Professional Documents
Culture Documents
1 April 2011
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidik dan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto
Nuryanti Mustari
Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal
Jaelan Usman
Redaktur Ahli : Prof. Dr. Faried Ali, SH, MS Dr. A. Gau Kadir, MA Dr. Mansyur Ahmad, M.Si Dr. Muhlis Madani, M.Si Pemimpin Redaksi : Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si Redaktur Pelaksana : Dr. A. Mappammadeng, M.Si Dr. Jaelan Usman, M.Si Andi Nuraeni Aksa, SH, MH Drs. Alimuddin Said, M.Pd Rudi Hardi, S.Sos, M.Si Bidang Usaha : Ihyani Malik, S.Sos, M.Si Dra. St. Nurmaeta, MM Design Grafis : Drs. Muhammad Tahir, M.Si Andi Maddukelleng, S.IP Percetakan : Kamaruddin A. Jemmang, S.IP, M.Si Riny Noor Amalia, S.IP Distribusi : Jusri Adi, S.IP
Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal (Andi Luhur Prianto) Hal. 01 - 09 Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di Kota Makassar (Muhlis Madani) Hal. 10 - 21 Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik melalui Peningkatan Rasio Pendidik (Nuryanti Mustari) Hal. 22- 35 Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal (Jaelan Usman) Hal. 36 - 43 Persepsi Masyarakat terhadap Kebijakan Politik di Kota Parepare (Rudi Hardi) Hal. 44 - 51 Kebijakan Publik dalam Konstelasi Paradigma Pembangunan Kesejahteraan Sosial (Ronawaty Anasiru) Hal. 52 - 56 Managemen Kebijakan dalam Membangun Partisipasi Publik (Lukman Hakim) Hal. 57 - 62 Kebijakan Sertifikasi Guru : Tawaran Solusi Pendidikan Profesi Guru (Hj.Ihyani Malik) Hal. 63 - 67
ABSTRAK
ejak kurun waktu beberapa tahun terakhir, diskursus good governance telah menjajah wacana publik dalam reformasi dan demokratisasi di Indonesia. Tulisan ini bermaksud mendekonstruksi diskursus good governance itu sendiri, apa sesungguhnya yang keliru atau bahkan mungkin apa yang latah diucapkan soal good governance. Tulisan ini berusaha untuk menunjukkan masuknya gagasan neo-liberal dalam imajinasi perubahan politik, ekonomi dan sosial yang digelindingkan di masa-masa akhir kepemimpinan Soeharto di awal 1990-an. Sebagaimana akan ditunjukkan dalam tulisan ini, gerakan yang berlabel governance ini justru semakin menjauh dari semangat governance yang sebenarnya. Secara singkat, gerakan good governance di Indonesia justru melenceng dari semangat governance yang mengedepankan akomodasi, kooperasi dan sinegi dalam kesetaraan antar pelaku. Hal ini membawa proses marginalisasi kebijakan ekonomi, sosial, kultural dan juga politik yang sejalan dengan nilai-nilai neo-liberal. Kata kunci : good governance, kebijakan publik dan neo liberal
A. PENDAHULUAN Beberapa tahun terakhir ini, terminologi good governance telah melanda seluruh lapisan masyarakat di seluruh pelosok nusantara. Slogan reformasi politik yang pernah sangat populer dan berenergi di tahun 1998-1999, ternyata tidak berusia terlalu lama, dan kemudian tidak banyak lagi digunakan. Namun, wacana good governance bisa tetap ber-tahan sekarang ini, dan seakan-akan menjadi simbol dari masuknya Indonesia dalam standar kehidupan global. Masyarakat desa yang tidak ber-bahasia Inggris pun bisa fasih untuk melafalkan good governance. Dengan mudah kita menyaksikan atau mendengar dari dekat bahasa santun nan elok good
Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO
Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO
Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO
Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO
Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO
Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO
Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO
*******
Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO
ABSTRAK
wal munculnya isu pengelolaan sampah pasar ini dimulai dari adanya problem kebersihan, keteraturan, kenyamanan, dan keamanan untuk berbelanja di pasar tradisional, yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Adapun problem isu di sini, masyarakat pengguna pasar tradisional mempunyai anggapan adanya kejenuhan terhadap kinerja pemerintah daerah, di samping itu masyarakat menginginkan adanya suatu perubahan yang dapat menyentuh aspek manajemen dan teknis pengelolaan sampah pasar. Pemerintah Kota Makassar mesti melakukan pembenahan serius terhadap fasilitas persampahan, terutama pada kondisi pasar pasca-revitalisasi. Sistem dan penyediaan fasilitas tersebut melibatkan partisipasi pedagang. Pendekatan secara partisipatif dalam perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas akan meningkatkan rasa memiliki di kalangan pedagang pasar. Untuk itulah penyusunan agenda kebijakan pengelolaan sampah pasar penting untuk dilakukan. Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang penataan Pasar Tradisional perlu dipercepat pembahasan dan atau pemberlakuannya, terutama hal yang berkaitan dengan sistem dan prosedur pengelolaan sampah pasar. Gagasan dan kebijakan revitalisasi pasar tradisional diharapkan tidak hanya terfokus pada aspek penataan spasial (keruangan), tetapi juga memperhatikan aspek sosial dan pengelolaan lingkungan terutama aspek persampahan. Kata Kunci : isu, agenda, agenda setting, sampah pasar
A. PENDAHULUAN 1) Latar Belakang. Sampah pada umumnya dianggap sebagai benda yang tidak berguna, kompleks seiring dengan berkembangnya aktivitas ekonomik. sehingga disikapi dengan kaidah not in my backyard (NIMBY). Pada prinsipnya jumlah sampah akan meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas
ekonomi. Selain jumlahnya, jenis dan dampak dari sampah juga semakin beragam, ketika dalam aktivitas ekonomik tersebut terlibat teknologiteknologi baru. Misalnya, produksi bahan-bahan transgenik akan menghasilkan sampah transgeni, produksi bahan radioaktif akan menghasilkan
10
11
12
13
II.
Public Problems
III.
Political Issues
IV.
Systemic Agenda
V.
Institutional Agenda
Agenda institusional atau pemerintah terdiri dari masalah-masalah yang mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari pejabat pemerintah. Karena terdapat bermacam-macam pokok agenda yang membutuhkan keputusan-keputusan kebijakan maka terdapat pula banyak agenda lembaga. Pada tingkat nasional misalnya, kita akan mendapatkan agenda kepresidenan, agenda administratif, agenda pengadilan dan lain sebagainya. Agenda lembaga merupakan agenda tindakan yang mempunyai sifat lebih khusus dan lebih konkrit bila dibandingkan dengan agenda sistemik. 3) Konsep Pengelolaan Sampah Pasar Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Pengelolaan sampah dimaksudkan adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesi-nambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Berdasarkan sifat fisik dan kimianya sampah dapat digolongkan menjadi : 1) sampah ada yang mudah membusuk terdiri atas sampah organik seperti sisa sayuran, sisa daging, daun dan lain-lain; 2) sampah yang tidak mudah membusuk seperti plastik, kertas, karet, logam, sisa bahan bangunan dan lain-lain; 3) sampah yang berupa debu/abu; dan 4) sampah yang berbahaya (B3) bagi kesehatan, seperti sampah berasal dari industri dan rumah sakit yang mengandung zat-zat kimia dan agen penyakit yang berbahaya. Sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pada dalam Pasal 5 UU No.23 Th.1997 tentang
14
15
Tabel No.01. Timbulan Sampah Dan Yang Terangkut Di Kota Makassar Tahun 2008
Sumber Data : Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup & Keindahan Kota Makassar, 2009
16
Sumber Data : Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup & Keindahan Kota Makassar, 2009
Berdasarkan tabel No. 02 di atas, komposisi terbesar sampah di kota Makassar Periode Desember 2008 adalah sampah organik (bio waste) yang layak kompos sebesar 83,61 %, dan yang terkecil adalah komposisi sampah kayu sebesar 0,18 %. Sampah organik dengan proporsinya yang terbesar, merupakan permasalahan utama persampahan di kota Makassar ; bila tidak dikelola dengan baik, sampah organik dapat menjadi sumber pencemar lingkungan yang potensial. Berbeda dengan sampah organik, sampah anorganik pada batas-batas tertentu, melalui mekanisme pasar, dapat digunakan kembali sebagai bahan baku industri (Kementrian Negara Lingkungan Hidup-JICA, 2008), kecuali jenis-jenis sampah anorganik yang sulit didaur-ulang atau terlalu mahal biaya pendaurulangannya, misalnya kantong-kantong plastik atau kemasan-kemasan makanan instan. Sistem pelayanan pembuangan sampah di kota Makassar saat ini sudah dilayani oleh armada sampah yang pengelolaannya berada di bawah naungan Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan Kota Makassar, mulai dari daerah permukiman, daerah perdagangan, pusat pemerintahan, lokasi kegiatan sosial dan pendidikan. Sistem pengelolaan sampah di kota Makassar pada umumnya menekankan pendekatan Kumpul-angkutbuang dan sistem pembuangan di TPA secara terbuka (open dumping). Dari keseluruhan TPA menerapkan sistem pembuangan terbuka, sekitar 60 % memiliki lokasi TPA yang dapat digolongkan sebagai unmanaged disposal sites. Bahkan, di wialayah tertentu seperti Kalimantan dan Sulawesi, terdapat beberapa kota kecil yang memiliki tempat pembuangan akhir yang sulit dikategorikan sebagai TPA (uncategorized disposal sites). Sistem pengelolaan sampah yang dilakukan dengan cara pembuangan terbuka mengindikasikan bahwa di kota tersebut tidak dilakukan upaya pemilahan
sampah. Dengan siste open dumping, kemampuan pengelola untuk menga-ngkut sampah cenderung menurun atau realtif tetap. Di sisi lain, jumlah penduduk menunjukkan gejala yang semakin meningkat. Hal ini menyebabkan volume timbulan sampah meningkat, sementara kemampuan mengangkut sampah relative tidak berubah (Status Lingkungan Hidup Daerah, 2006). Pengelolaan pasar di kota Makassar, umumnya dilakukan oleh perusahaan daerah Pasar (PD Pasar) dan kepemilikan kios/toko secara perorangan. Salah satu permasalahan pada pasar di kota Makassar adalah masalah pengelolaan sampah. Pasar-pasar di kota Makassar menghasilkan sampah dalam jumlah yang besar yaitu sekitar 574,80 m3/hari. Atau sumber penyumbang sampah kedua terbesar di kota Makassar setelah permukiman sederhana. Sebagian besar sampah tersebut berasal dari pedagang, konsumen, baik dari barang-barang yang dijual di pasar berupa kemasan, kulit sayur, atau sisa olahan barang yang akan dijual. Komposisi sampah dari sampah pasar kota Makassar adalah berupa sampah organik dan anorganik. Sampah organik terbesar bersumber dari sayur mayur. Sedangkan sampah anorganik biasanya dari kemasan barang dagangan berupa kantung plastik, karung, kertas, dsb. Dalam pengelolaan persampahan skala kota yang rumit, terdapat beragam stakeholders yang teribat secara langsung ataupun tidak langsung. Setiap stakeholders berperan sesuai dengan posisinya masing-masing. Dalam skala kota, peran pemerintah kota dalam mengelola sampah sangatlah penting, dan pengelolaan sampah merupakan salah satu tugas utamanya sebagai bentuk pelayanan yang merupakan bagian dari infrastruktur kota tersebut. Stakeholders utama yang terdapat dalam pengelolaan sampah pasar adalah pengelola kota dalam hal ini dilakukan oleh Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan Kota Makassar. 2) Tahapan Penyusunan Agenda Sistem pengelolaan sampah konvensional yang masih berdasarkan prinsip Kumpul-AngkutBuang dan sepenuhnya tergantung dari keberadaan TPA, diperkirakan bahwa dalam 5-10 tahun ke depan, pengelolaan sampah di banyak kota di Indonesia akan mengalami persoalan dengan habisnya masa pakai TPA sementara lokasi pengganti semakin sulit diperoleh sehubungan dengan terbatasnya lahan dan meningkatnya resistensi masyarakat terhadap keberadaan TPA, khususnya yang terletak di sekitar permukiman penduduk (Status Lingkungan Hidup, 2006).
