Alloh menyembuhkan
orang buta dan berpenyakit sopak melalui tangan sang pemuda, juga mengobati orang-orang
sakit. Alloh menjawab doanya sehingga dia terbebas dari usaha pembunuhan dan justru bala
tentara raja yang diperintahkan untuk membunuhnya, merekalah yang mati.

Mengorbankan jiwa fi sabilillah bukan sedikit pun termasuk bunuh diri. Pemuda ini
membeberkan cara yang dengannya raja bisa membunuhnya. Sebagian dari orang-orang
mukmin ada yang dilempar ke dalam api, ada pula yang terjun sendiri. Tujuan mereka bukanlah
bunuh diri, akan tetapi hal itu mengandung penghinaan kepada para thaghut dan keridhaan
dari Rabbul alamin.

Kuatnya permusuhan orang-orang kafir terhadap orang-orang mukmin. Raja dan bala
tentaranya telah menggergaji penasihatnya dan pendeta, lalu mereka membakar manusia
dengan api.

Penjagaan Alloh terhadap para wali-Nya dan penghinaan-Nya terhadap musuh-musuh-Nya. Alloh
telah menjaga pemuda ini dari usaha pembunuhan, menjawab doanya, dan membinasakan
orang-orang yang hendak mencelakainya.

Kewajiban sabar atas cobaan yang menimpa pada jalan Alloh sebagaimana sikap pendeta,
penasihat raja, dan pemuda ini yang bersabar sebagaimana orang-orang mukmin dibakar api
dengan kesabaran.

Dibolehkan berdusta dalam perang dan yang sejenisnya. Pendeta ini menunjukkan kepada
pemuda itu cara menjawab penyihir jika dia menanyakan keterlambatannya dan cara
menjawab keluarganya jika dia menanyakan keterlambatannya.

Alloh menampakkan kepada orang-orang zhalim akan kelemahan dan ketidakmampuan mereka.
Pemuda ini telah membuat raja pengklaim ketuhanan ini benar-benar mati kutu. Dia tidak
mampu membunuhnya, walaupun dia sangat lalim dan bengis. Kelemahananya semakin kentara
manakala dia menuruti petunjuk pemuda itu agar bisa membunuhnya.

Penegak akidah terkadang melemah dalam memikul siksaan. Karena kerasnya penyiksaan, dia
mungkin membocorkan rahasia yang semestinya tidak boleh dibocorkannya. Di bawah kerasnya
siksaan, penasihat raja yang sembuh dari kebutaan itu menunjuk nama si pemuda. Begitu pula
si pemuda, dia menyebut nama pendeta ketika berada di bawah kerasnya siksaan. Walaupun
demikian, pengakuan ini tidak menurunkan kedudukan keduanya. Keduanya memikul siksaan
yang menjadi sebab kematian mereka manakala keduanya diminta untuk mundur dari akidah
dan kafir kepada Alloh.

Murid bisa saja afdhal dari gurunya. Pemuda ini mewujudkan apa yang tidak diwujudkan oleh
pendeta, namun pemuda itu menjadi seperti itu karena petunjuk pendeta.

Hadis ini membantah orang-orang yang mengklaim bahwa berbuat baik tidak akan bermanfaat
dalam dakwah kepada Alloh dan bahwa kewajiban kaum muslimin adalah menegakkan hukum
Islam. Adapun menyibukkan diri dengan memberi makan orang yang lapar, memberi pakaian
kepada orang telanjang, membangun masjid-masjid dan rumah-rumah sakit, maka semua itu
sia-sia belaka. Hadis ini membantah mereka. Alloh telah membuat pemuda ini mampu
menyembuhkan berbagai macam penyakit, seperti kebutaan dan penyakit sopak. Hal itu
menjadikan orang-orang berkait dengannya dan menerima dakwahnya.

Di muka bumi terdapat para raja lalim yang mengklaim diri sebagai tuhan. Mereka
mengiklankan diri mereka sebagai tuhan lain selain Alloh, seperti Fir'aun, Namrud, dan raja
bengis yang membakar orang-orang mukmin.

Para penyokong kejahatan selalu berusaha agar kejahatan mereka berlangsung terus sesudah
mereka, seperti penyihir ini yang berusaha mewariskan ilmunya yang rusak agar tetap hidup
dan menyesatkan manusia.

(Sumber Rujukan: Shahih al-Qashash, DR. Umar Sulaiman Al-Asyqar.)


http://syariahonline.com/new_index.php/id/8/cn/3887

Konsultasi : Zakat

Zakat Profesi/Mal Untuk Bangun Masjid

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum wr.wb.
Di daerah saudara kami, kebetulan belum memiliki masjid, dan alhamdulillah warga sudah
mulai merencanakan untuk membangun masjid dengan biaya swadaya. Sehubungan dengan
zakat profesi atau zakat mal, apakah bisa disalurkan untuk membangun masjid tersebut ?
Jazakumullahu khairal jaza atas jawabannya.
Wassalamu'alaikum wr.wb.
Jauhar

Jauhar

Jawaban:

Assalamu `alaikum Wr. Wb.


Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa
`Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d

Sebenarnya berkenaan dengan siapa saja yang berhak untuk mendapatkan dana zakat, Allah
SWT telah menentukan dengan tegas dan jelas. Sehingga kita tidak perlu terlalu repot dalam
menjawab masalah ini.

Di dalam Al-Quran Al-Karim, aturan tentang siapa saja yang berhak mendapatkan dana zakat
disebutkan yaitu :

1. Orang-orang fakir
2. Orang-orang miskin
3. Pengurus-pengurus zakat
4. Para mu'allaf yang dibujuk hatinya
5. Budak,
6. Orang-orang yang berhutang
7. Untuk di jalan Allah (jihad)
8. Mereka yuang sedang dalam perjalanan

Lengkapnya ayat itu demikian :

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-
pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-
Taubah : 60).

Kalau kita cermati satu persatu, maka kita memang tidak menemukan masjid sebagai mustahik
zakat. Kecuali bila akan diqiyaskan dengan kelompok yang ke-7 yaitu kepentingan jihad fi
sabilillah.

Namun qiyas ini pun masih meninggalkan perbedaan dan kritik. Karena ayat itu menegaskan fi
sabilillah, dimana di zaman Rasulullah SAW, yang dimaksud adalah jelas-jelas sebagai perang
demi membela Islam. Sebagian ulama kontemporer memang ada yang mencoba menafsrikan
dan meluaskan cakupan fi sabilillah. Misalnya Dr. yusuf Al-Qaradawi menyebutkan dalam Fiqhuz
Zakat.

Beliau menyebutkan misalnya sebuah lembaga dakwah atau islamic center di sebuah negeri
minoritas muslim tentu sangat layak mendapatkan dana zakat ini, karena pada hakikatnya yang
dilakukan oleh Islamic Center ini tidak lain adalah memperjuangkan agama Islam.

Bahkan bila Islamic Center itu adanya di negeri muslim sekalipun tetapi memiliki peranan besar
dalam memperjuangkan Islam, termasuk yang bisa dikategorikan fi sabilillah.

Di masa sekarang ini, umat Islam pun sedang menghadapi peperangan yang sangat dahsyat dari
pihak musuh yang bersekutu. Bahkan tidak saja menggunakan senjata konvensional, tetapi juga
dengan segala sarana seperti media massa, organisasi, LSM, kampanye dan sejenisnya.

Para musuh Islam berusaha memurtadkan umat Islam dengan sekian banyak program yang
mereka gariskan. Karena itu sudah sewajarnya umat Islam bertahan dan juga memasang jurus
yang minimal sama untuk membendung arus pemurtadan kontemporer itu. Sehingga menurut
sebagian ulama, jihad fi sabilillah di masa kini mencakup juga mendirikan sekolah, Islamic
Center, lembaga / organisasi dakwah dan sejenisnya. Dimana misinya adalah memperjuangkan
kepentingan umat Islam dan demi tegaknya syarait Islam.

Berangkat dari ijtihad seperti itu, maka bila masjid itu memang memiliki peran tersendiri
dalam perjuangan menegakkan Islam, maka bisa saja dikategorikan sebagai fi sabililah. Apalagi
bila masjid itu dibangun di wilayah minoritas Islam, atau di wilayah yang penduduknya muslim
namun kurang sekali pengamalan Islamnya, sehingga keberadaan masjid itu memang menjadi
sebuah nilai perjuangan tersendiri karena bermisi menegakkan Islam.

Sedangkan bila masjid itu dibangun sekedar untuk bermegahan atau main gengsi para
pngurusnya dengan kemegahan bangunan, sementara setelah itu masjid itu ditinggalkan karena
tidak ada yang shalat, atau tidak punya program Islamisasi yang jelas dan pasti, maka
penggunaan dana zakat itu menjadi dipertanyakan.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,


Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1620&bagian=0

Membelanjakan Atau Menyalurkan Zakat Untuk Pembangunan Masjid ?


Jumat, 21 Oktober 2005 06:37:26 WIB
Kategori : Zakat

MEMBELANJAKAN ATAU MENYALURKAN ZAKAT UNTUK PEMBANGUNAN MASJID ?

Oleh
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukumnya membelanjakan zakat untuk
pembangunan masjid ? Siapakah orang fakir itu ?

Jawaban
Pembelanjaan (penyaluran) zakat tidak boleh dilakukan kecuali kepada delapan golongan yang
telah disebutkan oleh Allah, karena Allah menyebutkan hal itu dengan pola pembatasan yakni
dengan ‘innama’, Dia berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang


miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang
sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah ; dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana” [At-Taubah : 60]

Sehingga tidak boleh dibelanjakan untuk pembangunan masjid, pengajaran ilmu dan
semacamnya, sedangkan sedekah yang sunnah (bukan zakat) yang paling utama adalah
disalurkan pada pos yang bermanfaat.

Adapun orang fakir yang berhak menerima zakat adalah orang yang tidak mampu mencukupi
dirinya sendiri dan mencukupi keluarganya sepanjang tahun disesuaikan dengan waktu dan
tempat, bisa jadi dengan seribu riyal di suatu waktu dan di suatu tempat dianggap sebagai
orang kaya, sedangkan di waktu dan tempat yang lain tidak dianggap sebagai kaya disebabkan
oleh mahalnya biaya hidup, dan yang semisal dengan itu.

Pertanyaan.
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah zakat digunakan untuk membangun
masjid, melaksanakan firman Allah Ta’ala tentang keadaan ahli zakat ‘wa fi sabilillah’
[At-Taubah : 60] ?

Jawaban.
Sesungguhnya pembangunan masjid tidak masuk dalam lingkup kandungan makna firman Allah
Subahanhu wa Ta’ala ‘wa fi sabilillah’ karena makna yang dipaparkan oleh para mufasir
(ahli tafsir) sebagai tafsir dari ayat ini adalah jihad fi sabilillah ; karena kalau kita katakan,
‘Sesungguhnya yang dimaksud dari fi sabilillah adalah semua yang mengarah kepada
kebaikan maka pembatasan pada firmanNya.

“Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir….”

Menjadi tidak ada gunannya, padahal sebuah pembatasan seperti yang diketahui adalah
penetapan hukum pada hal yang disebutkan dan menafikan selainnya. Apabila kita katakan,
‘Sesunnguhnya ‘wa fi sabilillah’ adalah semua jalan kebaikan, maka ayat itu menjadi
tidak berguna, berkenaan dengan asal kata ‘innama’ yang menunjukan adanya
pembatasan.

Kemudian, sesungguhnya di dalam kebolehan pembelanjaan zakat untuk pembangunan masjid


dan jalan-jalan kebaikan lainnya terdapat penelantaran kebaikan ; karena sebagian besar
manusia dikalahkan oleh kekikiran diirnya. Apabila mereka melihat bahwa pembangunan masjid
dan jalan-jalan kebaikannya boleh dijadikan tujuan penyaluran zakat, maka mereka akan
menyalurkan zakat mereka ke sana, sedangkan orang-orang fakir dan miskin tetap dihimpit
kebutuhan selamanya.

[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi
Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]

http://www.muslimsources.com/id/NEWS/detail.php?cat=3&iid=130
Manajemen Masjid

Sumber : Republika, Sabtu, 20 April 2002

Jumlah masjid di Indonesia, menurut Dr H Ahmad Sutarmadi, saat ini tidak kurang dari 700
ribu, jumlah terbesar di dunia, sama dengan jumlah masjid di rentang Bangladesh sampai
Maghribi. ''Tapi, pertumbuhan itu baru hardware-nya, belum software-nya. Manajemen masjid
kita masih sangat lemah,'' ujar Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI). Berikut ini petikan
lengkapnya.

