You are on page 1of 37

Hadith of the Day

[HOTD] buang aiR kecil


”Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?.
Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak aniaya
sedikitpun.”
(QS. An Nisaa', 4 : 49)

Hadist riwayat Bukhori, dari Ibnu Abbas ra. ia berkata:


Dari Nabi saw. : Bahwasanya Nabi saw. Melewati dua kuburan lalu beliau bersabda :
"Sesungguhnya kedua-duanya sedang disiksa, dan keduanya tidak disiksa dalam urusan
yang berat (baginya) tetapi perkara itu cukup berat (dosanya). Adapun salah seorang
dari keduanya, maka ia tidak mau membersihkan diri dari air kencingnya sedangkan
yang lain selalu mengadu domba. Kemudian beliau mengambil pelepah daun kurma
yang masih basah, terus dibelahnya menjadi dua bagian, kemudian setiap kubur dari
kedua orang itu ditancapi yang separuh bagian dari pelepah kurma tersebut. Para
sahabat lalu bertanya : "Untuk apakah engkau lakukan itu wahai Rasulullah?" Beliau
bersabda : "Barangkali akan diperingankan siksa kedua orang ini selama daun itu belum
menjadi kering"."

Links:
[bOlehkah buang aiR kecil [kencing] sambil berdiRi ?]
http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1783&bagian=0
[tidak cebOk setelah buang aiR kecil]
http://www.mediamuslim.info/index.php?option=com_content&task=view&id=473&Ite
mid=23
[kencing berdiRi, menghadap kiblat dan cebok pakai tissue, bolehkah?]
http://eramuslim.com/ustadz/thr/44c61c47.htm
[bolehkah kencing berdiri?]
http://tausyiah275.blogsome.com/2007/02/28/bolehkah-kencing-berdiri/
[pakaian terkena najis]
http://eramuslim.com/ustadz/thr/451017b0.htm
[thaharah (bersuci)]
http://www.akangaziz.com/content/view/17/34/
[bersuci dari air kencing bayi]
http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=92&bagian=0
[apakah hadats itu kotoran kecil?]
http://eramuslim.com/ustadz/thr/448fb418.htm

http://orido.wordpress.com 1
Hadith of the Day

[istinja dan adab-adab buang hajat : buang hajat kecil atau hajat besar di jalan
umum?]
http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=685&bagian=0
[perbedaan antara air mani, air madi, air mazi]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/5001
[berbicara ketika buang hajat?]
http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=645&bagian=0
[shalat di lantai tanpa alas dan najis hukmiyah]
http://eramuslim.com/ustadz/thr/44c52bcb.htm

-perbanyakamalmanujusurga-

http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1783&bagian=0

Rabu, 8 Maret 2006 19:35:12 WIB


Kategori : Adab Dan Perilaku

BOLEHKAH BUANG AIR KECIL [KENCING] BERDIRI


Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wa sallam melarang buang air kecil sambil berdiri sebagaimana diriwayatkan
oleh sayyidah Aisyah. Tetapi kemudian beliau buang air kecil sambil berdiri,
bagaimana mengkompromikannya ?"

Jawaban.
Riwayat bahwa beliau melarang kencing sambil berdiri tidak shahih. Baik
riwayat Aisyah ataupun yang lain.
Disebutkan dalam sunan Ibnu Majah dari hadits Umar, beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam berkata :
"Artinya : Janganlah engkau kencing berdiri".
Hadits ini lemah sekali. Adapun hadits Aisyah, yang disebut-sebut dalam
pertanyaan tadi sama sekali tidak berisi larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi

http://orido.wordpress.com 2
Hadith of the Day

wa sallam kencing sambil berdiri. Hadits tersebut hanya menyatakan bahwa


Aisyah belum pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kencing
sambil berdiri.

Kata Aisyah Radhiyallahu 'anha.


"Artinya : Barangsiapa yang mengatakan pada kalian bahwa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam pernah buang air kecil sambil berdiri maka janganlah kalian
membenarkannya (mempercayainya)".

Apa yang dikatakan oleh Aisyah tentu saja berdasarkan atas apa yang beliau
ketahui saja.
Disebutkan dalam shahihain dari hadits Hudzaifah bahwa beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam melewati tempat sampah suatu kaum, kemudian buang air
kecil sambil berdiri.
Dalam kasus-kasus seperti ini ulama fiqih berkata : "Jika bertentangan dua nash
; yang satu menetapkan dan yang lain menafikan, maka yang menetapkan
didahulukan daripada yang menafikan, karena ia mengetahui sesuatu yang
tidak diketahui oleh pihak yang menafikan.

Jadi bagaimana hukum kencing sambil berdiri ?


Tidak ada aturan dalam syari'at tentang mana yang lebih utama kencing sambil
berdiri atau duduk, yang harus diperhatikan oleh orang yang buang hajat
hanyalah bagaimana caranya agar dia tidak terkena cipratan kencingnya. Jadi
tidak ada ketentuan syar'i, apakah berdiri atau duduk. Yang penting adalah
seperti apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sabdakan.

"Maksudnya : Lakukanlah tata cara yang bisa menghindarkan kalian dari terkena
cipratan kencing".
Dan kita belum mengetahui adakah shahabat yang meriwayatkan bahwa beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri (selain hadits

http://orido.wordpress.com 3
Hadith of the Day

Hudzaifah tadi, -pent-). Tapi ini bukan berarti bahwa beliau tidak pernah buang
air kecil (sambil berdiri, -pent-) kecuali pada kejadian tersebut.

Sebab tidak lazim ada seorang shahabat mengikuti beliau ketika beliau
Shalallahu 'alaihi wa sallam buang air kecil. Kami berpegang dengan hadits
Hudzaifah bahwa beliau pernah buang air kecil sambil berdiri akan tetapi kami
tidak menafikan bahwa beliaupun mungkin pernah buang air kecil dengan cara
lain.

[Disalin dari buku Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia


Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzzhullah,
Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]

BOLEHKAH BUANG AIR KECIL SAMBIL BERDIRI?

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bolehkah seseorang buang air
kecil sambil berdiri ? Perlu diketahui bahwa tidak ada bagian dari tubuh atau
pakaian yang terkena najis tersebut ?

Jawaban
Boleh saja buang air kecil sambil berdiri, terutama sekali bila memang
diperlukan, selama tempatnya tertetutup dan tidak ada orang yang dapat
melihat auratnya, dan tidak ada bagian tubuhnya yang terciprati air seninya.
Dasarnya adalah riwayat dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa salalm pernah menuju sebuah tempat sampah milik
sekelompok orang, lalu beliau buang air kecil sambil berdiri. Hadits ini

http://orido.wordpress.com 4
Hadith of the Day

disepakati keshahihannya. Akan tetapi yang afdhal tetap buang air kecil dengan
duduk. Karena itulah yang lebih sering dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, selain juga lebih dapat menutupi aurat dan lebih jarang
terkena cipratan air seni.

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal edisi Indonesia Fatawa bin Baaz I,
Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Penerjemah Abu Umar
Abdullah, Penerbit At-Tibyan – Solo]

HUKUM TEMPAT KENCING YANG BERGANTUNG

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Di tempat kami bekerja ada
tempat kencing yang bergantung. Sebagian teman menggunakannya dengan
memakai celana panjang dan kencing sambil berdiri yang tidak menjamin
bahwa air urine tidak mengenai celana panjang. Pada suatu hari saya memberi
nasehat kepadanya, ia menjawab “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah melarang hal tersebut”. Saya mohon nasehat dan
petunjuk.

Jawaban
Boleh bagi seseorang kencing sambil berdiri, apabila bisa terjaga dari percikan
air kencing ke badan dan pakaiannya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah kencing sambil berdiri si suatu saat [1]. Terutama apabila hal
tersebut sangat dibutuhkan karena sempitnya pakaiannya atau karena ada
penyakit di tubuhnya, namun hukumnya makruh kalau tidak ada kebutuhan.

[Kitab Ad-Da’wah 8, Alu Fauzan 3/46]

http://orido.wordpress.com 5
Hadith of the Day

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min


Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini,
Penyusun Khalid Al-Juraisy, Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1] Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Ath-Thaharah 224 dan Muslim dalam Ath-
Thaharah 273

http://www.mediamuslim.info/index.php?option=com_content&task=view&id=
473&Itemid=23

Tidak Cebok Setelah Buang Air Kecil

Dikirim oleh Kontributor Special || Kamis, 15 Maret 2007 - Pukul: 06:09 WIB

MediaMuslim.Info - Saat ini, banyak umat Islam yang menyerupai orang-orang


kafir dalam masalah kencing. Beberapa kamar kecil hanya dilengkapi dengan
bejana air kencing permanen yang menempel di tembok dalam ruangan
terbuka. Setiap yang kencing, dengan tanpa malu berdiri dengan disaksikan
orang yang lalu lalang keluar kamar mandi. Selesai kencing ia mengangkat
pakaiannya dan mengenakannya dalam keadaan najis.
Orang tersebut telah melakukan dua perkara yang diharamkan, pertama ia
tidak menjaga auratnya dari penglihatan manusia dan kedua, ia tidak cebok
dan membersihkan diri dari kencingnya.

