You are on page 1of 46

MENCERMATI PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI TANAH AIR:

Rujukan yang Digunakan dan Praktek yang Teramati 1

Oleh: T. Raka Joni


Universitas Negeri Malang

Kata kunci: tujuan pentitikan, tujual formeel, tujuan materieel, regulasi, standar
nasional pendidikan, kbk, content transmission, pembelajaran yang mendidik,
pendidikan guru, UAN, NAEP

Abstract: Chronicling the formal frameworks as well as the actual practices in


the formal education system decade by decade from the 1950-s to the 2000-s,
the article traced the demise of the fruitful instructional paradigm that
juxtaposed formal objective (tujuan formeel) and curricular objective (tujuan
materiel) inherited from the colonial era, to be replaced by the content
transmission paradigm inadvertently brought about by the 1975 Curriculum
(Kurikulum 1975). Subsequent events had also shown that inspite of the efforts
to introduce the competency-based approach to frame curriculum and
instruction, the initiatives seemed to have been effectively thwarted by the
clinging of the content transmission paradigm traceable even to the Government
Decree number 19 of 2005 on National Education Standards, whose conceptual
framework has effectively but erroneously governed pedagogical thoughts and
educational practice. Professionalization of teachers enacted through Law
number 14 of 2005 on Teachers and University Lecturers, which should have
constituted a strategic vehicle that could enhance the quality of education
throughout the school system, has begun to look that it would offer significantly
much less than what has been expected, due to the awsome obstacles that are
in the way, ranging from the 2 fatal academic flaws found in the law, the
detereoriating capacity of the teacher training institutions mainly due to their
conversion into universities, inefficient teacher personnel management, and even
more daunting would be the prevailing cultural proclivities to prefer easy ways to
attain objectives, even if it means going through less than entirely honest
means, while the quickly mounting political pressure is creating a situation that is
ticking away toward ”the China syndrome”. Therefore, the most disheartening is
with respect to regulation that, instead of upholding standards, in fact the
currently prepared government decree on teacher certification seems to
inadvertently provide for the plundering of teacher quality, making the
implementation of teacher certification, not unlike the tip of an iceberg,
precariously resting on a huge keg of challenges, and thus creating a situation
that was once dubbed as the ”Cipularang syndrome” .

1
Naskah disajikan dalam Seminar Apa yang Salah dalam Pndidikan di Indonesia, Ikatan
Sarjana Pendidikan Indonesia di Jakarta, tanggal 17 – 18 November 2006 di Jakarta.

1
Pendahuluan
Meskipun ada beberapa gelintir anak-anak bangsa ini yang berhasil merebut
medali emas dalam olimpiade untuk berbagai mata pelajaran, akan tetapi apabila
ditilik mayoritas yang terbesar, keadaannya masih memerlukan jauh lebih banyak
kerja keras yang tepat-arah apabila dibandingkan dengan apa yang teramati
selama beberapa dekade terakhir ini. Dalam pada itu, paparan singkat ini
memang tidak hendak berpanjang-panjang mengenai urusan yang telah menjadi
pengetahuan khalayak ini. Sebaliknya, paparan singkat ini hanya akan mencoba
mengangkat perkembangan berbagai rujukan yang nampaknya digunakan dalam
bukan hanya dalam penyelenggaaan, akan tetapi terlebih-lebih lagi juga dalam
menyikapi, penyelenggaraan pendidikan di tanah air, serta praktek yang
teramati, itupun hanya dicomoti saja secara tidak sistematis, karena tujuan
paparan ini hanyalah menyoroti beberapa sisi yang agaknya layak dianggap
sebagai semacam land marks dalam perjalanan pendidikan di tanah air,
khususnya pendidikan dasar dan menengah, meskipun di mana relevan,
perbincangan juga dikaitkan dengan pendidikan tinggi.
Untuk memperbincangkan rujukan dan dan praktek pendidikan di tanah air dari
dekade ke dekade itu, paparan dipilah dalam tiga rubrik yang berbeda namun
terkait yang, untuk mudahnya, dinamakan saja rubrik (a) tujuan pendidikan
nasional, (b) pemikiran tentang pendidikan, dan (c) pemikiran tentang
pembelajaran. Dan untuk masing-masing rubrik, dikemukakan rumusan
formalnya disertai ulasan baik berdasarkan pemahaman saya terhadap masing-
masing rubrik maupun hasil pengamatan saya terhadap praktek yang
terkembang, di sana-sini dengan meloncat ke dekade yang lebih kemudian atau
ke dekade yang lebih dahulu, sesuai dengan kebutuhan.

1. Tahun-tahun awal kemerdekaan


Berkaitan dengan pengamatan pada tahun-tahun awal kemerdekaan
yang sebahagian sangat besar saya alami sebagai siswa SR yang
kemudian berubah menjadi SD, tentu tidak banyak yang dapat
diutarakan, meskipun memang ada suatu pengamatan yang berkesan
sangat mendalam setelah saya mengemban tugas mengajar pada
program S-2 dan S-3 mulai lebih dari 20 tahun kemudian, yaitu
berkenaan dengan ketrampilan berbahasa mahasiswa program pasca
sarjana itu, baik dari segi ketatabahasaan maupun memastikan ejaan,
yang sangat kentara dalam penulisan tesis dan disertasi. Kesan
mendalam tersebut terus sangat kuat terasa juga sampai dengan
ketika saya menuliskan pengamatan ini pada penghujung tahun 2006,
yaitu di jenjang S-3pun saya masih harus menggunakan banya waktu
membantu mahasiswa menertibkan kalimat serta mengatasi masalah
pembentukan kata seperti misalnya yang menyangkut pembedaan
ejaan antara ”dana melalui voucher itu diharapkan untuk digunakan
sesuai dengan peruntukannya” dengan ”dana melalui voucher

2
tersebut diperuntukkan bagi peserta didik yang mengalami kendala
ekonomik”. Saya merasa bahwa urusan ejaan seperti ini telah tuntas
saya kuasai di kelas IV SR, sehingga sangat mengherankan mengapa
mahasiswa jenjang S-3 masih mengalami kesulitan dalam urusan ini.
Sedangkan di bidang kependidikan, pengamatan sederhana baru saya
peroleh ketika saya memasuki Sekolah Guru B (SGB) pada tahun 1952
yang dipaparkan sebagai hasil pengamatan dalam dekade 1950-an.
Pemahaman saya terhadap pengalaman tersebut menjadi semakin
terelaborasi setelah saya melanjutkan kelajaran ke Sekolah Guru A
(SGA) pada tahun 1955, yang belakangan berubah bamanya menjadi
Sekolah Pendidikan Guru (SPG) sebelum pada akhir tahun 1989 di-
phase-out karena persyaratan pendidikan pra-jabatan guru kelas SD
ditingkatkan menjadi program D-II PGSD sehingga tanggung jawab
penyelenggaraannya beralih dari Ditjen Dikdasmen ke Ditjen Dikti.
Setamat dari SPG saya kemudian memasuki Jurusan Ilmu Pendidikan
pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FakKIP) di Malang, yang
bernaung di bawah Universitas Airlangga Surabaya. Berikut beberapa
butir yang relevan.

2. Tahun 1950-an
Dalam dekade 1950-an ini, rujukan pendidikan saya amati terutama dalam
posisi saya sebagai siswa dan kemudian mahasiswa yang kebetulan
mengikuti program pendidikan guru.
Selain Tujuan Pendidikan Nasional, pelajaran yang paling berkesan bagi
saya sebagai siswa SGB yang saya masuki menjelang akhir tahun 1952 dan
agaknya paling relevan dikemukakan dalam forum yang cendekia ini,
terutama berkaitan dengan teori pendidikan serta pembelajaran, yang lazim
disebut sebagai didaktik dan metodik, secara singkat dapat dupaparkan
sebagai berikut.
a. Tujuan Pendidikan Nasional
Ketika belajar sebagai siswa SGB dan kemudian sebagai siswa SGA,
kami memang sangat akrab dengan tujuan pendidikan nasional,
meskipun tidak mengetahui kedudukan formalnya. Barulah jauh
belakangan saya tahu bahwa pada tahun 1950 pemerintah RI yang
berkedudukan di Yogyakarta telah menetapkan“Dasar-dasar
Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah” yang atas persetujuan KNIP
disahkan pada tanggal 2 April 1950 oleh pemerintah RI yang
berkedudukan di Yogyakarta itu. Dan setelah RIS bergabung kembali
dalam NKRI, UU tersebut diterima oleh DPR pada tanggal 27 Januari
1954 dan disahkan pemberlakuannya kembali oleh Pemerintah RI pada
tanggal 12 Maret 1954dserta diundangkan sebagai UU no. 12 Tahun
1954 pada tanggal 18 Maret 1954. Pasal 3 UU no. 12 Tahun 1954 itu
menyatakan bahwa “Tudjuan Pendidikan dan Pengadjaran ialah

3
membentuk manusia susila jang tjakap dan warganegara jang
demokratis serta bertanggung djawab tentang kesedjahteraan
masjarakat dan dan tanah air” (Kementerian Pendidikan, Pengajaran
dan Kebudayaan, 1954, halaman 19). Tujuan pendidikan ini kemudian
dielaborasi dari GBHN ke GBHN serta dari USPN 1989 ke USPN 2003.
Rumusan Tujuan Pendidikan Nasional tahun 1954 itu memang sangat
singkat, namun menurut pendapat saya sangat utuh dan oleh karena
itu juga elegan. Dengan rumusan yang ringkas namun elegan ini,
sebagai siswa sekolah pendidikan guru yang hanya bermodalkan
kemampuan lulusan SDpun, saya sudah mulai dapat mencoba berpikir
tentang apa yang kira-kira diharapkan dari saya, apabila saya kelak
bertugas sebagai guru, meskipun tentu saja dengan penalaran yang
seadanya ketika itu. Pemahaman saya tentang tujuan pendidikan
nasional itu makin lama makin kaya serta semakin dilandasi oleh
pemahaman teoretik yang diasah oleh pengamatan empirik yang
semakin kaya, sejalan dengan pengalaman saya malang-melintang di
bidang pendidikan khususnya pendidikan guru selama lebih dari 40
tahun, ketika pemikiran ini dituangkan dalam bentuk tertulis.
b. Pemikiran tentang Pendidikan
Dikenal sebagai Pendidikan Teoretik yang digagas oleh pakar
pendidikan Belanda Morgan J. Langeveld, rujukan pertama yang saya
pelajari di SGB berkaitan dengan hakekat manusia sebagai mahluk
yang dapat dididik (animal educabil), dan oleh karena itu merupakan
mahluk yang harus dididik (animal educandum) oleh manusia lain agar
dapat berkembang menjadi manusia untuk dapat hidup berdampingan
di tengah-tengah masyarakat manusia. Dengan kata lain, manusia
yang belum dewasa itu perlu dimanusiakan oleh manusia dewasa di
sekitarnya sehingga bertumbuh menjadi manusia dewasa, dan oleh
karena itu pendidikan dinyatakan usai begitu manusia mencapai
kedewasaan. Dan apakah yang dinamakan dewasa itu? Manusia
dinyatakan telah mencapai kedewasaan, apabila ia telah mampu
membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang
tidak benar, dan siap betranggung jawab atas pilihan keputusan serta
tindakannya dengan menggunakan rujukan baik-buruk serta benar-
salah sebagaimana telah disebutkan. Setelah mengamati perilaku
saudara-saudara kita dalam sekitar satu setengah dekade belakangan
ini, mestinya butir ini menggunggah kita bersama untuk bertanya
kepada diri kita khususnya yang terlibat dalam pendidikan, seberapa
jauh kriteria kedewasaan yang dicetuskan oleh Langeveld itu masih
relevan digunakan sebagai rujukan, meskipun pada dekade berikutnya
disadari bahwa pendidikan itu berlangsung sepanjang hayat khususnya
dalam arti lebih bertumpu kepada prakarsa dan tanggung jawab
pebelajar sendiri (Cropley, 1977).

4
Rujukan lain yang juga saya tidak bisa lupa adalah bahwa proses
pendidikan dikelola agar perilaku peserta didik beranjak dari keadaan
tertib (karena ada yang mengawasi), menuju siasat, yaitu tertib yang
bertumpu pada pengawasan oleh diri sendiri. Asas inipun layak
membuat kita bertanya, seberapa jauh saudara-saudara kita yang
secara legal telah dewasa itu, secara kependidikan juga telah meraih
kedewasaan. Dalam kaitan ini, dari sudut pandang pendidik, Ki Hajar
Dewantara mencetuskan ajarannya yang terkenal yang disebut ”Tut
Wuri Handayani” (Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso,
tut wuri handayani, waspodo purbo waseso). Hanya saja, untuk
keperluan penerapannya, bagi saya ajaran Bapak Pendidikan Indonesia
yang arif ini masih terkesan kagok: sebagai rujukan kontekstual, tidak
ternyatakan eksplisit, kapan seorang pendidik dapat menyimpulkan
bahwa dirinya engah berada di depan, kapan sedang berada di
tengah, dan kapan pula dirinya cukup menempatkan diri di belakang,
sinambi selalu waspada menggunakan kewenangannya. Kembali saya
berpikir, mudah-mudahan bukan ketiadaan rujukan normatif yang
eksplisit itu yang menyebabkan sejumlah pendidik teramati lepas-
kendali dalam pelaksanaan tugasnya dalam pergaulan profesional
dengan peserta didik.
Dan rujukan lain yang juga masih melekat di hati saya adalah behwa
legitimasi guru dalam konteks pendidikan adalah kewibawaan, dalam
arti pendidik tampil sebagai suatu sosok yang disegani, bukan karena
berkuasa menentukan hidup-matinya peserta didik yang berada di
bawah tanggungjawabnya, melainkan karena keahlian serta
integritasnya dalam melaksanakan tugasnya mengelola pembelajaran
yang mendidik.
Dengan kata lain, pertanyaan ringan namun berat, yang masih relevan
diajukan bahkan menjelang akhir tahun 2006 ini masih tetap saja yang
itu-itu juga: apabila ketiga butir konseptual tersebut direnungkan
dalam-dalam, sudahkan pendidikan kita, formal, non-formal dan
bahkan yang informal yang juga ikutan diatur dengan undang-undang,
berhasil memfasilitasi tumbuhnya manusia-manusia dewasa di tanah
air?
c. Pemikiran tentang Pembelajaran
Selain ketiga rujukan yang dikemukakan di atas, ketika belajar di SGB
dan kemudian meneruskannya di SGA sebelum menamatkan
pendidikan di SGB karena saya tidak diwajibkan mengikuti tahun
keempat di SGB, yang dengan demikian mirip dengan apa yang dalam
UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dinamakan
”pendidikan profesi”, ada 3 rujukan dalam pengelolaan pembelajaran
yang juga diajarkan pada penggal pertama dalam kedua jenjang
sekolah guru tersebut, yang juga saya tidak pernah lupa. Rujukan

5
yang pertama dari ketiga rujukan tersebut adalah apa yang dinamakan
asas auto activiteit yang menyatakan bahwa belajar adalah urusan
individu: hanya pebelajar yang aktif secara mental yang berpeluang
untuk memetik pelajaran dari berbagai pengalaman yang diacarakan
oleh sekolah. Oleh karena itu, belajar adalah satu-satunya pekerjaan di
dunia yang tidak bisa disuruhkan kepada orang lain, betapa besarpun
kekuasaan yang kita miliki untuk memaksa orang lain melakukannya
buat kita. Sebagaimana diketahui, belakangan ini asas autoactiviteit
ersebut telah bermetamorfosis menjadi learner-centered instruction.
Rujukan yang kedua adalah apa yang dinamakan asas apersepsi, yang
menyatakan bahwa perolehan pengetahuan dan pemahaman
terfasilitasi hanya apabila hal itu dilakukan dengan menggunakan
pengetahuan yang telah ada sebagai tumpuan: belajar adalah masalah
konstruksi dan rekonstruksi pemahaman yang tidak pernah berakhir,
meskipun wakti itu saya belum pernah mendengar nama Jean Piaget
(Piaget, 1950) yang mencetuskan asas asas pembelajaran
konstruktivistik tersebut dalam sekade sebelumnya. Artikulasi
konseptual dari asas pembelajaran konstruktivistik tersebut baru saya
kenal setelah belajar di perguruan tinggi. Sebagaimana diketahui, alur
pikir psikologi kognitif ini kemudian dielaborasi lebih jauh oleh
Asusubel (Ausuble, dkk. 1968), meskipun argumentasinya lebih banyak
menyangkut justifikasi untuk expository approach dalam pembelajaran
melalui pemanfaatan advance organizer, yang sebenarnya telah
didahului olehVygotsky (Vygotsky, 1962), yang berjasa menunjukkan
pintu masuk untuk layanan kependidikan yang dinamakannya zone of
proximal development, meskipun adalah Marzano (Marzano, 1992)
yang merjemahkannya menjadi jauh lebih operasional melalui gagasan
yang dinamakannya 5 dimensi belajar, yang belakangan nampaknya
mendasari apa yang belakangan dinamakan pembelajaran kontekstual
(Johnson, 2002). Dengan berbagai rujukan ini, agaknya sulit dibantah
bahwa praksis pendidikan di tanah air cukup jauh ketinggalan kereta
dari pemikiran teoretik yang seyogyanya membingkainya, karena
masih saja dikungkung oleh paradigma penerusan informasi (content
transmission) yang di tanah air juga tidak jarang masih melorot
menjadi tidak lebih dari pengabaran isi buku teks.
Rujukan ketiga adalah selalu dipersandingkannya 2 tujuan dalam
penyelenggaraan pembelajaran, baik pada tahap perancangan maupun
tahap implementasi, yaitu apa yang dalam bahasa Belanda dinamakan
”tujuan materieel” dan ”tujuan formeel”. Tujuan materieel adalah
keadaan yang hendak dicapai yang berkaitan dengan penguasaan
materi pembelajaran yang diacarakan dalam kurikulum tiap satuan
pendidikan (instructional effects dalam nomenklatur Joyce dan Weil,
1972; Joyce dan Calhoun, 1996 atau hard skills dalam nomenklatur

6
yang dipolpulerkan oleh Bank Dunia antara lain melalui Murnane, 1998
dan Kira, 2001). Sedangkan tujuan formeel adalah keterbentukan
berbagai sisi kemampuan dan kepribadian yang terwujud sebagai
dampak tidak langsung dari akumulasi kegiatan pembelajaran,
sudah barang tentu yang dirancang atau diskenariokan secara tepat
(nurturant effects dalam nomenklatur Joyce dan Weil, 1972; Joyce dan
Calhoun, 1996; soft skills dalam nomenklatur yang dipopulerkan oleh
Bank Dunia, lihat kembali Murnane, 1998 dan Kira, 2001), di samping
penumbuhan karakter (Raka Joni, 1983; 1992; 2005). Kembali,
pertanyaan ringan namun berat, juga masih relevan diajukan bahkan
pada tahun 2006: apakah skenario pembelajaran yang digunakan
dalam mengelola kegiatan kurikuler di SD dan SM merajut secara
cerdas pembentukan penguasaan hard skills dengan dengan
penguasaan soft skills serta penumbuhan karakter, atau hanya sebatas
mengacarakan penerusan informasi, kalau tidak sekedar pengabaran
isi buku teks sebagaimana telah dikemukakan?