Dewasa ini orang sering menyebut ada fenomena kembali ke masjid. Bagaimana Anda
menafsirkannya?

Fenomena itu dapat ditafsirkan secara fisik dan mental. Secara fisik kita melihat banyak orang
senang memperhatikan masjid, melihat masjid, dan senang sering datang ke masjid untuk salat
berjamaah dan melakukan ibadah-ibadah lain. Secara mental, makin banyak orang yang hatinya
terpaut dengan masjid, yang selalu merindukan masjid. Mereka adalah orang yang
mengamalkan Hadis Rasulullah SAW, bahwa nanti di akherat ada tujuh golongan yang akan
mendapatkan payung di saat orang lain tidak mendapatkannya, salah satunya adalah mereka
yang hatinya selalu terpaut dengan masjid (qolbuhu muta'allikul fil masajid).

Idealnya, perwujudan semangat kembali ke masjid itu seperti apa?


Idealnya ya itu tadi, kembali ke masjid secara fisik dan mental. Tidak hanya senang
membangun dan memperhatikan masjid secara fisik, tapi hatinya juga harus selalu terpaut
dengan masjid. Jadi, secara fisik selalu memikirkan bagaimana memelihara dan memakmurkan
masjid, dan secara mental selalu rindu untuk beribadah serta menghadiri acara di masjid.

Yang dimaksud masjid itu sebenarnya sebatas dalam pengertian tempat ibadah umat Islam,
atau bisa dalam pengertian yang lebih luas? Bukankah ada hadis Nabi yang mengatakan bahwa
tiap jengkal bumi adalah masjid?

Ya tentu dalam pengertian khusus tempat ibadah umat Islam yang kita sebut masjid atau
baitullah itu. Memang ada Hadis Nabi bahwa seluruh bumi adalah masjid. Tapi, itu kan karena
kelebihan Nabi Muhammad SAW dibanding Nabi lainnya. Artinya, salat itu dapat dikerjakan di
manapun, tidak harus di masjid. Tapi, itu kan kalau kita dalam keadaan darurat, dalam
keadaan jauh dari masjid. Dalam keadaan biasa, idealnya salat ya di masjid dalam arti tempat
ibadah umat Islam itu. Sebab, kalau lantas diperluas seperti itu ya nanti pengertian masjid
sebagai baitullah jadi kabur. Orang bisa jadi tidak rindu lagi untuk datang ke masjid, karena di
manapun ia berada, tempat ia berpijak sudah dia anggap sebagai masjid.

Sekarang ini gairah orang untuk membangun masjid tampak luar biasa. . Saking
bersemangatnya, sampai-sampai orang tega turun ke jalan untuk mengumpulkan dana
pembangunan masjid. Menurut Anda?

Memang betul. Pertambahan jumlah masjid di Indonesia sangat luar biasa. Tapi, terus terang,
saya tidak setuju dengan aksi penggalangan dana di jalan raya. Banyak kritik yang masuk
kepada DMI soal itu. Tapi, memang sulit dihindari, karena memang diijinkan oleh Pemda
setempat. Dan, dari aksi itu, kabarnya, mereka dapat mengumpulkan dana sangat banyak dan
cepat. Makanya, masjid-masjid di tepi jalan raya umumnya megah-megah.

Bagaimana manajemen masjid kita?

Manajemen masjid kita masih sangat lemah dan kurang profesional! Baru satu dua masjid yang
dikelola dengan baik dan dimanfaatkan secara optimal sesuai prinsip-prinsip manajemen
modern. Dalam memelihara dan memakmurkan masjid, misalnya, kebanyakan asal jalan dan
dilakukan secara sambilan, sehingga tidak optimal. Manajemennya kebanyakan juga acak-
acakan dan laporan keuangannya rata-rata tidak transparan.

Menurut Anda, pengelolaan masjid yang ideal itu bagaimana?

Sejak saya menjadi pejabat Departemen Agama sampai sekarang sudah sering saya sampaikan
bahwa masjid harus dikelola secara baik dan profesional, sesuai dengan prinsip-prinsip
manajemen modern. Pengurus masjid harus merumuskan konsep manajemen masjid itu sejak
dari visi, misi, perencanaan dan langkah-langkah strategisnya. Merujuk Keputusan Muktamar IV
DMI, visi masjid adalah meningkatkan keimanan, ketaqwaan, akhlak mulia, dan kecerdasan
umat, serta tercapainya masyarakat adil makmur yang diridlai Allah SWT. Sedangkan misinya
adalah mewujudkan fungsi masjid sebagai pusat ibadah, pengembangan masyarakat dan
persatuan umat.

Berkaitan dengan fungsi masjid, bisa lebih jelas?


Sesuai dengan misi DMI, ada tiga fungsi masjid. Pertama, masjid dapat difungsikan sebagai
pusat ibadah, baik ibadah mahdhah, maupun ibadah sosial. Ibadah mahdhah adalah ibadah
yang langsung kepada Allah SWT, seperti salat, mengaji, tahlil, dan tadarus. Tentu, secara tidak
langsung, ibadah-ibadah tersebut juga ada hubungannya dengan masyarakat. Sedangkan
sebagai pusat ibadah sosial, masjid dapat difungsikan untuk mengelola zakat, wakaf,
membangun ukhuwah Islamiyah, menjaga kebersihan dan kesehatan bersama, melaksanakan
kurban, dan membantu peningkatan ekonomi ummat. Kedua, memanfaatkan masjid sebagai
pusat pengembangan masyarakat, melalui berbagai sarana dan prasarana yang dimiliki masjid,
seperti khutbah, pengajian, kursus ketrampilan yang dibutuhkan anggota jamaah, dan
menyelenggarakan pendidikan formal sesuai kebutuhan masyarakat. Dan, ketiga,
memfungsikan masjid sebagai pusat pembinaan persatuan ummat.

Apa ada panduan yang lebih operasiona?


Merujuk rumusan DMI, ada tujuh langkah strategis (action), pertama, mengembangkan pola
idarah (manajemen), imarah (pengelolaan program), dan ri'ayah (pengelolaan fisik). Kedua,
mengembangkan pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam. Ketiga,
mengembangkan dakwah, pendidikan dan perpustakaan. Keempat, mengembangkan program
kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Kelima, mengembangkan ekonomi jamaah, dan
pemberdayaan perempuan, remaja, pemuda, serta kepanduan. Keenam, mengembangkan
masjid-masjid percontohan. Dan, ketujuh, pembinaan pengurus Dewan Masjid Indonesia serta
pengkaderan pengurus bagi generasi muda.

Itu semua kan konsep, sedang kondisi tiap masjid tidak sama. Ada yang besar, ada yang kecil,
ada yang siap dana dan sarana, banyak pula yang tidak punya apa-apa. Tentu, tidak semuanya
siap menjalankan visi, misi dan langkah strategis yang dirumuskan DMI itu. Bagaimana
menurut Anda?

Konsep DMI itu contoh konsep pengelolaan masjid yang ideal untuk rujukan. Tentu tiap masjid
dapat merumuskan visi, misi dan langkah strategisnya sendiri sesuai dengan kondisinya. Yang
penting dalam hal ini adalah menyusun rencana kegiatan masjid secara matang dan mengelola
pelaksanaan kegiatan itu secara profesional, termasuk transparansi keuangannya. Selain itu,
yang terpenting adalah bagaimana menjadikan masjid sebagai unit terdepan pembinaan umat.
Umat Islam, terutama para pemimpinnya, sejak tingkat lingkungan masjid sampai tingkat
nasional, sudah saatnya berpikir lebih tertib, terarah dan teratur. Tidak lagi seperti masa
lampau, yang mengedepankan pikiran lebih global dan emosional daripada pemikiran kritis dan
rasional. Itu tidak boleh terulang, karena akan menyebabkan kita terjebak dalam dimensi
permasalahan yang lebih besar dan lebih sulit. Nah, pembiasaan berpikir tertib, teratur,
terarah, kritis dan rasional itu harus dapat dimulai dari lingkup pengurus, imam dan anggota
jamaah masjid.
Jika harus begitu, tugas pengurus masjid menjadi sangat berat. Apa sanggup, jika mereka tak
mendapatkan imbalan finansial?

Ya itu masalahnya. Jika pengurus masjid masih sambilan, masih hanya memberikan sisa waktu,
tenaga dan pikiran yang sangat sedikit seperti selama ini, ya sulit. Dan, hasilnya juga tidak
maksimal. Menurut saya, idealnya pengurus masjid itu full timer. Mereka, termasuk imam
tetap masjid (mufti) harus digaji oleh masjid, agar kesejahteraan lahir-batin mereka
terpenuhi. Kalau belum mungkin full time, minimal mereka sanggup memberikan setengah
waktu dan tenaganya untuk masjid, jangan hanya sisa-sisanya. Jadi, mereka harus mampu
mengelola masjid secara profesional, dan memahami konsep kepemimpinan yang punya visi dan
misi, sehingga mampu menyusun dan melaksanakan langkah-langkah strategis guna
meningkatkan kesejahteraan lahir-batin anggota jamaahnya. Masjid-masjid di luar negeri,
seperti di Amerika Serikat, sudah dikelola secara demikian. Kita memang tertinggal.

Di Indonesia, apa tak ada masjid yang dapat sebagai contoh?

Ada, tapi baru sedikit. Misalnya, masjid Sunan Ampel Surabaya, masjid Pondok Indah, masjid
Istiqlal, dan saya dengar juga Masjid Besar Denpasar. Masjid-masjid itu sudah dikelola cukup
profesional dan mampu menggaji pengurusnya. Gaji mufti (imam tetap) Masjid Agung Pondok
Indah, kabarnya malah sudah setingkat gaji eselon satu, yakni Rp 7 juta per bulan. Itu kan
bagus!

Tadi Anda menyebut istilah anggota jamaah. Apa mereka perlu didaftar?

Ya, anggota jamaah suatu masjid memang perlu didaftar. Ini penting untuk mengetahui potensi
ummat yang sesungguhnya, termasuk kondisi sosial-ekonomi mereka. Ini tidak hanya penting
untuk penggalangan dana, tapi juga agar tahu siapa saja anggota jamaah yang berhak
menerima zakat, dan siapa saja yang mendesak untuk dibantu ditingkatkan taraf hidupnya.
Dengan pencatatan, akan memudahkan penyusunan langkah pengembangan ekonomi keumatan.
Sehingga, fungsi masjid sebagai pusat ibadah sosial dan pengembangan masyarakat dapat
dikelola secara lebih maksimal. ahmadun yh

http://www.galeribisnis.com/artikel/iman/pahala_dosa.php

60 Pintu Pahala Dan Pelebur Dosa

Segala puji bagi Allah Rabb alam semesta, shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada
Nabi Muhammad saw dan utusan yang paling mulia. Risalah ini ditujukan kepada setiap muslim
yang beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.

Tujuan utama yang sangat urgen bagi setiap muslim adalah ia keluar meninggalkan dunia fana
ini dengan ampunan Allah dari segala dosa sehingga Allah tidak menghisabnya pada hari Kiamat,
dan memasukkannya ke dalam surga kenikmatan, hidup kekal didalamnya, tidak keluar selama-
lamanya.

Di dalam risalah yang sederhana ini kami sampaikan beberapa amalan yang dapat melebur dosa
dan membawa pahala yang besar, yang kesemuanya bersumber dari hadist-hadist yang shahih.
Kita bermohon kepada Allah yang Maha Hidup, yang tiada Tuhan yang haq selain Dia, untuk
menerima segala amalan kita. Sesungguhnya Ia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

1. TAUBAT
"Barangsiapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari barat, niscaya Allah akan
mengampuninya" HR. Muslim, No. 2703. "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menerima tobat
seorang hamba selama ruh belum sampai ketenggorokan".

2. KELUAR UNTUK MENUNTUT ILMU


"Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah memudahkan baginya
dengan (ilmu) itu jalan menuju surga" HR. Muslim, No. 2699.

3. SENANTIASA MENGINGAT ALLAH


"Inginkah kalian aku tunjukkan kepada amalan-amalan yang terbaik, tersuci disisi Allah,
tertinggi dalam tingkatan derajat, lebih utama daripada mendermakan emas dan perak, dan
lebih baik daripada menghadapi musuh lalu kalian tebas batang lehernya, dan merekapun
menebas batang leher kalian. Mereka berkata: "Tentu", lalu beliau bersabda: (( Zikir kepada
Allah Ta`ala ))" HR. At Turmidzi, No. 3347.