Islam datang dengan membawa peraturan yang semuanya demi kemaslahatan


umat manusia. Diantaranya soal menghilangkan najis, Islam mensyari'atkan
agar umatnya melakukan istinja' (cebok dengan air) dan istijmar
(membersihkan kotoran dengan batu), lalu menerangkan cara melakukannya

http://orido.wordpress.com 6
Hadith of the Day

sehingga tercapai kebersihan yang dimaksud.

Sebagian orang menganggap enteng masalah menghilangkan najis. Akibatnya


badan dan bajunya masih kotor. Dengan begitu, shalatnya menjadi tidak sah.
Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan bahwa perbuatan
tersebut salah satu sebab dari azab kubur.

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata: "Suatu kali Rasululloh Shallallahu


'alaihi wa sallam melewati salah satu kebun di Madinah. Tiba-tiba beliau
mendengar suara dua orang yang sedang di siksa di alam kuburnya. Lalu Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: "Keduanya diazab, tetapi
tidak karena masalah besar (dalam anggapan keduanya) lalu bersabda - benar
(dlm riwayat lain: Sesungguhnya ia masalah besar) salah satunya tidak
meletakkan sesuatu untuk melindungi diri dari percikan kencingnya dan yang
satu lagi suka mengadu domba". (HR: Bukhari, lihat Fathul Baari :1/317)

Bahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan, yang artinya:


"Kebanyakan azab kubur disebabkan oleh buang air kecil". (HR: Ahmad,
Shahihul Jami' No. 1213)

Termasuk tidak cebok setelah buang air kecil adalah orang yang menyudahi
hajatnya dengan tergesa-gesa sebelum kencingnya habis, atau sengaja kencing
dengan posisi tertentu atau di suatu tempat yang menjadikan percikan air
kencing itu mengenainya, atau sengaja meninggalkan istinja' dan istijmar tidak
teliti dalam melakukannya.

(Sumber Rujukan: Dosa-dosa Yang Dianggap Biasa oleh Syaikh Muhammad Shalih
Al-Munajjid)

http://eramuslim.com/ustadz/thr/44c61c47.htm

http://orido.wordpress.com 7
Hadith of the Day

Kencing Berdiri, Menghadap Kiblat


dan Cebok Pakai Tissue, Bolehkah?
Rabu, 26 Jul 06 10:55 WIB

Assalamualaikum.waraahmatullahhi wabarakatuh

Pak Ustadz yang dirahmati Allah, bagaimana dengan ketentuan atau aturan bagi
kaum laki-laki dalam melakukan kencing, dengan berdiri atau dengan cara
duduk (sepeti kaum wanita pada umumnya)? Adakah keharusan untuk
melakukan dengan cara duduk?

Saya pernah membaca hadist tentang keharusan dilakukannya dengan duduk.


Apakah tidak terlalu menyulitkan, lebih lagi kebanyakan toilet pria
mengharuskan kencing sambil berdiri? Apakah boleh menghadap ke arah
manapun (asal ada pembatas sekedar tidak kelihatan aurat)? Apakah dalam hal
membersihkan boleh memakai tissue?

Demikian pertanyaan saya atas jawaban dari pak Ustadz saya haturkan terima
kasih. Matur nuwun.

Waalaikum salam warahmatullah wabarakatuh.

Baskoro
tensay at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Kencing berdiri memang seringkali diperdebatkan oleh banyak ulama. Sebagian


mengharamkannya, atau minimal memakruhkannya. Namun sebagian lainnya
membolehkannya. Mengapa mereka berbeda pendapat? Tidak adakah riwayat
yang shahih dari nabi SAW tentang masalah kencing berdiri?

Jawabnya ada. Bahkan diriwayatkan oleh dua pakar ahli hadits, yaitu Al-Imam
Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dengan sanad yang shahih. Isi haditsnya justru
menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah kencing sambil berdiri. Teks
haditsnya sebagai berikut:

‫ أتى رسول ال صلى ال عليه وسلم سباطة (مكان مرتفع يستتر به) قوم فبال قائما ثم دعا بماء فمسح‬:‫عن حذيفة قال‬
‫ وهو حديث صحيح‬.‫ فذهبت أتباعد فدعاني حتى كنت عند عقبه البخاري ومسلم‬، ‫على خفيه‬

http://orido.wordpress.com 8
Hadith of the Day

Dari Huzaifah ra. bahwa beliau berkata,"Rasulullah SAW mendatangi sabathah


(sebuah tempat yang tinggi untuk bertabir di belakangnya) pada suatu kaum
dan beliau kencing sambil berdiri. Kemudian beliau meminta diambilkan air
dan mengusap kedua khuff-nya (sepatu). Maka aku pergi menjauh namun
beliau memanggilku hingga aku berada di belakang beliau. (HR Bukhari dan
Muslim)

Menurut para ulama yang mendukung pendapat yang membolehkan kencing


sambil berdiri, hadits ini diriwayatkan oleh dua ahli hadits yang kitabnya
merupakan kitab tershahih kedua dan ketiga di dunia, setelah Al-Quran Al-
Kariem tentunya.

Dan isinya secara nyata dan tegas sekali menyebutkan bahwa Nabi Muhammad
SAW telah melakukan kencing sambil berdiri. Sehingga tidak ada alasan bagi
siapapun untuk menolak kebolehan kencing sambil berdiri.

Apalagi diriwayatkan banyak shahabat nabi yang kencing sambil berdiri. Di


antaranya apa yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khatab ra., seorang yang
pendapatnya seringkali mendahului turunnya Al-Quran.

‫عن زيد قال رأيت عمر بال قائما‬

Dari Zaid ra. berkata, "Aku telah melihat Umar bin Al-Khattab kencing sambi
berdiri." (Hadits dengan sanad yang shahih)

Kalau pun ada hadits lain yang menyebutkan bahwa nabi tidak pernah kencing
sambil berdiri, maka harus digabungkan.

Pendapat yang Mengharamkan

Sebagian ulama lainnya secara tegas mengharamkan kencing sambil berdiri.


Dan sebagiannya lagi memakruhkan. Dalil yang mereka pakai adalah hadits
shahih berikut ini lewat jalur isteri beliau, Aisyah ra:

.)‫(من حدثكم أن رسول ال ـ صلى ال عليه وسلم ـ بال قائما فل تصدقوه ما كان يبول إل جالسا‬:‫عن عائشة أنها قالت‬
‫ وإسناده صحيح‬، ‫رواه الخمسة إل أبا داود‬

Dari Aisyah ra. berkata, "Siapa saja yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW
kencing berdiri, maka jangan dibenarkan. Beliau tidak pernah kencing sambil
berdiri. (HR Khamsah kecuali Abu Daud dengan sanad yang shahih)

‫عنعائشة ما بال قائماً منذ أنزل عليه القرآن‬

Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW tidak pernah kencing sambil
berdiri semenjak diturunkan kepadanya Al-Quran.

http://orido.wordpress.com 9
Hadith of the Day

‫من الخطأ أن يبول الرجل قائما‬

Adalah sebuah kesalahan ketika seseorang kencing sambil berdiri

Kelompok ini mengatakan bahwa keberadaan hadits riwayat Bukhari dan Muslim
yang menyebutkan bahwa nabi SAW pernah kencing sambil berdiri sudah
dihapuskan hukumnya (mansukh). Yaitu dihapus dengan adanya hadits-hadits
ini.

Bantahan Pihak yang Membolehkan

Namun keberadaan hadits-hadits yang melarang kencing sambil berdiri ini


dibantah oleh para ulama yang membolehknnya. Di antara mereka adalah
penulis syarah Shahih Bukhari, yaitu Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar. Beliau
menyebutkan menuliskan dalam syarahnya bahwa tidak ada hadits yang tsabit
tentang larangan nabi untuk kencing berdiri.

AL-Hafidz juga mengatakan bahwa hadits yang menerangkan bahwa Nabi SAW
kencing berdiri tidak mansukh. Dan penasakhannya tidak benar.

Sebab masih ada kemungkinan untuk menjama' (menggabung) antara kedua


dalil yang sepintas kelihatan berbeda. Bentuk jama'-nya adalah bahwa mungkin
saja Aisyah ra. memang tidak pernah melihat nabi SAW kencing sambil berdiri
di rumahnya. Namun sudah barang tentu Aisyah ra. tidak pernah tahu apa yang
pernah dilakukan suaminya itu di luar rumah.

Sementara ada hadits lain yang shahih telah melaporkan bahwa Rasulullah SAW
kencing sambil berdiri di luar rumah. Dan juga perbuatan Umar bin Al-Khattab
ra. dan Ali bin Abi Thalib ra. Maka tidak mungkin menghukum mansukh kepada
suatu hadits selama masih bisa dijama'.

Syeikh Nasiruddin Al-Albani rahimahullah juga sepakat tidak adanya larangan


untuk kencing sambil berdiri. Beliau mengatakan bahwa hadits, "Janganlah
kencing sambil berdiri" adalah hadits yang dhaif (lemah). Maka tidak ada
larangan untuk kencing sambil berdiri, selama seseorang merasa aman dari
terkena percikan najis air kencing pada pakaiannya.