17
kesadaran, dan partisipasi pedagang dalam pengelolaan sampah menjadi suatu permasalahan yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan lingkungan bersih dan sehat. Kegiatan pengolahan sampah pasar selama ini relatif belum melibatkan masyarakat sebagai akibat dari kebijakan pemerintah daerah yang bersifat top down. Salah satu indikatornya adalah kebijakan tarif retribusi kebersihan hanya ditentukan oleh aparatur pemerintah daerah dan relatif belum memperhatikan aspirasi masyarakat menyangkut berapa sesungguhnya para pedagang bersedia membayar untuk mendukung kegiatan pengolahan sampah di lingkungannya. Pola penanganan masalah sampah yang cenderung reaktif dan parsial terbukti tidak mampu menyelesaikan problem sampah pasar ini secara holistik. Pada saat yang sama, akibat nyata yang ditimbulkan telah membawa terganggunya aktivitas penjual dan pembeli dalam aktivitas transaksi jual-beli. Kondisi sampah yang berserakan membuat pembeli akan tidak nyaman untuk berbelanja di pasar tradisonal. Pada saat yang sama, semakin maraknya serbuan pasar retail modern yang menawarkan kenyamanan dan kebersihan, membuat pengujung pasar tradisional menjadi semakin berkurang. Dengan semakin berkurangnya frekuensi kunjungan pembeli ke pasar tradisonal, maka secara agregat pendapatan pedagang pasar pun menjadi menurun. 2. Public Problem Sampah telah menjadi masalah yang besar, bagi kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, termasuk Makassar. Cakupan pelayanan pengelolaan persampahan yang masih rendah khususnya di perkotaan dapat berdampak pada meningkatnya wabah penyakit menular seperti tipus, kolera, muntaber, disentri, pes, leptospirus, salmonelosis, demam gigitan tikus. Selain itu, sampah yang dibuang ke kanal dan saluran pembuangan berpotansi menimbulkan banjir. Volume sampah di Makassar tahun 2004 tercatat 4.330 ton perhari, jumlah ini meningkat cukup signifikan dibanding tahun 2003 sebesar 3.748 ton, dengan komposisi sampah organik 87,21%, kertas 4,42%, plastik 5,84% dan selebihnya alumunium, kaca, kayu dan jenis lainnya. Kapasitas limbah padat Makassar untuk saat ini mencapai 1.860 m3/hari yang dibuang ke TPA Tamangapa. Timbulan sampah pasar mencapai 60,10 % atau 16,69 % dari total timbulan sampah kota Makassar (STLHD, 2006). Sebagian besar sampah tersebut adalah sampah organik yang berasal dari pedagang sayur-mayur dan
1. Private Problem Pasar sebagai suatu tempat perdagangan merupakan sumber timbulan sampah dan limbah cair dari kawasan komersial. Sebagai sebuah pusat perdagangan, pasar selalu berada di lokasi yang strategis, bahkan banyak dijumpai letak pasar ada di pusat kota. Pasar mempunyai potensi yang cukup besar untuk menimbulkan sampah dan limbah cair. Sementara lahan TPA (tempat pembuangan akhir) merupakan permasalahan tersendiri yang dihadapi suatu kota besar. Untuk dapat mengelola sampah dan limbah cair pasar dengan benar, maka awal yang paling penting diketahui adalah pemahaman ter-hadap kuantitas, wujud, karakteristik dan potensi dari sampah dan limbah cair yang akan dikelola. Meningkatnya volume sampah yang dihasilkan oleh masyarakat urban maupun dari aktivitas pasar. Sementara itu, rendahnya pengetahuan,
18
19
20
*******
21
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENINGKATAN KOMPETENSI PENDIDIK MELALUI PENINGKATAN RASIO PENDIDIK & PEMERATAAN PENYEBARAN PENDIDIK DI KABUPATEN JENEPONTO
Nuryanti Mustari
ABSTRAK
enelitian ini bertujuan untuk mengetahui: Implementasi Kebijakan Peningkatan rasio pendidik dan pemerataan penyebaran pendidik di Kabupaten Jeneponto sebagai salah satu program untuk meningkatkan kompetensi pendidik yang muaranya adalah meningkatkan mutu pendidikan di Kabupaten Jeneponto. Sampel penelitian adalah implementor kebijakan yaitu Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Jeneponto dan Objek Kebijakan yaitu guru-guru IPA, IPS dan Bahasa SMA se Kabupaten Jeneponto yaitu 7 Sekolah Menengah Atas. Dan Informan dari institusi Dinas Pendidikan yaitu Kepala Dinas pendidikan, Sekretaris Dinas pendidikan, Kepala Bidang Ketenagaan, dan Kepala Bidang Kejuruan dan SLTA. Responden dipilih melalui teknik Proportional Random Sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, dokumentasi, rekaman arsip, wawancara dan observasi langsung. Teknik analisas data adalah teknik analisa siklus yang meliputi tahap-tahap reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan peningkatan rasio pendidik dan pemerataan penyebaran pendidik di Kabupaten Jeneponto belum berjalan efektif sehingga masih banyak yang perlu dibenahi dan diperhatikan oleh Pemerintah. Kata Kunci : Implementasi Kebijakan Peningkatan peningkatan rasio pendidik dan pemerataan penyebaran pendidik.
PENDAHULUAN Isu sentral yang berkembang di Indonesia dewasa ini dalam bidang pendidikan adalah masalah rendahnya mutu pendidikan. Kualitas pendidikan di Indonesia dinilai masih rendah bila dibandingkan dengan negara lain. Hal ini dibuktikan dari fakta dalam beberapa tahun terakhir tentang mutu pendidikan di Indonesia yang sungguh memprihatinkan. Menurut Engkoswara dalam seminar Nasional Kualitas Pendidikan dalam membangun kualitas bangsa (Desember, 2006) bahwa Indonesia hanya menempati urutan 102 dari 107 negara di dunia dan urutan 41 dari 47 negara di Asia. Fakta lain bahwa kualitas pendidikan kita masih rendah, tertinggal dibanding negara lain dilihat dari Laporan United National, Scientific, and Cultural Organisation (UNESCO), November 2007 menyebutkan peringkat Indonesia di bidang pendidikan turun dari peringkat 58 ke peringkat 62. Selain itu, rendahnya mutu pendidikan
22
Informasi yang dapat kita telah adalah bahwa persentase kelulusan siswa Sekolah Menengah Tingkat Atas Kabupaten Jeneponto mengalami penurunan, kurun waktu 2006-2008, sementara disisi lain juga memperlihatkan persentase kelulusan yang lebih tinggi dari persentase rata-rata kelulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) seSulawesi Selatan. Persentase kelululusan siswa Sekolah Menengah Atas Kabupaten Jeneponto walaupun mengalami penurunan yang cukup signifikan kurun waktu 2006-2008, tetapi memperlihatkan prosentase rata-rata kelulusan yang jauh diatas prosentase rata-rata kelulusan Sekolah Menengah Atas tingkat Sulawesi Selatan. Ironisnya, dengan prosentase kelulusan siswa Sekolah Menengah Atas Kabupaten Jeneponto yang tinggi ternyata berbanding terbalik dengan capaian Nilai Ujian Akhir Sekolah yang memperlihat-kan penurunan yang signifikan kurun waktu 2006-2008, khususnya untuk jurusan IPA dan IPS. Padahal, capaian Nilai Ujian Akhir Nasional merupakan tonggak-tonggak keberhasilan sekolah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Rendahnya atau menurunnya mutu pendidikan di Kabupaten Jeneponto dapat dilihat dari penurunan capaian nilai ujian akhir nasional. Untuk lebih jelasnya, akan diuraikan dalam Tabel 1.2 berikut:
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidik dan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
23
Rendahnya mutu pendidikan di Kabupaten Jeneponto khususnya pada tingkat SLTA, dapat pula dilihat dari rendahnya tingkat kelulusan siswa dalam seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang merupakan barometer untuk mengukur prestasi sekolah dalam memberikan pelayanan minimal pendidikan. Pada Tahun 2006, dari 1499 jumlah lulusan Sekolah Menegah Atas, sekitar 824 siswa tersebar pada perguruan tinggi swasta. Pada Tahun 2007, jumlah siswa yang terdaftar pada perguruan tinggi swasta tersebut sebanyak 1188, dan pada tahun 2008 meningkat sebanyak 2.131 siswa (Dinas Pendidikan Kabupaten Jeneponto, 2009). Untuk mengetahui jumlah lulusan Sekolah Menengah Tingkat Atas yang lulus selekasi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri, dengan mengambil sampel SMA 1 Binamu sebagai sekolah unggulan, disajikan dalam Tabel 1.3 berikut:
Tabel 3. Jumlah Siswa SMA 1 Binamu Kabupaten Jeneponto yang Lulus Seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri dan PMDK Tahun 2002-2007
atas, dimana pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 sangat sedikit jumlah siswa yang melanjutkan pendidikan pada perguruan tinggi negeri, hal ini disebabkan kurangnya pemahaman mereka tentang pentingnya pendidikan untuk investasi masa depan, demikian menurut LY (wakil kepala sekolah bidang kesiswaan SMA 1 Binamu Kabupaten Jeneponto). Jumlah siswa yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri tidak sebanding atau bahkan menunjukkan ketimpangan yang besar jika dibandingkan dengan jumlah siswa SMA 1 Binamu Kabupaten Jeneponto yang lulus Ujian Akhir Nasional dari Tahun 2002 sampai dengan Tahun 2007 yang mencapai angka kelulusan 100 persen.