4. BERBUAT YANG MA`RUF DAN MENUNJUKKAN JALAN KEBAIKAN


"Setiap yang ma`ruf adalah shadaqah, dan orang yang menunjukkan jalan kepada kebaikan
(akan mendapat pahala) seperti pelakunya" HR. Bukhari, Juz. X/ No.
374 dan Muslim, No. 1005.

5. BERDA`WAH KEPADA ALLAH


"Barangsiapa yang mengajak (seseorang) kepada petunjuk (kebaikan), maka baginya pahala
seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun" HR.
Muslim, No. 2674.

6. MENGAJAK YANG MA`RUF DAN MENCEGAH YANG MUNGKAR.


"Barangsiapa diantara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah
kemungkaran itu dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, jika ia tidak
mampu (pula) maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman" HR. Muslim, No.
804.

7. MEMBACA AL QUR`AN
"Bacalah Al Qur`an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat untuk memberikan
syafa`at kepada pembacanya" HR. Muslim, No. 49.

8. MEMPELAJARI AL QUR`AN DAN MENGAJARKANNYA


"Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al Qur`an & mengajarkannya " HR. Bukhari,
Juz. IX/No. 66.

9. MENYEBARKAN SALAM
"Kalian tidak akan masuk surga sehingga beriman, dan tidaklah kalian beriman (sempurna)
sehingga berkasih sayang. Maukah aku tunjukan suatu amalan yang jika kalian lakukan akan
menumbuhkan kasih sayang di antara kalian? (yaitu) sebarkanlah salam" HR. Muslim, No.54.

10. MENCINTAI KARENA ALLAH


"Sesungguhnya Allah Ta`ala berfirman pada hari kiamat:
((Di manakah orang-orang yang mencintai karena keagungan-Ku? Hari ini Aku akan menaunginya
dalam naungan-Ku, pada hari yang tiada naungan selain naungan-Ku))" HR. Muslim, No. 2566.

11. MEMBESUK ORANG SAKIT


"Tiada seorang muslim pun membesuk orang muslim yang sedang sakit pada pagi hari kecuali
ada 70.000 malaikat bershalawat kepadanya hingga sore hari, dan apabila ia menjenguk pada
sore harinya mereka akan shalawat kepadanya hingga pagi hari, dan akan diberikan kepadanya
sebuah taman di surga" HR. Tirmidzi, No. 969.
12. MEMBANTU MELUNASI HUTANG
"Barangsiapa meringankan beban orang yang dalam kesulitan maka Allah akan meringankan
bebannya di dunia dan di akhirat" HR. Muslim, No.2699.

13. MENUTUP AIB ORANG LAIN


"Tidaklah seorang hamba menutup aib hamba yang lain di dunia kecuali Allah akan menutupi
aibnya di hari kiamat" HR. Muslim, No. 2590.

14. MENYAMBUNG TALI SILATURAHMI


"Silaturahmi itu tergantung di `Arsy (Singgasana Allah) seraya berkata: "Barangsiapa yang
menyambungku maka Allah akan menyambung hubungan dengannya, dan barangsiapa yang
memutuskanku maka Allah akan memutuskan hubungan dengannya" HR. Bukhari, Juz. X/No.
423 dan HR. Muslim, No. 2555.

15. BERAKHLAK YANG BAIK


"Rasulullah SAW ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga,
maka beliau menjawab: "Bertakwa kepada Allah dan berbudi pekerti yang baik" HR. Tirmidzi,
No. 2003.

16. JUJUR
"Hendaklah kalian berlaku jujur karena kejujuran itu menunjukan kepada kebaikan, dan
kebaikan menunjukan jalan menuju surga" HR. Bukhari Juz. X/No. 423 dan HR. Muslim., No.
2607.

17. MENAHAN MARAH


"Barangsiapa menahan marah padahal ia mampu menampakkannya maka kelak pada hari
kiamat Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk dan menyuruhnya untuk memilih
bidadari yang ia sukai" HR. Tirmidzi, No. 2022.

18. MEMBACA DO`A PENUTUP MAJLIS


"Barangsiapa yang duduk dalam suatu majlis dan banyak terjadi di dalamnya kegaduhan lalu
sebelum berdiri dari duduknya ia membaca do`a: (Maha Suci Engkau Ya Allah dan dengan
memuji-Mu aku bersaksi bahwa Tidak ada Ilah (Tuhan) yang berhak disembah kecuali Engkau,
aku memohon ampun dan bertobat kepada-Mu) melainkan ia akan diampuni dari dosa-dosanya
selama ia berada di majlis tersebut" HR. Tirmidzi, Juz III/No. 153.

19. SABAR "


Tidaklah suatu musibah menimpa seorang muslim baik berupa malapetaka, kegundahan, rasa
letih, kesedihan, rasa sakit, kesusahan sampai-sampai duri yang menusuknya kecuali Allah akan
melebur dengannya kesalahan-kesalahannya" HR. Bukhari, Juz. X/No. 91.

20. BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA


"Sangat celaka, sangat celaka, sangat celaka...!
Kemudian ditanyakan: Siapa ya Rasulullah?, beliau bersabda: ((Barangsiapa yang mendapati
kedua orang tuanya atau salah satunya di masa lanjut usia kemudian ia tidak bisa masuk
surga))" HR. Muslim, No. 2551.

21. BERUSAHA MEMBANTU PARA JANDA DAN MISKIN


"Orang yang berusaha membantu para janda dan fakir miskin sama halnya dengan orang yang
berjihad di jalan Allah" dan saya (perawi-pent) mengira beliau berkata: ((Dan seperti orang
melakukan qiyamullail yang tidak pernah jenuh, dan seperti orang berpuasa yang tidak pernah
berbuka" HR. Bukhari, Juz. X/No. 366.

22. MENANGGUNG BEBAN HIDUP ANAK YATIM


"Saya dan penanggung beban hidup anak yatim itu di surga seperti begini," seraya beliau
menunjukan kedua jarinya: jari telunjuk dan jari tengah.HR. Bukhari, Juz. X/No. 365.

23. WUDHU`
"Barangsiapa yang berwudhu`, kemudian ia memperbagus wudhu`nya maka keluarlah dosa-
dosanya dari jasadnya, hingga keluar dari ujung kukunya" HR. Muslim, No. 245.

24. BERSYAHADAT SETELAH BERWUDHU`


Barangsiapa berwudhu` lalu memperbagus wudhu`nya kemudian ia mengucapkan: (Saya
bersaksi bahwa tiada Tuhan yang haq selain Allah tiada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi
bahwa Muhammad hamba dan utusan-Nya,Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang yang
bertobat dan
jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersuci)," maka dibukakan baginya pintu-pintu surga
dan ia dapat memasukinya dari pintu mana saja yang ia kehendaki" HR. Muslim, No. 234.

25. MENGUCAPKAN DO`A SETELAH AZAN


"Barangsiapa mengucapkan do`a ketika ia mendengar seruan azan: ((Ya Allah pemilik panggilan
yang sempurna dan shalat yang ditegakkan, berilah Muhammad wasilah (derajat paling tinggi di
surga) dan kelebihan, dan bangkitkanlah ia dalam kedudukan terpuji yang telah Engkau
janjikan kepadanya)) maka ia berhak mendapatkan syafa`atku pada hari kiamat"HR. Bukhari,
Juz. II/No. 77.

26. MEMBANGUN MASJID


"Barangsiapa membangun masjid karena mengharapkan keridhaan Allah maka dibangunkan
baginya yang serupa di surga" HR. Bukhari, No. 450.

27. BERSIWAK
"Seandainya saya tidak mempersulit umatku niscaya saya perintahkan mereka untuk bersiwak
pada setiap shalat" HR. Bukhari II/No. 331 dan HR. Muslim, No. 252.

28. BERANGKAT KE MASJID


"Barangsiapa berangkat ke masjid pada waktu pagi atau sore, niscaya Allah mempersiapkan
baginya tempat persinggahan di surga setiap kali ia berangkat pada waktu pagi atau sore" HR.
Bukhari, Juz. II/No. 124 dan HR. Muslim, No. 669.

29. SHALAT LIMA WAKTU


"Tiada seorang muslim kedatangan waktu shalat fardhu kemudian ia memperbagus wudhu`nya,
kekhusyu`annya dan ruku`nya kecuali hal itu menjadi pelebur dosa-dosa yang dilakukan
sebelumnya selama ia tidak dilanggar suatu dosa besar. Dan yang demikian itu berlaku
sepanjang masa" HR. Muslim, No. 228.

30. SHALAT SUBUH DAN ASHAR


"Barangsiapa shalat pada dua waktu pagi dan sore (subuh dan ashar) maka ia masuk surga" HR.
Bukhari, Juz. II/No. 43.

31. SHALAT JUM`AT


"Barangsiapa berwudhu` lalu memperindahnya, kemudian ia menghadiri shalat Jum`at,
mendengar dan menyimak (khutbah) maka diampuni dosanya yang terjadi antara Jum`at pada
hari itu dengan Jum`at yang lain dan ditambah lagi tiga hari" HR. Muslim, 857.

32. SAAT DIKABULKANNYA PERMOHONAN PADA HARI JUM`AT


"Pada hari ini terdapat suatu saat bilamana seorang hamba muslim bertepatan dengannya
sedangkan ia berdiri shalat seraya bermohon kepada Allah sesuatu, tiada lain ia akan
dikabulkan permohonannya"HR. Bukhari, Juz. II/No. 344 dan HR. Muslim, No. 852.

33. MENGIRINGI SHALAT FARDHU DENGAN SHALAT SUNNAT RAWATIB


"Tiada seorang hamba muslim shalat karena Allah setiap hari 12 rakaat sebagai shalat sunnat
selain shalat fardhu, kecuali Allah membangunkan baginya rumah di surga" HR. Muslim, No.
728.

34. SHALAT 2 (DUA) RAKAAT SETELAH MELAKUKAN DOSA


"Tiada seorang hamba yang melakukan dosa, lalu ia berwudhu` dengan sempurna kemudian
berdiri melakukan shalat 2 rakaat, lalu memohon ampunan Allah, melainkan Allah
mengampuninya" HR. Abu Daud, No.1521.

35. SHALAT MALAM


"Shalat yang paling afdhal setelah shalat fardhu adalah shalat malam" HR. Muslim, No. 1163.

36. SHALAT DHUHA


"Setiap persendian dari salah seorang di antara kalian pada setiap paginya memiliki kewajiban
sedekah, sedangkan setiap tasbih itu sedekah, setiap tahmid itu sedekah, setiap tahlil itu
sedekah, setiap takbir itu sedekah, memerintahkan kepada yang makruf itu sedekah
dan mencegah dari yang mungkar itu sedekah, tetapi semuanya itu dapat terpenuhi dengan
melakukan shalat 2 rakaat dhuha" HR. Muslim, No. 720.

37. SHALAWAT KEPADA NABI SAW


"Barangsiapa bershalawat kepadaku satu kali maka Allah membalas shalawatnya itu sebanyak 10
kali" HR. Muslim, No. 384.

38. PUASA
"Tiada seorang hamba berpuasa satu hari di jalan Allah melainkan Allah menjauhkannya karena
puasa itu dari neraka selama 70 tahun" HR. Bukhari, Juz. VI/No. 35.

39. PUASA 3 (TIGA) HARI PADA SETIAP BULAN


"Puasa 3 (tiga) hari pada setiap bulan merupakan puasa sepanjang masa" HR. Bukhari, Juz.
IV/No. 192 dan HR. Muslim, No. 1159.

40. PUASA 60 (ENAM) HARI PADA BULAN SYAWAL


"Barangsiapa melakukan puasa Ramadhan, lalu ia mengiringinya dengan puasa 6 hari pada bulan
Syawal maka hal itu seperti puasa sepanjang masa" HR. Muslim, 1164.

41. PUASA `ARAFAT


"Puasa pada hari `Arafat (9 Dzulhijjah) dapat melebur (dosa-dosa) tahun yang lalu dan yang
akan datang" HR. Muslim, No. 1162.

42. PUASA `ASYURA


"Dan dengan puasa hari `Asyura (10 Muharram) saya berharap kepada Allah dapat melebur
dosa-dosa setahun sebelumnya" HR. Muslim,No. 1162.

43. MEMBERI HIDANGAN BERBUKA BAGI ORANG YANG BERPUASA


"Barangsiapa yang memberi hidangan berbuka bagi orang yang berpuasa maka baginya pahala
seperti pahala orang berpuasa itu, dengan tidak mengurangi pahalanya sedikitpun" HR.
Tirmidzi, No. 807.