Al-Imam Al-Manawi dalam kitab Faidhul Qadir syarah Al-Jami'usshaghir


menyebutkan bahwa larangan nabi untuk kencing berdiri bukan bermakna
haram, melainkan tanzih. Dan perbuatan beliau kencing sambil berdiri untuk
menjelaskan bahwa hal itu boleh dilakukan dan tidak haram.

Menghadap Kiblat dan Membelakanginya

Adapun masalah menghadap kiblat atau membelakanginya, memang ada


larangan pada saat buang air.

http://orido.wordpress.com 10
Hadith of the Day

‫ إذا جلس أحدكم لحاجته فل يستقبل القبلة ول‬:‫عن أبي هريرة رضي ال عنه عن رسول ال صلى ال عليه وسلم قال‬
‫يستدبره رواه أحمد ومسلم‬

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bila kamu mendatangi
tempat buang air, janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya." (HR
Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Abu Ayyub disebutkan, "Tetapi menghadaplah ke timur atau ke


barat."

Posisi kiblat di Madinah adalah menghadap ke Selatan, sedangkan


membelakangi kiblat berarti menghadap ke Utara. Sedangkan menghadap ke
barat dan timur artinya tidak menghadap kiblat dan juga tidak
membelakanginya.

Tempat buang air di masa lalu bukan berbentuk kamar mandi yang tertutup
melainkan tempat terbuka yang sepi tidak dilalui orang-orang. Sedangkan bila
tempatnya tertutup seperti kamar mandi di zaman kita sekarang ini, tidak
dilarang bila sampai menghadap kiblat atau membelakanginya. Dasarnya adalah
hadits berikut ini.

Dari Jabir ra. berkata bahwa Nabi SAW melarang kita menghadap kiblat saat
kencing. Namun aku melihatnya setahun sebelum kematiannya menghadap
kiblat. (H.Tirmizy)."

Kemunginan saat itu beliau SAW buang air di ruang yang tertutup yang khusus
dibuat untuk buang air.

Istinja' Pakai Tissue

Selain dengan menggunakan media air, istinja' (cebok) dibenarkan


menggunakan media lain, seperti batu dan juga tissue atau apapun benda lain
yang memenuhi kriteria para ulama. Dalilnya adalah hadits berikut ini:

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Siapa yang beristijmar
(bersuci dengan batu) maka hendaklah berwitir (menggunakan batu sebanyak
bilangan ganjil). Siapa yang melaksanakannya maka dia telah berbuat ihsan
dan siapa yang tidak melakukannya tidak ada masalah`. (HR. Abu Daud, Ibju
Majah, Ahmad, Baihaqi dan Ibnu Hibban).

Dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Bila seorang kamu datang ke
WC maka bawalah tiga buah batu, karena itu sudah cukup untuk
menggantikannya.` (HR Abu Daud, Baihaqi dan Syafi`i)

Sedangkan selain batu, yang bisa digunakan adalah semua benda yang memang
memenuhi ketentuan dan tidak keluar dari batas yang disebutkan:

http://orido.wordpress.com 11
Hadith of the Day

1. Benda itu bisa untuk membersihkan bekas najis.


2. Benda itu tidak kasar seperti batu bata dan juga tidak licin seperti batu
akik, karena tujuannya agar bisa menghilangkan najis.
3. Benda itu bukan sesuatu yang bernilai atau terhormat seperti emas,
perak atau permata. Juga termasuk tidak boleh menggunakan sutera
atau bahan pakaian tertentu, karena tindakan itu merupakan
pemborosan.
4. Benda itu bukan sesuatu yang bisa mengotori seperti arang, abu, debu
atau pasir.
5. Benda itu tidak melukai manusia seperti potongan kaca beling, kawat,
logam yang tajam, paku.
6. Jumhur ulama mensyaratkan harus benda yang padat bukan benda cair.
Namun ulama Al-Hanafiyah membolehkan dengan benda cair lainnya
selain air seperti air mawar atau cuka.
7. Benda itu harus suci, sehingga beristijmar dengan menggunakan tahi/
kotoran binatang tidak diperkenankan. Tidak boleh juga menggunakan
tulang, makanan atau roti, kerena merupakan penghinaan.

Bila mengacu kepada ketentuan para ulama, maka kertas tissue termasuk yang
bisa digunakan untuk istijmar.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ahmad Sarwat, Lc.

http://tausyiah275.blogsome.com/2007/02/28/bolehkah-kencing-berdiri/

Bolehkah Kencing Berdiri?


Masuk Kategori: HOT NEWS, Fiqh, Lain-lain

Dalam kehidupan sehari-hari, (maaf) kencing, yang senantiasa disebut sebagai


buang air kecil (BAK) merupakan kegiatan yg tidak bisa terelakkan dan
dihindari oleh manusia dan hewan. Hal ini karena BAK merupakan FITRAH dari
makhluk ALLOH SWT ini. (Nyaris) Tidak mungkin manusia dan hewan yg bisa
hidup tanpa BAK.

Bagi manusia sendiri, BAK merupakan konsekuensi dari aktivitas minum yang
dia lakukan, selain itu karena tubuh sudah diprogram ALLOH SWT untuk
membuang zat2 yang tidak berguna dalam air kencing. Dengan demikian,
berdasar ilmu kesehatan…bagi manusia, salah satu manfaat kencing adalah
membuang zat yang sudah tidak diperlukan tubuh..juga membuang racun yang
ada dalam tubuh.

http://orido.wordpress.com 12
Hadith of the Day

Menahan kencing bisa berakibat fatal, karena akan mengganggu kerja ginjal.
Jika terlalu sering menahan kencing, bisa mengakibatkan penyakit lain, antara
lain batu ginjal. Bahkan hal paling parah adalah gagal ginjal. Jika sudah
mendapat penyakit seperti itu, barulah kita sadar betapa kita telah melupakan
nikmat ALLOH SWT.

Nah, saudaraku, dengan demikian janganlah kita suka menahan kencing. Untuk
hal ’sepele’ seperti ini, Islam juga sudah mengaturnya. Jadi, jangankan bersin,
urusan kencing pun Islam telah mengaturnya.

Aku sempat diberitahu seorang temanku, bahwa posisi duduk (atau jongkok)
merupakan posisi IDEAL untuk kencing. Aku sedikit lupa penjelasan detailnya,
lebih kurang temanku itu bilang bahwa dengan jongkok, maka saluran kencing
dan saluran lainnya (yang menunjang proses kencing) akan terbuka lebar serta
mengoptimalkan air kencing yg keluar. Dengan kata lain, semua air kencing
akan dikeluarkan. Sebaliknya, jika kencing berdiri, maka ada saluran yg tidak
berfungsi optimal.

Terus terang, aku tidak tahu persis…karena aku bukan orang yg mengerti
mendalam mengenai ilmu kesehatan. Di sini aku akan bahas mengenai kencing
berdiri dari sudut pandang agama.

Anggapan/asumsi hanya posisi kencing jongkok yang diperbolehkan (baik bagi


pria maupun wanita) sempat aku dengar juga dari beberapa orang
ulama/ustad. Mereka menggunakan dalil berikut: Dari Aisyah ra. berkata,
“Siapa saja yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW kencing berdiri, maka
jangan dibenarkan. Beliau tidak pernah kencing sambil berdiri.” (HR
Khamsah kecuali Abu Daud dengan sanad yang shahih)

Namun, melihat kondisi di lapangan, nampaknya sulit menemui/mendapatkan


tempat untuk kencing jongkok di toilet-toilet pria. Yang seringkali kita temui
adalah tempat kencing berdiri, dengan segala variasinya. Sedangkan tempat
untuk kencing jongkok, nyaris tidak ada. Jika kita ingin kencing jongkok, maka
kita mesti antri/masuk ke ruang buang air besar, baru kita bisa kencing
jongkok/duduk.

Berarti, kencing berdiri HARAM dong? Dan kita selama ini TIDAK MENCONTOH
SUNNAH RASUL?

Upss…tidak semudah itu menyatakan kencing berdiri sebagai sesuatu yg haram


dan ‘mencap’ kita tidak mencontoh sunnah Rasul. Aku coba cari referensi,
bagaimana Rasululloh SAW BAK, apakah jongkok/duduk saja, ataukah pernah
melakukan sambil berdiri? Ternyata, KENCING BERDIRI ITU BOLEH…!!! Aku
temukan dalil sebagai berikut: Dari Huzaifah ra. bahwa beliau
berkata,“Rasulullah SAW mendatangi sabathah (sebuah tempat yang tinggi
untuk bertabir di belakangnya) pada suatu kaum dan beliau kencing sambil

http://orido.wordpress.com 13
Hadith of the Day

berdiri. Kemudian beliau meminta diambilkan air dan mengusap kedua khuff-
nya (sepatu). Maka aku pergi menjauh namun beliau memanggilku hingga aku
berada di belakang beliau.” (HR Bukhari dan Muslim)

Perbuatan Rasululloh SAW ini juga dicontoh oleh sahabatnya, Umar bin Khatab.
Zaid ra. berkata, “Aku telah melihat Umar bin Al-Khattab kencing sambi
berdiri.” (Hadits dengan sanad yang shahih)

Lho, kok ada 2 dalil yg bertentangan? Jika begitu, ada pihak yg SALAH, dan ada
yang BENAR? Lalu, siapa yg salah dan siapa yang benar? Sebagai umat Islam,
mana yang mesti kita ikuti?