3. Tahun 1960-an
a. Tujuan Pendidikan Nasional
Mungkin karena disibukkan oleh berbagai permasalahan lain yang lebih
mendesak, nampaknya rumusan Tujuan Pendidikan Nasional yang
disahkan pada tahun 1954 itu tidak pernah dipermasalahkan,
meskipun dari segi kelembagaannya, pendidikan guru di tanah air
mengalami perubahan-perubahan yang mendasar. Meskipun tidak
pernah bekerja sebagai guru setelah menamatkan pelajaran di SGA
pada tahun 1958, namun dalam dekade 1960-an ini saya
berkesempatan untuk hadir pada 2 sisi yang berbeda dalam dunia
pendidikan dan pembelajaran, yaitu mula-mula sebagai mahasiswa
sampai tahun 1961 dari perguruan tinggi pendidikan guru yang telah
berubah nama dari PTPG menjadi FakKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan), yang bernaung di bawah Universitas Airlangga Surabaya
sebagaimana telah disebutkan, dan kemudian, tanpa pengalaman
kerja yang berarti sebagai Asisten Perguruan Tinggi, ditugaskan untuk
meruskan pelajaran sebagai mahasiswa program master Jurusan
Pendidikan Dasar (Elementary Education) pada State Universisity
College at Buffalo yang merupakan bagian dari State University of New
York, 1962 - 1964. Kehadiran pada sisi provider di dunia pendidikan
saya alami setelah kembali ke Malang setelah meraih gelar master
serta ditugaskan sebagai Asisten Ahli pada Alma Mater saya di Malang.
Di tempat tugas yang baru itu, saya menemukan bahwa secara
organisasional Alma Mater saya itu telah berubah, tidak lagi berupa
FakKIP yang merupakan bagian dari Universitas Airlangga yang saya
tinggalkan, melainkan telah menjadi Institut Keguruan dan Ilmu

7
Pendidikan (IKIP) yang merupakan perguruan tinggi mandiri dengan
mandat tunggal di bidang kependidikan. Tujuan Pendidikan Nasional
nampaknya masih tetap seperti yang disahkan pada tahun 1954 yang
telah disebutkan, akan tetapi yang menarik dikemukakan di sini
mungkin adalah dipecah-pecahnya Jurusan Ilmu Pendidikan yang saya
tinggalkan pada tahun 1962, yang di lingkungan IKIP Malang secara
de facto telah bermetamorfosis menjadi Jurusan Pendidikan Dasar
berkat pengaruh pribadi almarhumah Prof. Supartinah Pakasi, yang
menjadi mentor saya. Di bawah bimbingan beliau itulah saya meraih
gelar Sarjana Muda sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
meskipun aturan kepegawaian tidak memungkinkan saya dan lulusan
lainnya bertugas sebagai guru SD. Alhasil, rekan-rekan saya itu
menemukan tempat di SPG sebagai guru Ilmu Pendidikan, selain ada
pula yang ”dipesan khusus” oleh Ditjen Pendidikan Dasar dan
Menengah untuk dipekerjakan di sana. Yang relevan digarisbawahi
dalam hubungan ini adalah bahwa di samping Jurusan Ilmu Pendidikan
telah ditingkatkan status kelembagaannya menjadi Fakultas Ilmu
Pendidikan, Jurusan Ilmu Pendidikan yang di IKIP Malang telah telah
berubah menjadi Jurusan Pendidikan Dasar sebagaimana telah
disebutkan, sebagaimana halnya di lingkungsn Fakultas Ilmu
Pendidikan pada semua IKIP, juga dikenal adanya Jurusan Tatalaksana
Pendidikan yang belakangan berubah nama menjadi Jurusan
Administrasi dan Supervisi Pendidikan, dan kemudian menjadi semakin
keren dengan nama baru sebagai Jurusan Manajemen Pendidikan.
Selain kedua jurusan tersebut, masih ada Jurusan Bimbingan dan
Penyuluhan yang belakangan berganti nama menjadi Jurusan
Bimbingan dan Konseling, Jurusan Teori dan Sejarah Pendidikan yang
belakangan berubah menjadi Jurusan Kurikulum dan Teknologi
Pendidikan, yang di lingkungan IKIP Malang kemudian masih lebih
dirapikan menjadi Jurusan Teknologi Pembelajaran, sebuah nama yang
tetap dipertahankan setelah IKIP Malang kemudian berubah menjadi
Universitas Negeri Malang, UM), sedangkan Jurusan Ilmu Pendidik
yang dirohi pendidikan dasar itu dinamakan Jurusan Kependidikan
Dasar dan TK yang antara lain mengampu Program D-II PGSD. Selain
itu, masih ada Jurusan Pendidikan Sosial yang kemudian berubah
nama menjadi Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, yang masih berubah
lagi menjadi Jurusan Pendidikan Non-formal. Yang penting dicatat
berkaitan dengan pemekaran jurusan ini adalah bahwa masing-masing
jurusan tersebut merupakan bidang spesialisasi yang sempit, sehingga
menjadi ”sejalan” dengan jurusan-jurusan lain di lingkungan
pendidikan tinggi di tanah air yang telah lebih dahulu juga merupakan
spesialisasi sempit di samping, tidak satupun diantara jurusan-jurusan
di lingkungan Fakultas Ilmu Pendidikan itu yang menyiapkan guru
dalam artian konvensional, kecuali Jurusan Kependidikan Dasar yang

8
secara formal ditugasi untuk menyiapkan guru kelas SD sejak
September 1990 meskipun masih pada jenjang D-II, sebagai
konsekuensi dari diterbitkannya Kepmendikbud nomor 0854/U/1989
pada tanggal 28 Desember 1989.
Ada 3 komentar yang relevan diajukan mengenai spesialisasi sempit
jurusan di lingkungan Fakultas Ilmu Pendidikan khususnya dan LPTK
umumnya dan lingkungan pendidikan tinggi lainnya di tanah air. Yang
pertama, adalah kehadiran 2 jurusan yang secara akademik saya nilai
lahir prematur. Sebagai spesialisasi, jurusan Manajemen Pendidikan di
jenjang S-1 (sebelumnya bahkan pernah di jenjang sarjana muda)
saya nilai secara akademik prematur, karena manajer pendidikan di
manapun diseluruh dunia meraih kedudukannya bukan karena
memasuki pendidikan prajabatan selepas dari SMA, melainkan setelah
ditempa pengalaman kerja, khususnya sebagai guru, sehingga agak
repot membayangkan lulusan baru dari Jurusan Manajemen
Pendidikan itu menemukan dirinya sebagai manajer pendidikan.
Komentar yang serupa meskipun tidak sama juga layak ditujukan
kepada Jurusan Bimbingan dan Konseling, yang pernah dipercayakan
kepada saya sebagai ketuanya, tidak lama setelah saya kembali dari
tugas belajar. Praktek di Amerika Serikat, yang merupakan negara
yang nampaknya mengilhami pengambil keputusan pendidikan di
tanah air untuk mendeklarasikan kehadiran layanan bimbingan dan
dan konseling dalam sistem persekolahan pada tahun 1963, jajaran
konselor dihasilkan melalui pendidikan di jenjang master dan
mahasiswanya adalah guru-guru yang telah berpengalaman kerja.
Oleh karena itu, cukup repot juga bagi saya membayangkan
bagaimana alumni jurusan ini menempatkan diri mereka sebagai
konselor di sekolah untuk mengatasi permasalahan yang sebagian
cukup besar harus dirunut ke hulu pada proses pembelajaran yang
diacarakan melalui kurikulum. Komentar kedua, yang jauh bersifat
lebih mendasar, layak ditujukan kepada karakteristik khas dari jenjang
pendidikan yang belakangan dikenal sebagai jenjang sarjana (S-1) di
tanah air yang terdiri atas program-program studi dengan spesialisasi
sempit seperti telah dikemukakan. Nampaknya, kekurangjernihan
dalam mencermati sosok kurikuler progran jenjang sarjana yang
secara formal sebenarnya setara dengan program bakauloreat di
sejumlah negara itulah, yang nampaknya telah membuat para petinggi
dan pakar pendidikan kita kepleset ketika meracik Standar Nasional
Pendidikan (PP nomor 19 tahun 2005), khususnya yang berkaitan
dengan standar pendidik. Sandungannya adalah asumsi keliru yang
nampaknya mereka pegang yaitu bahwa terdapat academic common
ground dalam kurikulum program S-1 sebagaimana halnya yang
terdapat dalam program bakauloreat di luar negeri, yaitu komponen
Liberal Arts yang mengacarakan pembelajaran dalam bidang-bidang

9
warisan budaya ummat manusia (matematika, sains, ilmu sosial serta
humaniora termasuk filsafat dan seni) yang disajikan pada 2 tahun
pertama program bakauloreat tersebut, dengan tujuan untuk
menumbuhkan kemampuan berpikir mandiri atau liberating the mind
pada setiap lulusan perguruan tinggi. Kekisruhan konseptual dalam
Standar Nasional Pendidikan tersebut bertambah ketika ijazah D-IV
yang merupakan surat tanda tammat belajar pendidikan vokasi yang
sosok kurikulernya berbeda dari program S-1 akademik termasuk yang
mengacarakan program pendidikan profesional guru, juga diasumsikan
mencerminkan kemampuan akademik yang setara dengan
kemampuan lulusan program S-1 tersebut. Oleh karena itu,
kerunyaman muncul ketika ijazah S-1/D-IV itu ditetapkan sebagai
persyaratan formal kualifikasi akademik yang diasumsikan
mencerminkan kepemilikan kompetensi akademik yang dipersyaratkan
bagi guru, baik guru kelas maupun guru bidang studi, sehingga dinilai
layak untuk mengikuti ”pendidikan profesi” pasca S-1/D-IV dengan
harapan akan menghasilkan lulusan yang sosoknya mendekati sosok
lulusan program M.Ed di negara lain, ehingga layak ditetapkan sebagai
persyaratan sertifikasi guru di tanah air. Para pembaca yang mungkin
penasaran, dipersilakan membaca catatan kaki nomor 21 di halaman
12 dalam buku kecil yang mengandung gagasan besar yang berjudul
Higher Education Long Term Strategy 2003 – 2010. Dan
komentar yang ketiga adalah diletakkannya program D-II PGSD, dan
belakangan juga program S-1 PGSD, di lingkungan fakultas yang tidak
memiliki tradisi serta kapasitas untuk menyelenggarakan secara utuh
program pendidikan pra-jabatan guru, karena dari segi pendidikan
guru, tradisi serta kapasitasnya adalah di bidang pegagogik pada
umumnya yang belum dikaitkan dengan bidang studi sebagai konteks
pembelajaran. Nampaknya, justru pedagogik umum inilah yang
berimbas kepada definisi tentang kompetensi pedagogik sebagai salah
satu bidang dari 4 bidang kompetensi dalam standar kompetensi guru
dalam UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang
nampaknya difotokopi dari PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Dengan kata lain, kompetensi yang dipasang
sebagai salah satu unsur dalam standar kompetensi pendidik itu
adalah empty pedagogy sehingga menafikan kemampuan merancang,
mengimplementasikan, menilai proses dan hasil pembelajaran serta
kemampuan menggunakan hasil penilaian terhadap proses dan hasil
pembelajaran tersebut untuk melakukan perbaikan secara
berkelanjutan. Kemustahilan tersebut menyeruak karena penguasaan
subject-specific pedagogy, merupakan persyaratan dasar dalam
penetapan rambu-rambu penyelenggaraan pengalaman belajar yang
mendidik, karena untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah,
pembelajaran yang mendidik selalu terkait dengan penguasaan materi

10
pembelajaran, yang dalam standar kompetensi guru sebagai agen
pembelajaran itu diletakkan dalam bidang kompetensi yang lain yaitu
kompetensi profesional. Keterpisahan atau ortogonalitas kempat
bidang kompetensi dalam standar kompetensi guru itu menjadi
keniscayaan dengan ditampilkannya kompetensi profesional, yang
sbenarnya merupakan kompetensi payung dalam sosok utuh
kompetensi guru itu sebagai salah satu dari 4 bidang kompetensi yang
setara. Pada gilirannya, fragmentasi sosok utuh kompetensi
profesional guru itu terjadi karena kekeliruan dalam penetapan rujukan
dalam penyusunan standar kompetensi guru yang telah ditetapkan
dalam PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
yaitu Empat Pilar Hasil Belajar yang diluncurkan sejak awal tahun
1970-an oleh UNESCO, yang sebenarnya mencerminkan hasil belajar
jangka panjang pada umumnya (the ultimate learning outcomes)
sehingga tampil lepas-konteks. Akibatnya, sosok kompetensi yang
lepas-konteks itu tidak tepat digunakan sebagai rujukan dalam
pendidikan profesional yang masing-masing merujuk kepada konteks
yang khas, seperti halnya pendidikan profesional akuntansi, notariat
dan kedokteran dan, tidak terkecuali tentunya juga, pendidikan
profesional guru.
b. Pemikiran tentang Pendidikan
Mungkin karena dipengaruhi oleh suasana politik saat itu, teori
pendidikan memang seakan mandek, dipasung oleh indoktrinasi
ajaran-ajaran revolusioner. Akan tetapi sisi posisitfnya adalah
terjadinya konsolidasi kelembagaan pendidikan guru yang tadinya ada
di dua kubu yaitu FakKIP yang di lingkungan pendidikan tinggi dan IPG
(Institut Pendidikan Guru) yang ada di lingkungan pendidikan dasar
dan menengah, menjadi IKIP sebagaimana telah dikemukakan. Juga
sebagaimana telah dikemukakan, penspesialisasian yang sempit itulah
yang menurut pendapat saya merupakan salah satu sandungan yang
telah membuat UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
yang lahir 4 dekade kemudian itu kocar-kacir dalam membingkai
profesionalisasi jabatan guru di tanah air, karena mengandung 2
kecelakaan fatal di dalamnya, salah satu di antaranya yaitu
kegagalannya dalam memetakan wilayah strategis dalam sosok utuh
kompetensi profesional guru yaitu kemampuan menyelenggarakan
pembelajaran yang mendidik, sehingga sosok utuh kompetensi
profesional guru terfragmentasi yang menyebabkan keempat bidang
kompetensi yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan itu
terposisikan ortogonal satu sama lain. Oleh karena itu, seberapa
kuatpun seruan yang menyatakan bahwa keempat bidang kompetensi
tgersebut bersifat holostik, akan kehilangan makna begitu keempat
bidang kompetensi tersebut dicermati secara akademik. Sedangkan

11
mengenai kecelakaan fatal yang lainnya, para pembaca dimohon untuk
bersabar, meskipun tidak perlu menunggu 4 dekade seperti ketika kita
menemukan sisi ketentuan perundng-undangan yang berpeluang
membawa petaka akibat spesialisasi yang sempit dalam program S-1
di tanah air.
c. Pemikiran tentang Pembelajaran
Kecuali mengedepannya indoktrinasi sebagaimana telah dikemukakan,
rasanya tidak teramati munculnya terobosan dalam pemikiran tentang
pembelajaran. Nampaknya, dalam dekade 1960-an ini, di bidang
pembelajaran business just went as usual.