44. SHALAT DI MALAM LAILATUL QADR


"Barangsiapa mendirikan shalat di (malam) Lailatul Qadr karena iman dan mengharap pahala,
niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu"HR. Bukhari Juz. IV/No. 221 dan HR. Muslim,
No. 1165.

45. SEDEKAH
"Sedekah itu menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api" HR. Tirmidzi, No.
2616.

46. HAJI DAN UMRAH


"Dari umrah ke umrah berikutnya merupakan kaffarah (penebus dosa) yang terjadi di antara
keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga" HR. Muslim, No.
1349.

47. BERAMAL SHALIH PADA 10 HARI BULAN DZULHIJJAH


"Tiada hari-hari, beramal shalih pada saat itu lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini, yaitu 10
hari pada bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya: "Dan tidak (pula) jihad di jalan Allah? Beliau
bersabda: "Tidak (pula) jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan
hartanya kemudian ia tidak kembali lagi dengan membawa sesuatu apapun" HR.
Bukhari, Juz. II/No. 381.

48. JIHAD DI JALAN ALLAH


"Bersiap siaga satu hari di jalan Allah adalah lebih baik daripada dunia dan seisinya, dan tempat
pecut salah seorang kalian di surga adalah lebih baik daripada dunia dan seisinya" HR. Bukhari,
Juz. VI/No. 11.

49. INFAQ DI JALAN ALLAH


"Barangsiapa membantu persiapan orang yang berperang maka ia (termasuk) ikut berperang,
dan barangsiapa membantu mengurusi keluarga orang yang berperang, maka iapun (juga)
termasuk ikut berperang" HR. Bukhari, Juz.VI/No. 37 dan HR. Muslim, No. 1895.

50. MENSHALATI MAYIT DAN MENGIRINGI JENAZAH


"Barangsiapa ikut menyaksikan jenazah sampai dishalatkan maka ia memperoleh pahala satu
qirat, dan barangsiapa yang menyaksikannya sampai dikubur maka baginya pahala dua qirat.
Lalu dikatakan: "Apakah dua qirat itu?", beliau menjawab: ((Seperti dua gunung besar))" HR.
Bukhari, Juz. III/No. 158.

51. MENJAGA LIDAH DAN KEMALUAN


"Siapa yang menjamin bagiku "sesuatu" antara dua dagunya dan dua selangkangannya, maka aku
jamin baginya surga" HR. Bukhari, Juz. II/No. 264 dan HR. Muslim, No. 265.

52. KEUTAMAAN MENGUCAPKAN LAA ILAHA ILLALLAH & SUBHANALLAH WA BI HAMDIH


"Barangsiapa mengucapkan: sehari seratus kali, maka baginya seperti memerdekakan 10 budak,
dan dicatat baginya 100 kebaikan,dan dihapus darinya 100 kesalahan, serta doanya ini menjadi
perisai baginya dari syaithan pada hari itu sampai sore. Dan tak seorangpun yang mampu
menyamai hal itu, kecuali seseorang yang melakukannya lebih banyak darinya". Dan beliau
bersabda: "Barangsiapa mengucapkan: satu hari 100 kali, maka dihapuskan dosa-dosanya
sekalipun seperti buih di lautan" HR. Bukhari, Juz. II/No. 168 dan HR. Muslim, No. 2691.

53. MENYINGKIRKAN GANGGUAN DARI JALAN


"Saya telah melihat seseorang bergelimang di dalam kenikmatan surga dikarenakan ia
memotong pohon dari tengah-tengah jalan yang mengganggu orang-orang" HR. Muslim.

54. MENDIDIK DAN MENGAYOMI ANAK PEREMPUAN


"Barangsiapa memiliki tiga anak perempuan, di mana ia melindungi, menyayangi, dan
menanggung beban kehidupannya maka ia pasti akan mendapatkan surga" HR. Ahmad dengan
sanad yang baik.

55. BERBUAT BAIK KEPADA HEWAN


"Ada seseorang melihat seekor anjing yang menjilat-jilat debu karena kehausan maka orang itu
mengambil sepatunya dan memenuhinya dengan air kemudian meminumkannya pada anjing
tersebut, maka Allah berterimakasih kepadanya dan memasukkannya ke dalam surga" HR.
Bukhari.

57. MENINGGALKAN PERDEBATAN


"Aku adalah pemimpin rumah di tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan perdebatan
padahal ia dapat memenangkannya"HR. Abu Daud.

58. MENGUNJUNGI SAUDARA-SAUDARA SEIMAN


(Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang para penghuni surga? Mereka berkata: "Tentu
wahai Rasulullah", maka beliau bersabda: "Nabi itu di surga, orang yang jujur di surga, dan
orang yang mengunjungi saudaranya yang sangat jauh dan dia tidak mengunjunginya kecuali
karena Allah maka ia di surga")) Hadits hasan, riwayat At-Thabrani.

59. KETAATAN SEORANG ISTRI TERHADAP SUAMINYA


"Apabila seorang perempuan menjaga shalatnya yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan,
dan menjaga kemaluannya serta menaati suaminya maka ia akan masuk surga melalui pintu
mana saja yang ia kehendaki" HR. Ibnu Hibban, hadits shahih.

60. TIDAK MEMINTA-MINTA KEPADA ORANG LAIN


"Barangsiapa yang menjamin dirinya kepadaku untuk tidak meminta-minta apapun kepada
manusia maka aku akan jamin ia masuk surga" Hadits shahih, riwayat Ahlus Sunan.

Wa min Allah at Tawfiq

wassalam, arief hamdani as sufi

http://mujtabahamdi.blogspot.com/2006/10/masjid.html

Monday, October 09, 2006

Masjid

Majalah Syir'ah, Tahannus, Oktober 2006


Oleh Mujtaba Hamdi

Apa beda antara bar dan masjid? Yang pertama tempat melepas lelah, sedang yang terakhir
tempat beribadah. Sejak dulu, semua tahu itu. Tapi, kini orang mulai tahu apa yang tak beda.
Ya, keduanya telah menjadi tempat yang penuh rasa gemetar, rasa waswas, rasa takut. Bar dan
masjid seperti harus selalu siap, setiap saat, jika tiba-tiba sebarisan pasukan berbendera
syahadat menyeruduk masuk, dengan pentungan dalam genggaman. Entah karena cap maksiat,
ataupun stempel sesat.

Sudah puluhan masjid remuk, ya, karena ia mendapat stempel sesat. Sebuah masjid bukan
hanya digasak setelah sekian lama melayani warga, melainkan, seperti terjadi bulan lalu di
Tanah Minang itu, ia dihajar bahkan sebelum sempat berdiri. “Orang Islam kok menghancurkan
masjid,” kata seorang mubalig kampung, terheran-heran.

Heran, sebab seorang muslim senantiasa percaya masjid itu tempat suci, tempat seorang 'abid
menjalankan laku spiritual paling intim dengan Sang Ma'bud: sujud. Kita ingat, Rasul pernah
bersabda, “Saat paling dekat seorang hamba kepada Tuhannya adalah ketika dia bersujud.”
Yang paling agung dalam ritual itu laku sujud, bukan rukuk, bukan tasyahud. Itulah mengapa,
tulis Badruddin az-Zarkasyi dalam I'lam al-Sajid bi Ahkam al-Masajid, masjid dinamai masjid,
tempat sujud, dan bukan marka', tempat rukuk.
Sudah tentu mengherankan. Jangankan meruntuhkan fisik masjid, seorang muslim bahkan
yakin, merusak suasana sudah merupakan 'dosa'. Rasul, sepulang dari pertempuran Khaibar,
sempat memperingatkan para sahabat untuk tidak mengunyah bawang. “Siapa yang memakan
dari pohon ini,” kata Rasul sambil menunjuk pada pohon bawang, “maka janganlah dia
memasuki masjid.” Masuk akal, aroma bawang yang menyengat bisa jadi akan membuyarkan
konsentrasi 'abid yang sedang ber-taqarrub.

Dan muslim mana yang tidak mengharap tegaknya masjid? Masjid senantiasa menjadi 'lahan
pahala' yang subur. Selalu diajarkan betapa berlipatgandanya pahala ketika salat berjamaah
dijalankan di masjid. Betapa pula Rasul dan para Sahabat dulu senantiasa beriktikaf lama-lama
di sana. Orang berniat saja, untuk ke masjid, sudah mendapat pahala. Begitu pun, semakin
sulit perjalanan seorang muslim menuju masjid, semakin tinggi pahala yang diperoleh.
"Sesungguhnya, orang yang paling besar pahalanya ketika mendirikan salat," kata Rasul, "adalah
yang paling jauh perjalanannya, yakni langkahnya menuju masjid."

Setiap muslim tampak tak pernah ragu untuk memandang agung sebuah masjid. Tapi berbagai
kenyataan yang berlangsung lain itu mau tak mau memicu pertanyaan: bagaimana mungkin
muslim merusak tempat suci sendiri, ladang pahala terindah? Apakah perusak itu sudah tak
percaya itu semua?

Ya... Mungkin, dan tentu saja, mereka percaya, mereka meyakini itu semua. Tapi, mereka juga
percaya pada hal lain: bahwa masjid juga merupakan etalase, juga sebuah papan iklan. Di
setiap kota, masjid-masjid berdiri gagah, dengan arsitektur paling mutakhir. Pejabat penguasa
wilayah memberi pidato peresmian, mengabarkan dengan bangga bahwa masjid ini yang ter-
se-, terbesar se-Asia Tenggara, termegah se-Nusantara, terindah se-Indonesia, terkokoh se-
Asia, dst. Tokoh-tokoh penting diundang untuk menggoreskan tanda tangan pada prasasti.
Semua seperti sederetan kata-kata iklan milik si pejabat: pilihlah saya lagi, karena saya telah
berhasil membuat masjid termegah.

Masjid-masjid menjadi layaknya bendera. Ia menjadi lambang bagi pejabat x, partai y, atau
ormas z. Tak jarang, nama-nama yang digunakan terang-terangan menunjukkan siapa 'sang
tuan'. Sebuah partai yang di zamannya selalu mengampanyekan pembangunan menamai
masjidnya Baitul Makmur. Seorang penguasa, yang telah almarhum itu, ketika sedang jaya-
jayanya, membangun masjid dengan nama dirinya, yang kebetulan serupa dengan nama surat
pada al-Quran. Bendera-bendera itu berkibar dengan satu tugas: memantulkan kuasa si tuan.

Dan ketika ada bendera lain dipancangkan, begitu kecil, tapi dirasa akan jadi kerikil yang
merusak kemegahan bendera-bendera lain, maka bersiap-siaplah pasukan untuk merobek dan
membakar, melumatkan bendera kecil itu tanpa sisa. Masjid-masjid itu, bendera-bendera kecil
itu, telah mengiklankan kuasa lain, sehingga layak dirobohkan. Ia menjadi ancaman, sebab
telah berani mempromosikan praktik lain, pandangan lain, suara lain. Tanpa kata-kata
memang, tapi sang pasukan telah meyakini bahwa sebuah masjid mewakili ribuan kalimat.

Supaya lebih kuat 'kelainan' itu, hingga lebih sah untuk dihancurkan, sang pasukan menambahi
sendiri kalimat-kalimat tak terucap itu. Bahwa masjid-masjid itu tak lain merupakan wujud
promosi akan adanya nabi lain, kitab lain, syahadat lain, kiblat lain, tatacara lain, dan
seterusnya. Dus, ada bahaya mengancam, perlu segera dibinasakan.

Dan di mana lalu status suci masjid? Ya, di saat-saat seperti itu, kita tak lagi mendengar ujaran
tentang pahala besar yang dijanjikan bagi orang yang mendirikan masjid. Kita tak mendengar
lagi ajakan penuh semangat, "Barangsiapa membangun masjid (di dunia), maka Allah kelak akan
membangunkan istana di surga." Suara itu seolah lenyap, dan berganti "bakar masjid itu",
"runtuhkan tempat terkutuk itu", "jangan biarkan bangunan itu berdiri".

Masjid berubah, dari sebagai tempat sujud, menjadi sasaran sundut. Yang beriktikaf di
dalamnya tak lagi dinilai sebagai manusia alim yang tengah merapatkan hubungan dengan
Tuhannya, melainkan makhluk laknat penyebar sesat. Salat di atas lantainya pun tak lagi
dipandang bernilai pahala, melainkan dosa. Melangkah menujunya tak lagi dinilai tindak
kebajikan. Tiba-tiba masjid menjadi barang najis. Satu-satunya tindakan yang berpahala adalah
membuang dan melenyapkannya.

