You are on page 1of 16

Narasi 1.

KOTA METRO Merupakan salah satu Daerah Otonomi berusia relative masih muda, yang mengalami perkembangan sangat pesat sejak dirintis pendiriannya pada tahun 1932.Diawali dengan pembabatan hutan perawan, Metro dimaksudkan menjadi sebuah daerah pertanian beririgasi tekhnis, walaupun kini telah berkembang menjadi Kota Modern. METRO. Yang hingga kini masih didominasi oleh kaum petani, yang merupakan mayoritas profesi penduduknya, mempunyai sejarah tersendiri dalam proses pembentukannya. Sayang. Bukti bukti otentik yang menceritakan sejarah pembentukan Kota Metro sangat minim, bahkan hampir bisa dikatakan tidak ada. Hal ini boleh jadi disebabkan adanya peristiwa peperangan, atau buruknya managemen pemerintahan baik dimasa Orde lama, orde baru bahkan dimasa orde reformasi sekarang ini. METRO Berawal dari sebuah proyek atau program yang diselenggarakan pemerintah Hindia Belanda yang disebut KOLONISASI.
1

oleh

Dikisahkan bahwa ada dua kepentingan pemerintah Hindia Belanda melaksanakan gagasan Kolonisasi, pertama adalah di butuhkannya tenaga buruh untuk kepentingan perluasan perkebunan milik Belanda, yaitu perkebunan karet OndernemingRoterdam di wilayah Pesawaran dan Onderneming Bergen di wilayah Lampung Selatan. .

Kepentingan kedua adalah secara politis Belanda merasa perlu meminimalkan gerakan-gerakan anti pemerintah yang sedang marak di pulau Jawa pada decade tahun tiga puluhan itu. Belanda memerintahkan kepada Demang atau Kepala Desa di pulau Jawa untuk mendata dan meng inventaris orang-orang yang dipandang berpartisipasi dalam gerakan gerakan yang menciptakan destabilisasi, untuk di pindahkan ke Bumi Lampung dalam proyek KOLONISASI. Maka di mulailah mega proyek migrasi penduduk tersebut dengan upaya awal yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda di Wilayah Lampung yang pada masa itu berupa wilayah Karesidenan. Melalui seorang Controleur yang memimpin Onder Afdelling Sukadana yang merupakan salah satu dari 5 (lima) Onder Afdelling di wilayah Karesidenan Lampung, di kumpulkanlah Dewan Marga masyarakat adat Lampung yang

berada di wilayah Onder Afdelling Sukadana untuk membahas masalah persiapan lahan bagi terwujudnya proyek Kolonisasi. Dan di sepakatilah penyerahan lahan seluas 400 ribu hektar, yang berlokasi diantara Way Raman dan Way Sekampung dengan melepaskannya dari wilayah hak tanah marga. Penetapan wilayah ini secara strategis di maksudkan oleh Pemuka Adat Lampung untuk membuka akses yang lebih singkat antara Tegineneng dan Sukadana via Gedong Dalem, yang selama ini harus melalui jalur memutar via Gunungsugih. Proyek konolisasi itu tersebut diberi nama KOLONISASA GEDONG DALEM. Dalam perkebangannya, ternyata tujuan dari proyek kolonisasi ini tidak terwujud sepenuhnya. Sebab para kolonis menolak untuk menjadi buruh perkebunan dan bersi keras ingin menjadi petani sawah dengan fasilitas irigasi teknis. Keinginan para kolonis untuk menjadi petani sawah yang mandiri, ternyata di akomodir oleh pemerintah Hindia Belanda dengan mengadakan study kelayakan mengenai kemungkinan di cetaknya sawah pada areal Kolonisasi Gedung Dalem jika membendung sungai Way Sekampung di Tegineneng sebagai sumber pemasok air. Setelah tim survey menyimpulkan bahwa areal Kolonisasi secara teknis layak di jadikan lahan pertanian sawah makan dicapailah kesepakatan untuk memenuhi
3

keinginan kaum kolonis dengan syarat,

Untuk membangun bendung dan

saluran irigasi dikerjakan secara gotong royong oleh para kolonis. Pemerintah Hindia Belanda menyediakan tenaga ahli dari Belanda dan tukang yang berpengalaman dalam pekerjaan penggalian dari Jawa Barat. Di sepakati bahwa setiap KK para kolonis harus melakukan kerja wajib pada proyek irigasi selama quota waktu yang ditentukan, baru kemudian boleh menggarap lahan bagiannya seluas dua bahu.