4. Tahun 1970-an
a. Tujuan Pendidikan
Sejak naik panggungnya Orde Baru, tujuan pendidikan yang sederhana
meskipun elegan yang disahkan pada tahun 1954 itu, mulai dielaborasi
dalam REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Tidak
tangung-tanggung, ada 3 REPELITA yang tergelar dalam dekade 1970-
an. Implementasi dari REPELITA I yang diluncurkan pada awal tahun
1969 namun masih tersisa dalam dekade 1970-an belum berupa
kepuusan MPR sebab ketika itu MPR hasil PMILU belum terbentuk,
melainkan masih berupa keputusan presiden. Oleh karena itu,
rumusan pertama Tujuan Pendidikan Nasional mulai ditata ulang
secara formal dalam REPELITA II 1973 – 1978, melalui GBHN yang
disahkan pada bulan Maret 1973 dalam sidang umum MPR hasil
Pemilu yang pertama. Dalam REPELITA II itu disebutkan bahwa,
”Pembangunan di bidang pendidikan ”... didasarkan atas Falsafah
Negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-mnusia
pembangunan yang ber-Pancasila dan untuk membentuk manusia
Indonesia yang sehat jasmani dan rokhaninya, memiliki pengetahuan
dan ketrampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan
tanggungjawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh
tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan
disertai budi pekerti yang luhur, mencintai Bangsanya dan mencintai
sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam
Undang-undang Dasar 1945 ”. Dengan rumusan yang sebenarnya
dimaksudkan sebagai arahan untuk pembangunan di bidang
pendidikan itu, maka tujuan pendidikan nasional diletakkan dalam
konteks yang sangat luas, sehingga tidak akan mudah digunakan
untuk memandu pengembangan program pada tingkat institusional,
apalagi pada tingkat pendidik sebagai perorangan dalam pelaksanaan
keseharian tugasnya.

12
Dalam REPELITA III 1978 – 1983, yang diluncurkan pada akhir
dekade 1970-an, dinyatakan bahwa ”Pendidikan Nasional berdasarkan
atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, ketrampilan, mempertinggi budi
pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat
kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia
pembangunan yang yang dapat membangun dirinya sendiri serta
bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”.
Apabila dicermati di lapangan, apapun rumusan yang ditelorkan
melalui proses formal dari PELITA ke PELITA namun nampaknya tidak
terlalu bergema dalam praktek, di luar urusan indoktrinasi yang telah
disebutkan, meskipun temanya berubah. Nampaknya petrifikasi
(kebekuan) praksis ini terjadi karena tujuan pendidikan nasional
diletakkan dalam konteks yang sangat luas sebagai arahan
pembangunan nasional di bidang pendidikan sebagaimana telah
dikemukakan, sehingga juga tidak akan mudah digunakan untuk
memandu pengembangan program pada tingkat institusional, apalagi
pada tingkat pendidik sebagai perorangan dalam pelaksanaan
keseharian tugasnya.
b. Pemikiran tentang Pendidikan
Dekade 1970-an nampaknya merupakan iklim yang tepat bagi
tumbuhnya gagasan-gagasan teoretik mengenai pendidikan, karena
ada sejumlah gagasan konseptual di bidang pendidikan yang
dicetuskan dalam dekade 1970-an ini. Gagasan konseptual yang
pertama adalah diperkenalkannya istilah ”kependidikan” dengan akar
kata ”pendidik”, analog dengan istilah kependudukan dengan akar kata
”penduduk”. Gagasan ini dicetuskan karena disadari bahwa tugas guru
lebih dari sekadar mengajarkan pengetahuan dan ketrampilan,
melainkan juga termasuk memfasilitasi tumbuhnya kepribadian peserta
didik secara utuh. Akan tetapi caranya yang tepatlah yang nampaknya
kebanyakan dari para pendidik kita belum berhasil menemukannya,
bahkan sampai sekarang setelah diberlakukannya PP nomor 19 tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan UU nomor 14 tahun
2005 tentang Guru dan Dosen. Gagasan konseptual dengan label
”kependidikan” ini pulalah yang digunakan untuk menamai lembaga
yang menyelenggarakan pendidikan bagi tenaga kependidikan yaitu,
apalagi kalau bukan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK), sebuah nama yang bertahan sampai sekarang meskipun
semua IKIP termasuk 2 buah yang lahir belakangan telah diubah
menjadi universitas, sehingga tidak lagi hanya mengemban mandat
kependidikan.
Gagasan konseptual yang berikutnya adalah istilah ”pembelajaran”
untuk menggantikan istilah ”kegiatan belajar-mengajar” yang,

13
sebagaimana halnya istilah kependidikan, juga tidak segera terdengar
”enak” di telinga pihak-pihak yang bersangkutan, meskipun
penalarannya sulit terbantahkan: pembelajaran adalah tindakan atau
proses yang memfasilitasi orang lain belajar, suatu proses yang terjadi
makin lama makin atas prakarsa serta tanggung jawab pebelajar
sendiri. Sebagaimana diketahui, istilah yang belakangan telah diterima
luas untuk menggambarkan pendekatan ”learner-centered instruction”,
sampai-sampai pimpinan tertinggi negarapun tidak lagi canggung-
canggung menggunakan istilah tersebut.
Gagasan konseptual yang lain adalah PGBK atau Pendidikan Guru
Berdasarkan Kompetensi yang dikembangkan melalui Proyek P3G dan
diluncurkan pada akhir dekade 1970-an, dengan memanfaatkan
gagasan Competency-Based Teacher Rducation yang telah terlebih
dahulu berkembang di negara lain. Meskipun pada tahun 2006 ini
gagasan ini bisa dinilai ”biasa-biasa” saja, bahkan Standar Nasional
Pendidikanpun menggunakan nomenklatur ”standar kompetensi
lulusan” di samping standar kompetensi guru, akan tetapi kelahirannya
pada waktu itu tidak segera ”duduk” di hati banyak pihak. Gagasan ini
layak dikelompokkan sebagai gagasan baru, karena sebelum itu
kerangka pikir yang lebih mengedepan di dunia pendidikan umumnya
dan dalam pembelajaran khususnya adalah pernyataan tentang
kehendak guru: memberikan penjelasan, memberi bekal ketrampilan,
menanamkan nilai, dan sebagainya. Bahkan dalam Standar Isi melalui
Peraturan Mentri nomor 22 tahun 2006pun, masih ditemukan frasa
”dimaksudkan untuk ...” Akan tetapi nampaknya kapasitas pendukung
termasuk budaya organisasi untuk pelaksanaannya juga ternyata
kurang solid meskipun telah diadakan penataran secara lumayan
besar-besaran, sebab mind set jajaran pelaksana nampaknya tidak
segampang itu diubah. Sebagaimana dinyatakan oleh Costa, ”...
canging curriculum means changing mind” (Costa, 1999, halaman 25).
Selain itu, di lingkungan SPG yang bergerak bersamaan dengan
IKIP/FKIP dalam merancang dan melaksanakan PGBK, juga ada
kendala birokratis. Jelasnya, selain jajaran pengelola di tingkat sekolah
dan wilayah belum sepenuhnya siap meskipun dari segi kebulatan
tekad cukup membahana, grogotan juga datang dari aparat audit
administratif, yang ikut merecoki ruang teknis-akademis. Satu contoh
yang menyolok, ketika rekan-rekan guru SPG menambahkan butir
pernyataan ”mendukung pembentukan kompetensi X” setelah bagian
TIK (Tujuan Instruksional Khusus) dalam dokumen persiapan
mengajar yang baku yang dinamakan Satuan Pelajaran (SatPel),
aparat audit administratif yang kebetulan berkunjung ke sekolahnya
memberikan teguran keras dan menyatakannya sebagai ”indisipliner”.
Beginilah jadinya, apabila tindakan birokratis yang menggunakan

14
kesesuaian dengan prosedur sebagai rujukan itu mengintervensi
proses teknis akademik pendidikan.
c. Pemikiran tentang Pembelajaran
Teori pembelajaran yang mengartikulasikan terapan dari learner-
centered instruction yang merujuk kepada kerangka pikir pembelajaran
pada saat itu adalah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang merupakan
padanan dari istilah Student-active Learning, yang tentu saja
mengingatkan orang pada asas auto activiteit warisan zaman
penjajahan Belanda yang telah disebutkan. Juga sebagaimana telah
disebutkan, elaborasi dari kerangka pikir CBSA dapat ditemukan dalam
pemikiran Piaget, Ausubel,dkk., Vygotsky dan juga Marzano. Apabila
Piaget(Piaget, 1950) menekankan pentingnya kepulihan
kebermaknaan yang dinamakannya cognitive equilibrium, yang
kemudian dielaborasi oleh Ausubel, dkk. khsusnya dalam konteks
expository instruction (Ausubel, dkk., 1968), dan Vygotsky (Vygotsky,
1962) menyoroti pintu masuk layanan kependidikan yang
dinamakannya Zone of Proximal Development, maka
Marzano(Marzano, 1992) secara sangat operasional menggambarkan
perolehan pemahaman melalui acquiring and integrating knowledge,
expanding and refining knowldge, dan applying knowledge
meaningfully. Asas belajar dan pembelajaran konstruktivistik inilah
yang nampaknya bertabrakan dengan pendekatan penerusan informasi
(content transmission) yang dalam terapannya tidak jarang masih lebih
melorot lagi menjadi pengabaran isi buku teks, terutama apabila
sistem tagihannya mengedepankan kebolehan dalam recall dan
recognition saja.
Dalam kaitan dengan pendekatan CBSA ini, nampaknya relevan untuk
meyoroti 2 versi terapannya yaitu CBSA sebagaimana digagas dan
dicoba diimplementasikan melalui P3G sebagaimana telah disebutkan,
dan CBSA sebagaimana mula-mula dikiprahkan di SD di Cianjur
sehingga juga dikenal sebagai CBSA Cianjur yang diluncurkan oleh
Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan, Balitbang
Dikbud. Sebagaimana dikembangkan di lingkungan P3G serta
disosialisasikan melalui pelatihan kepada sekitar 2500 dosen LPTK dan
sekitar 5000 guru SPG, dampak tetesan ke bawah (trickle down effect)
yang diharapkan itu ternyata tidak terjadi, karena begitu rekan-rekan
dosen LPTK dan guru-guru SPG itu kembali ke lembaganya, mereka
segera ”ditelan” oleh praksis yang mapan sehingga prakarsa
pembaruan ni tidak terdengar gemanya dilapangan dan praksis masih
tetap berjalan seperti sebelumnya. Sedangkan dalam penggelaran
CBSA Cianjur, dampaknya segera terlihat di kelas karena selain guru,
juga dilibatkan kepala sekolah dan pengawas pendidikan dasar.
Bahkan sejumlah Kepala Kanwil berlomba-lomba menyatakan

15
wilayahnya menjadi jajaran yang berada paling depan dalam
implementasi CBSA, meskipun terbersit tanda-tanda bahwa notivasinya
tidak sepenuhnya peningkatan mutu pembelajaran di wilayahnya.
Sayang sekali kerangka pikir konseptualnya kurang solid, antara lain
karena terbelenggu pada alur pikir pendidikan sains yang
diartikulasikan sebagai Ketrampilan Proses, sehingga justru secara
tidak disadari merampas kebermaknaan ketika diterapkan secara
algoritmik untuk mata pelajaran yang ways of knowing basis
disiplinnya berbeda dari ways of knowing bidang sains (lihat Conny
Semiawan, dkk. 1985) . Selain itu, pemahaman tentang kerja
kelompok yang sebenarnya sangat menjanjikan khususnya dari segi
penyemaian berbagai dampak pengiring (nurturant effects) yang
bermanfaat seperti kemampuan serta kebiasaan bekerja sama,
komunikasi inter-personal, penumbuhan rasa tanggung jawab kepada
tugas, dan sebagainya, hanya dipahami serta diimplementasikan
sebatas wujud luarnya saja (bangku yang mudah dipindah-pindah,
kalau perlu sampai harus diotong karena terlalu besar, atau kerja
kelompok yang dipandu dengan lembaran kerja yang sebenarnya
harus digarap secara perorangan, sehingga membuahkan citra kurang
menguntungkan di mata pimpinan tertinggi departemen.
Dalam pada itu, yang mungkin merupakan icon pembelajaran paling
terkenal dalam sistem persekolahan dalam dekade 1970-an ini adalah
apa yang dinamakan PPSI (Pengembangan Program Sistem
Instruksional) yang merupakan cara baru menyusun persiapan
pembelajaran. Adapun ciri khasnya adalah penggunaan tujuan yang
berbentuk perilaku yang mula-mula diluncurkan oleh Robert Mager
(Mager, 1975) sebagai fokus, di samping penggunaan pendekatan
sistem dalam perancangannya (input – process – output). Tentu saja
tidak ada yang salah dengan pengunaan tujuan berbentuk perilaku, di
samping juga tidak ada yang salah dengan pendekatan sistem dalam
pengelolaan pembelajaran, meskipun sisi proses terkesan lebih sering
memudar dalam praktek. Sebaliknya, yang agaknya membuahkan
permasalahan adalah cara penerapannya. Setelah tinggal dan
berbincang-bincang dengan jajaran dosen selama beberapa hari di
salah satu LPTK yang tampil terdepan dalam penerapan pendekatan
sistem tersebut, salah seorang konsultan P3G menyatakan bahwa di
LPTK tersebut nampaknya ”pembelajaran terbunuh dengan
pendekatan sistem” (instruction is systemized to death). Apa pasal?
Menurut pemaparan konsultan tersebut, wacana yang mengedepan
dalam perbincangan selama kunjungannya itu adalah merebaknya
teori pribadi (personal theory) di kalangan dosen yang terfokus pada
planning instructional systems, implementing instructional systems dan
evaluating instructional systems. Dalam hiruk-pikuk pendekatan sistem
tersebut, nampaknya pebelajar (mahasiswa) telah raib entah ke mana.

16
Sebagaimana telah dikemukakan, tentu saja tidak ada yang salah
dengan penggunaan tujuan berbentuk perilaku sebab, bagaimanapun,
pembelajaran hanya dapat dinyatakan berhasil apabila ada perubahan
perilaku pebelajar setelah melalui proses pembelajaran. Petaka muncul
manakala tagihan pertanggungjawaban tentang perubahan perilaku
tersebut dilakukan pada tiap akhir sesi pembelajaran. Dengan indikator
keberhasilan yang kudu observable bahkan syukur-syukur juga bisa
measurable pada setiap akhir sesi, tentu tidak sulit dibayangkan
perubahan perilaku macam apa yang dapat diharapkan teramati
apalagi terukur setiap sekitar 50 menit proses pembelajaran. Dengan
demikian, penerapan strategi pra-tes dan pasca-tes tiap 50 menit
tentu hanya berpeluang mengungkapkan kemampuan menghafal
potongan-potongan informasi yang hampa makna, sehingga
paradigma pembelajaran menggunakan logika yang trbalik: yang
diajarkan adalah yang hasilnya dapat diamati dalam kurun waktu 50
menit, sehingga semakin kukuhlah kedudukan pendekatan penerusan
informasi dalam sistem persekolahan, bukan pembelajaran yang
memfasilitasi perolehan pemahaman, penguasaan ketrampilan baik
kognitif dan personal-sosial maupun psikomotorik serta internalisasi
sikap dan nilai yang bermuara pada penumbuhan karakter, atau
dikatakan secara singkat, bukan pembelajaran yang mendidik.
Ada sejumlah ilustrasi yang dapat dikemukakan mengenai mendarah
dagingnya pendekatan content transmission di dunia pendidikan di
tanah air. Ilustrasi pertama saya saksikan ketika ”Kelompok Empat
Puluh” yang dibentuk oleh Proyek P3G membahas hasil belanja
gagasan dalam pendidikan guru di sejumlah negara, dalam suatu
pertemuan pasca kunjungan di Jakarta sekitar medio 1978. Ketika
saya menyatakan ketertarikan saya pada kegiatan ekstra kurikuler
dalam pendidikan pra-jabatan guru di Malaysia yang berupa apa yang
mereka namakan uniformed activities (kepramukaan), dan
penjelajahan alam bebas (outdoor activities), seorang rekan dengan
sigap menjawab: ”... gampang, kita jadikan pokok bahasan”.
Barangkali karena kemampuan kepramukaan itu hanya dibentuk
melalui pemberian informasilah, beberapa tahun silam ada siswa SD
tenggelam di sungai karena sebagai pembina pramuka, nampaknya
gurunya tidak pernah mencoba sendiri menjajagi keadaan sungai yang
diperintahkan kepada siswanya untuk menyeberanginya. Ilustrasi lain
ditemukan pada awal dekade 2000-an: karena melihat peluang berupa
kebutuhan guru TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) dalam
kurikulum sekolah menengah, sebuah jurusan Teknologi Pendidikan
yang berkehendak merebut peluang tersebut, mengajukan usulan
dalam PHK untuk ”mempeluas kompetensi lulusannya”, dari
kompetensi lulusan program studi Teknologi Pendidikan menjadi
kompetensi lulusan program studi Teknologi Informasi dan