Ketika begini, apa beda bar dan masjid? Tidak ada beda. Di mata sang pasukan, keduanya
sama. Dua-duanya adalah papan iklan. Yang satu dianggap mengiklankan kemaksiatan, sedang
yang kedua dinilai mempromosikan kesesatan. Keduanya sama-sama harus dihancurkan. *

http://www.darulkautsar.com/fatwaqardawi/bidaahqardawi.htm

Bid’ah dan Syirik

Penulis: Dr Yusuf Qardhawy dan Muhammad Al-Ghazali.

Ramai orang keliru apakah yang dikatakan ‘bid’ah’. Buku yang dihasilkan oleh ulama ulung ini
menyajikan perbahasan yang mudah untuk difahami, praktikal dan realistik dengan
mengambilkira perkembangan semasa. Setiap dari kita patut memiliki buku ini kerana
manafaatnya amat banyak.

Di bawah ialah di antara petikan menarik (dengan sedikit pengubahsuaian) dari bahagian
pertama (bid'ah) buku yang amat berharga ini:

1. BID’AH DALAM AGAMA

Barangsiapa beranggapan bahawa agama Islam ini masih kurang sempurna dan memerlukan
tambahan-tambahan demi kemaslahatan diri dan golongan jelas menunjukkan kejahilan
mereka sendiri.

Mereka yang menambah-nambah dalam urusan agama ini adalah tukang-tukang bid’ah. Tukang-
tukang bid’ah ini kelak akan menanggung dosanya dan dosa para pengikutnya yang tertipu dan
tersesat.

Imam Malik Bin Anas berkata, “Barangsiapa menganggap baik perbuatan bid’ah, sama dengan
menuduh Nabi Muhammad telah mengkhianati risalahnya”.

Imam Syafi’ berkata : Andaikata aku mengetahui ahli Bidaah itu dapat berjalan di angkasa, aku
tetap tidak akan menerimanya.
Amar Bin Yahya pernah berkata, “Aku pernah mendengar ayah menceritakan dari datuk ,
“Kami pernah duduk di pintu rumah Abdullah Bin Mas’ud sebelum solat subuh. Tiba-tiba Abu
Musa datang, lantas bertanya : Apakah tadi Abu Abdul Rahman datang?. Kami menjawab :
Tidak. Lantas ia duduk bersama kami, sampai beliau datang. Dan tatkala ia datang, kami semua
berdiri mendampinginya. Kemudian Abu Musa bertanya kepada Abu Abdul Rahman, “Hai Abu
Abdul Rahman sesungguhnya saya tadi melihat di masjid ada satu perkara yang belum pernah
saya lihat. Menurut anggapanku, perbuatan itu adalah baik”. Abu Abdul Rahman kemudian
bertanya, “Apakah dia itu?” Jawab Abu Musa “Jika kau mahu, akan saya terangkan. Iaitu tadi
aku melihat di masjid ada satu kumpulan duduk dalam bulatan sambil menantikan solat, dalam
tiap-tiap bulatan ada seorang lelaki membawa batu kerikil, seraya ia berkata: Bacalah takbir
seratus kali, merekapun kemudian bertakbir 100 kali. Dan ia berkata : Bacalah Lailahaillallah
100 kali! Mereka pun kemudian membacanya 100 kali juga. Lalu ia berkata : Bacalah
Subhanallah 100 kali! Mereka pun kemudian membacanya! Mereka pun kemudian membacanya
100 kali juga”.

Mereka kemudian berkata, “Demi Allah kami tiada bemaksud melainkan yang benar”.

Abu Abdul Rahman kemudian menyanggahnya, “Banyak sekali orang yang bermaksud berbuat
baik, tetapi mereka tidak mendapatnya”.

Para ulama mendefinisikan bid’ah ialah satu cara ibadah yang direka orang yang menyerupai
syarak (agama); yang dimaksud dengan ‘cara’ di sini ialah sebagaimana yang dilakukan oleh
syarak dengan tujuan untuk mengabdi kepada Allah dengan berlebih-lebihan.

Orang yang membuat cara baru dalam bentuk apa pun yang disandarkan pada agama (ibadah),
dapat dicop sebagai penipu agama. Mereka mengkhayalkan kebatilannya itu untuk dilihatkan
kepada orang lain sebagai sesuatu yang benar (haq) . Mereka gemar membuat sesuatu perkara
yang nampaknya seolah-olah agama tetapi pada hakikatnya menyimpang dari tuntutan agama.

Sabda Nabi yang bermaksud :

“Barangsiapa mengada-ada cara baru tentang urusan kami (ibadah) ini, padahal
tidak bersumber darinya, dia itu tertolak”.(Hadis Riwayat Muslim)

“Barangsiapa beramal satu amalan (ibadah) yang tidak ada contoh dari kami, ia
tertolak”(Hadis Riwayat Muslim)

Bila bid’ah bermaharajalela ianya merupakan kesempatan bagi musuh-musuh Islam untuk
menghancurkan Islam. Dengan tersebar luasnya perbuatan dan amalan bid’ah di kalangan
pemeluk-pemeluk Islam yang jahil, orang ramai akan menyangka amalan bid’ah itu adalah
dari agama Allah yang murni. Akibatnya yang murni menjadi kabur dan rosak.

Ada yang berpendapat bahawa untuk melumpuhkan kemajuan Islam, harus dibesar-besarkan
bid’ah dan khurafat, kerana kedua hal ini merupakan penghalang bagi cepatnya perkembangan
Islam.

Mengapa bid’ah dapat melumpuhkan potensi Islam dan dapat menghancurkan pemerintahan?
Sebabnya bid’ah merupakan tipuan yang tak ubahnya dengan tipuan dalam perdagangan.
Barang yang baik dicampur dengan barang yang buruk yang kemudiannya dibawa ke pasar
untuk ditawarkan kepada orang ramai seraya dikatakan bahawa barang tersebut adalah baik,
tidak cacat dan tidak ada aib sedikit pun.

Sedangkan dalam hal ibadah, kita wajib berittiba’(mengikut sepenuhnya tanpa pindaan)
kerana itu adalah asas dalam agama. Jadi mereka model-model dan cara-cara baru dalam
ibadah adalah bid’ah yang sesat dan terkutuk.

Apabila sesuatu perkara bid’ah itu dihubungkan dengan agama, misalnya minta upah kerana
membaca Al Quran ketika menghantarkan mayat dengan maksud bertaqarrub kepada Allah,
perkara seperti itu merupakan perbuatan dosa dan maksiat yang berlipat ganda.

Manakala dalam urusan muamalah , dasarnya pula ialah mengikuti perkembangan


kemaslahatan umat.

Firman Allah swt :

Lebih kurang ertinya :

“…..dan berbuat baiklah kamu sekelian agar kamu memperolehi kejayaan.” (Al-
Haj ayat 77)

Lebih kurang ertinya :

“...... dan bertolong-tolonglah kamu sekalian untuk kebaikan dan


ketakwaan”.(Al-Maidah ayat 2)

Berbuat baik dan tolong menolong untuk kebaikan dan bertakwa adalah soal-soal yang
pelaksanaannya diserahkan penuh kepada kita, sehingga kita bebas membuat cara-cara baru.
Cara-cara baru tersebut tidak boleh disalahkan dan ditolak.
Allah swt berfirman :

Maksudnya lebih kurang :

“ Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah dengan sungguh-


sungguh ingat yang banyak dan bertasbihlah kepada Allah di waktu pagi dan
petang”.(Al Ahzab ayat 41-42)

Perintah memperbanyak zikir dan bertasbih seperti tersebut di atas, bukanlah bererti memberi
kebebasan kepada setiap orang untuk menambah rakaat sembahyang, azan dan sembahyang
hari raya atau menyusun wirid yang kemudian ditetapkan untuk selalu dibaca dalam waktu-
waktu tertentu.

Ibadah-ibadah ini pokok persoalannya adalah masalah akhirat. Sedangkan masalah akhirat itu
ghaib bagi manusia.

Kerana itu, biar bagaimanapun tingginya kedudukan seseorang, mereka tidak mempunyai hak
dan kebebasan untuk menambah cara-cara baru. Sedangkan dalam masalah keduniaan, tidak
ada satu pun halangan untuk melaksanakan satu perintah dengan berbagai macam cara, baik
cara-cara itu sudah pernah dipakai oleh orang-orang dahulu mahu pun belum. Misalnya tentang
menjaga hak dan harta orang lain serta mengatur kemaslahatan umat, kesemuanya itu
merupakan maksud yang menjadi matlamat syariat Islam.

Bid’ah yang diharamkan oleh syarak berkisar pada masalah ubudiyah yang sama sekali tidak
dapat diagak-agak atau diijtihadkan.

Orang yang mengerjakan satu perbuatan (ibadah) yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi
s.a.w. , sama seperti meninggalkan perintahnya.

Apabila sudah pasti bahawa Rasulullah saw tidak pernah mengerjakannya, kita wajib
meninggalkannya sekalipun larangannya tidak ada. Dan kalau kita kerjakan, itu termasuk
bidaah.

Sebagai contoh , amalan ta’ziyah (bela sungkawa) terhadap orang yang meninggal dunia
dengan membaca Al Quran dan berkumpul dengan makan-makan bersama.

Mencari rahmat dan pahala memang sudah ada sejak dahulu, tetapi cara tersebut tidak pernah
terjadi pada masa Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya. Padahal, waktu itu sudah ramai
orang yang mati dan sahabat-sahabat r.a. pun adalah di kalangan mereka yang sentiasa
mencari rahmat. Waktu itu tidak ada seorang pun yang mendirikan khemah kemudian diadakan
pembacaan Al Quran dan berkabung berganti-ganti.

Tradisi ini jelas hukumnya bid’ah dan agama tidak membenarkannya kerana Rasulullah s.a.w.
tidak pernah mengerjakannya, walaupun larangannya pun tidak ada. Jika tradisi itu kita
biarkan, kita setujui dengan alasan mencari keredaan Allah dan untuk menghantarkan orang
yang pergi (mayat) supaya mendapat kasih dan rahmat Allah swt, kita sebenarnya berburuk
sangka (su’u zhon) terhadap peribadi Rasulullah s.a.w. dan sahabat-sahabatnya.

Nauzubillahimin zalik!

Contoh lain ialah melafazkan niat ketika akan mengerjakan ibadah (seperti membaca ‘Usalli’
ketika hendak memulakan solat) , padahal Rasulullah s.a.w. tidak pernah mengerjakannya.

Amalan tersebut wajib kita tinggalkan dan bid’ah hukumnya kalau dikerjakan.

Kami merasa sangat khuatir terhadap amalan ibadah yang banyak dikerjakan orang yang nabi
sendiri dan para sahabat tidak pernah mengamalkannya. Padahal merekalah sebenarnya yang
lebih patut untuk mengamalkannya kalau sekiranya hal tersebut dipandang baik sebagai jalan
untuk bertaqarrub kepada Allah swt.

Mengapa kita harus memberatkan diri terhadap sesuatu yang Allah sendiri sudah memberikan
keringanan (rukhsah)? Mengapa pula kita harus menyibukkan diri pada sesuatu yang Allah
sendiri mendiamkannya? Bahkan Nabi s.a.w. sendiri pernah bersabda yang bermaksud :

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa ketetapan maka jangan kamu sia-siakan dia.
Allah telah menentukan beberapa ketentuan, maka jangan langgar dia. Allah telah mendiamkan
beberapa perkara sebagai rahmat untuk kamu bukan lantaran lupa, maka jangan kamu
perbincangkan dia”.

Misalnya, Imam berdoa sesudah solat subuh dan asar sambil menghadap makmum dan
disambut oleh makmum dengan bacaan amin. Nabi tidak pernah berbuat demikian walaupun
sekali.

Bid’ah Haqiqi

Bid’ah Haqiqi misalnya tawaf di kuburan orang yang sudah meninggal dunia seperti tawaf di
Baitullah. Contoh lain misalnya membujang seperti pendeta dengan menganggap dirinya suci.

Bid’ah semacam ini tidak banyak terdapat di kalangan masyarakat.


Bidaah Idafi

Bid’ah idafi ialah masalah-masalah yang dapat ditinjau dari berbagai segi; dari satu sudut boleh
menjadi sunnah tapi dari sudut lain boleh menjadi bid’ah.

Jika dilihat dari satu sudut, kita akan menjumpai bahawa masalah tersebut berlandaskan
kaedah yang baik dan nas yang jelas. Tetapi jika dilihat dari sudut lain, kita dapati unsur-unsur
bid’ah yang jelas. Contohnya, membaca tasbih (subhanallah), tahmid (alhamdulillah) dan takbir
(Allahu Akbar) sesudah solat. Kesemuanya itu merupakan sunnah dan seluruh ulama sudah
menyepakatinya. Tidak satu pun di antara mereka yang menentangnya kerana memang ada
dalil-dalil dari beberapa hadis sahih. Bahkan Rasulullah saw dan para sahabatnya selalu berbuat
demikian. Namun mereka melakukannya dengan sendiri-sendiri dan dengan sirri (tersembunyi).