Tabel 4. Jumlah Siswa SMA 1 Binamu Kabupaten Jeneponto yang Lulus Ujian Akhir Nasional Tahun 2002-2007
Rendahnya mutu pendidikan di Kabupaten Jeneponto juga dapat dilihat dari animo siswa untuk melanjutkan pendidikan pada perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi negeri sangat rendah, seperti terlihat pada tabel 3 tersebut di
Tonggak-tonggak kunci keberhasilan sekolah dari segi output yang termaktub dalam standar nasional pendidikan, salah satu itemnya adalah dengan melihat banyaknya jumlah lulusan yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dalam hal ini perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi negeri. Rendahnya animo masyarakat untuk melanjutkan pendidikan juga merupakan salah satu indikator rendahnya mutu pendidikan. Kelompok Kerja Pengkajian, Perumusan Filosofis kebijakan dan Strategi Pendidikan Nasional (1999) bahwa rendahnya mutu pendidikan di Indonesia selama ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya (1) tidak adanya relevansi pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja, (2) tidak terjadinya proses belajar dengan baik, disebabkan kurang profesionalnya tenaga pengajar, (3) kurang tersedianya sarana dan prasarana yang memadai sebagai penunjang kegiatan-kegiatan pembelajaran, (4) pelaksanaan pendidikan selama ini bersifat sentralistik, sehingga mematikan potensi-potensi yang ada di daerah untuk mengembangkan pendidikan yang akan dilaksanakan. Walaupun guru dan pengajar bukan satusatunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi atau kompetensi sebagai cermin kualitas pendidik memberikan andil yang sangat besar pada kualitas pendidikan. Guru
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidik dan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
24
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidik dan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
25
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidik dan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
26
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidik dan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
27
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidik dan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
28
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidik dan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
29
Tabel 5. Jumlah Kekurangan dan Rekrutment Guru di Sekolah SMAN Kabupaten Jeneponto Kurun Waktu 2006-2008
Berdasarkan Tabel 5 tersebut di atas, dapat diketahui bahwa pengangkatan dan penempatan guru dari Tahun 2006 sampai dengan Tahun 2008 sejumlah 20 orang yang tersebar pada 7 sekolah SMA di Kabupaten Jeneponto. Jumlah ini sangat
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidik dan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
30
Berdasarkan Tabel 6 tersebut di atas, bahwa secara umum responden yaitu 53 orang atau sekitar 58,4 % yang mengatakan bahwa pemerintah masih belum serius dalam mengimplementasikan kebijakan peningkatan kompetensi pendidik di Kabupaten Jeneponto, melalui upaya pengangkatan dan penyebaran guru di sekolah-sekolah SMA se Kabupaten Jeneponto. Pendapat tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa belum terjadi pemerataan pendidik antar sekolah sehingga yang terjadi banyak sekolah-sekolah yang kekurangan guru, sementara disisi lain sekolah juga mempunyai kelebihan guru mata pelajaran yang diakibatkan karena pengangkatan guru tidak didasarkan pada prinsip proporsional dan profesional. Responden yang mengatakan serius berjumlah 37 orang atau sekitar 41,62 persen dengan pertimbangan bahwa hampir setiap tahun kurun waktu 2006-2008 diadakan seleksi penerimaan guru untuk menutupi kekurangan guru, hanya faktor anggaran yang terbatas yang menjadi kendala terimplementasinya kebiijakan tersebut secara efektif. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kepala Bidang Ketenagaan dalam wawancara kami bahwa; Dalam setiap meeting dengan Bupati, beliau selalu menyampaikan pentingnya menata kembali penempatan guru. Distribusi guru yang sembrawut
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidik dan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
31
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidik dan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
32
Berdasarkan Tabel 7 tersebut di atas, diketahui bahwa pemerataan guru masih belum terbenahi dengan baik yang disebabkan karena guruguru yang direkrut tidak sesuai dengan kebutuhan, kemudian tidak ditempatkan pada sekolah yang kekurangan sehingga mengakibatkan setiap sekolah disamping kekurangan guru juga sekaligus kelebihan guru mata pelajaran. Sebagai penguatan atas indikasi tersebut dari laporan bulanan sekolah SMA di Kabupaten Jeneponto diketahui bahwa : SMA 1 Binamu kekurangan 16 guru yang dapat dirinci menurut mata pelajaran (lihat Tabel 7), padahal disisi lain, SMA 1 Binamu kelebihan 4 guru untuk Mata Pelajaran Sejarah yang kelebihan 1 orang guru, Mata Pelajaran Fisika kelebihan 2 orang guru, dan Mata Pelajaran Geografi kelebihan 1 orang guru. Sekolah SMA 2 Binamu kekurangan 15 Guru yang dapat dirinci menurut Mata pelajaran (lihat Tabel 7), sementara disisi lain kelebihan 2 guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Sekolah SMA 1 Tamalatea kekurangan 7 orang guru untuk Mata Pelajaran (lihat Tabel 7) disisi lain, SMA 1 Tamalatea kelebihan 9 orang guru yang dapat dirinci untuk Mata Pelajaran Agama kelebihan 3 orang guru, dan untuk Mata Pelajaran Geografi, Biologi, Bahasa Ingris, Sejarah, PPKN, dan Kimia masing-masing kelebihan 1 orang guru. Ironisnya, terdapat penempatan 2 guru bidang studi Bahasa Ingris di SMA 1 Tamalatea padahal sudah kelebihan 1 guru Bahasa Inggris. Demikian halnya di SMA 1 Bangkala kekurangan 1 guru Mata Pelajaran Ekonomi dan kelebihan 2 guru masing-masing untuk mata pelajaran Bahasa Ingris dan Biologi. Sedangkan di SMA 1 Bangkala Barat kekurangan 10 guru mata pelajaran (lihat Tabel 7), disisi lain SMA 1 Bangkala Barat kelebihan 1 orang guru mata pelajaran Bahasa Jerman. Penempatan 3 orang guru mata pelajaran,
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidik dan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
33
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidik dan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
34
DAFTAR PUSTAKA Danim. 2002. Inovasi Pendidikan: Dalam Upaya Meningkatkan Profesionalisme Tenaga Kependidikan, Bandung: Pustaka Setia. Depdikbud, 1999. Filosofi, Kebijakan dan Strategi Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdikbud. Dunn, William N. 1981. Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Englewood Cliffs. Islamy, Irfan M. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara, 1997. Jones, Charles O. 1996. Pengantar Kebijakan Publik. Diterjemahkan oleh Ricky Ismanto. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Putra, Fadillah. 2003. Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik. Surabaya: Pustaka Pelajar, 2003. Salusu, J. 2000. Pengambilan Keputusan Stratejik, (Cet. Ketiga).. Jakarta: Grasindo. Spencer, M., Lyle and Spencer, M. Signe. 1992. Competence at Work: Models for Superrior Performance. New York USA: John Wiley & Son, Inc. Tangkilisan, Wim, 2008, Mutu Pendidikan Kita, (Online). (www.Koran Indonesia) Diakses 12 Desember 2009. Tilaar, 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Udoji, Chief J.O. 1981. The African Public Srvant As a Public Policy in Africa. Addis Abeba: African Association for Public Administration and Management. Wahab, Solichin Abdul. 1997. Analisis Kebijaksanaan. Jakarta: Bumi Aksara.