Pertama-tama, kita mesti YAKINI bahwa ajaran yg dibawa Rasululloh SAW TIDAK
BERTENTANGAN. Dengan kata lain, Islam adalah agama yg konsisten. Jika ada
hadits/ayat yg MENURUT KITA bertentangan, maka kemungkinannya adalah kita
yg kurang ilmu untuk mengerti (kita mesti cari referensi) atau ilmu manusia yg
terbatas.

Lantas, untuk kasus di atas, yg SEPINTAS nampak BERTENTANGAN….aku sempat


cari penjelasan untuk hal ini. Salah satu jawaban yg aku dapatkan adalah: istri
Rasululloh SAW, Aisyah, meriwayatkan hadits di atas karena sikap Rasululloh
SAW selama di rumah TIDAK PERNAH KENCING BERDIRI. Sedangkan untuk hadits
tentang Rasululloh SAW kencing berdiri, didapat dari kegiatan Rasululloh SAW di
luar rumah. *jika ada informasi tambahan tentang hal ini, aku minta tolong
dituliskan…*

Ok…dari tulisanku di atas, berarti KENCING BERDIRI TIDAK DILARANG (untuk


laki-laki). Adapun untuk perempuan, kencing berdiri nampaknya TIDAK
MUNGKIN DILAKUKAN, karena struktur kelamin perempuan jelas berbeda. Jika
perempuan kencing berdiri, maka kemungkinan besar air kencing, yg termasuk
najis, akan **muncrat dan** terpercik ke pakaian.

Namun, meski kencing berdiri tidak dilarang, ada beberapa hal yg mesti kita
perhatikan apabila kita (kaum laki-laki) hendak kencing berdiri:
1. Tidak dilakukan di pinggir jalan, terutama di belakang pohon. Seringkali kita
lihat, terutama di pinggir jalan, baik di kota besar ataupun kota kecil….banyak
laki-laki yg kencing di pinggir jalan, di belakang pohon. Kenapa SEBAIKNYA
TIDAK DILAKUKAN di pinggir jalan? Karena ada kemungkinan AURATNYA
TERLIHAT.

2. Memperhatikan tempat kencingnya. Di kota-kota besar, terutama di gedung-


gedung perkantoran, sudah banyak tempat kencing (berdiri) yg sudah canggih
dan bagus bentuknya. Pada umumnya, tempat kencing berdiri berbentuk
porselen (keramik) menjorok ke dalam, yg memudahkan laki-laki untuk
menuaikan hajatnya. Seperti aku tulis di bagian awal, tempat kencing seperti
ini RISKAN percikan najis. Mengapa? Karena (maaf) aliran kencing yg terlalu

http://orido.wordpress.com 14
Hadith of the Day

deras bisa mengakibatkan percikan air kencing mengenai celana kita. Akibatnya
pakaian kita menjadi terkena najis dan TIDAK BOLEH dipakai sholat.

Karenanya, perhatikan bentuk tempat kencingnya. Di beberapa tempat, ada


tempat kencing yg cukup ‘luas’ sehingga kemungkinannya kecil percikan air
kencing memantul porselen dan mengenai pakaian kita.

3. Membasuh kemaluan. Salah satu kekurangan/hal yg terlupa apabila kita


kencing adalah MEMBASUH KEMALUAN. Padahal biasanya masih ada air kencing
yg tersisa di ujung kemaluan kita. Tidak sedikit diantara kita yg langsung
memasukkan kemaluan kita ke dalam celana, segera setelah kencing. Walhasil
celana dalam kita terembes air kencing. Akibatnya, otomatis celana dalam kita
terkena najis.

Sementara itu, di banyak tempat ruang kecil, lokasi wastafel ternyata cukup
jauh. Tentu saja kita tidak mungkin ‘membawa-bawa’ dan ‘mempertontonkan’
kemaluan kita ke arah wastafel untuk dibasuh dg air dari wastafel, karena ini
jelas mengumbar aurat.

Solusinya, yg selama ini aku lakukan, adalah membasuh kemaluan dg air dari
tempat kencing (yg tersedia untuk menyiram bekas kencing). Lakukan sebersih
mungkin. Sementara untuk membasuh tangan, bisa dilakukan di wastafel.

4. Memperhatikan posisi tempat kencing. Terkait dengan no 2, kita mesti juga


perhatikan posisi tempat kencing. Pada umumnya, posisi tempat kencing TIDAK
ADA SEKAT. Tentu saja ini riskan, karena aurat bisa terlihat oleh orang di
sebelah kita. Aku pernah baca di sebuah artikel, aku lupa apakah di koran atau
mailing list, ada seorang laki-laki yg sedang di luar negeri, dia kencing berdiri
di tempat yg kebetulan membuat auratnya bisa terlihat oleh orang sebelahnya.
Ternyata laki-laki sebelahnya adalah seorang homoseksual. Ujung-ujungnya,
selesai kencing…dia malah diikuti si laki-laki abnormal itu.

5. (sebaiknya) Jangan gunakan tangan kanan untuk memegang kemaluan. Bukan


tidak boleh…tapi hukumnya makruh (lebih baik tidak dilakukan). Ini berdasar
hadits yang bersumber dari Abi Qatadah Radhiallaahu ‘anhu menyebutkan
bahwasanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jangan sekali-kali seorang diantara kamu memegang dzakar (kemaluan)nya
dengan tangan kanannya di saat ia kencing, dan jangan pula bersuci dari buang
air dengan tangan kanannya.” (Muttafaq’alaih). *maksudnya, gunakan tangan
kiri untuk memegang kemaluan saat kencing dan membasuhnya setelah
selesai*

Sementara itu, jika kita merapatkan posisi badan ke bagian dalam tempat
kencing, resiko terpercik air kencing jelas lebih besar.

http://orido.wordpress.com 15
Hadith of the Day

Solusinya, yg aku lakukan, mencari tempat kencing di bagian ujung, kemudian


posisi kencing (lebih) membelakangi orang2 lain, sehingga orang lain tidak bisa
melihat auratku.

Mudah-mudahan artikel ini berguna….

http://eramuslim.com/ustadz/thr/451017b0.htm

Pakaian Terkena Najis


Rabu, 20 Sep 06 10:35 WIB

Pak ustadz, apa masih suci atau bolehkah kita bersentuhan maupun memakai
pakaian yang bekas kena air mazi maupun kencing yang lamanya sudah
beberapa minggu?

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang benar apa yang anda tanyakan, bahwa pakaian yang pernah terkena
najis, maka sebelum digunakan untuk melakukan shalat, wajib disucikan
terlebih dahulu dari najis. Caranya dengan membasahinya dengan air suci
hingga hilang warna, rasa dan aromanya.

Termasuk juga tubuh kita ini, bila terkena najis, maka wajib dicuci terlebih
dahulu, sebelum berwudhu dan shalat.

Air mazi dan air kencing adalah dua jenis najis yang telah disepakati ulama.
Sebab keduanya keluar dari tubuh manusia lewat kemaluan. Dan menurut para
ulama, segala sesuatu yang keluar lewat kemaluan manusia, baik berbentuk
cair maupun padat, semuanya najis.

Kecuali satu saja yang bukan najis, yaitu air mani. Dan menurut para ulama,
bayi yang keluar lewat kemaluan wanita, juga bukan termasuk najis, lantaran
asalnya dari mani. Maka kalau mani dihukumi najis, otomatis bayi manusia pun
seharusnya najis juga.

Selain air mani, maka semua cairan dan benda apapun yang keluar lewat
kemaluan manusia, baik laki-laki maupun wanita, hukumnya najis. Kalau

http://orido.wordpress.com 16
Hadith of the Day

terkena pakaian, maka pakaian itu harus dicuci terlebih dahulu, agar menjadi
suci dan boleh dikenakan saat kita sedang shalat menghadap kepada Allah SWT.

Demikian semoga bermanfaat.

Wallahu a'lam bishshwab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

http://www.akangaziz.com/content/view/17/34/

THAHARAH
Written by akangaziz

Tuesday, 13 February 2007

Dalam hukum Islam soal bersuci (Taharah) dan segala seluk-beluknya termasuk
bagian ilmu dan amalan yang penting karena merupakan syarat sahnya sholat
bahwa seseorang yang akan mengerjakan sholat, wajib suci dari hadasts dan
suci pula badan, pakaian da tempatnya dari najis.

Firman Allah s.w.t. “Sesungguhnya Allah mencintai orang orang yang bertaubat dan Ia
mencintai orang-orang yang suci (bersih, baik dari kotoran jasmani ataupun kotoran rokhani)”
(QS. Al Baqarah : 222).