Kemudian ada orang yang sengaja menyusun wirid dan zikir, dan ada seorang yang bertindak
sebagai pemimpin dan kemudian orang ramai dikumpulkan untuk mengikuti bacaannya.

Cara-cara tersebut dijadikan kebiasaan setiap selesai solat dengan irama yang dibuat-buat.
Orang ramai kemudian mengikutinya dan disambutnya dengan bacaan amin.

Bertasbih, tahmid dan takbir setelah solat adalah sunnah tetapi cara yang dibuat-buat inilah
yang termasuk bid’ah. Mereka sudah mengetahui bahawa asas yang digunapakai dalam
amalannya adalah hadis yang datang dari Rasulullah s.a.w. Tetapi, anehnya, mereka
beranggapan bahawa cara semacam itu ( berzikir secara beramai-ramai dengan suara yang
kuat) sebagai salah satu langkah untuk menegakkan sunnah Rasulullah s.a.w.

Contoh bidaah Idafi yang lain adalah seperti membaca selawat sebelum azan sehingga orang
awam mengira bahawa bacaan tersebut merupakan sebahagian daripada azan. Padahal yang
sebenarnya kalimat-kalimat azan itu adalah terpelihara dan sudah menjadi ketetapan syarak.

Cara-cara seperti inilah yang dapat digolongkan bidaah Idafi. Namun anehnya, para mu’azin
sebaliknya merasa selesa dan gembira menggunakan cara tersebut untuk memanggil orang
beribadah kepada Allah. Dengan demikian, status azan yang tadinya sunnah berubah menjadi
bid’ah dan sia-sia.

Dari sekian contoh di atas dapat disimpulkan bahawa bid’ah Idafi itu umumnya berupa amalan-
amalan yang diambil dari ajaran agama, tetapi diamalkan dengan cara yang keluar dari batas
yang telah ditentukan oleh agama itu sendiri. Ajaran-ajaran agama itu tak ubahnya seperti
anggota tubuh yang lengkap dengan pancaindera dan perhiasannya. Jika kaki pindah ke tempat
tangan dan telinga pindah ke tempat hidung atau sebaliknya, nescaya amatlah janggal dan
hodoh, walaupun pemindahan itu tidak mengambil anggota lain di luar tubuh.
Contoh seterusnya ialah mengadakan solat khusus bulan Rejab dan Syaaban dengan maksud
tertentu. Malangnya, ada sebahagian ulama yang beranggapan amalan tersebut dibolehkan
dengan alasan memandang prinsip bahawa sembahyang bukanlah perbuatan mungkar.

Khusus dalam masalah sembahyang ini, Imam Nawawi pernah berkata, “Bahawa kedua macam
sembahyang tersebut adalah mungkar”.

Begitu juga, membaca Al Quran dan zikir di hadapan jenazah dengan suara keras, termasuk
bid’ah Idafi. Tentang membaca Al Quran dan zikir itu sendiri memang sudah jelas ada dalam
Islam, tetapi bukan dengan cara demikian.

Puasa pada tanggal 27 Rejab (dikatakan tarikh Isra’ Mi’raj) dan 15 Syaaban (nisfu Syaaban)
termasuk bidah Idafi. Prinsip puasa memang ibadah yang dibenarkan, tetapi dengan
mengkhususkan pada hari-hari tersebut hukumnya bid’ah.

Dengan demikian, jelaslah bahawa orang yang mengerjakan bid’ah itu bererti
mencampuradukkan amalan soleh dengan yang batil, sekalipun untuk tujuan yang baik.

Amalan-amalan sebagaimana disebutkan tadi itu tidak lain kerana kebodohan mereka tentang
sunnah dan kerana berfikiran jumud (sempit) ; tidak mahu menilai dan mengkaji ajaran yang
dibawa oleh orang-orang jahil.

Harapan kami semoga dengan memahami kejanggalan amalan-amalan tersebut, sedikit


sebanyak dapat memberikan semangat untuk mereka mempelajari hakikat ajaran Islam yang
sebenarnya.

Kami berharap, dalam membanteras seluruh macam bid’ah itu hendaknya dilakukan dengan
beransur-ansur dan dengan sikap lemah lembut serta memberikan penjelasan yang berhikmah
kepada mereka yang mengamalkannya. Hal ini dilakukan untuk menjaga dari segala macam
kekaburan yang selama ini menyelubunginya, juga untuk menjaga agar jangan sampai nasihat-
nasihat yang demikian baik itu bertukar menjadi fitnah yang menyerang pula soal-soal yang
tidak ada kaitannya.

Masalah A’diyah

Memasukkan persoalan a’diyah ke dalam bidang ibadah merupakan bahaya besar bagi agama
dan umat manusia umumnya.
Contohnya, Rasulullah s.a.w. memakai terompah yang disepit dengan dua jari kaki (Riwayat
Imam lima kecuali Muslim). Adakah memakai terompah seperti itu termasuk sunnah ugama?
Apakah orang yang tidak memakai terompah seperti itu bererti meninggalkan sunnah? Atau
sama sekali didiamkan?

Contoh lain, ialah kaum muslimin (termasuk Rasulullah) dan musyrikin di zaman Rasulullah
berpakaian putih dan memakai tutup kepala dari terik matahari yang membakar. Apakah
pakaian putih dan menutup kepala juga disunatkan bagi penduduk-penduduk negeri sejuk,
semata-mata kerana Rasulullah s.a.w. berpakaian begitu.

Ustad Al Adawi berkata: “Yang termasuk bid’ah pada masalah ‘adiyah, contohnya, ialah
menghias masjid dengan berbagai warna yang dapat mengganggu orang yang sedang melakukan
solat. Begitu juga lantai yang beraneka warna dan menggantungkan lampu-lampu yang
harganya sangat mahal”.

Sedangkan yang dianjurkan ialah membina masjid yang luas cukup untuk menampung jemaah
dengan tinggi yang munasabah, dindingnya nampak bersih, dicat dengan warna yang tidak
mengganggu orang bersembahyang dan tikar solah yang sederhana.

Sebenarnya seluruh persoalan ‘adiyah, baik fi’liyah ( perbuatan ) atau qauliah ( perkataan )
bukan termasuk risalah yang dibawa oleh nabi s.a.w. Sebabnya, masalah-masalah duniawi
selalu berkembang yang mungkin diijtihadkan dengan seluas-luasnya; mungkin dikurangi,
ditambah malah ditinggalkan.

Menetapkan mestinya mengikut nabi s.a.w. dalam hal-hal duniawi menunjukkan kejumudan
( sempitnya ) berfikir dan amat berbahaya untuk kehidupan.

Mundurnya kaum muslimin dalam segala lapangan hidup seperti yang kita alami sekarang
ini mungkin berpunca pada berbagai ikatan dan halangan yang berdalih “Demi
berpegang pada ajaran Islam”. Akibatnya mereka terus hidup dalam belenggu ini. Mereka
tidak dapat bergerak seperti yang dilakukan oleh orang lain.

Menjunjung tinggi belenggu-belengu kebatilan ini, bererti melepaskan kesempurnaan jiwa dan
inti ajaran agama. Dengan begitu, hubungannya dengan agama menjadi retak, hubungannya
dengan lapangan keduniannya pun menjadi kacau. Akhirnya mereka lari dari dunia ini.

2. BID’AH DALAM AKIDAH


Banyak sekali noda-noda yang secara lahiriahnya nampat taat kepada Allah tetapi pada
hakikatnya melanggar hukum dan norma-norma yang ditetapkan Allah.

Tidakkah telah dimaklumi, betapa orang-orang musyrikin itu bertelanjang bulat waktu tawaf di
Baitullah, baik lelaki mahupun perempuan dengan alasan tidak layak di Baitullah berpakaian
yang dipakai berbuat maksiat kepada Allah.

Di antara sekian banyak yang terjadi di kalangan orang awam ialah pergi ke kubur orang-
orang soleh untuk sesuatu yang tidak patut dipinta kecuali kepada Allah semata-mata.

Perasaan kurang puas dalam berhubungan dengan Allah tanpa wasilah, merupakan adat
kebiasaan kaum Watsaniyah, penyembah berhala. Alasan-alasan mereka itu seperti firmannya
yang bermaksud :

“Kami tidak menyembah berhala-berhala itu melainkan supaya mereka itu


mendekatkan kami kepada Allah. (Az Zumar : 3)

Alasan ini pula yang dipakai kaum jahiliah moden untuk membela pengunjung kubur untuk
minta sembuh dan keberuntungan, serta mencari keluhuran dan pertolongan.

Beraneka macam khurafat mengelilingi masalah wali dan kewalian. Sehingga lama-kelamaan
ramai orang-orang yang beranggapan bahawa nasib dunia berada di tangan para wali.
Merekalah yang mengendalikan dunia dengan sesuka hatinya.

Orang-orang yang dianggapnya wali itu kekuasaannya dapat melampaui hukum sebab akibat.
Akibat dari itu, pandangan kaum muslimin terhadap sunnatullah yang berhubungan dengan
alam ini menjadi kacau bilau. Mereka beranggapan bahawa sunnatullah akan tunduk kepada
orang yang tekun beribadah.

Yang jelas, anggapan-anggapan itu semua, sudah bercampur aduk berasal dari pengaruh-
pengaruh jahiliah.

Berhala adalah batu yang layak dipakai untuk membina bangunan atau untuk membina jalan.
Inilah keistimewaannya. Selain dari itu sama sekali tidak ada, tidak seperti yang dianggap oleh
penyembah-penyembahnya.

‘Lembu’ yang dijadikan persembahan oleh orang-orang Hindu, keistimewaannya, adalah


susunya yang dapat diminum dan dagingnya untuk dimakan. Selain itu sama sekali tidak ada,
baik mengenai kesuciannya atau pun dekatnya kepada Allah.
Sesungguhnya Rasulullah s.a.w pernah melihat seorang lelaki memakai gelang di lengannya dari
tembaga kemudian beliau bertanya, “Celaka kau, apa ini? “Jawab lelaki tersebut, “Ini adalah
benda yang lemah”. Kemudian Rasulullah bersabda : “Ingat sesungguhnya dia hanya menambah
kelemahanmu. Kerana itu buang dia. Kerana kalau kamu mati sedang dia masih tetap kamu
pakai, selamanya kamu tidak akan selamat.”

Kadang-kadang kita jumpai sebahagian orang menggunakan Al Quran sebagai pelindung


dirinya dengan beranggapan bahawa Al Quran tersebut dapat melindungi diri dari muflis,
kalau dia sebagai pedagang atau dapat menolak tamparan kepala kalau dia sebagai pegawai.

Ini adalah kekacauan fikiran yang sudah sangat parah. Kalau dia masih beranggapan beriman
kepada Allah dan meluhurkan Al Quran, sesungguhnya itu adalah anggapan yang salah.
Hubungan seorang muslim dengan Al Quran, adalah mempelajari dan mengamalkan isi
kandungannya.

Kalau dia sebagai pegawai dan pedagang supaya berjaya dalam usahanya, dia mesti bekerja
kuat, tidak malas, jujur dan jangan menyeleweng.

Kekeliruan terhadap prinsip ini tidak dapat ditebus dengan dengan menggantungkan Al Quran
kecil atau pun besar.

Firman Allah s.w.t. ertinya lebih kurang:

“Dengan al-Quran itu Allah membimbing orang-orang yang mengikuti


keredhaanNya ke jalan keselamatan” (Al-Maidah ayat 16)

“Dengan nyamuk Allah sesatkan orang ramai, tetapi dengan sebab itu juga Ia
bimbing orang ramai” (Al-Baqarah ayat 26)

Aishah r.a. pernah berkata, “ Aku belajar ilmu pengubatan kerana banyak
penyakit-penyakit Rasulullah s.a.w.”

Ayat-ayat dan hadis di atas menegaskan bahawa Allah membuat sesuatu dengan sebab. Kerana
itu barangsiapa berpendapat bahawa Allah membuat sesuatu ketika adanya sebab-sebab ini,
bukan dengan sebab-sebab tersebut, sesungguhnya dia telah menyimpang dari garis yang
dibawa Al Quran dan menentang adanya tenaga dan daya yang telah di cipta Allah
sendiri.
Perasaan Nasionalisma

Kehancuran dan seksaan yang memuncak ke atas umat Islam silam dan masakini kemungkinan
besar disebabkan mereka telah membuang risalah Islam yang universal itu menjadi risalah
nasional ( kebangsaan ). Ini merupakan pokok seluruh bencana yang menimpa mereka. Dan ini
sungguh merupakan bahaya yang sangat besar untuk masa depan umat manusia.