KESIMPULAN DAN SARAN Implementasi kebijakan peningkatan kompetensi pendidik yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 20062008 yang memuat diantaranya peningkatan rasio pendidik melalui pengangkatan dan penyebaran pendidik belum dilaksanakan secara proporsional dan professional sehingga masih saja terjadi kirisis sekaligus surplus guru mata pelajaran di sekolah SMA di Kabupaten Jeneponto. Hal ini disebabkan perekrutan yang dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan guru di setiap sekolah SMA di Kabupaten Jeneponto. Selain itu dari data sekunder diperoleh informasi bahwa terdapat guru yang mengajarkan dua mata pelajaran berbeda yang tidak sesuai dengan kompetensi keilmuannya. Sehingga diharapkan Agar Pemerintah Daerah Kabupaten Jeneponto dalam hal ini Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Jeneponto secara komprehensif mengimplementasikan kebijakan peningkatan kompetensi
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidik dan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
35
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN SEMANGAT EFOURIA DEMOKRASI LOKAL
Jaelan Usman
ABSTRAK
erjalan reformasi kurang lebih 13 tahun pasca pemerintahan rezim Orde Baru 32 tahun; menimbulkan beberapa pertanyaan kritis yang harus dijawab dalam konteks Tata Kelola Pemerintahan Daerah, dengan semangat Efouria Demokrasi Lokal. Beberapa pertanyaan kritis dimaksud, timbul dari praktek desentralisasi dan otonomi daerah, antara lain: Sejauh mana desentralisasi dan otonomi daerah mendorong tumbuhnya demokrasi lokal yang kokoh dan beradab? Bagaimana nasib perkembangan demokrasi lokal pasca Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden 2009? Desentralisasi, secara teoretis, merupakan upaya untuk membawa negara lebih dekat dengan masyarakat lokal serta mendorong tumbuhnya tata pemerintahan lokal yang lebih demokratis. Dengan kata lain, tanpa diikuti dengan demokrasi lokal, desentralisasi dan otonomi daerah tidak lebih hanya memindahkan sentralisasi dan korupsi dari pusat ke daerah. Tata pemerintahan lokal yang demokratis, mengedepankan prinsip pemerintahan dari masyarakat, dikelola secara akuntabel dan transparan oleh masyarakat dan dimanfaatkan secara responsive untuk kepentingan masyarakat luas. Kata Kunci : Taka Kelola Pemerintahan Daerah, Efouria Demokrasi Lokal.
PENDAHULUAN Perjalanan sistem desentralisasi di Indonesia jika dirunut sepanjang sejarah perjalanan bangsa ini cukup panjang dan berliku. Perubahan politik di tahun 1990-an menjadi arus balik perjalanan bangsa Indonesia yang membawa beberapa dampak positif. Perubahan tersebut di antaranya mengubah tata hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ke arah yang lebih demokratis dengan memperbesar porsi desentralisasi. Dengan perubahan sistem pemerintahan tersebut, otomatis berbagai pranata pendukung sistem yang selama ini bersifat sentralistik juga mengalami perubahan. Sistem pemerintahan desentralisasi sebenarnya telah digagas oleh para pendiri negara ini dengan menempatkan satu pasal dalam UUD 1945 (pasal 18). Implementasi pasal tersebut selalu menimbulkan persoalan sejak tahun-tahun awal kemerdekaan. Pergulatan mencari makna kebangsaan yang dipandang sebagai identitas sekunder, selalu menghadapi persoalan identitas primer
36
RMS), selain pemberontakan PKI di Madiun. Guna mencegah menguatnya daerahisme, provinsialisme dan memperkuat kontrol Pusat, dikeluarkan undang-undang No. 1/1957. Di bawah undang-undang baru ini kandungan keseimbangan antara. Pusat dan Daerah lebih mengemuka. Meskipun bukan produk DPR hasil pemilu 1955 secara penuh, hubungan Pusat-Daerah lebih demokratis. Tetapi kemacetan-kemacetan segera terjadi, yang penyebab utamanya adalah pembagian hasil hutan, pertambangan dan perkebunan yang lebih berpihak ke Pusat. Romantisme agama turut mempengaruhi ketegangan Pusat-Daerah, sehingga undang-undang tersebut tidak dapat diimplementasikan secara optimal. Selain itu konflik ideologi partai dan politisasi massa untuk keperluan partai-partai, menguras energi dan tidak terdapat kesempatan untuk mengoptimalkan undang-undang tersebut. Ketegangan antar partai, khususnya antara PKI dan kekuatan oponennya, melahirkan undangundang No. 18/1965. Aturan ini tidak banyak mewarnai hubungan Pusat-Daerah, sebab kekacauan segera terjadi. Di bawah kepemimpinan Soeharto, sentralisasi setengah hatinya Soekarno dikonkritkan. Soeharto tanpa ragu-ragu melihat keanekaragaman budaya, geopolitik kepulauan dan kemajemukan ideologi sebagai ancaman persatuan dan kesatuan bangsa. Integrasi nasional dalam visi Soeharto harus dimulai dari integrasi wilayah (keutuhan wilayah) dan merasuk ke integrasi bangsa (Soeharto, 1989). Dalam visi demikian, perbedaan ideologi tidak dapat ditoleransi. Itulah sebabnya mengapa kepemimpinan Soeharto anti partai, anti kemajemukan ideologi dan menyatukan ideologi dalam asas tunggal. Kekhawatiran akan lahirnya daerahisme dan provinsialisme, dipertegas dengan membatasi masa jabatan kepala daerah dan mekanisme pemilihan. Kepala Daerah tidak sepenuhnya dipilih oleh Dewan. Secara formal mekanismenya adalah perpaduan antara kehendak Daerah (mengusulkan tiga nama) dan kehendak Pusat (menentukan/memilih satu dari tiga yang diusulkan Dewan). Tetapi secara substantif, Kepala Daerah adalah orang Pusat yang ditempatkan di daerah. Selain didesain untuk mengendalikan Daerah, undang-undang No. 5/1974 tidak memberi ruang gerak yang memadai bagi tokoh-tokoh Daerah untuk membangun kekuatan dengan identitas Daerah. Pembunuhan massal yang berlangsung pertengahan tahun 1960-an, merupakan kendala struktural bagi kekuatan masyarakat termasuk
37
(Huntington, 1968). Kegagalan membangun institusi yang mampu memberi tempat partisipasi masyarakat, akan menghancurkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Ruang dan institusi yang dimaksud adalah partisipasi, transparansi, keadilan dan kompetisi (demokratisasi). Secara politik, desentralisasi merupakan langkah menuju demokratisasi. Dengan desentralisasi, pemerintah lebih dekat dengan rakyat, sehingga kehadiran pemerintah lebih dirasakan oleh rakyat dan keterlibatan rakyat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan dan pemerintahan semakin nyata. Secara sosial, desentralisasi akan mendorong masyarakat ke arah swakelola dengan memfungsikan pranata sosial yang merupakan social capital dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Dengan pranata yang telah internalized, mekanisme penyelesaian mereka pandang lebih efektif, efisien dan adil. Sedangkan secara ekonomi, desentralisasi diyakini dapat mencegah eksploitasi Pusat terhadap daerah, menumbuhkan inovasi masyarakat dan mendorong motivasi masyarakat untuk lebih produktif. Secara administratif akan mampu meningkatkan kemampuan daerah dalam melakukan perencanaan, pengorganisasian, meningkatkan akuntabilitas atau pertanggung jawaban publik. Baik Undang-Undang No. 22/1999 maupun amandemennya UU No. 32/2004 tentang Perintahan Daerah menganut pemikiran seperti itu. Bahwa peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, kualitas pelayanan pemerintah dan optimalisasi peran serta masyarakat dalam pembangunan, merupakan trimatra yang mendasari lahirnya UU No. 22/1999 dan amandemennya yaitu UU No. 32/2004. Gagasan pemerintah sebagai fasilitator dalam pembangunan masyarakat, masih jauh dari harapan, jika memperhatikan kinerja birokrasi selama beberapa tahun terakhir. Selain format ideal bagi keberadaan birokrasi di berbagai level pemerintahan belum menemukan bentuknya, tarik menarik antara pemerintah daerah propinsi dengan kabupaten dan dengan Pusat, masih mewarnai penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Selain itu, kecenderungan semua level pemerintahan untuk menjalankan semua fungsi pelayanan juga masih dominan, sehingga kecenderungan masyarakat sebagai obyek penerima pelayanan juga masih menonjol. Intervensi pemerintah di masa yang lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan demokrasi. Arahan dan statutory requirement yang terlalu besar dari Pemerintah Pusat menye-
38
sistem desentralisasi. Tetapi, pelaksanaan sistem ini mendapatkan tantangan yang cukup besar. Kendala-kendala tersebut diantaranya adalah (1) mindset atau mentalitas aparat birokrasi yang belum berubah; (2) hubungan antara institusi pusat dengan daerah; (3) sumber daya manusia yang terbatas; (4) pertarungan kepentingan yang berorientasi pada perebutan kekuasaan, penguasaan aset dan adanya semacam gejala powershift syndrom yang menghinggapi aparat pemerintah; dan (5) keinginan pemerintah untuk menjadikan desa sebagai unit politik di samping unit sosial budaya dimana desa memiliki tatanan sosial budaya yang otonom. Pada kenyataannya, mindset atau mentalitas menjadi kendala yang cukup besar bagi pelaksanaan tata pemerintahan yang baru ini. Selama kurang lebih 5 tahun pelaksanaan otonomi daerah (2000-2005), timbul berbagai persoalan yang disebabkan karena pola pikir dan mentalitas yang belum berubah. Di masa lalu, sistem sentralistik mengebiri inisiatif lokal dan menempatkan pemerintah pusat sebagai penguasa yang memiliki wewenang sangat besar atas berbagai bentuk kebijakan pembangunan. Keseragaman dan kepatuhan daerah terhadap pusat menjadi kata kunci sekaligus sebagai main-stream dan ideologi pembangunan yang dijalankan. Karenanya, pada masa itu kritik menjadi sesuatu yang tabu dan jika terlontar akan sangat mudah untuk dijerat secara hukum sebagai tindakan subversi atau anti pemerintah. Setidaknya selama 32 tahun rezim orde baru proses ini berlangsung secara terus-menerus sehingga tidak mengherankan jika mentalitas birokrasi pada akhirnya mengikuti pola tersebut. Konflik menjadi sesuatu yang tabu dan keberagaman dipandang sebagai ancaman dan sumber disintegrasi bangsa. Pola pemerintahan yang diterapkan dalam struktur kekuasaan dikenal sebagai pemerintahan yang harmoni tanpa gejolak dengan mengembangkan ideologi Triple S yaitu; Serasi, Selaras dan Seimbang. Pada akhirnya terbentuklah subordinasi hubungan antara pemerintah pusatdaerah dengan kekuasaan sepenuhnya berada di pemerintah pusat. Subordinasi yang berlangsung lama menjadi penyebab ketergantungan daerah sangat tinggi. Maka, pada saat terjadi perubahan sistem yang sentralistik menjadi desentralisasi, daerah kurang memiliki kesiapan terutama dalam hal mengambil inisiatif dalam menentukan kebijakan. Tentu saja desentralisasi dan otonomi daerah mengandung berbagai konsekuensi, diantaranya adalah mentalitas dan kapasitas pemerintah daerah yang
39