17
Komunikasi, dengan menambahkan pokok-pokok bahasan tentang
Teknolobi Informasi dan Komunikasi yang terdapat dalam kurkulum
sekolah menengah kedalam kurikulum program studi S-1 Teknologi
Pendidikan. Ilustrasi terakhir, juga dalam dekade 2000-an ini, seorang
guru SMK menulis di koran bahwa ia menghentikan upayanya
menggelar pembelajaran yang bermakna melalui berbagai bentuk
kegiatan termasuk yang dilakukan di luar kelas, begitu dia menyadari
bahwa pada akhirnya, tagihan yang paling penting adalah kelulusan
dalam UAN.
Meskipun di negerinya diterbitkan pertama-tama pada tahun 1956,
namun gagasan yang banyak dampaknya kepada pembelajaran di
tanah air adalah apa yang disebut Taksonomi Bloom, yang mulai
banyak dipergunakan sebagai rujukan dalam pengelolaan
pembelajaran dalam dekade 1970-an di tanah air termasuk dalam
pemanfaatan PPSI yang telah disebutkan di atas. Yang penting disoroti
di sini adalah, juga karena terjadi berulang kali di negara kita dari
jenjang pendidikan dasar sampai ke jenjang perguruan tinggi, adalah
pemakaian salah dari Taksonomi Bloom yang tidak berdosa itu.
Maksudnya, demikian kesohornya Taksonomi Bloom di dunia
pendidikan kita, sehingga dapat dikatakan semua guru dan semua
dosen pernah mendengarnya, dan bahkan agaknya tidak sedikit yang
mengira bahwa mereka telah menggunakannya dalam mengelola
pembelajaran. Padahal, ketika Prof. Benjamin Bloom dan rekan-
rekannya menyusun taksonomi mereka, tujuannya tidak lebih dan
tidak kurang, hanyalah sebatas memetakan perolehan pendidikan
menjadi 3 ranah (domain) yaitu ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik. Tiap ranah kemudian ditakik-takiknya dari yang paling
sederhana (low level) sampai dengan yang paling canggih (high level)
sesuai dengan alur pikir taksonomi. Apabila beliau masih bisa ditanya,
bagaimana cara menggunakannya dalam menggelar pembelajaran,
besar kemungkinan beliau akan menjawab bahwa that was not our
intention. You gentlemen will have work it out yourselves.
Adalah untuk dapat memanfaatkan Taksonomi Bloom tersebut sebagai
rujukan dalam penyelenggaraan pembelajaran, saya memodifikasinya
dengan mengaitkan penguasaan kompetensi sebagai sasaran
pembentukan dalam ketiga ranah, dengan proses keterbentukannya,
menjadi sebagai berikut: (a) pengetahuan dan pemahaman diperoleh
melalui pengkajian melalui berbagai modus dalam berbagai konteks
dengan memanfaatkan kerangka pikir konstruktivistik Marzano yang
telah disebutkan: acquiring and integrating knowledge, expanding and
refining knowldge, dan applying knowledge meaningfully, (b)
ketrampilan baik kognitif dan personal-sosial maupun psikomotorik
hanya bisa diperoleh melalui latihan yang disertai balikan, dan (c)

18
sikap dan nilai dibentuk melalui pengalaman pasif dalam peristiwa
sarat-nilai (vicarius experience (Bandura, 1999, halaman 3) serta
keterlibatan aktif dalam kegiatan sarat nilai (gut learning) sehingga
bermuara pada penumbuhan karakter. Yang paling menonjol teramati
dalam penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk sistem
persekolahan yang mulai digagas pada akhir dekade 1990-an dan
diluncurkan pada wal dekade 2000-an adalah kerangka pikirnya yang
tidak taat asas dengan pendekatan kompetensi: setelah perangkat
kompetensi yang ditetapkan sebagai sasaran pembentukan itu
digariskan, langkah berikutnya yang diacarakan bukan penetapan
bentuk-bentuk pengalaman belajar yang harus dilalui oleh peserta
didik untuk memfasilitasi pembentukan pengetahuan-pemahaman,
ketrampilan atau sikap-nilai seperti telah dikemukakan berkaitan
dengan tiap kompetesi yang dikehendaki, melainkan langsung kepada
penetapan materi pokok. Dalam penetapan langkah ini, jelas
tertampilkan bahwa kerangka pikir yang digunakan bukan alur pikir
dengan asas the process is the content yang merupakan salah satu
asas dasar dalam pembelajaran, melainkan kerangka pikir penerusan
informasi, tanpa memperhatikan proses penerusan informasi tersebut
sehingga membuahkan dampak keterbentukan penguasaan
kompetensi yang dikehendaki. Bahkan ketika ditanya oleh hadirin
dalam suatu acara sosialisasi di Malang untuk menyongsong
penerapan KBK, Kepala Pusbangkurrandik yang hadir sebagai nara
sumber itu menyatakan bahwa pembentukan kompetensi adalah
melalui pembiasaan, Keadaan ini mestinya mengingatkan kita pada
judul buku kecil yang ditulis oleh 2 pakar: ”Process as Content (Parker
dan Rubin, 1966). Akan tetapi, apabila dicermati Standar Kompetensi
Dasar yang dikaitkan dengan Standar Isi (Permen 22 ahun 2006), juga
terbaca pernyataan yang senafas, yaitu bahwa standar kompetensi
dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk
mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator
pencapaian kompetensi untuk penilaian. Dengn kata lain, dalam
penerapan KBK, alur pikir yang digunakan dalam Peraturan Menteri ini
tidak berbeda dari alur pikir yang digunakan oleh Pusat
Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitang Dikbud
(sekarang Balitbang Diknas) yang telah disebutkan. Dalam kaitan ini,
mungkin ada gunanya disimak nasihat yang diberikan oleh fisikawan
dunia Albert Einstein yang konon menyatakan bahwa “insanity is doing
the same thing over and over again, and expecting different results”
(Costa, 1999, 25).
Oleh karena itu, pertanyaan yang relevan diajukan dalam kaitan ini
adalah, seberapa jauh pembelajaran di tanah air memfasilitasi
pembentukan kemampuan dalam arti yang utuh yang mencakup
pengetahuan dan pemahaman, ketrampilan serta sikap dan nilai yang

19
terinternalisasi sebagai karakter. Mestinya, dengan kawalan standar
yang mengepung pendidikan di segenap penjuru yang diamanatkan
melalui PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
maka satu-satunya ruang gerak yang tersisa bagi pendidikan dalam
sistem persekolahan di tanah air, adalah menjadi lebih baik. Akankah
perbaikan yang dikehendaki semua pihak itu terwujud? Para pembaca
dimohon sabar sampai kita tiba ke dekade 2000-an.

5. Tahun 1980-an
a. Tujuan Pendidikan
Ada 2 REPELITA dalam dekade 1980-an yaitu REPELITA IV 1983 –
1988 dan REPELITA V 1988 – 1993. Dalam REPELITA IV 1983 –
1988, dinyatakan bahwa ”Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila,
bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, kecerdasan dan ketrampilan, mempertinggi budi pekerti,
memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan
cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia
pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-
sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”. Dalam
REPELITA IV ini pula mulai dicanangkan upaya memperluas dan
meningkatkan ”... penghayatan dan pengamalan Pancasila oleh
seluruh lapisan masyarakat” yang diikuti dengan penataran-penataran
P4, selain pendidikan sejarah perjuangan bangsa, serta secara eksplisit
dinyatakan bahwa pendidikan berlangsung sepanjang hayat.
Kebutuhan akan sistem pendidikan nasional yang diatur melalui
ketentuan perundang-undangan juga dikemukakan dalam REPELITA IV
ini.
Sedangkan dalam dalam REPELITA V 1988 – 1993, dinyatakan
bahwa ”Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi
pekerti luhur, berkepribadian, bersisiplin, bekerja keras, tangguh,
bertanggu jawab, mandiri, cerdas dan trampil serta sehat jasmani dan
rohani. Pendidikan nasional juga harus mampu menumbuhkan dan
memperdalam rasa cinta pada Tanah Air, mempertebal semangat
kebangsaan dan rasa kesetia kwanan sosial. Sejalan dengan itu
dikembangkan iklim belajar dan mengajar yang dapat menumbuhkan
rasa percaya pada diri sendiri serta sikap dan perilaku yang innovatif
dan kreatif. Dengan demikian pendidikan nasional akan mampu
mewujudkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun
dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas
pembangunan bangsa.

20
Dalam dekade 1980-an ini juga lahir UU nomor 2 tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan asional, yang menyatakan bahwa ” Pendidikan
Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur ,
memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan”, jauh lebih ringkas namun utuh
dibandingkan dengan rumusan-rumusan dalam REPELITA.
b. Pemikiran tentang Pendidikan
Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi dilanjutkan, meskipun
sebagaimana telah diutarakan, intensitasnya belum sebagaimana yang
diharapkan, kembali nampaknya karena mind set para pelaksana
masih memerlukan konsolidasi koneptual. Mungkin yang menonjol dari
segi pemikiran tentang pendidikan adalah munculnya kehendak untuk
”mengatur sejarah” yaitu bahwa perjuangan bangsa dimulai pada akhir
tahun 1965.
c. Pemikiran tentang Pembelajaran
Dalam pembelajaran, CBSA terus digulirkan, bahkan melalui 2 jalur
sebagaimana telah dikemukakan. Jalur pertama adalah melalui Proyek
P3G yang selesai masa baktinya pada tahun 1983, namun dilapis oleh
Proyek P2LPTK, keduanya melibatkan baik IKIP/FKIP maupun SPG
sebagai penyelenggara pendidikan Guru SM dan SD. Pada akhir tahun
1989, SPG yang berkedudukan di lingkungan Ditjen Dikdasmen di-
phase-out untuk digantikan oleh Program D-II PGSD yang
berkedudukan di lingkungan Ditjen Dikti, tepatnya di lingkungan FIP
IKIP yang sama sekali tidak memiliki tradisi atau kapasitas di wilayah
yang menggunakan bidang studi sebagai konteks pembelajaran.
Peletakannya di lingkungan FKIP Unibiversitas lebih mendingan, sebab
di samping JIP yang bertanggung jawab dalam pengelolaan program
D-II PGSD, dalam FKIP juga terdapat jurusan-jurusan pendidikan
bidang studi.

6. Tahun 1990-an
Banyak yang terjadi di dunia pendidikan pada dekade 1990-an yang
bermula dari diberlakukannya UU nomor 22 tentang Pemerintah Daerah
yang telah disebutkan, yang mewariskan perubahan yang berdampak luas
dalam tahun-tahun berikutnya, bahkan berlanjut ke dalam dekade 2000-an.
Sesuai dengan pola pemaparan yang dianut sejak awal, perubahan-
perunbahan tersebut dimasukkan ke dalam salah satu dari tiga rubrik yang
digunakan.

21
a. Tujuan Pendidikan
Dalam REPELITA VI 1993 – 1998 dinyatakan bahwa ”Pendidikan
nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diarahkan
untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa,
mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan
bertaqwa rwehadap Tuhan yang Maha Esa, berkualitas, mandiri
sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya
serta dapat dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan
bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”. Dari pernyataan itu
dapat dilihat bahwa tujuan pendidikan nasional diletakkan dalam
konteks yang sangat luas, sehingga juga tidak akan mudah digunakan
untuk memandu pengembangan program pada tingkat institusional,
apalagi pada tingkat pendidik sebagai perorangan.
b. Pemikiran tentang Pendidikan
Meskipun bermula di lingkungan pendidikan tinggi, namun karena
dampaknya langsung atau tidak langsung juga merembes ke jenjang
pendidikan dasar dan menengah, maka perubahan-perubahan
pemikiran tersebut juga diangkat dalam paparan ini.
Pemikiran pertama adalah apa yang dinamakan Kebijakan
Pengembangan Pendidikan Tingi Jangka Panjang (KPPT-JP) yang
dikenal sebagai Paradigma Baru, yaitu suatu kerangka pikir yang
membingkai kebijakan pembinaan pendidikan tinggi, serta pada
gilirannya, digunakan dalam mencermati kinerja perguruan tinggi. Dari
segi kebijakan pembinaan, diasumsikan bahwa kualitas jinerja
perguruan tinggi dipengaruhi oleh kemampuan serta kebiasaan
institusi melakukan evaluasi diri, di samping tersedianya mekanisme
akreditasi yaitu evaluasi yang dilakukan oleh sejawat, serta
pengedepanan otonomi yang bergandengan erat dengan akuntabilitas.
Icon Paradigma Baru yang bermanfaat untuk digunakan dalam
mencermati kinerja perguruan tinggi yang masih relevan hingga kini
adalah apa yang dinamakan LRAISE (Leadership, Relevance, Academic
Atmosphere, Internal Management and Organization, Sustainability,
dan Effectiveness and Efficiency). Kerangka pikir inilah yang digunakan
sebagai bingkai konseptual dari peluncuran mekanisme pendanaan
baru, yaitu mekanisme pendanaan yang tidak lagi hanya memberikan
subsidi secara merata (equitable) berdasarkan kebutuhan, akan tetapi
diberikan dalam kaitan dengan kemampuan institusi penerima untuk
menggunakan dana yang diberikan itu secara produktif dan
bertanggung jawab. Sebagaimana diketahui, subsidi besar yang
dikucurkan selama ini, memang tidak terbatas pada pendidikan tinggi
melainkan kepada bidang pendidikan secara keseluruhan, yang
teramati adalah bahwa hibah tersebut pada dasarnya membuahkan

22
perbaikan yang masih kurang menggembirakan, karena dana yang
dikucurkan itu disikapi lebih sebagai ”uang proyek yang harus
dihabiskan”, cukup dengan pertanggungjawaban administratif
(rechmatigheid) tanpa terlalu menghiraukan dampaknya dalam
menggelundungkan perbaikan proses penyelenggaraan program
secara berkelanjutan (doelmatigheid, atau kegiatan yang bersifat
outcome-based).
Untuk melepaskan diri dari belenggu subsidi yang lebih dilihat sebagai
sedekah (charity) itulah yang menyebabkan Ditjen Dikti meluncurkan
kebijakan pendanaan melalui hibah berdasarkan mutu program
(Program-Based Competitive Funding) yaitu hibah yang diberikan
sebagai dana gelondongan (block grant), yang dimulai dengan proyek
yang ditopang dana pinjaman yang dinamakan proyek DUE
(Development of Undergraduate Education), yang kemudian disusul
dengan proyek QUE (Uality of Undergraduate Education). Kebijakan
pendanaan baru ini dinilai efektif karena dikawal di kedua ujung yaitu
ujung perencanaan (pre-audit) dan ujung implementasi (process-
audit). Ujung perencanaan dikawal melalui pencermatan (scrutiny)
terhadap program perbaikan yang diusulkan, dalam arti hanya usulan
program perbaikan yang paling menjanjikan yang dipertimbangkan
untuk didahulukan untuk memperoleh kesempatan untuk
mengimplementasikan program dengan dukungan dana hibah, itupun
setelah usulan program perbaikan itu diterjemahkan menjadi Rencana
Implementasi Program (Program Implementation Plan, PIP) yang lebih
terinci. Barulah setelah PIP dinilai rapi dalam arti mengedepankan
kegiatan-kegiatan yang menjanjikan hasil karena dinilai dapat memicu
penggelundungan perbaikan proses penyelenggaraan program secara
berkelanjutan (outcome-based activities), dibenarkan bagi penerima
hibah (Grantee) untuk melakukan pembelanjaan dana hibah yang
dimenanginya. Selanjutnya, karena kualitas program sangat ditentukan
oleh proses implementasinya, maka sebagaimana telah dikemukakan,
ujung lain yang juga dikawal adalah proses implementasi pemanfaatan
dana hibah, melalui pemantauan tahunan. Pemantauan tersebut
dilakukan melalui melalui kunjungan lapangan (Site Visit) dengan
tujuan untuk memverifikasi laporan tertulis penyelenggaraan program
tahunan yang wajib dikirimkan oleh Grantee kepada Dewan Pendidikan
Tinggi, yang ditugasi oleh Dirjen Dikti untuk mengelola
penyelenggaraan teknis program hibah, yang sekarang dikenal sebagai
Program Hibah Kompetisi (PHK) itu. Yang juga perlu dicatat pada
kesempatan ini adalah sisi teknis-akademis proses pengawalan kualitas
tersebut dilakukan bukan oleh aparat birokratis di lingkungan Ditjen
Dikti melainkan oleh sesama sejawat tenaga akademis perguruan
tinggi yang secara sengaja direkrut dan dilatih untuk pelaksanaan
tugas tersebut. Jajaran Reviewers bersertifikat itulah yang diberikan