Kepada kaum muslimin, kami ingin mengingatkan hendaklah mereka dapat menyedari dan
menilai realiti yang ada :

1. Bahawa mengembalikan manusia kepada situasi jahiliyah dengan fanatik pada


tanahair, warna dan darah adalah satu bentuk faham politheis (syirik) yang tidak
patut bagi kita.

2. Kembali kepada tatacara ini hanya akan membawa kerugian bagi Islam dan kaum
muslimin serta menguntungkan bagi Eropah.

Kaum Salib antarabangsa menghancurkan dan meruntuhkan Islam dengan tabir nasionalisme.
Bahayanya tidak kurang daripada perbuatan gerakan Zionis. Akibatnya kaum muslimin
menderita dalam masa yang lama sekali.

3. BIDAAH DALAM IBADAH

Lawan ‘zikir’ adalah ‘lupa’ yang merupakan pekerjaan hati, bukan pekerjaan lidah. Kerana itu
kadang-kadang kita jumpai ada sebahagian orang yang mempunyai ingatan yang tajam dan baik
yang dapat memenuhi seluruh jiwanya, padahal lidahnya sama sekali tidak bergerak dan tidak
satu pun anggota badannya yang berubah. Ketenangan badannya itu menolong untuk selalu
ingat. Jika dia tunduk dan tenggelam, jiwanya dengan sempurna dapat membentuk seluruh
lukisan yang dimaksud. Gerakan lidah waktu itu hanya sekadar manifestasi, bukan satu natijah
dari meluasnya perasaan.

Banyak sekali orang pendiam yang tidak keluar satu pun huruf dari mulutnya, namun hatinya
penuh ingat kepada Allah. Sebaliknya, orang yang lidahnya bergerak-gerak menyebut asma
Allah, tetapi hatinya kosong dari berzikrullah. Orang seperti itu tak ubahnya seperti pita
rakaman Al Quran. Dia akan menyuarakan ayat-ayat sebanyak yang dirakam itu, tetapi tidak
mempunyai tanggungjawab hukum sama sekali. Mereka ini tidak mendapat pahala ataupun
seksa.
Adalah suatu kebaikan bagi setiap muslim jika mahu membiasakan membawa zikir-zikir
tersebut ( tasbih, tahmid dan takbir dan sebagainya) dan menanamkan pengaruh-pengaruh
positif ke dalam jiwanya. Tetapi sayang sekali, banyak kita jumpai kekeliruan yang melampaui
batas. Sehingga untuk mengulangi-ulangi bacaan zikir tersebut itu, mereka terpaksa berhenti
dari bekerja.

Kalau ada sebahagian orang membuat program membaca Al Quran, berdoa dan berzikir sesuai
dengan keperluannya, itu tidak dapat dikategorikan sebagai ketentuan agama. Orang lain juga
tidak boleh diharuskan untuk menirunya.

Sehingga banyak pengikut tarikat membuat wirid-wirid khusus untuk pagi dan petang, yang
dirangkaikan pula dengan solat-solat tertentu sebagai satu ketentuan agama.

Kami sudah banyak menyaksikan orang yang bergelumang dalam wirid-wirid. Pada umumnya
mereka itu mengabaikan dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dan kami yakin pula bahawa
kemunduran Islam dalam lapangan pengeluaran atau pun kekayaan, disebabkan oleh manusia-
manusia seperti ini. Sebabnya tidak lain mereka itu telah sesat dari tuntutan Rasulullah s.a.w.,
sehingga mereka menyimpang dari jalan yang lurus.

Allah swt berfirman :

Artinya :

“Orang yang bertakwa kepada Allah dari hamba-hambanya ialah orang-orang


yang berilmu pengetahuan”. (Fathir : 28)

Memperluaskan perkenalan kepada Allah merupakan Ibadah yang tertinggi. Dan mengenal Allah
dalam kerajaannya yang luas ini, bererti menyambut seruan Allah yang dituangkan dalam kitab-
kitabNya. Kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan alam tidak lain hanya
akan sesuai dengan wahyu yang datang dari sisi hukum material. Kedua-duanya itu juga
datangnya dari Allah semata-mata.

Mempersempitkan pengertian “amal soleh” hanya dalam bidang ibadah semata-mata, dapat
membawa orang-orang yang ingin bertakwa menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk
mengulang-ulang perbuatan-perbuatan yang terbatas ini. Seolah-olah mereka tidak kenal cara
lain untuk mencari keredhaan Allah.

Dengan tekun mereka mengerjakan amal-amal ini. Kalau sudah selesai diulang lagi. Begitulah
seterusnya.
Apa yang kami tentang adalah adanya perasaan bahawa yang disebut taat kepada Allah itu
hanya bergelumang dengan zikir, membaca al-Quran dan solat dengan mengulang-ulang sahaja.

Apakah anda mengira bahawa seorang hakim yang sibuk menyelesaikan persengketaan dan
bangun malam untuk mempersiapkan hukumnya, itu kurang mendapat keredaan Allah
dibandingkan dengan orang yang tekun membaca Al Quran?

Apakah anda menduga, bahawa guru yang berjuang untuk membenteras kejahilan, dengan
bangun malam untuk mempersiapkan pelajaran-pelajaran, itu nilainya lebih rendah
dibandingkan dengan orang yang bergelumang dalam zikir?. Tidak, bahkan kedua-duanya lebih
dekat kepada Allah dan lebih dekat dengan jalan yang benar.

Kerana itulah orang yang tidur lelap pada malam hari kerana kepenatan membanting tulang di
siang hari dinilai sebagai mujtahid. Dia dapat tidur dan bangun dengan mata Allah, selama
kesucian hatinya itu hidup.

Kekeliruan memahami erti ibadah, akan memesongkan kemajuan dan kebudayaan kita dari
jalan yang benar dan menyebabkan kita menganggap orang yang bodoh sebagai pandai dan
sebaliknya. Dan inilah sebab kehancuran yang kini menimpa bangsa kita.

Akhir-akhir ini saya melihat ada sebahagian pemuda yang fanatik kepada agama. Mereka
hendak meniru-niru cara-cara yang tidak benar itu. Dia beranggapan bahawa perwujudan
keikhlasan kepada Allah dapat dicapai dengan bergaul dengan salah satu jamaah dari jamaah
Islam, memberi nasihat dan petua, serta membaca bacaan-bacaan yang panjang dalam kitab-
kitab tafsir dan fiqih. Kadang-kadang sesudah itu dia menjadi doktor yang tidak berfungsi dan
jurutera yang tidak bersemangat.

Saya sangat hairan, apa yang menyebabkan doktor tersebut harus mengesampingkan fungsinya
yang mulia itu? Mengapa dia tidak tahu, bahawa pembedahan yang baik dan ubat yang sesuai
itu termasuk puncak amal soleh yang oleh Islam dinilai sebagai satu sendi kejayaan dan jalan
untuk mencapai kejayaan? Dan nilai perbuatan ini tidak kurang daripada nilai solat dan zakat.

Menguasai dunia adalah satu hal yang mesti, dalam rangka pengabdian kepada agama. Tidak
ada tempat di dunia ini bagi orang yang tidak mengetahui ilmu pengetahuan duniawi.

Kerana itu, Imam Abu Hanifah pernah berkata, “Jangan kamu bertukar fikiran dengan orang
yang di rumahnya tidak ada tepung”.
Perkataan ini sungguh berharga sekali. Kalau sekiranya ahli-ahli tasawuf dapat memahami cara-
cara seperti tersebut di atas, dia termasuk Islam. Kalau tidak bererti dia telah rosak.

Bukanlah yang dimaksud takwa itu mesti meninggalkan kehidupan duniawi. Yang dinamakan
takwa itu seharusnya dapat menguasai duniawi. Jika dunia dapat dikuasai, bererti anda benar-
benar hamba Allah dan kekayaan yang di tangan anda itu juga milik Allah.

Orang yang lari dari kehidupan duniawi bukanlah orang yang bijaksana dan bukan mukmin
sejati.

Termasuk kurang sihat akalnya orang yang berpendirian bahawa keredaan Allah hanya dapat
ditempuh dengan mengkhususkan dalam sebahagian ibadah dan menjauhi sebahagian yang lain.

Beribadah kepada Allah dapat dilakukan di pasar dan di semua lapangan, bukan hanya di masjid
dan di surau-surau.

Alangkah indahnya apa yang diungkapkan oleh penyair Iqbal :

- Orang kafir akan menjadi hamba kepada dunia Sedangkan dunia akan menjadi
hamba kepada orang mukmin

Saya sendiri tidak tahu, bagaimana suatu risalah dapat berjaya sedangkan pembawaannya
selalu terkebelakang dari umat lain dalam lapangan penghidupan. Dan saya pun tidak tahu,
mengapa dapat begitu tersiar bahawa membawa tasbih itu bererti ibadah, sedangkan
menghayunkan kapak bererti hanya kerja peribadi sahaja.

Menghias Masjid

Masjid bukanlah tempat untuk memperkenalkan keindahan seni, tidak pula untuk
mempamerkan keelokan teknik dan bukan tempat untuk berbuat berlebihan dan bermegah-
megah.

Menurut sunnah Nabi, atap mahupun lantai masjid itu menggambarkan bentuk kesederhanaan.
Memperluas masjid tidak juga dilarang, bahkan suatu perbuatan yang baik sehingga dapat
menampung beribu-ribu jemaah. Memperbesarkannya sehingga dapat menyerupai benteng juga
tidak dilarang. Perbuatan semacam ini tidak termasuk berlebih-lebihan dalam memperelok
masjid dan menakjubkan pandangan orang.
Tetapi sebahagian orang ada yang cenderung memperhias dan memperelok bangunan masjid,
kerana didorong menyaingi gereja-gereja Kristian yang memang sengaja dibuat secara berlebih-
lebihan. Kami memandang, berjalan mengikuti jiwa Islam adalah lebih baik. Sebabnya
bertakwa kepada Allah bukanlah pembebanan seperti tersebut di atas.

Membangun masjid di atas kubur

Sabda Rasulullah saw yang bermaksud :

“Mereka itu ialah orang-orang yang apabila salah seorang soleh di antara
mereka meninggal dunia, kemudian mereka mendirikan masjid (tempat
sembahyang) di atas kuburnya dan disertai dengan berbagai lukisan. Mereka itu
adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah”.

Kami pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri berpuluh-puluh surat yang ditujukan
kepada makam Imam Syafi’ baik yang dibawa tangan atau pun melalui pos. Saya pun telah
mendengar, ada beratus orang awam yang meringik-ringik di hadapan kubur Sayyidina Husein
dan lain-lain.

Cara untuk mengubati kemungkaran ini, hanya dapat diselesaikan dengan jalan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan akhlak yang sebenarnya serta memperbaiki cara
berfikir.

Kerana itu seharusnya para imam masjid mengambil peranan besar ini. Untuk itu mereka perlu
menguasai persoalan-persoalan dunia dan agama. Hendaknya mereka suka mempelajari
penyakit masyarakat dan bagaimana cara mengubatinya. Mereka juga harus menguasai
pengetahuan yang luas tentang aliran-aliran politik dan sosial ekonomi, serta pendapat para
ahli pendidik dan ilmu jiwa, baik di kalangan kaum muslimin ataupun orang lain. Tetapi satu hal
yang cukup kita sesalkan, bahawa manusia seperti ini tidak terdapat di kalangan ahli baca Al
Quran, kecuali hanya segelintir sahaja

Masalah Khutbah

Khutbah yang panjang seperti khutbah-khutbah yang pernah disusun oleh imam-imam masjid ,
pada hakikatnya bertentangan dengan tuntutan Islam. Banyak sekali para da’i yang berpidato
satu jam atau dua jam, bahkan ada sampai tiga jam.
Tiga jam adalah cukup untuk membaca seperempat Al Quran yang diturunkan Allah s.w.t.
secara beransur-ansur selama 23 tahun.

Yang jelas dakwah Islamiah yang dilakukan dengan pidato-pidato tanpa persiapan, keberanian
yang bermusim hanyalah sekadar mengisi waktu kosong untuk orang-orang yang ingin berbuat
baik dan dengan jiwa yang mati bagi orang-orang yang hendak mencari pekerjaan. Akhirnya
masa depan dakwah Islamiah sangat memmbimbangkan. Begitu juga masa depan Islam berjalan
seiring dengan dakwah ini.