Adalah Abdul Aziz Sinungan , seorang putra Mesuji yang lahir di Wiralaga pada tanggal 24 september 1914. Seorang ambtenar yang menjabat sebagai Hulpsehryver di kantor Controleur Sukadana yang pada tahun 1932 s/d 1934 diperbantukan pada Kantor Asisten Demang di Gedung Dalem yang menghandle sepenuhnya pelaksanaan proyek Kolonisasi Gedung Dalem, sehingga kemudian beliau disebut MANTRI KOLONISASI. Hingga tahun 1941 beliau tetap memegang jabatan sebagai Mantri Kolonisasi dengan terus mengikuti perjalanan birokrasi yang mengurusi kepentingan kolonis, yaitu pada tahun 1934 s/d 1938 beliau bertugas di Kantor Asisten Wedana Pekalongan kemudian pada tahun 1938 s/d 1941 di Kantor Asisten Wedana Metro.

Dan beliau terus mengawal perkembangan kaum dan daerah kolonisasi ini dengan mengabdi sebagai pegawai pemerintah dan pensiun sebagai Pengatur Muda Tingkat I di Kantor Inspeksi Pajak Lampung di Teluk Betung pada tahun 1969. Abdul Aziz Sinungan wafat pada bulan Maret 1995 di kediaman terakhirnya jalan A.H. Nasution no 119 dan di kebumikan di Taman Pemakaman Umum Yosorejo. Abdul Aziz Sinungan bin Mukhlisin Sinungan Gelar Pangeran Mat . . . . Bukanlah typical seorang pejabat yang pensiun dengan sia-sia. Beliau menyimpan koleksi foto yang dicetak pada tahun 1930an, yang merekam hampir seluruh tahapan kegiatan Kolonisasi Gedung Dalem sejak pengiriman, proses pembabatan hutan hingga hasil-hasil yang dicapai. Beliau menceritakan secara lisan kisah-kisah di balik gambar foto-foto tersebut kepada putra sulungnya Raja Bastari Wijaya yang lahir pada tanggal 10 agustus 1935 di Jojog /Gedung Dalem, bumi tempat penampungan awal para kolonis yang kemudian dijadikan semacam basecamp dan berkantornya Asisten Demang Sukadana di Gedung Dalem. Selain mendapat cerita dari ayahnya, Raja Bastari Wijaya juga mengalami dan menyaksikan sendiri peristiwa penaklukan hutan perawan kolonisasi Gedung Dalem di masa kecilnya. Inilah MUTUMANIKAM yang mungkin bisa kita jadikan TITIK AWAL runtututan
5

sejarah tentang berdirinya Kota Metro.

RBW 1. Apa yang di alami, di ketahui dan diceritakan oleh Ayah saya adalah sebuah kisahperjuangan kaum kolonis dalam membuka sebuah dunia kehidupan baru dari SUDUT PANDANG seorang Pegawai Pemerintah Hindia Belanda yang melaksanakan dan punya kepentingan atas suksesnya proyek Kolonisasi tersebut. Mungkin ada sudut pandang LAIN dalam melihat, menilai kemudian menyimpulkan dan menceritakan proses pemindahan sebuah koloni atau komunitas dari satu peradaban ke peradaban yang lain, yang disebut Kolonisasi Gedung Dalem. Bisa dari sudut pandang kaum kolonis, bisa juga dari sudut pandang orang-orang Jawa yang keluarganya menjadi kolonis, atau juga dari sudut pandang suku asli Lampung yang menjadi tuan rumah program kolonisasi. Visualisasi kisah pembentukan Kota Metro yang didasarkan atas fakta yang tergambar dalam foto-foto ini kami maksudkan sebagai titik awal untuk menggerakkan minat elemen masyarakat yang memiliki
6