23
kepercayaan untuk melakukan pengawalan berdasarkan kompetensi
serta integritasnya dalam melaksanakan tugas pengawalan tersebut.
Hanyalah Reviewers yang teruji dari segi kompetensi dan integritas,
yang dipertahankan dalam jajaran Reviewer ini.
Pendekatan pendanaan melalui PHK ini terus digulirkan antara lain
melalui program DUE-like dan TPSDP (Technical and Professional Skills
Development Project) dan belakangan juga ada Proyek I-MHERE
(Indonesia – Management of Higher Education for Social
Responsibility). Sebagaimana diisyaratkan oleh namanya, program
DUE-like menggunakan kerangka pikir proyek DUE yang didukung
dana pinjaman, akan tetapi didukung sepenuhnya dengan dana
rupiah. Selain itu, juga diperkenalkan mekanisme kompetisi berlapis
(tiered competition) untuk meningkatkan pemerataan (equity) baik
berdasarkan jenis mandat lembaga yang dipilahkan menjadi 4 kategori
yaitu bidang (a) seni, (b) kependidikan, (c) vokasi, dan (d) pendidikan
tinggi lainnya, maupun dari segi tingkat kemajuannya yang dalam versi
yang mutakhir dipilahkan menjadi tingkatan (a) A-1 yang
mengedepankan pengembangan kapasitas lembaga, (b) A-2 yang
mengedepankan efisiensi internal, (c) A-3 yang mengedepankan
efisiensi eksternal, dan (d) B yang mendepankan daya saing di tingkat
internasional. Dengan skema kompetisi berlapis ini, tidak lagi dana
hibah hanya dimenangi hanya oleh perguruan tinggi yang kuat-kuat
saja. Sebagaimana dapat dilihat dari dimensi pemilahannya, barulah
melalui program DUE-like ini perguruan tinggi dengan mandat
kependidikan memperoleh peluang khusus untuk bersaing di antara
mereka, bahkan juga termasuk untuk program D-II PGSD meskipun
jenjangnya bukan jenjang undergraduate (S-1). Debelumnya, LPTK
memang pernah menikmati dana hibah, mula-mula melalui Proyek P3G
dan kemudian melalui Proyek P2-LPTK sebagaimana telah disebutkan,
namun mekanisme pendanaannya adalah mekanisme sumbsidi,
sehingga roh jemput bolanya di pihak penerima hibah masih belum
terlihat. Juga ada dana hibah melalui PAU Kependidikan, akan tetapi
peletakannya di lingkungan UT telah secara tanpa disengaja
menumbuhkan bias ke arah kerangka pikir BJJ yang terwariskan
sebagai program PEKERTI dan Applied Approach, sehingga
produktivitasnya dalam memicu peningakatan mutu pembelajaran di
lingkungan perguruan tinggi yang didominasi modus pembelajaran
tatap muka masih kurang dari yang diharapkan.
Untuk mengisi ”kekosongan” inilah UI meluncurkan prakarsa yang
dinamakan PDPT (Program Dasar Pendidikan Tinggi) yang merajut
problem solving, cooperative learning dan computer-based learning ke
dalam proses pembelajaran yang diperuntukkan bagi mahasiswa baru,
dalam ronde terakhir perguliran program DUE-Like. Saya kebetulan

24
berkesempatan melihat perjalanannya dari awal, ketika program ini
mulai diluncurkan dengan menghadapi berbagai tantangan internal
karena pendekatannya mengguncang praktek pembelajaran yang telah
lama mapan, sampai dengan pengakhirannya yang manis karena
barang baru yang semula ditentang banyak warga dalam itu, akhirnya
ternyata diterima oleh semua pihak: sangat menyenangkan ketika
melihat dosen-dosen jurusan Sosiologi dan Metalurgi (2 program Studi
diluar PDPT an sich yang ikut ambil bagian) ikut mendandani
kemampuan mahasiswa untuk presentasi dalam rangka menjual
gagasan (soft skills), yang kebetulan dikunjungi dalam monitoring
lapangan) ketika mereka mengajarkan mata kuliah masing-masing.
Sedangkan keunikan dari TPSD (Technical and Professional Skills
Development Project) adalah ditambahkannya 2 elemen dalam
perangkat kriterianya sehingga menjadi LRAISE ++ (dua tanda plus
yang ditambahkan itu mencakup equity for the economically
disadvantaged dan equity in terms of gender).
Paparan mengenai block grant yang dikelola melalui PHK yang
diluncurkan oleh Ditjen Dikti ini memang sengaja disajikan agak
lengkap, karena di luar PHK Ditjen Dikti juga dikenal program
pendanaan melalui block grant yang, sepanjang pengetahuan saya,
tidak disertai dengan mekanisme pengawalan melalui pre-audit dan
process-audit seperti yang diselenggarakan dalam konteks PHK Ditjen
Dikti. Tanpa pretensi untuk menggapnya sebagai contoh tipikal, pada
kesempatan ini mungkin ada manfaatnya apabila disebutkan 2
ilustrasi. Ilustrasi pertama berkenaan dengan contoh block grant untuk
menumbuhkan penguasaan kecakapan hidup (life skills) yang
nampaknya oleh pengelola dimaknai sebagai ketrampilan vokasional
untuk jenjang SD. Seorang mahasisa program S-3 bimbingan saya
yang berasal dari luar Jawa menceritrakan bahwa sebuah SD di
daerahnya memperoleh block grant sebesar Rp.10.000.000,- yang oleh
pimpinan sekolah penerima hibah nampaknya digunakan untuk bidang
budidaya ikan dan pembuatan batu bata. Oleh sekolah sebagai
penerima hibah, pekerjaan diserahkan kepada warga masyarakat
setempat yang memang telah biasa bergerak di kedua bidang vokasi
tersebut, dengan dimodali dana hibah sebesar Rp.10.000.000,- Pada
akhir daur usaha, dilakukan penghitungan sisa hasil usaha, yang
kemudian dibagi dua antara pihak sekolah dan pihak pelaksana
program. Siswa SD yang hendak ditumbuhkan penguasaan kecakapan
hidupnya melalui block grant tersebut, agaknya sama sekali tidak
masuk dalam perhitungan. Ilustrasi kedua, berkenaan dengan rentang
kendali. Ketika perlu menemui seorang rekan yang kebetulan
dipekerjakan sebagai konsultan dalam salah satu proyek berbantuan
asing di lingkungan Depdiknas, saya kehilangan jejak di gedung unit

25
utama yang bersangkutan. Akan tetapi kebetulan saya beruntung,
berpapasan dengan bapak pejabat eselon II yang kebetulan kenalan
baik saya, yang membawahi proyek-proyek tersebut. Beliau berusaha
membantu saya dengan mengunjungi bilik-bilik perdinding separoh
(cubicles) yang nampaknya merupakan unit-unit kerja dari proyek-
proyek tersebut. Yang mengherankan saya adalah bahwa tidak
satupun dari staf proyek dari 3 cubcles yang terdapat di sekitar itu,
yang mengenal Bapak Direktur. Alhasil, Bapak Direktur kemudian
menyerah, dan yang sangat mencengangkan saya, beliau mengaku
bahwa ada 13 proyek di bawah kendalinya, sampai-sampai beliau
kehilangan jejak untuk mengikuti proyek mana yang mengerjakan apa.
The facts speak for themselves, sehingga saya tidak perlu ngomong
lebih banyak.
Kebijakan yang dapat dikatakan sebagai bagian dari terapan
Paradigma Baru dalam arti diturunkan dari salah satu sudut
tetrahedron yang telah disebutkan, adalah akreditasi yaitu dengan
dibentuknya BAN-PT. Hanya saja dampaknya dalam memicu kinerja
perguruan tinggi dalam meningkatkan kualitas sebagaimana digagas
dalam Paradigma Baru, nampaknya bisa jauh lebih baik, kalau saja
tidak terpaku pada alur pikir penilaian oleh otoritas administratif yang
lazim digunakan di lingkungan Direktorat Perguruan Tinggi Swasta
(yang sekarang sudah dilikuidasi) dalam menetapkan staus perguruan
tinggi swasta (disamakan, diakui, terdaftar) yang dalam praktek
akreditasi menjadi Peringkat A, B dan C. Belakangan, perubahan-
perubahan memang banyak dilakukan, akan tetapi sejauh ini
nampaknya masih ada praktek yang kurang maksimal dalam memicu
peningkatan kinerja lembaga yang diakreditasi atas prakarsa dan
tanggung jawab sendiri yaitu (a) diagregasikannya skor hasil penilaian
terhadap borang dan kunjungan lapangan menjadi skor total yang
berujung pada penganugerahan Peringkat, yang menyebabkan (b)
tersembunyikannya profil kinerja lembaga dalam pringkat tersebut
sehingga tidak dapat digunakan baik oleh lembaga yang bersangkutan,
apalagi oleh lembaga lain yang berkinginan untuk melakukan
benchmarking dengan lembaga yang behasil meraih peringkat
akreditasi tinggi, dan (c) tidak ditagihnya hasil perbaikan dalam
sesuatu akreditasi pada daur akreditasi berikutnya.
Pemikiran lain yang muncul dalam dekade 1990-an adalah perubahan
IKIP menjadi universitas yang mula-mula hanya berupa perluasan
mandat dalam penyelenggaraan program studi S-1 di bidang MIPA
bagi IKIP-IKIP yang memiliki kapasitas lebih sebagai akibat kebijakan
Ditjen Dikti yang mengarahkan dosen LPTK untuk mengikuti program
S-2 dan/atau S-3 di bidang basic sciences. Mula-mula nampaknya ada
keengganan di pihak IKIP-IKIP untuk mengemban perluasan mandat

26
tersebut, akan tetapi begitu terbaca oleh mereka bahwa perubahan
menjadi universitas itu merupakan kebijakan yang diduga akan
didukung sumber daya dari pimpinan Depdiknas, teramati perubahan
pendirian yang drastis. Perubahan menjadi universitas ini juga
memperoleh sambutan hangat luar biasa baik dari pimpinan maupun
dari tenaga akademik yang telah menyandang gelar S-2 dan/atau S-3
di bidang basic sciences yang selama itu “tidak memperoleh
penyaluran yang layak”. Perubahan menjadi universitaspun tidak lagi
dilakukan secara selektif hanya bagi IKIP yang memiliki kapasitas
lebih, akan tetapi juga bagi IKIP-IKIP yang bahkan belum memiliki
kapasitas yang pas-pasan. Untuk melengkapi fakultas di bidang
eksakta yang dipersyaratkan dalam suatu universitas, maka fakultas
pendidikan olah raga dan kesehatan diubah menjadi fakultas ilmu
keolahragaan. Yang mengherankan adalah bahwa perubahan menjadi
universitas itu, hanya dimaknai sebagai urusan label. Maksudnya, pada
9 IKIP label kependidikan ditanggalkan, untuk digantikan dengan label
nonkependidikan, sedangkan pada satu IKIP, label kependidikan
dipertahankan. Akan tetapi, terlepas dari label yang digunakan,
pewadahan program studinya sama saja. Sebagai suatu contoh,
jurusan pendidikan kimia pada 9 IKIP misalnya, berganti label menjadi
jurusan kimia, yang mengelola baik program studi S-1 Kimia maupun
program studi S-1 Pendidikan Kimia, sedangkan pada 1 IKIP yang
mempertahankan label kependidikan, label Jurusan Pendidikan Kimia
dipertahankan, akan tetapi juga membawahkan program studi S-1
Kimia dan program studi S-1 Pendidikan Kimia. Akibatnya,
penyatukamaran 2 program studi yang berbeda tajam social
glamournya itu telah, disadari atau tidak, diakui atau tidak,
membuahkan pengalihan sumber (resource dislocation) kepada bidang
yang social glamournya lebih tinggi. Bukti mengenai pengalihan
sumber daya yang dimaksud dapat disaksikan dalam praktek
keikutsertaan universitas hasil konversi IKIP itu dalam PHK, atau
bahkan dalam pengelolaan bantuan melalui JICA. Sebagai
perbandingan, dapat dilihat penyikapan Jurusan Kimia dan Jurusan
Teknik Kimia dalam sebuah perguruan tinggi besar yang telah
berstatus BHMN terhadap penataan organisasi. Kedua jurusan menolak
disaturumahkan dalam Sekolah (School, yang mirip fakultas), karena
mereka menyadari bahwa rujukan kontekstual kedua jurusan tersebut
berbeda. Potensi resource dislocation yang merugikan bidang
kependidikan itu, bahkan teramati lebih jauh yaitu berupa pengalihan
rujukan kontekstual dalam proposal PHK yang diajukan oleh jurusan
bahasa dsan sastra Inggris dari sebuah universitas hasil konversi IKIP.
Dalam Evaluasi Dirinya, Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris tersebut
menetapkan DUDI (Dunia Usaha dan Dunia Industri) sebagai
stakeholdersnya, dan hanya secara sambill lalu menyebutkan adanya

27
stakeholders lain yang dinamakannya “instansi lain yang terkait” yang
hanya dapat ditafsirkan sebagai rujukan setengah hati kepada sistem
persekolahan. Selain itu, jurusan bahasa dan sastra Inggris itu juga
mengedepankan penggunaan bahasa Inggris dalam pengeoperasian
berbagai peralatan canggih di lingkungan DUDI sebagai fokus
perbaikan pendidikan dalam program S-1 yang diajukan, meskipun
keikutsertaannya sebagai lembaga yang mengemban mandat
kependidikan. Belakangan, 2 FKIP ditingkatkan statusnya menjadi IKIP
juga, kemudian, mengikuti jejak 10 IKIP lainnya dikonversi menjadi
universitas. Keadaan ini telah menyebabkan ada stakeholders yang
mempertanyakan komitmen dari universitas hasil konversi IKIP ini
kepada pendidikan guru. Tindakan lugas dilakukan oleh stakeholder
luar begeri: sebuah negara tetangga yang semula secara teratur
mengirimkan mahasiswa untuk belajar dalam program S-1 pendidikan
guru bidang studi, tidak lagi mengirimkan mahasiswanya setelah IKIP
tersebut berubah menjadi universitas.
c. Pemikiran tentang Pembelajaran
Meskipun di kalangan terbatas pendekatan CBSA masih ”dipelihara”,
akan tetapi nampaknya tidak ada butir pemikiran lain di bidang
pembelajaran yang menonjol yang saya amati dalam dekade 1990-an
ini. Things just seemed to have been going as usual.
Di pihak lain, memang ada suatu pendekatan baru yang dirintis yaitu
penilaian hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman kerja
(assessement of experiential learning) yang memang kurang dikenal di
negara kita, akan tetapi telah lama dimanfaatkan di negara lain
misalnya di Amerika Serikat, Kanada dan Inggris. Bahkan di lingkungan
De Paul University, Chicago, Amerika Serikat, ada sebuah fakultas
yang mengkhususkan diri pada pemanfaatan penilaian hasil belajar
melalui pengalaman kerja dalam pengelolaan program bakalaureatnya.
Fakultas tersebut dinamakan School of New Learning yang dalam
penerimaan mahasiswa baru menetapkan pembebasan dari menikuti
sesuatu mata kuliah, apabila hasil Penilaian HBMP yang diterapkan,
membuktikan bahwa kemampuan bawaan dari mahasiswa baru yang
bersangkutan dinilai ekuivalen dengan kemampuan yang merupakan
sasaran oembentukan dari sesuatu mata kuliah yang tercantum dalam
kurikulum. Adalah untuk mengantisipasi penyelenggaraan program S-1
Kedua yang disponsori oleh Proyek Pengembangan PGSD, yaitu suatu
program S-1 yang diluncurkan untuk melakukan re-training bagi
tenaga akaemik di FIP/JIP lulusan program-1 yang bidang kehaliannya
tidak relevan dengan kebutuhan ketenagaan program D-II PGSD,
misalnya lulusan program studi Manajemen Pendidikan atau Bimbingan
dan Konseling, untuk dididik melalui program S-1 Kedua misalnya
dalam bidang Pendidikan Bahasa Indonesia SD, Pendidikan IPA SD,

28
dan sebagainya. Untuk menjemput bola dalam penyelenggaraan
penilaian hasil belajar melalui pengalaman kerja (HBMP) itu, Ditjen
Dikti mengundang Prof. David Justice, Dekan the School of New
Learning yang telah disebutkan, seagai konsultan senior untuk
menyelenggarakan lokakarya mengenai Assessment of Experiential
Learning selama 2 minggu di Cisarua, Bogor. Hasilnya adalah
Panduan Penilaian HBMP (Raka Joni, 1993). Akan tetapi UT yang
mencoba meluncurkan modus asesmen hasil belajar melalui
pengalaman kerja ini secara sistematis dalam penyelenggaraan
program S-1 PGSD melalui BJJ itu menemui kekecewaan, sebab para
mahasiswa peserta program S-1 Kedua tersebut lebih suka mengikuti
kuliah saja, tinimbang repot-report mengumpulkan bukti-bukti
penguasaan pengetahuan yang terakumulasi sebagai hasil pengalaman
kerja mereka sebagai guru SD. Akan menarik sekali untuk mencermati,
apakah rekan-rekan guru peserta Program Sertifikasi Guru Dalam
Jabatan bersedia repot-repot mengumpulkan bukti penguasaan
pengetahuan yang terakumulasi sebagai hasil pengelaman kerja
mereka sebagai guru, yang tentunya harus berupa lebih dari sekadar
pernyataan rentang waktu pengalaman kerja atau daftar hadir dalam
penataran. Akan lebih menarik lagi, mencermati penyikapan para
pengelola program Sertifikasi Guru Dalam Jabatan dalam memaknai
penilaian hasil belajar melalui pengalaman kerja tersebut terutama dari
segi ekuivalensinya dengan kredit akademik dalam rangka pemenuhan
persyaratan dalam Program S-1 PGSD atau Program S-1 Pendidikan
Bidang Studi.