A. Macam-Macam Air

Ditinjau diri segi hukumnya, air dapat dibagi menjadi 4 macam:

Air Muthlak (air yang sewajarnya): yaitu air suci yang dapat mensucikan
(thahir wa munthahhir lighiarih), artinya air itu dapat digunakan untuk
bersuci, misalnya air hujan, air sumur, air laut, air salju dan air embun.
Air muthlaq dapat menghilangkan najis konkret, seperti darah dan air
seni, dan dapat pula mengangkat najis maknawi. Maksudnya ia dapat
dipakai berwudu, mandi junub, mandi haid, dan memandikan mayat.

http://orido.wordpress.com 17
Hadith of the Day

Inilah makna ungkapan fukaha,”Air muthlaq itu suci dengan sendirinya


dan menyucikan benda lainnya dari khubts maupun hadas.” Khubts adalah
najis konkret, dan hadas adalah najis maknawi Perbedaan antara khubts
dan hadas adalah bahwa air yang sedikit akan hilang kesuciannya jika
terkena khubts (seperti darah, air seni, dan bangkai), dan tetap suci walau
disentuh orang yang berhadas kecil (misalnya mengeluarkan angin atau air
seni) ataupun besar (seperti junub dan haid).Selain itu, dalam menyucikan
sesuatu yang terkena khubts, seperti mencuci baju, tak perlu adanya niat
taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah), tetapi bersuci dari hadas,
seperti mandi junub dan berwudu, harus dengan niat macam itu.

Firman Allah swt.: ”Diturunkan-Nya air bagimu dari langit, supaya kamu bersuci
dengannya.” (QS Al-Anfal:11)

Sabda Rasulullah saw:

Dari Abu Hurairah r.a, berkata beliau: Telah bertanya seorang laki-laki kepada rasulullah
saw. Kata laki-laki itu : ”Ya Rasulullah, kami berlayar di laut dan kami hanya membawa
air sedikit, jika kami pakai air itu untuk berwudhu, maka kami akan kehausan; bolehkan
kami berwudhu dengan air laut.?” Jawab Rasulullah saw.” ”Air laut itu suci lagi
menyucikan, bangkainya halal dimakan.” (Riwayat lima ahli hadis)

Air makruh; yaitu air yang yang suci dan dapat mensucikan tetapi makruh
digunakannya Seperti air musyammas (air yang terjemur oleh terik
matahari dalam bejana selain bejana emas atau perak kecuali air yang
terjemur di tanah seperti air sawah, air kolam dan tempat-tempat yang
bukan bejana yang mungkin berkarat)

Rasullah s.a.w. bersabda :

"Dari Aisyah sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya matahari maka telah
bersabda Rasullah s.a.w kepadanya janganlah engkau berbuat demikian wahai Aisyah
sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan penyakit sopak." (Riwayat
Baihaqi)

http://orido.wordpress.com 18
Hadith of the Day

Air suci tetapi tidak dapat digunakan untuk bersuci (tharir wa ghairu
muntharir lighairih); yaitu air yang boleh diminum tetapi tidak sah untuk
bersuci. contohnya:

a. Air Musta'mal yaitu Air sedikit (kurang dari 2 kulah) yang telah dipakai
untuk bersuci walaupun tidak berubah sifatnya.

b. Air suci yang tercampur dengan benda suci, seperti air teh, air kopi
dan lain sebagainya.

c. Air pohon-pohonan atau air buah-buahan seperti air nira, air kelapa
dan sebagainya.

Air Mutanajis, yaitu air yang terkena najis. Air mutanajis, apabila kurang
dari dua kulah (kira-kira 60cm x 60cm kubig), maka tidak sah untuk
bersuci. tetapi apabila lebih dari dua kulah dan tidak berubah sifatnya
(bau, rupa dan rasanya), maka sah untuk bersuci.

Sabda Rasulullah saw:

“Air itu tidak dinajisi sesuatu, kecuali apabila berubah rasa, warna atau baunya.”
(Riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi)

“Apabila air cukup dua kulah tidaklah dinajisi oleh suatu apapun.” (Riwayat lima ahli
hadis).

B. Menyucikan Air yang najis.

Untuk menyucikan air yang najis, ada beberapa ketentuan :

http://orido.wordpress.com 19
Hadith of the Day

Air itu bersumber, dan telah berubah rasa, warna, atau baunya karena
najis. Untuk sucinya, cukup dengan menghilangkan perubahan tersebut,
baik airnya sedikit maupun banyak, baik hilang sendiri atau dengan
perantara.

Air itu sedikit dan tak bersumber. Jika ia tak berubah karena najis, cara
menyucikannya cukup dengan turunnya hujan atasnya, atau dengan
menghubungkannya dengan air yang jumlahnya satu kur atau dengan air
yang bersumber, di mana kedua air itu menjadi satu. Tetapi jika air itu
berubah, pertama-tama harus dihilangkan perubahan itu, baru kemudian
disucikan dengan cara yang telah disebutkan, atau denga
mencampurkannya dengan air yang banyak sehingga tidak tampak lagi dan
tak terlihat lagi bekasnya.

Air itu banyak tapi tak bersumber. Tidak ada keraguan bahwa ia tidak
najis, kecuali jika berubah warna, rasa, atau baunya. Bila demikian ia
tidak menjadi suci kecuali dengan hilangnya perubahan itu, turunnya
hujan, bersambungan dengan air satu kur atau air yang bersumber dengan
syarat kedua air itu menjadi satu.

C. Ragu dan Bimbang

Imam Ja’far Shadiq berkata, “Air itu semuanya suci sampai engkau tahu bahwa
ia najis.”

http://orido.wordpress.com 20
Hadith of the Day

Jika anda melihat air dan anda tidak tahu apakah ia suci atau najis, maka
hukumnya suci, lebih-lebih lagi jika sebelumnya anda tahu air itu suci,
kemudian ragu akan terjadinya kenajisan.

Namun jika sejak semula anda tahu air itu najis, kemudian ragu tentang
terjadinya kesucian, maka air itu tetap najis.

D Macam-Macam Najis dan cara mensucikannya

Najis Mughaladhah : yaitu najis yang berat yakni yang timbul dari najis
anjing dan babi. Cara mensucikannya ialah lebih dahulu dihilangkan wujud
benda najis itu, kemudian baru dicuci bersih dengan air sampai tujuh kali
dan salah satunya dicuci dengan air yang tercampur tanah.

Rasulullah saw bersabda:

"Cara memcuci brjana seorang dari kamu, apabila dijilat anjing hendaklah dibasuh tujuh
kali, salah satunya hendaklah dicampur dengan tanah.” (Riwayat Muslim)

Najis Mukhaffafah : yaitu najis yang ringan, seperti air kencing bayi laki-
laki yang umurnya kurang dari dua tahun dan belum makan apa-apa
kecuali air susu ibunya. Cara mensucikan, cukup dengan memercikan air
pada benda yang kena najis itu sampai bersih meskipun air itu tdk
mengalir.Adapun kencing bayi perempuan yang belum makan selain susu
hendaklah memcucinya dengan cara dibasuh dengan air yang mengalir
diatas benda yang terkena najis itu, dan hilang zat najis dan sifat -sifatnya
,sebagaimana mencuci kencing orang dewasa.

“Sesungguhnya Ummu Qais telah datang kepada Rasulullah saw. Beserta anaknya laki-
laki kecil yang belum makan makanan selain susu. Sesampainya didepan Rasulullah

http://orido.wordpress.com 21
Hadith of the Day

beliau dudukan anak itu dipangkuan beliau, kemudian dikencinginnya, lalu beliau
meminta air, lantas beliau percikan air itu pada kencing anak-anak tadi, tetapi beliau
tidak membasuh kencing itu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw bersabda :

"barang yang terkena air kencing anak perempuan harus dicuci, sedangkan bila terkena
air kencing anak laki-laki cukup dengan memercikan air padanya." (H.R Abu Daud dan
Nasa'i)

Najis Mutawassithah : yaitu najis yang sedang, yaitu najis yang lain selain
yang tersebut dalam najis ringan dan berat. Seperti: Kotoran manusia atau
binatang, air kencing, nanah darah, bangkai (selain bangkai ikan, belalang
dan mayat manusia). Najis Mutawassithah dapat dibagi menjadi dua
bagian :

a. Najis 'aniyah: Yaitu najis yang bendanya berwujud. Cara


mensucikannya dengan menghilangkan zat (bendanya) lebih dahulu
hingga hilang rasa, bau, dan warnanya. kemudian menyiramnya dengan
air sampai bersih.

b. Najis hukmiyah : yaitu najis tidak berwujud bendanya, seperti bekas


kencing, arak yang sudah kering, cara mensucikannya cukup dengan
mengalirkan air pada benda yang terkena najis itu.

Najis yang dapat dimaafkan.