pengetahuan yang didasari bukti-bukti otentik tentang proses pembentukan Kota Metro agar turut serta berpartisipasi dan saling melengkapi bagi tersusunnya sebuah Buku Sejarah tentang berdirinya kota Metro. Suatu hal yang menurut saya sangat dibutuhkan bagi identitas sebuah kota, dan menjadi obsesi bagi banyak kalangan terutama orang-orang tua yang menghendaki sejarah perjuangan mereka terbukukan. Cerita dari sudut pandang yang berbeda saya kira akan sangat bermanfaat untuk melengkapi sejarah berdasarkan bukti-bukti otentik yang kita miliki. Sehingga tidak perlu lagi terbit sebuah buku yang isinya sarat dengan khayalan yang sangat jauh dari fakta sebagaimana pernah diterbitkan oleh Pemda Kota Metro beberapa tahun yang lalu.

Narasi 2. Setalah melakukan perjalanan darat dari daerah asal Jawa Tengah maupun Jawa Timur, ribuan kolonis diseberangkan melalui Selat Sunda dengan kapal laut bertenaga mesin uap dan berlabuh di Pelabuhan Panjang. Dari Panjang mereka diangkut dengan Kereta Api dan transit di stasiun Tegineneng untuk kemudian

diberangkatkan dengan mengendarai truk atau prahoto dan bus melalui jalur Gunung Sugih menuju Gedung Dalem sebagai tujuan akhir.

RBW 2. Jalur Tegineneng, Metro - Gedung dalem pada waktu itu masih berupa hutan belantara. Jalan yang ada adalah jalan utama yang sekarang disebut Jalan Lintas Sumatra. Para kolonis diangkut melalui jalan lintas Sumatra, di Gunung Sugih belok kanan terus menuju Gedung Dalem. Di Gedung Dalem sudah disediakan ruma-rumah dari kayu beratapkan ilalang berupa bedeng untuk penampungan sementara. Lokasi penampungan yang sudah dipersiapkan sejak awal itu dilengkapi dengan Poliklinik. Lokasi bedeng-bedeng penampungan adalah dipinggiran desa Gedung Dalem dan sudah masuk wilayah tanah yang diserahkan Dewan Marga kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan Kolonisasi. Tempat Itu di kemudian hari berkembang menjadi menjadi desa bernama Jojog. Nama itu diambil sebagai sebuah pengabadian sejarah yang mengenang bahwa tempat itu pernah menjadi JUJUGAN para kolonis. Jujugan adalah istilah dalam bahasa jawa yang kira-kira berarti
8

titik/tempat tujuan sementara. Narasi 3. Maka dimulailah perjuangan sesungguhnya dari sebuah komunitas, dalam membangun hunian dimana mereka dapat hidup sejahtera diatasnya. Tidak ada bekal yang mereka bawa dari tanah asal, tidak ada pula yang diberikan oleh penyelenggara kolonisasi sebagai bekal untuk hidup sementara. Hanya raga dan semangat untuk melanjutkan hiduplah yang mereka miliki sebagai modal untuk terbangunnya serangkaian saluran irigasi lengkap dengan bendung sebagai sumber pemasok air, membabat hutan belantara untuk areal ladang dan sawah. RBW 3.

Pola hidup gotong royong yang memang sudah menjadi budaya kehidupan mereka ditanah asal menjadi modal utama keberhasilan mereka. Mereka membangun secara berkelompok rumah-rumah yang akan mereka tempati di lahan garapan mereka. Secara beresama-sama hari ini mereka membangun gubug untuk Suto, besok mereka membangun untuk si Noyo, esoknya lagi gubug si Dadap dan seterusnya. Begitu juga ketika membuka hutan untuk lahan ladang dan sawah, selalu dikerjakan dengan bergotong royong, dan selalu
9

diselesaikan dengan bergiliran. Maka dalam waktu singkat seluruh kolonis telah menyebar di lahan garapan bagiannya masing-masing dari bedeng 1 (satu) di Trimurjo hingga bedeng 70 (tujuh puluh) di Sekampung. Dalam perkembang annya dua wilayah yaitu bedeng 68,69 dan 70 tidak dapat memperta hankan eksistensinya.