7. Tahun 2000-an
8.
Nampaknya, meskipun dekade 2000-an ini baru berjalan separoh lebih
sedikit, ternyata banyak penataan-penataan mendasar yang terjadi, yang
berdampak sangat jauh ke depan kepada dunia pendidikan di tanah air.
Awal gulirannya memang terjadi pada paroh kedua dekade 1990-an,
tepatnya pada bulan Mei 1998, ketika Presiden Suharto mengundurkan diri
sebagai presiden, untuk digantikan oleh Bapak BJ Habibie, dan
sebagaimana telah dikemukakan, sejak saat itu tidak lagi ada REPELITA-
REPELITA. Berbagai penataan masih terus berlangsung dalam sisa dekade
1990-an, dimulai dengan pengguliran kebijakan otonomi daerah melalui UU
nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang secara
mendasar menjungkirbalikkan kerangka pikir pengelolaan pendidikan di
tanah air, meskipun sampai batas tertentu, cikal-bakalnya sebenarnya telah
disemaikan sejak tahun 1951 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 65
tahun 1951 tentang Penyerahan Urusan 3 M (man, money and materials)
Sekolah Dasar kepada Pemerintah Daerah, yang kemudian dikukuhkan
melalui Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Penyerahan Urusan 3

29
M tersebut Kepada Pemda Kabupaten/Kota. Penyerahan sebagian
kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota sejak
tahun 1974 inilah yang telah secara efektif merecoki upaya Kanwil Dikbud
yang ketika itu masih memegang kewenangan dalam pembinaan mutu,
misalnya pemeningkatan mutu pendidikan dasar melalui Proyek P3D
(Proyek Pengembangan Pendidikan Dasar) yang antara lain mengacarakan
pembentukan apa yang dinamakan SD Center. Guru-guru kelas dari sekolah
yang akan dijadikan SD Center yang disiapkan untuk dijadikan nara sumber
dalam pendidikan bidang studi bagi SD-SD di sekitarnya melalui program
penataran penataran pendidikan bidang studi, dimutasi oleh pemerintah
kabupaten/kota tanpa koordinasi dengan Kanwil Dikbud (sekarang Dinas
Pendidikan) setempat sehingga upaya pembinaan mutu melalui SD Center
menjadilah ibarat gali lubang tutup lubang akibat tidak adanya kerangka
pikir pemersatu (unifying framework) yang membingkai kebijakan dan
program yang diluncurkan oleh instansi-instansi terkait. Sedangkan
penataan pengelolaan pendidikan yang lebih mendasar dimulai dengan
pemberlakuan UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, disusul oleh PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Tidak lama kemudian, PP nomor 19 tahun 2005 tersebut
kemudian disusul oleh UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
yang ditindaklanjuti dengan penyiapan RPP Guru. Sedangkan
pengembangan berbagai standar yang diamanatkan melalui PP nomor 19
tahun 2005 tersebut, dilakukan oleh BSNP, yang sebahagian di antaranya
telah diterbitkan sebagai Peraturan Menteri. Sayang sekali, memang, bahwa
sampai saat dipersiapkannya paparan inipun, kerangka pikir pemersatu
yang dimaksud juga masih belum ada, atau belum disadari oleh semua
pemangku kepentingan, sehingga penanganan gawe besar yang
diamanatkan oleh UU nomor 14 tahun 2005 tersebut, terkesan terseok-
seok.

a. Tujuan Pendidikan
Sebagaimana lazim ditemukan dalam ketentuan perundang-undangan,
dibedakan peletakan antara dasar, fungsi dan tujuan sebagaimana
juga teramati dalam UU nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Namun dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional tidak lagi secara jernih di[isahkan
peletakan antara fungsi dan tujuan karena kedua urusan ini dijadikan
1 (satu) pasal. Demikianlah, paroh kedua dari pasal 3 USPN 2003 yang
menyatakan fungsi dan tujuan pendidikan nasional itu menyatakan
bahwa Pendidikan Nasional ”... bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang

30
demokratis serta bertanggung jawab”. Akan tetapi dengan
dikembangkannya berbagai standar oleh BSNP, maka rujukan
operasional tidak lagi harus langsung dijabarkan oleh guru dari UU
nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, melainkan dari ketentuan
operasional yang diturunkan dari standar-standar yang dikembangkan
oleh BSNP serta diterbitkan secara resmi sebagai Peraturan Menteri.
Dalam kaitan ini, apabila sebelumnya perguruan tinggi sudah idak lagi
memiliki Kurikulum Nasional sejak diterbitkannya Kepmendiknas nomor
232/U/2000 tentang Pedoman pengembangan kurikulum dan penilaian
hasil belajar mahasiswa sebagaimana telah disebutkan, sekarang ini
Peraturan Menteri nomor 24 tahun 2006 menyerahkan kewenangan
mengembangkan kurikulum kepada Satuan Pendidikan dengan
mengacu kepada Standar Isi (Peraturan Menteri nomor 22 tahun
2006), dan Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (Peraturan
Menteri nomor 23 tahun 2006). Ini berarti bahwa, sebagaimana halnya
di jenjang perguruan tinggi, pengembangan kurikulum di tingkat
satuan pendidikan sangat tergantung pada 2 faktor yaitu ketepatan
aturan bukan saja dari sisi legal melainkankan juga dari sisi
kependidikan sehingga membuahkan rujukan operasional yang cerdas
, rujukan operasional yang dimaksud di satu pihak, melainkan juga
kesiapan jajaran guru (tentu saja jajaran dosen untuk jenjang
perguruan tinggi) untuk menjemput bola pengembangan kurikulum
untuk lembaganya. Adapun mengenai realitasnya, para pembaca
dipersilakan mencermatinya sendiri di lingkungan masing-masing.
b. Pemikiran tentang Pendidikan
Di bidang manajemen pendidikan dasar dan menengah, konsekuensi
otonomi dan desentralisasi adalah Manajemen Berbasis Sekolah
(School-Based Management) , Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Selain masalah budaya termasuk mind set, sandungan yang
nampaknya juga perlu diatasi untuk mewujudkan Manajemen Berbasis
Sekolah adalah realitas struktur organisasi pengelolaan di atas sekolah
(Dinas Pendidikan di tingkat Kecamatan, Kabupaten/Kota Madya dan
Propinsi) yang tidak sama dengan di negara-negara di mana otonomi
pengelolaan terkait erat dengan sistem politik (dalam arti pengaturan
kekuasaan). Kepala Dinas Pendidikan misalnya sepertinya tidak
langsung dapat dibandingkan dengan School Superintendant, dan
Dewan Sekolah misalnya, nampaknya lumayan berbeda apabila
dibandingkan dengan School Board di Amerika Serikat. Selain itu, juga
ada perbedaan dalam penarikan dana dari masyarakat yang dilakukan
melalui pembayar pajak setempat (local tax payers) yang mempunyai
kekuatan politik tersendiri dalam pengelolaan pendidikan, baik melalui
pemilihan anggota School Board maupun dalam menetapkan besarnya
pajak yang antara lain digunakan untuk mendukung program

31
pendidikan yang bersedia mereka bayar, yang porsinya paling besar
dalam pendanaan pendidikan. Selain pajak lokal, juga ada pajak
Negara Bagian yang antara lain dikutip melalui Pajak Penjualan (sales
tax) pada setiap transaksi serta pajak penghasilan yang berlaku secara
nasional, meskipun dukungan dana pendidikan bagaikan kerucut
dalam arti paling kecil porsinya dari Pemerintah Federal (kalau tidak
salah 25%), lalu semakin besar di tingkat Negara Bagian, dan paling
besar dari local tax payers. Berdasarkan informasi minim yang saya
peroleh, di wilayah-wilayah yang relatif berpunya, dukungan
masyarakat lazim disalurkan melalui orang tua siswa berdasarkan
program yang, sebagian besar, masih ditetapkan oleh pemerintah,
apalagi dengan diberlakukannya Ujian Nasional yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat, sehingga secara tidak langsung namun sangat kuat,
mempengaruhi realisasi pembelajaran di sekolah. Apabila ada
pengamatan dari para pakar pendidikan bahasa Inggris bahwa orang
yang mahir berbahasa Inggris hampir dapat dipastikan akan meraih
skor TOEFL yang tinggi, dapatkah dianalogikan bahwa peserta didik
yang mengalami kegiatan pembelajaran yang berkualitas prima, juga
berpeluang meraih nilai UAN yang tinggi? Memang masih harus
ditunggu, bagaimana implikasi dari penyerahan kewenangan kepada
sekolah untuk menyusun kurikulum (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan) seuai sengan Peraturan Menteri nomor 24 tahun 2006
yang, menurut logika saya, mestinya berlanjut kepada perancangan
berbagai program pembelajaran yang implementasinya tentu saja
membutuhkan biaya. Memang ada dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) dan Voucher, akan tetapi apa yang diperbuat apabila jumlahnya
belum mencukupi untuk mendukung program-program yang digagas
sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan? Dengan kata
lain, perjalanan masih panjanglah, untuk dapat mencermati
pengelolaan pendidikan berbasis sekolah di jenjang pendidikan dasar
dan menengah, termasuk kiprahnya dalam mencari dan
memanfaatkan dana untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan
yang digagas di tingkat sekolah.
Pada jenjang perduruan tinggi, salah satu dari pengejawantahan
otonomi akademik perguruan tinggi dalam dekade 2000-an yang juga
sudah diisyaratkan dalam Paradigma Baru Pendidikan Tinggi adalah
dihapuskannya Kurnas (Kurikulum Nasional) yang sebelumnya berlaku
untuk tiap program studi di seluruh tanah air. Sebagaimana telah
dikemukakan, pnghapusan Kurnas tersebut dilakukan melalui
Kepmendiknas nomor 232/2000 tentang Pedoman Pengembangan
kurikulum dan penilaian hasil belajar mahasiswa, dengan menetapkan
perangkat kompetensi yang diharapkan untuk dikuasai oleh lulusan
sebagai rujukan untuk pengembangan kurikulum dan program
pendidikan. Akan tetapi, meskipun secara eksplisit dinyatakan

32
menganut pendekatan kompetensi, bada 2 ciri khas yang
membedakan Kepmendiknas nomor 232/U/2000 tersebut dari
kerangka pikir pendekatan kompetensi yang lazim. Berbeda dari alur
pikir KBK yang lazim yang menetapkan format kegiatan belajar yang
dipersyaratkan untuk mencapai penguasaan kompetensi yang telah
ditetapkan sebagai sasaran pembentukan, Kepmendiknas nomor 232
tahun 2000 tersebut menggunakan bidang-bidang kompetensi yang
telah ditetapkan sebagai sasaran pembentukan itu sebagai dasar
pemilahan mata kuliah, yang merupakan istilah lain dari penentuan
materi pokok yang telah diulas sebelumnya. Ini berarti bahwa proses
keterbentukan perangkat kompetensi yang dinyatakan sebagai standar
yang hendak diwujudkan, tidak lagi secara eksplisit dinyatakan,
sehingga proses pembelajaran lebih mudah tergelincir menjadi
penerusan informasi. Padahal, sebagaimana telah dikemukakan, dalam
realitas pendidikan, proseslah yang merupakan content (Parker dan
Rubin, 1966; Resnick dan Klopfer, 1989). Dan nampaknya, alur pikir
yang by default mencerminkan paradigma penerusan informasi inilah
yang bercokol dalam pemikiran banyak pihak di tanah air, termasuk
UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan masih
diteruskan ke dalam Peraturan Menteri nomor 22 tahun 2006 tentang
Standar Isi dan Peraturan Menteri nomor 23 tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan.
Ciri khas yang kedua adalah ditetapkannya perangkat kompetensi
sebagai sasaran pembentukan yang dalam Kepmendikbud nomor
056/U/1994 yang digantikan dengan Kepmendiknas nomor
232/U/2000 memilah mata kuliah menjadi Mata Kuliah Umum, Mata
Kulian Dasar Keahlian dan Mata Kuliah Keahlian yang relatif mudah
dikenakan pada berbagai bidang: Akuntansi bisa, Kedokteran boleh,
Sejarah cocok, dan Filsafat silakan, dan disetelakan untuk pendidikan
profesional guru menjadi Mata Kuliah Umum, Mata Kuliah Dasar
Kependidikan, dan Mata Kuliah Proses Belajar-mengajar yang,
belakangan lebih sering dirujuk sebagai Penyelenggaraan
Pembelajaran yang Mendidikpun, aman-aman saja. Namun berbeda
dari Kepmendibud nomor 056/U/1994 yang telah disebutkan,
Kepmendiknas nomor 232/U/2000 itu nampaknya dijabarkan dari
Empat Pilar Hasil Belajar UNESCO (The Four Pillars of Learning) yang
mencerminkan hasil belajar jangka panjang pada umumnya (the
ultimate laning outcomes) yaitu Learning to Be yang diwujudkan
sebagai MK Pengembangan Kepribadian , Learning to Know yang
diwujudkan sebagai MK Keilmuan dan ketrampilan, Learning to Do
yang diwujudkan sebagai 2 kelompok mata kuliah yaitu MK Keahlian
Berkarya dan MK Perilaku Berkarya, dan Learning to Live Together
yang diwujudkan sebagai MK Kehidupan Bermasyarakat yang, apabila
dicermati, terkesan tampil linier, sehingga tidak dapat digunakan untuk

33
membingkai kurikulum program studi yang masing-masing merujuk
kepada sesuatu konteks terapan tertentu. Oleh karena itu, pemikiran
tentang pendidikan yang mendasari Kepmendiknas nomor 232/U/2000
ini dapat dikatakan secara konseptual buntu sebagaimana telah
disyaratkan, karena ketersediaan materi kurikuler dalam 4 bidang
kompetensi (versi UNESCO) atau atau 5 bidang kompetensi (versi
Kepmendiknas nomor 232/U/2000) yang terpisah-pisah itu, tidak akan
dengan sendirinya membuahkan terbentuknya penguasaan sesuatu
perangkat kompetensi yang mau tidak mau merujuk kepada sesuatu
konteks terapan. Celakanya, nampaknya alur pikir Kepmendiknas yang
lepas konteks yang diilhami oleh 4 Pilar Hasil Belajar UNESCO inilah
yang berimbas kepada penyusunan standar kompetensi guru dalam PP
nomor 19 tahun 2005, yang kemudian difotokopi dalam UU nomor 14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Apabila dirunut lebih ke hulu, salah satu contoh penerapan paradigma
penerusan informasi itu dapat ditemukan dalam Kurikulum Berbasis
Kompetensi yang mulai dirancang pada awal dekade 2000-an ini serta
diujicobakan pada tahun 2002, yang nampaknya juga terbelenggu oleh
pemikiran yang sama dengan yang mendasari Kepmendiknas nomor
232/U/2000, yaitu: setelah mengidentifikasi perangkat kompetensi
yang diharapkan dikuasai oleh lulusan Sekolah Dasar dan Sekolah
Menengah, langkah berikut yang diambil adalah menetapkan Materi
Pokok, yang disusul dengan identifikasi Indikator Penguasaan
Kompetensi yang bersangkutan, sedangkan proses keterbentukan
penguasaan kompetensi tersebut nampaknya masih tetap tersembunyi
dalam kotak hitam, sebagaimana yang teramati dalam kerangka pikir
PPSI yang mulai hadir di dunia pendidikan kita pada medio dekade
1970-an. Tidak terbayangkannya cukup awal peranan kegiatan
pembelajaran sebagai wahana pembentukan penguasan kompetensi
yang telah ditetapkan, yaitu bahwa penguasaan pengetahuan-
pemahaman hanya dapat diperoleh melalui pengkajian melalui
berbagai modus dalam berbagai konteks, penguasaan ketrampilan baik
personal-sosial maupun kognitif di samping psikomotorik, hanya bisa
dikuasai melalui latihan dengan balikan (feed back) serta sikap dan
nilai yang terinternalisasi sebagai karakter hanya bisa ditumbuhkan
melalui penghayatan secara pasif (vivarious learning) terhadap
peristiwa-peristiwa yang sarat-nilai seperti penumbuhan empati
kepada korban tsunami dengan membaca berita dan melihat tayangan
tentang gempuran tsunami serta mendiskusikannya di kelas, dan
keterlibatan secara aktif (gut learning) dalam kegiatan-kegiatan yang
sarat-nilai seperti misalnya mengumpulkan donasi untuk membantu
meringankan penderitaan para korban bencana alam tersebut,
tergambarkan sangat jelas dalam suatu acara sosialisasi KBK yang
menghadirkan pejabat puncak Pusat Pengembangan Kurikulum dan