Najis yang dapat dimaafkan antara lain: Bangkai binatang yang darahnya
tidak mengalir, seperti nyamuk, kutu busuk dan sebagainya., Najis yang
sedikit sekali. Nanah atau darah dari kudis atau bisulnya sendiri yang
belum sembuh., Debu yang tercampur najis dan lain-lain yang sukar
dihindarkan.

http://orido.wordpress.com 22
Hadith of the Day

E. Fadhillah Thaharah (Keutamaan Bersuci)

Setelah kita mengerti tentang, maka perlu juga kita mengerti


keutamaan thaharah di sisi Allah Ta`ala terutama dalam kaitannya dengan
ibadah kepada Allah Ta`ala. Kita dapati antara lain firman Allah di dalam Al-
Qur’an:

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah


suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri [137] dari
wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci [138]. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
[137] Maksudnya menyetubuhi wanita di waktu haidh. [138] Ialah sesudah
mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar”. (Al-
Baqarah: 222)

Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

“Berthaharah itu (yakni bersuci itu) adalah separoh dari iman.” (HR. Muslim

http://orido.wordpress.com 23
Hadith of the Day

dalam Shahihnya, Kitabut Thaharah hadits ke 223 dari Abi Malik Al-Asy’ari
radliyallahu `anhu).

Dan Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda:

“Kuncinya shalat itu ialah berthaharah, dan pengharamannya (yakni mulai


diharamkan berbicara dalam shalat) ialah takbir (yaitu takbir permulaan
shalat atau dinamakan takbiratul ihram), dan penghalalannya ialah salam
(yakni halal kembali berbicara setelah berakhirnya shalat dengan
mengucapkan salam).” (HR. Tirmidzi dalam Sunannya dari Ali. Abu Isa (yakni
At-Tirmidzi) berkata: “Hadits ini paling shahih dan paling baik dalam bab
ini.”).

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa keutamaan thaharah adalah:

Dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya

Sebagai usaha dalam mempertebal dan meningkatkan keimanan.

Shalat menjadi lebih tenang dan terjaga.

Menyehatkan tubuh, karena thaharah dapat membersihkan dan


menghindarkan tubuh dari kotoran dan bakteri.

Artikel Fatwa :

Bersuci dari Air Kencing Bayi


Senin, 29 Maret 04

Tanya :

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Ifta' ditanya: Ketika seorang wanita melahirkan bayi

http://orido.wordpress.com 24
Hadith of the Day

laki-laki ataupun perempuan, selama dalam asuhannya bayi itu selalu


bersamanya dan tidak pernah berpisah, hingga terkadang pakaiannya terkena
air kencing sang bayi. Apakah yang harus ia lakukan pada saat itu, dan apakah
ada perbedaan hukum pada air kencing bayi laki-laki dengan bayi perempuan
dari sejak kelahiran hingga berumur dua tahun atau lebih? Inti pertanyaan ini
adalah tentang bersuci dan shalat serta tentang kerepotan untuk mengganti
pakaian setiap waktu.

Jawab :

Cukup memercikkan air pada pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki
jika ia belum mengkonsumsi makanan, jika bayi lelaki itu telah mengkonsumsi
makanan, maka pakaian yang terkena air kencing itu harus dicuci, sedangkan
jika bayi itu adalah perempuan, maka pakaian yang terkena air kencingnya
harus dicuci baik dia sudah mengkonsumsi makanan ataupun belum. Ketetapan
ini bersumber dari hadits yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud
dan lain-lainnya, sedangkan lafazhnya adalah dari Abu Daud. Abu Daud telah
mengeluarkan hadits ini dalam kitab sunan-nya dengan sanadnya dari Ummu
Qubais bintu Muhshan: "Bahwa ia bersama bayi laki-lakinya yang belum
mengkonsumsi makanan datang kepada Rasulullah , kemudian Rasulullah
mendudukkan bayi itu di dalam pangkuannya, lalu bayi itu kencing pada
pakaian beliau, maka Rasulullah meminta diambilkan air lalu memerciki
pakaian itu dengan air tanpa mencucinya." Dikeluarkan oleh Abu Daud dan Ibnu
Majah dari Rasulullah , beliau bersabda: " Pakaian yang terkena air kencing bayi
perempuan harus dicuci, sedangkan pakaian yang terkena kencing bayi laki-laki
cukup diperciki dengan air." Dalam riwayat lain menurut Abu Daud: "Pakaian
yang terkena air kencing bayi perempuan harus dicuci,sedangkan kain yang
terkena air kencing bayi laki-laki maka diperciki dengan air jika belum
mengkonsumsi makanan."

http://eramuslim.com/ustadz/thr/448fb418.htm

Apakah Hadats itu Kotoran Kecil?


Senin, 19 Jun 06 09:08 WIB

Assalamualaikum wr. wb.

Pak Ustadz yang dimuliakan Allah, saya ingin penjelasan beberapa hal di bawah
ini:

http://orido.wordpress.com 25
Hadith of the Day

Pada waktu wudhu niat kita adalah menghilangkan hadats. Apakah sebenarnya
yang dimaksud hadats ini? Sementara ini saya mengira-ngira bahwa hadats
adalah kotoran kecil? Petanyaan kedua, ketika sholat kita akhiri dengan salam.
Kepada siapakah salam ini kita peruntukkan?

Wassalamu'alaikum wr. wb.

Gunawan

Gunawan

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatulahi wabarakatuh,

Hadats bukanlah benda najis yang terlihat secara fisik. Hadats adalah status
hukum yang dialami seseorang akibat terjadi suatu hal lain pada dirinya.

Sebagian ulama fiqih ada yang menyebutkan bahwa hadats itu adalah najis
secara hukmi (hukum), bukan najis secara fisik (hakiki). Hadats atau najis
secara hukum artinya tidak ada benda najis yang terdapat pada tubuh kita,
atau pakaian atau tempat shalat, namun seolah-olah secara hukum najis itu
ada. Buktinya, ketika berhadats kita tidak boleh masuk masjid, tidak boleh
shalat, tidak boleh menyentuh mushaf Al-Quran atau melafadzkannya.

Sedangkan najis hakiki adalah najis yang selama ini kita pahami, yaitu najis
yang berbentuk benda yang hukumnya najis. Misalnya darah, kencing, tahi
(kotoran manusia), daging babi. Dalam bab tentang najasah, biasanya najis
jenis inilah yang kita bahas, bukan najis hukmi.

Adapun najis hukmi itu maksudnya adalah hadats yang dialami oleh seseorang.
Misalnya, seorang yang tidak punya air wudhu itu sering disebut dengan dalam
keadaan hadats kecil. Dan orang yang dalam keadaan haidh, nifas atau keluar
mani serta setelah berhubungan suami isteri, disebut dengan berhadats besar.

Kepada Siapa Salam dalam Shalat?

Untuk menjawab pertanyaan anda, mari kita bukan salah satu rujukan. Kami
memilih membuka kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab karya Al-Imam An-
Nawawi rahimahulah.

Di dalamnya ada terdapat beberapa nash dari hadits nabawi yang menjelaskan
jawaban atas pertanyaan anda. Yaitu salam yang kita ucapkan di akhir shalat
itu ditujukan untuk beberapa kemungkinan, antara lain untuk diri kita sendiri,
atau untuk sesama yang shalat jamaah, atau untuk para malaikat dan juga para
nabi.

http://orido.wordpress.com 26
Hadith of the Day

ٍ‫ضنَا عَلَى َبعْض‬


ُ ْ‫ن يُسَلّ َم َبع‬
ْ َ‫سنَا وَأ‬
ِ ‫ن نُسَلّمَ عَلَى َأنْ ُف‬
ْ َ‫ َأمَ َرنَا رَسُولُ الِّ صَلّى الُّ عََليْهِ وَسَلّمَ أ‬:َ‫عنْ ُه قَال‬
َ ُّ‫ضيَ ال‬
ِ َ‫س ُمرَةُ ر‬
َ ‫رَوَى‬

Samurah ra meriwayatkan, "Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk


memberi salam (dalam shalat) kepada diri kami dan juga kepada sesama
kami."

، ِ‫ َو َبعْدَهَا َر ْك َع َتيْن‬، ‫ظهْرِ أَ ْر َبعًا‬


ّ ‫ن يُصَلّي َقبْلَ ال‬ َ ‫سلّ َم كَا‬
َ َ‫صلّى الُّ عََليْهِ و‬ َ ّ‫جهَهُ أَنّ ال ّنبِي‬ ْ َ‫عنْ ُه كَرّمَ الُّ و‬ َ ُّ‫ضيَ ال‬ ِ َ‫عَِليّ ر‬
َ‫ن َمعَ ُه مِنْ ا ْلمُ ْؤمِنِين‬
ْ َ‫ َوم‬، َ‫ل ِئكَةِ ا ْلمُقَ ّربِينَ وَال ّنبِيّين‬
َ َ‫ن بِالتّسْلِيمِ عَلَى ا ْلم‬
ِ ْ‫ل كُلّ َر ْك َعتَي‬
ُ‫ص‬ِ ْ‫ يَف‬:‫صرِ أَ ْر َبعًا‬
ْ َ‫صلّي َقبْلَ ا ْلع‬
َ ُ‫َوي‬

Dari Ali ra. bahwa Nabi SAW shalat Dzhuhur 4 rakaat dan setelahnya shalat 2
rakaat dan shalat sebelum Ashar 4 rakaat. Beliau memisahkan antara 2 rakaat
dengan salam kepada para malaikat al-muqarrabin, para nabi dan orang
mukmin yang bersamanya.

Semoga kutipan pendek ini cukup untuk menjelaskan jawaban pertanyaan


anda.