Narasi 4. Pembangunan saluran irigasi juga dilakukan dengan konsisten. Sesuai dengan kesepakatan, para kolonis melaksanakan kewajibannya turut serta bergotong royong membangun saluran irigasi sesuai dengan quota waktu yang ditetapkan, baru kemudian diperkenankan menggarap lahan yang menjadi jatahnya. Sehingga ketika ladang dan sawah sudah dibuka dan siap ditanami, saluran irigasi sebagai sarana pemasok airpun sudah siap dialiri air dari Dam Argoguruh yang membendung sungai Way sekampung.

10

RBW 4. Koleksi foto-foto Ayah juga merekam perkembangan kehidupan para kolonis dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun. Rekaman ini ternyata berfungsi untuk propaganda dalam rangka menarik hati orangorang di Pulau Jawa untuk bermigrasi ke bumi kolonis dan mengisi lahan-lahan yang masih kosong. Dengan bermodalkan foto-foto yang menggambarkan sukses para

kolonis didaerah pertanian yang baru, tim propaganda yang disebut PURWOKONDO berhasil menggaet ribuan pendatang susulan untuk mengisi lahan-lahan yang belum ada tuannya. Bisa jadi, orang tua atau kakeknya pak Lukman Walikota kita itu termasuk salah satu KORBAN propagandanya para Purwokondo ini.. Perlu saya ceritakan disini bahwa pada kolonisasi tahap perintisan, setiap bedeng hanya dihuni oleh sekitar 40 hingga 60KK saja, sedangkan lahan yang tersedia rata-rata kurang lebih 5000 hektar setiap bedeng.

Narasi 5. Hari terus berganti, bulan berganti tahun. Setelah tanah harapan telah mampu memenuhi kebutuhan fisik berupa pangan, sandang serta papan maka ada
11

kebutuhan lain yang harus dipenuhi demi keharmonisan sebuah komunitas, yaitu tata pemerintahan.

Tidak begitu sulit membentuk system pemerintahan dalam sebuah wilayah yang sudah tertata dengan penduduk dalam kebudayaan dan gaya hidup yang homogen. Wilayah-wilayah bedeng dari bedeng 1 sampai 70 kemudian diresmikan menjadi desa-desa dan diberi nama selain sebutan angka yang sudah terlanjur melekat. Misalnya untuk bedeng 21 diberi nama Yosodadi, bedeng 15 mendapat sebutan Iringmulyo dan seterusnya. Ke 70 desa yang terbentuk itu kemudian dikelompokkan dalam 4 (empat) wilayah yang dipimpin oleh Asisten Wedana, yaitu bedeng 1 s/d 20 masuk dalam wilayah Asisten Wedana Trimurjo, bedeng 21 s/d 37 menjadi wilayah Asisten Wedana Pekalongan, bedeng 38 s/d 52 masuk wilayah Asisten Wedana Batanghari dan bedeng 53 s/d 70 merupakan wilayah Asisten Wedana Sekampung. Kemajuan pesat yang dialami wilayah kolonisasi berkat kerja keras warganya, membuat Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu untuk membentuk system pemerintahan yang lebih mapan. Empat wilayah Asisten Wedana yang pada saat itu dibawah naungan atau berada diwilayahOnder Afdelling atau Kawedanaan Sukadana, dipandang sudah layak untuk membentuk Kawedanaan sendiri dan
12

bertanggung jawab langsung kepada Pemerintah Karesidenan Lampung. RBW 5. Sukses proyek Kolonisasi Gedong Dalem dipandang sebagai sesuatu yang BESAR bagi pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu. Kemajuan sangat pesat yang terjadi pada wilayah dan warga kolonis Gedung Dalem adalah merupakan sesuatu yang istimewa, sehingga BelAnda merasa perlu untuk melaporkan kronologis pelaksanaan proyek ini, beserta detail geografisnya kepada Pemerintah Kerajaan Belanda di Amsterdam. Pelaporan ini dilakukan untuk mendapatkan besluit (semacam Surat Keputusan dari Ratu) untuk dibentuknya sebuah Kawedanaan baru di Karesidenan Lampung. Pusat Kawedanaan yang diusulkan pada laporan itu adalah Bedeng 1 (satu) di wilayah Asisten Wedana Trimurjo. Setelah meneliti peta wilayah sebagaimana tertuang dalam laporan, Ratu Wilhelmina pemimpin Kerajaan Belanda pada waktu itu menolak Bedeng 1 menjadi Ibukota Kawedanaan baru tersebut, dan memerintahkan agar ditetapkan sebuah lokasi yang berada ditengahtengah wilayah sebagai ibukota kawedanaan dengan maksud agar