34
Sarana Pendidikan Balitbang Diknas suatu LPTK di Jawa Timur: ketika
ditanya mengenai proses keterbentukan penguasaan sesuatu
kompetensi, pejabat yang hadir sebagai nara sumber tersebut
menjawab: melalui pembiasaan. Tidaklah mengherankan apabila,
meskipun namanya KBK, akan tetapi prakteknya tetap saja penerusan
informasi, sehingga ada rekan-rekan guru di Jawa Timur yang
memlesetkannya yaitu bahwa KBK adalah Koyo Bien Kae (seperti dulu
itu). Sebagaimana dinyatakan oleh Costa. ”changing curriculum means
changing mind” yang nampaknya tidak mudah dilakukan.
Sebelum UU nomor 20 tahun 2003 lahir, pada awal dekade 2000-an
ada 2 prakarsa yang layak dikemukakan pada kesempatan ini.
Prakarsa yang pertama adalah apa yang dinamakan Teacher Policy
Reform Working Group. Didukung oleh Bank Dunia, prakarsa ini
diluncurkan untuk mengembangkan sarana pengelolaan ketenagaan
guru (teacher personnel management tool kit) yang dapat digunakan
oleh pemerintah kabupaten/kota untuk mendiagnosis permasalahan
ketengaan guru yang terdapat di wilayahnya, dan berdasarkan
diagnosis tersebut mulai mengatur langkah untuk secara sistematis
mengatasinya, kalau mungkin dengan dukungan DPRD setempat.
Kesempatan untuk melakukan uji lapangan pemanfaatan sarana
pengelolaan ketenagaan guru ini diharapkan untuk diberikan kepada
sejumlah kecil pemerintahan kabupaten/kota yang dinilai paling siap
untuk menerapkannya, sehingga dapat dihimpun sejumlah kecil
success stories untuk ditularkan kepada semakin banyak pemerintahan
kabupaten/kota lainnya. Dengan uji lapangan ini diharapkan untuk
terwariskan bukan saja sarana pengelolaan ketenagaan guru yang
sesuai dengan asas otonomo daerah melainkan, yang tidak kalah
pentingnya, adalah ditumbuhkannya kebiasaan kerja yang baru, yaitu
belajar memecahkan permasalahan sendiri dan tidak hanya menunggu
bantuan dari luar khususnya dari pemerintah pusat, suatu sikap yang
ditumbuhkan dalam era sentralisasi. Akan tetapi sayang sekali,
prakarsa yang oleh banyak pihak dinilai menjanjikan ini, terpaksa
harus mati sebelum sempat diluncurkan, karena apa yang dinyatakan
oleh Tim Revuew Mission Bank Dunia sebagai “… lack of political
support” dari penjaga pundit-pundi proyek, karena yang tersebut
belakangan ini nampaknya mempunyai prioritas lain. Akibatnya adalah
munculnya persepsi bahwa permasalahan ketenagaan guru itu
terutama sebagai luncuran permasalahan dari pemerintah pusat,
bukan sebagai kewajiban cuci piring setelah pesta yang sebenarnya
telah dimulai sejak tahun 1951 sebagaimana telah dikemukakan,
sehingga hanya membuahkan disparitas yang lebar dalam
ketersediaan guru di jenjang SD di segenap pelosok tanah air, dan
melalui mekanisme rekrutmen yang tidak disertai tagihan

35
pertanggungjawaban, telah membuahkan penugasan salah kamar
yang juga serius di tingkat SM.
Prakarsa kedua adalah Pengembangan Standar Kompetensi Guru
Kelas SD/MI lulusan program D-II PGSD (Direktorat Pembinaan
Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi,
2003). Dalam pelaksanaan tugasnya, Tim Pengembang SKGK SD/MI
mempelajari SKG dari sejumlah Negara, melibatkan stakeholders di
tingkat pusat, dosen LPTK, guru-guru berpengalaman di lapangan di
samping kepada sekolah, validasi melalui observasi di kelas sebelum
melakukan perbandingan dengan pengembangan standar kompetensi
guru SMP yang juga tengah dikembangkan pada waktu yang
bersamaan, serta presentasi di hadapan rektor universitas hasil
konversi IKIP, dekan FKIP dan pejabat yang relevan di tingkagt pusat.
Upaya ini nampaknya jauh lebih luas dibsndingksn dengn focus group
discussions yang populer di sekitar waktu itu, meskipun tentu saja jauh
lebih kecil skalanya dibandingkan dengan pengembangan standar
kompetensi lulusan di Negara maju, seperti misalnya pengembangan
Content Knowledge: a Compendium of Standards from K – 12
Education (Kendall and Marzano, 1997) ypengembangannya
diselenggarakan di bawah koordinasi bersama oleh suatu organisasi
nirlaba litbang pendidikan yang besar (Mid-Continent Regional
Educational Laboratory, Inc. yang berkedudukan di Aurora, Colorado)
dan suatu asosiasi profesional berskala nasional (Association for
Supervision and Curriculum Development yang berkedudukan di
Alexandria, Virginia). Dalam pelaksanaannya, gawe besar tersebut
didukung oleh 14 organisasi praktisi dan/atau penekun pendidikan
bidang studi dari TK sampai dengan SMA (The Arts, Civics and
Government, Economics, Foreign Language, Geography, Health
Education, History, Language Arts, Mathematics, Physical Education,
Science, Social Studies, Technology Education, dan Vocational
Education), dengan memanfaatkan 127 dokumen hasil litbang yang
relevan beberapa di antaranya dari Australia dan Eropah selain juga
termasuk 29 dokumen yang dinamakan the Nation’s Report Cards dari
berbagai bidang studi terpilih dari berbagai jenjang pendidikan yang
berlokasi di dalam wilayah-wilayah yang dijadikan sampel dalam "ujian
nasional AS" yang bernama National Assessement of Educational
Progress (NAEP, 2005) yang disponsori oleh Departemen Pendidikan
Pemerintah Federal serta diborongkan pelaksanaannya kepada
Educational Testing Service, suatu perusahaan nirlaba di bidang
asesmen pendidikan yang sangat besar. Sebagaimana telah
disebutkan, program ini menghasilkan apa yang dinamakan the
Nation’s Report Cards, bukan rapor perorangan peserta didik di
Amerika Serikat. Selain itu, perbedaannya yang penting dari UAN
adalah bahwa dalam testing dalam rangka NAEP itu, juga dikumpulkan

36
berbagai informasi mengenai kualitas proses pembelajaran, sehingga
hasilnya dapat digunakan sebagai titik tolak untuk melakukan tindakan
perbaikan, yang diprakarsasi oleh wilayah sekolah dan Negara Bagian,
sesuai dengan tatanan pemerintah federal yang berlaku di sana.
Belakangan memang lazim digelar apa yang dinamakan validasi dan uji
publik sebagaimana telah diutarakan, akan tetapi implementasinya
terkesan setengah hati sehingga hasilnyapun juga kurang maksimal.
Masih lolosnya alur pikir KBK yang keliru dalam Peraturan Menteri yang
diterbitkan pada tahun 2006, nampaknya tidak dapat disimpulkan lain
kecuali bahwa ada defisiensi di pihak yang menguji publik. Dalam
kasus di mana penguji publik menunjukkan dengan telak 2 kecelakaan
fatal dalam standar kompetensi guru yang termuat dalam UU nomor
14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang dilengkapi dengan saran
perbaikan yang masih menghormati ketentuan perundang-undangan
demi konsistensi legalpun, nampaknya tidak berhasil menggerakkan
nurani Tim RPP Guru untuk mengoreksi kesalahan fatal tersebut,
sehingga sangat layak dipertanyakan apa sebenarnya motivasi dibalik
“keteguhan pendirian” sehingga tidak hirau kepada argumentasi
akademik imi.
Diterbitkan 2 tahun lebih awal dari masa berlakunya KPPT-JP
sebelumnya, HELTS atau Higher Education Long Term Strategy 2003 –
2010 merupakan jawaban Dijen Dikti terhadap perubahan drastis yang
terjadi baik dalam lingkungan internal maupun lingkungan ekstenal,
dengan mengedepankan peningkatan daya saing bangsa, otonomi
perguruan tinggi dan kesehatan organisasi. Dari segi kependidikan
kesehatan organisasi ini dimaknai bukan saja pada jenjang institusi
melainkan juga pada tingkat nasional. Dengan kata lain, bagi bidang
kependidikan, tantangan khusus yang dihadapi adalah memberikan
sumbangan kepada pengokohan integrasi bangsa dengan memfasilitasi
pembentukan individu warga masyarakat nasa depan yang
menghargai keragaman, bukan yang masing-masing memaksakan
kebenarannya sendiri, di samping yang memiliki penguasaan hard
skills dan kepemilikan karakter serta penguasaan soft skills. Standar
kompetensi lulusan satuan pendidikan di tingkat dasar dan menengah
memang juga ada menyebut elemen-elemen kompetensi serta
karakter sebagaimana disebutkan di atas, meskipun artikulasinya
dapat dibuat lebih koheren dan konsisten antara Standar Isi,
Kompetensi Dasar dan Kompetensi Mata Pelajaran, dan tdak kurang
pentingnya, gambaran sosok individu warga masyarakat masa depan
Indonesia tersebut tentu juga harus disambut dengan paradigma
pembelajaran yang memfasilitasi pembentukan penguasaan
kompetensi dan penumbuhan karakter, bukan yang sekedar
meneruskan informasi.

37
Akan tetapi arahan pembentukan kompetensi dasar nampaknya
mengedepankan penataan materi pokok, bukan perancangan
pengalaman belajar yang patut dduga memfasilitasi pembentukan
penguasaan kompetensi lulusan yang dikehendaki, sehingga kurang
sejalan sengan paradigma pembelajaran yang mendepankan proses.
Masalah lain yang potensial mengganjal, kecuali dapat diatasi secara
cerdas pada tingkat PP dalam hal ini PP Guru, adalah 2 kecelakaan
fatal dalam penetapan kualifikasi akademik yang dipersyaratkan bagi
guru kelas dan guru bidang studi, di samping standar kompetensi guru
yang terfragmentasi dalam UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dn
Dosen, yang sebenarnya telah tersemaikan dalam PP nomor 19 tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Dari USPN 2003 itulah kemudian dijabarkan secara lebih rinci rujukan
normatif yang sangat komprehensif dalam penyelenggaraan
pendidikan berupa PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, yang dimaksudkan untuk ”... menjamin mutu pendidikan
nasional dalam rangka kehidupan bangsa dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat” (Departemen Pendidikan
Nasional , 2005). Apabila dilihat dari isinya, selain bab tentang
Ketentuan Peralihan, Ketentuan Umum dan Lingkup, Fungsi dan
Tujuan, PP nomor 19 tahun 2005 tersebut terdiri atas 93 pasal yang,
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 4, bahwa Standar Nasional
Pendidikan itu mengatur standar untuk 8 sisi pendidikan yaitu standar
tentang isi (14 pasal), proses (6 pasal), kompetensi lulusan (3 pasal),
pendidik dan tenaga kependidikan (19 pasal), sarana dan prasarana (7
pasal), pengelolaan (13 pasal), pembiayaan1( pasal), dan penilaian
pendidikan (10 pasal), Badan Standar Nasional Pendidikan (5 pasal).
Evaluasi (8 pasal), akreditasi (3 pasal), dan penjaminan mutu (3
pasal). Dengan pengawalan estándar di segenap penjuru seperti ini,
mestinya pendidikan dalam sistem persekolahan di tanah air hanya
mempunyai 1 peluang arah perkembangan yaitu ke arah perbaikan,
meskipun pengamatan yang kurang sistematis menujukkan bahwa
perubahan ke arah perbaikan masih belum segencar stabdarnya. Salah
satu terapannya adalah UAN yang merupakan terapan pasal 88,
namun mengundang pro dan kontra itu. Sebabnya nampaknya adalah
bahwa UAN tidak menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk
melakukan diagnosis terhadap kinerja satuan pendidikan, yang dengan
sangat mudah dapat diagregasikan menjadi diagnosis kinerja wilayah,
sebagaimana yang dikerjakan dalam NAEP yang telah dikemukakan,
yaitu dengan mengaitkannya dengan terapan pasal pasal 78 butir b.
Dalam kenyataannya, hal itu tidak dilakukan, akan tetapi sebaliknya,
peningkatan proses pendidikan dilakukan dengan meningkakan nilai
ambang kelulusan sehingga justru memicu akrobatik untuk perolehan
skor tinggi agar dapat luls dalam UAN, no matter what!

38
Salah satu ketentuan perundang-undangan yang diberlakukan sebagai
implikasi dari pemberlakuan PP nomor 19 tahun 2005 yang diturunkan
dari UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
adalah UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang
merupakan kerangka pikir yang membingkai kebijakan profesionalisasi
guru. Ada 2 kecelakaan fatal yang teramati dalam bingkai legal untuk
implementasi kebijakan profesionalisasi guru, salah satu diantaranya
yang telah diulas sebelumnya yaitu ketentuan tentang persyarakatan
kompetensi akademik bagi guru kelas dan guru bidang studi yang
diatur dalam pasal 8 dan 9 yang ditampilkan formalistik sehingga
secara substantif berwajah suka-suka: mau lulusan S-1 kependidikan
yang tidak semuanya menyiapkan calon guru, bisa; mau lulusan S-1
nonkependidikan, boleh; mau lulusan D-IV vokasional juga silakan;
dan mau lulusan D-IV kependidikan yang nampaknya diselenggarakan
di luar koridor Ditjen Diktipun, juga diterima. Tentu saja persyaratan
kualifikasi akademik yang bagaikan pelangi dilangit itu, sama sekali
bertolak belakang dengan persyaratan kualifikasi akademik bidang-
bidang layanan ahli lainnya seperti akuntansi, notariat atau
kedokteran, yang masing-masing mempersyaratkan kemampuan
akademik yang solid untuk bidang yang bersangkutan. Oleh karena itu,
tanpa penerjemahan cerdas dalam PP tentang Guru, meskipun secara
formal mempersyaratkan kualifikasi akademik pada jenjang S-1 atau
D-IV, maka akan sulit diharapkan bahwa UU nomor 14 tahun 2005
tentang Guru dan Dosen ini akan membuahkan peningkatan mutu
pendidikan dalam sistem persekolahan melalui peningkatan mutu guru,
yang sebenarnya dihajatkan oleh UU nomor 14 tahun 2005 itu sendiri.
Kecelakaan fatal yang kedua adalah sandar kompetensi guru yang
terfragmentasi yang tercantum sebagai pasal 10 dalam UU nomor 14
tahun 2005. Sosok utuh kompetensi profesional guru yang seyogyanya
dipersyaratkan dalam rangka profesionalisasi itu terfragmentasi,
nampaknya karena digunakan rujukan yang keliru dalam
penyusunannya sebagaimana telah diisyaratkan. Mungkin diilhami oleh
Kepmendiknas nomor 232/U/2000 tentang pengembangan kurikulum
dan penilaian hasil belajar mahasiswa yang menggunakan Empat Pilar
Hasil Belajar yang diluncurkan oleh UNESCO itu, rincian standar
kompetensi guru sebagai agen pembelajaran menjadi kacau-balau
karena, keempat bidang konpetensi tersebut diberi wajah baru sebagai
kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial dan
kompetensi profesional. Apabila dicermati dengan kerangka pikir
Empat Pilar Hasil Belajar UNESCO, maka rincian tersebut menampilkan
Learning to Be (kompetensi kepribadian), 2 bidang Learning to Do
yaitu Kompetensi Pedagogik dan Kompetensi Profesional, akan tetapi
keduanya ternyata buntung, dan kompetensi sosial (Learning to Live
Together), tanpa Learning to Know. Kompetensi Pedagogik merupakan