BIDAAH DALAM ADAT KEBIASAAN

Orang-Orang Timur mempunyai tradisi yang tidak dikenal di negara-negara lain. Segolongan
manusia terkeliru bila menyaksikan sebahagian orang Islam yang memegang teguh tradisi ini.
Sehingga dianggapnya tradisi tersebut tumbuh dari prinsip-prinsip agama dan syariat Allah. Atau
paling tidak, tradisi itu dianggapnya sesuai dengan perasaan-perasaan yang sudah dikenal
dalam agama kita. Anggapan ini tidak benar, kerana tradisi-tradisi bangsa timur bukan prinsip-
prinsip agama, dan amal perbuatan manusia bukanlah perintah-perintah Allah.

Firman Allah swt :

Ertinya :

“Sesungguhnya nenek moyang mereka itu dalam keadaan sesat. Kemudian


mereka dengan segera (meniru) jejak-jejak mereka itu. Padahal sesungguhnya
kebanyakan orang-orang dulu sebelum mereka telah sesat dan kepada mereka
telah kami utus beberapa nabi yang bertugas untuk menyedarkan (munzirin).
Kerana itu, lihatlah betapa akibatnya orang-orang yang diancam itu! Kecuali
hamba-hamba Allah yang dibersihkan”. (Ash Shaffat : 69-74)

Kita hendaklah ittiba’ (mengikut) dalam hal ibadah dan masalah duniawi hendaklah kita
permoden dan majukan. Ini saja sudah cukup untuk dapat memimpin kehidupan kita. Tetapi
sebahagian kaum muslimin ada yang membuat sebaliknya, dia bersikap jumud (sempit) dalam
hal yang seharusnya dia mesti bergerak. Dia bertindak mengubah dan menambah sewenang-
wenangnya dalam hal yang seharusnya membatasi diri.

Kesalahan seperti ini dapat membawa kaum muslimin pada hidup yang tidak menentu. Urusan
keduniaannya menjadi sempit dan urusan agamanya menjadi kabur.
Sesungguhnya perjuangan untuk membersihkan tradisi-tradisi ibadat dari segala macam bid’ah
yang telah bersarang itu tidak boleh ditangguhkan.

Bid’ah dalam urusan jenazah

Saya sudah sering menyaksikan beberapa orang miskin yang kekurangan makan, tetapi dia
berani berhutang untuk menghidupkan tradisi-tradisi yang menyimpang sebagai ketentuan
agama atau lebih dari agama.

Diupah pembaca-pembaca al-Quran untuk satu atau dua malam, dilanjutkan seminggu atau dua
minggu.

Pengorbanan berupa moral mahupun material ini diulang pada hari ke 40 , satu tahun, dua
tahun dan seterusnya.

Tradisi-tradisi ini sama sekali tidak dapat diterima oleh orang-orang yang mempunyai
kefahaman yang baik terhadap dunia ini, apalagi oleh orang-orang yang mempunyai
pemahaman yang baik terhadap agama.

Berapa banyak tempat berhimpun yang harus kita sediakan untuk para tetamu yang ke kubur?
Berapa banyak perayaan untuk minggu pertama, hari ke empat puluh dan ulang tahunnya yang
pertama.

Tidak diragukan lagi, bahawa apa yang dilakukan oleh orang-orang Islam seperti ini
menunjukkan kebodohannya.

Tetapi sayangnya ramai dari kalangan orang awam, termasuk juga ulama-ulama, yang
mempertahankan kebodohan ini dalam bentuk-bentuk keagamaan yang mengaburkan.

Padahal Rasulullah s.a.w. pernah bersabda :

“Barangsiapa membaca inna lillahi wainna ilaihi raji’un ketika ditimpa


musibah, Allah akan menghilangkan musibahnya itu dan memperbaiki keadaan
selanjutnya serta memberikan ganti yang diredaiNya”.

Setiap muslim lelaki atau perempuan tidak boleh memakai pakaian khusus untuk berkabung
atau membuat membuat tanda-tanda pada badannya, keadaannya, rumahnya dan
pekerjaannya. Sebabnya pemergian seseorang ke akhirat, tidak bererti mencetuskan suasana
krisis dan duka dalam percaturan hidup ini.
Persoalannya cukup seperti apa yang dikatakan oleh seorang ahli hikmah, “Di mana ada orang
mati, di situ ada juga yang hidup”.

Tidak ada tempat dalam Islam untuk berteriak-teriak untuk mengiringi jenazah. Mengeraskan
suara walaupun dengan membaca Al Quran tetap tidak boleh.

Semua ini bertentangan dengan apa yang terjadi terhadap jenazah orang-orang salaf. Mereka
melakukannya dengan penuh khusyuk sehingga keluarga yang ditinggal mati itu tidak diketahui
mereka diliputi kesusahan dan kesedihan walaupun oleh orang-orang yang menghantar jenazah.
Sedikit pun mereka tidak termenung dan cemas ketika mengingat pada mayat itu. Mereka
bergantung kepadaNya, sebab mereka juga datang dariNya.

Takziah (Belasungkawa) yang digariskan Islam cukup mudah. Tidak perlu orang yang kesusahan
itu menyediakan sesuatu dan mempersiapkan tempat khusus untuk para tetamu yang datang
untuk bertakziah.

Kini prinsip-prinsip akhlak itu telah goncang. Sudah menjadi kebiasaan, bahawa orang yang
kesusahan, mesti pula menyediakan tempat khusus untuk bertakziah dan menghidangkan
makanan-makanan dan minuman-minuman kepada para tetamunya. Padahal menurut
Sunnah Nabi, keluarga yang kesusahan itu harus dibantu, misalnya dengan menyiapkan
makanan untuk keluarganya. Bukan sebaliknya yang ditimpa kesusahan pula mesti
menyediakan makanan dan minuman.

Sedangkan Imam Ahmad berkata, “Cara semacam ini adalah cara-cara jahiliah”. Kerana itu dia
sangat membencinya.

Dengan kefahaman yang tersasar bahawa si mayat memperoleh faedah daripada perbuatan
orang hidup, ramai orang awam yang mengupah pembaca Al Quran untuk membacakan Al Quran
kepada si mayat atau dengan membahagi-bahagikan makanan kepada orang yang menziarahi
jenazah.

Bid’ah dalam majlis perkahwinan

Kebanyakan majlis perkahwinan dilakukan dengan berlebih-lebihan dan memaksakan diri.


Jarang sekali mereka yang mengadakan pesta perkahwinan itu dengan sederhana sahaja. Di
antaranya mereka berlebih-lebihan dalam perkara yang hanya berstatus harus (mubah) sahaja.
Mereka perluas ruangnya dan sehingga berlebih-lebihan, melebihi cara yang dilakukan oleh
penganut agama-agama lain.
Perempuan-perempuan agama lain cukup berpakaian sederhana tapi kemas, sedangkan
perempuan muslimah tidak mahu kalau tidak memakai kain yang termahal.

Seharusnya umat Islam mempermudahkan amalan tradisi yang menyebabkan pesta-pesta


perkahwinan mereka itu hanya penuh dengan nafsu makan, riya’ dan perbuatan-perbuatan yang
sia-sia dan tidak bererti itu.

Walimatul urus (pesta perkahwinan) merupakan satu tradisi yang baik dan perlu pengorbanan
dan keringanan. Tetapi di sebalik tradisi yang baik itu, Islam tidak merestui adanya berlebih-
lebihan dan bermewah-mewahan dalam makanan.

Isteri dan anak-anak Nabi s.a.w. kahwin , dengan suatu majlis yang tidak memberat-beratkan
diri dan tidak berhutang. Kemudian lihatlah apa yang dilakukan oleh kaum muslimin dalam
merayakan perkahwinan mereka. Berapa banyak belanja yang disediakan untuk membuat
walimah sehingga tidak habis dimakan oleh yang lapar dan papa.

Perkahwinan dan ikatan keluarga

Umat Islam dewasa ini terbahagi kepada dua bahagian. Yang sebahagian tidak memberi tempat
kepada kaum wanita, seperti yang terjadi di Yaman dan Hijaz. Sedangkan yang sebahagian lagi
memberikan tempat kaum wanita tetapi terkeliru. Kedudukan wanita sangat membingungkan
seperti yang kini berlaku di Mesir.

Umat kita mendiamkan kemungkaran yang diperbuat oleh para ‘play boy’. Mereka membiarkan
para pemuda bertahun-tahun bergelumang dengan maksiat seperti bersekedudukan dan
bercinta sebelum melangkah ke alam perkahwinan.

Perempuan yang dibiarkan untuk melacur dan menjadi permainan hawa nafsu akan dapat
menggoncangkan umat seluruhnya dan akan dipermainkan oleh syaitan.

Umat kita dapat menerima kemungkaran ini tetapi mereka tidak dapat menerima untuk
meringankan pesta besar-besaran yang diadakan ketika akad nikah.

Saya pernah menyaksikan di Hijaz dan Palestin (dan juga di Malaysia – pent) adanya berlebih-
lebihan dalam masalah mahar. Sehingga orang lelaki tidak akan dapat berdampingan dengan
seorang perempuan, kecuali bila dia dapat membawa beratus-ratus dan beribu-ribu wang.

Kemudian apa yang terjadi akibat dari itu semua? Kemungkaran bermaharajalela di sana sini.
Tidak layak orang-orang jahil itu berbicara tentang dibolehkan berlebihan dalam hal mahar
menurut syarak. Walaupun dianggap sebagai suatu perbuatan yang baik, hal tersebut tidak
patut diamalkan. Sebabnya sunnah Nabi tidak membolehkannya kecuali sesudah sempurnanya
yang wajib. Jika hal yang wajib itu telah dipijak-pijak, di mana letak yang sunat?

Dan kalau kehormatan diri sudah tidak ada lagi dan perbuatan sundal sudah merata, apakah
perlu berbicara soal dibolehkannya berlebihan dalam masalah mahar?

Ramai orang Islam yang menjadikan masalah perkahwinan syari’ sebagai suatu hal yang sangat
sukar dan payah, sehingga menyebabkan berleluasanya maksiat di dalam masyarakat.

Alangkah baiknya jika kaum muslimin mempelajari bagaimana cara mengatur hubungan antara
lelaki dan wanita dengan cara yang benar dan bagaimana caranya agar setiap anggota keluarga
dapat berhimpun di halaman masjid pagi dan petang dan sebahagian waktu malam.

Bahkan bagaimana caranya supaya lelaki dan perempuan dengan serentak mahu berjuang untuk
menegakkan kalimatullah.

Dari sekian banyak yang kita saksikan, ada sebahagian ahli masyarakat yang memberikan
kebebasan seluas-luasnya kepada anak-anaknya.

Di segi mencari nafkah seluruh masyarakat Eropah telah sampai pada suatu batas di mana
suami isteri sama-sama aktif dalam berbagai pekerjaan dan lupa mengurus rumahtangga.

Peringatan hari ulang tahun, hari Asyura dan hari cuti mingguan

Orang pertama yang mengadakan perayaan maulid Nabi di Kota Erbel ialah Raja Al Mudhaffar
Abu Sa’id pada abad ketujuh. Kemudian peringatan ini meluas ke mana-mana dan banyak
penggemarnya.

Manakala hari peringatan lain yang bid’ah ialah sambutan hari Asyura (pada 10hb Muharram )
yang dirayakan oleh golongan Syiah dan golongan ahli sunnah.

Golongan Syiah pada hari tersebut mereka memukul tubuh mereka dengan apa saja yang ada di
tangannya, sebagai tanda berduka cita atas kematian Husain. Manakala golongan Ahlus Sunnah
adalah sebaliknya iaitu merayakan hari tersebut dengan membuat kenduri dengan beraneka
makanan dan kuih.
Apa yang diperbuat oleh kedua golongan tersebut sama sekali tidak bersumber dari ajaran
Islam .

Di antara perbuatan bid’ah ialah peringatan maulid Nabi, Israk Mikraj, Nisfu Syaaban, Lailatul
Qadar dan awal tahun Hijrah.

Kota-kota besar sekarang ini hampir tidak bergerak pada hari minggu (hari Ahad) , kerana
tempat-tempat pekerjaan semua bercuti. Sebaliknya pada hari Jumaat tidak ada kesempatan
bagi seorang buruh untuk berhias, bersenang-senang atau beristirehat. Kini kita dapati
kemenangan tradisi Eropah , (yang sebenarnya tradisi Kristian) ke atas tradisi Islam.

You might also like