13

penduduk diseluruh wilayah kawedanaan memiliki akses yang sama ke Ibukota. Ratu juga mengirimkan sebuah bola yang terbuat dari

perunggu untuk diletakkan pada TITIK yang dikehendaki untuk Ibukota Kawedanaan tersebut sebagai sebuah Prasasti. Pada bola perunggu itu terukir relief Mahkota Kerajaan Belanda dan kata METERM, sebuah kata dalam bahasa Belanda yang kurang lebih berarti PUSAT.

Narasi 6.

Demi mengindahkan perintah sang Ratu, maka berembuglah para petinggi Kolonisasi pada waktu itu. Setelah melakukan ukur mengukur dalam proses yang mungkin agak bertele-tele, maka dicapailah sebuah kesepakat akan sebuah titik meterm untuk sebuah ibukota. Titik itu ternyata berada didalam wilayah bedeng 15 Iringmulyo. HARI DIMANA DICAPAI KESEPAKATAN MENGENAI SEBUAH TITIK UNTUK PUSAT PEMERINTAHAN ITU, YAITU RABU, 9 JUNI 1937 DITETAPKAN SEBAGAI HARI LAHIRNYA KOTA METRO.

Setelah kesepakatan mengenai titik telah dicapai, maka bola perunggu segera dipasang menjadi Mahkota sebuah tugu yang berada disebuah perempatan jalan.
14

Dan perempatan itu serta merta menjadi pusat kota. Kata Meterm yang terpampang jelas pada bola perunggu terbaca dari jarak yang cukup jauh. Kata meterm rupanya agak sulit dilafalkan oleh lidah Jawa, sehingga acap kali terpeleset menjadi MITRO atau METRO, yang kebetulan merupakan salah satu kosa kata dalam bahasa Jawa yang berarti TEMAN atau SAHABAT. Lama kelamaan kata itu menjadi buah bibir dan sangat populer, sehingga ketika kemudian dibentuk wilayah Asisten Wedana pemekaran yang dimaksudkan untuk Ibukota serta merta diberi nama Asisten Kawedanaan Metro. Kawedanaan yang dibentuk kemudian juga diberi nama KAWEDANAAN METRO. Wilayah Asisten Wedana Metro adalah sebagian wilayah Trimurjo yaitu bedeng 14, 15 dan 16 serta sebagian wilayah Pekalongan yaitu bedeng 21 s/d 29. Wilayah mungil seluas lebih kurang 64 ribu hektar itu dalam perkembangannya pernah menjadi Ibukota Kabupaten Lampung Tengah yang membawahi wilayah eks Kawedanaan Metro, eks Kawedanaan Gunung Sugih dan eks Kawedanaan Sukadana. Terakhir, berdasarkan Undang Undang Negara Republik Indonesia nomor 12 tahun 1999 tentang Pembentukan KOtamadya Metro, Kabupaten Lampung Timur dan Kabupaten Way Kanan, wilayah ASRI NAN AJAIB ini kembali mengukuhkan eksistensinya dengan diresmikan menjadi sebuah Daerah Otonomi yang kemudian bernama KOTA METRO.
15

Kita boleh bangga dengan status KOTA yang diraih oleh 12 desa eks Asisten Kawedanaan Metro, namun ada kepedihan yang membuncah ketika status kebanggaan itu kita dapatkan. Ada 55 desa yang merintis, berjuang dan berdarahdarah bersama kita tidak turut menikmati kebanggaan itu. UU no.12 tahun 1999 telah mencerabut keberadaan kita dari induk kawasan yang sangat bersejarah, kawasan yang mencatat sebuah perjuangan untuk hidup, STRUGLE FOR LIFE. Kawasan Bumi Kolonisasi Gedong Dalem.

16

You might also like