Wallahu a'lam bishshawab wassalamu 'alaikum warahmatulahi wabarakatuh,


Ahmad Sarwat, Lc.

http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=685&bagian=0

Selasa, 4 Mei 2004 10:10:30 WIB


Kategori : Fiqih Ibadah

Istinja Dan Adab-Adab Buang Hajat : Buang Hajat Kecil Atau Hajat Besar Di
Jalan Umum?

Oleh
Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman
Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan [3/3]

Pertanyaan.
Bagaimana hukum buang hajat kecil atau buang hajat besar di jalan umum
(manusia) atau di perteduhan (seperti bawah pohon atau di halte bus) dan apa
dalilnya ? Jelaskan dan sertakan dalil tentang itu ! Dan apakah boleh dilakukan
dalam kondisi tertentu ?

Jawaban
Hukumnya adalah haram berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Jauhilah dua (perbuatan) yang menyebabkan laknat, yaitu buang

http://orido.wordpress.com 27
Hadith of the Day

hajat (besar/kecil) di jalan umum atau diperteduhan mereka” [Hadits


Riwayat Muslim 269]

Dan dari Abu Sa’id Al-Himyari dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu
‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Jauhilah tiga tempat penyebab laknat ; buang hajat besar di


saluran-saluran air, di jalan-jalan umum, dan di perteduhan” [Hadits Riwayat
Abu Dawud 26, dan Ibnu Majah 328]

Ibnu Majah berkata : “Hadits ini mursal [1] dan tidak diharamkan buang
hajat (besar dan kecil) di tempat berkumpulnya manusia untuk perkara-perkara
yang haram seperti tempat ghibah, judi, minum-muniman keras, tempat
mendengarkan alat-alat musik dan tempat-tempat maksiat lainnya”

Pertanyaan.
Jelaskan tentang hukum kencing di lubang, di air yang mengalir, di tanah yang
merekah, di air yang tenang, dan di tempat mandi, dan sebutkan dalilnya !

Jawaban.
Hukumnya makruh. Dalilnya adalah hadits dari Qatadah Radhiyallahu ‘anhu
dari Abdullah bin Sarjas Radhiyallahu ‘anhu dia berkata.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang


seseorang kencing di suatu lubang, “Mereka bertanya kepada Qatadah,
‘Apa yang menyebabkan dilarang kencing di lobang ?’ Beliau berkata,
‘Dikatakan lobang itu merupakan tempat tinggal jin” [Hadits Riwayat
Ahmad V/82, Abu Dawud 29 dan Nasa’i 34]

Adapun dalil tentang makruhnya kencing di air yang tidak mengalir dan di
tempat mandi adalah hadits riwayat dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau telah melarang seseorang itu
kencing di air yang tenang. [Hadits Riwayat Ahmad II/288,532, III/341,350,
Muslim 281, Nasa’i 35,221 dan 339 dan Ibnu Majah 343 dan 344]

Dan dari Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Janganlah salah seorang diantara kamu kencing di tempat


mandinya kemudian mandi atau wudhu di tempat tersebut karena
sesungguhnya umumnya ganguan (was-was) itu dari situ” [Hadits riwayat Abu
Daud 27, Tirmidzi 21 dan Nasa’i 36, Akan tetapi Tirmidzi dan Nasa’i tidak
menyebutkan lafal : “Kemudian mandi atau wudhu di tempat tersebut]

Pertanyaan.

http://orido.wordpress.com 28
Hadith of the Day

Bagaimana hukum mempersiapkan batu untuk ber-istinja dan mencari tempat


yang lunak untuk kencing ?

Jawaban.
Hukumnya adalah sunnah berdasarkan hadits dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Apabila salah seorang di antara kalian pergi buang hajat maka
hendaklah dia bersuci dengan tiga batu itu karena sesungguhnya (bersuci
dengan tiga batu itu) sudah bersih” [Hadits Riwayat Ahmad VI/108. Abu
Dawud no. 40, Nasa’i 44 dan Daruquthni I/54. Dan asal perintah
menggunakan tiga batu ada dalam riwayat Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud
Radhiyallahu ‘anhu hadits no. 155. Daruquthni berkata, “Sanadnya Hasan
Shahih”]

Dan dari Abu Musa Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Pada suatu hari kami
bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau hendak buang
hajat maka beliaupun menuju asas (fondasi) dinding lalu kencing (di situ).
Setelah itu beliau bersabda,

“Artinya : Apabila salah seorang di antara kamu kencing, maka hendaknya


dia menghindari air kencingnya” [Hadits Riwayat Ahmad IV/396,399 dan 414,
dan Abu Dawud 3]

Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam beliau bersabda.

“Artinya : Barangsiapa yang hendak buang hajat maka hendaklah berlindung


(bertabir). Kalau dia tidak mendapatkan tabir (tutup) kecuali dengan cara
mengumpulkan pasir (untuk dijadikan tabir), maka hendaknya (dia melakukan
itu dan) membelakanginya, karena sesungguhnya syaitan akan main-main

http://orido.wordpress.com 29
Hadith of the Day

dengan tempat duduk Bani Adam. Barangsiapa yang melakukan hal itu, maka
itulah yang utama. Sedang barangsiapa yang tidak melakukan hal itu, maka
tidak mengapa” [Hadits Riwayat Ahmad II/371, Abu Dawud 35, Ibnu Majah
337]

[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-


Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa
03/I/Dzulqa’adah 1423H -2002M]
_________
Foote Note.
[1] Apabila seorang tabi’in, yang tentunya tidak bertemu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaba,
…..” maka yang ia riwayatkan itu dinamakan hadits mursal, yaitu yang
dilangsungkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tidak
memakai perantara sahabat.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/5001

Konsultasi : Ibadah Perbedaan Antara Air Mani, Air Madi, Air Mazi

Pertanyaan:

pak ust. saya masih bingung memebedakan antara airmani,air madi, air mazi.
kalau kita pelukan dan ciuman sama isteri kita tapi tidak jima' lantas keluar air
kita. air tsb dinamakan air apa.
saya tunggu jawaban pak ustad

Hamba Allah

Jawaban:

Assalamu `alaikum Wr. Wb.


Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil
Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d

http://orido.wordpress.com 30
Hadith of the Day

1. Mani / sperma

Mani secara bahasa artinya adalah air laki-laki dan perempuan. Sedangkan
secara istilah, mani adalah cairan kental yang keluar akibat kuatnya dorongan
syahwat. (lihat AL-Muhgni karya Ibnu Qudamah jiid 1 hal 199).

Mani itu bentuknya cairan putih kental karena berisi sperma dan bila keluar
selalu dengan keadaan memancar.

2. Mazi

Mazi adalah cairan bening yang keluar akibat percumbuan atau hayalan. dari
kemaluan laki-laki biasa. Berbeda, bentuk mazi itu bening dan biasa keluar
sesaat sebelum mani keluar. Dan keluarnya tidak deras/ tidak memancar.

Mani dan mazi juga bisa dibedakan yaitu bahwa keluarnya mani diiringi dengan
lazzah atau kenikmatan (ejakulasi/orgasme) sedangkan mazi tidak.

3. Wadi

Wadi adalah cairan yang kental berwarna putih yang keluar akibat efek dari air
kencing.

Hukum Mani :

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan apakah mani itu termasuk
najis atau tidak.

1. Yang mengatakan najis.

Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa mani itu
termasuk najis. Dalil yang mereka gunakan untuk mencapai pendapat ini
adalah :
o Bahwa Aisyah ra mencuci mani dari pakaian Rasulullah SAW. Dan
Rasulullah SAW pun mengetahui hal itu dan tidak mengatakan
bahwa mani itu tidak najis.
o Hadits Abu Hurairah tentang mani yang mengenai
pakaian,�Kalautahu bagian yang terkena, maka cucilah pada
bagian yang terkena itu, tapi bila tidak maka cucilah baju itu
seluruhnya.
o Imam Malik mengatakan bahwa mai itu najis karena mani adalah
darah yang rusak. Juga karena mani itu keluar dari tempat
keluarnya kencing yang najis juga.

http://orido.wordpress.com 31
Hadith of the Day

2. Yang mengatakan tidak najis.

Imam As-Syafi`i mbependapat bahwa mani manusia itu tidak najis, baik
mani laki-laki atau mani perempuan.

Dalil yang beliau gunakan adalah :


o Hadits aisyah yang menerangkan bahwa Aisyah mengerik
(mengerok) mani dari pakaian Rasulullah SAW kemudian beliau
shalat dengan pakaian itu. (HR Muslim I 238).
o Hadits Ibnu abbas ra bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang
hukum mani yang mengenai pakaian. Maka beliau
menjawab,�Mani itu hukumnya sama dengan ludah, karena itu
cukup dihilangkan dengan mengeroknya dari pakaian. (HR
Baihaqi).
o Hadits Saad bin abi Waqash bahwa Rasulullah SAW bila pakaiannya
terkena mani, dibasuhnya dengan air bila masih basah dan bila
sudah kering dikeroknya kemudian shalat dengan pakaian itu.
(Diriwayatkan oleh As-Syafi`i dalam al-musnad 1 � 26).
o Selain itu, mani adalah cairan pembentuk manusia, bila najis,
maka manusia pun menjadi najis. sehingga bila terkena pakaian,
tidak membuatnya menjadi najis.