39
pencerminan Learning to Do yang buntung, karena kemampuan
merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi pembelajaran
tidak mungkin terwujud apabila tidak dikaitkan dengan penguasaan
materi pembelajaran, yang ternyata diletakkan pada bidang
Kompetensi lain yaitu Profesional. Sebaliknya, Kompetensi
Profesionalpun yang sebenarnya merupakan label payung terlebih
apabila dilihat rinciannya yang menyatakan ”Penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam sehingga memungkinkannya
membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang telah
ditetapkan”, juga tampil buntung, karena penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam, tidak dilengkapi dengan
kemampuan mengenal secara mendalam peserta didik serta
kemampuan merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi
pembelajaran, yang diletakkan dalam bidang kompetensi lain yaitu
kompetensi pedagogik.
Setelah dikritisi dalam berbagai kesempatan, Tim RPP kemudian
memangkas lebih jauh sosok kemampuan Learning to Do yang kedua
tersebut, dengan membuang frasa ”... sehingga memungkinkannya
membimbing peserta didik menenuhi standar kompetensi yang telah
ditetapkan”, sehingga yang tersisa dalam Kompetensi Profesional,
hanyalah ”penguasaan materi pembelajaran secara luas dan
mendalam”. Pemangkasan ini telah menyebabkan posisi Kompetensi
Profesional ini melorot dari Learning to Do menjadi Learning to Know,
akan tetapi itupun juga masih buntung karena, untuk dapat
menunaikan fungsinya sebagai guru, seseorang tidak cukup hanya
menguasai materi pembelajaran, apalagi kalau masih dalam sosok
sebagai substansi keilmuan (disciplinary content). Sebaliknya, apabila
diniati sebagai pencerminan dari Learning to Do, Kompetensi
Pedagogik dalam standar kompetensi guru itupun juga masih kagok
karena untuk dapat menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik,
seorang guru tidak cukup hanya menguasai empty pedagogy
sebagaimana yang lazim ditekuni di lingkungan FIP atau JIP, karena
tidak dikaitkan dengan penguasaan materi pembelajaran. Selanjutnya,
Kompetensi Kepribadian tampil berlebihan apabila dimaksudkan
sebagai bagian dari standar guru pemula, sebab sudah menuntut
kearifan profesional yang merupakan hasil pertumbuhan sejalan
dengan akumulasi pengalaman kerja. Selain itu, Kompetensi
Kepribadian tersebut juga mengandung elemen yang tidak akan
pernah terverifikasi secara memadai melalui prosedur yang lazim
dalam bidang pendidikan profesional guru, yaitu kepribadian yang
mantap dan stabil yang hanya bisa dilakukan oleh psikolog atau
psikiater, sehingga akan sangat tidak efisien apabila dilakukan secara
rutin dan menyeluruh dalam konteks pendidikan pra-jabatan, di
samping juga ada elemen lain yang sebenarnya ”tidak bisa dan tidak

40
perlu diapa-apakan kecuali ditunggu, yaitu ”kedewasaan”. Dan
akhirnya, karena menggunakan hasil belajar jangka panjang secara
umum itu sebagai rujukan, Kompetensi Sosialpun juga tampil secara
umum sehingga luput dalam mencermati komunikasi yang khas antara
pendidik dengan peserta didik selama transaksi pembelajaran, the
language of the classrroms (Bellack, dkk. 1966).
Di pihak lain, karena menggunakan rujukan yang lepas=konteks,
maka petaka mendasar yang terkandung dalam standar kompetensi
guru ini adalah kegagalannya memetakan wilayah strategis dalam
layanan ahli keguruan-kependidikan yaitu penyelenggaraan
pembelajaran yang mendidik, yang mengakibatkan sosok utuh
kompetensi profesional guru dalam ketentuan perundang-undangan itu
menjadi terfragmentasi, sehingga tidak dapat langsung digunakan
sebagai rujukan baik untuk mengembangkan program pendidikan
profesional guru, maupun untuk menyusun sarana serta prosedur
asesmen yang digunakan untuk memverifikasi penguasaan sosok utuh
kompetensi profesional guru, sehingga dapat dijadikan dasar untuk
penganugerahan Sertifikat Pendidik.
Selanjtnya, meskipun masih banyak pemikiran di bidang pendidikan
yang bermunculan pada dekade 2000-an ini, namun pada kesempatan
ini perhatian akan dibatasi pada mekanisme penyusunan standar yang
digulirkan sejak diterbitkannya PP nomor 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan yang berkaitan dengan 2 ujung
pengendalian mutu yaitu badan pengarah dan Tim ad hoc di hulu dan
mekanisme Uji publik di hilir. Melihat banyaknya standar yang disusun,
di hulu perbandingan agaknya bermanfaat dilakukan dengan standar
isi yang meliputi TK sampai dengan kelas III SMA yang disebut
Content Knowledge: A Compendium of Standards and
Benchmarks for K – 12 Education (Kendall dan Marzano, 1997).
Dalam kompendium ini content knowldge dipilah menjadi 3 kategori
yaitu (a) pengetahuan deklaratif, (b) pengetahuan prosedural, dan (c)
pengetahuan kontekstual, sehingga selain berupa standar isi, secara
tidak langsung kompendium ini juga sudah merupakan standar
kompetensi peserta didik (what students are expected to know and
able to do) mulai dari TK sampai dengan kelas III SMA, sehingga
langsung dapat digunakan oleh guru sebagai rujukan dalam
merancang pengalaman belajar bagi peserta didik yang dilayaninya
dalam keseharian pelaksanaan tugasnya. Dari segi niatnya, Permen
nomor 22 tentang standar isi dan Permen nomor 23 tentang standar
kompetensi lulusan satuan pendidikan dan standar kompetensi mata
pelajaran nampaknya sudah mirip dengan kompendium yang telah
disebutkan, meskipun secara umum sisi pengetahuan kontestual
nampaknya masih perlu dirajut secara lebih sistematis untuk setiap

41
mata pelajaran dibandingkan dngan sudah ada sekarang. Akan tetapi,
pada kesempatan ini, tentu tidak mungkin dilakukan kajian yang rinci
dan lengkap, di samping waktu tidak mengizinkan, sayapun juga tidak
ada pretensi bahwa saya menguasai seluruh spektrum
permasalahannya. Oleh karena itu, maka akan diambil saja 4 contoh
yaitu yang berkenaan dengan alur pikir KBK, yang kedua mengenai
kandungan standar yang telah disebutkan, dan yang ketiga berkenan
dengan mekanisme uji publik terhadap ketentuan perundang-
undangan termauk RPP Guru.
Dalam contoh pertama, apapun cacat yang terdapat dalam produk,
seperti misalnya alur pikir pengembangan KBK yang menetapkan
materi pokok setelah penetapan kompetensi, atau kompetensi inti
Guru TK yang tidak akor dengan standar kompetensi yang dijabarkan
dari standar kompetensi inti tersebut, atau standar kompetensi guru
yang secara akademik tidak bunyi, jelas merupakan defisiensi yang
berada di hulu. Sedangkan Alur Pikir KBK yang kurang pas yang telah
telah disebutkan, bisa jadi para penguji dalam uji publik kalah cerdas
dengan Tim yang menyiapkan draf yang diuji publik itu, sehingga
meloloskan saja standar yang sebenarnya belum bagus sebagaimana
telah diisyaratkan. Permasalahan yang berbeda terjadi pada RPP Guru
versi 3 Oktober dan versi 8 November yang masih saja jalan di tempat
meskipun sudah mendapat masukan telak dalam uji publik termasuk
yang saya ajukan dalam acara yang diselenggarakan pada tanggal 8
September yang lalu. Apabila dicermati, meskipun pimpinan sidang
dalam uji publik tanggal 8 September tersebut terkesan sangat
akomodatif, nampuknya ada keteguhan hati di pihak yang punya
kuasa melakukan editing, untuk mempertahankan versi asli yang
terfiksasi hanya kepada konsistensi legal. Dengan kata lain, saya tidak
yakin Tim RPP Guru tidak memahami argumentasi akademik berbasis
evidence yangdiajukan dalam berbagai kesempatan termasuk dalam
uji publik pada tanggal 8 September yang telah disebutkan, sehingga
satu-satunya kesimpulan yang bisa ditarik adalah bahwa demi
konsistensi legal, mereka tidak lagi peduli kepada dampak detrimental
yang potensial terjadi apabila versi Tim RPP tersebut akhirnya
disahkan menjadi PP. Wallahu Alam.
Akhirnya, sampailah paparan ini pada peluncuran Program Hibah
Kompetisi (PHK) S-1 PGSD dalam dekade 2000-an ini, yang
sebenarnya merupakan peluang emas untuk menumbuhkan good
practices dalam penyelenggaraan program S-1 PGSD sembari
menumbuhkan kapasitas lembaga yang rata-rata masih seadanya.
Dengan mengumpul-ngumpulkan dana dari berbagai tolok ukur,serta
melakukan seleksi sesuai dengan prosedur yang diberlakukan dalam
PHK selama ini, akhirnya dirasa bisa diluncurkan 5 hibah untuk PHK

42
S-1 Ber-TID dan Berasrama (dikenal sebagai PHK PGSD A), dan 5
hibah untuk PHK S-1 Reguler (dikenal sebagai PGSD B), dan dengan
alasan untuk memfasilitasi pemerataan, akhirnya ditetapkan untuk
memperluas penyelenggaraan PHK PGSD A sehingga menjadi 13 LPTK.
Akan tetapi apa lacur, mungkin karena dinilai terlalu lamban, melalui
suatu intervensi eksternal, sejumlah besar dana dan pengelolaan PHK
S-1 PGSD A dialihkan ke unit utama lain, sementara penyelenggaraan
PGSD B dibiarkan mati suri untuk tahun 2006. Akibatnya, mekanisme
pre-audit berlangsung separoh jalan karena untuk tahun 2006 dana
hibah digunakan untuk menyelenggarakan program tanpa melalui
pencermatan secara maksimal terhadap rencana detil implementasi
program (PIP, Program Implementation Plan) dan process-audit
melalui pencermatan Laporan Implementasi Tahunan dan verifikasi
lapangan, tidak terdengar lagi kabar-beritanya. Peluang emas untuk
ambil bagian dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru sinambi
menumbuhkan kapasitas lembaga yang sangat dibutuhkan untuk
penyelenggaraan program sertifikasi guru secara efektif dan
bertanggung jawab yang didengung-dengungkan, seolah sirna dibawa
angin lalu.

c. Pemikiran tentang Pembelajaran


Memang bermunculan pemikiran tentang pembelajaran di tanah air,
antara lain Pembelajaran Kontekstual, PAKEM (Pembelajaran Aktif,
Kreatif. Efektif dan Menyenangkan) atau Children-Friendly Teaching
and Learning, akan tetapi implementasinya dihadang oleh 2 kendala
besar. Kendala yang pertama adalah UAN yang tidak dapat difungsikan
sebagai sarana diagnosis satuan serta wilayah pendidikan sehingga
landasan untuk pembenahan terfokus tidak ada, dan yang kedua
adalah ketentuan perundang-undangan yang menetapkan kualisifikasi
akademik secara formalistik sehingga peningkatan persyaratan
kualifikasi akademik tidak dengan sendirinya diikuti oleh peningkatan
kemampuan akademik keguruan, dan standar kompetensi guru yang
terfragmentasi sehingga tidak langsung dapat digunakan sebagai
rujukan dalam pengembangan program penidikan profesional guru
baik yang diselenggarakan sebagai pendidikan pra-jabatan maupun
sebagai program sertifikasi guru dalam jabatan.
Berlarut-larutnya persiapan penyelenggaraan program sertifikasi yang
menduduki posisi politik yang mencorong akibat diabaikannya
kerangka pikir pemersatu, juga telah melewatkan momentum-
momentum yang mestinya dimanfaatkan secara jauh lebih sigap,
dibandingkan dngan yang diperagakan selama ini.

43
Daftar Rujukan
1. Ausubel, DP, JD Novak, dan H. Hanesian. 1978. Educational
Psychology: a Cognitive View.New York: Holt, Rinehart and Winston.
2. Bandura, 1999. Exercise of Personal and Collective Efficacy in Changing
Societies. Dalam A. Bandura (Ed.) Self-Efficacy in Changing Societies,
halaman 1 - 45. Cambridge, UK.: Cambridge University Press.
3. Bellack, A, HM Kliebard, RT Hyman dan F Smith, Jr. (1966). The
Lnguage of the Classroom. NewYork: Teachers College Press.
4. Bloom, BS (Ed.). 1956. Taxonomy of Educational Objectives,
Handbook I: Cognitive Domain. NeYork: David McKay.
5. Brooks, JG dan MG Brooks, 1993. The Case for Constructivist
Classrooms. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum
Development.
6. Cropley, AJ. 1977. Life-Long Education: A Psychological Analysis.
N.Y.: Pergamon Press.
7. Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
8. Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan
Pendidikan Tinggi. 203. Naskah Akademik Standar Kompetensi Guru
SD-MI. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan
dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional.
9. Ditjen Dikti. 2003. Higher Education Long-Term Strategy 2003 -
2010. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
10. Gage, NL. 1978. The Scientific Basis of the Art of Teaching. New
York: Teachers College Press.
11. Johnson, E.B. 2002. Contextual Teaching and Learning: What it is
and Why it’s here to stay. Thousand Oaks, CA.: Corwin Press, Inc.
12. Joyce, B dan M. Weil. 1972. Models of Teaching. Englewood Cliffs, N.J.:
Prentice-Hall.
13. Joyce, B dan EE Calhoun. 1996. Creating Learning Experiences: the
role of instrctional theory and research. Alexandria, VA.: Association
for Supervision and Curriculum Development.
14. Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan. 1954. Dasar
Pendidikan dan Pengadjaran. Jakarta: Kementerian Pendidikan,
Pengadjaran dan Kebudajaan.

44
15. Kendall, JS dan RJ Marzano. 1997. Content-Konwledge: A
Compendium of Standards and Benchmarks for K-12 Education.
Edisi II. Aurora, Colorado: Mid-continent Regional Educational Laboratory.
16. Kerjasama Pemerintah Indonesia, UNESCO dan UNICEF.
2002.Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak: Program
Manajemen Berbasis Sekolah. Paket Pelatihan II. Jakarta:
Kerjasama Pemerintah Indonesia, UNESCO dan UNICEF.
17. Kolb, DA. 1984. Experiential Learning: Experiences as the Source
of Learning and Development. Englewood Cliffs, NJ.: Prentice-Hall,
Inc.
18. Lamdin, L. 1992. Earn College Credit for What You Know. Edisi II.
Chicago, Illinois: Council for Adult and Experiential Learning.
19. Mager, R. 1975. Preparing Instructional Objectives. Edisi II. San
Fransisco: Fearon.
20. Marzano, RJ,RS Brandt, CS Hughes, BF Jones, BZ Presseisen, SC Rankin
dan C Suhor 1988. Dimensions of Thinking: a framework for
curriculum and instruction. Alexandria, VA.: Association for
Supervision and Curriculum Development.
21. Marzano, RJ. 1992. A Different Kind of Classroom: teaching with
dimensions of learning. Alexandria, VA.: Association for Supervision
and Curriculum Development.
22. Menteri Pendidikan Nasional. 2000. Surat Keputusan Nomor
232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum dan
Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
23. NAEP. 2005. The Nation’s Report Card Science 2005 Assessment of
Student Performance in Grades 4, 8 and 12.
http://nationsreportcard.gov/science 2005/
24. Nurhadi dan Agus G. Senduk. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan
Penerapannya dalam KBK. Malang: Penerbit Universitas Negeri
Malang.
25. Parker, JC dan LJ Rubin. 1966. Process as Content. Chicago, Ill.: Rand
McNally.
26. Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 1951 tentang Penyerahan
Urusan 3 M (man, money and materials) Sekolah Dasar kepada
Pemerintah Daerah. Jakarta: Departemen Pndidikan dan Kebudayaan.
27. Piaget, J. 1950. The Psychology of Intelligence. London: Routledge &
Kegan Paul, Ltd.
28. Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan. 1988. Belajar
Aktif dan Pembinaan Profesional: Meningkatkan Mutu Pendidikan

45
di Sekolah Dasar Melalui Bantuan Profesional Bagi Guru. Jakarta:
Balitbang Dikbud.
29. Pusat Pengembangan Kurikulum. 2002. Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Jakarta: Pusat Pengembangan Kurikulum, Balitbang Diknas.
30. Raka Joni, T. 1983. Cara Belajar Siswa Aktif, Wawasan
Kependidikan, dan Pembaharuan Pendidikan Guru. Pidato
penerimaan jabatan Guru Besar, 24 September 1983. Malang: IKIP
Malang.
31. Raka Joni, T. 1993a. Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif, dalam Conny R
Semiawan dan T. Raka Joni (Ed.). 1993a. Pendekatan Pembelajaran:
acuan konseptual pengelolaan kegiatan pembelajaran di sekolah.
Jakarta: Konsorsium Ilmu Pendidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, halaman 34 - 91.
32. Raka Joni, T. 1993b. Penilaian Hasil Belajar Melalui Pengalaman.
Jakarta: Konsorsium Ilmu Pendidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
33. Resnick, LB dan LE Klopfer. 1989. Toward the Thinking Curriculum:
Current Cognitive Research. ASCD Year Book 1989. Alexandria, VA:
Association for Supervision and Curriculum Development.
34. Semiawan, Cony, AF Tangyong, S Belen dan Y Matahelemual. 1985.
Pendekatan Ketrampilan Proses: bagaimana mengaktifkan siswa
dalam belajar? Jakarta: PT Gramedia.
35. Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Penyerahan
Urusan 3 M (man, money, materials) Sekolah Dasar Kepada
Pemda Kabupaten/Kota. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
36. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Jakarta: Departemen Dalam Negeri.
Vygotsky, LS. 1962. Thought and Language. Cambridge, Mssachusetts: The
MIT Press.

46

You might also like