politik di Indonesia telah secara luas mentransformasikan kultur politik elite dalam suatu arah yang demokratis, meskipun masih jauh dari harapan dan kepuasan semua pihak. Pembentukan pemerintahan regional, yang kemudian mendapatkan sejumlah kekuasaan otonom yang signifikan dan kontrol atas sumberdaya lokal, menghasilkan suatu tipe perpolitikan yang secara ideologis tidak terlalu terpolarisasi, lebih moderat, toleran, pragmatis, lebih fleksibel dan suatu penerimaan mutual yang lebih besar di antara hampir semua partai. Secara berangsur-angsur warga mengidentifikasi diri dengan level pemerintahan lokal dan bahkan lebih menghargainya ketimbang pemerintahan nasional. Selain itu, harus dipahami bahwa desentralisasi dan demokratisasi lokal memiliki potensi besar untuk merangsang pertumbuhan organisasi-organisasi, serta jaringan masyarakat sipil (civil society). Arena kehidupan komunitas dan lokal lebih menawarkan cakupan terbesar bagi organisasiorganisasi independen untuk membentuk dan mempengaruhi kebijakan. Pada level lokal, rintangan-rintangan sosial dan organisasional terhadap aksi kolektif lebih rendah maupun problem-problem yang menuntut perhatian dari layanan sosial sampai transportasi serta lingkungan yang berdampak langsung pada kualitas hidup masyarakat. Keterlibatan langsung warga dalam penyelenggaraan layanan publik pada level lokal menghasilkan suatu peluang penting untuk memperkuat keterampilan para warga secara individual dan akumulasi modal sosial, seraya membuat penyampaian layanan publik lebih accountable. Sorotan terhadap reformasi sejak 1998 telah membangkitkan desentralisasi dan demokrasi lokal, yang menggerogoti struktur politik yang hirarkhis, sentralistik, feodalistik dan otoriter. Locus politik telah bergeser dari pusat ke daerah, dari sentralisasi ke desentralisasi, dari bureaucratic government ke party government, dan dari executive heavy ke legislative heavy. Tetapi, seperti akan diuraikan di bawah, demokrasi lokal yang berlangsung masih sebatas efouria, bukan sebagai proses konsolidasi menuju demokrasi lokal yang kokoh, beradab dan terpercaya. Efouria demokrasi lokal sangat bermasalah, dan tetap akan bermasalah sampai pasca pemilu 2009 karena fondasi yang sangat rapuh. Praktik demokrasi lokal selama ini lebih banyak diwarnai dengan sejumlah efouria yang masih sangat rapuh. Pertama, efouria demokrasi elektoral. Masyarakat Indonesia, kini, tengah terjangkit demam perayaan demokrasi elektoral. Ada kesan kuat bah-
40
Setelah putera daerah itu berkuasa, ternyata bertindak menyimpang dari prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, dan responsivitas. Ketiga, efouria parlemen lokal. Di bawah UU No. 22/1999, DPRD sangat powerful ketimbang kepala daerah. Publik berharap, bahwa DPRD yang powerful itu menjadi modal politik untuk memainkan check and balances dengan baik di hadapan kepala daerah, sehingga pemerintahan daerah bisa berjalan secara akuntabel, transparan dan responsif. Tetapi DPRD yang kuat itu justru menimbulkan banyak masalah: DPRD menjadi oligarki baru yang korup, berkapasitas rendah, tidak bertanggungjawab, tidak peka pada aspirasi rakyat, lebih mengutamakan kepentingan sendiri. DPRD, kata publik, bukan sebagai panggilan hidup dan komit-men untuk berjuang, melainkan seperti lowongan kerja untuk mencari nafkah dan kedudukan. Akibatnya, rakyat kecewa dan tidak percaya pada DPRD. Sayangnya, besok dalam pemilihan umum 2004, rakyat tetap akan memilih lagi calon-calon DPRD. Besok kecewa lagi. Keempat, efouria kepialangan politik. Otonomi daerah memang telah member kesempatan yang terbuka bagi hadirnya aktor-aktor politik baru, termasuk para broker politik. Latar belakang mereka sangat bermacam-macam: bisa kyai, akademisi, mahasiswa, LSM, pengusaha, tokoh adat, tokoh masyarakat, preman, dan seterusnya. Setiap ada pemilihan kepala daerah, para broker politik itu menjadi pemain yang penting, entah dalam membuat opini publik atau mengerahkan massa, dengan tujuan untuk mencari kedudukan atau kekayaan. Mengikuti pendapat para filsuf zaman Yunani Kuno, massa yang digerakkan oleh para broker tersebut bukan rakyat, warga atau publik yang sejati, melainkan gerombolan massa (the mob) yang sebenarnya merusak demokrasi lokal, misalnya dengan cara permainan politik uang maupun kekerasan. Kelima, efouria NGO lokal. Era reformasi dan otonomi daerah telah melahirkan begitu banyak NGO lokal yang bersifat instan. Sebagian besar NGO lokal lahir bukan dalam konteks gerakan sosial dan jaringan sosial yang luas, tetapi sebagai bentuk respons atas proyek-proyek pemerintah sejak JPS maupun sebagai bentuk gerakan politik untuk memainkan kepialangan politik. NGO lokal yang berorientasi proyek selalu kasak-kusuk mencari proyek, entah melalui lobby atau melontarkan kritik keras kepada Pemda agar mereka memperoleh proyek. NGO gerakan politik sangat rajin melakukan kasak-kusuk menjadi broker politik dalam pemilihan kepala daerah, pemilihan DPRD maupun pejabat teras di daerah.
41
mengelola kekuasaan, mengatur rakyat dan menguasai sumberdaya ekonomi. Para gubernur misalnya, sangat berang karena kekuasaannya atas bupati-bupati dipreteli oleh UU No. 32/ 2004. Gubernur sekarang tidak bisa lagi memerintah bupati, memanipulasi DAU, atau mengutip pajak-pajak daerah seperti dulu. Bahkan sekadar undangan pun diabaikan oleh bupati. Karena itu para gubernur menuntut agar otonomi daerah diletakkan di provinsi atau meminta agar kekuasaan dan kewenangan mereka dipulihkan seperti sedia kala. Sementara, bupati sekarang mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang sangat besar. Mereka di atas angin, ibarat raja-raja kecil yang secara leluasa bisa menguasai sumberdaya politik dan ekonomi daerah. Otonomi daerah berhenti di tangan saya, demikian ungkap arogan seorang bupati ketika menanggapi masalah otonomi desa. 3. Seorang Bupati bukan pemimpin yang betulbetul mengayomi masyarakat, melainkan hanya seorang pejabat yang pekerjaannya adalah tandatangan, marah-marah dan jalan-jalan, demikian ungkap seorang pegawai yang minta identitasnya dirahasiakan. DPRD kabupaten dan/atau kota sekarang mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang luar biasa, karena mereka gunakan untuk menekan bupati/walikota dengan senjata ampuh Laporan Pertanggungjawaban. Namun, ulah anggota DPRD yang tidak bertanggungjawab itu dengan mudah bisa dipadamkan oleh bupati/walikota setelah memperoleh kucuran dana, proyek, dan fasilitas. 4. Paradigma K-3 (kekuasaan, kewenangan dan kekayaan) dipegang betul oleh para pemegang jabatan politik. Mereka tidak mempunyai visi bagaimana memanfaatkan kekuasaan untuk memperjuangkan nilai, melainkan hanya berorientasi bagaimana mencari dan mempertahankan kekuasaan. Setiap penguasa, dari presiden hingga bupati dan kepala desa, selalu berupaya keras agar tetap menduduki jabatan yang kedua kalinya. Ini tidak lain hanya untuk memelihara status quo. Kalau dinalar secara sehat, setiap penguasa sebenarnya tidak mempunyai alasan lagi untuk menduduki jabatan yang kedua kalinya. Kalau mereka menampilkan visi, publik bisa bertanya: lalu ngapain selama lima tahun berkuasa. 5. Fragmentasi masyarakat sipil dan modal sosial. Organisasi masyarakat sipil dan modal sosial yang kian semarak, memang tidak tunggal. Di balik kemajuan dalam organisasi nonpemerintah, juga menyaksikan banyak sisi paradoksal dalam modal sosial. Secara horizontal kemaje-
42
Ndara, Talizuduhu, 1986, Birokrasi dan Pembangunan, Dominasi atau Alat Demokratisasi: Suatu Telaah Pendahuluan, Jurnal Ilmu Politik 1, Gramedia bekerjasama dengan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Jakarta. Piliang, Indra J, dkk (ed.), 2003, Otonomi Daerah, Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan Harkat Bangsa bekerjasama dengan Partnership Governance Reform in Indonesia, Jakarta. Ratnawati, Tri (ed.), 2000, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lokal, Kasus Jawa Timur, Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Timur, Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI, Jakarta. Zulkarnaen, Iskandar, dkk, 2003, Potensi Konflik di Daerah Pertambangan, Kasus Pongkor dan Cilandak, Jakarta, LIPI. Clark, John.1995. NGO dan Pembangunan Demokrasi. Tiara Wacana, Yogyakarta. Huntington, Samuel P dan Joan Nelson. 1992. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Rineka Cipta, Jakarta. Isdijoso, Brahmantio, et. al. 2001. Prospek Penerapan Budget Tranparency dalam Pelaksanaan otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal Di Daerah Kabupaten dan Kota di Indonesia. Center for Economic and Social Studies, Jakarta. Jeff Haynes, Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga. 2000. Gerakan Politik Baru Kaum Terpinggir. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, Erlangga, Jakarta. Pilliang, Indra J. et. al. 2003. Otonomi Daerah; Evaluasi dan Proyeksi. Yayasan Harkat Bangsa Bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesi, Jakarta. Prodjodikoro, Wirjono. 1981. Asas-asas Ilmu Negara dan Politik. PT Eresco, Bandung. Sarundajang. 1999. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
43
PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan UUD 1945 telah mewujudkan konstitusi Indonesia yang memungkinkan terlaksananya penyelenggaraan negara yang modern dan demokratis. Semangat yang diemban dalam perubahan konstitusi tersebut adalah supremasi konstitusi, keharusan dan pentingnya pembatasan kekuasaan, pengaturan hubungan dan kekuasaan antarcabang kekuasaan negara secara lebih tegas, penguatan sistem checks and balances antar cabang kekuasaan, penguatan perlindungan dan penjaminan hak asasi manusia,
dan pengaturan hal-hal mendasar di berbagai bidang kehidupan. Semangat tersebut di atas dapat terlihat dari adanya penegasan yang mengatur pelaksanaan kedaulatan rakyat; pernyataan bahwa Indonesia adalah negara hukum; kesejajaran kedudukan antarlembaga negara sehingga tidak dikenal lagi adanya lembaga tertinggi negara dan tinggi Negara tetapi setiap lembaga negara melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai UUD 1945; pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden
44
TINJAUAN TEORITIS Untuk mendukung studi ini digunakan beberapa teori yang relevan serta berkaitan dengan pokok bahasan dalam studi sebagai berikut: Sistem Politik Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif atau pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap diantara elemen-elemen pembentuknya. Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya dengan menekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok penekan merupakan bagian lain dari suatu sistem politik. Dengan merubah sudut pandang maka sistem politik bisa dilihat sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik.