Sedangkan mazi termasuk najis dan harus disucikan dengan cara mencucinya
dengan air hingga hilang bau, warna dan rasa.
Bila seseorang keluar maninya, maka dia harus mandi janabah. Sedangkan bila
keluar mazi, maka dia hanya berhadats kecil, cukup wudhu tidak perlu mandi.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,


Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=645&bagian=0

Selasa, 20 April 2004 08:25:08 WIB


Kategori : Fiqih Ibadah

http://orido.wordpress.com 32
Hadith of the Day

Berbicara Ketika Buang Hajat?

Oleh
Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman
Bagian Kedua dari Tiga Tulisan [2/3]

Pertanyaan.
Bagaimana hukum berbicara ketika kondisi buang hajat dan apa dalilnya?

Jawaban.
Hukumnya adalah sangat makruh (dibenci) kalau tidak terpaksa atau tidak ada
keperluan. Adapun dalilnya adalah riwayat dari Ibnu Umar Radhiyallahu
‘anhu dia berkata.

“Artinya : Bahwasanya ada seorang laki-laki lewat ketika Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang buang hajat kecil, lalu laki-laki itu
memberi salam kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tetapi beliau
tidak menjawab salam tersebut”[Hadits Riwayat Muslim no.370, Abu Dawud
no.16, Tirmidzi no. 2720. Nasa’i no. 37 dan Ibnu Majah no. 353]

Dan riwayat dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku
pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tidaklah dua orang laki-laki keluar bersama untuk buang hajat
lalu mereka membuka aurat mereka dan bercakap-cakap, maka sungguh Allah
murka atas hal itu” [Hadits Riwayat Ahmad II/36, Abu Dawud 15, dan kami
belum menukan di Sunnan Ibnu Majah]

Pertanyaan.

http://orido.wordpress.com 33
Hadith of the Day

Bagaimana hukum masuk WC dengan membawa sesuatu yang padanya tertulis


nama Allah dan apa dalilnya?

Jawaban.
Hukumnya adalah makruh kecuali karena ada hajat. Adapun mushhaf (Al-
Qur’an) adalah haram kecuali dalam keadaan terpaksa berdasarkan hadits
riwayat dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata.

“Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila akan


masuk WC beliau melepas cincinnya” [Hadits Riwayat Tirmidzi 1746,
Nasa’i 5213, Abu Dawud 19 dan Ibnu Majah 303, dan telah dishahihkan oleh
Tirmidzi]

Dan telah shahih bahwa pada cincin beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
terpahat kalimat Muhammad Rasulullah.

Pertanyaan.
Bagaimana hukumnya memegang kemaluan dengan tangan kanan dan sebutkan
dalilnya ?

Jawaban.
Hukumnya makruh kecuali terpaksa atau karena suatu hajat. Dalilnya adalah
hadits marfu’ dari Abu Qatadah Radhiyallahu ‘anhu.

“Artinya : Janganlah salah seorang dari kamu memegang kemaluannya


dengan tangan kanannya ketika kencing dan janganlah cebok dengan tangan
kanannya” [Hadits Riwayat Bukhari 152 dan Muslim 267]

Dan Muslim meriwayatkan dari Salman Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata.

“Artinya : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah

http://orido.wordpress.com 34
Hadith of the Day

melarang kita menghadap kiblat ketika buang hajat besar atau buang hajat
kecil, beristinja (cebok) dengan tangan kanan, beristinja dengan batu yang
kurang dari tiga, atau beristinja dengan kotoran binatang (walaupun sudah
kering dan bisa meresap) atau tulang” [Muslim no. 262]

Pertanyaan.
Jelaskan hukum bertabir (berlindung) dan menjauh ke tempat yang sunyi bagi
orang yang hendak buang hajat dan sertakan dalilnya !

Jawaban.
Hukumnya adalah mustahab (sunnah), sedang dalilnya adalah hadits dari Jabir
Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata.

“Artinya : Kami keluar dalam satu safar bersama Rasulullah Shallallahu


‘alaihi wa sallam. Beliau tidak buang hajat kecuali bersembunyi dan tidak
terlihat” [Hadits Riwayat Ibnu Majah no 335]

Dan dari Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhu berkata.

“Artinya : Sesuatu yang paling disukai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi


wa sallam untuk dipakai bertabir (berlindung) ketika buang hajat adalah (di
balik) bukit/gundukan tanah yang tinggi dan pelepah korma” [Hadits Riwayat
Muslim 342, Ahmad I/204, dan Ibnu Majah 340]

[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-


Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa
03/I/Dzulqa’adah 1423H -2002M]

http://orido.wordpress.com 35
Hadith of the Day

Shalat di Lantai tanpa Alas dan Najis


Hukmiyah
Rabu, 26 Jul 06 06:33 WIB

Bapak Ustadz,

Assalaamu'alaium wr. wb.

Saya pernah membaca dalam uraian Bapak tentang dibolehkannya shalat di


lantai rumah atau kantor tanpa alas/sajadah asalkan tidak kelihatan ada benda
najis yang tampak. (Cara Pemecahan Shalat Dikarenakan Pekerjaan)

Saya menjumpai kasus sebagai berikut: Di rumah saya ada seorang bayi
berumur lebih dari 1 tahun dan sudah memakan makanan lain selain ASI.
Kadang-kadang, air kencing bayi tersebut membasahi lantai rumah kami, dan
kami hanya mengelapnya dengan kain pel basah. Setahu saya, ini bukan cara
bersuci yang benar, karena seharusnya menggunakan air yang mengalir, bukan
dengan lap basah.

Guru mengaji saya mengatakan hukum dari lantai rumah tersebut adalah najis
hukmiyah meskipun bekas kencing bayi sudah tidak kelihatan. Karena itu,
menurut guru mengaji saya, tidak sah shalat di atas lantai rumah saya tanpa
alas yang suci.

Pertanyaan saya:
1. Apakah ada pendapat ulama' terdahulu tentang najis hukmiyah?
2. Sah atau tidak, shalat di lantai rumah yang kadang-kadang terkena kencing
bayi tanpa disucikan dan bekas air kencing sudah kering/tidak tampak.

Terima kasih atas jawaban dari Ustadz,

Wassalaam,

Noval Alif
rmnoval00 at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Menghilangkan najis itu memang dilakukan dengan air sebagai media untuk
mensucikan. Namun bukan berarti air harus dialirkan sehingga membanjiri
benda yang kena najis.

http://orido.wordpress.com 36
Hadith of the Day

Yang dimaksud dengan penggunaan air adalah bahwa sebuah najis dihilangkan
dengan menggunakan media air. Dan lap yang basah itu pada hakikatnya
merupakan air juga. Sehingga najis yang ada dilantai bisa dihilangkan setelah
hilang baunya, rasanya atau warnanya. Baik dengan menggunakan media air
atau pun media lainnya.

Sebab inti masalahnya bukan pada airnya, melainkan semata-mata pada


hilangnya najisnya itu, apapun medianya.

Yang sedikit lebih detail dalam masalah najis adalah mazhab Asy-Syafi'i. Di
dalam mazhab Asy-Syafi'i sebagaimana yang tertuang dalam kitab Kasyifatus-
Saja, disebutkan bahwa memang ada dua jenis najis.

Pertama adalah najis yang kelihatan kenajisannya. Najis ini disebut najis
'ainiyah. Asal katanya dari kata 'ain yang berarti mata, karena najis itu
kelihatan dengan mata telanjang. Yang menjadi ukuran adalah warna, rasa dan
aroma. Najis jenis ini dihilangkan dengan menghilangkan ketiganya.

Kedua adalah najis hukmiyah, yaitu najis yang tidak nampak oleh mata.
Lantaran sudah tidak ada lagi rasa, warna atau aroma. Najis jenis ini
dihilangkan hanya dengan mengalirkan air di atasnya sekali saja.

Maka cara membersihkan lantai yang diketahui pasti pernah ada najisnya tapi
sudah tidak kelihatan lagi adalah dengan cara menuangkan air di atasnya lalu
dilap dan dikeringkan. Tentu saja bukan dengan membanjiri seluruh lantai,
cukup pada bagian yang diyakini pernah ada najisnya saja. Jadi cukup dengan
sedikit air saja lalu diseka dan sucilah lantai itu.

Perlu diingat bahwa najis hukmi itu tidak boleh dibuat-buat dengan berandai-
andai. Tapi hanya ada manakala kita tahu pasti bahwa di lantai itu memang
pernah ada najisnya. Kita tahu dengan mata kepala kita, bukan dengan
menebak-nebak atau menduga-duga. Sebab asal segala sesuatu adalah suci.
Dan tidak pernah menjadi najis kecuali ada sebuah fakta nyata bahwa memang
ada najis secara hakiki. Lalu bila najis itu tiba-tiba tidak nampak lagi, maka
jadilah lantai itu najis hukmi.

Maka tidak mungkin terjadi tiba-tiba ada lantai yang najisnya menjadi hukmi.
Tetapi pasti melewati proses najis 'aini terlebih dahulu.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

http://orido.wordpress.com 37

You might also like