45
46
47
Dari table 2, nampak bahwa partisipasi politik dari sisi pemberian suara pada setiap pemilihan umum, baik pemilihan legislatif (DPR/DPD/ DPRD) maupun pemilihan presiden (walikota). Ternyata dari 300 responden, 263 (88%) responden menjawab sangat aktif dan hanya 9 (3%) responden yang menjawab tidak aktif. Kemudian, partisipasi politik dari bentuk diskusi politik, ternyata responden menjawab tidak aktif sebanyak 195 (65%), 75 (25%) menjawab sangat aktif, dan hanya 31 (10%) menjawab kadang-kadang aktif. Dan setelah dikonfirmasi, alasan mereka antara lain; sibuk bekerja, tidak dilibatkan dan menghindari perbedaan pendapat dengan orang lain. Sedangkan alasan responden menjawab sangat aktif adalah karena teman atau tetangga mereka yang pengurus partai atau simpatisan melibat dalam pembicaraan politik.
48
Dari tabel 3, nampak bahwa secara keseluruhan, baik lapisan bawah, menengah, dan atas menilai bahwa etika politisi di kota Parepare relatif buruk, yaitu 191 (63,67%). Dan alasan responden adalah bahwa setelah menjadi politisi, mereka cenderung individual atau memikirkan kepentingan diri keluarga dan atau partainya yang terlihat dari kebijakan-kebijakan yang mereka lahirkan. Hal itu sangat berbeda dengan waktu kampanye.
KESIMPULAN 1. Di kota Parepare, dalam mewujudkan partisipasi politik, masyarakat memiliki dua ciri atau bentuk dari partisipasi politik berdasarkan sifat yaitu yang dimobilisasi dan otonom. Dimobilisasi adalah banyak diantara orang-orang yang memberikan suara, dan kampanye yang kelihatannya sebagai partisipasi politik tidaklah bertindak dengan niat pribadi. Sedangkan partisipasi politik otonom mengikuti dengan seksama, menganalisa baik buruknya dan pilihan atau kebijaksanaan yang diambil. Etika politik termasuk lingkup etika sosial yang berkaitan dengan bidang kehidupan politik, politik juga memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik dan menyangkut proses penentuaan tujuan dari sebuah sitem yang diikuti oleh pelaksananya, yang menyangkut kepentingan masyarakat dan bukan tujuan pribadi. Untuk menilai bagaimana etika politik di Kota Parepare, ada tiga pola pola sikap dan orientasi individu terhadap politik diantara anggota sistem politik. Orientasi individu itu memiliki sejumlah komponen yakni: (1). Orientasi Kognitif : pengetahuan, keyakinan Orientasi Afektif : perasaan terkait, keterlibatan, penolakan dan sejenisnya tentang obyek politik, dan (3). Orientasi Evaluasi : penilaian dan opini tentang obyek politik yang biasanya melibatkan nilai-nilai standar terhadap obyek politik dan kejadian-kejadian. Dari hasil analisa, nampak bahwa etika politisi di Kota Parepare relatif buruk.
2.
(2).
Karena itu, disarankan: 1. Agar fungsi politik di kota Parepare berjalan dengan baik, semestinya, politik adalah mekanisme yang digunakan untuk mengatur lalu-lintas distribusi kekuasaan. Subyek sekaligus obyek dalam siklus politik mo-
49
2.
DAFTAR PUSTAKA Amal, Ickhlasul. 1998. Teori-Teori Mutakhir Partai. Tiara Wacana. Yogyakarta Apter, E. David. 1998. Pengantar Analisa Politik. PT. Gramedia Pustaka utama. Jakarta BPS Kota Parepare, 2007/2008. Kota Parepare Dalam Angka, Kota Parepare BPS Kota Parepare, 2009. Indikator Ekonomi Kota Parepare, Kota Parepare BPS Kota Parepare, 2010. Kota Parepare Dalam Angka, Kota Parepare Budiardjo, Miriam. 1980. Partisipasi dan Partai Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Dahl, A. Robert. 2001. Perihal Demokrasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Davey, K.J., 1988, Pembiayaan Pemerintahan Daerah: Praktek dan Relevansi bagi Dunia Ketiga, Jakarta: Universitas Indonesia. Erani Yustika, Ahmad Kontestasi Politik dan UMKM, http;/ www.ahmadheryawan.com Faisal, Sanafiah. 1989. Sistem Politik Indonesia. CV. Rajawali. Jakarta
50
*******
51
ABSTRAK
ulisan ini akan menyampaikan beberapa gagasan mengenai peran Negara dalam kebijakan publik dan pembangunan sosial, khususnya yang menyangkut pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia. Tulisan ini dilandasi argumen bahwa menguatnya arus globalisasi dan liberalism ekonomi melahirkan kesempatan-kesempatan dan pilihan-pilihan baru dalam berbagai bidang pembangunan. Namun demikian, kapitalisme sebagai anak kandung globalisasi dan sekaligus poros dari liberalisme ekonomi juga menciptakan tantangan-tantangan baru bagi pembangunan Indonesia. Kebijakan publik yang pro pembangunan sosial diperlukan guna me-rebounding dominasi globalisasi dan kapitalisme sehingga tidak menabrak keadilan dan kesejahteraan sosial.
PENDAHULUAN Menurut Undang-Undang No.11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan spiritual, material dan sosial warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya Kesejahteraan sosial adalah bagian tak terpisahkan dari cita-cita kemerdekaan dan muara dari agenda pembangunan ekonomi. Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan pasal mengenai ekonomi berada pada bab.XIV UUD 45 yang berjudul kesejahteraan sosial. Menurut Sri Edi Swasono (2001), dengan menempatkan pasal 33 1945 dibawah judul bab kesejahteraan sosial itu berarti pembangunan ekonomi nasional haruslah bermuara pada peningkatan kesejahteraan sosial. Dengan demikian, dilihat dari perspektif pembangunan sosial, Indonesia menganut Negara kesejahteraan, Indonesia menganut prinsip keadilan sosial (sila kelima Pancasila) dan secara eksplisit konstitusinya (pasal 27 dan 34 UUD 1945) mengamanatkan tanggungjawab pemerintah dalam pembangunan sosial. Namum demikian, baik pada masa Orde Baru maupun era reformasi saat ini, pembangunan sosial baru sebatas jargon dan belum terintegrasi
52
nya dalam suatu bidang tertentu untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Literatur mengenai kebijakan publik telah banyak menyajikan berbagai definisi kebijakan publik, baik dalam arti luas maupun sempit. Dye yang dikutip Young dan Quinn (2005:2), memberikan definisi kebijakan publik secara luas, yakni sebagai whatever governments choose to do or not to do. Untuk memahami berbagai definisi kebijakan publik ada baiknya jika kita membahas beberapa konsep kunci yang termuat dalam kebijakan publik. a. Kebijakan publik adalah Tindakan pemerintah yang berwewenang. Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum, politis dan finansial untuk melakukannya. b. Kebijakan publik adalah sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata. Kebijakan publik berupaya merespon masalah atau kebutuhan kongkrit yang berkembang di masyarakat. c. Kebijakan publik adalah seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan publik biasanya bukanlah sebuah keputusan tunggal melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak. d. Kebijakan publik adalah sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kebijakan publik pada umumnya merupakan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial. Namun, kebijakan publik bisa juga dirumuskan berdasarkan keyakinan bahwa masalah sosial akan dapat dipecahkan oleh kerangka kebijakan yang sudah ada dan karenannya tindakan memerlukan tindakan tertentu. PARADIGMA PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL Saat ini terjadi pergeseran paradigma dalam ketatanegaraan dan kebijakan publik dari goverment (pemerintahan) ke governance (tata kelola), kebijakan publik dipandang bukan lagi sebagai dominasi pemerintah. Makna publik juga bergeser dari penguasa orang banyak yang diindentik dengan pemerintah ke bagi kepentingan orang banyak dengan istilah stakeholder atau pemangku kepentingan. Para analis kebijakan dan kelompok pemikir yang independen kemudian muncul sebagai profesi baru yang banyak berperan mengkritisi beroperasinya kebijakan sosial dan kemu-
53
seringkali menggiring pada pembuat keputusan dan pelaku pembangunan kesejahteraan sosial kepada pendekatan bersifat reaktif. Program pembangunan kesejahteraan sosial dirancang hanya untuk mengatasi masalah yang sudah ada diwilayah hilir. Hal ini sejalan dengan teori gunung es atau Iceberg theory dari Anderson dimana melihat suatu permasalahan hanya dari permukaan saja yang bersifat reaktif, tidak melihat masalah yang mendasar yang ada dibawah gunung es tersebut. Sebagaimana dicontohkan para pekerja sosial berperilaku seperti tukang sampah yang setiap hari membersihkan sampah tanpa pernah merespon sumber penghasil sampah Disadari bahwa kesejahteraan sosial bersifat multidimensional, penanganannya membutuhkan pendekatan terpadu yang tidak hanya difokuskan pada gejala masalah, melainkan pada berbagai determinan yang mempengaruhinya. Perspektif penanganan masalah sosial yang berorientasi pada kebutuhan dapat dilihat dari program-program kesejahteraan sosial yang bersifat pencegahan dan pengembangan yang kini banyak dikembangkan di negara maju dan berkembang. b. Dari stigmatisasi ke hak azasi manusia Pada masyarakat barat, sejarah perkembangan usaha kesejahteraan sosial tidak dapat dilepaskan dari kegiatan-kegiatan karitatif untuk menolong keluarga miskin. Para penerima pelayanan diberi bantuan uang, barang atau pelayanan sosial untuk menunjang hidupnya, karena prasyarat menerima bantuan adalah memenuhi kriteria miskin dan tidak mampu, para penerima pelayanan ini dengan sendirinya termasuk ke dalam kelompopk khusus. Mereka mengalami stigmatisasi sebagai warga kelas dua pada struktur sosial masyarakat. Konsep kesejahteraan kemudian sangat identik dengan pemberian tunjangan pendapatan (doll) atau tunjangan pengangguran (unemployment benefits) bagi golongan masyarakat yang papa, cacat atau menganggur. Dewasa ini dengan diratifikasinya berbagai konvensi hak azasi mananusia, bantuan terhadap kaum papa sekalipun tidak lagi dilihat sebagai usaha belas kasihan (charity). Melainkan sebagai hak mereka sebagai warga negara untuk menerima pelayanan sosial dasar dari Negara sebagai representasi masyarakat. Beberapa istilah yang telah bertahun-tahun digunakan dalam arena kesejahteraan sosial mengalami berbagai penyelarasan. Misalnya orang miskin (the poor) menjadi pemerlu (the needy), orang cacat (handicapped disabled people) menjadi orang dengan kecacatan (people withdisabilities) atau orang
54
KONSTELASI PARADIGMA PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL Pandangan di atas mencerminkan bahwa pembangunan kesejahteraan sosial berorientasi dan berwawasan ke depan searah dengan perubahan dan perkembangan masyarakat. Pembangunan kesejahteraan sosial bukan hanya bersifat residual, reaktif dan karitatif dalam arti hadir hanya sebagai pelipur lara terhadap para penyandang masalah sosial dan memainkan peran hanya sebagai penyapu sampah-sampah pembangunan. Pendekatan pembangunan kesejahteraan sosial bersifat universal. Institusional dan proaktif terhadap kondisi kehidupan masyarakat dan masalah sosial. Sasaran pembangunan kesejahteraan sosial adalah seluruh masyarakat dari berbagai latar dan golongan dengan prioritas utama para penyandanga masalah sosial Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS). Pembangunan kesejahteraan sosial dilaksanakan secara bertahap, terarah, terpadu, berkelanjutan, berencana, terorganisasi dan melembaga. Pembangunan kesejahteraan sosial menekankan pada keberfungsian sosial (social functioning) manusia dalam kehidupan sosial masyarakat. Tujuan pembangunan kesejahteraan sosial adalah tercapainya kondisi kesejahteraan sosial yang adil dan merata serta berjalannya suatu sistem kesejahteraan sosial yang mapan dan melembaga sebagai salah satu piranti kehidupan masyarakat Indonesia dalam upaya menjadi bangsa yang maju, mandiri dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan standard kemanusiaan. Pembangunan akan memberikan hasil yang optimal apabila memperhatikan berbagai dimensi secara seimbang dan proporsional. Untuk memacu dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi serta mewujudkan kesejahteraan sosial yang adil, pendekatan pembangunan harus mempertimbangkan aspek-aspek sosial. Pendekatan sosial perlu diterapkan bersamaan dengan pendekatan ekonomi dalam strategi pembangunan. Keduanya harus dirancang dan dilaksanakan secara seimbang, saling mengisi, saling melengkapi, dan saling memperkuat satu sama lain. Pembangunan sosial dan kebijakan sosial kemudian muncul sebagai konsep baru yang mewarnai konstelasi paradigma pembangunan sebelumnya yang terlalu didominasi oleh pembangunan ekonomi dan tentunya oleh kebijakan ekonomi. PENUTUP. Demikianlah ulasan tentang Kebijakan publik
55
*******
Kebijakan Publik dalam Konstelasi Paradigma Pembangunan Kesejahteraan Sosial - Ronawaty Anasiru
56
ABSTRAK
Partisipasi publik merupakan komponen vital bagi segenap lapisan masyarakat termasuk kelompok miskin dalam suatu proses pembangunan yang mendorong terciptanya masyarakat yang mandiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan tidak hanya menjadi tumpuan pemerintah saja secara top down, tetapi harus dilakukan dengan kemampuan membangun partisipasi publik. Partisipasi publik sebagai gerakan masyarakat untuk terlibat dalam proses pembuatan keputusan, dalam pelaksaanaan kegiatan, ikut menikmati hasil dari kegiatan tersebut, dan ikut serta dalam mengevaluasinya. Oleh sebab itu dalam membangun partisipasi publik tersebut maka pemerintah daerah perlu melakukan terobosan dengan mengembangkan manajemen kebijakan diantaranya kebijakan Sisduk, Pemberdayaan Masyarakat, dan Peningkatan Kinerja aparat pemerintah. Tulisan ini menggunakan metode content analysis terhadap informasi hasil penelitian The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) yang telah dipublikasikan, serta analysis terhadap hasil penelitian tesis dua orang mahasiswa pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar yang penulis sendiri bimbing dalam proses penelitiannya. Kata Kunci: Manajemen Kebijakan, Pemberdayaan dan Peningkatan Kinerja.
PENDAHULUAN Berdasarkan penilaian The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO), Kabupaten Takalar mendapat Tropi Otonomi Award 2010 kategori daerah dengan profil menonjol partisipasi publik dan kesinambungan politik lokal. Hal tersebut berkaitan dengan kebijakan pemerintah daerah yang terus berinovasi dan melakukan terobosan di bidang partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Salah satu program unggulannya adalah Sistem Dukungan Terpadu Pembangunan di Desa yang disingkat Sisduk (Usman, 2010). Kabupaten Takalar yang berpenduduk miskin 31.17 juta jiwa atau 16,6 persen dari total jumlah penduduk (BPS, 2009) harus bersaing dengan empat daerah lainnya yang didominasikan untuk kategori yang sama yakni Kabupaten Luwu Utara, Soppeng, Sinjai dan Kepulauan Selayar. Menurut peneliti FIPO, Usman (2010) Kabupaten Takalar meraih skor tertinggi dari 23 kabupaten/kota lainnya yakni 730 poin, sementara Luwu Utara dan Soppeng memperoleh nilai sama 727 poin, Sinjai dan Selayar masingmasing 722 dan 721 poin. Fenomena tersebut sangat menarik terlebih bagi daerah yang sementara membangun sebuah pemerintahan yang baik (good governance), dimana proses pembangunan tidak hanya menjadi tumpuan pemerintah saja secara top down, tetapi harus dilakukan dengan kemampuan membangun
57
58
59
7,9 1
11, 59 1,69
Dana pengeluaran pemerintah sebanyak 7,9 milyar rupiah maupun pengeluaran masyarakat sebanyak 11,59 milyar rupiah pada tahun 20032006 digunakan untuk membantu 17.957 Kepala Keluarga (KK) dan 3.017 kelompok masyarakat. Sedangkan pengeluaran pemerintah tahun 2009 sebanyak 1 milyar rupiah dan 1,69 milyar rupiah dana partisipasi masyarakat mampu membangkitkan partisipasi bidang ekonomi dan sosial masyarakat yang diperuntukkan untuk kegiatan bidang ekonomi seperti pengadaan pompa air untuk pertanian, pupuk, perikanan mesin alat tangkap, rumput laut, dan industri rumah tangga. Sedangkan dana pengeluaran untuk kegiatan bidang sarana dan prasarana seperti pengadaan air bersih, jamban keluarga, pengairan tersier, dan jalan tani/jembatan hingga kegiatan sosial seperti rehabilitasi masjid/musalah, dan pembangunan TK/TPA. Kegiatan tersebut telah membawa banyak perubahan di Takalar seperti tumbuhnya kelompok-kelompok di dalam masyarakat sebagai wadah kerja sama untuk memenuhi kebutuhan bersama. Hingga tahun 2008 telah terbentuk sebanyak 4.653 kelompok. Kebijakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP). Salah satu keberhasilan dalam membangun partisipasi publik di Kabupaten Takalar adalah keberhasilan mengimplementasikan program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri pedesaan (PNPM-MP)di sebagian perdesaan. Program PNPM Mandiri Perdesaan yang dimulai sejak tahun 2007 dengan program pengembangan masyarakat mulai diperluas tahun 2008 dengan melibatkan program pengembangan infrastruktur
sosial ekonomi wilayah (PISEW) untuk mengingrasikan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah lainnya. Untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat, maka di daerah ini dilaksanakan pelatihan kader pemberdayaan masyarakat desa (KPMD) dan pendamping lokal (PL) program PNPM mandiri. Sesuai dengan visi dan misi PNPM mandiri maka strategi yang dikembangkan di daerah ini adalah menjadikan rumah tangga miskin (RTM) sebagai kelompok sasaran, menguatkan sistem pembangunan partisipatif serta mengembangkan kelembagaan kerjasama antar desa. PNPM mandiri pedesaan lebih menekankan pentingnya pemberdayaan sebagai pendekatan yang dipilih. Menurut hasil penelitian Dewi (2010), PNPM Mandiri Perdesaan sangat berpengaruh menekan permasalahan sosial sebagai dampak kemiskinan, antara lain permasalahan lapangan kerja, menekan rendahnya tingkat pendidikan, menekan peningkatan angka kriminalitas, dan menekan berkembangnya konflik-konflik sosial antar masyarakat, dan menekan rendahnya akses masyarakat terhadap kebutuhan hidup. Dengan adanya PNPM Mandiri Perdesaan kegiatan bidang ekonomi seperti kerajinan rumah tangga (home industri) membangkitkan kembali peluang masyarakat mengembangkan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan rumah tangga seperti pembuatan keramik, pembuatan kursi tamu, dan pembuatan kue dan makanan jadi lainnya. Dengan dana bergulir pada program PNPM mandiri, maka tingkat kriminalitas seperti pencurian ternak dan kecemburuan sosial antar desa/ kampung dapat ditekan. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya kriminalitas dan persoalan sosial lainnya tidak terlepas dari kondisi kemiskinan yang dialami oleh masyarakat. Meskipun demikian menurut Dewi (2010), Indeks Pembangunan Manusia (human Development index) di daerah ini masih sangat rendah, dibandingkan dengan kualitas manusia di daerah/negara lainnya. Kebijakan Peningkatan Kinerja Aparat Pemerintah Aparat pemerintah merupakan motor penggerak utama dalam membangkitkan partisipasi publik dalam pembangunan, dan oleh karena itu aparat harus bersikap sebagai pelayan atau memberi pelayanan, dan bukan sebagai penguasa (Tjokroamijoyo. 1987). Pemerintah adalah pengambil prakarsa terlebih dahulu dalam bentuk pembangunan untuk masyarakat (Hanson, Bhattacharyya dalam Ndraha, 1990). Dengan catatan tidak mematikan inisiatif masyarakat itu sendiri.
60
DAFTAR PUSTAKA Bank Dunia. 2007. Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. (Terjemahan) Penerbit: The World Bank Badan Pusat Statistik, 2009. Takalar dalam Angka, Takalar: Badan Pusat Statistik Tjokroamijoyo, Bintoro. 1987. Administrasi Pembangunan, Jakarta: LP3ES. Bryant, C and White, L.G, 1982. Managing Development in The Third World, Boulder Colorado: Westview Press. Bryson, John, 1988. Strategic Planning for Publik and Nonprofit Organizations. Jossey Bass Publishers, San Fransisco Dewi, Ratna. 2010. Efektivitas Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) mandiri Pedesaan Di Kecamatan Polombangkeng Selatan Kabupaten Takalar (Tesis), Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar
61
*******
62
ABSTRAK
ssu sertifikasi guru dan dosen telah lama digulirkan. Sertifikasi sebagai upaya legal dan pengakuan negara terhadap status profesional bagi guru. Undang-undang RI No.14 tahun 2005 dan PP No.74 tahun 2008 memberikan batasan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat untuk guru dan dosen. Pengakuan sebagai seorang profesional dikuatkan dengan terbitnya lembaran negara yang bernama sertifikat pendidik. Sebuah impian yang dinantikan oleh kaum Umar Bakri di Tanah Air. Namun menjadi sebuah tanda tanya, apakah menjadi guru profesional cukup dengan sertifikasi? Menjawab pertanyaan ini perlu dilakukan analisis lebih jauh.
PENDAHULUAN Sejak pertama digulirkan, istilah sertifikasi telah membuat gerah beberapa LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) di Tanah Air. Sertifikasi dianggap sebagai bentuk keraguan dari pihak pemerintah terhadap kredibilitas alumni dari LPTK yang telah banyak menghasilkan tenaga guru dan dosen. Lembaran negara berupa Ijazah Akta tidak menjadi sebuah jaminan kompetensi bagi setiap guru. Mengapa? Issu tentang rendahnya mutu pendidikan yang seakan tak pernah selesai menjadi fakta tak terbantahkan sebagai indikator bahwa kompetensi guru perlu ditelusuri lebih jauh. Upaya untuk menelusuri pun digodok dalam rangka mendeteksi layak tidaknya seorang guru dianggap profesional. Tarik ulur sistem pendeteksian melahirkan sebuah instrumen yang disebut dengan Penilaian Porto Folio yang dianggap lebih murah saat ini sebagai
63
Kebijakan Sertfikasi Guru (Tawaran Solusi Pendidikan Profesi Guru) - Hj.Ihyani Malik
64
Penetapan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) adalah otonomi penuh bagi guru mata pelajaran. Secara rasional siswa yang telah lulus KKM dari semua mata pelajaran setiap jenjang kelas sudah dianggap kompeten untuk lulus. Tetapi secara nasional melalui Ujian Nasional secara sepihak dapat menggagalkan semua itu dengan kriterianya sendiri. Sistem kurikulum ini sangat mempengaruhi ke-profesionalan guru sebab terkait dengan hasil belajar yang menjadi tolok ukur utama mutu pendidikan. Meskipun guru sudah dianggap profesional tetapi dengan sistem kurikulum seperti ini akan terpatahkan oleh fakta hasil belajar siswa akibat kerumitan muatan kurikulum yang dihadapinya. PEREKRUTAN TENAGA PENDIDIK PROFESIONAL EKSKLUSIF Melahirkan profesional memerlukan perlakuan eksklusif (tidak umum). Eksklusif dalam perekrutan calon profesional (sistem seleksi), perlakuan calon profesional, dan apresiasi user/stakeholder setelah menjadi profesional. Salah satu kesalahan besar yang dilakukan pemerintah di negeri ini adalah perubahan IKIP (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan) menjadi Universitas. IKIP adalah institusi eksklusif yang diformat untuk memproduksi guru. Dengan menggunakan nama IKIP maka secara rasio hanya memanggil secara eksklusif untuk mereka yang bercita-cita menjadi guru. Kebijakan mengubah IKIP menjadi Universitas berakibat pada tidak jelasnya institusi apa yang bertanggung jawab terhadap mutu guru. Prof. Dr. Djaali (anggota BSNP), bahkan membuat wacana yang lebih eksklusif lagi tentang perekrutan guru. Dikatakan bahwa guru sebaiknya dieksklusifkan seperti pendidikan AKABRI (seleksi ketat, terpusat, dan diasramakan). Prof. Dr. Djaali meyakini hipotesis bahwa rendahnya mutu pendidikan bukan disebabkan oleh kompetensi guru, melainkan lebih pada keikhlasan menjadikan profesi guru sebagai panggilan jiwa. PEMBERLAKUAN SISTEM GURU KONTRAK SECARA PROFESIONAL Pemaksaan meskipun terkesan bernilai negatif, namun sering membuahkan hasil yang optimal. Sistem kontrak secara profesional akan memaksa guru untuk selalu produktif. Dengan ancaman sanksi administratif sampai pada pemutusan kontrak, guru yang telah lulus seleksi dan dianggap layak, dengan serta-merta akan meningkat-
65
Ahmadi, Abu. 1999. Psikologi Sosial. Jakarta: Rinneka Cipta Ali, M. Sidin, Jaali, Syamsuddin Nonci. 1986. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud Proyek Sisdiklat BKS PTN, Indonesia Timur. Bycio, P., Hackett, R.D., and Allen, J.S. 1995. Further Assessments of Basss (1985). Conceptualization of Transactional and Transformational Leadership. Journal of Applied Psychology, 80 (4): 468-478. Dessler, Gary, 1997. Human Resource Management. Terjemahan Benyamin Molan. Jakarta : Prenhallindo. Donaldson dan Scannel, 1993. Human Resources Development. Terjemahan Yakub dan Eno. Jakarta : Gaya Media Pratama. Eisenbach, R., Watson, K., and Pillai, R. 1999. Transformational Leadership in The Context of Organizational Change. Journal of Organizational Change Management, 12 (2): 80-88. Himpunan Peraturan Peundang-undangan Pegawai Negeri Sipil, 2003. Bandung : Fokus Media. Judge, T.A., and Bono, J.E. 2000. Five-factors Model of Personality and transactional Leadership. Journal of Applied Psychology, 85 (5): 751-765. Jalaluddin dan Abdullah, 1997. Filsafat Pendidikan. Jakarta : Gaya Media Pratama. Jessup, G., Jessup, H. (1975). Selection and Assesssment, London, Matheuen. Koh, W.L., Steers, R.M., and Terborg, J.R. 1995. The Effect of Transformational Leadership on Teacher Attitudes and Student Performance in Singapore. Journal of Organizational Behavior, 16: 319-333. Stolovitch, Keeps. 1992. Strategy Formulation in Complex Organization. New York: Mc Graw Hill Book Company Suhartono, S. 1994. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Ujungpandang: PPs UNHAS
66
*******
Kebijakan Sertfikasi Guru (Tawaran Solusi Pendidikan Profesi Guru) - Hj.Ihyani Malik
67
Tabel Angka dan huruf menggunakan huruf bertipe Times New Roman berukuran 10 point. Singkatan yang ada di dalam tabel diberikan kepanjangan singkatan tersebut dibawah tabel. Gambar Gambar grafik maksimun lebar 10,5 cm dibuat dalam program pengolahan data (Microsoft Office). Angka dan huruf keterangan gambar menggunakan huruf bertipe Arial berukuran 9 point. Daftar Pustaka/Rujukan Daftar Rujukan diharapkan lebih 80 % bersumber dari pustaka primer (Jurnal, hasil penelitian, disertasi, tesis, skripsi) dari pustaka skunder (buku, majalah) dan tahun terbitan lebih 80 % adalah 10 tahun terakhir, diurutkan secara alphabet dan kronologis. Kutipan dalam artikel Kutipan dalam artikel dapat berupa kutipan langsung atau tidak langsung. Yang penting setiap kutipan harus mencerminkan, nama pengarang, tahun terbitan dan nomor halaman.
68
Naskah dapat dikirim melalui E-mail, CD, atau via pos, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum bulan penerbitan kepada: Penyunting Jurnal Ilmu Pemerintahan OTORITAS Alamat Redaksi : Gedung F1 Lt.1 Pusat Perkatoran FISIP Unismuh Makassar Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221 Telp. 0411 866972 ext. 107 Fax. 0411 865588 Email: ipunismuh@yahoo.com Email: jurnalotoritas@gmail.com